PEMETAAN SEBARAN CARBON DI KABUPATEN MERAUKE, PROVINSI PAPUA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PEMETAAN SEBARAN CARBON DI KABUPATEN MERAUKE, PROVINSI PAPUA"

Transkripsi

1 PEMETAAN SEBARAN CARBON DI KABUPATEN MERAUKE, PROVINSI PAPUA By. Lilik Budi Prasetyo Ida Bagus Ketut Wedastra Putri Tiara Maulida Kerja Sama: Fakultas Kehutanan IPB dengan WWF Indonesia P a g e

2 KATA PENGATAR Penulis panjatkan puji dan Syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan Karunia dan lindungan-nya, sehingga proses kegiatan identifikasi penutupan lahan dengan memanfaatkan teknologi penginderaan jauh di Selatan Papua dengan lokasi kajian di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua dapat diselesaikan Selatan Papua memiliki dinamika penutupan lahan yang dipengaruhi oleh musim dan kondisi geografis yang unik. Kondisi musim dipengaruhi oleh dua musim yaitu: musim basah dan kering yang dipengaruhi oleh kondisi tropis dan sub tropis. Identifikasi penutupan lahan ini dilakukan dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh satelit sebagai alat bantu untuk mengidentifikasi tutupan lahan pada tahun 1990, 2000 dan Masing-masing tahun merupakan komposit dari berbagai bulan akuisisi. Hasil analisis menunjukkan di lokasi kajian terdapat 18 kelas penutupan lahan, yang terdiri dari; hutan lahan kering primer, hutan lahan kering sekunder, hutan rawa pasang surut, hutan rawa primer, hutan rawa sekunder, hutan mangrove primer, hutan rawa sekunder, lahan pertanian, lahan terbuka, rawa, rawa pasang surut, savanna, semak belukar, semak belukar pasang surut, semak belukar rawa, perairan, dan tidak ada data (awan dan bayangan awan). Informasi penutupan lahan tersebut diintegrasikan dengan data perhitungan carbon sehingga diperoleh informasi perhitungan total carbon secara lanskap di Kabupaten Merauke. Penyelesaian laporan ini sebagai akhir dari seluruh rangkaian kegiatan identifikasi penutupan lahan di selatan papua khususnya di Kabupaten Merauke menjadi tidak lengkap tanpa adanya kritik dan saran, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk melengkapi kajian berikutnya. Akhir kata, penulis mengucapkan banyak Terima kasih kepada para pihak yang telah membantu penyelesaiaan Jakarta, September 2012 Penulis Pemetaan Sebaran Carbon di Kabupaten Merauke, 2011 Page 2

3 DAFTAR ISI Bab Keterangan Hal. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tujuan... 2 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penginderaan Jauh Wahana dan Sensor Penginderaan Jauh Stok Carbon (carbon pool) Penginderaan Jauh untuk estimasi Potensi Stok Carbon... 5 III. KONDISI UMUM KABUPATEN MERAUKE 3.1. Geografis Jumlah Penduduk Topografi Iklim/Curah Hujan Hidrologi Geologi Jenis Tanah... 9 IV. METODOLOGI 4.1. Lokasi Kajian dan Data Perangkat Lunak Perangkat Keras Harmonisasi Data Pemrosesan Data/Citra Survey Lapangan Pemetaan Sebaran Carbon di Kabupaten Merauke, 2011 Page 3

4 4.7. Integrasi Perhitungan Carbon dengan Hasil Interpretasi Diagram Alir V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Tipe penutupan lahan Penutupan Lahan Tahun Penutupan Lahan Tahun Tahun Penutupan Lahan Tahun Tahun Klasifikasi Penutupan Lahan Analisis Perubahan Kandungan Carbon VI. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA Pemetaan Sebaran Carbon di Kabupaten Merauke, 2011 Page 4

5 No DAFTAR TABEL Hal. 3.1 Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin Di Kabupaten Merauke per 31 Desember Kelas Lereng lokasi studi Rekapitulasi dara citra penyusun Kab. Merauke Karakteristik tegakan/vegetasi di masing-masing kelas penutupan lahan Rekapitulasi luas masing-masing penutupan lahan tahun Rekapitulasi luas masing-masing penutupan lahan tahun Rekapitulasi luas masing-masing penutupan lahan tahun Rekapitulasi luasan deforestasi dan degradasi hutan Perubahan carbon stock vegetasi (above ground carbon stock) Perubahan below ground carbon stock. 30 Pemetaan Sebaran Carbon di Kabupaten Merauke, 2011 Page 5

6 No DAFTAR GAMBAR Hal. 2.1 Satelit Landsat Peta Lokasi Kajian Kegiatan Potensi Carbon di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua Peta Lokasi Kajian dan Survey Lapangan Studi Carbon Selatan Papua Path Row untuk Kab.Merauke Diagram Alir Pengolahan Data Citra Satelit Landsat Penutupan Lahan Kabupaten Merauke tahun Penutupan lahan Kabupaten Merauke tahun Penutupan lahan Kabupaten Merauke tahun Degradasi hutan Deforestasi hutan Pemetaan Sebaran Carbon di Kabupaten Merauke, 2011 Page 6

7 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan iklim global telah dirasakan oleh manusia di berbagai belahan dunia. Perubahan disebabkan oleh kenaikan temperature atmosfer bumi, yang memicu dampak lingkungan global. Dampak tersebut antara lain kenaikan permukaan air laut yang disebabkan oleh melelehnya salju di kutub, dan ketidakpastian musim hujan dan kemarau. (IPCC, 2007). Kenaikan suhu bumi ini menjadi ancaman bagi kehidupan manusia dalam bentuk bencana cuaca yang ekstrim, kekeringan, banjir, tenggelamnya pulau-pulau, kelaparan, kesehatan, dan lain-lain. Perdebatan penyebab kenaikan temperature bumi masih terus berlangsung. Sebagian ahli masih ada yang mempercayai bahwa kenaikan dan penurunan bumi adalah gejala alam. Namun para ahli yang tergabung di dalam panel expert IPCC mempercayai bahwa kenaikan tersebut disebabkan oleh kenaikan konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK), yaitu karbon dioksida (CO2), Methana (CH4), Nitru oxide (NOx) dan Sulphur Oxida (Sox), yang dikeluarkan karena aktivitas manusia. Sumber GRK berasal dari berbagai aktivitas pembakaran bahan bakar fossil dari sector industry, rumah tangga, dan transportasi, serta emisi dari sector pertanian dan kehutanan. Negara maju penyumbang emisis GRK terbesar dari sector industry, sedangkan untuk Negara berkembang di belahan tropika, sumber emisi GRK banyak disebabkan oleh aktivitas pertanian dan kehutanan (deforestasi). Hilangnya hutan merupakan salah satu faktor yang berkontribusi secara signifikan dalam perubahan iklim. Di sisi lain, kemungkinan memperluas penyimpanan karbon di hutan diidentifikasi sebagai cara yang lebih berpotensi dalam memitigasi perubahan iklim (FAO, 2001; defries et al., 2000). Setelah berakhirnya masa komitment Kyoto Protokol, skema REDD diusulkan Papua Nugini dan Costarica pada pertemuan COP 11 di Montreal, yang kemudian diadopsi pada COP 13 (2/CP 13) dan diakui dalam Kesepakatan Kopenhagen (Copenhagen Accord) pada Pertemuan Para Pihak (Conference of Parties, COP) ke-15 dari UNFCCC (4/CP.15). Untuk Indonesia REDD+ telah digendakan secara nasional, sebagai salah satu skema Mitigasi yang akan diimplementasikan hingga pada level pemerintah daerah. Pemetaan Sebaran Carbon di Kabupaten Merauke, 2011 Page 7

8 Deforestasi dan Degradasi hutan di Indonesia telah mengakibatkan besarnya sumbangan emisi pada dunia, oleh karena itu pendekatan mitigasi dengan mengamankan hutan yang ada adalah melalui REDD (Reduction of Emission from Deforestation and Degradation), yaitu penyelamatan hutan tersisa untuk mengurangi tingkat emisi Indonesia. REDD bertujuan untuk menyelamatkan hutan yang ada atau tersisa dengan mencegahnya dari kerusakan dan kehilangan. Menyadari akan permasalahan tersebut WWF-Indonesia sebagai lembaga nirlaba bersama IPB dan ICRAF yang berbasis konservasi ekosistem memiliki tanggung jawab moral dalam mengurangi dampak akibat kerusakan lingkungan global termasuk mitigasi dalam mengurangi penyebab perubahan iklim. Salah satu langkah yang akan dilakukan oleh WWF adalah dengan melakukan Kegiatan Analisis Estimasi Nilai Carbon (ton/ha) berdasarkan tipe tutupan lahan di Kabupaten Merauke, kegiatan ini dimulai dengan melakukan penghitungan potensi karbon baik itu aboveground, belowground, soil maupun necromass di lapangan, melakukan analisis terhadap tipe tutupan lahan di lapangan, mengekstrapolasi nilai carbon tingkat plot menjadi nilai carbon berdasarkan tipe tutupan lahan yang diperoleh. Luasnya wilayah yang dikaji, menjadi kebutuhan akan suatu teknologi yang dapat memberikan informasi secara cepat dan mencakup wilayah yang besar, salah satu teknologi yang digunakan adalah sistem informasi geografis dan pemanfaatan teknologi penginderaan jauh untuk pemantauan penutupan lahan yang ada pada tahun lalu dan saat ini Tujuan Tujuan kajian ini adalah mendukung pelaksanaan REDD di Kabupaten Merauke, dengan rincian kegiatan sebagai berikut : a) Melakukan analisis penutupan lahan tahun 1990, 2000 dan 2010, dengan menggunakan teknologi remote sensing di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua. b) Menghitung potensi stok karbon diatas dan dibawah permukaan berdasarkan perhitungan luas penutupan lahan pada tahun 1990, 2000 dan 2010, yang didukung oleh survey kandungan karbon pada level plot. c) Menganalisis trend perubahan karbon stok pada rentan Pemetaan Sebaran Carbon di Kabupaten Merauke, 2011 Page 8

