DAMPAK PERTUMBUHAN EKONOMI DAN KEMISKINAN TERHADAP DEGRADASI LINGKUNGAN DI JAWA BARAT ATIH ROHAETI DARIAH

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "DAMPAK PERTUMBUHAN EKONOMI DAN KEMISKINAN TERHADAP DEGRADASI LINGKUNGAN DI JAWA BARAT ATIH ROHAETI DARIAH"

Transkripsi

1 DAMPAK PERTUMBUHAN EKONOMI DAN KEMISKINAN TERHADAP DEGRADASI LINGKUNGAN DI JAWA BARAT ATIH ROHAETI DARIAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007

2 SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam disertasi saya yang berjudul: DAMPAK PERTUMBUHAN EKONOMI DAN KEMISKINAN TERHADAP DEGRADASI LINGKUNGAN DI JAWA BARAT Merupakan gagasan atau hasil penelitian disertasi saya sendiri, dengan pembimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukan dengan rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan dengan jelas dan dapat diperiksa kebenarannya. Bogor, Juni 2007 Atih Rohaeti Dariah Nrp. A /EPN

3 ABSTRAK ATIH ROHAETI DARIAH. Dampak Pertumbuhan Ekonomi Dan Kemiskinan Terhadap Degradasi Lingkungan di Jawa Barat (BUNASOR SANIM sebagai Ketua, HERMANTO SIREGAR dan PARULIAN HUTAGAOL sebagai Anggota Komisi Pembimbing). Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dampak dari pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan terhadap degradasi lingkungan, mengevaluasi keberadaan dan implementasi kebijakan pengendalian lahan kritis, pencemaran air dan pencemaran udara, menganalisis dampak dari degradasi lingkungan terhadap kemiskinan dan pertumbuhan ekonomi, melakukan simulasi ramalan kebijakan pembangunan berkelanjutan di Jawa Barat tahun Untuk menemukan jawaban dari tujuan penelitian ini, dibangun model makroekonomi lingkungan yang terdiri dari 12 persamaan struktural dan 8 identitas, dilakukan survei untuk mengumpulkan informasi tentang eksistensi hak kepemilikan, persepsi dan sikap pengusaha serta rumahtangga terhadap kebijakan lingkungan. Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat perbedaan perilaku antara lahan kritis, pencemaran air dan pencemaran udara ketika dikaitkan dengan pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan serta hak kepemilikan. Lahan kritis per kapita lebih ditentukan oleh kemiskinan dan ketimpangan pendapatan karena tekanan jumlah penduduk dan pengangguran. Sedangkan pencemaran air dan udara lebih ditentukan oleh pertumbuhan ekonomi yang sejalan dengan proses industrialisasi di Jawa Barat. Dalam kasus lahan kritis milik masyarakat hak kepemilikan terdefinisikan dengan baik, hanya di lahan kritis milik pemerintah tidak terpenuhi karakteristik enforceability. Sedangkan air dan udara bersifat open access yang menimbulkan peluang besar terjadinya over eksploitasi. Efektivitas kebijakan penanganan lahan kritis sangat tergantung pada perbaikan tingkat kesejahteraan masyarakat. Sementara regulasi aturan baku mutu limbah cair dan emisi (CAC) cenderung tidak ditaati karena unit pengolah limbah menaikan biaya produksi, limbah terserap air, tidak ada sanksi, dan tidak ada peluang kerjasama mengatasi pencemaran. Berdasarkan simulasi historis terbukti bahwa meningkatnya degradasi lingkungan telah menurunkan pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kemiskinan. Luas lahan kritis per kapita memberikan dampak buruk yang lebih besar terhadap perekonomian dibandingkan dengan pencemaran air dan udara. Berdasarkan simulasi ramalan diperoleh kebijakan pembangunan berkelanjutan yakni pola pertumbuhan ekonomi yang bias pada sektor jasa, diikuti dengan kebijakan perbaikan distribusi pendapatan, penurunan laju pertumbuhan penduduk dan peningkatan kepedulian lingkungan Kata kunci: Pertumbuhan Ekonomi, Kemiskinan, Hak Kepemilikan, Degradasi Lingkungan

4 ABSTRACT ATIH ROHAETI DARIAH, Impact of Economic Growth and Poverty on Environmental Degradation in West Java Province (BUNASOR SANIM as chairman, HERMANTO SIREGAR and PARULIAN HUTAGAOL as members of the advisory committee) The purpose of research is to analyze impact of economic growth and poverty on environmental degradation, evaluate existence and implementation of environmental policies of critical land, water and air pollution, analyze impact of environmental degradation on sustainable development achievement, simulate of sustainable development policies for West Java Propince in This rersearch would be approached by econometric model consist of twenty equations with simulation technique. In addition, field survey to elaborate perception and attitude to environment of related firm and household. Model incorporated economic growth, poverty, environmental awarness and policies. The results indicated that there are different behaviour among critical land, water and air pollution in which relationship with economic growth, poverty and property rights. Private critical land more responsive to inequality income and poverty due to the high of population growth and unemployment. In the other hand water and air pollution more responsive to economic growth as well as industrialization process. There is well defined property rights in critical private land case, only in critical state land less enforceability. But, is not well defined property rights in air and water. Effectiveness rehabilitation of land critical policies depend on social welfare. While regulation of liquid waste and emission standard tend did not obey because of increased cost of waste treatment, assimilation capacity, no sancsion, no opportunities to reduce air dan water pollution together. Based on historical simulation proved that increased of environmental degradation had decreased economic growth and increased poverty. Critical land per capita had bigger bad effect to economy than air and water pollution. Based on forcast simulation indicate that sustainable development policies are services bias economic growth pattern, equalization of income distribution, decrease of population growth and increase awareness of environmental. Key Words: Economic Growth, Poverty, Property Rights, Environmental Degradation

5 @ Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa ijin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, hak cetak, foto copy dan microfilm, dan sebagainya.

6 DAMPAK PERTUMBUHAN EKONOMI DAN KEMISKINAN TERHADAP DEGRADASI LINGKUNGAN DI JAWA BARAT ATIH ROHAETI DARIAH Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007

7 Judul Disertasi Nama Mahasiswa : Dampak Pertumbuhan Ekonomi dan Kemiskinan Terhadap Degradasi Lingkungan di Jawa Barat : Atih Rohaeti Dariah Nomor Pokok : A Program Studi : Ilmu Ekonomi Pertanian Menyetujui, 1. Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. Bunasor Sanim, MSc. Ketua Dr. Ir. Hermanto Siregar, MEc. Anggota Dr. Ir. M. Parulian Hutagaol, MS. Anggota Mengetahui, 2. Ketua Program Studi 3. Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Ekonomi Pertanian Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS. Tanggal Ujian: 8 Februari 2007 Tanggal Lulus: 31 Mei 2007

8 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 2 Maret 1968 di Sumedang, putri ketiga dari tiga bersaudara dari Bapa H. Ase Suhana dan Ibu Hj. Usih Sukaesih. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SDN Cibeureum I Sumedang pada tahun 1981, pada tahun 1984 menamatkan pendidikan menengah pertama di SMPN Legok Sumedang, pada tahun 1987 menamatkan pendidikan menengah atas di SMAN I Sumedang. Pada tahun 1992 menyelesaikan pendidikan sarjana sebagai sarjana ekonomi pada Program Studi Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran Bandung dengan judul skripsi Analisis Tingkat Persaingan Antar Developer Dalam Industri Perumahan di Indonesia. Pada tahun 1993 diterima sebagai dosen tetap di Program Studi Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi Universitas Islam Bandung. Pada tahun 1999 memperoleh gelar Magister Sain pada Program Pascasarjana Bidang Kajian Utama Ilmu Ekonomi dan Akuntasi Universitas Padjadjaran Bandung dengan judul tesis Pengaruh Ekolabeling Terhadap Ekspor Kayu Lapis Indonesia Di Pasar Internasional. Pada tahun 2002 penulis melanjutkan pada program S3 di Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian Institut Pertanian Bogor. Selain mengajar penulis aktif melakukan penelitian tentang perekonomian Jawa Barat dengan Bank Indonesia Bandung dan BAPEDA Propinsi Jawa Barat. Penulis telah menikah dengan Sutrisno Setiawan sejak tahun 1991 dan dikarunia seorang putri Rajab Cipta Lestari (14 tahun).

9 KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena hanya dengan limpahan rahmat, hidayah dan karunia-nya penulis dapat menyelesaikan disertasi ini. Disertasi ini dibuat sebagai syarat bagi penyelesaian studi Program Doktor pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Disertasi ini berjudul Dampak Pertumbuhan Ekonomi dan Kemiskinan Terhadap Degradasi Lingkungan di Jawa Barat, yang membahas degradasi lingkungan dikaitkan dengan pertumbuhan ekonomi, kemiskinan, kebijakan dan kepedulian lingkungan. Melalui hasil estimasi dari model makroekonomi lingkungan yang sudah dibangun dan temuan hasil survei maka dapat digambarkan bagaimana hubungan satu sama lain diantara variabel tersebut, bagaimana kinerja pertumbuhan ekonomi dan implementasi kebijakan selama ini, sehingga dengan mensintesi seluruh temuan tersebut dicoba dikembangkan kebijakan pembangunan berkelanjutan. Kebijakan yang diungkapkan masih bersifat grand policies, sehingga penulis menyarankan penelitian berikutnya untuk menurunkan kebijakan pada tataran yang lebih detil. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada keluarga yakni orang tua, suami dan anak yang telah mendukung penuh penulis untuk mengikuti studi doktor. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada: 1. Prof. Dr. Ir. Bunasor Sanim, MSc. selaku ketua komisi pembimbing yang dengan penuh perhatian memberikan masukan untuk menjaga konsistensi redaksional dan substansi penulisan disertasi ini, meyakinkan penulis bahwa setiap penelitian memiliki pendekatan dan keunggulan tertentu sekalipun obyeknya sama.

10 2. Dr. Ir. Hermanto Siregar, MEc. selaku anggota komisi pembimbing yang dengan penuh perhatian memberikan masukan penyempurnaan model dan perluasan analisa. 3. Dr. Ir. Parulian Hutagaol, MS. selaku anggota komisi pembimbing yang dengan penuh perhatian mengarahkan dalam menstruktur isu, mensintesa temuan baik hasil estimasi maupun hasil survei sehingga tampak esensinya. 4. Rektor, Dekan Sekolah Pascasarjana IPB yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk menempuh jenjang Program Doktor di Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian. 5. Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA yang telah memberikan kesempatan untuk diskusi mempertajam model dalam penelitian ini dan juga sebagai ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian yang banyak memberikan motivasi selama menjalani jenjang Program Doktor di Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian. 6. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, MSc selaku penguji luar komisi pada saat ujian tertutup yang telah memberikan masukan yang konstruktif. 7. Prof. Dr. Armida Alisjahbana, SE., MA dan Dr. Ir. Agus Rahmat, MT selaku penguji luar komisi pada saat ujian terbuka yang telah memberikan masukan untuk mempertajam arah dan isi penelitian ini. 8. Rektor Universitas Islam Bandung, Dekan Fakultas Ekonomi, Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi yang telah mengijinkan dan membiayai penulis dalam mengikuti jenjang Program Doktor.

11 9. Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian yang membuka cakrawala keilmuan penulis dan membentuk karakter berfikir serta perilaku yang positif sebagai akademisi. 10. Staf administrasi Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian dan Sekolah Pascasarjana IPB yang telah membantu kelancaran administrasi selama kuliah. 11. Rekan-rekan Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian terutama Mba Poer yang selalu memberikan semangat, Yuhka dan Pa Rasidin yang banyak membantu penyempurnaan disertasi. 12. Eka dan Andi yang telah membantu survei lapangan kepada beberapa perusahaan dan rumahtangga. 13. BPLHD dan BAPEDA Jawa Barat, Bank Indonesia Bandung yang banyak memberi kesempatan untuk diskusi dan memberikan informasi yang terkait dengan disertasi ini. 14. Karyawan SOS Kinderdorf Lembang terutama Mas Kardi yang sejak awal penulis kuliah di IPB sampai selesainya dengan sabar sering mengantar ke Bogor. Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih ada beberapa kekurangan yang akan ditemui oleh pembaca. Harapan penulis disertasi ini dapat memberikan manfaat kepada pembaca, dan atas kritikan yang membangun penulis ucapkan terimakasih. Bandung, Juni 2007 Penulis

12 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... viii xi xii I. PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian II. TINJAUAN LITERATUR Pengertian dan Pengukuran Degradasi Lingkungan Proksi Untuk Kualitas Udara Proksi Untuk Kualitas Air Lahan Kritis Model Pezzey Teori Environmental Kuznet Curve Aspek Sosial-Ekonomi dan Degradasi Lingkungan Dampak Ketimpangan Pendapatan dan Kemiskinan Terhadap Degradasi Lingkungan Dampak Pertumbuhan Penduduk Terhadap Degradasi Lingkungan Degradasi Lingkungan: Wujud Kegagalan Pasar Kebijakan dan Kepedulian Lingkungan... 35

13 Kebijakan Lingkungan di Jawa Barat Makna Pembangunan Berkelanjutan Posisi Penelitian Diantara Penelitian Sebelumnya III. KERANGKA PEMIKIRAN Hubungan Antara Pertumbuhan Ekonomi dan Degradasi Lingkungan Degradasi Lingkungan: Aspek Kelembagaan Etika Lingkungan IV. METODE PENELITIAN Model Makroekonomi Lingkungan Identifikasi dan Pendugaan Model Simulasi Kebijakan Metode Survei: Hak Kepemilikan dan Respon Masyarakat Terhadap Kebijakan Lingkungan Kasus Lahan Kritis Kasus Pencemaran Air dan Udara Penentuan Sampel V. HASIL ESTIMASI DAN VALIDASI MODEL Hasil Estimasi Model Makroekonomi-Lingkungan Jawa Barat Hasil Validasi Model Substansi Hasil Estimasi v

14 VI. DAMPAK PERTUMBUHAN EKONOMI DAN KEMISKINAN TERHADAP DEGRADASI LINGKUNGAN Pengaruh Kenaikan PDRB Pengaruh Kenaikan Tingkat Kemiskinan dan Ketimpangan Pendapatan Pengaruh Kenaikan Pertumbuhan Penduduk Substansi Hasil Simulasi Historis VII. RESPON PELAKU EKONOMI TERHADAP KEBIJAKAN LINGKUNGAN Kasus Lahan Kritis Lahan Kritis Milik Masyarakat Lahan Kritis Milik Negara Keberadaan Kebijakan dan Pelaksanaan Penanganan Lahan Kritis di Dalam dan Luar Kawasan Kasus Pencemaran Air Pencemaran Air: Realita Open Access Keberadaan dan Implementasi Kebijakan Pengendalian Pencemaran Air Kasus Pencemaran Udara Pencemaran Udara: Eksternalitas Publik Keberadaan dan Implementasi Kebijakan Pengendalian Pencemaran Udara VIII. SIMULASI HISTORIS DAMPAK DEGRADASI LINGKUNGAN TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DAN KEMISKINAN Pengaruh Kenaikan TDSp dan BODp Pengaruh Kenaikan CO dan CO2p Pengaruh Kenaikan Lus Lahan Kritis Per Kapita Substansi Hasil Simulasi Historis vi

15 IX. SIMULASI RAMALAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN Skenario Kebijakan Peningkatan Kredit Perbankan Skenario Kebijakan Kredit Perbankan dan Penurunan Ketimpangan Pendapatan Skenario Kebijakan Kredit Perbankan, Penurunan Ketimpangan Pendapatan dan Penurunan Laju Pertumbuhan Penduduk Skenario Kebijakan Kredit Perbankan, Penurunan Ketimpangan Pendapatan, Penurunan Laju Pertumbuhan Penduduk dan Peningkatan Kepedulian Lingkungan X. ALTERNATIF KEBIJAKAN LINGKUNGAN Kebijakan Pengendalian Luas Lahan Kritis Kebijakan Pengendalian Pencemaran Air Kebijakan Pengendalian Pencemaran Udara XI. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Implikasi Kebijakan DAFTAR PUSTAKA DAFTAR BACAAN LAMPIRAN vii

16 DAFTAR TABEL Nomor Halaman 1. Ragam Kebijakan Pengendalian Pencemaran Air Ragam Kebijakan Pengendalian Pencemaran Udara Ragam Kebijakan Pengendalian Lahan Kritis Posisi Penelitian Diantara Penelitian Sebelumnya Distribusi Sampel Obyek Penelitian Hasil Estimasi Parameter Persamaan Output Sektor Pertanian (AGRO) Hasil Estimasi Parameter Persamaan Output Sektor Industri Pengolahan Hasil Estimasi Parameter Persamaan Output Sektor Jasa Distribusi Output dan Tenaga Kerja Per Sektor Ekonomi di Jawa Barat Periode Distribusi Pendapatan Diantara Kelompok Rumah Tangga di Jawa Barat Tahun 1999 dan 2002 (Juta rupiah) Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Gini Ratio Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Tingkat Kemiskinan Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Lahan Kritis Per Kapita Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Output Sektor Pertambangan dan Penggalian Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Sektor Bangunan Hasil Pendugaan Parameter Persamaan TDSp Daftar Kawasan Industri di Jawa Barat Tahun Jumlah dan Jenis Industri Dominan di Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun Hasil Pendugaan Parameter Persamaan BODp Hasil Pendugaan Parameter Persamaan CO

17 21. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan CO2p Nilai RMSE, RMSPE dan U-Theil Nilai Rata-rata dan Standar Deviasi dari Data Aktual dan Prediksi Simulasi Historis Dampak Kenaikan PDRB 1%, 2% dan 3% Terhadap Makroekonomi- Lingkungan Jawa Barat Simulasi Historis Dampak Kenaikan PDRB 1% Terhadap Makroekonomi-Lingkungan Jawa Barat Jika Kemiskinan dan Ketimpangan Pendapatan Tetap Simulasi Historis Dampak Kenaikan Kemiskinan 0.5% dan Ketimpangan Pendapatan 0.02 Terhadap Makroekonomi- Lingkungan Jawa Barat Simulasi Historis Dampak Kenaikan Kemiskinan 0.5% dan Ketimpangan Pendapatan 0.02 Terhadap Makroekonomi- Lingkungan Jawa Barat Jika PDRB Tetap Simulasi Historis Dampak Kenaikan Pertumbuhan Penduduk 0.15% Terhadap Makroekonomi-Lingkungan Jawa Barat Perbedaan Substansi UU Pengelolaan LH Antara No 4 Tahun 1982 Dengan No 23 Tahun Distribusi Sampel Survei Persepsi dan Sikap Pengusaha dan Rumahtangga Terhadap Eksistensi Sungai dan Kebijakan Pengendalian Pencemaran Air di Jawa Barat Tingkat Responsif Pengusaha dan Rumahtangga Terhadap Kebijakan Pengendalian Pencemaran Air di Jawa Barat Tingkat Responsif Industri Terhadap Kebijakan Pengendalian Pencemaran Udara di Jawa Barat Simulasi Historis Dampak Kenaikan TDSp 2%, BODp 1% dan BODp 2%, TDSp 4% Terhadap Makroekonomi-Lingkungan Jawa Barat Simulasi Historis Dampak Kenaikan CO 2%, CO2p 1% dan CO 4%, CO2p 2% Terhadap Makroekonomi-Lingkungan Jawa Barat Simulasi Historis Dampak Kenaikan LKp 1%, 2%, 3% Terhadap Makroekonomi-Lingkungan Jawa Barat ix

18 36. Simulasi Ramalan Dampak Kebijakan Peningkatan Kredit Perbankan Terhadap Makroekonomi-Lingkungan Jawa Barat Simulasi Ramalan Dampak Kebijakan Peningkatan Kredit Perbankan dan Penurunan Ketimpangan Pendapatan Terhadap Makroekonomi-Lingkungan Jawa Barat Simulasi Ramalan Dampak Peningkatan Kebijakan Kredit Perbankan, Penurunan Ketimpangan Pendapatan dan Penurunan Laju Laju Pertumbuhan Penduduk Terhadap Makroekonomi-Lingkungan Jawa Barat Simulasi Ramalan Dampak Kebijakan Pembangunan Berkelanjutan Terhadap Makroekonomi-Lingkungan Jawa Barat Klasifikasi Instrumen Dalam Matrik Kebijakan Matrik Kebijakan untuk Aspek Lingkungan dari Transportasi x

19 DAFTAR LAMPIRAN Nomor Halaman 1. Data yang Digunakan Dalam Penelitian Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air Peraturan Pemerintah Indonesia No 41 Tahun 1999 Tentang Pengendalian Pencemaran Udara Kuesioner Untuk Pemilik Lahan Kuesioner Untuk Pejabat yang Terkait Dengan Lahan Kritis Kuesioner untuk Perusahaan yang Menghasilkan Limbah Cair Kuesioner untuk Perusahaan yang Menghasilkan Limbah Gas Kuesioner untuk Rumahtangga Program dan Hasil Simulasi Dasar PDRB Eksogen Program dan Hasil Simulasi Historis Dampak Kenaikan PDRB 1% Program dan Hasil Simulasi Dasar Kemiskinan dan Ketimpangan 12. Pendapatan...307

20 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dilihat dari distribusi outputnya, sejak tahun 1993 struktur perekonomian Jawa Barat telah mengalami pergeseran dari dominasi sektor pertanian ke dominasi sektor industri pengolahan. Pada tahun 1993 peranan sektor pertanian terhadap PDRB tercatat sebesar persen turun menjadi persen pada tahun Sebaliknya peranan sektor industri pengolahan terhadap PDRB mengalami perkembangan yang cukup pesat dari persen tahun 1993 menjadi persen tahun 2005 (BPS Jawa Barat). Selama krisis ekonomi pun persentase kontribusi ini relatif tetap. Perkembangan sektor industri pengolahan diikuti oleh semakin berkembangnya sektor tersier, khususnya di bidang perdagangan dan jasa-jasa. Berdasarkan proporsi sektor industri pengolahan yang di atas 30 persen, maka menurut klasifiaksi United Nation Industrial Development Organization (UNIDO), Provinsi Jawa Barat termasuk wilayah industri (Bapeda Jabar, 2002). Perubahan struktural pada hakikatnya menunjukan bahwa selama pertumbuhan ekonomi berlangsung terjadi perbedaan dalam laju pertumbuhan produksi dari setiap sektor. Dengan demikian pertumbuhan sektor industri pengolahan di Jawa Barat lebih tinggi dari sektor pertanian. Tahapan pembangunan yang berhasil dilampaui Jawa Barat telah berdampak pada meningkatnya PDRB per kapita. Sejak tahun 1974 sampai tahun 1997 PDRB per kapita riil Jawa Barat meningkat terus. Pada tahun 1974 yang hanya sebesar 1.13 juta rupiah (harga konstan tahun 2000), pada tahun 1997 sudah sebesar 4.8 juta rupiah. Nilai PDRB/kapita turun drastis menjadi 3.75 juta rupiah

21 2 ketika terjadi krisis ekonomi tahun 1998 (BPS Jawa Barat). Selama periode pemulihan peningkatan PDRB per kapita riil Jawa Barat relatif rendah dibandingkan periode sebelumnya karena pertumbuhan ekonomi melambat sementara laju pertumbuhan penduduk relatif tetap. Perubahan distribusi output ekonomi Jawa Barat ternyata tidak diikuti oleh perubahan struktur tenaga kerjanya secara proporsional. Terdapat kecenderungan proporsi tenaga kerja yang terserap di sektor pertanian semakin menurun, namun penurunannya relatif lambat. Dampak krisis ekonomi justru meningkatkan proporsi tenaga kerja yang terserap di sektor pertanian dan menurunkan proporsi tenaga kerja yang terserap di sektor industri pengolahan dan jasa. Data terakhir tahun 2005 proporsi tenaga kerja yang terserap di sektor pertanian sebesar persen, di sektor industri pengolahan persen dan sisanya tersebar di sektor-sektor ekonomi lainnya. Sedangkan pangsa output sektor pertanian terhadap PDRB hanya persen, sementara pangsa output sektor industri pengolahan sudah persen (BPS Jawa Barat). Ketimpangan antara dominasi output dan tenaga kerja secara eksplisit memperlihatkan perbedaan produktivitas yang mencolok diantara dua sektor ekonomi ini. Menurut Hayami (2001), perbedaan produktivitas tersebut selanjutnya akan berdampak pada perbedaan pendapatan kelompok masyarakat pertanian dengan masyarakat industri yang menjadi sumber terjadinya ketimpangan pendapatan dan kemiskinan. Namun ternyata tingkat kemiskinan terus turun seiring dengan pertumbuhan ekonomi, sementara angka Gini Ratio (GR) cenderung berfluktuatif. Pasca krisis ekonomi ukuran kedua variabel tersebut jadi memburuk. Kondisi

22 3 terakhir tahun 2005 angka GR sebesar 0.34 dan persentase penduduk miskin mencapai persen ketika ekonomi hanya tumbuh 5.31 persen sementara jumlah penduduk sudah mencapai juta jiwa (BPS Jawa Barat). Selain masalah ketimpangan pendapatan dan kemiskinan, seiring dengan tahapan pembangunan yang dilampaui, Jawa Barat pun dihadapkan pada masalah lingkungan yang semakin serius. Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Jawa Barat sudah melakukan identifikasi terhadap seluruh permasalahan lingkungan di Jawa Barat yang dapat dikelompokan sebagai berikut. Pertama, masalah degradasi sumberdaya alam khususnya air dan lahan. Deplesi sumber air mencakup air permukaan dan air bawah tanah, kuantitas dan kualitasnya sehingga akses masyarakat terhadap air bersih terutama di perkotaan semakin sulit. Kedua, kerusakan hutan semakin meluas baik hutan pegunungan maupun hutan pantai. Selama periode telah terjadi penyimpangan terhadap pemanfaatan kawasan lindung sekitar 12.9 persen. Kondisi terbesar dari penyimpangan tersebut terutama disebabkan adanya alih fungsi pada kawasan hutan dan kawasan resapan air. Dari tahun 1994 sampai 2000, hutan lindung berkurang sekitar ha (24 persen), sementara hutan produksi berkurang sekitar ha (31 persen). Pesawahan dalam periode ini telah diubah menjadi lahan bukan pesawahan seluas kurang lebih ha (17 persen). Wilayah hutan yang sebelumnya ha (22 persen dari daratan Jawa Barat) ternyata penutupan vegetasi hutannya tinggal 9 persen atau sekitar ha pada tahun Kondisi ini diikuti dengan bertambahnya luas lahan kritis. Hutan mangrove telah mengalami kerusakan berat akibat konversi menjadi area pertambakan, permukiman, pertanian, industri dan pariwisata (BPLHD Jabar, 2003). Ketiga,

23 4 masalah sampah dan pencemaran baik pencemaran air, udara maupun tanah yang penyebarannya sudah cukup meluas. Semua sungai di Jawa Barat dan wilayah-wilayah perkotaan Bogor, Depok, Bekasi, Bandung dan Cirebon tidak cocok untuk pemakaian langsung. Kebanyakan kontaminasi sungai tersebut berasal dari limbah domestik yang langsung masuk ke sungai (BPLHD, 2003). Dari 146 lokasi pengukuran di anakanak Sungai Citarum hanya terdapat 2 titik sampling (1.4 persen) yang memenuhi baku mutu B:C:D, sedangkan 144 lainnya (98.6 persen) tidak memenuhi baku mutu air B:C:D (peruntukan untuk air baku air minum, perikanan dan peternakan, pertanian dan lain-lain) sebagaimana Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat No. 39/2000. Adapun kedua titik sampling yang memenuhi baku mutu B:C:D adalah masing-masing satu terletak di Sungai Cibuniherang yakni ruas Gunung Wayang- Jembatan Majalaya dan di Sungai Cisaranten Hulu (Wangsaatmadja, 2003). Beberapa parameter yang tidak memenuhi persyaratan baku mutu B:C:D dari ketiga pembagian ruas sungai adalah Chemical Oxigen Demand (COD), Biological Oxigen Demand (BOD), Dissolved Oxigen (DO), koliform tinja, total koliform, minyak dan lemak, nitrit, nitrat, amoniak bebas, fenol, timbal, mangan, boron, flourida, presentase natrium, ph, zat padat terlarut, seng. Demikian halnya dengan pencemaran udara semakin memprihatinkan. BPLHD Jabar telah mencatat nilai tertinggi harian Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) setiap bulan antara tahun 2000 hingga tahun 2003 di Kota Bandung. Data-data menunjukan parameter kritis pada saat itu adalah PM 10 dan ozon. Berdasarkan data tersebut sejak akhir tahun 2000, jumlah hari tidak sehat

24 5 mempunyai kecenderungan meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2003 di Kota Bandung hanya terdapat 55 hari yang tergolong sehat (BPLHD Jabar, 2004). Kerusakan lingkungan yang dicerminkan oleh lahan kritis, pencemaran air, dan pencemaran udara menyangkut kemampuan daya dukung lingkungan untuk menyangga aktivitas manusia. Meluasnya lahan kritis telah menimbulkan dampak negatif berupa banjir ketika musim hujan dan kekeringan ketika musim kemarau karena hilangnya fungsi lahan sebagai tataguna air. Valuasi ekonomi yang dilakukan oleh BPLHD Jabar menunjukan bahwa kerugian ekonomi akibat tidak cukupnya pasokan air bersih untuk rumahtangga mencapai milyar rupiah, untuk industri milyar rupiah, untuk pemerintah 7.6 milyar rupiah. Turunnya produksi pertanian karena kekeringan sebesar milyar rupiah, sedangkan luas tanaman yang rusak karena banjir dan kekeringan mencapai 480 milyar rupiah (BPLHD Jabar, 2004). Demikian halnya dampak dari air sungai yang tercemar, tidak hanya pada kesehatan masyarakat yang langsung bersentuhan dengan sungai namun juga terhadap tanaman padi dan perikanan. Kondisi penyakit akibat bawaan air di Cekungan Bandung: diare, penyakit yang terjadi di lokasi hulu-hilir di sungai Citarum (Wangsaatmadja, 2003). Berkurangnya hasil panen padi di area persawahan di Bandung Selatan karena tercemarnya air sungai yang mengairi persawahan oleh limbah industri dan kegagalan panen ikan di Cirata, Karawang dan Subang (BI Bandung, 2005). Sementara dampak dari pencemaran udara karena padatnya transportasi yang banyak terjadi di daerah perkotaan dapat menimbulkan gangguan sistem pernafasan dan turunnya tingkat kecerdasan. Hasil penelitian menunjukan bahwa

25 6 di dalam darah anak-anak sekolah dasar yang terletak di pusat Kota Bandung telah mengandung timbal yang sangat membahayakan untuk perkembangan ke depannya (Lestari, 2004). Degradasi lingkungan baik lahan kritis, pencemaran air maupun pencemaran udara yang dapat mengancam keberlanjutan pembangunan tidak mungkin dibiarkan. Artinya, perlu dicari jalan keluar atau solusi untuk mengatasi lahan kritis dan mencegah tingkat pencemaran air dan pencemaran udara yang lebih parah. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian untuk mencermati faktorfaktor penyebab degradasi lingkungan yang dihadapi Jawa Barat dan mendapatkan solusi pemecahannya agar Jawa Barat dapat mencapai pembangunan berkelanjutan Perumusan Masalah Kebijakan industrialisasi nasional pada pertengahan tahun 1980 an telah menempatkan Jawa Barat sebagai tujuan utama investasi asing maupun domestik, sehingga Jabar telah menjadi wilayah industri sejak tahun 1993, lebih cepat dari nasional. Pangsa sektor industri pengolahan pada tahun 2005 sudah mencapai 41 persen, bandingkan dengan nasional yang masih 28 persen (BPS Jawa Barat). Teori Environment Kuznet Curve (EKC) yang mengaitkan antara pertumbuhan ekonomi dengan degradasi lingkungan memperkirakan bahwa antara pertumbuhan ekonomi yang berbasis sektor industri pengolahan dengan degradasi lingkungan memiliki hubungan yang searah. Artinya, semakin tinggi pertumbuhan ekonomi seiring dengan proses industrialisasi semakin besar degradasi lingkungan yang terjadi.

26 7 Namun selanjutnya Teori EKC memprediksikan bahwa setelah mencapai titik tertentu, setiap kenaikan pertumbuhan ekonomi dimana perekonomian sudah bergeser didominasi sektor jasa justru dapat menurunkan degradasi lingkungan. Semakin tinggi pendapatan masyarakat, permintaan terhadap lingkungan yang berkualitas semakin besar, sehingga akan terjadi titik balik pada tingkat pendapatan tertentu dari hubungan yang searah menjadi tidak searah. Dari sekian hasil studi empiris menunjukan titik balik terjadi pada angka pendapatan per kapita riil berkisar antara $ $ Dengan interval yang begitu besar berarti titik balik tersebut tidak bersifat unik atau tidak pasti pada tingkat pendapatan berapa titik balik terjadi. Hal ini terkait erat dengan tipe degradasi lingkungan yang dikaji apakah deforestasi, lahan kritis, indikator pencemaran air atau pencemaran udara. Lahan kritis, pencemaran air, pencemaran udara secara fisik memiliki karakteristik kerusakan yang berbeda karena menyangkut obyek yang berbeda yakni lahan, air yang mengalir dan udara yang bergerak. Oleh karena itu diduga terdapat perbedaan perilaku diantara ketiganya ketika dikaitkan dengan pertumbuhan ekonomi. Selain itu dilihat dari masalah hak kepemilikan terdapat perbedaan pula antara lahan kritis yang dimiliki pemerintah dan pribadi dengan pencemaran air dan udara yang bersifat open access. Secara teori hak kepemilikan pribadi dapat menjamin pemanfaatan sumberdaya alam tersebut secara efisien dan berkelanjutan karena keuntungan dan kerugian terkait dengan pemilik. Sebaliknya sumberdaya alam yang bersifat open access mengundang over eksploitasi karena tidak ada kewajiban pemeliharaan bagi pihak yang memanfaatkan. Diduga

27 8 masalah lahan kritis, pencemaran air, pencemaran udara terkait pula dengan ragam hak kepemilikan. Pada tahun 1998 perekonomian Jawa Barat menghadapi krisis ekonomi sehingga terjadi resesi yang meningkatkan pengangguran dan kemiskinan. Dengan demikian harapan pendapatan yang semakin meningkat untuk memperbaiki kualitas lingkungan menjadi tidak terealisir. Artinya, muncul masalah kemiskinan yang menghambat pencapaian titik balik. Teori EKC tidak mengakomodir kejadian seperti yang dialami oleh Jawa Barat karena prediksi pertumbuhan ekonomi dalam perspektif Teori EKC meningkat terus. Mengingat antara lahan kritis, pencemaran air, pencemaran udara memiliki karakteristik yang berbeda, perlu diverifikasi pula apakah masalah ketiga indikator degradasi lingkungan tersebut terkait dengan kemiskinan. Teori EKC pun tidak mampu mengelaborasi mengapa titik balik bisa terjadi untuk kasus negara tertentu dan tipe kerusakan lingkungan tertentu. Kelemahan ini mendorong munculnya pemikiran tentang peran kebijakan lingkungan yang menentukan besarnya titik balik (Anderson, 2001). Pengendalian degradasi lingkungan mutlak harus dilakukan karena menurunnya daya dukung lingkungan akan menghambat pencapaian pembangunan berkelanjutan. Pemerintah baik pusat maupun daerah sudah mengeluarkan berbagai kebijakan untuk mengendalikan lahan kritis, pencemaran udara dan pencemaran air. Kebijakan-kebijakan tersebut lebih bias pada tipe Command and Control (CAC) yakni kontrol dan awasi. Hal ini menarik pula untuk diteliti apakah tipe kebijakan tersebut sudah sesuai dengan akar

28 9 permasalahan yang terjadi di kasus lahan kritis, pencemaran air, dan pencemaran udara. Dalam proses pemulihan ekonomi, upaya mengendalikan degradasi lingkungan menjadi kompleks karena pada saat yang bersamaan pemerintah dihadapkan pada masalah kemiskinan yang tinggi. Artinya, pertumbuhan ekonomi yang tinggi sangat dibutuhkan untuk menurunkan kemiskinan. Sementara pertumbuhan ekonomi diduga masih memperburuk kualitas lingkungan. Oleh karena itu menarik untuk dikaji pola pertumbuhan ekonomi yang bagaimana dan kebijakan lingkungan seperti apa yang mendukungnya agar Jawa Barat dapat mencapai pembangunan yang berkelanjutan. Berdasarkan pemaparan di atas berarti perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Apakah pertumbuhan ekonomi meningkatkan atau menurunkan lahan kritis, pencemaran air dan pencemaran udara? 2. Apakah kemiskinan turut memperburuk lahan kritis, kualitas air dan kualitas udara? 3. Apakah masalah lahan kritis, pencemaran air, pencemaran udara terkait pula dengan masalah hak kepemilikan? 4. Bagaimanakah peran kebijakan pengendalian lahan kritis, pencemaran air dan pencemaran udara selama ini? 5. Bagaimanakah dampak lahan kritis, pencemaran air dan pencemaran udara terhadap pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan? 6. Bagaimanakah kebijakan untuk mencapai pembangunan berkelanjutan di Jawa Barat?

29 Tujuan Penelitian adalah : Sesuai dengan perumusan masalah di atas maka tujuan penelitian ini 1. Menganalisis dampak pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan terhadap lahan kritis, pencemaran air dan pencemaran udara. 2. Menganalisis masalah hak kepemilikan yang terkait dengan lahan kritis, pencemaran air dan pencemaran udara. 3. Mengevaluasi keberadaan dan implementasi kebijakan yang terkait dengan pengendalian lahan kritis, pencemaran air dan pencemaran udara. 4. Menganalisis dampak lahan kritis, pencemaran air dan pencemaran udara terhadap pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan. 5. Melakukan simulasi ramalan untuk memilih kebijakan pembangunan berkelanjutan Manfaat Penelitian Penelitian yang dilakukan ini diharapkan akan memberikan manfaat bagi: 1. Pemerintah daerah provinsi Jawa Barat sebagai masukan untuk penyempurnaan kebijakan pembangunan dalam dimensi ekonomi dan lingkungan. 2. Peneliti berikutnya yang tertarik dengan masalah pembangunan ekonomi yang mengintegrasikan lingkungan.

30 Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian Untuk kepentingan membangun model dan menganalisis hubungan timbal balik antara pertumbuhan ekonomi, kemiskinan dan degradasi lingkungan di Jawa Barat, penelitian ini menggunakan data time series tahun 1974 sampai tahun Hubungan timbal balik diantara ketiganya akan dibuktikan melalui simulasi historis. Sedangkan dalam rangka mengevaluasi keberadaan dan implementasi kebijakan pengendalian lahan kritis, pencemaran air dan pencemaran udara di Jawa Barat digunakan data cross section yakni informasi hasil survey ke 130 responden. Perpaduan analisa antara hasil simulasi historis tentang hubungan timbal balik antara pertumbuhan ekonomi, kemiskinan dan degradasi lingkungan dengan hasil evaluasi keberadaan dan implementasi kebijakan lingkungan akan menjadi landasan mengembangkan kebijakan pembangunan berkelanjutan ke depannya. Mengingat masalah degradasi lingkungan sangat kompleks baik indikatornya, faktor-faktor penyebab maupun dampaknya maka dalam penelitian akan dibatasi dalam hal-hal berikut: 1. Indikator degradasi lingkungan akan dibatasi pada lahan kritis, polusi udara, dan polusi air. Untuk lahan kritis ukurannya jelas, yakni luas lahan yang memenuhi kriteria lahan kritis. Sementara untuk polusi udara menyangkut beberapa proksi variabel seperti Carbon Monoksida (CO), Carbon Dioksida (CO 2 ), Natrium Oxida (NOx), Sulfur Oxida (SOx), Timbal (Pb), Partikulat, Hidrocarbon. Pemilihan salah satu dari sejumlah proksi yang ada akan mempertimbangkan kontribusi terbesar terhadap tingkat pencemaran udara dan ketersediaan data. Oleh karena itu yang dipilih adalah CO dan CO2.

31 12 Selama ini BPS Pusat mengeluarkan estimasi data CO dengan pendekatan jumlah kendaraan, dimana diperoleh rata-rata rasio jumlah CO terhadap jumlah kendaraan sebesar 0.686, artinya 1 kendaraan menghasilkan ton CO. Sementara untuk data CO2 diestimasi secara proporsional dari pertumbuhan output sektor industri manufaktur, jasa dan pertambangan yang mengacu pada analisa tabel I-O lingkungan Jawa Barat tahun Sementara untuk pencemaran air, proksi variabel yang digunakan umumnya adalah BOD, COD, TDS, dan SS. Dengan pertimbangan yang sama, yang dipilih adalah TDS dan BOD. Data BOD diestimasi secara proporsional dari pertumbuhan output sektor pertanian dan industri manufaktur yang mengacu pada analisa tabel I-O lingkungan Jawa Barat tahun Sedangkan data TDS hasil penelitian Teknik Lingkungan ITB terbatas untuk beberapa tahun saja, maka untuk mengisi tahun-tahun lainnya diestimasi secara proporsional dari pertumbuhan output sektor industri manufaktur dan jumlah penduduk. Data selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran Faktor-faktor penyebab degradasi lingkungan menyangkut aspek fisik yakni karakteristik yang melekat pada SDA itu sendiri, ekonomi, sosial ekonomi, kelembagaan. Tiap aspek terdiri dari sejumlah variabel yang kompleks dan saling terkait. Model yang akan dibangun diusahakan sesederhana mungkin namun diharapkan dapat mewakili hal-hal yang paling krusial yang terjadi dalam dunia nyata. Variabel yang akan dimunculkan yang mewakili aspek ekonomi, sosial, dan kelembagaan mempertimbangkan landasan teoritis, studi empiris sebelumnya, ketersediaan data, dan permasalahan spesifik yang bersifat lokal di wilayah Jawa Barat. Dengan demikian model akan terfokus

32 13 pada variabel pertumbuhan ekonomi, perkembangan output sektor primer dan sekunder, kemiskinan, tingkat pendidikan yang memproksi kesadaran lingkungan, dan kebijakan lingkungan. Aspek fisik tidak akan dibahas mengingat diluar disiplin ilmu ekonomi. 3. Penelitian terfokus pada keterkaitan antara kemiskinan dan degradasi lingkungan maka variabel-variabel tenaga kerja dan kredit perbankan yang merupakan input cukup diperlakukan sebagai variabel eksogen. Demikian halnya pertumbuhan penduduk yang secara langsung dan tidak langsung mempengaruhi degradasi lingkungan diperlakukan sebagai variabel eksogen pula. 4. Penelitian bersifat agregat untuk lingkup Jawa Barat sehingga model tidak bisa mengakomodir perbedaan ekonomi, sosial dan lingkungan lintas kabupaten/kota.

33 14 I. PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian... 11

34 II. TINJAUAN LITERATUR 2.1. Pengertian dan Pengukuran Degradasi Lingkungan Lingkungan merupakan media hubungan timbal balik antara manusia dengan faktor-faktor alam. Lingkungan hidup terdiri dari berbagai proses ekologi dan merupakan suatu kesatuan. Proses ini merupakan berbagai siklus yang saling terangkai dan mendukung satu dengan yang lain menjadi siklus kehidupan. Dengan demikian lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan makhluk hidup termasuk di dalamnya manusia dan perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan peri kehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya. Dari beberapa definisi tentang degradasi lingkungan dapat ditemukan kata kuncinya, yakni: kerusakan biosfir keseluruhan, berkurangnya daya dukung lingkungan, menurunnya kapasitas regenerasi ekosistem, menurunnya kualitas atau jasa lingkungan. Berdasarkan definisi tersebut degradasi lingkungan mencakup deforestasi, degradasi lahan, kekurangan dan pencemaran air, pencemaran udara, kehilangan keanekaragaman hayati (World Bank, 1992; Santoso, 2005). Namun menurut Duraiappah (1996) mendefinisikan degradasi lingkungan sangat sulit. Pengukuran degradasi lingkungan sangat bersifat subjektif, artinya siapa pelaku yang terkait atau siapa yang memiliki sumberdaya alam (SDA). Perbedaan ekosistem sama halnya dengan perbedaan nilai yang diberikan oleh masyarakat terhadap SDA-lingkungan, sehingga membuat definisi degradasi lingkungan sulit dan kompleks. Solusinya adalah menggunakan karakteristik fisik sebagai ambang batas dimana degradasi ditetapkan.

35 15 Kualitas lingkungan adalah suatu istilah yang digunakan yang lebih mengacu pada keberadaan lingkungan alami yang menyangkut pendugaan dari kualitas ambient dan juga aspek keindahan lingkungan. Kualitas ambient merupakan jumlah polutan dalam lingkungan, misalnya konsentrasi SO 2, NO x, CO, CO 2 di udara, BOD, COD, SS dan TDS di air. Sedangkan yang dimaksud dengan polutan adalah bentuk energi atau kegiatan yang diintroduksikan ke alam yang akan merendahkan kualitas ambient (Field, 1994). Pendugaan terhadap kualitas ambien merupakan metoda langsung untuk menunjukkan kualitas lingkungan di suatu wilayah. Selain pengukuran langsung, terdapat pula pengukuran tidak langsung seperti keberadaan jumlah spesies sebagai fungsi dari klasifikasi dan belanja riset margasatwa bisa menggambarkan degradasi habitat. Ukuran lainnya menyangkut kinerja pemerintahan atau institusi nasional dalam komitmennya terhadap upaya pencapaian target lingkungan (Grafton, 2003). Cara lain pengukuran tidak langsung melalui pendekatan input dan output. Pendekatan input menyangkut tingkat pemakaian untuk sumberdaya alam tertentu yang berdampak langsung pada kualitas lingkungan, misalnya tingkat konsumsi energi per kapita. Sementara pendekatan output mencoba menghitung berapa jumlah limbah untuk setiap ton output. Dalam rangka memperoleh suatu gambaran yang nyata tentang karakteristik suatu daerah yang diduga tercemar, dibutuhkan pengukuran sifatsifat air, udara dan tanah yang beraneka ragam dengan cara melakukan analisis kualitas yang terdiri dari pemeriksaan fisik, kimiawi dan biologi. Menurut Nordell (1951) dalam Pesoth (2001) pemeriksaan fisik yang umum dilihat atau dinilai

36 16 untuk mengetahui lingkungan yang tercemar biasanya terdiri dari beberapa parameter berikut: suhu, rasa dan bau, warna, kekeruhan. Selain pemeriksaan fisik, tingkat pencemaran dapat diketahui dari pemeriksaan kimiawi. Pemeriksaan kimiawi cenderung lebih khusus sifatnya dibandingkan dengan sifat fisik, sehingga lebih tepat dan cepat untuk menilai sifat suatu sampel. Karakteristik kimiawi tersebut diantaranya: ph, alkalinitas, asiditas, oksigen terlarut, kebutuhan oksigen, nitrogen, Pb. Menurut Saeni (1989) dalam Pesoth (2001) selain pemeriksaan fisik dan kimia, zat-zat pencemar air yang perlu mendapat perhatian adalah unsur-unsur renik dalam air yakni unsur yang terdapat pada konsentrasi yang sangat rendah dalam suatu sistem atau suatu unsur yang terjadi hanya pada konsentrasi beberapa bagian per sejuta atau kurang. Penurunan kualitas lingkungan pada gilirannya akan diikuti oleh turunnya jasa lingkungan yakni berkurangnya fungsi keindahan dan kenyamanan lingkungan (insitu resources), sehingga akan menurunkan tingkat kepuasan Proksi Untuk Kualitas Udara Udara merupakan campuran beberapa macam gas yang perbandingannya tidak tetap tergantung pada keadaan suhu udara, tekanan udara dan lingkungan sekitarnya. Pencemaran udara diartikan sebagai adanya bahan-bahan atau zat-zat asing di dalam udara yang menyebabkan perubahan susunan (komposisi) udara dari keadaan normalnya. Susunan udara bersih dan kering kira-kira tersusun oleh nitrogen (78.09 persen), oksigen (21.94 persen), argon (0.93 persen) dan karbon dioksida (0.032 persen). Kehadiran bahan atau zat asing di dalam udara dalam

37 17 jumlah tertentu serta berada di udara dalam waktu lama dapat mengganggu kesehatan (Hasmanto, 2001). Dalam PP No 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara, yang dimaksud dengan pencemaran udara adalah masuknya atau tercampurnya unsur-unsur berbahaya ke dalam atmosfir yang dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan lingkungan, gangguan pada kesehatan manusia serta secara umum menurunkan kualitas lingkungan. Konsentrasi zat-zat kimia dan atau fisika seperti SO x, NO 2, CO, HO, CO 2 dapat digunakan sebagai proksi terhadap kualitas udara. Secara umum penyebab pencemaran udara ada dua macam yakni pencemaran secara alamiah seperti debu yang bertebaran karena ditiup angin atau dari letusan gunung berapi dan pencemaran buatan manusia seperti debu dari kegiatan industri dan kendaraan bermotor, serta zat-zat kimia yang disemprotkan ke udara. Dengan demikian berdasarkan sumbernya jenis polusi udara ini dibagi atas sumber tetap (sektor industri) dan sumber yang bergerak (sektor transportasi). Berdasarkan hasil riset BPLHD Jawa Barat dengan menggunakan tabel I- O lingkungan Jawa Barat 1995, penyumbang terbesar polutan Sox di Jawa Barat bersumber dari kegiatan industri manufaktur yang diikuti oleh sektor transportasi dan komunikasi. Kedua sektor tersebut memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pencemaran udara terutama di perkotaan. Industri manufaktur yang diduga memberikan kontribusi terbesar pada total output Hidrocarbon diduga berasal dari aktivitas industri migas atau industri kimia yang menggunakan bahan dasar petroleum. Selain dari industri, Hidrocarbon banyak dihasilkan dari kegiatan domestik pada sektor bangunan.

38 18 Dari hasil riset yang sama dapat diketahui bahwa penyumbang terbesar polutan CO2 di Jawa Barat adalah dari sektor pertambangan, kemudian industri manufaktur, listrik gas, air dan bangunan serta trasnportasi dan komunikasi. CO2 merupakan gas yang tidak berbau dan tidak beracun. Di atmosfir, CO2 dapat berasal dari proses pernafasan makhluk hidup, sedangkan sumber buatan adalah berasal dari pembakaran bahan bakar fosil, industri, pembakaran hutan dan perubahan tata guna lahan, dimana sekitar 67 persen dari sumber buatan tersebut berasal dari industri dan pembakaran bahan bakar fosil (Santoso, 2005). Seperti halnya parameter Sox, total Nox yang dihasilkan dari berbagai sektor di Jawa Barat bersumber dari kegiatan industri manufaktur dan aktivitas domestik dan transportasi. Sementara total Pb juga dihasilkan dari sektor manufaktur, sektor bangunan dan transportasi. Hal ini menunjukkan bahwa jenis gas-gas berbahaya yang diemisikan ke udara masih didominasi oleh sektor industri manufaktur, transportasi dan domestik Proksi Untuk Kualitas Air Pencemaran air adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain ke dalam air dan atau berubahnya tatanan air oleh kegiatan manusia atau oleh proses alam, sehingga kualitas air turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan air menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya (Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup, 1988). Menetapkan standar air yang bersih tidaklah mudah karena tergantung pada beberapa faktor penentu seperti kegunaan air dan asal sumber air. Dengan

39 19 demikian pencemaran air terjadi apabila adanya penyimpangan dari keadaan normal yang tergantung pada kegunaan air dan asal sumber air. Menurut Wardhana (1999) dalam Hasmanto (2001) indikator dari pencemaran air dapat diketahui melalui: 1. Adanya perubahan suhu. 2. Adanya perubahan ph atau konsentrat ion hidrogen. 3. Adanya perubahan warna, bau dan rasa air. 4. Timbulnya endapan, koloidal, bahan terlarut. 5. Adanya mikro organisme. 6. Meningkatnya radioaktivitas air lingkungan. Secara lebih eksplisit, Sastrawijaya (2000) menunjukkan bahwa kualitas air dapat dinyatakan dengan beberapa parameter berikut ini: 1. Parameter fisika, diantaranya suhu, kekeruhan, padatan terlarut. 2. Parameter kimia, diantaranya ph, oksigen terlarut, BOD, COD, kadar logam. 3. Parameter biologi diantaranya keberadaan plankton, bakteri. 4. Parameter fisika dan kimia seperti TDS dan TSS. Pada umumnya air lingkungan yang telah tercemar, kandungan oksigennya rendah. Dengan melihat kandungan oksigen yang terlarut di dalam air dapat ditentukan seberapa jauh tingkat pencemaran air telah terjadi yakni dengan uji COD dan BOD. BOD hanya menggambarkan bahan organik yang dapat didekomposisi secara biologis (biodegradable). Bahan organik ini dapat berupa lemak, protein, kanji (starch), glukosa, aldehida, ester, dan sebagainya. Dekomposisi selulosa secara biologis berlangsung relatif lambat. Bahan organik

40 20 merupakan hasil pembusukan tumbuhan dan hewan yang telah mati atau hasil buangan limbah domestik dan industri. Total output BOD yang dihasilkan dari beberapa sektor di Jawa Barat terutama bersumber dari sektor pertanian dan manufaktur. Tingginya kadar BOD yang dihasilkan dari sektor pertanian merupakan hasil pembusukan materi organik pada hasil-hasil pertanian. Sedangkan dari industri manufaktur tingginya BOD dihasilkan dari limbah yang mengandung bahan organik tinggi. Padatan Terlarut Total (TDS) adalah bahan-bahan terlarut (diameter < 10-6 mm) dan koloid (diameter 10-6 mm 10-3 mm) yang berupa senyawa-senyawa kimia dan bahan-bahan lain, yang tidak tersaring pada kertas saring berdiameter 0.45 μm. TDS biasanya disebabkan oleh bahan anorganik yang berupa ion-ion yang biasa ditemukan di perairan. Nilai TDS di perairan sangat dipengaruhi oleh pelapukan batuan, limpasan dari tanah, dan pengaruh antropogenik (berupa limbah domestik dan industri) Lahan Kritis Lahan kritis adalah lahan yang mengalami penurunan produktivitas atau kehilangan fungsi secara fisik, kimia, hidrologi dan sosial ekonomi sebagai akibat dari salah penggunaan dan atau salah pengelolaan (Karmellia, 2006). Lahan kritis secara fisik adalah lahan yang telah mengalami kerusakan sehingga untuk perbaikannya memerlukan investasi yang besar, sedangkan lahan kritis secara kimia adalah lahan yang bila ditinjau dari tingkat kesuburan, salinitas dan keracunan tidak lagi memberikan dukungan positif terhadap pertumbuhan tanaman. Fungsi hidrologi tanah berkaitan dengan fungsi tanah dalam mengatur

41 21 tata air. Hal ini berkaitan dengan kemampuan tanah untuk menahan, menyerap dan menyimpan air. Lahan kritis secara hidrologi berkaitan dengan berkurangnya kemampuan lahan dalam menjalankan salah satu atau lebih dari ketiga kemampuannya tadi. Lahan kritis secara sosial ekonomi adalah lahan yang sebenarnya masih mempunyai potensi untuk usaha pertanian dengan tingkat kesuburan relatif baik, tetapi karena adanya faktor penghambat sosial ekonomi misalnya sengketa pemilikan lahan, sulit pemasaran hasil atau harga produksi sangat rendah maka lahan tersebut ditinggalkan penggarapnya sehingga menjadi terlantar. Lahan kritis merupakan indikator utama dari degradasi lahan yang bisa terjadi di dalam hutan dan di luar hutan, ukurannya hektar. Dalam prakteknya penetapan lahan kritis mengacu pada definisi lahan kritis yang ditetapkan sebagai lahan yang telah mengalami kerusakan sehingga kehilangan atau berkurang fungsinya sampai pada batas toleransi (Dephut, 2000). Lebih lengkapnya, kriteria lahan kritis adalah: 1. Lahan kosong tidak produktif. 2. Lapisan olah tanah (solum) kurang dari 30 cm. 3. Lahan bekas penambangan yang tidak direklamasi. 4. Lahan kosong dan kemiringan di atas 15 persen. 5. Lahan dengan penutupan vegetasi di bawah 25 persen. 6. Lahan kering yang tergenang lebih dari 6 bulan. 7. Lahan yang telah mengalami erosi permukaan pada jarak kurang dari 20 meter. 8. Lahan rawan bencana.

