SINTESA HASIL PENELITIAN PENGELOLAAN HUTAN ALAM PRODUKSI LESTARI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "SINTESA HASIL PENELITIAN PENGELOLAAN HUTAN ALAM PRODUKSI LESTARI"

Transkripsi

1 SINTESA HASIL PENELITIAN PENGELOLAAN HUTAN ALAM PRODUKSI LESTARI Oleh: Dr.Ir. Darwo, M.Si. Kontributor data: Ir. Djoko Wahjono, M.S. Ir. Abdurachman, M.P. Lutfi Abdullah, S.Hut.,M.Si. Dr. Farida Herry Susanty, S.Hut, M.P. Dr. Ika Herdiansyah, S.Hut., M.Agr. Dr. Ir. Diana Prameswari, M.Si. Dr. Haruni Krisnawati, S.Hut., M.Si. Rinaldi Imanuddin, S.Hut. Ir. Sudin Panjaitan, M.P. Asef K. Hardjana, S.Hut., M.Sc. Karmilasanti, S.Hut. Ir. Relawan Kuswandi.,M.Sc. Baharinawati W. Hastanti, S.Sos.,M.Sc. Aswandi, S.Hut., M.Si. Cica Ali, S.Si., M.P. Arif Irawan, S.Si PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENINGKATAN PRODUKTIVITAS HUTAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN KEMENTERIAN KEHUTANAN 2014

2 KATA PENGANTAR Dalam rangka mendukung suksesnya kebijakan prioritas Kementerian Kehutanan, Badan Litbang Kehutanan telah menyusun program kerja yang kemudian dijabarkan dalam paket-paket kegiatan penelitian yang terpadu. Data dan informasi yang diperoleh diharapkan menjadi dasar penetapan kebijakan Kementerian Kehutanan, sekaligus diperoleh suatu paket teknologi yang aplikatif yang dapat digunakan oleh para pelaksana lapangan sebagai pedoman pengelolaan hutan alam produksi yang lestari. Salah satu kegiatan penelitian yang tergabung dalam Rencana Penelitian Integratif (RPI) adalah Pengelolaan Hutan Alam Produksi Lestari. Kegiatan penelitian ini melibatkan peneliti-peneliti di pusat dan peneliti di daerah (UPT). Ruang lingkup penelitian dalam RPI ini berkaitan dengan penyelesaian permasalahan dalam pengelolaan hutan alam produksi lestari. Hasil sintesa ini merupakan hasil penelitian tahap awal (5 tahun pertama) dari rencana penelitian jangka panjang 15 tahun (setengah rotasi), sehingga kesimpulan-kesimpulan yang diperoleh pada umumnya masih bersifat indikatif yang masih memerlukan pengamatan dan perlakukan-perlakuan penelitian lebih lanjut. Namun demikian beberapa aspek sudah menunjukkan hasil akhir. Sangat disadari bahwa sintesa ini belum sempurna, namun demikian dengan partisipasi aktif semua yang terlibat baik peneliti maupun struktural, maka kesempurnaan akan dapat diwujudkan sehingga hasilnya akan bermanfaat bagi pengelolaan hutan alam produksi yang berkelanjutan. Bogor, Desember 2014 Penyusun

3 RINGKASAN Pengelolaan hutan alam produksi di Indonesia telah berjalan hampir 45 tahun. Banyak hasil pembangunan di Indonesia yang merupakan andil dari hasil pemanfaatan hutan hutan alam produksi. Namun demikian, peranan hutan alam produksi tersebut tidak diimbangi dengan upaya-upaya yang signifikan untuk mempertahankan dan meningkatkan produktivitasnya. Hutan alam produksi hanya dijadikan obyek pengurasan untuk dijadikan modal pembangunan. Hutan alam produksi mempunyai kemampuan yang sangat terbatas, rentan terhadap perubahan yang ektrem. Ekologi hutan alam produksi umumnya berada pada tanah-tanah yang sangat peka terhadap perubahan yang ektrem tersebut. Hutan alam sebagian besar telah berubah kondisinya menjadi hutan sekunder yang rusak, belukar, padang alang-alang bahkan menjadi tanah kosong yang miskin dan tandus. Kondisi tersebut di atas adalah cerminan kinerja pengelolaan hutan alam produksi yang selama ini diagung-agungkan karena dapat menghasilkan devisa, tanpa ingat bahwa hutan alam produksi juga bisa menghasilkan bencana apabila tidak dikelola dengan baik dan benar. Saat ini baru disadari oleh para pengambil kebijakan itupun setelah kondisinya sudah sangat parah dan karena adanya tekanan-tekan baik yang berasal dari dalam negeri maupun internasional. Tujuan dari sintesa ini adalah menyediakan informasi dan teknologi untuk meningkatkan kualitas hutan alam produksi dalam rangka pemanfaatan hasil hutan yang optimal, rasional dan aman secara ekologis menuju pengelolaan hutan alam produksi yang lestari. Sasarannya adalah menghasilkan data/informasi dan teknologi tepat guna yang dapat diaplikasikan secara efektif dan efisien untuk meningkatkan kualitas hutan alam produksi. yaitu: pengklasifikasi tipologi hutan, rehabilitasi hutan yang rusak, pembinaan hutan untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan, informasi dinamika pertumbuhan tegakan hutan dan pengaturan hasil yang lestari. Penyusunan sintesis ini menggunakan metode systematic review. Untuk mengembalikan kondisi hutan alam produksi seperti semula, diperlukan komitmen serius lintas sektoral dan usaha keras yang komprehensif. Hutan alam produksi yang sudah rusak harus segera direhabilitasi untuk meningkatkan produktifitas dan kualitasnya. Hutan alam produksi yang masih baik harus dikelola dengan hati-hati mengikuti kaidahkaidah silvikultur yang sudah ditetapkan. Untuk menunjang dan memandu upaya dan usaha dalam pengelolaan hutan alam produksi tersebut perlu segera diciptakan teknologi-teknologi tepat guna sebagai dasar atau pedoman operasional di lapangan. Beberapa teknologi yang sangat mendesak diperlukan pada saat ini antara lain: (a) sistem silvikultur yang berlaku luwes, aman dan tepat; (b) teknik pengaturan hasil tebangan yang optimal dan rasional; (c) teknik penebangan di hutan alam yang ramah lingkungan; dan (d) teknik pembinaan tegakan tinggal yang praktis; dan teknik rehabilitasi hutan yang telah rusak. Teknologi tersebut yang telah dihasilkan dari RPI ini antara lain:

