BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA"

Transkripsi

1 4 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penyakit Atopik Defenisi Penyakit Atopik Atopi adalah kecenderungan untuk menghasilkan imunoglobulin E (IgE) sebagai respon terhadap paparan alergen atau peningkatan reaktivitas terhadap alergen pada seseorang dengan predisposisi genetic ( Greer et al., 2008). Alergen adalah antigen yang bereaksi secara spesifik dengan antibodi IgE. Alergen yang paling banyak mencetus respon IgE adalah protein dengan berat molekul kda (Leung, 2007). Atopi berasal dari kata atopos yang dalam bahasa Yunani berarti tidak biasa. Istilah atopi ini pertama kali diperkenalkan oleh Coca (1923) yaitu istilah yang dipakai untuk menyatakan suatu keadaan hipersensitivitas yang berbeda atau tidak biasa dengan hipersensitivitas pada orang normal karena adanya predisposisi genetik (Subowo, 2010) Patogenesis Penyakit Atopik Penyakit atopik adalah penyakit yang ditandai dengan adanya atopi pada seseorang atau keluarga yaitu kecenderungan untuk mengasilkan antibodi immunoglobulin E (IgE) yang merespon terhadap alergen (Greer et al., 2008). Sehingga penyakit atopik termasuk reaksi hipersensitivitas I (Baratawidjaja dan Rengganis, 2010). Alergen yang ditangkap oleh Antigen Presenting Cells (APC) seperti sel dendrit, sel langerhans, monosit, dan makrofag dan akan disajikan pada sel T dengan bantuan Mayor Histocompatibility Complex (MHC) kelas II. Sel T terdiri atas sel CD4 +, sel CD8 +, sel T naif, dan sel T regulatory (Sel Treg) / Th3. Sel T naif adalah sel T yang berperan sebagai respon imun primer pada fase sensitisasi alergi. Sel T naif ini merupakan sel limfosit matang yang belum berdiferensiasi dan belum pernah terpajan dengan antigen yang akan dibawa oleh darah dari timus ke limfoid perifer. Sel naif yang terpajan dengan antigen akan berkembang

2 5 menjadi sel Tho. Sel Tho akan berdiferensiasi menjadi Th1 dan sel Th2. Sel Th2 merupakan sel T yang paling berperan dalam reaksi alergi. Sel Th2 akan melepaskan sitokin seperti IL 4 dan IL 13, sehingga mengaktivasi sel B menjadi sel plasma yang akan menghasilkan IgE. IgE akan berikatan dengan sel mast dan sel basofil melalui reseptor FcƩR1. Antibodi IgE ini memiliki sifat khusus yaitu kecenderungan yang kuat untuk melekat pada sel mast dan basofil. Satu sel mast/basofil dapat mengikat setengah juta molekul antibodi IgE. Sehingga pada paparan alergen kedua atau fase aktivasi, alergen yang berikatan dengan IgE pada sel mast dan basofil, menyebabkan terjadinya perubahan segera pada membran sel mast/basofil/degranulasi sel mast. Sehingga sel mast akan mengeluarkan mediator mediator inflamasi seperti histamin, leukotrien C4 (LTC4), protease, substansi kemotaktik eosinofil, substansi kemotaktik netrofil dan prostaglandin (PGD2). Mediator mediator ini akan menyebabkan efek seperti dilatasi pembuluh darah setempat, penarikan eosinofil dan netrofil menuju tempat yang reaktif, peningkatan permeabilitas kapiler, hilangnya cairan ke dalam jaringan dan kontraksi sel otot polos. Ini merupakan fase efektor (Guyton dan Hall, 2007 ; Leung, 2007 ; Baratawidjaja dan Rengganis, 2010). Selain itu, sel Treg / sel Th3 juga berperan dalam penyakit atopik karena sel Treg / sel Th3 dapat menghambat pembentukan sel Th1 dan sel Th2 yang berperan dalam terjadinya inflamasi melalui pembentukan cluster of differentiation 4 (CD4 + ), cluster of differentiation 25 (CD25 + ), sitokin yang bersifat imunosuppresor seperti IL-10 dan transforming growth factor (TGF-β1). Sel CD4 + dan sel CD25 + akan melepaskan gen FOXP3. Sehingga jika ada mutasi pada gen FOXP3 ini akan membuat sistem imun menjadi tidak teratur, level serum IgE akan meningkat, dan terjadi alergi makanan (Leung, 2007) Prevalensi Penyakit Atopik Menurut WHO (2003) hampir 20% penduduk dunia menderita penyakit atopik seperti asma, rinitis alergi, dan dermatitis atopik. Penyakit asma diperkirakan terjadi pada 150 juta orang di dunia dan 80% diantaranya terjadi pada anak anak. Sedangkan prevalensi penyakit atopik di Asia sangat bervariasi

3 6 yaitu asma 29,1% dan rinitis alergi 45%. Penyakit atopik ini paling banyak terjadi di negara yang berpenghasilan rendah dan sedang (Pawankar et al., 2012). Di Indonesia penyandang asma merupakan penyebab kesakitan terbanyak setelah infeksi (Zulfikar, 2011). Prevalensi asma di Indonesia sebesar 4,5%, khususnya di Provinsi Sumatera Utara yaitu sebesar 2,4%. (RISKESDAS, 2013). Penelitian prevalensi penyakit atopik (asma, rinitis alergi, dan dermatitis atopik) pada umumnya menggunakan kuesioner International Study of Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC) yang telah diuji coba di 156 pusat di 56 negara di dunia yang dibagi dalam 2 kelompok usia yaitu kelompok usia 6/7 tahun dan 13/14 tahun. Di Indonesia prevalensi asma dengan gejala mengi (wheezing) dalam 12 bulan terakhir pada kelompok usia 6/7 tahun adalah 4,1 32,1% sedangkan pada kelompok 13/14 tahun adalah 2,1 4,4%. Prevalensi rinitis dengan gejala mata berair dan gatal adalah 0,8 14,9% pada kelompok usia 6/7 tahun sedangkan pada kelompok usia 13/14 tahun adalah 1,4 39,7%. Prevalensi dermatitis atopik pada kelompok usia 6/7 tahun yaitu 2 16% dan 1 17% pada kelompok usia 13/14 tahun (ISAAC, 2000) Jenis Penyakit Atopik Dermatitis Atopik A. Defenisi Dermatitis atopik yang sering disebut dengan ekzema merupakan penyakit inflamasi pada kulit yang bersifat kronik yang ditandai dengan adanya pruritus yang hebat, eritema, papula, vesikel, krusta, dan skuama yang paling sering dijumpai pada bayi dan anak,. Dermatitis atopik didasari adanya faktor herediter dan lingkungan (IDAI, 2010). Pada anak yang mengalami dermatitis atopik terdapat peningkatan kadar IgE di dalam serum dan adanya riwayat rinitis alergi atau asma pada keluarga dan penderita (Kariosentono, 2007). Anak anak yang menderita dermatitis atopik akan menderita asma, rinitis atau keduanya dikemudian hari yang dikenal dengan istilah allergic march (IDAI, 2010). Menurut Berke et al. kira-kira 30% anak dengan dermatitis atopik mengalami

4 7 asma di kemudian hari. Dan berdasarkan survey di Amerika pada tahun 2007, kira kira 17,8 juta orang mengalami dermatitis atopik. B. Patogenesis Pada dermatitis atopik akut IL-4, IL-5, dan IL-13 tinggi, sedangkan pada dermatitis atopik kronis IL-4 dan IL-13 rendah tetapi, IL-5, IL-12, INFϒ, dan GM-CSF (granulocyte-macrophage colony-stimulating factor) lebih tinggi dibandingkan pada dermatitis atopik akut (IDAI, 2010). Pada kulit penderita dermatitis atopik mengandung sel langerhans (LC) yang memiliki afinitas tinggi untuk mengikat antigen asing dan IgE melalui reseptor FcƩRI pada permukaan membrannya dan juga melepaskan berbagai sitokin. Apabila ada alergen masuk maka akan disajikan ke limfosit Th2 sehingga Th2 melepaskan IL-4, IL-5, IL-6,dan IL-10. IL-5 secara fungsional bekerja mirip dengan ECF-A (eosinophil chemotactic factor) sehingga menarik eosinofil ke daerah peradangan dan akan mengeluarkan granul protein yang akan mengakibatkan kerusakan jaringan. Karena melibatkan sel limfosit T dan diperantarai oleh IgE, maka lesi dermatitis atopik ini disebut sebagai IgEmediated delayed type hypersensitivity (Kariosentono, 2007 ; IDAI, 2010). Faktor non imunologis pada dermatitis atopik adalah faktor genetik seperti kerusakan pada barier kulit (epidermal) juga dapat menyebabkan dermatitis atopik. Akibat kerusakan barier kulit ini, alergen, mikroorganisme, zat iritan dapat mudah masuk ke kulit. Sehingga merangsang respon inflamasi seperti pelepasan sitokin, sel limfosit T, dan sel yang lain. Adanya reaksi inflamasi ini menimbulkan rasa gatal, sehingga apabila digaruk akan membuat barier kulit semakin rusak. Penyebab kerusakan epidermal kulit ini yaitu menurunnya jumlah lipid seramid (ceramide lipid), tidak seimbanganya enzim protease, dan mutasi pada gen filagrin (FLG). Gen filagrin berfungsi untuk mengumpulkan filament keratin dan menutupi bagian terluar sel kulit (Tom, 2012).