42 22 Sasaran lahan kritis adalah lahan-lahan dengan fungsi lahan yang ada kaitannya dengan kegiatan reboisasi dan penghijauan, yaitu fungsi kawasan hutan lindung, fungsi kawasan lindung di luar kawasan hutan dan fungsi kawasan budidaya untuk usaha pertanian. Pada fungsi kawasan budidaya untuk usaha pertanian, kekritisan lahan dinilai berdasakan produktivitas lahan yaitu rasio terhadap produksi komoditi umum opsional pada pengelolaan tradisional (bobot 30 persen), kelerengan lahan (bobot 20 persen), tingkat erosi yang diukur berdasarkan tingkat hilangnya lapisan tanah, baik untuk tanah dalam maupun untuk tanah dangkal (bobot 15 persen), batu-batuan (bobot 5 persen) dan manajemen yaitu usaha penerapan teknologi konservasi tanah pada setiap unit lahan (bobot 30 persen) Model Pezzey Lingkungan hidup secara ekonomi memiliki tiga fungsi yakni sebagai penyedia bahan mentah, asimilasi limbah, dan daya tarik (insitu resources). Fungsi pertama dan kedua memiliki hubungan timbal balik, bahwa proses produksi yang mengolah bahan mentah menjadi barang akhir pada saat bersamaan menghasilkan limbah (by product) yang akan kembali ke alam. Fungsi ketiga bahwa lingkungan alam pun menyediakan jasa yang bisa secara langsung dikonsumsi, seperti halnya udara segar dan keindahan alam. Pezzey (1992) menggambarkan keterkaitan antara ekonomi dan lingkungan secara lebih rinci yang disebut dengan economic and environmental stocks and flows a general model sebagaimana bisa dilihat pada Gambar 1.

43 23 Sumber: Pezzey (1992), hal. 7 Gambar 1. Economic and Environmental Stocks and Flows a GeneralModel Berdasarkan Gambar 1 tingkat produksi suatu barang (Q) tidak hanya ditentukan oleh ketersediaan modal (K), teknologi (T), dan tenaga kerja (L) namun juga oleh kualitas lingkungan. Kualitas lingkungan (E) terdiri dari stok SDA (R), tingkat polusi (E 1 ), dan nilai daya tarik (E 2 ). Ketergantungan produksi terhadap lingkungan disebut produktivitas lingkungan, yakni Q(K, L, T, R, E 1 ). Dampak dari kelima variabel tersebut terhadap tingkat produksi adalah positif. Sehingga jika kualitas lingkungan memburuk berarti menurunkan tingkat produksi. Model Pezzey pada dasarnya merupakan perluasan dari fungsi produksi Cobb-Douglas dengan memasukan kualitas lingkungan sebagai input yang akan mempengaruhi output. Berbeda dengan input faktor produksi lainnya yakni modal

44 24 dan tenaga kerja yang akan menaikan output jika kedua input tersebut bertambah, meningkatnya kerusakan lingkungan akan menurunkan output. Dengan demikian teori dasar dalam penelitian adalah teori produksi yang diperluas dengan memasukan unsur lingkungan. Proses produksi yang mengolah input jadi output pada saat bersamaan menghasilkan limbah sebagai by product, sehingga perkembangan jumlah BOD, TDS, CO dan CO2 akan mengikuti perkembangan aktivitas ekonomi, ceteris paribus. Dengan demikian jumlah BOD, TDS, CO, CO2 dan luas lahan kritis juga merupakan output yang dipengaruhi oleh aktivitas ekonomi. Ketika aktivitas ekonomi semakin tinggi maka jumlah BOD, TDS, CO, CO2 dan luas lahan kritis akan semakin meningkat yang pada gilirannya akan menurunkan output agregat. Dalam konteks ini konsep limits to growth menjadi relevan. Konsep limits to growth yang dikembangkan oleh Meadow menunjukkan bahwa dampak dari pertumbuhan ekonomi terhadap degradasi lingkungan bersifat trade off. Hal ini didasarkan pada dua alasan, yakni pertama kapasitas lingkungan yang terbatas untuk menampung limbah yang dihasilkan oleh aktivitas ekonomi, dan yang kedua keterbatasan SDA yang tidak bisa diperbaharui (Turner, 1994). Pemikiran Meadow ini berimplikasi pada satu pilihan yakni pertumbuhan ekonomi atau lingkungan. Jika ingin melestarikan lingkungan, harus membatasi pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya jika pertumbuhan ekonomi yang diutamakan maka lingkungan akan menanggung beban yang pada gilirannya akan membatasi ekonomi untuk tumbuh. Kritikan terhadap konsep limits to growth mengemukakan bahwa ada sejumlah alasan mengapa dalam beberapa hal tidak ada keterbatasan untuk

45 25 tumbuh, seperti: nilai elastisitas pendapatan yang positif dan meningkat, perubahan dalam komposisi produksi dan konsumsi, meningkatnya tingkat pendidikan dan kesadaran terhadap lingkungan, kemajuan teknologi, dan lebih terbukanya sistem politik (Lim, 1997). Hal ini memiliki implikasi bahwa pertumbuhan ekonomi adalah jalan untuk masalah lingkungan yang juga perlu didukung oleh kekuatan pasar dan kebijakan serta regulasi lingkungan. Model Pezzey mengoreksi konsep limits to growth bahwa kualitas lingkungan sangat dipengaruhi oleh belanja lingkungan yakni alokasi dana yang berasal dari total pendapatan. Pengalaman Pemerintah Korea Selatan melalui kebijakan fiskalnya telah membuktikan hal ini (Min, 2003). Dengan demikian kekhawatiran Meadow tentang limit to growth tidak akan terjadi selama ada upaya pengendalian degradasi lingkungan melalui belanja lingkungan yang memadai. Pemikiran Pezzey ini identik dengan Teori EKC sebagai analogi terhadap Kurva Kuznet yang mengaitkan antara pendapatan per kapita dengan distribusi pendapatan Teori Environmental Kuznet Curve (EKC) Teori EKC menjelaskan hubungan antara pendapatan per kapita dengan degradasi lingkungan yang diperkirakan memiliki hubungan seperti huruf U terbalik. Artinya, ketika pendapatan per kapita meningkat seiring dengan proses industrialisasi akan berdampak pada meningkatnya degradasi lingkungan. Namun selanjutnya semakin tinggi pendapatan per kapita dimana kegiatan ekonomi didominasi oleh sektor jasa maka degradasi lingkungan akan berkurang. Jadi Teori EKC mengkritik limit to growth bahwa pertumbuhan ekonomi justru

46 26 diperlukan agar terbentuk belanja yang memadai untuk memperbaiki degradasi lingkungan. Gambar 2 menunjukan bentuk kurva EKC yang mengaitkan antara indikator lingkungan dengan pertumbuhan ekonomi. Sesuai esensi dari teori dasarnya, pertumbuhan ekonomi yang dimaksud seiring dengan tahapan pembangunan yang telah dialami oleh suatu negara. Dalam studi empirisnya tahapan pembangunan tersebut dicerminkan oleh besarnya pendapatan per kapita. Sumber: Panayatou (2000), hal. 3 Gambar 2. Environmental Kuznets Curve : Hubungan Antara Pembangunan Ekonomi dengan Lingkungan Studi empiris yang meneliti hubungan antara pendapatan per kapita dengan degradasi lingkungan, ada yang bisa membuktikan hipotesis EKC dan ada pula yang tidak. Dari sekian hasil studi empiris sebelumnya menunjukan titik balik terjadi pada angka pendapatan per kapita riil berkisar antara $ $ Dengan interval yang begitu besar berarti titik balik tersebut tidak bersifat unik atau tidak pasti pada tingkat pendapatan berapa titik balik terjadi.

47 27 Beragamnya titik balik tergantung pada tipe kerusakan lingkungannya apakah deforestasi atau pencemaran air, pencemaran udara. Namun ternyata untuk kasus yang sama pun seperti deforestasi, beda lokasi penelitian dan rentang waktu berbeda pula besarnya tingkat pendapatan ketika titik balik terjadi, seperti hasil studi Panayotou (1993) dan Shafik (1992). Fakta ini menarik perhatian, bahwa dibalik hubungan antara pendapatan per kapita dengan degradasi lingkungan menyimpan potensi analisa faktor lain penyebab degradasi lingkungan. Perekonomian Jawa Barat yang masih berada dalam tahap industrialisasi dengan pencapaian PDRB/kapita riil tahun 2005 sebesar 6.3 juta rupiah setara dengan $612 belum mampu menganggarkan belanja lingkungan sebagaimana mestinya. Dengan demikian terdapat kecenderungan pertumbuhan ekonomi masih menimbulkan degradasi lingkungan Aspek Sosial-Ekonomi dan Degradasi Lingkungan Dampak Ketimpangan Pendapatan dan Kemiskinan Terhadap Degradasi Lingkungan Berdasarkan penjelasan pada sub bab sebelumnya bahwa pertumbuhan ekonomi sebagai penentu degradasi lingkungan sekaligus memberikan peluang untuk memperbaiki kualitas lingkungan. Perbaikan degradasi lingkungan bisa dilakukan seiring dengan naiknya pendapatan hanya akan berlaku jika benar-benar pendapatan naik melebihi kebutuhan primer dan sekunder. Dalam kondisi pendapatan sangat rendah akan sangat sulit untuk mengeluarkan belanja lingkungan yang sifatnya menyangkut kepentingan jangka panjang dan untuk manfaat sosial, karena yang lebih mendesak adalah kebutuhan saat ini dan pribadi. Dalam istilah Andersen (1995) kemiskinan meningkatkan discount rate sehingga

48 28 menurunkan insentif untuk konservasi dengan mengurangi net present value (NPV) benefit yang akan datang. Munasinghe (1993) pun mengungkapkan hal yang sama bahwa penyebab ekonomi terhadap degradasi lingkungan adalah pricing dan kemiskinan. Masalah pricing terbagi dalam empat komponen: eksternalitas, underpricing, tidak adanya pasar untuk jasa lingkungan dan kegagalan kebijakan. Dampak kemiskinan terhadap degradasi lingkungan semakin nampak dalam kasus pemanfaatan lahan dan sumberdaya hutan. Ketika krisis ekonomi terjadi dimana harga bahan bakar meningkat tajam dan lapangan kerja semakin sulit, berdampak pada luasnya lahan kritis yang mencakup dua aspek. Pertama, semakin banyak masyarakat yang menjarah kayu untuk dijadikan bahan bakar dan bahka menjualnya ke penampung ilegal. Kedua, semakin banyak masyarakat yang merambah lahan hutan untuk ditanami sayuran, berarti di kemiringan yang rawan longsor. Hal ini banyak terjadi di daerah Bandung Selatan dan Majalengka. Dalam kondisi miskin bisa mendorong perlakuan yang lebih eksploitatif terhadap SDA. Studi Grepperud (1997) memperlihatkan bahwa degradasi kesuburan tanah disebabkan oleh perilaku petani yang mana keadaan ekonomi berada pada tingkat subsisten yang minimum. Petani di ekonomi perdesaan negara berkembang memiliki ciri semikomersial, dimana mereka menjual sebagian hasil dan menggunakan bagian lainnya untuk kebutuhan konsumsinya. Petani seperti ini sering meghadapi kekurangan makanan sebagai sebab dari cuaca yang tidak stabil. Defisit anggaran rumah tangga akan terjadi ketika jumlah produksinya turun di bawah kebutuhan minimum (subsisten). Berdasarkan model konsepsional yang ia bangun, yang menggabungkan fungsi produksi petani bersama-sama

49 29 dengan tingkat kebutuhan minimum dan unsur stokastik, ia memprediksi bahwa dalam upaya petani subsisten untuk menutupi defisit anggarannya, petani ini akan cenderung menguras kesuburan lahan dibandingkan dengan petani yang tidak subsisten. Lahan yang berkurang kesuburannya akan berdampak pada rendahnya hasil panen. Artinya, degradasi lahan akan membuat mereka semakin miskin dalam kondisi tidak ada sumber pendapatan lainnya. Studi Holden, et. al (2005) di beberapa wilayah perdesaan dataran tinggi Ethiopia menunjukan hal ini bahwa degradasi lahan dan rendahnya produktivitas pertanian membuahkan kerawanan pangan dan kemiskinan. Demikian halnya sintesa dari Andersen (1995) bahwa degradasi lingkungan dapat meningkatkan kemiskinan karena degradasi lingkungan mengurangi stok natural capital, sehingga meningkatkan kerentanan. Erosi lahan akan menurunkan hasil dan menimbulkan banjir, sedangkan polusi meningkatkan penyakit dan kematian karena pestisida, air yang beracun, dan polusi dalam rumah. Deforestasi dan over eksploitasi air tanah meningkatkan biaya barang kebutuhan pokok seperti kayu bakar dan air minum. Berdasarkan studi keduanya terbukti bahwa ada hubungan timbal balik pula antara kemiskinan dan degradasi lingkungan. Fakta ini bisa dikaitkan dengan hubungan timbal balik antara pertumbuhan ekonomi dengan degradasi lingkungan. Dari interaksi semuanya, berarti terdapat hubungan timbal balik antara pertumbuhan ekonomi, kemiskinan dan degradasi lingkungan. Selain kemiskinan, dalam kondisi ketimpangan pendapatan masih ada pelaku lain yakni mereka yang kaya identik dengan memiliki kekuasaan. Informasi di lapangan (hasil interview) mengungkapkan hal ini, bahwa

50 30 perambahan hutan terluas dilakukan oleh mereka yang bermodal besar yang memanfaatkan kelemahan hukum dan masyarakat miskin untuk memetik keuntungan sebesar-besarnya. Studi Barros (2002) pun mengamati kemiskinan dan ketimpangan pendapatan. Bahwa kemiskinan di Brazil mempengaruhi permintaan untuk konservasi lingkungan. Konsentrasi pendapatan dan kesulitan dalam akses terhadap pendidikan mempengaruhi tingkat deforestasi di Brazil, minimalnya secara tidak langsung melalui dampaknya terhadap willingness to pay (WTP) untuk konservasi. Dengan demikian distribusi pendapatan yang lebih merata, ceteris paribus dapat mengurangi luas lahan kritis. Eriksson (2002) menunjukan secara matematis bahwa distribusi pendapatan yang lebih merata tergantung pada derajat demokrasi, sehingga dalam kondisi demokrasi lebih sempurna distribusi pendapatan lebih merata akan menghasilkan polusi yang lebih rendah. Boyce (1994) menunjukan hal yang sama bahwa semakin besar ketimpangan kekuasaan dan kekayaan, lingkungan akan semakin terdegradasi Dampak Pertumbuhan Penduduk Terhadap Degradasi Lingkungan Pertumbuhan penduduk adalah kunci katalisator dari kemiskinan yang mengakibatkan kerusakan lingkungan terutama untuk kasus di lahan marjinal. Pertumbuhan penduduk yang tinggi mengakibatkan ukuran lahan pertanian semakin sempit sehingga mendorong masyarakat miskin untuk merambah lahan di pinggir hutan yang rawan erosi sehingga bisa memunculkan lahan-lahan kritis. Bahkan mereka pun terdorong untuk menebang pohon dalam rangka mendapatkan bahan bakar yang melebihi kapasitas reproduksinya (Hayami, 2001; Endersen,

51 ). Dalam beberapa literatur tentang kajian Pertumbuhan Penduduk dan Degradasi Lingkungan, ada kelompok yang bersikap pesimis dan optimis. Kelompok yang pesimis lahir dari ekonom klasik dan ahli ilmu alam. Argumen utama mereka bahwa degradasi lingkungan adalah hasil dari meningkatnya tekanan penduduk terhadap basis SDA dalam rangka memelihara atau meningkatkan standar hidup penduduk (Guinness, 2000). Kelompok pesimis sangat yakin bahwa ada ambang batas untuk ketersediaan SDA, selain itu ekosistem memiliki carrying capacity yang sudah tertentu. Kelompok pesimis pun mengungkapkan temuan empiris yang terkait dengan kelangkaan SDA seperti halnya kekurangan lahan pertanian yang dihadapi oleh banyak negara berkembang. Degradasi lahan dan hilangnya produktivitas lahan mencapai km persegi setiap tahunnya. Sementara Engelman (1997) dalam Guinness (2000) mengemukakan kelangkaan air bersih di Mexico City seiring dengan tingginya pertumbuhan penduduk. Sementara kelompok yang optimis dalam memandang keterkaitan antara pertumbuhan penduduk dengan degradasi lingkungan, mengacu pada teori neoklasik. Ekonom neoklasik fokus pada pasar yang terbuka dan efisien sebagai media untuk mencapai pertumbuhan ekonomi. Basis teori ini bersandarkan pada asumsi bahwa individu berfikir dan berperilaku dengan cara yang rasional secara ekonomi. Mereka berargumen bahwa dalam perekonomian dimana pasar berfungsi secara sempurna, pertumbuhan output dapat dipelihara bahkan mungkin sekali melebihi pertumbuhan penduduk. Terdapat 2 alasan, pertama ekonom neoklasik berargumen bahwa dimungkinkan adanya substitusi terhadap SDA yang

52 32 langka. Kedua, ekonom neoklasik percaya bahwa pasar akan beraksi untuk melindungi kelangkaan SDA. Ketika SDA menjadi lebih langka, produsen akan mencari cara penggunaan SDA lebih efisien lagi untuk mencegah naiknya biaya. Dengan demikian dalam pandangan ekonom neoklasik degradasi lingkungan menghasilkan tiga kasus. Pertama, merupakan respon jangka pendek terhadap pertumbuhan penduduk dimana hanya terjadi sampai ketika manusia mampu mensubstitusi atau menemukan cara yang lebih efisien dalam menggunakan SDA yang langka. Kedua, degradasi lingkungan akan terjadi ketika pasar tidak ada atau tidak bekerja secara efisien, seperti halnya kasus untuk SDA yang berada dalam rejim kepemilikan open access. Ketiga, degradasi lingkungan terjadi ketika terjadi deplesi SDA untuk kegiatan produksi. Ekonom neoklasik mengakui adanya degradasi lahan yang meluas dimana pasar menawarkan alternatif penggunaan (Guinness, 2000) Degradasi Lingkungan: Wujud Kegagalan Pasar Dari perspektif paham ekonomi neoklasik, masalah lingkungan muncul karena terjadinya kegagalan pasar. Akar masalahnya adalah tidak adanya hak kepemilikan atau hak kepemilikan yang tidak terdefinisikan dengan baik (Taggart, 1996; Hanley, 1997; Callan, 2000). Hak kepemilikan yang dapat terdefinisikan dengan baik yakni serangkaian hak yang menggambarkan keistimewaan dan kewajiban pemilik dalam rangka penggunaan sumberdaya memiliki ciri-ciri umum sebagai berikut (Tietenberg, 1996): 1. Universality, ditentukan secara komprehensif. Semua aset atau sumberdaya harus dimiliki baik secara pribadi maupun bersama, serangkaian hak harus

53 33 diketahui dan ditegakan secara efektif. Dalam kondisi tidak ada eksklusifme dimana beberapa pihak sama-sama memiliki hak atau akses legal terhadap suatu SDA, maka semuanya memiliki insentif untuk mengambil sebesar manfaat yang diberikan oleh SDA tersebut dan secepat mungkin sebelum yang lain melakukan hal yang sama. Untuk beberapa kasus kondisi ini akan mengakibatkan overuse. 2. Eksklusif, semua keuntungan dan biaya dari penggunaan SDA hanya terkait dengan pemilik. 3. Transferable, semua hak kepemilikan harus bisa dialihkan dari satu pemilik ke pihak lainnya dalam pertukaran yang sukarela. Kemampuan mengalihkan hak kepemilikan memberi insentif pada pemilik untuk melakukan konservasi. 4. Enforceability, hak kepemilikan yang jelas aman dari perampasan pihak lain. Eksternalitas adalah kasus spesial dari pasar yang tidak sempurna untuk aset lingkungan. Ketika kegiatan konsumsi atau produksi individu tertentu mempengaruhi utilitas seseorang atau fungsi produksi suatu perusahaan maka kondisi pareto optimal tidak akan terjadi dan yang terjadi adalah eksternalitas. Dengan demikian efek eksternalitas tidak bekerja melalui harga pasar, tetapi melalui dampaknya terhadap utiliti atau profit. Pasar tidak sempurna menunjukan tidak ada pertukaran institusi dimana seseorang membayar untuk keuntungan eksternal atau membayar sebuah harga untuk pembebanan biaya eksternal. Aset lingkungan merupakan pure public goods jika dalam mengkonsumsinya non-rival dan non-excludable. Pure public goods tersedia untuk semuanya dan konsumsi perorangan tidak mengurangi konsumsi perorangan lainnya. Non-rivalry berimplikasi bahwa biaya marjinal dari

54 34 penawaran barang tersebut nol, oleh karena itu tidak ada efisiensi pareto. Setiap orang dapat menerima benefit dari jasa yang disediakan oleh pure public goods, dan tak seorang pun dapat dikecualikan (dikeluarkan) dari benefit tersebut maka sesorang bisa berperilaku free rider. Artinya, seseorang yang menyembunyikan preferensinya terhadap suatu barang dalam rangka menikmati benefitnya tanpa membayar. Kondisi incomplete market, externalities, non-exclusion and the commons, non-rivalry and public goods, semuanya terkait erat dengan masalah hak kepemilikan. Bromley (2003) dalam Borris (2004) mendefiniskan hak sebagai kapasitas mempersilahkan pihak tertentu berada di belakang pengakuan seseorang terhadap aliran manfaat. Bromley (2003) mencirikan bahwa hak bukan merupakan hubungan antara sesorang dengan obyek tapi hubungan antar person yang terkait dengan obyek. Sedangkan kepemilikan adalah benefit stream, aliran manfaat. Dengan demikian hak kepemilikan adalah hubungan sosial tritunggal yakni hubungan antara individu yang memiliki hak, pihak lain yang harus menahan diri dari intervensi dengan pemegang hak, institusi untuk menyokong pengakuan. Ada empat tipe hak kepemilikan (property rights regim) yakni untuk individu, negara, kelompok, dan tidak seorang pun, sehingga ada private property rights, state property rights, common property rights dan open access. Sekalipun ada pemilikan pribadi namun dalam pelaksanaannya tetap dibatasi oleh UU, regulasi, dan aturan sosial. Keempat tipe tersebut dapat dioperasionalisasikan untuk menentukan dampaknya terhadap pemanfaatan SDA, melalui pengaitan antara hak kepemilikan dengan perilaku ekonomi yakni biaya transaksi dan eksternalitas. Hak kepemilikan dapat memperkecil biaya transaksi sehingga lebih

55 35 mudah mengatasi eksternalitas. Hak kepemilikan dapat memfasilitasi kerjasama untuk menginternalisasi eksternalitas, sehingga distribusi hak kepemilikan menentukan siapa yang menanggung biaya kerjasama. Semakin dekat kepentingan pemegang hak terhadap kepentingan sosial, maka struktur hak kepemilikan akan lebih efisien. Berdasarkan pendekatan institutionalis berarti solusi untuk masalah degradasi lingkungan adalah memberikan hak kepada pencemar atau kepada korban polusi. Menurut Coase (1960), jika hak kepemilikan ada dan biaya transaksi rendah maka transaksi antar individu akan efisien (tercapai polusi optimal). Dengan lain kata, adanya hak kepemilikan dan biaya transaksi rendah maka tidak akan ada eksternalitas karena seluruh biaya dan manfaat akan diperhitungkan oleh pihak yang melakukan transaksi. Namun demikian terdapat beberapa situasi dimana hak kepemilikan tidak dapat diberikan. Dalam kasus seperti ini pemerintah terpaksa mengembangkan alternatif lain seperti pungutan emisi, ijin yang dapat diperdagangkan atau pajak Kebijakan dan Kepedulian Lingkungan Kegagalan pasar dalam mengalokasikan sumberdaya secara efisien, mendorong adanya intervensi pemerintah. Perantara pihak ketiga, tipe pemerintahan sangat dibutuhkan untuk mengoreksi kegagalan pasar dan mencapai keseimbangan yang efisien. Demikian halnya dalam menghadapi masalah lingkungan, terutama yang terkait dengan SDA yang bersifat open access perlu ada kebijakan yang akan membatasi akses atau kewajiban bertanggungjawab terhadap kegiatan yang berdampak pada timbulnya pencemaran.

56 36 Dalam literatur ekonomi lingkungan terdapat beberapa tipe kebijakan yang dapat dipilih untuk merespon permasalahan, yakni decentralized policies seperti liability law, property rights, dan moral suasion, command and control seperti standar emisi, baku mutu limbah cair dan tipe insentif yakni pajak dan subsidi. Liability law adalah undang-undang pertanggungjawaban yang melandasi mekanisme penyelesaian masalah lingkungan antara pihak pembuat (polluter) dengan pihak yang menderita (sufferer). Polluter diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak yang terkena dampak negatif dari kegiatannya, sebaliknya pihak yang menderita mendapatkan kompensasi. Jenis kebijakan ini tergolong tipe kebijakan yang terdesentralisasi karena diserahkan langsung pada pihak-pihak terkait, artinya pemerintah tidak turut mengatur dan menentukan. Untuk kasus masalah lingkungan di Indonesia, masalah ini diatur dalam Bab VII UU Lingkungan Hidup No 23 Tahun 1997 yakni bab tentang Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup. Dalam bab ini terungkap secara tegas bahwa penyelesaian sengketa lingkungan bisa ditempuh diluar pengadilan. Pasal 31 menyatakan bahwa penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan atau mengenai tindakan tertentu guna menjamin tidak akan terjadinya atau terulangnya dampak negatif terhadap lingkungan hidup. Selanjutnya berdasarkan Pasal 32, dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 31 dapat digunakan jasa pihak ketiga, baik yang tidak memiliki kewenangan mengambil keputusan maupun yang memiliki kewenangan mengambil keputusan, untuk membantu menyelesaikan sengketa lingkungan hidup.

57 37 Jenis kebijakan lain yang termasuk dalam kebijakan yang terdesentralisasi adalah property rights yakni memberikan hak penuh kepada suatu lembaga untuk memiliki dan mengelola lingkungan di wilayah tertentu. Contohnya adalah hak yang diterima oleh pengembang Bumi Serpong Damai (BSD) untuk mengelola lingkungan di area kompleks perumahan BSD. Sedangkan moral suasion berupa seruan moral untuk peduli lingkungan. Dalam UU Lingkungan Hidup No 23 Tahun 1997 juga dibahas tentang seruan moral seperti yang terungkap dalam Bab 3 pasal 6 bahwa setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup. Tipe command and control yakni atur dan awasi merupakan kebijakan yang sepenuhnya ditangani oleh pemerintah, artinya pemerintah mendesign mulai dari penetapan standarnya, penilaiannya sampai pengawasannya. Semua ini diatur dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP) dan Surat Keputusan Menteri (SKM), seperti Tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Industri dan Baku Mutu Emisi Sumber Tidak Bergerak. Sedangkan tipe insentif baik berupa pajak maupun subsidi merupakan suatu dorongan untuk peduli lingkungan melalui perhitungan sisi biaya dan benefit. Efektivitas ragam kebijakan tersebut sangat tergantung pada sejauhmana kepedulian lingkungan seluruh pihak terhadap masalah lingkungan. Kepedulian ini terkait dengan etika lingkungan yang dimiliki oleh masyarakat. Dimungkinkan sekali disaat tingkat kepedulian lingkungan masih rendah, keberadaan kebijakan tidak efektif mencapai sasarannya. Beberapa studi menunjukan bahwa suatu negara dengan tingkat pendidikan dan hak politik yang lebih tinggi memiliki

58 38 tingkat polusi tertentu yang lebih rendah, karena dalam kondisi tersebut akan lebih mudah mengembangkan koalisi untuk perlindungan lingkungan. Penduduk Jawa Barat mayoritas lulusan sekolah dasar sehingga rata-rata lamanya sekolah untuk tahun 2005 hanya 7.5 tahun. Dalam kondisi penegakan hukum masih lemah dan tingkat pendidikan rendah, kepedulian lingkungan diperkirakan merupakan sesuatu yang sangat langka Kebijakan Lingkungan di Jawa Barat Selama periode kebijakan lingkungan yang berlaku di Jawa Barat adalah kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Dalam sub bab ini akan disebutkan nama-nama kebijakan tersebut baik yang menyangkut obyek lahan kritis, pencemaran air maupun udara. Pemerintah mencoba merespon masalah pencemaran air melalui kebijakan-kebijakan yang bias pada tipe CAC seperti standar baku mutu limbah cair. Tabel 1 menguraikan beberapa kebijakan penanganan pencemaran air. Aturan pokok yang secara khusus untuk masalah ini yakni PP No 82 Tentang Pengelolaan Kualitas Air dapat dilihat pada Lampiran 2. Kebijakan CAC pada dasarnya merupakan turunan dari UU Lingkungan hidup. Program-program seperti Program Kali Bersih (Prokasih), Surat Pernyataan Kali Bersih (Superkasih) dan Citarum Bersih Geulis dan Lestari (Bergeutar) diarahkan untuk peningkatan pentaatan aturan baku mutu limbah cair.

59 39 Tabel 1. Ragam Kebijakan Pengendalian Pencemaran Air Nama Kebijakan Tahun Yang Menetapkan UU Pengairan UU Lingkungan Hidup AMDAL SKM Perindustrian Tentang Pencegahan dan Penanggulangan Pencemaran Peraturan Pemerintah Repubik Indonesia Nomor 20 tentang Pengendalian Pencemaran Air Prokasih Aturan Baku Mutu limbah Cair Bagi Kegiatan yang Sudah Beroperasi Aturan Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Industri Undang-undang LH Nomor 23 Aturan Baku Mutu Limbah Bagi Kawasan Industri Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup PROKASIH Aturan Baku Mutu Limbah Cair (BMLC) Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air Citarum Bergeutar (Bersih, Geulis, dan Lestari) KM Negara Lingkungan Hidup Nomor 112 Tentang Baku Mutu Air Limbah Domestik Program Super Kasih Aturan Baku Mutu Limbah Cair Sumber: Berbagai Instansi Pemerintah Pusat Pemerintah Pusat Pemerintah Pusat Pemerintah Pusat Pemerintah Pusat Pemerintah Pusat Pemerintah Pusat Pemerintah Pusat Pemerintah Pusat Pemerintah Pusat Pemerintah Pusat Pemerintah Propinsi Jawa Barat Pemerintah Pusat Pemerintah Pusat Pemerintah Propinsi Jawa Barat Pemerintah Pusat Pemerintah Propinsi Jawa Barat Pemerintah Propinsi Jawa Barat

60 40 Program Prokasih diintroduksi oleh pemerintah pusat dengan sasaran utama sungai-sungai melewati daerah padat penduduk. Pada prinsipnya Prokasih merupakan kegiatan pemantauan serta pembinaan terhadap kegiatan industri yang merupakan salah satu sumber pencemar yang cukup potensial. Industri yang terpilih menjadi sasaran pemantauan adalah industri prioritas yang diperkirakan mempunyai beban pencemaran yang cukup tinggi ataupun yang diindikasikan telah melakukan pencemaran melalui permasalahan yang muncul di masyarakat.lokasi pemantauan Prokasih Jawa Barat tersebar di DAS-DAS di Jawa Barat, diantaranya di DAS Ciujung, DAS Cisadane, DAS Ciliwung, DAS Cileungsi/Kali Bekasi serta DAS Citarum. Tipe kebijakan CAC menuntut kesiapan infrastruktur sistem pelaksanaan dan pengawasan yang sangat memadai. Artinya, komitmen dan konsistensi pihak yang terlibat menjadi modal utama untuk mencapai efektivitas implementasi kebijakan. Tipe kebijakan CAC berlaku pula untuk mengendalikan pencemaran udara, namun tidak sebanyak penanganan pencemaran air. Tabel 2 menginformasikan ragam kebijakan pengendalian pencemaran udara yang berlaku di Jawa Barat baik yang seluruhnya dikeluarkan oleh pemerintah pusat. Indonesia belum mempunyai undang-undang yang secara khusus mengatur tentang pencemaran udara, tetapi ada beberapa undang-undang yang dapat digunakan sebagai dasar pengaturannya seperti UU No. 5/1984, UU No. 14/1992, UU No. 24/1992, UU No. 23/1997 dan UU No. 41/1999. Sementara di tingkat peraturan pemerintah, telah ada beberapa peraturan yang secara khusus

61 41 mengatur pencemaran udara di Indonesia diantaranya adalah PP No. 41/1999. Secara detilnya isi PP tersebut dapat dilihat pada Lampiran 3. Tabel 2. Ragam Kebijakan Pengendalian Pencemaran Udara Nama Kebijakan Tahun Yang Menetapkan UU LH No Pemerintah Pusat Aturan Baku Mutu Emisi Udara Sumber Tak Bergerak Aturan Ambang Batas Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor Program Langit Biru Peraturan Pemerintah Nomor 41 tentang Pengendalian Pencemaran Udara Aturan Ambang Batas Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor Tipe Baru dan yang Sedang Diproduksi Sumber: Berbagai Instansi Pemerintah Pusat Pemerintah Pusat Pemerintah Pusat Pemerintah Pusat Pemerintah Pusat Sementara itu kebijakan yang digulirkan untuk mengatasi lahan kritis tidak hanya tipe regulasi namun juga tipe kebijakan yang mengandung unsur subsidi (bantuan finansial) dan pemberdayaan masyarakat. Salah bentuk regulasi adalah Perda No 19 Dalam konsep pemberdayaan mengharuskan terjadinya partisipasi aktif masyarakat dalam mengelola lahan kritis, dan model kebijakan ini jika bisa bertahan akan berdampak signifikan pada turunnya luasan lahan kritis. Kebijakan pengendalian lahan kritis di Jawa Barat disajikan dalam Tabel 3. Diantara program-program tersebut yang terkait langsung dengan lahan milik masyarakat adalah Unit Percontohan Usaha Pelestarian Sumberdaya Alam (UP-UPSA), Unit Percontohan Pertanian Menetap (UP-UPM), Pembuatan Kebun

62 42 Desa (KBD), Pengelolaan Hutan/Kebun Rakyat dan Kredit Usahatani Konservasi Daerah Aliran Sungai (KUK-DAS). Tabel 3. Ragam Kebijakan Pengendalian Lahan Kritis Nama Kebijakan Tahun Yang Menetapkan Program Bantuan Reboisasi dan 1976 Pemerintah Pusat Penghijauan (INPRES) Program MALU (Mantri dan Lurah) UU Lingkungan Hidup Social forestry PP No 29 tentang AMDAL Program PMDH (Pembangunan Masyarakat Desa Hutan) UU No 5 tentang Konservasi SDA Hayati dan Ekosistem Perda Jawa Barat Nomor 2 tahun 1996 Tentang Pengelolaan Kawasan Lindung UU Lingkungan Hidup No 23 Program padat karya kehutanan UU Kehutanan Program PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat) Peraturan Daerah Propinsi Jawa Barat Nomor 19 Tentang Pengurusan Hutan Gerakan Rehabilitas Lahan Kritis Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL) Sumber: Berbagai Instansi Pemerintah Pusat Pemerintah Pusat Pemerintah Pusat Pemerintah Pusat Pemerintah Pusat Pemerintah Pusat Pemerintah Daerah Tingkat I Jawa Barat Pemerintah Pusat Pemerintah Pusat Pemerintah Pusat Pemerintah Pusat Pemerintah Propinsi Jawa Barat Pemerintah Propinsi Jawa Barat Pemerintah Pusat UP-UPSA ditempatkan pada lahan kritis yang dapat diusahakan untuk usahatani semusim/tahunan dan diutamakan lahan yang digarap sendiri oleh para

63 43 pemilik/peserta yang merupakan kelompok tani yang telah dibina melalui proses penyuluhan. UP-UPM ditempatkan di wilayah yang masih terdapat masyarakat tani yang berladang berpindah-pindah, diutamakan pada wilayah desa yang akan menjadi tempat pemukiman kembali hasil restrukturisasi desa, dan diutamakan lahan yang digarap sendiri oleh para pemilik/peserta yang merupakan kelompok tani yang telah dibina melalui proses penyuluhan. Pembuatan KBD meliputi pembuatan bibit kayu-kayuan, buah-buahan, tanaman industri, dan hijauan ternak yang mempunyai dengan sistem bergulir diantara kelompok petani yang ada. KUK-DAS yaitu merupakan paket kegiatan usahatani terpadu antara intensifikasi pertanian dan penerapan teknik konservasi tanah, melalui paket teknologi agroforesty Makna Pembangunan Berkelanjutan Aktivitas ekonomi yang berkelanjutan yakni ekonomi tumbuh, distribusi pendapatan merata dan kemiskinan rendah, kerusakan lingkungan terkendali merupakan keinginan semua pihak. Integrasi semua aspek tersebut mengacu pada konsep pembangunan berkelanjutan yakni pembangunan ekonomi dan sosial yang peduli (mempertimbangkan) keberlanjutan lingkungan alam dan mengedepankan keadilan sosial. Tiga pilar pembangunan berkelanjutan adalah lingkungan, pertumbuhan ekonomi dan keadilan (Putri, 2003). World Conservation Strategy, untuk pertama kalinya mencoba mendefinisikan konsep pembangunan berkelanjutan sebagai berikut: agar pembangunan berkelanjutan maka harus memperhitungkan faktor sosial dan

64 44 ekologi seperti halnya faktor ekonomi, SDA baik yang bisa diperbaharui maupun yang tidak, dan memperhatikan keuntungan jangka pendek dan panjang dari kegiatan yang dipilih. Kritikan terhadap definisi ini terlalu berorientasi pada sustainabilitas ekologi dibandingkan pembangunan berkelanjutan itu sendiri (Alisjahbana, 2004) The Brundtland Report mendefinisikan pembangunan berkelanjutan yakni terpenuhinya kebutuhan generasi saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhannya. Implikasi dari definisi ini samar, tidak jelas apa yang dibutuhkan, bagaimana mekanisme mencapai masyarakat yang berkelanjutan secara lingkungan. Dalam beberapa hal ini lebih menunjukan kompromi politik antara pertumbuhan dengan keberlanjutan lingkungan (Castro, 2004). Menurut Putri (2003) pembangunan berkelanjutan memiliki karakteristik: penggunaan sumberdaya alam yang arif, santun, dan tidak eksploitatif, pengembangan jaminan nafkah kehidupan yang berkelanjutan, mengurangi kerentanan ekonomi dan ekologi, memungkinkan berlangsungnya prinsip-prinsip pemberdayaan, peningkatan persamaan dan keadilan dalam pembangunan, peningkatan fleksibilitas dan kelenturan dalam beradaptasi dengan perubahan. Titik kulminasi dari momentum peduli lingkungan tercapai saat diselenggarakannya Konferensi Tingkat Tinggi ( KTT Bumi ) di Rio de Janeiro Juni Pada saat KTT tersebut konsep pembangunan berkelanjutan memperoleh komitmen politik secara global sebagai arah berjalannya proses pembangunan, bahwa pembangunan ekonomi harus dilakukan bersamaan dengan meminimalkan atau memperhitungkan dampak yang mungkin ditimbulkannya

65 45 dan berakibat bagi generasi mendatang. KTT Bumi menghasilkan beberapa dokumen resmi, yakni Deklarasi Rio dan satu dokumen program yang dikenal sebagai Agenda 21. Dalam konsep pembangunan berkelanjutan titik tumpunya di empat sudut yakni ekonomi, sosial, kelembagaan dan lingkungan sehingga proses yang ditempuh adalah peningkatan pertumbuhan ekonomi yang diikuti oleh distribusi pendapatan yang lebih merata dan menurunnya kemiskinan, peningkatan kualitas SDM, kualitas kelembagaan dan lingkungan. Esensi dari paradigma pembangunan berkelanjutan adalah merupakan arah dari proses perubahan yang terencana dengan memperhatikan dan mengintegrasikan aspek-aspek berikut: kelestarian sistem penunjang kehidupan, aspek keadilan dan pemerataan antar waktu dan antar wilayah, pemberdayaan kelembagaan dan SDM, terutama kelompok masyarakat marjinal, pertumbuhan ekonomi, efisiensi dan keadilan alokasi SDA (Najmulmunir, 2001). Harris (2000) dalam Fauzi (2004) melihat bahwa konsep keberlanjutan dapat dirinci dalam tiga aspek pemahaman, yakni: keberlanjutan ekonomi yang diartikan sebagai pembangunan yang mampu menghasilkan barang dan jasa secara kontinyu, keberlanjutan lingkungan yang mampu memelihara sumberdaya yang stabil, menghindari eksploitasi SDA dan fungsi penyerapan lingkungan, keberlanjutan sosial yang mampu mencapai kesetaraan. Pengukuran indikator keberlanjutan ekonomi secara formal diperkenalkan oleh Hartwick yang mengukur keberlanjutan pembangunan ekonomi yang berbasis SDA tidak terbarukan. Selanjutnya Pearce dan Atkinson menggunakan

66 46 ukuran per kapita baik untuk tabungan maupun output yang tidak menurun sepanjang waktu (Fauzi, 2004; Lange, 2004). Fundamental pencapaiannya adalah mengubah bagaimana aktivitas pasar yang dijalani dalam arus melingkar dan bagaimana di dalamnya kebijakan lingkungan dirancang. Kuncinya adalah memodifikasi perilaku sehingga pertumbuhan ekonomi dan perlindungan lingkungan menjadi saling menguatkan bukan bersaing. Salah satu strategi promosinya adalah lebih baik mencegah daripada mengendalikan polusi (Callan, 2000) Posisi Penelitian Diantara Penelitian Sebelumnya Tujuan penelitian ini ditentukan berdasarkan beberapa pertimbangan. Pertama, fenomena atau fakta tentang proses, hasil dan dampak pembangunan di Jawa Barat termasuk kondisi lingkungannya. Kedua, studi literatur tentang teoriteori pembangunan ekonomi dan kerusakan lingkungan. Ketiga, hasil studi atau temuan empiris peneliti sebelumnya. Untuk menunjukan dimana posisi penelitian ini diantara penelitian sebelumnya, dibuat ikhtisar yang selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 4. Sebagaimana terungkap dalam Tabel 4 bahwa penelitian yang mengaitkan pertumbuhan ekonomi dengan degradasi lingkungan dalam rangka membuktikan hipotesis EKC lebih fokus pada variabel pendapatan per kapita dan indikator kualitas lingkungan dengan model sederhana dan tidak menunjukan hubungan timbal balik. Hanya penelitian Hung Ming-Feng dan Daigee Shaw yang mencoba menggunakan pendekatan simultan dengan fokus tetap pada hubungan antara pertumbuhan ekonomi dengan degradasi lingkungan.

67 47 Barros (2002) dan Grepperud (1997) memfokuskan pada masalah kemiskinan yang berdampak pada degradasi lingkungan. Mereka dapat membuktikan bahwa EKC tidak berlaku untuk kasus negara-negara berkembang. Namun studi mereka tidak disertai dengan dampak dari degradasi lingkungan terhadap kemiskinan. Najmulmunir (2001) mengkaji lebih luas karena menyangkut dampak kebijakan pembangunan ekonomi terhadap perkembangan wilayah dan kualitas lingkungan dengan menggunakan data cross-section tahun Pesoth (2001), Friyatno (2005), dan Santoso (2005) melakukan kajian yang lebih luas melalui analisa keterkaitan antara aktivitas ekonomi dengan kualitas lingkungan menggunakan model Input-Output. Meskipun demikian, model I-O tidak dapat mengakomodir dampak dari dinamika kebijakan dan kepedulian lingkungan. Dengan demikian penelitian ini lebih lengkap dari penelitian sebelumnya karena bersifat series untuk jangka waktu yang lama (30 tahun), bersifat simultan yang mengaitkan aspek pertumbuhan ekonomi, kemiskinan dan ketimpangan pendapatan, kebijakan dan kepedulian lingkungan. Penelitian ini pun dilengkapi dengan hasil survey tentang efektivitas kebijakan pengendalian lahan kritis, respon pelaku ekonomi terhadap kebijakan pencemaran air dan pencemaran udara.

68 48 I. TINJAUAN LITERATUR Pengertian dan Pengukuran Degradasi Lingkungan Proksi Untuk Kualitas Udara Proksi Untuk Kualitas Air Lahan Kritis Model Pezzey Teori Environmental Kuznet Curve Aspek Sosial-Ekonomi dan Degradasi Lingkungan Dampak Ketimpangan Pendapatan dan Kemiskinan Terhadap Degradasi Lingkungan Dampak Pertumbuhan Penduduk Terhadap Degradasi Lingkungan Degradasi Lingkungan: Wujud Kegagalan Pasar Kebijakan dan Kepedulian Lingkungan Kebijakan Lingkungan di Jawa Barat Makna Pembangunan Berkelanjutan Posisi Penelitian Diantara Penelitian Sebelumnya... 46

69 III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Hubungan Antara Pertumbuhan Ekonomi dan Degradasi Lingkungan Model Pezzey dan Teori EKC secara substansi memiliki makna yang sama, yakni membahas hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan degradasi lingkungan. Pemikiran Pezzey yang terungkap dalam economic and environmental stocks and flows a general model, memperlihatkan hubungan timbal balik antara produktivitas lingkungan dengan degradasi lingkungan. Bahwasannya, produksi barang dan jasa dipengaruhi oleh produktivitas lingkungan dimana kualitas lingkungan sendiri ditentukan oleh besar kecilnya belanja lingkungan yang disisihkan dari kegiatan produksi. Namun model tersebut sulit memisahkan dampak negatif dan positif dari berlangsungnya pertumbuhan ekonomi terhadap kualitas lingkungan. Artinya, model tidak mengungkapkan apakah hubungan timbal balik tersebut terjadi secara bersamaan atau bertahap. Teori EKC muncul lebih detil melalui elaborasi tahap pembangunan yang menentukan degradasi lingkungan, bahwa pada tahap awal pembangunan yang didominasi oleh sektor pertanian degradasi lingkungan masih rendah. Selanjutnya ketika perekonomian memasuki tahap industrialisasi, degradasi lingkungan semakin meningkat. Setelah melewati tahap tersebut dimana perekonomian mulai didominasi oleh sektor jasa, setiap peningkatan pendapatan per kapita akan menurunkan degradasi lingkungan. Industrialisasi di Indonesia mulai dilaksanakan setelah ditetapkannya kebijakan Industri Substitusi Impor (ISI) yang dimulai tahun Tujuan utama kebijakan tersebut diarahkan untuk melindungi infant industry dari kompetisi

70 52 dengan produk impor. Ketika tahun 1985 harga minyak anjlok, pemerintah mulai menaruh perhatian pada komoditas non migas, sehingga kebijakan ISI digeser oleh kebijakan promosi ekspor. Sebagai wilayah administrasi terdekat dengan ibu kota, Jawa Barat menjadi daerah utama untuk pengembangan kawasan industri. Tidak mengherankan sejak tahun 1985 pangsa industri manufaktur dalam PDRB Jabar mencapai persen, padahal tahun sebelumnya masih 9.49 persen. Pada tahun 1993 pangsa industri manufaktur semakin besar yakni persen sehingga menurut klasifikasi UNIDO Jawa Barat sudah tergolong sebagai wilayah industri. Periode berikutnya pangsa tersebut semakin besar dan mencapai persen pada tahun 1996 dan akhir tahun 2005 sudah mencapai 41.6 persen (BPS Jabar, berbagai tahun). Industrialisasi yang terjadi Jawa Barat pada dasarnya merupakan strategi pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi. Strategi ini cukup berhasil dimana Jabar bisa mencapai pertumbuhan ekonomi yang cenderung di atas nasional dan memberikan kontribusi terhadap PDB Indonesia rata-rata 14 persen setiap tahunnya. Artinya, peran Jabar sangat strategis sebagai penyangga perekonomian nasional. Industri Jawa Barat terkonsentrasi di Kabupaten Bogor (10.7 persen), Kabupaten Bekasi (13.5 persen), Kota Bandung (12.9 persen), dan Kabupaten Bandung (17.6 persen). Pada saat yang bersamaan wilayah lainnya masih bercorak agraris. Arus urbanisasi ke wilayah industri sangat tinggi sehingga kepadatan penduduk melebihi kewajarannya. Sungai yang melewati daerah tersebut adalah Sungai Cisadane, Cileungsi, Ciliwung, dan Citarum. Sebagai

71 53 dampak dari industrialisasi dan padatnya penduduk, keempat sungai ini masuk dalam kategori sebagai sungai dengan polusi air permukaan paling tinggi di Jawa Barat (BPLHD, 2004). Dikaitkan dengan Teori EKC, kondisi kualitas air permukaan Jawa Barat berada pada tahap sebelum titik balik bahwa industrialisasi yang meningkatkan pendapatan per kapita memperburuk kualitas air. Dilihat dari jumlahnya, industri yang ada di Jawa Barat didominasi oleh industri pakaian, tekstil, logam, kulit, makanan dan minuman, kayu, mineral, dan furniture. Karakteristik industri seperti ini terutama industri pakaian dan tekstil banyak menimbulkann limbah cair yang berbahaya. Di sisi lain, industrialisasi dan dinamika penduduk di wilayah-wilayah yang berbasis aktivitas ekonomi di sektor industri dan jasa telah menimbulkan tingginya pembuangan emisi terutama dari sektor transportasi. Dengan demikian menurunnya kualitas air dan udara terjadi seiring dengan proses industrialisasi yang sudah dimulai sejak tahun Berdasarkan perhitungan Bapeda Jabar, sektor industri pengolahan di Jawa Barat memiliki keterkaitan terkuat dengan sektor industri sendiri (intraindustry trade), sedikit keterkaitan dengan sektor pertanian dan cenderung menggunakan input impor baik luar propinsi maupun luar negeri (Pemprov Jabar, 2003). Selain itu industri yang berkembang di Jawa Barat cenderung padat modal. Artinya, industrialisasi Jawa Barat tidak berbasis sumberdaya lokal sehingga peningkatan output sektor industri pengolahan tidak diikuti oleh peningkatan tenaga kerjanya secara proporsional. Kenyataan ini berdampak pada disparitas antar wilayah, disparitas pendapatan antar golongan masyarakat pertanian dan

72 54 non-pertanian dan tingginya persentase penduduk miskin. Kenyataan tersebut sangat nampak dengan indikator Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dimana Jawa Barat menduduki urutan ke-15 di tingkat nasional, padahal ekonominya tumbuh di atas rata-rata. Ketika perekonomian dihadapkan pada krisis dimana pengangguran meningkat, kondisi sosial ekonomi masyarakat Jawa Barat semakin memburuk yakni meningkatnya angka Gini Ratio dan tingkat kemiskinan. Kenyataan ini menyimpang dari Teori Kuznet, bahwa perekonomian Jawa Barat ternyata tidak mampu terus tumbuh justru mengalami resesi dan kualitas lingkungan semakin buruk. Dalam kondisi distribusi pendapatan yang tidak merata, terdapat 2 fenomena yang berdampak pada luasnya lahan kritis. Pertama, adanya kelompok kaya yang menjadi pressure group terhadap mekanisme pembuatan kebijakan sehingga bias untuk kepentingannya, bahkan perilaku memanfaatkan kelemahan hukum dan masyarakat miskin untuk melakukan penebangan ilegal secara besarbesaran. Kedua, adanya kelompok miskin yang sulit akses terhadap banyak aspek, seperti terhadap kegiatan ekonomi formal, sumber permodalan, pendidikan, kesehatan, air bersih, dan sanitasi. Kondisi seperti ini memaksa mereka tidak memikirkan kepentingan jangka panjang. Artinya, kebutuhan mendesak saat ini jauh lebih penting sehingga tidak peduli apakah tindakan tertentu berdampak buruk terhadap lingkungan. Kasus tingginya perambahan dan penjarahan kayu di area hutan milik Perhutani di Kabupaten Garut, Cianjur, Ciamis, dan Sukabumi, adalah contoh masalah lahan kritis yang terkait dengan kemiskinan. Berdasarkan gambaran kinerja perekonomian Jawa Barat seperti di atas

73 55 berarti dibalik hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan degradasi lingkungan terdapat variabel kemiskinan yang mendorong hubungan diantara keduanya menjadi berbalik arah (backward bending), tidak mengikuti Teori EKC yang berbalik arah menjadi seperti huruf U terbalik Degradasi Lingkungan: Aspek Kelembagaan Dilihat dari aspek hak kepemilikan, terdapat perbedaan karakteristik antara lahan kritis dengan pencemaran air dan pencemaran udara. Untuk kasus lahan kritis terdapat kepemilikan yang jelas yakni pemilikan pribadi atau negara. Sebagian besar lahan kritis di Jawa Barat yakni 68 persen adalah milik masyarakat, berarti terkait dengan fungsi kawasan budidaya untuk usaha pertanian. Kepemilikan pribadi seharusnya dapat menjamin adanya upaya konservasi karena benar tidaknya pola pemanfaatan dari lahan tersebut menyangkut keuntungan dan kerugian buat si pemilik. Kepemilikan yang jelas ini seyogianya mempermudah penanganan luas lahan kritis, dengan syarat masyarakat paham dan peduli terhadap pengelolaan lahan yang tepat dan ada surplus produksi untuk menutupi biaya pengolahan. Sedangkan lahan kritis milik negara sangat dimungkinkan karena tidak terdefinisikannya hak kepemilikan tersebut dengan baik terutama karakteristik enforceability. Berbeda dengan kasus lahan kritis, air dan udara merupakan barang publik yang bebas diakses oleh siapapun. Sifat open access ini menempatkan kedua SDA tersebut sebagai barang gratis yang tidak ada harganya sehingga bisa menimbulkan kegagalan pasar. Artinya, ketika tidak ada kepemilikan mendorong banyak pihak turut memanfaatkan tanpa ada kewajiban memeliharanya sehingga

74 56 menimbulkan eksternalitas negatif. Pihak ketiga menderita kerugian akibat perilaku pihak pertama. Pencemaran air dan udara sebagai by product terutama dari kegiatan produksi yang dilakukan oleh pihak industri menimbulkan dampak negatif bagi pihak lain. Pencemaran air dan udara sebagai eksternalitas negatif memiliki konsekuensi ganda. Pertama, pencemaran yang dibiarkan terakumulasi akan menurunkan produktivitas lingkungan yang pada gilirannya dapat membatasi pertumbuhan ekonomi. Sebagaimana yang sudah dirumuskan oleh Pezzey tentang economic and environmental stocks and flows a general model kemampuan menghasilkan output tidak hanya ditentukan oleh ketersediaan modal, teknologi dan tenaga kerja, namun juga oleh produktivitas lingkungan. Kedua, pihak yang dirugikan akan bereaksi atas penderitaannya sehingga menuntut kompensasi. Keduanya memiliki implikasi bahwa eksternalitas negatif harus diinternalisasikan yang berarti memberikan harga untuknya dalam rangka mencapai manfaat sosial secara optimum. Konsekuensinya, internalisasi eksternalitas akan mempengaruhi biaya produksi dan tingkat produksi. Coase (1960) mengemukakan solusi terhadap masalah eksternalitas negatif ini. Inti dari cara pemecahan yang dikemukakan Coase adalah bagaimana dua individu atau perusahaan memecahkan masalah eksternalitas negatif tanpa banyak campur tangan dari pemerintah. Artinya, sejauhmana solusi swasta mampu mengatasi masalah eksternalitas. Coase Theorem menyatakan bahwa dalam keadaan tidak ada biaya transaksi, tingkat produksi barang dan jasa dalam suatu industri dimana terjadi eksternalitas tergantung apakah pihak yang menimbulkan eksternalitas secara

75 57 legal dikenakan biaya atau tidak atas eksternalitas yang menimbulkan dampak negatif bagi pihak lain. Kesediaan menanggung biaya eksternalitas sangat tergantung pada bargaining antara pihak yang menderita dengan pihak yang berbuat. Dengan demikian solusi swasta bisa sangat efektif seandainya pihak yang berkepentingan dapat melakukan negosiasi atau merundingkan solusi penanganan masalah eksternalitas tanpa mengeluarkan biaya yang memberatkan alokasi sumberdaya. Asumsi kuat yang melekat dibalik teorema ini adalah proses bargaining bekerja dalam kerangka pasar persaingan sempurna, informasi sempurna, tidak ada biaya transaksi sehingga kedua belah pihak akan sama-sama diuntungkan. Namun dalam kenyataannya asumsi tersebut sangat tidak realistis. Selain banyak pihak yang berkepentingan, kepentingan masing-masing akan lebih mendominasi untuk memenangkan tawar menawar. Untuk itu pemerintah dapat memfasilitasi proses bargaining ini agar tercapai tingkat produksi optimum secara sosial yakni profit maksimum dimana eksternalitas sudah diinternalisasikan. Selain itu pemerintah dapat menetapkan kebijakan dalam rangka menominalkan air dan udara melalui standar baku mutu limbah cair dan emisi dengan mekanisme CAC atau berbasis pasar. Aturan baku mutu limbah yang merupakan turunan dari UU Lingkungan Hidup merupakan tipe CAC yang membutuhkan kelembagaan yang kuat dalam pelaksanaannya. Temuan Panayotou (1992) menunjukan bahwa di negara-negara berkembang dimana terdapat keterbatasan pemerintah dalam anggaran dan kemampuan penegakan, maka tipe kebijakan CAC secara umum tidak efektif dalam mengontrol degradasi lingkungan.

