PREDIKSI KEBUTUHAN HUTAN KOTA MENGGUNAKAN DATA PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS:

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PREDIKSI KEBUTUHAN HUTAN KOTA MENGGUNAKAN DATA PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS:"

Transkripsi

1 PREDIKSI KEBUTUHAN HUTAN KOTA MENGGUNAKAN DATA PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS: Studi Kasus di Kabupaten Belu Provinsi Nusa Tenggara Timur LORENSIA KALI PROGRAM PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006

2 ABSTRAK Lorensia Kali. Prediksi Kebutuhan Hutan Kota Menggunakan Data Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis: Studi Kasus di Kabupaten Belu Propinsi Nusa Tenggara Timur. Dibimbing oleh Andry Indrawan dan I Nengah Surati Jaya. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan memprediksi kebutuhan luas hutan kota berdasarkan produksi CO 2, serta untuk mengidentifikasi potensi dan distribusi spasial pengembangan hutan kota. Prediksi luas hutan kota dilakukan hingga tahun 2020 dengan basis data tahun Metode untuk memprediksi luas hutan kota meggunakan analisis spasial. Anaysis Hierarchy Process (AHP) pada penelitian ini digunakan untuk mengetahui skala alternatif yang harus dilakukan. Wawancara dilakukan terhadap stakeholder yang berkompoten yaitu: Pemerintah, masyarakat, LSM, dan Perguruan Tinggi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa luas hutan kota tahun 2003 seluas 9.258,43 ha masih mencukupi kebutuhan luas hutan kota hingga 2020, yakni seluas ,666 ha. Meskipun demikian secara spasial sebaran dari hutan kota tersebut umumnya terdapat di kawasan pinggiran kota, sehingga masih perlu pembenahan karena yang semestinya sangat dibutuhkan pengembangan hutan kota adalah di pusat-pusat kota. Berdasarkan Analisis Hierarchy Process (AHP), prioritas alternatif program yang harus dikembangkan adalah hutan kota pemukiman sebagai prioritas terpenting (utama), kemudian prioritas kedua hutan kota social community, prioritas ketiga hutan kota konservasi, dan prioritas keempat hutan kota rekreasi, selanjutnya sebagai prioritas terakhir hutan kota industri. iii

3 Abstract Lorensia Kali. Prediction of need urban forest use SIG and remote sensing. Case Study in Kabupaten Belu province of NTT. The aim of this research was to predict and identify need of urban forest based on production of Carbon Dioxide (CO 2 ), also to identify spatial distribution and potent of developed urban forest. Prediction of urban forest carried out until 2020 with data base in This research used spatial analysis. The use of Analysis Hierarchy Process (AHP) to know alternatif scale what to do. Filled of cuisener on stackeholder such as; government, community, LSM, and the university. The result of this research to show that urban forest area in 2003 was 9.258,43 ha still enaugh need of urban forest until 2020 e.g ,666. However spatially despeard of urban forest were located in suburb. Based on Analysis Hierarchy Process, so the main alternatif was urban forest of housing, social community as second alternatif or priority. The third alternatif was urban forest conservation, and urban forest of recreation as four alternatif. The last alternatif was urban foret of industry. iv

4 Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2006 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm dan sebagainya v

5 PREDIKSI KEBUTUHAN HUTAN KOTA MENGGUNAKAN DATA PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS: Studi Kasus di Kabupaten Belu Provinsi Nusa Tenggara Timur LORENSIA KALI TESIS sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 v

6

7 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyampaikan bahwa Tesis Prediksi Kebutuhan Hutan Kota Menggunakan Data Penginderaan Jauh dan Sisitem Informasi Geografis : Studi Kasus di Kabupaten Belu Propinsi Nusa Tenggara Timur, adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau yang dikutip dari karya yang terbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka bagian akhir tesis ini. Bogor, September 2006 Lorensia Kali NIM P ii

8 PRAKATA Puji syukur penulis menyampaikan kehadirat tuhan yang maha esa yang telah memberikan rahmat dan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis penelitian ini yang berjudul Prediksi Kebutuhan Hutan Kota Menggunakan Data Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis: Studi Kasus di Kabupaten Belu Propinsi Nusa Tenggara Timur. Penelitian ini dibuat dalam rangka memenuhi salah satu persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar master sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup (PSL) Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Untuk itu penulis perlu menyampaikan banyak terima kasih pada semua pihak yang telah banyak memberikan bantuan dalam penyelesaian usulan penelitian ini, diantaranya yaitu: 1. Buat pendampingku dan buah kasihku yang selalu setia dan tabah mengikuti seluruh rankaian kegiatan perkulihanku.dengan penuh kasih sayang. 2. Bapak, mama, kakak serta adik- adikku yang tercinta, atas segala dorongan, dukungan dan perhatian yang sangat berarti dan tak ternilaikan 3. Prof. Dr. Ir. Andry Indrawan, MS sebagai ketua komisi pembimbing dan Dr. Ir. I. Nengah Surati Jaya, M.Agr sebagai anggota komisi pembimbing yang tidak hanya memberikan bmbingan tetapi juga pendidikan yang sangat berarti. 4. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS sebagai Ketua Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Sekolah Pasca Sarjana IPB. 5. Bapak Bupati Belu Drs. Yoakim lopez yang memberikan kesempatan untuk mengenyam pendidikan di IPB. 6. Instansi-instansi Pemerintah Kabupaten Belu di antaranya yaitu Bappeda, Bappedala, Dinas Kebersihan dan Pertamanan, Dinas Kehutanan, Dinas Kimpraswil, Dinas Perhubungan, Dinas Perindag, Kesbanglimas, Badan Pertanahan, dan Badan Pusat Statistik yang telah memberi bantuan berupa data-data yang diperlukan dalam pennyusunan usulan penelitian ini. 7. Bapak camat kota atambua,bapak camat kakuluk mesak dan Ibu Camat Tasbar serta para lurah dan seluruh masyarakat yang telah memberikan data-data yang diperlukan dalam penyusunan tesis ini. 8. Bapak Uus Saeful M dan Adik Edwin atas segala bantuannya. 9. Rekan- rekan mahasiswa Program studi PSL khususnya adik-adiku yang kubanggakan yang telah memberikan dukungan dan perhatian yang sangat berarti. vii

9 10. Kepada semua pihak yang telah membantu namun tak dapat saya sebutkan satu persatu. Penulis berharap, semoga usulan penelitian ini dapat berguna bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan bermanfaat bagi semua pihak. Bogor, September 2006 Lorensia Kali viii

10 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kabupaten Belu pada tanggal 21 Pebruari 1967 sebagai anak ke tiga dari sembilan bersaudara dari Bapak I. J. Kali Mau dan Ibu Rosa Delima Motu. Pada tahun 1986 penulis lulus SMAK St. Yoseph Dili dan melanjutkan ke Universitas Katolik Widya Mandira Kupang Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Jurusan MIPA Program Studi Biologi. Penulis menyelesaikan studi SI tahun 1992 kemudian penulis mengabdi di Pemda Belu sejak tahun 1992 hingga saat ini. Tahun 2004 penulis melanjutkan studi S2 di Institut Pertanian Bogor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. ix

11 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN xii xiii xv I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kerangka Pemikiran Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Hipotesis... 5 II. III. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Kota Pengaruh Perkembangan Kota Terhadap Lingkungan Pencemaran Lingkungan Hidup Perkotaan Produksi Karbondioksida dari Kendaraan Bermotor, Kegiatan Produksi dan Penduduk Perlunya Pengembangan hutan Kota Pengertian Hutan Kota Tipe-tipe Hutan Kota Peranan Hutan Kota Kriteria dan Bentuk Hutan Kota Pengelolaan Hutan Kota Pemilihan Jenis Hutan METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat Metode Penelitian Jenis dan Teknik Pengumpulan Data Data Primer Data Sekunder Pengolahan Data Kebutuhan Luas Hutan Kota Berdasarkan Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 14 Tahun Kebutuhan Luas Hutan Kota Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 63 Tahun Kebutuhan Luas Hutan Kota Berdasarkan Jumlah Karbondioksida Analisis Spasial Hutan Kota x

12 Halaman Pembangunan Basis Data Pengolahan Digital Data Landsat Analisis Hierarchy Process (AHP) IV. KEADAAN UMUM KABUPATEN BELU 4.1. Letak dan Luas Hidrologi Iklim Vegetasi Kondisi Sosial Ekonomi Budaya Penduduk Budaya Masyarakat Kondisi Hutan Kota V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Luas Hutan Kota Berdasarkan Inmendgri No. 14 Tahun 1988 dan Peraturan Pemerintah No. 63 Tahun Estimasi CO 2 Penduduk di Kabupaten Belu Karbondioksida yang dihasilkan Pendudun Tahun Perkiraan Karbondioksida yang dihasilkan Penduduk Tahun 2006, , dan Estimasi CO 2 Kendaraan Bermotor Estimasi karbondioksida yang dihasilkan dari industri Luas Hutan Kota Berdasarkan Jumlah CO Kebutuhan Luas Hutan Kota Tahun Estimasi Kebutuhan Luas Hutan Kota Tahun 2006, 2010, 2015, dan Analisa Pengembangan Hutan Kota Analisis Analiytical Hierarchy Proses Aktor Aspek Alternatif Sintesis Strategi menurut Aktor Bentuk dan Tipe Hutan Kota VI. SIMPULAN DAN SARAN 6.1. Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN xi

13 DAFTAR TABEL Halaman 1. Jumlah karbondioksida yang dihasilkan penduduk Jumlah karbondioksida yang dihasilkan kendaraan bermotor Jumlah karbondioksida yang dihasilkan industri Kriteria dan Bentuk Hutan Kota Tipe Hujan Menurut Schmidt dan Ferguson Skala Banding Secara berpasangan dalam AHP Laju Pertumbuhan Penduduk Kabupaten Belu Perkecamatan tahun 2001 dan tahun Prediksi Jumlah Penduduk di Kabupaten Belu Perkecamatan Tahun 2006, 2010, 2015, dan Jumlah kendaraan bermotor di Kabupaten Belu, Tahun Luas Ruang Terbuka Hijau dan Hutan kota di Kabupaten Belu Bobot untuk pengembangan hutan kota di Kabupaten Belu Berdasarkan Aktor Skala Prioritas Aspek.. 71 xii

14 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Bagan Alir Kerangka Penelitian Bagan Organisasi Pengelolaan Hutan Kota (Sumber: Dahlan 2004) Lokasi Penelitian Diagram Alir Analisis Spasial Prediksi Neraca Ketersediaan RTH dan kebutuhan Hutan Kota Hirarki Proses Pengembangan Hutan Kota di Kabupaten Belu Provinsi NTT Taman Makam Pahlawan Seroja Haliwen Jalur Hijau Tugu Gerbades Jalur menuju Rumah Jabatan Bupati Jalur Hijau menuju Bandara Grafik peningkatan jumlah penduduk di Kabupaten Belu Tahun 2003, 2006, 2010, 2015, dan Peta Penyebaran Penduduk Kabupaten Belu Tahun Peta Penyebaran Karbondioksida yang Dihasilkan Penduduk di Kabupaten Belu Tahun Grafik peningkatan jumlah penduduk di Kabupaten Belu Tahun 2003, 2006, 2010, 2015, dan Grafik jumlah karbondioksida yang dihasilkan penduduk di Kabupaten Belu Tahun 2003, 2006, 2010, 2015, dan Peta Penyebaran Kendaraan Bermotor Kabupaten Belu Tahun Peta Penyebaran Karbondioksida yang dihasilkan Kendaraan Bermotor di Kabupaten Belu Tahun Grafik Perkiraan jumlah kendaraan bermotor Per Kecamatan di Kabupaten Belu Tahun 2003, 2006, 2010, 2015, dan Grafik Perkiraan Jumlah karbondioksida yang dihasilkan kendaraan bermotor per Kecamatan di Kabupaten Belu Tahun 2003, 2006, 2010, 2015, dan Peta Penyebaran Industri Kabupaten Belu Tahun Peta Penyebaran Karbondioksida yang dihasilkan Industri di Kabupaten Belu Tahun Grafik Perkiraan peningkatan jumlah industri per Kecamatan di Kabupaten Belu Tahun 2003, 2006, 2010, 2015, dan Grafik Perkiraan jumlah karbondioksida yang dihasilkan industri di Kabupaten Belu Tahun 2003, 2006, 2010, 2015, dan Peta Penyebaran Kebutuhan Hutan Kota di Kabupaten Belu Tahun xiii

15 24. Peta Penggunaan Lahan di Kabupaten Belu Tahun Peta Perkiraan Kebutuhan Hutan Kota di Kabupaten Belu Tahun Peta Perkiraan Kebutuhan Hutan Kota di Kabupaten Belu Tahun Peta perkiraan Kebutuhan Hutan Kota di Kabupaten Belu Tahun Peta Perkiraan Kebutuhan Hutan Kota di kabupaten Belu Tahun Grafik perkiraan kebutuhan hutan kota perkecamatan di Kabupaten Belu tahun 2003, 2006, 2010, 2015, dan Peta Jaringan Jalan Kabupaten Belu Peta Aliran Sungai Kabupaten Belu Bobot alternative untuk pengembangan hutan kota di Kabupaten Belu xiv

16 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Kuisioner AHP Jenis- jenis Tanaman yang ada di RTH Kabupaten Belu Jumlah Kendaraan Sepeda Motor Kabupaten Belu Per Kecamatan Tahun 2001, 2002, 2003, 2004, dan Jumlah Industri yang menggunakan bahan bakar Bensin Kabupaten Belu Per Kecamatan Tahun 2003, 2004, dan Jumlah Industri yang menggunakan bahan bakar Solar Kabupaten Belu Per Kecamatan Tahun 2003, 2004, dan Jumlah Industri yang menggunakan bahan bakar Minyak Tanah Kabupaten Belu Per Kecamatan Tahun 2003, 2004, dan Jumlah dan Karbondioksida yang dihasilkan oleh Penduduk Per Kecamatan Tahun Perkiraan Jumlah Total Kendaraan Bermotor Kabupaten Belu Tahun 2003, 2006, 2010, 2015, dan Perkiraan Jumlah Penduduk kabupaten Belu Per Kecamatan Tahun 2006, 2010, 2015 dan Perkiraan Karbondioksida yang dihasilkan Penduduk Per Kecamatan Tahun 2006, 2010, 2015, dan Perkiraan Jumlah Karbondioksida yang dihasilkan Kendaraan Bermotor Per Kecamatan Tahun 2003, 2006, 2010, 2015, dan Perkiraan Jumlah Karbondioksida yang dihasilkan Industri Kabupaten Belu Per Kecamatan Tahun 2003, 2006, 2010, 2015, dan Jumlah Prediksi Total Karbondioksida di Kabupaten Belu Per Kecamatan Tahun 2003, 2006, 2010, 2015, dan Perkiraan Kebutuhan Hutan Kota di Kabupaten Belu Per Kecamatan Tahun 2003, 2006, 2010, 2015, dan Jumlah Rasio Hutan Kota di Kabupaten Belu Per Kecamatan Tahun 2003, 2006, 2010, 2015, dan Jenis- jenis Tanaman yang dapat Dikembangkan di Taman Kota Jenis- jenis Tanaman yang dapat Dikembangkan di RTH Pekarangan Jenis Tanaman yang dapat dikembangkan di Jalur Hijau Jenis- jenis Tanaman yang dapat dikembangkan di Taman Hutan Ruang Terbuka Hijau yang Dikelola Dinas Kebersihan dan Pertamanan Tutupan lahan per land use di Kabupaten Belu 108 xv

17 Halaman 22. Jumlah Kendaraan Sepeda Motor Kabupaten Belu Per Kecamatan Tahun 2001, 2002, 2003, 2004, dan Jumlah Industri yang menggunakan bahan bakar Bensin Kabupaten Belu Per Kecamatan Tahun 2003, 2004, dan Jumlah Industri yang menggunakan bahan bakar Solar Kabupaten Belu Per Kecamatan Tahun 2003, 2004, dan xvi

18 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota merupakan pusat berbagai aktifitas manusia baik penduduk setempat ataupun pendatang. Sebuah kota mempunyai fungsi majemuk diantaranya sebagai pusat pemukiman, populasi, perdagangan, pemerintahan, industri, maupun pusat budaya. Pesatnya pembangunan ditandai dengan meningkatnya jumlah sarana transportasi baik untuk ruas jalan maupun peningkatan jumlah kendaraan bermotor. Perkembangan kota yang demikian melalui pembangunan berbagai sarana dan prasarana fisik disatu sisi merupakan simbol kemajuan peradaban manusia terutama penduduk kota yang cenderung mengikuti perkembangan zaman. Namun disisi lain menimbulkan berbagai dampak negatif yang akhirnya dapat mengakibatkan terjadinya penurunan kualitas lingkungan. Kondisi ini dapat dilihat dengan semakin banyaknya persoalan lingkungan di perkotaan seperti peningkatan suhu dan tingkat polusi udara berupa produksi karbondioksida (CO 2 ) dan menurunnya produksi oksigen (O 2 ) di udara. Dampak lain dari perkembangan kegiatan pembangunan kota adalah semakin berkurangnya lahan terbuka hijau yang keberadaannya menyusut dari waktu ke waktu. Penurunan lahan terbuka hijau akan berdampak pada fungsi tumbuhan sebagai penghasil oksigen semakin berkurang sejalan dengan menurunnya proses fotosintesis dari vegetasi. Sebaliknya kandungan gas CO 2 semakin tinggi karena asap kendaran bermotor dan aktifitas lainnya dari penduduk kota semakin meningkat. Sehubungan dengan kondisi diatas maka diperlukan suatu strategi yang mampu mengakomodir beragam persoalan sebagaimana diuraikan pada bagian terdahulu namun tetap menpertimbangkan relevansinya terhadap proses kegiatan kota. Oleh karena itu strategi yang dapat dikembangkan adalah melalui penerapan konsep hutan kota dalam perencanaan tata ruang kota. Konsep pengembangan hutan kota berangkat dari sebuah keprihatinan terhadap dampak buruk yang ditimbulkan oleh sejumlah kegiatan pembangunan di kota berupa pembangunan gedung, pusat-pusat industri serta peningkatan sarana dan prasarana transportasi. Sementara pada saat yang bersamaan ruang untuk vegetasi kian terdesak. Dengan kata lain kehadiran hutan kota dimaksudkan

19 2 untuk mengimbangi pesatnya pembangunan fisik kota, dimana dengan adanya komponen hutan kota berupa jalur hijau, taman kota, tanaman perkarangan, dan keberadaan ruang terbuka hijau lainnya diharapkan dapat meningkatkan produksi oksigen di udara, menjaring partikel debu dan partikel pencemar lainnya sehingga akan meningkatkan kualitas lingkungan di perkotaan. Hutan kota juga memiliki peranan penting dalam mengurangi CO 2 dari atmosfer yang terlihat dari banyaknya karbon yang berada pada biomassa hutan. Hal tersebut disebabkan karena melalui serangkaian fotosiontetis selain memproduksi oksigen tumbuhan juga dapat menghasilkan cadangan karbon yang cukup potensial yang tersimpan pada bagian tumbuhan seperti akar, daun dan bagian tumbuhan lainnya. Menurut Grey dan Deneke (1978); Ronette (1983) dalam Dahlan (2004) menjelaskan bahwa hutan kota dapat berperan secara alamiah dalam pengelolaan lingkungan perkotaan yakni berfungsi menyangkut hal-hal berikut: 1) Sebagai penahan panas disiang hari akibat pertambahan ruas jalan, gedung-gedung bertingkat, jembatan layang, papan reklame, televisi, radio, menara, dan sarana fisik lainnya. 2) Sementara dimalam hari dapat menciptakan kondisi lebih hangat, hal ini berkaitan dengan kemampuan tajuk pepohonan dalam menahan radiasi balik (radiasi) dari bumi. Peranan lain dari hutan kota terkait dengan jumlah radiasi surya yang dipantulkan ke hutan sangat dipengaruhi oleh panjang gelombang jenis tanaman, umur tanaman, posisi jatuhnya sinar surya, keadaan cuaca, posisi lintang (Dahlan 2004). Kabupaten Belu merupakan salah satu Kabupaten di Propinsi Nusa Tenggara Timur. Secara geografi Kabupaten Belu terletak pada 124 o -126 o BTS, dan 0,9 o 10 o LS dengan luas wilayah km 2 yang terdiri dari 12 kecamatan. 12 kelurahan, 154 Desa. Kondisi wilayah merupakan daerah datar berbukit hingga pegunungan dengan sungai yang mengalir ke utara dan selatan mengikuti arah kemiringan lerengnya. Dalam rangka pengembangan hutan kota di Kabupaten Belu dijumpai sejumlah persoalan yang menempatkannya sebagai salah satu kota yang pantas untuk dikembangkan konsep hutan kota. Persoalan yang dimaksudkan disini adalah dari aspek populasi penduduk. Bahkan permasalahan penduduk ini telah menjadi problema klasik di Kabupaten Belu, keadaan ini dipicu oleh berbagai faktor diantaranya: migrasi, kelahiran serta efek

20 3 pengungsian. Faktor pengungsian menjadi pemicu tersendiri sebagai implikasi dari proses pembangunan jajak pendapat pada tahun 1999 dengan hasil akhir terbentuknya suatu negara baru yaitu Republik Democratic of Timor Leste yang dideklarasikan pada tanggal 20 Mei 2002 (Pemerintah Kabupaten Belu 2003). Kota-kota yang berada di Kabupaten Belu mengalami perubahan secara fisik berupa penyusutan lahan terbuka hijau yang dikonversi menjadi kawasan bangunan (Pemerintah Kabupaten Belu 2004). Fenomena ini dikhawatirkan akan berpengaruh terhadap penurunan kualitas lingkungan hidup. Sejumlah parameter untuk menilai menurunnya kualitas udara antara lain dicirikan oleh menurunnya produksi oksigen, meningkatnya suhu udara, menurunnya kelembaban udara, meningkatnya kadar CO 2, terjadinya pencemaran udara, dan merebaknya wabah penyakit Kerangka Pemikiran Ketersediaan sarana dan prasarana di kawasan perkotaan diperlukan sebagai tuntutan dalam mendukung aktivitas kehidupan kota sebagai bagian dari kegiatan pembangunan yang terus dilancarkan. Kegiatan pembangunan selain menimbulkan dampak strategis dari aspek ekonomi juga berimplikasi negatif bagi lingkungan. Salah satunya adalah penyusutan lahan bervegetasi karena terjadi alih fungsi menjadi kawasan pemukiman, industri dan kepentingan ekonomi lainnya. Kenyataan ini akan berdampak pada penurunan kualitas lingkungan hidup yang pada akhirnya akan mempengaruhi kehidupan manusia, sehingga diperlukan suatu pengelolaan kawasan bervegetasi di perkotaan guna menjamin kelestarian lingkungan. Penerapan konsep hutan kota dapat diterapkan untuk menjawab tantangan tersebut, namun mesti disesuaikan dengan karakteristik kota bersangkutan. Bagan kerangka pemikiran disajikan pada Gambar 1.

