BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERFIKIR DAN HIPOTESIS A.

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERFIKIR DAN HIPOTESIS A."

Transkripsi

1 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERFIKIR DAN HIPOTESIS A. Kajian Pustaka 1. Kajian Tentang Anak Tunagrahita Ringan a. Pengertian Anak Tunagrahita Ringan Menurut Wantah (2007: 1), Secara harfiah kata tuna adalah merugi, grahita adalah pikiran. Dengan demikian ciri utama dari anak tunagrahita adalah lemah dalam berpikir atau bernalar. Menurut Somantri (2006:103), Tunagrahita adalah istilah yang digunakan untuk menyebut anak yang mempunyai kemampuan intelektual dibawah rata-rata. Menurut Yusuf (2009:6), Tunagrahita adalah anak yang secara nyata mengalami hambatan dan keterbelakangan perkembangan mental intelektual di bawah rata-rata sehingga mengalami kesulitan dalam menyelesaikan tugas-tugasnya. American Psychiactric Associaton (APA, 2013: 33), menyatakan bahwa : Intellectual disability (intellectual developmental disorder) is a disorder with onset during the developmental period that includes both intellectual and adaptive functioning deficits in conceptual, social, and practical domains. The following three criteria must be met: (A). Deficits in intellectual functions, such as reasoning, problem solving, planning, abstract thinking, judgment, academic learning, and learning from experience, confirmed by both clinical assessment and individualized, standardized intelligence testing. (B.) Deficits in adaptive functioning that result in failure to meet developmental and sociocultural standards for personal independence and social responsibility. Without ongoing support, the adaptive deficits limit functioning in one or more activities of daily life, such as communication, social participation, and independent living, across multiple environments, such as home, school, work, and community (C). Onset of intellectual and adaptive deficits during the developmental period. Pengertian tersebut dapat diartikan bahwa gangguan intelektual (gangguan perkembangan intelektual) adalah gangguan yang terjadi selama periode perkembangan yaitu terganggunya fungsi intelektual dan fungsi adaptif pada ranah konsep, sosial dan praktik bina diri 9

2 10 yang rendah. Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut seseorang dikatakan mengalami tunagrahita apabila memenuhi tiga kriteria yaitu pertama, kurangnya fungsi intelektual seperti pemecahan masalah, merencanakan sesuatu, berpikir abstrak, memutuskan sesuatu, kemampuan akademik dan non akademik dan ini telah dibuktikan melalui proses asesmen dan tes inteligensi. Kriteria kedua adalah kurangnya fungsi adaptif yang menyebabkan keterbatasan aktivitas sehari-hari seperti komunikasi, partisipasi sosial, mengurus diri sendiri yang terjadi di beberapa lingkungan seperti rumah, sekolah, lingkungan kerja dan tempat bermainnya. Dan kriteria ketiga adalah masalah fungsi intelektual dan fungsi adaptif terjadi selama masa perkembangan. Menurut Luckasson et al (2002), Mental retardation is a disability characterized by significant limitations both in intellectual functioning and adaptive behavior as expressed in conceptual social, and practical adaptive skills. this disability originates before age 18 (Gargiulo: 2012: 145). Pendapat tersebut memiliki arti keterbelakangan mental adalah cacat ditandai dengan keterbatasan yang signifikan baik dalam fungsi intelektual dan perilaku adaptif yang termasuk dalam keterampilan adaptif konseptual sosial, dan praktis, cacat ini berasal sebelum usia 18. Pendapat lain mengemukakan menurut Astati (2010: 15), Seseorang dikategorikan sebagai penyandang tunagrahita apabila: 1) Fungsi intelektual umum secara signifikan berada dibawah rata-rata 2) Kekurangan dalam tingkah laku penyesuaian (perilaku adaptif) 3) Ketunagrahitaan berlangsung pada periode perkembangan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa anak tunagrahita adalah seorang individu yang mengalami keterlambatan atau gangguan dalam intelektual, yang berdampak pada fungsi adaptif, keterbatasan dalam berkomunikasi, sulit memecahkan masalah serta lemah dalam berpikir abstrak, sehingga mengalami kesulitan dalam mengurus dirinya sendiri ataupun menyelesaikan tugas akademik dan non akademik serta aktivitasnya sehari hari di lingkungan rumah, sekolah, kerja ataupun

3 11 tempat bermain, ini terjadi selama masa perkembangannya hingga usia 18 tahun. Oleh karena itu anak tunagrahita ringan adalah kelompok anak tunagrahita yang tergolong ringan bila dibandingkan dengan anak tunagrahita lainnya. b. Faktor-Faktor Penyebab Tunagraita Ringan Seorang anak mengalami ketunagrahitaan disebabkan oleh banyak faktor yang terjadi, Wantah (2007: 22) berpendapat bahwa, faktor-faktor penyebab ketunagrahitaan adalah sebagai berikut: 1) Faktor Keturunan Keterbelakangan mental (tunagrahita) disebabkan oleh kelainan yang diwariskan oleh kelainan pada gen seperti fragile X syndrome. Fragile X syndrome adalah kerusakan pada kromosom yang menentukan jenis kelamin, biasanya mewarisi penyebab keterbelakangan mental. 2) Sebelum lahir Beberapa faktor yang menyebabkan anak mengalami tunagrahita sebelum lahir yaitu: pada saat mengandung ibu meminum alkohol, pada saaat mengandung ibu terkena penyakit rubella yang mana penyakit rubella ini biasa menyerang pada usia kandungan 12 minggu pertama, ibu hamil yang menderita tekanan darah tinggi, menurunnya aliran oksigen pada janin dapat menyebabkan kerusakan pada otak dan mengalami keterbelakangan mental (tunagrahita). 3) Kerusakan pada waktu lahir Beberapa faktor yang menyebabkan anak mengalami tunagrahita pada waktu lahir yaitu: penggunaan alat yang salah untuk membantu persalinan, kelainan fisik dari kepala, otak, dan sistem saraf pusat dapat menyebabkan keterbelakangan mental. 4) Penyakit dan luka-luka pada masa kanak-kanak Beberapa penyakit pada masa kanak-kanak yang dapat menyebabkan keterbelakangan mental seperti penyakit hyperthyroidism, whooping cough, chickenpox (cacar air), meales dan hib (a bacterial infection) dapat menyebabkan keterbelakangan mental apabila tidak cepat ditangani. 5) Faktor Lingkungan Apabila anak terlahir normal akan tetapi tidak mendapatkan perawatan dengan baik seperti tidak diperhatikan perkembangan anak, menderita kekurangan gizi, kondisi hidup yang tidak sehat, hal tersebut dapat menyebabkan anak mengalami keterbelakangan mental.

4 Faktor-faktor penyebab ketunagrahitaan menurut pernyataan Efendi (2006: 91), mengutip simpulan Devenvort bahwa, Penyebab ketunagrahitaan dapat dirinci sebagai berikut: 1) Kelainan atau ketunaan yang timbul pada benih plasma. 2) Kelainan atau ketunaan yang dihasilkan selama penyuburan telur. 3) Kelainan atau ketunaan yang dikaitkan dengan implantasi. 4) Kelainan atau ketunaan yang timbul dalam embrio. 5) Kelainan atau ketunaan yang timbul dari luka saat kelahiran. 6) Kelainan atau ketunaan yang timbul dalam janin. 7) Kelainan atau ketunaan yang timbul pada masa bayi dan masa kanak-kanak. Gargiulo (2012: 158) berpendapat penyebab anak menjadi tunagrahita adalah sebagai berikut: 1) Prenatal factors a) Chromosomal abnormalities, examples: down syndrome, fragile X, turner syndrome. b) Metabolic and nutritional disorders. c) Maternal infections, examples: rubella, syphilis, HIV (AIDS), cytomegalovirus, rh incompatability, toxoplasmosis d) Environmental conditions. e) Unknown influences, examples: anencephaly, hydrocephalus, microcephaly. 2) Perinatal factors a) Gestational disorders, examples: low birth weight, prematurity. b) Neonatal complications, examples: hypoxia, birth trauma, seizures, respiratory distress, breech delivery, prolonged delivery. 3) Postnatal factors a) Infections and intoxicants, examples: child abuse/neglect, head trauma, malnutrition, environmental deprivation. b) Environmental factors, examples: lead poisoning, encephalitis, meningitis, reye`s syndrome. a) Brain damage, examples: neurofibromatosis, tuberous sclerosis. Pendapat Gargiulo (2012: 158) mengenai penyebab ketunagrahitaan dapat diartikan sebagai berikut: 1) Faktor penyebab sebelum kelahiran a) Kelaianan kromosom contohnya down syndrome, kelainan fragile X, turner syndrome. 12

5 13 b) Kelainan metabolisme dan kekurangan nutrisi. c) Infeksi maternal seperti terserang penyakit rubella, syphilis, HIV (AIDS), cytomegalovirus, rh incompatability, toxoplasmosis d) Kondisi lingkungan. e) Pengaruh yang tidak diketahui seperti anencephaly, hydrocephalus, microcephaly. 2) Faktor yang terjadi saat kelahiran a) Gangguan kehamilan seperti, berat badan kelahiran rendah, prematur. b) Komplikasi neonatal seperti, hypoxia, trauma kelahiran, kejang, gangguan pernafasan, kelahiran sungsang. 3) Faktor penyebab setelah kelahiran a) Infeksi dan keracunan seperti kekerasan pada anak atau pengabaian, trauma kepala, malnutrisi, pengabaian lingkungan. b) Faktor lingkungan seperti, keracunan timbal, radang otak, meningitis, sindrome reye. c) Kerusakan otak seperti, neurofibromatosis, tuberous sclerosis. Berdasarakan uraian pendapat tersebut disimpulkan bahwa faktor penyebab ketunagrahitaan seseorang yaitu: ibu hamil kekurangan nutrisi saat masa kehamilan, ibu hamil terserang penyakit rubella, ibu hamil terserang HIV dan sebagainya, penggunaan alat yang salah pada proses persalinan, berat badan kelahiran rendah, prematur dan sebagainya, gizi buruk pada anak, meningitis, penyakit dan luka-luka pada saat kanakkanak. c. Karakteristik Anak Tunagrahita Ringan Untuk memberikan pelayanan secara maksimal kepada anak tunagrahita pendidik harus mengetahui karakteristik anak. Secara umum karakteristik tunagrahita dapat dilihat dari fisik dan penampilannya menurut Yusuf (2009: 8) yaitu :

6 1) Penampilan fisik tidak seimbang, misalnya kepala terlalu besar atau kecil 2) Tidak dapat mengurus diri sesuai usia 3) Tidak ada/kurang sekali perhatiannya terhadap lingkungan 4) Koordinasi gerakan kurang (gerak sering tidak terkendali) Ahli lain berpendapat bahwa menurut Soemantri (2006: 105), karakteristik anak tunagrahita adalah sebagai berikut: 1) Keterbatasan intelegensi Anak tunagrahita memiliki kekurangan dalam menyesuaikan diri dengan masalah-masalah dan situasi-situasi kehidupan baru, belajar dari pengalaman masa lalu, berpikir abstrak, kreatif. Kapasitas belajar anak tunagrahita memiliki kekurangan terutama yang bersifat abstrak seperti belajar menulis, membaca dan berhitung. 2) Keterbatasan sosial Anak tunagrahita memiliki kesulitan dalam mengurus dirinya sendiri dalam masyarakat, mereka cenderung berteman dengan anak yang lebih muda, ketergantungan besar terhadap orangtua, tidak mampu memikul tanggung jawab sosial dengan bijaksana sehingga selalu dibimbing dan diawasi. 3) Keterbatasan fungsi-fungsi mental lainnya. Anak tunagrahita memerlukan waktu lebih lama untuk menyelesaikan reaksi pada situasi baru dikenalnya, anak tunagrahita memiliki keterbatasan dalam penguasaan bahasa, selain itu anak tunagrahita kurang mampu untuk mempertimbangkan sesuatu, membedakan antara baik dan buruk. Astati (2010: 16) berpendapat karakteristik anak tunagrahita dapat dijabarkan sebagai berikut: 1) Karakteristik umum a) Akademik Kapasitas belajar anak tunagrahita sangat terbatas, terutama untuk hal-hal yang abstrak, lebih banyak belajar membeo, sering membuat kesalahan yang sama, cenderung menghindari perbuatan berpikir, sukar memusatkan perhatian, sukar membuat kreasi baru, cepat lupa dan rentang perhatiannya pendek. b) Sosial emosional Dalam pergaulan anak tunagrahita tidak dapat mengurus, memelihara dan memimpin diri, mereka cenderung bermain dengan anak yang lebih muda darinya, mereka juga tidak mampu menyatakan rasa bangga atau kagum. Mereka 14