76 58 Permasalahannya, kebijakan tersebut bisa jadi tidak efektif mencapai sasarannya ketika tingkat kepedulian dan kesadaran lingkungan belum terbangun. Implementasi kebijakan yang efektif perlu didukung oleh kepedulian dan kesadaran stakeholders terhadap masalah pencemaran ini, yakni pemerintah, pengusaha dan masyarakat. Kepedulian dan kesadaran lingkungan akan menjadi sentral dalam implementasi kebijakan lingkungan dalam bentuk apa pun. Artinya, tanpa kepedulian dan kesadaran lingkungan kebijakan tersebut tidak akan ada maknanya. Kepedulian dan kesadaran lingkungan ini perlu dibangun dengan berbagai dimensi yang menyangkut berbagai pihak. Oleh karena itu, etika lingkungan menjadi sentral dalam pengendalian degradasi lingkungan Etika Lingkungan Etika lingkungan hidup menawarkan cara pandang atau paradigma baru sekaligus perilaku baru terhadap lingkungan hidup atau alam yang bisa dianggap sebagai solusi terhadap degradasi lingkungan. Dalam perspektif ini, degradasi lingkungan terjadi karena perilaku manusia yang dipengaruhi oleh cara pandang antroposentris dan karena keberanian manusai melawan etika yang diketahuinya (Keraf, 2002; Arifin, 2001). Sekalipun menurut antroposentrisme manusia dianggap terpisah dan berada di atas alam, paham ini tidak bisa mengingkari kenyataan ekologis bahwa ada keterkaitan sangat erat antara semua makhluk alam termasuk manusia. Artinya, manusia mempunyai kepentingan untuk melestarikan lingkungan karena dengan melestarikan lingkungan manusia mempertahankan hidupnya sendiri.

77 59 Sebaliknya, biosentrisme dan ekosentrisme beranggapan bahwa manusia mempunyai kewajiban moral untuk menghargai alam semesta dengan segala isinya karena manusia adalah bagian dari alam dan karena alam mempunyai nilai pada dirinya sendiri. Dari kedua mahzab ini muncul prinsip-prinsip etika lingkungan hidup yakni sikap hormat terhadap alam, prinsip tanggungjawab, solidaritas, prinsip kasih sayang dan kepedulian, prinsip no harm, prinsip hidup sederhana dan selaras dengan alam, prinsip keadilan, prinsip demokrasi, prinsip integritas moral (Keraf, 2002). Seluruh prinsip tersebut mengerucut pada pada pembentukan karakter dan sikap bersama agar pro-lingkungan. Artinya, sikap individu yang peduli terhadap lingkungan selanjutnya perlu dikembangkan menjadi collective action dalam melestarikan lingkungan. Hal ini sejalan dengan pemikiran Chiang (1995) bahwa terkait dengan masalah lingkungan tahap pertama yang diperlukan adalah kepedulian orang-orang. Mengatasi masalah lingkungan sebagian besar merupakan upaya kolektif, artinya jika seseorang berbuat namun yang lain tidak maka akan sia-sia. Pemikiran Pezzey, pengusung Teori EKC, temuan empiris dampak degradasi lingkungan terhadap kemiskinan dan kesehatan serta kesinambungan pembangunan, juga paradigma pembangunan berkelanjutan tampaknya tidak lepas dari paham antroposentris. Bahwasannya perlindungan dan perbaikan lingkungan semata-mata untuk mempertahankan keberlanjutan pembangunan dan kesejahteraan manusia itu sendiri. Sebenarnya melalui paradigma pembangunan berkelanjutan, dicoba diselaraskan antara pertumbuhan ekonomi dan perlindungan lingkungan. Pembangunan dan lingkungan merupakan dikotomi yang salah (Sanim, 2003).

78 60 Namun dari beberapa definisi tentang pembangunan berkelanjutan dan pengukurannya, tampaknya bobot kepentingan ekonomi lebih menonjol. Apalagi ketika paradigma pembangunan berkelanjutan tersebut dihadapkan pada kondisi negara-negara berkembang, maka sulit dipungkiri bahwa orientasi pertumbuhan dalam rangka menurunkan kemiskinan akan lebih mendominasi dibandingkan dengan perlindungan lingkungan. Hanya pada kelompok masyarakat tertentu yang memiliki local wisdom terhadap alam, yang mau mengorbankan kepentingan hidupnya demi pelestarian alam. Namun konsekuensinya, pertumbuhan ekonomi akan berjalan lambat, kehidupan sederhana dan apa adanya. Dengan demikian hubungan yang harmonis antara pertumbuhan ekonomi dan perlindungan lingkungan dalam perspektif pembangunan berkelanjutan hanya bisa terjadi ketika pendapatan per kapita sudah tinggi dan atau karena tingginya penghargaan masyarakat terhadap alam sehingga terbentuk aksi kolektif peduli lingkungan. Tantangannya adalah mencapai kesejahteraan masyarakat tetapi merubah aktivitas pasar sehingga SDA dan lingkungan terlindungi. Persepsi harus diubah untuk mengakui bahwa konservasi dan pengurangan polusi dapat mendorong kepentingan pribadi sama dengan kepentingan sosial. Komunikasi harus dikembangkan untuk berbagi informasi tentang teknologi, input, dan proses yang dapat melindungi lingkungan tanpa menurunkan profit. Jika berhasil, kerjasama sebaiknya menggantikan posisi yang saling merugikan antara sektor privat dan publik yang akan mengurangi biaya monitoring dan prosedur penegakan. Upaya yang lebih meluas harus terus dilakukan seperti mempromosikan pencegahan polusi. Pada saat yang bersamaan, kepedulian/kesadaran/melek lingkungan terus

79 61 dikembangkan, pendidikan masyarakat tentang dampak dari degradasi lingkungan dan mendorong membuat keputusan yang bertanggungjawab. Teknologi lingkungan terus dikembangkan (Callan, 2000). Untuk kasus Jawa Barat, karakteristik masyarakatnya heterogen dan sudah terimbas globalisasi dimana terdapat kecenderungan lunturnya norma-norma dan etika lokal yang berdampak positif pada lingkungan. Sedangkan proses industrialisasi masih berjalan intensif, namun pendapatan per kapita masih rendah. Karenanya, tidak mudah untuk mengubah preferensi masyarakat agar pro lingkungan. Gambar 3 mengilustrasikan kerangka pemikiran penelitian yang menunjukan bagaimana keterkaitan antar variabel utama sesuai permasalahan yang dihadapi oleh Jawa Barat dan landasan teori. Perekonomian Jawa Barat Industrialisasi Perubahan Output Tenaga Kerja Pertumbuhan ekonomi Ketimpangan Pendapatan Kemiskinan Krisis Ekonomi Emisi Pertumbuhan Penduduk Open Access Limbah Kegagalan Pasar Lahan Kritis State Property Private Property Kepedulian Lingkungan Kebijakan Lingkungan Kebijakan Pertumbuhan Ekonomi Pembangunan Berkelanjutan Gambar 3. Kerangka Pemikiran Penelitian

80 62

81 63 Daftar Isi Bab 3 : III. KERANGKA PEMIKIRAN Lahan Kritis: Penyebab dan Dampak Pencemaran Air: Penyebab dan DampakError! Bookmark not defined. 3.3 Pencemaran Udara: Penyebab dan DampakError! Bookmark not defined. 3.4 Respon Terhadap Degradasi Lingkungan: Kebijakan... Error! Bookmark not defined. 3.5 Hipotesis Untuk Degradasi Lingkungan di Jawa Barat... Error! Bookmark not defined Hipotesis Untuk Lahan KritisError! Bookmark not defined Hipotesis Untuk Pencemaran AirError! Bookmark not defined Hipotesis Untuk Pencemaran UdaraError! Bookmark not defined. Gambar Error! Bookmark not defined. Model Lahan Kritis Untuk Jawa Barat... Error! Bookmark not defined.

82 64 Gambar 4. Model Pencemaran Air Untuk Jawa BaratError! Bookmark not defined. Gambar 5. Model Pencemaran Udara Untuk Jawa BaratError! Bookmark not defined.

83 IV. METODE PENELITIAN Mengacu pada definisi dan ukuran degradasi lingkungan, dalam penelitian ini akan digunakan 3 indikator utama yakni luas lahan kritis (LK), CO2 dan CO sebagai proksi untuk pencemaran udara, TDS dan BOD sebagai proksi untuk pencemaran air. Seluruh indikator kualitas lingkungan tersebut disajikan sebagai rasio terhadap jumlah penduduk kecuali CO sehingga menjadi LKp (luas lahan kritis per kapita dalam satuan hektar), TDSp (jumlah TDS per kapita dalam satuan ton), BODp (jumlah BOD per kapita dalam satuan ton), dan CO2p (jumlah CO2 per kapita dalam satuan ton). Ada beberapa alasan pemakaian per kapita, pertama untuk mengeliminir kelemahan data lingkungan terutama BOD, TDS dan CO2 yang diestimasi melalui perkembangan output sektor-sektor ekonomi tertentu. Kedua, menghilangkan dampak dari pemekaran wilayah Banten menjadi propinsi tersendiri pada tahun Untuk menjawab tujuan penelitian akan dibangun model makroekonomilingkungan dan dilakukan survei terkait dengan implementasi kebijakan lingkungan dan eksistensi hak kepemilikan. Model makroekonomi-lingkungan adalah model dinamik probabilistik yang mengaitkan antar variabel output ekonomi, sosial-ekonomi dan kebijakan serta kepedulian lingkungan. Ide dasar dari model yang dibangun merujuk pada Model Pezzey (1992) dan EKC melalui modifikasi di sisi tertentu. Mengingat fokus penelitian ini adalah degradasi lingkungan yang terkait dengan pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan dalam konteks agregat, sisi perilaku konsumen tidak diteliti. Ide krusial yang

84 63 diambil dari Model Pezzey (1992) adalah terdapatnya hubungan timbal balik antara aktivitas produksi dengan lingkungan. Selain itu, data series panjang yang mewakili perilaku konsumen tidak tersedia. Sedangkan modifikasi Teori EKC dilakukan karena karakteristik sosial ekonomi Jawa Barat tidak mungkin didekati dengan teori ini secara utuh. Selain itu dengan adanya temuan empiris yang mengaitkan degradasi lingkungan dengan kemiskinan, akhirnya Teori EKC dimodifikasi dengan memasukan variabel kemiskinan. Sebagian besar variabel berperan ganda yakni sebagai variabel endogen sekaligus eksogen maka dirancang model persamaan simultan dan akan diselesaikan melalui alat analisis ekonometrika. Mengingat dinamika pembangunan memakan rentang waktu yang cukup lama, maka dalam penelitian ini akan digunakan time series untuk seluruh variabel sejak dimulainya pembangunan yakni tahun 1973 sampai tahun Sementara survei ditujukan untuk pemilik lahan kritis, rumahtangga dan perusahaan-perusahaan yang diduga aktivitas produksinya mengakibatkan pencemaran air dan udara. Dengan demikian dalam penelitian ini akan terbagi 2 metode yakni membangun model makroekonomi-lingkungan yang menggunakan data sekunder dan bersifat series, analisis deskriptif berdasarkan data primer yang bersifat cross section. Sekalipun cross section, informasi yang digali melalui pertanyaan dalam kuesioner diarahkan sedemikian rupa sehingga bisa memunculkan keterangan yang pernah dialami oleh perusahaan beberapa tahun silam. Untuk itu, perusahaan lama yang berdiri tahun 1970 an yang aktivitas usahanya disinyalir merusak lingkungan merupakan salah satu target sampel.

85 64 Beberapa alasan dipilihnya alat analisis ekonometrik dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Lebih leluasa untuk memasukan variabel yang tidak mungkin terakomodir dalam model Input-Output atau CGE (Computable General Equilibrium), seperti masalah hak kepemilikan dan variabel tingkat kepedulian lingkungan yang diproksi oleh tingkat pendidikan. 2. Perkembangan data setiap tahunnya dapat terakomodir, sehingga model dapat memperhitungkan pengaruh waktu (dinamis). 3. Dapat melakukan peramalan baik tanpa kebijakan atau ada kebijakan. 4. Ditemukannya angka estimasi parameter sehingga perubahan dapat dilihat dari arah maupun besarannya. 5. Dapat diketahui tingkat signifikansi hasil estimasi yang berarti sejauhmana perilaku sampel mendekati perilaku populasinya Model Makroekonomi-Lingkungan Berdasarkan tujuan penelitian, landasan teori dan kerangka pemikiran yang sudah diungkapkan dalam bab sebelumnya, maka model yang dibangun terdiri atas 20 persamaan, 12 persamaan struktural dan 8 identitas. Adapun model makroekonometrika selengkapnya adalah sebagai berikut: OUTPUT SEKTOR PERTANIAN (AGRO) dimana : AGRO t = a 0 + a 1 TKa t + a 2 Ka t + a 3 La t + a 4 LKp t + a 5 BODp t + a 6 TDSp t + a 7 AGRO t-1 + U 1t...(1)

86 65 AGRO t = Output Sektor Pertanian pada tahun t (dalam satuan rupiah tahun dasar 2000) TKa t = Tenaga Kerja Sektor Pertanian pada tahun t (dalam jumlah orang) tahun berjalan Ka t = Kredit Sektor Pertanian pada tahun t (dalam satuan rupiah tahun dasar 2000) La t LKp t = Luas Lahan Pertanian pada tahun t (hektar) = Luasan Lahan Kritis/Kapita pada tahun t (hektar/jumlah penduduk) BODp t TDSp t = Jumlah BOD/Kapita pada tahun t (ton/jumlah penduduk) = Jumlah TDS/Kapita pada tahun t (ton/jumlah penduduk) AGRO t-1 = Lag AGRO t U 1t = error term Hipotesis : a 1, a 2, a 3 > 0 ; a 4, a 5, a 6 < 0 ; 0< a 7 < 1 OUTPUT SEKTOR INDUSTRI PENGOLAHAN (INDS) INDS t = b 0 + b 1 Tki t + b 2 Ki t + b 3 LKp t + b 4 CO t + b 5 CO2p t + b 6 INDS t-1 + U 2t (2) dimana : INDS t = Output Sektor Industri Pengolahan pada tahun t (dalam satuan rupiah tahun dasar 2000) Tki t Ki t = Tenaga Kerja Sektor Industri pada tahun t (jumlah orang) = Kredit Sektor Industri pada tahun t (dalam satuan rupiah tahun dasar 2000)

87 66 LKp t = Luasan Lahan Kritis/Kapita pada tahun t (hektar/jumlah penduduk) CO t CO2p t = Jumlah Carbon Monoksida pada tahun t (ton) = Jumlah Carbon Dioksida pada tahun t (ton/ jumlah penduduk) INDS t-1 U bt = Lag INDS t = error term Hipotesis: b 1, b 2 > 0 ; b 3, b 4, b 5 < 0 ; 0< b 6 < 1 OUTPUT SEKTOR JASA (JASA) dimana : JASA t = c 0 + c 1 TKj t + c 2 KKj t + c 3 CO t + c 4 JASA t -1 + U 3t...(3) JASA t = Output Sektor Jasa pada tahun t (dalam satuan rupiah tahun dasar 2000) TKj t KKj t = Tenaga Kerja Sektor Jasa pada tahun t (jumlah orang) = Kredit Sektor Jasa pada tahun t (dalam satuan rupiah tahun dasar 2000) CO t = Jumlah Carbon Monoksida pada tahun t (ton) JASA t -1 = Lag JASA t U ct = error term Hipotesis: c 1, c 2 > 0 ; c 3 < 0 ; 0< c 4 < 1 GINI RATIO (GR) GR t = d 0 + d 1 PRDa t + d 2 PRDi t + d 3 PRDj t + U 4t....(4)

88 67 dimana : GR t PRDa t = Gini Rasio = Produktivitas TK Sektor Pertanian pada tahun t (rupiah/tk tahun dasar 2000) PRDi t = Produktivitas Tenaga Kerja Sektor Industri Pengolahan pada tahun t (rupiah/tk tahun dasar 2000) PRDj t = Produktivitas Tenaga Kerja Sektor Jasa pada tahun t (rupiah/tk tahun dasar 2000) U dt = error term Hipotesis: d 1, d 2, d 3 < 0 POVERTY (PR) dimana : PR t = e 0 + e 1 PDRB t + e 2 UN t + e 3 PP t + e 4 LKP t + e 5 Pr t-1 + U 5t...(5) PR t PDRB t = Persentase Penduduk Miskin pada tahun t = Produk Domestik Regional Bruto pada tahun t (rupiah tahun dasar 2000) UN t = Tingkat Pengangguran pada tahun t (%) PP t LKp t = Laju Pertumbuhan Penduduk pada tahun t = Luasan Lahan Kritis/Kapita pada tahun t (hektar/jumlah penduduk) Pr t-1 U et = Lag Pr t = error term Hipotesis: e 1 < 0 ; e 2, e 3, e 4 > 0 ; 0< e 5 < 1

89 68 LUAS LAHAN KRITIS/KAPITA (LKp) dimana : LKp t = f 0 + f 1 TG t + f 2 PR t + f 3 GR t + f 4 DLk + f 5 Ed t + f 6 LKp t-1 + U 6t......(6) LKp t = Luasan lahan kritis per kapita pada tahun t (hektar/jumlah penduduk) TG t = Output Sektor Pertambangan dan Penggalian pada tahun t (rupiah konstan 2000) PR t GR t DLk = Persentase Penduduk Miskin pada tahun t = Gini Rasio pada tahun t = Dummy Kebijakan Reboisasi pada tahun t (1 = ada kebijakan dan 0 = tidak ada kebijakan) Ed t = Tingkat Kepedulian Lingkungan pada tahun t (tahun ratarata lamanya sekolah) LKp t-1 U ft = Lag LKp t = error term Hipotesis: f 1, f 2, f 3 > 0 ; f 4, f 5 < 0 ; 0< f 6 < 1 OUTPUT SEKTOR PERTAMBANGAN dan PENGGALIAN (TG) TG t = g 0 + g 1 KN t + g 2 DP t + U 7t......(7) dimana : TG t = Output Sektor Pertambangan dan Penggalian pada tahun t (rupiah konstan 2000)

90 69 KN t = Nilai Output Sektor Konstruksi pada tahun t (rupiah harga konstan 2000) DP t = Dummy Pemekaran Wilayah Jawa Barat pada tahun t (1 = setelah ada pemekaran dan 0 = sebelum ada pemekaran) U gt = error term Hipotesis: g 1, g 2 > 0 OUTPUT SEKTOR KONSTRUKSI (KN) KN t = h 0 + h 1 Yt t + h 2 KKn t + h 3 KN t-1 + U 8t (8) dimana : KN t = Nilai Output Sektor Konstruksi pada tahun t (rupiah harga konstan 2000) Yt t = PDRB/kapita pada tahun t (dalam satuan rupiah dan tahun dasar 2000) KKn t = Kredit Sektor Konstruksi pada tahun t (rupiah harga konstan 2000) KN t-1 U ht = Lag KN t = error term Hipotesis: h 1, h 2 > 0 0< h 3 < 1 TOTAL DISSOLVED SOLID/KAPITA (TDSp) dimana : TDSp t = i 0 + i 1 Y t + i 2 Gr t + i 3 DLa t + i 4 Ed t + i 5 TDSp t-1 + i 6 U 9t...(9) TDSp t = Jumlah TDS/Kapita pada tahun t (ton/jumlah penduduk)

91 70 Y t = PDRB/kapita pada tahun t (dalam satuan rupiah dan tahun dasar 2000) Gr t DLa t = Gini Rasio pada tahun t = Dummy Kebijakan Pengendalian Pencemaran Air pada tahun t (1 = ada kebijakan dan 0 = tidak ada kebijakan) Ed t = Tingkat Kepedulian Lingkungan pada tahun t (tahun ratarata lamanya sekolah) TDSp t-1 U it = Lag TDSp = error term Hipotesis: i 1, i 2, > 0 ; i 3, i 4 < 0 0< i 5 < 1 BIOLOGICAL OXIGEN DEMAND/KAPITA (BODp) dimana : BODp t = j 0 + j 1 Yt t + j 2 PR t + j 3 GR t + j 4 DLa + j 5 Edt + j 6 BODp t-1 + U 10t......(10) BODp t Yt t = Jumlah BOD/Kapita pada tahun t (ton/jumlah penduduk) = PDRB/kapita pada tahun t (dalam satuan rupiah dan tahun dasar 2000) PR t GR t Dla = Persentase Penduduk Miskin pada tahun t = Gini Rasio pada tahun t = Dummy Kebijakan Pengendalian Pencemaran Air pada tahun t (1 = ada kebijakan dan 0 = tidak ada kebijakan)

92 71 Ed = Tingkat kepedulian lingkungan pada tahun t (tahun rata-rata lamanya sekolah) BODp t-1 = Lag BODp t U jt = error term Hipotesis: j 1, j 2, j 3, > 0 ; j 4, j 5 < 0 ; 0< j 6 < 1 CARBON MONOXIDA (CO) dimana : CO t = k 0 + k 1 Yt t + k 2 DLu t + k 3 Ed t + k 4 COt -1 + U 11t.... (11) CO t Yt t = Jumlah Carbon Monoksida pada tahun t (ton) = PDRB/kapita pada tahun t (dalam satuan rupiah dan tahun dasar 2000) DLu t = Dummy Kebijakan Pengendalian Pencemaran Udara pada tahun t (1 = ada kebijakan dan 0 = tidak ada kebijakan) Ed t = Tingkat kepedulian lingkungan pada tahun t (tahun rata-rata lamanya sekolah) CO t-1 U kt = Lag CO t = error term Hipotesis: k 1 > 0 ; k 2, k 3 < 0 ; 0< k 4 < 1 CARBON DIOXIDA/KAPITA (CO2p) CO2P t = l 0 + l 1 Yt t + l 2 Dlu t + l 3 Ed t + l 4 CO2p t-1 + U 12t....(12) dimana :

93 72 CO2P t = Jumlah Carbon Dioksida pada tahun t (Ton/ jumlah penduduk) Yt t = PDRB/kapita pada tahun t (dalam satuan rupiah dan tahun dasar 2000) Dlu t = Dummy Kebijakan Pengendalian Pencemaran Udara pada tahun t (1 = ada kebijakan dan 0 = tidak ada kebijakan) Ed t = Tingkat kepedulian lingkungan pada tahun t (tahun rata-rata lamanya sekolah) TDSP t-1 U lt = Jumlah TDS/Kapita pada tahun t (ton/jumlah penduduk) = error term Hipotesis: l 1 > 0 ; l 2, l 3 < 0 ; 0< l 4 < 1 TOTAL PDRB (PDRB) PDRB t = AGRO t + INDS t + JASA t + LGA t + TG t + KN t...(13) PDRB/KAPITA (Yt) Yt t = PDRB t /Jumlah Penduduk...(14) PANGSA SEKTOR PERTANIAN (Sa) Sa t = AGRO t /PDRB t...(15) PANGSA SEKTOR INDUSTRI PENGOLAHAN (Si) Si t = INDS t / PDRB t...(16) PANGSA SEKTOR JASA (Sj) Sj t = JASA t / PDRB t...(17) dimana :

94 73 PDRB t = Produk Domestik Regional Bruto pada tahun t (rupiah tahun dasar 2000) AGRO t = Output Sektor Pertanian pada tahun t (dalam satuan rupiah tahun dasar 2000) INDS t = Output Sektor Industri pada tahun t (dalam satuan rupiah tahun dasar 2000) JASA t = Output Sektor Jasa pada tahun t (dalam satuan rupiah tahun dasar 2000) LGA t = Output Sektor Listrik, Gas dan Air Bersih pada tahun t (dalam satuan rupiah tahun dasar 2000) TG t = Output Sektor Pertambangan dan Penggalian pada tahun t (rupiah konstan 2000) KN t = Nilai Output Sektor Konstruksi pada tahun t (rupiah harga konstan 2000) Sa t = Pangsa sektor pertanian terhadap PDRB pada tahun t (%) Si t = Pangsa sektor industri terhadap PDRB pada tahun t (%) Sj t = Pangsa sektor jasa terhadap PDRB pada tahun t (%) PRODUKTIVITAS TENAGA KERJA SEKTOR PERTANIAN (PRDa) PRDa t = AGRO t /Tka t...(18) PRODUKTIVITAS TENAGA KERJA SEKTOR INDUSTRI PENGOLAHAN (PRDi) PRDi t = INDS t /Tki t...(19)

95 74 PRODUKTIVITAS TENAGA KERJA SEKTOR JASA (PRDa) PRDj t = JASA t /TKj t...(20) Secara skematik keterkaitan antar variabel dalam persamaan di atas disajikan dalam Gambar 4. CO2 CO DLu TKa Ka AGRO BOD La PRDA Sa KN KKn TKj JASA PDRB GR DP Penggalian KKj TKi PRDJ INDS Sj Si Pr Ed UN Lahan Kritis DLa Ki PRDi PP DLk TDS Keterangan : = variabel eksogen, = variabel endogen Gambar 4. Keterkaitan antar variable eksogen dengan endogen Identifikasi dan Pendugaan Model Identifikasi model dilakukan sebelum melakukan estimasi dan diperlukan untuk menentukan metode estimasi yang akan digunakan (Koutsoyianis, 1977). Jika suatu persamaan atau model secara keseluruhan under identified, maka tidak satupun teknik ekonometrika yang dapat digunakan untuk mengestimasi semua

96 75 parameternya. Namun jika persamaan atau model itu exactly identified, maka teknik yang paling tepat digunakan adalah indirect least square, sedangkan jika over identified maka berbagai teknik dapat digunakan seperti 2SLS, 3SLS, atau maximum likehood method (LIML atau FIML). Identifikasi dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu pengujian terhadap model struktural (order condition) atau pengujian terhadap model reduced form (rank condition). Karena lebih sederhana dan lebih mudah dari metode yang kedua, maka dalam studi ini digunakan metode yang pertama. Persyaratan agar suatu persamaan dikatakan teridentifikasi (identified) adalah jika jumlah total peubah yang tidak termasuk ke dalam persamaan tersebut, tetapi termasuk ke dalam persamaan-persamaan lainnya, paling kurang sebanyak jumlah persamaan yang ada dalam model (sistem persamaan) dikurang satu. Dalam bentuk matematis dapat disajikan sebagai berikut: (K M) > (G 1) dimana: G K M = jumlah total persamaan (jumlah total variabel endogen) = jumlah total variabel dalam model (endogen dan predetermined) = jumlah variabel (endogen dan eksogen) dalam persamaan yang diidentifikasi Jika: (K M) > (G 1), maka persamaan over identified (K M) = (G 1), maka persamaan exactly identified (K M) < (G 1), maka persamaan under identified Dalam model terdapat 48 variabel (endogen dan predetermined) dan 20 variabel endogen sehingga mengalami over identified. Oleh karena semua

97 76 persamaan struktural over identified, maka aplikasi ILS tidak akan memberikan estimasi dari parameter struktural dengan unik. Umumnya metode 3SLS akan memberikan estimasi yang lebih efisien secara asymptotis daripada metode 2SLS, tetapi metode 3SLS sensitif terhadap perubahan spesifikasi. Jika ada satu perubahan spesifikasi pada salah satu persamaan dalam system akan mempengaruhi semua pendugaan parameternya. Disamping itu metode 3SLS memerlukan data sampel yang lebih besar daripada metode 2SLS, jika semua parameter strukturalnya diestimasi pada waktu yang sama. Dengan mempertimbangkan ketersediaan data sampel dan kemungkinan spesifikasi model, maka digunakan 2SLS untuk mengestimasi parameter struktural. Kemudian untuk mengetahui apakah model yang digunakan dapat menceritakan kembali kejadian-kejadian ekonomi selama periode sampel dengan baik atau menghasilkan nilai-nilai ramalan untuk variabel-variabel endogennya yang tidak jauh berbeda dengan nilai-nilai aktualnya, maka perlu dilakukan validasi model. Ukuran yang digunakan untuk validasi model adalah Root Mean Square Error (RMSE), Root Mean Square Percentage Error (RMSPE), dan koefisien U-Theil. Jika validasi merupakan pengujian goodness of fit dari model secara keseluruhan, analisis simulasi diperlukan untuk mempelajari sejauhmana dampak dari perubahan-perubahan variabel eksogen terhadap seluruh variabel endogen. Sesuai tujuan penelitian yakni mengkaji berbagai alternatif kebijakan pembangunan ekonomi yang dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan mengakomodir perlindungan lingkungan di Jawa Barat, maka akan dilakukan beberapa simulasi melalui variabel tertentu yang diharapkan bisa menjadi pijakan

98 77 rumusan kebijakan pembangunan berkelanjutan ke depannya Simulasi Kebijakan Sesuai dengan tujuan penelitian yang pertaman yakni menganalisis dampak dari pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan terhadap degradasi lingkungan maka akan dilakukan simulasi historis dengan mengubah nilai variabel PDRB, kemiskinan dan Gini Ratio. Selanjutnya untuk menganalisis dampak dari degradasi lingkungan terhadap keberlanjutan pembangunan dilakukan simulasi historis dengan merubah nilai variabel TDSp dan BODp, LKp, CO, dan CO2p. Simulasi historis dilakukan pada periode tahun dengan besaran setiap variabel yang disimulasikan antara 1 persen sampai 3 persen. Ditetapkan angka yang relatif rendah karena sebatas untuk mengevaluasi keterkaitan antara pertumbuhan ekonomi, kemiskinan dan degradasi lingkungan. Secara detilnya skenario simulasi historis adalah sebagai berikut: 1. Peningkatan PDRB sebesar 1 persen, 2 persen, 3 persen. 2. Peningkatan kemiskinan 0.5 persen dan Gini Ratio Peningkatan pertumbuhan penduduk 0.5 persen. 4. Peningkatan TDSp sebesar 2 persen dan BODp sebesar 1 persen. 5. Peningkatan CO sebesar 2 persen dan CO2p sebesar 1 persen. 6. Peningkatan LKp sebesar sebesar 1 persen, 2 persen, 3 persen. Sementara untuk menemukan rumusan kebijakan pengendalian degradasi lingkungan agar tercapai pembangunan yang berkelanjutan dilakukan simulasi

99 78 ramalan kebijakan untuk periode dengan skenario: 1. Peningkatan kredit investasi dari perbankan untuk sektor pertanian 10 persen, sektor industri pengolahan 10 persen dan sektor jasa 20 persen. 2. Penurunan Gini Rasio Peningkatan kepedulian lingkungan yang diproksi oleh rata-rata lamanya sekolah sebesar 0.1 tahun, 0.15 tahun, 0.2 tahun. 4. Gabungan no 1 dan Gabungan no 1,2,3 dan Metode Survei: Hak Kepemilikan dan Respon Masyarakat Terhadap Kebijakan Lingkungan Kasus Lahan Kritis Sebagaimana telah disinggung pada bahasan sebelumnya bahwa sebagian besar dari luasan lahan kritis di Jawa Barat merupakan milik masyarakat. Oleh karena itu dalam penelitian ini, survei difokuskan pada lahan dengan fungsi kawasan budidaya untuk usaha pertanian yang dimiliki secara pribadi. Berdasarkan karakteristik kepemilikan pribadi dibuat arahan untuk interview dengan daftar pertanyaan yang bisa dilihat pada Lampiran 5. Seluruh pertanyaan tersebut diarahkan untuk membuktikan bagaimanakah eksistensi hak kepemilikan pribadi atas lahan, apakah terdefinisikan dengan baik atau tidak. Sementara untuk menggali perkembangan kebijakan penanganan lahan kritis dari tahun ke tahunnya dilakukan interview dengan beberapa petugas lapangan yang sudah lama menggeluti penanganan lahan kritis dengan kuesioner yang bisa dilihat pada Lampiran 6.

100 Kasus Pencemaran Air dan Udara Hak kepemilikan dan respon masyarakat terhadap kebijakan lingkungan ibaratnya merupakan dua sisi dari satu mata uang. Pemanfaatan SDA yang bersifat open access telah menimbulkan pencemaran air dan udara yang sangat mengkhawatirkan. Penetapan kebijakan lingkungan pada dasarnya dalam rangka mengantisipasi kerusakan lingkungan yang semakin parah, karena dalam kebijakan ada batasan dan tanggungjawab yang jelas dalam memanfaatkan sumberdaya air dan udara. Dalam implementasinya, kebijakan-kebijakan tersebut belum tentu berhasil mencapai tujuannya, karena ada pihak yang respon dan yang tidak. Respon/tanggapan/sikap diawali oleh kognitif, afektif, serta konatif dan tahapan akhirnya tercermin dari perilaku (Allan, 1992). Dengan demikian indikator dari respons/tanggapan/sikap adalah kognitif, afektif, konatif serta perilaku. Efek kognitif adalah pengaruh dari komunikasi terhadap kegiatan berpikir, mengetahui, menghayati, mengartikan, menggambarkan, mempertimbangkan, menalar dan lain-lain (Effendi, 1998). Sedangkan efek afektif adalah pengaruh dari peristiwa komunikasi yang berkaitan dengan perasaannya, misalnya merasa heran, terkejut, gembira, bangga, sedih, iba, terharu, marah, setuju, dan lain-lain. Selanjutnya efek konatif dan efek perilaku (behavior). Efek konatif adalah dampak berupa tekad, hasrat atau upaya untuk melaksanakannya, sedangkan efek perilaku berupa tindakan (action). Upaya pengukuran akan dilakukan pada semua tingkat respon untuk setiap regulasi lingkungan yang dikeluarkan pemerintah (lebih detil disajikan di kuesioner yang ada di Lampiran 7 untuk kasus pencemaran air dan Lampiran 8

101 80 untuk kasus pencemaran udara). Pengukuran dilakukan dengan menggunakan Skala Likert antara 0 dan 4. Setelah dilakukan tabulasi selanjutnya akan dihitung nilai rata-rata dari seluruh item pertanyaan dan seluruh responden. Nilai rata-rata yang berkisar diantara 0 dan 4 secara langsung menggambarkan fenomena kinerja kebijakan lingkungan. Dalam rangka memperkuat analisis tentang eksistensi open access, survei pun dilakukan pada rumahtangga dengan kuesioner seperti yang bisa dilihat pada Lampiran Penentuan Sampel Target populasi adalah mereka yang berada di daerah industri dan daerah yang luasan lahan kritisnya relatif lebih luas dibandingkan dengan wilayah lainnya di Jawa Barat. Daerah industri di Jawa Barat terpusat di Kabupaten Bogor, Bekasi, Karawang, Bandung dan Cirebon. Sementara lahan kritis yang paling luas terdapat di Kabupaten Garut, Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Bandung, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Majalengka, Kabupaten Bogor, serta Kabupaten Indramayu. Dengan demikian ada 10 kabupaten yang menjadi daerah populasi, yakni Kabupaten Bogor, Bekasi, Karawang, Bandung, Garut, Sukabumi, Cianjur, Cirebon, Majalengka dan Indramayu. Dengan berbagai pertimbangan, wilayah yang menjadi sampel adalah Kota dan Kabupaten Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Cirebon, Kabupaten Karawang, Kabupaten Majalengka dan Kabupaten Indramayu. Metode penentuan sample yang akan digunakan adalah purposive sampling dengan total sampel sekitar 121 dengan distribusi sampel seperti yang tertera dalam Tabel 5.

102 81 Tabel 5. Distribusi Sampel Obyek Penelitian No Sektor Ekonomi Jumlah Sampel Lokasi Survei 1 Pertanian 20 Indramayu, Kabupaten Bandung 2 Industri makanan, minuman 30 Kabupaten dan Kota Cirebon, Kota Bandung, Karawang 3 Bangunan 11 Kota Bandung, Cimahi, Majalengka 4 Industri Tekstil 13 Kabupaten Bandung 5 Industri Kimia 3 Karawang 6 Perdagangan, hotel dan restorant 44 Kabupaten dan Kota Cirebon, Kota Bandung Total 121 Target sampel adalah petani pemilik lahan kritis dan pengusaha yang bergerak di sektor-sektor ekonomi yang tercantum dalam tabel di atas. Penentuan jumlah sampel per sektor ekonomi berdasarkan pertimbangan pangsa outputnya terhadap total PDRB. Karena sektor industri pengolahan mendominasi PDRB Jawa Barat maka jumlah sampel di sektor ini paling banyak. Selain itu dilakukan pula interview dengan dinas-dinas dan pihak terkait. Survei yang dilakukan sebatas untuk mempertajam analisa hasil estimasi model dan memperkuat informasi efektivitas implementasi kebijakan lingkungan yang sudah sering diwacanakan dalam forum-forum lingkungan. Oleh karena itu penetapan jumlah sampel relatif sedikit, artinya, ketika informasi dengan jumlah tersebut sudah mengarah pada kondisi yang telah menjadi wacana umum maka jumlah tersebut sudah dianggap dapat menggambarkan keadaan yang sebenarnya.

103 82 Daftar Isi Bab 4 : IV METODOLOGI PENELITIAN Spesifikasi Model... Error! Bookmark not defined. 4.2 Identifikasi dan Pendugaan Model Analisis Deskriptif : Kajian Kebijakan Lingkungan... Error! Bookmark not defined. 4.4 Simulasi Model Metode Penelitian Untuk Koleksi Data Primer Aspek Kelembagaan: Hak Kepemilikan dan Respon Masyarakat Terhadap Kebijakan Lingkungan Pengukuran Variabel Penentuan Sampel Teknik Pengolahan Data dan Interpretasinya Tabel 1.. Beberapa Regulasi Lingkungan Dikaitkan Dengan Tingkat Respon Masyarakat... Error! Bookmark not defined. Tabel 2. Distribusi Sampel: Perusahaan, Rumahtangga, Pemilik Lahan... 81

104 V. HASIL ESTIMASI DAN VALIDASI MODEL 5.1 Hasil Estimasi Model Makroekonomi-Lingkungan Jawa Barat Secara umum, spesifikasi model yang dibangun pada penelitian ini cukup bagus, dimana sebagian besar variabel bebas memenuhi kriteria ekonomi dan statistik. Selengkapnya disajikan dalam sub bab berikut ini Persamaan Output Sektor Pertanian Hasil pendugaan parameter dan tingkat signifikansi pada persamaan output sektor pertanian disajikan dalam Tabel 6. Tabel 6. Hasil Estimasi Parameter Persamaan Output Sektor Pertanian (AGRO) Variable Parameter Standard Error Prob > Elastisitas T SR LR INTERCEP TKA KA LA LKp BODp TDSp LAGRO Prob>F Adj R 2 = DW =2.45 Berdasarkan hasil estimasi nampak bahwa hampir seluruh variabel bebas kecuali variabel lag tidak signifikan. Artinya temuan ini tidak mencukupi untuk membuktikan bahwa semua input dan kerusakan lingkungan mempengaruhi output sektor pertanian. Meskipun demikian secara ekonomi semua variabel bebas kecuali BOD memiliki tanda sesuai dugaan, bahwa peningkatan seluruh input yakni tenaga kerja, modal dan lahan akan meningkatkan output. Namun sebaliknya jika yang meningkat adalah luas lahan kritis per kapita dan jumlah TDS, maka output akan turun.

105 83 Lahan yang kritis akan berdampak pada menurunnya produktivitas lahan sehingga perolehan output akan rendah. Demikian halnya badan air yang mengandung banyak TDS yang mengairi persawahan atau tambak dan jaring apung akan mengakibatkan hasil panen lebih rendah. Dari seluruh variabel bebas yang masuk dalam model nampak bahwa variabel lahan merupakan variabel yang paling responsif terhadap output sektor pertanian baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Jika input lahan naik 1 persen maka akan menaikan output sektor pertanian dalam jangka pendek sebesar 0.22 persen dan 1.73 persen dalam jangka panjang. Hal ini memiliki implikasi jika ke depannya luas lahan untuk pertanian semakin berkurang maka output agregat pertanian akan turun dalam proporsi yang lebih besar dibandingkan jika input lainnya yang turun Persamaan Output Sektor Industri Pengolahan Hasil pendugaan parameter dan tingkat signifikansi pada persamaan output sektor industri pengolahan disajikan dalam Tabel 7. Tabel 7. Hasil Estimasi Parameter Persamaan Output Sektor Industri Pengolahan Variable Parameter Standard Error Prob > Elastisitas T SR LR INTERCEP TKI KI LKp CO CO2p LINDS Prob>F Adj R 2 = DW = 1.653

106 84 Untuk persamaan output sektor industri pengolahan hanya tenaga kerja di sektor ini dan LKp yang tidak signifikan, sedangkan investasi dan CO signifikan pada taraf nyata 5 persen dan 10 persen. CO adalah sisa pembakaran yang tidak sempurna dari BBM. Gas ini berbahaya jika sering terhirup yang akan mengganggu kesehatan dan produktivitas kerja. Jumlah CO relatif banyak di daerah padat penduduk sehingga dimungkinkan mengganggu produktivitas tenaga kerja di sektor industri yang akhirnya berdampak pada penurunan output. Variabel CO ini responsif terhadap perubahan output sektor industri pengolahan baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang, bahwa setiap kenaikan CO sebesar 1 persen dalam jangka pendek akan menurunkan output sektor industri pengolahan sebesar 0.17 persen dan 2.95 persen dalam jangka panjang. Variabel CO2 sangat signifikan dengan tanda positif, bahwa jika CO2 naik output sektor industri pengolahan meningkat pula. Temuan ini mendukung studi empiris yang dilakukan oleh Iwami (2001), Morancho (2001), Hung (2002) dan Lieb (2004) bahwa ada kecenderungan ketika pendapatan naik CO2 naik pula. Kenyataan ini dimungkinkan terjadi karena sifat CO2 bisa menghilang (dissipate) dengan cara yang lebih cepat sehingga dampak negatif terhadap produksi akhirnya pertumbuhan ekonomi tidak cukup serius. Selain itu masalah CO2 lebih sulit diatasi karena menyangkut biaya yang sangat besar sehingga berdampak pada rendahnya upaya internalisasi eksternalitas. Dengan demikian alokasi anggaran tetap pada upaya peningkatan output. Meskipun demikian temuan ini harus disikapi hati-hati bahwa dengan membiarkan jumlah CO2 semakin banyak beberapa tahun ke depan pada

107 85 gilirannya akan melebihi kapasitas daya dukung lingkungan sehingga berdampak negatif terhadap kehidupan termasuk aktivitas ekonomi. Oleh karena itu khusus untuk kasus ini tidak dihitung besaran elastisitasnya. Untuk variabel input, ternyata kredit investasi lebih responsif dibandingkan dengan tenaga kerja. Setiap kenaikan kredit investasi 1 persen akan meningkatkan output sektor industri pengolahan sebesar 1.19 persen dalam jangka panjang. Bandingkan dengan input tenaga kerja yang hanya menaikan 0.77 persen. Hal ini bisa dipahami karena selama ini industri yang berkembang di Jawa Barat adalah industri yang padat modal Parameter Persamaan Output Sektor Jasa Sektor jasa yang dimaksud di sini mencakup sektor perdagangan, hotel dan restoran, sektor transportasi dan telekomunikasi, sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, dan sektor jasa-jasa. Hasil pendugaan parameter dan tingkat signifikansi pada persamaan output sektor jasa disajikan dalam Tabel 8. Tabel 8. Hasil Estimasi Parameter Persamaan Output Sektor Jasa Variable Parameter Standard Error Prob > T Elastisitas SR LR INTERCEP TKJ KKJ CO LJASA Prob>F Adj R 2 = DW = Semua variabel bebas signifikan pada taraf 20 persen dan tanda sesuai harapan kecuali variabel CO. Dalam persamaan output sektor jasa ternyata setiap terjadi peningkatan CO mendorong meningkatkan output. Ini pun dimungkinkan terjadi karena sifat pencemaran CO yang setipe dengan CO2.

108 86 Variabel tenaga kerja paling responsif terhadap output sektor jasa, setiap kenaikan tenaga kerja di sektor ini sebesar 1 persen akan menaikan outputnya sebesar 0.5 persen dalam jangka pendek dan 0.7 persen dalam jangka panjang. Hal ini bisa dipahami karean sektor jasa merupakan sektor yang padat ilmu pengetahuan seperti teknologi informasi dimana tenaga kerja yang terserap sebagian besar memiliki skill dan kreativitas tinggi Parameter Persamaan Gini Ratio Perbedaan laju pertumbuhan output antar sektor akan berdampak pada perubahan pangsa sektor-sektor tersebut dalam PDRB Jawa Barat. Perubahan dominasi pangsa sektor pertanian oleh sektor industri menunjukan bahwa perekonomian Jawa Barat sudah berada dalam tahap industrialisasi. Tabel 9 menunjukan perkembangan perubahan pangsa sektor pertanian, industri dan jasa di Jawa Barat ternyata tidak diikuti oleh perubahan struktur tenaga kerjanya secara proporsional. Berdasarkan data pada tabel tersebut nampak bahwa sebagian besar tenaga kerja masih terserap di sektor pertanian sementara pangsa sektor ini dalam PDRB Jawa Barat semakin rendah. Kesenjangan antara dominasi input dengan output berdampak pada perbedaan produktivitas tenaga kerja dan pendapatan antar sektor ekonomi. Pekerja di sektor industri dan jasa cenderung memperoleh pendapatan lebih besar dibandingkan dengan pekerja di sektor pertanian. Dengan demikian perbedaan produktivitas tersebut berdampak pada ketimpangan pendapatan

109 87 Tabel 9. Distribusi Output dan Tenaga Kerja Per Sektor Ekonomi di Jawa Barat Periode Tahun Sektor Pertanian (%) Sektor Industri Pengolahan (%) Sektor Lainnya (%) Output TK Output TK Output TK Sumber: BPS Jawa Barat berbagai tahun, diolah kembali Meskipun angka GR Jawa Barat relatif rendah yakni di kisaran 0.3, namun informasi dari tabel neraca sosial ekonomi mempertegas terjadinya ketimpangan. Tabel 10 menunjukkan besarnya pendapatan nominal yang siap dikonsumsi

110 88 (disposable income) masing-masing golongan rumah tangga. Pada tahun 1999 besarnya pendapatan rumahtangga buruh tani yakni rumah tangga dimana kepala rumahtangganya bekerja atau menerima pendapatan terbesar dari hasil balas jasa bekerja di sektor pertanian ternyata hanya seperlimanya total pendapatan pengusaha pertanian yakni mereka yang melakukan usaha secara langsung dalam bidang pertanian dengan menyertakan modalnya. Tabel 10. Distribusi Pendapatan Diantara Kelompok Rumah Tangga Di Jawa Barat Tahun 1999 dan 2002 (Juta rupiah) No. Rumah Tangga Tahun 1999 Tahun Buruh Tani Pengusaha Pertanian Rumahtangga Bukan Pertanian Gol. Bawah di Desa Rumahtangga Bukan Pertanian Penerima Pendapatan di Desa Rumahtangga Bukan Pertanian Gol. Atas di Desa Rumahtangga Bukan Pertanian Gol. Bawah di Kota Rumahtangga Bukan Pertanian Penerima Pendapatan di Kota Rumahtangga Bukan Pertanian Gol. Atas di Kota Sumber: Tabel SAM, BPS Jawa Barat, diolah kembali Perkembangan berikutnya yakni pada tahun 2002, ternyata kesenjangan tersebut semakin lebar dimana pendapatan rumahtangga buruh tani hanya seperenam dari total pendapatan pengusaha pertanian. Hal ini menunjukkan bahwa antar pelaku dalam sektor yang sama pun dapat terjadi kesenjangan karena kelompok pertama hanya mengandalkan tenaganya saja, di sisi lain kelompok pengusaha memiliki modal yang diinvestasikan dalam kegiatan pertanian. Apalagi jika dibandingkan dengan kelompok rumahtangga bukan pertanian golongan atas baik di desa maupun di kota, kesenjangan tersebut semakin lebar. Kenyataan lebih

111 89 memprihatinkan bahwa proporsi rumah tangga terbesar di Jawa Barat adalah rumahtangga buruh tani yang mencapai persen dari total rumahtangga sebanyak pada tahun 1999 dan sejumlah pada tahun 2002 (BPS Jabar, 1999 dan 2002). Sedangkan proporsi pengusaha pertanian hanya persen pada tahun 1999 dan 8.24 persen pada tahun 2002, dan kelompok rumahtangga bukan pertanian golongan atas baik di desa maupun di kota jumlahnya sangat kecil yakni hanya persen. Penelitian ini mencoba melihat bagaimana perbedaan produktivitas tenaga kerja antar sektor ekonomi mempengaruhi ketimpangan pendapatan. Tabel 11 menyajikan hasil estimasi persamaan Gini Ratio. Tabel 11. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Gini Ratio Variable Parameter Standard Error Prob > T Elastisitas SR LR INTERCEP PRDA PRDI PRDJ Prob>F Adj R 2 = DW = Untuk persamaan GR tidak dapat dihitung elastisitas jangka panjangnya karena di persamaan ini tidak terdapat variabel lag GR. Dilihat dari nilai t-hitung variabel produktivitas tenaga kerja sektor pertanian tidak signifikan mempengaruhi GR, namun tanda sesuai dugaan. Produktivitas tenaga kerja sektor jasa memiliki tanda positif dengan angka elastisitas paling tinggi diantara produktivitas tenaga kerja sektor lainnya. Kenaikan produktivitas tenaga kerja sektor jasa sebesar 1 persen akan menaikan GR sebesar 0.17 persen. Artinya, semakin produktif tenaga kerja di sektor jasa semakin timpang distribusi pendapatan di Jawa Barat. Sementara kenaikan produktivitas tenaga kerja sektor

112 90 pertanian dan industri pengolahan dapat memperbaiki ketimpangan pendapatan sekalipun responsifnya sangat rendah. Temuan ini sejalan dengan hasil pendugaan di persamaan-persamaan sebelumnya bahwa hanya di output sektor jasa, tenaga kerja memberikan respon paling tinggi terhadap output Parameter Persamaan Tingkat Kemiskinan Untuk memperdalam analisa kondisi sosial ekonomi, dibuat persamaan tingkat kemiskinan yang melengkapi GR. Hasil pendugaan parameter dan tingkat signifikansi pada persamaan tingkat kemiskinan disajikan dalam Tabel 12. Tabel 12. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Tingkat Kemiskinan Variable Parameter Standard Prob > T Elastisitas Error SR LR INTERCEP PDRB UN PP LKp LPR Prob>F Adj R 2 = DW = Berdasarkan hasil estimasi menunjukan bahwa seluruh variabel bebas memiliki pengaruh pada taraf 10 persen kecuali LKp. Keberadaan LKp ternyata tidak memiliki pengaruh terhadap tingkat kemiskinan. Meskipun demikian memiliki tanda sesuai dugaan bahwa jika LK meningkat terdapat kecenderungan meningkatkan kemiskinan. Tingkat kemiskinan adalah rasio jumlah penduduk miskin terhadap total penduduk di Jawa Barat, sehingga besarannya akan sangat terkait dengan dinamika penduduk. Hasil estimasi memperlihatkan variabel pertumbuhan penduduk (PP) paling responsif terhadap kemiskinan, bahwa jika PP naik 0.5

113 91 persen maka kemiskinan akan naik sebesar 0.23 persen dalam jangka pendek dan 0.87 persen dalam jangka panjang. Sementara kenaikan PDRB sebesar 1 persen akan menurunkan tingkat kemiskinan sebesar 0.22 persen dalam jangka pendek dan 0.82 persen dalam jangka panjang. Dengan demikian peningkatan PDRB diharapkan terjadi dalam angka yang cukup besar agar bisa menurunkan kemiskinan secara signifikan. Peningkatan PDRB pun akan menurunkan tingkat pengangguran, dan hasil estimasi untuk variabel pengangguran memperlihatkan tanda positif bahwa jika pengangguran turun kemiskinan akan berkurang Parameter Persamaan Lahan Kritis Per Kapita Pertumbuhan ekonomi dan kondisi sosial ekonomi yang telah dicapai Jawa Barat selama kurun waktu 34 tahun berdampak pula pada kondisi lingkungan. Perubahan fungsi lahan dari pertanian menjadi kawasan non pertanian tidak bisa dihindari, diikuti dengan meluasnya LKp. Hasil pendugaan parameter dan tingkat signifikansi pada persamaan LKp disajikan dalam Tabel 13. Diantara seluruh variabel bebas ternyata pertambangan dan penggalian memiliki tingkat signifikansi yang paling tinggi dengan tanda sesuai dugaan, bahwa jika output sektor ini naik akan meningkatkan LKp. Maraknya penggalian galian tipe C di kaki-kaki gunung, seperti di kaki Gunung Tampomas Kabupaten Sumedang tepatnya di Kecamatan Cimalaka, Paseh dan Conggeang, kaki Gunung Ciremai Kabupaten Majalengka, kaki Gunung Masigit Kabupaten Bandung, Kecamatan Sumber Kabupaten Cirebon, Cipamingkis Kabupaten Bogor, Warungkondang di Kabupaten Cianjur dan Cimangkok di Kabupaten Sukabumi merupakan bukti meluasnya LKp.

114 92 Tabel 13. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Lahan Kritis Per Kapita Variable Parameter Standard Error Prob > Elastisitas T SR LR INTERCEP TG PR GR DLK ED LLKp Prob>F Adj R 2 = DW = Hal ini bisa terjadi karena banyaknya pengusaha pertambangan dan penggalian yang tidak melakukan reklamasi lahan, sehingga area bekas pertambangan dan penggalian menjadi kubangan atau lahan gersang. Dalam jangka panjang sektor pertambangan dan penggalian sangat elastis, bahwa setiap kenaikan output sektor ini sebesar 1 persen akan menaikan LKp sebesar 1.7 persen. Kemiskinan dan ketimpangan pendapatan pun berhubungan positif dengan LKp, bahwa memburuknya kondisi sosial ekonomi akan berdampak pada meningkatnya LKp. Masyarakat yang miskin secara materi yang ditunjukkan dengan rendahnya pendapatan dapat mendorong perilaku menebang pohon secara ilegal, menanam sesuatu yang cepat menghasilkan seperti sayuran di lahan yang curam tanpa menerapkan teknik konservasi dengan benar. Kenyataan saat ini dimana harga minyak tanah sangat tinggi, membuat masyarakat perdesaan yang kurang mampu menebangi pohon untuk dijadikan kayu bakar. Banyak pula petani kecil yang menanam hortikultura ke lereng-lereng bukit dengan terlebih dahulu menebangi pohon-pohonnya (hasil survei dan interview di daerah Kabupaten Bandung dan Majalengka).

115 93 GR paling responsif terhadap perubahan LKp baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Setiap kenaikan GR sebesar 1 persen akan menaikan LKp sebesar 0.4 persen dalam jangka pendek dan 2.1 persen dalam jangka panjang. Makna ketimpangan pendapatan dapat diperluas sebagai ketimpangan kekuasaan yang bisa memunculkan pressure group yang cenderung berperilaku sesuai keinginannya tanpa mengindahkan kepentingan masyarakat banyak melalui lobi-lobi politik. Hal ini tercermin pada sering tidak konsistennya pelaksanaan Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) ketika ada pemilik modal besar menginginkan kegiatan aktivitas ekonomi di lokasi yang bukan peruntukannya. Hasil estimasi dummy kebijakan ternyata tidak signifikan, artinya ada kebijakan atau tidak sama saja. Sebenarnya dengan adanya kebijakan tersebut cenderung akan menurunkan luas lahan kritis, sekalipun responnya sangat rendah. Hal ini menunjukan bahwa pelaksanaan kebijakan pengendalian luas lahan kritis kurang berjalan efektif. Dengan demikian perlu peningkatan komitmen pelaksanaan kebijakan secara serius untuk mengatasi lahan kritis. Luas lahan kritis terkait pula dengan sejauhmana pengetahuan, pemahaman dan kepedulian masyarakat terhadap dampak dari lahan kritis. Ketika terdapat kepedulian yang tinggi, ini akan menjadi kontrol terhadap perilaku yang berdampak terhadap meluasnya lahan kritis. Sebaliknya jika kurang peduli dan ketidakpedulian meluas, maka aktivitas perusakan lahan menjadi sulit dikendalikan. Untuk menangkap fenomena ini maka dalam model dimunculkan variabel rata-rata lamanya sekolah masyarakat Jawa Barat sebagai proksi terhadap tingkat kepedulian.

