BAB III TRANSFER EMBRIO (TE)

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB III TRANSFER EMBRIO (TE)"

Transkripsi

1 BAB III TRANSFER EMBRIO (TE) 3.1 Pendahuluan Selama beberapa puluh tahun program IB telah menjadikan Genetic Progress menyebar relative cepat dengan penggunaan frozen semen (semen beku). Pada program IB sumbangan genetic (genetic progress) terutama dari pejantan karena betina hanya menghasilkan satu pedet per tahun. Dengan berkembangnya teknik transfer embrio, dimana betina dapat memberikan banyak keturunan sehingga menghasilkan hasil genetik yang cepat sebagai komplementer terhadap program IB. III-1

2 Pada teknik TE diperlukan betina donor yang pada pelaksanaannya akan mengalmi superovulasi dengan bantuan preparat FSH sehingga akan mengakibatkan timbulnya berahi. Selanjutnya dilakukan perkawinan dengan pejantan bermutu melalui program IB. Hasil perkawinan tersebut akan menghasilkan embrio yang berkualitas 7 hari post IB. Untuk lebih memperinci teknik TE tersebut dapat diperhatikan Schema di bawah ini : Betina donor unggul Beberapa betina resipien Penyerentakan berahi Superovulasi IB dengan pejantan Unggul Berahi Koleksi embrio (Blastosit) transfer embrio setelah 2 3 bulan istirahat kembali untuk TE keturunan dengan mutu genetic unggul Pada proses koleksi embrio, dalam setiap koleksi dilanjutkan dengan identifikasi embrio dengan tujuan untuk pembekuan embrio (konservasi embrio) atau untuk segera ditransfer dalam bentuk embrio segar ke resipien. Betina resipien terlebih dahulu mengalami proses Penyerentakan berahi dengan betina donor dengan menggunakan hormon Prostaglandin. Keberhasilan teknik TE ini sangat bergantung kepada : 1. Donor, sebagai produksi embrio transferable 2. Resipien, dengan laju kebuntingan tinggi dan konsisten III-2

3 3. Prosedur, jadwal, teknik dan peralatan 4. Sumber daya manusia, harus terampil 3.2 Sejarah Transfer Embrio Sejarah Transfer embrio dimulai pada tahun 1890 dengan dilakukannya teknik Transfer Embrio pada Kelinci yang dilakukan oleh Heape. Kemudian pada tahun 1951 Willet dari USA mencoba melakukan TE pada Sapi dengan memanfaatkan embrio dari Rumah Potong Hewan. Pada tahun 1960 berhasil dilaksanakan koleksi embrio dan sekaligus transfer embrio dengan cara teknik abdominal surgery. Selanjutnya tahun 1965 salah seorang peneliti dari Jepang yaitu Prof. Sugie berhasil melaksanakan teknik By Pass Method yaitu merupakan teknik non surgery method. Pada tahun 1970 teknik TE mulai dikomersialkan di USA yang dilanjutkan akhir tahun 1970 teknik TE dengan non surgery method dengan recovery 6 transfer diterapkan di lapangan. Awal tahun 1980 Bilton telah berhasil melakukan freezing embrio, dan pada tahun 1989 telah lahir lebih dari Calf (anak sapi) di USA dan pada saat itu teknik TE dimulai di negara-negara berkembang. Pada tahun 1984 telah dilaksanakan program TE di Indonesia atas prakarsa Mentri Koperasi dan Kepala Bulog saat itu yaitu Bustanil Arifin, di peternakan sapi Cicurug Sukabumi. Saat itu pelaksanaan program TE tersebut dibawah koordinasi team TE dari USA (Granada Texas) dengan teknik pembedahan (surgery) pada fossa para lumbal. 3.3 PRODUKSI EMBRYO IN VIVO Managemen Donor Seleksi Donor Dalam seleksi donor hal yang perlu diperhatikan adalah : Nilai genetik sangat diutamakan yang merupakan kemampuan memindahkan atau menurunkan nilai atau karakter yang baik Harus berdasarkan kepada : o Superioritas genetik III-3

4 o Kemampuan reproduksi o Nilai pasar atau ekonomi dari keturunannya o Kondisi kesehatan Adapun seleksi untuk superioritas genetik ditujukan kepada : Maternal breeding value Yearling breeding value Weaning breeding value Untuk sapi perah ditunjukkan dengan produksi susu yang tinggi Klasifikasi score yaitu berupa konformasi Kesehatan Ternak Donor Kriteria calon betina donor adalah harus benar-benar sehat, karena apabila kesehatan menurun akan mempengaruhi proses superovulasi yang akan menurun juga sebagai akibat kondisi reproduksi yang menurun. Dengan demikian betina donor mutlak sehat setelah melalui beberapa pengujian sebagai berikut : 1. Test darah 2. Vaksinasi 3. Kondisi reproduksi normal melalui pengujian dengan palpasi rektal Makanan/Pakan Ternak Donor Terdapat korelasi positif antara kondisi tubuh dengan pakan yang baik (rasional), karena dengan kondisi pakan yang jelek akan mempengaruhi tingkat fertilitas sehingga akan menurunkan tingkat fertilitas. Dengan demikian diperlukannya kondisi tubuh yang optimal yang didukung dengan kondisi pakan yang baik dan seimbang Siklus Berahi Donor Salah satu kunci utama keberhasilan Transfer embrio (TE) adalah deteksi berahi, dimana siklus berahi harus setepat mungkin. Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah lamanya siklus berahi harus normal dan teratur, karena apabila siklus berahi abnormal akan berpengaruh terhadap proses superovulasi. III-4

5 Dalam melaksanakan deteksi berahi sebaiknya dilakukan dari 2 siklus berahi yang berturut-turut dan biasanya dilakukan pada pagi hari (jam am) dan sore hari (jam pm). Dari pelaksanaan deteksi tersebut di atas diharapkan untuk menghindari abnormalitas siklus berahi misalnya adanya kejadian silent heat Managemen Resipien Seleksi Resipien Resipien yang ideal adalah betina-betina yang memenuhi kriteria sebagai berikut: 1. Bebas penyakit 2. Fertilitas teruji 3. Kemampuan memelihara anak 4. Tidak ada gejala distokia Bila ditinjau dari segi bangsa atau breed, tidak merupakan masalah karena adanya crossbreed memberikan tingkat fertilitas yang lebih baik Kesehatan ternak Resipien Calon resipien harus melaksanakan beberapa pengujian terhadap hal-hal berikut: 1. Kesehatan 2. Status reproduksi 3. Diterapkannya sistem karantina 4. Dilakukan pemeriksaan routine setiap hari terhadap gejala penyakit, kenaikan suhu tubuh dengan hati-hati, karena akan mempengaruhi fertilitas yang pada akhirnya akan menyebabkan abortus Managemen Resipien dan Donor Deteksi Berahi Penyerentakan berahi dilaksanakan antara donor dan resipien dengan tepat sehingga akan menunjang akan keberhasilan program TE. III-5

6 Selain itu visual observasi merupakan faktor utama yang perlu diperhatikan, yakni melalui a. Deteksi estrus pasca IB (Inseminasi Buatan) pada pagi dan sore hari selama 30 menit b. Teknik TE yang harus dilaksanakan tepat waktu dengan timbulnya gejala berahi yang akan menghasilkan grade berahi sinkronisasi Intensitas pengamatan sebaiknya dilakukan satu hari sebelum dan sesudah berahi, dan setiap hari dilakukan 5 kali pengamatan yaitu pada jam 06.00; 10.00; 14.00; dan jam Pelaksanaan deteksi berahi dilakukan dengan hati-hati dan tepat, karena keserentakan berahi antara resipien dan donor sangat berpengaruh terhadap keberhasilan TE. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa laju keberhasilan akan lebih baik apabila resipien berahi dalam 1 (satu) hari donor. Bagan berikut menunjukkan program TE yang dilaksanakan antara resipien dan donor. Hari Donor FSH FSH FSH FSH IB KOLEKSI EMBRIO PG FSH FSH FSH FSH IB PG Resipien PG PG TRANSFER EMBRIO Gambar di bawah menunjukkan cara deteksi berahi pada Kambing dan Sapi dengan menggunakan pejantan atau dengan menggunakan pewarna chain ball marker III-6

7 Gambar 12. Deteksi berahi pada Kambing dan Sapi Penyerentakan Berahi Pada program TE, berahi sinkronisasi dilakukan dengan menggunakan PGF 2 (Prostaglandin). Namun dalam penggunaannya terutama pada resipien sebelum dilakukan treatment PGF 2 ini harus terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan secara pelpasi rektal untuk memastikan adanya Korpus luteum (Corpus luteum). Hal ini disebabkan daya guna preparat hormon PGF 2 ini adalah melisiskan Korpus luteum. Dengan demikian bila resipien dengan korpus luteum positif maka dapat dilakukan penyuntikan PGF 2, dan diharapkan berahi akan timbul jam post injeksi. Akan tetapi masih dimungkin bila treatment tersebut dilakukan tanpa dilakukan pemeriksaan palpasi rectal, dengan catatan dilakukan 2 kali penyuntikan PGF 2 dengan program penyuntikan sebagai berikut : hari 0 11 PGF 2, PGF 2, Berahi (Mid-cycle of estrus) Berahi (5 days of estrus) III-7

8 Pemberian PGF 2, pada resipien sebaiknya satu hari lebih cepat dari pada donor, hal tersebut disebabkan pada donor berahi akan timbul jam setelah penyuntikan PGF 2, sedangkan pada resipien berahi timbul jam setelah penyuntikan PGF 2, Superovulasi pada Donor Pada sapi potong, superovulasi dilakukan 9 hari post berahi (9 14 hari post berahi) dengan melakukan penyuntikan preparat hormon FSH sebagai berikut : Hari ke 9 : Pagi 5 mg FSH i.m. Sore 5 mg FSH i.m. Hari ke 10: Pagi 4 mg FSH i.m. Palpasi rectal, bila korpus luteum positif suntik dengan 15 mg PGF 2, secara i.m. Sore 4 mg FSH i.m. Hari ke 11: Pagi 3 mg FSH i.m. 15 mg PGF 2, i.m. Sore 3 mg FSH i.m. Hari ke 12 : Pagi 2 mg FSH i.m. Sore 2 mg FSH i.m. Hari ke 13: Berahi pada donor dan resipien Selanjutnya dilakukan IB pada donor pada jam setelah standing heat, dengan interval 2 kali IB yaitu IB pertama 12 jam post berahi dan IB ke dua 24 jam post berahi. Pelaksanaan superovulasi pada sapi perah secara prosedural adalah sama dengan pada sapi potong, hanya dosis FSH yang berbeda yaitu : FSH I dengan dosis pagi dan sore sebanyak 6 6 mg II dengan dosis 5 5 mg III dengan dosis 4 4 mg IV dengan dosis 3 3 mg III-8

