BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Tabel 2.1 Etiologi Sirosis Hati (Choudhury, 2006)

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Tabel 2.1 Etiologi Sirosis Hati (Choudhury, 2006)"

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sirosis Hati Sirosis hati merupakan perjalanan patologi terakhir dari kerusakan hati kronik akibat berbagai macam penyakit hati. Ada banyak keadaan yang akan menyebabkan SH yang dapat kita lihat pada Tabel 2.1 (Choudhury, 2006). SH sering tanpa gejala dengan prevalensi 4-10% dari pemeriksaan autopsi. Jumlah pasien yang menderita SH di German diperkirakan sekitar dengan kematian pertahun (peringkat ke-9 penyebab kematian dan ke-5 untuk kelompok usia tahun) (Kuntz, 2008). Pada masyarakat di Amerika Utara prevalensinya sekitar 3.6 per (Choudhury, 2006), Prevalensi SH di Indonesia dari beberapa laporan rumah sakit umum hanya berdasarkan diagnosis klinis didapatkan prevalensi SH sekitar 3.5% (4.044 pasien) dari seluruh pasien yang dirawat di bangsal penyakit dalam ( pasien) (Kusumobroto, 2007). Progesivitas kerusakan hati ini dapat berlangsung dalam beberapa minggu sampai beberapa tahun (Kuntz, 2008). Tabel 2.1 Etiologi Sirosis Hati (Choudhury, 2006) 1. Hepatitis C Kronis (26%) 2. Penyakit Alkoholik hati (21%) 3. Penyebab kriptogenik (18%)* 4. Hepatitis B ± Hepatitis D (15%) 5. Penyebab lain : Penyakit Perlemakan Hati Non-Alkohol Hemokromatosis Penyakit Wilson Defisiensi α-1-antitripsin Hepatitis autoimun SH Bilier Primer SH Bilier Sekunder Kolangitis Sklerosing Primer Sindroma Budd-Chiari

2 Akibat obat ( Metotreksat, amiodarone) *bisa termasuk beberapa kasus dari Penyakit Perlemakan Hati Non-Alkohol WHO memberi batasan histologi SH sebagai proses kelainan hati yang bersifat difus, ditandai fibrosis dan perubahan bentuk hati normal ke bentuk nodul-nodul abnormal (Kusumobroto, 2007). Pada pasien dengan kemungkinan SH perlu dilakukan 3 pendekatan yaitu: 1. Menegakkan diagnosis SH Diagnosis kemungkinan SH dapat dibuat berdasar anamnesis, pemeriksaan fisik atau pemeriksaan laboratorium rutin namun kebanyakan dari perubahan klinis dan pemeriksaan laboratorium ini tidak spesifik. Diagnosis SH yang paling akurat dalah biopsi hati namun tidak selalu perlu dilakukan pada semua kasus tetapi dapat dengan dijumpainya gagal hati, komplikasi dari SH dan hipertensi portal. 2. Menentukan penyebab SH 3. Evaluasi prognosis pasien. (Choudhury, 2006), (Dancygier, 2010) Tabel 2.2 Gambaran Klinis dan Kelainan Laboratorium pada Sirosis Hati (Choudhury, 2006) Pemeriksaan Klinis Kelainan Laboratorium - Spider angioma - Palmar eritema - Kontraktur Dupuytren - Muehrcke s dan Terry s nail - Ginekomasti - Hilangnya rambut aksial dan pubis - Atrofi testikular - Asites - Hepatomegali - Splenomegali - Kaput medusa - Fetor hepaticus - Asterexis - Cruveilhier Baumgarten - Hiperbilirubin - Peningkatan aminotransferase - Peningkatan alkali fosfat - Hipoalbumin - Profil kelainan koagulasi - Trombositopenia - Peningkatan A-glutamil transpeptidase - Hiperglobinemia - Hiponatremia

3 2.2. Prognosis Sirosis Hati Model prognosis sangat berguna untuk memperkirakan keparahan penyakit, dan harapan hidup dan hal ini dipakai untuk membuat keputusan mengenai terapi spesifik. Sejumlah besar penyakit-penyakit kronis, termasuk SH, membutuhkan suatu alat untuk memprediksi hasil akhir. SH termasuk kelompok dengan kondisi berat yang mana pada prinsipnya harapan hidup merupakan hasil akhir. Pasien SH kompensata mempunyai harapan hidup lebih lama bila tidak berkembang menjadi dekompesata. Pasien SH kompensata memiliki harapan hidup 10 tahun sekitar 45 sampai 50%. Kompensasi jangka panjang bisa dipertahankan sekitar 40-45% dari kasus. Pada pasien terkompensasi akan terjadi komplikasi berat sekitar 55-60% dan dekompensasi terjadi 45-50% dari kasus. Angka harapan hidup rerata SH kompensata 8.9 tahun sementara itu SH dekompensata hanya 1.6 tahun. Prognosis pasien SH tergantung pada 2 hal yaitu: tingkat keparahan dari gagal hati dan adanya komplikasi dari SH. Skor prognosis pada SH bukan hanya untuk memperkirakan kemungkinan kematian pada jangka waktu yang ditentukan akan tetapi juga menggambarkan perkiraan kuantitatif dari sisa fungsi hati dan kemampuan untuk bertahan dengan pembedahan atau terapi intervensi agresif lainnya. (Durand dkk, 2005), (Huo dkk, 2008), (Dancygier, 2010). Gambar 2. 1 Harapan hidup pasien SH dekompensata dan kompensata (Dancygier, 2010)

4 2.2.1 Skor Prognosis Child Pugh Konsep Dasar Skor Child yang pertama skor Child-Turcotte melibatkan 5 variabel (bilirubin, albumin, asites, ensefalopati dan status nutrisi) dikategorikan menjadi 3 grup dengan tingkatan keparahan penyakit (Tabel 2.3) (Guha, 2007), (Durand dkk, 2005). Tabel 2.3 Skor Child Turcotte (Guha, 2007) Variabel A B C Bilirubin serum (mg/100ml) Albumin serum (gr/100ml) Asites Gangguan neurologi Nutrisi < 2.0 > Sangat baik Mudah dikontrol Minimal Baik >3.0 <3.0 Sulit dikontrol Berat, koma Buruk Skor Child-Turcotte dimodifikasi 10 tahun kemudian dengan skor Child Pugh (Tabel 2.4) dengan menggantikan status nutrisi dengan waktu protrombin atau Internasional Normalized Ratio (INR) dan juga nilai terendah albumin dari 3.0 menjadi 2.8 gr/dl. Variabel dari Child Pugh menggambarkan fungsi hati dalam hal sintesis (albumin dan protrombin) dan ekskresi (bilirubin) (Durand dkk, 2005), (Choudhury, 2006). Tabel 2.4 Skor Child Pugh (Choudhury, 2006) Parameter Asites Bilirubin, mg/dl Albumin, gr/dl Protrombin time - Memanjang (detik) - INR Ensefalopati Nilai 1 (-) <2 > <1.7 (-) Nilai 2 Ringan Derajat I-II Child A skor : 5-6, Child B skor : 7-9, Child C skor :10-15 Catatan : harapan hidup 2 tahun : Child A (85%), Child B (60%) dan Child C (35%) Nilai 3 Sedang >3 <2.8 >6 >2.3 Derajat III-IV

5 Nilai prognosis dari Skor Child Pugh telah ditunjukkan pada banyak kondisi yang melibatkan SH lebih dari 30 tahun. Analisis multivariat yang mengunakan skor Child Pugh telah menunjukkan bahwa skor Child Pugh memiliki nilai prognosis independen pada keadaan asites, ruptur varises esofagus, ensefalopati subklinis, karsinoma hepatoseluler, pembedahan hati, SH alkoholik, SH dekompensata yang berhubungan dengan virus Hepatitis C, kolangitis sklerosis primer dan sindrom Budd-Chiari. Aplikasi Penggunaan skor Child Pugh terutama untuk mengklassifikasikan atau memilih pasien untuk analisa prognosis, untuk penilaian retrospektif dari pemberian terapi atau untuk randomized control trial (RCT). Skor Child Pugh secara klinis digunakan secara luas sebagai deskripsi sederhana atau indikator prognosis dan sering berhubungan dengan indikator lain. Keterbatasan Keterbatasan pertama dari Child Pugh berhubungan dengan fakta bahwa 5 komponen dasar dari Skor Child Pugh telah dipilih secara empirik. Variabelvariabelnya tidak semua memiliki pengaruh independen, seperti albumin dan faktor koagulasi keduanya disintesis di hati dan keduanya sangat kuat saling berhubungan. Keterbatasan kedua mengenai nilai ambang batas dari variabel kuantitas yang belum ada bukti batasan tersebut berhubungan dengan mortalitas. Keterbatasan ketiga bahwa kekuatan yang sama dari tiap variabel yang bisa menjadikan penilaian yang berlebihan atau sebaliknya terabaikan dampak sebenarnya variabel tersebut. Keterbatasan keempat adalah karena pada kenyataannya faktor prognosis yang penting tidak diperhitungkan seperti adanya keterlibatan fungsi ginjal dan hipertensi portal. Terakhir Child Pugh tidak memperhitungkan penyebab SH, kemungkinan koeksistensi beberapa faktor dan proses kerusakan yang menetap seperti penyalahgunaan alkohol, replikasi virus Hepatitis B atau Hepatitis C yang sedang berlangsung atau aktivitas peradangan dari hepatitis autoimun (Durand dkk, 2005), (Huo dkk, 2008).

6 2.2.2 Skor Prognosis Model of Endstage Liver Disease (MELD) Konsep dasar Persoalan yang kompleks dari indikasi optimal untuk transplantasi dan prioritas dari pemilihan transplantasi hati telah menjadi pendorong dari perkembangan dan perluasan dari skor MELD. Skor MELD awalnya dibuat dengan tujuan untuk memprediksi harapan hidup setelah dilakukan Transjugular intrahepatic porto-systemic (TIPS) yang keadaannya bisa berbeda dari yang kandidat transplantasi. Skor MELD terdiri dari 4 variabel objektif yang memiliki pengaruh signifikan dan independen terhadap harapan hidup yaitu bilirubin, kreatinin, INR dan penyebab dari SH (alkoholik dan kolestatis dibandingkan penyebab lain) (Tabel 2.5). Secara statistik kuantitas dari nilai variabel dan kekuatan tiap variabel ditransformasikan dan akhirnya didapatkan skor MELD : R=0. Namun skor ini tidak bisa secara langsung menentukan harapan hidup pasien walaupun nilai bilirubin, kreatinin dan INR telah didapatkan dalam klinis. Selama bertahun-tahun penempatan dari transplantasi hati berdasarkan waktu menunggu namun berdasarkan penelitian yang penting hal ini tidak sesuai sehingga dibutuhkan kriteria lain yang efisien dan adil dalam penempatan organ. Penelitian selanjutnya dengan sedikit modifikasi skor MELD (diuji pada populasi pasien SH berbeda). Penelitian ini menunjukkan bahwa skor MELD adekuat memprediksi mortalitas di rumah sakit sama baiknya dengan pasien rawat jalan. Validitas Variabel skor MELD telah dipilih dari populasi yang ditentukan dan telah divalidasi kemudian di sampel independen. Penelitian telah mengkonfirmasi bahwa MELD adalah skor resiko kuat pada pasien yang akan menjalani TIPS dengan statistik c untuk 1 tahun harapan hidup sekitar Skor MELD telah diuji pada kondisi gagal hati akut dan pengulangan segera transplantasi pada kegagalan transplantasi. Aplikasi Skor MELD telah diaplikasikan dalam mengurutkan kandidat untuk transplantasi.

