BAB II KEBIJAKAN PERLINDUNGAN PRODUK DALAM NEGERI DALAM KERANGKA PASAR TUNGGAL ASEAN BERDASARKAN MASYARAKAT EKONOMI ASEAN (MEA)

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II KEBIJAKAN PERLINDUNGAN PRODUK DALAM NEGERI DALAM KERANGKA PASAR TUNGGAL ASEAN BERDASARKAN MASYARAKAT EKONOMI ASEAN (MEA)"

Transkripsi

1 BAB II KEBIJAKAN PERLINDUNGAN PRODUK DALAM NEGERI DALAM KERANGKA PASAR TUNGGAL ASEAN BERDASARKAN MASYARAKAT EKONOMI ASEAN (MEA) A. Sejarah Perdagangan Bebas Perdagangan adalah kegiatan transaksi barang dan/atau jasa yang melewati batas wilayah suatu negara yang mempunyai tujuan pengalihan hak atas barang dan/atau jasa agar mendapatkan imbalan. 25 Perdagangan sebagai pilar pertumbuhan ekonomi di seluruh Negara di dunia, telah dilakukan sejak ratusan tahun yang lalu. Perdagangan bebas adalah kebijakan di mana pemerintah tidak melakukan diskriminasi terhadap impor atau ekspor. Perdagangan bebas dicontohkan oleh Area Ekonomi Eropa/Uni Eropa dan Perjanjian Perdagangan Bebas Amerika Utara, yang telah mendirikan pasar terbuka dengan sangat sedikit pembatasan perdagangan. 26 Perdagangan bebas berkembang akibat dari adanya globalisasi ekonomi dunia. Sejarah dari perdagangan bebas adalah sejarah perdagangan internasional yang fokus terhadap pasar terbuka untuk bertransaksi dalam perdagangan. 25 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan Pasal 1 ayat 1 26 Afiana, Arsy. (2015). PENDIDIKAN ISLAM DAN PASAR BEBAS. Jurnal Manajemen Pendidikan Islam [Online], Volume 3, halaman 22. Tersedia: 0ISLAM%20DAN%20PASAR%20BEBAS. [diakses pada 21 September 2016]

2 Pengertian perdagangan bebas menurut David Ricardo, perdagangan bebas merupakan sistem perdagangan luar negeri dimana setiap negara melakukan perdagangan tanpa ada halangan negara. Menurut Adam Smith, pasar bebas sebagai suatu wadah untuk menampung yang dihasilkan oleh setiap individu yang berpangkal pada paham kebebasan yang diberikan kepada pelaku pelaku ekonomi untuk menjalankan kegiatan ekonomi sesuai dengan keinginan mereka tanpa ada campur tangan pemerintah. 27 Istilah perdagangan internasional (International Trade) atau perdagangan bangsa-bangsa, dimulai di Benua Eropa yang kemudian berkembang di Asia dan Afrika. Negara-negara yang tergabung dalam kegiatan perdagangan internasional ini kemudian membentuk suatu persetujuan dagang dan tarif (General Agreement on Tariff and Trade/GATT) yang berkembang menjadi suatu organisasi perdagangan internasional, yang dikenal dengan Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO). 28 World Trade Organization (WTO) sebagai organisasi internasional dalam hubungan ekonomi dan pembangunan antarbangsa yang berperan dalam mengatur hubungan perdagangan internasional dalam rangka peningkatan pembangunan ekonomi dan standar hidup bagi negara-negara anggotanya. Perdagangan bebas sebagai bagian dari globalisasi merupakan kemestian yang tidak dapat dihindari. Perdagangan bebas menyatukan dunia dalam distribusi barang. Tidak ada diskriminasi antara barang impor dengan barang produk domestik dimana sebelumnya barang impor akan dikenai pungutan negara berupa 27 Wijatno, Serian dan Dr. Ariawan Gunadi, S.H., M.H. Perdagangan Bebas Dalam Perspektif Hukum Perdagangan Internasional, (Jakarta: PT. Grasindo, 2014), halaman Sood, Muhammad., Op.cit., halaman 17

3 bea masuk sehingga barang impor mengalami kenaikan harga. Kondisi ini menjadikan konsumen dirugikan. 29 Perdagangan bebas berniat menghapus diskriminasi atas barang impor dengan menghapus bea masuk sehingga dapat dilakukan penekanan harga jual. Produsen yang tidak mampu menjual barang dengan harga murah akan kalah bersaing melawan produsen yang efisien hingga sehingga mampu menjual barang dengan harga lebih murah. Semua pihak saat ini sedang berlomba menghadirkan barang dengan harga murah ke seluruh dunia melalui perdagangan bebas. Kerjasama ekonomi di dalam wilayah ASEAN dimulai dengan pembentukan kawasan pasar bebas ASEAN atau yang dikenal dengan ASEAN Free Trade Area (AFTA). ASEAN Free Trade Area (AFTA) diusulkan pertama kali oleh Perdana Menteri Thailand, Anand Panyarachun, yang kemudian diwujudkan dalam Deklarasi Singapura pada Januari 1992 dengan niat untuk membentuk blok atau kawasan bebas ASEAN 15 tahun kemudian. ASEAN Free Trade Area (AFTA) adalah kesepakatan untuk melakukan kerjasama perdagangan dan ekonomi di wilayah ASEAN untuk menciptakan situasi perdagangan yang seimbang dan adil melalui penurunan tarif barang perdagangan dimana tidak ada hambatan tariff (bea masuk 0 5 %) maupun hambatan non tariff bagi negara-negara anggota ASEAN. 31 Tujuan ASEAN Free Trade Area (AFTA) adalah meningkatkan daya saing ekonomi negara-negara ASEAN dengan menjadikan ASEAN sebagai basis industri%20domestik%20dalam%20perdagangan%20bebas_1_.pdf diakses pada 06 April Ibid diakses pada 02 Oktober 2016

4 produksi pasar dunia, untuk menarik investasi dan meningkatkan perdagangan antar anggota ASEAN. Barang-barang yang diproduksi di antara negara ASEAN memenuhi ketentuan setidak-tidaknya 40 % kandungan lokal dan akan dikenai tarif hanya 0-5 %. Untuk meningkatkan kerja sama di bidang perdagangan jasa antar negara anggota ASEAN (AMS), dibentuklah ASEAN Framework Agreement on Services (AFAS) pada tanggal 15 Desember 1995 di Bangkok, Thailand oleh Menterimenteri Ekonomi ASEAN. ASEAN Framework Agreement on Service (AFAS) bertujuan untuk : Meningkatkan kerja sama di bidang jasa antara negara negara anggota asean (ASEAN member states) dalam rangka meningkatkan efisiensi dan daya saing, diversifikasi kapasitas produksi serta pasokan dan distribusi jasa, baik antara para penyedia jasa di ASEAN maupun luar ASEAN. 2. Menghapus hambatan perdagangan jasa antara AMS. 3. Memperdalam dan memperluas cakupan liberalisasi yang telah dilakukan dalam kerangka GATS/WTO yang bertujuan untuk merealisasikan area perdagangan bebas bidang jasa. Sejumlah hambatan perdagangan yang tertimpa dalam perjanjian perdagangan bebas. Pajak, tarif, dan kuota impor semua dihilangkan, seperti subsidi, keringanan pajak, dan bentuk-bentuk dukungan kepada produsen dalam negeri. Pembatasan aliran mata uang juga diangkat, seperti juga peraturan yang dapat dianggap penghalang untuk perdagangan bebas. Perdagangan bebas 32 diakses pada 21 September 2016

5 memungkinkan perusahaan asing untuk berdagang seperti efisien, mudah, dan efektif seperti produsen dalam negeri. 33 Dengan diadakannya perdagangan bebas, produsen dalam negeri tidak akan lagi dapat mengandalkan subsidi pemerintah dan bentuk bantuan lainnya, termasuk kuota yang pada dasarnya memaksa warga untuk membeli dari produsen dalam negeri, sementara perusahaan asing dapat membuat terobosan dan inovasi baru ketika hambatan perdagangan diangkat. Perdagangan bebas juga dapat mendorong kerja sama internasional, dengan mendorong negara-negara untuk bebas bertukar barang dan warga negara. Perjanjian antara mitra dagang juga dapat mempromosikan keunggulan pendidikan, seperti mengirim insinyur untuk melatih dengan orang-orang di bagian atas bidang teknik dalam satu negara, atau mengirim ahli pertanian ke daerah pedesaan untuk mengajar orang tentang teknik pertanian baru dan praktek keamanan pangan. Perdagangan bebas seringkali ditentang karena dianggap merugikan produsen dalam negeri dengan membuka kompetisi untuk perusahaan yang beroperasi di negara-negara dengan undang-undang tenaga kerja yang kurang ketat serta keamanan produk antara konsumen. Di Uni Eropa, misalnya, ada aturan khusus tentang jam kerja, tarif wajar gaji, kondisi kerja, dan sebagainya, yang menyebabkan naiknya biaya produksi bagi perusahaan yang beroperasi di Uni Eropa. Sebaliknya, hukum perburuhan di banyak negara berkembang jauh diakses pada 10 April