9 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penginderaan Jauh Penginderaan jauh berasal dari kata Remote sensing memiliki pengertian bahwa penginderaan jauh merupakan suatu ilmu dan teknologi untuk memperoleh data dan informasi dari suatu objek di permukaan bumi dengan menggunakan alat yang tidak berhubungan langsung dengan objek yang dikajinya (Lillesand dan Kiefer, 1979). Jadi penginderaan jauh merupakan ilmu dan teknologi untuk mengindera/ menganalisis permukaan bumi dari jarak yang jauh, dimana perekaman dilakukan di udara atau di angkasa dengan menggunakan alat (sensor), yang ditempatkan pada sebuah wahana (kendaraan) Wahana dan sensor Penginderaan Jauh Wahana untuk menempatkan sensor satelit berkembang dengan sangat cepat terutama setelah teknologi satelit. Sebelum teknologi satelit ditemukan, wahana penginderaan jauh ditempatkan pada balon udara, dan pesawat. Spesifikasi sensor ditempatkan pada satelit sangat tergantung dari misi satelit, yaitu untuk pemantauan sumberdaya alam (terrestrial), sumberdaya laut atau atmosfer. Sebuah sensor biasanya terdiri dari kumpulan sensor yang mempunyai kemampuan untuk menangkap rentang panjang gelombang yang berbeda-beda, dan biasanya disebut chanel/band. Satelit biasanya mempunyai satu band hingga ratusan bands (Hyperspectral). Salah satu satelit yang ditujukan untuk memantau sumberdaya alam adalah satelit Landsat. Satelit ini dikenal sebagai satelit sumber daya alam karena fungsinya adalah untuk memetakan potensi sumber daya alam dan memantau kondisi lingkungan. Satelit ini mempunyai 7 band. Landsat pada awalnya disebut dengan nama ERTS-1 (Earth Resource Technology Satellite) yang diluncurkan pada tanggal 23 Juli 1972 yang mengorbit hingga 6 Januari 1978 teat sebelum peluncuran ERTS-B. Tanggal 22 Juli 1975, NASA secara resmi menangani program ERTS menjadi program Landsat sehingga ERTS-1 berubah menjadi Landsat 1 dan ERTS-B berubah menjadi Landsat 2. Landsat 2 berhenti beroperasi pada tahun Landsat 3 diluncurkan pada tanggal 5 Maret 1978 dan berhenti beroperasi pada tahun Landsat 4 diluncurkan pada Juli Pemetaan Sebaran Carbon di Kabupaten Merauke, 2011 Page 9

10 1982 dan Landsat 5 pada Maret Landsat 4 berhenti beroperasi pada tahun Landsat 6 gagal mencapai orbit karena terjadi kecelakaan yang dicoba diluncurkan pada tanggal 5 Oktober Landsat 7 diluncurkan pada tanggal 15 April Secara umum, karakteristik landsat adalah sebagai berikut: 1. Resolusi spectral Resolusi spectral adalah jumlah bands yang ditempatkan pada sebuah satelit. Satelit Landsat 5 TM mempunyai 7 band, sedangkan TM 7 sebanyak 8 band. 2. Resolusi spasial Resolusi spasial adalah ukuran terkecil kemampuan sensor untuk merekam sebuah obyek. Resolusi spasial Band 1, band 2, band 3, band 4, band 5 dan band 7 adalah 30 meter. Sedangkan band 6 yang menggunakan inframerah thermal memiliki resolusi spasial 60 meter. 3. Resolusi temporal Resolusi temporal adalah periode waktu yang dibutuhkan satelit untuk dapat merekam tempat yang sama. Untuk Landsat periode resolusi temporal 16 hari Gambar 2.1. Satelit Landsat 5 (sumber NASA) 2.3. Stok Karbon (Carbon Pool) Stok karbon (carbon pool) adalah kandungan karbon yang terdapat pada vegetasi di atas permukaan, perakaran, serasah, bagian tumbuhan yang mati dan tanah. Pengukuran stok karbon di suatu daerah melibatkan pengukuran stok karbon dari 5 komponen tersebut. Karbon yang terdapat di dalam vegetasi (above dan under ground) adalah akumulasi carbon sebagai hasil dari akumulasi fotosintesa. Untuk pengukuran jumlah karbon di atas permukaan tanah (above ground Pemetaan Sebaran Carbon di Kabupaten Merauke, 2011 Page 10

11 carbon stock) dapat dilakukan secara pengukuran langsung (destructive sampling) atau dengan pengukuran secara tidak langsung dengan pendekatan matematis (allometric) Penginderaan Jauh untuk estimasi Stok Carbon Untuk mengestimasi stok karbon pada suatu kawasan yang lebih luas diperlukan suatu cara untuk mengekstrapolasikan hasil pengukuran berbasis plot (dengan alometri) ke tingkat bentang alam. Salah satu metoda yang sangat potensial untuk memenuhi kebutuhan tersebut adalah dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh (inderaja). Hutan mengabsorpsi CO2 selama proses fotosintesis dan menyimpannya sebagai materi organik dalam biomassa tanaman. Banyaknya materi organik yang tersimpan dalam biomassa hutan per unit luas dan per unit waktu merupakan pokok dari produktivitas hutan. Produktivitas hutan merupakan gambaran kemampuan hutan dalam mengurangi emisi CO2 di atmosfir melalui aktivitas physiologinya. Pengukuran produktivitas hutan relevan dengan pengukuran biomassa. Biomassa hutan menyediakan informasi penting dalam menduga besarnya potensi penyerapan CO 2 dan biomassa dalam umur tertentu yang dapat dipergunakan untuk mengestimasi produktivitas hutan (Heriansyah, 2005). Stock karbon adalah jumlah absolut karbon yang berada di permukaan dan di dalam tanah dalam satu satuan waktu tertentu (Price et al., (1997), Kurz (1999), dan James (2005)). Dalam penelitian ini estimasi stock karbon dibatasi hanya yang terdapat pada vegetasi terestrial. Estimasi karbon stock dilakukan dengan menggunakan data luas tutupan vegetasi dikalikan dengan data biomassa dan faktor konversi biomass-karbon (IPCC, 1996). Data luas tutupan hutan diperoleh dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh. Pemetaan Sebaran Carbon di Kabupaten Merauke, 2011 Page 11

12 III. KONDISI LOKASI 3.1. Geografis Secara geografis, Kabupaten Merauke terletak antara Lintang Selatan dan Bujur Timur. Kabupaten Merauke berbatasan langsung dengan Kabupaten Mappi dan Kabupaten Boven Digoel di sebelah utara, sedangkan untuk sebelah selatan dan sebelah barat berbatasan dengan Laut Arafura, dan sebelah timur berbatasan dengan Papua New Guinea (PNG). Luas wilayah Kabupaten Merauke mencapai km 2. Sebagian besar wilayah merupakan dataran rendah, ketinggian bervariasi antara 0 sampai dengan 100 m di atas permukaan laut. Sejak tahun 2006 Kabupaten Merauke mempunyai 20 distrik yang terdiri dari 8 kelurahan dan 160 kampung/desa. Gambar 3.1. Peta Lokasi Kajian Kegiatan Potensi Carbon di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua Pemetaan Sebaran Carbon di Kabupaten Merauke, 2011 Page 12

13 3.2. Jumlah Penduduk Jumlah penduduk Kabupaten Merauke per tanggal 31 Desember 2011, menurut pendataan dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil berjumlah Jiwa. Dari jumlah tersebut, Penduduk laki-laki mencapai Jiwa dan perempuan mencapai Jiwa. Jumlah Kepala Keluarga tercatat sebanyak KK. Jumlah penduduk terbanyak terdapat di Distrik Merauke yang jumlahnya mencapai Jiwa. Jumlah penduduk terkecil terdapat di Distrik Kaptel dengan jumlah penduduk sebanyak Jiwa. Data tersebut dapat disajikan pada Tabel berikut ini : Tabel 3.1. Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin Di Kabupaten Merauke per 31 Desember 2011 No. Distrik Jumlah Penduduk Jumlah Laki-Laki Perempuan KIMAAM TABONJI WAAN ILWAYAB OKABA TUBANG NGGUTI KAPTEL KURIK ANIMHA MALIND MERAUKE NAUKENJERAI SEMANGGA TANAH MIRING JAGEBOB SOTA MUTING ELIKOBEL ULILIN Jumlah (Sumber : Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kab. Merauke, 2011) KK Topografi Keadaan Topografi Kabupaten Merauke umumnya datar dan berawa disepanjang pantai dengan kemiringan 0-3% dan kearah utara yakni mulai dari Distrik Tanah Miring, Jagebob, Elikobel, Muting dan Ulilin keadaan Topografinya bergelombang dengan kemiringan 0 8%. Kondisi Geografis Kabupaten Merauke yang relatif masih alami, merupakan tantangan serta peluang Pemetaan Sebaran Carbon di Kabupaten Merauke, 2011 Page 13

14 pengembangan bagi Kabupaten Merauke yang masis menyimpan banyak potensi ekonomi untuk menunjang pembangunan. Untuk jelasnya dapat dilihat pada Tabel 3.2. sebagai berikut ini : Tabel 3.2. Kelas Lereng lokasi studi Kelas Lereng Luas (Km2) Persentase Wilayah 0 3 % ,42 Kimaam, Okaba,Kurik, Semangga. 3 8 % ,70 Merauke, Tanah Miring, Jagebob, Sota % ,88 Okaba, Kurik, Muting, Elikobel dan Ulilin, Jumlah ,00 Sumber : Bappeda Kabupaten Merauke, 2010 Kemudian berdasarkan peta dasar Kabupaten Merauke (Gambar 2) terlihat sebagian besar daerah merupakan areal dataran yang berada pada ketinggian antara 0 60 m diatas permukaan laut. Wilayah yang benar-benar datar tersebut berada sebagian besar pada daerah selatan dan tengah. Daerah tersebut merupakan sentra penduduk yang memulai usaha pemanfaatan lahan untuk kegiatan budidaya dan konsentrasi pemukiman penduduk Iklim/Curah hujan Kabupaten Merauke memiliki iklim yang sangat tegas antara musim penghujan dan musim kemarau. Menurut Oldeman (1975), wilayah Kabupaten Merauke berada pada zona (Agroclimate Zone C) yang memiliki masa basah antara 5 6 bulan. Dataran Merauke mempunyai karakteristik iklim yang agak khusus yang mana curah hujan yang terjadi dipengaruhi oleh Angin Muson, baik Muson Barat Barat Laut (Angin Muson Basah) dan Muson Timur Timur Tenggara (Angin Muson Kering) dan juga dipengaruhi oleh kondisi Topografi dan elevasi daerah setempat. Curah hujan pertahun di Kabupaten Merauke rata-rata mencapai 1.558,7 mm.dari data yang ada memperlihatkan bahwa perbedaan jumlah curah hujan pertahun antara daerah Merauke Selatan dan bagian utara. Secara umum terjadi peningkatan curah hujan per tahun dari daerah Merauke Selatan ( ) dibagian Muting, kemudian curah hujan dengan jumlah mm/tahun terdapat di Kecamatan Okaba dan sebagian Muting, selebihnya semakin menuju ke Utara curah hujannya semakin tinggi. Perbedaan tersebut Pemetaan Sebaran Carbon di Kabupaten Merauke, 2011 Page 14

