ARIZKI WITARADIANINGTIAS

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ARIZKI WITARADIANINGTIAS"

Transkripsi

1 1 KEBIASAAN MAKAN, PERILAKU HIDUP BERSIH DAN SEHAT DAN STATUS ANEMIA PADA REMAJA PUTRI KELUARGA PEMULUNG DI KELURAHAN SUMUR BATU BANTAR GEBANG BEKASI ARIZKI WITARADIANINGTIAS DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013

2 i PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Kebiasaan Makan, Perilaku Hidup bersih dan Sehat dan Status Anemia pada Remaja Putri Keluarga Pemulung di Kelurahan Sumur Batu Bantar Gebang Bekasi adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan meupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor Bogor, Maret 2013 Arizki Witaradianingtias NIM: I

3 ii ABSTRACT ARIZKI WITARADIANINGTIAS. Food Habit, Clean and Healthy Behaviour and Anemia Status in Adolescent Girls of Scavenger Families in Sumur Batu Bantar Gebang Bekasi. Supervised by AHMAD SULAEMAN and IKEU EKAYANTI This study was aimed to analyze the association between food habit, clean and healthy behaviour and anemia status in adolescent girls of scavengers families in Sumur Batu Bantar Gebang Bekasi. Cross sectional design was applied in this study. About 72 adolescent girls of scavengers families were purposing sampled in this study. Food consumption among this girls was collected using semiquantitative food frequency and anemia status was measured by hemoglobin level using cyanmethemoglobin. Most of adolescent girls (19.4%) was anemia and 80.6% were non anemia. The girls had moderate food habit (61.6%) based on the frequency of consumption of food is still a lack of food sources of heme. Clean and healthy behaviour among the girls were in a good category (79.2%). The state of the living environments is in a category quite well (59.7%). History of helminthiasis in adolescent girls (41.7%) were in the low category. The result shown there s no relationship between food habits, clean and healthy behaviour, living environtments and history of helminthiasis with anemia status (p>0.05) Key words: Adolescent Girl, Anemia Status, Clean and Healthy Behavior, Food Habit

4 iii RINGKASAN ARIZKI WITARADIANINGTIAS. Kebiasaan Makan, Perilaku Hidup Bersih dan Sehat, dan Status Anemia pada Remaja Putri Keluarga Pemulung di Kelurahan Sumur Batu Bantar Gebang Bekasi. Dibimbing oleh AHMAD SULAEMAN dan IKEU EKAYANTI Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui kebiasaan makan, perilaku hidup bersih dan sehat dan status anemia pada remaja putri keluarga pemulung di Kelurahan Sumur Batu Bantar Gebang Bekasi. Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah 1) Mengidentifikasi karakteristik individu dan keluarga remaja putri keluarga pemulung, 2) Mengkaji status anemia remaja putri keluarga pemulung, 3) Mengidentifikasi perilaku hidup bersih dan sehat serta lingkungan tempat tinggal remaja putri keluarga pemulung, 4) Mengidentifikasi kebiasaan makan dan konsumsi pangan remaja putri keluarga pemulung, 5) Menganalisis hubungan antara kondisi lingkungan tempat tinggal dengan status anemia pada remaja putri keluarga pemulung, 6) Menganalisis hubungan antara kebiasaan makan dengan status anemia pada remaja putri keluarga pemulung, 7) Menganalisis hubungan perilaku hidup bersih dan sehat dengan status anemia remaja putri keluarga pemulung, 8) Menganalisis hubungan riwayat kecacingan dengan status anemia remaja putri keluarga pemulung. Populasi dalam penelitian ini adalah remaja putri keluarga pemulung berusia tahun yang terdapat di SMPN 27 Bekasi. Sampel yang diteliti berjumlah 72 orang. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara purposive, dengan pertimbangan banyaknya anak-anak keluarga pemulung yang bersekolah di SMP Negeri 27 dan lokasinya yang berdekatan dengan TPA Bantar Gebang. Metode penarikan sampel dilakukan secara purposive sampling. Kriteria inklusi yang digunakan adalah 1) siswi SMP Negeri 27 Bekasi, 2) pekerjaan orang tua sebagai pemulung, 3) bertempat tinggal di wilayah Kelurahan Sumur Batu, Kecamatan Bantar Gebang Bekasi, 4) bersedia menandatangani surat pernyataan ikut serta (informed consent) dalam penelitian, 5) sudah mengalami menstruasi, 6) tidak dalam keadaan sakit dan 7) tidak sedang mengonsumsi obat-obatan. Status anemia melalui pengambilan sampel darah dengan metode cyanmethhemoglobin. Data jenis dan frekuensi konsumsi pangan menggunakan metode kuesioner pangan semikuantitatif (FFQ semikuantitatif). Usia contoh berkisar antara tahun, sebagian besar contoh (63.9%) berusia 13 tahun dengan rata-rata contoh berusia 13±0.5 tahun. Tingkat pendidikan ayah (68.0%) dan ibu (80.6%) contoh hanya sampai tingkat pendidikan Sekolah Dasar. Seluruh pekerjaan ayah adalah sebagai pemulung dan ibu (93.1%) sebagai ibu rumah tangga. Berdasarkan garis kemiskinan Provinsi Jawa Barat, rata-rata pendapatan perkapita orang tua contoh sebesar Rp kapita/bulan. Angka tersebut masih berada dibawah batas Garis Kemiskinan, sehingga dapat dikatakan bahwa sebagian besar (94.4%) keluarga contoh termasuk kedalam keluarga miskin. Rata-rata pengetahuan gizi contoh (73.6%) tergolong sedang. Sebagian besar contoh (72.2%) memiliki status gizi yang tergolong normal. Berdasarkan penggolongan kadar hemoglobin didapatkan 1.4% contoh mengalami anemia berat (Hb<7.0 g/dl), 4.2% contoh mengalami anemia sedang (Hb g/dl) dan 13.9% mengalami anemia ringan (Hb g/dl).

5 Rata-rata contoh (61.1%) memiliki kebiasaan makan dengan kategori cukup. Seluruh contoh (100%) mengonsumsi nasi dengan frekuensi konsumsi selalu pada golongan serealia dan umbi-umbian. Rata-rata contoh (51.4%) mengonsumsi lauk nabati dengan frekuensi jarang (1 atau 2 kali/minggu). Sebagian besar contoh mengkonsumi jenis sayuran dengan frekuensi jarang, yaitu jenis sayur bayam (38.9%), kangkung (51.4%) dan ketimun (38.9%). Buah yang paling sering di konsumsi adalah buah jeruk dan mangga, sedangkan tomat, pepaya, jambu biji, nanas, pisang, semangka, melon, apel, anggur dan pir dalam frekuensi konsumsi tidak pernah. Sebagian besar contoh tidak pernah mengonsumsi jajanan (89.9%), kopi (81.9%), teh (31.9%), susu (37.5%) dan suplemen (100%). Tingkat kecukupan energi sebagian contoh (45.8%) tergolong dalam defisit tingkat berat. Rata-rata konsumsi energi contoh sebesar 1484±538 Kal/hari. Tingkat kecukupan protein contoh (50.0%) tergolong lebih dengan ratarata konsumsi protein 65.2±39.3 g/hari. Tingkat kecukupan vitamin A contoh (62.5%) tergolong cukup dengan rata-rata konsumsi vitamin A contoh 634.9±606.1 RE/hari. Tingkat kecukupan vitamin C contoh (50.0%) tergolong kurang dengan rata-rata konsumsi vitamin C 56.7±58.9 mg/hari. Tingkat kecukupan zat besi contoh (50.0%) tergolong kurang dengan rata-rata konsumsi pangan 22.2±17.2 mg/hari. Perilaku hidup bersih dan sehat sebagian besar contoh (79.2%). tergolong dalam kategori baik, serta memiliki keadaan lingkungan tempat tinggal yang tergolong cukup baik (59.7%). Sebagian contoh (41.7%) memiliki riwayat kecacingan yang tergolong rendah. Semakin rendahnya riwayat kecacingan yang dialami contoh, maka semakin rendah risiko terjadinya anemia. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan terdapat hubungan antara frekuensi konsumsi udang rebon, daun melinjo, pepaya muda dengan nilai korelasi positif. Hal ini menjelaskan bahwa semakin sering mengonsumsi pangan tersebut, maka dapat meningkatkan kadar hemoglobin. Selain itu, terdapat hubungan antara frekuensi konsumsi terong, mangga, cokelat dan chiki terhadap kadar hemoglobin contoh (p<0.05) dengan nilai korelasi negatif. Hal ini menjelaskan bahwa semakin sering mengonsumsi pangan tersebut maka dapat menurunkan kadar hemoglobin. Uji hubungan antar variabel menunjukkan tidak terdapat hubungan erat antara keadaan lingkungan, perilaku hidup bersih dan sehat, kebiasan makan dan riwayat kecacingan dengan kadar hemoglobin contoh (p<0.05). iv

6 v KEBIASAAN MAKAN, PERILAKU HIDUP BERSIH DAN SEHAT DAN STATUS ANEMIA PADA REMAJA PUTRI KELUARGA PEMULUNG DI KELURAHAN SUMUR BATU BANTAR GEBANG BEKASI ARIZKI WITARADIANINGTIAS Skripsi sebagai salah syarat untuk dapat memperoleh gelar Sarjana Gizi dari Program Studi Ilmu Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013

7 vi Judul : Kebiasaan Makan, Perilaku Hidup Bersih dan Sehat, dan Status Anemia pada Remaja Putri Keluarga Pemulung di Kelurahan Sumur Batu Bantar Gebang Bekasi Nama : Arizki Witaradianingtias NIM : I Disetujui oleh: Prof. Ir. Ahmad Sulaeman, MS, PhD Pembimbing I Dr. Ir. Ikeu Ekayanti, M. Kes Pembimbing II Diketahui oleh : Dr. Ir. Budi Setiawan, MS Ketua Departemen Tanggal Lulus :

8 vii RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di Bekasi pada tanggal 20 Mei Penulis adalah putri dari pasangan Puji Utoro dan Diah Rusaltini. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Penulis memulai pendidikan pada tahun 1993 pada sebuah Taman Kanak-kanak Regina di Bekasi dan lulus pada tahun 1994, dan melanjutkan ke Sekolah Dasar Margajaya VIII lulus pada tahun Pada tahun 2001 penulis melanjutkan pendidikannya di sebuah sekolah swasta yaitu SMP BPS&K 3 Bekasi dan lulus pada tahun Selanjutnya penulis melanjutkan pendidikan di SMA PGRI 1 Bekasi jurusan IPA (Ilmu Pengetahuan Alam) dan lulus pada tahun Pada tahun 2007 penulis diterima di Program Diploma III Institut Pertanian Bogor, pada Program Keahlian Manajemen Industri Jasa Makanan dan Gizi melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis menjalankan Praktek Kerja Lapang (PKL) selama empat bulan dimulai dari tanggal 01 Desember 2009 sampai dengan 23 Maret 2010 di Rumah Sakit PMI Bogor. Penulis juga menjalankan Praktek Usaha Jasa Boga (PUJB) di Kantin Sehati selama dua bulan dari tanggal 26 April 2010 sampai dengan 26 Juni Penulis lulus dari program Diploma Manajemen Industri Jasa Makanan dan Gizi Institut Pertanian Bogor pada tahun 2010 dengan predikat kelulusan sangat memuaskan dan melanjutkan jenjang pendidikan sarjana pada program alih jenis Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor melalui jalur ujian mandiri pada tahun Selama kuliah di program alih jenis, penulis pernah menjadi Bendahara I (satu) dalam kegiatan Seminar Pangan dan Gizi Nasional FIT FESTIVAL yang dilaksanakan di Hotel Brajamustika. Selain itu, penulis pernah melakukan kuliah kerja profesi di Kabupaten Banjarnegara selama 2 bulan.

9 viii PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Kebiasaaan Makan, Perilaku Hidup Bersih Dan Sehat, Dan Status Anemia Pada Remaja Putri Keluarga Pemulung di Kelurahan Sumur Batu Bantar Gebang Bekasi. Penulisan skripsi ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Bapak Prof. Ir. Ahmad Sulaeman, MS, PhD, Ibu Dr. Ir. Ikeu Ekayanti, M.Kes selaku dosen pembimbing skripsi yang senantiasa membimbing dengan penuh kesabaran, memberi arahan, masukan serta saran yang sangat membangun kepada penulis selama penyusunan usulan penelitian dan pelaksanaan penelitian hingga tersusunnya skripsi ini. 2. Bapak Dr. Ir. Hadi Riyadi, MS selaku dosen pembimbing akademik yang senantiasa membimbing, memberi arahan dan masukan serta saran yang sangat membangun kepada penulis selama menjalankan kuliah di Departemen Gizi Masyarakat, IPB. 3. Ibu Dr. Tiurma Sinaga, MFSA selaku dosen pemandu seminar dan penguji sidang yang telah memberikan masukan dan saran yang membangun kepada penulis. 4. Bunda, ayah, mas riyo dan adik yang senantiasa memberikan doa, dukungan, dorongan serta semangat kepada penulis. 5. Masyarakat wilayah Bantar Gebang, Kelurahan Sumur Batu serta SMP Negeri 27 Bekasi, Kepala Sekolah, Wakil Kepala Sekolah, Kesiswaan, Dewan Guru dan staf tata usaha serta siswi kelas VIII.1-VIII.8 terima kasih atas kerjasamanya. 6. Mba Retno, Mba Apriyanti dan Parahita Diagnostic Center, terima kasih atas kerjasamanya, semoga bisa bekerja sama kembali di lain kesempatan 7. Teman-teman penelitian Erni dan Siti serta teman-teman Alih Jenis Ilmu Gizi angkatan 4 terima kasih atas kerja sama dan semangatnya. Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Namun dengan segala kekurangan yang dimiliki, semoga skripsi hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat untuk semuanya. Bogor, Maret 2013 Arizki Witaradianingtias

10 v DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI... v DAFTAR TABEL... viii DAFTAR GAMBAR... ix DAFTAR LAMPIRAN... x PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang... 1 Tujuan... 2 Tujuan Umum... 2 Tujuan Khusus... 2 Hipotesis... 3 Kegunaan Penelitian... 3 TINJAUAN PUSTAKA... 4 Remaja Putri... 4 Kebiasaan Makan... 5 Bioavailabilitas Zat Besi... 7 Status Gizi... 9 Anemia Perilaku Hidup Bersih dan Sehat Faktor Risiko Anemia Riwayat Penyakit Riwayat Kecacingan Menstruasi Keadaan Lingkungan KERANGKA PEMIKIRAN METODE PENELITIAN Desain, Tempat dan Waktu Penelitian Jumlah dan Cara Penarikan Contoh Jenis dan Cara Pengumpulan Data Cara Pengolahan dan Analisis Data Definisi Operasional HASIL PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian Kelurahan Sumur Batu... 28

11 vi SMP Negeri 27 Bekasi Karakteristik Umum Contoh Usia Tingkat Pendidikan Orang tua Pekerjaan Orang tua Pendapatan Orang tua Pengetahuan Gizi Status Anemia Menstruasi Usia Menarche Lama Siklus Menstruasi Frekuensi Menstruasi Keteraturan Menstruasi Lama Menstruasi Kebiasaan Makan Frekuensi Konsumsi Pangan Frekuensi Konsumsi Serealia dan umbi-umbian Frekuensi Konsumsi Pangan Hewani Frekuensi Konsumsi Pangan Nabati Frekuensi Konsumsi Sayuran Frekuensi Konsumsi Buah-buahan Frekuensi Konsumsi Jajanan, Minuman dan Suplemen Konsumsi dan Tingkat Kecukupan Zat Gizi Energi Protein Vitamin A Vitamin C Vitamin D Zat Besi (Fe) Status Gizi Perilaku Hidup Bersih dan Sehat Keadaan Lingkungan Tempat Tinggal Riwayat Kecacingan Riwayat Penyakit Hubungan Keadaan lingkungan dengan Status Anemia... 53

12 vii Hubungan Kebiasaan Makan dengan Status Anemia Hubungan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat dengan Status Anemia Hubungan Riwayat Kecacingan dengan Status Anemia KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 62

13 viii DAFTAR TABEL Halaman 1 Penggolongan anemia berdasarkan kadar hemoglobin Jenis dan cara pengumpulan data Kategori dan variabel Sebaran contoh berdasarkan usia Sebaran tingkat pendidikan orang tua Sebaran pekerjaan orang tua contoh Sebaran pengetahuan gizi contoh Sebaran contoh berdasar kadar hemoglobin Sebaran usia menarche contoh Sebaran siklus menstruasi contoh Sebaran frekuensi menstruasi contoh Sebaran keteraturan menstruasi contoh Sebaran contoh berdasarkan lama menstruasi Sebaran kebiasaan makan contoh Sebaran frekuensi konsumsi serealia dan umbi-umbian contoh Sebaran frekuensi konsumsi pangan hewani contoh Sebaran frekuensi konsumsi lauk nabati contoh Sebaran frekuensi konsumsi sayuran contoh Sebaran frekuensi konsumsi buah contoh Sebaran frekuensi konsumsi jajanan, minuman dan suplemen contoh Sebaran tingkat kecukupan energi contoh Sebaran tingkat kecukupan protein contoh Sebaran tingkat kecukupan vitamin A contoh Sebaran tingkat kecukupan vitamin C contoh Sebaran tingkat kecukupan vitamin D contoh Sebaran tingkat kecukupan zat besi contoh Sebaran status gizi contoh Sebaran perilaku hidup bersih dan sehat contoh Sebaran keadaan lingkungan contoh Sebaran riwayat kecacingan contoh Sebaran contoh berdasarkan kejadian sakit (pernah/tidak) Sebaran contoh berdasarkan jenis penyakit dan frekuensi sakit... 52

14 ix DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Hubungan kebiasaan makan, perilaku hidup bersih dan sehat dan status anemia pada remaja putri keluarga pemulung di Kelurahan Sumur Batu Bantar Gebang Bekasi Lingkungan tempat tinggal contoh Proses pengambilan data Lokasi lingkungan SMP Negeri 27 Bekasi... 64

15 x DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Uji Hubungan Antar Variabel Dokumentasi hasil pengamatan Kuesioner penelitian... 65

16 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Bantar Gebang merupakan tempat yang dirancang sebagai tempat pembuangan sampah akhir dan pemusnahan sampah bagi warga DKI Jakarta dan sekitarnya. Lingkungan TPA Bantar Gebang, selain dijadikan sebagai tempat pembuangan sampah, juga digunakan sebagai pemukiman warga dan tempat mencari rizki. Dilihat dari segi kesehatan, Bantar Gebang mempunyai berbagai masalah yang berkaitan dengan kondisi lingkungan serta higiene dan sanitasi masyarakat setempat yang dapat menimbulkan berbagai gangguan pada kesehatan. Masalah kesehatan berkaitan dengan perilaku dan kebiasaan masyarakat. Kualitas lingkungan yang buruk merupakan salah satu penyebab timbulnya berbagai gangguan pada kesehatan masyarakat (Sitinjak 2011). Kondisi lingkungan tempat tinggal yang berada di kawasan TPA jauh dari kondisi yang tergolong baik. Hampir sebagian besar masyarakat yang bertempat tinggal di lokasi TPA bekerja sebagai pemulung. Tidak hanya orang dewasa, akan tetapi anak-anak bahkan remaja juga bekerja sebagai pemulung. Risiko penyakit yang ditimbulkan sebagai pemulung sangat besar, karena bekerja dan kontak langsung dengan sampah, kondisi higiene dan sanitasi yang buruk dan kurangnya perilaku hidup bersih dan sehat. Perilaku hidup bersih dan sehat merupakan perilaku proaktif untuk memelihara dan mencegah risiko terjadinya penyakit (Depkes 2004). Berdasarkan angka kesakitan di wilayah kerja Puskesmas Bantar Gebang penyakit infeksi, ISPA dan diare dari tahun selalu meningkat dan pada tahun 2010 penyakit diare murupakan urutan ke-4 dari 10 penyakit di Puskesmas Bantar Gebang. Penyakit infeksi dan diare merupakan salah satu faktor penyebab yang dapat menimbulkan anemia. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan di Papua New Guinea yang menunjukkan terdapat hubungan antar penyakit infeksi seperti malaria, diare, dan ISPA dengan kejadian anemia (Oppenheimer 2001). Anemia merupakan masalah kesehatan yang penting terkait prevalensinya yang tinggi dan dampaknya terutama pada wanita, serta merupakan masalah gizi yang memiliki pengaruh jangka panjang. Data survei yang dilakukan WHO pada tahun menunjukkan terdapat 1.65 miliyar orang terkena anemia. Prevalensi anemia yang terjadi di Indonesia berdasarkan

17 2 data RISKESDAS (2007) menunjukkan 11.9% remaja yang mengalami anemia. Penelitian yang dilakukan oleh Veryana (2004), terhadap siswi sekolah di lingkungan Bantar Gebang dengan usia 9-15 tahun menunjukkan sebesar 32.4% mengalami anemia. Remaja putri merupakan kelompok populasi yang rawan terhadap defisiensi gizi khususnya defisiensi besi yang dapat mengakibatkan anemia. Menurut WHO (2001) anemia pada remaja dapat menyebabkan penurunan daya tahan tubuh, performa kognitif atau kecerdasan dan gangguan pertumbuhan. Anemia pada remaja putri keluarga pemulung dapat dipengaruhi oleh kebiasaan makan dan kurangnya konsumsi pangan, sehingga kurangnya zat gizi yang dibutuhkan dalam tubuh, termasuk zat besi. Penelitian yang dilakukan mengenai perilaku hidup bersih dan sehat, kebiasaan makan, dan kondisi lingkungan tempat tinggal yang dikaitkan dengan kejadian anemia pada remaja putri keluarga pemulung masih tergolong kurang. Hal ini terkait dengan lingkungan tempat tinggal remaja putri yang berdekatan dengan lokasi tempat pembuangan sampah akhir (TPA), keterlibatan dalam memulung sampah dan rentannya risiko penyakit yang ditimbulkan dari dampak sampah tersebut. Berdasarkan kondisi tersebut, maka dilakukan penelitian untuk mengetahui kebiasaan makan, perilaku hidup bersih dan sehat dan status anemia yang terjadi pada remaja putri keluarga pemulung. Tujuan Tujuan Umum Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui kebiasaan makan, perilaku hidup bersih dan sehat dan status anemia pada remaja putri keluarga pemulung di Kelurahan Sumur Batu Bantar Gebang Bekasi. Tujuan Khusus 1. Mengetahui karakteristik individu dan keluarga remaja putri keluarga pemulung di Kelurahan Sumur Batu Bantar Gebang Bekasi. 2. Mengkaji status anemia remaja putri keluarga pemulung di Kelurahan Sumur Batu Bantar Gebang Bekasi. 3. Mengidentifikasi perilaku hidup bersih dan sehat serta lingkungan tempat tinggal remaja putri keluarga pemulung di Kelurahan Sumur Batu Bantar Gebang Bekasi. 4. Mengidentifikasi kebiasaan makan dan konsumsi pangan remaja putri keluarga pemulung di Kelurahan Sumur Batu Bantar Gebang Bekasi.