21 4 Kota sebagai pusat aktifitas perekonomian Fasilitas dan sarana prasarana kota Meningkatnya jumlah penduduk Pembangunan yang terus meningkat Berkurangnya lahan bervegetasi Terjadinya alih fungsi lahan Penurunan kualitas lingkungan hidup perkotaan Dampak negatif terhadap kehidupan masyarakat kota Diperlukan suatu pengelolaan lingkungan hidup perkotaan Penerapan konsep hutan kota Perencanaan pengembangan hutan kota Gambar 1. Bagan Alir Kerangka Pemikiran 1.3. Perumusan Masalah Beberapa permasalahan yang memerlukan kajian penelitian dalam rangka pengembangan hutan kota yaitu: 1) Apakah perencanaan hutan kota yang telah dan sedang berjalan dapat mengoptimalisasi fungsi hutan kota 2) Apakah hutan kota yang ada di Kabupaten Belu telah dapat mencukupi kebutuhan kota baik untuk masa sekarang maupun untuk beberapa tahun yang akan datang sehingga diperlukan suatu pengembangan hutan kota.

22 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah: 1) Untuk mengidentifikasi dan memprediksi kebutuhan luas hutan kota berdasarkan produksi CO 2; 2) Mengidentifikasi potensi dan distribusi spasial pengembangan hutan kota Manfaat Penelitian Adapun manfaat penelitian sebagai berikut: 1) Dapat memberikan suatu landasan untuk pembangunan hutan kota bagi para perencana dan pengambil keputusan pembangunan kota; 2) Sebagai penelitian tahap awal bagi pengembangan hutan kota di Kabupaten Belu dan dapat dijadikan sebagai landasan bagi para pemerhati di bidang pengembanagan hutan kota khususnya para peneliti yang tertarik untuk memperoleh informasi lebih lanjut (kajian lanjutan) Hipotesis Hipotesa penelitian sebagai berikut: 2. Perkembangan fisik Kota-kota di Kabupaten Belu akan menyebabkan peningkatan produksi CO 2 3. Perencanaan pengembangan hutan kota yang dapat menwujudkan kualitas lingkungan yang optimal untuk menunjang kehidupan perkotaan

23 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Kota Kota merupakan satu kesatuan yang tertutup dan merupakan pusat aktivitas ekonomi, sosial, politik, dan kebudayaan terletak pada posisi geografis tetentu dan merupakan otak dari daerah sekelilingnya (Richarson 1997 dalam Affandi 1994). Kota adalah suatu permukiman dengan kepadatan penduduk yang lebih besar dari kepadatan penduduk nasional, dengan struktur mata pencaharian non agraris dan tata guna yang beraneka serta kerapatan pembangunan yang tinggi. Kota juga merupakan suatu kebulatan tatanan dari lingkungan sistem fisik, biologis, sosial dan ekonomi yang saling berintegrasi secara sederhana. Soeriaatmaja (1977) mengemukakan bahwa kota merupakan suatu system yang sifatnya sementara dan sewaktu-waktu sulit untuk dikontrol. Kota dipandang sebagai suatu kesatuan yang tertutup dan merupakan pusat aktifitas ekonomi, sosial, politik dan kebudayaan serta mempunyai otoritas tertentu dalam suatu Negara, terletak pada posisi geografis tetap dan merupakan pusat dari daerah sekitarnya. Kota dapat dipelajari melalui berbagai fungsinya yang terorganisir dalam skala waktu dan ruang tertentu dalam alam. Kota yang baik merupakan kesatuan organis yang diterapkan sesuai dengan keadaan kondisi teknologi dan cita-cita serta didasarkan pada masa lalu dan berorientasi ke masa depan. Kota pada akhirnya akan mati atau mundur apabila tidak merupakan suatu organisasi yang dapat berfungsi dan berkembang serta dapat menyediakan kebutuhan sumberdaya alam seperti air minum, listrik, sarana transportasi, sistem pembuangan sampah serta regenerasi kota bagi kesejahteraan penduduk kota Pengaruh Perkembangan Kota terhadap Lingkungan Perkembangan kota tidak merata dengan laju pertambahan penduduk antara satu kota dengan kota yang lainnya. Perkembangan kota terutama dipengaruhi oleh sektor jasa perdagangan, pemerintahan dan lain sebagainya yang menimbulkan krisis permukiman, air minum, kesehatan, limbah karena berhubungan dengan pemusatan banyaknya manusia dalam kurun waktu yang relatif pendek dalam ruang yang terbatas (Anonymous 1987). Selanjutnya dikatakan bahwa pesatnya perkembangan permukiman wilayah kota beserta

24 7 perkembangan kebudayaannya menambah beban daya dukung lingkungan yang relatif tetap yang sementara memang masih dapat diatasi dengan teknologi, namun akibat sampingan akan berlipat ganda. Menurut Richardson (1977) dalam Affandi (1994), perkembangan kota yang berfungsi sebagai pusat perdagangan, industri, pelayanan dan sebagainya menyebabkan homogennya perekonomian ruang. Perekonomian di daerah terdapat kawasan yang penduduknya lebih padat, bagian dalam kegiatan industri lebih besar dan pandangannya lebih kosmopolitan daripada daerah-daerah sekitarnya. Gejala yang terjadi di suatu daerah terjadi pemusatan penduduk dan industri, barang-barang dan jasa, komunikasi dan lalu lintas, juga kegiatankegiatan bisnis komersil. Terjadinya pemusatan kegiatan atau aglomerasi ini selain memberikan keuntungan ekonomi juga memberikan dampak negatif yaitu semakin semakin meningkatnya jasa-jasa transportasi di daerah-daerah pusat kegiatan maka pencemaran pun meningkat. Perkembangan kota yang semakin pesat ditandai dengan semakin meningkatnya aktifitas manusia seperti pengolahan lahan, permukiman, perindustrian dan sebagainya, menyebabkan kualitas lingkungan hidup di perkotaan cenderung menurun. Menurunnya kualitas lingkungan merupakan perubahan lingkungan yang menyebabkan terganggunya kenyamanan penduduk perkotaan (Tarsoen, 1991 dalam Affandi 1994) Pencemaran Lingkungan Hidup Perkotaan Fasilitas di kawasan perkotaan seperti aliran listrik, air minum, perumahan, pendidikan, kesehatan dan lain-lain serba terbatas dan tidak dapat memenuhi kebutuhan pertambahan penduduk yang cepat. Pesatnya kemajuan teknologi dan pembangunan kota secara terus menerus, menyebabkan kualitas lingkungan hidup kota cepat menurun. Salim (1986) menjelaskan bahwa pengaruh pembangunan kota terhadap lingkungan adalah lebih besar dari pada pengaruh pembangunan desa. Pengaruh itu meliputi: (1) Perubahan keadaan fisik lingkungan alam menjadi lingkungan buatan manusia, (2) Perubahan lingkungan sosial masyarakat yang hidup dalam kota. Pencemaran lingkungan adalah perubahan lingkungan yang tidak menguntungkan, sebagian karena tindakan manusia, disebabkan perubahan pola penggunaan energi dan materi, tingkat radiasi bahan-bahan fisika dan kimia

25 8 dan jumlah organisme. Kondisi ini dapat mempengaruhi manusia secara langsung ataupun tidak langsung melalui air, hasil pertanian, peternakan, bendabenda dan perilaku dalam apresiasi dan rekreasi di alam bebas (Soerjanegara dan Indrawan1998). Sedangkan menurut Undang-Undang No.23 Tahun 1997 tentang Pengolahan Lingkungan Hidup, pencemaran lingkungan adalah massuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain ke dalam lingkungan oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya. Menurut Grey dan Deneke (1978), bahan pencemar lingkungan dapat digolongkan menjadi tiga golongan, yaitu bahan pencemar fisika (physical pollutans), bahan pencemar kimiawi (chemical pollutans) dan bahan pencemar fisiologi (physiology pollutans). Ada 9 jenis zat pencemar udara yang paling utama, yaitu: sulfur oksida (SO 2 ), ozon (O 3 ), senyawa flour ethylene, oksigen nitrogen, ammonia, chlorine, hidrogen clorida, partikel-partikel dan herbisida. Bentuk pencemaran yang terjadi di perkotaan dapat dibedakan menjadi empat, yaitu: pencemaran dalam bentuk padat, bentuk cair, bentuk gas, dan kebisingan. Bentuk-bentuk pencemaran tersebut lebih sering disebut sebagai pencemaran tanah, air, udara dan kebisingan. Pencemaran udara terjadi akibat meningkatnya jumlah pemakaian kendaraan bermotor serta asap yang dihasilkan pabrik-pabrik yang berada di perkotaan Produksi Karbondiksida dari Kendaraan Bermotor, Kegiatan Industri, dan Penduduk. Pertumbuhan populasi manusia yang terus meningkat berimplikasi pada peningkatan aktivitas yaitu; industri, kendaraan bermotor serta dari sisi manusia itu sendiri. Sejauh ini di Kabupaten Belu belum terdapat penelitian menyangkut kontribusi dari masing-masing kegiatan dalam menghasilkan karbondioksida. Hasil penelitian Marianah (2006) di Kota Depok tentang jumlah emisi karbondioksida per hari dari penduduk, kendaraan bermotor, dan industri disajikan pada Tabel 1.

26 9 Tabel 1. Jumlah karbondioksida yang dihasilkan penduduk No. Kecamatan Karbondioksida yang dihasilkan (kg/hr) 1 Sawangan Pancoran Mas Sukmajaya Cimanggis Beji Limo Cibinong Bojonggede Gunung Sindur Parung Gunung Putri Total Tabel 2. Jumlah karbondioksida yang dihasilkan kendaraan bermotor No. Kecamatan Karbondioksida yang dihasilkan (kg/hr) 1 Sawangan Pancoran Mas Sukmajaya Cimanggis Beji Limo Cibinong Bojonggede Gunung Sindur Parung Gunung Putri Total Keterangan : *) Berdasarkan estimasi laju kendaraan bermotor dari tahun 1999 s/d tahun 2002 Tabel 3. No. Kecamatan Jumlah karbondioksida yang dihasilkan industri Karbondioksida yang dihasilkan (kg/hr) 1 Sawangan Pancoran Mas Sukmajaya Cimanggis Beji Limo Cibinong Bojonggede Gunung Sindur Parung Gunung Putri Total Keterangan : *) Berdasarkan estimasi laju pertumbuhan industri dari tahun 1999 s/d tahun 2002

27 Perlunya Pengembangan Hutan Kota Kegiatan di perkotaan yang memberikan limbah dalam bentuk padat, cair, gas maupun debu yang mencemarkan udara menyebabkan kualitas lingkungan hidup di kota semakim lama semakin menurun. Pembangunan jalan dan permukiman yang memberikan dampak penuruman kemampuan tanah untuk menyerap dan menampung air, transportasi yang memberikan gas karbodioksida, sulfurdioksida serta kebisingan udara. Untuk memperbaiki dan mutu lingkungan hidup di kota dapat dilakukan dengan efisiensi dan efektif melalui pengembangan hutan kota. Faktor-faktor dasar lingkungan alami dalam wilayah perkotaan yang harus diperhatikan (Purnomohadi, 1987) antara lain: 1) Kualitas udara yagn sangat dipengaruhi oleh pola lalu lintas kota, adanya ruang terbuka yang relatif luas sehingga memungkinkan adanya sirkulasi udara bagi setiap kelompok bangunan. Aliran udara berupa hembusan angin akan melindungi kualitas air. 2) Perlunya pengelolaan air, terutama air permukaan pada daerah-daerah penampungan air, sungai, kanal, waduk dan rawa dalam satu sistem, termasuk penyediaan air bersih, penampungan air buangan yang kemudian dapat diproses melalui instalasi pemurnian air buangan. 3) Pengelolaan limbah padat di tempat yang khusus dan harus dipertimbangkan pula yang dapat menjadi sumber bahan mentah dari buangan-buangan tadi. 4) Diharapkan terciptanya derajat kebisingan yang serendah mungkin dengan mengenali faktor yang mempengaruhinya, seperti lalu lintas, penghijauan, kepadatan penduduk serta penumpukan fasilitas kota. 5) Adanya kehidupan alami dalam habitat ciptaan maupun alami bagi berbagai jenis satwa yang tidak berbahaya. 6) Adanya berbagai fasilitas umum seperti peninggalan sejarah kejayaan kota, energi listrik, sarana kesehatan, pendidikan, transportasi, perdagangan, peristirahatan, rekreasi dan sebagainya. Interaksi antara klorofil dan bantuan sinar matahari, tumbuhan mampu mengubah zat karbondioksida dari udara dan air dari tanah menjadi karbohidrat dan oksigen. Proses ini dikenal dengan nama fotosintesis (Anonymous 1987: Bernatzky 1978: Soekotjo 1976). Proses tersebut sering dinyatakan sebagai berikut:

28 11 sinar matahari 6CO H 2 O C 6 H 12 O 6 + 6H 2 O + 6O 2 klorofil Satu hal yang paling esensial dari proses fotosintesis selain pembentukan karbohidrat adalah pembentukan oksigen yang diperlukan dalam proses pernapasan (respirasi) semua makhlik hidup. Agar proses respirasi dan fotosintesis bejalan lancar, maka adanya keseimbangan antara produsen oksigen dan konsumen oksigen mutlak diperlukan. Kota-kota besar dan daerah yang padat penduduknya keseimbangan tersebut harus konstan, karena perubahan dalam waktu yang singkat atau perubahan sedikit saja akan dapat dirasakan akibatnya. Keberadaan pereduksi yang bersifat permanen sangat dibutuhkan pada kondisi demikian. Pereduksi yang dipandang permanen adalah vegetasi pohon, mengingat pohon memiliki daur yang cukup panjang dan dapat memproduksi oksigen yang cukup banyak (Anonymous 1987). Faktor lain yang dapat menunjang perlunya pengembangan hutan kota adalah adanya kecenderungan penduduk kota yang mendambakan suasana alami. Hal ini bias ditunjukkan dengan semakin banyaknya penduduk kota yang pergi ke luar kota untuk mencari kenyamanan dan keindahan alam terbuka baik di waktu libur maupun di waktu senggang (Anonymous 1987). Pengembangan hutan kota memerlukan penyediaan lahan sebagai faktor yang paling penting karena hutan kota diperuntukkan untuk masyarakat luas, maka tentu saja penyediaan lahan tersebut menjadi kewajiban penduduk kota dan pemerintah. Berdasarkan hal tersebut, maka lahan hutan kota dapat dikategorikan dalam 2 kelompok berdasarkan status pemiliknya (Fakuara 1987), yaitu: 1) Lahan hutan kota harus disediakan pada lokasi-lokasi atau tempat-tempat umum, seperti tempat komunitas (pertokoan, pasar dan lain-lain), jalan raya serta tempat-tempat umum lainnya. Untuk keperluan ini, lahan harus disediakan oleh pemerintah yang dapat berasal dari tanah negara maupun tanah milik. 2) Lahan hutan kota yang harus disediakan pada tempat-tempat perorangan, termasuk dalam kelompok ini seperti pemukiman, industri dan tempattempat lainnya yang dibebani hak milik. Untuk keperluan ini, lahan harus disediakan oleh masyarakat baik secara individu maupun badan hukum seperti pengembang (developer), pengusaha dan lain-lain.

29 12 Perencanaan tata ruang bertujuan untuk memanfaatkan ruang/lahan secara optimal dan tidak merusak lingkungan. Agar kegiatan dalam rangka pemanfaatan ruang dengan sumber-sumber yang terdapat di dalamnya dapat memberikan hasil yang optimal, maka perlu diatur ketetapan lokasi agar kegiatan tersebut senantiasa saling menguntungakan dan sedikit mungkin menimbulkan dampak yang negatif melalui perencanaan tata ruang. Penataan ruang diharapkan dapat terwujud kehidupan dan penghidupan yang aman, tertib, lancar, sehat dan efisien dalam lingkungan yang serasi dan daya dukung yang selaras, seimbang dan serasi. Oleh karena itu, pembangunan dan pengembangan hutan kota harus berpedoman pada perencanaan tata ruang kota (Fakuara, 1987). Rencana penetapan lokasi hutan kota harus didasarkan pada Rencana Umum Tata Ruang Kota (RUTRK). Lokasi hutan kota tersebut harus dibangun pada tempat yang tepat dengan luas yang cukup, sehingga daya dukung wilayah dapat memenuhi kebutuhan terhadap hutan kota tersebut. Beberapa komponen pendukung yang diperlukan untuk pembangunan dan pengembangan hutan kota antara lain (Dahlan 2004): 1) Tersedianya kebun pembibitan yang dapat menyediakan bibit secara massal; 2) Ilmu dan teknologi yang memadai; 3) Pelayanan jasa konsultasi untuk umum; 4) Dukungan dari penentu kebijakan; 5) Peraturan perundangan; 6) Dukungan masyarakat; 7) Tenaga Ahli Pengertian Hutan Kota Definisi hutan kota menurut Sekretariat Jenderal Departemen Kehutanan bekerja sama dengan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (1987) adalah lapangan yang ditumbuhi vegetasi berkayu di wilayah perkotaan yang memberikan manfaat lingkungan sebesar-besarnya kepada penduduk kota dalam kegunaan-kegunaan proteksi, rekreasi dan kegunaan khusus. Menurut Suwardi (1987) hutan kota adalah suatu hutan yang keberadaannya ada di dalam kota, di sekitar pinggiran kota atau di dalam daerah-daerah pusat permukiman yang berkembang karena proses urbanisasi. Hutan kota merupakan cabang khusus dari hutan yang pengelolaannya melalui pendekatan multi disiplin

30 13 dan dikembangkan secara intensif di dalam daerah perkotaan untuk keuntungan dan kepentingan warga kota. Hutan kota merupakan suatu pendekatan dan penerapan salah satu atau beberapa fungsi hutan dalam kelompok vegetasi di perkotaan untuk mencapai tujuan proteksi, rekreasi, estetika dan kegunaan khusus lainnya bagi kepentingan penduduk perkotaan. Oleh karena itu, hutan kota tidak hanya berarti hutan (menurut Undang-Undang Pokok Kehutanan, UUPK No. 5 Tahun 1967 yaitu lapangan yang ditumbuhi pohon-pohon yang secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup dengan alam lingkungannya dan mempunyai luas areal minimal 0,25 ha berada di kota dapat tersusun dari komponen hutan dan kelompok vegetasi lainnya yang berada di kota sepert taman, jalur hijau serta kebun dan pekarangan (Fakuara 1987). Haeruman (1987) mengemukakan bahwa hutan kota juga terletak jauh di luar batas kota, sepanjang interaksi yang intensif antara penduduk sebuah kota dengan hutan tersebut berlangsung terus menerus. Sebagai contoh, Taman Hutan Raya Ir. H. Juanda di Bandung, Taman Hutan Raya Muh. Hatta di Padang dan di Bengkulu sedang dalam taraf pembangunan. Ekosistem hutan kota tumbuh secara ekologis sesuai dengan lingkungan perkotaan, artinya terdiri dari tegakan yang berlapis-lapis di mana masing-masing fungsinya meniru hutan alami. Pemeliharaan relatif sedikit dibandingkan misalnya dengan lapangan oleh raga, taman-taman umum dalam skala luas yang sama. Secara rinci, komposisi tegakan dalan hutan kota dijabarkan secara teknis sesuai dengan fungsinya, antara lain: biologis, estetis, rekreatif, ekologis, fisis, sosial, sebagai cadangan untuk pengembangan Ruang Terbuka Hijau (RTH) kota dalam pembangunan kota jangka panjang (Purnomohadi 1987). Perbedaan yang nyata dengan unsur terbuka hijau yang lain adalah bahwa tegakan pepohonan dan semak belukar dalam hutan kota dikelola sesuai dengan sifat hutan yaitu tidak berdiri sendiri sehingga satu kelompok tegakan dengan yang lainnya terjadi dalam satu komunitas yang sesuai atau paling tidak mirip dengan ekosistem hutan alami. Namun sesuai dengan nilai-nilai urbanity maka ada keterbatasan dalam pembentukan hutan kota tersebut seirama pula dengan perkembangan kota yang terjadi serta berbagai aspek kehidupan yang menyangkut kehidupan penduduk kota. Kalau hanya berupa kumpulan pohon yang sejejer tidaklah dapat dikatakan hutan kota. Tanaman yang ada harus asosiasi, dimana akan terdapat saling berinteraksi dalam mencapai suatu

31 14 kesimbangan. Oleh karena itu, perlu ditentukan beberapa jenis minumum vegetasi yang tumbuh baru disebut hutan kota. Tanaman dalam pot tidak dapat dikatakan hutan kota, karena jika tidak ada manusia tanaman pot itu akan mati. Hutan kota harus berinteraksi langsung dengan lingkungannya, yaitu tanah, air, dan air tanah (Haeruman 1987) Tipe-tipe Hutan Kota Fakuara (1986) menyatakan bahwa tipe-tipe hutan kota yang dikembangkan terdiri dari: 1) Hutan Kota Permukinan, bentuknya antara lain: a) Taman bermain untuk anak-anak, tanaman yang ditaman di dalamnya ialah dari kombinasi yang ketinggiannya berbeda, disusun sedemikian rupa untuk memenuhi fungsi keindahan, meredam suara, produksi oksigen dan meningkatkan kenyamanan; b) Tanaman Tepi Jalan, dibuat untuk tujuan meredam suara, menguapkan air genangan, meningkatkan kenyamanan serta menahan silau sinar kendaraan di malam hari. Jenis pohon yang di pakai untuk tujuan ini adalah jenis pohon yang tidak terlalu tinggi, tajuknya rimbun serta tingkat transpirasinya relatif tinggi; c) Tanaman Pekarangan, tanaman yang dipakai untuk pekarangan adalah paling sedikit untuk tujuan menghasilkan oksigen yang diperlukan untuk pernapasan manusia. Tujuan penanamannya sangat tergantung kepada pemilik pekarangan; d) Tanaman Pelengkap Gedung Bertingkat. Karena terbatasnya lahan yang tersedia di perkantoran, maka pemukiman pada gedung bertingkat sudah mulai dulaksanakan oleh Perumnas. Suasana pemukiman seperti ini sangat monoton dan kaku. Oleh karena itu, pada setiap lantai dan pada lokasi tertentu dari lantai tersebut harus tersedia tanaman yang membawa ke arah alami serta nyaman. Jenis tanaman yang dipakai untuk kepentingan ini ialah jenis tanaman yang berdaun rindang tetapi ringan serta mempunyai kecepatan pertumbuhan yang tinggi sehingga diharapkan produksi oksigennya tinggi; 2) Hutan Kota Kawasan Industri, bentuk-bentuknya antara lain: a) Tanaman Kawasan Industri, dibuat dengan tujaun untuk istirahat para pekerja sebagai tempat yang terlindungi secara alamidari kebisingan,

