STUDI KEBERLANJUTAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT PERIKANAN MARJINAL DI KABUPATEN SERANG, PROVINSI BANTEN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "STUDI KEBERLANJUTAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT PERIKANAN MARJINAL DI KABUPATEN SERANG, PROVINSI BANTEN"

Transkripsi

1 STUDI KEBERLANJUTAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT PERIKANAN MARJINAL DI KABUPATEN SERANG, PROVINSI BANTEN LUMITA SKRIPSI PROGRAM STUDI MANAJEMEN BISNIS DAN EKONOMI PERIKANAN-KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

2 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul, STUDI KEBERLANJUTAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT PERIKANAN MARJINAL DI KABUPATEN SERANG, PROVINSI BANTEN adalah benar hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya-karya yang diterbitkan dalam teks, baik yang dipublikasikan mau pun yang tidak dipublikasikan, dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, 10 April 2008 Lumita C

3 ABSTRAK LUMITA. Studi Keberlanjutan Program Pengembangan Masyarakat Perikanan Marjinal di Kabupaten Serang. Dibimbing oleh LUKY ADRIANTO dan GATOT YULIANTO. Sejak bulan Agustus tahun 2004, di Kecamatan Pontang, Tirtayasa dan Tanara Kabupaten Serang telah dilaksanakan program Pengembangan Masyarakat Pesisir dan Nelayan Kecil atau yang lebih dikenal Program MFCDP (Marginal Fishing Community Development Pilot). Program ini dilaksanakan melalui kerjasama Bappenas dan World Bank dengan pemerintah Kabupaten Serang, yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir dan nelayan kecil dalam mengelola sumberdaya perikanan yang lebih baik melalui upaya pengelolaan kawasan pesisir secara terpadu dan berkelanjutan. Untuk itu di dalam pelaksanannya, program ini perlu dilakukan sebuah evaluasi sebagai wujud dari implementasi program yang nantinya akan menentukan penilaian terhadap pelaksanaan program. Penelitian ini dilakukan di Desa Sukajaya, Desa Linduk, Desa Kubang Puji (Kecamatan Pontang), Desa Susukan, Desa Lontar (Kecamatan Tirtayasa) dan Desa Tenjo Ayu, Desa Pedaleman (Kecamatan Tanara) Kabupaten Serang, Provinsi Banten. Penelitian ini dilakukan pada bulan Agustus hingga bulan September Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa mekanisme pengelolaan Program MFCDP terdiri dari (1) tahap perencanaan; telah melalui mekanisme struktur organisasi, pemilihan lokasi kecamatan dan desa serta pemilihan MPM, (2) tahap pelaksanaan telah melalui sosialisasi kegiatan, peningkatan kapasitas sumberdaya manusia, penyaluran Bantuan Langsung Masyarakat, dan tekonologi tepat guna. Kendala dalam implementasi program MFCDP yaitu (1) Masih adanya penilaian dari masyarakat mengenai dana program MFCDP yang tidak harus dikembalikan atau bantuan tunai bukan program bergulir, (2) Hambatan kondisi iklim yang kurang menguntungkan seperti adanya ombak besar di laut dan adanya tingkat pencemaran yang semakin tinggi, (3) Faktor internal dari beberapa personil TPK terkesan kurang koordinasi dan peduli terhadap keberlanjutan program baik karena kurangnya dana operasional maupun permasalahan personaliti itu sendiri antara TPK dengan MPM.Berdasarkan analisis evaluasi keberlanjutan bahwa tingkat keberlanjutan termasuk dalam kategori tinggi pada usaha perikanan tangkap, usaha pengolahan perikanan dan usaha perikanan budidaya. Kata Kunci : Masyarakat Perikanan Marjinal, Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir, Tingkat Evaluasi Keberlanjutan.

4 Hak Cipta Milik Lumita, Tahun 2008 Hak Cipta Dilindungi Dilarang mengutip atau memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun, baik cetak, fotocopy, dan sebagainya.

5 STUDI KEBERLANJUTAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT PERIKANAN MARJINAL DI KABUPATEN SERANG, PROVINSI BANTEN SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor Oleh : LUMITA C PROGRAM STUDI MANAJEMEN BISNIS DAN EKONOMI PERIKANAN-KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

6 SKRIPSI Judul Skripsi : Studi Keberlanjutan Program Pengembangan Masyarakat Perikanan Marjinal di Kabupaten Serang, Provinsi Banten. Nama Mahasiswa : Lumita Nomor Pokok : C Program Studi : Manajemen Bisnis dan Ekonomi Perikanan-Kelautan Menyetujui, Pembimbing I Pembimbing II Dr. Ir. Luky Adrianto, M. Sc Ir. Gatot Yulianto, M. Si NIP NIP Diketahui, Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M. Sc NIP Tanggal Lulus : 10 April 2008

7 KATA PENGANTAR Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul Studi Keberlanjutan Program Pengembangan Masyarakat Perikanan Marjinal di Kabupaten Serang, Provinsi Banten. Skripsi ini disusun untuk mendapatkan gelar sarjana pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini tidak mungkin dapat diselesaikan dengan baik tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada : 1) Dr. Ir. Luky Adrianto, M.Sc dan Ir. Gatot Yulianto, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu guna membimbing dan mengarahkan penulis sehingga mampu menyelesaikan penulisan skripsi ini. 2) Ir. Anna Fatchiya, M. Si dan Ir. Narni Farmayanti, M. Sc selaku penguji tamu pada saat sidang yang telah memberikan saran, kritikan yang membangun maupun masukan-masukan yang dapat membuat skripsi ini menjadi lebih baik. 3) Heri Sisyanto, SH selaku Koordinator Kawasan Program MFCDP Kabupaten Serang dan seluruh Masyarakat Penerima Manfaat program Kabupaten Serang yang telah memberikan banyak bantuan informasi kepada penulis. 4) Ayahanda (H.Toni Fatoni) dan Ibunda (Siti Dewi Ayum), Kakak yang baik hati (Yunan Fatoni dan Risa Fatoni) beserta kakak ipar (Te Winda dan A rudi) serta adik dan keponakan tersayang (Faturohman, Alif dan Nabilah) yang selalu memberikan doa, dukungan moril dan semangat untuk menyelesaikan skripsi ini. 5) Seseorang yang selalu mengajarkan kebaikan, selalu membuat ku tersenyum, membantu aku dalam kesulitan sekaligus menjadi motivator aku dalam menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih atas segala perhatian dan pengertiannya.

8 6) Teman seperjuangan SEI 41 atas semua dukungan dan semangat yang diberikan dalam setiap canda tawa dan air mata. Terima kasih telah menggoreskan tinta dalam sebagian lembar hidupku. Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran untuk melengkapi skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis, pembaca maupun pihakpihak lain yang berkepentingan. Bogor, April 2008 Lumita

9 DAFTAR RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 23 April 1987 dari Ayah H. Toni Fatoni dan Ibu Siti Dewi Ayum. Penulis merupakan puteri ketiga dari empat bersaudara. Pendidikan formal yang dilalui adalah SMAN 3 Rangkasbitung. Pada tahun 2004 penulis diterima masuk di IPB melalui jalur USMI, dan diterima di Program Studi Manajemen Bisnis dan Ekonomi Perikanan-Kelautan, Jurusan Sosial Ekonomi Perikanan dan Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Selama mengikuti kegiatan perkuliahan di IPB, penulis aktif di beberapa organisasi mahasiswa, yaitu Forum Keluarga Muslim Perikanan dan Ilmu Kelautan ( ) sebagai staf bidang syiar, Himpunan Mahasiswa Sosial Ekonomi Perikanan ( ) sebagai staf bidang internal, serta aktif dalam beberapa kepanitian dalam sebuah acara. Penulis melakukan penelitian sebagai bahan penyusunan skripsi dengan judul Studi Keberlanjutan Program Pengembangan Masyarakat Perikanan Marjinal di Kabupaten Serang, Provinsi Banten. Selama menyelesaikan skripsi penulis dibimbing oleh Dr. Ir. Luky Adrianto, M. Sc dan Ir. Gatot Yulianto, M. Si. Penulis dinyatakan lulus pada tanggal 10 April 2008 dalam sidang yang diselenggarakan oleh Program Studi Manajemen Bisnis dan Ekonomi Perikanan-Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

10 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR GAMBAR... ix DAFTAR TABEL... x DAFTAR LAMPIRAN... xii I. PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan dan Kegunaan Penelitian... 5 II. TINJAUAN PUSTAKA Sistem Perikanan dan Kelautan Rumah Tangga Perikanan Masyarakat Perikanan Marginal Pengembangan Ekonomi Masyarakat Perikanan Keberlanjutan Perikanan Program Pengembangan Masyarakat Perikanan Marjinal (MFCDP) III. KERANGKA PENDEKATAN STUDI IV. METODOLOGI Metode Penelitian Jenis dan Sumber Data Metode Penentuan Responden Analisis Data Analisis Indikator Analisis Keragaan Program Analisis Evaluasi Keberlanjutan Gap Analysis Uji Beda Nyata Batasan dan Pengukuran Waktu dan Tempat Penelitian V. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN Keadaan Umum Perikanan Status Sumberdaya Perikanan Laut Status Sumberdaya Perikanan Pesisir Permasalahan Lingkungan Status Usaha Perikanan VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Proses, Mekanisme dan Kendala dalam Implementasi Program MFCDP... 45

11 6.1.1 Tahap Perencanaan Program MFCDP Tahap Pelaksanaan Program MFCDP Kendala dalam Implementasi Program MFCDP Analisis Keragaan Program MFCDP MPM Nelayan MPM Pembudidaya MPM Pengolah Ikan Analisis Indikator Analisis Evaluasi Kebelanjutan Keberlanjutan Usaha Perikanan Tangkap Keberlanjutan Usaha Perikanan Budidaya Keberlanjutan Usaha Pengolahan Hasil Perikanan VII. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 97

12 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Perikanan Sebagai Sebuah Sistem Segitiga Keberlanjutan Sistem Perikanan Kerangka Pendekatan Studi Diagram Kerangka Pengambilan Sampel Diagram Penentuan Tingkat Kepentingan Indikator Domain Keberadaan Ikan di Perairan Lokasi Penelitian Keberadaan Sumberdaya Pesisir di Lokasi Penelitian Citra Satelit Wilayah Pesisir Lokasi Penelitian Areal Pertambakan di Kawasan Pesisir Lokasi Penelitian Tingkat Pengembalian Dana BLM di Kabupaten Serang Persepsi Responden Terhadap Kondisi Perairan Setelah MFCDP Diterapkan Persepsi Responden Terhadap Frekuensi Konflik Persepsi Responden Terhadap Hasil Tangkapan Ikan Setelah MFCDP Diterapkan Persepsi Nelayan Mengenai Pantas Atau Tidak Terhadap Harga Jual Ikan Saat Ini Persepsi Nelayan Terhadap Kondisi Harga Ikan Hasil Tangkapan Persepsi Responden Terhadap Pendapatan Setelah MFCDP Diterapkan Persepsi Responden Tehadap Kondisi Perairan di Sekitar Areal Pertambakan Setelah MFCDP Diterapkan Persepsi Responden Terhadap Kondisi Hasil Panen di Areal Pertambakan Setelah MFCDP Diterapkan Persepsi Pembudidaya Mengenai Pantas atau Tidak Harga Jual Ikan Saat Ini Persepsi Responden Terhadap Pendapatan Pembudidaya Setelah MFCDP Diterapkan Persepsi Responden terhadap Harga Jual Produk Olahan Ikan Persepsi Responden Terhadap Pendapatan Pengolah Hasil Perikanan Setelah MFCDP Tingkat Keberlanjutan Usaha Perikanan Tangkap Terhadap Kinerja Program MFCDP... 84

13 24. Tingkat Keberlanjutan Perikanan Budidaya Terhadap Kinerja Program MFCDP Tingkat Keberlanjutan Usaha Pengolahan Hasil PerikananTerhadap Kinerja Program MFCDP... 89

14 DAFTAR TABEL Halaman 1. Kondisi Umum Kecamatan Lokasi MFCDP Kondisi Umum Desa Penelitian Demografi Penduduk Desa dan Tingkat Kemiskinan Kondisi Umum Sarana dan Prasarana Perikanan Kondisi Tempat Pelelangan Ikan Kondisi Sarana Nelayan di Kecamatan Lokasi Kegiatan Data Luas Lahan Budidaya Perikanan Data Usaha Perikanan per Kecamatan Deskripsi Usaha Pengolahan Hasil Perikanan Perbedaan Harga Jual Ikan Nelayan antara ke Pengumpul dengan melalui TPI Harga Jual Ikan oleh Nelayan di TPI Lontar Hasil FGD pada Tingkat Kelompok MPM Hasil FGD pada Tingkat Stakeholder Hasil Analisis Uji Beda Nyata Usaha Perikanan Tangkap untuk Parameter Ukuran Ikan Hasil Analisis Uji Beda Nyata Usaha Perikanan Tangkap untuk Parameter Pendapatan Hasil Analisis Uji Beda Nyata Usaha Perikanan Budidaya untuk Parameter Ukuran Ikan Hasil Analisis Uji Beda Nyata Usaha Perikanan Budidaya untuk Parameter Pendapatan Hasil Analisis Uji Beda Nyata Usaha Pengolahan Hasil Perikanan untuk Parameter Ketersediaan Bahan Baku Hasil Analisis Uji Beda Nyata Usaha Pengolahan Hasil Perikanan untuk Parameter Pendapatan... 91

15 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Sketsa Lokasi Program MFCDP, Kabupaten Serang, Provinsi Banten Data Ukuran Ikan yang Tertangkap Nelayan Sebelum dan Sesudah Program MFCDP Data Pendapatan Nelayan Sebelum dan Sesudah Program Perhitungan Uji-t untuk Usaha Perikanan Tangkap Data Ukuran Ikan Hasil Panen di Pertambakan Data Pendapatan Pembudidaya Sebelum dan Sesudah Program Perhitungan Uji-t untuk Usaha Perikanan Budidaya Data Responden untuk Usaha Pengolahan Perikanan Sebelum dan Sesudah Program Perhitungan Uji-t untuk Usaha Pengolahan Hasil Perikanan Organisasi Pengelola Program MFCDP Form Surat Pemberian Dana BLM kepada MPM Program MFCDP Daftar Harga Ikan Di TPI Lontar Dokumentasi Penelitian

16 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dan sebagian besar wilayahnya terdiri atas perairan khususnya potensi laut yang sangat melimpah, maka sangat disayangkan apabila perikanan tidak dikelola secara optimal. Adapun potensi sumberdaya perikanan yang dimiliki oleh Indonesia sangat beragam. Perikanan merupakan salah satu aktivitas yang memberikan kontribusi terhadap kesejahteraan suatu bangsa. Sebagai salah satu sumberdaya alam yang bersifat dapat diperbaharui, pengelolaan sumberdaya ini memerlukan pendekatan yang bersifat menyeluruh dan hati-hati (Fauzi 2006). Dalam rangka membangun sektor perikanan dan kelautan, kebutuhan untuk mengkaji berbagai hal seputar masyarakat pesisir menjadi suatu hal yang amat penting. Kajian tersebut diperlukan agar program pembangunan yang ditetapkan dapat diterapkan secara efektif dan tepat sasaran. Belajar dari pengalaman bahwa kurangnya pemahaman mengenai akar permasalahan dan kondisi masyarakat telah membuat beberapa upaya pembangunan dan pemecahan masalah pada masyarakat pesisir menjadi kurang tepat sasaran. Beberapa permasalahan yang timbul didalam mengelola pembangunan sektor perikanan dan kelautan, disebabkan karena pengelolaan pembangunan perikanan yang selama ini diterapkan kurang benar sehingga terjadi manajemen yang tidak tepat sasaran pada pembangunan perikanan nasional. Untuk itu, diperlukan suatu kebijakan pembangunan perikanan dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan kelautan. Dahuri (2000) menyatakan bahwa manajemen yang tidak tepat sasaran dalam pengelolaan pembangunan perikanan dapat dikelompokkan menjadi dua : (1) yang bersifat teknis, dan (2) kebijakan ekonomi makro (fiskal dan moneter) yang kurang kondusif bagi pembangunan perikanan. Permasalahan yang bersifat teknis diantaranya kemampuan nelayan dalam memproduksi, mengolah, dan memasarkan komoditas perikanan masih lemah, sehingga terjadi posisi tawar nelayan yang kecil. Permasalahan akibat kebijakan makro yang belum kondusif karena belum ada kebijakan yang membatasi jumlah (tingkat atau kuota) penangkapan stok ikan, belum ada tata ruang yang baik pada

17 kawasan pesisir dan belum ada kebijakan tentang kredit murah dan lunak bagi masyarakat pesisir khususnya bagi nelayan. Potensi sumberdaya pesisir dan laut seharusnya dapat dimanfaatkan secara optimal dan lestari untuk kesejahteraan masyarakat perikanan. Namun dibalik itu semua, wilayah pesisir dan laut memiliki berbagai permasalahan yang multidimensi dengan kompleksitas yang tinggi. Ada dua hal yang perlu diperhatikan dan harus segera diselesaikan yaitu masalah kemiskinan yang dihadapi sebagian besar masyarakat perikanan dan masalah kerusakan sumberdaya dan lingkungan yang akan berdampak pada keseimbangan ekosistem laut serta menjadi salah satu penghambat kelancaran usaha masyarakat perikanan (Dahuri 2000). Untuk itu, diperlukan suatu strategi pengembangan perikanan di dalam pengelolaan sumberdaya perikanan. Didalam menetapkan strategi pengembangan perikanan perlu dilakukan pengendalian dan pengawasan terhadap strategi yang sudah dibuat dengan melibatkan beberapa pihak atau para stakeholder. Pemantauan dan pengawasan dilakukan untuk mengetahui kenyataan apakah terdapat penyimpangan pelaksanaan dari perencanaan yang telah dibuat, serta bagaimana implikasi penyimpangan tersebut terhadap perubahan kualitas ekosistem pesisir. Sejak bulan Agustus tahun 2004, di Kabupaten Serang tepatnya di tiga Kecamatan (Pontang, Tirtayasa dan Tanara) telah dilaksanakan program Pengembangan Masyarakat Perikanan Marjinal atau yang lebih dikenal Program MFCDP (Marginal Fishing Community Development Pilot). Salah satu program yang dilaksanakan melalui kerjasama Bappenas dan World Bank dengan pemerintah Kabupaten Serang, yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir dan nelayan kecil dalam mengelola sumberdaya perikanan yang lebih baik melalui upaya pengelolaan kawasan pesisir secara terpadu dan berkelanjutan di tiga kecamatan tersebut. Diharapkan terwujudnya suatu pengelolaan sumberdaya perikanan yang berbasis kesepakatan antara pengguna sumberdaya perikanan, terwujud sarana dan prasarana sosial ekonomi, terwujudnya pengembangan teknologi tepat guna yang ramah lingkungan, terwujud jaringan akses pasar bagi nelayan serta meningkatkan kemampuan nelayan. Untuk itu, didalam pelaksanannya program ini perlu dilakukan sebuah

18 evaluasi sebagai wujud dari implementasi program yang nantinya akan menentukan penilaian terhadap pelaksanaan program. 1.2 Rumusan Masalah Kabupaten Serang terletak di wilayah pantai Utara Laut Jawa. Kabupaten Serang merupakan salah satu kabupaten / kota di Provinsi Banten yang memiliki wilayah pesisir dengan panjang garis pantai mencapai 233 km. Kawasan pesisir Kabupaten Serang terbagi menjadi dua, yaitu : (1). Kawasan pesisir Selat Sunda yang terdiri dari dua kecamatan yaitu Kecamatan Cinangka dan Anyer yang memiliki potensi untuk kawasan wisata bahari ; (2). Kawasan pesisir Pantai Utara (Laut Jawa) yang terdiri dari 5 kecamatan, yaitu Kesemen, Bojonegara, Pontang, Tirtayasa dan Tanara (Bappenas 2005). Kawasan ini memiliki potensi untuk pengembangan perikanan tangkap dan budidaya tambak. Kecamatan Pontang, Tirtayasa dan Tanara merupakan kecamatan yang dipilih sebagai daerah pelaksana Program MFCDP. Sebagai program perdana, Pemerintah Kabupaten Serang hanya meluncurkan program ini di tujuh desa yang ada di tiga kecamatan yaitu Desa Sukajaya, Desa Linduk, Desa Kubang Puji (Kecamatan Pontang), Desa Susukan, Desa Lontar (Kecamatan Tirtayasa) dan Desa Tenjo Ayu, Desa Pedaleman (Kecamatan Tanara) dengan pertimbangan bahwa di kecamatan tersebut memiliki angka keluarga pra sejahtera cukup besar. Tingkat keluarga pra sejahtera di Kecamatan Pontang sebanyak 62,27 %, Kecamatan Tirtayasa sebanyak 41,47 % dan Kecamatan Tanara sebanyak 40,76 % (Bappenas 2004). Program Pengembangan Masyarakat Pesisir dan Nelayan Kecil (MFCDP) hanya diterima pada masyarakat yang hidupnya tergantung dengan sumberdaya perikanan dan kelautan dengan modal terbatas yang potensial untuk dikembangkan. Konsep Program MFCDP dirancang dengan pola pemberdayaan nelayan kecil berbasis pengelolaan sumberdaya lokal dengan mengacu pada aspirasi nelayan sendiri. Alasan dibentuk dan ditetapkan program ini di Kabupaten Serang yaitu untuk mengatasi permasalahan yang ada didalam mengelola sumberdaya pesisir. Permasalahan yang terjadi di tujuh desa tersebut antara lain : Pertama, terjadi eksploitasi sumberdaya alam tanpa memperhatikan daya produksi

19 alam ; Kedua, rendahnya penggunaan teknologi dan kualitas sumberdaya manusia ; Ketiga, kurang berperan nelayan kecil dalam kelembagaan masyarakat desa. Oleh karena itu di era Otonomi Daerah dan desentralisasi, penerapan Program MFCDP sebagai salah satu model pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat, dapat dijadikan suatu solusi untuk mengatasi permasalahan pengelolaan sumberdaya pesisir di Kabupaten Serang. Program Pengembangan Masyarakat Pesisir dan Nelayan Kecil (MFCDP) telah diterapkan sejak bulan Agustus tahun Dalam kurun waktu tersebut, terdapat berbagai faktor yang berpengaruh terhadap kinerja dan keberhasilan implementasi program tersebut di tujuh desa tersebut dalam mencapai tujuan dari program, baik yang berasal dari masyarakat (internal) maupun dari lingkungan luar (eksternal). Oleh karena itu diperlukan suatu evaluasi terhadap penerapan Program MFCDP yang dilakukan oleh kelompok masyarakat pesisir dan nelayan kecil yang terlibat dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya pesisir dan perikanan yang disebut dengan Masyarakat Penerima Manfaat (MPM) dari program MFCDP. Program MFCDP di Kabupaten Serang membentuk tiga kelompok MPM yaitu kelompok nelayan, petambak dan pengolah yang tersebar di tujuh desa. Berdasarkan uraian di atas, maka masalah-masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimana mekanisme pengelolaan (dimulai dari tahap perencanaan sampai kepada tahap pelaksanaan) Program Pengembangan Masyarakat Perikanan Marjinal? 2. Apa saja kendala dalam implementasi Program Pengembangan Masyarakat Perikanan Marjinal? 3. Bagaimana tingkat keberlanjutan Program Pengembangan Masyarakat Perikanan Marjinal?

20 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan permasalahan diatas, maka penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut : 1. Mengetahui mekanisme pengelolaan (tahap perencanaan dan tahap pelaksanaan) Program Pengembangan Masyarakat Perikanan Marjinal. 2. Mengetahui kendala dalam implementasi Program Pengembangan Masyarakat Perikanan Marjinal. 3. Mengetahui tingkat keberlanjutan Program Pengembangan Masyarakat Perikanan Marjinal. 1.4 Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan akan berguna untuk : 1. Bagi penulis, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Departemen Sosial Ekonomi Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. 2. Sebagai salah satu media bagi peneliti untuk meningkatkan kemampuan berpikir, nalar dan keterampilan dalam menggali dan menganalisis permasalahan yang dijumpai sesuai dengan disiplin ilmu yang diperoleh. 3. Sebagai bahan referensi dan masukan bagi instansi yang terkait di bidang perikanan dan masyarakat setempat dalam mengelola sumberdaya kelautan dan perikanan.

21 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Perikanan dan Kelautan Perikanan merupakan sistem yang kompleks yang memiliki sejumlah unsur yang terkait satu dengan yang lain secara dinamis maupun statis. Menurut Adrianto (2004) selama ini telah terjadi salah persepsi di kalangan publik bahkan di kalangan akademisi mengenai perikanan dan kelautan yang dipandang sebagai komoditas semata, hal ini tidak terlepas dari adanya suatu pandangan klasik tentang struktur produksi ekonomi yang menempatkan perikanan, pertanian, kehutanan dan peternakan sebagai primary sector yang berkonotasi pada produksi komoditas belaka. Padahal perikanan dan kelautan tidak hanya sekedar kegiatan ekonomi tetapi memiliki keterkaitan secara langsung dengan faktor yang ada didalamnya. Faktor tersebut yaitu ekologi, ekonomi, komunitas dan institusi. Keempat faktor tersebut merupakan faktor yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Menurut Charles (2001) sistem perikanan merupakan sebuah kesatuan yang terdiri dari tiga komponen utama (Gambar 1) yaitu (1) sistem alam (natural system) yang mencakup ekosistem, ikan dan lingkungan biofisik; (2) sistem manusia (human system) yang terdiri dari unsur nelayan atau petani ikan, pelaku pasar dan konsumen, rumah tangga perikanan dan komunitas pesisir serta lingkungan sosial, ekonomi, dan budaya yang terkait dengan sistem ini; (3) sistem pengelolaan perikanan yang mencakup unsur-unsur kebijakan dan perencanaan perikanan, pembangunan perikanan, rezim pengelolaan perikanan dan riset perikanan. Untuk itu, didalam pengelolaan sumberdaya perikanan harus memperhatikan ketiga komponen tersebut.

22 EKOSISTEM ALAMI SISTEM MANAJEMEN Kebijakan Manaje men Populasi Ikan Pembangu nan Riset Pelaku Perikanan Komunitas Penangkapa n/budidaya perikanan SISTEM MANUSIA Sumber : Adrianto, 2004 Gambar 1. Perikanan Sebagai Sebuah Sistem Sistem yang satu ini merupakan salah satu komponen yang penting dalam melakukan perencanaan pengelolaan sumberdaya perikanan. Menurut Charles (2001) sistem manusia yang dimaksud terdiri dari unsur nelayan atau petani ikan, pelaku pasar dan konsumen, rumah tangga perikanan dan komunitas pesisir. Menurut Nikijuluw (2002) sistem manusia merupakan variabel penting yang menentukan status pemanfaatan dan potensi sumberdaya perikanan. Sayangnya, sistem manusia kerap kali tidak diperhitungkan secara serius atau diremehkan dalam hal pengelolaan sumberdaya perikanan. Mungkin karena manusia sebagai pengelola sumberdaya perikanan, sering kali manusia diposisikan sebagai subyek pengelolaan. Padahal, manusia pun obyek pengelolaan. Pengelolaan sumberdaya

23 ikan pada hakekatnya adalah pengelolaan terhadap manusia yang memanfaatkan sumberdaya ikan tersebut. Faktor sumberdaya manusia merupakan salah satu kendala dalam keberhasilan pembangunan di suatu negara. Begitu juga yang terjadi pada pembangunan di sektor kelautan dan perikanan. Keterpurukan ekonomi nasional yang terjadi selama ini merupakan bukti kegagalan pembangunan akibat rendahnya kualitas sumberdaya manusia dalam menghadapi krisis ekonomi global. Berbagai upaya untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia di sektor kelautan menjadi sangat penting dilakukan. Oleh karenanya, sudah seharusnya pemerintah memikirkan strategi pembangunan yang berorientasi meningkatkan kualitas pendidikan dan partisipasi masyarakat yang berkualitas secara luas. Menurut Kusumastanto (2002) bahwa strategi yang dapat dikembangkan dalam meningkatkan kualitas sumberdaya manusia untuk pembangunan di wilayah pesisir antara lain : 1. Mengembangkan kapasitas aparat pemerintah daerah dalam mengembangkan potensi laut, sistem informasi sumberdaya alam dan lingkungan hidup melalui sistem pelatihan/ pendidikan komunikasi pembangunan, sistem pengelolaan sumberdaya dan lain-lain yang dapat mendukung pembangunan di wilayah pesisir. 2. Meningkatkan kapasitas masyarakat lokal dalam pengelolaan sumberdaya dan lingkungan hidup secara berkelanjutan. Untuk itu, mengingat kompleksitas pembangunan di wilayah pesisir maka sudah seharusnya pada saat ini dibangun suatu perencanaan pembangunan sumberdaya manusia secara terpadu di wilayah pesisir. Perencanaan tersebut perlu dalam rangka terciptanya sasaran pembangunan yaitu meningkatkan partisipasi aktif masyarakat lokal dalam mengelola potensi sumberdaya perikanan, serta dapat menangani berbagai permasalahan yang ada di lingkungan mereka.

