BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PENCEMARAN LINTAS BATAS NEGARA, PERTANGGUNGJAWABAN DAN PENYELESAIAN SENGKETA INTENASIONAL

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PENCEMARAN LINTAS BATAS NEGARA, PERTANGGUNGJAWABAN DAN PENYELESAIAN SENGKETA INTENASIONAL"

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PENCEMARAN LINTAS BATAS NEGARA, PERTANGGUNGJAWABAN DAN PENYELESAIAN SENGKETA INTENASIONAL 2.1 Tinjauan Umum Kasus Pencemaran Minyak Mentah Lintas Batas Negara di Laut Timor Berdasarkan ketentuan Pasal 193 United Nation Convention on the Law Of the Sea (UNCLOS) tahun 1982 setiap negara mempunyai hak untuk mengeksploitasi sumber daya alamnya, yang harus dilaksanakan sejalan dengan kebijakan lingkungan nasionalnya dan kewajiban mereka tentang perlindungan dan pelestarian lingkungan laut. Dalam Pasal 3 Konvensi Keanekaragaman Hayati 1992 juga menyatakan, negara berdaulat untuk memanfaatkan sumber-sumber dayanya sesuai dengan kebijakan pembangunan lingkungannya sendiri, dan tanggung jawab untuk menjamin bahwa kegiatan-kegiatan yang dilakukan di dalam yurisdiksinya atau kendalinya tidak akan menimbulkan kerusakan terhadap lingkungan negara lain atau kawasan diluar batas yurisdiksi nasionalnya. Berdasarkan Deklarasi Stockholm 1972 (Stockholm Declaration) terdiri dari pembukaan dan 26 asas dan rencana aksi (action plan) yang terdiri dari 109 rekomendasi. Pada prinsipnya, Deklarasi Stockholm menyatakan bahwa manusia memegang tanggung jawab untuk melindungi dan memperbaiki lingkungan untuk generasi sekarang dan mendatang dan negara-negara juga mempunyai hak berdaulat untuk mengeksploitasi sumber daya mereka sendiri sesuai dengan kebijakan lingkungan mereka sendiri dan tanggung jawab untuk memastikan bahwa aktivitas dalam yurisdiksi atau control mereka tidak menyebabkan kerusakan untuk lingkungan negara-negara 21

2 lainnya atau kawasan di luar batas yurisdiksi nasional. Berdasarkan Pasal 1 ayat 4 UNCLOS tahun 1982, pencemaran lingkungan laut merupakan masuk atau dimasukkannya zat dan energi ke dalam lingkungan laut, termasuk muara oleh kegiatan manusia, yang mengakibatkan rusaknya sumber daya hayati dan kehidupan dilaut, yang dapat mengancam kesehatan manusia, serta mengganggu kegiatan-kegiatan dilaut, termasuk penangkapan ikan dan penggunaan laut lainnya yang sah serta menurunnya kualitas air laut.. Kasus meledaknya ladang minyak mentah Montara milik sebuah perusahaan pengelola ladang minyak PTT Exploitation and Production Australasia di wilayah perairan Australia pada tanggal 21 Agustus 2009, telah menimbulkan pencemaran di Laut Timor, diperkirakan tumpahan minyak yang mencemari laut mencapai barell perhari selama 74 hari. Pencemaran minyak mentah lintas batas di Laut Timor telah menimbulkan kerugian, khususnya bagi para nelayan disekitar daerah tumpahan minyak. 1 Pencemaran lintas batas disebutkan sebagai Transfrontier Pollution Pollution of which the physical is wholly or in part situated within the territory of one state and which has deleterious effects in the territory of another state yaitu pencemar fisik yang seluruhnya atau sebagian terletak dalam wilayah suatu negara dan yang memiliki efek merusak di wilayah negara lain. 2 1 Didik Mohamad Sodik, op.cit, h Daud Silalahi, 2001, PT.Alumni, Bandung, h.186. Hukum Lingkungan (Dalam Sistem Penegakkan Hukum Lingkungan Indonesia), 22

3 Yang tentunya pencemaran lingkungan laut lintas batas ini harus dipertanggungjawabkan dan segera di lakukan langkah-langkah penanggulangan serta pemugaran lingkungan agar pencemarannya tidak semakin meluas dan semakin merusak lingkungan. 2.2 Tanggung Jawab Secara Mutlak Pertanggungjawaban berasal dari kata majemuk tanggung jawab, yang berarti keadaan wajib menanggung segala suatu berupa penuntutan, diperkarakan, dipermasalahkan sebagai akibat sikap sendiri atau pihak lain. 3 Tanggung jawab mutlak (strict liability) merupakan prinsip pertanggungjawaban hukum (liability) yang telah berkembang sejak lama, pada tahun Bertanggung jawab secara mutlak atau tanggung gugat secara mutlak merupakan salah satu jenis pertanggungjawaban perdata, yakni pertanggungjawaban tanpa kesalahan (fault) dari tergugat. Dalam tanggung gugat secara mutlak ini, unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti kerugian. Pihak tergugatlah yang nantinya akan membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan kesalahan dan dapat membuktikan bahwa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup tersebut bukan disebabkan oleh usaha dan/atau kegiatan yang dilakukannya, sehingga dirinya terbebas dari kewajiban membayar ganti kerugian. Tanggung gugat secara mutlak ini timbul secara, langsung dan seketika pada saat terjadinya pencemaran dan/atau perusakan 3 Hasan Alwi, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Balai Pustaka, Jakarta, h Harjasoemantri, Koesnadi Strict Liability (Tanggung Jawab Mutlak). Paper presented at the Lokakarya Legal Standing & Class Action, Hotel Kartika Chandra, Jakarta. Hal 1. Dalam jurnal Ade Risha Riswanthi, Tanggung jawab Mutlak (strict liability) dalam Penegakan Hukum Perdata Lingkungan di Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Udayana. 23

4 lingkungan hidup yang diakibatkan oleh usaha dan/atau kegiatan yang menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, yang menggunakan bahan berbahaya dan beracun, dan/atau menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun. 5 Pengembangan teori strict liability ini berawal pada tahun Pada saat kasus yang terjadi di Inggris, antara Rylands vs. Fletcher, memperkenalkan pertama kalinya teori ini. 6 Beberapa perundang-undangan di Indonesia, sebelum berlakunya UUPLH juga memasukkan prinsip tanggung gugat secara mutlak ini, yaitu: 1. Undang-Undang Lingkungan Hidup Nomor 4 Tahun 1982 (UULH); Menurut UULH prinsip tanggung gugat aecara mutlak ini akan dilaksanakan secara selektif dan bertahap di bidang lingkungan hidup berdasarkan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Pengaturannya dinyatakan dalam Pasal 21 UULH bahwa: "Dalam beberapa kegiatan yang menyangkut jenis sumber daya tertentu tanggung jawab timbul secara mutlak pada perusak atau pencemar pada saat terjadinya perusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup yang pengaturannya diatur dalam, peraturan perundang-undangan yang bersangkutan". 2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEE), selanjutnya disebut UUZEEI; Sama halnya dengan UULH, UUZEEi ini pun juga menganut prinsip strict liability dalam kaitannya dengan pencemaran lingkungan laut dan/atau perusakan sumber daya alam di wilayah ZEE Indonesia. 3. Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 1978 tentang Pengesahan International Convention on Civil Liability for Oil Pollution Damage (CLC, 1969); 5 Hendrik Salmon, 2014, Eksistensi dan Fungsi Prinsip Strict Liability Dalam Penegakan Hukum Lingkungan, diakses pada tanggal 12 Maret Ibid. 24

5 Konvensi ini merupakan hasil sidang internasional dari Legal Conference on Marine Pollution Damage di Brussel pada tanggal 29 November 1969, di mana Pemerintah kita juga ikut menanda-tanganinya dan oleh karena itu kemudian konvensi tersebut di ratifikasi oleh Presiden dengan Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun Konvensi ini berisikan mengenai pengaturan tanggung jawab perdata terhadap pencemaran laut oleh minyak Tanggung Jawab Negara Tanggung jawab negara muncul akibat adanya suatu tindakan-tinadkan, keadaan-keadaan, atau prinsip-prinsip yang tidak sah secara internasional serta merugikan kedaulatan negara lain. 7 Akibat hal tersebut, negara yang merasa dirugikan memiliki kewenangan untuk menuntut haknya. Karena dalam hukum internasional, suatu negara berdaulat tidak tunduk pada negara berdaulat lainnya. negara mempunyai kedaulatan penuh atas apa yang ada dalam wilayah teritorialnya. Namun tidaklah berarti bahwa negara itu dapat menggunakan kedaulatan dengan seenaknya. Dalam hukum internasional telah mengatur bahwa jika suatu negara menyalahgunakan kedaulatannya itu dapat dimintai suatu pertanggungjawaban atas tindakan dan kelalaiannya. 8 Penyebab penting timbulnya tanggung jawab negara dipengaruhi oleh beberapa faktor, 9 antara lain: 7 JG Starke, 2004, Pengantar Hukum Internasional 1 edisi sepuluh, Sinar Grafika, Jakarta, (selanjutnya disingkat JG Starke I), h Malcolm N. Shaw, International Law, Cambridge University Press, Cambridge, (selanjutnya diseingkat Malcolm N. Shaw I), h Ibid,. h