32 15 debu dan gas buangan industri. Untuk dapat meredam debu udara, maka dipilih tanaman yang dapat menggugurkan daun, mempunyai tajuk yang rimbun dan rapat serta berdaya tahan tinggi. Untuk menyerap gas, maka dipilih tanaman yang mempunyai stomata yang banyak, serta mempunyai ketahanan yang baik terhadap gas tertentu, mempunyai tingkat pertumbuhan yang cepat, dan tahan terhadap serangan angin. Jika digunakan untuk meredam kebisingan maka dipilih tanaman yang rimbun daunnya, sedangkan untuk penghasil oksigen ialah yang mempunyai tingkat pertumbuhan yang cepat; b) Tanaman penyangga. Pada umumnya kawasan indusri merupakan kawasan yang tidak terlepas dari kawasan berpenduduk, baik dalam bentuk pemukiman, pertokoan, pertanian dan sebagainya. Tanaman penyangga ini dibuat berdasarkan perhitungan gerakan angin yang bisa bergerak di sekitar kawasan. Oleh karena itu penanaman pohon ini harus memperhatikan tinggi gerakan angin serta jarak dari daerah yang perlu dilindungi; 3) Hutan Kota Rekreasi/Wisata. Hutan kota rekreasi mempunyai peranan sebagai tempat bermain anak-anak, tempat istirahat orang dewasa, perlindungan dari gas dan debu, serta sebagai produsen oksigen. Lokasi dari hutan kota rekreasi ini diusahakan dapat memenuhi fungsi sebagai rekreasi jam artinya dapat didatangi dan dinikmati tidak lebih dari satu jam dari ujung daerah pemukiman dengan kendaraan bermotor; 4) Hutan Kota Konservasi. Hutan konservasi mengandung arti untuk mencegah kerusakan, perlindungan dan pengawetan terhadap objek tertentu dalam alam. Hutan kota konservasi tentunya juga bermaksud untuk mencegah kerusakan, melindungi dan melestarikan sumberdaya alam tertentu di perkotaan. Suatu kota seringkali mempunyai kekhasan pada satwa tertentu yang perlu dipertahankan kelestariannya. Oleh karena itu perlu adanya tindakan konservasi dengan pembuatan hutan kota konservasi. Jenis tanaman yang ditanam tentunya disesuaikan dengan kebutuhan satwa, misalnya untuk keperluan bersarang, bermain, mencari makan, ataupun untuk bertelur. Ciri khas lain suatu kota juga dapat juga berupa tebing-tebing yang curam ataupun tepi-tepi sungai yang perlu dijaga supaya tidak terjadi longsor yang bisa membahayakan pemukiman. Termasuk dalam hutan konservasi ini ialah jalur-jalur hijau sepanjang jalan

33 16 tol ataupun jalan raya biasa, di terminal, dan di pusat perbelanjaan serta tepi rel kereta api; 5) Hutan Kota Pusat Komunitas Sosial/Kegiatan. Kota juga mempunyai pusatpusat komunitas sosial/kegiatan seperti pusat pertokoan, gedung-gedung pertemuan, perkantoran dan lain-lain. Hutan kota yang berada di wilayah ini bertujuan untuk memberikan sentuhan estetika, sebagai pelindung, produsen oksigen dan lain-lain. Di dalam pusat komunitas, hutan kota juga dapat dijadikan sebagai alat sosialisasi penduduk kota Peranan Hutan Kota Hijaunya kota tidak hanya menjadikan kota itu indah dan sejuk, namun aspek kelestarian, keserasian, keselarasan dan keseimbangan sumberdaya alam, yang selanjutnya akan membaktikan jasa-jasa berupa kenyamanan, kesegaran, terbebasnya kota dari polusi dan kebisingan serta sehat dan cerdasnya warga kota tersebut (Dahlan 2005). Hutan kota selain dapat memberi keteduhan dan keindahan, juga dapat memberi manfaat dalam mengurangi dampak negatif pencemaran udara, dan mengatasi masalah erosi tanah (Robinette 1972 dalam Supriadi, M. Ichsan, Sri L. D., Handari W. 1991). Menurut Dahlan (2005), hutan kota mempunyai peranan sebagai berikut: (1) Indentitas kota, (2) Pelestarian plasma nutfah, (3) Penahan dan penyaring partikel padat dari udara, (4) Penyerap dan penjerap partikel timbal, (5) Penyerap dan penjerap debu semen, (6) Peredam kebisingan, (7) Mengurangi bahaya hujan asam, (8) Penyerap karbonmonoksida (9) Penyerap karbondioksida dan penghasil oksigen, (10) Penahan angin, (11) Penyerap dan penepis bau, (12) Mengatasi penggenangan, (13) Mengatasi intrusi air laut, (14) Produkti terbatas, (15) Ameliorasi iklim, (16) Pengelolaan sampah, (17) Pelestarian air tanah, (18) Penapis cahaya silau, (19) Meningkatkan keindahan, (20) Sebagai habitat burung, (21) Mengurangi stress, (22) Mengamankan pantai terhadap abrasi, (23) Meningkatkan industri pariwisata, dan (24) Sebagai hobi dan pengisi waktu luang. Menurut Grey dan Denake (1978), bahwa dengan menerapkan konsep hutan kota akan memberikan 4 jenis manfaat, yaitu: 1) Perbaikan Iklim. Kehidupan manusia akan dipengaruhi oleh unsur-unsur iklim seperti, radiasi matahari, temperatur udara, angin dan kelembaban. Dengan adanya hutan kota maka akan memberikan kondisi yang lebih baik

34 17 bagi kehidupan manusia seperti, penyesuaian suhu lingkungan dan penurunan kecepatan angin; 2) Pemanfaatan Bidang Keteknikan. Pemanfaatan bidang keteknikan ini berupa, perlindungan terhadap Daerah Aliran Sungai (DAS), pengendalian terhadap erosi, pengendalian air buangan, meredam kebisingan, menyaring polusi udara, pengendalian sinar langsung dan pantulan serta pengendalian lalu lintas; 3) Pemanfaatan di Bidang Arsitektur. Pengaturan struktur pohon-pohon hutan kota di sekitar gedung atau bangunan akan memberikan hasil yang lebih baik, terutama apabila dipandang dari sudut seni dan keindahan; 4) Pemanfaatan di Bidang Estetika. Keberadaan tanaman hutan kota dalam berbagai bentuk, struktur dan warna akan mempercantik dan memperindah wajah kota. Kota identik dengan kepadatan penduduk, sehingga seringkali kondisi lingkungan hidupnya kurang terpelihara dengan baik yang berakibat terjadinya penurunan kualitas lingkungan hidup perkotaan. Untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup di kawasan pemukiman kota perlu diterapkan prinsip-prinsip hutan kota dalam bentuk (Fakuara 1987): 1) Membuat taman bermain untuk anak-anak. Jenis tanaman yang dapat ditanam di taman ini bervariasi dengan ketinggian yang berbeda, disusun sedemikian rupa untuk memenuhi keindahan, meredam suara, produksi oksigen dan meningkatkan kenyamanan; 2) Membuat tanaman tepi jalan atau jalur hijau. Tanaman ini bertujuan untuk meredam suara, menyerap genangan air, meningkatkan kenyamanan serta menahan sinar silau pada malam hari; 3) Tanaman pekarangan. Tanaman ini bertujuan untuk produksi oksigen, keindahan serta beberapa tujuan lain berdasarkan keinginan pemiliknya; 4) Tanaman pelengkap gedung bertingkat. Tanaman ini bertujuan untuk produksi oksigen dan untuk memberikan kondisi yang alami dan nyaman. Hutan kota juga dapat dimodifikasi untuk memberikan pelayanan rekreasi bagi penduduk kota. lokasi hutan kota rekreasi diusahakan merupakan rekreasi jam, yang artinya dapat didatangi dan dinikmati tidak lebih dari satu jam perjalanan dari ujung daerah pemukiman dengan kendaraan bermotor. Pohon-pohon yang dapat ditanam untuk kawasan rekreasi yaitu pohon yang terdiri dari jenis-jenis berdaun lebar yang rindang untuk memberikan

35 18 keteduhan yang besar. Sedangkan menurut Grey dan Denake (1978), pohonpohon yang dapat ditanam untuk hutan kota dapat diklasifikasikan menjadi 3, yaitu: (a) pohon-pohon kecil dengan tinggi kurang dari 9.14 m, (b) pohon-pohon sedang dengan tinggi 9,14-18,28 m dan (c) pohon-pohon tinggi dengan tinggi lebih dari 18,28 m Kriteria dan Bentuk Hutan Kota Kriteria hutan kota terdiri dari sasasran dan fungsi penting, vegetasi, intensitas manajemen serta status. Berdasarkan kriteria tersebut, maka bentuk hutan kota dapat dikelompokkan menjadi 4 bentuk, yaitu Taman Kota, Kebun/Pekarangan, Jalur Hijau dan Hutan (Fakultas Kehutanan IPB 1987). Secara terinci kriteria untuk masing-masing bentuk tersebut dapat dilihat pada Tabel 4. Sedangkan menurut Dahlan (2005) bentuk hutan kota dikelompokkan menjadi; a) Jalur Hijau, b) Taman Kota, c) Kebun dan Halaman, d) Kebun Raya, Hutan Raya dan Kebun Binatang, e). Hutan Lindung. Taman kota dibangun tidak sekedar untuk tujuan keindahan saja melainkan dapat pula berfungsi sebagai produsen oksigen. Luas taman dapat bervariasi dari beberapa m 2 sampai puluhan hektar. Kebun/pekarangan juga harus ditanami jenis tanaman yang mampu mendukung paling tidak kebutuhan oksigen penduduk kota, tetapi disamping itu juga dapat untuk tujuan yang bernilai ekonomis. Jalur hijau yang dibangun untuk menyusun hutan kota dapat berupa jalur beberapa meter sampai puluhan kilometer. Jenis tanaman yang akan ditanam tergantung pada tujuan dan fungsi tertentu, misalnya peredam kebisingan, pengendali pencemaran udara, penangkal angin dan produksi oksigen. Tabel 4. Kriteria dan Bentuk Hutan Kota Bentuk No. Kriteria Kebun/ Taman Kota Pekarangan 1. Sasaran Kawasan Pemukiman, industri, daerah subur pemukinan dan pusat kegiatan Jalur Hijau Jalan dan kawasan konservasi Hutan Areal konservasi

36 19 Lanjutan Tabel 4 No. Kriteria 2. Fungsi yang penting Taman Kota Ameliorasi iklim, estetika, produksi O 2, rekreasi dan peredam polusi 3. Vegetasi Tanaman hias Bentuk Kebun/ Pekarangan Jalur Hijau Produksi O 2 dan Ameliorasi atas tujuan iklim, ekonomi, produksi O 2, ameliorasi iklim, peredam estetika kebisingan, peredam bau Buah-buahan, tanaman hias, pohon lainnya. Tumbuhan dari semua strata(perdu, semak, pohon) Hutan Hidroorologis, ameliorasi iklim, produksi O 2, fungsi konservasi lain. Pohon dengan tajuk lebar dan perakaran intensif. 4 Intensitas Tinggi Sedang Sedang Rendah manajemen 5 Status Umum dan Perorangan Umum Umum Pemilikan perorangan 6 Pengelola Dinas Pertamanan/ Perorangan Perorangan Dinas Pertamanan Sumber: Fakultas Kehutanan IPB, Dinas Kehutanan/ Perorangan Pengelolaan Hutan Kota Program hutan kota adalah kegiatan khusus kehutanan yang bertujuan mengelola vegetasi kayu (pohon) bagi kepentingan kesejahteraan fisiologik, sosial dan ekonomi masyarakat perkotaan. Tercakup ke dalam rumusan tersebut di atas ialah program komprehensif untuk mendidik penduduk kota tentang peranan vegetasi berkayu (pohon) di dalam lingkungan perkotaan. Dalam pengertian yang lebih luas lagi, program tersebut merupakan sistem pengelolaan dan kegunaan yang mencakup daerah-daerah perkotaan, sylvikultur dan umumnya dan produksi kayu serat. Hutan kota memerlukan suatu pengelolaan yang tertib agar keberadaan dan fungsinya terpelihara sepanjang masa. Pengelolaan hutan kota melibatkan 3 unsur, yaitu individu, masyarakat dan pemerintah kota. Pemerintah yang dalam hal ini dapat berupaya Dinas Pertamanan Kota atau Dinas Kehutanan, harus membuat perencanaan hutan kota untuk lahan yang tersedia di lahan milik pemerintah maupun lahan milik masyarakat dan juga milik individu. Setiap unit lahan yang berada pada suatu kota harus dibuatkan perencanaannya oleh

37 20 pemerintah, kemudian jika lahan itu milik pemerintah pelaksanaannya dilakukan oleh pemerintah, tetapi jika lahan itu milik masyarakat dilaksanakan oleh masyarakat, dan jika lahan itu milik individu masyarakat maka pelaksanaannya dilakukan oleh individu masyarakat dengan bimbingan teknis dari pemerintah supaya benar pelaksanaannya (Fakuara 1986). Menurut Grey dan Denake (1978) ada tiga macam kegiatan di dalam pengelolaan hutan kota, yaitu: 1) Penanaman. Penanaman harus mempunyai prioritas tertinggi, terutama kegiatan penebangan pohon-pohon yang sudah tua/mati. Kegiatan penanaman ini harus memperhatikan komposisi jenis, lokasi dan desain; 2) Pemeliharaan. Pemeliharaan hutan kota dapat didefinisikan sebagai penerapan kebutuhan-kebutuhan praktis bagi kesehatan yang layak, kekuatan, dan sesuai dengan lingkungan perkotaan. Kegiatan pemeliharaan meliputi pengendalian pertumbuhan, perusakan, serta serangga dan penyakit; 3) Pembersihan. Kegiatan pembersihan meliputi penyingkiran pohon-pohon yang mati, pohon-pohon yang membahayakan baik secara fisik berupa posisi yang tidak menguntungkan, maupun karena merupakan sumber penyakit, serta pohon-pohon yang terlalu berdesakan. Studi kajian perencanaan aspek yang dapat diteliti meliputi: lokasi, fungsi dan pemanfaatan, aspek teknik silvikultur, arsitektur lansekap, sarana dan prasarana, teknik pengelolaan lingkungan. Bahan informasi yang dibutuhkan dalam studi meliputi: (1) Data fisik (letak, wilayah, tanah, iklim, dan lain-lain); (2) Sosial ekonomi (aktivitas di wilayah bersangkutan dan kondisinya); (3) Keadaan lingkungan (lokasi dan sekitarnya); (4) Rencana pembangunan wilayah (RUTR, RTK, RTH), serta (5) Bahan-bahan penunjang lainnya (Dahlan 2005). Hasil studi berupa Rencana Pembangunan Hutan Kota yang terdiri dari tiga bagian, yakni (Dahlan 2005): 1) Rencana jangka panjang, yang memuat gambaran tentang hutan kota yang dibangun, serta target dan tahapan pelaksanaannya. 2) Rencana detail yang memuat desain fisik atau rancang bangun untuk masing-masing komponen fisik hutan kota yang hendak dibangun serta tata letaknya. 3) Rencana tahun pertama kegiatan, meliputi rencana fisik dan biayanya.

38 21 Organisasi pembangunan dan pengelolaan hutan kota sangat bergantung kepada perangkat yang ada dan keperluannya. Sistem pengorganisasian di suatu daerah mungkin berbeda dengan daerah lainnya. Salah satu bentuk pengorganisasian pembangunan dan pengelolaan hutan kota dapat dilihat pada Gambar 2. Walikota dan Bupati sebagai kepala wilayah bertanggung jawab atas pembangunan dan pengembangan hutan kota di wilayahnya. Bidang perencanaan pengendalian dipegang oleh Bappeda Tingkat II. Untuk pelaksaannya dapat ditunjuk dinas-dinas yang berada di wilayahnya (Gambar 2). Pengelolaan hutan kota pada areal yang dibebani hak milik diserahkan kepada pemiliknya, namun dalam pelaksanaannya harus memperhatikan petunjuk dari bidang perencanaan dan pengendalian. Guna memperlancar pelaksanaannya perlu dipikirkan jasa atau imbalan apa yang dapat diberikan oleh pemerintah kepada yang bersangkutan. Penanggung Jawab Kepala Wilayah (Walikota/Bupati) Pelaksana Dinas Kehutanan Dinas Tata Kota Dinas Pertanian Dinas Kebersihan dan Pertamanan Dinas Perkebunan Perusahaan Negara Swasta Kampus/Sekolah Perorangan, dan lain-lain Perencana Bappeda Tk II Gambar 2. Bagan Organisasi Pengelolaan Hutan Kota (Sumber: Dahlan 2004) Pemilihan Jenis Pohon Tinjauan dari segi ekologi, jenis tanaman yang baik ditanam untuk reboisasi maupun penghijauan suatu kota adalah jenis-jenis tanaman asli daerah setempat. Sedangkan jenis-jenis exot baik dari luar daerah harus menyesuaikan

39 22 diri dengan iklim dan lingkungan hidup yang baru. Kalau jenis-jenis asli tidak memungkinkan untuk ditanam misalnya tidak tersedianya biji yang cukup untuk jenis-jenis asli, atau tidak sesuai dengan pola perencanaan industri daerah yang bersangkutan dan sebagainya, maka dipilih jenis yang cocok baik dalam arti ekonomi maupun arti ekologi. Aspek ekologis menyangkut kecocokan dengan daerah yang bersangkutan harus diperhatikan persyaratan tumbuh daerah dalam hubungannya dengan faktor iklim, tanah, tinggi tempat dari permukaan laut, toleransi jenis tersebut akan cahaya matahari, keadaan lapangan dan vegetasi yang ada (Ishemat dan Andry 1998 dalam Septriana 2005). Keadaan ekologis yang perlu diperhatikan dalam pemilihan jenis pohon (Ishemat dan Andry 1998 dalam Septriana 2005) adalah sebagai berikut: 1) Iklim. Tiap jenis pohon mempunyai persyaratan tumbuh yang berhubungan erat dengan iklim. Faktor iklim yang mempengaruhi pertumbuhan pohon adalah hujan. Untuk daerah-daerah dengan musim kering yang sedang sampai kuat, pemilihan jenis dibatasi oleh ketahanan pohon akan kekurangan air; 2) Klasifikasi yang sesuai dan dipergunakan secara luas di Indonesia adalah tipe hujan menurut Schmidt dan Ferguson, yaitu: Q = Jumlah rata rata bulan kering ( < 60mm) Jumlah rata rata bulan basah ( > 100mm) x 100% Perhitungan Q maka setiap tipe iklim mempunyai sifat hujan yang dapat dilihat pada Tabel 5, berikut: Tabel 5. Tipe Hujan Menurut Schmidt dan Ferguson Tipe Iklim Nilai Q Keadaan Iklim A 0 0,413 Tanpa musim kering hutan hujan tropika yang selalu hijau B 0,413 0,333 Tanpa musim kering hutan hujan tropika yang selalu hijau C 0,333 0,600 Musim kering nyata, merupakan peralihan hutan hujan tropika ke hutan musim. D 0,600 1,000 Musim kering agak keras. Merupakan hutan musim yang pohon-pohonnya menggugurkan daun. E 1,000 1,670 Musim kering keras. Hutan savana F 1,670 3,000 Musim kering keras. Hutan savana

40 23 Lanjutan Tabel 5 Tipe Iklim Nilai Q Keadaan Iklim G 3,000 7,000 Daerah kering. Padang pasir H 7,000 Daerah kering. Padang pasir 1) Tanah. Kesuburan dari tanah sangat penting untuk diperhatikan karena setiap jenis tanaman membutuhkan kesuburan yang berbeda-beda untuk dapat mencapai hasil yang maksimal. Pohon menurut habitat tertentu untuk tumbuh dengan baik, misalnya Tectona grandis baik tumbuhnya di tanah-tanah kapur yang bersifat alkalis (jenis tanah grumusol) dengan bonita yang cukup tinggi dan baik untuk tanaman ini. Pinus merkusii dapat tumbuh di segala jenis tanah kecuali pada tanah-tanah yang tidak meneruskan air; 2) Tinggi Tempat. Setiap jenis tanaman mempunyai kisaran tumbuh terhadap tinggi tempat dari permukaan laut. Penanaman sebaiknya dilakukan pada tempat-tempat dimana tinggi tempatnya termasuk dalam kisaran tumbuh tanaman tersebut dimana jenis tanaman dapat tumbuh maksimum; 3) Kebutuhan akan Cahaya Matahari. Penanaman suatu jenis pohon harus memperhatikan kebutuhan jenis tersebut akan cahaya matahari. Jenis pohon ada yang bersifat toleran, setengah toleran dan intoleran. Jenis pohon yang bersifat toleran maksudnya ialah jenis pohon tersebut untuk hidupnya membutuhkan naungan dari jenis pohon lain. Jenis pohon yang bersifat setengah toleran maksudnya adalah jenis tersebut pada waktu mudanya membutuhkan baungan dan setelah dewasa membutuhkan pembebasan tajuk dari pohon lain. Jenis pohon yang bersifat intoleran maksudnya adalah jenis-jenis tersebut untuk hidupnya membutuhkan cahaya matahari penuh. 1) Keadaan Lapangan. Keadaan lapangan penting diperhatikan dalam pemilihan jenis pohon dalam reboisasi ialah dalam hal apakah jenis yang akan dipilih pada lapangan tersebut jenis-jenis untuk tujuan hutan produksi, hutan lindung, memperbaiki kesuburan tanah atau gabungan dari masingmasing tujuan; 2) Drainase. Drainase tanah perlu diperhatikan untuk mengetahui dapat atau tidaknya jenis-jenis yang akan dipilih tumbuh dengan hasil yang memuaskan pada tanah-tanah yang berdrainase jelek atau tidak. Apakah jenis-jenis yang akan dipilih dapat tumbuh di tanah-tanah yang becek, sewaktu-waktu tergenang atau tidak dapat tumbuh sama sekali. Hal yang

41 24 perlu diperhatikan keadaan daerah yang akan direboisasi apakah ekosistem hutam rawa, hutan gambut dan sebagainya dalam hubungannya dengan jenis-jenis yang akan dipilih.

