BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN"

Transkripsi

1 18 BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1 Homoseksualitas Definisi Homoseksual Gay berikut : Nevid, Rathus & Rathus (1995), mendefinisikan orientasi seksual sebagai Homoseksual merupakan salah satu orientasi seksual. Orientasi seksual melibatkan ketertarikan erotis, hubungan afeksionis dan kedekatan baik dalam perilaku, fantasi, serta emosional. Sedangkan definisi homoseksual yang diberikan Nevid, Rathus & Rathus (1995) adalah : Orientasi seksual ini dapat mengarah kepada anggota sesama jenis kelamin (homoseksual), lawan jenis (heteroseksual), atau keduanya (biseksual). Laki laki yang memiliki orientasi seksual homoseksual disebut dengan gay, sementara perempuan yang memiliki orientasi homoseksual disebut dengan lesbian. Sementara, Papalia (2009) mendefinisikan orientasi seksual sebagai berikut : Focus of consistent sexual romatic, and affectionate interest, either heterosexual, homosexual or bisexual. Berdasarkan buku saku Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) III, Diagnosis Gangguan Kejiwaan, homoseksualitas dapat dimasukkan ke dalam kategori Gangguan Psikologis dan Perilaku Yang 18

2 19 Berhubungan Dengan Perkembangan dan Orientasi Seksual dengan ciri ciri sebagai berikut : 1) Individu menderita karena ketidakpastian tentang identitas kelaminnya atau orientasi seksualnya, yang menimbulkan kecemasan atau depresi. 2) Paling sering terjadi pada remaja yang tidak tahu pasti apakah mereka homoseksual, heteroseksual atau biseksual dalam orientasi seksualnya, atau pada individu yang sesudah suatu periode orientasi seksual tampak stabil, seringkali dalam jalinan hubungan yang telah berlangsung lama, menemukan bahwa orientasi seksualnya berubah. Davison dan Neale (2001) menyatakan bahwa sampai tahun 1973, dalam buku DSM (Diagnostic and Statistic Manual of Mental Disorders) III, homoseksualitas yang diartikan sebagai hasrat atau aktivitas seksual yang diarahkan pada orang berjenis kelamin sama, masih dianggap sebagai penyimpangan. Pada tahun 1973, Nomenclature Committee of the American Psychiatric Assosication merekomendasikan untuk menghilangkan kategori homoseksualitas sebagai penyimpangan dan menggantinya dengan kategori orientasi seksual. Kategori ini adalah untuk orang orang homoseksual yang terganggu, mempunyai masalah dan berharap untuk mengubah orientasi seksual mereka. Dalam buku DSM-III terdapat kategori homoseksualitas yang ego distonik, yaitu orang yang mempunyai hasrat homoseksual, merasa hasrat seksual ini merupakan masalah, dan berharap dapat menjadi heteroseksual Seorang aktivis gay di Indonesia; Dede Oetomo dalam tulisannya di majalah Prisma, 1991 menjelaskan bahwa :

3 20 Homoseksualitas mengacu pada : rasa tertarik secara perasaan (kasih sayang, hubungan emosional) dan atau secara erotik, baik secara predominan (lebih menonjol) maupun eksklusif (semata mata) terhadap orang orang yang berjenis kelamin sama, dengan atau tanpa hubungan fisik (jasmaniah). Sedangkan Kinsey (1953/1998) membagi kontinum orientasi seksual seorang yang mempunyai perilaku homoseksual menjadi tujuh titik sebagai berikut : Exclusively Heterosexual with no Homosexual Predominately, but More Than Incidentally Homosexual Predominately Homosexual, but More Than Incidentally Heterosexual Exclusively Homosexual with No Heterosexual Predominately Heterosexual, Only Incidentally Homosexual Equally Homosexual and heterosexual Predominately Homosexual but Incedentally Heterosexual Etiologi Homoseksual Gay Beberapa ahli teori mencoba menjelaskan mengenai etiologi gay. Di bawah ini akan diuraikan mengenai etiologi tersebut dari berbagai sudut pandang yaitu : 1) Teori Biologis Teori biologis mengenai kaum homoseksual yang bersifat esensialis mempunyai pendapat bahwa perbedaan orientasi seksual dapat terjadi karena

4 21 adanya perbedaan secara fisiologi dimana perbedaan tersebut disebabkan oleh genetik, hormon dan hipotalamus. (a) Genetik Franz Kallman, menemukan komponen genetik yang kuat pada kaum homoseksual. Ia juga merupakan pelopor penelitian dengan cara menunjukkan komponen genetik pada homoseksual (dilakukan pada kembar genetic dan kembar fraternal) (Carrol, 2005). Hammer dkk, berusaha menelusuri jejak keberadaan gen homoseksual dengan cara melihat garis keturunan pada seorang ibu (Carrol, 2005). (b) Hormon Penelitian mempunyai bukti bahwa pria homoseksual mempunyai tingkat hormon androgen lebih rendah dari pada pria heteroseksual (Dorner, 1988). Sementara Albert Ellis dkk mengatakan bahwa stress dapat mengakibatkan tingkat hormon yang meningkat pada seorang ibu yang hamil (1988). (c) Hipotalamus pada pria homoseksual mempunyai perbedaan (lebih besar ataupun kecil) dibanding dengan pria heteroseksual (Le Vay, 1991; Swaab & Hofman, 1990). 2) Teori Psikologis Pada pendekatan psikologis, disebutkan bahwa proses terjadinya homoseksual merupakan proses pelatihan / pembelajaran dan sejarah seseorang dalam menemukan asal homoseksual.

5 22 (a) Freud dan Psikoanalitis Heteroseksualitas pria merupakan pendewasaan dari masa masa perkembangan yang terfiksasi terutama pada saat terjadinya Oedipus Complex. Kelekatan pada ibu ditambah ketidaksukaan kepada figur seorang ayah membuat seorang anak mempunyai perasaan takut akan balasan dari sang ayah. Rasa ketertarikan kepada figur ibu mengalami perubahan pada usia pubertas dan sang anak mencari figur yang dicintai oleh ibunya yaitu seorang lelaki. Selain itu, pemunculan perasaan seksual tanpa adanya stimulus eksternal / autoerotis ditambah dengan narsistik. Dengan kata lain, seseorang yang sangat mencintai tubuhnya mempunyai kecenderungan untuk bercinta pada bayangan dirinya. (b) Ketidaknyamanan Peran Gender Seorang anak lelaki yang dari kecil mempunyai kecenderungan untuk memakai baju dari lawan jenisnya dan cenderung tidak menyukai figur ayahnya sejak kecil, tiga perempat dari meraka tumbuh menjadi homoseksual atau biseksual (Green 1987). Pada masa perkembangannya anak anak yang suka berpakaian feminim ini cenderung mendapatkan bully dari rekan sebayanya karena mempunyai fisik yang terlihat lemah gemulai dan cenderung lebih lemah dari anak laki laki lainnya (Zucker, 1990) (c) Teori Behavioris Homoseksual menurut aliran behaviorisme merupakan perilaku yang dipelajari karena adanya faktor Reinforcement terhadap diri sendiri yang

6 23 dimulai dengan melakukan masturbasi sambil berfantasi. Hal ini diakibatkan antara lain karena adanya kekecewaan terhadap hubungan heteroseksual dan dengan melakukan masturbasi ia mendapatkan kepuasan yang menyenangkan (Masters & Johnson, 1979, dalam Carrol, 2005). 3) Teori Sosiologi Konsep konsep homoseksualitas, biseksualitas, heteroseksualitas merupakan hasil dari fantasi masyarakat dan bergantung dari bagaimana masyarakat membentuk opini dan persepsi akan sesuatu hal. Dan melalui pendekatan sosiologis, homoseksualitas merupakan hasil dorongan sosial yang ada di masyarakat. Carrol, (2005) mengatakan bahwa kita coba berpikir mengenai budaya dan mencoba mengaplikasikannya pada diri sendiri. Adam, (1987) mengatakan setelah terjadinya revolusi industri membebaskan orang orang secara ekonomi dan memberikan kesempatan pada masyarakatnya untuk memilih gaya hidup yang baru di perkotaan dan pada saat inilah istilah homoseksual mulai berkembang sebagai perilaku sesama jenis. Jadi dapat disimpulkan bahwa istilah homoseksual dan heteroseksual merupakan produk cara berpikir yang berubah seiring dengan keadaan sosial yang berlaku pada masyarakat waktu itu. 4) Teori Interaksional : Biologi, Psikologi dan Sosiologi Bem (1996) menyatakan pendapat bahwa variabel biologis seperti genetik, hormon dan neuroanatomi otak, tidak menyebabkan orientasi seksual tertentu, tetapi lebih memberikan sumbangan kepada sikap dan perilaku pada masa

7 24 anak anak sehingga memberikan dampak pada aktivitas terutama pada kelompok sebaya baik dengan yang berjenis kelamin sama ataupun tidak. Bem (1996), perasaaan seksual berubah dari pengalaman gender sejenis sebagai lebih eksotis dan berbeda dari orang itu daripada dengan lawan jenisnya Tahap Perkembangan Identitas Seksual Tahap perkembangan identitas seksual merupakan bagian dari tahap perkembangan identitas diri secara menyeluruh pada homoseksual, sehingga menurut Kelly (2001), homoseksual harus menyelesaikan tahap perkembangan identitas seksual ini sebagai bagian dari pembentukan identitas diri mereka. Perkembangan identitas seksual tersebut melewati enam tahap yaitu (Kelly, 2001) : 1) Identity Confusion Pada tahap ini, individu memperdalam informasi mengenai seksualitasnya. Karakteristik individu pada tahap ini, antara lain : Individu mulai menyadari adanya hubungan antara dirinya dengan informasi mengenai hubungan sesama jenis. Ketika mereka merasa bahwa relevansi informasi ini tidak dapat diabaikan, mereka mulai mengalami perasaan bahwa ada sesuatu yang tidak konsisten atau kongruen dalam pandangannya terhadap diri sendiri. Adanya usaha untuk menghindari aktivitas atau fantasi seksual dengan sesama jenis.

