Buku Informasi Teknik dan Lingkungan Ketenagalistrikan STANDARDISASI KETENAGALISTRIKAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Buku Informasi Teknik dan Lingkungan Ketenagalistrikan STANDARDISASI KETENAGALISTRIKAN"

Transkripsi

1 STANDARDISASI KETENAGALISTRIKAN 1

2 2.1. Umum Kerja sama di bidang ekonomi antara negara-negara di dunia, seperti Asean Free Trade Area (AFTA), Asia Pacific Economic Cooperation (APEC) dan World Trade Organization (WTO), telah menciptakan sistem perdagangan dunia yang bebas (free trade). Dengan sistem ini akan memperluas gerak arus transaksi barang dan atau jasa melintasi batas-batas wilayah suatu negara. Sehingga pasar nasional nantinya akan bersifat terbuka terhadap barang dan atau jasa impor. Untuk mendukung pasar nasional dalam menghadapi proses globalisasi perdagangan tersebut, dipandang perlu untuk menyiapkan perangkat hukum nasional di bidang standardisasi yang tidak saja mampu menjamin perlindungan terhadap masyarakat khususnya di bidang keselamatan, keamanan, kesehatan, dan lingkungan hidup, tetapi juga meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional. Lebih lanjut, di dalam Perjanjian Word Trade Organization (WTO), sebagaimana telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994, khususnya mengenai Agreement on Technical Barrier to Trade (TBT) yang mengatur mengenai standardisasi ditegaskan bahwa negara anggota, dalam hal ini Pemerintah Indonesia, diwajibkan untuk menyesuaikan peraturan perundang-undangan nasional di bidang standardisasi. Standaridisasi dimaksudkan untuk meningkatkan perlindungan kepada konsumen, pelaku usaha, tenaga kerja, dan masyarakat lainnya baik untuk keselamatan, keamanan, kesehatan maupun pelestarian fungsi lingkungan hidup, serta untuk membantu kelancaran perdagangan dan mewujudkan persaingan usaha yang sehat dalam perdagangan. Untuk dapat meningkatkan efektifitas pengaturan di bidang standardisasi diperlukan adanya peranan dan kerjasama yang sinergik antara konsumen, pelaku usaha, ilmuwan dan instansi Pemerintah. Berdasarkan perkembangan tersebut di atas dan mengingat peraturan perundang-undangan di bidang standardisasi sudah tidak lagi selaras dengan sistem perdagangan dunia yang bebas, maka dipandang perlu mengatur kembali ketentuan tentang standardisasi secara nasional. 2

3 Standar adalah spesifikasi teknis atau sesuatu yang dibakukan termasuk tata cara dan metode yang disusun berdasarkan konsensus semua pihak yang terkait dengan memperhatikan syarat-syarat keselamatan, keamanan, kesehatan, lingkungan hidup, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta pengalaman, perkembangan masa kini dan masa yang akan datang untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya. Standardisasi adalah proses merumuskan, menetapkan, menerapkan dan merevisi standar, yang dilaksanakan secara tertib dan bekerjasama dengan semua pihak. Sedangkan Standar Nasional Indonesia (SNI), adalah standar yang ditetapkan oleh Badan Standardisasi Nasional dan berlaku secara nasional. Sebagaimana diamanatkan dalam PP No.102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral sebagai instansi teknis bertanggung jawab dalam : a. Menyusun program perumusan Rancangan Standar Nasional Indonesia (RSNI); b. Menerapkan SNI, yaitu dengan mempertimbangkan keselamatan ketenagalistrikan dan perlindungan konsumen, dan memberlakukan SNI sebagai standar wajib; c. Melakukan pembinaan dan pengawasan khususnya terhadap penerapan SNI Wajib. Dalam melakukan kegiatan-kegiatan perumusan tersebut didasarkan oleh peraturan-peraturan pelaksanaan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Peraturan-peraturan pelaksanaan di bidang Standar Nasional Indonesia meliputi : a. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan (LN Tahun 1985 Nomor 74, TLN Nomor 3317) ; b. Peraturan Pemerintah Nomor 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional (LN Tahun 2000 Nomor 1999); c. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1989 tentang Penyediaan dan pemanfaatan tenaga listrik (LN Tahun 1989 Nomor 24, TLN Nomor 3394) 3

4 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2005 (LN Tahun 2005 Nomor 5, TLN Nomor 4469); d. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 78 Tahun 2001 tentang Komite Akreditasi Nasional; e. Peraturan Menteri Pertambangan dan Energi No.02.P/0322/M.PE/1995 tentang Standardisasi, Sertifikasi dan Akreditasi Dalam Lingkungan Pertambangan dan Energi. f. Keputusan Kepala Badan Standardisasi Nasional No. 3401/BSN- I/HK.71/11/2001 tanggal 26 Nopember 2001 tentang Sistem Standardisasi Nasional; 2.2. Penerapan SNI Wajib Dalam rangka penyiapan pelaksanaan penerapan SNI Wajib, perlu dilaksanakan langkah-langkah sebagai berikut : 1. Sosialisasi SNI Wajib dan rencana SNI lainnya untuk diberlakukan sebagai standard wajib kepada pihak terkait, misalnya masyarakat pengguna produk ketenagalistrikan dan instalasi tenaga listrik, produsen dan instansi teknis terkait serta pemerintah daerah; 2. Penyiapan infrastruktur pelaksana penerapan SNI Wajib yang meliputi, Lembaga Sertifikasi Produk, Laboratorium Uji dan Lembaga Inspeksi; 3. Menotifikasikan Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral tentang pemberlakuan SNI Wajib ke WTO (World Trade Organization); 4. Pengawasan penerapan SNI Wajib yang dalam hal ini untuk Direktorat Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi dilakukan oleh Inspektur ketenagalistrikan. Penerapan SNI wajib dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut : 1. Inventarisasi laboratorium penguji, lembaga sertifikasi dan lembaga inspeksi yang ada di Indonesia, baik yang telah maupun yang belum diakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN), atau lembaga akreditasi Negara lain yang telah mengadakan saling pengakuan dengan Indonesia / 4

5 KAN atau lembaga nasional Negara tertentu yang masuk dalam IEC CB- Scheme. 2. Menginventarisasi lembaga sebagai pelaksana penerapan SNI wajib, dengan cara sebagai berikut : membuat chek list penilaian kemampuan laboratorium uji, misalnya peralatan uji, item uji sesuai SNI Wajib, manajemen mutu, dll. melakukan peninjauan ke lokasi laboratorium uji. membuat chek list penilaian kemampuan lembaga sertifikasi dan atau lembaga inspeksi, misalnya asesmen alat kerja (tools), jumlah dan kesesuaian asesor, asesmen manajemen, dll. Untuk penerapan SNI Wajib yang terkait dengan instalasi tenaga listrik, perlu langkah-langkah tindak lanjut antara lain membuat chek list penilaian kesesuaian yang akan dilakukan untuk menilai pada saat komisioning dan pemeriksaan berkala dalam rangka penerbitan Sertifikat Kelaikan. 3. Penugasan oleh Direktur Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi kepada lembaga sertifikasi produk yang telah diakreditasi oleh KAN atau lembaga akreditasi negara lain yang telah mengadakan saling pengakuan dengan Indonesia/KAN. 4. Apabila belum ada lembaga sertifikasi produk dan atau lembaga inspeksi yang diakreditasi oleh KAN, maka Direktur Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi untuk sementara menunjuk dan menugaskan lembaga sertifikasi produk dan atau lembaga inspeksi yang dianggap mampu. Dalam hal ini, sertifikat diterbitkan oleh Direktur Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi. 5. Pertimbangan dasar penugasan Direktur Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi berdasarkan ruang lingkup SNI bidang ketenagalistrikan yang diberlakukan sebagai standar wajib, yaitu untuk meyakinkan bahwa lembaga yang ditugaskan memahami dan mampu menerapkan SNI Wajib, karena dimungkinkan ruang lingkup SNI tersebut belum tercakup dalam akreditasi KAN. 5

6 2.3. SNI Wajib Yang Diterapkan Pada Peralatan Tenaga Listrik Standar, dalam hal ini SNI wajib, yang bersubstansi persyaratan untuk kerja, keselamatan dan dimensi suatu produk peralatan tenaga listrik, diterapkan melalui proses sertifikasi yang dilakukan oleh Lembaga Sertifikasi Produk (LSPro) yang terakreditasi dan ditugaskan oleh Direktur Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi. Proses sertifikasi pada produk peralatan dimaksud, LSPro menunjuk Laboratorium Penguji yang terakreditasi untuk melakukan pengujian dan terhadap hasil uji LSPro melakukan penilaian (asesmen) dan evaluasi kesesuaian sesuai dengan SNI dan manajemen mutu di pabrik pembuatnya. Kesesuaian dengan SNI sebagai hasil penilaian kesesuaian dituangkan dalam sertifikat Produk dan penandaan sertifikat pada produk yang diuji. Standar, dalam hal ini SNI Wajib, yang bersubstansi persyaratan unjuk kerja, keselamatan sistem instalasi ditetapkan melalui proses inspeksi yang dilakukan oleh Lembaga Inspeksi yang terakreditasi dan ditugaskan oleh Direktur Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi. Proses inspeksi, Lembaga sertifikasi Inspeksi melakukan inspeksi pada saat komisioning pembangunan instalasi, pemeliharaan besar, reguler dan sewaktuwaktu. Kompetensi inspektur dalam hal ini harus mempunyai kemampuan prediktif, kuratif dan korektif dalam mengantisipasi ketidakselamatan ketenagalistrikan yang timbul pada instalasi disisi distribusi. Kesesuaian instalasi dengan SNI Wajib yang dihasilkan atas penilaian dan inspeksi lembaga inspeksi dapat dituangkan dalam sertifikat laik Operasi. Selanjutnya dalam melakukan perumusan SNI bidang ketenagalistrikan, skema-skema berikut ini memberikan gambaran mengenai tata cara suatu proses perumusan SNI bidang ketenagalistrikan, pemberlakuan SNI bidang ketenagalistrikan sebagai standar wajib, pemberlakuan dan penetapan SNI Wajib serta notifikasi WTO. 6

7 Usulan Materi Konsep RSNI : Publikasi IEC atau Std. Nasional negara tertentu Pemerintah DJLPE Asosiasi Produsen Pemilik Instalasi TL Masyarakat Standardisasi PANITIA TEKNIK PERUMUS SNI Pakar Bidang Ketenagalistrikan dari unsur-unsur : Pemerintah Pelaku Usaha Konsumen Ilmuwan Net Konsep RSNI Terkait dengan Keselamatan Standar Internasional Masukan dari Masyarakat Program Stand. Nasional FORUM KONSENSUS STAKEHOLDER Pemerintah Pelaku Usaha Konsumen Ilmuwan RSNI BSN PROSES PENETAPAN RSNI SNI PERDAGANGAN SNI BIDANG KETENAGA LISTRIKAN KESELAMATAN KETENAGALISTRIKAN I N D U S T R I Gbr Proses Perumusan SNI Bidang Ketenagalistrikan PERUMUSAN RSNI OLEH PANITIA PENETAPAN RSNI MENJADI SNI OLEH SNI SUKARELA PEMBERLAKUAN KEPMEN ESDM SNI WAJIB NOTIFIKASI WTO KESELAMATAN KEAMANAN KEANDALAN KESEHATAN KELESTARIAN FUNGSI Gbr.2.2. Proses Pemberlakuan SNI Bidang Ketenagalistrikan Sebagai Standar Wajib 7

8 2.4. Hasil Pelaksanaan di Bidang SNI Bidang Ketenagalistrikan a. Perumusan Standar Bidang Ketenagalistrikan Penyelenggaraan Forum Konsensus sejak tahun 1981 sampai dengan 2005 telah diselenggarakan sebanyak 25 kali, yang menghasilkan RSNI dan SNI serta telah ditetapkan oleh Kepala BSN, sebagai berikut : Tabel 2.1. Perumusan Standar Bidang Ketenagalistrikan NO. STANDAR TENTANG JUMLAH STANDAR RSNI SNI 1 Instalasi dan peralatan pada pembangkit 3 36 tenaga listrik 2 Instalasi dan peralatan pada Transmisi Instalasi dan peralatan pada Distribusi Instalasi dan peralatan pada Tegangan Rendah Pemanfaat tenaga listrik Lain-lain Sistem kelistrikan Sistem mutu keandalan Perlengkapan traksi listrik (KRL) Perlengkapan elektromedik Jumlah b. Pemberlakuan SNI sebagai standar wajib Telah memberlakukan SNI sebagai standar wajib sebanyak 8 standar, sebagai berikut : Tabel 2.2. Pemberlakuan SNI Sebagai Standar Wajib N0 NOMOR DAN JUDUL SNI OBYEK PENERAPAN Persyaratan umum instalasi listrik 2000 (PUIL 2000) Tusuk-kontak dan kotak-kontak untuk keperluan rumah tangga dan sejenisnya Bagian 1 : Persyaratan umum Instalasi tegangan rendah Tusuk kontak dan kotak kontak 8

9 Lanjutan Tabel N0 NOMOR DAN JUDUL SNI OBYEK PENERAPAN Sakelar untuk instalasi listrik tetap rumah tangga dan sejenisnya Bagian 1 : Persyaratan umum Sakelar Keselamatan pemanfaat listrik untuk rumah tangga dan sejenisnya Bagian 1 : Persyaratan umum Peranti listrik untuk rumah tangga Frekuensi standar 50 Hz Instalasi, peralatan dan pemanfaat tenaga listrik Pemutus Sirkit untuk Proteksi Arus Lebih pada Instalasi Rumah Tangga dan Sejenisnya Bagian 1 : Pemutus sirkit untuk operasi arus bolak-balik Pemutus sirkit (MCB) Tanda Keselamatan Pemanfaat Listrik Pemanfaat tenaga listrik Peranti listrik rumah tangga dan sejenisnya Keselamatan Bagian 2-80 : Persyaratan khusus untuk kipas angin. Kipas angin Dengan mempertimbangkan kesiapan lembaga sertifikasi, laboratorium uji dan kesiapan produsen, secara bertahap secara bertahap akan diberlakukan 18 SNI sebagai standar wajib, sebagai berikut : 9

10 Tabel 2.3. Program Pemberlakuan SNI Sebagai Standar Wajib N0 NOMOR DAN JUDUL SNI OBYEK PENERAPAN Peranti listrik rumah tangga dan sejenis Keselamatan Bagian 2-34 : Persyaratan khusus untuk motor kompresor Peranti listrik rumah tangga dan sejenis Keselamatan Bagian 2-3: Persyaratan khusus untuk setrika listrik Peranti listrik rumah tangga dan sejenis Keselamatan Bagian 2-24: Persyaratan khusus untuk peranti refrigerasi, peranti es krim dan pembuat es Peranti listrik rumah tangga dan sejenis Keselamatan Bagian 2-40: Persyaratan khusus untuk pompa bahang, pengkondisi udara dan penghilang lembab (1) Peranti listrik rumah tangga dan sejenis Keselamatan Bagian 2-41: Persyaratan khusus untuk pompa Peranti listrik rumah tangga dan sejenis Keselamatan Bagian 2-7: Persyaratan khusus untuk mesin cuci Motor kompresor untuk mesin refrigerasi (lemari pendingin), food freezers, ice makers, airconditioners, electric heat pumps and dehumidifiers. Setrika listrik Lemari pendingin Pompa bahang listrik, termasuk pompa bahang air panas sanitasi, pengkondisi udara, dan penghilang lembab Pompa listrik (vertical) Mesin cuci 10

11 Lanjutan Tabel N0 NOMOR DAN JUDUL SNI OBYEK PENERAPAN 7 RSNI Peranti listrik rumah tangga dan sejenis Keselamatan Bagian 2-4: Persyaratan khusus untuk ekstraktor putar 8 RSNI Peranti listrik rumah tangga dan sejenis Keselamatan Bagian 2-11 : Persyaratan khusus untuk pengering guling Peranti listrik rumah tangga dan sejenis Keselamatan Bagian 2-14 : Persyaratan khusus untuk mesin dapur Luminer Bagian 1: Persyaratan dan Pengujian Luminer Bagian 2-1 : Persyaratan Khusus Luminer terpasang tetap untuk penggunaan umum Luminer Bagian 2-2 : Persyaratan khusus Luminer tertanam Mesin cuci Mesin cuci - ekstraktor jus-buah (berry-juice extractors); - blender (blenders); - pencincang (mincers); - juiser sentrifugal (centrifugal juicers); - pengocok krim (cream whippers); - pengocok telur (egg beaters); - pengaduk (churn); - pencampur makanan (food mixers); - pemroses makanan (food processors); Luminer (semua jenis) Luminer terpasang tetap untuk penggunaan umum Luminer tertanam Luminer Bagian 2-3 : Persyaratan khusus Luminer untuk pencahayaan jalan Luminer pencahayaan jalan untuk 11

12 Lanjutan Tabel N0 NOMOR DAN JUDUL SNI OBYEK PENERAPAN Luminer Bagian 2-5 : Persyaratan khusus Lampu sorot Peranti listrik rumah tangga dan sejenis Keselamatan Bagian 2-9: Persyaratan khusus untuk gril, pemanggang roti dan peranti pemasak portabel sejenis Pemutus sirkit arus sisa tanpa proteksi arus lebih terpadu untuk pemakaian rumah tangga dan sejenisnya (RCCB) Bagian 1 : Umum Pemutus sirkit arus sisa tanpa proteksi arus lebih terpadu untuk pemakaian rumah tangga dan sejenisnya (RCCB) Bagian 2-1 : Mampu terap aturan umum untuk fungsi RCCB yang independen dari tegangan saluran Pemutus sirkit untuk perlengkapan (PMS P) Lampu sorot - pemanggang roti (toasters) - pemanggang (barbeque); - pemasak (cookers); - dehidrator makanan (food dehydrators); - pemanggang (roasters) Gawai arus sisa untuk tegangan rendah Gawai arus sisa untuk tegangan rendah Pemutus sirkit untuk perlengkapan juga sebagai proteksi terhadap tegangan kurang/lebih c. Kerja sama standardisasi Konsep kerja sama (MOU) antara Ditjen Listrik dan Pemanfaatan Energi dan Ditjen Perdagangan Dalam Negeri Dep. Perdagangan. Partisipasi aktif dalam penyusunan draft agreement ASEAN EEMRA Pelaksanaan harmonisasi standar tingkat regional sebagai implementasi agreement ASEAN EEMRA 12

13 d. Program sosialisasi SNI wajib : Tahun 2002 : melalui seminar/workshop di Bandung dan Semarang Tahun 2003 : melalui seminar/workshop di Banten dan Surabaya Tahun 2004 : - melalui media massa (radio dan koran) dan penyebaran brosur dan leaflet - melalui seminar/workshop di Padang dan Bandar Lampung; Tahun 2005 : melalui seminar/workshop di Batam dan Denpasar; Program tahun 2006 : melalui media massa (media campaign) (tv, radio dan koran) dan penyebaran brosur dan leaflet. 13

14 KELAIKAN TEKNIK DAN KESELAMATAN KETENAGALISTRIKAN 14

15 3.1. Umum Dalam rangka mewujudkan instalasi tenaga listrik yang aman, andal, dan akrab lingkungan, maka setiap instalasi tenaga listrik yang akan beroperasi wajib memiliki sertifikat laik operasi. Sertifikat laik operasi dapat diperoleh setelah instalasi tenaga listrik sudah dilakukan uji laik operasi (komisioning) dan telah dinyatakan lulus uji laik operasi. Instalasi tenaga listrik dibagi dua, yaitu : (1) Instalasi penyediaan tenaga listrik, terdiri atas instalasi pembangkitan, transmisi, dan distribusi tenaga listrik. (2) Instalasi pemanfaatan tenaga listrik, terdiri atas instalasi konsumen tegangan tinggi, tegangan menengah, dan tegangan rendah. Selain itu peralatan dan pemanfaat tenaga listrik yang dipakai dalam instalasi juga harus memiliki kualitas sesuai standar. Untuk produk-produk peralatan dan pemanfaat tenaga listrik yang SNI-nya telah diberlakukan wajib, sebelum diperjualbelikan wajib memiliki sertifikat produk. Pada dasarnya keamanan instalasi tenaga listrik ditentukan mulai dari tahap perencanaan, desain, pabrikasi, pemasangan, pemeriksaan dan pengujian, sampai tahap pengoperasian dan pemeliharaan instalasi. Oleh karena itu untuk mendapatkan instalasi yang aman, semua tahap-tahap tersebut harus dilaksanakan dengan baik sesuai standar yang ada. Dengan peralatan dan pemanfaat tenaga listrik serta instalasi tenaga listrik yang berkualitas sesuai standar, diharapkan akan dicapai penyediaan dan pemanfaatan tenaga listrik yang aman, andal, dan akrab lingkungan. Peraturan-peraturan pelaksanaan di bidang Kelaikan Teknik dan Keselamatan Ketenagalistrikan meliputi : a. Undang-Undang No. 15 tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan 15

16 b. Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2005 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1989 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Tenaga Listrik. c. Peraturan Pemerintah Nomor 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional (LNRI Tahun 2000 Nomor 199, TLNRI Nomor 4020); d. Kepmen Energi dan Sumber Daya Mineral No K/MEM/2005 tentang Penetapan Komite Nasional Keselamatan Untuk Instalasi Listrik (Konsuil) Sebagai Lembaga Pemeriksa Instalasi Pemanfaatan Tenaga Listrik Konsumen Tegangan Rendah. e. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No Tahun 2005 tentang Tata Cara Pembubuhan Tanda SNI dan Tanda Keselamatan. f. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No Tahun 2005 tentang Instalasi Ketenagalistrikan. Peraturan-peraturan ini menjadi dasar dalam melakukan kegiatan-kegiatan di bidang Kelaikan Teknik dan Keselamatan Ketenagalistrikan Sertifikasi Laik Operasi pada Instalasi Penyediaan dan Pemanfaatan Tenaga Listrik Sebagai tindak lanjut dari Undang-undang Nomor 15 tahun 1985, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Nomor 3 Tahun 2005 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1989 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Tenaga Listrik. Dalam Pasal 21 Peraturan Pemerintah tersebut dinyatakan bahwa : Setiap usaha penyediaan tenaga listrik wajib memenuhi ketentuan keselamatan ketenagalistrikan. Ketentuan Keselamatan Ketenagalistrikan meliputi Standardisasi, pengamanan instalasi tenaga listrik dan pengamanan pemanfaat tenaga listrik. Setiap instalasi ketenagalistrikan sebelum dioperasikan wajib memiliki Sertifikat Laik Operasi. 16

17 Pemeriksaan dan pengujian instalasi penyediaan dan instalasi pemanfaatan tegangan tinggi dan tegangan menengah dilaksanakan oleh lembaga inspeksi teknik yang diakreditasi. Sebagai pelaksanaan ketentuan tersebut, Direktorat Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi dibantu oleh lembaga inspeksi teknik yang telah diakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN) dalam hal pemeriksaan dan pengujian instalasi ketenagalistrikan dalam rangka sertifikasi laik operasi. Sambil menunggu proses akreditasi oleh KAN, Direktur Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi menunjuk 12 (dua belas) lembaga inspeksi teknik yang terdaftar di Direktorat Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi sebagai pelaksana sertifikasi laik operasi, yaitu : 1. PT. Sucofindo (Persero) 2. PT. Depriwangga 3. PT. Indospec Asia 4. PT. PLN (Persero) Unit Bisnis Jasa Sertifikasi 5. PT. Koneba (Persero) 6. PT. Findo Daya Inspection 7. PT. Silma Instrumentama 8. PT. Citrabuana Indoloka 9. PT. Industira 10. PT. Sibbara Abadi Sejahtera 11. PT. Gamma Iridium Perkasa 12. PT. Wide & Pin Selanjutnya dalam melakukan sertifikasi, skema-skema berikut ini memberikan gambaran mengenai tata cara suatu proses sertifikasi laik operasi instalasi penyediaan tenaga listrik dan instalasi pemanfaatan tenaga listrik. 17

18 Gbr 3.1. Proses Sertifikasi Laik Operasi oleh Lembaga Inspeksi Teknik Terakreditasi Gbr Proses Sertifikasi Laik Operasi oleh Lembaga Inspeksi Teknik Belum Terakreditasi 18

19 Gbr Proses Sertifikasi Laik Operasi Instalasi Konsumen Tegangan Rendah Tabel 3.1. Instalasi Penyediaan Tenaga Listrik Yang Telah Memperoleh Sertifikat Laik Operasi NO. JENIS PEMBANGKIT JUMLAH SERTIFIKAT 1 PLTA 9 2 PLTG 24 3 PLTU 14 4 PLTGU 3 5 PLTD 28 6 PLTP 4 7 PLTM 3 8 PLTMH 3 TOTAL 88 19

20 Tabel 3.2. Instalasi Saluran Transmisi & Distribusi Tenaga Listrik Yang Telah Memperoleh Sertifikat Laik Operasi NO. PERUSAHAAN TEGANGAN PENGENAL JUMLAH SERTIFIKAT 1 PT Puncak Jaya Power 230 k (SUTT) 1 2 PT Krakatau Daya Listrik 150 k (SUTT) 1 3 PT Newmont Nusa Tenggara 33 k (TM) 1 4 PT Newmont Nusa Tenggara 11 k (TM) 1 TOTAL Sertifikasi Produk Peralatan dan Pemanfaat Tenaga Listrik Sertifikasi produk peralatan dan pemanfaat tenaga listrik, khususnya untuk produk-produk yang SNI-nya telah diberlakukan wajib, bertujuan untuk melindungi konsumen listrik secara umum dan untuk menghadapi persaingan perdagangan yang ketat di era globalisasi. Sebagai pelaksana sertifikasi produk, Direktorat Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi menugaskan lembaga sertifikasi produk (LSPro). Dalam pelaksanaan sertifikasi produk, LSPro melakukan audit sistem mutu pabrikasi, pengujian produk, dan surveilen produk setelah produk tersebut disertifikasi dan beredar di pasar. Pengujian produk dilakukan di laboratorium uji (Lab Uji) milik LSPro atau Lab Uji pihak ketiga. Peralatan tenaga listrik yang telah memenuhi seluruh ketentuan dalam SNI-nya dibubuhi tanda SNI, sedangkan pemanfaat tenaga listrik yang telah memenuhi seluruh ketentuan dalam SNInya dibubuhi tanda keselamatan. Baik LSPro maupun Lab Uji disyaratkan telah diakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN). Sambil menunggu proses akreditasi yang sedang berjalan, Direktur Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi menunjuk 2 (dua) LSPro sebagai pelaksana sertifikasi produk, yaitu: a. PT. PLN (Persero) Unit Bisnis Jasa Sertifikasi b. PT. Sucofindo (Persero) 20

