BAB II PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL. A. Sejarah Perkembangan Penyelesaian Sengketa Internasional

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL. A. Sejarah Perkembangan Penyelesaian Sengketa Internasional"

Transkripsi

1 28 BAB II PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL A. Sejarah Perkembangan Penyelesaian Sengketa Internasional Dalam realita, hubungan-hubungan internasional yang dilakukan antar negara, negara dengan individu, maupun negara dengan organisasi internasional tak selamanya terjalin dengan baik. Sengketa dapat bermula dari berbagai sumber potensi. Adapun sumber potensi tersebut diantaranya dapat berupa perbatasan, sumber daya alam, kerusakan lingkungan, perdagangan, dan lainnya. Usaha-usaha penyelesaian sengketa telah menjadi perhatian bahkan sejak awal abad ke-20 dimana usaha-usaha tersebut dilakukan untuk menciptakan hubungan antar negara yang lebih baik berdasarkan prinsip keamanan internasional. Adapaun yang dilakukan hukum internasional dalam menyelesaikan sengketa internasional yaitu dengan memberikan cara agar para pihak menyelesaikan sengketa tersebut sesuai dengan aturan hukum internasional. Hukum internasional pada awalnya mengenal penyelesaian sengketa secara damai dan penyelesaian sengketa secara perang. Cara perang merupakan cara yang telah dipraktikkan sejak lama bahkan telah menjadi bagian dari kebijakan luar negeri. Dengan adanya perang, bahkan dapat dilihat menjadi suatu tindakan dari negara yang berdaulat sebagaimana yang dikatakan oleh Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Robert Lansing.

2 29 Semakin berkembanganya zaman, maka kekuatan militer dan perkembangan teknologi persenjataan pemusnah massal juga semakin berkembang. Sehingga masyarakat internasional menyadari akan dampak dan bahaya dari perang tersebut dan berusaha agar cara penyelesaian sengketa dengan perang ini dapat dihentikan. Awal perkembangan lahirnya cara penyelesaian sengketa secara damai secara formal bermula dengan lahirnya the Hague Peace Conference (Konferensi Perdamaian Den Haag) pada tahun 1899 dan 1907 yang menghasilkan the Convention on Pacific Settlement of International Disputes pada tahun Inisiatif dilaksanakannya konferensi tersebut dilakukan oleh Tsar Rusia Nicholas II tahun 1898 yang mengusulkan diperlukannya sutau konferensi untuk mengurangi gencatan senjata dan kemungkinan penghentiaan perkembangan persenjataan. Inisiatif ini kemudian disambut oleh Ratu Belanda, dimana mereka mengundang negara-negara lain dalam membahas usulan konferensi tersebut. 17 diantaranya: Adanya Konferensi Perdamaian Den Haag memiliki arti penting 1. Memberikan sumbangan penting bagi hukum humaniter; 2. Memberikan sumbangan penting bagi aturan penyelesaian sengketa secara damai. Dengan lahirnya konvensi perdamaian tersebut, maka para negara anggota telah sepakat bahwa penyelesaian sengketa dengan cara-cara seperti jasa-jasa baik, mediasi, komisi penyelidik, jika dimungkinkan, akan lebih diutamakan. Jika 16 Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012) hlm Ibid hlm. 9

3 30 cara-cara tersebut gagal, maka penyelesaian sengketa dengan cara arbitrase dimungkinkan. Perkembangan lebih lanjut mengenai penyelesaian sengketa secara damai dapat dilihat dari pengesahan perjanjian-perjanjian internasional berikut: The Convention for the Pacific Covenant of the League of Nations 1919; 2. Statuta Mahkamah Internasional Permanen 1921; 3. The General Treaty for the Renunciation of War 1928; 4. The General Act for the Pacific Settlement of International Disputes 1928; 5. Piagam PBB dan Statuta Mahkamah Internasional 1945; 6. Deklarasi Bandung 1955; 7. The Declaration of the United Nations on Principle of International Law concerning Friendly Relations and Cooperation among States in Accordance with the Charter of the United Nations 1970; 8. The Manila Declaration on Peaceful Settlement of Disputes between States Deklarasi Manila memiliki arti penting karenanya sebagai inisiatif dan upaya dari Majelis Umum PBB dalam menggiatkan penyelesaian sengketa secara damai. Dalam deklarasi tersebut, telah dinyatakan bahwa wajib bagi negaranegara yang bersengketa untuk mencari jalan dalam penyelesaian sengketanya dengan secepat mungkin dan seadil-adilnya. Negara juga diharapkan untuk mempertimbangkan Majelis Umum, Dewan Keamanan, Mahkamah Internasional dan Sekretaris Jenderal PBB dalam menyelesaikan sengketa tersebut. 18 Ibid hlm. 9

4 31 Sekarang ini, hukum internasional telah mewajibkan kepada semua negara (khususnya negara anggota PBB) untuk menyelesaikan sengketa internasional melalui cara damai yang termuat dalam pasal 1, 2, dan 33 Piagam PBB. Dalam ketiga pasal tersebut menyebutkan bahwa sebagai bagian dari tujuan PBB untuk menjaga perdamaian dan keamanan inetrnasional maka setiap perselisihan harus menyelesaikan sengketa dengan cara-cara damai dengan mengedepankan perdamaian dan keadilan serta menahan diri dari ancaman atau penggunaan kekerasan. B. Prinsip dalam Penyelesaian Sengketa Perkembangan Majelis Umum PBB dalam menggiatkan penggunaan cara damai dalam penyelesaian sengketa menjadi dasar bagi lahirnya Manila Declaration atau Deklarasi Manila. Sehingga dalam inti sari dari Deklarasi tersebut ditemukan esensi yang mendasari penyelesaian sengketa untuk menemukan solusi. Adapun prinsip-prinsip dalam penyelesaian sengketa tersebut diantaranya: 1. Prinsip Itikad Baik (Good Faith) Dalam hukum keperdataan, maka tak asing bahwa salah satu unsur dari adanya sebuah perikatan yaitu itikad baik. 19 Prinsip tersebut melandasi perikatan yang terjadi dalam keperdataan. Prinsip ini sangat diperlukan dalam penyelesaian 19 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata 1320 BW

5 32 sengketa. Prinsip ini mensyaratkan dan mewajibkan adanya itikad baik dari para pihak untuk menyelesaian sengketa yang terjadi. 20 Sebagai tonggak dari lahirnya prinsip tersebut, dalam Section 1 paragraph 1 Deklarasi Manila telah mencantumkan prinsip itikad baik ini sebagai prinsip awal yang menyebutkan:... all states shall act in good faith and in conformity with the purposes and principles enshrined in the Charter of the United Nations with a view to avoiding disputes among themselves likely to affect friendly relations among States, thus contributing to the maintenance of international peace and security. They shall live together in peace with one another as good neighbours and strive for the adoption of meaningful measures for strenghtening international peace and security... Prinsip itikad baik dalam kutipan Deklarasi tersebut menyebutkan bahwa negara-negara wajib dengan itikad baik sejalan dengan prinsip-prinsip Piagam PBB untuk menghindari terjadinya sengketa yang dapat mempengaruhi hubungan antarnegara. Sehingga itikad baik dipandang sebagai suatu sikap negara untuk menjaga perdamaian dengan mengedepankan cara-cara bersahabat dengan tujuan untuk menyelesaikan perselisihan dan juga menjaga perdamaian. Dan dalam pasal 13 Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia / TAC (Bali Concord 1976) menyebutkan: 20 Huala Adolf, Hukum..., Op.Cit. hlm. 15

