PRODUKSI ANTIBODI POLIKLONAL ANTI- EKSKRETORI/SEKRETORI (E/S) Fasciola gigantica ISOLAT ASAL DOMBA DAN KERBAU PADA KELINCI RETNO SETYANINGSIH

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PRODUKSI ANTIBODI POLIKLONAL ANTI- EKSKRETORI/SEKRETORI (E/S) Fasciola gigantica ISOLAT ASAL DOMBA DAN KERBAU PADA KELINCI RETNO SETYANINGSIH"

Transkripsi

1 PRODUKSI ANTIBODI POLIKLONAL ANTI- EKSKRETORI/SEKRETORI (E/S) Fasciola gigantica ISOLAT ASAL DOMBA DAN KERBAU PADA KELINCI RETNO SETYANINGSIH FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

2 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Produksi Antibodi Poliklonal Anti Ekskretori/Sekretori (E/S) Fasciola gigantica Isolat Asal Domba dan Kerbau pada Kelinci adalah karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalan teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, Juli 2011 Retno Setyaningsih B

3 ABSTRACT RETNO SETYANINGSIH. Production of Polyclonal Antibody Anti- Excretory/Secretory (E/S) of Fasciola gigantica Sheep and Buffalo Origins in Rabbit. Under direction FADJAR SATRIJA, SRI MURTINI. The research was designed to study method of polyclonal antibody (Ig G) anti-excretory/secretory (E/S) Fasciola gigantica production in rabbit. Two antigens of E/S Fasciola gigantica (E/S Fasciola gigantica from buffalo and E/S Fasciola gigantica sheep) were immunized to rabbit, at dose level 150 µg/animal. Freund s adjuvant added to antigen with the equal volume (1:1). The first immunization was done intravenous (i.v) without adjuvant. Second immunization were gave subcutaneous (s.c) with combination of antigen-freund s adjuvant complete. The third until sixth immunizations were done subcutaneous (s.c) with combination of antigen-freund s adjuvant incomplete. Blood samples were collecting every one week after the third immunization. To evaluated antibody anti Excretory/Secretory (E/S) Fasciola gigantica development, the sera tested using Agar Gel Precipitation Test (AGPT). The result showed that the rabbit immunized by E/S protein of Fasciola gigantica from sheep, able to develop antibody faster (4 weeks post infection) than the rabbit which immunized by E/S protein of Fasciola gigantica from buffalo (12 weeks post infection). In the same time, cross reactivity between antigens appear from the antibody that produced from each rabbit. Key words: polyclonal antibody, Excretory/Secretory antigen, Fasciola gigantica

4 RINGKASAN RETNO SETYANINGSIH. Produksi Antibodi Poliklonal Anti Ekskretori/Sekretori (E/S) Fasciola gigantica Isolat Asal Domba dan Kerbau pada Kelinci. Dibawah bimbingan FADJAR SATRIJA, SRI MURTINI. Penelitian telah dilakukan untuk mempelajari pembentukkan antibodi poliklonal (Ig G) anti E/S Fasciola gigantica hewan coba kelinci. Dua ekor kelinci masing-masing diimunisasi dengan 150 µg antigen Ekskretori/Sekretori (E/S) Fasciola gigantica yang diisolasi dari domba dan kerbau yang disembelih di Rumah Potong Hewan (RPH) Kota Bekasi serta Tempat Pemotongan Hewan (TPH) Empang-Kota Bogor. Imunisasi pertama dilakukan dengan rute intravena (i.v) tanpa tambahan adjuvant. Imunisasi kedua dilakukan dengan rute subkutan (s.c) dengan kombinasi antigen- adjuvant lengkap Freund. Imunisasi ketiga hingga kelima dilakukan dengan rute subkutan (s.c) dengan kombinasi antigenadjuvant tak lengkap Freund. Sampel darah dikoleksi tiap seminggu sekali setelah penyuntikkan yang ketiga. Serum darah diuji menggunakan Agar Gel Pecipitation Test (AGPT) untuk mengevaluasi antibodi anti E/S Fasciola gigantica yang terbentuk. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelinci yang diimunisasi dengan antigen E/S F. gigantica asal domba, mampu membentuk antibodi lebih cepat (4 minggu pasca infeksi) dibandingkan kelinci yang diimunisasi dengan antigen E/S F. gigantica asal kerbau (12 minggu pasca infeksi). Pada waktu yang sama, reaksi silang diantara antigen antigen E/S F. gigantica muncul dari antibodi yang dihasilkan oleh masing-masing kelinci. Kata kunci: antibodi poliklonal, antigen Ekskretori/Sekretori, Fasciola gigantica

5 Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

6 PRODUKSI ANTIBODI POLIKLONAL ANTI EKSKRETORI/SEKRETORI (ES) Fasciola gigantica PADA KELINCI RETNO SETYANINGSIH Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

7 2011 Judul Skripsi : Produksi Antibodi Poliklonal Anti-Ekskretori/Sekretori (E/S) Fasciola gigantica Isolat Asal Domba dan Kerbau pada Kelinci Nama : Retno Setyaningsih NIM : B Disetujui drh. H. Fadjar Satrija, M.Sc, Ph. D Pembimbing I Dr. drh. Hj. Sri Murtini, M. Si Pembimbing II Diketahui Dr. Nastiti Kusumorini Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Tanggal Lulus :

8

9 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia- Nya sehingga skripsi dengan judul Produksi Antibodi Poliklonal Anti Ekskretori/Sekretori (E/S) Fasciola gigantica Isolat Asal Domba dan Kerbau pada Kelinci ini berhasil diselesaikan. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. drh. H. Fadjar Satrija, M.Sc, dan Ibu Dr. drh. Hj. Sri Murtini, M.Si, selaku dosen pembimbing yang telah memberi kesempatan, arahan, dan masukan, hingga selesainya skripsi ini. Ucapan terimakasih juga penulis ucapkan kepada Bapak Sulaeman dan Ibu Selin, selaku laboran yang telah banyak membantu penulis dalam melaksanakan penelitian. Tak lupa ucapan terimakasih penulis haturkan kepada Ibu Mayang, Joko, Risma, dan Mega selaku rekan sepenelitian serta kepada Amalia dan Hadi S. yang telah banyak membantu penulis dengan dorongan semangat, kasih sayang, serta doa. Ungkapan terimakasih juga disampaikan kepada Ayah, Mama, serta seluruh keluarga atas dukungan baik moril maupun materil. Rekan-rekan angkatan 44 Gianuzzi atas seluruh kebersamaan dan semangat serta seluruh pihak baik secara langsung maupun tidak langsung telah membantu penulis hingga selesainya penulisan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat. Bogor, Juli 2011 Retno Setyaningsih

10 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Tujuan Manfaat 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kelinci. 2.2 Cacing Fasciola gigantica Antigen Ekskretori/Sekretori Imunitas Antibodi Poliklonal. 2.6 Adjuvant Agar Gel Precipitation Test (AGPT) BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian. 3.2 Metode Penelitian Persiapan dan Pemeliharaan Kelinci sebagai Hewan Coba Persiapan Antigen E/S Fasciola gigantica Pengukuran Konsentrasi dengan Metode Bradford Teknik Imunisasi Teknik Pengambilan Darah Teknik Pengumpulan Serum Pembuatan Antigen Terlarut Teknik Agar Gel Pecipitation Test (AGPT) Pemurnian Immunoglobulin G (Ig G). iii iv HASIL DAN PEMBAHASAN SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran... DAFTAR PUSTAKA Halaman

11 DAFTAR TABEL Halaman 1 Tata cara pengisian larutan BSA dan Aquabides Tata cara penyuntikkan antigen Data hasil AGPT... 17

12 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Struktur Ig G pada mamalia 8 2 Hasil AGPT anti E/S Fasciola gigantica asal domba (KP) pada minggu ke-4 dan ke Hasil AGPT anti E/S Fasciola gigantica asal kerbau (KH) pada minggu ke-12 dan ke Hasil AGPT antibodi anti E/S Fasciola gigantica asal domba dengan antigen E/S Fasciola gigantica asal kerbau Penebalan presipitasi reaksi silang antibodi pada AGPT Hasil AGPT Ig G hasil pemurnian serum kelinci... 23

13 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Fasciolosis adalah penyakit yang disebabkan cacing dari genus Fasciola. Fasciolosis di Indonesia secara umum disebabkan oleh Fasciola gigantica. Berbagai studi memperlihatkan bahwa Fasciola gigantica merupakan parasit yang paling sering ditemukan pada ruminansia terutama ruminansia besar (sapi dan kerbau) di Indonesia. Kurang lebih 80 persen ternak ruminansia terutama kerbau di Indonesia terserang fasciolosis, sedangkan prevalensinya di Indonesia berkisar antara 60-90%. Prevalensi penyakit ini pada sapi di beberapa daerah di Indonesia, seperti di Jawa Barat dapat mencapai 90%, sedangkan prevalensi penyakit ini pada domba belum diketahui (Estuningsih et al. 2004). Infeksi Fasciola gigantica berpotensi dalam menimbulkan masalah ekonomi dan kesehatan ternak. Hal tersebut dikarenakan infeksi Fasciola gigantica menyebabkan penurunan bobot hidup, penurunan performa, reproduksi, produksi susu, pengafkiran organ tubuh terutama hati sehingga hati terbuang percuma, bahkan dapat menyebabkan kematian (Copeman dan Copland 2008). Di Indonesia, secara ekonomi kerugiannya dapat mencapai juta Australian Dollar (AUD) atau sekitar Rp. 3,512-4,200 triliun per tahun (1 AUD= Rp. 8000) (Copeman dan Copland 2008). Kerugian ekonomis akibat kecacingan dapat ditekan melalui program pengendalian kecacingan yang didasarkan pada diagnosa dini infeksi cacing sebelum menimbulkan perubahan patofisiologis dalam tubuh inang. Deteksi antigen cacing yang dikeluarkan bersama dengan tinja (koproantigen) merupakan salah satu metode deteksi dini infeksi cacing parasit. Beberapa penelitian terdahulu membuktikan bahwa deteksi koproantigen akibat infeksi parasit baik pada ternak maupun pada manusia bermanfaat untuk pengendalian dan pencegahan dini (Charlier et al. 2008, Seres dan Cozma 2008, Guezala et al. 2009). Metode diagnosa menggunakan koproantigen memiliki keunggulan dapat mendeteksi keberadaan antigen parasit Echinococcus pada masa prepaten yang berkorelasi dengan derajat infeksi parasit dalam tubuh inang (Seres dan Cozma 2008).

14 Keberadaan koproantigen dapat dideteksi dengan antibodi anti koproantigen yang akan direaksikan dengan feses melalui uji serologis (Satrija 2009). Antibodi anti koproantigen dapat berupa monoklonal antibodi atau poliklonal antibodi yang diproduksi dengan memanfaatkan protein whole worm extract (WWE) cacing parasit (Guezala et al. 2009). Selain itu, antibodi anti koproantigen juga dapat diproduksi dengan memanfaatkan Ekskretori/Sekretori (E/S) dari produk metabolisme cacing parasit yang diimunisasikan kedalam tubuh hewan coba. 1.2 Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan pembentukan antibodi poliklonal (Ig G) anti E/S Fasciola gigantica dari isolat asal domba dan kerbau pada hewan coba kelinci.