9 Inseminasi Buatan (IB) Inseminasi Buatan umumnya dilakukan pada donor jam pasca standing heat karena dari hasil penelitian dihasilkan laju fertilitas yang cukup tinggi. Adapun pelaksanaan IB dilakukan 2 kali sebagai berikut : standing heat IB ke 1 IB ke 2 dosis semen dosis semen 2 x 1 x atau 2 x Yang perlu diperhatikan adalah biasanya efek atau pengaruh superovulasi tersebut memberikan kepekaan yang tinggi sehingga faktor kebersihan (hygiene) harus diperhatikan dalam artian prosedur dilakukan dengan aseptik Koleksi Embrio (Embryo collection/recovery) Koleksi embrio dapat dilakukan 2 cara atau metode, yaitu : 1. Tanpa pembedahan (Non surgery/non operatif/transcervical) 2. Dengan pembedahan (Surgery/operatif ) pada Fossa Para Lumbal (kiri/kanan) Metode Non surgery lebih popular di Eropa, Jepang, Asia (Indonesia) dan Brazil, sedangkan metode surgery biasa digunakan di USA. Tahap Pelaksanaan Adapun tahap pelaksanaan koleksi embrio terdiri dari : 1. Tahap persiapan hewan donor 2. Tahap persiapan peralatan dan bahan 3. Tahap pelaksanaan koleksi embrio Tahap persiapan hewan donor Hewan donor yang dapat digunakan adalah donor pada 7 8 hari post berahi dan persiapan tersebut meliputi : Ditempatkan dalam kandang pemaksa III-9

10 Rambut pada pangkal ekor yang panjang digunting o Lakukan pencucian dengan sabun antiseptik o Lakukan pembilasan dengan alcohol 70% Lakukan anestise Epidural dengan menggunakan 2 5 ml Lidocain Chloride 2 % o Pada ruang antar vertebra yaitu tulang sacrum terakhir tulang coccygea pertama Faeces dikeluarkan dari dalam rectum hingga kosong Dalam rectum ada udara, dikeluarkan dengan menggunakan pompa isap Vulva dan vagina o Dicuci bersih dan dikeringkan dengan handuk o Sterilisasi atau desinfeksi dengan alkohol 70 % Tahap persiapan alat dan bahan Alat-alat yang diperlukan adalah : Cervical expander, yaitu alat untuk membuka canalis cervicalis Mucus remover, yaitu alat untuk membersihkan canalis cervicalis dari lendir atau mucus Foley catheter (two way) berukuran G (tergantung ukuran canalis cervicalis) terdiri dari 3 saluran yaitu : o Saluran masuk media flushing o Saluran keluar media hasil flushing o Saluran penggembung balon kecil Tabung media Tabung penampung hasil flushing embrio Injeksi spuit : o Pengisap media hasil flushing o Penekan/pengisap balon pada foley catheter Sedangkan bahan-bahan yang diperlukan terdiri dari : Modified Dulbecco s Phosphat Buffered Saline (M-PBS) dengan komposisi: III-10

11 - PBS (-) 9,8 g - Metal salt (NaCl dan Ca Cl 2 ) 1,0 ml (PBS +) - Glucose/Dextrose 1,0 g - Sodium Pyruvate 0,036 g - Penicilline IU - Streptomycin 100 mg - Bovine Serum Albumin (BSA) 3,0 mg Larutan ini dibuat dalam volume 1 Liter. Tahap pelaksanaan Koleksi Embrio Teknik Transcervical Pelaksana atau teknisi bekerja dengan tangan kiri di dalam rektum, yang bertujuan untuk : 1. Estimasi jumlah korpus luteum, folikel dan ukuran ovarium 2. Manipulasi atau menuntun pemasukan alat ke dalam cervix dan uterus 3. Manipulasi pelaksanaan koleksi embrio Cervical expander dimasukkan ke dalam vagina hingga ke dalam lumen cervix. Dianjurkan memakai mucous remover untuk mengeluarkan lendir yang terdapat banyak di dalam lumen cervix. Disesuaikan dengan ukuran lumen cervix, masukkan two way Foley catheter hingga masuk ke dalam cornua uteri Catheter memanipulasi ke dalam uterus (cornua superovulasi terjadi). Balon terletak 5 cm di bawah bifurcatio uteri. Hati-hati jangan sampai melukai pada saat memasukan catheter Pegang uterus dalam posisi lurus Isi balon catheter dengan udara x sehingga ketegangan balon cukup Ketegangan balon sedemikian rupa sehingga menekan dinding uterus, sehingga media flushing tidak akan masuk ke dalam corpus uteri Hati-hati dalam memanipulasi ketegangan balon karena dapat menyebabkan ruptura endometrium sehingga terjadi perdarahan. Volume udara balon untuk Heifer adalah ml, sedangkan untuk Calves adalah ml. III-11

12 Melalui inlet tube masukkan media flushing (M-PBS) pada suhu 37 C dalam botol sebanyak 1 Liter. Tekan uterus hingga mencapai ukuran seperti dalam keadaan bunting hari. Uterus di masase dan diaduk media yang masuk, melalui pemijitan per rectal sehingga ova atau fertilized egg terlepas dari endometrium Drainage atau pencucian sebanyak 8 10 kali sebanyak ml per uterus Hasil flushing kemudian dilakukan isolasi embrio dengan cara filtrasi (Emcon, Immuno system) Diperoleh ml flushing (70 µ Filter) dan tetap dalam filter Tuangkan ke dalam gelas petri (2 3 buah) Lakukan isolasi atau pencarian embrio dengan bantuan mikroskop stereoskopik (invected microscope) Untuk lebih jelasnya dapat diperhatikan gambar 13 dan 14 berikut III-12

13 Gambar 13. Rangkaian proses panen (Flushing) Embrio pada Sapi dengan menggunakan Folley Catheter III-13

14 Gambar 14. Flushing (Panen) Embrio pada Sapi Penanganan Embrio Embrio hasil koleksi harus melalui beberapa tahapan penanganan yaitu : Isolasi embrio atau unfertilized ova (UFO) Identifikasi embrio atau unfertilized ova (UFO) Manipulasi embrio atau unfertilized ova (UFO) Klasifikasi embrio atau unfertilized ova (UFO) Untuk melaksanakan penanganan embrio hasil koleksi atau flushing tersebut diperlukan tenaga sumber daya manusia yang terampil dan disarankan setiap sample dikerjakan oleh dua orang teknisi terutama dalam hal penentuan identifikasi dan klasifikasi embrio. Embrio hasil koleksi di tuangkan ke dalam cawan petri (petri dish) yang berskala pada bagian alasnya sehingga memudahkan dalam pencarian embrio Untuk lebih jelasnya dapat diperhatikan gambar peralatan untuk evaluasi embrio di bawah ini III-14

15 Gambar 15. Cawan Petri berskala Adapun prosedur pencarian embrio adalah : 1. Emrbio harus berada dalam fresh storage medium (M-PBS + 20 % Calf serum), buang sel-sel runtuhan dari uterus 2. Aspirasi embrio dengan pipet pasteur ( µm) Evaluasi Embrio Embrio diklasifikasi dan disimpan dalam storage medium pada suhu C selama tidak lebih dari 5 jam. Selanjutnya dilakukan pemisahan embrio tersebut menjadi 2 bagian sesuai dengan tujuannya yaitu untuk ditransplantasi atau ditransfer ke betina resipien atau dilakukan pembekuan embrio (freezing embryo). Dalam melakukan evaluasi embrio dengan menggunakan mikroskop dengan pembesaran kali dengan melihat criteria sebagai berikut : Perkembangan sel (Cell stage development) Morphologi Kualitas embrio III-15

16 Umumnya sebagian besar embrio terkoleksi pada tahap perkembangan yang sama, dimana tahap perkembangan embrio tersebut terdiri dari : 3 hari post berahi : 4 8 sel 4 hari post berahi : 8 16 sel 5/6 hari : Morula 7 hari : Blastocyst Selain itu ada cirri-ciri khas pada tahapan morula yang dapat dibedakan yaitu : Morula merupakan embrio dengan jumlah sel 32 sel, dengan cirri-ciri blastomer individual dan sulit dibedakan satu dengan lainnya. Kondisi Blastomer seperti massa dari sel- sel. Compact Morula, ditandai dengan : o Blastomer individual menggumpal (agglutinated) membentuk massa padat dari sel-sel o Massa embrio mengisi % ruangan perivitelline, dimana ruang perivitelline lebih besar dari tahapan morula Blastocyst dini (Early blastocyst) : o Memiliki ruangan berisi cairan Blastocoele o Pada tahapan ini memungkinkan membedakan Trophoblast dan Inner Cell Mass (ICM) o Ruang perivitelline sempit tetapi ada Blastocyst : o Differensiasi jelas bagian luar Trophoblast o Inner cell mass mengisi sebagian besar ruang perivitelline Expanded Blastocyst o Diameter keseluruhan meningkat (1,2 1,5 kali) o Zona Pellucida menipis (1/2 kali), dan terkadang collapsed o Inner cell mass jelas dan kompak Hatched Blastocyst o Merupakan embrio yang telah terlepas dari Zona Pellucida o Bentuknya spheris dan lebih besar o Identifikasi pada saat ini lebih sulit III-16

17 Gambar 16,17 dan 18 menunjukkan tahapan perkembangan Embrio Sapi Ovarium 1 Sel Inseminasi 2 Sel (28-32 Jam) 4 Sel (45-50 Jam) Oviduct 8 Sel (60-70 Jam) 16 Sel (3 4 Hari) Utero Tubal Junktion Morula (5 7 Hari) Corona Uteri Blastocyst (7 8 Hari) Gambar 16. Tahap Perkembangan embrio di dalam Uterus III-17

18 Gambar 17. Tahap Perkembangan Embrio III-18

19 Kompak Morula (6 Hari) Morula (5 Hari) Blastocyst Dini (7 Hari) Blastocyst (7 Hari) Hatched Blastocyst Expanded Blastocyst (8 Hari) Gambar 18. Tahap Perkembangan Embrio Kategori Kualitas Embrio Kualitas embrio ditentukan dengan parameter : 1. Bentuk 2. Warna 3. Jumlah sel kompak 4. Jumlah sel degenerasi dan terlepas (extruded) 5. Jumlah dan ukuran vesicle III-19