7 Keterbatasan Skor MELD dan Child Pugh memiliki beberapa keterbatasan yang sama. Keterbatasan pertama walaupun sudah menggunakan analisa multivariat namun data dasarnya tetap secara empiris sehingga variabel yang penting belum diperhitungkan dalam analisanya. Hal kedua adalah mengenai variabel pada MELD, variabelnya bersifat objektif berlawanan dengan ensefalopati yang dipengaruhi secara subjektif. Variabel nilai kreatinin dan bilirubin bisa berubah dengan intervensi terapi (terutama diuretik), sepsis dan hemolisis. Pemilihan variabel INR dibandingkan petanda koagulasi lain yang menjadi bahan kontroversial karena beberapa pusat pelayanan tidak memakai INR pada pasien SH. Keterbatasan lain skor MELD telah ditetapkan dari populasi yang menjadi kandidat TIPS jadi walaupun MELD sudah terbukti sebagai skor prognosis yang efisien dan kuat pada kandidat transplantasi namun mungkin skor ini secara spesifik disesuaikan pada transplantasi hati belum lebih efektif pada kondisi lain. Evaluasi prospektif dari skor MELD pada situasi yang berbeda atau perbedaan intervensi terapeutik bisa menimbulkan nilai ambang batas yang berbeda, membuat proses pengambilan keputusan yang lebih rumit jika dibandingkan pemakaian secara universal kelompok-kelompok Child Pugh. Keterbatasan yang prinsip dari skor MELD adalah membutuhkan komputerisasi dan memiliki keterbatasan dalam praktek sehari-hari. (Durand dkk, 2005), (Huo dkk, 2008). Tabel 2.5 Skor MELD (Kusumobroto, 2007) Skor MELD : 3.8*log [bilirubin] *log [INR] + 9.6* [kreatinin] Interval skor MELD = 6-40 Untuk menilai kandidat penerima donor transplantasi hati Perbandingan Skor prognosis MELD dan Child-Pugh Karakteristik dari prinsip skor MELD dan Child Pugh dapat kita lihat di Tabel 2.6 Tabel 2.6 Perbandingan Skor Child Pugh dan MELD (Durand dkk, 2005) Komponen Child Pugh MELD Jumlah variabel Kuantitas variabel Pemilihan variabel 5 3/5 Empirik 3 3/3 Statistik

8 Kekuatan variabel berdasarkan pengaruhnya Dampak batas dari kuantitas Transformasi logaritma Perlu komputerisasi Variabel dipengaruhi penilain personal Tipe skor Tidak Ada Tidak Tidak Ya diskret Ya Tidak Ya Ya Tidak Kontinu Dalam membuat keputusan dalam penanganan secara individu, kelebihan MELD dibandingkan Child Pugh menjadi lebih sedikit terbukti karena perlunya komputerisasi sementara itu Child Pugh lebih mudah dipakai. Hasil temuan yang mengejutkan bahwa keakuratan MELD dalam memprediksi hasil akhir dari pasien SH tidak selalu lebih baik dari skor Child Pugh (dan bisa lebih inferior) pada Tabel 2.7 (Durand dkk, 2005), (Huo dkk, 2008), Tabel 2.7 Perbandingan keakuratan Child dan MELD (Durand dkk, 2005) Penelitian Thn Populasi penelitian Pasien Hasil Statistic i Akhir Child MELD Mortal. Kamath PS et al. Angermayr B et al. Schepke M et al. Botta F et al. Wiesner RH et al. Degre D et al. Said A et al TIPS TIPS TIPS SH SH, Transplantasi hati SH, Transplantasi hati Penyakit hati kronis bulan 1 bulan 3 bulan 1 tahun 1 bulan 3 bulan 1 tahun 1 tahun 3 bulan 3 bulan 3 tahun Statistik indeks (i) menggambarkan karakteristik kurva ROC yang memetakan sensitivitas terhadap 1-spesifivitas. Validitas skor meningkat jika i mendekati Malnutrisi Malnutrisi didefinisikan sebagai ketidakadekuatan nutrisi bisa berarti kurang nutrisi ataupun berlebihan. Istilah malnutrisi umumnya dipakai untuk menggambarkan suatu keadaan tidak adekuatnya protein, kalori atau keduanya dan lebih tepatnya disebut KKP. KKP terjadi dengan jalur yang berbeda, yaitu

9 KKP primer dan sekunder. KKP primer disebabkan oleh tidak adekuatnya asupan protein dan/atau kalori atau kadang-kadang karena rendahnya kualitas asupan protein. KKP sekunder disebabkan oleh penyakit atau cedera. Penting mengetahui komposisi tubuh dan jenis jaringan yang hilang atau berkurang dari penurunan berat badan karena malnutrisi dalam menentukan pembagian patologis. Lean body mass (LBM) tempat menghasilkan energi lebih dari 95% yang merupakan tempat metabolisme terbesar yang mempertahankan hemostatis dan kompartemen inilah yang paling penting dipertahankan. LBM bisa dibagi menjadi kompartemen protein somatik dan viseral, sel darah dan tulang, dan lean mass ekstraseluler, seperti plasma dan matriks tulang (Gambar 2.2). Penyakit atau cedera akan meningkatkan kebutuhan kalori dan protein dan akhirnya berakibat pada katabolisme protein yang tidak sebanding dengan sintesisnya. Hal ini akan menyebabkan mobilisasi asam amino dari otot skelet akan digunakan sebagai sumber kalori melalui glukoneogenesis dan asam amino ini juga diambil oleh hati dan organ viseral lainnya. Keadaan ini menyebabkan pergeseran asam amino dari kompartemen somatik ke viseral dan pada kondisi semistarvation atau total maka jaringan adiposa menjadi sumber energi yang dominan. Oleh karena itu perubahan metabolisme akibat cedera atau penyakit menimbulkan hilangnya proporsi massa otot yang sebanding atau melebihi hilangnya fat mass (FM). Hilangnya LBM awalnya terutama dari kompartemen protein somatik namun dengan menetapnya stress maka akan melibatkan kompartemen protein visceral (Mason, 2010). Malnutrisi kronik ditandai dengan penurunan progresif dari lean body mass = free fat mass (FFM) atau sarkopenia dan FM. Penurunan berat badan dan BMI tidak sensitif untuk mendeteksi hilangnya FFM sehingga penilaian komposisi tubuh merupakan teknik yang bermanfaat dalam mengetahui status nutrisi. (Thibault dan Pirchard, 2012).

10 Gambar 2.2 Analisa komposisi tubuh pasien dewasa sehat (Mason, 2010) Penilaian gizi adalah suatu proses yang digunakan untuk mengevaluasi status nutrisi, mengidentifikasi malnutrisi dan menentukan individu mana yang sangat membutuhkan bantuan gizi. Penilaian status gizi terdiri dari 4 komponen : riwayat nutrisi, penilaian fisik, pengukuran antropometri dan analisis laboratorium. Riwayat nutrisi meliputi penurunan berat badan, asupan makanan, adanya malabsorpsi, adanya defisiensi nutrien tertentu, dampak penyakit dengan kebutuhan nutrisi dan status fungsional. Pemeriksaan fisik termasuk di dalamnya status hidrasi, deplesi jaringan, fungsi otot dan defisiensi nutrien tertentu. Pengukuran antropometrik merupakan pengukuran tubuh manusia dan yang penting meliputi tinggi badan dan berat badan yang selanjutkan diukur BMI. Pengukuran lipatan kulit memberikan suatu penilaian dari lemak tubuh yang sering digunakan adalah lipatan kulit pada otot trisep lengan atas (triceps skinfold/tsf). Lingkar otot lengan (arm muscle circumference/amc) menggambarkan massa otot. Hal ini ditentukan dengan mengukur lingkar lengan (AC= arm circumference) dan TSF pada lengan atas. Untuk pemeriksaan laboratorium bisa dengan kadar protein serum yaitu albumin (penurunan kadar albumin serum sering pada penyakit hati dan nefrosis), transferin, prealbumin dan retinol-binding protein (RBP), jumlah limfosit total, creatinin hight index (CHI) dan keseimbangan nitrogen negatif, (Moore, 1997) (Mason, 2010).

11 Tabel 2.8 Klassifikasi Status Nutrisi dengan BMI pada Dewasa (Mason, 2010) Body Mass Index (kg/m2) Status Nutrisi < Malnutrisi berat Malnutrisi sedang Malnutrisi ringan Normal Overweight Obesitas kelas I Obesitas kelas II Obesitas kelas III Tabel 2.9 Klassifikasi Stadium Malnutrisi (Yovita dkk, 2004) 2.4 Malnutrisi pada SH Hati berperan penting dalam mempengaruhi status nutrisi terutama melalui produksi asam empedu dan fungsinya sebagai perantara metabolisme protein, karbohidrat, lemak dan vitamin sehingga penderita panyakit hati sangat mungkin terjadi gangguan metabolisme zat makanan dengan segala akibatnya (Setiawan, 2007) (Balbino dan Silva, 2012). Istilah malnutrisi dan metode pengukuran pada SH belum jelas dan tidak ada definisi standar tentang istilah ini. Malnutrisi pada SH terutama ditandai dengan penurunan protein viseral (kadar albumin serum yang lebih rendah) maupun defisiensi protein somatik yang bermanifestasi sebagai contoh penurunan massa otot dan sel tubuh dan disertai kelemahan otot dan gangguan kualitas hidup. Sarkopenia atau hilangnya massa otot, penurunan massa lemak dan kurangnya kedua hal tersebut baik massa otot dan lemak atau