6 lebih longgar, yang memungkinkan perusahaan untuk menghasilkan produk dengan biaya rendah. Adanya kegiatan perdagangan antar negara yang kemudian dikenal dengan kerja sama perdagangan internasional 34 yang dilakukan oleh penduduk suatu negara dengan negara lain atas kesepakatan bersama. Penduduk yang dimaksud dapat berupa antara individu dengan individu, individu dengan pemerintah suatu negara atau pemerintah suatu negara dengan pemerintah lain. Perkembangan perekonomian yang semakin pesat sekarang ini telah mengarah kepada terbentuknya ekonomi global, termasuk di kawasan ASEAN, seperti dibentuknya blok-blok perdagangan regional seperti ASEAN Free Trade Area (AFTA), maupun Asia Pasific Economy Cooperation (APEC), dan saat ini memasuki era ASEAN Economic Community (AEC). ASEAN Economic Community (AEC) atau yang dikenal juga sebagai Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), sebagai suatu perjanjian perdagangan bebas untuk kawasan Asia Tenggara mengakibatkan produk-produk dari negara-negara di Asia Tenggara dapat membanjiri negara-negara lain anggota ASEAN dengan lebih mudah. Keuntungan yang didapat dengan adanya perdagangan bebas, yaitu : 1. Menambah peluang kesempatan kerja. Dengan adanya perdagangan bebas, pasar barang dan jasa dari suatu negara menjadi lebih luas sehingga pemasaran atas hasil produksi tidak lagi hanya mengandalkan pasar dalam negeri namun juga bisa mengandalkan pasar internasional yang pasarnya sangat luas. Maka, 34 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan Pasal 1 ayat Emirzon, Joni. Aspek-Aspek Hukum Perusahaan Jasa Penilai (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000), halaman 1. 35

7 jumlah produk barang dan jasa yang dihasilkan bertambah yang mengakibatkan permintaan terhadap tenaga kerja pun jumlahnya meningkat. 2. Terciptanya efisiensi alokasi sumber daya dan spesialisasi. Dengan adanya perdagangan bebas, suatu negara hanya akan memproduksi barang dan jasa tertentu yang dianggap paling menguntungkan dan efisien apabila dihasilkan di negaranya dibandingkan jika dihasilkan di negara lain. Sehingga semua negara akan melakukan spesialisasi pada produk tertentu saja, akibatnya akan terjadi efisiensi dalam penggunaan sumber daya. 3. Mendorong percepatan kemajuan di bidang IPTEK. Perdagangan sebagai persaingan atas harga dan kualitas mengharuskan barang dan jasa yang ditawarkan harus lebih unggul dalam kualitas dan murah dalam harga, hal ini hanya bisa diraih dengan terus mengembangkan IPTEK. 4. Perdagangan bebas dapat meningkatkan pendapatan suatu negara. Jika dalam pasar domestik terjadi kelebihan barang, maka dapat dijual pada negara yang membutuhkannya. Semakin tinggi daya jual, maka semakin besar pula pendapatan yang diterima suatu negara, sehingga dapat memakmurkan rakyatnya. Negara-negara anggota ASEAN bertujuan menciptakan pasar tunggal dan basis produksi yang stabil, makmur, sangat kompetitif, dan terintegrasi secara

8 ekonomis melalui fasilitasi yang efektif untuk perdagangan dan investasi diantara negara-negara anggota ASEAN melalui bantuan timbal balik dan kerja sama. 36 Dalam melaksanakan upaya-upaya liberalisasi, negara-negara anggota akan berpedoman pada prinsip-prinsip sebagai berikut : Liberalisasi melalui formula ASEAN minus X dimana Negara-negara yang telah siap dapat lebih dahulu melaksanakan liberalisasi dan Negara yang belum siap dapat bergabung kemudian. 2. Proses liberalisasiharus sesuia dengan tujuan kebijakan nasional dan tingkat harus dan tingkat pembangunan ekonomi serta kauanagan di setaiap Negara anggota. Ruang lingkup perdagangan bebas dalam Mayarakat Ekonomi ASEAN (MEA) sebagai pasar tunggal dan basis produksi, yaitu 38 : 1. Aliran bebas barang ditetapkan sebagai salah satu sarana utama dalam mewujudkan pasar tunggal dan basis produksi. Pasar tunggal untuk barang dan jasa juga akan mempermudah pengembangan jaringan produksi di kawasan dan meningkatkan kapasitas Asean sebagai pusat produksi global atau sebagai bagian dari mata rantai pasokan global. Dalam aliran bebas barang ini tidak hanya diperlukan penghapusan tarif juga penghapusan non-tarif. 2. Aliran bebas sektor jasa ditetapkan sebagai salah satu elemen penting dalam mewujudkan Komunitas Ekonomi Asean yang di dalamnya tidak ada hambatan bagi para pemasok jasa Asean dalam penyediaan jasanya 36 ASEAN Charter (Piagam ASEAN) Bab I Pasal 1 Angka 5 dan 6 37 ASEAN Economic Community Blueprint 2025, Op.cit., halaman Ibid.

9 secara lintas-negara di kawasan, sesuai dengan aturan domestik di setiap negara anggota. Liberalisasi sektor jasa dirundingkan dalam beberapa putaran negosiasi, khususnya melalui Asean Coordinating Committee on Service (CCS). Negosiasi untuk sektor tertentu seperti jasa keuangan dan transportasi negara dilaksanakan melalui kementerian terkait. Dalam meliberalisasi sektor jasa tidak diperkenankan untuk menarik kembali komitmen dan fleksibilitas yang disepakati oleh seluruh negara anggota Asean. 3. Aliran bebas investasi yang bebas dan terbuka merupakan kunci untuk meningkatkan daya saing Asean dalam menarik penanaman bermodal asing langsung termasuk investasi intra-asean. Aliran masuk investasi baru dan peningkatan investasi yang telah ada akan mendorong dan menjamin pembangunan ekonomi Asean yang dinamis. 4. Aliran modal yang lebih bebas ditetapkan untuk memperkuat pengembangan dan integrasi pasar modal Asean, mengijinkan mobilitas modal yang lebih tinggi dengan liberalisasi pergerakan modal dan mencapai harmonisasi yang lebih baik dalam hal standar pasar modal Asean di bidang ketentuan penawaran surat utang dll. 5. Arus bebas lalu lintas tenaga kerja terampil adalah dalam rangka mengijinkan mobilitas yang terkelola serta memfasilitasi masuknya tenaga kerja yang terlibat dalam perdagangan barang, jasa dan investasi sesuai dengan peraturan yang berlaku di negera penerima. Sektor integrasi

10 prioritas dalam MEA ini sebanyak dua belas sektor prioritas ekonomi yang telah diidentifikasi untuk mempercepat integrasi ekonomi. Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) akan menjadi kesempatan yang baik dalam perdagangan suatu negara karena hambatan perdagangan akan cenderung berkurang bahkan menjadi tidak ada. Hal tersebut akan berdampak pada peningkatan eskpor yang pada akhirnya akan meningkatkan produk domestik bruto suatu negara. Pada sisi investasi, kondisi ini dapat menciptakan iklim yang mendukung masuknya Foreign Direct Investment (FDI) yang dapat menstimulus pertumbuhan ekonomi melalui perkembangan teknologi, penciptaan lapangan kerja, pengembangan sumber daya manusia (human capital) dan akses yang lebih mudah kepada pasar dunia. ASEAN telah membentuk suatu perjanjian (agreement) di bidang investasi guna menunjang keterlibatan negara ASEAN dalam program ASEAN Economic Community 2015 (AEC 2015) yang mulai secara efektif di implementasikan pada 31 Desember Perjanjian ini dikenal dengan Asean Comprehensive Investment Agreement (ACIA) yang kemudian diratifikasi Indonesia melalui Peraturan Presiden No. 49 tahun 2011 tentang Pengesahan ASEAN Comprehensive Investment Agreement (Persetujuan Penanaman Modal Menyeluruh ASEAN). 39 Meningkatkan daya saing ekspor serta mendorong ekonomi ASEAN menuju pasar tunggal untuk barang, jasa dan investasi serta berbasis produksi 39 diakses pada 21 September 2016

11 tunggal ASEAN diperlukan sutau lingkungan perdagangan dan kepabeanan, proses, prosedur dan arus informasi yang konsisten, transparan dan dapat diprediksi bagi transaksi pedagangangan ASEAN. Dalam rangka melancarkan perdagangan bebas dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), World Trade Organization (WTO) mengeluarkan suatu perjanjian fasilitas perdagangan yang bertujuan untuk melakukan pemangkasan biaya-biaya di pelabuhan, penyederhanaan proses dan perizinan. 40 Fasilitas perdagangan diharapkan dapat mengurangi biaya transaksi ASEAN sehingga dapat meningkatkan daya saing ekspor dan mempermudah masyarakat ASEAN menuju pasar tunggal dan basis produksi untuk barang,jasa,dan investasi. Tindakan fasilitas perdagangan yang dilakukan dalam perdagangan bebas Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), antara lain: Memberikan penilaian terhadap kondisi fasilitas perdagangan di ASEAN. 2. Mengembangkan dan mengimplementasikan program kerja fasilitas perdagangan yang menyeluruh dengan tujuan menyederhanakan, menyelaraskan dan mengstandarisasi prosedur, proses, dan arus informasi yang terkait dengan kepabeanan dan perdagangan. 3. Meningkatkan transparansi dan visibilitas seluruh tindakan dan intervensi yang dilakukan oleh seluruh pemangku kepentingan dalam transaksi perdagangan internasional. 4. Membentuk mekanisme kerja sama fasilitas perdagangan kawasan diakses pada 10 Mei ASEAN Economic Community Blueprint 2025 (Cetak Biru Komunitas Ekonomi ASEAN 2025)

12 5. Membentuk ASEAN Trade Facilitation Repository 6. Mengembangkan upaya-upaya nasional untuk mendukung dan menjamin implementasi secara efektif inisiatif-inisiatif tingkat kawasan. 7. Mengembangkan program peningkatan kapasitas yang komprehensif untuk menjamin kelancaran implementasi program kerja Di Indonesia sendiri, Presiden Joko Widodo menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 13 Tahun 2015 tentang Kebijakan Fasilitas Perdagangan Bebas di Dalam Negeri. Instruksi pada 23 Desember 2015, lalu menitahkan sejumlah menteri untuk mengawasi pelaksanaan kebijakan pemberian fasilitas perdagangan bebas sekaligus mengembangkan daya saing industri nasional. 42 Adapun pembagian tugas yang diberikan presiden kepada para mentrinya, yaitu : 1. Menteri Perekonomian diminta presiden untuk memimpin pemantauan, mengevaluasi, dan melakukan harmonisasi kebijakan-kebijakan yang akan diterbitkan terkait pemberian fasilitas perdagangan bebas di dalam negeri. 2. Menteri Keuangan mempunyai tugas : a. Menangguhkan bea masuk yang dikenakan atas impor bahan baku, komponen, dan barang penolong yang digunakan untuk membuat barang dalam kegiatan usaha pada kawasan industri yang mendapatkan fasilitas perdagangan bebas di dalam negeri. b. Tidak memungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) bagi penyerahan dalam negeri atas bahan baku, komponen, dan barang penolong 42 diakses pada 10 Mei 2016

13 yang berasal dari produksi dalam negeri maupun antar kawasan atau tempat atau industri tertentu yang mendapatkan fasilitas perdagangan bebas di dalam negeri. c. Mengenakan bea masuk 0 persen atas impor barang yang dimaksud pada butir 1, yang telah digunakan untuk memproduksi barang hasil produksi pada kawasan atau tempat atau industri tertentu yang mendapatkan fasilitas perdagangan bebas di dalam negeri yang dijual ke pasar dalam negeri. Syaratnya barang hasil produksi tersebut memiliki tingkat kandungan dalam negeri sedikitnya 40 persen. 3. Menteri Perdagangannya bertugas untuk menyusun aturan mengenai kemudahan dan kecepatan pemberian Surat Keterangan Asal barang Indonesia (SKAB) dan Surat Keterangan Asal (SKA) lainnya yang diperlukan untuk mendapatkan preferensi tarif dalam rangka kerja sama perdagangan internasional. 4. Menteri Perindustrian diinstruksikan untuk menyusun aturan terkait: a. Penetapan industri tertentu, kawasan atau tempat tertentu yang mendapatkan fasilitas perdagangan bebas di dalam negeri. b. Pemberian sertifikat Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) untuk barang hasil produksi industri tertentu, kawasan atau tempat tertentu yang mendapatkan fasilitas perdagangan bebas di dalam negeri.

14 5. Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal ditugaskan menyusun aturan mengenai kemudahan dan percepatan pemberian perizinan investasi dalam rangka pelaksanaan kebijakan pengaturan pemberian fasilitas perdagangan bebas di dalam negeri. B. Perlindungan Terhadap Industri Dalam Negeri Dalam Perdagangan Bebas di ASEAN Organisasi Perdagangan Dunia atau yang lebih dikenal dengan nama the World Trade Organization (WTO) telah tumbuh dan berkembang menjadi salah satu organisasi internasional yang paling penting dan berpengaruh dalam hubungan ekonomi dan pembangunan antar bangsa. Organisasi ini mengatur hubungan perdagangan internasional dalam rangka peningkatan pembangunan ekonomi dan standard hidup bagi negara-negara anggotanya. Setelah Indonesia meratifikasi Undang-undang Nomor 7 tahun 1994 tentang pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia) yang membuat Indonesia menjadi anggota perdagangan dunia, membuat Indonesia harus mematuhi seluruh hasil kesepakatan dalam forum WTO, serta melakukan harmonisasi peraturan perundang-undangan nasional sesuai dengan hasil kesepakatan WTO. 43 World Trade Organization (WTO) menerapkan prinsip dasar dalam perlindungan terhadap industry dalam negeri anggotanya, yaitu : 43 Sood, Muhammad. Hukum Perdagangan Internasional, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), halaman 1.

15 1. Anti Dumping Dumping adalah praktik dagang yang dilakukan oleh pengekspor dengan harga jual yang kurang dari nilai wajar atau lebih rendah dari harga barang tersebut di negerinya sendiri atau dari harga jual kepada negara lain pada umumnya. 44 Praktik ini dinilai tidak adil karena dapat merusak pasaran dan merugikan prudusen pesaing di negara pengimpor. Menurut Kindleberger dalam H.A.S. Natabaya, apabila dilihat dari segi dampak bagi konsumen dan industri dalam negeri pengimpor ada dua jenis dumping, yaitu : 45 a. Dumping yang bersifat perampasan, yaitu suatu perusahaan melakukan diskriminasi dan menguntungkan pembeli untuk sementara waktu dengan tujuan untuk menghilangkan saingan, setelah saingan tersingkir maka harga dinaikkan kembali. Bentuk dumping ini sangat merugikan produk industri dalam negeri negara pengimpor. b. Dumping yang terjadi secara terus menerus, bentuk dumping ini seperti pada dasarnya hanya akan menguntungkan konsumen negara pengimpor, karena hanya bersaing dengan produk impor lain. Dalam perdagangan internasional, dumping dilarang karena dianggap dapat merugikan perekonomian negara lain yang menimbulkan kerugian material karena adanya diskriminasi harga tersebut. 46 Maka, dikenakannya bea 44 Erawati, A.F. dan J.S Badudu, Kamus Hukum Ekonomi Inggris-Indonesia (Jakarta: Proyek ELIPS,1996) halaman Natabaya, H.A.S. Penelitian Hukum tentang Aspek Hukum Antidumping dan Implikasinya bagi Indonesia, (Jakarta : Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman RI, 1996), halaman General Agreement on Tariff and Trade (GATT) 1947 Article VI

16 masuk anti-dumping (BMAD) untuk menutup kerugian industri dalam negeri. Pemungutan dilakukan terhadap semua yang melakukan impor dumping yang menyebabkan kerugian. Jumlah bea masuk anti-dumping tidak akan melebihi selisih harga dumping dengan harga normal. Negara pengimpor dapat melakukan tindakan perlawanan berupa pengenaan Bea Masuk Anti Dumping untuk mengurangi kerugian yang diderita oleh industri dalam negeri akibat dari barang dumping, dengan syarat telah terjadi kerugian (injury) yang disebabkan adanya barang dumping tersebut (causal link) Anti Subsidi Subsidi dalam perekonomian diartikan sebagai bantuan yang diberikan pemerintah suatu negara kepada para pelaku ekonomi di negaranya. Bantuan tersebut dapat berupa keringanan dalam perpajakan dalam bentuk penangguhan pembebasan pembayaran pajak, bantuan berupa pembatasan bea masuk, atau tarif impor, bantuan berupa keringanan bunga kredit perbankan, pemberian bonus uang kepada produsen ekspor untuk setiap volume produksi yang berhasil di ekspor, bantuan biaya riset dan pengembangan teknologi, dan sebagainya. 48 Setiap bentuk dukungan terhadap pendapat atau harga yang diberikan secara langsung atau tidak langsung untuk meningkatkan ekspor atau menurunkan impor dari atau ke negara yang bersangkutan yang dapat memberikan manfaat bagi penerimanya berupa pemberian dana secara 47 Ibid. 48 Muhammad Sood, Op.Cit., halaman 194.

17 langsung oleh pemerintah, penghapusan pendapatan atau tagihan pemerintah, penyediaan barang atau jasa oleh pemerintah selain infrastruktur umum atau pembelian barang, dan melakukan pembayaran pada mekanisme pendanaan, atau memberikan kepercayaan pada badan swasta untuk melaksanakan fungsi sehubungan yang terkait, yang pelaksanannya berbeda dengan biasanya yang dilakukan oleh pemerintah. 49 Kelompok subsidi yang dilarang menururt World Trade Organization (WTO), yaitu : 50 a. Mengakibatkan kerugian industri dalam negeri dari negeri yang mengimpor produk yang disubsidi tersebut b. Menghilangkan atau merusak keuntungan baik secara langsung maupun tidak langsung yang seharusnya dinikmatinya oleh negara lain Dalam usaha pemberian subsidi untuk mendorong pertumbuhan ekspor, pemerintah suatu negara wajib memberitahukan terlebih dahulu secara tertulis kepada para eksportirnya. Pemberitahuan tersebut dimaksudkan untuk melindungi industri domestik negara pengimpor bagi subsidi produksi. WTO menyediakan tindakan-tindakan yang boleh diambil oleh anggotanya untuk melindungi industri domestik yang menghasilkan barangbarang sejenis melawan akibat dampak negatif dari impor atas barang-barang bersubsidi dengan menerapkan bea masuk (Countervailing Duties) 51 Countervailing Duties adalah tambahan bea masuk yang dikenakan untuk mengimbangi efek dari subsidi yang diberikan oleh negara pengekspor 49 Agreement on Subsidies and Countervailing Measures GATT/WTO1994 Article 1 50 Ibid.,Article 5 51 The General Agreement on Tariffs and Trade 1947 Article 6

18 untuk perusahaan eksportir. WTO memungkinkan negara untuk menempatkan countervailing duties pada impor ketika pemerintah asing mensubsidi produk ekspornya yang pada gilirannya menyebabkan cedera pada perusahaan-perusahaan impor yang bersaing. Countervailing Duties ditempatkan jika dapat ditunjukkan bahwa subsidi memang menyebabkan cedera untuk mengimpor perusahaan yang bersaing. Countervailing Duties dikenakan terhadap barang impor setinggitingginya sebesar selisih antara nilai normal dengan harga ekspor dari barang tersebut. 3. Tindakan Pengamanan (Safeguard) Negara-negara anggota WTO dapat melakukan tindakan pengamanan (safeguard) untuk melindungi industri dalam negeri dan bersifat non diskriminatif. Tindakan pengamanan (safeguard) melalui pembatasan impor diterapkan karena telah terjadi peningkatan produk impor yang menimbulkan kerugian yang serius di dalam negeri negara pengimpor. Dengan demikian, negara-negara pengekspor harus dibatasi aksesnya di pasar negara pengimpor. Tindakan pengamanan (safeguard) merupakan salah satu instrument kebijakan perdagangan yang hampir mirip dengan kebijakan antidumping dan anti subsidi. Tindakan Pengamanan (safeguards) adalah tindakan yang diambil pemerintah untuk memulihkan atau mencegah ancaman kerugian serius industri dalam negeri sebagai akibat dari lonjakan impor barang sejenis atau barang yang secara langsung merupakan saingan hasil industri dalam negeri

19 dengan tujuan agar industri dalam negeri yang mengalami kerugian serius atau ancaman kerugian serius tersebut dapat melakukan penyesuaian struktural. 52 WTO memperkenankan setiap negara anggota untuk menggunakan tindakan pengamanan perdagangan untuk melindungi produsen domestik dari barang impor dikarenakan terjadinya perdagangan bebas di hampir seluruh dunia. 53 Tindakan pengamanan (safeguard) dilakukan apabila suatu industri dalam negeri menghadapi kesulitan karena membanjir produk impor. Hal ini sesuai dengan prinsip yang berlaku dalam perjanjian sebagai suatu masalah yang harus mendapat penyelesaian, antara lain masalah waktu safeguards yang juga masih memerlukan penyelesaian politis, demikian pula semakin banyaknya negara yang bergabung dalam free trade area dan custom union. 54 Tindakan pengamanan tetap dapat ditetapkan dalam bentuk bea masuk oleh menteri keuangan atau kuota oleh menteri perdagangan. 55 Adanya kesepakatan safeguard WTO tersebut maka semua industri dalam negeri dan para eksportir mendapatkan perlindungan dan kepastian hukum yang jelas atas tindakan safeguard. Tindakan safeguard diterapkan sejauh yang diperlukan untuk mencegah atau memulihkan kerugian serius dan untuk memfasilitasi penyesuaian. Jika 52 Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 37/M-Dag/Per/9/2008 Tentang Surat Keterangan Asal (Certificate Of Origin) Terhadap Barang Impor Yang Dikenakan Tindakan Pengamanan (Safeguards) Pasal 1 ayat (2) 53 Kementrian Perdagangan Republik Indonesia. Analisis Kebijakan Pengamanan Perdagangan Indonesia di Negara Tujuan Ekspor, (Jakarta: Kementrian Perdagangan, 2013), halaman Sood, Muhammad., Op.Cit., halaman Yustiawan, Dewa Gede Pradnya. Perlindungan Indusri Dalam Negeri Dari Praktik Dumping, (Universitas Udayana Bali, 2011), halaman 99

20 nantinya direkomendasikan untuk dikenakan pembatasan kuota impor, maka jumlah kuota yang ditetapkan tidak boleh kurang jumlah rata-rata selama tiga tahun terakhir, kecuali dengan pembenaran yang jelas untuk di tetapkan pada tingkat yang berbeda dalam rangka mencegah atau memperbaiki kerugian yang serius. Secara umum durasi tindakan pengamanan tidak boleh lebih dari empat tahun meskipun bisa diperpanjang hingga maskimal 8 tahun. Tindakan safeguard juga dapat di kenakan kembali untuk produk yang pernah dikenakan safeguard sebelumnya setelah setengah dari durasi pengenaan safeguard sebelumnya setidaknya dua tahun. Ketentuan tentang tindakan safeguard di Indonesia diatur dalam Undang-undang Nomor 7 tahun 2014 tentang Perdagangan. Tindakan Pengamanan Perdagangan diambil pemerintah untuk memulihkan Kerugian Serius atau mencegah Ancaman Kerugian Serius yang diderita oleh Industri Dalam Negeri. Pengendalian Perdagangan Luar Negeri meliputi, perizinan, standar, pelarangan dan pembatasan. Ekspor barang dilakukan oleh pelaku usaha yang telah terdaftar dan telah ditetapkan sebagai eksportir sehingga eksportir tersebut yang akan bertanggung jawab sepenuhnya terhadap barang yang diekspor. Eksportir yang tidak bertanggung jawab terhadap barang yang di ekspor akan dikenai sanksi administratif berupa pencabutan perizinan, persetujuan, pengakuan dan/atau penetapan dibidang perdagangan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan Pasal 45

21 C. Perlindungan Industri Dalam Negeri Dalam Perundang-Undangan di Indonesia Penerapan suatu liberalisasi perdagangan bukan tanpa kendala, perlindungan terhadap industri dalam negeri harus menjadi perhatian, khususnya bagi negara berkembang seperti Indonesia. Bukan hanya perdagangan yang tidak sehat (unfair trade) saja yang menjadi perhatian, tetapi dari suasana perdagangan yang adil (fair trade) dapat muncul masalah. Baik negara maju maupun negara berkembang sama-sama menerapkan proteksi demi melindungi industri dalam negerinya. Maka dari itu, Indonesia mengeluarkan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan perlindungan industri dalam negeri, yaitu : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan Perdagangan sebagai hal yang vital bagi Bangsa Indonesia dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi untuk meningkatkan pembangunan nasional dan pemerataan pembangunan dan stabilitas nasional. Di Indonesia sendiri, perdagangan telah mengalami perubahan dari waktu ke waktu dan banyak dipengaruhi oleh kondisi perekonomian dan kebijakan penguasa pada masanya. 57 Pembangunan di bidang ekonomi diarahkan dan dilaksanakan untuk memajukan kesejahteraan umum melalui pelaksanaan demokrasi ekonomi melalui kegiatan perdagangan yang dapat memberikan daya dukung dalam meningkatkan produksi dan memeratakan pendapatan serta memperkuat daya saing Produk Dalam Negeri. Maka, diperlukannyalah 57 Arifin, Sjamsul. Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)2015, (Jakarta: PT.Elex Media Komputindo, 2008), halaman 252.

22 harmonisasi ketentuan di bidang Perdagangan dalam kerangka kesatuan ekonomi nasional guna menyikapi perkembangan situasi Perdagangan era globalisasi pada masa kini dan masa depan. Pemerintah mengatur kegiatan Perdagangan Dalam Negeri melalui kebijakan dan pengendalian 58 dan menetapkan aturan penggunaan label berbahasa Indonesia pada Barang yang diperdagangkan di dalam negeri. 59 Pemerintah dan Pemerintah Daerah mengendalikan ketersediaan barang kebutuhan pokok di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam jumlah yang memadai, mutu yang baik, dan harga yang terjangkau untuk melindungi produksi dalam memenuhi kebutuhan nasional. 60 Pemerintah Indonesia mengatur mengenai kegiatan Perdagangan Luar Negeri melalui kebijakan dan pengendalian di bidang Ekspor dan Impor. Kebijakan dan Pengendalian Perdagangan Luar Negeri diarahkan untuk : 61 a. Peningkatan daya saing produk Ekspor Indonesia b. Peningkatan dan perluasan akses pasar di luar negeri c. Peningkatan kemampuan Eksportir dan Importir sehingga menjadi Pelaku Usaha yang andal. 58 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan Pasal 5 59 Ibid., Pasal 6 60 Ibid., Pasal Ibid., Pasal 38

23 Demi kepentingan nasional, pembatasan impor barang dapat dilakukan dengan alasan : 62 a. Untuk melindungi keamanan nasional atau kepentingan umum; dan/atau b. Untuk melindungi kesehatan dan keselamatan manusia, hewan, ikan, tumbuhan, dan lingkunga hidup. Dalam hal terdapat produk Impor dengan harga lebih rendah daripada nilai normal yang menyebabkan kerugian atau ancaman kerugian pada industri dalam negeri terkait atau menghambat berkembangnya industri dalam negeri yang terkait, Pemerintah berkewajiban mengambil tindakan antidumping untuk menghilangkan atau mengurangi kerugian atau ancaman kerugian atau hambatan tersebut Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2011 Tentang Tindakan Antidumping, Tindakan Imbalan, dan Tindakan Pengamanan Perdagangan Adanya persaingan bebas antar pelaku ekonomi mau tidak mau akan mendorong tindakan persaingan tidak sehat 64, untuk mengurangi tindakan persaingan tidak sehat maka pemerintah melakukan tindakan pengaman 65 dengan cara pemberian bea masuk terhadap barang impor 66, jika : 62 Ibid., Pasal Ibid., Pasal Sukarmi, Regulasi Antidumping, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), hlm. ix 65 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2011 Tentang Tindakan Antidumpinh, tindakan Imbalan, dan Tindakan Pengamanan Perdagangan Pasal 1 Ayat 3 66 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2011 Tentang Tindakan Antidumpinh, tindakan Imbalan, dan Tindakan Pengamanan Perdagangan Pasal 70

24 a. Terjadi lonjakan jumlah impor secara absolut atau relatif atas barang yang sama dengan Barang Sejenis atau Barang Yang Secara Langsung Bersaing. b. Lonjakan jumlah impor barang yang menyebabkan terjadinya Kerugian Serius atau Ancaman Kerugian Serius terhadap Industri Dalam Negeri. Besarnya Bea Masuk Tindakan Pengamanan paling tinggi sebesar jumlah yang dibutuhkan untuk memulihkan Kerugian Serius atau mencegah Ancaman Kerugian Serius terhadap Industri Dalam Negeri. Jumlah Kuota yang ditetapkan tidak boleh kurang dari jumlah impor ratarata paling sedikit dalam 3 (tiga) tahun terakhir, kecuali terdapat alasan yang jelas bahwa Kuota yang lebih rendah diperlukan untuk memulihkan Kerugian Serius atau mencegah Ancaman Kerugian Serius terhadap Industri Dalam Negeri. Industri dalam negeri yang mengalami atau akan mengalami kerugian serius yang dikearenakan oleh tingginya lonjakan impor barang serupa atau secara langsung tersaingi dapat mengajukan permohonan penyelidikan tindakan safeguard kepada Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia (KPPI). Pihak-pihak yang dapat mengajukan permohonan tersebut adalah produsen, asosiasi produsen, organisasi pekerja, importir, asosiasi importir, industri pemakai, eksportir, asosiasi eksportir, pemerintah, perorangan, atau badan hukum yang terkait. Lembaga yang berwenang

25 menangani tindakan safeguard adalah Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia (KPPI) dan Direktorat Pengamanan Perdagangan (DPP). 67 Tindakan Pengamanan setelah dilakukan penyelidikan oleh Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia (KPPI) 68 yang dapat dilakukan berdasarkan permohonan atau berdasarkan inisiatif KPPI, yang dilengkapi dengan dokumen yang berisi laporan 69 : a. Lonjakan atas jumlah barang impor yang sama dengan Barang Sejenis atau Barang Yang Secara Langsung Bersaing. b. Kerugian Serius atau Ancaman Kerugian Serius. Setelah melakukan penyelidikan, maka Komiter Pengamanan Perdagangan Indonesia (KPPI) memberikan keputusan : a. Menolak permohonan, dalam hal permohonan tidak memenuhi persyaratan b. Menerima permohonan dan menetapkan dimulainya penyelidikan, dalam hal permohonan memenuhi persyaratan (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengajuan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri. Penyelidikan berdasarkan inisiatif Komiter Pengamanan Perdagangan Indonesia (KPPI) dapat dilakukan apabila memiliki bukti yang cukup mengenai adanya Kerugian Serius atau Ancaman Kerugian 67 Sood, Muhammad., Op.Cit., halaman Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2011 Tentang Tindakan Antidumping, tindakan Imbalan, dan Tindakan Pengamanan Perdagangan Pasal 1 Ayat Ibid., Pasal 72

26 Serius yang dialami oleh Industri Dalam Negeri sebagai akibat dari lonjakan jumlah barang impor. 70 Komiter Pengamanan Perdagangan Indonesia (KPPI) melakukan evaluasi terhadap faktor yang bersifat obyektif dan terukur yang terkait dengan kondisi Industri Dalam Negeri. 71 Apabila ditemukan bukti tersebut maka segera menghentikan penyelidikan dan melaporkan kepada Menteri kemudian mengumumkan kepada public disertai alasan 72. Selama masa penyelidikan, Komiter Pengamanan Perdagangan Indonesia (KPPI) harus menyelenggarakan dengar pendapat untuk memberikan kesempatan kepada eksportir, eksportir produsen, pemohon atau Industri Dalam Negeri, importir, pemerintah negara pengekspor tertentu, dan pihak-pihak lain yang berkepentingan, untuk menyampaikan bukti, pandangan, dan tanggapan. 73 Tindakan pengamanan lainnya yang dapat dilakukan pemerintah adalah dengan melakukan subsidi, yaitu bantuan atau insentif yang diberikan oleh pemerintah atau suatu negara kepada para pelaku ekonomi di negaranya dengan cara: a. Keringanan dalam perpajakan dalam bentuk penangguhan pembebasan pembayaran pajak. b. Pembatasan bea masuk atau impor. c. Keringanan bunga kredit perbankan. 70 Ibid., Pasal Ibid., Pasal Ibid., Pasal Ibid., Pasal 79

27 d. Bantuan in natura seperti pemberian bonus uang kepada produsen ekspor untuk setiap volume produksi yang berhasil di ekspor yang dikenal dengan sebutan subsidi ekspor (export subsidy). e. Biaya riset dan pengembangan terknologi. Tujuan diberikannya subsidi agar mendorong pertumbuhan produksi dan menggalakkan ekspor dan mengurangi impor. Namun, subsidi haruslah dibatasi agar tidak merugikan negara lain. Dalam perdagangan internasional subsidi merupakan suatu perbuatan yang tidak fair (unfair practices). Praktik subsidi mengeleminasi persaingan yang wajar dalam mekanisme pasar sehingga dapat melumpuhkan iklim usaha yang kompetitif yang mengakibatkan rusaknya tatanan hubungan dagang yang adil Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan Bea Masuk dikenakan terhadap barang impor dalam hal : 75 a. Harga ekspor dari barang tersebut lebih rendah dari nilai normalnya. b. Impor barang tersebut : 1) menyebabkan kerugian terhadap industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis dengan barang tersebut; 74 Yustiawan, Dewa Gede Pradnya. Op.Cit., halaman Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan Pasal 18

28 2) mengecam terjadinya kerugian terhadap industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis dengan barang tersebut; dan 3) menghalangi pengembangan industri barang sejenis di dalam negeri. Apabila ditemukan adanya subsidi yang diberikan di negara pengekspor terhadap suatu produk yang menyebabkan kerugian terhadap industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis dengan barang tersebut atau mengancam terjadinya kerugian terhadap industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis dengan barang tersebut; sehingga menghalangi pengembangan industri barang sejenis di dalam negeri maka dikenakanlah bea imbalan terhadap barang impor tersebut Ibid., Pasal 21

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini perkembangan perekonomian yang sangat pesat telah. mengarah kepada terbentuknya ekonomi global. Ekonomi global mulai

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini perkembangan perekonomian yang sangat pesat telah. mengarah kepada terbentuknya ekonomi global. Ekonomi global mulai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini perkembangan perekonomian yang sangat pesat telah mengarah kepada terbentuknya ekonomi global. Ekonomi global mulai terbentuk ditandai dengan berbagai peristiwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hubungan perdagangan antar negara yang dikenal dengan perdagangan internasional mengalami perkembangan yang pesat dari waktu ke waktu. Perdagangan internasional merupakan

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN INDUSTRI DALAM NEGERI MELALUI TINDAKAN SAFEGUARD WORLD TRADE ORGANIZATION

PERLINDUNGAN INDUSTRI DALAM NEGERI MELALUI TINDAKAN SAFEGUARD WORLD TRADE ORGANIZATION PERLINDUNGAN INDUSTRI DALAM NEGERI MELALUI TINDAKAN SAFEGUARD WORLD TRADE ORGANIZATION Oleh : A.A. Istri Indraswari I Ketut Sudiarta Bagian Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT Protection

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN TERHADAP INDUSTRI DI DALAM NEGERI DALAM SISTEM PERDAGANGAN BEBAS WTO

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN TERHADAP INDUSTRI DI DALAM NEGERI DALAM SISTEM PERDAGANGAN BEBAS WTO BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN TERHADAP INDUSTRI DI DALAM NEGERI DALAM SISTEM PERDAGANGAN BEBAS WTO WTO (World Trade Organization) adalah organisasi perdagangan dunia yang berfungsi untuk mengatur dan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2011 TENTANG TINDAKAN ANTIDUMPING, TINDAKAN IMBALAN, DAN TINDAKAN PENGAMANAN PERDAGANGAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2011 TENTANG TINDAKAN ANTIDUMPING, TINDAKAN IMBALAN, DAN TINDAKAN PENGAMANAN PERDAGANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2011 TENTANG TINDAKAN ANTIDUMPING, TINDAKAN IMBALAN, DAN TINDAKAN PENGAMANAN PERDAGANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN TENTANG TINDAKAN ANTIDUMPING, TINDAKAN IMBALAN, DAN TINDAKAN PENGAMANAN PERDAGANGAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN TENTANG TINDAKAN ANTIDUMPING, TINDAKAN IMBALAN, DAN TINDAKAN PENGAMANAN PERDAGANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2011 2010 TENTANG TINDAKAN ANTIDUMPING, TINDAKAN IMBALAN, DAN TINDAKAN PENGAMANAN PERDAGANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 1996 TENTANG BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 1996 TENTANG BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 1996 TENTANG BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa berdasarkan Pasal 20 dan Pasal 23 Undang-undang

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 84 TAHUN 2002 TENTANG TINDAKAN PENGAMANAN INDUSTRI DALAM NEGERI DARI AKIBAT LONJAKAN IMPOR

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 84 TAHUN 2002 TENTANG TINDAKAN PENGAMANAN INDUSTRI DALAM NEGERI DARI AKIBAT LONJAKAN IMPOR KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 84 TAHUN 2002 TENTANG TINDAKAN PENGAMANAN INDUSTRI DALAM NEGERI DARI AKIBAT LONJAKAN IMPOR PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pelaksanaan komitmen

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 133, 2002 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 84 TAHUN 2002 TENTANG TINDAKAN PENGAMANAN INDUSTRI DALAM

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 1996 TENTANG BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 1996 TENTANG BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 34 TAHUN 1996 TENTANG BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN PRESIDEN, Menimbang : bahwa berdasarkan Pasal 20 dan Pasal 23 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan,

Lebih terperinci

PP 34/1996, BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PP 34/1996, BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Copyright (C) 2000 BPHN PP 34/1996, BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN *34762 Bentuk: PERATURAN PEMERINTAH (PP) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 34 TAHUN 1996 (34/1996) Tanggal: 4 JUNI

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 84 TAHUN 2002 TENTANG TINDAKAN PENGAMANAN INDUSTRI DALAM NEGERI DARI AKIBAT LONJAKAN IMPOR

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 84 TAHUN 2002 TENTANG TINDAKAN PENGAMANAN INDUSTRI DALAM NEGERI DARI AKIBAT LONJAKAN IMPOR KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 84 TAHUN 2002 TENTANG TINDAKAN PENGAMANAN INDUSTRI DALAM NEGERI DARI AKIBAT LONJAKAN IMPOR PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa pelaksanaan komitmen

Lebih terperinci

Bab 5 Bisnis Global P E R T E M U A N 5

Bab 5 Bisnis Global P E R T E M U A N 5 Bab 5 Bisnis Global P E R T E M U A N 5 1 PENGERTIAN GLOBALISASI Globalisasi: Perekonomian dunia yang menjadi sistem tunggal yang saling bergantung satu dengan yang lainnya Beberapa kekuatan yang digabungkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. (AEC) merupakan salah satu bentuk realisasi integrasi ekonomi dimana ini

BAB 1 PENDAHULUAN. (AEC) merupakan salah satu bentuk realisasi integrasi ekonomi dimana ini BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) / ASEAN Economic Community (AEC) merupakan salah satu bentuk realisasi integrasi ekonomi dimana ini merupakan agenda utama negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. implikasi positif dan negatif bagi perkembangan ekonomi negara-negara

BAB I PENDAHULUAN. implikasi positif dan negatif bagi perkembangan ekonomi negara-negara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum dan perjanjian internasional yang berkenaan dengan masalah ekonomi yang mengarah pada perdagangan bebas dapat mengakibatkan implikasi positif dan negatif bagi

Lebih terperinci

Bab 5 Bisnis Global 10/2/2017 1

Bab 5 Bisnis Global 10/2/2017 1 Bab 5 Bisnis Global 10/2/2017 1 Pengertian Globalisasi Globalisasi: Perekonomian dunia yang menjadi sistem tunggal yang saling bergantung satu dengan yang lainnya Beberapa kekuatan yang digabungkan menyulut

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 84 TAHUN 2002 TENTANG TINDAKAN PENGAMANAN INDUSTRI DALAM NEGERI DARI AKIBAT LONJAKAN IMPOR

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 84 TAHUN 2002 TENTANG TINDAKAN PENGAMANAN INDUSTRI DALAM NEGERI DARI AKIBAT LONJAKAN IMPOR KEPUTUSAN PRESIDEN NOMOR 84 TAHUN 2002 TENTANG TINDAKAN PENGAMANAN INDUSTRI DALAM NEGERI DARI AKIBAT LONJAKAN IMPOR PRESIDEN Menimbang : a. bahwa pelaksanaan komitmen liberalisasi perdagangan dalam kerangka

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN KERJA SAMA ASEAN PASCA IMPLEMENTASI AEC 2015

PERKEMBANGAN KERJA SAMA ASEAN PASCA IMPLEMENTASI AEC 2015 PERKEMBANGAN KERJA SAMA ASEAN PASCA IMPLEMENTASI AEC 2015 J.S. George Lantu Direktur Kerjasama Fungsional ASEAN/ Plt. Direktur Kerja Sama Ekonomi ASEAN Jakarta, 20 September 2016 KOMUNITAS ASEAN 2025 Masyarakat

Lebih terperinci

PROTOCOL TO IMPLEMENT THE SIXTH PACKAGE OF COMMITMENTS UNDER THE ASEAN FRAMEWORK AGREEMENT ON SERVICES

PROTOCOL TO IMPLEMENT THE SIXTH PACKAGE OF COMMITMENTS UNDER THE ASEAN FRAMEWORK AGREEMENT ON SERVICES NASKAH PENJELASAN PROTOCOL TO IMPLEMENT THE SIXTH PACKAGE OF COMMITMENTS UNDER THE ASEAN FRAMEWORK AGREEMENT ON SERVICES (PROTOKOL UNTUK MELAKSANAKAN KOMITMEN PAKET KEENAM DALAM PERSETUJUAN KERANGKA KERJA

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1298, 2012 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN PERDAGANGAN. Penyelidikan. Antidumping. Imbalan. Tata Cara. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 76/M-DAG/PER/12/2012

Lebih terperinci

KEBIJAKAN EKONOMI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

KEBIJAKAN EKONOMI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL KEBIJAKAN EKONOMI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL Kebijakan ekonomi internasional dalam arti luas semua kegiatan ekonomi pemerintah suatu negara yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi komposisi,

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33/M-DAG/PER/8/2010

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33/M-DAG/PER/8/2010 PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33/M-DAG/PER/8/2010 TENTANG SURAT KETERANGAN ASAL (CERTIFICATE OF ORIGIN) UNTUK BARANG EKSPOR INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata kunci : WTO (World Trade Organization), Kebijakan Pertanian Indonesia, Kemudahan akses pasar, Liberalisasi, Rezim internasional.

ABSTRAK. Kata kunci : WTO (World Trade Organization), Kebijakan Pertanian Indonesia, Kemudahan akses pasar, Liberalisasi, Rezim internasional. ABSTRAK Indonesia telah menjalankan kesepakan WTO lewat implementasi kebijakan pertanian dalam negeri. Implementasi kebijakan tersebut tertuang dalam deregulasi (penyesuaian kebijakan) yang diterbitkan

Lebih terperinci

NCA N LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 12 TAHUN 2009 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG

NCA N LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 12 TAHUN 2009 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG NCA N LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 12 TAHUN 2009 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN SUMEDANG BAGIAN HUKUM SEKRETARIAT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masyarakat Ekonomi ASEAN akan segera diberlakukan pada tahun 2015.

BAB I PENDAHULUAN. Masyarakat Ekonomi ASEAN akan segera diberlakukan pada tahun 2015. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ASEAN Ecomonic Community (AEC) atau yang lebih dikenal dengan Masyarakat Ekonomi ASEAN akan segera diberlakukan pada tahun 2015. AEC merupakan realisasi dari tujuan

Lebih terperinci

Menerjang Arus Globalisasi ACFTA dan Masa Depan Ekonomi Politik Indonesia

Menerjang Arus Globalisasi ACFTA dan Masa Depan Ekonomi Politik Indonesia Menerjang Arus Globalisasi ACFTA dan Masa Depan Ekonomi Politik Indonesia Tahun 2001, pada pertemuan antara China dan ASEAN di Bandar Sri Begawan, Brunei Darussalam, Cina menawarkan sebuah proposal ASEAN-China

Lebih terperinci

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. seperti ASEAN Industrial Project (AIP) tahun 1976, the ASEAN Industrial

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. seperti ASEAN Industrial Project (AIP) tahun 1976, the ASEAN Industrial BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ASEAN telah menghasilkan banyak kesepakatan-kesepakatan baik dalam bidang politik, ekonomi, sosial budaya. Pada awal berdirinya, kerjasama ASEAN lebih bersifat politik

Lebih terperinci

ASEAN FREE TRADE AREA (AFTA) Lola Liestiandi & Primadona Dutika B.

ASEAN FREE TRADE AREA (AFTA) Lola Liestiandi & Primadona Dutika B. ASEAN FREE TRADE AREA (AFTA) Lola Liestiandi & Primadona Dutika B. Outline Sejarah dan Latar Belakang Pembentukan AFTA Tujuan Strategis AFTA Anggota & Administrasi AFTA Peranan & Manfaat ASEAN-AFTA The

Lebih terperinci

NASKAH PENJELASAN PENGESAHAN

NASKAH PENJELASAN PENGESAHAN NASKAH PENJELASAN PENGESAHAN SECOND PROTOCOL TO AMEND THE AGREEMENT ON TRADE IN GOODS UNDER THE FRAMEWORK AGREEMENT ON COMPREHENSIVE ECONOMIC COOPERATION AMONG THE GOVERNMENTS OF THE MEMBER COUNTRIES OF

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pariwisata saat ini telah menjadi salah satu motor penggerak ekonomi dunia terutama dalam penerimaan devisa negara melalui konsumsi yang dilakukan turis asing terhadap

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2014 TENTANG PERDAGANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2014 TENTANG PERDAGANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2014 TENTANG PERDAGANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pembangunan di bidang ekonomi diarahkan dan dilaksanakan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2017 TENTANG PENGESAHAN PROTOCOL AMENDING THE MARRAKESH AGREEMENT ESTABLISHING THE WORLD TRADE ORGANIZATION (PROTOKOL PERUBAHAN PERSETUJUAN MARRAKESH MENGENAI

Lebih terperinci

MULTILATERAL TRADE (WTO), FREE TRADE AREA DI TINGKAT REGIONAL (AFTA) ATAU FREE TRADE AGREEMENT BILATERAL

MULTILATERAL TRADE (WTO), FREE TRADE AREA DI TINGKAT REGIONAL (AFTA) ATAU FREE TRADE AGREEMENT BILATERAL MULTILATERAL TRADE (WTO), FREE TRADE AREA DI TINGKAT REGIONAL (AFTA) ATAU FREE TRADE AGREEMENT BILATERAL INDONESIA DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL (SERI 1) 24 JULI 2003 PROF. DAVID K. LINNAN UNIVERSITY OF

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PERDAGANGAN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PERDAGANGAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PERDAGANGAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA 2014 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERDAGANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2014 TENTANG PERDAGANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2014 TENTANG PERDAGANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2014 TENTANG PERDAGANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembangunan di bidang ekonomi diarahkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2014 TENTANG PERDAGANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2014 TENTANG PERDAGANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2014 TENTANG PERDAGANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembangunan di bidang ekonomi diarahkan dan dilaksanakan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 85/MPP/Kep/2/2003

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 85/MPP/Kep/2/2003 KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 85/MPP/Kep/2/2003 TENTANG TATA CARA DAN PERYSARATAN PERMOHONAN PENYELIDIKAN ATAS PENGAMANAN INDUSTRI DALAM NEGERI DARI AKIBAT LONJAKAN

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENDAG. Surat Keterangan Asal. Barang. Indonesia. Tata Cara Ketentuan. Pencabutan.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENDAG. Surat Keterangan Asal. Barang. Indonesia. Tata Cara Ketentuan. Pencabutan. No.528, 2015 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENDAG. Surat Keterangan Asal. Barang. Indonesia. Tata Cara Ketentuan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22/M-DAG/PER/3/2015

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tidak boleh menyimpang dari konfigurasi umum kepulauan. 1 Pengecualian

BAB I PENDAHULUAN. tidak boleh menyimpang dari konfigurasi umum kepulauan. 1 Pengecualian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perjuangan Indonesia terkait dengan prinsip Wawasan Nusantara telah membuahkan hasil dengan diakuinya konsep negara kepulauan atau archipelagic state secara

Lebih terperinci

WALIKOTA KENDARI PERATURAN DAERAH KOTA KENDARI

WALIKOTA KENDARI PERATURAN DAERAH KOTA KENDARI WALIKOTA KENDARI PERATURAN DAERAH KOTA KENDARI NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN PENANAMAN MODAL DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA KENDARI Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG MASYARAKAT EKONOMI ASEAN DAN PENGATURAN KEBIJAKAN PERSAINGAN USAHA DI ASEAN Sejarah Masyarakat Ekonomi ASEAN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG MASYARAKAT EKONOMI ASEAN DAN PENGATURAN KEBIJAKAN PERSAINGAN USAHA DI ASEAN Sejarah Masyarakat Ekonomi ASEAN 22 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG MASYARAKAT EKONOMI ASEAN DAN PENGATURAN KEBIJAKAN PERSAINGAN USAHA DI ASEAN 2.1. Masyarakat Ekonomi ASEAN 2.1.1. Sejarah Masyarakat Ekonomi ASEAN Masyarakat Ekonomi ASEAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sehingga perdagangan antar negara menjadi berkembang pesat dan tidak hanya

BAB I PENDAHULUAN. sehingga perdagangan antar negara menjadi berkembang pesat dan tidak hanya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemenuhan kebutuhan ekonomi suatu negara saat ini tidak bisa terlepas dari negara lain. Perdagangan antar negara menjadi hal yang perlu dilakukan suatu negara. Disamping

Lebih terperinci

Presiden Republik Indonesia

Presiden Republik Indonesia PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 1996 TENTANG BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN Presiden Republik Indonesia Menimbang : bahwa berdasarkan Pasal 20 dan Pasal 23 Undang-undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2014 TENTANG PERDAGANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2014 TENTANG PERDAGANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2014 TENTANG PERDAGANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembangunan di bidang ekonomi diarahkan

Lebih terperinci

BAB II KONSEP PERDAGANGAN BEBAS BARANG DALAM MASYARAKAT EKONOMI ASEAN (MEA) The Association of Southeast Asian Nation (ASEAN) adalah asosiasi

BAB II KONSEP PERDAGANGAN BEBAS BARANG DALAM MASYARAKAT EKONOMI ASEAN (MEA) The Association of Southeast Asian Nation (ASEAN) adalah asosiasi 18 BAB II KONSEP PERDAGANGAN BEBAS BARANG DALAM MASYARAKAT EKONOMI ASEAN (MEA) 2015 A. Masyarakat Ekonomi Asean 2015 The Association of Southeast Asian Nation (ASEAN) adalah asosiasi perhimpunan bangsa-bangsa

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. kerjasama perdagangan Indonesia dengan Thailand. AFTA, dimana Indonesia dengan Thailand telah menerapkan skema

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. kerjasama perdagangan Indonesia dengan Thailand. AFTA, dimana Indonesia dengan Thailand telah menerapkan skema BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Dalam bab ini peneliti akan menyimpulkan hasil penelitian secara keseluruhan sesuai dengan berbagai rumusan masalah yang terdapat pada Bab 1 dan memberikan saran bagi berbagai

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2015 TENTANG PENGHIMPUNAN DANA PERKEBUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2015 TENTANG PENGHIMPUNAN DANA PERKEBUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2015 TENTANG PENGHIMPUNAN DANA PERKEBUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

ALTERNATIF 2 PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 39/M-DAG/PER/10/2010 TENTANG KETENTUAN IMPOR BARANG JADI OLEH PRODUSEN

ALTERNATIF 2 PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 39/M-DAG/PER/10/2010 TENTANG KETENTUAN IMPOR BARANG JADI OLEH PRODUSEN ALTERNATIF 2 PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 39/M-DAG/PER/10/2010 TENTANG KETENTUAN IMPOR BARANG JADI OLEH PRODUSEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG PERINDUSTRIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG PERINDUSTRIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG PERINDUSTRIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur

Lebih terperinci

PENUNJUK UNDANG-UNDANG PERDAGANGAN

PENUNJUK UNDANG-UNDANG PERDAGANGAN PENUNJUK UNDANG-UNDANG PERDAGANGAN 1 (satu) kali masa sidang ~ paling lama, pemberian persetujuan atau penolakan terhadap perjanjian Perdagangan internasional Dewan Perwakilan Rakyat memberikan persetujuan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.4, 2014 EKONOMI. Pembangunan. Perindustrian. Perencanaan. Penyelenggaraan. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5492) UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Era globalisasi ekonomi yang disertai dengan pesatnya perkembangan teknologi, berdampak kepada ketatnya persaingan, dan cepatnya perubahan lingkungan usaha. Perkembangan

Lebih terperinci

Universitas Bina Darma

Universitas Bina Darma Mata Kuliah Kelas Hari/Tanggal Dosen Universitas Bina Darma Petunjuk mengerjakan soal: Tulislah Nama, NIM dan Kelas. ( Berdoa dahulu sebelum mengerjakan soal ) Kerjakan di KERTAS A. PILIHAN GANDA 1. Perdagangan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.105, 2015 SUMBER DAYA ALAM. Perkebunan. Kelapa Sawit. Dana. Penghimpunan. Penggunaan. PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2015 TENTANG PENGHIMPUNAN

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2015 TENTANG PENGHIMPUNAN DAN PENGGUNAAN DANA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2015 TENTANG PENGHIMPUNAN DAN PENGGUNAAN DANA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2015 TENTANG PENGHIMPUNAN DAN PENGGUNAAN DANA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Era globalisasi menuntut adanya keterbukaan ekonomi yang semakin luas dari setiap negara di dunia, baik keterbukaan dalam perdagangan luar negeri (trade openness) maupun

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa masyarakat adil dan makmur

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 130 TAHUN 1998 TENTANG PENGESAHAN ASEAN AGREEMENT ON CUSTOMS (PERSETUJUAN ASEAN DI BIDANG KEPABEANAN)

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 130 TAHUN 1998 TENTANG PENGESAHAN ASEAN AGREEMENT ON CUSTOMS (PERSETUJUAN ASEAN DI BIDANG KEPABEANAN) KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 130 TAHUN 1998 TENTANG PENGESAHAN ASEAN AGREEMENT ON CUSTOMS (PERSETUJUAN ASEAN DI BIDANG KEPABEANAN) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa di Puket,

Lebih terperinci

FUNGSI KEPABEANAN Oleh : Basuki Suryanto *)

FUNGSI KEPABEANAN Oleh : Basuki Suryanto *) FUNGSI KEPABEANAN Oleh : Basuki Suryanto *) Berdasarkan Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, bahwa yang dimaksud

Lebih terperinci

2016, No Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Neg

2016, No Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Neg No.501, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENDAG. Impor. Jagung. PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20/M-DAG/PER/3/20166/M-DAG/PER/2/2012 TENTANG KETENTUAN IMPOR JAGUNG DENGAN

Lebih terperinci

BAB I P E N D A H U L U A N. lebih maju. Organisasi-organisasi internasional dan perjanjian-perjanjian

BAB I P E N D A H U L U A N. lebih maju. Organisasi-organisasi internasional dan perjanjian-perjanjian 1 BAB I P E N D A H U L U A N A. Latar Belakang Dalam era globalisasi sekarang ini, perekonomian internasional merupakan salah satu pilar utama dalam proses pembangunan dunia yang lebih maju. Organisasi-organisasi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG PERINDUSTRIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG PERINDUSTRIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG PERINDUSTRIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan masyarakat adil dan

Lebih terperinci

BAB 4 PENUTUP. 4.1 Kesimpulan

BAB 4 PENUTUP. 4.1 Kesimpulan BAB 4 PENUTUP 4.1 Kesimpulan Perdagangan internasional diatur dalam sebuah rejim yang bernama WTO. Di dalam institusi ini terdapat berbagai unsur dari suatu rejim, yaitu prinsip, norma, peraturan, maupun

Lebih terperinci

2 d. bahwa hasil pembahasan Tim Pertimbangan Kepentingan Nasional telah memutuskan untuk mengenakan Tindakan Pengamanan Perdagangan berupa kuota terha

2 d. bahwa hasil pembahasan Tim Pertimbangan Kepentingan Nasional telah memutuskan untuk mengenakan Tindakan Pengamanan Perdagangan berupa kuota terha BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.579, 2014 KEMENDAG. Kuota. Pengamanan. Impor Tepung Gandum. PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23/M-DAG/PER/4/2014 TENTANG KETENTUAN PENGENAAN KUOTA

Lebih terperinci

BUPATI JEMBRANA PROVINSI BALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 2 TAHUN 2017 TENTANG

BUPATI JEMBRANA PROVINSI BALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 2 TAHUN 2017 TENTANG BUPATI JEMBRANA PROVINSI BALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 2 TAHUN 2017 TENTANG PEMBERIAN INSENTIF DAN/ATAU KEMUDAHAN KEPADA MASYARAKAT DAN/ATAU PENANAM MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

PENUNJUK UNDANG-UNDANG PENANAMAN MODAL

PENUNJUK UNDANG-UNDANG PENANAMAN MODAL PENUNJUK UNDANG-UNDANG PENANAMAN MODAL 1 tahun ~ pemberian izin masuk kembali bagi pemegang izin tinggal terbatas pemberian izin masuk kembali untuk beberapa kali perjalanan bagi pemegang izin tinggal

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG PERINDUSTRIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG PERINDUSTRIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG PERINDUSTRIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.395, 2012 KEMENTERIAN PERDAGANGAN. Ketentuan Umum. Bidang Ekspor. PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13/M-DAG/PER/3/2012 TENTANG KETENTUAN UMUM DI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. 1. perubahan perilaku konsumsi dan transaksi dan sebagainya.