7 mempunyai kepribadian yang kurang dinamis, mudah goyah, kurang menawan, dan tidak berpandangan luas. c) Fisik/Kesehatan Struktur maupun fungsi tubuh pada umumnya anak tunagrahita kurang dari anak normal. Mereka baru bisa berjalan dan berbicara pada usia yang lebih tua dari anak normal. Sikap dan gerakannya kurang indah. Pendengaran dan penglihatannya banyak yang kurang sempurna. Kelainan ini bukan organ tetapi karena mereka tidak memahami apa yang mereka lihat dan mereka dengar. 2) Karakteristik pada masa perkembangannya a) Masa bayi Walaupun masih sulit membedakan anak tunagrahita dan normal, tetapi para ahli mengemukakan bahwa bayi tunagrahita tampak mengantuk saja, apatis, tidak pernah sadar, jarang menangis, kalau menangis terus-menerus, terlambat duduk, bicara dan berjalan. b) Masa kanak-kanak Pada masa ini anak tunagrahita sedang lebih mudah dikenal daripada anak tunagrahita ringan. Apabila anak tunagrahita ringan memperlihatkan ciri-ciri: mereaksi cepat tapi tidak tepat, tampak aktif sehingga memberikan kesan bahwa anak ini pintar, pemusatan perhatiannya sedikit, hyperactive, bermain dengan tangannya sendiri, cepat bergerak tanpa dipikir dahulu. c) Masa sekolah (1) Kesulitan yang ditampakan pada masa sekolah adalah: adanya kesulitan belajar pada hampir semua mata pelajaran (membaca, menulis dan berhitung). Anak tidak dapat melihat perbedaan antara dua hal yang mirip bentuknya ataupun ukurannya. Sukar membedakan arah dan posisi, seperti huruf `d` dan `b`, `n` dan `m`, ikan dan kain, kelainan dalam persepsi, asosiasi, mengingat kembali, kekurangmatangan motorik, dan gangguan sensomotorik (2) Prestasi yang kurang Hal ini mulai tampak jelas bila anak mulai menduduki 4 SD karena di kelas tersebut mulai mempelajari konsep abstrak. (3) Kebiasaan kerja yang tidak baik Kebiasaan ini muncul karena mereka bingung dengan tugas yang ia rasakan sulit dan banyak. (4) Perhatian yang mudah beralih Perhatian anak tunagrahita hanya berlangsung sebentar. Anak mudah merasa lelah, bosan dan mengalihkan perhatiannya ke hal-hal yang lain. 15

8 16 (5) Kemampuan motorik yang kurang Karena kerusakan otak, banyak anak tunagrahita mengalami gangguan motorik sehingga anak tidak dapat bergerak dengan tepat, kaku, koordinasi motorik tidak baik. Hal ini terlihat ketika anak berjalan, berlari, lompat, melempar, menulis dll. (6) Perkembangan bahasa yang jelek Hal ini terjadi karena perkembangan bahasa yang miskin dan kekurangan kemampuan berkomunikasi. (7) Kesulitan menyesuaikan diri Manifestasi dari kesulitan tersebut adalah adanya sikap agresif, acuh tak acuh, menarik diri, menerima pasif atau tidak menaruh perhatian atas nasihat atau merasa tidak dianggap oleh lingkungan. d) Masa Puber Perkembangan berpikir dan kepribadian anak tunagrahita dibawah anak seusianya. Akibatnya anak mengalami kesulitan dalam pergaulan dan mengendalikan diri. Setelah tamat sekolah ia belum siap untuk bekerja akan tetapi ia tidak mungkin untuk melanjutkan pendidikan. Apabila diterima bekerja, mereka bekerja sangat lamban dan tidak terarah. Menurut APA, (2013: 34) karakteristik anak tunagrahita ringan yaitu: 1) Coceptual Domain For presschool children, they may be no obvious conceptual differences. For school-age children and adults, there are difficulties in learning academic skills involving reading, writing and aritmetic, time or money, with support needed in one or more areas meet age-related expectations In adult, abstrac thingking, executive functinon. 2) Social Domain Compared with typically developing agemates, the individual is immature in sosial interaction. For example, there may be difucultlly in accurately perceiving peers social cues. Comunnication, conversation and language are more concrete or immature than expected for age. 3) Practical Domain The individual may function age-appropriately in personal care. Individuals need some support with complex daily living task in comparison to peers. Pendapat tersebut dapat diartikan bahwa karakteristik anak tunagrahita ringan dapat dilihat dalam tiga hal yaitu bagian konsep, sosial dan praktik. Bagian konsep anak terlihat kesulitan dalam belajar akademik

9 17 ketika anak memasuki usia sekolah. Bagian sosial anak mengalami kesulitan dalam berinteraksi dengan teman sebayanya dan bagian praktik anak perlu dibantu dalam aktifitasnya sehari hari. Dari uraian pendapat tersebut dapat disimpulkan karakteristik anak tunagrahita adalah anak yang memiliki keterbatasan dari segi intelegensi, akademik, sosial, fisik dan penampilannya meliputi, daya abstraksi rendah, kekurangan dalam menyesuaikan diri dengan situasi-situasi baru, kapasitas belajar yang terbatas, cepat lupa, sukar memusatkan perhatian, memiliki hambatan dalam interaksi sosialnya, kemampuan motorik yang kurang dan mengalami kesuliatan pada masa sekolah, sehingga berpengaruh pada kemampuan adaptif dalam aktifitas sehari-hari mengurus dirinya sendiri. Karakteristik anak tunagrahita secara umum tersebut juga merupakan karakteristik anak tunagrahita ringan yaitu keterbatasan yang tergolong ringan dari segi intelegensi, akademik, sosial, fisik dan penampilannya. d. Klasifikasi Anak Tunagrahita Ringan Untuk memberikan pelayanan anak tunagrahita sesuai kebutuhannya maka pendidik perlu untuk mengetahui klasifikasi anak tunagrahita. Menurut pendapat Efendi (2006: 90) bahwa, Seorang pedagog mengklasifikasikan anak tunagrahita didasarkan pada penilaian program pendidikan yang disajikan pada anak. Dari penilaian tersebut dapat dikelompokan menjadi anak tunagrahita mampu didik, anak tunagrahita mampu latih, dan anak tunagrahita mampu rawat. Somantri (2006:106), mengklasifikasikan tunagrahita kedalam tiga tipe yaitu : 1) Anak tunagrahita ringan memiliki IQ menurut skala Weschler (WISC). Selain itu mereka masih dapat belajar membaca, menulis, dan berhitung sederhana. 2) Anak tunagrahita sedang memiliki IQ menurut skala Weschler (WISC). Mereka dapat dididik mengurus diri sendiri, melindungi diri sendiri dari bahaya seperti kebakaran, berjalan dijalan raya, berlindung dari hujan, dan sebagainya. 3) Anak tunagrahita berat memiliki IQ antara menurut skala Weschler (WISC). Anak tunagrahita berat memerlukan perawatan secara total dalam hal berpakaian, mandi, makan dan lainnya.

10 Bahkan mereka memerlukan perlindungan dari bahaya sepanjang hidupnya. Pendapat yang selaras menurut Santrock (2013: 225), mengklasifikasikan tunagrahita berdasarkan skor IQ (skala Weschler) sebagai berikut: 1) Tipe tunagrahita ringan memiliki IQ dengan rentang ) Tipe tunagrahita moderat memiliki IQ dengan rentang ) Tipe tunagrahita berat memiliki IQ dengan rentang ) Tipe tunagrahita parah memiliki IQ dengan rentang <25 Pendapat lain menurut APA (2013: 33) disebutkan bahwa, The various levels of severity are defined on the basis of adaptive functioning, and not IQ scores, because it is adaptive functioning that determines the level of supports required. Moreover, IQ measures are less valid in the lower end of the IQ range. Dari pendapat tersebut dapat diartikan bahwa pengklasifikasian itu berdasarkan fungsi adaptif bukan berdasarkan IQ, karena fungsi adaptif yang menentukan dukungan yang diperlukan anak. Selain itu terkadang kisaran IQ terjadi kurang valid. Berdasarkan 18 pendapat-pendapat tersebut disimpulkan bahwa menurut tingkat kecerdasan (Skala Weschler) tunagrahita diklasifikasikan menjadi tunagrahita ringan (IQ 70-55), tunagrahita sedang (54-40), tunagrahita berat (39-25), dan tunagrahita sangat berat (<25). Akan tetapi, tunagrahita kini tidak diklasifikasikan berdasarkan rentang IQ namun berdasarkan kemampuan adaptif yang dilihat dari aspek konseptual, sosial dan praktik e. Permasalahan Anak Tunagrahita Ringan Berdasarkan karakteristik anak tunagrhita dapat disimpulkan bahwa anak tunagrahita memiliki berbagai keterbatasan, dengan keterbatasan yang dimiliki mengakibatkan timbulnya berbagai permasalahan. Menurut

11 Astati (2010: 23), masalah yang dihadapi anak tunagrahita dalam konteks pendidikan adalah sebagai berikut: 1) Masalah kesulitan dalam kehidupan sehari-hari Masalah ini berkaitan dengan kesehatan dan pemeliharaan diri seperti: cara makan, menggosok gigi, memakai baju, memasang sepatu dan lain-lain. 2) Masalah kesulitan belajar Dengan keterbatasan yang dimiliki anak tunagrahita membuat tunagrahita mengalami kesulitan terutama dalam bidang akademik, masalah yang sering dirasakan diantaranya: kesulitan menangkap pelajaran, kesulitan dalam belajar yang baik, kemampuan berpikir abstrak yang terbatas dan daya ingat yang lemah. 3) Masalah penyesuaian diri Masalah ini berkaitan dengan kesulitan dalam hubungannya bersosialisai dengan kelompok maupun individu disekitarnya sehingga anak sering dijauhi oleh lingkungannya dan berpengaruh pada pembentukan pribadi anak. 4) Masalah penyaluran ke tempat kerja Anak tunagrahita cenderung banyak menggantungkan diri kepada orang lain terutama kepada keluarga terlebih orangtua, hal ini menyebabkan sulitnya anak tunagrahita beradptasi dengan lingkungan kerja yang membutuhkan kemandirian dan banyak keterampilan, sehingga dari pihak sekolah perlu menyiapkan banyak keterampilan bagi anak tunagrahita agar dapat membekali anak terjun kemasyarakat sebagai individu yang mandiri. 5) Masalah kepribadian dan emosi Berdasarkan karakteristik, anak tunagrahita mengalami masalah untuk berpikir, keseimbangan pribadinya kurang konstan dan kondisi yang demikian dapat dilihat dari tingkah lakunya seharihari, misalnya: mudah marah dan mudah tersinggung serta mengganggu orang lain disekitarnya. 6) Masalah pemanfaatan waktu luang Untuk mencegah anak tunagrahita dari kondisi yang berbahaya dan agar anak tidak mengganggu ketenangan masyarakat maupun keluarganya sendiri, anak tunagrahita perlu diberi bimbingan dalam memanfaatkan waktu luang karena mereka belum bisa memanfaatkan waktu luang dan kapan waktu luang mereka. Pendapat lain menurut Yusuf (2009: 8) bahwa, Anak tunagrahita mengalami masalah dalam berbagai hal yaitu: 1) Masalah dalam kemahirannya memecahkan masalah. 2) Masalah melakukan sesuatu yang baru. 3) Masalah terhadap minat dan penyelesaian tugas. 19