18 3 5. Menganalisis hubungan antara kebiasaan makan dengan status anemia pada remaja putri keluarga pemulung di Kelurahan Sumur Batu Bantar Gebang Bekasi. 6. Menganalisis hubungan antara kondisi lingkungan tempat tinggal dengan status anemia pada remaja putri keluarga pemulung di Kelurahan Sumur Batu Bantar Gebang Bekasi. 7. Menganalisis hubungan perilaku hidup bersih dan sehat dengan status anemia remaja putri keluarga pemulung di Kelurahan Sumur Batu Bantar Gebang Bekasi 8. Menganalisis hubungan riwayat kecacingan dengan status anemia remaja putri keluarga pemulung di Kelurahan Sumur Batu Bantar Gebang Bekasi Hipotesis Terdapat hubungan antara kebiasaan makan, perilaku hidup bersih dan sehat, keadaan lingkungan dengan status anemia pada remaja putri keluarga pemulung di Kelurahan Sumur Batu Bantar Gebang Bekasi. Kegunaan Penelitian 1. Bagi Dinas Kesehatan Kota Bekasi, penelitian ini berguna sebagai bahan dalam perumusan program atau kegiatan terkait dengan penanganan kesehatan masyarakat khususnya di wilayah Kelurahan Sumur Batu Bantar Gebang Bekasi 2. Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat berguna dan memberikan informasi pada remaja putri khususnya yang tinggal di lingkungan Kelurahan Sumur Batu Bantar Gebang sebagai usaha dalam meningkatkan kesadaran tentang faktor risiko anemia. 3. Bagi institusi dan pengembangan ilmiah lainnya dapat dijadikan sebagai bahan acuan dalam penelitian berikutnya

19 4 TINJAUAN PUSTAKA Remaja Putri Remaja merupakan bagian dari kelompok masyarakat yang perlu mendapatkan perhatian penting. Masa remaja merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan yang membutuhkan zat gizi yang optimal. Kelompok remaja menunjukkan fase pertumbuhan yang pesat yang disebut adolescent growth sput, sehingga memerlukan zat gizi yang relatif besar jumlahnya. Masa remaja merupakan periode kehidupan anak dan dewasa, yang berawal pada usia 9-10 tahun dan berakhir di usia 18 tahun, masa ini merupakan masa pertumbuhan yang panjang dan rentan dalam artian fisik, psikis, sosial, dan gizi (Arisman 2007). WHO mendefinisikan remaja sebagai bagian dari siklus hidup antara usia tahun. Remaja berada diantara dua masa hidup, dengan beberapa masalah gizi yang sering terjadi pada anak-anak dan dewasa. Pertumbuhan pada remaja seperti tinggi badan dapat mencapai 15% dan dapat mencapai 50% berat badan saat dewasa. Pertumbuhan tersebut dipengaruhi oleh pengeluaran energi, asupan gizi, dan penyakit infeksi. Adanya kekurangan zat gizi mikro dapat mengganggu pertumbuhan dan menghambat pematangan seksual. Kebutuhan seseorang tidak dapat diestimasikan dengan menggunakan pertimbangan variasi dalam tingkat dan jumlah pertumbuhan (Supariasa 2001). Remaja putri merupakan kelompok populasi yang rawan terhadap defisiensi gizi khususnya defisiensi zat besi. Dalam masa puncak pertumbuhan, dibutuhkan zat besi yang lebih tinggi yaitu untuk kebutuhan basal tubuh dan pertumbuhan itu sendiri. Puncak pertumbuhan pada remaja putri terjadi sebelum mengalami menstruasi pertama atau sekitar usia tahun (Arisman 2007). Menurut Wiseman (2002), kebutuhan zat besi pada remaja putri meningkat ketika mengalami menstruasi. Kebutuhan zat besi meningkat dibandingkan dengan kebutuhan saat sebelum remaja sebesar mg/hari atau mungkin lebih saat mengalami menstruasi. Menurut Beard (2000) menyebutkan bahwa peningkatan kebutuhan zat besi dalam darah bersamaan dengan peningkatan total volume darah, yang dimulai pada masa sebelum remaja sampai dengan masa puncak pertumbuhan remaja. Peningkatan ini berhubungan dengan waktu dan ukuran pertumbuhan, seperti kematangan seksual dan terjadinya menstruasi. Hal ini menyebabkan wanita lebih rawan terhadap anemia besi dibandingkan dengan pria (Beard

20 5 2000). Oleh karena itu, dibutuhkannya asupan zat besi yang cukup untuk menunjang proses tersebut. Kecukupan zat besi yang dibutuhkan oleh remaja putri dengan usia tahun adalah sebesar 26 mg/hari (WNPG 2004). Pertumbuhan yang pesat dan perubahan tubuh yang dimiliki cenderung disertai kelelahan, kelesuan dan gejala-gejala buruk lainnya. Anemia sering terjadi pada masa ini, bukan karena adanya perubahan dalam kimiawi darah tetapi kebiasaan makan yang tidak menentu yang semakin menambah kelelahan dan kelesuan (Hurlock 1980). Kebiasaan Makan Kebiasaan makan adalah suatu istilah untuk menggambarkan kebiasaan dan perilaku yang berhubungan dengan makanan dan makan, seperti tata krama makan, frekuensi makan, pola makan, kepercayaan tentang makanan, penerimaan terhadap makanan dan cara pemilihan bahan makanan yang dimakan sebagai reaksi fisiologik, psikologik, sosial, dan budaya (Suhardjo 1989). Kebiasaan makan yang baik dimulai di rumah atas bimbingan orang tua. Menurut penelitian Sukandar (2007), kebiasan makan yang baik merupakan kebiasaan makan yang dapat menunjang terpenuhinya kecukupan gizi, sedangkan kebiasan makan yang buruk merupakan kebiasan makan yang dapat menghambat terpenuhinya kecukupan zat gizi, seperti adanya pantangan atau tabu yang berlawanan dengan konsep gizi. Menurut Sanjur (1982), terdapat empat faktor yang mempengaruhi kebiasaan makan yaitu, 1) konsumsi pangan (pola pangan seperti jenis, jumlah, frekuensi, proporsi pangan yang dikonsumsi atau susunan/komposisi pangan), 2) preferensi terhadap pangan (sikap terhadap pangan seperti rasa suka dan tidak suka, pangan yang belum pernah dikonsumsi), 3) ideologi atau pengetahuan terhadap pangan seperti kepercayaan dan tabu, 4) sosial budaya pangan yang meliputi umur, asal pendidikan, kebiasaan membaca, besar keluarga, susunan keluarga, mata pencaharian, luas kepemilikan lahan dan ketersediaan pangan. Kebiasan makan tersebut akan berpengaruh terhadap pola makan pada setiap individu dalam kesehariannya. Kebiasaan makan yang diperoleh semasa remaja akan berdampak pada kesehatan dalam fase kehidupan selanjutnya, setelah dewasa dan berusia lanjut. Tidak sedikit survei yang mencatat ketidak cukupan asupan zat gizi yang berasal dari konsumsi makan para remaja. Remaja bukan hanya melewatkan waktu makan (terutama sarapan) dengan alasan tidak sempat, tetapi juga sangat suka

21 6 mengonsumsi junk food. Faktor dasar yang mempengaruhi jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi adalah rasa lapar dan kenyang, ketersedian pangan, suku, budaya, status sosial ekonomi dan pendidikan. Menurut Arisman (2007), remaja cenderung menabukan jenis makanan tertentu. Selain itu, tekanan fisik dan psikososial mempengaruhi kebiasaan makan remaja. Sikap ini terbentuk karena sifat remaja sering mencoba hal baru, dan dapat melekatkan ciri khusus pada diri mereka. Konsumsi makanan yang mengandung cukup zat gizi sangat penting, salah satu contoh zat gizi yang penting adalah zat besi. Kekurangan zat besi pada usia remaja dapat menyebabkan dampak di usia lanjut, anemia dan keadaan kurang besi dapat dicegah dan ditanggulangi dengan meningkatkan konsumsi pangan yang kaya akan zat besi (Arisman 2007). Kebiasaan makan mempengaruhi konsumsi pangan remaja putri. Menurut survei yang dilakukan oleh Hurlock (1997), remaja suka sekali jajan snack. Jenis makanan ringan yang dikonsumsi adalah kue-kue yang rasanya manis, pastry dan permen. Namun demikian golongan sayuran dan buah-buahan yang mengandung banyak vitamin C tidak populer atau jarang dikonsumsi, sehingga dalam diet mereka rendah akan zat besi, vitamin C dan zat gizi lainnya. Selain itu, remaja putri menyukai minuman ringan, teh dan kopi yang frekuensinya sering dibandingkan dengan susu. Kebiasaan makan pada remaja putri tidak terlepas dari pengetahuan gizinya. Pengetahuan gizi merupakan pemahaman seseorang terhadap ilmu gizi, zat gizi, serta interaksi antara zat gizi terhadap status gizi dan kesehatan. Semakin baik pengetahuan gizi seseorang, maka akan semakin memperhatikan kualitas dan kuantitas pangan yang dikonsumsinya (Khomsan 2000). Konsumsi Pangan Konsumsi pangan merupakan hal penting dalam memenuhi kebutuhan zat gizi pada remaja. Konsumsi pangan yang bergizi akan membantu remaja dalam proses pertumbuhan tubuh dan perkembangan mental. Konsumsi pangan merupakan informasi tentang jenis dan jumlah pangan yang dimakan (dikonsumsi) seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu. Konsumsi pangan dapat ditinjau berdasarkan aspek jenis pangan dan jumlah pangan yang dikonsumsi. Pengukuran yang dapat digunakan untuk mengetahui konsumsi pangan adalah metode frekuensi pangan yang dalam pelaksanaannya dilakukan pencatatan frekuensi atau banyaknya penggunaan pangan yang biasanya dikonsumsi untuk suatu periode waktu tertentu (Kusharto dan Sa diyyah 2006).

22 7 Penggunaan metode frekuensi pangan bertujuan untuk memperoleh data konsumsi secara kualitatif dan informasi deskriptif tentang pola konsumsi. Frekuensi konsumsi pangan dikategorikan menjadi empat kategori yang dimodifikasi dari Gibson (2005) yaitu selalu (1 kali sehari hingga lebih dari 1 kali sehari), kadang-kadang (3-6 kali seminggu), jarang (1 atau 2 kali seminggu), dan tidak pernah. Dari data frekuensi pangan dapat diketahui jenis pangan yang dikonsumsi. Metode frekuensi pangan, dapat dilakukan dengan menggunakan kuesioner frekuensi pangan atau food frequency quitionaire (FFQ) maupun modifikasi terhadap FFQ yaitu metode kuesioner pangan semikuantitatif (FFQ semikuantitatif), dengan menambahkan patokan ukuran rumah tangga (URT) dan berat pangan (gram). Menurut Widajanti (2009), metode FFQ semikuantitatif memudahkan dalam mendapatkan variasi, frekuensi dan kuantitas pangan sehingga zat gizi dapat dikorelasikan dengan Indeks Massa Tubuh (IMT), Hemoglobin, kadar lemak tubuh, status penyakit, sosial-ekonomi, kondisi atau kesehatan lingkungan dan perilaku seseorang atau masyarakat. Konsumsi pangan yang dilihat melalui FFQ semikuantitatif, dapat diketahui berat dan porsi yang dikonsumsi seseorang. Berat dan porsi yang diperoleh dapat dibandingkan dengan anjuran konsumsi rata-rata sehari berdasarkan PUGS Pedoman umum gizi seimbang (PUGS) menganjurkan agar 60-75% kebutuhan energi diperoleh dari karbohidrat terutama karbohidrat kompleks. Tingkat kecukupan energi yang defisit dalam jangka waktu tertentu dapat mengakibatkan tubuh kekurangan energi sehingga mengalami keseimbangan energi yang negatif akibat lebih banyak energi yang dikeluarkan daripada energi yang masuk. Jika keadaan ini tidak segera diperbaiki dapat menyebabkan penurunan berat badan dan kerusakan jaringan tubuh (Almatsier 2008). Bioavailabilitas Zat Besi Zat besi merupakan salah satu mineral mikro yang paling banyak terdapat di dalam tubuh manusia, yakni sebanyak 3-5 gram di dalam tubuh manusia dewasa (Almatsier 2008). Besi mempunyai beberapa fungsi esensial di dalam tubuh, yaitu sebagai alat angkut oksigen dari paru-paru ke jaringan tubuh, sebagai alat angkut elektron di dalam sel dan sebagai bagian terpadu berbagai reaksi enzim di dalam jaringan tubuh (Almatsier 2008). Makanan yang mengandung banyak zat besi yang mudah diserap dan nilai biologisnya tinggi

23 8 adalah makanan yang berasal dari hewan, khususnya daging, ayam dan ikan. Daya serap dan nilai biologi zat besi makanan dipengaruhi oleh empat hal, yaitu ketersediaan zat besi dalam tubuh, bioavailabilitas zat besi, dan faktor penghambat dan pemicu, serta cara pengolahan makanan. Zat besi dalam makanan ada yang berbentuk zat besi heme (heme iron) seperti yang terdapat dalam daging, ayam, ikan, dan hati, sedangkan zat besi bukan heme (non heme) seperti yang terdapat dalam susu, telur, beras dan sereal lainya, sayur dan buah-buahan. Zat besi dalam bentuk heme lebih mudah diserap dibandingkan dengan zat besi non heme. Zat besi heme dapat diserap 20-30% dalam keadaan normal dan 40-50% pada penderita anemia, sedangkan besi non heme dapat diserap sebanyak 5% dan tergantung dengan ada tidaknya zat pemicu atau penghambat (Soekirman 2000). Tidak semua zat besi yang berada dalam makanan dapat diserap oleh tubuh karena bioavailabilitasnya yang rendah atau kurangnya asupan pangan hewani. Perhitungan perkiraan penyerapan besi dapat didasarkan pola konsumsi makanan yaitu; 1) penyerapan besi tinggi (15%), 2) penyerapan besi sedang (10%) dan 3) penyerapan besi rendah (5%). Pada makanan yang porsi sumber hewaninya besar maka penyerapan besi menjadi maksimal. Sebaliknya menu makanan yang sebagian besar terdiri dari sumber nabati, penyerapan besi menjadi minimal (WNPG 2004). Hal ini dikarenakan konsumsi besi dalam bentuk heme mempunyai keuntungan ganda, yakni selain mudah diserap (23%) dibanding besi dari non heme (2-20%), besi dalam bentuk heme juga membantu penyerapan besi non heme. Vitamin C merupakan zat gizi yang dapat membantu penyerapan zat besi (enhancer). Adapun jenis pangan yang mengandung vitamin C, seperti pepaya, jambu biji, pisang, mangga, jeruk, apel, nanas dan lain sebagainya. Vitamin C juga dapat memperbaiki status hematologi dengan mekanisme lain, yaitu mengurangi pengaruh inhibitor pada komponen pangan nabati (seperti tanin pada teh). Konsumsi vitamin C juga dapat meningkatkan penyerapan empat kali besi non-heme (Briawan 2008). Kurangnya vitamin C dalam tubuh dapat mengakibatkan terganggunya penyerapan besi, karena vitamin C membentuk besi-askorbat yang tetap larut pada ph di dalam duodenum sehingga dapat pula menyebabkan terjadinya anemia (Almatsier 2008). Selain itu, defisiensi vitamin C diduga dapat berhubungan dengan anemia, meskipun belum jelas peranannya

24 9 secara langsung dalam mencegah anemia, atau secara tidak langsung meningkatkan penyerapan zat besi dari pangan nabati (non heme). Selain vitamin C, vitamin A juga dapat mempengaruhi penyimpanan atau metabolisme serta dapat mempengaruhi diferensiasi sel darah merah, sementara vitamin C membantu dalam penyerapan sumber non heme, merubah bentuk besi ferritin dan membantu stabilisasi ferritin (Groff dan Gropper 2000). Menurut Charles et al. (2012), menyebutkan bahwa vitamin A sangat penting untuk hematopoesis dan diperlukan untuk mobilisasi besi dalam sintesis hemoglobin. Faktor-faktor yang dapat menghambat penyerapan besi diantaranya, adanya asam fitat, asam oksalat, tanin, kalsium dosis tinggi dan konsumsi obatobatan yang bersifat basa seperti antasid. Jenis bahan pangan yang yang mengandung fitat seperti yang terdapat dalam bekatul, beras, jagung, susu cokelat, protein kedelai, dan kacang-kacangan merupakan bahan pangan yang dapat menghambat penyerapan besi. Selain itu, seperti polifenol yang terdapat pada teh, kopi, bayam, dan kacang-kacangan juga dapat menghambat penyerapan besi (Soekirman 2000). Menurut Almatsier (2008), kandungan fitat yang terdapat dalam serat serealia dapat mengikat besi sehingga mempersulit penyerapannya. Selain itu, zat besi yang terkandung dalam kedelai dan hasil olahannya cukup tinggi, hasil akhir terhadap penyerapan zat besi pun biasanya akan positif. Walaupun sumber zat besi terutama besi heme, yang memiliki nilai bioavailabilitas yang tinggi, namun sangat jarang dikonsumsi oleh remaja. Apabila makanan yang dikonsumsi oleh remaja tidak beragam (hanya berasal dari jenis nabati) maka kurang terpenuhinya ketersediaan zat besi dalam tubuhnya, akan tetapi bila remaja mengonsumsi makanan yang berasal dari pangan hewani dapat meningkatkan penyerapan zat besi seperti daging, ayam, ikan dan vitamin C maka ketersediaan zat besi dalam makanan dapat ditingkatkan sehingga kebutuhan zat besi akan terpenuhi (Husaini 1989). Status Gizi Status gizi merupakan ekspresi dari keadaan keseimbangan antara konsumsi dan penyerapan zat gizi. Beberapa cara untuk mengukur status gizi yaitu dengan pengukuran antopometri, klinik dan laboratorium. Selain itu, pengukuran status gizi dapat dilakukan secara tidak langsung menggunakan survei konsumsi dengan melihat jumlah dan jenis zat gizi yang dikonsumsi. Pengukuran status gizi bertujuan untuk mengetahui keadaan gizi seseorang.

25 10 Remaja putri yang berstatus gizi baik akan lebih cepat mengalami pertumbuhan badan dan menstruasi dibandingkan yang memiliki status gizi kurang (ACC/SCN 1991). Pengukuran status gizi secara antropometri merupakan suatu metode untuk mengukur dimensi dan komposisi tubuh. Pengukuran antropometri juga berbeda sesuai dengan umur (jenis kelamin dan ras) dan tingkatan gizi individu (Gibson 2005). Status gizi tidak hanya diketahui dengan mengukur berat badan (BB) dan tinggi badan (TB) sesuai umur, akan tetapi dapat juga diketahui dengan menggunakan Indeks Massa Tubuh (IMT) sesuai umur. Antropometri sangat penting pada masa remaja karena dapat memonitor dan mengevaluasi perubahan pertumbuhan dan kematangan yang dipengaruhi oleh faktor hormonal. Menurut Riyadi (2003), pengukuran status gizi pada remaja yang paling realible adalah dengan menggunakan Indeks Massa Tubuh (IMT). IMT didapatkan dengan cara membagi berat badan dalam kilogram dengan tinggi badan dalam satuan meter yang dikuadratkan. Indeks IMT/U digunakan untuk indikator status gizi dengan rentang usia 9-24 tahun berdasarkan nilai Z-skor. Z- skor merupakan deviasi atau simpangan dari nilai median populasi refrensi, yang dibagi dengan standar populasi refrensi. Z-skor = IMT menurut umur direkomendasikan sebagai indikator terbaik untuk remaja. Hasil analisis data RISKESDAS (2010) indikator IMT/U memerlukan informasi tentang umur dan juga telah divalidasi sebagai indikator lemak tubuh total pada persentil atas serta indikator IMT/U diketahui dengan cara menghitung berat badan (kg) dibagi dengan tinggi badan (m 2 ) kemudian hasil yang didapatkan dibandingkan dengan refrensi IMT pada umur yang sama dengan anak yang nilai status gizinya. Kategori IMT/U anak dan remaja berdasarkan WHO (2007), yaitu sangat kurus (<-3 SD), kurus (-3 SD z <-2 SD), normal (-2 SD z +1 SD), overweight (+1 SD < z +2 SD) dan obese (>+2 SD). Berdasarkan hasil penelitian Permaesih dan Herman (2005), menunjukkan bahwa remaja yang mempunyai IMT kurang atau tubuh kurus mempunyai risiko 1.5 kali untuk mengalami anemia. Selain itu IMT juga memiliki nilai korelasi positif dengan konsentrasi hemoglobin. Anemia Anemia merupakan masalah gizi yang tergolong besar dan sangat umum. Umumnya anemia banyak terjadi pada kaum wanita, akan tetapi terdapat pula

26 11 kasus pada pria. Anemia terjadi apabila kepekatan hemoglobin dalam darah di bawah batas normal. Kadar hemoglobin normal pada wanita berkisar antara g/dl (Almatsier 2008). Anemia gizi besi dapat terjadi melalui banyak faktor yaitu; 1) asupan zat besi dan bioavailabilitas, 2) meningkatnya kebutuhan zat besi dalam tubuh khususnya pada ibu hamil, anak-anak dan remaja, 3) kehilangan banyak darah karena menstruasi, ulcers ataupun infeksi karena parasit (cacing tambang), 4) gangguan penyerapan karena adanya infeksi dan atau bersamaan dengan defisiensi mikronutrien lainnya (Charles et al. 2012). Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Dreyfuss et al. (2000) menunjukkan bahwa infeksi cacing berhubungan kuat dengan berkurangnya cadangan zat besi. Batas ambang anemia untuk wanita usia 11 tahun keatas adalah apabila konsentrasi atau kadar hemoglobin dalam darah kurang dari 12 g/dl (WHO 2001). Penggolongan anemia menjadi ringan, sedang dan berat belum terdapat keseragaman mengenai penggolongan anemia, akan tetapi untuk mempermudah dalam pengobatan, menurut ACC/SCN (1991) anemia dapat digolongkan menjadi tiga berdasarkan kadar hemoglobin: Tabel 1 Penggolongan anemia berdasarkan kadar hemoglobin Anemia Hb (g/dl) Ringan Sedang Berat <7.0 Sumber: ACC/SCN (1991) Sebelum terjadinya anemia biasanya terjadi kekurangan zat besi secara perlahan. Menurut Almatsier (2008), kekurangan zat besi terjadi dalam tiga tahap. Tahap pertama terjadi ketika simpanan besi berkurang yang dapat dilihat dari penurunan ferritin dalam plasma hingga 12 µg/l. Hal ini dikompensasi dengan peningkatan absorbsi besi yang terlihat dari peningkatan kemampuan daya ikat besi (Total Iron Binding Capacity/TIBC) dan belum terlihat adanya perubahan fungsional pada tubuh. Tahap kedua dapat terlihat dari semakin berkurangnya simpanan besi, menurunnya transferin dan meningkatnya protoporfirin yaitu bentuk awal (precursor) heme, serta kadar hemoglobin di dalam darah masih 95% dari kadar normal. Hal ini dapat mengganggu metabolisme energi, sehingga dapat menyebabkan menurunkan kemampuan bekerja. Tahap ketiga terjadi anemia gizi besi, dimana kadar hemoglobin turun di bawah kadar normal yang ditandai oleh hemoglobin menurun (hypocromic) dan eritrosit mengecil (microcytic) serta terjadinya anemia gizi besi (Almatsier 2008)

27 12 Beberapa hasil penelitian menyebutkan bahwa prevalensi anemia sebesar 32-55%, bahkan di negara maju, sekitar 20 sampai 30% dari wanita usia subur memiliki simpanan besi dalam jumlah sedikit (Allen dan Gillespie 2001). Berdasarkan hasil penelitian Dwiriani et al. (2011) 14.3% remaja putri mengalami anemia ringan dan 0.9% mengalami anemia sedang yang dilihat berdasarkan kadar Hb. WHO mengklasifikasikan tingkatan kejadian anemia menurut besarnya prevalensi yaitu <15% tergolong rendah, 15-40% sedang dan >40% tinggi (Allen dan Gillespie 2001). Dampak anemia terhadap remaja putri dapat menyebabkan berbagai hal seperti penurunan kebugaran, pertumbuhan yang terganggu, penurunan produktifitas, serta pengaruh terhadap kesehatan seperti mengalami 5L (lemah, letih, lesu, lelah dan lunglai). Pengaruh rasa cepat lelah disebabkan karena metabolisme energi oleh otot tidak berjalan dengan sempurna karena otot kekurangan oksigen. Salah satu ciri anemia adalah kekurangan hemoglobin, yang berarti alat angkut oksigen berkurang sehingga untuk menyesuaikan dengan berkurangnya oksigen maka otot membatasi produksi energi dan mengakibatkan cepat lelah (Soekirman 2000). Berbagai penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara anemia dan gangguan fungsi otak dan perilaku kognitif. Anemia dapat menurunkan kinerja fisik, hambatan perkembangan dan menurunkan kognitif selain itu juga dapat menurunkan daya tahan tubuh (WNPG 2004). Kekurangan zat besi karena anemia mempengaruhi proses pertumbuhan dan perkembangan atau kematangan sel otak serta menghambat produksi dan pemecahan zat senyawa transmiter yang diperlukan untuk mengantar rangsangan pesan dari satu sel neuron ke neuron lainnya. Gangguan ini dapat berpengaruh pada kinerja otak (Soekirman 2000). Anemia dapat mempengaruhi tingkat kesegaran jasmani seseorang. Dalam penelitian Permaesih dan Herman (2005), menunjukkan 25% remaja di Bandung mempunyai kesegaran jasmani kurang dari normal. Aktifitas fisik erat kaitannya dengan kesehatan tubuh secara keseluruhan. Aktifitas penting untuk mengetahui apakah aktivitas tersebut dapat mengubah status zat besi. Kemampuan aktivitas akan menurun berkaitan dengan penurunan konsentrasi hemoglobin dan jaringan yang mengalami defisiensi besi. Indikator paling umum yang digunakan untuk mengetahui kekurangan besi adalah dengan melakukan pengukuran jumlah dan ukuran sel darah merah

28 13 serta kadar hemoglobin darah. Selain itu, dapat juga dilihat berdasarkan kadar ferritin. Kadar hemoglobin kurang peka terhadap tahap awal kekurangan besi, akan tetapi akan berguna untuk mengetahui beratnya anemia yang dialami (Almatsier 2008). Perilaku Hidup Bersih dan Sehat Perilaku hidup bersih dan sehat mencerminkan perilaku seseorang dalam menjaga kebersihan diri guna mencegah terjadinya penyakit. Menurut Depkes (2004), perilaku hidup bersih dan sehat adalah perilaku proaktif untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah risiko terjadinya penyakit, melindungi diri dari ancaman penyakit serta berperan aktif dalam gerakan kesehatan masyarakat. Indikator PHBS digunakan sebagai alat ukur dalam menilai keadaan atau permasalahan kesehatan. Indikator PHBS terbagi dalam berbagai bidang yaitu bidang kesehatan lingkungan, pemeliharaan kesehatan, gaya hidup sehat, obat dan farmasi, gizi, serta KIA dan kesehatan balita (Depkes 2006). Indikator kesehatan lingkungan terdiri dari 1) cuci tangan dengan sabun dan air setelah buang air besar, 2) menghuni rumah sehat, 3) memiliki akses dan menggunakan air bersih, 4) memiliki akses dan menggunakan jamban, 5) memberantas jentik nyamuk dan 6) membuang sampah di tempat sampah. Sedangkan indikator PHBS bidang gaya hidup sehat yaitu 1) tidak merokok di dalam maupun di luar rumah, 2) melakukan aktivitas fisik/olahraga setiap hari, 3) makan sayur dan buah-buahan setiap hari (Depkes 2006). Perilaku hidup sehat erat kaitannya dengan higiene perorangan. Higiene perorangan meliputi kebersihan kulit, rambut, kuku, mata, telinga, gigi, mulut, tangan, kaki dan kebersihan sesudah buang air besar (Depkes 2004). Terbiasanya mencuci tangan sebelum dan sesudah makan dengan sabun diharapkan dapat menghilangkan kuman-kuman dan telur cacing yang terdapat pada tangan, yang kemudian dapat menyebabkan kecacingan karena masuk ke dalam mulut melalui tangan. Tangan yang bersentuhan langsung dengan kotoran manusia dan hewan, ataupun cairan tubuh lain seperti ingus dan air ludah dapat terkontaminasi oleh kuman-kuman penyakit seperti bakteri, virus dan parasit yang dapat menempel pada permukaan kulit. Menurut Depkes (2006) tangan akan bebas dari kuman penyakit apabila cuci tangan dengan baik dan benar. Cuci tangan menggunakan sabun adalah salah satu tindakan sanitasi dengan membersihkan tangan dan jari jemari