5 8 C. Manifestasi Klinis Secara umum gejala klinis dermatitis atopik muncul sebelum usia 6 bulan dan jarang terjadi sebelum usia 8 minggu. Gejala dermatitis atopik dapat sembuh tetapi dapat juga menetap atau memberat hingga usia dewasa (IDAI, 2010). Akibat adanya rasa gatal yang hebat, maka anak akan menggaruk siang dan malam sehingga timbul bekas garukan (scratch mark) dan juga timbul kelainan sekunder. Kelainan sekunder pada fase akut seperti vesikel, lesi yang basah (weeping), dan erupsi krusta. Pada fase subakut, kulit menjadi kering, bersisik, papul eritem, dan adanya plak. Sedangkan pada fase kronik, akibat garukan yang berulang-ulang akan menyebabkan adanya likenifikasi (Kariosentono, 2007). Awitan gejala dermatitis atopik timbul berdasarkan usia yaitu pada usia bayi (bentuk infantil), anak, dan dewasa. - Bentuk infantil Bentuk infantil berlangsung sampai usia 2 tahun. Lesinya ditandai dengan adanya vesikel, papula, krusta akibat digaruk, dan terkadang ada infeksi sekunder seperti jamur dan bakteri. Bayi akan merasa gelisah dan rewel pada waktu tidur akibat adanya rasa gatal. Pada bayi yang lebih muda daerah predileksinya terutama di muka, sedangkan pada bayi yang sudah bisa merangkak kelainannya pada ekstensor. - Bentuk anak Bentuk anak merupakan lanjutan dari bentuk infantil. Ditandai dengan lesi yang bersifat kronik seperti kulit menjadi kering (xerosis). Daerah predileksinya terutama di lipat siku, lipat paha, tangan, kaki, dan periorbita. - Bentuk dewasa Bentuk dewasa terjadi pada usia sekitar 20 tahun dan lesinya sudah bersifat kronik seperti likenifikasi dan skuamasi. Predileksinya terutama di daerah lipatan lipatan, muka, leher, badan bagian atas, dan ekstremitas.

6 9 D. Diagnosis Ada beberapa kriteria untuk menegakkan diagnosis dermatitis atopik seperti kriteria Hanifin dan Rajka, kriteria Williams, kriteria UK Working Party, SCORAD (the scoring of atopic dermatitis) dan EASI (the eczema area and severity index). Tetapi, kriteria yang paling sering digunakan adalah kriteria Hanifin dan Rajka karena relatif praktis (Ardhie, 2004). Pada kriteria ini, diagnosis dermatitis atopik ditegakkan jika dijumpai setidaknya 3 kriteria mayor dan 3 kriteria minor, sebagai berikut : Kriteria Mayor 1. Pruritus 2. Morfologi dan distribusi lesi yang khas 3. Dermatitis kronik dan kambuhan 4. Riwayat atopik di keluarga atau pada diri sendiri Kriteria Minor 1. Xerosis 2. Ikhtiosis / keratosis pilaris 3. Hiperlinearitas palmaris 4. Reaktivasi uji kulit tipe 1 5. Peningkatan serum IgE 6. Kecenderungan mendapat infeksi kulit (S.aureus dan H.simplex) 7. Dermatitis tangan dan kaki 8. Eksim aerola mammae 9. Konjungtivitas 10. Dennie Morgan fold 11. Keratokonus anterior / katarak suprakapsular 12. Orbital darkening 13. Facial pallor/erythema 14. Ptiriasis alba 15. Lipatan leher depan 16. Gatal bila berkeringat 17. Intoleransi terhadap wool dan pelarut lemak

7 Aksentuasi perifolikularis 19. Intoleransi makanan 20. Dipengaruhi faktor lingkungan dan emosional 21. White dermographism Sumber : Ardhie (2004) Tabel 2.1. Kriteria Hanifin dan Rajka Berdasarkan penelitian sistematik review tahun 2008, U.K working Party s Diagnostic Criteria merupakan kriteria dermatitis atopik yang paling valid. Kriteria sederhana ini memiliki sensitivitas dan spesivisitas 95% - 97%. Kriterianya adalah adanya rasa gatal dan diikuti setidaknya 3 kejadian seperti adanya riwayat asma atau rinitis alergi, adanya lesi pada lipatan, kulit kering, dan onset lesinya terjadi sebelum usia 2 tahun (Berke et al., 2012) Rinitis Alergi A. Defenisi Rinitis alergi merupakan reaksi inflamasi pada mukosa hidung yang ditandai dengan bersin, iritasi konjungtiva, hidung tersumbat, berair, dan gatal.. Rinitis alergi yang paling banyak adalah yang bersifat kronik, mempengaruhi 10 20% anak anak di dunia, dan prevalensinya terus meningkat dalam dua dekade terakhir ini. Pada penderita rinitis alergi, reaksi inflamasi tidak hanya pada mukosa hidung (lokal) saja, tetapi pada saluran nafas bawah juga terlibat. Itulah sebabnya rinitis alergi dan asma dapat terjadi bersama (Small dan Kim, 2011 ; Leung dan Milgrom, 2007 ; Moed et al., 2013). B. Patogenesis Ada banyak faktor yang dapat mencetus terjadinya rintis alergi seperti pajanan udara dingin, debu, uap, bau cat, polusi udara, dan bubuk deterjen. Selain itu makanan alergen ingestan merupakan alergen penyebab tersering pada anak. Ketika mukosa hidung terpapar dengan alergen ada banyak sel inflamasi yang terlibat, seperti sel mast, sel T CD4+, sel B, makrofag, dan eosinofil. Reaksi

8 11 inflamasi pada hidung lebih sering terjadi karena hidung berfungsi sebagai penyaring partikel dan alergen hirup yang pertama dan melindungi saluran pernafasan bagian bawah. Infiltrasi sel T ke mukosa hidung, kemudian berdiferensiasi menjadi sel Th2. Sel Th2 akan melepaskan sitokin sitokin yaitu IL-3, IL-4, IL-5, dan IL-13 yang akan merangsang sel plasma melepaskan IgE. IgE akan merangsang pelepasan mediator inflamasi seperti histamin dan leukotrin. Mediator inflamasi ini akan menyebabkan dilatasi arteriol, meningkatnya permeabilitas vaskular, gatal, rinore (hidung berair), dan kontraksi otot polos. Reaksi ini merupakan reaksi hipersensitivitas tipe cepat. Mediator dan sitokin yang dilepaskan pada reaksi hipersensitivitas tipe cepat juga akan merangsang sel imunitas seluler yaitu 4 8 jam kemudian, ini merupakan reaksi hipersensitivitas tipe lambat yang akan membuat hidung tersumbat (IDAI, 2010 ; Small dan Kim, 2011). C. Manifestasi Klinis Onset rinitis alergi pada anak yaitu diatas usia 4-5 tahun dan biasanya meningkat pada usia dewasa 10 15%. Berdasarkan IDAI 2010, Gejala klinis rinitis alergi sesuai dengan patogenesisnya seperti : - Rasa gatal pada hidung dan mata. - Bersin dan hidung tersumbat dapat secara bilateral, unilateral, atau bergantian sehingga penciuman dapat terganggu dan suara menjadi sengau. - Sekret hidung dapat keluar dari hidung atau tertelan (post nasal drip). - Bernafas dari mulut terutama pada malam hari sehingga tenggorokan menjadi kering, mengorok, tidur terganggu sehingga pada siang hari menjadi lelah. - Pada keadaan kronik, bentuk wajah anak menjadi kronis yaitu dibawah mata ada warna gelap (dark circle / shiners) dan bengkak. Terdapat adenoid face dikarenakan hidung tersumbat yang berat sehingga mulut selalu terbuka. Kemudian terdapat allergic solute karena sering menggosok hidung yang terasa gatal.