12 kaheksia telah dilaporkan pada pasien SH. (Dasarathy dkk, 2011) (Norman dan Pirlich, 2010). Malnutrisi dipertimbangkan sebagai salah satu faktor prognosis yang penting pada SH dan mengingatkan klinisi untuk tanggap sama seperti terhadap komplikasi SH seperti ensefalopati hepatik dan asites. Kepentingan klinis dari malnutrisi ini dikarenakan pasien yang malnutrisi memiliki prevalensi morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi dan intervensi dini dalam mengatasi kekurangan nutrisi bisa memperpanjang angka harapan hidup, memperbaiki kualitas hidup, mengurangi komplikasi dan persiapan lebih baik untuk transplantasi hati. (Tsiaousi dkk, 2008), (McCullough, 2006). Gambar 2.3 Malnutrisi sebagai prediktif dari harapan hidup pasien SH. Angka harapan hidup dengan MMC dibawah persentil ke 5 (kelompok 1), ke 10 (kelompok 2), dan ke 75 (kelompok 3) dan di atas persentil ke-75 (kelompok 4). P>.001 pada 6, 12 dan 24 bulan antara pasien dengan malnutrisi berat dan sedang (kelompok 1 dan 2) dan mereka yang normal dan nutrisi berlebih (kelompok 3 dan 4). (O Brien dan Williams, 2008) Prevalensi Malnutrisi pada SH Malnutrisi hampir didapati pada keseluruhan penyakit hati stadium akhir. Awalnya penelitian malnutrisi pada penyakit hati kronik lebih difokuskan pada pasien SH alkoholik namun ternyata prevalensi KKP meningkat semua bentuk SH

13 (Gambar 2.4). Pada penyakit hati alkoholik, prevalensi KKP bisa sampai 80% tergantung dari tingkat keparahan penyakit namun insidensi dan tingkatan KKP ternyata sangat sama pada pasien penyakit hati kronik dengan alkoholik maupun bukan alkoholik. Prevalensi malnutrisi pada pasien yang menunggu transplantasi hati hampir 100%, pada pasien SH sekitar 80% dan bahkan pada beberapa uji klinis pada pasien dengan kategori Child Pugh A didapatkan prevalensi malnutrisi mencapai 25%. KKP jarang dijumpai pada pasien stadium sebelum SH dari penyakit hati kecuali pada keadaan obstruksi biliar ektrahepatik. Pada satu penelitian dilaporkan adanya malnutrisi pada pasien SH kompensata Child Pugh A sekitar 20% dan 50-60% pada pasien dekompensata Child Pugh C. Perbedaan laporan prevalensi dipengaruhi oleh bagaimana dilakukannya pemeriksaan status nutrisi (Matos dkk, 2002) (Tsiaousi dkk, 2008), (McCullough, 2006). Gambar 2.4 : Prevalensi KKP pada SH alkoholik dan bukan alkoholik (McCullough,2006) Etiologi Malnutrisi pada SH Ada banyak alasan potensial kenapa malnutrisi terjadi pada penyakit hati tahap lanjut, namun yang paling penting adalah asupan diet yang kurang (Matos dkk, 2002). Faktor-faktor yang menyebabkan malnutrisi pada penyakit hati : a. Gangguan pencernaan: Asupan nutrisi kurang adekuat sering terjadi akibat gangguan pencernaan itu sendiri atau adanya pembatasan asupan makanan selama dirawat di rumah sakit. Gejala gangguan pencernaan pada pasien SH antara lain anoreksia, mual, muntah dan rasa cepat kenyang (perut penuh).

14 b. Pembatasan asupan garam dan makanan: pasien SH dengan asites biasanya diberikan diit rendah garam yang tentu akan mengurangi selera makan penderita. Asupan protein juga sering dibatasi pada pasien dengan ensefalopati atau sindrom hepatorenal yang tentunya juga dapat menyebabkan terjadinya malnutrisi. c. Perubahan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein: perubahan utama adalah terjadinya hipermetabolisme dengan akibat peningkatan keluaran energi dan peningkatan stress. d. Perubahan metabolisme karbohidrat: hati mengatur metabolisme karbohidrat dengan cara pembuatan, penyimpanan dan pemecahan kembali glikogen. Hati berperan mengupayakan agar kadar glukosa darah dalam keadaan normal dan jika glukosa kurang maka hati akan memecah glikogen. Cadangan glikogen berkurang maka terjadi proses glukoneogenesis dengan bahan asam amino sehingga terjadi pemecahan protein dan menyebabkan malnutrisi. e. Perubahan metabolisme lemak: pada SH sintesis dan eskresi asam empedu menurun dengan akibat akan terjadinya asupan lemak menurun dan terjadi mobilisasi cadangan lemak dan menyebabkan malnutrisi. f. Perubahan metabolisme protein: gangguan metabolisme protein merupakan kelanjutan dari asupan bahan energi yang kurang, glukoneogenesis dan lipolisis yang berlebihan dengan akibat pemakaian cadangan protein yang berlebihan. Hal ini menyebabkan degradasi protein otot sehingga asam amino glukogenik terutama asam amino rantai cabang dilepaskan selanjutnya dengan proses tranaminasi terbentuk alanin. Alanin ini yang akan menghasilkan glukosa sebagai sumber energi (Setiawan, 2007). Tabel 2.10 Etiologi Malnutrisi pada Sirosis Hati (McCullogh, 2006) Pasien rawat jalan Faktor Etiologi dari Malnutrisi pada SH Diet yang tidak adekuat Kuantitas Iatrogenik (Pembatasan protein, restriksi cairan/garam) Malabsorpsi Defisiensi garam empedu dan pankreas Anoreksia, mual dan muntah Efek dari toksisitas alkohol

15 Pasien rawat inap Perubahan metabolisme protein dan kalori Keadaan puasa Sterilisasi dan toksisitas neomisin Diet yang tidak enak Komplikasi pemberat Oksidasi asam amino Percepatan oksidasi lemak dan glukoneogenesis Peningkatan pemecahan protein Penurunan sintesis protein Tes diagnostik Perdarahan saluran cerna Perubahan status neurologi Dampak Malnutrisi pada pasien SH Beberapa penelitian secara konsisten menunjukkan bahwa malnutrisi pada SH mempengaruhi harapan hidup, kualitas hidup dan terjadinya komplikasi pada SH (Periyalwar dan Dasarathy, 2012). Dampak malnutrisi terhadap harapan hidup Dampak malnutrisi pada harapan hidup pasien SH telah diteliti pada 13 penelitian (Muller dkk, 1992; Deschenes dkk, 1997; Selberg dkk, 1997; Bathgate dkk, 1999; Le Cornu dkk, 2000; Alvares-da-Silva & Reverbel da, 2005; Shahid dkk, 2005; Bilboa dkk, de Carvalho dkk, 2010; Englesbe dkk, 2010; Fiqueredo dkk, 2010; Merli dkk, 2010; Montano-Loza, 2011) dengan keseluruhan sampel 1187 pasien didapatkan prevalensi malnutrisi sebelum transplantasi sekitar 9.4%-69.0%. Malnutrisi meningkatkan morbiditas dan mortalitas, termasuk penolakan segera setelah transplantasi dan lama rawatan intensif lebih lama. Secara statistik dijumpai hubungan bermakna antara tingkat keparahan malnutrisi dan mortalitas. (Periyalwar dan Dasarathy, 2012). Dampak malnutrisi dengan transplantasi barubaru ini juga mendapatkan bahwa status nutrisi yang buruk merupakan masalah yang umum dihadapi oleh pasien yang menunggu transplantasi hati dan merupakan faktor risiko untuk morbiditas dan mortalitas setelah transplantasi. Keadaan nutrisi akan memburuk secara cepat selama periode setelah operasi karena stress dari prosedur bedah, terapi imunosupressif dan pada beberapa pasien dengan disfungsi hati atau ginjal atau dengan sepsis (Gero dkk, 2012).

16 Dampak malnutrisi terhadap kualitas hidup Dampak malnutrisi terhadap kualitas hidup telah diteliti pada 7 penelitian (Arguedas dkk, 2003; Poon dkk, 2004; Poupon dkk, 2004; Kalaitzakis 2006; Norman dkk, 2006; Les dkk, 2010; Wunsch dkk, 2011) dengan jumlah sampel 1104 pasien didapatkan prevalensi malnutrisi19%-59%. Pasien dengan malnutrisi secara statistik meningkatkan gejala gastrointestinal dan menurunkan kualitas hidup dengan kuisioner Chronic Liver Disease Questionnaire (CLQD), Short Form (SF)-36 dan Notthingham Health Profile (NHP) (Periyalwar dan Dasarathy, 2012). Dampak Malnutrisi dengan komplikasi klinis SH Komplikasi utama yang dikenal mengancam jiwa pada SH yang meliputi asites, spontaneous bakteri peritonitis, hipertensi portal dan perdarahan gastrointestinal, hepatik ensefalopati dan sindrom hepatorenal dan semua ini dipengaruhi oleh malnutrisi. Namun hanya sedikit penelitian secara sistematis mengevaluasi dampak malnutrisi terhadap terjadinya dan pemberatan komplikasi. Dampak malnutrisi terhadap komplikasi SH telah diteliti pada 7 penelitian ( Asites oleh Campillo dkk, 2003; Semua komplikasi oleh Alvares-da-Silva & Reverbel da, 2005; HE oleh Kalaitzakis dkk, 2007; Hipertensi Portal oleh Sam & Nguyen, 2009; Hipertensi Portal oleh Montomoli dkk, 2010; SBP oleh Merli dkk, 2010; HE oleh Ndraha dkk, 2011; Semua komplikasi oleh Hulsman dkk, 2011) dengan sampel 751 pasien didapatkan prevalensi malnutrisi 6.1%-67.0%. Komplikasi SH yaitu asites, SBP, hipertensi portal, sindrom hepatorenal dan HE secara statistik signifikan meningkat pada malnutrisi (Periyalwar dan Dasarathy, 2012) Penanganan Malnutrisi pada SH Karakteristik utama dari malnutrisi pada SH adalah menurunnya protein viseral (kadar albumin serum rendah) sejalan dengan defisiensi protein somatik yang bermanifestasi sebagai contoh penurunan massa otot dan sel tubuh dan akan disertai dengan kelemahan otot dan penurunan kualitas hidup. Delapan penelitian telah melaporkan perubahan komposisi tubuh setelah dilakukan TIPS terhadap 152 pasien yang dipantau 3-12 bulan didapatkan perbaikan dari FFM (Dasarathy dkk, 2011).