29 14 menggunakan air dan sabun oleh manusia untuk menjadi bersih dan memutuskan mata rantai kuman. Mencuci tangan dengan sabun dikenal juga sebagai salah satu upaya pencegahan penyakit, karena mencuci tangan dengan air saja tidak cukup. Faktor Risiko Anemia Riwayat Penyakit Status kesehatan seseorang berpengaruh terhadap daya tahan tubuh dalam melawan berbagai jenis penyakit. Menurut Permaesih dan Herman (2005), anemia dapat menurunkan daya tahan tubuh sehingga tubuh mudah terkena infeksi. Infeksi merupakan salah satu penyebab terjadinya anemia dan anemia merupakan konsekuensi dari peradangan dan asupan makanan yang tidak memenuhi kebutuhan zat besi (Thumham dan Northrop-Clewes 2007). Jika terjadi infestasi parasit, schistosomiasis dan trauma dapat menyebabkan kehilangan darah serta terjadinya defisiensi besi yang berakibat terhadap sistem imun (Arisman 2007). Angka kesakitan akibat penyakit infeksi meningkat pada populasi defisiensi besi akibat efek yang merugikan terhadap sistem imun (WHO 2001). Penyakit infeksi seperti malaria dapat menyebabkan rendahnya kadar hemoglobin, hal ini terjadi akibat hemolisis sel darah merah. Hasil penelitian Dreyfuss et al. (2000) yang dilakukan terhadap wanita hamil di Nepal terdapat bukti bahwa malaria berhubungan dengan defisiensi besi. Hasil penelitian Veryana (2004) menunjukkan 0.9% remaja putri di Kota Bekasi tidak memiliki riwayat penyakit yang berhubungan dengan anemia seperti malaria, tuberkulosis dan kecacingan. Berbeda dengan hasil penelitian Permaesih dan Herman (2005) yang menunjukkan sakit yang diderita contoh baik satu tahun atau satu bulan sebelumnya berhubungan secara bermakna dengan status anemia. Penyakit infeksi terutama malaria, kecacingan dan infeksi lainnya seperti tuberkulosis merupakan faktor penting yang memberikan kontribusi terhadap tingginya prevalensi anemia di banyak populasi (WHO 2004). Hasil penelitian Permaesih dan Herman (2005), menerangkan bahwa kejadian sakit baik satu tahun atau satu bulan sebelumnya berhubungan secara bermakna denga status anemia. Riwayat Kecacingan Infeksi yang disebabkan oleh cacing tambang mengakibatkan terjadinya pendarahan pada dinding usus, walaupun infeksi yang ditimbulkan tidak besar (sedikit) dapat menyebabkan kehilangan darah ataupun zat besi. Intensitas

30 15 infeksi cacing tambang yang menyebabkan anemia defisiensi zat besi bervariasi menurut spesies dan status zat besi dalam tubuh. Spesies cacing tambang yang menyebabkan banyak kehilangan darah adalah Ancylostoma duodenale (Dreyfuss et al. 2000). Cacing tambang dapat menginfeksi seseorang baik secara pasif melalui makanan dan aktif melalui kulit. Faktor yang menyebabkan timbulnya masalah infeksi adalah kuku siswa yang kotor, adanya kebiasaan mengonsumsi jajanan yang kotor serta kebiasaan tidak memakai alas kaki (Veryana 2004). Menurut Dreyfuss et al. (2000), adanya infeksi cacing dapat menyebabkan pendarahan pada usus, meskipun sedikit tetapi terjadi secara terus menerus sehingga dapat mengakibatkan kehilangan darah. Selain itu, infeksi yang disebakan oleh cacing tambang dapat menyebabkan kehilangan darah antara cc/hari, tergantung dari beratnya infestasi (Arisman 2007). Menstruasi Pada remaja putri kehilangan darah secara alamiah setiap bulan atau yang diketahui dengan menstruasi. Anemia pada remaja putri disebabkan karena pada masa ini remaja putri membutuhkan zat gizi yang lebih banyak. Rata-rata kebutuhan zat besi pada remaja putri berkisar antara mg yang digunakan untuk mengganti besi yang hilang secara basal ( mg/hari) dan haid ( mg/hari). Jika darah yang keluar selama menstruasi berlangsung sangat banyak, maka akan terjadi anemia defisiensi zat besi. Saat menstruasi terjadi pengeluaran darah dari tubuh yang menyebabkan zat besi yang terkandung dalam hemoglobin juga ikut terbuang (Affandi 1990). Sebagian besar remaja akan mendapat haid pertama pada umur tahun (Affandi 1990). Usia menarche wanita bila kurang dari 10 tahun tergolong cepat, tahun tergolong normal dan lebih dari 14 tahun tergolong lambat (Pearce 1992). Usia pertama kali menstruasi pada umumnya tertunda pada seseorang dengan status gizi underweight. Dalam 1-4 tahun pertama setelah menarche, biasanya ovulasi (pelepasan sel telur) belum terjadi. Hal ini yang dapat menyebabkan menstruasi lama dan banyak serta tidak teratur Lama menstruasi pada setiap wanita biasanya antara 3 sampai 5 hari, ada yang 1 sampai 2 hari dan diikuti darah sedikit-sedikit, dan ada yang 7 sampai 8 hari. Sebagian besar peneliti menemukan bahwa rata-rata lama menstruasi 3 sampai 5 hari dianggap normal dan lebih dari 8 sampai 9 hari tidak normal (Affandi 1990). Awal siklus menstruasi dihitung sejak pendarahan pada hari ke-1

31 16 dan berakhir tepat sebelum siklus menstruasi berikutnya. Umumnya siklus menstruasi berkisar antara hari. Hanya 10-15% wanita yang memiliki siklus 28 hari. Beberapa faktor yang menggangu kelancaran siklus menstruasi, yaitu faktor stress, perubahan berat badan dan olah raga yang berlebihan. Ketidakteraturan menstruasi merupakan suatu proses fisiologis wanita yang berkaitan dengan berbagai organ, hormon dan susunan syaraf pusat (Affandi & Danukusumo 1990). Beberapa penelitian membuktikan bahwa jumlah darah yang hilang selama periode haid berkisar antara cc. jumlah ini menyiratkan kehilangan zat besi sebesar mg/bulan, atau sama dengan mg sehari. jika jumlah tersebut ditambah dengan kehilangan basal, jumlah total zat besi yang hilang sebesar 1.25 mg/hari (Arisman 2007). Semakin sering menstruasi berlangsung, maka semakin banyak pengeluaran dari tubuh. Hal tersebut dapat mengakibatkan pengeluaran besi meningkat dan keseimbangan zat besi dalam tubuh tergangu (Depkes 1998). Keadaan Lingkungan Sanitasi lingkungan sangat mempengaruhi kesehatan dan kebersihan lingkungan. Sementara lingkungan yang bersih dan sehat menjadi indikator kesehatan seseorang. Selain itu, lingkungan yang bersih dan sehat akan mencegah penularan penyakit (Sukandar 2007). Lingkungan berpengaruh terhadap terjadinya penyakit dan hal ini sudah sejak lama diperkirakan oleh orang (Slamet 1996). Lingkungan berpengaruh pada terjadinya penyakit karena penyakit terjadi akibat adanya interaksi antara manusia dengan lingkungan hidupnya. Keadaan lingkungan rumah dapat menunjang kesehatan. Adapun persyaratan rumah sehat diantaranya 1) lantai rumah harus mudah dibersihkan, 2) atap rumah tidak mudah bocor, 3) dinding rumah yang baik dapat dicat dan dibersihkan, 4) ventilasi udara yang dilengkapi lubang angin, 5) rumah harus mendapatkan cahaya yang cukup, 6) rumah harus memiliki sumber air bersih, 7) jumlah kamar mandi disesuaikan dengan jumlah anggota keluarga, 8) rumah harus memiliki sarana pembuangan air limbah dan 9) kandang ternak harus terpisah cukup jauh dari rumah (Sukandar 2007). Limbah yang paling banyak berada ditengah masyarakat adalah sampah. Sampah merupakan limbah keluarga yang banyak ditemui di sekitar lingkungan tempat tinggal. Sampah memiliki pengaruh terhadap kesehatan baik secara

32 17 langsung maupun tidak langsung. Efek langsung adalah efek yang disebabkan karena kontak langsung dengan limbah tersebut, misalnya limbah beracun, limbah korosif terhadap tubuh dan lain sebagainya. Efek tidak langsung dapat dirasakan masyarakat akibat proses pembusukan, pembakaran dan pembuangan limbah. Pengaruhnya terhadap kesehatan dapat terjadi karena tercemarnya air, tanah dan udara. Efek tidak langsung lainnya berupa penyakit bawaan vektor yang berkembang biak dalam limbah, seperti diare, kecacingan, malaria, dan lain sebagainya (Lumenta 1990).

33 18 KERANGKA PEMIKIRAN Perilaku remaja dalam menentukan pilihan mengonsumsi makanan dipengaruhi karakteristik keluarga (pendidikan, pendapatan dan pekerjaan orang tua) dan karakteristik individu (umur, pengetahuan gizi dan lama menstruasi). Karakteristik keluarga akan mempengaruhi kebiasan makan individu dan pola konsumsi pangan yang baik. Pengetahuan gizi dan umur merupakan karakteristik remaja sebagai faktor yang dapat mempengaruhi kebiasaan makan dan pola konsumsi pangan yang akan berpengaruh terhadap status gizi serta status anemia. Kondisi lingkungan akan mempengaruhi kebiasaan dalam berperilaku hidup bersih dan sehat pada remaja. Kondisi lingkungan meliputi keadaan rumah dan penggunaan air bersih. Selain itu, dengan terbiasanya berperilaku hidup bersih dan sehat maka akan terhindar dari penyakit serta risiko anemia. Karena salah satu faktor yang mempengaruhi anemia adalah perilaku hidup bersih dan sehat. Status kecacingan pada remaja dapat mempengaruhi terjadinya anemia. Karena dengan adanya cacing dalam tubuh dapat menyebabkan terganggunya penyerapan zat-zat gizi yang diperlukan oleh tubuh. Selain itu, riwayat penyakit pada remaja putri juga berpengaruh terhadap terjadinya anemia. Status gizi merupakan suatu ekspresi dari keadaan keseimbangan pada diri seseorang. Penentuan status gizi dipengaruhi oleh asupan makanan yang menunjangnya yaitu berdasarkan pola konsumsi pangan. Pola konsumsi makanan dilihat dari jenis dan frekuensi pangan. Berdasarkan jenis pangan terdapat beberapa jenis pangan yang dapat menjadi faktor pemicu dan penghambat dalam penyerapan zat besi sehingga dapat menyebabkan anemia. Faktor pemicu penyerapan zat besi dapat dibantu dari bahan makanan yang berasal dari pangan hewani dan nabati. Faktor penghambat penyerapan zat besi berasal dari bahan makanan teh, kopi, cokelat dan beberapa jenis sayuran. Selain itu, konsumsi pangan sumber zat besi (Fe), vitamin C, vitamin A dan protein juga membantu dalam proses penyerapan zat besi dalam tubuh yang dapat berpengaruh terhadap status anemia pada remaja. Status gizi pada remaja dapat mempengaruhi status anemia. Remaja yang memiliki status gizi yang baik ditunjang dengan konsumsi makanan yang cukup memenuhi kebutuhan gizi. Apabila asupan makanan yang kurang akan dapat mengurangi zat gizi yang diperlukan, salah satunya adalah zat besi yang akan mengakibatkan terjadinya anemia pada remaja.

34 19 Karakteristik Keluarga : - Pendidikan orang tua - Pekerjaan orang tua - Pendapatan orang tua Karakteristik individu : - Umur - Pengetahuan gizi - Lama menstruasi Kebiasaan Makan Kondisi Lingkungan Pola Konsumsi Pangan - Frekuensi - Jenis Faktor Pemicu Penyerapan Zat Besi : - Pangan hewani - Buah-buahan Faktor Penghambat Penyerapan Zat Besi : - Teh - Kopi - Cokelat - Sayuran Status Gizi Konsumsi Zat Besi, Vitamin C, Vitamin A, Vitamin D, Protein Status Anemia Perilaku hidup bersih dan sehat Riwayat Kecacingan Keterangan : Riwayat Penyakit : Variabel yang diteliti : Hubungan yang dianalisis : Hubungan yang tidak dianalisis Gambar 1 Hubungan kebiasaan makan, perilaku hidup bersih dan sehat dan status anemia pada remaja putri keluarga pemulung di Kelurahan Sumur Batu Bantar Gebang Bekasi.

35 20 METODE PENELITIAN Desain, Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif analitik dengan menggunakan desain Cross sectional study untuk mencapai tujuan penelitian. Penelitian dilakukan di SMP Negeri 27 Bekasi dan wilayah Kelurahan Sumur Batu, Kecamatan Bantar Gebang, Kota Bekasi. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara purposive, dengan pertimbangan banyaknya anak-anak keluarga pemulung yang bersekolah di SMP Negeri 27 dan lokasinya yang berdekatan dengan TPA Bantar Gebang. Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober sampai dengan Desember Jumlah dan Cara Penarikan Contoh Populasi sampel dalam penelitian ini adalah remaja putri keluarga pemulung yang terdapat di SMP Negeri 27 dengan usia tahun. Metode penarikan contoh dilakukan secara purposive sampling. Kriteria inklusi yang digunakan adalah 1) siswi SMP Negeri 27 Bekasi, 2) pekerjaan orang tua sebagai pemulung, 3) bertempat tinggal di wilayah Kelurahan Sumur Batu, Kecamatan Bantar Gebang Bekasi, 4) bersedia menandatangani surat pernyataan ikut serta (informed consent) dalam penelitian, 5) sudah mengalami menstruasi, 6) tidak dalam keadaan sakit, dan 7) tidak sedang mengonsumsi obat-obatan. Jumlah contoh ditentukan dengan menggunakan asumsi power of study 95%, presisi 10%, dan prevalensi anemia pada remaja putri 32.4%, dengan menggunakan rumus study cross sectional menurut Lemeshowb dan David (1997) sehingga didapatkan 50 orang. Berikut ini adalah perhitungan sampel : n Keterangan : n = jumlah sampel minimal yang diperlukan α = derajat kepercayaan (α = 0.05 = 1.96) Z = nilai pada distribusi normal standar p = prevalensi anemia remaja putri 32.4% q = 1 p d = presisi/batas kevalidan yang diinginkan pada populasi N = jumlah populasi remaja putri keluarga pemulung 122 orang Pemilihan contoh dilakukan dengan membagikan kuesioner kepada seluruh siswi putri kelas VIII di lokasi penelitian. Populasi remaja putri keluarga

36 21 pemulung adalah 122 orang dan didapatkan minimal sampel sebanyak 50 orang. Berdasarkan kriteria inklusi yang digunakan didapatkan 72 orang remaja putri keluarga pemulung yang bersedia menandatangani informed consent dan ikut serta dalam kegiatan penelitian sampai dengan selesai. Jenis dan Cara Pengumpulan Data Jenis data dalam penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari wawancara dengan menggunakan kuesioner dan pengamatan secara langsung. Jenis data primer meliputi data karakteristik contoh, pengetahuan gizi, kebiasaan makan, perilaku hidup bersih dan sehat, riwayat penyakit, riwayat kecacingan, dan keadaan lingkungan tempat tinggal. Pengamatan secara langsung dilakukan untuk melihat PHBS, kebiasaan makan dan keadaan lingkungan tempat tinggal contoh. Data sekunder yang digunakan meliputi gambaran umum Kelurahan Sumur Batu yang didapatkan dari Kantor Kelurahan Sumur Batu, gambaran umum SMP Negeri 27 Bekasi, dan himpunan data pribadi siswa. Jenis dan cara pengumpulan data contoh terdapat pada Tabel 2. Tabel 2 Jenis dan cara pengumpulan data No Variabel Jenis data Cara pengumpulan data 1 Karakteristik keluarga : Primer Data siswa SMP Negeri 27 - Pendidikan orang tua dan Bekasi dan wawancara - Pekerjaan orang tua Sekunder dengan alat bantu kuesioner - Pendapatan orang tua 2 Karakteristik individu : - Umur - Pengetahuan gizi 3 Kebiasan makan - Konsumsi suplemen - Konsumsi susu, teh, kopi - Jajanan - Heme dan Non heme 4 Konsumsi pangan - Frekuensi pangan - Jenis pangan 5 Lingkungan tempat tinggal - Jenis rumah - Jenis lantai - Jumlah penghuni rumah - Jumlah kamar (7 m 2 /orang) - Ventilasi udara (15% dari luas lantai) - Ketersediaan jamban - Penggunaan air bersih Ketersediaan tempat pembuangan sampah - Jarak rumah dengan sumber pencemaran (minimal 5 km) - Jarak rumah dengan kandang Primer Primer Primer Primer Wawancara dengan alat bantu kuesioner Wawancara dengan alat bantu kuesioner dan pengamatan secara langsung Wawancara dengan alat bantu kuesioner Wawancara dengan alat bantu kuesioner dan pengamatan secara langsung

37 22 Tabel 2 Jenis dan cara pengumpulan data (lanjutan) No Variabel Jenis data Cara pengumpulan data 6 (minimal 10 m) Perilaku hidup bersih dan sehat Primer Wawancara dengan alat - Kebiasaan mencuci tangan bantu kuesioner dan - Kebiasaan merokok pengamatan secara - Konsumsi makanan beragam langsung - Kebiasaan penggunaan jamban - Kebiasaan olahraga 7 Riwayat penyakit - Kejadian sakit - Frekuensi sakit (2 bulan terakhir) 8 Lama menstruasi - Frekuensi menstruasi - Durasi menstruasi - Periode menstruasi - Siklus menstruasi 9 Status gizi (antropometri) - Berat badan (kg) - Tinggi badan (cm) 10 Status anemia : - Hemoglobin 11 Riwayat kecacingan : - Gatal pada dubur - Cacing pada feses - Kebiasaan BAB - Darah pada feses - Konsumsi obat cacing 12 Gambaran umum Kelurahan Sumur Batu 13 Gambaran umum SMP Negeri 27 Bekasi Primer Primer Primer Primer Primer Sekunder Sekunder Wawancara dengan alat bantu kuesioner Wawancara dengan alat bantu kuesioner Pengukuran berat badan dan tinggi badan secara langsung dengan menggunakan bedroom scale dan microtoise Pemeriksaan darah secara biokimia di laboratorium Wawancara dengan alat bantu kuesioner Profil Kelurahan Sumur Batu - Bekasi Profil SMP Negeri 27 Bekasi Data status gizi antropometri diketahui melalui pengukuran tubuh yaitu berat badan dan tinggi badan. Status anemia diketahui berdasarkan kadar Hb (hemoglobin) melalui pengambilan sampel darah yang dilakukan oleh petugas laboratorium Parahita Diagnostic Center. Sampel darah yang didapatkan, dikumpulkan dan dibawa ke laboratorium Parahita Diagnostic Center untuk dilakukan analisis yang kemudian dilakukan pengukuran biokimia darah dengan menggunakan metode Cyanmethemoglobin untuk menentukan konsentrasi hemoglobin. Data jenis, jumlah dan frekuensi konsumsi pangan sumber heme dan non heme diperoleh dengan menggunakan metode kuesioner pangan semikuantitatif (FFQ semikuantitatif) selama satu bulan dengan melalukan wawancara dengan menggunakan alat bantu kuesioner. Cara Pengolahan dan Analisis Data Proses pengolahan data meliputi editing, coding, scoring, entry dan analisis. Data yang dikumpulkan, diolah dan dianalisis secara statistik dengan

38 23 menggunakan program Microsoft Excel 2007 dan SPSS versi 16.0 for Windows. Uji statistik yang digunakan adalah uji korelasi pearson, uji korelasi spearman dan regresi linear. Uji korelasi pearson digunakan untuk melihat hubungan antar karakteristik contoh yaitu kadar hemoglobin contoh, usia menstruasi dan IMT contoh. Uji korelasi spearman untuk melihat hubungan antara kadar hemoglobin terhadap kebiasaan makan, perilaku hidup bersih dan sehat, karakteristik menstruasi, keadaan lingkungan, riwayat kecacingan, tingkat kecukupan zat gizi dan frekuensi konsumsi pangan. Berikut ini adalah jenis dan kategori variabel yang dijelaskan pada Tabel 3. Tabel 3 Kategori dan variabel No. Variabel Kategori Sumber 1. Pengetahuan Gizi Kurang jika skor <60% Sedang jika skor 60%-80% Baik jika skor >80% Khomsan (2000) 2. Status gizi siswa berdasarkan IMT/U Sangat kurus (<-3 SD), Kurus (-3 SD z <-2 SD), Normal (-2 SD z +1 SD), Overweight (+1 SD < z +2 SD) Obese (>+2 SD). 3. Status anemia Berat <7.0 g/dl Sedang g/dl Ringan g/dl Normal 12.0 g/dl 4. Kebiasaan makan Baik (47-53) Cukup (41-46 Kurang (35-40) 5. Frekuensi konsumsi pangan 6. Tingkat kecukupan energi dan protein 7. Tingkat kecukupan Vitamin dan zat besi 8. Perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) selalu (1 kali sehari sampai dengan lebih dari 1 kali sehari) kadang-kadang (3-6 kali seminggu) jarang (1 atau 2 kali seminggu) tidak pernah Defisit tingkat berat (<70% kebutuhan) Defisit tingkat sedang (70-79% kebutuhan) Defisit tingkat ringan (80-89% kebutuhan) Normal (90-119% kebutuhan) Lebih ( 120% kebutuhan) Kurang (<77% AKG) Cukup ( 77% AKG) Rendah (36-42) Sedang (43-49) Baik (50-58) 9 Keadaan lingkungan Kurang baik (20-23) Cukup baik (24-27) Baik (28-30) 10. Riwayat kecacingan Rendah (6-7) Sedang (8-9) Baik (10-12) WHO 2007 AC/SCN 1991 Slamet 1993 Gibson (2005) Depkes 2010 Depkes 2010 Slamet 1993 Slamet 1993 Slamet 1993

39 24 Kuesioner yang digunakan dalam penelitian disusun dalam bentuk correct-answer multiple choice dan pertanyaan dalam bentuk tertutup dengan pilihan jawaban Ya atau Tidak. Pertanyaan dalam bentuk tertutup memiliki nilai 1 untuk jawaban tidak dan nilai 3 untuk jawaban ya. Pertanyaan dalam bentuk correct-answer multiple choice yang memiliki skor 1 untuk opsi jawaban benar dan 0 untuk opsi jawaban salah. Pertanyaan yang berkaitan mengenai PHBS, kebiasaan makan, riwayat kecacingan, menstruasi dan keadaan lingkungan memiliki skor 1 untuk jawaban tidak pernah, nilai 2 untuk jawaban kadangkadang dan 3 untuk jawaban selalu. Penentuan kategori digolongkan berdasarkan nilai skor dengan menggunakan interval kelas Slamet (1993), dengan cara membandingkan antara nilai tertinggi yang dikurangi dengan nilai terendah kemudian dibagi dengan kategori yang diinginkan. Kategori yang digunakan dilihat berdasarkan nilai skor yang didapatkan. Berikut ini adalah rumus perhitungan interval: Interval kelas = Pendidikan orang tua dikategorikan menjadi empat kategori, yaitu SD, SMP, SMA, dan perguruan tinggi. Pekerjaan orang tua meliputi pemulung, pedagang, IRT, dan lain-lain. Pendapatan orang tua didapatkan dari pendapatan perkapita keluarga kemudian dibandingkan dengan garis kemiskinan Provinsi Jawa Barat Status anemia diketahui dengan melalui analisis secara biokimia di laboratorium. Kategori anemia pada remaja putri dilihat berdasarkan kadar hemoglobin dibagi menjadi empat golongan, yaitu berat <7.0 g/dl, sedang g/dl, ringan g/dl dan normal 12.0 g/dl (ACC/SCN 1991). Pengukuran status gizi dengan metode antropometri dilakukan dengan menimbang berat badan (kg) dan mengukur tinggi badan (m 2 ). Indikator penentuan status gizi berdasarkan IMT/U dihitung menggunakan software WHO anthroplus Data jenis dan frekuensi konsumsi pangan sumber heme dan non heme diperoleh dengan menggunakan metode kuesioner pangan semikuantitatif (FFQ semikuantitatif) selama satu bulan. Data kandungan gizi bahan makanan dikonversikan ke dalam energi dan zat gizi dengan menggunakan DKBM (daftar komposisi bahan makanan). Data konsumsi pangan yang didapatkan dihitung kandungan gizi dari setiap bahan pangan dengan menggunakan rumus menurut Hardinsyah dan Briawan (1994) sebagai berikut :

40 25 Kgij = (Bij/100) x Gij x BDDj/100) Keterangan : Kgij : Konsumsi zat gizi i dari bahan makanan j dengan berat B gram Bj : Berat bahan makanan j yang dikonsumsi (gram) Gij : Kandungan zat gizi i dalam 100 gram BDD bahan makanan j BDDj : Persen bahan makanan j yang dapat dimakan (%BDD) Perhitungan tingkat kecukupan zat gizi contoh dihitung dengan menggunakan rumus yang terdapat dalam perhitungan AKE (angka kecukupan energi) yang disesuaikan menurut WNPG TKG = (BB aktual/bb standar) x AKG Keterangan : TKG : tingkat kecukupan gizi BB aktual : berat badan yang sebenarnya/yang mendekati BB standar : berat badan standar berdasarkan umur tahun AKG : angka kecukupan gizi yang dianjurkan Angka kecukupan energi contoh ditentukan menurut Hardinsyah dan Tambunan (2004) dengan menggunakan rumus sebagai berikut : AKE = (88,5-61,9 U) + 26,7 B (AkF) TB + 25 Keterangan : AKE : angka kecukupan energi sehari U : usia contoh B : berat badan contoh (kg) AkF : aktifitas fisik berdasarkan perhitungan kegiatan sehari-hari contoh TB : tinggi badan contoh (m) Angka kecukupan protein, vitamin A, vitamin C, vitamin D, dan zat besi diacu berdasarkan WNPG Angka kecukupan protein adalah 57 g/hari (Hardinsyah dan Tambunan 2004), angka kecukupan vitamin A adalah 600 RE/hari (Muhilal dan Sulaeman 2004), angka kecukupan vitamin C adalah 65 mg/hari (Setiawan dan Rahayuningsih 2004), vitamin D adalah 5 g/hari, dan zat besi 26 mg/hari (Kartono dan Soekatri 2004).