21 Skema-skema berikut ini memberikan gambaran mengenai tata cara suatu proses sertifikasi produk. Gbr Proses Sertifikasi Produk Bidang Ketenagalistrikan oleh LSPro yang Terakreditasi Gbr Proses Sertifikasi Produk Bidang Ketenagalistrikan oleh LSPro belum Terakreditasi 21

22 Gbr Proses Sertifikasi Kesesuaian Produk Impor Bidang Ketenagalistrikan oleh LSProTerakreditasi Gbr Proses Sertifikasi Kesesuaian Produk Impor Bidang Ketenagalistrikan 22

23 oleh LSPro belum Terakreditasi Tabel 3.3. Produk Peralatan dan Pemanfaat Tenaga Listrik Yang Telah Memperoleh Sertifikat Produk NO JENIS PRODUK MEREK PRODUSEN 1 Pemutus sirkit untuk proteksi arus lebih (MCB) JUMLAH SERTIFIKAT Merlin Gerin PT Schneider Indonesia 5 PT Matsushita Gobel Electric Works 26 2 Sakelar National Merten PT Merten Intec Indonesia 2 Clipsal dan GP PT Bowden Industries Indonesia 25 Broco PT Broco Mutiara Electrical 17 3 Kotak kontak National PT Schneider Indonesia 4 Merten PT Merten Intec Indonesia 1 Clipsal dan GP PT Bowden Industries Indonesia 8 Broco PT Broco Mutiara Electrical 14 4 Tusuk kontak Ewindo PT Ewindo Electric 2 Standard PT Indocitra Widhitama Industries 2 Niyoku PT PT Hencotama Dinamika 2 Cablex Sentosa PT Cablex Sentosa 2 5 Kombinasi sakelar dan kotak kontak National PT Matsushita Gobel Electric Works 1 6 Kipas angin Cosmos PT Star Cosmos 8 Sanex PT Indo Surya Kencana 3 TOTAL INSPEKTUR KETENAGALISTRIKAN Inspektur Ketenagalistrikan adalah Pegawai Negeri Sipil yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak untuk melakukan pelaksanaan Inspeksi Ketenagalistrikan. Pelaksanaan Inspeksi Ketenagalistrikan adalah suatu kegiatan/usaha yang dilakukan oleh Inspektur Ketenagalistrikan dengan metoda baku untuk mendapatkan data dan informasi yang berhubungan dengan ilmu ketenagalistrikan, dimulai dari tahap perencanaan inspeksi, persiapan inspeksi, pelaksanaan inspeksi hingga evaluasi dan analisis hasil inspeksi. Sedangkan tugas pokok Inspektur Ketenagalistrikan sendiri adalah melakukan inspeksi, pengujian, penelaahan proses dan gejala berbagai aspek 23

24 ketenagalistrikan, mengembangkan metoda dan teknik inspeksi, melaporkan dan menyebarluaskan hasil inspeksi. Jabatan Inspektur Ketenagalistrikan adalah jabatan fungsional keahlian, dengan jenjang jabatan dari yang terendah sampai dengan tertinggi, yaitu : Inspektur Ketenagalistrikan Pertama, Inspektur Ketenagalistrikan Muda, dan Inspektur Ketenagalistrikan Madya. Kegiatan Inspektur Ketenagalistrikan Pertama, Muda adalah sebagai berikut : a. menyusun program inspeksi A3 rutin tahunan, lima tahunan dan insidensial serta mempresentasikan materi program inspeksi A3/pengelolaan. b. menyiapkan peralatan inspeksi setiap jenis alat ukur. c. melakukan pemeriksaan tanda keselamatan peralatan pemanfaatan listrik d. melaksanakan inspeksi : - Instalasi Pembangkit (PLTA/PLTU/PLTG/PLTGU); - Instalasi Transmisi, Jaringan Transmisi Menengah (JTM)/Jaringan Transmisi Rendah (JTR); - Gardu Induk; - Instalasi Listrik Pemanfaatan Tegangan Rendah; - Peralatan pemanfaatan listrik; - Pemantauan dampak lingkungan SUTET/SUTT/GI. e. mempresentasikan laporan hasil inspeksi instalasi pembangkit dan inspeksi tanda keselamatan peralatan pemanfaat listrik. Kegiatan Inspektur Ketenagalistrikan Madya adalah sebagai berikut : a. mengawasi pelaksanaan performance test instalasi PLTU/PLTG/PLTGU/PLTP dalam bidang teknis dan operasi instalasi. b. menganalisis dan mengevaluasi hasil pelaksanaan pengujian individual instalasi SUTT/SUTET. 24

25 c. menganalisis dan mengevaluasi kasus A3 pada pembangkit dan SUTET/SUTT/JTR/JTM/Gardu setiap kasus. d. mempresentasikan laporan hasil inspeksi fisik PLTA/PLTU/PLTGU/PLTD/PLTP/PLTG/SUTET/SUTT/JTR/JTM/GI. e. mempresentasikan laporan hasil pengujian instalasi PLTA/PLTU/PLTGU/PLTD/PLTP/PLTG. f. mempresentasikan hasil performance test instalasi PLTA/PLTU/PLTGU/PLTD/PLTP/PLTG/SUTET/SUTT/JTR/JTM/GI. g. mempresentasikan hasil evaluasi dokumen RKL/RPL/PLTA/PLTU/PLTGU/PLTP/PLTD/PLTG/SUTET/SUTT/JTR/JT M/GI dan penanganan kasus A3 untuk setiap kasus. h. melakukan penyuluhan untuk A3. Skema-skema berikut ini memberikan gambaran mengenai pelaksanaan inspeksi ketenagalistrikan : LEMBAGA AKREDITASI AKREDITASI LEMBAGA SERTIFIKASI TENAGA TEKNIK LEMBAGA SERTIFIKASI BADAN USAHA JASA PENUNJANG NON KONSTRUKSI LEMBAGA SERTIFIKASI LAB UJI / KALIBRASI LEMBAGA SERTIFIKASI PRODUK LEMBAGA SERTIFIKASI KELAIKAN TEG. RENDAH (KONSUIL) LEMBAGA SERTIFIKASI KELAIKAN INSTALASI SERTIFIKAT KOMPETENSI TENAGA TEKNIK SERTIFIKAT BAHAN USAHA BADAN USAHA PENUNJANG TL SERTIFIKAT LAB UJI / KALIBRASI LAB UJI / KALIBRASI SERTIFIKAT TANDA SNI & KESELAMATAN PERALATAN & PEMANFAAT LISTRIK SERTIFIKAT KELAIKAN INSTALASI TR INSTALASI PEMANFAAT SERTIFIKAT KELAIKAN INSTALASI PEMBANGKIT, TRANS, DISTR. INSPEKTUR KETENAGALISTRIKAN Gbr.3.4. Pelaksanaan Inspeksi Ketenagalistrikan 25

26 Bidang Pekerjaan KONSTRUKSI - Uji Individu PENGUJIAN - Uji Bag. Sistem KOMISIONING - Uji Sistem - Uji Komisioning PENGOPERASIAN PEMELIHARAAN Pelaksana Pekerjaan -Kontraktor Kontraktor -Lembaga Inspeksi - Pemilik Komisioning - Jasa Pengoperasian - Pemilik - Jasa Pemeliharaan PENGAWASAN OLEH INSPEKTUR KETENAGALISTRIKAN Gbr Pelaksanaan Inspeksi Ketenagalistrikan Instalasi Penyediaan BIDANG PEKERJAAN PEMBANGUNAN DAN PEMASANGAN PENGUJIAN INSTALASI PENGOPERASIAN DAN PEMELIHARAAN PELAKSANA PEKERJAAN KONTRAKTOR -LEMBAGA INSPEKSI *) -KONSUIL **) - PEMILIK - JASA OPERASI - JASA PEME- LIHARAAN Keterangan : *) TT dan TM **) TR PENGAWASAN OLEH INSPEKTUR KETENAGALISTRIKAN Gbr Pelaksanaan Inspeksi Ketenagalistrikan Instalasi Pemanfaatan 26

27 LINDUNGAN LINGKUNGAN TENAGA LISTRI 27

28 4.1. Umum Dalam rangka melaksanakan pembangunan Ketenagalistrikan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, pembangunan ketenagalistrikan mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu UU No. 23 Tahun 1997 tentang pengelolaan Lingkungan Hidup. Bagi rencana kegiatan yang mempunyai dampak penting, maka berdasarkan PP No. 27 Tahun 1999, untuk kegiatan yang mempunyai dampak penting wajib menyusun dokumen Analisis mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Sedangkan yang tidak mempunyai dampak penting wajib menyusun Upaya Pengelolaan Lingkungan dan atau Upaya Pemantauan Lingkungan (UKL/UPL). Untuk penentuan kriteria wajib AMDAL dan UKL/UPL mengacu pada peraturan yang berlaku. Dalam melakukan kegiatan-kegiatan tersebut harus didasarkan pada peraturan-peraturan pelaksanaan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Peraturan-peraturan pelaksanaan di bidang Lindungan Lingkungan Tenaga Listrik meliputi : a. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. b. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). c. Peraturan Pemerintah Nomor 85 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun. d. Peraturan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 01P/47/MPE/1992 Tentang Ruang Bebas Saluran Udara Tegangan Tinggi (SUTT) dan Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET) untuk Penyaluran Tenaga Listrik. e. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 13 Tahun 1995 Tentang Baku Mutu Emisi Sumber Tidak Bergerak. f. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 48 Tahun 1996 Tentang Baku Tingkat Kebisingan. 28

29 g. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 17 tahun 2001 tentang Jenis Rencana Usaha Dan/Atau Kegiatan Yang Wajib Dilengkapi Dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. h. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 86 tahun 2002 tentang Pedoman Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan. i. Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1457 Tahun 2000 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Lingkungan Bidang Pertambangan dan Energi. j. Standar Nasional Indonesia Nomor Tentang Ruang Bebas dan Jarak Bebas Minimum pada Saluran Udara Tegangan Tinggi (SUTT) dan Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET). k. Standar Nasional Indonesia Nomor Tentang Saluran Udara Tegangan Tinggi (SUTT) dan Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET) Nilai Ambang Batas Medan Listrik dan Medan Magnet. Perubahan konsep peraturan hukum sektoral kedalam konsep hukum pengeloalaan yang bersifat ekologis dan bersifat komprehensif dengan menekankan perhatian pada daya dukung lingkungan (subtainable development) membawa perkembangan baru dalam sistem hukum lingkungan Indonesia. Konsep hukum dalam arti ini memerlukan daya prediksi secara ilmiah (scientific prediction)., sehingga disatu pihak mampu memberikan prakiraan dan peringatan dini atas kemungkinan timbulnya risiko, atau bahaya dan dipihak lain dapat berperan sebagai sarana pembangunan untuk mencegah, mengurangi dan mengendalikan dampak lingkungan yang bersifat negatif. Konsep hukum baru ini didasarkan pada keampuhan alat prediksi yang lazim disebut sebagai analisis mengenai dampak lingkungan (an environmental impact assessment) atau AMDAL. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan adalah hasil studi mengenai dampak suatu kegiatan yang direncanakan terhadap lingkungan hidup diperlukan bagi proses pengambilan keputusan. 29

30 Ketersediaan tenaga listrik yang andal, aman, akrab lingkungan dan efisien serta harga terjangkau merupakan faktor yang cukup penting dalam menunjang kehidupan masyarakat sehari-hari termasuk untuk menghasilkan barang dan jasa. Dewasa ini ketersediaan tenaga listrik nasional mengalami masalah karena keterbatasan supply dibanding kebutuhan yang semakin meningkat. Pembangunan Ketenagalistrikan diserasikan dengan Kebijaksanaan Lingkungan Hidup, konsep Pengembangan Wilayah dan Kebijaksanaan Nasional lainnya. Untuk mencapai sasaran Pembangunan Ketenagalistrikan yang berwawasan Lingkungan, maka perlu dipersiapkan antara lain : sumber daya manusia yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, sumber daya alam dan perangkat perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan maupun pengawasan lingkungan. Kegiatan-kegiatan di bidang tenaga listrik yang umumnya tidak lepas dapat menimbulkan berbagai masalah atau dampak terhadap lingkungan untuk ini diperlukan adanya aturan-aturan/kebijaksanaan kegiatan tersebut, sehingga pembangunan dan masalah lingkungan dapat berjalan secara serasi dan harmonis. Kegiatan yang wajib AMDAL di Sektor Ketenagalistrikan adalah : Transmisi dengan besaran 150 k, PLTD/PLTG/PLTU/PLTGU dengan besaran 100 MW, PLTA semua jenis dan ukuran kecuali PLTM dan jenis aliran langsung, PLTP dengan besaran 55 MW, Pembangkit Listrik Jenis Lain dengan besaran 5 MW Proyek Ketenagalistrikan Yang Wajib Dilengkapi Dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup Tabel 4.1. Proyek Ketenagalistrikan Yang Wajib Dilengkapi AMDAL No Jenis Kegiatan 1. Pembangunan Jaringan Skala/ Besaran Alasan Ilmiah Khusus 150 k Keresahan masyarakat karena gangguan kesehatan akibat transmisi; Aspek sosial, ekonomi dan budaya 30

31 Lanjutan Tabel Skala/ No Jenis Kegiatan Besaran Alasan Ilmiah Khusus terutama pada pembebasan lahan dan keresahan masyarakat. 2. Pembangunan PLTD/PLTG/PLTU/PLT GU 100 MW Berpotensi menimbulkan dampak pada : Aspek fisik kimia, terutama pada kualitas udara (emisi, ambien dan kebisingan) dan kualitas air (ceceran minyak pelumas, limbah bahang, dll) serta air tanah; Aspek sosial, ekonomi dan budaya, terutama pada saat pembebasan lahan dan pemindahan penduduk. 3. Pembangunan PLTA dengan : - Tinggi bendung - Atau luas genangan - Atau aliran langsung (kapasitas daya) 150 m 200 ha 50 MW Berpotensi menimbulkan dampak pada : - Aspek fisik-kimia, terutama pada kualitas udara (bau dan kebisingan) dan kualitas air; - Aspek flora fauna; - Aspek sosial, ekonomi dan budaya, terutama pada pembebasan lahan. Termasuk dalam kategori large dam (bendungan besar); Kegagalan bendungan (dam break), akan mengakibatkan gelombang banjir (flood surge) yang sangat potensial untuk merusak lingkungan di bagian hilirnya; 31

32 Lanjutan Tabel No Jenis Kegiatan 4. Pembangunan Pusat Listrik dari Jenis Lain (Surya, Angin, Biomassa dan Gambut) Skala/ Besaran 10 MW Alasan Ilmiah Khusus Pada skala ini dibutuhkan spesifikasi khusus baik bagi material dan desain konstruksinya; Pada skala ini diperlukan quarry/burrow area yang besar, sehingga berpotensi menimbulkan dampak; Dampak pada hidrologi. Membutuhkan areal yang sangat luas; Dampak visual (pandang); Dampak kebisingan; Khusus penggunaan gambut berpotensi menimbulkan gangguan terhadap ekosistem gambut. Setiap pembangunan ketenagalistrikan pada pembangkit baik thermal maupun hidro, akan menimbulkan dampak baik positif ataupun negatif terhadap lingkungan. Besaran dampak tersebut bisa bersifat penting dan tidak penting, tergantung dari jenis dan besar pembangkit tersebut. Begitu pula terhadap komponen lingkungan yang akan terkena dampak, juga tidak akan sama dampaknya walaupun jenis kegiatannya sama. Hal ini sangat terpengaruh pada lokasi kegiatan, pola kehidupan masyarakat dan teknologi pengendalian dampak yang digunakan. Pemantauan yang dilakukan secara rutin, seperti yang disepakati dalam dokumen, dimaksudkan untuk melihat sejauh mana efektifitas pelaksanaan pengelolaan lingkungan. Hasil pemantauan akan dapat digunakan sebagai acuan tindakan penanggulangan (corrective action) secara akurat dan tepat. 32

33 1. Dampak SUTET/SUTT Untuk pembangunan SUTET/SUTT dampak proyek terhadap lingkungan yang muncul adalah timbulnya keresahan masyarakat terutama yang tinggal di bawah jalur SUTET/SUTT. Yang menyebabkan keresahan masyarakat adalah timbulnya medan magnet, medan listrik dan corona serta adanya pembatasan pendirian bangunan secara vertikal di bawah jalur SUTET/SUTT. Besarnya kuat mean magnet dan medan listrik yang dipersyaratkan WHO adalah: kuat medan magnet sebesar 0,1 mt, kuat medan listrik sebesar 5 k/m. Adapun upaya penanggulangan dampak yang terjadi antara lain memberi sosialisasi pada masyarakat tentang manfaat SUTET/SUTT, melakukan pengukuran dan pemantauan terhadap medan magnet dan medan listrik secara kontinyu, memantau kondisi tapak tower terutama pada lahan yang erosinya tinggi dan menetapkan batasan ruang kosong (ROW) di bawah jalur SUTET/SUTT. Tabel 4.2. Jarak Bebas Minimum Penghatar SUTET Dengan Tanah & Benda Lain No Lokasi SUTET 66 K (m) SUTT 150 K (m) Sirkit Ganda (m) SUTET 500 K Sirkit Tunggal (m) 1. Lapangan terbuka atau daerah terbuka Bangunan tidak tahan api Bangunan tahan api Lalu lintas jalan/jalan raya Pohon-pohon umumnya, perkebunan Lapangan olah raga pada hutan

34 Lanjutan Tabel No Lokasi SUTET 66 K (m) SUTT 150 K (m) Sirkit Ganda (m) SUTET 500 K Sirkit Tunggal (m) SUTT lainnya, penghantar udara tegangan rendah, jaringan telekomunikasi, antena radio, antena televisi dan kereta gantung. Rel kereta biasa Jembatan besi, rangka besi penahan penghantar, kereta listrik terdekat dan sebagainya Titik tertinggi tiang kapal pada kedudukan air pasang/tertinggi pada lalulintas air 2. Dampak PLTU Jenis dampak yang terjadi pada PLTU biasanya tergantung pada sumber bahan bakar yang dipakai, yaitu bahan bakar minyak (HSD, residu atau MFO) dan bahan bakar batu bara. Pada umumnya PLTU dari bahan bakar minyak dampak yang terjadi berupa ceceran minyak dan oli bekas yang akan mempengaruhi kualitas air serta penurunan kualitas udara akibat adanya gas buang. Untuk PLTU dengan bahan bakar batubara dampak yang terjadi berupa penurunan kualitas udara akibat adanya gas buang (emisi), misalnya meningkatnya kandungan SO x, NO x dan debu (partikulat) juga abu dari batu bara (fly ash dan bottom ash) yang dikategorikan sebagai limbah B3. Dampak lain yang mungkin timbul adalah penurunan kualitas air berupa kenaikan suhu pada badan air. Untuk mengurangi limbah gas SO 2 di udara, batu bara yang harus digunakan dianjurkan yang memiliki kadar sulphur rendah (kurang dari 1 %) atau dengan memasang Flue Gas Desulfurization (FGD) yang berfungsi menangkap gas SO 2. Sedangkan untuk mengurangi debu (partikulat) di 34

35 udara, adalah menggunakan alat Electrostatic Precipitator (EP) dengan efisiensi kurang lebih 95 % dan untuk mengurangi limbah NO 2 menggunakan Low NO 2 Burner untuk mengurangi gas NO 2 di udara. 3. Dampak PLTD Untuk PLTD dampak yang terjadi dapat dikatakan tidak begitu penting dalam arti hanya limbah dari ceceran minyak/oli bekasyang akan masuk ke dalam badan perairan. Di samping itu pula akan mempengaruhi kualitas udara (SO x, NO x, CO dan Pb), dalam hal ini sangat tergantung berapa persen kadar sulfur yang ada pada bahan bakar tersebut. Selain itu akan terjadi kebisingan pada daerah kerja (mesin) pembangkit dan menurunnya kualitas udara jika terjadi pembakaran yang tidak sempurna. 4. Dampak PLTG dan PLTGU Dampak PLTG dan PLTGU biasanya tergantung pada sumber bahan bakar yang dipakai, yaitu bahan bakar minyak (HSD, residu atau MFO) dan bahan bakar gas. Pada umumnya PLTG dan PLTGU dari bahan bakar minyak dampak yang terjadi berupa ceceran minyak dan oli bekas serta penurunan kualitas udara disamping itu pula akan menimbulkan kebisingan. Untuk PLTG dan PLTGU dengan bahan bakar gas dampak yang terjadi berupa penurunan kualitas udara akibat meningkatnya temperatur udara pada radius tertentu untuk PLTG dan untuk PLTGU tidak berpengaruh. Disamping itu pula akan timbul gas buang SO 2, NO 2 dan CO serta kebisingan yang berasal dari peralatan PLTG dan PLTGU tersebut. 5. Dampak PLTP Jenis dampak yang terjadi pada PLTU biasanya adalah meningkatnya kandungan H 2 S pada kualitas udara yang dapat mengakibatkan terganggunya flora dan fauna di sekitar lokasi tersebut, karena biasanya PLTP dibangun dekat sumber panas bumi dan cenderung berada pada daerah sensitif (kawasan hutan lindung). Limbah cair (sisa kondensat) akan mengakibatkan pencemaran pada badan air karena mengandung logam berat misalnya boron. 35

36 6. Dampak PLTA Dampak PLTA secara umum dikategorikan menjadi dua, yaitu dampak proyek terhadap lingkungan dan dampak lingkungan terhadap proyek. Dampak proyek terhadap lingkungan seperti perubahan tata guna lahan, perubahan iklim mikro karena adanya genangan, terjadinya kecelakaan masyarakat hilir akibat pelepasan air dan tingginya tingkat erosi dan sedimentasi. Sedangkan dampak lingkungan terhadap proyek seperti adanya sampah yang masuk ke dalam waduk dari hulu sungai, adanya erosi dan sedimentasi yang diakibatkan aktifitas masyarakat di pinggir waduk (genangan) atau DAS, meningkatnya pertumbuhan gulma air pada waduk dan perubahan kualitas air karena aktifitas industri di hulu sungai. Selanjutnya skema-skema berikut ini memberikan gambaran mengenai prosedur keterlibatan masyarakat dalam proses AMDAL dan proses persetujuan AMDAL dan tanggapan UKL/UPL. Masyarakat Berkepentingan Saran, Pendapat, dan Tanggapan Konsultasi Saran, Pendapat, dan Tanggapan Saran, Pendapat dan Tanggapan Instansi Yang Bertanggung Jawab 1 Pengumuman Persiapan Penyusunan AMDAL 4 5 Penilaian KA-ANDAL oleh Komisi (maks. 75 hari) Penilaian ANDAL, RKL RPL oleh Komisi (maks. 75 hari) Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup oleh Bapelda/Gubernur Pemrakarsa Pengumuman Rencana Usaha dan Kegiatan Penyusunan KA- ANDAL Penyusunan ANDAL,RKL RPL Gbr Prosedur Keterlibatan Masyarakat Dalam Proses AMDAL 36

37 Masyarakat Berkepentingan/ Instansi Teknis (DESDM Cq.DJLPE) 2 Saran,Pendapat, dan Tanggapan Instansi Yang Bertanggung Jawab 1 Pengumuman Persiapan Penyusunan AMDAL 3 Pemrakarsa Wajib AMDAL Pengumuman Rencana Usaha dan Kegiatan Ya - PP No. 27 Tahun Kep.MENLH No. 3 Tahun KepMENLH No. 86 Tahun 2002 Konsultasi Saran,Pendapat, dan Tanggapan Saran, Pendapat dan Tanggapan Penilaian KA-ANDAL oleh Komisi (maks. 75 hari) Penilaian ANDAL, RKL RPL oleh Komisi (maks. 75 hari) Penyusunan KA- ANDAL Penyusunan ANDAL, RKL dan RPL 8 Rekomendasi Perbaikan (7 hari) iii Berdampak Besar dan Penting Pemrakarsa mengajukan kepada i UKL/UPL Tidak Instansi yang bertanggungjawab di bidang penglolaan lingkungan hidup Kab/Kota, Propinsi, dan KLH (melakukan pemeriksaan form isian UKL/ULP selama 7 hari sejak diterimanya form isian) Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup oleh Bapelda/Gubernur ii Belum sesuai Sesuai Gbr.4.2. Prosedur Persetujuan AMDAL dan Tanggapan UKL/UP 37

38 USAHA PENUNJANG KETENAGALISTRIKAN 38

39 5.1. Umum Kegiatan Usaha Penunjang Ketenagalistrikan meliputi: Pemanfaatan Jaringan Tenaga Listrik untuk kepentingan Telematika, Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN), Usaha Penunjang Tenaga Listrik (UPTL), dan Pekerjaan Dalam Keadaan Bertegangan (PDKB). Dalam melakukan kegiatan-kegiatan tersebut harus didasarkan oleh peraturanperaturan pelaksanaan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Peraturan-peraturan pelaksanaan di bidang Usaha Penunjang Ketenagalistrikan meliputi : a. Undang-Undang No. 15 tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan b. Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2005 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1989 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Tenaga Listrik c. Peraturan Pemerintah No.25 Tahun 1995 tentang Usaha Penunjang Tenaga Listrik d. Keputusan Presiden RI No. 80 Tahun 2003 tanggal 3 Nopember 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Instansi Pemerintah. e. Keputusan Presiden RI No. 63 Tahun 2004 tentang Pengamanan Obyek ital Nasional f. Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 815.K/30/MEM/2003 tentang Pemanfaatan Jaringan Tenaga listrik untuk Kepentingan Telekomunikasi, Multimedia dan Informatika g. Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi No. 698/03/MPE/P/1999 tanggal 2 Maret 1999 perihal Pengutamaan Penggunaan Produksi Dalam Negeri. h. Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 1610K/MEM/2004 tentang Pengamanan Obyek ital Nasional di Sektor Energi dan Sumber Daya Mineral. 39

40 i. Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 001 Tahun 2005 tentang Pelaksanaan Pekerjaan Dalam Keadaan Bertegangan. j. Keputusan Direktur Jeenderal Listrik dan Pemanfaatn Energi No /90/600.4/2002 tentang Inventarisasi Kemampuan Produsen Barang dan Jasa Dalam Negeri Bidang Ketenagalistrikan. k. Keputusan Direktur Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi No /90/600.4/2002 tentang Tata Cara Perhitungan Tingkat Komponen Dalam Negeri Bidang Ketenagalistrikan. l. Peraturan Direktur Jenderal LPE No /44/600.4/2005 tentang Penggunaan Barang dan Jasa Produksi Dalam Negeri Pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap Batubara Kapasitas Terpasang Sampai Dengan 8 MW Pemanfaatan Jaringan Tenaga Listrik Untuk Kepentingan Telematika Kata Telematika, berasal dari istilah dalam bahasa Perancis "TELEMATIQUE" yang merujuk pada bertemunya sistem jaringan komunikasi dengan teknologi informasi. Istilah Teknologi Informasi itu sendiri merujuk pada perkembangan teknologi perangkat-perangkat pengolah informasi. Para praktisi menyatakan bahwa Telematics adalah singkatan dari "Telecommunication and Informatics" sebagai wujud dari perpaduan konsep Computing and Communication. Istilah Telematics juga dikenal sebagai "the new hybrid technology" yang lahir karena perkembangan teknologi digital. Perkembangan ini memicu perkembangan teknologi telekomunikasi dan informatika menjadi semakin terpadu atau populer dengan istilah "konvergensi". Saluran komunikasi yang sering digunakan dalam sistem informasi yang kita kenal selama ini adalah melalui kabel telepon dan gelombang frekuensi. Kemudian seiring dengan perkembangan teknologi, jaringan listrik dapat juga digunakan sebagai media untuk komunikasi. Media ini merupakan saluran yang telah menjangkau sampai pedesaan Indonesia, namun karena kegunaan utamanya sebagai penyalur energi listrik sehingga media ini belum dimanfaatkan disamping itu juga tidak ingin berurusan dengan daya sengatnya yang mematikan. 40