15 juga berlaku pada jumlah bulan basah yaitu semakin kebagian utara masa basah sangat panjang sedangkan pada bagian selatan terdapat masa basah yang relatif pendek. Kondisi iklim yang demikian berpeluang untuk dua kali tanam. Musim hujan yang terjadi merupakan kendala terhadap kondisi jalan jalan tanah yang setiap tahun mengalami kerusakan. Sementara disisi lain musim kemarau yang panjang justru mengakibatkan kekurangan air bersih dan air irigasi bagi masyarakat dan petani. Berdasarkan data iklim yamg dikeluarkan oleh Kantor Meteorologi dan Geofisika Merauke menunjukkan bahwa kecepatan angin hanpir sama sepanjang tahun; di daerah pantai bertiup cukup kencang sekitar 4 5 m/det dan dipedalaman berkisar 2 m/det. Penyinaran matahari rata rata di Merauke adalah 5,5 jam/hari pada bulan Juli dan yang terbesar 8,43 jam/hari pada bulan September, dengan rata rata harian selama setahun sebesar 6,62 jam. Tingkat kelembapan udara cukup tinggi karena dipengaruhi oleh iklim Tropis Basah, kelembapan rata rata berkisar antara 78 81% Hidrologi Sungai sungai besar yakni Bian, Digul, Maro, Yuliana, Lorents, dan Kumbe merupakan potensi sumber air tawar untuk pengairan dan digunakan sebagai prasarana angkutan antara kecamatan dan desa desa. Sumber air tawar dari rawa rawa, air permukaan dan air tanah cukup tersedia untuk dimanfaatkan. Di beberapa tempat air tanah mengandung belerang panas Geologi Pantai selatan dibentuk oleh hutan sedimen, tergolong endapan alivium, di Utara pasir Kwarsa dan batu apung. Berdasarkan data tingkat kesuburan tanah tergolong rendah sampai sedang. Bahan tambang/mineral yang diduga ada minyak dan emas Jenis Tanah Jenis tanah yang terdapat diwilayah Kabupaten Merauke terdiri atas tanah organosol, alluvial dan hidromorf kelabu yang terdapat didaerah daerah rawa dan payau. Jenis tanah ini terbentuk dari bahan induk buatan sedimen yang menyebar diwilayah distrik Okaba, Merauke dan Kimaam. Pemetaan Sebaran Carbon di Kabupaten Merauke, 2011 Page 15

16 IV. METODOLOGI 4.1. Lokasi Kajian dan Data Lokasi Kajian berada pada lansekap Kabupaten Merauke, Provinsi Papua (Gambar 4.1). Untuk mendapatkan informasi penutupan lahan di lokasi kajian maka diperlukan data-data pendukung. Data pendukung tersebut terdiri dari data sekunder dan data primer yang terdiri dari data vektor dan data raster. Data sekunder dapat diperoleh melalui data-data yang sudah ada yang berasal dari instansi pemerintah, LSM, maupun instansi swasta dan lembaga penelitian lainnya yang telah melakukan kegiatan di lokasi kajian. Data raster yang digunakan adalah menggunakan citra satelit Landsat 5 dan atau Landsat 7. Untuk mendapatkan informasi jejak ekologi dan tresn perubahan yang terjadi, maka diperlukan kajian pada tahun sebelumnya serta kajian tahun terbaru. Gambar 4.1. Peta Lokasi Kajian dan Survey Lapangan Studi Carbon Selatan Papua Pemetaan Sebaran Carbon di Kabupaten Merauke, 2011 Page 16

17 4.2. Perangkat Lunak Perangkat lunak, merupakan sistem modul yang berfungsi untuk memasukkan, menyimpan dan mengeluarkan data yang diperlukan. Data hasil penginderaan jauh dan tambahan (data lapangan, peta) dijadikan satu menjadi data dasar citra, geografi. Data dasar tersebut dimasukkan ke komputer melalui unit masukan untuk disimpan dalam disket. Bila diperlukan data yang telah disimpan tersebut dapat ditayangkan melalui layar monitor atau dicetak untuk bahan laporan (dalam bentuk peta/gambar). Data ini juga dapat diubah untuk menjaga agar data tetap aktual (sesuai dengan keadaan sebenarnya). Perangkat lunak yang digunakan adalah Erdas IMAGINE, ArcGIS, Er Mapper dan Microsoft Office 4.3. Perangkat Keras Perangkat keras: berupa komputer beserta instrumennya (perangkat pendukungnya). Data yang terdapat dalam Sistem Pengolahan Citra diolah melalui perangkat keras. Perangkat keras dalam Pengolahan Citra terbagi menjadi tiga kelompok yaitu: Alat masukan (input) sebagai alat untuk memasukkan data ke dalam jaringan komputer. Contoh: Scanner, digitizer, CD-ROM, FlashDisk. Alat pemrosesan, merupakan sistem dalam komputer yang berfungsi mengolah, menganalisis dan menyimpan data yang masuk sesuai kebutuhan, contoh: CPU, tape drive, disk drive. Alat keluaran (ouput) yang berfungsi menayangkan informasi geografi sebagai data dalam proses SIG, contoh: plotter, printer. Untuk kegiatan survey lainnya diperlukan Lembar Survey, GPS, Kompas dan Kamera Foto Harmonisasi Data Harmonisasi data dimaksudkan untuk membuat suatu database data yang akan dipergunakan memiliki batas landsekap yang sama, posisi koordinat/datum yang sama, serta informasi attribut data yang sama dan mudah diakses serta digunakan kembali. Pemetaan Sebaran Carbon di Kabupaten Merauke, 2011 Page 17

18 4.5. Pemerosesan Data/Citra Kabupaten Merauke, tersusun dari 6 scene citra satelit (Gambar 4.2), sehingga langkah awal dari tahapan proses klasifikasi adalah proses mosaic. Proses ini dilakukan setelah secara geografi citra telah terkoreksi dengan data dasar vector. Hal ini penting dilakukan agar hasil dari klasifikasi dapat diintegrasikan dengan data lain. Daftar scene yang digunakan disajikan pada Tabel 4.1. Gambar 4.2. Path Row untuk Kab.Merauke. Tabel 4.1. Rekapitulasi dara citra penyusun Kab. Merauke. No. Jenis Citra Path Row Tgl Perekaman Sumber Tahun Landsat 5 TM Nov-90 NASA USGS 2 Landsat 5 TM Nov-90 NASA USGS 3 Landsat 5 TM Sep-91 NASA USGS 4 Landsat 5 TM Nov-90 NASA USGS 5 Landsat 5 TM Oktober 1987 NASA USGS 6 Landsat 5 TM Juni 1991 NASA USGS Tahun Landsat 7 ETM Oktober 2000 NASA USGS 2 Landsat 7 ETM Oktober 2001 NASA USGS Pemetaan Sebaran Carbon di Kabupaten Merauke, 2011 Page 18

19 No. Jenis Citra Path Row Tgl Perekaman Sumber 3 Landsat 7 ETM Agustus 2000 NASA USGS 4 Landsat 7 ETM Agustus 2000 NASA USGS 5 Landsat 7 ETM Mei 2001 NASA USGS 6 Landsat 7 ETM Mei 2001 NASA USGS No. Tahun Landsat 5 TM Juli 2009 NASA USGS 2 Landsat 5 TM Juli 2009 NASA USGS 3 Landsat 5 TM Oktober 2009 NASA USGS 4 Landsat 5 TM Februari 2010 NASA USGS 5 Landsat 5 TM Apr-09 NASA USGS 6 Landsat 5 TM Apr-09 NASA USGS Bila diperhatikan detil kombinasi scene untuk setiap periode tahun tidak sama, bahkan tersebar dalam dua iklim yang berbeda, misalnya campuran scene yang diambil pada bulan Juni (kemarau) dan November (penghujan). Hal ini tidak bias dihindari karena ketersediaan scene yang terbatas. Setelah menjadi satu mosaic, pross dilanjutkan. Diagram alir pengolahan data citra disajikan pada Gambar Koreksi Citra (Image Rectification) Citra satelit asli dapat mengandung berbagai kesalahan dalam geometri dan radiometri (cosmetic appearance). Oleh karena itu penting untuk memperbaiki citra sebelum memulai interpretasi. Hal ini biasanya melibatkan pengolahan awal citra satelit asli untuk mengkoreksi distorsi geometrik, koreksi radiometrik dan kalibrasi dan menghilangkan kebisingan dari data (atmosferik). Proses ini juga disebut sebagai rektifikasi citra. Koreksi geometrik dilakukan karena adanya distorsi yang disebabkan oleh kelengkungan bumi, ketidaksamaan gerak penyiaman (scanner) dan gerak rotasi bumi, koreksi ini dilakukan dengan merubah posisi aktual citra, tetapi nilai intensitasnya tetap tidak berubah. Kemudian dilakukan resampling, yaitu citra ditransformasikan kepada citra yang tidak mengalami distorsi pada posisi yang sama. Nilai intensitasnya diperoleh dari hasil interpolasi nilai-nilai piksel disekitarnya. Kesalahan geometrik dapat dikoreksi Pemetaan Sebaran Carbon di Kabupaten Merauke, 2011 Page 19

20 melalui lintasan satelit atau informasi GCP (ground control point) yang terlihat pada citra atau data referensi yang ada, seperti: perpotongan jalan atau garis pantai atau bentuk sungai. Pengkoreksian citra dalam kajian ini menggunakan metode orde polinimial dengan minimum titik kontrol sebanyak 16 titik kontrol (cubic GCP) Koreksi Atmosfer Menurut Energi yang berasal dari sumbernya atau energi yang diterima sensor dipengaruhi oleh atmosfer (hamburan, pantulan dan penyerapan). Gangguan atmosfer ini perlu dikoreksi, terutama objek-objek yang gelap atau tingkat keabuan yang rendah seperti air. Untuk evaluasi subjektif (Kualitatif) dari sebuah citra, koreksi atmosfer tidak terlalu penting, akan tetapi untuk mendapatkan informasi secara kuantitatif maka koreksi atmosfer sangat penting dilakukan. Teknik koreksi atmosferik terdiri dari 3 cara, yaitu: 1. Teknik dark pixel saturation 2. Tehnik histogram matching/adjustment 3. Teknik mathematical modeling Pemetaan Sebaran Carbon di Kabupaten Merauke, 2011 Page 20

21 Hasil Analisis Klasifikasi dan Uji Pengolahan Awal Data Akusisi dan Harmonisasi Citra Satelit Landsat 5 Tahun 1990 Citra Satelit Landsat 5 Tahun 2000 Citra Satelit Landsat 5 Tahun 2010 Harmonisasi Data Koreksi Geometrik Pemotongan Citra Koreksi Atmosferik Klasifikasi Citra Tidak Terbimbing (Unsupervised Classification) Penajaman Citra (RGBI dan PCA) Area sampel (Training Area) Klasifikasi Citra Terbimbing (Supervised Classification) Uji Ketelitian Klasifikasi (Confusion Matrix) Tidak Teliti Survey Lapangan Uji Ketelitian Hasil Klasifikasi terhadap Hasil Survey Lapangan Analisis Perhitungan Stok Carbon Peta Penutupan Lahan PETA POTENSI SEBARAN CARBON Gambar 4.3. Diagram Alir Pengolahan Data Citra Satelit Landsat. Pemetaan Sebaran Carbon di Kabupaten Merauke, 2011 Page 21