42 III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Belu, Propinsi Nusa Tenggara Timur selama 10 bulan yaitu dari bulan Agustus 2005 hingga Mei Lokasi penelitian tertera pada Gambar 3. Gambar 3. Citra Landsat TM Kabupaten Belu Tahun 2002 dan Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi; data citra landsat ETM Kabupaten Belu tahun 2002, peta administrasi, peta topografi, peta tata guna lahan, layer penduduk, layer kendaraan bermotor, layer batas administrasi kecamatan, layer jalan, layer tutupan lahan, Software Arc View dan ER mapper, rencana umum, tata ruang Kabupaten Belu dan rencana ruang terbuka hijau Kabupaten Belu, sedang alat-alat yang digunakan yaitu : Altimeter, kamera dan alat tulis.

43 Metoda Penelitian Jenis dan Teknik Pengumpulan Data Primer Data Primer Data primer yang dikumpulkan diantaranya yaitu mengenai persepsi dan pengertian dari para Stakeholders terhadap keberadaan dan pemeliharaan hutan kota, kecocokan jenis pohon dan keadaan hutan kota secara nyata dilapangan (Lampiran 2). Teknik dan prosedur pengumpulan data sosial dilakukan menggunakan wawancara A. Wawancara Wawancara dimaksudkan guna mengetahui bagaimana persepsi dan perhatian serta komitmen stakeholders dalam hal ini masyarakat, instansi pemerintah, dan pihak-pihak yang terkait terhadap pengembangan hutan kota. Untuk wawancara pemilihan responden dilakukan dengan cara Purpossive Random Sampling. Jumlah responden yang ditetapkan meliputi; BAPPEDA(3 responden), Bapedalda (3 responden), Dinas Kehutanan (3 responden), LSM ( 3 responden ), perguruan tinggi (3 responden ), masyarakat ( 3 responden ) Wawacara dilakukan berdasarkan panduan daftar pertanyaan yang ditujukan untuk pengisian kuesioner AHP. Wawancara terhadap stakeholders diantaranya mengenai beberapa hal sebagai berikut: 1) Perhatian dan pendapat Stakeholders mengenai hutan kota. 2) Keinginan Stakeholders untuk memelihara hutan kota. 3) Kegiatan yang dilakukan Stakeholders dalam pengembangan hutan kota 4) Pendapat Stakeholders mengenai program pemerintah dalam usaha. pengembangan hutan kota. B. Kecocokan Jenis Pohon Kecocokan jenis-jenis tanaman yang telah ditanam di Kabupaten Beludapat dilihat berdasarkan kepada : 1) Syarat literatur jenis-jenis tanaman yang ada di lapangan dicocokan dengan syarat literatur yang diperoleh dengan melakukan studi pustaka; 2) Syarat lapangan (kondisi lapangan) diantaranya yaitu: a) Ketinggian dari permukaan laut yang diukur dengan menggunakan alat altimeter. b) Jenis tanah.

44 27 c) Type hujan, yang disesuaikan berdasarkan klasifikasi type hujan menurut Schmidt dan Ferguson yaitu : Q = jumlah rata-rata bulan kering (<60 mm) jumlah rata-rata bulan basah(>100 mm) Hasil perhitungan nilai Q di atas menggambarkan tipe iklim. C. Observasi Observasi dilakukan untuk memperoleh gambaran nyata kondisi biofisik, terutama yang dapat dilihat secara visual mengenai jumlah, luas dan letak taman-taman kota, jalur hijau, dan kepadatan kendaraan bermotor di Kabupaten Belu Data Sekunder Pengambilan data sekunder dilakukan untuk memperoleh data kuantitatif tentang kondisi biofisik dan kondisi klimatologis yang akan digunakan sebagai dasar dalam menentukan pola pengembangan hutan kota. Sumber data sekunder diperoleh dari hasil wawancara. Data sekunder diperoleh dari instansi yang terkait antara lain, BAPPEDA, Bappedalda, Dinas kehutanan, Dinas Kebersihan dan Pertamanan, Dinas Perhubungan, Dinas PERINDAG, Dinas Kependudukan, PMD, Badan Pusat Statistik, Badan Pertanahan Kabupaten Belu, Kimpraswil, Bakosurtanal, DEPHUT RI. 1) Kondisi Biofisik: a) Jumlah luas dan lokasi taman-taman kota b) Jumlah luas dan lokasi jalur hijau c) Luas Tata guna lahan d) Jenis tanaman yang ada di hutan kota di Kabupaten Belu e) Jumlah laju pertumbuhan penduduk f) Jumlah dan laju perkembangan Kendaraan bermotor g) Jumlah dan laju pertumbuhan Industri. 2) Kondisi Klimatologis a) Suhu udara b) Kelembaban relatif

45 28 c) Curah Hujan d) Kecepatan angin Pengolahan Data Kebutuhan Luas Hutan Kota berdasarkan Instruksi Menteri dalam Negeri No 14 Tahun 1998 Analisa kebutuhan luas hutan kota berdasarkan Inmendagri No. 14 Tahun 1998 tentang penataan ruang terbuka hijau di wilayah perkotaan yaitu dilihat luas hutan kota yang harus tersedia di lingkungan perkotaan dan biasanya ditetapkan dalam persentase dari total luas areal kota yang bersangkutan (40 %) Kebutuhan Luas Hutan Kota berdasarkan Peraturan Pemerintah No 63 Tahun 2002 Menurut peraturan pemerintah No. 63 Tahun 2002 ditentukan bahwa hutan kota paling sedikit 10 % dari luas seluruh kawasan kota. Penetapan porsi bagi pengembangan hutan kota tersebut diperlukan sebagai upaya penyeimbang kemajuan pembangunan Kebutuhan Luas Hutan Kota Berdasarkan Jumlah Karbondioksida. Penentuan luas hutan kota berdasarkan jumlah karbondioksida (Gerakis, 1974 dalam Wisesa, 1988 ). Penentuan luas hutan kota berdasarkan jumlah karbodioksida yang dikeluarkan merupakan total karbodioksida yang dihasilkan dari aktifitas manusia, kendaraan bermotor, dan industri. Rumus : L = a t v t + b t w t + c t z t K Keterangan : L = Luas hutan kota (ha) at = karbondioksida yang dihasilkan setiap manusia (kg/jam) bt = karbondioksida yang dihasilkan perkendaraan bermotor (kg/jam) ct = karbondioksida yang dihasilkan perindustrian (kg/jam) vt = jumlah penduduk (jiwa) wt = jumlah kendaraan bermotor (unit) zt = jumlah industri (unit) K = konstanta yang menunjukkan bahwa kemampuan hutan kota dalam menyerap CO 2 adalah 75 kg /ha/jam.

46 29 Penentuan luas hutan kota berdasarkan jumlah karbondioksida dilandasi beberapa pertimbangan sebagai berikut : 1) Karbondioksida yang dihasilkan dari aktifitas setiap manusia adalah relatif sama yaitu 0,96 kg/hari (Grey and Deneke, 1978). 2) Waktu aktif kendaraan bermotor adalah : kendaraan penumpang 3 jam/hari,kendaraan beban dan bus 2 jam/hari, sepeda motor 1 jam/hari (Wisesa,1998) sedangkan waktu aktif untuk industri adalah 8 jam/hari (Diana, 2005). karbondioksida yang dihasilkan oleh kendaraan penumpang 40,54 kg/hari,kendaraan beban 50,16 kg/hari, kendaraan bus 100,32 kg/hari, sepeda motor 0,68 kg/hari (Arismunandar, 1980 dalam Wisesa, 1988). 3) Karbondioksida yang dihasilkan dari kegiatan industri dihitung berdasarkan jumlah bahan bakar yang dibutuhkan dalam proses produksi. 4) Menurut Smith et al (1981) dalam Wisesa (1988) seorang manusia mengoksidasi 300 kalori perhari dari makanannya dan menggunakan sekitar 600 liter CO 2. Jadi setiap harinya seorang manusia menghasilkan 480 liter CO 2 atau 0,968 kg CO 2 (0,40333 kg CO 2 /jam). Menurut Bernatzky (1978), tumbuhan mampu mengubah karbondioksida dari udara dan mengubah air dari tanah menjadi karbohidrat dan oksigen dengan perantaraan klorofil dan bantuan sinar matahari yang disebut dengan fotosintesis. Proses fotosintesis tersebut akan menyerap karbondioksida yang dihasilkan manusia, kendaraan bermotor, industri dan aktifitas manusia lainnya. Proses tersebut dinyatakan sebagai berikut: 6 mol CO mol H 2 O kal 1 mol C 6 H 12 O mol O mol H 2 O 4 gr 216 gr 180 gr 192 gr 108 gr Melalui persamaan proses fotosintesis tersebut, maka akan didapatkan rasio antara jumlah karbondioksida yang digunakan dengan jumlah oksigen yang dihasilkan pada proses fotosintesis tersebut. Menurut Bernatzky (1978), pohon dengan tinggi 25 m dan diameter tajuk 15 m, akan mempunyai luas tutupan tajuk 160 m 2 dan luas permukaan luas daun sebesar 1600 m 2, akan melakukan fotosintesis (per jam) sebagai berikut: CO 2 (intake) 2352 gr (total CO 2 dari udara 4800 m 2 ) H 2 O (intake) 960 gr C 6 H 12 O 6 (produksi) 1600 gr O 2 (out put) 1712 gr.

47 30 Sedangkan untuk 1 Ha lahan hijau dengan total luas permukaan daun 5 Ha akan membutuhkan 900 kg CO 2 untuk melakukan fotosintesis selama 12 jam, dan pada waktu yang sama akan menghasilkan 600 kg O 2. Menurut Grey dan Deneke (1976) setiap jam 1 ha daun-daun hijau menyerap 8 kg CO 2 yang ekuivalen dengan CO 2 yang dihembuskan oleh napas sekitar 200 orang dalam waktu yang sama sebagai hasil pernapasannya Analisis Spasial Hutan Kota Pembangunan Basis Data Untuk pembangunan basis data digunakan peta digital dengan 8 jenis layer, yaitu layer penduduk, layer kendaraan bermotor, layer industri, layer batas administrasi kelurahan, layer penutupan vegetasi, layer jalan dan layer sungai Pengolahan Digital Data Landsat 1. Pra Pengolahan Citra a). Koreksi Geometrik Koreksi geometric dilakukan dengan mengunakan sejumlah titik kontrol lapangan (Ground Control Point). GCP adalah suatu titik pada permukaan bumi yang diketahui koordinatnya (Jaya, 1997). Titik-titik control atau CGP yang digunakan adalah objek-objek yang mudah dikenali dan tidak mudah berubah dalam jangka pendek. Koreksi geometric juga dapat dilakukan dengan rektifikasi citra ke peta atau citra ke citra. b). Perbaikan/penajaman Citra (Image Enhancement) Penajaman citra bertujuan untuk memperbaiki mutu kualitas dari citra sehingga dapat meningkatkan pula informasi yang diperoleh dan memudahkan dalam kegiatan interpretasi citra. Menurut Jaya (1997) penajaman citra dapat dilakukan secara bertahap. Tahap (1) perbaikan spasial (Spatial Enhancement), pada tahap ini bertujuan memperbaiki citra (memberikan efek kontras, penajaman tepi dan penghalusan citra), (2) perbaikan radiometric (Radiometric Enhancement) adalah teknik memperbaiki citra mengunakan nilai individu pixel yang bersangkutan saja dan diharapkan dapat memperbaiki tampilan visual. Operasi ini juga disebut spesifik pixel atau operasi titik yang meliputi LUT (Look Up Table), histogram citra, reduksi hase, nois dan infersi citra, (3) perbaikan spekteral, adalah teknik perbaikan citra mengunakan masing-masing pixel dari

48 31 sejumlah band (basis multiband), meliputi analisis komponen utama (principle Component analysis), PCA kebalikan, Tasseled cap, decorrelation strech, RGB to HIS to RGB, dan indeks vegetasi. 2. Klasifikasi Klasifikasi diartikan sebagai proses pengelompokan pixel-pixel ke dalam kelas-kelas atau kategori-kategori yang telah ditentukan berdasarkan nilai kecerahan (brightness value/bv atau digital number/dn) pixel yang bersangkutan. Berdasarkan tekniknya, klasifikasi manual dilakukan dengan mengelompokan pixel ke dalam satu kelas yang telah ditetapkan interpretel berdasarkan nilai kecerahan maupun warna dari pixel. Klasifikasi kuantitatif pengelompokan pixelnya dilakukan oleh komputer secara otomatis berdasarkan nilai kecerahan contoh yang diambil sebagai training area (Jaya,1997) Kelas-kelas penutupan lahan dalam penelitian ini diklasifikasikan menjadi beberapa kelas yaitu hutan lebat, semak belukar, sawah, dan kebun campuran. Pemilihan kelas-kelas ini didasarkan pada kelas yang mempunyai vegetasi sebagai suplai oksigen. 3. Analisis Spasial Evaluasi Ketersedian RTH dan Kebutuhan Luas Hutan Kota Berdasarkan Produksi CO 2. Untuk permodelan spasial pegembangan hutan kota diperlukan data tabular berupa jumlah penduduk, jumlah kendaraan bermotor, jumlah hewan ternak, dan jumlah industri dengan unit per kecamatan (data diambil dari hasil perhitungan luas hutan kota berdasarkan jumlah CO 2 ). Selain itu diperlukan data spasial berupa peta administrasi kelurahan, peta tata guna lahan, peta sungai, peta jalan dan citra landsat TM. Dari data tabular dan data spasial dibuat layer penduduk, layer kendaraan bermotor, dan layer industri, yang kemudian dianalisis spasial untuk menghitung menghitung jumlah karbondioksida masing-masingnya, sehingga didapat jumlah karbondiosida total. Sedangkan ketersediaan oksigen dilihat dari data citra landsat TM yang diklasifikasikan menjadi hutan (pohon), semak belukar, sawah, dan kebun campuran yang menyatakan ruang terbuka hijau (RTH) yang ada di Kabupaten Belu. Dari jumlah CO 2 total dan ketersediaan oksigen total dapat diketahui kebutuhan luas hutan kota dan ketersedian RTH

49 32 yang ada. Analisis spasial ini dilakukan untuk tahun 2003 dan juga untuk perkiraan kebutuhan luas hutan kota tahun 2006, 2010, 2015 dan Mulai Pengumpulan data Data Tabular - Jumlah penduduk - Jumlah kendaraan bermotor Data Spasial - Peta batas administrasi kelurahan - Peta tata guna lahan - Peta sungai - Peta jalan - Citra landsat TM - Layer Penduduk - Kendaraan Bermotor - Industri Klasifikasi Citra Landsat TM - Hutan Lebat - Semak Belukar - Sawah - Kebun Campuran Analisis Spasial Kebutuhan Hutan Kota Analisis Spasial Ketersediaan RTH Kebutuhan Hutan Kota - Layer Penduduk - Kendaraan Bermotor - Industr - (Overlay Analisis) Ketersediaan RTH - Hutan Lebat - Semak Belukar - Sawah - Kebun Campuran Prediksi Neraca Kebutuhan Hutan Kota dan Selesai Gambar 4. Diagram Alir Analisis Spasial Prediksi Neraca Ketersediaan RTH dan Kebutuhan Hutan Kota

50 Analysis Hierarchy Process (AHP). Analisis pendapat Stakeholders menggunakan AHP. Dalam AHP pengukuran dapat dilakukan dengan membangun suatu skala pengukuran dalam bentuk indeks, skoring atau nilai numerik tertentu. Prinsip- prinsip yang perlu diperhatikan dalam menyelesaikan persoalan dengan AHP yaitu : dekomposisi, komparatif judgement, sintesis prioritas, dan konsistensi logika. Tahapan yang mesti dilalui pada pendekatan AHP meliputi: 1) Identifikasi Sistem, yaitu: untuk mengidentifikasi permasalahan dan menentukan solusi yang diinginkan. 2) Penyusunan struktur hirarki yang diawali dengan tujuan umum, dilanjutkan dengan sub-sub tujuan kriteria dan kemungkinan alternatif-alternatif pada tingkatan krireria paling bawah. 3) Membuat matriks perbandingan berpasangan yang menggambarkan pengaruh relatif atau pengaruh setiap elemen terhadap masing-masing tujuan yang setingkat diatasnya. Perbandingan berdasarkan judgment dari pengambil keputusan, dengan menilai tingkat kepentingan satu elemen dibandingkan dengan elemen lainnya. 4) Menghitung matriks pendapat individu. 5) Menghitung pendapat gabungan. 6) Pengolahan horizontal. 7) pengolahan vertikal. 8) Revisi pendapat. Struktur hirarki diawali dengan tujuan umum, dilanjutkan dengan sub-sub tujuan, kriteria dan kemungkinan alternatif pada tingkatan kriteria yang paling bawah. Adapun bagan alir dari hirarki analisis dengan menggunakan AHP dalam studi seperti disajikan pada gambar 5.

51 34

52 36 GOAL AKTOR ASPEK ALTERNATIF PMRTH EKL HKP EKN HKI Pengembangan Hutan Kota PT MASY LSM HKK SOSBUD HKR LEG HKPKSK KBJKN Gambar 5. Hierarki Proses Pengembangan Hutan Kota di Kabupaten Belu Propinsi NTT

53 35 A. Membuat matriks perbandingan berpasangan Perbandingan berpasangan untuk menggambarkan pengaruh relatif atau pengaruh setiap elemen terhadap masing-masing tujuan yang setingkat di atasnya, perbandingan berdasarkan judgement dari para pengambil keputusan, dengan menilai tingkat kepentingan satu elemen dibandingkan dengan elemen lainnya. Untuk menilai perbandingan tingkat kepentingan suatu elemen terhadap elemen yang lain, maka digunakan pembobotan berdasarkan skala proses AHP yang disarankan oleh Saaty (Saaty, 1993), sebagaimana disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Skala Banding Secara Berpasangan dalam AHP Tingkat kepentingan Keterangan Penjelasan 1 Kedua elemen sama pentingnya ,4,6,8 Kebalikan Elemen yang satu sedikit lebih penting daripada elemen yang lain. Elemen yang satu lebih penting daripada elemen yang lain. Elemen yang satu jelas lebih penting daripada elemen yang lain. Elemen yang satu mutlak lebih penting daripada elemen yang lain. Nilai-nilai antara dua nilai pertimbangan yang berdekatan. Jika untuk aktifitas i mendapat satu angka bila dibandingkan dengan aktifitas j, maka j mempunyai nilai kebalikannya bila dibandingka dengan i. Dua elemen mempunyai pengaruh yang sama terhadap tujuan Pengalaman dan penilaian sedikit mendukung satu elemen dibandingkan elemen lainnya. Pengalaman dan penilaian sangat kuat mendukung satu elemen dibanding elemen lainnya. Pengalaman dan penilaian sangat kuat mendukung satu elemen dibanding elemen lainnya. Satu elemen dengan kuat didukung dan dominan terlihat dalam praktek. Bukti yang mendukung elemen yang satu terhadap elemen lain memiliki tinkat penegasan tertinggi yang mungkin menguatkan. Nilai ini diberikan bila ada dua kompromi diantara dua pilihan.

54 36 Untuk mengkuantifikasi data kualitatif pada materi wawancara digunakan nilai skala komparasi 1 sampai 9. skala 1 sampai dengan 9 merupakan skala yang terbaik dalam mengkuantifikasikan pendapat, yaitu berdasarkan akurasinya yang ditunjukkan dengan nilai RMSD (Root Mean Square Deviation) dan MAD (Median Absolute Deviation). B. Melakukan perbandingan berpasangan Perbandingan berpasangan dilakukan untuk memperoleh judment seluruhnya sebanyak n x [(n-1)/2] buah, dengan n adalah banyaknya elemen yang dibandingkan. Bila vektor pembobotan elemen-elemen operasi A1, A2, A3, dinyatakan sebagai vektor W, dengan W= (W1, W2, W3) maka nilai intensitas kepentingan elemen operasi A1 dibandingkan dengan A2 dapat dinyatakan sebagai perbandingan bobot elemen. A1 terhadap A2, yakni W1/W2 =A12. Nilai wi/wj dengan i, j = 1,2,3... n didapat dari partisipan, yaitu para stakeholders yang berkompeten dalam permasalahan hutan kota. Bila matriks ini dikalikan dengan vektor kolom W (W1,W2,W3...Wn) maka diperoleh hubungan; AW = nw... (1) Bila matriks A diketahui dan ingin diperoleh nilai W, maka dapat diselesaikan melalui persamaan berikut; [A n I] W = 0... (2) Dimana I = matriks identitas C. Menghitung akar ciri, vektor ciri dan menguji konsistensinya Penghitungan terhadap akar ciri, vektor dan menguji konsistensinya jika tidak konsisten maka pengambilan data diulangi atau dikoreksi. Menghitung akar ciri. Untuk mendapatkan akar ciri (n) maka harus ada kondisi; [A n I ] = 0 Contohnya; dengan menggunakan matriks A, maka: 1 a12 a a21 1 a23 n = 0 a31 a

55 37 1 a21 a31 a12 1 a32 a13 n a n n = 0 Hasil perhitungan akan didapatkan akar ciri; n1, n2, n3. Menghitung vektor ciri, nilai vektor ciri merupakan bobot setiap elemen. Langkah ini untuk mensintesis judgement dalam penentuan prioritas. Untuk menghitung vektor ciri (W), maka akar ciri (n) maksimum hasil penghitungan diatas disubstitusikan dengan persamaan; [A n I] = 0; dengan menggunakan normalisasi W1 + W2 + W3 = 1, sehingga bila didapatkan maksimum = 2,maka perkaliannya menjadi seperti berikut : [ A -n I] W = 0 1 a21 a31 a12 1 a32 Sehingga; 1-2 a21 a31 a a32 a a a13 0 w1 w a23 w2 = w1 0 2 w = 0 1 w3 Di mana pada akhir perhitungan akan diperoleh vektor ciri W1, W2, W3. Vektor tersebut memberikan informasi, pilihan skenario yang paling normal. D. Pehitungan Indeks Konsistensi (CI) Indeks konsistensi untuk menyatakan penyimpangan konsistensi dan menyatakan ukuran tentang kosisten tidaknya suatu penilaian atau pembobotan perbandingan berpasangan, dihitung dengan menggunakan rumus; λ max n CI = n 1 Keterangan : λmax = akar ciri maksimum; n = ukuran matriks Nilai pengukuran konsistensi diperlukan untuk mengetahui kekonsistensian jawaban dari key person yang akan berpengaruh terhadap keabsahan hasil.