12 Beberapa permasalahan yang dihadapi anak tunagrahita menurut Efendi (2006: 98) yaitu: Keterlambatan perkembangan kognitif pada anak tunagrahita menjadi masalah besar bagi anak tunagrahita meniti tugas perkembangannya, masalah dan hambatan tersebut yaitu sebagai berikut : 1) Cenderung memiliki kemampuan berpikir konkret dan sukar berpikir. 2) Mengalami kesulitan dalam konsentrasi. 3) Kemampuan sosialisasinya terbatas. 4) Tidak mampu menyimpan instruksi yang sulit. 5) Kurang mampu menganalisis dan menilai kejadian yang dihadapi. 6) Pada tunagrahita mampu didik, prestasi tertinggi di bidang baca, tulis, hitung tidak lebih dari anak normal setingkat kelas III-IV sekolah dasar. Berdasarkan pemaparan tersebut dapat disimpulkan bahwa permasalahan anak tunagrahita ringan terjadi dalam beberapa hal yaitu: permasalahan yang tergolong ringan dalam kehidupan sehari-hari, dalam prestasi belajar, dalam kepribadian dan dalam sosial emosional serta penyesuaian diri Kajian Tentang Bina Diri Anak Tunagrahita a. Pengertian Bina Diri Banyak kegiatan sehari-hari yang perlu diajarkan kepada anak tunagrahita seperti makan, memakai baju, menggunakan telepon, menenjemen uang, membersihkan rumah dan lain sebagainya. Kegiatan sehari-hari ini dijadikan pembelajaran bagi anak tunagrahita yang terangkum dalam program khusus bina diri, pembelajaran ini diberikan kepada anak tunagrahita ringan agar mereka dapat mengurus dirinya sendiri serta hidup mandiri tanpa bergantung dengan orang lain. Bina diri adalah suatu pembinaan dan pelatihan tentang kegiatan kehidupan seharihari yang diberikan pada anak berkebutuhan khusus yang bersekolah di Sekolah Luar Biasa (SLB) maupun di sekolah inklusif/sekolah regular yang menyelenggarakan layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus (Sudrajat & Rosida, 2013: 53)

13 21 Menurut Astati (2010: 7), Bina diri adalah usaha membangun diri individu baik sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial melalui pendidikan dikeluarga, sekolah dan masyarakat sehingga terwujudnya kemandirian dengan keterlibatannya dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Casmini (2012: 1), Bina Diri adalah usaha membangun diri individu baik sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial melalui pendidikan di keluarga, di sekolah, dan di masyarakat. Sehingga terwujutnya kemandirian dengan keterlibatannya dalam kehidupan seharihari secara memadai. Basuni (2012) dalam jurnalnya menjelaskan bahwa, Ketrampilan bina diri merupakan upaya yang dilakukan individu agar dapat mengurus dan merawat diri sendiri yang dapat digunakan untuk beradaptasi dengan lingkungan masyarakat hidupnya. Pendapat lain menurut Yusuf, Choiri, dan Subagya (2013: 37), Bina diri adalah usaha memberikan perlakuan anak tunagrahita agar mereka mampu mengurus dirinya sendiri, dapat melakukan pekerjaan sehubungan dengan kegiatan hidup sehari-hari, mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya, serta dapat melakukan keterampilan-keterampilan tertentu. Menurut Depdikbud (2014: 3), Program pengembangan diri merupakan hal yang sangat penting untuk mengantarkan peserta didik tunagrahita dalam melakukan pengembangan dirinya. Dengan demikian berdasarkan uraian pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa bina diri atau pengembangan diri adalah usaha membantu individu tunagrahita agar mereka mandiri dalam mengurus dirinya sendiri dan dalam kehidupan sehari-hari sehingga tidak membutuhkan pertolongan lain dalam mengurus dirinya dan mampu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan. b. Ruang Lingkup bina diri Ruang lingkup bina diri atau pengembangan diri adalah bahan ajar atau materi pembelajaran bina diri yang diberikan untuk siswa. Menurut AAID (2002) dalam Gargiulo (2012: 150). dibagi menjadi tiga

14 kemampuan area bagi anak tunagrahita yaitu: Area pertama konseptual yang meliputi bahasa (reseptif dan ekspresif), membaca dan menulis, konsep uang dan arahan diri. Area kedua sosial meliputi kemampuan interpersonal, tanggungjawab, harga diri, mengikuti aturan, taat hukum dan pembelajaran agar tidak mudah tertipu. Area ketiga praktis meliputi empat bagian yaitu aktifitas sehari hari (makan, mobilitas, ke toilet dan memakai baju), kegiatan sehari-hari yang berperan penting (persiapan makan, menjaga rumah, minum obat, menejemen uang dan menggunakan telpon). Keterampilan okupasi, dan mempertahankan diri dari lingkungan yang aman. Area-area kemampuan anak tunagrahita tersebut dapat diterapkan dalam ruang lingkup pembelajaran bina diri bagi anak tunagrahita seperti yang dijabarkan sebagai berikut: 1) Merawat diri, meliputi: makan-minum, kebersihan badan. 2) Mengurus diri, seperti: berpakaian, berhias. 3) Menolong diri, seperti: menghindari dan mengendalikan bahaya. 4) Komunikasi, meliputi: komunikasi perbuatan, lisan, tulisan, dan penggunaan media komunikasi. 5) Sosialisasi, meliputi: a) sosial akademis (membaca, menulis, dan berhitung termasuk mengelola uang); b) kesadaran sosial (peraturan/ tata tertib di rumah, di masyarakat, membantu orang lain, memelihara lingkungan, dan menunggu giliran); c) hubungan sosial (memperkenalkan diri, berteman, bermain, penggunaan sumber-sumber di masyarakat seperti: berbelanja, penggunaan kendaraan umum). 6) Keterampilan/ persiapan pekerjaan, meliputi: tata laksana rumah, penguasaan keterampilan, dan mengkomunikasikan hasil pekerjaan (Astati, 2010: 9). Ruang lingkup dalam pembelajaran bina diri menurut Sudrajat & Rosida (2013: 19) adalah sebagai berikut: 1) Merawat diri Merawat diri merupakan kegiatan sehari-hari yang mendasar seperti: a) Mengenal dan menggunakan alat-alat makan dan minum. b) Melakukan kebersihan diri seperti mandi, menggosok gigi, membersihkan setelah buang air kecil dan besar dan merawat rambut. 22

15 2) Mengurus diri Mengurus diri merupakan kemampuan kegiatan sehari-hari yang berkaitan dengan keterampilan dirinya seperti cara berpakaian dan cara berhias. 3) Menolong diri Menolong diri merupakan kemampuan mengatasi berbagai masalah dalam kehidupan sehari-hari, seperti: a) Menghindari dan mengendalikan diri dari bahaya seperti: api, listrik, air, binatang peliharaan dan binatang buas. b) Melakukan kegiatan sehari-hari di rumah seperti: mencuci pakaian dan perabotan rumah tangga, menyapu dan mengepel, memasak masakan sederhana. 4) Komunikasi a) Komunikasi ekspresif seperti: mengungkapkan keinginan, bertanya tentang dirinya dan keluarga. b) Komunikasi reseptif seperti: memahami simbol-simbol yang ada disekitar (tanda lalu lintas, tanda kamar kecil pria dan wanita, memhami percakapan orang lain dan sebagainya) 5) Sosialisasi dan adaptasi Kemampuan sosialisasi dan adaptasi merupakan interaksi dengan lingkungan sekitar seperti: bermain dengan teman, melakukan kerja sama dengan lingkungan keluarga dan masyarakat, menolong orang, dan sebagainya. 6) Keterampilan hidup Kemampuan keterampilan hidup adalah kemampuan dalam: a) Mengatur dan menggunakan uang. b) Belanja dan mengatur hasil pembelajaran. c) Belanja di warung dan supermarket. 7) Mengisi waktu luang Pengklasifikasian keterampilan bina diri dalam pembelajaran menurut Yusuf, dkk, (2013: 37-39) adalah sebagai berikut: 1) Menjaga kebersihan badan, misalnya menggosok gigi, mandi, mencuci muka a) Pemeliharaan pakaian seperti mencuci dan menyeterika. b) Memilih dan memakai pakaian yang pantas sesuai dengan keadaan, cuaca dan keperluan. c) Perbaikan pakaian sederhana. d) Pembinaan etika pergaulan dan sopan santun. e) Sikap duduk yang pantas, misalnya waktu makan, di kelas, di rumah sesuai dengan situasi. f) Cara berbicara, cara berjalan dan cara bertamu. g) Menghias diri, misalnya menyisir rambut, memakai bedak. 2) Bidang makanan dan minuman a) Memilih jenis makanan yang bermanfaat bagi kesehatan 23

16 Cara menyajikan dan menghidangkan makanan/ makanan sederhana untuk diri sendiri. b) Menanak nasi dan membuat lauk-pauk. c) Cara mengatur meja makan dan menghidangkan makanan. d) Tata cara makan yang sopan. e) Cara menyimpan makanan, minuman dan alat-alat makan. 3) Bidang kesehatan lingkungan a) Menanamkan rasa tanggung jawab atas kebersihan lingkungan. b) Memelihara kebersihan, a.l. Kamar sendiri, rumah, lingkungan rumah. c) Mengenalkan instansi-instansi yang menangani masalah kesehatan, seperti rumah sakit, puskesmas, polindes, dsb d) Belajar bertanggung jawab atas kesehatan umum. 4) Bidang tugas-tugas sederhana di rumah dan di sekolah. Kegiatan ini antara lain: a) Penghargaan terhadap pekerjaan di rumah. b) Pemeliharaan perabot rumah. c) Pemeliharaan lingkungan agar tetap menyenangkan, baik di rumah maupun di sekolah. d) Pemilihan tempat bermain yang aman. e) Cara menyimpan alat-alat permainan. f) Kebiasaan melakukan tugas-tugas di kelas atau di sekolah, misalnya menghapus papan tulis, mengambil kapur, membersihkan meja, mengatur buku. g) Kebiasaan membantu guru dalam melakukan tugas-tugas ringan di sekolah. 5) Bidang keuangan, antara lain tentang: a) Menanamkan pengertian tentang nilai uang. b) Pemakaian uang secara hemat dan efektif. c) Memupuk hasrat menabung. d) Penggunaan harta benda keluarga secara ekonomis. 6) Bidang pemeliharaan anak kecil, misalnya: a) Membantu ibu mengasuh anak kecil. b) Bermain dengan adik-adiknya. c) Menjaga keselamatan dan kesehatan adik. 7) Bidang pertolongan pertama pada kecelakaan antara lain: a) Cara menggunakan obat-obatan pada luka baru. b) Cara menyimpan obat-obatan. c) Cara memberi pertolongan yang sederhana Dari pendapat tersebut keterampilan bina diri atau pengembangan diri dibagi menjadi beberapa bidang, yaitu menjaga kebersihan badan, bidang makanan dan minuman, bidang kesehatan lingkungan, bidang 24

