BAB II PENDEKATAN TEORITIS

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II PENDEKATAN TEORITIS"

Transkripsi

1 BAB II PENDEKATAN TEORITIS 2.1 Pengantar Integrasi merupakan salah satu topik menarik sosiologi, yang menjelaskan bagaimana berbagai elemen masyarakat menjaga kesatuan dan terintegrasi satu dengan yang lain. 15 Hakikat integrasi dalam lingkungan komunitas terjadi melalui cara membangun solidaritas sosial dalam kelompok dan dapat menjalani kehidupan dalam kebersamaan. Dan Integrasi sosial mengacu pada suatu keadaan dalam masyarakat di mana orang-orang saling berhubungan. 16 Masyarakat sebagai suatu tatanan sistem yang kompleks dalam berbagai kebutuhan memberi ruang bagi terciptanya integrasi sosial bagi kelangsungan hidup anggota masyarakat itu sendiri. Integrasi sosial tercipta dalam masyarakat karena rasa Solidaritas sosial. Rasa solidaritas sosial diperlukan dalam masyarakat pluralitas agama. Masyarakat merupakan basis bagi integrasi sosial dalam pluralitas agama. Dengan demikian, Teori Emile Durkheim mengenai masyarakat yang di dalamnya terdapat salah satu unsur, yaitu agama dalam hubungannya dengan integrasi sosial akan menjadi pembahasan bab ini. 2.2 Riwayat Hidup Emile Durkheim Emile Durkheim dilahirkan di kota Epinal (Perancis Timur Laut) tanggal 15 April Durkheim berasal dari latar belakang keluarga Yahudi. Ayahnya adalah seorang Rabbi Yahudi. Sejak awal dia telah dipersiapkan ayahnya untuk meneruskan tradisi keluarga mereka. Namun, Durkheim yang sangat dipengaruhi oleh gurunya seorang penganut Katolik malah mengalihkan perhatiannya ke agama Katolik. Pengaruh inilah yang menambah ketertarikannya terhadap masalah-masalah agama, meskipun gurunya tidak dapat menjadikannya seorang yang beragama, 15 Nicholas Abercrombie, Stephen Hill, Kamus Sosiologi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), Abercrombie, Kamus Sosiologi,510.

2 sebab sejak muda Durkheim telah menyatakan dirinya sebagai seorang agnostis. 17 Kemudian Durkheim menempuh pendidikan di sekolah menengah dan pada usia 21 tahun ia diterima di Ecole Normale Superiure, di sekolah ini ia diterima setelah tiga kali mengikuti ujian masuk. Pengalamannya selama belajar di sekolah tersebut tidak selalu menyenangkan karena pada dasarnya ia tidak suka program pendidikan yang kaku. Durkheim merasa tidak puas dengan sistem pengajaran di Ecole Normale yang terlalu fokus pada kesusateraan klasik. Harapannya ialah pengajaran tentang doktrin-doktrin moral dan ajaran-ajaran yang bersifat ilmiah. Hal ini menurutnya lebih relevan untuk Perancis pada masa itu. 18 Setelah menyelesaikan studi di Ecole Normale, Durkheim kemudian mengajar di beberapa sekolah menengah yang ada di sekitar Paris. Dia juga pernah belajar ke Jerman selama satu tahun untuk mendalami psikologi kepada Wilhem Wundt. Pada Tahun 1887, Durkheim menikahi Louise Dreyfus, seorang wanita yang mengabdikan seluruh hidupnya untuk karir Durkheim. Mereka dikaruniai dua orang anak Marie dan Andre. 19 Setelah kunjungan Durkheim ke Jerman, ia menerbitkan beberapa karya yang melukiskan pengalamannya di Jerman. Publikasi tersebut membantunya memperoleh posisi di departemen filsafat di Universitas Bordeaux, di tahun yang sama ia diangkat sebagai profesor. 20 Tahun-tahun berikutnya, sambil bekerja di Bordeaux, Durkheim melakukan riset sosial dan menerbitkan buku The Division of Labor in Society (1893) yang merupakan tesisnya. Buku yang terbit berikutnya The Rules of Sociological Method (1895), disusul oleh penerapan metodemetode tersebut dalam studi empiris dalam buku Sucide. Tahun 1896, Durkheim menjadi guru besar penuh di Bordeaux dalam ilmu sosial. inilah pengangkatan guru besar ilmu sosial pertama dalam sejarah Perancis. Jabatan tersebut dijabat Durkheim sampai ia pindah ke Sarbonne di 17 Daniel Pals, Dekonstruksi Kebenaran: Kritik Tujuh Teori Agama (Yogyakarta: IRCiSoD, 2003), Hanneman Samuel, Emile Durkheim: Riwayat Pemikiran, dan Warisan Bapak Sosiologi Modern (Jakarta: Kepik Ungu, 2010), Samuel, Emile Durkheim, Pals, Dekonstruksi Kebenaran, 132, bnd. George Ritzer dan Douglas Goodman, Teori Sosiologi (Yogyakarta: Kreasi Wacana,2008), 90.

3 tahun Dalam waktu singkat yakni 4 tahun, pada tahun 1906 ia menjadi guru besar resmi untuk ilmu pendidikan, yang pada tahun 1913 diubah menjadi guru besar ilmu pendidikan dan sosiologi. Tahun 1912 karya Durkheim The Elementary Forms of Religious Life diterbitkan. 21 Durkheim aktif dalam berbagai kegiatan di luar kampus. Ia menjadi salah satu pembela utama Alfred Dreyfus, seorang kapten muda keturunan Yahudi yang dijebloskan ke penjara yang dituduh membocorkan rahasia militer Perancis kepada Jerman. Sedangkan dalam bidang pendidikan, Durkheim merupakan tokoh penting dalam penataan kembali sistem pendidikan tinggi. ia menadi penasehat Kementrian Pendidikan dan memperkenalkan sosiologi untuk menjadi kurikulum sekolah. Dan mengusahakan sosiologi menjadi salah satu landasan pendidikan kewarganegaraan. Setelah pecah perang antara Perancis dan Jerman, Durkheim aktif menjadi sekretaris Komite Penerbitan Hasil Penelitian dan Dokumentasi Perang. 22 Diakhir hidupnya karir Durkheim memudar, keika menjelang Natal tahun 1915 ia dikabari bahwa puteranya Andre meninggal karena luka perang di sebuah rumah sakit di Bulgaria. Kematian puteranya membuat luka yang dalam bagi diri Durkheim. Sebab puteranya yang memiliki potensi untuk menjadi ilmuwan besar dalam bidang sosiologi bahasa, dipersiapkan meneruskan jejak ayahnya. Dan akhirnya Durkheim meninggal pada 15 November 1917 dalam usia 59 tahun Konsep Durkheim mengenai Masyarakat Pemikiran Durkheim mengenai masyarakat merupakan pengembangan dari pemikirpemikir sebelumnya seperti Montesqueieu (filosof Perancis abad ke-18), Saint Simon (seorang pemikir sosialis abad ke-18), Auguste Comte ( ). Dari pemikiran Comte, Durkheim 21 George Ritzer dan Douglas Goodman, Teori Sosiologi: Dari Teori Sosiologi Klasik sampai Perkembangan Teori Sosial Postmoderm (Yogyakarta: Kreasi Wacana,2008), Samuel, Emile Durkheim, Samuel, Emile Durkheim,16.

4 menyadari bahwa kebutuhan utama manusia akan selalu terikat kepada satu komunitas. 24 Durkheim membangun kerangka berpikirnya berdasarkan ide-ide para pemikir sebelumnya itu. Namun, situasi dan kondisi Perancis modern juga sangat berpengaruh baginya. Pada akhir tahun 1800-an, terjadi revolusi besar di Perancis dan Eropa. Awalnya revolusi industri (ekonomi), dan kemudian revolusi politik di Perancis. Bagi Durkheim, peradaban Barat telah dirubah oleh dua peristiwa ini. Dapat dipahami bahwa stabilitas Eropa masa lalu dibentuk dari kehidupan masyarakat petani, sistem pembagian kelas sosial yang mapan, kepemilikan berdasarkan aristokrasi dan monarki, serta ikatan antar masyarakat kota dan desa yang kuat. Juga didukung oleh lingkungan kepercayaan, tradisi dan struktur gereja Kristen. Perubahan yang terjadi dengan adanya revolusi tersebut tidak akan pernah lagi sama dengan sebelumnya. 25 Pengaruh perubahanperubahan tersebut menyebabkan terjadinya perpindahan masyarakat ke daerah pabrik dan kotakota, berpindahnya kekayaan dari tangan para bangsawan ke tangan para pedagang dan penguasa. Kekuasaan beralih dari hak istimewa kelas-kelas lama kepada gerakan radikal atau peristiwa-peristiwa mendadak. Hal ini pula yang mempengaruhi sehingga agama masyarakat menjadi kacau. 26 Kondisi tersebut mempengaruhi kehidupan masyarakat Eropa, sehingga untuk memahaminya dalam pandangan Durkheim, ia membagi kondisi saat itu dalam empat pola: Pertama, tatanan sosial masyarakat Eropa tradisional yang dulu terikat dengan sistem kekeluargaan, komunitas dan agama, sekarang tergantikan dengan munculnya kontrak sosial baru, yang kelihatan lebih berkuasa dengan individualisme dan kepentingan uang. Kedua, mengenai perilaku dan moral, nilai-nilai sakral dan keyakinan keagamaan yang disetujui gereja, sekarang ditantang dengan kepercayaan baru dengan menentang rasionalitas. Manusia memiliki hasrat untuk hidup bahagia di dunia lebih tinggi dari pada keinginan masuk sorga. Ketiga, 24 Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, 134. Bnd. Samuel, Emile Durkheim, Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, Pals, Dekonstruksi Kebenaran, 135.

5 mengenai bidang politik, munculnya masa demokratis dalam masyarakat bawah dan pusat kekuasaan yang kuat pada masyarakat atas telah mengubah kontrol sosial alami masyarakat. Situasi ini menyebabkan hubungan individu telah terputus dengan tuntunan moral lama yaitu keluarga, kampung halaman dan gereja sehingga masyarakat dibiarkan memilih partai politik, pergerakan masa dan negara sebagai tuntunan yang baru. Keempat, mengenai urusan pribadi, kebebasan individual yang terlepas dari paradigma lama telah menjanjikan kesempatan besar dengan resiko yang tidak ringan untuk mewujudkan kemakmuran dan aktualisasi diri. Berbagai perubahan yang terjadi pada masyarakat Eropa sehingga menurut Durkheim, ada satu cara untuk mendekatinya secara ilmiah yaitu dengan pendekatan sosiologi dapat membantu memahami gejolak masyarakat yang mereka alami. 27 Masyarakat dilihat Durkheim sebagai sebuah tatanan moral yang berupa kenyataan ideal dari tuntutan normatif yang terdapat dalam kesadaran individu, dan dalam cara tertentu berada di luar individu. 28 Durkheim memandang masyarakat juga sebagai tempat yang paling sempurna dan memiliki potensi untuk terhimpunnya kehidupan bersama antara manusia seiring dengan perkembangan masyarakat. Hal-hal yang paling dalam pada jiwa manusia berada di luar diri manusia sebagai individu, seperti kepercayaan keagamaan, kehendak, alam berpikir, bahkan hasrat untuk bunuh diri. Hal-hal ini bersifat sosial dan terdapat dalam masyarakat, 29 sehingga Durkheim sampai pada esensi yang paling penting dari pandangannya mengenai masyarakat yaitu memahami suatu masyarakat harus didasarkan pada realitas objektif dan fakta sosial. Dalam The Rules of Sociological Method: objek Sosiologi adalah fakta sosial, dan semua fakta sosial termasuk masyarakat harus diperlakukan sebagai benda (thing) Pals, Dekonstruksi Kebenaran, Tom Campbell, Tujuh Teori Sosial (Yogyakarta: Kanisius, 1994), Djuretna Imam Muhni, Moral dan Religi: Menurut Emile Durkheim & Henri Bergson (Yogyakarta: Kanisius, 1994), Samuel, Durkheim, 19.

6 Dua konsep penting yang berhubungan untuk menjelaskan fakta sosial yaitu conscience collective (kesadaran kolektif) dan representation collective (gambaran kolektif). Kesadaran kolektif merupakan sebuah konsensus normatif yang mencakup kepercayaan keagamaan atau kepercayaan lain yang mendukungnya. Gambaran kolektif merupakan simbol-simbol yang mempunyai makna yang sama bagi semua anggota sebuah kelompok dan memungkinkan mereka untuk sama dengan yang lain sebagai anggota-anggota kelompok. Gambaran kolektif juga memperlihatkan cara anggota-anggota kelompok melihat diri mereka dalam hubungan dengan objek yang mempengaruhi mereka seperti totem suku, buku-buku suci. Karena itu, dapat dipahami bahwa gambaran kolektif adalah bagian dari isi kesadaran kolektif. Durkheim menyatakan bahwa keseluruhan kepercayaan normatif yang dianut bersama dengan implikasinya untuk hubungan-hubungan sosial membentuk sebuah sistem yang mengatur kehidupan dalam masyarakat. 31 Masyarakat merupakan pikiran dan perasaan yang kompleks, yang terdiri dari intelektual dan kerangka moral khusus dalam kelompok. Karena itu, yang paling terpenting dalam masyarakat ialah kesadaran kolektif Bentuk Integrasi Sosial Dalam buku The Division of Labour in Society Durkheim menegaskan tentang kesadaran kolektif, di mana kehidupan sosial telah membentuk corak-corak paling mendasar dalam kebudayaan manusia. 33 Eksistensi masyarakat tidak tergantung pada anggota-anggota, tetapi terdiri dari suatu struktur adat istiadat, kepercayaan, sebagai suatu lingkungan yang terorganisasi. Setiap individu lahir dan hidup dalam satu lingkungan, berbicara satu bahasa, memiliki satu lembaga. 34 Masyarakat bukan sesuatu yang abstrak, melainkan sesuatu yang nyata dan konkrit yang mengikat misalnya bahasa, susunan kelembagaan dan simbol-simbol. Durkheim 31 Campbell, Tujuh Teori Sosial, Pickering, Durkheim s Sociology of Religion (London:Routledge & Kegan Paul,1975), Pals, Dekonstruksi Kebenaran, Muhni, Moral dan Religi, 32.

7 mengelompokkan masyarakat menjadi dua macam yaitu masyarakat sederhana dan masyarakat kompleks. Masyarakat sederhana bersifat solidaritas mekanik sedangkan masyarakat kompleks bersifat solidaritas organik. 35 Menurut Durkheim, studi solidaritas merupakan dasar yang kuat bagi sosiologi. Hal ini merupakan fakta sosial yang penting dalam pengaruh sosial. 36 Solidaritas Mekanik Masyarakat yang ditandai oleh solidaritas mekanik menjadi kesatuan karena seluruh orang adalah generalis. Pada dasarnya, ikatan dalam masyarakat seperti ini terjadi karena mereka terlibat dalam aktivitas yang sama dan memiliki tanggung jawab yang sama. Solidaritas mekanik lahir dari kesadaran kolektif masyarakat, dengan adanya kesamaan-kesamaan pada anggota masyarakat. 37 Ciri-ciri masyarakat mekanik ialah bersifat primitif, masyarakat dibentuk oleh hukum represif, 38 tingkat individual rendah dan kesadaran kolektif kuat pada masyarakat ini. Komunitas sosial berperan dalam menghukum orang yang menyimpang dalam masyarakat. Hal ini karena masyarakat mekanik bersifat kesadaran kolektif yang kuat sehingga pada kesadaran ini, masyarakat membuat kesepakatan mengenai yang benar dan salah dalam seluruh aspek kehidupan mereka Muhni, Moral dan Religi, Emile Durkheim, The Devision of Labor In Society, (New York: The Free Press,1933), Muhni, Moral Dan Religi, Hukum represif pada masyarakat sederhana yang bersifat solidaritas mekanik yaitu anggota masyarakat memiliki kesamaan satu dengan yang lain, mereka sangat percaya pada moralitas bersama sehingga apabila ada anggota masyarakat yang melakukan pelanggaran, maka pelanggar tersebut harus dihukum berdasarkan pelanggaran terhadap sistem moral kolektif. Misalnya: pencurian akan mengakibatkan hukum yang berat, seperti potong tangan; penghinaan akan dihukum dengan potong lidah (Ritzer, 2008:93). 39 Ritzer, Teori,93 bnd Pals, Dekonstruksi,138.

8 Solidaritas Organik Masyarakat yang ditandai oleh solidaritas organik dapat bertahan karena perbedaan yang ada untuk saling melengkapi. 40 Solidaritas organik terdapat dalam masyarakat modern dengan tingkat kemajuan yang lebih dari masyarakat sederhana. Masyarakat dengan ciri solidaritas organik ialah masyarakat bersifat industrial, masyarakat dibentuk oleh hukum restitutif, 41 tingkat individual tinggi dengan kesadaran kolektif yang rendah. Pada masyarakat ini, lembaga-lembaga sosial sangat berperan dalam menghukum orang yang menyimpang, berbeda dengan masyarakat mekanik yang berperan ialah komunitas sosial atau masyarakat itu sendiri Pandangan Durkheim mengenai Agama Integrasi dapat terjadi karena nilai-nilai bersama sesuai teori fungsionalisme, hal tersebut menitikberatkan pada fungsi di dalam suatu masyarakat. Menurut Durkheim, praktik keagamaan dapat dipahami sebagai peran bagi integrasi dan stabilitas masyarakat. 43 Solidaritas sosial dan integrasi merupakan permasalahan substantif yang diperhatikan Durkheim dalam karya utamanya. 44 Karakteristik yang paling mendasar ditemukan Durkheim dari setiap kepercayaan agama yaitu tidak terletak pada yang supranatural, tetapi pada konsep tentang yang sakral. Pada hakikatnya dalam kehidupan beragama manapun, orang-orang religius selalu membagi dunia menjadi dua bagian yang terpisah; dunia yang sakral dan dunia yang profan. Hal-hal yang sakral diidentikkan sebagai sesuatu yang superior, berkuasa, selalu dihormati, tidak tersentuh. 40 Ritzer, Teori Sosiologi, Hukum restitutif, pada masyarakat kompleks yang bersifat solidaritas organik yaitu kurangnya moral bersama dalam masyarakat sehingga pelanggaran dilihat sebagai serangan terhadap individu tertentu dari masyarakat bukannya terhadap sistem moral itu sendiri. ketika pelanggar hukum dijatuhkan hukuman, maka dia dapat membuat restitusi untuk siapa saja yang telah diganggu oleh perbuatan mereka. (Ritzer,2008:94). Bnd Emile Durkheim, The Devision, Ritzer, Teori Sosiologi, Nicholas Abercrombie, Kamus Sosiologi (Yogyakarta:Pustaka Pelajar,2010), 284& Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern 1 (Jakarta: Gramedia,1988), 166.

9 Sebaliknya, hal-hal yang profan diidentikkan dengan keseharian hidup dan bersifat biasa-biasa saja. Konsentrasi utama agama terletak pada yang sakral. 45 Durkheim bertolak dari fakta sosial yaitu kesatuan masyarakat dari pada fakta agama. Agama dapat dipahami sebagai ekspresi dari suatu masyarakat yang terintegrasi dari pada sebagai sumber integrasi masyarakat sehingga individu-individu yang merasa dirinya satu, sebagian disebabkan oleh ikatan darah, tetapi juga terikat karena merupakan satu komunitas dengan kepentingan dan tradisi yang sama, kemudian menyatu menjadi collective consciousness. Durkheim menghubungkan agama dan integrasi bukan berarti agama menghasilkan masyarakat yang kohesif tetapi lebih kepada fenomena kohesi yang memiliki kualitas keagamaan. 46 Agama menurut Durkheim adalah suatu sistem kepercayaan yang berkaitan dengan yang sakral. Yang sakral memiliki pengaruh yang besar sedangkan yang profan tidak memiliki pengaruh yang besar, hanya refleksi dari kehidupan keseharian individu. 47 Agama yang dimiliki oleh masyarakat dengan sistem sosial paling sederhana dianggap sebagai bentuk agama paling dasar. Oleh karena itu, Durkheim tertarik untuk melakukan riset terhadap agama masyarakat suku Arunta di Australia dengan meneliti mengenai totemisme. Kehidupan sosial masyarakat Arunta dilandaskan pada sistem klan yang bersifat homegen. Sistem klan berkaitan erat dengan totemisme sehingga penting memahami ciri-ciri dari sistem klan. Pada dasarnya sebuah klan terdiri dari individu-individu yang saling terikat dalam hubungan kekerabatan. Maksud dari hubungan kekerabatan ini, bukan pada hubungan darah tetapi setiap individu terikat karena memiliki kesamaan nama, merasa memiliki kewajiban yang sama dan sebagainya. 48 Totemisme sebagai kepercayaan adalah hal paling penting bagi masyarakat yang paling sederhana dan merupakan bentuk agama yang paling dasar dan asli. Seluruh aspek kehidupan 45 Pals, Dekonstruksi, Robert N. Bellah dan Philip E. Hammond, Varietes of Civil Religion (Yogyakarta: IRCiSoD) terj oleh Imam Khoiri,dkk dari buku Varietes of Civil Religion (San Fransisco: Harper & Row Publishers,1980), Pals, Dekonstruksi Kebenaran, Samuel, Emile Durkheim,77-78.

10 masyarakat Arunta dipengaruhi oleh totem-totem tersebut. Pentingnya totem 49 bagi masyarakat tersebut, sehingga konsep totem sendiri telah membentuk persepsi dasar mereka tentang alam, hal ini tidak hanya berlaku bagi kelompok-kelompok manusia yang dibagi berdasarkan totem yang dimiliki klan, seluruh alam semesta pun dibagi menurut pembagian tersebut. Seperti, matahari ditempatkan pada klan Kakak Tua Putih, sedangkan bulan dan bintang ditempatkan pada klan Kakak Tua Hitam. 50 Totemisme menjadi sumber segala jenis keyakinan keagamaan baik agama yang meyakini roh, dewa-dewa, binatang, planet atau bintang-bintang. 51 Totemisme sering dipahami sebagai bentuk pemujaan terhadap binatang atau tumbuhan tertentu. Namun, hal ini berbeda dari anggapan tersebut. Para penganut kepercayaan totem sebenarnya tidak memuja seekor anjing, katak, kakak tua putih tetapi yang disembah mereka adalah kekuatan yang anonim dan impersonal yang dapat ditemukan melalui binatang-binatang tersebut. Dalam kepercayaan totem, terdapat Tuhan yang disembah, Tuhan berbentuk impersonal, Tuhan yang tanpa nama dan terjewantah ke berbagai benda yang ada di alam ini. masyarakat harus menghormatinya dan merasa bertanggung jawab secara moral untuk melaksanakan upacara-upacara penyembahan. Dengan upacara tersebut, masyarakat merasa semakin mempunyai ikatan yang kuat antara satu dengan yang lain. 52 Sehingga totemisme merupakan fenomena keagamaan yang menunjuk kepada hubungan kesatuan antara satu suku bangsa atau klan dengan satu spesies tertentu dalam wilayah binatang atau tumbuhan. Hal tersebut dilukiskan sebagai sistem kepercayaan dan praktik keagamaan yang mewujudkan gagasan tertentu dari suatu hubungan sakral dalam ritual antara 49 Kata totem baru muncul dalam etnografi menjelang akhir abd ke-18. Pertama kali istilah ini muncul dalam buku penafsir Indian, J.Long yang diterbitkan di London tahun Selama stengah abad totemisme dikenal eksklusif sebagai institusi Amerika. (Emile Durkheim, Sejarah Agama. Yogyakarta: IRCiSoD,2003), diterjemahkan oleh Inyiak Ridwan Muzir dari buku The Elementary Forms of the Religious Life. New York:Free Press, Pals, Dekonstruksi, Pals, Dekonstruksi Kebenaran, Pals, Dekonstruksi,150.

11 anggota-anggota kelompok sosial dalam dalam suatu jenis binatang atau tumbuhan. 53 Sebelum masyarakat memutuskan untuk meyakini Tuhan, terdapat sesuatu yang mendasar yaitu perasaan akan adanya sesuatu yang impersonal, maha kuasa. 54 Dalam buku The Elementary Forms of the Religious Life, Durkheim memaparkan mengenai penyelenggaran ritual-ritual dari agama bagi masyarakat suku Arunta. Pengamatan Durkheim yang paling awal ialah perasaan keagamaan pertama kali muncul bukan dari situasi pribadi individu, tetapi dari upacara-upacara klan yang bersifat kolektif. Pemujaan berkaitan dengan perasaan dari peserta klan yang timbul pada waktu upacara dilakukan. Perasaan yang muncul dan perilaku anggota klan saat melakukan upacara adalah hal yang paling penting yang mereka alami. Perasaan yang satu antar anggota kelompok inilah yang disebut Yang Sakral. 55 Pemujaan terbagi menjadi dua bentuk dalam praktek-praktek totemisme yaitu negatif dan positif disamping itu terdapat bentuk ketiga ialah piacular (bahasa Latin, piaculum yang artinya penebusan dosa/kesalahan). Hal utama ritual yang tergabung dalam pemujaan negatif ialah menjaga Yang Sakral agar selalu terpisah dari Yang Profan. Pemujaan negatif terdiri dari larangan-larangan atau taboo (tabu-tabu). Maksud dari tabu ialah suatu tempat yang tabu akan menjaga kesakralan dari tempat tersebut, biasanya batu atau gua-gua. Konsep mengenai tempat yang tabu, terdapat dalam agama-agama yang lebih maju adalah sumber keyakinan bahwa kuil atau gereja harus didirikan di tempat yang suci (sakral). Pemujaan negatif menentukan hari-hari tertentu yang disiapkan bagi upacara yang sakral. Bentuk umum dari tabu yang sering terjadi dalam kehidupan masyarakat ialah larangan pada waktu-waktu tertentu misalnya waktu diadakan upacara ritual, maka pekerjaan sehari-hari dan permainan dilarang. Kegiatan yang bersifat sakral saja yang diperbolehkan fungsi dari aturan aturan tersebut agar supaya individu dapat merasakan penderitaan demi kepentingan klan. Tujuan dari pemujaan negatif adalah menjaga agar larangan 53 Mariasussai Dhavamony, Fenomenologi Agama (Yogyakarta: Kanisius, 1995), Pals, Dekonstruksi Kebenaran, Pals, Dekonstruksi Kebenaran,156.

12 tidak dilanggar dan juga memisahkan Yang Sakral dari Yang Profan sehingga dengan batasan tersebut individu dapat berhubungan erat dengan yang sakral. Pemujaan positif yang digambarkan Durkheim ialah ketika suatu kelompok klan yang akan melakukan ritual sudah ada pada tempat dan waktu yang tepat serta seluruh anggota klan bergerak menuju kepada Yang Sakral, kemudian mereka melakukan ritual-ritual. Hal inilah yang disebut pemujaan positif. 56 Perbedaan antara kedua hal tersebut ialah pemujaan negatif merupakan suatu cara untuk mencapai tujuan. Pemujaan negatif dapat berupa pra kondisi untuk dapat berhubungan dengan pemujaan positif. Pemujaan positif tidak berfungsi untuk melindungi hal-hal yang sakral dari kontak dengan hal-hal yang profan, tetapi hal ini berpengaruh bagi anggota kelompok yang melakukan ritual dan merubah kesadarannya secara positif. Dengan demikian, Totem melambangkan kesatuan dari klan mereka, sehingga pengelompokan masyarakat dalam klan dianggap suci sehingga totem mereka pun dianggap suci. 57 Menurut Durkheim, pemujaan terhadap totem bagi masyarakat suku Arunta di Australia memberi arti bahwa pemujaan terhadap masyarakat itu sendiri sehingga yang dimaksud dengan sakral ialah masyarakat sendiri Pluralitas Agama: Suatu Realitas Sosial Realitas Keberagamaan Orang Maluku Dalam Buku Maluku Baru: Bangkitnya Mesin Eksistensi Anak Negeri 59 menjelaskan bahwa hidup keberagamaan orang Maluku, dapat dipahami melalui penelusuran sejarah yang memberi arti penting bagi kehidupan bersama di Maluku. Interaksi-interaksi keagamaan pada masyarakat Maluku telah terjadi pada zaman agama-agama asli (agama suku yang adaptis 56 Pals, Dekonstruksi Kebenaran, Dhavamony, Fenomenologi Agama, Pals, Dekonstruksi Kebenaran, Aholiab Watloly, Maluku Baru: Bangkitnya Mesin Eksistensi Anak Negeri (Yogyakarta: Kanisius,2005).

13 dengan pemisahan negeri, pulau, adat dan keturunan) yang beragam maupun zaman penyebaran agama-agama modern (Islam-Kristen) yang bersifat ekspansif, dan menujukan kemajuan yang terus bergerak sampai tahap-tahap internalisasi dan kontekstualisasi agama (Islam-Kristen) pada dasar-dasar realitas genealogis (kekerabatan atau keturunan) serta geokultural (keutuhan wilayah budaya/adat), yang menampilkan pola keberagamaan Salam-Sarane dalam bingkai hidup beragama yang khas dari masyarakat Maluku. 60 Pilihan-pilihan hidup beragama masyarakat Maluku di era globalisasi masih tetap ada dan bertahan walaupun gelombang-gelombang kehidupan masih terus mendera. Masyarakat Maluku dalam realitas pasca konflik tetap berusaha mengembalikan kehidupan keberagamaannya sebagai agama orang basudara. 61 Menurut Aholiab Watloly, hal ini dilakukan dengan cara menjadikan dalih atau paham kolektivisme (collective consciousness) keagamaan yang trans-suku, solidaritas yang universal untuk meng-adudomba serta membawa masyarakat Maluku dalam konflik orang basudara. Keberagamaan masyarakat Maluku sebagai agama orang basudara, dikenal dengan sebutan Salam-Sarane (Islam-Kristen) Yang telah menghadirkan dunia keberagamaan yang lebih menyatu di tengah konteks hidup yang plural, serba dikotomi, dan berwarna-warni, baik dari sisi perbedaan kepercayaan, adat istiadat, bahasa, negeri, pulau, maupun warna kulit. 62 Pandangan ini Watloly dasarkan pada nenek-moyang atau para leluhur Maluku (founders Salam-Sarane) telah memiliki genuisitasnya sendiri yang memadukan perbedaan-perbedaan pilihan agama (agama suku, Islam dan Kristen) di dalam sebuah titik harmoni-dialektis. Menurutnya, leluhur Maluku ternyata mampu membuktikan bagi dunia keberagamaan secara global bahwa agama bukan sekedar pewahyuan yang hampa tanpa wujud, tetapi lebih dari pada itu, ia dapat terinternalisasi 60 Watloly, Maluku Baru, Pelafalan kata basudara oleh orang Maluku, untuk menyebut kata bersaudara. 62 Watloly, Maluku Baru,170.

14 dalam realitas konteks sosial (socio-religi) yang khas, dan Salam-Sarane merupakan salah satu yang khas dari padanya. Watloly menegaskan bahwa bagi leluhur Maluku, Salam-Sarane bukanlah agama, tetapi cara hidup orang beragama dalam konteks agama-agama orang basudara. Struktur dasar Salam- Sarane ialah pada nilai-nilai dasar ke-islaman dan ke-kristenan sebagai pembawa salam damai sejahtera dan karenanya mereka terpanggil untuk memaknakan tugas dan panggilan ke-islaman atau ke-kristenannya dalam tatanan kearifan lokal (local wisdom) untuk menyapa sejarah kebersamaannya sebagai agama-agama orang basudara di bumi Maluku yang satu. Dalam kerangka pikir semacam itu, menjadi hal menarik yang disampaikan Watloly mengenai eksistensi Salam-Sarane perlu dipahami dalam sebuah tatanan filsafat yang dialektika, bukan filsafat dualisme atau monisme. Filsafat dialektika menunjukan bahwa Islam dan Kristen di Maluku adalah khas karena keduanya menemui eksistensinya yang kokoh di dalam konteks ke-maluku-an, yang secara de facto memiliki perbedaan, tetapi sekaligus berada dalam ikatan kekeluargaan yang kuat. Hal ini berwujud baik di dalam ikatan-ikatan genealogi (garis keturunan) dan geokultural (kesatuan wilayah dan budaya maupun adat) maupun geohistoris (kesatuan sejarah) yang khas. Kekuatan pemikiran itulah yang telah mengangkat bagi budaya, peradaban, dan keberagamaan masyarakat Maluku sebuah martabat yang khas dan mengantarkannya ke dalam sebuah tata peradaban dunia yang memiliki bobot kesejajaran dengan agama, budaya maupun sistem peradaban lain di dunia. 63 Bahkan sejarah menyaksikan bahwa perkembangan budaya dan keberagamaan Maluku tersebut telah menemukan titik maknanya yang mendalam pada titik konsentris-dialektis (harmoni-dialektis) yang khas. Kekhasan tersebut dapat dijumpai dalam budaya Maluku, seperti Pela, Masohi, Lavurngabal, budaya sarumah 64, dsb. Yang mempertemukan sisi hidup yang berbeda dalam sebuah titik 63 Watloly, Maluku Baru, Pelafalan orang Maluku untuk menyebut kata satu rumah.

15 harmoni yang dinamis. Falsafah hidup ini pula yang tergambar di dalam Patasiwa-Patalima, Ursiwa-Urlima, Upu ama-upu Ina, dan Salam-Sarane yang selalu bersifat saling bergandengan. Beberapa prinsip dasar yang Watloly kemukakan dan penting diperhatikan di dalam konstruksi falsafah keberagamaan Salam-Sarane, yaitu: 1. Keterbukaan terhadap perbedaan dan kemajemukan. Salam-Sarane merupakan dua realitas (bukan satu) agama yang bersifat terbuka terhadap perbedaan, kemajemukan hidup yang dimiliki bersama sebagai orang basudara. Keduanya memiliki sifat saling menyapa sebagai saudara bukan saling memangsa sebagai musuh atau lawan. Oleh karena itu, Salam-Sarane terpanggil untuk saling membangun kehidupan secara bersama dengan sapaan-sapaan yang kritis, jujur, dan saling terbuka sebagai saudara. 2. Kemajemukan dalam kebersamaan hidup. Falsafah hidup Salam-Sarane tidak hanya menegaskan sikap keterbukaan terhadap pluralitas hidup, tetapi lebih dari itu, menatanya dalam sebuah manajemen kebersamaan. Tidak hanya sebatas menghargai, mengakui, dan menjejerkan pluralitas atau perbedaan-perbedaan itu, tetapi membangun, mengolah, dan menatanya secara utuh, fungsional, sinergis, dan mendalam. Sehingga, Salam-Sarane benar-benar memiliki tanggung jawab sosio-teologis yang strategis untuk membangun kehidupan yang nyata. Salam-Sarane memiliki dasar-dasar pemahaman (kognitif) dan kesadaran kritis (reflektif) untuk mengolah pengetahuan, keyakinan, dan realita dalam sebuah proses dialektis guna menjalankan kehidupan keberagamaan secara praksis (afektif). Salam-Sarane memilki cenceptional frame work dalam mencari dan mengolah kandungan-kandungan kebenaran keagamaan yang bersifat rasional universal, yang juga secara kontekstual menggerakkan aksi praksis (operasionalitas agama) untuk membangun bumi

16 Maluku, masyarakat Indonesia maupun dunia secara luas. Semangat keberagamaan itulah yang oleh para pemimpin bangsa dicetuskan dalam berbagai falsafah kehidupan umat beragama yang berpancasila, yaitu toleransi hidup beragama atau dialog hidup antarumat beragama. 3. Brothership atau bersaudara Prinsip yang ketiga mengatakan bahwa falsafah keberagamaan Salam-Sarane menujukan ke-kristenan dan ke-islaman Maluku adalah khas. Hal ini mengajarkan dan mewajibkan masyarakat Maluku berkembang dalam tradisi hidup ke-kristenan dan ke-islaman yang memiliki saudara, yang biasanya disebut gandong, kaka, atau bongso. Dengan demikian terlihat bahwa Kristen Maluku adalah Kristen yang memiliki saudaranya dengan Muslim, begitu juga sebaliknya Islam Maluku adalah khas karena memiliki hubungan tradisi kekeluargaan dengan saudaranya yang Kristen. Dalam realitas kehidupan masyarakat di Maluku, ikatan-ikatan kekeluargaan tersebut dapat terlihat jelas antara lain; Islam di pulau Seram memiliki satu pancaran mata air atau satu keturunan dengan saudaranya yang Kristen, hal yang sama juga terlihat di kepulauan Kei Maluku Tenggara, di mana Islam dan Kristen memiliki hubungan persaudaraan atau garis keturunan (geneologis) yang mendalam. Penghayatan tersebut oleh masyarakat Kei dimaknai melalui ikatan Ain ni ain (satu dalam satu dalam kebersamaan yang menyatu). Selanjutnya terlihat dalam kehidupan ke-kristenan di Maluku Utara yang khas karena Kristen memiliki sultan yang beragama Islam. Nilai kebatinan ini dimaknai dalam falsafah hidup masyarakat Maluku Utara yaitu Marimoi ngone fo turu, marimoi ua ngone fo ruru, ma otu tara ngone fo jaha (bersatu kita kuat, tidak bersatu kita hanyut, pada akhirnya kita tenggelam). Kenyataan itu bagi masyarakat Maluku adalah sebuah fakta ynag merupakan warisan kehidupan yang telah terukir oleh sejarah yang panjang dan bukan sebuah wacana atau opini. Kenyataan tersebut, kemudian dihargai sebagai prinsip hidup beragama yang hendak dijalani sebagai hak istimewa bagi Islam dan Kristen di Maluku.

17 4. Membangun otonomi dan kesetiaan pada misi keagamaannya masing-masing. Salam-Sarane bukanlah pengarifan atau sinkritisme agama. Hal ini dengan alasan Salam-Sarane bukan hanya agama konvensional, dan bukan hanya sekedar berbicara tentang apa itu agama dan apa arti agama tetapi lebih dari itu Salam-Sarane merupakan dua agama sejati dan merupakan cara hidup beragama Islam-Kristen yang menyadari panggilan keagamaannya untuk membangun salam damai sejahtera di Maluku. 5. Pro life atau memihak pada hidup Salam-Sarane menujukan sebuah kekuatan keberagamaan yang pro life untuk membangun hidup. Lebih dari itu, Salam-Sarane menunjukan inti keberagamaan Islam maupun Kristen yang membawa dan menawarkan salam kehidupan di tengah ancaman kekacauan, menegakkan kebersamaan dan persaudaraan di tengah ancaman egoisme dan keangkuhan hidup. Prinsipnya, Islam maupun Kristen harus menjadi kekuatan dalam membangun, mempertahankan dan membaharui hidup generasi Maluku (Islam-Kristen) dari godaan arogansi dan keangkuhan kemanusiaan yang menggiringnya ke dalam jurang konflik dan kehancuran. 6. Pro eksistensi atau memihak pada fakta keberadaan sebagai basudara. Sebagai kekuatan pro eksistensi, hendak menegaskan bahwa Salam-Sarane dalam struktur eksistensi kekeluargaan yang kokoh mendasar dalam menjalani pilihan-pilihan keagamaan yang bebas, berbeda, mandiri dan dewasa. Masyarakat Maluku harus bebas dan otonom dalam membangun pilihannya masing-masing, namun tidak pernah dapat melepaskan diri satu dengan yang lain. Pada prinsipnya, hidup bersaudara adalah hal yang kodrati (kodrat eksistensi) yang bernilai sakral, abadi, dan mutlak dalam keluhuran sejarahnya. Praktisnya, yang Salam harus menjadi Islam yang baik dan taat kepada agama dan Tuhannya, untuk hidup berdampingan dengan saudaranya yang Kristen. Sebaliknya, Sarane harus menjadi Kristen yang baik, yang harus taat kepada Tuhannya dan menjadi Kristen yang baik bagi saudaranya yang

18 Islam. Kekuatan pro eksistensi nyata dalam falsafah orang Maluku; potong di kuku rasa di daging atau sagu salempeng dipatah dua Manajemen pola kontras Prinsip ini menunjukan bahwa falsafah keberagamaan Salam-Sarane terbangun dari sebuah fondasi manajemen pola kontras dengan hidup beragama yang mendalam bagi pergumulan dunia keberagamaan secara luas. Manajemen ini memberikan dasar konstruktif bagi setiap generasinya dalam membangun interaksi dan tanggung jawab hidup beragama secara kritis dan terbuka. Hal ini menjadi sumbangan besar yang berharga bagi manajemen kehidupan beragama secara global. Inti dari manajemen pola kontras ini adalah pada kejeniusan dan kemampuan dalam mengolah dan menata prinsip-prinsip kepercayaan, ajaran, tradisi ibadah, dan aneka pilihan hidup yang berbeda itu dalam sebuah sistem kekeluargaan (Salam-Sarane basudara). Dengan ini, agama yang cenderung bersifat tertutup (esoteric) dan bersembunyi di balik klaim-klaim kebenaran serta kemutlakan diri sendiri secara eksklusif (exsoteric) berubah menjadi agama yang mampu hidup berdampingan (living together) secara damai, terbuka, kritis dan konstruktif. 8. Menunjukan esensi agama anak-anak Abraham (Abraham religion) Fakta menunjukan bahwa agama Islam maupun Krsiten adalah agama dengan dasar keturunan yang khas. Manajemen keberagamaan dalam Salam-Sarane adalah manajemen hidup agama orang basudara. 9. Menegaskan kepercayaan yang otentik atas kesaksian kitab suci-nya masing-masing. Salam-Sarane ingin menyuarakan isi penghayatan dan kepercayaan yang otentik atas nilai-nilai kitab suci di tengah arus kehidupan yang cenderung mengabaikan substansial itu. 10. Memaknakan dimensi ketuhanan yang imanen. 65 Ungkapan bahasa tersebut bukan sekadar permainan kata, tetapi merupakan penyataan hidup mengenai arti kehidupan beragama dan bermasyarakat yang sesungguhnya.

19 Keberagamaan masyarakat Maluku, dalam tataran local religion hendak menegaskan dimensi ketuhanan yang bersifat imanen. Di mana Tuhan bukanlah Tuhan yang jauh untuk dijangkau tetapi Tuhan sebagai gambaran seorang kakek (tete) yang setia, penyayang terhadap cucu-cucunya. Ketuhanan itulah yang disebut Tete Manis, Uplera, Opolastala.

20 2.3.2 Realitas Sosial Dialog dalam Pluralitas Keberagamaan Hubungan antarumat beragama dalam era baru ditandai oleh apa yang disebut dialog. Dialog berarti percakapan tentang hal-hal yang esensial dan eksistensial. 66 Membangun dialog antar agama menjadi usaha bersama para teolog, para pemimpin agama, maupun siapa saja yang merasa penting melakukan dialog antar agama bagi kehidupan bersama. Dialog tidak hanya untuk meningkatkan rasa toleransi, melainkan juga pengalaman transformatif bagi pihak-pihak yang terlibat. Tujuan dialog bukan hanya terbatas pada kehadiran individu, tetapi ikut secara aktif menghidupkan dan mengembangkannya. 67 Menurut Simatupang, dialog sebagai pengungkapan rasa tanggung jawab mengenai masa depan dalam keberadaan hidup bersama dengan tetap setia pada keyakinan dan identitas agama sendiri dan tetap terbuka terhadap pandangan agama lain sehingga proses dilaog menjadi lebih bermakna. 68 Menurut Hans Küng, sasaran dialog yang dilakukan bukan sekedar pada ko-eksistensi secara damai, tetapi lebih dari itu ialah pro-eksistensi. Küng mengusulkan sasaran dialog yang lebih terlibat, pragmatis dengan melibatkan semua perbedaan autentik. Küng hendak mengakhiri fase ko-eksistensi dimana toleransi masih menjadi tujuan utama dari dialog dan mencoba melangkah lebih jauh tanpa meremehkan pentingnya toleransi (sarana minimal untuk hidup bersama) dalam Christianity and the world Religions, dia mengawali suatu eksperimen ilmiah di bidang dialog yang berorientasi ke pro-eksistensi. Hal ini dilakukan bukan sekedar pengumpulan unsur-unsur persamaan doktrin, tradisi, dsb. Ungkapan Küng merupakan tantangan bagi setiap 66 Olaf Schumann, Dialog Antarumat Beragama: Membuka Babak Baru dalam Hubungan Antarumat Beragama, Pendahuluan Bagian II oleh Peter Latuihamallo (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008), Elga Joan Sarapung, Pengantar: Menegaskan tentang Pluralisme Agama, dalam Herry Mety & Khairul Anwar (editor) Prospek Pluralisme Agama di Indonesia (Yogyakarta: Interfidei, 2009), xxiv. 68 Schumann, Dialog Antarumat Beragama,5

21 orang untuk mengenal agama-agama lain tanpa prasangka, tetapi juga kesempatan untuk mengenal agamanya sendiri secara kritis melalui agama-agama lain. 69 Dialog antarumat beragama di Indonesia tidak dapat dilakukan secara nyata tanpa memahami Pancasila. Sejak Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, sebagai tanda dimulainya sejarah baru, Pancasila mengiringi setiap langkah agama-agama serta aliran-aliran kepercayaan. 70 Dialog yang terjadi antar agama menjadi hal penting dalam hubungan dan kerja sama antar agama. Dialog bisa dilakukan dalam berbagai bentuk dengan berbagai sikap. Dikenal empat macam dialog yaitu dialog hidup, dialog aksi, dialog teologis dan dialog pengalaman keagamaan. Melalui dialog hidup, individu dapat membuka hidup terhadap kegembiraan, kesusahan, keprihatinan dan kegelisahan hidup sesama. Dialog aksi, individu dapat bekerjasama mengatasi pembatasan-pembatasan yang menghalangi untuk hidup secara bebas dan manusiawi. Dalam dialog teologis, lapisan elit dari suatu agama membicarakan warisan-warisan keagamaan dengan nilai-nilainya agar dapat memahami dan menghargai. Dalam dialog, pengalaman keagamaan memberi kesempatan pada para partisipan untuk membagikan pengalaman-pengalaman keagamaan yang berakar pada tradisi-tradisi agama masing-masing. 71 Dialog yang spontan berkembang di dalam praktek kehidupan sehari-hari melalui lingkungan keluarga, maupun lingkungan sekitar. Di mana orang-orang dari berbagai kepercayaan dan ideologi bersama menjalani kehidupan sehari-hari sehingga dialog dapat dihubungkan dengan kehidupan dan menjadi gaya hidup dalam pergaulan. 72 Salah satu kasus dialog yang bertanggung jawab secara global menurut Knitter yaitu di India dan Sri Lanka, dialog aksi atau dialog kehidupan yang merupakan bagian dari kehidupan mereka. Dalam kehidupan di desa, ditandai dan dibentuk oleh beberapa kenyataan dominan; a) 69 Sunardi, Dialog: Cara Baru Beragama, dalam Abdurrahman Wahid, Dialog: Kritik dan Identitas Agama (Yogyakarta: Dian Interfidei, 1994), Schumann, Dialog, Th Sumartana, Pengantar:Menuju Dialog Antar Iman, dalam Abdurrahman Wahid, Dialog: Kritik dan Identitas Agama (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), xvi-xvii. 72 Schumann, Dialog,91.

22 upaya sesehari untuk makan, tidur, dan menjaga agar keluarga tetap sehat merupakan suatu pergumulan memiluhkan; kehidupan sangat sulit, masalah bertumpuk, struktur sosial yang menindas, b) orang kebanyakan memeluk agama berbeda-beda yang merupakan bagian dari komunitas desa. Hal ini menunjukan bahwa kehidupan nyata bagi kebanyakan orang India merupakan pergumulan sehari-hari dengan kemiskinan dan pluralitas agama. Dalam menghadapi pergumulan hidup, mereka bekerja, dan pola kerja sama kuat dalam kehidupan mereka. Mereka melakukan sebagai umat beragama yang patuh. Kegiatan memberi-menerima dalam kehidupan desa di India dan Sri Langka pada umumnya merupakan kegiatan memberi-menerima secara religius. Dalam kehidupan bersama, ada sejarah merayakan hari raya agama bersama-sama atau paling tidak umat Hindu dan Muslim dan Kristen saling membantu dan bersama-sama merayakan Divali atau Natal atau Idul Fitri. Contoh kasus di India dan Sri Langka merupakan bagian dari dialog liberatif dan transformatif yang terjadi di antara berbagai komunitas majemuk keagamaan. Suatu dialog yang bertanggung jawab secara global dan menjadi model bagi kehidupan bersama umat beragama. 73 Dialog tidak hanya meningkatkan rasa toleransi tetapi juga pengalaman transformatif dari pihak-pihak yang terlibat. 74 Karena itu, penting menuntut sikap terbuka satu agama dengan agama yang lain. Dialog sebagai fungsi kritis beragama bukan sebagai wahana untuk menentukan agama mana yang paling benar. Jika kata agama dipahami secara konkret dan bukan secara metafis, maka dialog antar agama berarti dialog antar orang-orang yang beragama. Dalam dialog, dapat dijadikan cerminan antar pihak-pihak yang terlibat sebagai cara untuk membuka diri bagi komunitas lain. Proses tersebut sebagai respons yang baik untuk memahami tradisi komunitas lain dalam berdialog. 75 Hal ini berarti manusia mendapat tempat yang sentral 73 Paul F. Knitter, Satu Bumi Banyak Agama (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010), Surnadi, Dialog, Leonard Swidler, Death Or Dialogue?: From the Age of Monologue to the Age of Dialogue (London: SCM Press,1990),62-63.

23 dalam dialog. Dan sebaliknya manusia tidak dipahami secara metafisis, tetapi sebagai manusia yang konkret. Manusia kongkrit menunjuk orang-orang yang beriman dalam agama, budaya tertentu. Dalam kongkrit inilah dialog mendapat tempat sebagai fungsi kritis Kesimpulan Masyarakat merupakan basis bagi integrasi sosial dalam pluralitas agama. Teori Durkheim mengenai masyarakat berdasarkan penelitiannya pada masyarakat suku Arunta di Australia dengan memahami masyarakat dalam dua tipe yaitu solidaritas mekanik dan solidaritas organik. Masyarakat sebagai fakta sosial dan harus diperlakukan sebagai benda (thing). Fakta sosial berhubungan dengan dua hal penting yaitu conscience collective (kesadaran kolektif) dan representation collective (gambaran kolektif). Gambaran kolektif merupakan bagian dari isi kesadaran kolektif. Menurut Durkheim, keseluruhan kepercayaan yang dianut bersama menjadi kekuatan untuk membentuk sistem yang mengatur kehidupan dalam masyarakat sehingga masyarakat. Pandangan Durkheim mengenai agama berdasar dari yang sakral. Baginya, bentuk agama yang paling dasar ialah totemisme. Hal ini ditemukannya pada masyarakat suku Arunta di Australia. kehidupan yang dilandaskan pada sistem klan yang berkaitan dengan totemisme. Sistem klan yang terkait dengan hubungan kekerabatan antar individu. Hal ini bukan terjadi karena hubungan darah tetapi lebih pada perasaan bersama (collective) yang dimiliki oleh anggota dalam kelompok. Karena itu, Durkheim menegaskan bahwa yang sakral adalah masyarakat itu sendiri. Dalam kehidupan masyarakat modern, dengan realitas sosial yang kompleks seperti pluralitas agama yang terdapat dalam masyarakat memberi ruang gerak bagi integrasi sosial. Hal ini lahir dari dalam masyarakat sendiri dengan berbagai sistem kehidupan masyarakat tersebut. 76 Sunardi, Dialog,77.

24 Nilai-nilai budaya yang telah berakar dalam masyarakat mempengaruhi realitas sosial untuk membentuk integrasi sosial. Realitas keberagamaan orang Maluku, yaitu Salam dan Sarane menjadi nilai budaya juga sejarah bagi perkembangan keagamaan orang Maluku sendiri. Dan untuk memelihara kehidupan keagamaan yang plural dibutuhkan tindakan yang konkrit dari masyarakat sendiri. Hal ini terdapat dalam dialog aksi sebagai bentuk realitas sosial dari pluralitas keberagamaan.

BAB IV TINJAUAN KRITIS INTEGRASI SOSIAL MASYARAKAT YALAHATAN DALAM PLURALITAS AGAMA

BAB IV TINJAUAN KRITIS INTEGRASI SOSIAL MASYARAKAT YALAHATAN DALAM PLURALITAS AGAMA BAB IV TINJAUAN KRITIS INTEGRASI SOSIAL MASYARAKAT YALAHATAN DALAM PLURALITAS AGAMA 4.1. Pengantar Masyarakat Yalahatan secara administratif merupakan masyarakat dusun di bawah pemerintahan Negeri Tamilouw

Lebih terperinci

BAB IV KONSEP DASAR AGAMA EMILE DURKHEIM

BAB IV KONSEP DASAR AGAMA EMILE DURKHEIM BAB IV KONSEP DASAR AGAMA EMILE DURKHEIM A. Agama dalam Pendekatan Sosiologi Agama merupakan hal penting dalam kehidupan bermasyarakat. Secara garis besar studi agama dalam kajian antropologi dapat dikategorikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lain, mulai dari lingkungan lokal (keluarga) sampai ke lingkungan sosial luar (masyarakat).

BAB I PENDAHULUAN. lain, mulai dari lingkungan lokal (keluarga) sampai ke lingkungan sosial luar (masyarakat). BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang 1.1 Identifikasi Masalah Manusia entah sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial membutuhkan orang lain dalam lingkup kehidupannya. Manusia akan selalu berhadapan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. agama-agama asli (agama suku) dengan pemisahan negeri, pulau, adat yang

I. PENDAHULUAN. agama-agama asli (agama suku) dengan pemisahan negeri, pulau, adat yang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keberagamaan orang Maluku, dapat dipahami melalui penelusuran sejarah yang memberi arti penting bagi kehidupan bersama di Maluku. Interaksiinteraksi keagamaan

Lebih terperinci

B A B V P E N U T U P. Fakta-fakta dan analisis dalam tulisan ini, menuntun pada kesimpulan

B A B V P E N U T U P. Fakta-fakta dan analisis dalam tulisan ini, menuntun pada kesimpulan 5.1. Kesimpulan B A B V P E N U T U P Fakta-fakta dan analisis dalam tulisan ini, menuntun pada kesimpulan umum bahwa integrasi sosial dalam masyarakat Sumba di Kampung Waiwunga, merupakan konstruksi makna

Lebih terperinci

BAB II SOLIDARITAS SOSIAL DALAM PERSPEKTIF EMILE DURKHEIM. dengan pihak-pihak terkait. Peneliti memilih teori Solidaritas Emile Durkhei, teori ini

BAB II SOLIDARITAS SOSIAL DALAM PERSPEKTIF EMILE DURKHEIM. dengan pihak-pihak terkait. Peneliti memilih teori Solidaritas Emile Durkhei, teori ini BAB II SOLIDARITAS SOSIAL DALAM PERSPEKTIF EMILE DURKHEIM Melihat kondisi solidaritas dan berdasarkan observasi, serta wawancara dengan pihak-pihak terkait. Peneliti memilih teori Solidaritas Emile Durkhei,

Lebih terperinci

BAB II : KAJIAN TEORITIK. mengajar di tingkat universitas memberikan khusus sosiologi pertama kali di

BAB II : KAJIAN TEORITIK. mengajar di tingkat universitas memberikan khusus sosiologi pertama kali di BAB II : KAJIAN TEORITIK a. Solidaritas Sosial Durkheim dilahirkan di Perancis dan merupakan anak seorang laki-laki dari keluarga Yahudi. Dia mahir dalam ilmu hukum filsafat positif. Dia terakhir mengajar

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORITIS

BAB II KAJIAN TEORITIS BAB II KAJIAN TEORITIS Pada BAB ini akan menjelaskan mengenai pengenalan totem yang dipakai berdasarkan pemahaman dari Emile Durkheim dan Mircea Eliade. Pemahaman mereka mengenai totem beserta dengan fungsinya,

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS. Hindu merupakan suatu hewan yang dihormati dan disucikan. beragama tidak dapat dilepaskan dari bendanya.

BAB V ANALISIS. Hindu merupakan suatu hewan yang dihormati dan disucikan. beragama tidak dapat dilepaskan dari bendanya. BAB V ANALISIS A. Sakral dan Profan Pengertian sakral yaitu hal yang lebih dirasakan dari pada yang dilukiskan. Misalnya suatu benda mengandung nilai sakral atau nilai profan, dalam masyarakat terdapat

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. budaya Jawa terhadap liturgi GKJ adalah ada kesulitan besar pada tata

BAB V PENUTUP. budaya Jawa terhadap liturgi GKJ adalah ada kesulitan besar pada tata BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan Kesimpulan akhir dari penelitian tentang teologi kontekstual berbasis budaya Jawa terhadap liturgi GKJ adalah ada kesulitan besar pada tata peribadahan GKJ di dalam menanamkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara yang begitu unik. Keunikan negara ini tercermin pada setiap dimensi kehidupan masyarakatnya. Negara kepulauan yang terbentang dari

Lebih terperinci

LATIHAN PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI TERBUKA

LATIHAN PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI TERBUKA LATIHAN PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI TERBUKA 1. BPUPKI dalam sidangnya pada 29 Mei sampai dengan 1 Juni 1945 membicarakan. a. rancangan UUD b. persiapan kemerdekaan c. konstitusi Republik Indonesia Serikat

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. Tabob merupakan hewan yang disakralkan oleh masyarakat Nufit (dalam hal ini

BAB V KESIMPULAN. Tabob merupakan hewan yang disakralkan oleh masyarakat Nufit (dalam hal ini BAB V KESIMPULAN Tabob merupakan hewan yang disakralkan oleh masyarakat Nufit (dalam hal ini yang dimaksud adalah Nufit Haroa yaitu Tuun En Fit yang terdiri dari tujuh ohoi) yang berada di wilayah Kecamatan

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan zaman senantiasa memberikan perubahan yang cukup besar pada diri manusia. Perubahan yang cukup signifikan pada diri manusia adalah gaya hidup (lifestyle).

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN

UKDW BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN A. PERMASALAHAN 1. Latar Belakang Masalah a) Gambaran GKP Dan Konteksnya Secara Umum Gereja Kristen Pasundan atau disingkat GKP melaksanakan panggilan dan pelayanannya di wilayah Jawa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UKDW. E.P. Ginting, Religi Karo: Membaca Religi Karo dengan Mata yang Baru (Kabanjahe: Abdi Karya, 1999), hlm.

BAB I PENDAHULUAN UKDW. E.P. Ginting, Religi Karo: Membaca Religi Karo dengan Mata yang Baru (Kabanjahe: Abdi Karya, 1999), hlm. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan Secara umum masyarakat Karo menganggap bahwa agama Hindu-Karo adalah agama Pemena (Agama Pertama/Awal). Dalam agama Pemena, terdapat pencampuran konsep

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kehidupan sosial, adat istiadat. Indonesia memiliki beragam kebudayaan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kehidupan sosial, adat istiadat. Indonesia memiliki beragam kebudayaan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia yang terdiri atas beberapa pulau dan kepulauan serta di pulau-pulau itu terdapat berbagai suku bangsa masing-masing mempunyai kehidupan sosial,

Lebih terperinci

Menurut penerbitnya, buku Studying Christian Spirituality ini adalah

Menurut penerbitnya, buku Studying Christian Spirituality ini adalah Tinjauan Buku STUDYING CHRISTIAN SPIRITUALITY Jusuf Nikolas Anamofa janamofa@yahoo.com Judul Buku : Studying Christian Spirituality Penulis : David B. Perrin Tahun Terbit : 2007 Penerbit : Routledge -

Lebih terperinci

lambang dan Citra citra Rakyat (PERSETIA. 1992), hlm.27 6 Scn 3, hlm

lambang dan Citra citra Rakyat (PERSETIA. 1992), hlm.27 6 Scn 3, hlm BAB I PENDAHULUAN 1. Permasalahan 1.1. Latar Belakang Masalah Manusia pada hakekatnya adalah makhluk berbudaya, karena itu manusia tidak dapat lepas dari budaya yang dianutnya. Suatu budaya memiliki nilai

Lebih terperinci

BAB II SOLIDARITAS SOSIAL-EMILE DURKHEIM. objek penelitian.sebagai alat, teori tersebut dipilih yang paling memadai, paling

BAB II SOLIDARITAS SOSIAL-EMILE DURKHEIM. objek penelitian.sebagai alat, teori tersebut dipilih yang paling memadai, paling 49 BAB II SOLIDARITAS SOSIAL-EMILE DURKHEIM Kerangka teori adalah teori-teori yang dianggap relevan untuk menganalisis objek penelitian.sebagai alat, teori tersebut dipilih yang paling memadai, paling

Lebih terperinci

UKDW BAB I. Pendahuluan. 1. Latar Belakang Masalah. Secara umum dipahami bahwa orang Indonesia harus beragama. Ini salah

UKDW BAB I. Pendahuluan. 1. Latar Belakang Masalah. Secara umum dipahami bahwa orang Indonesia harus beragama. Ini salah BAB I Pendahuluan 1. Latar Belakang Masalah Secara umum dipahami bahwa orang Indonesia harus beragama. Ini salah satunya karena Indonesia berdasar pada Pancasila, dan butir sila pertamanya adalah Ketuhanan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISA HASIL PENELITIAN. 1. Solidaritas Sosial sebagai Kekuatan dalam Hubungan Kekerabatan dan

BAB IV ANALISA HASIL PENELITIAN. 1. Solidaritas Sosial sebagai Kekuatan dalam Hubungan Kekerabatan dan BAB IV ANALISA HASIL PENELITIAN 1. Solidaritas Sosial sebagai Kekuatan dalam Hubungan Kekerabatan dan Perkawinan Masyarakat Aimoli Masyarakat di kampung Aimoli meyakini bahwa mereka adalah satu keluarga

Lebih terperinci

BAB II TEORI SOSIOLOGI PENGETAHUAN

BAB II TEORI SOSIOLOGI PENGETAHUAN BAB II TEORI SOSIOLOGI PENGETAHUAN Pada umumnya manusia dilahirkan seorang diri. Namun demikian, mengapa manusia harus hidup bermasyarakat. Manusia tanpa manusia lainnya pasti akan mati. Bayi misalnya,

Lebih terperinci

AGAMA dan PERUBAHAN SOSIAL. Oleh : Erna Karim

AGAMA dan PERUBAHAN SOSIAL. Oleh : Erna Karim AGAMA dan PERUBAHAN SOSIAL Oleh : Erna Karim DEFINISI AGAMA MENGUNDANG PERDEBATAN POLEMIK (Ilmu Filsafat Agama, Teologi, Sosiologi, Antropologi, dan Ilmu Perbandingan Agama) TIDAK ADA DEFINISI AGAMA YANG

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. satuan kekerabatan suatu ikatan yang dituturkan dalam sebuah cerita rakyat,

PENDAHULUAN. satuan kekerabatan suatu ikatan yang dituturkan dalam sebuah cerita rakyat, BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang 1.1. Identifikasi Permasalahan Adanya ikatan persaudaraan ibarat adik kakak yang terjalin antar satuan kekerabatan suatu ikatan yang dituturkan dalam sebuah cerita rakyat,

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan

UKDW BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Permasalahan The Meeting Place of World Religions. 1 Demikianlah predikat yang dikenakan pada Indonesia berkaitan dengan kemajemukan agama yang ada. Selain majemuk

Lebih terperinci

BAB IV KESIMPULAN. dipenuhi dengan budaya-budaya yang beragam di mana mengakui keberagaman,

BAB IV KESIMPULAN. dipenuhi dengan budaya-budaya yang beragam di mana mengakui keberagaman, BAB IV KESIMPULAN Masyarakat yang plural atau majemuk merupakan masyarakat yang dipenuhi dengan budaya-budaya yang beragam di mana mengakui keberagaman, perbedaan, dan kemajemukan budaya, baik ras, suku,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UKDW

BAB I PENDAHULUAN UKDW BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Bangsa Indonesia adalah bangsa yang khas dengan pluralitas agama dan budaya. Pluralitas sendiri dapat diterjemahkan sebagai kemajemukan yang lebih mengacu pada jumlah

Lebih terperinci

Paham Nasionalisme atau Paham Kebangsaan

Paham Nasionalisme atau Paham Kebangsaan PERTEMUAN KE 2 1 Identitas Nasional pada hakikatnya merupakan manifestasi nilai-nilai budaya yang tumbuh dan berkembang dalam aspek kehidupan suatu nation (bangsa) dengan ciri-ciri khas, dan dengan ciri-ciri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UKDW

BAB I PENDAHULUAN UKDW BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN Gereja Kristen Pasundan (GKP) berada dalam konteks masyarakat Jawa bagian barat yang majemuk baik suku, agama, budaya daerah dan status sosial ekonomi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. [Type text]

BAB I PENDAHULUAN. [Type text] BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Tari adalah suatu pertunjukan yang melibatkan seluruh elemen masyarakat pendukungnya. Tari merupakan warisan budaya leluhur dari beberapa abad yang lampau. Tari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ajarannya akan berbeda dengan mainstream, bahkan memiliki kemungkinan terjadi

BAB I PENDAHULUAN. ajarannya akan berbeda dengan mainstream, bahkan memiliki kemungkinan terjadi BAB I PENDAHULUAN I. Latar Belakang Masalah Dalam suatu masyarakat terdapat sebuah sistem dan komponen yang mendukung eksistensi komunitas. Komponen itu antara lain agama, kewarganegaraan, identitas suku,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Permasalahan.

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Permasalahan. BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Permasalahan. Kemajemukan merupakan realitas yang menjadi salah satu ciri dari kondisi masa sekarang ini. Di era modern yang untuk sementara kalangan sudah berlalu

Lebih terperinci

BAB II AGAMA DALAM PRESPEKTIF FILOSOFIS

BAB II AGAMA DALAM PRESPEKTIF FILOSOFIS 21 BAB II AGAMA DALAM PRESPEKTIF FILOSOFIS A. Profan dan Sakral 1. Pengertian Profan dan Sakral Profan adalah sesuatu yang biasa, yang bersifat umum dan dianggap tidak penting. Sedangakan sakral adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Dalam kehidupan di Indonesia pluralitas agama merupakan realitas hidup yang tidak mungkin dipungkiri oleh siapapun. Di negeri ini semua orang memiliki kebebasan

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA TEORI. dan bangsa, dalam semua tempat dan waktu, yang dibuat oleh sang pencipta alam

BAB II KERANGKA TEORI. dan bangsa, dalam semua tempat dan waktu, yang dibuat oleh sang pencipta alam BAB II KERANGKA TEORI 2.1 Agama dan Masyarakat Agama mempunyai peraturan yang mutlak berlaku bagi segenap manusia dan bangsa, dalam semua tempat dan waktu, yang dibuat oleh sang pencipta alam semesta sehingga

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN. Berdasarkan pemahaman pada Bab I-IV, maka pada bagian akhir tesis ini terdapat

BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN. Berdasarkan pemahaman pada Bab I-IV, maka pada bagian akhir tesis ini terdapat BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN Berdasarkan pemahaman pada Bab I-IV, maka pada bagian akhir tesis ini terdapat beberapa hal pokok yang akan ditegaskan sebagai inti pemahaman masyarakat Tunua tentang fakta

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN DAN ANALISIS. persaudaraan antar keluarga/gandong sangat diprioritaskan. Bagaimana melalui meja

BAB IV PEMBAHASAN DAN ANALISIS. persaudaraan antar keluarga/gandong sangat diprioritaskan. Bagaimana melalui meja BAB IV PEMBAHASAN DAN ANALISIS Salah satu adat perkawinan di Paperu adalah adat meja gandong. Gandong menjadi penekanan utama. Artinya bahwa nilai kebersamaan atau persekutuan atau persaudaraan antar keluarga/gandong

Lebih terperinci

12. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Katolik untuk Sekolah Menengah Atas (SMA)/Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)

12. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Katolik untuk Sekolah Menengah Atas (SMA)/Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) 12. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Katolik untuk Sekolah Menengah Atas (SMA)/Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) A. Latar Belakang Agama memiliki peran yang amat penting dalam kehidupan umat manusia. Agama

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN

UKDW BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Suku bangsa Sabu atau yang biasa disapa Do Hawu (orang Sabu), adalah sekelompok masyarakat yang meyakini diri mereka berasal dari satu leluhur bernama Kika Ga

Lebih terperinci

MAZHAB FILSAFAT PENDIDIKAN. Imam Gunawan

MAZHAB FILSAFAT PENDIDIKAN. Imam Gunawan MAZHAB FILSAFAT PENDIDIKAN Imam Gunawan PERENIALISME Merupakan suatu aliran dalam pendidikan yang lahir pada abad 20. Perenialisme lahir sebagai suatu reaksi terhadap pendidikan progresif. Mereka menentang

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN

UKDW BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Indonesia merupakan negara di wilayah Asia secara geografis yang diwarnai oleh dua kenyataan, yaitu kemajemukan agama dan kebudayaan, serta situasi kemiskinan

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang Permasalahan

UKDW BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang Permasalahan BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Permasalahan Perkawinan adalah bersatunya dua orang manusia yang bersama-sama sepakat untuk hidup di dalam satu keluarga. Setiap manusia memiliki hak yang sama untuk

Lebih terperinci

STRUKTUR KURIKULUM 2013 MATA PELAJARAN PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN SD/MI, SMP/MTS, SMA/MA DAN SMK/MAK

STRUKTUR KURIKULUM 2013 MATA PELAJARAN PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN SD/MI, SMP/MTS, SMA/MA DAN SMK/MAK A. SD/MI KELAS: I STRUKTUR KURIKULUM 2013 MATA PELAJARAN PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN SD/MI, SMP/MTS, SMA/MA DAN SMK/MAK Kompetensi Dasar Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan 1. Menerima

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN

UKDW BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kehidupan manusia tak dapat dilepaskan dari spiritualitas. Spiritualitas melekat dalam diri setiap manusia dan merupakan ekspresi iman kepada Sang Ilahi. Sisi spiritualitas

Lebih terperinci

BAB IV ANALISA DAN REFLEKSI TEOLOGIS. Seperti yang telah dipaparkan dalam Bab I, maka dalam Bab IV ini akan dipaparkan

BAB IV ANALISA DAN REFLEKSI TEOLOGIS. Seperti yang telah dipaparkan dalam Bab I, maka dalam Bab IV ini akan dipaparkan BAB IV ANALISA DAN REFLEKSI TEOLOGIS A. PENDAHULUAN Seperti yang telah dipaparkan dalam Bab I, maka dalam Bab IV ini akan dipaparkan analisa yang berkaitan antara Bab II dan Bab III dengan menjawab 1 tujuan

Lebih terperinci

BAB IV. 1. Makna dan Nilai wariwaa dalam adat. Pada umumnya kehidupan manusia tidak terlepas dari adat istiadat,

BAB IV. 1. Makna dan Nilai wariwaa dalam adat. Pada umumnya kehidupan manusia tidak terlepas dari adat istiadat, BAB IV ANALISIS 1. Makna dan Nilai wariwaa dalam adat Pada umumnya kehidupan manusia tidak terlepas dari adat istiadat, yang secara sadar maupun tidak telah membentuk dan melegalkan aturan-aturan yang

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN DAN ANALISA. IV.1 Sakralnya Pusat Pulau Dalam Pemahaman Orang Abubu

BAB IV PEMBAHASAN DAN ANALISA. IV.1 Sakralnya Pusat Pulau Dalam Pemahaman Orang Abubu BAB IV PEMBAHASAN DAN ANALISA IV.1 Sakralnya Pusat Pulau Dalam Pemahaman Orang Abubu Dari hasil penelitian seperti yang telah dipaparkan dalam Bab III sebagai Pendekatan Lapangan, diketahui bahwa orang

Lebih terperinci

DIMANA BUMI DIPIJAK DISITU LANGIT DIJUNJUNG

DIMANA BUMI DIPIJAK DISITU LANGIT DIJUNJUNG DIMANA BUMI DIPIJAK DISITU LANGIT DIJUNJUNG Bangsa Indonesia yang merupakan negara kepulauan, memiliki beraneka ragam suku bangsa dan budaya. Masing-masing budaya memiliki adat-istiadat, kebiasaan, nilai-nilai

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang Permasalahan

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang Permasalahan BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Permasalahan Papua terkenal dengan pulau yang memiliki banyak suku, baik suku asli Papua maupun suku-suku yang datang dan hidup di Papua. Beberapa suku-suku asli Papua

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. mempertahankan identitas dan tatanan masyarakat yang telah mapan sejak lama.

BAB V PENUTUP. mempertahankan identitas dan tatanan masyarakat yang telah mapan sejak lama. BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Berdasarkan pembahasan kasus konversi agama di Bukitsari maka dapat disimpulkan bahwa beberapa kepala keluarga (KK) di daerah tersebut dinyatakan benar melakukan pindah agama

Lebih terperinci

BAB I SOSIOLOGI SEBAGAI ILMU

BAB I SOSIOLOGI SEBAGAI ILMU SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN SOSIOLOGI BAB I SOSIOLOGI SEBAGAI ILMU ALI IMRON, S.Sos., M.A. Dr. SUGENG HARIANTO, M.Si. KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki banyak suku, etnis dan budaya. Salah satunya adalah suku

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki banyak suku, etnis dan budaya. Salah satunya adalah suku BAB I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Masalah Indonesia memiliki banyak suku, etnis dan budaya. Salah satunya adalah suku X di Kabupaten Papua yang menganut tradisi potong jari ketika salah seorang anggota

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Dari rangkaian Uraian yang telah dijelaskan pada bab-bab sebelumnya,

BAB V PENUTUP. Dari rangkaian Uraian yang telah dijelaskan pada bab-bab sebelumnya, BAB V PENUTUP Dari rangkaian Uraian yang telah dijelaskan pada bab-bab sebelumnya, maka pada bab terakhir ini penulis akan menyimpulkan fenomena-fenomena sosial mengenai pemahaman Komunitas Bupolo di Buru

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tujuan pendidikan nasional dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tujuan pendidikan nasional dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tujuan pendidikan nasional dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 pada Pasal 3 menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sekali. Selain membawa kemudahan dan kenyamanan hidup umat manusia.

BAB I PENDAHULUAN. sekali. Selain membawa kemudahan dan kenyamanan hidup umat manusia. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di era global, plural, multikultural seperti sekarang setiap saat dapat saja terjadi peristiwa-peristiwa yang tidak dapat terbayangkan dan tidak terduga sama

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latarbelakang

UKDW BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latarbelakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latarbelakang Pluralitas agama merupakan sebuah kenyataan yang tidak dapat lagi dihindari atau disisihkan dari kehidupan masyarakat umat beragama. Kenyataan akan adanya pluralitas

Lebih terperinci

NILAI-NILAI SIKAP TOLERAN YANG TERKANDUNG DALAM BUKU TEMATIK KELAS 1 SD Eka Wahyu Hidayati

NILAI-NILAI SIKAP TOLERAN YANG TERKANDUNG DALAM BUKU TEMATIK KELAS 1 SD Eka Wahyu Hidayati NILAI-NILAI SIKAP TOLERAN YANG TERKANDUNG DALAM BUKU TEMATIK KELAS 1 SD Eka Wahyu Hidayati I Proses pendidikan ada sebuah tujuan yang mulia, yaitu penanaman nilai yang dilakukan oleh pendidik terhadap

Lebih terperinci

BAB VIII KESIMPULAN. kesengsaraan, sekaligus kemarahan bangsa Palestina terhadap Israel.

BAB VIII KESIMPULAN. kesengsaraan, sekaligus kemarahan bangsa Palestina terhadap Israel. BAB VIII KESIMPULAN Puisi Maḥmūd Darwīsy merupakan sejarah perlawanan sosial bangsa Palestina terhadap penjajahan Israel yang menduduki tanah Palestina melalui aneksasi. Puisi perlawanan ini dianggap unik

Lebih terperinci

PENDIDIKAN PANCASILA. Pancasila Sebagai Ideologi Negara. Modul ke: 05Fakultas EKONOMI. Program Studi Manajemen S1

PENDIDIKAN PANCASILA. Pancasila Sebagai Ideologi Negara. Modul ke: 05Fakultas EKONOMI. Program Studi Manajemen S1 Modul ke: 05Fakultas Gunawan EKONOMI PENDIDIKAN PANCASILA Pancasila Sebagai Ideologi Negara Wibisono SH MSi Program Studi Manajemen S1 Tujuan Perkuliahan Menjelaskan: Pengertian Ideologi Pancasila dan

Lebih terperinci

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PENGEMBANGAN ETIKA DAN MORAL BANGSA. Dr. H. Marzuki Alie KETUA DPR-RI

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PENGEMBANGAN ETIKA DAN MORAL BANGSA. Dr. H. Marzuki Alie KETUA DPR-RI DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PENGEMBANGAN ETIKA DAN MORAL BANGSA Dr. H. Marzuki Alie KETUA DPR-RI Disampaikan Pada Sarasehan Nasional Pendidikan Budaya Politik Nasional Berlandaskan Pekanbaru,

Lebih terperinci

BAB II PENDEKATAN TEORITIS. Asumsi umum yang paling fundamental yang mendasari pendekatan Durkheim

BAB II PENDEKATAN TEORITIS. Asumsi umum yang paling fundamental yang mendasari pendekatan Durkheim BAB II PENDEKATAN TEORITIS A. Fakta Sosial Asumsi umum yang paling fundamental yang mendasari pendekatan Durkheim mengenai sosiologi adalah bahwa gejala sosial itu riil dan mempengaruhi kesadaran individu

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP VI.1. Kesimpulan Data.

BAB VI PENUTUP VI.1. Kesimpulan Data. 219 BAB VI PENUTUP Dari hasil analisa terhadap ulos dalam konsep nilai inti berdasarkan konteks sosio-historis dan perkawinan adat Batak bagi orang Batak Toba di Jakarta. Juga analisa terhadap ulos dalam

Lebih terperinci

BAB VII KESIMPULAN. Kesimpulan

BAB VII KESIMPULAN. Kesimpulan BAB VII KESIMPULAN Kesimpulan Setiap bangsa tentu memiliki apa yang disebut sebagai cita-cita bersama sebagai sebuah bangsa. Indonesia, negara dengan beragam suku, bahasa, agama dan etnis, juga pastinya

Lebih terperinci

MEMBANGUN KERUKUNAN ANTAR UMAT BERAGAMA: Perspektif Sosiologis. Prof. Dr. H. Nur Syam, MSi Guru Besar Sosiologi IAIN Sunan Ampel

MEMBANGUN KERUKUNAN ANTAR UMAT BERAGAMA: Perspektif Sosiologis. Prof. Dr. H. Nur Syam, MSi Guru Besar Sosiologi IAIN Sunan Ampel MEMBANGUN KERUKUNAN ANTAR UMAT BERAGAMA: Perspektif Sosiologis Prof. Dr. H. Nur Syam, MSi Guru Besar Sosiologi IAIN Sunan Ampel Dasar Filosofis Rukun: Orang Indonesia (khususnya Orang Jawa) selalu mengedepankan

Lebih terperinci

Menguatkan Nasionalisme Baru Generasi Muda yang Berkarakter (dalam Upaya Mengembangkan Model Pencegahan Radikalisme dan Terorisme di Kampus)

Menguatkan Nasionalisme Baru Generasi Muda yang Berkarakter (dalam Upaya Mengembangkan Model Pencegahan Radikalisme dan Terorisme di Kampus) Seminar 129 Nasional Abdul Hukum Rasyid Saliman Universitas dan Negeri Rio Armanda Semarang Agustian Volume 3 Nomor 1 Tahun 2017, 129-134 Fakultas Hukum, Faculty of Law Menguatkan Nasionalisme Baru Generasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. informal dalam keluarga, komunitas suatu suku, atau suatu wilayah.

BAB I PENDAHULUAN. informal dalam keluarga, komunitas suatu suku, atau suatu wilayah. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kemajemukan yang dimiliki oleh bangsa Indonsia adalah suatu kekayaan yang tak ternilai harganya, oleh karenanya perlu mendapat dukungan serta kepedulian bersama dari

Lebih terperinci

2.2 Fungsi Pancasila Sebagai Ideologi Bangsa dan Negara...7

2.2 Fungsi Pancasila Sebagai Ideologi Bangsa dan Negara...7 DAFTAR ISI COVER DAFTAR ISI...1 BAB 1 PENDAHULUAN...2 1.1 Latar Belakang Masalah...2 1.2 Rumusan Masalah...2 1.3 Tujuan Penulisan...3 BAB 2 PEMBAHASAN...4 2.1 Pancasila Sebagai Ideologi Nasional Bangsa...4

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. manusia, mitos dan ritual saling berkaitan. Penghadiran kembali pengalaman

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. manusia, mitos dan ritual saling berkaitan. Penghadiran kembali pengalaman BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ritual merupakan suatu proses pelaksanaan tradisi. Meskipun sudah ada ritual tanpa mitos-mitos dalam beberapa periode jaman kuno. Dalam tingkah laku manusia,

Lebih terperinci

SEKOLAH TINGGI MANAJEMEN INFORMATIKA DAN KOMPUTER AMIKOM YOGYAKARTA

SEKOLAH TINGGI MANAJEMEN INFORMATIKA DAN KOMPUTER AMIKOM YOGYAKARTA HUBUNGAN ANTAR AGAMA DI INDONESIA Dosen : Mohammad Idris.P, Drs, MM Nama : Dwi yuliani NIM : 11.12.5832 Kelompok : Nusa Jurusan : S1- SI 07 SEKOLAH TINGGI MANAJEMEN INFORMATIKA DAN KOMPUTER AMIKOM YOGYAKARTA

Lebih terperinci

PANCASILA IDEOLOGI TERBUKA

PANCASILA IDEOLOGI TERBUKA PANCASILA IDEOLOGI TERBUKA Era global menuntut kesiapan segenap komponen Bangsa untuk mengambil peranan sehingga pada muara akhirnya nanti dampak yang kemungkinan muncul, khususnya dampak negatif dari

Lebih terperinci

10. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Kristen untuk Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa Tunalaras (SMPLB E)

10. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Kristen untuk Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa Tunalaras (SMPLB E) 10. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Kristen untuk Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa Tunalaras (SMPLB E) A. Latar Belakang Agama memiliki peran yang amat penting dalam kehidupan umat manusia. Agama menjadi

Lebih terperinci

BAB IV PENUTUP. yang direpresentasikan dalam film PK ditunjukan dengan scene-scene yang. tersebut dan hubungan kelompok dengan penganut agama lain.

BAB IV PENUTUP. yang direpresentasikan dalam film PK ditunjukan dengan scene-scene yang. tersebut dan hubungan kelompok dengan penganut agama lain. digilib.uns.ac.id 128 BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan Film PK merupakan film bertemakan agama yang memberikan gambaran tentang pluralitas elemen agama yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari di negara India.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UKDW

BAB I PENDAHULUAN UKDW 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Ibadah merupakan sebuah bentuk perjumpaan manusia dengan Allah, pun juga dengan corak masing-masing sesuai dengan pengalaman iman dari setiap individu atau

Lebih terperinci

BAB II PERSELINGKUHAN DAN KONTROL SOSIAL - DURKHEIM

BAB II PERSELINGKUHAN DAN KONTROL SOSIAL - DURKHEIM BAB II PERSELINGKUHAN DAN KONTROL SOSIAL - DURKHEIM A. Perselingkuhan Perselingkuhan adalah hubungan pribadi di luar nikah, yang melibatkan sekurangnya satu orang yang berstatus nikah, dan didasari oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Amin Abdullah, studi mengenai agama-agama ini bertujuan untuk

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Amin Abdullah, studi mengenai agama-agama ini bertujuan untuk BAB I PENDAHULUAN 1. Permasalahan 1.1 Latar Belakang Permasalahan Pada akhir abad 19, mulai berkembang sebuah disiplin ilmu baru yang terpisah dari disiplin ilmu lainnya. Pada awal perkembangannya ilmu

Lebih terperinci

EKSISTENSIALISME (1) Eksistensialisme:

EKSISTENSIALISME (1) Eksistensialisme: EKSISTENSIALISME (1) Eksistensialisme: Filsafat eksistensialisme merupakan pemberontakan terhadap beberapa sifat dari filsafat tradisional dan masyarakat modern. Eksistensialisme suatu protes terhadap

Lebih terperinci

Bab Tiga Belas Kesimpulan

Bab Tiga Belas Kesimpulan Bab Tiga Belas Kesimpulan Kehidupan manusia senantiasa terus diperhadapkan dengan integrasi, konflik dan reintegrasi. Kita tidak dapat menghindar dari hubungan dialektika tersebut. Inilah realitas dari

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan. Dorongan beragama bagi manusia merupakan tuntutan yang tidak dapat dihindari.

Bab I Pendahuluan. Dorongan beragama bagi manusia merupakan tuntutan yang tidak dapat dihindari. 1 Bab I Pendahuluan Latar Belakang Masalah Dorongan beragama bagi manusia merupakan tuntutan yang tidak dapat dihindari. Dorongan beragama merupakan dorongan psikis yang merupakan landasan ilmiah dalam

Lebih terperinci

KEADILAN, PERDAMAIAN DAN KEUTUHAN CIPTAAN

KEADILAN, PERDAMAIAN DAN KEUTUHAN CIPTAAN KEADILAN, PERDAMAIAN DAN KEUTUHAN CIPTAAN DALAM KONSTITUSI KITA Kita mengembangkan kesadaran dan kepekaan terhadap masalah-masalah keadilan, damai dan keutuhan ciptaan.para suster didorong untuk aktif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1. PERMASALAHAN Latar Belakang Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. 1. PERMASALAHAN Latar Belakang Permasalahan BAB I PENDAHULUAN 1. PERMASALAHAN 1. 1. Latar Belakang Permasalahan Pendidikan merupakan suatu hal yang mendasar dalam kehidupan manusia karena pendidikan dan kehidupan manusia selalu berjalan bersama.

Lebih terperinci

2015 PEMBINAAN KECERDASAN SOSIAL SISWA MELALUI KEGIATAN PRAMUKA (STUDI KASUS DI SDN DI KOTA SERANG)

2015 PEMBINAAN KECERDASAN SOSIAL SISWA MELALUI KEGIATAN PRAMUKA (STUDI KASUS DI SDN DI KOTA SERANG) 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 berisi rumusan tujuan pendidikan yang kaya dengan dimensi moralitas, sebagaimana disebutkan dalam

Lebih terperinci

PERGESERAN POLA PIKIR REMAJA TENTANG KONSEP PANDANGAN HIDUP DAN UPAYA MENJADIKAN PANCASILA SEBAGAI SEMANGAT HIDUP REMAJA.

PERGESERAN POLA PIKIR REMAJA TENTANG KONSEP PANDANGAN HIDUP DAN UPAYA MENJADIKAN PANCASILA SEBAGAI SEMANGAT HIDUP REMAJA. BAB II PERGESERAN POLA PIKIR REMAJA TENTANG KONSEP PANDANGAN HIDUP DAN UPAYA MENJADIKAN PANCASILA SEBAGAI SEMANGAT HIDUP REMAJA. 2.1 Pancasila Sebagai Pedoman Bangsa Pancasila adalah ideologi bangsa dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah salah satu negara yang dilihat dari letak geografis

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah salah satu negara yang dilihat dari letak geografis BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah salah satu negara yang dilihat dari letak geografis merupakan negara yang kaya dibandingkan dengan negara yang lainnya, hal ini dapat dibuktikan

Lebih terperinci

2.4 Uraian Materi Pengertian dan Hakikat dari Pancasila sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia Sebagai pendangan hidup bangsa Indonesia,

2.4 Uraian Materi Pengertian dan Hakikat dari Pancasila sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia Sebagai pendangan hidup bangsa Indonesia, 2.4 Uraian Materi 2.4.1 Pengertian dan Hakikat dari Pancasila sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia Sebagai pendangan hidup bangsa Indonesia, Pancasila berarti konsepsi dasar tentang kehidupan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kenyataan yang tak terbantahkan. Penduduk Indonesia terdiri atas berbagai

BAB I PENDAHULUAN. kenyataan yang tak terbantahkan. Penduduk Indonesia terdiri atas berbagai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Indonesia sebagai suatu negara multikultural merupakan sebuah kenyataan yang tak terbantahkan. Penduduk Indonesia terdiri atas berbagai etnik yang menganut

Lebih terperinci

Bab 7 PENUTUP A. Kesimpulan 1. Praktik Makan Patita

Bab 7 PENUTUP A. Kesimpulan 1. Praktik Makan Patita Bab 7 PENUTUP A. Kesimpulan 1. Praktik Makan Patita Suatu praktik dalam masyarakat tidak mungkin terpisah sepenuhnya dari kondisi riel masyarakat itu sendiri. Kondisi yang terkait dengan intensitas pelaksanaan

Lebih terperinci

MANUSIA dan AGAMA DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGI. Pertemuan III FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2014

MANUSIA dan AGAMA DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGI. Pertemuan III FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2014 MANUSIA dan AGAMA DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGI Pertemuan III FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2014 Agama adalah salah satu bentuk kontruksi sosial. Tuhan, ritual, nilai, hierarki keyakinankeyakinan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. budaya. Pada dasarnya keragaman budaya baik dari segi etnis, agama,

BAB I PENDAHULUAN. budaya. Pada dasarnya keragaman budaya baik dari segi etnis, agama, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki keragaman budaya. Pada dasarnya keragaman budaya baik dari segi etnis, agama, keyakinan, ras, adat, nilai,

Lebih terperinci

BAB V. Penutup. GKJW Magetan untuk mengungkapkan rasa syukur dan cinta kasih karena Yesus

BAB V. Penutup. GKJW Magetan untuk mengungkapkan rasa syukur dan cinta kasih karena Yesus BAB V Penutup 5.1 Kesimpulan dan Refleksi Upacara slametan sebagai salah satu tradisi yang dilaksanakan jemaat GKJW Magetan untuk mengungkapkan rasa syukur dan cinta kasih karena Yesus sebagai juruslamat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaan merupakan cabang ilmu. cita cita bangsa. Salah satu pelajaran penting yang terkandung dalam

BAB 1 PENDAHULUAN. Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaan merupakan cabang ilmu. cita cita bangsa. Salah satu pelajaran penting yang terkandung dalam BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaan merupakan cabang ilmu pendidikan yang menuntun masyarakat Indonesia untuk mampu mewujudkan cita cita bangsa. Salah satu pelajaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejarah kehidupan beragama di dunia banyak diwarnai konflik antar

BAB I PENDAHULUAN. Sejarah kehidupan beragama di dunia banyak diwarnai konflik antar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejarah kehidupan beragama di dunia banyak diwarnai konflik antar pemeluk agama, misalnya Hindu, Islam, dan Sikh di India, Islam, Kristen dan Yahudi di Palestina,

Lebih terperinci

BAB X PANCASILA DALAM PARADIGMA KEHIDUPAN BERMASYARAKAT, BERBANGSA DAN BERNEGARA

BAB X PANCASILA DALAM PARADIGMA KEHIDUPAN BERMASYARAKAT, BERBANGSA DAN BERNEGARA BAB X PANCASILA DALAM PARADIGMA KEHIDUPAN BERMASYARAKAT, BERBANGSA DAN BERNEGARA A. Pancasila Paradigma Pembangunan 1. Pengertian Paradigma Istilah paradigma menurut kamus Bahasa Indonesia, yaitu (1) daftar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN I.1. LATAR BELAKANG MASALAH 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. LATAR BELAKANG MASALAH Negara Indonesia terdiri dari berbagai macam budaya, agama, adat istiadat, bahasa, dan sukusuku bangsa yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Hal ini

Lebih terperinci

BAB VII REFLEKSI DAN KESIMPULAN

BAB VII REFLEKSI DAN KESIMPULAN BAB VII REFLEKSI DAN KESIMPULAN Fakta-fakta dan analisis di dalam disertasi ini melahirkan satu kesimpulan umum yaitu bahwa keberadaan Jemaat Eli Salom Kele i adalah sebuah hasil konstruksi sosial dan

Lebih terperinci

BAB IV MAKNA ARUH MENURUT DAYAK PITAP. landasan untuk masuk dalam bagian pembahasan yang disajikan dalam Bab IV.

BAB IV MAKNA ARUH MENURUT DAYAK PITAP. landasan untuk masuk dalam bagian pembahasan yang disajikan dalam Bab IV. BAB IV MAKNA ARUH MENURUT DAYAK PITAP 4.1. PENDAHULUAN Bertolak dari uraian tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, dan tujuan penelitian yang terdapat dalam Bab I, yang dilanjutkan dengan pembahasan

Lebih terperinci

PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI BANGSA

PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI BANGSA PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI BANGSA ABSTRAK Prinsip-prinsip pembangunan politik yang kurang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila telah membawa dampak yang luas dan mendasar bagi kehidupan manusia Indonesia.

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. sebelumnya, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

BAB V PENUTUP. sebelumnya, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan paparan yang digambarkan dalam pembahasan sebelumnya, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Proses pengukuhan PAI sebagai bagian dari mata kuliah yang harus

Lebih terperinci

Sambutan Presiden RI pada Perayaan Natal Nasional, Jakarta, 27 Desember 2012 Kamis, 27 Desember 2012

Sambutan Presiden RI pada Perayaan Natal Nasional, Jakarta, 27 Desember 2012 Kamis, 27 Desember 2012 Sambutan Presiden RI pada Perayaan Natal Nasional, Jakarta, 27 Desember 2012 Kamis, 27 Desember 2012 SAMBUTAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PADA ACARA PERAYAAN NATAL NASIONAL DI PLENARY HALL JAKARTA CONVENTION

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Permasalahan. A.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Permasalahan. A.1. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Permasalahan A.1. Latar Belakang Masalah Pekabaran Injil adalah tugas dan tanggung jawab gereja di tengah dunia. Gereja dipanggil untuk menjadi pekabar Injil (kabar sukacita, kabar

Lebih terperinci