24 2.2 Rumah Tangga Perikanan Menurut Charles (2001) pengertian dari rumah tangga perikanan yaitu satu dimana setidaknya terdapat paling tidak satu anggota yang dilibatkan dalam perikanan. Dalam konteks ini, rumah tangga perikanan yaitu semua masyarakat yang berada di sekitar pesisir dan hidupnya tergantung dengan sumberdaya perikanan dan laut. Di dalam kehidupan baik sosial, ekonomi dan budaya, rumah tangga perikanan sendiri memiliki sifat dan karakteristik yang unik. Sifat dan karakteristik tesebut dipengaruhi oleh jenis kegiatan usahanya seperti usaha perikanan tangkap, usaha perikanan budidaya dan usaha pengolahan hasil perikanan. Usaha perikanan sangat tergantung pada musim, harga dan pasar. Sebagian masyarakat pesisir tergantung pada faktor-faktor berikut diantaranya kehidupan masyarakat nelayan dan petani ikan sangat tergantung kondisi lingkungan dan rentan pada kerusakan khususnya pencemaran atau degradasi kualitas lingkungan. Ketergantungan terhadap musim khususnya bagi nelayan kecil terlihat pada saat musim penangkapan mereka sibuk, sementara pada musim paceklik mereka mencari kegiatan ekonomi / menganggur. Secara umum pendapatan masyarakat nelayan sangat fluktuatif, kondisi tersebut tercermin dari pola hidup masyarakat nelayan yang pada saat musim panen cenderung bersifat konsumtif dan sebaliknya pada musim paceklik mereka banyak yang terlibat hutang pada renternir / tengkulak. Ketergantungan pada pasar juga merupakan salah satu sifat dan karakterisitik ekonomi masyarakat pesisir, karena sifat dari komoditas perikanan yang dihasilkan harus segera dijual untuk memenuhi kebutuhan hidup / membusuk sebelum laku dijual. Karakteristik ini mempunyai implikasi sangat penting yaitu masyarakat nelayan sangat peka terhadap fluktuasi harga. Perubahan harga sekecil apapun sangat mempengaruhi kondisi ekonomi masyarakat pesisir. 2.3 Masyarakat Perikanan Marjinal Mengapa sebagian besar masyarakat pedesaan seperti buruh, tani, nelayan, masyarakat adat pada umumnya, maupun kaum miskin kota dan kelompok marjinal lain menjadi miskin, atau kualitas hidup yang tidak meningkat dari masa ke masa? Jawaban pokok pertanyaan ialah karena kelompok-kelompok marjinal

25 tidak memiliki akses yang berarti kepada pusat-pusat kekuasaan yang menyusun dan memutuskan kebijakan yang mempengaruhi kehidupan mereka, baik di tingkat akar rumput (komunitas), lokal, maupun nasional. Kehidupan kelompokkelompok marjinal sangat tergantung pada kelompok-kelompok (kepentingan) yang berada di luar diri mereka, yang sejatinya memiliki kepentingan-kepentingan sendiri, yang umumnya berbeda dan tidak sejalan dengan kepentingankepentingan kelompok marjinal (Putra 2005). Menurut Putra (2005), definisi dari masyarakat marjinal merupakan masyarakat yang terbelakang/tertinggal baik dari segi ekonomi, teknologi, sarana dan prasarana, dan sumberdaya manusia. Masyarakat perikanan seringkali dikatakan sebagai salah satu masyarakat yang terpinggirkan atau disebut masyarakat marginal. Menurut Bappenas (2004), bila dilihat dari kenyataannya, terdapat berbagai penyebab masyarakat perikanan menjadi salah satu masyarakat yang terbelakang, diantaranya dari segi ekonomi, masalah yang menjadi penyebab ketertinggalan antara lain adalah rendahnya pendapatan, terbatasnya kepemilikan modal yang dimiliki oleh masyarakat untuk pemanfaatan dan pengembangan sumberdaya perikanan; dari segi tekonologi yaitu masih terbatasnya penggunaan dan penguasaan teknologi untuk pengembangan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan yang mengoptimalkan kualitas pendapatan per ekor; dari segi sarana dan prasarana yaitu rendahnya akses dan sarana transportasi wilayah menyebabkan masyarakat menjadi terisolir; dan dari segi sumberdaya manusia yaitu tingkat pendidikan yang rendah. 2.4 Pengembangan Ekonomi Masyarakat Perikanan Masyarakat pesisir yang terdiri atas nelayan, pembudidaya ikan, pengolah ikan dan pedagang hasil laut serta masyarakat lainnya yang kehidupan sosial ekonominya tergantung pada sumberdaya perikanan justru telah menjadikan mereka sebagai masyarakat yang terbelakang. Hal ini dipicu karena beberapa hal diantaranya keterbatasan akses permodalan, lemahnya infrastruktur kelembagaan sosial ekonomi masyarakat, serta kondisi sumberdaya alam (DKP 2006). Pembangunan pada wilayah laut belum secara optimal menggerakkan kondisi sosial ekonomi mereka secara nyata. Kekayaan laut masih menjadi tempat

26 memproduksi keuntungan semata tanpa mempertimbangkan lingkungan laut dan pesisir serta kemanfaatannya bagi kesejahteraan rakyat. Untuk itu, diperlukan suatu pengembangan ekonomi masyarakat perikanan didalam mengelola wilayah pesisir beserta sumberdaya alam di dalamnya. Didalam pengelolaan wilayah pesisir seharusnya memberikan manfaat yang besar kepada masyarakat pesisir sebagai pelaku utama dan pemilik sumberdaya tersebut. Oleh karena itu, segala aktivitas pembangunan di wilayah pesisir diarahkan untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat pesisir serta memastikan bahwa mereka mendapatkan manfaat sebesar-besarnya dari kegiatan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut, serta memasyarakatkan pengelolaan pesisir yang berkelanjutan dan diikuti dengan upaya peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat pesisir melalui pengembangan mata pencaharian alternatif bagi mereka (Kusumastanto 2006). 2.5 Keberlanjutan Perikanan Sebelum mengetahui definisi dari keberlanjutan perikanan itu sendiri, maka perlu diketahui evolusi dari keberlanjutan perikanan. Menurut Adrianto (2004) bahwa dalam sejarahnya, wacana keberlanjutan perikanan diawali dengan munculnya paradigma konservasi yang dipelopori sejak lama oleh para ilmuwan biologi. Dalam paradigma ini, keberlanjutan perikanan diartikan sebagai konservasi jangka panjang sehingga sebuah perikanan akan disebut berkelanjutan apabila mampu melindungi sumberdaya perikanan dari kepunahan. Keberlanjutan perikanan disini berawal dari konsep keberlanjutan hasil tangkap (sustainability yields). Konsep ini menjelaskan bahwa hasil yang didapat hari ini tanpa mengurangi atau merusak ketersediaan sumberdaya untuk keperluan yang akan datang. Kemudian sekitar tahun 1950, paradigma konservasi mendapat tantangan dari paradigma lain yaitu paradigma rasionalitas. Paradigma ini memfokuskan pada keberlanjutan perikanan yang rasional secara ekonomi dengan konsep pada pencapaian keuntungan maksimal dari sumberdaya perikanan bagi pemilik sumberdaya. Tidak lama setelah paradigma rasionalitas, lalu muncul sebuah wacana baru menurut Charles tentang perlunya paradigma sosial dan komunitas.

27 Dalam paradigma ini, keberlanjutan perikanan diperoleh melalui pendekatan kemasyarakatan yaitu suatu keberlanjutan yang diupayakan dengan memberi perhatian utama pada aspek keberlanjutan masyarakat perikanan sebagai sebuah sistem komunitas. Dengan demikian evolusi keberlanjutan perikanan berawal dari konsep keberlanjutan hasil tangkap lalu berkembang pada keberlanjutan sistem perikanan dan perkembangan selanjutnya mengenai pentingnya sistem manusia (human system) dalam mencapai suatu keberlanjutan perikanan (sustainability fisheries). Menurut Adrianto (2004) bahwa perikanan yang berkelanjutan bukan sematamata ditujukan untuk kepentingan kelestarian ikan itu sendiri atau keuntungan ekonomi melainkan lebih dari itu yaitu untuk keberlanjutan komunitas perikanan yang ditunjang oleh keberlanjutan institusi yang mencakup kualitas keberlanjutan dari perangkat regulasi, kebijakan dan organisasi untuk mendukung tercapainya keberlanjutan ekologi, ekonomi dan komunitas perikanan (Gambar 2). Ecological sustainibility Institutional Sustainibility Economic sustainibility Community sustainibility Gambar 2. Segitiga Keberlanjutan Sistem Perikanan Sumber : Charles, 2001 Didalam sistem perikanan terdapat beberapa komponen dari keberlanjutan secara ekologi, ekonomi, komunitas, dan institusi. Komponen dari keberlanjutan secara ekologi yaitu perhatian jangka panjang terhadap keberlanjutan hasil tangkapan sehingga tidak menimbulkan deplesi terhadap stok alamiah; perhatian luas terhadap keterkaitan antara spesies target dan spesies lainnya; menjamin

28 keberlanjutan proses ekologis (ecosystem health). Komponen dari keberlanjutan secara ekonomi yaitu memelihara keberlanjutan kesejahteraan sosial ekonomi; keberlanjutan manfaat ekonomi dari sumberdaya perikanan; dan keadilan distribusi manfaat antar pelaku perikanan. Komponen dari keberlanjutan secara komunitas yaitu memfokuskan pada tataran mikro sistem perikanan; memfokuskan pada tujuan keberlanjutan nilai-nilai sistem manusia berbasis hak komunitas, tidak bersifat individual; dan memfokuskan pada terjaminnya kesejahteraan sosial ekonomi dalam level komunitas dan tingkat kohesivitas. Sedangkan komponen keberlanjutan secara institusi yaitu memelihara kemampuan institusi baik dalam kerangka finansial, administratif, dan kapasitas organisasi; menitikberatkan pada kemampuan institusi dalam memelihara kemampuan mengelola dan menegakkan aturan yang terkait dengan pemanfaatan sumberdaya (Adrianto 2007). 2.6 Program Pengembangan Masyarakat Perikanan Marjinal (MFCDP) Program MFCDP merupakan salah satu rancangan kegiatan dari pemerintah atas pengembangan masyarakat perikanan dan nelayan kecil dengan bekerja sama Bappenas dan World Bank. Program MFCDP pada hakekatnya merupakan program pemberdayaan masyarakat pesisir dan nelayan kecil, dimana selama ini mereka merupakan salah satu kelompok masyarakat yang terpinggirkan. Konsep yang dilaksanakan program ini yaitu suatu konsep pemberdayaan yang berorientasi pada pengembangan sumberdaya ekonomi lokal yang terkait dengan pasar dan sektor ekonomi atau kegiatan usaha yang berkelanjutan. Adapun hal yang melatar belakangi diadakannya program tersebut yaitu untuk membantu masyarakat pesisir dan nelayan kecil dalam mengatasi akar permasalahan kemiskinan serta adanya isu-isu mengenai eksploitasi sumberdaya alam tanpa memperhatikan daya produksi alam, terbatasnya sarana pelayanan dasar termasuk prasarana fisik, rendahnya penggunaan teknologi, rendahnya kualitas sumberdaya manusia, lemahnya posisi tawar nelayan kecil dan kurang berperan nelayan kecil dalam kelembagaan masyarakat desa (Bappenas 2004). Hasil yang diharapkan (output) dari program MFCDP yaitu terwujudnya pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut berbasis kesepakatan antar pengguna

29 sumberdaya pesisir dan laut, terwujudnya sarana dan prasarana sosial ekonomi nelayan kecil yang layak, terwujudnya pengembangan teknologi tepat guna yang ramah lingkungan, terwujudnya jaringan akses pasar bagi nelayan kecil dalam melakukan usahanya dan terwujud dan berkembangnya kebijakan baru tentang pengelolaan kawasan dan sumberdaya lokal yang mendukung usaha nelayan kecil. Inti dari pelaksanaan program MFCDP yaitu pemberian Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) kepada nelayan atau pelaku usaha di bidang perikanan yang hidupnya tergantung pada sumberdaya pesisir dan laut. Bantuan tersebut diperuntukkan untuk pembangunan sarana prasarana sosial ekonomi dan teknologi untuk usaha nelayan atau pelaku usaha di bidang perikanan yang didasarkan atas kebutuhan masyarakat. Keberadaan program MFCDP ditujukkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir dalam mengelola sumberdaya perikanan yang lebih baik melalui upaya pengelolaan kawasan pesisir secara terpadu dan berkelanjutan. Pendekatan dari program MFCDP yaitu keberpihakan kepada nelayan kecil, partisipatif, desentralisasi keterpaduan dan karakteristik lokal dan keberlanjutan kegiatan. Sumber dana program MFCDP berasal dari hibah Japan Social Development Fund (JSDF) yang melalui Bank Dunia yang pengelolaannya merupakan kewenangan pemerintah Republik Indonesia. Menurut Bappenas (2004), untuk menciptakan suatu penggunaan dana untuk masyarakat harus memiliki prinsip-prinsip sebagai berikut : (1) Transparency; pengelolaan dan penggunaan dana BLM harus dilaksanakan secara terbuka (transparan) sehingga dapat diketahui dan diawasi oleh masyarakat, (2) Accountability; pengelolaan dana BLM harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat setempat maupun kepada semua pihak yang berkompeten, dan (3) Sustainability; pengelolaan dan penggunaan dana BLM harus dapat memberikan manfaat kepada masyarakat secara berkelanjutan. Dana kegiatan MFCDP pada prinsipnya dibagi menjadi tiga bagian, yaitu dana tim pendampingan program dan dana studi/pengkajian, dana Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) dan dana operasional kegiatan. Dana tim pendampingan program merupakan dana untuk pembiayaan kegiatan bantuan manajemen dan teknis di tingkat pusat dan daerah yang dikelola tim pendamping

30 nasional dan fasilitator kabupaten. Dana BLM pada prinsipnya dana bantuan langsung untuk pengelolaan kawasan pesisir yang ditujukan untuk membiayai kegiatan yang dilaksanakan oleh MPM, penggunannya dan pengelolaannya ditentukan oleh masyarakat sendiri melalui Forum Perencanaan Desa (FPD) dan Forum Perencanaan Kawasan (FPK). Dana BLM diberikan kepada MPM bukan berupa uang namun berupa barang yang sudah disepakati bersama dalam FPD/K. Bantuan tersebut harus dikelola secara ekonomis, produktif dan bergulir, bukan bantuan yang diberikan langsung hilang. Menurut Bappenas (2004) bahwa terdapat beberapa strategi pemberdayaan masyarakat perikanan yang harus diperhatikan untuk memperoleh hasil yang optimal dalam melaksanakan program, yaitu : 1. Peningkatan kapasitas sumberdaya manusia Peningkatan kapasitas SDM merupakan aspek kunci dan mutlak dilakukan didalam program MFCDP. Aspek tersebut diantaranya aspek pengetahuan, keterampilan baik yang bersifat teknis maupun manajerial seperti pola pikir dan etos kerja masyarakat perikanan. Salah satu komponen utama untuk meningkatkan SDM adalah menyediakan informasi yang cukup mengenai resiko kegiatan usaha dan pengambilan keputusan untuk kepentingan jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang. 2. Pemberdayaan masyarakat secara terpadu Pemahaman terhadap pemberdayaan masyarakat harus dipandang secara holistik terhadap seluruh aspek seperti aspek ekonomi, sosial, SDM, infrastruktur, kebijakan dan kelembagaan serta dampak terhadap daya dukung lingkungan. Dalam konteks keterpaduan dalam program MFCDP mengandung 3 dimensi yakni: (1) sektoral, (2) keilmuan dan (3) ekologis. Keterpaduan secara sektoral berarti bahwa perlu ada koordinasi tugas, wewenang dan tanggungjawab antar sektor atau instansi pemerintah pada tingkat pemerintahan tertentu; dan antar tingkat pemerintahan mulai dari tingkat desa, kecamatan, kabupaten, provinsi, sampai pada tingkat pusat. Keterpaduan dari sudut pandang keilmuan mensyaratkan bahwa didalam pengelolaan kawasan pesisir hendaknya dilaksanakan atas dasar pendekatan interdisisplin ilmu yang melibatkan bidang ilmu seperti ekonomi, ekologi, teknik, sosiologi, hukum dan lainnya yang

31 relevan. Keterpaduan secara ekologis berarti bahwa kawasan pesisir yang pada dasarnya tersusun dari berbagai macam ekosistem (mangrove, terumbu karang, estuaria dan lainnya) satu sama lain terkait dan tidak berdiri sendiri. Oleh karena itu dampak total dari aktifitas pengelolaan kawasan pesisir seharusnya tidak melebihi kapasitas fungsionalnya. 3. Pengembangan kelembagaan Pembentukan atau pengembangan kelembagaan ini merupakan langkah yang efektif dan efisien untuk diambil dalam pelaksanaan program MFCDP. Kelembagaan ini tidak hanya berperan dalam kegiatan perekonomian masyarakat, tetapi juga dalam pembentukan kultur sosial budaya masyarakat. Keterlibatan masyarakat perikanan dalam setiap program MFCDP dengan sendirinya akan memperkuat kekompakan, kemandirian dan hubungan interaksi dengan yang lain sehingga lambat laun akan tercipta suatu kelompok/kelembagaan yang akan mengakar dan memiliki posisi yang kuat. 4. Pemberdayaan aspek pemasaran Selama ini hasil produksi perikanan para nelayan hanya dijual kepada tengkulak, dengan harga yang sangat murah. Untuk itu, strategi pemberdayaan ke jaringan pasar merupakan strategi yang sangat penting. Peningkatan akses pasar memang tidak terlepas dari aspek lainnya seperti kualitas produksi dan daya saing yang dimiliki. Untuk itu, pengembangan akses pasar tidak terlepas pula dengan peningkatan kemampuan SDM, permodalan, sarana prasarana usaha perikanan yang dimiliki oleh masyarakat pesisir. 5. Pemberdayaan usaha ekonomi produktif Beberaap faktor yang berpengaruh terhadap usaha ekonomi diantaranya modal dan sarana/prasarana usaha. Dalam program MFCDP akan lebih memfokuskan untuk pemberdayaan sarana prasarana sosial ekonomi seperti listrik, air bersih, sarana penangkap ikan, transportasi, pelabuhan/pusat pendaratan ikan, TPI, tempat penyimpanan ikan (cold storage) dan sebagainya. Melalui kerjasama antar desa, diharapkan masyarakat akan memenuhi kebutuhan dasar ini secara kolektif, dengan letak infrastruktur yang paling memadai bagi penduduk sekecamatan.

32 6. Pengembangan teknologi tepat guna Peran teknologi didalam usaha perikanan memiliki peran penting untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas produk yang dihasilkan oleh masyarakat perikanan. Untuk itu agar nelayan kecil yang menjadi target penerima manfaat dari program ini merasakan manfaatnya dari penggunaan teknologi tepat guna.

33 III. KERANGKA PENDEKATAN STUDI Di tengah proses desentralisasi pemerintahan yang kini berlangsung serta adanya otonomi khusus bagi beberapa daerah di Indonesia, patutlah dipertanyakan apa saja yang dilakukan pemerintah, terutama Pemerintah Daerah dalam mengelola sumberdaya perikanannya. Sesungguhnya sudah banyak kebijakan yang diambil pemerintah dalam mengelola sumberdaya perikanan, namun demikian yang masih menjadi pertanyaan sekarang seberapa besar keefektifan dari semua kebijakan yang diambil pemerintah dalam mengelola sumberdaya perikanan dan bagaimana dampaknya terhadap masyarakat pesisir dan sumberdaya perikanan. Dalam penelitian ini, peranan program MFCDP dalam pengelolaan sumberdaya pesisir di Kabupaten Serang, dikaji berdasarkan pernyataan masyarakat perikanan sebagai Masyarakat Penerima Manfaat (MPM) baik nelayan, pembudidaya dan pengolah hasil perikanan terhadap kinerja Program MFCDP. Pernyataan tersebut diukur dengan menggunakan kriteria dan indikator dari kinerja yang sama, tetapi pada situasi yang berbeda, yaitu perbandingan antara situasi sebelum program MFCDP diterapkan dengan situasi setelah program MFCDP diterapkan. Beberapa kriteria dan indikator untuk dapat digunakan dalam evaluasi kinerja suatu rezim pengelolaan sumberdaya perikanan. Menurut Nikijuluw (2002) bahwa terdapat tiga kriteria yang umum digunakan dalam menilai kinerja suatu rezim pengelolaan sumberdaya perikanan yaitu (1) kriteria efisiensi (produktivitas), (2) keberlanjutan (sosial dan biologi), dan (3) pemerataan. Kriteria efisiensi disebut juga dengan produktivitas, yaitu kriteria penilaian kinerja suatu rezim dengan melihat besaran (magnitude) output yang dihasilkan rezim tersebut secara relatif dibandungkan output rezim lain atau biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh output itu. Semakin tinggi atau produktivitasnya, semakin baik suatu rezim tersebut. Terdapat beberapa indikator untuk mengukur kriteria efisiensi dalam penelitian ini yaitu peningkatan produksi perikanan tangkap, budidaya dan pengolah dan perbaikan harga komoditas.

34 Kriteria keberlanjutan suatu rezim pengelolaan sumberdaya dapat dinilai dari sisi keberlanjutan sosial dan keberlanjutan biologi. Indikator dari keberlanjutan sosial yaitu keharmonisan pengguna sumberdaya (MPM). Sedangkan indikator yang digunakan dalam keberlanjutan biologi yaitu kondisi sumberdaya perikanan. Kriteria pemerataan diukur dengan menggunakan beberapa indikator yaitu pemerataan pendapatan MPM, partisipasi MPM dalam pengelolaan sumberdaya, dan manfaat yang diperoleh MPM dari program MFCDP. Secara diagram, kerangka pendekatan studi ini dapat dilihat pada Gambar 3.

35 Sumberdaya Perikanan di Kabupaten Serang Masalah Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Masalah Ekologis Masalah Sosial Ekonomi Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir Program MFCDP Umpan balik Sebelum Program MFCDP Evaluasi Setelah Program MFCDP Ekologi Ekonomi Sosial Kebijakan Status Keberlanjutan Gambar 3. Kerangka Pendekatan Studi

36 IV. METODOLOGI 4.1 Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus dengan satuan kasus yaitu Program Pengembangan Masyarakat Perikanan Marjinal yang meliputi tujuh desa di tiga kecamatan, yaitu Kecamatan Pontang (Desa Sukajaya, Linduk, Kubang Puji), Kecamatan Tirtayasa (Desa Susukan dan Lontar), dan Kecamatan Tanara (Desa Tenjoayu, dan Pedaleman), Kabupaten Serang, Provinsi Banten. Studi kasus atau penelitian kasus (case study) adalah penelitian tentang status subjek penelitian yang berkenaan dengan suatu fase spesifik atau khas dari keseluruhan personalitas (Nazir, 2003). Subjek penelitian dapat berupa individu, kelompok, lembaga, maupun masyarakat. Dalam penelitian ini tujuan dari metode studi kasus adalah untuk memberikan gambaran secara mendetail tentang latar belakang, sifat-sifat serta karakter yang khas dari kasus atau individu / kelompok sosial yang kemudian akan dijadikan suatu hal yang bersifat umum (Nazir, 2003). Adapun yang menjadi subjek dalam penelitian ini yaitu individu / anggota Masyarakat Penerima Manfaat (MPM) program MFCDP. 4.2 Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data kualitatif dan kuantitatif. Data kualitatif adalah data deskriptif berupa kata-kata lisan atau tulisan dari manusia/tentang perilaku manusia yang dapat diamati. Data kualitatif diperoleh dari hasil pengamatan, hasil pembicaraan dalam wawancara serta bahan tertulis yang dapat berupa keseluruhan bagian dari dokumen. Sedangkan data kuantitatif adalah data yang nilainya berbentuk numerik/angka. Data ini bersifat ringkas, sederhana dan mudah disajikan. Berdasarkan sumbernya, data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui hasil wawancara dengan pihak-pihak terkait, yaitu pengelola program MFCDP (Bappenas), Masyarakat Penerima Manfaat (nelayan, pembudidaya dan pengolah ikan) dan Dinas Perikanan dan Kelautan di Kabupaten Serang. Selain itu data primer

37 diperoleh melalui pengamatan langsung terhadap kegiatan pengelolaan MFCDP yang berpedoman pada kuesioner yang ada. Data sekunder diperoleh melalui informasi maupun laporan yang tertulis dari instansi yang terkait dengan penelitian, seperti Bappenas, Bappeda, Dinas Perikanan Kabupaten Serang serta Balai Desa setempat. 4.3 Metode Penentuan Responden Populasi dalam penelitian ini yaitu seluruh anggota Masyarakat Penerima Manfaat (MPM) yang tersebar di tiga Kecamatan yang terdiri dari tujuh desa yaitu Kecamatan Pontang (Desa Sukajaya, Linduk, Kubang Puji), Kecamatan Tirtayasa (Desa Susukan dan Lontar), dan Kecamatan Tanara (Desa Tenjoayu, dan Pedaleman) terdiri dari tiga kategori yang dikelompokan menurut jenis usaha yang terkait di bidang perikanan yaitu nelayan, pembudidaya dan pengolah hasil perikanan. Adapun metode penentuan responden dalam penelitian ini terdapat dua tahap dalam pengambilan sampel (Gambar 4). Tahap yang pertama yaitu dengan menggunakan metode purposive sampling, dengan menentukan karakteristik reponden yaitu masyarakat pesisir yang menerima program MFCDP menurut jenis usaha di bidang perikanan. Menurut Fahrudin (2007), ciri dari metode non probability sampling yaitu peluang setiap elemen populasi tidak sama dan tidak dapat menduga populasi. Selanjutnya, tahap yang kedua yaitu tahap penentuan responden yaitu dengan mengggunakan metode simple random sampling (contoh acak sederhana). Syarat metode simple random sampling diantaranya harus tersedia sampling frame (daftar anggota/unsur populasi) walaupun keterangan homogenitas unit elementer, pembagian dalam kelompok tidak perlu diketahui lebih dahulu (Nazir, 2003). Didalam penelitian ini yang menjadi target dalam pengambilan sampel yaitu masyarakat yang menerima manfaat dari program MFCDP dengan kriteria yang telah ditentukan pada tahap pertama. Masing-masing responden diambil secara undian biasa atau secara acak yaitu sekitar 10-15% dari jumlah Masyarakat Penerima Manfaat (MPM) program yang tersebar di tujuh desa.

38 Stage 1 Masyarakat Pesisir Kabupaten Serang Lokasi MFCDP Purposive sampling MPM 1 (Nelayan) MPM 2 (Pembudidaya) MPM 3 (Pengolah Ikan) P1 (151 orang) P2 (189 orang) P3 (33 orang) Stage 2 Random Random Random S1 (38 orang) S1 (30 orang) S1 (6 orang) Total (74 orang) Gambar 4. Diagram Kerangka Pengambilan Sampel Keterangan : P1 = jumlah MPM nelayan S1 = jumlah sampel nelayan P2 = jumlah MPM pembudidaya S2 = jumlah sampel pembudidaya P3 = jumlah MPM pengolah ikan S3 = jumlah sampel pengolah ikan

39 4.4 Analisis Data Fungsi analisis data adalah untuk menyederhanakan data ke dalam bentuk yang lebih mudah untuk dibaca dan diinterpretasikan. Dalam penelitian ini terdapat tiga tahap analisis yang akan mengukur keberlanjutan kelompok MPM baik dalam hal pemecahan masalah pengalolaan sumberdaya perikanan maupun yang terkait dengan Program MFCDP Analisis Indikator Indikator didefinisikan sebagai sebuah alat atau jalan untuk mengukur, mengindikasikan, atau merujuk sesuatu hal dengan lebih atau kurang dari ukuran yang diinginkan (Adrianto 2007). Tujuan dari analisis ini yaitu untuk mengetahui masalah kritis yang menjadi faktor penghambat bagi kelangsungan usaha para MPM (nelayan, pembudidaya dan pengolah ikan) dari Program MFCDP. Di dalam penelitian ini menggunakan empat indikator yang menjadi tolak ukur dari analisis ini. Keempat indikator tersebut yaitu ekonomi, ekologi, sosial, dan kebijakan. Didalam metode evaluasi program MFCDP sebelum ke analisis indikator, maka dilakukan proses identifikasi MPM dan stakeholder lain dengan cara Focus Group Discussions (FGD). Didalam pelaksanaannya peserta FGD yang harus hadir untuk tingkat MPM harus dapat mewakili dari setiap pengelola yang ada di tingkat desa (TPK, Kepala Desa, UPK, Pengelola TPI, dan lain-lain) dan juga setiap jenis usaha yang ada yaitu usaha perikanan tangkap (nelayan), usaha perikanan budidaya (pembudidaya) dan pengolahan hasil perikanan (pengolah ikan). Sedangkan untuk peserta FGD di tingkat stakeholder yang harus hadir terdiri dari semua unsur pengelola program baik di tingkat nasional (Bappenas), tingkat kabupaten (Bappeda dan Dinas/sub dinas Perikanan), tingkat kawasan/desa (Koordinator Kawasan, UPK dan TPK). FGD dilakukan untuk mengidentifikasi pernyataan pemangku kepentingan dalam pelaksanaan MFCDP khususnya terhadap indikator penting MFCDP yaitu indikator domain ekologi, ekonomi, sosial dan kelembagaan. Angka 1 menunjukkan bahwa tidak penting terhadap indikator domain; angka 2 menunjukkan penting terhadap indikator domain; dan angka 3 menunjukkan sangat penting terhadap indikator domain.

40 Diagram penentuan tingkat kepentingan pada proses FGD akan disajikan pada Gambar 5. Domain Tingkat Kepentingan Ekologi Ekonomi Sosial Kebijakan Gambar 5. Diagram Penentuan Tingkat Kepentingan Indikator Domain Analisis Keragaan Program Setelah semua indikator ditentukan maka proses yang berikutnya yaitu memilih metode untuk dapat mengukur keempat indikator tersebut. Seperti yang sudah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa pengukuran ini dikaji berdasarkan penilaian dalam bentuk pernyataan MPM mengenai kinerja Program MFCDP yang akan dibandingkan dengan menggunakan kriteria (efisiensi, keberlanjutan dan pemerataan) tetapi pada situasi yang berbeda, yaitu perbandingan antara situasi sebelum program MFCDP diterapkan dengan situasi setelah program MFCDP diterapkan. Masing-masing kriteria diukur dengan menggunakan analisis yang sama. a. Kriteria Efisiensi Perolehan data kriteria efisiensi (ekonomi) dianalisis secara kuantitatif dengan menghitung besarnya persentasi responden mengenai penilaian MPM dalam bentuk pernyataan MPM terhadap indikator dari kriteria efisiensi (kondisi peningkatan produksi dan perbaikan harga komoditas) setelah program MFCDP. b. Kriteria keberlanjutan dan pemerataan Perolehan data pada kriteria keberlanjutan dan pemerataan dianalisis secara kuantitatif, berdasarkan hasil wawancara selama di lapangan dengan menghitung besarnya persentasi responden mengenai persepsi MPM terhadap indikator dari kriteria keberlanjutan dan pemerataan setelah program MFCDP.