41 26 Definisi Operasional Remaja putri adalah siswi SMP Negeri 27 Bekasi yang merupakan keluarga pemulung dengan usia tahun yang tinggal di wilayah Kelurahan Sumur Batu Kecamatan Bantar Gebang Bekasi. Pendidikan orang tua adalah jenjang pendidkan orang tua contoh yang dikategorikan menjadi SD/sederajat, SMP/sederajat, SMA/sederajat dan perguruan tinggi. Pekerjaan orang tua adalah pekerjaan yang dilakukan oleh orang tua contoh untuk memenuhi kebutuhan keluarga contoh yang dikategorikan menjadi, pemulung, pedagang, ibu rumah tangga dan lain-lain. Pendapatan orang tua adalah jumlah pendapatan per kapita per bulan yang diterima oleh orang tua contoh yang kemudian dibandingkan dengan garis kemiskinan Provinsi Jawa Barat 2011 dan dikategorikan menjadi keluarga miskin dan tidak miskin. Pengetahuan gizi adalah tingkat pengetahuan atau pemahaman contoh terhadap zat gizi, sumber zat gizi, anemia, dan PHBS yang diketahui melalui hasil tes dengan menjawab 20 soal pertanyaan multiple choice. Kebiasaan makan adalah gambaran kebiasaan contoh dalam mengonsumsi bahan makanan, jajanan dan suplemen yang diketahui dengan pengamatan secara langsung dan wawancara dengan alat bantu kuesioner. Konsumsi pangan adalah jenis, jumlah dan frekuensi konsumsi pangan sumber heme dan non heme yang dikonsumsi contoh selama satu bulan yang dilihat dengan menggunakan kuesioner pangan semikuantitatif (FFQ semikuantitatif). Keadaan lingkungan adalah kondisi wilayah tempat tinggal contoh yang meliputi keadaan fisik rumah, jenis lantai, jumlah ventilasi, penggunaan air bersih, ketersediaan tempat sampah, dan ketersediaan jamban. Perilaku hidup bersih dan sehat adalah kebiasaan remaja putri dalam bersikap untuk menjaga kesehatan dan mencegah risiko penyakit yang diketahui melalui hasil test dengan menjawab 20 pertanyaan yang meliputi kebiasaan mencuci tangan, kebiasaan merokok, penggunaan jamban dan konsumsi makanan yang beragam dan kebiasaan olahraga.

42 27 Lama menstruasi adalah lama menstruasi yang dialami remaja putri selama satu bulan yang dilihat berdasarkan frekuensi, durasi, periode menstruasi dan usia pertama kali menstruasi. Riwayat kecacingan adalah keadaan kecacingan yang pernah dialami oleh remaja putri yang berhubungan dengan kejadian anemia dan dilihat secara fisik seperti rasa gatal pada dubur, adanya cacing pada feses dan adanya darah pada feses. Riwayat penyakit adalah penyakit yang pernah diderita contoh dalam kurun waktu dua bulan terakhir yang berhubungan dengan kejadian anemia. Status gizi antropometri adalah keadaan contoh yang diakibatkan dari hasil konsumsi pangan, penyerapan dan penggunaan zat gizi yang ditentukan dengan Indeks Massa Tubuh menurut umur (IMT/U) yang dikategorikan menjadi sangat kurus <-3 SD, kurus -3 SD z <-2 SD, normal -2 SD z +1 SD, overweight +1 SD < z +2 SD dan obese >+2 SD. Status anemia adalah keadaan contoh berdasarkan kadar hemoglobin dalam darah yang dinyatakan dalam satuan g/dl dan dikategorikan anemia bila kadar hemoglobin darah kurang dari normal < 12 g/dl.

43 28 HASIL PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian Kelurahan Sumur Batu Kecamatan Bantar Gebang berada 40 km dari pusat kota Jakarta dan 20 km dari perbatasan Jakarta-Bekasi serta 2 km dari jalan raya Cileungsi. Kecamatan Bantar Gebang terbagi menjadi empat kelurahan, yaitu Kelurahan Bantar Gebang, Kelurahan Cikiwul, Kelurahan Sumur Batu dan Kelurahan Ciketing Udik. TPST Bantar Gebang berada di tiga kelurahan yaitu, Kelurahan Cikiwul, Kelurahan Ciketing Udik dan Kelurahan Sumur Batu. Kelurahan Sumur Batu merupakan lokasi yang dipilih sebagai tempat melakukan penelitian, karena sebagian besar pemulung bertempat tinggal di kelurahan Sumur Batu. Sebelah utara berbatasan dengan Kelurahan Pedurenan dan Kecamatan Mustika Jaya, sebelah selatan berbatasan dengan Kelurahan Taman Rahayu dan Kecamatan Setu, sebelah timur berbatasan dengan Kelurahan Burangkeng dan Kecamatan Setu, serta sebelah barat berbatasan dengan Kelurahan Cikiwul dan kecamatan Bantar Gebang. Luas wilayah Kelurahan Sumur Batu adalah ha, 318 ha dipergunakan untuk sarana gedung perkantoran dan prasarana pendidikan serta 37 ha digunakan sebagai tempat pembuangan akhir (TPA) Bantar Gebang. Kelurahan Sumur Batu terdiri dari 7 rukun warga dan 41 rukun tetangga, dengan jumlah penduduk pada tahun 2011 sebesar jiwa. Wilayah penelitian meliputi beberapa rukun warga dan rukun tetangga di Kelurahan Sumur Batu. Wilayah RW 03 dan RW 09 termasuk dalam wilayah yang lokasinya dekat dengan TPA (Tempat Pembuangan Sampah). Wilayah ini merupakan wilayah yang banyak memiliki masalah baik dalam kesehatan maupun ekonomi. Sebagian besar warga tergolong kategori berpendapatan minimum dengan pekerjaan rata-rata sebagai pemulung. SMP Negeri 27 Bekasi SMP Negeri 27 Bekasi, terletak di Jalan Sapta Taruna IV Sumur Batu Bantar Gebang. SMP ini dibangun pada tahun 1999 dan mulai beroperasi pada tahun Sekolah Mengengah Pertama ini dipimpin oleh seorang Kepala Sekolah yang dibantu oleh 38 guru dan staf tata usaha. SMP Negeri 27 Bekasi merupakan sekolah yang telah terakreditasi A. Adapun visi dari SMP Negeri 27 Bekasi adalah Unggul dalam prestasi, prima dalam pelayanan, berwawasan lingkungan yang bernuansa imtaq. Misi dari SMP Negeri 27 Bekasi adalah 1)

44 29 meningkatkan proses pembelajaran baik akademik maupun non akademik, 2) meningkatkan pelayanan seluruh warga sekolah terhadap masyarakat, 3) meningkatkan disiplin kebersihan, penghijauan lingkungan, dan 4) meningkatkan kegiatan keagamaan bagi seluruh warga sekolah. Jumlah siswa keseluruhan tahun ajaran adalah 1189 siswa, dengan jumlah siswa putri kelas VIII sebesar 191 dan siswa putra sebesar 190. Fasilitas yang dimiliki oleh sekolah meliputi ruang guru, ruang tata usaha, 15 ruang kelas, 1 ruang serba guna, 1 laboratorium IPA, WC murid dan guru, perpustakaan, koperasi dan lainnya. SMPN 27 Bekasi ini merupakan sekolah menengah pertama yang lokasinya berdekatan dengan TPA Bantar Gebang. Sebagian besar siswanya berasal dari keluarga menengah dengan pekerjaan yang bervariasi mulai dari pedagang, buruh, petani, pemulung, TNI dan PNS, serta karyawan swata. Usia Karakteristik Umum Contoh Sebaran usia contoh berkisar antara tahun dengan persentase terbesar 63.9% berumur 13 tahun. Rata-rata contoh berusia 13±0.5 tahun. Usia merupakan salah satu faktor penentu status gizi seseorang, selain pengukuran tinggi dan berat badan, karena bila terjadi kesalahan dalam penentuan usia, maka akan terjadi kesalahan dalam interpretasi status gizi seseorang (Supariasa 2001). Berikut ini adalah tabel sebaran contoh berdasarkan usia. Tabel 4 Sebaran contoh berdasarkan usia Usia n % Total Tingkat Pendidikan Orang tua Tabel 5 menunjukkan tingkat pendidikan orang tua tergolong rendah, sebagian besar orang tua contoh berlatar belakang pendidikan sekolah dasar/sederajat. Menurut hasil penelitian Sukandar (2007), menerangkan bahwa tingkat pendidikan orang tua merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap pola konsumsi pangan, kebiasaan pangan dan perilaku hidup bersih dan sehat serta cenderung memilih makanan yang murah tetapi kandungan gizinya tinggi, sesuai dengan jenis pangan yang tersedia dan kebiasaan makan sejak kecil sehingga kebutuhan zat gizi dapat terpenuhi dengan baik. Sebaran tingkat pendidikan orang tua dapat dilihat pada Tabel 5.

45 30 Tabel 5 Sebaran tingkat pendidikan orang tua Tingkat Pendidikan Ayah Ibu n % n % SD SMP SMA Perguruan Tinggi Total Pekerjaan Orang tua Pekerjaan merupakan salah satu faktor yang merupakan masukan bagi terbentuknya suatu gaya hidup keluarga. Tabel 6 menunjukkan seluruh ayah contoh bekerja sebagai pemulung. Hal ini dikarenakan sebagian besar contoh tinggal tidak jauh dari kawasan TPA Bantar Gebang. Sedangkan ibu contoh (93.1%) bekerja sebagai ibu rumah tangga. Hasil penelitian Sukandar (2007), menerangkan bahwa ibu yang tidak bekerja memungkinkan melakukan perawatan terhadap anaknya yang meliputi pemberian waktu, perhatian dan dukungan untuk memenuhi kebutuhan fisik mental dan sosial anak yang sedang tumbuh dan anggota keluarga lainnya yang dilakukan di masyarakat dan rumah tangga. Berikut ini adalah Tabel sebaran pekerjaan orang tua contoh. Tabel 6 Sebaran pekerjaan orang tua contoh Pekerjaan n % Ayah : Pemulung Total Ibu : IRT Pedagang Lainnya (tukang cuci) Total Pendapatan Orang tua Pendapatan merupakan indikator kesejahteraan ekonomi rumah tangga dan juga merupakan faktor yang menentukan kuantitas dan kualitas makanan yang dikonsumsi. Semakin tinggi pendapatan maka semakin besar peluang untuk memilih pangan yang baik. Total pendapatan keluarga contoh terendah sebesar Rp dan tertinggi sebesar Rp Bila dikategorikan berdasarkan UMR Kota Bekasi sebesar Rp seluruh keluarga contoh termasuk kedalam kategori miskin (pendapatan kurang dari Rp ). Berdasarkan sebaran pendapatan perkapita yang didapatkan dari pendapatan total orang tua dibagi dengan jumlah anggota keluarga untuk mendapatkan pendapatan perkapita perbulan, yaitu berkisar antara Rp sampai Rp dengan rata-rata sebesar Rp ± Berdasarkan

46 31 garis kemiskinan Provinsi Jawa Barat yang ditetapkan oleh Badan Pusat Statistik tahun 2011 adalah Rp /kapita/bulan, sehingga diketahui rata-rata pendapatan orang tua contoh (94.4%) berada dibawah batas garis kemiskinan, sehingga dapat dikatakan bahwa sebagian besar keluarga contoh termasuk kedalam keluarga miskin. Kemiskinan merupakan hal yang berkaitan dengan kekurangan makanan, dan kesehatan lingkungan yang buruk. Pengetahuan Gizi Pengetahuan gizi akan berpengaruh terhadap sikap dan perilaku konsumsi pangan seseorang. Semakin baik pengetahuan gizi seseorang, maka akan semakin memperhatikan kualitas dan kuantitas pangan yang dikonsumsinya (Khomsan 2000). Berikut adalah tabel sebaran pengetahuan gizi contoh. Tabel 7 Sebaran pengetahuan gizi contoh Kategori n % Kurang Sedang Baik Total Berdasarkan Tabel 7, Rata-rata pengetahuan gizi contoh tergolong sedang (73.6%). Berdasarkan total nilai yang diperoleh contoh didapatkan skor 90 untuk nilai tertinggi dan 15 untuk nilai terendah dengan rata-rata 68.6±13.5. Hal ini dilihat dari jawaban mengenai aspek gizi sebanyak 41.1% contoh menjawab benar sedangkan pertanyaan mengenai aspek fungsi makanan, sumber vitamin dan mineral, anemia, dampak anemia dan PHBS 90.0% contoh menjawab dengan benar. Artinya pengetahuan mengenai aspek-aspek tersebut sudah umum diketahui oleh contoh. Status Anemia Anemia terjadi apabila kepekatan hemoglobin dalam darah di bawah batas normal. Kadar hemoglobin contoh berkisar antara g/dl dengan rata-rata 12.7±1.4 g/dl. Sebaran contoh berdasarkan kadar hemoglobin disajikan pada Tabel 8. Tabel 8 Sebaran contoh berdasar kadar hemoglobin Kategori n % anemia berat anemia sedang anemia ringan normal Total

47 32 Berdasarkan Tabel 8, sebagian besar contoh (80.5%) tidak mengalami anemia (normal) dengan kadar hemoglobin 12.0 g/dl. Persentase contoh yang tidak anemia lebih tinggi dibandingkan penelitian Arumsari (2008), yaitu sebesar 61.7% remaja putri di Kota Bekasi tidak mengalami anemia. Secara keseluruhan 19.5% contoh mengalami anemia. Dilihat berdasarkan klasifikasi tingkatan anemia menurut WHO anemia yang terjadi pada remaja putri keluarga pemulung di Kelurahan Sumur Batu Kecamatan Bantar Gebang Bekasi tergolong dalam kategori sedang (15-40%). Adanya contoh yang mengalami anemia akan berdampak pada status imunitas dan fungsi kognitifnya. Selain itu, anemia dapat menurunkan kinerja fisik, hambatan perkembangan dan dapat menurunkan daya tahan tubuh (WNPG 2004). Kekurangan zat besi karena anemia mempengaruhi proses pertumbuhan dan perkembangan atau kematangan sel otak serta menghambat produksi dan pemecahan zat senyawa transmiter yang diperlukan untuk mengantar rangsangan pesan dari satu sel neuron ke neuron lainnya. Gangguan ini dapat berpengaruh pada kinerja otak (Soekirman 2000). Usia Menarche Menstruasi Menarche atau menstruasi pertama merupakan salah satu perubahan pubertas yang pasti dialami anak perempuan. Sebagian besar remaja akan mendapat haid pertama pada umur tahun (Affandi 1990). Seluruh contoh sudah mengalami menstruasi dengan rentang usia antara 9-14 tahun. Rata-rata usia menarche contoh adalah 12±0.9 tahun. Berikut ini adalah Tabel sebaran usia menarche contoh. Tabel 9 Sebaran usia menarche contoh Usia menarche n % 9-10 tahun tahun tahun Total Menurut Pearce (1992), usia menarche wanita bila kurang dari 10 tahun tergolong cepat, tahun tergolong normal dan lebih dari 14 tahun tergolong lambat. Tabel 9, menunjukkan bahwa sebagian besar contoh (76.4%) mengalami menstruasi pada usia tahun dan tergolong normal. Hal ini sejalan dengan hasil data RISKESDAS (2010), menunjukkan 2% remaja putri mengalami menarche pada usia 9-10 tahun, 22.5% pada usia tahun dan 14.4% pada usia tahun. Usia pertama kali menstruasi dipengaruhi oleh beberapa faktor

48 33 seperti status kesehatan dan status gizi seseorang. Usia pertama kali menstruasi pada umumnya tertunda pada seseorang dengan status gizi underweight. Hasil uji korelasi pearson menunjukkan tidak terdapat hubungan antara usia menarche dengan kadar hemoglobin contoh (p>0.05). Hal ini diduga, contoh baru saja mengalami menstruasi ketika dilakukannya penelitian, sehingga pengeluaran darah belum normal. Menurut Allen dan Gillespe (2001), remaja putri yang memiliki status gizi baik akan lebih cepat mengalami menstruasi dibandingkan dengan yang berstatus gizi kurang. Keterlambatan menarche dianggap memiliki keterkaitan dengan simpanan zat besi. Lama Siklus Menstruasi Siklus menstruasi pada wanita berkisar antara hari, hanya 10-15% wanita yang memiliki siklus 28 hari (Affandi 1990). Lama siklus menstruasi contoh sebagian besar adalah hari (50.0%). Berikut ini adalah Tabel sebaran siklus menstruasi contoh. Tabel 10 Sebaran siklus menstruasi contoh siklus menstruasi n % <25 hari hari >30 hari Total Berdasarkan hasil uji korelasi Spearman menunjukkan tidak terdapat hubungan antara siklus menstruasi dengan kadar hemoglobin contoh. Hal ini diduga karena siklus menstruasi contoh belum memiliki siklus yang normal seperti pada wanita pada umumnya. Beberapa penelitian yang telah dilakukan menyebutkan bahwa anemia pada remaja putri terjadi karena kehilangan banyak zat besi ketika mengalami menstruasi (Allen dan Gillespie 2001). Oleh karena itu, perlunya memberikan tambahan tablet besi agar dapat menyeimbangkan pengeluaran zat besi ketika menstruasi. Frekuensi Menstruasi Frekuensi menstruasi ataupun durasi menstruasi yang dialami contoh menggambarkan keteraturan menstruasi yang dialami. Berdasarkan frekuensi tersebut dapat menggambarkan jumlah darah yang hilang selama menstruasi. Sebaran frekuensi menstruasi contoh dijelaskan dalam Tabel 11. Tabel 11 Sebaran frekuensi menstruasi contoh Frekuensi Menstruasi n % 2-3 bulan sekali sebulan 2 kali sebulan 1 kali Total

49 34 Tabel 11 menunjukkan sebagian besar contoh (84.7%) memiliki frekuensi menstruasi yang tergolong normal yakni 1 bulan sekali. Semakin sering menstruasi berlangsung, maka semakin banyak pengeluaran zat besi dari tubuh. Hal tersebut dapat mengakibatkan pengeluaran besi meningkat dan keseimbangan zat besi dalam tubuh terganggu (Affandi dan Danukusumo 1990). Hasil analisis korelasi spearman menunjukkan tidak terdapat hubungan antara frekuensi menstruasi dengan kadar Hb contoh (p>0.05). Hal ini bila dilihat dari usia menarche dan siklus menstruasi, diduga contoh baru mendapatkan menstruasi pada saat penelitian dan belum memiliki siklus yang normal sehingga tidak memiliki pengaruh terhadap kadar Hb contoh. Keteraturan Menstruasi Menurut Affandi dan Danukusumo (1990) menyebutkan bahwa siklus menstruasi yang tidak teratur sering kali terjadi, dalam 1-4 tahun pertama setelah menarche, biasanya ovulasi (pelepasan sel telur) belum terjadi. Hal ini yang dapat menyebabkan menstruasi lama dan banyak serta tidak teratur (Affandi 1990). Tabel 12 menunjukkan sebaran keteraturan menstuasi contoh. Tabel 12 Sebaran keteraturan menstruasi contoh Jadwal menstruasi n % Tepat waktu Lebih awal Terlambat Total Berdasarkan Tabel 12, sebesar 34.7% contoh mengalami keterlambatan menstruasi. Ketidakteraturan menstruasi merupakan suatu proses fisiologis wanita yang berkaitan dengan berbagai organ, hormon dan susunan syaraf pusat (Affandi & Danukusumo 1990). Hasil uji korelasi spearman menunjukkan tidak terdapat hubungan antara keteraturan menstruasi dengan kadar Hb contoh. Hal ini dikarenakan pada awal menstruasi setiap wanita belum memiliki siklus yang selalu teratur setiap bulannya. Lama Menstruasi Lama menstruasi pada setiap wanita biasanya antara 3 sampai 5 hari, ada yang 1 sampai 2 hari dan diikuti darah sedikit-sedikit, dan ada yang 7 sampai 8 hari. Remaja putri membutuhkan zat besi paling banyak yang digunakan untuk mengganti zat besi yang terbuang bersama dengan darah haid, untuk menopang pertumbuhan serta pematangan seksual. Jika darah yang keluar selama menstruasi berlangsung sangat banyak akan terjadi anemia defisiensi zat besi (Arisman 2007). Berikut adalah tabel sebaran lama menstruasi.