41 Bagi negara yang infrastruktur telekomunikasinya belum memadahi, infrastruktur jaringan yang ada bisa dimanfaatkan. Secara tradisional, peralatan listrik sebenarnya sudah menggunakan rangkaian berkecepatan rendah untuk mengendalikan gardu listrik, komunikasi suara, dan proteksi saluran transmisi tegangan tinggi. Transmisi data berkecepatan tinggi dikembangkan dengan menggunakan saluran distribusi yang bertegangan rendah. Untuk jarak pendek dapat digunakan sebagai saluran untuk interkom atau jaringan otomatisasi di dalam rumah. Misalnya sebagai sarana pengendali jarak jauh untuk lampu maupun peralatan listrik lainnya tanpa perlu lagi menambah kabel lain. Ini merupakan bentuk pengurangan pemakaian kabel karena kabel untuk mencatu komputer atau peralatan pengatur sekaligus digunakan sebagai saluran input dan output data. Umumnya peralatan seperti ini beroperasi dengan menginjeksikan gelombang pembawa yang berfrekuensi antara 20 Hz dan 20 khz yang dimodulasikan secara digital. Setiap penerima dalam sistem ini memiliki alamat tertentu yang secara individu dapat dikomando melalui sinyal yang ditransmisikan. Dengan mengembangkan teknik modulasinya, bisa digunakan untuk menyalurkan data berkecepatan tinggi. Aplikasinya di dalam rumah juga menjadi semakin menarik tanpa harus mengubah atau menambah jaringan baru dan jaringan listrik yang ada akan menjadi jalur rahasia yang tidak diduga kebanyakan orang. Selanjutnya skema berikut ini memberikan gambaran mengenai konsep proses pemanfaatan jaringan untuk kepentingan Telematika. 41

42 KONSEP PROSES PEMANFAATAN JARINGAN UNTUK KEPENTINGAN TELEMATIKA USAHA PENYEDIAAN TENAGA LISTRIK DITJEND a.n MENTERI ESDM DERIASI 1. Right of Way (RoW) * pemanfaatan penyangga dan ruang bebas sepanjang jaringan(sutet, SUTT, SUTM, SUTR) untuk jaringan FO Backbone dan jaringan akses dalam kota 2. Fiber Optic (FO) * optimalisasi Fiber Optic untuk kepentingan telematika, baik terhadap FO OPGW maupun ADSS pada penyangga, kabel laut dan kabel tanah 3. Konduktor *pemanfaatan penghantar listrik untuk kepentingan telematika seperti untuk PLC Ruang Lingkup Pengaturan Keputusan Dirjen LPE (Tata Cara Permohonan dan Pemberian IMJ): Tata Cara Perijinan BUMN PT PLN (persero) RESTRUKTURISASI PEMILIK JARINGAN OTHERS KESEPAKATAN Kesesuaian pada kententuan persyaratan di KEPMEN ESDM No. 815K/30/MEM/2003 ICON+ (pemegang hak eksklusif jaringan ) kerja sama perencanaan rancangan Telecommunication Company Checklist terhadap legalitas pengelolaan pemanfaatan jaringan: - hubungan B to B - Ijin pemilik asset *asset negara *asset corporate - lingkup pemanfaatan pemasangan Izin Pemanfaatan jaringan IZIN MENGGUNAKAN JARINGAN pengamanan & Pemeliharaan SANKSI Gbr Konsep Proses Pemanfaatan Jaringan Untuk Kepentingan Telematika 5.3. Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) Dalam rangka meningkatkan penggunaan produk dalam negeri perlu dilakukan upaya terpadu oleh industri penunjang di bidang energi terbarukan, konservasi energi serta tenaga listrik, dan pihak-pihak terkait untuk merumuskan kebijakan produk dalam negeri, agar produk dalam negeri menjadi produk pilihan karena kualitas dan harga yang kompetitif. Sebagai tindak lanjut dan dengan menyikapi isu-isu, tantangan dan peluang dalam perkembangan ekonomi indonesia yang terus meningkat, sebagai akibat dari pembangunan yang berkelanjutan dan diikuti dengan meningkatnya pemakaian peralatan terutama untuk energi dan listrik, maka perlu lebih ditingkatkan Penggunaan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) dengan memajukan industri penunjang dan sekaligus peningkatan pengembangan komponen-komponen dalam negeri dari industri peralatan dan pemanfaat. 42

43 Hal tersebut diatas dilakukan dengan cara penyusunan pola penerapan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) yang memfasilitasi bidang perencanaan, pembangunan, pemasangan dan operasi instalasi energi dan ketenagalistrikan pada industri penunjang dengan mengikuti standar dan norma yang telah ditentukan. Pola penerapan TKDN pada industri penunjang pada bidang energi terbarukan, konservasi energi dan tenaga listrik, sebagai dasar untuk mengkaji kebijakan serta kemungkinan pemberian insentif dalam rangka pengembangan industri penunjang pada bidang energi terbarukan, konservasi energi dan tenaga listrik. Selanjutnya skema berikut ini memberikan gambaran mengenai konsep proses pelaksanaan penilaian komponen dalam negeri. Gbr Proses Pelaksanaan Penerapan Komponen Dalam Neger 43

44 Komponen Dalam Negeri Barang/Jasa a. Jenis Komponen Dalam Negeri Barang/Jasa 1) Komponen dalam negeri untuk barang adalah penggunaan bahan baku, rancang bangun, dan rekayasa dalam negeri yang mengandung unsur manufactur, pabrikasi, perakitan, dan penyelesaian pekerjaan. 2) Komponen dalam negeri untuk jasa adalah jasa yang dilakukan di dalam negeri dengan menggunakan tenaga ahli dan perangkat lunak dari dalam negeri. 3) Komponen dalam negeri untuk gabungan barang dan jasa adalah penggabungan antara butir 1) dan butir 2). b. Tingkat Komponen Dalam Negeri Barang/Jasa 1) Tingkat komponen dalam negeri untuk barang adalah perbandingan antara harga barang jadi dikurangi harga komponen luar negeri terhadap harga barang jadi. 2) Tingkat komponen dalam negeri untuk jasa adalah perbandingan antara harga jasa yang diperlukan dikurangi harga komponen jasa luar negeri terhadap harga seluruh jasa yang diperlukan. 3) Tingkat komponen dalam negeri untuk gabungan barang dan jasa adalah penggabungan antara butir a dan b dalam satu paket kontrak. c. Pernyataan Penggunaan Komponen Dalam Negeri 1) Para penyedia barang/jasa yang mengikuti pengadaan barang/jasa menyatakan sendiri besarnya komponen dalam negeri barang/jasa yang ditawarkan (self assesment). 2) Para penyedia barang/jasa harus dapat membuktikan kebenaran pernyataan besarnya komponen dalam negeri barang/jasa dan melampirkan rincian dan nilai bahan 44

45 baku/bahan penolong, baik dari dalam negeri maupun impor, nilai barang jadi keseluruhan serta daftar nama pemasok. 3) Besarnya komponen dalam negeri barang/jasa yang ditawarkan oleh penyedia barang/jasa dapat diklarifikasikan oleh panitia pada saat evaluasi. Jika dilakukan klarifikasi, hasil klarifikasi tersebut dijadikan dasar untuk menghitung preferensi. 4) Formulir yang berkaitan dengan cara perhitungan tingkat komponen dalam negeri barang/jasa, sesuai ketentuan dari instansi yang berwenang dicantumkan dalam dokumen pengadaan. 5) Dalam setiap kontrak dilampirkan rincian barang/jasa dilengkapi dengan spesifikasi teknis dan besarnya komponen dalam negeri Pembinaan Penggunaan Produksi Dalam Negeri a. Pembinaan teknis penggunaan produksi dalam negeri dilaksanakan oleh: 1) Departemen yang membidangi perindustrian dan perdagangan untuk barang-barang hasil industri, rancang bangun dan perekayasaan pabrik, dan jasa-jasa yang berkenaan dengan bidang industri dan perdagangan. 2) Menteri yang membidangi konstruksi untuk pekerjaan bidang konstruksi. 3) Departemen/lembaga/instansi teknis lain di luar butir 1 dan butir 2 untuk bidang-bidang/tugas di bawah pembinaannya. b. Pembinaan sebagaimana dimaksud pada huruf a meliputi : Menggali dan menghimpun masukan sebanyak mungkin mengenai komponen dalam negeri barang/jasa, melakukan pengkajian secara mendalam dan bekerja sama dengan instansi terkait lainnya untuk menyusun daftar inventarisasi komponen dalam negeri 45

46 barang/jasa berdasarkan kriteria tertentu, menyusun dan menyiapkan sistem informasi yang handal yang dapat dimanfaatkan berbagai pihak yang berkepentingan dalam penggunaan produksi dalam negeri, menyebarluaskan informasi produksi dalam negeri secara periodik, memberikan bimbingan teknis kepada pelaksana pengadaan barang/jasa di instansi pemerintah, melakukan kegiatan promosi produksi dalam negeri, mendorong penyedia barang/jasa nasional untuk meningkatkan kemampuannya sehingga mendapat pengakuan oleh lembagalembaga internasional Pengawasan Penggunaan Produksi Dalam Negeri a. Pelaksanaan Pengawasan Aparat pengawasan fungsional pemerintah melakukan pemeriksaan terhadap pemenuhan penggunaan produksi dalam negeri dalam pengadaan barang/jasa untuk keperluan instansinya masing-masing, dan segera melakukan langkah serta tindakan yang bersifat kuratif/perbaikan bilamana terjadi ketidaksesuaian dalam penggunaan produksi dalam negeri, termasuk audit teknis (technical audit) berdasarkan dokumen pengadaan dan kontrak pengadaan barang/jasa yang bersangkutan Sanksi Bila hasil pemeriksaan sebagaimana tersebut di atas menyatakan adanya ketidaksesuaian dalam penggunaan barang/jasa produksi dalam negeri, maka dikenakan sanksi finansial dan atau administrasi berdasarkan ketentuan dalam kontrak Usaha Penunjang Tenaga Listrik (UPTL) Penyelenggaraan usaha ketenagalistrikan bertujuan untuk menjamin tersedianya tenaga listrik dalam jumlah cukup, kualitas yang baik, dan harga yang wajar untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran 46

47 rakyat secara adil dan merata serta mendorong peningkatan kegiatan ekonomi yang berkelanjutan. Untuk mencapai tujuan tersebut, usaha Ketenagalistrikan mendorong Badan Usaha di dalam negeri menjadi efisien dan mandiri agar mampu berperan dan bersaing di dalam dan di luar negeri. Salah satu usaha Ketenagalistrikan dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan adalah Usaha Penunjang Tenaga Listrik yang terdiri dari : a. Konsultasi yang berhubungan dengan ketenagalistrikan; b. Pembangunan dan pemasangan peralatan ketenagalistrikan; c. Pemeliharaan peralatan ketenagalistrikan; d. Pengembangan teknologi peralatan yang menunjang penyediaan tenaga listrik. Faktor utama dalam pengembangan usaha penunjang tenaga listrik adalah peningkatan kemampuan usaha, peningkatan mutu pekerjaan, dan peningkatan peran serta masyarakat. Peningkatan kemampuan usaha didukung oleh peningkatan profesionalisme dan peningkatan efisiensi usaha. Peningkatan mutu pekerjaan diperlukan agar dapat memenuhi keselamatan ketenagalistrikan, maka setiap pekerjaan instalasi tenaga listrik yang dilakukan oleh badan usaha baik pada saat pra proyek, pelaksanaan proyek maupun pasca proyek harus memenuhi keamanan instalasi tenaga listrik itu sendiri maupun memberikan perlindungan bagi masyarakat untuk mendapatkan rasa aman, rasa nyaman, dan kesehatan serta kelestarian lingkungan hidup sesuai dengan standar yang berlaku. Peningkatan peran serta masyarakat melalui akreditasi yang dilakukan oleh Lembaga Sertitikasi. Kedua Lembaga tersebut merupakan Lembaga Independen dan mandiri. 47

48 Akreditasi merupakan suatu proses penilaian yang dilakukan oleh Lembaga Akreditasi terhadap Lembaga Sertifikasi untuk dapat melakukan sertifikasi badan usaha, tenaga teknik, produk dan jasa. Pada bidang Jasa Konstruksi Ketenagalistrikan, mekanisme pelaksanaan akreditasi dan sertifikasi usaha penunjang tenaga listrik telah berjalan dengan baik. LPJK sebagai Lembaga Akreditasi di bidang jasa Konstruksi telah melakukan akreditasi terhadap Lembaga Sertifikasi yaitu Asosiasi Perusahaan dan Asosiasi Profesi. Lembaga Sertifikasi tersebut, telah menerbitkan sertifikat badan usaha dan tenaga teknik. Pada bidang pengujian, mekanisme pelaksanaan akreditasi dan sertifikasi usaha penunjang tenaga listrik telah berjalan, tetapi belum sebaik pada bidang jasa Konstruksi. Telah ada Lembaga Akreditasi di bidang pengujian yaitu Komite Akreditasi Nasional (KAN). Namun mengingat Lembaga Sertifikasi di bidang pengujian yang diakreditasi oleh KAN masih belum memadai untuk melaksanakan pengujian instalasi dan peralatan tenaga listrik, maka Direktorat Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi (DJLPE) menerbitkan surat penugasan kepada suatu Badan Usaha untuk melaksanakan sertifikasi instalasi dan peralatan tenaga listrik. Penugasan ini bersifat sementara sehingga Badan Usaha yang ditugaskan harus tetap mempersiakan diri menjadi Lembaga Sertifikasi Pekerjaan Dalam Keadaan Bertegangan (PDKB) Dalam upaya peningkatan pelayanan kepada masyarakat yakni mengurangi frekuensi pemadaman listrik, maka dalam pekerjaan pemeliharaan & perluasan jaringan baik untuk jaringan tegangan rendah, tegangan menengah, tegangan tinggi dan extra tinggi dapat dilaksanakan dalam keadaan bertegangan. Pekerjaan jaringan dalam keadaan bertegangan ini selanjutnya disebut PDKB 48

49 adalah pekerjaan pemeliharaan dan perluasan jaringan tenaga listrik dalam keadaan bertegangan. Ruang lingkup dari pekerjaan dalam keadaan bertegangan meliputi : 1. Ruang lingkup pekerjaan dalam keadaan bertegangan meliputi pekerjaan pemeliharaan dan perluasan jaringan tenaga listrik tegangan rendah, tegangan menengah, tegangan tinggi dan tegangan extra tinggi 2. Pelaksanaan pekerjaan jaringan dalam keadaan bertegangan sebagaimana dimaksud harus : - dilakukan oleh tenaga teknik yang kompeten serta sehat secara fisik dan mental - didukung oleh peralatan dan perlengkapan kerja yang memadai - dilakukan sesuai dengan prosedur operasi standar dan metoda kerja. Kemudian dalam hal tenaga teknik dalam pekerjaan bertegangan diperlukan persyaratan sebagai berikut : - tenaga teknik yang melaksanakan PDKB harus memiliki sertifikat kompetensi di bidang PDKB - sertifikat kompetensi sebagaimana yang dimaksud diatas diterbitkan oleh Lembaga Sertifikasi Personil yang terakreditasi - tenaga teknik harus diperiksa kesehatan fisik dan mental sekurangkurangnya satu tahun sekali. - sebelum melaksanakan PDKB, tenaga teknik harus diyakini kembali kesehatannya baik fisik maupun mental serta Siap untuk melaksanakan pekerjaan. Pekerjaan dalam keadaan bertegangan, peralatan dan perlengkapannya harus memiliki syarat tertentu yakni : - semua peralatan dan perlengkapan PDKB harus dalam keadaan baik dan memenuhi persyaratan Standard yang berlaku - penyimpanan dan penanganan peralatan dan perlengkapan PDKB harus memenuhi persyaratan standar yang berlaku. 49

50 - setiap peralatan dan perlengkapan PDKB harus laik digunakan serta dibuktikan dengan sertifikat. - sebelum melaksanakan PDKB, peralatan dan perlengkapan PDKB harus diyakini kembali bahwa peralatan dan perlengkapan PDKB siap untuk digunakan. 50

51 TENAGA TEKNIK KETENAGALISTRIKAN 51

52 6.1. Umum Era globalisasi akan membawa dampak ganda, disatu sisi akan membuka kesempatan kerjasama yang seluas-luasnya antar Negara dan disisi lain akan membawa persaingan yang semakin ketat dan tajam, dimana nantinya akan terjadi arus barang, jasa dan tenaga ahli yang melintas batas negara tanpa hambatan dalam rangka memenangkan persaingan di pasar terbuka. Dalam menghadapi tantangan tersebut, peningkatan daya saing dan keunggulan kompetitif di semua sektor industri dan sektor jasa menjadi prioritas yang harus dilakukan, dengan mengandalkan Sumber Daya Manusia (SDM) dalam menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, manajemen, sikap mental dan etos kerja yang tinggi. Pengembangan sumber daya manusia di sektor Ketenagalistrikan berbasis Kompetensi merupakan suatu kewajiban yang harus dilaksanakan, karena hal tersebut sudah tercantum dalam Peraturan Pemerintah No.3 Tahun 2005 Pasal 21 ayat (9) yang menyatakan bahwa setiap tenaga teknik yang bekerja dalam usaha ketenagalistrikan wajib memiliki sertifikat kompetensi, dan hal ini sudah sejalan juga dengan pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Sertifikat kompetensi tersebut sangat penting, karena tenaga listrik mempunyai potensi bahaya bagi keselamatan manusia sehingga pembangunan dan pengoperasian instalasi tenaga listrik harus dilakukan oleh tenaga teknik yang memenuhi standar kompetensi yang dipersyaratkan. Pengembangan sumber daya manusia melalui pelaksanaan sertifikasi kompetensi tenaga teknik tersebut adalah untuk meningkatkan daya saing tenaga teknik kita di tingkat internasional. 52

53 Tujuan dari sertifikasi tenaga teknik tersebut adalah : pertama : untuk menunjang usaha ketenagalistrikan dalam mewujudkan penyediaan tenaga listrik yang andal, aman, dan akrab lingkungan serta efisien; kedua : mewujudkan tertib penyelenggaraan pekerjaan pada usaha di bidang ketenagalistrikan; ketiga : mewujudkan peningkatan kompetensi tenaga teknik di bidang ketenagalistrikan. Sampai dengan saat ini tenaga teknik di bidang ketenagalistrikan yang telah memiliki sertifikat kompetensi di Bidang Pembangjitan Tenaga Listrik sub Bidang Operasi dan Pemeliharaan sudah mencapai orang; di Bidang Distribusi Tenaga Listrik sub Bidang Operasi dan Pemeliharaan orang; di Bidang Transmisi Tenaga Listrik sub Bidang Operasi dan Pemeliharaan 398 orang. Peraturan-peraturan pelaksanaan di bidang Tenaga Teknik Ketenagalistrikan meliputi : a. Undang-undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan b. Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1989 Tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Tenaga Listrik c. Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 2052.K/40/MEM/2001 tentang Standardisasi Kompetensi Tenaga Teknik Ketenagalistrikan d. Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1273.K/30/MEM/2002 tentang Komisi Akreditasi Kompetensi Ketenagalistrikan e. Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1149.K/34/MEM/2004 tentang Keanggotaan Komisi Akreditasi Kompetensi Ketenagalistrikan 53

54 f. Keputusan Direktur Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi Nomor 1898/40/600.4/2001 tentang Persyaratan dan Tata Cara Akreditasi Lembaga Sertifikasi Kompetensi Tenaga Teknik Ketenagalistrikan g. Keputusan Direktur Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi Nomor 1899/40/600.4/2001 tentang Persyaratan dan Tata Cara Sertifikasi Tenaga Teknik Ketenagalistrikan Peraturan-peraturan ini menjadi dasar dalam melakukan kegiatan-kegiatan di bidang standardisasi kompetensi ketenagalistrikan Standar Kompetensi Berdasar pada berbagai referensi yang berkaitan dengan standar kompetensi, dinyatakan bahwa standar kompetensi adalah peryataan tentang ketrampilan dan pengetahuan serta sikap yang harus dimiliki oleh seseorang untuk mengerjakan suatu pekerjaan atau tugas sesuai dengan unjuk kerja yang dipersyaratkan. Dengan dikuasainya kompetensi tersebut oleh seseorang, maka yang bersangkutan akan mampu : bagaimana mengerjakan suatu tugas atau pekerjaan bagaimana mengorganisasikannya agar pekerjaan tersebut dapat dilaksanakan; apa yang harus dilakukan bilamana terjadi sesuatu yang berbeda dengan rencana semula; bagaimana menggunakan kemampuan yang dimilikinya untuk memecahkan masalah atau melaksanakan tugas dengan kondisi yang berbeda Struktur Standar Kompetensi Berdasar pada berbagai referensi dan pertimbangan keterbacaan kemudahan dalam penggunaannya, disepakati struktur standar kompetensi sebagai berikut : 54

55 STANDAR KOMPETENSI Sejumlah unit kompetensi yang diperlukan untuk melaksanakan melakukan pekerjaan tertentu UNIT KOMPETENSI Merupakan uraian fungsi dan tugas atau pekerjaan yang mendukung tercapainya standar kompetensi SUB KOMPETENSI Merupakan sejumlah fungsi tugas atau pekerjaan yang mendukung ketercapaian unit kompetensi dan merupakan aktivitasyang dapat diamati KRITERIA UNJUK KERJA Merupakan pernyataan sejauh mana sub kompetensi yang dipersyaratkan tersebut terukur berdasarkan pada tingkat yang diinginkan PERSYARATAN UNJUK KERJA Pernyataan-pernyataan kondisi atau konteks dimana kriteria unjuk kerja tersebut diaplikasikan ACUAN PENILAIAN Pernyataan-pernyataan kondisi atau konteks sebagai acuan dalam melaksanakan penilaian Gbr Deskripsi Standar Kompetensi 55

56 Format Unit Kompetensi Kode Unit Terdiri dari berapa huruf dan angka yang disepakati oleh para pengembang dan industri terkait Judul Unit Merupakan fugsi tugas/pekerjaan suatu unit kompetensi yang mendukung sebagian atau keseluruhan standar kompetensi. Judul unit biasanya menggunakan kalimat aktif yang diawali dengan kata kerja aktif. Uraian Unit Penjelasan singkat tentang unit tersebut berkaitan dengan pekerjaan yang akan dilakukan Sub Kompetensi Kriteria Unjuk Kerja Merupakan elemen-elemen yang Pernyataan-pernyataan tentang hasil dibutuhkan untuk tercapainya unit atau output yang diharapkan untuk kompetensi tersebut diatas (untuk setiap elemen/sub Kompetensi yang setiap unit biasanya terdiri dari 2 dinyatakan dalam kalimat pasif dan hingga 6 Sub Kompetensi) terukur Persyaratan Unjuk Kerja Menjelaskan kontek unit kompetensi dengan kondisi pekerjaan unit yang akan dilakukan, prosedur atau kebijakan yang harus dipatuhi pada saat melakukan pekerjaan tersebut serta informasi tentang peralatan dan fasilitas yang diperlukan Acuan Penilaian Menjelaskan prosedur penilaian yang harus dilakukan Persyaratan awal yang mungkin diperlukan sebelum menguasai unit yang dimaksud tersebut Informasi tentang pengetahuan yang diperlukan terkait dan mendukung tercapainya kompetensi dimaksud Aspek-aspek kritis yang sangat berpengaruh atas tercapainya kompetensi yang dimaksud Pernyataan tentang jenjang/level kompetensi unit yang dimaksud 56

57 Kompetensi Kunci Yang dimaksud dengan kompetensi kunci adalah kemampuan kunci atau generik yang dibutuhkan untuk menyelesaikan suatu tugas atau pekerjaan. Kompetensi-kompetensi kunci tersebut diformulasikan ke dalam unit-unit kompetensi, dimana jumlah dan komposisi kompetensi kunci yang dibutuhkan tergantung dari tingkat kesulitan unit kompetensi dimaksud. Berdasarkan pada rangkuman dari referensi yang ada, dirumuskan terdapat 7 (tujuh) kompetensi kunci sebagai berikut : 1. Mengumpulkan, menganalisa dan mengorganisasikan informasi 2. Mengkomunikasikan ide dan informasi 3. Merencanakan dan mengatur kegiatan 4. Bekerjasama dengan orang lain dan kelompok 5. Menggunakan ide dan teknik matematika 6. Memecahkan persoalan/masalah 7. Menggunakan teknologi Jenjang/Level Unit Kompetensi Level Kompetensi adalah pengelompokan unit-unit kompetensi berdasarkan pada tingkat kesukaran atau kompleksitas serta tingkat persyaratan yang harus dipenuhinya. Diskripsi level unit kompetensi sebagai berikut : Level 1 Pada level ini seseorang dituntut mampu melaksanakan tugas/pekerjaan yang bersifat rutin berdasar pada pemahaman prosedur/instruksi kerja dibawah pengawasan atasan langsung. Level 2 Pada level ini seseorang dituntut mampu melaksanakan tugas/pekerjaan yang bersifat rutin berdasar pada penerapan 57

58 prosedur/instruksi dan melaksanakan tugas dan pekerjaan yang menuntut adanya : Kemampuan penanggulangan masalah. Kemampuan mengajukan gagasan kepada atasan. Level 3 Pada level ini seseorang dituntut mampu melaksanakan tugas/pekerjaan yang bersifat rutin berdasar pada prosedur/instruksi dan melaksanakan tugas dan pekerjaan yang menuntut adanya : Kemampuan analisa masalah. Kemampuan pemecahan masalah. Kemampuan mengajukan gagasan kepada atasan. Kemampuan koordinasi dan supervisi kepada bawahannya Pengelompokan Unit-Unit Kompetensi Unit-unit kompetensi dapat dikelompokkan berdasar pada sifat tugas/pekerjaan yang ditanganinya : Unit Kompetensi Umum (General Units) Pada kelompok ini tuntutan kemampuan bersifat mendasar dan dibutuhkan pada hampir pada semua sub bidang pekerjaan pada bidang pekerjaan tertentu (misal ketenagalistrikan), yang termasuk dalam kelompok antara lain unit kompetensi yang mencakup tentang : - Keselamatan dan kesehatan kerja. - Mengoperasikan komputer - Menangani peralatan dan tempat kerja - Membaca gambar - Menggunakan hand & power tools - Berkomunikasi di tempat kerja dan sebagainya Unit Kompetensi Inti (Common Core Units) Pada kelompok ini tuntutan kemampuan pada tingkat dasar dan menengah dan dibutuhkan pada beberapa sub bidang pekerjaan 58