9 12 Berdasarkan waktu, gejala rinitis alergi dibagi menjadi seasonal (musiman) dan perenial. Rinitis alergi musiman menunjukkan gejala rinitis yang dipicu oleh alergen serbuk sari, spora lumut, selama musim semi, musim panas, dan musim gugur. Sedangkan rinitis alergi perenial menunjukkan gejala hayfever sepanjang tahun yang dipicu oleh alergen rumah seperti debu rumah tangga, kecoa, bulu binatang, dan spora lumut (Harsono et al., 2007). Tetapi tidak semua orang bisa dimasukkan dalam klasifikasi ini. Sehingga rinitis alergi sekarang diklasifikasikan berdasarkan lamanya gejala (intermiten / persisten) dan keparahan gejala (ringan, sedang, berat) (Small dan Kim, 2011). Gejala rinitis alergi berdasarakan lamanya gejala dibagi menjadi intermiten dan persisten. Rinitis alergi intermiten yaitu terjadi hilang timbul dan berlangsung < 4 hari dalam seminggu atau < 4 minggu. Sedangkan rintis alergi persisten terjadi selama > 4 hari dalam seminggu atau > 4 minggu atau berlanjut sampai bertahun tahun (IDAI, 2010 ; Small dan Kim, 2011). Gejala rintis alergi berdasarkan keparahannya dibagi ringan, sedang, dan berat. Pada gejala yang ringan penderita dapat tidur dengan normal dan aktivitas seperti sekolah dan kerja baik. Biasanya gejala ringan adalah gejala yang intermitten. Pada gejala yang sedang atau berat sudah mengganggu tidur dan aktivitas sehari hari (Small dan Kim, 2011). D. Diagnosa Diagnosa rinitis alergi berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium. Pada anamnesa didapatkan adanya riwayat atopik seperti rinitis alergi, dermatitis atopik, dan asma dalam keluarga merupakan faktor predisposisi rinitis alergi yang terpenting pada anak. Selain itu adanya gejala rinitis yang berulang, seperti bersin, hidung berair, rasa gatal pada hidung, dan hidung tersumbat. Pada pemeriksaan fisik terdapat tanda pada muka seperti allergic shiner, allergic face, adanya edema, gatal pada konjungtiva. Pemeriksaan laboratorium dapat mendukung diagnosis yaitu peningkatan IgE, antibody spesifik IgE, dan tes kulit positif. Selain itu pada pemeriksaan sekret hidung didapatkan

10 13 peningkatan eosinofil >3% kecuali pada saat infeksi sekunder karena sel neutrofil sekunder yang akan meningkat ( Leung dan Milgrom, 2007 ; IDAI, 2010) Asma A. Defenisi Asma merupakan suatu gangguan inflamasi pada saluran pernafasan yang bersifat kronis dan banyak melibatkan sel sel inflamasi seperti sel mast, eosinofil, limfosit T, sel dendrit, makrofag, dan netrofil. Reaksi inflamasi kronis ini berhubungan dengan hiperaktivitas jalan nafas sehingga menyebabkan episode mengi (wheezing) yang berulang, sesak, rasa dada tertekan, dan batuk terutama pada waktu malam atau dini hari (GINA, 2012). Berdasarkan ISAAC prevalensi mengi pada usia 13/14 tahun di Indonesia adalah 2,1 4,4%. Sedangkan pada kelompok usia 6/7 tahun adalah 4,1 32,1%. B. Patogenesis Asma merupakan gangguan inflamasi pada saluran nafas yang banyak melibatkan sel sel inflamasi dan mediator inflamasi. Hiperaktivitas bronkus merupakan dasar terjadinya asma. Hiperaktivitas bronkus yaitu peningkatan respon bronkus terhadap berbagai rangsangan seperti alergen, udara dingin, latihan fisik, zat-zat kimia sehingga menyebabkan penyempitan saluran nafas (IDAI, 2010). Mekanisme terjadinya hiperresponsif pada saluran nafas adalah karena meningkatnya kontraksi pada otot polos saluran nafas, penebalan dinding saluran nafas, dan tersensitisasi saraf sensorik sehingga bronkokonstriksi (GINA, 2012). Proses inflamasi pada sluran nafas dapat terjadi secara imunologik maupun secara non imunologik. Secara imunologis yaitu, akibat pajanan alergen akan menyebabkan terjadinya respon inflamasi seperti respon inflamasi cepat dan respon inflamasi lambat. - Respon inflamasi cepat Terjadi < menit setelah pajanan alergen dan berlangsung 1 2 jam. Akibat alergen yang terikat dengan IgE pada sel mast, maka akan terjadi

11 14 degranulasi sel mast yang akan melepaskan mediator seperti histamine, ECF, NCF, dll sehingga akibatnya adalah terjadi spasme otot polos bronkus, inflamasi, edema, hipersekresi, dan jumlah eosinofil dan netrofil akan meningkat akibat pelepasan ECF dan NCF. - Respon inflamasi lambat Terjadi kurang lebih 4 8 jam setelah pajanan alergen, berlangsung selama jam. Respon ini terjadi karena aktivasi eosinofil, leukotrien, prostaglandin, bradikinin, dan serotonin. Sedangkan jalur non imunologisnya adalah akibat pajanan asap rokok sehingga epitel saluran nafas rusak. Epitel saluran nafas yang rusak akan melepaskan sitokin, kemokin, mediator lipid (IDAI, 2010). C. Manifestasi Klinis dan Faktor Pencetus Kebanyakan gejala asma adalah mengi. Gejala lain adalah nafas pendek, dada terasa tertekan atau nyeri, batuk kronik, ada gangguan tidur karena batuk dan mengi. Berdasarkan GINA 2012, Gejala asma dapat dicetuskan oleh beberapa faktor seperti faktor genetik, faktor lingkungan obesitas dan sex. 1. Faktor genetik Pada patogensesis asma banyak gen yang terlibat. Dimana gen ini akan fokus pada 4 area utama seperti untuk produksi antibodi IgE, membuat saluran nafas menjadi hiperresponsif, melepaskan mediator inflamasi seperti sitokin, kemokin, growth factor, dan sel Th2. Adanya peningkatan level total serum IgE sehingga membuat hiperresponsif pada saluran nafas yaitu pada kromosom 5q. 2. Faktor lingkungan Terdiri dari faktor alergen, infeksi, asap rokok, dan polusi udara. Ada 2 faktor alergen yang dapat menyebabkan asma seperti (IDAI,2010) : - Alergen makanan yaitu sering ditemukan pada masa bayi dan anak yang masih muda yaitu < 3 tahun. Biasanya alergi pada susu sapi, telur, dan kedelai. Sedangkan pada anak yang lebih besar makanan penyebab alergi seperti ikan, kerang dan kacang tanah.

12 15 - Alergen hirup yaitu tungau debu rumah, bulu binatang peliharaan seperti bulu kucing dan bulu anjing, dan serbuk sari yang biasanya di negara 4 musim. 3. Sex Prevalensi asma pada usia yang lebih muda, laki-laki lebih banyak dibandingkan pada perempuan. Sedangkan pada usia dewasa lebih banyak pada perempuan daripada laki-laki. Dikarenakan ukuran paru pada anak laki-laki lebih kecil daripada anak perempuan pada waktu lahir, tapi setelah dewasa kebalikannya. D. Diagnosa Berdasarkan anamnesis, didapatkan adanya gejala asma seperti, episode mengi berulang, sesak nafas, rasa dada tertekan, batuk yang kronik. Gejala akan memburuk pada malam hari. Selain itu, adanya riwayat keluarga atau orang tua yang memiliki penyakit atopik seperti rinitis alergi, dermatitis atopik, dan alergi makanan dapat mendukung diagnosis asma. Pada pemeriksaan fisik dada biasanya normal tetapi pada pemeriksaan auskultasi di dengar adanya wheezing. Selain itu, pada pemeriksaan auskultasi akan terdengar penurunan suara nafas pada lapangan paru terutama pada lobus posterior kanan bawah akibat obstruksi saluran nafas dan terdengar adanya ronki dan crackle dikarenakan produksi mukus yang berlebihan dan eksudat inflamasi pada saluran pernafasan. Pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan spirometri yang digunakan untuk mengukur aliran udara (airflow) dan volume paru dapat mendukung diagnosa asma dan menentukan tingkat keparahannya (Leung,2007 ; IDAI,2010 ; GINA,2012) Makanan Padat Makanan padat dapat diartikan dengan makanan yang tidak dapat diminum atau makanan yang dikonsumsi sehari-hari seperti nasi, sayuran, buah-buahan, daging, keju, telur, ikan, kacang, coklat (Sariachvili et al., 2010 ; Inoue dan Binns, 2014).