56 38 E. Penghitungan Consistensy Ratio (CR) Ratio konsistensi dapat dihitung dengan persamaan : CI CR = RI Di mana nilai RI diperoleh dari table 7 berikut; Ukuran Matriks 1 dan Sumber: Saaty (1993) Indeks Random 0,00 0,58 0,90 1,12 1,24 1,32 1,41 F. Sensitivitas Hasil Analisis AHP Sebagaimana sebuah analisis multikriteria, AHP menurut Triantaphyllou and Sanchez (1997) harus dilengkapi dengan sensitivitas. Analisis sensitivitas ini digunakan untuk dapat melihat range (batasan) perubahan pendapat key person dalam pengambilan keputusan AHP, di mana dengan analisis sensitivitas dapat dilihat komponen/elemen mana dari struktur hierarki yang paling sensitif terhadap perubahan bobotnya sehingga menghasilkan perubahan alternatif.

57 IV. KEADAAN UMUM KABUPATEN BELU 4.1. Letak dan Luas Belu merupakan salah satu kabupaten yang ada di propinsi Nusa Tenggara Timur yang wilayahnya terletak disebelah timur Propinsi tersebut. Posisinya sangat straregis karena berada pada persimpangan negara baru Timor Leste dengan bagian lain propinsi NTT serta pada titik silang antara Kabupaten Flores timur dan Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU). Adapun batas wilayah sebagai berikut : Sebelah Utara berbatasan dengan Selat Ombai Sebelah Selatan berbatasan dengan Laut Timor Sebelah Timur berbatasan dengan Negara Timor Leste Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten TTU dan TTS. Secara geografis Kabupaten Belu terletak pada koordinat 124 o 35 o 12 o Bujur Timur dan 8 o 57 o 49 o Lintang Selatan. Luas wilayah administratif Kabupaten Belu adalah km ( ha) atau 5,16 % luas wilayah propinsi NTT terdiri dari 12 kecamatan, 12 kelurahan dan 154 Desa. Kabupaten Belu dengan posisi yang sangat strategis karena berada pada persimpangan Negara baru Timor Leste ini setelah pengumuman jajak pendapat pada tanggal 4 september 1999, dengan hasil akhir berpisahnya propinsi termudah Timor Timur, membawa dampak yang luar biasa bagi Kabupaten Belu sebagai daerah yang berbatasan langsung. Dengan dideklarasikannya negara baru, Republic Democratic of Timor Leste pada tanggal 20 Mei 2002, membawa suasana baru dimana Kabupaten bukan berbatasan langsung dengan suatu Propinsi tetapi suatu Negara. Keadaan ini membawa implikasi tertentu dengan perubahan yang progresif dan dinamis. Jumlah pengungsi hingga akhir tahun 2001 berjumlah jiwa dan berada pada titik-titik lokasi penampungan yang tersebar di 12 kecamatan. Kondisi wilayah Kabupaten Belu adalah sebagai berikut: 1) Kondisi Fisik Wilaya, khususnya topografi. Secara topografi Kabupaten Belu merupakan daerah datar, berbukit hingga pegunungan. Berdasarkan topografinya berbagai klasifikasi ketinggian yang diperoleh dari luasan dalam prosentase terhadap luas wilayah Kabupaten Belu sebagai berikut: Ketinggian mm seluas Ha ( 40,12 % ) Ketinggian mm seluas Ha ( 39, 12 % )

58 40 Ketinggian mm seluas Ha ( 12, 56 % ) Ketinggian mm seluas Ha ( 7, 03 % ) Ketinggian mm seluas 2300 Ha ( 0,94 % ) ( Pemerintah Kabupaten Belu 2003 ) 2) Geologi. Kondisi geologi di wilayah Kabupaten Belu berdasarkan proses erosional terdiri dari berbagai kelompok batuan yaitu : kelompok metamorfik, sedimen dan batuan beku. Wilayah Kabupaten Belu didominasi oleh material sedimen. Struktur geologi yang umumnya dijumpai adalah sesar(foult), kekar( joints ) dan lipatan (fold) di Kecamatan Malaka Tengah Tasifeto Timur, serta Lamaknen. Dari aspek vegetasi umumnya dihuni oleh padang rumput terbuka dengan kisaran curah hujan rata-rata 1300mm-1400mm/tahun; 3) Jenis Tanah. Jenis tanah di wilayah Kabupaten Belu pada umumnya terdiri dari tanah Alluvial, tanah Campuran Alluvial Litosol, tanah Litosol dan campuran tanah Mediteran, Renzinz, dan Litosol. Jenis tanah Aluvial dijumpai di dataran Besikamam sepanjang pantai selatan dan sedikit di utara dan pada umumnya jenis tanah ini sangat subur karena banyak mengandung unsur hara. Tanah campuran Aluvial dan Litosol dijumpai di dataran Oeroki dan Halilulik. Jenis tanah ini unsur haranya rendah mengakibatkan kurang subur. Tanah litosol tersebar merata di Kabupaten Belu, dengan sifatnya yang asam maka berdampak pada kandungan unsur haranya yang rendah-sedang. Campuran tanah Mediteran, Renzina dan Litosol tersebar diwilayah Kecamatan Malaka Tengah bersifat porous sehingga banyak dijumpai air tanah Hidrologi 1) Air Tanah. Air tanah yang ada di Kabupaten Belu terdiri dari air tanah bebas dan dan air tanah tertekan. Air tanah tertekan berada jauh di dalam tanah dengan lapisan yang kedap air dan pada setiap Kecamatan di Kabupaten Belu banyak kemungkinan di jumpai air tanah tertekan. Sedangkan air tanah bebas umumnya dijumpai di dataran rendah dekat pantai pada endapan alluvial dan dekat dengan permukaan air tanah; 2) Air Permukaan. Air permukaan yaitu air yang melalui permukaan tanah seperti sungai dan mata air. Aliran sungai yang besar umumnya mengalir sepanjang tahun, sedangkan mata air berupa sumur yang kering pada

59 41 musim kemarau. Kedua air permukaan ini dipengaruhi oleh fluktuasi curah hujan. Sungai-sungai besar yang berada di kawasan Kabupaten Belu meliputi; sungai Benenain, Sungai Talau, Sungai Baukama, serta sungai-sungai kecil. Sungai-sungai tersebut mengalir ke arah selatan dan utara Kabupaten Belu. Sungai yang kering di musim kemarau terjadi akibat fluktuasi curah hujan dan dikontrol oleh geologi dan morfologi wilayah Iklim Iklim di Kabupaten Belu pada umumnya kering (semi arid) dengan musim hujan yang sangat pendek terjadi selama bulan Nopember-Maret dan musim kemarau antara bulan April Oktober setiap tahun. Curah hujan di Kabupaten Belu rata-rata mm/tahun yang berlangsung singkat yaitu selama bulan Nopember-Maret dengan jumlah hari hujan berkisar antara hari setahun dengan rata-rata suhu udara harian antara C Vegetasi Tipe vegetasi di Kabupaten Belu sangat beragam, mencakup hampir semua tipe Vegetasi yang terdapat di Pulau Timor. Tipe-tipe vegetasi yang penting adalah hutan pegunungan tropik (tropical montain forest), hutan musim tropik (tropical monsoon forest), belukar, hutan terpencar, sarana dan vegetasi budidaya. Berdasarkan vegetasi yang ada terdiri dari beberapa komunitas dangan jenis vegetasi yaitu : 1) Komunitas hutan pegunungan tropis di wilayah Kabupaten Belu terdapat di satuan kawasan pegunungan Lakaan yang membentang dari Utara hingga Selatan wilayah daratan tipe-tipe vegetasi hutan yang merupakan catchment area. 2) Komunitas Tumbuhan Hutan Pantai, Komunitas Hutan pantai yang ada di sekitar pesisir pantai utara dan pantaiselatan terdiri atas tumbuhan Bakau. 3) Komunitas Tumbuhan Pemukiman, Tumbuhan yang ditemui di daerah pusat kota, terdiri dari bermacam-macam jenis tanaman budidaya yaitu: a) Tanaman pelindung seperti:tanaman Hias misalnya; Bougenville, Evrygreen,dan sebagainya. b) Tanaman buah-buahan seperti mangga, jeruk,jambu-jambuan, asam kelapa dan sebagainya.

60 Kondisi Sosial Ekonomi Budaya Penduduk Penduduk menjadi dasar untuk melakukan kegiatan perencanaan pembangunan, karena dengan memperhatikan kondisi penduduk akan dapat dilakukan perkiraan kebutuhan penduduk terhadap ketersediaan fasilitas penunjangnya. Kondisi penduduk Kabupaten Belu pada tahun 1990 sebanyak jiwa dan pada tahun 2002 meningkat menjadi jiwa. Hal ini berarti bahwa selama 9 tahun terakhir ini penduduk Kabupaten Belu telah bertambah rata-rata jiwa atau 1,76 % tiap tahunnya. Sedangkan kepadatan penduduk per km 2 terus meningkat yakni 88,3 km 2 pada tahun 1990 menjadi 118,61 km 2 pada tahun Dengan kepadatan tertinggi di Kecamatan Kota Atambua yakni sebesar jiwa km 2, sedangkan kepadatan terendah di Kecamatan Kakuluk Mesak yakni sebesar 43,60 jiwa/km 2. Pada periode tahun , rata-rata laju pertumbuhan penduduk Kabupaten Belu. Laju pertumbuhan penduduk Kabupaten Belu perkecamatan Tahun 2001 dan 2002 disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Laju Pertumbuhan Penduduk Kabupaten Belu Perkecamatan tahun 2001 dan tahun 2002 Penduduk (Orang) Laju No Kecamatan Pertumbuhan ( % Tahun ) 1 Lamaknen ,042 2 TASTIM ,018 3 RAIHAT ,188 4 TASBAR ,052 5 Kakaluk Mesak ,128 6 Kota Atambua ,097 7 Malaka Timur ,038 8 Kobalima ,036 9 Malaka Tengah , Sasitamean , Malaka Barat , Rinhat ,068 TOTAL ,163 Sumber BPS KABUPATEN Belu, SP 2000 DAN 2001 Jumlah penduduk menurut SP 2002 yaitu jiwa dengan laju pertumbuhan 0,163 %. Dilihat dari persebaran penduduk di Kabupaten Belu menunjukkan adanya pertumbuhan penduduk pada 6 (enam) Kecamatan,

61 43 sedangkan untuk 7 (tujuh) Kecamatan terjadi penurunan jumlah penduduk (pertumbuhan penduduk di bawah 0 % ) Budaya Masyarakat Kabupaten Belu dalam susunan masyarakatnya terbagi atas 4 sub etnis besar yaitu: Tetun, Kemak,Bunaq dan Dawan Manlea. Keempat sub etnis mendiami lokasi-lokasi dengan karakreristik tertentu dengan kekhasan penduduk mayoritas penganut agama kristen katolik. Masing-masing etnik tersebut mempunyai bahasa masing-masing sebagai berikut : Bahasa tetun, Bahasa Kemak, Bahasa Bunaq, dan Bahasa Dawan Manlea, dan mempunyai buidaya yang berbeda satu sama lain. Masyarakat Belu dapat dengan mudah hidup rukun karena aspek-aspek kesamaan kesamaan spesifik. Mata pencaharian utama adalah bertani dan beternak yang masih dikerjakan secara intensif tradisional (data pokok). Kondisi sosial masyarakat masih cukup bersahabat sebab dari arti kata Belu berarti Sahabat. Nama ini juga tercermin dari teguhnya kebersamaan dalan beraktivitas meskipun dengan heterogennya masyarakat di Kabupaten Belu. Semangat kebersamaan terekspresi dari pola gotong royong dari masyarakat Belu yang masih dibudayakan pada semua sektor. Kekuatan hukum adat masih sangat dipegang dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga rencana apapun yang direncanakan lewat sesepuh adat tersebut lebih besar kemungkinan untuk berhasil (monografi Kabupaten Daerah TK II Belu sekretariat wilayah/ Daerah tingkat II Belu 1985) Kondisi Hutan Kota Makam Pahlawan ini merupakan makam para pahlawan yang berada di Kabupaten Belu yang memberikan nilai sejarah/historis. Khususnya bagi para pahlawan yang telah berjuang bagi Propinsi yang ke 27 bagi negara Indonesia yaitu Timor-Timur yang sekarang ini merupakan Negara baru, yaitu Democratic of Timor Leste. Makam pahlawan ini terletak di Kelurahan Manumutin dan berada pada jalur menuju Bandara Haliwen yang merupakan perhatian bagi seluruh kelayak. Tanaman yang terdapat di makam pahlawan adalah tanaman semak dan rumput.

62 44 Gambar 6. Taman Makam Pahlawan Seroja Haliwen Jalur Hijau Jalan Tugu Gerbades Jalur hijau menuju Gerbades adalah jalan Tugu Gerbades menuju kantor Bupati yang merupakan jalur protokol. Tanaman yang ada pada jalur hijau ini adalah Evry Green, Bougenvile Bonsai, dan jenis bunga yang melata. Jalur ini panjannya 1500 m dan merupakan pusat aktivitas perkantoran dan perumahan Kodim. Sebelah kiri jalan Anggsono, Mangga, Bogenvile dan Pisang. Sebelah kanan jalan kelapa, Pisang, Angsono, Bogenvile, Nangka, Jeruk. Jalu hijau jalan tugu Gerbades disajikan pada Gambar 7. Jalur Hijau menuju Rumah Jabatan Bupati dan Wakil Bupati. jalan Gajah Mada merupakan pusat perhatian bagi seluruh masyarakat Belu maupun bagi semua pendatang dari berbagai penjuru di wilayah indonesia maupun dari manca negara. Jalur ini panjangnya mencapai 500 meter. Tanaman yang ada di tengah yaitu; Bogenvile, Anggsono, Gelondongan. Bagian kiri jalan terdapat jenis tanaman jeruk, mangga, kelapa, pisang anggsono. Bagian kanan jalan terdapat jenis tanaman mangga, bluntas, angsono, jeruk. Jalur hijau menuju rumah jabatan Bupati dan Wakil Bupati disajikan pada Gambar 8.

63 45 Gambar 7. Jalur Hijau Tugu Gerbades Gambar 8. Jalur menuju Rumah Jabatan Bupati

64 46 Jalur Hijau menuju Bandara merupakan pusat perhatian bagi seluruh masyarakat Belu maupun bagi semua para tamu yang akan menggunakan jasa penerbangan dari berbagai penjuru di wilayah indonesia maupun dari manca negara. Jalur ini panjangnya 1000 meter. Tanaman yang ada di tengah yaitu; Bogenvile, anggsono, Gelondongan. Bagian kiri jalan terdapat jenis tanaman jeruk, mangga, kelapa, pisang anggsono. Bagian kanan jalan terdapat jenis tanaman mangga, bluntas, angsono, jeruk. Jalur hijau menuju bandara disajikan pada Gambar 9. Gambar 9. Jalur Hijau menuju Bandara Hutan Industri terletak di wilayah kelurahan Fatukbot dan wilayah desa Naekasa. Luasnya 100 ha, dengan jenis tanaman yaitu jati dan mahoni. Hutan sudah ada sejak zaman belanda kemudian di lanjutkan oleh pemerintahan Swapraja dan dikembangkan oleh pemerintah daerah tingkat II Belu. Hutan ini letaknya di pintu gerbang masuk ibu kota Kabupaten Belu yang mempunyai nilai estetika sendiri Kantor Bupati terletak di puncak kota Atambua yang memberikan kesan cukup nyaman, dihiasi taman yang luasnya 500 meter. Jenis tanaman yang

65 47 dibudidayakan seperti evrygreen, pohon bonsai, dan jenis rerumputan dan semak yang membuat nuansa kantor menjadi lebih menyenangkan untuk beraktifitas. Profil Kantor Bupati Kabupaten Belu disajikan pada Gambar 10. Gambar 10. Taman Kantor Daerah TK II Belu

66 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Luas Hutan Kota Berdasarkan Inmendagri No. 14 Tahun 1988 dan Peraturan Pemerintah No. 63 Tahun 2002 Penentuan Kebutuhan Hutan Kota di Kabupaten Belu mengacu kepada Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 14 Tahun 1988 yang menyatakan bahwa 40 % dari Wilayah Kota harus merupakan kawasan hijau. Dengan demikian luas kawasan hijau yang diperlukan di Kabupaten Belu semestinya adalah 97,822 ha, dari total luas wilayah Kabupaten Belu seluas ha. Jika mengacu kepada Peraturan Pemerintah No. 63 Tahun 2002 yang menyatakan bahwa luasan hutan kota minimal 10 % dari luas seluruh kawasan kota, berarti Kabupaten Belu harus menyediakan lahan untuk hutan kota minimal 24,455 ha. Segala aktifitas kehidupan terutama di daerah perkotaan tidak lepas dari produksi CO 2, dan penghasil yang paling banyak adalah kendaraan bermotor, Industri dan manusia. Manusia mengeluarkan CO 2 lewat proses pernapasan atau respirasi. Sedangkan Industri mengeluarkan CO 2 lewat sisa pembakaran dan untuk kendaraan bermotor mengeluarkan lewat gas yang dikeluarkannya Estimasi CO 2 Penduduk di Kabupaten Belu Karbondioksida yang dihasilkan Penduduk Tahun 2003 Jumlah karbondioksida yang dihasilkan oleh manusia Menurut Grey and Deneke (1976) setiap jam 1 ha daun-daun hijau menyerap 8 kg CO 2 yang ekuivalen dengan CO 2 yang dihembuskan oleh napas manusia sekitar 200 orang dalam waktu yang sama sebagai hasil pernapasannya. Dengan kata lain setiap manusia akan menghembuskan CO 2 sebanyak 0,96 kg/hari ke udara bebas. Penyebaran penduduk pada setiap kecamatan, maka kawasan yang memiliki jumlah penduduk tertinggi berada di wilayah Kabupaten Belu tepatnya Kecamatan Kota Atambua sebanyak jiwa. Dari populasi sejumlah tersebut, karbondioksida yang dihasilkan sebesar ,360 kg/hari pada tahun Peta penyebaran penduduk dan karbondioksida yang dihasikan Kabupaten Belu tahun 2003 disajikan pada Gambar 11 dan 12.

67 49 Gambar 11. Peta Penyebaran Penduduk Kabupaten Belu Tahun 2003 Gambar 12. Peta Penyebaran Karbondioksida yang Dihasilkan Penduduk di Kabupaten Belu Tahun 2003.

68 bel Gambar 11 dan 12 dapat dilihat bahwa penyebaran kecamatan yang memiliki jumlah penduduk tinggi dapat menghasilkan karbondioksida yang cukup tinggi. Konsentrasi karbondioksida tertinggi berdasarkan analisis di setiap kecamatan yaitu kecamatan kota Atambua ( kg/hari). Sedangkan konsentrasi terendah terdapat di kecamatan Rinhat (12.589,44 kg/hari). Jumlah penduduk kabupaten Belu Per Kecamatan tahun 2003 disajikan pada Lampiran Perkiraan Karbondioksida yang dihasilkan Penduduk Tahun 2006, 2010, 2015, dan Berdasarkan data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah penduduk kabupaten Belu tahun 2003 tercatat sebanya jiwa. Kepadatan penduduknya mencapai 1,498 % jiwa per ha. Sedangkan berdasarkan hasil analisis data diketahui laju perkembangan penduduk rata-rata kabupaten Belu tahun , yaitu sebesar % per tahun. Berdasarkan data penduduk tersebut, dapat diperkirakan jumlah penduduk dan karbondioksida yang dihasilkan penduduk per kecamatan, tahun 2006, 2010, 2015, dan 2020, dengan menggunakan metode persamaan bunga berganda dan perhitungan karbondioksida. Tahun 2006 diperkirakan jumlah penduduk kabupaten Belu mencapai jiwa dengan karbodioksida yang dihasilkan sebesar kg/hari. Perkiraan jumlah penduduk kabupaten Belu tahun 2006,2010,2015, 2020 disajikan pada Tabel 9 dan perkiraan karbondioksida yang dihasilkan penduduk kabupaten Belu tahun 2006, 2010, 2015, dan 2020 secara rinci disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Prediksi Jumlah Penduduk di Kabupaten Belu Per Kecamatan Tahun 2006, 2010,2015, dan 2020 No Kecamatan Prediksi Penduduk (jiwa) Lamaknen TASTIM RAIHAT TASBAR Kakaluk Mesak Kota Atambua Malaka Timur Kobalima Malaka Tengah

69 51 Lanjutan Tabel 8 No Kecamatan Prediksi Penduduk (jiwa) Sasitamean Malaka Barat Rinhat Tatal Berdasarkan data penduduk tersebut dapat diperkirakan jumlah penduduk dan Estimasi CO 2 penduduk perkecamatan di kabupaten Belu tahun 2006, 2010, 2015 dan Prediksi jumlah penduduk pada tahun 2020 jumlah penduduk diperkirakan mencapai jiwa, dengan perkiraan CO 2 sebanyak ,664 kg /hari (72,62 %) (Lampiran 13). Grafik perkiraan jumlah penduduk dan grafik perkiraan jumlah penduduk dan grafik perkiraan CO 2 penduduk perkecamatan tahun 2003, 2006, 2010, 2015, dan 2020 dapat dilihat pada Gambar 13 dan Gambar 14. Perkiraan Peningkatan Jumlah Penduduk di Kabupaten Belu 300,000 Jumlah Penduduk (jiwa) 250,000 Lamaknen TASTIM Raihat 200, , ,000 50, Tahun TASBAR Kakuluk Mesak Kota Atambua Malaka Timur Kobalima Malaka Tengah Sasitamean Malaka Barat Rinhat Gambar 13. Grafik peningkatan jumlah penduduk di Kabupaten Belu Tahun 2003, 2006, 2010, 2015, dan 2020.