59 pada bidang pekerjaan tertentu (misal dibutuhkan untuk pengoperasian pembangkitan listrik dengan penggerak diesel dan dengan turbin gas atau pekerjaan pemeliharaan), yang termasuk dalam kelompok ini antara lain unit kompetensi yang mencakup tentang : - Mengoperasikan panel pembangkit - Memasang dan merawat pompa air sentrifugal - Melakukan alignmen, dan sebagainya Unit Kompetensi Berdasar Fungsi (Function Units) Pada kelompok ini tuntutan kemampuan dibutuhkan pada spesifik sub bidang pekerjaan pada bidang pekerjaan tertentu (misal hanya berlaku/dibutuhkan untuk pengoperasian hidrogen plant atau pekerjaan spesifik lainnya), yang termasuk dalam kelompok ini antara lain unit kompetensi yang mencakup tentang : - Merencanakan operasi HRSG - Merawat dan meperbaiki steam economizer, dan sebagainya Bidang dan Jenis Pekerjaan Ketenagalistrikan Berdasar pada hasil identifikasi bidang dan jenis pekerjaan ketenagalistrikan, diperoleh 5 (lima) bidang dan masing-masing memiliki sub-bidang masing-masing untuk perencanaan, konstruksi, operasi dan pemeliharaan serta inspeksi. Adapun rincian bidang dan sub-bidang adalah sebagai berikut : Bidang dan Sub Bidang Ketenagalistrikan Bidang Jenis Jasa Perencanaan Konstruksi Operasi & pemeliharaan Inspeksi Pembangkit 59

60 Transmisi Distribusi Instalasi pemanfaatan 6.3. Kualifikasi Jabatan Berbasis Kompetensi Kualifikasi menjelaskan penjejangan kualifikasi dalam bentuk keluasan dan kedalaman pencapaian penguasaan seseorang atas pengetahuan hasil dari proses sebuah program pendidikan dan pelatihan. Sedangkan kualifikasi jabatan berbasis kompetensi merupakan pengelompokan kompetensikompetensi sejenis yang dapat dikelompokkan dalam jabatan tertentu untuk melaksanakan tugas pekerjaan berjenjang yang terlatih dan terdidik secara komprehensif Level Kualifikasi Kompetensi Level Kualifikasi Kompetensi adalah kelompok standar kompetensi yang dipaketkan menjadi kesatuan dalam suatu tugas berdasarkan pada kebutuhan organisasi/jabatan. Sedangkan berdasarkan kualifikasi kompetensi dapat dikelompokkan Level Kualifikasi Kompetensi Tenaga Teknik Ketenagalistrikan sebagai berikut : Level 1 Pada level ini seseorang dituntut mampu melaksanakan tugas/pekerjaan yang bersifat berulang dan biasa dilaksanakan serta mempunyai ruang lingkup yang terbatas. Level 2 Pada level ini seseorang dituntut mampu melaksanakan tugas/pekerjaan yang bersifat sudah mapan dan biasa dilaksanakan, lingkup cukup luas dan pilihan yang terbatas. 60

61 Level 3 Pada level ini seseorang dituntut mampu melaksanakan tugas/pekerjaan yang bersifat mampu menggunakan sejumlah prosedur, untuk sejumlah konteks yang sudah biasa, dan lingkup yang luas dan memerlukan keterampilan yang baku. Level 4 Pada level ini seseorang dituntut mampu melaksanakan tugas/pekerjaan yang bersifat mampu menggunakan sejumlah prosedur, dalam berbagai konteks yang sudah biasa maupun yang tidak biasa, dan lingkup yang luas serta memerlukan keterampilan penalaran secara teknis. Level 5 Pada level ini seseorang dituntut mampu melaksanakan tugas/pekerjaan yang bersifat dengan pilihan-pilihan yang sangat luas terhadap sejumlah prosedur yang baku dan tidak baku, memerlukan banyak pilihan prosedur standar maupun non standar, dalam konteks yang rutin maupun tidak rutin, dan lingkup yang luas serta memerlukan keterampilan penalaran teknis khusus (spesialisasi). Level 6 Pada level ini seseorang dituntut mampu melaksanakan tugas/pekerjaan yang bersifat dengan pilihan-pilihan yang sangat luas terhadap sejumlah prosedur yang baku dan tidak baku serta kombinasi prosedur yang tidak baku, dalam konteks rutin dan tidak rutin yang berubah-ubah sangat tajam, dan melakukan kegiatan dalam lingkup yang sangat luas serta memerlukan keterampilan penalaran teknis khusus. Level 7 61

62 Pada level ini seseorang dituntut mampu melaksanakan tugas/pekerjaan yang bersifat melaksanakan kajian, penelitian dan kegiatan intelektual secara mandiri di suatu bidang, menunjukkan kemandirian intelektual serta analisis yang tajam dan komunikasi yang baik, serta mampu menjelaskan secara sistematik dan koheren atas prinsip-prinsip utama dari suatu bidang. Level 8 Pada level ini seseorang dituntut mampu melaksanakan tugas/pekerjaan yang bersifat mampu merencanakan dan melaksanakan proyek penelitian dan kegiatan intelektual secara original berdasarkan standar-standar yang diakui secara internasional, dan menunjukkan penguasaan suatu bidang. Level 9 Pada level ini seseorang dituntut mampu melaksanakan tugas/pekerjaan yang bersifat mampu menyumbangkan pengetahuan original melalui penelitian dan kegiatan intelektual yang dinilai oleh ahli independen berdasarkan standar internacional Pengujian Kompetensi dan Sertifikasi Asesor/Penguji Sesuai ketentuan yang berlaku maka pelaksanaan asesmen/pengujian kompetensi tenaga teknik dilakukan oleh Lembaga Sertifikasi yang telah mempunyai tenaga asesor. Para asesor tersebut sebelumnya harus mengikuti pelatihan sehingga mampu asesmen pengujian mulai persiapan awal hingga penyusunan laporan akhir hasil pengujian. Dalam pelaksanaan pengujian kompetensi direkomendasikan dilaksanakan oleh lebih dari satu penguji yang secara umum masingmasing telah memiliki kualifikasi sebagai penguji dalam bidang ketenagalistrikan sesuai dengan kompetensi yang dikuasainya. Persyaratan yang harus dimiliki oleh penguji antara lain: 62

63 semua penguji harus telah menguasai unit-unit kompetensi yang akan diujikan. semua penguji harus memiliki pengetahuan tentang pelaksanaan dan peran bidang ketenagalistrikan yang berlaku saat ini. semua penguji harus memiliki pengetahuan yang berlaku saat ini di industri tentang unjuk kerja atau perfermonce yang diujikan. semua penguji harus memiliki pengetahuan dan ketrampilan dalam melaksanakan pengujian, yang meliputi: perencanaan, penyelenggaraan dan pengkajian pengujian. Penguji yang memenuhi persyaratan dilatih/mengajukan diri kepada Lembaga Pengujian dan Sertifikasi/Departemen Teknis, untuk memperoleh sertifikat sebagai penguji dan kepadanya diberikan sertifikat sebagai penguji terdaftar (registered assessor) setelah melalui pelatihan dan pengujian Prosedur Pengujian dan Penerbitan Sertifikat Pengujian dilaksanakan di lokasi unit pembangkitan dan lamanya tergantung jumlah tenaga teknik yang diuji. Materi uji adalah uji tertulis (pengetahuan), uji ketrampilan (praktik) dan interview sesuai dengan standar kompetensi yang diajukan. Para asesor umumnya terdiri dari 5 (lima) orang dan hasil uji akhir diajukan kepada komisi teknik lembaga sertifikasi untuk disahkan. Disamping hasil uji tersebut juga dilakukan monitoring unjuk kerja selama 3 (tiga) bulan setelah pengujian untuk bahan penetapan penerbitan sertifikat kompetensi tenaga teknik tersebut. Setiap sertifikat yang diterbitkan dicatatkan nomor registrasinya di Ditjen LPE. Selanjutnya dalam melakukan sertifikasi, skema-skema berikut ini memberikan gambaran mengenai tata cara suatu proses pemberlakuan standar kompetensi dan sertifikasi kompetensi tenaga teknik di bidang ketenagalistrikan 63

64 Tenaga Teknik Belum Berpengalaman Tenaga Teknik Berpengalaman Tenaga Teknik Warga Negara Asing Lembaga Pelatihan Lembaga Sertifikasi Pengujian Lulus Uji Tidak Ya Pemeriksaan Administrasi Penilaian/Pengujian Bidang Teknik oleh Asesor Tidak Memenuhi Syarat dan Lulus Uji Ya Pemberian Sertifikat Kompetensi Gbr Proses Sertifikasi Kompetensi Tenaga Teknik Bidang Ketenagalistrikan 6.5. Hasil Pelaksanaan di Bidang Standardisasi Tenaga Teknik Ketenagalistrikan: Tabel 6.1. Standar Kompetensi Tenaga Teknik Ketenagalistrikan 64

65 SUB BIDANG BIDANG PEMBANGKIT TRANSMISI DISTRIBUSI INSTALASI PEMANFAAT AN TENAGA LISTRIK KET PEREN CANAAN KONST RUKSI OPE RASI PEMELI HARAAN INSPEKSI TOTAL S ST S SR ST S SR ST S TOTAL SUB BIDANG BIDANG INDUS TRI PEMAN FAATAN TENAGA LISTRIK INDUS TRI PERALAT AN TENAGA LISTRIK KET Tabel 6.2. Standar Kompetensi Tenaga Teknik Ketenagalistrikan PERAN CANG AN PROD UKSI MANUFA KTUR PENGE NDALI AN DAN JAMIN AN MUTU PEMAS TIAN DAN PENGE NDALI AN MUTU PENUN JANG KOOR DINASI PERAWA TAN, PERBAIK AN DAN PEMASA NGAN PERAWA TAN DAN PERBAIK AN MESIN PRODUK SI S S TOTAL TOTAL Keterangan : S : Standar Kompetensi yang sudah ditetapkan dan diberlakukan oleh Menteri ESDM SR : Standar Kompetensi yang telah direvisi, sudah ditetapkan dan diberlakukan oleh ST : Standar Kompetensi Tambahan KS : Konsep Standar Kompetensi Tabel 6.3. Hasil Pelaksanaan Uji Kompetensi Bidang Pembangkit oleh Ikatan Ahli Teknik Ketenagalistrikan Indonesia Periode 01 Januari Desember 2004 Menteri ESDM 65

66 No Unit Penyelenggara Peserta Uji Kompeten pada sub Bidang Operasi Kompeten pada sub Bidang Pemeliharaan 1 PT. PJB PT. IP Politeknik Jasa Tirta II PLN. S2JB Batam Emomi Powergen PLN. Sumbagut PLN. Sumbar PLN. Kalimantan PLN. Sulawesi Unocal PT. KDL Amoseas Wayang Windu T O T A L Tabel 6.4. Hasil Pelaksanaan Uji Kompetensi Bidang Transmisi, DistribusiPDKB-TM oleh Gema PDKB Periode 01 Januari Desember 2005 No Unit Penyelenggara Bidang Peserta Peserta Peserta Belum Uji Kompeten kompeten 1 Bapeluk Region Transmisi Bapeluk Region Distribusi Bapeluk Region PDKB-TM

67 Tabel 6.5 Hasil Pelaksanaan Uji Kompetensi Bidang Distribusi oleh Ikatan Ahli Teknik Ketenagalistrikan Indonesia Periode 01 Januari Desember 2004 Kompeten Kompeten No Unit Penyelenggara Peserta Uji Operasi Pemeliharaan 1 Distribusi Jawa Barat IATKI WIL S2JB IATKI BATAM IATKI DKI IATKI BALI IATKI Jawa Tengah IATKI Jawa Timur Banten Sumbar Kalbar Sulsera T O T A L

68 PERATURAN-PERATURAN BERKAITAN DENGAN KESELAMATAN KETENAGALISTRIKAN 68

69 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 1985 TENTANG KETENAGALISTRIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa tujuan pembangunan nasional adalah untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, guna mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata meteriil dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; bahwa tenaga listrik sangat penting artinya bagi peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat pada umumnya serta untuk mendorong peningkatan kegiatan ekonomi pada khusus-nya, dan oleh karenanya usaha penyediaan tenaga listrik, pemanfaatan, dan pengelolaannya perlu ditingkatkan, agar tersedia tenaga listrik dalam jumlah yang cukup dan merata dengan mutu pelayanan yang baik; bahwa dalam rangka peningkatan pembangunan yang berke-sinambungan di bidang ketenagalistrikan, diperlukan upaya untuk secara optimal memanfaatkan sumber-sumber energi untuk membangkitkan tenaga listrik, sehingga menjamin tersedianya tenaga listrik; bahwa untuk mencapai maksud tersebutdi atas dan karena Ordonansi tanggal 13 September 1890 tentang Ketentuan Mengenai Pemasangan dan Penggunaan Saluran untuk Pene-rangan Listrik dan Pemindahan Tenaga dengan Listrik di Indonesia yang dimuat dalam Staatsblad Tahun 1890 Nomor 190 yang telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Ordo-nansi tanggal 8 Pebruari 1934 (Staatsblad Tahun 1934 Nomor 63) yang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan dan kebutuhan pembangunan di bidang ketenagalis-trikan, perlu disusun Undang-undang tentang Ketenagalis-trikan; Mengingat : Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945; Dengan persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG KETENAGALISTRIKAN 69

70 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan : 1. Ketenagalistrikan adalah segala sesuatu yang menyangkut penyediaan dan pemanfaatan tenaga listrik. 2. Tenaga listrik adalah salah satu bentuk energi sekunder yang dibangkitkan, ditransmisikan, dan didistribusikan untuk segala macam keperluan, dan bukan listrik yang dipakai untuk komunikasi atau isyarat. 3. Penyediaan tenaga listrik adalah pengadaan tenaga listrik mulai dari titik pembangkitan sampai dengan titik pemakaian. 4. Pemanfaatan tenaga listrik adalah penggunaan tenaga listrik mulai dari titik pemakaian. 5. Kuasa Usaha Ketenagalistrikan adalah kewenangan yang diberikan oleh Pemerintah kepada badan usaha milik negara yang diserahi tugas sematamata untuk melaksanakan usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum, dan diberi tugas untuk melakukan pekerjaan usaha penunjang tenaga listrik. 6. Izin Usaha Ketenagalistrikan adalah izin yang diberikan oleh Pemerintah kepada koperasi atau swasta untuk melakukan penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan sendiri. 7. Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab dalam bidang ketenagalistrikan. BAB II LANDASAN DAN TUJUAN USAHA KETENAGALISTRIKAN Pasal 2 Pembangunan ketenagalistrikan berlan-daskan asas manfaat, asas adil dan merata, asas kepercayaan pada diri sendiri, dan kelestarian lingkungan hidup. Pasal 3 Usaha ketenagalistrikan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara adil dan merata serta mendorong peningkatan kegiatan ekonomi. BAB III SUMBER ENERGI UNTUK TENAGA LISTRIK Pasal 4 70

71 (1) Sumber daya alam yang merupakan sumber energi yang terdapat di seluruh Wilayah Republik Indonesia diman-faatkan semaksimal mungkin untuk berbagai tujuan termasuk untuk men-jamin keperluan penyediaan tenaga listrik. (2) Kebijaksanaan penyediaan dan peman-faatan sumber energi untuk tenaga listrik ditetapkan Pemerintah dengan memperhatikan aspek keamanan, keseimbangan dan kelestarian ling-kungan hidup. BAB I PERENCANAAN UMUM KETENAGALISTRIKAN Pasal 5 (1) Pemerintah menetapkan rencana umum ketenagalistrikan secara menyeluruh dan terpadu. (2) Dalam menyusun rencana umum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Pemerintah wajib memperhatikan pikiran dan pandangan yang hidup dalam masyarakat. BAB USAHA KETENAGALISTRIKAN Pasal 6 (1) Usaha ketenagalistrikan terdiri dari : a. usaha penyediaan tenaga listrik; b. usaha penunjang tenaga listrik. (2) Usaha penyediaan tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dapat meliputi jenis usaha : a. pembangkitan tenaga listrik; b. transmisi tenaga listrik; c. distribusi tenaga listrik. (3) Usaha penunjang tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b meliputi : a. Konsultansi yang berhubungan dengan ketenagalistrikan; b. Pembangunan dan pemasangan peralatan ketenagalistrikan; c. Pemeliharaan peralatan ketenagalistrikan; d. Pengembangan teknologi peralatan yang menunjang penyediaan tenaga listrik. Pasal 7 (1) Usaha penyediaan tenaga listrik dilakukan oleh Negara dan diselenggarakan oleh badan usaha milik negara yang didirikan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan. 71

72 (2) Dalam upaya memenuhi kebutuhan tenaga listrik secara lebih merata dan untuk lebih meningkatkan kemampuan negara dalam hal penyediaan tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), baik untuk kepentingan umum maupun untuk kepentingan sendiri, sepanjang tidak merugikan kepentingan negara, dapat diberikan kesempatan seluas-luasnya kepada koperasi dan badan usaha lain untuk menyediakan tenaga listrik berdasarkan Izin Usaha Ketenagalistrikan. (3) Izin Usaha Ketenagalistrikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dikecualikan bagi usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan sendiri yang jumlah kapasitasnya diatur dengan peraturan pemerintah. Pasal 8 Pemberi Izin Usaha Ketenagalistrikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 9 Ketentuan mengenai usaha penunjang tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 10 Untuk melaksanakan pekerjaan-pekerjaan usaha penyediaan tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) yang belum atau tidak dapat dilaksanakan sendiri, Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan dapat bekerja sama dengan badan usaha lain setelah mendapatkan persetujuan Menteri. Pasal 11 a. Untuk kepentingan umum, Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan dan Pemegang Izin Usaha Ketenagalistrikan Untuk Kepentingan Umum dalam melaksanakan usaha-usaha penyediaan tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) diberi kewenangan untuk : a. melintasi sungai atau danau baik diatas maupun di bawah permukaan; b. melintasi laut baik di atas maupun di bawah permukaan; c. melintasi jalan umum maupun jalan kereta api. b. Sepanjang tidak bertentangan dan dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku, untuk kepentingan umum Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan dan Pemegang Izin Usaha Ketenagalistrikan untuk Kepentingan Umum juga diberi kewenangan untuk : a. masuk ketempat umum atau perorangan dan menggunakannya untuk sementara waktu; b. menggunakan tanah, melintas di atas atau di bawah tanah; c. melintas di atas atau di bawah bangunan yang dibangun di atas atau di bawah tanah; d. menebang atau memotong tumbuh-tumbuhan yang menghalanginya. 72

73 Pasal 12 (1) Untuk kepentingan umum, mereka yang berhak atas tanah, bangunan, dan tumbuh-tumbuhan mengizinkan Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan dan Pemegang Izin Usaha Ketenagalistrikan Untuk Kepentingan Umum melaksanakan kewenangannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2), dengan mendapatkan imbalan ganti rugi kecuali tanah negara, bagi pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan. (2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibebankan kepada Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan dan Pemegang Izin Usaha Ketenagalistrikan Untuk Kepentingan Umum. (3) Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan dan Pemegang Izin Usaha Ketenagalistrikan Untuk Kepentingan Umum baru dapat melakukan pekerjaannya setelah ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diselesaikan. Pasal 13 Kewajiban untuk memberikan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 tidak berlaku terhadap mereka yang mendirikan bangunan, menanam, tumbuh-tumbuhan, dan lain-lain di atas tanah yang akan atau sudah digunakan untuk usaha penyediaan tenaga listrik dengan tujuan untuk memperoleh ganti rugi. Pasal 14 Penetapan, tata cara, dan pembayaran ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku. BAB I HUBUNGAN ANTARA PEMEGANG KUASA USAHA KETENAGALISTRIKAN DAN PEMEGANG IZIN USAHA KETENAGALISTRIKAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM DENGAN MASYARAKAT DALAM USAHA PENYEDIAAN TENAGA LISTRIK Pasal 15 (1) Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan dan Pemegang Izin Usaha Ketenagalistrikan Untuk Kepentingan Umum wajib : a. menyediakan tenaga listrik; 73

74 b. memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada masyarakat; c. memperhatikan keselamatan kerja dan keselamatan umum. (2) Ketentuan tentang hubungan antara Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan dan Pemegang Izin Usaha Ketenagalistrikan untuk Kepentingan Umum dengan msyarakat yang menyangkut hak, kewajiban, dan tanggung jawab masing-masing diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 16 Pemerintah mengatur harga jual tenaga listrik. BAB II PENYEDIAAN DAN PEMANFAATAN TENAGA LISTRIK Pasal 17 Syarat-syarat penyediaan, pengusahaan, pemanfaatan, instalasi, dan standardisasi ketenagalistrikan diatur oleh Pemerintah. BAB III PEMBINAAN DAN PENGAWASAN Pasal 18 (1) Pemerintah melakukan pembinaan dan pengawasan umum terhadap pekerjaan dan pelaksanaan usaha ketenagalistrikan. (2) Pembinaan dan pengawasan umum sebagaimana dimaksud dlam ayat (1) terutama meliputi keselamatan kerja, keselamatan umum, pengembangan usaha, dan tercapainya standardisasi dalam bidang ketenagalistrikan. (3) Tata cara pembinaan dan pengawasan umum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. BAB IX KETENTUAN PIDANA Pasal 19 74

75 Barang siapa menggunakan tenaga listrik yang bukan haknya merupakan tindak pidana pencurian sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undangundang Hukum Pidana. Pasal 20 (1) Barang siapa melakukan usaha penyediaan tenaga listrik tanpa Kuasa Usaha Ketenagalistrikan atau Izin Usaha Ketenagalistrikan, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 6 (enam) tahun atau denda setinggi-tingginya Rp ,- (lima puluh juta rupiah). (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3). (3) Barang siapa melakukan usaha penyediaan tenaga listrik tidak memenuhi kewajiban terhadap yang berhak atas tanah, bangunan, dan tumbuhtumbuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 1 (satu) tahun atau denda setinggi-tingginya Rp ,- (sepuluh juta rupiah) dan dicabut Izin Usaha Ketenagalistrikan. Pasal 21 (1) Barang siapa karena kelalaiannya mengakibatkan matinya seseorang karena tenaga listrik, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun. (2) Apabila kelalaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan atau Pemegang Izin Usaha Ketenagalistrikan, dipidana dengan pidana penjara selamalamanya 7 (tujuh) tahun. (3) Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan atau Pemegang Izin Usaha Ketenagalistrikan juga diwajibkan untuk memberi ganti rugi. (4) Penetapan, tata cara, dan pembayaran ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 22 (1) Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan atau Pemegang Izin Usaha Ketenagalistrikan Untuk Kepentingan Umum yang tidak mentaati ketentuan pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp ,- (lima juta rupiah). (2) Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dikenakan pidana tambahan berupa pencabutan Izin Usaha Ketenagalistrikan. 75

76 Pasal 23 (1) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 20, dan Pasal 21 adalah kejahatan. (2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 adalah pelanggaran. BAB X PENYIDIKAN Pasal 24 (1) Selain pejabat penyidik umum yang bertugas menyidik tindak pidana, penyidikan atas tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undangundang ini serta peraturan pelaksanaannya dapat juga dilakukan oleh Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diangkat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (2) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berwenang : a. Melakukan penelitian atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang ketenagalistrikan; b. Melakukan penelitian terhadap orang atau badan yang diduga melakukan tindak pidana di bidang ketenagalistrikan; c. Meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan sehubungan dengan peristiwa tindak pidana di bidang ketenagalistrikan; d. Melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat bahan bukti dan melakukan penyitaan terhadap bahan yang dapat dijadikan bahan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang ketenagalistrikan ; e. Melakukan tindakan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. BAB XI KETENTUAN PERALIHAN Pasal 25 Dengan berlakunya Undang-undang ini peraturan pelaksanaan di bidang ketenagalistrikan yang telah dikeluarkan berdasarkan Ordonansi tanggal 13 September 1890 tentang Ketentuan Mengenai Pemasangan dan Penggunaan Saluran untuk Penerangan Listrik dan Pemindahan dengan Listrik di Indonesia ( Bipalingen Omtrent dan aanleg en het gebruik van geleidingen voor electrische verlichting en het overbrengen van kracht door middle van electriciteit in Nederlandsch-Indie ) yang dimuat dalam 76

77 Staatsblad Tahun 1890 Nomor 190 yang telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Ordonansi tanggal 8 Pebruari 1934 yang dimuat dalam Staatsblad tahun 1934 Nomor 63, tetapi berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-undang ini atau belum diganti diubah berdasarkan Undang-undang ini. Pasal 26 Pada saat berlakunya undang-undang ini, Ordonansi tanggal 13 September 1890 tentang Ketentuan Mengenai Pemasngan dan Penggunaan Saluran untuk Penerangan Listrik dan Pemindahan Tenaga dengan Listrik di Indonesia (Bepalingen Omtrent dan aanleg en het overbengen van kracht door middle van electriciteit in Nederlandsch-Indie ) yang dimuat dalam Staatsblad Tahun 1890 Nomor 190 yang telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Ordonansi tanggal 8 Pebruari 1934 yang dimuat dalam Staatsblad tahun 1934 Nomor 63, dinyatakan tidak berlaku lagi. Pasal 27 Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dlam Lebaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal 30 Desember 1985 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA ttd S O E H A R T O Diundangkan di Jakarta pada tanggal 30 Desember 1985 MENTERI/SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA ttd SUDHARMONO, S.H. LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1985 NOMOR 74 77

78 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 102 TAHUN 2000 TENTANG STANDARDISASI NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:a. bahwa dalam rangka mendukung peningkatan produktivitas, daya guna produksi, mutu barang, jasa, proses, sistem dan atau personel, yang dimaksudkan untuk meningkatkan daya saing, perlindungan konsumen, pelaku usaha, tenaga kerja dan masyarakat khususnya di bidang keselamatan, keamanan, kesehatan dan lingkungan hidup, maka efektifitas pengaturan di bidang standardisasi perlu lebih ditingkatkan; b. bahwa Indonesia telah ikut serta dalam persetujuan pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization) yang di dalamnya mengatur pula masalah standardisasi berlanjut dengan kewajiban untuk menyesuaikan peraturan perundang-undangan nasional di bidang standardisasi; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, dipandang perlu untuk mengganti Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1991 tentang Standar Nasional Indonesia; Mengingat: 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar 1945; 2. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1961 tentang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1961 tentang Barang menjadi Undang-undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1961 Nomor 215, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2210); 3. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3193); 4. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3274); 5. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3299); 78