8 25 Individu berusaha mencari informasi lebih banyak tentang orientasi seksual sesama jenis. Muncul pertanyaan Apakah saya homoseksual? 2) Identity Comparison Pada tahap ini, individu menerima kemungkinan dirinya sebagai homoseksual dengan cara : Individu mulai merasa berbeda dengan anggota keluarga dan peer groupnya, serta mulai menguji implikasi yang mungkin terjadi pada dirinya sebagai gay, lesbian atau biseksual Individu mulai meninggalkan harapan dan acuan yang ada pada standar heteroseksual. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya rasa kehilangan dan kesedihan karena hampir semua individu tumbuh dengan harapan heteroseksual dan standar perilaku tertentu. Dengan kata lain, individu mengalami rasa pengasingan sosial. Individu bereaksi terhadap rasa pengasingan sosial tersebut dengan bermacam macam cara. Mereka dapat bereaksi positif dengan menghargai perbedaan pada dirinya dan mulai mengurangi pentingya heteroseksualitas dalam hidup mereka. Namun ada kalanya mereka masih perlu berpurapura sebagai heteroseksual karena mareka belum siap menghadapi konfrontasi negatif tentang orientasi seksualnya. Banyak individu yang pada tahap ini menolak identitas seksual sesama jenis, walaupun mereka menyadari perasaan dan perilaku mereka terhadap sesama jenis. Mereka dapat saja mengatakan bahwa perilaku seksual

9 26 mereka sebagai akibat dilecehkan secara seksual atau hanya keadaan sementara. Mereka mungkin menolak identitas seksual sesama jenisnya karena takut reaksi negatif dari orang lain. 3) Identity Tolerance Individu menerima kemungkinan dirinya homoseksual dan mengenali kebutuhan seksual, emosional, dan sosial yang menyertainya. Adapun karakteristiknya antara lain : Individu mulai dapat menerima orientasi seksual mereka terhadap sesama jenis sehingga mulai muncul peningkatan komitmen dan toleransi terhadap identitas seksualnya. Pada umumnya ada peningkatan keterlibatan dengan orang orang dari kelompok gay atau lesbian, dimana support group yang memahami permasalahan individu tersebut, bertambahnya kesempatan untuk menemukan pasangan dan menemukan panutan, serta kesempatan untuk merasa nyaman dengan identitas barunya itu. Individu mulai coming out pada tahap ini. Namun karena masih banyaknya diskriminasi dan penolakan terhadap homoseksual, maka harus diputuskan seberapa jauh individu akan terbuka mengenai orientasi seksualnya. Individu yang mengalami pengalaman buruk pada tahap ini mungkin tidak akan pernah bisa maju lebih jauh ke tahap perkembangan identitas selanjutnya. Namun bagi mereka yang mempersepsikan pengalamannya secara positif pada akhirnya akan mempunyai cukup komitmen terhadap identitasnya untuk mengatakan Saya seorang

10 27 lesbian/gay/biseksual. 4) Identity Acceptance Individu menerima (dan bukan sekedar mentoleransi) gambar diriya sebagai homoseksual dan mulai meningkatkan hubungan dengan kelompok sesama gay/lesbian (kultur gay/lesbian). Individu pada tahap ini mempunyai karakteristik sebagai berikut : Individu menerima gambar dirinya sebagai lesbian, gay atau biseksual (tidak sekedar mentoleransi). Sudah memiliki hubungan yang berkelanjutan dengan kultur lesbian atau gay. Bersamaan dengan lanjutnya hubungan tersebut, individu mempunyai identifikasi positif dengan orang lain yang memiliki orientasi sejenis. Sikap dan gaya hidup orang lain tersebut akan sangat berpengaruh terhadap kenyamanan individu dalam mengekpresikannya. 5) Identity Pride Pada tahap ini, individu memiliki hubungan yang semakin dalam dengan kultur gay/lesbian. Interaksinya dengan heteroseksual pun semakin berkurang. Karakteristik individu dalam tahap ini adalah : Individu tidak lagi menggunakan standar heteroseksual dalam penilaian diri sendiri maupun orang lain. Semakin individu mengidentifikasikan diri dengan komunitas itu juga semakin mendalam. Terkadang orang orang pada tahap ini berusaha keras menentang diskriminasi dan homophobia. Untuk sebagian besar individu,

11 28 tahap ini adalah tahap amarah (angry state). Usaha untuk menutupi orientasi seksual semakin diabaikan, meskipun Coming Out tetap menjadi salah satu tantangan terbesar bagi gay dan lesbian saat mereka mencoba membentuk identitasnya. Seorang individu akan maju ke tahap akhir pembentukan identitas seksual ditentukan oleh reaksi dari orang orang terdekatnya. Apabila sebagian besar memberikan reaksi negatif, individu dapat merasa bahwa heteroseksual adalah lawan dan tidak dapat dipercaya. Apabila reaksi yang diberikan positif dan menerima barulah individu dapat maju ke tahap akhir. 6) Identity Synthesis Pada tahap akhir ini, individu mengintegrasikan identitasnya sebagai gay/lesbian dengan aspek kepribadian lainnya. Karakteristik individu pada tahap ini adalah : Individu akhirnya menyadari bahwa dunia tidak terbagi dalam kita (para gay, lesbian, dan biseksual) dan mereka (para heteroseksual), tetapi mulai melihat gay, lesbian, dan biseksual sebagai individu individu dengan orientasi seksual yang berbeda beda. Tidak semua heteroseksual dipandang secara negatif, dan tidak semua orang dengan orientasi sama jenis dipandang secara positif. Kemarahan yang seringkali dialami pada tahap kelima mulai berkurang. Aspek gay, lesbian, atau biseksual dalam identitas individu dapat diintegrasikan dengan aspek lainnya dalam diri dan kepribadian. Dengan terintegrasinya identitas sebagai gay/lesbian/biseksual ke dalam diri

12 29 individu, maka selesailah proses pembentukan identitas. Dari uraian di atas, maka dapat dikatakan bahwa faktor faktor yang mempengaruhi pembentukan identitas seksual yaitu : Reaksi dari Significant Others Dalam usahanya untuk membentuk identitas seksual, individu terus menerus mendapatkan reaksi dari orang orang sekitarnya. Apabila individu terus menerus mendapat reaksi negatif, ia tidak akan dapat mengembangkan identitasnya ke tahap- tahap selanjutnya. Self Acceptance Derajad penerimaan diri merupakan salah satu aspek terpenting dalam pembentukan identitas seksual. Bila individu dapat menerima dirinya secara utuh dan merasa nyaman dengan diri sendiri, maka ia akan dapat mengembangkan kepribadiannya secara maksimal Pola Intimasi Hubungan Homoseksual dan Heteroseksual Brehm (1992) mendefinisikan Intimate Relationships sebagai hubungan persahabatan atau hubungan romantik di antara orang dewasa. Sedangkan Whitfield (1993) mendefinisikan Intimate Relationships sebagai suatu hubungan antara dua orang yang saling berbagi dan membuka diri sepanjang hubungan mereka. Mason (dalam Whitfield, 1993) juga mengatakan bahwa suatu hubungan dapat disebut Intimate Relationships jika dalam hubungan tersebut pasangan saling sedikitnya empat atau lima dari sembilan aspek kehidupan yang ada.

13 30 9 aspek kehidupan tersebut adalah : 1) Aspek sosial Pasangan saling berbagi pengalaman dalam kelompok masyarakat atau kehidupan sosial. 2) Aspek intelektual Pasangan saling berbagi pemikiran dan ide ide diantara mereka. 3) Aspek emosional Pasangan saling berbagi perasaan satu sama lain. 4) Aspek fisik Pasangan saling membantu dan kerjasama dalam berbagai kegiatan. 5) Aspek rekreasi Pasangan saling berbagi kegiatan yang sifatnya rekreatif. 6) Aspek estetika Pasangan saling berbagi tentang segala hal yang menurut mereka indah, bagus, menarik atau artistik. 7) Aspek afeksi Pasangan saling berbagi kasih sayang melalui sentuhan, kelembutan, atau perhatian. 8) Aspek seksual Pasangan saling berbagi kegiatan seksual. Tetapi hal ini baru terjadi pada pasangan yang memiliki kedekatan secara mendalam. 9) Aspek spiritual Pasangan saling berbagi pengalaman spiritual satu sama lain.

14 31 Bagi pasangan gay yang ingin hidup bersama, Cohabitation atau hidup bersama tanpa adanya pernikahan yang sah, merupakan satu satunya pilihan, khususnya di negara yang tidak mengakui pernikahan sesama jenis (Miracle, Miracle, & Baumeister, 2003). Hal ini banyak dilakukan oleh seorang gay yang memiliki pasangan karena sebagian dari mereka menginginkan hubungan cinta yang stabil dan lebih memiliih hubungan yang sifatnya kasus (Bell & Wienberg dalam Peplau, 1982). Model hubungan pasangan gay tidak mengikuti model hubungan heteroseksual. Hubungan pasangan gay dan lesbian lebih menyerupai model persahabatan, dengan tambahan elemen romantik (Harry & DeVall dalam Peplau, 1982). Berdasarkan Bell, Weinberg dan Hammersmith (dalam Green & Herek, 1994) terdapat beberapa gaya hidup seorang gay, sebagai berikut ; Close Coupled Homosexuals: seorang homoseksual yang mempunyai hubungan dekat dengan satu pasangan. Ia dan pasangannya menyadari bahwa mereka adalah pasangan yang telah menikah atau berkomitmen. Mereka mempunyai sedikit masalah dan cenderung dapat menyesuaikan diri dengan masyarakat sekitar. Open Coupled Homosexuals; seorang homoseksual yang hidup dengan satu pasangan dalam hubungan yang stabil, tetapi memiliki pasangan seksual yang lain di luar sana. Functional Homosexual; seorang homoseksual yang hidup tanpa pasangan yang tetap dan kurang tertarik untuk tinggal bersama.

15 32 Dysfunctional Homosexual, seorang homosexual yang hidup tanpa pasangan yang tetap dan sangat aktif dalam melakukan hubungan seksual. Asexual Homosexuals; seorang homoseksual yang memilih hidup tanpa pasangan, baik karena pilihan atau karena tidak dapat mencari pasangan Resiko dari Homoseksualitas Setiap identitas yang melekat pada seseorang, setiap keputusan yang dibuat, setiap tindakan yang dilakukan pasti mengandung resiko. Bahkan hidup sendiri adalah sebuah resiko yang harus dijalani dan dihadapi. Demikian juga dengan identitas seksual, baik itu heteroseksual homoseksual, biseksual semuanya memiliki resiko yang harus dijalani dan dihadapi. Berbicara mengenai homoseksual, resiko rentan yang dihadapi oleh homoseksual, dapat dilihat dari dua sudut pandang yaitu berdasarkan sumber resiko dan jenis resiko : 1) Sumber Resiko (a) Resiko yang harus dihadapi dari lingkungan eksternal. Keberadaan kaum homoseksual di tengah tengah masyarakat dan di dalam interaksi dengan lingkungan senantiasa dihadapkan pada norma, nilai nilai dan aturan tertulis maupun tidak tertulis serta stereotype yang berlaku di masyarakat. Misalnya saja hukum negara yang tidak memperbolehkan terjadinya pernikahan antara sesama jenis kelamin, norma agama, menutup kesempatan bagi kaum homoseksual untuk berkarya.