22 Pada Kajian ini mempergunakan teknik/metode penyesuaian histogram (histogram adjustment). Asumsi yang melandasi metode ini adalah nilai piksel terendah tiap saluran seharusnya bernilai 0. Apabila nilai lebih besar dari nol (>0), maka dihitung sebagai bias atau offset, dan koreksi dilakukan dengan cara menghilangkan bias tersebut, yaitu mengurangi keseluruhan nilai spektral pada saluran asli dengan nilai biasnya masingmasing Penajaman Citra (Image Enhancement) Penajaman citra bertujuan untuk memperbaiki penampakkan citra secara visual dengan meningkatkan perbedaan nyata diantara objek dalam citra. Penajaman ini dilakukan sebelum proses interpretasi atau klasifikasi citra. Hal ini membantu dalam penafsiran yang lebih baik dari gambar dan dalam memisahkan satu jenis fitur yang lain. Penajaman citra melibatkan penggunaan sejumlah fungsi manipulasi statistik dan citra yang disediakan dalam perangkat lunak pengolah citra. Ini termasuk peningkatan kontras, histogram equalization, kepadatan mengiris, penyaringan spasial, citra rasio, transformasi warna, fusi gambar, dll. Pada kajian ini menggunakan metode kombinasi warna Merah, Hijau, Biru dan Intensity (color composite/rgbi) dan Perbandingan nilai spektral (spectral rationing). Metode kombinasi warna adalah pengabungan nilai spektral dari kanal/band pada tingkat keabuan yang terdapat pada citra satelit sehingga menghasilkan pengabungan warna merah, hijau, biru serta peningkatan intensitas pada kanal yang menjadi fokus perhatian, pada kajian ini kombinasi yang digunakan adalah kombinasi kanal 4(R), 5(G), 3(B) dan 5(I), kanal 5(R), 4(G), 2(B) dan 4(I), dan kanal 7(R), 4(G), 2(B),dan 7(I). Metode perbandingan nilai spektral dilakukan dengan melakukan proses secara statistik dari nilai spektral yang terdapat pada kanal/band citra sehingga menghasilkan karakteristik spektral/warna dari objek yang ada. Metode perbandingan nilai spektral menggunakan analisis komponen utama (PCA) Klasifikasi Citra dan koreksi awan (a) Klasifikasi Citra klasifikasi citra satelit untuk identifikasi penggunaan/penutupan lahan, dilakukan dengan integrasi beberapa metode pendekatan, yaitu: Pemetaan Sebaran Carbon di Kabupaten Merauke, 2011 Page 22

23 1. Klasifikasi tidak terbimbing (unsupervised classification) adalah klasifikasi berdasarkan perbedaan nilai spektralnya. Dilakukan dengan membagi nilai digital pada citra kedalam 255 kelas dan dilakukan secara automatisasi oleh peringkat lunak yang digunakan. 2. Klasifikasi terbimbing (supervised classification) dengan menggunakan input data/informasi acuan yang dianggap benar (hasil Penajaman citra RGBI, Analisis PCA, hasil pengamatan lapangan dan referensi peta lainnya). 3. Klasifikasi Kombinasi (hibrid classification). hasil kedua klasifikasi tersebut, kemudian digabungkan sehingga dalam analisis dan klasifikasi citra telah mempertimbangkan masukan keterpisahan nilai spektral dan data informasi lapangan. Pada analisis klasifikasi citra penutupan lahan menggunakan metode kombinasi (hybrid classification), hasil klasifikasi tidak Terbimbing digunakan sebagai salah satu acuan dalam pengambilan areal contoh (training area), selain Komposit RGBI dan PCA pada proses klasifikasi Terbimbing (supervised classification). Hasil dari klasifikasi belum dapat membedakan berbagai tipe hutan dan derajad gangguan terhadap ekosistem hutan. Untuk mendapatkan kelas tipe hutan, hasil klasifikasi dioverlay dengan peta tipe ekosistem yang telah dibangun oleh WWF sebelumnya. Dari overlay ini didapatkan berbagai tipe hutan, yaitu hutan lahan kering dataran rendah, hutan rawa, hutan rawa pasang surut dan mangrove. Derajad gangguan hutan (hutan primer dan sekunder), sulit dilakukan dengan menggunakan klasifikasi digital, sehingga untuk menentukan primer dan sekunder untuk penutupan lahan tahun 2000 dan 2010 dilakukan setelah klasifikasi (Post classification). Logika yang digunakan adalah penutupan hutan karena regrowth dari tahun sebelumnya disebut hutan sekunder. (b) Koreksi awan Masalah utama untuk komparasi data hasil klasifikasi adalah keberadaan awan. Untuk mengatasi hal ini dan menghindari komparasi yang bias, maka dilakukan analisis spasial sbb: Pemetaan Sebaran Carbon di Kabupaten Merauke, 2011 Page 23

24 1. Land cover yang berada di bawah awan pada tahun 2000 akan sama dengan 1990, apabila land cover pada tahun 2010 sama dengan Pada tahap akhir, semua penutupan awan dan bayangan awan (tidak ada data), disamakan untuk semua tahun analisis (1990, 2000dan 2010) Uji Ketelitian/Validasi Hasil Analisis klasifikasi Citra Satelit Uji ketelitian sangat penting dalam setiap hasil penelitian dari setiap jenis data penginderaan jauh. Tingkat ketelitian data sangat mempengaruhi besarnya kepercayaan pengguna terhadap setiap jenis data penginderaan jauh. Uji ketelitian analisis untuk identifikasi penutupan lahan dilakukan dengan dua cara yaitu: (1) Akurasi pengambilan sampel area (area sampling accuracy) dan (2) Akurasi Pengambilan sampel titik/data survey lapangan (point sampling accuracy) a. Uji Akurasi Pengambilan Area Contoh (Area Sampling Accuracy) Accuracy assessment citra hasil klasifikasi dapat dilakukan dengan matrik kekeliruan (confusion matrix). Matrik ini didapat dengan cara membandingkan antara jumlah pixel hasil klasifikasi citra dengan jumlah piksel dalam area pengambilan contoh (training area) pada proses klasifikasi yang mempresentasikan data hasil interpretasi dari kelas yang sama sebagai pembanding dengan hasil proses klasifikasi. Sehingga dapat diperoleh tingkat akurasi dari pengambilan contoh area (user accuracy) dan juga akurasi dari proses klasifikasi yang dilakukan (producer accuracy). b. Uji Akurasi Pengambilan Titik Contoh (Point Sampling Accuracy) Uji ketelitian/kebenaran analisis dan klasifikasi dalam penggunaan/penutupan lahan digunakan pendekatan metode tingkat akurasi pengambilan titik contoh (point sampling accuracy) berdasarkan matrik kekeliruan (confusion matrix) untuk menguji kebenaran hasil deteksi dan klasifikasi pada citra dengan kondisi dilapang. Uji ketelitian analisis dalam deteksi tutupan lahan antara hasil analisis dengan kondisi di lapang digunakan pendekatan pengambilan contoh acak terstratifikasi (stratified random sampling). Uji ketelitian ini mengikuti metode seperti yang telah disarankan oleh Sutanto, (1994) dengan tahapan: (i) melakukan pengecekan lapangan pada beberapa titik sampel yang dipilih dari Pemetaan Sebaran Carbon di Kabupaten Merauke, 2011 Page 24

25 setiap kelas penggunaan/penutupan lahan. Setiap jenis penggunaan/penutupan lahan diambil beberapa sampel area didasarkan atas homogenitas kenampakannya dan diuji kebenarannya di lapangan, (ii) menilai kecocokan hasil analisis citra inderaja dengan kondisi sebenarnya di lapangan, dan (iii) membuat matrik perhitungan setiap kesalahan (confusion matrix) pada setiap jenis penggunaan/penutupan lahan dari hasil analisis data digital citra satelit, sehingga diketahui tingkat ketelitiannya. Ketelitian analisis dibuat dalam beberapa kelas X yang dihitung dengan rumus (Sutanto, 1994): MA = Xcr pixel Xcr + Xo +Xco Dimana: MA : Ketelitian analisis/klasifikasi Xcr : Jumlah pixel/site kelas yang benar Xo : Jumlah pixel/site kelas X yang masuk ke kelas lain (ommision) Xco : jumlah pixel/site kelas X tambahan dari kelas lain (commision) 4.6. Survey Lapangan Dalam klasifikasi citra penginderaan jauh satelit, survey lapangan (ground truth) merupakan suatu hal yang harus dilakukan. Hal ini bertujuan untuk mengetahui kondisi di lapangan seperti jenis penutup lahan dan atau penggunaan lahan yang sesungguhnya. Data lapangan ini digunakan sebagai dasar dalam interpretasi citra satelit yang mewakili daerah tersebut sehingga dapat mendukung dalam proses pembuatan peta penggunaan/penutup lahan. Berdasarkan data lapangan yang ada, dapat diketahui bahwa ada perbedaan atau tidak antara peta, citra, dengan hasil survey lapangan. Perbedaan itu dapat terjadi karena adanya perbedaan antara waktu perekaman citra dengan waktu pengambilan data lapangan. Titik-titik sample pada citra diambil dengan memperhatikan aspek keberadaan obyek. Semua titik sampel mewakili semua obyek yang ada pada citra. Tahapan yang dilakukan untuk melaksanakan survey lapangan: 1. Perencanaan dan Persiapan. Pengenalan lokasi survey pada citra dengan syarat mudah dikenal dan diidentifikasi di lapangan sebagai lokasi pengukuran posisi pada citra penginderaan jauh satelit dan interpretasi citra penginderaan jauh. Lokasi suatu titik umumnya ditentukan oleh garis Pemetaan Sebaran Carbon di Kabupaten Merauke, 2011 Page 25

26 lintang (latitude) dan bujur (longitude) atau dalam format UTM (East/West) untuk posisi dua dimensi. Hasil klasifikasi citra merupakan informasi awal yang diperoleh sebagai acuan untuk merencakan lokasi titik survey yang akan dituju, kemudian pencatatan dilakukan dengan menggunakan formulir survey (Lampiran 1). Persiapan peralatan pengukuran. Merencanakan rute 2. Pelaksanaan Pengamatan. Hasil Perencanaan dan Persiapan dilanjutkan dengan pelaksanaan pengamatan di lokasi yang telah dipersiapkan. Titik Survey yang diamati dimulai dengan titik survey atau pengamatan yang jaraknya lebih dekat dengan posisi awal. Pengambilan titik-titik di sepanjang perjalanan menuju titik survey dilakukan pada kondisi penutupan lahan mengalami perbedaan. Tujuan dari pengambilan titik-titik koordinat serta tipe penutupan lahan diantara titik survey dilakukan untuk membantu memberikan informasi lebih pada hasil pengamatan dan perbaikkan citra hasil interpretasi penutupan lahannya. Pengambilan foto lokasi dengan memperhatikan antara nomor foto pada kamera dengan nomor lokasi titik survey serta posisi koordinatnya, hal ini untuk membantu proses pelaporan antara posisi koordinat dari hasil pengamatan lapangan dengan foto lokasi pengamatan Integrasi Perhitungan Carbon Dengan Hasil Klasifikasi Pengukuran karbon pada biomass hidup (living biomass) dilakukan dengan menkonversi luas tutupan hutan dikalikan dengan faktor volume vegetasi. Total berat karbon yang didapat dikalikan dengan faktor konversi karbon-co2 (CFS, 2000). Persamaan-persamaan tersebut (Rokhmatuloh dan Rudy P. Tambunan, 2010) dapat dilihat seperti dibawah ini: Total Volume Vegetasi = volume vegetasi x 1,454 x 0,396 Total Biomass = luas tutupan vegetasi x total volume vegetasi Total Carbon = total biomass x 0,5 Total CO2 = total karbon x 3,6667 Pemetaan Sebaran Carbon di Kabupaten Merauke, 2011 Page 26