6 1. Adanya suatu kewajiban hukum internasional yang berlaku antara dua negara tertentu. 2. Adanya suatu perbuatan atau kelalaian yang melanggar kewajiban hukum internasional yang melahirkan tanggung jawab negara. 3. Adanya kerusakan atau kerugian sebagai akibat adanya tindakan yang melanggar hukum atau kelalaian Pengertian Tanggung Jawab Negara Tanggung jawab negara merupakan keadaan menanggung konsekuensi dimana negara telah melakukan tindakan yang salah menurut hukum internasional atau melanggar kewajiban internasionalnya, yang memiliki kewajiban utama untuk memberikan reparasi penuh, dan mengakhiri tindakannya yang salah. Serta, bagaimana implementasi dari pertanggungjawaban Negara dan pelanggulangannya agar kesalahan tersebut tidak terulang kembali dikemudian hari. 10 Tanggung jawab negara adalah prinsip-prinsip yang mengatur kapan dan bagaimana negara yang bertanggung jawab atas pelanggaran kewajiban internasional. Aturan tanggung jawab negara menentukan secara umum, ketika kewajiban telah dilanggar maka akan ada konsekuensi hukum dari pelanggaran itu. 11 Menurut Hukum Internasional, tanggung jawab negara dalam hal negara bersangkutan merugikan negara 10 Silvia Borelli, 2012, State Responsibility, in Oxford Bibliographies in International Law(ed. Tony Carty. Oxford University Press, 2012) xml diakses pada tanggal 28 Februari Lihat Draft Articles on the Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts, Report of the ILC on the Work of its Fifty-third Session, UN GAOR, 56th Sess, Supp No 10, p 43, UN Doc A/56/10 (2001) 26

7 lain dan dibatasi hanya terhadap perbuatan yang salah secara hukum internasional (internationally wrongful act), dapat berupa: - melakukan (action) atau - tidak melakukan (omission) sesuatu Tanggung jawab negara timbul akibat adanya perbuatan negara yang melanggar kewajiban internasional, yang mana tindakan tersebut tidak sesuai dengan ketentuan dan merupakan tindakan yang salah menurut hukum internasional Teori Pertanggungjawaban Negara Terdapat dua macam teori pertanggungjawaban negara, 13 yaitu : Teori Resiko (Risk Theory) Teori resiko melahirkan prinsip tanggung jawab mutlak (absolute liability atau strict liability) atau tanggung jawab objektif (objective responsibility), yaitu bahwa suatu negara mutlak bertanggung jawab atas setiap kegiatan yang menimbulkan akibat yang sangat membahayakan (harmful effects of untrahazardous activities) walaupun kegiatan itu sendiri adalah kegiatan yang sah menurut hukum. Contohnya, Pasal II Liability Convention 1972 (nama resmi konvensi ini adalah Convention on International Liability for Damage caused by Space Objects of 1972) yang menyatakan bahwa negara peluncur (launching 12 Daniel Bodansky dan John R. Crook, 2002, Symposium: The ILC s State Responsibility Articles, The American Journal of International Law, Vol. 96;773, h Dewa Gede Palguna, Bahan ajar matakuliah hukum internasional, Fakultas Hukum Universitas Udayana. 27

8 state) mutlak bertanggung jawab untuk membayar kompensasi untuk kerugian di permukaan bumi atau pada pesawat udara yang sedang dalam penerbangan yang ditimbulkan oleh benda angkasa miliknya. Teori Kesalahan (Fault Theory) Teori kesalahan melahirkan prinsip tanggung jawab subjektif (subjective responsibility) atau tanggung jawab atas dasar kesalahan (liability based on fault), yaitu bahwa tanggung jawab negara atas perbuatannya baru dikatakan ada jika dapat dibuktikan adanya unsur kesalahan pada perbuatan itu Bentuk Pertanggungjawaban Negara Pada tahun 1974 Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) membentuk komisi hukum internasional (International Law Commission/ILC), yang melakukan studi dan kodifikasi mengenai tanggung jawab negara sejak tahun 1953, yang akhirnya rampung melalui Resolusi 56/83 Majelis Umum PBB pada tahun Hasil studi ILC ini berbentuk, Draft Articles on the Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts 14 Adapun bentuk-bentuk pertanggungjawaban menurut Draft Articles Responsibility of States for Internastionally Wrongful Acts, International Law Commissions 2001, sebagai berikut : - Pasal 35 menyatakan bahwa, suatu negara yang telah melakukan tindakan yang salah secara internasional, bertanggung jawab dan wajib untuk membayar ganti 14 Hendrik Salmon, 2014, Eksistensi dan Fungsi Prinsip Strict Liability Dalam Penegakan Hukum Lingkungan, diakses pada tanggal 12 Maret

9 rugi kerugian. Seperti, membangun kembali keadaan dan situasi yang ada seperti sediakala. - Pasal 36 ayat 1 menyatakan bahwa, negara bertanggung jawab untuk mengkompensasi kerusakan yang demikian ditimbulkan. - Pasal 37 ayat 1 menyatakan bahwa, atas kesalahannya, negara bertanggung jawab untuk memberikan keputusan. Pada Pasal 37 ayat 2 menyatakan bahwa, Keputusan dapat berupa pengakuan atas pelanggaran, ungkapan penyesalan, permintaan maaf resmi atau modalitas lain yang sesuai. - Pasal 48, negara-negara selain injured states dapat mengajukan tuntutan pertanggungjawaban pada negara lain dalam dua hal : a. Kewajiban yang dilanggar dimiliki suatu kelompok negara termasuk negara yang mengajukan tuntutan tersebut, ditetapkan untuk perlindungan kepentingan kelompok tersebut; b. Kewajiban yang dilanggar dimiliki oleh seluruh masyarakat internasional keseluruhan Pengecualian dari Pertanggungjawaban Negara Adapun beberapa pengecualian yang tidak dapat dimintakan tanggung jawab negara. yakni Pembelaan (Defences) dan Pembenaran (Justification). Menurut rancangan konvensi tentang tanggung jawab negara yang dibuat oleh ILC tahun 1970 dan 1980, yang termasuk dalam katagori pembelaan adalah persetutujuan antara kedua belah pihak, self defence dan force majeur sedangkan yang termasuk pembenaran adalah state necessary dan distress. Yang diatur dalam Pasal Draft ILC antara lain: 29

10 - Persetujuan, dalam Pasal 20; Tindakan yang dilakukan sebuah negara kepada negara lain sepanjang disepakati dalam suatu persetujuan bersama, tidak dapat dikatakan melakukan tindakan salah menurut hukum internasional. - Self defence, Pasal 21 dan 22; Tindakan bela diri tidak dianggap salah secara internasional asal dilakukan sesuai dengan ketentuan dalam Piagam PBB. Begitu juga tindakan balasan (counter measure) tidak dianggap sebagai tindakan salah secara internasional. - Force majeur, Pasal 23; Sebuah tindakan negara yang melanggar kewajiban internasional tidak dapat dimintakan tanggung jawab apabila tindakan tersebut dilakukan karena; adanya kekuatan yang tidak dapat ditolak, diluar kontrol negara mencegah atau menanggulanginya, tidak ada unsure kesengajaan, serta tidak memungkinkan melaksanakan kewajiban. - State Necessary, Pasal 25; Tindakan yang diambil negara untuk melindungi kepentingan dirinya dengan tidak membahayakan negara lain dan masyarakat internasional secara keseluruhan. - Distress, Pasal 24; Tindakan negara yang diambil pada situasi sulit dimana negara harus menentukan untuk menyelematkan dirinya atau masyarakat yang berada di bawah tanggung jawabnya. 2.4 Tinjauan Umum Penyelesaian Sengketa Internasional Hukum internasional memiliki tujuan untuk menyelesaikan sengketa-sengketa internasional secara adil bagi para pihak yang bersengketa dengan kaedah dan prosedur yang sesuai dengan kebiasaan-kebiasaan internasional. Seperti dalam Konvensi The 30

