MEKANISME PRODUKSI PROTEIN ASAL DAUN SINGKONG (Manihot utilisima) SEBAGAI BAHAN PAKAN DENGAN MENGGUNAKAN METODE PELARUTAN PADA SUHU YANG BERBEDA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "MEKANISME PRODUKSI PROTEIN ASAL DAUN SINGKONG (Manihot utilisima) SEBAGAI BAHAN PAKAN DENGAN MENGGUNAKAN METODE PELARUTAN PADA SUHU YANG BERBEDA"

Transkripsi

1 MEKANISME PRODUKSI PROTEIN ASAL DAUN SINGKONG (Manihot utilisima) SEBAGAI BAHAN PAKAN DENGAN MENGGUNAKAN METODE PELARUTAN PADA SUHU YANG BERBEDA MECHANISMS OF PROTEIN PRODUCTION BY CASSAVA LEAF (Manihot utilisima) FOR FEEDSTUFFS WITH EXTRACTION METHOD ON DIFFERENT TEMPERATURE Fajar Nurani, Tidi Dhalika dan Atun Budiman Fakultas Peternakan, Universitas Padjadjaran, Jln. Raya Bandung - Sumedang Km 21 Jatinangor fajar.nurani10@gmail.com ABSTRAK Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh perbedaan suhu pelarutan pada mekanisme produksi protein asal daun singkong sebagai bahan pakan. Penelitian ini menggunakan metode eksperimental dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL), perlakuan yang diberikan adalah perbedaan suhu pelarutan terdiri atas 5 perlakuan yaitu 35ºC, 40ºC, 45ºC, 50ºC, dan 55ºC dengan 4 ulangan. Untuk mengetahui pengaruh perlakuan dilakukan Uji Sidik Ragam dan perbedaan antar perlakuan diuji menggunakan Uji Jarak Berganda Duncan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa suhu pelarutan berpengaruh terhadap kandungan protein kasar, protein murni, dan N-NPN. Kandungan protein kasar dan protein murni tertinggi, serta N-NPN terendah asal daun singkong dihasilkan oleh pelarutan dengan suhu 35ºC. Kata kunci: protein kasar, protein murni, N-NPN, daun singkong, suhu pelarutan ABSTRACT The purpose of this research was know extraction temperature different on protein production mechanism from cassava leaf for feedstuffs. This research use exsperimental method with Randomized Complete Design (RCD), the treatmen consists of 5 extraction temperature different of protein from cassava leaf, they were 35ºC, 40ºC, 45ºC, 50ºC, and 55ºC with 4 replication. Data were analyzed by varian analysis and different between mean were analyzed by Duncan Multiple Range Test. The conclusions of this research were the treatments affected on crude protein, true protein, and N-NPN. The highest of crude protein and true protein, and the lowest of N-NPN was given by treatmen which temperature 35ºC. Key word: crude protein, true protein, N-NPN, cassava leaf, extraction temperature

2 PENDAHULUAN Sumber perolehan protein untuk ternak berasal dari bahan nabati dan hewani. Bahan-bahan sumber protein nabati diperoleh dari tanaman. Bagian tanaman yang banyak mengandung protein terutama bagian biji dan daun. Protein yang berasal dari bagian biji pada kebanyakan tanaman lebih banyak dimanfaatkan sebagai bahan pangan, sedangkan bagian daun lebih tersedia digunakan sebagai bahan pakan. Daun dari beberapa jenis tanaman mengandung protein tinggi, salah satu diantaranya adalah daun singkong (Manihot utilisima). Ketersediaan daun singkong mengacu kepada produksi tanaman singkong. Di Indonesia sentra penanaman tanaman singkong terbesar terdapat di Provinsi Lampung. Budidaya tanaman singkong di Lampung lebih dominan digunakan sebagai bahan baku industri pangan. Urutan kedua tanaman singkong banyak dibudidaya di Provinsi Jawa Tengah. Di Provinsi ini produk singkong lebih dominan digunakan sebagai pangan sumber karbohidrat di pedesaan. Daun singkong merupakan limbah dari sistem produksi pertanian singkong terutama pada daerah industri tapioka. Ketersediaan daun singkong terus meningkat dengan semakin meluasnya areal penanaman dan produktivitas tanaman singkong. Hampir 10-40% dari tanaman singkong terdiri atas daun. Produksi daun singkong segar adalah ton/ha/tahun atau 2,3 ton berat kering/ha/tahun (Sukria dan Rantan, 2009). Luas area penanaman tanaman singkong pada tahun 2013 seluas ha dengan produktivitas umbi singkong segar sebanyak 43,028 ton/ha dan total produksi sebanyak ton (BPS, 2013). Daun singkong pada umumnya memiliki kandungan protein berkisar antara 20-27% dari bahan kering (Marhaeniyanto, 2007). Daun singkong memiliki kelemahan yaitu mengandung asam sianida yang bersifat racun bagi ternak. Oleh karena itu, untuk memproduksi protein asal daun singkong perlu dilakukan suatu cara pemisahan protein dari kandungan zat makanan lainnya. Pemisahan protein pada prinsipnya didasarkan atas dua proses utama yaitu ekstraksi dan koagulasi. Proses ekstraksi protein daun singkong dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor di antaranya yaitu lama perendaman daun singkong, jumlah air yang ditambahkan sebagai pelarut dan suhu pelarutan. Perendaman daun singkong dimaksudkan untuk melunakkan struktur selular daun singkong sehingga mudah digiling dan memberikan dispersi dan suspensi bahan padat daun singkong lebih baik pada waktu koagulasi. Adanya penambahan pelarut pada daun singkong dapat diharapkan proteinnya berdifusi dari daun singkong ke cairan

3 pelarut. Hal ini menyebabkan cairan pelarut kaya akan protein, sehingga kadar protein yang tersisa dalam ampas semakin sedikit. Suhu pelarutan juga memberikan pengaruh terhadap kandungan protein yang dihasilkan. Kenaikan suhu menyebabkan pori-pori padatan sampel mengembang dan memudahkan pelarut untuk berdifusi masuk kedalam poripori padatan dan melarutkan protein. Proses pemisahan protein yang efektif dan efisien menjadi pilihan utama untuk mendapatkan hasil yang optimal. Pemilihan instrumen dan metode yang tepat dapat memberikan kontribusi untuk mendapatkan hasil yang baik dan sesuai harapan. Pembahasan tentang protein dalam bahan pakan biasanya meliputi pembahasan tentang protein murni, protein kasar, dan senyawa NPN. Adanya protein murni dan senyawa NPN dalam bahan pakan perlu diketahui untuk memberikan gambaran nilai manfaat zat makanan yang sebenarnya dari bahan pakan tersebut. Penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi hubungan antara suhu pelarutan dengan kandungan protein asal daun singkong dengan menggunakan metode pelarutan. Pelarutan protein dengan menggunakan air sebagai pelarut protein mudah dilakukan, sehingga diharapkan dengan metode sederhana ini dapat diproduksi protein asal daun singkong sebagai bahan pakan dengan biaya murah. METODE Daun singkong yang digunakan yaitu seluruh daun dari setiap bagian tanaman singkong. Daun singkong sebanyak 4 kg segar diperoleh dari perkebunan singkong daerah Bojongpicung, Kabupaten Cianjur. Berdasarkan bahan kering, kandungan protein kasar daun singkong adalah 32,17%, N-NPN 0,28% dan protein murni 30,42% (Laboratorium Nutrisi Ternak Ruminansia dan Kimia Makanan Ternak, 2015). Air digunakan sebagai pelarut pada tahap ekstraksi protein dan digunakan pada waterbath untuk merendam bubur daun singkong. Air yang dibutuhkan sebanyak 24 liter. Koagulan digunakan sebagai zat penggumpal dalam proses pemisahan protein tahap penggumpalan. Koagulan diperoleh dari pabrik pembuatan tahu daerah Jatinangor, Kabupaten Sumedang. Banyaknya koagulan yang digunakan yaitu 6 liter. Komponen utama dalam koagulan ini adalah asam yang dihasilkan oleh mikroba pada proses pembuatan tahu. Percobaan dilakukan menggunakan metode eksperimental dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Percobaan dilakukan dengan 5 perlakuan dan setiap perlakuan diulang sebanyak 4 kali sehingga terdapat 20 satuan percobaan. Perlakuan pada penelitian ini adalah pelarutan protein daun singkong pada suhu 35ºC (P 1 ), 40ºC (P 2 ), 45ºC (P 3 ), 50ºC (P 4 ), dan 55ºC (P 5 ). Peubah

4 yang diamati yaitu kandungan protein kasar, protein murni, dan nitrogen-non protein nitrogen (N-NPN) yang diukur menggunakan metode analisa kimia (Apriyantono, dkk., 1988). Data yang diperoleh diuji menggunakan Sidik Ragam dilanjutkan dengan uji Jarak Berganda Duncan untuk mengetahui pengaruh antar perlakuan (Gaspersz, 1995). HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Perlakuan terhadap Kandungan Protein Kasar Rataan kandungan protein kasar asal daun singkong pada suhu pelarutan yang berbeda disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Rataan Pengaruh Perbedaan Suhu Pelarutan terhadap Kandungan Protein Kasar, Protein Murni, dan N-Non Protein Nitrogen Parameter P 1 P 2 Perlakuan P 3 P 4 P %... Protein Kasar 56,34 b 52,62 a 55,79 b 55,20 b 51,77 a Protein Murni 55,32 d 50,96 b 53,71 cd 52,39 bc 47,61 a N-Non Protein Nitrogen 0,16 a 0,27 b 0,33 b 0,45 c 0,67 d Keterangan : supserscript yang berbeda kearah baris menunjukan pengaruh yang berbeda nyata (p<0,05) Berdasarkan Tabel 1, kandungan protein kasar produk ekstraksi daun singkong dengan menggunakan metode pelarutan pada suhu antara o C, bervariasi dari 51,77% sampai 56,34%. Kandungan protein kasar perlakuan mengalami peningkatan dibandingkan dengan kandungan protein daun singkong asal, 32,17% (Laboratorium Nutrisi Ternak Ruminansia dan Kimia Makanan Ternak, 2015). Penambahan kenaikan kandungan protein kasar paling tinggi yaitu 24,17% dari kandungan protein kasar daun singkong asal. Kenaikan ini terjadi perubahan yang luar biasa menjadikan bahan kaya protein setara dengan bahan pakan sumber protein lain. Adanya pengolahan dengan metode pelarutan mengakibatkan bahan dapat meningkatkan pemberian daun singkong pada berbagai jenis ternak. Semula lebih banyak untuk ruminansia saja tetapi begitu diolah dapat bermanfaat untuk jenis ternak lain seperti unggas dan babi sebagai pakan suplemen kaya protein. Hasil uji Sidik Ragam menunjukkan bahwa suhu pelarutan berpengaruh (P<0,05) terhadap kandungan protein kasar daun singkong. Perbedaan kandungan protein kasar diduga akibat terlarutnya

5 protein daun singkong akibat pengaruh suhu pelarutan yang menyebabkan terlarutnya protein semakin banyak. Menurut Rahmawati, dkk. (2013), kenaikan suhu yang lebih tinggi akan menyebabkan gerakan molekul pelarut semakin cepat dan acak. Sehingga tumbukan antara molekul sampel padatan dan pelarut akan lebih sering terjadi. Hal ini yang menyebabkan reaksi saat proses ekstraksi akan lebih sering terjadi. Selain itu, kenaikan suhu menyebabkan pori-pori padatan bahan pakan mengembang dan memudahkan pelarut untuk berdifusi masuk ke dalam pori-pori padatan dan melarutkan protein. Umumnya, semakin tinggi suhu perendaman maka semakin tinggi pula kandungan protein kasar yang dihasilkan. Namun, penelitian ini menunjukkan hasil yang berbeda. Hal ini diduga karena protein mengalami denaturasi pada suhu di atas 35 C dengan pelarut air. Menurut Purwitasari, dkk. (2014), kelarutan protein meningkat jika suhu naik dari 0-40 C. Akan tetapi pada hasil penelitian pelarutan protein daun singkong pada suhu diatas 35 C dengan lama pelarutan 60 menit mengalami penurunan. Kenaikan pelarutan dipengaruhi pula oleh jenis pelarut yang digunakan. Pada penelitian ini, pelarut air mengalami titik puncak kelarutannya terjadi pada suhu 35 C atau mungkin lebih rendah. Selain itu, diduga bahwa jenis protein yang terdapat di dalam daun singkong merupakan protein jenis sederhana yang sangat sensitif terhadap suhu tinggi (lebih dari 35 C) bila dibandingkan dengan jenis protein yang berasal dari bahan pakan yang lain sehingga semakin tinggi suhu maka tingkat kelarutan proteinnya menurun. Kandungan protein pada P 3 dan P 4 semakin menurun hal ini diduga karena pada suhu diatas 40 o C sebagian besar protein mulai tidak mantap dan mulai terjadi denaturasi pada proses ekstraksi. Rentang suhu denaturasi dan koagulasi sebagian besar protein sekitar o C (DeMan, 1997). Hal ini terjadi akibat pemanasan yang dapat menyebabkan kenaikan gerakan molekul pelarut dan mengurangi viskositas, sehingga proses pelarutan lebih cepat. Tetapi jika sudah mencapai batas optimum yaitu suhu yang sudah mendekati kerusakan protein, maka kadar proteinnya akan menurun. Laju denaturasi protein dapat mencapai 600 kali untuk tiap kenaikan 10 C (Poedjiadi, 1994). Penelitian ini berbeda dengan Utami (2010), yang menyatakan bahwa isolasi protein dari ampas kecap pada suhu 60 C dengan lama perendaman 60 menit merupakan suhu optimal dan pada suhu di atas 60 C kadar protein yang dihasilkan berkurang. Berbeda juga dengan Sudarsih dan Kurniaty (2009) yang menyatakan bahwa pengaruh suhu perendaman 60 C

6 Persentase (%) Mekanisme Produksi Protein.. Fajar Nurani, dkk. dengan air terhadap besarnya persentase protein tidak terekstrak pada ampas tahu semakin sedikit dan persentase kandungan protein tidak terekstrak pada ampas tahu di atas suhu 60 C semakin banyak. Perbedaan penelitian di atas dengan hasil penelitian yang dilakukan adalah penggunaan pelarut yang berbeda. Mereka menggunakan pelarut asam sedangkan penelitian ini menggunakan pelarut air. Penggunaan pelarut asam lebih efektif pada suhu yang lebih tinggi dibandingkan dengan peralut air. Laju penurunan kandungan protein kasar daun singkong pada berbagai suhu pelarutan dapat dilihat pada Ilustrasi 1. Berdasarkan Ilustrasi 1 tampak terjadi penurunan kandungan protein kasar. Kandungan protein kasar ekstrak daun singkong tinggi pada suhu 35 C (P 1 ) dan pada suhu 45 C (P 3 ). Kandungan protein kasar ekstrak daun singkong menurun mulai suhu 40 C (P 2 ) serta semakin menurun pada suhu 50 C (P 4 ) dan suhu pelarutan 55 C (P 5 ) Suhu Pelarutan (º) Protein Kasar Protein Murni N-NPN Ilustrasi 1. Grafik Pengaruh Berbagai Suhu Pelarutan terhadap Kandungan Protein Kasar, Protein Murni dan N-NPN Daun Singkong Pengaruh Perlakuan terhadap Kandungan Protein Murni Data rataan kandungan protein murni hasil pelarutan daun singkong pada suhu pelarut yang berbeda disajikan pada Tabel 1. Berdasarkan Tabel 1, perlakuan pelarutan protein daun singkong pada suhu berbeda menghasilkan kandungan protein murni yang bervariasi, yaitu berkisar antara 47,61-55,32%. Kandungan protein murni mengalami kenaikan dari protein murni daun singkong yang tidak dilakukan perlakuan yaitu 30,42%

7 (Laboratorium Nutrisi Ternak Ruminansia dan Kimia Makanan Ternak, 2015). Hasil analisis Sidik Ragam menunjukan perlakuan berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap kandungan protein murni. Hal ini diakibatkan karena suhu yang tinggi dapat mempercepat pergerakan molekul protein sehingga terjadi tumbukan antar molekul serta mempercepat pelarutan protein pada pelarut. Menurut Kurniati (2009), suhu yang tinggi akan berpengaruh positif karena adanya peningkatan kecepatan difusi, peningkatan kelarutan dari larutan, dan penurunan viskositas dari pelarut. Dengan viskositas pelarut yang rendah, kelarutan yang dapat dicapai lebih besar. Kandungan protein murni paling rendah diperoleh pada pelarutan protein daun singkong pada suhu 55ºC (P 5 ). Sedangkan nilai rataan kandungan protein murni tertinggi dicapai pada perlakuan pelarutan protein daun singkong pada suhu 35ºC (P 1 ). Semakin tinggi suhu pelarutan maka kandungan protein murni pada hasil ekstraksi mengalami penurunan. Hal ini diduga karena protein daun singkong diatas 35 C terkoagulasi sehingga protein yang larut pada air semakin sedikit. Menurut Pramudono, dkk. (2008), kelarutan bahan yang diekstrak biasanya akan meningkat dengan peningkatan suhu sehingga diperoleh laju ekstraksi yang tinggi. Pada suhu tertentu protein dapat larut dengan maksimal (titik larut), akan tetapi di atas titik larut tersebut protein akan mengalami denaturasi (titik maksimal) dan akan menyebabkan semakin sedikitnya protein yang terlarut pada pelarut. Pada penelitian ini, maksimal protein yang terlarut terjadi pada pelarutan dengan suhu 35 C (P 1 ) dan semakin menurun seiring dengan naiknya suhu pelarutan, sehingga protein murni hasil ekstraksi daun singkong pada penelitian paling tinggi diperoleh pada P 1 (55,32%). Dugaan lain yang mempengaruhi kandungan protein murni pada hasil ekstraksi daun singkong ini yaitu jenis protein yang terdapat pada daun singkong. Jenis protein yang menyusunnya yaitu protein sederhana yang mudah larut dalam air dan sangat sensitif dengan suhu tinggi (diatas 35 C). Menurut Fachraniah, dkk. (2012), susunan asam amino dari protein daun total praktis sama, apapun sumbernya, namun susunan proteinnya beragam. Karena itu cukup sukar untuk mengisolasi beberapa protein tertentu. Protein yang terdapat dalam keseluruhan bagian tanaman pada semua jaringan, bahkan organ sederhana seperti daun mengandung beberapa protein, terutama protein enzim. Laju penurunan kandungan protein murni ekstrak daun singkong pada berbagai suhu pelarutan dapat

8 dilihat pada Ilustrasi 1. Berdasarkan Ilustrasi 1, tampak penurunan kandungan protein murni ekstrak daun singkong. Semakin tinggi suhu pelarutan, maka kandungan protein murni semakin menurun. Hal ini menunjukan bahwa suhu pelarutan berpengaruh terhadap kandungan protein murni ekstrak daun singkong. Pengaruh Perlakuan terhadap Kandungan Nitrogen-Non Protein Nitrogen (N-NPN) Rataan kandungan N-NPN dari ekstrak daun singkong pada suhu pelarut yang berbeda disajikan pada Tabel 1. Berdasarkan Tabel 1, kandungan N-NPN mengalami peningkatan sesuai dengan perlakuan suhu pelarutan protein daun singkong. Kandungan N-NPN ekstrak daun singkong terendah diperoleh pada perlakuan pelarutan daun singkong pada suhu 35ºC (P 1 ), yaitu 0,16%. Sedangkan kandungan N-NPN ekstrak daun singkong tertinggi diperoleh pada perlakuan pelarutan daun singkong pada suhu 55ºC (P 5 ), yaitu 0,67%. Hasil uji Sidik Ragam menunjukan perlakuan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap kandungan N-NPN ekstrak daun singkong. Hal ini diduga bahwa kandungan N-NPN daun singkong pada suhu tinggi terikat dengan protein yang mudah larut tetapi pada saat dikoagulasi ikut terkoagulasi sehingga menjadi bagian dari komponen protein. Diduga kandungan senyawa nitrogen yang terikat dengan protein berupa senyawa asam sianida (HCN) yang merupakan racun yang terdapat pada daun singkong. Larutnya kandungan HCN daun singkong pada proses perendaman semakin banyak sejalan dengan kenaikan suhu pelarut, hal ini dapat disebabkan oleh pemanasan yang mengaktifkan linamarase dan HCN menjadi terakumulasi. Proses perebusan tidak ditambah dengan proses pencucian akan tetapi dilakukan proses penyaringan, diduga senyawa HCN yang larut tersebut berikatan dengan protein dan ketika dikoagulasi ikut terkoagulasi sehingga terhitung sebagai komponen dari protein. Laju kenaikan kandungan N-NPN ekstrak daun singkong pada berbagai perlakuan suhu pelarut dapat dilihat pada Ilustrasi 1. Berdasarkan Ilustrasi 1, semakin tinggi suhu pelarutan maka kandungan N- NPN ekstrak daun singkong semakin bertambah. Menurut Sulistyawati, dkk. (2012), pengikatan sianida oleh karbon dan pelepasan sianida dari bahan akan semakin meningkat apabila perlakuan waktu perendaman ditingkatkan. Dijelaskan bahwa proses pengolahan yang tepat dapat menurunkan atau menghilangkan HCN, terutama perlakuan pemanasan dan perendaman dalam air karena HCN merupakan senyawa yang mudah larut

9 dalam air. Proses perendaman dan perebusan dilakukan supaya terjadi hidrolisisa enzimatik pada ikatan sianida dan untuk menghilangkan HCN karena salah satu sifat dari HCN adalah titik didihnya yang rendah (26 C) sehingga mudah larut dalam air. KESIMPULAN Suhu pelarutan berpengaruh terhadap kandungan protein kasar, protein murni dan N-NPN. Kandungan protein kasar dan kandungan protein murni tertinggi, serta kandungan N- NPN terendah dihasilkan oleh perlakuan yang menggunakan suhu pelarutan 35 C. UCAPAN TERIMAKASIH Ucapan terimakasih disampaikan kepada Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran yang telah memberikan dana bantuan penelitian melalui kegiatan Swadana/PKM Fakultas Peternakan 2015, sehingga penelitian ini dapat dilaksanakan dengan baik. DAFTAR PUSTAKA Apriyantono, A., D. Fardiaz, N. L. Puspitasari, Sedarnawati, dan S. Budiyantono Analisis Pangan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor, Bogor ; Badan Pusat Statistik Produksi Buah-buahan dan Sayuran Tahunan di Indonesia, [Online]. (diakses 27 Februari 2015, jam 20:29 WIB). DeMan, J. M Kimia Makanan. Diterjemahkan oleh K. Padmawinata Penerbit ITB, Bandung ; 113 Fachraniah, E. Kurniasih, dan D. T. Novilasi Ekstrak Antioksidan dari Daun Kari. Jurnal Reaksi (Journal of Science and Technology). Vol. 10 (21): Gaspersz, V Teknis Analisis dalam Penelitian Percobaan Jilid 1. Tarsito, Bandung ; Kurniati, E Pembuatan Konsentrat Protein dari Biji Kecipir dengan Penambahan HCl. Jurnal Penelitian Ilmu Teknik. Vol. 9 (2): Laboratorium Nutrisi Ternak Ruminansia dan Kimia Makanan Ternak Hasil Analisis Daun Singkong. Fakultas Peternakan. Universitas Padjadjaran, Sumedang. Marhaeniyanto, E Pemanfaatan Silase Daun Umbi Kayu untuk

10 Pakan Ternak Kambaing. Buana Sains. Vol.7(1): Poedjiadi, A Dasar-dasar Biokimia. Universitas Indonesia Press, Jakarta. Pramudono, B., S. A. Widioko, dan W. Rustawan Ekstraksi Kontinyu dengan Simulasi Batch Tiga Tahan Aliran Lawan Arah: Pengambilan Minyak Biji Alpuket Menggunakan Pelarut N- Hexane dan Iso Propil Alkohol. Reaktor. Vol.12(1): Purwitasari, A., Y. Hendrawan, dan R. Yulianingsih Pengaruh Suhu dan Waktu Ekstraksi terhadap Sifat Kimia Fisik dalam Pembuatan Konsentrat Protein Kacang Komak. Jurnal Bioproses Komoditas Tropis Vol. 2 (1): Rahmawati, N., I. Hastiawan, dan Y. Deawati Ekstraksi Zat Besi dalam Daun Singkong dengan Pelarut Cuka Aren Menggunakan Armfield UOP4 Solid-Liquid Extraction Unit. Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi Nuklir PTNBR-BATAN, Bandung Sudarsih dan Y. Kurniaty Pengaruh Waktu dan Suhu Perendaman Kedelai pada Tingkat Kesempurnaan Ekstraksi Protein Kedelai dalam Proses Pembuatan Tahu. Publikasi Penelitian. Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Diponegoro, Semarang. [Online]. eprints.undip.ac.id/3294/ (diakses 27 Februari 2015, jam WIB). Sukria, H. A. dan K. Rantan Sumber dan Ketersediaan Bahan Baku Pakan di Indonesia. IPB Press, Bogor. 53; Sulistyawati, Wignyanto, dan S. Kumalaningsih Produksi Tepung Buah Lindur (Bruguiera gymnorrhiza Lamk.) Rendah Tanin dan HCN sebagai Bahan Pangan Alternatif. Jurnal Teknologi Pertanian. Vol.13(3): Utami, L. I Isolasi Protein dari Ampas Kecap dengan Cara Ekstraksi Soda. Publikasi Penelitian. Teknik Kimia Fakultas Teknologi Industri UPN Veteran, Surabaya [Online]. eprints.upnjatim.ac.id/1352/1/ Lucky_Indrati.pdf (diakses 28 Februari 2015, jam 20:08 WIB)

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Kandungan Protein Kasar. Tabel 4. Rataan Kandungan Protein Kasar pada tiap Perlakuan

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Kandungan Protein Kasar. Tabel 4. Rataan Kandungan Protein Kasar pada tiap Perlakuan 29 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Kandungan Protein Kasar Rataan kandungan protein kasar asal daun singkong pada suhu pelarutan yang berbeda disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Rataan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. yang berasal dari bagian biji pada kebanyakan tanaman lebih banyak. diantaranya adalah daun singkong (Manihot utilisima).

PENDAHULUAN. yang berasal dari bagian biji pada kebanyakan tanaman lebih banyak. diantaranya adalah daun singkong (Manihot utilisima). 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumber perolehan protein untuk ternak berasal dari bahan nabati dan hewani. Bahan-bahan sumber protein nabati diperoleh dari tanaman. Bagian tanaman yang banyak mengandung

Lebih terperinci

III BAHAN DAN METODE PENELITIAN. tanaman singkong. Daun singkong sebanyak 4 kg segar diperoleh dari

III BAHAN DAN METODE PENELITIAN. tanaman singkong. Daun singkong sebanyak 4 kg segar diperoleh dari 22 III BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3.1 Bahan Penelitian (1) Daun Singkong Daun singkong yang digunakan yaitu seluruh daun dari setiap bagian tanaman singkong. Daun singkong sebanyak 4 kg segar diperoleh

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. protein berkisar antara 20% sampai 30%. Kacang-kacangan selain sumber protein

I PENDAHULUAN. protein berkisar antara 20% sampai 30%. Kacang-kacangan selain sumber protein I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Pemikiran,(6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

I PENDAHULUAN. Pemikiran,(6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian. I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran,(6) Hipotesis Penelitian, dan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka

I PENDAHULUAN. Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka I PENDAHULUAN Bab ini akan menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesa, dan (7) Waktu

Lebih terperinci

PENGARUH PERLAKUAN PADA PROSES BLANCHING DAN KONSENTRASI NATRIUM BIKARBONAT TERHADAP MUTU SUSU KEDELAI

PENGARUH PERLAKUAN PADA PROSES BLANCHING DAN KONSENTRASI NATRIUM BIKARBONAT TERHADAP MUTU SUSU KEDELAI PROSIDING SEMINAR NASIONAL REKAYASA KIMIA DAN PROSES 2004 ISSN : 1411-4216 PENGARUH PERLAKUAN PADA PROSES BLANCHING DAN KONSENTRASI NATRIUM BIKARBONAT TERHADAP MUTU SUSU KEDELAI Susiana Prasetyo S. dan

Lebih terperinci

KAJIAN PENAMBAHAN TETES SEBAGAI ADITIF TERHADAP KUALITAS ORGANOLEPTIK DAN NUTRISI SILASE KULIT PISANG

KAJIAN PENAMBAHAN TETES SEBAGAI ADITIF TERHADAP KUALITAS ORGANOLEPTIK DAN NUTRISI SILASE KULIT PISANG KAJIAN PENAMBAHAN TETES SEBAGAI ADITIF TERHADAP KUALITAS ORGANOLEPTIK DAN NUTRISI SILASE KULIT PISANG (Study on Molasses as Additive at Organoleptic and Nutrition Quality of Banana Shell Silage) S. Sumarsih,

Lebih terperinci

Pengaruh Perlakuan Terhadap Kadar Asam Sianida (HCN) Kulit Ubi Kayu Sebagai Pakan Alternatif. Oleh : Sri Purwanti *)

Pengaruh Perlakuan Terhadap Kadar Asam Sianida (HCN) Kulit Ubi Kayu Sebagai Pakan Alternatif. Oleh : Sri Purwanti *) Pengaruh Perlakuan Terhadap Kadar Asam Sianida (HCN) Kulit Ubi Kayu Sebagai Pakan Alternatif Oleh : Sri Purwanti *) Pendahuluan Pangan produk peternakan terutama daging, telur dan susu merupakan komoditas

Lebih terperinci

KADAR BIOETANOL LIMBAH TAPIOKA PADAT KERING DIHALUSKAN (TEPUNG) DENGAN PENAMBAHAN RAGI DAN LAMA FERMENTASI YANG BERBEDA

KADAR BIOETANOL LIMBAH TAPIOKA PADAT KERING DIHALUSKAN (TEPUNG) DENGAN PENAMBAHAN RAGI DAN LAMA FERMENTASI YANG BERBEDA 0 KADAR BIOETANOL LIMBAH TAPIOKA PADAT KERING DIHALUSKAN (TEPUNG) DENGAN PENAMBAHAN RAGI DAN LAMA FERMENTASI YANG BERBEDA SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S-1 Program

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. keberhasilan usaha pengembangan peternakan disamping faktor bibit dan

TINJAUAN PUSTAKA. keberhasilan usaha pengembangan peternakan disamping faktor bibit dan TINJAUAN PUSTAKA Sumberdaya Pakan Pakan adalah bahan makanan tunggal atau campuran, baik yang diolah maupun yang tidak diolah, yang diberikan kepada hewan untuk kelangsungan hidup, berproduksi, dan berkembang

Lebih terperinci

Afriansyah Nugraha*, Yuli Andriani**, Yuniar Mulyani**

Afriansyah Nugraha*, Yuli Andriani**, Yuniar Mulyani** PENGARUH PENAMBAHAN KIJING TAIWAN (Anadonta woodiana, Lea) DALAM PAKAN BUATAN TERHADAP KELANGSUNGAN HIDUP DAN PERTUMBUHAN BENIH IKAN LELE SANGKURIANG (Clarias gariepinus) Afriansyah Nugraha*, Yuli Andriani**,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kelinci adalah salah satu ternak penghasil daging yang dapat dijadikan sumber protein hewani di Indonesia. Sampai saat ini masih sangat sedikit peternak yang mengembangkan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat

I PENDAHULUAN. (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat I PENDAHULUAN Bab ini menjelaskan mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Bab ini membahas mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi

I PENDAHULUAN. Bab ini membahas mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi I PENDAHULUAN Bab ini membahas mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

PEMBUATAN SUSU DARI BIJI BUAH SAGA ( Adenanthera pavonina ) SEBAGAI ALTERNATIF PENGGANTI NUTRISI PROTEIN SUSU SAPI DAN SUSU KEDELAI

PEMBUATAN SUSU DARI BIJI BUAH SAGA ( Adenanthera pavonina ) SEBAGAI ALTERNATIF PENGGANTI NUTRISI PROTEIN SUSU SAPI DAN SUSU KEDELAI MAKALAH PENELITIAN PEMBUATAN SUSU DARI BIJI BUAH SAGA ( Adenanthera pavonina ) SEBAGAI ALTERNATIF PENGGANTI NUTRISI PROTEIN SUSU SAPI DAN SUSU KEDELAI Oleh : Arnoldus Yunanta Wisnu Nugraha L2C 005 237

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menentukan keberhasilan dalam kegiatan budidaya ikan. Kebutuhan pakan ikan

I. PENDAHULUAN. menentukan keberhasilan dalam kegiatan budidaya ikan. Kebutuhan pakan ikan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ketersediaan pakan yang cukup, berkualitas, dan berkesinambungan sangat menentukan keberhasilan dalam kegiatan budidaya ikan. Kebutuhan pakan ikan akan meningkat seiring

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tempe merupakan makanan khas Indonesia yang cukup populer dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tempe merupakan makanan khas Indonesia yang cukup populer dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tempe merupakan makanan khas Indonesia yang cukup populer dan telah membudaya di semua lapisan masyarakat, baik masyarakat perkotaan maupun pedesaan. Tempe mengandung

Lebih terperinci

SUHU FERMENTOR TERHADAP NILAI GIZI PROTEIN KASAR DAN SERAT KASAR PRODUK FERMENTASI BUNGKIL KELAPA SAWIT

SUHU FERMENTOR TERHADAP NILAI GIZI PROTEIN KASAR DAN SERAT KASAR PRODUK FERMENTASI BUNGKIL KELAPA SAWIT PENGARUH TAKARAN INOKULUM (Trichoderma viridae) DAN SUHU FERMENTOR TERHADAP NILAI GIZI PROTEIN KASAR DAN SERAT KASAR PRODUK FERMENTASI BUNGKIL KELAPA SAWIT Tjitjah Aisjah Fakultas Peternakan Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pusat Statistik pada tahun 2011 produksi tanaman singkong di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Pusat Statistik pada tahun 2011 produksi tanaman singkong di Indonesia 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Produksi tanaman singkong di Indonesia sangat tinggi, menurut Badan Pusat Statistik pada tahun 2011 produksi tanaman singkong di Indonesia mencapai 24.044.025 ton

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Karakterisasi Bahan Baku Karet Crepe

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Karakterisasi Bahan Baku Karet Crepe IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakterisasi Bahan Baku 4.1.2 Karet Crepe Lateks kebun yang digunakan berasal dari kebun percobaan Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Ciomas-Bogor. Lateks kebun merupakan

Lebih terperinci

KADAR BIOETANOL LIMBAH TAPIOKA PADAT KERING DENGAN PENAMBAHAN RAGI DAN LAMA FERMENTASI YANG BERBEDA

KADAR BIOETANOL LIMBAH TAPIOKA PADAT KERING DENGAN PENAMBAHAN RAGI DAN LAMA FERMENTASI YANG BERBEDA 0 KADAR BIOETANOL LIMBAH TAPIOKA PADAT KERING DENGAN PENAMBAHAN RAGI DAN LAMA FERMENTASI YANG BERBEDA SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S-1 Program Studi Pendidikan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. peternakan, karena lebih dari separuh biaya produksi digunakan untuk memenuhi

I. PENDAHULUAN. peternakan, karena lebih dari separuh biaya produksi digunakan untuk memenuhi I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pakan merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan usaha peternakan, karena lebih dari separuh biaya produksi digunakan untuk memenuhi kebutuhan pakan. Oleh karena

Lebih terperinci

BIOETHANOL. Kelompok 12. Isma Jayanti Lilis Julianti Chika Meirina Kusuma W Fajar Maydian Seto

BIOETHANOL. Kelompok 12. Isma Jayanti Lilis Julianti Chika Meirina Kusuma W Fajar Maydian Seto BIOETHANOL Kelompok 12 Isma Jayanti Lilis Julianti Chika Meirina Kusuma W Fajar Maydian Seto PENGERTIAN Bioethanol adalah ethanol yang bahan utamanya dari tumbuhan dan umumnya menggunakan proses farmentasi.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. baik oleh industri atau rumah tangga, sedangkan kapasitas produksi tepung terigu

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. baik oleh industri atau rumah tangga, sedangkan kapasitas produksi tepung terigu I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia memiliki konsumsi yang besar terhadap produk tepung terigu baik oleh industri atau rumah tangga, sedangkan kapasitas produksi tepung terigu nasional masih belum

Lebih terperinci

PELUANG BISNIS MELALUI NATA DE CASSAVA. Bab I Pendahuluan. Abstrak

PELUANG BISNIS MELALUI NATA DE CASSAVA. Bab I Pendahuluan. Abstrak Nama :Rhizky Eva Marisda NIM :10.11.4462 Kelas : S1TI-2L PELUANG BISNIS MELALUI NATA DE CASSAVA Bab I Pendahuluan Abstrak Peluang bisnis yang ditampilkan pada bisnis ini adalah inovasi limbah tapioka baik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada saat ini pengembangan di bidang peternakan dihadapkan pada masalah kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. Pada saat ini pengembangan di bidang peternakan dihadapkan pada masalah kebutuhan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada saat ini pengembangan di bidang peternakan dihadapkan pada masalah kebutuhan pakan, yang mana ketersedian pakan khususnya untuk unggas harganya dipasaran sering

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. dan banyak tumbuh di Indonesia, diantaranya di Pulau Jawa, Madura, Sulawesi,

II. TINJAUAN PUSTAKA. dan banyak tumbuh di Indonesia, diantaranya di Pulau Jawa, Madura, Sulawesi, II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gambaran Umum Ubi Kayu Ubi kayu yang sering pula disebut singkong atau ketela pohon merupakan salah satu tanaman penghasil bahan makanan pokok di Indonesia. Tanaman ini tersebar

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian,

I PENDAHULUAN. (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, I PENDAHULUAN Bab ini menjelaskan mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Singkong atau ubi kayu merupakan salah satu bahan makanan pokok di Indonesia. Banyak sekali produk olahan yang berasal dari singkong, salah satunya adalah tepung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Daging ayam merupakan penyedia protein hewani yang cukup tinggi sehingga

BAB I PENDAHULUAN. Daging ayam merupakan penyedia protein hewani yang cukup tinggi sehingga BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daging ayam merupakan penyedia protein hewani yang cukup tinggi sehingga banyak orang menjadikan sebagai usaha komersial yang terus dikembangkan untuk mencukupi kebutuhan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Bab ini akan menguraikan mengenai : (1.1.) Latar Belakang, (1.2.) Identifikasi

I PENDAHULUAN. Bab ini akan menguraikan mengenai : (1.1.) Latar Belakang, (1.2.) Identifikasi I PENDAHULUAN Bab ini akan menguraikan mengenai : (1.1.) Latar Belakang, (1.2.) Identifikasi Masalah, (1.3.) Maksud dan Tujuan Penelitian, (1.4.) Manfaat Penelitian, (1.5.) Kerangka Pemikiran, (1.6.) Hipotesis

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

I. PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian. 1 I. PENDAHULUAN Bab ini menguraikan: (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. untuk memenuhi kebutuhan protein (Suherman, 2012). Koro pedang (Canavalia

I PENDAHULUAN. untuk memenuhi kebutuhan protein (Suherman, 2012). Koro pedang (Canavalia I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar belakang, (2) Identifikasi masalah, (3) Maksud dan tujuan penelitian, (4) Manfaat penelitian, (5) Kerangka pemikiran, dan (6) Hipotesis. 1.1. Latar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ikan gurame (Osphronemus goramy Lac.) merupakan ikan air tawar yang memiliki gizi tinggi dan nilai ekonomis penting. Ikan gurame juga banyak digemari oleh masyarakat

Lebih terperinci

Pengaruh Tingkat Penambahan Tepung Daun Singkong dalam Ransum Komersial terhadap Performa Broiler Strain CP 707

Pengaruh Tingkat Penambahan Tepung Daun Singkong dalam Ransum Komersial terhadap Performa Broiler Strain CP 707 Pengaruh Tingkat Penambahan Tepung Daun Singkong dalam Ransum Komersial terhadap Performa Broiler Strain CP 707 Dede Risnajati 1 1Jurusan Produksi Ternak, Fakultas Pertanian, Universitas Bandung Raya Jalan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan daging di Indonesia setiap tahunnya terus meningkat. Hal ini

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan daging di Indonesia setiap tahunnya terus meningkat. Hal ini I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Kebutuhan daging di Indonesia setiap tahunnya terus meningkat. Hal ini disebabkan oleh bertambahnya jumlah penduduk yang diikuti dengan meningkatnya taraf

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Turi (Sesbania grandiflora) merupakan tanaman asli Indonesia, yang termasuk kedalam jenis kacang-kacangan. Kacang turi merupakan jenis kacang-kacangan dari pohon turi

Lebih terperinci

PEMBUATAN ROMO (ROTI MOCAF) YANG DIPERKAYA DENGAN TEPUNG KACANG HIJAU (Vigna radiata L.) SEBAGAI SUMBER PROTEIN SKRIPSI OLEH:

PEMBUATAN ROMO (ROTI MOCAF) YANG DIPERKAYA DENGAN TEPUNG KACANG HIJAU (Vigna radiata L.) SEBAGAI SUMBER PROTEIN SKRIPSI OLEH: PEMBUATAN ROMO (ROTI MOCAF) YANG DIPERKAYA DENGAN TEPUNG KACANG HIJAU (Vigna radiata L.) SEBAGAI SUMBER PROTEIN SKRIPSI OLEH: NEZLY NURLIA PUTRI No. BP 07117037 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Sapi Friesian Holstein (FH) Produktivitas Sapi Perah

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Sapi Friesian Holstein (FH) Produktivitas Sapi Perah TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Pemeliharaan sapi perah bertujuan utama untuk memperoleh produksi susu yang tinggi dan efisien pakan yang baik serta mendapatkan hasil samping berupa anak. Peningkatan produksi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan Nutrien Ransum Berdasarkan hasil analisa proksimat, kandungan zat makanan ransum perlakuan disajikan pada Tabel 10. Terdapat adanya keragaman kandungan nutrien protein, abu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang penting sebagai penghasil sumber bahan pangan, bahan baku makanan,

BAB I PENDAHULUAN. yang penting sebagai penghasil sumber bahan pangan, bahan baku makanan, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Singkong (Manihot esculenta) merupakan komoditas tanaman pangan yang penting sebagai penghasil sumber bahan pangan, bahan baku makanan, kimia dan pakan ternak. Indonesia

Lebih terperinci

PROSIDING SEMINAR NASIONAL INOVASI PERKEBUNAN

PROSIDING SEMINAR NASIONAL INOVASI PERKEBUNAN PROSIDING SEMINAR NASIONAL INOVASI PERKEBUNAN 2011 181 PENGARUH KOMPOSISI BUNGKIL BIJI KAPAS DALAM PAKAN TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI DAGING TERNAK UNGGAS M. Sholeh, Fitriningdyah T.K., dan Supriyadi

Lebih terperinci

Tingkat Penggunaan Limbah Laju Pertumbuhan %

Tingkat Penggunaan Limbah Laju Pertumbuhan % BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Laju Pertumbuhan Harian Berdasarkan hasil pengamatan terhadap benih Lele Sangkuriang selama 42 hari masa pemeliharaan diketahui bahwa tingkat penggunaan limbah ikan tongkol

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengandung protein dan zat-zat lainnya seperti lemak, mineral, vitamin yang

BAB I PENDAHULUAN. mengandung protein dan zat-zat lainnya seperti lemak, mineral, vitamin yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daging ayam merupakan salah satu daging yang memegang peranan cukup penting dalam pemenuhan kebutuhan gizi masyarakat, karena banyak mengandung protein dan zat-zat

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran,

PENDAHULUAN. (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kedudukan taksonomi kapang Rhizopus oligosporus menurut Lendecker

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kedudukan taksonomi kapang Rhizopus oligosporus menurut Lendecker 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Kapang Rhizopus oligosporus Kedudukan taksonomi kapang Rhizopus oligosporus menurut Lendecker & Moore (1996) adalah sebagai berikut : Kingdom Divisio Kelas Ordo

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. industri tapioka, yaitu : BOD : 150 mg/l; COD : 300 mg/l; TSS : 100 mg/l; CN - :

BAB I PENDAHULUAN. industri tapioka, yaitu : BOD : 150 mg/l; COD : 300 mg/l; TSS : 100 mg/l; CN - : BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Industri tapioka merupakan industri rumah tangga yang memiliki dampak positif bila dilihat dari segi ekonomis. Namun dampak pencemaran industri tapioka sangat dirasakan

Lebih terperinci

UJI KADAR PROTEIN DAN ORGANOLEPTIK DAGING SAPI REBUS YANG DILUNAKKAN DENGAN SARI BUAH NANAS (Ananas comosus) NASKAH PUBLIKASI

UJI KADAR PROTEIN DAN ORGANOLEPTIK DAGING SAPI REBUS YANG DILUNAKKAN DENGAN SARI BUAH NANAS (Ananas comosus) NASKAH PUBLIKASI UJI KADAR PROTEIN DAN ORGANOLEPTIK DAGING SAPI REBUS YANG DILUNAKKAN DENGAN SARI BUAH NANAS (Ananas comosus) NASKAH PUBLIKASI Disusun oleh: DIAN WIJAYANTI A 420 100 074 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Penelitian HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Penelitian Masalah yang sering dihadapi oleh peternak ruminansia adalah keterbatasan penyediaan pakan baik secara kuantitatif, kualitatif, maupun kesinambungannya sepanjang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. bisnis ikan air tawar di dunia (Kordi, 2010). Ikan nila memiliki keunggulan yaitu

I. PENDAHULUAN. bisnis ikan air tawar di dunia (Kordi, 2010). Ikan nila memiliki keunggulan yaitu I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ikan nila (Oreochromis niloticus) adalah salah satu jenis ikan air tawar yang memiliki nilai ekonomis tinggi dan merupakan komoditas penting dalam bisnis ikan air tawar

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. kebutuhan zat makanan ternak selama 24 jam. Ransum menjadi sangat penting

PENDAHULUAN. kebutuhan zat makanan ternak selama 24 jam. Ransum menjadi sangat penting 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ransum merupakan campuran bahan pakan yang disusun untuk memenuhi kebutuhan zat makanan ternak selama 24 jam. Ransum menjadi sangat penting dalam pemeliharaan ternak,

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Pemikiran, dan (6) Tempat dan Waktu Penelitian. (Canavalia ensiformis L.). Koro pedang (Canavalia ensiformis), secara luas

I PENDAHULUAN. Pemikiran, dan (6) Tempat dan Waktu Penelitian. (Canavalia ensiformis L.). Koro pedang (Canavalia ensiformis), secara luas I PENDAHULUAN Bab ini akan menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Tujuan Penelitian, (3) Identifikasi Masalah, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, dan (6) Tempat dan Waktu

Lebih terperinci

PENGARUH LAMA PERENDAMAN KEDELAI DAN JENIS ZAT PENGGUMPAL TERHADAP MUTU TAHU ISMED SUHAIDI

PENGARUH LAMA PERENDAMAN KEDELAI DAN JENIS ZAT PENGGUMPAL TERHADAP MUTU TAHU ISMED SUHAIDI PENGARUH LAMA PERENDAMAN KEDELAI DAN JENIS ZAT PENGGUMPAL TERHADAP MUTU TAHU ISMED SUHAIDI Fakultas Pertanian Jurusan Teknologi Pertanian Universitas Sumatera Utara PENDAHULUAN Kedelai (Glycine max Merr)

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Kecernaan Bahan Kering

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Kecernaan Bahan Kering 30 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Kecernaan Bahan Kering Kecernaan adalah banyaknya zat makanan yang tidak dieksresikan di dalam feses. Bahan pakan dikatakan berkualitas apabila

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebutuhan produksi protein hewani untuk masyarakat Indonesia selalu meningkat dari tahun ke tahun yang disebabkan oleh peningkatan penduduk, maupun tingkat kesejahteraan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Daging ayam merupakan daging yang paling banyak dikonsumsi masyarakat

PENDAHULUAN. Daging ayam merupakan daging yang paling banyak dikonsumsi masyarakat I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Daging ayam merupakan daging yang paling banyak dikonsumsi masyarakat Indonesia karena rasanya disukai dan harganya jauh lebih murah di banding harga daging lainnya. Daging

Lebih terperinci

SKRIPSI HIDROLISIS PROTEIN KONSENTRAT DALAM BLONDO LIMBAH HASIL PRODUK VIRGIN COCONUT OIL (VCO)

SKRIPSI HIDROLISIS PROTEIN KONSENTRAT DALAM BLONDO LIMBAH HASIL PRODUK VIRGIN COCONUT OIL (VCO) SKRIPSI HIDROLISIS PROTEIN KONSENTRAT DALAM BLONDO LIMBAH HASIL PRODUK VIRGIN COCONUT OIL (VCO) Disusun oleh : NAFRI FIRMANSYAH 0731010036 SEFRIAN SUKMA NURSIERA 0731010038 JURUSAN TEKNIK KIMIA FAKULTAS

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kandungan Zat Makanan Biomineral Dienkapsulasi

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kandungan Zat Makanan Biomineral Dienkapsulasi HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan Zat Makanan Biomineral Dienkapsulasi Kandungan nutrien biomineral tanpa proteksi dan yang diproteksi serta mineral mix dapat dilihat pada Tabel 7. Kandungan nutrien biomineral

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesa Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu

BAB I PENDAHULUAN. (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesa Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu BAB I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesa

Lebih terperinci

KOMPOSISI KIMIA BEBERAPA BAHAN LIMBAH PERTANIAN DAN INDUSTRI PENGOLAHAN HASIL PERTANIAN

KOMPOSISI KIMIA BEBERAPA BAHAN LIMBAH PERTANIAN DAN INDUSTRI PENGOLAHAN HASIL PERTANIAN KOMPOSISI KIMIA BEBERAPA BAHAN LIMBAH PERTANIAN DAN INDUSTRI PENGOLAHAN HASIL PERTANIAN NINA MARLINA DAN SURAYAH ASKAR Balai Penelitian Ternak, P.O. Box 221, Bogor 16002 RINGKASAN Salah satu jenis pakan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. yaitu ekor menjadi ekor (BPS, 2016). Peningkatan

PENDAHULUAN. yaitu ekor menjadi ekor (BPS, 2016). Peningkatan I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ternak Domba Garut merupakan ternak ruminansia kecil yang banyak dipelihara oleh masyarakat, karena pemeliharaannya yang tidak begitu sulit, dan sudah turun temurun dipelihara

Lebih terperinci

PENGGUNAAN TEPUNG ONGGOK SINGKONG YANG DIFERMENTASI DENGAN Rhizopus sp. SEBAGAI BAHAN BAKU PAKAN IKAN NILA MERAH (Oreochromis niloticus) ABSTRAK

PENGGUNAAN TEPUNG ONGGOK SINGKONG YANG DIFERMENTASI DENGAN Rhizopus sp. SEBAGAI BAHAN BAKU PAKAN IKAN NILA MERAH (Oreochromis niloticus) ABSTRAK e-jurnal Rekayasa dan Teknologi Budidaya Perairan Volume II No 2 Februari 2014 ISSN: 2302-3600 PENGGUNAAN TEPUNG ONGGOK SINGKONG YANG DIFERMENTASI DENGAN Rhizopus sp. SEBAGAI BAHAN BAKU PAKAN IKAN NILA

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sekitar 60% biaya produksi berasal dari pakan. Salah satu upaya untuk menekan

I. PENDAHULUAN. sekitar 60% biaya produksi berasal dari pakan. Salah satu upaya untuk menekan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Pakan merupakan faktor utama penentu keberhasilan usaha peternakan, karena sekitar 60% biaya produksi berasal dari pakan. Salah satu upaya untuk menekan biaya

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Waktu dan Tempat Penelitian.

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Waktu dan Tempat Penelitian. I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan

Lebih terperinci

PENGGUNAAN IE KULOH SIRA SEBAGAI BAHAN PENGGUMPAL DAN PENGENDAP SUSU KEDELAI. Salmyah *) ABSTRAK

PENGGUNAAN IE KULOH SIRA SEBAGAI BAHAN PENGGUMPAL DAN PENGENDAP SUSU KEDELAI. Salmyah *) ABSTRAK PENGGUNAAN IE KULOH SIRA SEBAGAI BAHAN PENGGUMPAL DAN PENGENDAP SUSU KEDELAI Salmyah *) ABSTRAK Ie kuloh sira merupakan larutan yang diperoleh dari limbah industri garam rakyat. Ie kuloh sira dapat dipakai

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Negara Indonesia memiliki banyak ragam tumbuhan hijauan,

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Negara Indonesia memiliki banyak ragam tumbuhan hijauan, PENDAHULUAN Latar Belakang Negara Indonesia memiliki banyak ragam tumbuhan hijauan, diantaranya adalah jenis ketela pohon. Ketela pohon merupakan salah satu jenis tanaman pertanian utama di Indonesia.

Lebih terperinci

Semua perlakuan tidak menyebabkan keadaan ekstrim menghasilkan NH 3 diluar

Semua perlakuan tidak menyebabkan keadaan ekstrim menghasilkan NH 3 diluar 38 tersebut maka produksi NH 3 semua perlakuan masih dalam kisaran normal. Semua perlakuan tidak menyebabkan keadaan ekstrim menghasilkan NH 3 diluar kisaran normal, oleh karena itu konsentrasi NH 3 tertinggi

Lebih terperinci

cair (Djarwati et al., 1993) dan 0,114 ton onggok (Chardialani, 2008). Ciptadi dan

cair (Djarwati et al., 1993) dan 0,114 ton onggok (Chardialani, 2008). Ciptadi dan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Ubi kayu merupakan komoditi pertanian yang utama di Provinsi Lampung. Luas areal penanaman ubi kayu di Provinsi Lampung pada tahun 2009 adalah sekitar 320.344

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. dalam meningkatkan ketersediaan bahan baku penyusun ransum. Limbah

TINJAUAN PUSTAKA. dalam meningkatkan ketersediaan bahan baku penyusun ransum. Limbah TINJAUAN PUSTAKA Ampas Sagu Pemanfaatan limbah sebagai bahan pakan ternak merupakan alternatif dalam meningkatkan ketersediaan bahan baku penyusun ransum. Limbah mempunyai proporsi pemanfaatan yang besar

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai : (1.1.) Latar Belakang, (1.2.) Identifikasi

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai : (1.1.) Latar Belakang, (1.2.) Identifikasi I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1.1.) Latar Belakang, (1.2.) Identifikasi Masalah, (1.3.) Maksud dan Tujuan Penelitian, (1.4.) Manfaat Penelitian, (1.5.) Kerangka Pemikiran, (1.6.) Hipotesis

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. asam ataupun enzimatis untuk menghasilkan glukosa, kemudian gula

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. asam ataupun enzimatis untuk menghasilkan glukosa, kemudian gula BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penyiapan Bahan Baku Klasifikasi etanol secara mikrobiologis dipengaruhi oleh bahan bakunya, bahan baku berupa sumber pati prosesnya lebih panjang di banding dengan berbahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Industri adalah kegiatan ekonomi yang mengolah bahan mentah, bahan

BAB I PENDAHULUAN. Industri adalah kegiatan ekonomi yang mengolah bahan mentah, bahan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Industri adalah kegiatan ekonomi yang mengolah bahan mentah, bahan baku, barang setengah jadi, dan atau barang jadi menjadi barang dengan nilai yang lebih tinggi untuk

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Onggok Sebelum Pretreatment Onggok yang digunakan dalam penelitian ini, didapatkan langsung dari pabrik tepung tapioka di daerah Tanah Baru, kota Bogor. Onggok

Lebih terperinci

NASKAH PUBLIKASI. KUALITAS BISKUIT DENGAN KOMBINASI TEPUNG PISANG KEPOK PUTIH (Musa paradisiaca forma typica) DAN TEPUNG TEMPE

NASKAH PUBLIKASI. KUALITAS BISKUIT DENGAN KOMBINASI TEPUNG PISANG KEPOK PUTIH (Musa paradisiaca forma typica) DAN TEPUNG TEMPE NASKAH PUBLIKASI KUALITAS BISKUIT DENGAN KOMBINASI TEPUNG PISANG KEPOK PUTIH (Musa paradisiaca forma typica) DAN TEPUNG TEMPE Disusun oleh: Florencia Grace Ferdiana NPM : 120801253 UNIVERSITAS ATMA JAYA

Lebih terperinci

SUSU KEDELAI 1. PENDAHULUAN

SUSU KEDELAI 1. PENDAHULUAN SUSU KEDELAI 1. PENDAHULUAN Kacang-kacangan dan biji-bijian seperti kacang kedelai, kacang tanah, biji kecipir, koro, kelapa dan lain-lain merupakan bahan pangan sumber protein dan lemak nabati yang sangat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. membuat kita perlu mencari bahan ransum alternatif yang tersedia secara

I. PENDAHULUAN. membuat kita perlu mencari bahan ransum alternatif yang tersedia secara I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ayam broiler merupakan salah satu ternak yang penting dalam memenuhi kebutuhan protein hewani masyarakat. Ransum merupakan faktor yang penting dalam peningkatan produksi

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. perbaikan kualitas sumberdaya manusia. Untuk mendukung pengadaan ikan

1. PENDAHULUAN. perbaikan kualitas sumberdaya manusia. Untuk mendukung pengadaan ikan 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ikan merupakan salah satu sumber pangan yang bergizi. Selain sebagai sumber protein juga sebagai sumber asam lemak esensial yang menunjang perbaikan kualitas sumberdaya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi potong merupakan sumber utama sapi bakalan bagi usaha

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi potong merupakan sumber utama sapi bakalan bagi usaha 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Potong Sapi potong merupakan sumber utama sapi bakalan bagi usaha penggemukan. Penggemukan sapi potong umumnya banyak terdapat di daerah dataran tinggi dengan persediaan

Lebih terperinci

KAJIAN PENGGUNAAN BIJI KELOR SEBAGAI KOAGULAN PADA PROSES PENURUNAN KANDUNGAN ORGANIK (KMnO 4 ) LIMBAH INDUSTRI TEMPE DALAM REAKTOR BATCH

KAJIAN PENGGUNAAN BIJI KELOR SEBAGAI KOAGULAN PADA PROSES PENURUNAN KANDUNGAN ORGANIK (KMnO 4 ) LIMBAH INDUSTRI TEMPE DALAM REAKTOR BATCH Spectra Nomor 8 Volume IV Juli 06: 16-26 KAJIAN PENGGUNAAN BIJI KELOR SEBAGAI KOAGULAN PADA PROSES PENURUNAN KANDUNGAN ORGANIK (KMnO 4 ) LIMBAH INDUSTRI TEMPE DALAM REAKTOR BATCH Sudiro Ika Wahyuni Harsari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. antar jenis tanaman menyebabkan tanaman ini tersisih dan jarang ditanam dalam

BAB I PENDAHULUAN. antar jenis tanaman menyebabkan tanaman ini tersisih dan jarang ditanam dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. Tanaman koro pedang telah lama dikenal di Indonesia, namun kompetisi antar jenis tanaman menyebabkan tanaman ini tersisih dan jarang ditanam dalam skala luas.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat digunakan sebagai pangan, pakan, maupun bahan baku industri.

BAB I PENDAHULUAN. dapat digunakan sebagai pangan, pakan, maupun bahan baku industri. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kacang kedelai merupakan salah satu tanaman multiguna, karena dapat digunakan sebagai pangan, pakan, maupun bahan baku industri. Kedelai adalah salah satu tanaman jenis

Lebih terperinci

PENGARUH PERENDAMAN DALAM BERBAGAI KONSENTRASI EKSTRAK KELOPAK BUNGA ROSELLA

PENGARUH PERENDAMAN DALAM BERBAGAI KONSENTRASI EKSTRAK KELOPAK BUNGA ROSELLA PENGARUH PERENDAMAN DALAM BERBAGAI KONSENTRASI EKSTRAK KELOPAK BUNGA ROSELLA (Hibiscus sabdariffa Linn) TERHADAP JUMLAH TOTAL BAKTERI, DAYA AWET DAN WARNA DAGING SAPI Rizka Zahrarianti, Kusmajadi Suradi,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. terhadap produktivitas, kualitas produk, dan keuntungan. Usaha peternakan akan

PENDAHULUAN. terhadap produktivitas, kualitas produk, dan keuntungan. Usaha peternakan akan 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pakan menjadi salah satu faktor penentu dalam usaha peternakan, baik terhadap produktivitas, kualitas produk, dan keuntungan. Usaha peternakan akan tercapai bila mendapat

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. bagi usaha peternakan. Konsumsi susu meningkat dari tahun ke tahun, tetapi

PENDAHULUAN. bagi usaha peternakan. Konsumsi susu meningkat dari tahun ke tahun, tetapi 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Meningkatnya kebutuhan susu merupakan salah satu faktor pendorong bagi usaha peternakan. Konsumsi susu meningkat dari tahun ke tahun, tetapi peningkatan konsumsi susu

Lebih terperinci

HUBUNGAN VARIASI PAKAN TERHADAP MUTU SUSU SEGAR DI DESA PASIRBUNCIR KECAMATAN CARINGIN KABUPATEN BOGOR

HUBUNGAN VARIASI PAKAN TERHADAP MUTU SUSU SEGAR DI DESA PASIRBUNCIR KECAMATAN CARINGIN KABUPATEN BOGOR HUBUNGAN VARIASI PAKAN TERHADAP MUTU SUSU SEGAR DI DESA PASIRBUNCIR KECAMATAN CARINGIN KABUPATEN BOGOR Oleh: Iis Soriah Ace dan Wahyuningsih Dosen Jurusan Penyuluhan Peternakan, STPP Bogor ABSTRAK Penelitian

Lebih terperinci

INOVASI PEMBUATAN SUSU KEDELE TANPA RASA LANGU

INOVASI PEMBUATAN SUSU KEDELE TANPA RASA LANGU INOVASI PEMBUATAN SUSU KEDELE TANPA RASA LANGU Oleh: Gusti Setiavani, S.TP, M.P Staff Pengajar di STPP Medan Kacang-kacangan dan biji-bijian seperti kacang kedelai, kacang tanah, biji kecipir, koro, kelapa

Lebih terperinci

PENGARUH PENGGUNAAN TEPUNG AREN ( Arenga pinnata) TERHADAP SIFAT FISIKOKIMIA DAN AKSEPTABILITAS KORNET IRIS ITIK PETELUR AFKIR

PENGARUH PENGGUNAAN TEPUNG AREN ( Arenga pinnata) TERHADAP SIFAT FISIKOKIMIA DAN AKSEPTABILITAS KORNET IRIS ITIK PETELUR AFKIR PENGARUH PENGGUNAAN TEPUNG AREN ( Arenga pinnata) TERHADAP SIFAT FISIKOKIMIA DAN AKSEPTABILITAS KORNET IRIS ITIK PETELUR AFKIR Sarah Mayang Surgawi, Wendry Setyadi Putranto, dan Kusmajadi Suradi Fakultas

Lebih terperinci

PEMANFAATAN LIMBAH PASAR SEBAGAI PAKAN RUMINANSIA SAPI DAN KAMBING DI DKI JAKARTA

PEMANFAATAN LIMBAH PASAR SEBAGAI PAKAN RUMINANSIA SAPI DAN KAMBING DI DKI JAKARTA PEMANFAATAN LIMBAH PASAR SEBAGAI PAKAN RUMINANSIA SAPI DAN KAMBING DI DKI JAKARTA DKI Jakarta merupakan wilayah terpadat penduduknya di Indonesia dengan kepadatan penduduk mencapai 13,7 ribu/km2 pada tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dibudidayakan di air tawar dan disukai oleh masyarakat karena rasanya yang

BAB I PENDAHULUAN. dibudidayakan di air tawar dan disukai oleh masyarakat karena rasanya yang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ikan lele dumbo merupakan komoditas perikanan yang banyak dibudidayakan di air tawar dan disukai oleh masyarakat karena rasanya yang gurih. Selain itu ikan lele dumbo

Lebih terperinci

PENGARUH LAMA PENGOVENAN, PERENDAMAN, dan KONSENTRASI ASAM ASETAT TERHADAP MUTU PRODUK dan LIMBAH CAIR PRODUKSI TAHU

PENGARUH LAMA PENGOVENAN, PERENDAMAN, dan KONSENTRASI ASAM ASETAT TERHADAP MUTU PRODUK dan LIMBAH CAIR PRODUKSI TAHU PENGARUH LAMA PENGOVENAN, PERENDAMAN, dan KONSENTRASI ASAM ASETAT TERHADAP MUTU PRODUK dan LIMBAH CAIR PRODUKSI TAHU Emi Erawati 1, Malik Musthofa 2 1 Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas

Lebih terperinci

M. Yogie Nugraha 1), Edison 2), and Syahrul 2) Abstract

M. Yogie Nugraha 1), Edison 2), and Syahrul 2) Abstract The Effect of Addition of Tempe Powder on Consumer Acceptance, Protein, and NPN Composition of fish Protein Concentrate Prepared from Pangasius Catfish (Pangasiushypopthalmus) By M. Yogie Nugraha 1), Edison

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pakan merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan usaha peternakan,

I. PENDAHULUAN. Pakan merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan usaha peternakan, I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pakan merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan usaha peternakan, lebih dari separuh biaya produksi digunakan untuk memenuhi kebutuhan pakan, oleh karena itu penyediaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pencemaran yang melampui daya dukungnya. Pencemaran yang. mengakibatkan penurunan kualitas air berasal dari limbah terpusat (point

BAB I PENDAHULUAN. pencemaran yang melampui daya dukungnya. Pencemaran yang. mengakibatkan penurunan kualitas air berasal dari limbah terpusat (point BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu masalah yang timbul akibat meningkatnya kegiatan manusia adalah tercemarnya air pada sumber-sumber air karena menerima beban pencemaran yang melampui daya

Lebih terperinci

HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN Pengaruh Perlakuan terhadap Kecernaan Bahan Kering. Jumlah Rata-Rata (menit)

HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN Pengaruh Perlakuan terhadap Kecernaan Bahan Kering. Jumlah Rata-Rata (menit) 29 IV HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Pengaruh terhadap Kecernaan Bahan Kering Hasil penelitian nilai rataaan kecernaan bahan kering dari tiap perlakuan perendaman NaOH dan waktu perendaman biji sorgum

Lebih terperinci

ANALISIS PROKSIMAT CHIPS RUMPUT LAUT EUCHEUMA COTTONII PADA SUHU PENGGORENGAN DAN LAMA PENGGORENGAN BERBEDA ABSTRAK

ANALISIS PROKSIMAT CHIPS RUMPUT LAUT EUCHEUMA COTTONII PADA SUHU PENGGORENGAN DAN LAMA PENGGORENGAN BERBEDA ABSTRAK Jurnal Galung Tropika, 2 (3) September 2013, hlmn. 129-135 ISSN 2302-4178 ANALISIS PROKSIMAT CHIPS RUMPUT LAUT EUCHEUMA COTTONII PADA SUHU PENGGORENGAN DAN LAMA PENGGORENGAN BERBEDA Syamsuar 1) dan Mukhlisa

Lebih terperinci

BAB 1V HASIL DAN PEMBAHASAN. Rataan kecernaan protein ransum puyuh yang mengandung tepung daun lamtoro dapat dilihat pada Tabel 7.

BAB 1V HASIL DAN PEMBAHASAN. Rataan kecernaan protein ransum puyuh yang mengandung tepung daun lamtoro dapat dilihat pada Tabel 7. 22 A. Kecernaan Protein Burung Puyuh BAB 1V HASIL DAN PEMBAHASAN Rataan kecernaan protein ransum puyuh yang mengandung tepung daun lamtoro dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Rataan Nilai Kecernaan Protein

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Bab ini akan menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang Penelitian,

I PENDAHULUAN. Bab ini akan menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang Penelitian, I PENDAHULUAN Bab ini akan menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Beras analog merupakan beras tiruan yang terbuat dari tepung lokal non-beras.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Beras analog merupakan beras tiruan yang terbuat dari tepung lokal non-beras. II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Beras Analog Beras analog merupakan beras tiruan yang terbuat dari tepung lokal non-beras. Disebut beras analog karena bentuknya yang oval menyerupai beras, tapi tidak terproses

Lebih terperinci

Pengaruh Campuran Feses Sapi Potong dan Feses Kuda Pada Proses Pengomposan Terhadap Kualitas Kompos

Pengaruh Campuran Feses Sapi Potong dan Feses Kuda Pada Proses Pengomposan Terhadap Kualitas Kompos Pengaruh Campuran Feses Sapi Potong dan Feses Kuda Pada Proses Pengomposan Terhadap Kualitas Yuli Astuti Hidayati, Eulis Tanti Marlina, Tb.Benito A.K, Ellin Harlia 1 Intisari Penelitian ini bertujuan untuk

Lebih terperinci