17 Tabel 2.11 Penanganan Malnutrisi pada Penyakit Hati (McCullogh, 2006) Keadaan Klinis 1. Hepatitis (akut atau kronik) 2. SH ( tanpa komplikasi) Protein (g/kg/ hari) Kalori (kcal/k g/hari) %KH %Lemak Target Nutrisi Pencegahan malnutrisi Meningkatkan regenerasi Pencegahan malnutrisi Meningkatkan regenerasi 3. SH ( dengan komplikasi) a. Malnutrisi Mengembalikan ke status nutrisi normal. b. Kolestatis Pencegahan malnutrisi Penanganan malabsorpsi lemak c. Encefalopati Grade 1 atau Grade 3 atau Transplantasi hati a. Sebelum transplantasi b. Sesudah transplantasi Mempertahankan kebutuhan nutrisi tanpa mencetuskan ensefalopati Mengembalikan ke status nutrisi normal >70 30 Mencapai dan mempertahankan berat badan ideal 2.5 Pemeriksaan Status Nutrisi Pasien SH Tujuan dari penilaian gizi adalah untuk mengidentifikasi KKP yang bisa hampir tidak kelihatan namun sebagian besar kasus terdeteksi ketika penilaian gizi yang sistematis dilakukan. Contoh malnutrisi kalori yang hampir tidak terlihat tapi secara klinis signifikan ditemukan pada SH alkoholik Child Pugh A yang biasanya muncul dengan gizi baik. Salah satu kriteria untuk menentukan status kelas Child Pugh A adalah kadar albumin serum normal namun dengan wholebody nitrogen telah menunjukkan bahwa lebih dari setengah dari kelas A tersebut individu memiliki kurang dari 80% protein tubuh total yang merupakan ambang batas yang jika dibawahnya meningkatkan morbiditas terkait malnutrisi. Penilaian status nutrisi dengan kadar albumin memiliki keterbatasan karena biasanya

18 memang menurun pada penyakit hati lanjut dan berfluktuasi selama terjadi peradangan (Mason, 2010 ) (Balbino dan Silva, 2012). Pada stadium awal penyakit hati parameter-parameter pengukuran nutrisi objektif yang biasa dapat digunakan untuk mengetahui status nutrisi. Namun jika dijumpai tanda dari penyakit hati stadium akhir maka parameter objektif tidak selalu sahih. Pada satu penelitian yang mencari hubungan antara pengukuran antropometri, kadar prealbumin dan transferin serum dalam mengevaluasi status nutrisi pada 30 pasien SH didapatkan adanya hubungan prealbumin dan transferin dengan Child Pugh. Namun tidak dijumpai antara hubungan antara Child Pugh dengan pengukuran antropometrik sehingga tidak dianjurkan untuk dipakai dalam menilai status nutrisi. Beberapa pemeriksaan yang lebih spesifik bisa dilakukan dengan menilai komposisi tubuh adalah dual energy X-ray absorptiometry (DEXA), Deuterium Oxide dilution in vivo neutron activation analysis (IVNAA) dan bioelectrical impedance analysis. BIA dibandingkan DEXA dan IVNAA lebih sederhana, tidak invasif, tidak mahal dan metode yang cepat menilai body cell mass (BCM). BIA telah menunjukkan sebagai alat yang sahih dalam menilai KKP dengan mendeteksi penurunan BCM pada pasien SH terutama yang tanpa asites dijumpai hubungan yang sangat baik dan sangat signifikan antara BCM yang diukur dengan BIA dengan BCM yang diukur dengan kadar total kalium (Pirlich dkk, 2000), (Yovita dkk, 2004) (Campillo, 2010). 2.6 Bioelectrical impedance analysis (BIA) Penilaian komposisi tubuh adalah teknik yang bermanfaat untuk menilai status gizi. Pertama penilaian ini bisa mengevaluasi status nutrisi melalui pengukuran FFM dan kedua melalui pengukuran FFM dan phase angle dengan BIA dapat menilai prognosa dan hasil akhir. Pengukuran parameter komposisi tubuh seperti fat tissue mass, lean body mass (LBM), body cell mass (BCM), total body water (TBW) dan extracellular water (ECW) dapat dengan DEXA yang memberikan gambaran detil dan distribusi fat tissue mass, free fat mass (FFM) dan bone mineral content namun DEXA biayanya mahal dan tidak bisa sering diulangi karena radiasi. Oleh karena itu BIA yang relatif murah dan non invasif

19 telah dipakai dalam pengukuran TBW, ECW, FFM (Thibault dan Pichard, 2011), (Jaffrin, 2009), (Lee dan Gallagher, 2000), (Kotler dkk, 1996). Prinsip BIA Metode ini berdasarkan kemampuan tubuh dari tubuh menghantarkan listrik dan dengan BIA akan mengukur perubahan arus listrik jaringan tubuh yang didasarkan pada asumsi bahwa jaringan tubuh adalah merupakan konduktor silinder ionik dimana lemak bebas ekstrasellular dan intrasellular berfungsi sebagai resistor dan kapasitor. Arus listrik dalam tubuh adalah jenis ionik dan berhubungan dengan jumlah ion bebas dari garam, basa dan asam, juga berhubungan dengan konsentrasi, mobilitas, dan temperatur medium. Jaringan terdiri dari sebagian besar air dan elektrolit yang merupakan penghantar listrik yang baik, sementara lemak dan tulang merupakan penghantar listrik yang buruk. Resistance (R) dari materi konduksi yang homogen dari daerah penampangnya adalah sebanding dengan panjangnya (L) dan berbanding terbalik dengan luas penampangnya (A), (Gambar 3) (Balbino & Silva, 2012) (Kyle dkk, 2004). Gambar 2.5 Prinsip BIA dari karakteristik fisik komposisi tubuh (Kyle dkk, 2004) Tubuh memang bukan suatu silinder yang seragam dan konduktivitasnya tidak seragam tetapi secara empiris hubungan ini dapat ditetapkan dengan hasil bagi (Lenght 2 /R) dan volume air yang terdiri dari elektrolit sebagai penghantar listrik dalam tubuh. Masalah yang lain tubuh memiliki dua tipe R yaitu Capasitative R (reactance) dan Resistive R (biasa disebut Resistance). Resistance merupakan tahanan frekuensi arus listrik yang dihasilkan oleh cairan intrasel dan ekstrasel sedangkan capacitance merupakan tahanan frekuensi arus listrik yang

20 dihasilkan oleh jaringan dan membran sel. Impedance adalah istilah dari kombinasi Capasitanse dan Resistive (Gambar 4) (Kyle dkk, 2004), (Goswami dkk, 2007). Gambar 2.6 Pemasangan standar dari elektroda BIA di tangan dan kaki. (Kyle dkk, 2004), (Goswami dkk, 2007) Parameter BIA dalam penentuan komposisi tubuh Body Cell Mass (BCM) BCM didefinisikan sebagai massa intraselular dalam tubuh, yang terutama berisi kalium tubuh (98-99%). BCM pada hakekatnya merupakan massa dari seluruh elemen sel di dalam tubuh, oleh karena itu merupakan komponen aktif dari metabolism tubuh. Pada individu normal, pada jaringan otot terdiri dari sekitar 60% BCM, jaringan organ sekitar 20% BCM, dan sisanya 20% terdapat pada sel darah merah dan jaringan seperti adiposit, tendon, tulang dan tulang rawan. BCM merupakan kompartemen kaya protein yang dipengaruhi keadaan katabolik dan kehilangan BCM berhubungan dengan prognosis yang buruk. Free Fat mass (FFM) FFM adalah semua yang bukan lemak tubuh yang merupakan kombinasi dari Body Cell Mass (BCM) dan Extracellular Mass (ECM). Fat Mass (FM) Lemak adalah tempat penyimpanan energi di dalam tubuh. Fat Mass (FM) sama dengan berat badan aktual dikurangi dengan Fat free Mass (FFM). Nilai normalnya pengaruhi oleh umur dan jenis kelamin.

21 Resting Metabolic Rate (RMR) Energi merupakan kebutuhan pokok bagi proses biologik. Tanpa energi, proses dasar biologik bagi kehidupan tidak terjadi. Metabolisme terjadi melalui 2 fase yang berbeda: 1). Katabolisme, badan memecah makanan dan menghasilkan energi dan disimpannya dalam ikatan atomnya. 2). Anabolisme, di mana bagian komponen dan energi itu digunakan untuk membangun jaringan yang baru dan melakukan fungsi dasar hidup. RMR adalah jumlah energi dalam tubuh yang dibutuhkan setiap hari untuk melakukan fungsi dasar hidup (Lukaski,1985), (Kyle dkk, 2004). Gambar 2.7 Skema diagram dari FFM, TBW, ICW, ECW dan BCM (Kyle dkk, 2004) Tabel Nilai rerata kompartemen komposisi tubuh (Thibault dan Pichard, 2012) Kompartemen seluruh tubuh Kompartemen spesifik Tingkat kompertemen Persentase dari TBW Nilai absolute FFM (termasuk TBW) Protein Tubuh ICW ECW Jaringan Tulang ACM TBW Total FFM - Molecular Selular Selular Jaringan Selular Molecular Seluruh tubuh pada 70 kg FM ACM= active cell mass, ECW= extracellular water, ICW= intracellular water, TBW= total body water. Phase angle Dari keseluruhan dampak yang diperlihatkan tubuh terhadap perubahan arus ada dua yaitu Resistance dan Reactance (Xc). FFM di tubuh manusia

22 mewakili resistance dan BCM sebagai reactance. Phase angle merupakan metode pengukuran secara linier hubungan antara resistance dan reactance pada rangkaian seri atau parallel. Phase angle = sudut (reactance/resistance). Nilai phase angle dari 0-90, 0 jika sirkuit hanya resistive (sistem tanpa membrane sel) dan 90 jika sirkuit hanya capacitive (semua membrane tanpa cairan). Phase angle 45 menggambarkan jumlah reactance dan resistance sama, nilai yang lebih rendah menandakan reactance yang rendah dan kematian sel atau kerusakan permebilitas membrane sel. Nilai phase angle yang normal pada pasien yang sehat berbeda berdasarkan jenis kelamin dan ras (Tabel 2.13) (Kyle dkk, 2004). Tabel 2.13 Data BIA pada 419 orang sehat di Malaysia (Wong, 2004) 2. 7 Manfaat Prognosis dari BIA KKP berhubungan dengan prognosis buruk pada penyakit hati kronis dan untuk mengetahui malnutrisi protein pada pasien SH diperlukan pengukuran yang sahih. BIA merupakan pemeriksaan yang sensitif, aman dan tidak mahal yang dapat menentukan status nutrisi dan dengan BIA dapat ditentukan BCM yang dapat memberikan keuntungan yang lebih dibandingkan yang tersedia lainnya yang kurang akurat seperti antropometri atau pendekatan kreatinin. BIA telah divalidasi untuk penilaian dari komposisi tubuh dan status nutrisi pada berbagai populasi termasuk pasien kanker (Setiawan, 2007), (Balbino dan Silva, 2012), (Pirlich dkk, 2000).