50 35 Tabel 13 Sebaran contoh berdasarkan lama menstruasi Kategori n % < 3 hari hari > 7 hari Total Lama menstruasi yang dialami contoh (80.5%) sebagian besar adalah 3-7 hari dan tergolong normal. Hal ini sejalan dengan penelitian Arumsari (2008), rata-rata lama menstruasi remaja putri (87.7%) di Kota Bekasi selama 3-7 hari dan tergolong normal. Menurut Affandi (1990), bahwa sebagian besar peneliti menemukan bahwa rata-rata lama menstruasi 3 sampai 5 hari dianggap normal dan lebih dari 8 sampai 9 hari tidak normal. Hasil uji korelasi pearson menunjukkan tidak terdapat hubungan antara lama menstruasi dengan kadar hemoglobin contoh. Kebiasaan Makan Kebiasaan makan adalah istilah untuk dapat menggambarkan kebiasaan dan perilaku yang berhubungan dengan makanan dan makan, seperti frekuensi makan seseorang, pola makan yang dimakan, kepercayaan tentang makanan dan lain sebagainya sebagai reaksi terhadap pengaruh fisiologis, psikologis, sosial dan budaya (Suhardjo 1989). Kebiasaan makan contoh meliputi kebiasan sarapan, kebiasaan konsumsi jajanan, suplemen, lauk nabati, lauk hewani, minum teh dan kopi, serta makanan pantangan. Kebiasaan makan contoh disajikan pada Tabel 14. Tabel 14 Sebaran kebiasaan makan contoh Kategori n % Baik Cukup Kurang Total Total skor berkisar antara dan didapatkan skor untuk kategori kurang 35-40, cukup dan baik Rata-rata contoh memiliki kebiasaan makan dengan kategori cukup (61.1%), kebiasaan makan contoh dapat dipengaruhi oleh pendapatan keluarga, kesukaan terhadap makanan dan pengaruh kebiasaan makan di lingkungan keluarga. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan sebagian besar contoh (55.6%) kadang-kadang melakukan sarapan pagi setiap hari. Hal ini menunjukkan bahwa contoh memiliki kebiasaan makan yang cukup baik, karena dengan terbiasanya sarapan dapat memberikan 20-30% energi dari makanan yang dikonsumsi. Menurut Sukandar (2007) dalam

51 36 penelitiannya menyebutkan bahwa, kebiasaan makan yang baik adalah yang dapat menunjang terpenuhinya kecukupan gizi, sedangkan kebiasaan makan yang buruk adalah kebiasaan yang dapat menghambat terpenuhinnya kecukupan zat gizi, seperti adanya pantangan atau tabu yang berlawanan dengan konsep gizi. Frekuensi Konsumsi Pangan Konsumsi pangan merupakan informasi tentang jenis dan jumlah pangan yang dimakan (dikonsumsi) seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu. Konsumsi pangan dapat ditinjau berdasarkan aspek jenis pangan dan jumlah pangan yang dikonsumsi. Semakin jarang suatu pangan dikonsumsi maka, akan memberikan kontribusi konsumsi zat gizi harian yang relatif sedikit. Sebaliknya bila pangan seringkali dikonsumsi, maka akan memberikan hasil yang cukup signifikan dalam kontribusi konsumsi zat gizi perhari (Widajanti 2009). Adapun pencatatan jenis pangan sumber zat besi dibedakan menjadi serealia dan umbiumbian, lauk hewani, lauk nabati, sayur, buah, jajanan, minuman (teh dan kopi) dan suplemen. Frekuensi Konsumsi Serealia dan umbi-umbian Pedoman umum gizi seimbang (PUGS) menganjurkan agar 60-75% kebutuhan energi diperoleh dari karbohidrat terutama karbohidrat kompleks. Beberapa jenis pangan yang merupakan sumber energi seperti beras, jagung serta bahan hasil olahannya seperti mie, bihun, roti, makaroni dan havermouth (Almatseier et al. 2002). Frekuensi konsumsi serealia dan umbi-umbian dijelaskan pada Tabel 15 Tabel 15 Sebaran frekuensi konsumsi serealia dan umbi-umbian contoh Frekuensi konsumsi Serealia Tidak pernah Jarang Kadang-kadang Selalu Total (1 atau 2 kali (>1 kali sehari (3-6 kali seminggu) seminggu) & 1 kali sehari) n % n % n % n % n % Nasi , Jagung 54 75, Singkong Ubi Mie Soun Bihun Kentang Roti Tabel 15 menunjukkan bahwa sebagian besar contoh tidak pernah mengonsumsi serealia seperti jagung, soun, bihun, dan roti. Seluruh contoh mengonsumsi nasi sebagai makanan pokok dengan frekuensi selalu (>1 kali

52 37 sehari dan 1 kali sehari). Konsumsi nasi yang dianjurkan PUGS (2005) untuk perempuan usia tahun adalah 3 penukar atau setara dengan 650 gram sehari. Rata-rata konsumsi pangan serealia dan umbi sebesar 440 g/hari. Bila dibandingkan dengan anjuran PUGS yaitu sebesar 650 g/hari (setara dengan nasi), konsumsi serealia dan umbi masih tergolong kurang. Hasil analisis dengan menggunakan korelasi spearman menunjukkan tidak terdapat hubungan signifikan antara konsumsi serealia dan umbi-umbian dengan kadar hemoglobin contoh (p>0.05). Hal ini memperlihatkan bahwa masih kurangnya contoh dalam mengonsumsi pangan sumber serealia dan umbiumbian. Menurut Almatsier (2008), kandungan fitat yang terdapat dalam serat serealia dapat mengikat besi sehingga mempersulit penyerapannya. Frekuensi Konsumsi Pangan Hewani Zat besi heme dapat diserap 20-30% dalam keadaan normal dan 40-50% pada penderita anemia, sedangkan besi non heme dapat diserap sebanyak 5% dan tergantung dengan ada tidaknya zat pemicu atau penghambat (Soekirman 2000). Oleh karena itu, kurangnya asupan pangan sumber heme akan berpengaruh terhadap penyerapan zat besi di dalam tubuh. Konsumsi lauk hewani (setara dengan 1 potong atau 50 gram ikan) yang dianjurkan dalam pedoman umum gizi seimbang (PUGS 2005) untuk remaja putri dengan usia tahun adalah 3 penukar atau setara dengan 150 gram sehari. Tabel 16 menjelaskan sebaran frekuensi konsumsi pangan hewani contoh. Pangan Hewani Tabel 16 Sebaran frekuensi konsumsi pangan hewani contoh Frekuensi konsumsi Jarang Kadang-kadang Selalu Tidak pernah (1 atau 2 kali (3-6 kali (>1 kali sehari seminggu) seminggu) & 1 kali sehari) Total n % n % n % n % n % Ikan laut Ikan asin Ik pindang Ikan tawar Sapi Ayam Kambing Bebek Nugget Hati sapi Hati ayam Tlr ayam Tlr bebek Tlr Puyuh Sosis Rebon

53 38 Tabel 16 menunjukkan bahwa, sebagian besar contoh tidak pernah mengonsumsi pangan hewani. Sebagian contoh jarang mengonsumsi ikan tawar (44.4%) dan ayam (62.5%) serta 38.8% contoh kadang-kadang mengonsumsi telur ayam. Rata-rata konsumsi pangan hewani sebesar 91 g/hari. Bila dibandingkan dengan anjuran PUGS sebesar 150 g/hari, konsumsi pangan hewani masih tergolong kurang. Hasil analisis korelasi spearman menunjukkan terdapat hubungan antara frekuensi konsumsi udang rebon dengan kadar hemoglobin contoh, dengan nilai korelasi positif (p<0.05). Hal ini menunjukkan bahwa semakin sering mengonsumsi udang rebon maka kadar hemoglobin semakin meningkat. Berdasarkan Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM) di dalam udang rebon terkandung zat besi sebesar 21.4 mg/100 g. Rata-rata konsumsi pangan udang rebon contoh sebesar 7 g/hari. Udang rebon merupakan pangan hewani yang mengandung zat besi. Konsumsi udang rebon dapat membantu mencukupi zat besi dalam tubuh. Bentuk zat besi di dalam udang rebon tergolong dalam zat besi heme. Hal ini diduga zat besi heme yang terkandung di dalam udang rebon berkontribusi terhadap pemeliharaan cadangan zat besi dalam tubuh. Konsumsi heme mempunyai keuntungan ganda, yakni selain zat besinya mudah diserap (23%) dibanding zat besi dari non heme (2-20%), heme juga membantu penyerapan non heme (WNPG 2004). Selain itu, rendahnya konsumsi sumber heme dapat berpengaruh terhadap penyerapan zat besi di dalam tubuh. Produk hewani mengandung zat gizi mikro yang dibutuhkan tubuh dalam jumlah yang tinggi serta mengandung banyak vitamin dan mineral yang lebih baik untuk diserap dibandingkan dengan susu, daging dan telur dibandingkan dengan yang berasal dari tumbuhan (non-heme) (Allen dan Gillespie 2001). Beberapa jenis pangan hewani (daging, ikan dan unggas) memiliki kandungan zat besi lebih banyak dibandingkan dengan serealia serta lebih mudah diserap dibandingkan yang berasal dari sayuran (Allen dan Gillespie 2001). Frekuensi Konsumsi Pangan Nabati Sumber besi non heme yang baik diantaranya adalah kacang-kacangan. Jenis pangan nabati yang dilihat frekuensi konsumsinya seperti tempe, tahu, oncom serta berbagai jenis kacang-kacangan seperti kacang tanah, kacang tolo, kacang buncis, kacang panjang, kacang merah dan kacang ijo. Konsumsi lauk nabati (setara dengan 1 potong atau 50 gram tempe) yang dianjurkan PUGS (2005) untuk perempuan usia tahun adalah 3 penukar atau setara dengan

54 gram sehari. Tabel 17 menunjukkan sebaran frekuensi konsumsi lauk nabati contoh. Pangan nabati Tabel 17 Sebaran frekuensi konsumsi pangan nabati contoh Frekuensi konsumsi Jarang Kadang-kadang Selalu Tidak pernah (1 atau 2 kali (3-6 kali (>1 kali sehari seminggu) seminggu) & 1 kali sehari) Total n % n % n % n % n % Tempe Tahu Oncom Kc. Tanah Kc. Tolo Kc. Buncis Kc. Pnjang Kc. Merah Kc. Ijo Sebagian besar contoh tidak pernah mengonsumsi lauk nabati seperti oncom, kacang tanah, kacang tolo, kacang buncis, kacang panjang, kacang merah dan kacang hijau. Sebesar % contoh mengonsumsi lauk nabati dengan frekuensi jarang (1 atau 2 kali/minggu). Rata-rata konsumsi pangan nabati sebesar 136 g/hari. Bila dibandingkan dengan anjuran PUGS yaitu sebesar 150 g/hari, konsumsi pangan nabati masih tergolong kurang. Zat besi non heme yang terkandung dalam kedelai dan hasil olahannya cukup tinggi, hasil akhir terhadap penyerapan zat besi pun biasanya akan positif (Almatsier 2008). Berdasarkan hasil korelasi Spearman antara kadar hemoglobin dengan frekuensi konsumsi lauk nabati menunjukkan tidak terdapat hubungan signifikan antara konsumsi lauk nabati dengan kadar hemoglobin contoh (p>0.05). Ratarata konsumsi pangan nabati contoh relatif kecil dan sama dengan jumlah konsumsi perhari sekitar 50.1g/hari. Akan tetapi bila dibandingkan dengan standar PUGS untuk konsumsi lauk nabati (setara tempe), konsumsi pangan nabati contoh masih tergolong kurang (< 150g/hari) Frekuensi Konsumsi Sayuran Sayuran merupakan bahan pangan yang mengandung vitamin dan mineral. Selain itu, di dalam sayuran hijau mengandung zat besi yang cukup tinggi yang dapat meningkatkan simpanan zat besi di dalam tubuh jika sering dikonsumsi. Akan tetapi, beberapa jenis sayuran hijau juga memiliki kandungan asam oksalat yang dapat menghambat penyerapan zat besi seperti yang terdapat dalam bayam. Konsumsi sayur yang dianjurkan PUGS (2005) untuk perempuan usia tahun adalah 3 penukar (1 penukar setara dengan 1

55 40 gelas) atau setara dengan 300 gram sehari. Tabel 18 menggambarkan sebaran frekuensi konsumsi sayuran contoh. Sayuran Tabel 18 Sebaran frekuensi konsumsi sayuran contoh Frekuensi konsumsi Tidak Jarang Kadang-kadang (1 atau 2 kali (3-6 kali pernah seminggu) seminggu) Selalu (>1 kali sehari & 1 kali sehari) Total n % n % n % n % n % Bayam Kangkung Sawi putih Caisim Kol Daun singkong Daun pepaya Daun melinjo Selada Labu siam Wortel Tomat Ketimun Nangka muda Pepaya muda Terong Brokoli Tabel 18 menunjukkan sebagian contoh mengonsumsi jenis sayuran dengan frekuensi jarang diantaranya adalah bayam (38.9%), kangkung (51.4%) dan ketimun (38.9%), sedangkan untuk jenis sayuran lainnya sebagian besar contoh tidak pernah mengonsumsinya. Rata-rata konsumsi sayuran contoh sebesar 42 g/hari. Bila dibandingkan dengan anjuran PUGS yaitu sebesar 300 g/hari, konsumsi sayuran contoh masih tergolong kurang. Hasil analisis spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara konsumsi sayuran daun melinjo, pepaya muda dan terong dengan kadar hemoglobin dengan nilai korelasi positif pada daun melinjo dan pepaya muda serta nilai korelasi negatif pada terong (p<0.05). Hal ini menunjukkan bahwa semakin sering sayuran daun melinjo dan pepaya muda dikonsumsi maka kadar hemoglobin semakin tinggi. Daun melinjo dan pepaya muda merupakan pangan yang mengandung zat besi. Kandungan zat besi daun melinjo sebesar 4.2 mg/100 g dan di dalam pepaya muda sebesar 0.4 mg/100g. Rata-rata konsumsi daun melinjo dan pepaya muda sebesar 7 g/hari. Selain mengandung zat besi daun melinjo dan pepaya muda juga mengandung vitamin A dan vitamin C. Menurut Groff dan Gropper (2000), vitamin A dapat mempengaruhi penyimpanan besi, sementara vitamin C membantu dalam penyerapan sumber non heme. Kandungan vitamin

56 41 A daun melinjo sebesar RE/100g dan pepaya muda sebesar 6.0 RE/100g. Sedangkan kandungan vitamin C daun melinjo sebesar mg/100g dan pepaya muda 19.0 mg/100g. Oleh karena itu, bila daun melinjo dan pepaya muda dikonsumsi secara teratur maka akan dapat mencukupi cadangan zat besi di dalam tubuh. Sedangkan pada terong, semakin sering terong dikonsumsi maka kadar hemoglobin semakin rendah. Terong mengandung zat besi sebesar 0.4 mg/100g, tembaga 0.4 mg/100g dan kalsium 15.0 mg/100g. Kandungan zat besi di dalam terong tergolong rendah bila dibandingkan dengan kalsium. Penyerapan zat besi di dalam saluran pencernaan bersamaan dengan penyerapan mineral lainnya seperti tembaga dan kalsium. Hal ini diduga penyerapan zat besi terganggu karena terjadinya persaingan dalam penyerapan dengan mineral lainnya (seperti kalsium dan tembaga) sehingga dapat berkontribusi terhadap menurunnya cadangan zat besi di dalam tubuh. Menurut Groff and Grooper (2000), menjelaskan bahwa adanya kalsium dan tembaga dapat menghambat penyerapan zat besi. Frekuensi Konsumsi Buah-buahan Buah-buahan, sama halnya seperti sayuran yang merupakan pangan sumber vitamin dan mineral. Konsumsi buah (100 gram pepaya atau 1 potong) yang dianjurkan PUGS (2005) untuk perempuan usia tahun adalah 4 penukar atau setara dengan 400 gram sehari. Tabel 19 menggambarkan sebaran frekuensi konsumsi buah contoh. Buah Tabel 19 Sebaran frekuensi konsumsi buah contoh Frekuensi konsumsi Jarang Kadang-kadang (1 atau 2 kali (3-6 kali seminggu) seminggu) Tidak pernah Selalu (>1 kali sehari & 1 kali sehari) Total n % n % n % n % n % Jeruk Tomat Pepaya Jambu biji Mangga Nanas Pisang Semangka Melon Apel Anggur Pir Buah yang paling sering di konsumsi yang dilihat pada frekuensi jarang dan kadang-kadang adalah buah jeruk dan mangga. Rata-rata konsumsi buah

57 42 contoh sebesar 143 g/hari. Bila dibandingkan dengan anjuran PUGS konsumsi buah contoh masih tergolong kurang. Hasil uji statistik korelasi spearman menunjukkan terdapat hubungan yang antara frekuensi konsumsi buah mangga dengan kadar hemoglobin contoh (p<0.05) dengan nilai korelasi negatif. Hal ini menjelaskan bahwa semakin sering mengonsumsi mangga maka semakin rendah kadar hemoglobinnya. Rata-rata konsumsi mangga contoh sebesar 62 g/hari. Berdasarkan konsumsi tersebut, mangga menyumbangkan 2.6% zat besi dan 8.4% vitamin C dalam sehari. Mangga mengandung zat besi sebesar 1.0 mg/100g, tembaga 0.33 mg/100g, kalsium 15.0 mg/100g dan vitamin C mg/100g, Kandungan zat besi di dalam mangga tergolong rendah. Selain itu, mangga juga mengandung vitamin C yang dapat membantu penyerapan zat besi non heme. Apabila mangga dikonsumsi bersamaan dengan bahan pangan yang mengandung fitat, oksalat, tanin, kalsium, zink dan tembaga maka dapat menghambat penyerapan zat besi. Menurut Pynaert et al. (2005), menjelaskan bahwa mengonsumsi buah yang dikombinasikan dengan bahan pangan sumber zat besi non heme dapat membantu penyerapan zat besi non heme. Frekuensi Konsumsi Jajanan, Minuman dan Suplemen Tabel 20 menunjukkan frekuensi konsumsi jajanan, minuman dan suplemen contoh. Adapun makanan jajanan yang diamati adalah makanan yang biasa di konsumsi contoh disekolah maupun diluar sekolah, yaitu bakso, siomay, pisang goreng, mie ayam, bakwan, chiki, biskuit, cilok, cireng dan cokelat. Minuman yang diamati adalan teh, kopi dan susu. Tabel 20 Sebaran frekuensi konsumsi jajanan, minuman dan suplemen contoh Frekuensi Konsumsi Jajanan/ Jarang Kadang-kadang Selalu Total minuman/ Tidak pernah (1 atau 2 kali (3-6 kali (>1 kali sehari & suplemen seminggu) seminggu) 1 kali sehari) n % n % n % n % n % Bakso Siomay Pisang goreng Mie ayam Bakwan Chiki Biskuit Cilok Cireng Cokelat Teh Kopi Susu Suplemen

58 43 Jenis jajanan yang sering dikonsumsi oleh contoh adalah bakso. Sebagian besar contoh ( %) mengaku tidak pernah mengonsumsi jajanan dengan jenis siomay, pisang goreng, mie ayam, bakwan, chiki, cilok dan cokelat. Makanan jajanan yang dikonsumsi dapat memberikan kontribusi pada cadangan zat besi tubuh, karena mengandung zat besi walaupun dalam jumlah yang sedikit. Hasil korelasi spearman menunjukkan terdapat hubungan antara frekuensi konsumsi cokelat dan chiki dengan kadar hemoglobin contoh (p<0.05) dengan nilai korelasi negatif. Hal ini menunjukkan bahwa semakin sering cokelat dan chiki dikonsumsi maka kadar hemoglobin semakin rendah. Kandungan karbohidrat dalam cokelat sebesar 62.7g/100g dan chiki 58.7g/100g, sedangkan zat besi dalam cokelat sebesar 2.8 mg/100g. Semakin sering mengonsumsi chiki dan cokelat maka akan merasa lebih cepat kenyang. Hal ini akan menyebabkan kurangnya asupan makan lainnya, khususnya pangan sumber zat besi sehingga dapat menurunkan kadar hemoglobin. Tabel 20 menunjukkan sebagian besar contoh tidak pernah mengonsumsi kopi, teh dan susu. Salah satu faktor penghambat penyerapan zat besi adalah konsumsi teh dan kopi, karena didalam teh dan kopi mengandung tanin yang dapat menghambat penyerapan zat besi. Hasil analisis korelasi spearman tidak terdapat hubungan antara konsumsi teh, kopi dan susu dengan kadar hemoglobin contoh (p>0.05). Hal ini dapat dijelaskan dari konsumsi teh, kopi, suplemen, dan susu tergolong jarang, sehingga kemungkinan rendahnya efek terhadap kadar hemoglobin. Hasil penelitian Beard et al. (2007), menyebutkan bahwa adanya tanin dalam teh yang dikonsumsi saat sarapan pagi menurunkan bioavailabilitas besi sebanyak enam kali. Seluruh contoh tidak pernah mengonsumsi suplemen. Kurangnya asupan makanan dapat dibantu dengan mengonsumsi suplemen. Menurut Briawan (2008) menjelaskan bahwa, pemberian suplementasi zat besi dan folat dengan penambahan vitamin dan mineral lainnya pada remaja dapat memperbaiki status besi. Hasil analisis korelasi spearman tidak terdapat hubungan antara konsumsi suplemen dengan kadar hemoglobin contoh (p>0.05). Hal ini diduga karena contoh tidak pernah mengonsumsi suplemen sehingga tidak memiliki efek terhadap kadar hemoglobin contoh. Konsumsi dan Tingkat Kecukupan Zat Gizi Kecukupan gizi contoh dilihat berdasarkan AKG (angka kecukupan gizi) yang ditetapkan berdasarkan WNPG 2004 berdasarkan golongan umur 13-15

59 44 tahun. Tingkat kecukupan gizi didapatkan dengan membandingkan konsumsi aktual dengan angka kecukupan gizi yang dianjurkan (AKG) Angka kecukupan gizi yang digunakan adalah energi, protein, vitamin A, vitamin C, vitamin D dan zat besi. Energi Energi dibutuhkan oleh tubuh untuk melakukan aktivitas tubuh. Kekurangan maupun kelebihan energi dapat mengakibatkan gangguan pada tubuh. Oleh karena itu energi harus terpenuhi dengan seimbang untuk mengurangi gangguan tersebut. Kelebihan energi disimpan sebagai cadangan dalam bentuk glikogen sebagai cadangan energi jangka pendek dan dalam bentuk lemak dalam jangka panjang (Hardinsyah dan Tambunan 2004). PUGS menganjurkan agar 60-75% kebutuhan energi diperoleh dari karbohidrat, lemak 25-35% sedangkan selebihnya berasal dari protein 10-15% (Almatsier 2008). Kecukupan energi yang dianjurkan menurut Widiakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) 2004 adalah 2350 untuk perempuan dengan usia tahun. Tabel 21 menjelaskan sebaran tingkat kecukupan energi contoh Tabel 21 Sebaran tingkat kecukupan energi contoh Tingkat Kecukupan Energi n % Defisit tingkat berat Defisit tingkat sedang Defisit tingkat ringan Normal Lebih Total Sebagian besar contoh memiliki tingkat kecukupan yang tergolong defisit tingkat berat (45.8%). Rata-rata kecukupan energi contoh masih tergolong rendah (1920±376 Kalori) bila dibandingkan dengan dengan kecukupan yang dianjurkan WNPG (2004) yaitu sebesar 2350 Kalori. Rata rata konsumsi energi contoh sebesar 1484±538 Kal/hari. Hal ini sejalan dengan hasil data RISKESDAS (2010) yang menyebutkan bahwa, masih kurangnya penduduk Indonesia dalam mengonsumsi energi bila dilihat dari rata-rata konsumsi energi pada perempuan usia tahun sebesar 1746±553 Kal dan memiliki kecukupan energi yang masih dibawah angka kecukupan yang dianjurkan (<70% AKG). Hasil uji korelasi spearman yang dilakukan menunjukkan tidak terdapat hubungan antara tingkat kecukupan energi dengan kadar hemoglobin contoh (p>0.05). Menurut Almatsier (2008), tingkat kecukupan energi yang defisit dalam jangka waktu tertentu dapat mengakibatkan tubuh kekurangan energi sehingga

60 45 mengalami keseimbangan energi yang negatif akibat lebih banyak energi yang dikeluarkan daripada energi yang masuk. Jika keadaan ini tidak segera diperbaiki dapat menyebabkan penuruan berat badan dan kerusakan jaringan dalam tubuh. Protein Protein berperan didalam metabolisme zat besi, dimana protein membentuk ikatan kompleks dengan zat besi dalam kelarutannya. Rendahnya protein dalam tubuh dapat mengganggu pembentukkan hemoglobin. Kecukupan protein pada remaja putri usia tahun menurut WNPG (2004) adalah sebesar 57 gram. Tabel 22 menunjukkan sebaran tingkat kecukupan protein contoh Tabel 22 Sebaran tingkat kecukupan protein contoh Tingkat Kecukupan Protein n % Defisit tingkat berat Defisit tingkat sedang Defisit tingkat ringan Normal Lebih Total Berdasarkan Tabel 22, tingkat kecukupan protein sebagian besar tergolong lebih (50.0%). Rata-rata kecukupan protein contoh 46.6±9.1 g, kecukupan tersebut lebih rendah dibandingkan dengan kecukupan yang dianjurkan WNPG (2004) yaitu sebesar 57 gram. Rata rata konsumsi protein contoh sebesar 65.2±39.3 g/hari. Rata-rata konsumsi protein contoh lebih tinggi bila dibandingkan dengan rata-rata konsumsi protein hasil data RISKESDAS (2010) sebesar 61.6±32.7 gram untuk perempuan dengan usia tahun. Hasil uji korelasi spearman yang dilakukan menunjukkan tidak terdapat hubungan antara tingkat kecukupan protein dengan kadar hemoglobin contoh (p>0.05). Hal ini diduga, masih kurangnya konsumsi protein hewani contoh yang dapat memberikan kontribusi lebih besar dibandingkan dengan protein nabati. Menurut Eastwood (2008), kebutuhan protein akan meningkat pada masa remaja, karena protein dibutuhkan untuk pertumbuhan. Protein dibutuhkan dalam transportasi zat gizi, salah satunya adalah zat besi. Kurangnya protein dalam tubuh dapat menyebabkan gangguan dalam penyerapan dan transportasi zat besi yang akan berakibat kekurangan zat besi dalam tubuh. Vitamin A Vitamin A dapat mempengaruhi penyimpanan atau metabolisme zat besi atau dapat mempengaruhi diferensiasi sel darah merah (Groff dan Gropper 2000). Kurangnya asupan vitamin A dapat berpengaruh terhadap pembentukan

61 46 sel darah merah dan terjadinya anemia. Oleh karena itu, perlu meningkatkan konsumsi pangan sumber vitamin A agar terhindar dari gangguan fungsi tubuh akibat kurangnya vitamin A. Berikut ini adalah sebaran tingkat kecukupan vitamin A contoh. Tabel 23 Sebaran tingkat kecukupan vitamin A contoh Tingkat Kecukupan Vitamin A n % Kurang Cukup Total Berdasarkan Tabel 23, tingkat kecukupan vitamin A contoh tergolong cukup (62.5%). Rata rata kecukupan vitamin A contoh 490.1±96.1 RE, kecukupan tersebut lebih rendah dibandingkan dengan kecukupan yang dianjurkan WNPG (2004) yaitu sebesar 600 RE. Rata rata konsumsi vitamin A contoh 634.9±606.1 RE/hari. Menurut Charles et al. (2012), menyatakan bahwa terdapat hubungan antara kekurangan vitamin A dengan status besi remaja putri, dengan melihat hasil serum retinol dan kadar hemoglobin contoh. Vitamin A sangat penting untuk hematopoesis (pembentukan sel darah) dan diperlukan untuk mobilisasi besi dalam sintesis hemoglobin. Hasil uji korelasi spearman yang dilakukan menunjukkan tidak terdapat hubungan antara tingkat kecukupan vitamin A dengan kadar hemoglobin contoh (p>0.05). Hal ini diduga konsumsi pangan sumber vitamin A contoh didapatkan dari sayur dan buah, sedangkan sumber vitamin A yang baik banyak terdapat pada bahan pangan heme. Menurut Mejia dan Chew (1998), kekurangan vitamin A memberikan efek anemia dimana transpor zat besi dan sintesis zat besi terganggu. Vitamin C Kebutuhan vitamin pada remaja meningkat, termasuk juga pada kebutuhan vitamin C. Vitamin C pada umumnya terdapat dalam pangan nabati, yaitu sayur dan buah terutama yang memiliki rasa asam, seperti jeruk, nanas, rambutan, pepaya dan tomat. Selain itu vitamin C juga banyak terdapat didalam sayuran daun-daunan dan jenis kol (Almatsier 2008). Berikut ini adalah sebaran tingkat kecukupan vitamin C contoh. Tabel 24 Sebaran tingkat kecukupan vitamin C contoh Tingkat Kecukupan Vitamin C n % Kurang Cukup Total Tingkat kecukupan vitamin C contoh memiliki persentase yang sama (50.0%) yaitu pada kategori kurang dan cukup. Rata-rata kecukupan vitamin C

62 47 contoh 53.1±10.4 mg, kecukupan tersebut lebih rendah dibandingkan dengan kecukupan yang dianjurkan WNPG (2004) yaitu sebesar 65 mg. Rata-rata konsumsi vitamin C contoh 56.7±58.9 mg/hari. Hasil uji korelasi spearman menunjukkan tidak terdapat hubungan antara tingkat kecukupan vitamin C dengan kadar hemoglobin (p>0.05). Vitamin C dalam tubuh berfungsi merubah bentuk besi feri menjadi fero pada besi nonheme. Oleh karena itu, sangat dianjurkan untuk mengonsumsi makanan sumber vitamin C tiap kali makan untuk membantu proses penyerapan besi non heme. Menurut Almatsier (2008), kurangnya vitamin C dalam tubuh dapat mengakibatkan terganggunya penyerapan zat besi, karena vitamin C membentuk besi-askorbat yang tetap larut pada ph 7 di dalam duodenum. Vitamin D Fungsi utama vitamin D adalah membantu pembentukkan dan pemeliharaan tulang bersama dengan vitamin A, vitamin C, dan beberapa jenis mineral-mineral seperti kalsium, fosfor, magnesium dan fluor. Selain itu, vitamin D juga berperan untuk mengatur kalsium agar kalsium tetap tersedia di dalam darah. Bila vitamin D tercukupi didalam tubuh maka dapat berpengaruh terhadap menstruasi yang dalam prosesnya membantu kerja kalsium. Tabel 25 menunjukkan sebaran tingkat kecukupan vitamin D contoh. Tabel 25 Sebaran tingkat kecukupan vitamin D contoh Tingkat Kecukupan Vitamin D n % Kurang Cukup Total Tingkat kecukupan vitamin D contoh tergolong cukup (69.4%). Rata rata kecukupan vitamin D contoh 3.6±0.5 mg, kecukupan tersebut lebih rendah dibandingkan dengan kecukupan yang dianjurkan WNPG (2004) yaitu sebesar 5 mg. Rata rata konsumsi pangan sumber vitamin D sebesar 14.8±17.8 mg/hari. Berdasarkan hasil penelitian Chapelon et al. (2009) menjelaskan bahwa vitamin D berperan dalam pembentukan tulang, sehingga kurangnya vitamin D dapat menyebabkan penururan pembentukan sel darah merah serta berhubungan dengan terjadinya SCD (sickel cel disease). Vitamin D tidak hanya didapatkan dari bahan pangan sumber vitamin D, akan tetapi juga berasal dari sinar matahari. Sinar matahari dapat membantu dalam proses penyerapan kalsium dan sintesis vitamin D di dalam tubuh (Almatsier 2008).