4 1. Inventarisasi tegakan pada areal hutan yang sangat luas dan beragam kondisi kerapatannya, maka metode penarikan contoh yang digunakan harus efektif dan efisien serta memberikan hasil dugaan potensi yang akurat. Salah satu cara yang dapat digunakan adalah menggunakan bantuan citra satelit dalam untuk melakukan stratifikasi sehingga intensitas sampling yang digunakan akan lebih kecil. Dengan stratifikasi citra satelit intensitas sampling yang dapat digunakan adalah sekitar 4% sedangkan apabila tidak digunakan startifikasi intensitas samplingnya sekitar 10-15%. Berdasarkan data pengambilan contoh di lapangan dan nilai pixel dari data digital citra satelit dapat disusun persamaan alometri berbentuk persamaan regresi sederhana untuk menduga potensi dan sebaran tegakan di aral hutan alam produksi dengan lebih cepat dan cukup akurat. 2. Sebagian besar IUPHHK tidak melaksanakan tahapan sistem silvikultur TPTI sesuai dengan pedoman. Dari tahapan TPTI yang ditetapkan pada umumnya tahap 1-4 dikerjakan dengan baik, tahap berikutnya kurang/tidak dikerjakan sesuai pedoman dengan berbagai alasan teknis dan ekonomis. Penyederhanaan tahapan TPTI menjadi 8 tahapan yaitu PAK, PWH, ITSP, Penebangan, ITT (pohon inti dan pohon sisa), pengkayaan (t+2),pembinaan I (t+5) dan pembinaan II (t+15) bisa menghemat biaya operasioan. Sebagai kunci pokok dalam tahapan tersebut adalah perlindungan dan pengamanan tiap tahun yang harus dilaksanakan. Pemanfaatan kayu dari hutan alam tidak boleh melebihi riap tegakannya dan sebaiknya jumlah pohon yang ditebang tidak melebihi 15 pohon per hektar. 3. Sistem silvikultur TPTJ-Silin mempunyai prospek yang baik untuk diterapkan secara operasional dalam rangka pengelolaan hutan alam produksi di LOA yang potensi tegakannya rendah atau di hutan rawang dengan potensi tegakan kurang 20 m 3 /ha, lokasi berdekatan dengan masyarakat agar ada pengakuan dari masyarakat bahwa hutan alam dikelola dengan baik sehingga tidak menjadi ajang perambahan lahan atau penebangan liar. Pemilihan jenis tanaman yang unggul dan pemeliharaan yang intensif menjadi kunci keberhasilannya, selain perlindungan dan pengamanan tegakan terhadap gaangguan. 4. Teknik pengkayaan yang intensif di areal bekas jalan sarad dengan menggunakan jenis S. leprosula dan S. parvifolia mampu tumbuh dengan baik. Tahapan selanjutnya yang perlu diperhatikan adalah penyiapan lubang tanam dengan pemberian top soil dan pupuk organik, serta pemeliharan secara intensif akan menghasilkan tanaman pengkayaan yang prospektif sebagai andalan pohon yang produktif pada rotasi berikutnya. Hasil penelitian awal menunjukkan bahwa persen jadi tanaman dan pertumbuhannya lebih baik dibandingkan dengan pengkayaan yang asal-asalan. 5. Pembinaan tegakan merupakan kegiatan dalam suatu pengelolaan hutan produksi yang paling utama, selain untuk meningkatkan riap atau produktivitas tegakan juga bertujuan untuk meningkatkan kualitas kayu/pohon yang akan diperoleh pada akhir rotasi. Namun demikian, dalam pengelolaan hutan alam sangat berlaku hukum ekonomi sebagai

5 akibat kendala ekologis, yaitu pembatasan produktivitas harus diimbangi dengan efisiensi penggunaan anggaran. Oleh karena itu, agar lebih efektif dan efisien dalam melakukan tindakan pembinaan tegakan tinggal, maka perlu dibatasi jumlah individu pohon yang dibebaskan. Pohon inti yang berdiameter cm sebagai pohon penyusun tegakan dimasa depan perlu mendapatkan prioritas untuk dibina, prioritas berikutnya adalah permudaan tingkat tiang berdiamater cm. 6. Keakuratan hasil kegiatan inventarisasi sangat didukung oleh ketersediaan perangkat pendugaan volume pohon dari setiap jenis pohon yang ada. Melalui penyusunan model pendugaan volume pohon dan sekaligus dihasilkan tabel volume pohon per jenis secara alometri terbukti menghasilkan dugaan volume yang cukup teliti dan sederhana sehingga dapat digunakan dalam praktek di lapangan. 7. Pertumbuhan tegakan tinggal di hutan alam produksi pada tebangan lebih dari 3 tahun, menunjukkan kondisi yang masih cukup baik, srtruktur tegakan berbentuk J terbalik, pohon berdiameter lebih dari 40 cm masih tersisa cukup, pohon inti lebih dari 25 pohon/ha, dan permudaan masih cukup tinggi dan riap diameter berkisar antara 0,5 1,8 cm/tahun di hutan tanah kering sedangkan di hutan tanah basah antar 0,39 0,43 cm/tahun. Hasilnya menggambarkan bahwa riap/pertumbuhan tegakan sangat bervariasi tergantung pada site dan kinerja unit pengelola serta keamanan dari hutan tersebut. 8. Hasil uji coba penanaman pada hutan alam produksi yang telah rusak, menunjukkan bahwa pemilihan jenis yang tepat merupakan kunci utama keberhasilan rehabilitasi, selain perlakuan silvikultur seperti penyiapan lahan, pemupukan dan pemeliharaan, serta waktu pelaksanaan penanaman. Pada lahan yang terbuka (tanah semak-belukar, dan bekas TPn) telah ditemukan indikator jenis yang mampu tumbuh dengan baik pada kondisi cahaya penuh yaitu: Dryobalanops aromatica, Hopea mangarawan, Hopea odorata dan Shorea belangeran, sungkai (Peronema canescens), nyatoh (Palaquium spp.), binuang bini (Octomeles sumatrana), nyawai (Ficus veriegata), linggua (Pterocarpus indicus) dan bintangur (Calophyllum soulattri). Jenis-jenis tersebut cocok juga jika ditanam di kiri-kanan jalan utama IUPHHK-HA. 9. Perlunya penyesuaian sistem silvikultur yang berbasis pada kondisi kawasan hutan dan karakteristik lingkungan setempat. Sistem tersebut harus berpedoman pada prinsip pengelolaan hutan lestari, yaitu menguntungkan secara ekonomis, dapat dipertanggungjawabkan secara ekologis, sosial dan tetap realistik mengarah pada kelestarian hutan, teknik pelaksanaan di lapangan sederhana, memiliki fungsi perlindungan terhadap lingkungan, dan memungkinkan adanya pengawasan di lapangan yang bisa dilaksanakan. Sistem silvikultur yang disarankan dapat digunakan pada penerapan Multisistem Silvikultur pada areal hutan produksi di areal IUPHHK terdiri dari TPTI, TPTJ, TPTJ-Silin, THPB dan THPB pola Agroforestry. Oleh karena itu, startegi penerapan sistem silvikultur di hutan alam produksi sebagai berikut: a. Kawasan yang aman dari perambahan dan illgal logging diterapkan TPTI dan/atau TR. Jika ada lahan yang kosong, maka pemegang ijin

6 berkewajiban untuk merehabilitasinya dengan menanam jenis-jenis pohon yang mampu tumbuh dengan baik di kondisi lahan tersebut. b. Kawasan hutan alam bekas tebangan dengan potensi tegakan yang rendah, rawan terhadap perambahan dan illegal logging diterapkan TPTJ-Silin. c. Kawasan hutan alam bekas tebangan yang rusak (semak-belukar dan alang-alang) yang rawan terhadap perambahan diterapkan THPB dan dapat menerapkan sistem agroforestry.

7 DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR... i RINGKASAN... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan dan Sasaran Luaran/Output... 7 II. METODE SINTESA Kerangka Pikir Metode Ruang Lingkup III. HASIL DAN PEMBAHASAN Kajian Klasifikasi Tipologi dan Potensi Sebaran Hutan Produksi Teknik Peningkatan Produktivitas Hutan Alam 19 Produksi Informasi Dinamika Pertumbuhan/Riap Tegakan di 54 Hutan Alam Produksi Startegi Pengelolaan Hutan Alam Produksi ke 65 Depan Kegiatan Penelitian Yang Diperlukan Untuk Yang 75 Akan Datang... IV. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN ii vi vii viii x

8 DAFTAR TABEL Nomor Halaman 3.1. Kesalahan sampling tanpa menggunakan stratifikasi Kesalahan sampling menggunakan stratifikasi Persamaan pendugaan potensi tegakan dengan menggunanan citra satelit Jenis-jenis pohon yang cocok untuk ditanam di kirikanan jalan utama IPHHK -HA dan lahan kosong (bekas TPn) Pertumbuhan jenis-jenis pohon pada sistem silvikultur Tebang Rumpang di Kintap, Kalimantan Selatan Persamaan pendugaan volume pohon beberapa jenis pohon di hutan alam di Kalimantan Tabel volume lokal beberapa jenis kayu komersial pada beberapa lokasi di Papua Struktur tegakan di hutan alam produksi bekas tebangan Riap diameter dan riap volume tegakan di hutan alam Laju mortality, ingrowth dan upgrowth berdasarkan kelas diameter untuk jenis-jenis pohon di hutan alam

9 DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman 2.1 Kerangka pikir pengelolaan hutan alam Teknik klasifikasi tegakan dengan citra landsat Contoh hasil klasifikasi tajuk atau penutupan hutan Kegiatan penelitian inventarisasi potensi tegakan Filosofi pendugaan potensi tegakan dengan Indeks Citra Landsat Hasil simulasi model penduga potensi tegakan Kondisi hutan alam produksi dua tahun pasca penebangan (LOA) Teknik pembuatan LRB di kiri-kanan dan lahan kosong (bekas jalan sarad, bekas TPn, bekas jalan cabang dan kiri-kanan jalan utama Teknik penanaman meranti di jalan sarad Performan tanaman meranti hasil pengkayaan di jalan sarad pada umur 3 tahun Pembebasan tegakan tinggal Kondisi hutan setelah tebang naungan dan persiapan jalur tanam Tanaman umur 2 tahun di jalur tanam di PT SBK Tanaman umur 4 tahun di jalur tanam di PT SBK Kurva pertumbuhan diameter dan tinggi Shorea leprosula di PT. Austral Byna, Kalimantan Tengah Kondisi bibit cabutan dan persemaian untuk penanaman di TPTJ-Silin, Kalimantan Tengah Kurva prediksi dan kurva harapan pertumbuhan diameter tanaman meranti di jalur tanam TPTJ- Silin di PT. SBK, Kalimantan Tengah Tanaman umur 9 tahun di jalur tanam di PT SBK, Kalimantan Tengah Kondisi hutan rawang yang ada di areal KHDTK Haurbentes, Jawa Barat

10 3.19 Dryobalanops aromatica, Peronema canascens, Hopea mangarawan dan Shorea balangeran mampu tumbuh baik di tempat terbuka Pembuatan permudaan buatan di dalam Tebang Rumpang Pengambilan data pohon model (pohon contoh) Pengukuran pohon pada Petak Ukur Permanen (PUP) Kurva riap tahun berjalan (CAI) diameter tegakan di hutan alam, Maluku Strategi penerapan sistem silvikultur di hutan alam produksi

11 DAFTAR LAMPIRAN Nomor Halaman 1. Karakteristik tempat tumbuh beberapa jenis 91 komersial yang sedang diamati pertumbuhannya Foto jenis-jenis tanaman umur 1 tahun yang sedang diuji tingkat pertumbuhan di Jalur tanam TPTJ-Silin, Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah Shorea pinanga pada areal hutan alam bekas tebangan (a & b) dan area l semak belukar (c & d) di KHDTK Siali-ali, Kabupaten Padang Lawas-Sumatera Utara