23 Malnutrisi ditandai dengan perubahan integritas membran sel dan perubahan pada keseimbangan cairan oleh karena itu pengukuran komposisi tubuh merupakan komponen penting dari keseluruhan evaluasi nutrisi. BIA mengukur komponen resistance dan capacitance tubuh yang mana akan menggambarkan phase angle yang merefleksikan kontribusi dari cairan (resistance) dan membran sel (capacitance) dari tubuh. Phase angle telah ditemukan sebagai faktor prognosis pada beberapa keadaan klinis seperti infeksi HIV, SH, PPOK, hemodialisis, sepsis dan kanker paru (Gupta dkk, 2004) (Balbino dan Silva, 2012). Phase angle merupakan indikator prognosis pada pasien dengan kanker stadium lanjut seperti kolorekti lanjut. Pada pasien kanker paru non small sel stage IIIB dan IV didapati phase angle BIA merupakan indikator prognosis independen dan intervensi nutrisi memperbaiki phase angle bisa potensial membawa perbaikan harapan hidup pasien (Silvana dkk, 2009),(Gupta dkk, 2009), (Gupta dkk, 2004). BIA phase angle juga merupakan indikator potensial pada kanker kolorekti tahap lanjut dan bahkan pada pada kanker pankreas tahap lanjut phase angle merupakan indikator prognosis yang kuat (Gupta,Lis, dkk, 2004), (Gupta dkk, 2008). Saat ini parameter-parameter BIA juga telah dipakai pada pasien PPOK dan juga parameter phase angle distandarisasi sebagai faktor prognosis harapan hidup pada pasien kanker. (Paiva dkk, 2011), (Walter-Kroker dkk, 2011). Pada pasien SH satu penelitian yang melibatkan pasien sehat, pasien yang dirawat di rumah sakit dan pasien dengan SH ditemukan pada pasien SH dijumpai peranan prognosis dari phase angle jika phase angle <5.4 memiliki harapan hidup secara keseluruhan lebih rendah dibandingkan pasien lain, Gambar 2.8 (Selberg, 2002), (Schloerb, 1996).

24 Tabel 2.14 Statistik dari Dampak Prognosis Phase angle (disadur Norman dkk, 2012) Populasi Penelitian n Nilai ambang Dampak klinis pada pasien dengan nilai dibawah ambang batas batas HIV Penurunan harapan hidup: perkiraan parameter dengan test LR: , p< HIV Penurunan harapan hidup: 463 hari vs 670 hari, p< Kanker Paru Kanker Kolorekti Kanker Pankreas Penurunan harapan hidup: OR=1.25, p=0.04 Stadium IIIB 3.7 vs 12.1 bulan, Stadium IV: 1.4 vs 5.0 bulan Penurunan harapan hidup: 8.6 vs 40.4 bulan, p=0.0001, peningkatan mortalitas RR:10.7(p=0.007) Penurunan harapan hidup: 6.3 vs 10.2 bulan, p=0.02 Reduksi dari RR 0.75 tiap 1 Kanker Payudara Penurunan harapan hidup: 23.1 vs 49.9 bulan, p=0.031, Reduksi dari RR 0.82 tiap 1 HD* 131 L: 4.5 P: 4.2 Penurunan 2 tahun harapan hidup, 59.3% vs 91.3% p<0.0, peningkatan mortalitas: RR:2.6, p< HD* Peningkatan mortalitas: RR:2.2, p<0.05 Peningkatan mortalitas: RR:1.3, p<0.05 Peritoneal Dialisis Penurunan harapan hidup 5 tahun (p=0.004); RR=0.536, p=0.01 SH Penurunan harapan hidup 4.5 tahun, p<0.01 Geriatri Peningkatan 4x mortalitas di RS dari 20% HD = Hemodialisis Gambar 2.8 Waktu harapan hidup pasien SH dikelompokkan dengan phase anglenya. (Selberg, 2002)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. PENYAKIT GINJAL KRONIK 2.1.1. Defenisi Penyakit Ginjal Kronik Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologi dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan

Lebih terperinci

PGK dengan HD IDWG BIA PHASE ANGLE

PGK dengan HD IDWG BIA PHASE ANGLE BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL 3.1 Kerangka Konsep PGK dengan HD Etiologi Compliance (Kepatuhan Pasien, kualitas HD) Asupan cairan Asupan Garam dan nutrisi IDWG BIA Komposisi cairan Status

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Malnutrisi pada pasien kanker Malnutrisi terjadi pada mayoritas pasien kanker dan ini penyebab tersering morbiditas dan mortalitas. Kaheksia kanker adalah satu bentuk malnutrisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (PGK) tahap akhir yang menjalani dialisis masih sangat tinggi, kira-kira 15 -

BAB I PENDAHULUAN. (PGK) tahap akhir yang menjalani dialisis masih sangat tinggi, kira-kira 15 - BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Angka morbiditas dan mortalitas pasien penyakit ginjal kronik (PGK) tahap akhir yang menjalani dialisis masih sangat tinggi, kira-kira 15-20 persen per tahun, meskipun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. arsitektur hepar dan pembentukan nodulus regenatif (Nurdjanah, 2009).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. arsitektur hepar dan pembentukan nodulus regenatif (Nurdjanah, 2009). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sirosis hati adalah suatu keadaan patologis yang menggambarkan stadium akhir fibrosis hepatik yang berlangsung progresif yang ditandai dengan distorsi dari arsitektur

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 PENYAKIT GINJAL KRONIS Penyakit ginjal kronis adalah suatu proses patofisiologis pada ginjal dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Malnutrisi semakin diketahui sebagai faktor. prosnosis penting yang dapat mempengaruhi keluaran

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Malnutrisi semakin diketahui sebagai faktor. prosnosis penting yang dapat mempengaruhi keluaran BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Malnutrisi semakin diketahui sebagai faktor prosnosis penting yang dapat mempengaruhi keluaran klinis pasien penderita penyakit hati tahap akhir. Meskipun faktanya malnutrisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. akhir fibrosis hepatik yang berlangsung progresif yang ditandai dengan distorsi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. akhir fibrosis hepatik yang berlangsung progresif yang ditandai dengan distorsi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Sirosis adalah suatu keadaan patologik yang menggambarkan stadium akhir fibrosis hepatik yang berlangsung progresif yang ditandai dengan distorsi dari arsitektur hepar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Penyakit hati menahun dan sirosis merupakan penyebab kematian kesembilan di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Penyakit hati menahun dan sirosis merupakan penyebab kematian kesembilan di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian 1. Perumusan masalah Penyakit hati menahun dan sirosis merupakan penyebab kematian kesembilan di Amerika Serikat dan bertanggung jawab terhadap 1,2% seluruh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. peradangan sel hati yang luas dan menyebabkan banyak kematian sel. Kondisi

BAB I PENDAHULUAN. peradangan sel hati yang luas dan menyebabkan banyak kematian sel. Kondisi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sirosis hati adalah penyakit hati menahun yang mengenai seluruh organ hati, ditandai dengan pembentukan jaringan ikat disertai nodul. Keadaan tersebut terjadi karena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sirosis hati merupakan stadium akhir dari penyakit. kronis hati yang berkembang secara bertahap (Kuntz, 2006).

BAB I PENDAHULUAN. Sirosis hati merupakan stadium akhir dari penyakit. kronis hati yang berkembang secara bertahap (Kuntz, 2006). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Sirosis hati merupakan stadium akhir dari penyakit kronis hati yang berkembang secara bertahap (Kuntz, 2006). Pada sirosis hati terjadi kerusakan sel-sel

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Pada masa kini semakin banyak penyakit-penyakit berbahaya yang menyerang dan mengancam kehidupan manusia, salah satunya adalah penyakit sirosis hepatis. Sirosis hepatis

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pemeriksaan rutin kesehatan atau autopsi (Nurdjanah, 2014).

BAB 1 PENDAHULUAN. pemeriksaan rutin kesehatan atau autopsi (Nurdjanah, 2014). BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Sirosis hepatis adalah suatu keadaan patologis yang menggambarkan stadium akhir fibrosis hepatik yang berlangsung progresif yang ditandai dengan distorsi dari arsitektur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sirosis hepatik merupakan suatu keadaan patologis yang menggambarkan stadium akhir fibrosis hepatik yang berlangsung progresif (Nurdjanah, 2009). Sirosis hepatik merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Sirosis hati merupakan penyakit hati menahun yang difus ditandai dengan adanya pembentukan jaringan ikat disertai nodul. Biasanya dimulai dengan adanya proses peradangan,

Lebih terperinci

SKRINING DAN PENILAIAN NUTRISI

SKRINING DAN PENILAIAN NUTRISI SKRINING DAN PENILAIAN NUTRISI Skrining nutrisi adalah alat yang penting untuk mengevaluasi status nutrisi seseorang secara cepat dan singkat. - Penilaian nutrisi merupakan langkah yang peting untuk memastikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hati merupakan organ terbesar dalam tubuh dan. menyumbang 1,5-2% dari berat tubuh manusia (Ghany &

BAB I PENDAHULUAN. Hati merupakan organ terbesar dalam tubuh dan. menyumbang 1,5-2% dari berat tubuh manusia (Ghany & BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hati merupakan organ terbesar dalam tubuh dan menyumbang 1,5-2% dari berat tubuh manusia (Ghany & Hoofnagle, 2004). Hati memiliki beberapa fungsi metabolik, seperti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penting dalam mempertahankan hidup. Hati termasuk organ intestinal terbesar

BAB I PENDAHULUAN. penting dalam mempertahankan hidup. Hati termasuk organ intestinal terbesar BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam tubuh manusia, hati merupakan salah satu organ yang berperan penting dalam mempertahankan hidup. Hati termasuk organ intestinal terbesar dengan berat antara 1,2-1,8

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. arsitektur hati dan pembentukan nodulus regeneratif (Sherlock dan Dooley,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. arsitektur hati dan pembentukan nodulus regeneratif (Sherlock dan Dooley, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sirosis hati (cirrhosis hati / CH) adalah suatu keadaan patologis yang menggambarkan stadium akhir fibrosis hati yang ditandai dengan distorsi arsitektur hati dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kurang lebih 21 hari. Albumin mengisi 50% protein dalam darah dan menentukan

BAB I PENDAHULUAN. kurang lebih 21 hari. Albumin mengisi 50% protein dalam darah dan menentukan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Albumin adalah protein serum yang disintesa di hepar dengan waktu paruh kurang lebih 21 hari. Albumin mengisi 50% protein dalam darah dan menentukan 75% tekanan onkotik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang penelitian. dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Banyak pasien yang meninggal

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang penelitian. dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Banyak pasien yang meninggal 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang penelitian Penyakit hati menahun dan sirosis merupakan salah satu penyakit hati dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Banyak pasien yang meninggal pada dekade

Lebih terperinci

SIROSIS HEPATIS R E J O

SIROSIS HEPATIS R E J O SIROSIS HEPATIS R E J O PENGERTIAN : Sirosis hepatis adalah penyakit kronis hati oleh gangguan struktur dan perubahan degenerasi fungsi seluler dan selanjutnya perubahan aliran darah ke hati./ Jaringan

Lebih terperinci

B A B I PENDAHULUAN. kesehatan global karena prevalensinya yang cukup tinggi, etiologinya yang

B A B I PENDAHULUAN. kesehatan global karena prevalensinya yang cukup tinggi, etiologinya yang B A B I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Penyakit hati kronis termasuk sirosis telah menjadi masalah bagi dunia kesehatan global karena prevalensinya yang cukup tinggi, etiologinya yang komplek, meningkatnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di Indonesia, masih ditemukan berbagai masalah ganda di bidang kesehatan. Disatu sisi masih ditemukan penyakit