63 48 Hasil uji korelasi Spearman yang dilakukan menunjukkan tidak terdapat hubungan antara tingkat kecukupan vitamin D dengan kadar hemoglobin contoh (p>0.05). Hal ini dapat dilihat dari konsumsi pangan sumber vitamin D contoh tergolong rendah. Rendahnya asupan vitamin D dalam tubuh akan berdampak terhadap pembentukkan tulang dan regenerasi sel darah merah yang berasal dari sumsum tulang belakang. Zat Besi (Fe) Zat besi mempunyai beberapa fungsi esensial di dalam tubuh, yaitu sebagai alat angkut oksigen dari paru-paru ke jaringan tubuh, sebagai alat angkut elektron di dalam sel, sebagai bagian terpadu berbagai reaksi enzim di dalam jaringan tubuh (Almatsier 2008). Zat besi diperlukan oleh tubuh untuk mengganti zat besi yang hilang bersama dengan darah pada waktu menstruasi. Angka kecukupan besi pada golongan umur tahun menurut WNPG (2004) adalah sebesar 26 mg/hari. Berikut adalah tabel sebaran tingkat kecukupan zat besi. Tabel 26 Sebaran tingkat kecukupan zat besi contoh Tingkat Kecukupan Zat Besi n % Kurang Cukup Total Tingkat kecukupan zat besi persentase yang sama yaitu sebesar 50.0%. Rata rata kecukupan zat besi contoh 21.2±4.2 mg, kecukupan tersebut lebih rendah dibandingkan dengan kecukupan yang dianjurkan WNPG (2004) yaitu sebesar 26 mg. Rata rata konsumsi zat besi contoh sebesar 22.2±17.2 mg/hari. Kecukupan besi pada remaja putri akan tercukupi bila diimbangi dengan kualitas pangan yang baik dan dengan meningkatkan konsumsi pangan sumber heme (Pynaert et al. 2005). Hasil uji korelasi spearman yang dilakukan menunjukkan tidak terdapat hubungan antara tingkat kecukupan zat besi dengan kadar hemoglobin contoh (p>0.05). Berdasarkan hasil frekuensi konsumsi pangan contoh, asupan zat besi didapatkan dari sayuran dan pangan nabati. Kurangnya asupan zat besi dalam tubuh dapat menyebabkan defisiensi besi yang akan menyebabkan anemia. Tingkat kecukupan contoh yang kurang diduga karena kurangnya asupan pangan sumber besi heme sehingga kurang mendukung keberadaan zat besi dalam tubuh. Oleh karena itu perlunya pemberian kapsul besi untuk membantu meningkatkan cadangan zat besi dalam tubuh.

64 49 Status Gizi Tabel 27 menunjukkan sebaran status gizi contoh. Sebagian besar contoh (72.2%) memiliki status gizi normal. Menurut hasil penelitian Permaesih dan Herman (2005) menjelaskan bahwa remaja yang mempunyai IMT kurang atau tubuh kurus mempunyai risiko 1.5 kali untuk menjadi anemia. Tabel 27 Sebaran status gizi contoh Kategori n % Sangat kurus Kurus Normal Overweight Obese Total Secara nasional hasil analisis data RISKESDAS (2010) menunjukkan persentase status gizi berdasarkan IMT/U pada remaja putri adalah 1.7% sangat kurus, 6.0% kurus, 90.3% normal dan 2.0% gemuk. Bila dibandingkan dengan hasil data RISKESDAS (2010), status gizi contoh tergolong kurang baik. Hal ini dapat dilihat dari besarnya prevalensi status gizi contoh yang lebih rendah dibandingkan dengan hasil data RISKESDAS (2010). Hasil uji korelasi spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara status gizi dengan kadar hemoglobin contoh (p>0.05). Hal ini dapat dilihat dari sebaran status gizi contoh yang tidak merata, sebagian besar contoh memiliki status gizi normal. Semakin baik status gizi contoh maka semakin rendah risiko terkena anemia dan semakin baik asupan zat gizi contoh maka semakin baik pula status gizinya. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat Perilaku hidup sehat erat kaitannya dengan higiene perorangan. Indikator yang digunakan untuk melihat perilaku hidup sehat contoh berdasarkan indikator PHBS, yaitu indikator kesehatan lingkungan dan gaya hidup sehat. Tabel 28 menunjukkan sebaran perilaku hidup bersih dan sehat contoh. Tabel 28 Sebaran perilaku hidup bersih dan sehat contoh Kategori n % Baik Sedang Rendah Total Total skor berkisar antara dan diperoleh hasil untuk kategori rendah, skor berkisar antara 36-42, sedang dan baik dengan ratarata skor contoh 51.7±3.5. Rata-rata contoh termasuk kedalam kategori baik

65 50 (79.2%). Nilai perilaku hidup bersih dan sehat contoh yang baik diharapkan dapat mencerminkan kondisi kesehatan contoh. Hal ini sejalan dengan penelitian Arumsari (2008), bahwa 91.3% remaja putri di Kota Bekasi memiliki perilaku hidup bersih dan sehat yang baik, dilihat dari aspek kebiasan mencuci tangan dan penggunaan air bersih. Hasil penelitian Jayanti et al. (2011), menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara PHBS dalam lingkungan keluarga dengan status gizi contoh. Semakin baik PHBS dalam keluarga maka status gizi contoh akan semakin baik pula. Keadaan Lingkungan Tempat Tinggal Lingkungan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kesehatan seseorang. Menurut Slamet (1996), lingkungan berpengaruh terhadap terjadinya penyakit dan hal ini sudah sejak lama diperkirakan oleh orang. Limbah yang berada di lingkungan TPA Bantar Gebang didominasi oleh sampah-sampah organik. Sampah memiliki pengaruh terhadap kesehatan. Pengaruhnya dapat dibagi menjadi dua yaitu efek secara langsung dan tidak langsung. Secara tidak langsung efek yang dirasakan contoh adalah akibat dari proses pembusukan, pembakaran dan pembuangan limbah yang dapat berpengaruh terhadap kesehatan karena tercemarnya air tanah, tanah dan udara. Berikut ini adalah Tabel sebaran keadaan lingkungan contoh. Tabel 29 Sebaran keadaan lingkungan contoh Kategori n % Kurang baik Cukup baik Baik Total Total skor berkisar antara dan diperoleh hasil untuk kategori rendah skor berkisar antara 20-23, sedang dan baik dengan rata-rata skor contoh 26.0±2.4. Sebagian besar contoh (59.7%) memiliki keadaan lingkungan tempat tinggal yang tergolong cukup baik. Sebagian besar contoh tinggal di lingkungan yang tidak jauh dari kawasan TPA Bantar Gebang. Menurut Sukarni (1989), jarak antara pemukiman penduduk dengan pembuangan sampah adalah ± 5 km. Akan tetapi, hampir seluruh contoh bertempat tinggal berdekatan dengan lokasi TPA Bantar Gebang dengan jarak ± 20 meter. Keadaan lingkungan tempat tinggal juga berkaitan dengan kondisi fisik rumah yang dapat menunjang kesehatan. Hal ini dilihat dari indikator persyaratan rumah sehat. Selain itu, faktor pencemaran udara seperti bau juga dapat menyebabkan kurang sehatnya keadaan tempat tinggal.

66 51 Riwayat Kecacingan Rendahnya asupan zat besi yang dapat diserap tubuh dapat disebabkan oleh infeksi cacing yang terdapat didalam tubuh seseorang (Allen dan Gillespie 2001). Riwayat kecacingan diketahui secara kualitatif berdasarkan hasil wawancara dengan menggunakan kuesioner. Berikut ini adalah tabel sebaran riwayat kecacingan contoh. Tabel 30 Sebaran riwayat kecacingan contoh Kategori n % Rendah Sedang Tinggi Total Total skor berkisar antara 6-12 dan diperoleh hasil untuk kategori rendah, skor berkisar antara 6-7, sedang 8-9 dan tinggi dengan rata-rata skor contoh 8.2±1.8. Rata-rata riwayat kecacingan contoh tergolong rendah (41.7%). Semakin rendahnya riwayat kecacingan yang dialami contoh maka, semakin rendah pula risiko terjadinya anemia. Berdasarkan hasil penelitian Dreyfuss et al. (2000), menyebutkan bahwa adanya infeksi cacing berhubungan terhadap kejadian anemia. Infeksi yang disebabkan oleh cacing mengakibatkan terjadinya pendarahan pada dinding usus, walaupun infeksi yang ditimbulkan tidak besar (sedikit) dapat menyebabkan kehilangan darah ataupun zat besi. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan sebagian besar contoh (58.3%) mengaku pernah merasa gatal pada anus. Hasil ini lebih tinggi bila dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan Veryana (2004), yaitu sebesar 9.5% siswi di lingkungan Bantar Gebang terinfeksi cacing kremi. Hal ini dikarenakan pengukuran riwayat kecacingan contoh hanya berdasarkan pengalaman dan tidak dilakukannya pengukuran terhadap feses. Rasa gatal pada anus dapat diakibatkan oleh cacing kremi betina (enterobius vermicularis) yang akan bertelur dan pergi ke anus manusia sehingga menimbulkan rasa gatal. Hal ini yang dapat mengindikasikan seseorang terinfeksi cacing kremi. Sebagian contoh (38.9%) mengaku pernah mengonsumsi obat cacing, dengan frekuensi 3 bulan sampai dengan 6 bulan sekali. Hal ini diduga contoh tidak mengalami riwayat kecacingan sebelumnya karena rutin untuk mengonsumsi obat cacing, sedangkan 12.5% contoh pernah mengalami adanya darah pada feses. Keberadaan darah pada feses penting untuk diketahui untuk melihat penyebab anemia lain selain infeksi cacing. Adanya darah pada feses disebabkan oleh terjadinya disentri atau pendarahan kecil yang menahun pada

67 52 tukak lambung. Sebesar 11.1% contoh pernah mengalami adanya cacing pada feses. Adanya cacing pada feses penting untuk diketahui untuk melihat penyebab anemia yang disebabkan oleh infeksi cacing. Riwayat Penyakit Riwayat penyakit contoh yang diamati meliputi kejadian sakit (pernah/tidak), jenis penyakit yang dialami dan frekuensi sakit selama dua bulan terakhir. Riwayat penyakit diamati untuk melihat adanya penyakit yang dialami yang berhubungan dengan kejadian anemia pada contoh. Morbiditas yang berasal dari penyakit infeksi meningkat pada populasi defisiensi besi, karena dapat menimbulkan dampak yang merugikan terhadap daya tahan tubuh (WHO 2001). Tabel 31 menunjukkan sebaran contoh berdasarkan kejadian sakit. Tabel 31 Sebaran contoh berdasarkan kejadian sakit (pernah/tidak) Kategori n % Sakit Tidak Sakit Total Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar contoh (80.6%) pernah mengalami sakit dalam dua bulan terakhir. Berdasarkan Tabel 31, 19.4% contoh tidak mengalami sakit dalam dua bulan terakhir yakni sebelum dan saat dilakukannya penelitian. Hasil penelitian Permaesih dan Herman (2005) yang menunjukkan sakit yang diderita contoh baik satu tahun atau satu bulan sebelumnya berhubungan secara bermakna dengan status anemia. Hasil uji statistik korelasi spearman terdapat hubungan antara kejadian sakit dengan kadar hemoglobin contoh (p<0.05), dengan nilai korelasi positif. Hal ini menjelaskan bahwa semakin jarang mengalami sakit maka semakin besar kadar hemoglobin. Adapun jenis penyakit dan frekuensi penyakit yang dialami contoh selama dua bulan terakhir terdapat pada Tabel 32. Tabel 32 Sebaran contoh berdasarkan jenis penyakit dan frekuensi sakit Jenis Penyakit 1 kali/2 bulan 2 kali/2 bulan 3kali/2 bulan Total n % n % n % n % Tipus Alergi Cacingan Diare kronis Hemofilia Malaria Lain-lain Berdasarkan Tabel 32, dapat diketahui jenis penyakit yang sering dialami berdasarkan frekuensi sakit contoh selama dua bulan terakhir secara berturutturut adalah tipus, alergi, penyakit lainnya, cacingan dan diare kronis. Alergi yang

68 53 dialami contoh adalah alergi terhadap makanan seperti pada udang dan telur. Jenis penyakit lain yang dialami contoh diantaranya penyakit kulit, gastritis, pusing, sariawan, batuk, flu, radang tenggorokan, sakit perut dan 5L (lemah, letih, lesu, lelah dan lunglai) dengan frekuensi rata-rata 3-5 kali selama dua bulan terakhir. Rata-rata frekuensi contoh mengalami sakit selama dua bulan terakhir adalah satu kali. Seluruh contoh tidak mengalami penyakit hemofilia dan malaria selama dua bulan terakhir. Hasil penelitian cross sectional di Papua New Guinea menunjukkan terdapat hubungan antara anemia dengan penyakit infeksi seperti malaria, diare dan penyakit saluran pernapasan akut (Oppenheimer 2001). Hubungan Keadaan lingkungan dengan Status Anemia Lingkungan berpengaruh pada terjadinya penyakit karena penyakit terjadi akibat adanya interaksi antara manusia dengan lingkungan hidupnya (Slamet 1996). Dalam penelitian ini keadaan lingkungan tempat tinggal contoh diamati. Pengamatan yang dilakukan meliputi jenis rumah, ventilasi, jumlah kamar, jenis lantai, sumber air, jamban, keberadaan septic tank, tempat sampah, jarak rumah dengan kandang dan TPA Bantar Gebang. Menurut Slamet (1996), menyatakan bahwa sarana sanitasi dasar rumah yang berkaitan langsung dengan masalah kesehatan meliputi penyediaan air (sumber air), penyediaan jamban dan pembuangan sampah. Hasil uji korelasi spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara keadaan lingkungan dengan status anemia contoh (p>0.05). Sejalan dengan penelitian Tristiyanti (2006), bahwa tidak terdapat hubungan antara keadaan lingkungan dengan kadar hemoglobin contoh. Hal ini diduga karena lingkungan berhubungan erat dengan perilaku seseorang. Walaupun tempat tinggal contoh berdekatan dengan TPA Bantar Gebang dan memiliki keadaan lingkungan tempat tergolong cukup baik, tetapi perilaku sehari-hari contoh dapat mencegah timbulnya penyakit, termasuk anemia. Hal ini sejalan dengan pernyataan Blum dalam Notoatmodjo (1993), yang menyebutkan bahwa lingkungan dan perilaku mempunyai andil besar terhadap kesehatan. Hubungan Kebiasaan Makan dengan Status Anemia Kebiasaan makan merupakan istilah untuk dapat menggambarkan kebiasaan dan perilaku yang berhubungan dengan makanan dan makan, seperti frekuensi makan seseorang, pola makan yang dimakan, kepercayaan tentang makanan dan lain sebagainya sebagai reaksi terhadap pengaruh fisiologis, psikologis, sosial dan budaya (Suhardjo 1989). Menurut Arisman (2007), tekanan

69 54 fisik dan psikososial mempengaruhi kebiasaan makan remaja. Hasil uji statistik korelasi spearman menunjukkan tidak terdapat hubungan kebiasaan makan dengan kadar hemoglobin contoh (p>0.05). Hal ini diduga contoh memiliki pola kebiasaan makan yang sudah baik sehingga dapat memenuhi kebutuhan zat gizi, bila dilihat dari hasil pengamatan kebiasaan makan yang dilakukan selama penelitian. Beberapa kasus kurang zat gizi seperti pada vitamin A dan vitamin C berkontribusi terhadap anemia (WHO 2001). Hal ini berbeda dengan konsumsi pangan, bahwa terdapat hubungan antara konsumsi pangan dengan kadar hemoglobin contoh terhadap beberapa jenis bahan pangan yang dikonsumsi contoh. Hal ini dapat menjelaskan bahwa kebiasaan makan contoh merupakan proses atau pola perilaku konsumsi pangan yang terjadi secara berulang. Kebiasaan makan berpengaruh terhadap kecukupan gizi contoh. Kebiasaan makan yang dipengaruhi oleh empat faktor, yaitu konsumsi pangan, preferensi terhadap makanan, ideologi atau pengetahuan terhadap pangan dan sosio budaya pangan (Sanjur 1982). Hubungan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat dengan Status Anemia Perilaku hidup bersih dan sehat erat kaitannya dengan higiene perorangan. Indikator yang digunakan dalam penelitian ini adalah PHBS lingkungan dan PHBS gaya hidup sehat sesuai dengan indikator Depkes (2006). Selain itu, dilakukannya pengamatan secara langsung terhadap perilaku hidup bersih dan sehat contoh selama di sekolah dan di lingkungan rumah. Hasil uji korelasi spearman menunjukkan tidak terdapat hubungan signifikan antara PHBS (perilaku hidup bersih dan sehat) dengan kadar hemoglobin contoh (p>0.05). Hal tersebut memperlihatkan bahwa perilaku hidup bersih dan sehat contoh tidak mempengaruhi kecendrungan seseorang untuk menderita anemia. Berdasarkan hasil pengamatan, perilaku hidup bersih dan sehat contoh tergolong baik. Walaupun tinggal di lingkungan yang tergolong jauh dari kriteria baik. Hal ini diduga karena dengan contoh terbiasa menerapkan PHBS dalam kehidupannya sehari-hari, seperti mencuci tangan dengan sabun, tidak merokok, tidak membuang sampah sembarangan, menggunakan alas kaki ketika keluar rumah. Selain itu, di sekolah contoh diberikan pengetahuan berupa pelajaran mengenai Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH), sehingga contoh telah mendapatkan pengetahuan dalam berperilaku hidup bersih dan sehat dalam kesehariannya. Perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih baik dibandingkan dengan yang tidak didasari oleh pengetahuan. Menurut Blum

70 55 dalam Notoatmodjo (1993), peranan pendidikan kesehatan merupakan intervensi faktor perilaku sehingga perilaku individu sesuai dengan nilai-nilai kesehatan. Dengan terbiasa menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat berarti contoh telah melakukan usaha pencegahan terhadap berbagai penyakit termasuk anemia. Hubungan Riwayat Kecacingan dengan Status Anemia Riwayat kecacingan contoh diketahui berdasarkan hasil wawancara langsung dengan menggunakan alat bantu kuesioner kepada contoh. Riwayat kecacingan tinggi artinya, semakin seringnya contoh mengalami kejadian penyakit yang berhubungan dengan kecacingan, seperti rasa gatal pada anus, adanya cacing pada feses, adanya darah pada feses, dan konsumsi obat cacing. Hasil uji korelasi spearman menunjukkan tidak terdapat hubungan antara riwayat kecacingan dan status anemia contoh (p>0.05). Berbeda dengan hasil penelitian Veryana (2004) menjelaskan bahwa terdapat hubungan antara status kecacingan dengan kejadian anemia pada anak sekolah di lingkungan TPA Bantar Gebang. Hal ini diduga riwayat kecacingan contoh yang hanya diketahui berdasarkan wawancara kurang dapat menggambarkan riwayat kecacingan, sehingga perlunya menggunakan pemeriksaan feses agar riwayat kecacingan lebih terlihat. Dalam beberapa kasus infeksi cacing tidak berkontribusi signifikan terhadap anemia pada remaja, akan tetapi berbeda halnya pada wanita usia subur/hamil (WHO 2001).

71 56 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Lebih dari separuh remaja putri keluarga pemulung berusia 13 tahun dan sebagian besar pendidikan orang tua adalah sekolah dasar/sederajat. Seluruh pekerjaan ayah sebagai pemulung dan ibu sebagai ibu rumah tangga dan tergolong kedalam keluarga miskin dengan pendapatan per kapita dibawah garis kemiskinan. Pengetahuan gizi berdasarkan hasil pengukuran sebagian besar tergolong sedang. Sebagian besar remaja putri keluarga pemulung memiliki status anemia yang tergolong normal dan 19.5% mengalami anemia dengan kadar hemoglobin <12.0 g/dl. Berdasarkan penggolongan kadar hemoglobin, 1.4% mengalami anemia berat, 4.2% anemia sedang, 13.9% anemia ringan dan 80.5% normal. Banyaknya remaja putri keluarga pemulung yang tidak anemia disebabkan karena dalam penentuan status anemia hanya dilakukan dengan menggunakan kadar hemoglobin. Perilaku hidup bersih dan sehat pada remaja putri keluarga pemulung tergolong baik (79.2%) serta memiliki keadaan lingkungan tempat tinggal yang tergolong cukup baik (59.7%). Hampir seluruh remaja putri bertempat tinggal berdekatan dengan lokasi TPA Bantar Gebang dengan jarak ± 20 meter. Walaupun lingkungan tempat tinggal berdekatan dengan TPA Bantar Gebang dan memiliki keadaan lingkungan tempat tergolong cukup baik, tetapi perilaku sehari-hari contoh dapat mencegah timbulnya penyakit, termasuk anemia. Hampir separuh remaja putri keluarga pemulung memiliki kebiasaan makan yang cukup. Hal ini dipengaruhi oleh kebiasaan makan di lingkungan keluarga dan pendapatan keluarga. Rata-rata frekuensi pangan berada dalam kategori tidak pernah dan jarang. Tingkat kecukupan energi contoh tergolong defisit tingkat berat. Tingkat kecukupan protein contoh tergolong lebih. Tingkat kecukupan vitamin A contoh tergolong cukup, sedangkan tingkat kecukupan vitamin C, vitamin D dan zat besi contoh tergolong kurang. Hasil menunjukkan terdapat hubungan positif antara frekuensi konsumsi udang rebon, daun melinjo, pepaya muda terhadap kadar hemoglobin contoh. Hal ini dapat menjelaskan bahwa semakin sering frekuensi konsumsi pangan tersebut dapat meningkatkan kadar hemoglobin. Selain itu, terdapat hubungan negatif antara frekuensi konsumsi terong, mangga, cokelat dan chiki terhadap kadar hemoglobin contoh. Hal ini dapat menjelaskan bahwa semakin

72 57 sering frekuensi konsumsi pangan tersebut dapat menurunkan kadar hemoglobin. Hal ini dapat dilihat dari kandungan zat besi yang terdapat dalam bahan pangan, sehingga bila dikonsumsi secara teratur dapat membantu meningkatkan cadangan zat besi dalam tubuh, dan begitu pula sebaliknya. Hubungan antar variabel menunjukkan tidak terdapat hubungan erat antara keadaan lingkungan, perilaku hidup bersih dan sehat, kebiasan makan dan riwayat kecacingan dengan kadar hemoglobin. Saran Presentase contoh yang mengalami anemia pada penelitian sebesar 19.5% dan termasuk didalamnya mengalami anemia berat, sehingga disarankan kepada pihak sekolah dan Dinas Kesehatan untuk memberikan informasi dan penyuluhan secara rutin mengenai: 1. Anemia dan penyebabnya. 2. Pemeliharaan kesehatan melalui kebersihan lingkungan dan perilaku hidup bersih dan sehat. 3. Pentingnya untuk meningkatkan konsumsi pangan dan memilih jajanan yang baik. Untuk penelitian lanjutan atau dalam mengadakan program penanggulangan anemia disarankan tidak hanya melihat anemia dengan kadar hemoglobin saja, melainkan dengan menambahkan pemeriksan terhadap serum feritin dan serum iron untuk mengetahui kondisi status besi dalam tubuh, mengingat kadar hemoglobin menurun pada tahap akhir terjadinya anemia. Selain itu, dengan pemberian kapsul zat besi untuk membantu meningkatkan cadangan zat besi. Hal ini dilakukan dengan upaya untuk mencegah terjadinya anemia sejak dini. Riwayat kecacingan sebaiknya tidak hanya ditentukan seccara kualitatif, sebaiknya diukur juga dengan pemeriksaan feses. Dalam kasus anemia sebaiknya menggunakan FFQ sebagai metode survey konsumsi pangan, karena dengan menggunakan FFQ lebih dapat menggambarkan kebiasaan makan, serta menggunakan metode food record bila melakukan pengamatan konsumsi pangan secara langsung.