41 Kriteria keberlanjutan suatu rezim pengelolaan sumberdaya dapat dinilai dari sisi keberlanjutan sosial dan keberlanjutan biologi. Indikator dari keberlanjutan sosial yaitu keharmonisan kelompok MPM. Sedangkan indikator yang digunakan dalam keberlanjutan biologi yaitu kondisi sumberdaya perikanan. Kriteria pemerataan diukur dengan menggunakan beberapa indikator yaitu pemerataan pendapatan kelompok MPM, partisipasi kelompok MPM dalam pengelolaan sumberdaya, dan manfaat yang diperoleh masyarakat kelompok MPM dari program MFCDP Analisis Evaluasi Keberlanjutan Menurut UNDP (1999) dalam Adrianto (2007), evaluasi didefinisikan sebagai upaya selektif yang dilakukan untuk memperkirakan pencapaian kemajuan dari implementasi sebuah program secara sistematik dan berorientasi pada tujuan kegiatan/program. Menurut Pomeroy dan Rivera Guieb (2006) dalam Adrianto (2007), terdapat beberapa pendekatan evaluasi yang dapat dilakukan yaitu pendekatan evaluasi kinerja, evaluasi proses, identifikasi kapasitas pengelolaan, dan evaluasi hasil. Di dalam penelitian ini menggunakan pendekatan evaluasi kinerja yang didisain untuk menentukan kualitas implementasi dari aktifitas tertentu dan tingkat pencapaian tujuan. Analisis ini digunakan untuk memberikan gambaran efektivitas pelaksanaan program dalam hal perencanaan, proses dan pengawasan, melihat dan mengukur tingkat keberhasilan program dalam mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan di dalam program MFCDP dan memberikan gambaran tentang pencapaian dampak terhadap masyarakat sasaran program. Cara pengukuran analisis ini akan digambarkan melalui teknik amoeba. Teknik amoeba dalam analisis ini diperoleh dari nilai setiap pengukuran variabel yang sudah dibandingkan dengan CTV (Crtitical Treshold Value). CTV merupakan nilai kritis atau nilai ideal dari setiap indikator. Untuk setiap indikator, diidentifikasikan terlebih dahulu apakah termasuk indikator manfaat atau biaya. Masing-masing indikator tersebut memiliki konsekuensi yang berbeda terhadap CTV, dimana indikator manfaat memiliki konsekuensi positif yaitu semakin besar sari CTV semakin baik keragaan indikator dan juga sebaliknya untuk indikator biaya (Adrianto, 2007).

42 Di dalam membuat teknik amoeba, software yang digunakan yaitu Microsoft Excel. Analisis ini akan dilihat seberapa besar tingkat keberlanjutan dari kinerja program MFCDP dengan skala yang sudah ditentukan, dimana : tingkat keberlanjutan tinggi : lebih 2 variabel sebelum MFCDP < setelah MFCDP dengan perbandingan nilai CTV tingkat keberlanjutan sedang : hanya 2 variabel sebelum MFCDP < setelah MFCDP dengan perbandingan nilai CTV tingkat keberlanjutan rendah : kurang 2 variabel sebelum MFCDP < setelah MFCDP dengan perbandingan CTV Gap Analysis Analisis kesenjangan (gap analysis) digunakan untuk menilai dan membandingkan kinerja yang sebenarnya dari rezim manajemen perikanan. Proses analisis ini meliputi menentukan, mendokumentasikan dan membenarkan perbedaan diantara kepentingan perikanan dan kemampuan dari atribut yang ada Alat ini menetapkan suatu pengambilan keputusan dengan pengetahuan yang dalam sampai pada area menuju kepada kemajuan. Tujuan dari analisis ini yaitu untuk mengidentifikasi kesenjangan antara mengoptimasi alokasi dan merupakan penggabungan dari input yang ada dengan level dari alokasi (Adrianto 2007). Analisis ini digunakan untuk mengetahui apakah sistem pengelolaan perikanan dapat diklasifikan sebagai acceptable or not dalam kerangka keberlanjutan sistem itu sendiri, melalui pengembangan dari setiap indikator. Adapun indikator yang digunakan dalam analisis ini yaitu indikator ekologi (ukuran ikan) dan ekonomi (pendapatan). Dari keempat indikator tersebut akan diperoleh suatu nilai yang didapat melalui data kuantitatif yang berasal dari hasil wawancara dan kuesioner pada setiap responden. Berikut adalah model dari gap analysis : ΔP = Dimana : n t = 1 n + 1 t t = 1 P t P ΔP = kesenjangan parameter yang diamati P it = parameter sebelum MFCDP (tahun 2004) P it+1 = parameter setelah MFCDP (tahun 2007)

43 4.4.5 Uji Beda Nyata (Uji-t) Analisis ini bertujuan untuk menguji apakah dua beda antara dua nilai tersebut benar-benar signifikan (Nazir 2003). Menurut Nazir (2003) terdapat dua asumsi dasar dalam menggunakan uji-t adalah distribusi dari variabel adalah normal dan kedua populasi dimana sample tersebut ditarik mempunyai variance yang sama. Rumus untuk uji-t menurut Walpole (1997) yaitu : S 2 d = ( n)( 2 di ) ( ( n)( n 1) di) 2 d do t = Sd / n Keterangan : n = jumlah sampel di = beda antara populasi Sd = Standar deviasi Berikut adalah langkah-langkah dalam menentukan hipotesis uji-t menurut Walpole (1993), yaitu : 1. Nyatakan hipotesis nol-nya, 2. Pilih hipotesis alternatif H 1 yang sesuai, 3. Tentukan taraf nyatanya, 4. Pilih statistik uji yang sesuai, 5. Hitung nilai statistik uji berdasarkan data contohnya, 6. Keputusan : Tolak H 0 bila nilai statistik uji tersebut jatuh dalam wilayah kritiknya, sedangkan bila nilai jatuh di luar wilayah kritiknya tolak H 1. Uji statistik t student dalam penelitian ini mengajukan hipotesa sebagai berikut : H 0 : u 1 = u 2 H 1 : u 1 < u 2 a) Jika t hitung < t tabel, maka H 0 diterima, artinya keberadaan program MFCDP tidak berbeda nyata terhadap parameter yang diamati pada tahun 2004 (sebelum MFCDP) dengan tahun 2007 (setelah MFCDP) pada usaha perikanan (tangkap, budidaya, dan pengolahan hasil perikanan). b) Jika t hitung > t tabel, maka H 0 ditolak, artinya keberadaan program MFCDP berbeda nyata terhadap parameter yang diamati pada tahun 2004 (sebelum

44 MFCDP) dengan tahun 2007 (setelah MFCDP) pada usaha perikanan (tangkap, budidaya, dan pengolahan hasil perikanan). 4.5 Batasan dan Pengukuran 1) Evaluasi menurut UNDP 2000 diacu dalam Adrianto (2007) didefinisikan sebagai upaya efektif yang dilakukan untuk memperkirakan pencapaian kemajuan dari implementasi sebuah program secara sistematik dan berorientasi pada tujuan program/kegiatan. 2) Masyarakat perikanan marjinal adalah masyarakat miskin yang tidak mampu secara ekonomi dalam memenuhi kebutuhan dasar dan bergerak dalam bidang usaha skala mikro yang berpotensi untuk dikembangkan. 3) Masyarakat Penerima Manfaat (MPM) adalah masyarakat perikanan yang hidupnya tergantung dengan sumberdaya perikanan dan kelautan, memiliki modal yang terbatas dan berpotensi untuk dikembangkan. 4) Pernyataan terhadap program adalah pendapat atau pandangan responden (MPM) terhadap pelaksanaan dan dampak yang dirasakan sebelum ataupun sesudah program MFCDP. 5) Pendapatan yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah pendapatan yang berasal dari usaha perikanan setelah dikurangi biaya operasional. 6) Kinerja program MFCDP merupakan kondisi yang mencerminkan peranan program MFCDP dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di Kabupaten Serang yang diukur berdasarkan pernyataan masyarakat penerima manfaat dengan menggunakan kriteria analisis kinerja yaitu kriteria efisiensi, keberlanjutan dan pemerataan. 7) Evaluasi keberlanjutan program MFCDP diukur dengan menggunakan indikator ekologi, ekonomi, sosial dan kebijakan dengan melihat dampak sebelum dan sesudah program MFCDP diterapkan. 8) Indikator ekologi yang menjadi ukuran evaluasi yaitu ukuran ikan yang tertangkap oleh nelayan dengan satuan cm/ekor; untuk petambak yaitu ukuran ikan hasil panen dengan satuan ekor/kg; dan untuk pengolah yaitu ketersediaan bahan baku terhadap usaha pengolahan hasil perikanan dengan satuan kg.

45 9) Indikator ekonomi yang menjadi tolak ukur evaluasi yaitu pendapatan yang dihitung dalam rupiah per bulan untuk responden nelayan dan pengolah, per masa panen untuk responden pembudidaya. 10) Indikator sosial yang menjadi tolak ukur evaluasi yaitu konflik, dengan melihat frekuensi terjadi konflik di sekitar lokasi penelitian serta membandingkan dampak sebelum (tahun 2004) dan sesudah program MFCDP (tahun 2007). 11) Indikator kebijakan yang digunakan yaitu partisipasi masyarakat penerima manfaat terhadap kebijakan yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah maupun oleh pengelola program MFCDP. 12) CTV (Critical Treshold Value) adalah nilai ideal atau nilai kritis dari tiap variabel yang diukur. Nilainya diperoleh dari data sekunder yang ada. CTV untuk setiap varibel diukur secara berbeda-beda. 13) Nilai CTV untuk perikanan tangkap pada variabel ukuran ikan yaitu 12 cm, variabel pendapatan yaitu Rp ,00 per bulan (UMR Kabupaten Serang tahun 2007), CTV variabel konflik yaitu nol dan CTV untuk variabel partisipasi adalah nol. 14) Nilai CTV untuk perikanan budidaya pada variabel ukuran ikan yaitu 6 ekor/kg, variabel pendapatan yaitu Rp ,00 per bulan (UMR Kabupaten Serang tahun 2007), CTV variabel konflik yaitu nol dan CTV untuk variabel partisipasi adalah nol. 15) Nilai CTV untuk pengolahan hasil perikanan pada variabel ketersediaan bahan baku yaitu 14 kg, variabel pendapatan yaitu Rp ,00 per bulan (UMR Kabupaten Serang tahun 2007), CTV variabel konflik yaitu nol dan CTV untuk variabel partisipasi adalah nol.

46 4.6 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan di lokasi yang menerima program MFCDP yaitu di 3 Kecamatan (Tanara, Pontang dan Tirtayasa) yang terdiri dari 7 Desa diantaranya Desa Sukajaya, Desa Linduk, Desa Kubang Puji (Kecamatan Pontang), Desa Susukan, Desa Lontar (Kecamatan Tirtayasa ) dan Desa Tenjo Ayu, Desa Pedaleman (Kecamatan Tanara ) Kabupaten Serang, Provinsi Banten. Penelitian ini berlangsung pada bulan Agustus hingga bulan September 2007.

47 V. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 5.1 Keadaan Umum Perikanan A. Letak Geografis Kabupaten Serang merupakan salah satu dari enam kabupaten/kota di Provinsi Banten, yang terletak di ujung Barat bagian Utara Pulau Jawa dan merupakan pintu gerbang utama yang menghubungkan Pulau Sumatera dengan Pulau Jawa dengan jarak 70 Km dari kota Jakarta, ibu kota Negara Indonesia. Secara geografis wilayah Kabupaten Serang berada antara 5 50'- 6 2' Lintang Selatan dan 105 7' ' Bujur Timur. Jarak terpanjang menurut garis lurus dari utara ke selatan adalah 60 Km, dan jarak terpanjang dari arah barat ke timur sekitar 90 Km (Bappenas, 2005). Secara administratif Kabupaten Serang mempunyai batas wilayah sebagai berikut : Sebelah Utara berbatasan dengan Laut Jawa, Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Tangerang, Sebelah Barat berbatasan dengan Kota Cilegon dan Selat Sunda, Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Pandeglang dan Lebak. Terdapat tiga kecamatan yang dipilih sebagai lokasi Program MFCDP yaitu Kecamatan Pontang, Tirtayasa dan Tanara. Tabel 1 berikut menjelaskan kondisi umum kecamatan yang menjadi lokasi program. Tabel 1. Kondisi Umum Kecamatan Lokasi MFCDP No Kecamatan Profil 1 Pontang Wilayah pesisir Pontang adalah wilayah pertambakan dengan budidaya sebagian besar bandeng, sebagian kecil udang dan kepiting. Komoditas unggulan adalah bandeng yang dihasilkan tambak di Desa Sukajaya dan Linduk Industri kecil adalah pengolahan kerupuk ikan tradisional khas Pontang Pesisir Daerah Pontang merupakan pantai berlumpur yang berada di Teluk Banten disebelah timur, dan terdapat Tanjung Pontang yang menjadi muara dari Sungai Ciujung Lama.

48 No Kecamatan Profil 2 Tirtayasa Wilayah pesisir Tirtayasa adalah wilayah pantai dengan sebagian besar masyarakat sebagai nelayan tangkap. Terdapat muara sungai Ciujung Baru dan memiliki daerah pantai pesisir yang berpasir, juga memiliki desa pulau yaitu desa Wargasara di P.Tunda Industri kecil adalah pengolahan rajungan dan terasi Komoditas unggulan adalah rajungan untuk komoditas ekspor 3 Tanara Wilayah pesisir Tanara adalah wilayah pantai dengan muara sungai yang dihuni nelayan tangkap. Komoditas unggulan adalah hasil tangkapan laut, tetapi dijual di luar daerah sehingga Tempat Pelelangan Ikan tidak terpakai Banyak terdapat areal pertambakan, namun banyak yang tidak dikelola dengan baik karena adanya pencemaran dari sungai Ciujung Sumber : Rencana Pengelolaan Perikanan Kabupaten Serang (2005) Dari tiga kecamatan tersebut terdapat tujuh desa yang menjadi lokasi penelitian, yaitu Desa Sukajaya, Kubang Puji, Pedaleman, Tenjo Ayu, Linduk, Susukan, dan Lontar. Tabel 2 berikut ini menjelaskan mengenai kondisi umum dari tujuh desa yang menjadi lokasi penelitian. Tabel 2. Kondisi Umum Desa Penelitian No Nama Desa Kondisi Umum 1 Sukajaya Sukajaya adalah desa pesisir Teluk Banten terletak di sebelah paling barat dari Kecamatan Pontang. Kondisi alamnya adalah daerah pertambakan dan pertanian padi. Terdapat sungai Cikamayungan yang bermuara di Desa Sukajaya menjadikan daerah ini adalah pertambakan. Hasil tambak yang utama adalah bandeng disusul dengan udang. Karena adanya pendangkalan muara maka nelayan tangkap sudah tidak berlabuh lagi di muara sungai sehingga tidak banyak adanya kegiatan nelayan.

49 No Nama Desa Kondisi Umum 2 Linduk Linduk adalah desa pesisir yang terletak di sebelah dari Desa Sukajaya. Kondisi umum Desa Linduk mirip dengan Sukajaya yaitu daerah pertambakan, hasil tambak adalah tambak bandeng. Banyak terdapat sungai kecil yang bermuara di Linduk namun karena alur sungai dangkal sehingga tidak ada nelayan tangkap. Di Linduk terdapat sentra pengolahan bandeng presto secara tradisional yang dijalankan oleh ibu-ibu. 3 Kubang Puji Desa Kubang Puji adalah desa yang berada di Pedaleman, dan tidak memiliki garis pantai. Namun adanya beberapa alur sungai yang bisa dilalui nelayan sepanjang + 7 Km menjadikan Desa Kubang Puji banyak terdapat nelayan tangkap. Di alur sungai tersebut terdapat tempat pendaratan ikan secara sederhana yang berada di dalam Desa Kubang Puji. 4 Susukan Desa Susukan terletak memanjang di sepanjang muara sungai Ciujung Lama. Terdapat tambak di ujung muara sungai dan sepanjang alur sungai banyak terdapat tempat pendaratan ikan. Komoditi utamanya adalah rajungan. 5 Lontar Lontar adalah desa pesisir yang memiliki garis pantai paling panjang. Sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai nelayan. Terdapat tempat pendaratan ikan yang dilengkapi dengan tempat pelelangan ikan yang sederhana. Budidaya tambak banyak terdapat di Dukuh Brambang dengan hasil tambak yang mulai ditanami rumput laut dan kepiting. Hasil home indstri perikanan adalah rajungan dan terasi yang diolah secara tradisional. 6 Tenjo Ayu Tenjo Ayu adalah desa pesisir yang terdapat muara sungai Cidurian. Di Desa Tenjo Ayu banyak terdapat usaha budidaya tambak yaitu tambak bandeng. Adanya pencemaran dari sungai Ciujung yang bermuara di dekat Desa Tenjo Ayu mengakibatkan banyak tambak bandeng yang tidak beroperasi. Terdapat tempat pelelangan ikan yang bagus namun tidak beroperasi karena tidak adanya tempat pendaratan kapal dan alur sungai yang dangkal. 7 Pedaleman Pedaleman adalah desa pesisir yang terletak paling ujung di Kabupaten Serang yang berbatasan dengan Kabupaten Tangerang. Desa Pedaleman banyak terdapat nelayan tangkap, ditandai dengan banyaknya kapal nelyan yang bersandar di alur sungai Cidurian lama yang alurnya dalam. Alam pesisir di desa Pedaleman banyak terdapat pohon mangrove yang masih terjaga dengan baik. Sumber : Rencana Pengelolaan Perikanan Kabupaten Serang (2005)

50 Desa lokasi penelitian pada umumnya memiliki kepadatan penduduk yang tinggi, juga mempunyai angka kemiskinan yang tinggi pula. Adanya pengiriman TKI dan TKW ke luar negeri telah menolong mengurangi angka kemiskinan dan pengangguran. Kondisi Demografi penduduk dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Demografi Penduduk Desa dan Tingkat Kemiskinan No Uraian Desa Lokasi SKJ LIN KP SSK LON TA PDL 1 Luas wilayah (Ha) Jumlah Penduduk (jiwa) Jumlah K.K Jumlah K.K Miskin Angka Kemiskinan (%) 66,09 45,74 25,15 57,91 41,04 67,64 71,07 Sumber : Rencana Pengelolaan Perikanan Kabupaten Serang (2005) Keterangan : SKJ : Desa Sukajaya LIN : Desa Linduk LON : Desa Lontar KP : Desa Kubang Puji SSK : Desa Susukan TA : Tenjo Ayu PDL : Desa Pedaleman TDK : Tidak ada data B. Kondisi Sarana dan Prasarana Secara umum kondisi sarana dan prasarana perikanan di lokasi penelitian sangat minim, kendati begitu sarana yang ada pun tidak dimanfaatkan dengan baik. Kondisi umum mengenai sarana dan prasarana perikanan di lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Kondisi Umum Sarana dan Prasarana Perikanan Kecamatan Pontang Tirtayasa Tanara Fasilitas Ada/tidak jumlah Ada/tidak jumlah Ada/tidak jumlah 1. Pangkalan Pendaratan Ikan Tidak - Tidak - Tidak - 2. Tempat Pelelangan Ikan Ada 1 Ada 2 Ada 2

51 Kecamatan Fasilitas Pontang Tirtayasa Tanara Ada/tidak jumlah Ada/tidak jumlah Ada/tidak jumlah 3. Pabrik es Tidak - Tidak - Tidak - 4. Coldstorage Tidak - Tidak - Tidak - 5. Bengkel perahu Tidak - Ada 5 Tidak - 6. Galangan kapal Tidak - Tidak - Tidak - 7. SPBU Tidak - Tidak - Tidak - 8. Toko peralatan nelayan Tidak - Ada 1 Tidak - Sumber : Rencana Pengelolaan Perikanan Kabupaten Serang (2005) Kondisi tempat pelelangan ikan yang berada di lokasi penelitian pada umumnya memenuhi syarat untuk proses pelelangan. Akan tetapi karena hasil tangkapan ikan oleh nelayan pada umumnya dijual ke juragan dan sebagian di jual ke lain daerah yang memiliki nilai jual tinggi seperti di Muara Angke, Jakarta. Oleh karena itu tempat pelangan ikan pada umumnya tidak berfungsi. Tabel 5 berikut ini menggambarkan kondisi tempat pelelangan ikan di lokasi penelitian. Tabel 5. Kondisi Tempat Pelelangan Ikan No Lokasi Kondisi Status Alasan TPI Pemanfaatan 1 Desa Sukajaya Rusak Parah Tidak dimanfaatkan Tidak ada nelayan yang menjual di TPI 2 Desa Lontar Sangat Baik Dimanfaatkan Posisi tawar nelayan menjadi tinggi 3 Desa Tenjo Ayu 4 Desa Pedaleman Sangat baik Rusak Tidak dimanfaatkan Tidak dimanfaatkan sungai Sumber : Rencana Pengelolaan Perikanan Kabupaten Serang (2005) Akses masuk perahu susah dan jumlah nelayan sedikit Akses masuk perahu susah akibat pendangkalan muara

52 5.2 Status Sumberdaya Perikanan Laut Sumber daya perikanan di wilayah perairan lokasi penelitian mempunyai potensi perikanan yang baik. Hasil perikanan tangkap pada umumnya adalah rajungan hal ini karena populasi rajungan yang masih banyak dan menurut sumber informasi yang berasal dari salah satu responden bahwa letak potensi rajungan berada lebih ketepi bila dibandingkan dengan ikan lainya sehingga relatif tidak ada persaingan dengan nelayan lain. Gambar 6 berikut ini menjelaskan keberadaan ikan di perairan yang menjadi lokasi MFCDP. Keterangan : Auxis sp Pampus sp Portunus sp Ephinephelus Lutjanus sp Gambar 6. Keberadaan Ikan di Perairan Lokasi Penelitian Sumber : RPP Kabupaten Serang (2005) Di daerah perairan lokasi penelitian memiliki dua musim angin yaitu musim angin timur dan barat. Musim yang baik untuk menangkap ikan terjadi pada saat terjadi angin timur pada bulan Agustus-September. Musim yang paling tidak baik menangkap ikan pada musim angin peralihan, dimana dalam musim ini tidak ada angin dan arus laut yang lemah, musim ini terjadi pada bulan April-Mei. Pada kawasan pesisir di lokasi penelitian berupa areal pertambakan udang dan bandeng yang didukung oleh adanya sungai besar (yaitu S. Ciujung) yang bermuara di daerah ini. Sungai ini merupakan sumber air tawar bagi irigasi dan pertambakan udang dan bandeng. Berikut ini gambaran sumberdaya pesisir sebagai berikut : 1. Mangrove Ekosistem mangrove di kawasan lokasi penitian pada umumnya telah hilang terutama oleh pembukaan tambak. Mangrove masih tersisa di

53 sebagian kecil terutama di sekitar muara sungai. Adapun mangrove yang masih lestari terdapat di kawasan pantai Desa Pedaleman yang berbatasan dengan Kabupaten Tangerang, mangrove ini memanjang mulai dari muara sungai Cidurian sampai ke perairan P. Cangkir di Kabupaten Tangerang. 2. Terumbu Karang Kondisi terumbu karang di kawasan perairan lokasi penelitian berada di sekitar Pulau Panjang, P. Pamujan Kecil, P. Pamujan Besar dan 10 mil lepas pantai Desa Lontar. Terumbu karang pada umumnya dalam kondisi baik. 3. Padang Lamun Padang lamun adalah daerah perairan yang dangkal yang berisi beraneka ragam tanaman air, tempat reproduksi ikan. Padang lamun berada di sekitar terumbu karang dan berada di sebelah timur pulau panjang besar. Hutan bakau, terumbu karang dan padang lamun dapat dilihat pada Gambar 7 berikut ini : Lamun Mangrove Terumbu Karang Padang Gambar 7. Keberadaan Sumberdaya Pesisir di Lokasi Penelitian Sumber : RPP Kabupaten Serang (2005)

54 5.3 Status Sumberdaya Perikanan Pesisir Kondisi sumberdaya perikanan di wilayah pesisir lokasi penelitian pada umumnya adalah daerah pertambakan, dengan kondisi pantai yang berlumpur, kecuali di daerah Desa Lontar yang berupa pantai yang berpasir. Dari gambar citra satelit (Gambar 8) terlihat bahwa wiliyah pesisir lokasi kegiatan didominasi oleh pertambakan warna citra gelap kecuali di Desa Lontar (warna citra kuning kemerahan) yang berupa kawasan pantai berpasir. Dari citra satelit terlihat ada semenanjung dengan warna biru tua menunjukkan adanya proses sedimentasi yang besar pada muara sungai Ciujung Baru di perbatasan Kecamatan Tirtayasa dan Tanara. Kemudian di belakang wilayah pertambakan terdapat area persawahan ditandai dengan citra satelit berwarna hijau muda. Gambar 8. Citra Satelit Wilayah Pesisir Lokasi Penelitian Sumber : RPP Kabupaten Serang (2005) Di pesisir Desa Lontar, hampir semua daerah pesisir adalah daerah pertambakan. Areal pertambakan mendominasi seluruh kawasan pesisir, sehingga sumberdaya perikanan yang paling memungkinkan adalah hasil pertambakan seperti udang, bandeng dan kepiting. Bila dilihat dari Gambar 9 terlihat bahwa

55 alur tambak mengelompok dalam arah alur muara sungai, dimana daerah muara sungai luas areal tambak tampak lebih besar dibanding daerah yang jauh dari alur sungai. Gambar 9. Areal Pertambakan di Kawasan Pesisir Lokasi Penelitian Sumber : RPP Kabupaten Serang (2005) Areal Tambak 5.4 Permasalahan Lingkungan Berikut adalah permasalahan lingkungan secara umum yang terjadi di lokasi penelitian : Turunnya kualitas air sungai yang berdampak pada pencemaran pantai akibat dari peningkatan jumlah penduduk dan industri disepanjang hulu sungai yang bermuara di pesisir utara Kabupaten Serang seperti Sungai Ciujung. Hal ini terlihat pada warna perairan sungai yang hitam pekat disertai dengan bau yang sangat menyengat. Tidak hanya itu, dampak dari limbah mengganggu kegiatan para pembudidaya, dimana pertumbuhan ikan di pertambakan menjadi lambat serta banyak udang yang mati akibat limbah tersebut, usaha pengolahan hasil perikanan dalam memperoleh bahan baku sangat tergantung pada hasil ikan di pertambakan. Saat ini masyarakat tidak berdaya terhadap penurunan kualitas lingkungan yang terjadi sehingga tidak ada jalan lain selain dengan usaha budidaya maupun pengolah yang menyesuaikan dengan kondisi lingkungan dengan resiko terjadi penurunan pendapatan, karena selama ini belum ada solusi dari pemerintah daerah setempat mengenai pencemaran yang terjadi.

56 Adanya kegiatan menangkap ikan dengan menggunakan alat yang merusak lingkungan (trawl) oleh nelayan luar sehingga berakibat pada keseimbangan ekosistem di laut, hasil tangkapan ikan nelayan setempat menjadi turun, penghasilan nelayan setempat menjadi berkurang dan berpotensi terjadinya konflik antar nelayan setempat dengan nelayan luar yang menggunakan trawl. Hal ini tidak hanya merugikan nelayan setempat tetapi juga merusak ekosistem yang ada di bawah laut. 5.5 Status Usaha Perikanan 1. Usaha Perikanan Tangkap Usaha penangkapan ikan di kawasan lokasi penelitian pada umumnya adalah penangkapan ikan skala kecil dan menengah dengan perahu atau tanpa perahu (jaring sudu atau pancing). Nelayan tangkap yang ada di kawasan lokasi kegiatan pada umumnya adalah nelayan yang beroperasi dengan perahu motor. Perahu motor yang digunakan adalah perahu kecil dengan kekuatan motor dibawah 5 GT. Adapun data nelayan disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Kondisi Sarana Nelayan di Kecamatan Lokasi Kegiatan Kondisi nelayan tangkap Pontang Tirtayasa Tanara Total Jumlah KK Nelayan Jumlah Perahu Pemilik perahu Awak Perahu (ABK) Nahkoda Nelayan tanpa perahu (jaring, pancing) Sumber : Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Serang (2006) 2. Status Usaha Budidaya Tambak Usaha budidaya yang ada di lokasi penelitian pada umumnya didominasi oleh budidaya bandeng dan udang. Seiring dengan meningkatnya pencemaran di perairan tambak maka budidaya udang mulai ditinggalkan dan beralih ke budidaya alternatif seperti kepiting dan rumput laut. Usaha budidaya ikan di lokasi penelitian pada umumnya adalah usaha budidaya bandeng secara alami,

57 usaha udang mulai ditinggalkan seiring dengan penurunan kualitas lingkungan. Pembudidaya mensiasati penurunan kualitas lingkungan dengan membudidayakan ikan yang lebih tahan terhadap pencemaran meskipun keuntungan yang diperoleh semakin kecil. Pemasaran hasil tambak pada umumnya dijual ke tengkulak yang memberikan modal usaha kepada petambak seperti bibit, pupuk, pakan dan obatobatan. Tabel 7. Data Luas Lahan Budidaya Perikanan Budiaya Pontang Tirtayasa Tanara Tambak Bandeng ( Ha ) Tambak Udang ( Ha ) Rumput Laut ( Ha ) Kerang ( Ha ) Kepiting ( Unit ) Sumber : Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Serang (2006) 3. Status Usaha Pengolahan Hasil Perikanan Usaha pengolahan hasil perikanan di lokasi penelitian pada umumnya adalah usaha pengolahan hasil rajungan. Usaha pengolahan hasil rajungan merupakan usaha yang paling menonjol di kawasan lokasi kegiatan karena merupakan komoditas ekspor yang memberikan nilai tambah tinggi. Sedangkan usaha pengolahan hasil perikanan yang lain adalah usaha bandeng presto dan sate bandeng. Sate bandeng merupakan makanan khas Provinsi Banten. Adapun jumlah usaha pengolahan hasil perikanan dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Data Usaha Perikanan per Kecamatan Budiaya Pontang Tirtayasa Tanara Usaha pembuatan ikan asin ( unit ) Kerupuk Ikan ( unit ) Pengolahan Rajungan ( unit ) Terasi ( unit ) Bandeng Presto ( Kelompok ) Sumber : Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Serang (2006) Pada umumnya hasil dari usaha pengolahan perikanan pada umumnya untuk komsumsi sendiri atau di jual di tempat terdekat. Kecuali usaha hasil

58 pengolahan perikanan rajungan yang merupakan komoditas ekspor. Usaha pengolahan hasil perikanan yang memungkinkan dikembangkan adalah usaha pembuatan sate bandeng presto dan usaha pembuatan kerupuk ikan dan sate bandeng yang merupakan komoditas khas dari daerah. Untuk lebih mengetahui proses dari usaha pengolahan hasil perikanan, dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Deskripsi Usaha Pengolahan Hasil Perikanan No Usaha Lokasi Diskripsi Proses 1 Pengolahan Rajungan Susukan Lontar Rajungan diambil dari nelayan kemudian dikupas dalam ruangan steril oleh tenaga pengupas secara manual dengan pisau khusus. Hasil kupasan rajungan selanjutnya dimasukkan dalam toples khusus dan ditambahkan es untuk pendinginan. Produk rajungan kemudian diproses ke tempat lain untuk eksport. Hasil samping berupa cangkang/totok dan kulit dibersihkan kemudian dijual. 2 Pengolahan Bandeng Linduk Tenjo Ayu Bandeng diolah dalam berbagai cara yaitu dibuat pindang bandeng dan bandeng presto. Pengolahan bandeng presto adalah bandeng dikukus kemudian dimasukkan dalam alat presto. Keluar dari alat presto kemudian langsung diberikan bumbu. Mutu bandeng presto masih rendah, bumbu yang digunakan tidak sesuai dengan selera pasar yang luas dan tidak tahan lama. Pemasaran produk lewat cara pemesanan dalam acara hajatan masyarakat lokal.