27 4.8. Perubahan penutupan lahan Analisis dilakukan dengan teknik overlay. Dari proses overly, selain diketahui perubahan setiap land cover secara kuantitatif juga diketahui distribusi spasialnya. Analisis juga ditujukan untuk identifikasi degradasi hutan. Deradasi hutan didefinisikan adalah daerah yang mengalami perubahan dari hutan primer ke sekunder. Pemetaan Sebaran Carbon di Kabupaten Merauke, 2011 Page 27

28 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Tipe Penutupan Lahan Terdapat 17 tipe penutupan lahan. Berdasarkan hasil survey lapangan, kondisi struktur vegetasi masing-masing penutupan lahan disajikan pada Tabel 5.1. Tabel 5.1. Karakteristik tegakan/vegetasi di masing-masing kelas penutupan lahan. no Tipe penutupan Lahan Karakteristik 1 Hutan lahan kering primer Hutan yang tumbuh di lahan yang tidak terendam, karena lokasinya lebih tinggi. Dari survey diketahui bahwa struktur vegetasi hutan lahan kering bisa sangat beragam atau didominasi oleh species tertentu. Paling tidak ada 3 tipe, yaitu hutan campuran (Anisoptera sp., Syzygium sp., Vatica papuana, Elaeocarpus sp., Sterculia sp., Knema tomentella), hutan yang didominasi Acacia (Acacia mangium and Acacia auriculiformis), dan hutan yang didominasi oleh Myrtaceae ( Melaleuca leucadendron, Eucalyptus pellita, Myristica fatua and Syzygium catastega ) Hutan lahan kering yang terganggu, atau hasil dari proses suksesi 2 alami. Lahan didominasi oleh pohon berdiameter kecil. Struktur Hutan lahan kering vegetasi sangat dipengaruhi oleh tegakan awal. Untuk pohon sekunder berdiameter besar dapat didominansi oleh Myrtaceae, Ryparosa fasciculate atau Syzygium catastega. Hutan rawa tumbuh pada lahan yang secara periodic/permanen tergenang, karena lokasi berdekatan dengan sungai dan lebih rendah. Kerapatan pohon (dbh >30cm) dapat mencapai 100 pohon/ha. Species yang ditemukan adalah Eucalyptus pellita, 3 Hutan rawa primer Carallia brachiata, Gmelina moluccana, Decaspermum fruticosum, Calophyllum inophyllum, Barringtonia racemosa, Cryptocarya palmarensis, Flindersia pimenteliana, Acacia auriculiformis, Melaleuca leucadendron dan species palma: Leopoldinia piassaba dan Licuala rumphi. Hutan rawa terganggu atau yang terjadi karena proses suksesi. Gangguan utama pada hutan rawa adalah api, yang digunakan masyarakat untuk membuka lading/meremajakan padang 4 Hutan rawa sekunder penggembalaan. Terdapat 3 tipe hutan rawa sekunder, yaitu hutan rawa sekunder dengan vegetasi campuran, hutan rawa sekunder yang didominasi oleh Melaleuca dan yang didominasi oleh Myrtaceae. 5 Hutan rawa pasang surut Ekosistem ini selain mengalami perendaman permanent/periodic, juga mendapat pengaruh dari pasang/surut air laut. Pada saat survey lapangan dijumpai dua tipe hutan rawa pasang surut, yaitu hutan rawa pasang Pemetaan Sebaran Carbon di Kabupaten Merauke, 2011 Page 28

29 no Tipe penutupan Lahan Karakteristik surut yang didominasi oleh Eucalyptur pellita, dan didominasi oleh Melaleuca leucodendron 6 Mangrove primer Mangrove yang belum terganggu. Species yang dapat dijumpai adalah Avicennia officinalis, Heritiera littoralis, Ceriops tagal dan Bruguiera parviflora 7 Mangrove sekunder Mangrove yang mengalami gangguan/pemanenan, atau hasil dari pross suksesi. Terdapat 4 tipa, yaitu didominasi oleh Avicennia alba, Avicennia officinalis dan Bruguiera gymnorrhiza Ceriops tagal dan Avicennia marina 8 Savanna Savana didominasi oleh rumput, dan secara periodic terendam pada musim penghujan karena relative lebih rendah serta datar. 9 Semak belukar rawa Semak belukar rawa adalah tahap awal dari proses suksesi, setelah terjadinya gangguan (api). Struktur vegetasi yang terbentuk beragam sesuai dengan tegakan asli. Dari data survey lapangan terdapat 4 tipe belukar rawa dengan dominansi species yang berbeda, yaitu belukar dengan dominansi Acacia sp, keluarga palma, Melaleuca dan campuran berbagai species (Musa sp, Garcinia sp, Glochidion sp serta Sonneratia) 10 Semak belukar pasang surut Semak belukar yang dipengaruhi oleh pasang surut laut. 11 Semak belukar Semak belukar merupakan suksesi awal dari lahan pertanian yang diberakan. Species pionir yang ditemukan adalah Alstonia actinophylla, Aglaia sp., Alphitonia sp., Euodia sp. dan Timonius sp 12 Rawa Lahan yg tergenang dalam/dangkal, dapat ditutupi oleh vegetasi. 13 Rawa pasang surut Lahan yg tergenang dalam/dangkal, dapat ditutupi oleh vegetasi, yang mendapat pengaruh pasang surut laut.. 14 Lahan terbuka Lahan dengan penutupan vegetasi sangat rendah 15 Lahan pertanian Lahan yang ditanami berbagai tanaman pangan (ubi) dan polowija 16 Perairan Sungai 5.2. Penutupan lahan tahun Mozaic landsat TM 5 tahun 1990, yang digunakan untuk membangun data penutupan lahan direkam pada bulan Nopember, sehingga data citra satelit sangat dominan dipengaruhi oleh air. Rawa, Rawa pasang surut dan belukar pasang surut mendominasi penutupan lahan Kabupaten Merauke, sedangkan luas savanna sangat kecil (0.60 ha). Hutan lahan kering dan hutan rawa, (primer dan sekunder), masing-masing sebesar 13.44% dan 11.99%. Rincian detil disajikan pada Tabel 5.2. Rawa, Rawa pasang surut, dan semak belukar rawa banyak tersebar di Kecamatan Kimaam dan Okaba. Sedangkan hutan lahan kering dataran rendah terdapat di Kecamatan Muting. Pemetaan Sebaran Carbon di Kabupaten Merauke, 2011 Page 29

30 Tabel 5.2. Rekapitulasi luas masing-masing penutupan lahan tahun 1990 No Tipe Penutupan Lahan Luas (Ha) % 1 Hutan lahan kering primer 515, Hutan lahan kering sekunder 112, Hutan rawa primer 355, Hutan rawa sekunder 538, Hutan rawa pasang surut 21, Mangrove primer 379, Mangrove sekunder Savanna Semak belukar rawa 355, Semak belukar pasang surut 638, Semak belukar 6, Rawa pasang surut 759, Rawa 562, Lahan terbuka 171, Lahan pertanian 7, Perairan 38, Tidak ada data 210, Total 4,674, Gambar 5.1. Penutupan Lahan Kabupaten Merauke tahun 1990 Pemetaan Sebaran Carbon di Kabupaten Merauke, 2011 Page 30

31 5.3. Penutupan lahan tahun 2000 Berbeda dengan kondisi tahun 1990, kondisi tahun 2000 relatif lebih kering,sehingga rawa dan rawa pasang surut banyak berkurang, sehingga memperluas permukaan yang ditumbuhi semak belukar. Fenomena ini dapat terlihat jelas di Kecamatan Kimaam (P. Dolak). Untuk penutupan hutan tidak banyak mengalami perubahan. Hutan rawa primer menurun, diikuti dengan meningkatnya hutan rawa sekunder. Demikian juga untukhutan lahan kering primer, dibandingkan dengan tahun 1990, megalami penurunan, berubah menjadi hutan lahan kering sekunder (Tabel 5.3). Tabel 5.3. Rekapitulasi luas masing-masing penutupan lahan tahun 2000 No Tipe Penutupan Lahan Luas (Ha) % 1 Hutan lahan kering primer Hutan lahan kering sekunder 185, Hutan rawa primer 272, Hutan rawa sekunder 712, Hutan rawa pasang surut 256, Mangrove primer 213, Mangrove sekunder 94, Savanna 87, Semak belukar rawa 695, Semak belukar pasang surut 975, Semak belukar 18, Rawa pasang surut 237, Rawa 155, Lahan terbuka 20, Lahan pertanian 33, Perairan 61, Tidak ada data 210, Total 4,674, Distribusi spasial penutupan lahn tahun 2000 disajikn pada Gambar 5.2. Pemetaan Sebaran Carbon di Kabupaten Merauke, 2011 Page 31

32 Gambar 5.2. Penutupan lahan Kabupaten Merauke tahun Penutupan lahan tahun 2010 Pada tahu 2010, luasan hutan primer terus menyusut, berganti menjadi hutan sekunder (Tabel 5.4). Distribusi penutupan lahan disajikan pada Gambar 5.4. Tabel 5.4. Rekapitulasi luas masing-masing penutupan lahan tahun 2010 No Tipe Penutupan Lahan Luas (Ha) % 1 Hutan lahan kering primer 331, Hutan lahan kering sekunder 294, Hutan rawa primer 190, Hutan rawa sekunder 803, Hutan rawa pasang surut 319, Mangrove primer 116, Pemetaan Sebaran Carbon di Kabupaten Merauke, 2011 Page 32

33 No Tipe Penutupan Lahan Luas (Ha) % 7 Mangrove sekunder 180, Savanna Semak belukar rawa 788, Semak belukar pasang surut 1,027, Semak belukar 10, Rawa pasang surut 24, Rawa 208, Lahan terbuka 77, Lahan pertanian 48, Perairan 42, Tidak ada data 210, Total 4,674, Gambar 5.3. Penutupan lahan Kabupaten Merauke tahun 2010 Pemetaan Sebaran Carbon di Kabupaten Merauke, 2011 Page 33

34 5.5. Perubahan penutupan lahan Proses perubahan penutpan lahan banyak dipengaruhi oleh iklim, terutama untuk semak belukar dan rawa. Namun untuk penutupan hutan, eksploitasi/pemanenan sangat berpengaruh, sehingga menghilangkan atau menurunkan kualitas tegakan hutan. Proses tebang pilih akan menyebabkan degradasi hutan, sedangkan tebang habis akan menyebabkan deforestasi. Perubahan luasan hutan disebabkan oleh dua hal ini disajikan pada Tabel Tabel 5.5. Rekapitulasi luasan deforestasi dan degradasi hutan Proses Degradasi hutan 123, , , Deforestasi hutan 212, , , Distribusi degradasi dan deforestasi disajikan pada Gambar 5.4 dan 5.5. Gambar 5.4. Degradasi hutan Pemetaan Sebaran Carbon di Kabupaten Merauke, 2011 Page 34