20 Adapun criteria dari kualitas embrio tersebut adalah sebagai berikut : A Excellent (Istimewa) Embrio ideal, morphologi sempurna dalam perkembangannya pada setiap tahapan (normal typical) A Good (Bagus) Terdapat kelainan pada beberapa sel blastomer (extruded), bentuk tidak seragam, terdapat beberapa vesicle (10 20 % tidak seragam dan tidak beraturan) C Poor (Kurang) Terdapat sejumlah besar blastomer extruded, degenerasi, ukuran berbeda dan vesicle banyak. Tampak masih hidup (50 % tidak seragam dan tidak beraturan) D Non Transferable Embryo Sel degenerasi total, sel terlalu muda (2 32 sel) atau unfertilized ova (UFO) Gambar-ganbar berikut adalah gambar dari berbagai embrio dalam berbagai tahap perkembangan embrio : Gambar 19. Embrio tanpa zona pellucida III-20

21 Gambar 20. Sel telur tanpa zona Pellucida Gambar 21. Embrio tahap 16 Sel Gambar 22. Embrio tahap 4 sel dengan zona Pellucida III-21

22 Gambar 23. Embrio dengan zona Pellucida tidak normal Gambar 24. embrio tahap 4 sel dengan zona yang normal Gambar 25. Sel telur manusia yang telah difertilisaasi III-22

23 Gambar 26. Gaambar embrio manusia pada hari ke 3 pada Tahap 8 sel Gambar 27. Blastocyst hari ke 5 III-23

24 3.4 PRODUKSI EMBRYO IN VITRO Teknik produksi embryo secara in Vitro terdiri dari beberapa tahapan yaitu : 1. Koleksi oocyte immature (oocyte yang belum masak) dari donor 2. Maturasi oocyte yang dikoleksi 3. Fertilisasi In Vitro 4. Kultur embryo dibawah kondisi laboratorium (Inkubator CO 2 ) Teknik ini merupakan satu potensi yang baik untuk pemanfaatan sapi dengan genetik unggul dalam waktu yang simgkat Koleksi Oocyte (Recovery of Oocytes) Oocyte (sel telur) dapat dikoleksi atau diperoleh dengan dua (2) cara yaitu : 1. Koleksi dari induk sapi hidup (donor) 2. Koleksi dari Ovarium yang berasal dari induk sapi yang dipotong di RPH (pemanfaatan limbah induk sapi dari RPH) 1. Koleksi oocyte dari Induk sapi hidup (donor) Dari induk donor, sel telur yang belum masak (immature eggs/oocytes) dapat dikoleksi melalui dua cara pula yaitu : A. Koleksi oocyte melalui vaginal (Ovum Pick-Up Transvaginal) B. Koleksi oocyte melalui aspiraasi laparoskopi (laparoscopic aspiration) A. Koleksi oocyte melalui vaginal (Ovum Pick-Up Transvaginal/Transvaginal OPU) Transvaginal OPU dapat dilakukan dengan atau tanpa bantuan alat USG, tetapi dengan bantuan USG merupakan metode yang umum dilakukan. Dengan teknik atau metode tersebut dapat dihasilkan 4 5 sel telur immatur dalam sekali percobaan tanpa adanya stimulasi atau rangsangan hormonal pada ovarium. Sedangkan dengan stimulasi FSH pada ovarium telah dapat dihasilkan 8 10 sel telur per percobaan. Metode ini dapat dilakukan dalam 1 atau 2 kali per minggu dan dapat diulang untuk beberapa minggu dengan resiko yang kecil pada kesehatan dan fertilitas donor. Metode ini terutama ditujukan atau abaik dilakukan baik pada induk donor yang sangat responsif terhadap stimulasi hormonal, ataupun yang tidak. III-24

25 B. Koleksi oocyte melalui aspiraasi laparoskopi (laparoscopic aspiration) Dengan metode aspirasi laparoskopi dapat dihasilkan 3 9 sel telur/percobaan pada induk sapi dan sekitar sel telur/percobaan pada sapi dara. Dengan metode ini, rataan jumlah sel telur yang diperoleh lebih tinggi. Kedua teknik tersebut di atas dapat dilakukan untuk koleksi sel telur selama periode kebuntingan tanpa adanya efek yang yang berkepanjangan pada fertilitas ataupun kesehatan reproduksi induk donor. Sebagai contoh, pada teknik transvaginal OPU, sel telur dapat dikoleksi pada masa umur kebuntingan mulai hari, setiap dua minggu sekali dengan dihasilkan sekitar 60 buah sel telur selama 3 bulan periode kebuntingan. Jika diasumsikan diperoleh 30% embryo yang diperoleh layak untuk ditransfer kelak dan angka kebuntingan 50%, maka dapat dihasilkan 8 9 ekor anak sapi yang berasal dari sel telur yang dikoleksi dari seekor induk bunting. Berarti secara teori, sangat dimungkinkan untuk menghasilkan lebih dari 10 ekor anak dari induk bunting selama 13 bulan. Meode ini dapat juga diterapkan untuk koleksi sel telur dara yang belum puber atau belum dewasa kelamin (pre puberal), dimana produksi embryo dari ternak donor pre puberal ini mempunyai potensi untuk mereduksi interval generasi dan meningkatkan mutu genetik, walaupun kapasitas perkembangan dan pertumbuhan sel telur masih rendah dibandingkan bila sel telur berasal dari donor yang telah dewasa kelamin. Dengan demikian masih diperlukannya penelitian lebih lanjut untuk dapat diaplikasikan secara komersial 2. Koleksi dari Ovarium yang berasal dari induk sapi yang dipotong di RPH (pemanfaatan limbah induk sapi dari RPH) Sumber sel telur untuk menghasilkan embryo dalam skala besar dapat diperoleh dari Ovarium yang berasal dari induk yang dipotong di Rumah Potong Hewan (RPH). Sehingga selain untuk tujuan produksi embryo in vitro, juga sebagai pemanfaatan limbah dari RPH berupa pemanfaatan ovarium. Sel telur dapat dikoleksi dari ovarium dengan dua cara yaitu : 1. Aspirasi folikel ovarium 2. Slicing (sayatan) ovarium III-25

26 Kualitas sel telur yang dihasilkan dengan metode ini, hampir sama dengan sel telur yang berasal donor hidup, akan tetapi kelemahan dari metode ini adalah potensi genetik induk tidak dapat diketahui dengan pasti Maturasi Oocyte (Oocyte maturation) Segera setelah koleksi sel telur, sel telur tersebut disimpan pada media maturasi dan diinkubasi selama Jam untuk menstimulasi atau meramgsang pemasakan sel telur dibawah kondisi laboratorium, dalam hal ini inkubasi di dalam inkubator CO 2. Untk mendapatkan kualitas embryo yang baik, maka dapat juga dilakukan co-cultur dengan sel somatic. Kuiltur atau inkubasi selm telur umumnya dilakukan dalam satu kelompok sel telur dalam satu cawan guna mendapatkan perkembangan yang baik In Vitro Fertilisaasi (In Vitro Fertilization) Fertilisasi dilakukan dengan menggunakan semen beku. Pada metode ini, pertama-tama silakukan pemisahan bahan pengencer dari sperma motil, segera setelah semen beku di thawing. Cara pemisahan dapat dengan cara : 1. Pencucian langsung 2. Swim-up centrifugasi 3. Percoll gradient centrifugasi Teknik selanjutnya adalah sperma ditempatkan di dalam mikrodrops yang telah berisi sel telur kapasitasi dan larutan heparin. Inkubasi sel telur dengan sperma kapasitasi dilakukan selama 6 24 Jam. Umumnya sekitar 30 buah sel telur dan sperma diinkubasi dalam sati mikrodrops untuk mendapatkan hasil fertilisasi yang optimal Kultur Embryo Sel telur yang telah difertilisasi dicuci untuk dibebaskan dari sperma. Selanjutnya dikultur 5 7 hari untuk mengikuti perkembangan embryo hingga layak untuk ditransfer. Fertilisasi dapat dikatakan berhasil dengan adanya pembelahan sel yang secara visual dapat dilihat setelah Jam setelah inseminasi. Terdapat tiga sistem kultur embryo, yaitu : 1. Kultur embryo di dalam oviduct resipien sementara (domba dan kelinci). III-26

27 Dengan metode ini, angka kebuntingan mencapai % setelah embryo yang dihasilkan dibekukan dan ditransfer pada resipien 2. In Vitro kultur zygote (sel telur yang telah difertilisasi) dengan somatik sel (contoh sel epithel oviduct, sel granulosa) di dalam medium tertentu 3. In vitro kultur zygote dalam medium sederhana sepeti cairan oviduct sintetis tanpa menggunakan sel somatik Pada ke tiga sistem di atas, embryo dikultur di dalam mikrodrops dengan dilindungi dengan mineral oil. Angka kebuntinan untuk ketiga sistem tersebut mencapai %. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa, kultur embryo di dalam mikrodrops atau dengan sel somatik dapat meningkatkan produksi, daya tahan serta kualitas embryo. Tabel 2 di bawah menunjukkan keberhasilan produksi in Vitro dengan metode Transvagianal OPU Tabel 3. In vitro embryo production following transvaginal OPU. Duration of transport (h)* No. of collections No. of oocytes (avg) Oocyte cleavage (%) Transferable embryos (%) (10) 1310 (74) 837 (47) 3 to (7.5) 1326 (68) 840 (43) (6.5) 110 (71) 66 (43) *Time for transporting eggs from farm to laboratory. Source: Bousquet Proc. Soc. Theriogenology. pp III-27

28 Bagan Produksi Embrio dan Pelaksanaan Transfer Produksi embrio in Vivo I Donor Penyerentakan berahi superovulasi IB evaluasi konservasi embrio Embrio embrio Multiple Follikulo- Genesis Multiple Ovulasi Produksi embrio in Vitro Ovarium Koleksi Oosit Oosit Oosit Klasifikasi Maturasi Fertiliasi Koleksi Konservasi Embrio embrio Penampungan Semen/thawing Semen beku Kapasitasi spermatozoa II Resipien sinkronisasi 7 hari pasca berahi Transfer PKB Berahi embrio III-28