11 Hague 1899 dan 1907 untuk menyelesaikan sengketa-sengketa internasional secara damai dan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang dirumuskan di San Fransisco tahun Dengan tujuan pokok untuk mempermudah penyelesaian sengketa antar negara secara damai Penyelesaian Sengketa Internasional Istilah sengketa-sengketa internasional (international dispute) mecakup bukan saja sengketa-sengketa antar negara-negara, melainkan juga kasus-kasus lain yang berada dalam lingkup pengaturan internasional yakni, beberapa katagori sengketa tertentu antara negara disatu pihak dan individu-individu, badan-badan korporasi serta bakan-badan bukan negara dipihak lain, yang mempunyai akibat pada hubungan para pihak yang bersengketa Macam-macam Penyelesaian sengketa Internasional Pada umumnya metode-metode penyelesaian sengketa digolongkan dalam dua katagori 17 yaitu; - Penyelesaian sengketa secara damai, yaitu apabila para pihak telah dapat menyepakati untuk menemukan suatu solusi yang bersahabat, dan - Penyelesaian sengketa secara paksa, yaitu apabila solusi yang dipakai melalui kekerasan. 15 Chotib dkk, 2007, Kewarganegaraan Menuju Masyarakat Madani 2, Yudhistira Grahalia Indonesia, h Huala Adolf, 2012, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Sinar Grafika, Jakarta, (selanjutnya disingkat Huala Adolf I), h JG Starke, Op Cit, h

12 Penyelesaian Sengketa Secara Damai Demi menjaga perdamaian, keamanan dan keadilan dunia internasional tidak sampai terganggu, sangat dianjurkan untuk menyelesaikan sengketa secara damai. Hukum Internasional membedakan penyelesaian sengketa internasional secara damai atas sengketa yang bersifat politik dan sengketa yang bersifat hukum. Sengketa politik merupakan sengketa dimana suatu negara mendasarkan tuntutannya atas pertimbangan non yuridik, seperti kepentingan-kepentingan atas dasar politik atau kepentingan nasional lainnya. Sedangkan sengketa hukum adalah sengketa dimana suatu negara mendasarkan sengketa atau tuntutannya atas ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam suatu perjanjian atau yang telah diakui oleh hukum intenasional. 18 Penyelesaian sengketa secara damai dapat dibagi menjadi dua, yaitu melalui jalur politik/non litigasi atau jalur hukum/litigasi. Penyelesaian sengketa melalui jalur politik dapat berupa: negosiasi, mediasi dan jasa baik, penyelidikan/pencarian fakta, konsiliasi dan penyelesaian dibawah naungan organisasi PBB. Sedangkan penyelesaian sengketa melalui jalur hukum dapat melalui: Arbitrase dan Mahkamah Internasional. Penyelesaian sengketa secara damai pada awalnya dicantumkan dalam Pasal 1 Konvensi mengenai Penyelesaian Sengketa-sengketa Secara Damai 18 Boer Mauna, 2011, Hukum Internasional Pengertian Peran dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, Alumni, Bandung, h

13 yang di tanda tangani di Den Haag 18 Oktober 1907, 19 yang kemudian dikukuhkan seperti tertuang dalam Pasal 2 ayat (3) Piagam PBB menyatakan All Members shall settle their international disputes by peaceful means in such a manner that international peace and security, and justice, are not endangered, merupakan prinsip untuk menyelesaikan perselisihan antar negara anggota PBB secara damai agar terjaganya ketertiban dan kedamaian dunia internasional. Dalam Artikel 2 ayat (4) Piagam PBB menyatakan All Members shall refrain in their international relations from the threat or use of force against the territorial integrity or political independence of any state, or in any other manner inconsistent with the Purposes of the United Nations, yaitu prinsip untuk tidak menggunakan jalan kekerasan serta suatu negara tidak mengintervensi kedaulatan negara lain. Dalam Artikel 33 Piagam PBB menyatakan The parties to any dispute, the continuance of which is likely to endanger the maintenance of international peace and security, shall, first of all, seek a solution by negotiation, enquiry, mediation, conciliation, arbitration, judicial settlement, resort to regional agencies or arrangements, or other peaceful means of their own choice. Dimana negara-negara yang bersengketa dapat menyelesaikan sengketanya secara damai, serta memiliki kebebasan untuk 19 Ibid, h

14 memilih prosedur penyelesaiannya sesuai kesepakatan bersama para pihak yang bersengketa. 20 A. Metode Penyelesain Sengketa Secara Politik: Negosiasi Negosiasi adalah perundingan yang diadakan secara langsung antara para pihak dengan tujuan untuk mencari penyelesaian melalui dialog tanpa melibatkan pihak ketiga. Merupakan cara penyelesaian sengketa yang paling penting dan banyak ditempuh, serta efektif dalam penyelesaian sengketa internasional 21 Sampai permulaan abad ke-20 cara ini adalah satu-satunya yang dipakai. 22 Dengan cara ini, para pihak dapat mengawasi prosedur penyelesaian sengketanya dan setiap penyelesaiannya didasarkan pada kesepakatan atau konsensus para pihak. Mediasi dan Jasa Baik Mediasi adalah suatu cara penyelesaian melalui pihak ketiga. Ia bisa negara, organisasi internasional atau individu guna mendorong para pihak yang bertikai agar mencapai penyelesaiannya. 23 Dengan 20 Ibid, h Huala Adolf I, op.cit, h Boer Mauna, op.cit, h Malcolm N. Shaw, 2008, Hukum Internasional, cet. VI, Cambridge University Press, terjemahan Derta Sri Widowatie dkk, Nusa Media, Bandung, (selanjutnya disingkat Malcolm N. Shaw II), h

15 kapasitasnya sebagai pihak yang netral berupa mendamaikan para pihak dengan memberikan saran penyelesaian sengketa. Jika usulan tersebut tidak diterima, mediator masih dapat tetap melanjutkan fungsi mediasinya dengan membuat usulan-usulan baru. Karena itu, salah satu fungsi utama mediator adalah mencari berbagai solusi (penyelesaian), mengidentifikasi hal-hal yang dapat disepakati para pihak serta membuat usulah-usulan yang dapat mengakhiri sengketa. Jasa baik adalah cara penyelesaian sengketa melalui keikutsertaan jasa pihak ketiga 24. Pihak ketiga berupaya agar para pihak menyelesaikan sengketanya dengan berunding. Yang berfungsi mempertemukan para pihak sedemikian rupa sehingga mereka mau bertemu, duduk bersama dan bernegosiasi. Keikutsertaan pihak ketiga dalam suatu penyelesaian sengketa merupakan atas permintaan para pihak atau atas inisiatifnya menawarkan jasa-jasa baiknya guna menyelesaikan sengketa. 25 Penyelidikan/Pencarian fakta Suatu sengketa kadangkala mempersoalkan konflik para pihak mengenai suatu fakta. Meskipun suatu sengketa berkaitan dengan hak dan 24 Huala Adolf I, op.cit, h Malcolm N. Shaw II, loc.cit. 35

16 kewajiban, namun seringkali permasalahan muncul pada perbedaan pandangan para pihak terhadap fakta yang menentukan hak dan kewajiban tersebut. Penyelesaian sengketa bergantung kepada penguraian fakta-fakta yang tidak disepakati para pihak. Oleh sebab itu, dengan memastikan kedudukan fakta yang sebenarnya dianggap sebagai dasar penting dari prosedur penyelesaian sengketa. Dengan demikian para pihak dapat memperkecil masalah sengketanya dengan menyelesaikannya melalui suatu Pencarian Fakta mengenai fakta-fakta yang menimbulkan persengketaan. 26 Konsiliasi Konsiliasi adalah proses penyelesaian sengketa yang menggabungkan cara inquiry dengan mediasi tetapi berbentuk secara formal yang melibatkan pihak ke-3 yang netral dan tidak memihak dalam penyeledikan fakta yang ada. Yang terpenting dari cara konsoliasi ini adalah keinginan/persetujuan dari para pihak yang bersengketa dalam menyelesaikan sengketa mereka. Usulan dari pihak ketiga juga menjadi ujung tombak dalam cara ini, di sini pihak ketiga dituntut untuk memberikan usulan yang bersifat menyelesaikan sengketa yang terjadi tetapi tidak mempunyai kekuatan hukum. Komisi-komisi Konsiliasi 26 Huala Adolf I, Op Cit, h