35 Gambar 5.5. Deforestasi hutan Analisis Perubahan kandungan karbon (a) Above ground carbon stock Perubahan penutupan lahan disebakan oleh iklim atau aktivitas manusia menyebabkan perubahan kandungan karbon di vegetasi (above ground carbon stock/abg). Total ABG pada tahun 2010 mencapai kurang lebih juta ton, menurun dari tahun 2000, tetapi mempunyai trend naik dari tahun 1990 (Tabel 5.6.) Tabel 5.6. Perubahan carbon stock vegetasi (above ground carbon stock). No 1 2 Tipe Penutupan Lahan Hutan lahan kering primer Hutan lahan kering sekunder Carbon per Ha Luas (Hektar) Kandungan karbon vegetasi , , ,664, ,940, ,031, , , , ,088, ,688, ,438, Hutan rawa primer , , , ,121, ,610, ,178, Pemetaan Sebaran Carbon di Kabupaten Merauke, 2011 Page 35

36 No Tipe Penutupan Lahan Carbon per Ha Luas (Hektar) Kandungan karbon vegetasi Hutan rawa sekunder , , , ,747, ,757, ,170, Hutan rawa pasang surut , , , ,699, ,023, ,825, Mangrove primer , , , ,216, ,426, ,613, Mangrove sekunder , , ,673, Savanna , , Semak belukar rawa , , , ,055, ,810, ,646, Semak belukar pasang surut , , ,027, ,429, ,409, ,173, Semak belukar , , , , , , Rawa pasang surut 0 759, , , Rawa 0 562, , , Lahan terbuka 0 171, , , Lahan pertanian , , , , , , Perairan 0 38, , , Tidak ada data 0 210, , , ,674, ,674, ,674, ,066, ,040, ,866, (b) Below ground carbon stock. Below ground carbon stock adalah jumlah carbon di dalam tanah, serasah dan nekromasa. Total below ground stok carbon, terus meningkat dari tahun Pada tahun 2010 mencapai kurang lebih 466 juta ton (Table 5.7). Bila dibandingkan dengan aboveground, total kandungan karbon below ground lebih tinggi. Tabel 5.7. Perubahan below ground carbon stock No 1 2 Tipe Penutupan Lahan Hutan lahan kering primer Hutan lahan kering sekunder Carbon per Luas (Hektar) Kandungan karbon tanah Ha , , , ,640, ,786, ,652, , , , ,410, ,836, ,763, Hutan rawa primer , , , ,803, ,027, ,293, Hutan rawa sekunder , , , ,070, ,585, ,941, Hutan rawa pasang surut , , , ,862, ,950, ,222, Mangrove primer , , , ,861, ,350, ,469, Mangrove sekunder , , ,304, ,847, Savanna , ,160, Pemetaan Sebaran Carbon di Kabupaten Merauke, 2011 Page 36

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian 22 METODOLOGI Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kota Sukabumi, Jawa Barat pada 7 wilayah kecamatan dengan waktu penelitian pada bulan Juni sampai November 2009. Pada lokasi penelitian

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 11 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan yaitu bulan Juli-Agustus 2010 dengan pemilihan lokasi di Kota Denpasar. Pengolahan data dilakukan di Laboratorium

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang.

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang. III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-Oktober 2010. Lokasi penelitian di Kota Palembang dan Laboratorium Analisis Spasial Lingkungan, Departemen Konservasi Sumberdaya

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman (Tahura

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman (Tahura III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman (Tahura WAR). Berdasarkan administrasi pemerintahan Provinsi Lampung kawasan ini berada

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. berlokasi di kawasan Taman Nasional Way Kambas. Taman Nasional Way

III. METODE PENELITIAN. berlokasi di kawasan Taman Nasional Way Kambas. Taman Nasional Way 13 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan dari bulan Juni sampai dengan September 2012 yang berlokasi di kawasan Taman Nasional Way Kambas. Taman Nasional Way Kambas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ancaman perubahan iklim sangat menjadi perhatian masyarakat dibelahan dunia manapun. Ancaman dan isu-isu yang terkait mengenai perubahan iklim terimplikasi dalam Protokol

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I 1.1. Latar Belakang PENDAHULUAN Hutan berperan penting dalam menjaga kesetabilan iklim global, vegetasi hutan akan memfiksasi CO2 melalui proses fotosintesis. Jika hutan terganggu maka siklus CO2

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. hutan yang luas diberbagai benua di bumi menyebabkan karbon yang tersimpan

PENDAHULUAN. hutan yang luas diberbagai benua di bumi menyebabkan karbon yang tersimpan PENDAHULUAN Latar Belakang Pencemaran lingkungan, pembakaran hutan dan penghancuran lahan-lahan hutan yang luas diberbagai benua di bumi menyebabkan karbon yang tersimpan dalam biomassa hutan terlepas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. menyebabkan perubahan tata guna lahan dan penurunan kualitas lingkungan. Alih

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. menyebabkan perubahan tata guna lahan dan penurunan kualitas lingkungan. Alih BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tingginya kebutuhan lahan dan semakin terbatasnya sumberdaya alam menyebabkan perubahan tata guna lahan dan penurunan kualitas lingkungan. Alih guna hutan sering terjadi

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Pengolahan Awal Citra (Pre-Image Processing) Pengolahan awal citra (Pre Image Proccesing) merupakan suatu kegiatan memperbaiki dan mengoreksi citra yang memiliki kesalahan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Persiapan Tahap persiapan merupakan tahapan penting dalam penelitian ini. Proses persiapan data ini berpengaruh pada hasil akhir penelitian. Persiapan yang dilakukan meliputi

Lebih terperinci

Gambar 7. Lokasi Penelitian

Gambar 7. Lokasi Penelitian III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini mengambil lokasi Kabupaten Garut Provinsi Jawa Barat sebagai daerah penelitian yang terletak pada 6 56'49''-7 45'00'' Lintang Selatan

Lebih terperinci

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik 5. PEMBAHASAN Penginderaan jauh mempunyai peran penting dalam inventarisasi sumberdaya alam. Berbagai kekurangan dan kelebihan yang dimiliki penginderaan jauh mampu memberikan informasi yang cepat khususnya

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE 10 III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat Dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di laboratorium dan di lapang. Pengolahan citra dilakukan di Bagian Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial dan penentuan

Lebih terperinci

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi 31 IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi Waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakan penelitian ini adalah dimulai dari bulan April 2009 sampai dengan November 2009 yang secara umum terbagi terbagi menjadi

Lebih terperinci

Aninda Nurry M.F., Ira Mutiara Anjasmara Jurusan Teknik Geomatika FTSP-ITS, Kampus ITS Sukolilo, Surabaya,

Aninda Nurry M.F., Ira Mutiara Anjasmara Jurusan Teknik Geomatika FTSP-ITS, Kampus ITS Sukolilo, Surabaya, KAJIAN PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN DAERAH ALIRAN SUNGAI BRANTAS BAGIAN HILIR MENGGUNAKAN CITRA SATELIT MULTI TEMPORAL (STUDI KASUS: KALI PORONG, KABUPATEN SIDOARJO) Aninda Nurry M.F., Ira Mutiara Anjasmara

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya 5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penutupan Lahan dan Perubahannya Penutupan lahan menggambarkan konstruksi vegetasi dan buatan yang menutup permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

Lebih terperinci

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : NDVI=(band4 band3)/(band4+band3).18 Nilai-nilai indeks vegetasi di deteksi oleh instrument pada

Lebih terperinci

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian yang meliputi pengolahan data citra dilakukan pada bulan Mei

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian yang meliputi pengolahan data citra dilakukan pada bulan Mei 3. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian yang meliputi pengolahan data citra dilakukan pada bulan Mei sampai September 2010. Lokasi penelitian di sekitar Perairan Pulau Pari, Kepulauan Seribu,

Lebih terperinci

Gambar 1. Satelit Landsat

Gambar 1. Satelit Landsat 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penginderaan Jauh Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian III. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Lokasi yang dipilih untuk penelitian ini adalah Kabupaten Indramayu, Jawa Barat (Gambar 1). Penelitian dimulai dari bulan Juli 2010 sampai Januari

Lebih terperinci

Analisa Perubahan Tutupan Lahan di Waduk Riam Kanan dan Sekitarnya Menggunakan Sistem Informasi Geografis(SIG) dan data citra Landsat

Analisa Perubahan Tutupan Lahan di Waduk Riam Kanan dan Sekitarnya Menggunakan Sistem Informasi Geografis(SIG) dan data citra Landsat Analisa Perubahan Tutupan Lahan di Waduk Riam Kanan dan Sekitarnya Menggunakan Sistem Informasi Geografis(SIG) dan data citra Landsat Rully Sasmitha dan Nurlina Abstrak: Telah dilakukan penelitian untuk

Lebih terperinci

1 BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemanfaatan penggunaan lahan akhir-akhir ini semakin mengalami peningkatan. Kecenderungan peningkatan penggunaan lahan dalam sektor permukiman dan industri mengakibatkan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan 15 BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Juli sampai dengan April 2011 dengan daerah penelitian di Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi, dan Kabupaten Cianjur,

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. Gambar 2. Peta Orientasi Wilayah Penelitian. Kota Yogyakarta. Kota Medan. Kota Banjarmasin

III. METODOLOGI. Gambar 2. Peta Orientasi Wilayah Penelitian. Kota Yogyakarta. Kota Medan. Kota Banjarmasin III. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan mulai dari bulan Maret sampai bulan November 2009. Objek penelitian difokuskan pada wilayah Kota Banjarmasin, Yogyakarta, dan

Lebih terperinci

Analisis Separabilitas Untuk mengetahui tingkat keterpisahan tiap klaster dari hasil klastering (Tabel 5) digunakan analisis separabilitas. B

Analisis Separabilitas Untuk mengetahui tingkat keterpisahan tiap klaster dari hasil klastering (Tabel 5) digunakan analisis separabilitas. B Tabel 5 Matriks Transformed Divergence (TD) 25 klaster dengan klasifikasi tidak terbimbing 35 36 4.1.2 Analisis Separabilitas Untuk mengetahui tingkat keterpisahan tiap klaster dari hasil klastering (Tabel

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di daerah Daerah Aliran Sungai (DAS) Cipunagara dan sekitarnya, Jawa Barat (Gambar 1). DAS Cipunagara berada dibawah pengelolaan

Lebih terperinci

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Spektral Citra yang digunakan pada penelitian ini adalah Citra ALOS AVNIR-2 yang diakuisisi pada tanggal 30 Juni 2009 seperti yang tampak pada Gambar 11. Untuk dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, bahwa mangrove merupakan ekosistem hutan, dengan definisi hutan adalah suatu ekosistem hamparan lahan berisi sumber daya

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Kegiatan penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober 2013 hingga Maret 2014.