29 3.5 Teknik Transfer Embrio Teknik transfer embrio pada Sapi dan Kerbau Teknik transfer embrio (TE) pada Sapi dan Kerbau awalnya melalui proses laparotomy atau metode surgery (dengan pembedahan)dengan anesthesia umum atau local. Tetapi sejak tahun 1978, dilakukan metode tanpa pembedahan yakni transfer embrio melalui transcervical. Pada metode transcervical tersebut, mula-mula akan dilakukan palpasi rectal pada resipien untuk mengetahui apakah pada ovarium terdapat Korpus luteum. Selanjutnya dilakukan anesthesia epidural untuk induced to prevent straining selama proses transfer berlangsung. Embrio yang telah disimpan dalam straw (0,25 ml Straw) dalam keadaan steril dimasukkan kedalam Transfer Gun (Cassou) dan dilindungi dengan plastik penutup yang steril. Langkah selanjutnya Transfer Gun masuk ke dalam vagina dan melalui cervix dengan bantuan tangan operator melalui palpasi rektal akan menuntun Transfer Gun memasuki tanduk uterus bagian ipsilateral dengan Korpus Luteum. Embrio didesposisikan ke dalam tanduk uterin Teknik transfer embrio pada Domba dan Kambing Pada Domba dan Kambing umumnya transfer embrio dilakukan dengan cara pembedahan atau laparotomy dibawah anesthesia umum atau local. Dengan melakukan penyayatan midventral, embrio dapat ditransfer disertai satu sedikit medium lansgung ke dalam oviduct, dimana ujung dari pipet kapiler yang mengandung embrio disisipkan melalui infundibulum untuk mendesposisikan embrio ke dalam ampulla. Cara lain adalah apabila transfer embrio di arahkan langsung ke uterus, maka tanduk uterus ditusuk dengan jarum tumpul, selanjutnya pipet kapiler disisipkan ke dalam lumen uterus. Proses tersebut dapat dilakukan dengan teknik laparoscopy. III-29

30 3.6 Penanganan setelah Transfer Embrio Setelah dilakukan transfer embrio, sebaiknya dilakukan pendugaan atau evaluasi kebuntingan, dimana angka kebuntingan (Pregnancy rates) tidak dapat dikaitkan dengan prosentase daya tahan embrio (embryo survival). Angka kebuntingan dan daya tahan embrio dapat dideteksi pada awal masa kebuntingan. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa dibawah kondisi ideal, lebih dari 80 % embrio survive setelah ditransfer pada resipien yang telah mengalami Penyerentakan berahi terlebih dahulu. Angka kebuntingan tertinggi pada Sapi, Domba dan Kambing adalah melalui transfer satu embrio ke dalam masing-masing tanduk uterus resipien. Sehingga kelahiran kembar sering terjadi. Lain halnya pada Babi, melalui transfer 6 10 embrio pada masing-masing sisi akan menghasilkan litter size normal, karena hanya sekitar 1,5 embrio yang ditransfer yang akan menghasilkan keturunan yang sehat saat dilahirkan. Tahap pelaksanaan transfer embrio dapat dilihat pada gambar berikut. III-30

31 Tahapan pelaksanaan Transfer Embryo pada Sapi III-31

32 Gambar 28. Tahap pelaksanaan Transfer embrio III-32

33 3.7 Pembekuan Embrio Kelebihan utama dari pembekuan embrio dibandingkan dengan pembekuan sperm atau oocyt, adalah embrio mengandung komplet genom yang berasal dari pejantan unggul (semen beku) dan betina unggul, dan embrio dapat ditransfer kepada induk resipien tanpa diketahui atau diketahui latar belakang genetik atau catatatn genetik dari resipien tersebut serta tanpa adanya kehawatiran adanya resiko perubahan mutu genetik. Pembekuan embrio sebaiknya di arahkan untuk ternak-ternak di pusat-pusat pembibitan, dimana bertujuan penyebaran bibit unggul. Proses pembekuan di awali oleh peneliti Audrey Smith pada tahun 1952 dalam penelitiannya mengenai Efek temperatur rendah terhadap perkembangan ovum mammalia, dan selanjutnya menghasilkan beberapa penelitian dengan pembekuan embrio. Beberapa penelitian telah berhasil dilakukan terutama tentang cryopreservasi embrio pada berbagai spesies mammalia dengan berbagai variasi temperatur Prinsip dari Cryobiologi Prinsip dari biofisik telah diaplikasikan pada cryopreservasi dari sel hidup dan jaringan serta pada embrio. Embrio akan mengalami kerusakan selama proses pembekuan dan atau pada proses thawing (pencairan kembali) melalui pembentukan kristal-kristal es intra seluler atau melalui peningkatan konsentrasi cairan intra seluler yang berubah sehingga terjadi dehidrasi sel selama pembekuan. Ini dapat disebut sebagai Efek Larutan (Solution Effects). Pada proses pembekuan cepat (penurunan temperatur cepat) dapat mengurangi kerusakan akibat efek larutan, tetapi menyebabkan pembetukan krista es yang akan menyebabkan kerusakan mekanik pada embrio. Dengan demikian tingkat atau angka pembekuan optimum untuk jaringan sangat tergantung dari toleransi relatif dari kerusakan akibat pembentukan kristal es dan akibat efek larutan. Saat suspensi sel dibekukan dibawah 0 C, akan terbentuk kristal es ekstra seluler, akan mengakibatkan konsentrasi larutan di dalam air. Membran sel akan akan beraksi untuk menghalangi penyebaran kristal es ke dalam kompartemen intra selular. Penambahan agen cryoprotektan seperti Glyserol atau dimethyl sulfoxide pada pembekuan medium memberikan hasil pembekuan dengan temperatur rendah. Hal tersebut III-33

34 disebabkan tidak adanya dehidrasi sel dan akibat dari hilangnya efek larutan, sehingga embrio dapat dibekukan dengan cukup lambat untuk menghindari pembentukan kristal es yang besar. Temperatur kritis dengan pembekuan lambat untuk menghasil angka survival optimal adalah dari C selama pembekuan, dan dari C selama pemanasan kembali. Embrio mammalia dapat dibekukan untuk waktu lama di dalam larutan jika sesuai dengan temperatur pembekuan dan tidak ada lagi kejadian aktivitas biologi. Larutan Nitrogen pada temperatur 196 C adalah cocok untuk kondisi tersebut. Embrio Sapi, Domba dan Tikus dapat tahan pada pencairan kembali yang cepat (rapid thawing) pada pembekuan lambat dengan proses terminasi pembekuan paa temperatur 30 dan 50 C dan kemudian langsung disimpan ke dalam larutan Nitrogen cair pada temperatur Teknik Pembekuan embrio (Cryopreservasi Embryo) Berbagai variasi teknik pembekuan embrio digunakan untuk cryopreservasi dan thawing embrio Sapi, Domba, Babi dan Kuda. Ada beberapa kriteria yang harus diperhatikan dalam teknik pembekuan atau cryopreservasi yakni, Embrio yang akan dibekukan harus dalam kategori Excellent (Istimewa) Embrio berada pada tahap pembelahan yang benar (Cleavage) Embrio ditransfer dalam keadaan steril, segar tersimpan dalam media kultur hingga saat digunakan Jika embrio disimpan dalam medium lebih dari 2 Jam sebelum ditransfer, embrio harus ditransfer ke dalam medium segar setiap 2 jam. Embrio diisap ke dalam mikro pipet dengan sedikit volume medium (kurang dari 0,2 ml medium) untuk mencegah kontaminasi Kultur dan penyimpanan pada Temperatur 0 dan 37 C Segera setelah dilakukan panen embrio, embrio disimpan dalam media kultur (culture medium) pada temperatur 37 C. Perkembangan embrio in vitro sangat lambat dibandingkan in vivo. Embrio akan berkembang dalam 2 3 hari atau lebih. Embrio dapat disimpan di dalam kultur media untuk beberapa jam antara waktu koleksi hingga transfer pada temperatur C. Jika embrio dibekukan pada 0 dan 10 C atau III-34

35 transfer ke dalam oviduct Kelinci, maka dapat disimpan dan bertahan untuk beberapa hari dengan sedikit mengalami penurunan daya tahannya. Terkecuali embrio Babi tidak dapat survive pada pembekuan di bawah 15 C. Beberapa medium yang umum digunakan untuk kultur embrio, yakni : 1. Tissue Culture Medium (TCM 199) 2. Dulbecco s phosphat-buffered saline (PBS) TCM 199 biasa digunakan untuk koleksi embrio, sedangkan media untuk penyimpanan mengandung 25 mm HEPES buffer dan % Calf serum yang telah di filtrasi dengan menggunakan Millipore-filtered dan di inaktifkan dengan pemanasan selama 30 menit pada temperatur 56 C Prosedur pembekuan Embrio (Embrio Cryopreservation) Medium yang digunakan adalah modifikasi Dulbecco s PBS, dengan suplemen bovine serum albumin (BSA) Cryopotectant agen ditambahkan pada setiap step pada temperatur 0 C dan 20 C. Embrio dibekukan secara cepat pada 0 C dengan derajat kecepatan pembekuan 1 C/menit hingga - 7 C. Pada titik beku dilakukan seeding, yakni pembentukan kristal es kecil pada medium. Seeding akan meminimalkan fluktuasi temperatur sebagai akibat panas yang terbentuk. 3.8 Bahan Bacaan 1. Buku Wajib (BW) : 1. Hafez, E.S.E Reproduction In Farm Animals. 7 th Ed. Lippincott Williams & Wilkins 2. Toelihere, M. R Fsisologi Reproduksi Pada Ternak. Penerbit Angkasa Bandung 3. Partodihardjo, S Ilmu Reproduksi Hewan. Mutiara Sumber Widya. Jakarta 2. Buku Anjuran (BA) : 1. Peters, A.R., and Ball, P.J Reproduction in Cattle. 3 rd ed. Blackwell Science, Inc. 2. Bearden, H.J., J.W. Fuquay and S.T. Willard Applied Animal Reproduction. Sixth Edition. Pearson. Prentice Hall. New Jersey. 3. Rasad, SD Teknologi Reproduksi Ternak. Buku Ajar (unpublish) III-35

36 3.9 Tugas dan Latihan 1. Jelaskan tahapan proses transfer embrio 2. Jelaskan faktor-faktor apa yang penting diperhatikan dalam teknik TE pada sapi? 3. Jelaskan prinsip pembekuan embrio? 4. Jelaskan prosedur pembekuan embrio? III-36

Prosedur Pelaksanaan Transfer Embrio pada Ternak Sapi 1

Prosedur Pelaksanaan Transfer Embrio pada Ternak Sapi 1 A. Latar Belakang Makalah Mandiri BAB I PENDAHULUAN Untuk mengatasi kurangnya konsumsi protein hewani dan rendahnya penghasilan masyarakat Indonesia, usaha yang telah dilakukan adalah meningkatkan produksi

Lebih terperinci

IB telah menjadikan Genetic Progress menyebar relative cepat dengan penggunaan semen (semen beku). frozen sumbangan pejantan genetic (genetic progress

IB telah menjadikan Genetic Progress menyebar relative cepat dengan penggunaan semen (semen beku). frozen sumbangan pejantan genetic (genetic progress IB telah menjadikan Genetic Progress menyebar relative cepat dengan penggunaan semen (semen beku). frozen sumbangan pejantan genetic (genetic progress) terutama dari teknik transfer embrio, dimana betina

Lebih terperinci

BAB V INDUKSI KELAHIRAN

BAB V INDUKSI KELAHIRAN BAB V INDUKSI KELAHIRAN 5.1 Pendahuluan Induksi kelahiran merupakan suatu proses merangsang kelahiran dengan mengunakan preparat hormon dengan tujuan ekonomis. Beberapa alasan dilakukannya induksi kelahiran

Lebih terperinci

MAKALAH BIOTEKNOLOGI PETERNAKAN PENINGKATAN POPULASI DAN MUTU GENETIK SAPI DENGAN TEKNOLOGI TRANSFER EMBRIO. DOSEN PENGAMPU Drh.