12 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada periode tahun luas hutan Indonesia terjadi penyusutan sebesar 20 juta hektar atau 1,7 juta hektar per tahun dan tahun mengalami penurunan dari 118 juta hektar menjadi 94 juta hektar. Deforestasi Indonesia pada periode sebesar hektar per tahun (Kemenhut, 2012). Produksi kayu dari hutan alam dari kurun waktu telah terjadi penurunan. Tahun 1994 IUPHHK-HA masih dapat berproduksi 17,31 juta m 3, tetapi pada tahun 2012 hanya mampu berproduksi 5,14 juta m 3 (Kemenhut, 2012). Penurunan luas hutan dan produksi kayu dari hutan alam berdampak pada penurunan kontribusi sub sektor kehutanan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Tahun 1997 PDB sub sektor kehutanan menyumbangkan 1,57%, tahun 2006 kontribusinya sebesar 0,90% dan tahun 2012 kontibusinya turun menjadi 0,67% (Rukmantara, 2014). Oleh karena itu, para pihak yang terlibat dalam pengelolaan hutan alam produksi harus mempunyai komitmen untuk mengelola hutan alam secara berkelanjutan. Pengelolaan sumber daya hutan yang berkelanjutan pada dasarnya adalah pengelolaan hutan yang terencana. Artinya, pada setiap level dan bentuk pengelolaan sumber daya hutan harus dikelola berdasarkan suatu rencana pengelolaan yang mengarah kepada pemanfaatan secara menyeluruh, rasional, optimal, sesuai daya dukung, serta tidak semata-mata berorientasi kepada pemanfaatan masa kini, tetapi juga untuk menjamin kehidupan masa depan. Namun demikian,

13 kenyataannya sebagaian besar dari pengelolaan hutan alam yang dilakukan saat ini masih kurang atau tidak mengarah para pengelolaan hutan yang terencana sehingga dikawatirkan hutan alam yang dikelola tidak akan terjamin kelestariannya di masa depan. Kondisi ini telah diketahui dan diantisipasi oleh semua pihak, baik di tingkat nasional maupun internasional. Secara nasional, pemerintah Indonesia telah banyak mengeluarkan kebijakan-kebijakan baik yang bersifat preventif maupun yang bersifat represif, namun hasilnya masih belum signifikan. Oleh karena itu, lembaga internasional mulai memberikan tekanan yang lebih serius dalam pengelolaan hutan alam, diantaranya adalah International Tropical Timber Organisation (ITTO) dan International Monetary Fund (IMF). Sejak tahun 2000 telah dicanangkan sebagai era ekolabel bagi produk-produk kayu yang berasal dari negara yang memliki hutan tropis termasuk Indonesia. Indonesia sebagai salah satu anggota ITTO yang ikut menandatangani komitmen/kesepakatan ITTO Target 2000 di Bali, bahwa Indonesia harus melaksanakan dan mengupayakan pengelolaan hutan secara lestari, baik hutan tanaman maupun hutan alam. Hal ini berarti mulai tahun 2000 semua produk kayu dari Indonesia yang diperdagangkan harus berasal dari hutan yang dikelola secara lestari (Pusdiklat, 2002). Sebenarnya masalah kelestarian hutan sejak dari awal telah dijadikan azas dalam pengelolaan hutan di Indonesia, hal itu tertuang dalam Undang- Undang Pokok Kehutanan Nomor 5 tahun 1967, yang saat ini sudah diperbaharuhi dengan Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 tahun 1999, beserta peraturan-peraturan lain mengenai pengelolaan hutan yang lestari. Namun dalam pelaksanaannya 2

14 3 masih jauh dari harapan, sehingga perlu dipacu dan dilaksanakan secara lebih tegas dan terarah apabila masih mengharapkan sumber devisa dari hasil hutan Rumusan Masalah Permasalahan dalam pengelolaan hutan alam produksi tidak hanya masalah teknis semata, tetapi banyak masalah-masalah non-teknis yang mempengaruhi sehingga mengancam tujuan pengelolaan hutan alam yang lestari. Permasalah non-teknis antara lain: illegal logging, perambahan hutan, bencana alam, euforia reformasi, otonomi daerah, kepastian kawasan, kepastian usaha, dan lain-lain. Masalah yang satu dengan yang lain umumnya saling berkaitan sehingga perlu diselesaikan secara komprehensif; akan tetapi masalah-masalah non-teknis ini tidak termasuk dalam cakupan RPI ini. Seperti telah dijelaskan di muka, bahwa masalah teknis dalam pengelolaan hutan alam produksi dikelompokkan berdasarkan kondisi areal hutan yang ada saat ini, yaitu masalah teknis pada hutan alam produksi yang masih dalam kondisi baik (primer dan LOF yang masih produktif); hutan alam produksi yang sudah kurang produktif; dan hutan alam produksi yang sudah rusak menjadi belukar, alang-alang dan tanah kosong. Untuk mengatasi masalah teknis di setiap kelompok kondisi hutan tersebut, maka diperlukan teknologi yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah-masalah yang telah, sedang dan akan terjadi pada setiap kondisi hutan yang dikelola.

15 Sampai saat ini teknologi yang tersedia untuk mengatasi masalah-masalah teknis tersebut masih belum tepat dan praktis. Teknologi yang sudah ada masih perlu disempurnakan agar lebih baik lagi dan luwes untuk diterapkan. Tanpa dukungan teknologi dari hasil penelitian/kajian, maka niscaya harapan pengelolaan hutan alam lestari sulit untuk tercapai. Permasalahan teknologi yang dimaksud antara lain: 1. Dinamika perubahan hutan alam produksi saat ini sangat cepat sehingga sangat menyulitkan untuk mengetahui kondisi hutan dan sebarannya dengan cepat dan akurat. Untuk itu diperlukan penelitian/kajian untuk mendapatkan teknologi yang tepat dalam melakukan klasifikasi tipologi, potensi dan sebaran hutan alam produksi, sehingga dapat membantu menetapkan kebijakan pengelolaan yang akan diputuskan. 2. Kondisi hutan alam produksi sangat beragam, ada kecenderungan penggunaan sistem silvikultur yang tidak tepat, sementara itu, sistem silvikultur yang telah tersedia masih belum sempurna, terindikasi kurang efektif dan efisien sehingga penerapannya tidak optimal untuk meningkatkan kualitas hutan alam produksi. Untuk itu, perlu dilakukan penelitian/pengkajian terhadap penerapan sistem silvikultur yang telah ada, dan perlu pula diupayakan sistem silvikultur alternatif yang sesuai dengan kondisi hutan dan lebih efektif dan efisien dalam meningkatkan kualitas hutan alam produksi. 3. Hutan alam produksi yang telah rusak perlu direhabilitasi, sementara itu teknologi dalam rangka rehabilitasi hutan alam yang telah rusak saat ini belum lengkap tersedia, sehingga 4

16 5 untuk mengatasi hal ini pemerintah mengambil kebijakan/solusi yang paling mudah, yaitu mengkonversi hutan alam menjadi hutan tanaman monokultur, walaupun solusi ini sebenarnya juga tidak salah ditinjau dari kebutuhan kayu yang sangat mendesak sementara bahan baku dari hutan alam semakin berkurang, dan pemerintah tidak mampu membiayai rehabilitasi hutan alam yang sangat luas (mencapai lebih dari 15 juta hektar). Oleh karena itu, agar eksistensi hutan alam tidak semakin berkurang, maka perlu diupayakan pencegahan kerusakan hutan alam dan menyediakan teknologi rehabilitasi hutan alam yang tepat, murah dan praktis sehingga hutan alam dapat dikembalikan lagi sesuai dengan fungsinya semula. 4. Potensi dan pertumbuhan tegakan hutan alam harus meningkat atau paling tidak sama antar rotasi tebang berikutnya, salah satu upaya yang belum dilakukan dengan baik adalah pembinaan tegakan tinggal pasca tebangan. Teknologi pembinaan tegakan tinggal yang ada belum mampu meningkatkan produktivitas tegakan bahkan cenderung kurang efektif dan efisien. Untuk itu, perlu dilakukan penelitian dan kajian terhadap teknik silvikultur khususnya teknik pembinaan (pembebasan tegakan tinggal dan teknik pengayaan) yang intensif, efektif dan efisien, sehingga pertumbuhan/riap tegakan akan meningkat untuk rotasi tebang berikutnya. 5. Sistem pengaturan hasil yang berlaku saat ini di TPTI menggunakan rumus 1/30 dari standing stock dengan asumsi pertumbuhan hutan alam selalu sama, sementara itu kondisi hutan saat ini sudah sangat berubah dan berbeda dengan

17 kondisi awalnya dengan riap tegakan yang berbeda untuk setiap tapak (site) dan kondisi hutannya, sehingga ada kecenderungan pemanfaatan hutan alam kurang rasional dan optimal. Untuk itu, perlu dilakukan penelitian/kajian untuk mendapatkan informasi yang akurat mengenai dinamika pertumbuhan tegakan di hutan alam produksi yang dapat dijadikan sebagai dasar dalam menetapkan preskripsi kunci pengaturan hasil dan mendapatkan metode pengaturan hasil yang paling tepat sesuai dengan kemampuan pertumbuhan tegakan di tiap site dan unit manajemen, sehingga besarnya kayu yang dipanen (etat) lebih optimal dan tidak melebihi besarnya riap tegakan. 6. Jenis-jenis pohon di hutan alam sangat banyak dengan nilai komersial yang cukup tinggi. Sampai saat ini baru diperoleh/diketahui beberapa jenis unggul yang telah dikuasai persyaratan tumbuh dan teknik silvikulturnya. Untuk itu, perlu dilakukan penelitian yang lebih intensif untuk mendapatkan jenis-jenis lainnya yang prospektif untuk dikembangkan pada berbagai kondisi areal hutan produksi, sehingga hutan produksi Indonesia mempunyai nilai kompetitif yang tinggi dalam perdagangan kayu di dunia. Penelitian-penelitian untuk mendukung tersusunnya teknologi yang diperlukan di atas sebagian sudah dilakukan, sebagian sedang dilakukan dan sebagian belum dilakukan Tujuan dan Sasaran Tujuan yang ingin dicapai dari sintesa ini adalah menyediakan informasi dan teknologi untuk meningkatkan kualitas hutan alam 6

18 7 produksi dalam rangka pemanfaatan hasil hutan yang optimal, rasional dan aman secara ekologis menuju pengelolaan hutan alam produksi yang lestari. Sasaran yang hendak diwujudkan dalam RPI ini adalah menghasilkan data/informasi dan teknologi tepat guna yang dapat diaplikasikan secara efektif dan efisien untuk meningkatkan kualitas hutan alam produksi. yaitu: pengklasifikasi tipologi hutan, rehabilitasi hutan yang rusak, pembinaan hutan untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan, informasi dinamika pertumbuhan tegakan hutan dan pengaturan hasil yang lestari Luaran/Output Luaran/output yang diharapkan dari RPI ini dapat diperoleh dari setiap kegiatan kajian/penelitian yang akan dilakukan antara lain adalah: 1. Teknik pengklasifikasian tipologi hutan alam lahan kering, peta klasifikasi tipologi, potensi dan sebaran hutan alam lahan kering, untuk mempermudah menetapkan langkah kebijakan dalam pengelolaannya. 2. Teknik rehabilitasi dan pembinaan hutan alam bekas tebangan (LOF) yang tepat dan praktis sehingga mampu mengembalikan fungsi dan kualitas hutan alam secara cepat dan ekonomis. Penyempurnaan sistem silvikultur yang sudah operasional (TPTI/TPTJ/TR) yang dapat digunakan dalam pengelolaan hutan alam produksi. 3. Perangkat pengaturan hasil di hutan alam produksi meliputi: model pendugaan volume pohon (tabel volume) jenis/kelompok jenis pohon-pohon di hutan alam, teknik pendugaan cepat

19 potensi (inventarisasi) tegakan di hutan alam, model kuantifikasi dinamika pertumbuhan (struktur tegakan) dan riap tegakan di hutan alam dan pengaturan hasil di hutan alam. 8

20 9 II. METODOLOGI 2.1. Kerangka Pikir Saat ini kebutuhan teknologi pengelolaan hutan alam produksi sudah sangat mendesak, maka dukungan hasil penelitian untuk dapat menghasilkan teknologi yang tepat guna yang mampu meningkatkan kembali kualitas hutan alam sebagai sumber bahan baku kayu perlu segera diwujudkan. Gambar 2.1. Kerangka pikir pengelolaan hutan alam Berdasarkan Roadmap dan Program Badan Litbang Kehutanan tahun dalam upaya pengelolaan hutan alam adalah yang berkaitan dengan: (1) teknologi pengklasifikasian tipologi kondisi hutan alam produksi; (2) teknik rehabilitasi hutan untuk