17 diatur dalam Konvensi The Hague 1899 dan 1907 untuk Penyelesaian Sengketa-sengketa Internasional. 27 Penyelesaian dibawah naungan organisasi PBB Organisasi PBB yang dibentuk tahun 1945 telah mengambil alih sebagian tanggung jawab untuk menyelesaikan sengketa internasional dalam kaitan ini tanggung jawab penting beralih ke tangan Majelis Umum dan Dewan Keamanan. Yang menjadi kepanjangan tangan PBB adalah Sekjen PBB karena berkompetensi dan bersikap netral. Prinsip netral ini menjadi jaminan untuk menyelesaikan sengketa agar tidak menjurus menjadi lebih serius kedepannya. Perlu persetujuan kedua belah pihak bersengketa tentunya untuk menggunakan mekanisme penyelesaian sengketa melalui Sekjen PBB. 28 B. Metode Penyelesain Sengketa Secara Hukum: Penyelesaian sengketa melalui jalur hukum atau judicial settlement juga dapat menjadi pilihan bagi subyek hukum internasional yang bersengketa satu sama lain. Bagi sebagian pihak, bersengketa melalui jalur hukum seringkali menimbulkan kesulitan, baik dalam urusan birokrasi maupun besarnya biaya yang dikeluarkan. Namun yang menjadi keuntungan penyelesaian sengketa jalur 27 J.G. Starke II, Op Cit, h Sefriani, 2010, Hukum Internasional: Suatu Pengantar, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, h

18 hukum adalah kekuatan hukum yang mengikat antara masing-masing pihak yang bersengketa. Arbitrase Hukum internasional telah mengenal arbitrase sebagai alternatif penyelesaian sengketa, dan cara ini telah diterima oleh umum sebagai cara penyelesaian sengketa yang efektif dan adil. Para pihak yang ingin bersengketa dengan menggunakan metode arbitrase dapat menggunakan badan arbitrase yang telah terlembaga, atau badan arbitrase ad hoc. Peradilan arbitrase jauh berbeda dengan pengadilan intern suatu Negara karena bentuknya yang non-institusional. 29 Meskipun dianggap sebagai penyelesaian sengketa internaisonal melalu jalur hukum, keputusan yang dihasilkan oleh badan arbitrase tidak dapat sepenuhnya dijamin akan mengikat masing-masing pihak, meskipun sifat putusan arbitrase pada prinsipnya adalah final dan mengikat. Dalam Pasal 38 Konvensi Den Haag 1907 menyatakan tujuan arbitrase internasional adalah menyelesaikan sengketa antara negara oleh hakimhakim pilihan mereka dan atas dasar ketentuan-ketentuan hukum. Penyelesaian melalui arbitrase ini berarti bahwa Negara-negara harus melaksanakan keputusan dengan itikad baik. 30 Mahkamah Internasional 29 Boer Mauna, op.cit, h Ibid, h

19 Pengadilan internasional dan pengadilan internasional regional yang hadir untuk menyelesaikan berbagai macam sengketa internasional. Misalnya International Court of Justice (ICJ), International Criminal Court (ICC), International Tribunal on the Law of the Sea (ITLOS), European Court for Human Rights, dan lainnya. Pengadilan internasional telah dikenal sejak Liga Bangsa-Bangsa (LBB), yaitu melalui Permanent Court of International Justice (PCIJ). Setelah bubarnya LBB pasca Perang Dunia II, maka tugas dari PCIJ diteruskan oleh ICJ sejalan dengan peralihan dari LBB kepada PBB. Penyelesaian sengketa internasional melalui jalur hukum berarti adanya pengurangan kedaulatan terhadap pihak-pihak yang bersengketa. Karena tidak ada lagi keleluasaan yang dimiliki oleh para pihak untuk memilih hakim, memilih hukum dan hukum acara yang digunakan. Tetapi dengan bersengketa di pengadilan internasional, maka para pihak akan mendapatkan putusan yang mengikat masing-masing pihak yang bersengketa Penyelesaian Sengketa Dengan Secara Paksa Apabila negara-negara tidak mecapai kesepakatan untuk menyelesaikan sengketa mereka secara bersahabat maka, cara pemecahan yang mungkin adalah 31 Ibid, h

20 dengan melalui kekerasan cara paksa. 32 Prinsip-prinsip dari cara penyelesaian melalui kekerasan adalah: Perang dan Tindakan Bersenjata non Perang Perang adalah untuk menahlukan negara lawan dan untuk membebankan syarat-syarat penyelesaian, dimana negara yang ditaklukannya itu tidak memiliki alternatif lain selain mematuhinya. Retorsi Retorsi adalah penggunaan perbuatan tidak bersahabat dan merugikan, oleh suatu negara, tetapi tidak melanggar hukum, yang merupakan istilah teknis untuk pembalasan dendam oleh suatu negara terhadap aktivitas Negara lain yang merugikan. 33 Balas dendam tersebut dilakukan dalam bentuk tindakan-tindakan sah yang tidak bersahabat antara lain sebagai berikut: - Merenggangnya hubungan diplomatic; - Pencabutan previllage diplomatic; - Pengusiran atau kontrol restriktif terhadap orang asing; - Restriksi ekonomi (fiskal dan bea); - Larangan perjalanan. Intervensi 32 J.G. Starke II, op.cit, h Malcolm N. Shaw II, op.cit, h

21 Intervensi merupakan cara penyelesaian sengketa di mana terdapat campur tangan pihak ketiga yang berupaya agar para pihak yang bersengketa mau menyelesaikan sengketa mereka secara damai. 34 Intervensi sebenarnya dilarang, tetapi kadangkala dibenarkan dalam hal : - Bila intervensi itu diminta oleh negara yang membutuhkan intervensi; - Bila intervensi itu dilakukan untuk kepentingan kemanusiaan. 34 Ibid, h

BAB II PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL. A. Sejarah Perkembangan Penyelesaian Sengketa Internasional

BAB II PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL. A. Sejarah Perkembangan Penyelesaian Sengketa Internasional 28 BAB II PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL A. Sejarah Perkembangan Penyelesaian Sengketa Internasional Dalam realita, hubungan-hubungan internasional yang dilakukan

Lebih terperinci

Pada pokoknya Hukum Internasional menghendaki agar sengketa-sengketa antar negara dapat diselesaikan secara damai he Hague Peace

Pada pokoknya Hukum Internasional menghendaki agar sengketa-sengketa antar negara dapat diselesaikan secara damai he Hague Peace Pasal 2 (3) dari Piagam PBB - Semua anggota wajib menyelesaikan perselisihan internasional mereka melalui cara-cara damai sedemikian rupa sehingga perdamaian, keamanan dan keadilan internasional tidak

Lebih terperinci

S I L A B I A. IDENTITAS MATA KULIAH INTERNASIONAL STATUS MATA KULIAH KODE MATA KULIAH : JUMLAH SKS : 2 PRASYARAT : SEMESTER SAJIAN : SEMESTER 7

S I L A B I A. IDENTITAS MATA KULIAH INTERNASIONAL STATUS MATA KULIAH KODE MATA KULIAH : JUMLAH SKS : 2 PRASYARAT : SEMESTER SAJIAN : SEMESTER 7 1 S I L A B I A. IDENTITAS MATA KULIAH NAMA MATA KULIAH : PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL : WAJIB STATUS MATA KULIAH KODE MATA KULIAH : JUMLAH SKS : 2 PRASYARAT : SEMESTER SAJIAN : SEMESTER 7 B. DESKRIPSI

Lebih terperinci

International Dispute. 4

International Dispute. 4 MATERI PERKULIAHAN HUKUM INTERNASIONAL MATCH DAY 15 METODE PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL A. Penyelesaian Sengketa Dengan Cara Damai Pertikaian atau sengketa adalah dua kata yang dipergunakan secara

Lebih terperinci

BAHAN KULIAH ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG 14 METODE PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN INTERNASIONAL A.

BAHAN KULIAH ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG 14 METODE PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN INTERNASIONAL A. BAHAN KULIAH ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG Match Day 14 METODE PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN INTERNASIONAL A. Introduction Transaksi-transaksi atau hubungan dagang banyak bentuknya, mulai

Lebih terperinci

PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL

PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL 1 BATASAN SENGKETA INTERNASIONAL Elemen sengketa hukum internasional : a. mampu diselesaikan oleh aturan HI b. mempengaruhi kepentingan vital negara c. penerapan HI

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM. 1.1 Tinjauan Umum Mengenai Subjek Hukum Internasional Pengertian Subjek Hukum Internasional

BAB II TINJAUAN UMUM. 1.1 Tinjauan Umum Mengenai Subjek Hukum Internasional Pengertian Subjek Hukum Internasional 19 BAB II TINJAUAN UMUM 1.1 Tinjauan Umum Mengenai Subjek Hukum Internasional 1.1.1 Pengertian Subjek Hukum Internasional Secara umum subyek hukum diartikan sebagai pendukung / pemilik hak dan kewajiban.

