BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG AKSESIBILITAS PENYANDANG DISABILITAS. terpisahkan dari masyarakat Indonesia. Sebelumnya istilah Disabilitas mungkin

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG AKSESIBILITAS PENYANDANG DISABILITAS. terpisahkan dari masyarakat Indonesia. Sebelumnya istilah Disabilitas mungkin"

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG AKSESIBILITAS PENYANDANG DISABILITAS 1.1. Pengertian dan Jenis-Jenis Disabilitas. Penyandang cacat atau disabilitas merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat Indonesia. Sebelumnya istilah Disabilitas mungkin kurang akrab disebagian masyarakat Indonesia berbeda dengan Penyandang Cacat, istilah ini banyak yang mengetahui atau sering digunakan di tengah masyarakat. Istilah Disabilitas merupakan kata bahasa Indonesia yang berasal dari serapan kata bahasa Inggris disability (jamak: disabilities) yang berarti cacat atau ketidakmampuan, namun dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata Disabilitas belum tercantum. Disabilitas adalah istilah baru pengganti Penyandang Cacat. Penyandang Disabilitas dapat diartikan individu yang mempunyai keterbatasan fisik atau mental atau intelektual. Pemahaman penyandang disabilitas merupakan istilah dan pengertian yang lebih sempit dibandingkan dengan istilah penyandang cacat yang digunakan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat dan Peraturan Perundang-Undangan lainya yang berlaku di Indonesia. Istilah Disabilitas tersebut muncul manakala Indonesia saat itu menandatangani Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas pada tanggal 30 Maret 2007 dalam sidang Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) dengan urutan ke-9. Dengan ikutnya Indonesia melakukan penandatanganan pada kovensi tersebut 25

2 26 maka sebagai konsekuensinya, Indonesia harus meratifikasi Konvensi tersebut ke dalam hukum nasional Indonesia. Pengertian cacat sebagaimana digambarkan di atas sejak tahun 1998 memperoleh sebutan baru yang disuarakan oleh beberapa aktivis penyandang cacat setelah keberlakuan konvensi hak-hak penyandang disabilitas. Sebutan baru tersebut diistilahkan dengan difabel yang merupakan singkatan dari different ability people. bebas diterjemahkan dengan orang yang berbeda kemampuan. Istilah difabel didasarkan pada realita bahwa setiap manusia sebenarnya diciptakan berbeda sehingga tidak ada yang namanya kecacatan yang ada hanyalah perbedaan. Menurut Mansour Fakih :..Salah satu bentuk resistensi dan pemberdayaan yang hakiki adalah justru mulai dari usaha untuk membongkar konvensi sosial yang diyakini kalangan masyarakat, birokrat, akademisi, bahkan aktivis LSM untuk melakukan dekonstruksi terhadap diskursus 'disable' ataupun 'penyandang cacat' dengan memuncukan wacana tandingan yang lebih adil dan memberdayakan, yakni bahwa mereka yang tidak memiliki kaki, misalnya,ternyata memiliki 'different abilities' atau yang di-indonesiakan dan disingkat sebagai 'difabel'. 1 Sesuai dengan Pasal 43 Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas, Indonesia sebagai penandatangan Konvensi wajib meratifikasi (mengikat diri) dengan Konvensi tersebut. Sebelum adanya Konvensi hak-hak penyandang disabilitas yang telah di ratifikasi ke dalam UU No 19 Tahun 2011, Indonesia terlebih dahulu telah memiliki Undang-Undang yang mengatur tentang hak-hak penyandang cacat yaitu 1 Mansour Fakih, 1999, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, INSISTPress, tanpa tempat terbit, h,12

3 27 melalui Undang-Undang Republik Indonesia No 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat. Dalam undang-undang tersebut terlihat bahwa produk legislasi tersebut diwujudkan sebagai upaya mewujudkan kesamaan hak dan kewajiban bagi penyandang cacat. Undang-Undang Penyandang Cacat merupakan sebuah kodifikasi hukum yang mengatur penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak warga Negara termasuk penyandang disabilitas di semua aspek kehidupan. Pasal 1 angka 1 memberikan pemahaman bahwa yang dimaksud dengan Penyandang cacat adalah: Penyandang Cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat menganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan secara selayaknya, yang terdiri dari: a. penyandang cacat fisik; b. penyandang cacat mental; c. penyandang cacat fisik dan mental. Secara bebas dan sederhana penulis dapat memberi pengertian bahwa penyandang disabilitas adalah orang berkebutuhan khusus dimana orang tersebut hidup dengan karakteristik khusus dan memiliki perbedaan dengan orang pada umumnya karena karakteristik yang berbeda inilah maka mereka memerlukan pelayanan khusus agar mereka mendapatkan hak-haknya sebagai manusia. Disabilitas memiliki jenis-jenisnya tersendiri hal ini sesuai dengan pernyataan di dalam Undang-Undang No 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat yang menyatakan bahwa penyandang cacat terdiri dari penyandang cacat mental, penyandang cacat fisik, serta penyandang cacat fisik dan mental. Ini berarti bahwa setiap penyandang disabilitas memiliki definisinya masing-masing yang mana dari masing-masing definisi tersebut kesemuanya memang diperlukan

4 28 adanya bantuaan dari pihak-pihak terkait untuk kelangsungan yang berkenaan dengan proses tumbuh kembang mereka. Menurut penjelasan dalam Undang-Undang No 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat menyebutkan: a. Cacat fisik adalah kecacatan yang mengakibatkan gangguan pada fungsi tubuh, antara lain, gerak tubuh, penghlihatan, pendengaran, dan kemampuan bicara; b. Cacat mental adalah kelainan mental dan/ atau tingkah laku, baik cacat bawaan maupun akibat dari penyakit; c. Cacat fisik mental adalah keadaan seseorang yang menyandang dua jenis kecacatan sekaligus. Terhadap penyandang disabilitas fisik terdapat beberapa jenis kelainan disabilitas fisik yang meliputi beberapa macam, yaitu: a. Kelainan Tubuh (Tuna Daksa). Tunadaksa adalah individu yang memiliki gangguan gerak yang disebabkan oleh kelainan neuro-muskular dan struktur tulang yang bersifat bawaan, sakit atau akibat kecelakaan (kehilangan organ tubuh), polio dan lumpuh. b. Kelainan Indera Penglihatan (Tuna Netra). Tunanetra adalah individu yang memiliki hambatan dalam penglihatan. Tunanetra dapat diklasifikasikan kedalam dua golongan yaitu: buta total (blind) dan low vision. c. Kelainan Pendengaran (Tuna Rungu). Tunarungu adalah individu yang memiliki hambatan dalam pendengaran baik permanen maupun tidak permanen. Karena memiliki hambatan dalam pendengaran individu tunarungu memiliki hambatan dalam berbicara sehingga mereka biasa disebut tunawicara. d. Kelainan Bicara (Tunawicara), adalah seseorang yang mengalami kesulitan dalam mengungkapkan pikiran melalui bahasa verbal, sehingga sulit bahkan tidak dapat dimengerti oleh orang lain. Kelainan bicara ini dapat dimengerti oleh orang lain. Kelainan bicara ini dapat bersifat fungsional di mana kemungkinan disebabkan karena ketunarunguan, dan organik yang memang disebabkan adanya ketidaksempurnaan organ bicara maupun adanya gangguan pada organ motorik yang berkaitan dengan bicara. 2 2 Nur Kholis Reefani, 2013, Panduan Anak Berkebutuhan Khusus, Imperium, Yogyakarta, h.17.

5 29 Sedangkan terhadap mereka yang mengalami cacat lebih dari satu kecacatan (baik cacat fisik dan mental) disebut dengan Tunaganda (disabilitas ganda) Pengertian dan Jenis-Jenis Aksesibilitas Penyediaan Aksesibilitas pada dasarnya merupakan komitmen Nasional, hal ini sudah tercantum pada Undang-Undang Dasar 1945 jika dilihat dalam Pasal 28 H ayat (2) menyatakan bahwa setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai keadilan. Dalam ketentuan umum Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Republik Indonesia No 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat yang selanjutnya disebut dengan UU tentang Penyandang Cacat memberikan definisi dari Aksesibilitas: Aksesibilitas adalah kemudahan yang disediakan bagi penyandang cacat guna mewujudkan kesamaan dan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan. Lebih lanjut di dalam Pasal 10 ayat (1) UU tentang Penyandang Cacat dinyatakan bahwa : kesamaan kesempatan bagi penyandang cacat dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan dilaksanakan melalui penyediaan aksesibilitas. Kemudian di dalam Pasal selanjutnya yaitu Pasal 10 ayat (2) dinyatakan bahwa :

6 30 Penyediaan aksesibilitas dimaksudkan untuk menciptakan keadaan dan lingkungan yang lebih menunjang penyandang cacat agar dapat sepenuhnya hidup bermasyarakat. Perangkat UU sebagaimana disinggung di atas, masih dilengkapi PP No. 43 Tahun 1998 tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat. Dalam PP tersebut menyatakan bahwa aksesibilitas terdiri dari aksesibilitas fisik dan non fisik. Aksesibilitas dapat berbentuk fisik dan non fisik. bentuk aksesibilitas tersebut dapat dilihat pada Pasal 11 PP No. 43 Tahun 1998: Ayat (1): Penyediaan aksesibilitas berbentuk fisik dilaksanakan pada sarana dan prasarana umum meliputi: a. aksesibilitas pada bangunan umum; b. aksesibilitas pada jalan umum; c. aksesibilitas pada pertamanan dan pemakaman umum; dan d. aksesibilitas pada angkutan umum. Ayat (2): Penyediaan aksesibilitas yang berbentuk non fisik, meliputi: a. pelayanan informasi; dan b. pelayanan khusus. Secara rinci, ketentuan Pasal 11 ayat (1) dan (2) dijabarkan pada Pasal- Pasal berikutnya. Dimana Pasal 12 Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 1998 tentang aksesibilitas pada bangunan umum dilaksanakan dengan menyediakan: a. akses ke, dari dan di dalam bangunan; b. pintu, tangga, lift khusus untuk bangunan bertingkat; c. tempat parkir dan tempat naik turun penumpang; d. toilet; e. tempat minum; f. tempat telepon; g. peringatan darurat; dan

7 31 h. tanda-tanda (signage) lainnya. Jika mengacu pada ketentuan Pasal 12 diatas, maka penulis dapat menjelaskan bahwa bangunan umum yang dimaksud adalah bangunan yang digunakan untuk melakukan kegiatan oleh masyarakat umum, seperti kegiatan olahraga, agama, kesehatan, budaya dan lain sebagainya untuk kepentingan umum. Diperlukanya akses fisik terhadap bangunan umum agar memudahkan penyandang disabilitas dalam melakukan kegiatan-kegiatan di dalam maupun di luar bangunan umum tersebut Pasal 13 Aksesibilitas pada jalan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf b dilaksanakan dengan menyediakan: a. akses ke dan dari jalan umum; b. akses ke tempat pemberhentian bus/kendaraan; c. jembatan penyebrangan, d. jalur penyebrangan bagi pejalan kaki, e. tempat parkir dan naik turun penumpang, f. tempat pemberhentian kendaraan umum, \ g. tanda-tanda/rambu-rambu dan/atau marka jalan, h. trotoar bagi pejalan kaki/pemakai kursi roda; dan i. trowongan penyebrangan. Sama halnya dengan Aksesibilitas pada bangunan umum dimana pada dasarnya ketentuan dalam Pasal 13 ini bermaksud untuk memberikan akses kemudahan bagi para penyandang disabilitas untuk menggunakan jalanan umum sebagaimana mestinya agar mereka dapat melakukan kegiatan lalu lintas dengan aman dan layak. Seperti menyediakan fasilitas-fasilitas menuju ke tempat pemberhentian bus, dengan misalnya meyediakan transportasi untuk mengantar para netra tersebut ke tempat tujuan, kemudian dengan menyediakan fasilitas berupa bidang miring yang membantu para pemakai kursi roda untuk mencapai

8 32 halte, contoh lainya adalah dengan adanya fasilitas pijakan antara lantai halte dengan bus, sehingga tidak dimungkinkan adanya celah yang terdapat yang bisa mengakibatkan Tunanetra rawan terjatuh. Selanjutnya dalam Pasal 14. Dinyatakan bahwa Aksesibilitas pada pertamanan dan pemakaman umum dilaksanakan dengan menyediakan: a. akses ke, dari dan di dalam pertamanan dan pemakaman umum, b. tempat parkir dan tempat turun naik penumpang, c. tempat duduk/istirahat d. tempat minum, e. tempat telepon, f. toilet, dan g. tanda-tanda atau signage. Ketentuan Pasal 14 tersebut menegaskan kembali bahwa dimana tak hanya di ruang-ruang publik yang digunakan aktivitas sehari-hari bagi masyarakat umum yang diberikan akses kemudahan, tempat pemakaman umum pun harus aksesibel bagi penyandang disabilitas. Dalam Pasal 15 dinyatakan bahwa Aksesibilitas pada angkutan umum dilaksanakan dengan menyediakan : a. tangga naik /turun b. tempat duduk, c. dan tanda-tanda atau signage. Penulis berpendapat bahwa Maksud dari Ketentuan Pasal 15 tersebut adalah benar-benar mengupayakan adanya aksesibilitas yang dikehendaki oleh penyandang disabilitas bukan hanya dari segi fasilitas umum. Namun juga transportasi umum. Dengan disediakanya tangga naik turun penumpang, tempat

9 33 duduk, juga tanda-tanda/signage, akan dapat mempermudah penyandang cacat untuk mencapai tujuan secara nyaman dan aman Sementara itu dalam Pasal 16 PP No 43 tahun 1998 dinyatakan bahwa untuk pelayanan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf a dilaksanakan untuk memberikan informasi kepada penyandang cacat berkenaan dengan aksesibilitas yang tersedia pada bangunan umum, jalan umum, pertamanan dan pemakaman umum, serta angkutan umum. Pasal 17 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf b dimana Pelayanan khusus dilaksanakan untuk memberikan kemudahan bagi penyandang cacat dalam melaksanakan kegiatannya pada bangunan umum, pertamanan dan pemakaman umum, dan angkutan umum. Sebagai tindak lanjut ketentuan Pasal 8 PP No 43 Tahun 1998 tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat, maka pemerintah daerah Kota Denpasar menerbitkan Peraturan Walikota Denpasar No 35 Tahun 2011 tentang Upaya Peningkatan Aksesibilitas Penyandang Cacat di Kota Denpasar. Inilah yang kemudian menjadi payung hukum bagi para disabilitas dalam memperoleh aksesibilitas, tidak terkecuali bagi para disabilitas Tunanetra di Kota Denpasar khususnya Disabilitas Dalam Konsep Dasar Hak Asasi Manusia Secara etimologi, hak merupakan unsur normatif yang berfungsi sebagai pedoman perilaku, melindungi kebebasan, kekebalan serta menjamin adanya peluang bagi manusia dalam menjaga harkat dan martabat. Adapun asasi berarti yang bersifat paling mendasar atau fundamental. Dengan demikian hak asasi berarti hak yang paling mendasar yang dimiliki oleh manusia sebagai fitrah,

10 34 sehingga tak satupun makhluk dapat mengintervensinya apalagi mencabutnya misalnya, hak hidup, yang mana tak satupun manusia ini memiliki kewenangan untuk mencabut kehidupan manusia yang lain. 3 Dengan kata lain hak asasi manusia adalah hak-hak yang melekat pada setiap manusia. Pembentukan Negara dalam sistem Demokrasi dan Negara hukum merupakan kehendak rakyat secara kolektif sebagaimana diungkapkan oleh Imanuel Kant bahwa munculnya Negara adalah suatu keharusan, karena Negara harus menjamin terlaksananya kepentingan umum. Negara harus menjamin setiap warga Negara untuk bebas di lingkungan hukum; artinya kebebasan dalam batas norma-norma yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang karena Undang-Undang itu adalah penjelmaan kemauan rakyat. 4 Sehubungan dengan itu maka pemerintah bersama penyelenggara Negara lainya dilekati kewajiban untuk bertindak atau mengambil kebijakan sesuai batas kewenangan dalam menjalankan tugas dan fungsi Negara. Kewajiban bertindak atau mengambil kebijakan juga merupakan hak bagi Negara namun jangan sampai hak tersebut tercampur dengan kepentingan yang menyesatkan karena, Hak adalah suatu kekuatan (Macht) yang diatur oleh hukum dan kekuasaan ini berdasarkan kesusilaan (Moral) dan tidak hanya kekuasan fisik saja 5 Semua Negara di dunia tidak ada yang tidak mengakui Hak Asasi Manusia (HAM) sebagai hak yang penting untuk dimasukkan dalam landasan 3 Taufiqurrahman Syahuri, 2011, Tafsir Konstitusi Berbagai Aspek Hukum, Kencana, Jakarta, h Max Boli Sabon, 1994, Ilmu Negara Buku Panduan Mahasiswa, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h R.Soeroso, 2006, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h. 275.

11 35 konstitusionalnya. Apalagi Negara yang mengutamakan prinsip Negara hukum (rechtstaat/ rule of law) maka harus meletakan jaminan dan perlindungan terhadap hukum dan Hak Asasi Manusia. karena jaminan dan pelayanan Hak Asasi Manusia sebagai salah satu unsur Negara hukum yaitu Negara hukum modern. Menurut ajaran Rosseau, jika hanya demokrasi dalam suatu Negara, maka peluang untuk absolute demokrasi sangat besar, bagaimanapun suara terbanyak akan menjadi absolute, dan minoritas akan selalu tertindas, guna menjaga akses pelaksanaan demokrasi, yang menimbulkan kekuasaan absolute golongan mayoritas tanpa memperhatikan golongan minoritas, maka diberikan unsur Negara hukum yang berfungsi membatasi demokrasi, dengan demikian, ciri pokok dalam Negara demokrasi yang berdasarkan hukum, bukan Negara hukum yang berdasarkan demokratis. 6 Ini yang kemudian menjiwai semangat Negara hukum Indonesia saat ini. Negara demokratis wajib memuat substansi HAM, bila tidak memuat substansi HAM maka dikhawatirkan hukum akan kehilangan esensinya dan cenderung sebagai alat penguasa untuk melakukan penindasan terhadap rakyat, juga sebagai instrument untuk melakukan justifikasi terhadap kebijakan pemerintah yang sebenarnya melanggar HAM. Undang-Undang Dasar NRI 1945, Khususnya pada Pasal 28 (i) ayat (4) menyatakan bahwa : Perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab Negara, terutama pemerintah. 6 Loc.cit h.141.

12 36 Dengan pernyataan diatas diketahui bahwa adanya kewajiban bagi Negara untuk bertanggung jawab kepada rakyat atau warga Negaranya dalam hal penghormatan, perlindungan dan pemenuhan HAM. Dengan demikian Negara kita juga telah memasukan HAM kedalam landasan konstitusional. Sebenarnya jika dilihat dalam sejarah konstitusi Negara kita, HAM pada awalnya diatur dalam UUD NRI 1945, namun aturan tersebut ternyata belum mampu mewadahi dan menyelesaikan segala bentuk perkara HAM. Dikarenakan pada saat itu hakekat HAM sendiri diidentikan dengan ideology liberalis yaitu merupakan paham terhadap pengakuan hak individu secara menyeluruh. Hal inilah yang dianggap tidak cocok dan bertolak belakang dengan kepribadian bangsa Indonesia. Namun setelah cukup panjang, dengan adanya reformasi, maka membawa angin segar terhadap penjaminan Hak Asasi Manusia (HAM). Terbukti dengan diaturnya Pasal dalam konstitusi mengenai Hak Asasi Manusia (HAM) yaitu pada Pasal 28A-28J UUD NRI 1945 dan Undang-Undang No. 39 tahun Hadirnya beberapa aturan yang menjadi payung bagi HAM ini cukup memperlihatkan bahwasanya HAM ini sangat dijaga dan diperhatikan sungguh-sungguh oleh Negara. Keseriusan pemerintah dalam menegakan HAM ini bisa dilihat dalam UUD NRI 1945 yang penjabaranya dimuat melalui Undang-Undang No 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dimana secara umum Undang-Undang HAM tersebut juga membagi HAM kedalam beberapa kategori yang tertuang secara tegas. Adapaun kategori tersebut adalah 1) Hak untuk hidup dan hak untuk tidak dihilangkan paksa dan/atau tidak dihilangkan nyawa.

13 37 2) Hak memperoleh keadilan 3) Hak atas kebebasan pribadi 4) Hak atas rasa aman, 5) Hak atas kesejahteraan 6) Hak turut serta dalam pemerintahan 7) Hak wanita 8) Hak anak 9) Hak atas kebebasan beragama Selain itu juga dibentuk Komisi Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) dan juga yang terakhir dengan dibentuknya UU No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia yang merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan peradilan umum. Pasca dikeluarkanya Resolusi PBB No. 61 Tahun 2006 tentang Konvensi hak-hak penyandang disabilitas atau Convention on the Right of Persons with Disabilities (CRPD) yang mana Indonesia merupakan salah satu Negara yang ikut menandatangani CRPD, berdampak pada munculnya desakan masyarakat di berbagai daerah kepada pemerintah, atau kepada pemerintah daerah untuk segera mengimplementasikan UU ratifikasi CRPD tersebut. Salah satu point yang dapat di implementasikan dalam CPRD ini adalah terkait aksesibilitas bagi para penyandang disabilitas yang dalam Pasal 9 ayat 1 Konvensi tersebut memberikan instruksi kepada seluruh Negara anggota untuk wajib memberikan akses bagi penyandang disabilitas terhadap akses yang tersedia untuk publik.

14 38 Berbicara tentang mereka yang disabilitas berarti berbicara tentang mereka yang rentan. Ketika mereka yang rentan sulit untuk mendapatkan keadilan maka Akses terhadap keadilan (acces to justice) bagi mereka yang rentan wajib dipenuhi oleh pemerintah dan penyelenggara Negara lainya. Pemenuhan akses ini disebut dengan affirmative action. Affirmative action (tindakan afirmatif) adalah kebijakan yang diambil yang bertujuan agar kelompok/golongan tertentu (gender ataupun profesi) memperoleh peluang yang setara dengan kelompok/golongan lain dalam bidang yang sama. Bisa juga diartikan sebagai kebijakan yang memberi keistimewaan pada kelompok tertentu. 7 Keberadaan affirmative action bertujuan bukan untuk melakukan diskriminasi pemberlakuan, melainkan sebagai bantuan sementara bagi masyarakat miskin dan kelompok rentan lainya sampai mereka berada dalam posisi mampu untuk memperoleh akses terhadap keadilan. Kelompok rentan yang dimaksud dalam hal ini adalah kelompok masyarakat yang lemah dan tidak dalam posisi sederajat dengan warganegara sebagai golongan masyarakat yang umumnya disabilitas. Dalam UU HAM, penyandang disabilitas merupakan kelompok masyarakat rentan yang berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya. Dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial, ditegaskan bahwa penyandang disabilitas digolongkan sebagai bagian dari masyarakat yang memiliki kehidupan yang tidak layak secara kemanusiaan dan memiliki kriteria masalah sosial. Peran 7 Anonim, 2009, affitmativeaction, Hukum Online, URL : diakses tanggal 16 februari 2016

15 39 penyelenggara Negara seperti yang tergambar diatas dalam upaya memberikan solusi terhadap mereka penyandang disabilitas merupakan bentuk pengejewantahan konsep Good Governance dikarenakan sebagai tujuan untuk mewujudkan tingkat kemakmuran dan kesejahteraan serta kemajuan yang lebih tinggi pada setiap bangsa dengan tata kelola pemerintahanya. Sehubungan dengan penjelasan diatas maka dari itu Negara dalam hal ini wajib melindungi HAM warga Negaranya termasuk bagi mereka penyandang disabilitas dan melegalkanya melalui instrument-instrument hukum mulai dari yang tertinggi (UUD) hingga yang paling rendah (Peraturan desa) karena sebagaimana yang diketahui dalam Pasal 71 UU Nomor 39 Tahun 1999, menyatakan bahwa Pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakan, dan memajukan Hak Asasi Manusia Jika ditinjau maka dapat diberi penjelasan bahwa pemerintah wajib menghormati, artinya tidak melanggar HAM. Melindungi artinya menjaga agar HAM tidak dilanggar orang. Menegakkan berarti melakukan penghukuman atas orang-orang yang melakukan pelanggaran HAM., Memajukan berarti melakukan upaya berupa tindakan agar penghormatan terhadap HAM semakin baik. Dengan meratifikasi konvensi hak-hak penyandang disabilitas serta melakukan pembentukan peraturan per-undang-undang terkait penyandang disabilitas seharunya merupakan suatu langkah implementasi yang efektif untuk memberikan perlindungan hukum terhadap kedudukan, hak, kewajiban serta peran para penyandang disabilitas sebagai upaya political will dari pemerintah pusat dan

16 40 pemerintah daerah untuk memprioritaskan masalah disabilitas dalam program kerjanya dan mengimplementasikan agar tidak hanya sekedar macan kertas semata.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 111 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia diciptakan dengan hak dan kewajiban yang sama dimata Tuhan Yang Maha Esa. Manusia hidup berkembang sebagai makhluk sosial dengan menjalankan peran dan tugas

Lebih terperinci

BUPATI KARANGANYAR PROVINSI JAWA TENGAH

BUPATI KARANGANYAR PROVINSI JAWA TENGAH BUPATI KARANGANYAR PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARANGANYAR NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG KESETARAAN DIFABEL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KARANGANYAR, Menimbang : a. bahwa untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam kehidupan bernegara, ada yang namanya hak dan kewajiban warga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam kehidupan bernegara, ada yang namanya hak dan kewajiban warga 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam kehidupan bernegara, ada yang namanya hak dan kewajiban warga Negara dengan negaranya begitu juga sebaliknya. Hak dan kewajiban ini diatur dalam undang-undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kedaulatan rakyat ini juga dicantumkan di dalam Pasal 1 butir (1) Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. kedaulatan rakyat ini juga dicantumkan di dalam Pasal 1 butir (1) Undang-Undang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pemilihan Umum untuk selanjutnya disebut Pemilu yang diselenggarakan secara langsung merupakan perwujudan kedaulatan rakyat. Pengakuan tentang kedaulatan

Lebih terperinci

PP 43/1998, UPAYA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN SOSIAL PENYANDANG CACAT

PP 43/1998, UPAYA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN SOSIAL PENYANDANG CACAT Copyright (C) 2000 BPHN PP 43/1998, UPAYA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN SOSIAL PENYANDANG CACAT Menimbang: *35751 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 43 TAHUN 1998 (43/1998) TENTANG UPAYA PENINGKATAN

Lebih terperinci

PROVINSI JAWA TENGAH

PROVINSI JAWA TENGAH SALINAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SRAGEN NOMOR 14 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN PENYANDANG DISABILITAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SRAGEN, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 1998 TENTANG UPAYA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN SOSIAL PENYANDANG CACAT

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 1998 TENTANG UPAYA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN SOSIAL PENYANDANG CACAT PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 1998 TENTANG UPAYA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN SOSIAL PENYANDANG CACAT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa penyandang cacat merupakan bagian

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2011 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION ON THE RIGHTS OF PERSONS WITH DISABILITIES (KONVENSI MENGENAI HAK-HAK PENYANDANG DISABILITAS) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA BANDUNG TAHUN : 2009 NOMOR : 26 PERATURAN DAERAH KOTA BANDUNG NOMOR : 26 TAHUN 2009 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KOTA BANDUNG TAHUN : 2009 NOMOR : 26 PERATURAN DAERAH KOTA BANDUNG NOMOR : 26 TAHUN 2009 TENTANG LEMBARAN DAERAH KOTA BANDUNG TAHUN : 2009 NOMOR : 26 PERATURAN DAERAH KOTA BANDUNG NOMOR : 26 TAHUN 2009 TENTANG KESETARAAN DAN PEMBERDAYAAN PENYANDANG CACAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA

Lebih terperinci

PERATURANWALIKOTASURAKARTA TENTANG PETUNJUK PELAKSANAANPERATURANDAERAH KOTASURAKARTA NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANGKESETARAANDIFABEL

PERATURANWALIKOTASURAKARTA TENTANG PETUNJUK PELAKSANAANPERATURANDAERAH KOTASURAKARTA NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANGKESETARAANDIFABEL WALIKOTA SURAKARTA PERATURANWALIKOTASURAKARTA NOMOR 0 TAHUN ~O\'~ TENTANG PETUNJUK PELAKSANAANPERATURANDAERAH KOTASURAKARTA NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANGKESETARAANDIFABEL DENGAN RAHMATTUHANYANGMAHAESA WALIKOTASURAKARTA,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 1998 TENTANG UPAYA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN SOSIAL PENYANDANG CACAT

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 1998 TENTANG UPAYA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN SOSIAL PENYANDANG CACAT PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 1998 TENTANG UPAYA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN SOSIAL PENYANDANG CACAT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa penyandang cacat merupakan

Lebih terperinci

- 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PELAYANAN BAGI PENYANDANG DISABILITAS

- 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PELAYANAN BAGI PENYANDANG DISABILITAS - 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PELAYANAN BAGI PENYANDANG DISABILITAS I. UMUM Para penyandang disabilitas seringkali tidak menikmati

Lebih terperinci

WALIKOTA MATARAM PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN DAERAH KOTA MATARAM NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

WALIKOTA MATARAM PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN DAERAH KOTA MATARAM NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MATARAM PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN DAERAH KOTA MATARAM NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PEMENUHAN HAK-HAK PENYANDANG DISABILITAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA

Lebih terperinci

BUPATI KAPUAS HULU PROVINSI KALIMANTAN BARAT

BUPATI KAPUAS HULU PROVINSI KALIMANTAN BARAT BUPATI KAPUAS HULU PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KAPUAS HULU NOMOR 12 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PEMBERDAYAAN PENYANDANG CACAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KAPUAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan berperan penting dalam usaha menciptakan masyarakat yang beriman, berakhlak mulia, berilmu serta demokratis dan bertanggungjawab. Pendidikan merupakan

Lebih terperinci

Kendala Umum yang Dihadapi Penyandang Disabilitas dalam Mengakses Layanan Publik

Kendala Umum yang Dihadapi Penyandang Disabilitas dalam Mengakses Layanan Publik Telaah Kendala Umumyang dihadapipenyandangdisabilitas* Didi Tarsidi Kendala Umum yang Dihadapi Penyandang Disabilitas dalam Mengakses Layanan Publik Didi Tarsidi Universitas Pendidikan Indonesia ABSTRAK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memberikan prioritas tempat duduk. 1. prioritas pelayanan di terminal; menyediakan fasilitas untuk penyandang

BAB I PENDAHULUAN. memberikan prioritas tempat duduk. 1. prioritas pelayanan di terminal; menyediakan fasilitas untuk penyandang BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Hukum pengangkutan udara menjelaskan bahwa penyandang cacat, orang lanjut usia, anak-anak di bawah usia 12 tahun, dan/atau orang sakit, berhak mendapat memperoleh pelayanan

Lebih terperinci

BUPATI BANGKA BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA BARAT,

BUPATI BANGKA BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA BARAT, BUPATI BANGKA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA BARAT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN DAN PELAYANAN KESEJAHTERAAN SOSIAL PENYANDANG DISABILITAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

Capacity Building Workshop on Supporting Employability of Persons with Disability

Capacity Building Workshop on Supporting Employability of Persons with Disability Capacity Building Workshop on Supporting Employability of Persons with Disability Accessible Infrastructure, Transportation Click to add text and Technology Perundangan. UUD 1945 Pasal 28 H ayat 2, Setiap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tersebut bisa dalam bentuk barang ataupun jasa. Atas dasar itu negara sebagai

BAB I PENDAHULUAN. tersebut bisa dalam bentuk barang ataupun jasa. Atas dasar itu negara sebagai 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia tidak akan terlepas dalam upaya pemenuhan kebutuhannya. Kebutuhan tersebut bisa dalam bentuk barang ataupun jasa. Atas dasar itu negara sebagai organisasi

Lebih terperinci

mobilitas penduduk, dan pembangunan secara luas 2.

mobilitas penduduk, dan pembangunan secara luas 2. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Transportasi diartikan sebagai kegiatan memindahkan atau mengangkut muatan (manusia dan barang) dari suatu tempat ke tempat lain, dari suatu tempat asal ke tempat

Lebih terperinci

RABU, 20 JANUARI 2016

RABU, 20 JANUARI 2016 PENJELASAN KOMISI VIII DPR RI ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PENYANDANG DISABILITAS RABU, 20 JANUARI 2016 JAKARTA KOMISI VIII DPR RI DEW AN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA Assalamu'alaikum Wr.

Lebih terperinci

GUBERNUR SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG PELINDUNGAN DAN PELAYANAN BAGI PENYANDANG DISABILITAS

GUBERNUR SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG PELINDUNGAN DAN PELAYANAN BAGI PENYANDANG DISABILITAS 1 SALINAN GUBERNUR SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG PELINDUNGAN DAN PELAYANAN BAGI PENYANDANG DISABILITAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

Penerapan Manajemen Pelayanan Inklusif Abstrak

Penerapan Manajemen Pelayanan Inklusif Abstrak Penerapan Manajemen Pelayanan Inklusif Abstrak Upaya penyediaan pelayanan publik seharusnya dilakukan pada semua sektor dan diperuntukkan untuk seluruh lapisan masyarakat, termasuk di antaranya masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam diri manusia. Sebagai hak dasar yang dimiliki oleh setiap manusia, hak

BAB I PENDAHULUAN. dalam diri manusia. Sebagai hak dasar yang dimiliki oleh setiap manusia, hak BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat dalam diri manusia. Sebagai hak dasar yang dimiliki oleh setiap manusia, hak asasi manusia

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.133,2012 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN PERHUBUNGAN. SPM. Angkutan Massal. Berbasis Jalan. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM. 10 TAHUN 2012 TENTANG STANDAR PELAYANAN

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA SELATAN

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA SELATAN PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA SELATAN NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG REHABILITASI DAN PERLINDUNGAN ORANG DENGAN KECACATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kondisi fisik bahkan kondisi sosial penyandang disabilitas pada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kondisi fisik bahkan kondisi sosial penyandang disabilitas pada 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kondisi fisik bahkan kondisi sosial penyandang disabilitas pada umumnya dinilai rentan, baik dari aspek ekonomi, pendidikan, keterampilan, maupun kemasyarakatannya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara menyatakan kewajibannya untuk menghormati (to respect), melindungi (to

BAB I PENDAHULUAN. negara menyatakan kewajibannya untuk menghormati (to respect), melindungi (to BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lahirnya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia membawa konsekuensi negara-negara anggota PBB untuk menyatakan bahwa mereka mengakui hak-hak setiap orang sebagai

Lebih terperinci

Hal ini sebagaimana disebutkan dalam sila keempat Pancasila, yaitu. Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undangundang

Hal ini sebagaimana disebutkan dalam sila keempat Pancasila, yaitu. Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undangundang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai negara penganut paham demokrasi selalu mengupayakan pelaksanaan kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat. Hal ini sebagaimana disebutkan

Lebih terperinci

Standar Fasilitas dan Aksesibilitas pada Bangunan Gedung dan Lingkungan Fasilitas Pelayanan Kesehatan

Standar Fasilitas dan Aksesibilitas pada Bangunan Gedung dan Lingkungan Fasilitas Pelayanan Kesehatan Standar Fasilitas dan Aksesibilitas pada Bangunan Gedung dan Lingkungan Fasilitas Pelayanan Kesehatan Disampaikan dalam: Seminar Kesehatan Pengembangan Sinergitas Layanan Kesehatan Inklusi yang Tangguh

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEKERJA DISABILITAS TERHADAP HAK MEMPEROLEH PEKERJAAN

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEKERJA DISABILITAS TERHADAP HAK MEMPEROLEH PEKERJAAN PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEKERJA DISABILITAS TERHADAP HAK MEMPEROLEH PEKERJAAN Oleh : Yuni Ratnasari Made Suksma Prijandhini Devi Salain Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT The title

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara demokrasi. 1 Demokrasi sebagai dasar hidup

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara demokrasi. 1 Demokrasi sebagai dasar hidup I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara demokrasi. 1 Demokrasi sebagai dasar hidup bernegara memberi pengertian bahwa rakyat turut membantu memberikan kontribusi dalam menilai kebijakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Setiap anggota masyarakat memiliki hak dan kewajiban yang setara untuk turut

BAB I PENDAHULUAN. Setiap anggota masyarakat memiliki hak dan kewajiban yang setara untuk turut BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap anggota masyarakat memiliki hak dan kewajiban yang setara untuk turut serta dalam pembangunan nasional, tidak terkecuali bagi penyandang disabilitas.

Lebih terperinci

AKSISIBILITAS LINGKUNGAN FISIK BAGI PENYANDANG CACAT

AKSISIBILITAS LINGKUNGAN FISIK BAGI PENYANDANG CACAT AKSISIBILITAS LINGKUNGAN FISIK BAGI PENYANDANG CACAT Upaya Menciptakan Fasilitas Umum Dan Lingkungan Yang Aksesibel demi Kesamaan Kesempatan bagi Penyandang Cacat untuk Hidup Mandiri dan Bermasyarakat

Lebih terperinci

WALIKOTA PEKALONGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 9 TAHUN 2017

WALIKOTA PEKALONGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 9 TAHUN 2017 WALIKOTA PEKALONGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 9 TAHUN 2017 TENTANG PELINDUNGAN DAN PEMENUHAN HAK PENYANDANG DISABILITAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PEKALONGAN,

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 11 TAHUN 2002 TENTANG PENYEDIAAN FASILITAS PADA BANGUNAN UMUM DAN LINGKUNGAN BAGI DIFABEL

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 11 TAHUN 2002 TENTANG PENYEDIAAN FASILITAS PADA BANGUNAN UMUM DAN LINGKUNGAN BAGI DIFABEL PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 11 TAHUN 2002 TENTANG PENYEDIAAN FASILITAS PADA BANGUNAN UMUM DAN LINGKUNGAN BAGI DIFABEL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SLEMAN Menimbang : a. bahwa kesamaan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKAYANG NOMOR 14 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PEMBERDAYAAN PENYANDANG CACAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKAYANG NOMOR 14 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PEMBERDAYAAN PENYANDANG CACAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKAYANG NOMOR 14 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PEMBERDAYAAN PENYANDANG CACAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BENGKAYANG, Menimbang : a. bahwa penyandang cacat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Di Indonesia jumlah pertambahan penduduk dari tahun ke tahun semakin

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Di Indonesia jumlah pertambahan penduduk dari tahun ke tahun semakin 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di Indonesia jumlah pertambahan penduduk dari tahun ke tahun semakin meningkat. Dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk juga mempengaruhi pembangunan infrastruktur

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang menyandang (menderita) sesuatu. Sedangkan disabilitas merupakan kata

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang menyandang (menderita) sesuatu. Sedangkan disabilitas merupakan kata 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penyandang Disabilitas 1. Pengertian Penyandang Disabilitas Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia 1 penyandang diartikan dengan orang yang menyandang (menderita) sesuatu. Sedangkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara yang diinginkan serta tujuan pembentukan pemerintahan. Negara

BAB I PENDAHULUAN. negara yang diinginkan serta tujuan pembentukan pemerintahan. Negara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 mempunyai rumusan mengenai sifat negara yang diinginkan serta tujuan pembentukan pemerintahan. Negara Indonesia yang diinginkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai dasar Negara dan Undang-Undang Dasar 1945 yang menghormati,

BAB I PENDAHULUAN. sebagai dasar Negara dan Undang-Undang Dasar 1945 yang menghormati, BAB I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Negara Republik Indonesia adalah Negara yang memakai Pancasila sebagai dasar Negara dan Undang-Undang Dasar 1945 yang menghormati, menjunjung tinggi harkat dan martabat

Lebih terperinci

RENCANA AKSI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA INDONESIA TAHUN

RENCANA AKSI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA INDONESIA TAHUN LAMPIRAN I KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2004 TANGGAL 11 MEI 2004 RENCANA AKSI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA INDONESIA TAHUN 2004 2009 I. Mukadimah 1. Sesungguhnya Hak Asasi Manusia

Lebih terperinci

RINGKASAN PUTUSAN.

RINGKASAN PUTUSAN. RINGKASAN PUTUSAN Sehubungan dengan sidang pembacaan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 40/PUU-VIII/2010 tanggal 19 Juli 2010 atas Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN PENYANDANG DISABILITAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN PENYANDANG DISABILITAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN PENYANDANG DISABILITAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT, Menimbang : a. bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

PERNYATAAN POLITIK RAPAT KERJA NASIONAL 2007 PERSATUAN TUNANETRA INDONESIA

PERNYATAAN POLITIK RAPAT KERJA NASIONAL 2007 PERSATUAN TUNANETRA INDONESIA PERNYATAAN POLITIK RAPAT KERJA NASIONAL 2007 PERSATUAN TUNANETRA INDONESIA Dengan Nama dan Rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa, Kami segenap keluarga besar tunanetra Indonesia yang hadir dalam Rakernas Pertuni

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dan juga

BAB I PENDAHULUAN. Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dan juga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Republik Indonesia adalah Negara hukum yang dijelaskan di dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dan juga sebagai Negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan masyarakat non disabilitas. Sebagai bagian dari warga negara Indoesia,

BAB I PENDAHULUAN. dengan masyarakat non disabilitas. Sebagai bagian dari warga negara Indoesia, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyandang disabilitas memiliki kedudukan, hak dan kewajiban yang sama dengan masyarakat non disabilitas. Sebagai bagian dari warga negara Indoesia, sudah sepantasnya

Lebih terperinci

2 2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik In

2 2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik In BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 292, 2015 KEMENHUB. Penumpang. Angkutan Udara. Dalam Negeri. Standar Pelayanan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 38 TAHUN 2015

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA, MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 98 TAHUN 2017 TENTANG PENYEDIAAN AKSESIBILITAS PADA PELAYANAN JASA TRANSPORTASI PUBLIK BAGI PENGGUNA JASA

Lebih terperinci

Partisipasi Penyandang Cacat dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada)

Partisipasi Penyandang Cacat dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Partisipasi Penyandang Cacat dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Didi Tarsidi Jurusan Pendidikan Luar Biasa, Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Disajikan dalam Acara Sosialisasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakatnya. Transportasi ini dikenal dengan nama Transjogja. Perencanaan

BAB I PENDAHULUAN. masyarakatnya. Transportasi ini dikenal dengan nama Transjogja. Perencanaan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemerintah Kota Yogyakarta melalui Dinas Perhubungan Pemerintah Provinsi DIY bekerja sama dengan PT Jogja Tugu Trans menghadirkan satu moda transportasi umum berupa

Lebih terperinci

Ringkasan Putusan.

Ringkasan Putusan. Ringkasan Putusan Sehubungan dengan sidang pembacaan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 10-17-23/PUU-VII/2009 tanggal 25 Maret 2010 atas Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi, dengan hormat

Lebih terperinci

Pembangunan Inklusi yang Memberdayakan, Sebuah Refleksi

Pembangunan Inklusi yang Memberdayakan, Sebuah Refleksi Pembangunan Inklusi yang Memberdayakan, Sebuah Refleksi Selama lebih dari satu dekade ini, pembangunan yang mengacu pada Millenium Development Goals belum sepenuhnya memberikan perhatian ataupun concern

Lebih terperinci

Terdapat 3 (tiga) metode dalam memarkir kendaraan, diantaranya adalah:

Terdapat 3 (tiga) metode dalam memarkir kendaraan, diantaranya adalah: Parkir adalah suatu kondisi kendaraan yang berhenti atau tidak bergerak pada tempat tertentu yang telah ditentukan dan bersifat sementara, serta tidak digunakan untuk kepentingan menurunkan penumpang/orang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN OBJEK

BAB II TINJAUAN OBJEK 18 BAB II TINJAUAN OBJEK 2.1. Tinjauan Umum Stasiun Kereta Api Menurut Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 9 dan 43 Tahun 2011, perkeretaapian terdiri dari sarana dan prasarana, sumber daya manusia, norma,

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1368, 2015 KEMENSOS. Penyandang Disabilitas. ASN. Aksesibilitas. PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2015 TENTANG AKSESIBILITAS APARATUR SIPIL

Lebih terperinci

BAB III DESKRIPSI PENELANTARAN ANAK DALAM RUMAH TANGGA MENURUT UU NO.23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK

BAB III DESKRIPSI PENELANTARAN ANAK DALAM RUMAH TANGGA MENURUT UU NO.23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK 32 BAB III DESKRIPSI PENELANTARAN ANAK DALAM RUMAH TANGGA MENURUT UU NO.23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK A. Hak dan Kewajiban antara Orang Tua dan Anak menurut UU No.23 Tahun 2002 tentang perlindungan

Lebih terperinci

Martina Navratilova, Pelatih dan Pemain Tenis Stephen Hawking, Fisikawan Christopher Reeve, Aktor, Sutradara, Produser Film, dan Penulis Skenario

Martina Navratilova, Pelatih dan Pemain Tenis Stephen Hawking, Fisikawan Christopher Reeve, Aktor, Sutradara, Produser Film, dan Penulis Skenario Disabilitas itu masalah persepsi. Jika engkau dapat melakukan satu hal dengan baik, orang lain akan membutuhkanmu. Martina Navratilova, Pelatih dan Pemain Tenis Marah kepada disabilitas saya hanya membuang-buang

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN SUKOHARJO

PEMERINTAH KABUPATEN SUKOHARJO PEMERINTAH KABUPATEN SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 7 TAHUN 2009 TENTANG PEMBERDAYAAN PENYANDANG CACAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKOHARJO, Menimbang : a. bahwa penyandang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kelangsungan hidup Bangsa Indonesia. Penjelasan umum Undang-undang Nomor

BAB I PENDAHULUAN. kelangsungan hidup Bangsa Indonesia. Penjelasan umum Undang-undang Nomor BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan 1. Latar Belakang Anak merupakan generasi penerus keluarga. Anak juga merupakan aset bangsa yang sangat berharga; sumber daya manusia yang berperan penting

Lebih terperinci

BAB VII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Kesimpulan. 1. Persepsi Mahasiswa Penyandang Disabilitas Tentang Aksesibilitas Pemilu

BAB VII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Kesimpulan. 1. Persepsi Mahasiswa Penyandang Disabilitas Tentang Aksesibilitas Pemilu BAB VII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 7.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat disimpulkan beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Persepsi Mahasiswa Penyandang Disabilitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Penyandang cacat tubuh atau disabilitas tubuh merupakan bagian yang tidak

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Penyandang cacat tubuh atau disabilitas tubuh merupakan bagian yang tidak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyandang cacat tubuh atau disabilitas tubuh merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat Indonesia. Sebelum istilah Disabilitas mungkin kurang akrab disebagian

Lebih terperinci

2015, No Mengingat : perlu dilanjutkan dengan Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia Tahun ; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagai

2015, No Mengingat : perlu dilanjutkan dengan Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia Tahun ; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagai LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.144, 2015 HAM. Rencana Aksi. Nasional. Tahun 2015-2019. PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 75 TAHUN 2015 TENTANG RENCANA AKSI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA TAHUN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyandang disabilitas. Namun data dari The World Health Organization (WHO)

BAB I PENDAHULUAN. penyandang disabilitas. Namun data dari The World Health Organization (WHO) BAB I PENDAHULUAN a. Latar Belakang Tidak ada seorangpun yang ingin menjalani kehidupan sebagai seorang penyandang disabilitas. Namun data dari The World Health Organization (WHO) / Organisasi Kesehatan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PEMENUHAN HAK PENYANDANG DISABILITAS

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PEMENUHAN HAK PENYANDANG DISABILITAS PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PEMENUHAN HAK PENYANDANG DISABILITAS DENGANN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN BARAT Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

WALIKOTA YOGYAKARTA PR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTAAR TA

WALIKOTA YOGYAKARTA PR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTAAR TA WALIKOTA YOGYAKARTA PR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTAAR TA PERATURAN WALIKOTA YOGYAKARTA NOMOR 16 TAHUN 2017 TENTANG KOMITE PERLINDUNGAN DAN PEMENUHAN HAK-HAK PENYANDANG DISABILITAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

KERANGKA ACUAN KEGIATAN Rangkaian Kegiatan Perayaan Hari Internasional Penyandang Disabilitas

KERANGKA ACUAN KEGIATAN Rangkaian Kegiatan Perayaan Hari Internasional Penyandang Disabilitas Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Komisi Hak Asasi Manusia (HAM) Australia Organisasi Penyandang Disabilitas Australia Konsorsium Nasional (Konas) Difabel KERANGKA ACUAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan ini manusia mempunyai kebutuhan yang beraneka ragam,

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan ini manusia mempunyai kebutuhan yang beraneka ragam, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam kehidupan ini manusia mempunyai kebutuhan yang beraneka ragam, untuk dapat memenuhi semua kebutuhan tersebut manusia dituntut untuk bekerja. Baik pekerjaan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan sosial masyarakat yang memiliki harkat dan martabat, dimana setiap

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan sosial masyarakat yang memiliki harkat dan martabat, dimana setiap BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan kesejahteraan sosial adalah upaya peningkatan kualitas kesejahteraan sosial masyarakat yang memiliki harkat dan martabat, dimana setiap orang mampu mengambil

Lebih terperinci

DISABILITAS DAN PENGURANGAN RESIKO BENCANA DI TEMPAT KERJA

DISABILITAS DAN PENGURANGAN RESIKO BENCANA DI TEMPAT KERJA DISABILITAS DAN PENGURANGAN RESIKO BENCANA DI TEMPAT KERJA OLEH : ICUN SULHADI, S.PD (PPDI KOTA PADANG) A. PENGANTAR DISABILITAS DAN PENGURANGAN RESIKO BENCANA DI TEMPAT KERJA APA ITU DISABILITAS? Penyandang

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KOTA BOGOR. Nomor 40 Tahun 2016 Seri E Nomor 29 PERATURAN WALIKOTA BOGOR NOMOR 40 TAHUN 2016 TENTANG

BERITA DAERAH KOTA BOGOR. Nomor 40 Tahun 2016 Seri E Nomor 29 PERATURAN WALIKOTA BOGOR NOMOR 40 TAHUN 2016 TENTANG BERITA DAERAH KOTA BOGOR Nomor 40 Tahun 2016 Seri E Nomor 29 PERATURAN WALIKOTA BOGOR NOMOR 40 TAHUN 2016 TENTANG STANDAR PELAYANAN MINIMAL ANGKUTAN MASSAL DI KOTA BOGOR Diundangkan dalam Berita Daerah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. perusahaan dalam memberikan pelayanan kepada para pelanggan. Sedangkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. perusahaan dalam memberikan pelayanan kepada para pelanggan. Sedangkan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kualitas Layanan Lupiyoadi (2001) mengartikan kualitas pelayanan adalah kemampuan perusahaan dalam memberikan pelayanan kepada para pelanggan. Sedangkan menurut Payne (2000)

Lebih terperinci

HAK ASASI MANUSIA dalam UUD Negara RI tahun Dr.Hj. Hesti

HAK ASASI MANUSIA dalam UUD Negara RI tahun Dr.Hj. Hesti HAK ASASI MANUSIA dalam UUD Negara RI tahun 1945 Dr.Hj. Hesti HAK ASASI MANUSIA NASIONAL INTERNASIONAL LOKAL / DAERAH INTERNASIONAL dalam konteks pergaulan antar bangsa (Internasional) Penghargaan dan

Lebih terperinci

mempunyai tugas melaksanakan sebagian tugas umum Pemerintahan dan pembangunan dibidang kesejahteraan sosial dan keagamaan.

mempunyai tugas melaksanakan sebagian tugas umum Pemerintahan dan pembangunan dibidang kesejahteraan sosial dan keagamaan. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dinas sosial merupakan unsur pelaksana Pemerintah daerah dibidang sosial yang dipimpin oleh kepala dinasyang berkedudukan dan bertanggungjawab kepada Gubernur melalui

Lebih terperinci

HAK MANTAN NARAPIDANA SEBAGAI PEJABAT PUBLIK DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA

HAK MANTAN NARAPIDANA SEBAGAI PEJABAT PUBLIK DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA HAK MANTAN NARAPIDANA SEBAGAI PEJABAT PUBLIK DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima : 29 September 2014; disetujui : 13 Oktober 2014 Indonesia adalah negara yang berdasar

Lebih terperinci

HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA

HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA KELOMPOK 2: 1. Hendri Salim (13) 2. Novilia Anggie (25) 3. Tjandra Setiawan (28) SMA XAVERIUS BANDAR LAMPUNG 2015/2016 Hakikat Warga Negara Dalam Sistem Demokrasi Warga Negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA)

Lebih terperinci

TUGAS AKHIR KULIAH PENDIDIKAN PANCASILA

TUGAS AKHIR KULIAH PENDIDIKAN PANCASILA TUGAS AKHIR KULIAH PENDIDIKAN PANCASILA HAK ASASI MANUSIA DALAM PANCASILA DOSEN PENGAMPU : HARI SUDIBYO S.KOM UNTUK MEMENUHI SALAH SATU SYARAT MATA KULIAH PENDIDIKAN PANCASILA NAMA: HERI SANTOSO NIM: 11.11.5151

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 5/PUU-XIII/2015 Pengecualian Pembina dalam Menerima Gaji, Upah, atau Honorarium Pengurus

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 5/PUU-XIII/2015 Pengecualian Pembina dalam Menerima Gaji, Upah, atau Honorarium Pengurus RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 5/PUU-XIII/2015 Pengecualian Pembina dalam Menerima Gaji, Upah, atau Honorarium Pengurus I. PEMOHON Dahlan Pido II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Materiil Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tidak ada seorangpun di dunia ini yang menginginkan menjalani

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tidak ada seorangpun di dunia ini yang menginginkan menjalani BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tidak ada seorangpun di dunia ini yang menginginkan menjalani kehidupan sebagai seorang penyandang disabilitas, apakah itu karena kecelakaan, penyakit, atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (penyandang cacat). Pusat rehabilitasi yang diciptakan pun menjadikan

BAB I PENDAHULUAN. (penyandang cacat). Pusat rehabilitasi yang diciptakan pun menjadikan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menjadi difable (penyandang cacat) ditengah masyarakat yang menganut paham normalisme atau pemuja kenormalan, tentu menghambat ruang gerak para difable (penyandang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkembang sesuai dengan kodrat kemanusiaannya.

BAB I PENDAHULUAN. berkembang sesuai dengan kodrat kemanusiaannya. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam pembukaan, alinea 4 Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa tujuan dibentuknya negara Indonesia di antaranya adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI PAPUA

PERATURAN DAERAH PROVINSI PAPUA GUBERNUR PAPUA PERATURAN DAERAH PROVINSI PAPUA NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP PENYANDANG DISABILITAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR PAPUA, Menimbang : a. bahwa penyandang

Lebih terperinci

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA

Lebih terperinci

POTENSI CALON PERSEORANGAN DALAM PERUBAHAN KEDUA UU NO. 1 TAHUN 2015 Oleh: Achmadudin Rajab * Naskah diterima: 23 Maret 2016; disetujui: 4 April 2016

POTENSI CALON PERSEORANGAN DALAM PERUBAHAN KEDUA UU NO. 1 TAHUN 2015 Oleh: Achmadudin Rajab * Naskah diterima: 23 Maret 2016; disetujui: 4 April 2016 POTENSI CALON PERSEORANGAN DALAM PERUBAHAN KEDUA UU NO. 1 TAHUN 2015 Oleh: Achmadudin Rajab * Naskah diterima: 23 Maret 2016; disetujui: 4 April 2016 Rencana Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjamin keberlangsungan hidupnya agar lebih bermartabat, karena itu

BAB I PENDAHULUAN. menjamin keberlangsungan hidupnya agar lebih bermartabat, karena itu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia untuk menjamin keberlangsungan hidupnya agar lebih bermartabat, karena itu negara memiliki kewajiban untuk

Lebih terperinci

Lampiran Usulan Masukan Terhadap Rancangan Undang-Undang Bantuan Hukum

Lampiran Usulan Masukan Terhadap Rancangan Undang-Undang Bantuan Hukum Lampiran Usulan Masukan Terhadap Rancangan Undang-Undang Bantuan Hukum No. Draft RUU Bantuan Hukum Versi Baleg DPR RI 1. Mengingat Pasal 20, Pasal 21, Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di Indonesia jumlah penyandang disabilitas atau sering kali disebut difabel tergolong sangat banyak. Berdasarkan hasil pendataan atau survey Pusdatin Depsos

Lebih terperinci

DEKLARASI UNIVERSAL HAK ASASI MANUSIA 1 MUKADIMAH

DEKLARASI UNIVERSAL HAK ASASI MANUSIA 1 MUKADIMAH DEKLARASI UNIVERSAL HAK ASASI MANUSIA 1 MUKADIMAH Bahwa pengakuan atas martabat yang melekat pada dan hak-hak yang sama dan tidak dapat dicabut dari semua anggota keluarga manusia adalah landasan bagi

Lebih terperinci

LAMPIRAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 75 TAHUN 2015 TANGGAL 22 JUNI 2015 RENCANA AKSI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA TAHUN BAB I

LAMPIRAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 75 TAHUN 2015 TANGGAL 22 JUNI 2015 RENCANA AKSI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA TAHUN BAB I LAMPIRAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 75 TAHUN 2015 TANGGAL 22 JUNI 2015 RENCANA AKSI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA TAHUN 2015-2019 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Komitmen Negara Republik

Lebih terperinci

Partisipasi Masyarakat dalam Pencegahan Pelanggaram HAM dan Pengingkaran Kewajiban

Partisipasi Masyarakat dalam Pencegahan Pelanggaram HAM dan Pengingkaran Kewajiban Partisipasi Masyarakat dalam Pencegahan Pelanggaram HAM dan Pengingkaran Kewajiban Nama Kelompok: 1. Rizeki Amalia 2. Setiawan Hartanto 3. Rizki Saputra 4. Sarah Julianti 5. Yessy Dwi Yulianti 6. Yuniar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan

BAB I PENDAHULUAN. Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-nya yang wajib dihormati,

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 5494 TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI ADMINISTRASI. Kepegawaian. Aparatur Sipil Negara. Manajemen. Pencabutan. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 6) PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

proses perjalanan sejarah arah pembangunan demokrasi apakah penyelenggaranya berjalan sesuai dengan kehendak rakyat, atau tidak

proses perjalanan sejarah arah pembangunan demokrasi apakah penyelenggaranya berjalan sesuai dengan kehendak rakyat, atau tidak Disampaikan pada Seminar Nasional dengan Tema: Mencari Format Pemilihan Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah Yang Demokratis Dalam Rangka Terwujudnya Persatuan Dan Kesatuan Berdasarkan UUD 1945 di Fakultas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Setiap manusia memiliki kesempatan yang sama. Kesempatan yang sama tersebut

BAB I PENDAHULUAN. Setiap manusia memiliki kesempatan yang sama. Kesempatan yang sama tersebut BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Setiap manusia memiliki kesempatan yang sama. Kesempatan yang sama tersebut berwujud kebebasan untuk memutuskan sendiri perilaku atau perbuatannya. Kedudukan dan kesempatan

Lebih terperinci

- 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG

- 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG - 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PELAYANAN BAGI PENYANDANG DISABILITAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 5/PUU-XIII/2015 Pengecualian Pembina dalam Menerima Gaji, Upah, atau Honorarium Pengurus

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 5/PUU-XIII/2015 Pengecualian Pembina dalam Menerima Gaji, Upah, atau Honorarium Pengurus RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 5/PUU-XIII/2015 Pengecualian Pembina dalam Menerima Gaji, Upah, atau Honorarium Pengurus I. PEMOHON Dahlan Pido II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Materiil Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan Negara Hukum. Maka guna mempertegas prinsip Negara Hukum,

BAB I PENDAHULUAN. merupakan Negara Hukum. Maka guna mempertegas prinsip Negara Hukum, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Sebagaimana tercantum pada Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, yang menyatakan secara tegas bahwa Indonesia merupakan Negara Hukum. Maka

Lebih terperinci

PUSAT PERAWATAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS ARSITEKTUR PERILAKU TUGAS AKHIR TKA 490 BAB I PENDAHULUAN

PUSAT PERAWATAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS ARSITEKTUR PERILAKU TUGAS AKHIR TKA 490 BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Pendidikan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia untuk menjamin keberlangsungan hidupnya agar lebih bermartabat. Karena itu negara memiliki kewajiban untuk memberikan

Lebih terperinci