13 Waktu Pemberian Makanan Padat Kebutuhan zat gizi anak bertambah seiring dengan meningkatnya usia bayi. Sedangkan sejak usia 6 bulan Air Susu Ibu (ASI) tidak mampu memenuhi kebutuhan energi dan zat gizi pada bayi sehingga bayi memerlukan makanan tambahan (Maryunani, 2010). WHO dan UNICEF merekomendasikan pemberian makanan tambahan atau makanan padat dimulai pada usia 6 bulan. Sedangkan berdasarkan American Academy of Pediatrics (AAP) tahun 2008, pemberian makanan padat harus dimulai pada usia 4 6 bulan. Pemberian makanan padat terlalu dini adalah jika sebelum usia 12 minggu dan pemberian makanan padat terlalu lama adalah jika lebih dari 26 minggu bisa menyebabkan masalah kesehatan (Przyrembel, 2012). Namun sekitar 40% semua bayi telah mendapatkan makanan tambahan atau makanan padat sebelum usia 4 bulan (Clayton et al., 2013) Jenis Makanan Padat Makanan pertama yang diberikan pada usia bayi 6 bulan adalah makanan lumat yaitu makanan yang dimasak atau yang disajikan secara lumat dan merupakan makanan peralihan dari ASI ke makanan padat. Contoh makanan lumat adalah bubur tepung, bubur beras (encer), nasi atau pisang yang dilumatkan, sayuran yang dilumatkan dan lauk-pauk yang dilumatkan. Diberikan 2 kali sehari namun seiring pertambahan umur diberikan 4-5 kali dalam 1 piring kecil sehari. Kemudian makanan lembek diberikan sebagai peralihan dari makanan lumat ke makanan keluarga. Diberikan pada bayi berusia 7-12 bulan sebanyak 1 kali hingga 4-5 kali 1 piring sedang. Contoh makanan lembek adalah bubur beras (padat), nasi lembek, tempe, tahu dan sayuran. Setelah itu makanan keluarga dapat diberikan. Makanan keluarga adalah makanan yang dikonsumsi keluarga seperti makanan pokok, lauk-pauk, sayuran, dan buah (Maryunani, 2010) Faktor yang Mempengaruhi Pemberian Makanan Padat Terlalu Dini Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Clayton et al. (2013), 40,4% ibu memberikan makanan padat pada bayinya sebelum berusia 4 bulan. Karakteristik ibu yang memberikan makanan padat terlalu dini ini adalah ibu yang

14 17 berusia muda, yang tidak menikah, tingkat pendidikan ibu yang rendah, dan pendapatan yang rendah. Ada beberapa alasan ibu memberikan makanan padat terlalu dini yaitu sekitar 88,9% ibu menganggap kalau anaknya sudah cukup besar untuk makan makanan padat, 71,4% karena bayinya terlihat lapar setiap hari, 66,8% karena anaknya ingin memakan apa yang dimakan ibunya. Selain itu, ibu juga mengatakan kalau ibu ingin menambahkan makanan kepada anaknya selain ASI / susu formula, ibu juga mengatakan kalau anaknya terlihat lapar, dan untuk membantu anaknya tidur Hubungan Usia Awal Pemberian Makanan Padat dengan Penyakit Atopik Pemberian makanan padat terlalu dini dapat meningkatkan risiko penyakit atopik pada anak. Hal ini sesuai dengan beberapa penelitian yang menjelaskan bahwa pemberian makanan padat kurang dari 4 bulan dapat meningkatkan resiko penyakit atopik, seperti ekzema karena sistem saluran cerna yang imatur. Sistem saluran cerna yang imatur yaitu enzim ptyalin yang masih sedikit, ph lambung yang belum sempurna dan tight junction usus yang masih longgar. Akibatnya akan terbentuk makanan dalam bentuk besar (makromolekul). Makromolekul ini akan mudah masuk melalui saluran cerna dan dapat melewati barier mokosa sehingga dipresentasikan sel mast. Sehingga pemberian makanan padat harus ditunda hingga usia 4 bulan, karena sistem saraf dan saluran cerna telah terjadi maturasi (Sicherer dan Sampson,2004 ; IDAI,2010 ; Sariachvili et al., 2010 ; Clayton et al., 2013). Selain itu, produksi ASI yang kurang juga dapat meningkatkan resiko penyakit atopik pada anak. Karena pemberian makanan padat yang terlalu dini, akan membuat bayi kenyang sehingga frekuensi menyusui akan menurun akibatnya produksi ASI akan menurun. Produksi ASI yang menurun mengakibatkan antibodi IgA juga menurun. Antibodi IgA pada saluran cerna ini merupakan antibodi yang tidak dapat berikatan dengan komplemen (yang memicu terjadinya inflamasi) dan mencegah terjadinya penempelan bakteri/virus ke epitel dan dapat mencegah timbulnya alergi makanan karena menghambat masuknya

15 18 antigen ingestan melalui mukosa. Namun antibodi IgA matur pada usia 4 tahun. Sehingga yang menjadi barier terhadap patogen atau yang memberikan imunisasi pasif bagi neonatus dan bayi adalah IgA sekretorik dari ASI (Baratawidjaja dan Rengganis,2010 ; IDAI,2010). Hal sebaliknya didapatkan pada beberapa penelitian yang menyatakan pemberian makanan padat terlalu dini dapat menurunkan resiko penyakit atopik seperti ekzema, asma, dan rinitis alergi pada anak dengan predisposisi genetik. Hal ini sesuai dengan beberapa penelitian yang terbaru yang menjelaskan bahwa resiko penyakit atopik pada anak dapat diturunkan melalui pemberian makanan padat yang lebih awal, dikarenakan adanya mekanisme toleransi oral atau toleransi melalui jalur sel T. Mekanisme toleransi oral terjadi jika mendapat makanan protein terlalu dini yaitu sebelum usia 4 bulan (Sariachvili et al., 2010 ; Joseph et al., 2011 ; Leo et al., 2012 ; Nwaru et al., 2013). Toleransi oral adalah mekanisme yang mencegah terjadinya sensitisasi pada sistem imun saluran cerna akibat terpajan dengan protein eksternal. Toleransi yang terjadi pada sel T dapat melalui mekanisme anergi dan pembentukan sel Treg. Anergi ialah menurunnya fungsi sel T. Anergi klon sel T terhadap antigen protein dapat terjadi melalui pemberian oral. Pemberian oral merupakan salah satu faktor yang meningkatkan terjadinya toleransi (Baratawidjaja dan Rengganis, 2010). Selain itu yang berperan dalam terjadinya toleransi oral adalah teraktivasinya sel Treg/sel Th3 dalam peyer s patch ketika antigen masuk ke dalam saluran cerna. Sehingga sel Treg/sel Th3 akan melepaskan IL-4, IL-10, dan TGF-β. TGF-β ini akan mencegah proliferasi limfosit dan merangsang sel B untuk menghasilkan IgA (IDAI, 2010).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. patofisiologi, imunologi, dan genetik asma. Akan tetapi mekanisme yang mendasari

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. patofisiologi, imunologi, dan genetik asma. Akan tetapi mekanisme yang mendasari BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Asma Dari waktu ke waktu, definisi asma mengalami perubahan beberapa kali karena perkembangan dari ilmu pengetahuan beserta pemahaman mengenai patologi, patofisiologi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dermatitis Atopik (DA) adalah penyakit inflamasi pada kulit yang bersifat kronis dan sering terjadi kekambuhan. Penyakit ini terjadi akibat adanya kelainan pada fungsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Susu formula yang diberikan kepada bayi sebagai pengganti ASI, kerap kali memberikan efek samping yang mengganggu kesehatan bayi seperti alergi. Susu formula secara

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah. mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan pada mukosa hidung

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah. mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan pada mukosa hidung BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1. Atopi, atopic march dan imunoglobulin E pada penyakit alergi

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1. Atopi, atopic march dan imunoglobulin E pada penyakit alergi BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Atopi, atopic march dan imunoglobulin E pada penyakit alergi Istilah atopi berasal dari bahasa Yunani yaitu atopos yang berarti out of place atau di luar dari tempatnya, dan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dermatitis yang paling umum pada bayi dan anak. 2 Nama lain untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. dermatitis yang paling umum pada bayi dan anak. 2 Nama lain untuk BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang masalah Dermatitis atopik (DA) merupakan inflamasi kulit yang bersifat kronik berulang, disertai rasa gatal, timbul pada tempat predileksi tertentu dan didasari oleh

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. negara di seluruh dunia (Mangunugoro, 2004 dalam Ibnu Firdaus, 2011).

BAB 1 PENDAHULUAN. negara di seluruh dunia (Mangunugoro, 2004 dalam Ibnu Firdaus, 2011). BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Asma merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius di berbagai negara di seluruh dunia (Mangunugoro, 2004 dalam Ibnu Firdaus, 2011). Asma merupakan penyakit inflamasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 8,7% di tahun 2001, dan menjadi 9,6% di tahun

BAB I PENDAHULUAN. 8,7% di tahun 2001, dan menjadi 9,6% di tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Asma merupakan penyakit kronik yang sering ditemukan dan merupakan salah satu penyebab angka kesakitan pada anak di seluruh dunia. Di negara maju dan negara berkembang

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Atopi berasal dari bahasa Yunani yaitu atopos, yang memiliki arti tidak pada

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Atopi berasal dari bahasa Yunani yaitu atopos, yang memiliki arti tidak pada 4 BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Atopi dan uji tusuk kulit Atopi berasal dari bahasa Yunani yaitu atopos, yang memiliki arti tidak pada tempatnya dan sering digunakan untuk menggambarkan penyakit yang diperantarai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Istilah atopik pertama kali diperkenalkan oleh Coca (1923), yaitu istilah yang dipakai untuk sekelompok penyakit pada individu yang mempunyai riwayat alergi/hipersensitivitas

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. ke waktu karena perkembangan dari ilmu pengetahuan beserta. pemahaman mengenai patologi, patofisiologi, imunologi, dan genetik