MAKALAH BIOTEKNOLOGI PETERNAKAN PENINGKATAN POPULASI DAN MUTU GENETIK SAPI DENGAN TEKNOLOGI TRANSFER EMBRIO. DOSEN PENGAMPU Drh. MAKALAH BIOTEKNOLOGI PETERNAKAN PENINGKATAN POPULASI DAN MUTU GENETIK SAPI DENGAN TEKNOLOGI TRANSFER EMBRIO DOSEN PENGAMPU Drh. BUDI PURWO W, MP SEMESTER III JUNAIDI PANGERAN SAPUTRA NIRM 06 2 4 10 375

Lebih terperinci

BAB IV DIAGNOSA KEBUNTINGAN

BAB IV DIAGNOSA KEBUNTINGAN BAB IV DIAGNOSA KEBUNTINGAN 4.1 Pendahuluan Deteksi kebuntingan secara dini merupakan hal penting untuk diperhatikan selain karena besar pengaruhnya terhadap aktivitas atau siklus kehidupan ternak tersebut

Lebih terperinci

BAB VI TEKNOLOGI REPRODUKSI

BAB VI TEKNOLOGI REPRODUKSI SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN AGRIBISNIS TERNAK RIMUNANSIA BAB VI TEKNOLOGI REPRODUKSI KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT JENDERAL GURU DAN TENAGA KEPENDIDIKAN

Lebih terperinci

FERTILISASI DAN PERKEMBANGAN OOSIT SAPI HASIL IVF DENGAN SPERMA HASIL PEMISAHAN

FERTILISASI DAN PERKEMBANGAN OOSIT SAPI HASIL IVF DENGAN SPERMA HASIL PEMISAHAN FERTILISASI DAN PERKEMBANGAN OOSIT SAPI HASIL IVF DENGAN SPERMA HASIL PEMISAHAN (Fertilization and Development of Oocytes Fertilized in Vitro with Sperm after Sexing) EKAYANTI M. KAIIN, M. GUNAWAN, SYAHRUDDIN

Lebih terperinci

BAB I PENYERENTAKAN BERAHI

BAB I PENYERENTAKAN BERAHI BAB I PENYERENTAKAN BERAHI 1.1 Pendahuluan Penyerentakan berahi (Sinkronisasi Estrus) merupakan suatu proses manipulasi berahi pada sekelompok ternak betina. Adapun alasan dilakukannya Penyerentakan berahi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sistem Reproduksi Sapi Betina Superovulasi

TINJAUAN PUSTAKA Sistem Reproduksi Sapi Betina Superovulasi TINJAUAN PUSTAKA Sistem Reproduksi Sapi Betina Sistem reproduksi sapi betina lebih kompleks daripada sapi jantan, dimana terdiri dari beberapa organ yang memiliki peran dan fungsi masing-masing. Ovarium

Lebih terperinci

CARA MUDAH MENDETEKSI BIRAHI DAN KETEPATAN WAKTU INSEMINASI BUATAN (IB) PADA SAPI INSEMINASI BUATAN(IB).

CARA MUDAH MENDETEKSI BIRAHI DAN KETEPATAN WAKTU INSEMINASI BUATAN (IB) PADA SAPI INSEMINASI BUATAN(IB). CARA MUDAH MENDETEKSI BIRAHI DAN KETEPATAN WAKTU INSEMINASI BUATAN (IB) PADA SAPI INSEMINASI BUATAN(IB). Peningkatan produktifitas ternak adalah suatu keharusan, Oleh karena itu diperlukan upaya memotivasi

Lebih terperinci

STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP) SEKSI PRODUKSI DAN APLIKASI (PA)

STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP) SEKSI PRODUKSI DAN APLIKASI (PA) STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP) SEKSI PRODUKSI DAN APLIKASI (PA) BALAI EMBRIO TERNAK CIPELANG DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN KEMENTERIAN PERTANIAN BalaiEmbrioTernakCipelang BET STANDAR

Lebih terperinci

PENGARUH KONSENTRASI SPERMATOZOA PASCA KAPASITASI TERHADAP TINGKAT FERTILISASI IN VITRO

PENGARUH KONSENTRASI SPERMATOZOA PASCA KAPASITASI TERHADAP TINGKAT FERTILISASI IN VITRO PENGARUH KONSENTRASI SPERMATOZOA PASCA KAPASITASI TERHADAP TINGKAT FERTILISASI IN VITRO (The Effects of Spermatozoa Concentration of Postcapacity on In Vitro Fertilization Level) SUMARTANTO EKO C. 1, EKAYANTI

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. berasal dari daerah Gangga, Jumna, dan Cambal di India. Pemeliharaan ternak

I PENDAHULUAN. berasal dari daerah Gangga, Jumna, dan Cambal di India. Pemeliharaan ternak 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kambing Peranakan Etawah atau kambing PE merupakan persilangan antara kambing kacang betina asli Indonesia dengan kambing Etawah jantan yang berasal dari daerah Gangga,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Selatan. Sapi pesisir dapat beradaptasi dengan baik terhadap pakan berkualitas

I. PENDAHULUAN. Selatan. Sapi pesisir dapat beradaptasi dengan baik terhadap pakan berkualitas I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sapi pesisir merupakan salah satu bangsa sapi lokal yang banyak di pelihara petani-peternak di Sumatera Barat, terutama di Kabupaten Pesisir Selatan. Sapi pesisir dapat

Lebih terperinci

penampungan [ilustrasi :1], penilaian, pengenceran, penyimpanan atau pengawetan (pendinginan dan pembekuan) dan pengangkutan semen, inseminasi, pencat

penampungan [ilustrasi :1], penilaian, pengenceran, penyimpanan atau pengawetan (pendinginan dan pembekuan) dan pengangkutan semen, inseminasi, pencat Problem utama pada sub sektor peternakan saat ini adalah ketidakmampuan secara optimal menyediakan produk-produk peternakan, seperti daging, telur, dan susu untuk memenuhi kebutuhan gizi masyarakat akan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. memproduksi dan meningkatkan produktivitas peternakan. Terkandung di

I. PENDAHULUAN. memproduksi dan meningkatkan produktivitas peternakan. Terkandung di I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bioteknologi reproduksi merupakan teknologi unggulan dalam memproduksi dan meningkatkan produktivitas peternakan. Terkandung di dalamnya pemanfaatan proses rekayasa fungsi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Propinsi Lampung memiliki potensi sumber daya alam yang sangat besar untuk

I. PENDAHULUAN. Propinsi Lampung memiliki potensi sumber daya alam yang sangat besar untuk 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Propinsi Lampung memiliki potensi sumber daya alam yang sangat besar untuk pengembangan ternak sapi potong. Kemampuan menampung ternak sapi di Lampung sebesar

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN A.

BAB I. PENDAHULUAN A. 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Aplikasi bioteknologi reproduksi di bidang peternakan merupakan suatu terobosan untuk memacu pengembangan usaha peternakan. Sapi merupakan salah satu jenis ternak

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA A.

II. TINJAUAN PUSTAKA A. 3 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Sapi Perah Peranakan Friesian Holstein Sapi peranakan Fresian Holstein (PFH) merupakan sapi hasil persilangan sapi-sapi jantan FH dengan sapi lokal melalui perkawinan alam (langsung)

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Dalam upaya menjadikan subsektor peternakan sebagai pendorong kemandirian pertanian Nasional, dibutuhkan terobosan pengembangan sistem peternakan. Dalam percepatan penciptaan

Lebih terperinci

Tatap muka ke 13 & 14 SINKRONISASI / INDUKSI BIRAHI DAN WAKTU IB

Tatap muka ke 13 & 14 SINKRONISASI / INDUKSI BIRAHI DAN WAKTU IB Tatap muka ke 13 & 14 PokokBahasan : SINKRONISASI / INDUKSI BIRAHI DAN WAKTU IB 1. Tujuan Intruksional Umum Mengerti tujuan sinkronisasi / induksi birahi Mengerti cara- cara melakuakn sinkronisasi birahi/induksi

Lebih terperinci

LEMBAR KERJA KEGIATAN 8.3

LEMBAR KERJA KEGIATAN 8.3 LEMBAR KERJA KEGIATAN 8.3 MEMPELAJARI PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MANUSIA MELALUI BIOTEKNOLOGI Bioteknologi berkebang sangat pesat. Produk-produk bioteknologi telah dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 4. (a) Luar kandang, (b) Dalam kandang

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 4. (a) Luar kandang, (b) Dalam kandang HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Balai Embrio Ternak (BET) yang terletak di Desa Cipelang, Kecamatan Cijeruk, Kabupaten Bogor. Topografi lokasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. jika ditinjau dari program swasembada daging sapi dengan target tahun 2009 dan

I. PENDAHULUAN. jika ditinjau dari program swasembada daging sapi dengan target tahun 2009 dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sapi potong merupakan salah satu ternak penghasil daging dan merupakan komoditas peternakan yang sangat potensial. Dalam perkembangannya, populasi sapi potong belum mampu

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 7 Maret 19 April 2016, bertempat

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 7 Maret 19 April 2016, bertempat 8 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 7 Maret 19 April 2016, bertempat di Balai Pembibitan dan Budidaya Ternak Non Ruminansia (BPBTNR) Provinsi Jawa Tengah di Kota Surakarta.