70 52 Pekiraan Peningkatan Karbondioksida yang dihasilkan di Kabupaten Belu Jumlah CO2 yang dihasilkan (kg/hr) 800, , , , , , , , Tahun Lamaknen TASTIM Raihat TASBAR Kakuluk Mesak Kota Atambua Malaka Timur Kobalima Malaka Tengah Sasitamean Malaka Barat Rinhat TOTAL Gambar 14. Grafik jumlah karbondioksida yang dihasilkan penduduk di Kabupaten Belu Tahun 2003, 2006, 2010, 2015, dan Pada Gambar 14, dapat dilihat bahwa bahwa produksi CO 2 di kabupaten Belu dari tahun 2003 hingga tahun 2020 menunjukkan kecenderungan semakin meningkat. Peningkatan tersebut sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk seperti terlihat pada Gambar 13 terutama di kecamatan kota Atambua, Malaka Barat dan Malaka Tengah Estimasi CO 2 Kendaraan Bermotor. a) Produksi CO 2 kendaraan bermotor tahun Selain manusia, kendaraan bermotor juga mengeluarkan CO 2 berupa gas yang dikeluarkan lewat sisa-sisa pembakaran dalam aktifitasnya. Jumlah karbondioksida yang dihasilkan sangat tergantung kepada waktu penggunaan mesin, jenis mesin, dan jenis bahan bakar yang digunakan. Kendaraan bermotor memproduksi CO 2 dalam jumlah yang cukup besar. Oleh sebab itu pengeluaran CO 2 oleh kendaraan bermotor penting diperhatikan. Untuk menghitung jumlah

71 53 CO 2 yang dikeluarkan oleh kendaraan bermotor, harus diketahui terlebih dahulu jumlah dan jenis kendaraan bermotor seperti terlihat pada Tabel 9. Tabel 9. Jumlah kendaraan bermotor di Kabupaten Belu, Tahun Kendaraan Kendaraan Kendaraan Sepeda Tahun Penumpang Bus Beban Motor Jumlah Rata-rata laju Perkembangan (%) 0,819 0,458 0,512 4,670 6,459 Sumber : Dinas Perhubungan Kabupaten Belu, Tabel 9 menunjukkan bahwa jumlah kendaraan bermotor selalu mengalami peningkatan setiap tahunnya dengan rata- rata presentase laju perkembangan kendaraan bermotor sebesar 6,459 %. Jenis kendaraan bermotor yang mempunyai rata-rata laju perkembangan tertinggi yaitu sepeda motor yakni sebesar 4,670 %. Peta penyebaran kendaraan bermotor di kabupaten Belu tahun 2003 dapat dilihat pada Gambar 15.

72 54 Gambar 15. Peta Penyebaran Kendaraan Bermotor Kabupaten Belu Tahun 2003 Gambar 16. Peta Penyebaran Karbondioksida yang dihasilkan Kendaraan Bermotor di Kabupaten Belu Tahun 2003

73 55 Pada Gambar 15 menunjukkan bahwa jumlah kendaraan tertinggi terdapat di kecamatan Kota Atambua, dengan jenis kendaraan bermotor perkecamatan di Kabupaten Belu tahun 2003 dapat dilihat pada lampiran 4. Perkiraan CO 2 yang dikeluarkan oleh kendaraan bermotor di kabupaten Belu tahun 2003 yaitu ,22. Kg/hari dengan produksi CO 2 tertinggi yaitu ,36 di Kecamatan Kota Atambua (Lampiran 14) dan Peta penyebaran karbondioksida tahun 2003 pada Gambar 16. b). Perkiraan/Esetimasi Jumlah CO 2 Kendaraan bermotor Tahun 2006, 2010, 2015 dan Berdasarkan rata-rata presentase laju kendaraan bermotor dapat diperkirakan jumlah kendaraan bermotor tahun 2006, 2010, 2015 dan Jumlah kendaraan bermotor menunjukkan kecenderungan semakin meningkat terutama jenis kendaraan sepeda motor. Data pada pada tahun 2003 jumlah sepeda motor yaitu 4835 buah, sedangkan pada tahun 2020 diperkirakan akan meningkat menjadi buah. Perkiraan jumlah masing- masing jenis kendaraan bermotor perkecamatan di kabupaten Belu tahun 2006, 2010, 2015 dan 2020 dapat dilihat pada Lampiran 14. Grafik perkiraan jumlah kendaraan bermotor di kabupaten Belu tahun 2006, 2010, 2015 dan 2020 dapat dilihat pada Gambar 17 dan peningkatan jumlah karbondioksida dapat dilihat pada Gambar 18. Perkiraan Peningkatan Jumlah Kendaraan Bermotor di Kabupaten Belu Jumlah Kendaraan Bermotor (unit) 450, , , , , , , ,000 50, Tahun Lamaknen TASTIM Raihat TASBAR Kakaluk Mesak Kota Atambua Malaka Timur Kobalima Malaka Tengah Sasitamean Malaka Barat Rinhat Gambar 17. Grafik Perkiraan jumlah kendaraan bermotor Per Kecamatan di Kabupaten Belu Tahun 2003, 2006, 2010, 2015, dan 2020

74 56 Perkiraan Peningkatan Karbondioksida yang dihasilkan di Kabupaten Belu Jumlah CO2 yang dihasilkan (kg/hr) 1,500,000 1,200, , , , Tahun Lamaknen TASTIM Raihat TASBAR Kakaluk Mesak Kota Atambua Malaka Timur Kobalima Malaka Tengah Sasitamean Malaka Barat Rinhat TOTAL Gambar 18. Grafik Perkiraan Jumlah karbondioksida yang dihasilkan kendaraan bermotor per Kecamatan di Kabupaten Belu Tahun 2003, 2006, 2010, 2015, dan 2020 Pada Gambar 17 dapat diketahui bahwa jumlah kendaraan bermotor selalu meningkat dari tahun 2003 hingga tahun 2020 yang dipacu oleh pertumbuhan sepeda motor yang cukup pesat. Sedangkan grafik perkiraan jumlah CO 2 yang dikeluarkan oleh kendaraan bermotor dapat dilihat pada Gambar 18. melalui Gambar 18 dapat diketahui bahwa jumlah CO 2 kendaraan bermotor selalu mengalami peningkatan per kecamatan di Kabupaten Belu Tahun 2003, 2006, 2010, 2015, dan 2020 dapat dilihat pada Lampiran Estimasi karbondioksida yang dihasilkan dari industri a). Karbondioksida yang dihasilkan Industri Tahun 2003 Salah satu penyumbang karbondioksida dalam jumlah besar di Kota Atambua berasal dari kegiatan Industri, hasil dari pembakaran bahan bakar penggerak mesin yang digunakan dalam proses Industri tersebut. Selain sebagai pusat Pemerintahan dan jasa, kota di Kabupaten Belu juga dikembangkan sebagai salah satu kawasan Industri untuk menopang pembangunan ekonomi Daerah dan Nasional. Data jumlah Indutri yang digunakan dalam peneltian ini adalah Industri yang termasuk dalam kategori Industri besar dan sedang, tidak termasuk Industri kecil dan rumah tangga. Berdasarkan data yang diperoleh dari PERINDAG

75 57 diketahui bahwa laju perkembangan Industri rata-rata dari tahun di Kabupaten Belu mengalami peningkatan. Jika dilihat berdasarkan penyebaran per kecamatan, maka di Kabupaten Belu yang mempunyai jumlah Industri paling tinggi adalah Kecamatan Kota Atambua sebanyak 29 Industri. Jumlah Industri di Kabupaten Belu tahun 2003 disajikan pada lampiran 6, sedangkan peta penyebaran industri tahun 2003 disajikan pada Gambar 14. Berdasarkan data yang diperoleh dari PERNDAG/Kabupaten Belu bahan bakar dominan yang digunakan oleh Industri besar-sedang di kabupaten Belu yaitu: minyak solar, minyak bensin, minyak tanah. Hasil analisis menunjukkan bahwa di kabupaten Belu, yang menghasilkan karbondioksida paling tinggi dari kegiatan Industri pada tahun 2003 dijumpai pada kecamatan Kota Atambua sebanyak ,2 kg per hari. Karbondioksida yang berasal dari Industri Kabupaten Belu tahun 2003 disajikan pada Lampiran 6. Sedangkan peta penyebaran karbondioksida disajikan pada Gambar 19.. Gambar 19. Peta Penyebaran Industri Kabupaten Belu Tahun 2003

76 58 Gambar 20. Peta Penyebaran Karbondioksida yang dihasilkan Industri di Kabupaten Belu Tahun 2003 b). Perkiraan Jumlah Industri Tahun 2006, 2010, 2015, dan Diperkirakan pada tahun 2006 jumlah Industri paling tinggi yaitu di Kecamatan Kota Atambua (140 Industri), dengan karbondioksida yang dihasilkannya sebanyak ,24 kg per hari. Berdasarkan hasil perhitungan, diperkirakan bahwa pada tahun 2020 kecamatan yang mempunyai jumlah industri yang paling tinggi di Kabupaten Belu yaitu Kecamatan Kota Atambua (658 Industri) dengan karbondoksida yang dihasilkan sebanyak ,3 kg per hari. Perkiraan jumlah dan karbondioksida yang dihasilkan Kabupaten Belu per Kecamatan Tahun 2006, 2010, 2015, dan 2020 disajikan pada Lampiran 7. Berdasarkan hasil perkiraan dapat dilihat bahwa di Kabupaten Belu jumlah karbondiksida yang dihasilkan dari kegiatan Industri sampai dengan tahun 2020 terus mengalami peningkatan dari tahun-tahun sebelumnya. Tahun 2006 diperkirakan jumlah industri di kabupaten Belu mencapai 140 Industri dengan karbondiokida yang dihasilkan sebanyak ,24 kg/hari. Sampai dengan tahun 2020 diperkirakan jumlah Industri bertambah menjadi 658 Industri, dengan karbondioksida yang dihasilkan sebanyak ,3 kg/hari. Jumlah dan

77 59 karbondioksida yang dihasilkan Industri di Kabupaten Belu tahun 2003, 2006, 2010, 2015, dan 2020 disajikan pada Gambar 21 dan 22 (Grafik). Perkiraan Peningkatan Jumlah Industri di Kabupaten Belu Jumlah Industri (unit) Tahun Lamaknen TASTIM Raihat TASBAR Kakuluk Mesak Kota Atambua Malaka Timur Kobalima Malaka Tengah Sasitamean Malaka Barat Rinhat Gambar 21. Grafik Perkiraan peningkatan jumlah industri per Kecamatan di Kabupaten Belu Tahun 2003, 2006, 2010, 2015, dan 2020 Perkiraan Peningkatan Karbondioksida yang dihasilkan di Kabupaten Belu Jumlah CO2 yang dihasilkan (kg/hr) 90,000,000 80,000,000 70,000,000 60,000,000 50,000,000 40,000,000 30,000,000 20,000,000 10,000,000 Lamaknen TASTIM Raihat TASBAR Kakuluk Mesak Kota Atambua Malaka Timur Kobalima Malaka Tengah Sasitamean Malaka Barat Rinhat Tahun Gambar 22 Grafik Perkiraan jumlah karbondioksida yang dihasilkan industri di Kabupaten Belu Tahun 2003, 2006, 2010, 2015, dan 2020

78 Luas Hutan Kota Berdasarkan Jumlah CO Kebutuhan Luas Hutan Kota Tahun Berdasarkan data jumlah CO 2 berasal dari penduduk, kendaraan bermotor, industri di kabupaten Belu dapat dihitung berapa luas hutan kota yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan hutan kota di Kabupaten Belu tahun Dari hasil perhitungan luas hutan kota berdasarkan jumlah CO 2 diketahui bahwa luas hutan kota yang dibutuhkan di Kabupaten Belu tahun 2003 yaitu 9.258,434 ha. Secara spesifik Kecamatan yang membutuhkan hutan kota terluas yaitu Kecamatan Kota Atambua yakni 5.959,244 ha, karena Kecamatan Kota Atambua merupakan pusat seluruh aktifitas untuk Kabupaten Belu. Kebutuhan luas hutan kota per kecamatan di Kabupaten Belu tahun 2003 disajikan pada Lampiran 8. Masing-masing daerah mempunyai kebutuhan hutan kota berbeda-beda sesuai dengan jumlah CO 2 total di daerah tersebut. Namun realita yang berlangsung terkadang luas hutan kota yang terdapat di suatu kawasan tidak sesuai dengan luas daerah yang ada karena mempunyai jumlah CO 2 yang cukup tinggi di daerah tersebut. Rasio antara luas hutan kota dengan luas daerah keseluruhan dengan unit perkecamatan di kabupaten Belu tahun 2003 menurut rasio luas hutan kota yang dibutuhkan dengan luas daerah yang ada dapat dilihat pada Lampiran 18.

79 61 Gambar 23. Peta Penyebaran Kebutuhan Hutan Kota di Kabupaten Belu Tahun 2003 Gambar 24. Peta Penggunaan Lahan di Kabupaten Belu Tahun 2003

80 62 Gambar 23 dapat diketahui bahwa Kecamatan Kota Atambua mempunyai ratio kebutuhan hutan kota yang cukup tinggi. Hal ini karena kecamatan tersebut merupakan daerah pusat kota yang jumlah CO 2 lebih banyak dari daerah lainnya. Keadaan ini berarti luas hutan kota yang dibutuhkan melebihi luas kecamatan yang ada. Dari data citra Kabupaten Belu Tahun 2003 dapat dilakukan klasifkasi terhadap hutan kota, berdasarkan Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang ada melalui perhitungan Ratio antara luas RTH dengan luas daerah dengan unit per kecamatan di Kabupaten Belu (Gambar 24) Dari Gambar 24 dapat dilihat bahwa daerah yang mempunyai ratio ketersediaan hutan kota tertinggi yaitu Kecamatan Malaka Timur dengan spesifik semak belukar dan perkebunan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sebagian besar hutan kota yang ada di kabupaten Belu berada di kawasan pinggir kota. Sedangkan hutan kota yang sebenarnya dibutuhkan terutama di daerah pusat kota. Oleh sebab itu perlu pengembangan hutan kota di daerahdaerah pusat kota Estimasi Kebutuhan Luas Hutan Kota Tahun 2006, 2010, 2015, dan Berdasarkan data dari luas hutan kota di perkirakan kebutuhan luas hutan kota untuk tahun 2006 yaitu ,092 ha (4,419 %), tahun 2010 yaitu ,505 ha (9,053 %), tahun 2015 yaitu ,123 ha (14,899% ) dan tahun 2020 yaitu ,666 ha (20,770 %). Secara rinci perkiraan luas hutan kota per kecamatan di kabupaten Belu tahun 2006, 2010, 2015, dan 2020 dapat dilihat pada Lampiran 17. Sedangkan peta perkiraan kebutuhan luas hutan kota menurut ratio kebutuhan luas hutan kota dengan luas daerah dapat dilihat pada Gambar 25, 26, 27, dan 28.

81 63 Gambar 25. Peta Perkiraan Kebutuhan Hutan Kota di Kabupaten Belu Tahun 2006 Gambar 26. Peta Perkiraan Kebutuhan Hutan Kota di Kabupaten Belu Tahun 2010

82 64 Gambar 27. Peta perkiraan Kebutuhan Hutan Kota di Kabupaten Belu Tahun 2015 Gambar 28. Peta Perkiraan Kebutuhan Hutan Kota di kabupaten Belu Tahun 2020

83 65 Pada Gambar 25, 26, 27, dan, 28 menunjukkan bahwa dari tahun 2003 hingga 2020 kebutuhan luas hutan kota semakin meningkat terutama di daerah atau Kecamatan Kota Atambua karena memilki luas wilayah yang sangat sedikit dan merupakan pusat segala aktifitas perekonomian akibat terjadi pengalihan fungsi lahan. Luas hutan kota yang dibutuhkan harus mempertimbangkan luas daerah. Rasio antara luas kebutuhan hutan kota dengan luas daerah dengan unit per kecamatan di Kabupaten Belu dapat dilihat pada Lampiran 9. Perkiraan kebutuhan luas hutan kota ini menggunakan asumsi bahwa pertambahan jumlah penduduk, kendaraan bermotor, dan industri yang tidak mengurangi luas hutan kota yang ada, tetapi di tanah-tanah kosong bekas perladangan atau sawah dan juga di daerah rawa atau semak yang Belum di manfaatkan. Grafik perkiraan kebutuhan hutan kota masing- masing kecamatan di Kabupaten Belu tahun 2003, 2006,2010, 2015, dan 2020 dapat dilihat pada Gambar , , , , , , , , , , Lamaknen TASTIM RAIHAT TASBAR Kakaluk Mesak Kota Atambua Malaka Timur Kobalima Malaka Tengah Sasitamean Malaka Barat Rinhat Kecamatan Gambar 29. Grafik perkiraan kebutuhan hutan kota perkecamatan di Kabupaten Belu tahun 2003, 2006, 2010, 2015, dan 2020.

84 Analisa Pengembangan Hutan Kota Menurut data dari Dinas Kehutanan (2003) diketahui bahwa luas RTH Kabupaten Belu yaitu ,57 ha (6,94 %) yang terdiri dari hutan lindung ,97 ha (74,70 %), hutan suaka margasatwa 4.699,32 ha (6,77 %), hutan konservasi 1.140,00 ha (4,60 %), hutan produksi 3.189,28 ha (1,64 %), cagar alam 8.531,00 ha(11,29 %). Secara rinci luas RTH dan hutan kota yang ada di Kabupaten Belu dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10. Luas Ruang Terbuka Hijau dan Hutan kota di Kabupaten Belu Ruang Terbuka Hijau Luas Hutan Kota Hutan lindung ,97 Hutan Suaka 4.699,32 Margasatwa Hutan Konservasi 1.140,00 Hutan Produksi 3.189,28 Cagar Alam 8.531,00 Total ,57 Berdasarkan Tabel di atas Luas hutan kota yang ada ini melebihi perkiraan kebutuhan luas hutan kota untuk tahun 2003 yakni 9.258,434 ha (9,258 % ), sedangkan tahun 2020 yakni ,666 ha (20,77 %), sehingga pengembangan hutan kota harus dilakukan mengingat jumlah populasi penduduk yang terus bertambah serta perkembangan dan pembangunan kota yang selalu meningkat yang akan mengakibatkan perubahan penggunaan lahan bervegetasi untuk pembangunan fisik kota. Berdasarkan data dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Belu Tahun 2004 mengenai penggunaan lahan di Kabupaten Belu, diketahui bahwa luas kawasan terbangun di kabupaten Belu yaitu ha (4,95 %) dari luas kabupaten Belu. Wilayah kabupaten Belu yang terbangun yaitu ,764 ha ( 20,85 % ) dari luas kabupaten Belu. Wilayah kabupaten Belu yang belum terbangun sebagian besar merupakan hutan yaitu ha (6,33%) dan selebihnya merupakan sawah, kebun campuran, semak belukar, padang rumput dan ladang. Kawasan hutan tersebut sebagian kecil terdapat di pusat ibu kota kabupaten, selebihnya banyak terdapat di kawasan atau daerah pinggir kota. Berdasarkan hasil analisis kebutuhan luas hutan kota tahun 2003 kebutuhan luas hutan kota untuk menyerap karbondioksida yang dihasilkan dari

85 67 aktifitas penduduk, kendaraan bermotor dan industri di kabupaten Belu maka luas huta kota yang ada diperkirakan masih mencukupi namun masih sangat perlu menambah luasan hutan kota. Supaya karbondioksida yang dihasilkan dari penduduk, kendaraan bermotor dan industri dapat diserap secara optimal di suatu daerah maka diperlukan hutan kota yang cukup di daerah tersebut. Tetapi upaya pengendalian ruang terbuka hijau untuk mengatasi pencemaran udara tersebut tidak mutlak harus dilakukan dengan perluasan wilayah kota atau penambahan ruang terbuka hijau. Berdasarkan hasil analisis menunjukkan bahwa pada tahun 2003 jumlah karbondioksida yang dihasilkan oleh penduduk lebih tinggi bila dibandingkan dengan kendaraan bermotor dan industri.dimana karbondioksida yang dihasilkan penduduk sebesar ,80 kg per hari dan karbondioksida yang dihasilkan kendaraan bermotor yakni ,22 kg per hari,sedangkan karbondioksida yang dihasilkan oleh industri yakni ,480 kg per hari.tingginya jumlah karbondioksida yang dihasilkan oleh penduduk karena pertumbuhan jumlah penduduk yang semakin meningkat dan tingginya jumlah karbondioksida yang dihasilkan oleh kendaraan bermotor disebabkan oleh tingkat emisi karbondioksida yang dihasilkan oleh kendaraan bermotor terutama kendaraan beban dan kendaraan bus sedangkan karbondioksida yang dikeluarkan oleh industri jumlahnya masih sangat kecil karena jumlah industri yang ada relatif sedikit. Alternatif untuk menanggulangi permasalahan hutan kota adalah dengan menekan laju pertumbuhan penduduk, penghematan dalam penggunaan bahan bakar yang lebih ramah lingkungan dan menekan laju pertumbuhan kendaraan bermotor yang ada di Kabupaten Belu. Alternatif ini mungkin akan sangat sulit untuk dilakukan karena belum adanya aturan dalam hal pembatasan kepemilikan kendaraan bermotor. Selain itu apabila perkembangan kendaraan bermotor dihambat, maka akan menimbulkan kerugian yang sangat besar bagi masyarakat, karena aktifitas sosial ekonomi masyarakat akan terganggu. Oleh karena itu untuk mengatasi hal tersebut upaya yang dapat dilakukan adalah dengan mengoptimalisasikan tinggi hutan kota yang ada terutama di daerah yang mempunyai tingkat kepadatan penduduk dan juga kepemilikan kendaraan bermotor yang tinggi, serta di daerah yang ditujukan untuk kawasan industri. Hal ini bisa dilakukan dengan cara menambah luasan ataupun ataupun dengan