Lebih terperinci

KEKUATAN MENGIKAT RESOLUSI DEWAN KEAMANAN PBB DALAM PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL

KEKUATAN MENGIKAT RESOLUSI DEWAN KEAMANAN PBB DALAM PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL KEKUATAN MENGIKAT RESOLUSI DEWAN KEAMANAN PBB DALAM PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL Oleh I Komang Oka Dananjaya Progam Kekhususan Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT The

Lebih terperinci

PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL SECARA DAMAI. Dewi Triwahyuni

PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL SECARA DAMAI. Dewi Triwahyuni PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL SECARA DAMAI Dewi Triwahyuni DASAR HUKUM Pencegahan penggunaan kekerasan atau terjadinya peperangan antar negara mutlak dilakukan untuk terhindar dari pelanggaran hukum

Lebih terperinci

BAB II KEDUDUKAN LEMBAGA PERMANENT COURT OF ARBITRATION DALAM PENYELESAIAN SENGKETA

BAB II KEDUDUKAN LEMBAGA PERMANENT COURT OF ARBITRATION DALAM PENYELESAIAN SENGKETA BAB II KEDUDUKAN LEMBAGA PERMANENT COURT OF ARBITRATION DALAM PENYELESAIAN SENGKETA D. Pengertian Sengketa Internasional Sengketa biasanya bermula dari suatu situasi dimana ada pihak yang merasa dirugikan

Lebih terperinci

HUKUM INTERNASIONAL DAN MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL

HUKUM INTERNASIONAL DAN MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL HUKUM INTERNASIONAL DAN MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL Oleh : IKANINGTYAS, SH.LLM Fakultas Hukum Universitas Brawijaya 1 Pengertian Hk. Internasional ialah keseluruhan kaedah dan asas yang

Lebih terperinci

BAB VII PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU)

BAB VII PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU) BAB VII PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU) Pada akhir kuliah mahasiswa diharapkan dapat memberikan argumentasi terhadap penyelesaian sengketa internasional secara damai

Lebih terperinci

MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL (STUDI KASUS NIKARAGUA AMERIKA SERIKAT)

MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL (STUDI KASUS NIKARAGUA AMERIKA SERIKAT) MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL (STUDI KASUS NIKARAGUA AMERIKA SERIKAT) Oleh: Ida Primayanthi Kadek Sarna Program Kekhususan Hukum Internasional dan Bisnis Internasional Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

HUKUM INTERNASIONAL PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL PERTEMUAN XXVII, XXVIII & XXIX. By Malahayati, SH, LLM

HUKUM INTERNASIONAL PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL PERTEMUAN XXVII, XXVIII & XXIX. By Malahayati, SH, LLM HUKUM INTERNASIONAL PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL PERTEMUAN XXVII, XXVIII & XXIX By Malahayati, SH, LLM 1 TOPIK PRINSIP UMUM JENIS SENGKETA BENTUK PENYELESAIAN SENGKETA PENYELESAIAN POLITIK PENYELESAIAN

Lebih terperinci

PERAN DEWAN KEAMANAN PERSERIKATAN BANGSA BANGSA DALAM PEMBATASAN PENGGUNAAN SENJATA

PERAN DEWAN KEAMANAN PERSERIKATAN BANGSA BANGSA DALAM PEMBATASAN PENGGUNAAN SENJATA PERAN DEWAN KEAMANAN PERSERIKATAN BANGSA BANGSA DALAM PEMBATASAN PENGGUNAAN SENJATA Oleh Grace Amelia Agustin Tansia Suatra Putrawan Program Kekhususan Hukum Internasional dan Bisnis Internasional Fakultas

Lebih terperinci

BAB II KEDAULATAN NEGARA DI RUANG UDARA BERDASARKAN KONVENSI CHICAGO D. Pengertian Ruang Udara dan Wilayah Udara Indonesia

BAB II KEDAULATAN NEGARA DI RUANG UDARA BERDASARKAN KONVENSI CHICAGO D. Pengertian Ruang Udara dan Wilayah Udara Indonesia BAB II KEDAULATAN NEGARA DI RUANG UDARA BERDASARKAN KONVENSI CHICAGO 1944 D. Pengertian Ruang Udara dan Wilayah Udara Indonesia Eksistensi horisontal wilayah udara suatu negara mengikuti batas-batas wilayah

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPPRES 20/1996, PENGESAHAN CONVENTION ON INTERNATIONAL LIABILITY FOR DAMAGE BY SPACE OBJECTS, 1972 (KONVENSI TENTANG TANGGUNGJAWAB INTERNASIONAL TERHADAP KERUGIAN YANG DISEBABKAN OLEH BENDA BENDA ANTARIKSA,

Lebih terperinci

KEDUDUKAN ORGANISASI INTERNASIONAL DALAM MAHKAMAH INTERNASIONAL

KEDUDUKAN ORGANISASI INTERNASIONAL DALAM MAHKAMAH INTERNASIONAL KEDUDUKAN ORGANISASI INTERNASIONAL DALAM MAHKAMAH INTERNASIONAL Oleh Vici Fitriati SLP. Dawisni Manik Pinatih Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRAK Penulisan ini berjudul

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF ACTS OF NUCLEAR TERRORISM (KONVENSI INTERNASIONAL PENANGGULANGAN TINDAKAN TERORISME

Lebih terperinci

Upaya Penyelesaian Sengketa Di Bidang HEI RANAH PUBLIK PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL PADA UMUMNYA 20/05/2017

Upaya Penyelesaian Sengketa Di Bidang HEI RANAH PUBLIK PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL PADA UMUMNYA 20/05/2017 PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL PADA UMUMNYA Upaya Penyelesaian Sengketa Di Bidang HEI -Ranah Publik -Ranah Privat Lebih didahulukan upaya penyelesaian secara DAMAI Baca Charter of the United Nations,

Lebih terperinci

PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL. Wahyuningsih

PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL. Wahyuningsih PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL Wahyuningsih 2012 Judul: Penyelesaian Sengketa Internasional Penulis: Wahyuningsih Editor: Endra Wijaya Deni Bram Kolase pada kover: een Hak cipta pada penulis. Hak

Lebih terperinci

PELANGGARAN KEDAULATAN NEGARA TERKAIT TINDAKAN SPIONASE DALAM HUBUNGAN DIPLOMASI INTERNASIONAL

PELANGGARAN KEDAULATAN NEGARA TERKAIT TINDAKAN SPIONASE DALAM HUBUNGAN DIPLOMASI INTERNASIONAL PELANGGARAN KEDAULATAN NEGARA TERKAIT TINDAKAN SPIONASE DALAM HUBUNGAN DIPLOMASI INTERNASIONAL Oleh Ngakan Kompiang Kutha Giri Putra I Ketut Sudiartha Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

TANGGUNG JAWAB MUTLAK ( STRICT LIABILITY ) DALAM PENEGAKAN HUKUM PERDATA LINGKUNGAN DI INDONESIA

TANGGUNG JAWAB MUTLAK ( STRICT LIABILITY ) DALAM PENEGAKAN HUKUM PERDATA LINGKUNGAN DI INDONESIA 1 TANGGUNG JAWAB MUTLAK ( STRICT LIABILITY ) DALAM PENEGAKAN HUKUM PERDATA LINGKUNGAN DI INDONESIA Oleh Ade Risha Riswanti Pembimbing : 1. Nyoman A. Martana. 2. I Nym. Satyayudha Dananjaya. Program Kekhususan

Lebih terperinci

H. BUDI MULYANA, S.IP., M.SI

H. BUDI MULYANA, S.IP., M.SI PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL H. BUDI MULYANA, S.IP., M.SI Pasal 2 (3) dari Piagam PBB Semua anggota wajib menyelesaikan perselisihan internasional mereka melalui cara-cara damai sedemikian rupa

Lebih terperinci

PENYELESAIAN SENGKETA KASUS INVESTASI AMCO VS INDONESIA MELALUI ICSID

PENYELESAIAN SENGKETA KASUS INVESTASI AMCO VS INDONESIA MELALUI ICSID PENYELESAIAN SENGKETA KASUS INVESTASI AMCO VS INDONESIA MELALUI ICSID Oleh : Aldo Rico Geraldi Ni Luh Gede Astariyani Dosen Bagian Hukum Tata Negara ABSTRACT This writing aims to explain the procedure

Lebih terperinci

BAHAN KULIAH HUKUM ORGANISASI INTERNASIONAL Match Day 8 HAK-HAK ISTIMEWA DAN KEKEBALAN ORGANISASI INTERNASIONAL

BAHAN KULIAH HUKUM ORGANISASI INTERNASIONAL Match Day 8 HAK-HAK ISTIMEWA DAN KEKEBALAN ORGANISASI INTERNASIONAL BAHAN KULIAH HUKUM ORGANISASI INTERNASIONAL Match Day 8 HAK-HAK ISTIMEWA DAN KEKEBALAN ORGANISASI INTERNASIONAL Sebagai subjek hukum yang mempunyai personalitas yuridik internasional yang ditugaskan negara-negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. makhluk hidup bersama dengan berbagai jenis benda tidak

BAB I PENDAHULUAN. makhluk hidup bersama dengan berbagai jenis benda tidak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lingkungan hidup adalah ruang yang ditempati oleh makhluk hidup bersama dengan berbagai jenis benda tidak hidup lainnya. 1 Konsep lingkungan hidup mengarahkan kita kepada

Lebih terperinci

PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN MELALUI ASPEK HUKUM PERDATA

PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN MELALUI ASPEK HUKUM PERDATA PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN MELALUI ASPEK HUKUM PERDATA Oleh Made Nikita Novia Kusumantari I Made Udiana Bagian Hukum Bisnis, Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT This writing is titled Enforcement

Lebih terperinci

BAB 5 PENUTUP. 5.1.Kesimpulan

BAB 5 PENUTUP. 5.1.Kesimpulan 99 BAB 5 PENUTUP 5.1.Kesimpulan Berbagai macam pernyataan dari komunitas internasional mengenai situasi di Kosovo memberikan dasar faktual bahwa bangsa Kosovo-Albania merupakan sebuah kelompok yang memiliki

Lebih terperinci

Sejarah Konvensi menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia telah diadopsi ole

Sejarah Konvensi menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia telah diadopsi ole Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia I Made Agung Yudhawiranata Dermawan Mertha Putra Sejarah Konvensi menentang Penyiksaan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF ACTS OF NUCLEAR TERRORISM (KONVENSI INTERNASIONAL PENANGGULANGAN TINDAKAN TERORISME

Lebih terperinci

KEKUASAAN HUBUNGAN LUAR NEGERI PRESIDEN (FOREIGN POWER OF THE PRESIDENT) Jumat, 16 April 2004

KEKUASAAN HUBUNGAN LUAR NEGERI PRESIDEN (FOREIGN POWER OF THE PRESIDENT) Jumat, 16 April 2004 KEKUASAAN HUBUNGAN LUAR NEGERI PRESIDEN (FOREIGN POWER OF THE PRESIDENT) Jumat, 16 April 2004 1. Ketentuan UUD 1945: a. Pra Amandemen: Pasal 11: Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan dalam lingkungan wilayah yang dibatasi oleh garis-garis perbatasan

BAB I PENDAHULUAN. dan dalam lingkungan wilayah yang dibatasi oleh garis-garis perbatasan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Wilayah atau teritori adalah salah satu manifestasi paling utama dari kedaulatan suatu negara.oleh karena itu dalam lingkungan wilayahnya tersebut suatu negara

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 53 TAHUN 1995 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN KERAJAAN SPANYOL MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN SECARA RESIPROKAL ATAS PENANAMAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mengenai dilaksanakan atau tidaknya kewajiban-kewajiban yang terdapat dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mengenai dilaksanakan atau tidaknya kewajiban-kewajiban yang terdapat dalam 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Sengketa Internasional Menurut Mahkamah Internasional, sengketa internasional merupakan suatu situasi ketika dua negara mempunyai pandangan yang bertentangan mengenai dilaksanakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH NEGARA QATAR MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN ATAS PENANAMAN MODAL

PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH NEGARA QATAR MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN ATAS PENANAMAN MODAL LAMPIRAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 84 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH NEGARA QATAR MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

SILABUS DAN SATUAN ACARA PERKULIAHAN. Mata Kuliah HUKUM INTERNASIONAL

SILABUS DAN SATUAN ACARA PERKULIAHAN. Mata Kuliah HUKUM INTERNASIONAL SILABUS DAN SATUAN ACARA PERKULIAHAN Mata Kuliah HUKUM INTERNASIONAL PROGRAM PASCA SARJANA MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS BRAWIJAYA 2015 S I L A B U S A. IDENTITAS MATA KULIAH Nama Mata

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN OLEH TERORIS,

Lebih terperinci

SENGKETA INTERNASIONAL

SENGKETA INTERNASIONAL SENGKETA INTERNASIONAL HUKUM INTERNASIONAL H. Budi Mulyana, S.IP., M.Si Indonesia-Malaysia SENGKETA INTERNASIONAL Pada hakikatnya sengketa internasional adalah sengketa atau perselisihan yang terjadi antar

Lebih terperinci

No Laut Kepulauan (archipelagic sea lane passage) dan jalur udara di atasnya untuk keperluan lintas kapal dan Pesawat Udara Asing sesuai denga

No Laut Kepulauan (archipelagic sea lane passage) dan jalur udara di atasnya untuk keperluan lintas kapal dan Pesawat Udara Asing sesuai denga TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I No.6181 PERTAHANAN. RI. Wilayah Udara. Pengamanan. (Penjelasan atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 12) PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

Pada umumnya hukum internasional membedakan sengketa internasional atas sengketa yang

Pada umumnya hukum internasional membedakan sengketa internasional atas sengketa yang A. PENDAHULUAN Pada umumnya hukum internasional membedakan sengketa internasional atas sengketa yang bersifat politik dan sengketa yang bersifat hukum. Sengketa politik adalah sengketa dimana suatu negara

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

Hak Lintas Damai di Laut Teritorial

Hak Lintas Damai di Laut Teritorial Hak Lintas Damai di Laut Teritorial A. Laut Teritorial HAK LINTAS DAMAI DI LAUT TERITORIAL (KAJIAN HISTORIS) Laut teritorial merupakan wilayah laut yang terletak disisi luar dari garis-garis dasar (garis

Lebih terperinci

NASKAH PENJELASAN PROTOCOL TO THE ASEAN CHARTER ON DISPUTE SETTLEMENT MECHANISM (PROTOKOL PIAGAM ASEAN MENGENAI MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA)

NASKAH PENJELASAN PROTOCOL TO THE ASEAN CHARTER ON DISPUTE SETTLEMENT MECHANISM (PROTOKOL PIAGAM ASEAN MENGENAI MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA) NASKAH PENJELASAN PROTOCOL TO THE ASEAN CHARTER ON DISPUTE SETTLEMENT MECHANISM (PROTOKOL PIAGAM ASEAN MENGENAI MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA) 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Protokol Piagam ASEAN

Lebih terperinci

No b. pemanfaatan bumi, air, dan udara serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; c. desentralis

No b. pemanfaatan bumi, air, dan udara serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; c. desentralis TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No.4925 WILAYAH NEGARA. NUSANTARA. Kedaulatan. Ruang Lingkup. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 177 ) PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 84 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH NEGARA QATAR MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN ATAS PENANAMAN

Lebih terperinci

BAB III. PENUTUP. internasional dan merupakan pelanggaran terhadap resolusi-resolusi terkait

BAB III. PENUTUP. internasional dan merupakan pelanggaran terhadap resolusi-resolusi terkait BAB III. PENUTUP A. KESIMPULAN Berdasarkan apa yang telah disampaikan dalam bagian pembahasan, maka dapat ditarik suatu kesimpulan sebagai berikut. Dewan Keamanan berdasarkan kewenangannya yang diatur

Lebih terperinci

BAB II KONVENSI KEJAHATAN PENERBANGAN SEBAGAI SEBUAH TINDAK PIDANA TERORISME MENURUT INSTRUMEN HUKUM INTERNASIONAL

BAB II KONVENSI KEJAHATAN PENERBANGAN SEBAGAI SEBUAH TINDAK PIDANA TERORISME MENURUT INSTRUMEN HUKUM INTERNASIONAL BAB II KONVENSI KEJAHATAN PENERBANGAN SEBAGAI SEBUAH TINDAK PIDANA TERORISME MENURUT INSTRUMEN HUKUM INTERNASIONAL A. Konvensi Konvensi Internasional Keamanan Penerbangan Sipil Kajian instrumen hukum internasional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. makhluk individu, negara juga memiliki kepentingan-kepentingan yang harus

BAB I PENDAHULUAN. makhluk individu, negara juga memiliki kepentingan-kepentingan yang harus 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara-negara dalam melakukan hubungan-hubungan yang sesuai kaidah hukum internasional tidak terlepas dari sengketa. Seperti halnya manusia sebagai makhluk individu,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Dengan persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Dengan persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1997 TENTANG PENGESAHAN TREATY ON THE SOUTHEAST ASIA NUCLEAR WEAPON FREE ZONE (TRAKTAT KAWASAN BEBAS SENJATA NUKLIR DI ASIA TENGGARA) DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. internasional, negara harus memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi yaitu,

BAB I PENDAHULUAN. internasional, negara harus memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi yaitu, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara merupakan salah satu subjek hukum internasional. Sebagai subjek hukum internasional, negara harus memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi yaitu, salah satunya

Lebih terperinci

BAB 1 SUBJEK HUKUM INTERNASIONAL

BAB 1 SUBJEK HUKUM INTERNASIONAL BAB 1 SUBJEK HUKUM INTERNASIONAL 1.0 Pendahuluan Hukum internasional, pada dasarnya terbentuk akibat adanya hubungan internasional. Secara spesifik, hukum internasional terdiri dari peraturan-peraturan

Lebih terperinci

PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP

PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP Pasal 30 Penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan secara sukarela para pihak yang bersengketa.