59 Tabel 9 (Lanjutan) No Usaha Lokasi Deskripsi Proses 3 Pengolahan terasi, Kerupuk udang/ikan. Tenjo Ayu Pedaleman Lontar Sumber : Rencana Pengelolaan Perikanan Kabupaten Serang (2005) Pengolahan terasi dengan cara tradisional dan dilakukan tidak kontinyu sepanjang tahun, tergantung dari ketersediaan bahan baku. Produksi kerupuk ikan/udang. Bahan baku berasal dari nelayan pencari udang disekitar perairan yang dangkal menggunakan jarring sudu Pemasaran produk terasi hasnya dijual secara lokal.

60 VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1 Proses, Mekanisme dan Kendala dalam Implementasi Program MFCDP Didalam pengelolaan program MFCDP terdapat beberapa mekanisme, di mulai dari tahap perencanaan program sampai dengan pelaksanaan program. Mekanisme pengelolaan program MFCDP meliputi mekanisme struktur organisasi yang diharapkan dapat mendukung pengelolaan program yang efektif dan efisien. Organisasi Program MFCDP melibatkan beberapa pihak (stakeholder) yang terdiri dari unsur pemerintah baik pusat dan daerah, swasta, tokoh masyarakat serta Masyarakat Penerima Manfaat (MPM). Gambaran mengenai struktur organisasi pengelola program MFCDP dapat dilihat pada Lampiran 10 halaman 107. Pengelola utama Program MFCDP adalah MPM selaku pengambil keputusan di desa. Sedangkan pengelola di tingkat kecamatan, kabupaten dan pusat lebih berfungsi sebagai fasilitator, pembimbing dan pembina, agar tujuan, prinsip-prinsip, prosedur dan mekanisme kegiatan dari program MFCDP dapat tercapai. Pengelola program MFCDP di tingkat pusat adalah pengelola yang berkedudukan atau memiliki kerja di tingkat nasional. Pengelola program MFCDP di tingkat nasional terdiri dari Tim Kelompok Kerja Nasional (Pokja-Nas), sekretariat program dan Tim Pendampingan Nasional (TP-Nas). Berikut adalah tugas dan fungsi dari pengelola program di tingkat pusat : 1. Tim Pokja-Nas Fungsi Pokja-Nas adalah pembina program di tingkat nasional. Dalam melaksanakan tugas administrasi dan pengelolaan program secara nasional, Pokja- Nas didukung oleh sekretariat program. Pokja-Nas dibentuk dari unsur Bappenas, Departemen Dalam Negeri, Departemen Kelautan dan Perikanan, dan Departemen Keuangan. Pokja-Nas terdiri dari tim pengarah dan tim pelaksana. Tugas tim pengarah adalah mengambil kebijakan untuk mewujudkan pembangunan nasional di bidang perikanan yang berkelanjutan, partisipatif dan bertanggungjawab dalam lingkup kegiatan program; dan mendorong terciptanya kebijakan yang dapat mensinergikan kebijakan nasional dengan kebijakan daerah dalam lingkup

61 kegiatan program. Adapun tugas tim pelaksana adalah menetapkan kabupaten sebagai lokasi program, menyusun rancangan kebijakan pemberdayaan, dan batasbatas penguasaan pesisir dan laut bagi masyarakat serta hal-hal yang berpotensial menimbulkan konflik dalam kehidupan masyarakat perikanan. 2. Sekretariat program Fungsi sekretariat program adalah membantu tim pelaksana dan tim pengarah program di tingkat nasional. Adapun tugas sekretariat program yaitu melakukan seleksi calon tim pendampingan nasional, melakukan koordinasi dengan instansi dan stakeholder terkait dan membantu kegiatan yang dilaksanakan Pokja-Nas. 3. Tim Pendampingan Nasional (TP-Nas) Fungsi TP-Nas adalah membantu sekretariat program MFCDP dalam hal bantuan manajemen dan teknis pengelolaan program, seperti memfasilitasi proses perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian program secara nasional agar dapat berjalan lancar. Tugas TP-Nas diantaranya membantu sekretariat program dalam penyediaan dukungan kegiatan program untuk melaksanakan program MFCDP secara benar dan tepat waktu, melakukan fasilitasi terhadap Pokja-Nas dengan melakukan pertemuan dan diskusi secara rutin untuk mengetahui perkembangan dan pelaksanaan program serta masalah dan kendala yang muncul di setiap lokasi MFCDP, melakukan monitoring ke daerah lokasi MFCDP untuk memastikan bahwa pendampingan dan di fasilitasi oleh pengelola program MFCDP di daerah dan mengidentifikasi permasalahan yang dihadapi sekaligus mencari alternatif solusi terbaik. Pengelola program MFCDP di tingkat kabupaten adalah institusi yang berkedudukan atau memiliki kerja di kabupaten. Pengelola program di tingkat kabupaten terdiri dari : 1. Bupati Bupati berfungsi sebagai pembina program MFCDP di tingkat kabupaten dan sebagai penanggungjawab atas pelaksanaan program MFCDP di tingkat kabupaten. Adapun tugasnya yaitu menetapkan ketua dan keanggotaan Pokja- Kab, melakukan pembinaan umum dan pengawasan pelaksanaan bagi kelancaran pelaksanaan Program MFCDP di wilayahnya.

62 2. Kelompok Kerja Kabupaten (Pokja-Kab) Pokja-Kab berfungsi melakukan pembinaan pengembangan peran serta masyarakat, pembinaan administrasi dan fasilitasi pemberdayaan masyarakat pada seluruh tahapan program. Pokja-Kab terdiri dari Bappeda, Dinas/sub dinas yang mengurusi bidang Perikanan dan Kelautan, dan dinas terkait. Tugas dari Pokja- Kab yaitu menjaga pelaksanaan program MFCDP di daerahnya, membantu mensosialisasikan program MFCDP kepada semua pelaksana yang terlibat di kabupaten serta melakukan pemantauan dan evaluasi pelaksanaan MFCDP. 3. Fasilitator Kabupaten Fungsi fasilitator kabupaten adalah memfasilitasi berbagai aspek baik teknis dan manajemen dalam penyiapan MPM untuk mendukung kelancaran proses pelaksanaan program. Fasilitator kabupaten dibentuk dari lembaga lokal yang dipilih oleh sekretariat program untuk melakukan kegiatan yang bersifat insidentil seperti kajian dalam penyusunan Rencana Pengelolaan Perikanan (RPP) dan pendampingan implementasi dana BLM 4. Learning Team Daerah (LT-Daerah) LT-daerah berfungsi membantu pengelolaan Program MFCDP di tingkat daerah khususnya dalam memberikan masukan-masukan, analisis dan perbaikan terhadap hasil kajian yang dilakukan oleh fasilitator kabupaten. LT-daerah adalah pakar perikanan kelautan dari Perguruan Tinggi setempat. Pengelola program di tingkat kawasan merupakan pengelola yang berkedudukan atau memiliki wilayah kerja di lingkup kawasan pesisir yang terdiri dari camat, PjOK (Penanggungjawab Operasional Kegiatan), PjAK (Penanggungjawab Administrasi Kegiatan), UPK (Unit Pengelola Kegiatan) dan KK (Koordinator Kawasan). Berikut adalah tugas dan fungsi dari pengelola program MFCDP di tingkat kawasan : 1. Camat Camat melakukan fungsi koordinasi pelaksanaan program MFCDP antar desa penerima manfaat. Tugas camat yaitu mengikuti sosialisasi program MFCDP di kabupaten, memantau desa dalam melaksanakan tahapan program MFCDP serta melaporkan masalah yang dihadapi kepada Bupati.

63 2. PjOK (Penannggungjawab Operasional Kegiatan) PjOK berfungsi sebagai penanggungjawab atas penyelenggaraan dan keberhasilan seluruh kegiatan program MFCDP di wilayahnya. Dalam melaksanakan tugasnya PjOK dibantu oleh PjAK. Tugas dari PjOK yaitu melaksanakan koordinasi dengan fasilitator kabupaten, LT-Daerah dan Pokja-Kab mengenai pelaksanaan program MFCDP serta melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap kinerja UPK, KK, fasilitator daerah dan TPK. 3. PjAK (Penanggungjawab Administrasi Kegiatan) PjAK berfungsi untuk membantu PjOK dan bertanggungjawab atas penyelenggaraan administrasi kegiatan di tingkat kawasan. Tugas PjAK yaitu membantu PjOK menyiapkan administrasi kegiatan program MFCDP serta bersama PjOK memantau perkembangan dan evaluasi kegiatan program MFCDP. 4. UPK (Unit Pengelola Kegiatan) Fungsi UPK adalah unit pengelola dan operasional pelaksanaan kegiatan Program MFCDP di tingkat kawasan pesisir. Tugas UPK diantaranya bersama pengelola lainnya ikut serta mensosialisasikan program MFCDP dan turut menjaga berlangsungnya proses pelaksanaan program, menyalurkan dana bantuan program MFCDP ke desa melalui rekening TPK di bank pemerintah setempat. 5. KK (Koordinator Kawasan) Koordinator Kawasan (KK) merupakan personil F-Kab yang ditugaskan untuk kegiatan fasilitasi dan pendampingan masyarakat dalam rangka mengikuti atau melaksanakan program MFCDP di tingkat kawasan. Fungsi KK yang secara umum adalah sebagai fasilitator dan motivator masyarakat penerima manfaat dalam pelaksanaan program MFCDP di tingkat kawasan pesisir, sekaligus sebagai koordinator dari FD. Tugas KK adalah menyebarluaskan dan mensosialisasikan program MFCDP kepada masyarakat kawasan pesisir dan aparat pemerintah setempat, memfasilitasi masyarakat dalam melaksanakan tahapan-tahapan program MFCDP dari tahap perencanaan, pelaksanaan dan pelestarian, memberikan pelatihan-pelatihan dan bimbingan kepada masyarakat penerima manfaat dan pengelola program MFCDP di desa dan kawasan pesisir (FD, TPK, dan UPK), melakukan evaluasi bersama masyarakat terhadap pelaksanaan

64 program dan kinerja pengelola program MFCDP di kawasan dan desa pesisir, serta membuat laporan penyelesaian kegiatan. Adapun pengelola program MFCDP di tingkat desa merupakan pelaksana yang berkedudukan atau memiliki wilayah kerja di desa, yaitu terdiri dari: (1) Kepala Desa Fungsi Kepala Desa adalah sebagai pembina dan pengendali kelancaran pelaksanaan tahapan kegiatan di tingkat desa serta keberhasilan pelaksanaan program MFCDP di desa. Bersama-sama wakil desa lainnya yang dipilih, kepala desa juga akan mewakili masyarakat dalam pertemuan Forum Perencanaan Kawasan. Tugas Kepala Desa diantaranya membantu mensosialisasikan program MFCDP kepada masyarakat desa pesisir, mendorong Tim Pengelola Kegiatan (TPK) dan pelaksana lain di tingkat desa untuk berperan aktif dalam program MFCDP serta mendorong masyarakat pesisir dan nelayan berpartisipasi penuh pada program MFCDP. (2) TPK (Tim Pelaksana Kegiatan) TPK adalah wakil masyarakat perikanan yang dipilih secara partisipatif dan ditetapkan melalui Forum Perencanaan Desa. Fungsi dari TPK yaitu untuk mengelola dan melaksanakan kegiatan Program MFCDP di tingkat desa. TPK terdiri dari ketua, sekretaris dan bendahara. Ketua berperan sebagai penanggungjawab operasional kegiatan di desa, komando pelaksanaan kegiatan di lapangan dan pengelolaan administrasi serta keuangan program. Sekretaris dan bendahara berfungsi untuk membantu ketua TPK terutama dalam masalah administrasi dan keuangan. Adapun tugas dari TPK yaitu melaksanakan setiap tahapan proses perencanaan kegiatan Program MFCDP secara transpaaran dan melibatkan peran serta masyarakat pesisir termasuk MPM, berpatisipasi dalam penyusunan RPP tingkat desa, penerapan teknologi tepat guna dan kebijkaan pengelolaan kawasan pesisir, dan menyelenggarakan dan melaporkan pertanggungjawaban seluruh penggunaan dana dan hasil akhir pelaksanaan kegiatan MFCDP.

65 6.1.1 Tahap Perencanaan Program MFCDP Tahap perencanaan merupakan langkah awal yang harus ditempuh sebelum mengimplementasikan sebuah program, agar kegiatan tersebut dapat dilaksanakan sesuai dengan tujuan dan harapan yang ditetapkan. Beberapa perencanaan yang ada dalam program MFCDP adalah perencanaan pemilihan lokasi kecamatan dan desa serta pemilihan MPM. Pemilihan lokasi didasarkan atas musyawarah antar stakeholder masing-masing daerah yang ditetapkan oleh Pokja-Kab (Kelompok Kerja Kabupaten) berdasarkan kriteria yang telah ditentukan. Adapun kriteria tersebut yaitu : 1. Pemilihan Kecamatan Pemilihan kecamatan penerima manfaat program MFCDP terdapat beberapa kriteria, diantaranya : kecamatan yang telah menerima PPK (Program Pengembangan Kawasan), kecamatan yang memiliki desa pantai, kecamatan yang tidak terlibat dalam program PEMP, Program COREMAP Phase II, kecamatan yang memiliki nelayan miskin lebih banyak dibandingkan kecamatan lain dan kecamatan yang memiliki potensi sumberdaya laut dan pesisir yang dapat dikembangkan. Dari kriteria tersebut dipilih tiga kecamatan yaitu Kecamatan Pontang, Tirtayasa dan Tanara sebagai kecamatan yang menerima manfaat program MFCDP. 2. Penentuan kelompok MPM (Masyarakat Penerima Manfaat) Sebelum mengetahui bagaimana awal mula terbentuk suatu kelompok MPM, maka perlu tahu definisi dari kelompok itu sendiri. Menurut Amanah (2007), definisi kelompok yaitu himpunan lebih dari dua orang yang memiliki kesamaan untuk tujuan bersama. Pembentukan kelompok MPM pada program MFCDP merupakan suatu proses kesepakatan dari masyarakat setempat yang memiliki tujuan yang sama. Pembentukan kelompok MPM dilakukan setelah proses sosialisasi dan ditentukan oleh masyarakat itu sendiri. Pembentukan kelompok ini dilakukan pada forum perencanaan desa, dengan memilih siapa saja yang siap menerima manfaat dalam bentuk dana bantuan langsung masyarakat. Pada tahap ini yaitu pada saat pemilihan MPM berdasarkan data primer yang ada menunjukkan kurang selektifnya dalam memilih calon MPM yang ditentukan sendiri oleh masyarakat yang tidak sesuai dengan syarat dan kriteria calon MPM

66 sehingga pemilihan calon MPM menjadi tidak tepat sasaran. Hal ini dapat diukur dengan menggunakan indikator ekonomi yaitu pendapatan yang diperoleh MPM sebelum program tidak berada dalam kategori miskin (dibawah UMR). Berdasarkan responden yang telah diambil bahwa sekitar 7,4 % responden pendapatannya sebelum program mencapai Rp ,00 Rp , Tahap Pelaksaan Program MFCDP Tahap pelaksanaan program MFCDP merupakan tahap kegiatan untuk mewujudkan rangkaian kegiatan program MFCDP agar sesuai dengan tujuan dan penerima manfaat yang ditetapkan (Bappenas 2004). Tahapan tersebut terdiri dari sosialisasi kegiatan, peningkatan kapasitas sumberdaya manusia, penyaluran Bantuan Langsung Masyarakat, kajian pengembangan jaringan pasar, tekonologi tepat guna dan kebijakan pemerintah atas hak kepemilikan (property right) dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut. Berikut adalah penjelasan dan gambaran mengenai tahapan pelaksanaan Program MFCDP, yang terdiri dari : 1. Sosialisasi Program MFCDP Pengertian sosialisasi dalam program MFCDP adalah proses memberikan informasi kepada masyarakat dan stakeholder tentang program MFCDP. Tujuan dari sosialisasi ini adalah agar masyarakat dan stakeholder memahami program MFCDP mengenai apa latar belakang dan tujuan program, hasil apa yang ingin dicapai, manfaat apa yang didapat oleh masyarakat dan stakeholder, dan kegiatan apa saja yang dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut (Bappenas 2005). Untuk itu, di dalam program ini proses sosialisasi tidak hanya dilakukan pada awal pelaksanaan program saja tetapi berlangsung secara terus menerus sampai pada akhir pelaksanaan program. Sosialisasi program MFCDP dilakukan pada setiap tingkatan pengelolaan di daerah, yaitu di kabupaten, kawasan, dan desa pesisir. Penjelasan dari pelaksanaan sosialisasi pada setiap tingkatan tersebut adalah sebagai berikut: (a) Sosialisasi Program MFCDP di Kabupaten Tujuannya adalah untuk memberikan penjelasan dan informasi tentang pelaksanaan program MFCDP kepada stakeholder di tingkat kabupaten.

67 Sosialisasi ini diselenggarakan oleh F-Kab dan dibantu oleh LT-Daerah. Peserta sosialisasi kabupaten adalah Pokja-Kab, instansi terkait, lembaga lokal, Camat, PjOK, PjAK, UPK dan semua pihak yang berkepentingan. (b) Sosialisasi Program MFCDP di Kawasan Pesisir Tujuannya adalah untuk memberikan penjelasan dan informasi tentang mekanisme pelaksanaan program MFCDP kepada stakeholder di tingkat kawasan pesisir yang menjadi lokasi MFCDP. Sosialisasi kawasan diselenggarakan oleh PjOK dan dibantu oleh KK dan F-Kab. Peserta sosialisasi kawasan adalah Camat, UPK, kepala desa, tokoh masyarakat, wakil dari masyarakat penerima manfaat dan aparat terkait di tingkat kawasan. (c) Sosialisasi Program MFCDP di Desa Tujuannya adalah untuk memberikan penjelasan dan informasi tentang pelaksanaan program MFCDP kepada masyarakat dan stakeholder di tingkat desa yang menjadi lokasi MFCDP. Sosialisasi desa diselenggarakan oleh Kepala Desa dibantu oleh KK, PjOK dan F-Kab. Peserta sosialisasi desa adalah PjOK, UPK, aparat desa, tokoh masyarakat, ormas lokal, dan calon penerima manfaat. 2. Peningkatan Kapasitas Sumberdaya Manusia Peningkatan kapasitas dan kemandirian masyarakat pesisir dan nelayan adalah suatu keinginan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan melalui kegiatan pelatihan dan penyuluhan agar mereka dapat hidup lebih maju dari sebelumnya (Bappenas 2004). Didalam program MFCDP, salah satu kegiatan yang ada dalam rangka meningkatkan kapasitas sumberdaya manusia diantaranya adalah pelatihan. Pelatihan merupakan bagian tidak terpisahkan dari seluruh rangkaian kegiatan program MFCDP. Pada setiap tahapan pelaksanaan program MFCDP didalamnya terdapat proses transfer pengetahuan dan keterampilan diantara pengelola program, pengelola program dengan masyarakat, dan diantara masyarakat, sehingga terjadi proses pembelajaran. Pelatihan ini bertujuan untuk mengembangkan potensi dan keterampilan tertentu dari anggota masyarakat sebagai alat memenuhi kebutuhan hidupnya serta meningkatkan kualitas

68 hidupnya. Pelatihan ini ditujukan untuk kelompok Masyarakat Penerima Manfaat, TPK, UPK, KK maupun FD (Fasilitator Daerah). Kegiatan pelatihan yang sudah dilakukan diantaranya (1) Pelatihan bagi PjOK/PjAK, UPK, FD, TPK; mengenai proses pelaksanaan program dan tugas pokok masing-masing, (2) Penyusunan proposal pengajuan dana BLM, (3) Pelatihan keuangan UPK dan TPK, dan (4) Penguatan kelembagaan pengelola program. 3. Penyaluran Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) Dana Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) pada prinsipnya adalah dana bantuan langsung dalam bentuk hibah dari donor (JSDF) yang ditujukan untuk membiayai kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan oleh masyarakat penerima manfaat (MPM), sehingga penggunaan dan pengelolaannya ditentukan oleh masyarakat sendiri. Dana BLM program MFCDP terbagi menjadi dua, yaitu : a) Dana Penerapan Teknologi Tepat Guna, ditetapkan besarnya tidak lebih 75 % dari total dana BLM. b) Dana Pengembangan Infrastruktur Sosial Ekonomi, ditetapkan besarnya tidak lebih 25 % dari total dana BLM. Dana BLM ini diberikan kepada masyarakat penerima manfaat tidak berupa uang namun berupa barang yang sudah disepakati bersama dalam Forum Perencanaan Desa/Kawasan. Bantuan tersebut harus dikelola secara ekonomis, produktif dan bergulir, jadi bukan bantuan yang diberikan langsung hilang, namun harus dikelola terus menerus secara ekonomis, produktif dan bergulir. Berikut adalah penjelasan mengenai dana BLM MFCDP, yang terbagi menjadi dua : (1). Dana Pengembangan Teknologi Tepat Guna Dana Pengembangan Teknologi Tepat Guna adalah dana BLM yang akan dimanfaatkan dan digunakan untuk pengadaan dan pengembangan teknologi tepat guna ramah lingkungan, dalam rangka meningkatkan kualitas dan produktivitas usaha Masyarakat Penerima Manfaat (MPM) dengan tetap menjaga kelestarian sumberdaya pesisir dan laut secara berkelanjutan. Dana pengembangan Teknologi Tepat Guna ini besarnya ditetapkan tidak lebih dari 75% dari total dana BLM. Sasaran penggunaan dana ini untuk membiayai pengadaan dan pengembangan

69 teknologi tepat guna yang dibutuhkan MPM untuk memperbaiki kualitas dan produktivitas usaha tanpa merusak sumberdaya pesisir dan laut. Menurut Bappenas (2005), terdapat beberapa persyaratan pengajuan dana pengembangan Teknologi Tepat Guna (TTG), yaitu : (i) Usulan kegiatan pengembangan teknologi tepat guna harus sesuai dengan hasil analisis kebutuhan MPM (ii) Usulan teknologi layak secara ekonomi/finansial. (iii) Teknologi dapat dikuasai dengan mudah, beresiko rendah dan ramah lingkungan. (iv) Konstruksi, instalasi, pengoperasian dan perawatannya sesuai dengan kemampuan teknologi di tingkat desa. (v) Permohonan bantuan dana pengembangan teknologi tepat guna diusulkan oleh kelompok masyarakat penerima manfaat bersama-sama dengan pemerintah desa. Proyek tidak akan memberikan bantuan dana kepada atas nama perorangan (individu). Masing-masing dari kelompok MPM mendapatkan barang TTG yang berbedabeda dan disesuaikan dengan kebutuhannya. Berikut ini adalah spesifikasi barang Teknologi Tepat Guna (TTG) yang telah diberikan kepada MPM sesuai dengan kebutuhan dan memenuhi persyaratan, yaitu : 1. Untuk MPM pada usaha perikanan tangkap, berupa unit alat tangkap nelayan yaitu jaring rajungan, jaring simping, tampar nilon, jaring rampus, jaring youngbun, payang, bagan dan keramba. 2. Untuk MPM pada usaha perikanan budidaya, berupa mesin, pupuk, nener, bibit bandeng, pakan, vitamin, pompa dan perbaikan lahan. 3. Untuk MPM pada usaha pengolahan hasil perikanan berupa alat pengolah terasi, peralatan untuk proses produksi (panci presto, alat pres plastik) dan mesin penggiling manual. (2). Dana Infrastruktur Sosial Ekonomi Dana infrastruktur sosial ekonomi adalah dana BLM yang akan dimanfaatkan dan digunakan untuk pembangunan/rehabilitasi infrastruktur sosial ekonomi untuk peningkatan ekonomi. Dana infrastruktur sosial ekonomi ini

70 ditetapkan besarnya tidak lebih dari 25% dari total dana BLM. Sasaran penggunaan dana ini untuk membiayai kegiatan terbuka yaitu pembangunan / rehabilitasi infrastruktur sosial ekonomi untuk peningkatan ekonomi MPM. Sistem pengajuan dana BLM dilakukan secara bertahap, yaitu : tiga kali termin pembayaran berdasarkan perkembangan kemajuan pekerjaan. Komposisi pengajuan dana BLM adalah termin pertama 40%, termin kedua 40%, dan termin terakhir 20%. Berikut adalah jenis infrastruktur sosial ekonomi yang telah dilakukan program MFCDP terhadap lokasi program, diantaranya semenisasi jalan gang, peralatan air bersih, pembuatan saluran air limbah rumah tangga, pembuatan dermaga labuh perahu nelayan, dan pembuatan tempat pembuangan sampah. Dalam rangka usaha pelestarian kegiatan program dan sebagai bentuk proses pembelajaran bagi kelompok masyarakat pemanfaat, maka inplementasi dana Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) bagi kegiatan yang bersifat menghasilkan keuntungan (profit oriented) harus diterapkan mekanisme dana bergulir. Kegiatan yang bersifat profit oriented, yaitu : pengembangan teknologi tapat guna yang mendukung usaha ekonomi produktif, untuk kegiatan ini dialokasikan dana 75% dari total dana BLM. (3). Proses Penyaluran dan Penggunaan Dana BLM Mekanisme perguliran dana BLM bagi kegiatan yang bersifat profit oriented disepakati dalam Forum Perencanaan Desa dan Forum Perencanaan Kawasan pada saat tahap perencanaan kegiatan. Untuk membantu memudahkan pengelolaan perguliran dana BLM, maka ketentuan-ketentuan dasar (aturan main pengelolaan dana) yang harus disepakati adalah sebagai berikut: (i) Pengajuan usulan pinjaman bagi kegiatan pengembangan teknologi tepat guna pada dasarnya dilakukan oleh kelompok-kelompok yang telah ada di masyarakat pesisir. Syarat penerima manfaat tersebut adalah sebagai berikut: Masyarakat miskin dan nelayan kecil; artinya masyarakat yang tidak mampu secara ekonomi dalam memenuhi kebutuhan dasar, pengertian nelayan kecil menurut Bappenas (2004) yaitu nelayan

71 yang memiliki usaha penangkapan ikan skala mikro dengan sistem operasi penangkapan ikan yang bersifat one day fishing. Bergerak dalam bidang usaha skala mikro dan memiliki potensi untuk dikembangkan, Jenis usaha yang memanfaatkan dan mengelola sumberdaya pesisir secara tradisional. (ii) Jangka waktu pinjaman sesuai dengan kesepakatan, sedangkan cara dan jadwal pengembalian dilakukan secara bertahap atau angsuran disesuaikan dengan jenis usaha atau kegiatannya. Penentuan jangka waktu pinjaman dan pengembalian yang telah disepakati dituangkan secara tertulis dalam surat perjanjian pinjaman antara kelompok Masyarakat Penerima Manfaat dengan UPK. (iii)pengembalian pinjaman dibayarkan oleh kelompok Masyarakat Penerima Manfaat melalui TPK (sebagai perpanjangan tangan UPK di tingkat desa) diteruskan kepada UPK dan disimpan di dalam rekening pengembalian/ perguliran yang dibuka pada bank setempat, sebelum dilakukan perguliran kembali. Dengan kata lain, pengelolaan perguliran dana BLM merupakan tanggung jawab UPK dan tidak menutup kemungkinan bahwa format kelembagaan UPK ke depannya dapat menjadi sebuah lembaga keuangan alternatif, jika mampu mengelola perguliran dana tersebut secara profesional. Namun demikian, perguliran dana BLM juga dapat diserahkan pengelolaannya kepada lembaga keuangan yang sudah mapan, seperti: BPR (Bank Pengkreditan Rakyat). Tetapi, hal itu harus melalui kesepakatan dalam Forum Perencanaan Kawasan. (iv) Pada intinya penggunaan jasa pinjaman adalah untuk pembiayaan operasional UPK, TPK dan FD pasca program guna menutup kerugian karena adanya kredit macet, menambah modal dana pinjaman bergulir serta kegiatan lainnya yang bermanfaat bagi masyarakat pesisir. (v) Jika masyarakat penerima manfaat di suatu desa tidak melunasi pinjamannya pada jangka waktu yang sudah ditentukan (sesuai perjanjiannya) maka dapat diberlakukan sangsi-sangsi sesuai dengan kesepakatan dalam Forum Perencanaan Kawasan. Adapun sanksi yang

72 ditetapkan diantaranya tidak diberikan perguliran dana BLM sebelum pinjaman tersebut lunas, diambil kembali barang yang sudah dipinjam lalu dibuat perjanjian yang baru. Berdasarkan pengamatan, didalam realisasi penyaluran dana BLM baik yang berupa teknologi tepat guna ataupun dalam bentuk infrastruktur sosial ekonomi sudah dapat berjalan baik dan tepat sasaran. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari pihak terkait dengan dana BLM-MFCDP diperoleh beberapa umpan balik dari responden sebagai berikut: 1. Kesesuaian pemanfaatan dana BLM; Penggunaan dana BLM-MFCDP baik TTG (Teknologi Tepat Guna) maupun infrastruktur sosial ekonomi sudah sesuai dengan peruntukannya, karena antara dana TTG dan infrastruktur saling terkait dan saling mendukung. Pemberian dana kepada MPM sudah sesuai tetapi belum mencakup secara keseluruhan masyarakat miskin perikanan karena dana BLM yang terbatas. 2. Kesesuaian aturan penggunaan dana BLM; Aturan penggunaan dana BLM sudah tepat, namun dalam hal pengelolaan perguliran, perlu ada legalisasi yang kuat yang disesuaikan dengan kondisi permasalahan yang ada di setiap desa karena selama ini aturan tersebut hanya bersifat sesuai dengan kesepakatan di masingmasing desa. Penggunaan BLM kedepannya diharapkan manfaatnya dapat dirasakan pula oleh para pedagang ikan di lokasi program sebagai tambahan modal pinjaman usaha. Jadi tidak hanya untuk TTG atau peralatan nelayan dan pengolah saja. Aturan penggunaan dana BLM sudah tepat, karena benar-benar menyentuh langsung kepada masyarakat perikanan walaupun belum seluruhnya masyarakat menerima manfaat dari program ini. Ketergantungan permodalan terhadap tengkulak mulai terputus dengan adanya BLM-MFCDP, dan dapat meningkatkan pendapatan nelayan.