116 94 Hasil estimasi menunjukan bahwa variabel tersebut tidak berpengaruh terhadap luas lahan kritis namun tanda sesuai harapan. Respon tingkat kepedulian hanya sebesar 0.06 persen dalam jangka pendek dan 0.3 persen dalam jangka panjang. Berarti terdapat keterkaitan antara kebijakan dengan tingkat kepedulian bahwa dalam keadaan tingkat kepedulian yang rendah membuat implementasi kebijakan kurang efektif. Membangun kepedulian lingkungan bisa diandalkan untuk menjamin efektivitas kebijakan Persamaan Sektor Pertambangan dan Penggalian Terdapatnya variabel sektor pertambangan dan penggalian dalam model lahan kritis, menarik untuk dikaitkan lebih jauh dengan sektor bangunan, karena output dari sub sektor penggalian merupakan input utama aktivitas sektor bangunan. Dengan demikian model berikutnya adalah persamaan sektor pertambangan dan penggalian sebagai fungsi dari sektor bangunan dan dummy variabel pelaksanaan otonomi daerah. Sejak otonomi daerah pengurusan ijin penambangan galian C dilakukan di kabupaten masing-masing. Terdapat kecenderungan banyak kabupaten yang meningkatkan target Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari sub sektor ini sehingga banyak mengeluarkan ijin penambangan. Hasil pendugaan parameter dan tingkat signifikansi pada persamaan sektor pertambangan dan penggalian disajikan dalam Tabel 14. Hasil estimasi menunjukkan bahwa kedua variabel kurang respon terhadap output sektor pertambangan dan penggalian. Dalam hal ini permintaan terhadap output sektor penggalian merupakan derived demand dari produksi sektor bangunan.

117 95 Tabel 14. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Output Sektor Pertambangan dan Penggalian Variable Parameter Standard Error Prob > T Elastisitas SR LR INTERCEP KN DP Prob>F Adj R 2 = DW = Kenaikan sektor bangunan sebsar 1 persen akan menaikan permintaan terhadap sektor penggalian sebesar 0.33 persen. Eksploitasi bahan galian setelah menjadi kewenangan kabupaten ternyata semakin mendorong output sektor ini Parameter Persamaan Sektor Bangunan Produksi sektor bangunan memiliki persamaan tersendiri yakni fungsi dari pendapatan per kapita, kredit konstruksi, dan lag sektor bangunan. Hasil estimasi persamaan sub sektor bangunan selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Sektor Bangunan Variable Parameter Standard Prob > Elastisitas Error T SR LR INTERCEP PDRB KKN LKN Prob>F Adj R 2 = DW = PDRB per kapita sebagai proksi pendapatan per kapita mendorong berkembangnya sektor bangunan yang meliputi infrastruktur, gedung-gedung perkantoran, pertokoan maupun perumahan. Hasil estimasi menunjukkan ternyata variabel pendapatan per kapita kurang responsif terhadap output sektor bangunan, jika pendapatan per kapita naik 1 persen output sektor bangunan hanya naik 0.13 persen dalam jangka pendek dan 0.32 persen dalam jangka panjang.

118 96 Demikian halnya dengan variabel kredit konstruksi menunjukan tanda yang sesuai harapan dengan elastisitas jangka pendek 0.17 bahwa setiap kenaikan kredit konstruksi perbankan sebesar 1 persen akan meningkatkan output sektor bangunan sebesar 0.17 persen dalam jangka pendek dan 0.43 persen dalam jangka panjang Estimasi Parameter Persamaan TDS Per Kapita Setelah persamaan lahan kritis dengan segala keterkaitannya, persamaan berikutnya yang termasuk indikator degradasi lingkungan adalah persamaan TDSp dan BODp sebagai proksi untuk pencemaran air. TDS yang mewakili pengukuran dari aspek fisika merupakan padatan terlarut total yang mencerminkan jumlah kepekatan padatan dalam air. Ahli biologi air ingin mengetahui padatan terlarut total dalam air karena dua alasan (Sastrawijaya, 2000). Pertama, untuk penentuan produktivitas yakni kemampuan mendukung kehidupan. Kedua, untuk menetapkan norma untuk air yang dimaksud. Jika terjadi penyimpangan dari norma, maka kemungkinan ada pembuangan sampah kota atau limbah industri secara liar. Hasil estimasi persamaan TDSp selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan TDSp Variable Parameter Standard Prob > Elastisitas Error T SR LR INTERCEP PDRB GR DLA ED LTDSp Prob>F Adj R 2 = DW = 1.785

119 97 Variabel PDRB per kapita sebagai proksi pendapatan per kapita memiliki pengaruh terhadap jumlah TDS per kapita dengan tanda positif. Artinya, peningkatan pendapatan per kapita masih berdampak pada meningkatnya degradasi lingkungan. Jika dikaitkan dengan EKC, kondisi ini berada pada posisi sebelum mencapai titik balik. Pendapatan per kapita ini sangat responsif terhadap TDSp, bahwa jika pendapatan naik 1 persen maka TDSp naik sebesar 1.05 persen dalam jangka pendek dan 1.68 persen dalam jangka panjang. Hal ini mengisyaratkan bahwa aktivitas produksi yang menghasilkan output dan limbah harus diubah dengan pola produksi ramah lingkungan. TDS terkait dengan zat-zat beracun sebagai residu dari kegiatan produksi sektor industri pengolahan. TDS pun terkait dengan pembuangan dari limbah domestik seperti hotel, restoran, rumah sakit, dan aktivitas perkantoran. Tidak semua perusahaan melakukan pengolahan limbah terlebih dahulu sebelum dibuang ke sungai. Sebelum perekonomian mengalami transformasi saja yakni tahun 1991, sedikitnya 40 industri di DAS Citarum terbukti mencemari sungai Citarum di Kawasan Bandung (Sastrawijaya, 2000). Apalagi setelah sektor industri pengolahan mendominasi struktur ekonomi Jawa Barat. Sebagaimana dibahas dari awal, sejak tahun 1993 Jawa Barat sudah menjadi wilayah industri. Dominasi ini tidak lepas dari banyaknya kawasan industri yang berada di Jawa Barat sebagaimana bisa dilihat pada Tabel 17. Sementara jika dilihat dari jumlah, terdapat industri di Jawa Barat yang didominasi oleh industri pakaian, tekstil, logam, kulit, makanan dan minuman, kayu, mineral, dan furniture. Distribusi jumlah industri per kabupaten/kota dapat dilihat pada Tabel 18.

120 98 Tabel 17. Daftar Kawasan Industri di Jawa Barat Tahun 2002 No Nama Kawasan Industri Lokasi 1 Kujang Industrial Estate Cikampek 2 Cikarang Industrial Estate Bekasi 3 Bekasi International Industrial Estate Bekasi 4 MM 2100 Industrial Town Bekasi 5 Bukit Indah City Karawang-Purwakarta 6 East Jakarta Industrial Park Bekasi 7 Cibinong Centre Industrial Estate Bogor 8 Lippo City Bekasi 9 Great Jakarta Industrial Estate Bekasi 10 Bekasi Fajar Industrial Estate Bekasi 11 Gobel Industrial Complex Bekasi 12 Amcol Electronic Industrial Estate Bekasi 13 Mitra Industrial Estate Karawang 14 Bukit Indah Industrial Park Purwakarta 15 Karawang International Industrial City Karawang Sumber: Disperindag Jabar, 2002 dalam BPLHD, 2004 Berdasarkan Tabel 17, nampak bahwa industri Jawa Barat terkonsentrasi di Kabupaten Bogor (10.7 persen), Kabupaten Bekasi (13.5 persen), Kota Bandung (12.9 persen), dan Kabupaten Bandung (17.6 persen). Arus urbanisasi ke wilayah tersebut sangat tinggi sehingga kepadatan penduduk melebihi kewajarannya.

121 99 Tabel 18. Jumlah dan Jenis Industri Dominan di Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun 2002 Industri Dominan Total No Lokasi Jenis Industri Jumlah Buah % 1 Kabupaten Cianjur 81 Makanan/minuman Agroindustri Kabupaten Subang 26 Makanan/minuman 6 23 Kayu olahan Kabupaten Purwakarta 183 Mineral/olahan Kabupaten Majalengka 323 Mineral/olahan Kabupaten Garut 128 Kulit/olahan Kabupaten Kuningan 16 Makanan/minuman Kabupaten Indramayu 23 Makanan/minuman Kota Tasikmalaya 88 Makanan/minuman Pakaian Kabupaten 13 Makanan/minuman 9 69 Tasikmalaya 10 Kabupaten Sumedang 58 Pakaian Makanan/minuman Kabupaten Sukabumi 203 Makanan/minuman Mineral/olahan Kabupaten Karawang 222 Logam/ olahan Makanan/minuman Pakaian Kabupaten Ciamis 88 Makanan/minuman Kabupaten Bogor 487 Pakaian Logam/ olahan Makanan/minuman Kota Bogor 98 Makanan/minuman Pakaian Furniture Kota Depok 105 Makanan Pakaian Kabupaten Bekasi 618 Logam/ olahan Elektronika&Komputer Kota Bekasi 236 Pakaian Logam/ olahan Kota Cimahi 172 Pakaian Tekstil Kota Bandung 591 Pakaian Tekstil 51 9 Makanan Kabupaten Bandung 805 Pakaian Tekstil Sumber: Disperindag Jabar (2003) dalam BPLHD (2004).

122 100 Sungai yang melewati daerah tersebut adalah Sungai Cisadane, Cileungsi, Ciliwung, dan Citarum. Sebagai dampak dari industrialisasi dan padatnya penduduk, keempat sungai tersebut masuk dalam kategori sebagai sungai dengan polusi air permukaan paling tinggi di Jawa Barat. Variabel berikutnya yang muncul dalam model adalah Gini Ratio yang menunjukan kemiskinan relatif. Kemiskinan secara ekonomi ditandai dengan ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar hidup termasuk fasilitas sanitasi yang memadai. Data menunjukkan besarnya presentase rumahtangga yang penampungan tinjanya bukan septitank pada tahun 2003 mencapai persen. Persentase ini memang menurun jika dibandingkan dengan tahun 1996 yang mencapai persen (BPS Jabar). Hasil regresi memperlihatkan bahwa GR selain signifikan juga memiliki tanda sesuai dugaan. Angka elastisitas jangka pendek sebesar 0.45 menunjukan bahwa jika angka GR naik 1 persen TDSp meningkat sebesar 0.45 persen dan 0.72 persen dalam jangka panjang. Variabel dummy kebijakan memiliki tanda sesuai harapan sekalipun tidak signifikan. Taraf nyata yang rendah dimana t-statistik menunjukkan tidak ada perbedaan ketika ada kebijakan dengan tanpa ada kebijakan. Namun dengan tanda yang negatif memberi harapan jika pelaksanaan kebijakan tersebut lebih baik lagi maka jumlah TDSp akan lebih rendah. Tingkat kepedulian dalam persamaan ini memiliki tingkat signifikan yang tinggi dengan tanda negatif. Artinya, tingkat kepedulian akan sangat menentukan jumlah TDSp. Setiap terjadi peningkatan kepedulian yang ditunjukkan dengan bertambahnya rata-rata lama sekolah sebesar 1 persen maka dapat menurunkan

123 101 jumlah TDSp sebesar 0.6 persen dalam jangka pendek dan 0.96 persen dalam jangka panjang Parameter Persamaan BOD Per Kapita Untuk memperdalam masalah pencemaran air, dimunculkan parameter lain yakni BOD. BOD merupakan parameter kimia dalam menentukan kualitas air yang hanya menggambarkan bahan organik yang dapat didekomposisi secara biologis (biodegradable). Bahan organik ini dapat berupa lemak, protein, kanji (starch), glukosa, aldehida, ester, dan sebagainya. Dekomposisi selulosa secara biologis berlangsung relatif lambat. Bahan organik merupakan hasil pembusukan tumbuhan dan hewan yang telah mati atau hasil buangan limbah domestik dan industri. Hasil estimasi persamaan BODp selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 19. Tabel 19. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan BODp Variable Parameter Standard Error Prob > T Elastisitas SR LR INTERCEP PDRB PR GR DLA ED LBOD Prob>F Adj R 2 = DW = Sama halnya dengan persamaan TDSp, dalam persamaan ini pun PDRB sebagai proksi pendapatan per kapita memiliki tingkat signifikan yang tinggi dengan tanda positif. Artinya, pertumbuhan ekonomi di Jawa Barat cenderung berdampak pada semakin tingginya pencemaran air. Total output BOD yang dihasilkan dari beberapa sektor di Jawa Barat terutama bersumber dari sektor

124 102 pertanian dan manufaktur. Tingginya kadar BOD yang dihasilkan dari sektor pertanian merupakan hasil pembusukan materi organik pada hasil-hasil pertanian. Sedangkan dari industri manufaktur tingginya BOD dihasilkan dari limbah yang mengandung bahan organik tinggi. Angka elasitistasnya untuk jangka pendek mendekati 1 bahwa setiap kenaikan PDRB sebesar 1 persen akan menaikan BOD sebesar 0.97 persen dan 2.96 persen dalam jangka panjang. Temuan untuk kedua kasus pencemaran air memperkuat dugaan bahwa aktivitas ekonomi yang tercermin dengan meningkatnya PDRB sangat menentukan pencemaran air. Sama halnya dengan persamaan TDSp, dalam persamaan BODp pun variabel kemiskinan (PR) berdampak positif bahwa ketika kemiskinan meningkat jumlah BODp akan semakin besar. Namun angka elastisitasnya lebih besar untuk varaibel GR. Setiap kenaikan GR sebesar 1 persen akan menaikan BODp sebesar 0.28 persen dalam jangka pendek dan 0.86 persen dalam jangka panjang. Variabel kebijakan memiliki tingkat signifikan yang sangat rendah. Temuan ini semakin memperkuat dugaan bahwa implementasi kebijakan pengendalian pencemaran air belum berjalan efektif. Sementara hasil estimasi untuk variabel tingkat kepedulian yang diproxy dengan rata-rata lamanya sekolah masyarakat Jawa Barat, ternyata signifikan pada taraf 20 persen dengan tanda sesuai harapan. Besarnya elastisitas untuk variabel ini cukup besar yakni 0.63 persen dalam jangka pendek dan 1.93 persen untuk jangka panjang, bahwa dalam jangka panjang setiap kenaikan tingkat kepedulian lingkungan sebesar 1 persen akan menurunkan BODp sebesar 1.93 persen. Respon ini memberi peluang bahwa upaya peningkatan kepedulian lingkungan akan memberikan efek positif pada perbaikan lingkungan.

125 Parameter Persamaan CO Persamaan berikutnya yang mewakili degradasi lingkungan adalah pencemaran udara yang diproksi dengan variabel CO dan CO2 per kapita. Sekalipun dari perspektif hak kepemilikan ada persamaan antara pencemaran udara dengan pencemaran air, namun ada beberapa karakteristik yang membedakannya. Pencemaran udara yang merupakan public bads karena kerugian yang diderita seseorang tidak mengurangi kerugian pihak lainnya, keberadaannya sulit diketahui dengan kasat mata kecuali tingkat pencemarannya sudah parah. Sifatnya yang bergerak sesuai arah angin bertiup, menyulitkan pengukuran secara akurat dan menentukan dengan tepat volume dari point sources yang diketahui seperti industri pengolahan dan sektor penggalian. Karena penumpukan jumlah CO sangat terkait dengan mobilitas kendaraan, maka semakin sulit mengidentitikasi siapa yang paling bertanggungjawab. Oleh karena itu, pencemaran udara sering dikategorikan sebagai eksternalitas publik. Hasil estimasi persamaan CO selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 20. Tabel 20. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan CO Variable Parameter Standard Error Prob > T Elastisitas SR LR INTERCEP YT DLU ED LCO Prob>F Adj R 2 = DW = Sama halnya dengan persamaan degradasi lingkungan sebelumnya, pendapatan per kapita dalam persamaan CO pun memiliki tingkat signifikan yang tinggi dengan tanda sesuai dugaan, bahwa jika pendapatan per kapita naik dapat

126 104 meningkatkan jumlah CO. Artinya, pembangunan ekonomi yang sudah dan tengah berlangsung di Jawa Barat memiliki dampak negatif terhadap kualitas udara. Fenomena ini nampaknya akan terus berlangsung karena pendapatan per kapita masih tergolong rendah. Pengalaman negara-negara maju menunjukkan bahwa turning point untuk polusi udara yakni SO dan CO antara $3 000 dan $ Dalam jangka pendek PDRB per kapita tidak responsif terhadap jumlah CO, namun dalam jangka panjang sangat responsif bahwa setiap kenaikan PDRB per kapita sebesar 1 persen akan menaikan CO sebesar 3.37 persen. Jumlah polutan CO sangat terkait dengan aktivitas sektor industri pengolahan dan mobilitas alat angkut yang menggunakan bahan bakar minyak. Fenomena naiknya pendapatan per kapita yang diikuti oleh naiknya CO bisa dipahami karena semakin tinggi pendapatan akan mendorong tingkat konsumsi dan mobilitas semakin meningkat. Di sisi lain, udara merupakan SDA yang open access, bergerak lintas wilayah administrasi, dan ketika tercemar tidak terasa langsung dampak negatifnya waktu itu juga. Hasil estimasi variabel dummy kebijakan pengendalian pencemaran udara menunjukkan tanda yang sesuai dugaan namun tidak signifikan. Seperti sudah disinggung dari awal, jenis pencemaran udara memiliki karakteristik tersendiri sebagai eksternalitas publik sehingga dimungkinkan kebijakan tidak akan berpengaruh. Eksistensi kebijakan yang ada pun tidak sebanyak kebijakan penanganan lahan kritis dan sangat bias pada tipe CAC. Angka elastisitasnya sangat rendah yakni 0.06 persen untuk jangka pendek dan 0.05 persen untuk jangka panjang.

127 105 Sementara variabel tingkat kepedulian yang diproksi dengan rata-rata lamanya sekolah signifikan pada taraf 20 persen dengan tanda sesuai dugaan, bahwa jika tingkat kepedulian meningkat jumlah CO akan berkurang. Tingkat kepedulian ini sangat respon dalam jangka panjang bahwa setiap kenaikan tingkat kepedulian sebesar 1 persen akan menurunkan jumlah CO sebesar 3.99 persen Parameter Persamaan CO2 Per Kapita Untuk melengkapi analisa tentang pencemaran udara, maka dibuat persamaan CO2 per kapita. Pembakaran bahan fosil dapat meningkatkan konsentrasi CO2 di bumi. Sekalipun tidak beracun seperti halnya CO tetapi CO2 dapat berakibat menaikan suhu bumi. Mengingat karakteristik yang tidak jauh antara CO dan CO2 maka variabel bebas yang dimasukan persis sama. Hasil estimasi persamaan CO2 per kapita selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 21. Tabel 21. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan CO2p Variable Parameter Standard Error Prob > T Elastisitas SR LR INTERCEP YT DLU ED LCO2p Prob>F Adj R 2 = DW = PDRB per kapita sebagai proksi untuk pendapatan per kapita memiliki signifikan yang tinggi dengan tanda positif. Besarnya angka elastisitas untuk jangka panjang sangat elastis, bahwa kenaikan pendapatan per kapita sebesar 1 persen akan meningkatkan CO2p sebesar 3.7 persen.

128 106 Variabel dummy kebijakan pengendalian pencemaran dalam persamaan ini pun sama dengan persamaan CO memiliki tingkat signifikan yang rendah, namun tanda sesuai dugaan. Untuk variabel tingkat kepedulian, ternyata di persamaan CO2 per kapita signifikan pada taraf 1 persen dengan tanda sesuai dugaan. Artinya, jika tingkat kepedulian meningkat yang tercermin pada bertambahnya rata-rata lamanya sekolah 1 tahun maka jumlah CO2 per kapita akan berkurang sebesar 0.99 persen. Variabel ini sangat elastis dalam jangka panjang, jika tingkat kepedulian ini meningkat 1 persen maka dapat menurunkan jumlah CO2p sebesar 4.6 persen Hasil Validasi Model Validasi model bertujuan untuk melihat apakah nilai pendugaan model sesuai dengan nilai aktual dari variabel endogen. Validasi model dilakukan melalui simulasi dasar selama periode Sesuai penjelasan di metode penelitian, kriteria validasi yang digunakan adalah RMSE, RMSPE dan U-Theil. Nilai U-Theil menggambarkan kemampuan suatu model untuk menganalisa simulasi historis dan simulasi peramalan. Sedangkan nilai RMSPE adalah nilai yang menunjukan seberapa jauh nilai dugaan variabel endogen menyimpang terhadap nilai aktualnya. Besaran ketiga kriteria tersebut disajikan dalam Tabel 22. Hasil simulasi historis diperoleh angka U Theil yang sangat rendah dimana sebagian besar bernilai 1 ke bawah kecuali untuk CO2p yang bernilai 2. Hal ini menunjukan bahwa model yang dibangun mendekata kondisi aktualnya. Demikian halnya nilai RMSE, 10 persamaan memiliki nilai di bawah 22%.

129 107 Tabel 22. Nilai RMSE, RMSPE dan U-Theil No Variabel Keterangan RMSE RMSPE U THEIL (%) 1 AGRO Sektor Pertanian INDS Sektor Industri JASA Sektor Jasa GR Gini Rasio PR Jumlah Penduduk Miskin LKp Lahan Kritis Perkapita TG Tambang dan Galian KN Kontruksi TDSp Total Dissolved Solid/kapita BODp Biologi oxigen demand/kapita CO Carbon Monoksida CO2p Carbon Dioksida/kapita PDRB Produk Domestik Regional Bruto YT PDRB/kapita SA Pangsa Pertanian SI Pangsa Industri SJ Pangsa Jasa-Jasa PRDA Produktivitas TK Pertanian PRDI Produktivitas TK Industri PRDJ Produktivitas TK Jasa-Jasa Untuk membuktikan ukuran-ukuran tersebut di Tabel 23 disajikan nilai rata-rata dan standar deviasinya baik nilai aktual maupun nilai prediksi hasil simulasi historis periode Berdasarkan informasi di Tabel 23 tampak bahwa diantara kedua nilai tersebut sebagian besar variabel memiliki nilai ratarata yang berdekatan. Dengan demikian dapat diartikan bahwa model makroekonomi-lingkungan yang dibangun cukup memadai untuk menganalisa simulasi historis dan simulasi peramalan.

130 108 Tabel 23. Nilai Rata-Rata dan Standar Deviasi dari Data Aktual dan Prediksi No Variabel Keterangan AKTUAL PREDIKSI Rata-rata Std Rata-rata Std 1 AGRO Sektor Pertanian INDS Sektor Industri JASA Sektor Jasa GR Gini Rasio Persentase Penduduk PR Miskin Lahan Kritis LKp Perkapita TG Tambang dan Galian KN Kontruksi Total Dissolved Solid TDSp percapita Biologi oxigen BODp demand percapita CO Carbon Monoksida Carbon Dioksida CO2p perkapita Produk Domestik PDRB Regional Bruto 1.14E E YT PDRB/kapita SA Pangsa Pertanian SI Pangsa Industri SJ Pangsa Jasa-Jasa Produktivitas TK PRDA Pertanian Produktivitas TK PRDI Industri Produktivitas TK PRDJ Jasa-Jasa Substansi Hasil Estimasi Berdasarkan ke-12 persamaan perilaku terdapat lima isu utama, yakni: 1. Terdapat perbedaan perilaku antara output sektor pertanian, sektor industri pengolahan dan sektor jasa terkait dengan pemanfaatan inputnya. Variabel lahan merupakan variabel yang paling responsif terhadap output sektor pertanian baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Kredit investasi lebih responsif dibandingkan dengan tenaga kerja terhadap output sektor industri pengolahan. Sedangkan dalam produksi sektor jasa variabel tenaga

131 109 kerja paling responsif terhadap output sektor jasa baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Temuan ini konsisten dengan karakteristik masingmasing sektor bahwa sektor pertanian merupakan sektor yang berbasis lahan, relatif peka terhadap perubahan luas lahan. Sedangkan sektor industri pengolahan bersifat padat modal, kenaikan kredit perbankan di sektor ini memberikan pengaruh paling tinggi. Sementara sektor jasa yang padat ilmu pengetahuan dan teknologi terkait dengan penggunaan tenaga kerja yang berkualitas, sehingga perubahan penggunaan tenaga kerja di sektor ini memberikan peranan dominan. 2. Kondisi sosial ekonomi yang ditunjukan oleh angka Gini Rasio dan tingkat kemiskinan kurang responsif terhadap tingkat pencemaran air baik jangka pendek maupun jangka panjang, hanya variabel GR terhadap luas lahan kritis per kapita yang elastis dalam jangka panjang. 3. Terdapat perbedaan perilaku pula antara luas lahan kritis per kapita (LKp) dengan pencemaran air dan pencemaran udara. Distribusi pendapatan paling responsif terhadap perubahan LK baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Output sektor pertambangan dan penggalian pun cukup responsif. Sedangkan untuk kasus pencemaran air, pertumbuhan ekonomi dan tingkat kepedulian lebih responsif terhadap BODp dan TDSp. Demikian halnya untuk kasus pencemaran udara, yang lebih responsif terhadap perubahan CO dan CO2p adalah tingkat kepedulian dan pertumbuhan ekonomi. 4. Kualitas lingkungan kurang responsif terhadap output sektor-sektor ekonomi. Artinya, lingkungan Jawa Barat masih memiliki daya dukung untuk menopang seluruh aktivitas masyarakat. Meskipun demikian daya dukung tersebut

132 110 memiliki keterbatasan sehingga kualitas lingkungan tetap membutuhkan perhatian. 5. Kebijakan lingkungan tidak responsif terhadap seluruh indikator lingkungan. Artinya, implementasi kebijakan lingkungan tidak berjalan efektif sehingga tidak memberikan dampak pada perbaikan kualitas lingkungan.

133 111 Daftar Isi Bab 5 : V HASIL ESTIMASI DAN PEMBAHASAN Perubahan Struktur Ekonomi: P ersamaan Output dan Share Sektor Pertanian, Sektor Industri Pengolahan dan Sektor Jasa Distribusi Pendapatan dan Kemiskinan: Persamaan Gini Ratio dan Jumlah Penduduk Miskin... Error! Bookmark not defined. 5.3 Degradasi Lingkungan: Persamaan Luas Lahan Kritis Per Kapita (LKP), Persamaan Sub Sektor Penggalian, Persamaan Sektor Bangunan, Persamaan TDS Per Kapita (TDSP), BOD Per Kapita (BODP), CO Per Kapita (COP) dan CO2 Per Kapita (CO2P)... Error! Bookmark not defined. Tabel3.Hubungan antar Peubah dan Tanda Koefisien dari Model Makroekonomi Lingkungan Jawa Barat dengan Menggunakan Metode 2SLS Error! Bookmark not defined. Tabel 4. Distribusi Output dan Tenaga Kerja Per Sektor Ekonomi di Jawa Barat Periode Tabel 5. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Output Sektor Pertanian Error! Bookmark not defined.

134 112 Tabel 6. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Output Sektor Industri Pengolahan... Error! Bookmark not defined. Tabel 7. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Output Sektor Jasa Error! Bookmark not defined. Tabel 8. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Share Sektor Pertanian Error! Bookmark not defined. Tabel 9. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Share Sektor Industri Pengolahan... Error! Bookmark not defined. Tabel 10. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Share Sektor Jasa.. Error! Bookmark not defined. Tabel 11. Distribusi Pendapatan Diantara Kelompok Rumah Tangga Tahun 1999 dan 2002 (Juta rupiah) Tabel 12. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Gini Ratio Tabel 13. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Jumlah Persentase Miskin 90 Tabel 14.Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Luas Lahan Kritis Per Kapita... Error! Bookmark not defined. Tabel 15. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Sub Sektor Penggalian. 94 Tabel 16. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Sub Sektor Bangunan. 95 Tabel 17. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan TDSPError! Bookmark not defined. Tabel 18. Daftar Kawasan Industri di Jawa Barat Tabel 19. Jumlah dan Jenis Industri Dominan di Kabupaten/Kota di Jawa Barat 99

135 113 Tabel 20. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan BODP Tabel 21. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan CO Per Kapita... Error! Bookmark not defined. Tabel 22. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan CO2 Per Kapita... Error! Bookmark not defined. Tabel 23. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Pendapatan Per Kapita Error! Bookmark not defined.

136 VI. DAMPAK PERTUMBUHAN EKONOMI DAN KEMISKINAN TERHADAP DEGRADASI LINGKUNGAN Berdasarkan hasil estimasi parameter 12 persamaan perilaku yang disajikan dalam Bab V dapat ditarik substansi temuan empiris bahwa, pertumbuhan ekonomi adalah faktor dominan penentu degradasi lingkungan di Jawa Barat. Hal ini tercermin pada besarnya angka elastisitas setiap parameter perkembangan output ekonomi terhadap lahan kritis per kapita, BODp, TDSp, CO dan CO2p. Sedangkan kondisi sosial ekonomi yang ditunjukan oleh angka Gini Rasio dan tingkat kemiskinan kurang responsif terhadap tingkat pencemaran air baik jangka pendek maupun jangka panjang, hanya variabel GR terhadap luas lahan kritis per kapita yang elastis dalam jangka panjang. Melalui simulasi historis dengan skenario yang sudah diungkapkan dalam Bab IV akan dibuktikan bagaimanakah dampak dari pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan terhadap degradasi lingkungan Pengaruh Kenaikan PDRB Variabel PDRB didahulukan sebagai variabel yang mengalami perubahan karena perubahan kualitas lingkungan dalam perspektif ekonomi lingkungan terjadi karena adanya aktivitas ekonomi untuk memenuhi kebutuhan penduduknya. PDRB merupakan total produksi barang dan jasa yang diproduksi oleh masyarakat yang ada di suatu wilayah selama kurun waktu tertentu. Dari sisi lapangan usaha PDRB mencakup 9 sektor ekonomi, yakni sektor primer, sekunder dan tersier. Proses

137 113 produksi sektor sekunder yakni industri pengolahan yang mengolah bahan-bahan mentah disinyalir banyak menimbulkan limbah yang kembali ke alam. Dengan menaikan nilai variabel PDRB secara bertahap mulai dari sebesar 1 persen kemudian 2 persen dan 3 persen dari nilai aktualnya, ternyata memiliki dampak berantai ke seluruh variabel endogen dalam model ini sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 24. Simulasi historis ini menggunakan model yang telah diuji validasinya dan menggunakan data historis dari tahun Tabel 24. Simulasi Historis Dampak Kenaikan PDRB Terhadap Makroekonomi- Lingkungan Jawa Barat Variabel Keterangan Kenaikan PDRB 1% 2% 3% AGRO Sektor Pertanian INDS Sektor Industri JASA Sektor Jasa GR Gini Rasio PR Jumlah Penduduk Miskin LK Lahan Kritis Perkapita TG Tambang dan Galian KN Kontruksi TDSP Total Dissolved Solid percapita BODP Biologi oxigen demand percapita COP Carbon Monoksida CO2P Carbon Dioksida perkapita Yt PDRB/kapita SA Pangsa Pertanian SI Pangsa Industri SJ Pangsa Jasa-Jasa PRDA Produktivitas TK Pertanian PRDI Produktivitas TK Industri PRDJ Produktivitas TK Jasa-Jasa Berdasarkan hasil simulasi nampak bahwa kenaikan PDRB sebesar 1 persen berdampak pada naiknya seluruh output sektor ekonomi. Peningkatan tersebut terjadi

138 114 melalui transmisi PDRB per kapita yang naik sebesar 1 persen dan indikator kualitas lingkungan. Karena terdapat indikator kualitas lingkungan yang berdampak positif terhadap output sektor ekonomi, maka ketika estimasi parameter tersebut meningkat sebagai dampak dari naiknya PDRB per kapita akan mendorong peningkatan output. Pengaruh ini ternyata mendominasi estimasi parameter indikator kualitas lingkungan lainnya yang memiliki arah negatif. Industri pengolahan paling tinggi diantara sektor ekonomi lainnya yakni mencapai 2.16 persen sehingga berdampak pada meningkatnya pangsa sektor ini dalam PDRB Jawa Barat sebesar 1.47 persen. Hal ini bersumber dari peningkatan C02p ketika PDRB per kapita naik. Kenaikan output sektor industri pengolahan meningkatkan produktivitas tenaga kerjanya sampai 2.38 persen. Selanjutnya peningkatan produktivitas tenaga kerja di sektor industri pengolahan ini dapat memperbaiki ketimpangan pendapatan, tercermin pada turunnya angka GR sebesar 0.09 persen. Penurunan angka GR disumbang pula oleh meningkatnya produktivitas tenaga kerja sektor pertanian sebagai dampak dari naiknya output sektor pertanian yang lebih besar dari sektor jasa. Meningkatnya PDRB sebesar 1 persen berdampak pula pada turunnya tingkat kemiskinan sebesar 0.71 persen. Berdasarkan gambaran dampak berantai dari kenaikan PDRB terhadap output sektor ekonomi melalui peningkatan PDRB per kapita dan indikator kualitas lingkungan sudah nampak bahwa peningkatan PDRB sebesar 1 persen memperburuk kualitas lingkungan kecuali lahan kritis per kapita. Hal ini tercermin dengan naiknya

139 115 TDSp sebesar 1.54 persen dan BODp 2.24 persen. Jumlah CO dan CO2p juga meningkat masing-masing sebesar 2.13 persen dan 2.94 persen. Namun tidak demikian untuk lahan kritis, ternyata LKp turun sebesar 0.83 persen. Penurunan ini tidak lepas karena pengaruh dari turunnya variabel kemisinan dan GR. Penurunan angka kemiskinan dan GR ini dapat mengeliminir kenaikan output sektor pertambangan dan penggalian yang mencapai 0.1 persen. Sebenarnya dalam persamaan indikator kualitas lingkungan lainnya juga terdapat variabel kemiskinan dan GR, namun karena kuatnya pengaruh peningkatan PDRB per kapita sehingga tetap menambah jumlah CO, CO2p, TDSp dan BODp. Namun jika kemiskinan dan ketimpangan pendapatan (Gini Ratio) dianggap eksogen, ternyata dampak dari pertumbuhan ekonomi sebesar 1 persen tidak berpengaruh terhadap LKP sementara kenaikan BODp dan TDSp lebih besar lagi. Hal ini terbukti dari hasil simulasi ketika variabel kemiskinan dianggap eksogen seperti yang bisa dilihat pada Tabel 25. Artinya, pertumbuhan ekonomi saja belum bisa diandalkan untuk mengatasi lahan kritis. Ketika ekonomi tumbuh yang tidak berpengaruh terhadap kemiskinan, luas lahan kritis relatif tetap sementara jumlah BODp dan TDSp semakin besar. Padahal ketika kemiskinan bersifat endogen, pertumbuhan ekonomi berdampak pada turunnya kemiskinan, luas lahan kritis per kapita turun dan kenaikan jumlah BODp serta TDSp lebih rendah. Jadi penurunan jumlah penduduk miskin secara langsung dapat mengendalikan luas lahan kritis per kapita dan juga jumlah BODp dan TDSp.

140 116 Tabel 25. Simulasi Historis Dampak Kenaikan PDRB Terhadap Makroekonomi- Lingkungan Jawa Barat Jika Kemiskinan dan Ketimpangan Pendapatan Eksogen Variable Keterangan Nilai PDRB Naik 1% Dasar Nilai % AGRO Sektor Pertanian INDS Sektor Industri JASA Sektor Jasa LKP Lahan Kritis Perkapita TG Tambang dan Galian KN Kontruksi TDSP Total Dissolved Solid percapita BODP Biologi oxigen demand percapita CO Carbon Monoksida CO2P Carbon Dioksida perkapita YT PDRB per kapita SA Pangsa Pertanian SI Pangsa Industri SJ Pangsa Jasa-Jasa PRDA Produktivitas TK Pertanian PRDI Produktivitas TK Industri PRDJ Produktivitas TK Jasa-Jasa Dengan demikian kunci mengatasi lahan kritis adalah melalui perbaikan tingkat pendapatan masyarakat. Semakin rendah tingkat kemiskinan semakin terkendali luas lahan kritis per kapita. Hasil studi empiris ini sesuai dengan fakta di lapangan yakni lokasi survey di Kecamatan Arjasari dan Rongga Kabupaten Bandung dimana sebagian besar masyarakatnya miskin dan merupakan daerah lahan kritis terluas di Kabupaten Bandung. Karena alasan untuk mempertahankan hidup mereka terpaksa bercocok tanam sayuran di lahan yang kemiringannya lebih dari 35 derajat dan memangkas pohon-pohon tinggi yang dianggap mengahalangi penyinaran ke tanaman mereka. GRLK yang dicanangkan Pemerintah Propinsi Jawa Barat pada tahun 2003 melalui pola pemberdayaan masyarakat sekitar lahan kritis perlu lebih

141 117 diintensifkan agar secara perlahan pendapatan mereka meningkat dan semakin peduli akan konservasi lahan.kenaikan PDRB 2 persen dan 3 persen memiliki dampak linier yang semakin tinggi terhadap seluruh variabel endogen. Artinya nilai-nilai variabel tersebut berubah apakah naik atau turun sesuai perubahannya sebesar dua kali lipat untuk kenaikan PDRB sebesar 2 persen dan tiga kali lipat untuk kenaikan PDRB sebesar 3 persen Pengaruh Kenaikan Tingkat Kemiskinan dan Ketimpangan Pendapatan Dalam skenario yang pertama tentang dampak pertumbuhan ekonomi dengan menganggap variabel kemiskinan dan ketimpangan pendapatan eksogen terbukti bahwa kemiskinan turut memperburuk kualitas lingkungan. Untuk lebih memperkuat temuan tersebut maka skenario selanjutnya adalah jika tingkat kemiskinan naik 0.5 persen dan ketimpangan pendapatan (GR) naik sebesar Tabel 26 menunjukan bagaimana dampaknya terhadap makroekonomi-lingkungan Jawa Barat. Berdasarkan hasil simulasi nampak bahwa ketika tingkat kemiskinan naik 0.5 persen dan GR naik 0.02 dapat menurunkan tingkat output seluruh sektor ekonomi, sehingga PDRB dan PDRB per kapita pun menurun. Artinya, tingkat kesejahteraan masyarakat menurun seperti ditujukan oleh turunnya PDRB per kapita sebesar 7.77 persen. Kondisi ini mendorong perambahan hutan dan eksploitasi lahan secara berlebihan. Akibatnya LKp meningkat persen yakni sebesar hektar. Dengan asumsi jumlah penduduk Jawa Barat 40 juta orang berarti kenaikan sebesar persen atau hektar ekivalen dengan hektar.

142 118 Tabel 26. Simulasi Historis Dampak Kenaikan Kemiskinan dan Ketimpangan Pendapatan Terhadap Makroekonomi-Lingkungan Jawa Barat Variable Keterangan Kenaikan PR 0.5% GR 0.02 AGRO Sektor Pertanian INDS Sektor Industri JASA Sektor Jasa LKP Lahan Kritis Perkapita TG Tambang dan Galian KN Kontruksi TDSP Total Dissolved Solid percapita BODP Biologi oxigen demand percapita CO Carbon Monoksida CO2P Carbon Dioksida perkapita PDRB Produk Domestik Regional Bruto Yt PDRB/kapita SA Pangsa Pertanian SI Pangsa Industri SJ Pangsa Jasa-Jasa PRDA Produktivitas TK Pertanian PRDI Produktivitas TK Industri PRDJ Produktivitas TK Jasa-Jasa Fakta di lapangan menunjukan bahwa ketika krisis ekonomi terjadi dan sampai saat ini dimana perekonomian belum pulih sebagaimana mestinya tekanan terhadap sumberdaya lahan dan hutan sangat mengkhawatirkan. Penjarahan hutan oleh masyarakat sebenarnya terkait dengan kelompok masyarakat yang bermodal yang memanfaatkan lemahnya perangkat hukum dan kemiskinan masyarakat sekitar. Dapat dimengerti jika kemiskinan dan ketimpangan pendapatan semakin tinggi dampaknya semakin besar. Tidak demikian untuk kasus pencemaran air dan udara, dengan turunnya output sektor ekonomi konsisten dengan skenario yang pertama, maka tingkat

143 119 pencemaran air dan udara berkurang. Nampak di tabel jumlah TDSp turun sebesar 8.07 persen, BODp turun persen, CO turun persen dan CO2p turun persen. Hal ini semakin memperkuat temuan di skenario yang pertama bahwa tingkat pencemaran air dan udara sangat dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi. Pengaruh kemiskinan dan ketimpangan pendapatan yang positif terhadap BODp dan TDSp relatif rendah sehingga tereliminir oleh pengaruh dari PDRB per kapita. Penurunan PDRB per kapita sebesar 8.13 persen sebagai akibat dari naiknya kemiskinan 0.5 persen dan GR 0.02 ternyata menimbulkan dampak terhadap turunnya indikator kualitas air dan udara dalam proporsi yang lebih besar. Untuk membuang pengaruh perubahan PDRB yang berarti pertumbuhan ekonomi dianggap eksogen, berarti kemiskinan berdampak langsung terhadap degradasi lingkungan ternyata luas lahan kritis per kapita naik dalam persentase yang lebih besar, tingkat pencemaran air pun meningkat. Hasil simulasi untuk kasus ini dapat membuktikannya sebagaimana bisa dilihat pada Tabel 27 di bawah ini. Dengan membuang pengaruh PDRB, terbukti kemiskinan turut memperburuk kualitas lingkungan yakni meningkatnya luas lahan kritis per kapita, BODp dan TDSp. Padahal kedua indikator kualitas air ini membaik jika PDRB bersifat endogen. Memperlakukan PDRB sebagai variabel eksogen di sini memperkuat hasil simulasi sebelumnya bahwa kemiskinan menentukan degradasi lingkungan.

144 120 Tabel 27. Simulasi Historis Dampak Kenaikan Kemiskinan dan Ketimpangan Pendapatan Terhadap Makroekonomi-Lingkungan Jawa Barat Jika PDRB Eksogen Variabel Keterangan Jika PDRB Eksogen Nilai Dasar Simulasi Δ % AGRO Sektor Pertanian INDS Sektor Industri JASA Sektor Jasa LKP Lahan Kritis Perkapita TG Tambang dan Galian KN Kontruksi TDSP Total Dissolved Solid percapita BODP Biologi oxigen demand percapita CO Carbon Monoksida CO2P Carbon Dioksida perkapita YT PDRB/kapita SA Pangsa Pertanian SI Pangsa Industri SJ Pangsa Jasa-Jasa PRDA Produktivitas TK Pertanian PRDI Produktivitas TK Industri PRDJ Produktivitas TK Jasa-Jasa Berdasarkan keempat skenario ini nampak bahwa penyebab utama masalah lahan kritis adalah kemiskinan dan ketimpangan pendapatan. Temuan ini mendukung pemikiran Hayami, Andersen dan studi empiris sebelumnya yang dibahas di Bab II Studi Literatur yakni studi Barros, et.al dan Grepperud. Pertumbuhan ekonomi memiliki potensi untuk mengendalikan lahan kritis jika tumbuh dalam persentase yang cukup besar (lebih dari 1 persen). Sementara penyebab utama masalah pencemaran air dan pencemaran udara adalah pertumbuhan ekonomi. Perubahan seluruh indikator kualitas air dan udara sangat responsif terhadap perubahan pertumbuhan ekonomi, artinya ketika ekonomi tumbuh 1 persen kenaikan jumlah CO,

145 121 CO2p, BODp dan TDSp lebih dari 1 persen. Kemiskinan pun turut memperburuk kualitas air. Dengan demikian masih terjadi trade off antara perkembangan lahan kritis dengan pencemaran air dan pencemaran udara ketika ekonomi tumbuh. Hal ini secara implisit mengisyaratkan bahwa menangani lahan kritis relatif lebih mudah dibandingkan dengan yang lainnya ketika ekonomi tumbuh signifikan. Fakta ini selaras dengan eksistensi tipe hak kepemilikan diantara lahan kritis dengan air dan udara, juga tipe kerusakan dan dampaknya. Lahan dimiliki secara jelas yakni pribadi (masyarakat) dan negara (Perhutani) sehingga lebih mudah dalam merancang pola dan mekanisme kebijakan, siapa sasarannya dan bagaimana aturan mainnya agar luas lahan kritis dapat berkurang. Kerusakan dapat teridentifikasi dengan mudah karena menyangkut lokasi tertentu. Dampak sangat terasa dengan munculnya banjir ketika musim hujan dan kekeringan ketika musim kemarau. Dengan demikian ketika pendapatan naik mendorong alokasi untuk konservasi lahan semakin besar. Melalui hubungan ini pula dampak kemiskinan menjadi konsisten dengan luas lahan kritis, bahwa semakin rendah kemiskinan dan ketimpangan pendapatan semakin tinggi upaya konservasi lahan. Sedangkan kasus pencemaran air dan udara terkait erat dengan sifat open access, sulit menetapkan siapa yang paling bertanggungjawab. Pencemaran air dan udara memerlukan pengukuran secara akurat untuk menentukan tingkat pencemarannya. Sifat pencemaran bisa lintas batas wilayah administrasi sehingga

146 122 mendorong sikap kurang peduli. Efek langsung tidak terasa dalam jangka pendek bahkan dimungkinkan lintas generasi. Oleh karena itu kenaikan pendapatan masih mendorong peningkatan polusi air dan udara. Skenario kenaikan dalam proporsi yang sama memiliki dampak yang linier terhadap seluruh variabel endogen bahwa perubahannya dua kali lipat dibandingkan dengan kenaikan skenario yang pertama Pengaruh Kenaikan Pertumbuhan Penduduk Pertumbuhan penduduk adalah kunci katalisator dari kemiskinan yang mengakibatkan kerusakan lingkungan terutama untuk kasus di lahan marjinal dan pembuangan kotoran ke badan air. Oleh karena itu dicoba disimulasikan kenaikan laju pertumbuhan penduduk sebesar 0.15 persen dari angka aktualnya. Dampak kenaikan pertumbuhan penduduk terhadap kondisi makroekonomi dan lingkungan Jawa Barat bisa dilihat pada Tabel 28. Kenaikan pertumbuhan penduduk sebesar 0.1 persen meningkatkan kemiskinan sebesar 2.1 persen. Selanjutnya dampak kenaikan kemiskinan ini memperburuk kualitas lingkungan. Hal ini tercermin pada luas lahan kritis per kapita yang naik 0.87 persen, jumlah TDSp naik 0.62 persen, jumlah BODp naik 1.22 persen, jumlah CO naik 0.61 persen dan jumlah CO2p naik 0.79 persen. Produktivitas lingkungan yang menurun ternyata masih mampu mendorong kenaikan output. Sektor pertanian mengalami peningkatan output tertinggi karena kenaikan BODp yang terjadi dalam persentase yang besar memiliki pengaruh dominan dibandingkan

147 123 dengan lahan kritis dan TDSp. Tabel 28. Simulasi Historis Dampak Kenaikan Pertumbuhan Penduduk 0.15% Terhadap Makroekonomi-Lingkungan Jawa Barat Variabel Keterangan Pertumbuhan Penduduk Naik 1% Naik 2% AGRO Sektor Pertanian INDS Sektor Industri JASA Sektor Jasa GR Gini Rasio PR Poverty LKP Lahan Kritis Perkapita TG Tambang dan Galian KN Kontruksi TDSP Total Dissolved Solid percapita BODP Biologi oxigen demand percapita CO Carbon Monoksida CO2P Carbon Dioksida perkapita PDRB Produk Domestik Regional Bruto YT PDRB per kapita SA Pangsa Pertanian SI Pangsa Industri SJ Pangsa Jasa-Jasa PRDA Produktivitas TK Pertanian PRDI Produktivitas TK Industri PRDJ Produktivitas TK Jasa-Jasa Kenaikan output sektor industri pengolahan dan jasa terjadi dalam persentase yang kecil sehingga berdampak pada membaiknya kondisi distribusi pendapatan. Ekonomi keseluruhan tumbuh 0.35 persen, inilah yang membuat kualitas air dan udara tetap naik.

148 Substansi Hasil Simulasi Historis Hasil simulasi historis menunjukan bahwa pertumbuhan ekonomi di Jawa Barat yang seiring dengan proses industrialisasi berdampak buruk pada kualitas air dan udara. Fakta ini mendorong Teori EKC sisi kiri sebelum titik balik. Artinya, industri yang berkembang di Jawa Barat adalah tipe industri yang banyak menimbulkan polusi. Hal ini kemungkinan besar terkait dengan karakteristik input dan atau teknologi yang tidak ramah lingkungan. Terdapat temuan lain untuk kasus lahan kritis bahwa dampak dari kenaikan PDRB dapat menurunkan LKp. Elaborasi terhadap variabel lainnya menunjukan bahwa fakta tersebut tidak lepas dari pengaruh membaiknya tingkat kemiskinan dan distribusi pendapatan. Artinya, ekonomi tumbuh saja belum cukup dapat menurunkan LKp. Penurunan LKp lebih didorong oleh turunnya kemiskinan dan ketimpangan pendapatan. Temuan ini dapat memperkaya makna Teori EKC, bahwa hubungan yang berbalik arah setelah mencapai titik balik belum tentu berlaku secara utuh. Kasus hubungan antara lahan kritis di Jawa Barat dengan pertumbuhan ekonomi sudah berbalik arah ketika pertumbuhan ekonomi benar-benar berkualitas dapat menurunkan kemiskinan dan ketimpangan pendapatan. Dengan lain kata, jika ekonomi tumbuh tinggi namun berdampak kecil terhadap perbaikan kondisi sosial ekonomi maka ada kecenderungan LKp tetap meningkat. Atau kondisi lain ketika pertumbuhan penduduk begitu tingginya sehingga tingkat kemiskinan meningkat dikhawatirkan pula akan mendorong peningkatan LKp.

149 125 Berdasarkan temuan empiris tersebut terdapat dua permasalahan yang terkait dengan masalah pencemaran air, pencemaran udara dan lahan kritis ini, yakni jumlah limbah dan emisi yang meningkat seiring dengan peningkatan outputnya dan meningkatnya lahan kritis jika kemiskinan bertambah. Perubahan kemiskinan tidak semata-mata terkait dengan pertumbuhan ekonomi namun juga pertumbuhan penduduk, dan Jawa Barat sangat riskan dengan masalah yang terakhir ini. Tingkat migrasi ke Jawa Barat sangat tinggi karena posisi strategis sebagai penyangga ibu kota negara. Dalam merespon kedua masalah tersebut pemerintah telah mengeluarkan beberapa kebijakan lingkungan sebagaimana sudah diungkapkan dalam Bab II, namun masih sulit menemukan kebijakan pengendalian arus migrasi. Dalam bab berikutnya akan dibahas sejauhmana efektivitas implementasi ragam kebijakan lingkungan tersebut.

150 126 Daftar Isi : VI. DAMPAK PERTUMBUHAN EKONOMI DAN KEMISKINAN TERHADAP DEGRADASI LINGKUNGAN Pengaruh Kenaikan PDRB Pengaruh Kenaikan Tingkat Kemiskinan dan Ketimpangan Pendapatan Pengaruh Kenaikan Pertumbuhan Penduduk Substansi Hasil Simulasi Historis Tabel : Tabel 24. Simulasi Historis Dampak Kenaikan PDRB Terhadap Makroekonomi- Lingkungan Jawa Barat Tabel 25. Simulasi Historis Dampak Kenaikan PDRB Terhadap Makroekonomi- Lingkungan Jawa Barat Jika Kemiskinan dan Ketimpangan Pendapatan Eksogen. 116 Tabel 26. Simulasi Historis Dampak Kenaikan Kemiskinan dan Ketimpangan Pendapatan Terhadap Makroekonomi-Lingkungan Jawa Barat Tabel 27. Simulasi Historis Dampak Kenaikan Kemiskinan dan Ketimpangan Pendapatan Terhadap Makroekonomi-Lingkungan Jawa Barat Jika PDRB Eksogen 120 Tabel 28. Simulasi Historis Dampak Kenaikan Pertumbuhan Penduduk Terhadap Makroekonomi-Lingkungan Jawa Barat 123 Gambar :

151 VII. RESPON PELAKU EKONOMI TERHADAP KEBIJAKAN LINGKUNGAN Hasil estimasi dari model yang sudah dijelaskan dalam bagian V, menunjukkan bahwa ada tidaknya kebijakan pengendalian kerusakan lingkungan baik untuk lahan kritis, pencemaran air maupun udara ternyata sama saja. Hal ini ditunjukkan dengan rendahnya nilai t-hitung. Meskipun demikian tanda parameter estimasi negatif, bahwa kebijakan sebenarnya dapat mendorong penurunan degradasi lingkungan. Angka elastisitasnya sangat kecil baik jangka pendek maupun jangka panjang untuk seluruh variabel degradasi lingkungan, bahwa kebijakan lingkungan kurang responsif terhadap degradasi lingkungan. Kondisi tersebut secara implisit mengisyaratkan bahwa implementasi kebijakan-kebijakan tersebut belum berjalan optimal. Dalam bab ini akan dikaji mengapa kebijakan lingkungan belum berjalan optimal yang dikaitkan dengan eksistensi hak kepemilikan Kasus Lahan Kritis Lahan Kritis Milik Masyarakat Pada tahun 2005 luas lahan kritis di wilayah Jabar mencapai ha. Dari luas lahan kritis tersebut, ha diantaranya merupakan hutan konservasi, hutan lindung, serta hutan produksi. Sementara lahan kritis milik perkebunan besar luasnya ha dan lahan kritis milik masyarakat ha. Kenyataan ini menarik perhatian dimana area lahan kritis terluas justru milik masyarakat atau milik pribadi, karena secara teori kepemilikan secara pribadi menjamin alokasi sumberdaya efisien dan terjaganya upaya konservasi karena

152 126 benar tidaknya pola pemanfaatan dari sumberdaya tersebut menyangkut keuntungan dan kerugian buat si pemilik. Fenomena tersebut menimbulkan dugaan apakah terjadi the lack of well defined property rights, yakni tidak terpenuhinya salah satu ciri dari hak kepemilikan yang terdefinisikan dengan baik? Benarkah keberadaan lahan kritis milik masyarakat dikarenakan tidak terdefinisikannya hak kepemilikan dengan baik? Untuk mengetahui hal yang sebenarnya dilakukan interview ke para petani yang berada di wilayah Bandung Selatan dan di kaki Gunung Ciremai Kabupaten Majalengka. Interview juga dilakukan pada pihak yang mewakili dinas terkait, ketua kelompok tani, dan pendamping lapangan untuk menggali informasi lain sebagai penyebab lahan kritis milik masyarakat. Lahan kritis merupakan indikator utama dari degradasi lahan yang bisa terjadi di dalam hutan dan di luar hutan. Dalam prakteknya penetapan lahan kritis mengacu pada definisi lahan kritis yang ditetapkan sebagai lahan yang telah mengalami kerusakan sehingga kehilangan atau berkurang fungsinya sampai pada batas toleransi (Dephut, 2000). Sasaran lahan kritis adalah lahan-lahan dengan fungsi lahan yang ada kaitannya dengan kegiatan reboisasi dan penghijauan, yaitu fungsi kawasan hutan lindung, fungsi kawasan lindung di luar kawasan hutan dan fungsi kawasan budidaya untuk usaha pertanian. Pada fungsi kawasan budidaya untuk usaha pertanian, kekritisan lahan dinilai berdasakan produktivitas lahan yaitu rasio terhadap produksi komoditi umum opsional pada pengelolaan tradisional (bobot 30 persen), kelerengan lahan (bobot 20 persen), tingkat erosi yang diukur berdasarkan tingkat hilangnya lapisan tanah, baik untuk tanah dalam maupun untuk tanah dangkal (bobot 15 persen),

153 127 batu-batuan (bobot 5 persen) dan manajemen yaitu usaha penerapan teknologi konservasi tanah pada setiap unit lahan (bobot 30 persen). Dalam penelitian ini, survey difokuskan pada lahan dengan fungsi kawasan budidaya untuk usaha pertanian yang dimiliki secara pribadi. Berdasarkan karakteristik kepemilikan pribadi dibuat arahan untuk interview sebagaimana sudah disajikan dalam bab metode penelitian. Survei kepada para pemilik lahan dilakukan pada bulan Juli dan Agustus tahun 2005, tepatnya ke Desa Arjasari Kecamatan Arjasari dan Desa Cicadas Kecamatan Rongga Kabupaten Bandung, Desa Argalingga, Desa Tejamulya dan Dusun Cibuluh Kecamatan Argapura Kabupaten Majalengka. Sebagian besar lahan mereka terletak di dataran tinggi dekat kaki gunung dengan kemiringan sekitar 35 persen, sehingga pola pemanfaatan seharusnya berdasarkan mekanisme terasering yang tepat. Sementara untuk memperoleh pandangan umum tentang lahan kritis, dilakukan interview dengan pihak-pihak terkait, seperti Perhutani dan dinas pertanian, ketua kelompok tani, petugas lapangan dan kepala desa. Berdasarkan hasil survei ke masyarakat diketahui bahwa hampir seluruh responden menyatakan kepemilikan lahan bersifat turun temurun, dan sampai saat ini belum disertifikatkan. Mereka merasa cukup dengan surat keterangan kepemilikan dari desa, dan pengakuan secara eksplisit dari masyarakat sekitar.. Seluruh responden menyatakan pada awalnya sebagian besar lahan ditanami oleh tanaman keras, namun selanjutnya terjadi pergeseran yakni mengembangkan pola tanam tumpang sari dengan berbagai jenis sayuran. Beralihnya pola tanam karena nilai komersil tanaman keras lebih rendah dan jangka waktu panen ke panen berikutnya lebih lama dibandingkan dengan

154 128 tanaman tumpang sari. Artinya, jika hanya mengandalkan jenis tanaman keras kurang menguntungkan sementara permintaan sayuran mengalir tiap hari, sehingga bisa mendatangkan pendapatan lebih besar. Fenomena ini mengukuhkan eksistensi kepemilikan pribadi, bahwa mereka berhak memperlakukan lahannya sesuai keinginannya tanpa ada yang mengganggu atau menghalanginya. Banyak pemilik lahan melakukan hal tersebut dan merasa yakin sekali bahwa lahannya memang cocok untuk jenis tanaman tersebut. Mereka menyadari lahannya berada pada kemiringan yang rentan dengan bahaya longsor, dan mengaku tahu dampak dari bahaya tersebut. Mereka pun mengetahui menanam dalam kondisi lahan seperti itu perlu teknik terasering yang tepat (pertanian yang bersifat konservasi). Namun menurut pihak-pihak terkait banyak pula petani yang tidak memelihara bangunan terasering dengan baik. Mereka menyatakan senantiasa merawat lahannya karena sangat terkait sebagai sumber penghasilan, dan berusaha melindungi tanamannya. Semua responden di Desa Arjasari menyatakan tanamannya aman dari pencurian, sebaliknya tidak demikian dengan responden di Kecamatan Argapura. Setiap menjelang masa panen pencurian sering terjadi, sekalipun dalam batas-batas yang tidak terlalu merugikan. Namun kejadian tersebut cukup mengganggu ke tanaman yang lainnya sehingga hasil yang seharusnya diperoleh petani jadi tidak optimal. Sementara perampasan hak praktis tidak terjadi baik untuk responden di Kabupaten Bandung maupun Kabupaten Majalengka. Dengan demikian karakteristik jaminan ada sedikit masalah untuk responden di Kabupaten Majalengka dimana tanaman kurang aman sehingga berdampak pada menurunnya hasil. Namun tidak demikian untuk responden yang berada di Kabupaten Bandung,

155 129 sehingga penulis mengambil kesimpulan bahwa karakteristik jaminan pemilik lahan kritis relatif aman. Berdasarkan gambaran seluruh karakteristik untuk mengetahui apakah lahan kritis yang terjadi di lahan milik masyarakat karena terkait dengan tidak terdefinisikannya hak kepemilikan dengan baik, ternyata tidak demikian. Artinya, pengukuhan eksistensi hak terjadi sekalipun tidak sangat sempurna. Namun satu hal yang perlu dicermati, ternyata dibalik pengukuhan hak kepemilikan tersebut terdapat perilaku yang cenderung merusak lahan karena terkait dengan dorongan untuk mengejar pendapatan yang lebih baik dengan banyak menebangi tanaman keras dan kurang mengindahkan teknik terasering yang tepat. Hasil interview dengan beberapa petugas lapangan dan juga kepala Sub Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Bandung, semakin memperkuat temuan di lapangan. Mereka menyatakan faktor determinasi lahan kritis adalah cara tanam yang monokultur, mentelantarakan lahan karena tidak ada biaya, pengertian dan pemahaman yang rendah terhadap penanganan dan dampak dari lahan kritis. Hasil riset terhadap petani kentang di Pangalengan Kabupaten Bandung yang dilakukan oleh Khatarina (2006) membuktikan bahwa keengganan menerapkan sistem pertanian konservasi karena dalam jangka pendek (satu musim tanam) memberikan pendapatan yang lebih rendah dibandingkan usaha tani yang tidak menerapkan teknik konservasi tanah. Padahal sebenarnya investasi untuk modal konservasi akan mencapai pertumbuhan output secara berkelanjutan jika elastisitas output dari modal tersebut tinggi (Harrington, 2005).