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENDANAAN TERORISME,

Lebih terperinci

UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan

UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan PENJELASAN ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL

Lebih terperinci

ZONASI LAUT TERITORIAL. Oleh Dr. Ir. HJ. KHODIJAH ISMAIL, M.Si

ZONASI LAUT TERITORIAL. Oleh Dr. Ir. HJ. KHODIJAH ISMAIL, M.Si ZONASI LAUT TERITORIAL Oleh Dr. Ir. HJ. KHODIJAH ISMAIL, M.Si Indonesia memiliki wilayah perairan laut yang sangat luas. Untuk landas kontinen negara Indonesia berhak atas segala kekayaan alam yang terdapat

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK-ANAK YANG MENJADI KORBAN PENGGUNAAN SENJATA AGENT ORANGE DALAM PERANG VIETNAM

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK-ANAK YANG MENJADI KORBAN PENGGUNAAN SENJATA AGENT ORANGE DALAM PERANG VIETNAM PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK-ANAK YANG MENJADI KORBAN PENGGUNAAN SENJATA AGENT ORANGE DALAM PERANG VIETNAM Oleh : Risa Sandhi Surya I Dewa Gede Palguna I Made Budi Arsika Program Kekhususan Hukum Internasional

Lebih terperinci

SATUAN ACARA PERKULIAHAN

SATUAN ACARA PERKULIAHAN 3 SATUAN ACARA PERKULIAHAN A. IDENTITAS MATA KULIAH NAMA MATA KULIAH :KAPITA SELEKTA HUKUM INTERNASIONAL STATUS MATA KULIAH : WAJIB KONSENTRASI KODE MATA KULIAH : PRASYARAT : JUMLAH SKS : 2 SKS SEMESTER

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Hukum Internasional mengatur tentang syarat-syarat negara sebagai pribadi

I PENDAHULUAN. Hukum Internasional mengatur tentang syarat-syarat negara sebagai pribadi I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum Internasional mengatur tentang syarat-syarat negara sebagai pribadi hukum yang tertuang di dalam Konvensi Montevidio Tahun 1933 tentang Unsur- Unsur Berdirinya Sebuah

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPPRES 60/1994, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DENGAN PEMERINTAH REPUBLIK ITALIA MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN ATAS PENANAMAN MODAL Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

Kata Kunci : Yurisdiksi Indonesia, Penenggelaman Kapal Asing, UNCLOS

Kata Kunci : Yurisdiksi Indonesia, Penenggelaman Kapal Asing, UNCLOS YURISDIKSI INDONESIA DALAM PENERAPAN KEBIJAKAN PENENGGELAMAN KAPAL ASING YANG MELAKUKAN ILLEGAL FISHING BERDASARKAN UNITED NATIONS CONVENTION ON THE LAW OF THE SEA Oleh : Kadek Rina Purnamasari I Gusti

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. diatur oleh hukum internasional yakni okupasi terhadap suatu wilayah harus

BAB V PENUTUP. diatur oleh hukum internasional yakni okupasi terhadap suatu wilayah harus BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Bedasarkan pembahasan dari bab-bab sebelumnya, maka penulis mencoba menarik kesimpulan, yaitu: Pertama, telah terjadinya pelanggaran klaim kedaulatan wilayah yang dilakukan

Lebih terperinci

TANGGUNG JAWAB DAN KEWAJIBAN BRISTISH PETROLEUM

TANGGUNG JAWAB DAN KEWAJIBAN BRISTISH PETROLEUM TANGGUNG JAWAB DAN KEWAJIBAN BRISTISH PETROLEUM (BP) TERHADAP DAMPAK DARI KASUS GULF OF MEXICO Oleh : Ni Made Ikkra Meiningsari I Ketut Sudantra Bagian Hukum Internasional dan Hukum Bisnis Internasional,

Lebih terperinci

UU 9/1997, PENGESAHAN TREATY ON THE SOUTHEAST ASIA NUCLEAR WEAPON FREE ZONE (TRAKTAT KAWASAN BEBAS SENJATA NUKLIR DI ASIA TENGGARA)

UU 9/1997, PENGESAHAN TREATY ON THE SOUTHEAST ASIA NUCLEAR WEAPON FREE ZONE (TRAKTAT KAWASAN BEBAS SENJATA NUKLIR DI ASIA TENGGARA) Copyright 2002 BPHN UU 9/1997, PENGESAHAN TREATY ON THE SOUTHEAST ASIA NUCLEAR WEAPON FREE ZONE (TRAKTAT KAWASAN BEBAS SENJATA NUKLIR DI ASIA TENGGARA) *9571 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENDANAAN TERORISME,

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 73, 1996 WILAYAH. KEPULAUAN. PERAIRAN. Wawasan Nusantara (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS PELAKSANAAN MEDIASI SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

EFEKTIVITAS PELAKSANAAN MEDIASI SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL EFEKTIVITAS PELAKSANAAN MEDIASI SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL Oleh : I Gusti Ngurah Adhi Pramudia Nyoman A Martana I Gusti Ayu Agung Ari Krisnawati Bagian Hukum

Lebih terperinci

BENTUK PERTANGGUNGJAWABAN INDONESIA TERHADAP MALAYSIA DAN SINGAPURA DALAM MASALAH KABUT ASAP DI PROPINSI RIAU ABSTRACT

BENTUK PERTANGGUNGJAWABAN INDONESIA TERHADAP MALAYSIA DAN SINGAPURA DALAM MASALAH KABUT ASAP DI PROPINSI RIAU ABSTRACT BENTUK PERTANGGUNGJAWABAN INDONESIA TERHADAP MALAYSIA DAN SINGAPURA DALAM MASALAH KABUT ASAP DI PROPINSI RIAU ABSTRACT Forest fires have become an international concern for environmental and economic issues.

Lebih terperinci

KULTAS HUKUM UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 SEMARANG

KULTAS HUKUM UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 SEMARANG SILABUS Mata Kuliah : Sistem Tata Internasional Kode Mata Kuliah : HKIn 2038 SKS : 3 Dosen : 1. Evert Maximiliaan T, S.H., M.Hum 2. Sudaryanto, S.H., M.Hum 3. Bambang Irianto, S.H., M.Hum 4. Eva Arief,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF ACTS OF NUCLEAR TERRORISM (KONVENSI INTERNASIONAL PENANGGULANGAN TINDAKAN

Lebih terperinci

ANALISIS UNDANG-UNDANG KELAUTAN DI WILAYAH ZONA EKONOMI EKSKLUSIF

ANALISIS UNDANG-UNDANG KELAUTAN DI WILAYAH ZONA EKONOMI EKSKLUSIF Ardigautama Agusta. Analisis Undang-undang Kelautan di Wilayah Zona Ekonomi Eksklusif 147 ANALISIS UNDANG-UNDANG KELAUTAN DI WILAYAH ZONA EKONOMI EKSKLUSIF Ardigautama Agusta Teknik Geodesi dan Geomatika,

Lebih terperinci

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Aspek Tanggung Jawab yang Timbul dalam Pengoprasian Drone Berdasarkan Hukum Udara Internasional dan Implementasinya dalam Peraturan Menteri No 90 Tahun 2015 tentang

Lebih terperinci

KEDAULATAN NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA ATAS PULAU NIPA DITINJAU BERDASARKAN UNITED NATIONS CONVENTION ON THE LAW OF THE SEA (UNCLOS) 1982

KEDAULATAN NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA ATAS PULAU NIPA DITINJAU BERDASARKAN UNITED NATIONS CONVENTION ON THE LAW OF THE SEA (UNCLOS) 1982 KEDAULATAN NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA ATAS PULAU NIPA DITINJAU BERDASARKAN UNITED NATIONS CONVENTION ON THE LAW OF THE SEA (UNCLOS) 1982 Putri Triari Dwijayanthi I Nyoman Bagiastra Program Kekhususan

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DENGAN PEMERINTAH REPUBLIK ITALIA MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN ATAS PENANAMAN MODAL (Keputusan Presiden Nomor 60 Tahun 1994 Tanggal