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di Indonesia, masih ditemukan berbagai masalah ganda di bidang kesehatan. Disatu sisi masih ditemukan penyakit 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di Indonesia, masih ditemukan berbagai masalah ganda di bidang kesehatan. Disatu sisi masih ditemukan penyakit akibat infeksi dan sisi yang lain banyak ditemukan masalah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. menyusun jaringan tumbuhan dan hewan. Lipid merupakan golongan senyawa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. menyusun jaringan tumbuhan dan hewan. Lipid merupakan golongan senyawa BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lipid 2.1.1 Pengertian lipid Lipid adalah golongan senyawa organik yang sangat heterogen yang menyusun jaringan tumbuhan dan hewan. Lipid merupakan golongan senyawa organik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Banyak penyebab dari disfungsi ginjal progresif yang berlanjut pada tahap

BAB I PENDAHULUAN. Banyak penyebab dari disfungsi ginjal progresif yang berlanjut pada tahap 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Banyak penyebab dari disfungsi ginjal progresif yang berlanjut pada tahap akhir atau gagal ginjal terminal. Richard Bright pada tahun 1800 menggambarkan beberapa pasien

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. WHO pada tahun 2002, memperkirakan pasien di dunia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. WHO pada tahun 2002, memperkirakan pasien di dunia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang WHO pada tahun 2002, memperkirakan 783 000 pasien di dunia meninggal akibat sirosis hati. Sirosis hati paling banyak disebabkan oleh penyalahgunaan alkohol dan infeksi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Gambaran Umum Rumah Sakit RSUD dr. Moewardi. 1. Rumah Sakit Umum Daerah dr. Moewardi

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Gambaran Umum Rumah Sakit RSUD dr. Moewardi. 1. Rumah Sakit Umum Daerah dr. Moewardi BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Rumah Sakit RSUD dr. Moewardi 1. Rumah Sakit Umum Daerah dr. Moewardi RSUD dr. Moewardi adalah rumah sakit umum milik pemerintah Propinsi Jawa Tengah. Berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan keserasian antara perkembangan fisik dan perkembangan mental. Tingkat. lampau, bahkan jauh sebelum masa itu (Budiyanto, 2002).

BAB I PENDAHULUAN. dan keserasian antara perkembangan fisik dan perkembangan mental. Tingkat. lampau, bahkan jauh sebelum masa itu (Budiyanto, 2002). BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Gizi merupakan salah satu faktor penting yang menentukan tingkat kesehatan dan keserasian antara perkembangan fisik dan perkembangan mental. Tingkat keadaan gizi normal

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Malaria merupakan penyakit kronik yang mengancam keselamatan jiwa yang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Malaria merupakan penyakit kronik yang mengancam keselamatan jiwa yang BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Malaria Malaria merupakan penyakit kronik yang mengancam keselamatan jiwa yang disebabkan oleh parasit yang ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk yang terinfeksi. 3 Malaria

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ginjal adalah organ vital yang berperan penting dalam mempertahankan

BAB I PENDAHULUAN. Ginjal adalah organ vital yang berperan penting dalam mempertahankan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ginjal adalah organ vital yang berperan penting dalam mempertahankan kestabilan lingkungan dalam tubuh. Ginjal mengatur keseimbangan cairan tubuh, elektrolit,

Lebih terperinci

BAB I KONSEP DASAR. menderita deferensiasi murni. Anak yang dengan defisiensi protein. dan Nelson membuat sinonim Malnutrisi Energi Protein dengan

BAB I KONSEP DASAR. menderita deferensiasi murni. Anak yang dengan defisiensi protein. dan Nelson membuat sinonim Malnutrisi Energi Protein dengan BAB I KONSEP DASAR A. Konsep Medis Kurang Energi Protein (KEP) 1. Pengertian Malnutrisi sebenarnya adalah gizi salah, yang mencakup gizi kurang atua lebih. Di Indonesia dengan masih tinggi angka kejadian

Lebih terperinci

Berdasarkan data WHO (2004), sirosis hati merupakan penyebab kematian ke delapan belas di dunia, hal itu ditandai dengan semakin meningkatnya angka

Berdasarkan data WHO (2004), sirosis hati merupakan penyebab kematian ke delapan belas di dunia, hal itu ditandai dengan semakin meningkatnya angka BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sirosis hepatis merupakan penyakit hati kronis yang tidak diketahui penyebabnya dengan pasti. Telah diketahui bahwa penyakit ini merupakan stadium akhir dari penyakit

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG. Sirosis hati (SH) menjadi problem kesehatan utama di

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG. Sirosis hati (SH) menjadi problem kesehatan utama di 1 BAB I. PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Sirosis hati (SH) menjadi problem kesehatan utama di dunia. Sirosis hati dan penyakit hati kronis penyebab kematian urutan ke 12 di Amerika Serikat pada tahun 2002,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Ginjal adalah system organ yang berpasangan yang terletak pada rongga

TINJAUAN PUSTAKA. Ginjal adalah system organ yang berpasangan yang terletak pada rongga BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Ginjal Ginjal adalah system organ yang berpasangan yang terletak pada rongga retroperitonium. Secara anatomi ginjal terletak dibelakang abdomen atas dan di kedua sisi kolumna

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. urea dan sampah nitrogen lain dalam darah) (Brunner dan Suddarth, 2002)

I. PENDAHULUAN. urea dan sampah nitrogen lain dalam darah) (Brunner dan Suddarth, 2002) 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gagal Ginjal Kronik / penyakit ginjal tahap akhir (ESRD / End Stage Renal Disease) merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversible dimana kemampuan tubuh

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. keluhan maupun gejala klinis kecuali sudah terjun pada stadium terminal (gagal

I. PENDAHULUAN. keluhan maupun gejala klinis kecuali sudah terjun pada stadium terminal (gagal I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit ginjal kronik merupakan permasalahan bidang nefrologi dengan angka kejadian masih cukup tinggi, etiologi luas dan komplek, sering diawali tanpa keluhan maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. secara menahun dan sifatnya irreversibel, ditandai dengan kadar ureum dan

BAB I PENDAHULUAN. secara menahun dan sifatnya irreversibel, ditandai dengan kadar ureum dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit ginjal kronik (PGK) adalah penurunan fungsi ginjal yang terjadi secara menahun dan sifatnya irreversibel, ditandai dengan kadar ureum dan kreatinin yang sangat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dan berbagai penelitian epidemiologi menunjukkan adanya kecenderungan

BAB 1 PENDAHULUAN. dan berbagai penelitian epidemiologi menunjukkan adanya kecenderungan 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes mellitus (DM) merupakan masalah utama pada beberapa negara dan berbagai penelitian epidemiologi menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan angka insidensi

Lebih terperinci

Bab 1 PENDAHULUAN. tetapi sering tidak diketahui, karena tidak menunjukkan gejala untuk waktu

Bab 1 PENDAHULUAN. tetapi sering tidak diketahui, karena tidak menunjukkan gejala untuk waktu Bab 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Penyakit hati kronis merupakan masalah kesehatan masyarakat, tetapi sering tidak diketahui, karena tidak menunjukkan gejala untuk waktu yang sangat lama,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ginjal memiliki peranan yang sangat vital sebagai organ tubuh

BAB I PENDAHULUAN. Ginjal memiliki peranan yang sangat vital sebagai organ tubuh BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ginjal memiliki peranan yang sangat vital sebagai organ tubuh manusia terutama dalam sistem urinaria. Pada manusia, ginjal berfungsi untuk mengatur keseimbangan cairan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. akibat kanker setiap tahunnya antara lain disebabkan oleh kanker paru, hati, perut,

BAB I PENDAHULUAN. akibat kanker setiap tahunnya antara lain disebabkan oleh kanker paru, hati, perut, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit kanker merupakan salah satu penyebab kematian utama di seluruh dunia. Pada tahun 2012, kanker menjadi penyebab kematian sekitar 8,2 juta orang. Berdasarkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Obat dikeluarkan dari tubuh melalui berbagai organ ekskresi dalam bentuk asalnya atau dalam bentuk metabolit hasil biotransformasi. Ekskresi di sini merupakan hasil

Lebih terperinci

Perubahan Status Fungsi Hati, Status Nutrisi, Keseimbangan Nitrogen pada Pasien Sirosis

Perubahan Status Fungsi Hati, Status Nutrisi, Keseimbangan Nitrogen pada Pasien Sirosis LAPORAN PENELITIAN Perubahan Status Fungsi Hati, Status Nutrisi, Kadar Hidro si utirat arah, dan Keseimbangan Nitrogen pada Pasien Sirosis Hati ang en a an an Puasa amadhan Azzaki Abubakar 1, Irsan Hasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sirosis hati merupakan suatu kondisi dimana jaringan hati yang normal digantikan oleh jaringan parut (fibrosis) yang terbentuk melalui proses bertahap. Jaringan parut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kasus. Kematian yang paling banyak terdapat pada usia tahun yaitu

BAB I PENDAHULUAN. kasus. Kematian yang paling banyak terdapat pada usia tahun yaitu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit hati (liver) merupakan salah satu penyakit yang masih menjadi masalah kesehatan, baik di negara maju maupun di negara yang sedang berkembang. Kerusakan atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. secara menahun dan umumnya bersifat irreversibel, ditandai dengan kadar

BAB I PENDAHULUAN. secara menahun dan umumnya bersifat irreversibel, ditandai dengan kadar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit ginjal kronik (PGK) adalah penurunan faal ginjal yang terjadi secara menahun dan umumnya bersifat irreversibel, ditandai dengan kadar ureum dan kreatinin yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jaringan yang paling kering, memiliki kandungan H 2 O hanya 10%. Karena itu

BAB I PENDAHULUAN. jaringan yang paling kering, memiliki kandungan H 2 O hanya 10%. Karena itu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Lemak merupakan salah satu kandungan utama dalam makanan, dan penting dalam diet karena beberapa alasan. Lemak merupakan salah satu sumber utama energi dan mengandung

Lebih terperinci

sex ratio antara laki-laki dan wanita penderita sirosis hati yaitu 1,9:1 (Ditjen, 2005). Sirosis hati merupakan masalah kesehatan yang masih sulit

sex ratio antara laki-laki dan wanita penderita sirosis hati yaitu 1,9:1 (Ditjen, 2005). Sirosis hati merupakan masalah kesehatan yang masih sulit BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Spontaneous Bacterial Peritonitis (SBP) tidak hanya disebabkan oleh asites pada sirosis hati melainkan juga disebabkan oleh gastroenteritis dan pendarahan pada saluran

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL. 2,3 (0,3-17,5) Jenis Kelamin Pria 62 57,4 Wanita 46 42,6