79 6. Undang-undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3317); 7. Undang-undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3482); 8. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3495); 9. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Persetujuan Pembentukan WTO (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3564); 10. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 99, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3656); 11. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3676); 12. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699); 13. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3821); 14. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839); 15. Undang-undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 154, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3881); 16. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1989 tentang Standar Nasional untuk Satuan Ukuran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1989 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3388); 17. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3867); 18. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3950); 19. Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 107, Tambahan Lembaran Negara 79

80 Nomor 3980); MEMUTUSKAN : Menetapkan: PERATURAN PEMERINTAH TENTANG STANDARDISASI NASIONAL BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Standar adalah spesifikasi teknis atau sesuatu yang dibakukan termasuk tata cara dan metode yang disusun berdasarkan konsensus semua pihak yang terkait dengan memperhatikan syarat-syarat keselamatan, keamanan, kesehatan, lingkungan hidup, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta pengalaman, perkembangan masa kini dan masa yang akan datang untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya. 2. Standardisasi adalah proses merumuskan, menetapkan, menerapkan dan merevisi standar, yang dilaksanakan secara tertib dan bekerjasama dengan semua pihak. 3. Standar Nasional Indonesia (SNI), adalah standar yang ditetapkan oleh Badan Standardisasi Nasional dan berlaku secara nasional. 4. Rancangan Standar Nasional Indonesia (RSNI), adalah rancangan standar yang dirumuskan oleh panitia teknis setelah tercapai konsensus dari semua pihak yang terkait. 5. Perumusan Standar Nasional Indonesia adalah rangkaian kegiatan sejak pengumpulan dan pengolahan data untuk menyusun Rancangan Standar Nasional Indonesia sampai tercapainya konsensus dari semua pihak yang terkait. 6. Penetapan Standar Nasional Indonesia adalah kegiatan menetapkan Rancangan Standar Nasional Indonesia menjadi Standar Nasional Indonesia. 7. Penerapan Standar Nasional Indonesia adalah kegiatan menggunakan Standar Nasional Indonesia oleh pelaku usaha. 8. Revisi Standar Nasional Indonesia adalah kegiatan penyempurnaan Standar Nasional Indonesia sesuai dengan kebutuhan. 9. Pemberlakuan Standar Nasional Indonesia adalah keputusan pimpinan instansi teknis yang berwenang untuk memberlakukan Standar Nasional Indonesia secara wajib terhadap barang dan atau jasa. 80

81 10. Akreditasi adalah rangkaian kegiatan pengakuan formal oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN), yang menyatakan bahwa suatu lembaga/laboratorium telah memenuhi persyaratan untuk melakukan kegiatan sertifikasi tertentu. 11. Sertifikasi adalah rangkaian kegiatan penerbitan sertifikat terhadap barang dan atau jasa. 12. Sertifikat adalah jaminan tertulis yang diberikan oleh lembaga/laboratorium yang telah diakreditasi untuk menyatakan bahwa barang, jasa, proses, sistem atau personel telah memenuhi standar yang dipersyaratkan. 13. Tanda SNI adalah tanda sertifikasi yang dibubuhkan pada barang kemasan atau label yang menyatakan telah terpenuhinya persyaratan Standar Nasional Indonesia. 14. Barang adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen. 15. Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen. 16. Sistem Standardisasi Nasional (SSN), adalah tatanan jaringan sarana dan kegiatan standardisasi yang serasi, selaras dan terpadu serta berwawasan nasional, yang meliputi penelitian dan pengembangan standardisasi, perumusan standar, penetapan standar, pemberlakuan standar, penerapan standar, akreditasi, sertifikasi, metrologi, pembinaan dan pengawasan standardisasi, kerjasama, informasi dan dokumentasi, pemasyarakatan dan pendidikan dan pelatihan standardisasi. 17. Badan Standardisasi Nasional (BSN), adalah Badan yang membantu Presiden dalam menyelenggarakan pengembangan dan pembinaan dibidang standardisasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 18. Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi. 19. Instansi teknis adalah Kantor Menteri Negara, Departemen atau Lembaga Pemerintah Non Departemen yang salah satu kegiatannya melakukan kegiatan standardisasi. 20. Pimpinan instansi teknis adalah Menteri Negara atau Menteri yang memimpin Departemen atau Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen yang bertanggung jawab atas kegiatan standardisasi dalam lingkup kewenangannya. 81

82 BAB II RUANG LINGKUP STANDARDISASI NASIONAL Pasal 2 Ruang lingkup standardisasi nasional mencakup semua kegiatan yang berkaitan dengan metrologi teknik, standar, pengujian dan mutu. BAB III TUJUAN STANDARDISASI NASIONAL Pasal 3 Standardisasi Nasional bertujuan untuk: 1. Meningkatkan perlindungan kepada konsumen, pelaku usaha, tenaga kerja, dan masyarakat lainnya baik untuk keselamatan, keamanan, kesehatan maupun pelestarian fungsi lingkungan hidup; 2. Membantu kelancaran perdagangan; 3. Mewujudkan persaingan usaha yang sehat dalam perdagangan. BAB I KELEMBAGAAN Pasal 4 (1) Penyelenggaraan pengembangan dan pembinaan di bidang standardisasi dilakukan oleh Badan Standardisasi Nasional. (2) Pelaksanaan tugas dan fungsi Badan Standardisasi Nasional di bidang akreditasi dilakukan oleh Komite Akreditasi Nasional. (3) Komite Akreditasi Nasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) mempunyai tugas menetapkan akreditasi dan memberikan pertimbangan serta saran kepada Badan Standardisasi Nasional dalam menetapkan sistem akreditasi dan sertifikasi. (4) Pelaksanaan tugas dan fungsi Badan Standardisasi Nasional di bidang Standar Nasional untuk Satuan Ukuran dilakukan oleh Komite Standar Nasional untuk Satuan Ukuran. (5) Komite Standar Nasional untuk Satuan Ukuran sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) mempunyai tugas memberikan pertimbangan dan saran kepada Badan Standardisasi Nasional mengenai standar nasional untuk satuan ukuran. (6) Badan Standardisasi Nasional, Komite Akreditasi Nasional dan Komite Standar Nasional untuk Satuan Ukuran sebagaimana dimaksud dalam 82

83 ayat (1), ayat (2) dan ayat (4) dibentuk dengan Keputusan Presiden. Pasal 5 (1) Badan Standardisasi Nasional menyusun dan menetapkan Sistem Standardisasi Nasional dan Pedoman di bidang standardisasi nasional. (2) Sistem Standardisasi Nasional dan Pedoman sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan dasar dan pedoman pelaksanaan yang harus diacu untuk setiap kegiatan standardisasi di Indonesia. (3) Dalam penyusunan Sistem Standardisasi Nasional dan Pedoman sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Badan Standardisasi Nasional memperhatikan masukan dari instansi teknis dan pihak yang terkait dengan standardisasi. BAB PERUMUSAN DAN PENETAPAN SNI Pasal 6 (1) Standar Nasional Indonesia disusun melalui proses perumusan Rancangan Standar Nasional Indonesia. (2) Perumusan Rancangan Standar Nasional Indonesia dilaksanakan oleh Panitia Teknis melalui konsensus dari semua pihak yang terkait. (3) Ketentuan tentang konsensus sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur lebih lanjut oleh Kepala Badan Standardisasi Nasional. Pasal 7 (1) Rancangan Standar Nasional Indonesia ditetapkan menjadi Standar Nasional Indonesia oleh Kepala Badan Standardisasi Nasional. (2) Standar Nasional Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberi nomor urut, dan kode bidang standar sesuai Pedoman Badan Standardisasi Nasional. Pasal 8 Kaji ulang dan revisi Standar Nasional Indonesia dilaksanakan oleh Panitia Teknis melalui konsensus dari semua pihak yang terkait. Pasal 9 (1) Panitia Teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2)dan Pasal 8 ditetapkan oleh Kepala Badan Standardisasi Nasional berdasarkan pedoman yang disepakati oleh Badan Standardisasi Nasional bersama instansi teknis. 83

84 (2) Dalam pelaksanaan tugasnya Panitia Teknis dikoordinasikan oleh instansi teknis sesuai dengan kewenangannya. (3) Dalam hal instansi teknis belum dapat melakukan koordinasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Badan Standardisasi Nasional dapat mengkoordinasikan Panitia Teknis dimaksud. (4) Panitia Teknis dalam melaksanakan tugasnya mengacu pada Pedoman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5. Pasal 10 Dalam rangka perumusan Rancangan Standar Nasional Indonesia, kaji ulang Standar Nasional Indonesia, dan revisi Standar Nasional Indonesia, Badan Standardisasi Nasional dan instansi teknis dapat melakukan kegiatan Penelitian dan Pengembangan Standardisasi. Pasal 11 Ketentuan lebih lanjut mengenai Perumusan dan Penetapan Standar Nasional Indonesia diatur dengan Keputusan Kepala Badan Standardisasi Nasional. BAB I PENERAPAN SNI Pasal 12 (1) Standar Nasional Indonesia berlaku di seluruh wilayah Republik Indonesia. (2) Standar Nasional Indonesia bersifat sukarela untuk diterapkan oleh pelaku usaha. (3) Dalam hal Standar Nasional Indonesia berkaitan dengan kepentingan keselamatan, keamanan, kesehatan masyarakat atau pelestarian fungsi lingkungan hidup dan atau pertimbangan ekonomis, instansi teknis dapat memberlakukan secara wajib sebagian atau keseluruhan spesifikasi teknis dan atau parameter dalam Standar Nasional Indonesia. (4) Tata cara Pemberlakuan Standar Nasional Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), diatur lebih lanjut dengan Keputusan Pimpinan instansi teknis sesuai dengan bidang tugasnya. Pasal 13 Penerapan Standar Nasional Indonesia dilakukan melalui kegiatan sertifikasi dan akreditasi. 84

85 Pasal 14 (1) Terhadap barang dan atau jasa, proses, sistem dan personel yang telah memenuhi ketentuan/spesifikasi teknis Standar Nasional Indonesia dapat diberikan sertifikat dan atau dibubuhi tanda SNI. (2) Sertifikasi dilakukan oleh lembaga sertifikasi, lembaga inspeksi, lembaga pelatihan, atau laboratorium. (3) Tanda SNI yang berlaku adalah sebagaimana tercantum dalam lampiran Peraturan Pemerintah ini. (4) Persyaratan dan tata cara pemberian sertifikat dan pembubuhan tanda SNI sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut oleh Ketua Komite Akreditasi Nasional. Pasal 15 Pelaku usaha yang menerapkan Standar Nasional Indonesia yang diberlakukan secara wajib, harus memiliki sertifikat dan atau tanda SNI. Pasal 16 (1) Lembaga sertifikasi, lembaga inspeksi, lembaga pelatihan, atau laboratorium sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) di akreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional. (2) Unjuk kerja lembaga sertifikasi, lembaga inspeksi, lembaga pelatihan, atau laboratorium sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diawasi dan dibina oleh Komite Akreditasi Nasional. Pasal 17 (1) Biaya akreditasi dibebankan kepada lembaga sertifikasi, lembaga inspeksi, lembaga pelatihan atau laboratorium yang mengajukan permohonan akreditasi. (2) Besarnya biaya akreditasi diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah tersendiri. Pasal 18 (1) Pelaku usaha dilarang memproduksi dan atau mengedarkan barang dan atau jasa, yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan Standar Nasional Indonesia yang telah diberlakukan secara wajib. (2) Pelaku usaha, yang barang dan atau jasanya telah memperoleh sertifikat produk dan atau tanda Standar Nasional Indonesia dari lembaga sertifikasi produk, dilarang memproduksi dan mengedarkan barang dan atau jasa yang tidak memenuhi Standar Nasional Indonesia. 85

86 Pasal 19 (1) Standar Nasional Indonesia yang diberlakukan secara wajib dikenakan sama, baik terhadap barang dan atau jasa produksi dalam negeri maupun terhadap barang dan atau jasa impor. (2) Barang dan atau jasa impor sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pemenuhan standarnya ditunjukkan dengan sertifikat yang diterbitkan oleh lembaga sertifikasi atau laboratorium yang telah diakreditasi Komite Akreditasi Nasional atau lembaga sertifikasi atau laboratorium negara pengekspor yang diakui Komite Akreditasi Nasional. (3) Pengakuan lembaga sertifikasi, lembaga inspeksi, lembaga pelatihan atau laboratorium negara pengekspor oleh Komite Akreditasi Nasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) didasarkan pada perjanjian saling pengakuan baik secara bilateral ataupun multilateral. (4) Dalam hal barang dan atau jasa impor sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dilengkapi sertifikat, Pimpinan instansi teknis dapat menunjuk salah satu lembaga sertifikasi atau laboratorium baik di dalam maupun di luar negeri yang telah diakreditasi dan atau diakui oleh Komite Akreditasi Nasional untuk melakukan sertifikasi terhadap barang dan atau jasa impor dimaksud. Pasal 20 (1) Pemberlakukan Standar Nasional Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3) dinotifikasikan Badan Standardisasi Nasional kepada Organisasi Perdagangan Dunia setelah memperoleh masukan dari instansi teknis yang berwenang dan dilaksanakan paling lambat 2 (dua) bulan sebelum Standar Nasional Indonesia yang diberlakukan secara wajib berlaku efektif. (2) Badan Standardisasi Nasional menjawab pertanyaan yang datang dari luar negeri yang berkaitan dengan Pemberlakuan Standar Nasional Indonesia setelah memperoleh masukan dari instansi teknis yang berwenang. Pasal 21 Ketentuan lebih lanjut mengenai Pemberlakuan Standar Nasional Indonesia diatur dengan Keputusan pimpinan instansi teknis yang berwenang. BAB II PEMBINAAN DAN PENGAWASAN Pasal 22 (1) Pimpinan instansi teknis dan atau Pemerintah Daerah melakukan 86

87 pembinaan terhadap pelaku usaha dan masyarakat dalam menerapkan standar. (2) Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi konsultasi, pendidikan, pelatihan, dan pemasyarakatan standardisasi. Pasal 23 (1) Pengawasan terhadap pelaku usaha, barang dan atau jasa yang telah memperoleh sertifikat dan atau dibubuhi tanda SNI yang diberlakukan secara wajib, dilakukan oleh Pimpinan instansi teknis sesuai kewenangannya dan atau Pemerintah Daerah. (2) Pengawasan terhadap unjuk kerja pelaku usaha yang telah memperoleh sertifikat produk dan atau tanda SNI dilakukan oleh lembaga sertifikasi produk yang menerbitkan sertifikat dimaksud. (3) Masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat melakukan pengawasan terhadap barang yang beredar di pasaran. BAB III SANKSI Pasal 24 (1) Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) dan (2) dapat dikenakan sanksi administratif dan atau sanksi pidana. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berupa pencabutan sertifikat produk dan atau pencabutan hak penggunaan tanda SNI, pencabutan ijin usaha, dan atau penarikan barang dari peredaran. (3) Sanksi pencabutan sertifikat produk dan atau hak penggunaan tanda SNI dilakukan oleh lembaga sertifikasi produk. (4) Sanksi pencabutan ijin usaha dan atau penarikan barang dari peredaran ditetapkan oleh instansi teknis yang berwenang dan atau Pemerintah Daerah. (5) Sanksi pidana sebagaimana di maksud dalam ayat (1) berupa sanksi pidana sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. BAB IX KETENTUAN PERALIHAN Pasal 25 (1) Pada saat ditetapkannya Peraturan Pemerintah ini, semua ketentuan pelaksanaan yang berhubungan dengan standardisasi yang telah ditetapkan oleh Pimpinan instansi teknis dan atau Dewan 87

88 Standardisasi Nasional dan atau Kepala Badan Standardisasi Nasional, dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan yang baru berdasarkan Peraturan Pemerintah ini. (2) Khusus untuk ketentuan pelaksanaan yang berhubungan dengan penandaan SNI yang telah ditetapkan oleh Menteri Perindustrian dan Perdagangan wajib disesuaikan paling lambat 2 (dua) tahun sejak ditetapkannya Peraturan Pemerintah ini. BAB X KETENTUAN PENUTUP Pasal 26 Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini, Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1991 tentang Standar Nasional Indonesia dan Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 1991 tentang Penyusunan Penerapan dan Pengawasan Standar Nasional Indonesia dinyatakan tidak berlaku. Pasal 27 Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Diundangkan di Jakarta pada tanggal 10 November 2000 SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA, ttd DJOHAN EFFENDI Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 10 November 2000 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd ABDURRAHMAN WAHID 88

89 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2000 NOMOR 1999 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2005 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 10 TAHUN 1989 TENTANG PENYEDIAAN DAN PEMANFAATAN TENAGA LISTRIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka meningkatkan penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum, perlu meningkatkan peran serta koperasi, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, swasta, swadaya masyarakat, dan perorangan dalam penyediaan tenaga listrik; b. bahwa untuk melaksanakan kebijakan otonomi daerah di bidang ketenagalistrikan perlu memberikan peran Pemerintah Daerah dalam penyediaan tenaga listrik; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b serta dalam rangka menciptakan kepastian hukum dan kepastian berusaha di bidang ketenagalistrikan, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1989 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Tenaga Listrik; Mengingat: 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3317); 3. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437); 4. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1989 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Tenaga Listrik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1989 Nomor 24, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3394); MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 10 TAHUN 1989 TENTANG PENYEDIAAN DAN PEMANFAATAN TENAGA LISTRIK. 89

90 Pasal 1 Beberapa ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1989 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Tenaga Listrik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1989 Nomor 24, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3394), diubah sebagai berikut : 1. Ketentuan Pasal 2 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut Pasal 2 (1) Penyediaan dan pemanfaatan tenaga listrik dilaksanakan berdasarkan Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional. (2) Menteri menetapkan Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional dengan mempertimbangkan masukan dari Pemerintah Daerah dan masyarakat. (3) Penyediaan tenaga listrik dilakukan dengan memanfaatkan seoptimal mungkin sumber energi primer yang terdapat di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. (4) Guna menjamin ketersediaan energi primer untuk penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum, diprioritaskan penggunaan sumber energi setempat dengan kewajiban mengutamakan pemanfaatan sumber energi terbarukan. 2. Di antara Pasal 2 dan Pasal 3 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 2A,sehingga berbunyi sebagai berikut : Pasal 2A Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah menyediakan dana pembangunan sarana penyediaan tenaga listrik untuk membantu kelompok masyarakat tidak mampu, pembangunan sarana penyediaan tenaga listrik di daerah yang belum berkembang, pembangunan tenaga listrik di daerah terpencil, perbatasan antar negara dan pembangunan listrik perdesaan. 3. Ketentuan Pasal 3 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut : Pasal 3 (1) Usaha penyediaan tenaga listrik dilakukan oleh Negara dan diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah sebagai Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan untuk melaksanakan usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum. 90

91 (2) Menteri menetapkan daerah usaha dan/atau bidang usaha Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan. 4. Ketentuan Pasal 5 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 5 (1) Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik disusun berdasarkan Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional. (2) Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan sebagai pedoman pelaksanaan penyediaan tenaga listrik bagi Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan dan Pemegang Izin Usaha Ketenagalistrikan untuk Kepentingan Umum. (3) Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan wajib membuat Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik di daerah usahanya untuk disahkan oleh Menteri. (4) Pemegang Izin Usaha Ketenagalistrikan untuk Kepentingan Umum yang memiliki daerah usaha wajib membuat Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik di daerah usahanya yang disahkan oleh Menteri, Gubernur atau Bupati/Walikota sesuai kewenangannya untuk dijadikan bahan pertimbangan bagi pemberian izin usaha ketenagalistrikan serta digunakan sebagai sarana pengawasan berkala atas pelaksanaan kegiatan Pemegang Izin Usaha Ketenagalistrikan yang bersangkutan. (5) Menteri menetapkan pedoman penyusunan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik. (6) Dalam hal Pemegang Izin Usaha Ketenagalistrikan untuk Kepentingan Umum tidak membuat dan/atau tidak melaksanakan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik, Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota sesuai kewenangannya dapat memberikan sanksi administratif berupa: a. peringatan tertulis; b. penangguhan kegiatan; atau c. pencabutan izin. 5. Ketentuan Pasal 6 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 6 (1) Sepanjang tidak merugikan kepentingan Negara, Izin Usaha Ketenagalistrikan diberikan kepada koperasi dan badan usaha lain untuk melakukan usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum atau usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan sendiri. (2) Badan usaha lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dapat melakukan usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum 91

92 meliputi Badan Usaha Milik Daerah, swasta, swadaya masyarakat dan perorangan. (3) Badan usaha lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dapat melakukan usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan sendiri meliputi Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, swasta, swadaya masyarakat, perorangan atau lembaga negara lainnya. (4) Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk Kepentingan Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dikeluarkan oleh: a. Bupati/Walikota, untuk usaha penyediaan tenaga listrik baik sarana maupun energi listriknya berada dalam daerahnya masing-masing yang tidak terhubung ke dalam Jaringan Transmisi Nasional. b. Gubernur, untuk usaha penyediaan tenaga listrik lintas kabupaten atau kota baik sarana maupun energi listriknya yang tidak terhubung ke dalam Jaringan Transmisi Nasional. c. Menteri, untuk usaha penyediaan tenaga listrik lintas provinsi baik sarana maupun energi listriknya yang tidak terhubung ke dalam Jaringan Transmisi Nasional atau usaha penyediaan tenaga listrik yang terhubung ke dalam Jaringan Transmisi Nasional. (5) Jaringan Transmisi Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a dan huruf b ditetapkan dengan Peraturan Menteri. (6) izin Usaha Ketenagalistrikan untuk Kepentingan Sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) dikeluarkan oleh: a. Bupati/Walikota, untuk usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan sendiri yang fasilitas instalasinya berada di dalam daerah kabupaten/kota; b. Gubernur, untuk usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan sendiri yang fasilitas instalasinya mencakup lintas kabupaten/kota dalam satu provinsi; c. Menteri, untuk usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan sendiri yang fasilitas instalasinya mencakup lintas provinsi. (7) Izin Usaha Ketenagalistrikan untuk Kepentingan Sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) hanya dapat diberikan di suatu daerah usaha Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan atau Pemegang Izin Usaha Ketenagalistrikan untuk Kepentingan Umum dalam hal : a. Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan atau Pemegang Izin Usaha Ketenagalistrikan untuk Kepentingan Umum tersebut nyatanyata belum dapat menyediakan tenaga listrik dengan mutu dan keandalan yang baik atau belum dapat menjangkau seluruh daerah usahanya, atau b. pemohon Izin Usaha Ketenagalistrikan untuk Kepentingan Sendiri dapat menyediakan listrik secara lebih ekonomis. 92

93 (8) Permohonan Izin Usaha Ketenagalistrikan untuk Kepentingan Umum dan Izin Usaha Ketenagalistrikan untuk Kepentingan Sendiri diajukan dengan melengkapi persyaratan administratif dan teknis. (9) Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (8) meliputi : a. identitas pemohon; b. akta pendirian perusahaan; c.profil perusahaan; d. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP); dan e. kemampuan pendanaan. (10) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (8) meliputi : a. studi kelayakan; b. lokasi instalasi termasuk tata letak (gambar situasi); c. diagram satu garis (single line diagram); d. jenis dan kapasitas usaha; e. keterangan/gambar daerah usaha dan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik; f. jadwal pembangunan; g. jadwal pengoperasian; dan h. izin dan persyaratan lain sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. (11) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (9) huruf e dan ayat (10) huruf e tidak berlaku bagi permohonan Izin Usaha Ketenagalistrikan untuk Kepentingan Sendiri. (12) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (9) huruf b dan huruf c tidak berlaku bagi pemohon Izin Usaha Ketenagalistrikan oleh swadaya masyarakat dan perorangan. (13) Izin Usaha Ketenagalistrikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dialihkan kepada pihak lain sesudah mendapat persetujuan tertulis dari Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota sesuai kewenangannya. (14) Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara perizinan ditetapkan oleh Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota sesuai kewenangannya. 6. Ketentuan Pasal 11 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 11 (1) Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan atau Pemegang Izin Usaha Ketenagalistrikan untuk Kepentingan Umum yang memiliki jaringan transmisi tenaga listrik wajib membuka kesempatan pemanfaatan bersama jaringan transmisi. (2) Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan dan Pemegang Izin Usaha Ketenagalistrikan untuk Kepentingan Umum yang memiliki daerah usaha harus menjamin kecukupan pasokan tenaga listrik di dalam masing-masing daerah usahanya. (3) Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan dan Pemegang Izin Usaha Ketenagalistrikan untuk Kepentingan Umum yang memiliki daerah 93

94 usaha, dalam melakukan usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum dapat melakukan pembelian tenaga listrik dan/atau sewa jaringan dari koperasi, Badan Usaha Milik Daerah, swasta, swadaya masyarakat, dan perorangan setelah mendapat persetujuan Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota sesuai kewenangannya. (4) Koperasi, Badan Usaha Milik Daerah, swasta, swadaya masyarakat, dan perorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib memiliki Izin Usaha Ketenagalistrikan sesuai dengan jenis usahanya. (5) Pembelian tenaga listrik dan/atau sewa jaringan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan melalui pelelangan umum. (6) Pembelian tenaga listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan melalui penunjukan langsung dalam hal: a. pembelian tenaga listrik dari pembangkit tenaga listrik yang menggunakan energi terbarukan, gas marjinal, batubara di mulut tambang, dan energi setempat lainnya; b. pembelian kelebihan tenaga listrik; atau c. sistem tenaga listrik setempat dalam kondisi krisis penyediaan tenaga listrik. (7) Kondisi krisis penyediaan tenaga listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf c ditetapkan oleh Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota sesuai kewenangannya atas usul Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan atau Pemegang Izin Usaha Ketenagalistrikan untuk Kepentingan Umum. (8) Pembelian tenaga listrik dan/atau sewa jaringan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat (5), dan ayat (6) tetap memperhatikan kaidah-kaidah bisnis yang sehat dan transparan. (9) Ketentuan lebih lanjut mengenai prosedur pembelian tenaga listrik dan/atau sewa jaringan ditetapkan oleh Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota sesuai kewenangannya. 7. Ketentuan Pasal 13 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut : (1) Pasal 13 Pemegang Izin Usaha Ketenagalistrikan untuk Kepentingan Sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat (3) yang mempunyai kelebihan tenaga listrik dapat menjual kelebihan tenaga listriknya kepada Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan atau Pemegang Izin Usaha Ketenagalistrikan untuk Kepentingan Umum atau masyarakat setelah mendapat persetujuan Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota sesuai kewenangannya. (2) Penjualan kelebihan tenaga listrik kepada masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dalam hal daerah tersebut belum terjangkau oleh Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan atau Pemegang Izin Usaha Ketenagalistrikan untuk Kepentingan Umum. 94