21 mengembalikan fungsi hutan baik fungsi produksi, fungsi ekologi maupun fungsi sosial; (3) teknik pembinaan intensif untuk meningkatkan kualitas pertumbuhan hutan; (4) kajian-sistemsistem silvikultur yang tepat sesuai dengan site dan kondisi hutan; (5) teknik pengaturan hasil yang mengakomodasi kondisi dan dinamika pertumbuhan tegakan hutan yang dikelola Metode Untuk memberikan arah yang jelas dalam penyusunan sintesis sesuai dengan tujuan yang diharapkan, maka metodologinya menggunakan metode systematic review. Systematic review adalah suatu metode penelitian untuk melakukan identifikasi, evaluasi dan interpretasi terhadap semua hasil penelitian yang relevan terkait permasalahan, topik tertentu dan fenomena yang menjadi perhatian. Pada prinsipnya systematic review merupakan metode penelitian yang merangkum hasil-hasil penelitian primer untuk menyajikan fakta yang lebih komprehensif dan berimbang melalui analisis deduktif dan induktif. Dalam metode systematic review dilakukan meta-analisis yaitu salah satu cara untuk melakukan sintesa hasil secara teknik kuantitatif, dan juga melakukan sintesis hasil melalui teknik naratif. Systematic review akan sangat bermanfaat untuk melakukan sintesis dari berbagai hasil penelitian yang relevan dengan pengelolaan hutan alam produksi lestari, sehingga fakta yang disajikan kepada penentu kebijakan menjadi lebih komprehensif dan berimbang. Fokus analisis sintesa dalam RPI ini dilakukan di kawasan hutan alam produksi yang pada saat ini masih terdapat unit-unit

22 11 pengelolaan hutan alam produksi dalam bentuk Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Alam (IUPHHK-HA) yang potensial dan cukup representatif terhadap keterwakilan adanya Unit Pelaksana Tugas Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Ruang Lingkup Sintesa hasil penelitian ini mencakup beberapa hal yang berkaitan dengan permasalahan yang menyebabkan menurunnya kuantitas dan kualitas hutan alam sehingga apabila permasalahan tersebut tidak segera diatasi, maka tujuan pengelolaan hutan alam lestari tidak akan tercapai. Berdasarkan hal tersebut, maka ruang lingkupnya dititikberatkan pada beberapa aspek yang diperlukan dalam pengelolaan hutan alam produksi yang lestari, meliputi hutan alam produksi yang masih primer, hutan alam produksi bekas tebangan (LOF) yang masih baik, LOF yang kurang produktif maupun LOF yang sudah terdegradasi/rusak berupa belukar atau alang-alang di kawasan hutan alam produksi baik yang telah dikelola melalui ijin pemanfaatan.

23 12 III. HASIL DAN PEMBAHASAN Aspek-aspek penelitian yang tercakup dalam RPI ini pada umumnya adalah penelitian yang berjangka panjang. Namun demikian secara bertahap dapat dihasilkan data dan informasi antara walaupun masih bersifat sementara sudah dapat dimanfaatkan sebagai bahan untuk menyusun kebijakan teknis dalam rangka pengelolaan hutan alam produksi yang lestari. Sampai dengan tahun kelima (tahun 2014) dari taget lima tahun pertama (tahap 1), telah dihasilkan data dan informasi hasil penelitian yang mengindikasikan hasil penelitian yang prospektif walaupun secara keseluruhan masing terdapat banyak kekurangan yang perlu disempurnakan. Hutan alam produksi termasuk hutan yang sangat rentan terhadap perubahan lingkungan, produktivitasnyapun sangat rendah. Oleh karena itu, dalam pemanfaatan hutan alam produksi diperlukan suatu teknologi dari hasil penelitian yang praktis, tepat dan akurat agar hutan yang dikelola tetap lestari dengan produktivitas meningkat sehingga memberikan manfaat ekonomi untuk kesejahteraan masyarakat Kajian Klasifikasi Tipologi dan Potensi sebaran Hutan Produksi Dalam inventarisasi tegakan pada areal hutan yang sangat luas dan beragam kondisi kerapatannya, maka metode penarikan contoh yang digunakan harus efektif dan efisien serta memberikan hasil dugaan potensi yang akurat. Salah satu cara yang dapat digunakan adalah menggunakan bantuan citra satelit untuk

24 13 melakukan stratifikasi sehingga intensitas sampling yang digunakan akan lebih kecil. Adapun tujuan kajian/penelitian teknik inventarisasi potensi tegakan menggunakan kombinasi antara citra satelit dan cara teristris adalah: 1. Mendapatkan gambaran sampai sejauhmana sebaran kelas kerapatan tegakan (spatial) dengan ciri kerapatan jumlah pohon atau massa tegakannya dapat dideteksi oleh citra satelit (Landsat ETM, SPOT, Radarsat, Ikonos atau Quickbird). 2. Mendapat suatu teknik/metode/kunci pengenalan kerapatan hutan pada citra satelit tersebut yang cukup memadai untuk dipakai sebagai alat menstratifikasi dalam kegiatan inventarisasi hutan. 3. Sasaran yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah tersedianya metode stratifikasi hutan alam untuk kegiatan inventarisasi hutan. Penggunaan citra satelit cukup relevan karena hal-hal berikut: 1. penggunaan citra satelit di lapangan sudah umum dilakukan oleh para pengelola pengusahaan hutan, 2. kemudahan memperoleh data tersebut di pasar, 3. data citra satelit yang ada dapat ditemui dalam bentuk data digital maupun hasil cetakan, 4. data satelit direkam dalam berbagai gelombang yang mana setiap gelombang mencirikan selang kemampuan obyek-obyek dalam memantulkan cahaya, 5. perekaman data dilakukan secara teratur sehingga ketersediaan data terkini sangat memungkinkan untuk diperoleh dengan mudah di pasar.

25 Secara sederhana prinsip atau pendekatan yang dapat dilakukan dalam melaksanakan teknik inventarisasi mengunakan bantuan citra satelit dan validasi teristris adalah sebagai berikut: 14 METODOLOGI CITRA SATELIT KLASIFIKASI GROUNDCHECK Jumlah Kelas/ Strata Jumlah Sample/ Plot Teknik Inventarisasi Gambar 3.1. Teknik klasifikasi tegakan dengan citra landsat Setelah data terkumpul maka analisis selanjutkan dapat dilakukan sebagai berikut: 1. Pengolahan Awal Citra (Interpretasi Visual Citra Satelit, Pemilihan kombinasi band terbaik, Koreksi Radiometrik dan Geometrik) 2. Pengolahan Citra Satelit (Klasifikasi Citra Digital Satelit, Klasifikasi Terbimbing) 3. Persamaan Regresi pendugaan potensi (N dan V) dengan peubah bebas Nilai Band (DN) 4. t SE = 0,05 x Se x100% X

26 15 Hasil analisis menunjukkan bahwa dengan stratifikasi citra satelit intensitas sampling yang dapat digunakan adalah 4% sedangkan apabila tidak digunakan startifikasi intensitas samplingnya 10-15%. Berdasarkan data pengambilan contoh di lapangan dan nilai-nilai pixel dari data digital citra satelit dapat disusun persamaan alometri berbentuk persamaan regresi sederhana untuk menduga potensi dan sebaran tegakan di areal hutan alam produksi dengan lebih cepat dan cukup akurat, dibandingkan dengan inventarisasi secara manual atau teristris saja pada intensitas sampling yang sama kesalahan samplingnya bisa lebih besar mencapai 1,5 kalinya, bahkan kalau kesalahan samplingnya samapun cara kombinasi ini lebih unggul dalam kecepatan waktu pelaksanaan, lebih mudah dan tentunya lebih hemat dalam biaya. SKALA 1 : Gambar 3.2. Contoh hasil klasifikasi tajuk atau penutupan hutan

27 16 Tabel 3.1. Kesalahan sampling tanpa menggunakan stratifikasi Intensitas sampling (%) Kesalahan dugaan (%) Jumlah batang (N) Volume (V) 16,50 18,32 21,58 22,19 14,35 16,91 23,33 23,92 Tabel 3.2. Kesalahan sampling menggunakan stratifikasi Intensitas sampling (%) Kesalahan dugaan (%) Jumlah batang (N) 12,87 13,98 16,84 22,01 Volume (V) 12,73 13,51 14,04 23,61 Adapun rumus yang dapat digunakan dalam menduga potensi tegakan berdasarkan citra satelit (Tabel 3.3). Tabel 3.3. Persamaan pendugaan potensi tegakan dengan menggunanan citra satelit Koefisien Lokasi Persamaan determinasi PT. Sindo Lumber Kalimantan Tengah V = 1240, ,135 B5 33,589 B4 + 11,808 B3 0,913 N = 1172, ,198 B5 30,714 B4 + 16,118 B3 0,432 PT. Segara Indochem Kalimantan Timur V = 887, ,134 B5 15,647 B4 + 2,856 B3 0,958 N = 713, ,373 B5 + 3,147 B4 9,598 B3 0,319 Secara umum rumus pendugaan potensi menggunakan cara digital citra setelit tersebut cukup baik khususnya dalam menduga

28 17 potensi tegakan, namun untuk menduga jumlah batang masih diperlukan modifikasi atau perbaikan model yang lebih akurat lagi, disamping itu dalam penampilan citra memang sangatlah sulit untuk mengetahui jumlah pohon dalam suatu penampilan penutupan tajuk, ini satu kelemahan yang perlu dicarikan solusinya lebih lajut. Gambar 3.3. Kegiatan penelitian inventarisasi potensi tegakan Metode klasifikasi tipologi dengan citra landsat dapat menggunakan indeks vegetasi dan indeks tanah. Kedua indeks ini kemudian dikorelasikan dengan hasil survey potensi pada petakpetak pengamatan berukuran 30 x 30 m. Berdasarkan Gambar 3.4, maka wilayah berhutan lebat jika NDVI lebih dari 0 dan cenderung turun begitu mendekati +1. Sementara indeks tanah berada pada angka Hasil overlay kedua indeks ini akan dibangun model penduga statistika dengan basis data GCP (Ground Check Point). Adapun persamaan penduga NDVI dan BI adalah sebagai berikut:

29 18 1. NDVI è 2. BI è Kerapatan Tegakan NDV (BI) -1 (0) +0 (100) +1 (200) Gambar 3.4. Filosofi pendugaan potensi tegakan dengan Indeks Citra Landsat Model penduga potensi tegakan yang dihasilkan sebagai berikut: Dimana X = indeks hasil overlay NDVI dan BI. Adapun hasil simulasi model statistik disajikan pada Gambar 3.5. Berdasarkan model tersebut dapat dihasilkan sebaran potensi tegakan.

30 19 Gambar 3.5. Hasil simulasi model penduga potensi tegakan 3.2. Teknik Peningkatan Produktivitas Hutan Alam Produksi Kondisi hutan alam lahan kering sangat beragam. Penerapan sistem silvikultur pada suatu areal hutan alam akan menentukan tingkat produktivitas hutan. Hasil-hasil penelitian yang telah diteliti dalam RPI ini diharapkan bisa memberikan informasi dan rekomendasi dalam pengelolaan hutan alam produksi yang tepat sesuai dengan karakteristik tipologi hutannya. Sistem silvikultur yang dikaji meliputi sistem silvikultur TPTI, TPTJ-Silin dan Tebang Rumpang Sistem Silvikultur TPTI Dalam pengelolaan hutan alam produksi salah satu kunci keberhasilannya adalah dalam pemilihan sistem silkultur yang tepat serta penerapannya secara konsekuen. Sistem silvikultur TPTI adalah salah satu sistem silvikultur yang digunakan dalam pemanfaatan hutan alam produksi. Namun karena kondisi hutan alam di Indonesia sangat beragam, maka penggunaan sistem

31 silvikultur TPTI yang berlaku seringkali menemukan banyak masalah. Berdasarkan kajian/penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar IUPHHK tidak melaksanakan tahapan sistem silvikultur TPTI sesuai dengan pedoman. Dari 11 tahapan TPTI yang ditetapkan pada umumnya hanya tahap 1 4 dikerjakan dengan baik, selebihnya tahap 5 11 berikutnya kurang/tidak dikerjakan sesuai pedoman dengan berbagai alasan teknis dan ekonomis. 20 Gambar 3.6. Kondisi hutan alam produksi dua tahun pasca penebangan (LOA) Tahapan yang penting dalam rangka penerapan sistem silvikultur TPTI adalah pembinaan tegakan tinggal belum atau bahkan tidak dilaksanakan di lapangan, padahal tegakan tinggal adalah merupakan aset utama tegakan pada rotasi mendatang. Kondisi tegakan setelah tebangan umumnya (sampai t+5) masih sangat baik dan cukup potensial sebagai standing stock rotasi berikutnya (tegakan sisa, pohon inti dan permudaan). Hal ini dapat dilihat dari hasil inventarisasi tegakan tinggal (ITT). Namun kondisi LOA setelah t+5 umumnya mulai rusak, kurang terpelihara dan kurang terjaga, hal ini ditunjukkan oleh kerapatan dan potensinya yang cenderung menurun, serta ditunjukkan oleh banyaknya