BAB II LANDASAN TEORI. ke waktu karena perkembangan dari ilmu pengetahuan beserta. pemahaman mengenai patologi, patofisiologi, imunologi, dan genetik BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Asma a. Definisi Asma Definisi asma mengalami perubahan beberapa kali dari waktu ke waktu karena perkembangan dari ilmu pengetahuan beserta pemahaman mengenai

Lebih terperinci

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan Sistem Immunitas Niken Andalasari Sistem Imunitas Sistem imun atau sistem kekebalan tubuh

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Secara klinis, rinitis alergi didefinisikan sebagai kelainan simtomatis pada hidung yang

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Secara klinis, rinitis alergi didefinisikan sebagai kelainan simtomatis pada hidung yang BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rinitis alergi 2.1.1. Definisi Secara klinis, rinitis alergi didefinisikan sebagai kelainan simtomatis pada hidung yang diinduksi oleh inflamasi yang diperantarai IgE (Ig-E

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit alergi sebagai reaksi hipersensitivitas tipe I klasik dapat terjadi pada

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit alergi sebagai reaksi hipersensitivitas tipe I klasik dapat terjadi pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit alergi sebagai reaksi hipersensitivitas tipe I klasik dapat terjadi pada individu dengan kecenderungan alergi setelah adanya paparan ulang antigen atau alergen

Lebih terperinci

MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS

MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS KD 3.8. Menjelaskan mekanisme pertahanan tubuh terhadap benda

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Asma merupakan penyakit kronis saluran pernapasan yang sering dijumpai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Asma merupakan penyakit kronis saluran pernapasan yang sering dijumpai BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Asma Asma merupakan penyakit kronis saluran pernapasan yang sering dijumpai pada masa kanak-kanak. Merupakan salah satu reaksi hipersentivitas saluran napas, baik saluran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A.Latar Belakang. Dermatitis atopik (DA) merupakan penyakit. peradangan kulit kronik spesifik yang terjadi pada

BAB I PENDAHULUAN. A.Latar Belakang. Dermatitis atopik (DA) merupakan penyakit. peradangan kulit kronik spesifik yang terjadi pada BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Dermatitis atopik (DA) merupakan penyakit peradangan kulit kronik spesifik yang terjadi pada kulit atopik yang ditandai dengan rasa gatal, disebabkan oleh hiperaktivitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bahan yang sama untuk kedua kalinya atau lebih. 1. manifestasi klinis tergantung pada organ target. Manifestasi klinis umum dari

BAB I PENDAHULUAN. bahan yang sama untuk kedua kalinya atau lebih. 1. manifestasi klinis tergantung pada organ target. Manifestasi klinis umum dari BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Istilah alergi digunakan pertama kali digunakan oleh Clemens von Pirquet bahan yang sama untuk kedua kalinya atau lebih. 1 Reaksi alergi dapat mempengaruhi hampir

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Rinitis Alergi adalah peradangan mukosa saluran hidung yang disebabkan

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Rinitis Alergi adalah peradangan mukosa saluran hidung yang disebabkan BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rinitis Alergi Rinitis Alergi adalah peradangan mukosa saluran hidung yang disebabkan alergi terhadap partikel, antara lain: tungau debu rumah, asap, serbuk / tepung sari yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dermatitis alergika merupakan suatu penyakit yang sering kita jumpai di masyarakat yang dikenal juga sebagai dermatitis atopik (DA), yang mempunyai prevalensi 0,69%,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Rinitis alergi adalah gangguan fungsi hidung akibat inflamasi mukosa hidung yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Rinitis alergi adalah gangguan fungsi hidung akibat inflamasi mukosa hidung yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Rinitis alergi adalah gangguan fungsi hidung akibat inflamasi mukosa hidung yang diperantarai IgE yang terjadi setelah mukosa hidung terpapar alergen. 1,2,3 Penyakit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Reaksi hipersensitivitas tipe I atau reaksi alergi adalah reaksi imunologis (reaksi peradangan) yang diakibatkan oleh alergen yang masuk ke dalam tubuh menimbulkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adanya disfungsi fungsi sawar kulit adalah dermatitis atopik (DA). Penderita DA

BAB I PENDAHULUAN. adanya disfungsi fungsi sawar kulit adalah dermatitis atopik (DA). Penderita DA 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kondisi gangguan fungsi sawar kulit dapat menyebabkan berbagai jenis penyakit di bidang Dermatologi. Salah satu penyakit kulit yang disebabkan oleh adanya disfungsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dermatitis adalah suatu penyakit kulit (ekzema) yang menimbulkan peradangan. Dermatitis alergika yang sering dijumpai dalam kehidupan seharihari adalah dermatitis atopik.

Lebih terperinci

BAB 1. PENDAHULUAN. hidung akibat reaksi hipersensitifitas tipe I yang diperantarai IgE yang ditandai

BAB 1. PENDAHULUAN. hidung akibat reaksi hipersensitifitas tipe I yang diperantarai IgE yang ditandai 1 BAB 1. PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Rinitis alergi (RA) adalah manifestasi penyakit alergi pada membran mukosa hidung akibat reaksi hipersensitifitas tipe I yang diperantarai IgE yang ditandai dengan

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN. anak kelas 1 di SD Negeri bertaraf Internasional dan SD Supriyadi sedangkan

BAB V PEMBAHASAN. anak kelas 1 di SD Negeri bertaraf Internasional dan SD Supriyadi sedangkan BAB V PEMBAHASAN 5.1. Karakteristik Subyek Penelitian ini diberikan kuesioner ISAAC tahap 1 diberikan kepada 143 anak kelas 1 di SD Negeri bertaraf Internasional dan SD Supriyadi sedangkan kuesioner yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. Asma adalah penyakit saluran nafas kronis yang penting

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. Asma adalah penyakit saluran nafas kronis yang penting BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.1. Latar Belakang Asma adalah penyakit saluran nafas kronis yang penting dan merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius di berbagai negara diseluruh dunia. Meskipun penyakit

Lebih terperinci

Prevalens Nasional : 5,0% 5 Kabupaten/Kota dengan prevalens tertinggi: 1.Aceh Barat 13,6% 2.Buol 13,5% 3.Pahwanto 13,0% 4.Sumba Barat 11,5% 5.

Prevalens Nasional : 5,0% 5 Kabupaten/Kota dengan prevalens tertinggi: 1.Aceh Barat 13,6% 2.Buol 13,5% 3.Pahwanto 13,0% 4.Sumba Barat 11,5% 5. L/O/G/O Buku pedoman ASMA DEFINISI : Prevalens Nasional : 5,0% 5 Kabupaten/Kota dengan prevalens tertinggi: 1.Aceh Barat 13,6% 2.Buol 13,5% 3.Pahwanto 13,0% 4.Sumba Barat 11,5% 5.Boalemo 11,0% Riskesdas

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Asma adalah suatu inflamasi kronik dari saluran nafas yang menyebabkan. aktivitas respirasi terbatas dan serangan tiba- tiba

BAB 1 PENDAHULUAN. Asma adalah suatu inflamasi kronik dari saluran nafas yang menyebabkan. aktivitas respirasi terbatas dan serangan tiba- tiba BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Asma adalah suatu inflamasi kronik dari saluran nafas yang menyebabkan aktivitas respirasi terbatas dan serangan tiba- tiba memerlukan tatalaksana segera dan kemungkinan

Lebih terperinci

CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI

CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI rina_susilowati@ugm.ac.id Apakah imunologi itu? Imunologi adalah ilmu yang mempelajari sistem imun. Sistem imun dipunyai oleh berbagai organisme, namun pada tulisan ini sistem

Lebih terperinci

PENGETAHUAN DASAR. Dr. Ariyati Yosi,

PENGETAHUAN DASAR. Dr. Ariyati Yosi, PENGETAHUAN DASAR IMUNOLOGI KULIT Dr. Ariyati Yosi, SpKK PENDAHULUAN Kulit: end organ banyak kelainan yang diperantarai oleh proses imun kulit berperan secara aktif sel-sel imun (limfoid dan sel langerhans)

Lebih terperinci

Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan. Sistem Imunitas

Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan. Sistem Imunitas Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan Sistem Immunitas Niken Andalasari Sistem Imunitas Sistem imun atau sistem kekebalan tubuh adalah suatu sistem dalam tubuh yang terdiri dari sel-sel serta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia secara geografis merupakan negara tropis yang kaya akan berbagai jenis tumbuh-tumbuhan. Seiring perkembangan dunia kesehatan, tumbuhan merupakan alternatif

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Hipotesis higiene merupakan penjelasan terhadap peningkatan kejadian atopi

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Hipotesis higiene merupakan penjelasan terhadap peningkatan kejadian atopi 1 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hipotesis Higiene Hipotesis higiene merupakan penjelasan terhadap peningkatan kejadian atopi yang terjadi pada tiga puluh sampai empat puluh tahun terakhir, terutama di negara-negara

Lebih terperinci

SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH)

SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH) SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH) FUNGSI SISTEM IMUN: Melindungi tubuh dari invasi penyebab penyakit; menghancurkan & menghilangkan mikroorganisme atau substansi asing (bakteri, parasit, jamur, dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. umumnya. Seseorang bisa kehilangan nyawanya hanya karena serangan

BAB I PENDAHULUAN. umumnya. Seseorang bisa kehilangan nyawanya hanya karena serangan 1 A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Saat ini asma semakin berkembang menjadi penyakit pembunuh bagi masyarakat di dunia, selain penyakit jantung. Serangan yang terjadi akibat asma menjadi momok

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Alergi merupakan suatu keadaan hipersensitivitas terhadap kontak atau pajanan zat asing (alergen) tertentu dengan akibat timbulnya gejala-gejala klinis, yang mana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Definisi klinis rinitis alergi adalah penyakit. simptomatik pada hidung yang dicetuskan oleh reaksi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Definisi klinis rinitis alergi adalah penyakit. simptomatik pada hidung yang dicetuskan oleh reaksi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Definisi klinis rinitis alergi adalah penyakit simptomatik pada hidung yang dicetuskan oleh reaksi inflamasi yang dimediasi oleh immunoglobulin E (IgE)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bahwa prevalensi alergi terus meningkat mencapai 30-40% populasi

BAB I PENDAHULUAN. bahwa prevalensi alergi terus meningkat mencapai 30-40% populasi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang World Allergy Organization (WAO) tahun 2011 mengemukakan bahwa prevalensi alergi terus meningkat mencapai 30-40% populasi dunia. 1 World Health Organization (WHO) memperkirakan

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Secara klinis, rinitis alergi didefinisikan sebagai kelainan simtomatis pada hidung

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Secara klinis, rinitis alergi didefinisikan sebagai kelainan simtomatis pada hidung BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rinitis Alergi 2.1.1. Definisi Secara klinis, rinitis alergi didefinisikan sebagai kelainan simtomatis pada hidung yang diinduksi oleh inflamasi yang diperantarai imunoglobulin

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. usia anak. Anak menjadi kelompok yang rentan disebabkan masih. berpengaruh pada tumbuh kembang dari segi kejiwaan.

BAB 1 PENDAHULUAN. usia anak. Anak menjadi kelompok yang rentan disebabkan masih. berpengaruh pada tumbuh kembang dari segi kejiwaan. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit kulit merupakan masalah yang perlu menjadi perhatian khusus karena lebih dari 60% dalam suatu populasi memiliki setidaknya satu jenis penyakit kulit, khususnya

Lebih terperinci

BAB VI PEMBAHASAN. Pada penelitian ini didapatkan insiden terjadinya dermatitis atopik dalam 4 bulan pertama

BAB VI PEMBAHASAN. Pada penelitian ini didapatkan insiden terjadinya dermatitis atopik dalam 4 bulan pertama 72 BAB VI PEMBAHASAN 6.1 Insiden Pada penelitian ini didapatkan insiden terjadinya dermatitis atopik dalam 4 bulan pertama kehidupan adalah 10,9%. Moore, dkk. (2004) mendapatkan insiden dermatitis atopik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. ini. Asma bronkial terjadi pada segala usia tetapi terutama dijumpai pada usia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. ini. Asma bronkial terjadi pada segala usia tetapi terutama dijumpai pada usia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyakit asma merupakan kelainan yang sangat sering ditemukan dan diperkirakan 4-5% populasi penduduk di Amerika Serikat terjangkit oleh penyakit ini. Asma bronkial

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. immunoglobulin E sebagai respon terhadap alergen. Manifestasi yang dapat

BAB 1 PENDAHULUAN. immunoglobulin E sebagai respon terhadap alergen. Manifestasi yang dapat BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Alergi merupakan reaksi hipersensitivitas akibat mekanisme imunologi yang pada banyak kasus dipengaruhi oleh immunoglobulin E (IgE). Atopi merupakan suatu kecenderungan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kemudian akan mengalami asma dan rhinitis alergi (Djuanda, 2007). inflamasi dan edukasi yang kambuh-kambuhan (Djuanda,2007).

BAB 1 PENDAHULUAN. kemudian akan mengalami asma dan rhinitis alergi (Djuanda, 2007). inflamasi dan edukasi yang kambuh-kambuhan (Djuanda,2007). BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dermatitis atopik atau gatal-gatal masih menjadi masalah kesehatan terutama pada anak-anak karena sifatnya yang kronik residif sehingga mempengaruhi kualitas hidup pasien

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Beberapa nematoda menjadikan manusia sebagai pejamunya. Beberapa

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Beberapa nematoda menjadikan manusia sebagai pejamunya. Beberapa BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Soil Transmitted Helminth Beberapa nematoda menjadikan manusia sebagai pejamunya. Beberapa nematoda yang menginfeksi usus manusia ditularkan melalui tanah dan disebut dengan

Lebih terperinci

ASMA DAN PENDIDIKAN JASMANI OLAHRAGA DAN KESEHATAN (PENJASORKES) DI SEKOLAH. I Made Kusuma Wijaya

ASMA DAN PENDIDIKAN JASMANI OLAHRAGA DAN KESEHATAN (PENJASORKES) DI SEKOLAH. I Made Kusuma Wijaya ASMA DAN PENDIDIKAN JASMANI OLAHRAGA DAN KESEHATAN (PENJASORKES) DI SEKOLAH I Made Kusuma Wijaya Jurusan Pendidikan Jasmani Kesehatan dan Rekreasi Fakultas Olahraga dan Kesehatan, Universitas Pendidikan

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. PATOGENESIS REAKSI INFLAMASI ALERGI. Rinitis alergi merupakan penyakit inflamasi mukosa hidung yang didasari

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. PATOGENESIS REAKSI INFLAMASI ALERGI. Rinitis alergi merupakan penyakit inflamasi mukosa hidung yang didasari 6 BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. PATOGENESIS REAKSI INFLAMASI ALERGI Rinitis alergi merupakan penyakit inflamasi mukosa hidung yang didasari oleh reaksi hipersensitifitas yang diperantarai IgE, 1,2,3 yang

Lebih terperinci

BAB 3. METODOLOGI. Uji klinis acak tersamar tunggal untuk membandingkan efek vitamin

BAB 3. METODOLOGI. Uji klinis acak tersamar tunggal untuk membandingkan efek vitamin BAB 3. METODOLOGI 3.1. Desain Uji klinis acak tersamar tunggal untuk membandingkan efek vitamin D pada derajat keparahan dermatitis atopik. 3.2. Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan pada pasien di Posyandu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Istilah asma berasal dari bahasa Yunani yang artinya terengahengah dan berarti serangan napas pendek. Meskipun dahulu istilah ini digunakan untuk menyatakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi (RA) adalah penyakit yang sering dijumpai. Gejala utamanya

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi (RA) adalah penyakit yang sering dijumpai. Gejala utamanya 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Rinitis alergi (RA) adalah penyakit yang sering dijumpai. Gejala utamanya adalah bersin, hidung beringus (rhinorrhea), dan hidung tersumbat. 1 Dapat juga disertai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dermatitis alergika adalah suatu peradangan pada kulit yang didasari oleh reaksi alergi/reaksi hipersensitivitas tipe I. Penyakit yang berkaitan dengan reaksi hipersensitivitas

Lebih terperinci

@UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Alergi merupakan penyakit yang sering terjadi pada balita. Prevalensi

@UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Alergi merupakan penyakit yang sering terjadi pada balita. Prevalensi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Alergi merupakan penyakit yang sering terjadi pada balita. Prevalensi alergi di beberapa negara pada dua dekade terakhir mengalami peningkatan. Akan tetapi di negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. paru-paru. Penyakit ini paling sering diderita oleh anak. Asma memiliki gejala berupa

BAB I PENDAHULUAN. paru-paru. Penyakit ini paling sering diderita oleh anak. Asma memiliki gejala berupa BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Asma merupakan suatu penyakit kronik yang mengenai jalan napas pada paru-paru. Penyakit ini paling sering diderita oleh anak. Asma memiliki gejala berupa batuk kronik,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masih cenderung tinggi, menurut world health organization (WHO) yang bekerja

BAB I PENDAHULUAN. masih cenderung tinggi, menurut world health organization (WHO) yang bekerja BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Asma merupakan salah satu penyakit kronis yang tidak menular. Penyakit asma telah mempengaruhi lebih dari 5% penduduk dunia, dan beberapa indicator telah menunjukkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dermatitis atopik adalah penyakit kulit kronik, kambuhan, dan sangat gatal yang umumnya berkembang saat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dermatitis atopik adalah penyakit kulit kronik, kambuhan, dan sangat gatal yang umumnya berkembang saat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dermatitis atopik adalah penyakit kulit kronik, kambuhan, dan sangat gatal yang umumnya berkembang saat masa awal kanak-kanak dimana distribusi lesi ini sesuai dengan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. udara ekspirasi yang bervariasi (GINA, 2016). Proses inflamasi kronis yang

BAB 1 PENDAHULUAN. udara ekspirasi yang bervariasi (GINA, 2016). Proses inflamasi kronis yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Asma merupakan penyakit heterogen dengan karakteristik adanya inflamasi saluran napas kronis. Penyakit ini ditandai dengan riwayat gejala saluran napas berupa wheezing,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rinitis alergi adalah salah satu penyakit manifestasi reaksi hipersensitifitas tipe I yang diperantarai oleh immunoglobulin E dengan mukosa hidung sebagai organ sasaran

