BAB I PENDAHULUAN. Negara atau daerah kaya sumber daya alam (SDA) seharusnya memiliki
|
|
- Agus Hartono
- 7 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Negara atau daerah kaya sumber daya alam (SDA) seharusnya memiliki performa perekonomian yang lebih baik relatif terhadap negara atau daerah dengan sumber daya alam yang terbatas. Menurut Wright dan Czelusta (2004), keberhasilan perekonomian Amerika melampaui Inggris di abad 18 disebabkan karena Amerika memiliki berkah sumber daya alam yang lebih melimpah dibanding Inggris. Amerika bersama dengan Kanada, Australia dan negara-negara Skandinavia adalah negara-negara yang sukses mengubah kelimpahan sumber daya alamnya menjadi kesejahteraan dan pertumbuhan ekonomi melalui pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan berlandaskan kemajuan teknologi dan peningkatan kualitas institusi. Di akhir dekade 80-an mulai muncul studi-studi empiris yang menunjukkan, bahwa sumber daya alam yang seharusnya menjadi berkah bagi negara/daerah pemiliknya, justru dapat melemahkan perekonomian. Hubungan negatif antara kelimpahan sumber daya alam dan pertumbuhan ekonomi tersebut lebih dikenal dengan istilah kutukan sumber daya alam (natural resource curse). Menurut Sachs & Warner (SW) (1997) pada hakekatnya kelimpahan SDA (resource abundance) tidak melemahkan pertumbuhan ekonomi. Fenomena kutukan sumber daya alam terjadi ketika kelimpahan SDA tersebut identik dengan ketergantungan SDA (resource dependence). Selanjutnya, menurut SW hadirnya kajian-kajian mengenai 1
2 kutukan SDA dilatarbelakangi fenomena yang muncul pasca perang dunia II. Dimana negara-negara seperti Jepang, Korea Selatan, Swiss, Hong Kong dan Singapura memiliki pertumbuhan ekonomi yang sangat tinggi meskipun dihadapkan pada keterbatasan sumber daya alam. Sebaliknya, negara-negara dengan sumber daya alam yang melimpah seperti Nigeria, Mexico, Venezuela dan beberapa negara pengekspor minyak di Timur Tengah gagal dalam usaha memacu pertumbuhan ekonominya. Indonesia merupakan salah satu negara yang dianugerahi SDA yang melimpah, karenanya studi mengenai fenomena kutukan SDA dianggap penting untuk dilakukan. Studi-studi sebelumnya yang membahas hipotesis kutukan sumber daya alam di Indonesia antara lainnya dilakukan oleh Rosser (2004), Komarulzaman & Alisjahbana (2006) dan Feryawan (2011). Rosser (2004) berargumen bahwa Indonesia merupakan salah satu contoh negara yang sukses menghindari kutukan sumber daya alam, hal ini ditunjukkan dengan performa perekonomian Indonesia yang baik selama 3 dekade sebelum krisis ekonomi 1997/1998. Untuk sampai pada kesimpulan tersebut Rosser (2004) membandingkan performa pertumbuhan ekonomi dan indikator-indikator sosial ekonomi Indonesia relatif terhadap negara-negara kaya SDA lainnya. Pendekatan ini belum cukup untuk membuktikan fenomena kutukan SDA di dalam suatu negara, dibutuhkan kajian pada level daerah untuk mendukung hasil tersebut. Papyrakis dan Gerlagh (2007) menunjukkan bahwa fenomena kutukan SDA terbukti eksis di Amerika, meskipun selama ini Amerika dianggap sebagai negara 2
3 yang memperoleh kemakmuran karena dukungan SDA. Hipotesis kutukan SDA tersebut terbukti dari analisa yang dilakukan pada level negara bagian. Studi kutukan SDA pada level daerah di Indonesia dilakukan oleh Komarulzaman & Alisjahbana (2006). Studi ini menggunakan bagi hasil (sewa) SDA sebagai ukuran kelimpahan SDA, dan menemukan bahwa secara aggregat (total seluruh jenis sumber daya alam) kutukan sumber daya alam tidak terbukti eksis untuk kasus Indonesia. Hasil tersebut konsisten dengan studi Rosser (2004). Untuk membuktikan hipotesis kutukan SDA, Komarulzaman & Alisjahbana (2006) menggunakan regresi cross-section. Menurut Levine & Renelt (1992) dan Caselli et. al. (1996), seperti yang akan dibahas lebih rinci pada bab berikutnya, teknik estimasi ini berpotensi memunculkan problem endogeneity bias yang dapat memberikan hasil estimasi yang keliru. Studi lainnya pada level daerah dilakukan oleh Feryawan (2011). Feryawan (2011) menguji hipotesis kutukan SDA dengan melakukan penarikan sampel untuk mewakili kategori daerah kaya dan daerah miskin SDA, kemudian membandingkan performa indikator-indikator perekonomian pada kedua kelompok sampel tersebut. Hasil yang diperoleh studi tersebut berbeda dengan temuan Komarulzaman & Alisjahbana (2006). Feryawan (2011) menunjukkan adanya bukti eksistensi kutukan SDA di Indonesia. Feryawan (2011) seperti juga halnya Komarulzaman & Alisjahbana (2006) menguji hipotesis kutukan SDA pada era otonomi daerah, karena isu mengenai kutukan SDA menjadi lebih penting dan relevan untuk dikaji pada era otonomi daerah, yang memberikan kekuasaan lebih besar bagi daerah untuk memanfaatkan sumber daya alamnya. 3
4 Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), baik pada periode otonomi daerah maupun pada periode sebelumnya, dari lima propinsi yang memiliki Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita tertinggi di Indonesia, empat diantaranya yaitu; Nangroe Aceh Darussalam (NAD), Riau, Kalimantan Timur (KALTIM), dan Papua; merupakan propinsi-propinsi yang kaya akan SDA. Hal tersebut sekilas menunjukkan tidak eksisnya fenomena kutukan SDA di Indonesia. Tetapi jika ditelusuri lebih lanjut, kesimpulan tersebut meragukan. Jika dilihat dari indikator kesejahteraan lainnya seperti Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan tingkat kemiskinan, propinsi-propinsi kaya SDA memiliki nilai yang bervariasi pada indikator-indikator tersebut. Kaltim dan Riau memiliki IPM dan tingkat kemiskinan yang relatif baik. Sementara, Papua yang kaya dengan emas dan tembaga, di tahun 2010 misalnya, berada pada posisi terakhir dalam rangking Indeks Pembangunan Manusia (IPM) antar provinsi dan 36,08% masyarakatnya masih hidup di bawah garis kemiskinan. Begitu pula NAD yang kaya minyak dan gas alam 20,98% masyarakatnya masih tergolong miskin. Angka tersebut masih berada jauh di atas rata-rata tingkat kemiskinan antar provinsi yaitu sebesar 13 %. Selanjutnya, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1.1, 1.2, dan 1.3, korelasi antara ketergantungan SDA (sektor SDA dan bagi hasil SDA) dan tingkat pertumbuhan PDRB cenderung menunjukkan hubungan yang negatif, terutama pada periode otonomi daerah. Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal seharusnya memberikan keuntungan tersendiri bagi daerah yang kaya sumber daya alam, karena seperti yang diamanatkan oleh Undang-undang No.25 tahun 1999 yang kemudian diperbaharui 4
5 Pertumbuhan PDRB dengan Undang-undang No.33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, pemerintah daerah memperoleh proporsi dana bagi hasil sumber daya alam yang lebih besar dibanding dengan yang diatur melalui ketentuan perundang-undangan sebelumnya. Peningkatan pendapatan daerah dari bagi hasil sumber daya alam tersebut dapat digunakan oleh pemerintah daerah untuk meningkatkan penyediaan barang publik yang kemudian diharapkan dapat memacu pembangunan ekonomi. Otonomi Daerah juga memberikan wewenang yang lebih besar kapada pemerintah daerah untuk menggali dan mengembangkan potensi ekonominya secara mandiri. Salah satu potensi ekonomi tersebut adalah sumber daya alam. Seperti yang ditegaskan dalam pasal 10 Undangundang No. 22 tahun 1999, pemerintah daerah berwenang mengelola sumber daya alam nasional yang tersedia di daerahnya. Konsekuensinya, bobot kegiatan ekonomi akan banyak bergeser ke daerah. Pergeseran tersebut berpotensi memberikan multiplier effect atau dengan kata lain memberikan pengaruh ke sektor-sektor ekonomi lainnya di daerah. 10 Gambar 1.1 Ketergantungan Sektor SDA dan Pertumbuhan Ekonomi Sebelum Otonomi Daerah ( ) NTB NTT BALI LMPG KLBR SMUT JAMBI SLTG SLSL KLSL DKI SMBR BGKL SLTR DIY JWTM JWTG SLUT JWBR KLTG SMSL PPUA RIAU KLTM NAD MLKU Ratio PDRB Sektor SDA terhadap Total PDRB, 1990 Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah 5
6 Pertumbuhan PDRB Pertumbuhan PDRB Gambar 1.2 Ketergantungan Sektor SDA dan Pertumbuhan Ekonomi Periode Otonomi Daerah ( ) SLTG SLTR JAMBI DKI SMUT SLUT BALI JWTM JWBR SMBR BGKL KLTG KLSL LMPG SLSL NTT JWTG DIY KLBR MLKU NTB SMSL NAD RIAU PPUA KLTM Ratio PDRB Sektor SDA terhadap Total PDRB, 2001 Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah Gambar 1.3 Ketergantungan Bagi Hasil SDA dan Pertubuhan Ekonomi Periode Otonomi Daerah ( ) SLTG SLTR JAMBI SLUT BGKL SMBR DKI BALI JWTM SMUT JWTG JWBR SLSL NTT DIY KLBR MLKU KLSL KLTG LMPG SMSLNTB PPUA NAD RIAU KLTM Ratio Bagi Hasil SDA terhadap Total Pendapatan Propinsi, 2001 Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah Gambar 1.1, 1.2, dan 1.3 jelas tidak cukup untuk membuktikan eksistensi hipotesis kutukan SDA di Indonesia pada era otonomi daerah. Hasil pada gambar tersebut hanya menunjukkan korelasi antara dua variabel, dan tidak menyatakan hubungan sebab akibat, juga tidak mengontrol variabel-variabel utama dalam model pertumbuhan, dimana variabel-variabel tersebut juga kemungkinan berkorelasi dengan ketergantungan SDA. Misalnya variabel tingkat pendapatan 6
7 awal. Menurut Barro (1991) negara/daerah dengan level pendapatan yang tinggi cenderung memiliki pertumbuhan ekonomi yang lambat relatif terhadap negara dengan pendapatan yang rendah. Propinsi-propinsi kaya SDA cenderung memiliki level pendapatan yang juga tinggi, sehingga rendahnya pertumbuhan di propinsi kaya SDA mungkin saja disebabkan karena pendapatan awal yang rendah bukan karena ketergantungan SDA. Meskipun demikian, Gambar 1.1 dan 1.2 bersama dengan studi Feryawan (2011) dapat digunakan sebagai landasan awal untuk melakukan penelusuran lebih lanjut mengenai eksistensi hipotesis kutukan SDA di era otonomi daerah. Seperti telah disampaikan sebelumnya, Otonomi daerah memberikan peluang yang lebih besar bagi daerah untuk memanfaatkan sumber daya alamnya, sehingga SDA dapat menjadi sumber kekuatan daerah untuk meningkatkan kesejahteraan. Tetapi jika tidak dikelola dengan baik sumber kekuatan tersebut dapat berubah menjadi titik kelemahan. Studi Sebastian dan Raveh (2013) menunjukkan bahwa negara-negara yang memiliki derajat desentralisasi fiskal (bagian dari otonomi daerah) yang tinggi relatif lebih rentan terhadap fenomena kutukan SDA dibanding negara-negara yang kebijakan fiskalnya tersentralisasi. Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal meningkatkan sewa (bagi hasil) SDA yang diterima oleh daerah pemilik SDA, menurut Leita dan Weidmann (1999) pendapatan sewa SDA yang besar tersebut meningkatkan kemungkinan munculnya prilaku rent-seeking dan korupsi yang menghambat pembangunan ekonomi. Dalam studinya di Brazil (negara dengan kebijakan desentralisasi fiskal), Caselli dan Michaels (2013), menemukan bahwa 7
8 daerah-daerah yang menikmati sewa SDA yang besar cenderung lebih korup, hal tersebut ditunjukkan dengan performa pelayanan publik yang buruk. Hasil tersebut terlihat konsisten dengan kondisi Indonesia. Menurut Transparency International dalam Martini (2012), desentralisasi dalam kebijakan otonomi daerah di Indonesia, masih harus menghadapi banyak tantangan terutama menyebarnya korupsi di berbagai level pemerintahan. Hal tersebut antara lainnya ditunjukkan oleh Indeks Persepsi Korupsi (IPK) mayoritas kota-kota di Indonesia yang masih berada di bawah rata-rata 4,42. Masih menurut laporan ini, lemahnya kualitas institusi, serta rendahnya transparansi dan akuntabilitas di level pemerintahan lokal, dihadapkan pada pemberian kekuasaan SDA yang lebih besar kepada pemerintah daerah di era otonomi daerah dicurigai menjadi sumber peningkatan dan penyebaran korupsi pada level pemerintahan lokal. Otonomi daerah tidak saja melemahkan pertumbuhan ekonomi melalui jalur pemanfaatan sewa SDA oleh institusi pemerintah, tetapi juga melalui aktifitas ekonomi sektoral. Otonomi daerah membuka peluang peningkatan aktifitas sektor SDA. Daerah mendapatkan insentif untuk memacu sektor SDA dengan adanya sistem bagi hasil (pusat-daerah) di era otonomi daerah. Semakin besar eksploitasi sektor SDA maka akan semakin besar pula bagian pendapatan sewa yang diterima oleh pemerintah daerah. Jika peningkatan aktifitas sektor SDA tersebut tidak memberikan linkage yang besar pada sektor lainnya atau menyebabkan ketergantungan terhadap sektor SDA, maka ketergantungan pada sektor SDA tersebut, menurut SW (1997) dan Gylfason et. al. (1999), dapat melemahkan dua 8
9 faktor yang berperan besar dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi, yaitu pertumbuhan investasi dan tingkat pendidikan. 1.2 Rumusan Masalah Studi-studi mengenai eksistensi hipotesis kutukan sumber daya alam yang sebelumnya dilakukan di Indonesia tidak mempertimbangkan kemungkinan munculnya endogeneity bias dari hasil estimasi model regresi yang digunakan. Endogeneity bias dapat menciptakan problem yang cukup serius dalam topik ini terutama karena hipotesis kutukan sumber daya alam dibangun dari kerangka model regresi pertumbuhan ekonomi. Karenanya dianggap perlu sebuah studi yang memuat atau mempertimbangkan problem tersebut. Dalam menguji eksistensi hipotesis kutukan sumber daya alam, studi ini menggunakan System Generalized Method of Moment (GMM) estimator, yang diusulkan oleh Arrelano dan Bover (1995) serta Blundell dan Bond (1998), yang dianggap lebih fleksibel untuk mengeliminir masalah endogeneity bias. Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal mendorong daerah untuk berkembang berdasarkan potensi yang dimilikinya sehingga dapat menciptakan kemandirian bagi daerah untuk mengelola perekonomiannya. Salah satu potensi yang dimiliki daerah adalah sumber daya alam. Aturan tentang bagi hasil sumber daya alam dan wewenang yang lebih besar bagi daerah untuk mengelola sumber daya alamnya membuat era otonomi daerah berbeda dengan masa sebelumnya. Perbedaan aturan tersebut kemungkinan berdampak pada performa perekonomian daerah berdasarkan kepemilikan sumber daya alam. Otonomi daerah dan 9
10 desentralisasi fiskal seharusnya memberikan manfaat yang besar bagi daerah pemilik sumber daya alam, yang salah satu indikatornya adalah peningkatan pertumbuhan ekonomi. Tetapi jika tidak dikelola dengan baik SDA yang besar tersebut justru dapat melemahkan pertumbuhan ekonomi. Kondisi tersebut memunculkan partanyaan-pertanyaan yang menarik untuk ditelusuri lebih lanjut. Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana pengaruh langsung (direct effect) ketergantungan SDA terhadap pertumbuhan ekonomi pada keseluruhan periode pengamatan? 2. Apakah pengaruh ketergantungan SDA terhadap pertumbuhan ekonomi berbeda pada periode sebelum dan selama diberlakukannya UU otonomi daerah? Jika berbeda, bagaimana bentuk perbedaannya? 3. Bagaimana pengaruh tidak langsung (indirect effect) ketergantungan SDA terhadap pertumbuhan ekonomi pada keseluruhan periode pengamatan? atau dengan kata lain, bagaimana peran faktor-faktor yang menjadi penghubung antara ketergantungan SDA dan pertumbuhan ekonomi? 4. Bagaimana pengaruh tidak langsung (indirect effect) ketergantungan SDA terhadap pertumbuhan ekonomi baik pada periode sebelum maupun selama otonomi daerah? 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan Penelitian 1. Menganalisa pengaruh langsung (direct effect) ketergantungan SDA terhadap pertumbuhan ekonomi pada keseluruhan periode pengamatan (sebelum dan selama pelaksanaan otonomi daerah). 10
11 2. Menganalisa perbedaan pengaruh langsung ketergantungan SDA terhadap pertumbuhan ekonomi pada periode sebelum otonomi daerah dengan periode selama diberlakukannya UU otonomi daerah. 3. Menganalisa pengaruh tidak langsung (indirect effect) ketergantungan SDA terhadap pertumbuhan ekonomi pada keseluruhan periode pengamatan. 4. Menganalisa pengaruh tidak langsung ketergantungan SDA terhadap pertumbuhan ekonomi baik pada periode sebelum otonomi daerah maupun setelah diberlakukannya UU otonomi daerah Manfaat Penelitian 1. Bagi pemerintah pusat dan pemerintah daerah, penelitian ini dapat dijadikan bahan pertimbangan dan masukan dalam menyusun kebijakan yang terpadu di sektor sumber daya alam maupun kebijakan-kebijakan lain yang berkaitan. 2. Bagi akademisi, penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan referensi untuk penelitian-penelitian lanjutan dan dapat memperkaya literatur mengenai fenomena kutukan sumber daya alam. 3. Bagi masyarakat umum, studi ini dapat dijadikan bahan untuk memperluas wawasan dan pengenalan terhadap fenomena kutukan sumber daya alam di Indonesia. 11
12 1.4 Sistematika Penulisan Studi ini terbagi atas lima bagian atau bab. Bab pertama menjelaskan mengenai latar belakang pemilihan topik, penyusunan rumusan masalah dan pertanyaan-pertanyaan yang muncul dari masalah tersebut, penjelasan tujuan dan manfaat dari penelitian, dan yang terakhir adalah penjelasan mengenai sistematika penulisan yang digunakan. Bab kedua membahas dan mengkaji literatur-literatur yang berkaitan. Pembahasan diawali dengan mengidentifikasi teori-teori dan cabang-cabang utama teori tentang hipotesis kutukan SDA. Berikutnya, pembahasan berfokus pada studi-studi empiris yang bertujuan membuktikan teoriteori yang ada. Selanjutnya, dibahas hal-hal yang harus dipertimbangkan dalam studi mengenai kutukan SDA, yang meliputi diskusi literatur tentang pemilihan indikator SDA dan pemilihan metode estimasi. Pada bagian terakhir disajikan hipotesis yang disusun berdasarkan diskusi literatur pada sub bab sebelumnya. Bab ketiga, membahas metodologi yang digunakan dalam studi ini untuk menjawab pertanyaan penelitian. Mencakup sumber dan jenis data yang digunakan, tahapantahapan analisa dan penjelasan metode dan model estimasi yang digunakan untuk menganalisa data yang tersedia. Bab keempat, diisi dengan pemaparan dan interprestasi hasil estimasi, yang bertujuan membuktikan hipotesis yang telah disusun. Bab kelima menyajikan kesimpulan dari pembahasan, serta saran-saran yang dapat ditawarkan dari temuan-temuan dalam penelitian ini. 12
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil pembahasan pada bab sebelumnya, maka dapat diambil
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil pembahasan pada bab sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Hipotesis kutukan SDA tidak terbukti eksis di Indonesia pada
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan bidang pertambangan merupakan bagian integral dari
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan bidang pertambangan merupakan bagian integral dari pembangunan nasional, sehingga pembangunan bidang pertambangan merupakan tanggung jawab bersama. Oleh karenanya
Lebih terperinciVisi, Misi Dan Strategi KALTIM BANGKIT
Awang Faroek Ishak Calon Gubernur 2008-2013 1 PETA KABUPATEN/KOTA KALIMANTAN TIMUR Awang Faroek Ishak Calon Gubernur 2008-2013 2 BAB 1. PENDAHULUAN Kalimantan Timur (Kaltim) merupakan propinsi terluas
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam perkembangannya, kebijakan ini
BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Pengelolaan pemerintah daerah baik ditingkat provinsi maupun tingkat kabupaten dan kota, memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No 22 tahun 1999 dan UU
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. sejalan dengan dikeluarkannya Undang-undang No 22 Tahun 1999 dan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Otonomi daerah merupakan tantangan tersendiri bagi setiap daerah baik provinsi maupun kota dan kabupaten untuk menunjukkan kemandiriannya. Hal ini sejalan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pembangunan di negara-negara berkembang saat ini lebih ditekankan pada
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan di negara-negara berkembang saat ini lebih ditekankan pada pembangunan ekonomi, hal ini disebabkan karena terjadinya keterbelakangan ekonomi. Pembangunan
Lebih terperinci4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan
4 GAMBARAN UMUM 4.1 Kinerja Fiskal Daerah Kinerja fiskal yang dibahas dalam penelitian ini adalah tentang penerimaan dan pengeluaran pemerintah daerah, yang digambarkan dalam APBD Provinsi dan Kabupaten/Kota
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pembangunan adalah usaha menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pembangunan adalah usaha menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu hasil-hasil pembangunan harus dapat dinikmati oleh seluruh rakyat
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. yang menyebabkan GNP perkapita (Gross National Product) atau pendapatan
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara umum pembangunan ekonomi di definisikan sebagai suatu proses yang menyebabkan GNP perkapita (Gross National Product) atau pendapatan masyarakat meningkat dalam periode
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Kesejahteraan masyarakat merupakan tujuan dari pembangunan, namun pada
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesejahteraan masyarakat merupakan tujuan dari pembangunan, namun pada kenyataannya selama ini pembangunan hanya ditunjukan untuk pencapaian tingkat pertumbuhan ekonomi,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. (disparity) terjadi pada aspek pendapatan, spasial dan sektoral. Golongan kaya
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi yang menimbulkan ketimpangan dalam pembangunan (disparity) terjadi pada aspek pendapatan, spasial dan sektoral. Golongan kaya makin kaya sedangkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan, pembangunan di
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam rangka menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan, pembangunan di segala bidang, dan juga guna mencapai cita-cita bangsa Indonesia untuk memajukan kesejahteraan umum,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan otonomi yang seluas-luasnya, dalam arti daerah diberikan
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pelaksanaan otonomi yang seluas-luasnya, dalam arti daerah diberikan kewenangan untuk mengurus dan mengatur urusan pemerintahan sesuai dengan Undang-undang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dan masyarakatnya mengelola sumberdaya-sumberdaya yang ada dan. swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang
Analisis struktur perekonomian kota Depok sebelum dan sesudah otonomi daerah UNIVERSITAS SEBELAS MARET Oleh: HARRY KISWANTO NIM F0104064 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan daerah merupakan
Lebih terperinci1. PENDAHULUAN Latar Belakang
1. PENDAHULUAN Latar Belakang Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal bukan konsep baru di Indonesia. Otonomi daerah sudah diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor. 5 Tahun 1975 tentang Pokok-Pokok
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pembangunan daerah, dan kurang melibatkannya stakeholder di daerah. Kondisi
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebelum era reformasi yaitu pada zaman orde baru, Indonesia menganut sistem pemerintahan yang sentralistik. Kondisi ini dapat dilihat dari dominannya peran pemerintah
Lebih terperinciBAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Manusia adalah kekayaan bangsa yang sesungguhnya. Tujuan utama dari
1 BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Manusia adalah kekayaan bangsa yang sesungguhnya. Tujuan utama dari pembangunan adalah menciptakan lingkungan yang memungkinkan bagi rakyatnya untuk menikmati umur
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. pemerintahan termasuk kewenangan daerah. Salah satu bukti adalah Undang-undang
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Era reformasi telah memberikan dampak yang besar terhadap perubahan di seluruh aspek pemerintahan termasuk kewenangan daerah. Salah satu bukti adalah Undang-undang Nomor
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Masalah kemiskinan menjadi persoalan serius yang di hadapi oleh banyak
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah kemiskinan menjadi persoalan serius yang di hadapi oleh banyak negara di dunia, karena dalam negara maju pun terdapat penduduk miskin. Kemiskinan identik dengan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Sejak ditetapkannya Undang-Undang Nomor 32/2004 dan terakhir diganti dengan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejak ditetapkannya Undang-Undang Nomor 32/2004 dan terakhir diganti dengan Undang-Undang Nomor 23/2014 tentang pemerintahan daerah, juga Undang-Undang Nomor 33/2004
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bangsa Indonesia memasuki era baru tata pemerintahan sejak tahun 2001 yang ditandai dengan pelaksanaan otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah ini didasarkan pada UU
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. sektor publik yang nantinya diharapkan dapat mendongkrak perekonomian rakyat
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pertumbuhan ekonomi merupakan perkembangan kegiatan dalam perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang diproduksikan dalam masyarakat bertambah (Sukirno,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Kegiatan ekonomi yang bervariasi, mendorong setiap daerah Kabupaten
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kegiatan ekonomi yang bervariasi, mendorong setiap daerah Kabupaten atau Kota untuk mengembangkan potensi ekonominya. Oleh karena itu pembangunan daerah hendaknya dilaksanakan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. wewenang pelaksanaan pemerintahan diserahkan kepada daerah itu sendiri secara
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam menjalankan penyelenggaraan pemerintahan dikenal ada dua pendekatan yang menghubungkan pemerintah pusat dan daerah yaitu pendekatan secara sentralisasi dan pendekatan
Lebih terperinci5. PROFIL KINERJA FISKAL, PEREKONOMIAN, DAN KEMISKINAN SEKTORAL DAERAH DI INDONESIA
86 5. PROFIL KINERJA FISKAL, PEREKONOMIAN, DAN KEMISKINAN SEKTORAL DAERAH DI INDONESIA Profil kinerja fiskal, perekonomian, dan kemiskinan sektoral daerah pada bagian ini dianalisis secara deskriptif berdasarkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan Desentralisasi di Indonesia ditandai dengan adanya Undangundang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pelaksanaan Desentralisasi di Indonesia ditandai dengan adanya Undangundang Nomor 22 dan Nomor 25 tahun 1999 yang sekaligus menandai perubahan paradigma pembangunan
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. manusia. Seiring perkembangan zaman tentu kebutuhan manusia bertambah, oleh
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perekonomian merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Seiring perkembangan zaman tentu kebutuhan manusia bertambah, oleh karena itu perekonomian
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Sejak tahun 2001 Indonesia telah memberlakukan desentralisasi yang lebih
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sejak tahun 2001 Indonesia telah memberlakukan desentralisasi yang lebih dikenal dengan istilah otonomi daerah sebagai salah satu wujud perubahan fundamental terhadap
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan trend ke arah zona ekonomi sebagai kota metropolitan, kondisi ini adalah sebagai wujud dari
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. mengatur tentang otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengelolaan pemerintah daerah, baik di tingkat propinsi maupun tingkat kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya Undang-Undang (UU)
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. percepatan terwujudnya peningkatan kesejahteraan seluruh rakyat (Bappenas,
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tujuan utama kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal adalah percepatan terwujudnya peningkatan kesejahteraan seluruh rakyat (Bappenas, 2007). Untuk mewujudkan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Kerangka desentralisasi yang dicanangkan dengan berlakunya Undang
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kerangka desentralisasi yang dicanangkan dengan berlakunya Undang Undang nomor 22 tahun 1999 dan telah direvisi menjadi Undang Undang nomor 32 tahun 2004 telah membawa
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dibandingkan daerah lain di pulau Jawa yang merupakan pusat dari pembangunan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam sejarah perjalanan sistem kepemerintahannya, Indonesia sempat mengalami masa-masa dimana sistem pemerintahan yang sentralistik pernah diterapkan. Di bawah rezim
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. seluruh aspek kehidupan. Salah satu aspek reformasi yang dominan adalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Reformasi yang dimulai beberapa tahun lalu telah merambah ke seluruh aspek kehidupan. Salah satu aspek reformasi yang dominan adalah aspek pemerintahan yaitu
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. keberhasilan reformasi sosial politik di Indonesia. Reformasi tersebut
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sistem desentralistik atau otonomi daerah merupakan salah satu keberhasilan reformasi sosial politik di Indonesia. Reformasi tersebut dilatarbelakangi oleh pelaksanaan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi dalam daerah tersebut
16 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah daerah dan seluruh komponen masyarakat mengelola berbagai sumber daya yang ada dan membentuk pola
Lebih terperinciPENDAHULUAN. berbagai kegiatan pembangunan nasional diarahkan kepada pembangunan yang merata ke
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan nasional merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan tujuan masyarakat yakni kesejahteraan yang adil dan makmur. Sejalan dengan tujuan tersebut berbagai kegiatan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pembangunan ekonomi dapat diartikan sebagai suatu proses yang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi dapat diartikan sebagai suatu proses yang menyebabkan pendapatan per kapita penduduk suatu masyarakat meningkat dalam jangka panjang. Definisi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan indikator keberhasilan kinerja
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan indikator keberhasilan kinerja pemerintah dalam meningkatkan pembangunan ekonomi di setiap negara. Setiap Negara di dunia sangat memperhatikan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. telah resmi dimulai sejak tanggak 1 Januari Dalam UU No 22 tahun 1999
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada peraturan pemerintah Republik Indonesia, pelaksanaan otonomi daerah telah resmi dimulai sejak tanggak 1 Januari 2001. Dalam UU No 22 tahun 1999 menyatakan bahwa
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. angka pengangguran dapat dicapai bila seluruh komponen masyarakat yang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Salah satu sasaran rencana pembangunan nasional adalah pembangunan disegala bidang dan mencakup seluruh sektor ekonomi. Pertumbuhan ekonomi yang diikuti dengan
Lebih terperinci1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan suatu negara. Pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami perubahan yang cukup berfluktuatif. Pada
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi dalam lingkup negara secara spasial tidak selalu
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumberdaya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. suatu negara. Hubungan keduanya dijelaskan dalam Hukum Okun yang menunjukkan
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengangguran merupakan satu dari banyak permasalahan yang terjadi di seluruh negara di dunia, terutama di negara berkembang seperti Indonesia. Hal ini terjadi karena
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yang dalam perkembangannya seringkali terjadi adalah ketimpangan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai negara berkembang saat ini dalam masa pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi dalam perkembangannya senantiasa memberikan dampak baik positif
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. hakekatnya adalah upaya untuk meningkatkan kapasitas pemerintahan daerah sehingga tercipta
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Pembangunan daerah sebagai bagian integral dari pembangunan nasional pada hakekatnya adalah upaya untuk meningkatkan kapasitas pemerintahan daerah sehingga
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah tentang APBD.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah dalam tahun anggaran tertentu yang berisi sumber pendapatan dan penggunaan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. perubahan yang sangat mendasar sejak Pemerintah menerapkan otonomi daerah
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Paradigma dalam pengelolaan keuangan daerah telah mengalami perubahan yang sangat mendasar sejak Pemerintah menerapkan otonomi daerah pada tahun 2001. Undang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi di dalam peraturan perundang-undangan telah
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi di dalam peraturan perundang-undangan telah dinyatakan secara tegas bahwa pembangunan ekonomi merupakan salah satu bagian penting daripada
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. menunjang pertumbuhan ekonomi yang pesat. Akan tetapi jika bergantung pada
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumber daya alam yang berlimpah pada suatu daerah umumnya akan menunjang pertumbuhan ekonomi yang pesat. Akan tetapi jika bergantung pada sumber daya alam yang tidak
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengelolaan pemerintah daerah, baik di tingkat propinsi maupun tingkat kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 1999
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. ekonomi di setiap negara. Tujuan peningkatan penyerapan tenaga kerja sering
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Tenaga kerja merupakan faktor yang sangat krusial bagi pembangunan ekonomi di setiap negara. Tujuan peningkatan penyerapan tenaga kerja sering menjadi prioritas dalam
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya pembangunan nasional di negara-negara berkembang. difokuskan pada pembangunan ekonomi dalam rangka upaya pertumbuhan
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada umumnya pembangunan nasional di negara-negara berkembang difokuskan pada pembangunan ekonomi dalam rangka upaya pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi berkaitan
Lebih terperinciBAB V SIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil pengujian dan analisis yang telah dilakukan mengenai
BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan Penelitian Berdasarkan hasil pengujian dan analisis yang telah dilakukan mengenai perbedaan kinerja keuangan daerah sebelum dan sesudah otonomi khusus pada kabupaten/kota
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem otonomi daerah, terdapat 3 (tiga) prinsip yang dijelaskan UU
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam sistem otonomi daerah, terdapat 3 (tiga) prinsip yang dijelaskan UU No.32 Tahun 2004 yaitu desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Desentralisasi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi luas
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sesuai dengan amanat UUD RI Tahun 1945, pemerintah daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat melalui beberapa proses dan salah satunya adalah dengan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pembangunan pada hakekatnya merupakan suatu proses kemajuan dan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan pada hakekatnya merupakan suatu proses kemajuan dan perbaikan yang secara terus menerus menuju pada pencapaian tujuan yang diinginkan. Secara umum tujuan
Lebih terperinciBAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang
BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Pembangunan daerah sebagai bagian integral, dari pembangunan nasional dilaksanakan berdasarkan prinsip otonomi daerah dan pengaturan sumber daya nasional yang memberikan
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia memasuki babak baru dalam pengelolaan pemerintah, hal ini ditandai dengan diberlakukannya otonomi daerah yang sejalan dengan dikeluarkannya Undang-Undang
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. dalam bidang pengelolaan keuangan negara maupun daerah. Akuntabilitas
BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi ini menyebabkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dan UU No 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, telah
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sejak diberlakukannya UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, telah terjadi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Tuntutan dan kebutuhan masyarakat Indonesia pada umumnya terhadap
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tuntutan dan kebutuhan masyarakat Indonesia pada umumnya terhadap pelayanan prima dari pemerintah yang berorientasi pada kepuasan masyarakat semakin besar sejak era
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. untuk diselesaikan oleh pemerintah daerah. Salah satu urusan yang diserahkan
BAB I PENDAHULUAN 1.7 Latar Belakang Sistem otonomi daerah dan desentralisasi fiskal yang diterapkan Indonesia sejak tahun 2004 mengharuskan pemerintah untuk menyerahkan beberapa urusan untuk diselesaikan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pembelanjaan. Pengeluaran-pengeluaran untuk membiayai administrasi
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam setiap perekonomian pemerintah perlu melakukan berbagai jenis pembelanjaan. Pengeluaran-pengeluaran untuk membiayai administrasi pemerintah, membangun dan memperbaiki
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Berbagai upaya dirancang dan dilaksanakan oleh pemerintah daerah semata-sama
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesejahteraan masyarakat merupakan salah satu tujuan yang diharapkan oleh setiap daerah tidak terkecuali bagi kabupaten/kota yang ada di Provinsi Bali. Berbagai upaya
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. sumber daya alam tidak diragukan lagi Indonesia memiliki kekayaan alam yang
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara berkembang yang memiliki potensi sumber daya yang sangat besar baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia, untuk sumber daya alam tidak
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. dijelaskan terlebih dahulu beberapa istilah yang terkait dengan judul. Adapun
1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Penegasan Judul Sebagai kerangka awal untuk memudahkan dan menghindari kesalah pahaman dalam memahami maksud dari judul ini, maka perlu kiranya dijelaskan terlebih dahulu beberapa
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. tetap terbuka pada persaingan domestik. Daya saing daerah mencakup aspek yang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daya saing ekonomi menunjukkan kemampuan suatu wilayah menciptakan nilai tambah untuk mencapai kesejahteraan yang tinggi dan berkelanjutan dengan tetap terbuka pada
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. ekonomi sehingga dapat menggambarkan bagaimana kemajuan atau kemunduran yang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pertumbuhan ekonomi merupakan hasil output yang dibentuk oleh berbagai sektor ekonomi sehingga dapat menggambarkan bagaimana kemajuan atau kemunduran yang
Lebih terperinciPENDAHULUAN. Belanja daerah, atau yang dikenal dengan pengeluaran. pemerintah daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Belanja daerah, atau yang dikenal dengan pengeluaran pemerintah daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), merupakan salah satu faktor pendorong
Lebih terperinciKEBIJAKAN PENDANAAN KEUANGAN DAERAH Oleh: Ahmad Muam
KEBIJAKAN PENDANAAN KEUANGAN DAERAH Oleh: Ahmad Muam Pendahuluan Sejalan dengan semakin meningkatnya dana yang ditransfer ke Daerah, maka kebijakan terkait dengan anggaran dan penggunaannya akan lebih
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. suatu perhatian khusus terhadap pembangunan ekonomi. Perekonomian suatu
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam memperkuat suatu perekonomian agar dapat berkelanjutan perlu adanya suatu perhatian khusus terhadap pembangunan ekonomi. Perekonomian suatu negara sangat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan perhatian utama semua negara terutama
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan perhatian utama semua negara terutama negara berkembang. Pembangunan ekonomi dicapai diantar anya dengan melakukan usaha-usaha untuk meningkatkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pajak erat sekali hubungannya dengan pembangunan, pembangunan dan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pajak erat sekali hubungannya dengan pembangunan, pembangunan dan pajak akan senantiasa meningkat jika tarif pajak didasarkan dengan tarif pajak yang progresif,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perubahan peraturan sektor publik yang disertai dengan adanya tuntutan
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perubahan peraturan sektor publik yang disertai dengan adanya tuntutan demokratisasi menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pembangunan ekonomi bertujuan untuk mewujudkan ekonomi yang handal. Pembangunan ekonomi diharapkan dapat meningkatkan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi dalam suatu negara sangat penting, karena pembangunan ekonomi bertujuan untuk mewujudkan ekonomi yang handal dan mandiri. Pembangunan ekonomi
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Selama pemerintahan orde baru sentralisasi kekuasaan sangat terasa dalam
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Selama pemerintahan orde baru sentralisasi kekuasaan sangat terasa dalam setiap aktivitas pemerintahan daerah, bahkan rancangan pembangunan disetiap daerah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang berkembang, memiliki jumlah
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang berkembang, memiliki jumlah penduduk yang besar, dan memiliki kekayaan alam yang melimpah. Tentunya untuk memajukan perekonomian
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Sejak tahun 1970-an telah terjadi perubahan menuju desentralisasi di antara negaranegara,
BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Sejak tahun 1970-an telah terjadi perubahan menuju desentralisasi di antara negaranegara, baik negara ekonomi berkembang maupun negara ekonomi maju. Selain pergeseran
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. seluruh stakeholders untuk memberikan kesejahteraan yang sebesar-besarnya bagi
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Proses pembangunan ekonomi tidak terjadi dengan sendirinya, melainkan terlebih dahulu memerlukan berbagai usaha yang konsisten dan terus menerus dari seluruh stakeholders
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Sejak big bang decentralization yang menandai era baru pemerintahan
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Sejak big bang decentralization yang menandai era baru pemerintahan pasca-orde baru, pemerintah pusat tetap memainkan peranan penting dalam mendukung pelaksanaan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam sistem otonomi daerah, terdapat 3 (tiga) prinsip yang dijelaskan UU No.23 Tahun 2014 yaitu desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Desentralisasi
Lebih terperinciPENDAHULUAN. hidup yang layak dibutuhkan pendidikan. Pendidikan dan kesehatan secara. dan merupakan jantung dari pembangunan. Negara-negara berkembang
BAB 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendidikan dan kesehatan merupakan tujuan dasar dari pembangunan. Manusia dapat menikmati hidup dengan nyaman apabila sehat dan untuk dapat hidup yang layak dibutuhkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dikemukakan mengenai latar belakang, pokok
BAB I PENDAHULUAN Pada bab ini akan dikemukakan mengenai latar belakang, pokok permasalahan, tujuan penelitian, kegunaan penelitian dan sistematika penelitian. Pertama, pada bagian latar belakang akan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Distribusi Persentase PDRB Kota Bogor Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota Bogor merupakan sebuah kota yang berada di Provinsi Jawa Barat. Kedudukan Kota Bogor yang terletak di antara wilayah Kabupaten Bogor dan dekat dengan Ibukota Negara
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kultural, dengan tujuan utama meningkatkan kesejahteraan warga bangsa secara
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan proses yang berkesinambungan yang mencakup seluruh aspek kehidupan masyarakat, termasuk aspek sosial, ekonomi, politik dan kultural, dengan tujuan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Memasuki abad ke-21, bahan bakar fosil 1 masih menjadi sumber. energi yang dominan dalam permintaan energi dunia.
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Memasuki abad ke-21, bahan bakar fosil 1 masih menjadi sumber energi yang dominan dalam permintaan energi dunia. Dibandingkan dengan kondisi permintaan energi beberapa
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Setiap upaya pembangunan ekonomi daerah mempunyai tujuan utama untuk. bersama-sama mengambil inisiatif pembangunan daerah.
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan adalah usaha untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, hasil pembangunan harus dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat sebagai wujud
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yang penting dilakukan suatu Negara untuk tujuan menghasilkan sumber daya
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan manusia merupakan salah satu syarat mutlak bagi kelangsungan hidup bangsa dalam rangka menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas. Menciptakan pembangunan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. tidak meratanya pembangunan yang berjalan selama ini sehingga
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kebijakan Pemerintah Indonesia tentang Otonomi Daerah, yang dilaksanakan secara efektif mulai tanggal 1 Januari 2002, merupakan kebijakan yang dipandang sangat
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemiskinan merupakan salah satu masalah dalam proses pembangunan ekonomi. Permasalahan kemiskinan dialami oleh setiap negara, baik negara maju maupun negara berkembang.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. ekonomi, sehingga harus disembuhkan atau paling tidak dikurangi. Permasalahan kemiskinan memang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Salah satu tujuan pembangunan nasional adalah meningkatkan kinerja perekonomian agar mampu menciptakan lapangan kerja dan menata kehidupan yang layak bagi seluruh
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Posisi manusia selalu menjadi tema sentral dalam setiap program
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Posisi manusia selalu menjadi tema sentral dalam setiap program pencapaian pembangunan. Dalam skala internasional dikenal tujuan pembangunan milenium (Millenium
Lebih terperinciI.PENDAHULUAN. Pembangunan di negara-negara berkembang lebih ditekankan pada pembangunan
I.PENDAHULUAN A.Latar Belakang Pembangunan di negara-negara berkembang lebih ditekankan pada pembangunan ekonomi, hal ini disebabkan karena terjadinya keterbelakangan ekonomi. Pembangunan di bidang ekonomi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dengan meningkatkan pemerataan dan keadilan. Dengan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan ekonomi daerah adalah salah satu indikator untuk mengevaluasi perkembangan/kemajuan pembangunan ekonomi di suatu daerah pada periode tertentu (Nuni
Lebih terperinciIV. GAMBARAN UMUM Letak Geogafis dan Wilayah Administratif DKI Jakarta. Bujur Timur. Luas wilayah Provinsi DKI Jakarta, berdasarkan SK Gubernur
57 IV. GAMBARAN UMUM 4.1. Letak Geogafis dan Wilayah Administratif DKI Jakarta Provinsi DKI Jakarta merupakan dataran rendah dengan ketinggian rata-rata 7 meter diatas permukaan laut dan terletak antara
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. diyakini oleh banyak pihak telah menimbulkan banyak masalah, khususnya
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kewenangan sentralisasi yang awalnya dianut oleh pemerintah Indonesia diyakini oleh banyak pihak telah menimbulkan banyak masalah, khususnya masalah di daerah, contohnya
Lebih terperinci