6 33...The high contracting parties shall have the determination and good faith to prevent disputes from arising. Terjemahan: Pihak-pihak yang terkait wajib memiliki tekad dan itikad baik dalam mencegah timbulnya perselisihan. Dengan adanya prinsip ini dapat mencegah terjadinya sengketa yang dapat mengakibatkan renggangnya hubungan antarnegara dan dapat menyelesaikan sengketa secara lebih dini serta mensyaratkan bahwa sengketa yang terjadi hendaknya diselesaikan melalui cara-cara penyelesaian yang dikenal dalam hukum internasional (negosiasi, mediasi, konsiliasi, arbitrase, pengadilan) atau cara-cara yang dipilih oleh para pihak Prinsip Larangan Penggunaan Kekerasan dalam Penyelesaian Sengketa Sebagaimana dalam pasal 13 TAC yang memuat prinsip ini, menyatakan:... In case of disputes on matters directly affecting them, they shall refrain from the threat or use of force and shall at all times settle such disputes among themselves through friendly negotiations. Atau dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, dalam hal perselisihan yang menyangkut langsung para pihak, wajib menahan diri dari ancaman atau penggunaan kekerasan dan setiap saat menyelesaikan perselisihan antara para pihak melalui negosiasi yang ramah. 21 Ibid, hlm.16

7 34 Prinsip ini juga dapat ditemui di Pembukaan ke-4 Deklarasi Manila. Dan dalam perjanjian internasional lainnya dapat dilihat dalam Pasal 5 Pakta Liga Negara-Negara Arab 1945 (Pact of the League of Arab States), Pasal 1 dan 2 the Inter-American Treaty of Reciprocal Assistance (1947), dan lain-lain. 3. Prinsip Kebebasan Memilih Cara-Cara Penyelesaian Sengketa Prinsip ini memberikan para pihak untuk memiliki kebebasan dalam memilih cara penyelesaian sengketa yang mereka sepakati (principle of free choice means). Prinsip ini juga dapat ditemukan dalam Pasal 33 ayat (1) Piagam PBB dan Section 1 Paragraph 3 dan 10 Deklarasi Manila dan paragraf ke-5 dari Friendly Declaration. Dengan adanya pengaturan tersebut mejadikan prosedur penyelesaian sengketa harus didasarkan kepada pihak yang bersengketa dimana hal ini berlaku bagi sengketa yang telah terjadi atau sengketa yang akan datang. 4. Prinisp Kebebasan Memilih Hukum yang akan Diterapkan terhadap Pokok Sengketa Prinsip fundamental selanjutnya yang sangat penting adalah prinsip kebebasan para pihak untuk menentukan sendiri hukum apa yang akan diterapkan bila sengketanya diselesaikan oleh badan peradilan. Kebebasan para pihak untuk menentukan hukum ini termasuk kebebasan untuk memilih kepatutan dan

8 35 kelayakan (ex aequo et bono). 22 Yang terakhir ini adalah sumber bagi pengadilan untuk memutus sengketa berdasarkan prinsip keadilan, kepatutan, atau kelayakan. 5. Prinsip Kesepakatan Para Pihak yang Bersengketa (Konsensus) Prinsip kesepakatan para pihak merupakan prinsip fundamental dalam penyelesaian sengketa internasional. Prinsip inilah yang menjadi dasar bagi pelaksanaan prinsip ke-3 dan 4 di atas. Prinsip-prinsip kebebasan 3 dan 4 hanya akan bisa dilakukan atau direalisasikan manakala ada kesepakatan dari para pihak. Sebaliknya. prinsip kebebasan 3 dan 4 tidak akan mungkin berjalan apabila kesepakatan hanya ada dari salah satu pihak atau bahkan tidak ada kesepakatan sama sekali dari kedua belah pihak. 6. Prinsip Exhaustion of Local Remedies Prinsip ini termuat dalam Section 1 paragraph 10 Deklarasi Manila. Menurut prinsip ini, sebelum para pihak mengajukan sengketanya ke pengadilan internasional maka langkah-langkah penyelesaian sengketa yang tersedia atau diberikan oleh hukum nasional negara harus terlebih dahulu ditempuh. 7. Prinsip-prinsip Hukum Internasional tentang Kedaulatan, Kemerdekaan, dan Integritas Wilayah Negara-Negara Deklarasi Manila mencantumkan prinsip ini dalam Section 1 Paragraph 1. Prinsip ini mensyaratkan negara-negara yang bersengketa untuk terus menaati dan 22 Ibid hlm. 17

9 36 melaksanakan kewajiban internasionalnya dalam berhubungan satu sama lainnya berdasarkan prinsip-prinsip fundamental integritas wilayah negara-negara. Adapun prinsip yang terdapat di Office of the Legal Affairs PBB memuat diantaranya: a. Prinsip larangan intervensi baik terhadap masalah dalam atau luar negeri para pihak; b. Prinsip persamaan hak dan penentuan nasib sendiri; c. Prinsip persamaan kedaulatan negara-negara; d. Prinsip kemerdekaan dan hukum internasional, yang semata-mata merupakan penjelmaan lebih lanjut dari prinsip ke-7, yaitu prinsip hukum internasional tentang kedaulatan, kemerdekaan, dan integritas wilayah negara-negara. C. Bentuk-bentuk Penyelesaian Sengketa Menurut J.G. Starke, bentuk- bentuk dalam penyelesaian sengketa dapat digolongkan menjadi 2 bentuk 23 ; 1. Penyelesaian secara damai, yaitu apabila para pihak telah dapat menyepakati untuk menemukan solusi yang bersahabat. 2. Penyelesaian secara paksa atau dengan kekerasan, yaitu apabila solusi yang dipakai atau diterapkan adalah melalui kekerasan J.G.Starke, Pengantar Hukum Internasional Jilid 2, (Jakarta:Sinar Grafika, 2004) hlm.

10 37 1. Penyelesaian Sengketa Secara Damai 1. Negosiasi Merupakan cara penyelesaian sengketa yang banyak ditempuh serta efektif dalam menyelesaikan sengketa internasional. Negosiasi adalah perundingan yang diadakan secara langsung antara para pihak dengan tujuan untuk mencari penyelesaian melalui perundingan tanpa melibatkan pihak ketiga. Penyelesaian sengketa dengan cara ini meskipun terlihat mudah namun juga sering mengalami kegagalan seperti adanya penolakan salah satu pihak untuk melakukan negosiasi. Beberapa kelemahan menggunakan cara negosiasi: a. Bila kedudukan pihak-pihak yang bernegosiasi tidak seimbang; b. Kadang-kadang sangat memerlukan waktu yang lama untuk mengajak pihak lain mau bernegosiasi; c. Jika salah satu pihak kontra produktif. Dalam hal telah disepakatinya suatu hal oleh para pihak dalam negosiasi, maka hal tersebut dituangkan dalam dokumen atau perjanjian antara pihak, yang berkekuatan hukum. Dan dalam hal kesepakatan tersebut gagal dipenuhi para pihak, secara tertulis juga, maka akan ditempuh cara lainnya seperti arbitrase, konsiliasi, mediasi, dan lain-lain.

11 38 Dalam penyelesaian cara ini sering ditemui bahwa inilah satu-satunya cara yang dipakai karena negara sering merasakan keuntungannya meskipun sengketa itu rumit dan sulit untuk didamaikan Jasa Baik (Good Offices) Dalam hal negosiasi tidak berjalan, maka pada umumnya dibutuhkan pihak ketiga dalam penyelesaian sengketa. Dalam Jasa Baik ini, pihak ketiga tersebut berusaha mengupayakan pertemuan para pihak-pihak bersengketa untuk berunding, tanpa adanya keterlibatan dalam perundingan tersebut. Tujuan dari jasa baik ini agar kontak antar pihak tetap terjamin dengan mempertemukan para pihak agar mau berunding melalui keikutsertaan pihak ke-3. Setiap pihak dapat meminta kehadiran jasa baik meskipun tidak ada kewajiban bagi pihak lainnya untuk menerima hal tersebut. Hal tersebut tidak dapat dipandang sebagai tindakan yang tidak bersahabat. 25 Sebagai contoh Finlandia sebagai good offices terhadap Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada tahun Dan PBB dalam mempertemukan Indonesia dengan Belanda pada tahun Indikator keberhasilan dari good offices dapat dilihat melalui kemampuan untuk dapat mempertemukan para pihak yang bersengketa. 3. Mediasi 24 Huala Adolf, Hukum..., Op.Cit, hlm Ibid hlm.31

