Production and the rate of decomposition of Mangrove leaf litter in Los island Tanjungpinang

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Production and the rate of decomposition of Mangrove leaf litter in Los island Tanjungpinang"

Transkripsi

1 Production and the rate of decomposition of Mangrove leaf litter in Los island Tanjungpinang Horas Galaxy Mahasiswa Ilmu Kelautan, FIKP UMRAH, Arief Pratomo Dosen Ilmu Kelautan, FIKP UMRAH Dony Apdillah Dosen Ilmu Kelautan, FIKP UMRAH, ABSTRACT This study aims to determine the contribution of mangrove forests productivity on the surrounding environment. This study was conducted in February May The litter production was calculated in 1 x 1 M 2. Time mangrove litter retrieval was done in 1 days for times, so that totaly were 7 days. Components mangrove observed is leaves weight which was taken from litter bag 1 x 10 cm. 10 grams mangroves leaves was dried at temperature 60 C for 2 X 24 hours up to constain weight. put the dried leaves in a litter bag and tied under the tree. Extraction was carried out once in 1 days for 4 days, measured using gram/m 2 /day unit. Average daily production Mangrove leaf litter in the station I was gram/m2/days, at station II gram/m2/days, and gram/m2/days at the station III, as well as the total average was gram/m2/days. The most Depreciation Mangrove leaf litter dry weight found in Station III, and the lowest was at station II. The total average depreciation dry weight of leaf litter was grams /day or % /day. Keywords : Production, Decomposition, Mangrove leaf litter 1

2 Produksi dan laju dekomposisi serasah daun mangrove di Pulau Los Kota Tanjungpinang Horas Galaxy Mahasiswa Ilmu Kelautan, FIKP UMRAH, Arief Pratomo Dosen Ilmu Kelautan, FIKP UMRAH Dony Apdillah Dosen Ilmu Kelautan, FIKP UMRAH, ABSTRAK Penelitian tentang Produksi dan laju dekomposisi serasah daun mangrove di Pulau Los Kota Tanjungpinang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kontribusi hutan mangrove pada produktifitas lingkungan sekitarnya. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2013 Mei Cara menghitung produksi adalah Litter-trap yang berukuran 1 X 1 m 2. Waktu pengambilan serasah mangrove dilakukan 1 hari sekali sebanyak kali pengambilan selama 7 hari. Komponen mangrove yaitu daun, beratnya di timbang. Untuk penghitungan laju dekomposisi menggunakan litter bag berukuran 1 x 10 cm. Daun mangrove seberat 10 gram yang sudah dikeringkan pada suhu 60 C sampai berat konstan atau 2 X 24 jam, dimasukkan ke dalam litter bag lalu diikat di bawah pohon mangrove. Pengambilannya dilakukan 1 hari sekali dengan lama pengambilan 4 hari, di timbang dengan menggunakan satuan gram/m 2 /hari. Rata rata produksi serasah daun Mangrove perhari adalah 3, gram/m 2 /hari pada stasiun I, 4, gram/m 2 /hari pada stasiun II, dan 3, gram/m 2 /hari pada stasiun III, serta rata rata totalnya adalah 3, gram/m 2 /hari. Penyusutan bobot kering serasah daun Mangrove terbesar terdapat pada Stasiun III, dan yang terendah terdapat pada Stasiun II. Rata rata total penyusutan bobot kering serasah daun perhari sebesar 0,1322 gram/hari atau 1,322 %/hari. Kata Kunci : Produksi, Dekomposisi, Serasah daun Mangrove 2

3 Produksi dan laju dekomposisi serasah daun mangrove di Pulau Los Kota Tanjungpinang Horas Galaxy Mahasiswa Ilmu Kelautan, FIKP UMRAH, Arief Pratomo Dosen Ilmu Kelautan, FIKP UMRAH Dony Apdillah Dosen Ilmu Kelautan, FIKP UMRAH, I. PENDAHULUAN Hutan Mangrove di Pulau Los Kota Tanjungpinang tumbuh secara alami, jenis mangrove yang ditemukan ada 27 jenis dari 14 Family (Affandi, 2012). Menurut hasil penelitian Affandi, (2012) menyimpulkan bahwa keanekaragaman jenis Mangrove di Pulau Los tergolong sedang dengan nilai index rata rata 2,09100 dan tingkat kerapatan Mangrove juga tergolong sedang dengan tingkat kerapatan rata rata sebesar 139 pohon/ha dan secara umum ditempati rhizophora apiculata baik pada tingkat pohon, anakan, maupun semaian. Pulau Los juga merupakan pulau yang tidak ada aktivitas di sekitar daratannya. Namun jika di lihat disekitar perairannya maka akan ditemukan sekitar 4 buah usaha budidaya laut berupa KJA atau keramba jaring apung, yang semuanya berada pada sekitar kawasan perairan hutan mangrove, hal ini disebabkan karena mangrove dikenal sebagai sumber bahan organik bagi ekosistem laut dan estuari yang menyokong kehidupan berbagai organisme akuatik, bahan organik yang berupa daun, batang dapat jatuh ke air selanjutnya masuk ke dalam sistem estuari dan menjadi dasar bagi jaring jaring makanan kompleks. unsur hara yang dihasilkan hutan mangrove menjadi penyokong untuk budidaya KJA, dan sangat mungkin untuk ditingkatkan lagi, dan perlu dilakukan pengkajian mengenai serasah, pada daun mangrove khususnya. Salah satu proses yang terjadi pada ekosistem Mangrove yang memberikan kontribusi paling besar terhadap kesuburan perairan adalah proses dekomposisi atau penghancuran serasah mangrove. Penghancuran serasah merupakan bagian dari tahap proses dekomposisi, yang dapat menghasilkan bahan organik yang penting dalam rantai makanan, memberikan kesuburan dan produktivitas perairan disekitarnya. Mengingat di sekitar wilayah ekosistem mangrove ini terdapat budidaya laut yang potensial untuk ditingkatkan dan menyadari pentingnya peranan serasah terhadap ekosistem perairan pantai serta masih terbatasnya informasi yang ada khususnya di Pulau Los, karena penelitian 3

4 mengenai produksi dan laju dekomposisi serasah daun mangrove di pulau Los belum pernah dilakukan, maka perlu dihitung berapa laju produksi dan dekomposisi serasah daun mangrove di Pulau Los, dan perlu diketahui juga bahwa hanya serasah daun saja yang dikaji dalam penelitian ini. Tujuan di penelitian ini adalah untuk Mengetahui produksi serasah daun Mangrove dan Mengetahui laju dekomposisi serasah daun mangrove. Penelitian ini dapat bermanfaat nantinya sebagai informasi bagi para stakeholder dan yang membutuhkan. Dan dapat dijadikan acuan untuk melakukan penelitian lanjutan. II. TINJAUAN PUSTAKA Hutan mangrove yang sering kali disebut hutan bakau atau mangal adalah komunitas vegetasi pantai tropis dan subtropis, yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur (Bengen, 2000). Komunitas ini umumnya tumbuh dan berkembang pada daerah intertidal dan subratidal yang cukup mendapat air, dan terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat. Menurut Nybakken dalam Indriani, (2008), komunitas hutan mangrove tersebar di seluruh hutan tropis dan subtropis, mulai dari 2 LU sampai 2 LS. Mangrove mampu tumbuh hanya pada pantai yang terlindung dari gerakan gelombang. Bila pantai dalam keadaan sebaliknya, benih tidak mampu tumbuh dengan sempurna dan mengeluarkan akarnya. Tumbuhan ini dapat tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur dan lingkungan yang anaerob. Mangrove juga dapat tumbuh pada substrat pasir, batu atau karang yang terlindung dari gelombang, karena itu mangrove banyak ditemukan di pantai-pantai teluk, estuari, laguna, dan pantai terbuka yang berhadapan dengan terumbu karang Produktivitas Serasah Mangrove Serasah adalah sisa organik dari tanaman dan hewan yang ditemukan baik di permukaan tanah atau di dalam mineral tanah itu sendiri. Serasah daun merupakan 70% dari total serasah di permukaan tanah (waring dan Schlesinger dalam Wibisana, 2004). Daun daun mangrove yang jatuh didefinisikan sebagai berat materi tumbuhan mati yang jatuh dalam satuan luas permukaan tanah dalam periode waktu tertentu (Chapman, dalam handayani, 2004). Produksi serasah adalah guguran struktur vegetatif dan reproduktif yang disebabkan oleh faktor ketuaan, stress oleh faktor mekanik (misalnya angin), ataupun kombinasi dari keduanya dan kematian serta kerusakan dari keseluruhan tumbuhan oleh iklim (hujan dan angin) (Brown, dalam Indriani, 2008). Serasah adalah tumpukan dedaunan kering, rerantingan, dan berbagai sisa vegetasi lainnya diatas lantai hutan atau kebun. Tanaman memberikan masukan bahan organik melalui daun-daun, cabang dan ranting yang gugur, dan juga melalui akar-akarnya yang telah mati. Variasi produktivitas Serasah antara lain ditentukan 4