73 Aturan penggunaan dana BLM-MFCDP sudah sesuai dengan petunjuk teknis dan tepat sasaran. Para nelayan kecil dan masyarakat pesisir sangat merasakan manfaatnya. 3. Harapan dari MPM terhadap dana BLM, yaitu : Perlu ada keberlanjutan program agar dana BLM dapat mencakup masyarakat miskin pesisir yang lebih luas. Instansi terkait perlu memberikan dukungan dan fasilitasi yang optimal terhadap penyaluran dan pengunaan dana BLM di masyarakat pesisir. Dalam Juknis perlu ada alokasi untuk sarana pengembangan kelembagaan ekonomi di kawasan pengelolaan seperti pembentukan koperasi agar pengelolaan dana lebih efektif. Setalah proses penyaluran dan pemanfaatan BLM oleh MPM, maka tahap selanjutnya perguliran dana BLM di masyarakat. Perguliran BLM dilakukan agar terjadi pemupukan dana BLM dan dapat membantu usaha produktif MPM daftar tunggu (masyarakat sasaran yang belum mendapat bantuan dana BLM). Untuk mengetahui sejauh mana proses perguliran dana BLM dapat dilihat dari dua indikator, yaitu: (1) jumlah dana pengembalian dari MPM; (2) jumlah dana yang digulirkan ke MPM daftar tunggu Jumlah Pengembalian Sukajaya Linduk Kubang Puji Susukan Lontar Tenjo Ayu Pedaleman Gambar 10. Tingkat Pengembalian Dana BLM di Kabupaten Serang

74 Berdasarkan Gambar 10, Desa Tenjoayu merupakan desa yang memiliki tingkat pengembalian paling tinggi yaitu sebesar Rp ,00 atau sekitar 22,4% dari total anggaran dana TTG untuk Desa Tenjo Ayu sebesar Rp ,00 bila dibandingkan dengan desa-desa lain. Hal ini jika dicermati, ada perbedaan nyata dari jenis usaha yang menjadi pilihan MPM. Desa Tenjoayu jenis usaha yang dikembangkan MPM adalah usaha tambak Bandeng dan usaha pengolahan hasil perikanan dimana kedua jenis usaha tersebut memiliki tingkat resiko usaha lebih kecil dibandingkan dengan usaha penangkapan ikan. Peran TPK yang proaktif dan cukup disegani di tingkat MPM juga mampu meminimalisir timbulnya MPM yang sengaja tidak mau membayar. Desa Lontar juga cukup tinggi tingkat pengembaliannya yaitu sebesar Rp ,00 atau sekitar 13,3% dari total anggaran dana TTG umtuk Desa Lontar yaitu sebesar Rp ,00, meskipun sebagian besar pilihan usahanya adalah penangkapan ikan. Hal ini disebabkan telah aktifnya TPI Lontar semenjak program MPCDP dan setiap MPM diwajibkan untuk mendaratkan hasil tangkapannya di TPI tersebut. Sistem pengembalian BLM dilakukan melalui pemotongan langsung dari hasil pelelangan di TPI sehingga mampu meminimalisir kemungkinan nelayan yang secara sengaja membelot. Pengelola TPK dan UPK di desa Lontar juga merupakan figur yang disegani dan dipercaya oleh masyarakat setempat dan telah menunjukan kinerja yang bagus khususnya dalam kerjasama pengelolaan TPI serta mampu membutktikan adanya kenaikan harga jual ikan di TPI yang sangat dirasakan manfaatnya oleh MPM. Sedangkan MPM nelayan di desa-desa lain tidak memiliki TPI dan penjualan hasil tangkapan sangat tergantung dengan pihak jugaran. Isu global di kawasan pengelolaan juga mempengaruhi pendapatan dari usaha MPM itu sendiri seperti cuaca, musim, kerusakan lingkungan pesisir, dan pencemaran limbah industri serta masih beroperasinya nelayan trawl dari daerah lain. Beberapa oknum juga mulai mempengaruhi persepsi MPM bahwa dana BLM yang selama ini diterima masyarakat merupakan dana hibah dan tidak perlu ada proses perguliran. Disamping itu beberapa personil TPK terkesan kurang koordinasi dan peduli terhadap keberlanjutan program baik karena kurangnya dana operasional maupun permasalahan personaliti itu sendiri.

75 6.1.3 Kendala dalam Implementasi Program MFCDP Proses implementasi program MFCDP diperlukan beberapa tahap kegiatan sehingga diperoleh proses implementasi yang tepat dan terarah. Tahapan tersebut diantaranya penggalian isu, pembahasan isu dan perencanaan program. Adapun hasil dari proses implementasi program MFCDP yaitu : 1. Tokoh masyarakat, aparat desa, dan kecamatan cukup efektif dalam mendukung program MFCDP. Ini terbukti dengan kehadirannya dalam forumforum perencanaan desa maupun kawasan yang diadakan dengan memberikan masukan-masukan pada saat forum berlangsung. Kehadiran tokoh masyarakat dan aparat desa ke dalam forum-forum tersebut tidak menutup kemungkinan dikarenakan adanya biaya tranportasi yang tergantikan dari pelaksana program yang diberikan kepada orang yang hadir dalam forum tersebut. Biaya transportasi hanya diberikan untuk kegiatan yang bersifat formal atau resmi, seperti forum perencanaan desa dan kawasan serta beberapa kegiatan sosialisasi. 2. Dalam program MFCDP, pengadaan peralatan dilakukan sendiri oleh MPM secara mandiri tanpa melibatkan pihak ketiga sperti kontraktor atau pemasok barang. Hal ini dilakukan guna memberikan keuntungan ganda. Demikian halnya dengan pengadaan sarana infrastruktur yang dikerjakan sendiri secara gotong royong dan pembelian material dilakukan sendiri secara langsung oleh masyarakat. 3. Beroperasi kembali TPI dengan adanya program MFCDP yang berdampak pada peningkatan harga jual ikan antara %, misalnya pada ikan Kakap Merah, sebelum ada TPI sebesar Rp ,00 per kg dan setelah ada TPI menjadi Rp ,00 per kg. Ini diakibatkan karena penetapan harga tidak lagi ditentukkan oleh tengkulak melainkan oleh TPI sehingga terjadi posisi tawar yang lebih tinggi terhadap hasil tangkapannya. Didalam proses implementasi terdapat beberapa kendala yang menjadi faktor penghambat bagi kelancaran program, kendala tersebut diantaranya : 1. Masih adanya penilaian dari masyarakat mengenai dana program MFCDP yang tidak harus dikembalikan atau bantuan tunai bukan program bergulir. Hal

76 ini merupakan dampak dari program pemerintah sebelumnya yang tanpa adanya proses pengembalian dan tidak ada sangsi yang jelas. 2. Hambatan kondisi iklim yang kurang menguntungkan seperti adanya ombak besar di laut dan adanya tingkat pencemaran yang semakin tinggi. Kedua hal tersebut berakibat pada tidak adanya penerimaan pendapatan dari MPM sehingga masyarakat yang sudah menerima dana BLM sulit untuk mengangsur pinjaman. 3. Faktor internal dari beberapa personil TPK terkesan kurang koordinasi dan peduli terhadap keberlanjutan program baik karena kurangnya dana operasional maupun permasalahan personaliti itu sendiri antara TPK dengan MPM. Hal itu berdampak pada macetnya proses pengembalian dana BLM. 6.2 Analisis Keragaan Program MFCDP Seperti yang sudah dijelaskan pada bab sebelumnya, bahwa tujuan dari analisis ini yaitu untuk mengetahui masalah kritis yang menjadi penghambat bagi kelangsungan usaha MPM program MFCDP sebagai suatu proses evaluasi terhadap keberlanjutan program MFCDP dan juga usaha kelompok MPM. Penulis membagi kelompok MPM program MFCDP menjadi tiga yaitu nelayan, pembudidaya dan pengolah hasil perikanan. Didalam pengukurannya, analisis ini dikaji dengan menggunakan tiga kriteria (efisiensi, keberlanjutan dan pemerataan) yang menjadi tolak ukur dari proses evaluasi dalam implementasi program MFCDP. Indikator yang digunakan dalam analisis ini yaitu ekologi, ekonomi, sosial dan kebijakan MPM Nelayan Kriteria efisiensi yaitu kriteria penilaian kinerja suatu model pengelolaan dengan melihat output yang dihasilkan model pengelolaan tersebut dibandingkan dengan output model pengelolaan lain. Dalam penelitian ini output program MFCDP sebagai model pengelolaan sumberdaya dibandingkan dengan output model pengelolaan sebelum program MFCDP diterapkan.

77 (a) Kriteria Keberlanjutan Kriteria keberlanjutan yang digunakan dalam menilai kinerja Program MFCDP dalam penelitian ini dijabarkan sebagai kemampuan Program MFCDP sebagai suatu sistem pengelolaan sumberdaya perikanan dalam mempertahankan atau meningkatkan suatu kondisi sosial dan biologis. Adapun indikator keberlanjutan sosial yang digunakan dalam penelitian ini pada MPM nelayan adalah penyelesaian konflik, sedangkan indikator keberlanjutan biologis yang digunakan adalah kondisi sumberdaya perikanan. Secara lebih rinci, setiap indikator kriteria keberlanjutan Program MFCDP akan dibahas pada bahasan di bawah ini. 1. Kondisi Sumberdaya Kondisi perairan di lokasi penelitian merupakan salah satu indikator untuk menentukan keberlanjutan dari sumberdaya perikanan. Kondisi ini membandingkan kondisi perairan pada saat penelitian dengan pada saat MFCDP diterapkan. Kondisi yang masih relatif baik dicirikan oleh warna perairan yang tidak keruh dan kondisi yang sudah tercemar dicirikan oleh warna perairan yang tingkat kekeruhannya sudah tinggi (berwarna hitam). Berdasarkan data yang sudah diolah terdapat sekitar 76% responden (29 orang) mengatakan bahwa kondisi perairan di laut sudah mulai tercemar dan sisanya sebesar 24% responden (9 orang) mengatakan kondisi perairan di laut masih relatif baik. % Responden 100% 80% 60% 40% 20% 0% 24% Masih relatif baik 76% Sudah mulai tercemar Pernyataan Responden Gambar 11. Pernyataan Responden Terhadap Kondisi Perairan Setelah MFCDP Diterapkan Dari pernyataan responden yang mengatakan bahwa kondisi perairan di laut sudah mulai tercemar akibat dari kegiatan manusia seperti pembuangan limbah industri dan adanya nelayan luar yang menggunakan alat tangkap trawl. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa limbah tersebut berasal dari

78 sebuah industri rumah tangga yang letaknya relatif cukup jauh dari lokasi penelitian, namun dilewati oleh sungai yang sama yaitu Sungai Ciujung. Berdasarkan informasi yang diperoleh, dampak dari adanya limbah yaitu perairan Sungai Ciujung menjadi berwarna hitam pekat dan menimbulkan bau tidak sedap dibandingkan dengan kondisi sebelum MFCDP diterapkan (sekitar tahun 2000) dimana warna perairan masih jauh lebih baik. Dengan kondisi yang seperti itu, sungguh ironis karena baik dari pemerintah daerah setempat maupun dinas yang terkait di bidang perikanan belum mengambil tindakan dalam hal memperbaiki kondisi perairan tersebut. 2. Keharmonisan Pengguna Sumberdaya Keharmonisan pengguna sumberdaya dijabarkan sebagai kemampuan Program MFCDP dalam meminimalisir konflik diantara pengguna sumberdaya yang diakibatkan oleh kegiatan pemanfaatan sumberdaya. Konflik akibat kegiatan pemanfaatan sumberdaya tidak terjadi antara sesama nelayan daerah yang menjadi lokasi Program MFCDP, hal ini dikarenakan cara produksi nelayan lokal yang menjadi lokasi MFCDP dalam kegiatan penangkapan ikan relatif seragam dan sederhana. Berikut ini akan dijelaskan lebih rinci mengenai keharmonisan pengguna sumberdaya yang menjadi lokasi Program MFCDP. Konflik kerap kali menjadi salah satu penyebab ketidakhamonisan antar pengguna sumberdaya. Berdasarkan hasil wawancara bahwa sekitar 92% responden (35 orang) mengatakan bahwa konflik jarang terjadi di wilayah perairan lokasi penelitian dan ada sekitar 8% responden (3 orang) mengatakan bahwa konflik tidak pernah % Responden 100% 80% 60% 40% 20% 0% 92% Jarang 8% Tidak Pernah Pernyataan Responden Gambar 12. Pernyataan Responden Terhadap Frekuensi Konflik

79 Konflik akibat kegiatan pemanfaatan sumberdaya tidak terjadi antara sesama nelayan setempat, hal ini dikarenakan cara produksi nelayan lokal dalam kegiatan penangkapan ikan relatif seragam dan tradisional. Penyebab konflik yang terjadi disini lebih dikarenakan masalah daerah penangkapan ikan dan alat tangkap. Menurut informasi, konflik yang jarang terjadi antara nelayan lokal dengan nelayan luar disebabkan pada saat keduanya sedang menangkap ikan di laut kerap kali jaring yang dipakai nelayan lokal tersangkut oleh trawl milik nelayan luar hingga akhirnya menimbulkan konflik. Penyelesaian konflik untuk masing-masing desa berbeda-beda. Misalnya saja di Desa Lontar, sekitar tahun 2000 terjadi konflik alat tangkap antar nelayan lokal dengan nelayan luar yang memakai trawl. Cara penyelesaian atas konflik yang terjadi di Desa Lontar yaitu diselesaikan secara adat dengan menangkap nelayan trawl ke Desa Lontar kemudian membakar perahu tersebut. Namun menurut pengakuan responden, nelayan sekarang sudah tidak kompak dalam hal menyelasaikan masalah yang terjadi di Perairan Lontar. Beruntung sebagian nelayan Lontar ada yang mengikuti organisasi Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI). HNSI tersebut mempunyai peran yang positif pada nelayan Desa Lontar sebagai salah satu sarana aspirasi nelayan terhadap kebijakan pemerintah maupun yang terjadi di lapangan. Konflik tersebut sudah lama terjadi sekitar tahun 2000, dimana kondisinya pada saat sebelum MFCDP ada. Namun sekitar tahun 2004 hingga sekarang sudah tidak terjadi konflik baik antara nelayan lokal dengan nelayan luar yang memakai trawl ataupun nelayan lokal dengan bukan nelayan (para penambang pasir laut). (b) Kriteria Efisiensi Indikator ekonomi yang digunakan untuk mengukur kriteria efisiensi program MFCDP adalah peningkatan produksi usaha perikanan (perikanan tangkap, budidaya dan pengolahan hasil perikanan), dan perbaikan harga komoditas. Setiap indikator kriteria efisiensi program MFCDP akan dibahas lebih lanjut pada bahasan di bawah ini.

80 1. Peningkatan Produksi Peningkatan produksi perikanan dilakukan dengan membandingkan ratarata hasil tangkapan nelayan pada waktu penelitian (Desember 2007) dengan ratarata hasil tangkapan nelayan pada kondisi sebelum Program MFCDP diterapkan (tahun 2004/tiga tahun sebelum penelitian). Hampir semua responden menyatakan bahwa rata-rata hasil tangkapan ikan menurun dari kondisi setelah program MFCDP diterapkan, 82% responden (31 orang) menyatakan bahwa rata-rata hasil tangkapan ikan setelah MFCDP diterapkan berkurang dua kali lipat, 11% responden (4 orang) menyatakan bahwa rata-rata hasil tangkapan berkurang tapi tidak banyak, dan sebesar 8% responden (3 orang) menyatakan bahwa rata-rata hasil tangkapan ikan sama saja atau tidak ada bedanya dengan kondisi setelah MFCDP diterapkan (Gambar 13). % Responden 100% 80% 60% 40% 20% 0% 82% Berkurang 2x lipat 11% 8% Berkurang tapi tidak banyak Sama saja Pernyataan Responden Gambar 13. Pernyataan Responden Terhadap Hasil Tangkapan Ikan Setelah MFCDP Diterapkan Kondisi hasil tangkapan berkurang dua kali lipat terjadi pada MPM yang bernama Asmala, dimana hasil tangkapannya (ikan teri, rebon dan lain-lain) ketika tahun 2004 (pada kondisi sebelum MFCDP) adalah 6 kuintal, sekarang (tahun 2007) menjadi 3 kuintal. Lain halnya dengan yang terjadi pada MPM bernama Saiban, hasil tangkapannya berkurang tapi tidak banyak dimana pada kondisi sebelum MFCDP adalah 50 kg dan sekarang menjadi 40 kg. Hal ini menunjukan bahwa banyak faktor yang menjadi penyebab berkurangnya hasil tangkapan ikan oleh nelayan di lokasi penelitian. Berdasarkan hasil wawancara bahwa faktor tersebut diantaranya nelayan yang menggunakan alat tangkap yang merusak lingkungan, faktor cuaca yang tidak menentu dan telah terjadi

81 pencemaran lingkungan di laut akibat pembuangan limbah industri yang dilakukan oleh sebuah perusahaan di sekitar lokasi tersebut. Faktor yang pertama yaitu telah ada sejumlah nelayan yang menggunakan alat tangkap yang merusak lingkungan diantaranya nelayan luar daerah yang menggunakan trawl dan menangkap ikan di sekitar perairan lokasi penelitian. Berdasarkan hasil wawancara bahwa nelayan luar yang dimaksud yaitu nelayan yang berasal dari daerah Karangantu, Bojonegara dan Keronjo. Nelayan setempat merasa terganggu dengan kehadiran nelayan luar yang menggunakan trawl karena alat tangkap tersebut telah membuat jumlah ketersediaan ikan menjadi berkurang dan juga kerap kali menimbulkan konflik antar nelayan setempat dengan nelayan luar yang menggunakan trawl. Menurut pengakuan responden bahwa di perairan lokasi penelitian, tidak ada nelayan yang menggunakan alat tangkap yang dapat merusak lingkungan (seperti trawl, potasium atau sianida). Oleh karena itu, adanya sejumlah nelayan luar yang menangkap ikan dengan trawl di sekitar perairan lokasi penelitian telah membuat hasil tangkapan ikan nelayan setempat menjadi berkurang. Faktor yang kedua yaitu cuaca yang akhir-akhir ini tidak menentu. Faktor ini merupakan faktor alam yang tidak bisa dihindari oleh nelayan dan merupakan faktor dari ketidakpastian sumberdaya perikanan. Faktor yang terakhir yaitu telah terjadi pencemaran lingkungan di laut akibat adanya sebuah pabrik yang membuang limbah produksinya ke sungai Ciujung, lalu limbah tersebut secara otomatis akan mengikuti arus sungai dimana arus sungai akan mengalir ke laut. Sehingga limbah yang terbawa air sungai ke laut tidak hanya sungai itu saja yang telah tercemar, melainkan perairan laut pun menjadi tercemar. Akibatnya banyak ikan-ikan yang mati (seperti udang, ikan-ikan kecil). 2. Perbaikan Harga Komoditas Seperti kita ketahui bahwa salah satu yang menjadi ciri khas dari perikanan yaitu nelayan yang sangat peka terhadap fluktuasi harga yang akan berpengaruh terhadap kondisi ekonomi masyarakat pesisir. Untuk itu diperlukan suatu penilaian mengenai apakah harga jual ikan hasil tangkapan nelayan sudah pantas atau tidak. Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil kuesioner dan wawancara bahwa terdapat alternatif / pilihan jawaban yang harus dipilih oleh

82 responden (nelayan MPM), bahwa terdapat 39% responden (15 orang) mengatakan harga jual ikan hasil tangkapan mereka saat ini terlalu rendah; dan sisanya 61% responden mengatakan harga jual ikan hasil tangkapan mereka saat ini sudah cukup (Gambar 14). % Responden 100% 80% 60% 40% 20% 0% 61% 39% Terlalu rendah Cukup Pernyataan Responden Gambar 14. Pernyataan Nelayan Mengenai Pantas Atau Tidak Terhadap Harga Jual Ikan Saat Ini Adapun alasan mereka yang menganggap harga jual ikan terlalu rendah karena menurut mereka harga tersebut tidak sebanding dengan biaya operasional selama melaut yang semakin meningkat dan juga hasil tangkapan mereka yang terus menurun. Disisi lain, sebagian responden yang mengatakan harga jual ikan saat ini dirasa sudah cukup, itu diakibatkan karena mereka menjual hasil tangkapannya melalui TPI (Tempat Pelelangan Ikan), seperti yang terjadi di Desa Lontar yang sudah memiliki TPI. Keberadaan TPI telah memberikan dampak positif bagi nelayan karena harga jual hasil tangkapan mereka menjadi tinggi bila dibandingkan dengan desa yang tidak menjual hasil tangkapannya ke TPI. Jadi berdasarkan pengamatan dapat disimpulkan bahwa salah satu faktor dari rendahnya nilai jual ikan nelayan yaitu ada atau tidaknya TPI di daerah tersebut selain faktor hasil tangkapan ikan yang semakin menurun. Di bawah ini dapat terlihat perbedaan harga jual ikan oleh nelayan yang menjual ke pengumpul dengan nelayan yang menjual ikan melalui TPI (Tabel 10).

83 Tabel 10. Perbedaan Harga Jual Ikan Nelayan Antara Ke Pengumpul Dengan Melalui TPI. Harga Ikan (Rp/kg) Jenis Ikan Ke Pengumpul Ke TPI Selisih Harga (Rp) Kakap Merah , , ,00 Kembung , , ,00 Kuro , , ,00 Rucahan 1.500, ,00 500,00 Selar , , ,00 Sembilang 6.000, , ,00 100% % Responden 80% 60% 40% 20% 0% 31% Meningkat tapi tidak banyak 66% Meningkat 2x lipat Pernyataan Responden 3% Menurun 2x lipat Gambar 15. Pernyataan Nelayan Terhadap Kondisi Harga Ikan Hasil Tangkapan Berdasarkan Gambar 15, bahwa terdapat sekitar 31% responden (12 orang) berpendapat harga ikan hasil tangkapan nelayan selama kurun waktu 5 tahun terakhir adalah meningkat tapi tidak banyak; sebesar 66% responden (25 orang) berpendapat harga ikan hasil tangkapan nelayan meningkat dua kali lipat; dan sebesar 3% responden (1 orang) berpendapat harga ikan hasil tangkapan nelayan menurun dua kali lipat. Berdasarkan pengamatan, salah satu faktor yang menyebabkan harga jual ikan hasil tangkapan mereka meningkat dua kali lipat atau meningkat tapi tidak banyak yaitu karena seiring dengan adanya kebijakan pemerintah dalam menaikan harga BBM dan kebutuhan pokok sehari-hari serta dibangunnya sarana TPI. Tetapi menurut pendapat responden bahwa sebagian besar mereka mengatakan penyebab dari harga ikan hasil tangkapan naik yaitu karena hasil tangkapan ikan semakin sedikit. Berdasarkan hasil wawancara, salah satu faktor yang menyebabkan harga ikan meningkat karena harga kebutuhan pokok terus meningkat. Namun lain halnya dengan yang terjadi di Desa Lontar yaitu dengan

84 dibangun sarana TPI di Desa Lontar sejak tahun 2005 oleh program MFCDP, kondisi harga ikan hasil tangkapan nelayan menjadi meningkat. Keberadaan TPI telah membawa dampak yang positif bagi nelayan di sekitar Desa Lontar yaitu dapat meningkatkan posisi tawar nelayan terhadap harga hasil tangkapannya. Berikut adalah perbedaan harga ikan hasil tangkapan nelayan melalui TPI di Desa Lontar sebelum MFCDP diterapkan (sekitar tahun 2004) dengan sesudah MFCDP ada (Tabel 11). Secara teoritis bahwa akibat dari keberadaan TPI, permintaan terhadap hasil tangkapan nelayan yang dijual ke TPI menjadi meningkat, nelayan banyak yang menjual hasil tangkapannya melalui TPI, sehingga harga ikan yang sudah ditetapkan oleh TPI menjadi meningkat. Tabel 11. Harga Jual Ikan oleh Nelayan Di TPI Lontar Harga Ikan (Rp/kg) Jenis Ikan Kakap Merah , ,00 Kembung 7.000, ,00 Kuro , ,00 Pari 2.500, ,00 Rucahan 1.000, ,00 Sebelah 5.000, ,00 Selar 6.000, ,00 Sembilang 4.500, ,00 Tenggiri , ,00 Tongkol 9.000, ,00 (c) Kriteria Pemerataan Kriteria pemerataan digunakan untuk mengetahui kepuasan masyarakat terhadap apa yang terjadi dan apa yang mereka dalam konteks pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut. Indikator yang digunakan dalam kriteria pemerataan adalah peranan MPM dalam pengelolaan sumberdaya, pemerataan pendapatan dan manfaat yang diperoleh MPM dari penerapan program MFCDP. Di dalam analisis ini yang akan dibahas hanya pemerataan pendapatan untuk masing-masing MPM baik nelayan, pembudidaya maupun pengolah ikan. 1. Pemerataan Pendapatan Pendapatan merupakan salah satu indikator yang akan menggambarkan status keberlanjutan program MFCDP terhadap MPM khususnya nelayan. Berdasarkan hasil wawancara bahwa sekitar 74% responden (28 orang)

85 mengatakan bahwa pendapatan nelayan setelah adanya MFCDP menjadi berkurang dua kali lipat dan ada sekitar 26% responden (10 orang) mengatakan bahwa pendapatan mereka berkurang tapi tidak banyak jika dibandingkan dengan kondisi sebelum MFCDP ada. % Responden 100% 80% 60% 40% 20% 0% 74% Berkurang 2x lipat Pernyataan Responden 26% Berkurang tapi tidak banyak Gambar 16. Pernyataan Nelayan Terhadap Pendapatan Setelah MFCDP Diterapkan Salah satu faktor yang menjadikan pendapatan nelayan berkurang yaitu karena hasil tangkapan ikan yang nelayan peroleh semakin berkurang jika dibandingkan dengan kondisi sebelum MFCDP diterapkan (tahun 2004). Seperti yang sudah dijelaskan di atas bahwa kondisi hasil tangkapan nelayan yang sebenarnya terjadi di lapangan yaitu terjadi penurunan yang diakibatkan oleh faktor alam (seperti cuaca) maupun karena faktor manusia (seperti penggunaan trawl, pencemaran limbah induastri) yang berdampak pada pendapatan nelayan menjadi berkurang. Dari pernyataan responden bahwa sekitar 26% responden mengatakan pendapatan yang mereka peroleh berkurang tapi tidak banyak. Ini dikarenakan pendapatan yang mereka peroleh tidak semata-mata dari hasil tangkapan ikan di laut sebagai nelayan melainkan terdapat pekerjaan sampingan. Pekerjaan sampingan tersebut diantaranya sebagai petani padi, kuli bangunan dan berdagang. Sedangkan sisanya sekitar 74% responden mengatakan bahwa pendapatan mereka dari hasil melaut berkurang dua kali lipat, itu lebih dikarenakan satu-satunya pekerjaan mereka yaitu nelayan sehingga tidak ada biaya untuk menutupi kerugian yang diperoleh nelayan dari hasil tangkapan.