III. METODE PENELITIAN. Kegiatan penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober 2013 hingga Maret 2014. 33 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Kegiatan penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober 2013 hingga Maret 2014. Adapun penelitian dilaksanakan di pesisir Kabupaten Lampung Timur. Berikut ini

Lebih terperinci

III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian 3.2 Lokasi Penelitian

III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian 3.2 Lokasi Penelitian III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan Februari sampai September 2011. Kegiatan penelitian ini meliputi tahap prapenelitian (persiapan, survei), Inventarisasi (pengumpulan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masyarakat tumbuh-tumbuhan yang di kuasai pepohonan dan mempunyai kondisi

I. PENDAHULUAN. masyarakat tumbuh-tumbuhan yang di kuasai pepohonan dan mempunyai kondisi I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan bagian dari ekosistem alam sebagai assosiasi flora fauna yang didominasi oleh tumbuhan berkayu yang menempati areal yang sangat luas sehingga menciptakan

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Merauke, Agustus 2010 Kepala BPS Kabupaten Merauke. Drs. P A R D J A N, M.Si. NIP

KATA PENGANTAR. Merauke, Agustus 2010 Kepala BPS Kabupaten Merauke. Drs. P A R D J A N, M.Si. NIP KATA PENGANTAR Badan Pusat Statistik (BPS) bertanggung jawab dalam menyediakan data statistik dengan menyelenggarakan kegiatan Sensus Penduduk sesuai dengan UU No 16 Tahun 1997. Laporan Hasil Sensus Penduduk

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

III. METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan sejak Juli 2010 sampai dengan Mei 2011. Lokasi penelitian terletak di wilayah Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat. Pengolahan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Tampak pada bulan Januari September Resort Pugung Tampak memiliki luas

III. METODE PENELITIAN. Tampak pada bulan Januari September Resort Pugung Tampak memiliki luas 23 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan Resort Pugung Tampak pada bulan Januari September 2012. Resort Pugung Tampak

Lebih terperinci

BAB 11: GEOGRAFI SISTEM INFORMASI GEOGRAFI

BAB 11: GEOGRAFI SISTEM INFORMASI GEOGRAFI 1. Sistem Informasi Geografi merupakan Sistem informasi yang memberikan gambaran tentang berbagai gejala di atas muka bumi dari segi (1) Persebaran (2) Luas (3) Arah (4) Bentuk 2. Sarana yang paling baik

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN 17 III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini mengambil lokasi di Provinsi Kalimantan Barat. Provinsi Kalimantan Barat terletak di bagian barat pulau Kalimantan atau di antara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penggunaan lahan merupakan hasil kegiatan manusia baik yang berlangsung secara siklus atau permanen pada sumberdaya lahan alami maupun buatan guna terpenuhinya kebutuhan

Lebih terperinci

Gambar 1.1 Siklus Hidrologi (Kurkura, 2011)

Gambar 1.1 Siklus Hidrologi (Kurkura, 2011) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Air merupakan kebutuhan yang mutlak bagi setiap makhluk hidup di permukaan bumi. Seiring dengan pertambahan penduduk kebutuhan air pun meningkat. Namun, sekarang

Lebih terperinci

Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997

Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997 LAMPIRAN Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997 17 Lampiran 2. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 2006 18 Lampiran 3. Peta sebaran suhu permukaan Kodya Bogor tahun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemampuan hutan dan ekosistem didalamnya sebagai penyimpan karbon dalam bentuk biomassa di atas tanah dan di bawah tanah mempunyai peranan penting untuk menjaga keseimbangan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2 Bahan dan Alat 3.3 Tahapan Penelitian

BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2 Bahan dan Alat 3.3 Tahapan Penelitian BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian mengenai Distribusi dan Kecukupan Luasan Hutan Kota sebagai Rosot Karbondioksida dengan Aplikasi Sistem Informasi Geografi dan Penginderaan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan dari bulan Juli sampai September 2011 di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Pengolahan data dilakukan di Laboratorium Analisis Lingkungan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perubahan penutupan lahan merupakan keadaan suatu lahan yang mengalami

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perubahan penutupan lahan merupakan keadaan suatu lahan yang mengalami II. TINJAUAN PUSTAKA A. Perubahan Penutupan Lahan Perubahan penutupan lahan merupakan keadaan suatu lahan yang mengalami perubahan kondisi pada waktu yang berbeda disebabkan oleh manusia (Lillesand dkk,

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli-November Penelitian ini

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli-November Penelitian ini METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli-November 2012. Penelitian ini dilaksanakan di lahan sebaran agroforestri yaitu di Kecamatan Sei Bingai, Kecamatan Bahorok,

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Lokasi Waktu penelitian dilaksanakan mulai bulan Mei sampai dengan Juni 2013 dengan lokasi penelitian meliputi wilayah Pesisir Utara dan Selatan Provinsi Jawa Barat.

Lebih terperinci

ANALISA DEGRADASI HUTAN MANGROVE PADA KAWASAN WISATA TELUK YOUTEFA KOTA JAYAPURA

ANALISA DEGRADASI HUTAN MANGROVE PADA KAWASAN WISATA TELUK YOUTEFA KOTA JAYAPURA ANALISA DEGRADASI HUTAN MANGROVE PADA KAWASAN WISATA TELUK YOUTEFA KOTA JAYAPURA Oleh YOHAN M G JARISETOUW FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSITAS NEGERI PAPUA MANOKWARI 2005 ii Abstrak Yohan M G Jarisetouw. ANALISA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumatera Utara memiliki luas total sebesar 181.860,65 Km² yang terdiri dari luas daratan sebesar 71.680,68 Km² atau 3,73 % dari luas wilayah Republik Indonesia. Secara

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan di Kawasan Hutan Adat Kasepuhan Citorek, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Pengambilan data lapangan dilaksanakan bulan Februari

Lebih terperinci

PENGINDERAAN JAUH. --- anna s file

PENGINDERAAN JAUH. --- anna s file PENGINDERAAN JAUH copyright@2007 --- anna s file Pengertian Penginderaan Jauh Beberapa ahli berpendapat bahwa inderaja merupakan teknik yang dikembangkan untuk memperoleh data di permukaan bumi, jadi inderaja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang rawan terjadi kekeringan setiap tahunnya. Bencana kekeringan semakin sering terjadi di berbagai daerah di Indonesia dengan pola dan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o o LU. (perhitungan luas menggunakan perangkat GIS).

TINJAUAN PUSTAKA. Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o o LU. (perhitungan luas menggunakan perangkat GIS). TINJAUAN PUSTAKA Daerah Aliran Sungai (DAS) Besitang Sekilas Tentang DAS Besitang Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o 45 04 o 22 44 LU dan 97 o 51 99 o 17 56 BT. Kawasan DAS Besitang melintasi

Lebih terperinci

KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI)

KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI) 1 KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI) Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh didefinisikan sebagai proses perolehan informasi tentang suatu obyek tanpa adanya kontak fisik secara langsung dengan obyek tersebut (Rees, 2001;

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa. penyusunan rencana kehutanan. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan

TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa. penyusunan rencana kehutanan. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan TINJAUAN PUSTAKA KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan) Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa perencanaan kehutanan meliputi inventarisasi hutan, pengukuhan kawasan hutan, penatagunaan kawasan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan 2.1.1 Pengertian Lahan Pengertian lahan tidak sama dengan tanah, tanah adalah benda alami yang heterogen dan dinamis, merupakan interaksi hasil kerja

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN IV.1. Gap Filling Citra Gap Filling citra merupakan metode yang dilakukan untuk mengisi garisgaris yang kosong pada citra Landsat TM hasil download yang mengalami SLCoff, sehingga

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. (terutama dari sistem pencernaan hewan-hewan ternak), Nitrogen Oksida (NO) dari

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. (terutama dari sistem pencernaan hewan-hewan ternak), Nitrogen Oksida (NO) dari I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemanasan global merupakan salah satu isu di dunia saat ini. Masalah pemanasan global ini bahkan telah menjadi agenda utama Perserikatan Bangsabangsa (PBB). Kontributor

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Suhu Permukaan Suhu permukaan dapat diartikan sebagai suhu terluar suatu obyek. Untuk suatu tanah terbuka, suhu permukaan adalah suhu pada lapisan terluar permukaan tanah. Sedangkan

Lebih terperinci

IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 38 IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Letak Hutan Mangrove di Tanjung Bara termasuk dalam area kawasan konsesi perusahaan tambang batubara. Letaknya berada di bagian pesisir timur Kecamatan Sangatta

Lebih terperinci

11/25/2009. Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi. Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I

11/25/2009. Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi. Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi Ukuran Hubungan antar obyek Informasi spasial dari obyek Pengambilan data fisik dari

Lebih terperinci

Pemetaan Potensi Batuan Kapur Menggunakan Citra Satelit Landsat 8 di Kabupaten Tuban

Pemetaan Potensi Batuan Kapur Menggunakan Citra Satelit Landsat 8 di Kabupaten Tuban A630 Pemetaan Potensi Batuan Kapur Menggunakan Citra Satelit Landsat 8 di Kabupaten Tuban Dhiyaulhaq Al Majid dan Bangun Muljo Sukojo Departemen Teknik Geomatika, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 11 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada Juni Juli 2012 di area Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Alam (IUPHHK-HA) PT. Mamberamo Alasmandiri,

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Lokasi penelitian di DAS Citarum Hulu Jawa Barat dengan luasan sebesar + 230.802 ha. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni sampai dengan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan pada daerah kajian Provinsi Kalimantan Barat. Pengolahan dan analisis data dilakukan di Laboratorium Fisik Remote Sensing dan Sistem

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan di kawasan perkotaan Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Pada bulan Juni sampai dengan bulan Desember 2008. Gambar 3. Citra IKONOS Wilayah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. hayati yang tinggi dan termasuk ke dalam delapan negara mega biodiversitas di

I. PENDAHULUAN. hayati yang tinggi dan termasuk ke dalam delapan negara mega biodiversitas di I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara tropis yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi dan termasuk ke dalam delapan negara mega biodiversitas di dunia,

Lebih terperinci

Bab IV Hasil dan Pembahasan

Bab IV Hasil dan Pembahasan Bab IV Hasil dan Pembahasan 4.1. Hasil 4.1.1. Digitasi dan Klasifikasi Kerapatan Vegetasi Mangrove Digitasi terhadap citra yang sudah terkoreksi dilakukan untuk mendapatkan tutupan vegetasi mangrove di

Lebih terperinci

Pemetaan Pola Hidrologi Pantai Surabaya-Sidoarjo Pasca Pembangunan Jembatan Suramadu dan Peristiwa Lapindo Menggunakan Citra SPOT 4

Pemetaan Pola Hidrologi Pantai Surabaya-Sidoarjo Pasca Pembangunan Jembatan Suramadu dan Peristiwa Lapindo Menggunakan Citra SPOT 4 Pemetaan Pola Hidrologi Pantai Surabaya-Sidoarjo Pasca Pembangunan Jembatan Suramadu dan Peristiwa Lapindo Menggunakan Citra SPOT 4 Oleh : Linda Ardi Oktareni Pembimbing : Prof. DR. Ir Bangun M.S. DEA,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. oleh pemerintah untuk di pertahankan keberadaan nya sebagai hutan tetap.