5 oleh musim, jenis pohon, kerapatan, perbedaan temperature udrara siang dan malam, kekurangan unsur hara dan serangan hama penyakit (Alrasjid, dalam Wibisana, 2004). Faktor iklim dan jarak dari garis pantai juga akan mempengaruhi produktivitas serasah (Khairijon, dalam Wibisana, 2004) Dekomposisi Serasah Mangrove Hutan Mangrove mempunyai produktivitas bahan organik yang sangat tinggi, tetapi hanya kurang lebih 10% dari produksinya dapat langsung dimakan oleh herbivora, sisanya masuk ke dalam ekosistem dalam bentuk detritus. Sebagian besar dari produksi tersebut dimanfaatkan sebagian detritus atau bahan organik mati seperti daun-daun Mangrove yang gugur sepanjang tahun, dan melalui aktivitas mikroba decomposer dan hewan hewan pemakan detritus kemudian diproses menjadi partikel partikel halus (Odum dan Heald dalam Mahmudi, et all 2008). Selanjutnya, detritus tersebut merupakan suatu fraksi penting dari rantai makanan yang terdapat di ekosistem hutan mangrove dan estuaria. Partikel partikel organik tersebut menjadi tempat hidup bagi bakteri, jamur dan mikroorganisme lainnya yang merupakan sumber makanan utama bagi organisme omnivora seperti udang, kepiting dan sejumlah ikan (Mahmudi et all, 2008). Ada beberapa definisi yang dikemukakan tentang dekomposisi antara lain dekomposisi didefinisikan sebagai penghancuran bahan organik mati secara gradual yang dilakukan oleh agen biologi maupun fisika (handayani, 2004). Sedangkan Smith dalam Handayani, (2004) menerangkan bahwa proses dekomposisi adalah gabungan dari proses pragmentasi, perubahan struktur fisik dan kegiatan enzim yang dilakukan oleh dekomposer yang merubah bahan organik menjadi senyawa organik. Proses dekomposisi bukan saja di lakukan oleh agen biologis seperti bakteri tetapi juga melibatkan agen agen fisika. Proses dekomposisi dimulai dari proses penghancuran/pragmentasi atau pemecahan struktur fisik yang mungkin dilakukan oleh hewan pemakan bangkai (scavenger) terhadap hewan hewan mati atau oleh hewan hewan herbivora terhadap tumbuhan dan menyisakannya sebagai bahan organik mati yang selanjutnya menjadi serasah, debris atau detritus dengan ukuran yang lebih kecil. Proses fisika dilanjutkan dengan proses biologi dengan bekerjanya bakteri yang melakukan penghancuran secara enzimatik terhadap partikel partikel organic hasil proses pragmentasi. Proses dekomposisi oleh bakteri dimulai dengan kolonisasi bahan organik mati oleh bakteri yang mampu mengautolisis jaringan mati melalui mekanise enzimatik. Dekomposer mengeluarkan enzim yang menghancurkan molekul molekul organik kompleks seperi protein dan karbohidrat dari tumbuhan dan hewan yang telah mati. Menurut Hardjowigeno dalam Indriani, (2008). III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian

6 Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai Mei 2013 dan stasiun penelitian berada pada ekosistem mangrove di Pulau Los Kota Tanjungpinang. Analisis data produksi dan laju dekomposisi serasah mangrove dilaksanakan di Laboratorium Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Maritim Raja Ali Haji. Tabel I. Koordinat transek tiap stasiun Stasiun Transek Koordinat 1 I N: E: II N: E: I N: E: II N: E: I N: E: II N: E: Gambar 1. Peta lokasi penelitian. Sumber; Google Earth, 2013 (modifikasi) Alat dan Bahan Tabel 2. Parameter dan alat yang digunakan dalam penelitian: Alat dan Bahan Kegunaan Satuan Keterangan Termometer Mengukur suhu 0 C In situ HandRefraktometer Mengukur Salinitas 0 / 00 In situ ph Meter Mengukur ph Air In situ Timbangan digital Menimbang Serasah Gram Ex situ ketelitian 0,0001 GPS Menentukan koordinat In situ Litter trap Menampung Serasah 1 x 1 m In situ Litter bag Kantong Dekomposisi Serasah 1 x 10 cm, mesh size In situ 0, cm Kantong Plastik Wadah produksi Serasah In/Ex Situ Tali Rafia Pemasangan transek, plot, dan M In situ pengikat Alat tulis Menulis data In/Ex situ Kamera Dokumentasi In/Ex situ Oven Pengering sampel 0 C Ex situ 6

7 3.3. Metode Kerja Penentuan lokasi stasiun dengan cara observasi langsung dan ditetapkan secara acak dikarenakan lokasi yang homogen, berdasarkan keterwakilan ekosistem mangrove di pulau los, Pemasangan Transek dan pemasangan jaring penampung serasah (litter trap) dilakukan setelah menetapkan titik koordinat Rancangan litter trap dan litter bag Litter trap adalah alat atau wadah untuk menampung guguran serasah dari pohon Mangrove, dalam penelitian ini litter trap berbentuk persegi empat terbuat dari jaring berbahan nylon ukuran 1x1 m dengan mesh size 0, cm, dilengkapi dengan tali pengikat disetiap sudutnya dan pemberat dari batu ditengahnya. Gambar 3. Litter trap Sedangkan litter bag adalah alat atau wadah bagi sampel dekomposisi daun mangrove, terbuat dari jaring berukuran 1 x 10 cm dengan mesh size 0, cm yang diikatkan pada akar Mangrove dilantai hutan. Gambar 2. Litter bag Prosedur Pengukuran Produksi Serasah Metode yang umum digunakan untuk pengambilan produksi serasah adalah metode litter-trap (Jaring penampung serasah) (Brown, 1984) dalam Indriani (2008). Pengambilan contoh serasah mangrove (daun) menggunakan jaring yang berukuran (1 X 1) m 2, jaring dibentangkan di bawah pohon mangrove. Pengambilan contoh serasah selama 2 bulan dengan rentang waktu 1 hari sekali sebanyak 4 x. Hal ini dianggap bahwa daun mangrove dari awal tumbuh sampai tua dan gugur selama 1 hari. Mangrove yang tertampung jaring dimasukkan ke dalam kantong plastik lalu diberi label, setelah itu dibawa ke laboratorium untuk ditimbang (ketelitian 0,001gram) produksi serasah dengan satuan gram/m 2 /1 hari Prosedur pengukuran laju dekomposisi serasah. Dekomposisi pada penelitian ini didefinisikan secara fisik, serasah yang hancur yang berukuran 0, cm, yang 7

8 terlepas dari litter bag pada saat terendam atau pencucian. Prosedur pengukuran laju dekomposisi serasah menggunakan litter bag, (Indriani, 2008). Pengukuran contoh laju dekomposisi diawali dengan pengeringan daun mangrove pada temperatur 60 C selama 2 hari dimana serasah diperkirakan sudah kering, sebanyak 10 gram daun kering mangrove dimasukkan kedalam litter bag dgn mesh size 0, cm dan diletakan di bawah pohon mangrove yang masih di pengaruhi pasang surut (ketergenangan). Rentang waktu pengambilan 1 hari sekali sebanyak 3 kali dalam waktu 1, bulan. Litter bag dibawa ke laboratorium, daun dibersihkan dari lumpur maupun kotoran, dikeringkan pada temperatur 10 C selama 2 hari dan ditimbang. Hasil untuk mengetahui penguraian yaitu berat kering awal dikurangi berat kering akhir Perhitungan produksi serasah. Serasah mangrove yang jatuh ke jaring nylon berukuran (1 X 1) m 2 kemudian dimasukkan ke kantong plastik. Pisahkan komponen daun, ranting, dan bunga-buah. Kemudian ditimbang dengan ketelitian timbangan 0,001 gram. Hasil dari pengukuran dihitung dengan satuan gram/m 2 /hari Perhitungan laju dekomposisi serasah. Perhitungan presentase laju dekomposisi mangrove per hari menggunakan rumus Bonruang, dalam Indriani 2008) dimana: Y = Presentase serasah daun yang mengalami dekomposisi. BA = Berat awal Penimbangan (gram). BK = Berat akhir penimbangan (gram). Untuk mendapatkan nilai presentase kecepatan dekomposisi serasah daun per hari: dimana: X = Persentase kecepatan dekomposisi serasah daun per hari. D = Lama pengamatan (hari). IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Parameter Lingkungan Perairan Stasiun Ulangan ph Suhu ( 0 C) Salinitas 1 8,73 30, ,8 30, ,29 27,6 32 Ratarata 8,4 29, ,2 30, ,2 30, , Ratarata 8,27 29, ,26 30, , , Ratarata 8,26 29,04 29 Tabel. 3. Hasil pengukuran parameter perairan. Derajat keasaman (ph) adalah jumlah ion hidrogen yang terdapat dalam larutan. Berdasarkan hasil pengukuran ph, 8

9 didapat rata-rata nilai ph perairan Pulau Los berkisar diantara 8,26 8,4. Nilai tersebut menunjukkan nilai basa yang normal untuk permukaan perairan Indonesia (Aksornkoae dalam Indriani 2008). Nilai ph tertinggi terdapat pada stasiun I yaitu 8,73, sedangkan yang terendah berada pada stasiun III yaitu 8,26. Nilai ph yang tidak jauh berbeda namun berada di atas 8 pada seluruh stasiun menyebabkan mikroorganisme pada tiap stasiun berkembang secara optimal dan sangat produktif. Pulau Los masih terpengaruh dari daratan yang disekitarnya. Dari hasil pengukuran suhu menunjukkan suhu yang tergolong optimum pada tiap stasiun dengan kisaran rata-rata 29,04 29,24 0 C. Hal ini disebabkan pada saat pengukuran cuaca cerah berawan, dan Pulau Los berada pada daerah terbuka sehingga intensitas cahaya yang diterima cukup tinggi. Menurut Soenardjo dalam Indriani (2008) suhu optimum untuk bakteri berkisar 27 0 C 36 0 C. Kisaran tersebut sangat baik untuk proses penguraian dengan asumsi daun mangrove sebagai dasar metabolisme. Berdasarkan hasil penelitian, temperatur suhu yang diperoleh masih berada dalam kisaran yang baik untuk proses dekomposisi. Salinitas juga merupakan faktor lingkungan yang menentukan perkembangan hutan Mangrove. Nilai hasil pengukuran salinitas berada pada kisaran rata-rata Salinitas terbesar berada pada pada stasiun I dan Salinitas terendah berada pada stasiun III. Nilai salinitas yang bervariasi diduga karena daerah pada lokasi stasiun I berada pada ujung Pulau, sedangkan daerah dilokasi stasiun III berdekatan dengan senggarang yang diduga masukan air tawarnya cukup tinggi Produksi Serasah daun Mangrove Total produksi rata rata serasah mangrove tertinggi pada stasiun I didapat pada 1 hari ke-4 yaitu dengan berat 66,7066 gr/m 2 /1. Produksi serasah daun Mangrove tinggi pada 1 hari ke -4 ini disebabkan oleh faktor cuaca yaitu angin dan hujan dari data yang diperoleh dari BMKG (lampiran), kecepatan angin pada periode 1 hari ke-4 yaitu pada tanggal 6 April sampai dengan 20 April 2013 rata rata berkisar antara 10 knot, dan mencapai kecepatan tertinggi pada 9 April dengan kecepatan 37 knot, ini merupakan kecepatan tertinggi pada bulan April, Begitu juga dengan curah hujan yang mencapai curah tertinggi juga pada 9 April yaitu sebesar mm. Hal ini sejalan dengan pendapat Brown dalam Lestarina, (2011) menyatakan bahwa salah satu faktor mekanik yang mempengaruhi produktifitas serasah adalah angin bersama-sama dengan hujan. Data kecepatan angin dan curah hujan periode 1 hari ke 4 pada dapat dilihat pada gambar dan 6 berikut: 9

10 19-Feb 21-Feb 23-Feb 2-Feb 27-Feb 01-Mar 03-Mar 0-Mar mm 19-Feb 21-Feb 23-Feb 2-Feb 27-Feb 01-Mar 03-Mar 0-Mar 0-Apr 07-Apr 09-Apr 11-Apr 13-Apr 1-Apr 17-Apr 19-Apr knot mm 0-Apr 07-Apr 09-Apr 11-Apr 13-Apr 1-Apr 17-Apr 19-Apr knot Gambar 4. Kecepatan angin 19 April 2013 BMKG Tanjungpinang Gambar. Curah hujan -19 april 2013 BMKG Tanjungpinang Selanjutnya total produksi serasah rata-rata tertinggi pada stasiun II didapat pada 1 hari pertama yaitu dengan berat mencapai gr/m 2 /1 hari. Produksi serasah pada stasiun II tertinggi pada 1 hari pertama, hal ini juga disebabkan oleh faktor cuaca yaitu angin dan hujan, saat pengambilan produksi serasah 1 hari pertama yaitu pada tanggal Maret 2013, berdasarkan data dari BMKG kecepatan angin rata rata pada hari itu adalah 09 Knot dan kecepatan maksimum mencapai 24 knot (lampiran), ini merupakan kecepatan angin tertinggi pada bulan maret. Hal ini sejalan dengan pendapat Cuevas dan Sajise dalam Wibisana, (2004) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan positif antara kecepatan angin dengan produksi serasah. Bila kecepatan angin tinggi maka produksi serasah tinggi pula. Sedangkan curah hujan mencapai curah tertinngi pada tanggal 19 february. Juga sejalan dengan pendapat Khirijon dalam Wibisana (2004) menyatakan bahwa produksi serasah tertinggi terjadi pada saat musim hujan/ pada saat curah hujan tinggi. Kecepatan angin dan curah hujan periode 1 hari pertama dapat dilihat pada gambar 6 dan 7 berikut: Gambar 6. Kecepatan angin 19 Feb- Maret 2013, BMKG Tanjungpinang Gambar 7. Curah hujan 19 Feb- Maret 2013, BMKG Tanjungpinang 10

11 06-Mar 08-Mar 10-Mar 12-Mar 14-Mar 16-Mar 18-Mar 20-Mar knot 06-Mar 08-Mar 10-Mar 12-Mar 14-Mar 16-Mar 18-Mar 20-Mar mm Pada stasiun III, total produksi rata - rata serasah daun mangrove memiliki nilai terbesar berada pada 1 hari ke 2 yaitu dengan berat 72,422 gr/m 2 /1 hari. Produksi serasah pada 1 hari ke-2 tinggi disebabkan juga oleh faktor cuaca yaitu angin, karena pada periode 1 hari ke-2 yaitu tanggal 6 Maret 20 Maret 2013, kecepatan angin berkisar dari Knot, dan kecepatan tertinggi 20 knot pada tanggal 6 Maret. Begitu juga dengan curah hujan yang mencapai curah tertinggi pada tanggal 17 Maret yaitu sebesar 3.0, ini merupakan curah hujan tertinggi pada bulan Maret. Hal ini sama seperti pada stasiun I. kecepatan angin dan curah hujan pada periode 1 hari ke 2 dapat dilihat pada gambar 8 dan 9 berikut: Gambar 9. Curah hujan 6 20 Maret 2013, BMKG Tanjungpinang 4.3 Laju Dekomposisi Hasil dan pembahasan penyusutan berat kering serasah daun Mangrove yang terurai per 1 hari disajikan pada tabel 4. Tabel 4. Rata-rata penyusutan berat St Bobot awal Berat Akhir Hari ke (gram) Gambar 8. Kecepatan angin 6 20 Maret 2013, BMKG Tanjungpinang kering Perubahan bobot kering serasah daun Mangrove mengalami penurunan dengan lamanya penguraian per 1 hari. Penurunan bobot kering daun terbesar terlihat pada stasiun III yaitu pada daerah yang dekat dengan keramba jaring apung disekitarnya. Nilai penyusutan adalah 11

12 3,3860 gram dalam waktu 4 hari dengan bobot yang hilang/terdekomposisi adalah 66,139 %. Penyusutan bobot kering serasah daun terendah terdapat pada stasiun II sebesar 4,7784 gram dalam waktu 4 hari dengan persentase bobot yang hilang adalah 2,216 %. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah temperatur dan salinitas, lokasi transek dan plot yang tertutup oleh tutupan hutan mangrove yang lebat sehingga cahaya matahari terhalang dan berakibat serasah lebih sering lembab pada stasiun II. Dan pada stasiun III transek dan plot terletak pada bagian ujung yang tutupan hutannya tidak terlalu lebat sehingga cahaya matahari yang tembus dapat langsung mengeringkan sampel disetiap surut siang hari. Hasil dan pembahasan rata rata total penyusutan berat kering serasah daun Mangrove yang terurai hasilnya disajikan pada tabel 10 berikut, sedangkan untuk data mentahnya dapat dilihat di lampiran. Tabel 10. Rata rata total dekomposisi daun serasah Hari Berat kering akhir yang terurai yang terurai Gram per % perhari ke daun (gram) (gram) ( % ) hari 1 6, , , , , ,7362 4, ,637 0, , , , , ,1322 1,322 Dari hasil penimbangan serasah Mangrove setelah 1 hari terjadi penurunan berat yang cukup signifikan karena terdekomposisi seperti yang diperkirakan, terlihat pada tabel diatas bobot yang berkurang sebesar 3, gram selama 1 hari, hal ini terjadi pada semua stasiun penelitian. Oleh sebab itu, dapat disimpulkan bahwa apapun jenis bakaunya atau bagaimanapun karakteristik substrat dan kondisi perairannya, persentase serasah yang terurai lebih besar pada 1 hari pertama. Hal senada dikemukakan oleh Hodgkiss dan Leung dalam Lestarina, (2011) menjelaskan bahwa aktifitas enzim selulotik fungi (fangal cellulolic enzym) yang paling tinggi terjadi di saat awal dekomposisi. Penguraian atau penyederhanaan kandungan organik daun mangrove yang mudah terjadi ketika serasah gugur dan terperangkap di ekosistem mangrove. Bahan-bahan organik yang terdapat di dalam serasah akan dikonsumsi oleh decomposer. Aktivitas tertinggi dari enzim selulotik fungi terjadi pada awal proses dekomposisi. Dekomposisi serasah daun pada hari ke- 30 dan hari ke-4 tidak jauh berbeda, dengan kisaran bobot yang terurai 0, ,1322 g/hari. Hal ini disebabkan oleh menurunnya bahan-bahan organik dan kandungan nitrogen yang terdapat dalam 12

13 sisa daun. Semakin lama waktu dekomposisi semakin besar yang terurai. Untuk total rata-rata laju persentase dekomposisi serasah daun mangrove perhari dapat dilihat pada gambar 7 di bawah ini 2, 2 2, , 1 1, ,322 dekomposisi %/hari 0, 0 1 hari 30 hari 4 hari Gambar 17. Total rata-rata persentase laju dekomposisi serasah daun Mangrove Pada grafik garis diatas terlihat rata-rata laju dekomposisi perhari cukup tinggi pada kisaran 1 hari yaitu sebesar 2,0 % perharinya dan perlahan lahan turun menjadi 1,4 % pada hari ke 30 dan 1,3 % pada hari ke 4. Laju dekomposisi tertinggi terjadi pada tahap awal, hal ini diduga berhubungan erat dengan kehilangan bahan organik dan anorganik yang mudah larut (pelindihan) dan juga hadirnya mikroorganisme yang berperan dalam perombakan beberapa zat yang terkandung dalam daun mangrove. Semakin lama waktu proses, semakin turun kecepatan perharinya..1. Kesimpulan Rata rata Produksi Serasah Daun Mangrove di Pulau Los Kelurahan Senggarang Kota Tanjungpinang perhari masing-masing sebesar 3, gram/m 2 /hari pada stasiun I, 4, gram/m 2 /hari pada stasiun II, dan 3, gram/m 2 /hari pada stasiun III, serta rata rata total produksi Serasah Daun Mangrove di Pulau Los Kelurahan Senggarang Kota Tanjungpinang adalah sebesar 3, gram/m 2 /hari. Faktor iklim seperti angin dan hujan sangat mempengaruhi produksi serasah. V. KESIMPULAN DAN SARAN 13

14 Daun Mangrove Penyusutan bobot kering Serasah terbesar terdapat pada Stasiun III, dan yang terendah terdapat pada Stasiun II. Rata rata total penyusutan bobot kering serasah daun Mangrove di Pulau Los perhari sebesar 0,1322 gram/hari atau 1,322 %/hari. Penyusutan bobot tertinggi distasiun III diduga disebabkan keterandaman yang cukup sering serta tutupan hutan yang kurang rimbun sehingga intensitas cahaya matahari yang diterima cukup tinggi Saran Dari hasil penelitian, dapat disarankan untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang laju dekomposisi serasah daun hingga pada jenis dan kandungannya serta peranan penting dekomposer dalam proses dekomposisi. DAFTAR PUSTAKA Affandi, Z Identifikasi dan Zonasi Vegetasi Mangrove di Pulau Los Kelurahan Senggarang Kota Tanjungpinang. Mangrove Rembang. di Hutan Mangrove Handayani, T Laju Dekomposisi Serasah Mangrove Rhizophora Mucronata Lamk Di Pulau Untung Jawa, Kepulauan seribu, Jakarta. Indriani, Y Produksi dan Laju Dekomposisi Serasah Daun Mangrove Api api (Avicennia Marina Forssk. Vierh) di Desa Lontar, Kecamatan Kemiri, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten. Lestarina, M P Produktifitas Serasah Mangrove dan Potensi Kontribusi Unsur hara di Perairan Mangrove Pulau Panjang Banten. Mahmudi, M, Soewardi, K, Kusmana, C, Hardjomidjojo, H, Damar, A. Laju Dekomposisi Serasah Mangrove dan Kontribusinya Terhadap Nutrien. Nontji, A Laut Nusantara. Penerbit Djambatan. Jakarta. Wibisana, T B Produksi dan Laju Dekomposisi Serasah Mangrove di Wilayah Pesisir Kabupaten Berau, Propinsi Kalimantan Timur. Bengen, D. G Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. PKSPL. IPB. Bogor. Biodiversitas Volume 9, Nomor 4 Halaman ISSN: X. Oktober Produksi Serasah Hutan Mangrove di Perairan Pantai Teluk Sepi Lombok Barat. Gufran, A Laju Penghancuran Serasah Daun Beberapa Jenis 14

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Secara keseluruhan daerah tempat penelitian ini didominasi oleh Avicennia

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Secara keseluruhan daerah tempat penelitian ini didominasi oleh Avicennia BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi umum daerah Wonorejo Kawasan mangrove di Desa Wonorejo yang tumbuh secara alami dan juga semi buatan telah diputuskan oleh pemerintah Surabaya sebagai tempat ekowisata.

Lebih terperinci

PRODUKSI DAN LAJU DEKOMPOSISI SERASAH DAUN MANGROVE API-API

PRODUKSI DAN LAJU DEKOMPOSISI SERASAH DAUN MANGROVE API-API PRODUKSI DAN LAJU DEKOMPOSISI SERASAH DAUN MANGROVE API-API (Avicennia marina Forssk. Vierh) DI DESA LONTAR, KECAMATAN KEMIRI, KABUPATEN TANGERANG, PROVINSI BANTEN Oleh: Yulian Indriani C64103034 PROGRAM

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai kawasan pesisir yang cukup luas, dan sebagian besar kawasan tersebut ditumbuhi mangrove yang lebarnya dari beberapa

Lebih terperinci

Fakultas MIPA, Universitas Negeri Gorontalo ABSTRAK

Fakultas MIPA, Universitas Negeri Gorontalo   ABSTRAK ANALISIS LAJU DEKOMPOSISI SERASAH DAUN Soneratia alba J.E Smith DI KAWASAN PESISIR DESA KRAMAT KECAMATAN MANANGGU KABUPATEN BOALEMO Widyawati Adam 1., Ramli Utina 2., Dewi Wahyuni K. Baderan 2., 1) Mahasiswa

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di hutan mangrove pesisir Desa Durian dan Desa Batu

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di hutan mangrove pesisir Desa Durian dan Desa Batu III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan di hutan mangrove pesisir Desa Durian dan Desa Batu Menyan Kecamatan Padang Cermin Kabupaten Pesawaran. Penelitian ini berlangsung

Lebih terperinci

PRODUKSI DAN LAJU DEKOMPOSISI SERASAH DAUN MANGROVE API-API

PRODUKSI DAN LAJU DEKOMPOSISI SERASAH DAUN MANGROVE API-API PRODUKSI DAN LAJU DEKOMPOSISI SERASAH DAUN MANGROVE API-API (Avicennia marina Forssk. Vierh) DI DESA LONTAR, KECAMATAN KEMIRI, KABUPATEN TANGERANG, PROVINSI BANTEN Oleh: Yulian Indriani C64103034 PROGRAM

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. komunitas yang hidup didalam kawasan yang lembab dan berlumpur serta

TINJAUAN PUSTAKA. komunitas yang hidup didalam kawasan yang lembab dan berlumpur serta TINJAUAN PUSTAKA Hutan Mangrove Hutan mangrove adalah Pohon- pohon yang tumbuh didaerah pantai, yang memiliki ciri yaitu tidak terpengaruh iklim, dipengaruhi oleh pasang surut, tanah terus tergenang air

Lebih terperinci

PRODUKSI DAN KANDUNGAN KARBON SERTA LAJU DEKOMPOSISI SERASAH Xylocarpus sp di PERAIRAN SUNGAI MESJID DUMAI, RIAU. Oleh :

PRODUKSI DAN KANDUNGAN KARBON SERTA LAJU DEKOMPOSISI SERASAH Xylocarpus sp di PERAIRAN SUNGAI MESJID DUMAI, RIAU. Oleh : PRODUKSI DAN KANDUNGAN KARBON SERTA LAJU DEKOMPOSISI SERASAH Xylocarpus sp di PERAIRAN SUNGAI MESJID DUMAI, RIAU. Oleh : Deyan Apdhan 1), Aras Mulyadi 2), Zulkifli 2) ABSTRAK The research was conducted

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Tentang Mangrove 2.1.1. Pengertian mangrove Hutan mangrove secara umum didefinisikan sebagai hutan yang terdapat di daerah-daerah yang selalu atau secara teratur tergenang

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Umum Lokasi Penelitian Kawasan mangrove Pulau Panjang secara geografis masih terletak pada daerah tropis yang mengalami dua musim, yaitu musim penghujan dan musim kemarau.

Lebih terperinci

Produktivitas Serasah Mangrove di Kawasan Wonorejo Pantai Timur Surabaya. Abi Gayuh Sopana, Trisnadi Widyaleksono, dan Thin Soedarti

Produktivitas Serasah Mangrove di Kawasan Wonorejo Pantai Timur Surabaya. Abi Gayuh Sopana, Trisnadi Widyaleksono, dan Thin Soedarti Produktivitas Serasah Mangrove di Kawasan Wonorejo Pantai Timur Surabaya Abi Gayuh Sopana, Trisnadi Widyaleksono, dan Thin Soedarti Prodi S-1 Biologi, Departemen Biologi, Fakultas Sains dan Teknologi,

Lebih terperinci

Lampiran 1 Hasil produksi serasah mangrove Wonorejo pantai timur Surabaya

Lampiran 1 Hasil produksi serasah mangrove Wonorejo pantai timur Surabaya Lampiran 1 Hasil produksi serasah mangrove Wonorejo pantai timur Surabaya Trans ek Komponen Produksi serasah mangrove Minggu ke - (gram/100m 2 /minggu) Rata - rata (gram/100m 2 /min ggu) Rata rata (ton/ha/tahu

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama 4 bulan pada bulan Agustus sampai November 2011 yang berada di dua tempat yaitu, daerah hutan mangrove Wonorejo

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. daratan dengan ekosistem lautan. Oleh karena itu, ekosistem ini mempunyai

TINJAUAN PUSTAKA. daratan dengan ekosistem lautan. Oleh karena itu, ekosistem ini mempunyai 5 TINJAUAN PUSTAKA Mangrove merupakan suatu formasi hutan yang tumbuh di daerah pasang surut, lantai hutannya tergenang pada saat pasang dan bebas dari genangan pada saat surut. Ekosistem mangrove merupakan

Lebih terperinci

The Production and Decomposition Rate of Mangrove Litter in The Sungai Alam Village, Bengkalis Sub-district, Bengkalis Regency, Riau Province

The Production and Decomposition Rate of Mangrove Litter in The Sungai Alam Village, Bengkalis Sub-district, Bengkalis Regency, Riau Province 1 The Production and Decomposition Rate of Mangrove Litter in The Sungai Alam Village, Bengkalis Sub-district, Bengkalis Regency, Riau Province By : Novita Sari Br Perangin-angin 1), Adriman 2), Nur El

Lebih terperinci

Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang. berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur. Komunitas vegetasi ini

Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang. berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur. Komunitas vegetasi ini II. TINJAIJAN PliSTAKA Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa spesies pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Vegetasi Hutan Hutan merupakan ekosistem alamiah yang sangat kompleks mengandung berbagai spesies tumbuhan yang tumbuh rapat mulai dari jenis tumbuhan yang kecil hingga berukuran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan di daerah tropika yang terdiri dari 17.504 buah pulau (28 pulau besar dan 17.476 pulau kecil) dengan panjang garis pantai sekitar

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kelompok Umur Pertumbuhan populasi tiram dapat dilihat berdasarkan sebaran kelompok umur. Analisis sebaran kelompok umur dilakukan dengan menggunakan FISAT II metode NORMSEP.

Lebih terperinci

PRODUKTIVITAS DAN LAJU DEKOMPOSISI SERASAH MANGROVE DI KAWASAN KONSERVASI MANGROVE DAN BEKANTAN (KKMB) KOTA TARAKAN KALIMANTAN UTARA

PRODUKTIVITAS DAN LAJU DEKOMPOSISI SERASAH MANGROVE DI KAWASAN KONSERVASI MANGROVE DAN BEKANTAN (KKMB) KOTA TARAKAN KALIMANTAN UTARA Jurnal Harpodon Borneo Vol.8. No.1. April. 2015 ISSN : 2087-121X PRODUKTIVITAS DAN LAJU DEKOMPOSISI SERASAH MANGROVE DI KAWASAN KONSERVASI MANGROVE DAN BEKANTAN (KKMB) KOTA TARAKAN KALIMANTAN UTARA 1)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhannya bertoleransi terhadap salinitas (Kusmana, 2003). Hutan mangrove

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhannya bertoleransi terhadap salinitas (Kusmana, 2003). Hutan mangrove 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut, terutama di pantai berlindung, laguna, dan muara sungai yang tergenang pada saat pasang

Lebih terperinci

Kondisi Lingkungan (Faktor Fisika-Kimia) Sungai Lama Tuha Kecamatan Kuala Batee Kabupaten Aceh Barat Daya

Kondisi Lingkungan (Faktor Fisika-Kimia) Sungai Lama Tuha Kecamatan Kuala Batee Kabupaten Aceh Barat Daya Kondisi Lingkungan (Faktor Fisika-Kimia) Sungai Lama Tuha Kecamatan Kuala Batee Kabupaten Aceh Barat Daya Amirunnas * Program Studi Pendidikan Biologi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan yang disebut sumberdaya pesisir. Salah satu sumberdaya pesisir

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan yang disebut sumberdaya pesisir. Salah satu sumberdaya pesisir BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan pesisir dan laut di Indonesia memegang peranan penting, karena kawasan ini memiliki nilai strategis berupa potensi sumberdaya alam dan jasajasa lingkungan yang

Lebih terperinci

ANALISIS LAJU PRODUKSI KANDUNGAN KARBON (C) SERASAH DAUN MANGROVE DI KAMPUNG GISI DESA TEMBELING KABUPATEN BINTAN ABSTRAK

ANALISIS LAJU PRODUKSI KANDUNGAN KARBON (C) SERASAH DAUN MANGROVE DI KAMPUNG GISI DESA TEMBELING KABUPATEN BINTAN ABSTRAK ANALISIS LAJU PRODUKSI KANDUNGAN KARBON (C) SERASAH DAUN MANGROVE DI KAMPUNG GISI DESA TEMBELING KABUPATEN BINTAN Rio Rudiansyah Mahasiswa Ilmu Kelautan, FIKP UMRAH, rio.rudiansyah@gmail.com Arief Pratomo

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Kata mangrove berasal dari bahasa Melayu manggi-manggi, yaitu nama

TINJAUAN PUSTAKA. Kata mangrove berasal dari bahasa Melayu manggi-manggi, yaitu nama TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Mangrove Kata mangrove berasal dari bahasa Melayu manggi-manggi, yaitu nama yang diberikan kepada mangrove merah (Rhizopora spp.). Nama mangrove diberikan kepada jenis tumbuh-tumbuhan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober sampai Desember 2013.

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober sampai Desember 2013. BAB III METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober sampai Desember 2013. Lokasi penelitian dilaksanakan di Desa Otiola Kecamatan Ponelo Kepulauan, Kabupaten Gorontalo

Lebih terperinci

Gambar 3. Peta lokasi penelitian

Gambar 3. Peta lokasi penelitian 15 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli-Agustus 2009 di kawasan pesisir Kecamatan Kasemen, Kota Serang, Provinsi Banten, lokasi penelitian mempunyai

Lebih terperinci

PRODUKTIVITAS DAN DEKOMPOSISI SERASAH DAUN MANGROVE DI KAWASAN VEGETASI MANGROVE PASAR BANGGI, REMBANG - JAWA TENGAH

PRODUKTIVITAS DAN DEKOMPOSISI SERASAH DAUN MANGROVE DI KAWASAN VEGETASI MANGROVE PASAR BANGGI, REMBANG - JAWA TENGAH PRODUKTIVITAS DAN DEKOMPOSISI SERASAH DAUN MANGROVE DI KAWASAN VEGETASI MANGROVE PASAR BANGGI, REMBANG - JAWA TENGAH Satria Sakti Budi Leksono *), Nirwani, Rini Pramesti Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu hutan mangrove yang berada di perairan pesisir Jawa Barat terletak

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu hutan mangrove yang berada di perairan pesisir Jawa Barat terletak 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu hutan mangrove yang berada di perairan pesisir Jawa Barat terletak di Cagar Alam Leuweung Sancang. Cagar Alam Leuweung Sancang, menjadi satu-satunya cagar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yaitu mendapatkan makanan, suhu yang tepat untuk hidup, atau mendapatkan

BAB I PENDAHULUAN. yaitu mendapatkan makanan, suhu yang tepat untuk hidup, atau mendapatkan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap makhluk hidup yang berada di suatu lingkungan akan saling berinteraksi, interaksi terjadi antara makhluk hidup dengan makhluk hidup itu sendiri maupun makhluk

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Fisika Kimia Perairan Lokasi budidaya rumput laut diketahui memiliki dasar perairan berupa substrat pasir dengan serpihan karang mati. Direktorat Jendral Perikanan Budidaya

Lebih terperinci

Faktor-Faktor Produksi Serasah Hutan Mangrove Di Kampung Gisi Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau. Abdul Rasyid

Faktor-Faktor Produksi Serasah Hutan Mangrove Di Kampung Gisi Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau. Abdul Rasyid Faktor-Faktor Produksi Serasah Hutan Di Kampung Gisi Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau Abdul Rasyid Mahasiswa Manajemen Sumberdaya Perairan, FIKP UMRAH, Rasyidhugaiff@gmail.com Diana Azizah., S.Pi.,

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 17 3. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2008-Mei 2009 di Lokasi Rehabilitasi Lamun PKSPL-IPB Pulau Pramuka dan Pulau Kelapa Dua, Kepulauan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian BAB III METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Perairan Pulau Panggang Kepulauan Seribu DKI Jakarta pada bulan Maret 2013. Identifikasi makrozoobentos dan pengukuran

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. N dan P dilakukan secara Ex situ di Laboratorium Riset dan Teknologi Fakultas

METODE PENELITIAN. N dan P dilakukan secara Ex situ di Laboratorium Riset dan Teknologi Fakultas 22 METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama tiga bulan (Februari 2017 sampai April 2017). Pengambilan sampel akan dilakukan di Desa Bagan Asahan Kecamatan Tanjungbalai

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pulau Dudepo merupakan salah satu pulau kecil berpenduduk yang berada

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pulau Dudepo merupakan salah satu pulau kecil berpenduduk yang berada 27 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian Pulau Dudepo merupakan salah satu pulau kecil berpenduduk yang berada di Kabupaten Gorontalo Utara, Provinsi Gorontalo yang terletak pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik mempunyai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan yang secara geografis terletak di antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik mempunyai keanekaragaman

Lebih terperinci

KAJIAN BIOFISIK LAHAN HUTAN MANGROVE DI KABUPATEN ACEH TIMUR ISWAHYUDI

KAJIAN BIOFISIK LAHAN HUTAN MANGROVE DI KABUPATEN ACEH TIMUR ISWAHYUDI KAJIAN BIOFISIK LAHAN HUTAN MANGROVE DI KABUPATEN ACEH TIMUR ISWAHYUDI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 DAFTAR ISI DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN xi xv

Lebih terperinci

ANALISIS PRODUKSI SERASAH Rhizophora apiculata dan Sonneratia alba DI KAWASAN KONSERVASI MANGROVE DAN BEKANTAN KOTA TARAKAN

ANALISIS PRODUKSI SERASAH Rhizophora apiculata dan Sonneratia alba DI KAWASAN KONSERVASI MANGROVE DAN BEKANTAN KOTA TARAKAN Jurnal Harpodon Borneo Vol.7. No.1. April. 2014 ISSN : 2087-121X ANALISIS PRODUKSI SERASAH Rhizophora apiculata dan Sonneratia alba DI KAWASAN KONSERVASI MANGROVE DAN BEKANTAN KOTA TARAKAN Yeni Wahyuni

Lebih terperinci

ES R K I R P I S P I S SI S S I TEM

ES R K I R P I S P I S SI S S I TEM 69 4. DESKRIPSI SISTEM SOSIAL EKOLOGI KAWASAN PENELITIAN 4.1 Kondisi Ekologi Lokasi studi dilakukan pada pesisir Ratatotok terletak di pantai selatan Sulawesi Utara yang termasuk dalam wilayah administrasi

Lebih terperinci

PRODUKSI DAN DEKOMPOSISI SERASAH DAUN MANGROVE Rhizophora stylosa DI DESA PULAU SEMBILAN KECAMATAN PANGKALAN SUSU KABUPATEN LANGKAT SUMATERA UTARA

PRODUKSI DAN DEKOMPOSISI SERASAH DAUN MANGROVE Rhizophora stylosa DI DESA PULAU SEMBILAN KECAMATAN PANGKALAN SUSU KABUPATEN LANGKAT SUMATERA UTARA PRODUKSI DAN DEKOMPOSISI SERASAH DAUN MANGROVE Rhizophora stylosa DI DESA PULAU SEMBILAN KECAMATAN PANGKALAN SUSU KABUPATEN LANGKAT SUMATERA UTARA (Production and Decomposition of Mangrove Leaf Litter

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN WILAYAH STUDI

BAB IV GAMBARAN WILAYAH STUDI BAB IV GAMBARAN WILAYAH STUDI IV.1 Gambaran Umum Kepulauan Seribu terletak di sebelah utara Jakarta dan secara administrasi Pulau Pramuka termasuk ke dalam Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Provinsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan pesisir dan laut merupakan sebuah ekosistem yang terpadu dan saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi pertukaran materi

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata kunci : Delta Sungai Wulan;Produksi Serasah;Laju Dekomposisi ABSTRACT. Keywords : Delta Wulan River;Manure production;decomposition rate

ABSTRAK. Kata kunci : Delta Sungai Wulan;Produksi Serasah;Laju Dekomposisi ABSTRACT. Keywords : Delta Wulan River;Manure production;decomposition rate PRODUKSI DAN LAJU DEKOMPOSISI SERASAH MANGROVE BERDASARKAN TINGKAT KERAPATANNYA DI DELTA SUNGAI WULAN, DEMAK, JAWA TENGAH Production and Rate Manure Decomposition Based of density level Mangrove at Delta

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Produktivitas Primer Fitoplankton Berdasarkan hasil penelitian di Situ Cileunca didapatkan nilai rata-rata produktivitas primer (PP) fitoplankton pada Tabel 6. Nilai PP

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 21 III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Kegiatan penelitian dilaksanakan selama 3 (tiga) bulan, mulai dari Januari sampai April 2010, dilakukan dengan dua tahapan, yaitu : a. pengambilan

Lebih terperinci

PRODUKTIVITAS PRIMER DAN SEKUNDER BAB 1. PENDAHULUAN

PRODUKTIVITAS PRIMER DAN SEKUNDER BAB 1. PENDAHULUAN PRODUKTIVITAS PRIMER DAN SEKUNDER BAB 1. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Suatu ekosistem dapat terbentuk oleh adanya interaksi antara makhluk dan lingkungannya, baik antara makhluk hidup dengan makhluk hidup

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di dua tempat yaitu pengambilan data di lapangan dilakukan di sempadan muara Kali Lamong dan Pulau Galang, serta pengolahan

Lebih terperinci

V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN

V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN 49 V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN 5.1 Distribusi Parameter Kualitas Perairan Karakteristik suatu perairan dan kualitasnya ditentukan oleh distribusi parameter fisik dan kimia perairan yang berlangsung

Lebih terperinci

METODOLOGI. Kerapatan jenis (K)

METODOLOGI. Kerapatan jenis (K) METODOLOGI Tempat dan waktu penelitian Penelitian dilakukan di lahan bekas penambangan timah PT. Koba Tin, Koba-Bangka, dan Pusat Penelitian Sumber Daya Hayati dan Bioteknologi IPB (PPSHB IPB). Penelitian

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. tidak terpengaruh oleh iklim. Sedangkan daerah pantai adalah daratan yang terletak

II. TINJAUAN PUSTAKA. tidak terpengaruh oleh iklim. Sedangkan daerah pantai adalah daratan yang terletak II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Mangrove Hutan mangrove adalah hutan yang terdapat di daerah pantai yang selalu atau secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut tetapi

Lebih terperinci

PRODUKSI DAN LAJU DEKOMPOSISI SERASAH DAUN MANGROVE

PRODUKSI DAN LAJU DEKOMPOSISI SERASAH DAUN MANGROVE PRODUKSI DAN LAJU DEKOMPOSISI SERASAH DAUN MANGROVE Rhizophora stylosa DI DESA PULAU SEMBILAN KECAMATAN PANGKALAN SUSU KABUPATEN LANGKAT SUMATERA UTARA FINA FITRIYANI 120302007 PROGRAM STUDI MANAJEMEN

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian Lokasi penelitian secara umum berada di Kabupaten Indramayu tepatnya di Desa Brondong Kecamatan Pasekan. Wilayah pesisir di sepanjang pantai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pelestaraian mangrove dengan mengubahnya menjadi tambak-tambak. Menurut

I. PENDAHULUAN. pelestaraian mangrove dengan mengubahnya menjadi tambak-tambak. Menurut I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perencanaan pembangunan di era tahun 1980 an hingga pertengahan tahun 1990 an banyak memberikan pandangan keliru tentang pengelolaan hutan mangrove yang berorientasi pada

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Tanah Tanah adalah kumpulan benda alam di permukaan bumi yang tersusun dalam horison-horison, terdiri dari campuran bahan mineral, bahan organik, air dan udara,

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Metode Pengambilan Data Metode Pengumpulan Data Vegetasi :

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Metode Pengambilan Data Metode Pengumpulan Data Vegetasi : METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan mulai bulan Agustus 2008 sampai dengan Februari 2009. Penelitian dilakukan di rumah kaca Departemen Silvikultur Fakultas Kehutaan Institut

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Kecamatan Anggrek, Kabupaten Gorontalo Utara, Provinsi Gorontalo. Peta lokasi

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Kecamatan Anggrek, Kabupaten Gorontalo Utara, Provinsi Gorontalo. Peta lokasi 18 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Kegiatan penelitian dilaksanakan di kawasan pesisir Pulau Dudepo, Kecamatan Anggrek, Kabupaten Gorontalo Utara, Provinsi Gorontalo. Peta

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem padang lamun (seagrass) merupakan suatu habitat yang sering dijumpai antara pantai berpasir atau daerah mangrove dan terumbu karang. Padang lamun berada di daerah

Lebih terperinci

LAJU DEKOMPOSISI SERASAH DAUN Avicennia marina PADA BERBAGAI TINGKAT SALINITAS

LAJU DEKOMPOSISI SERASAH DAUN Avicennia marina PADA BERBAGAI TINGKAT SALINITAS LAJU DEKOMPOSISI SERASAH DAUN Avicennia marina PADA BERBAGAI TINGKAT SALINITAS SKRIPSI Oleh : NURITA DEWI 051202011/BUDIDAYA HUTAN DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

Lebih terperinci

LAJU DEKOMPOSISI SERASAH DAUN Avicennia marina SETELAH APLIKASI FUNGI Aspergillus sp PADA BERBAGAI TINGKAT SALINITAS SKRIPSI OLEH:

LAJU DEKOMPOSISI SERASAH DAUN Avicennia marina SETELAH APLIKASI FUNGI Aspergillus sp PADA BERBAGAI TINGKAT SALINITAS SKRIPSI OLEH: LAJU DEKOMPOSISI SERASAH DAUN Avicennia marina SETELAH APLIKASI FUNGI Aspergillus sp PADA BERBAGAI TINGKAT SALINITAS SKRIPSI OLEH: SAPRIL ANAS HASIBUAN 071202026/BUDIDAYA HUTAN PROGRAM STUDI KEHUTANAN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Ubi kayu merupakan bahan pangan yang mudah rusak (perishable) dan

TINJAUAN PUSTAKA. Ubi kayu merupakan bahan pangan yang mudah rusak (perishable) dan TINJAUAN PUSTAKA Ubi Kayu (Manihot esculenta Crantz.) Ubi kayu merupakan bahan pangan yang mudah rusak (perishable) dan akan menjadi busuk dalam 2-5 hari apabila tanpa mendapat perlakuan pasca panen yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN pulau dengan luas laut sekitar 3,1 juta km 2. Wilayah pesisir dan. lautan Indonesia dikenal sebagai negara dengan kekayaan dan

I. PENDAHULUAN pulau dengan luas laut sekitar 3,1 juta km 2. Wilayah pesisir dan. lautan Indonesia dikenal sebagai negara dengan kekayaan dan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Panjang garis pantai di Indonesia adalah lebih dari 81.000 km, serta terdapat lebih dari 17.508 pulau dengan luas

Lebih terperinci

Struktur Vegetasi Mangrove di Desa Ponelo Kecamatan Ponelo Kepulauan Kabupaten Gorontalo Utara

Struktur Vegetasi Mangrove di Desa Ponelo Kecamatan Ponelo Kepulauan Kabupaten Gorontalo Utara Struktur Vegetasi Mangrove di Desa Ponelo Kecamatan Ponelo Kepulauan Kabupaten Gorontalo Utara 1.2 Amna dajafar, 2 Abd Hafidz Olii, 2 Femmy Sahami 1 amanjadjafar@yahoo.co.id 2 Jurusan Teknologi Perikanan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sekitar 78 % wilayah Indonesia merupakan perairan sehingga laut dan wilayah pesisir merupakan lingkungan fisik yang mendominasi. Di kawasan pesisir terdapat

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Mangrove

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Mangrove 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Mangrove Mangrove atau biasa disebut mangal atau bakau merupakan vegetasi khas daerah tropis, tanamannya mampu beradaptasi dengan air yang bersalinitas cukup tinggi, menurut Nybakken

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hujan Tropis Hutan adalah satu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya,

Lebih terperinci

1. Pengantar A. Latar Belakang

1. Pengantar A. Latar Belakang 1. Pengantar A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar yang memiliki sekitar 17.500 pulau dengan panjang sekitar 81.000, sehingga Negara kita memiliki potensi sumber daya wilayah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai perairan laut yang lebih luas dibandingkan daratan, oleh karena itu Indonesia dikenal sebagai negara maritim. Perairan laut Indonesia kaya akan

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. bahasa Gorontalo yaitu Atiolo yang diartikan dalam bahasa Indonesia yakni

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. bahasa Gorontalo yaitu Atiolo yang diartikan dalam bahasa Indonesia yakni BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Keadaan Umum Lokasi Pengamatan Desa Otiola merupakan pemekaran dari Desa Ponelo dimana pemekaran tersebut terjadi pada Bulan Januari tahun 2010. Nama Desa Otiola diambil

Lebih terperinci

Kompos Cacing Tanah (CASTING)

Kompos Cacing Tanah (CASTING) Kompos Cacing Tanah (CASTING) Oleh : Warsana, SP.M.Si Ada kecenderungan, selama ini petani hanya bergantung pada pupuk anorganik atau pupuk kimia untuk mendukung usahataninya. Ketergantungan ini disebabkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang khusus terdapat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang khusus terdapat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang khusus terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut (Tjardhana dan Purwanto,

Lebih terperinci

KEPADATAN DAN BIOMASSA LAMUN Thalassia hemprichii PADA BERBAGAI RASIO C:N:P SEDIMEN DI PERAIRAN PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU

KEPADATAN DAN BIOMASSA LAMUN Thalassia hemprichii PADA BERBAGAI RASIO C:N:P SEDIMEN DI PERAIRAN PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU KEPADATAN DAN BIOMASSA LAMUN Thalassia hemprichii PADA BERBAGAI RASIO C:N:P SEDIMEN DI PERAIRAN PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU SEMINAR KOMPREHENSIF Dibawah Bimbingan : -Dr. Sunarto, S.Pi., M.Si (Ketua Pembimbing)

Lebih terperinci

II. METODE PENELITIAN

II. METODE PENELITIAN II. METODE PENELITIAN A. Materi, Lokasi, dan Waktu Penelitian Materi Bahan Bahan yang digunakan untuk budidaya adalah rumput laut S. polycystum yang diambil dari Pantai Karangbolong (Cilacap), NaOH 0,5%,

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 13 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Hasil 5.1.1. Sifat Kimia Tanah Variabel kimia tanah yang diamati adalah ph, C-organik, N Total, P Bray, Kalium, Kalsium, Magnesium, dan KTK. Hasil analisis sifat kimia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekologis yaitu untuk melakukan pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery

BAB I PENDAHULUAN. ekologis yaitu untuk melakukan pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove adalah suatu lingkungan yang memiliki ciri khusus yaitu lantai hutannya selalu digenangi air, dimana air tersebut sangat dipengaruhi oleh pasang

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Balai Budidaya Laut (BBL) stasiun

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Balai Budidaya Laut (BBL) stasiun BAB III METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan di Balai Budidaya Laut (BBL) stasiun Sekotong Lombok Barat, NTB. Pelaksanaan penelitian selama ± 65 hari dari bulan Februari hingga

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN PLANKTON PADA HUTAN MANGROVE DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH. Halidah

KEANEKARAGAMAN PLANKTON PADA HUTAN MANGROVE DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH. Halidah Keanekaragaman Plankton pada Hutan Mangrove KEANEKARAGAMAN PLANKTON PADA HUTAN MANGROVE DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH Balai Litbang Lingkungan Hidup dan Kehutanan Makassar Jl. Perintis Kemerdekaan

Lebih terperinci

VI. SIMPULAN DAN SARAN

VI. SIMPULAN DAN SARAN 135 VI. SIMPULAN DAN SARAN A. SIMPULAN Komposisi spesies mangrove di Pulau Kaledupa, Derawa, dan Pulau Hoga Taman Nasional Wakatobi sebanyak 20 spesies mangrove sejati dan tersebar tidak merata antar pulau.

Lebih terperinci

LAJU DEKOMPOSISI SERASAH DAUN Rhizophora mucronata DAN KONTRIBUSINYA TERHADAP NUTRISI DI PERAIRAN PANTAI SERAMBI DELI KECAMATAN PANTAI LABU

LAJU DEKOMPOSISI SERASAH DAUN Rhizophora mucronata DAN KONTRIBUSINYA TERHADAP NUTRISI DI PERAIRAN PANTAI SERAMBI DELI KECAMATAN PANTAI LABU 1 LAJU DEKOMPOSISI SERASAH DAUN Rhizophora mucronata DAN KONTRIBUSINYA TERHADAP NUTRISI DI PERAIRAN PANTAI SERAMBI DELI KECAMATAN PANTAI LABU The Decomposition Rate and The nutrition contribution of Rhizophora

Lebih terperinci

EKOLOGI TANAMAN. Pokok Bahasan II KONSEP EKOLOGI (1) Lanjutan...

EKOLOGI TANAMAN. Pokok Bahasan II KONSEP EKOLOGI (1) Lanjutan... EKOLOGI TANAMAN Pokok Bahasan II KONSEP EKOLOGI (1) Lanjutan... Ekosistem Perairan / Akuatik Ekosistem air tawar Ekosistem air tawar dibedakan mjd 2, yi : 1. Ekosistem air tenang (lentik), misalnya: danau,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan Salomon, dalam Rahayu et al. (2006), untuk mengurangi dampak perubahan

BAB I PENDAHULUAN. dan Salomon, dalam Rahayu et al. (2006), untuk mengurangi dampak perubahan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemanasan global mengakibatkan terjadinya perubahan iklim. Menurut Sedjo dan Salomon, dalam Rahayu et al. (2006), untuk mengurangi dampak perubahan iklim, upaya yang

Lebih terperinci

Novia Suci Yanti 1, Bintal Amin 2, Efriyeldi 2

Novia Suci Yanti 1, Bintal Amin 2, Efriyeldi 2 KONTRIBUSI UNSUR HARA BERDASAKAN JENIS MANGROVE DI KELURAHAN PANGKALAN SESAI KOTA DUMAI Novia Suci Yanti 1, Bintal Amin 2, Efriyeldi 2 Jurusan Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas

Lebih terperinci

Diagram pie perbandingan zona pasang tertinggi dan terendah

Diagram pie perbandingan zona pasang tertinggi dan terendah hasil stok karbon Diagram pie perbandingan zona pasang tertinggi dan terendah Biomassa Mangrove di Zona Pasang Tertinggi 0% Batang Nekromassa 16% 0% Akar seresah Biomassa Mangrove di zona Pasang Terendah

Lebih terperinci

V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE

V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE Berdasarkan tinjauan pustaka yang bersumber dari CIFOR dan LEI, maka yang termasuk dalam indikator-indikator ekosistem hutan mangrove berkelanjutan dilihat

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 13 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Penelitian 5.1.1 Sifat Kimia Tanah Data sekunder hasil analisis kimia tanah yang diamati yaitu ph tanah, C-Org, N Total, P Bray, kation basa (Ca, Mg, K, Na), kapasitas

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tidak kurang dari 70% dari permukaan bumi adalah laut. Atau dengan kata lain ekosistem laut merupakan lingkungan hidup manusia yang terluas. Dikatakan bahwa laut merupakan

Lebih terperinci

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. berbeda antara dua atau lebih komunitas (Odum, 1993).

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. berbeda antara dua atau lebih komunitas (Odum, 1993). BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan Indonesia merupakan negara kepulauan dengan jumlah pulau sekitar 17.508 pulau dan panjang pantai kurang lebih 81.000 km, memiliki sumber daya pesisir

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas berbagai BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Ekosistem mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas berbagai tumbuhan, hewan, dan mikrobia yang berinteraksi dengan lingkungan di habitat mangrove (Strategi Nasional

Lebih terperinci

Analisis Vegetasi Mangrove di Pulau Dudepo Kecamatan Anggrek Kabupaten Gorontalo Utara

Analisis Vegetasi Mangrove di Pulau Dudepo Kecamatan Anggrek Kabupaten Gorontalo Utara Analisis Vegetasi Mangrove di Pulau Dudepo Kecamatan Anggrek Kabupaten Gorontalo Utara 1.2 Laila Usman, 2 Syamsuddin, dan 2 Sri Nuryatin Hamzah 1 laila_usman89@yahoo.co.id 2 Jurusan Teknologi Perikanan,

Lebih terperinci

KEPADATAN DAN DISTRIBUSI BIVALVIA PADA MANGROVE DI PANTAI CERMIN KABUPATEN SERDANG BEDAGAI PROVINSI SUMATRA UTARA

KEPADATAN DAN DISTRIBUSI BIVALVIA PADA MANGROVE DI PANTAI CERMIN KABUPATEN SERDANG BEDAGAI PROVINSI SUMATRA UTARA KEPADATAN DAN DISTRIBUSI BIVALVIA PADA MANGROVE DI PANTAI CERMIN KABUPATEN SERDANG BEDAGAI PROVINSI SUMATRA UTARA Nurida siregar*), Suwondo, Elya Febrita, Program Studi Pendidikan Biologi Fakultas Keguruan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komposisi dan Kelimpahan Plankton Hasil identifikasi komunitas plankton sampai tingkat genus di Pulau Biawak terdiri dari 18 genus plankton yang terbagi kedalam 14 genera

Lebih terperinci

Gambar 2. Peta lokasi pengamatan.

Gambar 2. Peta lokasi pengamatan. 3. METODOLOGI 3.1. Rancangan penelitian Penelitian yang dilakukan berupa percobaan lapangan dan laboratorium yang dirancang sesuai tujuan penelitian, yaitu mengkaji struktur komunitas makrozoobenthos yang

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (2)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (2) PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN. Berikut ini letak batas dari Desa Ponelo: : Pulau Saronde, Mohinggito, dan Pulau Lampu

BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN. Berikut ini letak batas dari Desa Ponelo: : Pulau Saronde, Mohinggito, dan Pulau Lampu BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian Desa Ponelo merupakan Desa yang terletak di wilayah administrasi Kecamatan Ponelo Kepulauan, Kabupaten Gorontalo Utara, Provinsi Gorontalo.

Lebih terperinci

Geografi LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN I. K e l a s. Kurikulum 2006/2013. A. Pengertian Lingkungan Hidup

Geografi LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN I. K e l a s. Kurikulum 2006/2013. A. Pengertian Lingkungan Hidup Kurikulum 2006/2013 Geografi K e l a s XI LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN I Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan memiliki kemampuan berikut. 1. Memahami pengertian

Lebih terperinci

2.2. Struktur Komunitas

2.2. Struktur Komunitas 5 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Makrozoobentos Hewan bentos dibagi dalam tiga kelompok ukuran, yaitu makrobentos (ukuran lebih dari 1,0 mm), meiobentos (ukuran antara 0,1-1 mm) dan mikrobentos (ukuran kurang

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERUHAN PADA PERAIRAN TELUK AMBON DALAM

HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERUHAN PADA PERAIRAN TELUK AMBON DALAM HBNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERHAN PADA PERAIRAN TELK AMBON DALAM PENDAHLAN Perkembangan pembangunan yang semakin pesat mengakibatkan kondisi Teluk Ambon, khususnya Teluk Ambon Dalam (TAD)

Lebih terperinci

ABDUR RAHMAN. Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Ilmu Kelautan Perikanan, Universitas Maritim Raja Ali Haji.

ABDUR RAHMAN. Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Ilmu Kelautan Perikanan, Universitas Maritim Raja Ali Haji. Kondisi Tingkat Kerusakan Pohon Mangrove di Pulau Keramut Kabupaten Anambas Provinsi Kepulauan Riau ABDUR RAHMAN Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Ilmu Kelautan Perikanan, Universitas Maritim Raja

Lebih terperinci

Fisheries and Marine Science Faculty Riau University ABSTRACT. 1). Students of the Faculty of Fisheries and Marine Science, University of Riau

Fisheries and Marine Science Faculty Riau University ABSTRACT. 1). Students of the Faculty of Fisheries and Marine Science, University of Riau ANALYSIS ORGANIC MATERIALS AND COMMUNITY STRUCTURE IN THE MANGROVE SWAMP OF MAKROZOOBENTHOS IN ROKAN HILIR REGENCY by Melia Azian 1 ), Irvina Nurrachmi 2 ), Syahril Nedi 3 ) Fisheries and Marine Science

Lebih terperinci