156 130 Dengan demikian masalah lahan kritis masyarakat terjadi karena pola pemanfaatan yang tidak tepat yakni kurang memperhatikan daya dukung dan kesesuaian lahan, yang disebabkan karena aspek ekonomi yakni kemiskinan dan kekurangpahaman terhadap teknik konservasi. Oleh karena itu upaya pemulihan lahan kritis seyogianya diarahkan untuk memperbaiki kondisi lahan dan meningkatkan produktivitas lahan serta meningkatkan pendapatan masyarakat. Artinya, perlu dicari tanaman yang tidak hanya cocok untuk memulihkan kualitas lahan namun juga memiliki nilai ekonomi yang tinggi di pasar Lahan Kritis Milik Negara Lahan kritis milik negara terjadi di dalam kawasan dan luar kawasan hutan. Menurut sumber informasi, kerusakan di dalam kawasan hutan semakin meningkat sejak terjadinya krisis ekonomi. Banyak terjadi perambahan atau penebangan ilegal dalam jumlah besar yang dimotori oleh para pemilik modal dari kota dengan mempekerjakan masyarakat desa sekitar hutan. Fenomena ini menunjukkan bahwa hak kepemilikan negara sudah terganggu. Sekalipun hak kepemilikan dijamin secara legal, gangguan tersebut terjadi karena pengawasan yang lemah dan sanksi ringan. Sementara lahan kritis diluar kawasan hutan yang terjadi di kaki-kaki gunung karena adanya penyerobotan pemanfaatan lahan oleh masyarakat setempat untuk bercocok tanam. Selain itu adanya HGU yang diberikan pada petani ternyata malah ditanami jenis tanaman yang tidak sesuai dengan peruntukannya. Contoh kasus di Kecamatan Rongga dan Gunung Halu yang merupakan daerah terluas lahan kritisnya di Kabupaten Bandung. Di sana terdapat perbukitan HGU

157 131 yang ditanami serehwangi sejak tahun 1977, tanpa ada jenis tanaman keras lainnya padahal serehwangi merupakan jenis tanaman yang tidak memiliki akar kuat sehingga tidak mengikat tanah. Tanaman ini mudah ditanam, biaya produksi dan pemeliharaan sangat murah, bisa dipanen 3 bulan sekali. Melalui proses penyulingan sederhana bisa dijadikan minyak serehwangi yang bisa dijual dengan harga tinggi. Tingginya harga komoditas minyak serehwangi menarik banyak pihak untuk terlibat dalam tanaman ini, namun ketika harga anjlok tanaman tersebut menjadi produk yang tidak menarik lagi. Tanaman ditinggalkan dan dibiarkan terlantar yang mengakibatkan perbukitan gundul dan rawan longsor. Kenyataan ini tidak lepas dari status lahan hak guna umum (HGU) sehingga tidak ada kewajiban untuk pemeliharaan. Berdasarkan gambaran tersebut dapat diketahui bahwa lahan kritis milik negara tidak terdefinisikan dengan baik yang terkait erat dengan kondisi sosial ekonomi dan kelembagaan yang kurang baik Keberadaan Kebijakan dan Pelaksanaan Penanganan Lahan Kritis di Dalam dan Luar Kawasan Masalah lahan kritis secara nasional sudah muncul sejak awal pembangunan. Pemerintah telah merespon masalah ini dengan kebijakan reboisasi melalui Program Bantuan Reboisasi dan Penghijauan (INPRES) pada tahun 1976 yang selanjutnya ditindaklanjuti oleh berbagai kebijakan. Dalam rangka menggali informasi sejauhmana pelaksanaan kebijakan tersebut di lingkup Propinsi Jawa Barat, maka dilakukan interview dengan pejabat yang mewakili Perum Perhutani Wilayah Unit III, Sub Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Bandung, dan Dinas Kehutanan Kabupaten Indramayu.

158 132 Menurut sumber informasi, Program Bantuan Reboisasi dan Penghijauan (INPRES) sangat intensif sebagai kebijakan pertama yang merespon masalah lahan kritis. Hal ini dimungkinkan karena bentuk program jelas dan sifatnya sebagai pelaksana penanaman. Selanjutnya untuk meningkatkan partisipasi masyarakat lokal dalam menggalakan penghijauan, pada tahun 1978 digulirkan program MALU (Mantri dan Lurah). Program Malu adalah program yang utamanya bertujuan untuk meningkatkan keamanan hutan dari tindakan pihak-pihak yang dapat mengakibatkan kerusakan hutan. Program ini dilakukan atas kerjasama antara RKPH (Resort Kesatuan Pemangkuan Hutan) dengan kelurahan yang berwenang atas suatu kawasan hutan. RKPH memiliki kewenangan sebagai polisi hutan. Tindakan pihak-pihak yang dapat mengakibatkan kerusakan hutan tersebut diantaranya kegiatan penjarahan hutan oleh sekelompok orang yang mengambil kayu secara ilegal. Program Malu dalam perkembangannya diperluas untuk kegiatan tumpangsari pada suatu area hutan yang manfaatnya dapat dinikmati oleh warga setempat. Hal ini dilakukan sebagai wujud kerjasama antara RKPH, kelurahan dan masyarakat untuk mengantisipasi kecenderungan adanya tindakan pengrusakan hutan atau penebangan secara ilegal. Menurut sumber informasi, pelaksanaan kebijakan ini kurang intensif karena lemahnya manajemen. Dengan keluarnya UU Lingkungan Hidup pada tahun 1982 upaya penghijauan semakin serius. UU LH tersebut memiliki asas melestarikan kemampuan lingkungan yang serasi dan seimbang untuk menunjang pembangunan yang berkesinambungan. Tujuan UU tersebut adalah tercapainya

159 133 keselarasan hubungan antar manusia dengan lingkungan hidup sebagi tujuan membangun manusia Indonesia seutuhnya, terkendalinya pemanfaatan sumber daya secara bijaksana, terwujudnya manusia Indonesia sebagai pembina lingkungan hidup, terlaksananya pembangunan berwawasan lingkungan untuk kepentingan generasi sekarang dan mendatang, terlindunginya negara terhadap dampak kegiatan diluar wilayah negara yang menyebabkan kerusakan dan pencemaran lingkungan. Pada tahun 1985 dikembangkan upaya social forestry yakni perhutanan sosial. Social forestry pada prinsipnya adalah bagaimana memberikan akses melalui pendekatan pengelolaan hutan pada masyarakat (Pasaribu, 2003). Social forestry menempatkan masyarakat di dalam dan sekitar hutan sebagai pelaku utama dengan maksud meningkatkan kesejahteraannya dan mewujudkan kelestarian hutan di lingkungannya. Sasaran antara social forestry adalah membangkitkan kegiatan ekonomi masyarakat di dalam dan sekitar hutan dan mempercepat rehabilitasi hutan dengan menyatukan masyarakat, dunia usaha dan pemerintah. Di Jawa Barat fokus kegiatan implementasi dari progam social forestry adalah pada lahan-lahan rawan terhadap rambahan. Dari hasil interview terungkap bahwa pelaksanann program ini efektif karena desakan kebutuhan masyarakat desa hutan untuk meningkatkan taraf kehidupan. Pada tahun 1986 keluar PP No 29 tentang AMDAL. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan sebenarnya sudah tertera dalam pasal 16 UU LH No 4 tahun AMDAL merupakan alat untuk merencanakan tindakan preventif terhadap

160 134 kerusakan lingkungan yang mungkin akan ditimbulkan oleh suatu aktivitas pembangunan yang sedang direncanakan. Sebagai kelanjutan dari program MALU dan memperdalam implementasi social forestry, tahun 1988 digulirkan lagi program PMDH yakni pembangunan masyarakat desa hutan. Berdasarkan hasil interview terungkap bahwa pelaksanaan program ini efektif pula. Tahun 1990 keluar UU No 5 tentang Konservasi SDA Hayati dan Ekosistemnya yang semakin memperkuat kebijakan perlindungan hutan dan lahan. Dalam Pasal 1 dinyatakan bahwa konservasi sumber daya alam hayati adalah pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya. Pada tahun 1996, keluar kebijakan di tingkat daerah yakni Peraturan Daerah Jawa Barat Nomor 2 tahun 1996 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung di Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat. Pada intinya peraturan ini sangat terkait dengan UU No 5 tentang Konservasi SDA Hayati dan Ekosistemnya. Dalam pasal 4 Peraturan Daerah tersebut diungkapkan bahwa tujuan perlindungan kawasan hutan lindung adalah untuk mencegah terjadi erosi, bencana banjir, sedimentasi, dan menjaga fungsi hidrologis tanah. Dengan pertimbangan bahwa kesadaran dan kehidupan masyarakat dalam kaitannya dengan pengelolaan lingkungan hidup telah berkembang demikian rupa sehingga pokok materi sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup perlu disempurnakan untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan yang

161 135 berwawasan lingkungan hidup, maka keluarlah UU LH yang baru pada tahun 1997 yakni UU Lingkungan Hidup No 23. Ada perbedaan substansi antara keduanya yang terangkum dalam Tabel 29. Tabel 29. Perbedaan Substansi UU Pengelolaan LH Antara No 4 Tahun 1982 Dengan No 23 Tahun 1997 No Item: Pasal dan Ayat UU Pengelolaan LH antara No 4 tahun 1982 UU Pengelolaan LH No 23 tahun Pertimbangan Mengatur pengelolaan lingkungan hidup Penyempurnaan dimana pengelolaan lingkungan hidup telah berkembang demikian rupa 2 Bab II Asas Dan Tujuan 3 Bab III Hak, Kewajiban, Dan Wewenang Berasaskan pelestarian kemampuan lingkungan yang serasi dan seimbang untuk menunjang pembangunan yang berkesinambungan Setiap orang mempunyai hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, berkewajiban memelihara lingkungan hidup dan mencegah serta menanggulangi kerusakan dan pencemarannnya, berperan serta dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup Dengan asas tanggung jawab negara, asas berkelanjutan, dan asas manfaat untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup Setiap orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, atas informasi lingkungan hidup yang berkaitan dengan peran dalam pengelolaan lingkungan hidup, kesempatan yang sama untuk berperan

162 136 Tabel 29. Lanjutan No Item: Pasal dan Ayat UU Pengelolaan LH antara No 4 tahun 1982 UU Pengelolaan LH No 23 tahun BAB IV Perlindungan Lingkungan Hidup: ketentuan perlindungan termasuk penetapan baku mutu ditetapkan dengan UU 5 BAB V Kelembagaan tingkat nasional dilaksanakan secara terpadu oleh perangkat kelembagaan yang dipimpin seorang menteri, secara sektoral dilakukan oleh departemen/lembaga non departemen, di daerah dilakukan oleh pemerintah Daerah Pemerintah menetapkan kebijaksanaan nasional tentang pengelolaan lingkungan hidup, dilaksanakan secara terpadu oleh instansi pemerintah, Pemerintah berkewajiban Mewujudkan, menumbuhkan, mengembangkan dan meningkatkan kesadaran dan tanggung jawab para pengambil keputusan dalam pengelolaan lingkungan hidup, kesadaran akan hak dan tanggung jawab, meningkatkan kemitraan antara masyarakat, dunia usaha dan Pemerintah Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup setiap usaha dan/atau kegiatan dilarang melanggar mutu dan kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, Setiap rencana usaha dan/atau kegiatan yang kemungkinan dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, wajib memiliki AMDAL. Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib melakukan pengelolaan limbah hasil usaha

163 137 Tabel 29. Lanjutan No Item: Pasal dan Ayat UU Pengelolaan LH antara No 4 tahun 1982 UU Pengelolaan LH No 23 tahun Bab VI Ganti Kerugian Dan Biaya Pemulihan Barang siapa merusak atau mencemarkan lingkungan hidup memikul tangung jawab dengan kewajiban membayar ganti rugi kerugian kepada penderita, kepada Negara Persyaratan Penataan Lingkungan Hidup Untuk memperoleh izin melakukan usaha wajib memiliki AMDAL Setiap orang dilarang melakukan pembuangan limbah tanpa ijin Menteri melakukan pengawasan terhadap penaatan penanggung jawab usaha. Dalam hal wewenang pengawasan diserahkakn kepada Pemerintah Daerah Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I berwenang melakukan paksaan pemerintahan terhadap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk mencegah dan mengakhiri terjadinya pelanggaran Pelanggaran tertentu dapat dijatuhi sangsi berupa pencabutan izin usaha dan/atau kegiatan. Pemerintah mendorong penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk melakukan audit lingkungan hidup

164 138 Tabel 29. Lanjutan No Item: Pasal dan Ayat UU Pengelolaan LH antara No 4 tahun Bab VII Ketentuan Pidana Barang siapa dengan sengaja menyebabkan lingkungan rusak atau tercemar diancam pidana penjara selama-lamanya 10 (tahun) dan atau denda maksimum Rp.100 juta Sementara jika karena kelalaiannya diancam pidana penjara selamalamanya 1 tahun dan atau denda maksimum Rp.1 juta UU Pengelolaan LH No 23 tahun 1997 Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan Pemerintah dan/atau masyarakat dapat membentuk lembaga penyedia jasa pelayanan penyelesaian sengketa lingkungan hidup Setiap perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran harus membayar ganti rugi. Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan ke pengadilan mengenai berbagai masalah lingkungan hidup yang merugikan, instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang lingkungan hidup dapat bertindak untuk kepentingan masyarakat Organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup. 8 Bab VIII Ketentuan Peralihan Penyidikan Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara, juga Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang pengelolaan lingkungan hidup, diberi wewenang

165 139 khusus sebagai penyidik Tabel 29. Lanjutan No Item: Pasal dan Ayat UU Pengelolaan LH antara No 4 tahun 1982 UU Pengelolaan LH No 23 tahun Bab IX Ketentuan Pidana Barang siapa dengan sengaja melawan hukum dan menyebabkan lingkungan rusak atau tercemar diancam pidana penjara paling lama 10 (tahun) dan atau denda maksimum Rp.500 juta. Jika mengakibatkan orang mati diancam pidana penjara paling lama 15 (tahun) dan atau denda maksimum Rp.750 juta Sementara jika karena kelalaiannya diancam pidana penjara selamalamanya 3 tahun dan atau denda maksimum Rp.100 juta, Jika mengakibatkan orang mati diancam pidana penjara paling lama 5 (tahun) dan atau denda maksimum Rp.150 juta Barang siapa dengan sengaja melanggar peraturan yang menyebabkan lingkungan rusak atau tercemar, dengan sengaja memberikan informasi palsu atau menghilangkan atau menyembunyikan diancam pidana penjara paling lama 6 (tahun) dan atau denda maksimum Rp.300 juta. Jika mengakibatkan orang mati diancam pidana penjara paling lama 9 (tahun) dan atau denda maksimum Rp.450 juta.

166 140 Dengan keluarnya UU LH yang baru diharapkan muncul langkah-langkah yang lebih tegas dalam mengendalikan kerusakan lingkungan. Dalam rangka memperluas dan mempertajam pelaksanaan social forestry, pada tahun 1998 diluncurkan program padat karya kehutanan (hutan rakyat). Kegiatan hutan rakyat berupa penanaman lahan kosong dan pekarangan di luar kawasan oleh masyarakat dengan jenis tanaman keras, Multi Purpose Trees Species dan buah-buahan. Tujuan kegiatan tersebut untuk memperoleh penutupan lahan yang optimal untuk mengendalikan lahan kritis, menghasilkan kayu bakar, kayu bangunan untuk keperluan masyarakat lokal, konservasi tanah, memperbaiki iklim mikro dan tata air serta lingkungan. Berdasarkan hasil interview, diperoleh informasi bahwa program ini sangat efektif karena dibentuk kelompok-kelompok dengan pekerjaan yang terarah. Dengan mempertimbangkan bahwa Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 8) sudah tidak sesuai lagi dengan prinsip penguasaan dan pengurusan hutan, dan tuntutan perkembangan keadaan, sehingga keluar UU tentang Kehutanan yang baru pada tahun Berdasarkan UU Kehutanan yang baru, penyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan dengan: 1. Menjamin keberadaan hutan dengan luasan yang cukup dan sebaran yang proporsional.

167 Mengoptimalkan aneka fungsi hutan yang meliputi fungsi konservasi, fungsi lindung, dan fungsi produksi untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial, budaya, dan ekonomi, yang seimbang dan lestari. 3. Meningkatkan daya dukung daerah aliran sungai. 4. Meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan keberdayaan masyarakat secara partisipatif, berkeadilan, dan berwawasan lingkungan sehingga mampu menciptakan ketahanan sosial dan ekonomi serta ketahanan terhadap akibat perubahan eksternal. 5. Menjamin distribusi manfaat yang berkeadilan dan berkelanjutan. Selanjutnya dalam rangka impementasi UU Kehutanan yang baru dan pendalaman sosial forestry, tahun 2000 dikembangkan program PHBM yakni pengelolaan hutan bersama masyarakat. Dalam menyikapi lahirnya UU Kehutanan yang baru, Pemerintah Provinsi Jawa Barat mengeluarkan Peraturan Daerah Propinsi Jawa Barat Nomor 19 tahun 2001 tentang Pengurusan Hutan. Dalam pasal 18 peraturan daerah tersebut dinyatakan bahwa pemanfaatan hutan bertujuan untuk memperoleh manfaat yang optimal bagi kesejahteraan masyarakat dengan tetap menjaga kelestariannya. Kemudian dalam pasal 28 ditegaskan bahwa penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan diluar kehutanan hanya dapat dilakukan di kawasan hutan produksi dan hutan lindung. Sementara itu terkait dengan upaya rehabilitasi hutan, diatur dalam pasal 33, bahwa rehabilitasi hutan dan lahan dilakukan di dalam dan luar kawasan hutan yang bertujuan untuk memulihkan, mempertahankan, dan meningkatkan fungsi hutan.

168 142 Pada tahun 2003 Gubernur bersama dengan jajaran MUSPIDA mencanangkan Gerakan Rehabilitas Lahan Kritis (GRLK) di Jawa Barat. Sedangkan Tim Koordinasi Perbaikan Lingkungan melalui Rehabilitasi dan Reboisasi Nasional, menetapkan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL) pada tahun GNRHL bertujuan untuk melakukan upaya rehabilitasi hutan dan lahan secara terpadu dan terencana dengan melibatkan para pihak seperti instansi pemerintah terkait, swasta dan masyarakat, agar kondisi lingkungan hulu sungai kembali berfungsi sebagai daerah resapan air hujan yang baik. Lokasi rehabilitasi hutan di Jawa Barat diprioritaskan di DAS Citarum. Berdasarkan hasil interview diperoleh informasi bahwa pelaksanaan gerakan rehabilitas tersebut kurang intensif karena penyediaan bibit dari luar daerah sehingga sampai ke tempat tujuan jadi kering. Selain itu banyak pihak terlibat sehingga kurang terkoordinasi dengan baik. Berdasarkan pemaparan di atas, berarti implementasi kebijakan rehabilitasi lahan kritis masih mengandung kendala. Sedangkan program-program yang terkait langsung dengan lahan milik masyarakat adalah Unit Percontohan Usaha Pelestarian Sumberdaya Alam (UP- UPSA), Unit Percontohan Pertanian Menetap (UP-UPM), Pembuatan Kebun Desa (KBD), Pengelolaan Hutan/Kebun Rakyat dan Kredit Usahatani Konservasi Daerah Aliran Sungai (KUK-DAS). UP-UPSA ditempatkan pada lahan kritis yang dapat diusahakan untuk usahatani semusim/tahunan dan diutamakan lahan yang digarap sendiri oleh para pemilik/peserta yang merupakan kelompok tani yang telah dibina melalui proses penyuluhan. Pada kurun waktu , usaha pembuatan unit percontohan

169 143 pelestarian sumberdaya alam, dilakukan untuk pengelolaan ternak dan benih unggul, meningkat sebesar persen atau rata-rata per tahun sebesar 1.57 persen, yang meliputi penanaman sejumlah 800 unit dengan minimal luas lahan 10 ha untuk satu unit. UP-UPM ditempatkan di wilayah yang masih terdapat masyarakat tani yang berladang berpindah-pindah, diutamakan pada wilayah desa yang akan menjadi tempat pemukiman kembali hasil restrukturisasi desa, dan diutamakan lahan yang digarap sendiri oleh para pemilik/peserta yang merupakan kelompok tani yang telah dibina melalui proses penyuluhan. Pada kurun waktu , usaha pembuatan unit percontohan pertanian menetap, dilakukan terutama untuk pengelolaan ternak dan benih unggul, meningkat sebesar 1.51 persen, yang meliputi penanaman sejumlah 800 unit dengan minimal luas lahan 20 ha untuk satu unit. Sasaran lokasi KBD adalah lokasi yang berdekatan dengan lokasi penanaman, mudah mendapatkan air, topografi relatif datar, dekat dengan jalan sehingga dapat memudahkan pengangkutan bibit. Pembuatan KBD meliputi pembuatan bibit kayu-kayuan, buah-buahan, tanaman industri, dan hijauan ternak dengan sistem bergulir diantara kelompok petani yang ada. Dalam kurun waktu upaya pembuatan kebun bibit desa di Jawa Barat meningkat sebesar 7.12 persen, atau rata-rata 0.89 persen per tahun, yang meliputi 105 unit per tahun, dalam satu unit pembuatan kebun bibit desa setara dengan 400 batang. Sasaran pengelolaan hutan rakyat/kebun rakyat adalah lahan-lahan kritis yang keadaan lapangan curam, serta kemiringan lereng lebih besar dari 40 persen, lapisan tanah pertanian dengan tanaman semusim. Pada kurun waktu ,

170 144 usaha pengelolaan hutan/kebun rakyat dilakukan dengan penanaman tanaman kayu-kayuan berdaun panjang yang menghasilkan produk utama kayu dan non kayu seperti biji, buah dan getah, penanaman sebesar ha per tahun. KUK-DAS merupakan paket kegiatan usahatani terpadu antara intensifikasi pertanian dan penerapan teknik konservasi tanah, melalui paket teknologi agroforesty. Sasaran lokasinya adalah lahan kritis yang terletak dalam satu hamparan usahatani yang kelompok taninya sudah mantap, atau pada lokasi hasil kegiatan RLKT, UPSA, UPM yang berhasil dan mempunyai dampak serta lahan yang telah dilakukan tahap prakondisi. Tujuan KUK-DAS meningkatkan produksi dan pendapatan petani melalui peningkatan produktivitas/intensifikasi pertanian lahan kering, dan meningkatkan peran kelembagaan terkait yaitu: kelompok tani, koperasi unit desa, lembaga ketahanan masyarakat desa lainnya, dan mendekatkan dan meningkatkan pengetahuan petani terhadap jasa perbankan. Pada kurun waktu , kredit usaha konservasi daerah aliran sungai meningkat sebesar persen atau rata-rata per tahun sebesar 1.53 persen, yang meliputi ha atau ha per tahunnya, dimana kredit yang diberikan kepada petani maksimal Rp per ha dengan jangka waktu pengembalian modal kredit 5 tahun serta masa tenggang 1 tahun, bunga kredit 6 persen per tahun secara menurun, angsuran kredit dilakukan tiap semester bersamaan dengan panen usahatani. Kredit diberikan oleh Bank Pembangunan Daerah yang dijamin oleh Departemen Kehutanan dalam bentuk dana garansi kredit yang berasal dari Dana Reboisasi. Namun ketika krisis ekonomi terjadi paket-paket kebijakan tersebut tidak bisa dilaksanakan lebih intensif lagi, bahkan

171 145 upaya pembuatan KBD turun dan kredit usaha tani konservasi berhenti sampai tahun Ragam kebijakan pengendalian lahan kritis di atas merupakan multi tipe yang mencoba memperhitungkan berbagai sisi. Kebijakan yang digulirkan tidak hanya tipe regulasi namun juga tipe kebijakan yang mengandung unsur subsidi (bantuan finansial) dan pemberdayaan masyarakat. Dalam konsep pemberdayaan mengharuskan terjadinya partisipasi aktif masyarakat dalam mengelola lahan kritis, dan model kebijakan ini jika bisa bertahan akan berdampak signifikan pada turunnya luasan lahan kritis. Perkembangan terakhir menunjukan di beberapa wilayah yang tadinya terkategorikan lahan kritis sudah mulai menghijau lagi, namun banyak pula wilayah yang tetap gersang Kasus Pencemaran Air Pencemaran Air: Realita Open Access Seiring dengan laju pembangunan ekonomi yang tercermin dengan meningkatnya pendapatan per kapita, kualitas air permukaan mengalami penurunan sehingga peruntukannya sudah tidak sesuai lagi sebagaimana mestinya. Adapun sumber penurunan kualitas air di beberapa DAS di Jawa Barat adalah sebagai berikut: 1. Cisadane, bersumber dari penduduk (1.67 juta), 8 industri dengan dominasi industri makanan-minuman, ha sawah, ekor ternak besar, 1 penambangan.

172 Ciliwung/Depok, bersumber dari penduduk (1.74 juta), 101 industri dengan dominasi industri tekstil, kimia, farmasi dan makanan, ha sawah, ekor ternak besar. 3. Cileungsi/Bekasi, bersumber dari penduduk (3.1 juta), 181 industri dengan dominasi industri makanan, tekstil, logam, kimia, dan kertas, hektar sawah, ekor ternak besar. 4. Citarum/Cekungan Bandung, Cirata, Jatiluhur, Karawang: bersumber dari penduduk (8.6 juta), 542 industri dengan dominasi industri tekstil, makanan, logam, kimia, dan kertas, hektar sawah, ekor ternak besar. 5. Cimanuk/Tomo, Jatibarang, bersumber dari penduduk (3.2 juta), 312 industri dengan dominasi industri kulit dan makanan, hektar sawah, ekor ternak besar (BPLHD, 2004). Dengan demikian industri, rumah tangga, pertanian dan peternakan merupakan sumber terjadinya pencemaran air. Setiap sumber menghasilkan jenis limbah cair yang berbeda. Ketika di suatu wilayah terdapat banyak industri tekstil, makanan/minuman, kulit, kertas dan kimia, bahan pencemar yang membebani sungai akan lebih didominasi oleh BOD, COD, TSS, TDS, CL. Namun demikian, memahami sumber pencemaran belum cukup untuk mengungkap hal yang mendasar sebagai penyebab terjadinya pencemaran air, perlu kajian yang lebih seksama mengingat air sungai tempat pembuangan limbah adalah SDA yang tidak ada pemiliknya (open access), artinya siapa pun dapat mengaksesnya tanpa ada kewajiban untuk memeliharanya. Eksistensi open access tidak memenuhi satu pun karakteristik dari hak kepemilikan yang dapat terdefinisikan dengan baik, sehingga mendorong tingkat eksploitasi yang tinggi.

173 147 Berdasarkan fakta tersebut realita open acces merupakan akar masalah tingginya pencemaran air bahwa ketika open access bisa direduksi melalui regulasi maka masing-masing industri dapat ditekan untuk mengolah limbah dan membatasi penggunaan input yang banyak mengeluarkan limbah sehingga tingkat pencemaran air bisa dikendalikan Keberadaan Kebijakan dan Implementasi Kebijakan Pengendalian Pencemaran Air Kebijakan pengendalian pencemaran air seluruhnya merupakan tipe kebijakan CAC yakni standar aturan baku mutu limbah. Pemerintah menetapkan standar akan mencapai level optimum atau tidak tergantung pada: 1. Hambatan legislatif yang menetapkan UU lebih berorientasi benefit. 2. Informasi tidak sempurna yang bisa mencegah pemerintah mengidentifikasi MSB dan MSC. 3. Perbedaan regional yang mencerminkan perbedaan karakteristik lokal. 4. Polutan yang tidak seragam dampaknya terhadap lingkungan (Panayatou, 1992). Pengalaman di Amerika Serikat menunjukan bahwa standar lingkungan yang diwajibkan pemerintah tidak ditetapkan pada tingkat yang efisien. Penggunaan standar yang seragam di bawah kerangka CAC menghamburkan sumberdaya ekonomi. Untuk mengetahui bagaimana persepsi dan sikap dunia usaha dan rumahtangga terhadap eksistensi air sungai dan terhadap kebijakan-kebijakan tersebut, survei dilakukan ke beberapa rumahtangga dan pelaku usaha di beberapa

174 148 sektor ekonomi yang berada di Kota/Kabupaten Bandung, Kota/Kabupaten Cirebon, Kabupaten Karawang, dan Kabupaten Indramayu. Distribusi jumlah responden menurut wilayah dan sektor ekonomi dapat dilihat pada Tabel 30 dimana total sampel sebanyak 61 yang terdiri dari 32 perusahaan dan 29 rumahtangga. Terdapat perbedaan substansi pertanyaan antara kuesioner untuk perusahaan dengan untuk rumahtangga. Untuk perusahaan lebih fokus pada pandangan dan sikap mereka terhadap berbagai kebijakan pengendalian pencemaran air, sementara untuk rumahtangga terkait dengan perilaku membuang sampah dan kotoran, sikap terhadap realita air sungai sebagai open access. Terkait dengan perilaku membuang sampah dan kotoran, diberi angka 3 jika memiliki septiktank sendiri dan tidak membuang sampah serta kotoran ke sungai. Nilai 2 jika memiliki septiktank sendiri, tidak membuang sampah atau kotoran ke sungai. Nilai 1 jika tidak memiliki septiktank sendiri sehingga membuang kotoran ke sungai, tapi tidak membuang sampah ke sungai. Nilai 0 jika tidak memiliki septiktank sendiri sehingga membuang kotoran dan sampah ke sungai. Sementara untuk pelaku usaha di sektor industri manufaktur, sektor perdagangan, hotel dan restoran, dibuat skala likert untuk setiap tahap persepsi. Persepsi pertama yakni pengetahuan, nilai 4 untuk sangat mengetahui dengan baik, nilai 3 untuk mengetahui dengan baik, nilai 2 untuk cukup mengetahui, nilai 1 untuk kurang mengetahui dan 0 untuk sama sekali tidak mengetahui. Persepsi berikutnya yakni pemahaman, nilai 4 untuk sangat memahami dengan baik, nilai 3

175 149 untuk memahami dengan baik, nilai 2 untuk cukup memahami, nilai 1 untuk kurang memahami dan 0 untuk sama sekali tidak memahami. Tabel 30. Distribusi Sampel Survei Persepsi dan Sikap Pengusaha dan Rumahtangga Terhadap Eksistensi Sungai dan Kebijakan Pengendalian Pencemaran Air di Jawa Barat Umur Perusahaan dan Lamanya Menetap (Tahun) Jumlah Sampel Perusahaan Rumahtangga Selanjutnya adalah sikap setuju, nilai 4 untuk sangat setuju sekali, nilai 3 untuk setuju sekali, nilai 2 untuk cukup setuju, nilai 1 untuk kurang setuju dan 0 untuk sama sekali tidak setuju. Sikap terakhir adalah dorongan, nilai 4 untuk

176 150 sangat terdorong sekali, nilai 3 untuk terdorong sekali, nilai 2 untuk cukup terdorong, nilai 1 untuk kurang terdorong dan 0 untuk sama sekali tidak terdorong. Sikap terakhir yang akan menentukan aksi mengelola limbah dengan baik atau tidak. Oleh karena itu sikap inilah yang diperhitungkan dan digabung dengan perilaku rumahtangga untuk menunjukkan pandangan dunia usaha dan rumahtangga terhadap eksistensi air sungai sebagai open access dan sejauhmana efektivitas implementasi kebijakan pengendalian air di lapangan. Hasil penggabungan akan menunjukkan angka yang berada diantara nilai 0 4. Nilai antara 3-4 menggambarkan respon yang sangat positif, atau pada saat yang bersamaan terdapat efektivitas kebijakan yang sangat tinggi. Nilai antara 2-3 menggambarkan respon yang cukup positif, atau pada saat yang bersamaan terdapat efektivitas kebijakan yang cukup tinggi. Nilai antara 1-2 menggambarkan respon yang kurang positif, atau pada saat yang bersamaan terdapat efektivitas kebijakan yang rendah. Nilai antara 0 1 menggambarkan tidak ada respon, atau pada saat yang bersamaan kebijakan sama sekali tidak terimplementasikan. Hasil pengolahan data menunjukan bahwa seiring dengan laju pembangunan ekonomi dimana pangsa sektor industri dan jumlah penduduk semakin meningkat, ternyata respon masyarakat terhadap eksistensi air sungai sebagai open access dan tingkat efektivitas kebijakan pengendalian pencemaran air semakin rendah. Informasi ini ditunjukan pada Tabel 31.

177 151 Tabel 31. Tingkat Responsif Pengusaha dan Rumahtangga Terhadap Kebijakan Pengendalian Pencemaran Air di Jawa Barat Tahun Nilai rata-rata Keterangan Respon yang cukup positif, efektivitas kebijakan yang cukup tinggi Respon yang cukup positif, efektivitas kebijakan yang cukup tinggi Respon yang cukup positif, efektivitas kebijakan yang cukup tinggi Respon yang cukup positif, efektivitas kebijakan yang cukup tinggi Respon yang cukup positif, efektivitas kebijakan yang cukup tinggi Respon yang cukup positif, efektivitas kebijakan yang cukup tinggi Respon yang kurang positif, efektivitas kebijakan yang rendah Respon yang kurang positif, efektivitas kebijakan yang rendah Respon yang kurang positif, efektivitas kebijakan yang rendah Respon yang kurang positif, efektivitas kebijakan yang rendah Respon yang kurang positif, efektivitas kebijakan yang rendah Respon yang kurang positif, efektivitas kebijakan yang rendah Respon yang kurang positif, efektivitas kebijakan yang rendah 1987 Respon yang kurang positif, efektivitas kebijakan 1.62 yang rendah Respon yang kurang positif, efektivitas kebijakan yang rendah

178 152 Tabel 31. Lanjutan Tahun Nilai rata-rata Keterangan Respon yang kurang positif, efektivitas kebijakan yang rendah Respon yang kurang positif, efektivitas kebijakan yang rendah Respon yang kurang positif, efektivitas kebijakan yang rendah Respon yang kurang positif, efektivitas kebijakan yang rendah Respon yang kurang positif, efektivitas kebijakan yang rendah Respon yang kurang positif, efektivitas kebijakan yang rendah Respon yang kurang positif, efektivitas kebijakan yang rendah Respon yang kurang positif, efektivitas kebijakan yang rendah Respon yang kurang positif, efektivitas kebijakan yang rendah Respon yang kurang positif, efektivitas kebijakan yang rendah Respon yang kurang positif, efektivitas kebijakan yang rendah Respon yang kurang positif, efektivitas kebijakan yang rendah Respon yang kurang positif, efektivitas kebijakan yang rendah Respon yang kurang positif, efektivitas kebijakan yang rendah Respon yang kurang positif, efektivitas kebijakan yang rendah Respon yang kurang positif, efektivitas kebijakan yang rendah Sumber: Hasil Survei Nilai rata-rata selama periode penelitian hanya 1.84 yang berarti efektivitas kebijakan pengendalian pencemaran rendah. Berdasarkan data hasil survei yang disajikan dalam tabel tersebut, nampak bahwa sejak tahun 1980 nilai berada diantara 1 2 yang berarti adanya respon yang kurang positif terhadap eksistensi air sungai sebagai open access atau pada saat yang bersamaan terdapat

179 153 efektivitas kebijakan yang rendah. Berikut ini adalah alasan para responden yang dikaitkan dengan penjabaran dari teori open access. Penjabaran alasan dibedakan antara dunia usaha dengan rumahtangga. Untuk dunia usaha disediakan 13 alasan sebagai berikut: 1. Tidak ada sanksi membuang limbah ke sungai. 2. Relatif aman membuang limbah ke sungai karena akan langsung terserap oleh air. 3. Ketika banyak pihak membuang limbah ke sungai semakin aman karena semakin banyak yang berbuat semakin sulit mengidentifikasi siapa yang yang paling bertanggungjawab. 4. Tidak ada bayaran atas penggunaan air sebagai tempat pembuangan limbah. 5. Kalau harus membangun unit pengolah air limbah sangat besar biayanya sehingga bisa mengurangi keuntungan. 6. Setiap pihak memiliki kesempatan untuk memanfaatkan sungai sebagai tempat pembuangan limbah dengan cepat dan sepuas-puasnya. 7. Dampak dari pencemaran air akan ditanggung pihak lain. 8. Karena banyaknya pembuat pencemaran air, upaya penurunan pencemaran bisa saling mengandalkan. 9. Kalau perusahaan sendiri yang melakukan aksi mencegah pencemaran air, sementara yang lain tidak, pencemaran air akan tetap tinggi. 10. Kalau perusahaan sendiri yang melakukan aksi mencegah pencemaran air sementara yang lain tidak, mereka tetap dapat menikmati manfaatnya. 11. Selama ini tidak ada peluang kerjasama untuk menurunkan pencemaran air sesama pencemar.

180 Sekalipun ada peluang kerjasama untuk menurunkan pencemaran air, tapi biaya negosiasinya sangat besar bahkan bisa menyamai besarnya biaya untuk mengatasi kerusakan lingkungan itu sendiri. 13. Tidak ada keuntungan yang diperoleh perusahaan ketika terlibat dalam pencemaran air. Berdasarkan hasil survei menunjukkan bahwa alasan utama kurang mentaati aturan pengendalian pencemaran air bagi sebagian besar responden (50%) adalah nomor 5 yakni kalau harus membangun unit pengolah air limbah sangat besar biayanya sehingga bisa mengurangi keuntungan. Dengan demikian pertimbangan sisi ekonomi yang menyangkut biaya dan keuntungan telah mendominasi perilaku yang kurang respon terhadap kebijakan pengendalian pencemaran air. Hal ini bisa dipahami karena biaya pemasangan dan pengoperasian unit pengolah limbah sangat tinggi. Ketika item ini diperhitungkan akan menaikan biaya produksi akhirnya menurunkan tingkat produksi. Kajian literatur dapat memperkuat fenomena ini. Eksternalitas yang dalam hal ini adalah air yang tercemar akan menjadi biaya jika eksternalitas tersebut tidak diinternalisasikan dalam biaya produksi, sehingga prinsip maksimisasi keuntungan terletak pada Marginal Private Cost (MPC) = Marginal Social Benefit (MSB). Sebaliknya jika biaya eksternal itu diinternalisasikan, yang ditunjukkan oleh adanya proses pengolahan limbah sebelum dibuang ke sungai maka akhirnya akan menjadi biaya sosial, sehingga prinsip maksimisasi keuntungan terletak pada Marginal Social Cost (MPC) = Marginal Social Benefit (MSB). Dampaknya terhadap ouput optimal akan tercapai pada tingkat yang lebih rendah, baik dalam struktur pasar persaingan sempurna

181 155 maupun monopoli. Kajian secara grafis tentang fenomena ini disajikan dalam Gambar 5 dan Gambar 6. Price MSC MPC P 2 P 1 AR = D = MR 0 Quantity Q 2 Q 1 Gambar 5. Internalisasi Eksternalitas Dalam Pasar Persaingan Sempurna Price MSC MPC P 2 P 1 MR AR = D = P 0 Q 2 Q 1 Quantity Gambar 6. Internalisasi Eksternalitas Dalam Pasar Monopoli Alasan utama lainnya yang diungkapkan oleh sebagian besar responden (47 persen) yakni alasan nomor 2, yakni relatif aman membuang limbah ke sungai

182 156 karena akan langsung terserap oleh air. Secara fisik, air yang mengalir memiliki kapasitas menyerap residu lebih besar dibandingkan dengan air yang tergenang. Meskipun demikian kapasitas tersebut ada titik optimumnya, sehingga jika pandangan setiap individu terhadap air sungai bahwa relatif aman membuang limbah ke sungai karena akan langsung terserap oleh air, pada gilirannya akan mendorong over eksploitasi. Pemahaman seperti ini menyederhanakan permasalahan karena melihat perilaku secara pribadi. Ketika perilaku itu terjadi secara menyeluruh, maka pemahaman tersebut akan menjadi bencana karena terbatasnya daya dukung lingkungan. Sebagian besar responden pun yakni 44 persen menyatakan alasan nomor 1 yakni tidak ada sanksi membuang limbah ke sungai sebagai alasan utama tetap melakukan pembuangan limbah ke sungai. Jawaban ini muncul karena dua sebab utama. Pertama, sebagaimana ditemukan dari hasil survei, dikarenakan ketidaktahuan dan ketidakpahaman terhadap berbagai aturan yang berlaku tentang pengendalian pencemaran air. Kedua, bagi pihak-pihak yang sekalipun mengetahui dan memahami aturan, namun karena kontrol dan penegakan aturan tersebut tidak berjalan, tetap memberikan peluang untuk dilanggar. Alasan lain yang banyak disebutkan (31 persen dari total responden) adalah nomor 11 yakni selama ini tidak ada peluang kerjasama untuk menurunkan pencemaran air sesama pencemar. Alasan ini secara langsung menunjukan bahwa di Jawa Barat juga di Indonesia belum ada mekanisme transferable discharge permits (TDP) sebagai alternatif mengatasi degradasi lingkungan. TDP memberikan kesempatan kepada sesama pihak pencemar untuk memperjualbelikan ijin pembuangan limbah. Terdapat 3 jenis TDP, yakni credit

183 157 trading, averaging dan allowance trading (Ellerman, 2005). Mekanisme TDP akan efektif dalam kondisi biaya transaksi yang rendah. Hasil survei menunjukan sebanyak 28 persen responden menyatakan bahwa sekalipun ada peluang kerjasama untuk menurunkan pencemaran air, tapi biaya negosiasinya sangat besar bahkan bisa menyamai besarnya biaya untuk mengatasi kerusakan lingkungan itu sendiri. Dari seluruh gambaran di atas, nampak bahwa realitas open access dari air sungai sangat kentara sehingga menyulitkan implementasi kebijakan dengan baik. Dengan demikian semakin dapat dipahami mengapa hasil estimasi menunjukan variabel kebijakan tidak berpengaruh. Sementara itu menarik pula menelusuri persepsi dan sikap rumahtangga dalam memanfaatkan air sungai. Terdapat 15 item pernyataan yang disodorkan dalam kuesioner (Lampiran 5) yang secara substansi sama dengan pernyataan untuk perusahaan. Hasil survei menunjukan terdapat kecenderungan sikap yang berbeda dengan perusahaan. Sebagian besar responden (90 persen) menyatakan kurang setuju/tidak setuju/sama sekali tidak setuju terhadap pernyataan aman membuang sampah ke sungai ketika jumlah penduduk masih sedikit. Demikian halnya untuk pernyataan membuang sampah ke sungai semakin aman ketika jumlah penduduk semakin banyak karena semakin sulit mengidentifikasi siapa yang berbuat, ternyata sebagian besar responden (76 persen) menyatakan kurang setuju/tidak setuju/sama sekali tidak setuju. Sebanyak 52 persen responden setuju bahwa ada bayaran ketika membuang limbah ke sungai. Menariknya sebagian besar responden (89 persen) kurang setuju/tidak setuju/sama sekali tidak setuju bahwa dampak dari pencemaran air akan ditanggung pihak lain. Berdasarkan

184 158 pandangan terhadap pernyataan-pernyataan tersebut seperti itu berarti terdapat suatu sikap rumahtangga yang tidak semena-mena dalam memanfaatkan air sungai. Sekalipun air sungai termasuk SDA open access ternyata beberapa rumahtangga yang disurvei memiliki keterbatasan dalam memanfaatkannya. Keterbatasan tersebut tidak lain karena adanya larangan membuah sampah dan limbah ke sungai. Hasil survei menunjukan ternyata sebagian besar responden (90 persen) menyatakan kurang setuju/tidak setuju/sama sekali tidak setuju terhadap pernyataan tidak ada larangan membuang sampah ke sungai. Artinya, sebagian besar rumahtangga mengakui adanya aturan dan mereka memahami dan cenderung mengikuti aturan tersebut. Mereka merasa memiliki tanggungjawab bahwa harus melakukan aksi dalam bentuk apa pun ketika terjadi pencemaran air. Hal ini dinyatakan oleh 84 persen responden. Mereka pun mengakui adanya peluang kerjasama sesama rumahtangga bahkan antar RT/RW dalam mengendalikan pencemaran air. Mereka tidak mengakui adanya biaya negosiasi yang besar dalam kerjasama tersebut. Hal ini ditunjukan oleh pandangan 66 persen responden yang menyatakan kurang setuju/tidak setuju/sama sekali tidak setuju terhadap pernyataan selama ini ada peluang kerjasama untuk menurunkan polusi, tapi biaya negosiasinya sangat besar. Sebanyak 55 persen responden merasa yakin akan mendapat keuntungan jika terlibat dalam pengendalian pencemaran air. Dengan demikian hasil survei ke 29 rumahtangga yang berada di sekitar sungai di Kota Bandung, Cirebon, Kabupaten Bandung, Indramayu memberikan harapan besar bahwa ada kepedulian yang baik dari masyarakat sekitar sungai

185 159 terhadap pencemaran air. Fakta ini merupakan modal besar untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengendalian pencemaran air. Dengan membandingkan hasil survei ini dengan perusahaan berarti pelaku utama yang mendorong tingginya pencemaran air adalah dari dunia usaha terutama sektor industri manufaktur. Konsekuensinya, kebijakan pengendalian pencemaran air seyogianya lebih bias pada pihak industriawan Kasus Pencemaran Udara Pencemaran Udara: Eksternalitas Publik Udara dan kehidupan makhluk hidup tidak dapat dipisahkan. Sekalipun keberadaan udara tidak nampak secara kasat mata, semua makhluk hidup tergantung padanya. Dari aspek kepemilikan, tidak ada kepemilikan atas udara, sehingga tidak terdapat kewajiban pemeliharaan atasnya. Ketika penduduk semakin banyak dan aktivitas manusia untuk memenuhi kebutuhannya semakin meningkat pada gilirannya akan menimbulkan pencemaran udara. Pencemaran udara terjadi ketika udara di atmosfir tercampur zat atau radiasi yang berpengaruh buruk terhadap organisme hidup. Industri merupakan aktivitas anthropogenik penyumbang pencemaran udara terbesar, walaupun untuk di daerah perkotaan di Indonesia dan negara berkembang lainnya tingkat kontribusinya masih berada di bawah tingkat emisi kendaraan bermotor (BPLHD, 2004). Di Jawa Barat terdapat berbagai jenis industri yang potensial mengemisikan pencemar udara seperti industri tekstil yang terkonsentrasi di daerah Kota Bandung Selatan dan Kabupaten Bandung, industri batu kapur di

186 160 Padalarang, industri semen di Palimanan dan pengilangan minyak di daerah Cirebon dan Bekasi. Selain itu jumlah kendaraan dan aktivitas lalu lintas yang terus meningkat setiap tahunnya, maka diperkirakan tingkat pencemaran udara di Jawa Barat terutama di pusat-pusat pertumbuhan ekonomi cukup tinggi. Pencemaran udara akan menimbulkan dampak negatif bagi kesehatan manusia, kehidupan tumbuhan dan hewan, keseimbangan ekosistem dan kerusakan material. Eksternalitas negatif ini merupakan eksternalitas publik, bahwa kerugian yang dialami oleh seseorang tidak mengurangi kerugian yang diderita pihak lainnya. Selain itu, pencemaran udara bisa terjadi lintas batas administrasi. Karena emisi dari industri umumnya dilepaskan melalui cerobong, emisi dari industri mempunyai karakteristik penyebaran yang berbeda dengan emisi gas buang kendaraan bermotor yang cenderung terkonsentrasi di atas permukaan tanah. Pengaruh faktor meteorologi seperti angin dan stabilitas atmosfer akan menyebabkan emisi yang dilepaskan pada ketinggian mempunyai potensi untuk tinggal di atmosfer lebih lama dan menyebar sehingga menimbulkan dampak negatif di tempat lain yang berlokasi jauh dari sumbernya. Dengan demikian sulit mengidentifikasi secara pasti siapa yang paling bertanggungjawab atas pencemaran udara yang diderita oleh suatu wilayah. Beranjak dari fenomena ini, respon terhadap masalah pencemaran udara menuntut pemikiran yang holistik.

187 Keberadaan Kebijakan dan Implementasi Kebijakan Pengendalian Pencemaran Udara Pemerintah telah merespon masalah pencemaran udara melalui kebijakankebijakan yang bias pada tipe CAC. Untuk mengetahui bagaimana persepsi dan sikap dunia usaha terhadap kebijakan-kebijakan tersebut, survei dilakukan ke beberapa pelaku usaha di beberapa sektor ekonomi yang berada di Kota/Kabupaten Bandung, Kota/Kabupaten Cirebon, dan Kabupaten Karawang. Mengingat tujuan survei untuk memperkuat analisa hasil estimasi model yang sudah dibahas pada bab sebelumnya, maka penentuan jumlah sampel tidak mengikuti kaidah sebgaimana mestinya. Dengan pertimbangan waktu dan biaya total sampel untuk menggali persepsi dan sikap dunia usaha yang diperkirakan menimbulkan pencemaran udara hanya 10 perusahaan. Dari 10 perusahaan tersebut, terdapat 3 perusahaan yang sudah beroperasi sejak tahun 1970, 1 perusahaan yang beroperasi sejak tahun 1980, 1 perusahaan yang beroperasi sejak tahun 1982, 1 perusahaan yang beroperasi sejak tahun 1983, 1 perusahaan yang beroperasi sejak tahun 1990, 1 perusahaan sejak tahun 2001 dan 2 perusahaan sejak tahun Metode pengolahan data sama dengan kasus di pencemaran air. Nilai ratarata dari skala likert untuk pencemaran udara ini sangat rendah yakni hanya 0.44 artinya implementasi kebijakan pengendalian pencemaran udara tidak intensif atau efektivitas kebijakan sangat rendah. Hasil survei ini semakin memperjelas temuan hasil estimasi bahwa kebijakan pengendalian pencemaran udara pun tidak berjalan efektif. Sama halnya dengan survei untuk perusahaan yang menghasilkan limbah cair, sebagian besar

188 162 responden yakni 80 persen menyatakan alasan tidak mematuhi aturan baku mutu emisi udara karena menurutnya tidak ada sanksi membuang limbah ke udara. Hasil survei tentang tingkat responsif industri terhadap kebijakan pengendalian pencemaran udara disajikan dalam Tabel 32. Tabel 32. Tingkat Responsif Industri Terhadap Kebijakan Pengendalian Pencemaran Udara di Jawa Barat Tahun Nilai rata-rata Keterangan efektivitas kebijakan yang sangat rendah efektivitas kebijakan yang sangat rendah efektivitas kebijakan yang sangat rendah efektivitas kebijakan yang sangat rendah efektivitas kebijakan yang sangat rendah efektivitas kebijakan yang sangat rendah efektivitas kebijakan yang sangat rendah efektivitas kebijakan yang sangat rendah efektivitas kebijakan yang sangat rendah efektivitas kebijakan yang sangat rendah efektivitas kebijakan yang sangat rendah efektivitas kebijakan yang sangat rendah efektivitas kebijakan yang sangat rendah efektivitas kebijakan yang sangat rendah efektivitas kebijakan yang sangat rendah efektivitas kebijakan yang sangat rendah efektivitas kebijakan yang sangat rendah efektivitas kebijakan yang sangat rendah efektivitas kebijakan yang sangat rendah efektivitas kebijakan yang sangat rendah efektivitas kebijakan yang sangat rendah efektivitas kebijakan yang sangat rendah efektivitas kebijakan yang sangat rendah efektivitas kebijakan yang sangat rendah efektivitas kebijakan yang sangat rendah efektivitas kebijakan yang sangat rendah efektivitas kebijakan yang sangat rendah efektivitas kebijakan yang sangat rendah efektivitas kebijakan yang sangat rendah efektivitas kebijakan yang sangat rendah efektivitas kebijakan yang sangat rendah Sumber: Hasil Survei

189 163 Fakta tersebut memperjelas eksistensi udara sebagai barang bebas, bersifat terbuka dan bisa dimanfaatkan oleh siapa pun tanpa terkecuali. Udara merupakan barang publik, tidak ada hak kepemilikan yang melekat pada komoditas ini sehingga sangat rentan terkena over eksploitasi. Penanganan masalah pencemaran udara sangat tergantung pada pilihan kebijakan yang diambil dan efektivtas dalam pelaksanaannya. Untuk kasus Indonesia dan Jawa Barat kebijakan yang dipilih bias pada tipe CAC, namun kapasitas dalam pelaksanaannya masih sangat rendah sehingga kebijakan sulit terealisir dengan baik. Dua alasan berikutnya yang banyak disebutkan oleh responden (60 persen) yakni merasa aman membuang limbah ke udara karena akan langsung terserap dan kalau harus membangun unit pengolah limbah sangat besar biayanya sehingga bisa mengurangi keuntungan. Dengan demikian alasan yang dikemukakan oleh responden ini sama dengan responden yang mengeluarkan limbah cair. Pertama, cara pandang terhadap SDA yang tidak ada pemiliknya dan tidak memiliki harga pasar bahwa SDA tersebut dapat dimanfaatkan oleh siapa saja dengan sepuaspuasnya. Kedua, jika pencemaran udara harus diperhitungkan maka akan membebani perusahaan karena muncul biaya eksternal.