12 39 Keterlibatan pihak ketiga dalam mediasi sudah lebih kuat dimana mediator berperan aktif dalam mendamaikan pihak yang bersengketa dan dapat memberikan rekomendasi untuk penyelesaian sengketa. Mediasi bertujuan menciptakan hubungan langsung antara pihak yang bersengketa. Para pihak yang bersengketa dapat mengurangi ketegangan antara pihak bersengketa dan menjadi saluran informasi bagi pihak yang bersengketa serta dapat mengajukan upaya penyelesaian sengketa yang dapat memuaskan pihak yang bersengketa. Negara, NGO, individu atau organisasi regional maupun internasional yang dianggap netral dan bisa diterima oleh pihak yang bersengketa. Penetapan mediator dapat dipilih langsung oleh pihak yang bersengketa ataupun atas usul masyarakat internasional, adapun yang menawarkan jasanya untuk menjadi mediator dalam sebuah sengketa. Dalam mediasi harus dilakukan atas persetujuan para pihak yang bersengketa. Seorang mediator diberikan kebebasan dalam menentukan proses penyelesaian sengketanya dengan memberikan saran maupun usulan yang diperolehnya dari hasil laporan para pihak terhadap sengketa tersebut. Mediator juga dapat menggunakan asas ex aequo et bono (kepatutan dan kelayakan) sehingga tidak terbatas oleh hukum yang ada. 4. Pencari Fakta (Fact Finding/ Inquiry) Fungsi dari inquiry adalah untuk memfasilitasi penyelesaian sengketa dengan mencari kebenaran fakta, tidak memihak, melalui investigasi

13 40 secara terus menerus sampai fakta yang disampaikan salah satu pihak dapat diterima oleh pihak lain. Negara dan organisasi sering kali menggunakan inquiry. Inquiry dapat dilaksanakan oleh suatu komisi yang permanen. Individu maupun organisasi terpilih untuk memberikan expert opinion-nya. Tugas komisi pencari fakta terbatas hanya untuk memberikan pernyataan menyangkut kebenaran fakta, tidak berwenang memberikan suatu putusan (award). Pemilihan penyelesaian sengketa dengan cara inquiry harus dilakukan atas kesepakatan para pihak untuk memilih cara tersebut. Meskipun di lapangan, tim pencari fakta sering menemui kesulitan jika negara teritorial tempat penyelidikan diadakan kurang kooperatif. Maka dengan adanya ketentuan Pasal 39 Piagam PBB, Dewan Keamanan PBB dapat mengirimkan komisi pencari fakta atas nama PBB tanpa persetujuan negara teritorial bila menurut Dewan Keamanan sengketa yang muncul sudah termasuk kategori mengancam atau melanggar perdamaian keamanan internasional atau juga tindakan agresi. Pasal 39 Piagam PBB: Dewan Keamanan PBB akan menentukan ada atau tidaknya suatu ancaman terhadap perdamaian, pelanggaran terhadap perdamaian atau tindakan agresi dan akan menganjurkan atau memutuskan tindakan apa

14 41 yang harus diambil sesuai dengan pasal 41 dan 42, untuk memelihara atau memulihkan perdamaian dan keamanan internasional. 5. Konsiliasi (Conciliation) Merupakan metode penyelesaian sengketa secara politik yang menggabungkan cara-cara inquiry dengan mediasi. Dalam cara ini, juga menggunakan pihak ketiga dalam menyelesaiakan sengketa. Melalui cara ini, pihak ketiga melakukan penyelidikan terhadap sengketa yang dipermasalahkan lalu memberikan usulan-usulan formal mengenai penyelesaian sengketanya. Usulan ini tidak mengikat para pihak yang bersengketa. Konsiliasi dapat dilakukan oleh lembaga atau komisi yang permanen maupun ad hoc. 26 Yang membedakan konsiliasi dengan mediasi adalah konsiliasi memiliki hukum acara yang lebih formal yang dapat diterapkan dalam perjanjian atau diterapkan oleh badan konsiliasi sedangkan mediasi tidak ada hukum acara formal yang mengaturnya. 2. Penyelesaian Sengketa Secara Kekerasan Dalam penyelesaian sengketa juga dimungkinkan untuk dilakukan dengan cara kekerasan apabila penyelesaian sengketa dengan cara damai tak tercapai. 26 Sefriani, Hukum... Op.Cit hlm. 322

15 42 Penyelesaian ini sering juga disebut dengan penyelesaian secara tidak damai, diantaranya berupa: a. Perang Bertujuan untuk menaklukan negara lawan dimana negara yang dikalahkan tersebut akan menerima syarat penyelesaian-penyelesaian dan tidak memiliki alternatif lain selain mematuhi hal tersebut. Yang disebut dengan perang adil pada awal perkembangan hukum internasional adalah perang yang dilakukan dengan penggunaan senjata yang sederhana yang disertai pernyataan perang oleh satu pihak kepada pihak yang lain dan pihak lain tersebut akan bersiap untuk membela dirinya. 27 Pada abad ke-18, hak berdaulat untuk menyelesaikan sengketa dengan perang lebih ditekankan dan tidak mempermasalahkan parameter hak negara dalam menggunakan kekerasan. b. Retorsi Merupakan istilah pembalasan dendam oleh suatu negara atas tindakan kurang bersahabat dari negara lain. Bentuk retorsi dapat dicontohkan diantaranya: pemutusan hubungan diplomatik; pencabutan privilege-privilege diplomatik; deportasi dibalas deportasi; persona non grata dibalas persona non grata; dan lain sebagainya. Retorsi sah dan dibenarkan asalkan tidak membahayakan perdamaian dan keamanan internasional serta keadilan. c. Reprisal Merupakan metode oleh negara-negara untuk mengupayakan ganti rugi dari negara lain dengan melakukan tindakan yang sifatnya pembalasan. Pada 27 Ibid hlm. 354

16 43 zaman dahulu, reprisal ini merupakan penyitaan harta benda maupun penahanan orang. Namun pada zaman sekarang ini, tindakan reprisal merujuk pada tindakan pemaksaan oleh satu negara kepada negara lain bertujuan menyelesaikan sengketa yang diakibatkan tindakan tidak sah negara tersebut. Perbedaan antara reprisal dengan retorsi menurut Starke adalah bahwa reprisal adalah pembalasan yang meliputi tindakan yang boleh dikatakan merupakan perbuatan ilegal sedangkan dalam retorsi tindakan balas dendam tersebut dibenarkan oleh hukum. 28 Reprisal dapat berupa suatu pemboikotan berang terhadap suatu negara tertentu; embargo; demonstrasi angkatan laut; atau pemboman. Dalam perkembangan praktek internasional, reprisal dibenarkan dalam hal negara lawan tersebut bersalah atas tindakan suatu pelanggaran internasional. Reprisal tidak dibenarkan dalam hal negara pelanggar tanpa diminta memberikan ganti rugi atas kesalahannya atau tindakan reprisal itu melebihi proporsi atas kerugian yang diderita. d. Blokade secara damai Merupakan blokade yang dilakukan pada waktu damai untuk memaksa negara yang di blokade tersebut agar memenuhi ganti rugi yang diderita negara yang memblokade. Dapat dikatakan bahwa blokade damai ini dalam tahapan melebihi reprisal namun masih di bawah perang. Beberapa penulis telah meragukan legalitas tindakan ini, dan keabsahan blokade damai masih dipertanyakan ditinjau dari Piagam PBB. 28 J.G.Starke, Pengantar..., Op.Cit hlm. 680