Lebih terperinci

Teknologi Reproduksi

Teknologi Reproduksi Teknologi Reproduksi Teknologi reproduksi merupakan satu kesatuan dari teknik-teknik rekayasa sistem reproduksi hewan yang dikembangkan melalui suatu proses penelitian dalam bidang reproduksi hewan secara

Lebih terperinci

Pemantauan dan Pengukuran Proses Layanan Purna Jual. Kegiatan Nama Jabatan Tanda Tangan Tanggal. Kepala BIB Lembang

Pemantauan dan Pengukuran Proses Layanan Purna Jual. Kegiatan Nama Jabatan Tanda Tangan Tanggal. Kepala BIB Lembang LEMBAR PENGESAHAN Pemantauan dan Pengukuran Proses Layanan Purna Jual 31 Okt 2016 1 dari 5 Kegiatan Nama Jabatan Tanda Tangan Tanggal Diperiksa oleh KRISMONO, SST Kasubbag TU 31 Oktober 2016 Disyahkan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dibagikan. Menurut Alim dan Nurlina ( 2011) penerimaan peternak terhadap

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dibagikan. Menurut Alim dan Nurlina ( 2011) penerimaan peternak terhadap BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Persepsi Peternak Terhadap IB Persepsi peternak sapi potong terhadap pelaksanaan IB adalah tanggapan para peternak yang ada di wilayah pos IB Dumati terhadap pelayanan IB

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi PO adalah sapi persilangan antara sapi Ongole (Bos-indicus) dengan sapi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi PO adalah sapi persilangan antara sapi Ongole (Bos-indicus) dengan sapi BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Peranakan Ongole Sapi PO adalah sapi persilangan antara sapi Ongole (Bos-indicus) dengan sapi lokal. Sapi ini tahan terhadap iklim tropis dengan musim kemaraunya (Yulianto

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Jawarandu merupakan kambing lokal Indonesia. Kambing jenis

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Jawarandu merupakan kambing lokal Indonesia. Kambing jenis 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kambing Jawarandu Kambing Jawarandu merupakan kambing lokal Indonesia. Kambing jenis ini banyak diternakkan di pesisir pantai utara (Prawirodigdo et al., 2004). Kambing Jawarandu

Lebih terperinci

5 KINERJA REPRODUKSI

5 KINERJA REPRODUKSI 5 KINERJA REPRODUKSI Pendahuluan Dengan meningkatnya permintaan terhadap daging tikus ekor putih sejalan dengan laju pertambahan penduduk, yang diikuti pula dengan makin berkurangnya kawasan hutan yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk yang terus

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk yang terus I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk yang terus meningkat sehingga membutuhkan ketersediaan makanan yang memiliki gizi baik yang berasal

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. pemotongan hewan (TPH) adalah domba betina umur produktif, sedangkan untuk

PENDAHULUAN. pemotongan hewan (TPH) adalah domba betina umur produktif, sedangkan untuk 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Domba merupakan ternak yang dapat menyediakan kebutuhan protein hewani bagi masyarakat Indonesia selain dari sapi, kerbau dan unggas. Oleh karena itu populasi dan kualitasnya

Lebih terperinci

Kelahiran Anak Sapi Hasil Fertilisasi secara in Vitro dengan Sperma Hasil Pemisahan

Kelahiran Anak Sapi Hasil Fertilisasi secara in Vitro dengan Sperma Hasil Pemisahan Media Peternakan, April 2008, hlm. 22-28 ISSN 0126-0472 Terakreditasi SK Dikti No: 56/DIKTI/Kep/2005 Vol. 31 No. 1 Kelahiran Anak Sapi Hasil Fertilisasi secara in Vitro dengan Sperma Hasil Pemisahan E.

Lebih terperinci

KEBERHASILAN IB MENGGUNAKAN SEMEN SEXING SETELAH DIBEKUKAN

KEBERHASILAN IB MENGGUNAKAN SEMEN SEXING SETELAH DIBEKUKAN KEBERHASILAN IB MENGGUNAKAN SEMEN SEXING SETELAH DIBEKUKAN (Artificial Insemination Using Sexing of Semen After Freezing) TRINIL SUSILAWATI Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya Malang ABSTRACT Alternative

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Siklus Reproduksi Kuda

TINJAUAN PUSTAKA Siklus Reproduksi Kuda 3 TINJAUAN PUSTAKA Siklus Reproduksi Kuda Siklus reproduksi terkait dengan berbagai fenomena, meliputi pubertas dan kematangan seksual, musim kawin, siklus estrus, aktivitas seksual setelah beranak, dan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Bahan Penelitian Metode Penelitian Superovulasi Koleksi Sel Telur

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Bahan Penelitian Metode Penelitian Superovulasi Koleksi Sel Telur METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini berlangsung dari bulan Januari 2011 s.d. Februari 2012. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Embriologi Departemen Anatomi Fisiologi dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dengan tujuan untuk menghasilkan daging, susu, dan sumber tenaga kerja sebagai

I. PENDAHULUAN. dengan tujuan untuk menghasilkan daging, susu, dan sumber tenaga kerja sebagai I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kerbau merupakan salah satu ternak ruminansia yang dikembangkan dengan tujuan untuk menghasilkan daging, susu, dan sumber tenaga kerja sebagai hasil utama serta pupuk organik

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilakukan pada bulan November 1999 sampai dengan

MATERI DAN METODE. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilakukan pada bulan November 1999 sampai dengan MATERI DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan November 1999 sampai dengan Desember 2000 dilokasi Balai Penelitian Ternak (Balitnak) Ciawi - Bogor. Kegiatannya meliputi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. khususnya daging sapi dari tahun ke tahun di Indonesia mengalami peningkatan

BAB I PENDAHULUAN. khususnya daging sapi dari tahun ke tahun di Indonesia mengalami peningkatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan alam yang melimpah.ternak dan hasil produksinya merupakan sumber bahan pangan protein yang sangat penting untuk peningkatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia. Laju pertambahan penduduk yang terus meningkat menuntut

I. PENDAHULUAN. Indonesia. Laju pertambahan penduduk yang terus meningkat menuntut I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Peningkatan produksi daging merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan ketahanan pangan sekaligus memajukan tingkat kecerdasan sumber daya manusia Indonesia.

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kabupaten Bone Bolango merupakan salah satu kabupaten diantara 5

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kabupaten Bone Bolango merupakan salah satu kabupaten diantara 5 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian Kabupaten Bone Bolango merupakan salah satu kabupaten diantara 5 Kabupaten yang terdapat di provinsi Gorontalo dan secara geografis memiliki

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Siklus Estrus Sapi Betina Folikulogenesis

TINJAUAN PUSTAKA Siklus Estrus Sapi Betina Folikulogenesis TINJAUAN PUSTAKA Siklus Estrus Sapi Betina Sistem reproduksi sapi betina lebih kompleks daripada hewan jantan, karena terdiri atas beberapa organ yang memiliki peran dan fungsi masing- masing. Ovarium

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 9 A B Hari ke- 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16-17 Gambar 8 Teknik penyuntian PGF 2α. (A) Penyuntikan pertama, (B) Penyuntikan kedua, (C) Pengamatan estrus yang dilakukan tiga kali sehari yaitu pada

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Teknologi Inseminasi Buatan (IB) atau dikenal dengan istilah kawin suntik pada

I. PENDAHULUAN. Teknologi Inseminasi Buatan (IB) atau dikenal dengan istilah kawin suntik pada 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Teknologi Inseminasi Buatan (IB) atau dikenal dengan istilah kawin suntik pada ternak sapi telah banyak diterapkan di Indonesia. Menurut SNI 4896.1 (2008),

Lebih terperinci

GAMBARAN AKTIVITAS OVARIUM SAPI BALI BETINA YANG DIPOTONG PADA RUMAH PEMOTONGAN HEWAN (RPH) KENDARI BERDASARKAN FOLIKEL DOMINAN DAN CORPUS LUTEUM

GAMBARAN AKTIVITAS OVARIUM SAPI BALI BETINA YANG DIPOTONG PADA RUMAH PEMOTONGAN HEWAN (RPH) KENDARI BERDASARKAN FOLIKEL DOMINAN DAN CORPUS LUTEUM 1 GAMBARAN AKTIVITAS OVARIUM SAPI BALI BETINA YANG DIPOTONG PADA RUMAH PEMOTONGAN HEWAN (RPH) KENDARI BERDASARKAN FOLIKEL DOMINAN DAN CORPUS LUTEUM Takdir Saili 1*, Fatmawati 1, Achmad Selamet Aku 1 1

Lebih terperinci

Dr. Refli., MSc Jurusan Biologi FST UNDANA ALASAN MELAKUKAN

Dr. Refli., MSc Jurusan Biologi FST UNDANA ALASAN MELAKUKAN BIOTEKNOLOGI HEWAN Dr. Refli., MSc Jurusan Biologi FST UNDANA ALASAN MELAKUKAN BIOTEKNOLOGI HEWAN Untuk mengisolasi, identifikasi dan karakterisasi gen agar dapat mempelajari fungsinya Untuk membantu menyiapkan

Lebih terperinci

DAYA HIDUP SPERMATOZOA EPIDIDIMIS KAMBING DIPRESERVASI PADA SUHU 5 C

DAYA HIDUP SPERMATOZOA EPIDIDIMIS KAMBING DIPRESERVASI PADA SUHU 5 C DAYA HIDUP SPERMATOZOA EPIDIDIMIS KAMBING DIPRESERVASI PADA SUHU 5 C Disajikan oleh : Hotmaria Veronika.G (E10012157) dibawah bimbingan : Ir. Teguh Sumarsono, M.Si 1) dan Dr. Bayu Rosadi, S.Pt. M.Si 2)

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian eksperimen. Dalam penelitian eksperimen terdapat kontrol sebagai acuan antara keadaan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat Penelitian. Bahan Penelitian. Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat Penelitian. Bahan Penelitian. Metode Penelitian BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini berlangsung dari bulan Januari 2010 sampai dengan Januari 2011. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Embriologi Departemen Anatomi Fisiologi

Lebih terperinci

Implementasi New Tech Anim Breeding: Analisis teknis dan ekonomis peningkatan kualitas genetik dan produksi ternak (KA,IB,TE, RG)

Implementasi New Tech Anim Breeding: Analisis teknis dan ekonomis peningkatan kualitas genetik dan produksi ternak (KA,IB,TE, RG) Implementasi New Tech Anim Breeding: Analisis teknis dan ekonomis peningkatan kualitas genetik dan produksi ternak (KA,IB,TE, RG) Program alternatif PT Program Alternatif PT: Inseminasi Buatan, TE, Kloning

Lebih terperinci

Embrio ternak - Bagian 1: Sapi

Embrio ternak - Bagian 1: Sapi Standar Nasional Indonesia Embrio ternak - Bagian 1: Sapi ICS 65.020.30 Badan Standardisasi Nasional BSN 2013 Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh

Lebih terperinci

Z. Udin, Jaswandi, dan M. Hiliyati Fakultas Peternakan Universitas Andalas, Padang ABSTRAK

Z. Udin, Jaswandi, dan M. Hiliyati Fakultas Peternakan Universitas Andalas, Padang ABSTRAK PENGARUH PENGGUNAAN HEMIKALSIUM DALAM MEDIUM FERTILISASI IN VITRO TERHADAP VIABILITAS DAN AGLUTINASI SPERMATOZOA SAPI [The Usage effect of Hemicalcium in a Medium of In Vitro Fertilization on Viability

Lebih terperinci

PENGGUNAAN TELUR ITIK SEBAGAI PENGENCER SEMEN KAMBING. Moh.Nur Ihsan Produksi Ternak Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang ABSTRAK

PENGGUNAAN TELUR ITIK SEBAGAI PENGENCER SEMEN KAMBING. Moh.Nur Ihsan Produksi Ternak Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang ABSTRAK PENGGUNAAN TELUR ITIK SEBAGAI PENGENCER SEMEN KAMBING Moh.Nur Ihsan Produksi Ternak Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang ABSTRAK Suatu penelitian untuk mengetahui penggunaan kuning telur itik

Lebih terperinci

PENGARUH INJEKSI PGF2α DENGAN HORMON PMSG PADA JUMLAH KORPUS LUTEUM, EMBRIO DAN JUMLAH ANAK KELINCI

PENGARUH INJEKSI PGF2α DENGAN HORMON PMSG PADA JUMLAH KORPUS LUTEUM, EMBRIO DAN JUMLAH ANAK KELINCI 105 Buana Sains Vol 7 No 2: 105-112, 2007 PENGARUH INJEKSI PGF2α DENGAN HORMON PMSG PADA JUMLAH KORPUS LUTEUM, EMBRIO DAN JUMLAH ANAK KELINCI Eko Marhaeniyanto dan I Gedhe Putu Kasthama Fakultas Peternakan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian yang dilakukan adalah penelitian eksperimental (experimental research) yaitu penelitian yang berusaha mencari pengaruh variabel tertentu terhadap

Lebih terperinci

Oleh : R. Kurnia Achjadi Dosen FKH IPB/Komisi Bibit dan,keswan, Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian

Oleh : R. Kurnia Achjadi Dosen FKH IPB/Komisi Bibit dan,keswan, Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian Oleh : R. Kurnia Achjadi Dosen FKH IPB/Komisi Bibit dan,keswan, Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian PEMBANGUNAN PETERNAKAN dan KESEHATAN HEWAN 2011-2014 Peningkatan bibit ternak

Lebih terperinci

APLIKASI IB DENGAN SPERMA HASIL PEMISAHAN DI SUMATERA BARAT

APLIKASI IB DENGAN SPERMA HASIL PEMISAHAN DI SUMATERA BARAT APLIKASI IB DENGAN SPERMA HASIL PEMISAHAN DI SUMATERA BARAT (Artificial Insemination Application Using Sexed Sperm in West Sumatera) EKAYANTI M. KAIIN, M. GUNAWAN dan BAHARUDDIN TAPPA Pusat Penelitian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Flemish giant dan belgian hare dan berasal dari Amerika. Kelinci ini mempunyai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Flemish giant dan belgian hare dan berasal dari Amerika. Kelinci ini mempunyai 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kelinci New Zealand White Kelinci New Zealand White (NZW) merupakan kelinci hasil persilangan dari Flemish giant dan belgian hare dan berasal dari Amerika. Kelinci ini mempunyai

Lebih terperinci

PUBERTAS DAN ESTRUS 32 Pubertas 32 Estrus 32 Waktu kawin 33

PUBERTAS DAN ESTRUS 32 Pubertas 32 Estrus 32 Waktu kawin 33 PUBERTAS DAN ESTRUS 32 Pubertas 32 Estrus 32 Waktu kawin 33 HORMON KEBUNTINGAN DAN KELAHIRAN 33 Peranan hormon dalam proses kebuntingan 33 Kelahiran 34 MASALAH-MASALAH REPRODUKSI 35 FERTILITAS 35 Faktor

Lebih terperinci

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. dan sekresi kelenjar pelengkap saluran reproduksi jantan. Bagian cairan dari

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. dan sekresi kelenjar pelengkap saluran reproduksi jantan. Bagian cairan dari 6 II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Karakteristik Semen Kambing Semen adalah cairan yang mengandung gamet jantan atau spermatozoa dan sekresi kelenjar pelengkap saluran reproduksi jantan. Bagian cairan dari suspensi

Lebih terperinci

Korelasi antara Oosit Domba yang Dikoleksi dari Rumah Pemotongan Hewan dengan Tingkat Fertilitasnya setelah Fertilisasi in vitro

Korelasi antara Oosit Domba yang Dikoleksi dari Rumah Pemotongan Hewan dengan Tingkat Fertilitasnya setelah Fertilisasi in vitro Korelasi antara Oosit Domba yang Dikoleksi dari Rumah Pemotongan Hewan dengan Tingkat Fertilitasnya setelah Fertilisasi in vitro Teguh Suprihatin* *Laboratorium Biologi Struktur dan Fungsi Hewan Jurusan

Lebih terperinci

PENGARUH LEVEL GLISEROL DALAM PENGENCER TRIS- KUNING TELUR TERHADAP MEMBRAN PLASMA UTUH DAN RECOVERY RATE SPERMA KAMBING PERANAKAN ETAWAH POST THAWING

PENGARUH LEVEL GLISEROL DALAM PENGENCER TRIS- KUNING TELUR TERHADAP MEMBRAN PLASMA UTUH DAN RECOVERY RATE SPERMA KAMBING PERANAKAN ETAWAH POST THAWING PENGARUH LEVEL GLISEROL DALAM PENGENCER TRIS- KUNING TELUR TERHADAP MEMBRAN PLASMA UTUH DAN RECOVERY RATE SPERMA KAMBING PERANAKAN ETAWAH POST THAWING THE EFFECT OF GLYCEROL LEVEL ON TRIS-YOLK EXTENDER

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Evaluasi Semen Segar

HASIL DAN PEMBAHASAN. Evaluasi Semen Segar HASIL DAN PEMBAHASAN Semen adalah cairan yang mengandung suspensi sel spermatozoa, (gamet jantan) dan sekresi dari organ aksesori saluran reproduksi jantan (Garner dan Hafez, 2000). Menurut Feradis (2010a)

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dari Amerika (Masanto dan Agus, 2013). Kelinci New Zealand White memiliki

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dari Amerika (Masanto dan Agus, 2013). Kelinci New Zealand White memiliki 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kelinci New Zealand White Kelinci New Zealand White (NZW) bukan berasal dari New Zealand, tetapi dari Amerika (Masanto dan Agus, 2013). Kelinci New Zealand White memiliki

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian

MATERI DAN METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian MATERI DAN METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan mulai bulan Januari 2007 sampai dengan bulan Juli 2007. Lokasi penelitian berada pada dua kenagarian yaitu Kenagarian Sungai

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

BAHAN DAN METODE PENELITIAN 12 III BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3.1 Bahan Penelitian 3.1.1 Objek Penelitian Objek penelitian yang digunakan yaitu semen yang berasal dari lima ekor kambing PE umur 2-3 tahun. 3.1.2 Bahan dan Peralatan

Lebih terperinci

Sexual behaviour Parturient behaviour Nursing & maternal behaviour

Sexual behaviour Parturient behaviour Nursing & maternal behaviour Sexual behaviour Parturient behaviour Nursing & maternal behaviour Rangsangan seksual libido Berkembang saat pubertas dan setelah dewasa berlangsung terus selama hidup Tergantung pada hormon testosteron

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Semen Segar Hasil evaluasi semen segar merupakan pemeriksaan awal semen yang dijadikan dasar untuk menentukan kelayakan semen yang akan diproses lebih lanjut. Pemeriksaan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Materi Penelitian Rancangan Percobaan Metode Penelitian Koleksi Blastosis

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Materi Penelitian Rancangan Percobaan Metode Penelitian Koleksi Blastosis METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan mulai dari September 2006 sampai dengan Mei 2007, di Laboratorium Embriologi dan Laboratorium Histologi, Departemen Anatomi, Fisiologi,

Lebih terperinci

Kualitas Embrio pada Sapi Simmental dan Limousin dengan Kadar Protein Pakan Berbeda

Kualitas Embrio pada Sapi Simmental dan Limousin dengan Kadar Protein Pakan Berbeda Jurnal Ilmu Produksi dan Teknologi Hasil Peternakan ISSN 2303-2227 Vol. 04 No. 2 Juni 2016 Hlm: 319-324 Kualitas Embrio pada Sapi Simmental dan Limousin dengan Kadar Protein Pakan Berbeda The Embryo Quality

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. masyarakat Pesisir Selatan. Namun, populasi sapi pesisir mengalami penurunan,

PENDAHULUAN. masyarakat Pesisir Selatan. Namun, populasi sapi pesisir mengalami penurunan, I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sapi Pesisir merupakan salah satu bangsa sapi lokal yang banyak dipelihara petani-peternak di Sumatra Barat, terutama di Kabupaten Pesisir Selatan. Sapi Pesisir mempunyai

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

BAHAN DAN METODE PENELITIAN BAHAN DAN METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan mulai bulan Juni 2010 sampai dengan bulan Desember 2010 di kandang percobaan Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Tempat Penelitian 4.1.1. Sejarah UPTD BPPTD Margawati Garut Unit Pelaksana Teknis Dinas Balai Pengembangan Perbibitan Ternak Domba atau disingkat UPTD BPPTD yaitu