190 164 Daftar Isi Bab 6 : VII. RESPON PELAKU EKONOMI TERHADAP KEBIJAKAN LINGKUNGAN Kasus Lahan Kritis Lahan Kritis Milik Masyarakat Lahan Kritis Milik Negara Keberadaan Kebijakan Dan Pelaksanaan Penanganan Lahan Kritis Di Dalam dan Luar Kawasan Bab II Asas Dan Tujuan Kasus Pencemaran Air Pencemaran Air: Realita Open Access Keberadaan Kebijakan Dan Implementasi Kebijakan Pengendalian Pencemaran Air Kasus Pencemaran Udara Pencemaran Udara: Eksternalitas Publik Tabel : Tabel 29. Perbedaan Substansi UU Pengelolaan LH Antara No 4 Tahun 1982 Dengan No 23 Tahun Tabel 30. Distribusi Sampel Persepsi dan Sikap Pengusaha dan Rumahtagga Terhadap Eksistensi Sungai dan Kebijakan Pengendalian Pencemaran Air di Jawa Barat 149 Tabel 31. Tingkat Responsif Pengusaha dan Rumahtangga Terhadap Kebijakan Pengendalian Pencemaran Air di Jawa Barat Tabel 32. Tingkat Responsif Terhadap Kebijakan Pengendalian Pencemaran Udara di Jawa Barat Gambar : Gambar 5. Internalisasi Eksternalitas Dalam Pasar Persaingan Sempurna Gambar 6. Internalisasi Eksternalitas Dalam Pasar Monopoli

191 VIII. SIMULASI HISTORIS DAMPAK DEGRADASI LINGKUNGAN TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DAN KEMISKINAN Dalam pembahasan dua bab sebelumnya terungkap bahwa pertumbuhan ekonomi seiring dengan proses industrialisasi telah menimbulkan dampak buruk terhadap kualitas air dan udara namun memberikan peluang turunnya luas lahan kritis. Terdapat dua hal mendasar dibalik permasalahan pencemaran air dan udara, pertama terkait dengan karakteristik industri yang menimbulkan banyak limbah. Kedua, sifat open access dari air dan udara sehingga mendorong over eksploitasi. Keberadaan kebijakan pengendalian pencemaran air dan udara yang bias pada tipe CAC tidak bekerja sebagaimana mestinya karena ketidakpahaman pihak-pihak terkait dan lemahnya sistem monitoring. Fakta ini berdasarkan pada hasil estimasi untuk variabel dummy kebijakan dan hasil survei. Dengan demikian akumulasi BODp, TDSp, CO dan CO2p akan semakin menumpuk seiring dengan pertumbuhan ekonomi selama kebijakan pengendaliannya belum berjalan optimal. Menurut pemikiran Pezzey, produktivitas lingkungan yang menurun akan berdampak pada turunnya pertumbuhan ekonomi sehingga meningkatkan ketimpangan pendapatan dan kemiskinan. Dalam bab ini akan dibuktikan seberapa besar dampak dari peningkatan degradasi lingkungan terhadap pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan. Melalui simulasi ketiga indikator lingkungan akan nampak perbedaan dampak dari ketiganya.

192 Pengaruh Kenaikan TDSp dan BODp Berdasarkan hasil estimasi persamaan output sektor ekonomi diperoleh bahwa TDSp dan BODp kurang respon terhadap perubahan output. Skenario yang dibuat yakni jika terjadi kenaikan jumlah TDSp sebesar 2 persen dan BODp sebesar 1 persen untuk mengetahui seberapa besar perubahan pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan. Pencemaran air berdampak langsung pada kegiatan sektor pertanian yang mengandalkan pemakaian air sungai, terutama kegiatan sub sektor tanaman pangan dan perikanan. Perubahan output sektor pertanian ini secara langsung akan berdampak pada output agregat dan variabel endogen lainnya. Tabel 33 menyajikan perubahan seluruh variabel endogen sebagai dampak dari kenaikan polutan pencemar air. Berdasarkan hasil simulasi nampak bahwa seluruh variabel endogen memburuk. Output seluruh sektor ekonomi mengalami penurunan dan sektor pertanian adalah sektor yang paling besar penurunannya yakni 0.87 persen. Hal ini dimungkinkan terjadi karena sektor pertanian merupakan sektor yang paling terkait dengan pencemaran air. Air yang tercemar dan mengairi persawahan akan menjadi racun bagi tanaman sehingga mengganggu pertumbuhannya dan mengurangi hasil. Demikian halnya area tambak dan jaring apung yang tercemar akan menimbulkan gagal panen. Turunnya output sektor pertanian ini secara otomatis menurunkan produktivitas tenaga kerjanya dengan persentase yang hampir sama dengan perubahan output karena jumlah tenaga kerjanya tetap.

193 166 Tabel 33. Simulasi Historis Dampak Kenaikan TDSp dan BODp Terhadap Makroekonomi-Lingkungan Jawa Barat No Variabel Keterangan Kenaikan Pencemaran Air BODp 1% TDSp 2% BODp 2% TDSp 4% 1 AGRO Sektor Pertanian INDS Sektor Industri JASA Sektor Jasa GR Gini Rasio PR Poverty LKP Lahan Kritis/kapita TG Tambang dan Galian KN Kontruksi CO Carbon Monoksida CO2p Carbon Dioksida/kapita TDSp Total Dissolved Solid/kapita BODp Biologi Oxigen Demand/kapita PDRB Produk Domestik Regional Bruto YT PDRB/kapita SA Pangsa Pertanian SI Pangsa Industri SJ Pangsa Jasa-Jasa PRDA Produktivitas TK Pertanian PRDI Produktivitas TK Industri PRDJ Produktivitas TK Jasa-Jasa Pengaruh yang besar dialami pula oleh sektor industri pengolahan. Sektor ini turun sebesar 0.83 persen yang selanjutnya berdampak pada turunnya produktivitas tenaga kerja di sektor industri pengolahan sebesar 0.78 persen. Berdasarkan hasil estimasi, penurunan produktivitas tenaga kerja di kedua sektor tersebut akan berdampak pada naiknya GR. Hasil simulasi memperlihatkan ini bahwa angka Gini Ratio naik sebesar 0.09 persen. Penurunan output sektor-sektor ekonomi semakin nampak dengan turunnya PDRB sebesar 0.53 persen dan PDRB per kapita sebesar 0.51 persen. Penurunan PDRB sebesar 0.53 persen telah menaikan tingkat kemiskinan sebesar persen. Artinya, pencemaran air pada gilirannya dapat menurunkan kesejahteraan

194 167 masyarakat. Hal ini terjadi karena turunnya utilitas dari konsumsi air yang telah tercemar dan pada saat yang bersamaan menanggung eksternalitas negatif dari air yang tercemar yakni dampak negatif terhadap kesehatan. Kenyataan tersebut akan lebih dirasakan oleh mereka yang sangat tergantung kebutuhan air sehari-harinya terhadap sungai yang kebanyakan termasuk golongan masyarakat bawah. Studi Duraiappah (1996) menunjukan bahwa empat juta anak meninggal karena diare sebagian besar berasal dari rumahtangga kota berpendapatan rendah. Masyarakat miskin memiliki akses terbatas terhadap air bersih. Penurunan kualitas air ternyata tidak memiliki pengaruh terhadap LKp sekalipun variabel-variabel penentu LKp yakni output sektor pertambangan dan penggalian serta kemiskinan dan GR mengalami perubahan. Hal ini dikarenakan kekuatan antara dampak negatif dan positif antar variabel yang seimbang. Tidak demikian halnya terhadap kualitas udara, karena PDRB per kapita turun sebagai respon terhadap menurunnya kualitas air maka jumlah CO dan CO2p mengalami penurunan pula Pengaruh Kenaikan CO dan CO2p Simulasi pun dilakukan untuk kasus pencemaran udara, bagaimana dampaknya terhadap makroekonomi-lingkungan Jawa Barat jika jumlah CO naik sebesar 2 persen dan CO2p sebesar 1 persen. Sebagaimana model yang sudah dibangun pencemaran udara diperkirakan menimbulkan dampak terhadap aktivitas sektor industri pengolahan dan jasa karena jumlah CO cenderung terpusat di wilayah perkotaan dan padat penduduk yang identik sebagai wilayah industri dan jasa.

195 168 Demikian halnya jumlah CO2 diperkirakan berdampak terhadap aktivitas sektor industri pengolahan dan jasa sekalipun dimungkinkan bergerak pula menyebar ke wilayah lainnya. Dalam model yang sudah dibangun, pencemaran udara tidak dikaitkan langsung dengan sektor pertanian. Namun melalui simulasi ternyata sektor pertanian pun terpengaruh sebagai efek berantai dari sektor industri pengolahan dan jasa. Hasil simulasi selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 34. Tabel 34. Simulasi Historis Dampak Kenaikan CO dan CO2p Terhadap Makroekonomi-Lingkungan Jawa Barat No Variabel Keterangan Kenaikan Pencemaran Udara CO2p 1% CO 2% CO2p 2% CO 4% 1 AGRO Sektor Pertanian INDS Sektor Industri JASA Sektor Jasa GR Gini Rasio PR Poverty LKp Lahan Kritis/kapita TG Tambang dan Galian KN Kontruksi TDSp Total Dissolved Solid/kapita BODp Biologi Oxigen Demand/kapita CO Carbon Monoksida CO2p Carbon Dioksida/kapita PDRB Produk Domestik Regional Bruto YT PDRB/kapita SA Pangsa Pertanian SI Pangsa Industri SJ Pangsa Jasa-Jasa PRDA Produktivitas TK Pertanian PRDI Produktivitas TK Industri PRDJ Produktivitas TK Jasa-Jasa Kenaikan tingkat pencemaran udara berdampak pada turunnya output sektorsektor ekonomi kecuali sektor jasa. Kenaikan CO2p sebesar 1 persen dan CO sebesar 2 persen ternyata meningkatkan sektor jasa sebesar 0.61 persen. Sesuai hasil estimasi

196 169 yang bertanda positif dari pengaruh CO terhadap output sektor jasa, hasil simulasi pun menunjukan demikian. Sektor jasa yang di dalamnya termasuk sektor transportasi merupakan sektor ekonomi yang mendominasi output CO. Naiknya CO seiring dengan berkembangnya sektor transportasi yang mendukung aktivitas sektor jasa lainnya semakin mendorong aktivitas sektor jasa. Artinya, perkembangan sektor jasa periode sebelumnya sangat mempengaruhi perkembangan periode berikutnya dalam kondisi tidak ada kebijakan ketat pengendalian jumlah CO. Secara keseluruhan output agregat mengalami penurunan sebesar 0.11 persen. Penurunan ini diikuti oleh turunnya produktivitas tenaga kerja di sektor industri pengolahan dan pertanian sehingga mengakibatkan GR naik sebesar 0.16 persen. Peningkatan GR tidak lepas dari pengaruh kenaikan produktivitas tenaga kerja di sektor jasa. Penurunan PDRB sebesar 0.11 persen menyebabkan angka kemiskinan naik sebesar persen. Artinya, memburuknya kualitas udara sama halnya dengan memburuknya kualitas air, dapat menurunkan tingkat kesejahteraan masyarakat. Hal ini terjadi karena udara merupakan gas yang kita hirup setiap saat. Udara tercemar yang terhirup akan merusak sistem pernafasan dan menimbulkan penyakit sehingga muncul biaya kesehatan yang akan mengurangi alokasi anggaran untuk pengeluaran pangan. Kelompok masyarakat berpendapatan rendah paling parah terkena ancaman kesehatan akibat polusi udara. Hilangnya kesempatan bekerja karena sakit menghilangkan pendapatan bahkan kemungkinan kehilangan pekerjaan.

197 170 Tidak adanya asuransi kesehatan bagi mereka memperbesar mereka masuk ke dalam golongan masyarakat miskin (Duraiappah, 1996). Memburuknya kualitas udara tidak mempengaruhi luas lahan kritis dan jumlah TDSP karena variabel-variabel yang mempengaruhinya saling meniadakan Pengaruh Kenaikan Lus Lahan Kritis Per Kapita Masalah lahan kritis merupakan masalah yang paling krusial diantara masalah lingkungan lainnya karena menyangkut keseimbangan ekosistem keseluruhan, sehingga dampak negatifnya sangat terasa oleh banyak pihak. Dalam penelitian ini disimulasikan LKp naik 1 persen, 2 persen dan 3 persen. Hasil simulasi selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 35. Tabel 35. Simulasi Historis Dampak Kenaikan LKp Terhadap Makroekonomi- Lingkungan Jawa Barat No Variabel Keterangan Kenaikan LKp 1% 2% 3% 1 AGRO Sektor Pertanian INDS Sektor Industri JASA Sektor Jasa GR Gini Ratio PR Tingkat kemiskinan LKp Lahan Kritis/kapita TG Tambang dan Galian KN Kontruksi TDSp Total Dissolved Solid/kapita BODp Biologi Oxigen Demand/kapita CO Carbon Monoksida CO2p Carbon Dioksida/kapita PDRB Produk Domestik Regional Bruto YT PDRB/kapita SA Pangsa Pertanian SI Pangsa Industri SJ Pangsa Jasa-Jasa PRDA Produktivitas TK Pertanian PRDI Produktivitas TK Industri PRDJ Produktivitas TK Jasa-Jasa

198 171 Hasil simulasi dapat membuktikan dampak serius dari naiknya lahan kritis per kapita sebesar 1 persen. Seluruh aktivitas ekonomi terganggu, output seluruh sektor ekonomi turun. Sektor yang paling terkena dampaknya adalah sektor industri pengolahan yang turun sebesar 2.09 persen, sementara sektor pertanian turun 1.26 persen dan jasa turun 0.81 persen. Menarik untuk dielaborasi mengapa sektor industri pengolahan yang terkena dampak terbesar. Pengalaman pahit setiap banjir terutama banjir besar yang terjadi di Bandung Selatan karena meluapnya Sungai Citarum telah merendam area kawasan industri tekstil. Akibat genangan air, mesin-mesin terendam sehingga tidak bisa berpoduksi untuk beberapa hari. Selain itu sarana transportasi untuk mengangkut barang-barang input atau output tidak berfungsi. Kerugian yang harus ditanggung nilainya jauh lebih besar dibandingkan dengan kegagalan panen padi dan turunnya produksi sektor kehutanan karena menyangkut hilangnya kesempatan berproduksi. Penurunan output sektor pertanian, industri pengolahan dan jasa berdampak pada turunnya produktivitas tenaga kerja di masing-masing sektor. Seperti kasus banjir yang merendam beberapa pabrik tekstil di Bandung Selatan terpaksa merumahkan semua karyawannya selama banjir belum surut. Penurunan produktivitas tenaga kerja di seluruh sektor mengakibatkan Gini Ratio meningkat sebesar 0.23 persen. Menurunnya output sektor-sektor ekonomi mengakibatkan ekonomi terkontraksi sebesar 1.5 persen, hal ini nampak pada PDRB sebagai output agregat. Artinya, dampak kenaikan LKp sebesar 1 persen menurunkan pertumbuhan ekonomi

199 172 sampai 1.5 persen, dampak yang sangat besar. Tingkat kemiskinan naik 0.23 persen. Dibandingkan dengan masalah lingkungan lainnya terbukti bahwa dampak dari meningkatnya LKp terhadap perekonomian dan kondisi sosial ekonomi jauh lebih besar. Dengan demikian masalah lahan kritis lebih baik menjadi agenda prioritas untuk diatasi. Jika kenaikan LKp lebih besar lagi misalnya 2 persen dan 3 persen maka dampaknya semakin besar, meningkat secara proporsional karena fungsi dalam model bersifat linier Substansi Hasil Simulasi Historis Berdasarkan ketiga simulasi indikator lingkungan terdapat substansi bahwa setiap peningkatan degradasi lingkungan berdampak pada turunnya pertumbuhan ekonomi dan meningkatnya ketimpangan pendapatan serta kemiskinan. Temuan ini mendukung pemikiran Pezzey, Endersen dan studi Holden bahwa degradasi lingkungan cenderung menurunkan produksi output dan meningkatkan kemiskinan. Dibandingkan dengan indikator pencemaran air dan pencemaran udara, dampak dari LKp jauh lebih besar baik terhadap pertumbuhan ekonomi maupun kemiskinan. Fakta ini sesuai dengan karakteristik kerusakan yang menyangkut berubahnya keseimbangan ekosistem. Hasil simulasi tersebut memperjelas bahwa masalah degradasi lingkungan merupakan masalah serius karena dapat mengurangi tingkat kesejahteraan masyarakat.

200 173 Daftar Isi : VIII. SIMULASI HISTORIS DAMPAK DEGRADASI LINGKUNGAN TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DAN KEMISKINAN Pengaruh Kenaikan TDSp dan BODp Pengaruh Kenaikan CO dan CO2p Pengaruh Kenaikan Lus Lahan Kritis Per Kapita Substansi Hasil Simulasi Historis Tabel : Tabel 33. Simulasi Historis Dampak Kenaikan TDSp dan BODp Terhadap Makroekonomi-Lingkungan Jawa Barat Tabel 34. Simulasi Historis Dampak Kenaikan CO dan CO2p Terhadap Makroekonomi-Lingkungan Jawa Barat Tabel 35. Simulasi Historis Dampak Kenaikan LKP Terhadap Makroekonomi- Lingkungan Jawa Barat

201 IX. SIMULASI RAMALAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN Berdasarkan seluruh pembahasan dari simulasi historis dan evaluasi implementasi kebijakan lingkungan ditemukan kunci untuk memperbaiki degradasi lingkungan yang dihadapi Jawa Barat, yakni mengubah pola pertumbuhan ekonomi dan melengkapi kebijakan lingkungan yang ada dengan tipe kebijakan yang berbasis pasar serta meningkatkan kepedulian lingkungan. Pola pertumbuhan ekonomi yang dimaksud adalah pertumbuhan ekonomi yang berbasis sektor jasa yang lebih sedikit menghasilkan limbah dibandingkan dengan sektor industri pengolahan. Sedangkan kebijakan lingkungan yang berbasis pasar adalah instrumen kebijakan yang memberikan insentif buat pencemar untuk mengurangi limbahnya melalui perhitungan benefit dan biaya. Upaya peningkatan kepedulian lingkungan merupakan langkah strategis berdasarkan peta permasalahan yang ditemukan dari hasil survei dan estimasi model. Hasil survei mengindikasikan bahwa efektivitas pelaksanaan kebijakan lingkungan yang rendah terkait pula dengan rendahnya tingkat kepedulian pihak-pihak pencemar. Sementara hasil estimasi menunjukan bahwa tingkat kepedulian memiliki tingkat responsivitas yang cukup tinggi. Orientasi pertumbuhan ekonomi yang berbasis sektor jasa harus diciptakan diantaranya melalui kebijakan alokasi input seperti kredit perbankan yang lebih besar proporsinya untuk sector tersebut. Untuk menghindari dampak negatif dari peningkatan output sektor jasa terhadap distribusi pendapatan, maka perlu

202 174 dikembangkan kebijakan spesifik perbaikan distribusi pendapatan diantaranya melalui inovasi kelembagaan seperti menumbuhkembangkan micro-financing, mengembangkan kearifan lokal dan modal sosial. Dalam bab ini akan dibahas bagaimana dampak dari beberapa skenario kebijakan yang terkait dengan pertumbuhan ekonomi, perbaikan distribusi pendapatan dan peningkatan kepedulian lingkungan Skenario Kebijakan Peningkatan Kredit Perbankan Kredit perbankan ke berbagai sektor ekonomi merupakan pembiayaan permodalan baik untuk modal kerja maupun untuk pembentukan modal tetap atau investasi. Permodalan merupakan input penting selain tenaga kerja dalam proses produksi suatu barang atau jasa. Selama periode besarnya kredit perbankan didominasi oleh kredit untuk sektor industri pengolahan, rata-rata setiap tahunnya pangsa kredit industri sebesar 43 persen. Hal ini sejalan dengan proses industrialisasi yang berlangsung di Jawa Barat. Dari total nilai kredit sektor industri pengolahan sebagian besar terserap di wilayah industri yakni Kabupaten Bogor, Bekasi, Karawang, Bandung dan Kota Cimahi. Dominasi pangsa kredit industri mulai turun menjadi rata-rata 36 persen per tahunnya sejak tahun 2003, sebaliknya pangsa kredit sektor jasa mulai meningkat mencapai 23 persen. Sektor jasa yang dimaksud mencakup sektor transportasi dan telekomunikasi, sektor perdagangan, hotel dan restoran, sektor keuangan, persewaan

203 175 dan jasa perusahaan, dan sektor jasa-jasa. Sementara sektor pertanian hanya menyerap alokasi kredit tidak lebih dari 4 persen. Pada tahun 2004 pertumbuhan kredit sektor industri pengolahan masih tetap tinggi yakni mencapai 20 persen dan menyebar ke wilayah lain yang belum terkategorikan sebagai wilayah industri seperti Kabupaten Majalengka, Kota Sukabumi, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Purwakarta, Subang dan Cianjur selain tetap mengalir ke wilayah industri. Kenyataan tersebut menunjukan tingginya aktivitas pengolahan produksi barang di banyak wilayah di Jawa Barat terutama yang dilakukan oleh pelaku usaha skala kecil dan menengah. Hal ini tercermin pada perkembangan jumlah unit usaha kecil dan menengah yang baru yang terdaftar di Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kabupaten/Kota di Jawa Barat. Potensi pengembangan usaha industri diperkirakan masih besar untuk 5 tahun ke depan, sehingga diproyeksikan kredit perbankan untuk sektor industri pengolahan tumbuh 20 persen selama periode Perkembangan output sektor jasa sangat tinggi dalam 5 tahun terakhir terutama ditopang oleh sub sektor perdagangan eceran dan sektor jasa-jasa. Kontribusi kelompok sektor jasa terhadap pertumbuhan ekonomi Jawa Barat selama tahun rata-rata mencapai 2 persen dari rata-rata pertumbuhan ekonomi sebesar 4.5 persen. Sesuai perencanaan makroekonomi Jawa Barat ke depannya, dalam jangka menengah perekonomian Jawa Barat ditargetkan didominasi oleh sektor jasa. Oleh karena itu perlu dukungan kebijakan dari perbankan untuk meningkatkan alokasi kredit ke sektor jasa. Kredit sektor jasa pada tahun 2004 tumbuh 13 persen, sehingga

204 176 diproyeksikan untuk periode kredit tumbuh sebesar 13 persen pula. Diskenariokan ada kebijakan khusus peningkatan kredit ini sebesar 30 persen. Untuk kepentingan lingkungan, skenario tersebut diharapkan akan memberikan efek positif karena karakteristik produksi jasa yang menghasilkan limbah dan emisi lebih rendah dari sektor industri pengolahan. Sementara kredit perbankan untuk sektor pertanian pada tahun 2004 tumbuh 7 persen. Diharapkan ke depannya pertumbuhan pembiayaan sektor pertanian dapat bertahan sebesar 7 persen karena di Jawa Barat banyak sekali komoditas pertanian unggulan yang sangat potensial untuk dikembangkan. Pada saat yang bersamaan Jawa Barat dihadapkan pada permasalahan serius yakni alih fungsi lahan pertanian menjadi kawasan non-pertanian karena tingginya pertumbuhan penduduk dan aktivitas perekonomian. Diproyeksikan untuk periode lahan pertanian di Jawa Barat semakin menurun setiap tahunnya sebesar 0.5 persen. Penurunan lahan pertanian ini menurunkan output pertanian, sehingga menurunkan pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kemiskinan. Dalam ranagka mengantisipasi penurunan output perlu dilakukan upaya substitusi oleh input lainnya misalnya oleh kredit perbankan. Berdasarkan perhitungan trial and error menunjukan ternyata kredit perbankan untuk sektor pertanian harus naik 10 persen agar dampak negatif dari penurunan luas lahan dapat tereliminir. Oleh karena itu diskenariokan kredit perbankan untuk sektor pertanian naik 10 persen dari angka yang diproyeksikannya. Kedit untuk sektor bangunan tumbuh paling tinggi pada tahun 2004 yakni 34 persen. Hal ini terkait dengan berkembangnya pembangunan properti baik

205 177 perumahan, pertokoan maupun perkantoran di beberapa wilayah Jawa Barat terutama di pusat-pusat pertumbuhan baru seperti Kota Tasikmalaya, Cirebon dan sekitarnya, Purwakarta dan Karawang, Bandung. Sektor bangunan diperkirakan masih berkembang pesat dalam tahun , termasuk rencana pengembangan infrastruktur yang dimungkinkan dibiayai perbankan. Oleh karena itu diproyeksikan selama periode ramalan kredit sektor bangunan meningkat 34 persen pula. Skenario ramalan yang pertama adalah kebijakan meningkatkan kredit perbankan untuk sektor tersier sebesar 20 persen, sektor industri pengolahan dan sektor pertanian 10 persen. Kredit untuk sektor konstruksi tidak dinaikan lagi karena angka proyeksinya dalam model sudah cukup tinggi. Pola pertumbuhan ekonomi dengan skenario seperti ini bias pada sektor jasa yang diharapkan lebih sedikit menimbulkan degradasi lingkungan. Hasil simulasi selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 36. Kenaikan kredit untuk ketiga sektor ekonomi meningkatkan output seluruh sektor ekonomi dan output sektor jasa meningkat jauh lebih besar dibandingkan kedua sektor lainnya, sehingga kenaikan produktivitas tenaga kerja dan pangsa sektor jasa paling tinggi. Sebaliknya pangsa kedua sektor lainnya menurun. Di satu sisi kenaikan setiap output sektor ekonomi mendorong pertumbuhan ekonomi sebesar 1.58 persen dan menurunkan kemiskinan dalam persentase 0.28 persen. Di sisi lain kenaikan produktivitas tenaga kerja sektor jasa yang paling tinggi menjadi sumber penyebab angka Gini Ratio meningkat sebesar 0.40 persen setara dengan dari menjadi Dengan demikian penduduk miskin berkurang namun

206 178 ketimpangan meningkat karena kenaikan pendapatan pekerja di sektor jasa lebih besar. Tabel 36. Simulasi Ramalan Dampak Kebijakan Peningkatan Kredit Perbankan Untuk Sektor Jasa, Industri Pengolahan dan Pertanian No Variabel Keterangan Bias Pada Sektor Jasa Industri 1 AGRO Sektor Pertanian INDS Sektor Industri JASA Sektor Jasa GR Gini Rasio PR Jumlah Penduduk Miskin LKp Lahan Kritis/kapita TG Tambang dan Galian KN Kontruksi TDSp Total Dissolved Solid/kapita BODp Biologi Oxigen Demand/kapita CO Carbon Monoksida CO2p Carbon Dioksida/ kapita PDRB Produk Domestik Regional Bruto YT PDRB/kapita SA Pangsa Pertanian SI Pangsa Industri SJ Pangsa Jasa-Jasa PRDA Produktivitas TK Pertanian PRDI Produktivitas TK Industri PRDJ Produktivitas TK Jasa-Jasa Kondisi sosial ekonomi tersebut tidak menimbulkan dampak terhadap luas lahan kritis per kapita, sedangkan kualitas air dan udara menurun tercermin dengan naiknya TDSp, BODp, CO dan CO2p seiring dengan naiknya PDRB/kapita sebesar 1.57 persen. Sebagai bahan perbandingan jika skenarionya diubah dimana kebijakan meningkatkan kredit perbankan untuk sektor tersier sebesar 10 persen, sektor industri pengolahan 20 persen dan untuk sektor pertanian 10 persen. Skenario ini menunjukan

207 179 bahwa pola pertumbuhan ekonomi yang dipilih seperti yang tengah berlangsung saat ini yakni lebih bias ke sektor industri pengolahan. Nampak dalam Tabel 36, tiga indikator lingkungan yakni luas lahan kritis per kapita, TDSp dan BODp tidak mengalami perubahan antara pola pertumbuhan ekonomi yang bias pada sektor industri dengan yang bias pada sektor jasa. Artinya, kedua pola pertumbuhan ekonomi ini memberikan dampak yang sama terhadap masalah lahan kritis dan pencemaran air. Namun tidak demikian dengan kasus pencemaran udara. Pola pertumbuhan ekonomi yang bias pada sektor industri menimbulkan dampak jumlah CO dan CO2p lebih tinggi dibandingkan dengan pola pertumbuhan ekonomi yang bias pada sektor jasa. Dengan demikian secara keseluruhan pola pertumbuhan ekonomi yang bias pada sektor jasa lebih baik dari sisi kepentingan lingkungan daripada pola pertumbuhan ekonomi yang bias pada sektor industri pengolahan Skenario Kebijakan Kredit Perbankan dan Penurunan Ketimpangan Pendapatan Berdasarkan skenario pada sub bab 9.1 nampak bahwa kebijakan peningkatan kredit sektor industri telah menimbulkan dampak buruk terhadap lingkungan yang lebih besar dibandingkan dengan sektor jasa. Namun di sisi lain pertumbuhan ekonomi yang berbasis sektor jasa berdampak pada naiknya ketimpangan pendapatan sekalipun besaran kenaikannya relatif kecil. Jika pilihan kebijakan tetap pada peningkatan pangsa sektor jasa maka perlu kebijakan spesifik perbaikan distribusi pendapatan yang berdampak signifikan pada turunnya Gini Ratio.

208 180 Dalam Rencana Strategis Pemerintah Propinsi Jawa Barat, tertuang salah satu misinya yakni mengembangkan struktur perekonomian regional yang tangguh dengan harapan meningkatnya pemerataan dan pertumbuhan ekonomi sehingga Indeks Gini Jawa Barat berada di bawah 0.2. Oleh karena itu, upaya pembangunan ekonomi Koperasi dan Usaha Kecil serta Menengah, menghilangkan kemiskinan dan mendorong kemajuan wilayah-wilayah tertinggal, maupun keseimbangan pembangunan antara perdesaan dengan perkotaan, menjadi sangat strategis guna mengurangi terjadinya kesenjangan yang makin melebar yang dapat melahirkan kecemburuan sosial, urbanisasi dan dapat mengganggu stabilitas keamanan wilayah. Untuk itu perlu dilakukan upaya pembangunan desa-desa dan kota-kota kecil dengan mengacu pada struktur ruang yang telah ditetapkan dan mengedepankan unsur padat karya (Pemprov Jabar, 2003). Berbagai program sudah digulirkan untuk meningkatkan aktivitas ekonomi masyarakat golongan bawah seperti program Raksadesa, Dakabalarea, pengembangan kluster industri kecil berbasis sumberdaya lokal, pengembangan desa percontohan tiap kabupaten. Program tersebut bersifat multidimensi yakni berupa bantuan finansial, bantuan teknis dan pengembangan kapasitas kelembagaan melalui pembentukan kelompok usaha bersama. Berkembangnya micro-financing yang dimotori swasta memberikan peluang besar untuk turut mempercepat perkembangan usaha masyarakat golongan bawah. Dengan asumsi program-program tersebut berjalan sebagaimana yang diharapkan maka disimulasikan angka GR dapat turun 0.01 dari angka yang

209 181 diproyeksikannya. Dampak dari kebijakan penurunan angka GR tersebut dapat dilihat pada Tabel 37. Tabel 37. Simulasi Ramalan Dampak Kebijakan Peningkatan Kredit Perbankan dan Penurunan Ketimpangan Pendapatan No Variabel Keterangan Δ % 1 AGRO Sektor Pertanian INDS Sektor Industri JASA Sektor Jasa PR Jumlah Penduduk Miskin GR Gini Ratio 6 LKp Lahan Kritis/kapita TG Tambang dan Galian KN Kontruksi TDSp Total Dissolved Solid/kapita BODp Biologi Oxigen Demand/kapita CO Carbon Monoksida CO2p Carbon Dioksida/kapita PDRB Produk Domestik Regional Bruto YT PDRB/kapita SA Pangsa Pertanian SI Pangsa Industri SJ Pangsa Jasa-Jasa PRDA Produktivitas TK Pertanian PRDI Produktivitas TK Industri PRDJ Produktivitas TK Jasa-Jasa Hasil simulasi kedua yang mengkombinasikan kebijakan peningkatan kredit perbankan untuk sektor jasa 20 persen, sektor industri pengolahan 10 persen dan untuk sektor pertanian 10 persen dengan penurunan angka GR sebesar 0.01 memberikan dampak lebih baik dibandingkan dengan kebijakan sebelumnya. Hal ini ditunjukan oleh seluruh indikator baik indikator ekonomi maupun lingkungan. Peningkatan output agregat mencapai 1.65 persen, lebih besar persen dibandingkan kebijakan pertama. Lahan kritis per kapita turun sebesar 1.49 persen, padahal jika kebijakan terfokus pada peningkatan kredit, luas lahan kritis tidak

210 182 mengalami perubahan. Demikian halnya kualitas air tidak menurun sebesar kebijakan pertama. Artinya, kenaikan jumlah TDSp dan BODp lebih sedikit setelah ada kebijakan penurunan angka GR dibandingkan dengan sebelumnya. Kualitas udara sedikit lebih buruk karena pengaruh kuat dari peningkatan PDRB/kapita yang lebih besar dibandingkan kebijakan pertama, sementara tingkat kemiskinan dan distribusi pendapatan tidak berpengaruh langsung terhadap kedua indikator kualitas udara tersebut Skenario Kebijakan Kredit Perbankan, Penurunan Ketimpangan Pendapatan dan Penurunan Laju Pertumbuhan Penduduk Mencermati peran pertumbuhan penduduk yang signifikan terhadap kemiskinan dan degradasi lingkungan maka kebijakan menurunkan laju pertumbuhan penduduk mutlak harus dilakukan. Skenario berikutnya adalah kebijakan penurunan laju pertumbuhan penduduk sebesar 0.3 persen dari yang diproyeksikan. Terkendalinya laju pertumbuhan penduduk sehingga berada di bawah 2 persen pada tahun 2008 merupakan salah satu sasaran dalam rangka meningkatkan daya dukung dan daya tampung lingkungan sebagaimana tertuang dalam Renstra Pemerintah Jabar. Upaya yang telah diusahakan mencakup penurunan angka kelahiran murni dan pengendalian arus migrasi masuk melalui peraturan tentang pengarahan mobilitas penduduk. Mencegah arus migrasi masuk lebih sulit dibandingkan dengan pengendalian angka kelahiran murni karena Jawa Barat termasuk propinsi tujuan utama bagi masyarakat dari luar Jabar, apalagi tidak ada aturan yang bisa membatasi jumlah

211 183 imigran. Selama aktivitas ekonomi terpusat di Pulau Jawa khususnya di ibu kota negara, maka sulit bagi Jawa Barat untuk menghindari masuknya kaum migran. Sementara program transmigrasi dari Jawa Barat keluar Jawa tidak berjalan secara berkesinambungan dan tidak sesuai dengan harapan. Jika aktivitas ekonomi lebih pesat di luar Jawa dimungkinkan akan merubah pola pergerakan penduduk selama ini. Kebijakan pengendalian jumlah penduduk di Jabar terkait erat dengan pola pembangunan nasional keseluruhan. Hasil simulasi penurunan laju pertumbuhan penduduk dapat dilihat pada Tabel 38. Tabel 38. Simulasi Ramalan Dampak Peningkatan Kebijakan Kredit Perbankan, Penurunan Ketimpangan Pendapatan dan Penurunan Laju Pertumbuhan Penduduk No Variabel Keterangan Δ % 1 AGRO Sektor Pertanian INDS Sektor Industri JASA Sektor Jasa PR Jumlah Penduduk Miskin GR Gini Ratio 6 LKp Lahan Kritis/kapita TG Tambang dan Galian KN Kontruksi TDSp Total Dissolved Solid/kapita BODp Biologi Oxigen Demand/kapita CO Carbon Monoksida CO2p Carbon Dioksida/kapita PDRB Produk Domestik Regional Bruto YT PDRB/kapita SA Pangsa Pertanian SI Pangsa Industri SJ Pangsa Jasa-Jasa PRDA Produktivitas TK Pertanian PRDI Produktivitas TK Industri PRDJ Produktivitas TK Jasa-Jasa Kebijakan yang lebih lengkap yakni peningkatan kredit perbankan yang bias pada sektor jasa disertai dengan kebijakan perbaikan distribusi pendapatan dan

212 184 penurunan laju pertumbuhan penduduk berdampak pada pencapaian kinerja lingkungan yang lebih baik. Sebagaimana yang disajikan dalam Tabel 38, nampak bahwa luas lahan kritis per kapita turun dalam persentase yang lebih besar yakni 1.99 persen dibandingkan dengan tidak ada kebijakan penurunan laju pertumbuhan penduduk yang turun sebesar 1.49 persen. Kenyataan tersebut tidak lepas karena pengaruh turunnya kemiskinan yang sangat signifikan yakni 1.39 persen sebagai variabel yang langsung terpengaruh oleh penurunan jumlah penduduk. Kualitas air relatif lebih baik dibandingkan dengan sebelum ada kebijakan penurunan laju pertumbuhan penduduk, kenaikan TDSp lebih rendah yakni sebesar 1.11 persen. Sementara jumlah BODp relatif tetap. Demikian halnya kualitas udara, kenaikan CO dan CO2p lebih rendah dibandingkan sebelum ada kebijakan penurunan laju pertumbuhan penduduk Skenario Kebijakan Pembangunan Berkelanjutan Agar kualitas lingkungan lebih baik, kebijakan sebelumnya perlu dikembangkan dengan upaya peningkatan kepedulian lingkungan baik pihak industri, pemerintah maupun masyarakat sehingga merupakan kebijakan pembangunan berkelanjutan. Berdasarkan hasil estimasi dan survei, tingkat kepedulian memegang peranan strategis untuk mengendalikan degradasi lingkungan terutama untuk kasus pencemaran air dan udara. Tingkat kepedulian yang diproksi oleh rata-rata lamanya sekolah masyarakat Jabar diproyeksikan meningkat selama periode Selanjutnya diskenariokan pelaksanaan kebijakan peningkatan kepedulian lingkungan

213 185 berjalan secara berkesinambungan sehingga tingkat kepedulian tersebut dapat meningkat sebesar 0.1 tahun dari yang diproyeksikan. Program wawasan lingkungan melalui integrasi modul spesifik pengelolaan LH ke dalam kurikulum yang sudah mulai berjalan di sekolah-sekolah menengah yang ada di Jawa Barat, merupakan salah satu bukti berjalannya upaya peningkatan kepedulian. Selain itu kampanye publik tentang peduli lingkungan pun semakin meningkat. Peningkatan kepedulian lingkungan yang mengikuti kebijakan-kebijakan sebelumnya benar-benar ampuh dapat memperbaiki kualitas lingkungan. Hasil simulasi selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 39. Tabel 39. Dampak Simulasi Ramalan Kebijakan Pembangunan Berkelanjutan No Variabel Keterangan Kenaikan Ed AGRO Sektor Pertanian INDS Sektor Industri JASA Sektor Jasa PR Jumlah Penduduk Miskin GR Gini Ratio 6 LKp Lahan Kritis/kapita TG Tambang dan Galian KN Kontruksi TDSp Total Dissolved Solid/kapita BODp Biologi Oxigen Demand/kapita CO Carbon Monoksida CO2p Carbon Dioksida/kapita PDRB Produk Domestik Regional Bruto YT PDRB/kapita SA Pangsa Pertanian SI Pangsa Industri SJ Pangsa Jasa-Jasa PRDA Produktivitas TK Pertanian PRDI Produktivitas TK Industri PRDJ Produktivitas TK Jasa-Jasa

214 186 Kenaikan tingkat kepedulian lingkungan sebesar 0.1 tahun menurunkan luas lahan kritis per kapita sebesar 2.49 persen, terjadi penurunan yang lebih besar dibandingkan kombinasi kebijakan tanpa upaya meningkatkan kepedulian yang hanya turun sebesar 1.99 persen. Sementara jumlah TDSp masih naik walaupun kenaikannya relatif rendah yakni 0.22 persen, padahal sebelum ada kebijakan peningkatan kepedulian, naik sebesar 1.11 persen. Jumlah BODp tidak mengalami perubahan seperti halnya tanpa ada kebijakan apa pun, kondisi yang baik dibandingkan dengan ketika belum ada kebijakan peningkatan kepedulian lingkungan yang masih naik sebesar 1.06 persen. Dampak postitif dari peningkatan kepedulian terjadi pula untuk kasus pencemaran udara. Dalam kondisi tidak ada upaya konkrit meningkatkan kepedulian, jumlah CO dan CO2p masih meningkat dengan persentase yang masih tinggi yakni 0.94 persen dan 1.81 persen sebagai dampak dari kebijakan peningkatan kredit perbankan, penurunan ketimpangan pendapatan dan laju pertumbuhan penduduk. Jika kepedulian meningkat sebesar 0.1 untuk periode ternyata jumlah CO masih naik sebesar 0.11 persen dan CO2p sebesar 0.16 persen. Seluruh indikator lingkungan akan membaik dimana LKp, TDSp, BODp, CO dan CO2p turun, jika kepedulian lingkungan meningkat lebih besar lagi. Sebagaimana bisa diamati dalam Tabel 39, ketika kepedulian lingkungan yang diproksi oleh rata-rata lamanya sekolah naik sebesar 0.2 seluruh indikator lingkungan membaik. Luas lahan kritis per kapita, jumlah TDSp, BODp, CO dan CO2p mengalami penurunan.

215 187 Kebijakan peningkatan kepedulian lingkungan memiliki konsekuensi terhadap kinerja perekonomian. Hasil simulasi menunjukan ternyata pertumbuhan ekonomi lebih rendah dibandingkan dengan tidak ada kebijakan meningkatkan kepedulian. Dalam simulasi kenaikan kepedulian 0.2 peningkatan PDRB hanya 1.18 persen, sementara tidak ada kebijakan peningkatan kepedulian kenaikan PDRB mencapai 1.63 persen. Lebih rendahnya kenaikan PDRB tersebut terjadi karena meningkatnya kesadaran lingkungan mendorong perubahan perilaku dalam pemanfaatan SDA dan membuang limbah. Sikap yang lebih hati-hati dalam pemanfaatan SDA akan berdampak pada jumlah pemanfaatan yang lebih rendah. Dengan alasan konservasi dan melindungi cadangan untuk memenuhi kebutuhan generasi mendatang, pihak yang kepeduliannya sudah tinggi akan menahan diri untuk tidak melakukan eksploitasi. Respon perekonomian dalam jangka pendek terhadap perubahan sikap tersebut ditunjukan oleh turunnya output. Namun ke depannya dimungkinkan terjadi substitusi oleh perkembangan sektor lainnya yang tidak berbasis SDA. Sementara perubahan sikap dalam membuang limbah akan menimbulkan biaya pengolahan. Biaya tersebut akan menaikan biaya operasi perusahaan sehingga menurunkan kemampuan menghasilkan output. Namun dalam jangka panjang ketika proses penyesuaian sudah menemukan keseimbangan yang baru diharapkan perbaikan lingkungan melalui penetapan kebijakan yang tepat dan peningkatan kepedulian akan mendorong peningkatan output. Perpaduan kebijakan pertumbuhan ekonomi yang bias pada sektor jasa dengan kebijakan penurunan ketimpangan pendapatan serta kebijakan peningkatan

216 188 kepedulian lingkungan dalam jangka pendek menurunkan kinerja makroekonomi namun memperbaiki kinerja lingkungan. Artinya, masih terjadi trade off antara makroekonomi dengan lingkungan untuk periode ramalan

217 189 Daftar Isi : IX. SIMULASI RAMALAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN Skenario Kebijakan Peningkatan Kredit Perbankan Skenario Kebijakan Kredit Perbankan dan Penurunan Ketimpangan Pendapatan Skenario Kebijakan Kredit Perbankan, Penurunan Ketimpangan Pendapatan dan Penurunan Laju Pertumbuhan Penduduk Skenario Kebijakan Kredit Perbankan, Penurunan Ketimpangan Pendapatan, Penurunan Laju Pertumbuhan Penduduk dan Peningkatan Kepedulian Lingkungan 184 Tabel 36. Simulasi Ramalan Dampak Kebijakan Peningkatan Kredit Perbankan Untuk Sektor Jasa, Industri Pengolahan dan Pertanian Tabel 37. Simulasi Ramalan Dampak Kebijakan Peningkatan Kredit Perbankan dan Penurunan Ketimpangan Pendapatan Tabel 38. Simulasi Ramalan Dampak Peningkatan Kebijakan Kredit Perbankan, Penurunan Ketimpangan Pendapatan dan Penurunan Laju Pertumbuhan Penduduk 183 Tabel 39. Skenario Kebijakan Kredit Perbankan, Penurunan Ketimpangan Pendapatan, Penurunan Laju Pertumbuhan Penduduk dan Peningkatan Kepedulian Lingkungan 185

218 X. ALTERNATIF KEBIJAKAN LINGKUNGAN Dalam pembahasan bagian IX tentang simulasi ramalan dampak kebijakan pembangunan berkelanjutan, belum terungkap alternatif kebijakan yang bisa dijajaki untuk diterapkan di Jawa Barat mengingat keterbatasan model yang mengakomodir adanya kebijakan lingkungan melalui variabel dummy. Dalam simulasi tersebut yang diskenariokan adalah peningkatan kepedulian lingkungan yang diproksi oleh rata-rata lamanya sekolah. Dalam bab ini akan dibahas beberapa alternatif kebijakan lingkungan untuk memperbaiki kebijakan yang sudah ada. Hasil survei menunjukan bahwa implementasi kebijakan CAC dalam mengendalikan pencemaran air dan udara tidak efektif karena tidak mengandung insentif bagi pencemar untuk menginternalisasikan eksternalitas. Selain itu kemampuan monitoring yang lemah memberikan peluang besar bagi pencemar untuk menghindari aturan baku mutu limbah. Oleh karena itu perlu dijajaki kemungkinan menerapkan kebijakan lain untuk melengkapi kebijakan yang sudah ada. Tabel 40 menunjukan tipe-tipe kebijakan pengendalian kerusakan lingkungan. Preferensi ke tipe CAC yakni regulasi lingkungan yang menyangkut standarisasi, larangan, penjatahan, penetapan area, dan kewajiban atau ke tipe berbasis pasar/insentif sangat tergantung pada sejauhmana pemahaman para pembuat kebijakan terhadap faktor-faktor determinasi permasalahan lingkungan di daerahnya. Menurut Sterner (2003), untuk menentukan apa yang dimaksud dengan masalah lingkungan dan apa yang dibutuhkan untuk memperbaikinya, para pembuat

219 190 kebijakan harus memahami tidak hanya teknologi dan ekologi namun juga sosiologi, ekonomi dan politik dari hak kepemilikan. Tabel 40. Klasifikasi Instrumen dalam Matrik Kebijakan using market creating market regulasi lingkungan engaging the public Pengurangan Hak kepemilikan Standarisasi Partisipasi publik subsidi dan desentralisasi Pajak lingkungan Tradable permits Bans (larangan) Penyingkapan dan pungutan dan rights informasi User charges International offset Permits dan kuota (pungutan penggunaan) system Deposit-refund Zoning systems Targeted subsidies Liability Sumber: World Bank 1997 dalam Sterner, 2003 Dalam penelitian ini, kebijakan yang akan direkomendasikan berdasarkan pada permasalahan yang teranalisis melalui survei yang selanjutnya dikaitkan dengan alternatif kebijakan dalam matrik tersebut yang dianggap mendekati sebagai solusi strategis. Mengingat akar permasalahan dari masalah lingkungan berbeda untuk lahan kritis, pencemaran air dan udara maka akan terdapat kebijakan spesifikasi yang berlainan Kebijakan Pengendalian Luas Lahan Kritis Berdasarkan model persamaan lahan kritis, variabel yang paling responsif terhadap terhadap perubahan LKp adalah Gini Ratio dan output sektor pertambangan dan penggalian. Data Dinas Pertambangan dan Energi Jawa Barat memperlihatkan bahwa pada tahun 2004 jumlah areal pertambangan galian C di Jabar bertambah hektar atau naik 47 persen dibandingkan dengan tahun Pertambahan areal

220 191 galian pasir menempati urutan pertama yang mencapai enam kali lipat dari ha menjadi ha. Dinas Pertambangan dan Energi Jawa Barat mencatat pula bahwa lingkungan di daerah penambangan berikut ini rusak parah yakni di Kabupaten Sumedang tepatnya di Kecamatan Cimalaka, Paseh dan Conggeang, di kaki Gunung Ciremai Kabupaten Majalengka, di kaki Gunung Masigit Kabupaten Bandung, di Cikalahang dan Astanajapura Kabupaten Cirebon, di Cipamingkis Kabupaten Bogor, di Warungkondang Kabupaten Cianjur dan di Cimangkok Kabupaten Sukabumi. Menurut beberapa pihak kerusakan tersebut terkait karena pemberian ijin tanpa memperhatikan kaidah-kaidah pembukaan daerah pertambangan, maraknya penggalian C illegal, sulitnya pengawasan pada para penambang skala kecil. Semua masalah tersebut menjadi tanggungjawab pemerintah daerah kabupaten karena seluruh pendapatan dari aktivitas usaha ini masuk ke kas pemerintah kabupaten. Dengan kata lain, pengawasan yang efektif ada di tangan pemerintah kabupaten dan sebagian dari pendapatan hasil eksploitasi SDA tersebut seyogianya digunakan untuk kepentingan manajemen SDA dan pengelolaan lingkungan. Berdasarkan fenomena tersebut maka ke depannya perlu terobosan upaya pengendalian praktik penggalian yang merugikan lingkungan melalui penataan perijinan. Hasil survei terhadap wilayah yang memiliki lahan kriti relatif luas seperti di daerah Rongga, ternyata daerah tersebut menghadapi masalah kemiskinan yang serius. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kecamatan Rongga menempati urutan terbawah di Kabupaten Bandung. Artinya, tingkat kesejahteraan masyarakat Rongga paling rendah diantara seluruh kecamatan yang ada di Kabupaten Bandung. Problem ganda yakni luas lahan kritis dan kemiskinan menarik untuk dikaji secara mendalam

221 192 agar ditemukan langkah penanganan penurunan jumlah penduduk miskin yang sejalan dengan pengendalian luas lahan kritis. Pendekatan yang digunakan seyogianya berbasis insentif ekonomi dan kelembagaan (engaging the public). Insentif ekonomi yang dimaksud terkait dengan upaya pengusahaan lahan yang dapat memberikan pendapatan. Dengan demikian penanganan lahan kritis sebaiknya diperlakukan sebagai lahan bisnis yang terintegrasi lintas output, sektor dan pelaku. Lintas output mencakup aneka jenis tanaman yang cocok berdasarkan siklusnya sehingga ada yang bisa dipanen per tiga bulan, per tahun dan per 5 tahun. Lintas sektor mengaitkan antara sektor pertanian dengan sektor lainnya. Output pertanian diarahkan tidak sebatas sebagai konsumsi langsung, tapi juga sebagai input untuk sektor lainnya sehingga akan mendorong perkembangan ekonomi keseluruhan. Lintas pelaku mengarah pada kemitraan antara pemerintah, petani dan swasta. Pemerintah diharapkan dapat memfasilitasi terjalinnya hubungan menguntungkan antara perusahaan yang menggunakan input dari output pertanian, atau dengan perusahaan yang mengkonsumsi langsung (super dan hypermarket, hotel dan restoran). Tipe kebijakan penanganan lahan kritis di dalam maupun diluar kawasan hutan berbentuk regulasi yakni UU, Perda dan engaging the public seperti implementasi social forestry dengan beragam turunannya. Berdasarkan hasil interview, yang lebih efektif adalah tipe engaging the public yakni social forestry dimana di dalamnya terdapat kegiatan ekonomi masyarakat di dalam dan sekitar hutan.