86 Kondisi pendapatan berkurang dua kali lipat terjadi pada MPM yang bernama Darsa, dimana pendapatannya ketika tahun 2004 (pada kondisi sebelum MFCDP) adalah Rp ,00, sekarang (tahun 2007) menjadi Rp ,00. Lain halnya dengan yang terjadi pada MPM bernama Romli, pendapatannya berkurang tapi tidak banyak dimana pada kondisi sebelum MFCDP adalah Rp ,00 dan sekarang menjadi Rp , MPM Pembudidaya (a) Kriteria Keberlanjutan Adapun indikator keberlanjutan sosial yang digunakan untuk MPM pembudidaya adalah penyelesaian konflik, sedangkan indikator keberlanjutan biologis yang digunakan adalah kondisi sumberdaya perikanan. Secara lebih rinci, setiap indikator kriteria keberlanjutan Program MFCDP akan dibahas pada bahasan di bawah ini. 1. Kondisi Sumberdaya Perikanan Kondisi ini membandingkan kondisi perairan pada saat penelitian dengan pada saat MFCDP diterapkan. Kondisi yang masih relatif baik dicirikan oleh warna perairan yang tidak keruh dan kondisi yang sudah tercemar dicirikan oleh warna perairan yang tingkat kekeruhannya sudah tinggi (berwarna hitam). Berdasarkan data yang sudah diolah terdapat sekitar 83% responden (25 orang) mengatakan bahwa kondisi perairan di sekitar area pertambakan sudah mulai tercemar, sekitar 13% responden (4 orang) mengatakan kondisi perairan di sekitar area pertambakan masih relatif baik dan sisanya 4% responden (1 orang) mengatakan bahwa mereka tidak mengetahui kondisi perairan di sekitar areal pertambakan tercemar atau tidak. % Responden 100% 80% 60% 40% 20% 0% 13% Masih relatif baik 83% Sudah mulai tercemar 4% Tidak tahu Pernyataan Responden Gambar 17. Pernyataan Pembudidaya Terhadap Kondisi Perairan di Sekitar Areal Pertambakan Setelah MFCDP Diterapkan

87 Dari pernyataan responden yang mengatakan bahwa kondisi perairan di sekitar area pertambakan sudah mulai tercemar akibat dari kegiatan manusia seperti pembuangan limbah industri. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa limbah tersebut berasal dari sebuah industri rumah tangga. Berdasarkan pengamatan, dampak dari limbah yaitu warna perairan Sungai Ciujung menjadi berwarna hitam pekat dan menimbulkan bau tidak sedap dibandingkan dengan kondisi sebelum MFCDP diterapkan (sekitar tahun 2000) dimana warna perairan masih jauh lebih baik. Kondisi perairan yang semakin menurun di sekitar area pertambakan tidak hanya disebabkan oleh pembuangan limbah melainkan karena faktor alamiah yaitu adanya musim kemarau yang panjang mengakibatkan air laut memiliki salinitas yang tinggi dengan ditandai air yang terlalu asin sehingga kondisi seperti itu dapat menghambat pertumbuhan ikan yang ada di area pertambakan. Selain karena musim, faktor yang terjadi di lapangan yaitu adanya pendangkalan muara sungai akibat penebangan pohon mangrove untuk area pertambakan, akibatnya air laut sulit untuk masuk ke area pertambakan atau sirkulasi air menjadi tidak lancar. Penyebab lainnya yaitu karena adanya penggunaan bahan kimia berlebih pada lahan pertambakan. Bahan kimia yang dimaksud yaitu pupuk non organik seperti beristan dan urea. Pupuk tersebut digunakan para pembudidaya ketika tambak mereka mulai dibuka kembali untuk proses pembenihan maupun pembesaran ikan, karena pupuk tersebut dianggap dapat mempercepat tumbuhnya klekap yang nantinya menjadi sumber makanan bagi ikan. Penggunaan pupuk dan obat-obatan yang berlebihan dapat menyebabkan derajat keasaman di tambak tersebut menjadi tinggi. Kondisi ini terjadi bukan di saat MFCDP diterapkan namun kondisi ini telah terjadi sebelum MFCDP ada. Kondisi perairan di sekitar maupun di area pertambakannya sendiri, dulu tidak separah dengan kondisi sekarang. 2. Keharmonisan Pengguna Sumberdaya Berdasarkan data yang sudah diolah bahwa 100% responden (30 orang) mengatakan bahwa konflik baik antara pembudidaya maupun non pembudidaya tidak pernah ada/terjadi konflik. Adapun masalah pencemaran yang dilakukan oleh salah satu perusahaan akibat pembuangan limbah, namun hal itu tidak sampai

88 menimbulkan konflik walaupun pada kenyataannya pembudidaya sangat dirugikan atas pencemaran hingga ke area pertambakan mereka. (b) Kriteria Efisiensi 1. Peningkatan Produksi Satu siklus kegiatan budidaya ikan (seperti Bandeng) membutuhkan waktu kurang lebih 4 bulan, sementara untuk pembesaran kepiting bakau membutuhkan waktu kurang lebih 1 bulan. Siklus tersebut terdiri dari masa persiapan yang meliputi kegiatan persiapan lahan budidaya yakni tambak untuk kegiatan budidaya ikan Bandeng dan keramba untuk pembesaran kepiting, masa pemeliharaan dan masa pemanenan. Untuk kondisi hasil panennya sendiri akan terlihat pada Gambar 18, dimana terdapat 74% responden (22 orang) mengatakan bahwa kondisi hasil panennya selama 5 tahun terakhir berkurang dua kali lipat, sebesar 23% responden (7 orang) mengatakan bahwa kondisi hasil panennya selama masa satu panen telah berkurang tapi tidak banyak; sisanya 3% responden (1 orang) mengatakan bahwa kondisi hasil panennya mengalami peningkatan hingga dua kali lipat. Kondisi hasil panen berkurang dua kali lipat terjadi pada MPM yang bernama Darimin di Desa Linduk, dimana pada saat sebelum MFCDP (tahun 2004) hasil panennya mencapai 200 kg dan sekarang (tahun 2007) hasil panennya hanya mencapai 30 kg. % Responden 80% 60% 40% 20% 0% 74% Berkurang 2x lipat 3% 23% Meningkat 2x lipat Berkurang tapi tidak banyak Pernyataan Responden Gambar 18. Pernyataan Pembudidaya Terhadap Kondisi Hasil Panen di Areal Pertambakan Setelah MFCDP Diterapkan

89 Dari Gambar 18, terlihat bahwa sekitar 74% responden mengalami penurunan dua kali lipat pada kondisi hasil panennya. Kondisi hasil panen berkurang dua kali lipat terjadi pada MPM di Desa Linduk yang bernama Saban, dimana hasil panennya ketika tahun 2004 (pada kondisi sebelum MFCDP) mencapai 1 ton, kini hasil panennya hanya 500 kg. Kondisi panen berkurang tapi tidak banyak, dirasakan juga oleh MPM di Desa Tenjo Ayu bernama Yamin, dimana hasil panennya pada kondisi belum MFCDP mencapai 500 kg, kini hanya mencapai 300 kg. Lain halnya dengan yang terjadi pada MPM di Desa Kubang Puji bernama Rasmin, hasil panennya mengalami peningkatan dari 500 kg per masa panen menjadi 1 ton per masa panen. Salah satu faktor akibat kondisi hasil panen di pertambakan semakin berkurang yaitu faktor kondisi perairan. Faktor ini menjadi faktor yang memiliki kerentanan yang cukup tinggi bagi usaha budidaya. Salah satu dampaknya yaitu pertumbuhan ikan menjadi lambat sehingga pembudidaya memperpanjang masa panennya guna mendapatkan hasil panen sesuai dengan keadaan normal. Jika kita melihat pada kondisi yang sebenarnya bahwa kondisi perairan di area pertambakan terus mengalami penurunan, dapat dipastikan hasil panennya pun berbanding lurus dengan kondisi perairan. 2. Perbaikan Harga Komoditas Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil kuesioner dan wawancara bahwa terdapat alternatif / pilihan jawaban yang harus dipilih oleh responden (petambak MPM) mengenai apakah harga jual hasil panen di tambak saat ini sudah merasa cukup atau tidak, maka dapat dilihat bahwa 23% responden (7 orang) mengatakan harga jual ikan hasil di tambak mereka saat ini terlalu rendah; dan sisanya 77% responden (23 orang) mengatakan harga jual ikan hasil tangkapan mereka saat ini sudah cukup (Gambar 19). Adapun alasan harga jual ikan yang terlalu rendah yaitu karena tidak dapat menutupi biaya operasional dan tidak sebanding dengan hasil panen yang semakin menurun akibat terjadi pencemaran.

90 % Responden 100% 80% 60% 40% 20% 0% 23% 77% Terlalu rendah, alasan Cukup Pernyataan Responden Gambar 19. Pernyataan Pembudidaya Mengenai Pantas atau Tidak Terhadap Harga Jual Ikan Saat Ini Pada saat yang bersamaan, penulis menanyakan perbandingan harga jual ikan dalam kurun waktu lima tahun terakhir, dimana pada saat sebelum MFCDP diterapkan dengan ketika MFCDP sudah berjalan. Berdasarkan hasil wawancara bahwa semua responden (100% responden) mengatakan kondisi harga jual ikan dalam lima tahun terakhir ini mengalami peningkatan tapi tidak terlalu banyak. Sebagai contoh pada ikan Bandeng, rata-rata harga ikan Bandeng sebelum MFCDP (tahun 2004) yaitu Rp 7.000,00/kg dan rata-rata ikan Bandeng ketika MFCDP sudah berjalan (2007) yaitu Rp 9.000,00/kg. Dari hasil tersebut dapat diperoleh bahwa keberadaan MFCDP telah membawa dampak yang positif bagi perbaikan harga komoditas ikan untuk di daerah pertambakan. (c) Kriteria Pemerataan 1. Pemerataan Pendapatan Berdasarkan hasil data yang sudah diolah dari hasil kuesioner bahwa sekitar 67% responden (20 orang) mengatakan bahwa pendapatan pembudidaya setelah adanya MFCDP menjadi berkurang dua kali lipat, ada sekitar 27% responden (8 orang) mengatakan bahwa pendapatan mereka berkurang tapi tidak banyak jika dibandingkan dengan kondisi sebelum MFCDP ada dan sisanya sekitar 6% responden (2 orang) mengatakan bahwa pendapatan yang mereka peroleh justru meningkat dua kali lipat setelah adanya MFCDP.

91 % Responden 100% 80% 60% 40% 20% 0% 67% Berkurang 2x lipat 27% Berkurang tapi tidak banyak Pernyataan Responden 6% Meningkat 2x lipat Gambar 20. Pernyataan Pembudidaya Terhadap Pendapatan Setelah MFCDP Diterapkan Kondisi pendapatan berkurang dua kali lipat terjadi pada MPM di Desa Linduk yang bernama Jaja, dimana pendapatannya ketika tahun 2004 (pada kondisi sebelum MFCDP) adalah Rp ,00, sekarang (tahun 2007) menjadi Rp ,00. Lain halnya dengan yang terjadi pada MPM bernama Sugiri, pendapatannya berkurang tapi tidak banyak dimana pada kondisi sebelum MFCDP adalah Rp ,00 dan sekarang menjadi Rp ,00. Kondisi pendapatan pembudidaya pada lokasi penelitian sebagian besar mengalami penurunan. Kondisi ini berbeda dengan yang terjadi pada MPM di Desa Kubang Puji yang bernama Rasmin, pendaptannya mengalami peningkatan dari Rp ,00 menjadi Rp ,00. Besar kecilnya pendapatan sangat dipengaruhi oleh besar kecilnya hasil panen. Seperti yang sudah dijelaskan di atas bahwa hampir sebagian besar hasil panen yang mereka peroleh mengalami penurunan sehingga dampaknya akan terasa pada pendapatan yang mereka peroleh dari hasil panen. Meskipun ada faktor lain seperti harga, namun faktor ini tidak menjadi faktor yang utama terhadap pendapatan. Karena pada kenyataannya harga jual ikan dari hasil panen mengalami peningkatan meskipun tidak terlalu besar. Ini disebabkan karena kebutuhan akan barang-barang pokok naik. Jadi harga jual ikan menyesuaikan dengan kenaikan akan kebutuhan barang-barang pokok.

92 6.2.3 MPM Pengolah Ikan (a) Kriteria Keberlanjutan 1. Keharmonisan Pengguna Sumberdaya Didalam usaha pengolahan hasil perikanan, konflik antar pengolah ikan maupun non pengolah ikan tidak pernah ada/terjadi. Berdasarkan data yang sudah diolah bahwa terdapat 100% responden (6 orang) yang mengatakan dalam kurun waktu lima tahun terakhir ini tidak pernah ada/terjadi konflik diantara pengolah ikan maupun dengan non pengolah ikan. (b) Kriteria Efisiensi 1. Peningkatan Produksi Kondisi produksi pengolahan hasil perikanan para MPM tergantung pada ketersediaan bahan baku. Ketersediaan bahan baku juga dipengaruhi oleh kondisi hasil tambak. Para MPM pengolah membeli bahan baku utama yaitu ikan langsung kepada pembudidaya. Karena kondisi hasil tambak sedang mengalami penurunan maka dapat dipastikan kondisi untuk produksi hasil pengolahan menjadi macet atau dapat dikatakan vakum. Berdasarkan hasil wawancara bahwa semua responden mengatakan kondisi hasil produksi pengolahan mengalami penurunan dua kali lipat. Seperti yang terjadi di Desa Tenjo Ayu, seorang MPM yang bernama Rohaya, dia adalah salah satu pengolah terasi dimana usahanya sedang vakum untuk sementara waktu akibat tidak tersedianya bahan baku yang dibutuhkan untuk mengolah menjadi terasi. 2. Perbaikan Harga Komoditas Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil kuesioner dan wawancara bahwa terdapat alternatif / pilihan jawaban yang harus dipilih oleh responden, bahwa terdapat 17% responden (2 orang) mengatakan harga jual produk olahan mereka saat ini terlalu rendah; dan sisanya 83% responden (4 orang) mengatakan harga jual produk olahan mereka saat ini sudah cukup (Gambar 21). Adapun alasan responden yang mengatakan harga jual produk olahan hasil perikanan yang terlalu rendah karena harga tersebut tidak sebanding dengan biaya produksi dalam pembuatan hasil olahan perikanan sehingga resiko rugi yang ditanggung oleh responden menjadi lebih besar. Di sekitar lokasi penelitian yang sekaligus menjadi

93 lokasi program MFCDP terdapat beberapa usaha pengolahan hasil perikanan, diantaranya terdapat usaha pembuatan kerupuk, pengolahan terasi dan sate bandeng. % Responden 100% 80% 60% 40% 20% 0% 83% 17% Terlalu rendah, alasan Cukup Pernyataan Responden Gambar 21. Pernyataan Pengolah Ikan terhadap Harga Jual Produk Olahan Ikan Untuk harga produk olahan perikanan, penulis membandingkan harga produk tersebut ketika penelitian / pada saat MFCDP berlangsung (tahun 2007) dengan sebelum MFCDP ada. Bahwa diperoleh harga sebelum MFCDP (tahun 2004), untuk produk kerupuk yaitu Rp 2.000,00/kg, dan setelah MFCDP yaitu Rp 2.000,00/kg; untuk produk terasi yaitu Rp 6.000,00/kg (tahun 2004) dan Rp 8.000,00/kg (tahun 2007); dan untuk produk sate bandeng yaitu Rp 9.000,00/ekor (tahun 2004) dan Rp ,00/ekor (tahun 2007). Berdasarkan hasil wawancara bahwa 100% responden (6 orang) mengatakan harga produk olahan hasil perikanan pada kondisi lima tahun terakhir mengalami peningkatan tapi tidak banyak. (c) Kriteria Pemerataan 1. Pemerataan Pendapatan Besar kecilnya pendapatan pada usaha pengolahan hasil perikanan tergantung kepada ketersediaan bahan baku yang digunakan untuk proses produksi, kenaikan harga bahan baku maupun karena faktor cuaca akibat cara produksi yang masih bersifat tradisional. Hal ini terjadi pada usaha pengolahan hasil perikanan di lokasi penelitian, dimana salah satu yang menyebabkan besar kecilnya pendapatan yang mereka peroleh tergantung kepada yang disebutkan diatas.

94 % Responden 100% 80% 60% 40% 20% 0% 50% 50% Berkurang 2x lipat Meningkat 2x lipat Pernyataan Responden Gambar 22. Pernyataan Pengolah Ikan Terhadap Kondisi Pendapatan Setelah MFCDP Berdasarkan Gambar 22 bahwa terdapat 50% responden (3 orang) mengatakan pendapatan mereka berkurang dua kali lipat dan sisanya sebesar 50% responden (3 orang) mengatakan pendapatan mereka meningkat dua kali lipat. Pendapatan yang diperoleh untuk masing-masing pengolah ikan berbeda-beda, untuk pendapatan MPM yang mengalami penurunan dua kali lipat terjadi pada MPM di Desa Tenjo Ayu yaitu Rohaya, dengan pendapatan sebelum program MFCDP memperoleh Rp ,00, sekarang (tahun 2007) menjadi Rp ,00. Lain halnya dengan yang terjadi pada MPM di Desa Pedaleman bernama Nurjen, pendapatannya meningkat dua kali lipat dari Rp ,00 menjadi Rp ,00. Bila dilihat dari data di atas bahwa terdapat perbedaan pendapatan pada usaha pengolahan hasil perikanan. Untuk responden yang pendapatannya mengalami penurunan dua kali lipat selama kurun waktu lima tahun terakhir lebih dikarenakan ketersediaan bahan baku untuk usaha tersebut semakin berkurang. Adanya ketersediaan bahan baku yang semakin berkurang membuat sebagian pendapatan usaha pengolahan hasil perikanan menjadi berkurang. Menurut pengamatan, kejadian ini tidak berdampak pada seluruh usaha pengolahan hasil perikanan yang menjadi lokasi MFCDP. Tetapi untuk manfaat yang diperoleh MPM dan peranan MPM akan dibahas secara keseluruhan baik MPM nelayan, pembudidaya maupun pengolah ikan. Ini merupakan lanjutan dari kriteria pemerataan. Berikut adalah penjelasan mengenai peranan MPM dalam pengelolaan sumberdaya dan manfaat yang diperoleh MPM dari penerapan program MFCDP.

95 (c) Lanjutan Kriteria Pemerataan 2. Peranan MPM dalam Pengelolaan Sumberdaya Salah satu tujuan penerapan MFCDP adalah melibatkan masyarakat perikanan dalam pelaksanaan pengelolaan sumberdaya perikanan secara partisipatif dengan tetap menjaga ketersediaan sumberdaya perikanan secara berkelanjutan. Untuk indikator ini, penulis menjelaskan kondisi secara umum peranan MPM dalam pengelolaan sumberdaya perikanan. Peranan masyarakat terutama MPM secara luas terbuka dalam proses pengambilan keputusan, pelaksanaan program yang telah direncanakan, pengawasan dan evaluasi pengelolaan yang telah dilakukan. Dalam proses pengambilan keputusan, realisasi partisipasi masyarakat dapat terlihat pada aspirasi dan pemikiran masyarakat dalam membuat Rencana Pengelolaan Perikanan (RPP). 3. Manfaat yang diperoleh MPM dari Penerapan Program MFCDP Berdasarkan pengamatan, penerapan program MFCDP di Kabupaten Serang telah membawa dampak yang positif bagi kesejahteraan masyarakat terutama Masyarakat Penerima Manfaat (MPM). Akan tetapi, penerapan program MFCDP masih terdapat kendala dalam implementasi program. Berdasarkan wawancara dan pengamatan, terdapat beberapa manfaat dari penerapan program MFCDP yang telah dirasakan Pemerintah Daerah Kabupaten Serang dan MPM di lokasi MFCDP. Adapun manfaat yang dirasakan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Serang diantaranya yaitu 1. Terlaksananya Teknologi Tepat Guna (TTG) di lokasi MFCDP yang sangat penting untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas produk yang dihasilkan oleh masyarakat perikanan. 2. Adanya pemasukan retribusi yang diperoleh dari TPI Desa Lontar kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Serang yaitu sebesar 5%, yang nantinya akan masuk ke dalam PAD (Pendapatan Asli Daerah) Kabupaten Serang. Berikut adalah manfaat yang dirasakan MPM terhadap program MFCDP: 1. Telah terjadi peningkatan pendapatan MPM di beberapa desa lokasi program seperti yang terjadi di Desa Lontar, dimana pada kondisi sebelum ada TPI pendapatan nelayan sebesar Rp ,00 setelah ada TPI

96 sebesar Rp ,00 sehingga terjadi peningkatan posisi tawar nelayan terhadap harga jual ikan hasil tangkapannya. 2. Kemudahan bagi masyarakat pesisir dan nelayan kecil memperoleh dana pinjaman modal usaha yang mudah dan jasa pinjaman yang relatif rendah melalui pemberian dana BLM program MFCDP. Akibatnya banyak nelayan yang telah mandiri atau tidak lagi ketergantungan dengan juragan maupun tengkulak. 3. Kemudahan bagi MPM dan masyarakat pesisir dalam penjualan komoditas perikanan dengan dibangunnya sarana infrastruktur pendukung (jalan menuju pertambakan, TPI maupun sarana dermaga labuh perahu). 6.3 Analisis Indikator Didalam metode evaluasi program MFCDP sebelum ke analisis indikator, maka dilakukan proses identifikasi kelompok MPM dan stakeholder lain dengan cara Focus Group Discussions (FGD). FGD dilakukan untuk mengidentifikasi persepsi pemangku kepentingan dalam pelaksanaan MFCDP khususnya terhadap indikator penting MFCDP yaitu indikator domain ekologi, ekonomi, sosial dan kelembagaan. Proses FGD dalam program MFCDP dilakukan dua tingkatan yaitu (1) pada tingkat kelompok MPM dan (2) pada tingkat pengambil keputusan/ organisasi pelaksana. Berikut adalah hasil FGD yang telah dilakukan pada dua tingkatan, yaitu : 1. Tingkat Kelompok MPM Tabel 12. Hasil FGD pada Tingkat Kelompok MPM Skor No Indikator Jumlah 1 Ekologi xxxx xxxxxxxxxxxxxxxxxx 22 2 Ekonomi xxxxxxx xxxxxxxxxxxxx 22 3 Sosial xxxxxxxxx xxxxxxxxxxxxxxx 22 4 Kebijakan x xxxxxxxxxxx xxxxxxxxxx 22 Jumlah Keterangan : x = peserta FGD yang memilih FGD di tingkat stakeholder dilakukan pada tanggal 13 Agustus 2007 bertempat di Desa Tenjo Ayu dan Desa Lontar, dengan jumlah peserta 22 orang yang terdiri dari ketua TPK, bendahara UPK, ketua UPK, dan para MPM dari nelayan, pembudidaya dan pengolah ikan. Dari Tabel 12, terdapat skor yang

97 menunjukkan seberapa besar kepentingan kelompok MPM terhadap indikator domain ekologi, sosial, ekonomi dan kebijakan. Untuk angka 1 menunjukkan tidak penting; angka 2 menunjukkan penting; dan angka 3 menunjukkan sangat penting. Dari FGD yang sudah dilakukan pada tingkat kelompok MPM, dapat dilihat bahwa sebesar 18 orang/mpm memilih indikator ekologi sebagai indikator yang sangat penting dalam pengelolaan sumberdaya perikanan; sebesar 13 orang/mpm memilih indikator ekonomi sebagai indikator yang sangat penting; sebesar 15 orang/mpm memilih sangat penting untuk indikator sosial; dan sebesar 11 orang/mpm memilih penting untuk indiaktor kebijakan. Berdasarkan hasil wawancara dengan kelompok MPM, ternyata diantara keempat indikator yang ada, yang terlihat paling bermasalah yaitu pada ekologi yang sudah terjadi pencemaran. Hasil wawancara dengan hasil FGD yang sudah dilakukan ternyata menunjukkan hasil yang sama, yaitu sebagian besar MPM lebih memilih indikator ekologi yang dianggap paling penting. 2. Tingkat Stakeholder Tabel 13. Hasil FGD pada Tingkat Stakeholder Skor No Indikator Jumlah 1 Ekologi xx xxxxxxxxxxxxxxxxxxx 21 2 Ekonomi xxxxxxxxxxx xxxxxxxxxx 21 3 Sosial xxx xxxxxxxxxxxx xxxxxx 21 4 Kebijakan x xxxxxxxxx xxxxxxxxxxx 21 Jumlah Keterangan : x = peserta FGD yang memilih FGD di tingkat stakeholder dilakukan pada tanggal 14 Agustus 2007 bertempat di Bappeda Kabupaten Serang, dengan jumlah peserta 21 orang. Dari Tabel 13 terlihat bahwa yang menganggap paling banyak dari salah satu indikator tersebut sangat penting yaitu pada indikator ekologi. Berdasarkan Tabel 13 bahwa sebesar 19 orang memilih indikator ekologi sebagai indikator yang sangat penting dalam pengelolaan sumberdaya perikanan; sebesar 10 orang memilih indikator ekonomi sebagai indikator yang sangat penting; sebesar 6 orang memilih sangat penting untuk indikator sosial; dan sebesar 11 orang memilih penting untuk indiaktor kebijakan. Berdasarkan hasil FGD di tingkat stakeholder yang sudah dilakukan ternyata menunjukkan hasil yang sama dengan hasil FGD di tingkat MPM yaitu sebagian besar lebih memilih indikator ekologi yang dianggap paling

98 penting. Indikator ini merupakan sangat penting karena menurunnya kualitas air akibat pencemaran lingkungan oleh pembuangan limbah industri. Bila kita membandingkan hasil FGD yang ada di dua tingkat yaitu pada tingkat kelompok MPM dan pada tingkat stakeholder bahwa keduanya menganggap faktor ekologi sangat penting dan yang harus diperhatikan guna memperbaiki sumberdaya dan lingkungan yang sudah tercemar. 6.4 Analisis Evaluasi Keberlanjutan Analisis ini digunakan untuk mengetahui tingkat keberlanjutan dari kinerja program MFCDP. Didalam analisis ini menggunakan empat indikator yaitu indikator ekologi, ekonomi, sosial dan kebijakan. Analisis ini akan dilihat seberapa besar tingkat keberlanjutan dari kinerja program MFCDP dengan skala yang sudah ditentukan. Data yang digunakan untuk mengetahui tingkat keberlanjutan program MFCDP yaitu indikator ekologi (menggunakan data ukuran ikan yang tertangkap oleh nelayan), indikator ekonomi (menggunakan data pendapatan nelayan), indikator sosial (data frekuensi konflik) dan indikator kebijakan (data partisipasi MPM terhadap kebijakan program MFCDP) dengan asumsi semua indikator itu penting Keberlanjutan Usaha Perikanan Tangkap Dari Gambar 23 terlihat bahwa terdapat lebih dari dua indikator yaitu indikator ekologi, kebijakan dan sosial yang menunjukan nilai pada tahun 2004 lebih kecil dari tahun 2007, dan itu sekaligus menunjukan bahwa tingkat keberlanjutan pada usaha perikanan tangkap termasuk kedalam kategori tinggi. CTV untuk setiap indikator diantaranya CTV ukuran ikan yaitu 12 cm, CTV pendapatan yaitu Rp ,00 per bulan, CTV konflik yaitu nol, dan CTV partisipasi masyarakat nol.

99 Ukuran ikan , Partisipasi ,9 13,3 Pendapatan 7,6 Konflik CT V Gambar 23. Tingkat Keberlanjutan Usaha Perikanan Tangkap Terhadap Kinerja Program MFCDP Bila dilihat dari Gambar 25, nilai indikator yang menunjukan terjadi penurunan yaitu pada indikator ekonomi, dimana data yang digunakan yaitu pendapatan bersih nelayan. Nilai pendapatan sebelum MFCDP yaitu sebesar Rp ,00 per bulan dan setelah MFCDP sebesar Rp ,00 per bulan. Kondisi ini dipengaruhi beberapa faktor diantaranya tidak dimanfaatkannya Tempat Pelelangan Ikan (TPI) di desa-desa tertentu seperti Desa Sukajaya, Desa Susukan dan Desa Pedaleman, yang hanya dimanfaatkan dengan baik dan sampai saat ini masih berfungsi/berjalan yaitu di Desa Lontar saja. Sehingga peningkatan pendapatan hanya terlihat pada nelayan yang tinggal di sekitar Desa Lontar. Untuk nilai indikator ekologi, data yang digunakan yaitu ukuran ikan yang tertangkap nelayan. Nilai ukuran ikan yang tertangkap nelayan sebelum MFCDP sebesar 12,5 cm dan setelah MFCDP yaitu sebesar 13 cm. ini menunjukkan kondisi sumberdaya perikanan di perairan lokasi penelitian masih cukup baik. Untuk nilai indikator sosial menggunakan data banyaknya terjadi konflik ketika sebelum MFCDP dengan setelah MFCDP. Berdasarkan Gambar 25, konflik sebelum MFCDP pernah terjadi selama 2 kali yaitu sekitar tahun 2002 dan setelah MFCDP tidak pernah lagi terjadi konflik baik antara nelayan lokal maupun nelayan luar daerah. Penjelasan mengenai konflik yang terjadi sebelum MFCDP dapat dilihat pada pembahasan mengenai keharmonisan pengguna sumberdaya.

100 Untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan yang nyata mengenai indikator sebelum program MFCDP dengan setelah program MFCDP. Untuk itu, diperlukan pengujian dengan uji-t, dimana data yang digunakan hanyalah indikator ekologi (ukuran ikan) dan indikator ekonomi (pendapatan). 1. Indikator Ekologi (Ukuran Ikan) Langkah awal dalam pengujian uji-t yaitu membuat hipotesis terlebih dahulu. Untuk hipotesis awal atau H 0 yaitu kondisi ukuran ikan yang tertangkap nelayan baik sebelum program maupun setelah program tidak ada perbedaan atau sama saja, hipotesis alternatif atau H 1 yaitu kondisi ukuran ikan yang tertangkap nelayan sebelum program lebih kecil daripada setelah program, artinya keberadaan program telah membawa dampak yang positif. Di dalam pengujian ini selang kepercayaan yang digunakan yaitu sebesar 95% atau α = 0,05. Tabel 14 akan menjelaskan hasil analisis uji beda nyata untuk parameter ukuran ikan. Untuk contoh perhitungan mengenai uji-t ini dapat dilihat pada Lampiran 4 halaman 101. Tabel 14. Hasil Analisis Uji Beda Nyata Usaha Perikanan Tangkap Parameter Ukuran Ikan No Parameter Uji Nilai 1 t tabel 1,645 2 t hitung 1,41 *) 3 Selang Kepercayaan 0,05 Keterangan : *) Tidak signifikan pada selang kepercayaan 0,05 Sehingga wilayah kritiknya t < -1,645, karena t hitung > t tabel maka Terima H 0, yang artinya bahwa keberadaan program MFCDP bagi keberlanjutan sumberdaya perikanan tidak memberikan pengaruh yang nyata pada usaha perikanan tangkap. Walaupun secara statistik parameter ukuran ikan yang menjadi indikator ekologi hasilnya tidak signifikan terhadap usaha perikanan tangkap dengan keberadaan program MFCDP, namun dalam pengamatan di lapangan hasil tersebut menggembirakan mengingat ukuran ikan yang berada di perairan lokasi program bila dibandingkan dengan kondisi sebelum program mengalami peningkatan. 2. Indikator Ekonomi (Pendapatan)

101 Untuk hipotesis awal atau H 0 yaitu kondisi pendapatan yang diperoleh nelayan baik sebelum program maupun setelah program tidak ada perbedaan atau sama saja, hipotesis alternatifnya atau H 1 yaitu kondisi pendapatan yang diperoleh nelayan sebelum program lebih kecil daripada setelah program, artinya keberadaan program telah membawa dampak yang positif bagi keberlanjutan usaha perikanan tangkap terutama pendapatan. Di dalam pengujian ini selang kepercayaan yang digunakan yaitu sebesar 95% atau α = 0,05. Untuk contoh perhitungan mengenai uji-t dapat dilihat pada Lampiran 4 halaman 101. Tabel 15. Hasil Analisis Uji Beda Nyata Usaha Perikanan Tangkap Parameter Pendapatan. No Parameter Uji Nilai 1 t tabel 1,645 2 t hitung 3,6 *) 3 Selang Kepercayaan 0,05 Keterangan : *) Tidak signifikan pada selang kepercayaan 0,05 Sehingga wilayah kritiknya t < -1,645, karena t hitung > t tabel maka Terima H 0, yang artinya bahwa keberadaan program MFCDP bagi keberlanjutan pendapatan usaha perikanan tangkap tidak memberikan pengaruh yang nyata. Walaupun secara statistik parameter pendapatan yang menjadi indikator ekonomi hasilnya tidak signifikan terhadap usaha perikanan tangkap dengan keberadaan program MFCDP, namun dalam pengamatan di lapangan hasil tersebut menggembirakan mengingat yang terjadi di Desa Lontar bahwa terjadi peningkatan pendapatan setelah program MFCDP (dibangunnya TPI) yaitu sebesar Rp ,00 per bulan bila dibandingkan dengan kondisi sebelum program sebesar Rp ,00 per bulan Keberlanjutan Usaha Perikanan Budidaya Dari gambar 24 terlihat bahwa dua indikator yaitu indikator kebijakan dan sosial yang menunjukan nilai pada tahun 2004 lebih kecil dari tahun 2007, dan itu sekaligus menunjukan bahwa tingkat keberlanjutan pada usaha perikanan budidaya termasuk dalam kategori yang tinggi. Itu berarti bahwa kondisi usaha perikanan budidaya yang menjadi lokasi MFCDP setelah program ini diterapkan membawa dampak ke arah yang lebih baik bila dibandingkan dengan pada saat sebelum program MFCDP ada. CTV untuk setiap indikator nilainya berbeda-beda

