BAB II. Istilah dumping merupakan istilah yang dipergunakan dalam perdagangan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II. Istilah dumping merupakan istilah yang dipergunakan dalam perdagangan"

Transkripsi

1 BAB II ANALISIS KOMPARATIF YURIDIS KEBIJAKAN ANTI DUMPING ANTARA INDONESIA DAN FILIPINA DALAM MENENTUKAN NILAI NORMAL (NORMAL VALUE) DALAM HAL TERJADINYA DUGAAN PRAKTEK DUMPING A. Konsepsi Dumping dan Antidumping 1. Definisi Dumping Istilah dumping merupakan istilah yang dipergunakan dalam perdagangan internasional adalah praktik dagang yang dilakukan oleh pengekspor dengan menjual komoditi di pasar internasional dengan harga yang kurang dari nilai wajar atau lebih rendah dari harga barang tersebut dinegerinya sendiri, atau dari harga jual kepada negara lain pada umumnya, praktik ini dinilai tidak adil karena dapat merusak pasaran dan merugikan produsen pesaing di negara pengimpor. 77 Menurut Black s Laws Dictionary, pengertian dumping dinyatakan sebagai berikut, The act of selling in quantity at very low price or practically regardless of the price; also selling good abroad at less than the market price at home. 78 Dari pengertian diatas dapat didefinisikan bahwa dumping merupakan suatu tindakan menjual suatu barang ke pasar 77 A F. Erawati dan J.S Badudu. Kamus Hukum Ekonomi Inggris-Indonesia (Jakarta: Proyek Elips, 1996) hal Henry Campbel Black, Black s Law Dictionary, Abridge 6 th Ed (United States: West Group, 1998) hal

2 luar negeri dengan harga yang sangat murah dibandingkan dengan di pasar dalam negerinya. 79 Menurut pasal VI ayat (1) GATT 1947 (Article VI GATT: Antidumping and Countervailing Duties) diuraikan pengertian dumping, yaitu: The contracting parties recognize that dumping, by which product of one country are introduced into the commerce of another country at less than normal value of the products, is to be condemned if it cause or threatens material injury to an established industry in the territory of a contracting party or materially retards the establishment of a domestic industry. For the purpose of this article, a product is to be considered as being introduced into the commerce of an importing country at less than its normal value, if the price of the product exported from one country to another 1. Is less than the comparable price, in the ordinary course of trade, for the like product when destined for consumption in the exporting country or 2. In the absence of such domestic price, is less than either (i) the highest comparable price for the like product for export to any third country in the ordinary of trade or (ii) the cost of production of the product in the country of origin plus reasonable addition for selling cost and profit. 80 Kemudian Article VI GATT/WTO di sempurnakan pada tahun 1994 yang dituangkan dalam article 2 Persetujuan tentang Pelaksanaan Pasal VI dari GATT 1994 yaitu sebagai berikut: For the purpose of this agreement, a product is to be considered as being dumped, i.e.introduced into the commerce of another country at less than its normal value,if the export price of the product exported from one country to another is less than the 79 Diterjemahkan secara bebas dan dianalisis berdasarkan metode penerjemahan secara harfiah (Literal Meaning). Dimana menurut Drs. M. Rudolf Nababan, M.Ed dalam bukunya Aspek Teori Penerjemahan dan Pengalihbahasaan (Jakarta, 1997) Hal Penerjemahan Harfiah (literal translation) terletak antara penerjemahan kata demi kata dan penerjemahan bebas. Penerjemahan harfiah mungkin mulamula dilakukan seperti penerjemahan kata demi kata, tetapi penerjemah kemudian menyesuaikan susunan kata dalam kalimat terjemahannya yang sesuai dengan susunan kata dalam kalimat bahasa sasaran. 80 Agreement of implementation of article VI of the General Agreement on Tariffs and Trade 1947 dalam Christophorus Barutu, Op.cit., hal. 40

3 comparable price, in the ordinary course of trade, for the like product when destined for consumption in the exporting country. Pasal VI ayat (1) GATT 1947 di atas memberikan kriteria umum bahwa dumping yang dilarang oleh GATT adalah dumping yang dapat menimbulkan kerugian materil, baik terhadap industri yang sudah berdiri (to an established industry) maupun telah menimbulkan hambatan pada pendirian industri domestik (the establishment of a domestic industry). 81 sedangkan definisi dumping menurut Article VI GATT/WTO di sempurnakan pada tahun 1994 yang dituangkan dalam Article 2 Persetujuan tentang Pelaksanaan Pasal VI dari GATT 1994 menjelaskan bahwa suatu barang dianggap dumping apabila harga barang yang diperdagangakan dari suatu negara ke wilayah negara lain lebih rendah di bandingkan nilai normal di negara tersebut, pada tingkat perdagangan yang wajar. Barang tersebut harus serupa dan ditujukan untuk dikonsumsi di negara pengimpor. 82 Adapun beberapa pengertian dumping sebagaimana dikemukakan oleh beberapa sarjana dalam Sukarmi adalah: Dumping adalah sistem penjualan barang dipasaran dalam jumlah banyak dengan harga yang rendah sekali (dengan tujuan agar harga pembelian didalam negeri 81 Taryana Sukandar, Perkembangan Hukum Internasional dari GATT 1947 Sampai terbentuknya WTO (World Trade Organization), Penulisan karya Ilmiah, Badan Pembinaan Hukum Nasional, (Jakarta: Departemen Kehakiman, 1995/1996, hal. 49). 82 Christophorus Barutu, Op.cit., hal Sukarmi. Op.cit., 24-25

4 tidak diturunkan sehingga akhirnya dapat menguasai pasaran luar negeri dan dapat menguasai harga kembali Secara umum, dumping adalah bentuk diskriminasi harga internasional yang dilakukan oleh sebuah perusahaan atau negara pengekspor, yang menjual barangnya dengan harga lebih rendah dipasar luar negeri dibandingkan di pasar dalam negeri sendiri dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan atas produk ekspor tersebut Menurut Muhammad Ashri, dumping adalah suatu persaingan curang dalam bentuk diskriminasi harga yaitu suatu produk yang ditawarkan di pasar negara lain lebih rendah dibandingkan dengan harga normalnya atau dari harga jual di negara ketiga Menurut Folsom dikatakan : Dumping involves selling abroad at a price that is less than the price used to sell the same goods at home (the normal or fair value). To be unlowfull, dumping must threaten or cause material injury to an industry in the market, the market where prices are lower. Dumping is recognized by most of the trading world as an unfair practice (again to price discrimination as an antitrust offense 87 Dari definisi yang dikemukakan oleh Folsom dapat dikatakan bahwa dumping ialah menjual suatu produk yang sejenis ke pasar luar negeri pada harga yang lebih murah dari harga yang biasanya dijual di dalam negeri negara pengimpor (harga normal atau nilai 84 Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam Sukarmi. Op.cit., hal Agus Brotosusilo dalam Sukarmi. Ibid., hal Muhammad Ashri dalam Sukarmi. Ibid., hal Ralph H Folsom and Michael W. Gordon dalam Sukarmi. Ibid.,hal. 25

5 wajar). Pada dasarnya dumping menyebabkan kerugian atau menyebabkan kerugian secara materiil pada industri dalam negeri pengimpor, praktik dumping ini dikenal sebagai praktik perdagangan tidak adil (terjadinya diskriminasi harga). Menurut pendapat seorang ahli ekonomi asal Amerika mendefinisikan dumping :.the supposed act of dumping involves foreign firms setting of prices in their export market either below their cost of production, or below the prices they charge in their own markets; it would be another instance of so-called predatory pricing. Similar to what was described above, the theory is that foreign firms would dump their products on the U.S. market at below-market prices, and therefore gain increased market share and drive their competitors out of business. These predatory firms would then raise their prices to recoup the losses they incurred and would gouge American consumers by forcing them to pay whatever price they asked. 88 Dumping ialah tindakan yang dilakukan oleh produsen luar negeri dengan menjual suatu barang dengan harga di bawah harga produksi, atau menjual suatu produk lebih murah di bandingkan dengan di negaranya sendiri; atau dengan kata lain dumping ini dapat di definisikan sebagai menjual rugi. Hal ini sama dengan apa yang telah disebutkan sebelumnya, tindakan dumping ini ialah tindakan yang dilakukan oleh produsen luar negeri dengan menjual barang dengan harga di bawah biaya produksi atau dengan harga murah ke pasar industri Amerika, dengan tujuan untuk merebut pasar dan membuat para pesaingnya keluar dari arena persaingan kemudian setelah tidak ada kompetitor yang lain maka produsen luar negeri ini akan meningkatkan harga sesuai dengan kerugian yang mereka derita sebelumnya dengan melakukan tindakan menjual rugi tersebut. Berdasarkan beberapa definisi yang di kemukakan oleh para ahli diatas maka dapat 88 Kel Kelly. The Case for Legalizing Capitalsm (Auburn Alabama: Ludwig Von Misses Institute under the Craeative Commons Attribution License 3.0, 2010) hal.182

6 ditarik kesimpulan bahwa dumping merupakan tindakan yang dilakukan oleh produsen luar negeri dengan menjual suatu barang dengan harga di bawah harga produksi, atau menjual suatu produk lebih murah di bandingkan dengan di negaranya sendiri atau dari harga jual kepada negara lain pada umumnya, praktik ini dinilai tidak adil karena dapat merusak pasaran dan merugikan produsen pesaing di negara pengimpor. 2. Jenis Jenis Dumping Dari beberapa definisi yang dikemukakan diatas, suatu barang yang diekspor ke negara lain di mana harga ekspornya lebih rendah dari nilai normalnya, atau harga domestik negara pengekspor, maka barang tesebut dianggap sebagai barang dumping. Tujuannya adalah agar pengusaha dapat merebut konsumen sebanyak banyaknya, maka pengusaha menempuh strategi persaingan harga dengan menekan harga serendah mungkin untuk barang sejenis dengan perusahaan lain. Praktik dumping dalam perdagangan internasional merupakan praktik dagang yang tidak fair yang dipandang sebagai persaingan yang tidak jujur (unfair competition). Para ahli ekonomi pada umumnya mengklasifikasikan dumping dalam tiga kategori, yaitu masing masing: dumping yang bersifat sporadic (sporadic dumping), dumping yang menetap (persistent dumping) dumping yang bersifat merusak (predatory dumping) di samping itu, dalam perkembangannya, muncul istilah diversionary dumping dan downstream dumping. 89 Adapun klasifikasi dumping tersebut adalah sebagai berikut: 89 Sukarmi, Op.cit., hal. 40

7 a) Sporadic dumping Ada beberapa definisi menurut beberapa pendapat ahli mengenai definisi sporadic dumping salah satu diantaranya: Sporadic dumping adalah dumping yang dilakukan dengan menjual barang pada pasar luar negeri (pasar ekspor) pada jangka waktu yang pendek dengan harga di bawah harga dalam negeri negara pengekspor atau biaya produksi barang tersebut. biasanya produsen menjual barang untuk jangka waktu yang pendek dengan harga jual di bawah harga biasa, sering dimaksudkan untuk menghapuskan barang yang tidak diinginkan. 90 Seorang ahli ekonomi yang bernama Bertil Ohlin, memberikan pengertian mengenai definisi Sporadic dumping there are various types of dumping, widely different in character and effects. Dumping may be resorted to sporadically when a firm or an industry suffers from temporary over-production or an unusually large surplus capacity. This may have resulted from unusually large surplus capacity. Or may recur periodically in periods 91 of depressions. Dari definisi yang di kemukakan oleh Bertil Ohlin yang telah disebutkan diatas bahwa ada bermacam macam tipe dumping, yang dapat di kategorikan kedalam dampak dan jenisnya, sporadic dumping merupakan penjualan barang dengan harga yang lebih rendah di pasar luar negeri yang dilakukan oleh produsen yang memperoleh keuntungan karena terjadi over produksi dan untuk mencegah terjadinya penumpukan barang di pasar domestik, produsen 90 Sukarmi, Loc.cit., hal Bertil Ohlin, Interregional and International Trade, (United States of America: Harvard Univesity Press, 1957) hal