Lebih terperinci

Upaya Penyelesaian Sengketa Di Bidang HEI RANAH PUBLIK PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL PADA UMUMNYA 4/2/2015

Upaya Penyelesaian Sengketa Di Bidang HEI RANAH PUBLIK PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL PADA UMUMNYA 4/2/2015 PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL PADA UMUMNYA Upaya Penyelesaian Sengketa Di Bidang HEI -Ranah Publik -Ranah Privat Lebih didahulukan upaya penyelesaian secara DAMAI Baca Charter of the United Nations,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

PERANAN SEKRETARIS JENDERAL PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL

PERANAN SEKRETARIS JENDERAL PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL PERANAN SEKRETARIS JENDERAL PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL Melly Aida, S.H.,M.H. 1 & Ria Wierma Putri 2 A. Pendahuluan Dalam interaksi sosial manusia tidak jarang

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST CORRUPTION, 2003 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, : a. bahwa dalam rangka mewujudkan

Lebih terperinci

MEDIASI ATAU KONSILIASI DALAM REALITA DUNIA BISNIS

MEDIASI ATAU KONSILIASI DALAM REALITA DUNIA BISNIS MEDIASI ATAU KONSILIASI DALAM REALITA DUNIA BISNIS Ditujukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Metode Alternatif Penyelesaian Sengketa Disusun Oleh: Raden Zulfikar Soepinarko Putra 2011 200 206 UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAHAN KULIAH HUKUM PERNIAGAAN/PERDAGANGAN INTERNASIONAL MATCH DAY 12 METODE PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN INTERNASIONAL

BAHAN KULIAH HUKUM PERNIAGAAN/PERDAGANGAN INTERNASIONAL MATCH DAY 12 METODE PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN INTERNASIONAL BAHAN KULIAH HUKUM PERNIAGAAN/PERDAGANGAN INTERNASIONAL MATCH DAY 12 METODE PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN INTERNASIONAL A. Pendahuluan Transaksi-transaksi atau hubungan dagang banyak bentuknya, mulai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. * Dosen Pembimbing I ** Dosen Pembimbing II *** Penulis. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. * Dosen Pembimbing I ** Dosen Pembimbing II *** Penulis. A. Latar Belakang Adapun metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode penelitian hukum normatif dan metode penelitian hukum sosiologis. Penelitian hukum normatif mengkaji data-data sekunder di bidang

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2009 TENTANG PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST TRANSNATIONAL ORGANIZED CRIME (KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA MENENTANG TINDAK PIDANA TRANSNASIONAL

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP NELAYAN TRADISIONAL INDONESIA MENURUT KETENTUAN UNITED NATIONS CONVENTION ON THE LAW OF THE SEA 1982

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP NELAYAN TRADISIONAL INDONESIA MENURUT KETENTUAN UNITED NATIONS CONVENTION ON THE LAW OF THE SEA 1982 PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP NELAYAN TRADISIONAL INDONESIA MENURUT KETENTUAN UNITED NATIONS CONVENTION ON THE LAW OF THE SEA 1982 ABSTRACT Oleh Ida Ayu Febrina Anggasari I Made Pasek Diantha Made Maharta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hukum Humaniter Internasional bertujuan untuk memanusiawikan perang agar korban

BAB I PENDAHULUAN. Hukum Humaniter Internasional bertujuan untuk memanusiawikan perang agar korban BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Hukum Humaniter Internasional bertujuan untuk memanusiawikan perang agar korban akibat perang seminimal mungkin dapat dikurangi. Namun implementasinya,

Lebih terperinci

LEGALITAS PENGGUNAAN BOM CURAH (CLUSTER BOMB) PADA AGRESI MILITER ISRAEL KE PALESTINA DALAM PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL

LEGALITAS PENGGUNAAN BOM CURAH (CLUSTER BOMB) PADA AGRESI MILITER ISRAEL KE PALESTINA DALAM PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL LEGALITAS PENGGUNAAN BOM CURAH (CLUSTER BOMB) PADA AGRESI MILITER ISRAEL KE PALESTINA DALAM PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL Oleh: Alan Kusuma Dinakara Pembimbing: Dr. I Gede Dewa Palguna SH.,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2009 TENTANG PENGESAHAN PROTOCOL AGAINST THE SMUGGLING OF MIGRANTS BY LAND, SEA AND AIR, SUPPLEMENTING THE UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST TRANSNATIONAL

Lebih terperinci

PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL MELALUI KEKUATAN BERSENJATA OLEH PERSERIKATAN BANGSA- BANGSA DALAM MENJAGA PERDAMAIAN DUNIA MELDA THERESIA S

PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL MELALUI KEKUATAN BERSENJATA OLEH PERSERIKATAN BANGSA- BANGSA DALAM MENJAGA PERDAMAIAN DUNIA MELDA THERESIA S PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL MELALUI KEKUATAN BERSENJATA OLEH PERSERIKATAN BANGSA- BANGSA DALAM MENJAGA PERDAMAIAN DUNIA MELDA THERESIA S 080200220 A. ABSTRAK International relations that happened

Lebih terperinci

PENGANTAR ILMU DAN TEKNOLOGI KEMARITIMAN. Dr. Ir. Hj. Khodijah Ismail, M.Si www. Khodijahismail.com

PENGANTAR ILMU DAN TEKNOLOGI KEMARITIMAN. Dr. Ir. Hj. Khodijah Ismail, M.Si www. Khodijahismail.com PENGANTAR ILMU DAN TEKNOLOGI KEMARITIMAN Dr. Ir. Hj. Khodijah Ismail, M.Si khodijah5778@gmail.com www. Khodijahismail.com POKOK BAHASAN Kontrak Perkuliahan dan RPKPS (Ch 01) Terminologi Ilmu dan Teknologi

Lebih terperinci

PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH KERAJAAN DENMARK MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN PENANAMAN MODAL

PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH KERAJAAN DENMARK MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN PENANAMAN MODAL PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH KERAJAAN DENMARK MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN PENANAMAN MODAL Pembukaan Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Kerajaan Denmark

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini disebabkan karena dampak dari aktifitas suatu negara dalam melakukan

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini disebabkan karena dampak dari aktifitas suatu negara dalam melakukan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu masalah terbesar dalam pelestarian lingkungan laut adalah adanya pencemaran. Pencemaran lingkungan laut sangat mendapat perhatian duniadewasa ini,

Lebih terperinci

Eksistensi Mahkamah Internasional Sebagai Lembaga Kehakiman Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB)

Eksistensi Mahkamah Internasional Sebagai Lembaga Kehakiman Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) Eksistensi Mahkamah Internasional Sebagai Lembaga Kehakiman Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) IndienWinarwati Dosen Fakultas Hukum Universitas Trunojoyo Madura Email: indien_w@yahoo.co.id ABSTRACT / ICJ

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Copyright (C) 2000 BPHN KEPPRES 78/2004, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK BULGARIA MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN ATAS PENANAMAN MODAL *51771 KEPUTUSAN

Lebih terperinci

BAB II ATURAN-ATURAN HUKUM INTERNASIONAL TENTANG PEROMPAKAN. A. Perompakan Menurut UNCLOS (United Nations Convention on the

BAB II ATURAN-ATURAN HUKUM INTERNASIONAL TENTANG PEROMPAKAN. A. Perompakan Menurut UNCLOS (United Nations Convention on the BAB II ATURAN-ATURAN HUKUM INTERNASIONAL TENTANG PEROMPAKAN A. Perompakan Menurut UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea) Dalam Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-bangsa (United Nation

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. hidup. Selain berfungsi sebagai paru-paru dunia, hutan dianggap rumah bagi

I. PENDAHULUAN. hidup. Selain berfungsi sebagai paru-paru dunia, hutan dianggap rumah bagi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kawasan hutan merupakan kawasan penting sebagai keberlangsungan makhluk hidup. Selain berfungsi sebagai paru-paru dunia, hutan dianggap rumah bagi berbagai ekosistem

Lebih terperinci

PENYELESAIAN SENGKETA TERHADAP INVESTOR ASING JIKA TERJADI SENGKETA HUKUM DALAM PENANAMAN MODAL

PENYELESAIAN SENGKETA TERHADAP INVESTOR ASING JIKA TERJADI SENGKETA HUKUM DALAM PENANAMAN MODAL PENYELESAIAN SENGKETA TERHADAP INVESTOR ASING JIKA TERJADI SENGKETA HUKUM DALAM PENANAMAN MODAL Oleh : I Nyoman Sudiawan I Gusti Ayu Agung Ariani Bagian Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1983 TENTANG ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1983 TENTANG ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1983 TENTANG ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pada tanggal 21 Maret 1980

Lebih terperinci