102 untuk CTV ukuran ikan yaitu 6 ekor per kg, CTV pendapatan yaitu Rp ,00 per bulan, CTV konflik yaitu nol, dan CTV partisipasi masyarakat nol. Partisipasi (kali) Ukuran ikan (ekor/kg) ,8 0 3,7 Pendapatan (Rp/panen) Konflik (kali) CTV Gambar 24. Tingkat Keberlanjutan Perikanan Budidaya Terhadap Kinerja Program MFCDP Untuk nilai pada indikator ekologi, dimana data yang digunakan yaitu ukuran ikan sebelum MFCDP sebesar 5 ekor/kg dan sesudah MFCDP sebesar 7 ekor/kg menunjukkan kondisi pertumbuhan ikan yang semakin menurun. Ini diakibatkan karena telah terjadi pencemaran limbah industri di Sungai Ciujung semenjak tahun 2002, dimana dampak dari pencemaran berimbas pada usaha perikanan budidaya. Pertumbuhan ikan menjadi lambat akibat kondisi perairan di area pertambakan terkena limbah tersebut. Indikator ekonomi dimana data yang digunakan yaitu pendapatan petambak sebelum MFCDP sebesar Rp ,00 per masa penen dan setelah MFCDP sebesar Rp ,00 per masa panen. Indikator ini sangat berpengaruh terhadap indikator ekologi, dimana jika pertumbuhan ikan lambat maka waktu panen menjadi semakin panjang, ukuran ikan menjadi lebih kecil dan pendapatan yang akan petambak terima lebih kecil. 1. Indikator Ekologi (Ukuran Ikan) Untuk hipotesis awal atau H 0 yaitu kondisi ukuran ikan per masa panen baik sebelum program maupun setelah program tidak ada perbedaan atau sama saja, hipotesis alternatif atau H 1 yaitu kondisi ukuran ikan per masa panen sebelum program lebih kecil daripada setelah program, artinya keberadaan program telah membawa dampak yang positif. Di dalam pengujian ini selang

103 kepercayaan yang digunakan yaitu sebesar 95% atau α = 0,05. Untuk contoh perhitungan mengenai uji-t dapat dilihat pada Lampiran 7 halaman 104. Tabel 16. Hasil Analisis Uji Beda Nyata Usaha Perikanan Budidaya untuk Parameter Ukuran Ikan No Parameter Uji Nilai 1 t tabel 1,699 2 t hitung -0,525 *) 3 Selang Kepercayaan 0,05 Keterangan : *) Tidak signifikan pada selang kepercayaan 0,05 Sehingga wilayah kritiknya t < -1,699, karena t hitung > t tabel maka Terima H 0, yang artinya bahwa keberadaan program MFCDP bagi keberlanjutan sumberdaya perikanan pada usaha perikanan budidaya tidak memberikan pengaruh yang nyata atau tidak signifikan. 2. Indikator Ekonomi (Pendapatan) Untuk hipotesis awal atau H 0 yaitu kondisi pendapatan yang diperoleh pembudidaya baik sebelum program maupun setelah program tidak ada perbedaan atau sama saja, hipotesis alternatifnya atau H 1 yaitu kondisi pendapatan yang diperoleh pembudidaya sebelum program lebih kecil daripada setelah program, artinya keberadaan program telah membawa dampak yang positif bagi keberlanjutan usaha perikanan budidaya terutama pendapatan. Di dalam pengujian ini selang kepercayaan yang digunakan yaitu sebesar 95% atau α = 0,05. Untuk contoh perhitungan mengenai uji-t dapat dilihat pada Lampiran 7 halaman 104. Tabel 17. Hasil Analisis Uji Beda Nyata Usaha Perikanan Budidaya untuk Parameter Pendapatan No Parameter Uji Nilai 1 t tabel 1,699 2 t hitung 1,114 *) 3 Selang Kepercayaan 0,05 Keterangan : *) Tidak signifikan pada selang kepercayaan 0,05 Sehingga wilayah kritiknya t < -1,699, karena t hitung > t tabel maka Terima H 0, yang artinya bahwa keberadaan program MFCDP bagi keberlanjutan pendapatan pada

104 usaha perikanan budidaya tidak memberikan pengaruh yang nyata atau tidak signifikan Kebelanjutan Usaha Pengolahan Hasil Perikanan CTV untuk setiap indikator nilainya berbeda-beda untuk CTV bahan baku yaitu 14 kg, CTV pendapatan yaitu Rp ,00 per bulan, CTV konflik yaitu nol, dan CTV partisipasi masyarakat nol. Dari gambar 25 terlihat bahwa terdapat tiga indikator yaitu indikator ekonomi, kebijakan dan sosial yang menunjukan nilai pada tahun 2004 lebih kecil dari tahun 2007, dan itu sekaligus menunjukan bahwa tingkat keberlanjutan pada usaha pengolahan hasil perikanan termasuk dalam kategori tinggi. Bahan baku 20 17, Partisipasi , ,25 Pendapatan Konflik CTV Gambar 25. Tingkat Keberlanjutan Usaha Pengolahan Hasil PerikananTerhadap Kinerja Program MFCDP Untuk indikator ekologi, data yang digunakan yaitu jumlah bahan baku, dimana nilainya sebelum MFCDP sebesar 17,5 kg dan setelah MFCDP sebesar 10 kg. Semakin berkurangnya pasokan bahan baku untuk produksi menjadikan faktor penghambat bagi usaha pengolahan hasil perikanan. Kondisi ini tak lain akibat dari kondisi sumberdaya pesisir di area pertambakan yang mengalami pencemaran, karena bahan baku diperoleh dari hasil panen di pertambakan. Nilai

105 pendapatan dari indikator ekonomi sebelum program sebesar Rp ,00 per bulan dan setelah program yaitu sebesar Rp ,00 per bulan. 1. Indikator Ekologi (Ketersediaan Bahan Baku) Untuk hipotesis awal atau H 0 yaitu kondisi ketersediaan bahan baku pada usaha pengolahan hasil perikanan baik sebelum program maupun setelah program tidak ada perbedaan atau sama saja, hipotesis alternatif atau H 1 yaitu kondisi ketersediaan bahan baku pada usaha pengolahan hasil perikanan sebelum program lebih kecil daripada setelah program, artinya keberadaan program telah membawa dampak yang positif. Di dalam pengujian ini selang kepercayaan yang digunakan yaitu sebesar 95% atau α = 0,05. Untuk contoh perhitungan mengenai uji-t dapat dilihat pada Lampiran 9 halaman 106. Tabel 18. Hasil Analisis Uji Beda Nyata Usaha Pengolahan Hasil Perikanan untuk Parameter Ukuran Ikan No Parameter Uji Nilai 1 t tabel 2,015 2 t hitung 2,44 *) 3 Selang Kepercayaan 0,05 Keterangan : *) Tidak signifikan pada selang kepercayaan 0,05 Sehingga wilayah kritiknya t < -2,015, karena t hitung > t tabel maka Terima H 0, yang artinya bahwa keberadaan program MFCDP bagi keberlanjutan sumberdaya pesisir dalam hal ini yaitu ketersediaan bahan baku bagi kelangsungan usaha pengolahan hasil perikanan tidak memberikan pengaruh yang nyata atau tidak signifikan 2. Indikator Ekonomi (Pendapatan) Untuk hipotesis awal atau H 0 yaitu kondisi pendapatan yang diperoleh pengolah ikan baik sebelum program maupun setelah program tidak ada perbedaan atau sama saja, hipotesis alternatifnya atau H 1 yaitu kondisi pendapatan yang diperoleh pengolah ikan sebelum program lebih kecil daripada setelah program, artinya keberadaan program telah membawa dampak yang positif bagi keberlanjutan usaha pengolahan hasil perikanan terutama pendapatan. Di dalam pengujian ini selang kepercayaan yang digunakan yaitu sebesar 95% atau α =

106 0,05. Untuk contoh perhitungan mengenai uji-t dapat dilihat pada Lampiran 9 halaman 106. Tabel 19. Hasil Analisis Uji Beda Nyata Usaha Pengolahan Hasil Perikanan untuk Parameter Pendapatan No Parameter Uji Nilai 1 t tabel 2,015 2 t hitung -0,145 *) 3 Selang Kepercayaan 0,05 Keterangan : *) Tidak signifikan pada selang kepercayaan 0,05 Sehingga wilayah kritiknya t < -1,699, karena t hitung > t tabel maka Terima H 0, yang artinya bahwa keberadaan program MFCDP bagi keberlanjutan pendapatan pada usaha pengolahan hasil perikanan tidak memberikan pengaruh yang nyata. Walaupun secara statistik parameter pendapatan yang menjadi indikator ekonomi hasilnya tidak signifikan terhadap usaha pengolahan hasil perikanan dengan keberadaan program MFCDP, namun dalam pengamatan di lapangan hasil tersebut menggembirakan mengingat yang terjadi di Desa Tenjo Ayu bahwa terjadi peningkatan pendapatan setelah program MFCDP (peningkatan teknologi) yaitu sekitar Rp ,00 per bulan bila dibandingkan dengan kondisi sebelum program sebesar Rp ,00 per bulan.

107 VII. KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 Kesimpulan 1) Mekanisme pengelolaan Program MFCDP terdiri dari (1) tahap perencanaan; telah melalui mekanisme struktur organisasi, pemilihan lokasi kecamatan dan desa serta pemilihan MPM, (2) tahap pelaksanaan telah melalui sosialisasi kegiatan, peningkatan kapasitas sumberdaya manusia, penyaluran Bantuan Langsung Masyarakat, dan tekonologi tepat guna. 2) Pada tahap perencanaan program yaitu pada saat pemilihan MPM menunjukkan kurang selektifnya dalam memilih calon MPM yang ditentukan sendiri oleh masyarakat yang tidak sesuai dengan syarat dan kriteria calon MPM sehingga pemilihan calon MPM menjadi tidak tepat sasaran. 3) Kendala dalam implementasi program MFCDP diantaranya (1). Masih adanya pernyataan dari masyarakat mengenai dana program MFCDP yang tidak harus dikembalikan atau bantuan tunai bukan program bergulir. Hal ini merupakan dampak dari program pemerintah sebelumnya yang tanpa adanya proses pengembalian dan tidak ada sangsi yang jelas, (2). Hambatan kondisi iklim yang kurang menguntungkan seperti adanya ombak besar di laut dan adanya tingkat pencemaran yang semakin tinggi. Kedua hal tersebut berakibat pada tidak adanya penerimaan pendapatan dari MPM sehingga masyarakat yang sudah menerima dana BLM sulit untuk mengangsur pinjaman, dan (3). Faktor internal dari beberapa personil TPK terkesan kurang koordinasi dan peduli terhadap keberlanjutan program baik karena kurangnya dana operasional

108 maupun permasalahan personaliti itu sendiri antara TPK dengan MPM. Hal itu berdampak pada macetnya proses pengembalian dana BLM. 4) Berdasarkan analisis evaluasi keberlanjutan pada usaha perikanan tangkap bahwa tingkat keberlanjutan terhadap implementasi program MFCDP untuk perikanan tangkap termasuk kedalam kategori tinggi, yang artinya program MFCDP telah berhasil membawa dampak yang lebih baik bagi MPM nelayan terhadap peningkatan kesejahteraan hidup yang diukur berdasarkan indikator yang ada (ekologi, ekonomi, sosial dan kebijakan). 5) Berdasarkan analisis evaluasi keberlanjutan pada usaha perikanan budidaya bahwa tingkat keberlanjutan terhadap implementasi program MFCDP untuk usaha perikanan budidaya termasuk kedalam kategori tinggi, yang artinya program MFCDP telah berhasil membawa dampak yang lebih baik bagi MPM pembudidaya terhadap peningkatan kesejahteraan hidup yang diukur berdasarkan indikator yang ada (ekologi, ekonomi, sosial dan kebijakan). 6) Berdasarkan analisis evaluasi keberlanjutan pada usaha pengolahan hasil perikanan bahwa tingkat keberlanjutan terhadap implementasi program MFCDP untuk usaha pengolahan hasil perikanan termasuk kedalam kategori tinggi, yang artinya program MFCDP telah berhasil membawa dampak yang lebih baik bagi MPM pengolah ikan terhadap peningkatan kesejahteraan hidup yang diukur berdasarkan indikator yang ada (ekologi, ekonomi, sosial dan kebijakan). 7.2 Saran 1) Perlu ada solusi/kebijakan yang tepat dari Pemerintah Daerah Kabupaten Serang mengenai penanganan limbah industri yang menyebabkan perairan menjadi tercemar karena jika dibiarkan akan menambah merugikan masyarakat sekitar yang hidupnya bergantung dengan kondisi perairan setempat. 2) Dalam pengelolaan program MFCDP, masyarakat masih sangat membutuhkan bantuan dari pemerintah daerah setempat maupun dinas terkait. Bantuan yang sangat diperlukan yaitu berupa penyuluhan dari pemerintah daerah setempat

109 maupun pihak luar dalam rangka meningkatkan kapasitas sumberdaya manusia dalam melaksanakan pengelolaan program MFCDP. 3) Diperlukan pengawasan terhadap pemilihan calon MPM agar tepat sasaran kepada masyarakat yang benar-benar membutuhkan manfaat dari program MFCDP. 4) Perlu diberikan pemahaman yang lebih dalam lagi kepada Masyarakat Penerima Manfaat (MPM) bahwa dana bantuan yang diberikan melalui program MFCDP adalah pinjaman yang harus dikembalikan. Untuk mengatasi kesulitan MPM membayar cicilan pengembalian pada saat tidak musim ikan sebaiknya dianjurkan untuk membayar cicilan pinjaman dengan nilai yang lebih besar pada saat pendapatan cukup besar di musim ikan. 5) Diperlukan kerjasama dan koordinasi yang kuat baik antara pengelola di tingkat desa maupun di tingkat pusat agar program dapat berjalan dengan lancar. 6) Diperlukan penelitian lanjutan yang berkenaan dengan aspek kesejahteraan masyarakat perikanan terutama masyarakat penerima manfaat program MFCDP sehingga dapat mengetahui sejauhmana penerapan program MFCDP dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat perikanan.

110 DAFTAR PUSTAKA Adrianto L Mempertajam Platform Pembangunan Berbasis Sumberdaya Alam Perikanan dan Kelautan yang Berkelanjutan. Bogor : Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor Pendekatan dan Metodologi Evaluasi Program Perikanan : Participatory Qualitative Modeling. Bogor : Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor. Amanah S Diktat Kuliah Komunikasi Pembangunan. Bogor: Departemen Sosial Ekonomi Perikanan dan Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bappenas Pedoman Umum Program Pengembangan Masyarakat Pesisir Nelayan Kecil (MFCDP). Jakarta: Sekretariat Program MFCDP, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Petunjuk Teknis Program Pengembangan Masyarakat Pesisir dan Nelayan Kecil; Marginal Fishing Community Development Pilot (MFCDP). Jakarta: Sekretariat Program MFCDP, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Profil Usaha Perikanan Kelompok MPM Program MFCDP. Jakarta : Sekretariat Program MFCDP, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Charles A Sustainable Fishery Systems. Blackwell Sciences. London, UK.

111 Dahuri R Pendayagunaan Sumberdaya Kelautan Untuk Kesejahteraan Rakyat. Jakarta : LISPI. 146 hal DKP Pemberdayaan dan Pengembangan Ekonomi Rakyat Sektor Kelautan dan Perikanan. [Buletin KP3K]. Jakarta : Departemen Kelautan dan Perikanan. Fahrudin A Statistika Sosial Ekonomi. [Diktat Kuliah]. Bogor : Institut Pertanian Bogor. Fauzi A Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama. Kusumastanto T Reposisi Ocean Policy Dalam Pembangunan Eknomi Indonesia di Era Otonomi Daerah. Bogor : Institut Pertanian Bogor Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Lautan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) Pasca Bencana Tsunami. [Ringkasan Seminar]. Bogor : Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor. Nazir M Metode Penelitian. Cetakan ke-5. Jakarta : Ghalia Indonesia. Nikijuluw Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. Jakarta : PT Pustaka Cidesindo. Putra KM Muhammadiyah dan Pemberdayaan Kaum Marjinal. [Artikel]. 4&kat_id=105&kat_id1=147&kat_id2=291. Walpole RE Pengantar Statistika. Edisi ke-3. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.

112 LAMPIRAN

113 Lampiran 1. Sketsa Lokasi Program MFCDP, Kabupaten Serang, Provinsi Banten Sumber : Rencana Pengelolaan Perikanan Kabupaten Serang (2005)

114 Keterangan : 1. Desa Sukajaya 5. Desa Lontar 2. Desa Linduk 6. Desa Tenjo Ayu 3. Desa Kubang Puji 7. Desa Pedaleman 4. Desa Susukan Lampiran 2. Data Ukuran Ikan yang Tertangkap Nelayan Sebelum dan Sesudah Program MFCDP Ukuran Ikan (cm) di (gap) di 2 No

115 Median 12,5 13 Jumlah Rata-rata 0, Lampiran 3. Data Pendapatan Nelayan Sebelun dan Sesudah Program Pendapatan (Rp/bln) di (gap) di 2 No E E E E E E E E E E E E E E E E E E E+10

116 E E E E E E E E E E E E E E E+13 Median Jumlah E+14

117 Lampiran 4. Perhitungan Uji-t untuk Usaha Perikanan Tangkap 1. Pendapatan 2. Ukuran Ikan H 0 : u 1 = u 2 α = 0,05 n = 38 H 0 : u 1 = u 2 α = 0,05 n = 38 H 1 : u 1 < u 2 t < tα t tabel = 1,645 H 1 : u 1 < u 2 t < tα t tabel = 1,645 Diketahui : - di = d = ,711 Diketahui : - di = 21 d = 0.55 di 2 = 2E+14 di 2 = 101 Dimana : u 1 : Pendapatan nelayan sebelum program MFCDP (tahun 2004) Dimana : u 1 : Ukuran ikan yang tertangkap nelayan sebelum program u 2 : Pendapatan nelayan setelah program MFCDP (tahun 2007) u 2 : Ukuran ikan yang tertangkap nelayan setelah S 2 d = ( n)( 2 di ) ( ( n)( n 1) di) 2 t = d do Sd / n S 2 d = ( n)( 2 di ) ( ( n)( n 1) di) 2 t = d do 2 2 (38)(2E + 14) ( ) ,711 0 (38)(101) (21) 0,55 0 = t = = t = (38)(38 1) ,012/ 38 (38)(38 1) 1,55/ 38 = -2,92889E+11 = 3,6 = 2,42 = 2,2 Sd = 2,92889E + 11 Sd = 2, 42 = ,012 = 1,55 Karena t hitung > t tabel maka Terima H 0, yang artinya bahwa keberadaan program Karena t hitung > t tabel maka Terima H 0, yang artinya bahwa keberadaan MFCDP bagi keberlanjutan usaha perikanan tangkap tidak memberikan program MFCDP bagi keberlanjutan ekologi tidak memberikan pengaruh yang positif atau sama saja. pengaruh yang positif atau sama saja. Sd / n

118 Lampiran 5. Data Ukuran Ikan Hasil Panen di Pertambakan Ukuran Ikan (ekor/kg) No di (gap) di Median Jumlah Rata-rata -1,8 -

119 Lampiran 6. Data Pendapatan Pembudidaya Sebelum dan Sesudah Program Pendapatan (Rp/panen) No di (gap) di ,61E ,5E ,29E ,1329E ,41E ,8561E ,1009E ,41E ,41E ,8561E ,1329E ,1357E ,41E ,0049E ,41E ,69E ,369E ,8809E ,0694E ,576E ,209E ,25E ,21E ,364E ,916E ,89E ,25E ,041E ,7563E ,5063E+13 Median Jumlah ,2E+14 Rata-rata ,67 -

120 Lampiran 7. Perhitungan Uji-t untuk Usaha Perikanan Budidaya 1. Pendapatan 2. Ukuran Ikan H 0 : u 1 = u 2 α = 0,05 n = 30 H 0 : u 1 = u 2 α = 0,05 n = 30 H 1 : u 1 < u 2 t < tα t tabel = 1,699 H 1 : u 1 < u 2 t < tα t tabel = 1,699 Diketahui : - di = d = ,67 Diketahui : - di = -54 d = -1,8 di 2 = 4,2E+14 di 2 = 200 Dimana : u 1 : Pendapatan pembudidaya sebelum program MFCDP (tahun 2004) Dimana : u 1 : Ukuran ikan hasil panen di tambak sebelum program u 2 : Pendapatan pembudidaya setelah program MFCDP (tahun 2007) u 2 : Ukuran ikan hasil panen di tambak setelah program S 2 d = ( n)( 2 di ) ( ( n)( n 1) di) 2 t = d do Sd / n S 2 d = ( n)( 2 di ) ( ( n)( n 1) di) 2 t = d do 2 2 (30)(4,2E + 14) ( ) ,67 0 (30)(200) ( 54) 1,8 0 = t = = t = (30)(30 1) ,39/ 30 (30)(30 1) 1,88/ 30 = 1,01463E+13 = 1,14 = 3,545 = -0,525 Sd = 1,01463E + 13 Sd = 3, 545 = ,39 = 1,88 Karena t hitung > t tabel maka Terima H 0, yang artinya bahwa keberadaan program Karena t hitung > t tabel maka Terima H 0, yang artinya bahwa keberadaan MFCDP bagi keberlanjutan usaha perikanan budidaya tidak memberikan ekologi pada usaha perikanan budidaya tidak memberikan pengaruh pengaruh yang positif atau sama saja. yang positif atau sama saja. Sd / n

121 Lampiran 8. Data Responden untuk Usaha Pengolahan Perikanan Sebelum dan Sesudah Program. No Jenis Usaha Ketersediaan bhn baku (Kg) di di Kerupuk Udang Kerupuk Udang Terasi Terasi Sate Bandeng Sate Bandeng Median 17, Jumlah Rata-rata 5,83 - Pendapatan (Rp/prod) No Jenis Usaha di di 2 1 Kerupuk Udang E+12 2 Kerupuk Udang E+12 3 Terasi ,25E+12 4 Terasi ,9303E+11 5 Sate Bandeng ,5E+11 6 Sate Bandeng E+10 Median Jumlah ,43E+12 Rata-rata ,33

122 Lampiran 9. Perhitungan Uji-t untuk Usaha Pengolahan Hasil Perikanan 1. Pendapatan 2. Ketersediaan Bahan Baku H 0 : u 1 = u 2 α = 0,05 n = 6 H 0 : u 1 = u 2 α = 0,05 n = 6 H 1 : u 1 < u 2 t < tα t tabel = 2,015 H 1 : u 1 < u 2 t < tα t tabel = 2,015 Diketahui : - di = d = Diketahui : - di = 35 d = 5,83 di 2 = 5,433E+12 di 2 = 375 Dimana : u 1 : Pendapatan pengolah ikan sebelum program MFCDP (tahun 2004) Dimana : u 1 : Jumlah bahan baku pengolah ikansebelum program u 2 : Pendapatan pengolah ikan setelah program MFCDP (tahun 2007) u 2 : Jumlah bahan baku pengolah ikan setelah program S 2 d = ( n)( 2 di ) ( ( n)( n 1) di) 2 t = d do Sd / n S 2 d = ( n)( 2 di ) ( ( n)( n 1) di) 2 t = d do 2 2 (6)(5,433E + 12) ( ) (6)(375) (35) 5,83 0 = t = = t = (6)(6 1) ,052/ 6 (6)(6 1) 5,85/ 6 = 1,043E+12 = 0,145 = 34,167 = 2,44 Sd = 1,043E + 12 Sd = 34, 167 = ,052 = 5,85 Karena t hitung > t tabel maka Terima H 0, yang artinya bahwa keberadaan program Karena t hitung > t tabel maka Terima H 0, yang artinya bahwa keberadaan MFCDP bagi keberlanjutan usaha pengolahan hasil perikanan tidak program MFCDP bagi ketersediaan bahan baku usaha pengolahan memberikan pengaruh yang positif atau sama saja. Perikanan tidak memberikan pengaruh yang positif atau sama saja. Sd / n

123 Lampiran 10. Organisasi Pengelola Program MFCDP DEPKEU DEPDAGRI PIMPRO Sekretariat Pusat DKP WORLD BANK Pokja-Nas TP-Nas BAPPENAS BUPATI Bappeda Pokja-Kab Learning Team Daerah Kabupaten DKP BPMD Fasilitator Kabupaten CAMAT Kecamatan PjOK & PjAK KK UPK KEPALA DESA Desa TPK FD Lampiran 4. Alur Mekanisme MASYARAKAT Forum Perencanaan PENERIMA Program MANFAAT MFCDP Keterangan : Sumber : Bappenas (2005) Garis Dukungan Garis Koordinasi Garis Pelaporan Garis Bantuan Manajemen &Teknis

124 Lampiran 11. Form Surat Pemberian Dana BLM kepada MPM Program MFCDP KUITANSI Telah diterima dari Uang Sebesar Terbilang Untuk Keperluan : Unit Pengelola Kegiatan, Kecamatan... :...(dengan huruf) : Rp...(dengan angka) : Pembayaran biaya... Untuk kegiatan... Atas nama......,... Yang Memberi Ketua UPK Yang Menerima, (...) (...) Menyetujui, Koordinator Kawasan (...) Sumber : Bappenas, 2005

125 Lampiran 12. Daftar Harga Ikan Di TPI Lontar PERIODE PRODUKSI Sebelum TPI Produksi JENIS IKAN Min Max Min Max Min Max Min Max Bahar Bawal Hitam Bawal Putih Cucut Bekem Cucut Melem Cumi Hiu Kakap Batu Kakap Merah Kakap Putih Kawang-kawang Kedukang Kembung Banjar Kembung Gepeng Kerisi Kuro Besar Kuro Kecil Kuro Sedang Lemper Manyung Pari Manuk Pari Mondol Pari Pasir Pe Kodok Rucahan Sebelah Selar Bentong Selar Comon Selar Kuning Sembilang Tenggiri Tengkek Tongkol Tunul Werejun (Kaca Piring) Sumber : Tempat Pelelangan Ikan Desa Lontar, Kabuipaten Serang (2007)

126 Lampiran 13. Dokumentasi Penelitian Kondisi Perairan S.Ciujung Hasil FGD FGD Tingkat MPM FGD Tingkat Stakeholder Proses Pelengan Ikan di TPI Lontar Proses FGD

STUDI KEBERLANJUTAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT PERIKANAN MARJINAL DI KABUPATEN SERANG, PROVINSI BANTEN

STUDI KEBERLANJUTAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT PERIKANAN MARJINAL DI KABUPATEN SERANG, PROVINSI BANTEN STUDI KEBERLANJUTAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT PERIKANAN MARJINAL DI KABUPATEN SERANG, PROVINSI BANTEN LUMITA SKRIPSI PROGRAM STUDI MANAJEMEN BISNIS DAN EKONOMI PERIKANAN-KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

KEMANDIRIAN PEREMPUAN PENGOLAH HASIL PERIKANAN DI DESA MUARA, KECAMATAN WANASALAM, KABUPATEN LEBAK, PROVINSI BANTEN

KEMANDIRIAN PEREMPUAN PENGOLAH HASIL PERIKANAN DI DESA MUARA, KECAMATAN WANASALAM, KABUPATEN LEBAK, PROVINSI BANTEN KEMANDIRIAN PEREMPUAN PENGOLAH HASIL PERIKANAN DI DESA MUARA, KECAMATAN WANASALAM, KABUPATEN LEBAK, PROVINSI BANTEN Oleh : MAYA RESMAYANTY C44101004 PROGRAM STUDI MANAJEMEN BISNIS DAN EKONOMI PERIKANAN-KELAUTAN

Lebih terperinci

BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR

BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR 5.1. Visi dan Misi Pengelolaan Kawasan Konservasi Mengacu pada kecenderungan perubahan global dan kebijakan pembangunan daerah

Lebih terperinci

STUDI PENGELOLAAN KAWASAN PESISIR UNTUK KEGIATAN WISATA PANTAI (KASUS PANTAI TELENG RIA KABUPATEN PACITAN, JAWA TIMUR)

STUDI PENGELOLAAN KAWASAN PESISIR UNTUK KEGIATAN WISATA PANTAI (KASUS PANTAI TELENG RIA KABUPATEN PACITAN, JAWA TIMUR) STUDI PENGELOLAAN KAWASAN PESISIR UNTUK KEGIATAN WISATA PANTAI (KASUS PANTAI TELENG RIA KABUPATEN PACITAN, JAWA TIMUR) ANI RAHMAWATI Skripsi DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH BUNGA PRAGAWATI Skripsi DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

VALUASI EKONOMI EKOSISTEM TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA RETNO ANGGRAENI

VALUASI EKONOMI EKOSISTEM TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA RETNO ANGGRAENI VALUASI EKONOMI EKOSISTEM TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA RETNO ANGGRAENI PROGRAM STUDI MANAJEMEN BISNIS DAN EKONOMI PERIKANAN KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN 51 III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Teori Selama ini, pengelolaan sumberdaya perikanan cenderung berorientasi pada pertumbuhan ekonomi semata dengan mengeksploitasi sumberdaya perikanan secara besar-besaran

Lebih terperinci

SISTEM PEMASARAN HASIL PERIKANAN DAN KEMISKINAN NELAYAN (Studi Kasus: di PPI Muara Angke, Kota Jakarta Utara)

SISTEM PEMASARAN HASIL PERIKANAN DAN KEMISKINAN NELAYAN (Studi Kasus: di PPI Muara Angke, Kota Jakarta Utara) SISTEM PEMASARAN HASIL PERIKANAN DAN KEMISKINAN NELAYAN (Studi Kasus: di PPI Muara Angke, Kota Jakarta Utara) SKRIPSI WINDI LISTIANINGSIH PROGRAM STUDI MANAJEMEN BISNIS DAN EKONOMI PERIKANAN-KELAUTAN FAKULTAS

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki wilayah perairan yang luas, yaitu sekitar 3,1 juta km 2 wilayah perairan territorial dan 2,7 juta km 2 wilayah perairan zona ekonomi eksklusif (ZEE)

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA GAYA KEPEMIMPINAN DENGAN PENCAPAIAN PRESTASI KERJA KARYAWAN DI TAMAN AKUARIUM AIR TAWAR, TAMAN MINI INDONESIA INDAH, JAKARTA

HUBUNGAN ANTARA GAYA KEPEMIMPINAN DENGAN PENCAPAIAN PRESTASI KERJA KARYAWAN DI TAMAN AKUARIUM AIR TAWAR, TAMAN MINI INDONESIA INDAH, JAKARTA HUBUNGAN ANTARA GAYA KEPEMIMPINAN DENGAN PENCAPAIAN PRESTASI KERJA KARYAWAN DI TAMAN AKUARIUM AIR TAWAR, TAMAN MINI INDONESIA INDAH, JAKARTA RYANI MUTIARA HARDY PROGRAM STUDI MANAJEMEN BISNIS DAN EKONOMI

Lebih terperinci

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI ANALISIS INSTITUSI KONSERVASI DI KAWASAN TAMAN NASIONAL UJUNG KULON, DESA TAMANJAYA, KAMPUNG CIBANUA, KECAMATAN SUMUR, KABUPATEN PANDEGLANG, PROVINSI BANTEN MONIKA BR PINEM PROGRAM STUDI MANAJEMEN BISNIS

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan, memiliki 18 306 pulau dengan garis pantai sepanjang 106 000 km (Sulistiyo 2002). Ini merupakan kawasan pesisir terpanjang kedua