17 tugas-tugas sederhana di rumah dan di sekolah, bidang keuangan, bidang pemeliharaan anak kecil, dan bidang pertolongan pertama pada kecelakaan. Pendapat ahli lain menurut Casmini (2012: 8), aspek pengembangan dalam program bina diri adalah sebagai berikut : 1) Merawat diri: makan-minum, kebersihan badan, menjaga kesehatan. 2) Mengurus diri: berpakaian, berhias diri. 3) Menolong diri: menghindar dan mengendalikan diri dari bahaya. 4) Berkomunikasi: komunikasi non verbal, verbal, atau tulisan. 5) Bersosialisasi: pernyataan diri, pergaulan dengan anggota keluarga, teman, dan anggota masyarakat. 6) Penguasaan pekerjaan: pemeliharaan alat, penguasaan keterampilan, mencari informasi pekerjaan, mengkomunikasikan hasil pekerjaan dengan orang lain. 7) Pendidikan seks: membedakan jenis kelamin, menjaga diri dan alat reproduksi, menjaga diri dari sentuhan lawan jenis. Pendapat lain menurut Depdikbud (2014: 10) mengemukakan ruang lingkup program pengembangan diri mencakup komponen sebagai berikut: 1) Merawat diri: makan, minum dan kebersihan. 2) Mengurus diri: berpakaian dan berhias. 3) Menolong diri: menjaga keselamatan dan mengatasi dari bahaya. 4) Berkomunikasi: berkomunikasi lisan, tulisan, isyarat dan gambar. 5) Bersosialisasi: bersosialisasi dengan lingkungan keluarga,sekolah dan masyarakat. 6) Keterampilan hidup: keterampilan menggunakan uang, keterampilan berbelanja dan keterampilan dalam bekerja. 7) Mengisi waktu luang: kegiatan-kegiatan olahraga, seni, dan keterampilan sederhana seperti memelihara tanaman dan hewan Depdikbud. Berdasarkan pendapat tersebut pencapaian kemandirian anak tunagrahita dalam bina diri atau pengembangan diri mencakup bahan kajian yaitu: 25 merawat diri (makan dan minum), mengurus diri (berpakaian, berhias), menolong diri (menghindari diri dari bahaya), berkomunikasi (verbal, non verbal), bersosialisasi, penguasaan pekerjaan, pendidikan seks, menejemen uang, dan pertolongan pertama pada

18 kecelakaan. Banyak keterampilan bina diri atau pengembangan diri yang harus diajarkan kepada anak tunagrahita ringan akan tetapi pada penelitian ini hanya berfokus dalam hal mengurus diri yaitu memakai kemeja. Keterampilan memakai kemeja adalah salah satu hal penting yang harus diajarkan lebih awal kepada anak tunagrahita ringan karena memakai kemeja adalah kepentingan pribadi individu. Hal tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan Menurut Alam & Mukherjee (2003: 4) dalam jurnalnya dijelaskan bahwa: Urutan kesulitan activity daily living (ADL) yang harus diajarkan dari umur bawah atau paling awal menurut domain fisik meliputi: makan, memakai baju, mandi, berjalan di dalam ruangan (katakan ke toilet), berjalan di luar ruangan (mengatakan untuk belanja rutin), memasak/membersihkan rumah, memanjat tangga, menyisir rambut dan berdiri dari posisi duduk. Menurut pendapat-pendapat tersebut banyak kegiatan sehari-hari yang harus diajarkan kepada anak tunagrahita seperti makan, memakai baju, menggunakan telepon, menenjemen uang, membersihkan rumah dan lain sebagainya. Dengan demikian urutan aktifitas sehari-hari yang perlu diajarkan lebih awal kepada anak tunagrahita salah satunya adalah memakai baju atau berbusana yang salah satunya memakai kemeja, dan memakai kemeja ini menjadi fokus dalam penelitian ini. 26 c. Kemampuan Memakai Kemeja Anak Tunagrahita Ringan Kemampuan anak tunagrahita ringan dalam memakai kemeja dapat dilihat dari karakteristik anak tunagrahita ringan. Menurut APA (2013: 34), Kemampuan anak tunagrahita ringan berdasarkan practical domain bahwa anak tunagrahita ringan membutuhkan dukungan dalam pemenuhan tugas aktifitas sehari-hari yang kompleks dibandingkan dengan temanteman sebayanya, dimasa dewasanya pun anak tunagrahita ringan masih membutuhkan dukungan dalam pengorganisasian rumah tangga dan perawatan anak.

19 27 Menurut Yusuf (2009: 8), Secara umum karakteristik tunagrahita Tidak dapat mengurus diri sesuai usia". Mengurus diri sendiri dalam aktifitas sehari-hari dapat dikaitkan dengan berbusana yang salah satunya adalah memakai kemeja. Memakai kemeja membutuhkan keterampilan atau kecakapan dalam motorik halus. Kesulitan mengancingkan baju pada anak tunagrahita merupakan dampak dari kemampuan motorik anak tunagrahita. Pendapat tersebut didukung oleh Somantri (1996: 88), semakin rendah kemampuan intelektual seorang anak maka semakin rendah pula kemampuan motoriknya. Pernyataan lain menurut Grossman (1983) dalam Gargiulo (2012: 143), Describes intellectual disabilities as significantly subaverage general intellectual functioning resulting in or associated ith concurrent impairments in adaptive behavior and manifested during the developmental period. Pernyataan tersebut dapat diartikan ketunagrahitaan mengacu pada fungsi intelektual umum yang secara signifikan berada dibawah rata-rata, bersamaan dengan itu ia mengalami kekurangann dalam perilaku adaptif dan ini berlangsung pada masa perkembangannya. Pendapat lainnya menurut Astati (2010: 22), salah satu karakteristik anak tunagrahita pada masa perkembangnnya yaitu kemampuan motoriknya kurang hal ini disebabkan karena banyak kerusakan otak, anak tunagrahita mengalami gangguan motorik. Ia tidak dapat bergerak dengan tepat, kaku, koordinasi motorik tidak baik. Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut maka dapat dikatakan bahwa semakin berat ketunagrahitaan seorang anak semakin rendah pula kemampuan bina dirinya salah satunya memakai kemeja. Menurut Susanti (2013: 102), Kemampuan anak tunagrahita ringan dalam memakai seragam sekolah adalah suatu keterampilan atau kecakapan anak untuk dapat memakai baju dengan rapi sehingga anak mandiri tanpa harus dibantu orang lain. Menurut Suriadi, dkk (2013: 4), Pada kegiatan mengenakan baju kemeja kedengarannya sangat sederhana

20 28 akan tetapi bila diaplikasikan pada anak tungrahita, sebagian besar dari mereka tidak bisa melakukan sendiri tanpa diajarkan dan dilatih terlebih dahulu ini terbukti ketika guru meminta anak mengenakan kemeja sendiri tetapi anak tidak bisa. Dengan demikian dari beberapa pernyataan tersebut disimpulkan bahwa kemampuan anak tunagrahita memakai kemeja masihlah buruk karena dipengaruhi oleh kemampuan intelektual yang berpengaruh terhadap kemampuan motoriknya sehingga diperlukan bimbingan untuk menjadikan anak mandiri memakai kemeja. Dengan demikian kemampuan memakai kemeja anak tunagrahita ringan adalah suatu keterampilan yang harus dimiliki anak untuk memakai kemaja tanpa perlu bantuan orang lain sehingga anak mandiri. d. Langkah-Langkah Memakai Kemeja Memakai kemeja salah satu pekerjaan yang sulit bagi anak tunagrahita. Untuk membuat memakai kemeja menjadi mudah diperlukan analisis tugas atau langkah-langkah cara memakai kemeja. Menurut Martin & Pear (2011: 138), analisis tugas adalah proses membagi tugas menjadi langkah-langkah kecil untuk mempermudah pekerjaan. Langkah-langkah memakai kemeja menurut Astati (2010: 60), adalah sebagai berikut : 1) Memasukkan tangan kanan pada lubang lengan kanan 2) Memasukkan tangan kiri pada lubang lengan kiri 3) Merapikan/menarik baju kedepan 4) Menyamakan ujung bawah dan mengancingkan bagian bawah 5) Mengancingkan baju satu persatu sampai selesai 6) Melihat cermin tanda sudah rapi. Langkah-langkah memakai kemeja Menurut Wantah (2007: 192), adalah sebagai berikut: 1) Mengambil kemeja dari tempatnya 2) Membuka kancing kemeja 3) Anak memasukkan tangannya pada lengan kanan atau kiri 4) Anak merapikan kemeja dengan mempertemukan kelim bawah kemeja bagian kanan dan kiri sehingga sejajar.

21 5) Anak mulai mengancingkan kemeja dari bagian atas atau bawah tergantung kebiasaan anak sampai kemeja tertutup rapi". Langkah-langkah mengenakan pakaian menurut Depdikbud (2014: 30), adalah sebagai berikut: 1) Orientasi bagian depan dan belakang kemeja. 2) Memperagakan mengambil kemeja dari gantungan baju 3) Menggantungkan kemeja di pundak 4) Memasukkan tangan kanan pada lubang tangan kanan 5) Memasukkan tangan kiri pada lubang tangan kiri 6) Merapikan atau menarik kemeja ke depan 7) Menyamakan ujung bawah dan mengancingkan bagian bawah 8) Mengancingkan baju satu persatu 9) Melihat atau mengecek kerapian dicermin Berdasarkan pendapat tersebut langkah-langkah memakai kemeja sebagai berikut: 1) Anak mengambil kemeja dari tempatnya 2) Anak memasukan tangan kanan kelengan baju kanan 3) Anak memasukkan tangan kiri kelengan baju kiri 4) Menyamakan ujung bawah kancing dengan mempertemukan kelim bawah kemeja bagian kanan dan kiri sehingga sejajar. 5) Anak mulai mengancingkan kemeja dari bagian atas atau bawah satu persatu tergantung kebiasaan anak sampai kemeja tertutup rapi. 6) Merapikan kerah 7) Melihat cermin apakah sudah rapi atau belum Dan langkah tambahan adalah merapikan kerah apabila baju yang dipakai memiliki kerah seperti kemeja pada umumnya. Kemampuan memakai kemeja disini mengacu pada langkah-langkah yang disebutkan tersebut. 29

22 30 3. Kajian Tentang Backward Chaining Dalam Kemampuan Bina Diri Memakai Kemeja Anak Tunagrahita Ringan a. Pengertian Backward Chaining Pembelajaran bina diri adalah salah satu pembelajaran yang penting bagi anak tunagrahita, karena dengan adanya pembelajaran bina diri anak mampu melaksanakan aktifitas sehari-hari secara mandiri. Pendidik harus berupaya agar pembelajaran bina diri menarik, maka memerlukan upaya atau cara yang bisa membuat anak percaya diri untuk melakukan aktifitas sehari-harinya secara mandiri yaitu dengan menggunakan backward chaining. Menurut Martin & Pear (2011: 133), Backward chaining adalah langkah-langkah yang terakhir yang diajarkan pertama, langkah selanjutnya dilakukan mundur hingga langkah pertama yang dilakukan terakhir. Menurut Sundel & Sundel (2005: 100), Backward chaining adalah unit stimulus respon urutan terakhir yang dijadikan pertama dan unit lain ditambahkan dalam urutan terbalik sampai urutan yang diinginkan selesai. Menurut Reyner (2011: 340), Backward chaining adalah suatu prosedur dimana subjek melengkapi langkah terakhir dari perilaku rantai pertama. Pendapat lain menurut Alberto & Troutman (1990: 319), backward chaining digunakan dengan komponen rantai diperoleh dalam urutan terbalik, komponen terakhir diajarkan pertama, dan komponen lain yang ditambahkan satu per satu. Berdasarkan pemaparan pendapat tersebut backward chaining adalah prosedur dalam mengajarkan memakai kemeja yang mana langkah terakhir dalam prosedur memakai kemeja yang diajakan pertama dengan langkah selanjutnya mengikuti dalam urutan terbalik, sehingga langkah kerja pertama dalam memakai kemeja yang diajarkan terakhir kepada anak tunagrahita ringan. Untuk mendukung penggunaan backward chaining peneliti memaparkan beberapa bahan penguat yaitu penelitian yang dilakukan

23 31 Christopher Rayner (2011) dalam jurnalnya yang berjudul Teaching students with autism to tie a shoelace knot using video prompting and backward chaining. Penelitian ini membandingkan langkah-langkah anak untuk menyelesaikan mengikat tali sepatu, dengan menggunakan video dan menggunakan prosedur backward chaining, hasilnya menunjukkan bahwa penggunaan backward chaining lebih efektif karena dua anak hampir menguasai seluruh langkah-langkah menggunakan backward chaining lebih cepat daripada menggunakan video. Penelitian lainnya yang dilakukan Garardo Castillo (2013) dalam penelitiannya yang berjudul Forward And Backward Chaining In Preschool Children. Penelitian ini dilakukan untuk membandingkan efektivitas forward chaining dan backward chaining pada anak-anak prasekolah dengan tugas mengikat tali sepatu, tugas terdiri dari delapan langkah dan dilakukan oleh sepuluh anak-anak prasekolah dari Tallahassee prasekolah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa backward chaining adalah prosedur yang ideal metode untuk anak-anak prasekolah ketika belajar bagaimana untuk mengikat sepatu. Berdasarkan beberapa penelitian bahwa backward chaining dapat dijadikan bahan rujukan yang menarik untuk dilakukannya penelitian. b. Langkah-Langkah Backward Chaining Dalam Kemampuan Bina Diri Memakai Kemeja Anak Tunagrahita Ringan Memberikan kegiatan pengajaran harus memiliki langkah-langkah agar pembelajaran yang diberikan kepada anak-anak jelas dan terarah. Dalam penggunaan backward chaining pun diperlukan langkah-langkah agar pembelajaran berjalan lancar. Menurut Slocum & Tiger (2011: 794) langkah-langkah dalam prosedur backward chaining adalah, Jika terdapat langkah A, B, C, dan D, langkah D akan diajarkan pertama; kemudian langkah C dan D; diikuti oleh langkah B, C, dan D; dan akhirnya, langkah A, B, C, dan D. Instruktur memberikan penguatan pada penyelesaian langkah terakhir.