222 193 Bukti lain keberhasilan tipe kebijakan ini adalah seperti yang terjadi di Cianjur yakni kegiatan pendampingan kelompok tani GNRHL oleh LSM, baik sisi pemberdayaannya maupun pembinaan aktivitas kelompok yakni pembuatan tanaman dan pemeliharaan tanaman. Dengan demikian tipe kebijakan seperti ini perlu terus dikembangkan dan mendapat dukungan penuh dari seluruh stakeholders Kebijakan Pengendalian Pencemaran Air Berdasarkan model persamaan pencemaran air, variabel pertumbuhan ekonomi merupakan variabel yang paling responsif terhadap jumlah BODp dan TDSp. Meskipun demikian bukan berarti kebijakan membatasi jumlah limbah cair harus ditempuh dengan membatasi output sektor-sektor ekonomi, justru sektor ekonomi tersebut harus tumbuh tinggi untuk memacu pertumbuhan ekonomi dan menurunkan jumlah penduduk miskin serta ketimpangan pendapatan. Pilihannya adalah bagaimana menurunkan polutan yang dibuang ke badan air ketika output terus meningkat. Berdasarkan klasifikasi instrumen dalam matrik kebijakan, semua kebijakan tersebut mungkin untuk dilakukan. Namun kembali pada pendapat Sterner (2003) bahwa unsur sosial, politik dan kultur dalam perekonomian perlu dipertimbangkan ketika memilih kebijakan. Oleh karena itu hasil survei tentang fenomena implementasi kebijakan pengendalian pencemaran air sebelumnya akan menjadi dasar pertimbangan. Point sources pencemaran air adalah industri manufaktur, sedangkan domestik, peternakan dan rumah pemotongan hewan, bekas pupuk dan pestisida dari

223 194 kegiatan pertanian merupakan non-point sources. Selama ini kebijakan pengendalian pencemaran air lebih bias pada point sources melalui penetapan baku mutu limbah cair yang dihasilkan langsung oleh pabrik-pabrik. Dalam rangka meningkatkan pentaatan terhadap kebijakan pengendalian pencemaran air, pemerintah mencoba menggugah kesadaran pihak industriawan melalui berbagai program baik di tingkat pusat maupun propinsi. Secara keseluruhan program-program tersebut belum memberikan hasil yang optimal, artinya tingkat ketaatan belum sesuai dengan baku mutu yang telah ditetapkan. Pemerintah mengidentifikasi kendala upaya pengelolaan lingkungan melalui pengolahan limbah yang terbentuk (end-of pipe treatment) yang belum dapat mengatasi permasalahan pencemaran yang masih terus terjadi. Adapun kendala tersebut adalah sebagai berikut: 1. Dalam pengolahan limbah dapat terjadi efek samping berupa terbentuknya limbah padat (sludge) atau gas yang juga bersifat polutan, sehingga upaya pengolahan limbah ini seolah-olah hanya mengubah bentuk limbah ke bentuk lain. 2. Memberi kontribusi terhadap peningkatan biaya proses produksi serta terhadap produk itu sendiri. 3. Pada umumnya belum adanya penegakan hukum secara tegas terhadap pelanggar peraturan yang berkaitan dengan pembuangan limbah (BPLHD Jabar, 2001). Hasil survei terhadap 32 perusahaan yang tersebar hampir di seluruh sektor ekonomi dan wilayah industri dan padat penduduk semakin memperjelas analisa BPLHD Jabar, bahwa alasan utama kurang mengindahkan aturan pengendalian

224 195 pencemaran air bagi sebagian besar responden (50 persen) terkait dengan tingginya biaya membangun unit pengolah air limbah sehingga bisa mengurangi keuntungan. Artinya, pertimbangan sisi ekonomi yang menyangkut biaya dan keuntungan telah mendominasi perilaku yang kurang respon terhadap kebijakan pengendalian pencemaran air. Alasan utama lainnya yang diungkapkan oleh sebagian besar responden (47 persen) yakni perasaan aman membuang limbah ke sungai karena akan langsung terserap oleh air dan tidak ada sanksi membuang limbah ke sungai. Alasan terakhir semakin mempertegas penjelasan sebelumnya bahwa tipe kebijakan CAC yakni standar baku mutu limbah cair tidak memberi dorongan pada pihak pencemar untuk mengolah limbahnya. Selain itu permasalahan yang dihadapi dari implementasi pengelolaan lingkungan yang mengandalkan pada mekanisme CAC adalah sistem dan kemampuan monitoring yang lemah. Hal ini disebabkan oleh belum memadainya kapasitas SDM dan institusi disamping kurangnya koordinasi antara instansi yang terkait, serta minimnya pengetahuan tentang isu-isu lingkungan dari para stakeholders (Alisjahbana, 2006). Alasan pertama yang menyangkut besarnya keuntungan perusahaan jika limbah harus diolah terlebih dahulu, membuka peluang untuk design tipe kebijakan lainnya yakni berbasiskan pasar untuk melengkapi kebijakan berbasis CAC. Pihak BPLHD pun mulai menawarkan strategi baru dalam upaya pengelolaan lingkungan, dan berubah dari upaya pengendalian menjadi upaya pencegahan, yang lebih dikenal dengan strategi produksi bersih. Strategi produksi bersih mempunyai arti yang sangat

225 196 luas karena di dalamnya termasuk upaya pencegahan pencemaran, minimasi limbah (waste minimization), teknologi bersih, dan bahkan juga upaya remediasi. Jika dikaitkan dengan matrik kebijakan terdapat beberapa pilihan bentuk insentif untuk mendukung kebijakan tersebut diantaranya pungutan, pemberian subsidi, pengenaan pajak dan tradable permits. Dasar philosofis dari makna insentif bahwa segala jenis input yang ada pasarnya yang digunakan dalam menghasilkan barang akan mendorong setiap pelaku ekonomi untuk menggunakannya seefisien mungkin. Jasa lingkungan tidak memiliki pasar sehingga pemanfaatannya tidak mengeluarkan biaya, maka kurang menimbulkan dorongan memikirkan dampak negatif dari pemanfaatan tersebut terhadap lingkungan. Melalui pendekatan ini, lembaga publik menawarkan insentif finansial untuk mengubah tingkat emisi (Field, 1994). Pungutan mencakup pungutan atas limbah (effluent charges) berdasarkan jumlah dan kualitasnya, pungutan pengguna (user charges) atas pemakaian fasilitas yang bersifat kolektif, pungutan produk (product charges) melalui pembebaban harga pada produk yang mencemari dalam proses produksinya, dan differential tax terhadap produk berdasarkan tingkat pencemarannya (Panayotou, 1992). Subsidi, termasuk di dalamnya berbagai bentuk dari bantuan finansial yang dimaksudkan untuk mendorong pengurangan dalam polusi atau untuk membiayai langkah tindakan yang diperlukan dalam mengurangi polusi. Dalam implementasinya, pihak yang berhasil menurunkan tingkat emisi akan diberi sejumlah uang untuk per unit emisi. Subsidi secara langsung akan mendorong pencemar

226 197 melakukan upaya pengurangan emisi melalui penggunaan teknologi ramah lingkungan secara efisien agar mendapatkan subsidi yang lebih besar dari biaya. Konsekuensinya pemerintah harus memiliki anggaran yang cukup untuk memberikan subsidi pengurangan emisi. Mekanisme lain dimungkinkan melalui lembaga perbankan agar mau memberikan suku bunga murah bagi pengusaha yang berupaya menurunkan emisi. Pajak lingkungan lebih dikenal dengan green tax. Instrumen pajak diharapkan akan menjadi insentif tambahan untuk pencegahan polusi dan sekaligus sebagai sumber penerimaan untuk membiayai upaya perbaikan lingkungan, seperti perlakuan pada buangan, pengumpulan sampah dan pengelolaan. Dasar philosofisnya setiap unit limbah yang dibuang ke badan air akan dikenakan pajak. Dengan demikian setiap limbah yang dibuang akan merupakan biaya. Oleh karena itu untuk menghindari beban biaya yang semakin besar, pihak pencemar akan terdorong berusaha mengurangi emisi melalui penggunaan teknologi ramah lingkungan secara efisien. agar beban pajak atas limbah yang dibuang subsidi yang lebih besar dari biaya. Upaya penyempurnaan pengenaan pajak lingkungan hendaknya memperhatikan hal berikut ini yakni penetapan tarif pajak lingkungan harus mempertimbangkan baik sisi regulasi lingkungan maupun kepentingan penerimaan. Seringkali pajak lingkungan dikenakan sedemikian rupa sehingga terkumpul dana yang cukup untuk membiayai program-program lingkungan (Alisjahbana, 2006). Hasil survei menunjukan pula bahwa alasan lain yang banyak disebutkan (31 persen dari total responden) yakni selama ini tidak ada peluang kerjasama untuk

227 198 menurunkan pencemaran air sesama pencemar. Alasan tersebut secara langsung menunjukan bahwa di Jawa Barat juga di Indonesia belum ada mekanisme transferable discharge permits (TDP). TDP merupakan salah satu bentuk insentif dalam kebijakan lingkungan, yang bersifat decentralized dimana pelaksanaannya diberikan pada pelaku pasar. Dalam konteks ini pemerintah mentargetkan tingkat polusi yang ingin dicapai, namun dalam pelaksanaannya ada keleluasaan bagi para pencemar untuk melakukan transaksi permit. Ide utama dalam mekanisme TDP bahwa permit dapat diperjualbelikan melalui negosiasi antar para polluter, sehingga tercapai kesepakatan dan target polusi sebagaimana yang diinginkan oleh pemerintah. Mekanisme TDP diharapkan efektif dalam mengendalikan polusi karena polluter memiliki insentif untuk mendapatkan keuntungan dari jual beli permit. Mekanisme TDP dapat digunakan untuk pengendalian limbah cair, padat, dan gas baik yang uniformly maupun non- uniformly (Tietenberg, 1996). Bentuk insentif apapun yang dipilih seyogyanya memberikan insentif bagi masyarakat untuk menemukan teknologi baru atau inovasi alternatif untuk mengurangi dampak kegiatannya terhadap kualitas lingkungan. Artinya, sistem insentif tersebut harus memberikan efek perubahan teknologi, peningkatan program penelitian dan pengembangan, pendidikan dan pelatihan bagi masyarakat, dan peningkatan kesejahteraan. Indonesia termasuk di dalamnya Jawa Barat yang merupakan negara besar dan kaya dengan jumlah dan aneka sumberdaya alam, banyak klasifikasi sektor industri, sebagian besar industri merupakan industri mikro dan kecil, banyak pula

228 199 industri yang informal, tampaknya tidak mungkin hanya menerapkan satu bentuk insentif, namun perlu dikombinasi. Bentuk insentif mana yang tepat sangat tergantung dari karakteristik industri dan limbah yang dibuang, institusi pendukung, kesiapan pihak-pihak yang terlibat. Panayotou (1992) menekankan bahwa faktor skala produksi, kepemilikan dan pengawasan, tipe polutan, kapasitas penegakan, budaya menjadi pertimbangan tipe instrumen atau kombinasi apa yang sebaiknya dipilih. Selanjutnya Panayotou (1992) memberikan saran-saran konstruktif sebagai berikut. Pertama, dibedakan berdasarkan skala produksi. Dalam kasus terdapat sejumlah kecil perusahaan konglomerat, standar emisi, pungutan buangan, dan kewajiban pemasangan peralatan pengolah limbah dapat efektif karena monitoring dan penegakan relatif mudah. Sebaliknya jika terdapat sejumlah besar industri kecil yang lebih tepat adalah instrumen tidak langsung seperti pajak input dan simpanan yang bisa ditarik kembali. Kedua, dibedakan berdasarkan tingkat persaingan. Industri monopoli atau oligopoli tidak akan respon terhadap insentif ekonomi karena permintaan bersifat inelastis. Oleh karena itu, standar dan kewajiban mengontrol peralatan yang tidak tergantung pada respon pasar akan lebih efektif. Ketiga, dibedakan berdasarkan kepemilikan dan pengawasan. Sektor industri yang didominasi perusahaan publik menghadapi hambatan anggaran yang tidak ketat atau cost-plus pricing formulas sehingga tidak akan respon terhadap pungutan polusi. Keempat, dibedakan berdasarkan komposisi polusi industri. Pungutan polusi atau permit tidak tepat jika polusi didominasi oleh limbah dimana lingkungan tidak memiliki kapasitas asimilatif seperti besi, limbah radioaktif. Regulasi yang ketat, bon

229 200 kinerja, dan pusat treatmen kolektif dan fasilitas pembuangan akan lebih tepat. Kelima, mempertimbangkan secara eksplisit kapabiliti monitoring dan penegakan, serta ketersediaan sistem pendukung kelembagaan. Jika kelayakan monitoring dan penegakan rendah, kewajiban pemasangan alat pengontrol polusi akan lebih dimungkinkan. Selain itu pajak input dan bon kinerja juga dimungkinkan karena lebih mudah pengawasannya. Keenam, mengakomodasi pengawasan wilayah yang heterogen melalui desentralisasi kewenangan kepada agen lokal dan membiarkan solusi diterima secara lokal. Ketujuh, mendekati dan meraih perusahaan, mengarahkan ke industri dan teknologi yang kurang berpolusi. Dengan mempertimbangkan ketujuh aspek tersebut maka akan terdapat ragam kebijakan pengendalian pencemaran air sesuai karakteristik masing-masing yang memadukan antara pendekatan tipe CAC dan insentif pasar. Hasil survei ke beberapa perusahaan yang tersebar di wilayah industri dan jasa di Jawa Barat ditemukan adanya peluang kerjasama dalam pengelolaan limbah diantara para pencemar. Pemerintah seyogianya memfasitasi kerjasama ini dan ke depannya dapat ditindaklanjuti dengan user charge yang ditetapkan secara progresif berdasarkan jumlah limbah yang diolah di collective treatment tersebut. Pemerintah pun sebaiknya mendorong kerjasama pengembangan teknologi produksi atau substitusi bahan baku yang ramah lingkungan sesama dunia usaha. Selain itu berdasarkan hasil survei terdapat pula peluang TDP bagi perusahaan yang menghasilkan limbah sejenis namun berbeda dalam pendekatan pemakaian teknologi. Mekanisme TDP dapat membantu menekan masalah lingkungan dalam

230 201 kondisi lemahnya monitoring dalam implementasi kebijakan CAC, karena pihak pencemar dapat memperoleh keuntungan dari jual beli ijin Kebijakan Pengendalian Pencemaran Udara Sama halnya dengan pencemaran air, pertumbuhan ekonomi merupakan variabel yang paling responsif terhadap jumlah CO. Sedangkan untuk jumlah CO2p, variabel tingkat kepedulian sangat elastis dalam jangka panjang. Jumlah CO dan CO2p cenderung lebih banyak di wilayah industri dan perkotaan yang padat penduduk dan lalu lintasnya. Masalah semakin kompleks karena sumber pencemaran bersifat mobile sehingga sulit menentukan point sources, sehingga sulit memastikan siapa yang paling bertanggungjawab. Dampak dari pencemaran udara bersifat public bad bahwa derita yang dialami seseorang tidak mengurangi derita yang lainnya. Sampai saat ini UU No. 23/1997 mengenai lingkungan hidup merupakan peraturan payung bagi pengelolaan udara di Indonesia. Berbagai peraturan baik dalam bentuk PP, Keputusan Presiden, SK Menteri hingga Peraturan Daerah telah tersedia tapi kualitas udara di kota-kota besar di Indonesia termasuk di Bandung terus menurun. Kajian terhadap perangkat hukum pengendalian pencemaran udara di Indonesia yang dilakukan oleh Pelangi dan Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), menemukan bahwa kewenangan dan kelembagaan pengendalian pencemaran udara secara spesifik dalam framework law mengenai lingkungan hidup (UU No. 23/1997) belum diatur. PP No. 41/1999 pun belum mengatur secara rinci peran sektor terkait ataupun pemerintah daerah. Ketidakjelasan kewenangan dan kelembagaan ini

231 202 pada akhirnya mempengaruhi keefektifan penerapan peraturan yang ada. Sementara terkait dengan isu teknis, ditemukan bahwa ternyata orientasi pengendalian pencemaran udara di Indonesia masih ke arah program penanggulangan dan pemulihan. Program pencegahan pencemaran udara di masa depan belum terakomodasi secara nyata. Selain itu, alat bantu untuk menghitung penyebaran pencemar udara, salah satu prasyarat dalam menyusun program kerja pengendalian pencemaran udara yang efektif dan efisien, sama sekali belum diatur dalam PP No. 41/1999. Satu temuan yang tidak kalah pentingnya adalah belum terakomodasikannya secara baik upaya membangun pemahaman dan peran serta masyarakat sebagai strategi untuk mendukung pelaksanaan kebijakan pengendalian pencemaran udara yang dikeluarkan pemerintah (Sadat, 2003). Substansi dari PP No. 41/1999 menyangkut baku mutu udara ambien nasional yang secara eksplisit merupakan aturan pembatasan jumlah emisi udara yang boleh dilepas ke udara. Mengacu pada matriks kebijakan lingkungan kebijakan tersebut merupakan tipe CAC, sementara banyak pilihan kebijakan tipe lainnya atau bentuk kebijakan campuran. Dengan diketahui akar masalah dari terjadinya pencemaran udara yakni lebih karena aktivitas transportasi kendaraan bermotor, maka penanganan pencemaran udara memberikan peluang dari beberapa aspek yakni kendaraan, bahan bakar, dan lalu lintasnya. Tabel 41 mengemukakan matrik kebijakan khusus untuk masalah pencemaran udara dari transportasi.

232 203 Tabel 41. Matrik Kebijakan untuk Aspek Lingkungan dari Transportasi Kebijakan Bahan bakar Kendaraan Lalu lintas Integrasi Regulasi D H J C Larangan G N O Harga (pajak) B P K A Informasi F Q L Deppositrefund I TEP E Ketetapan public M Sumber: Sterner (2003) Keterangan: TEP = Tradable Emissions Permits A = road pricing B = pajak bahan bakar C = perencanaan kota D = pengaturan kualitas bahan bakar E = marketable permits F = label hijau untuk bahan bakar G = larangan terhadap bahan bakar tertentu H = regulasi terkait dengan emisi kendaraan I = menunjukan kendaraan yang lebih bersih ke penampakan J = zoning K = tarif untuk transportasi publik L = label hijau pelayanan transportasi M = struktur fisik seperti rel N = perbaikan kendaraan yang paling mencemari O = membatasi lalu lintas di zone tertentu pada saat tertentu (waktu, hari) P = pajak atau subsidi untuk kendaraan Q = label hijau kendaraan Berdasarkan tabel tersebut nampak bahwa kebijakan pengendalian pencemaran udara sebagai dampak dari aktivitas transportasi dapat melalui obyek bahan bakar, kendaraannya, lalu lintas dan integrasi semuanya. Sedangkan pendekatan yang digunakan dapat melalui instrumen regulasi, pasar, ataupun ketetapan publik.

233 204 Untuk obyek bahan bakar bisa melalui pengaturan kualitas bahan bakar, larangan terhadap bahan bakar tertentu, pajak bahan bakar, label hijau untuk bahan bakar yang ramah lingkungan. Dalam kondisi harga premium dan pertamax yang semakin mahal, Institut Teknologi Bandung (ITB) sedang mengembangkan biodesel yakni bahan bakar yang terbuat dari tumbuhan jarak dan umbi-umbian. Beberapa bis kota Damri yang ada di Kota Bandung saat ini sudah menggunakan minyak jarak produksi ITB. Pajak bahan bakar pun merupakan alternatif yang sangat mungkin diterapkan, sekaligus sumber utama penerimaan pemerintah provinsi. Melalui obyek kendaraan semua instrumen mungkin untuk dilakukan, seperti penetapan standar emisi, melarang mobil tua melewati jalan-jalan tertentu, pajak tinggi untuk kendaraan yang CC nya besar (tax differenttation), penglabelan apakah melalui warna atau logo untuk membedakan antara bis kota yang menggunakan minyak jarak dengan yang tidak. Jika pemerintah konsisten, kebijakan penglabelan dapat diperluas ke seluruh jenis angkutan umum dan masyarakat yang memiliki kepedulian lebih tinggi akan lebih memilih jenis angkutan hijau. Penetapan standar emisi bisa dipenuhi melalui komponen kendaraan yang ramah lingkungan. Aturan Ambang Batas Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor Tipe Baru dan yang Sedang Diproduksi yang mulai berlaku pada tahun 2003 ternyata telah mendorong produsen kendaraan bermotor untuk mengkreasi fitur penghemat BBM, penurun emisi gas buang dan bisa menggunakan bahan bakar alternatif. Adanya penemuan teknologi baru yakni catalytic converter dan knalpot plasma yang bisa mereduksi gas polutan berbahaya dari kendaraan bermotor sampai 90% merupakan peluang besar untuk mengatasi pencemaran udara. Selain itu munculnya

234 205 konsep eco-driving yakni perilaku berkendara yang hemat biaya dan ramah lingkungan akan melengkapi pemanfaatan teknologi baru tersebut secara efektif. Dengan demikian, upaya peningkatan kepedulian dan kesadaran terhadap masalah pencemaran udara dapat dilakukan melalui sosialisasi konsep eco-driving secara terus menerus. Melalui pengaturan lalu lintas, pemerintah kota dapat membentuk kawasan tertib lalu lintas, membatasi lalu lintas di zone tertentu pada saat tertentu (waktu dan hari), tarif yang rendah untuk transportasi umum plus penyediaan fasilitas yang nyaman. Kebijakan yang paling ideal adalah tipe integrasi yakni perencanaan kota yang baik dan benar diikuti dengan mekanisme road pricing yang merupakan suatu mekanisme dimana pemakai jalan untuk jalan tertentu dan saat tertentu harus melakukan pembayaran. Instrumen yang termasuk tipe ini diantaranya area pricing system, pajak jarak mil, bea jalan. Norwegia dan negara Eropa lainnya, Amerika Serikat dan Singapur adalah contoh negara maju yang sudah menjalankan instrumen kebijakan tersebut. Semua instrumen kebijakan tersebut kecuali road pricing tampaknya tidak terlalu asing bagi pemerintah provinsi Jabar. Artinya ada yang sudah dijalankan, disiapkan atau baru pada tataran ide untuk dibahas, yang lebih penting adalah menyiapkan segala perangkat lunak maupun keras untuk pelaksanaannya. Dalam jangka pendek untuk kasus wilayah yang padat lalu lintasnya pemerintah dapat merancang kemungkinan diterapkannya tax differentation

235 206 berdasarkan umur kendaraan, besarnya CC dan pemakaian bahan bakar disertai dengan perbaikan fasilitas transportasi publik. Sadat, dkk (2003) menyarankan strategi pengendalian pencemaran udara tidak terbatas pada aspek transportasi dengan sisi pandang yang multidimensi dan terintegrasi. Setidaknya ada empat komponen yang saling terkait dalam merumuskan pengendalian pencemaran udara yakni bahan bakar/bahan baku, teknologi bersih, riset penunjang pengendalian pencemaran udara, dan governance. Terdapat sejumlah item dibalik setiap komponen. Komponen pertama menyangkut upaya peningkatan kualitas bahan bakar/bahan baku termasuk pengembangan bahan bakar ramah lingkungan. Komponen kedua, mengarah pada pengembangan teknologi bersih. Permasalahannya, pengembangan teknologi ini tidak murah sedangkan ketersediaan dana investasi sangat terbatas. Alternatif solusinya, pengembangan teknologi ramah lingkungan tersebut bisa diperoleh melalui transfer dari negara maju, sehingga memungkinkan negara-negara berkembang bisa mencapai titik balik pada tingkat pendapatan lebih rendah dibandingkan dengan negara maju sebelumnya (Iwami, 2005). Komponen ketiga menyangkut perlunya peningkatan koordinasi riset, peningkatan alokasi dana, meningkatnya riset tentang dampak ekonomi dari pencemaran udara dan sosialisasi hasil riset yang lebih intensif. Komponen keempat terdiri dari banyak aspek seperti kebijakan yang harus sesuai dengan kondisi lokal, juklak kebijakan yang jelas dan transparan, memelihara koordinasi antara level pemerintahan dan lintas sektor meningkatkan penegakan hukum, memperjelas mekanisme peran serta masyarakat.

236 207 Sadat, dkk (2003) mengusulkan berbagai program yang mungkin disusun oleh suatu daerah dan dalam penyusunannya perlu diperhatikan kaidah sebagai berikut: 1. Spesifik berarti program PPU di tiap daerah bersifat spesifik sesuai dengan karakteristik daerah yang bersangkutan. 2. Sederhana berarti mudah dipahami oleh multipihak serta sebaiknya disertai panduan pelaksanaan yang jelas. Selain itu mudah pula untuk dimonitor oleh masyarakat terhadap pencapaiannya. 3. Terukur berarti secara kualitas ataupun kuantitas dapat terukur pencapaian yang dihasilkan. Sehingga dapat dimonitor oleh multipihak pencapaiannya. 4. Diterima multipihak berarti perlu mengakomodasikan kepentingan lintas sektor dan daerah serta masyarakat. 5. Relevan berarti mengindikasikan fungsi dasar lingkungan, terkait dengan aspek lingkungan yang penting, terkait dengan kebijakan lingkungan daerah atau nasional serta tujuan-tujuan manajemen; relevansi dengan perjanjian tatacara pelaporan internasional 6. Periode waktu berarti program memiliki target waktu pelaksanaannya sehingga dapat terukur pencapaiannya. Beranjak dari temuan hasil survei dimana ada sikap yang identik dengan pelaku yang menimbulkan pencemaran air, maka bisa dijajaki alternatif kebijakan berbasis insentif pasar dan mendorong kerjasama. Upaya kerjasama diarahkan pada penemuan teknologi pencegah limbah gas apakah melalui substitusi input atau teknologi ramah lingkungan.

237 208 Selain itu berdasarkan hasil survei terdapat pula peluang TDP bagi perusahaan yang menghasilkan limbah sejenis namun berbeda dalam pemakaian teknologi. Informasi dari Majalah Intisari bahwa mekanisme knalpot plasma dapat diterapkan pada cerobong-cerobong asap di pabrik-pabrik melalui sedikit penyesuaian pada reaktor plasma, maka peluang mengatasi pencemaran udara yang berasal dari pabrik semakin besar. Dengan adanya fasilitas TDP diharapkan akan mendorong pemakaian knalpot plasma. Pemerintah seyogianya mensosialisasikan penemuan baru tersebut baik bio solar maupun knalpot plasma sehingga menjadi agenda bersama agar masyarakat mengetahui, memahami dan melaksanakannya. Masyarakat swasta sering menjadi katalisator dalam mengembangkan kebijakan lingkungan.

238 209 Daftar Isi : X. ALTERNATIF KEBIJAKAN LINGKUNGAN Kebijakan Pengendalian Luas Lahan Kritis Kebijakan Pengendalian Pencemaran Air Kebijakan Pengendalian Pencemaran Udara Tabel Tabel 40. Klasifikasi Instrumen dalam Matrik Kebijakan Tabel 41. Matrik Kebijakan untuk Aspek Lingkungan dari Transportasi

239 XI. SIMPULAN DAN SARAN 11.1 Simpulan Berdasarkan seluruh pembahasan dapat ditarik simpulan sebagai berikut: 1. Lahan kritis per kapita lebih ditentukan oleh kemiskinan dan ketimpangan pendapatan karena tekanan jumlah penduduk dan pengangguran. Sedangkan pencemaran air dan udara lebih ditentukan oleh pertumbuhan ekonomi yang sejalan dengan proses industrialisasi di Jawa Barat. 2. Dalam kasus lahan kritis milik masyarakat hak kepemilikan terdefinisikan dengan baik, hanya di lahan kritis milik pemerintah tidak terpenuhi karakteristik enforceability. Sedangkan air dan udara bersifat open access yang menimbulkan peluang besar terjadinya over eksploitasi. 3. Hasil survei memperkuat simpulan sebelumnya bahwa efektivitas kebijakan penanganan lahan kritis sangat tergantung pada perbaikan tingkat kesejahteraan masyarakat. Sementara regulasi aturan baku mutu limbah cair dan emisi (CAC) cenderung tidak ditaati karena unit pengolah limbah menaikan biaya produksi, limbah terserap air, tidak ada sanksi, dan tidak ada peluang kerjasama mengatasi pencemaran. 4. Berdasarkan simulasi historis terbukti bahwa meningkatnya degradasi lingkungan telah menurunkan pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kemiskinan. Luas lahan kritis per kapita memberikan dampak buruk yang lebih besar terhadap perekonomian dibandingkan dengan pencemaran air dan udara karena karakteristik kerusakan menyangkut gangguan keseimbangan ekosistem.

240 Berdasarkan simulasi ramalan diperoleh kebijakan pembangunan berkelanjutan yakni pola pertumbuhan ekonomi yang bias pada sektor jasa, diikuti dengan kebijakan perbaikan distribusi pendapatan, penurunan laju pertumbuhan penduduk dan peningkatan kepedulian lingkungan Implikasi Kebijakan Berdasarkan seluruh simpulan di atas peneliti merekomendasikan kebijakan sebagai berikut: 1. Pertumbuhan ekonomi lebih baik bias pada sektor jasa agar tidak menimbulkan limbah dan emisi sebanyak industri pengolahan. Hal ini perlu didukung penuh oleh kebijakan perencanaan pembangunan daerah dan kebijakan perbankan dalam mengalokasikan kreditnya. Pemerintah dapat memberikan insentif keringanan pajak dan perbankan memberikan insentif suku bunga rendah bagi aktivitas ekonomi yang lebih sedikit menghasilkan limbah. 2. Perbaikan distribusi pendapatan dan kemiskinan melalui inovasi kelembagaan, seperti menumbuhkembangkan UMK dan micro-financing, mengembangkan kearifan lokal dan modal sosial yang mengarah pada seluas-luasnya akses masyarakat golongan bawah terhadap kegiatan ekonomi produktif. 3. Kebijakan mengendalikan pencemaran air sebaiknya memadukan antara tipe CAC dan insentif pasar. Dalam jangka pendek sebaiknya pemerintah mulai merealisasikan terbangunnya collective treatment di kawasan industri dan mulai memikirkan penetapan user charge yang bersifat progresif sesuai jumlah limbah masing-masing pabrik. Dalam jangka menengah sebaiknya

241 209 pemerintah mulai memikirkan terselenggaranya mekanisme transferable discharge permits yang berlaku untuk perusahaan di dalam maupun diluar kawasan industri. 4. Kebijakan pengendalian pencemaran udara sebaiknya bersifat spesifik sesuai dengan karakteristik daerah yang bersangkutan. Untuk kasus daerah yang padat lalu lintasnya sebaiknya kebijakan difokuskan pada obyek kendaraan melalui instrumen tax differentation berdasarkan umur kendaraan dan besarnya CC disertai dengan perbaikan fasilitas transportasi publik. Untuk wilayah yang memiliki pabrik-pabrik introduksi kebijakan transferable discharge permits. 5. Upaya rehabilitasi lahan kritis sebaiknya menjadi agenda prioritas dengan sasaran memperbaiki kondisi lahan, meningkatkan produktivitas lahan dan meningkatkan pendapatan masyarakat melalui penanaman tanaman yang cocok dengan karakteristik lahan dan memiliki nilai ekonomi tinggi. 6. Implementasi rehabilitasi lahan kritis sebaiknya diikuti oleh pembangunan ekonomi perdesaan yang mengarah pada diversifikasi dan nilai tambah produk pertanian sehingga tercipta lapangan kerja diluar sektor pertanian di perdesaan. 7. Pengendalian laju pertumbuhan penduduk lebih baik fokus pada migrasi masuk melalui pungutan ijin tempat tinggal dan perencanaan pembangunan wilayah dengan pembatasan jumlah penduduk. 8. Membangun pemahaman dan kepedulian lingkungan berbagai pihak terkait sebaiknya berdasarkan posisi dan persepsi masing-masing pihak terhadap masalah lingkungan.

242 Saran Penelitian Lanjutan Saran untuk penelitian lanjutan adalah: 1. Mengembangkan model penelitian dengan menggunakan panel data yakni pooling cross section-time series agar permasalahan lingkungan yang lebih spesifik pada tataran lokal dapat terpotret. 2. Melakukan penelitian spesifik untuk setiap indikator kualitas lingkungan agar permasalahan yang dikaji lebih mendalam. 3. Melakukan penelitian penilaian setiap alternatif kebijakan pengendalian pencemaran air dan pencemaran udara yang direkomendasikan baik dari sisi efisiensi, efektivitas maupun sisi keadilan. 4. Mengkaji tingkat persepsi masing-masing pihak terkait terhadap masalah lingkungan.

243 DAFTAR PUSTAKA Adhikari, B Property Rights and Natural Resources: Impact of Common Property Institution on Community-Based Resources Management. http// Adhikari, B Literatur Review on the Economics of Common Property Resources. Baltzer, K Property Rights and the Use of Natural Resources. Disertation, Institute of Economis. University of Copenhagen. Alisjahbana, A. dan A. A. Yusuf Green Accounting and Sustainable Development in Indonesia. First Published. Unpad Press Bandung, Bandung. Alisjahbana, A Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia. Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap pada Fakultas Ekonomi, Universitas Padjadajaran, Bandung. Allan, J How to Solve Your People Problems. Universal Book Stall, New Delhi. Andersen, P. and R. P. Lorch Vision Brief 29: Poverty, Food Security, and the Environment. Anderson, D. and W. Cavendish Dynamic Simulation and Environmental Policy Analysis: Beyond Comparative Statics and the Environmental Kuznets Curve. Oxford Economic Papers, 53(4): 721. Arifin, B Pengelolaan Sumberdaya Alam Indonesia: Perspektif Ekonomi, Etika, dan Praksis Kebijakan. Edisi Pertama. Erlangga, Jakarta. BI Bandung Perkembangan Ekonomi dan Keuangan Propinsi Jawa Barat Triwulan III Bank Indonesia, Bandung. Bapeda Jabar Profil Perekonomian Jawa Barat. Badan Perencanaan Daerah Propinsi Jawa Barat, Bandung. Barros, F.G Poverty and Environmental Degradation: The Kuznets Environmental Curve for the Brazilian Case. Department of Economics Working Paper 267 University of Brasilia. Boyce, K Inequality as a Cause of Environmental Degradation, Ecological Economics, 1(1): BPLHD Jabar Buletin Prokasih. http//

244 Laporan Status Lingkungan. http// Strategi Pengelolaan Lingkungan Provinsi Jawa Barat. Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah Jawa Barat, Bandung. BPS Jabar. Statistik Tahunan. Badan Pusat Statistik Jawa Barat, Bandung. Bromley, D The Commons, Common Property, and Environmental Policy. Property Rights and Environmental Problems, I: Boris, W Property Rights and Environmental Degradation, Callan, S. J. and J. M. Thomas Environmental Economics and Management Theory, Policy, and Application. Second Edition. Harcourt College Publishers, Orlando. Castro, C. J Sustainable Development: Mainstream and Critical Perspectives. Organization & Environment. Thousand Oaks, 17(2): 195. Chiang, C. H For a Greener Future. First Published. Malasyian Institute of Economic Research, Malasyia. Coase, R. H The Problem of Social Cost. Journal of Law and Economics, III(oct): Dephut Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial. Duraiappah, A Poverty and Environmental Degradation: A Literature Review and Analysis. CREED Working Paper Series No 8. Effendi, O. U Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktek. Edisi Pertama. PT Remaja Rosdakarya Offset, Bandung. Ellerman, A. D A Note on Tradable Permits, Environmental & Resource Economics 31(3): Engelman, R Population as a Scale Factor: Impacts on Environment and Development. Population, Environment, and Development. Tata Energy Resources Institute. Eriksson, C. and J. Persson Economic Growth, Inequality, Democratization, and the Environment. FIEF Working Paper Series No Fauzi, A Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan. Edisi Pertama. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

245 213 Feiock, R. C and Christopher Stream Environmental Protection Versus Economic Development: A False Trade-off? Public Administration Review. Washington, 61(3): 313. Field, B.C Environmental Economics: An Introduction. International Edition. McGraw-Hill Inc, Singapore. Friyatno, S Analisis Perubahan Struktur Ekonomi Nasional dan Kinerja Sektor Pertanian Serta Dampaknya Terhadap Perubahan Lingkungan. Tesis Magister Sains. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Grafton, R Social Capital and National Environmental Performance: A Cross-Sectional Analysis. Paper Inaugural National Workshop of the Economics and Environment Network (EEN), Canberra. Grepperud, S Poverty, Land Degradation and Climatic Uncertainty. Oxford Economic Papers, 49(4): 586. Guinness, M Population, Environmental Degradation, and Resource Availability: Resolving the Debate. Hanley, N Environmental Economics in Theory and Practice. Oxford University Press, New York. Harrington, D. R., Madhu Khannay, David Zilbermanz Conservation Capital And Sustainable Economic Growth, Oxford Economic Papers 57 (2005): Harris, J. M Basic Principle of Sustainable Development. Global Development and Environment Institut, Tuft University, Medfort, MA. Hartwick, J. M. and Nancy D. Olewiler The Economics of Natural Resources Use. Second Edition. Addison Wesley, New York. Hasmanto, B Evaluasi Keterkaitan Pengembangan Industri Terhadap Masalah Kependudukan dan Pencemaran Lingkungan (Studi Kasus Kawasan Berikat Nusantara Cakung dan Marunda, Jakarta. Disertasi Program Doktor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Hayami, Y Development Economics. Second Edition. Oxford University Press, New York. Holden, S., B. Shiferaw, and J. Pender Policy Analysis for Sustainable Land Management and Food Security in Ethiopia, A Bioeconomic Model with Market Imperfections. Research Report/International Food Policy Research Institute 140.

246 214 Hung, M. F. and D. Shaw Economic Growth and the Environmental Kuznets Curve in Taiwan: A Simultaneity Model Analysis. Iwami, T Economic Development and Environment in Southeast Asia: An Introductory Note. International Journal of Social Economics, 28(8): The "Advantage of Latecomer" in Abating Air-Pollution: The East Asian experience. International Journal of Social Economics, 32(3): 184. Jaeger, W. and Van Kolpin Economic Growth and Environmental Resource Allocation, Economics Department Williams College University of Oregon, http: //www. williams. edu/ Economics/ wp/ Jaeger _growth. Pdf. Karmellia, R Rehabilitasi Lahan Kritis dengan Pendekatan Ekobisnis di Kabupaten Bogor. Tesis Magister Sains. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Katharina, R Adopsi Sistem Pertanian Konservasi Usahatani Kentang di Lahan Kering Dataran Kecamatan Pangalengan-Bandung. Disertasi Program Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Keraf, A. S Etika Lingkungan. Edisi Pertama. PT Kompas Media Nusantara, Jakarta. Kostello, E Environment, Development and Social Inequality: Necessary Tradeoffs? Koutsoyianis, A Theory of Econometrics: An Introductory Exposition of Econometrics Methods. Second Edition. The Macmillan Press Ltd, London. Lange, G. M Wealth, Natural Capital, and Sustainable Development: Contrasting Examples from Botswana and Namibia. Environmental and Resource Economics, 29(3): Lestari, P Pencemaran Timbal di Udara dan Kadar Timbal Dalam Darah Anak-Anak: Studi Kasus di Bandung. Departemen Teknik Lingkungan, Institut Teknologi Bandung, Bandung. Lieb, C. M The Environmental Kuznets Curve and Flow Versus Stock Pollution: The Neglect of Future Damages. Environmental and Resource Economics, 29(3):

247 215 Lim, J Economic Growth and Environment: Some Empirical Evidences from South Korea. fce. unsw.edu.au /economics /Research/WorkingPapers/1998_2.pdf. Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup Pedoman Penetapan Baku Mutu Emisi Udara Sumber Tak Bergerak. Kementrian Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup, Jakarta. Min, D K Environmental Conditions and Governmental Fiscal Policy. Social Indicators Research, 62(1): 321. Morancho, A. B Economic Growth and CO2 Emissions in the European Union. Environmental and Resource Economics, 19(2): 165. Munasinghe, M The Economist's Approach to Sustainable Development, Finance & Development. Washington, 30 (4): 16. Najmulmunir, N Dampak Kebijaksanaan Pembangunan Ekonomi Terhadap Perkembangan Wilayah dan Kualitas Lingkungan, Suatu Pendekatan Input Output Terintegrasi (Kasus Propinsi Lampung). Disertasi Program Doktor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Nordell, E Water Treatment for Industrial and Other Uses. Reinhold Publishing Corporation, Newyork. Panayotou, T Getting Incentives Rights: Economic Instruments for Environmental Management in Developing Countries. HID Working Paper Empirical Tests and Policy Analysis of Environmental Degradation at Different Stages of Economic Development. Working Paper WP238 Technology and Employment Programme. International Labor Office, Geneva Economic Growth and the Environment, CID Working Paper No. 56. Pasaribu, S Perhutanan Sosial. Pearce, D. W and R. Kerry Turner Economics Of Natural Resources And The Environment. First Published. Harvester Wheatsheaf Publisher, New York. Pemprov Jabar, Rencana Strategis Pemerintah Provinsi Jawa Barat Pemerintah Provinsi Jawa Barat, Bandung.

248 216 Pesoth, W. F Keterkaitan Faktor Lingkungan dengan Aktivitas Perekonomian dalam Pembangunan di Masa Otonomi Daerah (Pendekatan Model Input Output Lingkungan di Kota Bogor). Disertasi Program Doktor. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Pezzey, J Sustainable Development Concepts: An Economic Analysis. World Bank Environment Paper Number 2. Putri, E. I Bahan Kuliah Ekonomi Lingkungan Lanjutan. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Rosser, B. and Marina V Rosser Institutional Evolution of Environmental Management Under Global Economic Growth. Journal of Economic Issues Lincoln, 40(2): 421. Sadat, D. N. dkk Udara Bersih Hak Kita Bersama. Saeni, M.S Kimia Lingkungan. Pusat Antar Universitas Ilmu Hayati, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Shafik, N. and S. Bandyopadhyay Economic Growth and Environmental Resources. Journal of Environmental Economics and Management, 4(3): Sanim, B Keterkaitan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Pembangunan Ekonomi dan Manajemen Lingkungan. Materi Kuliah Ekonomi SDA dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Santoso, B Keterkaitan Antara Pertumbuhan Ekonomi Nasional, Sektor Pertanian, dan Emisi Gas Rumah Kaca. Disertasi Program Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sastrawijaya, A. T Pencemaran Lingkungan. Cetakan Kedua. PT Rineka Cipta, Jakarta. Stern, D Progress on the Environmental Kuznets Curve? Environment and Development Economics, 3( ). Stern, D Attributing Changes In Global Sulfur Emissions. Working Papers in Ecological Economics Number Sterner, T Policy Instruments for Environmental and Natural Resource Management. First Edition. Resources for the Future,Washington DC. Taggart, D. M. and C. Findlay Economics. Second Edition. Addison- Wesley Publishing Company, New York.

249 217 Tietenberg, T Environmental and Natural Resources Economics. Fourth Edition. Scott Foresman and Company, Glenview, Illionis. Turner, R. K Environmental Economics. First Edition. The John Hopkins University Press Baltimore, New York. Wangsaatmaja, S Pengaruh Konversi Lahan Terhadap Rezim Aliran Aliran Air Permukaan Serta Kesehatan Lingkungan, Kasus: Cekungan Bandung. Disertasi Teknik Lingkungan Institut Teknologi Bandung, Bandung. Wardhana, W. A Dampak Pencemaran Lingkungan. Penerbit Andi Offset, Yogyakarta. World Bank World Bank Development Report Oxford University Press, New York. DAFTAR BACAAN Abdie, A Akselerasi Pembangunan Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura dalam Mendukung Akselerasi Peningkatan Ketahanan Pangan dan Kesejahteraan Petani Provinsi Jawa Barat. Makalah Diskusi Evaluasi Perkembangan Ekonomi Jawa Barat Tahun 2005 dan Prospeknya di Tahun Bank Indonesia, Bandung. Azis, I. J Structuring International Perpectives of Post-Decentralization Through a Regional Growth Model, Makalah Seminar Penguatan Daya Saing Daerah dalam Era Desentralisasi. Bank Indonesia, Bandung. Bimonte, S Model of Growth and Environmental Quality: A New Evidence of the Environmental Kuznets Curve. University of Siena Economics Working Paper No Chakraborty, R. N Rural Environmental Degradation, Growth, and Income Distribution in a Structuralist Two-Sector Model, Dariah, A. R dan Y. Sundaya Kajian Sektor Ekonomi yang Berdampak Signifikan Pada Peningkatan Pendapatan Masyarakat Miskin di Jawa Barat. Badan Perencanaan Daerah Provinsi Jawa Barat, Bandung. Dick, R. M. and M. D. Gregorio Collective Action and Property Rights for Sustainable Development, Brief 1 of Vision For Food, Agricultural and the Environment.

250 218 Faruqee, R Role of Economic Policies in Protecting the Environment: The Experience of Pakistan, Paper at the Annual General Meeting of the Pakistan Institute of Development Economics. Pakistan Institute of Development Economics, Islamabad. Giles, D.E.A. and C. Mosk Ruminant Eructation and a Long-Run Environmental Kuznets Curve for Enteric Methane in New Zealand: Conventional and Fuzzy Regression Analysis. Econometrics Working Paper EWP0306 ISSN Department of Economics. University of Victoria Victoria, B.C., Canada V8W 2Y2. Groot, H Structural Change, Economic Growth and the Environmental Kuznets Curve a Theoretical Perspective. OCFEB Research Memorandum Working Paper Series 1. Meinzen, D. R. and M. D. Gregorio Collective Action and Property Rights for Sustainable Development, Brief 1 0f Vision For Food, Agricultural and the Environment, http// www. ifpri.org /2020/ focus/ focus11/focus11.pdf. Merlevede, B The EKC for SO2: Does Firm Size Matter? Working Paper, Faculteit Economie En Bedrijfskunde. Netherlands HDP Committee Kaleidoscopic View On Social Scientific Global Change Research In The Netherlands, Royal Netherlands Academy of Arts and Sciences. www. knaw. nl/ publicaties/ pdf/ pdf. Nicholson, N Environmental Degradation, wcp.muohio. edu/downloads/lecture_ doc. Pemprov Jabar Analisis Permasalahan Penduduk Miskin dan Pemetaan Wilayah Jawa Barat. Pemerintah Provinsi Jawa Barat, Bandung Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun Pemerintah Provinsi Jawa Barat, Bandung. Sagar, V Inequality, Agricultural Sustainability and Environmental Degradation. http//: ac.uk/ Units/ PRU/ inequality_ agricultural_ sustain.pdf. Strand, J Environmental Kuzents Curves: Empirical Relationships Between Environmental Quality and Economic Development, University of Oslo Department of Economics In co-operation with The Frisch Centre for Economic Research. Stroup, R. L. and Charles N. Steele, Lectur 9: Property Rights, Natural Resources, and the Environment.

251 219 Tuan, N. A Evidences of the Environmental Kuznets Curve from CO 2 Emission in Six Country Analysis, Working Paper, Institute d Economie et de Polique de l Energie (IEPE) BP 47, Grenoble Cedex 09 (1999). Viswanathan, B. and K.S. Kavi Kumar Growth and Environment a Micro View Based on Indian Household Level Data Yandle, B., M. Bhattarai, and M. Vijayaraghavan Environmental Kuznets Curves: A Review of Findings, Methods, and Policy Implications. Yustika, A. E Ekonomi Kelembagaan: Definisi, Teori dan Strategi, Bayumedia Publishing, Malang.

252 L A M P I R A N

253 229 Lampiran 2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 2001 TENTANG PENGELOLAAN KUALITAS AIR DAN PENGENDALIAN PENCEMARAN AIR PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa air merupakan salah satu sumber daya alam yang memiliki fungsi sangat penting bagi kehidupan dan perikehidupan manusia, serta untuk memajukan kesejahteraan umum, sehingga merupakan modal dasar dan faktor utama pembangunan; b. bahwa air merupakan komponen lingkungan hidup yang penting bagi kelangsungan hidup clan kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya; c. bahwa untuk melestarikan fungsi air perlu dilakukan pengelolaan kualitas air clan pengendalian pencemaran air secara bijaksana dengan memperlihatkan kepentingan generasi sekarang dan mendatang serta keseimbangan ekologis; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, clan huruf c serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 14 ayat (2) Undangundang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan hidup, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air; Mengingat : a. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945; b. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945;

254 230 Lampiran 2. Lanjutan c. Nomor 11 tahun 1974 tentang Pengairan Lembaran Negara Indonesia Tahun 1974 Nomor 65, tambahan Lembaran Negara Nomor 3046); d. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699); e. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839); MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENGELOLAAN KUALITAS AIR DAN PENGENDALIAN PENCEMARAN AIR. BAB 1 KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan : 1. Air adalah semua air yang terdapat di atas dan di bawah permukaan tanah kecuali air laut dan air fosil; 2. Sumber air adalah wadah air yang terdapat di atas dan di bawah permukaan tanah, termasuk dalam pengertian ini akuifer, mata air, Sungai, rawa, danau, situ, waduk, dan muara; 3. Pengelolaan kualitas air adalah upaya pemeliharaan air sehingga tercapai kualitas air yang diinginkan sesuai peruntukannya untuk menjadi agar kualitas air tetap dalam kondisi alamiahnya; 4. Pengendalian rnncemaran air adalah upaya pencegahan dan penangulangan pencemaran air serta pemulihan kualitas air untuk menjamin kualitas air agar sesuai dengan baku mutu air; 5. Mutu air adalah kondisi kualitas air yang diukur dan atau diuji berdasarkan parameter-parameter tertentu dan metoda tertentu berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

255 231 Lampiran 2. Lanjutan 6. Kelas air adalah peringkat kualitas air yang dinilai masih layak untuk dimanfaatkan bagi peruntukan tertentu; 7. Kriteria mutu air adalah tolok ukur mutu air untuk setiap kelas air; 8. Rencana pendayagunaan air adalah rencana yang memuat potensi pemanfatan atau penggunaan air, pencadangan air berdasarkan ketersediaannya, baik kualitas maupun kuantitasnya, dan atau fungsi ekologis; 9. Baku mutu air adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya di dalam air; 10. Status mutu air adalah tingkat. kondisi mutu air yang menunjukkanl kondisi cemar atau kondisi baik pada suatu sumber air dalam waktu tertentu dengan membandingkan dengan baku mutu air yang ditetapkan; 11. Pencemaran air adalah memasuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain ke dalam air oleh kegiatan mannusia, sehinga kualitas air turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan air tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya; 12. Beban pencemaran adalah jumlah suatu unsur pencemar yang terkandung didalam air atau,air limbah; 13. Daya tampung beban pencemaran adalah kemampuan air pada suatu sumber air,untuk menerima masukan beban pencemaran tanpa mengakibatkan air tersebut menjadi cemar; 14. Air Iimbah adalah sisa dari suatu usaha dan atau kegiatan yang berwujud cair; 15. Baku mutu air limbah adalah ukuran batas atau kadar unsur pencemar dan atau jumlah unsur pencemar yang ditenggang keberadaanya dalam air limbah yang akan dibuang atau dilepas ke dalam sumber air dari suatu usaha dan atau kegiatan; 16. Pemerintah adalah Presiden beserta para menteri dan Ketua/ Kepala Lembaga Pemerintah Nondepartemen; 17. Orang adalah orang perseorangan,dan atau kelompok orang dan atau badan hukum ;

256 232 Lampiran 2. Lanjutan 18. Menteri adalah menteri yang ditugasi untuk mengelola lingkungan hidup dan pengendalian dampak lingkungan. Pasal 2 (1) Pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemmaran air diselengarakan secara terpadu dengan pendekatan ekosistem. (2) Keterpaduan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan pada tahap perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi. Pasal 3 Penyelengaraan pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, dapat dilaksanakan oleh pihak ketiga berdasarkan peraturan perundang - undangan. Pasal 4 (1) Pengelolaan kualitas air dilakukan untuk menjamin kualitas air yang dinginkan sesuai peruntukannya agar tetap dalam kondisi alamiahnya. (2) Pengendalian pencemaran air dilakukan untuk menjamin kualitas air agar sesuai dengan baku mutu air melalui upaya pencegahan dan penanggulangan pencemaran air serta pemulihan kualitas air. (3) Upaya pengelolaan kualitas air sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan pada: a. sumber yang terdapat di dalam hutan lindung; b. mata air yang terdapat di luar hutan lindung; dan c. akuifer air tanah dalam (4) Upaya pengendalian pencemaran air sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan di luar ketentuan sebagaimana dimaksud didalam ayat (3). (5) Ketentuan mengenai pencemaran kualitas air sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf c ditetapkan dengan peraturan perundang - undangan.

257 233 Lampiran 2. Lanjutan BAB II PENGELOLAAN KUALITAS AIR Bagian Pertama Wewenang Pasal 5 (1) Pemerintah dilakukan pengelolaan kualitas air lintas propinsi dan atau lintas bataas negara. (2) Pemerintah Propinsi mengkoordinasikan pengelolaan kualitas air lintas Kabupaten / Kota. (3) Pemerintah Kabupaten / Kota melakukan pengelolaan kualitas air di Kabupaten / Kota. Pasal 6 Pemerintah dalam melakukan pengelolaan kualitas air sebagamana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dapat menugaskan Pemerintah Propinsi atau Pemerintah Kabupaten / Kota yang bersangkutan. Bagian Kedua Pendayagunaan Air Pasal 7 (1) Pemerintah dan Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten / Kota menyusun rencana pendayagunaan air. (2) Dalam merencanakan pendayagunaan air sebagaimana,dimaksud dalam ayat (1) wajib memperhatikan fungsi ekonomis dan fungsi ekologis, nilai-nilai agama serta adat istiadat yang hidup dalam masyarakat setempat (3) Rencana pendayagunaan air sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi potensi pemanfaatan atau penggunaan air, pencadangan air berdasarkan ketersediaannya, baik kualitas maupun kuailtitas dan atau fungsi ekolosis. Bagian Ketiga Klasifikasi dan Kriteria Mutu Air Pasal 8 (1) Klasifikasi mutu air ditetapkan menjadi 4 (empat) kelas :

258 234 Lampiran 2. Lanjutan a. Kelas satu, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk air bakti air minum, dan atau peruntukan lain yang imempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut; b. Kelas dua, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk prasarana/sarana rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan,air untuk mengairi pertanaman, dan atau peruntukkan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut; c. Kelas tiga, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk imengairi pertanaman, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan air yang sama dengan kegunaan tersebut; d. Kelas empat, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk mengairi,pertanaman dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut. (2) Kriteria mutu air dari setiap kelas air sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tercantum dalam Lampiran Peraturan Pemerintah ini. Pasal 9 (1) Penetapan kelas air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 pada; a. sumber air yang berada dalam dua atau lebih wilayah Propinsi dan atau merupakan lintas batas wilayah negara ditetapkan dengan Keputusan Presiden. b. sumber air yang berada dalam dua atau lebih wilayah Kabupaten / Kota dapat diatur dengan Peraturan Daerah Propinsi. c. sumber air yang berada dalam wilayah Kabupaten / Kota ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten / Kota. (2) Penetapan kelas air sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan berdasarkan pada hasil pengkajian yang dilakukan oleh Pemerintah,Pemerintah Propinsi, dan atau Peinerintah Kabupaten / Kota berdasarkan wewenangnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (3) Pemerintah dapat menugaskan Pemerintah Propinsi yang bersangkutan untuk melakukan pengkajian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a.

259 235 Lampiran 2. Lanjutan (4) Pedoman pengkajian untuk menetapkan kelas air sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan oleh Menteri. Bagian Keempat Baku Mutu Air, Pemantauan Kualitas Air,dan Status Mutu Air Pasal 10 Baku mutu air ditetapkan berdasarkan hasil pengkajian kelas air dan kriteria mutu air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dan Pasal 9. Pasal 11 (1) Pemerintah dapat menetapkan baku mutu air yang lebih ketat dan atau penambahan parameter pada air yang lintas Propinsi dan atau lintas batas negara, serta sumber air yang pengelolaannya di bawah kewenangan Pemerintah. (2) Baku mutu air sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Menteri dengan memperhatikan saran masukan dari instansi terkait. Pasal 12 (1) Pemerintah propinsi dapat menetapkan; a. baku mutu air lebih ketat dari kriteria mutu air untuk kelas yang ditetapkan sebagamiana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1); dan atau b. Tambahan parameter dari yang ada dalam kriteria mutu air sebagaimana dimaksud dalampasal 8 ayat (2). (2) Baku mutu air sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah Propinsi. (3) Pedoman penetapan baku mutu air dan penambahan parameter baku mutu air sebagaimana dalam ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Menteri.

260 236 Lampiran 2. Lanjutan Pasal 13 (1) Pemantauan kualitas air pada a. sumber air yang berada dalam wilayah Kabupaten / Kota dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten / Kota; b. sumber air yang berada dalam dua atau lebih daerah Kabupaten / Kota dalam satu propinsi dikoordinasikan oleh Pemerintah Propinsi dan dilaksanakan oleh masing-masing Pemerintah Kabupaten / Kota; (2) Pemerintah dapat menugaskan Propinsi Propinsi yang bersangkutan untuk melakukan pemantauan kualitas air pada sumber air sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c. (3) Pemantauan kualitas air sebagamana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan sekurang-kurangnya 6 (enam )bulan sekali. (4) Hasil pemantauan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan huruf b, disampaikan kepada Menteri. (5) Mekanisme dan prosedur pemantauan kualitas air ditetapkan lebih lanjut dengan Keputusan Menteri. Pasal 14 (1) Status mutu air ditetapkan untuk menyatakan; a. kondisi cemar, apabila mutu air tidak memenuhi baku mutu air ; b. kondisi baik, apabila mutu air memenuhi baku mutu air. (2) Ketentuan mengenai tingkatan cemar dan tingkatan baik status mutu air sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan pedoman penentuan status mutu air ditetapkan lebih lanjut dengan Keputusan Menteri. Pasal 15 (1) Dalam hal status mutu air menunjukkan kondisi cemar; maka Pemerintah dan Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten / Kota sesuai dengan kewenangan masing-masing melakukan upaya penanggulangan pencemaran dan pemulihan kualitas air dengan menetapkan mutu air sasaran.

261 237 Lampiran 2. Lanjutan (2) Dalam hal status mutu air menunjukkan kondisi baik, maka pemerintah dan Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten / Kota sesuai dengan kewenangan masing-masing mempertahankan dan atau meningkatkan kualitas air. Pasal 16 (1) Gubernur menunjuk laboratorium lingkungan yang telah diakreditasi untuk melakukan analisis mutu air dan mutu air limbah dalam rangka pengendalian pencemaran air. (2) Dalam hal Gubernur belum menunjuk laboratorium sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka analisis mutu air dan mutu air limbah dilakukan oleh laboratorium yang ditunjuk Menteri. Pasal 17 Dalam hal terjadi perbedaan hasil analisis mutu air atau mutu air Iimbah dari dua atau lebih laboratoriummaka dilakukan verifikasi ilmiah terhadap analisis yang dilakukan. Verifikasi ilmiah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh Menteri dengan menggunakan laboratorium rujukan nasional. BAB III PENGENDALIAN PENCEMARAN AIR Bagian Pertama Wewenang Pasal 18 (1) Pemerintah melakukan pengendalian pencemaran air pada sumber air yang lintas Propinsi dan atau lintas batas negara. (2) Pemerintah Propinsi melakukan pengendalian pencemaran air pada sumber air yailg lintas Kabupaten / Kota. (3) Pemerintah Kabupaten/Kota melakukan pengendalian pencemaran air pada sumber air yang berada pada Kabupaten/ Kota.

262 238 Lampiran 2. Lanjutan Pasal 19 Pemerintah dalam melakukanpengendalian pencemaran air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) dapat menugaskan Pemerintah propinsi atau Pemerintah Kabupaten / Kota yang bersangkutan. Pasal 20 Pemerintah dan Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten / Kota sesuai dengan kewenangan masing-masing dalam rangka pengendalian pencemaran air pada sumber air berwenang: a. menetapkan daya tampung beban pencemaran; b. melakukan inventarisasi dan identifikasi sumber pencemar; c. menetapkan persyaratan air Iimbah untuk aplikasi pada tanah; d. menetapkan persyaratan pembuangan air Iimbah ke air atau sumber air; e. memantau kwalitas air pada sumber air; dan f. memantau faktor lain yang menyebabkan perubahan mutu air. Pasal 21 (1) Baku mutu air Iimbah nasional ditetapkan dengan Keputusan Menteri dengan memperhatikan saran masukan dari instansi terkait. (2) Baku mutu air Iimbah daerah ditetapkan dengan Peraturan Daerah Propinsi dengan ketentuan sama atau lebih ketat dari baku mutu air Iimbah nasional sebagaiimana dimaksud dalam ayat (1). (3) Hasil inventarisasi dan identifikasi sumber pencemar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf b, yang dilakukan oleh Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten / Kota disampaikan kepada Menteri secara berkala sekurangkurangnya 1 (satu) tahun sekali. 1 (4) Pedoman inventarisasi ditetapkan dengan Keputusan Menteri.

263 239 Lampiran 2. Lanjutan Pasal 22 Berdasarkan hasil inventarisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3), Menteri menetapkan kebijakan nasional pengendalian pencemaran air. Pasal 23 (1) Dalam rangka upaya pengendalian pencemaran air ditetapkan daya tampung beban pencemmaran air pada sumber air. (2) Penetapan daya tampung beban pencemaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara berkala sekurang-kurangnya 5 (Iima) tahun sekali. (3) Daya tampung beban pencemaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dipergunakan untuk a. pemberian izin lokasi; b. pengelolaan air dan sumber air ; c. penetapan rencana tata ruang ; d. pemberian izin pembuangan air limbah; e. penetapan mutu air sasaran dan program kerja pengendalian pencemaran air. (4) Pedoman penetapan daya tampung beban pencemaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan Menteri. Bagian Kedua Retribusi Pembuangan Air Limbah Pasal 24 (1) Setiap orang yang membuang air Iimbah ke prasarana dan atau sarana pengelolaan air Iimbah yang disediakan oleh Pemerintah Kabupatenl / Kota dikenakan retribusi. (2) Retribusi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten / Kota.

264 240 Lampiran 2. Lanjutan Bagian Ketiga Penangulangan Darurat Pasal 25 Setiap usaha dan atau kegiatan wajib membuat rencana penanggulangan pencemaran air pada keadaan darurat dan atau keadaan yang tidak terduga lainnya. Pasal 26 Dalam hal terjadi keadaan darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, maka penangung jawab usaha dan atau kegiatan wajib melakukan penangulangan dan pemulihan. BAB IV PELAPORAN Pasal 27 (1) Setiap orang yang menduga atau mengetahui terjadinya pencemaran,air, wajib melaporkan kepada Pejabat yang berwenang. (2) Pejabat yang berwenang yang menerima laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib mencatat a. tanggal pelaporan; b. waktu dan tempat; c. peristiwa yang terjadi; d. sumber penyebab; e. perkiraan dampak. (3) Pejabat yang berwenang yang menerima laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dalam iangka waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) hari terhitung sejak tanggal diterimanya laporan, wajib meneruskanya kepada Bupati / Walikota / Menteri. (4) Bupati / Walikota / Menteri sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) wa,iib negeri melakukan verifikasi untuk mengetahui tentang kebenaran terjadinya pelanggaran terhadap pengelolaan kualitas air dan atau terjadinya pencemaran air

265 241 Lampiran 2. Lanjutan (5) Apabila hasil verifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) menunjukkan telah terjadinya pelanggaran, maka Bupati / Walikota / Menteri wajib memerintahkan penanggung jawab usaha dan atau kegiatan untuk menanggulangi pelanggaran dan atau pencemaran airr serta dampaknya. Pasal 28 Dalam hal penanggung jawab usaha dan atau kegiatan tidak melakukan tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 dan Pasal 27 ayat (5) Bupati / walikota / Menteri dapat melaksanakan atau menugaskan pihak ketiga untuk melaksanakannya atas beban biaya penanggung jawab usaha dan atau kegiatan yang bersangkutan. Pasal 29 Setiap penanggung,jawab usaha dan atau kegiatan atau pihak ketiga yang ditunjuk untuk melakukan penanggulangan pencemaran air dan pemulihan kualitas air, wajib menyaimpaikan laporannya kepada Bupati / Walikota / Menteri. BAB V HAK DAN KEWAJIBAN Bagian Pertama Hak Pasal 30 (1) Setiap orang mempunyai hak yang sama atas kualitas air yang baik. (2) Setiap orang mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan informasi mengenai status mutu air dan pengelolaan kualitas air serta pengendalian pencemaran air. (3) Setiap orang mempunyai hak untuk berperan serta dalam rangka pengelolaan, kualitas air dan pengendalian pencemaran air sesuai peraturan perundang - undangan yang berlaku.

266 242 Lampiran 2. Lanjutan Bagian Kedua Kewajiban Pasal 31 Setiap orang wajib : melestarikan kualitas air pada sumber air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) mengendalikaan pencemaran air pada sumber air sebagaimana dimaksud didalam Pasal 4 ayat (4). Pasal 32 Setiap orang yang melakukan usaha dan atau kegiatan berkewajiban memberikan informasi yang benar dan akurat mengenai pelaksanaan kewajiban pengelolan kualitas air dan pengendalian pencemaran air. Pasal 33 Pemerintah dan Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten / Kota wajib memberikan lnformasi kepadamasyarakat mengenai pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air. Pasal 34 (1) Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan wajib menyampaikan laporan tentang penataan persyaratan izin aplikasi air limbah pada tanah (2) Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegitan wajib menyampaikan laporan tentang penaatan persyaratan izin pembuangan air Iimbah ke air atau sumber air. (3) Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) wajib disampaikan sekurang-kurangnya sekali dalam 3 (tiga) bulan kepada Bupati /Walikota dengan tembusan disampaikan kepada Menteri. (4) Ketentuan mengenai pedoman pelaporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) ditetapkan lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.

267 243 Lampiran 2. Lanjutan BAB VI PERSYARATAN PEMANFAATAN DAN PEMBUANGAN AIR LIMBAH Bagian Pertama Pemanfaatan Air Limbah Pasal 35 (1) Setiap usaha dan atau kegiatan yang akan memanfaatkan air Iimbah ke tanah untuk aplikasi pada tanah wajib mendapat izin tertulis dari Bupat / Walikota. (2) Permohonan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didasarkan pada hasil kajian Analisis Mengenai Dampak Lingkungan atau kajan Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan. (3) Ketentuan mengenai syarat, tata cara perizinan ditetapkan oleh Bupati / Walikota dengan memperhatian pedoman yang ditetapkan oleh Menteri. Pasal 36 (1) Pemrakarsa melakukan kajian mengenai pemanfaatan air limbah ke tanah Hasil kajian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya: aplikasi pada tanah. (2) Berdasarkan hasil kajian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), pemrakarsa mengajukan permohonan izin kepada Bupati / Walikota. a. pengaruh terhadap pembudidayaan ikan, hewan, dan tanaman ; b. pengaruh terhadap kualitas tanah dan air tanah; dan c. pengaruh terhadap kesehatan masyarakat. (3) Bupati / Walikota melakukan evaluasi terhadap hasil kajian yang diajukan oleh pemkarssa sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) (4) Apabila berdasarkan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) menunjukkan bahwa pemanfaatan air limbah ke tanah untuk aplikasi pada tanah layak lingkungan, maka Bupati/ Walikota menerbitkan izin pemanfaatan air limbah (5) Penerbitan pemanfaatan air limbah sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) diterbitkan dalam jangka waktu selambat-selambatnya 90 (sembilan puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya permohonan izin

268 244 Lampiran 2. Lanjutan (6) Pedoman pengkajian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan lebih lanjut dengan Keputusan Menteri. Bagian kedua Pembuangan Air Limbah Pasal 37 Setiap penanggung usaha dan atau kegiatan yang membuang air limbah ke air atau sumber air wajib mencegah dan menangulangi terjadinya pencemaran air Pasal 38 (1) Setiap penanggung jawab usaha atau kegiatan yang membuang air limbah ke air atau sumber air wajib mentaati persyaratan yang ditetapkan dalam izin (2) Dalam persyaratan izin Pembuangan air Iimbah sebagaimana dimaksud didalam ayat (1) waiib dicantumkan a. kewajiban untuk mengoloa limbah; b. persyaratan mutu dan kuantitas air limbah yang boleh dibuang ke media lingkungan; c. persyaratan cara pembuangan air limbah ; d. persyaratan untuk mengadakan sarana dan prosedur penanggulamgan keadaan darurat ; e. persyaratan untuk melakukan pemantauan mutu dan debit air limbah ; f. persyaratan lain yang ditentukan oleh hasil pemeriksaan analisis mengenai dampak lingkungan yang erat kaitannya dengan pengendalian pencemaran air bagi usaha dan atau kegiatan yang wajib melaksanakan analisis mengenai dampak lingkungan ; g. larangan pembuangan secara sekaligus dalam satu atau pelepasan dadakan h. larangan untuk melakukan pengenceran air limbah dalam upaya penataan batas kadar yang diperyaratkan; i. kewajiban melakukan swapantau dan kewajiban untuk melaporkan hasil swapantau.

269 245 Lampiran 2. Lanjutan (3) Dalam penetapan peryaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bagi air limbah yang mengandung radioaktif, Bupati/ Walikota wajib mendapat rekomendasi tertulis dari lembaga pemerintah yang bertanggung jawab di bidang tenaga atom. Pasal 39 (1) Bupati / Walikota dalam menentukan baku mutu air limbah yang diinginkan sebagaimana dimaksud dalam pasal 38 ayat (2) didasarkan pada daya tampung beban pencemaran pada sumber air ; (2) Dalam hal daya tampung beban pencemaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) belum dapat ditentukan, maka batas mutu air limbah yang diizinkan ditetapkan berdasarkan bku mutu air limbah nasional sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 ayat (1) Pasal 40 (1) Setiap usaha dan kegiatan yang akan membuang air limbah ke air atau sumber air wajib mendapatkan izin tertulis dari Bupati / Walikota. (2) Permohonan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didasarkan pada hasil kajian Analisis Mengenai Dampak Lingkungan atau kajian Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan. Pasal 41 (1) Pemrakarsa melakukan kajian mengenai pembuangan air limbah ke air atau sumber air. (2) Hasil kajian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi sekurangkurangnya : a. pengaruh terhadap pembudidayaan ikan, hewan, dan tanaman b. pengaruh terhadap kualitas tanah dan air tanah; dan c. pengaruh terhadap kesehatan masyarakat. (3) Berdasarkan hasil kajian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), pemrakarsa mengajukan permohonan izin kepada Bupati / Walikota.

270 246 Lampiran 2. Lanjutan (4) Bupati / Walikota melakukan evaluasi terhadap hasil kajian yang diajukan oleh pemrakarsa sebagaimana dimaksud dalam ayat (3). (5) Apabila berdasarkan hasil evaluasi sebagaimana diamksud dalam ayat (4) menunjukakan bahwa pembuangan air limbah ke air atau sumber air layak lingkungan, maka Bupati / Walikota menerbitkan izin pembungan air limbah. (6) Penerbitan izin pembungan air limbah sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) diterbitkan dalam jangka waktu selambat-lambatnya 90 (sembilan puluh ) hari terhitung sejak tanggal diterimanya permohonan izin. (7) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara perizinan pembungan air limbah ditetapkan oleh Bupati /Walikota dengan memperhatikan pedoman yang ditetapkan Menteri (8) Pedoman kajian pembungan air limbah sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1) ditetapkan lebih lanjut dengan Keputusan Menteri. Pasal 42 Setiap orang dilarang membuang limbah padat dan atau gas ke dalam air dan sumber air. BAB VII PEMBINAAN DAN PENGAWASAN Bagian Pertama Pembinaan Pasal 43 (1) Pemerintah, pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten / Kota melakukan pembinaan untuk meningkatkan ketaatan penanggung jawab usaha dan atau kegiatan dalam pengelolaan kualitas air dan pengendaliaan pencemaran air. (2) Pembinaan sebagaimana dimaksudkan dalam yat (1) meliputi: a. pemberian penyuluhan mengenai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelola lingkungan hidup; b. penerapan kebijakan insentif dan atau disinsentif

271 247 Lampiran 2. Lanjutan (3) Pemerintah, pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten / Kota melakukan upaya pengelolaan dan atau pembinaan pengelolaan air limbah rumah tangga. (4) Upaya pengelolaan air limbah rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dapat dilakukan oleh pemerintah Propinsi, pemerintah Kabupaten / Kota dengan membangun sarana dan prasarana pengelolaan limbah rumah tangga terpadu. (5) Pembangunan saran dan prasarana sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dapat dilakukan melalui kerja sama dengan pihak ketiga sesuai dengan peraturan perundang -undangan yang berlaku. Bagian Kedua Pengawasan Pasal 44 (1) Bupati /Walikota wajib melakukan pengawasan terhadap penataan persyaratan yang tercantum dalam izin sebagaimana dimaksud dalam pasal 38 ayat (2) (2) Pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh pejabat pengawas lingkungan daerah. Pasal 45 Dalam hal tertentu pejabat pengawas lingkungan melakukan pengawasan terhadap penataan persyaratan yang tercantum dalam izin melakukan usaha dan atau kegiatan. Pasal 46 (1) Dalam melaksanakan tugasnya, pejabat pengawas lingkungan sebagaimana dimaksud dalam pasa 44 ayat (2) dan pasal 45 berwenang : a. melakukan pemantauan yang meliputi pengamatan, pemotretan, perekaman audio visual, dan pengukuran;

272 248 Lampiran 2. Lanjutan b. meminta keterangan kepada masyarakat yang berkepentingan, karyawan yang bersangkutan, konsultan, kontraktor, dan perangkat pemerintahan setempat; c. membuat salinan dari dokumen dan atau membuat catatan yang diperlukan, antara lain dokumen perizinan, dokumen AMDAL, UKI, UPL, data hasil swapantau, dokumen surat keputusan organisasi perusahaan; d. memasuki tempat tertentu; e. mengambil contoh dari air limbah yang dihasilkan, air limbah yang dibuang, bahan baku, dan bahan penolog; f. memeriksa peralatan yang digunakan dalam proses produksi, utilitas, dan instansi pengolahan limbah; g. memeriksa instansi, dan atau alat transportasi; (2) Kewenangan membuat catatan sebagaimana dimaksud (3) dalam ayat (1) huruf c meliputi pembuatan denah, sketsa, gambar, peta, dan atau dekripsi yang diperlukan dalam pelaksanaan tugas pengawasan. Pasal 47 Pejabat pengawas dalam melaksanakan tugasnya wajib memperlihatkan surat tugas dan atau tanda pengenal. BAB VIII SANKSI Bagian Pertama Sanksi Administrasi Pasal 48 Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatn yang melanggar ketentuan Pasal 24 ayat (1), Pasal 25, Pasal 32, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 37, Pasal 38, Pasal 40,dan Pasal 42, Bupati / Walikota berwenang menjatuhkan sanksi administrasi.

273 249 Lampiran 2. Lanjutan Pasal 49 Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan yang melanggar ketentuan Pasal 25, Bupati / Walikota / Mentri berwenang menerapkan paksaan pemerintahan atau uang paksa. Bagian Kedua Ganti Kerugian Pasal 50 (1) Setiap perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup, mewajibkan penanggung jawab usaha dan atau kegiatan untuk membayar ganti kerugian dan aatau melakukan tindakan tertentu. (2) Selain pembeban untuk melakukan tindakkan tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), hakim dapat menetapkan pembayaran uang paksa atas setiap hari keterlambatan penyelesaian tindakkan tertentu tersebut. Bagian Ketiga Sanksi Pidana Pasal 51 Barang siapa melanggar ketentuan Pasal 26, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 37, Pasal 38, Pasal 41, Pasal 42, yang mengakibatkan terjadinya pencemaran air, diancam dengan pidana sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 41, pasal 42, pasal 43, pasal 44, pasal 45, pasal 46, pasal 47 Undang- Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. BAB IX KETENTUAN PERALIHAN Pasal 52 Baku mutu air limbah untuk jenis usah dan atau kegiatan tertentu yang telah ditetapkan oleh daerah, tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini.

274 250 Lampiran 2. Lanjutan Pasal 53 (1) Bagi usaha dan atau kegiatan yang menggunakan air limbah untuk aplikasi pada tanah, maka dalam jangka waktu satu tahun setelah diundangkannya Peraturan Pemerintah ini wajib memiliki izin pemanfaatan air limbah pada tanah dari Bupati / Walikota. (2) Bagi usaha dan atau kegiatan yang sudah beroperasi belum memiliki izin pembuangan air limbah ke air atau sumber air, maka dalam waktu satu tahun sejak diundangkannya Peraturan Pemerintah ini wajib memperoleh izin pembuangan air limbah ke air atau sumber air Bupati / Walikota. BAB X KETENTUAN PENUTUP Pasal 54 Penetapan daya tampung beben pencemaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 38 ayat (3) wajib ditetapkan selambat-lambatnya 3 (tiga ) tahun sejak diundangkannya Peraturan Pemerintah ini. Pasal 55 Dalam hal baku mutu air pada sumber air sebagaimana dimaksud dalam pasal 11 dan pasal 12 ayat (1) belum atau tidak ditetapkan, berlaku kreteria mutu air untuk kelas II sebagaimana tercantum dalam lampiran Peraturan Pemerintah ini sebagai baku mutu air. Pasal 56 (1) Dalam jangka waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) tahun sejak diundangkannya Peraturan Pemerintah ini, baku mutu air yang telah ditetapkan sebelumnya wajib disesuaikan dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini

275 251 Lampiran 2. Lanjutan (2) Dalam hal baku mutu air sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) lebih ketat dddari baku mutu air dalam peraturan pemerintah ini, maka baku mutu air sebelimnya tetap berlaku. Pasal 57 (1) Dalam hal jenis usaha dan atau kegiatan belum ditentukan baku mutu air limbahnya, maka baku mutu air limbah yang berlaku di daerah tersebut dapat ditetepkan setelah mendapat rekomendasi dari Menteri. (2) Ketentuan mengenai baku mutu air limbah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetepkan dengan Peraturan Daerah Propinsi. Pasal 58 Pada saat berlakunya Peraturan Pemerintah ini semua peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air yang telah ada, tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan dan belum diganti berdasarkan peraturan pemerintah ini. Pasal 59 Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini, maka Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1990 tentang Penendalian Pencemaran Air ( Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 24, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3409) dinyatakan tidak berlaku. Pasal 60 Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku sejak tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

276 252 Lampiran 2. Lanjutan Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 14 Desember 2001 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. MEGAWATI SOEKARNOPUTRI Diundangkan di Jakarta pada tanggal 14 Desember 2001 SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA, ttd. BAMBANG KESOWO

277 253 Lampiran 3. Peraturan Pemerintah Indonesia No 41 Tahun 1999 Tentang Pengendalian Pencemaran Udara. PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa udara sebagai sumber daya alam yang mempengaruhi kehidupan manusia serta makhluk hidup lainnya harus dijaga dan dipelihara kelestarian fungsinya untuk pemeliharaan kesehatan dan kesejahteraan manusia serta perlindungan bagi makhluk hidup lainnya; b. bahwa agar udara dapat bermanfaat sebesar-besarnya bagi pelestarian fungsi lingkungan hidup, maka udara perlu dipelihara, dijaga dan dijamin mutunya melalui pengendalian pencemaran udara; c. bahwa berdasarkan ketentuan tersebut di atas dan sebagai pelaksanaan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dipandang perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pengendalian Pencemaran Udara; Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;

DAMPAK PERTUMBUHAN EKONOMI DAN KEMISKINAN TERHADAP DEGRADASI LINGKUNGAN DI JAWA BARAT ATIH ROHAETI DARIAH

DAMPAK PERTUMBUHAN EKONOMI DAN KEMISKINAN TERHADAP DEGRADASI LINGKUNGAN DI JAWA BARAT ATIH ROHAETI DARIAH DAMPAK PERTUMBUHAN EKONOMI DAN KEMISKINAN TERHADAP DEGRADASI LINGKUNGAN DI JAWA BARAT ATIH ROHAETI DARIAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan

Lebih terperinci

VI. DAMPAK PERTUMBUHAN EKONOMI DAN KEMISKINAN TERHADAP DEGRADASI LINGKUNGAN

VI. DAMPAK PERTUMBUHAN EKONOMI DAN KEMISKINAN TERHADAP DEGRADASI LINGKUNGAN VI. DAMPAK PERTUMBUHAN EKONOMI DAN KEMISKINAN TERHADAP DEGRADASI LINGKUNGAN Berdasarkan hasil estimasi parameter 12 persamaan perilaku yang disajikan dalam Bab V dapat ditarik substansi temuan empiris

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di dalam kerangka pembangunan nasional, pembangunan daerah merupakan bagian yang terintegrasi. Pembangunan daerah sangat menentukan keberhasilan pembangunan nasional secara

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Northeast Georgia Regional Development Center (1999) menjelaskan beberapa. indikator pencemaran sungai sebagai berikut:

II. TINJAUAN PUSTAKA. Northeast Georgia Regional Development Center (1999) menjelaskan beberapa. indikator pencemaran sungai sebagai berikut: II. TINJAUAN PUSTAKA 3.1 Indikator Kerusakan Lingkungan Sungai Kualitas air sungai tergantung pada komponen penyusun sungai dan komponen yang berasal luar, seperti pemukiman dan industri. Oleh karena itu,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertumbuhan ekonomi adalah salah satu indikator yang amat penting

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertumbuhan ekonomi adalah salah satu indikator yang amat penting 12 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi adalah salah satu indikator yang amat penting dalam melakukan analisis tentang pembangunan ekonomi yang terjadi pada suatu negara. Istilah

Lebih terperinci

ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA INDUSTRI PAKAN TERNAK AYAM DI PROPINSI LAMPUNG DAN JAWA BARAT ANNA FITRIANI

ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA INDUSTRI PAKAN TERNAK AYAM DI PROPINSI LAMPUNG DAN JAWA BARAT ANNA FITRIANI ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA INDUSTRI PAKAN TERNAK AYAM DI PROPINSI LAMPUNG DAN JAWA BARAT ANNA FITRIANI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Perubahan lingkungan udara pada umumnya disebabkan oleh pencemaran,

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Perubahan lingkungan udara pada umumnya disebabkan oleh pencemaran, 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan lingkungan udara pada umumnya disebabkan oleh pencemaran, yaitu masuknya zat pencemar yang berbentuk gas, partikel kecil atau aerosol ke dalam udara (Soedomo,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. peningkatan yang sangat pesat. Data survei resmi United Nation dalam The 2010

I. PENDAHULUAN. peningkatan yang sangat pesat. Data survei resmi United Nation dalam The 2010 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini, pertumbuhan penduduk dunia menunjukkan trend peningkatan yang sangat pesat. Data survei resmi United Nation dalam The 2010 Revision 1 mengestimasi bahwa jumlah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Air merupakan komponen lingkungan yang penting bagi kehidupan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Air merupakan komponen lingkungan yang penting bagi kehidupan yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Air merupakan komponen lingkungan yang penting bagi kehidupan yang merupakan kebutuhan utama bagi proses kehidupan di bumi. Manusia menggunakan air untuk memenuhi

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Kata Pengantar. Daftar Isi. Daftar Tabel. Daftar Gambar

DAFTAR ISI. Kata Pengantar. Daftar Isi. Daftar Tabel. Daftar Gambar DAFTAR ISI Kata Pengantar Daftar Isi Daftar Daftar i ii iii vii Bab I Pendahuluan A. Kondisi Umum Daerah I- 1 B. Pemanfaatan Laporan Status LH Daerah I-10 C. Isu Prioritas Lingkungan Hidup Kabupaten Kulon

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pencemaran Air Air merupakan kebutuhan yang sangat vital bagi mahluk hidup dan tanpa air maka tidak akan ada kehidupan. Dalam Pasal 5 UU No.7 tahun 2004 tentang sumberdaya air

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Persepsi

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Persepsi 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Persepsi Persepsi adalah kemampuan otak dalam menerjemahkan stimulus atau proses untuk menerjemahkan stimulus yang masuk ke dalam alat indera manusia. Proses ini yang memungkinkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dunia. Hal ini disebabkan karena manusia memerlukan daya dukung unsur unsur

BAB I PENDAHULUAN. dunia. Hal ini disebabkan karena manusia memerlukan daya dukung unsur unsur BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Interaksi manusia dengan lingkungan hidupnya merupakan suatu proses yang wajar dan terlaksana sejak manusia itu dilahirkan sampai ia meninggal dunia. Hal ini disebabkan

Lebih terperinci

DAMPAK KEBIJAKAN MONETER TERHADAP KINERJA SEKTOR RIIL DI INDONESIA

DAMPAK KEBIJAKAN MONETER TERHADAP KINERJA SEKTOR RIIL DI INDONESIA DAMPAK KEBIJAKAN MONETER TERHADAP KINERJA SEKTOR RIIL DI INDONESIA LIRA MAI LENA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2 0 0 7 ABSTRAK Lira Mai Lena. Dampak Kebijakan Moneter terhadap Kinerja Sektor

Lebih terperinci

SURAT PERNYATAAN STRUKTUR EKONOMI DAN KESEMPATAN KERJA SEKTOR PERTANIAN DAN NON PERTANIAN SERTA KUALITAS SUMBERDAYA MANUSIA DI INDONESIA

SURAT PERNYATAAN STRUKTUR EKONOMI DAN KESEMPATAN KERJA SEKTOR PERTANIAN DAN NON PERTANIAN SERTA KUALITAS SUMBERDAYA MANUSIA DI INDONESIA SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis saya yang berjudul: STRUKTUR EKONOMI DAN KESEMPATAN KERJA SEKTOR PERTANIAN DAN NON PERTANIAN SERTA KUALITAS

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN KREDIT DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT DHONA YULIANTI

ANALISIS KETERKAITAN KREDIT DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT DHONA YULIANTI ANALISIS KETERKAITAN KREDIT DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT DHONA YULIANTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

DAMPAK KEBIJAKAN MONETER TERHADAP KINERJA SEKTOR RIIL DI INDONESIA

DAMPAK KEBIJAKAN MONETER TERHADAP KINERJA SEKTOR RIIL DI INDONESIA DAMPAK KEBIJAKAN MONETER TERHADAP KINERJA SEKTOR RIIL DI INDONESIA LIRA MAI LENA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2 0 0 7 ABSTRAK Lira Mai Lena. Dampak Kebijakan Moneter terhadap Kinerja Sektor

Lebih terperinci

BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN

BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN 186 BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan 1. Secara umum suhu air perairan Teluk Youtefa berkisar antara 28.5 30.0, dengan rata-rata keseluruhan 26,18 0 C. Nilai total padatan tersuspensi air di

Lebih terperinci

ANALISIS PENERAPAN KEBIJAKAN PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA DARI KENDARAAN BERMOTOR BERDASARKAN ESTIMASI BEBAN EMISI (Studi Kasus : DKI JAKARTA)

ANALISIS PENERAPAN KEBIJAKAN PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA DARI KENDARAAN BERMOTOR BERDASARKAN ESTIMASI BEBAN EMISI (Studi Kasus : DKI JAKARTA) ANALISIS PENERAPAN KEBIJAKAN PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA DARI KENDARAAN BERMOTOR BERDASARKAN ESTIMASI BEBAN EMISI (Studi Kasus : DKI JAKARTA) RAHMAWATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Komposisi dan Perilaku Gas Buang Kendaraan Bermotor Emisi kendaraan bermotor mengandung berbagai senyawa kimia. Komposisi dari kandungan senyawa kimianya tergantung

Lebih terperinci

ABSTRACT. Keywords: internal and international migration, labor market, Indonesian economy

ABSTRACT. Keywords: internal and international migration, labor market, Indonesian economy ABSTRACT SAFRIDA. The Impact of Migration Policy on Labor Market and Indonesian Economy (BONAR M. SINAGA as Chairman, HERMANTO SIREGAR and HARIANTO as Members of the Advisory Committee) The problem of

Lebih terperinci

ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL

ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL SEKOLAH PASCSARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. Akan tetapi udara yang benar-benar bersih saat ini sudah sulit diperoleh, khususnya

BAB 1 : PENDAHULUAN. Akan tetapi udara yang benar-benar bersih saat ini sudah sulit diperoleh, khususnya 1 BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Udara merupakan unsur yang sangat penting untuk mempertahankan kehidupan manusia, hewan, dan tumbuhan semuanya membutuhkan udara untuk mempertahankan hidupnya.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pertumbuhan ekonomi adalah salah satu indikator yang amat penting

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pertumbuhan ekonomi adalah salah satu indikator yang amat penting BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi adalah salah satu indikator yang amat penting dalam melakukan analisis tentang pembangunan ekonomi yang terjadi pada suatu negara. Istilah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sumber daya alam yang bersifat mengalir (flowing resources), sehingga

I. PENDAHULUAN. sumber daya alam yang bersifat mengalir (flowing resources), sehingga I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sungai menjadi salah satu pemasok air terbesar untuk kebutuhan mahluk hidup yang memiliki fungsi penting bagi kehidupan manusia. Sungai adalah sumber daya alam yang bersifat

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Hubungan Antara Pertumbuhan Ekonomi dan Degradasi Lingkungan Model Pezzey dan Teori EKC secara substansi memiliki makna yang sama, yakni membahas hubungan antara pertumbuhan

Lebih terperinci

Nama : Putri Kendaliman Wulandari NPM : Jurusan : Teknik Industri Pembimbing : Dr. Ir. Rakhma Oktavina, M.T Ratih Wulandari, S.T, M.

Nama : Putri Kendaliman Wulandari NPM : Jurusan : Teknik Industri Pembimbing : Dr. Ir. Rakhma Oktavina, M.T Ratih Wulandari, S.T, M. Nama : Putri Kendaliman Wulandari NPM : 35410453 Jurusan : Teknik Industri Pembimbing : Dr. Ir. Rakhma Oktavina, M.T Ratih Wulandari, S.T, M.T TUGAS AKHIR USULAN PENINGKATAN PRODUKTIVITAS DAN KINERJA LINGKUNGAN

Lebih terperinci

KETERKAITAN WILAYAH DAN DAMPAK KEBIJAKAN TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN WILAYAH DI INDONESIA. Oleh: VERALIANTA BR SEBAYANG

KETERKAITAN WILAYAH DAN DAMPAK KEBIJAKAN TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN WILAYAH DI INDONESIA. Oleh: VERALIANTA BR SEBAYANG KETERKAITAN WILAYAH DAN DAMPAK KEBIJAKAN TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN WILAYAH DI INDONESIA Oleh: VERALIANTA BR SEBAYANG SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengelolaan Lingkungan Hidup Dengan diberlakukannya Undang-Undang No. 4 Tahun 1982 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang disempurnakan dan diganti dengan Undang Undang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Laut Indonesia sudah sejak lama didayagunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia terutama pemanfaatan sumberdaya hayati seperti ikan maupun sumberdaya non hayati

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Di era persaingan pasar bebas saat ini, produk suatu industri

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Di era persaingan pasar bebas saat ini, produk suatu industri BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di era persaingan pasar bebas saat ini, produk suatu industri seharusnya memiliki kualitas sesuai standar yang ditentukan. Dalam proses pembuatannya tentu diperlukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. gas/uap. Maka dari itu, bumi merupaka satu-satunya planet dalam Tata Surya. yang memiliki kehidupan (Kodoatie, 2012).

BAB I PENDAHULUAN. gas/uap. Maka dari itu, bumi merupaka satu-satunya planet dalam Tata Surya. yang memiliki kehidupan (Kodoatie, 2012). 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Air adalah salah satu kekayaan alam yang ada di bumi. Air merupakan salah satu material pembentuk kehidupan di bumi. Tidak ada satu pun planet di jagad raya ini yang

Lebih terperinci

VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN

VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN 1994-2003 6.1. Hasil Validasi Kebijakan Hasil evaluasi masing-masing indikator

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Waduk adalah genangan air besar yang sengaja dibuat dengan membendung aliran sungai, sehingga dasar sungai tersebut yang menjadi bagian terdalam dari sebuah waduk. Waduk

Lebih terperinci

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ABSTRACT

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Studi ini menyajikan analisis mengenai kualitas udara di Kota Tangerang pada beberapa periode analisis dengan pengembangan skenario sistem jaringan jalan dan variasi penerapan

Lebih terperinci

ANALISIS EFISIENSI RELATIF KOMODITAS KELAPA PADA LAHAN PASANG SURUT DAN LAHAN KERING. Oleh: BEDY SUDJARMOKO

ANALISIS EFISIENSI RELATIF KOMODITAS KELAPA PADA LAHAN PASANG SURUT DAN LAHAN KERING. Oleh: BEDY SUDJARMOKO ANALISIS EFISIENSI RELATIF KOMODITAS KELAPA PADA LAHAN PASANG SURUT DAN LAHAN KERING Oleh: BEDY SUDJARMOKO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ABSTRAK BEDY SUDJARMOKO. Analisis Efisiensi

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI PEREKONOMIAN JAWA BARAT TAHUN 2007

BAB IV KONDISI PEREKONOMIAN JAWA BARAT TAHUN 2007 BAB IV KONDISI PEREKONOMIAN JAWA BARAT TAHUN 2007 4.1. Gambaran Umum awa Barat adalah provinsi dengan wilayah yang sangat luas dengan jumlah penduduk sangat besar yakni sekitar 40 Juta orang. Dengan posisi

Lebih terperinci

Pembangunan Kehutanan

Pembangunan Kehutanan KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Pembangunan Kehutanan Sokoguru Pembangunan Nasional Berkelanjutan Dr. Ir. Hadi Daryanto, DEA (Sekretaris Jenderal) Disampaikan dalam Seminar

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Air merupakan unsur penting bagi kehidupan makhluk hidup baik manusia,

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Air merupakan unsur penting bagi kehidupan makhluk hidup baik manusia, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan unsur penting bagi kehidupan makhluk hidup baik manusia, flora, fauna maupun makhluk hidup yang lain. Makhluk hidup memerlukan air tidak hanya sebagai

Lebih terperinci

Pengaruh Aktivitas Masyarakat di pinggir Sungai (Rumah Terapung) terhadap Pencemaran Lingkungan Sungai Kahayan Kota Palangka Raya Kalimantan Tengah

Pengaruh Aktivitas Masyarakat di pinggir Sungai (Rumah Terapung) terhadap Pencemaran Lingkungan Sungai Kahayan Kota Palangka Raya Kalimantan Tengah MITL Media Ilmiah Teknik Lingkungan Volume 1, Nomor 2, Agustus 2016 Artikel Hasil Penelitian, Hal. 35-39 Pengaruh Aktivitas Masyarakat di pinggir Sungai (Rumah Terapung) terhadap Pencemaran Lingkungan

Lebih terperinci

ANALISIS PEREKONOMIAN PROVINSI MALUKU UTARA: PENDEKATAN MULTISEKTORAL MUHAMMAD ZAIS M. SAMIUN

ANALISIS PEREKONOMIAN PROVINSI MALUKU UTARA: PENDEKATAN MULTISEKTORAL MUHAMMAD ZAIS M. SAMIUN ANALISIS PEREKONOMIAN PROVINSI MALUKU UTARA: PENDEKATAN MULTISEKTORAL MUHAMMAD ZAIS M. SAMIUN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 ii ABSTRACT MUHAMMAD ZAIS M. SAMIUN. Analysis of Northern

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengaruhnya terhadap ekosistem secara global. Udara yang kita pakai untuk

BAB I PENDAHULUAN. pengaruhnya terhadap ekosistem secara global. Udara yang kita pakai untuk 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Udara merupakan sumber daya alam milik bersama yang besar pengaruhnya terhadap ekosistem secara global. Udara yang kita pakai untuk bernafas umumnya tidak atau kurang

Lebih terperinci

Makalah Baku Mutu Lingkungan

Makalah Baku Mutu Lingkungan Makalah Baku Mutu Lingkungan 1.1 Latar Belakang Pembangunan sumber daya alam dan lingkungan hidup seyogyanya menjadi acuan bagi kegiatan berbagai sektor pembangunan agar tercipta keseimbangan dan kelestarian

Lebih terperinci

disinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman

disinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman 1 BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai kekayaan alam yang beranekaragam termasuk lahan gambut berkisar antara 16-27 juta hektar, mempresentasikan 70% areal gambut di Asia Tenggara

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Ekosistem air terdiri atas perairan pedalaman (inland water) yang terdapat

TINJAUAN PUSTAKA. Ekosistem air terdiri atas perairan pedalaman (inland water) yang terdapat TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Air Ekosistem air terdiri atas perairan pedalaman (inland water) yang terdapat di daratan, perairan lepas pantai (off shore water) dan perairan laut. Ekosistem air yang terdapat

Lebih terperinci

DAMPAK INVESTASI TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN: STUDI KOMPARASI PENANAMAN MODAL DALAM NEGERI DAN PENANAMAN MODAL ASING DI JAWA TIMUR

DAMPAK INVESTASI TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN: STUDI KOMPARASI PENANAMAN MODAL DALAM NEGERI DAN PENANAMAN MODAL ASING DI JAWA TIMUR DAMPAK INVESTASI TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN: STUDI KOMPARASI PENANAMAN MODAL DALAM NEGERI DAN PENANAMAN MODAL ASING DI JAWA TIMUR HERNY KARTIKA WATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tambah kecuali sekedar mempermudah sistem pembuangan. adalah mengolah masukan (input) menjadi keluaran (ouput).

BAB I PENDAHULUAN. tambah kecuali sekedar mempermudah sistem pembuangan. adalah mengolah masukan (input) menjadi keluaran (ouput). BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Limbah adalah buangan yang kehadirannya pada suatu saat dan tempat tertentu tidak dikehendaki lingkungannya karena tidak mempunyai nilai ekonomi. Limbah tersebut dapat

Lebih terperinci

ESTIMASI SEBARAN KERUANGAN EMISI GAS BUANG KENDARAAN BERMOTOR DI KOTA SEMARANG LAPORAN TUGAS AKHIR

ESTIMASI SEBARAN KERUANGAN EMISI GAS BUANG KENDARAAN BERMOTOR DI KOTA SEMARANG LAPORAN TUGAS AKHIR ESTIMASI SEBARAN KERUANGAN EMISI GAS BUANG KENDARAAN BERMOTOR DI KOTA SEMARANG LAPORAN TUGAS AKHIR Oleh : AMBAR YULIASTUTI L2D 004 294 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sungai maupun pencemaran udara (Sunu, 2001). dan dapat menjadi media penyebaran penyakit (Agusnar, 2007).

BAB I PENDAHULUAN. sungai maupun pencemaran udara (Sunu, 2001). dan dapat menjadi media penyebaran penyakit (Agusnar, 2007). BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Berkembangnya sektor industri dan pemanfaatan teknologinya tercipta produk-produk untuk dapat mencapai sasaran peningkatan kualitas lingkungan hidup. Dengan peralatan

Lebih terperinci

Contoh Makalah Penelitian Geografi MAKALAH PENELITIAN GEOGRAFI TENTANG LINGKUNGAN HIDUP DI INDONESIA

Contoh Makalah Penelitian Geografi MAKALAH PENELITIAN GEOGRAFI TENTANG LINGKUNGAN HIDUP DI INDONESIA Contoh Makalah Penelitian Geografi MAKALAH PENELITIAN GEOGRAFI TENTANG LINGKUNGAN HIDUP DI INDONESIA Disusun oleh: Mirza Zalfandy X IPA G SMAN 78 KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas

Lebih terperinci

KLASIFIKASI LIMBAH. Oleh: Tim pengampu mata kuliah Sanitasi dan Pengolahan Limbah

KLASIFIKASI LIMBAH. Oleh: Tim pengampu mata kuliah Sanitasi dan Pengolahan Limbah KLASIFIKASI LIMBAH Oleh: Tim pengampu mata kuliah Sanitasi dan Pengolahan Limbah 1 Pengertian Limbah Limbah: "Zat atau bahan yang dibuang atau dimaksudkan untuk dibuang atau diperlukan untuk dibuang oleh

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dengan tidak mengorbankan kelestarian sumberdaya alam itu sendiri.

I. PENDAHULUAN. dengan tidak mengorbankan kelestarian sumberdaya alam itu sendiri. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya alam dan jasa lingkungan merupakan aset yang menghasilkan arus barang dan jasa, baik yang dapat dikonsumsi langsung maupun tidak untuk memenuhi kebutuhan manusia.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sarana dan prasarana fisik seperti pusat-pusat industri merupakan salah satu penunjang aktivitas dan simbol kemajuan peradaban kota. Di sisi lain, pembangunan

Lebih terperinci

ANALISIS PERILAKU EKONOMI RUMAHTANGGA DAN PELUANG KEMISKINAN NELAYAN TRADISIONAL

ANALISIS PERILAKU EKONOMI RUMAHTANGGA DAN PELUANG KEMISKINAN NELAYAN TRADISIONAL ANALISIS PERILAKU EKONOMI RUMAHTANGGA DAN PELUANG KEMISKINAN NELAYAN TRADISIONAL (Studi Kasus: Rumahtangga Nelayan Tradisional Di Kecamatan Kasemen Kabupaten Serang Propinsi Banten) RANTHY PANCASASTI SEKOLAH

Lebih terperinci

AN JUDUL ANALISIS KEBERLANJUTAN USAHA PENGOMPOSAN BERSUBSIDI. Antung Deddy Radiansyah

AN JUDUL ANALISIS KEBERLANJUTAN USAHA PENGOMPOSAN BERSUBSIDI. Antung Deddy Radiansyah AN JUDUL ANALISIS KEBERLANJUTAN USAHA PENGOMPOSAN BERSUBSIDI Antung Deddy Radiansyah SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 ii RINGKASAN H. Antung Deddy R. Analisis Keberlanjutan Usaha

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Industri Pengolahan

I. PENDAHULUAN Industri Pengolahan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertanian merupakan sektor utama perekonomian di Indonesia. Konsekuensinya adalah bahwa kebijakan pembangunan pertanian di negaranegara tersebut sangat berpengaruh terhadap

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan pendapatan perkapita dengan memperhitungkan adanya pertambahan

I. PENDAHULUAN. dan pendapatan perkapita dengan memperhitungkan adanya pertambahan 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan proses transformasi yang dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan. Pembangunan ekonomi dilakukan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat

Lebih terperinci

EVALUASI KOMPETENSI SEMESTER GASAL KELAS XI WAKTU : (90 menit)

EVALUASI KOMPETENSI SEMESTER GASAL KELAS XI WAKTU : (90 menit) EVALUASI KOMPETENSI SEMESTER GASAL KELAS XI WAKTU : (90 menit) A. Pilihlah satu jawaban yang paling benar dengan memberi silang pada salah satu huruf di lembar jawab! 1. Di Indonesia, pengaturan lingkungan

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN TRADISIONAL

ANALISIS KETERKAITAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN TRADISIONAL ANALISIS KETERKAITAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN TRADISIONAL (Studi Kasus Kelurahan Pulau Panggang, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Propinsi DKI Jakarta)

Lebih terperinci

RPPI-10 KUALITAS LINGKUNGAN UNTUK IKLH DAN ISTM

RPPI-10 KUALITAS LINGKUNGAN UNTUK IKLH DAN ISTM RPPI-10 KUALITAS LINGKUNGAN UNTUK DAN ISTM Koordinator : DYAH APRIYANTI, S.Si., M.Si. Wakil koordinator : RITA, S.Si., M.Si. Pembina : Prof Riset Dr. Ir. CHAIRIL ANWAR SIREGAR, M.Sc Balikpapan, 10-12 Juni

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan kebutuhan pokok bagi makhluk hidup, karena selain dibutuhkan oleh seluruh makhluk hidup, juga dibutuhkan untuk kebutuhan rumah tangga, pertanian, industri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Air adalah sebutan untuk senyawa yang memiliki rumus kimia H 2 O. Air. Conference on Water and the Environment)

BAB I PENDAHULUAN. Air adalah sebutan untuk senyawa yang memiliki rumus kimia H 2 O. Air. Conference on Water and the Environment) 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Air adalah sebutan untuk senyawa yang memiliki rumus kimia H 2 O. Air merupakan komponen utama makhluk hidup dan mutlak diperlukan untuk kelangsungan hidupnya. Dublin,

Lebih terperinci

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI 3.1 IDENTIFIKASI PERMASALAHAN BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI PELAYANAN BADAN LINGKUNGAN HIDUP PROVINSI JAWA TENGAH Dalam penyelenggaraan pemerintahan

Lebih terperinci

PENCEMARAN LINGKUNGAN. Purwanti Widhy H, M.Pd

PENCEMARAN LINGKUNGAN. Purwanti Widhy H, M.Pd PENCEMARAN LINGKUNGAN Purwanti Widhy H, M.Pd Pengertian pencemaran lingkungan Proses terjadinya pencemaran lingkungan Jenis-jenis pencemaran lingkungan PENGERTIAN PENCEMARAN LINGKUNGAN Berdasarkan UU Pokok

Lebih terperinci

masuknya limbah industri dari berbagai bahan kimia termasuk logam berat. lingkungan tidak memenuhi syarat penghidupan bagi manusia.

masuknya limbah industri dari berbagai bahan kimia termasuk logam berat. lingkungan tidak memenuhi syarat penghidupan bagi manusia. 2.1 Pengertian Baku Mutu Lingkungan Baku mutu lingkungan adalah batas kadar yang diperkenankan bagi zat atau bahan pencemar terdapat di lingkungan dengan tidak menimbulkan gangguan terhadap makhluk hidup,

Lebih terperinci

BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA

BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA Ekonomi rakyat merupakan kelompok pelaku ekonomi terbesar dalam perekonomian Indonesia dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hubungan antara..., Dian Eka Sutra, FKM UI, Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Hubungan antara..., Dian Eka Sutra, FKM UI, Universitas Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Polusi udara merupakan masalah lingkungan global yang terjadi di seluruh dunia. Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO), polusi udara menyebabkan kematian

Lebih terperinci

LAPORAN KEGIATAN PENGKAJIAN BAKU MUTU KUALITAS UDARA AMBIEN LAMPIRAN. PP No.41 TAHUN 1999

LAPORAN KEGIATAN PENGKAJIAN BAKU MUTU KUALITAS UDARA AMBIEN LAMPIRAN. PP No.41 TAHUN 1999 LAPORAN KEGIATAN PENGKAJIAN BAKU MUTU KUALITAS UDARA AMBIEN LAMPIRAN PP No.41 TAHUN 1999 PUSAT SARANA PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN Deputi Bidang Pembinaan Sarana Tehnis Lingkungan dan Peningkatan Kapasitas

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. laju pembangunan telah membawa perubahan dalam beberapa aspek kehidupan

BAB I PENGANTAR. laju pembangunan telah membawa perubahan dalam beberapa aspek kehidupan BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Manusia memiliki hubungan timbal balik dengan lingkungannya. Secara alamiah, hubungan timbal balik tersebut terdapat antara manusia sebagai individu dan manusia sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. situ, sungai, maupun cekungan air tanah. Indonesia memiliki lebih dari

BAB I PENDAHULUAN. situ, sungai, maupun cekungan air tanah. Indonesia memiliki lebih dari BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Setiap tanggal 22 Maret, dunia memperingati Hari Air Sedunia (HAD), hari dimana warga dunia memperingati kembali betapa pentingnya air untuk kelangsungan hidup untuk

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN UMUM KOTA BOGOR

BAB III GAMBARAN UMUM KOTA BOGOR 20 BAB III GAMBARAN UMUM KOTA BOGOR 3.1. SITUASI GEOGRAFIS Secara geografis, Kota Bogor berada pada posisi diantara 106 derajat 43 30 BT-106 derajat 51 00 BT dan 30 30 LS-6 derajat 41 00 LS, atau kurang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan

BAB I PENDAHULUAN. orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 ayat (1) menyebutkan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur Provinsi Kalimantan Timur terletak pada 113 0 44-119 0 00 BT dan 4 0 24 LU-2 0 25 LS. Kalimantan Timur merupakan

Lebih terperinci

Geografi LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN II. K e l a s. xxxxxxxxxx Kurikulum 2006/2013

Geografi LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN II. K e l a s. xxxxxxxxxx Kurikulum 2006/2013 xxxxxxxxxx Kurikulum 2006/2013 Geografi K e l a s XI LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN II Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan memiliki kemampuan berikut. 1.

Lebih terperinci

PERANAN PRODUKSI USAHATANI DAN GENDER DALAM EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI LAHAN SAWAH: STUDI KASUS DI KABUPATEN BOGOR SOEPRIATI

PERANAN PRODUKSI USAHATANI DAN GENDER DALAM EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI LAHAN SAWAH: STUDI KASUS DI KABUPATEN BOGOR SOEPRIATI PERANAN PRODUKSI USAHATANI DAN GENDER DALAM EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI LAHAN SAWAH: STUDI KASUS DI KABUPATEN BOGOR SOEPRIATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 SURAT PERNYATAAN Saya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanah merupakan salah satu unsur alam yang sama pentingnya dengan air dan udara. Tanah adalah suatu benda alami, bagian dari permukaan bumi yang dapat ditumbuhi oleh

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sektor Pertanian memegang peranan yang cukup strategis bagi sebuah

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sektor Pertanian memegang peranan yang cukup strategis bagi sebuah I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor Pertanian memegang peranan yang cukup strategis bagi sebuah negara. Peran sektor pertanian sebagai penyedia bahan makanan utama merupakan peran strategis terkait

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Air merupakan sumber daya alam yang menjadi kebutuhan dasar bagi

BAB I PENDAHULUAN. Air merupakan sumber daya alam yang menjadi kebutuhan dasar bagi BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Air merupakan sumber daya alam yang menjadi kebutuhan dasar bagi kehidupan. Sekitar tiga per empat bagian dari tubuh kita terdiri dari air dan tidak seorangpun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan lingkungan pada hakikatnya adalah suatu kondisi atau kaadaan

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan lingkungan pada hakikatnya adalah suatu kondisi atau kaadaan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kesehatan lingkungan pada hakikatnya adalah suatu kondisi atau kaadaan yang optimum sehingga berpengaruh positif terhadap terwujudnya status kesehatan yang

Lebih terperinci

Komponen Ekosistem Komponen ekosistem ada dua macam, yaitu abiotik dan biotik. hujan, temperatur, sinar matahari, dan penyediaan nutrisi.

Komponen Ekosistem Komponen ekosistem ada dua macam, yaitu abiotik dan biotik. hujan, temperatur, sinar matahari, dan penyediaan nutrisi. MINGGU 3 Pokok Bahasan : Konsep Ekologi 1 Sub Pokok Bahasan : a. Pengertian ekosistem b. Karakteristik ekosistem c. Klasifikasi ekosistem Pengertian Ekosistem Istilah ekosistem merupakan kependekan dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan proses perubahan sistem yang direncanakan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan proses perubahan sistem yang direncanakan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan merupakan proses perubahan sistem yang direncanakan kearah perbaikan yang orientasinya pada pembangunan bangsa dan sosial ekonomis. Untuk mewujudkan pembangunan

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Uraian dalam Bab ini menjelaskan hasil pengolahan data dan pembahasan terhadap 4 (empat) hal penting yang menjadi fokus dari penelitian ini, yaitu: (1) peranan sektor kehutanan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional yang

I. PENDAHULUAN. Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional yang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional yang sangat menentukan keberhasilan pembangunan nasional secara menyeluruh. Pembangunan daerah telah berlangsung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidup terutama manusia. Di dalam udara terdapat gas oksigen (O 2 ) untuk

BAB I PENDAHULUAN. hidup terutama manusia. Di dalam udara terdapat gas oksigen (O 2 ) untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Udara adalah suatu campuran gas yang terdapat pada lapisan yang mengelilingi bumi. Udara mempunyai fungsi yang sangat penting bagi makhluk hidup terutama manusia. Di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perhatian yang khusus oleh pemerintah seperti halnya sektor industri dan jasa.

BAB I PENDAHULUAN. perhatian yang khusus oleh pemerintah seperti halnya sektor industri dan jasa. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Di Indonesia sektor pertanian mempunyai peran yang sangat penting dalam pertumbuhan perekonomian. Banyaknya tenaga kerja yang bekerja di sektor pertanian

Lebih terperinci

BAB I KONDISI LINGKUNGAN HIDUP DAN KECENDERUNGANNYA

BAB I KONDISI LINGKUNGAN HIDUP DAN KECENDERUNGANNYA DAFTAR ISI Kata Pengantar... i Daftar Isi... iii Daftar Tabel... vi Daftar Gambar... ix Daftar Grafik... xi BAB I KONDISI LINGKUNGAN HIDUP DAN KECENDERUNGANNYA A. LAHAN DAN HUTAN... Bab I 1 A.1. SUMBER

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Air sungai merupakan salah satu sumber daya alam yang sangat vital bagi

BAB I PENDAHULUAN. Air sungai merupakan salah satu sumber daya alam yang sangat vital bagi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air sungai merupakan salah satu sumber daya alam yang sangat vital bagi pemenuhan kebutuhan hidup manusia sehingga kualitas airnya harus tetap terjaga. Menurut Widianto

Lebih terperinci

ANALISIS MODEL PELUANG KERJA SUAMI DAN ISTRI, PERILAKU EKONOMI RUMAHTANGGA DAN PELUANG KEMISKINAN ENDANG SARI SIMANULLANG

ANALISIS MODEL PELUANG KERJA SUAMI DAN ISTRI, PERILAKU EKONOMI RUMAHTANGGA DAN PELUANG KEMISKINAN ENDANG SARI SIMANULLANG ANALISIS MODEL PELUANG KERJA SUAMI DAN ISTRI, PERILAKU EKONOMI RUMAHTANGGA DAN PELUANG KEMISKINAN (Studi Kasus : Rumahtangga Nelayan Tradisional di Kecamatan Pandan Kabupaten Tapanuli Tengah Propinsi Sumatera

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan dan pengembangan wilayah merupakan dinamika daerah menuju kemajuan yang diinginkan masyarakat. Hal tersebut merupakan konsekuensi logis dalam memajukan kondisi sosial,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan salah satu sumber daya alam yang terpenting bagi semua makhluk hidup di bumi. Air digunakan hampir di setiap aktivitas makhluk hidup. Bagi manusia, air

Lebih terperinci

ANALISIS INPUT-OUTPUT PERANAN INDUSTRI MINYAK GORENG DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA OLEH: NURLAELA WIJAYANTI H

ANALISIS INPUT-OUTPUT PERANAN INDUSTRI MINYAK GORENG DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA OLEH: NURLAELA WIJAYANTI H ANALISIS INPUT-OUTPUT PERANAN INDUSTRI MINYAK GORENG DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA OLEH: NURLAELA WIJAYANTI H14101038 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki

I. PENDAHULUAN. Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki peran penting bagi perekonomian nasional. Berdasarkan sisi perekonomian secara makro, Jawa Barat memiliki

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Dalam konteks ekonomi pembangunan, perluasan terhadap ekspor. merupakan faktor penentu kunci pertumbuhan ekonomi di negara berkembang.

I. PENDAHULUAN. Dalam konteks ekonomi pembangunan, perluasan terhadap ekspor. merupakan faktor penentu kunci pertumbuhan ekonomi di negara berkembang. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam konteks ekonomi pembangunan, perluasan terhadap ekspor merupakan faktor penentu kunci pertumbuhan ekonomi di negara berkembang. Gouws (2005) menyatakan perluasan

Lebih terperinci

Teknologi Bersih. Kuliah Minggu ke 8 tahun Nur Hidayat Jurusan Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya

Teknologi Bersih. Kuliah Minggu ke 8 tahun Nur Hidayat Jurusan Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya Teknologi Bersih Kuliah Minggu ke 8 tahun 2011 Nur Hidayat Jurusan Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya Metabolisme Industri Istilah keberlanjutan merupakan istilah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia dengan kurang lebih 17.508 buah pulau dan mempunyai panjang garis pantai 81.791 km (Supriharyono, 2002).

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan sumber daya alam yang memenuhi hajat hidup orang banyak sehingga perlu dilindungi agar dapat bermanfaat bagi hidup dan kehidupan manusia serta mahkluk

Lebih terperinci

STUDI KUALITAS AIR DI SUNGAI DONAN SEKITAR AREA PEMBUANGAN LIMBAH INDUSTRI PERTAMINA RU IV CILACAP

STUDI KUALITAS AIR DI SUNGAI DONAN SEKITAR AREA PEMBUANGAN LIMBAH INDUSTRI PERTAMINA RU IV CILACAP STUDI KUALITAS AIR DI SUNGAI DONAN SEKITAR AREA PEMBUANGAN LIMBAH INDUSTRI PERTAMINA RU IV CILACAP Lutfi Noorghany Permadi luthfinoorghany@gmail.com M. Widyastuti m.widyastuti@geo.ugm.ac.id Abstract The

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sejak tahun 1990-an paradigma pembangunan ekonomi Indonesia

I. PENDAHULUAN. Sejak tahun 1990-an paradigma pembangunan ekonomi Indonesia I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejak tahun 1990-an paradigma pembangunan ekonomi Indonesia mengarah kepada industrialisasi. Sektor industri makin berperan sangat strategis sebagai motor penggerak pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Lingkungan hidup dan sumber daya alam merupakan anugerah Tuhan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Lingkungan hidup dan sumber daya alam merupakan anugerah Tuhan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lingkungan hidup dan sumber daya alam merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa wajib dilestarikan dan dikembangkan kemampuannya agar tetap dapat menjadi sumber dan penunjang

Lebih terperinci