17 44 e. Embargo Merupakan larangan ekspor barang ke negara yang dikenai embargo. Embargo juga ditetapkan sebagai sanksi bagi negara pelanggar hukum internasional. f. Intervensi Menurut Starke, intervensi termasuk dalam cara penyelesaian sengketa dengan kekerasan. 29 Intervensi yang dalam kaitan ini berarti suatu tindakan yang melebihi campur tangan saja, yang lebih kuat daripada mediasi atau usulan diplomatik. 30 Campur tangan yang bertentangan dengan kepentingan negara tersebut dilarang dan sudah termasuk kategori intervensi. Adapun bentuk intervensi yang dibenarkan dalam hukum internasional yaitu: 31 1) Intervensi kolektif, merupakan intervensi dibawah kewenangan Dewan Keamanan PBB sesuai dengan bab VIII Piagam PBB; 2) Intervensi untuk melindungi hak dan kepentingan serta jiwa warga negara di luar negeri; 3) Intervensi untuk pertahanan diri, diperlukan untuk menghilangkan bahaya serangan bersenjata; 4) Intervensi dalam urusan protektorat yang berada di bawah kekuasaan negara tersebut; JG Starke, Pengantar..., Op.Cit., hlm JG Starke, Pengantar Hukum Internasional Jilid 1, (Jakarta:Sinar Grafika, 2004), hlm. 31 Ibid, hlm. 137

18 45 5) Intervensi dalam hal negara pengintervensi telah melakukan pelanggaran berat dalam hukum internasional dalam melakukan operasi intervensinya. 3. Penyelesaian Sengketa Secara Hukum a. Melalui Jalur Arbitrase Menurut Komisi Hukum Internasional, penyelesaian sengketa melalui Arbitrase adalah prosedur penyelesaian sengketa antar negara yang bersifat mengikat berdasar hukum dan hasilnya dapat diterima secara sukarela. Prinisip kesukarelaan terlihat dalam Arbitrase, yaitu para pihak sepakat untuk membawa sengketanya ke arbitrase. Permanent Court of Arbitration (PCA) dibentuk melalui Konvensi Den Haag 1899 dan 1907 yang mengatur proses beracara di PCA. Kompetensi PCA juga meliputi sengketa yang terjadi antara negara dengan subjek hukum internasional non negara yang mana tidak dapat ditangani oleh Mahkamah Internasional. Arbitrase berfokus pada masalah hak dan kewajiban para pihak yang bersengketa dilihat dari hukum internasional. Dengan penerapan hukum sesuai dengan fakta yang ada, maka diharapkan penyelesaian sengketa akan tercapai. Putusan Arbitrase bersifat mengikat secara hukum bagi para pihak yang terkait. Mayoritas putusan arbitrase dipatuhi oleh para pihak meskipun belum ada perangkat untuk menjamin penguatan hukum akan itu.

19 46 Para pihak dalam proses arbitrase dapat memilih atbitrator nya sendiri. Serta juga dapat memasukkan ahli-ahli teknis yang diperlukan dan menentukan sendiri prosedur yang harus dijalani seperti untuk tidak mempublikasi putusan arbitrase. b. Melalui Pengadilan Internasional Ada beberapa pengadilan internasional, diantaranya: 1) International Court of Justice (ICJ) Adalah pengadilan yang mengadili sengketa antar negara di bidang hukum internasional; 2) International Tribunal for the Law of the Sea Khusus untuk mengadili sengketa di bidang hukum laut internasional; 3) International Criminal Court (ICC) dan Ad Hoc Tribunal Mengadili individu, terdakwa yang diduga telah melakukan kejahatan internasional. ICJ merupakan salah satu organ penting PBB yang diatur oleh Statuta Mahkamah Internasional. Meskipun negara anggota PBB juga merupakan anggota statuta tapi tidak ada kewajiban negara anggota untuk membawa sengketanya ke hadapan ICJ. ICJ dianggap cara utama penyelesaian sengketa meskipun statistik menunjukkan hanya 4-5 perkara saja yang diajukan ke ICJ setiap tahunnya.

20 47 Adapun alasan mengapa masyarakat internasional jarang menyelesaikan sengketa melalui ICJ dipengaruhi beberapa faktor: 1) Proses ICJ dianggap sebagai jalan terakhir untuk menyelesaikan masalah; 2) Proses melalui ICJ memakan waktu yang lama dan biaya yang cukup tinggi; 3) ICJ tidak memiliki yurisdiksi wajib (compulsory jurisdiction) Adapun sengketa hukum yang dapat diajukan ke ICJ diantaranya menyangkut: Penafsiran suatu perjanjian; Setiap masalah hukum internasional; Eksistensi suatu fakta yang jika terjadi akan merupakan suatu pelanggaran kewajiban hukum internasional; Sifat dan ruang lingkup ganti rugi yang dibuat atas pelanggaran kewajiban hukum internasional. ICJ terdiri dari 15 hakim dengan kewarganegaraan berbeda yang dipilih berdasarkan suara mayoritas mutlak oleh Majelis Umum dengan rekomendasi Dewan Keamanan. Komposisi ini termasuk satu hakim dari masing-masing negara anggota tetap Dewan Keamanan (Hak Veto tidak berlaku). Lima orang dari negara-negara barat, tiga dari Afrika (1 orang dari negara berbahasa Prancis yang menganut Civil Law, 1 orang dari negara berbahasa Inggris yang menganut Common Law, dan 1 orang dari Arab), tiga orang dari Asia, dua orang dari Eropa Timur, dan dua orang dari Amerika Latin. Adapun hakim-hakim dalam ICJ ini tidak bertindak mewakili negaranya.

21 48

Pada pokoknya Hukum Internasional menghendaki agar sengketa-sengketa antar negara dapat diselesaikan secara damai he Hague Peace

Pada pokoknya Hukum Internasional menghendaki agar sengketa-sengketa antar negara dapat diselesaikan secara damai he Hague Peace Pasal 2 (3) dari Piagam PBB - Semua anggota wajib menyelesaikan perselisihan internasional mereka melalui cara-cara damai sedemikian rupa sehingga perdamaian, keamanan dan keadilan internasional tidak

Lebih terperinci

BAB II KEDUDUKAN LEMBAGA PERMANENT COURT OF ARBITRATION DALAM PENYELESAIAN SENGKETA

BAB II KEDUDUKAN LEMBAGA PERMANENT COURT OF ARBITRATION DALAM PENYELESAIAN SENGKETA BAB II KEDUDUKAN LEMBAGA PERMANENT COURT OF ARBITRATION DALAM PENYELESAIAN SENGKETA D. Pengertian Sengketa Internasional Sengketa biasanya bermula dari suatu situasi dimana ada pihak yang merasa dirugikan

Lebih terperinci

BAHAN KULIAH ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG 14 METODE PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN INTERNASIONAL A.

BAHAN KULIAH ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG 14 METODE PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN INTERNASIONAL A. BAHAN KULIAH ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG Match Day 14 METODE PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN INTERNASIONAL A. Introduction Transaksi-transaksi atau hubungan dagang banyak bentuknya, mulai

Lebih terperinci

SENGKETA INTERNASIONAL

SENGKETA INTERNASIONAL SENGKETA INTERNASIONAL HUKUM INTERNASIONAL H. Budi Mulyana, S.IP., M.Si Indonesia-Malaysia SENGKETA INTERNASIONAL Pada hakikatnya sengketa internasional adalah sengketa atau perselisihan yang terjadi antar

Lebih terperinci

PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL SECARA DAMAI. Dewi Triwahyuni

PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL SECARA DAMAI. Dewi Triwahyuni PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL SECARA DAMAI Dewi Triwahyuni DASAR HUKUM Pencegahan penggunaan kekerasan atau terjadinya peperangan antar negara mutlak dilakukan untuk terhindar dari pelanggaran hukum

Lebih terperinci

PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL

PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL 1 BATASAN SENGKETA INTERNASIONAL Elemen sengketa hukum internasional : a. mampu diselesaikan oleh aturan HI b. mempengaruhi kepentingan vital negara c. penerapan HI

Lebih terperinci

H. BUDI MULYANA, S.IP., M.SI

H. BUDI MULYANA, S.IP., M.SI PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL H. BUDI MULYANA, S.IP., M.SI Pasal 2 (3) dari Piagam PBB Semua anggota wajib menyelesaikan perselisihan internasional mereka melalui cara-cara damai sedemikian rupa

Lebih terperinci

S I L A B I A. IDENTITAS MATA KULIAH INTERNASIONAL STATUS MATA KULIAH KODE MATA KULIAH : JUMLAH SKS : 2 PRASYARAT : SEMESTER SAJIAN : SEMESTER 7

S I L A B I A. IDENTITAS MATA KULIAH INTERNASIONAL STATUS MATA KULIAH KODE MATA KULIAH : JUMLAH SKS : 2 PRASYARAT : SEMESTER SAJIAN : SEMESTER 7 1 S I L A B I A. IDENTITAS MATA KULIAH NAMA MATA KULIAH : PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL : WAJIB STATUS MATA KULIAH KODE MATA KULIAH : JUMLAH SKS : 2 PRASYARAT : SEMESTER SAJIAN : SEMESTER 7 B. DESKRIPSI

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mengenai dilaksanakan atau tidaknya kewajiban-kewajiban yang terdapat dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mengenai dilaksanakan atau tidaknya kewajiban-kewajiban yang terdapat dalam 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Sengketa Internasional Menurut Mahkamah Internasional, sengketa internasional merupakan suatu situasi ketika dua negara mempunyai pandangan yang bertentangan mengenai dilaksanakan

Lebih terperinci

HUKUM INTERNASIONAL DAN MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL

HUKUM INTERNASIONAL DAN MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL HUKUM INTERNASIONAL DAN MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL Oleh : IKANINGTYAS, SH.LLM Fakultas Hukum Universitas Brawijaya 1 Pengertian Hk. Internasional ialah keseluruhan kaedah dan asas yang

Lebih terperinci

NASKAH PENJELASAN PROTOCOL TO THE ASEAN CHARTER ON DISPUTE SETTLEMENT MECHANISM (PROTOKOL PIAGAM ASEAN MENGENAI MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA)

NASKAH PENJELASAN PROTOCOL TO THE ASEAN CHARTER ON DISPUTE SETTLEMENT MECHANISM (PROTOKOL PIAGAM ASEAN MENGENAI MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA) NASKAH PENJELASAN PROTOCOL TO THE ASEAN CHARTER ON DISPUTE SETTLEMENT MECHANISM (PROTOKOL PIAGAM ASEAN MENGENAI MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA) 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Protokol Piagam ASEAN

Lebih terperinci

BAHAN KULIAH HUKUM PERNIAGAAN/PERDAGANGAN INTERNASIONAL MATCH DAY 12 METODE PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN INTERNASIONAL

BAHAN KULIAH HUKUM PERNIAGAAN/PERDAGANGAN INTERNASIONAL MATCH DAY 12 METODE PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN INTERNASIONAL BAHAN KULIAH HUKUM PERNIAGAAN/PERDAGANGAN INTERNASIONAL MATCH DAY 12 METODE PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN INTERNASIONAL A. Pendahuluan Transaksi-transaksi atau hubungan dagang banyak bentuknya, mulai

Lebih terperinci

HUKUM INTERNASIONAL PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL PERTEMUAN XXVII, XXVIII & XXIX. By Malahayati, SH, LLM

HUKUM INTERNASIONAL PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL PERTEMUAN XXVII, XXVIII & XXIX. By Malahayati, SH, LLM HUKUM INTERNASIONAL PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL PERTEMUAN XXVII, XXVIII & XXIX By Malahayati, SH, LLM 1 TOPIK PRINSIP UMUM JENIS SENGKETA BENTUK PENYELESAIAN SENGKETA PENYELESAIAN POLITIK PENYELESAIAN

Lebih terperinci

BAB VII PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU)

BAB VII PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU) BAB VII PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU) Pada akhir kuliah mahasiswa diharapkan dapat memberikan argumentasi terhadap penyelesaian sengketa internasional secara damai

Lebih terperinci

BAB 5 PENUTUP. 5.1.Kesimpulan

BAB 5 PENUTUP. 5.1.Kesimpulan 99 BAB 5 PENUTUP 5.1.Kesimpulan Berbagai macam pernyataan dari komunitas internasional mengenai situasi di Kosovo memberikan dasar faktual bahwa bangsa Kosovo-Albania merupakan sebuah kelompok yang memiliki

Lebih terperinci

MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL (STUDI KASUS NIKARAGUA AMERIKA SERIKAT)

MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL (STUDI KASUS NIKARAGUA AMERIKA SERIKAT) MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL (STUDI KASUS NIKARAGUA AMERIKA SERIKAT) Oleh: Ida Primayanthi Kadek Sarna Program Kekhususan Hukum Internasional dan Bisnis Internasional Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

International Dispute. 4

International Dispute. 4 MATERI PERKULIAHAN HUKUM INTERNASIONAL MATCH DAY 15 METODE PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL A. Penyelesaian Sengketa Dengan Cara Damai Pertikaian atau sengketa adalah dua kata yang dipergunakan secara

Lebih terperinci

Eksistensi Mahkamah Internasional Sebagai Lembaga Kehakiman Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB)

Eksistensi Mahkamah Internasional Sebagai Lembaga Kehakiman Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) Eksistensi Mahkamah Internasional Sebagai Lembaga Kehakiman Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) IndienWinarwati Dosen Fakultas Hukum Universitas Trunojoyo Madura Email: indien_w@yahoo.co.id ABSTRACT / ICJ

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN OLEH TERORIS,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF ACTS OF NUCLEAR TERRORISM (KONVENSI INTERNASIONAL PENANGGULANGAN TINDAKAN TERORISME

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

PELANGGARAN KEDAULATAN NEGARA TERKAIT TINDAKAN SPIONASE DALAM HUBUNGAN DIPLOMASI INTERNASIONAL

PELANGGARAN KEDAULATAN NEGARA TERKAIT TINDAKAN SPIONASE DALAM HUBUNGAN DIPLOMASI INTERNASIONAL PELANGGARAN KEDAULATAN NEGARA TERKAIT TINDAKAN SPIONASE DALAM HUBUNGAN DIPLOMASI INTERNASIONAL Oleh Ngakan Kompiang Kutha Giri Putra I Ketut Sudiartha Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL. Wahyuningsih

PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL. Wahyuningsih PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL Wahyuningsih 2012 Judul: Penyelesaian Sengketa Internasional Penulis: Wahyuningsih Editor: Endra Wijaya Deni Bram Kolase pada kover: een Hak cipta pada penulis. Hak

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF ACTS OF NUCLEAR TERRORISM (KONVENSI INTERNASIONAL PENANGGULANGAN TINDAKAN TERORISME

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Dengan persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Dengan persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1997 TENTANG PENGESAHAN TREATY ON THE SOUTHEAST ASIA NUCLEAR WEAPON FREE ZONE (TRAKTAT KAWASAN BEBAS SENJATA NUKLIR DI ASIA TENGGARA) DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. internasional, negara harus memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi yaitu,

BAB I PENDAHULUAN. internasional, negara harus memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi yaitu, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara merupakan salah satu subjek hukum internasional. Sebagai subjek hukum internasional, negara harus memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi yaitu, salah satunya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yaitu di daerah Preah Vihear yang terletak di Pegunungan Dangrek. Di

BAB I PENDAHULUAN. yaitu di daerah Preah Vihear yang terletak di Pegunungan Dangrek. Di BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Thailand dan Kamboja merupakan dua negara yang memiliki letak geografis berdekatan dan terletak dalam satu kawasan yakni di kawasan Asia Tenggara. Kedua negara ini

Lebih terperinci

KEKUATAN MENGIKAT RESOLUSI DEWAN KEAMANAN PBB DALAM PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL

KEKUATAN MENGIKAT RESOLUSI DEWAN KEAMANAN PBB DALAM PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL KEKUATAN MENGIKAT RESOLUSI DEWAN KEAMANAN PBB DALAM PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL Oleh I Komang Oka Dananjaya Progam Kekhususan Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT The

Lebih terperinci

PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH NEGARA QATAR MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN ATAS PENANAMAN MODAL

PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH NEGARA QATAR MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN ATAS PENANAMAN MODAL LAMPIRAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 84 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH NEGARA QATAR MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN

Lebih terperinci

KEDUDUKAN ORGANISASI INTERNASIONAL DALAM MAHKAMAH INTERNASIONAL

KEDUDUKAN ORGANISASI INTERNASIONAL DALAM MAHKAMAH INTERNASIONAL KEDUDUKAN ORGANISASI INTERNASIONAL DALAM MAHKAMAH INTERNASIONAL Oleh Vici Fitriati SLP. Dawisni Manik Pinatih Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRAK Penulisan ini berjudul

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 53 TAHUN 1995 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN KERAJAAN SPANYOL MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN SECARA RESIPROKAL ATAS PENANAMAN

Lebih terperinci

I. UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan

I. UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

Traffic "waves" 2. Hukum internasional publik berbeda dengan hukum perdata internasional.

Traffic waves 2. Hukum internasional publik berbeda dengan hukum perdata internasional. Traffic "waves" Traffic jams are usually caused because there must be an accident, some type of serious incident up ahead just out of sight, the roads are icey and dangerous, or its rush hour. For more

Lebih terperinci

UU 9/1997, PENGESAHAN TREATY ON THE SOUTHEAST ASIA NUCLEAR WEAPON FREE ZONE (TRAKTAT KAWASAN BEBAS SENJATA NUKLIR DI ASIA TENGGARA)

UU 9/1997, PENGESAHAN TREATY ON THE SOUTHEAST ASIA NUCLEAR WEAPON FREE ZONE (TRAKTAT KAWASAN BEBAS SENJATA NUKLIR DI ASIA TENGGARA) Copyright 2002 BPHN UU 9/1997, PENGESAHAN TREATY ON THE SOUTHEAST ASIA NUCLEAR WEAPON FREE ZONE (TRAKTAT KAWASAN BEBAS SENJATA NUKLIR DI ASIA TENGGARA) *9571 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR

Lebih terperinci

Sarana utama memulai & mengembangkan hubungan internasional. Bentuk semua perbuatan hukum dan transaksi masyarakat internasional

Sarana utama memulai & mengembangkan hubungan internasional. Bentuk semua perbuatan hukum dan transaksi masyarakat internasional Perjanjian Internasional Sarana utama memulai & mengembangkan hubungan internasional Bentuk semua perbuatan hukum dan transaksi masyarakat internasional Sarana menetapkan kewajiban pihak terlibat dalam

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 84 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH NEGARA QATAR MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN ATAS PENANAMAN

Lebih terperinci

Konvensi Internasional mengenai Penindasan dan Penghukuman Kejahatan Apartheid

Konvensi Internasional mengenai Penindasan dan Penghukuman Kejahatan Apartheid Konvensi Internasional mengenai Penindasan dan Penghukuman Kejahatan Apartheid disetujui dan terbuka untuk penandatanganan dan ratifikasi oleh Resolusi Majelis Umum 3068 (XXVIII) 30 November 1973 Negara-negara

Lebih terperinci

Telah menyetujui sebagai berikut: Pasal 1. Untuk tujuan Konvensi ini:

Telah menyetujui sebagai berikut: Pasal 1. Untuk tujuan Konvensi ini: LAMPIRAN II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

LEGALITAS PENGANCAMAN DAN PENGGUNAAN SENJATA NUKLIR OLEH NEGARA DALAM HUKUM INTERNASIONAL

LEGALITAS PENGANCAMAN DAN PENGGUNAAN SENJATA NUKLIR OLEH NEGARA DALAM HUKUM INTERNASIONAL LEGALITAS PENGANCAMAN DAN PENGGUNAAN SENJATA NUKLIR OLEH NEGARA DALAM HUKUM INTERNASIONAL Oleh: Dani Budi Satria Putu Tuni Cakabawa Landra I Made Budi Arsika Program Kekhususan Hukum Internasional dan

Lebih terperinci

UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM STUDI ILMU HUKUM RENCANA KEGIATAN PROGRAM PEMBELAJARAN (RKPP) Mata Kuliah Kode SKS Semester Nama Dosen Hukum SH HI 1209 2 VI (enam) Ayu Efritadewi, S.H., M.H. Deskripsi Mata Kuliah Matakuliah Hukum merupakan matakuliah

Lebih terperinci

PERANAN DEWAN KEAMANAN PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA DALAM PROSES PENYELESAIAN KONFLIK INTERNASIONAL

PERANAN DEWAN KEAMANAN PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA DALAM PROSES PENYELESAIAN KONFLIK INTERNASIONAL PERANAN DEWAN KEAMANAN PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA DALAM PROSES PENYELESAIAN KONFLIK INTERNASIONAL Danial Abstract In particular, to solve the international conflicts, the Security Council of the United

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF ACTS OF NUCLEAR TERRORISM (KONVENSI INTERNASIONAL PENANGGULANGAN TINDAKAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM. Sengketa internasional (International Dispute) adalah suatu perselisihan antara subjeksubjek

BAB II TINJAUAN UMUM. Sengketa internasional (International Dispute) adalah suatu perselisihan antara subjeksubjek BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Sengketa Internasional Hubungan-hubungan internasional yang diadakan antar negara, negara dengan individu, atau negara dengan organisasi internasional tidak selamanya terjalin

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Sejarah/Pengertian Tentang Organisasi Internasional 1. Pengertian organisasi internasional Organisasi internasional adalah suatu proses; organisasi internasional juga menyangkut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Rumusan Masalah 1.3 Tujuan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Rumusan Masalah 1.3 Tujuan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hubungan internasional diidentifikasikan sebagai studi tentang interaksi antara beberapa faktor yang berpartisipasi dalam politik internasional, yang meliputi negara-negara,

Lebih terperinci

PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA (PBB) By Dewi Triwahyuni

PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA (PBB) By Dewi Triwahyuni PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA (PBB) By Dewi Triwahyuni Basic Fact: Diawali oleh Liga Bangsa-bangsa (LBB) 1919-1946. Didirikan di San Fransisco, 24-10-45, setelah Konfrensi Dumbatan Oaks. Anggota terdiri dari

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Copyright (C) 2000 BPHN KEPPRES 78/2004, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK BULGARIA MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN ATAS PENANAMAN MODAL *51771 KEPUTUSAN

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 5514 PENGESAHAN. Perjanjian. Republik Indonesia - Republik India. Bantuan Hukum Timbal Balik. Pidana. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor

Lebih terperinci

HUKUM PERJANJIAN. Aspek Hukum dalam Ekonomi Hal. 1

HUKUM PERJANJIAN. Aspek Hukum dalam Ekonomi Hal. 1 HUKUM PERJANJIAN Ditinjau dari Hukum Privat A. Pengertian Perjanjian Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain/lebih (Pasal

Lebih terperinci

: Public International Law: Contemporary Principles and Perspectives Penulis buku : Gideon Boas Penerbit :

: Public International Law: Contemporary Principles and Perspectives Penulis buku : Gideon Boas Penerbit : RESENSI BUKU Judul : Public International Law: Contemporary Principles and Perspectives Penulis buku : Gideon Boas Penerbit : Bahasa : Inggris Jumlah halaman : x + 478 Tahun penerbitan : 2012 Pembuat resensi

Lebih terperinci

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN Oleh DANIEL ARNOP HUTAPEA, S.Pd Materi Ke-2 Perjanjian Internasional yang dilakukan Indonesia

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN Oleh DANIEL ARNOP HUTAPEA, S.Pd Materi Ke-2 Perjanjian Internasional yang dilakukan Indonesia PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN Oleh DANIEL ARNOP HUTAPEA, S.Pd Materi Ke-2 Perjanjian Internasional yang dilakukan Indonesia Makna Perjanjian Internasional Secara umum perjanjian internasional

Lebih terperinci

HUKUM INTERNASIONAL. Oleh : Nynda Fatmawati, S.H.,M.H.

HUKUM INTERNASIONAL. Oleh : Nynda Fatmawati, S.H.,M.H. HUKUM INTERNASIONAL Oleh : Nynda Fatmawati, S.H.,M.H. SUMBER HUKUM INTERNASIONAL Sumber: Starke (1989), Brownlie (1979), Shelton (2006), Riesenfeld (2006) Pengertian: Bahan-bahan aktual yang digunakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara-negara lain yang yang diderita oleh banyak orang di negara-negara lain

BAB I PENDAHULUAN. negara-negara lain yang yang diderita oleh banyak orang di negara-negara lain BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Praktek penyelenggaran negara dewasa ini berkembang ke arah demokrasi dan perlidungan Hak Asasi Manusaia (HAM). Masalah HAM mengemuka pada setiap kehidupan penyelenggaraan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 99, 2004 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2004 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENDANAAN TERORISME,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK INDIA TENTANG BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA (TREATY BETWEEN

Lebih terperinci

PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA

PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA Negara-Negara Pihak pada Protokol ini, Didorong oleh dukungan penuh terhadap Konvensi tentang Hak-Hak Anak, yang

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPPRES 60/1994, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DENGAN PEMERINTAH REPUBLIK ITALIA MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN ATAS PENANAMAN MODAL Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK DEMOKRATIK TIMOR- LESTE TENTANG AKTIFITAS KERJA SAMA DIBIDANG PERTAHANAN

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No.5518 PENGESAHAN. Konvensi. Penanggulangan. Terorisme Nuklir. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Repubik Indonesia Tahun 2014 Nomor 59) PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

Diadopsi oleh resolusi Majelis Umum 53/144 pada 9 Desember 1998 MUKADIMAH

Diadopsi oleh resolusi Majelis Umum 53/144 pada 9 Desember 1998 MUKADIMAH Deklarasi Hak dan Kewajiban Individu, Kelompok dan Badan-badan Masyarakat untuk Pemajuan dan Perlindungan Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Dasar yang Diakui secara Universal Diadopsi oleh resolusi Majelis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hukum Humaniter Internasional bertujuan untuk memanusiawikan perang agar korban

BAB I PENDAHULUAN. Hukum Humaniter Internasional bertujuan untuk memanusiawikan perang agar korban BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Hukum Humaniter Internasional bertujuan untuk memanusiawikan perang agar korban akibat perang seminimal mungkin dapat dikurangi. Namun implementasinya,

Lebih terperinci

Pada umumnya hukum internasional membedakan sengketa internasional atas sengketa yang

Pada umumnya hukum internasional membedakan sengketa internasional atas sengketa yang A. PENDAHULUAN Pada umumnya hukum internasional membedakan sengketa internasional atas sengketa yang bersifat politik dan sengketa yang bersifat hukum. Sengketa politik adalah sengketa dimana suatu negara

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. diatur oleh hukum internasional yakni okupasi terhadap suatu wilayah harus

BAB V PENUTUP. diatur oleh hukum internasional yakni okupasi terhadap suatu wilayah harus BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Bedasarkan pembahasan dari bab-bab sebelumnya, maka penulis mencoba menarik kesimpulan, yaitu: Pertama, telah terjadinya pelanggaran klaim kedaulatan wilayah yang dilakukan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, : a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

2 b. bahwa Persetujuan dimaksudkan untuk menetapkan prosedur penyelesaian sengketa dan mekanisme formal untuk Persetujuan Kerangka Kerja dan Perjanjia

2 b. bahwa Persetujuan dimaksudkan untuk menetapkan prosedur penyelesaian sengketa dan mekanisme formal untuk Persetujuan Kerangka Kerja dan Perjanjia LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.93, 2015 PENGESAHAN. Agreement. Asosiasi Bangsa- Bangsa Asia Tenggara. Republik India. Penyelesaian Sengketa. Kerja Sama Ekonomi. PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan

UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan PENJELASAN ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL

Lebih terperinci

PENYELESAIAN SENGKETA KASUS INVESTASI AMCO VS INDONESIA MELALUI ICSID

PENYELESAIAN SENGKETA KASUS INVESTASI AMCO VS INDONESIA MELALUI ICSID PENYELESAIAN SENGKETA KASUS INVESTASI AMCO VS INDONESIA MELALUI ICSID Oleh : Aldo Rico Geraldi Ni Luh Gede Astariyani Dosen Bagian Hukum Tata Negara ABSTRACT This writing aims to explain the procedure

Lebih terperinci

PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH KERAJAAN THAILAND MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN ATAS PENANAMAN MODAL

PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH KERAJAAN THAILAND MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN ATAS PENANAMAN MODAL PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH KERAJAAN THAILAND MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN ATAS PENANAMAN MODAL Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Kerajaan Thailand,

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan kesimpulan dari pembahasan di atas mengenai. perlindungan pihak ICRC ditinjau dari Konvensi Jenewa 1949 dan

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan kesimpulan dari pembahasan di atas mengenai. perlindungan pihak ICRC ditinjau dari Konvensi Jenewa 1949 dan BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan kesimpulan dari pembahasan di atas mengenai perlindungan pihak ICRC ditinjau dari Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol tambahannya serta sumber hukum lain yang menguatkan

Lebih terperinci

4/8/2013. Mahkamah Pidana Internasional

4/8/2013. Mahkamah Pidana Internasional Mahkamah Pidana Internasional Sekilas tentang Mahkamah Pidana Internasional (ICC) Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court - ICC) didirikan berdasarkan Statuta Roma tanggal 17 Juli 1998,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 1999 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION ON THE ELIMINATION OF ALL FORMS OF RACIAL DISCRIMINATION 1965 (KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PENGHAPUSAN

Lebih terperinci

Protokol Tambahan Konvensi Hak Anak Terkait Keterlibatan Anak Dalam Konflik Bersenjata

Protokol Tambahan Konvensi Hak Anak Terkait Keterlibatan Anak Dalam Konflik Bersenjata Protokol Tambahan Konvensi Hak Anak Terkait Keterlibatan Anak Dalam Konflik Bersenjata 12 Februari 2002 Negara-negara yang turut serta dalam Protokol ini,terdorong oleh dukungan yang melimpah atas Konvensi

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENDANAAN TERORISME,

Lebih terperinci

TINJAUAN HUKUM DIPLOMATIK TENTANG PENYELESAIAN SENGKETA PRAKTIK SPIONASE YANG DILAKUKAN MELALUI MISI DIPLOMATIK DILUAR PENGGUNAAN PERSONA NON-GRATA

TINJAUAN HUKUM DIPLOMATIK TENTANG PENYELESAIAN SENGKETA PRAKTIK SPIONASE YANG DILAKUKAN MELALUI MISI DIPLOMATIK DILUAR PENGGUNAAN PERSONA NON-GRATA TINJAUAN HUKUM DIPLOMATIK TENTANG PENYELESAIAN SENGKETA PRAKTIK SPIONASE YANG DILAKUKAN MELALUI MISI DIPLOMATIK DILUAR PENGGUNAAN PERSONA NON-GRATA Oleh I. Gst Ngr Hady Purnama Putera Ida Bagus Putu Sutama

Lebih terperinci

DEKLARASI PEMBELA HAK ASASI MANUSIA

DEKLARASI PEMBELA HAK ASASI MANUSIA DEKLARASI PEMBELA HAK ASASI MANUSIA Disahkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa tanggal 9 Desember 1998 M U K A D I M A H MAJELIS Umum, Menegaskan kembalimakna penting dari ketaatan terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adanya pengaturan mengenai perjanjian (treaties), hak dan kewajiban raja, hukum

BAB I PENDAHULUAN. adanya pengaturan mengenai perjanjian (treaties), hak dan kewajiban raja, hukum 12 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keberadaan hukum internasional sebagai bagian dari hukum yang sudah tua, yang mengatur hubungan antar negara tak dapat dipisahkan dari keberadaannya yang saat ini

Lebih terperinci

PERANAN SEKRETARIS JENDERAL PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL

PERANAN SEKRETARIS JENDERAL PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL PERANAN SEKRETARIS JENDERAL PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL Melly Aida, S.H.,M.H. 1 & Ria Wierma Putri 2 A. Pendahuluan Dalam interaksi sosial manusia tidak jarang

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST CORRUPTION, 2003 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, : a. bahwa dalam rangka mewujudkan

Lebih terperinci

PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH KERAJAAN DENMARK MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN PENANAMAN MODAL

PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH KERAJAAN DENMARK MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN PENANAMAN MODAL PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH KERAJAAN DENMARK MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN PENANAMAN MODAL Pembukaan Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Kerajaan Denmark

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DENGAN PEMERINTAH REPUBLIK ITALIA MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN ATAS PENANAMAN MODAL (Keputusan Presiden Nomor 60 Tahun 1994 Tanggal

Lebih terperinci

HAK VETO DEWAN KEAMANAN PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA DALAM KAITAN DENGAN PRINSIP PERSAMAAN KEDAULATAN

HAK VETO DEWAN KEAMANAN PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA DALAM KAITAN DENGAN PRINSIP PERSAMAAN KEDAULATAN HAK VETO DEWAN KEAMANAN PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA DALAM KAITAN DENGAN PRINSIP PERSAMAAN KEDAULATAN Oleh: Sulbianti Pembimbing I : I Made Pasek Diantha Pembimbing II: Made Mahartayasa Program Kekhususan

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA (KEPPRES) NOMOR 34 TAHUN 1994 (34/1994) TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH MALAYSIA MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN

Lebih terperinci

PERAN DEWAN KEAMANAN PERSERIKATAN BANGSA BANGSA DALAM PEMBATASAN PENGGUNAAN SENJATA

PERAN DEWAN KEAMANAN PERSERIKATAN BANGSA BANGSA DALAM PEMBATASAN PENGGUNAAN SENJATA PERAN DEWAN KEAMANAN PERSERIKATAN BANGSA BANGSA DALAM PEMBATASAN PENGGUNAAN SENJATA Oleh Grace Amelia Agustin Tansia Suatra Putrawan Program Kekhususan Hukum Internasional dan Bisnis Internasional Fakultas

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA I. UMUM Bahwa hak asasi manusia yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945, Deklarasi Universal

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ORGANISASI INTERNASIONAL SEBAGAI SUBJEK HUKUM INTERNASIONAL DAN PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ORGANISASI INTERNASIONAL SEBAGAI SUBJEK HUKUM INTERNASIONAL DAN PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ORGANISASI INTERNASIONAL SEBAGAI SUBJEK HUKUM INTERNASIONAL DAN PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL A. Subjek Hukum Internasional Secara umum subjek hukum diartikan sebagai

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Konflik berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti saling memukul. Secara sosiologis,

II. TINJAUAN PUSTAKA. Konflik berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, II. TINJAUAN PUSTAKA A. Batasan Pengertian 1. Pengertian Konflik Konflik berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial

Lebih terperinci

DAFTAR ISI UNDANG-UNDANG ARBITRASE TAHUN Undang-undang Arbitrase Tahun (Direvisi tahun 2011)

DAFTAR ISI UNDANG-UNDANG ARBITRASE TAHUN Undang-undang Arbitrase Tahun (Direvisi tahun 2011) DAFTAR ISI Undang-undang Arbitrase Tahun 2005 UNDANG-UNDANG ARBITRASE TAHUN 2005 (Direvisi tahun 2011) 2 Pusat untuk Arbitrase Regional Kuala Lumpur SUSUNAN BAGIAN Bagian I Pendahuluan 1. Judul singkat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan undang-undang atau keputusan pengadilan. Hukum internasional

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan undang-undang atau keputusan pengadilan. Hukum internasional 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di dalam satu negara, kepentingan hukum dapat diadakan dengan berdasarkan kontrak di antara dua orang atau lebih, kesepakatan resmi, atau menurut sistem pemindahtanganan

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA; Menimbang

Lebih terperinci

MENEGAKKAN TANGGUNG JAWAB MELINDUNGI: PERAN ANGGOTA PARLEMEN DALAM PENGAMANAN HIDUP WARGA SIPIL

MENEGAKKAN TANGGUNG JAWAB MELINDUNGI: PERAN ANGGOTA PARLEMEN DALAM PENGAMANAN HIDUP WARGA SIPIL MENEGAKKAN TANGGUNG JAWAB MELINDUNGI: PERAN ANGGOTA PARLEMEN DALAM PENGAMANAN HIDUP WARGA SIPIL Resolusi disahkan oleh konsensus* dalam Sidang IPU ke-128 (Quito, 27 Maret 2013) Sidang ke-128 Inter-Parliamentary

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Maksud, Tujuan dan Kerangka Penulisan Buku...3 BAGIAN I BAB I EVOLUSI PEMIKIRAN DAN SEJARAH PERKEMBANGAN HAK ASASI MANUSIA...

DAFTAR ISI. Maksud, Tujuan dan Kerangka Penulisan Buku...3 BAGIAN I BAB I EVOLUSI PEMIKIRAN DAN SEJARAH PERKEMBANGAN HAK ASASI MANUSIA... Daftar Isi v DAFTAR ISI DAFTAR ISI...v PENGANTAR PENERBIT...xv KATA PENGANTAR Philip Alston...xvii Franz Magnis-Suseno...xix BAGIAN PENGANTAR Maksud, Tujuan dan Kerangka Penulisan Buku...3 BAGIAN I BAB

Lebih terperinci

POKOK-POKOK HUKUM HAK ASASI MANUSIA INTERNASIONAL

POKOK-POKOK HUKUM HAK ASASI MANUSIA INTERNASIONAL Seri Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007 POKOK-POKOK HUKUM HAK ASASI MANUSIA INTERNASIONAL Rudi. M Rizki, SH, LLM Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat Jl Siaga II No 31 Pejaten Barat, Jakarta 12510

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPPRES 20/1996, PENGESAHAN CONVENTION ON INTERNATIONAL LIABILITY FOR DAMAGE BY SPACE OBJECTS, 1972 (KONVENSI TENTANG TANGGUNGJAWAB INTERNASIONAL TERHADAP KERUGIAN YANG DISEBABKAN OLEH BENDA BENDA ANTARIKSA,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 2008 TENTANG PENGESAHAN CHARTER OF THE ASSOCIATION OF SOUTHEAST ASIAN NATIONS (PIAGAM PERHIMPUNAN BANGSA-BANGSA ASIA TENGGARA) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK INDIA TENTANG BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA (TREATY BETWEEN THE

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL III - 1 III - 2 Daftar Isi BAB I KETENTUAN UMUM III-9 BAB II TATACARA PENYELESAIAN PERSELISIHAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA TENTANG KERANGKA KERJA SAMA KEAMANAN (AGREEMENT BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia, UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 1988 TENTANG PENGESAHAN "PROTOCOL AMENDING THE TREATY OF AMITY AND COOPERATION IN SOUTHEAST ASIA" DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia, Menimbang :

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memonitoring aktivitas nuklir negara-negara di dunia, International Atomic. kasus Iran ini kepada Dewan Keamanan PBB.

BAB I PENDAHULUAN. memonitoring aktivitas nuklir negara-negara di dunia, International Atomic. kasus Iran ini kepada Dewan Keamanan PBB. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada Februari 2003, Iran mengumumkan program pengayaan uranium yang berpusat di Natanz. Iran mengklaim bahwa program pengayaan uranium tersebut akan digunakan

Lebih terperinci