16 33 (b) Resiko yang berasal dari perilaku sendiri / lifestyle Gaya hidup tertentu pada kaum homoseksual dapat beresiko terhadap kesehatan fisik maupun mental dan emosional, seperti berganti ganti pasangan dalam berhubungan seksual, melakukan hubungan seksual yang tidak aman (tidak menggunakan kondom), melakukan anal seks, minum-minuman keras dan narkoba. Penelitian mengenai homoseksual pria menunjukkan bahwa lebih dari 75% pria homoseksual mengaku telah melakukan hubungan seksual bersama lebih dari 100 pria berbeda sepanjang hidup mereka, sekitar 15% dari mereka pernah mempunyai pasangan seks, 17% mengklaim mempunyai , 15% pernah mempunyai dan 28% mengatakan pernah berhubungan dengan lebih dari 1000 orang dalam hidup mereka (Bell AP, Weinberg MS. Homosexualities, New York 1978). 2. Jenis Resiko Berdasarkan jenis resiko, resiko yang rentan dihadapi oleh homoseksual dapat dibedakan menjadi tiga : (a) Resiko sehubungan dengan kesehatan mental dan emosional Sebuah penelitian di Inggris menemukan bahwa orang orang homoseksual 50% lebih rentan mengalami depresi dan menggunakan narkoba jika dibandingkan dengan populasi norma lainnya. Dua penelitian yang dilakukan oleh American Medical Association Archives of General Psychiatry pada Oktober 1999 menyatakan adanya

17 34 hubungan yang kuat antara homoseksualitas dan perilaku bunuh diri, demikian juga dengan gangguan mental dan emosi lainnya. Dinamika penyebab gangguan mental dan emosional : Tekanan psikologis terhadap penderitaan/kondisi yang tidak menyenangkan seperti homophobia, HIV/AIDS, PMS, masalah body image. Tekanan psikologis dapat membuat seorang homoseksual menjadi stres dan ketika ia tidak mampu menghadapi stres, dirinya menjadi tidak terkendali dan tidak mampu mengkontrol dirinya sendiri. Dalam situasi ini dikendalikan sepenuhnya oleh emosi emosi negatif di dalam dirinya seperti depresi, kecemasan, mengasihi diri sendiri, amarah, iri hati. Negative Self Image Negative Self Image terjadi ketika seseorang memandang dan menyakini dirinya tidak berharga, rendah diri dan tidak berdaya. Konsep homophobia internal melihat pada sebuah pemikiran dimana kita membangun Self Image negatif akan diri kita sendiri akibat dari perlakuan orang lain terhadap seksualitas kita selama bersosialisasi (Keogh, Peter, 2001). Negative Self Image terbentuk pada seorang homoseksual ketika ia memberikan tekanan nilainilai, sikap atau tindakan tertentu, serta fakta diskriminatif dalam beberapa hal seperti hukum, norma, nilai nilai, aturan aturan tertentuserta dihadapkan pada pengalaman masa lalu yang menyakitkan (ditolak dan dianiaya, disakiti secara fisik maupun

18 35 emosional oleh keluarga, teman masa kecil). Perlakuan dari masyarakat (Homophobia) seperti dengan memberlakukan stereotype tertentu mengenai homoseksual, memberikan label negatif tertentu, (Keogh, Peter, 2001). Terlibat dalam melakukan hubungan seksual (hubungan intim) homoseksual. Persepsi dan sikap seorang homoseksual yang dilakukan memiliki konsekuensi terhadap kesehatan mental dan emosionalnya. Ketika ia menaruh persepsi dan sikap negatif terhadap hubungan seksual yang dilakukannya maka perasaan perasaan tidak menyenangkan hadir dalam dirinya dan mengganggunya. Persepsi dan sikap negatif ini bisa berwujud pada perasaan bersalah, ketakutan, rasa malu karena keyakinan bahwa hubungan seksual yang dilakukannya tidak baik, keyakinan bahwa hubungan seksual yang dilakukannya bukanlah atas kehendak bebasnya sendiri, keyakinan bahwa hubungan seksual yang dilakukannya tidak membawanya pada apapun akhirnya membentuk mata rantai yang tidak sehat, menyakiti diri sendiri, melakukan hubungan seksual berulangulang dan seterusnya. (b) Resiko sehubungan dengan kesehatan fisik / biologis Perilaku seksual dapat berisiko mengganggu kesehatan fisik / biologis pada kaum homoseksual. Seperti melakukan hubungan seksual bebas / berganti ganti pasangan bahkan dengan orang yang tidak dikenal,

19 36 melakukan hubungan seksual yang tidak aman seperti tidak menggunakan kondom dan tidak mengetahui diagnosa / status kesehatan pasangan main, dan melakukan anal seks adalah perilaku perilaku seksual yang berisiko pada kaum homoseksual. Dr. Xindou melakukan penelitian mengenai penyebaran HIV di kalangan homoseksual di Belanda dan menemukan bahwa penyebaran HIV lebih cepat diantara pasangan homoseksual yang menganggap mereka menjalani Steady Relationship / hubungan tetap. Pasangan pasangan ini gagal untuk melibatkan diri dalam perilaku seks aman dan terlibat 6-10 hubungan seksual tambahan diluar dari hubungan dengan pasangan utama mereka tiap tahunnya (AIDS, 17: ,2003). Resiko resiko gangguan kesehatan yang dapat dialami dari perilaku seksual tidak sehat tersebut antara lain : HIV/AIDS, kanker anal, STD s (penyakit menular seksual) seperti herpes, sifilis, dll. (c) Resiko yang sehubungan dengan kedua duanya (kesehatan mental dan emosional dan kesahatan fisik / biologis). Domestic Violence (kekerasan dalam suatu relasi) Penyalahgunaan narkoba

20 Kehidupan Homoseksual Kehidupan Homoseksual di Dalam Keluarga Perdebatan terhadap kaum homoseksual baik kaum gay dan lesbian membuahkan sikap negatif dari lingkungan sosial. Akan tetapi sikap negatif oleh masyarakat lebih kuat terhadap kaum gay daripada kaum lesbian (Knox, 1984). Hal ini disebabkan adanya anggapan dan harapan dari masyarakat bahwa laki laki harus menikah dan memberikan anak kepada istri dan anak (Oetomo, 2003). Selain itu keberadaan kaum gay lebih teramati dan terlihat dalam kehidupan sehari hari sehingga masyarakat semakin bersikap negatif dengan harapan mereka hilang dari kehidupan sosial (Bonan, 2003 & Pace, 2002). Perlakuan yang demikian tidak hanya didapatkan dari masyarakat sosial, akan tetapi yang paling menyakitkan adalah penolakan dan penganiayaan dari keluarga seperti orangtua, saudara, teman sebaya dan sahabat mereka (Jorm, Korten, Rodgers, Jacomb, & Christensen, 2002). Kaum gay memiliki dukungan yang sangat rendah dari keluarga dan teman teman karena orientasi seksual mereka. Mereka dihujat, diisolasi, dianggap kutukan Tuhan dan dibuang dari keluarga mereka (Bates, 2005; Cochran & Susan, 2001; Coker, 2008; Commonwealth of Australia, 2008; Dohrenwed, 2000; Greene, 2003).

21 Kehidupan Homoseksual di Masyarakat Dilihat dari segi usia, dunia gay ditandai oleh dominannya kaum remaja dan muda usia. Menarik untuk diteliti di masa mendatang apa yang terjadi pada gay yang sudah setengah umur. Ada dugaan bahwa sesudah usia 30 tahun, dorongan untuk menikah dari keluarga sangat kuat sehingga sebagian gay hidupnya itu atau melakukannya dengan sembunyi sembunyi (Dede Oetomo dalam Prisma, 1991). Kaum lesbian dan gay Indonesia, seperti di banyak kawasan dunia ketiga lainnya kebanyakan terpengaruh oleh gaya hidup lesbian/gay Barat dalam bentuk mencari hiburan dan pasangan di bar, pub, dan disko serta taman taman. Di kota kota besar setidaknya di Jawa terdapat bordil bordil tak resmi yang menyediakan pekerja seks laki laki. Pekerja semacam itu yang tak terikat juga banyak mangkal orang gay. Kaum gay banyak ditemukan di dunia glamor seperti pada dunia tata busana, tata rias, tarik suara dan seni pertunjukkan pada umumnya. (Oetomo dalam Prisma, 1991). Kuat dugaan bahwa kehidupan gay yang relatif tampak ini sebetulnya hanyalah puncak gunung es. Maksudnya lebih banyak lagi orang orang berperilaku homoseksual yang ada di masyarakat kita, yang tidak saling kenal satu sama lain. Kaum homoseks yang berada di bawah permukaan ini cenderung menjalani gaya hidup yang kurang glamor dan lebih tertutup. Khusus dalam hal kaum lesbian, status mereka sebagai perempuan yang dalam masyarakat Indonesia cenderung tidak mempunyai kebebasan seperti laki laki, membuat mereka jauh

22 39 lebih tertutup dan terselubung dalam menyalurkan dorongan seksualnya, (Oetomo dalam Prisma, 1991). Masyarakat Indonesia modern, khususnya kelas bawah juga lebih toleran terhadap perilaku homoseksual non genital. Toleransi ini barangkali dapat dijelaskan sebagai kurang terpengaruhnya modernisasi kelas bawah masyarakat Indonesia sejauh ini. Pada kelas menengah ke atas, toleransi ini dapat dihipotesiskan sebagai terusan dari toleransi yang ada dalam masyarakat nusantara tradisional. Malah dikatakan bahwa di kelas bawah penerimaan terhadap anggota homoseksual lebih manusiawi (Oetomo dalam Prisma, 1991). Persekusi kepada mereka yang berperilaku homoseksual cenderung terjadi karena yang bersangkutan melakukannya secara terpaksa atau dengan anak-anak kecil (pedofilia). Itu pun harus diakui bahwa perlakuan terhadap seseorang yang ketahuan memperkosa sesama jenis atau pedofilia cenderung jauh lebih ringan daripada perbuatan laki laki dan perempuan yang tertangkap basah melakukan hubungan seks di luar nikah (Oetomo dalam Prisma, 1991). Secara formal-rasional, ada stigma terhadap perilaku homoseksual, terutama pada kelas menengah urban modern yang merupakan pengaruh dari homophobia Barat. Pengaruh homophobia Barat itu juga datang dari agama Islam dan Kristen. Di kalangan sebagian kecil ulama Kristen ada usaha menerima orang orang homoseks apa adanya. Setidaknya satu sekte Kristen Protestan yang tidak ingin disebutkan identitasnya telah secara serius dan terbuka membicarakan konseling yang terbuka bagi anggota jemaat yang homoseks dan di kalangan rohaniwan rohaniwan Katolik ada yang secara pribadi menerima anggota

23 40 umatnya sebagai biasa biasa saja. Juga Metropolitan Community Church, gereja khusus lesbian dan gay dari Amerika Serikat telah mendirikan cabangnya di Jakarta sejak 1986 yang lalu namun konon sejak 1988 sudah non aktif. Dalam beberapa suku di tanah air, seorang homoseks mendapatkan jabatan sakral seperti perantara dengan dunia arwah (antara lain pada suku Dayak Ngaju yang dikenal dengan sebutan Basir), Shamon (antara lain pada suku Toraja Pamona, yang dikenal dengan sebutan tadu aburake) atau penjaga pusaka di istana kerajaan (antara lain suku Makassar yang dikenal dengan nama Bissu). Pemolaan homoseksualitas dalam masyarakat-masyarakat nusantara sebagaimana diuraikan sampai sekarang pun masih ada dalam masyarakatmasyarakat itu. Sekilas lintas memang pernyataan seperti ini mudah disangsikan. Karena pengaruh peradaban Barat atau Islam modernis yang diwacanai homophobia (sikap, perasaan dan tindakan anti homoseksualitas) melanda sebagian anggota masyarakat Indonesia modern sehingga mengharamkan pula homoseksualitas sehingga cenderung setidak tidaknya pada forum rasional, menganggap bahwa gejala semacam itu sudah tidak ada lagi, terhapus oleh modernisasai bahkan tidak mengakuinya. Dengan demikian dapat kita lihat bagaimana homoseksualitas sudah ada sejak dahulu di tanah Indonesia bahkan dalam berbagai daerah dan kebudayaan serta masuk dalam dunia para santri.

24 Perkembangan Psikososial Masa Dewasa Awal Peneliti mempunyai subjek yang berada pada tahapan dewasa awal bila dilihat dari teori perkembangan psikososial Erik Erikson. Tahap keenam perkembangan psikososial Erikson yaitu Intimacy versus Isolation dimana dewasa awal dituntut untuk saling berkomitmen atau menghadapi rasa pengasingan dan keterpakuan pada diri sendiri. Namun demikian, mereka tetap membutuhkan pengasingan diri guna menghasilkan refleksi tentang hidup mereka. Seiring dengan mereka menyelesaikan tuntutan keintiman persaingan, dan jarak yang bertentangan, mereka mengembangkan etis (sense of ethical) yang Erikson pertimbangkan sebagai tanda kedewasaan dan hal ini dikembangkan menjadi kesadaran diri (Sense of Self) semasa remaja untuk meleburkan identitas mereka dengan identitas orang lain (Erikson, dalam Papalia, 2009). Resolusi pada tahap dewasa muda menghasilkan kekuatan cinta; pengabdian timbal balik antara pasangan yang telah memilih untuk membagi kehidupan mereka secara bersama-sama, memiliki anak, dan membantu anak mereka mencapai perkembangan yang sehat. Keputusan untuk tidak memenuhi dorongan memberikan keturunan yang alamiah ini memiliki konsekuensi serius terhadap perkembangan, menurut Erikson. Walaupun teorinya ini dikritik karena tidak memasukkan orang-orang yang melajang, berselibat, homoseksual, dan tanpa anak ke dalam cetak birunya mengenai perkembangan sehat dan juga mengadopsi pola laki-laki dalam mengembangkan keintiman setelah menikah. (Erikson, dalam Papalia, 2009).

25 42 Erikson memandang perkembangan hubungan yang intim sebagai tugas penting masa dewasa awal. Kebutuhan untuk membentuk hubungan yang kuat, stabil, dekat dan penuh perhatian merupakan motivator penting dari tingkah laku manusia. Unsur penting dari keintiman adalah pengungkapan diri (Self Disclosure); membuka informasi penting tentang diri sendiri kepada orang lain. Hubungan yang intim menuntut ketrampilan tertentu, seperti kepekaan, empati, dan kemampuan mengkomunikasikan emosi, menyelesaikan konflik, mempertahankan komitmen, dan bila hubungan potensial secara seksual, mengambil keputusan seksual. Ketrampilan tersebut bersifat terpusat sejalan dengan dewasa awal memutuskan apakah mereka akan menikah atau menjalin hubungan tanpa menikah atau homoseksual, dan memiliki anak atau tidak (Lambeth & Hallet, dalam Papalia 2009) 2.3 Pernikahan Manusia dalam hidupnya memerlukan orang lain dan berproses hingga menemukan cinta. Dalam Papalia (2009) kebanyakan orang menyukai cerita cinta, termasuk cerita mereka sendiri. Menurut sebuah subteori cinta (Duplex Theory of Love) dari Robert J. Sternberg (1995; 1998b; dalam proses cetak), cara cinta berkembang sudah merupakan sebuah cerita. Para kekasih adalah penulis ceritanya, serta jenis cerita yang mereka ciptakan mencerminkan kepribadian mereka dan konsepsi mereka tentang cinta. Dalam Papalia (2009) dikatakan, memikirkan cinta sebagai suatu kisah dapat membantu kita bagaimana orang memilih dan mencampur unsur alur -nya.

26 43 Menurut subteori Sternberg yang lain, subteori segitiga cinta (Triangular Subtherory of Love) (1986; 1998a; dalam proses cetak), ketiga unsur atau komponen, cinta adalah keintiman, gairah dan komitmen. Keintiman, unsur emosional, melibatkan pengungkapan diri, yang mengarah kepada keterikatan, kehangatan, dan rasa percaya. Gairah, unsur motivasional, didasari oleh dorongan yang mentranlasi rangsangan fisiologis menjadi hasrat seksual. Komitmen, unsur kognitif, merupakan keputusan untuk mencintai dan bertahan dengan sang kekasih. Sehubungan dengan subjek yang mempunyai perilaku homoseksual dan sudah menikah, peneliti mencoba melihat apakah itu pernikahan yang dimulai dari rasa keterikatan, cinta dan akhirnya menuju ke pelaminan Alasan Untuk Menikah Setiap orang mempunyai alasannya sendiri untuk melangkah ke jenjang pernikahan, beberapa alasan untuk menikah menurut (Turner & Helms, 1995) sebagai berikut : 1) Cinta Cinta dan komitmen yang dibagi bersama pasangan seringkali menjadi alasan utama untuk menikah. Pasangan memiliki hasrat untuk membagi dirinya dalam hubungan yang berlanjut dan hangat. 2) Companionship Mencari Companionship merupakan cara lain mengungkapkan bahwa seseorang tidak ingin sendiri (Williams, 2006). Kesempatan untuk

27 44 menghabiskan hidup dengan seseorang dalam institusi yang permanen dan jelas merupakan alasan lain yang cukup penting. Hal ini dapat membawa kesejahteraan psikologis dan emosional, dimana dapat menumbuhkan perasaan aman dan nyaman (Turner & Helms, 1995). 3) Konformitas Bagi banyak pasangan, pernikahan merupakan suatu hal yang harus dilakukan untuk melakukan aktivitas seksual, meskipun banyak kini pria dan wanita yang melakukan hubungan seksual pra nikah. 4) Legitimasi untuk mendapatkan anak. Anak yang dilahirkan melalui hubungan pernikahan memiliki identitas yang terlegitimasi. Beberapa kalangan masyarakat memandang bahwa perilaku melahirkan di luar pernikahan adalah tidak bermoral. 5) Menandakan kesiapan Banyak pasangan mengatakan bahwa keputusan untuk menikah muncul saat mereka merasa siap. Pasangan sudah menyelesaikan segala sesuatu yang ingin dicapainya sebelum menikah, termasuk menyelesaikan pendidikan, berkarir, mengurus masalah pribadi atau keluarga. 6) Keuntungan legal Suatu pernikahan tentunya dapat memberikan pasangan untuk berbagi pajak dan bagi pasangan yang memperhatikan masalah kesejahteraan ekonomi dari hubungan mereka, alasan ini seringkali mendapat perhatian mendalam.

28 Pengertian Pernikahan Di Indonesia, pernikahan diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Pernikahan yang berbunyi : Perkawinan ialah ikatan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (Rumah Tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa Sementara Strong dan DeVault (1989) memberikan definisi yang lebih jelas dan rinci mengenai pernikahan, yaitu: Marriage is a union between a man and a woman; they perform a public ritual (which means that their union is socially recognized, they are united sexually, and they cooperate in economic matters. The union is assumed to be more or less permanent. If they have children, their children will have will have certain legal rights. Jadi, pernikahan adalah satu kesatuan antara laki-laki dan perempuan yang dilakukan melalui upacara keagamaan di depan publik sehingga hubungan keduanya diakui secara sosial dan seksual. Selanjutnya dikatakan bahwa hubungan keduanya bersifat menetap dan melibatkan suatu kerja sama dalam hal ekonomi. Dengan demikian, jika keduanya memiliki anak, maka anak-anak mereka diakui secara sah Faktor- Faktor Yang Mempengaruhi Kepuasan Pernikahan Kepuasan pernikahan dipengaruhi oleh dua kelompok faktor, yaitu faktorfaktor sebelum pernikahan dan faktor-faktor selama pernikahan (premarital variables dan marital variables) (Lewis & Spanier,dalam Heaven,1992; Duvall & Miller,1985). Yang dimaksud dengan faktor-faktor sebelum pernikahan adalah faktor-faktor yang tidak dapat diubah lagi setelah pernikahan terjadi, sifatnya

29 46 permanen, sedangkan faktor-faktor selama pernikahan masih dapat diubah atau diperbaiki setelah pasangan melakukan pernikahan dan berperan besar dalam menentukan tercapainya kepuasan pernikahan (Duvall & Miller,1985). Teori kepuasan pernikahan yang ada dan saling melengkapi serta berhubungan dengan teori psikologi yang mempelajari need dan value dimana salah satunya adalah Teori Maslow. Teori ini menyatakan bahwa manusia adalah mahluk sosial yang berkeinginan. Keinginan ini terjadi secara terus-menerus dan hanya akan berhenti bila akhir hayat tiba. Suatu kebutuhan yang telah dipuaskan tidak menjadi alat motivator bagi pelakunya, hanya kebutuhan yang belum terpenuhi yang akan menjadi motivator. Maslow membagi kebutuhan manusia berdasarkan tingkatan hierarki yang diawali dengan kebutuhan manusia paling dasar. Berikut merupakan susunan hierarki kebutuhan Maslow (Schultz, 1994): 1. Kebutuhan fisiologis (Physiological needs) Maslow berpendapat bahwa orang yang kelaparan akan memikirkan, memimpikan dan mendambakan makanan saja. Tapi yang paling penting adalah pemenuhannya. Kebutuhan fisiologis menjadi lebih penting sebagai kekuatan motivasi dalam budaya dimana kelangsungan hidup dasar sehari-hari lebih diperhatikan. 2. Kebutuhan rasa aman (Safety needs) Maslow menyakini bahwa kebutuhan akan rasa aman sangat penting pada masa bayi dan pada orang dewasa yang neurotis. Kesehatan emosional orang dewasa dipenuhi/dipuaskan oleh kebutuhan rasa aman. Kepuasan tersebut membutuhkan stabilitas, keamanan dan kebebasan dari rasa takut dan cemas.

30 47 3. Kebutuhan cinta (Love needs) Kebutuhan ini dapat ditunjukkan dengan berbagai cara seperti melalui hubungan dekat dengan sahabat, orang yang dicintai atau pasangan; ataupun melalui hubungan sosial yang dibentuk dalam kelompok yang sudah dipilih. 4. Kebutuhan akan harga diri (Self-esteem needs) Setelah kita merasa dicintai dan memiliki sense of belonging, kemudian kita mengembangkan kebutuhan untuk harga diri. Pemenuhan dari kebutuhan ini mengarahkan kita kepada rasa kepercayaan terhadap kekuatan, keberhargaan dan kelengkapan. 5. Aktualisasi diri (Self-actualization) Aktualisasi diri merupakan realisasi dan pemenuhan dari potensial dan kemampuan kita. Maslow berpendapat bahwa kita termotivasi untuk menjadi apa yang kita harapkan di masa mendatang. Dengan adanya teori dari Maslow ini, terdapat pendorong yang berkaitan dengan perasaan positif terhadap Pernikahan sehingga membawa kepuasan dalam pernikahan Faktor-faktor Sebelum Pernikahan Berikut ini penjelasan mengenai faktor-faktor tersebut berdasarkan penggolongan yang dikemukakan Duvall dan Miller serta Lewis dan Spanier: 1) Pernikahan Orangtua Menurut Greenberg dan nash (dalam Stinnet, Walters & Kaye,1984; Duvall & Miller, 1985), apabila orang tua dari dua individu yang berpasangan

31 48 memiliki pernikahan yang memuaskan, maka pasangan tersebut cenderung memiliki pernikahan yang memuaskan pula. Hal ini mungkin disebabkan pernikahan orangtua merupakan model bagi anak-anak mereka. Anak-anak yang orangtuanya mengalami kepuasan pernikahan akan menganggap bahwa pernikahan merupakan sesuatu yang menyenangkan dan mereka dapat melihat bagaimana cara bertingkah laku sebagai pasangan pernikahan (Lewis & Spanier, dalam Heaven,1992). 2) Masa Kanak-kanak Individu yang memiliki masa kanak-kanak yang bahagia cenderung memiliki pernikahan yang memuaskan. Hubungan positif yang terjalin antara anak dan orangtua yang ditampilkan dengan adanya kehangatan, penerimaan, dan dukungan merupakan hal yang penting sebagai usaha mempersiapkan anak dalam menjalani berbagai bentuk hubungan pada masa yang akan datang, termasuk hubungan dalam pernikahan 3) Pendidikan Pendidikan merupakan sumber personal yang menurut Duvall dan Miller (1985) maupun Lewis dan Spanier (dalam Heaven,1992) turut mempengaruhi kepuasan pernikahan seseorang. Selain itu, Dwyer (1983) menambahkan bahwa berdasarkan hasil suatu penelitian terhadap kepuasan pernikahan, semakin tinggi pendidikan kedua pasangan semakin tinggi pula kepuasan pernikahan mereka.

32 49 4) Berpacaran Masa perkenalan sebelum pernikahan berhubungan dengan kepuasan pernikahan. Pendapat ini sesuai dengan hasil penelitian Kirkpatrick (dalam Bell,1973) yang menunjukkan bahwa masa perkenalan yang dilanjutkan dengan masa berpacaran selama minimal 1 tahun akan mendukung tercapainya kepuasan pernikahan. 5) Usia Saat Melakukan Pernikahan Kematangan seseorang mempengaruhi kepuasan pernikahan yang dirasakannya, dan kematangan ini berkaitan erat dengan usia orang tersebut. 6) Restu Orangtua Pasangan yang pernikahannya direstui orang tua mereka cenderung memiliki penyesuaian yang lebih baik daripada pasangan yang pernikahannya tidak direstui. Selanjutnya ditambahkan bahwa restu orangtua berkaitan erat dengan prospek hubungan dan kepuasan pernikahan secara umum di masa yang akan datang. 7) Homogami Lewis & Spanier (dalam Heaven,1992) menyatakan bahwa homogami adalah prinsip persamaan karakteristik yang dimiliki dua individu yang berpasangan. Pasangan yang melakukan pernikahan dan mereka memiliki persamaan karakteristik, atau hubungan homogami, lebih cenderung mencapai kepuasan pernikahan. Hal ini mungkin disebabkan pasangan yang memiliki persamaan karakteristik atau homogami dapat merasakan kecocokan personal di antara mereka.

33 Faktor-faktor Selama Pernikahan 1) Komunikasi di antara pasangan Berdasarkan hasil penelitian Fitzpatrick (dalam bird & Melville,1994) dan Navran (dalam Atwater,1983), komunikasi yang baik dan sering lebih banyak terdapat dalam kelompok pasangan pernikahan yang puas dibandingkan dengan kelompok pasangan pernikahan yang tidak puas terhadap pernikahan mereka. Namun sayangnya kebanyakan pasangan dalam pernikahan tidak mempersiapkan diri dengan cukup dalam hal komunikasi maupun keterampilan interpersonal lainnya yang diperlukan dalam kehidupan pernikahan. Komunikasi yang baik terjadi apabila pasangan mampu membicarakan berbagai macam topik, membentuk saling pengertian, menunjukkan sensitivitas terhadap pasangan serta melengkapi komunikasi verbal dengan komunikasi non verbal yang tepat. Selanjutnya Lewis dan Spanier (dalam Heaven,1992) menambahkan bahwa jika pasangan dalam pernikahan dapat berkomunikasi dengan baik, maka mereka dapat menegosiasikan perbedaanperbedaan di antara mereka dengan lebih baik sehingga mendukung tercapainya kepuasan pernikahan. 2) Pendistribusian Kekuasaan (Power) Dwyer (2000) menyatakan bahwa pendistribusian kekuasaan berpengaruh terhadap jumlah kepuasan yang dialami pasangan. Yang dimaksud dengan kekuasaan di sini adalah kemampuan untuk membuat orang lain menuruti permintaan seseorang.

34 51 Kekuasaan tergantung dari: 1) Ketergantungan psikologis masing-masing pasangan: individu yang lebih tidak tertarik terhadap pasangan maupun dalam hal melanjutkan hubungan memiliki kekuasaan lebih besar dalam perkawinan. 2) Sumber-sumber pribadi yang dibawa kedua belah pihak, seperti daya tarik, penghasilan, dan keterampilan. Semakin besar sumber pribadi yang dibawa dalam perkawinan, semakin besar pula kekuasaan yang dimilikinya. Pada hubungan perkawinan yang sejajar, di mana tidak ada pasangan yang saling mendominasi, pasangan cenderung merasa puas terhadap hubungan perkawinan (Duvall & Miller,1985). 3) Hubungan Seksual Dentler dan Pinoe (dalam Atwater,1983) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang sangat positif antara kepuasan perkawinan dan kehidupan seksual para pasangan. Permasalahan yang sering timbul dalam hubungan seksual antara pasangan adalah perbedaan yang mereka miliki dalam hal keinginan dan kepuasan yang didapat dari hubungan tersebut. Secara keseluruhan kepuasan dalam berhubungan seksual lebih tergantung pada kualitasnya, atau artinya bagi pasangan yang bersangkutan, daripada frekuensinya. Hubungan seksual dapat dianggap sebagai alat untuk mengekspresikan cinta dan sumber kesenangan yang intens. Pada perilaku seksual kaum Gay, Miracle (2003) menyatakan bahwa terdapat kecenderungan bagi mereka untuk secara mudah berganti-ganti

35 52 pasangan seksual walaupun mereka sudah berada dalam suatu ikatan hubungan. Lebih lanjut Miracle (2003) menyatakan bahwa tidak ada jawaban yang pasti mengapa kaum gay sering berganti-ganti pasangan dalam kegiatan seks mereka. Ada dugaan bahwa karena kaum Gay sudah belajar untuk memisahkan seks dengan keintiman ketika masa remaja, maka mereka lebih mudah terlibat dalam seks bebas 4) Perekonomian Keluarga Duvall dan Miller (1985) mengemukakan bahwa perekonomian keluarga yang memadai mendukung tercapainya kepuasan perkawinan. Kesulitan dalam perekonomian keluarga dapat memberikan tekanan emosi yang sangat berat bagi pasangan dan meningkatkan kecenderungan terjadinya konflik (Papalia,dkk, 2001). Lewis dan Spanier (dalam Heaven,1992) menekankan bahwa yang terpenting adalah persepsi dari pasangan yang bersangkutan itu sendiri mengenai perekonomian yang dianggap memadai. 5) Pembagian Peran Berdasarkan hasil penelitian Bowen dan Orthner (dalam Gullotta dkk,1986), hal terpenting dalam pembagian peran adalah kesepakatan kedua pasangan yang bersangkutan akan pilihan peran mereka. Saat pasangan samasama menjalankan peran sesuai dengan kesepakatan, mereka cenderung mendapatkan kepuasan (Burr, dalam Gullotta dkk,1986). Lewis dan Spanier (dalam Heaven,1992) menambahkan bahwa tingkat kepuasan akan semakin tinggi jika pembagian peran semakin adil, baik dalam pencarian nafkah maupun penyelesaian tugas rumah tangga.

36 53 6) Cinta Menurut Lewis dan Spanier (dalam Heaven,1992), cinta dapat meningkatkan toleransi terhadap kekurangan-kekurangan yang dimiliki masing-masing pasangan. Hal ini dapat mempengaruhi kepuasan perkawinan yang dirasakan oleh mereka. Rubin (dalam Dwyer,2000) menyatakan bahwa cinta terdiri dari tiga komponen, yaitu kelekatan, perhatian dan keintiman: - Kelekatan (attachment): kebutuhan yang kuat akan keberadaan fisik dan dukungan dari seseorang sekaligus keinginan agar kebutuhan tersebut terpenuhi oleh orang yang dimaksud. - Perhatian (caring): kepedulian terhadap seseorang yang dimanifestasikan dalam bentuk keinginan untuk membantu dan mendukung orang tersebut. - Keintiman (intimacy): keinginan untuk menjalin kedekatan berlandaskan rasa saling percaya. Berkaitan dengan komponen keintiman, Atwater (1983) menyatakan bahwa suatu keintiman lebih berhubungan dengan kualitas hubungan daripada lamanya kontak yang terjalin, walaupun biasanya terdapat hubungan yang positif di antara keduanya. Terdapat tiga kondisi yang berhubungan erat dengan keintiman yaitu: - Keterbukaan diri yang timbal balik (mutual self-disclosure): berkaitan dengan dua orang atau lebih yang secara sukarela saling berbagi pikiran dan perasaan mereka yang paling mendalam

37 54 - Kecocokan personal (personal compatibility): dasar utama dari kecocokan personal adalah persamaan karakteristik dalam hal: status soskal ekonomi, pendidikan, etnis, agama, nilai, sikap, minat dan temperamen (Atwater,1983; Gullotta dkk, 2986; Lewis & Spanier, dalam Heaven,1992). Winch (dalam Atwater,1983) mengajukan pendapat yang berbeda mengenai kecocokan personal. Menurutnya, kecocokan dapat disebabkan adanya perbedaan karakteristik yang dapat dipergunakan untuk saling melengkapi. Winch menamakan hal ini sebagai kecocokan berdasarkan prinsip komplementer. - Penyesuaian yang timbal balik (mutual accommodation): dalam hubungan berpasangan, individu-individu yang terlibat memiliki masing-masing harapan yang berbeda dari pasangan mereka sehingga dapat menimbulkan kesalahpahaman dan konflik. Hal ini dapat dihindari atau setidaknya dikurangi jika masing-masing individu saling melakukan penyesuaian.

BAB I PENDAHULUAN. dapat hidup sendiri tanpa berhubungan dengan lingkungannya atau dengan

BAB I PENDAHULUAN. dapat hidup sendiri tanpa berhubungan dengan lingkungannya atau dengan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Individu adalah makhluk sosial yang memiliki kebutuhan untuk menjalin hubungan dengan individu lain sepanjang kehidupannya. Individu tidak pernah dapat hidup

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Homoseksual berasal dari kata Yunani yaitu homo yang berarti sama.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Homoseksual berasal dari kata Yunani yaitu homo yang berarti sama. BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Homoseksual 2.1.1 Pengertian Homoseksual berasal dari kata Yunani yaitu homo yang berarti sama. Homoseksual dapat digunakan sebagai kata sifat atau kata benda yang menggambarkan

Lebih terperinci

B A B I I. kelembutan dan kepercayaan terhadap pasangan. Kemampuan membentuk sebuah. dirinya atau berpura-pura menjadi pribadi yang lain.

B A B I I. kelembutan dan kepercayaan terhadap pasangan. Kemampuan membentuk sebuah. dirinya atau berpura-pura menjadi pribadi yang lain. B A B I I L A N D A S A N T E O RI I. INTIMACY I. A. Pengertian Intimacy Kata intimacy berasal dari bahasa Latin, yaitu intimus, yang memiliki arti innermost, deepest yang artinya paling dalam (Caroll,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. I. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN Bab ini membahas mengenai latar belakang masalah, rumusan permasalahan penelitian, tujuan penelitian, signifikansi penelitian, isu etis, cakupan penelitian, dan sistematika penulisan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini,

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri tanpa kehadiran manusia lainnya. Kehidupan menjadi lebih bermakna dan berarti dengan kehadiran

Lebih terperinci

Perkembangan Sepanjang Hayat

Perkembangan Sepanjang Hayat Modul ke: Perkembangan Sepanjang Hayat Memahami Masa Perkembangan Dewasa Awal dalam Aspek Psikososial Fakultas PSIKOLOGI Hanifah, M.Psi, Psikolog Program Studi Psikologi http://mercubuana.ac.id Masa Dewasa

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkembangan isu gay di Indonesia meskipun tidak dikatakan pesat, kini

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkembangan isu gay di Indonesia meskipun tidak dikatakan pesat, kini 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Pendahuluan Perkembangan isu gay di Indonesia meskipun tidak dikatakan pesat, kini masyarakat mulai menyadari akan adanya keberadaan kaum gay disekitar mereka. Data yang dilansir

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. saling mengasihi, saling mengenal, dan juga merupakan sebuah aktifitas sosial dimana dua

BAB I PENDAHULUAN. saling mengasihi, saling mengenal, dan juga merupakan sebuah aktifitas sosial dimana dua BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pacaran merupakan sebuah konsep "membina" hubungan dengan orang lain dengan saling mengasihi, saling mengenal, dan juga merupakan sebuah aktifitas sosial dimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Homoseksualitas adalah salah satu fenomena sosial yang kontroversial

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Homoseksualitas adalah salah satu fenomena sosial yang kontroversial 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Homoseksualitas adalah salah satu fenomena sosial yang kontroversial sekaligus menarik untuk didiskusikan. Di Indonesia sendiri, homoseksualitas sudah meranah

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Bradburn (1969 dalam Ryff, 1989) membedakan psychological

BAB II LANDASAN TEORI. Bradburn (1969 dalam Ryff, 1989) membedakan psychological 15 BAB II LANDASAN TEORI A. PSYCHOLOGICAL WELL-BEING 1. Definisi Psychological Well-Being Bradburn (1969 dalam Ryff, 1989) membedakan psychological well-being menjadi afek positif dan afek negatif. Penelitiannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan menjadi prioritas dalam hidup jika seseorang sudah berada di usia yang cukup matang dan mempunyai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia pun yang dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan kehadiran manusia lain

BAB I PENDAHULUAN. manusia pun yang dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan kehadiran manusia lain BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial. Dalam kehidupan, belum ada seorang manusia pun yang dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan kehadiran manusia lain (www.wikipedia.com).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seksual umumnya dibahas seolah-olah hanya merupakan karakteristik individu,

BAB I PENDAHULUAN. seksual umumnya dibahas seolah-olah hanya merupakan karakteristik individu, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Orientasi seksual mengacu pada pola abadi emosional, atraksi romantis, dan seksual dengan laki-laki, perempuan, atau kedua jenis kelamin. Orientasi seksual

Lebih terperinci

SEX EDUCATION. Editor : Nurul Misbah, SKM

SEX EDUCATION. Editor : Nurul Misbah, SKM SEX EDUCATION Editor : Nurul Misbah, SKM ISU-ISU SEKSUALITAS : Pembicaraan mengenai seksualitas seringkali dianggap sebagai hal yang tabu tidak pantas dibicarakan dalam komunitas umum bersifat pribadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat diabaikan dalam kehidupan manusia. Namun demikian, orang tua masih

BAB I PENDAHULUAN. dapat diabaikan dalam kehidupan manusia. Namun demikian, orang tua masih BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah perilaku seksual pada remaja saat ini menjadi masalah yang tidak dapat diabaikan dalam kehidupan manusia. Namun demikian, orang tua masih menganggap tabu untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Homoseksual pertama kali ditemukan pada abad ke 19 oleh seorang psikolog

BAB I PENDAHULUAN. Homoseksual pertama kali ditemukan pada abad ke 19 oleh seorang psikolog 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Homoseksual pertama kali ditemukan pada abad ke 19 oleh seorang psikolog Jerman Karoly Maria Benkert. Walaupun istilah ini tergolong baru tetapi diskusi tentang seksualitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia tidak dapat hidup seorang diri karena manusia merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia tidak dapat hidup seorang diri karena manusia merupakan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Manusia tidak dapat hidup seorang diri karena manusia merupakan makhluk sosial yang membutuhkan kehadiran individu lain dalam kehidupannya. Tanpa kehadiran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pada dasarnya manusia merupakan makhluk sosial, dimana

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pada dasarnya manusia merupakan makhluk sosial, dimana BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada dasarnya manusia merupakan makhluk sosial, dimana manusia tersebut tidak dapat hidup sendiri melainkan membutuhkan orang lain dalam menjalankan kehidupannya. Seseorang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. istri adalah salah satu tugas perkembangan pada tahap dewasa madya, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. istri adalah salah satu tugas perkembangan pada tahap dewasa madya, yaitu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Membangun sebuah hubungan senantiasa menjadi kebutuhan bagi individu untuk mencapai kebahagiaan. Meskipun terkadang hubungan menjadi semakin kompleks saat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bergaul, bersosialisasi seperti masyarakat pada umumnya. Tidak ada salahnya

BAB I PENDAHULUAN. bergaul, bersosialisasi seperti masyarakat pada umumnya. Tidak ada salahnya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Fenomena gay dan lesbi nampaknya sudah tidak asing lagi di masyarakat luas. Hal yang pada awalnya tabu untuk dibicarakan, kini menjadi seolah-olah bagian dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melalui tahap intimacy vs isolation. Pada tahap ini, individu berusaha untuk

BAB I PENDAHULUAN. melalui tahap intimacy vs isolation. Pada tahap ini, individu berusaha untuk 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Saat seseorang memasuki usia dewasa awal, ia mengalami perubahan dalam hidupnya. Pada usia ini merupakan transisi terpenting dalam hidup manusia, dimana remaja mulai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Penelitian. Menurut Clarke-Sweart & Friedman (dalam Hendriati 2006) masa remaja

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Penelitian. Menurut Clarke-Sweart & Friedman (dalam Hendriati 2006) masa remaja BAB I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Penelitian Menurut Clarke-Sweart & Friedman (dalam Hendriati 2006) masa remaja merupakan masa transisi atau masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa.

Lebih terperinci

Perkembangan Sepanjang Hayat

Perkembangan Sepanjang Hayat Modul ke: Perkembangan Sepanjang Hayat Memahami Masa Perkembangan Remaja dalam Aspek Psikososial Fakultas PSIKOLOGI Hanifah, M.Psi, Psikolog Program Studi Psikologi http://mercubuana.ac.id Memahami Masa

Lebih terperinci

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pernikahan adalah tahap yang penting bagi hampir semua orang yang memasuki masa dewasa awal. Individu yang memasuki masa dewasa awal memfokuskan relasi interpersonal

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN SOSIO-EMOSIONAL PADA MASA DEWASA AWAL

PERKEMBANGAN SOSIO-EMOSIONAL PADA MASA DEWASA AWAL PSIKOLOGI PERKEMBANGAN DEWASA DAN LANSIA PERKEMBANGAN SOSIO-EMOSIONAL PADA MASA DEWASA AWAL Oleh: Dr. Rita Eka Izzaty, M.Si Yulia Ayriza, Ph.D STABILITAS DAN PERUBAHAN ANAK-DEWASA TEMPERAMEN Stabilitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. khusus remaja seakan-akan merasa terjepit antara norma-norma yang baru

BAB I PENDAHULUAN. khusus remaja seakan-akan merasa terjepit antara norma-norma yang baru BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Fenomena perubahan yang terjadi dalam masyarakat dewasa ini khususnya bagi remaja merupakan suatu gejala yang dianggap normal, sehingga dampak langsung terhadap perubahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejak pertama kali kita dilahirkan, kita langsung digolongkan berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. Sejak pertama kali kita dilahirkan, kita langsung digolongkan berdasarkan BAB I PENDAHULUAN I.A. LATAR BELAKANG Sejak pertama kali kita dilahirkan, kita langsung digolongkan berdasarkan jenis kelamin yaitu laki-laki atau perempuan. Secara biologis manusia dengan mudah dibedakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membahas mengenai kualitas komunikasi yang dijabarkan dalam bentuk pengertian kualitas

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membahas mengenai kualitas komunikasi yang dijabarkan dalam bentuk pengertian kualitas BAB II TINJAUAN PUSTAKA Bab ini terbagi atas empat sub bab. Sub bab pertama membahas mengenai komunikasi sebagai media pertukaran informasi antara dua orang atau lebih. Sub bab kedua membahas mengenai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. cinta, seiring dengan perkembangan dan pertumbuhan individu dewasa.

BAB I PENDAHULUAN. cinta, seiring dengan perkembangan dan pertumbuhan individu dewasa. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu tugas perkembangan individu dewasa adalah merasakan ketertarikan terhadap lawan jenis yang akan menimbulkan hubungan interpersonal sebagai bentuk interaksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Istilah ini menyangkut hal-hal pribadi dan dipengaruhi oleh banyak aspek kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Istilah ini menyangkut hal-hal pribadi dan dipengaruhi oleh banyak aspek kehidupan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seksualitas merupakan salah satu topik yang bersifat sensitif dan kompleks. Istilah ini menyangkut hal-hal pribadi dan dipengaruhi oleh banyak aspek kehidupan individu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ketika ia dilahirkan, baik ia dilahirkan sebagai orang kaya atau miskin, berkulit

BAB I PENDAHULUAN. ketika ia dilahirkan, baik ia dilahirkan sebagai orang kaya atau miskin, berkulit BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tidak ada seorangpun yang dapat memilih oleh siapa dan menjadi apa ketika ia dilahirkan, baik ia dilahirkan sebagai orang kaya atau miskin, berkulit terang

Lebih terperinci

BAB 2 Tinjauan Pustaka

BAB 2 Tinjauan Pustaka BAB 2 Tinjauan Pustaka Dalam bab ini, akan dibahas mengenai tinjauan pustaka yang digunakan peneliti terkait dengan penelitian yang dilakukan, dan dapat menjadi landasan teoritis untuk mendukung penelitian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORITIS

BAB II TINJAUAN TEORITIS BAB II TINJAUAN TEORITIS 2.1 Remaja 2.1.1 Definisi Remaja Masa remaja adalah periode transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa, yang melibatkan perubahan biologis, kognitif, dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penting. Keputusan yang dibuat individu untuk menikah dan berada dalam

BAB I PENDAHULUAN. penting. Keputusan yang dibuat individu untuk menikah dan berada dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pernikahan bagi beberapa individu dapat menjadi hal yang istimewa dan penting. Keputusan yang dibuat individu untuk menikah dan berada dalam kehidupan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Homoseksualitas merupakan rasa tertarik pada orang-orang berjenis kelamin sama baik secara perasaan ataupun secara erotik, dengan atau tanpa hubungan fisik. Disebutkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bijaksana. Seiring dengan bergulirnya waktu, kini bermilyar-milyar manusia

BAB I PENDAHULUAN. bijaksana. Seiring dengan bergulirnya waktu, kini bermilyar-milyar manusia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tuhan menciptakan bumi dengan segala isinya, termasuk manusia yang dipercaya Tuhan untuk hidup di dunia dan memanfaatkan segala yang ada dengan bijaksana. Seiring

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tentang orang lain. Begitu pula dalam membagikan masalah yang terdapat pada

BAB I PENDAHULUAN. tentang orang lain. Begitu pula dalam membagikan masalah yang terdapat pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Wanita merupakan individu yang memiliki keterbukaan dalam membagi permasalahan kehidupan maupun penilaian mereka mengenai sesuatu ataupun tentang orang lain.

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. sebutan psychosexual hermaphroditism yaitu eksistensi dua seks biologis dalam satu

BAB II LANDASAN TEORI. sebutan psychosexual hermaphroditism yaitu eksistensi dua seks biologis dalam satu 19 BAB II LANDASAN TEORI A. Biseksual 1. Definisi Biseksual Krafft-Ebing, salah seorang seksologis Jerman menyebut biseksual dengan sebutan psychosexual hermaphroditism yaitu eksistensi dua seks biologis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Salah satu masalah yang paling penting yang dihadapi oleh manusia adalah kebutuhan untuk mendefinisikan diri sendiri, khususnya dalam hubungannya dengan orang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Lesbi merupakan suatu fenomena sosial yang tidak lagi mampu disangkal

BAB I PENDAHULUAN. Lesbi merupakan suatu fenomena sosial yang tidak lagi mampu disangkal BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lesbi merupakan suatu fenomena sosial yang tidak lagi mampu disangkal dan keberadaannya disadari sebagai sebuah realita di dalam masyarakat dan menimbulkan berbagai

Lebih terperinci

Buku Kesehatan dan Hak Seksual serta Reproduksi GWLmuda. Jadi singkatnya Seks bisa disebut juga sebagai Jenis kelamin biologis.

Buku Kesehatan dan Hak Seksual serta Reproduksi GWLmuda. Jadi singkatnya Seks bisa disebut juga sebagai Jenis kelamin biologis. BAB 2. SEKSUALITAS Apa itu Seks dan Gender? Sebelum kita melangkah ke apa itu seksualitas, pertanyaan mengenai apa itu Seks dan Gender serta istilah lain yang berkaitan dengan nya sering sekali muncul.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Homoseksual berasal dari bahasa Mesir yaitu homo yang artinya

BAB 1 PENDAHULUAN. Homoseksual berasal dari bahasa Mesir yaitu homo yang artinya 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Homoseksual berasal dari bahasa Mesir yaitu homo yang artinya sama dan dari bahasa Latin yaitu sex yang artinya jenis kelamin. Homoseksual biasanya dikonotasikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhannya, terutama kebutuhan interpersonal dan emosional. Selain bertumbuh secara

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhannya, terutama kebutuhan interpersonal dan emosional. Selain bertumbuh secara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia sebagai makhluk sosial memerlukan sesamanya dalam memenuhi berbagai kebutuhannya, terutama kebutuhan interpersonal dan emosional. Selain bertumbuh secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian Masa remaja adalah masa peralihan dari anak-anak ke dewasa yang jangka

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian Masa remaja adalah masa peralihan dari anak-anak ke dewasa yang jangka BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Masa remaja adalah masa peralihan dari anak-anak ke dewasa yang jangka waktunya berbeda bagi setiap orang, tergantung faktor sosial dan budaya. Dengan terbentuknya

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI II. A. DUKUNGAN SOSIAL II. A. 1. Definisi Dukungan Sosial Menurut Orford (1992), dukungan sosial adalah kenyamanan, perhatian, dan penghargaan yang diandalkan pada saat individu mengalami

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA PERILAKU ASERTIF DENGAN PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH PADA REMAJA PUTRI. Skripsi

HUBUNGAN ANTARA PERILAKU ASERTIF DENGAN PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH PADA REMAJA PUTRI. Skripsi HUBUNGAN ANTARA PERILAKU ASERTIF DENGAN PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH PADA REMAJA PUTRI Skripsi Untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam mencapai derajat Sarjana S-1 Diajukan oleh : Putri Nurul Falah F 100

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Keberadaan komunitas homoseksual ini sebenarnya telah diakui oleh

BAB I PENDAHULUAN. Keberadaan komunitas homoseksual ini sebenarnya telah diakui oleh BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keberadaan komunitas homoseksual ini sebenarnya telah diakui oleh Indonesia, antara lain dengan adanya Peraturan Menteri Sosial No.8 / 2012 yang memasukan kelompok

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia merupakan makhluk hidup yang lebih sempurna dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia merupakan makhluk hidup yang lebih sempurna dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia merupakan makhluk hidup yang lebih sempurna dari makhluk hidup lainnya. Mereka memiliki akal budi untuk berpikir dengan baik dan memiliki kata hati.

Lebih terperinci

1.PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Masalah

1.PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Masalah 1 1.PENDAHULUAN Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran attachment styles yang dialami oleh gay yang berada pada rentang usia dewasa muda. Oleh karena itu, pada bagian ini akan dijelaskan mengenai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atau interaksi dengan orang lain, tentunya dibutuhkan kemampuan individu untuk

BAB I PENDAHULUAN. atau interaksi dengan orang lain, tentunya dibutuhkan kemampuan individu untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah mahluk sosial yang memiliki kebutuhan untuk berinteraksi timbal-balik dengan orang-orang yang ada di sekitarnya. Memulai suatu hubungan atau

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. dibaca dalam media massa. Menurut Walgito, (2000) perkawinan

BAB II KAJIAN TEORI. dibaca dalam media massa. Menurut Walgito, (2000) perkawinan 6 BAB II KAJIAN TEORI 2.1. Pernikahan 2.1.1. Pengertian Pernikahan Pernikahan merupakan suatu istilah yang tiap hari didengar atau dibaca dalam media massa. Menurut Walgito, (2000) perkawinan adalah nikah,

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. American Psychological Association, C.J Patterson (1992, 1995a, 1995b)

DAFTAR PUSTAKA. American Psychological Association, C.J Patterson (1992, 1995a, 1995b) DAFTAR PUSTAKA American Psychological Association, C.J Patterson (1992, 1995a, 1995b) Atwater,E. (1983). Psychology of adjustment (2 nd ed). New Jersey: Prentice Hall, Inc Bell, R.R. (1973). Marriage and

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan pengurus pondok pesantren tersebut. Pesantren memiliki tradisi kuat. pendahulunya dari generasi ke generasi.

BAB I PENDAHULUAN. dan pengurus pondok pesantren tersebut. Pesantren memiliki tradisi kuat. pendahulunya dari generasi ke generasi. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja adalah masa yang penuh dengan kekalutan emosi, instropeksi yang berlebihan, kisah yang besar, dan sensitivitas yang tinggi. Masa remaja adalah masa pemberontakan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Bab ini akan membahas tentang landasan teori berupa definisi, dimensi, dan faktor yang berpengaruh dalam variabel yang akan diteliti, yaitu bahasa cinta, gambaran tentang subjek

Lebih terperinci

5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN

5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN 149 5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN Pada bab pendahuluan telah dijelaskan bahwa penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran psychological well-being pada wanita dewasa muda yang menjadi istri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada rentang usia tahun mulai membangun sebuah relasi yang intim

BAB I PENDAHULUAN. pada rentang usia tahun mulai membangun sebuah relasi yang intim BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Santrock mengatakan bahwa individu pada masa dewasa awal yang berada pada rentang usia 19 39 tahun mulai membangun sebuah relasi yang intim dengan individu

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN 101 BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Penelitian ini merupakan sebuah upaya untuk memperoleh gambaran mengenai kebutuhan intimacy melalui wawancara mendalam. Berdasarkan hasil analisis,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dasar perilaku perkembangan sikap dan nilai kehidupan dari keluarga. Salah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dasar perilaku perkembangan sikap dan nilai kehidupan dari keluarga. Salah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keluarga merupakan lingkungan sosial pertama bagi anak yang memberi dasar perilaku perkembangan sikap dan nilai kehidupan dari keluarga. Salah satunya adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 2001). Untuk selanjutnya kaum homoseksual yang berjenis kelamin pria dan

BAB I PENDAHULUAN. 2001). Untuk selanjutnya kaum homoseksual yang berjenis kelamin pria dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Homoseksual adalah orang yang konsisten tertarik secara seksual, romantik, dan afektif terhadap orang yang memiliki jenis kelamin sama dengan mereka (Papalia,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tuhan menciptakan jenis manusia menjadi dua yaitu pria dan wanita.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tuhan menciptakan jenis manusia menjadi dua yaitu pria dan wanita. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tuhan menciptakan jenis manusia menjadi dua yaitu pria dan wanita. Setiap individu, baik pria maupun wanita memiliki peran masing-masing serta mengalami pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hubungan jarak jauh (long distance relationship) Pengertian hubungan jarak jauh atau sering disebut dengan long distance relationship adalah dimana pasangan dipisahkan oleh jarak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa transisi dari anak-anak ke fase remaja. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa transisi dari anak-anak ke fase remaja. Menurut BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masa remaja adalah masa transisi dari anak-anak ke fase remaja. Menurut Papalia et, al (2008) adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Identity Formation. Marcia menyatakan bahwa pembentukan identitas diri dapat digambarkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Identity Formation. Marcia menyatakan bahwa pembentukan identitas diri dapat digambarkan 10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Identity Formation 1. Pengertian Identity Formation Marcia (1993) menyatakan bahwa identity formation atau pembentukan identitas diri merupakan: Identity formation involves

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dirinya adalah seorang homoseksual. Hal ini karena di Indonesia masih banyak

BAB I PENDAHULUAN. dirinya adalah seorang homoseksual. Hal ini karena di Indonesia masih banyak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Homoseksual masih merupakan hal yang dianggap tidak lazim oleh masyarakat di Indonesia dan tidak banyak orang yang mau mengakui bahwa dirinya adalah seorang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Orientasi seksual yang dikenal dan diketahui masyarakat Indonesia pada umumnya hanya ada satu jenis saja, yakni heteroseksual atau pasangan yang terdiri dari dua orang

Lebih terperinci

Proses Keperawatan pada Remaja dan Dewasa. mira asmirajanti

Proses Keperawatan pada Remaja dan Dewasa. mira asmirajanti Proses Keperawatan pada Remaja dan Dewasa Faktor-faktor yang mempengaruhi Tumbuh Kembang 1. Faktor Genetik. 2. Faktor Eksternal a. Keluarga b. Kelompok teman sebaya c. Pengalaman hidup d. Kesehatan e.

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Berdasarkan dari penelitian yang telah dilakukan maka dapat ditarik kesimpulan yaitu : 5.1.1. Indikator Identitas Diri Menurut subjek SN dan GD memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada masa kanak-kanak, relasi dengan orangtua sangat menentukan pola attachment dan

BAB I PENDAHULUAN. Pada masa kanak-kanak, relasi dengan orangtua sangat menentukan pola attachment dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada masa kanak-kanak, relasi dengan orangtua sangat menentukan pola attachment dan relasi antar pribadi pada masa dewasa. Hubungan attachment berkembang melalui

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pada masa transisi yang terjadi di kalangan masyarakat, secara khusus

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pada masa transisi yang terjadi di kalangan masyarakat, secara khusus 16 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada masa transisi yang terjadi di kalangan masyarakat, secara khusus remaja seakan-akan merasa terjepit antara norma-norma yang baru dimana secara sosiologis, remaja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (Papalia, 2009). Menurut Undang-Undang Republik Indonesia nomor 1 pasal 1

BAB I PENDAHULUAN. (Papalia, 2009). Menurut Undang-Undang Republik Indonesia nomor 1 pasal 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pernikahan adalah salah satu tahap penting dalam siklus kehidupan individu di samping siklus kehidupan lainnya seperti kelahiran, perceraian, atau kematian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tahap perkembangan psikososial Erikson, intimacy versus isolation, merupakan isu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tahap perkembangan psikososial Erikson, intimacy versus isolation, merupakan isu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tahap perkembangan psikososial Erikson, intimacy versus isolation, merupakan isu utama bagi individu yang ada pada masa perkembangan dewasa awal. Menurut Erikson,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pencapaian utama masa dewasa awal berkaitan dengan pemenuhan. intimasi tampak dalam suatu komitmen terhadap hubungan yang mungkin

BAB I PENDAHULUAN. Pencapaian utama masa dewasa awal berkaitan dengan pemenuhan. intimasi tampak dalam suatu komitmen terhadap hubungan yang mungkin BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang penelitian Pencapaian utama masa dewasa awal berkaitan dengan pemenuhan intimasi tampak dalam suatu komitmen terhadap hubungan yang mungkin menuntut pengorbanan dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak pernah terlepas dari

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak pernah terlepas dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak pernah terlepas dari hubungannya dengan orang lain. Keberadaan orang lain dibutuhkan manusia untuk melakukan suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seksual kepada sesama jenisnya, disebut gay bila laki-laki dan lesbian bila

BAB I PENDAHULUAN. seksual kepada sesama jenisnya, disebut gay bila laki-laki dan lesbian bila BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di Indonesia orientasi seksual yang umum dan diakui oleh masyarakat kebanyakan adalah heteroseksual. Namun tidak dapat dipungkiri ada sebagian kecil dari masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Komnas perempuan tahun 2014 yang dirilis pada 6 Maret Jumlah kasus

BAB I PENDAHULUAN. Komnas perempuan tahun 2014 yang dirilis pada 6 Maret Jumlah kasus BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG PENELITIAN Meskipun telah ditetapkannya UU Republik Indonesia No.23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Namun kasus KDRT masih saja meningkat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pada dasarnya sebagai manusia, kita membutuhkan untuk dapat berinteraksi

I. PENDAHULUAN. Pada dasarnya sebagai manusia, kita membutuhkan untuk dapat berinteraksi 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada dasarnya sebagai manusia, kita membutuhkan untuk dapat berinteraksi dan bersosialisasi. Karena manusia dalam banyak hal memiliki kebebasan untuk bertindak di luar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menikah merupakan saat yang penting dalam siklus kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menikah merupakan saat yang penting dalam siklus kehidupan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menikah merupakan saat yang penting dalam siklus kehidupan manusia. Pernikahan pada dasarnya menyatukan dua pribadi yang berbeda untuk mencapai tujuan bersama.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A.Latar Belakang. Remaja adalah mereka yang berusia diantara tahun dan merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A.Latar Belakang. Remaja adalah mereka yang berusia diantara tahun dan merupakan 1 BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Remaja adalah mereka yang berusia diantara 10-24 tahun dan merupakan salah satu kelompok populasi terbesar yang apabila dihitung jumlahnya berkisar 30% dari jumlah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kualitas Perkawinan. Definisi lain menurut Wahyuningsih (2013) berdasarkan teori Fowers dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kualitas Perkawinan. Definisi lain menurut Wahyuningsih (2013) berdasarkan teori Fowers dan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kualitas Perkawinan 1. Pengertian Kualitas Perkawinan Menurut Gullota (Aqmalia, 2009) kepuasan pernikahan merupakan perasaan pasangan terhadap pasangannya mengenai hubungan pernikahannya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Manusia secara umum menyukai orang yang memiliki karakteristik

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Manusia secara umum menyukai orang yang memiliki karakteristik 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Manusia secara umum menyukai orang yang memiliki karakteristik sama dan tidak menyukai orang yang memiliki karakteristik berbeda dengan mereka (Baron, Byrne

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tidak tinggal bersama (Long Distance Relationship) dalam satu rumah karena

BAB I PENDAHULUAN. tidak tinggal bersama (Long Distance Relationship) dalam satu rumah karena BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pernikahan adalah sebuah komitmen legal dengan ikatan emosional antara dua orang untuk saling berbagi keintiman fisik dan emosional, berbagi tanggung jawab,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah masyarakat. Manusia senantiasa berhubungan dengan manusia lain untuk memenuhi berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya, manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup tanpa

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya, manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup tanpa 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada dasarnya, manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup tanpa adanya orang lain disekitarnya. Kebutuhan akan keberadaan orang lain disekitar kita

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mempengaruhi perkembangan psikologis individu. Pengalaman-pengalaman

BAB I PENDAHULUAN. mempengaruhi perkembangan psikologis individu. Pengalaman-pengalaman BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Sepanjang rentang kehidupan individu, banyak hal yang dipelajari dan mempengaruhi perkembangan psikologis individu. Pengalaman-pengalaman bersama keluarga dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada masa remaja, salah satunya adalah problematika seksual. Sebagian besar

BAB I PENDAHULUAN. pada masa remaja, salah satunya adalah problematika seksual. Sebagian besar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini, masalah-masalah yang muncul dalam kehidupan remaja sering menimbulkan berbagai tantangan bagi para orang dewasa. Banyak hal yang timbul pada masa remaja,

Lebih terperinci

, 2015 GAMBARAN KONTROL DIRI PADA MAHASISWI YANG MELAKUKAN PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH

, 2015 GAMBARAN KONTROL DIRI PADA MAHASISWI YANG MELAKUKAN PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Meningkatnya perilaku seksual pranikah di kalangan generasi muda mulai mengancam masa depan bangsa Indonesia. Banyaknya remaja yang melakukan perilaku seksual pranikah

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Berdasarkan dari penelitian yang telah dilakukan maka dapat ditariklah suatu kesimpulan yaitu : 5.1.1 Indikator kepuasan Seksual Subyek A, B dan C menyatakan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 1. Pengertian Perilaku Seksual Pranikah

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 1. Pengertian Perilaku Seksual Pranikah BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Perilaku Seksual Pranikah 1. Pengertian Perilaku Seksual Pranikah Menurut Sarwono (2005) perilaku seksual pranikah adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Keragaman dimasyarakat memerlukan sosialisasi dan memerlukan interaksi

I. PENDAHULUAN. Keragaman dimasyarakat memerlukan sosialisasi dan memerlukan interaksi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Keragaman dimasyarakat memerlukan sosialisasi dan memerlukan interaksi sesama manusia. Manusia membutuhkan manusia lainnya sebagai pemenuhan kebutuhan lahir

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA HARGA DIRI DAN DUKUNGAN SOSIAL DENGAN INTENSI PERILAKU ONANI PADA REMAJA LAKI-LAKI. Skripsi

HUBUNGAN ANTARA HARGA DIRI DAN DUKUNGAN SOSIAL DENGAN INTENSI PERILAKU ONANI PADA REMAJA LAKI-LAKI. Skripsi HUBUNGAN ANTARA HARGA DIRI DAN DUKUNGAN SOSIAL DENGAN INTENSI PERILAKU ONANI PADA REMAJA LAKI-LAKI Skripsi Untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam mencapai derajat Sarjana S-1 Diajukan oleh : Rois Husnur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masa beralihnya pandangan egosentrisme menjadi sikap yang empati. Menurut Havighurst

BAB I PENDAHULUAN. masa beralihnya pandangan egosentrisme menjadi sikap yang empati. Menurut Havighurst BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial. Perkembangan sosial masa dewasa awal (young adulthood) adalah puncak dari perkembangan sosial masa dewasa. Masa dewasa awal adalah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan manusia.

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan manusia. BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan manusia. Setiap individu memiliki harapan untuk bahagia dalam kehidupan perkawinannya. Karena tujuan perkawinan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR A. Kajian Teori 1. Tinjauan tentang Orientasi Seksual a. Pengertian Orientasi Seksual Setiap individu memiliki suatu ketertarikan, baik secara fisik maupun emosional

Lebih terperinci

COPING REMAJA AKHIR TERHADAP PERILAKU SELINGKUH AYAH

COPING REMAJA AKHIR TERHADAP PERILAKU SELINGKUH AYAH COPING REMAJA AKHIR TERHADAP PERILAKU SELINGKUH AYAH SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Dalam Mencapai Derajat Sarjana S 1 Psikologi Diajukan oleh : Alfan Nahareko F 100 030 255 FAKULTAS PSIKOLOGI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. individu saling mengenal, memahami, dan menghargai satu sama lain. Hubungan

BAB I PENDAHULUAN. individu saling mengenal, memahami, dan menghargai satu sama lain. Hubungan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pacaran merupakan salah satu proses yang biasanya dijalani individu sebelum akhirnya memutuskan menikah dengan pasangan. Pada masa pacaran, individu saling

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Masalah Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan seseorang memasuki masa dewasa. Masa ini merupakan, masa transisi dari masa anak-anak menuju dewasa.

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. A. Kepuasan Pernikahan. 1. Pengertian Kepuasan Pernikahan

BAB II LANDASAN TEORI. A. Kepuasan Pernikahan. 1. Pengertian Kepuasan Pernikahan 13 BAB II LANDASAN TEORI A. Kepuasan Pernikahan 1. Pengertian Kepuasan Pernikahan Pernikahan merupakan suatu istilah yang hampir tiap hari didengar atau dibaca dalam media massa. Namun kalau ditanyakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Keberadaan manusia sebagai makhluk sosial tidak lepas dari hubungan

BAB 1 PENDAHULUAN. Keberadaan manusia sebagai makhluk sosial tidak lepas dari hubungan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keberadaan manusia sebagai makhluk sosial tidak lepas dari hubungan dengan orang lain yang meliputi interaksi di lingkungan sekitarnya. Sepanjang hidup, manusia akan

Lebih terperinci