PENGGUNAAN DATA HOTSPOT UNTUK MONITORING KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI INDONESIA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PENGGUNAAN DATA HOTSPOT UNTUK MONITORING KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI INDONESIA"

Transkripsi

1 KARYA TULIS PENGGUNAAN DATA HOTSPOT UNTUK MONITORING KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI INDONESIA OLEH: ACHMAD SIDDIK THOHA NIP DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2 KATA PENGANTAR Segala Puji bagi Allah SWT, dengan pertolongan-nya tulisan ini bisa diselesaikan. Tulisan dengan judul Penggunaan Data Hotspot untuk Monitoring Kebakaran Hutan dan Lahan Di Indonesia.ini merupakan karya tulis untuk dapat dipakai sebagai salah satu pustaka bagi yang memerlukannya. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terimakasih yang sebesarbesarnya kepada Bapak. Dr. Bambang Hero Saharjo dan Ibu Dr. Ir. Lailan Syaufina, M.Sc yang telah membuka wawasan dan ketrampilan dalam memahami ilmu kebakaran hutan dan lingkungan. Tidak lupa, terimakasih juga kepada rekanrekan yang tidak dapat disebutkan namanya dalam karya tulis ini. Penulis sangat mengharapkan adanya koreksi untuk penyempurnaan tulisan ini. Semoga tulisan Iini bermanfaat bagi yang membutuhkan. Medan, Januari 2008 Penulis 1

3 DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... ii DAFTAR TABEL... iii DAFTAR GAMBAR... iv PENDAHULUAN... 1 PENGERTIAN HOTSPOT... 2 PEMANFAATAN DATA HOTSPOT... 3 Prediksi Hotspot dan Asap Kebakaran... 5 Deteksi Kejadian Kebakaran (active fire)... 7 Monitoring Kebakaran Hutan... 9 Pemetaan Tingkat rawan Kebakaran PERMASALAHAN PEMANFAATAN DATA HOTSPOT Karaktristik Data Standar Pengamatan dan Pemrosesan Citra NOAA Sistem Distribusi Data Keberlanjutan Ketersediaan Data UPAYA PENINGKATAN KUALITAS DATA HOTSPOT KESIMPULAN DAFTAR PUSTAKA

4 DAFTAR TABEL No. Teks Halaman 1. Sea Scan AVHRR Fire Detection Configuration File AVHRR Fire Detection Configuration File dari ASMC (Malam Hari) AVHRR Fire Detection Configuration File dari ASMC (Siang Hari) Jumlah dan Lokasi Hotspot Tanggal 17 s/d 21 Agustus Jumlah Hotspot di Kalimantan Tanggal 17 s/d 21 Agustus 2003 ( T: CH 3 yang berbeda-beda, Ch 3 > Ch4 = 15.0 o )

5 4

6 DAFTAR GAMBAR No. Teks Halaman 1. Sistem Distribusi Informasi Data Hotspot FFPMP-PHKA-JICA Persentase Jumlah Hotspot Rata-rata di Riau dan Sumatera Selatan Sebaran Hotspot Hasil Pengolahan Citra Satelit NOAA Peta Intensitas Kerusakan Kebakaran Hutan Menggunakan Data Hotspot, Peta Tutupan Lahan dan Peta Areal Terbakar Peta Tingkat Kerawanan Kebakaran Hutan dan Hotspot Di Sumatera pada Tahun La Nina

7 PENDAHULUAN Kegiatan deteksi dini dalam penanggulangan kebakaran hutan memegang peranan sangat penting. Deteksi dini adalah upaya untuk mendapatkan keterangan secara dini adanya kebakaran hutran melalui penerapan teknologi sederhana hingga teknologi canggih (Direktorat Penanggulangan Kebakaran Hutan, 2001). Deteksi dini mencakup deteksi darat yakni melalui patroli darat, pengamatan menara dan penjagaan pada tempat-tempat rawan kebakaran. Disamping itu deteksi juga dilakukan melalui udara dengan helikopter, pesawat terbang dan satelit. Deteksi dini dapat menentukan pengambalian keputusan untuk menentukan kesiapsiagaan penanggulangan kebakaran hutan. Deteksi yang akurat akan dapat membantu tahap pemadaman kebakaran dan tahap penanganan paska kebakaran yang tepat. Disamping itu, pada pelaksanaan di lapangan, keakuratan proses deteksi akan menentukan alokasi dana, kelancaran operasi pemadaman dan kebutuihan investigasi dalam kasus pelanggaran hukum lingkungan. Informasi dari satelit pendeteksi api biasanya masih berupa keterangan lokasi dan arah penyebaran asap. Karena resolusi gambar dari satelit (citra satelit) sangat kasar (1.1 km x 1.1 km pada NOAA) sangat dimungkinkan keterangan lokasi akan mengalami penyimpangan sehingga kurang akurat dalam identifikasi kebakaran hutan. Informasi titik panas (Hotspot) yang menjadi dasar dalam sistem peringatan kejadian kebakaran, bisa menyesatkan pengambil keputusan apabila kenyataan di lapangan tidak ditemui kejadian kebakaran. Pemahaman yang tepat mengenai karakteristik data hotspot sangat dibutuhkan oleh berbagai stakeholder. Kesalahan pemahaman akan bisa berakibat fatal dalam pengambilan keputusan, lebih-lebih pada pengambilan putusan hukum. Oleh karena itu, makalah ini akan mencoba memberikan gambaran beberapa hal berhubungan dengan data hotspot baik karakteristik, pemanfaatan, permasalahan data dan rekomendasi untuk menunjang peningkatan efektivitas data hotspot bagi penggunaan deteksi kebakaran di Indonesia. 1

8 PENGERTIAN HOTSPOT Kebakaran hutan dan lahan dapat dipantau dengan menggunakan data AVHRR-NOAA (Advanced Very High Resolution Radiometer- National Oceanic and Atmospheric Administration) yaitu melalui pengamatan hotspot. Hotspot merupakan titik-titik panas di permukaan bumi, dimana titik-titik tersebut merupakan indikasi adanya kebakaran hutan dan lahan (Arief, 1997 dalam Ratnasari, 2000). Menurut LAPAN (2004a) hotspot atau titik panas adalah parameter yang diturunkan dari data satelit dan dindikasikan sebagai lokasi kebakaran hutan dan lahan. Parameter ini sudah digunakan secara meluas baik di Indonesia maupun negara-negara lain untuk memantau kebakaran hutan dan lahan dari satelit. Hotspots mengindikasikan lokasi kebakaran vegetasi seperti terlihat pada monitor komputer atau peta yang dicetak, atau ketika dicocokkan dengan koordinatnya. Hal ini merupakan istilah yang sangat populer pada awal-awal pengenalan penggunaan citra NOAA untuk mendeteksi kebakaran vegetasi dan saat ini sangat dimengerti oleh semua pihak. Istilah yang lain lebih jelas untuk menggambarkan titik kebakaran adalah fire-spot dan berbagai kalangan mengusulkan bahwa sebenarnya banyak titik api tidak mengindikasikan kebakaran Bagi semua penggunaan praktis sebuah hotspot searti dengan fire-spot (Anderson, et. al., 1999a) Sensor AVHRR didisain untuk aplikasi ilmu meteorologi dan kelautan. Untuk dapat digunakan sebagai pendeteksi kebakaran, dilakukan modifikasi khusus pada alogaritma spektralnya. Saluran (channel) yang paling sesuai untuk pendeteksian kebakaran adalah dua saluran infra merah "thermal" yang pertama, yaitu saluran 3 dan 4. Proses pendeteksian kebakaran berdasarkan pada pengukuran temperatur permukaan bumi yang diperoleh dari saluran 3. Sebuah piksel dideteksi sebagai piksel kebakaran atau hotspots ketika saluran 3 dipenuhi oleh temperatur spesifik vegetasi yang terbakar (Malingreau, 1990 dalam Redhahari, 2001). Lebih lanjut, Ratnasari (2000) menjelaskan bahwa data hotspot dari citra NOAA-AVHRR dapat dijadikan sebagai indikasi kebakaran hutan/lahan, baik kebakaran tajuk (Crown fire), kebakaran permukaan (Surface fire) maupun kebakaran bawah (Ground fire). Daerah sekitar lokasi hotspot merupakan daerah 2

9 yang rawan terhadap kebakaran, oleh sebab itu di daerah tersebut sebaiknya tidak dilakukan kegiatan pembakaran. Pada keadaan normal suhu kecerahan (Brightness temperature) dari piksel citra NOAA-AVHRR band 3 (Tb3) selalu lebih kecil dari Brightness temperature band 4 (Tb4). Apabila Tb3>Tb4 maka terjadi anomali yang disebabkan oleh adanya sumber panas seperti kebakaran hutan atau dapat juga karena pengaruh kilauan matahari (sunglind). Apabila Tb3-Tb4>20 maka piksel tersebut adalah hotspot, karena dari pengalaman beberapa tahun untuk seri NOAA 12 dan NOAA 14 konstanta sebesar 20 dilapangan mendekati kebenaran (Musawijaya, 1998 dalam Ratnasari, 2000). Musawijaya (1998) dalam Ratnasari (2000) menambahkan bahwa pengamatan hotspot beserta lokasinya dilakukan pada malam hari dengan menggunakan band 3. Kenampakan hotspot pada Citra NOAA_AVHARR sangat bervariasi. Pertama, interpretasi akan lebih mudah dilakukan bila menggunakan data malam hari dibandingkan data siang hari, karena pantulan sinar matahari dari awan dan asap dapat mengaburkan kenampakan dari hotspot. Kedua, mudah tidaknya mendeteksi hot spot tergantung pada ukuran obyek yang terbakar. Kebakaran hutan /lahan yang besar/luas akan sangat mudah diidentifikasi pada Citra NOAA-AVHRR band termal. Ketiga, hotspot yang sangat kecil seringkali sulit dideteksi karena bercampur dengan latar belakang dari citra. PEMANFAATAN DATA HOTSPOT Satelit NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration), yang dibuat dan diluncurkan oleh National Aeronautics and Space Administration(NASA- USA) dengan tujuan untuk pemantauan iklim dan cuaca tersebut, sering digunakan untuk pendeteksian kebakaran di wilayah tersebut. Hal ini dikarenakan sensornya yang dapat membedakan suhu permukaan di darat ataupun laut. Kelebihan lain adalah seringnya satelit-satelit tersebut (ada 3 satelit yang beroperasi-noaa 12, 16 dan 17) mengunjungi tempat yang sama yaitu 2 kali sehari, siang dan malam. Dengan demikian data yang cukup aktual (near real time) tersebut sangat bermanfaat bagi tim pemadam kebakaran untuk mengetahui lokasi kebakaran 3