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. 1. perubahan perilaku konsumsi dan transaksi dan sebagainya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masyarakat saat ini, secara sadar memahami bahwa dalam pola hidup bermasyarakat, penegakan hukum sangat berperan penting, tidak hanya mengatur bagaimana manusia berperilaku,

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 19/M-IND/PER/5/2006 T E N T A N G

PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 19/M-IND/PER/5/2006 T E N T A N G PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 19/M-IND/PER/5/2006 T E N T A N G STANDARDISASI, PEMBINAAN DAN PENGAWASAN STANDAR NASIONAL INDONESIA BIDANG INDUSTRI MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 102 TAHUN 2000 TENTANG STANDARDISASI NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 102 TAHUN 2000 TENTANG STANDARDISASI NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 102 TAHUN 2000 TENTANG STANDARDISASI NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa dalam rangka mendukung peningkatan produktivitas, daya guna produksi,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 58 TAHUN 2008 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN KERANGKA KERJA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK ISLAM PAKISTAN TENTANG KEMITRAAN EKONOMI

Lebih terperinci

PERSIAPAN DAERAH dalam menghadapi

PERSIAPAN DAERAH dalam menghadapi PERSIAPAN DAERAH dalam menghadapi Outline 1 Gambaran Umum Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015 2 MEA dalam RKP 2014 3 Strategi Daerah dalam Menghadapi MEA 2015 MASYARAKAT EKONOMI ASEAN (MEA) 2015 Masyarakat

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2015 TENTANG PENGHIMPUNAN DAN PENGGUNAAN DANA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2015 TENTANG PENGHIMPUNAN DAN PENGGUNAAN DANA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2015 TENTANG PENGHIMPUNAN DAN PENGGUNAAN DANA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a.

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG

PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG FASILITASI PENANAMAN MODAL DI PROVINSI KALIMANTAN SELATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

SATU DEKADE KERJASAMA EKONOMI UNI EROPA-INDONESIA EKSPOR-IMPOR PENDORONG INVESTASI UNI EROPA DI INDONESIA

SATU DEKADE KERJASAMA EKONOMI UNI EROPA-INDONESIA EKSPOR-IMPOR PENDORONG INVESTASI UNI EROPA DI INDONESIA RINGKASAN EKSEKUTIF SATU DEKADE KERJASAMA EKONOMI UNI EROPA-INDONESIA EKSPOR-IMPOR PENDORONG INVESTASI UNI EROPA DI INDONESIA DAFTAR ISI KATA PENGANTAR 4 INVESTASI UNI EROPA PENDORONG PERDAGANGAN INDONESIA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perdagangan internasional merupakan aspek yang sangat penting dalam. perekonomian setiap Negara di dunia. Tanpa adanya perdagangan

BAB I PENDAHULUAN. Perdagangan internasional merupakan aspek yang sangat penting dalam. perekonomian setiap Negara di dunia. Tanpa adanya perdagangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perdagangan internasional merupakan aspek yang sangat penting dalam perekonomian setiap Negara di dunia. Tanpa adanya perdagangan internasional, kebutuhan suatu

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2/PMK.010/2018 TENTANG PENGENAAN BEA MASUK TINDAKAN PENGAMANAN TERHADAP IMPOR

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2/PMK.010/2018 TENTANG PENGENAAN BEA MASUK TINDAKAN PENGAMANAN TERHADAP IMPOR PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2/PMK.010/2018 TENTANG PENGENAAN BEA MASUK TINDAKAN PENGAMANAN TERHADAP IMPOR PRODUK I DAN H SECTION DARI BAJA PADUAN LAINNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Tinbergen (1954), integrasi ekonomi merupakan penciptaan struktur

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Tinbergen (1954), integrasi ekonomi merupakan penciptaan struktur BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut Tinbergen (1954), integrasi ekonomi merupakan penciptaan struktur perekonomian internasional yang lebih bebas dengan jalan menghapuskan semua hambatanhambatan

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN INDUSTRI DOMESTIK DALAM PERDAGANGAN BEBAS

PERLINDUNGAN INDUSTRI DOMESTIK DALAM PERDAGANGAN BEBAS PERLINDUNGAN INDUSTRI DOMESTIK DALAM PERDAGANGAN BEBAS Budi Nugroho Widyaiswara Muda Balai Diklat Keuangan Yogyakarta Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Kementerian Keuangan Republik Indonesia Kata

Lebih terperinci

2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Industri adalah seluruh bentuk kegiatan ekonomi yang mengolah b

2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Industri adalah seluruh bentuk kegiatan ekonomi yang mengolah b LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.146, 2015 Sumber Daya Industri. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5708). PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 Tahun 2015

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 199, 2000 BADAN STANDARISASI. Standarisasi Nasional. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembangunan nasional Negara Kesatuan Republik

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1995 TENTANG KEPABEANAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1995 TENTANG KEPABEANAN UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1995 TENTANG KEPABEANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

-1- RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

-1- RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA -1- DRAFT RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pembangunan nasional

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa pembangunan nasional Negara Kesatuan Republik

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan

I. PENDAHULUAN. menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk yang besar menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan penduduknya. Oleh karena itu, kebijakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2016 TANGGAL 1 JULI 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2016 TANGGAL 1 JULI 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2016 TANGGAL 1 JULI 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembangunan nasional Negara Kesatuan

Lebih terperinci

Renstra Pusat Akreditasi Lembaga Sertifikasi BSN Tahun RENSTRA PUSAT AKREDITASI LEMBAGA SERTIFIKASI TAHUN

Renstra Pusat Akreditasi Lembaga Sertifikasi BSN Tahun RENSTRA PUSAT AKREDITASI LEMBAGA SERTIFIKASI TAHUN RENSTRA PUSAT AKREDITASI LEMBAGA SERTIFIKASI TAHUN 2015-2019 BADAN STANDARDISASI NASIONAL 2015 Kata Pengantar Dalam rangka melaksanakan amanat Undang-Undang No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1995 TENTANG KEPABEANAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1995 TENTANG KEPABEANAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1995 TENTANG KEPABEANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.131, 2016 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA EKONOMI. Pajak. Pengampunan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5899) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2016

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Industri jasa konstruksi memiliki arti penting dan strategis dalam pembangunan nasional mengingat industri jasa konstruksi menghasilkan produk akhir berupa bangunan

Lebih terperinci

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembangunan nasional Negara Kesatuan Republik

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Dalam beberapa dekade belakangan ini, perdagangan internasional telah

PENDAHULUAN. Dalam beberapa dekade belakangan ini, perdagangan internasional telah PENDAHULUAN Latar Belakang Dalam beberapa dekade belakangan ini, perdagangan internasional telah tumbuh dengan pesat dan memainkan peranan penting dan strategis dalam perekonomian global. Meningkatnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kemudian terbagi dalam beberapa divisi yang terpecah dan kemudian mendorong terbentuknya

BAB I PENDAHULUAN. kemudian terbagi dalam beberapa divisi yang terpecah dan kemudian mendorong terbentuknya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Organisasi institusional regional atau kawasan jika ditelusuri kembali asalnya, mulai berkembang sejak berakhirnya Perang Dingin dimana kondisi dunia yang bipolar

Lebih terperinci

2 b. bahwa Persetujuan dimaksudkan untuk menetapkan prosedur penyelesaian sengketa dan mekanisme formal untuk Persetujuan Kerangka Kerja dan Perjanjia

2 b. bahwa Persetujuan dimaksudkan untuk menetapkan prosedur penyelesaian sengketa dan mekanisme formal untuk Persetujuan Kerangka Kerja dan Perjanjia LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.93, 2015 PENGESAHAN. Agreement. Asosiasi Bangsa- Bangsa Asia Tenggara. Republik India. Penyelesaian Sengketa. Kerja Sama Ekonomi. PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BAB VI DAMPAK ASEAN PLUS THREE FREE TRADE AREA TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA

BAB VI DAMPAK ASEAN PLUS THREE FREE TRADE AREA TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA 81 BAB VI DAMPAK ASEAN PLUS THREE FREE TRADE AREA TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA Negara-negara yang tergabung dalam ASEAN bersama dengan Cina, Jepang dan Rep. Korea telah sepakat akan membentuk suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Munculnya Hak Kekayaan Intelektual (HKI) atau Intellectual Property

BAB I PENDAHULUAN. Munculnya Hak Kekayaan Intelektual (HKI) atau Intellectual Property 18 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Munculnya Hak Kekayaan Intelektual (HKI) atau Intellectual Property Rights (IPR) sebagai bahan pembicaraan dalam tataran nasional, regional, dan internasional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang harus dihadapi dan terlibat didalamnya termasuk negara-negara di kawasan

BAB I PENDAHULUAN. yang harus dihadapi dan terlibat didalamnya termasuk negara-negara di kawasan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Globalisasi ekonomi bagi seluruh bangsa di dunia adalah fakta sejarah yang harus dihadapi dan terlibat didalamnya termasuk negara-negara di kawasan ASEAN. Globalisasi

Lebih terperinci

MATERI PERDAGANGAN LUAR NEGERI

MATERI PERDAGANGAN LUAR NEGERI MATERI PERDAGANGAN LUAR NEGERI A. Definisi Pengertian perdagangan internasional merupakan hubungan kegiatan ekonomi antarnegara yang diwujudkan dengan adanya proses pertukaran barang atau jasa atas dasar

Lebih terperinci