15 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kelinci Kelinci merupakan hewan yang umum digunakan untuk penelitian dan produksi bahan biologis. Penggunaan kelinci sebagai hewan coba pada penelitian immunodiagnostik terhadap Fasciola sp. pernah dilakukan oleh Sewell (1964), Schalch et al. (1979), Moazeni et al. (2005), dan Mahmoud et al. (2008). Klasifikasi kelinci menurut Orr (1976) sebagai berikut: Filum : Cordata Subfilum : Craniata Kelas : Mamalia Subkelas : Theria Ordo : Lagomorpha Famili : Leporidae Subfamili : Leporinae Genus : Oryctolagus Spesies : Oryctolagus sp. Penggunaan kelinci sebagai hewan coba sangat menguntungkan karena kelinci mudah dipelihara, relatif ekonomis, dan mudah diambil darahnya (Smith 1995). Secara anatomis, telinga kelinci yang panjang dan banyak mengandung pembuluh darah memudahkan dalam pengambilan sampel darah. Pemilihan kelinci sebagai hewan coba untuk produksi antibodi secara eksperimental di laboratorium karena ukuran tubuh yang lebih besar dibandingkan hewan coba laboratorium lain seperti tikus ataupun mencit, sehingga diperoleh darah lebih banyak (IACUC 2010). 2.2 Cacing Fasciola gigantica Fasciola gigantica merupakan salah satu spesies cacing dari genus Fasciola yang termasuk ke dalam trematoda digenea. Habitat cacing ini ada di dalam pembuluh empedu. Fasciola gigantica memiliki siklus hidup yang mirip dengan Fasciola hepatica yang membutuhkan inang antara dan inang definitif. Siput dari genus Lymnaea merupakan inang antara Fasciola gigantica yang berkembang dengan baik di daerah tropis. Inang definitif cacing Fasciola

16 gigantica yaitu domba, sapi, dan kerbau serta mamalia lain seperti babi, kuda, dan manusia. Fasciola gigantica secara morfologi memilki ukuran yang lebih besar dibandingkan Fasciola hepatica. Panjang tubuhnya dapat mencapai 7,5 cm dengan lebar 1,2 cm dan tidak memiliki bahu yang menonjol seperti Fasciola hepatica. Ukuran telurnya mencapai 200x105 mikron, telurnya berkulit tipis dan memiliki operkulum (Levine 1990). Menurut Levine (1990), trematoda ini diklasifikasikan sebagai berikut: Filum : Platyhelminthes Kelas : Trematoda Subkelas : Digenea Ordo : Echinostomorida Subordo : Echinostomorina Famili : Fasciolidae Genus : Fasciola Spesies : Fasciola gigantica Secara umum, morfologi klasik trematoda memiliki tubuh dorsoventral, dan tidak bersegmen seperti daun. Tubuh trematoda tidak memiliki rongga badan dan semua organ berada di jaringan parenkim (Levine 1990). Trematoda memiliki dua alat penghisap yang khas yaitu batil hisap mulut atau batil hisap anterior yang mengelilingi mulut dan batil hisap posterior atau asetabulum yang terletak di dekat pertengahan tubuh atau pada ujung posterior (Noble dan Noble 1989). Trematoda secara seluler memiliki lapisan luar (epikutikula) yang tidak berinti dan bersinsitial. Epikutikula dihubungkan oleh tabung-tabung sitoplasmik sempit dengan bagian tegumen yang berinti melalui sitoplasma membrana basalis dan lapisan otot-otot tubuh. Terdapat mikrovili dan vesikula pinositik pada permukaan luar larva dan cacing dewasa. Struktur ini menimbulkan dugaan adanya fungsi ekskretori dan sekretori (Noble dan Noble 1989). Kutikula atau dinding luar (tegumen) trematoda kadang-kadang mengandung duri atau sisik (Levine 1990). Absorbsi glukosa berlangsung lewat tegumen yang membantu aktivasi nutrisi secara umum pada cacing. Tegumen juga berkaitan dengan fungsi respiratoris dan sensoris. Tegumen resisten terhadap aktifitas pepsin dan tripsin

17 karena asam-asam mukopolisakarida, polifenol, dan mucin (lendir). Resistensi yang dimiliki merupakan suatu faktor utama dalam melindungi cacing terhadap sistem pertahanan inang (Noble dan Noble 1989). 2.3 Antigen Ekskretori/Sekretori (E/S) Antigen (antibody generations) adalah suatu senyawa atau substansi yang dapat menggertak sistem imunitas dapatan pada inang atau individu. Antigen dapat berupa polisakarida, protein, lemak, asam inti atau lipopolisakarida, maupun lipoprotein (Guyton dan Hall 2007). Ciri pokok antigenisitas suatu bahan atau senyawa ditentukan dari limitasi fisikokimiawi serta derajat keasingan (Tizard 2004). Limitasi fisikokimiawi suatu bahan atau senyawa agar dapat bersifat imunogenik yaitu ukuran molekul harus besar, kaku dan memiliki struktur kimia kompleks. Ciri pokok yang kedua yaitu derajat keasingan atau frekuensi paparan suatu bahan atau senyawa di dalam tubuh. Antigenisitas suatu bahan atau senyawa juga ditentukan oleh derajat suseptibilitas antigen di dalam tubuh (Kuby 2007). Protein merupakan antigen yang terbaik karena ukuran dan kerumitan strukturnya. Hampir semua protein yang berat molekulnya lebih besar dari 8000 dalton bersifat antigenik. Pembentukan sifat antigenik tergantung kepada pengulangan kelompok molekul secara regular, yang disebut epitop (antigenik determinan) pada permukaan molekul besar (Guyton dan Hall 2007). Hewan, tumbuhan, serta parasit dapat menghasilkan substansi antigenik. Substansi tersebut tidak hanya terkandung dalam jaringan tubuh, namun juga terdapat dalam hasil metabolisme berupa Ekskretori/Sekretori (E/S) baik berasal dari hewan, tanaman, maupun cacing parasit (Balqis 2006). Substansi antigenik yang dihasilkan pada umumnya merupakan senyawa enzim. E/S Fasciola hepatica telah diketahui mengandung enzim enolase, leucine aminopeptidase (LAP), dan phosphoenolpyruvate carboxykinase (PEPCK) sebagai antigen yang bersifat imunodominan. Selain Fasciola hepatica, PEPCK merupakan imunogen utama yang diperoleh dari E/S telur Schistosoma mansoni (Marcilla et al. 2008). Enzim cathepsin L1 merupakan imunogen dominan pada E/S Fasciola gigantica yang telah dimanfaatkan sebagai kit diagnostik untuk mendeteksi antibodi (Ig G) akibat fasciolosis pada manusia (Wongkham et al. 2005). Glutathione S-

18 Transferase (GSTs) merupakan enzim yang terkandung baik dalam E/S maupun ekstrak somatik Fasciola spp yang berperan dalam detoksifikasi anthelmentik (Alirahmi et al. 2010). Sifat antigenik atau imunogenik E/S dari cacing golongan nematoda dan trematoda telah diketahui berasal dari kutikula dan tegumen. E/S yang dihasilkan oleh cacing parasitik berperan sebagai antigen yang memicu kehadiran antibodi dalam tubuh inang (Lightowlers dan Rickard 1988). 2.4 Imunitas (Respon Kekebalan) Imunitas berasal dari bahasa latin immunis yang berarti bebas. Imunitas atau respon kekebalan merupakan kemampuan untuk mencegah terjadinya infeksi, meniadakan kerja toksin dan faktor virulen lainnya yang bersifat antigenik maupun imunogenik. Suatu bahan yang bersifat antigenik (antigen) artinya mampu merangsang pembentukan antibodi spesifik terhadap suatu senyawa. Selain mampu merangsang pembentukan antibodi spesifik yang bersifat protektif terhadap senyawa penginduksinya, antigen juga mampu meningkatkan respon kekebalan seluler (Wibawan et al. 2003). Secara umum respon kekebalan tubuh terbagi dua yaitu kekebalan nonspesifik dan kekebalan spesifik. Respon kekebalan non-spesifik berupa kekebalan fisik-mekanik, kimiawi, serta seluler. Kekebalan fisik mekanik dilakukan oleh kulit dan selaput lendir. Kekebalan kimiawi dilakukan oleh cairan tubuh yang berupa keringat, air mata, cairan limfe, maupun lendir. Kekebalan seluler nonspesifik dilakukan oleh makrofag dan mikrofag atau sel polimorf nuclear (PMN) (Black 2005). Respon kekebalan spesifik berkaitan dengan sel limfosit B dan sel limfosit T. Respon kekebalan spesifik terdiri atas respon imun berperantara antibodi (respon humoral) dan respon imun berperantara sel (Wibawan et al. 2003). Respon imun berperantara antibodi (respon humoral) melibatkan sel limfosit B. Sel limfosit B berdiferensiasi menjadi sel plasma yang menghasilkan antibodi untuk menetralkan antigen interseluler. Selain sel plasma, sel limfosit B juga berdiferensiasi menjadi sel memori. Respon imun berperantara sel melibatkan sel limfosit T yang terdiri dari sel limfosit T sitotoksik dan sel limfosit T helper. Sel limfosit T sitotoksik berperan dalam menghancurkan antigen

19 intraseluler sedangkan sel limfosit T helper berperan untuk membantu sel limfosit B (Black 2005). Penyingkiran cacing dalam sistem pencernaan memerlukan proses rumit yang melibatkan respon kekebalan humoral dan seluler (Patterson 1995). 2.5 Antibodi Poliklonal Antibodi hasil hiperimunisasi disebut antibodi poliklonal. Hiperimunisasi merupakan imunisasi yang dilakukan secara sengaja terhadap hewan dengan suatu imunogen spesifik. Antibodi poliklonal memiliki campuran kompleks antibodi dengan spesifitas, afinitas, dan isotipe yang berbeda. Antibodi poliklonal memiliki reaktivitas multipel yaitu bereaksi dengan sejumlah epitop (antigen determinan) yang berbeda pada antigen. Reaktivitas multipel ini dapat mengakibatkan terbentuknya kompleks antigen antibodi yang besar dalam bentuk presipitasi. Selain itu, reaktivitas multipel antibodi poliklonal dapat menimbulkan reaksi silang. Reaksi silang yang terjadi umumnya akibat adanya antibodi terhadap antigen lain yang tidak berkaitan dan tidak relevan. Reaksi silang juga dapat terjadi karena kesamaan epitop dari antigen yang berbeda atau karena kemiripan struktur epitop antigen lain dengan epitop pembuat peka (priming epitop) yang dikenali oleh antibodi (Smith 1995). Antibodi terdiri dari unit dasar yang disebut imunoglobulin (Ig). Imunoglobulin merupakan grup penyusun antibodi yang secara umum memiliki dua karakteristik yaitu kimia dan biologi (Black 2005). Imunoglobulin secara kimia memiliki struktur berupa rantai polipeptida (dua rantai ringan dan dua rantai berat). Secara biologi, produksi imunoglobulin distimulasi oleh antigen dan memiliki reaksi yang spesifik (Barriga 1981). Imunoglobulin dapat dikelompokkan berdasarkan sifat-sifat dasarnya (Guyton dan Hall 2007). Sifat dasar tersebut berupa derajat kelarutan dalam larutan garam, muatan elektrostatik, berat molekul dan struktur antigeniknya (Tizard 2004). Terdapat lima golongan immunoglobulin yaitu Ig M, Ig G, Ig A, Ig E dan Ig D. Diantara lima golongan imunoglobulin tersebut, Ig G merupakan imunoglobulin yang umum digunakan dalam produksi bahan biologis untuk immunodiagnostik. Hal tersebut dikarenakan Ig G memiliki prosentase jumlah

20 paling banyak yaitu 70-75% di dalam serum normal dibandingkan Ig M (antibodi pertama yang muncul dalam respon primer), Ig A, Ig E dan Ig D. Ig G memiliki struktur monomer dengan berat molekul dalton serta merupakan antibodi utama dari respon imun sekunder (De Buysscher dan Patterson 1995). Secara struktural, Ig G memiliki empat rantai polipeptida yang terbagi atas dua rantai berat identik serta dua rantai ringan (Gambar 1). Rantai berat dan rantai ringan polipeptida dihubungkan oleh ikatan disulfida yang terdapat pada bagian engsel (hinge region). Masing-masing rantai berat dan ringan dari Ig G memiliki bagian konstan atau tetap dan bagian yang dapat berubah atau variabel (Guyton dan Hall 2007). Variabel (v) atau bagian yang dapat berubah pada struktur Ig G memiliki fungsi khusus untuk melekat pada antigen, sedangkan bagian tetap atau konstan menentukan sifat biologis Ig G dan beberapa faktor seperti penyebaran Ig G dalam jaringan, pelekatan Ig G pada struktur spesifik jaringan, pelekatan pada kompleks komplemen, serta kemudahan Ig G dalam melewati membran dan beberapa sifat biologis Ig G yang lain (Guyton dan Hall 2007). Tempat Pelekatan Antigen Rantai Ringan Bagian Variabel Rantai Berat Bagian Konstan Gambar 1 Struktur Ig G pada mamalia (Mader 1997)

21 2.6 Adjuvant Adjuvant merupakan senyawa yang berfungsi memperlambat pengeluaran antigen didalam tubuh. Adjuvant dapat memodifikasi imunogen atau berkerja pada tingkat sel dari respon kekebalan inang. Penambahan adjuvant dapat meningkatkan imunogenisitas melalui perubahan struktural atau elektrostatik antigen, meningkatkan agregasi molekul antigen, serta memodifikasi presentasi antigen. Adjuvant mempengaruhi sistem kekebalan inang dengan membentuk depot imunogen, menarik sel-sel mononuklear ke lokasi penyuntikan, meningkatkan sirkulasi limfosit, memodifikasi membran sel (agen aktifdipermukaan), merangsang aktivitas sel yang terlibat dalam respon kekebalan, dan menginduksi atau menghambat pembebasan molekul-molekul kecil yang mengatur fungsi sel dalam system kekebalan (Smith 1995). Emulsi air-dalam-minyak merupakan bentuk adjuvant paling awal. Terdapat dua tipe adjuvant emulsi air-dalam-minyak. Tipe pertama yaitu adjuvant tak lengkap Freund (Freund s incomplete adjuvant) merupakan adjuvant tanpa campuran mikobakteri. Tipe kedua yaitu adjuvant lengkap Freund (Freund s complete adjuvant) merupakan campuran minyak mineral dan pengemulsi dengan mikobakteri (Smith 1995). Adjuvant lengkap Freund merupakan adjuvant yang sangat kuat. Aktivitasnya diperkuat oleh bagian aktif mikobakteri yaitu muramil dipeptida (nacetyl-muramyl-l-alanyl-d-isoglutamin). Muramil dipeptida merangsang fungsi makrofag dan merangsang respon antibodi yang kuat dalam waktu lama. Rute penyuntikkan terbaik yaitu subkutan atau intradermal. Adjuvant bertindak khusus untuk merangsang fungsi sel T dan hanya meningkatkan reaksi antigen-tergantung timus. Adjuvant meningkatkan produksi Ig G melebihi Ig M (Tizard 2004). 2.7 Agar Gel Precipitation Test (AGPT) Uji presipitasi antigen-antibodi yang terlarut atau Agar gel precipitation test (AGPT) merupakan salah satu teknik imunodiagnostik yang termasuk kedalam jenis uji pengikatan sekunder yaitu mengukur hasil interaksi antigenantibodi (kompleks antigen-antibodi) secara in vitro (Tizard 2004). Uji presipitasi ini digunakan untuk mengukur titer antibodi dalam serum secara kualitatif dan

22 digunakan untuk mendiagnosa fasciolosis pada kelompok ternak sapi ataupun kerbau pada penelitian Linh et al. (2003). Jumlah antibodi minimal yang dapat dideteksi pada uji AGPT yaitu 30 µg/ml antibodi. AGPT dapat digunakan untuk mendeteksi antigen yang berbeda dengan satu jenis antibodi ataupun antibodi yang berbeda dengan satu jenis antigen yang terdapat pada sampel serum (Black 2005). Reaksi AGPT melibatkan keberadaan ion antigen divalent atau multivalent dan sangat tergantung pada proporsi antigen terhadap antibodi (Barriga 1981). Reaksi ini juga dipengaruhi oleh ph, temperatur, aviditas atau kestabilan kompleks antigen-antibodi dan afinitas atau kekuatan ikatan kompleks antibodiantigen (Tizard 2004). Pembentukan presipitasi diinisiasi oleh pembentukkan kompleks molekul antigen-antibodi yang saling bereaksi diikuti dengan proses agregasi serta sedimentasi kompleks tersebut (Barriga 1981). Presipitasi yang terbentuk mulai hitungan menit hingga jam terlihat sebagai suatu garis opaq dalam suatu media agar semisolid. Garis opaque yang terbentuk disebut sebagai garis presipitasi (Black 2005).

23 3. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Terpadu Immunologi, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Kandang Terpadu, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini berlangsung dari bulan Januari hingga Juli Metode Penelitian Persiapan dan Pemeliharaan Kelinci sebagai Hewan Coba Hewan coba yang digunakan dalam penelitian ini merupakan kelinci lokal jantan sebanyak dua ekor, berumur 6 bulan dengan bobot badan masing-masing 1 kg, yang berasal dari Balai Penelitian Peternakan (Balitnak) Ciawi, Bogor. Lima hari sebelum imunisasi aktif, kelinci dipastikan bebas dari koksidiosis dan scabies. Preparat sulfa dengan dosis mg/kgbb diberikan secara peroral yang dilarutkan kedalam air minum disertai dengan pemeriksaan tinja selama maksimal tiga hari untuk pencegahan koksidiosis. Ivomex dengan dosis 0.2 µg/kgbb diberikan melalui injeksi subkutan untuk mencegah infeksi agen parasit lain terutama sarcoptes scabieii. Kelinci dipelihara secara individual dalam kandang dan diberi pakan berupa pelet serta sayuran (wortel dan kangkung) Persiapan Antigen E/S Fasciola gigantica Antigen yang digunakan untuk imunisasi dalam penelitian ini merupakan antigen E/S Fasciola gigantica asal domba dan kerbau dari hasil penelitian Satrija (2009). Fasciola gigantica dewasa dikoleksi dari hati kerbau di Rumah Potong Hewan (RPH) Kota Bekasi serta hati domba dari Tempat Pemotongan Hewan (TPH) di Empang-Kota Bogor. Antigen berupa protein E/S F. gigantica diproduksi dan diisolasi dari cacing dewasa menurut metode Satrija et al. (2007) yang dimodifikasi. Cacing hati (F. gigantica) dewasa yang telah dikoleksi dicuci tiga kali dengan larutan NaCl fisiologis sebelum dicuci dengan larutan PBS steril. Untuk menyiapkan antigen dari ES F. gigantica yang telah dicuci NaCl fisiologis, dalam tabung sentrifus 50 ml berisi larutan RPMI 1640 yang mengandung antibiotik

24 penisilin 1000 IU dan streptomisin 100 µg permililiter dalam larutan RPMI 1640 pada suhu 37 o C selama 4-6 jam. Setiap tabung diisi dengan 10 ml RPMI 1640 dan 10 ekor cacing dewasa. Setelah inkubasi, protein ES dipanen dengan melakukan sentrifugasi terhadap larutan RPMI dengan kecepatan 1500g pada suhu 4 o C selama 10 menit. Selanjutnya supernatant yang mengandung protein ES dipisahkan dari endapanprotein E/S F. gigantica yang didapat selanjutnya disimpan dalam tabung-tabung mikro volume 1,5 ml pada suhu -20 o C sampai saat digunakan sebagai antigen untuk imunisasi kelinci Pengukuran Konsentrasi Protein Antigen dengan Metode Bradford Konsentrasi protein sampel antigen E/S Fasciola gigantica diukur menggunakan metode Bradford (1976) sebelum digunakan untuk imunisasi. Metode Bradford digunakan secara luas untuk penentuan protein secara kuantitatif dengan menggunakan pereaksi Commasie Briliant Blue. Konsentrat Bradford terdiri dari 100 mg Commasie Briliant Blue yang dilarutkan dalam 50 ml etanol 95% dan ditambahkan sebanyak 100 ml asam fosfat 85% (w/v) serta diencerkan dengan aquabides hingga volume larutan mencapai 1 liter kemudian disaring menggunakan kertas saring. Konsentrat Bradford tersebut diencerkan dengan dua kali pengenceran menggunakan aquades dengan perbandingan 1:4 dan 1:9. Larutan protein Bovine Serum Albumin (BSA) standar dibuat dengan perbandingan 1:1 antara Bovine Serum Albumin (BSA) dengan aquabides (1 mg dalam 1 ml) kemudian dihomogenkan. Kemudian sebanyak 11 tabung reaksi yang telah disterilisasai disiapkan. Masing-masing tabung diisi dengan larutan BSA dan aquabides (Tabel 1). Masing-masing larutan dihomogenkan dan diambil sebanyak 100 µl dari setiap tabung kemudian dimasukkan ke dalam masing-masing tabung baru yang sebelumnya telah dimasukkan 5 ml larutan Bradford sesuai urutan tabung.

25 Tabel 1 Tata cara pengisian larutan BSA dan Aquabides Tabung Larutan BSA Aquabides 1 0 µl 1000 µl µl 900 µl µl 800 µl µl 700 µl µl 600 µl µl 500 µl µl 400 µl µl 300 µl µl 200 µl µl 100 µl µl 0 µl Larutan protein Bovine Serum Albumin (BSA) digunakan untuk membuat grafik konsentrasi protein standar pada spektrofotometer yang diukur dengan panjang gelombang (λ) 595 nm sebelum mengukur protein sampel antigen. Setelah itu sampel berupa ES cacing yang akan diperiksa dibuat duplo. Masingmasing sampel diambil sebanyak 100 µl yang dimasukkan ke dalam masingmasing tabung yang kemudian ditambahkan dengan larutan Bradford sebanyak 5 ml. Larutan Bradford dan sampel dilarutkan hingga homogen kemudian dilakukan pembacaan konsentrasi menggunakan spektrofotometer dengan panjang gelombang (λ) 595 nm Teknik Imunisasi Dua ekor kelinci diimunisasi dengan antigen E/S Fasciola gigantica. Dosis antigen yang diberikan adalah 150 µg/ekor. Antigen pada imunisasi pertama diberikan tanpa adjuvant. Rute penyuntikkan dilakukan secara intravena (i.v). Imunisasi kedua diberikan seminggu kemudian dengan rute subkutan (s.c). Antigen pada imunisasi kedua ditambah adjuvant Freund lengkap (Freund s complete adjuvant) dengan perbandingan 1:1. Imunisasi ketiga hingga imunisasi kelima masing-masing diberikan dengan selang dua minggu. Antigen pada imunisasi ketiga hingga kelima ditambah adjuvant Freund tak lengkap (Freund s incomplete adjuvant) dengan perbandingan 1:1. Imunisasi diberikan dengan rute subkutan (s.c). Tata cara penyuntikkan antigen dapat dilihat pada Tabel 1.

26 Tabel 2 Tata cara penyuntikkan antigen Kelinci 1 (KP) 2 (KH) Keterangan: Antigen E/S F. gigantica asal Domba E/S F. gigantica asal Kerbau Penyuntikkan (Minggu ke-) Tanpa Adjuvant Tanpa Adjuvant FAC FAI FAI FAI FAC FAI FAI FAI Tanpa Adjuvant (Rute i.v) FAC = Freund s Adjuvant Complete (Rute s.c) FAI = Freund s Adjuvant Incomplete (Rute s.c) KP = Kelinci yang diimunisasi E/S F. gigantica asal domba KH = Kelinci yang diimunisasi E/S F. gigantica asal kerbau Teknik Pengambilan Darah Darah kelinci diambil sebanyak 1,5-2 ml melalui vena auricularis dengan menggunakan disposable syringe 3 ml (IACUC 2010). Pengambilan darah pertama dilakukan sebelum kelinci diimunisasi. Pengambilan darah kedua dilakukan seminggu setelah pengambilan darah pertama dan pengambilan darah ketiga dilakukan empat minggu setelah pengambilan darah kedua. Pengambilan darah berikutnya dilakukan setiap seminggu sekali hingga minggu ke-14. Sampel darah dimasukkan dalam tabung reaksi untuk diambil serumnya Teknik Pengumpulan Serum Darah yang diambil dari kedua kelinci, dikumpulkan dalam tabung terpisah yang dimasukkan ke dalam inkubator dengan suhu 37 o C dengan posisi miring selama 30 menit. Kemudian disimpan dalam refrigerator semalam pada suhu 4 o C. Serum yang didapat dikumpulkan menggunakan pipet mikro. Bila perlu, darah disentrifus dengan kecepatan 2000g selama 15 menit. Serum yang didapat dipisahkan kemudian dimasukkan ke dalam tabung mikro dan diberi tanggal pengambilan darah serta kode kelinci Pembuatan Antigen Terlarut Antigen dan antibodi harus dapat berdifusi dengan baik dalam uji presipitasi menggunakan media agar. Antibodi dalam serum memiliki ukuran molekul protein yang kecil sehingga mudah berdifusi sedangkan antigen E/S

27 memiliki molekul protein yang besar sehingga harus dipecah salah satunya dengan menggunakan teknik sonikasi. Teknik sonikasi digunakan dalam penelitian ini untuk membuat antigen E/S Fasciola gigantica menjadi terlarut (solubel) dalam agar (Parimala dan Ishaq 2005). Antigen E/S Fasciola gigantica dimasukkan dalam tabung sonikasi. Tabung sonikasi dimasukkan dalam sonikator yang berisi air bersuhu 4 o C. Hal ini bertujuan untuk mendinginkan tabung dan mencegah kerusakan antigen karena panas yang ditimbulkan selama proses berlangsung. Proses sonikasi dilakukan kurang lebih selama tiga menit dengan frekuensi Hz Teknik Agar Gel Precipitation Test (AGPT) Agar Gel Precipitation Test (AGPT) merupakan uji presipitasi antigen yang terlarut. Teknik uji presipitasi dalam penelitian ini menggunakan metode Ouchterlony (1953). Bahan untuk AGPT terdiri atas Phosphate Buffer Saline (PBS) dengan ph 7,4, aquabides, agarose 1%, dan Na acide 0,001%. Campuran tersebut dipanaskan dalam microwave atau dengan penangas air sampai agar larut dan mendidih. Sebanyak 4 ml larutan agar dituang diatas gelas objek hingga seluruh permukaan gelas objek tertutup dengan agar dan dibiarkan hingga mengeras. Agar yang telah mengeras, dilubangi menggunakan puncher agar. Lubang pada bagian tengah diisi dengan antigen yang telah disonikasi dan enam lubang disekelilingnya diisi dengan serum antibodi yang akan diuji (Boulanger 1967). Agar disimpan di dalam wadah tertutup yang telah dialasi dengan kertas atau tissue basah untuk menjaga kelembaban dan didiamkan selama 24 hingga 48 jam pada suhu ruang. Pengamatan dapat dilakukan dengan melihat garis presipitasi yang terbentuk. ` Pemurnian Immunoglobulin G (Ig G) Serum kelinci positif mengandung antibodi dimurnikan menggunakan metode pemurnian dari Montage Antibody Purification Kit and Spin Columns with PROSEP -A Media. Media PROSEP -A yang digunakan dipre-ekuilibrasi menggunakan 10 ml Binding Buffer A dengan mensentrifus spin column dengan kecepatan 500g selama 30 menit pada suhu 4 o C. Sampel berupa serum kelinci anti

28 Fasciola gigantica kerbau dan domba disaring menggunakan 0,2 µm Steriflip-GP filter. Serum yang telah difiltrasi ditambahkan dengan Binding Buffer A dengan volume yang sama banyak (perbandingan 1:1 v/v) kemudian disentrifus dengan kecepatan 500g selama 30 menit pada suhu 4 o C. Supernatan didasar tabung dibuang kemudian spin column dibilas menggunakan 20 ml Binding Buffer A dan disentrifus dengan kecepatan 500g selama 30 menit pada suhu 4 o C untuk menghilangkan kontaminan yang tidak terikat. Sepuluh ml Elution Buffer B2 ditambahkan langsung kedalam spin column dalam tabung steril baru yang telah diisi 1,3 ml Neutralization Buffer C kemudian disentrifus dengan kecepatan 4500g selama 40 menit pada suhu 4 o C. Supernatan didasar tabung yang mengandung Ig G diambil, kemudian difiltrasi menggunakan Amicon dan disentrifus dengan kecepatan 4500g selama 25 menit pada suhu 4 o C. Konsentrasi Ig G dihitung menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 595 nm dengan metode Bradford (1976). Supernatan berupa Ig G yang tertinggal didalam filter disimpan dalam tabung-tabung mikro volume 1,5 ml, disimpan dalam suhu -20 o C. Ig G yang telah dipurifikasi diuji kembali dengan AGPT menggunakan antigen E/S Fasciola gigantica.

29 4. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pemeriksaan konsentrasi antigen E/S Fasciola gigantica asal domba dan kerbau masing-masing sebesar 6755 µg /ml dan 6420 µg/ml. Dosis protein antigen untuk dapat menginduksi antibodi pada kelinci adalah µg antigen (IACUC 2010). Dengan demikian, dosis yang digunakan dalam penelitian ini (5x 150 µg/ekor) merupakan dosis yang cukup untuk menginduksi antibodi. Berdasarkan pemeriksaan AGPT, kelinci yang diimunisasi dengan antigen E/S Fasciola gigantica asal domba sudah menunjukkan adanya pembentukkan antibodi terhadap E/S Fasciola gigantica asal domba pada minggu ke-4. Berbeda dengan kelinci yang disuntik antigen E/S Fasciola gigantica asal kerbau, antibodi yang terbentuk terhadap E/S Fasciola gigantica asal kerbau, baru dapat dideteksi pada minggu ke-12 (Tabel 3). Tabel 3 Data hasil AGPT dilihat dari penebalan presipitasi Antigen Hasil AGPT (Minggu ke-) E/S FG Domba E/S FG Kerbau Keterangan: + = Presipitasi tipis ++ = Presipitasi sedang +++ = Presipitasi tebal = Tidak terbentuk presipitasi Garis presipitasi yang tebal mulai tampak dari serum yang mengandung antibodi anti E/S Fasciola gigantica asal domba pada minggu ke-6. Perbandingan antara garis presipitasi awal yang terbentuk dan penebalan presipitasi antibodi anti E/S Fasciola gigantica asal domba,dapat dilihat pada Gambar 2. Serum yang mengandung antibodi anti E/S Fasciola gigantica asal kerbau nampak tebal pada minggu ke-14. Perbandingan antara garis presipitasi awal yang terbentuk dan penebalan presipitasi antibodi anti E/S Fasciola gigantica asal kerbau, dapat dilihat pada Gambar 3. Namun, deteksi garis presipitasi antibodi anti E/S Fasciola gigantica asal kerbau yang terbentuk tidak setebal presipitasi antibodi anti E/S Fasciola gigantica asal domba.

30 Ag. E/S FG Domba Ag. E/S FG Domba KP 1 KH 1 KP 4 KH4 KP 2 KH 2 KP 4 KH 4 KP 3 KH 3 KP 4 KH 4 (a) (b) Gambar 2 Hasil AGPT; (a) presipitasi antibodi anti E/S Fasciola gigantica asal domba (KP) pada minggu ke-4 (dengan antigen E/S Fasciola gigantica asal domba ditengah sumur); (b) presipitasi antibodi anti E/S Fasciola gigantica asal domba (KP) pada minggu ke-6 (dengan antigen E/S Fasciola gigantica asal domba ditengah sumur). Ag E/S FG Kerbau Ag E/S FG Kerbau KH 5 KH 5 KH 6 KH 6 KH 5 KH 5 KH 6 KH 6 KH 5 KH 5 KH 6 KH 6 (a) (b) Gambar 3 Hasil AGPT; (a) presipitasi antibodi anti E/S Fasciola gigantica asal kerbau (KH) pada minggu ke-12 (dengan antigen E/S Fasciola gigantica asal kerbau ditengah sumur) terbentuk samar; (b) presipitasi antibodi anti E/S Fasciola gigantica asal kerbau (KH) pada minggu ke-14 (dengan antigen E/S Fasciola gigantica asal kerbau ditengah sumur). Pemeriksaan terhadap adanya antibodi anti E/S Fasciola gigantica pada masing-masing kelinci setelah dua kali penyuntikkan yaitu penyuntikkan pertama (minggu ke-0) maupun kedua (minggu ke-1) belum menunjukkan adanya presipitasi. Hal tersebut dapat disebabkan oleh rendahnya antibodi yang terbentuk atau antibodi belum dibentuk pada saat itu. Pengujian keberadaan antibodi dengan uji AGPT memerlukan konsentrasi yang cukup tinggi. Antibodi minimal dalam serum yang dapat dideteksi oleh uji AGPT yaitu 30 µg/ml (Tizzard 2004).

31 Penelitian lain menunjukkan respon pembentukkan antibodi pada kelinci yang diinfeksi 20 metaserkaria Fasciola gigantica muncul setelah 2 minggu pasca infeksi. Peningkatan level antibodi terjadi setelah 8-10 minggu pasca infeksi dan menurun hingga mencapai level yang stabil setelah minggu pasca infeksi (Mahmoud et al. 2008). Antibodi yang berperan dalam presipitasi antigen merupakan imunoglobulin G (Ig G). Ig G merupakan imunoglobulin yang memiliki fungsi untuk netralisasi toksin, antigen virus, serta presipitasi antigen terlarut (Allan 1980). Mekanisme produksi Ig G diinisiasi oleh limfokin yang disekresikan oleh sel T helper. Limfokin akan menggertak proliferasi sel plasma dari limfosit B untuk memproduksi Ig G ketika terdapat paparan antigen untuk pertama kalinya. Sel plasma akan membentuk imunoglobulin M (Ig M) sebelum membentuk Ig G. Ig M merupakan antibodi yang pertama kali dibentuk oleh sel plasma pada respon primer setelah paparan antigen pertama. Produksi Ig M akan menurun dan produksi Ig G meningkat (Black 2005). Paparan antigen baru yang sama untuk kedua kalinya (booster), akan mengaktivasi sel memori dan menimbulkan respon antibodi kedua kali yang jauh lebih cepat dan kuat dalam respon sekunder (Guyton dan Hall 2007). Hal ini disebabkan sel memori berproliferasi dengan cepat membentuk sel plasma yang menghasilkan antibodi dalam jumlah besar. Pada respon sekunder, Ig M diproduksi dalam jumlah kecil dan dengan waktu yang singkat untuk kemudian Ig G diproduksi dalam jumlah besar (Black 2005). Ig G merupakan antibodi dominan yang jumlahnya mencapai 75% dari total serum darah normal (Guyton dan Hall 2007). Ig G mencapai konsentrasi yang signifikan pada vaskular dan ruang ekstravaskular, dan memiliki masa hidup yang cukup panjang yaitu 23 hari (Jackson 1978). Ig G juga berkontribusi dalam aktivitas antibodi di jaringan tubuh. Pemaparan berulang antigen dilakukan untuk mempertahankan keberadaan antibodi spesifik berupa Ig G dalam darah (Barriga 1981). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa antibodi anti E/S Fasciola gigantica asal domba terbentuk lebih cepat dibandingkan antibodi terhadap E/S Fasciola gigantica asal kerbau. Perbedaan waktu untuk menimbulkan respon pembentukkan antibodi pada inang (hewan yang diinjeksi imunogen) dapat

32 bervariasi dan tergantung pada imunogenisitas, bentuk dan stabilitas stimulant, spesies hewan, rute injeksi, serta sensitivitas uji yang digunakan untuk mendeteksi antibodi pertama yang terbentuk (Herscowitz 1978). Respon inang terhadap imunogen yang diberikan tidak hanya ditentukan oleh sifat fisikokimia imunogen, namun juga ditentukan oleh beberapa faktor terkait inang, termasuk kedalamnya yaitu genetik, umur, status nutrisi, dan efek sekunder yang diturunkan dari suatu proses penyakit (Jackson 1978). Kelinci yang digunakan pada penelitian ini memiliki rataan umur, bobot badan, jenis kelamin, dosis injeksi, nutrisi, serta rute injeksi yang sama, sehingga perbedaan waktu pembentukkan antibodi antara kedua kelinci dapat disebabkan karena adanya perbedaan karakter antigen protein E/S Fasciola gigantica. Perbedaan antara karakter E/S Fasciola gigantica dapat memengaruhi respon pembentukkan antibodi. Kedua jenis antigen tersebut merupakan protein yang berasal dari spesies cacing yang sama, namun E/S Fasciola gigantica yang dihasilkan dapat memiliki karakter protein yang berbeda. Morfologi inang asal Fasciola yang berbeda akan memengaruhi profil protein E/S yang dihasilkan. Perbedaan morfologi Fasciola tergantung pada inang definitifnya (Ashour et al. 1999). Berdasarkan elektroforesis menggunakan SDS-PAGE, antigen E/S Fasciola gigantica dari isolat asal kerbau memiliki sembilan pita protein dengan berat molekul berkisar antara kda (14, 25, 40, 43, 47, 56, 69, 73, dan 80 kda) pada penelitian Satrija (2009), sedangkan E/S Fasciola gigantica dari isolat asal sapi memiliki 6 pita protein dengan berat molekul berkisar antara kda (15, 16, 20, 24, 33, dan 42 kda) pada penelitian Meshgi et al. (2008b). Profil protein whole worm dan produk E/S Fasciola yang dihasilkan akan berbeda antara isolat Fasciola yang berasal dari domba dan isolat Fasciola yang berasal dari sapi (Meshgi et al. 2008a). Antigen somatik Fasciola gigantica dan E/S Fasciola hepatica dari isolat asal sapi memiliki jumlah pita protein yang berbeda. Antigen somatik Fasciola hepatica memiliki delapan pita protein dengan berat molekul berkisar antara kda (18, 22, 24, 33, 36, 42, 46, dan 62 kda), sedangkan antigen somatik F. gigantica memiliki 11 pita protein dengan berat molekul berkisar antara kda (18, 22, 24, 33, 36, 42, 46, 57, 60, 62, dan 68 kda) (Meshgi et al. 2008b).

33 Perbedaan karakter protein Fasciola disebabkan oleh spesies cacing yang sama dari inang yang berbeda, spesies cacing yang berbeda dari inang yang sama, ataupun karena variasi geografis (Ashour et al. 1999; Karimi 2008; Meshgi et al. 2008a). Pembentukan antibodi kelinci dipengaruhi oleh antigenisitas protein E/S Fasciola gigantica yang disuntikkan. Ciri pokok antigenisitas suatu bahan atau senyawa ditentukan dari limitasi fisikokimiawi serta derajat keasingan (Tizard 2004). Limitasi fisikokimiawi suatu bahan atau senyawa yaitu ukuran molekul antigen harus besar, kaku dan memiliki struktur kimia kompleks (Kuby 2007). Struktur kimia protein E/S Fasciola gigantica yang besar dan kompleks, akan menghasilkan antibodi yang semakin cepat. Sifat antigenik atau imunogenik E/S dari cacing golongan nematoda dan trematoda berasal dari kutikula dan tegumen (Lightowlers dan Rickard 1988). Hasil AGPT menunjukkan bahwa antibodi yang terbentuk juga dapat mendeteksi antigen lain dari jenis cacing yang sama namun berasal dari hewan yang berbeda. Antibodi terhadap E/S Fasciola gigantica asal domba dapat membentuk presipitasi terhadap antigen E/S Fasciola gigantica asal kerbau. Demikian juga dengan antibodi terhadap E/S Fasciola gigantica asal kerbau yang membentuk presipitasi terhadap antigen E/S Fasciola gigantica asal domba. Presipitasi hasil reaksi antibodi terhadap E/S Fasciola gigantica asal domba dengan antigen E/S Fasciola gigantica asal kerbau terbentuk pada minggu ke-4 (Gambar 4a). Presipitasi hasil reaksi antibodi terhadap E/S Fasciola gigantica kerbau dengan antigen E/S Fasciola gigantica asal domba terbentuk secara samar-samar pada minggu ke-12 (Gambar 4b). Masing-masing presipitasi mengalami penebalan pada minggu ke-6 dan minggu ke-14 (Gambar 5a & b).

34 Ag E/S FG Kerbau Ag E/S FG Domba KH 5 KH 5 KP 2 KP 1 KH 1 KP 3 KH 2 KH 3 KH 5 KH 5 KH 5 KH 5 (a) (b) Gambar 4 Hasil AGPT; (a) serum kelinci yang dinjeksi E/S Fasciola gigantica asal domba membentuk presipitasi terhadap antigen E/S Fasciola gigantica asal kerbau; (b) presipitasi terbentuk terhadap antigen E/S Fasciola gigantica asal domba terhadap serum kelinci yang diinjeksi E/S Fasciola gigantica asal kerbau. Ag E/S FG Kerbau Ag E/S FG Domba KP 4 KH 4 KH 6 KH 6 KP 4 KH 4 KH 6 KH 6 KP 4 KH 4 KH 6 KH 6 (a) (b) Gambar 5 Hasil AGPT; (a) Serum kelinci yang dinjeksi E/S Fasciola gigantica asal domba membentuk penebalan presipitasi terhadap antigen E/S Fasciola gigantica asal kerbau pada minggu ke-6; (b) Presipitasi mengalami penebalan terhadap antigen E/S Fasciola gigantica asal domba terhadap serum kelinci yang diinjeksi E/S Fasciola gigantica asal kerbau pada minggu ke-14. Antibodi poliklonal yang terdapat dalam serum kelinci menyebabkan reaksi silang dengan pembentukan presipitasi terhadap antigen yang berbeda. Antibodi poliklonal merupakan antibodi yang memiliki campuran kompleks antibodi dengan spesifitas, afinitas, dan isotipe yang berbeda (Smith 1995). Antibodi poliklonal memiliki fungsi untuk mengikat berbagai epitop pada permukaan molekul antigen penginduksi (Frank 2002). Antibodi poliklonal bereaksi dengan sejumlah epitop (antigen determinan) berbeda pada antigen sehingga menimbulkan multireaktivitas yang menyebabkan reaksi silang. Reaksi silang dapat terjadi karena epitop yang sama dimiliki oleh

35 antigen berbeda atau epitop yang secara struktur mirip atau memiliki keserupaan dengan epitop pembuat peka (priming epitop), dikenali oleh antibodi (Smith 1995; Kuby 2007). Prinsip tersebut juga dapat digunakan untuk menentukan derajat hubungan diantara molekul antigen (Tizzard 2004). Antigen somatik F. gigantica asal kerbau, sapi dan domba memiliki karakter protein dengan berat molekul yang sama yaitu 34 dan 28 kda (Yocananth et al. 2005). Tiga pita protein dengan berat molekul yang sama juga ditemukan pada E/S dan antigen somatik dari F. hepatica and F. gigantica yaitu 24, 33, dan 42 kda (Meshgi et al. 2008b). Hal tersebut dapat menjelaskan respon pembentukkan antibodi silang terhadap antigen yang berbeda. Reaksi silang juga terjadi diantara protein whole worm F. gigantica, Toxocara vitulorum dan Moneizia expansa. Reaksi silang yang terjadi disebabkan polipeptida yang berasal dari protein whole worm F. gigantica, Toxocara vitulorum dan Moneizia expansa memiliki kesamaan struktur (Eman dan Kadria 2000). Antibodi poliklonal (Ig G) anti Fasciola gigantica hasil pemurnian dengan filtrasi kolom diuji kembali dengan AGPT menggunakan antigen E/S Fasciola gigantica. Presipitasi pada hasil AGPT menunjukkan bahwa Ig G yang dihasilkan mampu mengikat antigen E/S Fasciola gigantica (Gambar 6). Presipitasi yang terbentuk ada uji AGPT menunjukkan bahwa Ig G yang dihasilkan dari serum kelinci pada penelitian ini, dapat menjadi sumber bahan diagnostik untuk menguji antigen E/S Fasciola gigantica baik pada kerbau maupun domba. Ag E/S FG Kerbau Ig G Ig G Ig G Ig G Ag E/S FG Domba Ig G Ig G Ig G Ig G Ig G Ig G Ig G Ig G Gambar 6 (a) Hasil AGPT; (a) Presipitasi Ig G dengan antigen (b) E/S Fasciola gigantica asal kerbau (antigen E/S terletak ditengah sumur); (b) Presipitasi Ig G dengan antigen E/S Fasciola gigantica asal domba (antigen E/S terletak ditengah sumur).

36 5. SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan Simpulan yang dapat diambil dari hasil penelitian ini antara lain: 1. Penyuntikkan antigen E/S Fasciola gigantica pada kelinci, dengan dosis 150 µg/ekor mampu menginduksi produksi antibodi anti E/S Fasciola gigantica asal domba setelah tiga kali penyuntikkan, sedangkan antibodi anti E/S Fasciola gigantica asal kerbau terbentuk setelah lima kali penyuntikkan. 2. Karakteristik antigen E/S Fasciola gigantica yang disuntikkan pada kelinci pada penelitian ini, mempengaruhi perbedaaan waktu pembentukkan antibodi anti E/S Fasciola gigantica. 5.2 Saran Penelitian yang lebih dalam dapat dilakukan untuk mengetahui spesifisitas dan sensitivitas Ig G antibodi poliklonal terhadap Fasciola gigantica dalam mendeteksi antigen yang berasal dari cacing lain dari golongan trematoda.

37 DAFTAR PUSTAKA Alirahmi H, Farahnak A, Golmohamadi T, Esharghian MR Comparative assay of glutathione s-transferase (GSTs) activity of excretory/secretory materials and somatic extract of Fasciola spp parasites. Acta Med Iran 48 (6): Allan D Outlines Of Animal Immunobiology. London: Balliere Tindall. Ashour AA, Zakiya E, Abeer AK, Elham AN Studies on the liver fluke Fasciola in Egypt: I- morphological and morphometrical studies. J Egypt Soc Parasitol 29 (3): Balqis U Karakterisasi Protease dari Ekskretori/Sekretori Stadium L3 Ascaridia galli [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Barriga OO The Immunology of Parasitic Infections. Baltimore: University Park Press. hlm Black JG Microbiology: Principles and Explorations 6 th John Wiley & Sons, Inc. hlm Ed. Virginia: Boulanger P, Bannister GL, Gray DP, Ruckerbauer GM, Willis NG The use of the agar double-diffusion precipitation test for the detection of the virus in swine tissue. Can J Comp Med Vet Sci 30. Bradford MM A Rapid and Sensitive Method for The Quantitation of Microgram Quantities of Protein Utilizing The Principle of Protein Dye Binding. Anal Biochem 72: Charlier J, De Meulemeester L, Claerebout E, Williams D, Vercruysse J Qualitative and quantitative evaluation of coprological and serological techniques for the diagnosis of fasciolosis in cattle. Vet Parasitol 153: Copeman DB, Copland RS Importance and Potential Impact of Liver Fluke in Cattle and Buffalo. Di dalam: Gray GD, Copland RS, Copeman DB, editor. Overcoming Liver Fluke as a Constraint to Ruminant Production in South-East Asia. Canberra: Australian Centre for International Agricultural Research (ACIAR). De Buysscher EV, Patterson RM Respon Imun (Tanggap Kebal): Suatu Revisi Singkat. Di dalam: Artama WT, penerjemah; Burgess GW, editor. Teknologi ELISA dalam Diagnosis dan Penelitian. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari: ELISA Technology in Diagnosis and Research.

3. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat Penelitian 3.2 Metode Penelitian Persiapan dan Pemeliharaan Kelinci sebagai Hewan Coba

3. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat Penelitian 3.2 Metode Penelitian Persiapan dan Pemeliharaan Kelinci sebagai Hewan Coba 3. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Terpadu Immunologi, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Kandang Terpadu, Fakultas Kedokteran

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kelinci 2.2 Cacing Fasciola gigantica

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kelinci 2.2 Cacing Fasciola gigantica 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kelinci Kelinci merupakan hewan yang umum digunakan untuk penelitian dan produksi bahan biologis. Penggunaan kelinci sebagai hewan coba pada penelitian immunodiagnostik terhadap

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian Serum dan Kuning Telur Hasil AGPT memperlihatkan pembentukan garis presipitasi yang berwarna putih pada pengujian serum dan kuning telur tiga dari sepuluh ekor ayam yang

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Hewan coba Metode Penelitian 1 Isolasi dan Produksi Antigen E/S Fasciola gigantica

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Hewan coba Metode Penelitian 1 Isolasi dan Produksi Antigen E/S Fasciola gigantica BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan September 2009 hingga Februari 2010. Penelitian dilakukan di kandang pemeliharaan hewan coba Fakultas Kedokteran Hewan Institut

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN Konsentrasi immunoglobulin Y (IgY) yang diperoleh dalam penelitian ini adalah 9,57 mg/ml dan immunoglobulin G (IgG) adalah 3,75 mg/ml. Pada penelitian ini, antibodi yang dilapiskan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Metode Penelitian

METODE PENELITIAN. Metode Penelitian METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan selama 6 bulan, mulai Maret 2010 sampai dengan Agustus 2010 di laboratorium Terpadu Bagian Mikrobiologi Medik dan laboratorium Bakteriologi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Taksonomi Fasciola gigantica Morfologi dan Siklus Hidup

TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Taksonomi Fasciola gigantica Morfologi dan Siklus Hidup TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Taksonomi Fasciola gigantica Fasciola spp yang lebih dikenal dengan nama cacing hati merupakan trematoda paling penting sebagai penyebab kerugian ekonomi pada ternak ruminansia

Lebih terperinci

PRODUKSI IMUNOGLOBULIN Y (Ig Y) ANTI- EKSKRETORI/SEKRETORI (E/S) Fasciola gigantica PADA AYAM PETELUR JOKO UTOMO

PRODUKSI IMUNOGLOBULIN Y (Ig Y) ANTI- EKSKRETORI/SEKRETORI (E/S) Fasciola gigantica PADA AYAM PETELUR JOKO UTOMO PRODUKSI IMUNOGLOBULIN Y (Ig Y) ANTI- EKSKRETORI/SEKRETORI (E/S) Fasciola gigantica PADA AYAM PETELUR JOKO UTOMO FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 PRODUKSI IMUNOGLOBULIN Y (Ig

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 18 HASIL DAN PEMBAHASAN Produksi IgY Anti Salmonella Enteritidis pada Telur Ayam Antibodi spesifik terhadap S. Enteritidis pada serum ayam dan telur dideteksi dengan menggunakan uji agar gel presipitasi

Lebih terperinci

Deskripsi. IMUNOGLOBULIN YOLK (IgY) ANTI Canine parvovirus MURNI UNTUK TERAPI INFEKSI VIRUS PARVO PADA ANJING

Deskripsi. IMUNOGLOBULIN YOLK (IgY) ANTI Canine parvovirus MURNI UNTUK TERAPI INFEKSI VIRUS PARVO PADA ANJING 1 I Gst Ayu Agung Suartini(38) FKH - Universitas Udayana E-mail: gaa.suartini@gmail.com Tlf : 081282797188 Deskripsi IMUNOGLOBULIN YOLK (IgY) ANTI Canine parvovirus MURNI UNTUK TERAPI INFEKSI VIRUS PARVO

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Sebanyak 173 dan 62 contoh serum sapi dan kambing potong sejumlah berasal dari di provinsi Jawa Timur, Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Barat, Jakarta dan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat 21 METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan selama 6 bulan, mulai Maret sampai dengan Agustus 2010 di laboratorium Mikrobiologi Medis, laboratorium Terpadu unit pelayanan mikrobiologi

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Isolasi enzim fibrinolitik Cacing tanah P. excavatus merupakan jenis cacing tanah yang agresif dan tahan akan kondisi pemeliharaan yang ekstrim. Pemeliharaan P. excavatus dilakukan

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN. Tempat dan Waktu Penelitian. Bahan dan Alat Penelitian

METODOLOGI PENELITIAN. Tempat dan Waktu Penelitian. Bahan dan Alat Penelitian 14 METODOLOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Tempat penelitian dilakukan di Laboratorium Unit Pelayanan Mikrobiologi Terpadu, Bagian Mikrobiologi Kesehatan, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata kunci: Ascaridia galli, antigen ekskretori/sekretori, ELISA ABSTRACT

ABSTRAK. Kata kunci: Ascaridia galli, antigen ekskretori/sekretori, ELISA ABSTRACT PENGUKURAN ANTIBODI AYAM PETELUR YANG DIIMUNISASI DENGAN ANTIGEN EKSKRETORI/SEKRETORI STADIUM L 3 Ascaridia galli MELALUI UJI ENZYME LINKED IMMUNOSORBANT ASSAY 46 ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah untuk

Lebih terperinci

MATERI DAN METODA. Kandang dan Perlengkapannya Pada penelitian ini digunakan dua kandang litter sebesar 2x3 meter yang

MATERI DAN METODA. Kandang dan Perlengkapannya Pada penelitian ini digunakan dua kandang litter sebesar 2x3 meter yang 11 MATERI DAN METODA Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini berlangsung dari bulan Juni 2010 sampai dengan Juni 2011. Penelitian dilakukan di kandang FKH-IPB. Pengujian sampel dilakukan di Laboratorium

Lebih terperinci

METODELOGI PENELITIAN

METODELOGI PENELITIAN 17 METODELOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Terpadu Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner FKH IPB, kandang hewan percobaan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Parasitologi Veteriner dan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Parasitologi Veteriner dan BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Parasitologi Veteriner dan Laboratorium Biomolekuler Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga,

Lebih terperinci

MATERI DAN METODA Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Penelitian Hewan Percobaan Vaksin AI-ND Pakan Kandang dan Perlengkapannya

MATERI DAN METODA Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Penelitian Hewan Percobaan Vaksin AI-ND Pakan Kandang dan Perlengkapannya 10 MATERI DAN METODA Waktu Tempat Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Terpadu FKH-IPB, Departemen Ilmu Penyakit Hewan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Perbedaan bentuk F. hepatica (A) dan F. gigantica (B) (http//www.dpd.cdc.gov/dpdx)

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Perbedaan bentuk F. hepatica (A) dan F. gigantica (B) (http//www.dpd.cdc.gov/dpdx) TINJAUAN PUSTAKA Fasciola gigantica Fasciola spp lebih dikenal dengan cacing hati (liver fluke), dua spesies penting diantaranya yaitu Fasciola hepatica dan Fasciola gigantica. Berdasarkan taxonomi F.

Lebih terperinci

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IV HASIL DAN PEMBAHASAN IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Re-Karakterisasi Isolat Bakteri Re-karakterisasi bakteri pada biakan agar darah serta hasil uji gula-gula (biokimia) menggunakan Kit Microgen TM GN-ID Identification dapat dilihat

Lebih terperinci

PRODUKSI TELUR AYAM RAS MENGANDUNG ANTIBODI (IMUNOGLOBULIN Y ) ANTI PROTEASE Eschericia coli. Oleh: Wendry Setiyadi Putranto

PRODUKSI TELUR AYAM RAS MENGANDUNG ANTIBODI (IMUNOGLOBULIN Y ) ANTI PROTEASE Eschericia coli. Oleh: Wendry Setiyadi Putranto PRODUKSI TELUR AYAM RAS MENGANDUNG ANTIBODI (IMUNOGLOBULIN Y ) ANTI PROTEASE Eschericia coli Oleh: Wendry Setiyadi Putranto FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS PADJADJARAN BANDUNG 2006 Abstrak Telur ayam ras

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan Pertumbuhan dan Peremajaan Isolat Pengamatan Morfologi Isolat B. thuringiensis

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan Pertumbuhan dan Peremajaan Isolat Pengamatan Morfologi Isolat B. thuringiensis 13 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi, Departemen Biologi, IPB, dari bulan Oktober 2011 Mei 2012. Bahan Isolasi untuk memperoleh isolat B. thuringiensis

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2006 hingga Agustus 2007. Penangkapan polen dilakukan di kecamatan Pasar Minggu Jakarta Selatan dan analisa

Lebih terperinci

KAJIAN BRUSELLOSIS PADA SAPI DAN KAMBING POTONG YANG DILALULINTASKAN DI PENYEBERANGAN MERAK BANTEN ARUM KUSNILA DEWI

KAJIAN BRUSELLOSIS PADA SAPI DAN KAMBING POTONG YANG DILALULINTASKAN DI PENYEBERANGAN MERAK BANTEN ARUM KUSNILA DEWI KAJIAN BRUSELLOSIS PADA SAPI DAN KAMBING POTONG YANG DILALULINTASKAN DI PENYEBERANGAN MERAK BANTEN ARUM KUSNILA DEWI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

Lebih terperinci

BAB III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN

BAB III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN 8 BAB III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan mulai Juli sampai dengan Agustus 2010. Pemeliharaan ayam broiler dimulai dari Day Old Chick (DOC)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. Penyakit Surra merupakan penyakit pada ternak yang disebabkan oleh

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. Penyakit Surra merupakan penyakit pada ternak yang disebabkan oleh 1 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penyakit Surra merupakan penyakit pada ternak yang disebabkan oleh protozoa Trypanosoma evansi. Penyakit ini juga menyerang hewan domestik dan hewan liar. Parasit ini

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 6 Sampel yang akan diuji kemudian dimasukkan ke dalam sumuran-sumuran cawan ELISA sesuai dengan pola yang telah ditentukan. Setiap sumuran cawan berisi sebanyak 100 μl sampel. Cawan ELISA kemudian diinkubasi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian Uji Serum (Rapid Test) Pada Ikan Mas Yang Diberikan Pelet Berimunoglobulin-Y Anti KHV Dengan Dosis rendah Ig-Y 5% (w/w) Ikan Mas yang diberikan pelet berimunoglobulin-y anti

Lebih terperinci

DETEKSI KEBERADAAN ANTIBODI ANTI H5N1 MENGGUNAKAN METODE ENZYME-LINKED IMMUNOSORBENT ASSAY (ELISA) PADA SERUM SAPI YANG DIVAKSINASI H5N1 NOVIYANTI

DETEKSI KEBERADAAN ANTIBODI ANTI H5N1 MENGGUNAKAN METODE ENZYME-LINKED IMMUNOSORBENT ASSAY (ELISA) PADA SERUM SAPI YANG DIVAKSINASI H5N1 NOVIYANTI DETEKSI KEBERADAAN ANTIBODI ANTI H5N1 MENGGUNAKAN METODE ENZYME-LINKED IMMUNOSORBENT ASSAY (ELISA) PADA SERUM SAPI YANG DIVAKSINASI H5N1 NOVIYANTI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Lebih terperinci

REAKSI ANTIGEN-ANTIBODI DAN KAITANNYA DENGAN PRINSIP DASAR IMUNISASI. Oleh : Rini Rinelly, (B8A)

REAKSI ANTIGEN-ANTIBODI DAN KAITANNYA DENGAN PRINSIP DASAR IMUNISASI. Oleh : Rini Rinelly, (B8A) REAKSI ANTIGEN-ANTIBODI DAN KAITANNYA DENGAN PRINSIP DASAR IMUNISASI Oleh : Rini Rinelly, 1306377940 (B8A) REAKSI ANTIGEN DAN ANTIBODI Pada sel B dan T terdapat reseptor di permukaannya yang berguna untuk

Lebih terperinci

TEORI SISTEM IMUN - SMA KELAS XI SISTEM IMUN PENDAHULUAN

TEORI SISTEM IMUN - SMA KELAS XI SISTEM IMUN PENDAHULUAN TEORI SISTEM IMUN - SMA KELAS XI SISTEM IMUN PENDAHULUAN Sistem Imun merupakan semua mekanisme pertahanan yang dapat dimobilisasi oleh tubuh untuk memerangi berbagai ancaman invasi asing. Kulit merupakan

Lebih terperinci

MATURASI SEL LIMFOSIT

MATURASI SEL LIMFOSIT BAB 5 MATURASI SEL LIMFOSIT 5.1. PENDAHULUAN Sintesis antibodi atau imunoglobulin (Igs), dilakukan oleh sel B. Respon imun humoral terhadap antigen asing, digambarkan dengan tipe imunoglobulin yang diproduksi

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan November 2006 sampai dengan Januari 2008. Penelitian bertempat di Laboratorium Mikrobiologi, Departemen Biologi,

Lebih terperinci

Prevalensi Trematoda pada Sapi Bali yang Dipelihara Peternak di Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung

Prevalensi Trematoda pada Sapi Bali yang Dipelihara Peternak di Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung Prevalensi Trematoda pada Sapi Bali yang Dipelihara Peternak di Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung THE PREVALENCE OF TREMATODES IN BALI CATTLE BREEDERS REARED IN THE SOBANGAN VILLAGE, MENGWI

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Titrasi Virus Isolat Uji Berdasarkan hasil titrasi virus dengan uji Hemaglutinasi (HA) tampak bahwa virus AI kol FKH IPB tahun 3 6 memiliki titer yang cukup tinggi (Tabel ). Uji HA

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Lele Dumbo 2.1.1. Taksonomi Klasifikasi atau pengelompokkan ikan lele dumbo menurut Bachtiar (2007) adalah sebagai berikut : Filum Kelas Sub kelas Ordo Sub ordo Famili

Lebih terperinci

MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS

MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS KD 3.8. Menjelaskan mekanisme pertahanan tubuh terhadap benda

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai September 2014 di Green

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai September 2014 di Green BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai September 2014 di Green House dan Laboratorium Genetika dan Molekuler jurusan Biologi Fakultas Sains dan

Lebih terperinci

RPMI 1640 medium. Kanamisin 250 µg. Coomassie brilliant blue G-250

RPMI 1640 medium. Kanamisin 250 µg. Coomassie brilliant blue G-250 86 Lampiran 1. Larutan yang digunakan pada medium RPMI 1640 RPMI 1640 medium 10,4 g Penisilin G 100.000 IU Streptomisin 100 mg Gentamisin 5 mg Kanamisin 250 µg Semua bahan tersebut dilarutkan kedalam 1000

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2 Partikel TICV berbentuk seperti benang, memanjang (filamentous) dan lentur (flexuous) (Liu et al. 2000)

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2 Partikel TICV berbentuk seperti benang, memanjang (filamentous) dan lentur (flexuous) (Liu et al. 2000) 4 TINJAUAN PUSTAKA Tomato infectious chlorosis virus Tomato infectious chlorosis virus (TICV) diklasifikasikan dalam famili Closteroviridae yang terdiri dari 2 genus yaitu Closterovirus dan Crinivirus

Lebih terperinci

RPKPS Rencana Program Kegiatan Pembelajaran Semester Dan Bahan Ajar IMUNUNOLOGI FAK Oleh : Dr. EDIATI S., SE, Apt

RPKPS Rencana Program Kegiatan Pembelajaran Semester Dan Bahan Ajar IMUNUNOLOGI FAK Oleh : Dr. EDIATI S., SE, Apt RPKPS Rencana Program Kegiatan Pembelajaran Semester Dan Bahan Ajar IMUNUNOLOGI FAK 3821 Oleh : Dr. EDIATI S., SE, Apt FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS GADJAH MADA 2003 Nama Mata Kuliah : Imunologi Kode /

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian 3.1.1. Tempat Penelitian telah dilaksanakan di laboratorium BKP Kelas II Cilegon untuk metode pengujian RBT. Metode pengujian CFT dilaksanakan di laboratorium

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian tentang pengaruh pemberian ekstrak etanol daun sirsak (Annona

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian tentang pengaruh pemberian ekstrak etanol daun sirsak (Annona BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian tentang pengaruh pemberian ekstrak etanol daun sirsak (Annona muricata L.) terhadap kadar Superoksida Dismutase (SOD) dan Malondialdehide (MDA)

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 32 HASIL DAN PEMBAHASAN Karakterisasi Serum Kuda Anti Rabies Serum kuda anti rabies berbentuk cairan tak berwarna dalam kemasan utuh dengan nomor bacth RSM 013, diproduksi tanggal 18 Maret 2003. Waktu

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan 7 sampel dari 7

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan 7 sampel dari 7 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan 7 sampel dari 7 individu udang Jari yang diambil dari Segara Anakan Kabupaten Cilacap Jawa Tengah.

Lebih terperinci

CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI

CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI rina_susilowati@ugm.ac.id Apakah imunologi itu? Imunologi adalah ilmu yang mempelajari sistem imun. Sistem imun dipunyai oleh berbagai organisme, namun pada tulisan ini sistem

Lebih terperinci

IMUNITAS HUMORAL DAN SELULER

IMUNITAS HUMORAL DAN SELULER BAB 8 IMUNITAS HUMORAL DAN SELULER 8.1. PENDAHULUAN Ada dua cabang imunitas perolehan (acquired immunity) yang mempunyai pendukung dan maksud yang berbeda, tetapi dengan tujuan umum yang sama, yaitu mengeliminasi

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM SEROLOGI IMUNOLOGI IMUNODIFUSI GANDA

LAPORAN PRAKTIKUM SEROLOGI IMUNOLOGI IMUNODIFUSI GANDA LAPORAN PRAKTIKUM SEROLOGI IMUNOLOGI IMUNODIFUSI GANDA DI SUSUN OLEH : Maulina (0801027) Kelompok III` Tanggal praktikum: 22 Desember 2011 Dosen: Adriani Susanty, M.Farm., Apt Asisten: Gusti Wahyu Ramadhani

Lebih terperinci

BAB 3 PERCOBAAN Bahan, alat, dan hewan percobaan Bahan Alat Hewan uji 3.2 Penyiapan Ekstrak Petiveria alliacea

BAB 3 PERCOBAAN Bahan, alat, dan hewan percobaan Bahan Alat Hewan uji 3.2 Penyiapan Ekstrak Petiveria alliacea BAB 3 PERCOBAAN 3. 1. Bahan, alat, dan hewan percobaan 3.1.1 Bahan Zymosan A, LPS, larutan NaCl steril, gelatin, tinta cina Pelikan, asam asetat 0,1%, medium tioglikolat, larutan Hank s (ph 7,2-7,4), etanol

Lebih terperinci

Tabel 1 Nilai (rataan ± SD) PBBH, FEC, dan gambaran darah domba selama masa infeksi Parameter Amatan Domba

Tabel 1 Nilai (rataan ± SD) PBBH, FEC, dan gambaran darah domba selama masa infeksi Parameter Amatan Domba 3 Diferensiasi SDP dilakukan berbasis preparat ulas darah total. Darah diulas di preparat kemudian difiksasi dengan metanol selama 2 menit. Preparat ulas darah diwarnai menggunakan pewarna giemsa selama

Lebih terperinci

FAKULTAS BIOLOGI LABORATORIUM GENETIKA & PEMULIAAN INSTRUKSI KERJA UJI

FAKULTAS BIOLOGI LABORATORIUM GENETIKA & PEMULIAAN INSTRUKSI KERJA UJI ISOLASI TOTAL DNA TUMBUHAN DENGAN KIT EKSTRAKSI DNA PHYTOPURE Halaman : 1 dari 5 1. RUANG LINGKUP Metode ini digunakan untuk mengisolasi DNA dari sampel jaringan tumbuhan, dapat dari daun, akar, batang,

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. (Cr 3+ ). Faktor suhu menggunakan 2 level suhu media yaitu T i (suhu 20±2

III. METODOLOGI. (Cr 3+ ). Faktor suhu menggunakan 2 level suhu media yaitu T i (suhu 20±2 III. METODOLOGI Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan bulan Mei hingga November 2006 di Laboratorium Kesehatan Ikan Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi dan Laboratorium

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyerang hewan jenis unggas. Ascaridia galli merupakan cacing parasit yang

BAB I PENDAHULUAN. menyerang hewan jenis unggas. Ascaridia galli merupakan cacing parasit yang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Cacing gelang Ascaridia galli merupakan cacing parasit yang umum menyerang hewan jenis unggas. Ascaridia galli merupakan cacing parasit yang dalam kehidupannya mengalami

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 21 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Isolasi dan Identifikasi Morfologi dan Molekuler Larva Tiga (L3) Gnathostoma spinigerum Lebih dari 1000 kista diisolasi dari 985 sampel ikan belut rawa (Monopterus alba)

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Keberadaan antibodi sebagai respon terhadap vaksinasi dapat dideteksi melalui pengujian dengan teknik ELISA. Metode ELISA yang digunakan adalah metode tidak langsung. ELISA

Lebih terperinci

Tabel 3 Tingkat prevalensi kecacingan pada ikan maskoki (Carassius auratus) di Bogor

Tabel 3 Tingkat prevalensi kecacingan pada ikan maskoki (Carassius auratus) di Bogor HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Pemeliharaan Ikan Maskoki (Carassius auratus) Pengambilan sampel ikan maskoki dilakukan di tiga tempat berbeda di daerah bogor, yaitu Pasar Anyar Bogor Tengah, Batu Tulis Bogor

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Ascaris lumbricoides Manusia merupakan hospes beberapa nematoda usus. Sebagian besar nematoda ini menyebabkan masalah kesehatan masyarakat Indonesia (FKUI, 1998). Termasuk dalam

Lebih terperinci

FAKULTAS BIOLOGI LABORATORIUM GENETIKA & PEMULIAAN INSTRUKSI KERJA UJI

FAKULTAS BIOLOGI LABORATORIUM GENETIKA & PEMULIAAN INSTRUKSI KERJA UJI Halaman : 1 dari 5 ISOLASI TOTAL DNA HEWAN DENGAN KIT EKSTRAKSI DNA 1. RUANG LINGKUP Metode ini digunakan untuk mengisolasi DNA dari sampel jaringan hewan, dapat dari insang, otot, darah atau jaringan

Lebih terperinci

PRODUKSI ANTIBODI POLIKLONAL ANTI H5N1 PADA MARMOT (Cavia porcellus) YANG DIVAKSINASI DENGAN VAKSIN AVIAN INFLUENZA H5N1 DAN H5N2 KUNTO WIDYASMORO

PRODUKSI ANTIBODI POLIKLONAL ANTI H5N1 PADA MARMOT (Cavia porcellus) YANG DIVAKSINASI DENGAN VAKSIN AVIAN INFLUENZA H5N1 DAN H5N2 KUNTO WIDYASMORO PRODUKSI ANTIBODI POLIKLONAL ANTI H5N1 PADA MARMOT (Cavia porcellus) YANG DIVAKSINASI DENGAN VAKSIN AVIAN INFLUENZA H5N1 DAN H5N2 KUNTO WIDYASMORO FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Prosedur Karakterisasi Isolat L. plantarum dan Bakteri Indikator

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Prosedur Karakterisasi Isolat L. plantarum dan Bakteri Indikator MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini berlangsung selama tujuh bulan, yakni mulai dari bulan Februari sampai dengan bulan Agustus 2011. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Terpadu Ilmu

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM 5, 6, 7, 8 ISOLASI DNA, ISOLASI PROTEIN DARAH, SERTA PEMERIKSAAN DENGAN TEKNIK PCR, ELEKTROFORESIS AGAROSE DAN SDS-PAGE

LAPORAN PRAKTIKUM 5, 6, 7, 8 ISOLASI DNA, ISOLASI PROTEIN DARAH, SERTA PEMERIKSAAN DENGAN TEKNIK PCR, ELEKTROFORESIS AGAROSE DAN SDS-PAGE LAPORAN PRAKTIKUM 5, 6, 7, 8 ISOLASI DNA, ISOLASI PROTEIN DARAH, SERTA PEMERIKSAAN DENGAN TEKNIK PCR, ELEKTROFORESIS AGAROSE DAN SDS-PAGE Nama (NIM) : Debby Mirani Lubis (137008010) dan Melviana (137008011)

Lebih terperinci

PENGARUH LOGAM BERAT PB TERHADAP PROFIL PROTEIN ALGA MERAH ( (Gracillaria

PENGARUH LOGAM BERAT PB TERHADAP PROFIL PROTEIN ALGA MERAH ( (Gracillaria TUGAS AKHIR SB 1358 PENGARUH LOGAM BERAT PB TERHADAP PROFIL PROTEIN ALGA MERAH ( (Gracillaria sp.) OLEH: HENNY ANDHINI OKTAVIA (1504 100 022) DOSEN PEMBIMBING: 1. KRISTANTI INDAH.P.,S.si.,M.si 2. TUTIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada manusia. Organisasi Kesehatan Dunia World Healt Organization (WHO)

BAB I PENDAHULUAN. pada manusia. Organisasi Kesehatan Dunia World Healt Organization (WHO) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gangguan penyakit pada ternak merupakan salah satu hambatan yang di hadapi dalam pengembangan peternakan. Peningkatan produksi dan reproduksi akan optimal, bila secara

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimental laboratorium dengan

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimental laboratorium dengan 24 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimental laboratorium dengan rancangan Post Test Only Control Group Design. Pengambilan data

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat E. ictaluri Ikan Lele ( Clarias sp.)

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat E. ictaluri Ikan Lele ( Clarias sp.) BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian telah dilaksanakan di Laboratorium Balai Uji Standar Karantina Ikan Departemen Kelautan dan Perikanan di Jakarta dan Bagian Patologi, Departemen Klinik, Reproduksi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian tentang pengaruh pemberian ekstrak biji jintan hitam (Nigella

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian tentang pengaruh pemberian ekstrak biji jintan hitam (Nigella BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian tentang pengaruh pemberian ekstrak biji jintan hitam (Nigella sativa Linn.) terhadap kadar transaminase hepar pada tikus (Rattus norvegicus)

Lebih terperinci

Imunologi Dasar dan Imunologi Klinis

Imunologi Dasar dan Imunologi Klinis Imunologi Dasar dan Imunologi Klinis i ii Imunologi Dasar dan Imunologi Klinis Imunologi Dasar dan Imunologi Klinis iii iv Imunologi Dasar dan Imunologi Klinis IMONOLOGI DASAR DAN IMONOLOGI KLINIS Penulis:

Lebih terperinci

FLUKTUASI ANTIBODI SAPI YANG DIINFEKSI DENGAN FASCIOLA GIGANTICA DAN PENGARUH PEMBERIAN OBAT TRICLABENDAZOLE

FLUKTUASI ANTIBODI SAPI YANG DIINFEKSI DENGAN FASCIOLA GIGANTICA DAN PENGARUH PEMBERIAN OBAT TRICLABENDAZOLE Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner Vol. 6. No. 4. Th. 21 FLUKTUASI ANTIBODI SAPI YANG DIINFEKSI DENGAN FASCIOLA GIGANTICA DAN PENGARUH PEMBERIAN OBAT TRICLABENDAZOLE S. WIDJAJANTI, S.E. ESTUNINGSIH dan SUHARYANTA

Lebih terperinci

I. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April - Juli 2012 di Laboratorium. Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Lampung.

I. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April - Juli 2012 di Laboratorium. Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Lampung. 1 I. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April - Juli 2012 di Laboratorium Biokimia, Laboratorium Instrumentasi Jurusan Kimia Fakultas Matematika

Lebih terperinci

SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH)

SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH) SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH) FUNGSI SISTEM IMUN: Melindungi tubuh dari invasi penyebab penyakit; menghancurkan & menghilangkan mikroorganisme atau substansi asing (bakteri, parasit, jamur, dan

Lebih terperinci

ADLN - Perpustakaan Unair

ADLN - Perpustakaan Unair BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Perkembangan populasi kuda di Indonesia belum mencapai keadaan yang menggembirakan bahkan Di Jawa Timur pada tahun 2001 terjadi penurunan populasi ternak

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Perbanyakan Inokulum BCMV Persiapan Lahan dan Tanaman Uji

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Perbanyakan Inokulum BCMV Persiapan Lahan dan Tanaman Uji 9 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di kebun percobaan Cikabayan dan Laboratorium Virologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian

Lebih terperinci

KAJIAN BRUSELLOSIS PADA SAPI DAN KAMBING POTONG YANG DILALULINTASKAN DI PENYEBERANGAN MERAK BANTEN ARUM KUSNILA DEWI

KAJIAN BRUSELLOSIS PADA SAPI DAN KAMBING POTONG YANG DILALULINTASKAN DI PENYEBERANGAN MERAK BANTEN ARUM KUSNILA DEWI KAJIAN BRUSELLOSIS PADA SAPI DAN KAMBING POTONG YANG DILALULINTASKAN DI PENYEBERANGAN MERAK BANTEN ARUM KUSNILA DEWI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 32 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah eksperimen. Penelitian eksperimen adalah penelitian yang dilakukan dengan mengadakan manipulasi terhadap objek penelitian serta

Lebih terperinci

BAB HI. METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini telah dilaksanakan di Laboratorium Fisiologi Ikan Fakultas

BAB HI. METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini telah dilaksanakan di Laboratorium Fisiologi Ikan Fakultas 12 BAB HI. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini telah dilaksanakan di Laboratorium Fisiologi Ikan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Laboratorium Fisiologi, dan Imunologi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 20 HASIL DAN PEMBAHASAN Prevalensi Sistiserkosis pada Serum Contoh Total Penelitian ini memeriksa serum babi sebanyak 39 contoh (Tabel 1). Babi yang diambil serumnya dalam penelitian ini berasal dari peternakan

Lebih terperinci

Waktu dan Tempat Penelitian Materi Penelitian Metode Penelitian Pembuatan Tikus Diabetes Mellitus Persiapan Hewan Coba

Waktu dan Tempat Penelitian Materi Penelitian Metode Penelitian Pembuatan Tikus Diabetes Mellitus Persiapan Hewan Coba Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli 2007 sampai dengan bulan Juli 2008 di Laboratorium Bersama Hewan Percobaan Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB 3 METODE PENELITIAN BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei 2013 sampai dengan Juni 2013. Lokasi pengambilan sampel rumput laut merah (Eucheuma cottonii) bertempat di Perairan Simpenan,

Lebih terperinci

Lampiran 1. DATA SHEET : RIBAVIRIN (Bertrand 2000 dalam McEvoy 2005)

Lampiran 1. DATA SHEET : RIBAVIRIN (Bertrand 2000 dalam McEvoy 2005) 36 LAMPIRAN 37 Lampiran 1. DATA SHEET : RIBAVIRIN (Bertrand 2000 dalam McEvoy 2005) Nilai toksisitas Non-Manusia : Rat LD50 oral 5,3 g / kg; Mouse LD50 oral 2 g / kg; Ip Mouse LD50 0,9-1,3 g / kg; LD50

Lebih terperinci

III. METODE 3.1. Waktu dan Tempat 3.2. Alat dan Bahan 3.3. Tahap Persiapan Hewan Percobaan Aklimatisasi Domba

III. METODE 3.1. Waktu dan Tempat 3.2. Alat dan Bahan 3.3. Tahap Persiapan Hewan Percobaan Aklimatisasi Domba 17 III. METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan selama delapan bulan yang dimulai pada bulan Mei sampai dengan bulan Desember 2010. Penelitian dilakukan di kandang Mitra Maju yang beralamat

Lebih terperinci

Mekanisme Pertahanan Tubuh. Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang

Mekanisme Pertahanan Tubuh. Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang Mekanisme Pertahanan Tubuh Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang Imunitas atau kekebalan adalah sistem mekanisme pada organisme yang melindungi tubuh terhadap pengaruh biologis luar

Lebih terperinci

DETEKSI ANTIBODI ANTI- Escherichia coli K99 DI DALAM SERUM INDUK SAPI FRIESIAN HOLSTEIN BUNTING POST VAKSINASI E. coli DENGAN TEKNIK ELISA

DETEKSI ANTIBODI ANTI- Escherichia coli K99 DI DALAM SERUM INDUK SAPI FRIESIAN HOLSTEIN BUNTING POST VAKSINASI E. coli DENGAN TEKNIK ELISA DETEKSI ANTIBODI ANTI- Escherichia coli K99 DI DALAM SERUM INDUK SAPI FRIESIAN HOLSTEIN BUNTING POST VAKSINASI E. coli DENGAN TEKNIK ELISA ITA KRISSANTI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

Diagnosa Infeksi Fasciola gigantica pada Sapi dengan Uji Capture-ELISA untuk Deteksi Antigen dalam Feses

Diagnosa Infeksi Fasciola gigantica pada Sapi dengan Uji Capture-ELISA untuk Deteksi Antigen dalam Feses JITV Vol. 11 No. 3 Th. 2006 Diagnosa Infeksi Fasciola gigantica pada Sapi dengan Uji Capture-ELISA untuk Deteksi Antigen dalam Feses SARWITRI ENDAH ESTUNINGSIH Balai Besar Penelitian Veteriner, PO Box

Lebih terperinci

Prevalensi Trematoda di Sentra Pembibitan Sapi Bali Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung

Prevalensi Trematoda di Sentra Pembibitan Sapi Bali Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung Prevalensi Trematoda di Sentra Pembibitan Sapi Bali Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung THE PREVALENCE OF TREMATODES IN BALI CATTLE BREEDING CENTER SOBANGAN VILLAGE, DISTRICT MENGWI, BADUNG

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata kunci: Cysticercus cellulosae, crude antigen, ELISA

ABSTRAK. Kata kunci: Cysticercus cellulosae, crude antigen, ELISA ABSTRAK Sistiserkosis merupakan penyakit parasitik yang disebabkan oleh larva stadium metacestoda cacing pita yang disebut Cysticercus. Cysticercus yang ditemukan pada babi adalah Cysticercus cellulosae

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Penelitian ini telah dilakukan pada bulan September-Oktober 2013.

MATERI DAN METODE. Penelitian ini telah dilakukan pada bulan September-Oktober 2013. III. MATERI DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ini telah dilakukan pada bulan September-Oktober 2013. Pemeliharaan ayam penelitian, aplikasi ekstrak temulawak dan vaksinasi AI dilakukan di kandang

Lebih terperinci

ANTIGEN EKSKRETORI/SEKRETORI STADIUM L 3 Ascaridia galli SEBAGAI PEMICU PEMBENTUKAN IMUNOGLOBOLIN YOLK (IgY) PADA AYAM PETELUR DARMAWI

ANTIGEN EKSKRETORI/SEKRETORI STADIUM L 3 Ascaridia galli SEBAGAI PEMICU PEMBENTUKAN IMUNOGLOBOLIN YOLK (IgY) PADA AYAM PETELUR DARMAWI ANTIGEN EKSKRETORI/SEKRETORI STADIUM L 3 Ascaridia galli SEBAGAI PEMICU PEMBENTUKAN IMUNOGLOBOLIN YOLK (IgY) PADA AYAM PETELUR DARMAWI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

Y ij = µ + B i + ε ij

Y ij = µ + B i + ε ij METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan dari bulan September 2008 sampai bulan September 2009. Penelitian dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Bagian Teknologi Hasil Ternak Perah dan Laboratorium

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. test design. Pretest adalah pengukuran kadar kolesterol total darah

METODE PENELITIAN. test design. Pretest adalah pengukuran kadar kolesterol total darah 19 III. METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Jenis penelitian adalah penelitian eksperimental, dengan menggunakan prepost test design. Pretest adalah pengukuran kadar kolesterol total darah hewan coba

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Reaksi Antiserum terhadap TICV pada Jaringan Tanaman Tomat

HASIL DAN PEMBAHASAN Reaksi Antiserum terhadap TICV pada Jaringan Tanaman Tomat 14 HASIL DAN PEMBAHASAN Reaksi Antiserum terhadap TICV pada Jaringan Tanaman Tomat Reaksi antiserum TICV terhadap partikel virus yang terdapat di dalam jaringan tanaman tomat telah berhasil diamati melalui

Lebih terperinci

BAB VI PEMBAHASAN. Mencit Balb/C yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari. Laboratorium Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Muhamadiyah

BAB VI PEMBAHASAN. Mencit Balb/C yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari. Laboratorium Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Muhamadiyah BAB VI PEMBAHASAN Mencit Balb/C yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari Laboratorium Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Muhamadiyah Yogyakarta. Banyaknya mencit yang digunakan adalah 24

Lebih terperinci

Lampiran A : Komposisi Media MS

Lampiran A : Komposisi Media MS Lampiran A : Komposisi Media MS Komposisi Media MS (Murashige & Skoog, 1962) Bahan Kimia Konsentrasi dalam mesia (mg/l) Makro Nutrient NH 4 NO 3 1650,000 KNO 3 1900,000 CaCl 2.H 2 O 440,000 MgSO 4.7H 2

Lebih terperinci

II. BAHAN DAN METODE

II. BAHAN DAN METODE II. BAHAN DAN METODE 2.1 Rancangan Perlakuan Penelitian ini terdiri dari enam perlakuan yang masing-masing diberi 3 kali ulangan. Perlakuan yang diberikan berupa perendaman dengan dosis relhp berbeda yaitu

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian pengaruh ekstrak etanol daun sirsak (Annona muricata L.)

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian pengaruh ekstrak etanol daun sirsak (Annona muricata L.) BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian pengaruh ekstrak etanol daun sirsak (Annona muricata L.) terhadap kadar Superoksida dismutase (SOD) dan Malondialdehide (MDA) mammae mencit

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Percobaan Prosedur Penelitian Isolasi dan Seleksi Bakteri Proteolitik Isolasi Bakteri Proteolitik

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Percobaan Prosedur Penelitian Isolasi dan Seleksi Bakteri Proteolitik Isolasi Bakteri Proteolitik BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Percobaan Kegiatan isolasi dan seleksi bakteri proteolitik dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Nutrisi, Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar (BRPBAT) Bogor, kegiatan

Lebih terperinci

BAB III BAHAN, ALAT DAN METODA

BAB III BAHAN, ALAT DAN METODA 15 BAB III BAHAN, ALAT DAN METODA 3.1 BAHAN Lactobacillus acidophilus FNCC116 (kultur koleksi BPPT yang didapatkan dari Universitas Gajah Mada), Bacillus licheniformis F11.4 (kultur koleksi BPPT yang didapatkan

Lebih terperinci

Kata kunci: Fascioliosis, total eritrosit, kadar hemoglobin,pakced cell voleme, Sapi Bali

Kata kunci: Fascioliosis, total eritrosit, kadar hemoglobin,pakced cell voleme, Sapi Bali ABSTRAK Fascioliosis pada sapi di Indonesia disebabkan oleh cacing Fasciola gigantica yang berpredileksi di saluran empedu dan hati. Infeksi cacing ini menyebabkan gangguan fungsi hati dan kerusakan saluran

Lebih terperinci

dimana a = bobot sampel awal (g); dan b = bobot abu (g)

dimana a = bobot sampel awal (g); dan b = bobot abu (g) Lampiran 1. Metode analisis proksimat a. Analisis kadar air (SNI 01-2891-1992) Kadar air sampel tapioka dianalisis dengan menggunakan metode gravimetri. Cawan aluminium dikeringkan dengan oven pada suhu

Lebih terperinci

Lampiran 1 Prosedur uji aktivitas protease (Walter 1984, modifikasi)

Lampiran 1 Prosedur uji aktivitas protease (Walter 1984, modifikasi) 76 Lampiran Prosedur uji aktivitas protease (Walter 984, modifikasi) Pereaksi Blanko (ml) Standard (ml) Contoh ml) Penyangga TrisHCl (.2 M) ph 7. Substrat Kasein % Enzim ekstrak kasar Akuades steril Tirosin

Lebih terperinci