95 8. Ketentuan Pasal 15 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut Pasal 15 (1) Tenaga listrik yang disediakan untuk kepentingan umum, wajib diberikan dengan mutu dan keandalan yang baik. (2) Ketentuan tentang mutu dan keandalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri. 9. Ketentuan Pasal 21 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut Pasal 21 (1) Setiap usaha penyediaan tenaga listrik wajib memenuhi ketentuan mengenai keselamatan ketenagalistrikan. (2) Ketentuan keselamatan ketenagalistrikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi standardisasi, pengamanan instalasi tenaga listrik dan pengamanan pemanfaat tenaga listrik untuk mewujudkan kondisi andal dan aman bagi instalasi dan kondisi aman dari bahaya bagi manusia serta kondisi akrab lingkungan. (3) Pekerjaan instalasi ketenagalistrikan untuk penyediaan dan pemanfaatan tenaga listrik harus dikerjakan oleh Badan Usaha Penunjang Tenaga Listrik yang disertifikasi oleh lembaga sertifikasi yang terakreditasi. (4) Dalam hal di suatu daerah belum terdapat Badan Usaha Penunjang Tenaga Listrik yang telah disertifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Menteri, Gubernur atau Bupati/Walikota sesuai kewenangannya dapat menunjuk Badan Usaha Penunjang Tenaga Listrik. (5) Dalam hal belum ada lembaga sertifikasi yang telah diakreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota sesuai kewenangannya dapat menunjuk lembaga sertifikasi. (6) Pemeriksaan dan pengujian instalasi penyediaan tenaga listrik dan instalasi pemanfaatan tenaga listrik tegangan tinggi dan tegangan menengah dilaksanakan oleh lembaga inspeksi teknik yang diakreditasi oleh lembaga yang berwenang. (7) Pemeriksaan instalasi pemanfaatan tenaga listrik konsumen tegangan rendah dilaksanakan oleh suatu lembaga inspeksi independen yang sifat usahanya nirlaba dan ditetapkan oleh Menteri. (8) Pemeriksaan instalasi tegangan rendah yang dimiliki oleh konsumen tegangan tinggi dan/atau konsumen tegangan menengah dilakukan oleh lembaga inspeksi sebagaimana dimaksud pada ayat (6). (9) Setiap tenaga teknik yang bekerja dalam usaha ketenagalistrikan wajib memiliki sertifikat kompetensi sesuai peraturan perundang-undangan. 95

96 (10) Untuk jenis-jenis usaha penunjang tenaga listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang berkaitan dengan jasa konstruksi diatur tersendiri dalam peraturan perundang-undangan di bidang Jasa Konstruksi. 10. Ketentuan Pasal 22 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut : Pasal 22 (1) Instalasi ketenagalistrikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3) harus sesuai dengan Standar Nasional Indonesia Bidang Ketenagalistrikan. (2) Setiap instalasi ketenagalistrikan sebelum dioperasikan wajib memiliki sertifikat laik operasi. 11. Ketentuan Pasal 23 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut : Pasal 23 Ketentuan mengenai perencanaan, pemasangan, pengamanan, pemeriksaan, pengujian dan uji laik operasi instalasi ketenagalistrikan diatur dengan Peraturan Menteri. 12. Di antara Pasal 23 dan Pasal 24 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 23A, sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 23A Pemanfaatan instalasi ketenagalistrikan untuk kepentingan di luar penyaluran tenaga listrik harus mendapat izin Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota sesuai kewenangannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (4). 13. Ketentuan Pasal 24 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut : Pasal 24 (1) Menteri dapat memberlakukan Standar Nasional Indonesia di bidang ketenagalistrikan sebagai standar wajib. (2) Setiap peralatan tenaga listrik wajib memenuhi Standar Nasional Indonesia yang diberlakukan wajib dan dibubuhi tanda SNI. (3) Setiap pemanfaat tenaga listrik wajib memenuhi Standar Nasional Indonesia yang diberlakukan wajib dan dibubuhi Tanda Keselamatan. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembubuhan tanda SNI dan Tanda Keselamatan diatur dengan Peraturan Menteri. 96

97 14. Ketentuan Pasal 25 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut : Pasal 25 (1) Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan dan Pemegang Izin Usaha Ketenagalistrikan untuk Kepentingan Umum dalam menyediakan tenaga listrik berhak untuk : a. memeriksa instalasi ketenagalistrikan yang diperlukan oleh masyarakat, baik sebelum maupun sesudah mendapat sambungan tenaga listrik; b. mengambil tindakan atas pelanggaran perjanjian penyambungan listrik oleh konsumen; dan c. mengambil tindakan penertiban atas pemakaian tenaga listrik secara tidak sah. (2) Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan dan Pemegang Izin Usaha Ketenagalistrikan untuk Kepentingan Umum tidak bertanggung jawab atas bahaya terhadap kesehatan, nyawa, dan barang yang timbul karena penggunaan tenaga listrik yang tidak sesuai dengan peruntukannya atau salah dalam pemanfaatannya. (3) Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan dan Pemegang Izin Usaha Ketenagalistrikan untuk Kepentingan Umum dalam menyediakan tenaga listrik wajib : a. memberikan pelayanan yang baik; b. menyediakan tenaga listrik secara terus menerus dengan mutu dan keandalan yang baik; c. memberikan perbaikan, apabila ada gangguan tenaga listrik; d. bertanggung jawab atas segala kerugian atau bahaya terhadap nyawa, kesehatan, dan barang yang timbul karena kelalaiannya; dan e. melakukan pengamanan instalasi ketenagalistrikan terhadap bahaya yang mungkin timbul. 15. Ketentuan Pasal 32 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut : Pasal 32 (1) Harga jual tenaga listrik untuk konsumen diatur dan ditetapkan dengan memperhatikan kepentingan dan kemampuan masyarakat. (2) Harga jual tenaga listrik untuk konsumen yang disediakan oleh Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan ditetapkan oleh Presiden atas usul Menteri. (3) Harga jual tenaga listrik untuk konsumen yang disediakan oleh Pemegang Izin Usaha Ketenagalistrikan untuk Kepentingan Umum 97

98 ditetapkan oleh Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota sesuai kewenangannya dalam pemberian izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (4). (4) Menteri dalam mengusulkan harga jual tenaga listrik untuk konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memperhatikan hal-hal sebagai berikut : a. kaidah-kaidah industri dan niaga yang sehat; b. biaya produksi; c. efisiensi pengusahaan; d. kelangkaan sumber energi primer yang digunakan; e. skala pengusahaan dan interkoneksi sistem yang dipakai; dan f. tersedianya sumber dana untuk investasi. (5) Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota dalam menetapkan harga jual tenaga listrik untuk konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3), memperhatikan hal-hal sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a sampai dengan huruf f. (6) Dalam menentukan harga jual tenaga listrik untuk konsumen tidak mampu, Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota sesuai kewenangannya selain memperhatikan hal-hal sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a sampai dengan huruf f, mempertimbangkan juga kemampuan masyarakat. 16. Di antara Pasal 32 dan Pasal 33 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 32A, sehingga berbunyi sebagai berikut : Pasal 32 A (1) Harga jual tenaga listrik atau harga sewa jaringan tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3) dinyatakan dengan mata uang rupiah. (2) Harga jual tenaga listrik atau harga sewa jaringan tenaga listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disesuaikan berdasarkan perubahan unsur biaya tertentu atas dasar kesepakatan bersama yang dicantumkan dalam perjanjian jual beli tenaga listrik atau perjanjian sewa jaringan tenaga listrik. (3) Harga jual tenaga listrik atau harga sewa jaringan tenaga listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapatkan persetujuan Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota sesuai kewenangannya. 17. Ketentuan Pasal 35 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut : Pasal 35 (1) Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota sesuai kewenangannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (4) melakukan 98

99 pengawasan umum terhadap usaha penyediaan dan pemanfaatan tenaga listrik. (2) Pengawasan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. keselamatan pada keseluruhan sistem penyediaan dan pemanfaatan tenaga listrik; b. aspek lindungan lingkungan; c. pemanfaatan teknologi yang bersih, ramah lingkungan dan berefisiensi tinggi pada pembangkitan tenaga listrik; d. kompetensi tenaga teknik; e. keandalan dan keamanan penyediaan tenaga listrik; f. tercapainya standardisasi dalam bidang ketenagalistrikan. (3) Dalam rangka pengawasan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Menteri menetapkan Pedoman Umum Pengawasan Ketenagalistrikan. 18. Ketentuan Pasal 36 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut: PASAL 36 (1) Dalam melakukan pengawasan umum, Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota sesuai kewenangannya melakukan pemeriksaan atas dipenuhinya syarat-syarat keselamatan ketenagalistrikan baik oleh Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan dan Pemegang Izin Usaha Ketenagalistrikan maupun pemanfaat tenaga listrik. (2) Dalam melakukan pengawasan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota sesuai kewenangannya menugaskan kepada Inspektur Ketenagalistrikan untuk melakukan pemeriksaan atas dipenuhinya syarat-syarat aman, andal dan akrab lingkungan pada instalasi ketenagalistrikan. (3) Pengawasan atas pemenuhan syarat keselamatan kerja dilaksanakan sesuai peraturan perundang-undangan. 19. Ketentuan Pasal 37 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut: PASAL 37 Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota sesuai kewenangannya mengadakan koordinasi dengan instansi lain yang bidang tugasnya berkaitan dengan usaha penyediaan tenaga listrik. 20. Di antara Pasal 37 dan Pasal 38 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 37A, sehingga berbunyi sebagai berikut : Pasal 37A (1) Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan wajib melaporkan kegiatan usahanya setiap 3 (tiga) bulan kepada Menteri. 99

100 (2) Pemegang Izin Usaha Ketenagalistrikan untuk Kepentingan Umum dan Pemegang Izin Usaha Ketenagalistrikan untuk Kepentingan Sendiri wajib melaporkan kegiatan usahanya setiap 3 (tiga) bulan kepada Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota sesuai kewenangannya. Pasal II Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini, peraturan pelaksanaan di bidang ketenagalistrikan yang telah dikeluarkan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diubah dengan Peraturan Pemerintah ini. Pasal III Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 16 Januari 2005 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. Dr. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 16 Januari 2005 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA, ttd. Dr. HAMID AWALUDIN 100

101 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005 NOMOR 5 Salinan sesuai dengan aslinya, Deputi Sekretaris Kabinet Bidang Hukum dan Perundang-undangan Lambock. Nahattands 101

102 MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR 0027 TAHUN 2005 TENTANG TATA CARA PEMBUBUHAN TANDA SNI DAN TANDA KESELAMATAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 24 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1989 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Tenaga Listrlk sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerlntah Nomor 3 Tahun 2005, perlu menetapkan Peraturan Menterl Energi dan Sumber Daya Mineral tentang Tata Cara Pembubuhan Tanda SNI dan Tanda Keselamatan; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan (Lembaran Negara RI Tahun 1985 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3317); 2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara RI Tahun 1999 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3821); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1989 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Tenaga Listrik (Lembaran Negara RI Tahun 1989 Nomor 24, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3394) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2005 (Lembaran Negara RI Tahun 2005 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4469); 4. Peraturan Pemerintah Nomor 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional (Lembaran Negara RI Tahun 2000 Nomor 199, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4020); 5. Keputusan Presiden Nomor 187/M Tahun 2004 tanggal 20 Oktober 2004 sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 8/M Tahun 2005 tanggal 31 Januarl 2005; MEMUTUSKAN : Menetapkan: PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL TENTANG TATA CARA PEMBUBUHAN TANDA SNI DAN TANDA KESELAMATAN. BAB I 102

103 KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksudkan dengan: 1. Standar Nasional Indonesia (SNI) adalah Standar yang ditetapkan oleh Badan Standardisasi Nasional yang berlaku secara nasional. 2. Peralatan tenaga listrik adalah semua alat dan sarana tenaga listrik yang dipergunakan untuk instalasi penyediaan dan instalasi pemanfaatan tenaga listrik. 3. Pemanfaat tenaga listrik adalah semua produk yang dalam pemanfaatannya menggunakan tenaga Iistrik untuk beroperasinya produk tersebut. 4. Tanda SNI adalah tanda yang dibubuhkan pada peralatan tenaga Iistrik yang menandakan bahwa peralatan tenaga listrik tersebut telah memenuhi persyaratan SNI. 5. Tanda keselamatan adalah tanda yang dibubuhkan pada pemanfaat tenaga listrik yang menandakan bahwa pemanfaat tenaga listrik tersebut telah memenuhi persyaratan SNI. 6. Sertifikat produk adalah keterangan tertulis yang diberikan oleh lembaga sertifikasi produk untuk menyatakan bahwa peralatan atau pemanfaat tenaga listrik telah memenuhi persyaratan SNI. 7. Tanda kesesuaian produk adalah label tanda SNI atau label tanda Keselamatan bernomor seri yang dibubuhkan pada peralatan atau pemanfaat tenaga listrik yang menandakan bahwa peralatan atau pemanfaat tenaga Iistrik tersebut telah memenuhi persyaratan SNI yang dibuktikan dengan sertifikat kesesuaian produk. 8. Sertifikat kesesuaian produk adalah keterangan tertulis yang diberikan oleh lembaga sertifikasi produk untuk menyatakan bahwa suatu partai peralatan atau pemanfaat tenaga listrik telah memenuhi persyaratan SNI. 9. Lembaga sertifikasi produk adalah lembaga yang berwenang dalam memberikan pengakuan formal untuk memberikan sertifikasi atas produk. 10. Menteri adalah Menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang ketenagalistrikan, 11. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang ketenagalistrikan, Pasal 2 (1) Setiap peralatan tenaga listrik yang SNI-nya diberlakukan sebagai SNI Wajib harus dibubuhi tanda SNI setelah mendapatkan sertifikat produk. 103

104 (2) Setiap pemanfaat tenaga Iistrik yang SNI-nya diberlakukan sebagal SNI Wajlb harus dibubuhi tanda Keselamatan setelah mendapatkan sertifikat produk. (3) Bentuk dan ukuran Tanda SNI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional. (4) Bentuk, ukuran, dan warna tanda keselamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai dengan SNI Nomor tentang Tanda Keselamatan - Pemanfaat Listrik. BAB II SERTIFIKASI PRODUK Pasal 3 (1) Untuk dapat dibubuhi tanda SNI, peralatan tenaga Iistrik harus memenuhi ketentuan yang dipersyaratkan dalam SNI wajib, yang dinyatakan dengan sertifikat produk sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri ini. (2) Untuk dapat dibubuhi tanda keselamatan, pemanfaat tenaga listrik harus memenuhi ketentuan yang dipersyaratkan dalam SNI wajib, yang dinyatakan dengan sertifikat produk sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri ini. (3) Sertifikat produk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diterbitkan oleh lembaga sertifikasi produk yang telah diakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN) dan mendapat penugasan dari Direktur Jenderal. (4) Sertifikat produk berlaku selama 3(tiga) tahun dan dapat diperpanjang. Pasal 4 (1) Untuk mendapatkan sertifikat produk, produsen atau importir mengajukan permohonan secara tertulis kepada lembaga sertifikasi produk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) dengan tembusan kepada Direktur Jenderal dengan melampirkan dokumen sebagai berikut: a. Akta Pendirian Perusahaan; b. Izin Industri; c. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) Perusahaan; d. Nama produk, tipe/jenis dan spesifikasi teknis produk; (2) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan berdasarkan laporan hasil uji jenis serta hasil asesmen sistem mutu pabrik, lembaga sertifikasi produk menerbitkan sertifikat produk dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran I dan II 104

105 Peraturan Menteri ini. (3) Laporan hasil uji jenis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterbitkan oleh laboratorium uji yang telah diakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN) atau oleh laboratorium uji yang telah diakreditasi oleh lembaga akreditasi di negara yang telah menandatangani kesepakatan saling pengakuan dengan KAN. (4) Lembaga sertifikasi produk menyampaikan salinan sertifikat produk yang telah diterbitkan kepada Direktur Jenderal. (5) Lembaga sertifikasi produk dan laboratorium uji yang bertugas dalam kegiatan sertifikasi ini wajib menjaga kerahasiaan data, hasil uji, dan informasi yang diperolehnya. BAB III PEMERIKSAAN KESESUAIAN PRODUK Pasal 5 (1) Peralatan atau pemanfaat tenaga listrik produk impor yang tidak mempunyai tanda SNI atau tanda keselamatan dapat diperjualbelikan dengan dibubuhi tanda kesesuaian produk setelah mendapatkan sertifikat kesesuaian produk. (2) Untuk mendapatkan sertifikat kesesuaian produk, importir mengajukan permohonan secara tertulis kepada lembaga sertifikasi produk dengan tembusan kepada Direktur Jenderal dengan melampirkan angka pengenal importir, packing list, laporan hasil uji jenis, daftar material dan komponen, dan gambar desain. (3) Laporan hasil uji jenis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterbitkan oleh laboratorium uji yang telah diakreditasi oleh KAN atau oleh laboratorium uji yang telah diakreditasi oleh lembaga akreditasi di negara yang telah menandatangani kesepakatan saling pengakuan dengan KAN. (4) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), lembaga sertifikasi produk mengambil contoh/sampel dari partai barang yang telah berada di wilayah pabean disaksikan oleh pemilik barang atau kuasanya dan petugas lnstansi kepabeanan dengan dibuatkan berita acara, untuk dilakukan pemeriksaan dan pengujian. (5) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) adalah pemeriksaan kesesuaian produk terhadap angka pengenal importir, packing list, laporan hasil uji jenis, daftar material dan komponen, dan gambar desain. (6) Pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (4), adalah pengujian atas parameter-parameter kritikal/utama tertentu atau parameter uji rutin sesuai standar yang terkait. 105

106 (7) Berdasarkan hasil pemeriksaan dan pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (4), lembaga sertifikasi produk menerbitkan sertifikat kesesuaian produk serta tanda kesesuaian produk atas suatu partai peralatan atau pemanfaat tenaga listrik yang diajukan. (8) Sertifikat kesesuaian produk yang diterbitkan oleh lembaga serilfikasi produk sebagaimana dimaksud pada ayat (7), menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran III dan I Peraturan Menteri ini. BAB I PEMBUBUHAN TANDA SNI DAN TANDA KESELAMATAN Pasal 6 (1) Peralatan tenaga Iistrik yang telah mendapatkan sertifkat produk harus dibubuhi Tanda SNI. (2) Peralatan tenaga listrik yang telah mendapatkan sertifikat kesesuaian produk dibubuhi label Tanda SNI. (3) Pemanfaat tenaga listrik yang telah mendapatkan sertifikat produk harus dibubuhi tanda keselamatan. (4) Pemanfaat tenaga listrik yang telah mendapatkan sertifikat kesesuaian produk dibubuhi label tanda keselamatan. (5) Pemohon dapat berkonsultasi kepada lembaga sertifikasi produk dalam menentukan letak dan ukuran logo lembaga sertifikasi produk pada pemanfaat tenaga Iistrik. (6) Pembubuhan Tanda SNI dan Tanda Keselamatan mengikuti ketentuan sebagaimana tercantum dalam Lampiran dan I Peraturan Menteri ini. BAB PEMERIKSAAN BERKALA OLEH LEMBAGA SERTIFIKASI PRODUK Pasal 7 (1) Lembaga sertifikasi produk melakukan pemeriksaan berkala atas konsistensi penggunaan sertifikat produk oleh produsen. (2) Pemeriksaan berkala sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui pemeriksaan sistem mutu dan pengujian setiap 6 bulan dalam tahun pertama dan pemeriksaan selanjutnya dilakukan setiap 1 (satu) tahun sekali. (3) Pengujlan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), adalah pengujian atas parameter-parameter kritikal/utama tertentu atau pengujian rutin sesuai standar yang terkait. 106

107 (4) Dalam hal pemeriksaan berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menunjukkan adanya ketidaksesuaian dengan ketentuan yang dipersyaratkan, lembaga sertiflkasi produk dapat membekukan atau menarik Sertiflkat Produk. (5) Dalam hal sertifkat produk dibekukan atau ditarik oleh lembaga sertifikasi produk, maka pemegang sertifikat produk harus: a. menghentikan penggunaan Tanda SNI atau Tanda Keselamatan sejak tanggal ditetapkan oleh lembaga sertifikasi produk; b. menghentikan peredaran peralatan dan pemanfaat tenaga listrik yang telah dibubuhi Tanda SNI atau Tanda Keselamatan; dan c. menarik peralatan dan pemanfaat tenaga listrik yang beredar di pasar. (6) Sertifikat produk dapat digunakan kembali setelah pembekuan sertifikat produk dicabut oleh lembaga sertifikasi produk yang bersangkutan. BAB I PEMBINAAN DAN PENGAWASAN Pasal 8 (1) Direktur Jenderal melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap proses sertifikasi dan pembubuhan Tanda SNI dantanda Keselamatan. (2) Dalam melakukan pembinaan,direktur Jenderal menyelenggarakan pelatihan, bimbingan, dan supervisi berkaitan dengan proses sertifikasi dan pembubuhan Tanda SNI dan Tanda Keselamatan. (3) Pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Inspektur Ketenagalistrikan. (4) Dalam hal pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat ( 3) menemukan penyimpangan dalam proses sertifikasi produk dan pembubuhan Tanda SNI dan atau Tanda Keselamatan, penyimpangan tersebut diselesaikan dengan mengacu pada prosedur penyelesaian penyimpangan dalam pelaksanaan sertifikasi dan pembubuhan Tanda SNI dan Tanda Keselamatan sebagaimana tercantum dalam Lampiran II dan III Peraturan Menteri ini. BAB II KETENTUAN PERALIHAN Pasal 9 (1) Selama belum tersedia lembaga sertifikasi produk dan laboratorium uji yang diakreditasi oleh KAN, untuk sementara kegiatan sertifikasi produk dan kegiatan pengujian dilakukan oleh lembaga sertifikasi produk dan laboratorium uji yang ditunjuk Direktur Jenderal. 107

108 (2) Dalam hal belum tersedia lembaga sertifikasi produk dan laboratorium uji yang diakreditasi oleh KAN sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal menerbitkan sertifikat produk dan sertifikat kesesuaian produk dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran IX, Lampiran X, Lampiran XI dan Lampiran XII Peraturan Menteri ini. BAB III KETENTUAN PENUTUP Pasal 10 (1) Pada saat Peraturan Menteri ini berlaku : 1. Keputusan Direktur Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi Nomor /44/600.4/2003 tanggal 18 Juli 2003 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pembubuhan Tanda SNI Pada Peralatan Tenaga Listrik Produksi Dalam Negeri, dan 2. Keputusan Direktur Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi Nomor /44/600.4/2003 tanggal 18 Juli 2003 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pembubuhan Tanda Keselamatan Pada Pemanfaat Tenaga Listrik Produksi Dalam Negeri, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. (2) Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 14 Juli 2005 MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL, 108

109 LAMPIRAN I PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR : 0027 Tahun 2005 TANGGAL : 14 Juli 2005 MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL, Sertifikat Produk MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL, MENTERI ENERGI DA Nomor : Tanggal : Diberikan Kepada : (nama perusahaan produsen peralatan tenaga listrik) Alamat : Produsen Peralatan Tenaga Listrik...(nama peralatan tenaga listrik) Menyatakan...(nama dan jenis peralatan tenaga listrik) Kode Pabrik : Spesifikasi : Tegangan pengenal :... :... : setelah diuji di Laboratorium Uji (nama laboratorium uji) dan diaudit dengan rekomendasi penerbitan sertifikat Nomor...tanggal...(tanggal bulan tahun), telah sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan dalam Standar Nasional Indonesia, SNI...(nomor SNI)...(judul SNI). Produk ini dapat menggunakan tanda sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional. Masa berlaku..(tanggal bulan tahun) sampai dengan...(tanggal bulan tahun)....(pimpinan Lembaga Sertifikasi Produk) tanda tangan MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL.(nama lengkap) 109

110 LAMPIRAN II PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR : 0027 Tahun 2005 TANGGAL : 14 Juli 2005 Sertifikat Produk Nomor : Tanggal : Diberikan Kepada : (nama perusahaan produsen peralatan tenaga listrik) Alamat : Produsen Pemanfaat Tenaga Listrik...(nama pemanfaat tenaga listrik) Menyatakan...(nama dan jenis pemanfaat tenaga listrik) Kode Pabrik : Spesifikasi : Tegangan pengenal :... :... : setelah diuji di Laboratorium Uji (nama laboratorium uji) dan diaudit dengan rekomendasi penerbitan sertifikat Nomor...tanggal...(tanggal bulan tahun), telah sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan dalam Standar Nasional Indonesia, SNI...(nomor SNI)...(judul SNI). Produk ini dapat menggunakan tanda sesuai dengan SNI Masa berlaku..(tanggal bulan tahun) sampai dengan...(tanggal bulan tahun)....(pimpinan Lembaga Sertifikasi Produk) tanda tangan MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL.(nama lengkap) 110

111 LAMPIRAN III PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR : 0027 Tahun 2005 TANGGAL : 14 Juli 2005 Sertifikat Kesesuaian Produk Nomor : Tanggal : Diberikan Kepada : (nama perusahaan importir peralatan tenaga listrik) Alamat : Mengacu pada : Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. Menyatakan...(nama, jenis dan model peralatan tenaga listrik) Kode/ No.Seri :...s.d... Berjumlah :...unit Spesifikasi : Tegangan pengenal : : :... berdasarkan Sertifikat Uji Tipe Nomor :...yang diterbitkan oleh Laboratorium Uji (nama laboratorium uji) dan hasil inspeksi Lembaga Sertifikasi Produk (nama lembaga) dengan laporan hasil Inspeksi Nomor...tanggal...(tanggal bulan tahun), telah sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan dalam Standar Nasional Indonesia, SNI...(nomor SNI)...(judul SNI). Partai produk dengan jumlah dan kode seperti di atas dapat ditempelkan label sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional, dengan Nomor Seri Label mulai sampai dengan......(pimpinan Lembaga Sertifikasi Produk) tanda tangan MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL.(nama lengkap) 111

112 LAMPIRAN I PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR : 0027 Tahun 2005 TANGGAL : 14 Juli 2005 Sertifikat Kesesuaian Produk Nomor : Tanggal : Diberikan Kepada : (nama perusahaan importir peralatan tenaga listrik) Alamat : Mengacu pada : Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. Menyatakan...(nama, jenis dan model pemanfaat tenaga listrik) Kode/ No.Seri :...s.d... Berjumlah :...unit Spesifikasi : Tegangan pengenal : : :... berdasarkan Sertifikat Uji Tipe Nomor :...yang diterbitkan oleh Laboratorium Uji (nama laboratorium uji) dan hasil inspeksi Lembaga Sertifikasi Produk (nama lembaga) dengan laporan hasil Inspeksi Nomor...tanggal...(tanggal bulan tahun), telah sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan dalam Standar Nasional Indonesia, SNI...(nomor SNI)...(judul SNI). Partai produk dengan jumlah dan kode seperti di atas dapat ditempelkan label sesuai dengan SNI dengan Nomor Seri Label mulai sampai dengan......(pimpinan Lembaga Sertifikasi Produk) tanda tangan MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL.(nama lengkap) 112

113 LAMPIRAN PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR : 0027 Tahun 2005 TANGGAL : 14 Juli 2005 KETENTUAN PEMBUBUHAN TANDA SNI 1. Tanda SNI hanya boleh dibubuhkan pada peralatan tenaga listrik dengan syarat : a. nama, merek, tipe dan spesifikasimteknis lainnya sesuai dengan daftar yang ada di dalam sertifikat produk; b. dibuat pada fasilitas produksi dengan alamat sebagaimana tersebut di dalam sertifikat produk; c. memenuhi semua kriteria sertifikasi produk tanpa kecuali; d. tidak menerapkan tanda kesesuaian lain secara tidak sah; dan e. diproduksi dan diedarkan secara sah. 2. Produsen atau importir dapat berkonsultasi dengan lembaga sertifikasi produk dalam menentukan letak Tanda SNI pada peralatan tenaga listrik yang telah disertifikasi 3. Tanda SNI harus jelas, mudah dibaca, dan ukurannya disesuaikan dengan dimensi peralatan tenaga listrik dan dibubuhkan pada peralatan tenaga listrik yang telah disertifikasi serta tidak dapat dipindahkan kepada peralatan tenaga listrik lain. 4. Tanda SNI harus dibubuhkan pada peralatan tenaga listrik yang disertifikasi dengan mencantumkan penandaan sesuai dengan standarnya. 5. Jika sertifikat produk dibekukan oleh lembaga sertifikasi produk, maka disamping menghentikan penggunaan pembubuhan Tanda SNI, perusahaan harus menarik peredaran peralatan tenaga listrik yang telah terlanjur dibubuhi Tanda SNI sampai Sertifikat Produk dinyatakan berlaku kembali oleh lembaga sertifikasi produk. 6. Jika sertifikat produk dicabut oleh lembaga sertifikasi produk maka perusahaan harus segera menghentikan pembubuhan Tanda SNI sejak tanggal yang ditetapkan oleh Lembaga Sertifikasi Produk pada surat pencabutan Sertifikat Tanda SNI dan menarik peredaran peralatan tenaga listrik. 7. Pada setiap publikasi dan advertensi, produsen atau importir harus menghindari penyampaian informasi yang rancu antara peralatan tenaga listrik yang disertifikasi dan yang tidak disertifikasi. MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL 113

114 LAMPIRAN I PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR : 0027 Tahun 2005 TANGGAL : 14 Juli 2005 KETENTUAN PEMBUBUHAN TANDA KESELAMATAN 1. Tanda SNI hanya boleh dibubuhkan pada peralatan tenaga listrik dengan syarat : a. nama, merek, tipe dan spesifikasimteknis lainnya sesuai dengan daftar yang ada di dalam sertifikat produk; b. dibuat pada fasilitas produksi dengan alamat sebagaimana tersebut di dalam sertifikat produk; c. memenuhi semua kriteria sertifikasi produk tanpa kecuali; d. tidak menerapkan tanda kesesuaian lain secara tidak sah; dan e. diproduksi dan diedarkan secara sah. 2. Produsen atau importir dapat berkonsultasi dengan lembaga sertifikasi produk dalam menentukan letak Tanda SNI pada peralatan tenaga listrik yang telah disertifikasi 3. Tanda keselamatan harus jelas, mudah dibaca, dan ukurannya disesuaikan dengan dimensi peralatan tenaga listrik dan dibubuhkan pada peralatan tenaga listrik yang telah disertifikasi serta tidak dapat dipindahkan kepada peralatan tenaga listrik lain. 4. Tanda keselamatan harus dibubuhkan pada peralatan tenaga listrik yang disertifikasi dengan mencantumkan penandaan sesuai dengan standarnya. 5. Jika sertifikat produk dibekukan oleh lembaga sertifikasi produk, maka disamping menghentikan penggunaan tanda keselamatan, perusahaan harus menarik peredaran peralatan tenaga listrik yang telah terlanjur dibubuhi tanda keselamatan sampai Sertifikat Produk dinyatakan berlaku kembali oleh lembaga sertifikasi produk. 6. Jika sertifikat produk dicabut oleh lembaga sertifikasi produk maka perusahaan harus segera menghentikan pembubuhan tanda keselamatan sejak tanggal yang ditetapkan oleh Lembaga Sertifikasi Produk pada surat pencabutan sertifikat produk dan menarik peredaran pemanfaattenaga listrik. 7. Pada setiap publikasi dan advertensi, produsen atau importir harus menghindari penyampaian informasi yang rancu antara pemanfaat tenaga listrik yang disertifikasi dan yang tidak disertifikasi. MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL 114

115 LAMPIRAN II PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR : 0027 Tahun 2005 TANGGAL : 14 Juli 2005 PROSEDUR PENYELESAIAN PENYIMPANGAN DALAM PELAKSANAAN SERTIFIKASI DAN PEMBUBUHAN TANDA SNI Dalam rangka pengawasan terhadap pembubuhan Tanda SNI, maka Direktorat Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi menerima pengaduan masyarakat dan melaksanakan uji petik terhadap peralatan tenaga listrik yang beredar di pasar dan yang dipasang pada instalasi tenaga listrik, serta melakukan tindakan penyelesaian yang diperlukan terhadap penyimpangan dalam pelaksanaan pembubuhan Tanda SNI, sebagai berikut : 1. Peralatan tenaga listrik yang dibubuhi Tanda SNI yang belum pernah tidak lulus pada uji petik sebelumnya yang diselenggarakan oleh Direktur Jenderal. Tindakan penyelesaian : a. Direktur jenderal meminta lembaga sertifikasi produk yang menerbitkan Sertifikat produk atas peralatan tenaga listrik untuk melakukan asesmen ulang terhadap perusahaan pemegang sertifikat; b. Jika hasil asesmen membuktikan bahwa perusahaan pemegang sertifikat telah melakukan kesalahan dalam menjaga kesesuaian produk yang beredar terhadap standar yang ditetapkan, maka lembaga sertifikasi produk harus mengambil tindakan koreksi sesuai dengan prosedur sertufikasi; dan c. Tembusan keputusan atau tindakan koreksi yang telah dilaksanakan dikirimkan kepada Direktur Jenderal. 2. Peralatan tenaga listrik yang dibubuhi Tanda SNI yang pernah tidak lulus pada uji petik sebelumnya yang diselenggarakan oleh Direktur Jenderal. Tindakan penyelesaian : a. Direktur Jenderal meminta penjelasan rinci dari lembaga sertifikasi produk yang menerbitkan sertifikat produk atas peralatan tenaga listrik bersangkutan mengenai terulangnya kegagalan dalam uji petik b. Dalam memepersiapkan penjelasan, lembaga sertifikasi produk dapat melakukan audit ulang terhadap perusahaan pemegang sertifikat. c. Jika dari penjelasan dapat disimpulkan terdapat kelemahan pada sistem pemeriksaan oleh lembaga sertifikasi produk dan atau laboratorium uji, maka Direktur Jenderal mengeluarkan surat ketidakpuasan kepada lembaga sertifikasi produk dan atau laboratorium uji; dan d. Tembusan surat ketidakpuasan dikirimkan kepada lembaga yang berwenang dalam memberikan pengakuan formal untuk melakukan kegiatan sertifikasi sebagai bahan pertimbangan untuk melakukan audit ulang terhadap lembaga sertifikasi produk dan atau laboratorium uji. MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL 115

116 LAMPIRAN III PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR : 0027 Tahun 2005 TANGGAL : 14 Juli 2005 PROSEDUR PENYELESAIAN PENYIMPANGAN DALAM PELAKSANAAN SERTIFIKASI DAN PEMBUBUHAN TANDA KESELAMATAN Dalam rangka pengawasan terhadap pembubuhan Tanda Keselamatan, maka Direktorat Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi menerima pengaduan masyarakat dan melaksanakan uji petik terhadap pemanfaatan tenaga listrik yang beredar di pasar, serta melakukan tindakan penyelesaian yang diperlukan terhadap penyimpangan dalam pelaksanaan pembubuhan Tanda Keselamatan, sebagai berikut : 1. Pemanfaat tenaga listrik yang dibubuhi Tanda keselamatan yang belum pernah tidak lulus pada uji petik sebelumnya yang diselenggarakan oleh Direktur Jenderal. Tindakan penyelesaian : a. Direktur jenderal meminta lembaga sertifikasi produk yang menerbitkan Sertifikat produk atas pemanfaat tenaga listrik untuk melakukan audit ulang terhadap perusahaan pemegang sertifikat; b. Jika hasil audit membuktikan bahwa perusahaan pemegang sertifikat telah melakukan kesalahan dalam menjaga kesesuaian produk yang beredar terhadap standar yang ditetapkan, maka lembaga sertifikasi produk harus mengambil tindakan koreksi sesuai dengan prosedur sertifikasi; dan c. Tembusan keputusan atau tindakan koreksi yang telah dilaksanakan dikirimkan kepada Direktur Jenderal. 2. Pemanfaatan tenaga listrik yang dibubuhi Tanda Keselamatan yang pernah tidak lulus pada uji petik sebelumnya yang diselenggarakan oleh Direktur Jenderal. Tindakan penyelesaian : a. Direktur Jenderal meminta penjelasan rinci dari lembaga sertifikasi produk yang menerbitkan sertifikat produk atas pemanfaat tenaga listrik bersangkutan mengenai terulangnya kegagalan dalam uji petik b. Dalam memepersiapkan penjelasan, lembaga sertifikasi produk dapat melakukan audit ulang terhadap perusahaan pemegang sertifikat. c. Jika dari penjelasan dapat disimpulkan terdapat kelemahan pada sistem pemeriksaan oleh lembaga sertifikasi produk dan atau laboratorium uji, maka Direktur Jenderal mengeluarkan surat ketidakpuasan kepada lembaga sertifikasi produk dan atau laboratorium uji; dan d. Tembusan surat ketidakpuasan dikirimkan kepada lembaga yang berwenang dalam memberikan pengakuan formal untuk melakukan kegiatan sertifikasi sebagai bahan pertimbangan untuk melakukan audit ulang terhadap lembaga sertifikasi produk dan atau laboratorium uji. MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL 116

117 LAMPIRAN IX PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR : 0027 Tahun 2005 TANGGAL : 14 Juli 2005 DEPARTEMEN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL LISTRIK DAN PEMANFAATAN ENERGI Sertifikat Produk Nomor : Tanggal : Diberikan Kepada : (nama perusahaan produsen peralatan tenaga listrik) Alamat : Produsen Peralatan Tenaga Listrik...(nama peralatan tenaga listrik) Menyatakan...(nama dan jenis peralatan tenaga listrik) Kode Pabrik :... Spesifikasi : Tegangan pengenal : : :... setelah diuji di Laboratorium Uji (nama laboratorium uji) dan diaudit oleh Lembaga Sertifikasi Produk (nama lembaga) dengan rekomendasi penerbitan sertifikat Nomor...tanggal...(tanggal bulan tahun), telah sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan dalam Standar Nasional Indonesia, SNI...(nomor SNI)...(judul SNI). Produk ini dapat menggunakan tanda sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional. Masa berlaku..(tanggal bulan tahun) sampai dengan...(tanggal bulan tahun). Direktur Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi, tanda tangan MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL.(nama lengkap) NIP. 117

118 LAMPIRAN X PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR : 0027 Tahun 2005 TANGGAL : 14 Juli 2005 DEPARTEMEN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL LISTRIK DAN PEMANFAATAN ENERGI Sertifikat Produk Nomor : Tanggal : Diberikan Kepada : (nama perusahaan produsen pemanfaat tenaga listrik) Alamat : Produsen Pemanfaat Tenaga Listrik...(nama pemanfaat tenaga listrik) Menyatakan...(nama dan jenis peralatan tenaga listrik) Kode Pabrik :... Spesifikasi : Tegangan pengenal : : :... setelah diuji di Laboratorium Uji (nama laboratorium uji) dan diaudit oleh Lembaga Sertifikasi Produk (nama lembaga) dengan rekomendasi penerbitan sertifikat Nomor...tanggal...(tanggal bulan tahun), telah sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan dalam Standar Nasional Indonesia, SNI...(nomor SNI)...(judul SNI). Produk ini dapat menggunakan tanda sesuai dengan SNI Masa berlaku..(tanggal bulan tahun) sampai dengan...(tanggal bulan tahun). Direktur Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi, tanda tangan MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL.(nama lengkap) NIP. 118

119 LAMPIRAN XI PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR : 0027 Tahun 2005 TANGGAL : 14 Juli 2005 DEPARTEMEN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL LISTRIK DAN PEMANFAATAN ENERGI Sertifikat Kesesuaian Produk Nomor : Tanggal : Diberikan Kepada : (nama perusahaan importir peralatan tenaga listrik) Alamat : Mengacu pada : Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No Menyatakan...(nama, jenis dan model peralatan tenaga listrik) Kode Pabrik/No. Seri :...s.d... Berjumlah :...Unit Spesifikasi : Tegangan pengenal : : :... setelah diuji di Laboratorium Uji Tipe Nomor...yang diterbitkan oleh Laboratorium Uji (nama laboratorium uji) dan hasil inspeksi Lembaga Sertifikasi Produk (nama lembaga) dengan Laporan Hasil Inspeksi Nomor...tanggal...(tanggal bulan tahun), telah sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan dalam Standar Nasional Indonesia, SNI...(nomor SNI)...(judul SNI). Partai Produk dengan jumlah dan kode seperti di atas dapat ditempelkan label tanda sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional, dengan Nomor Seri Label Mulai...sampai dengan... Direktur Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi, tanda tangan MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL.(nama lengkap) NIP 119

120 LAMPIRAN XI PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR : 0027 Tahun 2005 TANGGAL : 14 Juli 2005 DEPARTEMEN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL LISTRIK DAN PEMANFAATAN ENERGI Sertifikat Produk Nomor : Tanggal : Diberikan Kepada : (nama perusahaan importir peralatan tenaga listrik) Alamat : Mengacu pada : Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. Menyatakan...(nama dan jenis peralatan tenaga listrik) Kode Pabrik/No. Seri :...s.d... Berjumlah :...Unit Spesifikasi : Tegangan pengenal : : :... setelah diuji di Laboratorium Uji Tipe Nomor...yang diterbitkan oleh Laboratorium Uji (nama laboratorium uji) dan hasil inspeksi Lembaga Sertifikasi Produk (nama lembaga) dengan Laporan Hasil Inspeksi Nomor...tanggal...(tanggal bulan tahun), telah sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan dalam MENTERI Standar ENERGI Nasional DAN Indonesia, SUMBER DAYA MINERAL, SNI...(nomor MENTERI ENERGI SNI) DAN SUMBER DAYA MINERAL,...(judul SNI). Partai Produk dengan jumlah dan kode seperti di atas dapat ditempelkan label tanda sesuai dengan SNI , dengan Nomor Seri Label Mulai...sampai dengan... Direktur Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi, tanda tangan.(nama lengkap) MENTERI NIP ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL 120

KELAIKAN TEKNIK DAN KESELAMATAN KETENAGALISTRIKAN

KELAIKAN TEKNIK DAN KESELAMATAN KETENAGALISTRIKAN KELAIKAN TEKNIK DAN KESELAMATAN KETENAGALISTRIKAN 3.1. Umum Dalam rangka mewujudkan instalasi tenaga listrik yang aman, andal, dan akrab lingkungan, maka setiap instalasi tenaga listrik yang akan beroperasi

Lebih terperinci

Buku Informasi Teknik dan Lingkungan Ketenagalistrikan

Buku Informasi Teknik dan Lingkungan Ketenagalistrikan STANDARDISASI KETENAGALISTRIKAN 2.1. Umum Kerja sama di bidang ekonomi antara negara-negara di dunia, seperti Asean Free Trade Area (AFTA), Asia Pacific Economic Cooperation (APEC) dan World Trade Organization

Lebih terperinci

LINDUNGAN LINGKUNGAN TENAGA LISTRIK

LINDUNGAN LINGKUNGAN TENAGA LISTRIK LINDUNGAN LINGKUNGAN TENAGA LISTRIK 4.1. Umum Dalam rangka melaksanakan pembangunan Ketenagalistrikan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, pembangunan ketenagalistrikan mengacu pada peraturan

Lebih terperinci

USAHA PENUNJANG KETENAGALISTRIKAN

USAHA PENUNJANG KETENAGALISTRIKAN USAHA PENUNJANG KETENAGALISTRIKAN 5.1. Umum Kegiatan Usaha Penunjang Ketenagalistrikan meliputi: Pemanfaatan Jaringan Tenaga Listrik untuk kepentingan Telematika, Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN),

Lebih terperinci

INFORMASI TEKNIK DAN LINGKUNGAN KETENAGALISTRIKAN

INFORMASI TEKNIK DAN LINGKUNGAN KETENAGALISTRIKAN INFORMASI TEKNIK DAN LINGKUNGAN KETENAGALISTRIKAN DIREKTORAT JENDERAL LISTRIK DAN PEMANFAATAN ENERGI DEPARTEMEN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL JAKARTA MARET, 2 0 0 6 KATA PENGANTAR Puji syukur kami ucapkan

Lebih terperinci

KESELAMATAN KETENAGALISTRIKAN

KESELAMATAN KETENAGALISTRIKAN KESELAMATAN KETENAGALISTRIKAN SUB DIREKTORAT KELAIKAN TEKNIK DAN KESELAMATAN KETENAGALISTRIKAN DIREKTORAT TEKNIK DAN LINGKUNGAN KETENAGALISTRIKAN DIREKTORAT JENDERAL LISTRIK DAN PEMANFAATAN ENERGI 1 UU

Lebih terperinci

Ir. Nini Medan, 29 Maret 2007

Ir. Nini Medan, 29 Maret 2007 Ir. Nini Medan,, 29 Maret 2007 LATAR BELAKANG 1. SETIAP PEMBANGUNAN KETENAGALISTRIKAN DAPAT MENIMBULKAN DAMPAK TERHADAP LINGKUNGAN 2. TAHAPAN KEGIATAN PEMBANGUNAN TERDIRI DARI PRA KONSTRUKSI, KONSTRUKSI,

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR: TENTANG KESELAMATAN KETENAGALISTRIKAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR: TENTANG KESELAMATAN KETENAGALISTRIKAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA KONSEP TGL. 9-4-2003 RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR: TENTANG KESELAMATAN KETENAGALISTRIKAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : bahwa dalam rangka pelaksanaan ketentuan Bab

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 199, 2000 BADAN STANDARISASI. Standarisasi Nasional. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

KEBIJAKAN USAHA PENUNJANG KETENAGALISTRIKAN

KEBIJAKAN USAHA PENUNJANG KETENAGALISTRIKAN KEBIJAKAN USAHA PENUNJANG KETENAGALISTRIKAN KaSubdit Usaha Penunjang Tenaga Listrik Direktorat Teknik dan Lingkungan Ketenagalistrikan Direktorat Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi LPE 2006 KEBIJAKAN

Lebih terperinci

- 1 - PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 102 TAHUN 2000 TENTANG STANDARDISASI NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

- 1 - PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 102 TAHUN 2000 TENTANG STANDARDISASI NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, - 1 - PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 102 TAHUN 2000 TENTANG STANDARDISASI NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mendukung peningkatan produktivitas, daya

Lebih terperinci

Prinsip Dasar dan Regulasi Ketenagalistrikan. Toha Ardi Nugraha

Prinsip Dasar dan Regulasi Ketenagalistrikan. Toha Ardi Nugraha Prinsip Dasar dan Regulasi Ketenagalistrikan Toha Ardi Nugraha Instalasi Penyedia Pemanfaatan Tenaga Listrik Tanggung Jawab Kelistrikan Regulasi Keteknikan Sektor Ketenagalistrikan Peraturan Perundang-undangan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 102 TAHUN 2000 TENTANG STANDARDISASI NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 102 TAHUN 2000 TENTANG STANDARDISASI NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 102 TAHUN 2000 TENTANG STANDARDISASI NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa dalam rangka mendukung peningkatan produktivitas, daya guna produksi,

Lebih terperinci

KEBIJAKAN STANDARDISASI KETENAGALISTRIKAN DIREKTORAT JENDERAL LISTRIK DAN PEMANFAATAN ENERGI DEPARTEMEN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL

KEBIJAKAN STANDARDISASI KETENAGALISTRIKAN DIREKTORAT JENDERAL LISTRIK DAN PEMANFAATAN ENERGI DEPARTEMEN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL KEBIJAKAN STANDARDISASI KETENAGALISTRIKAN Disampaikan pada Sosialisasi Regulasi Teknik Ketenagalistrikan Medan, 29 Maret 2007 DIREKTORAT JENDERAL LISTRIK DAN PEMANFAATAN ENERGI DASAR HUKUM (1) UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

PELAKSANA INSPEKSI KETENAGALISTRIKAN (PIK)

PELAKSANA INSPEKSI KETENAGALISTRIKAN (PIK) 1 PELAKSANA INSPEKSI KETENAGALISTRIKAN (PIK) SUBDIT KELAIKAN TEKNIK DAN KESELAMATAN KETENAGALISTRIKAN DIREKTORAT JENDERAL LISTRIK DAN PEMANFAATAN ENERGI DEPARTEMEN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL 2 Adalah

Lebih terperinci

Regulasi Keteknikan Di Bidang Ketenagalistrikan

Regulasi Keteknikan Di Bidang Ketenagalistrikan Regulasi Keteknikan Di Bidang Ketenagalistrikan REGULASI SEKTOR KETENAGALISTRIKAN UU No. 30/2009 tentang Ketenagalistrikan; PP No. 10/1989 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Tenaga Listrik, PP No. 3/ 2005

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 19/M-IND/PER/5/2006 T E N T A N G

PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 19/M-IND/PER/5/2006 T E N T A N G PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 19/M-IND/PER/5/2006 T E N T A N G STANDARDISASI, PEMBINAAN DAN PENGAWASAN STANDAR NASIONAL INDONESIA BIDANG INDUSTRI MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR... TAHUN... TENTANG KESELAMATAN KETENAGALISTRIKAN

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR... TAHUN... TENTANG KESELAMATAN KETENAGALISTRIKAN RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR... TAHUN... TENTANG KESELAMATAN KETENAGALISTRIKAN Menimbang: bahwa dalam rangka pelaksanaan ketentuan Pasal 28 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan,

Lebih terperinci

KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL DIREKTORAT JENDERAL KETENAGALISTRIKAN

KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL DIREKTORAT JENDERAL KETENAGALISTRIKAN KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL DIREKTORAT JENDERAL KETENAGALISTRIKAN PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR : 18 TAHUN 2015 RUANG BEBAS DAN JARAK BEBAS MINIMUM PADA SALURAN

Lebih terperinci

BAB III KEADAAN UMUM MENARA SUTET

BAB III KEADAAN UMUM MENARA SUTET BAB III KEADAAN UMUM MENARA SUTET SUTET atau Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi merupakan media pendistribusian listrik oleh PLN berupa kabel dengan tegangan listriknya dinaikkan hingga mencapai 500kV

Lebih terperinci

REGULASI KETEKNIKAN DI BIDANG KETENAGALISTRIKAN

REGULASI KETEKNIKAN DI BIDANG KETENAGALISTRIKAN REGULASI KETEKNIKAN DI BIDANG KETENAGALISTRIKAN Oleh Ir. PAHALA LINGGA DIREKTORAT TEKNIK DAN LINGKUNGAN KETENAGALISTRIKAN DIREKTORAT JENDERAL LISTRIK DAN PEMANFAATAN ENERGI INSTALASI PENYEDIAAN DAN PEMANFAATAN

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 21 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN KETENAGALISTRIKAN

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 21 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN KETENAGALISTRIKAN 29 PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 21 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN KETENAGALISTRIKAN I. PENJELASAN UMUM Pembangunan sektor ketenagalistrikan bertujuan untuk memajukan kesejahteraan

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG KETENAGALISTRIKAN DI PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TENGAH, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA 19/M-IND/PER/5/2006 T E N T A N G

PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA 19/M-IND/PER/5/2006 T E N T A N G PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 19/M-IND/PER/5/2006 T E N T A N G STANDARDISASI, PEMBINAAN DAN PENGAWASAN STANDAR NASIONAL INDONESIA BIDANG INDUSTRI MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK

Lebih terperinci

DEPARTEMEN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL LISTRIK DAN PEMANFAATAN ENERGI

DEPARTEMEN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL LISTRIK DAN PEMANFAATAN ENERGI DEPARTEMEN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL LISTRIK DAN PEMANFAATAN ENERGI KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL LISTRIK DAN PEMANFAATAN ENERGI NOMOR 20012/44/600.4/2003 TENTANG

Lebih terperinci

DEPARTEMEN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL LISTRIK DAN PEMANFAATAN ENERGI

DEPARTEMEN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL LISTRIK DAN PEMANFAATAN ENERGI DEPARTEMEN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL LISTRIK DAN PEMANFAATAN ENERGI KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL LISTRIK DAN PEMANFAATAN ENERGI NOMOR 188-12/44/600.4/2003 TENTANG

Lebih terperinci

PENATAAN DAN PENYEDERHANAAN REGULASI SUB SEKTOR KETENAGALISTRIKAN

PENATAAN DAN PENYEDERHANAAN REGULASI SUB SEKTOR KETENAGALISTRIKAN Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan KementerianEnergidanSumberDayaMineral PENATAAN DAN PENYEDERHANAAN REGULASI SUB SEKTOR KETENAGALISTRIKAN DAN PERUBAHAN KEDUA PERMEN ESDM NO.10 TAHUN 2017 Jakarta, 14

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR : 815 K/30/MEM/2003 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR : 815 K/30/MEM/2003 TENTANG KEPUTUSAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR : 815 K/30/MEM/2003 TENTANG PEMANFAATAN JARINGAN TENAGA LISTRIK UNTUK KEPENTINGAN TELEKOMUNIKASI, MULTIMEDIA, DAN INFORMATIKA MENTERI ENERGI DAN SUMBER

Lebih terperinci

INFRASTRUKTUR ENERGI LISTRIK

INFRASTRUKTUR ENERGI LISTRIK INFRASTRUKTUR ENERGI LISTRIK A.1 Pembangkit Listrik Bagian dari alat industri yang dipakai untuk memproduksi dan membangkitkan tenaga listrikdari berbagai sumber tenaga, seperti PLTU, PLTD, PLTA, dll.