10 secara cepat. Dengan cepatnya mengetahui nformasi lokasi kebakaran, maka tindakan pemadaman dini dapat dilakukan sebelum kebakaran tersebut menjadi lebih besar dan sulit dikendalikan (Solichin, 2004a) Satelit NOAA memiliki cakupan yang sangat luas. Hal ini memungkinkan user (pengguna) mampu menganalisa wilayah yang sangat luas dalam waktu yang relatif singka. Cakupan stasiun penerima NOAA Si Pongi di Jakarta misalnya, meliputi Pulau Sumatera, Borneo dan Semenanjung Malaysia. Keuntungan lainnya adalah, harganya yang relatif murah. Sebenarnya penggunaan satelit NOAA tidak dikenai biaya apapun, namun untuk mendapatkan citra (foto) dari satelit tersebut diperlukan hardware dan software yang cukup mahal. Di Indonesia stasiun penangkap satelit NOAA ada 7 stasiun, salah satunya berada di Palembang, yaitu di kantor Balai Pengukuhan Kawasan Hutan (BPKH II) yang merupakan bantuan dari Uni Eropa dan satu-satunya di pulau Sumatera. Namun sayangnya, stasiun tersebut dalam keadaan tidak berfungsi baik akibat kerusakan pada salah satu komponen motor penggerak antenna (Solichin, 2004a) Data hotspot saat ini dapat dengan mudah diakses oleh berbagai kalangan. Akses mudah, murah dan cepat dengan melalui internet pada berbagai sumber penyedia informasi data hotspot. Salah satu penyedia layanan tersebut yaitu FFPMP, Forest Fire Prevention Management Project, (proyek kerja sama Dephut dan JICA) dengan sistem penyebaran informasi seperti pada Gambar 1. 4

11 Gambar 1. Sistem Distribusi Informasi Data Hotspot FFPMP-PHKA-JICA (FFPMP2, 2004) Berbagai kelebihan dari data Citra NOOA di atas, maka banyak kalangan memakainya khususnya untuk kegunaan pemantauan iklim dan kebakaran hutan dan lahan. Beberapa aplikasi data hotspot dari satelit NOAA dapat dijelaskan sebagai berikut : Prediksi Hotspot dan Asap Kebakaran Jika perilaku kebakaran hutan dan lahan di berbagai daerah telah dipahami dan perilaku asapnya pada berbagai kondisi udara/cuaca telah diketahui, maka hal ini dapat dijadikan dasar dalam memprediksi kebakaran hutan dan lahan. Prediksi diperlukan untuk mengetahui pertambahan/pengurangan jumlah hotspot dalam bulan-bulan yang akan datang dan mengetahui sebaran asapnya apakah akan makin berkembang menjadi kondisi yang mengkhawatirkan dalam bulan-bulan yang akan datang atau sebaliknya kebakaran hutan dan lahan akan mereda sehingga 5

12 tidak perlu dikhawatirkan terjadinya pencemaran asap yang dapat mencapai lintas batas negara (transboundary haze pollution). Untuk dapat memprediksi perkembangan jumlah hotspot dan penyebaran asapnya merupakan hal tidak mudah. Hal ini mengingat bahwa kebakaran hutan dan lahan merupakan masalah yang sangat kompleks yang melibatkan faktor-faktor alam (cuaca/iklim, bahan bakaran) maupun manusia (kegiatan pemanfaatan lahan, ekonomi, dan budaya) dan bahkan kelembagaan. Namun untuk mempermudah prediksi, maka dapat digunakan konsep peluang. Peluang yang dimaksud mencakup peluang jumlah hotspot pada bulan-bulan mendatang di beberapa daerah yang rawan kebakaran dan peluang pencemaran asap dari kebakaran hutan dan lahan. Adapun analisisnya dilakukan berdasarkan pada berbagai jenis data historis maupun prediksi dari sumber-sumber yang cukup dapat diandalkan (LAPAN, 2004a) Menurut kajian LAPAN (2004a), jumlah hotspot yang terjadi hingga bulan pertengahan Juni 2004, baik di Sumatera maupun Kalimantan, masih lebih rendah dibandingkan dengan jumlah rata-ratanya selama 7 tahun terakhir, dengan demikian terdapat peluang peningkatan jumlah hotspot hingga akhir Juni Pada bulan Juli 2004 jumlah hotspot di Riau berpeluang meningkat tetapi selanjutnya akan berkurang pada bulan Agustus Hal ini diperkuat dengan perkembangan cuaca di wilayah Sumatera bagian utara yang akan mengalami penurunan curah hujan hingga bulan Juli-Agustus. Jumlah hotspot akan benar-benar berkurang mulai bulan Oktober 2004 karena dua hal, yaitu mulai bulan tersebut curah hujan meningkat dan aktivitas yang berhubungan dengan pemanfaatan lahan (terutama pembersihan/pembukaan lahan) pada bulan tersebut umumnya sudah berakhir. Kecenderungan jumlah hotspot dan peluang terjadinya kebakaran disajikan pada Gambar 1. 6

13 Persentase Jumlah Hotspot Bulanan Rata2 Tahun Jumlah Hotspot Bulanan (%) Bulan RIAU SUMSEL Gambar 2. Persentase Jumlah Hotspot Rata-rata di Riau dan Sumatera Selatan (LAPAN, 2003) Deteksi Kejadian Kebakaran (Active Fire) Penginderaan jauh kebakaran dicapai dengan penggunaan berbagai sistem satelit/sensor. Sensor yang paling luas digunakan untuk deteksi kebakaran dalam monitoring kebakaran jangka panjang dan skala area yang luas adalah Advanced Very High Resolution Radiometer (AVHRR) terpasang pada satelit orbit polar NOAA. AVHRR mempunyai dua manfaat utama dalam monitoring kebakaran. Pertama,, cakupan pengamatan di seluruh bumi setiap hari pada resolusi sedang (1 km 2 ) dimana merupakan terdepan dalam operasi monitoring kebakaran global. Kedua, mempunyai kisaran spektral yang luas dari visible (ch. 1, 0.63 µm), near-infrared (ch.2, 0.83 µm), mid-infrared (ch. 3, 0.37 µm) dan gelombang panjang termal (ch. 4-5, µm). Masing-masing kanal menyangkut pada attribut tertentu dari kebakaran. (Li et.al dalam Sunuprapto, 2000). Beberapa proyek yang telah dilakukan di beberapa negara telah dengan sukses mengembangkan sistem deteksi kejadian kebakaran (active fire) utamanya 7

14 mereka menggunakan data hotspot dari NOAA AVHRR mempertimbangkan keunggulan sistem NOAA. Tetapi alasan paling penting penggunaan sistem ini adalah penyediaan data yang berbasis harian pada harga yang pantas, khususnya ketika sistem seperti itu harus diaplikasikan untuk negara-negara sedang berkembang. Di Indonesia sendiri terdapat beberapa stasiun penerima NOAA: Palembang Sumatera (MoF-EU), Bogor Jawa (MoF-JICA), Samarinda Kalimatan (MoF-GTZ), Jakarta Jawa (LAPAN-Bappedal). Sistem serupa juga dikembangkan pada negara-negara sedang berkembang agara dapat mendeteksi kejadian kebakaran dalam basis harian (Sunuprapto, 2000). Deteksi kejadian kebakaran yang paling cepat dalam penyediaan dan distribusi datanya yaitu data hotspot, baik berupa lokasi hotspot (letak geografis) maupun peta sebaran hotspot. Data hotspot bahkan tersedia secara bebas dan mudah di akses dari internet. Sumber-sumber data hotspot yang dapat diakses dengan mudah seperti LAPAN (Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional), Departemen Kehutanan Republik Indonesia, FFPMP (Forest Fire Prevention Management Project -MoF-JICA) dan sumber lain dari luar negeri. Gambar 2. memperlihatkan sebaran hotspot yang diolah dari citra NOAA. Gambar 3. Sebaran Hotspot Hasil Pengolahan Citra Satelit NOAA (FFPMP, 2004) 8

15 Monitoring Kebakaran Hutan Penelitian dan pekerjaan operasional untuk menyediakan negara-negara dengan peralatan untuk melaksanakan monitoring langsung kejadian kebakaran vegetasi melalui penerima langsung dari data satelit tengah berlangsung. Ceecato et al (1999) dalam Sunuprapto (2000) pada papernya yang berjudul Monitoring of Vegetation Fires in Sumatera, Indonesia: A burning issue mendokumentasikan penggunaan metodologi dan teknik-teknik, dimana memadukan NOAA-AVHRR data satelit dengan sokongan Sistem Informasi Geografis (SIG) menyediakan deteksi dan monitoring kebakaran yang berhubungan dengan faktor-faktor lingkungan. Musim kebakaran di Sumatera ditampilkan selama tahun Metodologi dan hasil menunjukkan bagaimana informasi baru yang tersedia dapat membantu tanggung jawab tersebut bagi manajemen kebakaran dalam mengimplementasikan program-program operasional untuk manajemen kebakaran tingkat lokal, nasional dan regional. Anderson et al (1999a) pada Forest Fire Prevention and Control yang didukung oleh Uni Eropa (European Union) dan Kementrian Kehutanan dan Perkebunan (EU-MoF) telah melaporkan sejarah kebakaran di propinsi Sumatera. Kejadian kebakaran vegetasi di bagian selatan-tengah propinsi-propinsi Sumatera telah dimonitor melalui perekaman dan prosesing data satelit NOAA dari Januari 1996-Desember Teknik NOAA hanya merekam kejadian kebakaran (active fires) dengan nyala api yang melebihi meter. Kebakaran permukaan kecil atau kebakaran bawah tidak terekam atau kebakaran tidak tertangkap jelas karena liputan awan tebal dan asap. Monitoring kebakaran hutan bisa mencakup pemantauan lokasi kejadian kebakaran, perkiraan luas dan dampak kebakaran pada hutan dan lahan, perkiraan resiko kebakaran dan intensitas kerusakan akibat kebakaran hutan. Dengan SIG, maka dapat dibangun sebuah model statistik ke dalam model prediksi spasial. Persamaan statistik diperoleh dari analisis statistik yang diaplikasikan pada software GIS (Geographical Information System) untuk menghasilkan sebuah peta. Sunuprapto (2000), menemukan sebuah persamaan regresi linear ganda berbasis spasial, menggunakan fungsi map calculator pada software ArcView, yang menyatakan hubungan antara intensitas kebakaran hutan di Sumatera Selatan dengan variable-variabel penduganya yaitu : 9