24 Menurut Martin & Pear (2011: 134), langkah-langkah dalam backward chaining : 1) Dimulai dari langkah terakhir, ini harus dikuasai sebelum melanjutkan ke langkah setelahnya hingga akhir 2) Instruktur memberikan petunjuk untuk langkah yang diajarkan 3) Pada setiap percobaan, setiap langkah terakhir yang dikuasai anak sebelum langkah yang diajarkan anak diberi pengutan 4) Dengan cara ini, satu langkah yang dipelajari pada satu waktu, berjalan dengan mundur ke langkah pertama. Total task presentation S 1 R 1 S 1 R 2 S 1 R 3 Reinforcer 32 Backward cahaining S 1 R 2 S 1 R 3 Reinforcer Reinforcer Reinforcer S 1 R 1 S 1 R 2 S 1 R 3 Gambar 2.1 Langkah-langkah backward chaining (Sumber. Martin&Pear, 2011: 134) Berdasarkan pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa setiap anak berhasil dalam menyelesaikan tugas dalam setiap langkah-langkah kegiatan maka anak diberikan pengutan positif dapat berupa pengutan verbal ataupun penguatan non verbal agar anak termotivasi untuk menyelesaikan seluruh tugasnya. S 1 R 3 Hal tersebut diperkuat dengan penelitian Haraldur Þorsteinsson dan Zuilma Gabriela Sigurðardóttir (2007) dalam jurnalnya yang berjudul Backward Chaining Used to teach a Woman with Aphasia to Read Compound Words: A Single Case Study. Penelitian ini menjelaskan Backward chaining digunakan untuk mengajar seorang wanita 55 tahun dengan aphasia untuk membaca kata majemuk bahasa Islandia. Setiap kata majemuk itu dibagi menjadi tiga komponen kata. Yang terakhir dari tiga komponen ditargetkan pertama. Komponen kedua dan ketiga diajarkan berikutnya, dan ketiga komponen menjadi sasaran terakhir. Pemberian

25 penguatan digunakan selama setiap percobaan fase pelatihan. Kesimpulannya secara keseluruhan penelitian ini memberikan indikasi bahwa backward chaining dengan pemberian penguatan dapat memberikan respon yang baik dan benar sehingga menjadi strategi layak untuk membantu klien dengan afasia untuk membaca kata majemuk, jika dibiarkan dapat menimbulkan masalah baru, yang mungkin menimbukan penurunan motivasi untuk membaca dan peningkatan penarikan sosial. Berikut ini dalam Sundel & Sundel (2005: ), mencontohkan prosedur backward chaining dalam memakai kemeja untuk anak tunagrahita terdiri dari langkah-langkah berikut: 1) The practitioner put the shirt on Molly and buttoned it, except for one button that she left half buttoned. She showed Molly how to push the button through the hole (modelling the correct response) and asked her to repeat this response. The practitioner showed Molly how to grasp the button in one hand and the buttonhole in the other and push the button through the hole. When Molly grasped the buttonhole and pushed the button through the hole, the practitioner said, "Good", and gave her a piece of fruit 2) With Molly wearing the shirt, the practitioner buttoned all but one of the buttons. When Moly pushed the button through the hole, the practitioner said, "Good Job," and gave her a piece of fruit 3) With Molly wearing the shirt, the practitioner buttoned all but two of the buttons. She then instructed Molly to button the first button and then the second button. The closed first button severed as both a conditioned reinforcer (S r+ ) for buttoning it and the S D for buttoning the second button. After Molly closed both buttons, the practitioner said, "Good," and gave her a piece of fruit 4) The practitioner repeated the basic steps of this procedure until Molly buttoned the entire shirt, put her arms in the sleeves, and took the shirt out of the drawer. As each new response was added, Molly performed it along with the preceding responses in the chain and received praise and fruit. Uraian menurut Sundel & Sundel (2005: ) tersebut dapat diartikan sebagai berikut: 1) Praktisi memakaikan kemeja kepada Molly dan menggancingkannya kecuali satu kancing terakhir yang ia tinggalkan setengah kancing. 33

26 34 Dia memberikan contoh bagaimana memasukkan kancing tersebut kelubangnya. Dan meminta Molly untuk menirukan hal yang sama. Ketika Molly berhasil memasukkan setengah kancing tersebut kelubangnya praktisi berkata Good, dan memberikan sepotong buah. 2) Ketika Molly dipakaikan kemeja, praktisi mengkancingkan semua dan salah satu tidak dikancingkan, lalu Molly memasukkan kancing tersebut kelubangnya paktisi berkata Good job, dan memberikan sepotong buah. 3) Ketika Molly dipakaikan kemeja, praktisi mengkancingkan semua dan dua terakhir tidak dikancingkan, lalu Molly memasukkan kancing pertama (S r+ ) dan memasukkan kancing kedua S D. Setelah Molly mengancingkan kedua kancing tersebut barulah praktisi berkata Good : dan memberikan sepotong buah. 4) Praktisi mengulangi langkah-langkah dasar dari prosedur ini sampai Molly mengancingkan seluruh kemeja, memasukkan tangannya di lengan baju, dan mengambil kemeja dari laci. Setiap respon baru ditambahkan dalam urutan memakai kemeja dan Molly melakukan urutan sebelumnya degan baik, maka Molly berhak menerima pujian dan buah. Dengan demikian penggunaan metode backward chaining untuk anak tunagrahita memakai kemeja adalah sebagai berikut : 1) Anak secara mandiri melihat cermin apakah sudah rapi atau belum 2) Anak secara mandiri melihat cermin apakah sudah rapi atau belum dan merapikan kerah 3) Anak secara mandiri melihat cermin apakah sudah rapi atau belum, merapikan kerah dan mengancingkan kemeja dari bagian atas atau bawah satu persatu tergantung kebiasaan anak sampai kemeja tertutup rapi. 4) Anak secara mandiri melihat cermin apakah sudah rapi atau belum, merapikan kerah, mengancingkan kemeja dari bagian atas atau bawah

27 35 satu persatu tergantung kebiasaan anak sampai kemeja tertutup rapi dan menyamakan ujung bawah kancing dengan mempertemukan kelim bawah kemeja bagian kanan dan kiri sehingga sejajar. 5) Anak secara mandiri melihat cermin apakah sudah rapi atau belum, merapikan kerah, mengancingkan kemeja dari bagian atas atau bawah satu persatu tergantung kebiasaan anak sampai kemeja tertutup rapi, menyamakan ujung bawah kancing dengan mempertemukan kelim bawah kemeja bagian kanan dan kiri sehingga sejajar dan memasukkan tangan kiri kelengan baju kiri 6) Anak secara mandiri melihat cermin apakah sudah rapi atau belum, merapikan kerah, mengancingkan kemeja dari bagian atas atau bawah satu persatu tergantung kebiasaan anak sampai kemeja tertutup rapi, menyamakan ujung bawah kancing dengan mempertemukan kelim bawah kemeja bagian kanan dan kiri sehingga sejajar, memasukkan tangan kiri kelengan baju kiri dan memasukkan tangan kanan kelengan baju kanan. 7) Anak secara mandiri melihat cermin apakah sudah rapi atau belum, merapikan kerah, mengancingkan kemeja dari bagian atas atau bawah satu persatu tergantung kebiasaan anak sampai kemeja tertutup rapi, menyamakan ujung bawah kancing dengan mempertemukan kelim bawah kemeja bagian kanan dan kiri sehingga sejajar, memasukkan tangan kiri kelengan baju kiri, memasukkan tangan kanan kelengan baju kanan, mengambil kemeja dari tempatnya. Penerapan langkah-langkah backward chaining dalam memakai kemeja anak tunagrahita dapat diterapkan pula untuk anak tunagrahita ringan. Sehingga dalam penelitian ini menggunakan langkah-langkah backward chaining dalam memakai kemeja seperti yang telah diuraikan dalam langkah-langkah backward chaining dalam memakai kemeja anak tunagrahita.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar siswa secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS. A. Kajian Teori

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS. A. Kajian Teori 7 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS A. Kajian Teori 1. Tinjauan tentang Anak Tunagrahita a. Definisi Anak Tunagrahita Tunagrahita mempunyai istilah lain yaitu lemah pikiran (Feeble-Minded),

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang dasar 1945 mengamanatkan upaya untuk mencerdaskan

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang dasar 1945 mengamanatkan upaya untuk mencerdaskan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang dasar 1945 mengamanatkan upaya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa serta agar pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran

Lebih terperinci

MANFAAT GERAK FISIK OLAHRAGA BAGI KEMANDIRIAN INTELEKTUAL DISABILITAS

MANFAAT GERAK FISIK OLAHRAGA BAGI KEMANDIRIAN INTELEKTUAL DISABILITAS MANFAAT GERAK FISIK OLAHRAGA BAGI KEMANDIRIAN INTELEKTUAL DISABILITAS Mumpuniati PLB-FIP-UNY 1. Menstimulasi peredaran darah 2. Mestimulasi pertumbuhan syaraf 3. Menambah koordinasi gerak yang selanjutnya

Lebih terperinci

KLASIFIKASI. Sistem AAMR - Mild retardation (IQ s/d 70) - Moderate retardation (IQ s/d 50-55) - Severe retardation (IQ s/d 35-40)

KLASIFIKASI. Sistem AAMR - Mild retardation (IQ s/d 70) - Moderate retardation (IQ s/d 50-55) - Severe retardation (IQ s/d 35-40) MENTAL RETARDATION DEFINISI Mental retardation refers to significantly subaverage general intelectual functioning resulting in or associated with deficits in adaptive behavior, and manifested during the

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah suatu proses pengalaman yang memberikan pengertian, pandangan (insight) dan penyesuaian bagi seseorang yang menyebabkan ia berkembang Crow

Lebih terperinci

2016 RUMUSAN PROGRAM PEMBELAJARAN KETERAMPILAN MERAWAT DIRI BAGI ANAK TUNAGRAHITA SEDANG DI SLB X PALEMBANG

2016 RUMUSAN PROGRAM PEMBELAJARAN KETERAMPILAN MERAWAT DIRI BAGI ANAK TUNAGRAHITA SEDANG DI SLB X PALEMBANG BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan pada dasarnya bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia mandiri,,, (UURI No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas Bab II

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap Warga Negara Indonesia berhak memperoleh pendidikan. Hak dalam pendidikan diatur sesuai dengan UUD 1945 pasal 31 yang menyatakan bahwa Setiap warga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini, bangsa Indonesia sedang mengerahkan segala daya upaya untuk melakukan pembangunan di segala bidang demi terwujudnya masyarakat adil dan makmur berdasarkan

Lebih terperinci

JURNAL PENDIDIKAN LUAR BIASA EFEKTIVITAS PENGGUNAAN BACKWARD CHAINING UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN BINA DIRI SISWA TUNAGRAHITA RINGAN

JURNAL PENDIDIKAN LUAR BIASA EFEKTIVITAS PENGGUNAAN BACKWARD CHAINING UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN BINA DIRI SISWA TUNAGRAHITA RINGAN JURNAL PENDIDIKAN LUAR BIASA EFEKTIVITAS PENGGUNAAN BACKWARD CHAINING UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN BINA DIRI SISWA TUNAGRAHITA RINGAN Nama : Naila Rahmah Fitriya NIM : K5112051 Email : naila_plb@yahoo.com

Lebih terperinci

2016 MENINGKATKAN KEMAMPUAN MEMBACA PERMULAAN ANAK TUNAGRAHITA RINGAN MELALUI MEDIA KARTU KATA BERGAMBAR

2016 MENINGKATKAN KEMAMPUAN MEMBACA PERMULAAN ANAK TUNAGRAHITA RINGAN MELALUI MEDIA KARTU KATA BERGAMBAR 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kemampuan membaca merupakan kemampuan yang kompleks yang menuntut kerjasama antara sejumlah kemampuan. Kesanggupan seseorang dalam membaca atau menangkap makna

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Anak membutuhkan bantuan orang lain untuk memenuhi kebutuhannya dalam

BAB I PENDAHULUAN. Anak membutuhkan bantuan orang lain untuk memenuhi kebutuhannya dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anak merupakan anugrah yang Tuhan berikan untuk dijaga dan dirawat. Anak membutuhkan bantuan orang lain untuk memenuhi kebutuhannya dalam masa tumbuh kembang. Memahami

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Anak Tunagrahita Ringan 1. Pengertian Anak Tunagrahita Ringan Tunagrahita disebut juga intellectual disability atau retardasi mental, yang dapat diartikan lemah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tersendiri dalam jenis dan karakteristiknya, yang membedakan dari anak-anak

BAB I PENDAHULUAN. tersendiri dalam jenis dan karakteristiknya, yang membedakan dari anak-anak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang memiliki keunikan tersendiri dalam jenis dan karakteristiknya, yang membedakan dari anak-anak normal pada umumnya. Salah satunya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan sebuah program. Program melibatkan sejumlah komponen yang bekerja sama dalam sebuah proses untuk mencapai tujuan yang diprogramkan. Sebagai

Lebih terperinci

KOMPENSATORIS ANAK AUTIS

KOMPENSATORIS ANAK AUTIS KOMPENSATORIS ANAK AUTIS Oleh: H i d a y a t Kemampuan Bantu Diri Pengertian ADL/Bantu Diri Isitilah-istilah self care, self help, & Activity Daily Living (ADL). Kemampuan yg dimiliki anak ATG/Autis Kemampuan

Lebih terperinci

MENGENAL ANAK TUNAGRAHITA. anak yang biasa-biasa saja, bahkan ada anak yang cepat. Yang menjadi persoalan dalam

MENGENAL ANAK TUNAGRAHITA. anak yang biasa-biasa saja, bahkan ada anak yang cepat. Yang menjadi persoalan dalam 1 MENGENAL ANAK TUNAGRAHITA A. Pengertian Dilihat dari tingkat kecerdasannya, ada anak normal, ada anak di bawah normal, dan ada anak di atas normal. Sehingga dalam belajarnya pun ada anak yang lamban,

Lebih terperinci

2016 MENINGKATKAN KETERAMPILAN MEMAKAI SEPATU BERTALI PAD A ANAK TUNAGRAHITA SED ANG MELALUI METOD E D RILL D I SLB C SUMBERSARI BAND UNG

2016 MENINGKATKAN KETERAMPILAN MEMAKAI SEPATU BERTALI PAD A ANAK TUNAGRAHITA SED ANG MELALUI METOD E D RILL D I SLB C SUMBERSARI BAND UNG 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Setiap individu memiliki akal dan pikiran, namun individu memiliki kemampuan yang berbeda-beda dalam mengoptimalkan akal dan pikiran tersebut. Perbedaan

Lebih terperinci

ANAK TUNAGRAHITA DAN PENDIDIKANNYA

ANAK TUNAGRAHITA DAN PENDIDIKANNYA ANAK TUNAGRAHITA DAN PENDIDIKANNYA Oleh: Astati, Dra. M.Pd. PLB Universitas Pendidikan Indonesia Anak Tunagrahita dan Pendidikannya Definisi lihat slide no 12 Ketunagrahitaan mengacu pada fungsi intelektual

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (PP No. 72 Tahun 1991). Klasifikasi yang digunakan di Indonesia saat ini dengan

BAB I PENDAHULUAN. (PP No. 72 Tahun 1991). Klasifikasi yang digunakan di Indonesia saat ini dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anak-anak dalam kelompok di bawah normal dan atau lebih lamban dari pada anak normal, baik perkembangan sosial maupun kecerdasannya disebut anak keterbelakangan mental:

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS A. Kajian Pustaka

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS A. Kajian Pustaka BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS A. Kajian Pustaka 1. Kajian Tentang Anak Tunagrahita Sedang a. Pengertian Anak Tunagrahita Sedang Setiap anak mempunyai kemampuan intelektual dan

Lebih terperinci

Bina Diri Anak Tunagrahita

Bina Diri Anak Tunagrahita Bina Diri Anak Tunagrahita Peristilahan Activity Daily Living Personal Management Self care Self help Di Indonesia: KMD berubah Bina Diri karena merealisasikan diri pada situasi kehidupan rumah, sekolah

Lebih terperinci

: Metode-metode Pembelajaran Bahasa Lisan pada Anak Tunagrahita Ringan di Sekolah Luar Biasa

: Metode-metode Pembelajaran Bahasa Lisan pada Anak Tunagrahita Ringan di Sekolah Luar Biasa Judul : Metode-metode Pembelajaran Bahasa Lisan pada Anak Tunagrahita Ringan di Sekolah Luar Biasa Nama Penulis : Widad Nabilah Yusuf (209000274) Pendahuluan Soemantri (2006) mengatakan tunagrahita memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Tubuh manusia mengalami berbagai perubahan dari waktu kewaktu

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Tubuh manusia mengalami berbagai perubahan dari waktu kewaktu 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Tubuh manusia mengalami berbagai perubahan dari waktu kewaktu sejak lahir yang meliputi pertumbuhan dan perkembangan. Perubahan yang cukup mencolok terjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Beragam kebutuhan yang dimiliki anak tunagrahita baik kebutuhan yang

BAB I PENDAHULUAN. Beragam kebutuhan yang dimiliki anak tunagrahita baik kebutuhan yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Beragam kebutuhan yang dimiliki anak tunagrahita baik kebutuhan yang sifatnya pokok (primer) maupun kebutuhan sekunder dan tertier yang harus dipenuhi. Salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. taraf kelainannya. American Association On Mental Deliciency (AAMD) dalam

BAB I PENDAHULUAN. taraf kelainannya. American Association On Mental Deliciency (AAMD) dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak tunagrahita adalah anak yang memiliki kecerdasan di bawah rata-rata yang terjadi pada saat masa perkembangan dan memiliki hambatan dalam penilaian adaptif. Secara

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORITIS Kesejahteraan Psikologis (Psycological Well Being) Pengertian Kesejahteraan Psikologis

BAB II TINJAUAN TEORITIS Kesejahteraan Psikologis (Psycological Well Being) Pengertian Kesejahteraan Psikologis BAB II TINJAUAN TEORITIS 2.1. Kesejahteraan Psikologis (Psycological Well Being) 2.1.1. Pengertian Kesejahteraan Psikologis Kesejahteraan psikologis adalah keadaan dimana seseorang memiliki kondisi yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Wiwi Widiawati, 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Wiwi Widiawati, 2014 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Program bina diri merupakan program khusus yang wajib diberikan pada siswatunagrahita. Program ini dikembangkan berdasarkan hasil asesmen. Secara umum program

Lebih terperinci

Retardasi Mental. Dr.dr. Tjhin Wiguna, SpKJ(K)

Retardasi Mental. Dr.dr. Tjhin Wiguna, SpKJ(K) Retardasi Mental Dr.dr. Tjhin Wiguna, SpKJ(K) Retardasi Mental (RM) Suatu keadaan perkembangan mental yang terhenti atau tidak lengkap atau tidak sesuai dengan tingkat perkembangan anak seusianya. Ditandai

Lebih terperinci

KEMAMPUAN KHUSUS INDIVIDU & ANTISIPASI PENDIDIKAN

KEMAMPUAN KHUSUS INDIVIDU & ANTISIPASI PENDIDIKAN KEMAMPUAN KHUSUS INDIVIDU & ANTISIPASI PENDIDIKAN II. CACAT MENTAL Grahita pikir / memahami. Tuna Grahita ketidakmampuan dalam berpikir. MR / Mental Retardation. awalnya hanya mengacu pd aspek kognitif

Lebih terperinci

APLIKASI UNTUK MENGUKUR KEMAMPUAN ANAK RETARDASI MENTAL BERBASIS WEBSITE

APLIKASI UNTUK MENGUKUR KEMAMPUAN ANAK RETARDASI MENTAL BERBASIS WEBSITE APLIKASI UNTUK MENGUKUR KEMAMPUAN ANAK RETARDASI MENTAL BERBASIS WEBSITE PUBLIKASI ILMIAH Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan Jenjang Strata I Pada Jurusan Informatika Fakultas Komunikasi dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam kehidupan anak bermain mempunyai arti yang penting. Bermain merupakan ciri khas anak. Bermain akan menghilangkan kejenuhan anak dan membuat anak menemukan kesenangan,

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Anak tunagrahita sedang adalah anak yang tergolong salah satu

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Anak tunagrahita sedang adalah anak yang tergolong salah satu BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian tentang Anak Tunagrahita Sedang 1. Pengertian Anak Tunagrahita Sedang Anak tunagrahita sedang adalah anak yang tergolong salah satu tunagrahita yang memiliki tingkat kecerdasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Rina Agustiana, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Rina Agustiana, 2013 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak tunagrahita merupakan anak dengan kebutuhan khusus yang memiliki intelegensi jelas-jelas berada dibawah rata-rata yang disertai dengan kurangnya dalam

Lebih terperinci

MENUJU KEMANDIRIAN ANAK TUNAGRAHITA ( Pengayaan) Oleh: Astati

MENUJU KEMANDIRIAN ANAK TUNAGRAHITA ( Pengayaan) Oleh: Astati MENUJU KEMANDIRIAN ANAK TUNAGRAHITA ( Pengayaan) Oleh: Astati A. Makna Kemandirian 1. Pengertian Menumbuhkan kemandirian pada individu sejak usia dini sangatlah penting karena dengan memiliki kemandirian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Institusi pendidikan sangat berperan penting bagi proses tumbuh kembang

BAB I PENDAHULUAN. Institusi pendidikan sangat berperan penting bagi proses tumbuh kembang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Institusi pendidikan sangat berperan penting bagi proses tumbuh kembang anak dan memengaruhi anak dalam berinteraksi dengan orang lain dalam konteks sosialnya.

Lebih terperinci

LAPORAN PENDAHULUAN RETARDASI MENTAL. Disusun Oleh : Hadi Ari Yanto

LAPORAN PENDAHULUAN RETARDASI MENTAL. Disusun Oleh : Hadi Ari Yanto LAPORAN PENDAHULUAN RETARDASI MENTAL Disusun Oleh : Hadi Ari Yanto 101018 D III KEPERAWATAN STIKES MUHAMMADIYAH KLATEN 2012 / 2013 RETARDASI MENTAL 1. PENGERTIAN Retardasi mental adalah kemampuan mental

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mudah bosan, sulit memecahkan suatu masalah dan mengikuti pelajaran

BAB I PENDAHULUAN. mudah bosan, sulit memecahkan suatu masalah dan mengikuti pelajaran BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus salah satu tujuannya adalah agar anak dapat mengurus diri sendiri dan tidak tergantung pada orang lain. Agar dapat mengurus

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Istilah yang umum dipakai dalam pendidikan luar biasa antara lain anak

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Istilah yang umum dipakai dalam pendidikan luar biasa antara lain anak BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Anak Tunagrahita Ringan 1. Pengertian Anak Tunagrahita Ringan Anak tunagrahita ringan memiliki berbagai istilah tergantung dari sudut pandang para ahli memberikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bahwa anak bukan hanya tanggung jawab orang tua, tetapi masyarakat bahkan juga

BAB I PENDAHULUAN. bahwa anak bukan hanya tanggung jawab orang tua, tetapi masyarakat bahkan juga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak merupakan amanah. Islam sebagai agama yang dianut penulis mengajarkan bahwa anak bukan hanya tanggung jawab orang tua, tetapi masyarakat bahkan juga negara. Bahkan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidupnya. Perkembangan anak terjadi melalui beberapa tahapan dan setiap

BAB I PENDAHULUAN. hidupnya. Perkembangan anak terjadi melalui beberapa tahapan dan setiap BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setiap anak mengalami proses pertumbuhan dan perkembangan dalam hidupnya. Perkembangan anak terjadi melalui beberapa tahapan dan setiap tahapan mempunyai ciri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. rata-rata dengan ditandai oleh keterbatasan intelegensi dan ketidakcakapan

BAB I PENDAHULUAN. rata-rata dengan ditandai oleh keterbatasan intelegensi dan ketidakcakapan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tunagrahita adalah kondisi anak yang kecerdasannya jauh di bawah rata-rata dengan ditandai oleh keterbatasan intelegensi dan ketidakcakapan dalam berinteraksi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian Kebermaknaan Hidup

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian Kebermaknaan Hidup BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kebermaknaan Hidup 1. Pengertian Kebermaknaan Hidup Kebermaknaan adalah berarti, mengandung arti yang penting (Poewardarminta, 1976). Menurut Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. Menurut Sutjihati Somantri (2005: 107 ) anak tunagrahita sedang

BAB II KAJIAN TEORI. Menurut Sutjihati Somantri (2005: 107 ) anak tunagrahita sedang BAB II KAJIAN TEORI A. Kajian tentang Anak Tunagrahita Sedang 1. Pengertian Anak Tunagrahita sedang Menurut Sutjihati Somantri (2005: 107 ) anak tunagrahita sedang disebut juga embisil. Kelompok ini memiliki

Lebih terperinci

THE EFFECT OF EGGSHELL MOSAIC TRAINING TOWARD FINE MOTOR SKILLS OF CHILDREN WITH INTELLECTUAL AND DEVELOPMENTAL DISABILITY (IDD)

THE EFFECT OF EGGSHELL MOSAIC TRAINING TOWARD FINE MOTOR SKILLS OF CHILDREN WITH INTELLECTUAL AND DEVELOPMENTAL DISABILITY (IDD) THE EFFECT OF EGGSHELL MOSAIC TRAINING TOWARD FINE MOTOR SKILLS OF CHILDREN WITH INTELLECTUAL AND DEVELOPMENTAL DISABILITY (IDD) (Pengaruh Penggunaan Mozaik Kulit Telur Terhadap Kemampuan Motorik Halus

Lebih terperinci

BINA DIRI BAGI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS OLEH: ASTATI

BINA DIRI BAGI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS OLEH: ASTATI BINA DIRI BAGI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS OLEH: ASTATI Konsep Dasar 1. Istilah: - ADL (Activity of Daily Living)= kegiatan hidup sehari-hari - Personal Management= sepadan dengan self care, self help - KMD

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Beban Pengasuhan Orang Tua Kepada Anak Intellectual Disability

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Beban Pengasuhan Orang Tua Kepada Anak Intellectual Disability BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Deskripsi Teori 1. Beban Pengasuhan Orang Tua Kepada Anak Intellectual Disability Beban pengasuhan orang tua dapat diartikan sebagai suatu keadaan yang dirasakan orang tua akibat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Setiap pasangan memiliki harapan serta keinginan-keinginan menjalani

BAB I PENDAHULUAN. Setiap pasangan memiliki harapan serta keinginan-keinginan menjalani BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setiap pasangan memiliki harapan serta keinginan-keinginan menjalani kehidupan yang bahagia dalam membina suatu keluarga. Anak merupakan suatu anugerah yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan proses pembelajaran yang dilaksanakan secara sadar untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia. Pendidikan menjadi sesuatu hal yang sangat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latarbelakang Masalah Ponija, 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latarbelakang Masalah Ponija, 2014 BAB I PENDAHULUAN A. Latarbelakang Masalah Manusia sebagai makhluk sosial tidak terlepas dari interaksi dengan lingkungan sekitarnya dalam kehidupan sehari-hari untuk memenuhi kebutuhannya. Hal tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (Activity Daily Living/ADL) (Effendi,2008). tidak lepas dari bimbingan dan perhatian yang diberikan oleh keluarga,

BAB I PENDAHULUAN. (Activity Daily Living/ADL) (Effendi,2008). tidak lepas dari bimbingan dan perhatian yang diberikan oleh keluarga, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak yang mengalami retardasi mental dalam perkembangannya berbeda dengan anak-anak normal. Anak dengan reardasi mental mempunyai keterlambatan dan keterbatasan dalam

Lebih terperinci

TUMBUH KEMBANG ANAK USIA DINI. Rita Eka Izzaty

TUMBUH KEMBANG ANAK USIA DINI. Rita Eka Izzaty TUMBUH KEMBANG ANAK USIA DINI Rita Eka Izzaty SETUJUKAH BAHWA Setiap anak cerdas Setiap anak manis Setiap anak pintar Setiap anak hebat MENGAPA ANAK SEJAK USIA DINI PENTING UNTUK DIASUH DAN DIDIDIK DENGAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Inne Yuliani Husen, 2013

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Inne Yuliani Husen, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Setiap anak terlahir dengan pertumbuhan dan perkembangannya masingmasing. Keduanya berjalan seiringan, menurut Witherington (Desmita) mengungkapkan bahwa

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Dalam dunia anak luar biasa istilah tunagrahita kategori ringan memiliki

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Dalam dunia anak luar biasa istilah tunagrahita kategori ringan memiliki 7 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Anak Tunagrahita Kategori Ringan 1. Pengertian tentang anak tunagrahita kategori ringan Dalam dunia anak luar biasa istilah tunagrahita kategori ringan memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan adalah hal yang penting dan tidak dapat dipisahkan dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan adalah hal yang penting dan tidak dapat dipisahkan dari 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah hal yang penting dan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan. Pendidikan tidak hanya bertindak sebagai alat yang dapat meningkatkan kapasitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah suatu hal yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Pendidikan juga menjadi hak setiap individu tanpa terkecuali seperti dijelaskan dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perilaku adaptif diartikan sebagai kemampuan seseorang dalam memikul

BAB I PENDAHULUAN. Perilaku adaptif diartikan sebagai kemampuan seseorang dalam memikul BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perilaku adaptif diartikan sebagai kemampuan seseorang dalam memikul tanggung jawab sosial menurut ukuran perkembangan usia, tempat, waktu, dan norma-norma dimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang diciptakan oleh Tuhan yang memiliki kekurangsempurnaan baik dalam segi

BAB I PENDAHULUAN. yang diciptakan oleh Tuhan yang memiliki kekurangsempurnaan baik dalam segi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia telah diciptakan Alloh SWT sebagai makhluk yang sempurna dalam segala hal dibanding dengan makhluk yang lain. Kesempurnaan manusia dari segi fisik memiliki

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS A. Kajian Pustaka 1. Anak Tunagrahita a. Pengertian Anak Tunagrahita Istilah untuk anak tunagrahita dalam bahasa Indonesia bervariasi yaitu terbelakang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. rasa percaya diri dalam sikap dan perilaku setiap hari, sehingga dapat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. rasa percaya diri dalam sikap dan perilaku setiap hari, sehingga dapat BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengetahuan 2.1.1 Pengertian Pengetahuan Pengetahuan diperlukan sebagai dukungan untuk menumbuhkan rasa percaya diri dalam sikap dan perilaku setiap hari, sehingga dapat dikatakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan dan perkembangan yang pesat. Proses perkembangan ini tidak

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan dan perkembangan yang pesat. Proses perkembangan ini tidak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masa anak-anak merupakan suatu masa di mana terjadi berbagai proses pertumbuhan dan perkembangan yang pesat. Proses perkembangan ini tidak hanya dialami oleh anak normal

Lebih terperinci

2015 PEMBELAJARAN TARI MELALUI STIMULUS GERAK BURUNG UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KINESTETIK PADA ANAK TUNAGRAHITA SEDANG DI SLB YPLAB LEMBANG

2015 PEMBELAJARAN TARI MELALUI STIMULUS GERAK BURUNG UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KINESTETIK PADA ANAK TUNAGRAHITA SEDANG DI SLB YPLAB LEMBANG BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di era globalisasi saat ini, dihadapkan pada banyak tantangan baik dalam bidang sosial, ekonomi, politik, budaya juga pendidikan. Semakin hari persaingan sumber

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Peraturan Mentri Pendidikan Nasional RI nomor 22 dan 23 tahun 2006.

BAB I PENDAHULUAN. Peraturan Mentri Pendidikan Nasional RI nomor 22 dan 23 tahun 2006. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dengan adanya Undang-Undang No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional RI dan Peraturan Pemerintah RI No 19 tahun 2005, dapat ditetapkan dengan Permendiknas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan di Indonesia merupakan suatu hal yang wajib ditempuh oleh semua warga negara.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan di Indonesia merupakan suatu hal yang wajib ditempuh oleh semua warga negara. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan di Indonesia merupakan suatu hal yang wajib ditempuh oleh semua warga negara. Pendidikan di Indonesia telah memasuki tahap pembaruan dimana pendidikan

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN. By: IRMA NURIANTI. SKM, M.Kes

PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN. By: IRMA NURIANTI. SKM, M.Kes PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN By: IRMA NURIANTI. SKM, M.Kes Definisi ANAK DULU: < 12 THN; < 15 THN; < 16 THN UU Tenaga Kerja, UU Perkawinan [UU No. 9 TAHUN 1979 ttg Kesejahteraan Anak: USIA < 21 thn dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Iding Tarsidi, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Iding Tarsidi, 2013 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan pada dasarnya bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang mandiri... (UURI No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENELITIAN BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENELITIAN Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus. Ini tercantum dalam Undang

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 1. Pengertian Anak Tunagrahita Sedang

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 1. Pengertian Anak Tunagrahita Sedang BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Tinjauan Tentang Anak Tunagrahita Sedang 1. Pengertian Anak Tunagrahita Sedang Anak tunagrahita sedang biasa disebut dengan anak mampu latih, artinya anak masih mampu dilatih keterampilan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. segala potensinya. Oleh sebab itu pendidikan harus diterima olah setiap warga negara,

BAB I PENDAHULUAN. segala potensinya. Oleh sebab itu pendidikan harus diterima olah setiap warga negara, 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendidikan sangatlah penting bagi setiap manusia dalam rangka mengembangkan segala potensinya. Oleh sebab itu pendidikan harus diterima olah setiap warga negara,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Anak adalah individu yang masih bergantung pada orang dewasa dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Anak adalah individu yang masih bergantung pada orang dewasa dan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak adalah individu yang masih bergantung pada orang dewasa dan lingkungannya, artinya membutuhkan lingkungan yang dapat memfasilitasi dalam memenuhi kebutuhan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS 7 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS A. Kajian Pustaka 1. Anak Tunagrahita Sedang a. Pengertian Tunagrahita mempunyai istilah lain yaitu lemah pikiran (feeble minded), terbelakang

Lebih terperinci

A. LATAR BELAKANG MASALAH

A. LATAR BELAKANG MASALAH BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Pendidikan merupakan aspek yang sangat penting dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, oleh karena itu seluruh warga negara Indonesia mempunyai hak yang sama untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan mereka dapat menggenggam dunia. mental. Semua orang berhak mendapatkan pendidikan yang layak serta sama,

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan mereka dapat menggenggam dunia. mental. Semua orang berhak mendapatkan pendidikan yang layak serta sama, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan suatu alat merubah suatu pola pikir ataupun tingkah laku manusia dari yang tidak tahu menjadi tahu, dari yang tidak memiliki pengetahuan atau keterampilan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Komunikasi merupakan bagian dari kehidupan manusia sehari-hari, bahkan

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Komunikasi merupakan bagian dari kehidupan manusia sehari-hari, bahkan 13 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Komunikasi mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Komunikasi merupakan bagian dari kehidupan manusia sehari-hari, bahkan merupakan

Lebih terperinci

DUKUNGAN SOSIAL KELUARGA PADA ANAK RETARDASI MENTAL SEDANG FAMILY SOCIAL SUPPORT TO CHILDREN WITH MODERATE MENTAL RETARDATION

DUKUNGAN SOSIAL KELUARGA PADA ANAK RETARDASI MENTAL SEDANG FAMILY SOCIAL SUPPORT TO CHILDREN WITH MODERATE MENTAL RETARDATION Vol., No.2, Desember 2015 DUKUNGAN SOSIAL KELUARGA PADA ANAK RETARDASI MENTAL SEDANG FAMILY SOCIAL SUPPORT TO CHILDREN WITH MODERATE MENTAL RETARDATION STIKES RS. Baptis Kediri Jl. Mayjend. Panjaitan no.

Lebih terperinci

PENILAIAN PERKEMBANGAN ANAK SANTI E. PURNAMASARI

PENILAIAN PERKEMBANGAN ANAK SANTI E. PURNAMASARI PENILAIAN PERKEMBANGAN ANAK SANTI E. PURNAMASARI Fak. Psikologi UMBY Tujuan Agar tenaga kesehatan dapat ; a. Mengetahui kelainan perkembangan anak dan hal-hal lain yang merupakan risiko terjadinya kelainan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk sosial. Dalam perkembangannya yang normal,

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk sosial. Dalam perkembangannya yang normal, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Manusia adalah makhluk sosial. Dalam perkembangannya yang normal, seorang bayi mulai bisa berinteraksi dengan ibunya pada usia 3-4 bulan. Bila ibu merangsang

Lebih terperinci

LAYANAN PSIKOLOGIS UNTUK SISWA BERKEBUTUHAN KHUSUS. Komarudin Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Yogyakarta

LAYANAN PSIKOLOGIS UNTUK SISWA BERKEBUTUHAN KHUSUS. Komarudin Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Yogyakarta LAYANAN PSIKOLOGIS UNTUK SISWA BERKEBUTUHAN KHUSUS Komarudin Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Yogyakarta Permasalahan Sekolah memberikan perlakuan yang sama dan bersifat klasikal kepada semua

Lebih terperinci

Kompetensi sosial (Social competency) Perkembangan sosial (Social maturity) Kapasitas adaptif (Adaptive capacity)

Kompetensi sosial (Social competency) Perkembangan sosial (Social maturity) Kapasitas adaptif (Adaptive capacity) Istilah lain perilaku adaptif Kompetensi sosial (Social competency) Perkembangan sosial (Social maturity) Kapasitas adaptif (Adaptive capacity) Ketepatanan menyesuaikan diri (Adaptive fitting) Definisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya setiap anak berpotensi mengalami masalah dalam belajar,

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya setiap anak berpotensi mengalami masalah dalam belajar, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada dasarnya setiap anak berpotensi mengalami masalah dalam belajar, hanya saja masalah tersebut ada yang ringan dan ada juga yang masalah pembelajarannya

Lebih terperinci

ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS TUNAGRAHITA

ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS TUNAGRAHITA LAPORAN OBSERVASI STUDENT DIVERSITY ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS TUNAGRAHITA SLB TUNAS KASIH 1 LEUWILIANG KABUPATEN BOGOR Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah : PSIKOLOGI PENDIDIKAN Dosen : Dr. Hj. Rita

Lebih terperinci

Karakteristik Anak Usia Sekolah

Karakteristik Anak Usia Sekolah 1 Usia Sekolah Usia Sekolah 2 Informasi Umum dengan Disabilitas 3 Usia Sekolah Anak dengan Disabilitas Anak Dengan Disabilitas adalah anak yang mempunyai kelainan fisik dan/ atau mental yang dapat mengganggu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ernisa Purwandari, 2015

BAB I PENDAHULUAN. Ernisa Purwandari, 2015 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Istilah individu berkebutuhan khusus bukan merupakan terjemahan atau kata lain dari individu penyandang cacat tetapi individu berkebutuhan khusus mencakup

Lebih terperinci

KOMPETENSI DASAR DAN INDIKATOR KETERAMPILAN KEHIDUPAN SEHARI-HARI BAGI TUNANETRA DI PANTI SOSIAL BINA NETRA DEPARTEMEN SOSIAL RI

KOMPETENSI DASAR DAN INDIKATOR KETERAMPILAN KEHIDUPAN SEHARI-HARI BAGI TUNANETRA DI PANTI SOSIAL BINA NETRA DEPARTEMEN SOSIAL RI KOMPETENSI DASAR DAN INDIKATOR KETERAMPILAN KEHIDUPAN SEHARI-HARI BAGI TUNANETRA DI PANTI SOSIAL BINA NETRA DEPARTEMEN SOSIAL RI Oleh: Irham Hosni PLB FIP UPI I. KELAS OBSERVASI NO KOMPENTISI DASAR INDIKATOR

Lebih terperinci

E-JUPEKhu (JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN KHUSUS)

E-JUPEKhu (JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN KHUSUS) ABSTRAK Nike Novita Sari. (2015). Meningkatkan Keterampilan Memasang Baju Melalui Metode Modeling Pada Anak Tunagrahita Sedang Di SLB Al- Azhar Bukittinggi (Single Subject Research). Skripsi Jurusan Pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Terselenggarannya pendidikan di Indonesia telah dijamin seperti yang terdapat dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 bahwa : Tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan

Lebih terperinci

MELATIH MOTORIK ANAK DOWN SYNDROME DENGAN METODE PERSIAPAN MENULIS DI TK PERMATA BUNDA SURAKARTA

MELATIH MOTORIK ANAK DOWN SYNDROME DENGAN METODE PERSIAPAN MENULIS DI TK PERMATA BUNDA SURAKARTA MELATIH MOTORIK ANAK DOWN SYNDROME DENGAN METODE PERSIAPAN MENULIS DI TK PERMATA BUNDA SURAKARTA Skripsi Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat S-1 Disusun Oleh : AFRIYAN QAHARANI NIM.

Lebih terperinci

Santi E. Purnamasari, M.Si., Psi.

Santi E. Purnamasari, M.Si., Psi. Santi E. Purnamasari, M.Si., Psi. 1. Tumbuh kembang adalah proses yang kontinu dari konsepsi sampai dewasa. Dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan bawaan 2. Pada periode tertentu ada masa percepatan dan

Lebih terperinci

Peran Guru dalam Melatih Kemandirian Anak Usia Dini Vanya Maulitha Carissa

Peran Guru dalam Melatih Kemandirian Anak Usia Dini Vanya Maulitha Carissa Peran Guru dalam Melatih Kemandirian Anak Usia Dini Vanya Maulitha Carissa 125120307111012 Pendahuluan Kemandirian merupakan salah satu aspek terpenting yang harus dimiliki setiap individu dan anak. Karena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kecerdasannya jauh dibawah rata rata yang ditandai oleh keterbatasan intelejensi

BAB I PENDAHULUAN. kecerdasannya jauh dibawah rata rata yang ditandai oleh keterbatasan intelejensi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pemahaman masyarakat umum mengenai anak berkebutuhan khusus masih sangat minim, kebanyakan mereka menganggap bahwa anak berkebutuhan khusus merupakan anak yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan berkembang secara normal terutama anak, namun itu semua tidak didapatkan

BAB I PENDAHULUAN. dan berkembang secara normal terutama anak, namun itu semua tidak didapatkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap keluarga menginginkan semua anggota keluarganya dapat tumbuh dan berkembang secara normal terutama anak, namun itu semua tidak didapatkan oleh keluarga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anak berkebutuhan khusus merupakan individu yang diciptakan oleh Yang Maha Kuasa dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Perbedaannya hanya mereka membutuhkan metode

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terhadap pendidikan terutama wajib belajar sembilan tahun yang telah lama

BAB I PENDAHULUAN. terhadap pendidikan terutama wajib belajar sembilan tahun yang telah lama BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kemajuan pembangunan yang dicapai bangsa Indonesia khususnya pembangunan di bidang pendidikan akan mendorong tercapainya tujuan pembangunan nasional, maka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Setiap anak diharapkan tumbuh dan berkembang secara sehat, baik fisik,

BAB I PENDAHULUAN. Setiap anak diharapkan tumbuh dan berkembang secara sehat, baik fisik, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap anak diharapkan tumbuh dan berkembang secara sehat, baik fisik, mental, dan sosial. Proses pertumbuhan dan perkembangan setiap anak tidak selalu sama satu dengan

Lebih terperinci

Pengaruh Motorik Kasar Anak Tunagrahita Terhadap Motorik Halus (Arif Rohman Hakim, S. Or, M. Pd)

Pengaruh Motorik Kasar Anak Tunagrahita Terhadap Motorik Halus (Arif Rohman Hakim, S. Or, M. Pd) PENGARUH MOTORIK KASAR ANAK TUNAGRAHITA TERHADAP MOTORIK HALUS Arif Rohman Hakim, S.Or, M.Pd Program Studi Pendidikan Jasmani Kesehatan dan Rekreasi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Tunas

Lebih terperinci

EFEKTIFITAS MULTI METODE DALAM MENINGKATKAN KEMAMPUAN CARA MAKAN BAGI ANAK TUNAGRAHITA SEDANG KELAS III DI SDLBN 35 PAINAN

EFEKTIFITAS MULTI METODE DALAM MENINGKATKAN KEMAMPUAN CARA MAKAN BAGI ANAK TUNAGRAHITA SEDANG KELAS III DI SDLBN 35 PAINAN Volume 3 Nomor 1 Januari 2014 E-JUPEKhu (JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN KHUSUS) http://ejournal.unp.ac.id/index.php/jupekhu Halaman : 411-420 EFEKTIFITAS MULTI METODE DALAM MENINGKATKAN KEMAMPUAN CARA MAKAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap warga negara memiliki hak untuk memperoleh pendidikan, termasuk anak berkebutuhan khusus. Bagi anak-anak berkebutuhan khusus berhak memperoleh pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Setiap manusia pasti melewati tahap-tahap perkembangan yaitu masa bayi, masa kanak-kanak, masa remaja, dan masa dewasa. Namun ada suatu masa dimana individu

Lebih terperinci

JURNAL PENDIDIKAN LUAR BIASA

JURNAL PENDIDIKAN LUAR BIASA JURNAL PENDIDIKAN LUAR BIASA EFEKTIVITAS PENGGUNAAN FORWARD CHAINING UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN MERAWAT DIRI MATERI MAKAN PADA ANAK TUNAGRAHITA SEDANG KELAS III DI SLB NEGERI SURAKARTA TAHUN AJARAN 2015/2016

Lebih terperinci

THE EFFECT OF BOWLING GAME TOWARD NUMERACY SKILLS FOR INTELLECTUAL DISABILITY STUDENT

THE EFFECT OF BOWLING GAME TOWARD NUMERACY SKILLS FOR INTELLECTUAL DISABILITY STUDENT THE EFFECT OF BOWLING GAME TOWARD NUMERACY SKILLS FOR INTELLECTUAL DISABILITY STUDENT (Pengaruh Penggunaan Permainan Bowling Terhadap Keterampilan Berhitung Siswa Tunagrahita) Putri Dwi Sari A *1 Tomas

Lebih terperinci