Metode Hermeneutik dalam Pendidikan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Metode Hermeneutik dalam Pendidikan"

Transkripsi

1 Metode Hermeneutik dalam Pendidikan Sembodo Ardi Widodo Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Hermeneutics is an art of interpretation or a philosophical study of understanding. It has wider range of understanding; not only canonical texts, but also all texts, from teaching manuals to literary classics. Human acts and products, such as the act of teaching and the institution of school or university are interpreted. Here, we can see that the formulation of vision, mission, and the goal of any school and university is a result of interpretation or dialogue. Not only in this educational aspect hermeneutics plays its role, but also in teaching-learning aspect. According to hermeneutics, teaching is an art, not a science or technology. Teaching-learning process is like a dialogue or game in which participants are carried by something larger than themselves toward an insight they have not anticipated. Dialogue presupposes a subject and a desire to understand it. Openness on both sides is essential. No one must come with his mind made up. In a give and take, each participant arrives at a new understanding. Finally, genuine dialogue makes fusion of each participant s mental horizon. Keywords: hermeneutics, interpretation, philosophy, understanding, education. Pendahuluan Hermeneutika sebagai bagian dari filsafat dan metode berpikir sering digunakan dalam kajian human sciences. Dalam empat dasawarsa belakangan ini, hermenetika muncul kepermukaan sebagai salah satu alternatif pendekatan keilmuan yang bisa dikatakan sebagai respon terhadap filsafat positivisme yang menyangga peradaban modern akan tetapi tidak memberikan solusi bagi problem-problem kemanusiaan yang muncul akibat berbagai kemajuan di bidang teknologi, industri, dan informasi. Secara historis, pada masa Yunani Kuno, hermeneutika sudah menjadi wacana dan kajian filsafat. Kemudian pada masa scholastik, para teolog Kristen menggunakan metode hermeneutik untuk menginterpretasikan Kitab Suci, dan para hakim menggunakannya ketika menerapkan hukum lama untuk kasus-kasus baru yang sebelumnya belum pernah muncul. Pada abad ke-19, beberapa filosof Jerman, terutama sekali Wilhelm Dilthey menganggap bahwa interpretasi sesungguhnya adalah pusat bagi pemahaman dalam skala luas, tidak hanya interpretasi atas teks-teks hukum, tetapi meliputi semua teks, dari literatur-literatur kuno sampai pada teks atau materi pembelajaran. Selain itu, perbuatan dan hasil karya manusia seperti tindakan-tindakan dalam pembelajaran dan institusi sekolah juga dapat diinterpretasikan (Kneller,1984). Ada keterkaitan antara teks dan tindakan. Suatu tindakan, seperti tindakan dalam pembelajaran adalah penuh makna. Memahaminya serupa dengan memahami sebuah teks. Dalam setiap kasus kita bermaksud mendapatkan apa yang dicari oleh pengarang untuk diselesaikan. Untuk melakukan hal itu, kita mengambil alih tempatnya, mengasumsikan anggapananggapan dan menyelami pemikirannya. 322

2 Metode Hermeneutik dalam Pendidikan; Sembodo Ardi Widodo Dilthey menyebut proses ini dengan pemahaman empatik atau Verstehen. Pemahaman empatik, bagi Dilthey merupakan metode yang benar bagi studistudi kemanusiaan (human studies). Human Studies, termasuk di dalamnya studi kependidikan mengkaji tindakan dan hasil karya manusia sebagai ekspresi kehidupan bagian dalam pengarang atau penciptanya. Untuk memahami ekspresi seperti itu, kita harus merekonstruksi apa yang dimaksud oleh pengarang. Untuk memahami sekolah misalnya, kita harus bertanya tentang apa yang dicita-citakan oleh mereka yang terlibat dalam pengembangan sekolah tersebut (Ibid., p ) Tulisan ini dimaksudkan untuk mengkaji lebih mendalam bagaimana hermeneutika itu menjadi wacana dalam dunia pendidikan dan sekaligus sebagai salah satu alternatif metode pembelajaran. Kajian Pustaka 1. Makna Hermeneutika Akar kata hermeneutika berasal dari kata kerja bahasa Yunani hermeneuein, yang secara umum diterjemahkan to interpret, dan kata bendanya hermeneia yang berarti interpretation. Eksplorasi atas asal usul dua kata ini membawa kita kepada penggunaannya pada masa lampau dalam wilayah teologi dan literatur. Hermeneuein dan hermeneia dalam berbagai bentuknya telah dipakai dalam teks-teks klasik seperti yang ditulis oleh Aristoteles dalam Peri Hermeneias atau On Interpretation, yaitu bahwa kata-kata yang kita ucapkan adalah simbol dari pengalaman mental kita, dan kata-kata yang kita tulis adalah simbol dari kata-kata yang kita ucapkan. Selain Aristoteles, dua kata tersebut digunakan oleh para penulis atau filosof klasik seperti Plato, Xenophon, Plutarch, Euripides, Epicurus, Lucretius, dan Longinus (Palmer,1969). Munculnya istilah hermeneuein atau hermeneia terkait dengan tokoh mitologis, Hermes, yaitu seorang utusan yang mempunyai tugas menyampaikan pesan Jupiter kepada manusia. Hermes digambarkan sebagai seseorang yang mempunyai kaki bersayap. Tugas Hermes adalah menerjemahkan pesan-pesan dari dewa di Gunung Olympus ke dalam bahasa yang dapat dimengerti oleh umat manusia. Tugas Hermes ini sangat penting bagi kehidupan manusia, karena jika terjadi kesalahpahaman manusia dalam memahami pesan-pesan dewa maka akibatnya akan fatal bagi seluruh umat manusia. Hermes harus mampu menginterpretasikan pesan ke dalam bahasa yang dipergunakan oleh pendengarnya. Sejak saat itu Hermes menjadi simbol seorang duta yang mengemban misi tertentu. Keberhasilan misi ini tergantung sepenuhnya pada metode bagaimana misi itu disampaikan. Oleh karena itu, hermeneutika pada akhirnya diartikan sebagai proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti (Sumaryono,1999). Misi memahamkan pesan kepada umat manusia yang diemban oleh Hermes ini secara implisit berhubungan dengan tiga dasar makna direktif hermeneuein dan hermeneia. Tiga makna direktif ini digunakan untuk tujuan seperti: 1) Mengekspresikan suara dalam kata-kata, atau mengatakan. 2) Menjelaskan, seperti menjelaskan situasi, dan 3) menerjemahkan, seperti menerjemahkan bahasa asing ke dalam bahasanya sendiri. Ketiga arti ini dapat diekspresikan dengan kata to interpret atau menafsirkan. Masing-masing tujuan 323

3 menentukan independensi dan signifikansi makna interpretasi. Suatu interpretasi, oleh karenanya, dapat merujuk kepada ketiga tujuan tersebut. Seseorang dapat mencatat bahwa fondasi proses Hermes adalah kerja; dan kerja dalam ketiga kasus tersebut kadang-kadang berbentuk asing, keterpisahan dalam waktu, ruang, atau pengalaman, dan kadang-kadang membutuhkan representasi, eksplanasi, atau terjemahan yang membawa konsekuensi pemahaman. Semua hal tersebut perlu diinterpretasikan (Palmer,1969). Interpretasi literal dapat dimasukkan dalam kerangka interpretasi ini. Wilayahnya bisa mencakup proses pertama dan kedua (mengatakan dan menjelaskan), atau bahkan mencakup proses yang ketiga (menerjemahkan). Literatur membuat representasi dari sesuatu yang harus dipahami. Suatu teks bisa jadi terpisah di dalam subyeknya dari kita yang disebabkan oleh waktu, tempat, bahasa, dan rintanganrintangan lain dalam memahami. Hal ini dapat juga terjadi dalam memahami teks skriptural atau kitab suci. Tugas interpretator harus menjadikan sesuatu yang tidak familier, jauh, dan kabur maknanya menjadi sesuatu yang riil, dekat, dan dapat dinalar. Aspek yang beragam dari proses interpretasi ini sangatlah vital dan integral dalam kajian literatur dan demikian juga dalam kajian teologi. Dalam kajian filsafat sejarah dan ilmuilmu sosial (social sciences) dibedakan antara penjelasan (eksplanasi) tindakan dan keyakinan-keyakinan manusia dan pemahaman maknanya, yakni antara penjelasan mengapa ada tindakan atau keyakinan tertentu dalam kehidupan dan pemahaman agen apa yang terlibat dalam gerakan-gerakan atau keyakinan-keyakinan apa yang merepresentasikan hal itu. Kalangan positivis menegaskan bahwa pemahaman makna mencakup rekonstruksi imajinatif intensi dan tujuan aktornya. Rekonstruksi semacam itu bermanfaat untuk memformulasikan sebuah hipotesis dengan mencoba menjelaskan sebab-sebab munculnya tindakan. Namun demikian, pemahaman tidak bisa dimasukkan sebagai bagian dari logika keilmuan itu sendiri. Aspek ilmiah dari studi tindakan (tingkah laku) cenderung mengkonstruksi penjelasan hipotesis yang dapat dimasukkan dalam teori-teori umum tingkah laku manusia, dan mengujinya melalui metode-metode observasi empirik yang reliable. Dari sini, kemudian dapat dirumuskan hukum-hukum atau teori-teori universal yang dengannya dapat meramalkan atau menjelaskan peristiwa atau tindakan-tindakan yang akan terjadi (Gadamer,1987). Berbeda dengan model penjelasan ini, teori hermeneutika menegaskan bahwa logika sejarah dan ilmu sosial tidak sama dengan logika ilmu kealaman (natural sciences), karena pemahaman interpretatif bermain di dalamnya. Dalam pandangan ini, memahami tindakan atau keyakinan tertentu termasuk bagian dari tugas ilmiah itu sendiri yang mencoba menjelaskan mengapa hal itu terjadi. Tugas ini mencakup membaca situasi, menempatkan gerakangerakan dan kata-kata dalam konteks pemahaman dengan warna tindakan atau keyakinan yang lain. Dalam kerangka pemahaman model inilah Gadamer membangun pemikiran hermeneutiknya. Gadamer membedakan antara dua bentuk pemahaman, yakni pemahaman kebenaran isi dan pemahaman intensi. Yang pertama merujuk kepada bentuk pengetahuan substanstif. Di sini, pemahaman berarti melihat kebenaran sesuatu. Bentuk pemahaman kedua, berlawanan dengan yang pertama, mencakup pengetahuan 324

4 Metode Hermeneutik dalam Pendidikan; Sembodo Ardi Widodo kondisi, yakni alasan di balik klaim seseorang. Pemahaman seperti ini mencakup juga pemahaman psikologis, biografis, atau kondisi historis di belakang suatu klaim atau tindakan sebagai oposisi terhadap pemahaman substantif suatu klaim atau tindakan itu sendiri. Apa yang dipahami bukan isi kebenaran suatu klaim atau poin tindakan tertentu, tetapi dorongan-dorongan di belakang rekayasa seseorang atas klaim atau tindakan (Ibid;Gadamer, 1987). 2. Bidang-bidang Hermeneutika Dalam sepanjang sejarahnya, hermeneutika secara sporadis tumbuh dan berkembang sebagai teori interpretasi saat ia diperlukan untuk menerjemahkan literatur otoritatif di bawah kondisi-kondisi yang tidak mengijinkan akses kepadanya karena alasan jarak ruang dan waktu atau pada perbedaan bahasa. Sebagai cara untuk memperoleh pemahaman yang benar, hermeneutika pada awalnya dipergunakan dalam tiga jenis kapasitas: pertama, membantu diskusi mengenai bahasa teks, yaitu kosa kata dan tata bahasa, yang pada gilirannya memunculkan filologi; kedua, memfasilitasi eksegesis literatur suci; dan ketiga, menuntun yurisdiksi (Gadamer, 1987). Hermeneutika belakangan ini muncul dalam diskursus filsafat ilmu-ilmu sosial, filsafat seni dan bahasa, dan dalam kritik sastra. Persoalan-persoalan hermeneutika yang berpusar pada subyektivitas dan obyektivitas makna segera memunculkan bidang-bidang hermeneutika yang jelas-jelas terpisah, yaitu teori hermeneutika, filsafat hermeneutika, dan hermeneutika kritis. Teori hermeneutika memusatkan diri pada persoalan teori umum interpretasi sebagai metodologi bagi ilmu-ilmu humaniora. Sasaran yang ingin dicapai oleh teori hermeneutika adalah sebuah pemahaman makna yang relatif objektif dengan menggunakan serangkaian aturan yang telah dirumuskan dalam rangka memfasilitasi interpretasi yang benar. Teori hermeneutika sebagai epistemologi dan metodologi pemahaman selanjutnya dikembangkan oleh Dilthey. Ia berurusan dengan epistemologi dalam konteks Critique of Historical Reason yang mengusahakan sebuah penelitian transendental atas kondisi-kondisi mengenai kemungkinan pengetahuan historis dengan mengikuti contoh yang telah disediakan oleh Kant dalam Critique of Pure Reason. Dilthey mempertajam aspek metodologisnya menjadi interpretasi atas dokumendokumen yang secara linguistik sempurna (Bleicher, 2007). Filsafat hermeneutika memperingatkan kita akan bahaya obyektivisme di balik pendekatan metodis dan obyektivikasi atas interpretasi ekspresi-ekspresi manusia. Dengan mengembangkan kesadaran mengenai pra struktur pemahaman filsafat hermeneutik menghindarkan lebih jauh asumsi naif mengenai adanya pengetahuan yang obyektif atau netral sepenuhnya, berdasarkan kenyataan bahwa kita sesungguhnya menginterpretasikan obyek sebagai sesuatu sebelum kita menginvestigasinya (Bleicher: ,2007). Salah satu pandangan utama filsafat hermeneutik menegaskan bahwa ilmuwan sosial atau interpretator dan obyek yang diinterpretasikan pada prinsipnya telah dihubungkan oleh sebuah konteks tradisi. Hal ini mengindikasikan, bahwa ia telah memiliki sebuah pra-pemahaman atas objek tersebut, sehingga tidak mungkin untuk memulai dengan sebuah pemikiran yang netral. Filsafat hermeneutik tidak bertujuan mencapai sebuah pengetahuan objektif dengan menggunakan prosedur-prosedur metodis, melainkan pada pengungkapan dan deskripsi fenomenologis mengenai Dasein 325

5 manusia dalam temporalitas dan historisitasnya (Bleicher:ix-x,2007). Dalam perkembangan selanjutnya, hermeneutik meluas menjadi sebuah metode kritik yang secara sistematis mengubah bentuk komunikasi. Apel dan Habermas melangkah pada bidang hermeneutika kritis ini. Mereka mengkombinasikan pendekatan metodik dan objektif dengan mengusahakan pengetahuan yang secara praktis relevan. Yang dimaksud Kritis di sini secara umum adalah penaksiran atas hubungan-hubungan yang telah ada dalam pandangan standar yang berasal dari pengetahuan mengenai sesuatu yang lebih baik yang telah ada sebagai sebuah potensi atau tendensi di masa kini; ia dituntun oleh prinsip rasio sebagai tuntutan komunikasi tanpa tekanan dan pembatasan diri (Bleicher:xii,2007). 3. Pendidikan Sebagai Kajian Hermeneutik Untuk pembahasan tentang peleburan pendidikan dalam pembahasan hermeneutika, saya harus kembali kepada pengertian hermeneutika sebagaimana yang dipahami oleh Richard Palmer. Menurut Palmer, hermeneutika adalah sebuah teori yang mengatur tentang metode penafsiran, yaitu interpretasi terhadap teks dan tandatanda lain yang dapat dianggap sebagai teks (Palmer,1969). Perluasan makna teks ini berimbas kepada interpretasi wacana-wacana lain selain teks yang tertulis itu sendiri. Paul Recoeur, misalnya memperluas konsep teks kepada setiap tindakan yang disengaja untuk mencapai tujuan tertentu. Pengertian ini dikembangkan oleh Recoeur untuk membangun sebuah epistemologi baru bagi ilmu-ilmu sosial maupun humaniora. Ia menganggap bahwa objek kajian dari ilmuilmu sosial dan humaniora memiliki karakter sebagai teks; oleh karena itu, metodologi yang digunakannya harus berupa metodologi yang menyerupai kajian interpretatif yang ada dalam hermeneutika (Recoueur, 2005). Selain Recoeur, sebelumnya Gadamer juga telah memperluas kajian hermenetika dalam berbagai bidang. Dalam karyanya Hermeneutics, Religion, and Ethics, Gadamer secara nyata menerapkan hermeneutika dalam kajian keagamaan dan etika. Bahkan dalam salah satu pembahasannya, Ia mendialogkan antara agama dan sains. Bagaimana kita memahami kembali agama (Kristen) yang dulu berada di bawah otoritas gereja dan makna agama yang sekarang dikelilingi oleh kemajuan sains. Di sinilah Gadamer telah menerapkan analisis hermeunetiknya secara menarik (Gadamer, 1999). Pendidikan sebagai eksistensi yang ada di dunia ini adalah suatu realitas sosial, realitas yang memuat aktivitas atau tindakan-tindakan tertentu yang oleh aktoraktornya dikembangkan untuk tujuan tertentu. Pendidikan dengan segala aspek yang terkandung di dalamnya seperti visi, misi, dan tujuan lembaga, kurikulum, dan strategi pembelajarannya adalah sekumpulan teks atau wacana yang bisa dimasuki berbagai interpretasi. Sebagai sebuah teks atau wacana, pendidikan oleh karenanya menjadi lahan subur penerapan hermeneutika, baik sebagai metode, filsafat, maupun kritik. Perubahan paradigma pendidikan yang ada di Indonesia pada dasarnya adalah hasil dari sebuah interpretasi aktor-aktornya melalui proses dialogis dengan realitas empirik, dengan dinamika perkembangan iptek, globalisasi, tuntutan dunia kerja, demokrasi, pluralisme, dan ideologi-ideologi lainnya yang sekarang ini terus menjadi wacana eksistensial. Lembaga pendidikan dengan segala kandungannya adalah sebuah mekanisme, 326

6 Metode Hermeneutik dalam Pendidikan; Sembodo Ardi Widodo struktur, dan sekaligus menjadi wadah bagi lahirnya interpretasi sebagaimana dibakukannya wacana dalam teks. Jika teks tidak bisa lepas dari interpretasi, maka lembaga pendidikan pun tidak bisa dilepaskan dari interpretasi, yang kemudian terwujud dalam visi, misi, dan tujuan, serta diimplementasikan dalam kurikulum dan proses pembelajaran. Tidak hanya itu saja, kompetensi yang sekarang ini menjadi acuan dalam pengembangan kurikulum juga merupakan proses interpretasi. Merumuskan sebuah kompetensi pada hakikatnya adalah sebuah interpretasi, yaitu menginterpretasikan kemampuan atau kecakapan dengan tuntutan dunia luar dalam berbagai aspek. Guru dalam merumuskan kompetensi tidak ubahnya sebagai seorang hermenet yang berusaha menerjemahkan atau menginterpretasikan bagaimana sebuah kompetensi itu sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan riil di lapangan. Dalam skala yang lebih luas, untuk menegaskan bahwa pendidikan itu tidak bisa dilepaskan dari hermeneutika, kita bisa menanyakan mengapa dalam sejarah perkembangan pendidikan Islam di Indonesia terjadi heterogenitas lembaga pendidikan; ada pesantren, sekolah, madrasah, dan lembaga-lembaga non formal lainnya. Ini tidak lain adalah hasil interpretasi. Interpretasi ini terus berkembang sampai pada hal-hal yang fundamental yang dipengaruhi oleh faktor-faktor ideologis, ekonomis, maupun politis, sehingga melahirkan visi, misi, tujuan, dan kurikulum yang relatif berbeda walau pun lembaganya sama. Sekarang ini banyak kita jumpai sekolah-sekolah yang berbeda visi, misi, dan tujuannya antara sekolah yang satu dengan yang lainnya. Demikian juga dengan pesantren, madrasah, dan perguruan tinggi. Dalam perjalanan pendidikan Islam di Indoensia, kita melihat adanya interpretasiinterpretasi yang dilakukan oleh organisasiorganisasi keislaman seperti Muhammadiyah, al-irsyad, Mathla ul Anwar, dan NU dalam masalah pendidikan. Masingmasing mendirikan lembaga-lembaga pendidikan. Muhammadiyah dan al-irsyad lebih cenderung mengembangkan sekolah(nata,1997),mathla ul Anwar mengaktualisasikan pendidikan Islam dengan sistem madrasah (Djuwaeli,1997) dan NU lebih mengutamakan pendidikan Islam ala pesantren. Masing-masing organisasi mempunyai ideologi sendirisendiri. Dalam peta pembaharuan Islam di Indonesia, secara kasar barangkali bisa dipetakan sebagai berikut; Muhammadiyah (juga al-irsyad): modernis-puritan, Mathla ul Anwar: modernis-moderat, dan NU: modernis-kultural. Dengan meminjam kacamata Gadamer, kita bisa melihat di sini bahwa tradisi, dalam hal ini adalah ideologiideologi keagamaan Islam, turut mempengaruhi interpretasi atas eksistensi pendidikan. Dalam wilayah keagamaan dan pendidikan, kita bisa mengambil contoh analisis hermeneutik yang dipraktekkan oleh K.H. Ahmad Dahlan dalam menentukan tindakan dan tujuan. Dalam menafsirkan al- Qur an, K.H. Ahmad Dahlan berusaha mendialogkannya secara intens, kritis, dan serius dengan realitas historis kekhalifahan dan keumatan yang selalu berubah-ubah (Suara Muhammadiyah,2000).Ketika menafsirkan surah al-mâ ûn, beliau tidak memahaminya secara tekstual, tetapi mendialogkannya secara hermeneutis dengan realitas historis yang konkret dalam kehidupan sehari-hari, lalu diwujudkan dalam bentuk amal nyata. Sebagai buahnya adalah didirikannya rumah miskin, yayasan yatim piatu, dan rumah sakit. Begitu juga 327

7 halnya dalam memahami normativitas wahyu yang berkenaan dengan perintah membaca dan menuntut ilmu, beliau juga mendialogkannya dengan realitas historis pada saat itu, yaitu arus modernisasi yang dibawa oleh Belanda dengan model pendidikan ala sekolah yang mengajarkan ilmu-ilmu umum modern dan realitas umat Islam yang masih memahami ilmu agama itu terbatas pada ilmu-ilmu Islam klasik seperti fiqh, tauhid, hadis, al-qur an, kalam, dan lainnya dalam lembaga pendidikan model pesantren. Dan sebagai hasil penafsirannya adalah didirikannya sekolahsekolah umum dan perguruan tinggi Muhammadiyah ((Suara Muhammadiyah, 1996). Demikian juga dalam hal pemurnian agama, beliau juga mempertanyakan dan mendialogkan antara pesan doktrin dan realitas yang ada di masyarakat; apakah adat kebiasaan dan kepercayaan yang berkembang di masyarakat sesuai dengan al-qur an dan hadis. Ternyata beliau melihat ada yang tidak sesuai antara doktrin dan kenyataan. Kemudian beliau bergerak meluruskan ajaran Islam dengan salah satu caranya yakni memberantas bid ah dan khurafat (Asrofie,1983). Apa pun yang terjadi dan berlangsung dengan kerja-kerja sosial Muhammadiyah dengan berbagai kekurangan dan kelebihannya, itu semua adalah hasil interpretasi atas teks keagamaan yang berimplikasi dalam dimensi ideologi, sosial, dan pendidikan. Pembahasan Pembelajaran, menurut Gadamer, adalah dialog dalam kerangka tradisi. Guru menginterpretasikan karya-karya, peristiwa, atau teks-teks budaya dan peradaban. Guru menjadi penafsir (interpreter) dari sebuah tradisi. Tugas guru tidak hanya sekedar mentransmisikan tradisi agar siswa dapat menafsirkannya, tetapi lebih dari itu, guru memberi jalan bagi tradisi itu sendiri untuk berjalan terus secara kontinyu. Walaupun guru memegang otoritas, namun pengetahuan dan skillnya digunakan untuk memberikan semangat kepada siswa-siswa agar mau berpikir melalui apa yang mereka interpretasikan daripada sekedar menelan informasi secara mentah-mentah (Kneller,1984). Model yang digunakan dalam metode pembelajaran seperti itu adalah dialog, di mana dua atau lebih dari siswa-siswa yang ada yang semuanya membawa pengetahuan dan pandangan yang terbatas, secara bersama-sama mencapai pemahaman yang tidak diantisipasi sebelumnya. Dialog memberikan ruang bagi kebenaran untuk memunculkan diri dan dapat dimengerti oleh setiap siswa. Sebagai guru, secara jelas dia adalah pemimpin dari siswa; tetapi dalam sebuah dialog dia tidak boleh memberikan ramalan atau penafsiranpenafsiran yang mungkin muncul, kapan dan bagaimana modelnya. Dialog mempunyai momentum untuk melahirkan interpretasinya sendiri. Setiap siswa mempertanggungjawabkan dirinya, mengambil posisi yang belum pernah ia pertaruhkan sebelumnya. Gadamer mengkontraskan proses ini dengan resitasi, di mana ia mengatakan, bahwa siswa memberikan kepada guru sebuah jawaban yang diharapkan. Resitasi ini akan mengetahui apa yang akan muncul dari ide-ide yang keluar secara spontan. Akhir dari dialog adalah pandangan (insight) dan penemuan (discovery). Yang dimaksud penemuan (discovery) di sini adalah membuka arti dan makna yang terkandung dalam materi pembelajaran ketika terjadi diskusi. Dengan kata lain, materi memberikan ruang wacana untuk 328

8 Metode Hermeneutik dalam Pendidikan; Sembodo Ardi Widodo diinterpretasikan secara dinamis dan menyeluruh. Apa yang ditemukan dalam dialog tidak harus berupa proposisi praeksistensi, tetapi satu dari kemungkinankemungkinan interpretasi dari teks, tradisi, atau materi yang tidak terhingga jumlahnya (Kneller, 1984). Dialog diproses melalui tanya-jawab. Ada beberapa alasan untuk hal itu. Pertama, menurut Gadamer, materi atau teks itu sendiri adalah sebuah jawaban atas sebuah pertanyaan atau banyak pertanyaan. Misalnya, sejarah Perang Kemerdekaan Amerika yang komprehensif menceritakan mengapa perang meletus, bagaimana peristiwanya, bagaimana akhir dan hasilnya. Kedua, bahwa siswa-siswa, terlepas dari interesnya terhadap materi, menanyakan persoalan-persoalan di atas. Sementara guru akan memberi stimulus kepada mereka untuk memecahkan persoalan-persoalan tersebut. Oleh karena itu, guru akan menanyakan kepada mereka untuk mengelisitasi pra-konsepsi-nya, yaitu ideidenya yang terkait dengan materi (Ibid). Dialog yang sejati mensyaratkan adanya subjek dan keinginan yang kuat untuk memahaminya. Keterbukaan atas kedua aspek ini merupakan masalah yang esensial. Seseorang tidak harus memaksakan pandangannya untuk diterima. Dialog berada dalam format memberi dan menerima (in the give and take), yang diharapkan adalah sebuah pemahaman yang baru. Setiap siswa bisa menumpahkan pandangannya atau merubahnya jika hal itu dirasakan kurang kuat argumentasinya. Jika diskusi berjalan sukses, horizon mental kita akan bertemu, selanjutnya siswa dan guru akan melihat kesamaan elemen atau struktur yang terkandung dalam subjek atau materi walaupun masing-masing dari kita menginterpretasikannya secara berbeda. Misalnya, kita menyetujui bahwa Perang Kemerdekaan US mengandung sekian banyak kejadian dan sebab-sebabnya, namun kita juga dapat membedakannya dan membubuhkan hal-hal (peristiwa dan sebabsebab) yang penting terhadapnya. Akhirnya, pandangan baru muncul, yaitu sebuah pencarian pemahaman yang belum pernah ditentukan sebelumnya. Sekarang terjadilah apa yang dikatakan oleh Gadamer the fusion of horizons. Sebagai hasil dari diskusi, masing-masing dari kita sekarang membawa mind-set yang sama terhadap subjek (materi). Kita semua melihat, misalnya, bahwa Perang Kemerdekaan adalah sebuah bentuk perang tertentu atau yang secara luas merupakan hasil dari bentuk sebabsebab tertentu. Walapun demikian, kita boleh saja tidak setuju terhadap hal-hal yang spesifik dalam kerangka kerja atau hasil diskusi tersebut (Ibid). Dialog yang sukses akan merubah guru dan siswa. Dalam pandangan Gadamer disebutkan The participants part from one another as changed beings. The individual perspectives with which they entered upon the discussion have been transformed, and so they are transformed themselves (Gadamer, 1981). Guru harus familier dengan materi dalam wacana yang baru. Dia bisa merasakan sesuatu yang baru dari pandangan siswa-siswanya. Dia bisa berubah melalui beberapa cara, dan harus lebih apresiatif terhadap sejarah dan urusanurusan publik. Oleh karena itu, guru harus banyak membaca dan mengamati perubahan sosial dan wacana yang berkembang. Pengetahuan dan pandangan kita bersifat tentatif, karena materi selalu terbuka bagi banyak interpretasi, dan interpretasi kita merefleksikan horizon kita yang sekarang. Siswa-siswa mengikuti proses interpretasi yang serupa ketika mereka membaca teks atau mengkaji materi. 329

9 Mereka memperhatikan teks, mengalihkan kata-kata yang tertulis ke dalam pembicaraan imajinatif. Mereka memberikan ruang bagi teks untuk menentukan pointpointnya, dan membiarkannya mengkonter pra konsepsi mereka (atau horizonnya yang sekarang). Mereka menyadari bahwa teks memberikan sesuatu, bukan makna yang determinan tetapi kemungkinan interpretasi yang harus diisi yang relevan dengan dunia sekarang. Mereka berusaha meletakkan pertanyaan yang ditunjukkan oleh teks. Jawabannya adalah subjek dari teks, dan ini mirip dengan makna personal pengarang teks yang ditujukan kepada siswa-siswa (atau pembaca). Dengan memutar balik atau merefleksikan antara perubahan horizon dan arti literal yang terkandung dalam teks, para siswa mencari pesan yang terkandung dalam teks dan membuatnya bermakna secara personal (Kneller,Ibid). Dalam bentuk analogi, Gadamer membandingkan proses pemahaman dengan game (permainan). Permainan ini bisa dimainkan oleh guru dan siswa-siswa secara bersama-sama atau oleh siswa sendiri dengan teks. Permainan mempunyai aturan-aturan; pemain tunduk kepada aturanaturan tersebut dan mengikuti langkahlangkah dalam permainan. Dalam permainan ini, pemain disuruh menebak makna yang ia ucapkan dalam teks. Teks ini atau apa yang diucapkan dari teks tersebut akan menariknya dalam sebuah permainan mencari makna yang tidak terhingga, dan biarkan pemain terus mengembangkan makna-maknanya. Dalam permainan ini, menurut Gadamer, kita tidak memainkan game sebanyak game itu memainkan kita. Dalam arti bahwa pencarian makna itu hanya sekedar secukupnya, hanya permainan, bukan larut dalam pencarian makna yang terus membebani pikiran kita, atau jangan sampai permainan itu terus mempermainkan kita. Permainan ini sama seperti kita bermain dengan teks. Struktur teks berhubungan dengan aturan-aturan dalam game. Masing-masing dari kita dapat memainkannya, berada dalam aturan-aturan tetapi mencapai hasil individual. Gambaran pemahaman seperti ini menuntut siswasiswa respek kepada teks dan menjadikannya bermakna bagi dirinya (Ibid). Permainan, menurut Gadamer dapat merupakan semacam kerangka berpikir di dalam proses memahami yang menjadi pokok bahasan dalam hermeneutik. Dalam suatu permainan, misalnya main kartu, pemain tidak menyadari permainan itu sendiri sehingga permainan itu yang justru menguasai para pemainnya. Subjek permainan yang sesungguhnya bukan terletak pada pemainnya, tetapi permainan itu sendiri. Siapa pun yang ikut dalam permainan, ia menjadikan permainan itu betul-betul permainan. Untuk dapat bermain dengan baik, pertama-tama pemain harus mengetahui lebih dahulu aturan-aturan mainnya. Hal ini karena setiap game mempunyai aturan atau dinamika sendiri yang bersifat independen terhadap kesadaran para pemainnya. Kemudian, setelah pemain menguasai aturan-aturan dan dinamika permainan, maka ia akan tidak menyadari adanya peraturan tersebut, bahkan ia juga tidak menyadari permainan itu sendiri (Sumaryono,1999). Penutup Dengan mencermati uraian-uraian sebelumnya, dapat diambil intisari pembahasan sebagai berikut: Pertama, hermeneutika mengambil model pemahaman dari wilayah human studies daripada natural sciences. Pemahaman tidak ubahnya seperti membaca teks atau mempelajari analog-analognya daripada 330

10 Metode Hermeneutik dalam Pendidikan; Sembodo Ardi Widodo mengobservasi objek. Sebuah teks selalu mempunyai makna, tetapi karena pengarangnya tidak hadir, meninggal, atau berasal dari kultur yang berbeda dengan kita, maka makna harus diinterpretasikan untuk kondisi waktu sekarang. Bagi hermeneutik, interpretasi adalah hati pemahaman. Pandangan ini akan cocok bagi guru karena perannya adalah untuk memahami manusia dan kreasi-kreasinya serta mengembangkan pemahaman ini kepada murid. Mengajar dalam perspektif hermeneutika adalah seni, bukan ilmu atau teknologi. Sebagai guru kita harus menanyakan apa makna materi pelajaran yang kita ampu bagi kita, dan apa maknanya bagi murid. Kita harus memperkenalkannya dan menolong murid untuk memahaminya. Dalam kacamata hermeneutik, core dari proses pembelajaran adalah membaca dan berdiskusi atas teks dan analog-analognya yang muncul secara spontan. Kedua, menurut hermeneutik, kita memulai dengan pra-pemahaman terhadap teks dan analognya. Tanpa pra-pemahaman ini kita tidak memiliki ide apa yang sedang kita hadapi, lebih-lebih untuk dipahami. Sebagai seorang guru, kita bertanya kepada murid-murid untuk topik terlebih dahulu dalam cakrawala pengetahuan dan interesnya sekarang, dan kemudian menyuruhnya untuk memodifikasi sikapsikap mereka dalam merespon apa yang oleh topik dikatakan kepada mereka. Dengan cara ini mereka akan mengembangkan horizon mentalnya terhadap horizon topik. Inilah langkah kreatif dari pra pemahaman. Ketiga, bagi hermeneutik, proses pembelajaran itu seperti dialog atau permainan di mana mereka yang terlibat dibawa oleh sesuatu yang lebih besar dari dirinya kepada pandangan yang tidak mereka antisipasi sebelumnya. Diskusi sejati tidak pernah direncanakan kemajuan dan hasilnya. Guru dan murid-murid berbicara secara spontan. Sebagaimana layaknya dalam permainan pemahaman, mereka bisa merubah pandangan atau respon-responnya terhadap teks tanpa batas. Daftar Pustaka Abdullah, H.M. Amin,2000. Kritis- Hermeneutis ala Muhammadiyah, dalam Suara Muhammadiyah, No. 12 Th. Ke-85 Juni., Pembaharuan Pemikiran Islam Model Muhammadiyah, dalam Suara Muhammadiyah, No.16 / 81/ Asrofie, M. Yusron, K.H. Ahmad Dahlan: Pemikiran dan Kepemimpinannya, Yogyakarta: Yogyakarta Offset, Bleicher, Josef,2007. Hermeneutika Kontemporer, Terj. Imam Khoiri, Yogyakarta: Fajar Pustaka. Djuwaeli, H.M. Irsjad,1997. Membawa mathla ul Anwar ke Abad XXI, Jakarta: PB Mathla ul Anwar. Gadamer, Hermeneutics,1999. Religion, and Ethics, London: Yale University Press.,1981. Reason in the Age of Science, Cambridge: Mass, M.I.T. Press. Kneller, George F, Movements of Thought in Modern Education, New York: John Wiley & Sons. Nata, Abuddin,1997. Filsafat pendidikan Islam 1, Jakarta: Logos Wacana Ilmu,. 331

11 Palmer, Richard E., 1969.Hermeneutics: Interpretation Theory in Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer, Evanston: Northwestern University Press. Ricoeur, Paul, 2005.Filsafat Wacana: Membelah Wacana dalam Anatomi Bahasa, Terj. Musnur Hery, Yogyakarta: IRCiSoD. Sumaryono, E.,1999. Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat, Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Warnke, Georgia,1987. Gadamer: Hermeneutics, Tradition and Reason, Cambridge: Polity Press. rrr 332

METODE HERMENEUTIK DALAM PENDIDIKAN

METODE HERMENEUTIK DALAM PENDIDIKAN METODE HERMENEUTIK DALAM PENDIDIKAN Oleh: Dr. Sembodo Ardi Widodo Pendahuluan Hermeneutika sebagai bagian dari filsafat dan metode berpikir sering digunakan dalam kajian human sciences. Dalam empat dasawarsa

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI. 2.1 Teori Hermeneutik dan Perkembangannya

BAB 2 LANDASAN TEORI. 2.1 Teori Hermeneutik dan Perkembangannya 13 BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Teori Hermeneutik dan Perkembangannya Hermeneutik didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan dalam menginterpretasi sesuatu. 24 Sesungguhnya hermeneutik kita terapkan dalam kehidupan

Lebih terperinci

1. A. Pengantar. 1. B. Perkembangan Konseptualisasi

1. A. Pengantar. 1. B. Perkembangan Konseptualisasi 1. A. Pengantar Sebagaimana diketahui dengan semakin pesatnya perkembangan metodologi penelitian kualitatif di bawah paradigma interpretivisme, penelitian kualitatif tidak saja meliputi penelitian lapangan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN Penelitian merupakan kerja akademik yang menuntut penerapan prosedur ilmiah tertentu sehingga hasil riset dapat dipertanggungjawabkan. Atas dasar inilah penulis memandang penting

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. merupakan jawaban dari rumusan masalah sebagai berikut: 1. Historisitas Pendidikan Kaum Santri dan kiprah KH. Abdurrahan Wahid (Gus

BAB V PENUTUP. merupakan jawaban dari rumusan masalah sebagai berikut: 1. Historisitas Pendidikan Kaum Santri dan kiprah KH. Abdurrahan Wahid (Gus 195 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Sebagai bagian akhir tesis ini, peneliti memberikan kesimpulan yang merupakan jawaban dari rumusan masalah sebagai berikut: 1. Historisitas Pendidikan Kaum Santri dan kiprah

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Hermeneutika berasal dari kata Yunani hermeneuine dan hermeneia yang

METODE PENELITIAN. Hermeneutika berasal dari kata Yunani hermeneuine dan hermeneia yang 23 III. METODE PENELITIAN A. Metode yang Digunakan Metode penelitian dalam penelitian ini adalah metode hermeneutik. Hermeneutika berasal dari kata Yunani hermeneuine dan hermeneia yang masing-masing berarti

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. berasal dari kata Yunani hermeneuine dan hermeneia yang masing-masing berarti

III. METODE PENELITIAN. berasal dari kata Yunani hermeneuine dan hermeneia yang masing-masing berarti 28 III. METODE PENELITIAN A. Metode yang Digunakan Metode penelitian dalam penelitian ini adalah metode hermeneutik. Hermeneutika berasal dari kata Yunani hermeneuine dan hermeneia yang masing-masing berarti

Lebih terperinci

Modul ke: TEORI KOMUNIKASI TEORI INTERPRETIF. Fakultas ILMU KOMUNIKASI SOFIA AUNUL, M.SI. Program Studi BROADCASTING.

Modul ke: TEORI KOMUNIKASI TEORI INTERPRETIF. Fakultas ILMU KOMUNIKASI SOFIA AUNUL, M.SI. Program Studi BROADCASTING. Modul ke: TEORI KOMUNIKASI TEORI INTERPRETIF Fakultas ILMU KOMUNIKASI SOFIA AUNUL, M.SI Program Studi BROADCASTING www.mercubuana.ac.id TEORI INTERPRETIF Teori intrepretif mengasumsikan bahwa makna dapat

Lebih terperinci

Mengenal Ragam Studi Teks: Dari Content Analysis hingga Pos-modernisme. (Bahan Kuliah Metodologi Penelitian)

Mengenal Ragam Studi Teks: Dari Content Analysis hingga Pos-modernisme. (Bahan Kuliah Metodologi Penelitian) Mengenal Ragam Studi Teks: Dari Content Analysis hingga Pos-modernisme (Bahan Kuliah Metodologi Penelitian) Seiring dengan perkembangan paradigma interpretivisme dan metodologi penelitian lapangan (f ield

Lebih terperinci

HERMENEUTIKA SEBAGAI SISTEM INTERPRETASI PAUL RICOEUR DALAM MEMAHAMI TEKS-TEKS SENI

HERMENEUTIKA SEBAGAI SISTEM INTERPRETASI PAUL RICOEUR DALAM MEMAHAMI TEKS-TEKS SENI HERMENEUTIKA SEBAGAI SISTEM INTERPRETASI PAUL RICOEUR DALAM MEMAHAMI TEKS-TEKS SENI Abdul Wachid B.S. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Purwokerto Abstract Based on hermeneutics history, it is known that

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Paradigma Penelitian Paradigma menurut Wimmer dan Dominick, yaitu seperangkat teori, prosedur, dan asumsi yang diyakini tentang bagaimana peneliti melihat dunia. 1 Sedangkan

Lebih terperinci

PARADIGMA POSITIVISTIK DALAM PENELITIAN SOSIAL

PARADIGMA POSITIVISTIK DALAM PENELITIAN SOSIAL PARADIGMA POSITIVISTIK DALAM PENELITIAN SOSIAL Memahami Paradigma positivistik (fakta sosial) menganggap realitas itu sebagai sesuatu yang empiris atau benar-benar nyata dan dapat diobservasi. Dalam meneliti,

Lebih terperinci

EKSISTENSIALISME (1) Eksistensialisme:

EKSISTENSIALISME (1) Eksistensialisme: EKSISTENSIALISME (1) Eksistensialisme: Filsafat eksistensialisme merupakan pemberontakan terhadap beberapa sifat dari filsafat tradisional dan masyarakat modern. Eksistensialisme suatu protes terhadap

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN Metode adalah cara yang digunakan untuk mengimplementasikan rencana yang sudah disusun dalam kegiatan nyata agar tujuan yang telah disusun tercapai secara optimal. 1 Adapun secara

Lebih terperinci

FILSAFAT SEJARAH BENEDETTO CROCE ( )

FILSAFAT SEJARAH BENEDETTO CROCE ( ) FILSAFAT SEJARAH BENEDETTO CROCE (1866-1952) Filsafat Sejarah Croce (1) Benedetto Croce (1866-1952), merupakan pemikir terkemuka dalam mazhab idealisme historis. Syafii Maarif mengidentifikasi empat doktrin

Lebih terperinci

ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK: FILSAFAT, TEORI DAN METODOLOGI

ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK: FILSAFAT, TEORI DAN METODOLOGI ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK: FILSAFAT, TEORI DAN METODOLOGI Oleh NIM : Boni Andika : 10/296364/SP/23830 Tulisan ini berbentuk critical review dari Ilmu Sosial dan Ilmu Politik: Filsafat, Teori dan Metodologi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Tipe penelitian ini adalah deksriptif. Penelitian deskriptif merupakan

BAB III METODE PENELITIAN. Tipe penelitian ini adalah deksriptif. Penelitian deskriptif merupakan BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Tipe Penelitian Tipe penelitian ini adalah deksriptif. Penelitian deskriptif merupakan penggambaran pengalaman dan pemahaman berdasarkan hasil pemaknaan sebagai bentuk pengalaman

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. 1. Rekonstruksi teologi antroposentris Hassan Hanafi merupakan

BAB V PENUTUP. 1. Rekonstruksi teologi antroposentris Hassan Hanafi merupakan 344 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan tiga rumusan masalah yang ada dalam penelitian tesis berjudul Konstruksi Eksistensialisme Manusia Independen dalam Teologi Antroposentris Hassan Hanafi, maka

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. A. Simpulan

BAB V PENUTUP. A. Simpulan BAB V PENUTUP A. Simpulan Dari keseluruhan kajian mengenai pemikiran Kiai Ṣāliḥ tentang etika belajar pada bab-bab sebelumnya, diperoleh beberapa kesimpulan penting, terutama mengenai konstruksi pemikiran

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. kalangan masyarakat, bahwa perempuan sebagai anggota masyarakat masih

BAB V PENUTUP. kalangan masyarakat, bahwa perempuan sebagai anggota masyarakat masih BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Munculnya feminisme memang tak lepas dari akar persoalan yang ada di kalangan masyarakat, bahwa perempuan sebagai anggota masyarakat masih dianggap sebagai makhluk inferior.

Lebih terperinci

Sumbangan Pembaruan Islam kepada Pembangunan

Sumbangan Pembaruan Islam kepada Pembangunan c Sumbangan Pembaruan Islam kepada Pembangunan d Sumbangan Pembaruan Islam kepada Pembangunan Oleh Tarmidzi Taher Tema Sumbangan Pembaruan Islam kepada Pembangunan di Indonesia yang diberikan kepada saya

Lebih terperinci

Masuknya Hermeneutika dalam Lingkup Ilmu Tafsir (Review atas Artikel Sofyan A.P. Kau) Oleh: Wahidatul Wafa dan Asep Supianudin

Masuknya Hermeneutika dalam Lingkup Ilmu Tafsir (Review atas Artikel Sofyan A.P. Kau) Oleh: Wahidatul Wafa dan Asep Supianudin Masuknya Hermeneutika dalam Lingkup Ilmu Tafsir (Review atas Artikel Sofyan A.P. Kau) Oleh: Wahidatul Wafa dan Asep Supianudin Abstrak Pada awalnya, Tafsir dan Hermeneutik berawal dari tempat dan tradisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memahami isinya dengan baik. Walaupun demikian, isinya harus tetap memikat

BAB I PENDAHULUAN. memahami isinya dengan baik. Walaupun demikian, isinya harus tetap memikat 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Cerita anak-anak adalah sebuah cerita yang dibuat untuk konsumsi anakanak, yang dibuat sederhana tanpa tema yang sulit sehingga anak-anak bisa memahami isinya

Lebih terperinci

KETERBATASAN HERMENEUTIK DALAM STUDI SASTRA

KETERBATASAN HERMENEUTIK DALAM STUDI SASTRA KETERBATASAN HERMENEUTIK DALAM STUDI SASTRA Luwiyanto* Abstrak: Meskipun ada beberapa model, hermeneutik dalam rangka studi sastra dihadapkan sejumlah kesulitan. Kesulitan-kesulitan tersebut terdapat pada

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. deskriptif dan dengan pendekatan analisis wacana. Dalam melakukan

METODE PENELITIAN. deskriptif dan dengan pendekatan analisis wacana. Dalam melakukan 25 III. METODE PENELITIAN A. Tipe Penelitian Tipe penelitian yang digunakan untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan metode kualitatif yang bersifat deskriptif dan dengan

Lebih terperinci

Resume Buku SEMIOTIK DAN DINAMIKA SOSIAL BUDAYA Bab 8 Mendekonstruksi Mitos-mitos Masa Kini Karya: Prof. Dr. Benny H. Hoed

Resume Buku SEMIOTIK DAN DINAMIKA SOSIAL BUDAYA Bab 8 Mendekonstruksi Mitos-mitos Masa Kini Karya: Prof. Dr. Benny H. Hoed Resume Buku SEMIOTIK DAN DINAMIKA SOSIAL BUDAYA Bab 8 Mendekonstruksi Mitos-mitos Masa Kini Karya: Prof. Dr. Benny H. Hoed Oleh: Tedi Permadi Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia Jurusan Pendidikan

Lebih terperinci

Rekonstruksi Ilmu Pengetahuan Kontemporer

Rekonstruksi Ilmu Pengetahuan Kontemporer U á Å ÄÄt{ ÜÜt{ÅtÇ ÜÜt{ Å Rekonstruksi Ilmu Pengetahuan Kontemporer Oleh: Sarjuni, S.Ag., M.Hum. 1 Sain Tidak Bebas Nilai (Not Values-Free) 1. Ilmu yang di dalam peradaban Barat diklaim sebagai bebas nilai,

Lebih terperinci

ALIRAN-ALIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN DI AS

ALIRAN-ALIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN DI AS ALIRAN-ALIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN DI AS 1. PROGRESSIVISME a. Pandangan Ontologi Kenyataan alam semesta adalah kenyataan dalam kehidupan manusia. Pengalaman adalah kunci pengertian manusia atas segala sesuatu,

Lebih terperinci

MEMBANGUN ILMU PENGETAHUAN DENGAN KECERDASAN EMOSI DAN SPIRITUAL

MEMBANGUN ILMU PENGETAHUAN DENGAN KECERDASAN EMOSI DAN SPIRITUAL MEMBANGUN ILMU PENGETAHUAN DENGAN KECERDASAN EMOSI DAN SPIRITUAL Oleh : Dr. Sri Trisnaningsih, SE, M.Si (Kaprogdi Akuntansi - FE) Pendahuluan Ilmu pengetahuan merupakan karya budi yang logis serta imajinatif,

Lebih terperinci

BAB 6 KESIMPULAN, REFLEKSI, DAN REKOMENDASI. Bab ini akan mendiskusikan kesimpulan atas temuan, refleksi, dan juga

BAB 6 KESIMPULAN, REFLEKSI, DAN REKOMENDASI. Bab ini akan mendiskusikan kesimpulan atas temuan, refleksi, dan juga BAB 6 KESIMPULAN, REFLEKSI, DAN REKOMENDASI Bab ini akan mendiskusikan kesimpulan atas temuan, refleksi, dan juga rekomendasi bagi PKS. Di bagian temuan, akan dibahas tentang penelitian terhadap iklan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem pemikiran Yoga dapat dilihat sebagai suatu konstelasi pemikiran filsafat, bukan hanya seperangkat hukum religi karena ia bekerja juga mencapai ranah-ranah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hlm Ricard E. Palmer, Hermeneutika, Teori baru mengenali Interpretasi,Musnur Hery dan

BAB I PENDAHULUAN. hlm Ricard E. Palmer, Hermeneutika, Teori baru mengenali Interpretasi,Musnur Hery dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hermeneutika adalah kata yang sering didengar dalam bidang teologi, filsafat, bahkan sastra. Hermeneutik baru muncul sebagai sebuah gerakan dominan dalam teologi

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Berdasarkan pemaparan penelitian yang berjudul PENDIDIKAN. ISLAM INTEGRATIF (Konsep Keilmuan Universitas Islam Negeri Sunan

BAB V PENUTUP. Berdasarkan pemaparan penelitian yang berjudul PENDIDIKAN. ISLAM INTEGRATIF (Konsep Keilmuan Universitas Islam Negeri Sunan BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan pemaparan penelitian yang berjudul PENDIDIKAN ISLAM INTEGRATIF (Konsep Keilmuan Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Universitas Islam Negeri Sunan

Lebih terperinci

Pendahuluan. Ainol Yaqin. Pertemuan ke-1 M E T O D O L O G I S T U D I I S L A M

Pendahuluan. Ainol Yaqin. Pertemuan ke-1 M E T O D O L O G I S T U D I I S L A M M E T O D O L O G I Pertemuan ke-1 S T U D I I S L A M Pendahuluan Ainol Yaqin Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam IAIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten Kontrak Perkuliahan Pendahuluan Outline Kontrak Perkuliahan

Lebih terperinci

BAB VII PENUTUP. dan di kritisi dalam menganalisis isu-isu pendidikan kontemporer. Berdasarkan

BAB VII PENUTUP. dan di kritisi dalam menganalisis isu-isu pendidikan kontemporer. Berdasarkan BAB VII PENUTUP A. Kesimpulan Pemikiran Filsafat Pendidikan Rekonstruksionisme menarik untuk dicermati dan di kritisi dalam menganalisis isu-isu pendidikan kontemporer. Berdasarkan hasil penelitian ini

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. penulis angkat dalam mengkaji pendidikan ekologi dalam perspektif Islam,

BAB V PENUTUP. penulis angkat dalam mengkaji pendidikan ekologi dalam perspektif Islam, 161 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Sebagaimana telah diuraikan dalam bab pendahuluan, bahwa penelitian ini akan diarahkan guna menjawab rumusan masalah yang telah penulis angkat dalam mengkaji pendidikan

Lebih terperinci

ini. TEORI KONTEKSTUAL

ini. TEORI KONTEKSTUAL TEORI KOMUNIKASI DASAR-DASAR TEORI KOMUNIKASI Komunikasi merupakan suatu proses, proses yang melibatkan source atau komunikator, message atau pesan dan receiver atau komunikan. Pesan ini mengalir melalui

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Jangan ada padamu allah lain di hadapan-ku. 1

BAB I PENDAHULUAN. Jangan ada padamu allah lain di hadapan-ku. 1 BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Masalah Jangan ada padamu allah lain di hadapan-ku. 1 Hukum pertama dari Dasa Titah di atas seolah mengikat bangsa Israel ke dalam sebuah perjanjian dengan Yahweh.

Lebih terperinci

BAB IV PROSES PENGEMBANGAN MODEL PENILAIAN OTENTIK DALAM PEMBELAJARAN MEMBACA PEMAHAMAN

BAB IV PROSES PENGEMBANGAN MODEL PENILAIAN OTENTIK DALAM PEMBELAJARAN MEMBACA PEMAHAMAN BAB IV PROSES PENGEMBANGAN MODEL PENILAIAN OTENTIK DALAM PEMBELAJARAN MEMBACA PEMAHAMAN Dalam bab ini diuraikan proses pengembangan model penilaian otentik dalam pembelajaran membaca pemahaman yang telah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesantunan berbahasa merupakan aspek penting dalam kehidupan untuk menciptakan komunikasi yang baik di antara penutur dan lawan tutur. Kesantunan berbahasa memiliki

Lebih terperinci

ALIRAN PENDIDIKAN PROGRESIVISME DAN KONTRIBUSINYA DALAM PENGEMBANGAN PENDIDIKAN PANCASILA DI INDONESIA

ALIRAN PENDIDIKAN PROGRESIVISME DAN KONTRIBUSINYA DALAM PENGEMBANGAN PENDIDIKAN PANCASILA DI INDONESIA ALIRAN PENDIDIKAN PROGRESIVISME DAN KONTRIBUSINYA DALAM PENGEMBANGAN PENDIDIKAN PANCASILA DI INDONESIA Reno Wikandaru * Abstrak Penetapan Pancasila sebagai dasar negara membawa implikasi besar, yakni bahwa

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORITIS TENTANG HASIL BELAJAR SISWA PADA PEMBELAJARAN BILANGAN BULAT

BAB II KAJIAN TEORITIS TENTANG HASIL BELAJAR SISWA PADA PEMBELAJARAN BILANGAN BULAT 8 BAB II KAJIAN TEORITIS TENTANG HASIL BELAJAR SISWA PADA PEMBELAJARAN BILANGAN BULAT A. Metode Kerja Kelompok Salah satu upaya yang ditempuh guru untuk menciptakan kondisi belajar mengajar yang kondusif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu perpustakaan.upi.edu 1

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu perpustakaan.upi.edu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penulisan SMAN 1 Padalarang adalah salah satu SMA negeri di wilayah Kabupaten Bandung Barat yang telah menerapkan pembelajaran dengan menggunakan pendekatan kontekstual,

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat,

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat, BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sosiologi dan Sastra Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat, sedangkan objek ilmu-ilmu kealaman adalah gejala alam. Masyarakat adalah

Lebih terperinci

FILSAFAT UNTUK PSIKOLOGI

FILSAFAT UNTUK PSIKOLOGI Nama Mata Kuliah Modul ke: FILSAFAT UNTUK PSIKOLOGI Fakultas Fakultas Psikologi Masyhar, MA Program Studi Program Studi www.mercubuana.ac.id Posisi Filsafat dalam ilmu-ilmu 1) Filsafat dapat menyumbang

Lebih terperinci

Guru Sebagai Pemimpin Konstruktivis Tuesday, 27 December :59

Guru Sebagai Pemimpin Konstruktivis Tuesday, 27 December :59 Abstrak: Seorang guru sebagai pemimpin konstruktivis memfasilitasi proses pembelajaran partisipatori yang memungkinkan partisipan dalam suatu komunitas belajar untuk mengkonstruksikan makna bersama-sama

Lebih terperinci

BAB II TEORI FENOMENOLOGI ALFRED SCHUTZ. akademik di Universitas Vienna, Austria dengan mengambil bidang ilmuilmu

BAB II TEORI FENOMENOLOGI ALFRED SCHUTZ. akademik di Universitas Vienna, Austria dengan mengambil bidang ilmuilmu 37 BAB II TEORI FENOMENOLOGI ALFRED SCHUTZ A. Teori Fenomenologi Alfred Schutz lahir di Wina pada tahun 1899 dan meninggal di New York pada tahun 1959. Ia menyukai musik, pernah bekerja di bank mulai berkenalan

Lebih terperinci

HUBUNGAN DIALOG KREATIF DENGAN PENGALAMAN HISTORIS SISWA DALAM PROSES PEMBELAJARAN SEJARAH

HUBUNGAN DIALOG KREATIF DENGAN PENGALAMAN HISTORIS SISWA DALAM PROSES PEMBELAJARAN SEJARAH Hubungan Dialog Kreatif dengan Pengalaman Historis Siswa, Adhitya 1 HUBUNGAN DIALOG KREATIF DENGAN PENGALAMAN HISTORIS SISWA DALAM PROSES PEMBELAJARAN SEJARAH Adhitya Rol Asmi. FKIP Universitas Sriwijaya

Lebih terperinci

UKDW BAB I. PENDAHULUAN

UKDW BAB I. PENDAHULUAN BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Pada jaman sekarang, tidak dapat dipungkiri bahwa Gereja berada di tengah-tengah konteks yang kian berubah dan sungguh dinamis. Hal tersebut tampak jelas

Lebih terperinci

METODE HERMENEUTIKA UNTUK AL-QUR AN

METODE HERMENEUTIKA UNTUK AL-QUR AN l Edisi 029, Oktober 2011 P r o j e c t METODE HERMENEUTIKA UNTUK AL-QUR AN i t a i g k a a n D Ahmad Fuad Fanani Edisi 029, Oktober 2011 1 Edisi 029, Oktober 2011 Metode Hermeneutika untuk Al-Qur an Al-Qur

Lebih terperinci

Menurut penerbitnya, buku Studying Christian Spirituality ini adalah

Menurut penerbitnya, buku Studying Christian Spirituality ini adalah Tinjauan Buku STUDYING CHRISTIAN SPIRITUALITY Jusuf Nikolas Anamofa janamofa@yahoo.com Judul Buku : Studying Christian Spirituality Penulis : David B. Perrin Tahun Terbit : 2007 Penerbit : Routledge -

Lebih terperinci

Pendekatan Historiografi Dalam Memahami Buku Teks Pelajaran Sejarah *) Oleh : Agus Mulyana

Pendekatan Historiografi Dalam Memahami Buku Teks Pelajaran Sejarah *) Oleh : Agus Mulyana Pendekatan Historiografi Dalam Memahami Buku Teks Pelajaran Sejarah *) Oleh : Agus Mulyana Buku teks pelajaran merupakan salah satu sumber dan media pembelajaran yang digunakan oleh guru dalam melaksanakan

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP. mempunyai objek kajian sebagaimana dijelaskan Wolff dibagi menjadi 3

BAB VI PENUTUP. mempunyai objek kajian sebagaimana dijelaskan Wolff dibagi menjadi 3 342 BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan bab demi bab di atas, maka dapat penulis simpulkan: 1. Metafisika merupakan proto philosophy atau filsafat utama yang membahas segala sesuatu yang

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Paradigma Paradigma penelitian ini menggunakan pendekatan kritis melalui metode kualitatif yang menggambarkan dan menginterpretasikan tentang suatu situasi, peristiwa,

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN. historisnya, dipersoalkan oleh pemeluk agama, serta

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN. historisnya, dipersoalkan oleh pemeluk agama, serta BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Praktik poligami dalam bentuk tindakan-tindakan seksual pada perempuan dan keluarga dekatnya telah lama terjadi dan menjadi tradisi masyarakat tertentu di belahan

Lebih terperinci

Hubungan Sains dan Agama

Hubungan Sains dan Agama Hubungan Sains dan Agama Pendahuluan Di akhir dasawarsa tahun 90-an sampai sekarang, di Amerika Serikat dan Eropa Barat khususnya, berkembang diskusi tentang sains (ilmu pengetahuan) dan agama (kitab suci).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. The Constitution is made for men, and not men for the Constitution. (Soekarno, dalam pidato tanggal 17 Agustus 1959)

BAB I PENDAHULUAN. The Constitution is made for men, and not men for the Constitution. (Soekarno, dalam pidato tanggal 17 Agustus 1959) BAB I PENDAHULUAN The Constitution is made for men, and not men for the Constitution. (Soekarno, dalam pidato tanggal 17 Agustus 1959) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 selanjutnya

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 38 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Paradigma Penelitian pada hakikatnya merupakan suatu upaya untuk menemukan kebenaran atau untuk lebih membenarkan kebenaran. Usaha untuk mengejar kebenaran dilakukan

Lebih terperinci

Vygotskian Perspective: Proses Scaffolding untuk mencapai Zone of Proximal Development (ZPD) Peserta Didik dalam Pembelajaran Matematika

Vygotskian Perspective: Proses Scaffolding untuk mencapai Zone of Proximal Development (ZPD) Peserta Didik dalam Pembelajaran Matematika Vygotskian Perspective: Proses Scaffolding untuk mencapai Zone of Proximal Development (ZPD) Peserta Didik dalam Pembelajaran Matematika Oleh : Jurusan Matematika FMIPA Universitas Negeri Semarang e-mail

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Sifat Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Penelitian deskriptif adalah jenis penelitian yang memberikan gambaran atau uraian atas

Lebih terperinci

Filsafat Ilmu dan Logika

Filsafat Ilmu dan Logika Filsafat Ilmu dan Logika Modul ke: METODE-METODE FILSAFAT Fakultas Psikologi Masyhar Zainuddin, MA Program Studi Psikologi www.mercubuana.ac.id Pengantar metode filsafat bukanlah metode ketergantungan

Lebih terperinci

MAZHAB FILSAFAT PENDIDIKAN. Imam Gunawan

MAZHAB FILSAFAT PENDIDIKAN. Imam Gunawan MAZHAB FILSAFAT PENDIDIKAN Imam Gunawan PRAGMATISME Dipandang sebagai filsafat Amerika asli. Namun sebenarnya berpangkal pada filsafat empirisme Inggris, yang berpendapat bahwa manusia dapat mengetahui

Lebih terperinci

dengan mencermati bahwa praktik dan gagasan seni rupa Islam di nusantara ternyata bisa dimaknai lebih terbuka sekaligus egaliter. Kesimpulan ini terba

dengan mencermati bahwa praktik dan gagasan seni rupa Islam di nusantara ternyata bisa dimaknai lebih terbuka sekaligus egaliter. Kesimpulan ini terba BAB V KESIMPULAN Seni rupa modern Islam Indonesia adalah kenyataan pertumbuhan dan praktik seni rupa modern dan kontemporer Indonesia. Pada dasarnya semangatnya merangkul prinsip-prinsip baik pada nilai-nilai

Lebih terperinci

Peranan Filsafat Bahasa Dalam Pengembangan Ilmu Bahasa

Peranan Filsafat Bahasa Dalam Pengembangan Ilmu Bahasa Peranan Filsafat Bahasa Dalam Pengembangan Ilmu Bahasa Salliyanti Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN Tulisan ini membicarakan peranan

Lebih terperinci

Deskripsi Mata Kuliah

Deskripsi Mata Kuliah Minggu ke Deskripsi Mata Kuliah Mata kuliah ini menyajikan bahasan tentang: manusia dan hakekatnya, arti filsafat dan Kristen, manusia dan filsafat, manusia dan, aliran-aliran filsafat, filsafat Kristen,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indrie Noor Aini, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indrie Noor Aini, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Matematika merupakan salah satu disiplin ilmu yang diajarkan pada setiap jenjang pendidikan, matematika diharapkan dapat memberikan sumbangan dalam rangka mengembangkan

Lebih terperinci

PENGERTIAN FILSAFAT (1)

PENGERTIAN FILSAFAT (1) PENGERTIAN FILSAFAT (1) Jujun S. Suriasumantri, orang yang sedang tengadah memandang bintang-bintang di langit, dia ingin mengetahui hakekat dirinya dalam kesemestaan galaksi; atau orang yang berdiri di

Lebih terperinci

PERSPEKTIF FILSAFAT PENDIDIKAN TERHADAP PSIKOLOGI PENDIDIKAN HUMANISTIK

PERSPEKTIF FILSAFAT PENDIDIKAN TERHADAP PSIKOLOGI PENDIDIKAN HUMANISTIK 31 Jurnal Sains Psikologi, Jilid 6, Nomor 1, Maret 2017, hlm 31-36 PERSPEKTIF FILSAFAT PENDIDIKAN TERHADAP PSIKOLOGI PENDIDIKAN HUMANISTIK Fadhil Hikmawan Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada fadhil_hikmawan@rocketmail.com

Lebih terperinci

BAB III KERANGKA TEORI ANALISIS

BAB III KERANGKA TEORI ANALISIS BAB III KERANGKA TEORI ANALISIS 3.1 Teori Kritis Jurgen Habermas Habermas berasumsi bahwa modernitas merupakan sebuah proyek yang belum selesai. Ini artinya masih ada yang perlu untuk dikerjakan kembali.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terlepas dari kondisi sosial kultural masyarakat. Pendidikan memiliki tugas

BAB I PENDAHULUAN. terlepas dari kondisi sosial kultural masyarakat. Pendidikan memiliki tugas BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Pendidikan memiliki peran yang penting dalam suatu negara yakni sebagai saran untuk menciptakan manusia yang unggul. Pendidikan tidak bisa terlepas dari kondisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Restu Nur Karimah, 2015

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Restu Nur Karimah, 2015 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Dalam mempelajari suatu agama, aspek yang pertama dipertimbangkan sekaligus harus dikaji ialah konsep ketuhanannya. Dari konsep ketuhanan, akan diketahui

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Hermeunitika. Dalam sub bab ini peneliti akan memaparkan metode dari

BAB III METODE PENELITIAN. Hermeunitika. Dalam sub bab ini peneliti akan memaparkan metode dari BAB III METODE PENELITIAN III.1. Hermeunitika Sebagai Metode Intepretasi Pada bagian ini akan membahas beberapa hal penting untuk sebuah penelitian Hermeunitika. Dalam sub bab ini peneliti akan memaparkan

Lebih terperinci

Bab I. Pendahuluan. 1.1 Latar Belakang Masalah

Bab I. Pendahuluan. 1.1 Latar Belakang Masalah Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Masalah Bahasa merupakan alat yang digunakan untuk menyampaikan maksud tertentu oleh seseorang kepada orang lain. Dengan kata lain, untuk berkomunikasi. Menurut Keraf

Lebih terperinci

TEORI PENDIDIKAN Abdur Rohim/

TEORI PENDIDIKAN Abdur Rohim/ TEORI PENDIDIKAN Abdur Rohim/15105241053 http://durrohiem.blogs.uny.ac.id/ Teori pendidikan menurut Kadir dkk. merupakan landasan dalam pengembangan praktikpraktik pendidikan, misalnya pengembangan kurikulum,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejarah kehidupan beragama di dunia banyak diwarnai konflik antar

BAB I PENDAHULUAN. Sejarah kehidupan beragama di dunia banyak diwarnai konflik antar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejarah kehidupan beragama di dunia banyak diwarnai konflik antar pemeluk agama, misalnya Hindu, Islam, dan Sikh di India, Islam, Kristen dan Yahudi di Palestina,

Lebih terperinci

KADERISASI ORGANISASI (Tulisan lepas disampaikan pada diklat LMMT oleh BEM STKIP PGRI Tulungagung tanggal 27 April 2014)

KADERISASI ORGANISASI (Tulisan lepas disampaikan pada diklat LMMT oleh BEM STKIP PGRI Tulungagung tanggal 27 April 2014) KADERISASI ORGANISASI (Tulisan lepas disampaikan pada diklat LMMT oleh BEM STKIP PGRI Tulungagung tanggal 27 April 2014) Oleh: Drs. Muniri, M.Pd Dosen Tadris Matematika IAIN Tulungagung Kaderisasi merupakan

Lebih terperinci

SATUAN ACARA PEMBELAJARAN

SATUAN ACARA PEMBELAJARAN SATUAN ACARA PEMBELAJARAN Kode/Mata Kuliah Program Studi Satuan Kredit Semester Semeste Alokasi Waktu Dosen Pengampu : PAI402 / Hadis Tarbawi : Pendidikan Agama Islam : 2 SKS : III (Tiga) : 14 x 100 Menit

Lebih terperinci

Randi Pratama 1 Dinawati Trapsilasiwi 2 Susi Setiawani 3 ABSTRACT

Randi Pratama 1 Dinawati Trapsilasiwi 2 Susi Setiawani 3 ABSTRACT PENERAPAN METODE ROLE PLAYING PADA SUB POKOK BAHASAN ARITMATIKA SOSIAL UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA KELAS VII D SMP NEGERI 1 SILO TAHUN PELAJARAN 2010/2011 Randi Pratama 1 Dinawati Trapsilasiwi

Lebih terperinci

otaknya pasti berbeda bila dibandingkan dengan otak orang dewasa. Tetapi esensi otak manusia tetap ada pada otak bayi itu, sehingga tidak pernah ada

otaknya pasti berbeda bila dibandingkan dengan otak orang dewasa. Tetapi esensi otak manusia tetap ada pada otak bayi itu, sehingga tidak pernah ada KESIMPULAN UMUM 303 Setelah pembahasan dengan menggunakan metode tiga telaah, deskriptif-konseptual-normatif, pada bagian akhir ini, akan disampaikan kesimpulan akhir. Tujuannya adalah untuk menyajikan

Lebih terperinci

A. Dari segi metodologi:

A. Dari segi metodologi: Lampiran 1 UNSUR-UNSUR PEMBEDA ANTARA DENGAN SEBAGAI BAGIAN DARI RUMPUN ILMU HUMANIORA UNSUR Cakupan Ilmu dan Kurikulum Rumpun Ilmu Agama merupakan rumpun Ilmu Pengetahuan yang mengkaji keyakinan tentang

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1.Paradigma Penelitian Paradigma yang peneliti gunakan dalam penelitian ini adalah paradigma teori kritis (critical theory). Aliran pemikiran paradigma ini lebih senang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan dan perubahan yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat,

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan dan perubahan yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan dan perubahan yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh perubahan global, seperti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pesatnya komunikasi dan interaksi global telah menempatkan bahasa

BAB I PENDAHULUAN. Pesatnya komunikasi dan interaksi global telah menempatkan bahasa 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pesatnya komunikasi dan interaksi global telah menempatkan bahasa Inggris sebagai salah satu media yang mutlak kebutuhannya. Tanpa kemampuan berbahasa Inggris

Lebih terperinci

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB. Drs. Akhmad Mulyana M.Si SOSIOLOGI KOMUNIKASI

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB. Drs. Akhmad Mulyana M.Si SOSIOLOGI KOMUNIKASI hanyalah yang tidak mengandung nilai-nilai yang berlawanan dengan nilai-nilai partai. Biasanya dalam sistem komunikasi seperti itu, isi media massa juga ditandai dengan sejumlah slogan yang dimaksudkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (dalam Risna, 2011) yang menyatakan bahwa: Soejadi (2000) mengemukakan bahwa pendidikan matematika memiliki dua

BAB I PENDAHULUAN. (dalam Risna, 2011) yang menyatakan bahwa: Soejadi (2000) mengemukakan bahwa pendidikan matematika memiliki dua BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Matematika merupakan pelajaran yang penting, banyak aktivitas yang dilakukan manusia berhubungan dengan matematika, sebagaimana pendapat Niss (dalam Risna,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. pembelajaran, khususnya dalam pembelajaran IPS di Madrasah Tsanawiyah.

BAB III METODE PENELITIAN. pembelajaran, khususnya dalam pembelajaran IPS di Madrasah Tsanawiyah. BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian ini merupakan pengembangan metode dan strategi pembelajaran, khususnya dalam pembelajaran IPS di Madrasah Tsanawiyah. Desain penelitian ini adalah

Lebih terperinci

SEKOLAH TINGGI MANAJEMEN INFORMATIKA DAN KOMPUTER AMIKOM YOGYAKARTA

SEKOLAH TINGGI MANAJEMEN INFORMATIKA DAN KOMPUTER AMIKOM YOGYAKARTA HUBUNGAN ANTAR AGAMA DI INDONESIA Dosen : Mohammad Idris.P, Drs, MM Nama : Dwi yuliani NIM : 11.12.5832 Kelompok : Nusa Jurusan : S1- SI 07 SEKOLAH TINGGI MANAJEMEN INFORMATIKA DAN KOMPUTER AMIKOM YOGYAKARTA

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan penelitian terdahulu sebagai acuan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan penelitian terdahulu sebagai acuan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Penelitian Terdahulu Dalam penelitian ini peneliti menggunakan penelitian terdahulu sebagai acuan untuk menyelesaikannya. Penelitian terdahulu memudahkan peneliti dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Dalam penelitian ini, peneliti memfokuskan pada peningkatkan keterampilan komunikasi berbasis pengalaman historis siswa melalui metode diskusi tipe dialog

Lebih terperinci

Filsafat Ilmu dalam Perspektif Studi Islam Oleh: Maman Suratman

Filsafat Ilmu dalam Perspektif Studi Islam Oleh: Maman Suratman Filsafat Ilmu dalam Perspektif Studi Islam Oleh: Maman Suratman Berbicara mengenai filsafat, yang perlu diketahui terlebih dahulu bahwa filsafat adalah induk dari segala disiplin ilmu pengetahuan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pada hakikatnya, matematika merupakan induk dari ilmu pengetahuan lain dan sekaligus berperan untuk membantu perkembangan ilmu tersebut (Suherman, 2012).

Lebih terperinci

ALIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN PERENIALISME

ALIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN PERENIALISME ALIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN PERENIALISME oleh : Drs. IBNU UBAIDILAH, MA STKIP BINA MUTIARA SUKABUMI PENGERTIAN Pengertian secara Etimologi Istilah perenialisme berasal dari bahasa latin, yaitu dari akar

Lebih terperinci

FILSAFAT ILMU. Drs. Dede Kosasih, M.Si.

FILSAFAT ILMU. Drs. Dede Kosasih, M.Si. FILSAFAT ILMU Drs. Dede Kosasih, M.Si. DEFINISI Pengetahuan : Persepsi subyek (manusia) atas obyek (riil dan gaib) atau fakta. Ilmu Pengetahuan : Kumpulan pengetahuan yang benar disusun dengan sistem dan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR A. Kajian Pustaka 1. Penelitian Terdahulu Penulis melakukan telaah kepustakaan yang berhubungan dengan PDH dengan menelusuri penelitian sebelumnya. Telaah pustaka

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. di dalam mencari fakta fakta melalui kegiatan penelitian yang dilakukannya. Jadi,

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. di dalam mencari fakta fakta melalui kegiatan penelitian yang dilakukannya. Jadi, BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Paradigma Paradigma adalah pedoman yang menjadi dasar bagi para saintis dan peneliti di dalam mencari fakta fakta melalui kegiatan penelitian yang dilakukannya. Jadi,

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini penulis akan membahas mengenai organizational learning. 2.1 Organizational Learning 2.1.1 Definisi Organizational Learning Organizational Learning adalah organisasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidup dalam komunitas sebagai anggota gereja (Gereja sebagai Institusi). 1

BAB I PENDAHULUAN. hidup dalam komunitas sebagai anggota gereja (Gereja sebagai Institusi). 1 BAB I PENDAHULUAN I. Latar Belakang Nabeel Jabbour menepis pemahaman tentang gereja hanya sebatas bangunan, gedung dan persekutuan yang institusional. Berangkat dari pengalaman hidup Nabeel Jabbour selama

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Frankfurt. Para tokoh Mazhab Frankfurt generasi pertama terjebak dalam

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Frankfurt. Para tokoh Mazhab Frankfurt generasi pertama terjebak dalam BAB V BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 KESIMPULAN Pemikiran-pemikiran Habermas merupakan sebuah ide pembaharuan atas kebuntuan berpikir yang dialami oleh para pendahulunya dalam Mazhab Frankfurt. Para tokoh

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. penelitian yaitu Negeri 5 Menara dengan cara menonton film tersebut. Dalam

BAB III METODE PENELITIAN. penelitian yaitu Negeri 5 Menara dengan cara menonton film tersebut. Dalam BAB III METODE PENELITIAN A. Tipe Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk memahami isi film yang dijadikan objek pada penelitian yaitu Negeri 5 Menara dengan cara menonton film tersebut. Dalam penelitian

Lebih terperinci

ALLAH, UNIVERSALITAS, DAN PLURALITAS

ALLAH, UNIVERSALITAS, DAN PLURALITAS ALLAH, UNIVERSALITAS, DAN PLURALITAS Achmad Jainuri, PhD IAIN Sunan Ampel, Surabaya Abstraksi Harold Coward menulis sebuah buku menarik, Pluralism Challenge to World Religions. Gagasan pluralisme dewasa

Lebih terperinci