16 Predicted Damage Intensity Map = landcover landuse soil type distance to railroad distance to river distance to settlement. dimana koefisien korelasi = 0.54 dan koefisien akurasi overall = 67.10%. Kemudian Sunuprapto juga membuat model prediksi untuk luas area yang terbakar (Predicted Burnt Area Model) dengan metode yang sama dimana diperoleh hasil berupa persamaan logistic regression sebagai berikut : Log (ODDS) Burnt Area = landcover landuse soil type distance to railroad distance to river and canal distance to settlement. dimana koefisien korelasi = 0.48 dan koefisien akurasi overall = 72 %. Pada Gambar 3. ditampilkan hasil pemetaan intensitas kerusakan akibat kebakaran hutan dengan model yang telah disebtkan di atas. Gambar 4. Peta Intensitas Kerusakan Kebakaran Hutan Menggunakan Data Hotspot, Peta Tutupan Lahan dan Peta Areal Terbakar. 10

17 Pemetaan Tingkat Rawan Kebakaran Kajian tingkat kerawanan kebakaran dengan menggunakan data hotspot telah dilakuakan oleh LAPAN (2004b). Berdasarkan analisis terhadap curah hujan, NDVI (Normalized Difference Vegetation Indeks) atau Indeks Vegetasi, jenis penutup lahan, jenis lahan, dan jarak terhadap jalan dan sungai yang digabungkan dengan analisis frekuensi hotspot, baik secara temporal maupun spasial, diperoleh bahwa setiap faktor memberikan kontribusi yang berbeda terhadap potensi terjadinya kebakaran hutan. Dari analisis diperoleh bahwa NDVI merupakan representasi dari keadaan bahan bakar, baik dari sisi tingkat kehijauan vegetasi hidup maupun serasah. Oleh sebab itu parameter NDVI memberikan kontribusi terbesar terhadap kerawanan kebakaran hutan. Selanjutnya curah hujan merupakan parameter penentu tingkat kadar air bahan bakar. Pada keadaan NDVI dan jenis bahan bakar yang sama, curah hujan yang berbeda memberikan pengaruh kadar air yang berbeda terhadap bahan bakar (vegetasi hidup maupun serasah), sehingga curah hujan memberikan kontribusi terbesar kedua sesudah NDVI. Jenis penutup lahan memberikan kontribusi terhadap frekuensi hotspot terutama karena berkaitan dengan aktivitas konversi lahan. Dari peta hotspot tahun 1996 hingga 2002 menunjukkan bahwa frekuensi hotspot terbesar terjadi pada lahan pertanian, diikuti hutan sekunder, semak belukar, dan perkebunan. Faktor keempat yang menentukan kerawanan kebakaran adalah jenis lahan yang berdasarkan peta UNEP (2002), Sumatera secara garis besar dibedakan atas lahan kering dan lahan gambut (LAPAN, 2004b) Berdasarkan faktor-faktor tersebut telah disusun kriteria dan bobot untuk menentukan tingkat kerawanan kebakaran hutan. Kelas kerawanan kebakaran hutan dibagi atas 6 kelas yang menunjukkan tingkat kemudahan untuk terbakar mulai dari sangat sulit hingga sangat mudah, sehingga kelas kerawanan kebakaran hutan dibagi atas: sangat rendah, rendah, sedang, agak tinggi, tinggi, dan sangat tinggi. Selanjutnya peta kerawanan kebakaran hutan berbasis sistem informasi geografis telah dibuat dengan menggunakan perangkat lunak ArcView. 11

18 Gambar 5. Peta tingkat kerawanan kebakaran hutan dan hotspot di Sumatera pada tahun La Nina 1998 (LAPAN, 2004b) 12

19 PERMASALAH PEMANFAATAN DATA HOTSPOT Berbagai aplikasi data hotspot untuk kepentingan pemantauan kondisi hutan dan lahan dirasa banyak memiliki kelemahan. Kelemahan-kelemahan tersebut bahkan membuat kualitas input bagi pengambilan keputusan menjadi bias sehingga informasi yang disebarluaskan ke masyarakat kurang valid. Beberapa kelemahan dari data hotspot dapat diuraikan sebagai berikut : Karaktristik Data Pertama, kelemahan pada sensor satelit NOAA. Menurut SSFFMP (2004), eberapa kelemahan tetap melekat pada satelit NOAA. Salah satunya adalah sensornya yang tidak dapat menembus awan, asap atau aerosol. Kelemahan tersebut sebenarnya terjadi pada semua satelit yang memiliki sensor optis (sinyal pasif ). Berbeda dengan sensor radar yang memiliki sinyal aktif dan dapat menembus awan serta dapat berfungsi juga pada malam hari. Kelemahan tersebut akan sangat merugikan bila kebakaran besar terjadi sehingga wilayah tersebut tertutup asap. Kejadian seperti itu sangat sering sekali terjadi di musim kebakaran, sehingga jumlah hotspot yang terdeteksi jauh lebih rendah dari yang seharusnya. Karena itu untuk mengurangi kesalahan, informasi tentang penutupan awan atau asap diperlukan pula sebagai informasi tambahan. Kedua, resousi spasial yang rendah pada citra NOAA. Rendahnya resolusi citra NOAA, yaitu sekitar 1,1 km x 1,1 km, juga merupakan kelemahan yang sangat mendasar dari sistem pendeteksian kebakaran. Dalam luasan sekitar 1 km persegi tersebut, kita tidak dapat mengetahui di mana lokasi kebakaran secara persis. Selain itu, walaupun jumlah titik kebakaran dalam luasan tersebut lebih dari satu, maka luasan tersebut tetap akan diwakili oleh sebuah titik hotspot dengan lokasi tepat di tengah luasan persegi tersebut. Karena itu, penentuan luasan daerah yang terbakar berdasarkan data hotspot satelit NOAA sebaiknya tidak dilakukan karena akan menyebabkan bias yang sangat besar. Karena sifatnya yang sensitif terhadap suhu permukaan bumi ditambah dengan resolusinya yang rendah, kesalahan perkiraan titik kebakaran cukup sering terjadi. Misalnya cerobong api dari tambang minyak atau gas seringkali terdeteksi sebagai hotspot. Namun dengan pengalaman operator, hal ini dapat diatasi. Kasus 13

20 lain, areal tanah kosong yang relative lebih panas dibandingkan daerah sekitar yang bervegetasi juga dapat terdeteksi sebagai hotspot. Pembakaran untuk menyiapkan ladang sebelum ditanam juga dapat terdeteksi sebagai hotspot. Hal ini sangat sering terjadi di wilayah-wilayah pasang surut di Sumatera Selatan yang banyak menerapkan sawah padi sonor atau lebak lebung. Standar Pengamatan dan Pemrosesan Citra NOAA Perbedaan hasil data hotspot juga diakibatkan oleh belum adanya standar internasional, khususnya dalam sistem pendeteksian hotspot. Dari hasil inventarisasi permasalahan mengenai pengamatan dan pemrosesan Citra NOAA yang ada khususnya pada kegiatan dan metodologi deteksi dan pemantauan kebakaran hutan/lahan dengan data hot spot maka dapat diuraikan beberapa masalah sebagai berikut: Pertama, perbedaan penentuan threshold antar stasiun pengamat. Perbedaan jumlah hotspot yang terpantau biasanya disebabkan karena algoritma yang digunakan oleh setiap stasiun bumi yang berlainan misalnya ambang batas (threshold) suhu yang digunakan untuk menentukan sebuah titik adalah hotspot atau bukan. Menurut Hidayat, et. al. (2003), adanya perbedaan jumlah hot spot yang dihasilkan oleh beberapa stasiun pengamatan sering kali dikeluhkan oleh pengguna informasi hot spot terutama oleh Kementerian Lingkungan Hidup (d/h BAPEDAL). Parameter untuk mendeteksi host spot yang selama ini dipergunakan oleh LAPAN adalah seperti disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Sea Scan AVHRR Fire Detection Configuration File Nilai ambang (threshold) berbagai parameter yang digunakan oleh LAPAN dalam mendeteksi hot spot berbeda dengan stasiun pengamat lainnya seperti 14

21 PONGI (Dept. Kehutanan) di Bogor, dan ASMC (Singapura) yang sekarang menjadi rujukan di ASEAN. Nilai ambang yang digunakan oleh ASMC untuk mendeteksi hot spot adalah terlihat pada Tabel 2 dan Tabel 3. Tabel 2. AVHRR Fire Detection Configuration File dari ASMC (Malam Hari) Tabel 3. AVHRR Fire Detection Configuration File dari ASMC (Siang Hari) Akibat perbedaan tersebut menghasilkan jumlah hot spot yang berbeda-beda antar stasiun pengamat. Tabel 4. sekedar memberikan gambaran perbedaan yang dimaksud: Tabel 4. Jumlah dan Lokasi Hotspot Tanggal 17 s/d 21 Agustus