8 menjual kelebihan produksinya tadi kepada pembeli luar negeri dengan harga yang telah direduksi, sehingga harganya menjadi lebih rendah dari harga di dalam negeri. Menurut Dennis R. Appleyard dan Alfred J. Field, JR. dalam teorinya mengemukakan. 92 Sporadic dumping occurs when a foreign producer (or government) with a temporary surplus of a good export the excess for whatever price it will command. This type of dumping may have temporary adverse effect on competing home suppliers (as in agriculture) by adding to the risk of operating in the industry. These risk, as well as the welfare losses from possible temporary resource movement, can be avoided by the imposition of protection, although other welfare impact (also applicable in predatory dumping) should be brought into the analysis when considering trade restriction. However, sporadic dumping does not seem to justify protection when its is short-term Dalam hal ini Sporadic dumping yang dikemukakan oleh Dennis R. Appleyard dan Alfred J. Field, JR. merupakan suatu tindakan dumping yang terjadi ketika seorang produsen (atau pemerintah) mencari keuntungan dari menjual barang yang kelebihan produksi dengan harga yang lebih rendah dalam tempo waktu yang sementara. Dumping jenis ini dapat merugikan industri dalam negeri negara pengimpor (seperti halnya produk produk pertanian) dimana dumping tersebut di praktekkan dengan tujuan untuk menghilangkan para pesaingnya, biasanya dumping jenis ini hanya bersifat sementara. Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat di simpulkan bahwa sporadic dumping merupakan tindakan dumping yang dilakukan oleh produsen negara pengekspor dengan melakukan penjualan barang dengan harga yang lebih rendah di pasar luar negeri yang 92 Dennis R. Appleyard and Alfred J. Field, JR, International Economics: Trade Theory and Policy- Second edition, (United States of America: Irwin, 1995) hal. 283

9 dilakukan oleh produsen yang mempunyai keuntungan karena terjadi over produksi dan untuk mencegah terjadinya penumpukan barang di pasar domestik, produsen menjual kelebihan produksinya tadi kepada pembeli luar negri dengan harga yang telah direduksi, sehingga harganya menjadi lebih rendah dari harga di dalam negeri dan dumping jenis ini bersifat sementara dengan tujuan untuk menghilangkan para pesaingnya. b) Persistent dumping Adapun beberapa definisi menurut pendapat para ahli berkenaan dengan istilah Persistent dumping salah satu diantaranya: Persistent dumping atau disebut juga diskriminasi harga internasional adalah penjualan barang ke pasar luar negeri dengan harga dibawah harga domestik atau biaya produksi yang dilakukan secara menetap dan terus menerus yang merupakan kelanjutan dari penjualan barang yang dilakukan sebelumnya. 93 Pada dasarnya dumping jenis ini hanya menguntungkan konsumen negara pengimpornya dan bersaing dengan produk impor lain. 94 Dennis R. Appleyard dan Alfred J. Field, JR. dalam teorinya mengemukakan : in persistent dumping, the good is countinually sold at a lower price in the importing country than in the home country. This situation is one in which the good is simply another import sold under profit-maximizing conditions. Any trade barrier would result in higher prices for consumer in the importing country. (this behavior could not persist in the long run under the selling below cost definition because of producer losses, unless government provided a subsidy) Sukarmi, Op.cit., hal Muhammad Sood, Op. cit., hal Dennis R. Appleyard and Alfred J. Field, JR, Op.cit., hal. 283

10 Menurut definisi yang di kemukakan diatas dapat di jelaskan bahwa dalam persistent dumping, suatu produk di jual secara terus menerus dengan harga murah di pasar luar negeri dari pada di pasar dalam negerinya. Situasi ini merupakan salah satu penjualan barang dengan tidak mengutamakan keuntungan. Banyaknya hambatan dalam perdagangan akan membuat produk yang dijual menjadi lebih mahal di pasar luar negeri (persistent dumping ini di lakukan oleh seorang produsen yang menjual suatu produk ke negeri lain diluar pasar domestiknya secara terus menerus dengan harga dibawah biaya produksi hal ini disebabkan karena produsen tersebut mendapatkan subsidi dari pemerintah di negaranya). 96 Berdasarkan definisi dari beberapa pendapat ahli tersebut dumping jenis ini dilakukan oleh produsen barang dengan melakukan dumping secara terus menerus dengan harga di bawah harga biaya produksi dengan tidak mengutamakan keuntungan. Hal ini disebabkan karena produsen tersebut mendapatkan subsidi dari pemerintah di negaranya sehingga produk yang di jual menjadi lebih murah. Pada dasarnya dumping jenis ini hanya menguntungkan konsumen negara pengimpornya dan bersaing dengan produk impor lain. c) Predatory dumping Ada beberapa definisi menurut beberapa pendapat ahli mengenai definisi Predatory dumping salah satu diantaranya adalah: 96 Diterjemahkan oleh Penulis secara bebas dan dianalisis berdasarkan metode penerjemahan secara harfiah (Literal Meaning).

11 Menurut Dennis R. Appleyard and Alfred J. Field, JR menyatakan bahwa in predatory dumping, a foreign firm sells at a low price until home producers are driven out of the market; then the price is raised because a monopoly position has been established. 97 Dari pernyataan diatas dapat di katakan bahwa istilah predatory dumping menurut Dennis R. Appleyard and Alfred J. Field, JR ialah perusahaan pengekspor menjual suatu produk ke pasar luar negeri pada harga yang lebih rendah sehingga industri dalam negeri negara pengimpor tidak dapat bertahan; kemudian harga di naikkan karena produsen telah memonopoli pasar. Predatory dumping terjadi apabila suatu perusahaan untuk sementara waktu membuat diskriminasi harga tertentu sehubungan dengan adanya para pembeli asing. Diskriminasi itu untuk menghilangkan pesaing-pesaingnya dan kemudian menaikkan lagi harga barangnya setelah persaingan tidak ada lagi. 98 Predatory dumping sering di praktekkan hanya untuk tujuan merebut keuntungan monopoli dan membatasi perdangangan untuk jangka waktu yang lama, meskipun hal itu menyebabkan kerugian jangka pendek. 99 Predatory dumping terjadi apabila suatu perusahaan melakukan diskriminasi harga dan menguntungkan pembeli untuk sementara waktu dengan tujuan untuk menghilangkan saingan, setelah saingan tersingkir maka harga di naikkan kembali Ibid., hal Sukarmi,Op.cit., hal Sobri, Ekonomi internasional:teori, Masalah dan Kebijaksanaannya, (Yogyakarta: Bagian Penerbitan Fakultas Ekonomi (BPFE) UII, 1986) hal H.A.S Natabaya, Penelitian Hukum Tentang Aspek Hukum Antidumping dan Implikasinya Bagi Indonesia, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman RI,1996) hal.9

12 Berdasarkan penjelasan diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa predatory dumping ialah perusahaan pengekspor menjual suatu produk pada harga yang lebih rendah dengan cara membuat diskriminasi harga tertentu sehubungan dengan adanya para pembeli asing. Diskriminasi harga itu bertujuan untuk menghilangkan pesaing-pesaingnya sebagai akibat dari dilakukannya predatory dumping tersebut industri dalam negeri pengimpor tidak dapat bertahan dan kemudian menaikkan lagi harga barangnya setelah persaingan tidak ada lagi dan perusahaan tersebut telah memonopoli pasar. d) Diversinary dumping Diversionary dumping adalah dumping yang dilakukan oleh produsen luar negeri yang menjual barangnya ke dalam pasar negara ketiga dengan harga dibawah yang adil dan barang tersebut nantinya di proses dan dikapalkan untuk dijual ke pasar negara lain. 101 e) Downstream dumping Downstreem dumping adalah dumping yang dilakukan apabila produsen luar negeri menjual produknya dengan harga di bawah normal kepada produsen yang lain di dalam pasar negerinya dan produk tersebut diproses lebih jauh dan dikapalkan untuk dijual kembali ke pasar negara lain 102 Sedangkan menurut Robert Willig, mantan Kepala Ahli Ekonomi pada Divisi Antitrust Departemen Hukum Amerika Serikat, mengklasifikasikan dumping menjadi lima 101 Sukarmi, Op. cit., hal Ibid., hal. 42

13 berdasarkan tujuan pengekspor, kekuatan pasar dan struktur pasar impor. Kelima tipe dumping tersebut, adalah: 103 a) Market Expansion Dumping Perusahaan pengekspor bisa meraih untung dengan menetapkan harga yang lebih rendah di pasar impor karena menghadapi elastisitas permintaan yang lebih besar selama harga yang ditawarkan rendah. b) Cyclical Dumping Motivasi dumping jenis ini muncul dari adanya biaya marginal yang luar biasa rendah atau tidak jelas, kemungkinan biaya produksi yang menyertai kondisi dari kelebihan kapasitas produksi yang terpisah dari pembuatan produk terkait. c) State Trading Dumping Latar belakang dan motivasinya mungkin sama dengan kategori dumping lainnya, tapi yang menonjol adalah akuisisi. d) Strategic Dumping Istilah ini diadopsi untuk menggambarkan ekspor yang merugikan perusahaan saingan di negara pengimpor melalui strategis keseluruhan negara pengekspor, baik dengan cara pemotongan harga ekspor maupun dengan pembatasan masuknya produk yang sama ke pasar negara pengekspor. Jika bagian dari porsi pasar domestik tiap eksportir independen cukup besar dalam tolok ukur skala ekonomi, maka memperoleh keuntungan dari besarnya biaya yang harus dikeluarkan oleh pesaing-pesaing asing. e) Predatory Dumping Istilah Predatory Dumping dipakai pada ekspor dengan harga rendah dengan tujuan mendepak pesaing dari pasar, dalam rangka memperoleh kekuatan monopoli di pasar negara pengimpor. Akibat terburuk dari dumping kenis ini adalah matinya perusahan-perusahaan yang memproduksi barang sejenis. 3. Unsur Unsur Dumping Menurut Sukarmi unsur unsur dumping terdiri dari tiga unsur, dimana masing masing unsur dapat dilihat dari uraian berikut: Suatu produk dijual di negara lain dibawah nilai normal. Yang dimaksud dengan nilai normal adalah sebagai berikut. a) Harga dari produk serupa (like product) di pasar dalam negeri negara pengekspor. Dalam hal ini perbandingan harus dilakukan berdasarkan 103 Robert Willig dalam Mohammad Sood, Op. cit., hal Sukarmi, Op.cit., hal 27

14 perhitungan Ex Factory (harga di luar pabrik) dari penjualan dalam negri dengan perhitungan Ex Factory Price dari penjualan ekspor. b) Bilamana tidak ada harga dalam negeri yang dapat di perbandingkan di negara pengekspor, maka harga normal adalah: Ex Factory Price yang berasal dari perhitungan harga produk serupa dari negara tersebut yang diekspor ke negara ketiga. c) Ongkos produksi dinegara asal ditambah biaya administrasi, biaya pemasaran, dan keuntungan normal adalah dengan menggunakan definisi nomor 1 a., namun bilamana penjualan dalam negeri dinegara pengekspor sangat kecil (jarang) atau harga dalam negeri tidak relevan, umpamanya produk tersebut dijual oleh perusahaan negara di negara yang menganut non market economy dapat menggunakan definisi nomor 1b, atau nomor 1c. 2. Apabila barang impor yang masuk dengan harga dumping tersebut menyebabkan injury (kerugian) bagi industri dalam negeri. 3. Ada Causal Link (hubungan) antara dumping yang dilakukan dengan akibat injury yang terjadi Ketiga unsur di atas ditegaskan juga di dalam Article 5.2 Agreement on Implementation of Article VI of The General Agreement on Tarifs and Trade 1994(Anti- Dumping Agreement/ADA) yang berisikan sebagai berikut: An application under paragraph 1 shall include evidence of (a)dumping,(b) injure within the meaning of Article VI of GATT 1994 as interpreted by this agreement, and (c) a causal link between the dumped imports and the alleged injury.simple assertion Sejalan dengan pengertian diatas unsur-unsur dumping juga dapat di lihat melalui Peraturan Pemerintah RI Nomor 34 tahun 2011 Bab II Tindakan Antidumping Bagian Kedua Penyelidikan Pasal 4 (4) menyatakan bahwa Permohonan sebagaimana di maksud pada ayat (1) harus memuat bukti awal dan didukung dengan dokumen lengkap mengenai adanya: Agreement of Impelementation of Article VI of The General Agreement on Tariffs and Trade 1994, Article 5.2 Initiation and Subsequent Investigation, Hal PP No. 34 Tahun 2011, Op. cit., Bab 2 Pasal 4 (4)