Lebih terperinci

PENETAPAN INTERVAL INSEMINASI BUATAN (IB) PADA AYAM BURAS

PENETAPAN INTERVAL INSEMINASI BUATAN (IB) PADA AYAM BURAS PENETAPAN INTERVAL INSEMINASI BUATAN (IB) PADA AYAM BURAS KADIRAN, R.DENNY PURNAMA DAN SUHARTO Balai Penelitian Ternak Bogor,Po.Box 221 Bogor 16002 RINGKASAN Suatu pengamatan mengenai periode fertil spermatozoa

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Dalam usaha meningkatkan penyediaan protein hewani dan untuk

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Dalam usaha meningkatkan penyediaan protein hewani dan untuk PENDAHULUAN Latar Belakang Dalam usaha meningkatkan penyediaan protein hewani dan untuk mencapai swasembada protein asal ternak khususnya swasembada daging pada tahun 2005, maka produkksi ternak kambing

Lebih terperinci

Minggu Topik Sub Topik Metode Pembelajaran

Minggu Topik Sub Topik Metode Pembelajaran Rencana Kegiatan dan Pembelajaran Mingguan (RKPM) a. Kuliah Minggu Topik Sub Topik Metode Pembelajaran Dosen Pengampu I Pendahuluan 1. Pengertian reproduksi 2. Peranan proses reproduksi dalam kehidupan

Lebih terperinci

menghasilkan keturunan (melahirkan) yang sehat dan dapat tumbuh secara normal. Ternak yang mempunyai kesanggupan menghasilkan keturunan atau dapat

menghasilkan keturunan (melahirkan) yang sehat dan dapat tumbuh secara normal. Ternak yang mempunyai kesanggupan menghasilkan keturunan atau dapat UKURAN KRITERIA REPRODUKSI TERNAK Sekelompok ternak akan dapat berkembang biak apalagi pada setiap ternak (sapi) dalam kelompoknya mempunyai kesanggupan untuk berkembang biak menghasilkan keturunan (melahirkan)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. kebutuhan sehingga sebagian masih harus diimpor (Suryana, 2009). Pemenuhan

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. kebutuhan sehingga sebagian masih harus diimpor (Suryana, 2009). Pemenuhan BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Sapi potong merupakan salah satu ternak penghasil daging di Indonesia. Daging sapi merupakan salah satu sumber protein hewani yang banyak dibutuhkan konsumen, namun sampai

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Inseminasi Buatan pada Ayam Arab

HASIL DAN PEMBAHASAN. Inseminasi Buatan pada Ayam Arab HASIL DAN PEMBAHASAN Inseminasi Buatan pada Ayam Arab Ayam Arab yang ada di Indonesia sekarang adalah ayam Arab hasil kawin silang dengan ayam lokal. Percepatan perkembangbiakan ayam Arab dapat dipacu

Lebih terperinci

SISTEM ALAT REPRODUKSI HEWAN BETINA. Oleh: Kustono Diah Tri Widayati

SISTEM ALAT REPRODUKSI HEWAN BETINA. Oleh: Kustono Diah Tri Widayati SISTEM ALAT REPRODUKSI HEWAN BETINA Oleh: Kustono Diah Tri Widayati Alat reproduksi betina terletak pada cavum pelvis (rongga pinggul). Cavum pelvis dibentuk oleh tulangtulang sacrum, vertebra coccygea

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ketahanan pangan merupakan prioritas ke-5 tingkat Nasional dalam Rancangan

I. PENDAHULUAN. Ketahanan pangan merupakan prioritas ke-5 tingkat Nasional dalam Rancangan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Ketahanan pangan merupakan prioritas ke-5 tingkat Nasional dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Kementrian Pertanian Tahun 2010-- 2014 (Anonim

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 9 Deteksi Estrus Pengukuran hambatan arus listrik lendir vagina dilakukan dua kali sehari (pagi dan sore) selama lima hari berturut-turut. Angka estrus detektor direkapitulasi dalam bentuk tabel secara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perkembangan peternakan mempunyai tujuan utama untuk meningkatkan

I. PENDAHULUAN. Perkembangan peternakan mempunyai tujuan utama untuk meningkatkan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Perkembangan peternakan mempunyai tujuan utama untuk meningkatkan populasi dan produksi ternak ke arah pencapaian swasembada protein hewani untuk memenuhi

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Unit Pelayanan Tekhnis Daerah Balai

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Unit Pelayanan Tekhnis Daerah Balai 22 III. BAHAN DAN METODE A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Unit Pelayanan Tekhnis Daerah Balai Inseminasi Buatan Daerah (UPTD-BIBD) Lampung Tengah. Kegiatan penelitian

Lebih terperinci

Semen beku Bagian 1: Sapi

Semen beku Bagian 1: Sapi Standar Nasional Indonesia Semen beku Bagian 1: Sapi ICS 65.020.30 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi...i Prakata...ii Pendahuluan... iii 1 Ruang lingkup... 1 2 Istilah dan definisi...

Lebih terperinci

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. menggunakan metode artificial vagaina (AV). Semen yang didapatkan kemudian

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. menggunakan metode artificial vagaina (AV). Semen yang didapatkan kemudian IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Semen Segar Kambing PE Semen ditampung dari satu ekor kambing jantan Peranakan Etawah (PE) menggunakan metode artificial vagaina (AV). Semen yang didapatkan kemudian

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. dikembangkan di Indonesia. Sistem pemeliharannya masih dilakukan secara

I PENDAHULUAN. dikembangkan di Indonesia. Sistem pemeliharannya masih dilakukan secara 1 I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kambing merupakan salah satu jenis ternak yang mudah dipelihara dan dikembangkan di Indonesia. Sistem pemeliharannya masih dilakukan secara tradisional. Salah satu bangsa

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. kambing Peranakan Etawah (PE). Kambing PE merupakan hasil persilangan dari

PENDAHULUAN. kambing Peranakan Etawah (PE). Kambing PE merupakan hasil persilangan dari 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kambing merupakan komoditas ternak yang banyak dikembangkan di Indonesia. Salah satu jenis kambing yang banyak dikembangkan yaitu jenis kambing Peranakan Etawah (PE).

Lebih terperinci

VIII. PRODUKTIVITAS TERNAK BABI DI INDONESIA

VIII. PRODUKTIVITAS TERNAK BABI DI INDONESIA Tatap muka ke : 10 POKOK BAHASAN VIII VIII. PRODUKTIVITAS TERNAK BABI DI INDONESIA Tujuan Instruksional Umum : Mengetahui peranan ternak babi dalam usaha penyediaan daging. Mengetahui sifat-sifat karakteristik

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada April 2014 di Balai Inseminasi Buatan Daerah

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada April 2014 di Balai Inseminasi Buatan Daerah III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada April 2014 di Balai Inseminasi Buatan Daerah (BIBD) Lampung, Kecamatan Terbanggi Besar, Kabupaten Lampung Tengah,

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA. tidak vital bagi kehidupan tetapi sangat penting bagi kelanjutan keturunan suatu

I. TINJAUAN PUSTAKA. tidak vital bagi kehidupan tetapi sangat penting bagi kelanjutan keturunan suatu I. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Reproduksi Ternak Reproduksi adalah suatu kemewahan fungsi tubuh yang secara fisiologi tidak vital bagi kehidupan tetapi sangat penting bagi kelanjutan keturunan suatu jenis atau

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. 25,346 ton dari tahun 2015 yang hanya 22,668 ton. Tingkat konsumsi daging

PENDAHULUAN. 25,346 ton dari tahun 2015 yang hanya 22,668 ton. Tingkat konsumsi daging 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tingkat produksi daging domba di Jawa Barat pada tahun 2016 lebih besar 25,346 ton dari tahun 2015 yang hanya 22,668 ton. Tingkat konsumsi daging domba dan kambing di

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Keberhasilan reproduksi akan sangat mendukung peningkatan populasi sapi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Keberhasilan reproduksi akan sangat mendukung peningkatan populasi sapi 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Potong Keberhasilan reproduksi akan sangat mendukung peningkatan populasi sapi potong. Namun kondisi sapi potong di usaha peternakan rakyat masih dijumpai adanya kasus

Lebih terperinci

III. METODE 3.1. Waktu dan Tempat 3.2. Alat dan Bahan 3.3. Tahap Persiapan Hewan Percobaan Aklimatisasi Domba

III. METODE 3.1. Waktu dan Tempat 3.2. Alat dan Bahan 3.3. Tahap Persiapan Hewan Percobaan Aklimatisasi Domba 17 III. METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan selama delapan bulan yang dimulai pada bulan Mei sampai dengan bulan Desember 2010. Penelitian dilakukan di kandang Mitra Maju yang beralamat

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. sehingga dapat memudahkan dalam pemeliharaannya. Kurangnya minat terhadap

PENDAHULUAN. sehingga dapat memudahkan dalam pemeliharaannya. Kurangnya minat terhadap I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kambing merupakan ternak ruminansia kecil yang dikenal di Indonesia sebagai ternak penghasil daging dan susu. Kambing adalah salah satu ternak yang telah didomestikasi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Perkembangan Populasi Sapi Pertambahan jumlah penduduk, meningkatnya kesejahteraan dan pendidikan masyarakat Indonesia, mengakibatkan permintaan akan produk peternakan semakin bertambah.

Lebih terperinci

SILABUS MATA KULIAH MAYOR TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK

SILABUS MATA KULIAH MAYOR TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK SILABUS MATA KULIAH MAYOR TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK PTP101 Dasar Produksi Ternak 3(2-3) Mata kuliah ini memberikan pengetahuan kepada mahasiswa untuk dapat menjelaskan, memahami tentang arti, fungsi jenis

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. hari. Dalam perkembangannya, produktivitas kerbau masih rendah dibandingkan dengan sapi.

I. PENDAHULUAN. hari. Dalam perkembangannya, produktivitas kerbau masih rendah dibandingkan dengan sapi. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kerbau sangat bermanfaat bagi petani di Indonesia yaitu sebagai tenaga kerja untuk mengolah sawah, penghasil daging dan susu, serta sebagai tabungan untuk keperluan dikemudian

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Persentase Hidup dan Abnormalitas Spermatozoa Entok (Cairina moschata), telah

BAB III MATERI DAN METODE. Persentase Hidup dan Abnormalitas Spermatozoa Entok (Cairina moschata), telah 1 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian dengan judul Hubungan Bobot Badan dengan Konsentrasi, Persentase Hidup dan Abnormalitas Spermatozoa Entok (Cairina moschata), telah dilaksanakan pada bulan Juli -

Lebih terperinci