BAB 4 HASIL. 2,3 (0,3-17,5) Jenis Kelamin Pria 62 57,4 Wanita 46 42,6 BAB 4 HASIL 4.1. Data Umum Pada data umum akan ditampilkan data usia, lama menjalani hemodialisis, dan jenis kelamin pasien. Data tersebut ditampilkan pada tabel 4.1. Tabel 4.1. Data Demogragis dan Lama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. proses-proses kehidupan (Soenarjo, 2000). Menurut Soenarjo (2000), Nutrisi

BAB I PENDAHULUAN. proses-proses kehidupan (Soenarjo, 2000). Menurut Soenarjo (2000), Nutrisi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Nutrisi adalah ikatan kimia yang yang diperlukan tubuh untuk melakukan fungsinya yaitu energi, membangun dan memelihara jaringan, serta mengatur proses-proses

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bentuk nodul-nodul yang abnormal. (Sulaiman, 2007) Penyakit hati kronik dan sirosis menyebabkan kematian 4% sampai 5% dari

BAB I PENDAHULUAN. bentuk nodul-nodul yang abnormal. (Sulaiman, 2007) Penyakit hati kronik dan sirosis menyebabkan kematian 4% sampai 5% dari BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG PENELITIAN Sirosis hati adalah merupakan perjalanan akhir berbagai macam penyakit hati yang ditandai dengan fibrosis. Respon fibrosis terhadap kerusakan hati bersifat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. TB Paru merupakan penyakit yang disebabkan oleh. Mycobacterium tuberculosis, yaitu kuman aerob yang mudah mati dan

BAB I PENDAHULUAN. TB Paru merupakan penyakit yang disebabkan oleh. Mycobacterium tuberculosis, yaitu kuman aerob yang mudah mati dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang TB Paru merupakan penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, yaitu kuman aerob yang mudah mati dan didapat terutama di paru atau berbagai organ tubuh

Lebih terperinci

KOMPOSISI TUBUH LANSIA I. PENDAHULUAN II.

KOMPOSISI TUBUH LANSIA I. PENDAHULUAN II. KOMPOSISI TUBUH LANSIA I. PENDAHULUAN Lansia merupakan salah satu bagian dari siklus hidup manusia yang menjadi tahap akhir dari kehidupan. Pada lansia akan terjadi proses menghilangnya kemampuan jaringan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI SEPSIS Infeksi adalah istilah untuk menamakan keberadaan berbagai kuman yang masuk ke dalam tubuh manusia. Bila kuman berkembang biak dan menyebabkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengandung badan inklusi di darah tepi menyebabkan anemia pada

BAB I PENDAHULUAN. mengandung badan inklusi di darah tepi menyebabkan anemia pada BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Adanya eritropoiesis inefektif dan hemolisis eritrosit yang mengandung badan inklusi di darah tepi menyebabkan anemia pada talasemia mayor (TM), 1,2 sehingga diperlukan

Lebih terperinci

CRITICAL ILLNESS. Dr. Syafri Guricci, M.Sc

CRITICAL ILLNESS. Dr. Syafri Guricci, M.Sc CRITICAL ILLNESS Dr. Syafri Guricci, M.Sc Respon Metabolik pada Penyakit Infeksi dan Luka Tiga komponen utama, Yaitu : Hipermetabolisme Proteolisis dengan kehilangan nitrogen Percepatan Utilisasi Glukosa

Lebih terperinci

ETIOLOGI : 1. Ada 5 kategori virus yang menjadi agen penyebab: Virus Hepatitis A (HAV) Virus Hepatitis B (VHB) Virus Hepatitis C (CV) / Non A Non B

ETIOLOGI : 1. Ada 5 kategori virus yang menjadi agen penyebab: Virus Hepatitis A (HAV) Virus Hepatitis B (VHB) Virus Hepatitis C (CV) / Non A Non B HEPATITIS REJO PENGERTIAN: Hepatitis adalah inflamasi yang menyebar pada hepar (hepatitis) dapat disebabkan oleh infeksi virus dan reaksi toksik terhadap obat-obatan dan bahan kimia ETIOLOGI : 1. Ada 5

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan pertumbuhan jumlah. penderita gagal ginjal pada tahun 2013 telah meningkat 50% dari tahun

BAB I PENDAHULUAN. Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan pertumbuhan jumlah. penderita gagal ginjal pada tahun 2013 telah meningkat 50% dari tahun BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan pertumbuhan jumlah penderita gagal ginjal pada tahun 2013 telah meningkat 50% dari tahun sebelumnya. Di Amerika Serikat, kejadian

Lebih terperinci

LAPORAN PENDAHULUAN GANGGUAN PEMENUHAN KEBUTUHAN NUTRISI DI RS ROEMANI RUANG AYUB 3 : ANDHIKA ARIYANTO :G3A014095

LAPORAN PENDAHULUAN GANGGUAN PEMENUHAN KEBUTUHAN NUTRISI DI RS ROEMANI RUANG AYUB 3 : ANDHIKA ARIYANTO :G3A014095 LAPORAN PENDAHULUAN GANGGUAN PEMENUHAN KEBUTUHAN NUTRISI DI RS ROEMANI RUANG AYUB 3 NAMA NIM : ANDHIKA ARIYANTO :G3A014095 PROGRAM S1 KEPERAWATAN FIKKES UNIVERSITAS MUHAMMADIAH SEMARANG 2014-2015 1 LAPORAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sirosis hati merupakan penyakit kronis hati yang ditandai dengan fibrosis,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sirosis hati merupakan penyakit kronis hati yang ditandai dengan fibrosis, BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sirosis Hati 2.1.1 Definisi Sirosis hati merupakan penyakit kronis hati yang ditandai dengan fibrosis, disorganisasi dari lobus dan arsitektur vaskular, dan regenerasi nodul

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. etiologi berbeda yang ada dan berlangsung terus menerus, meliputi hepatitis

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. etiologi berbeda yang ada dan berlangsung terus menerus, meliputi hepatitis BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Istilah penyakit hati kronik merupakan suatu kondisi yang memiliki etiologi berbeda yang ada dan berlangsung terus menerus, meliputi hepatitis kronik dan

Lebih terperinci

PENATALAKSANAAN DIIT PADA HIV/AIDS. Susilowati, SKM, MKM.

PENATALAKSANAAN DIIT PADA HIV/AIDS. Susilowati, SKM, MKM. 1 PENATALAKSANAAN DIIT PADA HIV/AIDS Susilowati, SKM, MKM. 2 Masih ingat pebasket internasional Earvin Johnson? Pemain NBA tersohor itu membuat berita mengejutkan dalam karier bermain basketnya. Bukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. prevalensinya semakin meningkat setiap tahun di negara-negara berkembang

BAB I PENDAHULUAN. prevalensinya semakin meningkat setiap tahun di negara-negara berkembang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ginjal merupakan organ penting dari manusia. Berbagai penyakit yang menyerang fungsi ginjal dapat menyebabkan beberapa masalah pada tubuh manusia, seperti penumpukan

Lebih terperinci

HUBUNGAN TINGKAT ASUPAN PROTEIN DENGAN KADAR UREUM DAN KREATININ DARAH PADA PENDERITA GAGAL GINJAL KRONIK DI RSUD Dr. MOEWARDI SURAKARTA

HUBUNGAN TINGKAT ASUPAN PROTEIN DENGAN KADAR UREUM DAN KREATININ DARAH PADA PENDERITA GAGAL GINJAL KRONIK DI RSUD Dr. MOEWARDI SURAKARTA HUBUNGAN TINGKAT ASUPAN PROTEIN DENGAN KADAR UREUM DAN KREATININ DARAH PADA PENDERITA GAGAL GINJAL KRONIK DI RSUD Dr. MOEWARDI SURAKARTA Skripsi ini ini Disusun untuk memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. setelah pembedahan tergantung pada jenis pembedahan dan jenis. dilupakan, padahal pasien memerlukan penambahan kalori akibat

BAB 1 PENDAHULUAN. setelah pembedahan tergantung pada jenis pembedahan dan jenis. dilupakan, padahal pasien memerlukan penambahan kalori akibat BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Diet paska bedah merupakan makanan yang diberikan kepada pasien setelah menjalani pembedahan. Pengaturan makanan setelah pembedahan tergantung pada jenis pembedahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Hepatitis kronik virus B dan virus C adalah masalah kesehatan di seluruh

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Hepatitis kronik virus B dan virus C adalah masalah kesehatan di seluruh 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Hepatitis kronik virus B dan virus C adalah masalah kesehatan di seluruh dunia dan penyebab terjadinya proses fibrosis hati dan berakhir pada sirosis hati

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Obesitas Obesitas adalah kondisi kelebihan berat tubuh akibat tertimbun lemak yang melebihi 25 % dari berat tubuh, orang yang kelebihan berat badan biasanya karena kelebihan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit ginjal kronik merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia. Di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit ginjal kronik merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia. Di 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit ginjal kronik merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia. Di Amerika Serikat, didapatkan peningkatan insiden dan prevalensi dari gagal ginjal, dengan prognosis

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Gagal Ginjal Kronik (GGK) merupakan sindrom klinis yang bersifat

UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Gagal Ginjal Kronik (GGK) merupakan sindrom klinis yang bersifat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gagal Ginjal Kronik (GGK) merupakan sindrom klinis yang bersifat progresif dan dapat menyebabkan kematian pada sebagian besar kasus stadium terminal (Fored, 2003). Penyakit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Diabetes Mellitus (DM) merupakan gangguan metabolisme dengan. yang disebabkan oleh berbagai sebab dengan karakteristik adanya

BAB I PENDAHULUAN. Diabetes Mellitus (DM) merupakan gangguan metabolisme dengan. yang disebabkan oleh berbagai sebab dengan karakteristik adanya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Diabetes Mellitus (DM) merupakan gangguan metabolisme dengan karakteristik adanya tanda-tanda hiperglikemia akibat ketidakadekuatan fungsi dan sekresi insulin (James,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sindrom klinik ini terjadi karena adanya respon tubuh terhadap infeksi, dimana

BAB I PENDAHULUAN. Sindrom klinik ini terjadi karena adanya respon tubuh terhadap infeksi, dimana BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Sepsis merupakan suatu sindrom kompleks dan multifaktorial, yang insidensi, morbiditas, dan mortalitasnya sedang meningkat di seluruh belahan dunia. 1 Sindrom klinik

Lebih terperinci

Faktor-faktor yang Berkorelasi dengan Status Nutrisi pada Pasien Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD)

Faktor-faktor yang Berkorelasi dengan Status Nutrisi pada Pasien Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) LAPORAN PENELITIAN Faktor-faktor yang Berkorelasi dengan Status Nutrisi pada Pasien Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) Mira Yulianti 1, Suhardjono 2, Triyani Kresnawan 3, Kuntjoro Harimurti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sirosis merupakan suatu penyakit hati kronis yang menggambarkan stadium akhir dari fibrosis hepatik, peradangan, nekrosis atau kematian sel-sel hati, dan terbentuknya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mempertahankan homeostasis tubuh. Ginjal menjalankan fungsi yang vital