15 a. Barang Dumping; b. Kerugian; dan c. Hubungan sebab akibat antara barang dumping dan kerugian yang dialami oleh pemohon. Unsur unsur dumping tersebut dapat juga di lihat dari kebijakan mengenai Antidumping di negara Filipina yang dapat dilihat melalui Administrative Order no. 1 Implementing rules and regulations Governing the imposition of an Anti-Dumping Duty under Republict Act 8752 The Anti-Dumping Act of 1999 yang berisikan tentang unsur unsur dumping yaitu: Section 10 : Formal Investigation by the Commision (b) The commision shall conduct the formal Investigation to determine the following: If the domestic product is identical or alike in all respect to the allegedly dumped product, or in absence of the former, another product which, although not alike in all respects, has characteristics closely resembling those of the allegedly dumped product. 2. If the alegedly dumped product is being imported into, or sold in the philipines at a price less than its normal value and the difference, if any, between the export price an the normal value; 3. The presence and extent of material injury or the threat thereof to the domestic industry, or the material retardation of the establishment of a domestic industry producing the like product; 4. The existence of a causal relationship between the allegedly dumped product and the material injury or threat of material injury to the affected domestic industry, or the material retardation of the establishment of a domestic industry producing the like product; Berdasarkan pengertian diatas maka dapat dikatakan bahwa unsur unsur dumping menurut Administrative Order no. 1 Implementing rules and regulations Governing the imposition of 107 Administrative Order no. 1 Implementing rules and regulations Governing the imposition of an Anti-Dumping Duty under Republict Act 8752 The Anti-Dumping Act of 1999 Section 10, Hal. 23

16 an Anti-Dumping Duty under Republict Act 8752 The Anti-Dumping Act of 1999 The Commision dapat melakukan penyelidikan atas barang dumping berdasarkan: 1. Jika produk industri dalam negeri adalah produk sejenis atau sama dalam keseluruhan dengan produk yang di duga dumping, atau produk yang sama secara fisik dan karakteristik dengan produk yang diduga dumping. 2. Suatu produk yang di import ke negara ketiga atau di jual di negara Filipina dengan harga kurang dari harga normal dan perbandingan harga antara harga ekspor dan nilai normal. 3.Adanya kerugian materiel atau ancaman kerugian yang diderita oleh industri dalam negeri, atau yang dapat menghambat perkembangan industri dalam negeri untuk produk sejenis; 4. Adanya hubungan sebab akibat dari produk yang di duga dumping dengan kerugian materil yang diderita industri dalam negeri, atau yang menyebabkan hambatan industri dalam negeri dalam memproduksi produk sejenis. Berdasarkan ketentuan di atas bahwa untuk menentukan adanya dumping menurut ketentuan Administrative order no. 1 Implementing rules and regulations Governing the imposition of an Anti-Dumping Duty under Republict Act 8752 The Anti-Dumping Act of 1999 terdapat 4 unsur dalam menentukan adanya dumping yaitu produk sejenis, adanya dumping yang dapat dilihat dari penjualan suatu produk dengan harga kurang dari harga normal, kerugian

17 materil, dan adanya hubungan sebab akibat antara produk yang di duga dumping dengan kerugian materil yang di derita oleh industri dalam negeri. Dari uraian penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya unsur unsur dumping itu dapat dilihat dari tiga unsur yaitu Pertama, dumping yang dilakukan oleh suatu negara dengan menjual suatu produk dengan harga dibawah nilai normal. Kedua, tindakan dumping yang dianggap dapat menyebabkan kerugian materiil material injury terhadap industri dalam negeri importir (domestic industry). Ketiga, hubungan sebab akibat antara dumping dengan kerugian materil yang di derita oleh suatu negara. 4. Definisi Antidumping Ada beberapa pendapat para ahli mengenai definisi Antidumping adalah sebagai berikut: Antidumping adalah suatu tindakan balasan yang diberikan oleh negara pengimpor terhadap barang dari negara pengekspor yang melakukan dumping. 108 Pendapat lain menyebutkan bahwa Antidumping adalah jika suatu perusahaan di luar negeri menjual produk-produknya kenegara lain dengan harga dumping dan menyebabkan kerugian terhadap industri dalam negeri negara pengimpor, maka negara pengimpor tersebut dibenarkan mengenakan bea masuk Antidumping sebesar margin dumpingnya. 109 Menurut Alan Oxley seorang ahli ekonomi asal Amerika menyatakan bahwa : the lawyer s favourite. This is the area of GATT law in which the professionals brings the full processes and expense of the law to bear. If after investigation an import is found to be selling below its domestic price and damaging industry in the importing country, the authorities may levy an antidumping duty. The greatest 108 Muhammad Sood, Op. cit., hal Christophorus Barutu, Op.cit., hal. 163

18 incident of Antidumping investigations and penalties is found in the United States, The European Community, Canada, and Australia. 110 Pengertian yang telah disebutkan di atas dapat di defnisikan apabila setelah pemeriksaan telah dilakukan dan produk import tersebut terbukti dijual di bawah nilai normal dan menyebabkan industri dalam negeri di negara pengimpor mengalami kerugian, pihak yang berwenang dapat menerapkan bea masuk Antidumping sebesar kerugian yang diderita. Kasus Antidumping ini banyak di temukan di Amerika, Eropa, Canada dan Australia. Berdasarkan pengertian di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa Antidumping adalah suatu tindakan yang di berikan oleh pemerintah suatu negara untuk memulihkan industri dalam negerinya dari praktek dumping yang dilakukan oleh suatu perusahaan luar negeri dengan menjual harga dumping dan menyebabkan kerugian di negara pengimpor. B. Pengaturan Hukum dan Ketentuan Antidumping dalam Perdagangan Internasional Pengaturan masalah dumping yang berlaku dalam perdagangan internasional saat ini adalah peraturan menurut Antidumping Code (1994) yang secara resmi berjudul Agreement on Implementation of Article VI of GATT 1994 dan peraturan Antidumping dari masing masing negara. 111 Ketentuan Antidumping diatur dalam pasal VI GATT. Ketentuan Article VI GATT mengharuskan para negara anggotanya untuk mengimplementasikan ketentuan 110 Alan Oxley, The Challenge of Free Trade, (New York: Harvester Wheatsheaf, 1990) hal Yulianto Syahyu, Hukum Antidumping di Indonesia- Analisis dan Panduan Praktis, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004)hal. 41

19 Antidumping GATT dalam hukum nasionalnya masing masing. Ketentuan dalam article VI ini sebenarnya hanya merupakan garis besar pengaturan mengenai Antidumping. 112 Pada dasarnya Pasal VI GATT 1994 hanya mengatur pokok pokok ketentuan dumping yang sangat umum. Persetujuan tentang implementasi pasal VI GATT 1994 berusaha memberikan pengaturan yang lebih rinci tentang masalah dumping. Persetujuan atas Implementasi Article VI GATT dikenal sebagai Antidumping Agreement (ADA) dimana ketentuan didalam peraturan ini menyediakan perluasan lebih lanjut mengenai prinsip prinsip dasar Article VI GATT itu sendiri. 113 Dengan demikian, kedudukan Antidumping Code (1994) tidak lagi merupakan perjanjian tambahan dari GATT, tetapi telah merupakan bagian integral dari Agreement Establishing WTO itu sendiri. Secara keseluruhan isi Antidumping Code (1994) adalah sebagai berikut: Prinsip 2. Penentuan Dumping 3. Penentuan kerugian 4. Definisi Industri dalam negeri 5. Penyelidikan awal dan penyelidikan lanjutan 6. Bukti-bukti 7. Pengenaan biaya Antidumping 8. Penawaran harga penyesuaian 9. Penentuan dan pemungutan biaya Antidumping 10. Keberlakuan surut 11. Masa berlakunya dan peninjauan ulang bea Antidumping dan penawaran harga penyesuaian 12. Pengumuman kepada publik dan penjelasan penetapan 13. Peninjauan ulang 14. Tindakan Antidumping atas nama negara ketiga 112 Ibid., hal Christophorus Barutu, Op.cit., hal Yulianto Syahyu, Op.cit., hal.45

20 15. Anggota negara negara berkembang 16. Komite Antidumping 17. Konsultasi dan penyelesaian sengketa 18. Pengenaan biaya Antidumping tetap. Di samping mengatur secara keseluruhan mengenai Antidumping, Agreement Establishing WTO juga mengatur mengenai sengketa dapat muncul ketika suatu negara menetapkan suatu kebijakan perdagangan tertentu yang bertentangan dengan komitmennya di WTO atau mengambil kebijakan kemudian merugikan kepentingan negara lain. 115 Selain negara yang paling dirugikan atas kebijakan tersebut, negara ketiga yang tertarik pada kasus tersebut dapat mengemukakan keinginannya untuk menjadi pihak ketiga dan mendapat hak hak tertentu selama berlangsungnya proses penyelesaian sengketa. 116 Setiap negara anggota Committee on Antidumping Practices, dalam penyelesaian sengketa Antidumping dapat menempuh prosedur sebagai berikut: Bila tindakan Antidumping tersebut dirasakan tidak beralasan oleh negara yang terkena, maka negara yang terkena tindakan Antidumping dapat membawa persoalan ini kedalam pembahasan Committee on Antidumping Practices untuk Consultation (permintaan konsultasi secara tertulis). Committee ini bersidang dua kali setahun 2. Berdasarkan ketentuan GATT artikel XXII, maka konsultasi ini dapat meminta pada Council untuk mengadakan konsultasi dengan negara yang mengenakan tindakan Antidumping (Konsultasi Bilateral) 3. Bila konsultasi bilateral ini tidak mencapai hasil yang memuaskan, maka negara yang terkena bisa mengajukan permintaan konsultasi menuju ke pembentukan panel 4. Kalau konsultasi ini juga tidak mencapai hasil yang memuaskan, maka council dapat diminta untuk membentuk panel 115 Freddy Jsoseph Pelawi, Penyelesaian Sengketa WTO dan Indonesia, Jakarta: Buletin Kementrian Perdagangan Edisi IX, hal Peter van den Bossche, The Law and Policy of the World Trade Organization, New York : Cambridge University, hal Yulianto Syahyu., Op.cit., hal. 42

21 5. Proses selanjutnya sama dengan proses penyelesaian sengketa dagang umum melalui WTO. 6. Dalam sidang panel (Panel terdiri dari ahli yang dibentuk berdasarkan artikel XXIII) akan diputuskan apakah bea masuk Antidumping yang dikenakan oleh negara importir dilaksanakan dengan melanggar ketentuan-ketentuan GATT atau tidak. Meskipun banyak prosedur WTO yang mirip dengan proses pengadilan negara negara anggota yang sedang bersengketa tetap diharapkan untuk melakukan perundingan dan menyelesaikan masalahnya sebelum terbentuknya panel. Adapun tahapan tahapan yang dilakukan dalam proses penyelesaian sengketa ialah sebagai berikut: DSB dan Panel Penyelesaian sengketa menjadi tanggung jawab Badan Penyelesaian Sengketa (Dispute Settlement Body/ DSB) yang merupakan penjelmaan dari Dewan Umum (General Council/GC). DSB adalah satu-satunya badan yang memiliki otoritas membentuk Panel yang terdiri dari para ahli yang bertugas menelaah kasus. DSB dapat juga menerima atau menolak keputusan Panel atau keputusan pada tingkat banding. DSB tersebut memonitor pelaksanaan putusan-putusan dan rekomendasi serta memiliki kekuasaan/wewenang untuk mengesahkan retaliasi jika suatu negara tidak mematuhi suatu putusan. a. Banding Tiap pihak yang bersengketa dapat mengajukan banding atas putusan panel. Kadang-kadang kedua belah pihak sama-sama mengajukan banding. Namun banding harus didasarkan pada suatu peraturan tertentu seperti interpretasi legal atas suatu ketentuan/pasal dalam suatu persetujuan WTO. Banding tidak dilakukan untuk menguji kembali bukti-bukti yang ada atau bukti-bukti yang muncul, melainkan untuk meneliti argumentasi yang dikemukakan oleh Panel sebelumya. Tiap upaya banding diteliti oleh tiga dari tujuh anggota tetap Badan Banding (Appelate Body/AB) yang ditetapkan oleh DSB dan berasal dari anggota WTO yang mewakili kalangan luas. Anggota AB memiliki masa kerja 4 (empat) tahun. Mereka harus berasal dari individu-individu yang memiliki reputasi dalam bidang hukum dan perdagangan internasional, dan lepas dari kepentingan negara manapun keputusan pada tingkat banding dapat menunda, mengubah ataupun memutarbalikan temuan-temuan dan putusan hukum dari panel. Biasanya banding membutuhkan waktu tidak lebih dari 60 hari, dan batas maksimumnya 90 hari. DSB harus menerima ataupun menolak laporan banding tersebut dalam jangka waktu tidak lebih dari 30 hari dimana penolakan hanya dimungkinkan melalui konsensus. 118 Freddy Joseph Pelawi, Op.cit., hal. 3-5