73 58 DAFTAR PUSTAKA ACC/SCN Controling Iron Deficiency. Geneva Affandi B Gangguan Haid pada Remaja dan Dewasa. Jakarta : FKUI. Afandi B, Danukusumo D Persepsi tentang haid. Didalam Gangguan Haid pada Remaja dan Dewasa, Edited by Biran Affandi: Balai Penerbit FKUI. Almatsier S Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka. Almatsier S, Susirah S, Moesijanti S Gizi Seimbang dalam Daur Kehidupan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka. Allen LH, Stuart R. Gillespie A Review of the Efficacy and Effectiveness of Nutrition Interventions. Geneva in collaboration with the Asian Development Bank [22 September 2012]. Arisman Gizi dalam Daur Kehidupan. Jakarta: EGC. Arumsari E Faktor Risiko Anemia Pada Remaja Putri Peserta Program Pencegahan Dan Penanggulangan Anemia Gizi Besi (PPAGB) di Kota Bekasi [skripsi]. Bogor : Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Beard JL Iron Requirement in Adolescent Females. The Journal OF Nutrition 130: 440S-442S [23 Agustus 2012]. Beard JL et al Varition in the diets of filipino women over 9 months of continous observation. Food and Nutrition Bulletin (28): [BPS] Badan Pusat Statistik Pendapatan Perkapita. [13 Oktober 2012]. Briawan D Efikasi suplementasi besi-multivitamin terhadap perbaikan status besi remaja wanita [disertasi]. Bogor : Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Charles CV, Alastair JS Summerlee, Cate E Dewey Anemia in Cambodia: prevalence, etiology and research needs. Asia Pac J Clin Nutr 21 (2): [22 Agustus 2012]. Chapelon E, Garabedian M, Brousse V, Souberbielle JC, Bresson JL Osteopenia and vitamin D deficiency in children with sickle cel disease. European Journal of Haematology (83): Depkes [Departemen Kesehatan] Pedoman Penangggulangan Anemia Gizi untuk Remaja Putri dan Wanita usia Subur. Jakarta : Depkes RI Kualitas sumber daya manusia ditentukan pendidikan dan kesehatan. [1 Mei 2012].

74 59 Depkes [Departemen Kesehatan] Perilaku Hidup Bersih dan Sehat Rumah Tangga. Jakarta : Kementerian Kesehatan RI Laporan riset kesehatan dasar [2 Oktober 2012]. Dreyfuss ML, RJ Stoltzfus, JB Shrestha, EK Pradhan, SC LeClerq, SK Khatry, SR Shrestha, J Katz, M Albonico, KP West, JR Hookworms, Malaria and Vitamin A Deficiency Contribute to Anemia and Iron Deficiency among Pregnant Women in the Plains Nepal. The Journal of Nutrition 130: Dwiriani CM, Rimbawan, Hardinsyah, Hadi R, Drajat M Pengaruh pemberian zat multi gizi mikro dan pendidikan gizi terhadap pengetahuan gizi, pemenuhan zat gizi dan status besi remaja putri. Jurnal Gizi dan Pangan 6(13): Eastwood M Principles of Human Nutrition. Ed ke-2. Edinburgh : Blackwell Publishing. Gibson RS Principles of Nutritional Assesment. New Zeland: University of Otago. Groff JL, Grooper SS Advanced Nutrition and Human Metabolism. Ed ke- 3. Australia : Wadsworth. Hardinsyah, Briawan D Diktat penilaian dan perencanaan konsumsi pangan. Bogor: Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumber Daya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Hardinsyah, Tambunan V Angka Kecukupan Energi, Protein, Lemak dan Serat Makanan. Dalam Soekirman, Kusumaseta, Pribadi, Ariani, Jus at, hardinsyah, Dahrulsyah, Firdausy (Eds). Widiakarya Nasional Pangan dan Gizi. Jakarta : LIPI. Hurlock EB Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta: Penerbit Erlangga. Husaini MA, et al Anemia Gizi: Suatu Studi Kompilasi Informasi dalam Menunjang Kebijaksanaan Nasional dan Pengembangann Program. Jakarta: Direktorat Bina Gizi Masyarakat dan Puslitbang Gizi. Jayanti LD, Yekti HE, Dadang S Perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) serta perilaku gizi seimbang ibu kaitannya dengan status gizi dan kesehatan balita di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur. Jurnal Gizi dan pangan 6(3): Kartono D, Soekarti M Angka Kecukupan Mineral: kalsium, fosfor, magnesium. Dalam Soekirman, Kusumaseta, Pribadi, Ariani, Jus at, hardinsyah, Dahrulsyah, Firdausy (Eds). Widiakarya Nasional Pangan dan Gizi. Jakarta : LIPI.

75 60 Khomsan Ali Teknik Penilaian Pengetahuan Gizi. Bogor: Depertemen Gizi Masyarakat Institut Pertanian Bogor. Kusharto C, NY Sa diyyah Diktat Penilaian Konsumsi Pangan. Bogor: IPB Press Lameshowb S, David WH Jr Besar Sampel dalam Penelitian Kshutar (terjemahan). Yogyakarta: Gajahmada University Press. Lumenta Penyakit, Citra Alam dan Budaya. Yogyakarta: Kanisius. Mejia LA, Chew F Hematological effect of suplementing anemic children with vitamin A alone and in combination with vitamin A alone and in combination iron. Am J Clin Nutr (48): Muhilal, Sulaeman A Angka Kecukupan Vitamin Larut Lemak. Dalam Soekirman, Kusumaseta, Pribadi, Ariani, Jus at, hardinsyah, Dahrulsyah, Firdausy (Eds). Widiakarya Nasional Pangan dan Gizi. Jakarta : LIPI. Notoatmodjo S Pengantar Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku Kesehatan. Yogyakarta: Andi Offset. Oppenhemier SJ Iron and Its Relation to Immunity and Infectious Disease. J. Nutr 2012 ; 131: 616S 635S. Pearce EC Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta: Gramedia Pustaka. Permaesih D, S Herman Faktor-faktor yang mempengaruhi anemia pada remaja. Buletin Penelitian Kesehatan 33(4): Pynaert, C Matthys, M Bellemans, M De Maeyer, S De Henauw, G De Backer Iron intake and dietary sources of iron in Flemish adolescents. Euorpean Journal of Clinical Nutrition (59): Riyadi H Pennilaian Gizi secara Antropometri. Bogor: Departemen Masyarakat dan Sumber Daya Keluarga, Institut Pertanian Bogor. Sanjur D Social and Cultural Perspectives in Nutrition. Engleworld Cliff, N. J. Prentice hall. Setiawan B, Rahayuningsih S Angka Vitamin Larut Air. Dalam Soekirman, Kusumaseta, Pribadi, Ariani, Jus at, hardinsyah, Dahrulsyah, Firdausy (Eds). Widiakarya Nasional Pangan dan Gizi. Jakarta : LIPI. Sitinjak LH Hubungan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) dengan Kejadian Diare di Desa Pardede Onan Kecamatan Balige Tahun 2011 [skripsi]. Medan : Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Sumatera Utara. Slamet Y Analisis Kuantitatif untuk data sosial. Solo: Dabara Publisher.

76 61 Slamet Kesehatan Lingkungan. Yogyakarta : Universitas Gajah mada Press. Suhardjo Sosio Budaya Gizi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi,Institut Pertanian Bogor. Sukandar D Studi Sosial Ekonomi, Aspek Pangan, Gizi dan Sanitasi Petani Daerah lahan Kering di Lombok Tengah NTB. Bogor : Departemen Gizi Masyarakat, Institut Pertanian Bogor. Sukarni A Kesehatan Keluarga dan Lingkungan. Bogor: Pusat antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Supariasa, Bakri, Fajar Penilaian Status Gizi. Jakarta: EGC. Soekirman Ilmu Gizi dan Aplikasinya untuk Keluarga dan Masyarakat. Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional. Thurnham DI, CA Northrop-Clewes Infection and the etiology of anemia. Di dalam Nutritional Anemia, Edited by Klaus Kraemer & Michael B. Zimmermann. Switzerland : Sight and Life Press. Tristiyanti WF Faktor-faktor yang mempengaruhi status anemia pada ibu hamil di Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor, Jawa Barat [skripsi]. Bogor : Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Veryana H Hubungan status anemia, status kecacingan, status gizi dan konsumsi pangan anak sekolah di lingkungan TPA Bantar gebang, Bekasi [skripsi]. Bogor : Departemen Gizi Masyarakat Institut Pertanian Bogor. Widajanti L Survei Konsumsi Gizi. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Wiseman G Nutrition and Health. London : Taylor & Francis Inc. [WHO] World Helath Organization Iron Deficiency Anaemia, Assesment, Prevention and Control: A guide for programme managers. Geneva : World Helath Organization [22 September 2012] Appropiate body-mass index for Asian populations and its implications for policy and intervention strategies. [6 September 2012] Body mass index. [23 Januari 2013]. [WNPG] Widiakarya Nasional Pangan dan Gizi Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi. Jakarta. LIPI.

77 LAMPIRAN 62

78 63 Lampiran 1 Uji Hubungan Antar Variabel Uji Variabel Kadar Hb Spearman's rho Status Gizi Correlation Coefficient.161 Sig. (2-tailed).176 N 72 Riwayat penyakit Correlation Coefficient Sig. (2-tailed).228 N 72 Riwayat Kecacingan Correlation Coefficient Sig. (2-tailed).320 N 72 Perilaku Hidup Bersih dan Sehat Correlation Coefficient.111 Sig. (2-tailed).352 N 72 Keadaan Lingkungan Correlation Coefficient.076 Sig. (2-tailed).525 N 72 Kebiasaaan Makan Correlation Coefficient.126 Sig. (2-tailed).291 N 72

79 64 Lampiran 2 Dokumentasi hasil pengamatan Gambar 2 Lingkungan tempat tinggal contoh Gambar 3 Proses pengambilan data Gambar 4 Lokasi lingkungan SMP Negeri 27 Bekasi

80 65 Lampiran 3 Kuesioner penelitian KEBIASAAN MAKAN, PERILAKU HIDUP BERSIH DAN SEHAT DAN STATUS ANEMIA PADA REMAJA PUTRI KELUARGA PEMULUNG DI KELURAHAN SUMUR BATU BANTAR GEBANG BEKASI Nama Siswa : Alamat Siswa : Enumerator : Tanggal Wawancara : DEPARTEMEN GIZI M ASYAR AK AT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

METODE PENELITIAN Desain, Tempat dan Waktu Penelitian Jumlah dan Cara Penarikan Contoh Jenis dan Cara Pengumpulan Data

METODE PENELITIAN Desain, Tempat dan Waktu Penelitian Jumlah dan Cara Penarikan Contoh Jenis dan Cara Pengumpulan Data 26 METODE PENELITIAN Desain, Tempat dan Waktu Penelitian Desain penelitian ini adalah crosectional study. Penelitian dilakukan menggunakan data sekunder dari Program Perbaikan Anemia Gizi Besi di Sekolah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. negara berkembang, termasuk. Riskesdas, prevalensi anemia di Indonesia pada tahun 2007 adalah

BAB 1 PENDAHULUAN. negara berkembang, termasuk. Riskesdas, prevalensi anemia di Indonesia pada tahun 2007 adalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Anemia merupakan masalah gizi yang sering terjadi di dunia dengan populasi lebih dari 30%. 1 Anemia lebih sering terjadi di negara berkembang, termasuk Indonesia.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sampai usia lanjut (Depkes RI, 2001). mineral. Menurut Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi VI 1998

BAB I PENDAHULUAN. sampai usia lanjut (Depkes RI, 2001). mineral. Menurut Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi VI 1998 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gizi merupakan salah satu penentu kualitas sumber daya manusia. Kekurangan gizi dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan fisik dan perkembangan kecerdasan terganggu, menurunnya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Remaja merupakan masa peralihan antara masa anak-anak dan dewasa yaitu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Remaja merupakan masa peralihan antara masa anak-anak dan dewasa yaitu BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anemia pada Remaja Putri Remaja merupakan masa peralihan antara masa anak-anak dan dewasa yaitu antara usia 12 sampai 21 tahun. Mengingat pengertian remaja menunjukkan ke masa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN (6; 1) (11)

BAB I PENDAHULUAN (6; 1) (11) anemia. (14) Remaja putri berisiko anemia lebih besar daripada remaja putra, karena BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anemia adalah keadaan dimana jumlah eritrosit dalam darah kurang dari yang dibutuhkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Prevalensi anemia di Indonesia cukup tinggi pada periode tahun 2012 mencapai 50-63% yang terjadi pada ibu hamil, survei yang dilakukan di Fakultas Kedokteran Indonesia,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bentuk variabel tertentu atau perwujudan dari nutritute dalam bentuk. variabel tertentu ( Istiany, 2013).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bentuk variabel tertentu atau perwujudan dari nutritute dalam bentuk. variabel tertentu ( Istiany, 2013). BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teori 1. Status Gizi a. Definisi Status Gizi Staus gizi merupakan ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu atau perwujudan dari nutritute dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masa dewasa. Masa ini sering disebut dengan masa pubertas, istilah. pubertas digunakan untuk menyatakan perubahan biologis.

BAB I PENDAHULUAN. masa dewasa. Masa ini sering disebut dengan masa pubertas, istilah. pubertas digunakan untuk menyatakan perubahan biologis. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa. Masa ini sering disebut dengan masa pubertas, istilah pubertas digunakan untuk menyatakan perubahan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. menyebabkan pertumbuhan fisik yang tidak optimal dan penurunan perkembangan. berakibat tingginya angka kesakitan dan kematian.

BAB 1 PENDAHULUAN. menyebabkan pertumbuhan fisik yang tidak optimal dan penurunan perkembangan. berakibat tingginya angka kesakitan dan kematian. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Gizi adalah satu faktor yang menentukan kualitas sumber daya manusia. Kebutuhan gizi yang tidak tercukupi, baik zat gizi makro dan zat gizi mikro dapat menyebabkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. disamping tiga masalah gizi lainya yaitu kurang energi protein (KEP), masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. disamping tiga masalah gizi lainya yaitu kurang energi protein (KEP), masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anemia merupakan satu dari empat masalah gizi yang ada di indonesia disamping tiga masalah gizi lainya yaitu kurang energi protein (KEP), masalah gangguan akibat kurangnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. trimester III sebesar 24,6% (Manuba, 2004). Maka dari hal itu diperlukan

BAB I PENDAHULUAN. trimester III sebesar 24,6% (Manuba, 2004). Maka dari hal itu diperlukan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anemia adalah suatu keadaan dimana komponen dalam darah, yakni hemoglobin (Hb) dalam darah atau jumlahnya kurang dari kadar normal. Di Indonesia prevalensi anemia pada

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Desain, Tempat dan Waktu Penelitian Jumlah dan Cara Penarikan Contoh Jenis dan Cara Pengumpulan Data

METODE PENELITIAN Desain, Tempat dan Waktu Penelitian Jumlah dan Cara Penarikan Contoh Jenis dan Cara Pengumpulan Data 21 METODE PENELITIAN Desain, Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian proyek intevensi cookies muli gizi IPB, data yang diambil adalah data baseline penelitian. Penelitian ini merupakan

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. kelompok yang paling rawan dalam berbagai aspek, salah satunya terhadap

BAB 1 : PENDAHULUAN. kelompok yang paling rawan dalam berbagai aspek, salah satunya terhadap BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kehamilan adalah suatu proses pembuahan dalam rangka melanjutkan keturunan sehingga menghasilkan janin yang tumbuh di dalam rahim seorang wanita (1). Di mana dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kekurangan zat gizi dapat menyebabkan kegagalan pertumbuhan fisik, perkembangan kecerdasan, menurunnya produktifitas kerja dan

BAB I PENDAHULUAN. Kekurangan zat gizi dapat menyebabkan kegagalan pertumbuhan fisik, perkembangan kecerdasan, menurunnya produktifitas kerja dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gizi merupakan salah satu penentu kualitas sumber daya manusia. Kekurangan zat gizi dapat menyebabkan kegagalan pertumbuhan fisik, perkembangan kecerdasan, menurunnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang relatif sangat bebas, termasuk untuk memilih jenis-jenis makanan

BAB I PENDAHULUAN. yang relatif sangat bebas, termasuk untuk memilih jenis-jenis makanan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Remaja merupakan suatu golongan dari suatu kelompok usia yang relatif sangat bebas, termasuk untuk memilih jenis-jenis makanan yang akan dikonsumsinya. Taraf kesehatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Remaja adalah tahap umur yang datang setelah masa kanak-kanak. perilaku, kesehatan serta kepribadian remaja dalam masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. Remaja adalah tahap umur yang datang setelah masa kanak-kanak. perilaku, kesehatan serta kepribadian remaja dalam masyarakat. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Remaja adalah tahap umur yang datang setelah masa kanak-kanak berakhir, ditandai oleh pertumbuhan fisik yang cepat. Pertumbuhan yang cepat pada tubuh remaja membawa

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 24 HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Geografis Daerah Khusus Ibukota Jakarta (DKI Jakarta) adalah sebuah provinsi sekaligus ibu kota negara Indonesia. Jakarta terletak di bagian barat laut Pulau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Keberhasilan pembangunan nasional suatu bangsa ditentukan oleh

BAB I PENDAHULUAN. Keberhasilan pembangunan nasional suatu bangsa ditentukan oleh BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keberhasilan pembangunan nasional suatu bangsa ditentukan oleh ketersediaan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas yang memiliki fisik tanggung, mental yang kuat

Lebih terperinci

HUBUNGAN ASUPAN ZAT BESI DENGAN KADAR HEMOGLOBIN DAN KADAR FERRITIN PADA ANAK USIA 6 SAMPAI 24 BULAN DI PUSKESMAS KRATONAN SURAKARTA

HUBUNGAN ASUPAN ZAT BESI DENGAN KADAR HEMOGLOBIN DAN KADAR FERRITIN PADA ANAK USIA 6 SAMPAI 24 BULAN DI PUSKESMAS KRATONAN SURAKARTA HUBUNGAN ASUPAN ZAT BESI DENGAN KADAR HEMOGLOBIN DAN KADAR FERRITIN PADA ANAK USIA 6 SAMPAI 24 BULAN DI PUSKESMAS KRATONAN SURAKARTA Skripsi ini Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Ijazah

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Periode remaja adalah periode transisi dari anak - anak menuju dewasa, pada

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Periode remaja adalah periode transisi dari anak - anak menuju dewasa, pada BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Periode remaja adalah periode transisi dari anak - anak menuju dewasa, pada masa ini terjadi proses kehidupan menuju kematangan fisik dan perkembangan emosional antara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. generasi penerus bangsa. Upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia

BAB I PENDAHULUAN. generasi penerus bangsa. Upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak usia sekolah adalah investasi bangsa, karena mereka adalah generasi penerus bangsa. Upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia harus dilakukan sejak dini, secara

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut W.J.S Poerwodarminto, pemahaman berasal dari kata "Paham

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut W.J.S Poerwodarminto, pemahaman berasal dari kata Paham BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pemahaman Menurut W.J.S Poerwodarminto, pemahaman berasal dari kata "Paham yang artinya mengerti benar tentang sesuatu hal. Pemahaman merupakan tipe belajar yang lebih tinggi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kasus anemia merupakan salah satu masalah gizi yang masih sering

BAB I PENDAHULUAN. Kasus anemia merupakan salah satu masalah gizi yang masih sering BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Kasus anemia merupakan salah satu masalah gizi yang masih sering terjadi pada semua kelompok umur di Indonesia, terutama terjadinya anemia defisiensi besi. Masalah anemia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan fisiknya dan perkembangan kecerdasannya juga terhambat.

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan fisiknya dan perkembangan kecerdasannya juga terhambat. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anemia merupakan keadaan masa eritrosit dan masa hemoglobin yang beredar tidak memenuhi fungsinya untuk menyediakan oksigen bagi jaringan tubuh (Handayani, 2008). Anemia

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anemia Gizi Besi Anemia gizi besi adalah suatu keadaan dimana terjadi penurunan cadangan besi dalam hati, sehingga jumlah hemoglobin darah menurun dibawah normal. Sebelum terjadi

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA ASUPAN PROTEIN, ZAT BESI, DAN VITAMIN C DENGAN KEJADIAN ANEMIA PADA ANAK USIA PRA SEKOLAH DI KELURAHAN SEMANGGI DAN SANGKRAH SURAKARTA

HUBUNGAN ANTARA ASUPAN PROTEIN, ZAT BESI, DAN VITAMIN C DENGAN KEJADIAN ANEMIA PADA ANAK USIA PRA SEKOLAH DI KELURAHAN SEMANGGI DAN SANGKRAH SURAKARTA HUBUNGAN ANTARA ASUPAN PROTEIN, ZAT BESI, DAN VITAMIN C DENGAN KEJADIAN ANEMIA PADA ANAK USIA PRA SEKOLAH DI KELURAHAN SEMANGGI DAN SANGKRAH SURAKARTA NASKAH PUBLIKASI Disusun Oleh VIKA YUNIATI J 300 101

Lebih terperinci

Kehamilan akan meningkatkan metabolisme energi karena itu kebutuhan energi dan zat gizi lainnya juga mengalami peningkatan selama masa kehamilan.

Kehamilan akan meningkatkan metabolisme energi karena itu kebutuhan energi dan zat gizi lainnya juga mengalami peningkatan selama masa kehamilan. Kehamilan akan meningkatkan metabolisme energi karena itu kebutuhan energi dan zat gizi lainnya juga mengalami peningkatan selama masa kehamilan. Peningkatan energi dan zat gizi tersebut dibutuhkan untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. gangguan absorpsi. Zat gizi tersebut adalah besi, protein, vitamin B 6 yang

BAB I PENDAHULUAN. gangguan absorpsi. Zat gizi tersebut adalah besi, protein, vitamin B 6 yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anemia merupakan dampak masalah gizi pada remaja putri. Anemia gizi disebabkan oleh kekurangan zat gizi yang berperan dalam pembentukan hemoglobin, dapat karena kekurangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan prevalensi tertinggi dialami negara berkembang termasuk Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. dengan prevalensi tertinggi dialami negara berkembang termasuk Indonesia. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anemia merupakan salah satu masalah gizi mikro yang cukup serius dengan prevalensi tertinggi dialami negara berkembang termasuk Indonesia. Sebagian besar anemia di Indonesia

Lebih terperinci

Konsumsi Pangan Sumber Fe ANEMIA. Perilaku Minum Alkohol

Konsumsi Pangan Sumber Fe ANEMIA. Perilaku Minum Alkohol 15 KERANGKA PEMIKIRAN Anemia merupakan kondisi kurang darah yang terjadi bila kadar hemoglobin darah kurang dari normal (Depkes 2008). Anemia hampir dialami oleh semua tingkatan umur dan salah satunya

Lebih terperinci

HUBUNGAN TINGKAT ASUPAN PROTEIN, BESI DAN VITAMIN C DENGAN KADAR HEMOGLOBIN SISWI KELAS XI SMU NEGERI I NGAWI

HUBUNGAN TINGKAT ASUPAN PROTEIN, BESI DAN VITAMIN C DENGAN KADAR HEMOGLOBIN SISWI KELAS XI SMU NEGERI I NGAWI HUBUNGAN TINGKAT ASUPAN PROTEIN, BESI DAN VITAMIN C DENGAN KADAR HEMOGLOBIN SISWI KELAS XI SMU NEGERI I NGAWI Skripsi ini ini Disusun untuk memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Ijazah S1 Gizi Disusun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan kesehatan merupakan bagian integral dari pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan kesehatan merupakan bagian integral dari pembangunan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan kesehatan merupakan bagian integral dari pembangunan nasional.konsep pembangunan nasional harus berwawasan kesehatan, yaitu pembangunan yang telah memperhitungkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gizi merupakan salah satu penentu kualitas sumber daya. manusia. Kekurangan gizi akan menyebabkan kegagalan pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. Gizi merupakan salah satu penentu kualitas sumber daya. manusia. Kekurangan gizi akan menyebabkan kegagalan pertumbuhan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gizi merupakan salah satu penentu kualitas sumber daya manusia. Kekurangan gizi akan menyebabkan kegagalan pertumbuhan fisik dan perkembangan kecerdasan, menurunkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. yang banyak terjadi dan tersebar di seluruh dunia terutama di negara

BAB 1 PENDAHULUAN. yang banyak terjadi dan tersebar di seluruh dunia terutama di negara BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Anemia defisiensi besi masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang banyak terjadi dan tersebar di seluruh dunia terutama di negara berkembang dan negara miskin,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Anemia merupakan salah satu masalah gizi utama di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Anemia merupakan salah satu masalah gizi utama di Indonesia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anemia merupakan salah satu masalah gizi utama di Indonesia khususnya anemia defisiensi besi, yang cukup menonjol pada anak-anak sekolah khususnya remaja (Bakta, 2006).

Lebih terperinci

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR HUBUNGAN PERILAKU HIDUP BERSIH DAN SEHAT, KONSUMSI PANGAN, STATUS ANEMIA DAN PRESTASI BELAJAR PADA REMAJA PUTRI SMPN 27 DI KELURAHAN SUMUR BATU BANTAR GEBANG BEKASI ERNI LESTARI DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Visi baru pembangunan kesehatan direfleksikan dalam bentuk motto yang berbunyi Indonesia Sehat 2010. Tahun 2010 dipilih dengan pertimbangan bahwa satu dasawarsa merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Kekurangan zat besi merupakan salah satu masalah gizi utama dan jika terjadi pada anak-anak akan menjadi persoalan serius bangsa. Kekurangan zat besi mempunyai pengaruh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lum masa dewasa dari usia tahun. Masa remaja dimulai dari saat pertama

BAB I PENDAHULUAN. lum masa dewasa dari usia tahun. Masa remaja dimulai dari saat pertama BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Remaja didefinisikan oleh WHO sebagai suatu periode pertumbuhan dan perkembangan manusia yang terjadi setelah masa anak-anak dan sebe lum masa dewasa dari usia 10-19

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Anemia merupakan masalah gizi yang banyak terdapat di seluruh dunia

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Anemia merupakan masalah gizi yang banyak terdapat di seluruh dunia BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anemia merupakan masalah gizi yang banyak terdapat di seluruh dunia yang tidak hanya terjadi di negara berkembang tetapi juga di negara maju. Penderita anemia diperkirakan

Lebih terperinci

LAMPIRAN 1 KUESIONER

LAMPIRAN 1 KUESIONER A. Identitas Sampel LAMPIRAN 1 KUESIONER KARAKTERISTIK SAMPEL Nama : Umur : BB : TB : Pendidikan terakhir : Lama Bekerja : Unit Kerja : Jabatan : No HP : B. Menstruasi 1. Usia awal menstruasi : 2. Lama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Masalah kekurangan gizi muncul karena tidak seimbangnya asupan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Masalah kekurangan gizi muncul karena tidak seimbangnya asupan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah kekurangan gizi muncul karena tidak seimbangnya asupan makan dan zat gizi yang digunakan oleh tubuh. Ketidakseimbangan asupan makan tersebut meliputi kelebihan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ibu hamil merupakan penentu generasi mendatang, selama periode kehamilan ibu hamil membutuhkan asupan gizi yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ibu hamil merupakan penentu generasi mendatang, selama periode kehamilan ibu hamil membutuhkan asupan gizi yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ibu hamil merupakan penentu generasi mendatang, selama periode kehamilan ibu hamil membutuhkan asupan gizi yang cukup untuk memenuhi tumbuh kembang janinnya. Saat ini

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penyelenggaraan Makanan Penyelenggaraan makanan merupakan suatu kegiatan atau proses menyediakan makanan dalam jumlah yang banyak atau dalam jumlah yang besar. Pada institusi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (Suharno, 1993). Berdasarkan hasil penelitian WHO tahun 2008, diketahui bahwa

BAB I PENDAHULUAN. (Suharno, 1993). Berdasarkan hasil penelitian WHO tahun 2008, diketahui bahwa BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Anemia merupakan salah satu masalah kesehatan di dunia yang berakibat buruk bagi penderita terutama golongan rawan gizi yaitu anak balita, anak sekolah, remaja, ibu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Anemia merupakan suatu kondisi konsentrasi hemoglobin kurang dari

BAB I PENDAHULUAN. Anemia merupakan suatu kondisi konsentrasi hemoglobin kurang dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anemia merupakan suatu kondisi konsentrasi hemoglobin kurang dari normal, anemia merefleksikan eritrosit yang kurang dari normal di dalam sirkulasi dan anemia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UNIVERSITAS ESA UNGGUL

BAB I PENDAHULUAN UNIVERSITAS ESA UNGGUL 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anak sekolah merupakan generasi penerus dan modal pembangunan. Oleh karena itu, tingkat kesehatannya perlu dibina dan ditingkatkan. Salah satu upaya kesehatan tersebut

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 23 HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Contoh Karakteristik contoh meliputi usia, pendidikan, status pekerjaan, jenis pekerjaan, riwayat kehamilan serta pengeluaran/bulan untuk susu. Karakteristik contoh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tinggi, menurut World Health Organization (WHO) (2013), prevalensi anemia

BAB I PENDAHULUAN. tinggi, menurut World Health Organization (WHO) (2013), prevalensi anemia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anemia merupakan salah satu masalah kesehatan di seluruh dunia terutama negara berkembang yang diperkirakan 30% penduduk dunia menderita anemia. Anemia banyak terjadi

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN 16 METODOLOGI PENELITIAN Desain Waktu dan Tempat Penelitian Desain penelitian ini adalah Cross sectional study yaitu rancangan yang digunakan pada penelitian dengan variabel sebab atau faktor resiko dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tergantung orang tua. Pengalaman-pengalaman baru di sekolah. dimasa yang akan datang (Budianto, 2009).

BAB I PENDAHULUAN. tergantung orang tua. Pengalaman-pengalaman baru di sekolah. dimasa yang akan datang (Budianto, 2009). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak SD (sekolah dasar) yaitu anak yang berada pada usia 6-12 tahun, memiliki fisik yang lebih kuat dibandingkan dengan balita, mempunyai sifat individual dalam banyak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Anemia adalah suatu kondisi medis dimana kadar hemoglobin kurang dari

BAB I PENDAHULUAN. Anemia adalah suatu kondisi medis dimana kadar hemoglobin kurang dari BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Remaja merupakan tahap dimana seseorang mengalami sebuah masa transisi menuju dewasa. Remaja adalah tahap umur yang datang setelah masa kanak-kanak berakhir, ditandai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Remaja merupakan tahap di mana seseorang mengalami sebuah masa transisi menuju dewasa. Remaja adalah tahap umur yang datang setelah masa kanakkanak berakhir, ditandai

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. n [(1.96) 2 x (0.188 x 0.812)] (0.1) 2. n 59 Keterangan: = jumlah contoh

METODE PENELITIAN. n [(1.96) 2 x (0.188 x 0.812)] (0.1) 2. n 59 Keterangan: = jumlah contoh METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian ini menggunakan desain cross sectional study. Penelitian ini menggunakan data yang berasal dari penelitian payung Ajinomoto IPB Nutrition Program

Lebih terperinci

Kontribusi Pangan : Lauk Hewani Lauk Nabati Sayuran TINJAUAN PUSTAKA

Kontribusi Pangan : Lauk Hewani Lauk Nabati Sayuran TINJAUAN PUSTAKA Kontribusi Pangan : Lauk Hewani Kontribusi Tingkat Kontribusi Tingkat Protein Konsumsi Zat Pemilihan Konsumsi Protein Besi Besar Lauk Zat Lauk Daya Protein Hewani Pengetahuan Keluarga Lauk Sayuran Besi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terhadap kualitas SDM yang dapat mempengaruhi peningkatan angka kematian. sekolah dan produktivitas adalah anemia defisiensi besi

BAB I PENDAHULUAN. terhadap kualitas SDM yang dapat mempengaruhi peningkatan angka kematian. sekolah dan produktivitas adalah anemia defisiensi besi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keberhasilan pembangunan nasional suatu bangsa ditentukan oleh ketersediaan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, yaitu SDM yang memiliki fisik dan mental yang

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pola Konsumsi Makanan Dalam kehidupan sehari-hari, orang tidak terlepas dari makanan karena makanan adalah salah satu kebutuhan pokok manusia. Fungsi pokok makanan adalah untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anemia pada remaja putri merupakan salah satu dampak masalah kekurangan gizi remaja putri. Anemia gizi disebabkan oleh kekurangan zat gizi yang berperan dalam

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Desain, Tempat dan Waktu Penelitian Jumlah dan Teknik Penarikan Contoh Jenis dan Cara Pengumpulan Data

METODE PENELITIAN Desain, Tempat dan Waktu Penelitian Jumlah dan Teknik Penarikan Contoh Jenis dan Cara Pengumpulan Data METODE PENELITIAN Desain, Tempat dan Waktu Penelitian Desain penelitian adalah cross sectional study. Penelitian ini merupakan bagian dari Penelitian Aspek Sosio-ekonomi dan Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang menyiapkan tenaga kerja, dituntut mampu menghasilkan lulusan

BAB I PENDAHULUAN. yang menyiapkan tenaga kerja, dituntut mampu menghasilkan lulusan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sekolah Menengah Kejurusan (SMK) sebagai salah satu institusi yang menyiapkan tenaga kerja, dituntut mampu menghasilkan lulusan sebagaimana yang diharapkan dunia kerja.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat. Terciptanya SDM yang berkualitas ditentukan oleh

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat. Terciptanya SDM yang berkualitas ditentukan oleh BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan salah satu komponen penting dalam mencapai tujuan pembangunan kesehatan.sumber daya manusia yang berkualitas sangat dibutuhkan untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anemia adalah berkurangnya jumlah kadar Hb (sel darah merah) hingga dibawah nilai normal, kuantitas hemoglobin dan volume packed red blood cells ( hematokrit)

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Kelompok Umur Hemoglobin (g/dl) 5-11 tahun tahun

TINJAUAN PUSTAKA. Kelompok Umur Hemoglobin (g/dl) 5-11 tahun tahun 4 TINJAUAN PUSTAKA Anemia Anemia merupakan kondisi kurang darah yang terjadi bila kadar hemoglobin darah kurang dari normal (Depkes 2008). Nilai tersebut berbedabeda untuk kelompok umur dan jenis kelamin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gizi merupakan sebuah masalah keluarga yang sifatnya jangka panjang dan kebisaan makan yang sehat harus dimulai sejak dini. Masalah gizi pada anak di Indonesia akhir-akhir

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada kelompok anak usia sekolah, termasuk remaja usia 16-18

BAB I PENDAHULUAN. Pada kelompok anak usia sekolah, termasuk remaja usia 16-18 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada kelompok anak usia sekolah, termasuk remaja usia 16-18 tahun, sarapan berfungsi sumber energi dan zat gizi agar dapat berpikir, belajar dan melakukan aktivitas

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. kurang vitamin A, Gangguan Akibat kurang Iodium (GAKI) dan kurang besi

BAB 1 : PENDAHULUAN. kurang vitamin A, Gangguan Akibat kurang Iodium (GAKI) dan kurang besi BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anemia karena defisiensi besi merupakan kelainan gizi yang paling sering ditemukan di dunia dan menjadi masalah kesehatan masyarakat. Saat ini diperkirakan kurang

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Desain, Waktu dan Tempat Penelitian Jumlah dan Cara Pengambilan Contoh

METODE PENELITIAN Desain, Waktu dan Tempat Penelitian Jumlah dan Cara Pengambilan Contoh 19 METODE PENELITIAN Desain, Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini menggunakan desain cross sectional study. Cross sectional study yaitu rancangan yang digunakan pada penelitian dengan variabel sebab

Lebih terperinci

METODE. Zα 2 x p x (1-p)

METODE. Zα 2 x p x (1-p) 16 METODE Desain, Tempat dan Waktu Penelitian Desain penelitian ini adalah cross sectional study. Pemilihan tempat dilakukan secara purposif dengan pertimbangan kemudahan akses dan perolehan izin. Penelitian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. TINJAUAN PUSTAKA 1. Prestasi Belajar Prestasi belajar adalah penilaian hasil usaha kegiatan belajar yang di nyatakan dalam bentuk simbol, angka, huruf, maupun kalimat yang dapat

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. masalah kesehatan masyarakat ( Public Health Problem) adalah anemia gizi.

BAB 1 : PENDAHULUAN. masalah kesehatan masyarakat ( Public Health Problem) adalah anemia gizi. 1 BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu masalah gizi pada remaja dan dewasa yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat ( Public Health Problem) adalah anemia gizi. Prevalensi anemia di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. usia subur. Perdarahan menstruasi adalah pemicu paling umum. kekurangan zat besi yang dialami wanita.meski keluarnya darah saat

BAB I PENDAHULUAN. usia subur. Perdarahan menstruasi adalah pemicu paling umum. kekurangan zat besi yang dialami wanita.meski keluarnya darah saat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah gizi di Indonesia masih banyak ditemukan, baik masalah akibat kekurangan zat gizi maupun akibat kelebihan zat gizi. Masalah gizi akibat kekurangan zat gizi diantaranya

Lebih terperinci

NAMA : UMUR : KELAS : No. Telpon : Alamat lengkap : Untuk pertanyaan di bawah ini, beri tanda X untuk jawaban yang kamu pilih

NAMA : UMUR : KELAS : No. Telpon : Alamat lengkap : Untuk pertanyaan di bawah ini, beri tanda X untuk jawaban yang kamu pilih Lampiran Kuesioner NAMA : UMUR : KELAS : No. Telpon : Alamat lengkap : Untuk pertanyaan di bawah ini, beri tanda X untuk jawaban yang kamu pilih PENGETAHUAN MENGENAI ANEMIA 1. Menurut kamu apakah itu anemia?

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kabupaten Sukoharjo yang beralamatkan di jalan Jenderal Sudirman

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kabupaten Sukoharjo yang beralamatkan di jalan Jenderal Sudirman 39 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum SMK N 1 Sukoharjo 1. Keadaan Demografis SMK Negeri 1 Sukoharjo terletak di Kecamatan Bendosari Kabupaten Sukoharjo yang beralamatkan di jalan Jenderal Sudirman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dewasa. Remaja adalah tahapan umur yang datang setelah masa anak anak

BAB I PENDAHULUAN. dewasa. Remaja adalah tahapan umur yang datang setelah masa anak anak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Remaja merupakan tahap seseorang mengalami masa transisi menuju dewasa. Remaja adalah tahapan umur yang datang setelah masa anak anak berakhir. Hal ini ditandai dengan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. (SDM) yang berkualitas, sehat, cerdas, dan produktif (Hadi, 2005). bangsa bagi pembangunan yang berkesinambungan (sustainable

BAB 1 PENDAHULUAN. (SDM) yang berkualitas, sehat, cerdas, dan produktif (Hadi, 2005). bangsa bagi pembangunan yang berkesinambungan (sustainable BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keberhasilan pembangunan suatu bangsa sangat tergantung kepada keberhasilan bangsa itu sendiri dalam menyiapkan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, sehat, cerdas,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. anak-anak, masa remaja, dewasa sampai usia lanjut usia (Depkes, 2003).

BAB I PENDAHULUAN. anak-anak, masa remaja, dewasa sampai usia lanjut usia (Depkes, 2003). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gizi merupakan salah satu penentu kualitas sumber daya manusia. Kekurangan gizi akan menyebabkan kegagalan pertumbuhan fisik dan perkembangan kecerdasan, menurunkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Usia remaja merupakan usia peralihan dari anak-anak menuju dewasa

BAB I PENDAHULUAN. Usia remaja merupakan usia peralihan dari anak-anak menuju dewasa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Usia remaja merupakan usia peralihan dari anak-anak menuju dewasa yang berawal dari usia 9-10 tahun dan berakhir pada usia 18 tahun. Remaja sebagai golongan individu

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 27 HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Sosial Ekonomi Sampel dalam penelitian ini adalah wanita dewasa dengan rentang usia 20-55 tahun. Menurut Hurlock (2004) rentang usia sampel penelitian ini dapat dikelompokkan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Menyusui merupakan aspek yang sangat penting untuk kelangsungan hidup bayi guna mencapai tumbuh kembang bayi atau anak yang optimal. Sejak lahir bayi hanya diberikan ASI hingga

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. namun WHO menetapkan remaja (adolescent) berusia antara tahun.

BAB 1 PENDAHULUAN. namun WHO menetapkan remaja (adolescent) berusia antara tahun. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Remaja merupakan salah satu kelompok usia yang memiliki tingkat kerentanan cukup tinggi disaat masa pertumbuhan dan pada masa ini terjadi proses kehidupan menuju kematangan

Lebih terperinci

HUBUNGAN KONSUMSI PANGAN, KEBIASAAN LATIHAN FISIK DAN KADAR HEMOGLOBIN PADA REMAJA PUTRI DI SMP NEGERI 27 KELURAHAN SUMUR BATU KOTA BEKASI

HUBUNGAN KONSUMSI PANGAN, KEBIASAAN LATIHAN FISIK DAN KADAR HEMOGLOBIN PADA REMAJA PUTRI DI SMP NEGERI 27 KELURAHAN SUMUR BATU KOTA BEKASI 1 HUBUNGAN KONSUMSI PANGAN, KEBIASAAN LATIHAN FISIK DAN KADAR HEMOGLOBIN PADA REMAJA PUTRI DI SMP NEGERI 27 KELURAHAN SUMUR BATU KOTA BEKASI SITI NUR FAUZIAH DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. makanan pada masa itu menjadi penyebab utama munculnya masalah gizi remaja

BAB I PENDAHULUAN. makanan pada masa itu menjadi penyebab utama munculnya masalah gizi remaja 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Upaya peningkatan status gizi untuk membangun sumber daya manusia yang berkualitas pada hakekatnya harus dimulai sedini mungkin, yakni sejak manusia itu masih berada

Lebih terperinci

FAKTOR RISIKO ANEMIA PADA REMAJA PUTRI PESERTA PROGRAM PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN ANEMIA GIZI BESI (PPAGB) DI KOTA BEKASI ERMITA ARUMSARI

FAKTOR RISIKO ANEMIA PADA REMAJA PUTRI PESERTA PROGRAM PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN ANEMIA GIZI BESI (PPAGB) DI KOTA BEKASI ERMITA ARUMSARI FAKTOR RISIKO ANEMIA PADA REMAJA PUTRI PESERTA PROGRAM PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN ANEMIA GIZI BESI (PPAGB) DI KOTA BEKASI ERMITA ARUMSARI PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kurang dari angka normal sesuai dengan kelompok jenis kelamin dan umur.

BAB I PENDAHULUAN. kurang dari angka normal sesuai dengan kelompok jenis kelamin dan umur. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anemia merupakan suatu keadaan kadar hemoglobin di dalam darah kurang dari angka normal sesuai dengan kelompok jenis kelamin dan umur. Kriteria anemia berdasarkan WHO

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Anak merupakan salah satu aset sumber daya manusia dimasa depan

BAB I PENDAHULUAN. Anak merupakan salah satu aset sumber daya manusia dimasa depan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak merupakan salah satu aset sumber daya manusia dimasa depan yang perlu mendapat perhatian khusus. Adanya peningkatan dan perbaikan kualitas hidup anak merupakan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 27 HASIL DAN PEMBAHASAN Status Anemia Kadar hemoglobin contoh yang terendah 9.20 g/dl dan yang tertinggi 14.0 g/dl dengan rata-rata kadar Hb 11.56 g/dl. Pada Tabel 6 berikut dapat diketahui sebaran contoh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Keberhasilan pembangunan nasional suatu bangsa ditentukan oleh

BAB I PENDAHULUAN. Keberhasilan pembangunan nasional suatu bangsa ditentukan oleh BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keberhasilan pembangunan nasional suatu bangsa ditentukan oleh ketersediaan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, yaitu SDM yang memiliki fisik yang tangguh,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengalami kekurangan zat-zat gizi esensial tertentu yang akhirnya akan

BAB I PENDAHULUAN. mengalami kekurangan zat-zat gizi esensial tertentu yang akhirnya akan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keberhasilan pembangunan suatu bangsa ditentukan oleh ketersediaan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, yaitu SDM yang memiliki fisik yang tangguh, mental yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hari dalam jumlah tertentu sebagai sumber energy dan zat-zat gizi. Kekurangan

BAB I PENDAHULUAN. hari dalam jumlah tertentu sebagai sumber energy dan zat-zat gizi. Kekurangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pangan merupakan salah satu kebutuhan pokok yang dibutuhkan setiap hari dalam jumlah tertentu sebagai sumber energy dan zat-zat gizi. Kekurangan atau kelebihan dalam

Lebih terperinci

BAB I. antara asupan (intake dengan kebutuhan tubuh akan makanan dan. pengaruh interaksi penyakit (infeksi). Hasil Riset Kesehatan Dasar pada

BAB I. antara asupan (intake dengan kebutuhan tubuh akan makanan dan. pengaruh interaksi penyakit (infeksi). Hasil Riset Kesehatan Dasar pada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah gizi anak usia sekolah disebabkan adanya ketidakseimbangan antara asupan (intake dengan kebutuhan tubuh akan makanan dan pengaruh interaksi penyakit (infeksi).

Lebih terperinci

Lampiran 1. Peta lokasi penelitian Puskesmas Putri Ayu Kecamatan Telanaipura

Lampiran 1. Peta lokasi penelitian Puskesmas Putri Ayu Kecamatan Telanaipura Lampiran 1. Peta lokasi penelitian Puskesmas Putri Ayu Kecamatan Telanaipura 66 67 Lampiran 2. Kisi-kisi instrumen perilaku KISI-KISI INSTRUMEN Kisi-kisi instrumen pengetahuan asupan nutrisi primigravida

Lebih terperinci

KUESIONER PENELITIAN

KUESIONER PENELITIAN KUESIONER PENELITIAN HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN SIKAP REMAJA PUTRI TENTANG ANEMIA DENGAN POLA MAKAN UNTUK PENCEGAHAN ANEMIA DI SMA SWASTA BINA BERSAUDARA MEDAN TAHUN 2014 No. Responden : A. IDENTITAS RESPONDEN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Keberhasilan pembangunan suatu bangsa sangat tergantung kepada

BAB I PENDAHULUAN. Keberhasilan pembangunan suatu bangsa sangat tergantung kepada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keberhasilan pembangunan suatu bangsa sangat tergantung kepada keberhasilan bangsa itu sendiri dalam menyiapkan sumber daya manusia yang berkualitas, sehat, cerdas,

Lebih terperinci

PEMBERIAN MP ASI SETELAH ANAK USIA 6 BULAN Jumiyati, SKM., M.Gizi

PEMBERIAN MP ASI SETELAH ANAK USIA 6 BULAN Jumiyati, SKM., M.Gizi Tanggal 16 Oktober 2014 PEMBERIAN MP ASI SETELAH ANAK USIA 6 BULAN Jumiyati, SKM., M.Gizi PENDAHULUAN Usia 6 bulan hingga 24 bulan merupakan masa yang sangat penting untuk pertumbuhan dan perkembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Anemia Gizi Besi (AGB) dan Kekurangan Energi Protein (KEP) di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Anemia Gizi Besi (AGB) dan Kekurangan Energi Protein (KEP) di Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anemia Gizi Besi (AGB) dan Kekurangan Energi Protein (KEP) di Indonesia merupakan masalah yang sering ditemui pada remaja putri. Remaja putri termasuk dalam kelompok

Lebih terperinci

PERBEDAAN KADAR HEMOGLOBIN SISWI SMA PEDESAAN DAN PERKOTAAN DI KABUPATEN KLATEN

PERBEDAAN KADAR HEMOGLOBIN SISWI SMA PEDESAAN DAN PERKOTAAN DI KABUPATEN KLATEN PERBEDAAN KADAR HEMOGLOBIN SISWI SMA PEDESAAN DAN PERKOTAAN DI KABUPATEN KLATEN ( Studi Kasus di SMAN 3 Klaten dan SMAN 1 Bayat) SKRIPSI Untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat sarjana S-1

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Asupan Gizi Ibu Hamil 1. Kebutuhan Gizi Gizi adalah suatu proses penggunaan makanan yang dikonsumsi secara normal oleh suatu organisme melalui proses digesti, absorbsi, transportasi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. spermatozoa dan ovum kemudian dilanjutkan dengan nidasi atau implantasi.

BAB I PENDAHULUAN. spermatozoa dan ovum kemudian dilanjutkan dengan nidasi atau implantasi. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kehamilan didefinisikan sebagai fertilisasi atau penyatuan dari spermatozoa dan ovum kemudian dilanjutkan dengan nidasi atau implantasi. Pertumbuhan dan perkembangan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Serat Di Indonesia sayur cukup mudah diperoleh, petani pada umumnya menanam guna mencukupi kebutuhan keluarga. Pemerintah juga berusaha meningkatkan kesejahteraan keluarga dengan

Lebih terperinci

67,3 54,5 43,6 32,7 1,8 0. Kategori umur orangtua contoh. Gambar 3 Sebaran umur orangtua contoh

67,3 54,5 43,6 32,7 1,8 0. Kategori umur orangtua contoh. Gambar 3 Sebaran umur orangtua contoh 31 Karakteristik Sosial Ekonomi keluarga Umur orangtua Sebaran umur orangtua contoh dikelompokkan menjadi empat golongan, yaitu kelompok remaja (

Lebih terperinci