Lebih terperinci

KELAIKAN OPERASI INSTALASI TENAGA LISTRIK

KELAIKAN OPERASI INSTALASI TENAGA LISTRIK KELAIKAN OPERASI INSTALASI TENAGA LISTRIK JUNIKO PARHUSIP, ST Inspektur Ketenagalistrikan Pertama Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan EDUKASI DAN SOSIALISASI PENGGUNAAN ANEKA ENERGI BARU DAN TERBARUKAN

Lebih terperinci

BERITA NEGARA. KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL. Permohonan Izin. Pemanfaatan Tenaga Listrik. Telekomunikasi. Tata Cara. Pencabutan.

BERITA NEGARA. KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL. Permohonan Izin. Pemanfaatan Tenaga Listrik. Telekomunikasi. Tata Cara. Pencabutan. No.1539, 2013 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL. Permohonan Izin. Pemanfaatan Tenaga Listrik. Telekomunikasi. Tata Cara. Pencabutan. PERATURAN MENTERI ENERGI DAN

Lebih terperinci

MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL,

MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL, KEPUTUSAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR 901 K/30/MEM/2003 TANGGAL 30 JUNI 2003 TENTANG PEMBERLAKUAN STANDAR NASIONAL INDONESIA 04-6292.2.80-2003 MENGENAI PERANTI LISTRIK UNTUK RUMAH TANGGA

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN PEINDUSTRIAN. SNI. Industri.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN PEINDUSTRIAN. SNI. Industri. BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.308, 2009 DEPARTEMEN PEINDUSTRIAN. SNI. Industri. PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 86/M-IND/PER/9/2009 TENTANG STANDAR NASIONAL INDONESIA BIDANG

Lebih terperinci

LAPORAN INSPEKSI PEMBANGKIT TENAGA LISTRIK PLTU BANTEN 1 X 660 MW (PT. LESTARI BANTEN ENERGI) 27 FEBRUARI - 1 MARET 2017

LAPORAN INSPEKSI PEMBANGKIT TENAGA LISTRIK PLTU BANTEN 1 X 660 MW (PT. LESTARI BANTEN ENERGI) 27 FEBRUARI - 1 MARET 2017 LAPORAN INSPEKSI PEMBANGKIT TENAGA LISTRIK PLTU BANTEN 1 X 660 MW (PT. LESTARI BANTEN ENERGI) 27 FEBRUARI - 1 MARET 2017 Inspektur Ketenagalistrikan Direktorat Teknik dan Lingkungan Ketenagalistrikan Jakarta,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 102 TAHUN 2000 TENTANG STANDARDISASI NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 102 TAHUN 2000 TENTANG STANDARDISASI NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 102 TAHUN 2000 TENTANG STANDARDISASI NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mendukung peningkatan produktivitas, daya guna

Lebih terperinci

2014, No Nomor 5286); 3. Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tanggal 3 November 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara se

2014, No Nomor 5286); 3. Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tanggal 3 November 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara se BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.708, 2014 KEMENESDM. Retensi Arsip Substantif. Ketenagalistrikan. Jadwal. PERATUR MENTERI ENERGI D SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2014 TENTG JADWAL

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PENYEDIAAN TENAGA LISTRIK DAN PEMANFAATAN ENERGI

KEBIJAKAN PENYEDIAAN TENAGA LISTRIK DAN PEMANFAATAN ENERGI KEBIJAKAN PENYEDIAAN TENAGA LISTRIK DAN PEMANFAATAN ENERGI J. PURWONO Direktorat Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral Disampaikan pada: Pertemuan Nasional Forum

Lebih terperinci

Peraturan Pemerintah No. 102 Tahun Tentang : Standardisasi Nasional

Peraturan Pemerintah No. 102 Tahun Tentang : Standardisasi Nasional Peraturan Pemerintah No. 102 Tahun 2000 Tentang : Standardisasi Nasional Menimbang : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa dalam rangka mendukung peningkatan produktivitas, daya guna produksi, mutu barang,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG KEGIATAN USAHA PENYEDIAAN TENAGA LISTRIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG KEGIATAN USAHA PENYEDIAAN TENAGA LISTRIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG KEGIATAN USAHA PENYEDIAAN TENAGA LISTRIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

Direktorat Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral

Direktorat Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral Oleh : Ir. Arief Indarto, M.M. Kasubdit Tenaga Teknik Ketenagalistrikan Direktorat Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral Medan, 29 Maret 2007 1 UU NO. 15 TAHUN

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR : 2052 K/40/MEM/2001 TENTANG STANDARDISASI KOMPETENSI TENAGA TEKNIK KETENAGALISTRIKAN

KEPUTUSAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR : 2052 K/40/MEM/2001 TENTANG STANDARDISASI KOMPETENSI TENAGA TEKNIK KETENAGALISTRIKAN KEPUTUSAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR : 2052 K/40/MEM/2001 TENTANG STANDARDISASI KOMPETENSI TENAGA TEKNIK KETENAGALISTRIKAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL, Menimbang. : bahwa sebagai

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR : 437 K/30/MEM/2003 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR : 437 K/30/MEM/2003 TENTANG KEPUTUSAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR : 437 K/30/MEM/2003 TENTANG PERUBAHAN PERATURAN MENTERI PERTAMBANGAN DAN ENERGI NOMOR 01 P/40/M.PE/1990 TENTANG INSTALASI KETENAGALISTRIKAN MENTERI

Lebih terperinci

Kasubdit Kelaikan Teknik dan Keselamatan Ketenagalistrikan Direktorat Teknik dan Lingkungan Ketenagalistrikan

Kasubdit Kelaikan Teknik dan Keselamatan Ketenagalistrikan Direktorat Teknik dan Lingkungan Ketenagalistrikan DEPARTEMEN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL DIREKTORAT JENDERAL LISTRIK DAN PEMANFAATAN ENERGI SERTIFIKASI S LAIK OPERASI INSTALASI TENAGA LISTRIK Disampaikan Oleh : Pahala Lingga Kasubdit Kelaikan Teknik

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG KEGIATAN USAHA PENYEDIAAN TENAGA LISTRIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG KEGIATAN USAHA PENYEDIAAN TENAGA LISTRIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG KEGIATAN USAHA PENYEDIAAN TENAGA LISTRIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

2012, No.28 2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Usaha penyediaan tenaga listrik adalah pengadaan te

2012, No.28 2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Usaha penyediaan tenaga listrik adalah pengadaan te No.28, 2012 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA KETENAGALISTRIKAN. Tenaga Listrik. Kegiatan. Usaha. Penyediaan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5281) PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 58/Permentan/OT.140/8/ TENTANG PELAKSANAAN SISTEM STANDARDISASI NASIONAL DI BIDANG PERTANIAN

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 58/Permentan/OT.140/8/ TENTANG PELAKSANAAN SISTEM STANDARDISASI NASIONAL DI BIDANG PERTANIAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 58/Permentan/OT.140/8/2007................... TENTANG PELAKSANAAN SISTEM STANDARDISASI NASIONAL DI BIDANG PERTANIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERTANIAN,

Lebih terperinci

2017, No Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2012 tentang Kegiatan Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahu

2017, No Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2012 tentang Kegiatan Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahu BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1032, 2017 KEMEN-ESDM. Standardisasi Kompetensi. Pencabutan. PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2017 TENTANG STANDARDISASI

Lebih terperinci

LAPORAN INSPEKSI PEMBANGKIT TENAGA LISTRIK PLTU BANTEN 1 X 660 MW (PT. LESTARI BANTEN ENERGI) 27 FEBRUARI - 1 MARET 2017

LAPORAN INSPEKSI PEMBANGKIT TENAGA LISTRIK PLTU BANTEN 1 X 660 MW (PT. LESTARI BANTEN ENERGI) 27 FEBRUARI - 1 MARET 2017 LAPORAN INSPEKSI PEMBANGKIT TENAGA LISTRIK PLTU BANTEN 1 X 660 MW (PT. LESTARI BANTEN ENERGI) 27 FEBRUARI - 1 MARET 2017 Inspektur Ketenagalistrikan Direktorat Teknik dan Lingkungan Ketenagalistrikan Jakarta,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG KEGIATAN USAHA PENYEDIAAN TENAGA LISTRIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG KEGIATAN USAHA PENYEDIAAN TENAGA LISTRIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG KEGIATAN USAHA PENYEDIAAN TENAGA LISTRIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2005 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 10 TAHUN 1989 TENTANG PENYEDIAAN DAN PEMANFAATAN TENAGA LISTRIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

AKREDITASI DAN SERTIFIKASI KETENAGALISTRIKAN

AKREDITASI DAN SERTIFIKASI KETENAGALISTRIKAN KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL DIREKTORAT JENDERAL KETENAGALISTRIKAN AKREDITASI DAN SERTIFIKASI KETENAGALISTRIKAN Jakarta, 14 Februari 2014 DASAR HUKUM AKREDITASI DAN SERTIFIKASI KETENAGALISTRIKAN

Lebih terperinci

TATA CARA PERIZINAN USAHA JASA PENUNJANG TENAGA LISTRIK

TATA CARA PERIZINAN USAHA JASA PENUNJANG TENAGA LISTRIK KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL DIREKTORAT JENDERAL KETENAGALISTRIKAN TATA CARA PERIZINAN USAHA JASA PENUNJANG TENAGA LISTRIK Jakarta, 17 Januari 2014 DASAR HUKUM TATA CARA PERIZINAN USAHA JASA

Lebih terperinci

TENTANG STANDARDISASI KOMPETENSI TENAGA TEKNIK KHUSUS BIDANG GEOLOGI DAN PERTAMBANGAN

TENTANG STANDARDISASI KOMPETENSI TENAGA TEKNIK KHUSUS BIDANG GEOLOGI DAN PERTAMBANGAN KEPUTUSAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR : 1086 K/40/MEM/2003 TENTANG STANDARDISASI KOMPETENSI TENAGA TEKNIK KHUSUS BIDANG GEOLOGI DAN PERTAMBANGAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2005 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 10 TAHUN 1989 TENTANG PENYEDIAAN DAN PEMANFAATAN TENAGA LISTRIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR : 048 Tahun 2006 TENTANG

MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR : 048 Tahun 2006 TENTANG MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR : 048 Tahun 2006 TENTANG PEMANFAATAN JARINGAN TENAGA LISTRIK UNTUK KEPENTINGAN TELEKOMUNIKASI,

Lebih terperinci

BAB III STANDAR NASIONAL INDONESIA (SNI) 3.1 Peraturan Perundang Undangan Standar Nasional Indonesia (SNI)

BAB III STANDAR NASIONAL INDONESIA (SNI) 3.1 Peraturan Perundang Undangan Standar Nasional Indonesia (SNI) BAB III STANDAR NASIONAL INDONESIA (SNI) 3.1 Peraturan Perundang Undangan Standar Nasional Indonesia (SNI) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 102 TAHUN 2000 TENTANG STANDARDISASI NASIONAL PRESIDEN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2005 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 10 TAHUN 1989 TENTANG PENYEDIAAN DAN PEMANFAATAN TENAGA LISTRIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

PROGRAM PERUMUSAN STANDAR TAHUN 2004

PROGRAM PERUMUSAN STANDAR TAHUN 2004 Direktorat Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral PROGRAM PERUMUSAN STANDAR TAHUN 2004 NO JUDUL/TOPIK RUANG LINGKUP PANTEK 1 Lambang huruf yang akan digunakan

Lebih terperinci

GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG

GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG PENGATURAN POHON PADA RUANG BEBAS SALURAN UDARA TEGANGAN MENENGAH (SUTM), SALURAN UDARA TEGANGAN TINGGI

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2005 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 10 TAHUN 1989 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2005 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 10 TAHUN 1989 TENTANG 1 PRESIDEN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 3 TAHUN 2005 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 10 TAHUN 1989 TENTANG PENYEDIAAN DAN PEMANFAATAN TENAGA LISTRIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN,

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.921, 2013 KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN. Pendingin Ruangan. Lemari Pendingin. Mesin Cuci. SNI. Pemberlakuan. PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34/M-IND/PER/7/2013

Lebih terperinci

MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR 0027 TAHUN 2005 TENTANG

MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR 0027 TAHUN 2005 TENTANG MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 0027 TAHUN 2005 TENTANG TATA CARA PEMBUBUHAN TANDA SNI DAN TANDA KESELAMATAN Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan pasal 24 ayat

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN ENERGI DAN SUMBER DAYA MANUSIA. Standar Nasional Indonesia. Pemutus Sirkit. Proteksi Arus. Rumah Tangga.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN ENERGI DAN SUMBER DAYA MANUSIA. Standar Nasional Indonesia. Pemutus Sirkit. Proteksi Arus. Rumah Tangga. No.249,2009 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN ENERGI DAN SUMBER DAYA MANUSIA. Standar Nasional Indonesia. Pemutus Sirkit. Proteksi Arus. Rumah Tangga. PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERTAMBANGAN DAN ENERGI. Nomor : 01.P/47/MPE/1992. Tanggal.: 07 Februari 1992

PERATURAN MENTERI PERTAMBANGAN DAN ENERGI. Nomor : 01.P/47/MPE/1992. Tanggal.: 07 Februari 1992 PERATURAN MENTERI PERTAMBANGAN DAN ENERGI Nomor : 01.P/47/MPE/1992 Tanggal.: 07 Februari 1992 PT PLN (PERSERO) PENYALURAN DAN PUSAT PENGATUR BEBAN JAWA BALI REGION..... PT PLN (PERSERO) PENYALURAN DAN

Lebih terperinci

Perizinan Usaha Penyediaan dan Jasa Penunjang Tenaga Listrik. Toha Ardi Nugraha

Perizinan Usaha Penyediaan dan Jasa Penunjang Tenaga Listrik. Toha Ardi Nugraha Perizinan Usaha Penyediaan dan Jasa Penunjang Tenaga Listrik Toha Ardi Nugraha Istilah Ketenagalistrikan Ketenagalistrikan adalah Segala sesuatu yang menyangkut penyediaan dan pemanfaatan tenaga listrik

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR : 1094 K/30/MEM/2003 TENTANG STANDAR LATIH KOMPETENSI TENAGA TEKNIK KETENAGALISTRIKAN

KEPUTUSAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR : 1094 K/30/MEM/2003 TENTANG STANDAR LATIH KOMPETENSI TENAGA TEKNIK KETENAGALISTRIKAN KEPUTUSAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR : 1094 K/30/MEM/2003 TENTANG STANDAR LATIH KOMPETENSI TENAGA TEKNIK KETENAGALISTRIKAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2014 TENTANG STANDARDISASI DAN PENILAIAN KESESUAIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2014 TENTANG STANDARDISASI DAN PENILAIAN KESESUAIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2014 TENTANG STANDARDISASI DAN PENILAIAN KESESUAIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Pemerintah

Lebih terperinci

Peraturan Menteri ESDM Nomor 46 Tahun 2017 tentang Standardisasi Kompetensi Tenaga Teknik Ketenagalistrikan

Peraturan Menteri ESDM Nomor 46 Tahun 2017 tentang Standardisasi Kompetensi Tenaga Teknik Ketenagalistrikan DIREKTORAT JENDERAL KETENAGALISTRIKAN KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL Peraturan Menteri ESDM Nomor 46 Tahun 2017 tentang Standardisasi Tenaga Teknik Ketenagalistrikan Oleh: Direktur Teknik dan

Lebih terperinci

1. Apa kepanjangan dari AMDAL..? a. Analisis Masalah Dalam Alam Liar b. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan c. Analisis Mengenai Dampak Alam dan

1. Apa kepanjangan dari AMDAL..? a. Analisis Masalah Dalam Alam Liar b. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan c. Analisis Mengenai Dampak Alam dan 1. Apa kepanjangan dari AMDAL..? a. Analisis Masalah Dalam Alam Liar b. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan c. Analisis Mengenai Dampak Alam dan Lingkungan d. Analisis Masalah Dampak Lingkungan e. Analisa

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2005 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 10 TAHUN 1989 TENTANG PENYEDIAAN DAN PEMANFAATAN TENAGA LISTRIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR TENTANG

PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR TENTANG PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR TENTANG PEMBERLAKUAN STANDAR NASIONAL INDONESIA (SNI) PENDINGIN RUANGAN, LEMARI PENDINGIN, DAN MESIN CUCI SECARA WAJIB DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

STANDAR KOMPETENSI TENAGA TEKNIK KETENAGALISTRIKAN BIDANG INDUSTRI PEMANFAAT TENAGA LISTRIK SUB BIDANG PENGENDALIAN DAN JAMINAN MUTU

STANDAR KOMPETENSI TENAGA TEKNIK KETENAGALISTRIKAN BIDANG INDUSTRI PEMANFAAT TENAGA LISTRIK SUB BIDANG PENGENDALIAN DAN JAMINAN MUTU STANDAR KOMPETENSI TENAGA TEKNIK KETENAGALISTRIKAN BIDANG INDUSTRI PEMANFAAT TENAGA LISTRIK SUB BIDANG PENGENDALIAN DAN JAMINAN MUTU DEPARTEMEN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL DIREKTORAT JENDERAL LISTRIK

Lebih terperinci

RKL-RPL RENCANA PEMBANGUNAN DAN PENGOPERASIAN PLTU TANJUNG JATI B UNIT 5 DAN 6 (2 X MW) DI KABUPATEN JEPARA, PROVINSI JAWA TENGAH

RKL-RPL RENCANA PEMBANGUNAN DAN PENGOPERASIAN PLTU TANJUNG JATI B UNIT 5 DAN 6 (2 X MW) DI KABUPATEN JEPARA, PROVINSI JAWA TENGAH BAB I PENDAHULUAN 1.1. MAKSUD DAN TUJUAN Maksud dan tujuan pelaksanaan Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (RPL) dari rencana kegiatan Pembangunan dan Pengoperasian

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 102 TAHUN 2000 TENTANG STANDARDISASI NASIONAL

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 102 TAHUN 2000 TENTANG STANDARDISASI NASIONAL PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 102 TAHUN 2000 TENTANG STANDARDISASI NASIONAL 1 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Standar adalah spesifikasi

Lebih terperinci

POKOK-POKOK UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2009 TENTANG KETENAGALISTRIKAN

POKOK-POKOK UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2009 TENTANG KETENAGALISTRIKAN POKOK-POKOK UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2009 TENTANG KETENAGALISTRIKAN DIREKTORAT JENDERAL LISTRIK DAN PEMANFAATAN ENERGI DEPARTEMEN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL UNDANG-UNDANG TENTANG KETENAGALISTRIKAN

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN MANDAILING NATAL NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN USAHA KETENAGALISTRIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN MANDAILING NATAL NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN USAHA KETENAGALISTRIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN MANDAILING NATAL NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN USAHA KETENAGALISTRIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MANDAILING NATAL, SALINAN Menimbang : a. bahwa tenaga

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2014 TENTANG STANDARDISASI DAN PENILAIAN KESESUAIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2014 TENTANG STANDARDISASI DAN PENILAIAN KESESUAIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2014 TENTANG STANDARDISASI DAN PENILAIAN KESESUAIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Pemerintah Negara

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR : 8 TAHUN 2009 SERI : E NOMOR : 2

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR : 8 TAHUN 2009 SERI : E NOMOR : 2 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR : 8 TAHUN 2009 SERI : E NOMOR : 2 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR 8 TAHUN 2009 TENTANG KERJASAMA PEMERINTAH KABUPATEN KEBUMEN DENGAN BADAN USAHA DALAM PENYEDIAAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: TENTANG

PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: TENTANG PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: TENTANG PEMBERLAKUAN STANDAR NASIONAL INDONESIA (SNI) KOMPOR GAS TEKANAN RENDAH JENIS DUA DAN TIGA TUNGKU DENGAN SISTEM PEMANTIK SECARA WAJIB DENGAN

Lebih terperinci

STANDAR KOMPETENSI TENAGA TEKNIK KETENAGALISTRIKAN BIDANG INDUSTRI PEMANFAAT TENAGA LISTRIK SUB BIDANG PERANCANGAN

STANDAR KOMPETENSI TENAGA TEKNIK KETENAGALISTRIKAN BIDANG INDUSTRI PEMANFAAT TENAGA LISTRIK SUB BIDANG PERANCANGAN STANDAR KOMPETENSI TENAGA TEKNIK KETENAGALISTRIKAN BIDANG INDUSTRI PEMANFAAT TENAGA LISTRIK SUB BIDANG PERANCANGAN DEPARTEMEN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL DIREKTORAT JENDERAL LISTRIK DAN PEMANFAATAN

Lebih terperinci

Renstra Pusat Akreditasi Lembaga Sertifikasi BSN Tahun RENSTRA PUSAT AKREDITASI LEMBAGA SERTIFIKASI TAHUN

Renstra Pusat Akreditasi Lembaga Sertifikasi BSN Tahun RENSTRA PUSAT AKREDITASI LEMBAGA SERTIFIKASI TAHUN RENSTRA PUSAT AKREDITASI LEMBAGA SERTIFIKASI TAHUN 2015-2019 BADAN STANDARDISASI NASIONAL 2015 Kata Pengantar Dalam rangka melaksanakan amanat Undang-Undang No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 102 TAHUN 2000 TENTANG STANDARDISASI NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 102 TAHUN 2000 TENTANG STANDARDISASI NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 102 TAHUN 2000 TENTANG STANDARDISASI NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mendukung peningkatan produktivitas, daya guna

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PESAWARAN NOMOR 19 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN KEWENANGAN BIDANG KETENAGALISTRIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PESAWARAN NOMOR 19 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN KEWENANGAN BIDANG KETENAGALISTRIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN PESAWARAN NOMOR 19 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN KEWENANGAN BIDANG KETENAGALISTRIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PESAWARAN, Menimbang : a. bahwa tenaga listrik

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2014 TENTANG STANDARDISASI DAN PENILAIAN KESESUAIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2014 TENTANG STANDARDISASI DAN PENILAIAN KESESUAIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2014 TENTANG STANDARDISASI DAN PENILAIAN KESESUAIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Pemerintah

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG KETENAGALISTRIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA BARAT,

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG KETENAGALISTRIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA BARAT, PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG KETENAGALISTRIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA BARAT, Menimbang : Mengingat : a. bahwa tenaga listrik mempunyai

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG KETENAGALISTRIKAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG KETENAGALISTRIKAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG KETENAGALISTRIKAN Bagian Hukum Sekretariat Daerah Kabupaten Ogan Komering Ulu PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU NOMOR

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 1999 TENTANG ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 1999 TENTANG ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 1999 TENTANG ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka melaksanakan pembangunan berwawasan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 21 TAHUN 2008

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 21 TAHUN 2008 SALINAN PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 21 TAHUN 2008 TENTANG BAKU MUTU EMISI SUMBER TIDAK BERGERAK BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN PEMBANGKIT TENAGA LISTRIK TERMAL MENTERI NEGARA LINGKUNGAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG KEGIATAN USAHA PENYEDIAAN TENAGA LISTRIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG KEGIATAN USAHA PENYEDIAAN TENAGA LISTRIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG KEGIATAN USAHA PENYEDIAAN TENAGA LISTRIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

- 1 - PERATURAN GUBERNUR SUMATERA BARAT NOMOR 44 TAHUN 2015 TENTANG INSTALASI PEMANFAATAN TENAGA LISTRIK TEGANGAN RENDAH

- 1 - PERATURAN GUBERNUR SUMATERA BARAT NOMOR 44 TAHUN 2015 TENTANG INSTALASI PEMANFAATAN TENAGA LISTRIK TEGANGAN RENDAH - 1 - PERATURAN GUBERNUR SUMATERA BARAT NOMOR 44 TAHUN 2015 TENTANG INSTALASI PEMANFAATAN TENAGA LISTRIK TEGANGAN RENDAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA BARAT, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

KERANGKA LEGISLASI DAN REGULASI SEKTOR ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL

KERANGKA LEGISLASI DAN REGULASI SEKTOR ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral KERANGKA LEGISLASI DAN REGULASI SEKTOR ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL www.esdm.go.id Jakarta, Januari 2013 1 KERANGKA LEGISLASI SEKTOR ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 21 TAHUN 2008

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 21 TAHUN 2008 SALINAN PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 21 TAHUN 2008 TENTANG BAKU MUTU EMISI SUMBER TIDAK BERGERAK BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN PEMBANGKIT TENAGA LISTRIK TERMAL MENTERI NEGARA LINGKUNGAN

Lebih terperinci

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1999 Tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1999 Tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1999 Tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 1999 ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TENGAH, PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 35 TAHUN 2013 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH

GUBERNUR JAWA TENGAH, PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 35 TAHUN 2013 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 35 TAHUN 2013 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG KETENAGALISTRIKAN DI PROVINSI JAWA

Lebih terperinci

BUPATI KEBUMEN PERATURAN BUPATI KEBUMEN NOMOR 87 TAHUN 2008 TENTANG

BUPATI KEBUMEN PERATURAN BUPATI KEBUMEN NOMOR 87 TAHUN 2008 TENTANG BUPATI KEBUMEN PERATURAN BUPATI KEBUMEN NOMOR 87 TAHUN 2008 TENTANG RINCIAN TUGAS POKOK, FUNGSI DAN TATA KERJA KANTOR LINGKUNGAN HIDUP KABUPATEN KEBUMEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KEBUMEN,

Lebih terperinci

TARGET & REALISASI TRIWULAN 1-4 TAHUN 2017 KINERJA LINGKUNGAN HIDUP

TARGET & REALISASI TRIWULAN 1-4 TAHUN 2017 KINERJA LINGKUNGAN HIDUP PT PLN (PERSERO) TRANSMISI JAWA BAGIAN TIMUR DAN BALI TARGET & REALISASI TRIWULAN 1-4 TAHUN 2017 KINERJA LINGKUNGAN HIDUP KANTOR INDUK TRANS-JBTB NO DESKRIPSI KEGIATAN JENIS KEGIATAN URAIAN KEGIATAN TRW

Lebih terperinci

BUPATI BANGKA TENGAH

BUPATI BANGKA TENGAH BUPATI BANGKA TENGAH SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA TENGAH NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG USAHA KETENAGALISTRIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA TENGAH, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

SKEMA PSK TERSEBAR ecil Teknologi

SKEMA PSK TERSEBAR ecil Teknologi KEPUTUSAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA M,INERAL NO : 1122 K/30/MEM/2002 12 Juni 2002 TENTANG PEDOMAN PENGUSAHAAN PEMBANGKIT TENAGA LISTRIK SKALA KECIL TERSEBAR Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN KAYONG UTARA

PEMERINTAH KABUPATEN KAYONG UTARA PEMERINTAH KABUPATEN KAYONG UTARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN KAYONG UTARA NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG KETENAGALISTRIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KAYONG UTARA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

2 Mengingat penyelenggaraan kegiatan standardisasi dan penilaian kesesuaian; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, hur

2 Mengingat penyelenggaraan kegiatan standardisasi dan penilaian kesesuaian; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, hur LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.216, 2014 PERDAGANGAN. Standardisasi. Penilaian Kesesuaian Perumusan. Pemberlakuan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5584) UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci