BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN"

Transkripsi

1 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Penelitian mengenai Kabhanti telah banyak dilakukan dari berbagai kajian, seperti: kajian budaya, linguistik murni, dan wacana sastra. Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan dengan penelitian sebelumnya, perlu dipaparkan beberapa penelitian yang terkait dengan penelitian ini. Berikut ini, beberapa inti sari penelitian terdahulu. Sudu (2010) Menulis Kabhanti Gambusu, Telaah Bentuk, Makna, dan Fungsi (Skripsi Unhalu). Penelitian Sudu merupakan tinjauan pewarisan mengenai Kabhanti Gambusu, yang bertujuan mengungkapkan model pewarisan Kabhanti Gambusu pada masyarakat Muna. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori pewarisan, teori formula dengan memaparkan konsep kelisanan, lantunan, dan penciptaan tradisi lisan. Sumber penelitian berupa data langsung dari lapangan dan didukung oleh studi pustaka. Penelitian Sudu menganalisis model baru pewarisan tradisi lisan Kabhanti Gambusu pada masyarakat Muna. Pewarisan dilakukan baik secara formal maupun informal. Hasil pewarisan secara formal berupa tindakan pemerintah Kabupaten Muna melalui pembuatan kurikulum muatan lokal, namun tidak berjalan dengan baik. Sementara itu, hasil pewarisan informal dilakukan melalui lantunan, keluarga, sanggar, dan industri rekaman yang dilakukan sendiri oleh masyarakat setempat. Hal ini mampu berjalan dengan baik. Penelitian ini memiliki persamaan dengan penelitian Sudu yaitu menjelaskan bagaimana bentuk, fungsi, dan makna sebagai pokok permasalahan. Namun, yang menjadi perbedaan adalah jenis Kabhantinya. Sudu menggunakan

2 objek penelitian Kabhanti Gambusu, sedangkan penelitian ini menggunakan objek penelitian Kabhanti Watulea. Singkatnya, berbeda pada lokasi namun memilik dasar penelitian yang sama yaitu Kabhanti. Aderalepe dkk (2006) dengan karya tulis berjudul Analisis Semiotik Sastra Lisan Kantola: Sastra Lisan Daerah Buton Tengah, Kendari, Kantor Bahasa Propinsi Sulawesi Tenggara Departemen Pendidikan Nasional menjelaskan karya lisan Kabhanti Kantola. Peneliti menjabarkan permasalahan Kabhanti Kantola dalam bentuk pola budaya masyarakat setempat. Lokasi penelitian pada lima Kecamatan, yakni: Kecamatan Kabawo, Kecamatan Napabalano, Kecamatan Tiworo Kepulauan, Kecamatan Tongkuno, dan Kecamatan Kusambi, Sulawesi Tenggara. Struktur bentuk Kabhanti Kantola tidak terikat, baik sajak maupun baris. Kabhanti Kantola sarat makna multidimensional. Di samping itu, penelitian Sudu fokus pada peninjauan bentuk, fungsi, dan makna dengan menggunakan teori semiotik untuk menjawab ketiga permasalahannya. Perbedaannya dengan penelitian ini yaitu tidak menggunakan teori tunggal semiotik. Penelitian ini mengkaji bentuk, fungsi, dan makna wacana Kabhanti Watulea dengan menggunakan tiga teori, yakni: teori formula, teori fungsi, dan teori semiotik. Penelitian ini mengungkapkan kritik sosial pada masyarakat setempat. Lokasi penelitian ini adalah Kelurahan Watulea, Kecamatan Gu, Kabupaten Buton Tengah, Sulawesi Tenggara didasarkan pada lantunan Kabhanti Watulea yang hanya ada di Kelurahan Watulea. Referensi dari penulis sebelumnya, menjadi acuan dalam menganalisis makna wacana kritik sosial Kabhanti Watulea. Banara (2012) dalam skripsi Tradisi Lisan Kabhanti Kusapi (Analisis Fungsi dan Makna) Pada Masyarakat Etnik Muna Tengah di Kecamatan Lawa Kabupaten Muna Sulawesi Tenggara, memaparkan Kabhanti Kusapi. Kabhanti Kusapi yang merupakan salah satu tradisi

3 lisan kebudayaan masyarakat Muna diturunkan secara turun temurun dan mengandung nilai-nilai budaya. Dalam pementasan Kabhanti Kusapi dinyanyikan dan diiringi oleh alat musik kusapi dan biasanya dilaksanakan pada acara pesta kampung, misalnya pesta panen. Kabhanti Kusapi di daerah Muna menunjukkan bentuk Kabhanti Kusapi yang meliputi: jumlah baris, suku kata, dan persamaan bunyi. Jumlah baris Kabhanti Kusapi dalam masyarakat Muna terdiri atas dua baris, seperti: Adhetani sitani lado ganda tendo-tendo. Suku kata kabhanti kusapi berjumlah 8-20 suku kata. Ditinjau dari hasil analisis data ditemukan makna nasihat, makna percintaan, makna sindiran, curahan hati, dan makna kegembiraan. Banara meneliti permasalahan bentuk dan makna Kabhanti Kusapi dengan menggunakan teori semiotik. Sementara, penelitian ini menggunakan teori formula, teori fungsi, dan teori semiotik yang menentukan bentuk, fungsi dan makna dalam wacana Kabhanti Watulea. Perbedaan terletak pada objek penelitian dan Banara belum mengkritisi isu kritik sosial yang menjadi tujuan seseorang melantunkan Kabhanti. Ketiga penelitian di atas mengungkapkan sastra lisan Kabhanti yang memiliki persamaan dan perbedaan dengan penelitian ini. Persamaan berupa penggunaan teori semiotik dan teori formula. Perbedaan pada objek kajian yakni ketiga peneliti belum menyinggung objek Kabhanti Watulea serta belum membahas masalah kritik sosial. Penelitian Kabhanti Watulea memberi gambaran kritik sosial berupa penyampaian nilai-nilai moral, estetika, religi, dan kebenaran. Data sejarah dalam penelitian ini menginspirasi pembaca mengenai wacana kritik sosial yang membangun jati diri dan mewujudkan kualitas manusia yang lebih baik.

4 2.2 Konsep Konsep adalah bagian penting dari penelitian yang berfungsi untuk mengklasifikasikan data, sehingga mendapatkan ide, definisi, dan pengertian menyeluruh. Bungin (2009:73) berpendapat bahwa konsep merupakan hal terpenting dalam suatu penelitian sebagai generalisasi suatu fenomena yang muncul dari permasalahan. Konsep digunakan sebagai penjelasan dari fenomena yang ada. Terdapat dua konsep yang dipaparkan yakni konsep wacana kritik sosial dan konsep sastra lisan Kabhanti Watulea Wacana Kritik Sosial Wacana biasanya ditemukan dalam bentuk teks narasi maupun bentuk yang lain. Pengertian wacana menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008:1621) adalah ucapan, percakapan, tutur, dan keseluruhan ucapan merupakan suatu kesatuan. Tradisi lisan Kabhanti Watulea merupakan teks narasi yang memiliki wacana. Hal ini sejalan dengan Badudu (Badara, 2012:16) yang menerangkan bahwa wacana merupakan untaian kalimat yang berkaitan dan menghubungkan dan membentuk suatu kesatuan makna yang utuh yang disampaikan baik secara lisan maupun tertulis. Webster menjelaskan bahwa kata kritik berasal dari bahasa Yunani kritikos yang berarti a judge atau dari kata kinnea yang berarti to judge (Webster, 1983:432). Sementara itu, sosial mengandung pengertian having to do with human beings living together as a group in a situation that they have dealing with another (Webster, 1983:1723). Kritik sosial adalah penilaian dan tanggapan seseorang mengenai sesuatu yang berhubungan dengan kehidupan sosial masyarakat. Penilaian atau tanggapan tersebut bisa bernuansa ejekean, cemooh, sindiran, dan sejenisnya Sudewa (2011:4). Kritik sosial adalah

5 salah satu media komunikasi yang bertujuan sebagai kontrol terhadap keberlangsungan suatu sistem sosial dalam kehidupan bermasyarakat. Berdasarkan dua definisi tersebut di atas, dapat disimpulkan pengertian kritik sosial. Kritik sosial yang dimaksudkan adalah peniliaian dan tanggapan keadaan sosial masyarakat Watulea yang terdapat dalam tradisi lisan Kabhanti Watuela. Dengan kata lain, kritik sosial sebagai tindakan untuk membandingkan serta mengamati secara teliti dan melihat perkembangan secara cermat tentang baik atau buruknya kualitas suatu masyarakat. Kritik sosial dalam karya sastra bersifat universal, sehingga perlu adanya pembatasan definisi agar tidak terjadi ambiguitas makna. Kritik sosial dalam penelitian ini adalah kritik sosial mengenai isu yang muncul karena adanya ketimpangan, ketidakpuasan, kekecewaan, dan pertentangan visi. Hal tersebut lahir sebagai bentuk nyata keadaan masyarakat Watulea, sehingga yang mendorong pelantun untuk mengekspresikan perasaannya melalui kritik yang hadir dalam Kabhanti Watulea. Sementara itu, isu-isu yang muncul dalam masyarakat Watulea adalah kritik perkawinan poliandri, kritik kepercayaan hukum karma, kritik kepercayaan takdir Tuhan, dan kritik pengingkaran ajaran Tuhan. Tindakan mengritik dapat dilakukan oleh siapa pun termasuk sastrawan dalam menanggapi suatu permasalahan yang terjadi dalam lingkungan sosial. Kritik sosial merupakan suatu variabel penting dalam memelihara sistem sosial yang ada. Kritik adalah penilaian ilmiah ataupun pengujian terhadap situasi masyarakat pada suatu saat, sehingga dengan adanya kritik sosial mampu mengedepankan bukti-bukti objektif dan bobot ilmiah dari masalah yang terjadi. Kritik sosial adalah respon yang terdiri atas sindiran dan tanggapan terhadap kenyataan yang terjadi di dalam masyarakat, manakala terdapat konfrontasi dengan realitas berupa ketidaksesuaian dan kebobrokan. Kritik sosial diungkapkan ketika nilai kehidupan tidak selaras

6 dan tidak harmonis, masalah-masalah sosial tidak mampu diatasi, dan terjadi perubahan sosial yang berdampak negatif. Masalah yang terjadi dalam masyarakat dapat disampaikan baik secara langsung maupun tidak langsung, seperti: kemiskinan, kemelaratan, penderitaan, keputusasaan, dan kesedihan. Terdapat beberapa media penyampaian kritik sosial. Salah satu media yang digunakan untuk penyampaian kritik sosial tersebut adalah Kabhanti Watulea. Singkatnya, Kabhanti Watulea muncul dalam masyarakat jika terjadi hal-hal yang kurang beres dalam kehidupan sosial masyarakat bersangkutan Sastra Lisan Kabhanti Watulea Sastra lisan merupakan bentuk sastra pertama sebelum sastra tulis. Penyebaran sastra lisan dilakukan secara lisan. Zaman dahulu belum dikenal aksara atau tulisan jadi proses penyampaiannya dilakukan secara lisan. Istilah sastra lisan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Alwi, dkk. 2001:1002) dibatasi sebagai hasil kebudayaan lisan dalam masyarakat tradisional yang isinya dapat disesuaikan dengan sastra tulis dalam masyarakat modern. Sastra lisan menurut Santosa (1995:19) adalah hasil kebudayaan lisan dalam masyarakat tradisional yang isinya disejajarkan dengan sastra tulis dalam masyarakat modern. Sastra lisan diwariskan secara turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya dalam wujud lisan. Sampai sekarang, sastra lisan masih hidup di kalangan masyarakat Indonesia. Sebagian besar sastra lisan dibukukan dan ditulis kembali dalam bentuk gubahan, saduran, diceritakan kembali, atau dialihbahasakan dari bahasa daerah ke bahasa Indonesia. Finnegan, (1992:9) menjelaskan bahwa sastra lisan berangkat dari konsep hubungan antara kesusastraan dan tradisi tulis-menulis. Hubungan tersebut adalah hubungan asidental yang

7 merupakan tahap kedua dalam sejarah kesusastraan. merupakan hubungan asidental dan merupakan tahap kedua dalam sejarah kesusateraan. Dengan demikian, kegiatan sastra yang paling awal adalah kegiatan sastra lisan. Banyak masyarakat yang tidak memiliki tradisi menulis, namun sudah memiliki tradisi sastra lisan, contohnya di Kelurahan Watulea, Kecamatan Gu, Kabupaten Buton Tengah, Sulawesi Tenggara yang merupakan lokasi penelitian ini. Bentuk sastra lisan berupa prosa, syair, pepatah, cerita rakyat, dan lain sebagainya. Sastra lisan tidak hanya digunakan sebagai media hiburan namun dijadikan juga sebagai alat mendidik, memberi petunjuk kehidupan, aturan hukum, dan lain-lain. Teks yang dipertunjukkan oleh anggota masyarakat (seniman) untuk masyarakatnya (khalayak) akan tetap ada dan hidup selama masyarakat masih menikmatinya. Artinya, sastra lisan hadir dan diapresiasi oleh masyarakatnya membentuk hubungan segitiga antara seniman, karya, dan penikmat. Endraswara (2008:151) menyatakan bahwa sastra lisan hadir secara turun-temurun dalam penyebarannya. Cara penyampaian tradisi lisan ini tidak hanya berupa kata-kata, tetapi juga gabungan antara kata-kata dan perbuatan tertentu yang menyertai kata-kata. Ada beberapa bentuk sastra lisan sebagai bagian dari tradisi lisan yang disebut verbal arts, folktale, oral narrative, folk narrative dan folklore). Kabhanti Watulea digolongkan sebagai oral narrative/narasi lisan karena dilantunkan secara oral dalam menyampaikan pesan. Kabhanti Watulea adalah tradisi lisan yang dituturkan, didengar, dan dihayati bersamasama pada peristiwa dan tujuan tertentu. Taylor dalam Daud, (2008:258), mendefinisikan tradisi lisan sebagai bahan-bahan yang dihasilkan oleh masyarakat tradisional, yang berbentuk pertuturan, adat, tradisi, ritual, upacara adat, cerita rakyat, nyanyian rakyat, tarian, dan permainan. Misalnya pada saat acara pernikahan, khitanan, pesta rakyat, upacara menanam dan menuai padi, upacara yang bertujuan magis dan sebagainya.

8 Kabhanti Watulea didefinisikan sebagai karya sastra lama yang terikat oleh bentuk yang khas. Kekhasan bentuk Kabhanti Watulea yang disimpulkan oleh peneliti adalah (1) terdiri atas dua hingga tiga baris dalam satu bait. Kabhanti Watulea tidak terikat jumlah larik dalam satu bagian; (2) Kabhanti Watulea tidak memiliki sampiran, seperti: pantun. Teks Kabhanti Watulea memuat isi pesan tanpa ada sampiran; (3) Kabhanti Watulea memiliki alur cerita dalam bentuk narasi. Kabhanti Watulea memuat cerita di setiap bagian Kabhanti Watulea. Isi narasi antarbagian berbeda; (4) terdapat pengulangan kata dan frasa; dan (5) Kabhanti Watulea menggunakan bahasa daerah Muna Kabhanti Watulea disampaikan dari mulut ke mulut. Hal ini disebabkan masyarakat Buton Tengah pada umumnya tidak mengenal aksara pada zaman dahulu. Hasil wawancara dengan informan La Tani pada 12 Mei 2015, diketahui bahwa masyarakat Buton Tengah hidup berpindah-pindah dan tidak mengenal membaca dan menulis pada zaman dahulu. Kabhanti Watulea biasa dilantunkan pada saat bercocok tanam dan mereka mewariskan Kabhanti Watulea secara lisan. Amir (2013:10) menyatakan sastra lisan hidup di tengah masyarakat tradisional yang hidup dalam suasana lisan, tidak mengenal membaca, bahkan tidak mengenal huruf. Kabhanti Watulea dikategorikan ke dalam sastra lisan karena berwujud dan dinikmati secara lisan di tengah masyarakat Watulea, dan diwariskan secara lisan. Kabhanti Watulea menggunakan ungkapan yang berulang-ulang, ungkapan yang sama antar satu pelantun dengan pelantun lainnya. Hal ini terjadi karena masyarakat Watulea tidak membaca, hanya mengulang apa yang sudah dipakai pendahulunya. Kabhanti Watulea mengandung gagasan, pokok pikiran, harapan, pesan, ajaran tertentu, dan nasihat. Pelaksanaanya dilakukan dengan kebersamaan, ikatan sosial tersendiri yang mengeyampingkan fungsi individual masyarakat. Sastra lisan Kabhanti Watulea mempererat

9 hubungan di antara masyarakat dan memiliki pesan tertentu. Wellek dan Waren (1995: ) mengemukakan bahwa sastra adalah cara untuk mengungkapkan perasaan manusia sebagai masyarakat sosial berdasarkan apa yang dirasakan dalam bentuk pengalaman hidup, sudut pandang, dan lain lain. Endraswara (2003:145) menjelaskan bahwa suatu karya sastra dapat digolongkan sebagai suatu sastra lisan jika memiliki beberapa persyaratan sebagai berikut: (1) karya sastra tersebut merupakan hasil dari masyarakat; (2) menggambarkan kebudayaan tertentu; (3) penulis anonim yang diturunkan dari mulut ke mulut; (4) biasanya mengandung hal-hal yang bersifat mendidik, seperti: norma-norma agama, adat istiadat dan lain sebagianya; dan (5) kata-kata yang digunakan biasanya menggunakan kata-kata yang mengandung nasihat dengan perumpaan yang klise. Kabhanti Watulea merupakan pencerminan kehidupan masyarakat Watulea, Buton Tengah. Tradisi lisan ini memiliki makna persatuan serta padu menaati aturan-aturan nenek moyang dengan metafora yang penuh makna. Kabhanti Watulea menggunakan metafora yang digunakan sebagai strategi retoris untuk memperkuat serta memperindah ucapan. Danesi (2012:134) menyatakan metafora dapat dilihat sebagai sesuatu yang bisa menghasilkan sebuah tanda yang kompleks. Kabhanti Watulea merupakan salah satu kebudayaan masyarakat Buton Tengah sebagai podoman hidup yang mengandung nilai-nilai budaya, norma-norma sosial dan nilai moral. Kabhanti Watulea dilakukan sambil bernyanyi bersama dengan irama Watulea ataupun seorang diri. Biasanya, dilantunkan pada saat berkebun dan menebas hutan. Kabhanti Watulea dilantunkan agar tidak kesepian di tempat yang sunyi, difungsikan sebagai pelipur lara pada saat kesepian dan jenis kegiatan lain yang ada di daerah Buton Tengah. Perlu digarisbawahi bahwa

10 dalam penelitian ini, peneliti menggunakan Kabhanti Watulea yang dilantunkan pada saat berkebun seorang diri sebagai bentuk curahan hati tanpa disaksikan oleh banyak orang. Penelitian Kabhanti Watulea dengan pelantun yang melantunkan Kabhanti Watulea seorang diri dipilih mengingat minimnya masyarakat yang melantunkan Kabhanti Watulea pada saat panen raya. Menurut hasil wawancara dengan informan, La Ode Ma naf (Kelurahan Watulea, 21 Mei 2015), lahan pertanian, seperti: ubi, jagung, dan lain-lain sudah beralih fungsi menjadi lahan perkebunan jambu mete, sehingga menyebabkan kurangnya pelaksanaan Kabhanti Watulea yang dilantunkan secara berkelompok. Kenyataan tersebut memprihatinkan, mengingat masyarakat Watulea adalah masyarakat pertanian. Sementara itu, masyarakat telah disibukkan oleh banyak kegiatan perekonomian lain, seperti: niaga, kegiatan perkantoran, dan sebagainya yang menyebabkan lunturnya nilai gotong royong. Kenyataan ini menjadi tantangan bagi peneliti untuk mengetahui perbedaan dan persamaan antara melantunkan Kabhanti Watulea yang dilakukan secara individual dengan secara berkelompok untuk keberlanjutan penelitian. Dalam teks Kabhanti Watulea terdapat beberapa pengulangan yang berfungsi sebagai penekanan pesan dengan tujuan tertentu kepada pendengar. Kabhanti Watulea memiliki keterkaitan dengan jenis Kabhanti lain, serta berbeda dari ketiga Kabhanti di bawah ini. Tiga jenis Kabhanti selain Kabhanti Watulea dalam Mokui (1991:6-8). 1) Kabhanti Kantola sesuai dengan namanya, jenis Kabhanti ini merupakan jenis pantun dengan menggunakan alat musik kantola (gambus dalam ukuran kecil dengan dua tali senar). Dalam pergelarannya pemain berdiri berhadap - hadapan antara wanita dan pria. Mereka berbalas pantun dengan irama ruuruunte atau ruuruuntete, paling tinggi lima nada. Pergelaran ini biasanya dipentaskan saat malam hari setelah panen tiba. Struktur Kabhanti sebagai prosa

11 liris yakni prosa yang lebih mementingkan irama. Kabhanti ini disebut talibun atau pantun dengan empat baris dan jumlahnya genap. 2) Kabhanti Gambusu adalah jenis Kabhanti yang menggunakan alat musik gambus dan dilengkapi dengan biola, kecapi atau botol kosong. Kabhanti ini biasa dilakukan dalam pementasan pesta rakyat daerah Buton Tengah, seperti: sunatan, khitanan, dan lain-lain. 3) Kabhanti modero adalah jenis Kabhanti dengan latar tarian lulo, tari khas Sulawesi tenggara. Pementas Kabhanti membentuk lingkaran sambil berpegangan tangan serirama dalam nyanyian dan langkah tarian. 2.3 Landasan Teori Suatu teori dibaratkan sebagai pisau yang bertujuan mengupas permasalahan yang ada. Menurut Djojosuroto Kinayati & M.L.A Sumaryati (2004:16), teori merupakan rangkaian beberapa asumsi, konsep dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan merumuskan hubungan antarkonsep. Begitu pula dengan penelitian ini, ada tiga teori yang digunakan dalam analisis ini yaitu teori formula, teori fungsi, dan teori semiotik Teori Formula Kabhanti Watulea disampaikan penutur secara spontanitas yang dilakukan tanpa adanya teks terikat. Aktivitas ini membentuk formula. Formula merupakan dasar atau pedoman dalam tradisi lisan berupa baris, kata, atau kalimat yang membuka dan memperlancar sebuah cerita. Hal ini didukung oleh pernyataan Lord yang mendefinisikan formula as a group of world which is regularly employed under the same metrical condition to express a given essensial idea, (Lord 1964:30).

12 Menurut Lord, sastra lisan bersifat mekanis dan paralelistis. Penggunaan teori formula berdasarkan frase-frase, klausa-klausa, dan kalimat-kalimat yang khas. Menurut Lord (1964:5), konsep kelisanan tidak hanya diartikan sebagai objek kelisanan. Hal tersebut dimaknai sebagai komposisi lisan selama terjadinya penyampaian secara lisan. Teori formula menggarisbawahi prinsip kelisanan yang berorientasi pada proses pembelajaran tertentu. Sebagai contoh, unsur pembelajaran lisan, komposisi lisan, dan transmisi lisan yang muncul secara bersamaan, tampak sebagai sisi sisi yang berbeda dari proses yang sama. Teori formula mampu menjelaskan hubungan kata dengan bangunan struktur sebuah penyajian tradisi lisan atau perumusan pokok dalam tradisi lisan. Pola dan sistem bahasa satra lisan Kabhanti Watulea pada umumnya dengan menggunakan tata bahasa puisi yakni tata bahasa berlapis. Di samping itu, juga menggunakan tata bahasa puitik yang merupakan tata bahasa prakaksis yakni konstruksi kalimat, klausa atau frase koordinatif, yang tidak menggunakan kata penghubung. Tata bahasa tersebut sering memanfaatkan frase-frase yang membentuk formula (Lord, 1964:41). Kabhanti Watulea menggunakan bahasa pantun dengan tata bahasa berlapis yang membutuhkan cara kerja teori formula Lord untuk menganalisis bentuknya. Formula berulang-ulang muncul dalam sastra lisan yang terdiri atas larik atau baris, klausa dan frasa. Menganalisis struktur bentuk wacana dengan beberapa pengulangan dalam puisi atau pantun lisan membutuhkan analisis dengan menggunakan teori formula. Formula adalah kelompok kata yang secara teratur dimanfaatkan dalam kondisi mantra yang sama dan mengungkapkan satu ide hakiki. Formula sebagai ciri utama kelisanan diawali dengan pengamatan awal terhadap frase-frase yang mengalami pengulangan (Lord, 1964:45). Pengulangan tersebut sering ditemukan dalam sastra lisan Kabhanti Watulea.

13 Menganalisis formula teks Kabhanti Watulea, diawali dengan pengamatan terhadap frasa yang berulang dalam Kabhanti Watulea. Hal ini dilakukan untuk menganalisis formula dari variasi pola, sehingga dalam setiap larik maupun baris Kabhanti Watulea membentuk pola formulaik. Pola ini mengilustrasikan dan menunjukkan pola tersendiri dari sistem puisi lisan. Benang merah dari analisis bentuk Kabhanti Watulea dengan menggunakan teori formula Lord adalah semua larik membentuk pola formula yang dapat mengilustrasikan pola-polanya sendiri. Kabhanti Watulea tersusun oleh sistem formulik Teori Fungsi Mitologi pada hakikatnya merupakan salah satu akar budaya. Di dalam mitologi terkandung muatan lokal genius atau kearifan lokal setempat yang sering kali melandasi sikap dan perilaku hidup. Dengan kata lain, mitologi telah menjadi ideologi bagi kehidupan. Dundes (1984:272) meyebutkan bahwa mitos dan cerita rakyat selalu mencerminkan konflik tidak sadar generasi sekarang yang dibentuk oleh tekanan untuk menanggung kondisi sosial yang ada. Mitologi merupakan hasil kontak budaya dengan lingkungan alam dan budaya yang lebih besar. Berhadapan dengan kebudayaan yang terkait dengan masyarakat sosial, berbagai bentuk sastra telah berhasil ditulis, misalnya hikayat, cerita yang mengandung kepercayaan (legenda, dongeng, dan fabel), pantun berkait atau syair keagamaan dalam bahasa Melayu. Penggalian aspek mitologi dalam Kabhanti Watulea menunjukkan sikap dan pandangan hidup ketika menghadapi problem dasar kehidupan, seperti: maut, cinta, tragedi, loyalitas, kekuasaan, makna dan tujuan hidup, serta hal yang transendental dalam kehidupan manusia. Hasil penghayatan atas realitas kehidupan dalam sastra, menampilkan aktualisasi diri, antara lain aktualisasi dan reinterpretasi terhadap mitologi. Aktualisasi terhadap mitologi akan

14 mengungkapkan nilai mitologi dalam konteks zaman, pengukuhan nilai mitos, dan sebagai jembatan penghubung antara dunia tradisi dan dunia modernitas. Dundes (1984:271) menyatakan bahwa sebuah kesulitan teoretis yang penting sehubungan dengan interpretasi psikoanalisis mitos berasal dari fakta bahwa pada dasarnya ada dua cara bagaimana teori psikoanalitik dapat diterapkan. Sebuah mitos dapat dianalisis dengan pengetahuan tentang mitos-maker tertentu, atau mitos dapat dianalisis tanpa pengetahuan tersebut. Reinterprestasi terhadap mitologi, akan mengungkapkan penafsiran kembali berupa pengingkaran atau pembalikan atas nilai mitologi itu dihadapkan dengan persoalan zaman dan realitas. Kabhanti Watulea menjadi produk dari pikiran manusia (misalnya mitos) bahwa seseorang harus tahu sesuatu tentang mekanisme pikiran manusia. Mereka mungkin mendorong penafsiran simbolik terhadap mitos dan terhadap penemuan universal dalam mitos, sehingga pertunjukkan Kabhanti Watulea sebagai produk pikiran mampu menunjukkan jati diri bangsa yang berakar pada tradisi sosial budaya masyarakat Indonesia. Dundes (1984:270) menjelaskan dua pelopor dalam memahami fungsi mitos. Mereka adalah Boas dan Malinowski. Kedua pelopor ini berpendapat bahwa mitos pada dasarnya non simbolik. Boas sering berbicara tentang mitologi yang mencerminkan budaya, menyiratkan sesuatu dari hubungan antarpersonal. Dengan pandangan ini, data yang murni deskriptif etnografis dapat diambil dari bahan mitologis budaya tertentu. Malinowski berpendapat sepanjang garis yang sama yaitu pembelajaran hidup dan mitos tidak simbolik, tetapi ekspresi langsung dari subyek. Teori fungsional adalah sebuah teori mengenai operasi mental, mempelajari fungsi kesadaran, menjembatani kebutuhan manusia beserta lingkungannya, dan menekankan totalitas dalam hubungan tindakan maupun perilaku, sehingga hal ini memberikan dampak manifestasi

15 dari tindakan (Koenjaraningrat, 1987:162). Malinowski menjadikan teori fungsi sebagai alat menganalisa fungsi dari kebudayaan manusia, yang disebutnya sebagai suatu teori fungsional tentang kebudayaan atau a functional theory of culture. Menurut Koenjaraningrat (1987:160), kata fungsionalisme berasal dari kata fungsi dan isme, yang berarti paham. Secara menyeluruh berarti paham atau aliran cara berpikir mengenai fungsi sesuatu. Setiap benda pasti memiliki fungsi, begitu pula dengan produk budaya, misalnya sastra lisan Kabhanti Watulea. Setiap hal yang terjadi memiliki sebuah fungsi. Kegunaan dari fungsional ini lebih menekankan fungsi-fungsi yang diterapkan dari hal-hal yang sifatnya kecil hingga hal-hal yang sifatnya kompleks. Kaberry (1957:82) membedakan antara fungsi sosial dalam tiga tingkat abstraksi. 1) Pada tingkat abstraksi pertama, fungsi sosial dari suatu adat, pranata sosial mengenai efeknya terhadap adat, tingkah laku mausia, dan pranata sosial yang lain dalam masyarakat. 2) Pada tingkat abstraksi kedua, fungsi sosial mengenai efeknya terhadap kebutuhan suatu adat atau pranata lain untuk mencapai maksudnya, seperti: yang dikonsepsikan oleh warga masyarakat yang bersangkutan. 3) Tingkat abstraksi yang ketiga, fungsi sosial mengenai efeknya terhadap kebutuhan mutlak keberlangsungnya secara terintegrasi dari suatu sistem sosial tertentu. Pada prinsipnya, Kabhanti Watulea memiliki fungsi dalam setiap lariknya. Bukti yang tersedia dari Kabhanti Watulea menunjukkan bahwa ada stabilitas yang luar biasa dalam narasi lisan. Mitos dan cerita kembali dikumpulkan dari budaya yang sama. Hal itu menunjukkan kesamaan yang cukup besar dalam pola struktur, meskipun, fakta bahwa mitos dan cerita berasal dari informan yang berbeda yang mungkin dipisahkan oleh banyak generasi.

16 2.3.3 Teori Semiotik Bahasa sebagai medium karya sastra sudah merupakan sistem semiotik atau ketandaan, yaitu sistem ketandaan yang memiliki arti. Medium karya sastra bukanlah bahan yang bebas (netral), seperti: bunyi pada seni musik ataupun warna pada lukisan. Warna sebelum dipergunakan dalam lukisan masih bersifat netral, belum mempunyai arti apa-apa, sedangkan bahasa sebelum digunakan dalam karya sastra sudah merupakan lambang yang mempunyai arti yang ditentukan oleh perjanjian masyarakat (bahasa). Pradopo (2005:121) menyatakan lambanglambang atau tanda-tanda kebahasaan itu berupa satuan-satuan bunyi yang mempunyai arti oleh konvensi masyarakat. Sistem ketandaan itu disebut itu disebut semiotik. Ratna (2004:97) menjelaskan bahwa semiotika berasal dari kata semeion atau berarti tanda. Semiotika dalam pengertian luas merupakan studi sistematis mengenai produksi dan intepretasi tanda, cara kerja, serta manfaat bagi kehidupan. Kehidupan dipenuhi oleh serangkaian tanda. Dasar filosofis teori semiotika adalah manusia sebagai animal symbolicum atau homo semiotikus. Semiotika adalah teori dan analisis berbagai tanda (signs) dan pemaknaan (signification). Teori semiotika mengungkapkan kebudayaan manusia bersandar pada pemikiran dan tingkah laku simbolis, yang melaluinya memungkinkan manusia menciptakan dan merefleksikan ulang entitas dan praksis kebudayaannya. Teori semiotik lahir oleh dua pencetus yakni Charles Sanders Pierce dan Ferdinand de Sausure. Penelitian ini menggunakan teori semiotika Peirce. Menurut Charles Sanders Pierce, tanda diproduksi dan dipahami serta berkembang dalam masyarakat melalui dua sistem yaitu sistem primer dan sekunder. Sistem primer adalah sistem yang merupakan hasil konvensi yang mendasar sedangkan sistem sekunder adalah pengembangan pengenalan tanda yang masingmasing memiliki makna yang disebut meta bahasa. Dalam hal ini, yang berkembang pada tanda

17 adalah segi bentuk atau ekspresi sedangkan makna berkisar pada isi, conten pada sistem primer. Perkembangan tanda secara meta bahasa dilihat dari segi bahasa disebut intelektualisasi (pencendikiawan). Semiotik Pierce terdiri atas tiga karakter tanda. Berdasarkan hubungan antara penanda dan petanda, ada tiga jenis tanda yang pokok yaitu ikon, indeks, dan simbol. Ikon adalah tanda hubungan antara petanda dan penanda bersifat persamaan bentuk alamiah. Indeks adalah tanda yang menunjukkan hubungan penanda dan petanda, hubungan alamiah yang bersifat kausal atau hubungan sebab akibat. Simbol adalah tanda, yang hubungan petanda dan petanda tidak bersifat alamiah (Pradopo, 2007: ). Hubungan terjadi adalah semau-maunya, hubungan terjadi berdasarkan perjanjian (konvensi) dalam masyarakat. Peirce dikenal dengan konsep triadik dan trikotominya. Prinsip dasar dari tanda triadik tersebut bersifat representatif. Berdasarkan prinsip ini, tanda menjadi wakil yang menjelaskan sesuatu. Teori makna Pierce (Teeuw, 1984:42) menekankan pada bentuk tripihak (triadik). Setiap gejala secara fenomologis mencakup (1) bagaimana sesuatu menggejala tanpa harus mengacu pada sesuatu yang lain; (2) bagaimana hubungan gejala tersebut dengan realitas di luar dirinya yang hadir dalam ruang dan waktu; dan (3) bagaimana gejala tersebut dimediasi, direpresentasi, dikomunikasikan, dan ditandai. Rumusan ini mengimplikasikan bahwa makna sebuah tanda dapat berlaku secara pribadi, sosial, atau bergantung pada konteks khusus tertentu. Simbol Ikon Index

18 Sistem tanda mencakup simbol, indeks, dan ikon. Simbol yang dikatakan juga thirdness ditunjuk dengan aturan, hukum atau kebiasaan, karena representamen yang tidak dapat terlepas dari konteks sejarah atau sosial suatu masyarakat. Simbol dan tanda terbentuk berdasarkan kesepakatan di masyarakat. Tingkat keberlakuan tanda dan pemahaman penafsir bersifat sebagai aturan, hukum, atau yang sudah berlaku umum. Misalnya kata-kata dalam suatu bahasa (kecuali onomatope), benda atau gambar, misalnya bendera merah putih (Indonesia), bendera kuning (orang meninggal). Objek Representatif Interpretan Dalam kaitanya dengan sastra lisan Kabhanti Watulea, teori ini menjawab, memaparkan, menggambarkan makna yang terkandung dalam karya sastra. Kabhanti Watulea terdapat banyak tanda. Tanda yang mengacu kepada objek satu ke objek yang lain, yang disebut dengan denotatum. Tanda baru berfungsi apabila diinterpretasikan oleh interpretan. Interpretan adalah pemahaman makna dari penerima tanda terhadap pengetahuan tentang sistem tanda dalam masyarakat sosial.

19 2.4 Model Penelitian Tradisi Lisan Masyarakat Watulea Kabupaten Buton Tengah, Sulawesi Tenggara Kabhanti Watulea Teori Formula Teori Fungsi Teori Semiotik Wacana Kritik Sosial Metode Deskriptif Analitik Pendekatan Sosiologi Sastra Bentuk Wacana Fungsi Wacana Makna Wacana Hasil Temuan Keterangan model penelitian Kebudayaan masyarakat Watulea Objek Penelitian Temuan wacana

20 Teori yang digunakan dalam penelitian Analisis Penelitian Garis yang menghubungkan hasil penelitian Hasil temuan penelitian Garis yang menghubungkan tradisi lisan kepada objek penelitian dan dari objek penelitian terhubung dengan hasil penelitian Penjelasan: Bagan di atas menjelaskan kerangka penelitian ini. Masyarakat Watulea Kabupaten Buton Tengah, Sulawesi Tenggara adalah masyarakat yang memiliki tradisi lisan. Tradisi lisan lahir dalam kaitannya dengan lingkungan sosial budaya masyarakat Watulea. Kebiasaan yang muncul dari lingkungan tersebut melahirkan tradisi lisan Kabhanti Watulea. Oleh karena itu, Kabhanti Watulea merupakan pencerminan keadaan sosial bagi mayarakat Watulea. Kabhanti Watulea adalah sastra lama terikat yang terdiri atas dua hingga tiga baris dalam satu bait. Kabhanti Watulea memuat pesan yang disampaikan. Pesan tersebut adalah kritik terhadap keadaan sosial sebagai bentuk ketidakpuasan terhadap ketimpangan yang terjadi.

21 Wacana kritik sosial adalah wacana yang merepresentasikan tradisi lisan Kabhanti Watulea bagi mayarakat Watulea. Kabhanti Watulea dianalisis untuk menemukan jawaban dari rumusan masalah. Kabhanti Watulea dianalsis dengan menggunakan teori formula, teori fungsi, dan teori semiotik. Kabhanti Watulea dianalisis dengan dukungan metode deskriptif analitik dan pendekatan sosiologi sastra, sehingga rumusan masalah, seperti: bentuk formal, fungsi, dan makna Kabhanti Watulea dapat terjawab. Jawaban tersebut ditemukan dalam hasil dan temuan penelitian.

BAB I PENDAHULUAN. Kelurahan Watulea, Kecamatan Gu, Kabupaten Buton Tengah, Sulawesi

BAB I PENDAHULUAN. Kelurahan Watulea, Kecamatan Gu, Kabupaten Buton Tengah, Sulawesi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabhanti Watulea merupakan tradisi lisan masyarakat Watulea di Kelurahan Watulea, Kecamatan Gu, Kabupaten Buton Tengah, Sulawesi Tenggara. Kabhanti Watulea adalah

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat,

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat, BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sosiologi dan Sastra Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat, sedangkan objek ilmu-ilmu kealaman adalah gejala alam. Masyarakat adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bangsa Indonesia terdiri atas beribu-ribu pulau dan berbagai etnis, kaya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bangsa Indonesia terdiri atas beribu-ribu pulau dan berbagai etnis, kaya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bangsa Indonesia terdiri atas beribu-ribu pulau dan berbagai etnis, kaya dengan seni dan sastra seperti permainan rakyat, tarian rakyat, nyanyian rakyat, dongeng,

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 9 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Untuk memperjelas dan memantapkan ruang lingkup permasalahan, sumber data, dan kerangka teoretis penelitian ini,

Lebih terperinci

A. Latar Belakang Kegiatan pembelajaran di sekolah dilaksanakan dalam rangka untuk meningkatkan kemampuan siswa, baik pada aspek pengetahuan, sikap

A. Latar Belakang Kegiatan pembelajaran di sekolah dilaksanakan dalam rangka untuk meningkatkan kemampuan siswa, baik pada aspek pengetahuan, sikap A. Latar Belakang Kegiatan pembelajaran di sekolah dilaksanakan dalam rangka untuk meningkatkan kemampuan siswa, baik pada aspek pengetahuan, sikap maupun keterampilan. Untuk mencapai ketiga aspek tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang kaya kebudayaan. Kebudayaan tersebut

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang kaya kebudayaan. Kebudayaan tersebut 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara yang kaya kebudayaan. Kebudayaan tersebut tersebar di daerah-daerah sehingga setiap daerah memiliki kebudayaan yang berbeda-beda.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan sistem tanda yang mempunyai makna yang mempergunakan medium bahasa. Bahasa sebagai medium karya sastra. Bahasa sudah menjadi sistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dikaruniai berbagai kelebihan dibandingkan dengan ciptaan lainnya. Karunia itu

BAB I PENDAHULUAN. dikaruniai berbagai kelebihan dibandingkan dengan ciptaan lainnya. Karunia itu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia adalah makhluk hidup ciptaan Tuhan Yang Maha Esa dan dikaruniai berbagai kelebihan dibandingkan dengan ciptaan lainnya. Karunia itu berupa akal, cipta, rasa,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Sastra lisan sebagai sastra tradisional telah lama ada, yaitu sebelum

BAB 1 PENDAHULUAN. Sastra lisan sebagai sastra tradisional telah lama ada, yaitu sebelum BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sastra lisan sebagai sastra tradisional telah lama ada, yaitu sebelum masyarakat tersebut mengenal keberaksaraan. Setiap bentuk sastra lisan, baik cerita maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. beberapa pulau, daerah di Indonesia tersebar dari sabang sampai merauke.

BAB I PENDAHULUAN. beberapa pulau, daerah di Indonesia tersebar dari sabang sampai merauke. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang kaya akan berbagai macam sumber daya alam serta keberagaman suku dan budaya. Sebagai negara dengan beberapa pulau, daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Saat ini di kalangan para pelajar marak terjadinya peristiwa tawuran, kekerasan antar pelajar, penggunaan narkoba, dan seks bebas. Hal ini sangatlah memprihatinkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan seloka. Sedangkan novel, cerpen, puisi, dan drama adalah termasuk jenis sastra

BAB I PENDAHULUAN. dan seloka. Sedangkan novel, cerpen, puisi, dan drama adalah termasuk jenis sastra 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sastra pada umumnya terdiri atas dua bentuk yaitu bentuk lisan dan bentuk tulisan. Sastra yang berbentuk lisan seperti mantra, bidal, pantun, gurindam, syair,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Nilai budaya yang dimaksud adalah nilai budaya daerah yang dipandang sebagai suatu

BAB I PENDAHULUAN. Nilai budaya yang dimaksud adalah nilai budaya daerah yang dipandang sebagai suatu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia terdiri dari beraneka ragam suku yang masing-masing suku tersebut memiliki nilai budaya yang dapat membedakan ciri yang satu dengan yang lainnya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Papua seperti seekor burung raksasa, Kabupaten Teluk Wondama ini terletak di

BAB I PENDAHULUAN. Papua seperti seekor burung raksasa, Kabupaten Teluk Wondama ini terletak di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Teluk Wondama merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Papua Barat, yang baru berdiri pada 12 April 2003. Jika dilihat di peta pulau Papua seperti seekor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. juga disebut dengan istilah sekar, sebab tembang memang berasal dari kata

BAB I PENDAHULUAN. juga disebut dengan istilah sekar, sebab tembang memang berasal dari kata 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tembang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai ragam suara yang berirama. Dalam istilah bahasa Jawa tembang berarti lagu. Tembang juga disebut dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkembang mengiringi kebudayaan dari zaman ke zaman.akibat perkembangan itu

BAB I PENDAHULUAN. berkembang mengiringi kebudayaan dari zaman ke zaman.akibat perkembangan itu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sastra Bali merupakan salah satu aspek kebudayaan Bali yang hidup dan berkembang mengiringi kebudayaan dari zaman ke zaman.akibat perkembangan itu maka di Bali lahirlah

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. Penelitian mengenai makna simbol dalam sastra lisan telah banyak

BAB II KAJIAN TEORI. Penelitian mengenai makna simbol dalam sastra lisan telah banyak BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Kajian yang Relevan Sebelumnya Penelitian mengenai makna simbol dalam sastra lisan telah banyak dilakukan antara lain sebagai berikut: 1. Penelitian yang dilakukan oleh Ratna Dewi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah salah satu negara yang luas di dunia, karena Indonesia tidak

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah salah satu negara yang luas di dunia, karena Indonesia tidak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia adalah salah satu negara yang luas di dunia, karena Indonesia tidak hanya memiliki kekayaan alam yang subur, tetapi juga terdiri atas berbagai suku

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 64 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian Penelitian tradisi lisan merupakan obyek kajian yang cukup kompleks. Kompleksitas kajian tradisi lisan, semisal upacara adat dapat disebabkan oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai fakta sosial, manusia sebagai makhluk kultural (Ratna, 2005:14). Dalam

BAB I PENDAHULUAN. sebagai fakta sosial, manusia sebagai makhluk kultural (Ratna, 2005:14). Dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan salah satu hasil karya seni yang sekaligus menjadi bagian dari kebudayaan. Sebagai salah satu hasil kesenian, karya sastra mengandung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. rumah adat yang menjadi simbol budaya daerah, tetapi juga tradisi lisan menjadi

BAB I PENDAHULUAN. rumah adat yang menjadi simbol budaya daerah, tetapi juga tradisi lisan menjadi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan sebuah negeri yang memiliki aneka ragam budaya yang khas pada setiap suku bangsanya. Tidak hanya bahasa daerah, pakaian adat, rumah adat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sastra merupakan suatu bagian dari kebudayaan. Bila kita mengkaji kebudayaan

BAB I PENDAHULUAN. Sastra merupakan suatu bagian dari kebudayaan. Bila kita mengkaji kebudayaan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sastra merupakan suatu bagian dari kebudayaan. Bila kita mengkaji kebudayaan kita tidak dapat melihatnya sebagai sesuatu yang statis, tetapi merupakan sesuatu

Lebih terperinci

BAB 6 SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI

BAB 6 SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI 201 BAB 6 SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI Pada bab 6 ini akan diuraikan mengenai simpulan dari hasil penelitian dan pembahasan pada bab sebelumny serta saran untuk penelitian selanjutnya. Adapun pembagiannya

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata Kunci: kritik sosial, bentuk, masalah, syair.

ABSTRAK. Kata Kunci: kritik sosial, bentuk, masalah, syair. ABSTRAK Lucyana. 2018. Kritik Sosial dalam Syair Nasib Melayu Karya Tenas Effendy. Skripsi, Program Studi Sastra Indonesia, FIB Universitas Jambi, Pembimbing: (I) Dr. Drs. Maizar Karim, M.Hum (II) Dwi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Rezki Puteri Syahrani Nurul Fatimah, 2015

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Rezki Puteri Syahrani Nurul Fatimah, 2015 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Adat adalah aturan, kebiasaan-kebiasaan yang tumbuh dan terbentuk dari suatu masyarakat atau daerah yang dianggap memiliki nilai dan dijunjung serta dipatuhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ataupun kitab-kitab pengajaran, Teeuw dalam Susanto (2012 : 1).

BAB I PENDAHULUAN. ataupun kitab-kitab pengajaran, Teeuw dalam Susanto (2012 : 1). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Secara etimologis sastra atau sastera berasal dari bahasa Sansekerta yang terdiri dari akar kata Cas atau sas dan tra. Cas dalam bentuk kata kerja yang diturunkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam bentuk kata-kata. Manusia mengikuti aturan pembentukan kode verbal

BAB I PENDAHULUAN. dalam bentuk kata-kata. Manusia mengikuti aturan pembentukan kode verbal BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Semua manusia berpikir, setelah berpikir dia ingin menyatakan pikirannya dalam bentuk kata-kata. Manusia mengikuti aturan pembentukan kode verbal yang merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Kebudayaan Indonesia sangat beragam. Pengaruh-pengaruh

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Kebudayaan Indonesia sangat beragam. Pengaruh-pengaruh 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebudayaan merupakan sistem nilai yang terkandung dalam sebuah masyarakat. Kebudayaan Indonesia sangat beragam. Pengaruh-pengaruh kebudayaan yang membentuk lapis-lapis

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. merupakan saat-saat penting dalam kehidupan seseorang. Peristiwa-peristiwa penting

BAB 1 PENDAHULUAN. merupakan saat-saat penting dalam kehidupan seseorang. Peristiwa-peristiwa penting BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam kehidupan manusia, kita mengenal adanya siklus hidup, mulai dari dalam kandungan hingga kepada kematian. Berbagai macam peristiwa yang dilalui merupakan saat-saat

Lebih terperinci

2015 RELEVANSI GAYA BAHASA GURIND AM D UA BELAS KARYA RAJA ALI HAJI D ENGAN KRITERIA BAHAN AJAR PEMBELAJARAN BAHASA D AN SASTRA IND ONESIA D I SMA

2015 RELEVANSI GAYA BAHASA GURIND AM D UA BELAS KARYA RAJA ALI HAJI D ENGAN KRITERIA BAHAN AJAR PEMBELAJARAN BAHASA D AN SASTRA IND ONESIA D I SMA BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Setiap kali gurindam disebut, maka yang terbesit tidak lain ialah Gurindam Dua Belas karya Raja Ali Haji. Seakan-akan hanya Gurindam Dua Belas satu-satunya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sesuai dengan fungsi dan tujuan yang diinginkan. Kesenian dapat

BAB I PENDAHULUAN. yang sesuai dengan fungsi dan tujuan yang diinginkan. Kesenian dapat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang kaya akan kebudayaan serta memiliki beraneka ragam budaya. Kekayaan budaya tersebut tumbuh karena banyaknya suku ataupun etnis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. secara sadar dengan tujuan untuk menyampaikan ide, pesan, maksud,

BAB I PENDAHULUAN. secara sadar dengan tujuan untuk menyampaikan ide, pesan, maksud, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bahasa merupakan rangkaian bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia secara sadar dengan tujuan untuk menyampaikan ide, pesan, maksud, perasaan, dan pendapat

Lebih terperinci

PELAKSANAAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT BIDANG KEBUDAYAAN

PELAKSANAAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT BIDANG KEBUDAYAAN PELAKSANAAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT BIDANG KEBUDAYAAN A. PENGANTAR Pengabdian kepada Masyarakat (PkM) merupakan salah satu unsur dalam Tri Darma Perguruan Tinggi. Secara umum, PkM tidak hanya untuk

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini bersifat interpretatif dengan menggunakan pendekatan kualitatif.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini bersifat interpretatif dengan menggunakan pendekatan kualitatif. 33 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Tipe Penelitian Penelitian ini bersifat interpretatif dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif interpretatif yaitu suatu metode yang memfokuskan

Lebih terperinci

NILAI-NILAI BUDAYA DALAM SASTRA LISAN TALE KERINCI: KAJIAN STRUKTURAL DAN SEMIOTIK NAZURTY RINGKASAN

NILAI-NILAI BUDAYA DALAM SASTRA LISAN TALE KERINCI: KAJIAN STRUKTURAL DAN SEMIOTIK NAZURTY RINGKASAN NILAI-NILAI BUDAYA DALAM SASTRA LISAN TALE KERINCI: KAJIAN STRUKTURAL DAN SEMIOTIK NAZURTY RINGKASAN Sastra adalah bagian dari kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat. Dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia sebagai makhluk berbudaya mengenal adat istiadat yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia sebagai makhluk berbudaya mengenal adat istiadat yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia sebagai makhluk berbudaya mengenal adat istiadat yang dipatuhi dalam kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan suatu acara adat perkawinan atau hajatan. Dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan bangsa lainnya. Kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat suatu bangsa

BAB I PENDAHULUAN. dengan bangsa lainnya. Kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat suatu bangsa BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebudayaan secara umum diakui sebagai unsur penting dalam proses pembangunan suatu bangsa. Lebih-lebih suatu bangsa yang sedang membangun watak dan kepribadiannya yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan hasil kreasi sastrawan melalui kontemplasi dan refleksi setelah menyaksikan berbagai fenomena kehidupan dalam lingkungan sosialnya. Fenomena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam melaksanakan keterampilan menulis dan hasil dari produk menulis itu.

BAB I PENDAHULUAN. dalam melaksanakan keterampilan menulis dan hasil dari produk menulis itu. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Keterampilan menulis dapat kita klasifikasikan berdasarkan dua sudut pandang yang berbeda. Sudut pandang tersebut adalah kegiatan atau aktivitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Prima Suci Lestari, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Prima Suci Lestari, 2013 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesenian adalah suatu peristiwa sosial yang mempunyai tenaga kuat sebagai sarana kontribusi antara seniman dan penghayatnya, ia dapat mengingatnya, menyarankan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kearifan nenek moyang yang menciptakan folklor (cerita rakyat, puisi rakyat, dll.)

BAB I PENDAHULUAN. kearifan nenek moyang yang menciptakan folklor (cerita rakyat, puisi rakyat, dll.) 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ada peribahasa yang menyebutkan di mana ada asap, di sana ada api, artinya tidak ada kejadian yang tak beralasan. Hal tersebut merupakan salah satu kearifan nenek

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah salah satu tonggak utama pembangun bangsa. Bangsa yang maju adalah bangsa yang mengedepankan pendidikan bagi warga negaranya, karena dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan gambaran hasil rekaan seseorang yang. memiliki unsur-unsur seperti pikiran, perasaan, pengalaman, ide-ide,

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan gambaran hasil rekaan seseorang yang. memiliki unsur-unsur seperti pikiran, perasaan, pengalaman, ide-ide, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karya sastra merupakan gambaran hasil rekaan seseorang yang dituangkan dalam bahasa. Kegiatan sastra merupakan suatu kegiatan yang memiliki unsur-unsur seperti pikiran,

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain (Alwi, dkk 2003: 588).

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain (Alwi, dkk 2003: 588). BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Konsep adalah gambaran mental dari suatu objek, proses, atau apapun yang ada diluar bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra, sebagai bagian dari proses zaman, dapat mengalami

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra, sebagai bagian dari proses zaman, dapat mengalami BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Karya sastra, sebagai bagian dari proses zaman, dapat mengalami perkembangan. Karena itu, agar keberadaan karya sastra dan pengajarannya tetap tegak,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan cerminan, gambaran atau refleksi kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan cerminan, gambaran atau refleksi kehidupan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan cerminan, gambaran atau refleksi kehidupan yang terjadi di masyarakat ataupun kehidupan seseorang. Karya sastra merupakan hasil kreasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam latar belakang ini, ada beberapa hal yang akan disampaikan penulis. hal tersebut terkait masalah yang diangkat. masalah atau isu yang diangkat tentunya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya belajar berbahasa adalah belajar berkomunikasi. Oleh karena itu,

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya belajar berbahasa adalah belajar berkomunikasi. Oleh karena itu, 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada dasarnya belajar berbahasa adalah belajar berkomunikasi. Oleh karena itu, pembelajaran bahasa Indonesia mengarahkan siswa untuk meningkatkan kemampuan berkomunikasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kreativitas imajinatif. Secara garis besar dibedakan atas sastra lisan dan tulisan, lama

BAB I PENDAHULUAN. kreativitas imajinatif. Secara garis besar dibedakan atas sastra lisan dan tulisan, lama 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra adalah berbagai bentuk tulisan, karangan, gubahan, yang didominasi oleh aspek-aspek estetis. Ciri utama yang lain karya sastra adalah kreativitas imajinatif.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari kata majemuk bahasa Inggris folklore, yang terdiri atas kata folk dan lore.

BAB I PENDAHULUAN. dari kata majemuk bahasa Inggris folklore, yang terdiri atas kata folk dan lore. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dananjaya (dalam Purwadi 2009:1) menyatakan bahwa kata folklor berasal dari kata majemuk bahasa Inggris folklore, yang terdiri atas kata folk dan lore. Kata folk berarti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Kemajuan teknologi komunikasi menyebabkan generasi mudah kita terjebak dalam koptasi budaya luar. Salah kapra dalam memanfaatkan teknologi membuat generasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bahasa merupakan hal yang sangat vital dalam berkomunikasi dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bahasa merupakan hal yang sangat vital dalam berkomunikasi dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bahasa merupakan hal yang sangat vital dalam berkomunikasi dengan sesama manusia atau kelompok. Bahasa adalah alat untuk menyampaikan pesan kepada seseorang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkembangan peradaban manusia tidak pernah terlepas dari apa yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkembangan peradaban manusia tidak pernah terlepas dari apa yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan peradaban manusia tidak pernah terlepas dari apa yang disebut karya sastra. Karya sastra merupakan hasil ide atau pemikiran dari anggota masyarakat yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. commit to user

BAB I PENDAHULUAN. commit to user BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan hasil karya manusia yang mengekspresikan pikiran, gagasan, pemahaman, dan tanggapan perasaan penciptanya tentang hakikat kehidupan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan sehari-hari, kita ketahui terdapat beberapa jenis seni yang di

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan sehari-hari, kita ketahui terdapat beberapa jenis seni yang di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan sehari-hari, kita ketahui terdapat beberapa jenis seni yang di antaranya adalah Seni Rupa, Seni Musik, Seni Tari, dan Seni Teater. Beberapa jenis

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI. 9 Universitas Indonesia

BAB 2 LANDASAN TEORI. 9 Universitas Indonesia BAB 2 LANDASAN TEORI Sebagaimana telah disinggung pada Bab 1 (hlm. 6), kehidupan masyarakat dapat mengilhami sastrawan dalam melahirkan sebuah karya. Dengan demikian, karya sastra dapat menampilkan gambaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang kaya keanekaragaman seni dan budaya.

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang kaya keanekaragaman seni dan budaya. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang kaya keanekaragaman seni dan budaya. Kebudayaan lokal sering disebut kebudayaan etnis atau folklor (budaya tradisi). Kebudayaan lokal

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Budaya Menurut Marvin Harris (dalam Spradley, 2007:5) konsep kebudayaan ditampakkan dalam berbagai pola tingkah laku yang dikaitkan dengan kelompokkelompok masyarakat tertentu,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia dan lingkungan, baik lingkungan alam maupun lingkungan sosialbudaya,

BAB I PENDAHULUAN. Manusia dan lingkungan, baik lingkungan alam maupun lingkungan sosialbudaya, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia dan lingkungan, baik lingkungan alam maupun lingkungan sosialbudaya, merupakan sebuah sistem yang saling terkait satu sama lain. Manusia dalam menjalani kehidupannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kesenian adalah ciptaan dari segala pikiran dan perilaku manusia yang

BAB I PENDAHULUAN. Kesenian adalah ciptaan dari segala pikiran dan perilaku manusia yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesenian adalah ciptaan dari segala pikiran dan perilaku manusia yang fungsional, estetis dan indah, sehingga ia dapat dinikmati dengan panca inderanya yaitu

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk, memiliki berbagai suku, ras, bahasa dan kebudayaan yang diwariskan secara turun-temurun oleh nenek moyang. Adanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu kebanggaan nasional (national pride) bangsa Indonesia adalah

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu kebanggaan nasional (national pride) bangsa Indonesia adalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu kebanggaan nasional (national pride) bangsa Indonesia adalah memiliki keanekaragaman budaya yang tak terhitung banyaknya. Kebudayaan lokal dari seluruh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Drama hadir atas proses yang panjang dan tidak hanya terhenti sebagai

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Drama hadir atas proses yang panjang dan tidak hanya terhenti sebagai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Drama hadir atas proses yang panjang dan tidak hanya terhenti sebagai seni pertunjukan, akan tetapi berlanjut dengan menunjukan fungsinya dalam kehidupan masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk melakukan sastra. Pada intinya kegiatan bersastra sesungguhnya adalah media

BAB I PENDAHULUAN. untuk melakukan sastra. Pada intinya kegiatan bersastra sesungguhnya adalah media BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam kehidupan sehari-hari tidak terlepas dari sebuah kesusastraan, terlepas dari apakah kegiatan bersastra dilakukan didasari ataupun tanpa didasari kesadaran untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra yang tercipta merupakan hasil dari proses kreativitas pengarang. Pengarang

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra yang tercipta merupakan hasil dari proses kreativitas pengarang. Pengarang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra yang tercipta merupakan hasil dari proses kreativitas pengarang. Pengarang merupakan bagian dari masyarakat, dan hidup dalam masyarakat dengan beraneka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bahasa Indonesia, baik sebagai bahasa nasional maupun sebagai Bahasa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bahasa Indonesia, baik sebagai bahasa nasional maupun sebagai Bahasa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bahasa Indonesia, baik sebagai bahasa nasional maupun sebagai Bahasa Negara sangat strategis dalam kehidupan bangsa dan negara Indonesia. Sebagai salah satu pilar pendukung

Lebih terperinci

ARSITEKTUR VERNAKULAR INDONESIA

ARSITEKTUR VERNAKULAR INDONESIA Modul ke: 03 Primi Fakultas FTPD ARSITEKTUR VERNAKULAR INDONESIA Vernakular dalam Arsitektur Tradisional Artiningrum Program Studi Teknik Arsitektur Tradisi berasal dari bahasa Latin: traditio, yang berarti

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI. penelitian yang ditemukan oleh para peneliti terdahulu yang berhubungan

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI. penelitian yang ditemukan oleh para peneliti terdahulu yang berhubungan BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI 2.1 Kajian Pustaka Kajian pustaka menjelaskan gagasan, pemikiran atau hasil-hasil penelitian yang ditemukan oleh para peneliti terdahulu yang berhubungan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI 2.1 Kajian Pustaka Kajian pustaka merupakan bahan acuan yang dipakai dalam penelitian sekaligus sebagai sumber ide untuk menggali pemikiran dan gagasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada masyarakat Pesisir adalah pertunjukan kesenian Sikambang di Kelurahan

BAB I PENDAHULUAN. pada masyarakat Pesisir adalah pertunjukan kesenian Sikambang di Kelurahan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kabupaten Tapanuli Tengah dikenal dengan sebutan Negeri Wisata Sejuta Pesona. Julukan ini diberikan kepada Kabupaten Tapanuli Tengah dikarenakan dibeberapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia di era globalisasi sekarang ini sudah mengarah pada krisis multidimensi. Permasalahan yang terjadi tidak saja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. prosa dan puisi. Prosa adalah karya yang berbentuk naratif (berisi cerita). Puisi adalah

BAB I PENDAHULUAN. prosa dan puisi. Prosa adalah karya yang berbentuk naratif (berisi cerita). Puisi adalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sastra merupakan bagian karya seni yang menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Dilihat dari segi media pengungkapannya atau cara penyampaiaanya, sastra dibedakan

Lebih terperinci

89. Mata Pelajaran Sastra Indonesia untuk Sekolah Menengah Atas (SMA)/Madrasah Aliyah (MA) Program Bahasa

89. Mata Pelajaran Sastra Indonesia untuk Sekolah Menengah Atas (SMA)/Madrasah Aliyah (MA) Program Bahasa 89. Mata Pelajaran Sastra Indonesia untuk Sekolah Menengah Atas (SMA)/Madrasah Aliyah (MA) Program Bahasa A. Latar Belakang Mata pelajaran Sastra Indonesia berorientasi pada hakikat pembelajaran sastra

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kurikulum Nasional merupakan pengembangan dari Kurikulum 2013 yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kurikulum Nasional merupakan pengembangan dari Kurikulum 2013 yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kurikulum Nasional merupakan pengembangan dari Kurikulum 2013 yang telah disempurnakan lagi. Kurikulum Nasional disiapkan untuk mencetak generasi yang siap dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang memiliki kekayaan budaya dan

BAB I PENDAHULUAN. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang memiliki kekayaan budaya dan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Bangsa Indonesia adalah bangsa yang memiliki kekayaan budaya dan tradisi yang beragam yang tersebar di seluruh pelosok tanah air. Kekayaan budaya dan tradisi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. cerita rakyat sebagai folklor dalam tradisi lisan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. cerita rakyat sebagai folklor dalam tradisi lisan. BAB II TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan pustaka ini akan membahas tentang tinjauan pustaka atau kajian teori yang berkaitan dengan judul penelitian. Adapun tinjauan pustaka dalam penelitian ini meliputi 1) Repustakaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membicarakan secara langsung, menyampaikan lewat media-media elektronik,

BAB I PENDAHULUAN. membicarakan secara langsung, menyampaikan lewat media-media elektronik, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Balakang Pada dasarnya setiap individu mempunyai pengalaman tentang suatu peristiwa. Pengalaman itu dapat berupa: kesenangan, kesedihan, keharuan, ketragiasan, dan sebagainya.

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Konsep adalah gambaran mental dari suatu objek, proses, atau apapun

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Konsep adalah gambaran mental dari suatu objek, proses, atau apapun BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Konsep adalah gambaran mental dari suatu objek, proses, atau apapun yang ada diluar bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Paradigma Paradigma penelitian ini menggunakan pendekatan kritis melalui metode kualitatif yang menggambarkan dan menginterpretasikan tentang suatu situasi, peristiwa,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan wujud dari pengabdian perasaan dan pikiran pengarang yang muncul ketika ia berhubungan dengan lingkungan sekitar. Sastra dianggap sebagai

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan Penelitian BAB III METODE PENELITIAN Pendekatan didefinisikan sebagai cara-cara mendekati objek. Model pendekatan dalam penelitian ini adalah pendekatan folklor modern. Pendekatan folklor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan ungkapan kehidupan manusia yang memiliki nilai dan disajikan melalui bahasa yang menarik. Karya sastra bersifat imajinatif dan kreatif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kreatif dalam rupa atau wujud yang indah. Pengertian indah, tidak semata-mata merujuk pada

BAB I PENDAHULUAN. kreatif dalam rupa atau wujud yang indah. Pengertian indah, tidak semata-mata merujuk pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sastra sebagai salah satu unsur kesenian yang mengandalkan kreativitas pengarang melalui penggunaan bahasa sebagai media. Dalam hal ini, sastra menggunakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang subordinatif, di mana bahasa berada dibawah lingkup kebudayaan.

BAB I PENDAHULUAN. yang subordinatif, di mana bahasa berada dibawah lingkup kebudayaan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bahasa merupakan bagian dari kebudayaan, ada juga yang mengatakan bahwa bahasa dan kebudayaan merupakan dua hal yang berbeda, namun antara bahasa dan kebudayaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Budaya lokal menjadi media komunikasi di suatu daerah yang dapat

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Budaya lokal menjadi media komunikasi di suatu daerah yang dapat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Budaya lokal menjadi media komunikasi di suatu daerah yang dapat mempersatukan dan mempertahankan spiritualitas hingga nilai-nilai moral yang menjadi ciri

Lebih terperinci

BAB I. yang dilagukan. Lagu umumnya berisi tentang permasalahan kehidupan

BAB I. yang dilagukan. Lagu umumnya berisi tentang permasalahan kehidupan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebuah lagu merupakan hasil salah satu jenis karya sastra yaitu puisi yang dilagukan. Lagu umumnya berisi tentang permasalahan kehidupan manusia. Permasalahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dikenal masyarakat luas sampai saat ini adalah prosa rakyat. Cerita prosa rakyat

BAB I PENDAHULUAN. dikenal masyarakat luas sampai saat ini adalah prosa rakyat. Cerita prosa rakyat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Indonesia memiliki banyak warisan kebudayaan dari berbagai etnik. Warisan kebudayaan yang disampaikan secara turun menurun dari mulut kemulut secara lisan biasa disebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di Indonesia disatupadukan dari kebudayaan nasional dan kebudayaan. daerah. Kebudayaan nasional Indonesia merupakan puncak puncak

BAB I PENDAHULUAN. di Indonesia disatupadukan dari kebudayaan nasional dan kebudayaan. daerah. Kebudayaan nasional Indonesia merupakan puncak puncak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepulauan Nusantara terdiri atas aneka warna kebudayaan dan bahasa. Keaneka ragaman kebudayaan dari berbagai suku bangsa yang ada di Indonesia disatupadukan dari kebudayaan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Kajian pustaka sangat diperlukan dalam penyusunan sebuah karya ilmiah. Kajian pustaka adalah paparan atau konsep konsep yang mendukung pemecahan masalah dalam suatu penelitian yang

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan 45 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tipe Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif, yaitu penelitian untuk menggambarkan sifat suatu keadaan yang sementara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia serta segala masalah kehidupan tidak dapat dipisah-pisah untuk

BAB I PENDAHULUAN. manusia serta segala masalah kehidupan tidak dapat dipisah-pisah untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Budaya dan kehidupan manusia merupakan satu kesatuan. Budaya dan manusia serta segala masalah kehidupan tidak dapat dipisah-pisah untuk memahami hakikat kehidupan sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari berbagai suku

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari berbagai suku 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari berbagai suku bangsa, bahasa serta budaya. Keanekaragaman kebudayaan ini berasal dari kebudayaan-kebudayaan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. dilakukan oleh seseorang untuk mendapatkan data atau pun informasi untuk. syair lagu Insya Allah (Maherzain Feat Fadly).

BAB III METODE PENELITIAN. dilakukan oleh seseorang untuk mendapatkan data atau pun informasi untuk. syair lagu Insya Allah (Maherzain Feat Fadly). BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan dan Jenis Penelitian Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang ditempuh melalui serangkaian proses yang panjang. Metode penelitian adalah prosedur yang dilakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bima itu. Namun saat adat istiadat tersebut perlahan-lahan mulai memudar, dan

BAB I PENDAHULUAN. Bima itu. Namun saat adat istiadat tersebut perlahan-lahan mulai memudar, dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masyarakat Bima merupakan perpaduan dari berbagai suku, etnis dan budaya yang hampir menyebar di seluruh pelosok tanah air.akan tetapi pembentukan masyarakat Bima yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kesenian merupakan segala hasil kreasi manusia yang mempunyai sifat

BAB I PENDAHULUAN. Kesenian merupakan segala hasil kreasi manusia yang mempunyai sifat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesenian merupakan segala hasil kreasi manusia yang mempunyai sifat keindahan dan dapat diekspresikan melalui suara, gerak ataupun ekspresi lainnya. Dilihat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (blackberry massanger), telepon, maupun jejaring sosial lainnya. Semua itu

BAB I PENDAHULUAN. (blackberry massanger), telepon, maupun jejaring sosial lainnya. Semua itu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejalan dengan perkembangan teknologi komunikasi saat ini, media komunikasi tradisional cenderung banyak yang terlupakan dibandingkan dengan media teknologi komunikasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. referensial (Jabrohim 2001:10-11), dalam kaitannya dengan sastra pada

BAB I PENDAHULUAN. referensial (Jabrohim 2001:10-11), dalam kaitannya dengan sastra pada 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karya sastra merupakan suatu karya seni yang disampaikan oleh seorang sastrawan melalui media bahasa. Keindahan dalam suatu karya sastra sangat dipengaruhi oleh bahasa

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. disepakati bersama oleh pemakai bahasa sehingga dapat dimengerti (Bolinger

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. disepakati bersama oleh pemakai bahasa sehingga dapat dimengerti (Bolinger BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep 2.1.1 Makna Makna merupakan hubungan antara bahasa dengan dunia luar yang telah disepakati bersama oleh pemakai bahasa sehingga dapat dimengerti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN LATAR BELAKANG, RUMUSAN MASALAH, TUJUAN, MANFAAT PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN LATAR BELAKANG, RUMUSAN MASALAH, TUJUAN, MANFAAT PENELITIAN BAB I PENDAHULUAN LATAR BELAKANG, RUMUSAN MASALAH, TUJUAN, MANFAAT PENELITIAN 1.1 Latar Belakang Geguritan merupakan salah satu karya sastra Bali Tradisional yang dibentuk oleh pupuh-pupuh. Setiap pupuh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan hasil kreasi manusia yang indah, di dalamnya

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan hasil kreasi manusia yang indah, di dalamnya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan hasil kreasi manusia yang indah, di dalamnya terdapat daya kreatif dan daya imajinasi. Kedua kemampuan tersebut sudah melekat pada jiwa

Lebih terperinci