86 68 menanam jenis- jenis tanaman yang memiliki kemampuan tinggi dalam menyerap karbondoksida dan menghasilkan oksigen. Widyastan (1991) dalam Dahlan (1992) menyatakan bahwa tanaman yang baik sebagai penyerap CO 2 Damar (Agathis alba), Daun kupu-kupu (Bauchinia purpurea), Lamtoro gung (Leucaena leucephala), Akasia (Acacia auriculiformis), dan Beringin (Ficus benjamina). Sedangkan menurut Sugiharti (1998) dalam Dahlan (2004) mengatakan bahwa Kaliandra (Calliandra sp.), Flamboyan (Delonix Regia), dan Kembang Merak (Caesalpinia pulcherrima) merupakan tanaman yang efektif dalam menyerap gas CO 2 dan sekaligus tanaman tersebut relatif kurang terganggu oleh pencemaran udara. Selain itu bentuk dan tipe hutan kota perlu diperhatikan dalam pengembangan hutan kota di Kabupaten Belu. Kepedulian dan perhatian Pemerintah dan masyarakat juga sangat penting untuk pengembangan hutan kota, karena dari hasil wawancara dengan Stakeholders diketahui bahwa Pemerintah Kabupaten Belu sangat kurang sekali perhatian dan kepedulian terhadap hutan kota. Tinjauan berdasarkan kebutuhan hutan kota menurut Inmendagri no. 14 tahun 1988 dan peraturan pemerintah tahun 2002 masih mencukupi tetapi hal ini bukan berarti saat ini Kabupaten Belu tidak perlu lagi melakukan pengembangan hutan kota.jika dilihat dari RTH yang tersedia, luas hutan kota yang ada sebagian besar terkonsentrasi di pinggir kota. Hal ini yang perlu diperhatikan adalah Kabupaten Belu terletak di batas Negara Timor Leste dan berada di pinggir pantai terdiri dari dataran, dan pegunungan.dengan topografi yang seperti ini maka Kabupaten Belu dikatakan rawan longsor dan banjir. Oleh sebab itu perlu adanya vegetasi atau hutan atau hutan kota di daerah- daerah yang tingkat ketegangan tinggi dan juga daerah pinggir pantai sangat diperlukan. Keberadaan hutan kota di pinggir kota,jaraknya jauh dari pusat kota sehingga dampak langsung yang diharapkan dari keberadaan hutan ini terutama sebagian produsen oksigen dan pengatur iklim mikro serta fngsi lainnya menjadi kurang optimal. Kawasan kota yang menghasilkan jumlah CO 2 yang tinggi di seluruh wilayah kota terutama di pusat kota Kabupaten Belu atau tempat tempat para exodus dari Timor Leste dampaknya menyebabkan kepadatan penduduk cukup tinggi yaitu jiwa/km 2 (2002) dan lahan bervegetasi semakin berkurang akibat pembangunan gedung, dan lain sebagainya. Sedangkan hutan kota baik dan bentuk taman kota, jalur hijau, kebun ataupun pekarangan sangat diperlukan terutama untuk mensuplai oksigen dan

87 69 mengurangi pencemaran udara di pusat kota yang sangat rentan terhadap terjadinya polusi udara yang sangat padat pnduduknya dan padat lalu lintas. Untuk penambahan kawasan hutan hutan kota bisa memanfaatkan lahanlahan kosong atau daerah yang masih bisa untuk ditanami tanaman antara lain dengan melakukan penanaman jalur hijau di seluruh ruas jalan yang ada di wilayah kota, penghijauan pekarangan perumahan masing-masing dan penghijauan bantaran sungai. Sementara untuk kecamatan kota Atambua yang merupakan Pusat Ibu kota perlu membangun hutan kota Tipe pekarangan di pekarangan masing-masing dan pengembangan bentuk jalur hijau di jalan menuju kearah bandara,kearah Wekatimun, kearah Terminal lolowa yang merupakan jalur jalan yang bisa dikembangkan dan sesuai dengan Renstra akan dibangun Taman Kota di kawasan Lapangan umum luasnya m 2 untuk memenuhi kebutuhan oksigen dan sebagai tempat rekreasi bagi penduduk kecamatan Kota Atambua dan bagi kecamatan lainnya masih memenuhi kebutuhan sampai tahun 2020.Namun perlu pegembangan khususnya bentuk Pekarangan dan jalur hijau khususnya di jalur-jalur menuju Ibu kota Kecamatan dan jalur-jalur pusat ekonomi. Gambar 30. Peta Jaringan Jalan Kabupaten Belu

88 70 Gambar 31. Peta Aliran Sungai Kabupaten Belu Analisis Analiytical Hierarchy Proses Hirarki AHP disusun atas masukkan stakeholder yang terkait dengan implementasi Renstra pengembangan hutan kota di Kabupaten Belu. Implementasi Renstra pengembangan hutan kota dikelompokkan menjadi 3 level, yaitu; level 1 sebagai aktor, level 2 sebagai aspek, dan level 3 sebagai alternatif strategi Aktor Untuk mencapai tujuan pengembangan hutan kota maka terdapat 9 aktor yang harus diperhatikan yaitu: 1). BAPPEDA, 2) Dinas Kebersihan dan Pertamanan, 3) Dinas Kehutanan, 4)Perguruan Tinggi, 5) LSM, 6) Masyarakat. Hasil pendapatan gabungan responden yang diolah dengan CDM menunjukkan besarnya kontribusi yang diberikan oleh masing-masing aktor terhadap tujuan yang ingin dicapai. Hasil analisis menunjukkan bahwa BAPPEDA merupakan aktor priotitas utama yang dipilih dengan memberikan bobot tertinggi yakni sebesar 0,38 (38 %) menurut persepsi pakar. Selanjutnya diikuti oleh aktor-aktor lain yang menempati proritas kedua dan seterusnya masing-masing adalah Dinas

89 71 Kebersihan dan Pertanaman dengan bobot sebesar 0,26 (26%), Dinas Kehutanan dengan bobot sebesar 0,22 (22%), Perguruan Tinggi dengan bobot sebesar 0,06 (6%), dan masyarakat dengan bobot sebesar 0,05 (5%). Tabel 11. Bobot untuk pengembangan hutan kota di Kabupaten Belu Berdasarkan Aktor No Aktor Bobot 1 BAPPEDA Dinas Kebersihan dan Pertamanan Belu Dinas Kehutanan Perguruan Tinggi Masyarakat LSM Aspek Pencapaian tujuan pengembangan hutan kota dapat dilakukan dengan memperhatikan beberapa aspek antara lain: aspek ekologi, ekonomi, sosial budaya, dan kebijakan. Hasil pendapat gabungan responden yang diolah dengan CDM dan Microsoft Exel menunjukkan besarnya kontribusi yang diberikan oleh masing-masing aspek terhadap tujuan yang ingin dicapai seperti pada Tabel 12. Tabel 12. Skala Prioritas Aspek No. Aspek Bobot Persentase Prioritas 1 EKOLOGI 0,389 38,9 1 2 EKONOMI 0,145 14,5 3 3 SOSBUD 0,342 34,2 2 4 KBJKN 0,123 12,3 4 Hasil analisis menunjukkan bahwa dari keempat aspek menurut persepsi pakar ditemukan bahwa aspek ekologi merupakan prioritas tertinggi dengan robot sebesar 0,389, diikuti oleh Aspek sosial budaya dengan bobot sebesar 0,342, kemudian aspek ekonomi dengan bobot sebesar 0,145 dan terakhir aspek kebijakan dengan bobot sebesar 0,123. Dengan demikian aspek ekologi menjadi dasar utama dalam pengembangan hutan kota, disamping aspek ekonomi, sosial budaya, dan kebijakan.

90 Alternatif Aspek ekologi, ekonomi, sosial budaya dan aspek kebijakan dapat menjalankan perannya dengan baik dalam pencapaian pengembangan hutan kota bila didukung oleh strategi atau alternatif yang tepat dalam pengambilan keputusan. Berdasarkan kebutuhan analisis dikembangkan 5 strategi atau alternatif pengelolaan hutan kota guna mendukung pembangunan berwawasan lingkungan. Kelima strategi tersebut meliputi: 1) hutan kota Industri, 2) hutan kota pemukiman, 3) hutan kota konservasi, 4) hutan kota Rekreasi, dan 5) hutan kota pusat komunitas sosial. Hasil pendapat gabungan yang diolah dengan CDM menunjukkan besarnya kontribusi yang diberikan oleh para pakar sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai seperti pada gambar berikut. Gambar 32. Bobot alternative untuk pengembangan hutan kota di Kabupaten Belu Dalam rangka mewujudkan pengembangan hutan kota, maka responden pakar memilih hutan kota pemukiman sebagai prioritas pertama straregi, dengan memberikan bobot sebesar 0,476 (47%), diikuti kemudian masing- masing oleh hutan kota pusat komunitas sosial dengan bobot sebesar 0,257 (25%), hutan kota konservasi dengan bobot sebesar 0,147 (14%), untuk selanjunya responden pakar memberikan bobot hutan kota Rekreasi dengan bobot sebesar 0,074 (7%), serta prioritas terakhir hutan industri dengan bobot sebesar 0,047 (4%).

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kota Kota adalah suatu pusat permukiman penduduk yang besar dan luas. Dalam Kota terdapat berbagai ragam kegiatan ekonomi dan budaya. Adakalanya kota didirikan sebagai tempat

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. secara alami. Pengertian alami disini bukan berarti hutan tumbuh menjadi hutan. besar atau rimba melainkan tidak terlalu diatur.

TINJAUAN PUSTAKA. secara alami. Pengertian alami disini bukan berarti hutan tumbuh menjadi hutan. besar atau rimba melainkan tidak terlalu diatur. TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Hutan Kota Hutan dalam Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Perencanaan Hutan Kota Arti kata perencanaan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Fak. Ilmu Komputer UI 2008) adalah proses, perbuatan, cara merencanakan (merancangkan).

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kota diartikan sebagai suatu sistem jaringan kehidupan manusia yang

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kota diartikan sebagai suatu sistem jaringan kehidupan manusia yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kota diartikan sebagai suatu sistem jaringan kehidupan manusia yang ditandai dengan tingginya kepadatan penduduk dan diwarnai dengan strata sosial ekonomi yang heterogen

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di dalam kerangka pembangunan nasional, pembangunan daerah merupakan bagian yang terintegrasi. Pembangunan daerah sangat menentukan keberhasilan pembangunan nasional secara

Lebih terperinci

ke segala arah dan melepaskan panas pada malam hari. cukup pesat. Luas wilayah kota Pematangsiantar adalah km 2 dan

ke segala arah dan melepaskan panas pada malam hari. cukup pesat. Luas wilayah kota Pematangsiantar adalah km 2 dan Kota memiliki keterbatasan lahan, namun pemanfaatan lahan kota yang terus meningkat mengakibatkan pembangunan kota sering meminimalkan ruang terbuka hijau. Lahan-lahan pertumbuhan banyak yang dialihfungsikan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional yang

I. PENDAHULUAN. Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional yang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional yang sangat menentukan keberhasilan pembangunan nasional secara menyeluruh. Pembangunan daerah telah berlangsung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. utama pencemaran udara di daerah perkotaan. Kendaraan bermotor merupakan

BAB I PENDAHULUAN. utama pencemaran udara di daerah perkotaan. Kendaraan bermotor merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Aktivitas transportasi khususnya kendaraan bermotor merupakan sumber utama pencemaran udara di daerah perkotaan. Kendaraan bermotor merupakan kendaraan yang digerakan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. menjadi suatu kawasan hunian yang berwawasan ligkungan dengan suasana yang

TINJAUAN PUSTAKA. menjadi suatu kawasan hunian yang berwawasan ligkungan dengan suasana yang TINJAUAN PUSTAKA Penghijauan Kota Kegiatan penghijauan dilaksanakan untuk mewujudkan lingkungan kota menjadi suatu kawasan hunian yang berwawasan ligkungan dengan suasana yang asri, serasi dan sejuk dapat

Lebih terperinci

TENTANG BUPATI NGANJUK, Undang-undang Nomor 12 Tahun 1950 tentang Pembentukan. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi

TENTANG BUPATI NGANJUK, Undang-undang Nomor 12 Tahun 1950 tentang Pembentukan. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi t'r - PEMERINTAH KABUPATEN NGANJUK SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGANJUK NOMOR 09 TAHUN 2OO5 TENTANG PEMBANGUNAN DAN PENGELOLAAN HUTAN KOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI NGANJUK, Menimbang

Lebih terperinci

Lanskap Perkotaan (Urban Landscape) HUTAN KOTA. Dr. Ir. Ahmad Sarwadi, MEng. Ir. Siti Nurul Rofiqo Irwan, MAgr, PhD.

Lanskap Perkotaan (Urban Landscape) HUTAN KOTA. Dr. Ir. Ahmad Sarwadi, MEng. Ir. Siti Nurul Rofiqo Irwan, MAgr, PhD. Lanskap Perkotaan (Urban Landscape) HUTAN KOTA Dr. Ir. Ahmad Sarwadi, MEng. Ir. Siti Nurul Rofiqo Irwan, MAgr, PhD. Tujuan Memahami makna dan manfaat hutan kota pada penerapannya untuk Lanskap Kota. Memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. meningkat dengan tajam, sementara itu pertambahan jaringan jalan tidak sesuai

BAB I PENDAHULUAN. meningkat dengan tajam, sementara itu pertambahan jaringan jalan tidak sesuai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota merupakan ekosistem buatan yang terjadi karena campur tangan manusia dengan merubah struktur di dalam ekosistem alam sesuai dengan yang dikehendaki (Rohaini, 1990).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan nasional pada hakekatnya merupakan usaha-usaha untuk

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan nasional pada hakekatnya merupakan usaha-usaha untuk 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pembangunan nasional pada hakekatnya merupakan usaha-usaha untuk membangun manusia Indonesia seutuhnya. Hal ini penting sebab tingkat pertambahan penduduk di Indonesia

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2002 TENTANG HUTAN KOTA

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2002 TENTANG HUTAN KOTA PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2002 TENTANG HUTAN KOTA UMUM Pembangunan kota sering dicerminkan oleh adanya perkembangan fisik kota yang lebih banyak ditentukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap pembangunan menimbulkan suatu dampak baik itu dampak terhadap ekonomi, kehidupan sosial, maupun lingkungan sekitar. DKI Jakarta sebagai kota dengan letak yang

Lebih terperinci

KAJIAN PENATAAN POHON SEBAGAI BAGIAN PENGHIJAUAN KOTA PADA KAWASAN SIMPANG EMPAT PASAR MARTAPURA TUGAS AKHIR. Oleh: SRI ARMELLA SURYANI L2D

KAJIAN PENATAAN POHON SEBAGAI BAGIAN PENGHIJAUAN KOTA PADA KAWASAN SIMPANG EMPAT PASAR MARTAPURA TUGAS AKHIR. Oleh: SRI ARMELLA SURYANI L2D KAJIAN PENATAAN POHON SEBAGAI BAGIAN PENGHIJAUAN KOTA PADA KAWASAN SIMPANG EMPAT PASAR MARTAPURA TUGAS AKHIR Oleh: SRI ARMELLA SURYANI L2D 300 377 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN MELAWI

PEMERINTAH KABUPATEN MELAWI PEMERINTAH KABUPATEN MELAWI PERATURAN DAERAH KABUPATEN MELAWI NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG HUTAN KOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MELAWI, Menimbang : a. bahwa dalam upaya menciptakan wilayah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan kota sebagai pusat pemukiman, industri dan perdagangan

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan kota sebagai pusat pemukiman, industri dan perdagangan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LatarBelakang Perkembangan kota sebagai pusat pemukiman, industri dan perdagangan telah mengalami transformasi lingkungan fisik lahan. Transformasi lingkungan fisik lahan tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Jumlah penduduk yang terus meningkat membawa konsekuensi semakin

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Jumlah penduduk yang terus meningkat membawa konsekuensi semakin BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Jumlah penduduk yang terus meningkat membawa konsekuensi semakin meningkat pula kebutuhan akan lahan-lahan untuk menyediakan permukiman, sarana penunjang ekonomi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pembangunan kota seringkali diidentikkan dengan berkembangnya

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pembangunan kota seringkali diidentikkan dengan berkembangnya BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan kota seringkali diidentikkan dengan berkembangnya kawasan bisnis maupun kawasan niaga. Gejala menjamurnya pembangunan fisik yang berlebihan dipastikan akan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3Perubahan tutupan lahan Jakarta tahun 1989 dan 2002.

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3Perubahan tutupan lahan Jakarta tahun 1989 dan 2002. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi geografis daerah kajian Kota Jakarta merupakan ibukota Republik Indonesia yang berkembang pada wilayah pesisir. Keberadaan pelabuhan dan bandara menjadikan Jakarta

Lebih terperinci

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 5. DINAMIKA ATMOSFERLATIHAN SOAL 5.5. La Nina. El Nino. Pancaroba. Badai tropis.

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 5. DINAMIKA ATMOSFERLATIHAN SOAL 5.5. La Nina. El Nino. Pancaroba. Badai tropis. SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 5. DINAMIKA ATMOSFERLATIHAN SOAL 5.5 1. Perubahan iklim global yang terjadi akibat naiknya suhu permukaan air laut di Samudra Pasifik, khususnya sekitar daerah ekuator

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN SAMPANG

PEMERINTAH KABUPATEN SAMPANG PEMERINTAH KABUPATEN SAMPANG PERATURAN DAERAH SAMPANG NOMOR : 11 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN HUTAN KOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SAMPANG, Menimbang : bahwa dalam rangka pelaksanaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Perubahan iklim akibat pemanasan global saat ini menjadi sorotan utama berbagai masyarakat dunia. Perubahan iklim dipengaruhi oleh kegiatan manusia berupa pembangunan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 9 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 410 Desember 2011 (Lampiran 2), bertempat di wilayah Kota Selatpanjang, Kabupaten Kepulauan Meranti, Provinsi Riau.

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. banyaknya daerah yang dulunya desa telah menjadi kota dan daerah yang

PENDAHULUAN. banyaknya daerah yang dulunya desa telah menjadi kota dan daerah yang PENDAHULUAN Latar Belakang Perkembangan dunia era sekarang ini begitu cepat, ditandai dengan banyaknya daerah yang dulunya desa telah menjadi kota dan daerah yang sebelumnya kota telah berkembang menjadi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. desain taman dengan menggunakan tanaman hias sebagai komponennya

II. TINJAUAN PUSTAKA. desain taman dengan menggunakan tanaman hias sebagai komponennya 9 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ruang Lingkup Arsitektur Lansekap Lansekap sebagai gabungan antara seni dan ilmu yang berhubungan dengan desain taman dengan menggunakan tanaman hias sebagai komponennya merupakan

Lebih terperinci

Manfaat hutan kota diantaranya adalah sebagai berikut :

Manfaat hutan kota diantaranya adalah sebagai berikut : BENTUK DAN FUNGSI HUTAN KOTA 1. Bentuk Hutan Kota Pembangunan hutan kota dan pengembangannya ditentukan berdasarkan pada objek yang dilindungi, hasil yang dicapai dan letak dari hutan kota tersebut. Berdasarkan

Lebih terperinci

Tabel 3 Kecamatan dan luas wilayah di Kota Semarang (km 2 )

Tabel 3 Kecamatan dan luas wilayah di Kota Semarang (km 2 ) 8 Tabel 3 Kecamatan dan luas wilayah di Kota Semarang (km 2 ) (Sumber: Bapeda Kota Semarang 2010) 4.1.2 Iklim Berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMD) Kota Semarang tahun 2010-2015, Kota

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pertumbuhan penduduk di Indonesia disetiap tahun semakin meningkat. Hal ini

BAB 1 PENDAHULUAN. Pertumbuhan penduduk di Indonesia disetiap tahun semakin meningkat. Hal ini BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk yang sangat besar. Pertumbuhan penduduk di Indonesia disetiap tahun semakin meningkat. Hal ini menyebabkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perbukitan rendah dan dataran tinggi, tersebar pada ketinggian M di

BAB I PENDAHULUAN. perbukitan rendah dan dataran tinggi, tersebar pada ketinggian M di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Gorontalo sebagian besar wilayahnya berbentuk dataran, perbukitan rendah dan dataran tinggi, tersebar pada ketinggian 0 2000 M di atas permukaan laut. Luas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan pemukiman. Sebagaimana kota menurut pengertian Bintarto (1977:9)

BAB I PENDAHULUAN. dan pemukiman. Sebagaimana kota menurut pengertian Bintarto (1977:9) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kota merupakan suatu tempat yang menjadi pusat dari berbagai kegiatan manusia. Saat ini kota menjadi pusat pemerintahan, perdagangan, pendidikan, dan pemukiman.

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. HALAMAN JUDUL... i. LEMBAR PENGESAHAN... ii. KATA PENGANTAR... iii. ABSTRAK... vi. ABSTRACT... vii. DAFTAR ISI... viii. DAFTAR TABEL...

DAFTAR ISI. HALAMAN JUDUL... i. LEMBAR PENGESAHAN... ii. KATA PENGANTAR... iii. ABSTRAK... vi. ABSTRACT... vii. DAFTAR ISI... viii. DAFTAR TABEL... DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL... i LEMBAR PENGESAHAN... ii KATA PENGANTAR... iii ABSTRAK... vi ABSTRACT... vii DAFTAR ISI... viii DAFTAR TABEL... xv DAFTAR GAMBAR... xviii BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Kota merupakan suatu tempat yang dihuni oleh masyarakat dimana mereka dapat bersosialisasi serta tempat melakukan aktifitas sehingga perlu dikembangkan untuk menunjang aktivitas

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. waktu tidak tertentu. Ruang terbuka itu sendiri bisa berbentuk jalan, trotoar, ruang

TINJAUAN PUSTAKA. waktu tidak tertentu. Ruang terbuka itu sendiri bisa berbentuk jalan, trotoar, ruang TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Ruang Terbuka Hijau Ruang terbuka adalah ruang yang bisa diakses oleh masyarakat baik secara langsung dalam kurun waktu terbatas maupun secara tidak langsung dalam kurun waktu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesatnya kemajuan dan kestabilan pembangunan nasional menempatkan Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai kota metropolitan dengan kondisi perekonomian yang selama

Lebih terperinci

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian Penataan Ruang Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian Kawasan peruntukan hutan produksi kawasan yang diperuntukan untuk kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. didirikan sebagai tempat kedudukan resmi pusat pemerintahan setempat. Pada

PENDAHULUAN. didirikan sebagai tempat kedudukan resmi pusat pemerintahan setempat. Pada PENDAHULUAN Latar Belakang Kota adalah suatu pusat pemukiman penduduk yang besar dan luas.dalam kota terdapat berbagai ragam kegiatan ekonomi dan budaya. Adakalanya kota didirikan sebagai tempat kedudukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan pesat di seluruh wilayah Indonesia. Pembangunan-pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan pesat di seluruh wilayah Indonesia. Pembangunan-pembangunan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Proses pembangunan yang terjadi di wilayah perkotaan sedang mengalami perkembangan pesat di seluruh wilayah Indonesia. Pembangunan-pembangunan yang terjadi lebih banyak

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. kuantitas lingkungan. Menurut Reksohadiprodjo dan Karseno (2012: 43),

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. kuantitas lingkungan. Menurut Reksohadiprodjo dan Karseno (2012: 43), BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Salah satu indikator pertumbuhan ekonomi adalah perkembangan kota berupa pembangunan infrastruktur, namun sayangnya terdapat hal penting yang kerap terlupakan, yaitu

Lebih terperinci

ANALISIS DAN SINTESIS

ANALISIS DAN SINTESIS 55 ANALISIS DAN SINTESIS Lokasi Lokasi PT Pindo Deli Pulp and Paper Mills yang terlalu dekat dengan pemukiman penduduk dikhawatirkan dapat berakibat buruk bagi masyarakat di sekitar kawasan industri PT

Lebih terperinci

: Pendekatan ekologi terhadap tata guna lahan. b. Pemakaian Lahan Kota Secara Intensif

: Pendekatan ekologi terhadap tata guna lahan. b. Pemakaian Lahan Kota Secara Intensif MINGGU 7 Pokok Bahasan Sub Pokok Bahasan : Pendekatan ekologi terhadap tata guna lahan : a. Permasalahan tata guna lahan b. Pemakaian Lahan Kota Secara Intensif Permasalahan Tata Guna Lahan Tingkat urbanisasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan,

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas, yang berada

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan yang ditujukan untuk kesejahteraan manusia, pada dasarnya menimbulkan suatu dampak yang positif maupun negatif. Pembangunan yang tidak berwawasan lingkungan dapat

Lebih terperinci

Tabel 28. Kesesuaian RUTRK untuk RTH terhadap Inmendagri No. 14 Tahun RUTRK Untuk RTH (ha)

Tabel 28. Kesesuaian RUTRK untuk RTH terhadap Inmendagri No. 14 Tahun RUTRK Untuk RTH (ha) 80 Tabel 28. Kesesuaian RUTRK untuk RTH terhadap Inmendagri No. 14 Tahun 1988 RUTRK Untuk RTH (ha) Kebutuhan RTH Berdasarkan Inmendagri No.14/88 Selisih (ha) Pekanbaru Kota 0 90-90 * Senapelan 0 266-266

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Eksisting dan Evaluasi Ruang Terbuka Hijau Kecamatan Jepara Jenis ruang terbuka hijau yang dikembangkan di pusat kota diarahkan untuk mengakomodasi tidak hanya fungsi

Lebih terperinci

WALIKOTA LANGSA PROVINSI ACEH QANUN KOTA LANGSA NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN HUTAN KOTA BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

WALIKOTA LANGSA PROVINSI ACEH QANUN KOTA LANGSA NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN HUTAN KOTA BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM SALINAN WALIKOTA LANGSA PROVINSI ACEH QANUN KOTA LANGSA NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN HUTAN KOTA BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN NAMA ALLAH YANG MAHA PENGASIH LAGI MAHA PENYAYANG ATAS RAHMAT

Lebih terperinci

Geografi. Kelas X ATMOSFER VII KTSP & K Iklim Junghuhn

Geografi. Kelas X ATMOSFER VII KTSP & K Iklim Junghuhn KTSP & K-13 Kelas X Geografi ATMOSFER VII Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan memiliki kemampuan berikut. 1. Memahami iklim Junghuhn dan iklim Schmidt Ferguson. 2. Memahami

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota merupakan suatu tempat terjadinya kehidupan dan aktivitas bagi penduduk yang memiliki batas administrasi yang diatur oleh perundangan dengan berbagai perkembangannya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. utama yang dihadapi dunia saat ini. Pemanasan global berhubungan dengan proses. infra merah diserap oleh udara dan permukaan bumi.