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. diperantarai oleh lg E. Rinitis alergi dapat terjadi karena sistem

BAB 1 PENDAHULUAN. diperantarai oleh lg E. Rinitis alergi dapat terjadi karena sistem BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Definisi Rinitis Alergi (RA) menurut ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) merupakan reaksi inflamasi pada mukosa hidung akibat reaksi hipersensitivitas

Lebih terperinci

BAB l PENDAHULUAN. disebut juga eksema atopik, prurigo besnier, neurodermatitis

BAB l PENDAHULUAN. disebut juga eksema atopik, prurigo besnier, neurodermatitis BAB l PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dermatitis atopik adalah penyakit kulit inflamatif kronis, disebut juga eksema atopik, prurigo besnier, neurodermatitis diseminata (Leung et al, 2003). Manifestasi

Lebih terperinci

PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN (PSP)

PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN (PSP) Lampiran 1 PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN (PSP) Saya yang bertanda tangan di bawah ini : Nama :... Umur :... tahun (L / P) Alamat :... dengan ini menyatakan dengan sesungguhnya telah memberikan PERSETUJUAN

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. menurut World Health Organization (WHO), sekitar 65% dari penduduk negara

BAB 1 PENDAHULUAN. menurut World Health Organization (WHO), sekitar 65% dari penduduk negara BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penggunaan obat tradisional telah lama digunakan diseluruh dunia dan menurut World Health Organization (WHO), sekitar 65% dari penduduk negara maju dan 80% dari penduduk

Lebih terperinci

DAFTAR ISI SAMPUL DEPAN LEMBAR PENGESAHAN LEMBAR PERNYATAAN KATA PENGANTAR DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL DAFTAR SINGKATAN DAFTAR LAMPIRAN ABSTRAK

DAFTAR ISI SAMPUL DEPAN LEMBAR PENGESAHAN LEMBAR PERNYATAAN KATA PENGANTAR DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL DAFTAR SINGKATAN DAFTAR LAMPIRAN ABSTRAK DAFTAR ISI SAMPUL DEPAN LEMBAR PENGESAHAN LEMBAR PERNYATAAN KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL DAFTAR SINGKATAN DAFTAR LAMPIRAN ABSTRAK ABSTRACT i ii iii iv vii ix xi xii xiv xv xvi BAB

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Penurunan jumlah ookista dalam feses merupakan salah satu indikator bahwa zat yang diberikan dapat berfungsi sebagai koksidiostat. Rataan jumlah ookista pada feses ayam berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh reaksi alergi pada penderita yang sebelumnya sudah tersensitisasi

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh reaksi alergi pada penderita yang sebelumnya sudah tersensitisasi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rinitis Alergi (RA) merupakan salah satu penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada penderita yang sebelumnya sudah tersensitisasi alergen yang sama

Lebih terperinci

SISTEM IMUN. Pengantar Biopsikologi KUL VII

SISTEM IMUN. Pengantar Biopsikologi KUL VII SISTEM IMUN Pengantar Biopsikologi KUL VII SISTEM KEKEBALAN TUBUH Imunologi : Ilmu yang mempelajari cara tubuh melindungi diri dari gangguan fisik, kimiawi, dan biologis. . SISTEM IMUN INNATE : Respon

Lebih terperinci

LAMPIRAN 1. Biaya Penelitian 1. Alergen / pemeriksaan Rp ,- 2. Transportasi Rp ,- 3. Fotokopi dll Rp

LAMPIRAN 1. Biaya Penelitian 1. Alergen / pemeriksaan Rp ,- 2. Transportasi Rp ,- 3. Fotokopi dll Rp LAMPIRAN 1 Lampiran 1 I. Personalia Penelitian 1. Ketua penelitian Nama : dr. Beatrix Siregar Jabatan : Peserta PPDS Ilmu Kesehatan Anak FK USU/RSHAM 2. Supervisor penelitian 1. Prof. dr. H. M. Sjabaroeddin

Lebih terperinci

Immunology Pattern in Infant Born with Small for Gestational Age

Immunology Pattern in Infant Born with Small for Gestational Age Immunology Pattern in Infant Born with Small for Gestational Age Dr. Nia Kurniati, SpA (K) Manusia mempunyai sistem pertahanan tubuh yang kompleks terhadap benda asing. Berbagai barrier diciptakan oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Rhinitis berasal dari dua kata bahasa Greek rhin rhino yang berarti hidung dan itis yang berarti radang. Demikian rhinitis berarti radang hidung atau tepatnya radang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Ketika tubuh terpajan oleh suatu antigen atau benda asing,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Ketika tubuh terpajan oleh suatu antigen atau benda asing, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ketika tubuh terpajan oleh suatu antigen atau benda asing, secara otomatis tubuh akan memberi tanggapan berupa respon imun. Respon imun dibagi menjadi imunitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Rinitis alergi merupakan penyakit imunologi yang sering ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Rinitis alergi merupakan penyakit imunologi yang sering ditemukan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rinitis alergi merupakan penyakit imunologi yang sering ditemukan (Madiadipora, 1996). Berdasarkan studi epidemiologi, prevalensi rinitis alergi diperkirakan berkisar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bahan kimia atau iritan, iatrogenik, paparan di tempat kerja atau okupasional

BAB I PENDAHULUAN. bahan kimia atau iritan, iatrogenik, paparan di tempat kerja atau okupasional BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Konjungtivitis adalah peradangan yang terjadi pada konjungtiva secara umum dapat disebabkan oleh berbagai macam penyebab endogen maupun eksogen seperti bakteri,

Lebih terperinci

FISIOLOGI SISTEM PERTAHANAN TUBUH. TUTI NURAINI, SKp., M.Biomed

FISIOLOGI SISTEM PERTAHANAN TUBUH. TUTI NURAINI, SKp., M.Biomed FISIOLOGI SISTEM PERTAHANAN TUBUH TUTI NURAINI, SKp., M.Biomed 1 PENDAHULUAN Sistem imun melindungi tubuh dari sel asing & abnormal dan membersihkan debris sel. Bakteri dan virus patogenik adalah sasaran

Lebih terperinci

kekambuhan asma di Ruang Poli Paru RSUD Jombang.

kekambuhan asma di Ruang Poli Paru RSUD Jombang. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Asma adalah penyakit yang masih menjadi masalah kesehatan mayarakat di hampir semua negara di dunia, diderita oleh anak-anak sampai dewasa dengan derajat penyakit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. imun. Antibodi yang biasanya berperan dalam reaksi alergi adalah IgE ( IgEmediated

BAB I PENDAHULUAN. imun. Antibodi yang biasanya berperan dalam reaksi alergi adalah IgE ( IgEmediated BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Alergi adalah reaksi hipersensitivitas yang diinisiasi oleh mekanisme imun. Antibodi yang biasanya berperan dalam reaksi alergi adalah IgE ( IgEmediated allergy). 1,2

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dermatitis alergika disebut juga dermatitis atopik yang terjadi pada orang dengan riwayat atopik. Atopik ditandai oleh adanya reaksi yang berlebih terhadap rangsangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Mekanisme alergi tersebut akibat induksi oleh IgE yang spesifik terhadap alergen

BAB I PENDAHULUAN. Mekanisme alergi tersebut akibat induksi oleh IgE yang spesifik terhadap alergen BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Penyakit alergi merupakan masalah kesehatan serius pada anak. 1 Alergi adalah reaksi hipersentisitivitas yang diperantarai oleh mekanisme imunologi. 2 Mekanisme alergi

Lebih terperinci

BAB II KOMPONEN YANG TERLIBAT DALAM SISTEM STEM IMUN

BAB II KOMPONEN YANG TERLIBAT DALAM SISTEM STEM IMUN BAB II KOMPONEN YANG TERLIBAT DALAM SISTEM STEM IMUN Sel yang terlibat dalam sistem imun normalnya berupa sel yang bersirkulasi dalam darah juga pada cairan lymph. Sel-sel tersebut dapat dijumpai dalam

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Dermatitis Atopik 2.1.1 Definisi Dermatitis Atopik Dermatitis atopik merupakan peradangan kulit yang disertai dengan rasa gatal, berlangsung kronis dan berulang dan merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dermatitis alergika merupakan suatu reaksi hipersensitivitas, yang disebut juga sebagai dermatitis atopik. Penderita dermatitis atopik dan atau keluarganya biasanya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. karena semakin banyaknya peralatan-peralatan yang mengandung nikel digunakan seharihari

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. karena semakin banyaknya peralatan-peralatan yang mengandung nikel digunakan seharihari BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Dermatitis kontak nikel 2.1.1 Pendahuluan Dermatitis kontak terhadap nikel semakin lama semakin sulit untuk dihindari, karena semakin banyaknya peralatan-peralatan yang mengandung

Lebih terperinci

Tuberkulosis merupakan penyakit yang telah lama ada. Tetap menjadi perhatian dunia Penyebab kematian kedua pada penyakit infeksi

Tuberkulosis merupakan penyakit yang telah lama ada. Tetap menjadi perhatian dunia Penyebab kematian kedua pada penyakit infeksi LOGO Pendahuluan Tuberkulosis merupakan penyakit yang telah lama ada. Tetap menjadi perhatian dunia Penyebab kematian kedua pada penyakit infeksi Kasus baru didunia : 8,6 juta & Angka kematian : 1,3 juta

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Rinitis alergi (RA) merupakan rinitis kronik non infeksius yang paling

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Rinitis alergi (RA) merupakan rinitis kronik non infeksius yang paling 1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Rinitis Alergi 2.1.1 Definisi dan klasifikasi Rinitis alergi (RA) merupakan rinitis kronik non infeksius yang paling umum dijumpai. RA didefinisikan sebagai suatu penyakit

Lebih terperinci

Imunisasi: Apa dan Mengapa?