TINJAUAN PUSTAKA. oleh pemerintah untuk di pertahankan keberadaan nya sebagai hutan tetap. 4 TINJAUAN PUSTAKA Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang di tunjuk dan atau di tetapkan oleh pemerintah untuk di pertahankan keberadaan nya sebagai hutan tetap. Kawasan hutan perlu di tetapkan untuk

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisis Citra 5.1.1 Kompilasi Citra Penelitian menggunakan citra Quickbird yang diunduh dari salah satu situs Internet yaitu, Wikimapia. Dalam hal ini penulis memilih mengambil

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seiring dengan perkembangan teknologi dan peningkatan kebutuhan hidup manusia, tidak dapat dipungkiri bahwa tekanan terhadap perubahan lingkungan juga akan meningkat

Lebih terperinci

Orientasi adalah usaha peninjauan untuk menentukan sikap (arah, tempat, dan sebagainya) yang tepat dan benar (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1989).

Orientasi adalah usaha peninjauan untuk menentukan sikap (arah, tempat, dan sebagainya) yang tepat dan benar (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1989). BAB II METODE KAJIAN 2.1. Pengertian Rekonstruksi, dari kata re : kembali, dan konstruksi : susunan, model, atau tata letak suatu bangunan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1989), dalam hal ini rekonstruksi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 12 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan selama enam bulan mulai dari Bulan Juni sampai dengan Bulan Desember 2009. Penelitian ini terbagi atas pengambilan dan pengumpulan

Lebih terperinci

III METODOLOGI. 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

III METODOLOGI. 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan selama 9 bulan (Maret - November 2009), dan obyek penelitian difokuskan pada tiga kota, yaitu Kota Padang, Denpasar, dan Makassar.

Lebih terperinci

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4.1. Latar Belakang Sebagaimana diuraikan terdahulu (Bab 1), DAS merupakan suatu ekosistem yang salah satu komponen penyusunannya adalah vegetasi terutama berupa hutan dan perkebunan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 14 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Kegiatan penelitian dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan September dengan mengambil lokasi penelitian di wilayah Kecamatan Cikalong, Tasikmalaya (Gambar

Lebih terperinci

LAPORAN PROYEK PENGINDERAAN JAUH IDENTIFIKASI PENGGUNAAN LAHAN DENGAN MENGGUNAKAN HIRARKI DI KOTA BATU

LAPORAN PROYEK PENGINDERAAN JAUH IDENTIFIKASI PENGGUNAAN LAHAN DENGAN MENGGUNAKAN HIRARKI DI KOTA BATU LAPORAN PROYEK PENGINDERAAN JAUH IDENTIFIKASI PENGGUNAAN LAHAN DENGAN MENGGUNAKAN HIRARKI DI KOTA BATU Disusun oleh : 1. Muhammad Hitori (105040200111056) 2. Astrid Prajamukti Saputra (105040201111075)

Lebih terperinci

Generated by Foxit PDF Creator Foxit Software For evaluation only. 23 LAMPIRAN

Generated by Foxit PDF Creator Foxit Software  For evaluation only. 23 LAMPIRAN 23 LAMPIRAN 24 Lampiran 1 Diagram Alir Penelitian Data Citra LANDSAT-TM/ETM Koreksi Geometrik Croping Wilayah Kajian Kanal 2,4,5 Kanal 1,2,3 Kanal 3,4 Spectral Radiance (L λ ) Albedo NDVI Class Radiasi

Lebih terperinci

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi 3.2 Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain alat tulis dan kamera digital. Dalam pengolahan data menggunakan software AutoCAD, Adobe Photoshop, dan ArcView 3.2 serta menggunakan hardware

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Lahan gambut merupakan salah satu tipe ekosistem yang memiliki kemampuan menyimpan lebih dari 30 persen karbon terestrial, memainkan peran penting dalam siklus hidrologi serta

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Lahan dan Penggunaan Lahan 2.2 Perubahan Penggunaan Lahan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Lahan dan Penggunaan Lahan 2.2 Perubahan Penggunaan Lahan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Lahan dan Penggunaan Lahan Lahan adalah suatu lingkungan fisik yang meliputi tanah, iklim, relief, hidrologi, dan vegetasi, dimana faktor-faktor tersebut mempengaruhi

Lebih terperinci

q Tujuan dari kegiatan ini diperolehnya peta penggunaan lahan yang up-to date Alat dan Bahan :

q Tujuan dari kegiatan ini diperolehnya peta penggunaan lahan yang up-to date Alat dan Bahan : MAKSUD DAN TUJUAN q Maksud dari kegiatan ini adalah memperoleh informasi yang upto date dari citra satelit untuk mendapatkan peta penggunaan lahan sedetail mungkin sebagai salah satu paramater dalam analisis

Lebih terperinci

Kegiatan konversi hutan menjadi lahan pertambangan melepaskan cadangan

Kegiatan konversi hutan menjadi lahan pertambangan melepaskan cadangan Kegiatan konversi hutan menjadi lahan pertambangan melepaskan cadangan karbon ke atmosfir dalam jumlah yang cukup berarti. Namun jumlah tersebut tidak memberikan dampak yang berarti terhadap jumlah CO

Lebih terperinci

APLIKASI PJ UNTUK PENGGUNAAN TANAH. Ratna Saraswati Kuliah Aplikasi SIG 2

APLIKASI PJ UNTUK PENGGUNAAN TANAH. Ratna Saraswati Kuliah Aplikasi SIG 2 APLIKASI PJ UNTUK PENGGUNAAN TANAH Ratna Saraswati Kuliah Aplikasi SIG 2 Prosedur analisis citra untuk penggunaan tanah 1. Pra-pengolahan data atau pengolahan awal yang merupakan restorasi citra 2. Pemotongan

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI POTENSI DAN PEMETAAN SUMBERDAYA PULAU-PULAU KECIL

IDENTIFIKASI POTENSI DAN PEMETAAN SUMBERDAYA PULAU-PULAU KECIL IDENTIFIKASI POTENSI DAN PEMETAAN SUMBERDAYA PULAU-PULAU KECIL Nam dapibus, nisi sit amet pharetra consequat, enim leo tincidunt nisi, eget sagittis mi tortor quis ipsum. PENYUSUNAN BASELINE PULAU-PULAU

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 22 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian mengenai analisis data Landsat 7 untuk estimasi umur tanaman kelapa sawit mengambil daerah studi kasus di areal perkebunan PTPN VIII

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kota Pekanbaru. Kota Pekanbaru terletak pada 101 0 18 sampai 101 0 36 Bujur Timur serta 0 0 25 sampai 0 0 45 Lintang Utara.

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dalam 3 zona berdasarkan perbedaan rona lingkungannya. Zona 1 merupakan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dalam 3 zona berdasarkan perbedaan rona lingkungannya. Zona 1 merupakan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Deskripsi Lingkungan Penelitian Pada penelitian ini, lokasi hutan mangrove Leuweung Sancang dibagi ke dalam 3 zona berdasarkan perbedaan rona lingkungannya.

Lebih terperinci

TM / 16 Mei 2006 U.S. Geological Survey* Landsat 5 4 Mei 2000 Global Land Cover Facility** 124/64 ETM+ / Landsat-7. 2 Maret 2005

TM / 16 Mei 2006 U.S. Geological Survey* Landsat 5 4 Mei 2000 Global Land Cover Facility** 124/64 ETM+ / Landsat-7. 2 Maret 2005 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Tambling Wildlife Nature Conservation Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TWNC TNBBS) Provinsi Lampung. Penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyerapan karbon oleh hutan dilakukan melalui proses fotosintesis. Pada proses

BAB I PENDAHULUAN. Penyerapan karbon oleh hutan dilakukan melalui proses fotosintesis. Pada proses BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan sumber daya alam yang penting untuk kehidupan manusia karena hutan memiliki fungsi sosial, ekonomi dan lingkungan. Fungsi lingkungan dari hutan salah

Lebih terperinci

Nilai Io diasumsikan sebagai nilai R s

Nilai Io diasumsikan sebagai nilai R s 11 Nilai Io diasumsikan sebagai nilai R s, dan nilai I diperoleh berdasarkan hasil penghitungan nilai radiasi yang transmisikan oleh kanopi tumbuhan, sedangkan nilai koefisien pemadaman berkisar antara

Lebih terperinci

D4 Penggunaan 2013 Wetlands Supplement to the 2006 IPCC Guidelines untuk Inventarisasi Gas Rumah Kaca di Indonesia.

D4 Penggunaan 2013 Wetlands Supplement to the 2006 IPCC Guidelines untuk Inventarisasi Gas Rumah Kaca di Indonesia. D4 Penggunaan 2013 Wetlands Supplement to the 2006 IPCC Guidelines untuk Inventarisasi Gas Rumah Kaca di Indonesia. 1 Pokok bahasan meliputi latar belakang penyusunan IPCC Supplement, apa saja yang menjadi

Lebih terperinci

SISTEM INFORMASI GEOGRAFI. Data spasial direpresentasikan di dalam basis data sebagai vektor atau raster.

SISTEM INFORMASI GEOGRAFI. Data spasial direpresentasikan di dalam basis data sebagai vektor atau raster. GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 14 Sesi NGAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI A. MODEL DATA SPASIAL Data spasial direpresentasikan di dalam basis data sebagai vektor atau raster. a. Model Data Vektor

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. lahan dengan data satelit penginderaan jauh makin tinggi akurasi hasil

TINJAUAN PUSTAKA. lahan dengan data satelit penginderaan jauh makin tinggi akurasi hasil 4 TINJAUAN PUSTAKA Makin banyak informasi yang dipergunakan dalam klasifikasi penutup lahan dengan data satelit penginderaan jauh makin tinggi akurasi hasil klasifikasinya. Menggunakan informasi multi

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Metode Penelitian merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data yang valid

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Metode Penelitian merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data yang valid 27 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian Metode Penelitian merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data yang valid dengan tujuan dapat ditemukan, dibuktikan dan dikembangkan suatu pengetahuan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia adalah salah satu Negara Mega Biodiversity yang terletak

TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia adalah salah satu Negara Mega Biodiversity yang terletak TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Penutupan Lahan Indonesia Indonesia adalah salah satu Negara Mega Biodiversity yang terletak dalam lintasan distribusi keanekaragaman hayati benua Asia (Pulau Jawa, Sumatera dan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Citra Digital Interpretasi dilakukan dengan pembuatan area contoh (training set) berdasarkan pengamatan visual terhadap karakteristik objek dari citra Landsat. Untuk

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Koreksi Geometrik Koreksi geometrik adalah suatu proses memproyeksikan data pada suatu bidang sehingga mempunyai proyeksi yang sama dengan proyeksi peta. Koreksi ini dilakukan untuk

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. dalam siklus karbon global, akan tetapi hutan juga dapat menghasilkan emisi

TINJAUAN PUSTAKA. dalam siklus karbon global, akan tetapi hutan juga dapat menghasilkan emisi 16 TINJAUAN PUSTAKA Karbon Hutan Hutan merupakan penyerap karbon (sink) terbesar dan berperan penting dalam siklus karbon global, akan tetapi hutan juga dapat menghasilkan emisi karbon (source). Hutan

Lebih terperinci