22 Hidayat et. al. (2003) telah melakukan verifikasi untuk mendapatkan hasil yang mendekati sama dengan ASMC dengan membuat nilai threshold yang sama yaitu perbedaan temperature (Ch3>Ch4) adalah 15 o. Hasil yang diperoleh seperti ditampilkan pada Tabel 5. Tabel 5. Jumlah Hotspot di Kalimantan Tanggal 17 s/d 21 Agustus 2003 ( T: CH 3 yang berbeda-beda, Ch 3 > Ch4 = 15.0 o ) Dari kedua hal di atas, yaitu masih terdapatnya perbedaan jumlah hotspot antara LAPAN dengan ASMC (sekalipun threshold-nya sudah disamakan), dan banyak kejadian kebakaran yang tidak terpantau oleh LAPAN, berarti ada faktor lain yang mempengaruhinya. Kedua, waktu pengamatan yang berbeda antar stasiun pengamatan. Hidayat et. al. (2003) lebih lanjut menjelaskan, salah satu kemungkinan penyebab terjadinya perbedaan itu adalah tidak dilakukannya pengamatan pada malam hari. Sehingga banyak kejadian kebakaran yang lolos dari pengamatan LAPAN. Terdapat perbedaan waktu pengamatan antara LAPAN dengan ASMC, dimana LAPAN hanya melakukan pengamatan (perekaman data) setiap hari dari pukul hingga WIB, sementara ASMC melakukannya selama 24 jam setiap hari. Menurut Solichin (2004b), waktu lintasan satelit sangat berpengaruh terhadap pendeteksian kebakaran karena terkait dengan adanya perilaku pembakaran lahan di beberapa tempat di Indonesia atau dengan adanya perubahan penyebaran awan yang bergerak dalam hitungan beberapa menit, sehingga mempengaruhi kemampuan satelit dalam pemantauan hotspot. Ketiga, Menurut Hidayat et. al. (2003) kemungkinan lain adalah, sistem pengolahan hot spot LAPAN (Sea Scan) yang operasional saat ini tidak bisa mengolah data NOAA 15 dan 16. Jadi ada kemungkinan ada hot spots yang 16

23 seharusnya bisa dipantau dengan NOAA 15 dan 16, menjadi tidak terpantau oleh LAPAN. Sistem Distribusi Data Kecepatan pengiriman data hasil olahan juga sangat penting, khususnya bila menjelang atau pada saat musim kebakaran terjadi. Hal ini seringkali menjadi kendala di dalam menentukan strategi pengelolaan kebakaran di lapangan. Semakin cepat informasi diterima, semakin memudahkan stakeholder di dalam melakukan tindakan yang sesuai. Panjangnya rantai distribusi juga menyebabkan keterlambatan informasi yang diterima di tingkat lapangan. Karenanya seiring dengan proses desentralisasi, rantai distribusi perlu dipersingkat lagi, misalnya data instansi pengolah data dapat dikumpulkan atau diterima langsung di tingkat kabupaten atau perusahaan terkait (Solichin, 2004b). Hal lain yang terkadang menjadi kendala adalah saat sebuah instansi pengolah data mengalami kendala teknis sehingga memerlukan waktu yang cukup lama untuk memperbaiki dan tidak memungkinkan untuk mengirimkan data tepat pada waktunya. Dalam kondisi seperti ini, ketergantungan terhadap satu sumber data akan menyulitkan di dalam kegiatan lapangan. Karenanya menggunakan beberapa sumber data juga dapat dipertimbangkan atau dimanfaatkan sebagai sistem cadangan (back-up system) Keberlanjutan Ketersediaan Data Pengalaman sebelumnya menunjukkan bahwa tingkat keberlanjutan sebuah proyek bantuan luar negeri di Indonesia seringkali cukup rendah, khususnya bila terkait dengan perawatan dan perbaikan peralatan yang canggih dan sangat mahal. Proyek FFPCP (Forest fire Prevention and Control Project) yang didanai oleh Uni Eropa telah melakukan investasi yang sangat besar sekitar 250 juta rupiah untuk instalasi stasiun penerima satelit NOAA di Palembang. Anggaran yang minim dari instansi pemerintah tidak mungkin melakukan perawatan berkala dan apalagi perbaiakan suku cadang yang harus diimpor dari eropa atau negara maju lainnya. Hal yang sama juga terjadi dengan proyek IFFM (Integrated Forest Fire Management) Jerman, belum stahun setelah fase handling over, tejadi kerusakan 17

24 pada perangkat keras sistem penerima satelit NOAA yang menyebabkan kegagalan menangkap sinyal (Solichin, 2004b) Karenanya untuk menjamin keberlanjutan penyediaan informasi, peningkatan mutu pelayanan oleh instansi pemerintah seperti LAPAN, BPPT, BMG atau Departemen Kehutanan yang memilki kapasitas dan kemampuan di dalam teknologi penginderaan jauh atau data iklim dan cuaca masih terus diperlukan bagi stakeholder di tingkat propinsi dan kabupaten. Inisiatif untuk mendiskusikan standarisasi data dan informasi kebakaran karenanya perlu dimulai lagi. Masalah lain yang perlu dipertimbangkan adalah teknologi satelit NOAA yang sepertinya mulai digantikan oleh MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer). Satelit NOAA yang sudah dikembangkan sejak tahun 1978, diperkirakan tidak akan dilanjutkan lagi. Sebagai gantinya NASA mengembangkan sensor MODIS yang dibawa oleh satelit Terra dan Aqua. Sebagai salah satu sensor hyperspectral (36 kanal) dengan resolusi menengah (beberpa kanal memiliki resolusi 250 m 2 ). MODIS dapat digunakan untuk pemantauan global dengan berbagai tujuan. Terlebih lagi, NASA membuka akses yang cukup luas bagi pengguna MODIS si seluruh dunia. Kaenanya penggunaan MODIS di dalam pemantauan kebakaran merupakan sebuah langkah yang harus dikembangkan di masa depan (Solichin, 2004b) 18

25 UPAYA PENINGKATAN KUALITAS DATA HOTSPOT Mengingat keterbatasan tersebut di atas, maka beberapa hal perlu dketahui dan dilakukan untuk meningkatkan kualitas dan efektivitas data hotspot untuk aplikasi pemantauan kebakaran hutan antara lain : 1. Perbandingan jumlah hotspot antar stasiun pasti terjadi, mengingat adanya perbedaan ambang batas suhu dan penggunaan satelit (terkait dengan waktu lintasan). Diperlukan standar internasional untuk dapat menghasilkan informasi yang yang tidak berbeda jauh pada lokasi monitoring kebakaran yang sama. 2. Informasi jumlah hotspot hanya dapat digunakan sebagai penentu tingkat bahaya yang terjadi bila didukung oleh informasi tentang peringkat bahaya kebakaran yang didasari atas informasi cuaca. 3. Dalam kaitannya dengan kegiatan sistem peringatan dan deteksi dini, cek lapangan harus tetap dilakukan. Pengecekan langsung di lapangan sangat diperlukan, terutama di perusahaan perkebunan atau HTI, pengawasan melalui patroli atau menara api masih sangat diperlukan. Menurut Hiroki dan Prabowo, (2003) dalam Suratmo et al. (2003), hasil dari cek lapangan ini bisa dipakai juga sebagai umpan balik (feed back) untuk lebih menyempurnakan sistem deteksi yang digunakan (misalnya untuk penentuan nilai ambang yang lebih sesuai/tepat). Dengan demikian, maka sistem deteksi ini akan terus berkembang menjadi lebih sempurna dan dapat menghasilkan interpretasi dengan tingkat ketelitian yang lebih baik 4. Informasi hotspot sangat baik digunakan sebagai indikasi tingkat kebakaran secara umum, karenanya analisa lanjutan dengan menumpangtindihkan dengan peta-peta lain seperti batas penggunaan lahan atau penutupan lahan memberikan informasi yang baik tentang perlu tidaknya melakukan pemadaman secara cepat. 5. Pengembangan kerja sama antar instansi pemerintah daerah, instansi teknis penyedia data (LAPAN, BMG, BAPEDAL) dan lembaga sumber data agar system distribusi dan keberlanjutan data bisa terjamin. 6. Tidak mungkin menentukan luasan areal yang terbakar berdasarkan penyebaran kumulatif titik-titik hotspot tersebut Oleh karena itu perlu 19

26 mengintegrasikan data hotspot dengan analisis lanjutan menggunakan sistem penginderaan jauh dan sistem informasi geografis. Hal ini bisa dilakukan dengan memadukan hotspot dengan citra Landsat TM., Citra SPOT dan lain-lain, untuk memperoleh analisa secara spasial dan permodelan dari indikasi yang diperlihatkan oleh data hotspot. 7. MODIS dapat digunakan sebagai alternatife data lain selain NOOA untuk untuk pemantauan global khususnya deteksi kebakaran hutan dan lahan. Terlebih lagi, NASA membuka akses yang cukup luas bagi pengguna MODIS si seluruh dunia. Karenanya penggunaan MODIS di dalam pemantauan kebakaran merupakan sebuah langkah yang harus dikembangkan di masa depan. 8. Pemanfaatan informasi yang disediakan oleh berbagai lembaga luar negeri, juga perlu dipertimbangkan sebagai salah satu sumberdata reguler, mengingat sumber yang berasal dari luar negeri seperti Singapura, Malaysia atau Amerika Serikat, biasanya cenderung lebih stabil dan berkelanjutan. Hal ini biasanya didukung dengan komitmen yang tinggi dalam hal pengorganisasian dan penyediaan anggaran untuk perawatan serta pengembangan teknologinya. 20

27 KESIMPULAN Data hotspot dengan keunggulannya dapat bermanfaat bagi upaya deteksi, monitoring maupun pengembangan sistem peringatan dini kebakaran hutan dan lahan. Disamping itu, terdapat kelemahan pada aplikasi penggunaan data hotspot yang berhubungan dengan karakteristik data, standar dan pemrosesan data, sistem distribusi data dan keberlanjutan ketersediaan data. Peningkatan kualitas dapat diupayakan dengan mengadakan cek lapangan, penetapan standar ambang batas dan waktu pengamatan secara internasional, peningkatan kerja sama antar lembaga dalam distribusi data, integrasi sistem penginderaan jauh dan sistem informasi geografis dan penggunaan alternatif satelit dengan resolusi spasial yang lebih tinggi. 21

28 DAFTAR PUSTAKA Anderson, I P, Manda, I D dan Muhnandar. 1999a. Vegetation Fires in Sumatera Indonesia: The Presentasion and Distribution of NOAA-Derived Data. Palembang: Forest Fire Prevention and Control Project. European Union and Indonesian Ministry of Forestry and Estate Crops. 1999b. Vegetation Fires in Indonesia: The The fire History of The Sumatera Provinces as A predictor of Future Areas at Risk. Forest Fire Prevention and Control Project. European Union and Indonesian Ministry of Forestry and Estate Crops. Palembang. Direktorat Penanggulangan Kebakaran Hutan Perangkat Organisasi Penanggulanagn Kebakaran Hutan Propinsi dan Kabupaten/Kota. Makalah dalam Pelatihan Kebakaran Hutan Tingkat Manajemen Medan, Juni Medan: Unit Manajemen Leuser [FFPMP2] Forest Fire Prevention and Management Project (phase 2) Sistem Deteksi dan Peringatan Dini. earlypageindo.htm[23 April 2004] Hidayat, A. Kushardono D, Asriningrum W, Zubaedah A dan Efendy, I Laporan Verifikasi dan Validasi Metode Pemantauan Mitigasi Bencana Kebakaran Hutan dan Kekeringan. Jakarta: Pusat Pengembangan Pemanfaatan dan Teknologi Penginderaan Jauh-LAPAN. [LAPAN] Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional. 2004a. Kebakaran Hutan/Lahan Dan Sebaran Asap di Sumatera dari Data Satelit Lingkungan dan Cuaca. Bidang Pemantauan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Pusat Pengembangan Pemanfaatan dan Teknologi Penginderaan Jauh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN). 6_all [23 Juli 2004] 2004b. Model Prediksi Dampak El Nino / La Nina Untuk Mitigasi Bencana Kebakaran Hutan. /INOVS/IDE2_/view_doc.php? doc_id=35 [25 April 2004] Ratnasari, E Pemantauan Kebakarn Hutan dengan Menggunakan Data Citra NOAA-AVHRR dan Citra Landsat TM: Studi KAsus di Daerah Kalimantan Timur. [skripsi]. Bogor. Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor 22

29 Redhahari Pembangunan Sistem Peringatan Dini Kebakaran Hutan dengan Indeks Kekeringan Keetch/Byram dan Sistem Informasi Geografis di Kalimantan Timur. [tesis]. Samarinda : Program Pascasarjana Magister, Universitas Mulawarman Solichin. 2004a. Hotspot Tidak Selalu Titik Kebakaran (Mengenal Hotspot Bagian 1). Palembang: South Sumatera Forest Fire Management Project (SSFFMP) Newsletters Hotspot,. Februari 2004; 1: b. Panduan Pengumpulan informasi Kebakaran Hutan dan Lahan melalui Internet. Palembang : SSFFMP. Sunuprapto, H Forest Fire Monitoring and Damage Assesment Using Remotely Sensed Data and Geographical Information Systems (A Case Study in South Sumatera Indonesia). [Thesis]. Enschede The Netherlands: Internastional Institute for Aerospace Survey and Earth Sciences (ITC) (tidak dipublikasi) Suratmo, G, Jaya, INS dan Husaeni, EA Pengetahuan Dasar Pengendalian Kebakaran Hutan. Bogor: IPB Press. 23

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebakaran Hutan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.1 Definisi dan Tipe Kebakaran Hutan dan Lahan Kebakaran hutan adalah sebuah kejadian terbakarnya bahan bakar di hutan oleh api dan terjadi secara luas tidak

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. non hutan atau sebaliknya. Hasilnya, istilah kebakaran hutan dan lahan menjadi. istilah yang melekat di Indonesia (Syaufina, 2008).

TINJAUAN PUSTAKA. non hutan atau sebaliknya. Hasilnya, istilah kebakaran hutan dan lahan menjadi. istilah yang melekat di Indonesia (Syaufina, 2008). 3 TINJAUAN PUSTAKA Kebakaran hutan didefenisikan sebagai suatu kejadian dimana api melalap bahan bakar bervegetasi, yang terjadi didalam kawasan hutan yang menjalar secara bebas dan tidak terkendali di

Lebih terperinci

Achmad Siddik Thoha PENDAHULUAN. Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara

Achmad Siddik Thoha PENDAHULUAN. Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara 53 PENGGUNAAN PENGINDERAAN JAUH UNTUK DETEKSI KEBAKARAN GAMBUT DI KABUPATEN BENGKALIS PROPINSI RIAU (APPLICATION OF REMOTE SENSING ON PEAT FIRE DETECTION IN BENGKALIS DISTRICT RIAU PROVINCE) Achmad Siddik

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Evapotranspirasi Potensial Standard (ETo)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Evapotranspirasi Potensial Standard (ETo) xviii BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Evapotranspirasi Potensial Standard (ETo) Evapotranspirasi adalah jumlah air total yang dikembalikan lagi ke atmosfer dari permukaan tanah, badan air, dan vegetasi oleh

Lebih terperinci

ANALISA DAERAH POTENSI BANJIR DI PULAU SUMATERA, JAWA DAN KALIMANTAN MENGGUNAKAN CITRA AVHRR/NOAA-16

ANALISA DAERAH POTENSI BANJIR DI PULAU SUMATERA, JAWA DAN KALIMANTAN MENGGUNAKAN CITRA AVHRR/NOAA-16 ANALISA DAERAH POTENSI BANJIR DI PULAU SUMATERA, JAWA DAN KALIMANTAN MENGGUNAKAN CITRA AVHRR/NOAA-16 Any Zubaidah 1, Suwarsono 1, dan Rina Purwaningsih 1 1 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Maret hingga Agustus. Kondisi ini didukung oleh suhu rata-rata 21 0 C 36 0 C dan

BAB I PENDAHULUAN. Maret hingga Agustus. Kondisi ini didukung oleh suhu rata-rata 21 0 C 36 0 C dan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Dumai merupakan salah satu dari 12 Kabupaten/Kota di Provinsi Riau. Kota Dumai sangat dipengaruhi oleh iklim laut. Musim hujan jatuh pada bulan September hingga

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kebakaran Hutan 1. Definisi dan Tipe Kebakaran Hutan dan Lahan Kebakaran hutan adalah suatu kejadian dimana api melalap bahan bakar bervegetasi yang terjadi di kawasan hutan

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI AREAL BEKAS KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (KARHUTLA, KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN)

IDENTIFIKASI AREAL BEKAS KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (KARHUTLA, KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN) IDENTIFIKASI AREAL BEKAS KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (KARHUTLA, KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN) Kebakaran hutan dan lahan gambut merupakan kebakaran permukaan dimana api membakar bahan bakar yang ada di atas

Lebih terperinci

1 BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemanfaatan penggunaan lahan akhir-akhir ini semakin mengalami peningkatan. Kecenderungan peningkatan penggunaan lahan dalam sektor permukiman dan industri mengakibatkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebakaran Hutan 2.1.1 Pengertian dan Proses Terjadinya Kebakaran Kebakaran hutan secara umum didefinisikan sebagai kejadian alam yang bermula dari proses reaksi secara cepat

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Lahan gambut merupakan salah satu tipe ekosistem yang memiliki kemampuan menyimpan lebih dari 30 persen karbon terestrial, memainkan peran penting dalam siklus hidrologi serta

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Titik Panas

TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Titik Panas 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Titik Panas Titik panas (hotspot) adalah indikator kebakaran hutan yang mengindikasikan suatu lokasi yang memiliki suhu relatif tinggi dibandingkan suhu disekitarnya. Definisi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. vegetasi yang masih hidup maupun mati, serasah, humus, semak dan gulma

II. TINJAUAN PUSTAKA. vegetasi yang masih hidup maupun mati, serasah, humus, semak dan gulma II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kebakaran Hutan dan Lahan Kebakaran hutan didefinisikan sebagai proses reaksi cepat oksigen dan unsur-unsur lainnya, dan ditandai dengan panas, cahaya serta biasanya menyala.

Lebih terperinci

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD SENSOR DAN PLATFORM Kuliah ketiga ICD SENSOR Sensor adalah : alat perekam obyek bumi. Dipasang pada wahana (platform) Bertugas untuk merekam radiasi elektromagnetik yang merupakan hasil interaksi antara

Lebih terperinci

Studi Akurasi Citra Landsat 8 dan Citra MODIS untuk Pemetaan Area Terbakar (Studi Kasus: Provinsi Riau)

Studi Akurasi Citra Landsat 8 dan Citra MODIS untuk Pemetaan Area Terbakar (Studi Kasus: Provinsi Riau) A758 Studi Akurasi Citra Landsat 8 dan Citra MODIS untuk Pemetaan Area Terbakar (Studi Kasus: Provinsi Riau) Agita Setya Herwanda, Bangun Muljo Sukojo Jurusan Teknik Geomatika, Fakultas Teknik Sipil dan

Lebih terperinci

KEKERINGAN TAHUN 2014: NORMAL ATAUKAH EKSTRIM?

KEKERINGAN TAHUN 2014: NORMAL ATAUKAH EKSTRIM? KEKERINGAN TAHUN 2014: NORMAL ATAUKAH EKSTRIM? * Parwati Sofan, Nur Febrianti, M. Rokhis Khomarudin Kejadian kebakaran lahan dan hutan di Sumatera Selatan dan Kalimantan Tengah pada pertengahan bulan September

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5. Sebaran Hotspot Tahunan BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Potensi kebakaran hutan dan lahan yang tinggi di Provinsi Riau dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: penggunaan api, iklim, dan perubahan tata guna

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 7 HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum dan Distribusi Titik Panas (hotspot)provinsi Jambi Provinsi Jambi secara geografis terletak antara 0 o 45-2 o 45 LS dan 101 o 104 o 55 BT, terletak di tengah Pulau Sumatera

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian METODE Waktu dan Tempat Penelitian

PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian METODE Waktu dan Tempat Penelitian PENDAHULUAN Latar Belakang Kejadian kebakaran wilayah di Indonesia sudah menjadi peristiwa tahunan, khususnya di Pulau Sumatera dan Kalimantan. Pada tahun 2013 kebakaran di Pulau Sumatera semakin meningkat

Lebih terperinci

Di zaman modern seperti sekarang ini, semakin sering. DNB/VIIRS: Menatap Bumi di Malam Hari AKTUALITA

Di zaman modern seperti sekarang ini, semakin sering. DNB/VIIRS: Menatap Bumi di Malam Hari AKTUALITA AKTUALITA DNB/VIIRS: Menatap Bumi di Malam Hari Anneke KS Manoppo dan Yenni Marini Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh e-mail: anneke_manoppo@yahoo.co.id Potret kenampakan bumi di malam hari (Sumber: NASA)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang rawan terjadi kekeringan setiap tahunnya. Bencana kekeringan semakin sering terjadi di berbagai daerah di Indonesia dengan pola dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan suatu tempat yang luas yang didalamnya terdapat berbagai macam makhluk hidup yang tinggal disana. Hutan juga merupakan suatu ekosistem yang memiliki

Lebih terperinci

Pengamatan kebakaran dan penyebaran asapnya dari angkasa: Sebuah catatan kejadian kebakaran hutan/lahan di Sumatera Selatan tahun 2014

Pengamatan kebakaran dan penyebaran asapnya dari angkasa: Sebuah catatan kejadian kebakaran hutan/lahan di Sumatera Selatan tahun 2014 Pengamatan kebakaran dan penyebaran asapnya dari angkasa: Sebuah catatan kejadian kebakaran hutan/lahan di Sumatera Selatan tahun 2014 *Yenni Vetrita, Parwati Sofan, Any Zubaidah, Suwarsono, M. Rokhis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara yang terletak pada wilayah ekuatorial, dan memiliki gugus-gugus kepulauan yang dikelilingi oleh perairan yang hangat. Letak lintang Indonesia

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 16 5.1 Hasil 5.1.1 Pola curah hujan di Riau BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Data curah hujan bulanan dari tahun 2000 sampai dengan 2009 menunjukkan bahwa curah hujan di Riau menunjukkan pola yang sama dengan

Lebih terperinci

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : NDVI=(band4 band3)/(band4+band3).18 Nilai-nilai indeks vegetasi di deteksi oleh instrument pada

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan pada daerah kajian Provinsi Kalimantan Barat. Pengolahan dan analisis data dilakukan di Laboratorium Fisik Remote Sensing dan Sistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Novita Fauzi, 2015

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Novita Fauzi, 2015 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Negara Indonesia memiliki potensi rawan akan bencana, baik bencana alam maupun bencana non-alam. Bencana dapat menimbulkan terancamnya keselamatan jiwa,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 8 2.1 Pengertian Kebakaran Hutan BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sebagian besar orang menyatakan bahwa kebakaran hutan yang terjadi pada sekarang ini adalah kebakaran kawasan hutan yang terjadi di hutan (baik

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang.

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang. III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-Oktober 2010. Lokasi penelitian di Kota Palembang dan Laboratorium Analisis Spasial Lingkungan, Departemen Konservasi Sumberdaya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebakaran hutan dan Lahan 2.1.1 Pengertian dan Proses Terjadinya Kebakaran Hutan dan Lahan Kebakaran hutan oleh Brown dan Davis (1973) dalam Syaufina (2008) didefinisikan

Lebih terperinci

ESTIMASI UNSUR-UNSUR CUACA UNTUK MENDUKUNG SISTEM PERINGKAT BAHAYA KEBAKARAN HUTAN/LAHAN DENGAN DATA MODIS

ESTIMASI UNSUR-UNSUR CUACA UNTUK MENDUKUNG SISTEM PERINGKAT BAHAYA KEBAKARAN HUTAN/LAHAN DENGAN DATA MODIS ESTIMASI UNSUR-UNSUR CUACA UNTUK MENDUKUNG SISTEM PERINGKAT BAHAYA KEBAKARAN HUTAN/LAHAN DENGAN DATA MODIS M. Rokhis Khomarudin 1, Orta Roswintiarti 1, dan Arum Tjahjaningsih 1 1 Lembaga Penerbangan dan

Lebih terperinci

Proof of Concept Platform SPBP Sebagai Layanan Penyajian Data Penginderaan Jauh yang Cepat dan Mudah Untuk Seluruh Pemerintahan Provinsi

Proof of Concept Platform SPBP Sebagai Layanan Penyajian Data Penginderaan Jauh yang Cepat dan Mudah Untuk Seluruh Pemerintahan Provinsi Proof of Concept 2016 Platform SPBP Sebagai Layanan Penyajian Data Penginderaan Jauh yang Cepat dan Mudah Untuk Seluruh Pemerintahan Provinsi I. Pengantar Kapustekdata Kegiatan ini merupakan penjabaran

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata Kunci: kebakaran hutan, penginderaan jauh, satelit Landsat, brightness temperature

ABSTRAK. Kata Kunci: kebakaran hutan, penginderaan jauh, satelit Landsat, brightness temperature ABSTRAK Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki hamparan hutan yang luas tidak terlepas dengan adanya masalah-masalah lingkungan yang dihasilkan, khususnya kebakaran hutan. Salah satu teknologi yang

Lebih terperinci

MODIFIKASI ALGORITMA AVHRR UNTUK ESTIMASI SUHU PERMUKAAN LAUT (SPL) CITRA AQUA MODIS

MODIFIKASI ALGORITMA AVHRR UNTUK ESTIMASI SUHU PERMUKAAN LAUT (SPL) CITRA AQUA MODIS MODIFIKASI ALGORITMA AVHRR UNTUK ESTIMASI SUHU PERMUKAAN LAUT (SPL) CITRA Briliana Hendra P, Bangun Muljo Sukojo, Lalu Muhamad Jaelani Teknik Geomatika-ITS, Surabaya, 60111, Indonesia Email : gm0704@geodesy.its.ac.id

Lebih terperinci

Pemetaan Tingkat Kekeringan Berdasarkan Parameter Indeks TVDI Data Citra Satelit Landsat-8 (Studi Kasus: Provinsi Jawa Timur)

Pemetaan Tingkat Kekeringan Berdasarkan Parameter Indeks TVDI Data Citra Satelit Landsat-8 (Studi Kasus: Provinsi Jawa Timur) Pemetaan Tingkat Kekeringan Berdasarkan Parameter Indeks TVDI Data Citra Satelit Landsat-8 (Studi Kasus: Provinsi Jawa Timur) Diah Witarsih dan Bangun Muljo Sukojo Jurusan Teknik Geomatika, Fakultas Teknik

Lebih terperinci

LAPORAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (KARHUTLA) KALIMANTAN TANGGAL 13 OKTOBER 2016 PUSAT PENGENDALIAN PEMBANGUNAN EKOREGION (P3E) KALIMANTAN, KLHK

LAPORAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (KARHUTLA) KALIMANTAN TANGGAL 13 OKTOBER 2016 PUSAT PENGENDALIAN PEMBANGUNAN EKOREGION (P3E) KALIMANTAN, KLHK LAPORAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (KARHUTLA) KALIMANTAN TANGGAL 13 OKTOBER 2016 PUSAT PENGENDALIAN PEMBANGUNAN EKOREGION (P3E) KALIMANTAN, KLHK 1. Jumlah update laporan hotspot di tanggal 12 Oktober 2016

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya 5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penutupan Lahan dan Perubahannya Penutupan lahan menggambarkan konstruksi vegetasi dan buatan yang menutup permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

Lebih terperinci

ix

ix DAFTAR ISI viii ix x DAFTAR TABEL Tabel 1.1. Emisivitas dari permukaan benda yang berbeda pada panjang gelombang 8 14 μm. 12 Tabel 1.2. Kesalahan suhu yang disebabkan oleh emisivitas objek pada suhu 288

Lebih terperinci

MODEL SPASIAL TINGKAT KERAWANAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (Studi Kasus di Wilayah Propinsi Kalimantan Tengah) SAMSURI

MODEL SPASIAL TINGKAT KERAWANAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (Studi Kasus di Wilayah Propinsi Kalimantan Tengah) SAMSURI MODEL SPASIAL TINGKAT KERAWANAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (Studi Kasus di Wilayah Propinsi Kalimantan Tengah) SAMSURI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN Dengan ini saya

Lebih terperinci

TUGAS AKHIR GIATIKA CHRISNAWATI Oleh

TUGAS AKHIR GIATIKA CHRISNAWATI Oleh ANALISA SEBARAN TITIK PANAS DAN SUHU PERMUKAAN DARATAN SEBAGAI PENDUGA TERJADINYA KEBAKARAN HUTAN MENGGUNAKAN SENSOR SATELIT NOAA/AVHRR DAN EOS AQUA-TERRA/MODIS TUGAS AKHIR Oleh GIATIKA CHRISNAWATI 04

Lebih terperinci

ANALISA KESEHATAN VEGETASI MANGROVE BERDASARKAN NILAI NDVI (NORMALIZED DIFFERENCE VEGETATION INDEX ) MENGGUNAKAN CITRA ALOS

ANALISA KESEHATAN VEGETASI MANGROVE BERDASARKAN NILAI NDVI (NORMALIZED DIFFERENCE VEGETATION INDEX ) MENGGUNAKAN CITRA ALOS ANALISA KESEHATAN VEGETASI MANGROVE BERDASARKAN NILAI NDVI (NORMALIZED DIFFERENCE VEGETATION INDEX ) MENGGUNAKAN CITRA ALOS Oleh : Tyas Eka Kusumaningrum 3509 100 001 LATAR BELAKANG Kawasan Pesisir Kota

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Curah hujan merupakan unsur meteorologi yang mempunyai variasi tinggi dalam skala ruang dan waktu sehingga paling sulit untuk diprediksi. Akan tetapi, informasi curah

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Curah hujan merupakan salah satu parameter atmosfer yang sulit untuk diprediksi karena mempunyai keragaman tinggi baik secara ruang maupun waktu. Demikian halnya dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Posisi Indonesia berada di daerah tropis mengakibatkan hampir sepanjang tahun selalu diliputi awan. Kondisi ini mempengaruhi kemampuan citra optik untuk menghasilkan

Lebih terperinci

STUDY ON MERGING MULTI-SENSOR SSTs OVER THE EAST ASIA. Penggabungan multi sensor sst disepanjang Asia timur

STUDY ON MERGING MULTI-SENSOR SSTs OVER THE EAST ASIA. Penggabungan multi sensor sst disepanjang Asia timur STUDY ON MERGING MULTI-SENSOR SSTs OVER THE EAST ASIA Penggabungan multi sensor sst disepanjang Asia timur Abstrak KMA (Korean Meteorology Administrator) sudah menghasilkan SST dari geostasioner dan data

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. bagi kehidupan manusia. Disamping itu hutan juga memiliki fungsi hidrologi sebagai

I. PENDAHULUAN. bagi kehidupan manusia. Disamping itu hutan juga memiliki fungsi hidrologi sebagai I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan aset kekayaan yang bukan saja penting bagi bangsa Indonesia, namun juga bagi sebagian penduduk dunia. Keragaman hayati yang tinggi terdapat pada hutan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Perilaku Kebakaran Perilaku kebakaran dapat didefenisikan sebagai cara dimana api di alam berkembang, bagaimana bahan bakar terbakar, perkembangan nyala api dan penyebaran api dan

Lebih terperinci

PENGARUH FENOMENA LA-NINA TERHADAP SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN KABUPATEN MALANG

PENGARUH FENOMENA LA-NINA TERHADAP SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN KABUPATEN MALANG Pengaruh Fenomena La-Nina terhadap SPL Feny Arafah PENGARUH FENOMENA LA-NINA TERHADAP SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN KABUPATEN MALANG 1) Feny Arafah 1) Dosen Prodi. Teknik Geodesi Fakultas Teknik Sipil

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN DATA DAN INFORMASI TATA RUANG KABUPATEN/KOTA BERBASIS CITRA SATELIT DAN GIS PENGANTAR Pesatnya perkembangan teknologi informasi membawa perubahan yang besar di berbagai bidang termasuk bidang

Lebih terperinci

Dukungan Teknologi Penginderaan Jauh dalam Penilaian Sumberdaya Hutan Tingkat Nasional: Akses Citra Satelit, Penggunaan dan Kepentingannya

Dukungan Teknologi Penginderaan Jauh dalam Penilaian Sumberdaya Hutan Tingkat Nasional: Akses Citra Satelit, Penggunaan dan Kepentingannya Dukungan Teknologi Penginderaan Jauh dalam Penilaian Sumberdaya Hutan Tingkat Nasional: Akses Citra Satelit, Penggunaan dan Kepentingannya Kepala LAPAN Manfaat data satelit penginderaan jauh Perolehan

Lebih terperinci

Gambar 1.1 Siklus Hidrologi (Kurkura, 2011)

Gambar 1.1 Siklus Hidrologi (Kurkura, 2011) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Air merupakan kebutuhan yang mutlak bagi setiap makhluk hidup di permukaan bumi. Seiring dengan pertambahan penduduk kebutuhan air pun meningkat. Namun, sekarang

Lebih terperinci

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Spektral Citra yang digunakan pada penelitian ini adalah Citra ALOS AVNIR-2 yang diakuisisi pada tanggal 30 Juni 2009 seperti yang tampak pada Gambar 11. Untuk dapat

Lebih terperinci

Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997

Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997 LAMPIRAN Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997 17 Lampiran 2. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 2006 18 Lampiran 3. Peta sebaran suhu permukaan Kodya Bogor tahun

Lebih terperinci

Aplikasi Penginderaan Jauh Untuk Monitoring Perubahan Ruang Terbuka Hijau (Studi Kasus : Wilayah Barat Kabupaten Pasuruan)

Aplikasi Penginderaan Jauh Untuk Monitoring Perubahan Ruang Terbuka Hijau (Studi Kasus : Wilayah Barat Kabupaten Pasuruan) Aplikasi Penginderaan Jauh Untuk Monitoring Perubahan Ruang Terbuka Hijau (Studi Kasus : Wilayah Barat Kabupaten Pasuruan) Ardiawan Jati, Hepi Hapsari H, Udiana Wahyu D Jurusan Teknik Geomatika, Fakultas

Lebih terperinci

Proof of Concept 2016 LAPAN Fire Hotspot: Sistem Peringatan Dini Potensi Kebakaran Hutan Dan Lahan Berbasis Web Dan Android

Proof of Concept 2016 LAPAN Fire Hotspot: Sistem Peringatan Dini Potensi Kebakaran Hutan Dan Lahan Berbasis Web Dan Android Proof of Concept 2016 LAPAN Fire Hotspot: Sistem Peringatan Dini Potensi Kebakaran Hutan Dan Lahan Berbasis Web Dan Android I. Pengantar Kapustekdata Kegiatan ini merupakan penjabaran dari tujuan dan sasaran

Lebih terperinci

PENGGUNAAN HIGH TEMPORAL AND SPASIAL IMAGERY DALAM UPAYA PENCARIAN PESAWAT YANG HILANG

PENGGUNAAN HIGH TEMPORAL AND SPASIAL IMAGERY DALAM UPAYA PENCARIAN PESAWAT YANG HILANG PENGGUNAAN HIGH TEMPORAL AND SPASIAL IMAGERY DALAM UPAYA PENCARIAN PESAWAT YANG HILANG Oleh : Yofri Furqani Hakim, ST. Ir. Edwin Hendrayana Kardiman, SE. Budi Santoso Bidang Pemetaan Dasar Kedirgantaraan

Lebih terperinci

RIZKY ANDIANTO NRP

RIZKY ANDIANTO NRP ANALISA INDEKS VEGETASI UNTUK IDENTIFIKASI TINGKAT KERAPATAN VEGETASI HUTAN GAMBUT MENGGUNAKAN CITRA AIRBORNE HYPERSPECTRAL HYMAP ( Studi kasus : Daerah Hutan Gambut Kabupaten Katingan dan Kabupaten Pulang

Lebih terperinci

Sistem Pengolahan Data NOAA dan METOP

Sistem Pengolahan Data NOAA dan METOP I. Pengantar Kapustekdata PROTOTYPE Sistem Pengolahan Data NOAA dan METOP Kegiatan ini merupakan penjabaran dari tujuan dan sasaran strategis dalam rangka melaksanakan tugas dan fungsi Pusat Teknologi

Lebih terperinci

PENGOLAHAN DATA SATELIT NOAA-AVHRR UNTUK PENGUKURAN SUHU PERMUKAAN LAUT RATA-RATA HARIAN

PENGOLAHAN DATA SATELIT NOAA-AVHRR UNTUK PENGUKURAN SUHU PERMUKAAN LAUT RATA-RATA HARIAN PENGOLAHAN DATA SATELIT NOAA-AVHRR UNTUK PENGUKURAN SUHU PERMUKAAN LAUT RATA-RATA HARIAN Dalam pembahasan ini akan dijelaskan tentang proses interpretasi salah satu citra NOAA untuk mengetahui informasi

Lebih terperinci

ANALISIS PERUBAHAN SUHU PERMUKAAN TANAH DENGAN MENGGUNAKAN CITRA SATELIT TERRA DAN AQUA MODIS (STUDI KASUS : DAERAH KABUPATEN MALANG DAN SURABAYA)

ANALISIS PERUBAHAN SUHU PERMUKAAN TANAH DENGAN MENGGUNAKAN CITRA SATELIT TERRA DAN AQUA MODIS (STUDI KASUS : DAERAH KABUPATEN MALANG DAN SURABAYA) ANALISIS PERUBAHAN SUHU PERMUKAAN TANAH DENGAN MENGGUNAKAN CITRA SATELIT TERRA DAN AQUA MODIS (STUDI KASUS : DAERAH KABUPATEN MALANG DAN SURABAYA) Oleh : Dawamul Arifin 3508 100 055 Jurusan Teknik Geomatika

Lebih terperinci

penginderaan jauh remote sensing penginderaan jauh penginderaan jauh (passive remote sensing) (active remote sensing).

penginderaan jauh remote sensing penginderaan jauh penginderaan jauh (passive remote sensing) (active remote sensing). Istilah penginderaan jauh merupakan terjemahan dari remote sensing yang telah dikenal di Amerika Serikat sekitar akhir tahun 1950-an. Menurut Manual of Remote Sensing (American Society of Photogrammetry

Lebih terperinci

LAPORAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (KARHUTLA) KALIMANTAN TANGGAL 20 OKTOBER 2016 PUSAT PENGENDALIAN PEMBANGUNAN EKOREGION (P3E) KALIMANTAN, KLHK

LAPORAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (KARHUTLA) KALIMANTAN TANGGAL 20 OKTOBER 2016 PUSAT PENGENDALIAN PEMBANGUNAN EKOREGION (P3E) KALIMANTAN, KLHK LAPORAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (KARHUTLA) KALIMANTAN TANGGAL 20 OKTOBER 2016 PUSAT PENGENDALIAN PEMBANGUNAN EKOREGION (P3E) KALIMANTAN, KLHK 1. Jumlah update laporan hotspot di tanggal 19 Oktober 2016

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN 17 III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini mengambil lokasi di Provinsi Kalimantan Barat. Provinsi Kalimantan Barat terletak di bagian barat pulau Kalimantan atau di antara

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 2. TINJAUAN PUSTAKA

1. PENDAHULUAN 2. TINJAUAN PUSTAKA 1. PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Suhu permukaan merupakan salah satu parameter yang utama dalam seluruh interaksi antara permukaan darat dengan atmosfer. Suhu permukaan darat merupakan contoh fenomena

Lebih terperinci

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 76 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan proses pembentukan model dan model yang telah dibangun dari sebaran data hotspot, maka dapat disimpulkan bahwa: 1 Titik hotspot stasiun pengamat ASMC memiliki

Lebih terperinci

ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH

ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH 01. Teknologi yang terkait dengan pengamatan permukaan bumi dalam jangkauan yang sangat luas untuk mendapatkan informasi tentang objek dipermukaan bumi tanpa bersentuhan

Lebih terperinci

Lampiran 1. Karakteristik satelit MODIS.

Lampiran 1. Karakteristik satelit MODIS. LAMPIRAN Lampiran 1. Karakteristik satelit MODIS. Pada tanggal 18 Desember 1999, NASA (National Aeronautica and Space Administration) meluncurkan Earth Observing System (EOS) Terra satellite untuk mengamati,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara beriklim tropis dengan posisi geografis diantara dua benua (Asia dan Australia) dan dua samudera (Samudera Hindia dan Samudera

Lebih terperinci

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 22 BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 3.1 Luas dan Lokasi Wilayah Merang Peat Dome Forest (MPDF) memiliki luas sekitar 150.000 ha yang terletak dalam kawasan Hutan Produksi (HP) Lalan di Kecamatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) merupakan tanaman perkebunan utama di Indonesia. Kelapa sawit menjadi komoditas penting dikarenakan mampu memiliki rendemen

Lebih terperinci

LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL

LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL Sumber Energi Resolusi (Spasial, Spektral, Radiometrik, Temporal) Wahana Metode (visual, digital, otomatisasi) Penginderaan jauh adalah ilmu pengetahuan dan

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 5292 PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI I. UMUM Daerah Aliran Sungai yang selanjutnya disingkat

Lebih terperinci

q Tujuan dari kegiatan ini diperolehnya peta penggunaan lahan yang up-to date Alat dan Bahan :

q Tujuan dari kegiatan ini diperolehnya peta penggunaan lahan yang up-to date Alat dan Bahan : MAKSUD DAN TUJUAN q Maksud dari kegiatan ini adalah memperoleh informasi yang upto date dari citra satelit untuk mendapatkan peta penggunaan lahan sedetail mungkin sebagai salah satu paramater dalam analisis

Lebih terperinci

1. BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN

1. BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1. BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peta menggambarkan data spasial (keruangan) yang merupakan data yang berkenaan dengan lokasi atau atribut dari suatu objek atau fenomena di permukaan

Lebih terperinci

BAB VII ANALISIS. Airborne LIDAR adalah survey untuk mendapatkan posisi tiga dimensi dari suatu titik

BAB VII ANALISIS. Airborne LIDAR adalah survey untuk mendapatkan posisi tiga dimensi dari suatu titik 83 BAB VII ANALISIS 7.1 Analisis Komponen Airborne LIDAR Airborne LIDAR adalah survey untuk mendapatkan posisi tiga dimensi dari suatu titik dengan memanfaatkan sinar laser yang ditembakkan dari wahana

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. panas serta biasanya menghabiskan bahan bakar hutan seperti serasah, tumbuhan

II. TINJAUAN PUSTAKA. panas serta biasanya menghabiskan bahan bakar hutan seperti serasah, tumbuhan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kebakaran Hutan Kebakaran hutan secara umum merupakan kejadian alam dari proses reaksi secara cepat dari oksigen dengan karbohidrat (bahan bakar hutan) ditandai dengan panas serta

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 11 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan yaitu bulan Juli-Agustus 2010 dengan pemilihan lokasi di Kota Denpasar. Pengolahan data dilakukan di Laboratorium

Lebih terperinci

LAPORAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (KARHUTLA) KALIMANTAN TANGGAL 15 OKTOBER 2016 PUSAT PENGENDALIAN PEMBANGUNAN EKOREGION (P3E) KALIMANTAN, KLHK

LAPORAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (KARHUTLA) KALIMANTAN TANGGAL 15 OKTOBER 2016 PUSAT PENGENDALIAN PEMBANGUNAN EKOREGION (P3E) KALIMANTAN, KLHK LAPORAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (KARHUTLA) KALIMANTAN TANGGAL 15 OKTOBER 2016 PUSAT PENGENDALIAN PEMBANGUNAN EKOREGION (P3E) KALIMANTAN, KLHK 1. Jumlah update laporan hotspot di tanggal 14 Oktober 2016

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I-1

BAB I PENDAHULUAN I-1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanaman padi merupakan sumber daya alam yang sangat penting bagi kelangsungan masyarakat Indonesia. Peningkatan produksi tanaman pangan perlu dilakukan untuk mencapai

Lebih terperinci

Jurnal Geodesi Undip Januari2016

Jurnal Geodesi Undip Januari2016 Jurnal Geodesi Undip Januari216 ANALISIS SEBARAN DAN PERHITUNGAN HOTSPOT MENGGUNAKAN CITRA SATELIT NOAA-18/AVHR DAN AQUA MODIS BERBASIS ALGORITMA KANAL TERMAL Tegar Dio Arsadya Rahadian, Yudo Prasetyo,

Lebih terperinci

Ratio of Hotspot Source as an Indicator of Forest and Peat Fire and Its Correlation with Rainfall in Sepahat Village, Bengkalis District, Riau

Ratio of Hotspot Source as an Indicator of Forest and Peat Fire and Its Correlation with Rainfall in Sepahat Village, Bengkalis District, Riau Jurnal Silvikultur Tropika Vol. 05 No. 2 Agustus 2014, Hal 113-118 ISSN: 2086-82 Perbandingan Sumber Hotspot sebagai Indikator Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut dan Korelasinya dengan Curah Hujan di Desa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Banyaknya pemanfaatan dan penggunaan data citra penginderaan jauh di berbagai segi kehidupan menyebabkan kebutuhan akan data siap pakai menjadi semakin tinggi. Beberapa

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Kekeringan

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Kekeringan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kekeringan Kekeringan (drought) secara umum bisa didefinisikan sebagai kurangnya persediaan air atau kelembaban yang bersifat sementara secara signifikan di bawah normal atau volume

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pesatnya pertumbuhan penduduk dan pembangunan pada suatu wilayah akan berpengaruh terhadap perubahan suatu kawasan. Perubahan lahan terbuka hijau menjadi lahan terbangun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Indonesia memiliki kekayaan vegetasi yang beraneka ragam dan melimpah di seluruh wilayah Indonesia. Setiap saat perubahan lahan vegetasi seperti hutan, pertanian, perkebunan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o o LU. (perhitungan luas menggunakan perangkat GIS).

TINJAUAN PUSTAKA. Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o o LU. (perhitungan luas menggunakan perangkat GIS). TINJAUAN PUSTAKA Daerah Aliran Sungai (DAS) Besitang Sekilas Tentang DAS Besitang Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o 45 04 o 22 44 LU dan 97 o 51 99 o 17 56 BT. Kawasan DAS Besitang melintasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh didefinisikan sebagai proses perolehan informasi tentang suatu obyek tanpa adanya kontak fisik secara langsung dengan obyek tersebut (Rees, 2001;

Lebih terperinci

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian 22 METODOLOGI Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kota Sukabumi, Jawa Barat pada 7 wilayah kecamatan dengan waktu penelitian pada bulan Juni sampai November 2009. Pada lokasi penelitian

Lebih terperinci

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, SALINAN PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG MEKANISME PENCEGAHAN PENCEMARAN DAN/ATAU KERUSAKAN LINGKUNGAN HIDUP YANG BERKAITAN DENGAN KEBAKARAN HUTAN DAN/ATAU LAHAN MENTERI

Lebih terperinci

ANALISIS SPASIAL SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN LAUT JAWA PADA MUSIM TIMUR DENGAN MENGGUNAKAN DATA DIGITAL SATELIT NOAA 16 -AVHRR

ANALISIS SPASIAL SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN LAUT JAWA PADA MUSIM TIMUR DENGAN MENGGUNAKAN DATA DIGITAL SATELIT NOAA 16 -AVHRR ANALISIS SPASIAL SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN LAUT JAWA PADA MUSIM TIMUR DENGAN MENGGUNAKAN DATA DIGITAL SATELIT NOAA 16 -AVHRR Oleh : MIRA YUSNIATI C06498067 SKRIPSI PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. lahan dengan data satelit penginderaan jauh makin tinggi akurasi hasil

TINJAUAN PUSTAKA. lahan dengan data satelit penginderaan jauh makin tinggi akurasi hasil 4 TINJAUAN PUSTAKA Makin banyak informasi yang dipergunakan dalam klasifikasi penutup lahan dengan data satelit penginderaan jauh makin tinggi akurasi hasil klasifikasinya. Menggunakan informasi multi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Kebakaran Hutan

TINJAUAN PUSTAKA. A. Kebakaran Hutan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kebakaran Hutan Kebakaran hutan didefinisikan sebagai proses reaksi cepat oksigen dan unsur unsur lainnya, dan ditandai dengan panas, cahaya serta biasanya menyala. Proses kebakarannya

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Suhu permukaan laut Indonesia secara umum berkisar antara O C

2. TINJAUAN PUSTAKA. Suhu permukaan laut Indonesia secara umum berkisar antara O C 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Umum Perairan Laut Banda 2.1.1 Kondisi Fisik Suhu permukaan laut Indonesia secara umum berkisar antara 26 29 O C (Syah, 2009). Sifat oseanografis perairan Indonesia bagian

Lebih terperinci

BAB II PEMBAHASAN 1. Pengertian Geogrhafic Information System (GIS) 2. Sejarah GIS

BAB II PEMBAHASAN 1. Pengertian Geogrhafic Information System (GIS) 2. Sejarah GIS BAB II PEMBAHASAN 1. Pengertian Geogrhafic Information System (GIS) Sistem Informasi Geografis atau disingkat SIG dalam bahasa Inggris Geographic Information System (disingkat GIS) merupakan sistem informasi

Lebih terperinci

PENENTUAN POLA SEBARAN KONSENTRASI KLOROFIL-A DI SELAT SUNDA DAN PERAIRAN SEKITARNYA DENGAN MENGGUNAKAN DATA INDERAAN AQUA MODIS

PENENTUAN POLA SEBARAN KONSENTRASI KLOROFIL-A DI SELAT SUNDA DAN PERAIRAN SEKITARNYA DENGAN MENGGUNAKAN DATA INDERAAN AQUA MODIS PENENTUAN POLA SEBARAN KONSENTRASI KLOROFIL-A DI SELAT SUNDA DAN PERAIRAN SEKITARNYA DENGAN MENGGUNAKAN DATA INDERAAN AQUA MODIS Firman Ramansyah C64104010 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS

Lebih terperinci

STUDI PERUBAHAN SUHU PERMUKAAN LAUT (SPL) MENGGUNAKAN SATELIT AQUA MODIS

STUDI PERUBAHAN SUHU PERMUKAAN LAUT (SPL) MENGGUNAKAN SATELIT AQUA MODIS STUDI PERUBAHAN SUHU PERMUKAAN LAUT (SPL) MENGGUNAKAN SATELIT AQUA MODIS Oleh : Dwi Ayu Retnaning Anggreyni 3507.100.017 Dosen Pembimbing: Prof.Dr.Ir. Bangun M S, DEA, DESS Lalu Muhammad Jaelani, ST, MSc

Lebih terperinci

REMOTE SENSING AND GIS DATA FOR URBAN PLANNING

REMOTE SENSING AND GIS DATA FOR URBAN PLANNING REMOTE SENSING AND GIS DATA FOR URBAN PLANNING Jarot Mulyo Semedi disampaikan pada: Workshop Continuing Professional Development (CPD) Ahli Perencanaan Wilayah dan Kota Jakarta, 7 Oktober 2016 Isi Presentasi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa. penyusunan rencana kehutanan. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan

TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa. penyusunan rencana kehutanan. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan TINJAUAN PUSTAKA KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan) Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa perencanaan kehutanan meliputi inventarisasi hutan, pengukuhan kawasan hutan, penatagunaan kawasan

Lebih terperinci

4 BAB IV HASIL DAN ANALISA

4 BAB IV HASIL DAN ANALISA 4 BAB IV HASIL DAN ANALISA 4.1 Evaluasi Persamaan Rain Rate 4.1.1 Hasil Estimasi curah hujan untuk satu titik (Bandung) perjam diakumulasi selama 24 jam untuk memperoleh curah hujan harian, selama rentang

Lebih terperinci