Imunisasi: Apa dan Mengapa? Imunisasi: Apa dan Mengapa? dr. Nurcholid Umam K, M.Sc, Sp.A Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia Jogjakarta Penyebab kematian pada anak di seluruh dunia Campak

Lebih terperinci

TEORI SISTEM IMUN - SMA KELAS XI SISTEM IMUN PENDAHULUAN

TEORI SISTEM IMUN - SMA KELAS XI SISTEM IMUN PENDAHULUAN TEORI SISTEM IMUN - SMA KELAS XI SISTEM IMUN PENDAHULUAN Sistem Imun merupakan semua mekanisme pertahanan yang dapat dimobilisasi oleh tubuh untuk memerangi berbagai ancaman invasi asing. Kulit merupakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. selama masa bayi dan anak-anak, sering berhubungan dengan. peningkatan kadar IgE dalam serum dan riwayat atopi pada keluarga

BAB 1 PENDAHULUAN. selama masa bayi dan anak-anak, sering berhubungan dengan. peningkatan kadar IgE dalam serum dan riwayat atopi pada keluarga BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dermatitis atopik (D.A.) ialah keadaan peradangan kulit kronis dan residif, disertai gatal, yang umumnya sering terjadi selama masa bayi dan anak-anak, sering

Lebih terperinci

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN. Telinga, Hidung, dan Tenggorok Bedah Kepala dan Leher, dan bagian. Semarang pada bulan Maret sampai Mei 2013.

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN. Telinga, Hidung, dan Tenggorok Bedah Kepala dan Leher, dan bagian. Semarang pada bulan Maret sampai Mei 2013. 28 BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini mencakup bidang Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, dan Tenggorok Bedah Kepala dan Leher, dan bagian pulmonologi Ilmu

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Hasanudin, No. 806 Salatiga, Jawa Tengah. Sesuai dengan SK

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Hasanudin, No. 806 Salatiga, Jawa Tengah. Sesuai dengan SK BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Lokasi Penelitian Rumah sakit paru dr. Ario Wirawan beralamat di jalan Hasanudin, No. 806 Salatiga, Jawa Tengah. Sesuai dengan SK mentri kesehatan RI.

Lebih terperinci

ABSTRAK PREVALENSI INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT SEBAGAI PENYEBAB ASMA EKSASERBASI AKUT DI POLI PARU RSUP SANGLAH, DENPASAR, BALI TAHUN 2013

ABSTRAK PREVALENSI INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT SEBAGAI PENYEBAB ASMA EKSASERBASI AKUT DI POLI PARU RSUP SANGLAH, DENPASAR, BALI TAHUN 2013 ABSTRAK PREVALENSI INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT SEBAGAI PENYEBAB ASMA EKSASERBASI AKUT DI POLI PARU RSUP SANGLAH, DENPASAR, BALI TAHUN 2013 Data WHO 2013 dan Riskesdas 2007 menunjukkan jumlah penderita

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bronkitis menurut American Academic of Pediatric (2005) merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Bronkitis menurut American Academic of Pediatric (2005) merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bronkitis menurut American Academic of Pediatric (2005) merupakan penyakit umum pada masyarakat yang di tandai dengan adanya peradangan pada saluran bronchial.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terutama pada anak, karena alergi membebani pertumbuhan dan perkembangan anak

BAB I PENDAHULUAN. terutama pada anak, karena alergi membebani pertumbuhan dan perkembangan anak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Penyakit alergi telah berkembang menjadi masalah kesehatan yang serius di negara maju, terlebih negara berkembang. 1 Angka kejadiannya terus meningkat secara drastis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menolak dan tidak tahan terhadap zat-zat yang sebenarnya tidak berbahaya

BAB I PENDAHULUAN. menolak dan tidak tahan terhadap zat-zat yang sebenarnya tidak berbahaya BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Alergi adalah suatu perubahan reaksi atau respon pertahanan tubuh yang menolak dan tidak tahan terhadap zat-zat yang sebenarnya tidak berbahaya (Candra et al., 2011).

Lebih terperinci

Mekanisme Pertahanan Tubuh. Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang

Mekanisme Pertahanan Tubuh. Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang Mekanisme Pertahanan Tubuh Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang Imunitas atau kekebalan adalah sistem mekanisme pada organisme yang melindungi tubuh terhadap pengaruh biologis luar

Lebih terperinci

HUBUNGAN KADAR IgE SPESIFIK DENGAN DERAJAT KEPARAHAN DERMATITIS ATOPIK PADA ANAK

HUBUNGAN KADAR IgE SPESIFIK DENGAN DERAJAT KEPARAHAN DERMATITIS ATOPIK PADA ANAK Artikel Asli HUBUNGAN KADAR IgE SPESIFIK DENGAN DERAJAT KEPARAHAN DERMATITIS ATOPIK PADA ANAK ABSTRAK kondisi atopi lain, pada DA terdapat peningkatan konsentrasi serum antibodi IgE terhadap alergen hirup

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Prevalensi asma semakin meningkat dalam 30 tahun terakhir ini terutama di

BAB I PENDAHULUAN. Prevalensi asma semakin meningkat dalam 30 tahun terakhir ini terutama di BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Prevalensi asma semakin meningkat dalam 30 tahun terakhir ini terutama di negara maju. Sebagai contoh di Singapura 11,9% (2001), Taiwan 11,9% (2007), Jepang 13% (2005)

Lebih terperinci

RIWAYAT ATOPI PADA PASIEN DENGAN KELUHAN GATAL DI POLI PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN RUMAH SAKIT GOTONG ROYONG SURABAYA SKRIPSI

RIWAYAT ATOPI PADA PASIEN DENGAN KELUHAN GATAL DI POLI PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN RUMAH SAKIT GOTONG ROYONG SURABAYA SKRIPSI RIWAYAT ATOPI PADA PASIEN DENGAN KELUHAN GATAL DI POLI PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN RUMAH SAKIT GOTONG ROYONG SURABAYA SKRIPSI Oleh: Shella Morina NRP. 1523012023 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER UNIVERSITAS

Lebih terperinci

PENGANTAR KESEHATAN. DR.dr.BM.Wara K,MS Klinik Terapi Fisik FIK UNY. Ilmu Kesehatan pada dasarnya mempelajari cara memelihara dan

PENGANTAR KESEHATAN. DR.dr.BM.Wara K,MS Klinik Terapi Fisik FIK UNY. Ilmu Kesehatan pada dasarnya mempelajari cara memelihara dan PENGANTAR KESEHATAN DR.dr.BM.Wara K,MS Klinik Terapi Fisik FIK UNY PENGANTAR Ilmu Kesehatan pada dasarnya mempelajari cara memelihara dan meningkatkan kesehatan, cara mencegah penyakit, cara menyembuhkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang berbatas pada bagian superfisial kulit berupa bintul (wheal) yang

BAB I PENDAHULUAN. yang berbatas pada bagian superfisial kulit berupa bintul (wheal) yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Urtikaria merupakan salah satu manifestasi keluhan alergi pada kulit yang paling sering dikeluhkan oleh pasien. Urtikaria adalah suatu kelainan yang berbatas pada bagian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Alergi terjadi akibat adanya paparan alergen, salah satunya ovalbumin.

BAB I PENDAHULUAN. Alergi terjadi akibat adanya paparan alergen, salah satunya ovalbumin. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Alergi adalah suatu keadaan hipersensitivitas yang diinduksi oleh pajanan suatu antigen tertentu yang menimbulkan reaksi imunologi yang berbahaya pada pajanan

Lebih terperinci

menurut World Health Organization (WHO), sekitar 65% dari penduduk negara maju dan 80% dari penduduk negara berkembang telah menggunakan obat herbal

menurut World Health Organization (WHO), sekitar 65% dari penduduk negara maju dan 80% dari penduduk negara berkembang telah menggunakan obat herbal BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latarbelakang Penggunaan obat tradisional telah lama digunakan diseluruh dunia dan menurut World Health Organization (WHO), sekitar 65% dari penduduk negara maju dan 80% dari penduduk

Lebih terperinci