22 b. penyelesaian sengketa setelah rekomendasi atau keputusan Dispute Settlement Body (DSB) Jika suatu negara telah melanggar aturan WTO dengan menetapkan aturan yang tidak konsisten dengan WTO, maka negara tersebut harus segera mengoreksi kesalahannya dengan menyelaraskan aturannya dengan aturan WTO. Jika negara tersebut masih melanggar aturan WTO, maka harus membayar kompensasi atau dikenai retaliasi. Biasanya kompensasi/retaliasi diterapkan dalam bentuk konsesi atau akses pasar. Walaupun suatu kasus sudah diputuskan, masih banyak hal yang harus dilakukan sebelum sanksi perdagangan diterapkan. Dalam tahap ini yang penting adalah tergugat harus menyelaraskan kebijakannya dengan rekomendasi atau keputusan DSB. Persetujuan WTO mengenai penyelesaian sengketa menetapkan bahwa tindakan yang cepat dalam hal mematuhi rekomendasi atau putusan DSB sangat penting untuk menjamin bahwa putusan penyelesaian tersebut efektif dan menguntungkan seluruh anggota WTO. Negara yang kalah sengketa harus mengikuti rekomendasi yang disebutkan dalam laporan Panel (panel report) atau laporan banding (appelate Body report). Secara prinsipil, sanksi diterapkan pada bidang yang sama dengan bidang yang disengketakan. Jika sanksi tersebut tidak dapat dilaksanakan atau tidak efektif, maka sanksi dapat diterapkan dalam sektor yang lain, dalam satu persetujuan yang sama. Selanjutnya, sekiranya masih juga belum dilaksanakan atau belum efektif, dan jika keadaannya cukup serius, tindakan dapat diambil di bawah persetujuan WTO lain. Maksudnya adalah untuk memperkecil kesempatan merambatnya tindakan tersebut ke dalam bidang-bidang yang tidak ada hubungannya dengan bidang tersebut, sekaligus agar menjamin agar tindakan tersebut efektif. Dalam setiap kasus, DSB mengawasi pelaksanaan putusan yang telah disahkan. Kasus-kasus yang masih dalam proses tetap menjadi agenda DSB sampai berhasil diselesaikan. C. Komparatif Yuridis Dalam Menentukan Nilai Normal Menurut Kebijakan Antidumping di Indonesia dan Filipina Pada bagian ini akan di jelaskan mengenai cara penentuan nilai normal (normal value) menurut kebijakan Antidumping di Indonesia dan Filipina. Dasar dan ketentuan yang mengatur mengenai Antidumping di Indonesia mengacu pada Undang Undang No 7 tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia), Undang Undang No. 10 Tahun

23 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Nomor 17 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang Undang No 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 34 Tahun 2011 tentang Tindakan Antidumping, Tindakan Imbalan, dan Tindakan Pengamanan Perdagangan. Namun pada umumnya didalam hal menentukan nilai normal (normal value) menurut kebijakan Antidumping di Indonesia hanya di atur pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 34 tahun 2011 tentang Tindakan Antidumping, Tindakan Imbalan, dan Tindakan Pengamanan Perdagangan. Berbeda dengan penentuan nilai normal (normal value) berdasarkan kebijakan Antidumping Filipina diatur dalam Republict of act No 8752 the Antidumping 1999 dan diatur lebih rinci dalam Administrative Order No. 1 Implementing rules and regulatians governing the Imposition of an Anti-Dumping Duty Under Republict of Act Penentuan Nilai Normal berdasarkan Kebijakan Antidumping di Indonesia a. Penentuan Nilai Normal Menurut Undang Undang No 7 Tahun 1994 Pada dasarnya, UU No.7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia merupakan persetujuan mengenai kesepakatan yang ada di World Trade Organization, dikarenakan Indonesia merupakan salah satu negara anggota WTO. Manfaat dari keikutsertaan Indonesia dalam persetujuan tersebut pada dasarnya bukan saja memungkinkan terbukanya peluang pasar internasional yang

24 lebih luas, tetapi juga menyediakan kerangka perlindungan multilateral yang lebih baik bagi kepentingan nasional dalam perdagangan internasional, khususnya dalam menghadapi mitra dagang. Untuk itu konsekuensinya, antara lain, perlu ditindak lanjuti adalah kebutuhan untuk menyempurnakan atau mempersiapkan peraturan perundang - undangan yang diperlukan. Tidak kurang pentingnya adalah penyiapan, penumbuhan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia, khususnya pemahaman di kalangan pelaku ekonomi dan aparatur penyelenggara, terhadap keseluruhan persetujuan serta berbagai hambatan dan tantangan yang melingkupinya. 119 Undang Undang No. 7 ini hanya memuat mengenai kesepakatan Indonesia dalam perjanjian Internasional khususnya perjanjian di bidang perdagangan jasa. Persetujuan yang disahkan dengan U ndang Undang ini adalah Persetujuan yang naskahnya ditandatangani Menteri Perdagangan (Prof. Dr S. B Joeno) atas nama Pemerintah Indonesia dalam sidang di Marrakesh, Marokko, tanggal 15 April Berdasarkan pernyataan diatas maka dapat disimpulkan bahwa UU No 7 Tahun 1994 hanya memuat mengenai kesepakatan Indonesia sebagai salah satu negara anggota WTO. Dalam UU No. 7 ini tidak memuat dengan jelas ketentuan mengenai penentuan harga normal. Berbeda halnya dengan di Filipina, Filipina telah membuat UU khusus mengenai masalah Antidumping yang didalam pelaksanaannya dalam hal menentukan nilai normal di atur 119 Undang Undang No 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia) bab I. 120 Ibid., Pasal 1.

25 lebih lanjut dalam Administrative Order No. 1 Impelementing Rules and Regulations Governing the Imposition of an Antidumping Duty Under Republict of Act 8752 of b. Penentuan Nilai Normal Menurut Undang Undang No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan Suatu barang ekspor dinilai sebagai barang dumping apabila barang tersebut dipasarkan di negara tujuan ekspor pada tingkat harga ekspor yang lebih rendah daripada nilai normalnya. 121 Penentuan nilai normal menjadi sangat penting karena penentuan ada tidaknya dumping tergantung dari lebih rendahnya harga ekspor suatu barang dari nilai normalnya. Nilai normal adalah harga yang sebenarnya dibayar atau akan dibayar untuk barang sejenis dalam perdagangan pada umumnya di pasar domestik negara pengekspor untuk tujun konsumsi. 122 Untuk menghitung nilai normal (normal value) berbagai negara menganut bermacam macam cara. Namun penafsiran yang umum dalam ketentuan article VI GATT, menggunakan cara perhitungan harga normal, yaitu biaya produksi (cost of production) ditambah keuntungan (profit) dan dibagi dengan jumlah produksi (total of Production) dengan rumus: { NV= CP+Pr TP NV = Normal Value CP = Cost Production (biaya produksi) Pr = Profit (keuntungan) TP= Total of Production (jumlah produksi) } Sukarmi., Op.cit. hal Penjelasan Pasal 18 UU No 10 Tahun 1995, lihat pula Pasal 1 angka 6 Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun Muhammad Sood., Op.cit. hal

26 Dimana menghitung biaya produksi sekurang kurangnya terdiri dari: a) Biaya yang dikeluarkan untuk bahan baku b) Biaya fabrikasi termasuk upah buruh dan, c) Segala biaya yang dikeluarkan untuk melaksanakan penjualan (General Sales Administration/GSA) Dalam hal tidak terdapat barang sejenis yang dijual dipasar domestik negara pengekspor atau volume penjualan di pasar domestik negara pengekspor atau volume penjualan di pasar domestik negara pengekspor relatif kecil sehingga tidak dapat digunakan sebagai pembanding, nilai normal ditetapkan berdasarkan: 124 a. harga tertinggi barang sejenis yang diekspor ke negara ketiga;atau b. harga dari penjumlahan biaya produksi, biaya administrasi, biaya penjualan, dan laba yang wajar (constructed value). Menurut Yulianto Syahyu metode untuk menentukan adanya dumping, khususnya pada tahap penyelidikan besarnya harga normal suatu produk ditempuh melalui tiga cara, yaitu: Penentuan nilai normal berdasarkan penjualan di pasar domestik negara produsen (pengeskpor)sesuai dengan ketentuan Pasal 1 Butir 6 PP No. 34 tahun Penentuan nilai normal berdasarkan penjualan kepasar negara ketiga. Metode ini dapat digunakan apabila pasar domestik negara produsen (pengekspor) tidak tersedia. Hal ini telah dijelaskan dalam penjelasan pasal 18 UU No. 10 Tahun Penentuan nilai normal berdasarkan constructed value (pembentukan harga) yaitu nilai ditentukan berdasarkan biaya produksi, biaya administrasi, biaya penjualan, dan 124 Penjelasan Pasal 18 UU No 10 Tahun 1995, Op.cit 125 Yulianto Syahyu, Op.cit., hal Lihat pula Penjelasan Pasal 18 UU No 10 Tahun 1995, serta Pasal 1 angka 6 PP No. 34 Tahun 2011

27 laba yang wajar. Metode ini digunakan apabila cara yang pertama dan kedua tidak dapat digunakan. Hal ini telah dijelaskan dalam penjelasan pasal 18 UU No. 10 Tahun Pernyataan diatas hanya memberikan perhitungan nilai normal secara umum. Pada pokoknya UU No.10 Tahun 1995 tidak membicarakan masalah masalah yang berkaitan dengan perhitungan nilai normal secara lebih terperinci melainkan lebih menekankan pada perhitungan harga normal secara umum serta penerapan bea masuk terhadap barang dumping yang menyebabkan industri dalam negeri mengalami kerugian. c. Penentuan Nilai Normal Menurut Undang Undang Nomor 17 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas Undang Undang No 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan Penentuan nilai normal menurut Undang Undang No 17 Tahun 2006 masih mengacu pada UU No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan yang terdapat pada Bab IV Bea Masuk Antidumping dan Bea Masuk Imbalan Bagian Pertama Bea Masuk Antidumping penjelasan pasal 18 UU No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan. UU No.17 tahun 2006 tetap mempertahankan (tidak menghapus) pasal 18, pasal 19, pasal 21 dan pasal 22 Undang Undang No 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan, tetapi menghapus pasal 20 (tentang pengaturan persyaratan dan tatacara pengenaan Bea Masuk Antidumping dengan Peraturan Pemerintah) dan menghapus Pasal 23 (tentang pengaturan persyaratan Bea Masuk Imbalan

28 dengan Peraturan Pemerintah). Pasal 20 Undang Undang No 10 Tahun 1995 tentang kepabeanan berbunyi: 126 Ketentuan tentang persyaratan dan tata cara pengenaan Bea Masuk Antidumping serta penanganannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 20 Undang Undang No 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan diatas telah dihapus dengan keluarnya Undang Undang No 17 Tahun 2006 perubahan atas UU No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan yang berkaitan dengan Bea Masuk Antidumping, Bea Masuk Imbalan, Bea Masuk Tindakan Pengamanan, dan Bea Masuk Pembalasan diatur dalam Bab IV pasal 35, yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 20 dihapus. Pasal 20 Undang Undang No 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan berbunyi: Ketentuan tentang persyaratan dan tata cara pengenaan Bea Masuk Antidumping serta penanganannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 23 Undang Undang No 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan diatas telah dihapus dengan keluarnya Undang Undang No 17 Tahun 2006, seperti terlihat dalam ketentuan perubahan nomor 36 yang berbunyi: Pasal 23 dihapus. Namun, selanjutnya pengaturan mengenai persyaratan dan tata cara pengenaan Bea Masuk Antidumping, Bea Masuk Imbalan, digabungkan dengan pengaturan mengenai persyaratan 126 Christophorus Barutu, Op.cit., Hal Ibid., Hal Loc.cit., Hal.132