I. PENDAHULUAN. mempertahankan homeostasis tubuh. Ginjal menjalankan fungsi yang vital I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ginjal merupakan salah satu organ penting dalam tubuh yang berperan dalam mempertahankan homeostasis tubuh. Ginjal menjalankan fungsi yang vital sebagai pengatur volume

Lebih terperinci

Hubungan Albumin Serum Awal Perawatan dengan Perbaikan Klinis Infeksi Ulkus Kaki Diabetik di Rumah Sakit di Jakarta

Hubungan Albumin Serum Awal Perawatan dengan Perbaikan Klinis Infeksi Ulkus Kaki Diabetik di Rumah Sakit di Jakarta LAPORAN PENELITIAN Hubungan Albumin Serum Awal Perawatan dengan Perbaikan Klinis Infeksi Ulkus Kaki Diabetik di Rumah Sakit di Jakarta Hendra Dwi Kurniawan 1, Em Yunir 2, Pringgodigdo Nugroho 3 1 Departemen

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. umum lipid ada yang larut dalam air dan ada yang larut dalam pelarut non. dan paha seiiring dengan bertambahnya usia 4.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. umum lipid ada yang larut dalam air dan ada yang larut dalam pelarut non. dan paha seiiring dengan bertambahnya usia 4. 5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lipid 2.1.1 Pengertian Lipid adalah sekelompok senyawa non heterogen yang meliputi asam lemak dan turunannya, lemak netral (trigliserida), fosfolipid serta sterol. Sifat umum

Lebih terperinci

Etiologi dan Patofisiologi Sirosis Hepatis. Oleh Rosiana Putri, , Kelas A. Mahasiswa Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia

Etiologi dan Patofisiologi Sirosis Hepatis. Oleh Rosiana Putri, , Kelas A. Mahasiswa Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia Etiologi dan Patofisiologi Sirosis Hepatis Oleh Rosiana Putri, 0806334413, Kelas A Mahasiswa Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia Sirosis adalah penyakit hati kronis yang dicirikan dengan distorsi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Jogja yang merupakan rumah sakit milik Kota Yogyakarta. RS Jogja terletak di

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Jogja yang merupakan rumah sakit milik Kota Yogyakarta. RS Jogja terletak di BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Deskripsi Umum Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di RSUD Kota Yogyakarta atau Rumah Sakit Jogja yang merupakan rumah sakit milik Kota

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PENELITIAN Karya Tulis Ilmiah

LAPORAN AKHIR PENELITIAN Karya Tulis Ilmiah PERBANDINGAN VALIDITAS MADDREY S DISCRIMINANT FUNCTION DAN SKOR CHILD-PUGH DALAM MEMPREDIKSI KETAHANAN HIDUP 12 MINGGU PADA PASIEN DENGAN SIROSIS HEPATIS LAPORAN AKHIR PENELITIAN Karya Tulis Ilmiah Diajukan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Penyakit kritis merupakan suatu keadaan sakit yang membutuhkan dukungan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Penyakit kritis merupakan suatu keadaan sakit yang membutuhkan dukungan BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anak sakit kritis Penyakit kritis merupakan suatu keadaan sakit yang membutuhkan dukungan terhadap kegagalan fungsi organ vital yang dapat menyebabkan kematian, dapat berupa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. kesembilan di Amerika Serikat, sedangkan di seluruh dunia sirosis menempati urutan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. kesembilan di Amerika Serikat, sedangkan di seluruh dunia sirosis menempati urutan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Penyakit hati menahun dan sirosis merupakan salah satu penyakit dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Sirosis hati merupakan penyebab kematian kesembilan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Gagal Ginjal Kronik (GGK) merupakan suatu keadaan klinis

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Gagal Ginjal Kronik (GGK) merupakan suatu keadaan klinis BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gagal Ginjal Kronik (GGK) merupakan suatu keadaan klinis kerusakan ginjal yang progresif dan irreversible dengan etiologi yang beragam. Setiap penyakit yang terjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Indonesia adalah negara berkembang yang masih terus melakukan pembangunan dalam segala aspek kehidupan masyarakatnya. Banyak indikator yang menentukan keberhasilan

Lebih terperinci

RINGKASAN. Penyakit hati kronis merupakan masalah kesehatan masyarakat, tetapi sering tidak diketahui, karena tidak menunjukkan gejala untuk

RINGKASAN. Penyakit hati kronis merupakan masalah kesehatan masyarakat, tetapi sering tidak diketahui, karena tidak menunjukkan gejala untuk RINGKASAN Penyakit hati kronis merupakan masalah kesehatan masyarakat, tetapi sering tidak diketahui, karena tidak menunjukkan gejala untuk waktu yang sangat lama, dan baru terdeteksi ketika fibrosis telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diakibatkan insufisiensi vaskuler dan neuropati. 1

BAB I PENDAHULUAN. diakibatkan insufisiensi vaskuler dan neuropati. 1 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Ulkus diabetikum pada penderita diabetes melitus merupakan komplikasi kronis berupa makroangiopati dan mikroangiopati yang paling sering kita jumpai diakibatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A (HAV), Virus Hepatitis B (HBV), Virus Hepatitis C (HCV), Virus

BAB I PENDAHULUAN. A (HAV), Virus Hepatitis B (HBV), Virus Hepatitis C (HCV), Virus BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hepatitis adalah penyakit peradangan pada hati atau infeksi pada hati yang disebabkan oleh bermacam-macam virus. Telah ditemukan 6 atau 7 kategori virus yang menjadi

Lebih terperinci

OLEH : KELOMPOK 5 WASLIFOUR GLORYA DAELI

OLEH : KELOMPOK 5 WASLIFOUR GLORYA DAELI OLEH : KELOMPOK 5 HAPPY SAHARA BETTY MANURUNG WASLIFOUR GLORYA DAELI DEWI RAHMADANI LUBIS SRI DEWI SIREGAR 061101090 071101025 071101026 071101027 071101028 Nutrisi adalah apa yang manusia makan dan bagaimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. varises pada pasien dengan sirosis sekitar 60-80% dan risiko perdarahannya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. varises pada pasien dengan sirosis sekitar 60-80% dan risiko perdarahannya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Perdarahan varises esofagus (VE) merupakan satu dari banyak komplikasi mematikan dari sirosis karena tingkat mortalitasnya yang tinggi. Prevalensi varises

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sel tubuh normal mengadakan mutasi menjadi sel kanker yang kemudian. Penyakit kanker saat ini sudah merupakan masalah kesehatan di

BAB I PENDAHULUAN. sel tubuh normal mengadakan mutasi menjadi sel kanker yang kemudian. Penyakit kanker saat ini sudah merupakan masalah kesehatan di 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit kanker merupakan penyakit keganasan yang timbul ketika sel tubuh normal mengadakan mutasi menjadi sel kanker yang kemudian tumbuh cepat dan tidak mempedulikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. pada usus yang diperantarai proses aktivasi imun yang patofisiologinya kompleks

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. pada usus yang diperantarai proses aktivasi imun yang patofisiologinya kompleks BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Inflamatory bowel disease (IBD) adalah suatu kondisi penyakit kronik pada usus yang diperantarai proses aktivasi imun yang patofisiologinya kompleks dan multifaktorial.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Komplikasi infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) terhadap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Komplikasi infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) terhadap BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Komplikasi infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) terhadap perubahan status nutrisi telah diketahui sejak tahap awal epidemi. Penyebaran HIV di seluruh

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sirosis hati adalah suatu keadaan disorganisasi dari struktur hati akibat nodul regeneratif yang dikelilingi jaringan yang mengalami fibrosis. Secara lengkap sirosis

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Gangguan ginjal akut (GnGA), dahulu disebut dengan gagal ginjal akut,

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Gangguan ginjal akut (GnGA), dahulu disebut dengan gagal ginjal akut, BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Gangguan Ginjal Akut pada Pasien Kritis Gangguan ginjal akut (GnGA), dahulu disebut dengan gagal ginjal akut, merupakan suatu keadaan yang ditandai dengan peningkatan kadar

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Penelitian ini telah dilakukan di Adonis Fitness pada tanggal 2-9 Agustus 2016 dan dilakukan di Sanggar Senam Adinda pada tanggal 16-30 Agustus

Lebih terperinci

PERBEDAAN PENYEBAB GAGAL GINJAL ANTARA USIA TUA DAN MUDA PADA PENDERITA PENYAKIT GINJAL KRONIK STADIUM V YANG MENJALANI HEMODIALISIS DI RSUD

PERBEDAAN PENYEBAB GAGAL GINJAL ANTARA USIA TUA DAN MUDA PADA PENDERITA PENYAKIT GINJAL KRONIK STADIUM V YANG MENJALANI HEMODIALISIS DI RSUD PERBEDAAN PENYEBAB GAGAL GINJAL ANTARA USIA TUA DAN MUDA PADA PENDERITA PENYAKIT GINJAL KRONIK STADIUM V YANG MENJALANI HEMODIALISIS DI RSUD Dr. MOEWARDI SKRIPSI Diajukan Oleh : ARLIS WICAK KUSUMO J 500060025

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sirosis hati merupakan suatu penyakit yang memiliki penyebaran di seluruh dunia. Individu yang terkena sangat sering tidak menunjukkan gejala untuk jangka waktu panjang,

Lebih terperinci

GIZI DAN KANKER. Triawanti Bag. Biokimia/Gizi FK UNLAM

GIZI DAN KANKER. Triawanti Bag. Biokimia/Gizi FK UNLAM GIZI DAN KANKER Triawanti Bag. Biokimia/Gizi FK UNLAM Pendahuluan Kanker : penyakit menakutkan, blm ada terapi baku Ciri khas sel kanker : pengendalian pertumbuhan yg menurun / tidak terbatas Invasi pada

Lebih terperinci

UKDW BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit gagal ginjal adalah kelainan struktur atau fungsi ginjal yang ditandai

UKDW BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit gagal ginjal adalah kelainan struktur atau fungsi ginjal yang ditandai BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit gagal ginjal adalah kelainan struktur atau fungsi ginjal yang ditandai penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG) yang kurang dari 60 ml. Penyakit ginjal kronik

Lebih terperinci

a. Tujuan terapi.. 16 b. Terapi utama pada hepatitis B.. 17 c. Alternative Drug Treatments (Pengobatan Alternatif). 20 d. Populasi khusus

a. Tujuan terapi.. 16 b. Terapi utama pada hepatitis B.. 17 c. Alternative Drug Treatments (Pengobatan Alternatif). 20 d. Populasi khusus DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... ii HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING... iii HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI... iv HALAMAN PERNYATAAN... v HALAMAN PERSEMBAHAN... vi KATA PENGANTAR... vii DAFTAR ISI... ix DAFTAR GAMBAR...

Lebih terperinci