BAB I PENDAHULUAN. utama yang dihadapi dunia saat ini. Pemanasan global berhubungan dengan proses. infra merah diserap oleh udara dan permukaan bumi. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemanasan global (global warming) menjadi salah satu isu lingkungan utama yang dihadapi dunia saat ini. Pemanasan global berhubungan dengan proses meningkatnya suhu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seiring dengan perkembangan teknologi dan peningkatan kebutuhan hidup manusia, tidak dapat dipungkiri bahwa tekanan terhadap perubahan lingkungan juga akan meningkat

Lebih terperinci

Kriteria angka kelahian adalah sebagai berikut.

Kriteria angka kelahian adalah sebagai berikut. PERKEMBANGAN PENDUDUK DAN DAMPAKNYA BAGI LINGKUNGAN A. PENYEBAB PERKEMBANGAN PENDUDUK Pernahkah kamu menghitung jumlah orang-orang yang ada di lingkunganmu? Populasi manusia yang menempati areal atau wilayah

Lebih terperinci

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN PERTEMUAN 10 SUMBERDAYA LAHAN Sumberdaya Lahan Lahan dapat didefinisikan sebagai suatu ruang di permukaan bumi yang secara alamiah dibatasi oleh sifat-sifat fisik serta bentuk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Central Business District (CBD) Berdasarkan Undang-Undang No. 24 Tahun 1992 mengenai penataan ruang, pada Pasal 1 disebutkan bahwa kawasan perkotaan adalah kawasan yang mempunyai

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Luas Hutan Kota di Kotamadya Jakarta Selatan Berdasarkan Peraturan Penentuan luas hutan kota mengacu kepada dua peraturan yang berlaku di Indonesia yaitu menurut PP No 62 Tahun

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA KUPANG NOMOR 7 TAHUN 2000 TENTANG RUANG TERBUKA HIJAU KOTA KUPANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA KUPANG, Menimbang

PERATURAN DAERAH KOTA KUPANG NOMOR 7 TAHUN 2000 TENTANG RUANG TERBUKA HIJAU KOTA KUPANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA KUPANG, Menimbang PERATURAN DAERAH KOTA KUPANG NOMOR 7 TAHUN 2000 TENTANG RUANG TERBUKA HIJAU KOTA KUPANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA KUPANG, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang semula merupakan ruang tumbuh berbagai jenis tanaman berubah menjadi

BAB I PENDAHULUAN. yang semula merupakan ruang tumbuh berbagai jenis tanaman berubah menjadi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Daya tarik kota yang sangat besar bagi penduduk desa mendorong laju urbanisasi semakin cepat. Pertumbuhan penduduk di perkotaan semakin pesat seiring dengan perkembangan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA TARAKAN NOMOR 21 TAHUN 1999 TENTANG HUTAN KOTA TARAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TARAKAN,

PERATURAN DAERAH KOTA TARAKAN NOMOR 21 TAHUN 1999 TENTANG HUTAN KOTA TARAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TARAKAN, PERATURAN DAERAH KOTA TARAKAN NOMOR 21 TAHUN 1999 TENTANG HUTAN KOTA TARAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TARAKAN, Menimbang Mengingat : : a. bahwa dengan terus meningkatnya pembangunan di

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA KUPANG NOMOR 7 TAHUN 2000 TENTANG RUANG TERBUKA HIJAU KOTA KUPANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA KUPANG,

PERATURAN DAERAH KOTA KUPANG NOMOR 7 TAHUN 2000 TENTANG RUANG TERBUKA HIJAU KOTA KUPANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA KUPANG, PERATURAN DAERAH KOTA KUPANG NOMOR 7 TAHUN 2000 TENTANG RUANG TERBUKA HIJAU KOTA KUPANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA KUPANG, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan

Lebih terperinci

SUMMARY. ANALISIS KADAR NITROGEN DIOKSIDA (NO₂) dan KARBONMONOKSIDA (CO) DI UDARA AMBIEN KOTA GORONTALO

SUMMARY. ANALISIS KADAR NITROGEN DIOKSIDA (NO₂) dan KARBONMONOKSIDA (CO) DI UDARA AMBIEN KOTA GORONTALO SUMMARY ANALISIS KADAR NITROGEN DIOKSIDA (NO₂) dan KARBONMONOKSIDA (CO) DI UDARA AMBIEN KOTA GORONTALO Oleh : Yuliana Dauhi Jurusan Kesehatan Masyarakat Fakultas Ilmu-Ilmu Kesehatan Dan Keolahragaan Universitas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sebagai bentang budaya yang ditimbulkan oleh unsur-unsur alami dan non alami

I. PENDAHULUAN. sebagai bentang budaya yang ditimbulkan oleh unsur-unsur alami dan non alami I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kota diartikan sebagai suatu sistem jaringan kehidupan manusia yang ditandai dengan tingginya kepadatan penduduk dan diwarnai dengan strata sosial ekonomi yang heterogen

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA PROBOLINGGO

PEMERINTAH KOTA PROBOLINGGO PEMERINTAH KOTA PROBOLINGGO SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA PROBOLINGGO NOMOR 10 TAHUN 2005 TENTANG HUTAN KOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PROBOLINGGO, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mencegah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumberdaya alam yang mutlak diperlukan untuk kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya diantaranya adalah air. Selain itu, air merupakan komponen penyusun terbesar

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Kata Pengantar... 1 Daftar Isi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Tujuan... 5

DAFTAR ISI. Kata Pengantar... 1 Daftar Isi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Tujuan... 5 1 DAFTAR ISI Kata Pengantar... 1 Daftar Isi... 2 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang... 3 1.2 Permasalahan... 4 1.3 Tujuan... 5 BAB II PEMBAHASAN/ISI 2.1 Hakikat Penghijauan Lingkungan... 6 2.2 Peran

Lebih terperinci

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN 92 IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN 4.1. Kota Bekasi dalam Kebijakan Tata Makro Analisis situasional daerah penelitian diperlukan untuk mengkaji perkembangan kebijakan tata ruang kota yang terjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sungai maupun pencemaran udara (Sunu, 2001). dan dapat menjadi media penyebaran penyakit (Agusnar, 2007).

BAB I PENDAHULUAN. sungai maupun pencemaran udara (Sunu, 2001). dan dapat menjadi media penyebaran penyakit (Agusnar, 2007). BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Berkembangnya sektor industri dan pemanfaatan teknologinya tercipta produk-produk untuk dapat mencapai sasaran peningkatan kualitas lingkungan hidup. Dengan peralatan

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA (KEPPRES) NOMOR 48 TAHUN 1983 (48/1983) TENTANG PENANGANAN KHUSUS PENATAAN RUANG DAN PENERTIBAN SERTA PENGENDALIAN PEMBANGUNAN PADA KAWASAN PARIWISATA PUNCAK DAN WILAYAH

Lebih terperinci

KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI. dengan fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang sesuai dengan kegiatan ekonomi yang dilayaninya;

KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI. dengan fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang sesuai dengan kegiatan ekonomi yang dilayaninya; Lampiran III : Peraturan Daerah Kabupaten Bulukumba Nomor : 21 Tahun 2012 Tanggal : 20 Desember 2012 Tentang : RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BULUKUMBA TAHUN 2012 2032 KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI

Lebih terperinci

SMP kelas 9 - FISIKA BAB 4. SISTEM TATA SURYALatihan Soal 4.10

SMP kelas 9 - FISIKA BAB 4. SISTEM TATA SURYALatihan Soal 4.10 SMP kelas 9 - FISIKA BAB 4. SISTEM TATA SURYALatihan Soal 4.10 1. Akhir-akhir ini suhu bumi semakin panas dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya karena efek rumah kaca. Faktor yang mengakibatkan semakin

Lebih terperinci

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 32 TAHUN 1990 (32/1990) Tanggal : 25 JULI 1990 (JAKARTA) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang selain merupakan sumber alam yang penting artinya bagi

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM. Gambaran Umum Kota Depok

KEADAAN UMUM. Gambaran Umum Kota Depok KEADAAN UMUM Gambaran Umum Kota Depok Kota Depok pada mulanya merupakan bagian dari wilayah Kabupaten Bogor, mengingat perkembangannya yang relatif pesat berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. termasuk kebutuhan akan sumberdaya lahan. Kebutuhan lahan di kawasan

BAB I PENDAHULUAN. termasuk kebutuhan akan sumberdaya lahan. Kebutuhan lahan di kawasan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pesatnya pembangunan menyebabkan bertambahnya kebutuhan hidup, termasuk kebutuhan akan sumberdaya lahan. Kebutuhan lahan di kawasan perkotaan semakin meningkat sejalan

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. RTRW Kabupaten Bondowoso

KATA PENGANTAR. RTRW Kabupaten Bondowoso KATA PENGANTAR Sebagai upaya mewujudkan perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang yang efektif, efisien dan sistematis guna menunjang pembangunan daerah dan mendorong perkembangan wilayah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah suatu bentuk ruang terbuka di kota (urban

II. TINJAUAN PUSTAKA. Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah suatu bentuk ruang terbuka di kota (urban II. TINJAUAN PUSTAKA A. Ruang Terbuka Hijau Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah suatu bentuk ruang terbuka di kota (urban space) dengan unsur vegetasi yang dominan. Perancangan ruang hijau kota harus memperhatikan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kota Pekanbaru. Kota Pekanbaru terletak pada 101 0 18 sampai 101 0 36 Bujur Timur serta 0 0 25 sampai 0 0 45 Lintang Utara.

Lebih terperinci

PP 27/1991, RAWA... Bentuk: PERATURAN PEMERINTAH (PP) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 27 TAHUN 1991 (27/1991) Tanggal: 2 MEI 1991 (JAKARTA)

PP 27/1991, RAWA... Bentuk: PERATURAN PEMERINTAH (PP) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 27 TAHUN 1991 (27/1991) Tanggal: 2 MEI 1991 (JAKARTA) PP 27/1991, RAWA... Bentuk: PERATURAN PEMERINTAH (PP) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 27 TAHUN 1991 (27/1991) Tanggal: 2 MEI 1991 (JAKARTA) Sumber: LN 1991/35; TLN NO. 3441 Tentang: RAWA Indeks:

Lebih terperinci

INVENTARISASI DAN PENENTUAN KEMAMPUAN SERAPAN EMISI CO2 OLEH RUANG TERBUKA HIJAU DI KABUPATEN SIDOARJO, JAWA TIMURM

INVENTARISASI DAN PENENTUAN KEMAMPUAN SERAPAN EMISI CO2 OLEH RUANG TERBUKA HIJAU DI KABUPATEN SIDOARJO, JAWA TIMURM INVENTARISASI DAN PENENTUAN KEMAMPUAN SERAPAN EMISI CO2 OLEH RUANG TERBUKA HIJAU DI KABUPATEN SIDOARJO, JAWA TIMURM Izzati Winda Murti 1 ), Joni Hermana 2 dan R. Boedisantoso 3 1,2,3) Environmental Engineering,

Lebih terperinci

SD kelas 6 - ILMU PENGETAHUAN ALAM BAB 10. PELESTARIAN LINGKUNGANLatihan soal 10.4

SD kelas 6 - ILMU PENGETAHUAN ALAM BAB 10. PELESTARIAN LINGKUNGANLatihan soal 10.4 SD kelas 6 - ILMU PENGETAHUAN ALAM BAB 10. PELESTARIAN LINGKUNGANLatihan soal 10.4 1. Penanaman pohon bakau di pinggir pantai berguna untuk mencegah.. Abrasi Erosi Banjir Tanah longsor Jawaban a Sudah

Lebih terperinci

SALINAN BERITA DAERAH KABUPATEN MAJALENGKA NOMOR : 5 TAHUN 2010 PERATURAN BUPATI MAJALENGKA NOMOR 5 TAHUN 2010

SALINAN BERITA DAERAH KABUPATEN MAJALENGKA NOMOR : 5 TAHUN 2010 PERATURAN BUPATI MAJALENGKA NOMOR 5 TAHUN 2010 BERITA DAERAH KABUPATEN MAJALENGKA SALINAN NOMOR : 5 TAHUN 2010 Menimbang : PERATURAN BUPATI MAJALENGKA NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG RUANG TERBUKA HIJAU KAWASAN BUNDARAN MUNJUL KABUPATEN MAJALENGKA DENGAN

Lebih terperinci

SMP kelas 8 - BIOLOGI BAB 8. FOTOSINTESISLatihan Soal ph (derajat keasaman) apabila tidak sesuai kondisi akan mempengaruhi kerja...

SMP kelas 8 - BIOLOGI BAB 8. FOTOSINTESISLatihan Soal ph (derajat keasaman) apabila tidak sesuai kondisi akan mempengaruhi kerja... SMP kelas 8 - BIOLOGI BAB 8. FOTOSINTESISLatihan Soal 8.4 1. ph (derajat keasaman) apabila tidak sesuai kondisi akan mempengaruhi kerja... Klorofil Kloroplas Hormon Enzim Salah satu faktor yang mempengaruhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan teknologi dan pertambahan penduduk menyebabkan kebutuhan manusia semakin meningkat. Dalam lingkup lingkungan perkotaan keadaan tersebut membuat pembangunan

Lebih terperinci

Iklim Perubahan iklim

Iklim Perubahan iklim Perubahan Iklim Pengertian Iklim adalah proses alami yang sangat rumit dan mencakup interaksi antara udara, air, dan permukaan daratan Perubahan iklim adalah perubahan pola cuaca normal di seluruh dunia

Lebih terperinci

b. Dampak Pencemaran oleh Nitrogen Oksida Gas Nitrogen Oksida memiliki 2 sifat yang berbeda dan keduanya sangat berbahaya bagi kesehatan.

b. Dampak Pencemaran oleh Nitrogen Oksida Gas Nitrogen Oksida memiliki 2 sifat yang berbeda dan keduanya sangat berbahaya bagi kesehatan. 1. Sejarah Perkembangan Timbulnya Pencemaran Kemajuan industri dan teknologi dimanfaatkan oleh manusia untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Sudah terbukti bahwa industri dan teknologi yang maju identik

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pola pemukiman penduduk di suatu daerah sangat dipengaruhi oleh kondisi fisik

I. PENDAHULUAN. Pola pemukiman penduduk di suatu daerah sangat dipengaruhi oleh kondisi fisik 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pola pemukiman penduduk di suatu daerah sangat dipengaruhi oleh kondisi fisik daerahnya, kondisi fisik yang dimaksud yaitu topografi wilayah. Pengaruh kondisi fisik ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan penduduk kota kota di Indonesia baik sebagai akibat pertumbuhan penduduk maupun akibat urbanisasi telah memberikan indikasi adanya masalah perkotaan yang

Lebih terperinci

BUPATI BANGKA TENGAH

BUPATI BANGKA TENGAH BUPATI BANGKA TENGAH SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA TENGAH NOMOR 33 TAHUN 2011 TENTANG PENATAAN RUANG TERBUKA HIJAU KAWASAN PERKOTAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA TENGAH,

Lebih terperinci

PENCEMARAN LINGKUNGAN. Purwanti Widhy H, M.Pd

PENCEMARAN LINGKUNGAN. Purwanti Widhy H, M.Pd PENCEMARAN LINGKUNGAN Purwanti Widhy H, M.Pd Pengertian pencemaran lingkungan Proses terjadinya pencemaran lingkungan Jenis-jenis pencemaran lingkungan PENGERTIAN PENCEMARAN LINGKUNGAN Berdasarkan UU Pokok

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA PROGRAM STUDI ILMU PERENCANAAN WILAYAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DAN SINTESIS

BAB IV ANALISIS DAN SINTESIS BAB IV ANALISIS DAN SINTESIS 4.1 Analisis Pengaruh Peningkatan Penjualan Kendaraan Bermotor terhadap Peningkatan Emisi CO 2 di udara Indonesia merupakan negara pengguna kendaraan bermotor terbesar ketiga

Lebih terperinci

BAB IV ANALISA TAPAK

BAB IV ANALISA TAPAK BAB IV ANALISA TAPAK 4.1 Deskripsi Proyek 1. Nama proyek : Garuda Bandung Arena 2. Lokasi proyek : Jln Cikutra - Bandung 3. Luas lahan : 2,5 Ha 4. Peraturan daerah : KDB (50%), KLB (2) 5. Batas wilayah

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DAN SINTESIS

BAB IV ANALISIS DAN SINTESIS BAB IV ANALISIS DAN SINTESIS 4.1 Analisis 4.1.1 Gambaran Umum Kota Bogor Kota Bogor terletak di antara 106 43 30 BT - 106 51 00 BT dan 30 30 LS 6 41 00 LS dengan jarak dari ibu kota 54 km. Dengan ketinggian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyedia fasilitas pelayanan bagi masyarakat. Lingkungan perkotaan merupakan

BAB I PENDAHULUAN. penyedia fasilitas pelayanan bagi masyarakat. Lingkungan perkotaan merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota merupakan perwujudan aktivitas manusia yang berfungsi sebagai pusat kegiatan sosial, ekonomi, pemerintahan, politik, dan pendidikan, serta penyedia fasilitas

Lebih terperinci

JENJANG KELAS MATA PELAJARAN TOPIK BAHASAN III (TIGA) ILMU PENGETAHUAN SOSIAL (IPS) LINGKUNGAN ALAM DAN BUATAN

JENJANG KELAS MATA PELAJARAN TOPIK BAHASAN III (TIGA) ILMU PENGETAHUAN SOSIAL (IPS) LINGKUNGAN ALAM DAN BUATAN JENJANG KELAS MATA PELAJARAN TOPIK BAHASAN SD III (TIGA) ILMU PENGETAHUAN SOSIAL (IPS) LINGKUNGAN ALAM DAN BUATAN A. Ketampakan Lingkungan Alam dan Buatan Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di sekitar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kota Jakarta Barat dikenal sebagai kota jasa dan pusat bisnis yang

I. PENDAHULUAN. Kota Jakarta Barat dikenal sebagai kota jasa dan pusat bisnis yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kota Jakarta Barat dikenal sebagai kota jasa dan pusat bisnis yang berkembang sangat pesat dengan ciri utama pembangunan fisik namun di lain sisi, pemerintah Jakarta

Lebih terperinci

ESTIMASI KEBUTUHAN HUTAN KOTA DI KOTAMADYA JAKARTA PUSAT YUKI MAHARDHITO ADHITYA WARDHANA

ESTIMASI KEBUTUHAN HUTAN KOTA DI KOTAMADYA JAKARTA PUSAT YUKI MAHARDHITO ADHITYA WARDHANA ESTIMASI KEBUTUHAN HUTAN KOTA DI KOTAMADYA JAKARTA PUSAT YUKI MAHARDHITO ADHITYA WARDHANA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 ABSTRACT YUKI MAHARDHITO ADHITYA WARDHANA, Estimation

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Jalur hijau di sepanjang jalan selain memberikan aspek estetik juga dapat

BAB I PENDAHULUAN. Jalur hijau di sepanjang jalan selain memberikan aspek estetik juga dapat BAB I PENDAHULUAN 1.I Latar belakang Jalur hijau di sepanjang jalan selain memberikan aspek estetik juga dapat meningkatkan kualitas lingkungan. Tetapi keberadaan jalur hijau jalan pada saat ini di Indonesia

Lebih terperinci

Gambar 2 Peta lokasi studi

Gambar 2 Peta lokasi studi 15 III. METODOLOGI 3.1. Lokasi dan Waktu Studi Studi dilakukan di Kebun Anggrek yang terletak dalam areal Taman Kyai Langgeng (TKL) di Jalan Cempaka No 6, Kelurahan Kemirirejo, Kecamatan Magelang Tengah,

Lebih terperinci

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi 3.2 Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain alat tulis dan kamera digital. Dalam pengolahan data menggunakan software AutoCAD, Adobe Photoshop, dan ArcView 3.2 serta menggunakan hardware

Lebih terperinci