29 dan tata cara Bea Masuk Tindakan Pengamanan dan Bea Masuk Pembalasan yang diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah, seperti yang ditegaskan dalam Pasal 23D Undang Undang No 17 Tahun 2006 yang berbunyi: 129 Bagian Kelima Pengaturan dan penetapan Pasal 23D (1) Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara pengenaan Bea Masuk Antidumping, Bea Masuk Imbalan, Bea Masuk Tindakan Pengamanan, dan Bea Masuk Pembalasan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. (2) Besar tariff Bea Masuk Antidumping, Bea Masuk Imbalan, Bea Masuk Tindakan Pengamanan, dan Bea Masuk Pembalasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri. Pada pokoknya UU No.17 Tahun 2006 mempertahankan beberapa ketentuan pasal dan mengubah secara sebagian (parsial) ketentuan Pasal Undang Undang No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, mengubah dalam arti menambah atau menghapus beberpa pasal atau ayat didalamnya. tidak secara khusus menguraikan mengenai penentuan nilai normal. Adapun dalam hal menentukan nilai normal lebih lanjut diatur oleh Peraturan Pemerintah No 34 Tahun d. Penentuan Nilai Normal menurut Peraturan Pemerintah No.34 Tahun 2011 Secara teknis yuridis, definisi barang dumping adalah barang yang di impor dengan tingkat harga ekspor yang lebih rendah dari nilai normalnya di negara pengekspor. 130 Dari definisi tersebut dapat dilihat bahwa barang dumping itu merupakan barang yang dijual dengan harga ekspor yang lebih rendah dari nilai normal. Pada prinsipnya dari pernyataan tersebut diatas ada dua komponen utama dalam hal menentukan apakah suatu barang dapat 129 Ibid., Hal PP No. 34 Tahun 2011, Op. cit., Bab 1Pasal 1 (4)

30 dikatakan barang dumping yaitu harga ekspor dan harga normal. Berikut adalah penjelasan lebih lanjut mengenai harga ekspor dan nilai normal. 1. Nilai Normal Pengertian nilai normal ialah harga yang sebenarnya dibayar untuk barang sejenis dalam perdagangan pada umumnya di pasar domestik negara pengekspor untuk tujuan konsumsi. 131 Berdasarkan definisi diatas, ketentuan dalam PP No. 34 tahun 2011 hanya mendefenisikan nilai normal secara umum dengan menekankan pada harga yang sebenarnya dibayar atau yang akan dibayar untuk barang sejenis dalam perdagangan pada umumnya di pasar domestik negara pengekspor untuk tujuan konsumsi. Dalam PP No. 34 tahun 2011 tidak mengatur lebih rinci apabila tidak dijumpai nilai normal yang nanti akan dibandingkan dengan harga ekspor untuk menentukan margin dumping yang akan dikenakan pada barang yang dituduh dumping. Akan tetapi UU No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan dalam penjelasan Pasal 18, justru secara tegas mengatur apabila terjadi ketiadaan harga domestik, maka nilai normal ditetapkan berdasarkan : 132 a) Harga tertinggi barang sejenis yang di ekspor ke negara ketiga: b) harga yang dibentuk dari penjumlahan biaya produksi, biaya administrasi, biaya penjualan, dan laba yang wajar (constructed value) Berbeda halnya dengan ketentuan di Filipina dalam hal menentukan nilai normal, PP No 34 tahun 2011 ini tidak mengatur lebih rinci mengenai penentuan nilai normal seperti yang 131 PP No. 34 Tahun 2011, Ibid., Bab 1Pasal 1 (6) 132 Sukarmi., Op.cit., hal 163

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG DUMPING. Dumping merupakan suatu kebijakan negara atau perusahaan dari suatu

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG DUMPING. Dumping merupakan suatu kebijakan negara atau perusahaan dari suatu BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG DUMPING A. Pengertian Dumping Dumping merupakan suatu kebijakan negara atau perusahaan dari suatu negara untuk menjual produk di luar negeri dengan harga yang lebih rendah

Lebih terperinci

BAB II KONSEP DAN PENGATURAN DUMPING SERTA ANTIDUMPING DALAM KERANGKA GATT WTO

BAB II KONSEP DAN PENGATURAN DUMPING SERTA ANTIDUMPING DALAM KERANGKA GATT WTO BAB II KONSEP DAN PENGATURAN DUMPING SERTA ANTIDUMPING DALAM KERANGKA GATT WTO A. Sejarah Terbentuknya GATT WTO Pada akhir Perang Dunia II, negara-negara pemenang Perang Dunia II berupaya menciptakan berbagai

Lebih terperinci

DUMPING DAN ANTI-DUMPING SEBAGAI BENTUK UNFAIR TRADE PRACTICE DALAM PERDAGANGAN INTERNASIONAL

DUMPING DAN ANTI-DUMPING SEBAGAI BENTUK UNFAIR TRADE PRACTICE DALAM PERDAGANGAN INTERNASIONAL DUMPING DAN ANTI-DUMPING SEBAGAI BENTUK UNFAIR TRADE PRACTICE DALAM PERDAGANGAN INTERNASIONAL Oleh: Ni Wayan Ella Apryani Ayu Putu Laksmi Danyathi Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Udayana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengalami perkembangan yang sangat pesat dari waktu ke waktu, di mana

BAB I PENDAHULUAN. mengalami perkembangan yang sangat pesat dari waktu ke waktu, di mana BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam era globalisasi dewasa ini, perdagangan internasional telah mengalami perkembangan yang sangat pesat dari waktu ke waktu, di mana negara-negara di dunia saat ini

Lebih terperinci

Key Words: Indications, Practice of Dumping, Laws

Key Words: Indications, Practice of Dumping, Laws INDIKASI PRAKTIK DUMPING MENURUT KETENTUAN PERUNDANGAN INDONESIA oleh Putu Edgar Tanaya Ida Ayu Sukihana Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT Indications Dumping Practices Legislation

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. World Trade Organization (WTO) secara resmi berdiri pada. tanggal 1 Januari 1995 dengan disepakatinya Agreement the World

BAB I PENDAHULUAN. World Trade Organization (WTO) secara resmi berdiri pada. tanggal 1 Januari 1995 dengan disepakatinya Agreement the World BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah World Trade Organization (WTO) secara resmi berdiri pada tanggal 1 Januari 1995 dengan disepakatinya Agreement the World Trade Organization ditandatangani para

Lebih terperinci

Praktek Dumping. Abstraksi

Praktek Dumping. Abstraksi Praktek Dumping Oleh Drs. Djoko Hanantijo, MM (Dosen PNS dpk Fakultas Ekonomi Universitas Surakarta) Abstraksi Dumping merupakan suatu bentuk diskriminasi harga. Untuk menangani masalah dumping dibentuk

Lebih terperinci

Bab I. Pendahuluan. adalah akumulasi keuntungan yang sebesar-besarnya (optimum profit). Tujuan ini

Bab I. Pendahuluan. adalah akumulasi keuntungan yang sebesar-besarnya (optimum profit). Tujuan ini Bab I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalah Perdagangan internasional merupakan salah satu kegiatan ekonomi atau kegiatan bisnis yang akhir-akhir ini mengalami perkembangan yang sangat pesat. Perhatian

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN TERHADAP INDUSTRI DI DALAM NEGERI DALAM SISTEM PERDAGANGAN BEBAS WTO

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN TERHADAP INDUSTRI DI DALAM NEGERI DALAM SISTEM PERDAGANGAN BEBAS WTO BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN TERHADAP INDUSTRI DI DALAM NEGERI DALAM SISTEM PERDAGANGAN BEBAS WTO WTO (World Trade Organization) adalah organisasi perdagangan dunia yang berfungsi untuk mengatur dan

Lebih terperinci

ANALISIS KOMPARATIF YURIDIS KEBIJAKAN ANTIDUMPING ANTARA INDONESIA DAN FILIPINA. Novie Andriani Kesuma Suhaidi Mahmul Siregar Jelly Leviza

ANALISIS KOMPARATIF YURIDIS KEBIJAKAN ANTIDUMPING ANTARA INDONESIA DAN FILIPINA. Novie Andriani Kesuma Suhaidi Mahmul Siregar Jelly Leviza ANALISIS KOMPARATIF YURIDIS KEBIJAKAN ANTIDUMPING ANTARA INDONESIA DAN FILIPINA Novie Andriani Kesuma Suhaidi Mahmul Siregar Jelly Leviza novieandriani73@yahoo.co.id ABSTRACT Dumping is the practice of

Lebih terperinci

HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL Dumping dan Anti Dumping

HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL Dumping dan Anti Dumping BAHAN KULIAH HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL Dumping dan Anti Dumping Prof. Sanwani Nasution, SH Dr. Mahmul Siregar, SH.,M.Hum PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM SEKOLAH PASCASARJANA USU MEDAN 2009 DUMPING

Lebih terperinci

Artikel 22 ayat 1, DSU Agreement.

Artikel 22 ayat 1, DSU Agreement. BAB IV KESIMPULAN World Trade Organization (WTO) atau Organisasi Perdagangan Dunia merupakan satu-satunya badan internasional yang secara khusus mengatur masalah perdagangan antar negara. Sistem perdagangan

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. Faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakefektifan penyelesaian sengketa

BAB III PENUTUP. Faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakefektifan penyelesaian sengketa 64 BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian penulis, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : Faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakefektifan penyelesaian sengketa DSB WTO dalam

Lebih terperinci

ANTI DUMPING DALAM PERDAGANGAN INTERNASIONAL: SINKRONISASI PERATURAN ANTI DUMPING INDONESIA TERHADAP WTO ANTI DUMPING AGREEMENT

ANTI DUMPING DALAM PERDAGANGAN INTERNASIONAL: SINKRONISASI PERATURAN ANTI DUMPING INDONESIA TERHADAP WTO ANTI DUMPING AGREEMENT ANTI DUMPING DALAM PERDAGANGAN INTERNASIONAL: SINKRONISASI PERATURAN ANTI DUMPING INDONESIA TERHADAP WTO ANTI DUMPING AGREEMENT TESIS Oleh : RITA ERLINA 047005012/HK SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA

Lebih terperinci

MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN INTERNASIONAL MELALUI DISPUTE SETTLEMENT BODY (DSB) WORLD TRADE ORGANIZATION

MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN INTERNASIONAL MELALUI DISPUTE SETTLEMENT BODY (DSB) WORLD TRADE ORGANIZATION MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN INTERNASIONAL MELALUI DISPUTE SETTLEMENT BODY (DSB) WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO) (TINJAUAN TERHADAP GUGATAN INDONESIA KEPADA KOREA SELATAN DALAM PENGENAAN

Lebih terperinci

TINJAUAN UMUM TENTANG DUMPING. masuk ke semua negara anggota dengan bebas. Indonesia merupakan salah satu

TINJAUAN UMUM TENTANG DUMPING. masuk ke semua negara anggota dengan bebas. Indonesia merupakan salah satu BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG DUMPING 2.1. Pengertian Dumping Sebagaimana diketahui bahwa semua negara anggota WTO telah sepakat untuk menciptakan perdagangan dunia yang bebas, di mana semua hambatan perdagangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hubungan perdagangan antar negara yang dikenal dengan perdagangan internasional mengalami perkembangan yang pesat dari waktu ke waktu. Perdagangan internasional merupakan

Lebih terperinci

BAB III ISI PUTUSAN DALAM SENGKETA DAGANG ANTARA INDONESIA DENGAN KOREA SELATAN. argumentasi dari penggugat dan tergugat, akhirnya Panel mengeluarkan

BAB III ISI PUTUSAN DALAM SENGKETA DAGANG ANTARA INDONESIA DENGAN KOREA SELATAN. argumentasi dari penggugat dan tergugat, akhirnya Panel mengeluarkan 69 BAB III ISI PUTUSAN DALAM SENGKETA DAGANG ANTARA INDONESIA DENGAN KOREA SELATAN A. Putusan Panel DSB WTO Setelah Panel melakukan evaluasi atas semua laporan tertulis dan argumentasi dari penggugat dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. implikasi positif dan negatif bagi perkembangan ekonomi negara-negara

BAB I PENDAHULUAN. implikasi positif dan negatif bagi perkembangan ekonomi negara-negara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum dan perjanjian internasional yang berkenaan dengan masalah ekonomi yang mengarah pada perdagangan bebas dapat mengakibatkan implikasi positif dan negatif bagi

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN INDUSTRI DALAM NEGERI MELALUI TINDAKAN SAFEGUARD WORLD TRADE ORGANIZATION

PERLINDUNGAN INDUSTRI DALAM NEGERI MELALUI TINDAKAN SAFEGUARD WORLD TRADE ORGANIZATION PERLINDUNGAN INDUSTRI DALAM NEGERI MELALUI TINDAKAN SAFEGUARD WORLD TRADE ORGANIZATION Oleh : A.A. Istri Indraswari I Ketut Sudiarta Bagian Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT Protection

Lebih terperinci

TUGAS MATA KULIAH HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL. Aprilia Gayatri A Femita Adriani A

TUGAS MATA KULIAH HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL. Aprilia Gayatri A Femita Adriani A TUGAS MATA KULIAH HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL Tuduhan Praktek Dumping yang Dilakukan Indonesia Pada Sengketa Anti-dumping Produk Kertas dengan Korea Selatan Dikerjakan Oleh : Aprilia Gayatri A10.05.0201

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sekutu, maka dimulailah upaya membentuk lembaga-lembaga ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. sekutu, maka dimulailah upaya membentuk lembaga-lembaga ekonomi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada pasca perang dunia kedua yang ditandai dengan kemenangan pihak sekutu, maka dimulailah upaya membentuk lembaga-lembaga ekonomi internasional. Pembentukan

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA TINJAUAN YURIDIS ATAS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP INDUSTRI DALAM NEGERI MELALUI PERATURAN NASIONAL DIKAITKAN DENGAN UPAYA SAFEGUARDS DALAM WORLD TRADE ORGANIZATION T E S I S SYLVIANA

Lebih terperinci

PP 34/1996, BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PP 34/1996, BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Copyright (C) 2000 BPHN PP 34/1996, BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN *34762 Bentuk: PERATURAN PEMERINTAH (PP) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 34 TAHUN 1996 (34/1996) Tanggal: 4 JUNI

Lebih terperinci

(Suci Hartati, SH, M.Hum) Abstrac

(Suci Hartati, SH, M.Hum) Abstrac (Suci Hartati, SH, M.Hum) Abstrac Anti dumping yang ada di Indonesia diatur dalam GATT (General Agreement on Tariff and Trade) dimana sebagai awal dari pada falsafahnya di ilhami dengan landasan perekonomian

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2011 TENTANG TINDAKAN ANTIDUMPING, TINDAKAN IMBALAN, DAN TINDAKAN PENGAMANAN PERDAGANGAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2011 TENTANG TINDAKAN ANTIDUMPING, TINDAKAN IMBALAN, DAN TINDAKAN PENGAMANAN PERDAGANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2011 TENTANG TINDAKAN ANTIDUMPING, TINDAKAN IMBALAN, DAN TINDAKAN PENGAMANAN PERDAGANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

SKRIPSI PERANAN KOMITE ANTI DUMPING INDONESIA DALAM PENCEGAHAN PRAKTIK DUMPING TERHADAP BARANG IMPOR OLEH : IMAN ARNAN B

SKRIPSI PERANAN KOMITE ANTI DUMPING INDONESIA DALAM PENCEGAHAN PRAKTIK DUMPING TERHADAP BARANG IMPOR OLEH : IMAN ARNAN B SKRIPSI PERANAN KOMITE ANTI DUMPING INDONESIA DALAM PENCEGAHAN PRAKTIK DUMPING TERHADAP BARANG IMPOR OLEH : IMAN ARNAN B 111 09 320 BAGIAN HUKUM INTERNASIONAL FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN TENTANG TINDAKAN ANTIDUMPING, TINDAKAN IMBALAN, DAN TINDAKAN PENGAMANAN PERDAGANGAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN TENTANG TINDAKAN ANTIDUMPING, TINDAKAN IMBALAN, DAN TINDAKAN PENGAMANAN PERDAGANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2011 2010 TENTANG TINDAKAN ANTIDUMPING, TINDAKAN IMBALAN, DAN TINDAKAN PENGAMANAN PERDAGANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

KAJIAN YURIDIS KEBIJAKAN ANTIDUMPING DALAM PERDAGANGAN INTERNASIONAL 1 Oleh : Lusy K.F.R. Gerungan 2

KAJIAN YURIDIS KEBIJAKAN ANTIDUMPING DALAM PERDAGANGAN INTERNASIONAL 1 Oleh : Lusy K.F.R. Gerungan 2 KAJIAN YURIDIS KEBIJAKAN ANTIDUMPING DALAM PERDAGANGAN INTERNASIONAL 1 Oleh : Lusy K.F.R. Gerungan 2 PENDAHULUAN A. Latar belakang Hubungan dagang antar Negara yang di kenal dengan perdagangan internasional,

Lebih terperinci

Kata Kunci: National Treatment, Pajak Impor Dalam Industri Telepon Genggam, Kebijakan Tingkat Kandungan Dalam Negeri

Kata Kunci: National Treatment, Pajak Impor Dalam Industri Telepon Genggam, Kebijakan Tingkat Kandungan Dalam Negeri TINJAUAN YURIDIS KEBIJAKAN TINGKAT KANDUNGAN DALAM NEGERI DAN PAJAK IMPOR DALAM INDUSTRI TELEPON GENGGAM DIKAITKAN DENGAN PRINSIP NATIONAL TREATMENT FIKY MARTINO 1287032 ABSTRAK Prinsip National Treatment

Lebih terperinci

BAB II HUKUM ANTI DUMPING DALAM PERDAGANGAN INTERNASIONAL

BAB II HUKUM ANTI DUMPING DALAM PERDAGANGAN INTERNASIONAL BAB II HUKUM ANTI DUMPING DALAM PERDAGANGAN INTERNASIONAL A. Tinjuan Umum Mengenai Antidumping 1. Konsep dan Pengertian Dumping Dumping adalah istilah yang digunakan dalam perdagangan internasional yakni

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata kunci : WTO (World Trade Organization), Kebijakan Pertanian Indonesia, Kemudahan akses pasar, Liberalisasi, Rezim internasional.

ABSTRAK. Kata kunci : WTO (World Trade Organization), Kebijakan Pertanian Indonesia, Kemudahan akses pasar, Liberalisasi, Rezim internasional. ABSTRAK Indonesia telah menjalankan kesepakan WTO lewat implementasi kebijakan pertanian dalam negeri. Implementasi kebijakan tersebut tertuang dalam deregulasi (penyesuaian kebijakan) yang diterbitkan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 1996 TENTANG BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 1996 TENTANG BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 1996 TENTANG BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa berdasarkan Pasal 20 dan Pasal 23 Undang-undang

Lebih terperinci

Restrukturisasi Perusahaan Akibat Krisis Perekonomian Global

Restrukturisasi Perusahaan Akibat Krisis Perekonomian Global Restrukturisasi Perusahaan Akibat Krisis Perekonomian Global DISUSUN OLEH : Wiji Pramadjati, S.H., M.Hum FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS TUJUH BELAS AGUSTUS SEMARANG TAHUN 2011 A. Latar Belakang Proses globalisasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membuat perubahan dalam segala hal, khususnya dalam hal perdagangan. Era

BAB I PENDAHULUAN. membuat perubahan dalam segala hal, khususnya dalam hal perdagangan. Era 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sudah menjadi hal yang wajar apabila perkembangan peradaban manusia membuat perubahan dalam segala hal, khususnya dalam hal perdagangan. Era perdagangan global yang

Lebih terperinci

BAB III KETENTUAN ANTI DUMPING DALAM GATT DAN KETENTUAN ANTI DUMPING DI INDONESIA

BAB III KETENTUAN ANTI DUMPING DALAM GATT DAN KETENTUAN ANTI DUMPING DI INDONESIA BAB III KETENTUAN ANTI DUMPING DALAM GATT DAN KETENTUAN ANTI DUMPING DI INDONESIA A. Ketentuan Anti Dumping dalam General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) 1994 Secara struktur General Agreement on

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. 1. Sengketa dagang antara Indonesia dan Korea Selatan bermula. pada saat KTC mengajukan petisi anti dumping dan melakukan

BAB V PENUTUP. 1. Sengketa dagang antara Indonesia dan Korea Selatan bermula. pada saat KTC mengajukan petisi anti dumping dan melakukan 114 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Sengketa dagang antara Indonesia dan Korea Selatan bermula pada saat KTC mengajukan petisi anti dumping dan melakukan penyelidikan dumping terhadap perusahaan-perusahaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. World Trade Organization (WTO) saat ini merupakan satu satunya organisasi

BAB I PENDAHULUAN. World Trade Organization (WTO) saat ini merupakan satu satunya organisasi BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Masalah World Trade Organization (WTO) saat ini merupakan satu satunya organisasi internasional yang secara khusus mengurus masalah perdagangan antarnegara di dunia.

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 1996 TENTANG BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 1996 TENTANG BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 34 TAHUN 1996 TENTANG BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN PRESIDEN, Menimbang : bahwa berdasarkan Pasal 20 dan Pasal 23 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan,

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1298, 2012 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN PERDAGANGAN. Penyelidikan. Antidumping. Imbalan. Tata Cara. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 76/M-DAG/PER/12/2012

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP INDUSTRI DALAM NEGERI DARI PRAKTEK DUMPING

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP INDUSTRI DALAM NEGERI DARI PRAKTEK DUMPING PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP INDUSTRI DALAM NEGERI DARI PRAKTEK DUMPING DI BALI ( STUDY PADA DINAS PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN PROVINSI BALI ) Oleh : I Made Ferry Gunawadi I Wayan Novy Purwanto Bagian

Lebih terperinci

KEBIJAKAN EKONOMI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

KEBIJAKAN EKONOMI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL KEBIJAKAN EKONOMI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL Kebijakan ekonomi internasional dalam arti luas semua kegiatan ekonomi pemerintah suatu negara yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi komposisi,

Lebih terperinci

ANTIDUMPING CASE SETTLEMENT IN INDONESIA (In Case wheat flour import form Turkish)

ANTIDUMPING CASE SETTLEMENT IN INDONESIA (In Case wheat flour import form Turkish) PENYELESAIAN PERKARA ANTIDUMPING DI INDONESIA (Dalam Kasus Impor Terigu Asal Turki Oleh Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia) ANTIDUMPING CASE SETTLEMENT IN INDONESIA (In Case wheat flour import form

Lebih terperinci

UPAYA MENGURANGI POTENSI KERUGIAN NEGARA DARI PENYIMPANGAN IMPOR CBU

UPAYA MENGURANGI POTENSI KERUGIAN NEGARA DARI PENYIMPANGAN IMPOR CBU UPAYA MENGURANGI POTENSI KERUGIAN NEGARA DARI PENYIMPANGAN IMPOR CBU 1. Pendahuluan Sebagaimana diketahui bahwa tugas pokok Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No.32

Lebih terperinci

UPAYA PENERAPAN RETALIASI DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN INTERNASIONAL MELALUI WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO)

UPAYA PENERAPAN RETALIASI DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN INTERNASIONAL MELALUI WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO) UPAYA PENERAPAN RETALIASI DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN INTERNASIONAL MELALUI WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO) Lona Puspita, Fakultas Hukum Universitas Tamansiswa Padang lovelylona0408@gmail.com

Lebih terperinci

AMENDEMEN MONTREAL AMENDEMEN ATAS PROTOKOL MONTREAL YANG DIADOPSI OLEH PERTEMUAN KESEMBILAN PARA PIHAK

AMENDEMEN MONTREAL AMENDEMEN ATAS PROTOKOL MONTREAL YANG DIADOPSI OLEH PERTEMUAN KESEMBILAN PARA PIHAK PASAL 1: AMENDEMEN AMENDEMEN MONTREAL AMENDEMEN ATAS PROTOKOL MONTREAL YANG DIADOPSI OLEH PERTEMUAN KESEMBILAN PARA PIHAK A. Pasal 4, ayat 1 qua Ayat berikut wajib dimasukkan sesudah Pasal 4 ayat 1 ter

Lebih terperinci

Bab 5 Bisnis Global P E R T E M U A N 5

Bab 5 Bisnis Global P E R T E M U A N 5 Bab 5 Bisnis Global P E R T E M U A N 5 1 PENGERTIAN GLOBALISASI Globalisasi: Perekonomian dunia yang menjadi sistem tunggal yang saling bergantung satu dengan yang lainnya Beberapa kekuatan yang digabungkan

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP ASURANSI UNTUK ANGGOTA TUBUH DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG ASURANSI DI INDONESIA

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP ASURANSI UNTUK ANGGOTA TUBUH DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG ASURANSI DI INDONESIA TINJAUAN YURIDIS TERHADAP ASURANSI UNTUK ANGGOTA TUBUH DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG ASURANSI DI INDONESIA ABSTRAK Asuransi merupakan suatu upaya untuk menghindari risiko yang akan terjadi pada setiap

Lebih terperinci

Kata Kunci: Dumping, price undertaking, KADI, UMKM, BMAD.

Kata Kunci: Dumping, price undertaking, KADI, UMKM, BMAD. DAMPAK DUMPING TERHADAP USAHA MIKRO KECIL MENENGAH (UMKM): Suatu Kajian Dalam Perspektif Hukum Dagang Internasional Oleh. IKARINI DANI WIDIYANTI 1 Abstrak Praktek Dumping termasuk Unfair Bussiness Practices.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai salah satu negara yang telah menjadi anggota World Trade

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai salah satu negara yang telah menjadi anggota World Trade 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Sebagai salah satu negara yang telah menjadi anggota World Trade Organization (WTO), Indonesia terikat untuk mematuhi ketentuan-ketentuan perdagangan internasional

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN PRESIDEN NOMOR 25 TAHUN 1989 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN MENGENAI PERLINDUNGAN HAK CIPTA ANTARA DAN AMERIKA SERIKAT PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa di Washington, Amerika Serikat, pada tanggal

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian saat ini telah mengalami perubahan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian saat ini telah mengalami perubahan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan sektor pertanian saat ini telah mengalami perubahan orientasi yaitu dari orientasi peningkatan produksi ke orientasi peningkatan pendapatan dan kesejahteraan.

Lebih terperinci

Bab 5 Bisnis Global 10/2/2017 1

Bab 5 Bisnis Global 10/2/2017 1 Bab 5 Bisnis Global 10/2/2017 1 Pengertian Globalisasi Globalisasi: Perekonomian dunia yang menjadi sistem tunggal yang saling bergantung satu dengan yang lainnya Beberapa kekuatan yang digabungkan menyulut

Lebih terperinci

Kebijakan Pemerintah dan Pengaruhnya

Kebijakan Pemerintah dan Pengaruhnya Kebijakan Pemerintah dan Pengaruhnya International trade Reasons for trade between countries - Comparative advantage - Intra-industry trade indifferentiated products - Free riding, International price

Lebih terperinci

Latar Belakang dan Sejarah Terbentuknya. WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO) Bagian Pertama. Fungsi WTO. Tujuan WTO 4/22/2015

Latar Belakang dan Sejarah Terbentuknya. WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO) Bagian Pertama. Fungsi WTO. Tujuan WTO 4/22/2015 WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO) Bagian Pertama Hanif Nur Widhiyanti, S.H.,M.Hum. Latar Belakang dan Sejarah Terbentuknya TidakterlepasdarisejarahlahirnyaInternational Trade Organization (ITO) dangeneral

Lebih terperinci

PRAKTEK DUMPING DALAM PERSPEKTIF HUKUM PERSAINGAN USAHA O le h : DR. SUKARMI, S.H.,M.H.

PRAKTEK DUMPING DALAM PERSPEKTIF HUKUM PERSAINGAN USAHA O le h : DR. SUKARMI, S.H.,M.H. A. Latar Belakang PRAKTEK DUMPING DALAM PERSPEKTIF HUKUM PERSAINGAN USAHA O le h : DR. SUKARMI, S.H.,M.H. Proses globalisasi dalam berbagai bidang serta perkembangan teknologi dan informasi menimbulkan

Lebih terperinci

AKUISISI PERSEROAN TERBATAS DIHUBUNGKAN TERHADAP TERJADINYA PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT Abstrak

AKUISISI PERSEROAN TERBATAS DIHUBUNGKAN TERHADAP TERJADINYA PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT Abstrak AKUISISI PERSEROAN TERBATAS DIHUBUNGKAN TERHADAP TERJADINYA PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT Abstrak Arus globalisasi memiliki dampak yang luas bagi kehidupan mulai dari aspek teknologi, komunikasi sampai

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN. REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 427 /MPP/Kep/10/2000 T E N T A N G KOMITE ANTI DUMPING INDONESIA

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN. REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 427 /MPP/Kep/10/2000 T E N T A N G KOMITE ANTI DUMPING INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 427 /MPP/Kep/10/2000 T E N T A N G KOMITE ANTI DUMPING INDONESIA MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini perkembangan perekonomian yang sangat pesat telah. mengarah kepada terbentuknya ekonomi global. Ekonomi global mulai

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini perkembangan perekonomian yang sangat pesat telah. mengarah kepada terbentuknya ekonomi global. Ekonomi global mulai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini perkembangan perekonomian yang sangat pesat telah mengarah kepada terbentuknya ekonomi global. Ekonomi global mulai terbentuk ditandai dengan berbagai peristiwa

Lebih terperinci

JURNAL ILMIAH PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KOMODITI EKSPOR INDONESIA ATAS TUDUHAN DUMPING

JURNAL ILMIAH PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KOMODITI EKSPOR INDONESIA ATAS TUDUHAN DUMPING i JURNAL ILMIAH PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KOMODITI EKSPOR INDONESIA ATAS TUDUHAN DUMPING BERDASARKAN KETENTUAN AGREEMENT ON THE IMPLEMENTATION OF ARTICLE VI GATT 1994 Oleh : AHMAD URVAFI D1A0121025 FAKULTAS

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 56 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN AGREEMENT BETWEEN THE GOVERNMENT OF THE REPUBLIC OF INDONESIA AND THE GOVERNMENT OF THE UNITED KINGDOM OFGREAT BRITAIN AND NOTHERN

Lebih terperinci

Lingkungan Pemasaran Internasional-Global

Lingkungan Pemasaran Internasional-Global Lingkungan Pemasaran Internasional-Global Musthofa Hadi Environment Pelanggan Internasional Economic Environment What is the level of new industrial growth? E.g. China is experiencing terrific industrial

Lebih terperinci

Keywords: ASEAN Economic Community, Micro, Small and Medium Enterprises, Monopoly

Keywords: ASEAN Economic Community, Micro, Small and Medium Enterprises, Monopoly KAJIAN PENGATURAN TERHADAP STANDAR PRODUK PRIORITAS USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH MENGHADAPI MASYARAKAT EKONOMI ASEAN DALAM KAITANNYA DENGAN PRAKTIK MONOPOLI Oleh: I Gusti Putu Ngurah Satriawibawa I

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPPRES 56/1994, PENGESAHAN AGREEMENT BETWEEN THE GOVERNMENT OF THE REPUBLIC OF INDONESIA AND THE GOVERNMENT OF THE UNITED KINGDOM OFGREAT BRITAIN AND NOTHERN IRELAND ON COPYRIGHT PROTECTION Oleh: PRESIDEN

Lebih terperinci

PENGATURAN PRICE FIXING DALAM KEGIATAN USAHA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999

PENGATURAN PRICE FIXING DALAM KEGIATAN USAHA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 PENGATURAN PRICE FIXING DALAM KEGIATAN USAHA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 Oleh: Andiny Manik Sharaswaty I Gusti Agung Ayu Dike Widhiaastuti Bagian Hukum Bisnis, Fakultas Hukum, Universitas

Lebih terperinci

Kata Kunci: Ekspresi budaya tradisional, Tarian tradisional, Perlindungan Hukum

Kata Kunci: Ekspresi budaya tradisional, Tarian tradisional, Perlindungan Hukum vi TINJAUAN YURIDIS TARIAN TRADISIONAL DALAM RANGKA EKSPRESI BUDAYA TRADISIONAL YANG DIGUNAKAN WARGA NEGARA ASING DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2002 TENTANG HAK CIPTA ABSTRAK Indonesia merupakan

Lebih terperinci

2 negara lain. Dari situlah kemudian beberapa negara termasuk Indonesia berinisiatif untuk membentuk organisasi yang berguna untuk mengatur seluruh pe

2 negara lain. Dari situlah kemudian beberapa negara termasuk Indonesia berinisiatif untuk membentuk organisasi yang berguna untuk mengatur seluruh pe BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam era globalisasi ini, keterbukaan, keterkaitan, ketergantungan, serta persaingan antar negara khususnya dalam bidang ekonomi semakin tidak dapat dihindari.adanya

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2017 TENTANG PENGESAHAN PROTOCOL AMENDING THE MARRAKESH AGREEMENT ESTABLISHING THE WORLD TRADE ORGANIZATION (PROTOKOL PERUBAHAN PERSETUJUAN MARRAKESH MENGENAI

Lebih terperinci

KEBIJAKAN EKONOMI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

KEBIJAKAN EKONOMI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL KEBIJAKAN EKONOMI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL Rikky Herdiyansyah SP., MSc Pengertian Kebijakan Ek. Internasional Tindakan/ kebijakan ekonomi pemerintah, yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi

Lebih terperinci

NASKAH PENJELASAN PENGESAHAN

NASKAH PENJELASAN PENGESAHAN NASKAH PENJELASAN PENGESAHAN SECOND PROTOCOL TO AMEND THE AGREEMENT ON TRADE IN GOODS UNDER THE FRAMEWORK AGREEMENT ON COMPREHENSIVE ECONOMIC COOPERATION AMONG THE GOVERNMENTS OF THE MEMBER COUNTRIES OF

Lebih terperinci

Monopolistic competition is a market in which many firms produce similar goods or services but each maintains some

Monopolistic competition is a market in which many firms produce similar goods or services but each maintains some Apa ciri pasar persaingan monopolistik? Monopolistic competition is a market in which many firms produce similar goods or services but each maintains some independent control of its own price. Mengapa

Lebih terperinci

RESUME PAJAK INTERNASIONAL

RESUME PAJAK INTERNASIONAL RESUME PAJAK INTERNASIONAL ARTIKEL 5 & 7 DISUSUN OLEH : SIGIT HARNOWO (1106134575) FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK 2013 COMMENTARY OF ARTICLE 5 CONCERNING THE DEFINITION

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 133, 2002 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 84 TAHUN 2002 TENTANG TINDAKAN PENGAMANAN INDUSTRI DALAM

Lebih terperinci

Disampaikan Oleh : Prof. Dr. Jamal Wiwoho, S.H., M.Hum

Disampaikan Oleh : Prof. Dr. Jamal Wiwoho, S.H., M.Hum Disampaikan Oleh : Prof. Dr. Jamal Wiwoho, S.H., M.Hum. www.jamalwiwoho.com 1 RIWAYAT HIDUP IDENTITAS DIRI: Prof Dr. JAMAL WIWOHO,SH,MHum Magelang 8 Nopember 1962 Tempat tinggal: Jl Manunggal 1/43 Solo,

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Copyright (C) 2000 BPHN KEPPRES 88/1996, PENGESAHAN PROTOCOL AMENDING THE CONVENTION BETWEEN THE GOVERNMENT OF THE REPUBLIC OF INDONESIA AND THE GOVERNMENT OF THE UNITED STATES OF AMERICA FOR THE AVOIDANCE

Lebih terperinci

KAJIAN ATAS UJI KEWAJARAN NILAI TRANSAKSI DALAM PENETAPAN NILAI PABEAN

KAJIAN ATAS UJI KEWAJARAN NILAI TRANSAKSI DALAM PENETAPAN NILAI PABEAN KAJIAN ATAS UJI KEWAJARAN NILAI TRANSAKSI DALAM PENETAPAN NILAI PABEAN Mohamad Jafar Widyaiswara Pusdiklat Bea dan Cukai Pada prinsipnya nilai pabean yang digunakan untuk menghitung besarnya bea masuk

Lebih terperinci

BAB II KEBIJAKAN PERLINDUNGAN PRODUK DALAM NEGERI DALAM KERANGKA PASAR TUNGGAL ASEAN BERDASARKAN MASYARAKAT EKONOMI ASEAN (MEA)

BAB II KEBIJAKAN PERLINDUNGAN PRODUK DALAM NEGERI DALAM KERANGKA PASAR TUNGGAL ASEAN BERDASARKAN MASYARAKAT EKONOMI ASEAN (MEA) BAB II KEBIJAKAN PERLINDUNGAN PRODUK DALAM NEGERI DALAM KERANGKA PASAR TUNGGAL ASEAN BERDASARKAN MASYARAKAT EKONOMI ASEAN (MEA) A. Sejarah Perdagangan Bebas Perdagangan adalah kegiatan transaksi barang

Lebih terperinci

KEGIATAN YANG DILARANG

KEGIATAN YANG DILARANG KEGIATAN YANG DILARANG Ditha Wiradiputra Bahan Mengajar Mata Kuliah Hukum Persaingan Usaha Fakultas Hukum Universitas indonesia 2008 Pendahuluan Perlunya pengaturan terhadap kegiatan pelaku usaha di dalam

Lebih terperinci

PENGATURAN PENANAMAN MODAL ASING DI BIDANG JASA PERDAGANGAN EKSPOR

PENGATURAN PENANAMAN MODAL ASING DI BIDANG JASA PERDAGANGAN EKSPOR PENGATURAN PENANAMAN MODAL ASING DI BIDANG JASA PERDAGANGAN EKSPOR Oleh : I Ketut Alit Diputra A.A. Istri Ari Atu Dewi Hukum Keperdataan, Fakultas Hukum, Universitas Udayana ABSTRAK Pengaturan pendirian

Lebih terperinci

AKIBAT HUKUM PEMBATALAN INITIAL PUBLIC OFFERING TERHADAP EMITEN DAN INVESTOR

AKIBAT HUKUM PEMBATALAN INITIAL PUBLIC OFFERING TERHADAP EMITEN DAN INVESTOR TESIS AKIBAT HUKUM PEMBATALAN INITIAL PUBLIC OFFERING TERHADAP EMITEN DAN INVESTOR OLEH: HERNY WAHDANIYAH WAHAB, S.H. NIM: 031314253110 PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS AIRLANGGA

Lebih terperinci

Universitas Kristen Maranatha ABSTRAK

Universitas Kristen Maranatha ABSTRAK ABSTRAK LANGKAH-LANGKAH HUKUM YANG DAPAT DILAKUKAN OLEH BANK TERKAIT MUSNAHNYA BARANG JAMINAN FIDUSIA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA JUNCTO UNDANG-UNDANG NOMOR 40

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 84 TAHUN 2002 TENTANG TINDAKAN PENGAMANAN INDUSTRI DALAM NEGERI DARI AKIBAT LONJAKAN IMPOR

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 84 TAHUN 2002 TENTANG TINDAKAN PENGAMANAN INDUSTRI DALAM NEGERI DARI AKIBAT LONJAKAN IMPOR KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 84 TAHUN 2002 TENTANG TINDAKAN PENGAMANAN INDUSTRI DALAM NEGERI DARI AKIBAT LONJAKAN IMPOR PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pelaksanaan komitmen

Lebih terperinci

TINJAUAN EKONOMI SYARIAH TERHADAP PRAKTIK DUMPING DALAM PERDAGANGAN INTERNASIONAL

TINJAUAN EKONOMI SYARIAH TERHADAP PRAKTIK DUMPING DALAM PERDAGANGAN INTERNASIONAL TINJAUAN EKONOMI SYARIAH TERHADAP PRAKTIK DUMPING DALAM PERDAGANGAN INTERNASIONAL SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Syarat-Syarat Mencapai Gelar Sarjana Ekonomi Syariah

Lebih terperinci

Kebijakan Ekonomi & Perdagangan Internasional. By: Afrila Eki Pradita, S.E., MMSI

Kebijakan Ekonomi & Perdagangan Internasional. By: Afrila Eki Pradita, S.E., MMSI Kebijakan Ekonomi & Perdagangan Internasional By: Afrila Eki Pradita, S.E., MMSI Tindakan/ kebijakan ekonomi pemerintah, yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi komposisi, arah serta bentuk

Lebih terperinci

2 b. bahwa Persetujuan dimaksudkan untuk menetapkan prosedur penyelesaian sengketa dan mekanisme formal untuk Persetujuan Kerangka Kerja dan Perjanjia

2 b. bahwa Persetujuan dimaksudkan untuk menetapkan prosedur penyelesaian sengketa dan mekanisme formal untuk Persetujuan Kerangka Kerja dan Perjanjia LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.93, 2015 PENGESAHAN. Agreement. Asosiasi Bangsa- Bangsa Asia Tenggara. Republik India. Penyelesaian Sengketa. Kerja Sama Ekonomi. PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata Kunci : Asas Pembuktian Sederhana, Kepailitan, Alternatif Penyelesaian Sengketa.

ABSTRAK. Kata Kunci : Asas Pembuktian Sederhana, Kepailitan, Alternatif Penyelesaian Sengketa. ABSTRAK Hal yang lazim dilakukan dalam dunia bisnis modern adalah untuk kecepatan dan kepastian dalam transaksi bisnis, dalam era dimana semua pihak seakan-akan sudah berkonsentrasi pada kepentingan pihak

Lebih terperinci

Kebijakan Perdagangan Produk Pertanian

Kebijakan Perdagangan Produk Pertanian Kebijakan Perdagangan Produk Pertanian Kebijakan Yang Mempengaruhi Insentif Bagi Produsen : Kebijakan Perdagangan Produk Pertanian Julian Adam Ridjal, SP., MP. PS Agribisnis Universitas Jember Website

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan bisnis yang berkembang sangat pesat. perhatian dunia usaha terhadap kegiatan bisnis

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan bisnis yang berkembang sangat pesat. perhatian dunia usaha terhadap kegiatan bisnis BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perdagangan internasional merupakan salah satu bagian dari kegiatan ekonomi atau kegiatan bisnis yang berkembang sangat pesat. perhatian dunia usaha terhadap

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 88 TAHUN 1996 TENTANG PENGESAHAN PROTOCOL AMENDING THE CONVENTION BETWEEN THE GOVERNMENT OF THE REPUBLIC OF INDONESIA AND THE GOVERNMENT OF THE UNITED STATES

Lebih terperinci

KEDUDUKAN PIHAK KETIGA DALAM PERADILAN TATA USAHA NEGARA

KEDUDUKAN PIHAK KETIGA DALAM PERADILAN TATA USAHA NEGARA 1 KEDUDUKAN PIHAK KETIGA DALAM PERADILAN TATA USAHA NEGARA Abstract In settlement of dispute in the administrative court it is possible there are interested third parties in the case of others who want

Lebih terperinci

MINGGU 7. MARKET OVER SPACE

MINGGU 7. MARKET OVER SPACE MINGGU 7. MARKET OVER SPACE Oleh TIM TATANIAGA PRODUK AGRIBISNIS DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013 Markets Over Space Harga produk agrbis akan bervariasi

Lebih terperinci

ANALISIS KOMPARATIF YURIDIS KEBIJAKAN ANTI DUMPING ANTARA INDONESIA DAN FILIPINA TESIS

ANALISIS KOMPARATIF YURIDIS KEBIJAKAN ANTI DUMPING ANTARA INDONESIA DAN FILIPINA TESIS ANALISIS KOMPARATIF YURIDIS KEBIJAKAN ANTI DUMPING ANTARA INDONESIA DAN FILIPINA TESIS OLEH NOVIE ANDRIANI KESUMA 117005067 / HK PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Lebih terperinci

Abigail Allo Karangan

Abigail Allo Karangan TINJAUAN YURIDIS TERHADAP TANGGUNG JAWAB BADAN USAHA DALAM PELAKSANAAN KEWAJIBAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN DAN LINGKUNGAN DALAM SISTEM HUKUM INDONESIA Abigail Allo Karangan 0987006 ABSTRAK Perkembangan

Lebih terperinci

2 b. bahwa Persetujuan dimaksudkan untuk menetapkan prosedur penyelesaian sengketa dan mekanisme formal untuk Persetujuan Kerangka Kerja dan Perjanjia

2 b. bahwa Persetujuan dimaksudkan untuk menetapkan prosedur penyelesaian sengketa dan mekanisme formal untuk Persetujuan Kerangka Kerja dan Perjanjia No.92, 2015 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PENGESAHAN. Agreement. Asosiasi Bangsa-Bangsa Asia Tenggara. Republik Rakyat Tiongkok. Penyelesaian Sengketa. Kerja Sama Ekonomi. PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perdagangan internasional menghendaki pasar yang terbuka bagi produk-produk

BAB I PENDAHULUAN. Perdagangan internasional menghendaki pasar yang terbuka bagi produk-produk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perdagangan internasional menghendaki pasar yang terbuka bagi produk-produk ekspor di setiap negara. Keadaan ini menyebabkan setiap negara maupun pengusaha di suatu

Lebih terperinci

UNIT PENYEDIA INFORMASI: Direktorat Perundingan Multilateral, Direktorat Perundingan Perdagangan Internasional, Kementerian Perdagangan RI

UNIT PENYEDIA INFORMASI: Direktorat Perundingan Multilateral, Direktorat Perundingan Perdagangan Internasional, Kementerian Perdagangan RI Rencana Menjadi Pihak Ketiga didalam Kasus Sengketa DS508: China Export Duties on Certain Raw Materials Dalam Kerangka Mekanisme Penyelesaian Sengketa (Dispute Settlement Mechanism) Organisasi Perdagangan

Lebih terperinci

ANALISIS PENENTUAN HARGA JUAL BERDASARKAN METODE COST- PLUS PRICING DENGAN PENDEKATAN FULL COSTING

ANALISIS PENENTUAN HARGA JUAL BERDASARKAN METODE COST- PLUS PRICING DENGAN PENDEKATAN FULL COSTING ANALISIS PENENTUAN HARGA JUAL BERDASARKAN METODE COST- PLUS PRICING DENGAN PENDEKATAN FULL COSTING Yuli Ernie Riswandari Dosen Universitas Bunda Mulia e-mail : eriswandari@bundamulia.ac.id ABSTRACT The

Lebih terperinci

BAHAN KULIAH HUKUM PERNIAGAAN/PERDAGANGAN INTERNASIONAL MATCH DAY 7 WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO)

BAHAN KULIAH HUKUM PERNIAGAAN/PERDAGANGAN INTERNASIONAL MATCH DAY 7 WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO) BAHAN KULIAH HUKUM PERNIAGAAN/PERDAGANGAN INTERNASIONAL MATCH DAY 7 WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO) A. Sejarah WTO World Trade Organization (WTO) adalah suatu organisasi perdagangan antarbangsabangsa dengan

Lebih terperinci

Membantu Indonesia Menyediakan Perlindungan terhadap Praktik Perdagangan yang Tidak Adil dan Lonjakan Impor

Membantu Indonesia Menyediakan Perlindungan terhadap Praktik Perdagangan yang Tidak Adil dan Lonjakan Impor RI N G K ASA N KEG IATA N MARET 20 22, 2017, JAKARTA TPSA CANADA INDONESIA TRADE AND PRIVATE SECTOR ASSISTANCE PROJECT Membantu Indonesia Menyediakan Perlindungan terhadap Praktik Perdagangan yang Tidak

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 84 TAHUN 2002 TENTANG TINDAKAN PENGAMANAN INDUSTRI DALAM NEGERI DARI AKIBAT LONJAKAN IMPOR

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 84 TAHUN 2002 TENTANG TINDAKAN PENGAMANAN INDUSTRI DALAM NEGERI DARI AKIBAT LONJAKAN IMPOR KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 84 TAHUN 2002 TENTANG TINDAKAN PENGAMANAN INDUSTRI DALAM NEGERI DARI AKIBAT LONJAKAN IMPOR PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa pelaksanaan komitmen

Lebih terperinci