Lebih terperinci

ANALISIS STRATEGI PEMASARAN PARIWISATA PANTAI PARANGTRITIS PASCA GEMPA BUMI DAN TSUNAMI DI KABUPATEN BANTUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

ANALISIS STRATEGI PEMASARAN PARIWISATA PANTAI PARANGTRITIS PASCA GEMPA BUMI DAN TSUNAMI DI KABUPATEN BANTUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA ANALISIS STRATEGI PEMASARAN PARIWISATA PANTAI PARANGTRITIS PASCA GEMPA BUMI DAN TSUNAMI DI KABUPATEN BANTUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA HARY RACHMAT RIYADI PROGRAM STUDI MANAJEMEN BISNIS DAN EKONOMI PERIKANAN-KELAUTAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Telah menjadi kesepakatan nasional dalam pembangunan ekonomi di daerah baik tingkat

I. PENDAHULUAN. Telah menjadi kesepakatan nasional dalam pembangunan ekonomi di daerah baik tingkat I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Telah menjadi kesepakatan nasional dalam pembangunan ekonomi di daerah baik tingkat Provinsi/Kabupaten/Kota pada seluruh pemerintahan daerah bahwa pelaksanaan pembangunan

Lebih terperinci

KAJIAN SUMBERDAYA DANAU RAWA PENING UNTUK PENGEMBANGAN WISATA BUKIT CINTA, KABUPATEN SEMARANG, JAWA TENGAH

KAJIAN SUMBERDAYA DANAU RAWA PENING UNTUK PENGEMBANGAN WISATA BUKIT CINTA, KABUPATEN SEMARANG, JAWA TENGAH KAJIAN SUMBERDAYA DANAU RAWA PENING UNTUK PENGEMBANGAN WISATA BUKIT CINTA, KABUPATEN SEMARANG, JAWA TENGAH INTAN KUSUMA JAYANTI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas laut dan jumlah pulau yang besar. Panjang garis pantai Indonesia mencapai 104.000 km dengan jumlah

Lebih terperinci

UPAYA PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MELALUI PENYULUHAN KEHUTANAN

UPAYA PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MELALUI PENYULUHAN KEHUTANAN UPAYA PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MELALUI PENYULUHAN KEHUTANAN Oleh : Pudji Muljono Adanya Undang-undang Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan disambut gembira oleh

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada hakekatnya tujuan pembangunan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mengurangi ketimpangan kesejahteraan antar kelompok masyarakat dan wilayah. Namun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. negara Indonesia menyebabkan Indonesia memiliki kekayaan alam yang sangat

I. PENDAHULUAN. negara Indonesia menyebabkan Indonesia memiliki kekayaan alam yang sangat 1 I. PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Negara Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan yang memiliki wilayah perairan yang sangat luas. Dengan luasnya wilayah perairan yang dimiliki oleh negara Indonesia

Lebih terperinci

10 REKOMENDASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN MINAPOLITAN DI KABUPATEN KUPANG

10 REKOMENDASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN MINAPOLITAN DI KABUPATEN KUPANG 10 REKOMENDASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN MINAPOLITAN DI KABUPATEN KUPANG 10.1 Kebijakan Umum Potensi perikanan dan kelautan di Kabupaten Kupang yang cukup besar dan belum tergali secara optimal, karenanya

Lebih terperinci

Penentuan Variabel Berpengaruh dalam Pengembangan Kawasan Strategis Ekonomi Pesisir Utara pada Bidang Perikanan di Kota Pasuruan

Penentuan Variabel Berpengaruh dalam Pengembangan Kawasan Strategis Ekonomi Pesisir Utara pada Bidang Perikanan di Kota Pasuruan C1 Penentuan Berpengaruh dalam Pengembangan Kawasan Strategis Ekonomi Pesisir Utara pada Bidang Perikanan di Kota Pasuruan Dwi Putri Heritasari dan Rulli Pratiwi Setiawan Perencanaan Wilayah dan Kota,

Lebih terperinci

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU

ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU INDAH HERAWANTY PURWITA DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau-pulau kecil memiliki potensi pembangunan yang besar karena didukung oleh letaknya yang strategis dari aspek ekonomi, pertahanan dan keamanan serta adanya ekosistem

Lebih terperinci

PROFESIONALISME DAN PERAN PENYULUH PERIKANAN DALAM PEMBANGUNAN PELAKU UTAMA PERIKANAN YANG BERDAYA

PROFESIONALISME DAN PERAN PENYULUH PERIKANAN DALAM PEMBANGUNAN PELAKU UTAMA PERIKANAN YANG BERDAYA PROFESIONALISME DAN PERAN PENYULUH PERIKANAN DALAM PEMBANGUNAN PELAKU UTAMA PERIKANAN YANG BERDAYA Fahrur Razi Penyuluh Perikanan Muda pada Pusat Penyuluhan Kelautan dan Perikanan email: fahrul.perikanan@gmail.com

Lebih terperinci

ANALISIS STRATEGI BISNIS PENGELOLAAN OBYEK WISATA PANTAI LOSARI DI KOTA MAKASSAR PROVINSI SULAWESI SELATAN NURHIDAYAH

ANALISIS STRATEGI BISNIS PENGELOLAAN OBYEK WISATA PANTAI LOSARI DI KOTA MAKASSAR PROVINSI SULAWESI SELATAN NURHIDAYAH ANALISIS STRATEGI BISNIS PENGELOLAAN OBYEK WISATA PANTAI LOSARI DI KOTA MAKASSAR PROVINSI SULAWESI SELATAN NURHIDAYAH PROGRAM STUDI MANAJEMEN BISNIS DAN EKONOMI PERIKANAN-KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Tual adalah salah satu kota kepulauan yang ada di Provinsi Maluku dengan potensi sumberdaya kelautan dan perikanan yang cukup melimpah serta potensi pariwisata yang

Lebih terperinci

MANAGEMENT OF THE NATURAL RESOURCES OF SMALL ISLAND AROUND MALUKU PROVINCE

MANAGEMENT OF THE NATURAL RESOURCES OF SMALL ISLAND AROUND MALUKU PROVINCE MANAGEMENT OF THE NATURAL RESOURCES OF SMALL ISLAND AROUND MALUKU PROVINCE (Environmental Study of University of Pattimura) Memiliki 1.340 pulau Pulau kecil sebanyak 1.336 pulau Pulau besar (P. Seram,

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan pesisir merupakan daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut. Kawasan pesisir merupakan ekosistem yang kompleks dan mempunyai nilai sumberdaya alam yang tinggi.

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Indonesia merupakan negara maritim dengan garis pantai sepanjang 81.290 km dan luas laut termasuk Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas 5,8 juta km 2 (Dahuri et al. 2002).

Lebih terperinci

NILAI EKONOMI PEMANFAATAN WADUK CIRATA UNTUK PERIKANAN DAN WISATA TIRTA DI KABUPATEN CIANJUR, JAWA BARAT RUDIANSYAH AKSOMO

NILAI EKONOMI PEMANFAATAN WADUK CIRATA UNTUK PERIKANAN DAN WISATA TIRTA DI KABUPATEN CIANJUR, JAWA BARAT RUDIANSYAH AKSOMO NILAI EKONOMI PEMANFAATAN WADUK CIRATA UNTUK PERIKANAN DAN WISATA TIRTA DI KABUPATEN CIANJUR, JAWA BARAT RUDIANSYAH AKSOMO PROGRAM STUDI MANAJEMEN BISNIS DAN EKONOMI PERIKANAN KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Pulau Madura merupakan wilayah dengan luas 15.250 km 2 yang secara geografis terpisah dari Pulau Jawa dan dikelilingi oleh selat Madura dan laut Jawa. Sebagai kawasan yang

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan perikanan tangkap pada hakekatnya ditujukan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat khususnya nelayan, sekaligus untuk menjaga kelestarian

Lebih terperinci

EFISIENSI TEKNIS UNIT PENANGKAPAN MUROAMI DAN KEMUNGKINAN PENGEMBANGANNYA DI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU

EFISIENSI TEKNIS UNIT PENANGKAPAN MUROAMI DAN KEMUNGKINAN PENGEMBANGANNYA DI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU EFISIENSI TEKNIS UNIT PENANGKAPAN MUROAMI DAN KEMUNGKINAN PENGEMBANGANNYA DI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU PUSPITA SKRIPSI PROGRAM STUDI PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 101111111111105 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki sumberdaya alam hayati laut yang potensial seperti sumberdaya terumbu karang. Berdasarkan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem di wilayah pesisir yang kompleks, unik dan indah serta mempunyai fungsi biologi, ekologi dan ekonomi. Dari fungsi-fungsi tersebut,

Lebih terperinci

2 KERANGKA PEMIKIRAN

2 KERANGKA PEMIKIRAN 2 KERANGKA PEMIKIRAN Berdasarkan latar belakang, perumusan masalah dan tujuan penelitian yang telah dirumuskan pada Bab Pendahuluan, maka penelitian ini dimulai dengan memperhatikan potensi stok sumber

Lebih terperinci

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan wilayah yang memberikan kontribusi produksi perikanan yang sangat besar dan tempat aktivitas manusia paling banyak dilakukan; bahkan menurut

Lebih terperinci

TINGKAT KEPUASAN KONSUMEN TERHADAP PELAYANAN PRODUK IKAN SEGAR DI PASAR IKAN HIGIENIS EVERFRESH FISH MARKET PEJOMPONGAN, JAKARTA PUSAT

TINGKAT KEPUASAN KONSUMEN TERHADAP PELAYANAN PRODUK IKAN SEGAR DI PASAR IKAN HIGIENIS EVERFRESH FISH MARKET PEJOMPONGAN, JAKARTA PUSAT TINGKAT KEPUASAN KONSUMEN TERHADAP PELAYANAN PRODUK IKAN SEGAR DI PASAR IKAN HIGIENIS EVERFRESH FISH MARKET PEJOMPONGAN, JAKARTA PUSAT NURUL YUNIYANTI PROGRAM STUDI MANAJEMEN BISNIS DAN EKONOMI PERIKANAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan adalah sumberdaya perikanan, khususnya perikanan laut.

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan adalah sumberdaya perikanan, khususnya perikanan laut. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tujuan Pembangunan Nasional adalah masyarakat yang adil dan makmur. Untuk mencapai tujuan tersebut harus dikembangkan dan dikelola sumberdaya yang tersedia.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar yang diperkirakan memiliki kurang lebih 17 504 pulau (DKP 2007), dan sebagian besar diantaranya adalah pulau-pulau kecil

Lebih terperinci

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

Analisis Pengelolaan Wilayah Pesisir Berbasis Masyarakat. Yessy Nurmalasari Dosen Luar Biasa STMIK Sumedang

Analisis Pengelolaan Wilayah Pesisir Berbasis Masyarakat. Yessy Nurmalasari Dosen Luar Biasa STMIK Sumedang Analisis Pengelolaan Wilayah Pesisir Berbasis Masyarakat Yessy Nurmalasari Dosen Luar Biasa STMIK Sumedang Abstrak Sumber daya pesisir dan lautan merupakan potensi penting dalam pembangunan masa depan,

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perikanan sebagai salah satu sektor unggulan dalam pembangunan nasional mempunyai peranan penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi di masa mendatang, serta mempunyai

Lebih terperinci

ANALISIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DENGAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS

ANALISIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DENGAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS ANALISIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DENGAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS SYARIF IWAN TARUNA ALKADRIE SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

SINERGISITAS PERIKANAN TANGKAP DENGAN PARIWISATA BAHARI DI PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT ADI GUMBARA PUTRA

SINERGISITAS PERIKANAN TANGKAP DENGAN PARIWISATA BAHARI DI PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT ADI GUMBARA PUTRA SINERGISITAS PERIKANAN TANGKAP DENGAN PARIWISATA BAHARI DI PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT ADI GUMBARA PUTRA MAYOR TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN PERIKANAN TANGKAP DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Perikanan tangkap merupakan salah satu kegiatan ekonomi yang sangat penting di Kabupaten Nias dan kontribusinya cukup besar bagi produksi perikanan dan kelautan secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar

Lebih terperinci

KELURAHAN BAROMBONG KATA PENGANTAR

KELURAHAN BAROMBONG KATA PENGANTAR KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas limpahan Rahmat, Taufik dan Hidayah-Nya hingga Laporan Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu (Integrated Coatal Managemen-ICM)

Lebih terperinci

MELIHAT POTENSI EKONOMI BAWEAN pada acara

MELIHAT POTENSI EKONOMI BAWEAN pada acara MELIHAT POTENSI EKONOMI BAWEAN pada acara PEMBUKAAN PSB KOTA SURABAYA Oleh: Dr. Asmara Indahingwati, S.E., S.Pd., M.M TUJUAN PROGRAM Meningkatkan pendapatan dan Kesejahteraan masyarakat Daerah. Mempertahankan

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN TRADISIONAL

ANALISIS KETERKAITAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN TRADISIONAL ANALISIS KETERKAITAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN TRADISIONAL (Studi Kasus Kelurahan Pulau Panggang, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Propinsi DKI Jakarta)

Lebih terperinci

PERANCANGAN SISTEM INFORMASI PRODUKSI CARRAGEENAN POWDER PADA PT PHONIX MAS PERSADA, KOTA MATARAM, PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT ABDUL FALAH

PERANCANGAN SISTEM INFORMASI PRODUKSI CARRAGEENAN POWDER PADA PT PHONIX MAS PERSADA, KOTA MATARAM, PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT ABDUL FALAH PERANCANGAN SISTEM INFORMASI PRODUKSI CARRAGEENAN POWDER PADA PT PHONIX MAS PERSADA, KOTA MATARAM, PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT ABDUL FALAH PROGRAM STUDI MANAJEMEM BISNIS DAN EKONOMI PERIKANAN-KELAUTAN

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan luas 49 307,19 km 2 memiliki potensi sumberdaya hayati laut yang tinggi. Luas laut 29 159,04 Km 2, sedangkan luas daratan meliputi

Lebih terperinci

PENGUATAN KELOMPOK PENGRAJIN TENUN IKAT TRADISIONAL KATARINA RAMBU BABANG

PENGUATAN KELOMPOK PENGRAJIN TENUN IKAT TRADISIONAL KATARINA RAMBU BABANG PENGUATAN KELOMPOK PENGRAJIN TENUN IKAT TRADISIONAL (Studi Kasus Di Desa Hambapraing, Kecamatan Haharu, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur) KATARINA RAMBU BABANG SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

EFISIENSI PENGGUNAAN INPUT DAN ANALISIS FINANSIAL PADA USAHA PENDEDERAN IKAN LELE DUMBO DI KECAMATAN CISEENG KABUPATEN BOGOR

EFISIENSI PENGGUNAAN INPUT DAN ANALISIS FINANSIAL PADA USAHA PENDEDERAN IKAN LELE DUMBO DI KECAMATAN CISEENG KABUPATEN BOGOR EFISIENSI PENGGUNAAN INPUT DAN ANALISIS FINANSIAL PADA USAHA PENDEDERAN IKAN LELE DUMBO DI KECAMATAN CISEENG KABUPATEN BOGOR ADY ERIADY WIBAWA SKRIPSI PROGRAM STUDI MANAJEMEN BISNIS DAN EKONOMI PERIKANAN-KELAUTAN

Lebih terperinci

Definisi dan Batasan Wilayah Pesisir

Definisi dan Batasan Wilayah Pesisir Definisi dan Batasan Wilayah Pesisir Daerah peralihan (interface area) antara ekosistem daratan dan laut. Batas ke arah darat: Ekologis: kawasan yang masih dipengaruhi oleh proses-proses laut seperti pasang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara maritim dengan panjang garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada. Dengan panjang garis pantai sekitar 18.000 km dan jumlah pulau

Lebih terperinci

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT PESISIR PANTAI UTARA DAERAH KABUPATEN CIREBON

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT PESISIR PANTAI UTARA DAERAH KABUPATEN CIREBON PEMBERDAYAAN MASYARAKAT PESISIR PANTAI UTARA DAERAH KABUPATEN CIREBON Oleh : H. Mardjoeki, Drs., MM. ABSTRAKSI Pemberdayaan masyarakat pesisir pantai Kapetakan (Bungko) sampai pesisir pantai Mertasinga

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan sub-sektor perikanan tangkap merupakan bagian integral dari pembangunan kelautan dan perikanan yang bertujuan untuk : (1) meningkatkan kesejahteraan masyarakat

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir dan laut Indonesia merupakan wilayah dengan potensi keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Sumberdaya pesisir berperan penting dalam mendukung pembangunan

Lebih terperinci

PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN

PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN Lampiran Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.16/Menhut-II/2011 Tanggal : 14 Maret 2011 PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pedoman

Lebih terperinci

Kiat Kiat Jurus Jitu Pengembangan Minapolitan

Kiat Kiat Jurus Jitu Pengembangan Minapolitan Kiat Kiat Jurus Jitu Pengembangan Minapolitan Dinas Kelautan, Perikanan dan Pengelola Sumberdaya Kawasan Segara Anakan (DKP2SKSA) Kabupaten Cilacap mengakui dengan memaparkan dalam gambaran umum di webnya,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan adanya kecenderungan menipis (data FAO, 2000) terutama produksi perikanan tangkap dunia diperkirakan hanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. peranan penting dalam kehidupan manusia, mulai hal yang terkecil dalam

BAB I PENDAHULUAN. peranan penting dalam kehidupan manusia, mulai hal yang terkecil dalam 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tujuan Pembangunan Nasional adalah masyarakat yang adil dan makmur. Untuk mencapai tujuan tersebut harus dikembangkan dan dikelola sumberdaya yang tersedia. Indonesia

Lebih terperinci

MODEL BIONOMI PEMANFAATAN SUMBERDAYA IKAN BAWAL PUTIH DI PERAIRAN PANGANDARAN JAWA BARAT

MODEL BIONOMI PEMANFAATAN SUMBERDAYA IKAN BAWAL PUTIH DI PERAIRAN PANGANDARAN JAWA BARAT MODEL BIONOMI PEMANFAATAN SUMBERDAYA IKAN BAWAL PUTIH DI PERAIRAN PANGANDARAN JAWA BARAT JEANNY FRANSISCA SIMBOLON SKRIPSI PROGRAM STUDI PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

Lebih terperinci

X. ANALISIS KEBIJAKAN

X. ANALISIS KEBIJAKAN X. ANALISIS KEBIJAKAN 10.1 Alternatif Kebijakan Tahapan analisis kebijakan pada sub bab ini merupakan metode pengkajian untuk menghasilkan dan mentransformasikan flow of thinking dari serangkaian analisis

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 8 TAHUN 2012

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 8 TAHUN 2012 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 8 TAHUN 2012 PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAN PENYELENGGARAAN TEMPAT PELELANGAN IKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

ALOKASI PENGGUNAAN INPUT DAN ANALISIS FINANSIAL PADA USAHA PEMBESARAN IKAN GUPPY DI DESA PARIGI MEKAR, KECAMATAN CISEENG KABUPATEN BOGOR, JAWA BARAT

ALOKASI PENGGUNAAN INPUT DAN ANALISIS FINANSIAL PADA USAHA PEMBESARAN IKAN GUPPY DI DESA PARIGI MEKAR, KECAMATAN CISEENG KABUPATEN BOGOR, JAWA BARAT ALOKASI PENGGUNAAN INPUT DAN ANALISIS FINANSIAL PADA USAHA PEMBESARAN IKAN GUPPY DI DESA PARIGI MEKAR, KECAMATAN CISEENG KABUPATEN BOGOR, JAWA BARAT FANJIYAH WULAN ANGRAINI SKRIPSI PROGRAM STUDI MANAJEMEN

Lebih terperinci

VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove

VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN 8.1. Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove Pendekatan AHP adalah suatu proses yang dititikberatkan pada pertimbangan terhadap faktor-faktor

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dalam PDB (Produk Domestik Bruto) nasional Indonesia. Kontribusi sektor

I. PENDAHULUAN. dalam PDB (Produk Domestik Bruto) nasional Indonesia. Kontribusi sektor I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor perikanan merupakan salah satu sektor andalan bagi Indonesia untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, baik dalam skala lokal, regional maupun negara, dimana sektor

Lebih terperinci

BUPATI BANGKA TENGAH

BUPATI BANGKA TENGAH BUPATI BANGKA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA TENGAH NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN TERUMBU KARANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA TENGAH, Menimbang : a. bahwa ekosistem

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. didarat masih dipengaruhi oleh proses-proses yang terjadi dilaut seperti

PENDAHULUAN. didarat masih dipengaruhi oleh proses-proses yang terjadi dilaut seperti 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Wilayah pesisir bukan merupakan pemisah antara perairan lautan dengan daratan, melainkan tempat bertemunya daratan dan perairan lautan, dimana didarat masih dipengaruhi oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perembesan air asin. Kearah laut wilayah pesisir, mencakup bagian laut yang

BAB I PENDAHULUAN. perembesan air asin. Kearah laut wilayah pesisir, mencakup bagian laut yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah pesisir adalah daerah pertemuan antara darat dan laut. Kearah darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air yang masih dipengaruhi

Lebih terperinci

6. ANALISIS DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Kebijakan di dalam pengembangan UKM

6. ANALISIS DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Kebijakan di dalam pengembangan UKM 48 6. ANALISIS DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 6.1. Kebijakan di dalam pengembangan UKM Hasil analisis SWOT dan AHP di dalam penelitian ini menunjukan bahwa Pemerintah Daerah mempunyai peranan yang paling utama

Lebih terperinci

KARAKTERISASI ALAT PENANGKAP IKAN DEMERSAL DI PERAIRAN PANTAI UTARA JAWA BARAT FIFIANA ALAM SARI SKRIPSI

KARAKTERISASI ALAT PENANGKAP IKAN DEMERSAL DI PERAIRAN PANTAI UTARA JAWA BARAT FIFIANA ALAM SARI SKRIPSI KARAKTERISASI ALAT PENANGKAP IKAN DEMERSAL DI PERAIRAN PANTAI UTARA JAWA BARAT FIFIANA ALAM SARI SKRIPSI DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN PENGOLAHAN DAN PEMASARAN HASIL PETERNAKAN

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN PENGOLAHAN DAN PEMASARAN HASIL PETERNAKAN POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN PENGOLAHAN DAN PEMASARAN HASIL PETERNAKAN H. ISKANDAR ANDI NUHUNG Direktorat Jenderal Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, Departemen Pertanian ABSTRAK Sesuai

Lebih terperinci

BAB 4 ANALISIS ISU STRATEGIS DAERAH

BAB 4 ANALISIS ISU STRATEGIS DAERAH BAB 4 ANALISIS ISU STRATEGIS DAERAH Perencanaan dan implementasi pelaksanaan rencana pembangunan kota tahun 2011-2015 akan dipengaruhi oleh lingkungan strategis yang diperkirakan akan terjadi dalam 5 (lima)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

I. PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara 88 I. PENDAHULUAN Kawasan pesisir memerlukan perlindungan dan pengelolaan yang tepat dan terarah. Keseimbangan aspek ekonomi, sosial dan lingkungan hidup menjadi tujuan akhir yang berkelanjutan. Telah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pulau-Pulau Kecil 2.1.1 Karakteristik Pulau-Pulau Kecil Definisi pulau menurut UNCLOS (1982) dalam Jaelani dkk (2012) adalah daratan yang terbentuk secara alami, dikelilingi

Lebih terperinci

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M.

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. MUNTADHAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Jayapura merupakan ibu kota Provinsi Papua dan berada di Teluk Yos Sudarso. Kawasan pesisir Kota Jayapura terbagi atas pesisir bagian barat dan bagian timur. Pesisir

Lebih terperinci

PERAN MANAJER RUMAH TANGGA SEBAGAI STRATEGI DALAM PEMBERDAYAAN PEREMPUAN PESISIR DI KABUPATEN SITUBONDO

PERAN MANAJER RUMAH TANGGA SEBAGAI STRATEGI DALAM PEMBERDAYAAN PEREMPUAN PESISIR DI KABUPATEN SITUBONDO PERAN MANAJER RUMAH TANGGA SEBAGAI STRATEGI DALAM PEMBERDAYAAN PEREMPUAN PESISIR DI KABUPATEN SITUBONDO Setya Prihatiningtyas Dosen Program Studi Administrasi Bisnis Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove bagi kelestarian sumberdaya perikanan dan lingkungan hidup memiliki fungsi yang sangat besar, yang meliputi fungsi fisik dan biologi. Secara fisik ekosistem

Lebih terperinci

ANALISIS KELAYAKAN PENGEMBANGAN USAHA IKAN HIAS AIR TAWAR PADA ARIFIN FISH FARM, DESA CILUAR, KECAMATAN BOGOR UTARA, KOTA BOGOR

ANALISIS KELAYAKAN PENGEMBANGAN USAHA IKAN HIAS AIR TAWAR PADA ARIFIN FISH FARM, DESA CILUAR, KECAMATAN BOGOR UTARA, KOTA BOGOR ANALISIS KELAYAKAN PENGEMBANGAN USAHA IKAN HIAS AIR TAWAR PADA ARIFIN FISH FARM, DESA CILUAR, KECAMATAN BOGOR UTARA, KOTA BOGOR SKRIPSI OOM ROHMAWATI H34076115 DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN

Lebih terperinci

MANFAAT KEMITRAAN AGRIBISNIS BAGI PETANI MITRA

MANFAAT KEMITRAAN AGRIBISNIS BAGI PETANI MITRA MANFAAT KEMITRAAN AGRIBISNIS BAGI PETANI MITRA (Kasus: Kemitraan PT Pupuk Kujang dengan Kelompok Tani Sri Mandiri Desa Majalaya Kecamatan Majalaya Kabupaten Karawang, Provinsi Jawa Barat) Oleh : ACHMAD

Lebih terperinci

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI REALISASI KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) STUDI KASUS USAHA AGRIBISNIS DI BRI UNIT TONGKOL, JAKARTA

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI REALISASI KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) STUDI KASUS USAHA AGRIBISNIS DI BRI UNIT TONGKOL, JAKARTA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI REALISASI KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) STUDI KASUS USAHA AGRIBISNIS DI BRI UNIT TONGKOL, JAKARTA SKRIPSI EKO HIDAYANTO H34076058 DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN

Lebih terperinci

Analisis Pengelolaan Wilayah Pesisir Berbasis Masyarakat

Analisis Pengelolaan Wilayah Pesisir Berbasis Masyarakat Analisis Pengelolaan Wilayah Pesisir Berbasis Masyarakat Henny Mahmudah *) *) Dosen Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Islam Lamongan email : henymahmudah@gmail.com Abstrak Wilayah pesisir

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem terumbu karang mempunyai produktivitas organik yang tinggi. Hal ini menyebabkan terumbu karang memilki spesies yang amat beragam. Terumbu karang menempati areal

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir dan laut merupakan daerah dengan karateristik khas dan bersifat dinamis dimana terjadi interaksi baik secara fisik, ekologi, sosial dan ekonomi, sehingga

Lebih terperinci

LATAR BELAKANG PENGEMBANGAN KOMUNITAS

LATAR BELAKANG PENGEMBANGAN KOMUNITAS LATAR BELAKANG PENGEMBANGAN KOMUNITAS Pada kegiatan Praktek Lapangan 2 yang telah dilakukan di Desa Tonjong, penulis telah mengevaluasi program atau proyek pengembangan masyarakat/ komunitas yang ada di

Lebih terperinci

EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT)

EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT) EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT) BUDI SANTOSO C 25102021.1 SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

Judul Studi : Kajian Kebijakan Kelautan Dalam Pemberdayaan Masyarakat Pesisir

Judul Studi : Kajian Kebijakan Kelautan Dalam Pemberdayaan Masyarakat Pesisir Judul Studi : Kajian Kebijakan Kelautan Dalam Pemberdayaan Masyarakat Pesisir Nama Unit Pelaksana : Direktorat Kelautan dan Perikanan Email :ningsih@bappenas.go.id Abstrak Wilayah pesisir dan laut Indonesia

Lebih terperinci

VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN

VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN 1994-2003 6.1. Hasil Validasi Kebijakan Hasil evaluasi masing-masing indikator

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 110 TAHUN 2015 TENTANG USAHA WISATA AGRO HORTIKULTURA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 110 TAHUN 2015 TENTANG USAHA WISATA AGRO HORTIKULTURA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 110 TAHUN 2015 TENTANG USAHA WISATA AGRO HORTIKULTURA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan sosial (social development); pembangunan yang berwawasan

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan sosial (social development); pembangunan yang berwawasan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia terkenal dengan potensi sumber daya alamnya yang melimpah. Namun, sering ditemukan pemanfaatan sumber daya alam oleh pelaku pembangunan yang hanya berorientasi

Lebih terperinci

ANALISIS HUBUNGAN DESAIN PEKERJAAN DENGAN KEPUASAN KERJA KARYAWAN PADA BAGIAN PRODUKSI CV DINAR KABUPATEN TANGERANG, PROPINSI BANTEN FENNY FARIANTI

ANALISIS HUBUNGAN DESAIN PEKERJAAN DENGAN KEPUASAN KERJA KARYAWAN PADA BAGIAN PRODUKSI CV DINAR KABUPATEN TANGERANG, PROPINSI BANTEN FENNY FARIANTI ANALISIS HUBUNGAN DESAIN PEKERJAAN DENGAN KEPUASAN KERJA KARYAWAN PADA BAGIAN PRODUKSI CV DINAR KABUPATEN TANGERANG, PROPINSI BANTEN FENNY FARIANTI PROGRAM STUDI MANAJEMEN BISNIS DAN EKONOMI PERIKANAN-KELAUTAN

Lebih terperinci

PENGARUH AKTIVITAS PARIWISATA TERHADAP KEBERLANJUTAN SUMBERDAYA WISATA PADA OBYEK WISATA PAI KOTA TEGAL TUGAS AKHIR

PENGARUH AKTIVITAS PARIWISATA TERHADAP KEBERLANJUTAN SUMBERDAYA WISATA PADA OBYEK WISATA PAI KOTA TEGAL TUGAS AKHIR PENGARUH AKTIVITAS PARIWISATA TERHADAP KEBERLANJUTAN SUMBERDAYA WISATA PADA OBYEK WISATA PAI KOTA TEGAL TUGAS AKHIR Oleh: MULIANI CHAERUN NISA L2D 305 137 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Wilayah pesisir pulau kecil pada umumnya memiliki panorama yang indah untuk dapat dijadikan sebagai obyek wisata yang menarik dan menguntungkan, seperti pantai pasir putih, ekosistem

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 110 TAHUN 2015 TENTANG USAHA WISATA AGRO HORTIKULTURA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 110 TAHUN 2015 TENTANG USAHA WISATA AGRO HORTIKULTURA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 110 TAHUN 2015 TENTANG USAHA WISATA AGRO HORTIKULTURA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci