BIOLOGI Troides helena helena DAN Troides helena hephaestus (PAPILIONIDAE) DI PENANGKARAN ST. NURJANNAH

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BIOLOGI Troides helena helena DAN Troides helena hephaestus (PAPILIONIDAE) DI PENANGKARAN ST. NURJANNAH"

Transkripsi

1 BIOLOGI Troides helena helena DAN Troides helena hephaestus (PAPILIONIDAE) DI PENANGKARAN ST. NURJANNAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Biologi Troides helena helena dan Troides helena hephaestus (Papilionidae) di Penangkaran adalah benar hasil karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Februari 2010 ST. Nurjannah NRP G

3 ABSTRACT ST. NURJANNAH. Biology of Troides helena helena and Troides helena hephaestus (Papilionidae) at Domestication Site. Supervised by DEDY DURYADI SOLIHIN and TRI ATMOWIDI. Troides helena is one of butterflies favored by collectors due to its large size and beautiful color of its wings. T. helena of Indonesia is protected by laws and recorded in Appendix II CITES. The trade has to be drawn from domestication sites. T. h. helena and T. h. hephaestus are subspecies of T. helena restrictedly distributed in Indonesia. The domestication has to be socialized for conservation of T. helena in Indonesia. The research were aimed to study domestication technique and biology of T. h. helena and T. h. hephaestus. Pupae of T. h. helena were obtained from Cilember (West Java) and T.h. hephaestus were from Bantimurung (South Sulawesi). Both larvae were fed by Aristolochia tagala leaves. Egg, larvae, and pupae were treated at the laboratory and imago were treated in the domestication dome of IPB. Results indicated that domestication was run well. A life cycle of T. h. helena from egg to imago was about 70 days, while T. h. hephaestus was 64 days. Lowest survival of T. h. helena occured at the egg stage, on the other hand, in T. h. hephaestus occured at the stages of pupae and imago. Sex ratio of male to female was 2:3 for T. h. helena and 5:6 for T. h. hephaestus. In average, egg production of T. h. helena and T. h. hephaestus was 100 eggs. Predators (house lizard, lizard, and spider) were one of the limiting factor for butterfly development. Keywords: Troides helena, Aristolochia tagala, biology, fecundity, domestication.

4 RINGKASAN ST. NURJANNAH. Biologi Troides helena helena dan Troides helena hephaestus (Papilionidae) di Penangkaran. Dibimbing oleh DEDY DURYADI SOLIHIN dan TRI ATMOWIDI. Indonesia adalah negara kepulauan beriklim tropik dengan berbagai tipe habitat dan ekosistem. Kondisi alam Indonesia merupakan habitat yang cocok bagi berbagai fauna termasuk kupu-kupu. Diperkirakan sekitar jenis kupu-kupu terdapat di Indonesia. Troides helena merupakan salah satu kupu-kupu yang memiliki kombinasi warna sayap indah dan berukuran besar, sehingga menarik perhatian kolektor kupu-kupu. T. helena termasuk satwa yang diperdagangkan dan telah memasukkan devisa dari subsektor kehutanan Indonesia. Untuk mencegah dari kepunahan karena eksploitasi yang berlebihan, maka pemerintah melindungi T. helena melalui PP No. 7 Tahun Semua genus Troides masuk dalam daftar Appendix II CITES, sehingga perdagangan jenis ini harus merupakan hasil budi daya di penangkaran. Terdapat 17 subspesies dari T. helena di dunia. Indonesia memiliki 13 subspesies yang menyebar dari Sumatra bagian selatan sampai ke Kepulauan Tukangbesi di Sulawesi. Troides helena helena tersebar di Jawa dan Sumatra bagian selatan dan populasinya mulai berkurang. Troides helena hephaestus tersebar di Sulawesi dan terbatas pada beberapa daerah saja. Di Hutan Wisata Bantimurung, Sulawesi Selatan banyak ditemukan T. h. hephaestus terutama pada akhir musim kemarau. Upaya konservasi perlu dilakukan untuk menjaga kelangsungan hidup T. helena di Indonesia. Untuk mendukung upaya konservasi diperlukan pengetahuan tentang teknik budi daya kupu-kupu dan database tentang biologi T. helena. Sampai saat ini teknik budi daya dan data biologi T. helena di Indonesia belum tersedia. Penelitian dilaksanakan dari bulan Februari 2008 sampai Oktober 2009 bertempat di laboratorium Biomolekuler PPSHB PAU dan kubah penangkaran IPB. Bahan yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah 10 Pupa T. h. helena dan 10 pupa T. h. hephaestus, tanaman pakan larva berupa sirih hutan (Aristolochia tagala), tanaman pakan imago berupa berbagai jenis tanaman berbunga serta nektar buatan berupa larutan madu. Sarana yang digunakan adalah kubah penangkaran IPB berukuran tinggi 9 m dan diameter 13 m, kandang kawin di dalam kubah penangkaran dibuat dari bambu dan paranet berukuran 3 x 2 x 3 m, kandang pupa terbuat dari rangka kayu dan kain kasa berukuran 40 x 40 x 40 cm. Tahapan persiapan penelitian meliputi penyiapan kubah penangkaran, kandang kawin dan kandang pupa, penyiapan pakan imago dan pakan larva, pemilihan pupa, dan pemilihan imago pasangan kawin. Pelaksanaan penelitian meliputi pengamatan siklus hidup dan kelangsungan hidup, morfologi, fekunditas betina, konsumsi pakan larva, dan perilaku selama di penangkaran. Total waktu yang dibutuhkan T. h. helena dari telur-imago adalah 70 ± hari, sedangkan pada T. h. hephaestus 64 ± hari. Waktu terpendek kedua subspesies adalah stadia prepupa yang hanya berlangsung 1 hari, sedangkan waktu terlama adalah stadia pupa dan imago, yaitu minimal 18 hari.

5 Kelangsungan hidup terendah T. h. helena terjadi pada stadia awal, yaitu stadia telur. Persentase penetasan telur adalah 0.44 atau 44%. Kelangsungan hidup terendah T. h. hephaestus terjadi pada imago betina, yaitu 0.12 atau 12% dari total angka stadia awal. Parasitoid yang menyerang stadia telur adalah famili Scelionidae (Hymenoptera). Predator yang menyerang imago di kubah penangkaran adalah laba-laba, cicak, dan kadal. Jumlah telur yang dihasilkan betina per hari adalah 6.65 ± 2.21 telur, total telur yang dihasilkan selama betina hidup rata-rata ± telur. Masa peneluran betina ± 8.08 hari. Puncak peneluran terjadi pada hari ke-3. Persentase tetas telur rata-rata 85.28% ± 0.84%. Pada T. h. hephaestus, jumlah telur yang dihasilkan per hari rata-rata 4.97 ± 2.76 telur. Jumlah total telur yang dihasilkan berkisar rata-rata ± telur. Lama masa peneluran rata-rata ± 4.51 hari. Puncak peneluran terjadi pada hari pertama. Persentase tetas telur rata-rata 80.98% ± 11.40%. Larva kecil (instar ke 1-3) T. h. helena mengkonsumsi pakan sebanyak 0.32 g atau sebanyak 12.8% dari total konsumsi larva. Larva besar (instar 4-5) mengkonsumsi pakan sebanyak 2.18 g per larva, atau sebanyak 87.2 % dari total konsumsi larva. Jumlah total pakan yang dikonsumsi selama stadia larva adalah 2.50 ± 0.72 g bobot kering per larva. Pada T. h. hephaestus, larva kecil mengkonsumsi pakan sebanyak 0.25 g atau sebanyak 15.43% dari total konsumsi larva. Larva besar mengkonsumsi sebanyak 1.37 g per larva, atau 84.57% dari total konsumsi larva. Jumlah total pakan yang dikonsumsi selama stadia larva sebanyak 1.62 ± 0.65 g bobot kering per larva. Perilaku T.h. helena dan T. h. hephaestus selama di penangkaran adalah imago keluar dari pupa (eklosi) umumnya pada pagi hari antara pukul sampai Imago keluar dari pupa melalui selubung pupa. Selanjutnya kupu mengeringkan sayap antara 30 menit sampai 3 jam. Setelah sayap kering, imago mengepakkan sayap untuk melatih kekuatan otot, kemudian terbang mencari sumber nektar dan melakukan kopulasi (kawin). Suhu minimum saat pasangan imago kawin rata-rata 20 ±5.20 ºC, sedangkan suhu maksimum ± 1.15 ºC. Kelembaban rata-rata lingkungan sebesar ± 13.32%. Intensitas cahaya lingkungan berada pada rataan ± 1436 lux. Suhu minimum rata-rata saat imago betina bertelur adalah ± 1.53 ºC, sedangkan suhu maksimum rata-rata adalah ± 2.08 ºC. Pada T. h. helena dan T. h. hephaestus, larva mengalami empat kali ganti kulit (moulting), hal ini berati fase larva dari instar ke-1 sampai instar ke-5. Setiap kali mengalami moulting, larva akan meninggalkan kapsul kepala lama, sedangkan kulit lama (exuviae) terkadang dimakan kembali. Pada saat terganggu larva mengeluarkan osmeteriumnya yang berjumlah sepasang. Selanjutnya larva akan menggantung pada substrat dengan membuat serat sutera dan menempel dengan kremaster pada ujung abdomen. Masa ini disebut dengan stadia prepupa yang berlangsung selama satu sampai dua hari. Exuviae prepupa terlepas dan individu akan keluar menjadi pupa (pupasi). Pupa yang mengalami gangguan akan melakukan gerakan mengejang dan mengeluarkan bunyi desis. Perilaku lain yang teramati pada imago di kubah penangkaran adalah terjadinya perkawinan antara subspesies T. h. helena jantan dengan subspesies T. h. hephaestus betina. Dari hasil perkawinan antara 2 subspesies, dihasilkan telur fertil sebanyak 86 telur dengan persentasi tetas 86%.

6 T. h. helena dan T. h. hephaestus dapat dibudidaya di penangkaran dengan keberhasilan tinggi, baik di laboratorium maupun di kubah penangkaran. Kondisi suhu minimum di laboratorium ± 1.68 ºC, dan suhu maksimum 33.91±1.50 ºC. Kelembaban ruangan berkisar antara 51-75%. Di kubah penangkaran, suhu minimum antara ºC, dan suhu maksimum ºC. Kelembaban di tempat ini berkisar antara 51-75% dan intensitas cahayanya antara lux. Penangkaran kupu-kupu dilakukan dengan menempatkan stadia telur sampai larva instar ke-3 pada cawan petri di laboratorium. Larva instar ke 4 sampai prepupa ditempatkan pada toples gelas. Stadia pupa ditempatkan pada kandang pupa, sedangkan imago ditempatkan di kubah penangkaran. Telur yang telah dioviposisi oleh betina segera ditempatkan pada cawan petri untuk menghindari parasitoid. Setiap hari, kotoran larva dibersihkan dan larva yang masuk fase prepupa segera ditempatkan pada toples gelas yang bersih. Pupa yang rusak segera dikeluarkan dari kandang pupa. Imago yang eklosi dilepas ke kubah penangkaran setelah sayapnya kering.

7 Hak Cipta Milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. a. Pengutipan untuk kepentingan pendidikan,penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan atau memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

8 BIOLOGI Troides helena helena DAN Troides helena hephaestus (PAPILIONIDAE) DI PENANGKARAN ST. NURJANNAH Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Departemen Biologi SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

9 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Pudjianto, M.Si

10 Judul Tesis : Biologi Troides helena helena dan Troides helena hephaestus (Papilionidae) di Penangkaran Nama : ST. Nurjannah NRP : G Disetujui Komisi Pembimbing Dr. Ir. Dedy Duryadi Solihin, DEA Ketua Dr. Drs. Tri Atmowidi, M.Si Anggota Diketahui Ketua Program Studi Biologi Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Bambang Suryobroto Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S. Tanggal Ujian: 17 Februari 2010 Tanggal Lulus:...

11 PRAKATA Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat, inayah dan hidayah-nya yang telah dilimpahkan kepada penulis sehingga tesis yang berjudul Biologi Troides helena helena dan Troides helena hephaestus (Papilionidae) di Penangkaran dapat diselesaikan dengan baik. Keberhasilan penulisan tesis ini tidak lepas dari masukan dan arahan serta bimbingan berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ucapkan terima kasih Kepada Dr. Ir. Dedy Duryadi Solihin, DEA dan Dr. Drs. Tri Atmowidi, M.Si, selaku komisi pembimbing atas arahan, bimbingan dan dorongan semangat selama proses awal hingga terselesaikannya tesis ini. Ucapan terima kasih penulis juga disampaikan kepada Djunijanti Peggie, M.Sc, Ph.D, Staf Ahli Serangga (Kupu- Kupu) LIPI Cibinong atas informasinya, dan Prof. R. I. Van-Wright (Sc. Ass. Entomology the Natural History Museum London) atas bantuan jurnal dan informasinya; Pimpinan & Staf Balai Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung (Sulawesi Selatan) dan Pak Edi Staf Wana Wisata Curug Cilember (Jawa Barat) atas bantuan sampel; Pimpinan BMG Kab. Maros (Sul Sel) & BMG Dramaga Bogor atas informasinya; seluruh Dosen Mayor Biosains Hewan yang telah memberikan bekal ilmu; Staf laboratorium Biomolekuler PPSHB PAU, laboratorium terpadu FMIPA, dan laboratorium Biosistematika Serangga DPT IPB, Pak Ace Staf Pertamanan IPB, Pak Dedi di Sindang Barang, dan Pak Ali di Bantimurung atas bantuannya selama penelitian; Departeman Agama Republik Indonesia yang telah memberikan beasiswa pendidikan kepada penulis; Gubernur Sulawesi Selatan dan Bupati Polewali Mandar atas bantuan dana penelitian; Keluarga Besar MAN Polewali Mandar, MAS Muallimin Muhammadiyah Makassar, dan SMP Wahyu Makassar atas izin studi dan dukungannya. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada suami tercinta, orang tua, saudara, keluarga besar, teman-teman di lab. Biomolekuler PPSHB & Pascasarjana IPB, dan semua pihak yang telah membantu materi dan non materi hingga tesis ini selesai. Semoga tesis ini bermanfaat. Bogor, Februari 2010 ST. Nurjannah

12 RIWAYAT PENULIS Penulis dilahirkan di Makassar pada tanggal 15 Mei 1973 dari ayah Drs. Andi Nurdin Ahmad (Alm) dan ibu ST. Hani Mappiasse (Alm). Penulis merupakan putri kedua dari tiga bersaudara. Pada tahun 2007 penulis menikah dengan Andi Aco Bugman, M.Ag. Tahun 1996 penulis menyelesaikan program Strata 1 pada IAIN Alauddin Makassar, Jurusan Biologi. Selanjutnya penulis mengajar di MAS Muallimin Muhammadiyah makassar mulai tahun 1998 sampai sekarang, dan MAN Polewali Mandar sejak tahun 2004 sampai sekarang. Tahun penulis membina SMK Pelayaran & Perkapalan Samudera Nusantar Makassar, dan menjabat sebagai ketua Yayasan Samudera Nusantara Makassar pada tahun Pada Tahun 2007, penulis berkesempatan melanjutkan studi Pascasarjana di Insitut Pertanian Bogor, Program Studi Biologi Mayor Biosains Hewan dengan mendapatkan beasiswa dari Departeman Agama Republik Indonesia. Penulis merupakan salah satu staf pengajar mata pelajaran biologi di MAN Polewali Mandar (Sulawesi Barat), MAS Muallimin Muhammadiyah Makassar (Sulawesi Selatan), dan SMP Wahyu Makassar (Sulawesi Selatan).

13 Kupersembahkan tesis ini sebagai ibadah dan puji syukur atas segala nikmat hidup dan kesempatan menuntut ilmu di Insitut Pertanian Bogor dari Allah SWT. Untuk: Orang tuaku Drs. Andi Nurdin Ahmad (Alm) & ST. Hani Mappiasse (Alm). Suami tercinta Andi Aco Bugman, M.Ag, atas do a, keikhlasan, kesabaran, ketulusan, dan dorongan semangat yang telah diberikan. Kakak Andi Nurhani; adik Andi Nurshiyam, AM.Keb; Ahmad Yani, S.Pd; kemenakanku Ahwan & Nanda, pamanku Andi Arifuddin atas do a dan dukungannya. Seluruh keluarga besarku atas do a dan motivasi selama penulis menuntut ilmu. Keluarga Besar Andi Kasim Toto (Alm) atas do a dan restunya. Keluarga Drs. Pabelloi atas do a dan dukungannya.

14 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... iii DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... iv vi PENDAHULUAN A. Latar Belakang... 1 B. Rumusan Masalah... 2 C. Tujuan Penelitian... 3 D. Manfaat Penelitian... 3 E. Kerangka Penelitian... 3 TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi... 5 B. Morfologi... 5 a. Telur (Ovum)... 5 b. Ulat (Larva)... 6 c. Kepompong (pupa)... 7 d. Kupu (Imago)... 8 C. Siklus Hidup D. Perilaku a. Mencari Pakan (Feeding) b. Berjemur (Basking) c. Berkerumun (Puddling) d. Mencari Pasangan (Courting) e. Kawin (Mating) f. Meletakkan Telur (Egg Laying) E. Habitat dan Penyebaran a. Habitat b. Penyebaran F. Pakan G. Penangkaran H. Life Table BAHAN DAN METODE A. Waktu dan Tempat Penelitian B. Bahan dan Alat C. Metode Penelitian a. Persiapan b. Pelaksanaan Penelitian D. Analisis Data a. Teknik Penangkaran T. h. helena dan T. h. hephaestus... 30

15 b. Pengukuran Lingkungan Fisik Laboratorium dan Kubah... Penangkaram c. Lama Waktu Setiap Stadia T. h. helena dan T. h. hephaestus d. Kelangsungan Hidup T. h. helena dan T. h. hephaestus e. Morfologi Telur, Larva, Pupa, dan Imago f. Fekunditas (Keperidian) Imago Betina g. Konsumsi Pakan Larva h. Perilaku Selama di Penangkaran HASIL A. Teknik Penangkaran T. h. helena dan T. h. hephaestus B. Kondisi Lingkungan Fisik Laboratorium dan Kubah Penangkaran C. Lama Waktu Setiap Stadia T. h. helena dan T. h. hephaestus D. Kelangsungan Hidup T. h. helena dan T. h. hephaestus E. Morfologi Telur, Larva, Pupa, dan Imago F. Fekunditas (Keperidian) Imago Betina G. Konsumsi Pakan Larva H. Perilaku T. h. helena dan T. h. hephaestus Selama di Penangkaran PEMBAHASAN A. Teknik Penangkaran T. h. helena dan T. h. hephaestus B. Kondisi Lingkungan Fisik Laboratorium dan Kubah Penangkaran C. Lama Waktu Setiap Stadia T. h. helena dan T. h. hephaestus D. Kelangsungan Hidup T. h. helena dan T. h. hephaestus E. Morfologi Telur, Larva, Pupa, dan Imago F. Fekunditas (Keperidian) Imago Betina G. Konsumsi Pakan Larva H. Perilaku T. h. helena dan T. h. hephaestus Selama di Penangkaran SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 45

16 DAFTAR TABEL Halaman 1 Rataan lama waktu setiap stadia T. h. helena & T. h. hephaestus Life table T. h. helena hasil penangkaran di IPB Life table T. h. hephaestus hasil penangkaran di IPB Perbandingan morfologi T. h. helena hasil penangkaran IPB dan hasil penangkaran Cilember Perbandingan morfologi T. h. hephaestus hasil penangkaran IPB dan hasil penangkaran Bantimurung Fekunditas T. h. helena hasil penangkaran IPB Fekunditas T. h. hephaestus hasil penangkaran IPB Jumlah konsumsi pakan larva T. h. helena pada tiap fase (n=10) Jumlah konsumsi pakan larva T. h. hephaestus pada tiap fase (n=10) Hasil analisa proksimat daun pakan Aristolochia tagala... 48

17 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Kerangka pemikiran penelitian Bentuk dan bagian-bagian tubuh larva Lepidoptera (Braby 2000) Larva Lepidoptera: kroset pada ujung proleg (a) dan tungkai sejati dan tungkai palsu (b) Kremaster pupa untuk menempel pada substrat Morfologi kupu-kupu (D Abrera 1975) Venasi sayap Papilionidae (Nielsen & Common1991) Bentangan sayap T. h. hephaestus jantan 13.5 cm (a) dan T. h. hephaestus betina 14.5 cm (b) Kupu jantan sedang menghisap nektar buatan Kubah penangkaran IPB Kandang yang digunakan untuk penelitian: kandang kawin (a) dan kandang pupa (b) Proses pembibitan pakan larva: biji A. tagala (a), biji A. tagala disemai dalam nampan (b), bibit satu minggu setelah disemai (c), dan bibit umur satu bulan (d) Posisi peletakan tanaman pakan larva: stek A. tagala di polibag telah tumbuh (a), A. tagala di pot (b) Peta lokasi Wana Wisata Curug Cilember Peta lokasi Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung Larva instar ke 3 dalam cawan petri yang berisi A. tagala Larva instar ke 4 dalam toples gelas berisi daun A. tagala (a), stadia prepupa (b) Pupa T. h. hephaestus: enam pupa dalam kandang pupa (a), perubahan warna pupa menjelang eklosi (b) Mikroskop stereo (a), telur T. h. hephaestus, diameter 2.5 cm, berwarna jingga (b)... 27

18 19 Cara pengukuran larva T. h. hephaestus: panjang larva instar ke 5 (a), lebar larva instar ke 5 (b) Cara pengukuran pupa T. h. hephaestus: panjang pupa (a), lebar pupa (b) Cara pengukuran panjang bentangan sayap T. h. helena jantan Komponen-komponen yang digunakan untuk menyusun neraca kehidupan Perbedaan morfologi pupa T. h. hephaestus: betina (kiri) dan jantan (kanan) Rataan suhu minimum dan suhu maksimum harian di laboratorium dan kubah penangkaran IPB Rataan kelembaban harian di laboratorium dan kubah penangkaran IPB Grafik kurva kelangsungan hidup T. h. helena dan T. h. hephaestus di penangkaran Diagram life table T. h. helena (n = 3) Diagram life table T. h. hephaestus (n = 3) Parasitoid telur T. h. helena (Scelionidae: Hymenoptera) Jumlah telur yang dihasilkan betina T. h. helena dan T. h. hephaestus berdasarkan hari pengamatan Pupa saat imago keluar: sebelum eklosi (a) dan sesudah eklosi (b) Posisi imago T. h. helena saat mating: saling berhadapan (a) dan betina berada di atas jantan (b) Pola peletakan telur T. h. hephaestus: sendiri-sendiri (a) dan mengelompok (b) Perkawinan T. h. helena jantan dengan T. h. hephaestus betina... 52

19 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Peta penyebaran Troides helena Beberapa alat yang digunakan dalam penelitian Data lingkungan fisik di laboratorium Data lingkungan fisik di kubah penangkaran Imago yang diserang predator laba-laba Imago yang diserang predator cicak Hasil uji t diameter telur T. h. helena Hasil uji t bobot telur T. h. helena Hasil uji t panjang pupa T. h. helena Hasil uji t lebar pupa T. h. helena Hasil uji t panjang bentangan sayap imago jantan T. h. helena Hasil uji t panjang bentangan sayap imago betina T. h. helena Hasil uji t diameter telur T. h. hephaestus Hasil uji t bobot telur T. h. hephaestus Hasil uji t panjang pupa T. h. hephaestus Hasil uji t lebar pupa T. h. hephaestus Hasil uji t panjang bentangan sayap imago jantan T. h. hephaestus Hasil uji t panjang bentangan sayap imago betina T. h. hephaestus Hasil analisis proksimat pakan pada daun A. tagala Tanaman-tanaman berbunga sebagai sumber nektar imago Pupa yang diserang mikroorganisme Imago yang gagal eklosi... 82

20 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan beriklim tropik dengan tipe habitat dan ekosistem beragam. Indonesia merupakan habitat yang cocok bagi berbagai fauna termasuk kupu-kupu. Diperkirakan sekitar jenis kupu-kupu terdapat di Indonesia (Tsukada & Nishiyama 1982). Kupu-kupu termasuk ordo Lepidoptera karena mempunyai sisik pada sayapnya yang mudah terlepas seperti debu bila dipegang, kebanyakan tubuh dan tungkai juga tertutup dengan sisik (Triplehorn & Johnson 2005). Kupu-kupu memiliki ciri ujung antena membesar seperti pemukul golf yang membedakannya dengan ngengat (Watts 1991). Kupu-kupu mengalami metamorfosis sempurna karena kehidupannya dimulai dari telur - larva - pupa - dewasa (Gullan & Cranston 2000). Kupu-kupu merupakan satwa liar yang memiliki manfaat ekologi sebagai penyerbuk tanaman, sumber ilmu pengetahuan, bioindikator, dan ekoedutourisme. Troides helena merupakan salah satu kupu-kupu yang memiliki kombinasi warna sayap indah dan berukuran besar, sehingga menarik perhatian kolektor. Kupu-kupu T. helena termasuk satwa yang diperdagangkan dan telah memasukkan devisa dari subsektor kehutanan Indonesia (Dephut 2009). Untuk mencegah dari kepunahan karena eksploitasi yang berlebihan, maka pemerintah melindungi T. helena melalui PP No. 7 Tahun 1999 (Noerdjito 2001). Semua genus Troides masuk dalam daftar Appendix II CITES, sehingga perdagangan jenis ini harus merupakan hasil budi daya di penangkaran. Terdapat 17 subspesies dari T. helena di dunia, 13 subspesies ditemukan di Indonesia yang menyebar dari Sumatra bagian selatan sampai ke Kepulauan Tukangbesi di Sulawesi. Dari 13 subspesies tersebut, 2 subspesies diantaranya yaitu Troides helena helena tersebar di Jawa dan Sumatra bagian selatan, sedangkan Troides helena hephaestus tersebar di Sulawesi (Tsukada & Nishiyama 1982). T. h. helena (Jawa) sudah mulai berkurang populasinya, tetapi masih ditemukan di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (Suharto et al. 2005). Di

21 Taman Nasional Ujung Kulon (New et al. 1987) dan kawasan hutan koridor di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (Efendi 2009), tidak ditemukan adanya T. h. helena. Namun demikian, di daerah Cilember (Cisarua - Bogor) yang merupakan Wana Wisata Curug, kupu-kupu jenis ini masih banyak ditemukan. Penelitian keberadaan T. h. helena di Jawa dan Sumatera Selatan masih terbatas. Sulawesi memiliki 133 jenis kupu-kupu khas dengan tingkat endemisitas spesies mencapai 43% (Vane-Wright & de Jong 2003). Sulawesi juga memiliki 23 dari 122 jenis Papilionidae yang ada di Indonesia (Tsukada & Nishiyama 1982). Sulawesi merupakan salah satu daerah penjelajahan Wallace tahun Hasil penelitian Wallace ini menjadi salah satu inspirasi Darwin untuk mengumumkan teori evolusi dalam buku The Origin of Species yang diterbitkan tahun Wallace mendapat data mengenai keragaman organisme di daerah Sulawesi. Bantimurung merupakan salah satu daerah di Sulawesi Selatan yang mendapat gelar The Kingdom of Butterfly oleh Wallace setelah menemukan 270 jenis kupu-kupu di daerah tersebut (Koolhof 2004). Di daerah ini, hidup dengan baik Troides helena hephaestus yang merupakan salah satu subspesies T. helena. Penyebaran T. h. hephaestus di Sulawesi terbatas di Sulawesi Selatan, Kepulauan Tukangbesi, Kepulauan Banggai, dan Kepulauan Sula (Matsuka 2001). Di Hutan Wisata Bantimurung Sulawesi Selatan banyak ditemukan T. h. hephaestus, namun keberadaannya hanya dapat ditemukan pada akhir musim kemarau (Achmad 1988). Sampai saat ini penelitian tentang keberadaan T. h. hephaestus masih sangat terbatas. Upaya konservasi perlu dilakukan untuk menjaga kelangsungan hidup T. helena di Indonesia. Untuk mendukung upaya konservasi, diperlukan pengetahuan tentang teknik budi daya kupu-kupu dan database tentang biologi T. helena. Sampai saat ini teknik budi daya dan data biologi T. helena di Indonesia belum lengkap. Penangkaran kupu-kupu jenis ini perlu digalakkan untuk mendukung upaya konservasi T. helena di Indonesia. B. Rumusan Masalah Kupu-kupu subspesies T. h. helena dan T. h. hephaestus merupakan fauna asli Indonesia yang dilindungi Undang-Undang melalui PP No. 7 Tahun 1999.

22 Upaya konservasi perlu dilakukan untuk menjaga kelangsungan hidupnya melalui penangkaran. Diperlukan pengetahuan tentang teknik penangkaran dan data biologi kupu-kupu di penangkaran untuk mencegah kepunahan dan tekanan perburuan di habitat alaminya. C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan: 1. Mempelajari teknik penangkaran kupu-kupu. 2. Mengkaji biologi T. h. helena dan T. h. hephaestus di penangkaran. D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang teknik penangkaran kupu-kupu dan biologi T. h. helena dan T. hephaestus di penangkaran. Informasi yang diperoleh dapat dijadikan database untuk mendukung upaya konservasi T. helena di Indonesia. E. Kerangka Penelitian Kerangka penelitian tentang biologi T. h. helena dan T. h. hephaestus (Papilionidae) di penangkaran terdapat dalam gambar 1.

23 T. h. helena dan T. h. hephaestus mengalami penurunan populasi di alam karena: - Perburuan liar secara besar-besaran untuk diperdagangkan - Tekanan parasitoid dan predator - Kekurangan pakan dan habitat alaminya yang telah rusak - Dilindungi Undang-Undang melalui PP No. 7 Tahun Masuk dalam appendix II CITES - Diperlukan upaya konservasi melalui penangkaran Penangkaran dengan cara: Budi daya di laboratorium dan di kubah penangkaran Ketersediaan: - Pakan imago - Pakan larva Kondisi lingkungan yang cocok: - Suhu - Kelembaban - Intensitas cahaya Sumber bibit : - Pembibitan pakan larva - Breeding Teknik pemeliharaan yang tepat - Teknik penangkaran kupu T. h. helena dan T. h. hephaestus - Data biologi - Ekoedutourisme Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian.

24 TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi Kupu-kupu dan ngengat merupakan serangga yang termasuk dalam ordo Lepidoptera dengan ciri khas sisik pada sayap, tubuh, dan tungkai. Kupu-kupu memiliki antena ramping dengan ujung membesar (Triplehorn & Johnson 2005). Kupu-kupu memiliki ciri aktif terbang dan mencari pakan pada siang hari (Watts 1991). Klasifikasi T. helena menurut Triplehorn & Johnson (2005) dan Tsukada & Nishiyama (1982) adalah sebagai berikut: Filum : Arthropoda Subfilum : Mandibulata Kelas : Insekta Subkelas : Pterygota Ordo : Lepidoptera Superfamili : Papilionoidea Famili : Papilionidae Subfamili : Papilioninae Tribe : Troidini Genus : Troides Spesies : Troides helena Subspesies : Troides helena helena Linnaeus, 1758 Troides helena hephaestus Felder, 1864 B. Morfologi a. Telur (Ovum) Ukuran telur berkaitan dengan jumlah instar pada larva dan ukuran imago kupu-kupu (Chew & Robbins 1984). Pada antena Papilionidae, telur berbentuk bulat dan berwarna hijau kekuningan atau putih (Hoi-sen 1989). Telur T. helena berdiameter 2.5 mm (Carey-Hughes & Pickford 1977), bervolume 2.18 mm³ (Garcia-Barros 2000). Pada bagian bawah telur selalu berbentuk rata dan bagian atas telur terdapat lubang kecil (mikropile) yang merupakan tempat masuknya sperma ke dalam telur (Amir et al. 2003).

25 b. Ulat (Larva) Larva Lepidoptera berbentuk silindris (erusiform), kepala berkembang baik, tubuh terdiri dari 3 ruas di bagian toraks dan 10 ruas di bagian abdomen (Gambar 1). Terdapat sepasang tungkai sejati pada tiap ruas toraks dan tungkai palsu (proleg) pada abdomen (Gambar 2). Tungkai palsu terdapat pada ruas ke 3-6 abdomen dan padaa ruas ke 10 yang dilengkapi dengan kait kecil (kroset) pada ujungnya (Gambar 3). Proleg sangat berbeda dengan tungkai sejati karena memiliki ruas yang berbeda dan berdaging (empuk). Proleg digunakan untuk berjalan atau menggantung pada substrat. Pada sisi pleuran dari tiap segmen toraks dan abdomen terdapat sepasang lubang spirakel yang berguna untuk pernafasan. Larva Papilionidae umumnya memiliki kelenjar bau (osmeterium) yang dapat dijulurkan apabila larva terganggu (Triplehorn & Johnson 2005). osmeterium kepala toraks protoraks abdomen spirakel anal stemata mandibel palpus tungkai sejati tungkai palsu ventral kroset kroset tungkai palsu anal antena spinneret Gambar 2 Bentuk dan bagian-bagian tubuh larva Lepidoptera (Braby 2000). Larva T. helena instar ke 1 berwarna merah kecoklatan, larva pada fase instar ke 2 dan 3 berwarna gelap, dan larva fase instar akhir berwarna abu-abu (Carey-Hughes & Pickford 1977).

26 kroset Tungkai sejati Tungkai palsu (proleg) (a) (b) Gambar 3: Larva Lepidoptera: kroset pada ujung proleg (a) dan tungkai sejati dan tungkai palsu (b). c. Kepompong (Pupa) Pupa Lepidoptera umumnya memiliki embelan yang menempel erat pada tubuh (abtekt). Pupa Papilionidae menempel pada substrat dengan bantuan juluran ujung posterior (kremaster) (Gambar 4). Di samping itu, juga terdapat serat sutera di tengah sebagai penyangga tubuh selama berada pada stadia pupa. Warna pupa kupu-kupu beragam dan seringkali berlekuk tidak rata (Triplehorn & Johnson 2005). Pupa memiliki cara perlindungan khusus, yaitu dengan cara kamuflase warna dan bentuk (Mastright & Rosariyanto 2005). Pupa T. helena memiliki variasi warna dari coklat terang sampai hijau (Carey-Hughes & Pickford 1977). Variasi warna tersebut tergantung pada tanaman atau substrat tempat larva mengalami pupasi. Gambar 4 Kremaster pupa untuk menempel pada substrat.

27 d. Kupu (Imago) Tubuh kupu terbagi menjadi tiga bagian, yaitu kepala (caput), toraks, dan abdomen. Pada kepala terdapat sepasang antena panjang dan membesar pada ujungnya yang berfungsi sebagai peraba dan perasa. Di kepala terdapat lidah bergulung (proboscis) yang berfungsi sebagai penghisap cairan (Mastright & Rosariyanto 2005). Kupu-kupu memiliki satu pasang mata majemuk (compound eye) yang berfungsi untuk mengenali bentuk, warna, dan gerakan (Braby 2000). Toraks kupu-kupu terbagi tiga segmen yaitu protoraks, mesotoraks, dan metatoraks. Protoraks merupakan segmen terkecil dan terletak pada segmen terdepan dari toraks. Segmen kedua adalah mesotoraks yang merupakan segmen terbesar. Segmen toraks yang ketiga adalah metatoraks. Pada masing-masing segmen terdapat sepasang tungkai. Sepasang sayap terdapat pada mesotoraks dan metatoraks (Braby 2000) (Gambar 5). mesotoraks metatoraks toraks abdomen antena mata majemuk palpus labial proboscis dasar sayap spirakel koksa trokanter femur tibia tarsus Gambar 5 Morfologi kupu-kupu (D Abrera 1975). Abdomen merupakan bagian yang lebih lunak dibandingkan kepala dan toraks. Abdomen terdiri dari 10 segmen yang terdiri atas tergum pada bagian dorsal dan sternum pada bagian ventral. Pada segmen pertama sampai ketujuh abdomen terdapat bukaan (spirakel) yang berfungsi sebagai jalan masuknya udara. Dua atau tiga segmen terakhir abdomen mengalami modifikasi membentuk alat

28 genitalia. Alat genitalia eksternal jantan dan betina serta saluran alat kelamin betina sering dipergunakan sebagai karakter identifikasi jenis kupu (Braby 2000). Morfologi T. helena jantan adalah kepala berwarna hitam dengan sisik merah di bagian belakang; dada berwarna hitam dan pada bagian ventral terdapat tanda warna merah; perut berwarna kuning dan putih pada bagian dorsal, serta tertutup garis-garis hitam pada tiap segmen; bagian sisi dalam berwarna kuning; sayap depan memiliki warna dasar abu-abu atau hitam dengan tanda putih; sayap belakang berwarna kuning emas dengan batas hitam yang melebar pada tulang sayap (Simbolon & Iswari 1990). Morfologi T. helena betina adalah kepala berwarna hitam coklat dengan lengkungan merah pada sisi atas; dada berwarna coklat dan terdapat bulu berwarna merah di bawah dasar sayap; perut umumnya berwarna abu-abu, coklat, atau kuning; sayap depan berwarna abu-abu, coklat atau hitam, serta terdapat sisik-sisik coklat; sayap belakang berwarna kuning keemasan dan hitam serta spot hitam besar dan putih (Simbolon & Iswari 1990). Sistem venasi pada sayap Papilionidae adalah sayap depan dengan vena radius 4 (R4) dan radius 5 (R5) biasanya dengan tangkai. Vena anal 2, 2A bertangkai dengan 1A. Sayap belakang dengan vena humeral (humeral vein). Subcosta (Sc) sayap belakang terhubung dengan radius sectorial (Rs) dekat dasar vena radius 1 (R1). Vena anal 1 kadang terdapat tonjolan seperti ekor (Nielsen & Common 1991) (Gambar 6). vena humeral Gambar 6 Venasi sayap Papilionidae (Nielsen & Common 1991).

29 C. Siklus Hidup Kupu-kupu mengalami metamorfosis sempurna (holometabola), yaitu memiliki empat stadia dalam hidupnya yang terdiri atas telur (ovum), ulat (larva), kepompong (pupa), dan kupu-kupu dewasa (imago) (Gullan & Cranston 2000). Waktu yang dibutuhkan oleh kupu-kupu dalam siklus hidupnya bervariasi. Hal tersebut tergantung pada suhu lingkungan (Carey-Hughes & Pickford 1977). Selain suhu yang lebih panas, telur dari spesies kupu-kupu yang kecil dapat menetas dalam waktu yang relatif lebih cepat. Larva yang baru menetas dari telur berukuran sangat kecil. Stadia larva adalah fase makan yang intensif karena sebagian besar pertumbuhan tubuh Lepidoptera terjadi pada fase larva. Larva mengalami pergantian kulit, dimana kulit lama dilepaskan dan diganti dengan kulit baru yang ukurannya sesuai. Hal tersebut untuk mengantisipasi kulit yang tidak elastis, sehingga untuk menjadi besar larva mengalami pergantian kulit dari waktu ke waktu. Larva Lepidoptera umumnya mengalami 5 kali ganti kulit, tergantung pada jenis. Fase di antara pergantian kulit dikenal dengan istilah instar. Jumlah instar pada larva tidak selalu konstan. Larva Lepidoptera biasanya terdiri dari 5-7 instar (Chapman 1982), larva T. helena mengalami 4 instar (Carey-Hughes & Pickford 1977). Pupa adalah masa tidak makan dan merupakan masa reorganisasi serta transformasi organ-organ calon imago (Braby 2000). Untuk melekatkan diri pada substrat, pupa memiliki serat-serat sutera yang dihasilkan oleh larva dari kelenjar sutera. Lama masa pupa kupu-kupu berkisar beberapa hari sampai sebulan lebih (Mastright & Rosariyanto 2005). Fase pupa merupakan suatu periode tidak bergerak, namun pupa T. helena melakukan gerakan berkejang dan mengeluarkan bunyi desis apabila terganggu (Carey-Hughes & Pickford 1977). Stadia setelah pupa adalah imago. Imago keluar dari pupa dengan membuka bagian atas pupa. Selanjutnya dengan tungkai depan berpegang pada tangkai atau substrat lalu menarik diri keluar dari pupa yang basah. Saat pertama keluar dari pupa, sayap imago masih basah dan terlipat. Imago yang baru keluar dari pupa akan mengeluarkan cairan dari abdomennya, kemudian mengeringkan tubuh dengan cara mengepak-ngepakkan sayapnya. Seluruh proses ini biasanya berlangsung di pagi hari saat cuaca cerah (Mastright & Rosariyanto 2005).

30 Panjang sayap depan imago T. helena adalah mm (Garcia-Barros 2000). Betina T. helena memiliki ukuran tubuh lebih besar dari pada jantan. Panjang bentangan sayap dapat mencapai cm. Imago T. helena umumnya berukuran besar dan memiliki warna berbeda antara jantan dan betina (Carey-Hughes & Pickford 1977) (Gambar 7). (a) (b) Gambar 7 Bentangan sayap T. h. hephaestus jantan 13.5 cm (a) dan T. h. hephaestus betina 14.5 cm (b). D. Perilaku a. Mencari Pakan (Feeding) Pemilihan tanaman pakan inang yang tepat untuk pertumbuhan dan perkembangan larva dilakukan oleh kupu betina saat oviposisi (Rausher 1979). Pilihan tempat oviposisi betina sangat penting bagi kelangsungan hidup keturunannya. Pengenalan pakan dilakukan oleh betina berupa sensor visual, olfactory, dan gustatory dari senyawa kimia yang dihasilkan oleh tanaman pakan (Nishida 2005). Larva Papilio xuthus (Papilionidae) memiliki chemosensilla pada mulut untuk merespon senyama kimia tanaman pakannya (Nishida 2005). Larva Pachliopta aristolochiae (Papilionidae) yang baru menetas memakan daun lunak tanaman Aristolochiae dengan membuat lubang-lubang kecil yang tidak beraturan. Sedangkann larva instar ke 2 memakan daun lunak dari bagian tepinya. Larva instar ke 3 dan instar ke 4 memakan daun muda, daun tua, serta bagian lain tanaman yang lunak (Barua & Slowik 2007). Imago kupu-kupu membutuhkan nektar sebagai sumber energi. Alat mulut berupa proboscis sesuai dengan cara mencari pakan (feeding) yaitu tipe

31 menghisap. Kupu-kupu secara umum menyukai jenis bunga yang memiliki kantong madu dangkal agar mudah dijangkau oleh proboscis (Noerdjito & Amir 1992). Umumnya, kupu-kupu terbang mencari nektar ketika cuaca cerah dan tubuhnya cukup hangat untuk dapat terbang. Waktu mulai aktif adalah awal matahari terbit di pagi hari sampai akhir sore hari (Braby 2000). Alternatif sumber nektar bagi kupu-kupu adalah nektar buatan berupa cairan madu (Gambar 8) dengan perbandingan air dan madu adalah sembilan berbanding satu (Watts 1991). Gambar 8 Kupu jantan sedang menghisap nektar buatan. Selain mengunjungi sumber nektar, kupu-kupu juga sering menghisap air dan makanan lain yang mengandung mineral. Kupu jantan menyukai air seni sebagai sumber mineralnya (Mastright & Rosariyanto 2005). Sumber mineral yang sering dikunjungi oleh kupu-kupu adalah buah yang busuk, kotoran, urine, dan bangkai. Di samping itu, tempat feeding sumber mineral lain bagi kupu-kupu adalah tebing basah, kubangan lumpur, dan pasir berair. Areal tersebut merupakan sumber mineral dan nutrisi bagi kupu-kupu untuk kelangsungan hidup dan reproduksinya (Stokes et al. 1991).

32 b. Berjemur (Basking) Kupu-kupu membutuhkan suhu tubuh berkisar antara ºC untuk dapat terbang dengan baik. Untuk mencapai suhu tubuh tersebut, kupu-kupu seringkali berjemur dengan memanfaatkan sinar matahari. Cara kupu-kupu berjemur ada beberapa macam diantaranya dengan membuka lebar sayap lalu menghadapkan ke arah matahari. Cara lain dengan menutup sayap dan menempatkan posisi tubuh tegak lurus ke arah sinar matahari. Aktivitas berjemur kupu-kupu umumnya dimulai pada pagi hari (Stokes et al. 1991). c. Berkerumun (Puddling) Secara umum kupu-kupu jantan sering berkerumun di sekitar genangan air atau tempat becek untuk menghisap air yang mengandung mineral, khususnya sodium. Sodium dibutuhkan untuk menghasilkan aroma khas (seks feromon) yang digunakan saat mencari pasangan. Disamping hal tersebut, sodium bersama mineral lainnya diperlukan dalam perkawinan (Stokes et al. 1991). d. Mencari Pasangan (Courting) Umumnya kupu-kupu jantan aktif terbang mencari betina sebagai pasangan kawin dengan terbang berkeliling menggunakan pengamatan visual. Jika betina yang diamati ternyata bukan sesama jenisnya, maka ia akan terbang ke tempat lain. Apabila yang ditemukan ternyata jantan dari jenisnya, maka akan berkejaran sejenak lalu terbang secara vertikal hingga akhirnya berpisah. Jantan yang menemukan betina akan melakukan percumbuan (courtship) dengan terbang mengitari betina sambil mengepak-ngepakkan sayapnya. Sambil terbang, jantan juga akan melepaskan feromon melalui sayap atau tubuh. Selanjutnya betina akan hinggap pada suatu tempat dan diikuti oleh jantan untuk berkopulasi (Stokes et al. 1991). e. Kawin (Mating) Pasangan imago yang telah melakukan courtship akan melakukan mating. Jantan dan betina akan hinggap pada suatu tempat dengan posisi saling membelakangi. Selanjutnya, pasangan akan saling melengkungkan abdomen

33 untuk melakukan kopulasi atau perkawinan. Kopulasi pada kupu-kupu dapat berlangsung antara sepuluh menit sampai beberapa jam. Seringkali pasangan imago terbang dalam kondisi abdomen yang masih saling menempel (Stokes et al. 1991). Hal tersebut terjadi apabila pasangan yang sementara mating mendapat gangguan. f. Meletakkan Telur (Egg laying) Perilaku meletakkan telur (egg laying) dikenal pula dengan istilah oviposisi. Betina yang akan meletakkan telur akan terbang sambil menyentuh berulang kali daun tanaman yang berbeda. Hal tersebut dilakukan untuk mendeteksi dan mengidentifikasi tanaman pakan larvanya. Betina meraba permukaan daun dengan menggunakan tungkai, antena, dan proboscisnya. Identifikasi pakan larva juga dilakukan betina dengan mencium aroma dari tanaman. Setelah betina menemukan tanaman pakan larvanya, ia akan meletakkan telurnya pada permukaan bawah atau atas dari tanaman tersebut (Stokes et al. 1991). Imago betina Ornithoptera alexandrae (Papilionidae) umumnya meletakkan telur tunggal pada bagian bawah daun tua. Seringkali telur juga diletakkan dengan jarak beberapa sentimeter sampai satu meter di atas tanaman pakan larva (Straatman 1971). E. Habitat Dan Penyebaran a. Habitat Secara umum kupu-kupu menyukai tempat yang bersih, sejuk, dan tidak terpolusi oleh insektisida. Hal ini menyebabkan kupu-kupu sering digunakan sebagai bioindikator (Amir et al. 2003). Kupu-kupu membutuhkan tumbuhan sebagai sumber pakan larva, sumber nektar, dan tanaman pelindung untuk kelangsungan hidupnya (Achmad 1988). Oleh karena itu keragaman jenis tumbuhan pada suatu daerah berpengaruh terhadap keragaman jenis kupu-kupu. Keadaan iklim tropik juga merupakan habitat yang cocok bagi perkembangan berbagai jenis kupu-kupu (Tsukada & Nishiyama 1982). Daerah terrestrial dengan ketinggian mdpl memungkinkan berbagai jenis kupu-kupu dapat hidup. Habitat kupu-kupu antara lain daerah pertanian, perkebunan, lahan bera (waste

34 lands), dan kawasan hutan (Clark et al. 1966). Habitat utama Ornithoptera alexandrae (Papilionidae) yaitu pada ketinggian di atas 900 mdpl (Straatman 1971). b. Penyebaran Penyebaran T. helena menurut Tsukada dan Nishiyama (1982) yaitu: T. h. cerberus meliputi N. India, Burma, Laos, Vietnam, Thailand, Malay Peninsula; T. h. spilotius meliputi Hainan S dan China; T. h. heliconoides di Andaman; T. h. ferrari di Nicobar; T. h. typhaon di N. C. Sumatra; T. h. isora di Nias; T. h. nereis di Enggano; T. h. mosychlus di Borneo & Natura; T. h. helena di Java & S. w. Sumatra; T. h. nereides di Bawean; T. h. antileuca di Kangean; T. h. maurus di Bali; T. h. sagittatus di Lombok; T. h. propinguus di Sumbawa; T. h. hephaestus di Celebes; T. h. mopa di Butung; dan T. h. neoris di Tukangbesi (Lampiran 1). F. Pakan Umumnya, kupu-kupu menyukai berbagai jenis bunga dengan kantong madu yang dangkal dan mudah dijangkau oleh proboscisnya, seperti bunga Lantana sp. dan Mimosa sp. (Noerdjito dan Amir 1992). Makanan larva Papilionidae terutama adalah bagian-bagian tumbuhan Aristolochiaceae, Rutaceae, Lauraceae, Annonaceae, dan Umbeliferae (Noerdjito dan Aswari 2003). Pakan larva T. helena adalah A. tagala (Carey-Hughes & Pickford 1977). G. Penangkaran Penangkaran adalah upaya pengembangbiakan jenis satwa liar secara intensif pada suatu tempat terbatas, seperti kandang. Satwa liar yang perlu segera ditangkarkan adalah yang ukuran populasinya di alam sangat rendah. Hal yang perlu diperhatikan dalam penangkaran adalah kualitas bibit, jumlah bibit, dan variasi genetiknya. Faktor tersebut perlu diperhatikan karena satwa yang hidup di penangkaran sangat peka terhadap perubahan fekunditas, daya hidup, materi genetik, seks rasio, dan ukuran tubuh (Thohari 1987). Pemeliharaan telur kupu-kupu di dalam ruangan sangat tergantung pada teknik pemindahan telur dari alam. Pemeliharaan larva kupu-kupu sebaiknya di

35 tempatkan pada toples yang diberi banyak pakan untuk menghasilkan imago berukuran besar. Prepupa dan pupa sebaiknya dipelihara dalam ruangan dan menjaga agar kremasternya tidak terlepas. Imago sebaiknya dipelihara dalam penangkaran yang cukup luas agar dapat terbang dengan leluasa. Penangkaran harus berisi tanaman penghasil nektar, tanaman pakan larva, dan tanaman pelindung sebagai penyejuk (Tikupadang & Gunawan 1997). H. Life Table Life table atau neraca kehidupan menggambarkan tentang perkembangan, kelangsungan hidup, produktivitas atau kesuburan induk betina pada suatu kelompok dan menyajikan data dasar parameter pertumbuhan populasi. Life table dihasilkan dari data lapangan dan digunakan untuk mengestimasi kemampuan adaptasi populasi yang dipengaruhi oleh faktor biotik dan abiotik (Gabre et al. 2005). Kelahiran dan kematian dapat ditabulasi dengan menggunakan life table. Neraca kehidupan juga merupakan ringkasan pernyataan yang memuat tipe kehidupan individu dari populasi atau kelompok individu, sehingga harapan hidup individu dapat diperhitungkan (Price 1984).

36 BAHAN DAN METODE A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan dari bulan Februari 2008 sampai bulan Oktober 2009 bertempat di laboratorium Biomolekuler PPSHB PAU dan kubah penangkaran IPB (Gambar 9). Gambar 9 Kubah penangkaran IPB. B. Bahan dan Alat Bahan yang diperlukan dalam penelitian ini adalah 10 Pupa T. h. helena dan 10 pupa T. h. hephaestus, tanaman pakan larva berupa sirih hutan (Aristolochia tagala) yang bibitnya sebagian didatangkan dari Bantimurung dan Cilember. Tanaman pakan imago berupa berbagai jenis tanaman berbunga, yaitu: pagoda (Clerodendrum sp.), soka (Ixora paludosa), pacar air (Impatients balsamina), lantana (Lantana camara), lolipop merah (Justicia carnea), jengger ayam, teratai (Nymphaea sp.), batavia (Jathropa integerrima), beauty (Cuphea hissofolia), merak (Caesalpinia pulcherrima), cucur bebek (Kalanchoe pinnuta), dan sirih pagar. Bahan lain yang digunakan adalah nektar buatan, berupa larutan

37 madu dengan perbandingan air dan madu 9:1, alkohol, tisu, selotip, lem fox, tali plastik, styrofoam, dan air. Alat yang digunakan yaitu: pinset, gunting, pipet tetes, kuas, lup, labu semprot, jam, kamera digital merek Fujifilm tipe FinePix S700 7,1 megapixels 10 x optical zoom dilengkapi tripod, timbangan digital AND HX-100 berskala gram, termometer minimum maksimum, luxmeter merek Extech model , higrometer merek Kawe, mistar, jangka sorong, mikrometer, mikroskop stereo merek Zeiss model Stemi 2000-C pembesaran 62.5 x, oven merek Heraeus D-6450 Hanau max 250 ºC, botol film, nampan plastik, jaring serangga dan alat tulis menulis (Lampiran 2). Sarana penunjang lain terdiri dari: kubah penangkaran, kandang kawin, kandang pupa, cawan petri, toples gelas, dan toples plastik. C. Metode Penelitian a. Persiapan 1. Penyiapan Kubah Penangkaran, Kandang Kawin dan Kandang Pupa Kubah penangkaran IPB yang berukuran tinggi 9 m dan diameter 13 m pada awalnya merupakan tempat pembibitan dan penyimpanan tanaman hias yang dikelola oleh Direktorat Properti Bagian Pertamanan IPB. Setelah mendapatkan persetujuan peminjaman kubah, dilakukan penyiapan kubah penangkaran dengan mengadakan renovasi dan pembersihan bagian kubah untuk memastikan tidak adanya lubang yang memungkinkan imago lepas dan predator masuk ke penangkaran. Suhu, kelembaban, dan intensitas cahaya di kubah penangkaran dan di laboratorium diukur agar diketahui kondisi lingkungan. Kandang kawin di dalam kubah penangkaran dibuat dari bambu dan paranet berukuran 3 x 2 x 3 m (Gambar 10a). Sebelum ukuran kandang kawin ditentukan, diadakan penelitian pendahuluan untuk memastikan pasangan imago dapat menempati luasan minimum agar dapat melakukan perkawinan. Kandang pupa terbuat dari rangka kayu dan kain kasa berukuran 40 x 40 x 40 cm dan ditempatkan di laboratorium (Gambar 10b). Salah satu sisi dibuat pintu untuk memasukkan pupa dan mengeluarkan imago jika ada imago yang keluar dari pupa (eklosi), serta diberi kapur pengaman predator semut. Penetapan

38 ukuran dan model kandang pupa didapatkan setelah dilakukan penelitian pendahuluan untuk memastikan imago dapat mengalami eklosi dan tidak keluar dari kandang pupa setelah eklosi. a Gambar 10 Kandang yang digunakan untuk penelitian: kandang kawin (a) dan kandang pupa (b). b 2. Penyiapan Pakan Imago dan Pakan Larva Kubah penangkaran dan kandang kawin berisi pakan imago berupa berbagai tanaman berbunga seperti pagoda (Clerodendrum sp.), soka (Ixora paludosa), pacar air (Impatients balsamina), lantana (Lantana camara), lolipop merah (Justicia carnea), jengger ayam, teratai (Nymphaea sp.), batavia (Jathropa integerrima), beauty (Cuphea hissofolia), merak (Caesalpinia pulcherima), cucur bebek (Kalanchoe pinnuta), dan sirih pagar. Di dalam kubah penangkaran ini dilengkapi pula dengan tanaman pelindung, seperti bambu jepang dan sanseviera. Langkah berikutnya adalah pembibitan pakan larva (Gambar 11), dengan menyemai biji A. tagala menggunakan nampan plastik yang diberi beberapa lubang pada bagian bawahnya. Nampan yang telah diisi biji A. tagala kemudian ditutup dengan plastik. Apabila biji-biji tersebut telah tumbuh dan memiliki tiga sampai empat daun, maka bibit dipindahkan ke polibag. Pembibitan dapat juga berasal dari stek tangkai tua yang ditanam dalam polibag. Biji yang telah disemai ditutup dengan sungkup plastik, sedangkan polibag berisi bibit dan stek tangkai diletakkan ditempat yang aman yaitu tidak terkena hujan dan sinar matahari langsung. Bibit A. tagala yang telah tumbuh kemudian ditanam di bagian tepi

39 dalam kubah penangkaran dan diberi tali untuk sarana merambat, sedangkan sebagian lagi ditempatkan dalam pot yang diberi kawat besi (Gambar 12). a b d c Gambar 11 Proses pembibitan pakan larva: biji A. tagala (a), biji A. tagala disemai dalam nampan (b), bibit satu minggu setelah disemai (c), dan bibit umur satu bulan (d). a b Gambar 12 Posisi peletakan tanaman pakan larva: stek A. tagala di polibag telah tumbuh (a), A. tagala di pot (b).

40 3. Pemilihan Pupa Pupa T. h. helena didapatkan dari hasil budidaya di Wana Wisata Curug Cilember (Gambar 13), sedangkan T. h. hephaestus berasal dari Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung (Gambar 14). Banyaknya pupa dari masing-masing subspesies tersebut adalah 10 dengan kondisi baik. Pupa-pupa tersebut ditempatkan di kandang pupa dalam laboratorium. Tangkai tanaman tempat bergantungnya pupa ditancapkan pada styrofoam dalam kandang pupa. Apabila ada pupa yang terlepas, maka bagian ventral pupa direkatkan pada kayu dengan menggunakan lem fox. Gambar 13 Peta lokasi Wana Wisata Curug Cilember.

41 Gambar 14 Peta lokasi Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung. b. Pelaksanaan penelitian 1. Teknik Penangkaran Bagian tepi dalam kubah penangkaran ditanami A. tagala yang diberi sarana untuk merambat berupa tanaman bambu jepang. Diantara tiang kubah penangkaran diberi bentangan tali plastik sebagai sarana merambat A. tagala. Bagian tengah kubah penangkaran ditanami A. tagala yang ditempatkan dalam wadah pot mengelilingi kolam penampungan air. Tanaman berbunga sebagai sumber nektar imago juga ditanam pada bagian tepi dan tengah kubah penangkaran secara teratur, dan sebagian ditempatkan dalam wadah pot. Kandang kawin dalam kubah penangkaran juga ditanami A. tagala dan bunga sebagai sumber nektar imago. Pemberian nektar buatan dari larutan madu ditempatkan pada wadah yang diberi bunga. Setiap dua hari sekali, nektar buatan diganti dengan larutan baru dan bunga yang masih segar. Setiap dua hari sekali, kubah

42 penangkaran diperiksa dan dibersihkan dari predator. Setiap hari atap dan dinding kubah penangkaran diperiksa dari kebocoran yang memungkinkan imago lepas dari kubah penangkaran. Setiap lima hari, tanaman pakan larva dan pakan imago diperiksa dan dibersihkan dari hama dan gulma yang menyerang. Laboratorium tempat pemeliharaan telur sampai pupa diperiksa dan dibersihkan setiap hari dari serangan musuh alami, khususnya semut dan tikus. Penampungan air dan pencahayaan juga setiap hari diperiksa untuk menjaga kelembaban laboratorium. Jendela laboratorium dibuka pada siang hari, jika suhu udara mencapai 37 ºC. Stadia telur sampai larva instar ke 3 ditempatkan dalam cawan petri. Larva instar ke 4 sampai instar ke 5 dan prepupa sampai pupa berumur satu hari ditempatkan dalam toples gelas. Pupa berumur satu hari ditempatkan dalam kandang pupa sampai imago keluar. Imago yang telah kering sayapnya dipindahkan ke kubah penangkaran menggunakan toples plastik yang bagian atasnya ditutup kain kasa. 2. Pengukuran Lingkungan Fisik Laboratorium dan Kubah Penangkaran Suhu dan kelembaban ruangan di laboratorium diukur tiga kali sehari (pukul 07.00, dan 17.00). Sedangkan di kubah penangkaran dilakukan pengukuran suhu, kelembaban dan intensitas cahaya tiga kali sehari (pukul 07.00, dan 17.00) untuk diketahui kondisi lingkungan. Intensitas cahaya di laboratorium tidak diukur, karena cahaya berasal dari lampu yang intensitasnya sudah diketahui dan tetap (500 lux). Data lingkungan diukur secara rutin mulai bulan Februari 2009 sampai Oktober Pengamatan Lama Waktu Setiap Stadia dan Kelangsungan Hidup Pasangan imago yang melakukan perkawinan dicatat waktu dan lamanya perkawinan dan direkam imago yang melangsungkan perkawinan, dengan bantuan kamera digital. Telur yang telah diletakkan oleh imago betina di daun sirih hutan, kemudian diambil dan ditempatkan dalam cawan petri di laboratorium. Pada cawan tersebut diberi label hari peletakan telur. Telur diambil dengan cara menggunting daun tempat menempelnya telur atau dengan menggunakan kuas.

43 Data penunjang dicatat, seperti tempat dan posisi diletakkannya telur dan jumlah telur yang menetas menjadi larva instar ke 1. Setiap hari, telur diperiksa untuk memastikan ada tidaknya parasitoid yang menyerang telur. Telur yang terserang parasitoid segera dipisahkan. Telur yang telah menetas menjadi larva instar ke 1 segera ditempatkan dalam cawan petri berdiameter 9 cm tinggi 2 cm di laboratorium. Cawan-cawan tersebut diisi dengan daun A. tagala sampai larva mencapai instar ke 4. Ujung tangkai A. tagala dibalut dengan tisu basah agar daun tetap segar. Waktu menetasnya telur dicatat untuk diketahui lama masa telur dan umur awal larva. Setiap 1 cawan petri hanya diisi 1 larva untuk memudahkan pengamatan (Gambar 15). Setiap hari cawan petri dibersihkan dari kotoran larva. Kapsul kepala yang terlepas saat larva mengalami ganti kulit (moulting) dipisahkan dan dikumpulkan dalam wadah tersendiri sebagai indikator bahwa larva telah mengalami ganti kulit. Gambar 15 Larva instar ke 3 dalam cawan petri yang berisi A. tagala. Larva instar ke 4 dipindahkan ke toples gelas berdiameter 14.5 cm dengan tinggi 23 cm dan ditempatkan di laboratorium (Gambar 16a). Toples diberi daun A. tagala yang tangkainya ditempatkan dalam botol film berisi air untuk menjaga agar daun tetap segar. Tiga kali dalam sehari, kotoran larva dibersihkan dan diperiksa ketersediaan pakan agar larva tidak kekurangan pakan. Larva yang

44 mengeluarkan cairan dari analnya sebagai tanda akan memasuki stadia prepupa, maka di dalam toples tersebut diberi sarana untuk memanjat berupa kayu yang ditancapkan pada botol film. Setiap hari diamati dan dicatat fase perkembangan yang terjadi pada larva (instar) untuk mengetahui lamanya masa larva setiap fase instar. Jumlah larva yang hidup pada setiap fase dihitung, kemudian diamati perilaku selama stadia larva. Periode larva atau lamanya masa larva dihitung sejak menetas dari telur sampai menjadi prepupa. Toples gelas segera dibersihkan dari kotoran dan dikosongkan dari pakan apabila larva telah memasuki stadia prepupa (Gambar 16b). (a) (b) Gambar 16: Larva instar ke 4 dalam toples gelas berisi daun A. tagala (a), stadia prepupa (b). Individu yang telah berada pada stadia prepupa masih ditempatkan dalam toples gelas di laboratorium sampai larva menjadi pupa (pupasi). Sisa kulit (exuviae) prepupa saat pupasi ditempatkan dalam wadah terpisah. Dicatat waktu pupasi dan jumlah prepupa yang berkembang menjadi pupa. Lamanya stadia prepupa dihitung sejak larva menggantung dengan menggunakan sutera dan kremaster sampai pupasi yang ditandai dengan terlepasnya exuviae prepupa. Pupa yang telah berumur sehari dipindahkan ke kandang pupa di laboratorium dengan menancapkan kayu tempat menggantungnya pupa pada styrofoam (Gambar 17). Untuk memudahkan pemantauan pupa, maka satu kandang hanya diisi empat sampai enam pupa (Gambar 17a). Setiap hari pupa

45 diamati untuk menghindari kerusakan dan kematian pupa dan untuk memeriksa predator. Pupa yang rusak segera dikeluarkan dari kandang untuk mencegah penularan ke pupa lainnya, selanjutnya kandang dibersihkan. Ciri pupa yang akan mengalami eklosi menjadi imago adalah berwarna agak gelap atau kehitaman (Gambar 17b). Jumlah imago yang keluar dari pupa dicatat dan lama stadia pupa dihitung sejak pupasi sampai eklosi. Imago yang baru mengalami eklosi mengeluarkan cairan dari ujung abdomennya, kemudian mengeringkan sayap di penggantung pupa dengan mengepak-ngepakkan sayap. Selanjutnya, imago bergantung pada dinding kandang sampai sayap benar-benar kering dan membentang dengan sempurna. Imago kemudian diukur bentangan sayapnya menggunakan jangka sorong dan selanjutnya dilepas ke kubah penangkaran. Imago dibawa ke penangkaran menggunakan toples plastik yang ditutup dengan paranet dan satu kotak hanya diisi dengan satu imago. Lama periode imago dihitung sejak eklosi sampai imago mati. Seks rasio antara imago jantan dan imago betina dihitung. Gambar 17 a Pupa T. h. hephaestus: enam pupa dalam kandang pupa (a), perubahan warna pupa menjelang eklosi (b). b 4. Pengamatan Morfologi Telur, Larva, Pupa, dan Imago Sebanyak tiga puluh telur yang berumur 5 hari diukur diameternya menggunakan mikrometer pada mikroskop stereo, dan diamati warna telurnya (Gambar 18). Bobot telur ditimbang menggunakan timbangan digital. Panjang dan lebar sepuluh larva diukur dengan jangka sorong skala 0.05 mm. Panjang larva diukur dari ujung kapsul kepala sampai ujung abdomen,

46 sedangkan lebar larva diukur pada posisi seta ke 6 dari kedua sisi tubuh (Gambar 19). Larva diukur pada saat larva dalam kondisi diam. Gambar 18 a Mikroskop stereo (a), telur T. h. hephaestus, diameter 2.5 cm, berwarna jingga (b). b a b Gambar 19 Cara pengukuran larva T. h. hephaestus: panjang larva instar ke 5 (a), lebar larva instar ke 5 (b). Pupa diukur panjang dan lebarnya dengan jangka sorong (Gambar 20). Sebanyak sepuluh pupa diukur setelah berusia satu hari. Hal ini dilakukan untuk menjaga agar pupa yang diukur adalah pupa yang telah kering dan bentuknya stabil.

47 Imago diukur panjang bentangan sayapnya setelah sayap kering dan imago dalam keadaan diam (Gambar 21).. Pengukuran dilakukan terhadap lima imago jantan dan lima betina. Gambar 20 a Cara pengukuran pupa T. h. hephaestus: panjang pupa (a), lebar pupa (b). b Gambar 21 Cara pengukuran panjang bentangan sayap T. h. helena jantan. 5. Pengamatan Fekunditas (Keperidian) Imago Betina Fekunditas betina dilakukan terhadap tiga ekor betina T. h. helena dan tiga ekor betina T. h. hephaestus yang telah kawin. Jumlah telur yang diletakkan setiap hari dihitung. Total telur yang diletakkan oleh imago betina selama hidupnya juga

48 dihitung. Lama peneluran dihitung sejak hari pertama telur diletakkan sampai hari terakhir peletakan telur. Persentase penetasan telur dihitung dari jumlah telur yang menetas dibandingkan dengan total telur. Pengamatan oviposisi dimulai sejak imago betina melakukan perkawinan (mating) sampai imago betina mati. Pengamatan dilakukan setiap hari dari pukul Pengamatan Konsumsi Pakan Larva Pengamatan konsumsi pakan larva dilakukan terhadap sepuluh larva T.h. helena dan sepuluh larva T. h. hephaestus sejak fase instar ke 1 sampai fase instar ke 5. Jumlah pakan yang dikonsumsi selama fase larva dihitung bobot keringnya. Pemberian pakan larva dengan cara daun A. tagala dipotong berukuran 2 x 2 cm. Potongan-potongan daun diberikan kepada setiap larva sesuai keaktifan makan tiap larva. Ketersediaan pakan larva instar ke 1 sampai instar ke 3 diperiksa satu sampai dua kali sehari, sedangkan pakan larva instar ke 4 sampai instar ke 5 diperiksa tiga sampai empat kali sehari. Jumlah potongan daun yang diberikan pada tiap larva di semua fase dicatat setiap hari. Setiap hari sisa pakan segera dikeringkan menggunakan oven, selanjutnya diberi label. Pakan dikeringkan pada suhu 75 ºC selama tiga hari sampai mencapai berat konstan (Sanjaya et al. 2004). Sepuluh potong daun berukuran 2 x 2 cm dikeringkan untuk diketahui bobot kering rata-rata pada satu potong daun. Jumlah potongan daun yang diberikan pada tiap larva setiap hari dicatat, kemudian dikonversi ke bobot kering. Pakan sisa setiap hari untuk tiap larva dikeringkan, setelah 3 hari ditimbang bobot keringnya untuk diketahui bobot kering sisa pakan. Jumlah pakan yang dikonsumsi tiap larva setiap hari dihitung dengan mengurangkan bobot kering pakan yang diberikan terhadap bobot kering sisa pakan. Larva T. helena hanya mengkonsumsi daun A. tagala. Analisis proksimat dilakukan terhadap pakan untuk mengetahui kandungan kimia A. tagala. Analisis proksimat dilakukan di Laboratorium Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi (PPSHB) IPB.

49 7. Pengamatan Perilaku Selama di Penangkaran. Pengamatan pada stadia larva meliputi perilaku makan larva dan pengamatan perkembangan larva dari satu fase ke fase berikutnya (instar) yang ditandai dengan adanya pergantian kulit (moulting). Stadia pupa diamati bagaimana proses perubahan dari prepupa menjadi pupa (pupasi) yang ditandai dengan adanya sisa kulit prepupa (exuviae) dan perilaku pupa saat mengalami gangguan. Imago diamati meliputi perilaku saat pertama keluar dari pupa (eklosi), perilaku selama mengeringkan sayap sampai bisa terbang, cara mencari pakan (feeding) sumber nektar, perilaku kawin, dan perilaku peletakan telur (egg laying). Pengamatan perilaku T. h. helena dan T. h. hephaestus dilakukan setiap hari pukul bertempat di laboratorium dan kubah penangkaran IPB, dengan kamera digital merek Fujifilm tipe FinePix S700, 7.1 mega pixels, 10 x optical zoom, dengan bantuan tripod. D. Analisis Data a. Teknik Penangkaran T. h. helena dan T. h. hephaestus Teknik penangkaran T. h. helena dan T. h. hephaestus di laboratorium dan kubah penangkaran, disajikan secara deskriptif. b. Pengukuran Lingkungan Fisik Laboratorium dan Kubah Penangkaran Suhu udara minimum dan maksimum, kelembaban udara, dan intensitas cahaya di laboratorium dan kubah penangkaran IPB ditampilkan dalam grafik. c. Lama Waktu Setiap Stadia T. h. helena dan T. h. hephaestus Lama waktu setiap stadia yang dibutuhkan oleh T. h. helena dan T. h. hephaestus pada stadia telur, stadia larva pada tiap fase, stadia prepupa, stadia pupa, dan stadia imago betina ditampilkan dalam tabel. d. Kelangsungan Hidup T. h. helena dan T. h. hephaestus Rataan Jumlah individu yang hidup pada setiap kelas umur dan fase (telur, larva instar ke 1 sampai instar ke 5, prepupa, pupa dan imago betina) dari 3

50 ulangan dihitung kemudian dimasukkan ke dalam life table (tabel neraca kehidupan) (Gomes-Filho 2003; Gabre et al. 2005). Harapan hidup dan peluang hidup dihitung, kemudian dibuat kurva kelangsungan hidup (Price 1984; Tarumingkeng 1994) dan dilanjutkan dengan pembuatan life table diagramatik. Neraca kehidupan disusun seperti gambar 22. x ax lx dx qx Lx Tx ex Px (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) Gambar 22 Komponen-komponen yang digunakan untuk menyusun neraca kehidupan. lx = ax/a0 dx= lx-lx+1 qx= dx/ax Rumus-rumus yang digunakan adalah: Lx= lx+lx+1)/2 Tx= x =0...w (x=w adalah kelas umur terakhir) ex= Tx/lx px= x+1 (lx+1+lx+2/lx+ lx+1). Keterangan-keterangan: x = kelas umur ax = jumlah individu yang hidup pada setiap kelas umur x lx = proporsi individu yang hidup pada kelas umur x setelah distandarkan dx= jumlah individu yang mati padakelas umur x qx= proporsi individu yang mati pada kelas umur x Lx= jumlah rata-rata individu pada kelas umur x dan kelas umur berikutnya Tx= jumlah individu yang hidup Pada kelas umur x ex= harapan hidup individu pada setiap kelas umur x px= proporsi individu yang hidup pada kelas umur x dan mencapai kelas umur x+1.

51 e. Morfologi Telur, Larva, Pupa, dan Imago. Data morfologi stadia telur, pupa, dan imago hasil penangkaran kemudian dibandingkan dengan data dari alam, selanjutnya dilakukan uji t dua sampel untuk mengetahui perbedaan dua populasi (Mattjik & Sumertajaya 2006). f. Fekunditas (Keperidian) Imago Betina. Jumlah telur yang diletakkan, total telur yang diletakkan, lama peneluran, dan persentase penetasan ditampilkan dalam tabel, kemudian jumlah telur yang diletakkan setiap hari ditampilkan dalam grafik. g. Konsumsi Pakan Larva. Bobot kering pakan yang dikonsumsi oleh larva diketahui dengan menghitung bobot kering pakan yang diberikan dikurangi dengan bobot kering pakan yang tersisa (Syamsu 2003). Bobot kering pakan yang dikonsumsi ditampilkan dalam tabel. h. Perilaku Selama di Penangkaran. Perilaku imago, larva, dan pupa yang diamati selama di penangkaran disajikan secara deskriptif.

52 HASIL A. Teknik Penangkaran T. h. helena dan T. h. hephaestus Langkah awal yang harus dilakukan pada penangkaran kupu-kupu adalah penyiapan sarana pemeliharaan dari stadia telur sampai imago. Bahan, alat dan sarana penunjang lainnya seperti alat pengukur suhu, kelembaban, dan intensitas cahaya juga terlebih dahulu dipersiapkan. Setelah semua bahan, alat, dan sarana penunjang tersedia, dilakukan pengukuran kondisi fisik lingkungan yang sesuai untuk kelangsungan hidup kupu-kupu. Penyiapan pakan larva dan sumber nektar imago segera dilakukan secara berkesinambungan setelah semua sarana tersedia. Pembibitan pakan larva berupa A. tagala dapat dilakukan dengan stek tangkai atau biji. Penyiapan sumber nektar bagi imago bisa dilakukan dengan menanam berbagai tanaman berbunga di dalam kubah penangkaran. Sumber nektar bagi imago yang sering dikunjungi diperbanyak, sedangkan bunga yang tidak pernah dikunjungi dikeluarkan dari kubah penangkaran. Bagian tepi dalam kubah penangkaran ditanam bambu jepang dan sanseviera yang berfungsi sebagai tanaman pelindung bagi imago, pupa, dan bibit pakan larva. Setelah pakan larva dan sumber nektar imago tersedia, selanjutnya dilakukan pemilihan pupa sebagai bibit untuk penangkaran. Pupa dipilih yang ukurannya besar, tidak cacat, dan umurnya sama. Pemilihan pupa sebagai bibit lebih menguntungkan karena dapat dilihat seks rasionya. Perbedaan pupa jantan dan betina dapat dilihat pada bagian abdomen (Gambar 23). Pupa ditempatkan di kandang pupa dengan menancapkan substrat tempat melekatnya pada styrofoam sampai imago keluar dari pupa. Pasangan imago dipilih yang berukuran besar dan sehat untuk dijadikan pasangan kawin di kubah penangkaran. Satu sampai dua hari setelah kawin, imago betina akan meletakkan telur pada pakan larva atau substrat lain yang dekat dengan pakan larva. Telur yang telah diletakkan oleh betina segera ditempatkan dalam cawan petri agar terhindar dari parasitoid dan predator. Telur diambil dengan menggunting daun tempat melekatnya telur agar telur tidak rusak. Telur yang diletakkan oleh betina pada tiang dan dinding kubah penangkaran, serta tali

53 perambat A. tagala, diambil dengan menggunakan kuas secara hati-hati. Telur yang telah menetas menjadi larva instar ke 1 dipindahkan ke cawan petri yang berisi pakan larva sampai larva mencapai fase instar ke 3. Larva fase instar ke 4 sampai 5 ditempatkan di toples gelas berisi pakan sampai larva menjadi pupa. Larva dipindahkan dengan menggunakan kuas atau membiarkan berpindah ke daun baru yang masih segar. Larva menjelang prepupa diberi sarana untuk memanjat dan menggantung dan ditempatkan pada toples gelas yang tidak berisi pakan, sampai prepupa menjadi pupa. Pupa berumur sehari dipindahkan ke kandang pupa sampai imago keluar dari pupa. Pupa dengan kremaster dan serat suteranya yang terlepas dari substrat, direkatkan menggunakan lem fox pada bagian ventral. Imago yang keluar dari pupa dan telah membentangkan sayapnya dilepas ke kubah penangkaran. Gambar 23 Perbedaan morfologi pupa T. h. hephaestus: betina (kiri) dan jantan (kanan). Kondisi lingkungan fisik laboratorium dengan kisaran ºC, kelembaban 50-75%, intensitas cahaya lux sesuai untuk perkembangan telur-pupa. Kubah penangkaran dengan kisaran suhu ºC, kelembaban 45-75%, dengan intensitas cahaya lux sesuai untuk perkembangan imago. B. Kondisi Lingkungan Fisik Laboratorium dan Kubah Penangkaran Suhu minimum rata-rata pada pukul di laboratorium dengan kisaran 22 ºC sampai 27 ºC. Suhu terendah terjadi pada bulan Oktober. Suhu maksimum

54 pagi hari pada kisaran 28 ºC (April) dan 35 ºC pada bulan Oktober. Pukul suhu minimum rata-rata berkisar 25 ºC sampai 29 ºC, suhu maksimum 28 ºC sampai 38 ºC. Pada pukul 17.00, suhu minimum pada kisaran 21 ºC sampai 27 ºC, suhu minimum berada pada bulan Oktober. Suhu maksimum rata-rata berkisar 28 ºC pada bulan Februari, April, dan Mei, dan mencapai 37 ºC pada bulan Oktober (Gambar 24 dan Lampiran 3). Kelembaban di laboratorium pada pukul berkisar 60.50% sampai 75%. Kelembaban terendah terjadi pada bulan Juli, sedangkan tertinggi pada bulan April. Pada pukul 12.00, kelembaban pada kisaran 51% sampai 66.80%. Kelembaban terendah pada bulan Juli, sedangkan kelembaban tertinggi pada bulan September. Pada pukul 17.00, kelembaban pada kisaran 60.33% sampai 70%. Kelembaban terendah terjadi pada bulan Juli, sedangkan tertinggi pada bulan Maret (Gambar 25 dan Lampiran 3). Hasil penelitian pendahuluan di laboratorium dari bulan Juni sampai Desember 2008, didapatkan data intensitas cahaya sebesar 500 lux. Intensitas cahaya di laboratorium berdasarkan data intensitas cahaya hasil pengukuran pendahuluan. Suhu minimum rata-rata pukul di kubah penangkaran pada kisaran 21 ºC sampai 27 ºC. Suhu minimum terendah terjadi pada bulan Agustus dan suhu minimum tertinggi pada bulan Februari. Suhu maksimum rata-rata pagi hari pada kisaran 28 ºC, yaitu pada bulan Juni dan mencapai 37 ºC pada bulan Agustus. Pada pukul 12.00, suhu minimum rata-rata adalah 21 ºC di bulan Agustus dan 29 ºC pada bulan Februari. Suhu maksimum rata-rata 32 ºC sampai 43 ºC. Pada pukul 17.00, suhu minimum rata-rata pada kisaran 21 ºC sampai 27 ºC. Suhu minimum terendah pada bulan Agustus dan Oktober, sedangkan suhu minimum tertinggi terjadi pada bulan Maret. Suhu maksimum rata-rata berkisar antara 28 ºC pada bulan Februari sampai 37 ºC pada bulan Oktober (Gambar 24 dan Lampiran 4). Kelembaban udara di kubah penangkaran pada pukul berkisar antara %. Kelembaban terendah terjadi pada bulan Mei, sedangkan kelembaban tertinggi terjadi pada bulan April. Pada pukul 12.00, kelembaban pada kisaran 47-66%. Kelembaban terendah pada bulan September, sedangkan kelembaban

55 tertinggi pada bulan Maret. Pada pukul 17.00, kelembaban pada kisaran 59-70%. Kelembaban terendah pada waktu tersebut pada bulan Mei, sedangkan kelembaban tertinggi pada bulan Maret (Gambar 25 dan Lampiran 4). Suhu (ºC) Suhu Minimum Kubah Suhu Maksimum Kubah Suhu Minimum Laboratorium Suhu Maksimum Laboratorium Bulan Gambar 24 Rataan suhu minimum dan suhu maksimum harian di laboratorium dan kubah penangkaran IPB. Kelembaban (%) rh Laboratorium rh Kubah Bulan Gambar 25 Rataan kelembaban harian di laboratorium dan kubah penangkaran IPB. Intensitas cahaya maksimum di kubah penangkaran pada pukul berkisar antara lux. Pada pukul 12.00, intensitas cahaya pada kisaran lux, sedangkan sore hari pukul 17.00, intensitas cahaya berada di kisaran lux (Lampiran 4).

56 Suhu udara, kelembaban udara, dan intensitas cahaya di kubah penangkaran dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti musim, kebersihan atap kubah penangkaran, dan tanaman pelindung baik yang berada di dalam kubah penangkaran maupun yang berada di luar kubah penangkaran. C. Lama Waktu Setiap Stadia T. h. helena dan T. h. hephaestus Hasil pengamatan lama waktu yang dibutuhkan oleh T. h. helena hasil penangkaran pada setiap stadia sangat bervariasi. Pupa berasal dari alam kemudian dikembangkan di penangkaran. Waktu terlama adalah stadia pupa yang memiliki rataan waktu 18 ± 0.70 hari. Waktu paling singkat adalah pada stadia prepupa yang hanya membutuhkan waktu 1 ± 0.00 hari. Prepupa adalah masa larva berhenti makan dan menggantung pada substrat dengan menggunakan sutera dan kremaster sebelum menjadi pupa. Total waktu yang dibutuhkan untuk semua stadia di penangkaran adalah 70 ± hari (Tabel 1). Hasil pengamatan terhadap lama waktu yang dibutuhkan oleh T. h. hephaestus hasil penangkaran pada setiap stadia bervariasi. Waktu terlama adalah pada stadia imago betina yang membutuhkan waktu rata-rata 20 ± 5.42 hari. Waktu tersingkat adalah pada stadia prepupa yang hanya membutuhkan waktu 1 ± 0.00 hari. Total waktu yang dibutuhkan dari telur-imago betina T. h. hephaestus hasil penangkaran adalah 64 ± hari (Tabel 1). Tabel 1 Rataan lama waktu setiap stadia T. h. helena & T. h. hephaestus Stadia/Fase Lama waktu (hari) T. h. helena T. h. hephaestus Telur (n=30) 6 ± ± 0.79 Larva Instar 1 (n = 10) 3 ± ± 0.52 Larva Instar 2 (n = 10) 3 ± ± 0.42 Larva Instar 3 (n = 10) 5 ± ± 1.17 Larva Instar 4 (n = 10) 6 ± ± 0.52 Larva Instar 5 (n = 10) 10 ± ± 0.94 Prepupa (n = 10) 1 ± ± 0.00 Pupa (n = 10) 18 ± ± 1.20 Imago betina (n = 3) 18 ± ± 5.42 Total lama stadia (Telur-Imago betina) 70 ± ± 10.98

57 Waktu yang dibutuhkan dari stadia telur sampai imago betina mati pada T. h. helena lebih lama 6 hari, dibandingkan T. h. hephaestus. Lama stadia prepupa T. h. helena dan T. h. hephaestus relatif sama, yaitu 1 ± 0.00 hari. D. Kelangsungan Hidup T. h. helena dan T. h. hephaestus Rataan (n = 3) proporsi jumlah individu yang hidup tiap stadia (kelas umur) pada T. h. helena, menunjukkan kelangsungan hidup terendah terjadi pada stadia telur. Jumlah telur adalah 36 dan yang menetas menjadi larva instar ke 1 hanya 16 larva. Hal ini berarti persentase penetasan telur hanya 0.44 atau 44%. Penurunan angka kelangsungan hidup terus terjadi pada stadia berikutnya sampai pada stadia terakhir, yaitu stadia imago. Kelangsungan hidup imago betina adalah 0.08 atau 8% dari total angka stadia awal, yaitu dihasilkan 3 imago betina dari 36 telur (Tabel 2). Tabel 2 Life table T. h. helena hasil penangkaran di IPB X (n = 3) ax lx dx qx Lx Tx ex Px Telur Larva Instar Larva Instar Larva instar Larva Instar Larva Instar Prepupa Pupa Imago betina Keterangan: x = kelas umur; ax = jumlah individu yang hidup pada setiap kelas umur x; lx = proporsi individu yang hidup pada kelas umur x setelah distandarkan; dx = jumlah individu yang mati pada kelas umur x; qx = proporsi individu yang mati pada kelas umur x; Lx = jumlah rata-rata individu pada kelas umur x dan kelas umur berikutnya; Tx = jumlah individu yang hidup pada kelas umur x sampai kelas umur terakhir; ex = harapan hidup individu pada setiap kelas umur; px = proporsi individu yang hidup pada kelas umur x dan mencapai kelas umur berikutnya x+1. Rataan (n = 3) proporsi jumlah individu yang hidup tiap stadia (kelas umur) pada T. h. hephaestus menunjukkan kelangsungan hidup yang berbeda dengan T. h. helena. Jumlah telur yang dihasilkan adalah 50 dan yang menetas menjadi larva instar ke 1 hanya 40 larva, berarti persentase penetasan mencapai 0.80 atau 80%. Penurunan angka kelangsungan hidup terjadi pada setiap stadia,

58 tetapi angka penurunan tidak terlalu drastis sampai pada stadia terakhir, yaitu imago. Kelangsungan hidup imago betina hanya 0.12 atau 12% dari total stadia awal. Jumlah imago betina yang dihasilkan dari 50 telur adalah 6 betina. (Tabel 3). Tabel 3 Life table T. h. hephaestus hasil penangkaran di IPB X(n = 3) ax lx dx qx Lx Tx ex Px Telur Larva Instar Larva Instar Larva instar Larva Instar Larva Instar Prepupa Pupa Imago betina Keterangan tabel sama dengan keterangan pada tabel 2. Kelangsungan hidup T. h. helena dipengaruhi oleh kematian yang terjadi pada tiap stadia. Kematian (mortalitas) tertinggi terjadi pada stadia telur, yaitu 56% dan kematian terendah pada larva instar ke 3 dan instar ke 5 sebesar 0%. Selanjutnya, dibuat kurva kelangsungan hidup. Kurva kelangsungan hidup yang dihasilkan termasuk tipe III (Hegazy 1992). Hal ini berarti angka kematian tertinggi terjadi pada stadia awal (pradewasa) dan kematian rendah terjadi pada stadia dewasa (Campbell et al. 2006) (Gambar 26). Kelangsungan hidup T. h. hephaestus juga dipengaruhi oleh kematian yang terjadi pada tiap stadia. Mortalitas tinggi terjadi pada stadia pupa, yaitu sebesar 0.57 atau 57%. Mortalitas terendah terjadi pada stadia larva instar ke 2, sebesar Kurva kelangsungan hidup T. h. hephaestus termasuk tipe II (Gomes-Filho 2003), yang berarti angka kematian lebih konstan sepanjang masa hidupnya (Campbell et al. 2006). Mortalitas tiap stadia T. h. hephaestus dapat tergambar dari grafik kelangsungan hidup (Gambar 26).

59 lx (Probability of Surviving to Age X) T. h. helena T. h. hephaestus Kelas Umur Gambar 26 Grafik kurva kelangsungan hidup T. h. helena dan T. h. hephaestus di penangkaran. Persentase peluang hidup T. h. helena dari satu stadia ke stadia berikutnya dapat ditunjukkan dengan life table diagramatik. Peluang hidup tertinggi terjadi dari fase larva instar 3 ke larva instar 4, dari fase larva instar 5 ke prepupa, dan dari pupa ke imago yaitu 100 %. Peluang hidup terendah adalah dari stadia telur ke larva instar 1 yang hanya mencapai 0.44 atau 44% (Gambar 27). Persentase peluang hidup T. h. hephaestus dari satu stadia ke stadia berikutnya juga ditunjukkan dengan life table diagramatik. Peluang hidup tertinggi terjadi pada larva instar ke 2 ke instar 3, sebesar 0.90 atau 90%. Peluang hidup terendah terjadi pada stadia pupa ke stadia imago betina, yaitu 0.43 atau 43% (Gambar 28). Rendahnya persentase peluang hidup dari satu stadia ke stadia berikutnya, disebabkan oleh berbagai faktor, diantaranya adalah parasitoid dan predator. Parasitoid yang menyerang stadia telur adalah serangga dari ordo Hymenoptera, family Scelionidae (Goulet & Huber 1993) (Gambar 29). Predator yang menyerang imago di kubah penangkaran adalah laba-laba, cicak, dan kadal. Imago yang diserang oleh laba-laba, diketahui dari sarang laba-laba yang melekat pada tubuh imago yang diserang (Lampiran 5). Imago yang diserang oleh cicak ditandai dengan hilangnya sebagian atau seluruh tubuh dan hanya tersisa sayapnya (Lampiran 6).

60 Imago Jantan + Imago Betina Telur 0.44 Larva Instar Larva Instar M/F = 2/3 2.5 x Larva Instar Larva Instar Larva Instar Prepupa 0.71 Imago 1.00 Pupa Gambar 27 Diagram life table T. h. helena (n = 3).

61 Imago Jantan + Imago Betina Telur 0.80 Larva Instar Larva Instar M/F = 5/6 5.5 x Larva Instar Larva Instar Larva Instar Prepupa 0.88 Imago 0.79 Pupa Gambar 28 Diagram life table T. h. hephaestus (n = 3).

62 Gambar 29 Parasitoid telur T. h. helena (Scelionidae: Hymenoptera) E. Morfologi Telur, Larva, Pupa, dan Imago Hasil pengukuran diameter dan bobot telur (Gambar 17), panjang dan lebar pupa (Gambar 19), dan panjang bentangan sayap imago T. h. helena hasil penangkaran di IPB dibandingkan dengan hasil penangkaran Cilember bervariasi. Morfologi telur dan pupa hasil penangkaran IPB dibandingkan dengan hasil penangkaran Cilember, menunjukkan perbedaan yang nyata (Tabel 4). Berdasarkan hasil uji t dua sampel didapatkan nilai p-value < 0.1 (Lampiran 7-10). Morfologi telur dan morfologi pupa dari dua penangkaran tersebut berbeda nyata pada taraf uji α = Morfologi larva dari penangkaran IPB tidak dibandingkan, karena larva T. h. helena dari penangkaran Cilember tidak tersedia. Morfologi imago T. h. helena hasil penangkaran IPB dengan penangkaran Cilember, tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Hasil pengujian uji t dua sampel antara panjang bentangan sayap imago jantan hasil penangkaran IPB dibandingkan dari penangkaran Cilember, didapatkan nilai P-value = 0.217

63 (Lampiran 11), sehingga tidak berbeda nyata pada taraf uji α = Hasil pengujian uji t dua sampel antara panjang bentangan sayap imago betina hasil penangkaran IPB dibandingkan data dari Cilember, didapatkan nilai P-value = (Lampiran 12), sehingga morfologi imago betina tidak berbeda nyata pada taraf uji α = Tabel 4 Perbandingan morfologi T. h. helena hasil penangkaran IPB dan hasil penangkaran Cilember Stadia / Fase Parameter Cilember IPB* Telur (n = 30) Diameter (mm) 2.31 ± 0.05 a 1.95 ± 0.06 b Telur (n = 30) Bobot (g) ± a ± b Larva instar 1 (n=10) Panjang (mm) n.a 5.63 ± 0.56 Larva instar 2 (n=10) Panjang (mm) n.a 8.71 ± 0.69 Larva instar 3 (n=10) Panjang (mm) n.a ± 2.52 Larva instar 4 (n=10) Panjang (mm) n.a ± 7.11 Larva instar 5 (n=10) Panjang (mm) n.a ± 8.12 Larva instar 1 (n=10) Lebar (mm) n.a 1.47 ± 0.13 Larva instar 2 (n=10) Lebar (mm) n.a 2.41 ± 0.40 Larva instar 3 (n=10) Lebar (mm) n.a 4.49 ± 0.51 Larva instar 4 (n=10) Lebar (mm) n.a 6.74 ± 0.73 Larva instar 5 (n=10) Lebar (mm) n.a 9.41 ± 1.81 Pupa (n = 10) Panjang (cm) 4.20 ± 0.86 a 3.97 ± 0.19 b Pupa (n = 10) Lebar (cm) 2.47 ± 0.22 a 2.13 ± 0.13 b Imago jantan (n = 5) Panjang bentangan sayap ± 1.16 a ± 0.28 a Imago betina (n = 5) Panjang bentangan sayap ± 1.03 a ± 0.44 a n.a = not available. Angka yang diikuti huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata pada taraf nyata 5% (uji t dua sampel). *Telur, larva, dan pupa di laboratorium, sedangkan imago di kubah penangkaran. Hasil pengukuran diameter dan bobot telur, panjang dan lebar pupa, serta panjang bentangan sayap imago T. h. hephaestus hasil penangkaran IPB dengan T. h. hephaestus hasil penangkaran Bantimurung, menunjukkan perbedaan yang nyata (Tabel 5). Berdasarkan hasil uji t dua sampel, didapatkan nilai p-value < (Lampiran 13-18), sehingga morfologi telur, pupa, dan imago hasil penangkaran IPB berbeda nyata dengan hasil penangkaran Bantimurung, pada taraf uji α = 0.05.

64 Tabel 5 Perbandingan morfologi T. h. hephaestus hasil penangkaran IPB dan hasil penangkaran Bantimurung Stadia / Fase Parameter Bantimurung IPB* Telur (n=30) Diameter (mm) 2.45 ± 0.03 a 1.94 ± 0.05 b Telur (n=30) Bobot (g) ± a ± b Larva instar 1 (n=10) Panjang (mm) n.a 5.96 ± 0.94 Larva instar 2 (n=10) Panjang (mm) n.a 9.30 ± 0.63 Larva instar 3 (n=10) Panjang (mm) n.a ± 0.77 Larva instar 4 (n=10) Panjang (mm) n.a ± 1.07 Larva instar 5 (n=10) Panjang (mm) n.a ± 3.18 Larva instar 1 (n=10) Lebar (mm) n.a 1.68 ± 0.14 Larva instar 2 (n=10) Lebar (mm) n.a 3.01 ± 0.37 Larva instar 3 (n=10) Lebar (mm) n.a 5.42 ± 0.53 Larva instar 4 (n=10) Lebar (mm) n.a 8.90 ± 0.69 Larva instar 5 (n=10) Lebar (mm) n.a ± 0.97 Pupa (n=10) Panjang (cm) 4.66 ± 0.15 a 4.25 ± 0.2 b Pupa (n=10) Lebar (cm) 2.48 ± 0.17 a 2.19 ± 0.14 b Imago jantan (n=5) Panjang bentangan sayap ± 0.22 a ± 0.7 b Imago betina (n=5) Panjang bentangan sayap ± 0.27 a ± 0.88 b n.a = not available. Angka yang diikuti huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata pada taraf nyata 5% (uji t dua sampel). *Telur, larva, dan pupa di laboratorium, sedangkan imago di kubah penangkaran. F. Fekunditas (Keperidian) Imago Betina Hasil pengamatan fekunditas dari tiga betina T. h. helena yang dibuahi (fertil), didapatkan jumlah telur yang dihasilkan per hari dengan kisaran 4-8 telur, dengan rataan 6.65 ± 2.21 telur. Jumlah telur yang dihasilkan per betina adalah berkisar telur, dengan rataan ± telur. Masa peneluran betina antara 5-21 hari, dengan rataan ± 8.08 hari. Puncak peneluran terjadi pada hari ke-3 (Gambar 30). Persentase telur yang menetas antara %. dengan rataan 85.28% ± 0.84% (Tabel 6). Hasil pengamatan fekunditas dari tiga betina T. h. hephaestus fertil, didapatkan jumlah telur yang dihasilkan per hari dengan kisaran 3-8 telur dengan rataan 4.97 ± Jumlah telur yang dihasilkan betinaberkisar telur, dengan rataan ± telur. Masa peneluran betina antara hari, dengan rataan ± 4.51 hari. Puncak peneluran terjadi pada hari pertama (Gambar 30). Persentase telur yang menetas berkisar %, dengan ratarata 80.98% ± 11.40% (Tabel 7).

65 Tabel 6 Fekunditas T. h. helena hasil penangkaran IPB Betina Jumlah Telur Per Hari Total Telur Lama Peneluran (hari) Persentase Penetasan (%) 1 4.2± ± ± Rata-rata 6.65± ± ± ±0.84 Tabel 7 Fekunditas T. h. hephaestus hasil penangkaran IPB Jumlah Lama Total Betina Telur Peneluran Telur Per Hari (hari) Persentase Penetasan (%) ± ± ± Rata-rata 4.97 ± ± ± ± T.h.helena Jumlah telur T.h.hephaestus Hari ke- Gambar 30 Jumlah telur yang dihasilkan betina T. h. helena dan T. h. hephaestus berdasarkan hari pengamatan. Kondisi lingkungan di kubah penangkaran saat betina bertelur adalah suhu minimum ± 1.53 ºC, suhu maksimum ± 2.08 ºC, kelembaban udara ± 8.39 %, dan intensitas cahaya maksimum berkisar lux.

66 G. Konsumsi Pakan Larva Larva instar ke 1 T. h. helena mengkonsumsi pakan 0.05 g per individu, instar ke 2 mengkonsumsi 0.07 g per individu, dan larva instar ke 3 mengkonsumsi 0.20 g per individu. Larva kecil (instar ke 1-3) mengkonsumsi pakan sebanyak 0.32 g per individu, atau sebanyak 12.8% dari total konsumsi larva. Fase instar ke 4 mengkonsumsi 0.52 g, sedangkan fase instar ke 5 mengkonsumsi pakan 1.66 g per individu. Larva besar (instar ke 4-5) mengkonsumsi pakan sebanyak 2.18 g per larva, atau sebanyak 87.2 % dari total konsumsi larva. Total pakan yang dikonsumsi oleh T. h. helena selama stadia larva adalah 2.50 ± 0.72 g bobot kering per larva (Tabel 8). Tabel 8 Konsumsi pakan larva T. h. helena pada tiap fase (n=10) Fase Instar Bobot kering (gram) Persentase (%)* Larva kecil Instar ke ± Instar ke ± Instar ke ± Jumlah 0.32 ± Larva besar Instar ke ± Instar ke ± Jumlah 2.18 ± Total konsumsi 2.50 ± *) terhadap total konsumsi pakan selama instar ke 1-5. Larva T. h. hephaestus fase instar ke 1 mengkonsumsi pakan 0.03 g per larva, instar ke 2 mengkonsumsi 0.09 g per larva, dan fase instar ke 3 mengkonsumsi sebanyak 0.13 g per ekor. Larva kecil (instar 1-3) mengkonsumsi pakan sebanyak 0.25 g per larva, atau sebanyak 15.43% dari total konsumsi larva. Fase instar ke 4 mengkonsumsi 0.52 g, sedangkan fase instar ke 5 menghabiskan pakan 0.85 g per larva. Larva besar (instar ke 4-5) mengkonsumsi pakan 1.37 g per larva, atau sebanyak 84.57% dari total konsumsi larva. Jumlah total pakan yang dikonsumsi oleh T. h. hephaestus selama stadia larva adalah 1.62 ± 0.65 g bobot kering per ekor larva (Tabel 9). Daun A. tagala berukuran 1 x 1 cm memiliki bobot kering rata-rata gram atau 0.01 gram. Rata-rata ukuran daun A. tagala yang berusia 3 bulan sekitar 25 x 25 cm. Hal ini berarti satu lembar daun A. tagala memiliki

67 bobot kering rata-rata 0.25 gram. Selama stadia larva, T. h. helena mengkonsumsi daun sebanyak 2.50 ± 0.72 gram, dengan kata lain larva T. h. helena membutuhkan daun sekitar 10 lembar. Tabel 9 Konsumsi pakan larva T. h. hephaestus pada tiap fase (n=10) Larva Instar Bobot kering (gram) Persentase (%)* Larva kecil Instar ke ± Instar ke ± Instar ke ± Jumlah 0.25 ± Larva besar Instar ke ± Instar ke ± Jumlah 1.37 ± Total konsumsi 1.62 ± *) terhadap total konsumsi pakan selama instar ke 1-5. Selama stadia larva, T. h. hephaestus mengkonsumsi daun A. tagala sebanyak 1.62 ± 0.65 gram bobot kering. Hal tersebut berarti jumlah daun yang dibutuhkan oleh T. h. hephaestus selama stadia larva sekitar 6.48 lembar. Jumlah daun yang dikonsumsi oleh T. h. hephaestus selama stadia larva lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah daun yang dikonsumsi oleh T. h. helena. Hasil analisis proksimat daun A. tagala (Lampiran 19) menunjukkan bahwa, A. tagala mengandung cukup nutrisi untuk perkembangan larva T. helena. Kandungan air pada A. tagala sebesar 83.25%, abu 9.79%, lemak 14.57%, protein sebesar 20.72%, serat 11.1%, dan kandungan BETN (Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen) sebesar 43.82% (Tabel 10). Tabel 10 Hasil analisis proksimat daun pakan A. tagala* Kandungan bahan organik Bobot segar (%) Bobot kering (%) Air Abu Lemak Protein Serat kasar BETN** *Analisis dilakukan di Laboratorium Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi (PPSHB) LPPM IPB. ** Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen.

68 H. Perilaku T. h. helena dan T. h. hephaestus Selama di Penangkaran Larva T. h. helena dan T. h. hephaestus memiliki seta atau duri daging (scoli). Larva instar ke 1 berwarna coklat muda, seta (ke 1,2,6,9,10, dan 11) berwarna jingga muda. Larva instar ke 2 berwarna coklat tua, scoli berwarna jinga. Instar ke 3 warna menjadi coklat kehitaman dan scoli ke 6 berwarna merah muda. Larva instar ke 4 larva berwarna hitam dan scoli ke 6 berwarna krem. Saat berada pada fase instar ke 5, larva berwarna coklat dan scoli berwarna krem dengan ujung berwarna jingga muda. Stadia larva sangat aktif dan makan sepanjang hari. Menjelang moulting, larva akan diam dan berhenti makan. Apabila terganggu, larva akan mengeluarkan osmeteriumnya yang berjumlah sepasang untuk menakuti predator, seringkali dari osmeterium dikeluarkan cairan berwarna jingga. Osmeterium terletak pada bagian belakang kapsul kepala larva. Larva menjelang prepupa ditandai dengan adanya cairan yang dikeluarkan dari bagian anal. Selanjutnya, larva akan menggantung pada substrat dengan membuat serat sutera dan menempel dengan kremaster pada ujung abdomen. Masa ini disebut dengan stadia prepupa. Prepupa akan berlangsung selama satu sampai dua hari, selanjutnya exuviae prepupa akan terlepas dan individu akan keluar menjadi pupa (pupasi). Setelah pupasi, kulit pupa masih lunak dan basah. Beberapa saat kemudian pupa mengering dan berbentuk permanen. Stadia pupa sering disebut fase non aktif karena tidak makan, tidak berpindah tempat, dan tidak bergerak, kecuali apabila ada gangguan. Pupa yang mengalami gangguan akan melakukan gerakan mengejang dan mengeluarkan bunyi desis. Pengamatan perilaku imago T. h. helena dan T. h. hephaestus selama di penangkaran imago keluar dari pupa (eklosi) umumnya di pagi hari (pukul ). Imago keluar dari pupa melalui selubung pupa (Gambar 31). Urutan bagian tubuh yang keluar saat eklosi adalah kepala, antena, tungkai pertama, tungkai kedua, proboscis, tungkai ketiga, sayap, kemudian abdomen. Saat eklosi proboscis masih lurus dan sayap masih terlipat. Imago yang telah keluar dari pupa akan mengeringkan sayap antara 30 menit sampai 3 jam, dengan cara membuka dan menutup sayap secara perlahan. Setelah sayap imago kering, imago mengepakkan sayap untuk melatih kekuatan

69 otot, selanjutnya imago terbang mencari sumber nektar dan siap melakukan kopulasi. Imago T. h. helena dan T. h. hephaestus menghisap nektar berbagai tanaman berbunga dengan cara menjulurkan proboscisnya. Umumnya, imago mengunjungi bunga berwarna cerah, seperti merah dan ungu yang memiliki banyak nektar. Sumber nektar yang dihisap antara lain tanaman pagoda (Clerodendrum sp.), soka (Ixora paludosa), pacar air (Impatients balsamina), lantana (Lantana camara), lolipop merah (Justicia carnea), jengger ayam (Amaranthaceae), teratai (Nymphaea sp.), batavia (Jathropa integerrima), beauty (Cuphea hissofolia), merak (Caesalpinia pulcherrima), cucur bebek (Kalanchoe pinnuta), dan sirih pagar (Lampiran 20). Sebelum imago melakukan kopulasi (mating), biasanya dimulai dengan percumbuan (courtship). Percumbuan dilakukan oleh jantan dengan cara terbang mengelilingi betina dengan mengepakkan sayapnya. Setelah terjadi percumbuan, jantan dan betina melakukan mating dengan posisi bervariasi. Posisi imago saat mating terkadang betina berada diatas jantan atau saling berhadapan (Gambar 32). Kondisi lingkungan fisik saat pasangan imago kawin (n = 3) suhu minimum 20 ºC dan suhu maksimum ºC dengan kelembaban sebesar 64.67%, dan intensitas cahaya sekitar lux. Setelah melakukan mating, jantan dan betina biasanya aktif menghisap nektar yang diselingi hinggap pada daun A. tagala. Dua hari setelah mating, umumnya betina akan meletakkan telur (oviposisi) pada tanaman A. tagala dengan cara membengkokkan abdomennya. Telur umumnya diletakkan pada bagian bawah daun A. tagala secara terpisah pada tangkai dan batang, atau benda lain yang dekat dengan pakan larva. Pola peletakan telur adalah diletakkan sendiri-sendiri atau mengelompok (Gambar 33). Suhu minimum rata-rata saat imago betina bertelur (n = 3) adalah ºC, dan suhu maksimum rata-rata adalah ºC.

70 a b Gambar 31 Pupa saat imago keluar: sebelum eklosi (a) dan sesudah eklosi (b). a b Gambar 32 Posisi imago T. h. helena saat mating: saling berhadapan (a) dan betina berada di atas jantan (b). (b) (a) Gambar 33 Pola peletakan telur T. h. hephaestus: sendiri-sendiri (a) dan mengelompok (b).

71 Perilaku lain yang teramati pada imago di kubah penangkaran adalah perkawinan antara T. h. helena jantan dengan T. h. hephaestus betina (Gambar 34). Dari hasil perkawinan 2 subspesies tersebut dihasilkan telur fertil sebanyak 86 telur dengan persentasi tetas 86%. Individu hasil perkawinan 2 subspesies tersebut menghasilkan variasi spot pada sayapnya. Gambar 34 Perkawinan T. h. helena jantan dengan T. h. hephaestus betina.

72 PEMBAHASAN A. Teknik Penangkaran T. h. helena dan T. h. hephaestus T. h. helena dan T. h. hephaestus merupakan kupu-kupu yang larvanya termasuk monophagus, yaitu hanya mengkonsumsi satu jenis tumbuhan, yaitu A. tagala. Faktor utama yang menyebabkan penurunan populasi kupu-kupu di alam adalah kekurangan pakan larva. Oleh karena itu, faktor utama yang perlu diperhatikan dalam penangkaran adalah ketersediaan pakan larva secara terus menerus, sehingga menjamin kelangsungan hidup kupu-kupu. Pemberian nektar buatan dari larutan madu dapat menambah sumber nektar imago. Pembibitan pakan larva (A.tagala) dapat dilakukan dengan stek atau dari biji (Tikupadang & Gunawan 1997). Pada penelitian ini, pembibitan dari biji memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan pembibitan dari stek tangkai. Tanaman A.tagala lebih baik pertumbuhannya pada tanah yang mengandung pasir, atau wadah yang aerasinya lancar dan ternaungi. A. tagala merupakan tanaman naungan yang dapat ditemukan di lereng-lereng gunung, tepi sungai, atau daerah terbuka yang bersemak untuk sarana memanjat. Keberadaan tanaman ini di hutan semakin berkurang sehingga menyebabkan berkurangnya kupu-kupu spesies ini (Tikupadang & Gunawan 1997). Selama pemeliharaan telur sampai pupa, suhu di laboratorium tidak pernah mengalami penurunan yang berarti sehingga tidak perlu dilakukan penanganan untuk menaikkan suhu. Rata-rata suhu minimum harian di laboratorium adalah ± 1.68 ºC, sedangkan rata-rata suhu maksimum adalah ± 1.50 ºC. Jika suhu terlalu tinggi, maka dilakukan penyemprotan air pada kandang pupa. Toples pemeliharaan larva ditutup dengan tisu untuk mengurangi penguapan. Di sekitar cawan petri dan toples pemeliharaan larva juga disediakan tampungan air pada gelas plastik atau botol kaca. Ventilasi udara diatur dengan membuka jendela laboratorium pada siang hari. Hal ini dilakukan untuk menjaga agar suhu di laboratorium tidak terlalu tinggi dan kelembaban menjadi lebih rendah. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa keberhasilan pemeliharaan telur sampai larva di laboratorium sangat ditunjang oleh faktor pendukung antara lain ketersediaan air, ventilasi udara, kebersihan, dan luasan ruang pemeliharaan.

73 Faktor yang dapat menghambat keberhasilan selama pemeliharaan larva-pupa di laboratorium adalah kekurangan air, kebersihan, dan keamanan ruangan khusus untuk pemeliharaan larva. Teknik pemeliharaan telur di cawan petri dan larva instar ke 1 sampai instar ke 3 sudah cocok. Pemeliharaan larva instar ke 4 sampai pupasi di dalam toples dapat berhasil dengan baik. Pemeliharaan larva dalam toples lebih baik karena dapat menghindari serangan predator. Hal penting yang perlu diperhatikan adalah kebersihan wadah pemeliharaan dan ketersediaan pakan larva. Pemberian sarana untuk memanjat bagi larva menjelang prepupa memberikan keberhasilan yang lebih tinggi hingga pupasi. Prepupa yang tidak mendapat tempat bergantung, mengakibatkan bentuk tidak normal dan imago dapat menjadi cacat (Tikupadang & Gunawan 1997). Selama stadia prepupa, individu tidak boleh mengalami gangguan agar kremaster dan serat sutera tidak terlepas. Prepupa dan pupa yang rusak harus segera dipisahkan dari individu yang sehat. Kubah penangkaran memiliki suhu minimum berkisar ºC selama pemeliharan imago, suhu maksimum berkisar ºC. Kelembaban rata-rata berkisar antara 51-75% (Lampiran 4). Intensitas cahaya rata-rata di kubah penangkaran berkisar antara lux. Apabila suhu di kubah penangkaran terlalu tinggi, maka dilakukan penyiraman air terhadap tanaman, lantai kubah penangkaran, dan dinding dalam kubah penangkaran. Jika intensitas cahaya yang masuk ke kubah penangkaran terlalu sedikit, maka dilakukan pembersihan atap kubah dari daun-daun kering yang tersangkut pada atap kubah. Kondisi kubah penangkaran sesuai untuk pemeliharaan T. h. helena dan T. h. hephaestus. Hal ini ditunjukkan dengan kemampuan hidup dua subspesies tersebut pada semua stadia dan berkembang dengan baik hingga mencapai generasi ke 5. Di dalam kubah penangkaran, juga berhasil dibudidayakan jenis kupu-kupu lain, yaitu Pachliopta aristolochia, Papilio memnon, Graphium agamemnon, dan Graphium doson. B. Kondisi Lingkungan Fisik Laboratorium dan Kubah Penangkaran T. helena termasuk hewan poikilotermik, yaitu hewan yang suhu tubuhnya dipengaruhi oleh suhu lingkungan. Beberapa faktor lingkungan yang

74 mempengaruhi kehidupan serangga antara lain cuaca, suhu, kelembaban, cahaya, makanan, habitat, populasi, dan keberadaan organisme lain. Kisaran suhu yang memungkinkan kehidupan serangga adalah antara 0-50 ºC dan kelembaban berkisar antara 50-90% (Romoser 1973). Hasil penelitian menunjukkan bahwa suhu minimum di laboratorium selama pemeliharaan telur sampai imago eklosi berkisar antara ºC dan suhu maksimum berkisar ºC (Lampiran 3). Kelembaban ruangan di laboratorium berkisar antara 51-75%. Kondisi ini sudah cocok untuk pemeliharaan T. h. helena dan T. h. hephaestus dari stadia telur sampai imago. Suhu yang lebih rendah dari 20 ºC akan mengakibatkan berbagai dampak pada setiap stadia. Suhu yang rendah dapat menyebabkan telur dan pupa mudah terserang cendawan. Di samping itu, suhu juga dapat berdampak pada lamanya stadia pupa. Suhu yang lebih tinggi dari 30 ºC menyebabkan pakan larva menjadi cepat layu dan mengurangi laju konsumsi larva. C. Lama Waktu Setiap Stadia T. h. helena dan T. h. hephaestus Hewan yang dapat menghasilkan lebih dari dua jumlah generasi dalam setahun disebut multivoltine (Gullan & Cranston 2000). Pada penelitian ini, T. h. helena dan T. h. hephaestus dapat menghasilkan minimal tiga generasi dalam setahun apabila kondisi lingkungannya sesuai sehingga termasuk serangga multivoltine. Lama stadia larva T. helena di Hongkong adalah 21 hari, larva dengan 4 instar (Carey-Hughes & Pickford 1977). Lama stadia larva Ornithoptera (Papilionidae), dengan 6 instar adalah 50 hari (Straatman 1971). Hasil penelitian ini, lamanya stadia larva T. h. helena rata-rata 27 hari dengan 5 instar. Larva T. h. hephaestus berlangsung selama 19 hari dengan 5 instar. Total waktu yang dibutuhkan untuk semua stadia T. h. helena dari telur-imago betina hasil penangkaran di IPB adalah 70 ± hari, sedangkan pada T. h. hephaestus adalah 64 ± hari. Pada Ornithoptera (Papilionidae) dengan pakan larva A. tagala, lamanya siklus hidup dari telur-pupa adalah 107 hari (Straatman 1971), sedangkan lama siklus dari telur-pupa pada Troides amphrysus (Papilionidae) adalah 70 hari (Dahelmi et al. 2008).

75 Variasi lama waktu yang dibutuhkan tiap stadia dipengaruhi oleh suhu dan kondisi induk T. helena (Carey-Hughes & Pickford 1977). Hasil pengamatan menunjukkan lama waktu yang dibutuhkan pada semua stadia T. h. helena dan T. h. hephaestus dipengaruhi oleh berbagai faktor, tersebut antara lain suhu, kelembaban, intensitas cahaya, ketersediaan pakan, sumber nektar, parasitoid, predator, dan stres khususnya pada stadia larva. Hasil pengamatan diketahui bahwa, suhu yang tinggi akan mempercepat waktu tiap stadia T. h. helena, dan T. h. hephaestus dan suhu rendah akan mempengaruhi aktivitas terbang imago. Pada suhu rendah imago lebih banyak berlindung di bawah tanaman, sehingga mudah terserang oleh predator. Intensitas cahaya di kubah penangkaran juga mempengaruhi aktivitas imago untuk menghisap nektar, kawin, dan bertelur. Intensitas cahaya yang cocok di penangkaran berkisar antara lux. D. Kelangsungan Hidup T. h. helena dan T. h. hephaestus Kupu-kupu memiliki musuh alami, berupa predator, parasit, dan parasitoid. Predator kupu-kupu adalah dari kelompok arthropoda (tungau, labalaba, kumbang, semut), burung, reptil, dan mamalia kecil. Parasit dan penyakit yang menyerang kupu-kupu adalah cendawan, bakteri, virus, protozoa, nematoda, dan tungau. Parasitoid yang menyerang telur-pupa spesies ini adalah dari kelompok Hymenoptera dan Diptera (Dempster 1984). Parasitoid adalah hewan yang hidup pada hewan lain dan dapat berakibat kematian pada inangnya (Gullan & Cranston 2000). Kelangsungan hidup terendah T. h. helena hasil penelitian ini terjadi pada stadia telur. Persentase telur yang menetas hanya 44%, yaitu dari 36 jumlah telur dihasilkan 16 larva instar ke 1. Hal tersebut disebabkan oleh parasitoid dari family Scelionidae (Hymenoptera) yang menyerang stadia telur (Gambar 27). Serangan parasitoid pada telur umumnya tinggi pada musim kemarau. Kelangsungan hidup terendah T. h. hephaestus terjadi pada stadia pupa (Tabel 4). Mortalitas pada pupa dapat disebabkan oleh mikroorganisme. Ciri-ciri pupa yang diserang oleh mikroorganisme yaitu pupa tidak melakukan reaksi apabila terganggu, kulit pupa keras, warna pupa terkadang menghitam secara

76 keseluruhan, dan berbau busuk (Lampiran 21). Faktor lain yang menyebabkan rendahnya kelangsungan hidup pada pupa adalah imago gagal melakukan eklosi (Lampiran 22). Faktor yang menyebabkan gagal eklosi, terutama adalah sayap yang melekat pada kulit pupa. Untuk meningkatkan kelangsungan hidup T. h. helena dapat dilakukan dengan segera memanen telur yang telah dioviposisi oleh imago betina dan ditempatkan pada cawan petri. Hal lain yang harus diperhatikan adalah saat memindahkan larva ke wadah yang berisi pakan segar harus dilakukan dengan hati-hati. Larva akan berpindah dari daun lama ke daun yang lebih segar. Larva yang akan mengalami ganti kulit tidak perlu dipindahkan karena dapat mengganggu proses moulting. Kelangsungan hidup T. h. helena dan T. h. hephaestus dapat ditingkatkan dengan memperhatikan kebersihan wadah pemeliharaan, memahami perilaku, dan kecukupan pakan. E. Morfologi Telur, Larva, Pupa, dan Imago Volume telur T. helena adalah 2.18 mm³ dan panjang sayap depan yang diukur dari posisi dasar (base) ke bagian ujung (apex) sebesar 81 mm (Garcia- Barros 2000). Imago betina yang berukuran lebih besar, akan menghasilkan telur yang lebih besar. Pada stadia larva, ukuran tubuh sangat ditentukan oleh aktivitas makan. Larva yang lebih aktif makan akan menghasilkan pertumbuhan yang lebih baik dengan ukuran yang lebih besar. Aktivitas makan larva dipengaruhi oleh suhu, kelembaban, ketersediaan pakan, dan kondisi stres larva. Pada suhu lebih tinggi, maka pertumbuhan larva menjadi lebih cepat dan periode makan menjadi lebih sedikit. Hasil menunjukkan ukuran pupa tergantung pada ukuran stadia larva. Ukuran imago juga ditentukan oleh ukuran pupa. Pupa yang besar akan menghasilkan imago yang besar. Pada penelitian ini, ukuran telur, larva, pupa, dan imago T. h. helena hasil penangkaran IPB, berbeda nyata dengan ukuran telur, pupa, dan imago T. h. helena dari penangkaran Cilember. Hal ini disebabkan karena imago dan larva masih berada dalam proses adaptasi dengan lingkungan yang mempengaruhi aktivitas makan.

77 Ukuran telur dan pupa T. h. hephaestus antara hasil penangkaran IPB dengan T. h. hephaestus dari penangkaran Bantimurung, menunjukkan perbedaan nyata (Tabel 5). Hal tersebut diduga akibat stres dan proses adaptasi awal larva dengan lingkungan selama di penangkaran. Ukuran imago T. h. hephaestus hasil penangkaran IPB dengan hasil penangkaran di Bantimurung tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Hal ini disebabkan banyaknya pupa yang gagal mengalami eklosi terutama dari hasil penangkaran IPB. Untuk menghasilkan ukuran yang lebih besar di semua stadia, pemeliharaan T. h. helena dan T. h. hephaestus disarankan untuk menyiapkan pakan larva yang cukup melalui pembibitan yang berkelanjutan, serta penyediaan bermacammacam sumber nektar bagi imago. Kebersihan tempat pemeliharaan larva juga harus diperhatikan agar tidak mempengaruhi aktivitas makan larva. F. Fekunditas (Keperidian) Imago Betina Reproduksi serangga dipengaruhi oleh faktor antara lain: suhu, kelembaban, photoperiod, ketersediaan pakan, dan kesesuaian substrat peletakan telur (Gullan & Cranston 2000). Mevi-Schutz & Erhardt (2005) melaporkan bahwa kandungan asam amino yang tinggi pada nektar akan meningkatkan fekunditas kupu-kupu. Pemberian larutan madu sebagai sumber nektar juga dapat meningkatkan fekunditas kupu-kupu (Lederhouse et al. 1990). Hasil pengamatan menunjukkan faktor yang mempengaruhi peneluran betina antara lain umur betina, lama peneluran, ukuran tubuh betina, gangguan dari jantan, banyaknya predator, kelimpahan sumber nektar, tanaman pelindung, suhu, dan kelembaban udara. Jumlah telur yang dihasilkan selama betina hidup pada T. h. helena dalam penelitian ini berkisar telur, dengan rataan ± telur. Persentase tetas telur berkisar %, dengan rataan 85.28% ± 0.84%. Jumlah total telur yang dihasilkan T. h. hephaestus berkisar antara telur, dengan rataan ± telur. Persentase tetas telur berkisar %, dengan ratarata 80.98% ± 11.40%. Selama penangkaran di IPB, suhu rata-rata di kubah penangkaran pada saat betina oviposisi berkisar antara ºC. Hal ini

78 menunjukkan bahwa umumnya betina melakukan oviposisi atau egg laying pada saat suhu tinggi dan kelembaban rendah. Lama umur betina dan lamanya umur peneluran mempengaruhi jumlah telur yang dihasilkan. Jumlah telur yang banyak akan memungkinkan banyaknya generasi yang dihasilkan oleh betina. Banyaknya jumlah generasi akan mempengaruhi ukuran populasi spesies tersebut. Kekurangan sumber nektar dapat berakibat pada usia peneluran dan aktivitas peneluran. Ukuran tubuh betina dapat menjadi ukuran banyaknya telur yang dihasilkan. Gangguan dari jantan yang selalu mengejar betina untuk kawin, dapat menyebabkan kesempatan betina untuk bertelur menjadi berkurang. Keberadaan predator juga mempengaruhi usia betina dan usia peneluran betina. Diamati juga betina yang baru saja melakukan perkawinan langsung dimangsa oleh predator pada saat beristirahat. Untuk mengantisipasi berbagai kendala di atas, berbagai hal yang terkait dengan fekunditas betina harus diperhatikan. Selama masa peneluran, betina aktif menghisap nektar di sela-sela egg laying. Ketersediaan sumber nektar merupakan hal yang mempengaruhi betina selama masa peneluran. Keseimbangan seks rasio jantan dan betina di kubah penangkaran juga mempengaruhi kesempatan betina bertelur. Jumlah jantan yang lebih banyak dari betina dapat mengakibatkan betina stres dan kurang memiliki kesempatan untuk mengisap nektar dan bertelur. Jumlah betina yang lebih banyak dari jantan, berdampak pada betina yang menghasilkan telur infertil, karena tidak dikawini oleh jantan. Perbandingan yang disarankan jantan:betina adalah 1:2. Banyaknya tanaman pelindung di kubah penangkaran akan membantu betina untuk berlindung dari predator, khususnya cicak, kadal, dan laba-laba. Hasil pengamatan menunjukkan faktor suhu, kelembaban, dan intensitas cahaya berpengaruh terhadap peneluran betina. G. Konsumsi Pakan Larva Daun tanaman yang muda, umumnya kaya akan kandungan protein, sedangkan daun tua mengandung banyak karbohidrat. Serangga spesialis menseleksi daun sebagai pakan larvanya dengan mengkonsumsi umur daun yang berbeda pada usia larva yang berbeda pula. Hal tersebut dilakukan untuk

79 menyeimbangkan antara kebutuhan karbohidrat dan protein (Bernays & Chapman 1994). Larva Papilionidae dapat mengkonsumsi tanaman pakan yang mengandung racun, yang tidak disukai oleh hewan lain dan mensekresi racun tersebut di organ osmeterium (Gullan & Cranston 2000). Larva T. h. helena dan T. h. hephaestus hanya mengkonsumsi daun A. tagala (monophagus). Monophagus adalah hewan yang hanya mengkonsumsi satu spesies tanaman atau hanya mengkonsumsi tanaman dari satu genus (Bernays & Chapman 1994). Hasil analisis proksimat daun A. tagala, menunjukkan A. tagala mengandung nutrisi yang cukup untuk kebutuhan perkembangan larva T. helena (Lampiran 19). Larva T. helena dewasa dapat mengkonsumsi A. tagala sebanyak 100 cm² dalam 24 jam (Carey-Hughes 1977). Selama penelitian, total pakan yang dikonsumsi oleh T. h. helena pada stadia larva adalah 2.50 ± 0.72 g bobot kering per larva, sedangkan T. h. hephaestus sebanyak 1.62 ± 0.65 g bobot kering per larva. Pemberian daun yang tidak dipotong-potong, menunjukkan jumlah konsumsi pakan larva lebih banyak. Pengamatan di laboratorium pada larva T. h. helena dan T. h. hephaestus instar ke 5, dapat mengkonsumsi 4 lembar daun berukuran ± 25 cm² dalam sehari. Kurangnya jumlah pakan yang dikonsumsi oleh larva dalam penangkaran di IPB disebabkan oleh adaptasi awal larva terhadap kondisi lingkungan. Pemberian daun yang dipotong-potong dapat mengurangi kebebasan larva dalam memilih pakan. Hal tersebut dapat mengurangi kualitas daun terutama kandungan airnya. Hal ini dapat diantisipasi dengan memberikan daun segar dilengkapi tangkainya yang tidak terpotong. Cara pemberiannya adalah tangkai daun dimasukkan ke dalam botol film berisi air yang diberi lubang untuk menancapkan tangkai daun. H. Perilaku T. h. helena dan T. h. hephaestus Selama Penangkaran Tubuh serangga dilindungi oleh sistem integumen berupa skeleton yang keras dan berfungsi melindungi bagian-bagian dalam tubuhnya. Sistem integumen serangga yang berada di luar tubuh disebut eksoskeleton. Untuk berkembang menjadi lebih besar, serangga harus melepaskan dan memperbaharui kulit tubuh

80 yang lama dan mengganti dengan kulit tubuh yang baru (moulting) dan ecdysis. Hal tersebut dilakukan serangga karena kulit lama merupakan lapisan yang keras dan tidak elastis (Romoser 1973). Indikator bahwa larva telah mengalami moulting dapat dilihat adanya exuviae kapsul kepala (kapsul kepala lama) larva (Rodriguez-Loeches & Barro 2008). Komponen dasar penyusun sistem integumen serangga adalah membran dasar, epidermis, dan kutikula. Kutikula terdiri atas tiga lapisan yaitu endokutikula, eksokutikula, dan epikutikula. Endokutikula terletak pada bagian atas epidermis dengan ketebalan mikron. Lapisan diatas endokutikula adalah eksokutikula berupa lapisan yang lebih tipis. Lapisan terluar adalah epikutikula yang merupakan lapisan kutikula paling tipis, ketebalannya berkisar 0,03-4,0 mikron. Komposisi kimia kutikula terdiri atas polysaccharide chitin, protein (arthropodin, resilin, sclerotin), polyhydric phenol, quinine, lipid, enzym, dan komponen inorganik lainnya. Komponen-komponen tersebut merupakan bahan yang dibutuhkan serangga selama masa perkembangannya (Romoser 1973). Pada T. h. helena dan T. h. hephaestus, larva mengalami empat kali ganti kulit, dengan 5 instar larva. Setiap kali mengalami moulting, larva akan meninggalkan kapsul kepala lama, sedangkan kulit lama (exuviae) biasanya dimakan kembali. Larva Troides memiliki duri daging pada tubuhnya (Amir et al. 2003). Apabila mengalami gangguan, larva akan mengeluarkan osmeteriumnya yang berjumlah sepasang untuk menakuti predator. Seringkali dari osmeterium dikeluarkan cairan berwarna jingga. Pada larva Battus philenor (Papilionidae), memiliki osmeterium untuk menghadapi musuh alaminya dan dapat membelokkan tubuhnya sampai 360º untuk pertahanannya (Stamp 1986). Menjelang prepupa, larva akan mengeluarkan cairan dari bagian anal, selanjutnya larva menggantung pada substrat dengan menggunakan serat sutra dan menempel dengan kremaster pada ujung abdomen untuk menjadi prepupa. Pada penelitian ini, prepupa berlangsung selama satu sampai dua hari. Exuviae prepupa terlepas dan menjadi pupa (pupasi). Saat pupa baru keluar, kulit masih lunak dan basah dan beberapa saat kemudian kullit akan mengering dan berbentuk permanen. Pupa disebut fase non aktif karena tidak mencari pakan, tidak berpindah tempat, dan tidak bergerak kecuali apabila ada gangguan. Apabila pupa terganggu akan

81 melakukan gerakan mengejang dan mengeluarkan bunyi desis. Penelitian ini diketahui bahwa imago keluar dari pupa (eklosi) umumnya pada pagi hari sekitar pukul , melalui selubung pupa. Kegagalan eklosi imago dapat disebabkan karena sayap melekat pada kulit pupa. Faktor lain kegagalan eklosi adalah terlepasnya serat sutera atau kremaster pupa sebelum imago eklosi. Setelah imago keluar dari pupa, akan mengeringkan sayap dengan mengepakkan sayapnya. Imago akan terbang mencari sumber nektar pada berbagai jenis bunga. Hall & Willmott (2000) melaporkan bahwa imago kupukupu Riodinidae mengunjungi sumber pakan yang bervariasi, diantaranya berbagai jenis bunga, pasir basah, lumpur, dan bangkai. Setelah menghisap nektar, imago siap untuk melakukan kopulasi. Imago yang akan melakukan kopulasi (mating), biasanya terlebih dahulu melakukan percumbuan (courtship). Jantan dan betina melakukan mating dengan posisi yang bervariasi terkadang betina berada diatas jantan atau posisi saling berhadapan. Saat pasangan imago kawin, suhu minimum rata-rata di kubah penangkaran 20 ºC ± 5.20 ºC dan suhu maksimum rata-rata ºC ± 1.15 ºC, kelembaban rata-rata sebesar ± 13.32%, dan intensitas cahaya ± lux (>2000 lux). Sehari setelah mating betina meletakkan telur (oviposisi) pada tanaman A. tagala atau pada tanaman dan benda lain yang dekat dengan pakan larva. Telur diletakkan sendiri-sendiri atau mengelompok. Pemilihan tanaman pakan yang tepat untuk pertumbuhan larva dilakukan oleh betina saat oviposisi (Rausher 1979). Suhu minimum rata-rata di kubah penangkaran saat imago betina bertelur (n = 3) adalah ºC ± 1.53 ºC, suhu maksimum ºC ± 2.08 ºC. Suhu toraks untuk dapat terbang pada Papilio polyxenes (Papilionidae) adalah di atas 24 ºC dan melakukan terbang jika suhu toraksnya lebih dari 28 ºC (Rawlins 1980). pengamatan di kubah penangkaran, terjadi perkawinan antara T. h. helena jantan dengan T. h. hephaestus betina dan dihasilkan sebanyak 86 telur fertil, persentasi tetas 86%.

82 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1. Penangkaran kupu-kupu dilakukan dengan menempatkan stadia telur sampai larva instar ke 3 pada cawan petri di laboratorium. Larva instar ke 4 sampai prepupa ditempatkan pada toples gelas, stadia pupa ditempatkan pada kandang pupa, dan imago ditempatkan di kubah penangkaran. 2. Kupu T. h. helena dan T. h. hephaestus dapat dibudidaya dengan keberhasilan tinggi, dengan kombinasi pemeliharaan di laboratorium dan di kubah penangkaran. Suhu minimum ± 1.68 ºC dan maksimum 33.91±1.50 ºC, kelembaban ruangan berkisar antara 51-75%, dapat menghasilkan perkembangan yang baik bagi telur-pupa. Suhu minimum antara ºC dan maksimumnya ºC, kelembaban 51-75%, dan intensitas cahaya antara lux di kubah penangkaran dapat digunakan untuk perkembangan dan kehidupan imago T. helena. 3. Kupu T. h. helena membutuhkan waktu 70 ± hari dari telur sampai imago, sedangkan T. h. hephaestus membutuhkan waktu 64 ± hari. Kelangsungan hidup terendah T. h. helena terjadi pada stadia telur, sedangkan T. h. hephaestus terjadi pada stadia pupa. 4. Kelangsungan hidup T. h. helena dan T. h. hephaestus selama di penangkaran dipengaruhi oleh suhu, kelembaban, intensitas cahaya, sumber pakan, parasitoid, predator (cicak, kadal, laba-laba), dan teknik budi daya selama di penangkaran. 5. Jumlah telur yang dihasilkan T. h. helena selama di penangkaran berkisar telur (rataan ± telur), sedangkan T. h. hephaestus berkisar antara telur, dengan rataan ± telur. Saran 1. Dalam penangkaran T. helena, pakan larva dan pakan imago perlu disiapkan dalam jumlah yang cukup. 2. Perlu penelitian lebih lanjut tentang biologi T. h. helena dan T. h. hephaestus, dengan berbagai perlakuan di laboratorium dan kubah penangkaran. 3. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang musuh alami pada setiap stadia T. h. helena dan T. h. hephaestus dan spesies lain dari Lepidoptera.

83 DAFTAR PUSTAKA Achmad A Habitat dan Pola Sebaran Kupu-Kupu Jenis Komersil di Hutan Wisata Bantimurung Sulawesi Selatan. Majalah Ilmiah Flora dan Fauna. Vol.8 Ed.8. Makassar: Fapertahut Unhas. Amir M, Noerdjito WA, Kahoro S Serangga Taman Nasional Gunung Halimun Jawa Bagian Barat. Kupu (Lepidoptera). Bogor: BCP. JICA. hlm Barua KK, Slowik J Study on the Biology and Comsumption Potential of Common Rose Pachliopta aristolochiae aristolochiae F (Lepidoptera:Papilionidae) on Aristolochia tagala. Pol J Entomol 76: Bernays EA, Chapman RF Host-Plant Selection by Phytophagous Insects. New York: Chapman & Hall. ITP. 312 hlm. Braby MF Butterflies of Australia Their Identification, Biology and Distribution. Vol. One. Canberra: CSIRO Publishing. Carey-Hughes J, Pickford JB The Occurrence of Troides helena (LINN.) in Hongkong. JHKBRAS 16: Chambell NA, Reece JB, Taylor MR, Simon EJ Biology Concepts and Connections. Fifth Edition. San Fransisco: Benjamin Cummings. 783 hlm. Chapman RF The Insect Structure and Function. Third Edition. Harvard University Press. 919 hlm. Chew FS, Robbins RK Egg- Laying in Butterflies. Di dalam: Vane-Wright RI, Ackery PR. editor. the Biology of Butterflies. Symposium of the Royal Entomological Society of London. Number 11. London: Academic Press. 429 hlm. Clarck LR, Geigera PW, Hughes RD, Morris RF The Ecology of Insect Population in Theory and Practice. The English Language Book Society- Chapman and Hall. Canberra D Abrera Birdwing Butterflies of the World. Meulbourne: Lansdowne Press. pp 260. Dahelmi, Salmah S, Abbas I, Fitriana N, Nakano S, Nakamura K Duration of Immature Stages of Eleven Swallowtail Butterflies (Lepidoptera:

84 Papilionidae) in West Sumatra, Indonesia. Far Eastern Entomologist. 182:1-9. Dempster JP The Natural Enemies of Butterflies. Di dalam: Vane-Wright RI, Ackery PR. editor. the Biology of Butterflies. Symposium of the Royal Entomological Society of London. Number 11. London: Academic Press. 429 hlm. DEPHUT Ekspor-Impor Hasil Hutan, Ekspor Tumbuhan dan Satwa Liar, Penerimaan Negara dari Perdagangan Tumbuhan dan satwa Liar ke Luar Negeri Serta Kontribusi Subsektor Kehutanan Terhadap PDB. Jakarta: Departemen Kehutanan. Efendi MA Keragaman dan Karakteristik Sisik Sayap Kupu-kupu (Lepidoptera:Ditrysia) di Kawasan Hutan Koridor Taman Nasional Gunung Halimun-Salak Jawa Barat [tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Gabre Rm, Adham FK, Hsin Chi Life Table of Chrysomya megacephala (Fabricius) (Diptera: Calliphoridae). Acta Oecol Int J Ecol 27: Garcia-Barros E Egg Size in Butterflies (Lepidoptera: Papilionidea and Hesperidae): a Summary of Data. J Res Lepidop 35: Gomes-Filho A Seasonal Fluctuation and Mortality Schedule for immatures of Hypna Clytemnestra (Butler), an Uncommon Neotropical Butterfly (Nymphalidae: Charaxinae). J Res Lepidop 37: Goulet H, Huber JT Hymenoptera of the world: an Identification Guide to Families. Canada: Research Branch Agriculture Canada Publication. 668 hlm. Gullan PJ, Cranston PS the Insect an Outline of Entomology. Second Edition. Blackwell Science. 470 hlm. Hall JPW, Willmott KR Patterns of Feeding Behaviour in Adult Male Riodinid Butterflies and their Relationship to Morphology and Ecology. Biol J Linn Soc 69: Hegazy Age-Spesific Survival, Mortality and Reproduction, and Prospects for Conservation of Limonium delicatulum. J Appl Ecol 29:

85 Hoi-Sen Y Malaysian Butterflies. BHD Kuala Lumpur-Malaysia: Tropical Press SDN. Koolhof S Alfred R. Wallace di Nusantara sebuah petualangan ilmiah. Lokakarya I Ekspedisi Wallace 2004; Makassar, 21 Mei Unhas. Lederhouse RC, Ayres MP, Scriber JM Adult Nutrition Affects Male Virility in Papilio glaucus L. J STOR 4: Mastright HV, Rosariyanto E Buku Panduan Lapangan Kupu-kupu Untuk Wilayah Membrano Sampai Pegunungan Cyclops. Jakarta: Concervation International Indonesia. Matsuka S Natural History of Birdwing Butterflies. Tokyo. pp 368. Mattjik AA, Sumertajaya IM Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan MINITAB. Ed ke-3. Bogor: IPB Press. Mevi-Schutz J, Erhardt A Amino Acids in Nectar Enhance Butterfly Fecundity: A Long-Awaited link. Chicago Journals Vol.165: New TR, Bush MB, Sudarman HK Butterflies from the Ujung Kulon National Park Indonesia. J Lepidop Soc 41: Nielsen ES, Common IFB Lepidoptera (Moths and Butterflies). Di dalam: the Insect of Australia. Vol.2. Second Edition. Meulborne University Press. hlm Nishida R Chemosensory Basis of Host Recognition in Butterflies-Multicomponent Systemof Oviposition Stimulants and Deterrents. Chem Senses 30: Noerdjito WA, Amir M Kekayaan kupu-kupu di Cagar Alam Bantimurung Sulawesi Selatan dan Sekitarnya. Di dalam: Nasution et al., editor. Prosiding Seminar Hasil Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Hayati 1991/1992; Bogor, 6 Mei PPPSDH Puslitbang Biologi, LIPI. hlm Noerdjito WA Serangga Di dalam: Noerdjito M, Maryanto I, editor. Jenis- Jenis Hayati yang Dilindungi Perundang-Undangan Indonesia.Balitbang Zoology (Museum Zoologicum Bogoriense) Puslitbang Biologi LIPI & The Nature Conservancy). hlm

86 Noerdjito WA, Aswari P Metode Survey dan Pemantauan Populasi Satwa. Seri Keempat Kupu-Kupu Papilionidae. Pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi.Bogor: LIPI Cibinong. Price Insect Ecology. Third Edition. New York: John Wiley & Sons. Rausher MD Larval Habitat Suitability and Oviposition Preference in Three Related Butterflies. Ecol 60: Rawlins JE Thermoregulation by the Black Swallowtail Butterfly, Papilio polyxenes (Lepidoptera: Papilionidae). JSTOR 61: Rodriguez-Loeches L, Barro A Life Cycle and Immature Stages of the Arctiid Moth, Phoenicoprocta capistrata. J Insect Science 8:1-13. Romoser WS the Science of Entomology. New York: Macmillan Publishing Co.,Inc. p 449. Sanjaya Y, Noloperbowo W, Anggraeni T Konsumsi Makan dan Pertumbuhan Larva Helicoverpa armigeratoleran Terhadap Pemaparan Helicoverpa armigera Nuclear Polyhedrosis Virus (HaNPV). J Mat dan Sains 9: Simbolon K, Iswari A Protected Butterfly in Indonesia. Directore General of Forest Protection and Nature Conservation Ministry of Forestry R.I. 115 hlm. Stamp NE Physical Constraints of Defense and Response to invertebrate Predators by Pipevine Caterpillars (Battus philenor: Papilionidae). J Lepidop Soc 40: Stokes D, Stokes L, Williams E, The Butterfly Book: the Complete Guide to Butterfly Gardening, Identification and Behavior. First Edition. New York USA: Little, Brown and Company. Straatman R the Life History of Ornithoptera alexandrae Rothschild. J Lepidop Soc 5: Suharto, Wagiyana, Zulkarnain R Survey Kupu-Kupu (Rhopalocera : Lepidoptera) di Hutan Ireng Ireng Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. J Ilm Das 6:1-5. Syamsu JA Kajian Fermentasi Jerami Padi dengan Probiotik Sebagai Pakan Sapi Bali di Sulawesi Selatan. J. Ilm Ternak 3:1-5.

87 Tarumingkeng RC Dinamika Populasi: Kajian Ekologi Kuantitatif. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. 284 hlm. Thohari M Gejala Inbreeding dalam Penangkaran Satwa Liar. Media Konservasi. Vol.I. No.4.Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Tikupadang H, Gunawan H Kajian Penangkaran Kupu-Kupu Sayap Burung (Troides hypolithus cellularis Rothchild) di Hutan Wisata Pattunuang Kabupaten Maros. Buletin Penelitian Kehutanan. Balai Penelitian Kehutanan Ujungpandang. Vol.2:1-14. Tripelhorn CA, Jhonson NF Borror and Delong s Interduction to the Study of Insects. Seventh Edition. USA : Thomson Brooks/Cole. Tsukada E, Nishiyama Y Butterflies of South East Asian Islands. Volume ke-1, Papilionidae. Japan: Plapac Co,Ltd. hlm Vane-Wright RI, de Jong R The butterflies of Sulawesi : Annotated Checklist for a Critical Island Fauna. Zool Ver Leiden 343: Watts F Butterflies and Moths. London, New York, Sydney, Toronto. hlm 6-26.

88 Lampiran 1 Peta penyebaran Troides helena Lampiran 2 Beberapaa alat yang digunakan dalam penelitian

89 Lampiran 3 Data lingkungan fisik di laboratorium Bulan Suhu (ºC) Kelembaban (%) Minimum Maksimum Februari Jam ,00±1,45 31,25±1,92 72,00±2,25 Jam ,00±1,83 32,50±1,32 58,75±2,50 Jam ,75±0,50 28,25±0,96 67,00±1,77 Maret Jam ,00±1,00 30,30±1,00 68,00±2,30 Jam ,00±0,50 32,10±1,15 66,10±0,50 Jam ,00±1,00 31,00±1,15 70,00±0,75 April Jam ,25±2,50 28,00±0,37 75,00±2,76 Jam ,50±2,38 29,50±0,10 52,00±2,83 Jam ,00±0,00 28,25±0,40 69,50±0,40 Mei Jam ,50±0,00 29,00±0,00 74,50±1,00 Jam ,00±0,00 28,25±0,25 59,50±3,00 Jam ,00±0,10 28,00±0,00 62,00±2,00 Juni Jam ,75±0,50 29,50±0,00 65,00±3,83 Jam ,75±1,80 32,70±2,19 54,50±2,92 Jam ,25±0,00 29,00±0,00 60,75±0,63 Juli Jam ,00±0,00 31,25±0,50 60,50±5,74 Jam ,50±0,00 32,67±2,89 51,33±5,03 Jam ,00±0,00 30,00±1,00 60,33±1,10 Agustus Jam ,00±0,00 29,00±0,00 66,00±0,82 Jam ,50±0,58 29,00±0,00 61,00±2,00 Jam ,00±0,00 29,00±0,00 61,00±1,15 September Jam ,50±0,58 31,50±0,50 70,00±3,83 Jam ,80±0,50 29,00±0,00 66,80±1,50 Jam ,30±0,50 29,00±0,00 61,00±1,15 Oktober Jam ,00±0,00 34,75±0,85 64,50±9,29 Jam ,00±1,00 38,00±0,20 52,50±4,73 Jam ,00±0,00 36,75±0,50 61,00±1,15

90 Lampiran 4 Data lingkungan fisik di kubah penangkaran Bulan Suhu (ºC) Kelembaban Intensitas Minimum Maksimum (%) cahaya (lux) Februari Jam ,00±2,45 31,25±1,92 67,00±8, ±55,73 Jam ,00±2,83 33,50±3,32 58,75±5, ±201,49 Jam ,75±0,50 28,25±0,96 67,00±5,77 691,25±16,52 Maret Jam ,00±1,00 32,30±3,00 68,00±2, ±42,30 Jam ,00±0,50 35,10±2,15 66,10±0, ±54,00 Jam ,00±1,00 32,00±1,15 70,00±0,75 700,20±0,80 April Jam ,25±2,50 35,00±3,37 75,00±4, ±419,88 Jam ,50±2,38 34,50±3,10 52,00±2, ,50±2004 Jam ,00±0,00 32,75±3,40 69,50±6,40 642,50±97,08 Mei Jam ,25±0,50 32,50±2,52 59,50±5, ±12,56 Jam ,00±0,82 39,25±0,96 59,50±3, ±100,03 Jam ,00±0,00 30,00±0,00 59,50±1,00 681±19,17 Juni Jam ,00±0,82 28,25±0,96 67,50±3, ±8,91 Jam ,75±1,89 32,75±4,19 54,50±1, ±50,23 Jam ,25±0,96 34,75±0,96 63,75±2,63 754±44,62 Juli Jam ,00±2,65 32,00±3,61 72,33±7, ±37,86 Jam ,33±2,08 32,67±2,89 51,33±5, ±75,29 Jam ,33±2,31 34,00±4,36 65,33±1,15 543,33±49,33 Agustus Jam ,00±0,00 37,33±0,57 67,50±5, ±25,17 Jam ,00±0,00 36,40±2,51 58,50±1, ±256,6 Jam ,00±0,00 33,75±2,06 66,00±1,63 685±18,03 September Jam ,00±0,00 32,00±4,97 66,00±7, ±84,99 Jam ,00±0,00 37,75±0,50 47,25±3, ±55,73 Jam ,00±0,00 33,00±1,00 61,50±3,42 600±10,00 Oktober Jam ,00±0,00 34,75±5,85 64,50±9, ±775,30 Jam ,00±1,00 43,00±2,00 52,50±4, ±328,16 Jam ,00±0,00 36,75±0,50 61,00±1,15 664±31,98

91 Lampiran 5 Imago yang diserang predator laba-laba Lampiran 6 Imago yang diserang predator cicak a

92 Lampiran 7 Hasil uji t diameter telur T. h. helena Two-Sample T-Test and CI: helena_cilember, helena_ipb Two-sample T for helena_cilember vs helena_ipb N Mean StDev SE Mean helena_cilember 30 2,3067 0,0473 0,0086 helena_ipb 30 1,9542 0,0598 0,011 Difference = mu (helena_cilember) - mu (helena_ipb) Estimate for difference: 0, % CI for difference: (0,3246 0,3804) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 25,31 P-Value = 0,000 DF = 55 Lampiran 8 Hasil uji t bobot telur T. h. helena Two-Sample T-Test and CI: helena_cilember, helena_ IPB Two-sample T for bobot_cilember vs bobot_ipb N Mean StDev SE Mean bobot_ipb 30 0, , , bobot_cilember 30 0, , , Difference = mu (bobot_ipb) - mu (bobot_cilember) Estimate for difference: -0, % CI for difference : (-0, ,000376) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -6,16 P-Value = 0,000 DF = 57

93 Lampiran 9 Hasil uji t panjang pupa T. h. helena Two-Sample T-Test and CI: Panjang pupa_cilember, Panjang pupa_ipb Two-sample T for Panjang pupa_cilember vs Panjang pupa_ipb N Mean StDev SE Mean Panjang pupa_cilember 10 4,437 0,391 0,12 Panjang pupa_ipb 10 3,973 0,192 0,061 Difference = mu (Panjang pupa_cilember) - mu (Panjang pupa_ipb) Estimate for difference: 0,464 95% CI for difference: (0,166 0,762) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 3,37 P-Value = 0,005 DF = 13 Lampiran 10 Hasil uji t lebar pupa T. h. helena Two-Sample T-Test and CI: Lebar pupa_cilember, Lebar pupa_ipb Two-sample T for Lebar pupa_cilember vs Lebar pupa_ipb N Mean StDev SE Mean Lebpupa_Cilember 10 2,466 0,219 0,069 Lebpupa_IPB 10 2,134 0,135 0,043 Difference = mu (Lebar pupa_cilember) - mu (Lebar pupa_ipb) Estimate for difference: 0, % CI for difference: (0,573 0,5067) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 4,08 P-Value = 0,001 DF = 14

94 Lampiran 11 Hasil uji t panjang bentangan sayap imago jantan T. h. helena Two-Sample T-Test and CI: sayap jantan_ipb, sayap jantan_cilember Two-sample T for sayap jantan_ipb vs sayap jantan_cilember N Mean StDev SE Mean sayap jantan_ipb 5 11,620 0,277 0,12 sayap jantan_cilember 5 12,40 1,16 0,52 Difference = mu (sayap jantan_ipb) - mu (sayap jantan_cilember) Estimate for difference: -0,780 95% CI for difference: (-2,261 0,701) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -1,46 P-Value = 0,217 DF = 4 Lampiran 12 Hasil uji t panjang bentangan sayap imago betina T. h. helena Two-Sample T-Test and CI: sayap betina_ipb, sayap betina_cilember Two-sample T for sayap betina_ipb vs sayap_cilember N Mean StDev SE Mean sayap_ipb 5 13,380 0,444 0,20 sayap_cilember 5 14,26 1,03 0,46 Difference = mu (sayap betina_ipb) - mu (sayap_cilember) Estimate for difference: -0,880 95% CI for difference: (-2,168 0,408) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -1,76 P-Value = 0,139 DF = 5

95 Lampiran 13 Hasil uji t diameter telur T. h. hephaestus Two-Sample T-Test and CI: hephaestus_bantimurung, hephaestus_ipb Two-sample T for hephaestus_bantimurung vs hephaestus_ipb N Mean StDev SE Mean hephaestus_bantimurung 30 2,4533 0,0313 0,0057 hephaestus_ipb 30 1,9350 0,0458 0,0084 Difference = mu (hephaestus_bantimurung) - mu (hephaestus_ipb) Estimate for difference: 0, % CI for difference: (0,4980 0,5387) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 51,20 P-Value = 0,000 DF = 51 Lampiran 14 Hasil uji t bobot telur T. h. hephaestus Two-Sample T-Test and CI: bobot_bantimurung, bobot_ipb Two-sample T for bobot_bantimurung vs bobot_ipb N Mean StDev SE Mean bobot_bantimurung 30 0, , , bobot_ipb 30 0, , , Difference = mu (bobot_bantimurung) - mu (bobot_ipb ) Estimate for difference: -0, % CI for difference: (-0, ,00235) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -5,06 P-Value = 0,000 DF = 52

96 Lampiran 15 Hasil uji t panjang pupa T. h. hephaestus Two-Sample T-Test and CI: panjang pupa_bantimurung, panjang pupa_ipb Two-sample T for panjang pupa_bantimurung vs panjang pupa_ipb N Mean StDev SE Mean panjang pupa_bantimurung 10 4,662 0,149 0,047 panjang pupa_ipb 10 4,250 0,208 0,066 Difference = mu (panjang pupa_bantimurung) - mu (panjang pupa_ipb) Estimate for difference: 0, % CI for difference: (0,2404 0,5836) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 5,09 P-Value = 0,000 DF = 16 Lampiran 16 Hasil uji t lebar pupa T. h. hephaestus Two-Sample T-Test and CI: lebar pupa_bantimurung, lebar pupa_ipb Two-sample T for lebar pupa_bantimurung vs lebar pupa_ipb N Mean StDev SE Mean lebar pupa_bantimurung 10 2,480 0,174 0,055 lebar pupa_ipb 10 2,193 0,142 0,045 Difference = mu (lebar pupa_bantimurung) - mu (lebar pupa_ipb) Estimate for difference: 0, % CI for difference: (0,1373 0,4367) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 4,05 P-Value = 0,001 DF = 17

97 Lampiran 17 Hasil uji t panjang bentangan sayap imago jantan T. h. hephaestus Two-Sample T-Test and CI: sayap jantan_bantimurung, sayap jantan_ipb Two-sample T for sayap jantan_bantimurung vs sayap jantan_ipb N Mean StDev SE Mean sayap jantan_bantimurung 5 14,330 0,222 0,10 sayap jantan_ipb 16 12,41 1,15 0,29 Difference = mu (sayap jantan_bantimurung) - mu (sayapjantan_ipb) Estimate for difference: 1,924 95% CI for difference: (1,283 2,565) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 6,33 P-Value = 0,000 DF = 17 Lampiran 18 Hasil uji t panjang bentangan sayap imago betina T. h. hephaestus Two-Sample T-Test and CI: sayap betina_ipb, sayap betina_bantimurung Two-sample T for sayap betina_ipb vs sayap betina_bantimurung N Mean StDev SE Mean sayap betina_ipb 18 13,536 0,877 0,21 sayap betina_bantimurung 5 15,160 0,270 0,12 Difference = mu (sayap betina_ipb) - mu (sayap betina_bantimurung) Estimate for difference: -1,624 95% CI for difference: (-2,123-1,125) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -6,78 P-Value = 0,000 DF = 20

98 Lampiran 19 Hasil analisis proksimat pakan pada daun A. tagala

99 Lampiran 20 Tanaman-tanaman berbunga sebagai sumber nektar imago Pagoda (Clerodendrum sp.) Soka (Ixora paludosa) Pacar air (Impatients balsamina) Lantana (Lantana camara) Lolipop merah (Justicia carnea) Jengger ayam (Amaranthaceae)

100 Teratai (Nymphaea sp.) Batavia (Jathropa integerrima) Beauty (Cuphea hissofolia) Merak (Caesalpinia pulcherrima) Cucur bebek (Kalanchoe pinnuta) Sirih pagar

BIOLOGI Troides helena helena DAN Troides helena hephaestus (PAPILIONIDAE) DI PENANGKARAN ST. NURJANNAH

BIOLOGI Troides helena helena DAN Troides helena hephaestus (PAPILIONIDAE) DI PENANGKARAN ST. NURJANNAH BIOLOGI Troides helena helena DAN Troides helena hephaestus (PAPILIONIDAE) DI PENANGKARAN ST. NURJANNAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Gambar 9 Kubah penangkaran IPB.

BAHAN DAN METODE. Gambar 9 Kubah penangkaran IPB. BAHAN DAN METODE A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan dari bulan Februari 2008 sampai bulan Oktober 2009 bertempat di laboratorium Biomolekuler PPSHB PAU dan kubah penangkaran IPB (Gambar

Lebih terperinci

HASIL A. Teknik Penangkaran T. h. helena dan T. h. hephaestus

HASIL A. Teknik Penangkaran T. h. helena dan T. h. hephaestus HASIL A. Teknik Penangkaran T. h. helena dan T. h. hephaestus Langkah awal yang harus dilakukan pada penangkaran kupu-kupu adalah penyiapan sarana pemeliharaan dari stadia telur sampai imago. Bahan, alat

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bioekologi Kupu-kupu Troides helena (Linn.) Database CITES (Convention on International Trade of Endangered Spesies of Wild Flora and Fauna) 2008 menyebutkan bahwa jenis ini termasuk

Lebih terperinci

ABSTRACT. Keywords: Graphium agamemnon, Graphium doson, Mechelia champaca, Annona muricata, life cycle, food consumption.

ABSTRACT. Keywords: Graphium agamemnon, Graphium doson, Mechelia champaca, Annona muricata, life cycle, food consumption. ABSTRACT ESWA TRESNAWATI. The Life Cycle and Growth of Graphium agamemnon L. and Graphium doson C&R. Butterflies (Papilionidae: Lepidoptera) Fed by Cempaka (Michelia champaca) and Soursoup (Annona muricata).

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar belakang

PENDAHULUAN Latar belakang PENDAHULUAN Latar belakang Lepidoptera adalah serangga bersayap yang tubuhnya tertutupi oleh sisik (lepidos = sisik, pteron = sayap) (Kristensen 2007). Sisik pada sayap kupu-kupu mengandung pigmen yang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Kupu-kupu Langka T. helena dan Penyebarannya. T. helena sering disebut Common Birdwing dan di Indonesia dikenal dengan kupu

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Kupu-kupu Langka T. helena dan Penyebarannya. T. helena sering disebut Common Birdwing dan di Indonesia dikenal dengan kupu II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kupu-kupu Langka T. helena dan Penyebarannya T. helena sering disebut Common Birdwing dan di Indonesia dikenal dengan kupu raja helena. Klasifikasi kupu-kupu T. helena adalah sebagai

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi dan Morfologi Kupu-kupu

TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi dan Morfologi Kupu-kupu TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi dan Morfologi Kupu-kupu Kupu-kupu termasuk ordo Lepidoptera, kelas Insekta yang dicirikan dengan sayap tertutup oleh sisik. Ordo Lepidoptera mempunyai 47 superfamili, salah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mudah dikenali oleh setiap orang. Seperti serangga lainnya, kupu-kupu juga mengalami

I. PENDAHULUAN. mudah dikenali oleh setiap orang. Seperti serangga lainnya, kupu-kupu juga mengalami I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kupu-kupu merupakan serangga yang memiliki keindahan warna dan bentuk sayap sehingga mudah dikenali oleh setiap orang. Seperti serangga lainnya, kupu-kupu juga mengalami

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kupu-kupu raja helena (Troides helena L.) merupakan kupu-kupu yang berukuran

I. PENDAHULUAN. Kupu-kupu raja helena (Troides helena L.) merupakan kupu-kupu yang berukuran I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kupu-kupu raja helena (Troides helena L.) merupakan kupu-kupu yang berukuran besar dan memiliki warna sayap yang menarik sehingga sering diambil dari alam untuk dijadikan

Lebih terperinci

2015 PENGARUH PEMBERIAN PAKAN ALAMI DAN PAKAN SINTETIS TERHADAP LAMANYA SIKLUS HIDUP

2015 PENGARUH PEMBERIAN PAKAN ALAMI DAN PAKAN SINTETIS TERHADAP LAMANYA SIKLUS HIDUP BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kupu kupu adalah kelompok serangga yang termasuk ke dalam bangsa Lepidotera, yang berarti mempunyai sayap bersisik. Kupu-kupu merupakan bagian kecil dari 155.000 spesies

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 17. Kandang Pemeliharaan A. atlas

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 17. Kandang Pemeliharaan A. atlas HASIL DAN PEMBAHASAN Suhu dan Kelembaban Ruangan Rata-rata suhu dan kelembaban ruangan selama penelitian pada pagi hari 22,4 0 C dan 78,6%, siang hari 27,4 0 C dan 55%, sore hari 25 0 C dan 75%. Hasil

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Karakteristik dan Klasifikasi Kupu-Kupu Klasifikasi kupu-kupu menurut Scobel (1995) adalah sebagai berikut :

TINJAUAN PUSTAKA. A. Karakteristik dan Klasifikasi Kupu-Kupu Klasifikasi kupu-kupu menurut Scobel (1995) adalah sebagai berikut : II. TINJAUAN PUSTAKA A. Karakteristik dan Klasifikasi Kupu-Kupu Klasifikasi kupu-kupu menurut Scobel (1995) adalah sebagai berikut : Kerajaan Filum Kelas Bangsa : Animalia : Arthropoda : Insecta : Lepidoptera

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Ciri Morfologi Parasitoid B. lasus

HASIL DAN PEMBAHASAN. Ciri Morfologi Parasitoid B. lasus 12 HASIL DAN PEMBAHASAN Ciri Morfologi Parasitoid B. lasus Telur Telur parasitoid B. lasus berbentuk agak lonjong dan melengkung seperti bulan sabit dengan ujung-ujung yang tumpul, transparan dan berwarna

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut:

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut: TINJAUAN PUSTAKA Biologi Hama Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom Filum Kelas Ordo Famili Genus : Animalia : Arthropoda : Insecta : Lepidoptera : Noctuidae :

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) Spodoptera litura F. dapat diklasifikasikan

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) Spodoptera litura F. dapat diklasifikasikan TINJAUAN PUSTAKA Biologi Hama Spodoptera litura F. Menurut Kalshoven (1981) Spodoptera litura F. dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Filum Kelas Ordo Famili Subfamili Genus : Arthropoda : Insecta

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Gejala Parasitisasi

HASIL DAN PEMBAHASAN Gejala Parasitisasi HASIL DAN PEMBAHASAN Gejala Parasitisasi Acerophagus papayae merupakan endoparasitoid soliter nimfa kutu putih pepaya, Paracoccus marginatus. Telur, larva dan pupa parasitoid A. papayae berkembang di dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Meidita Aulia Danus, 2015

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Meidita Aulia Danus, 2015 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Lepidoptera merupakan salah satu ordo dari ClassisInsecta(Hadi et al., 2009). Di alam, lepidoptera terbagi menjadi dua yaitu kupu-kupu (butterfly) dan ngengat

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biocontrol, Divisi Research and

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biocontrol, Divisi Research and III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biocontrol, Divisi Research and Development, PT Gunung Madu Plantations (PT GMP), Kabupaten Lampung Tengah.

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Kupu-kupu Menurut Borror dkk (1992) klasifikasi kupu-kupu adalah sebagai berikut : Kingdom : Animalia Phylum : Arthropoda Kelas : Insekta Subkelas : Pterygota

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 25 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Manajemen pemeliharaan 5.1.1 Pemeliharaan Sistem pemeliharaan kupu-kupu di PT Kupu-Kupu Taman Lestari menggunakan sistem pemeliharaan semi intensif. Manajemen pemeliharaan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA Lalat penggorok daun, Liriomyza sp, termasuk serangga polifag yang dikenal sebagai hama utama pada tanaman sayuran dan hias di berbagai negara. Serangga tersebut menjadi hama baru

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat 7 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pengendalian Hayati, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor pada bulan Februari

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Persiapan tanaman uji, tanaman G. pictum (kiri) dan tanaman A. gangetica (kanan)

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Persiapan tanaman uji, tanaman G. pictum (kiri) dan tanaman A. gangetica (kanan) BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di rumah kaca Kelompok Peneliti Hama dan Penyakit, Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik, Bogor. Penelitian dimulai dari bulan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Chilo Sachhariphagus Boj. (Lepidoptera: Crambidae)

TINJAUAN PUSTAKA. Chilo Sachhariphagus Boj. (Lepidoptera: Crambidae) TINJAUAN PUSTAKA Chilo Sachhariphagus Boj. (Lepidoptera: Crambidae) Biologi Gambar 1. Telur C. sacchariphagus Bentuk telur oval, datar dan mengkilap. Telur berwarna putih dan akan berubah menjadi hitam

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE. Metode Penelitian BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di lapang dan di Laboratorium Bioekologi Parasitoid dan Predator Departemen Proteksi Tanaman Institut Pertanian Bogor, pada bulan Mei

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Peranan dan Fungsi Kupu-kupu Ekologi Kupu-kupu

TINJAUAN PUSTAKA Peranan dan Fungsi Kupu-kupu Ekologi Kupu-kupu TINJAUAN PUSTAKA Peranan dan Fungsi Kupu-kupu Kupu-kupu mempunyai nilai yang penting dalam ekosistem hutan, yaitu sebagai penyerbuk (pollinator) untuk menjaga keanekaragaman tumbuhan. Keberadaan serangga

Lebih terperinci

2016 PENGARUH PEMBERIAN BERBAGAI MACAM PAKAN ALAMI TERHAD APPERTUMBUHAN D AN PERKEMBANGAN FASE LARVA

2016 PENGARUH PEMBERIAN BERBAGAI MACAM PAKAN ALAMI TERHAD APPERTUMBUHAN D AN PERKEMBANGAN FASE LARVA BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kupu-kupu merupakan satwa liar yang menarik untuk diamati karena keindahan warna dan bentuk sayapnya. Sebagai serangga, kelangsungan hidup kupu-kupu sangat

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. energi pada kumunitasnya. Kedua, predator telah berulang-ulang dipilih sebagai

TINJAUAN PUSTAKA. energi pada kumunitasnya. Kedua, predator telah berulang-ulang dipilih sebagai TINJAUAN PUSTAKA Pentingnya predasi sebagai strategi eksploitasi dapat diringkas dalam empat kategori utama. Pertama, predator memainkan peran penting dalam aliran energi pada kumunitasnya. Kedua, predator

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Hewan Percobaan Bahan dan Peralatan

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Hewan Percobaan Bahan dan Peralatan MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Kandang Blok C Laboratorium Lapang Bagian Produksi Satwa Harapan, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Metabolisme Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor mulai bulan Oktober sampai dengan Nopember 2011. Tahapan meliputi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 7 HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Distribusi Spasial A. tegalensis pada Tiga Varietas Tebu Secara umum pola penyebaran spesies di dalam ruang terbagi menjadi tiga pola yaitu acak, mengelompok, dan teratur. Sebagian

Lebih terperinci

Gambar 1. Drosophila melanogaster. Tabel 1. Klasifikasi Drosophila

Gambar 1. Drosophila melanogaster. Tabel 1. Klasifikasi Drosophila I. Praktikum ke : 1 (satu) II. Hari / tanggal : Selasa/ 1 Maret 2016 III. Judul Praktikum : Siklus Hidup Drosophila melanogaster IV. Tujuan Praktikum : Mengamati siklus hidup drosophila melanogaster Mengamati

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi Hama Penggerek Buah Kopi (Hypothenemus hampei Ferr.) Menurut Kalshoven (1981) hama Penggerek Buah Kopi ini

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi Hama Penggerek Buah Kopi (Hypothenemus hampei Ferr.) Menurut Kalshoven (1981) hama Penggerek Buah Kopi ini TINJAUAN PUSTAKA Biologi Hama Penggerek Buah Kopi (Hypothenemus hampei Ferr.) Menurut Kalshoven (1981) hama Penggerek Buah Kopi ini diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom Filum Kelas Ordo Family Genus

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Attacus atlas (L.) Klasifikasi Attacus atlas (L.) menurut Peigler (1980) adalah Filum Klasis Ordo Subordo Superfamili Famili Subfamily Genus : Arthropoda : Insecta

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981), klasifikasi S. inferens adalah sebagai berikut:

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981), klasifikasi S. inferens adalah sebagai berikut: TINJAUAN PUSTAKA Biologi Parasit Lalat S. inferens Towns. Menurut Kalshoven (1981), klasifikasi S. inferens adalah sebagai berikut: Kingdom Filum Class Ordo Famili Genus Spesies : Animalia : Arthropoda

Lebih terperinci

4 KARAKTERISTIK SUMBER DAYA KUPU-KUPU (Lepidoptera) YANG DIMANFAATKAN SECARA KOMERSIAL

4 KARAKTERISTIK SUMBER DAYA KUPU-KUPU (Lepidoptera) YANG DIMANFAATKAN SECARA KOMERSIAL KARAKTERISTIK SUMBER DAYA KUPU-KUPU (Lepidoptera) YANG DIMANFAATKAN SECARA KOMERSIAL. Kupu-Kupu Hasil Tangkapan Pengamatan hasil tangkapan kupu-kupu meliputi jumlah individu setiap jenis dan rasio kelamin.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Biodiversitas Ekologi Kupu-kupu Superfamili Papilionoidea

TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Biodiversitas Ekologi Kupu-kupu Superfamili Papilionoidea 20 TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Biodiversitas Biodiversitas atau keanekaragaman hayati merupakan suatu istilah yang mencakup pada kelimpahan spesies, komposisi genetik, komunitas, dan ekosistem. Biodiversitas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Lampung memiliki keanekaragaman kupu-kupu yang cukup tinggi. Keanekaragaman kupu-kupu ini merupakan potensi sumber daya alam hayati

I. PENDAHULUAN. Lampung memiliki keanekaragaman kupu-kupu yang cukup tinggi. Keanekaragaman kupu-kupu ini merupakan potensi sumber daya alam hayati I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lampung memiliki keanekaragaman kupu-kupu yang cukup tinggi. Keanekaragaman kupu-kupu ini merupakan potensi sumber daya alam hayati namun belum dimanfaatkan secara optimal.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Siklus Hidup dan Morfologi

TINJAUAN PUSTAKA. Siklus Hidup dan Morfologi TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Attacus atlas Attacus atlas merupakan serangga yang mengalami metamorfosis sempurna (Chapman, 1969). Klasifikasi A. atlas menurut Peigler (1989) adalah sebagai berikut: Kelas

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Capung

TINJAUAN PUSTAKA. Capung TINJAUAN PUSTAKA Capung Klasifikasi Capung termasuk dalam kingdom Animalia, filum Arthropoda, klas Insecta, dan ordo Odonata. Ordo Odonata dibagi ke dalam dua subordo yaitu Zygoptera dan Anisoptera. Kedua

Lebih terperinci

BAB IV. Selama proses habituasi dan domestikasi Attacus atlas (F1-F2) dengan pemberian dua

BAB IV. Selama proses habituasi dan domestikasi Attacus atlas (F1-F2) dengan pemberian dua BAB IV Hasil Dari Aspek Biologi Ulat Sutera Liar Attacus atlas (Lepidoptera : Saturniidae) Selama Proses Habituasi dan Domestikasi Pada Pakan Daun Sirsak dan Teh 4.1. Perubahan tingkah laku Selama proses

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Tingkat Serangan O. furnacalis pada Tanaman Jagung Larva O. furnacalis merusak daun, bunga jantan dan menggerek batang jagung. Gejala serangan larva pada batang adalah ditandai dengan

Lebih terperinci

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Pembentukan Taman Kupu-Kupu Gita Persada Taman Kupu-Kupu Gita Persada berlokasi di kaki Gunung Betung yang secara administratif berada di wilayah Kelurahan

Lebih terperinci

Metamorfosis Kecoa. 1. Stadium Telur. 2. Stadium Nimfa

Metamorfosis Kecoa. 1. Stadium Telur. 2. Stadium Nimfa Metamorfosis Kecoa 1. Stadium Telur Proses metamorfosis kecoa diawali dengan stadium telur. Telur kecoa diperoleh dari hasil pembuahan sel telur betina oleh sel spermatozoa kecoa jantan. Induk betina kecoa

Lebih terperinci

ACARA I PENGGUNAAN LALAT Drosophila SEBAGAI ORGANISME PERCOBAAN GENETIKA

ACARA I PENGGUNAAN LALAT Drosophila SEBAGAI ORGANISME PERCOBAAN GENETIKA ACARA I PENGGUNAAN LALAT Drosophila SEBAGAI ORGANISME PERCOBAAN GENETIKA LANDASAN TEORI Organisme yang akan digunakan sebagai materi percobaan genetika perlu memiliki beberapa sifat yang menguntungkan,

Lebih terperinci

Parameter yang Diamati:

Parameter yang Diamati: 3 Selanjutnya, telur dikumpulkan setiap hari dalam satu cawan petri kecil yang berbeda untuk setiap induk betina fertil. Oviposisi dihitung sejak peletakan telur hari pertama hingga hari terakhir bertelur.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bioekologi Kupu-kupu 2.1.1 Taksonomi Kupu-kupu termasuk kedalam kelas serangga (insekta) yang memiliki ciri tubuh beruas-ruas dan memiliki tiga pasang kaki. Sebagai anggota

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Telur berwarna putih, berbentuk bulat panjang, dan diletakkan

TINJAUAN PUSTAKA. Telur berwarna putih, berbentuk bulat panjang, dan diletakkan 3 TINJAUAN PUSTAKA Lalat Buah (Bactrocera spp.) Biologi Menurut Departemen Pertanian (2012), lalat buah dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Phylum Klass Ordo Sub-ordo Family Genus Spesies : Arthropoda

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Apis cerana Sebagai Serangga Sosial

TINJAUAN PUSTAKA Apis cerana Sebagai Serangga Sosial TINJAUAN PUSTAKA Apis cerana Sebagai Serangga Sosial Apis cerana merupakan serangga sosial yang termasuk dalam Ordo Hymenoptera, Famili Apidae hidup berkelompok membentuk koloni. Setiap koloni terdiri

Lebih terperinci

METODE A. Waktu dan Tempat Penelitian

METODE A. Waktu dan Tempat Penelitian 11 METODE A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan dari bulan Januari sampai Juni 2009. Pengamatan serangga dilakukan di dua lokasi, yaitu pada pertanaman H. multifora di lingkungan Kampus Institut

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi hama penggerek batang berkilat menurut Soma and Ganeshan

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi hama penggerek batang berkilat menurut Soma and Ganeshan TINJAUAN PUSTAKA Biologi Hama 1. Penggerek Batang Berkilat Klasifikasi hama penggerek batang berkilat menurut Soma and Ganeshan (1998) adalah sebagai berikut: Kingdom Filum Kelas Ordo Famili Genus Spesies

Lebih terperinci

Status Ulat Grayak (Spodoptera litura F.) Sebagai Hama

Status Ulat Grayak (Spodoptera litura F.) Sebagai Hama Status Ulat Grayak (Spodoptera litura F.) Sebagai Hama Embriani BBPPTP Surabaya Pendahuluan Adanya suatu hewan dalam suatu pertanaman sebelum menimbulkan kerugian secara ekonomis maka dalam pengertian

Lebih terperinci

TAHAP TAHAP PERKEMBANGAN TAWON KEMIT (Ropalidia fasciata) YANG MELIBATKAN ULAT GRAYAK (Spodopteraa exigua)

TAHAP TAHAP PERKEMBANGAN TAWON KEMIT (Ropalidia fasciata) YANG MELIBATKAN ULAT GRAYAK (Spodopteraa exigua) TAHAP TAHAP PERKEMBANGAN TAWON KEMIT (Ropalidia fasciata) YANG MELIBATKAN ULAT GRAYAK (Spodopteraa exigua) SKRIPSI Diajukan Untuk Penulisan Skripsi Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Sarjana Pendidikan (S-1)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. daya tarik tinggi baik untuk koleksi maupun objek penelitian adalah serangga

BAB I PENDAHULUAN. daya tarik tinggi baik untuk koleksi maupun objek penelitian adalah serangga 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara dengan kekayaan keanekaragaman jenis flora dan fauna yang tinggi. Salah satu kekayaan fauna di Indonesia yang memiliki daya tarik tinggi

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian evaluasi ketahanan beberapa aksesi bunga matahari (Halianthus

METODE PENELITIAN. Penelitian evaluasi ketahanan beberapa aksesi bunga matahari (Halianthus 43 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian evaluasi ketahanan beberapa aksesi bunga matahari (Halianthus annus L.) terhadap ulat grayak (Spodoptera litura F.) ini merupakan penelitian

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ulat Kantong (Metisa plana) BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Ulat Kantong (M. plana) merupakan salah satu hama pada perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia. Hama ini biasanya memakan bagian atas daun, sehingga

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. berkelompok (Gambar 1). Kebanyakan telur ditemukan di bawah permukaan daun,

TINJAUAN PUSTAKA. berkelompok (Gambar 1). Kebanyakan telur ditemukan di bawah permukaan daun, TINJAUAN PUSTAKA Chilo sacchariphagus (Lepidoptera: Pyralidae) Biologi Telur penggerek batang tebu berbentuk oval, pipih dan diletakkan berkelompok (Gambar 1). Kebanyakan telur ditemukan di bawah permukaan

Lebih terperinci

SATU. Taman Nasional Bantimurung- Bulusaraung

SATU. Taman Nasional Bantimurung- Bulusaraung SATU Taman Nasional Bantimurung- Bulusaraung Indonesia dengan julukan zamrud khatulistiwa adalan negara tropis yang mempunyai keanekaragaman fauna dan flora terbesar setelah Brasil. Keindahan hutan hujan

Lebih terperinci

SIKLUS HIDUP DAN PERTUMBUHAN KUPU-KUPU

SIKLUS HIDUP DAN PERTUMBUHAN KUPU-KUPU SIKLUS HIDUP DAN PERTUMBUHAN KUPU-KUPU Graphium agamemnon L. DAN Graphium doson C&R. (PAPILIONIDAE: LEPIDOPTERA) DENGAN PAKAN DAUN CEMPAKA DAN DAUN SIRSAK ESWA TRESNAWATI SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Chilo sacchariphagus Boj. (Lepioptera: Crambidae) Bentuk telur jorong dan sangat pipih, diletakkan dalam 2-3 baris tersusun

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Chilo sacchariphagus Boj. (Lepioptera: Crambidae) Bentuk telur jorong dan sangat pipih, diletakkan dalam 2-3 baris tersusun TINJAUAN PUSTAKA 1. Chilo sacchariphagus Boj. (Lepioptera: Crambidae) 1.1 Biologi Bentuk telur jorong dan sangat pipih, diletakkan dalam 2-3 baris tersusun seperti atap genting (Gambar 1). Jumlah telur

Lebih terperinci

II. TELAAH PUSTAKA. Gambar 2.1 Morfologi nyamuk Aedes spp. (Wikipedia, 2013)

II. TELAAH PUSTAKA. Gambar 2.1 Morfologi nyamuk Aedes spp. (Wikipedia, 2013) II. TELH PUSTK Nyamuk edes spp. dewasa morfologi ukuran tubuh yang lebih kecil, memiliki kaki panjang dan merupakan serangga yang memiliki sepasang sayap sehingga tergolong pada ordo Diptera dan family

Lebih terperinci

untuk meneliti tingkat predasi cecopet terhadap larva dan imago Semoga penelitian ini nantinya dapat bermanfaat bagi pihak pihak yang

untuk meneliti tingkat predasi cecopet terhadap larva dan imago Semoga penelitian ini nantinya dapat bermanfaat bagi pihak pihak yang untuk meneliti tingkat predasi cecopet terhadap larva dan imago Brontispa sp di laboratorium. Semoga penelitian ini nantinya dapat bermanfaat bagi pihak pihak yang membutuhkan. Tujuan Penelitian Untuk

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi, Divisi Persuteraan Alam, Ciomas, Bogor. Waktu penelitian dimulai

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi Phragmatoecia castaneae Hubner. (Lepidoptera : Cossidae)

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi Phragmatoecia castaneae Hubner. (Lepidoptera : Cossidae) TINJAUAN PUSTAKA Biologi Phragmatoecia castaneae Hubner. (Lepidoptera : Cossidae) Seekor imago betina dapat meletakkan telur sebanyak 282-376 butir dan diletakkan secara kelompok. Banyaknya telur dalam

Lebih terperinci

SNI : Standar Nasional Indonesia. Induk Ikan Mas (Cyprinus carpio Linneaus) strain Majalaya kelas induk pokok (Parent Stock)

SNI : Standar Nasional Indonesia. Induk Ikan Mas (Cyprinus carpio Linneaus) strain Majalaya kelas induk pokok (Parent Stock) SNI : 01-6130 - 1999 Standar Nasional Indonesia Induk Ikan Mas (Cyprinus carpio Linneaus) strain Majalaya kelas induk pokok (Parent Stock) Daftar Isi Halaman Pendahuluan 1 Ruang lingkup...1 2 Acuan...1

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Metode Penelitian Penyediaan Koloni Lalat Puru C. connexa untuk Penelitian Lapangan

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Metode Penelitian Penyediaan Koloni Lalat Puru C. connexa untuk Penelitian Lapangan BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian merupakan penelitian lapangan yang dilaksanakan pada bulan April 005 Februari 006. Penelitian biologi lapangan dilaksanakan di salah satu lahan di

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981), hama walang sangit dapat di klasifikasikan sebagai

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981), hama walang sangit dapat di klasifikasikan sebagai TINJAUAN PUSTAKA Biologi Hama Walang Sangit (Leptocorisa acuta T.) berikut : Menurut Kalshoven (1981), hama walang sangit dapat di klasifikasikan sebagai Kelas Ordo Famili Genus Species : Insekta : Hemiptera

Lebih terperinci

HAMA Cricula trifenestrata PADA JAMBU METE DAN TEKNIK PENGENDALIANNYA

HAMA Cricula trifenestrata PADA JAMBU METE DAN TEKNIK PENGENDALIANNYA HAMA Cricula trifenestrata PADA JAMBU METE DAN TEKNIK PENGENDALIANNYA Jambu mete merupakan tanaman buah berupa pohon yang berasal dari Brasil Tenggara. Tanaman ini dibawa oleh pelaut portugal ke India

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Berbentuk oval sampai bulat, pada permukaan atasnya agak datar. Jumlah telur

TINJAUAN PUSTAKA. Berbentuk oval sampai bulat, pada permukaan atasnya agak datar. Jumlah telur TINJAUAN PUSTAKA 1. Penggerek Batang Tebu Raksasa Menurut Kalshoven (1981), klasifikasi penggerek batang tebu raksasa adalah sebagai berikut : Kingdom Filum Class Ordo Famili Genus Spesies : Animalia :

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Alat dan Bahan Pengadaan dan Pemeliharaan Nyamuk Aedes aegypti Pemeliharaan Nyamuk Aedes aegypti

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Alat dan Bahan Pengadaan dan Pemeliharaan Nyamuk Aedes aegypti Pemeliharaan Nyamuk Aedes aegypti 14 METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama tujuh bulan mulai dari bulan Juli 2011 hingga Februari 2012, penelitian dilakukan di Insektarium Bagian Parasitologi

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODA. Ketinggian kebun Bah Birung Ulu berkisar m dpl pada bulan

BAHAN DAN METODA. Ketinggian kebun Bah Birung Ulu berkisar m dpl pada bulan 12 BAHAN DAN METODA Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di perkebunan kelapa sawit PT. Perkebunan Nusantara IV Bah Birung Ulu dan Laboratorium Entomologis Hama dan Penyakit Tanaman

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi dan siklus hiduptrichogramma spp. (Hymenoptera : Famili Trichogrammatidae merupakan parasitoid telur yang

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi dan siklus hiduptrichogramma spp. (Hymenoptera : Famili Trichogrammatidae merupakan parasitoid telur yang 5 TINJAUAN PUSTAKA Biologi dan siklus hiduptrichogramma spp. (Hymenoptera : Trichogrammatidae) Famili Trichogrammatidae merupakan parasitoid telur yang bersifatgeneralis. Ciri khas Trichogrammatidae terletak

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. miring. Sycanus betina meletakkan tiga kelompok telur selama masa hidupnya.

TINJAUAN PUSTAKA. miring. Sycanus betina meletakkan tiga kelompok telur selama masa hidupnya. TINJAUAN PUSTAKA Biologi Sycanus sp. (Hemiptera: Reduviidae) Telur Kelompok telur berwarna coklat dan biasanya tersusun dalam pola baris miring. Sycanus betina meletakkan tiga kelompok telur selama masa

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Tapir asia dapat ditemukan dalam habitat alaminya di bagian selatan Burma, Peninsula Melayu, Asia Tenggara dan Sumatra. Berdasarkan Tapir International Studbook, saat ini keberadaan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Ulat Sutra ( Bombyx mori L. Ras Ulat Sutera

TINJAUAN PUSTAKA Ulat Sutra ( Bombyx mori L. Ras Ulat Sutera TINJAUAN PUSTAKA Ulat Sutra (Bombyx mori L.) Ulat sutera adalah serangga holometabola yang mengalami metamorfosa sempurna, yang berarti bahwa setiap generasi keempat stadia, yaitu telur, larva atau lazim

Lebih terperinci

PERILAKU MAKAN GORILA (Gorilla gorilla gorilla ) DI PUSAT PRIMATA SCHMUTZER TAMAN MARGASATWA RAGUNAN JAKARTA SAHRONI

PERILAKU MAKAN GORILA (Gorilla gorilla gorilla ) DI PUSAT PRIMATA SCHMUTZER TAMAN MARGASATWA RAGUNAN JAKARTA SAHRONI 1 PERILAKU MAKAN GORILA (Gorilla gorilla gorilla ) DI PUSAT PRIMATA SCHMUTZER TAMAN MARGASATWA RAGUNAN JAKARTA SAHRONI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. antara telur dan tertutup dengan selaput. Telur mempunyai ukuran

TINJAUAN PUSTAKA. antara telur dan tertutup dengan selaput. Telur mempunyai ukuran TINJAUAN PUSTAKA Ulat kantong Metisa plana Walker Biologi Hama Menurut Borror (1996), adapun klasifikasi ulat kantong adalah sebagai berikut: Kingdom Phyllum Class Ordo Family Genus Species : Animalia

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 26 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan merupakan penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif dalam penelitian ini dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran mengenai

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1.Jenis jenis Hama Pada Caisim Hasil pengamatan jenis hama pada semua perlakuan yang diamati diperoleh jenis - jenis hama yang sebagai berikut : 1. Belalang hijau Phylum :

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian 3.2. Tahapan Penelitian Persiapan

3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian 3.2. Tahapan Penelitian Persiapan 9 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei - Juli 2011, berlokasi di Laboratorium Biologi Mikro I, Bagian Produktivitas dan Lingkungan Perairan, Departemen

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara tropis yang memiliki keanekaragaman hayati

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara tropis yang memiliki keanekaragaman hayati 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara tropis yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi baik flora maupun fauna. Flora dan fauna tersebut tersebar luas di Indonesia baik di

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman mahkota dewa memiliki nama ilmiah Phaleria macrocarpa Boerl.,

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman mahkota dewa memiliki nama ilmiah Phaleria macrocarpa Boerl., II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tanaman Mahkota Dewa 1. Klasifikasi dan Ciri Morfologi Tanaman mahkota dewa memiliki nama ilmiah Phaleria macrocarpa Boerl., dengan nama sinonim Phaleria papuana. Nama umum dalam

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Penelitian Perbanyakan B. tabaci dan M. persicae

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Penelitian Perbanyakan B. tabaci dan M. persicae 10 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan di Laboratorium Biosistematika Serangga, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian,Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini berlangsung dari

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Chilo sacchariphagus Bojer (Lepidoptera: Crambidae) diletakkan secara berkelompok dalam 2-3 baris (Gambar 1). Bentuk telur jorong

TINJAUAN PUSTAKA. Chilo sacchariphagus Bojer (Lepidoptera: Crambidae) diletakkan secara berkelompok dalam 2-3 baris (Gambar 1). Bentuk telur jorong TINJAUAN PUSTAKA Chilo sacchariphagus Bojer (Lepidoptera: Crambidae) Biologi Ngengat meletakkan telur di atas permukaan daun dan jarang meletakkan di bawah permukaan daun. Jumlah telur yang diletakkan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Terdapat lima famili kupu-kupu subordo Rhopalocera di Indonesia, yaitu

TINJAUAN PUSTAKA. Terdapat lima famili kupu-kupu subordo Rhopalocera di Indonesia, yaitu II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi Kupu-kupu Pieridae Terdapat lima famili kupu-kupu subordo Rhopalocera di Indonesia, yaitu Pieridae, Papilionidae, Nymphalidae, Lycanidae dan Hesperiidae. Kupu-kupu famili

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 15 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di PT Kupu-Kupu Taman Lestari dengan alamat Jalan Batu Karu, Sandan Lebah, Sesandan Kabupaten Tabanan, Propinsi Bali.

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif. 19 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif. B. Populasi dan Sampel 1. Populasi Populasi yang diamati dalam penelitian ini adalah seluruh

Lebih terperinci

TAMBAHAN PUSTAKA. Distribution between terestrial and epiphyte orchid.

TAMBAHAN PUSTAKA. Distribution between terestrial and epiphyte orchid. TAMBAHAN PUSTAKA Distribution between terestrial and epiphyte orchid. Menurut Steeward (2000), distribusi antara anggrek terestrial dan epifit dipengaruhi oleh ada atau tidaknya vegetasi lain dan juga

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) adalah tanaman perkebunan yang sangat toleran terhadap kondisi lingkungan yang kurang baik. Namun, untuk menghasilkan pertumbuhan yang sehat

Lebih terperinci

DEMOGRAFI DAN POPULASI KUMBANG Elaeidobius kamerunicus Faust (Coleoptera: Curculionidae) SEBAGAI PENYERBUK KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq)

DEMOGRAFI DAN POPULASI KUMBANG Elaeidobius kamerunicus Faust (Coleoptera: Curculionidae) SEBAGAI PENYERBUK KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq) DEMOGRAFI DAN POPULASI KUMBANG Elaeidobius kamerunicus Faust (Coleoptera: Curculionidae) SEBAGAI PENYERBUK KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq) YANA KURNIAWAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. anthesis (mekar) seperti bunga betina. Tiap tandan bunga memiliki

TINJAUAN PUSTAKA. anthesis (mekar) seperti bunga betina. Tiap tandan bunga memiliki 4 TINJAUAN PUSTAKA Biologi Bunga Kelapa Sawit Tandan bunga jantan dibungkus oleh seludang bunga yang pecah jika akan anthesis (mekar) seperti bunga betina. Tiap tandan bunga memiliki 100-250 spikelet (tangkai

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Biologi dan Morfologi Rayap (Coptotermes curvignatus) Menurut (Nandika et, al.dalam Pratama 2013) C. curvignatus merupakan

TINJAUAN PUSTAKA. A. Biologi dan Morfologi Rayap (Coptotermes curvignatus) Menurut (Nandika et, al.dalam Pratama 2013) C. curvignatus merupakan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Biologi dan Morfologi Rayap (Coptotermes curvignatus) Menurut (Nandika et, al.dalam Pratama 2013) C. curvignatus merupakan rayap yang paling luas serangannya di Indonesia. Klasifikasi

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat. Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat. Metode Penelitian BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Ekologi Serangga, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian-IPB, dan berlangsung sejak Juli sampai Desember 2010. Metode

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kristensen et al. (2007) superfamili Papilionoidea terdiri dari lima

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kristensen et al. (2007) superfamili Papilionoidea terdiri dari lima 6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kupu-kupu Famili Nymphalidae Menurut Kristensen et al. (2007) superfamili Papilionoidea terdiri dari lima famili, yaitu Papilionidae, Pieridae, Riodinidae, Lycaenidae dan Nymphalidae.

Lebih terperinci

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas 6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Morfologi Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas Branchiopoda, Divisi Oligobranchiopoda, Ordo Cladocera, Famili Daphnidae,

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Fisiologi Hewan Air Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, pada bulan Maret 2013 sampai dengan April 2013.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bioekologi Kupu-Kupu Kupu-kupu merupakan salah satu jenis serangga yang masuk ke dalam ordo Lepidoptera, yang berasal dari kata lepis yang berarti sisik dan pteron yang berarti

Lebih terperinci

Uji Parasitasi Tetrastichus brontispae terhadap Pupa Brontispae Di Laboratorium

Uji Parasitasi Tetrastichus brontispae terhadap Pupa Brontispae Di Laboratorium Uji Parasitasi Tetrastichus brontispae terhadap Pupa Brontispae Di Laboratorium Oleh Ida Roma Tio Uli Siahaan Laboratorium Lapangan Balai Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman Perkebunan (BBPPTP) Medan

Lebih terperinci