32 21 penebangan-penebangan liar di lapangan dan pengelola tidak mampu mencegahnya. Pembinaan tegakan tinggal yang seharusnya merupakan kunci utama dalam upaya peningkatan produktivitas hutan juga belum dilaksanakan secara konsisten di lapangan. Hasil penelusuran melalui data pengambilan contoh di lapangan dan dialog dengan pengelola diperoleh informasi bahwa kegiatan pembinaan tegakan tinggal memang belum atau hanya sedikit dilakukan, selain belum dikuasainya teknik-teknik pembinaan tegakan, mereka juga menilai prakteknya cukup sulit dan kurang bisa terukur kinerjanya di lapangan serta mereka masih menganggap dis-insentive. Hal ini sebenarnya mengingkari komitmen yang sudah disepakati sewaktu mereka mengajukan permohonan IUPHHK. Sementara itu hasil pengamatan terhadap tahapan pasca tebangan terutama pedoman atau petunjuk teknis pembinaan tegakan tinggal yang terdapat dalam pedoman TPTI dan pelaksanaannya di lapangan terdapat hal-hal yang sekiranya perlu dikaji dan disempurnakan. Berdasarkan hasil kajian dari 7 kegiatan tahapan pasca tebangan, beberapa kegiatan nampaknya bisa diringkas atau disatukan, diantaranya adalah perapihan dan ITT. Dalam kegiatan ini intinya hanya untuk mengetahui areal-areal mana yang sekiranya akan dilakukan tindakan atau kegiatan yang lebih intensif khususnya tindakan silvikulutur pengayaan. Sedangkan tindakan pembebasan sebaiknya dilakukan hanya dua kali saja. Pertama yaitu ketika tanaman hasil pengayaan sudah cukup besar dan perlu dilakukan seleksi, dan dilaksanakan sekaligus bersamaan dengan tindakan pembebaan pohon-pohon binaan yang prospektif.

33 Pembebasan yang kedua, dilakukan apabila tanaman pengkayaan dan pohon-pohon binaan terseleksi sudah mulai menunjukkan penurunan riapnya yaitu ketika terjadi persaingan antar tajuk dengan pohon-pohon lain di sekitarnya. Tindakan silvikultur penjarangan sudah tidak diperlukan lagi, selain karena sudah terakomodasikan dalam tahap pembebasan kedua juga untuk efisiensi biaya sementara hasil penjarangan juga belum jelas pemanfatannya, bahkan apabila dilakukan penjarangan cenderung akan dapat menyebabkan kerusakan tegakan yang sudah dibina dengan baik. Mengingat sebaran dan kondisi tegakan hutan alam yang berpola acak dengan struktur tajuk yang berlapis-lapis, tidak seperti tegakan di hutan tanaman yang teratur sehingga mudah diantisipasi dalam pelaksanaan penjarangannya. Oleh karena itu, berdasarkan hasil penelitian ini disarankan untuk dapat dilakukan penyederhankan tahapan TPTI yaitu menjadi 8 tahapan yaitu PAK, PWH, ITSP, Penebangan, ITT (t+1), Pengkayaan (t+2), Pembinaan I (t+5) dan Pembinaan II (t+10), dan ditambahkan tahapan perlindungan dan pengamanan. Saran-saran ini telah terakomodir dalam penyempurnaan pedoman TPTI tahun 2010 sebagaimana tertuang dalam Keputusan Dirjen BPK No. P.9/BPK/2009. Tahapan penebangan dalam sistem silvikultur TPTI sematamata bukan hanya bertujuan untuk memanen kayu saja tetapi sebenarnya adalah suatu tindakan silvikultur yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas dari suatu kondisi hutan alam produksi yang sudah mencapai pertumbuhan klimak dimana pada kondisi ini riap tegakan sudah sangat kecil atau sama dengan nol. Mengingat struktur tegakan hutan alam klimak yang padat dan berlapis-lapis 22

34 23 dan terdiri dari pohon tua, dewasa dan muda, maka perlu segera dilakukan pembebasan atau penjarangan agar pohon-pohon yang dewasa dan pohon-pohon muda yang prospektif mendapatkan peluang untuk tumbuh lebih cepat dan lebih baik. Pohon-pohon tua yang sudah miskin riap bisa dimanfaatkan secara ekonomi daripada nantinya mati dan membusuk di dalam hutan tak termanfaatkan. Tindakan pemanfaatan kayu pada kondisi hutan yang telah optimal/klimak ini tidak lain adalah penebangan/ pemanenan karena dari hasil kegiatan ini pohon-pohon yang ditebang adalah pohon-pohon yang berdiameter besar dan mempunyai nilai ekonomis untuk dimanfaatkan. Mengingat kondisi hutan alam produksi (virgin) umumnya sangat rapat, dimana letak dan posisi pohon per pohon tersebar acak, maka dalam proses pemanfaatan menggunakan teknik merebahkan pohon, menyarad dan mengangkut melalui darat, tidak bisa dihindari terjadinya kerusakan tegakan tinggal, bahkan pada tempat-tempat tertentu akan terbuka seperti bekas jalan/jalur sarad, jalan cabang dan tempat penimbunan kayu sementara. Demikian pula pada tempat-tempat tertentu yang pemanfaatan kayunya cukup intensif sebagai akibat pola sebaran pohon yang terkadang bisa juga mengumpul pada satu tempat, maka pasca pemanenan kondisinya akan sangat terbuka dan biasanya permudaannya juga akan sangat kurang ketika belum terjadi masa berbuah sewaktu pemanenan dilakukan. Oleh karena itu, untuk memperbaiki kondisi pasca pemanenan ini sekaligus sebagai upaya untuk meningkatkan produktivitas tegakan hutan alam menjadi lebih baik dari kondisi semula sebelum pemanenan

35 dilakukan, maka diperlukan tindakan-tindakan silvikultur diantaranya adalah pengayaan dan pembebasan tegakan tinggal. Pengayaan adalah suatu tindakan silvikultur untuk menanami kembali areal-areal terbuka pasca penebangan menggunakan jenis-jenis pohon yang unggul dan prospektif mempunyai nilai ekonomi tinggi diantaranya pada areal-areal bekas jalan sarad dan bekas TPn. Kegiatan ini sebenarnya identik dengan kegiatan rehabilitasi areal hutan yang rusak, namun pemberdaannya pada lokasi kegiatannya. Kegiatan pengayaan dilakukan pada petakpetak pasca dilakukan penebangan, sedangkan rehabilitasi dilakukan pada areal hutan yang telah lama rusak dari berbagai sebab antara lain illegal logging, kebakaran dan perambahan hutan. Mengingat kondisi fisik dan kesuburan tanah pada lokasilokasi tersebut sudah kurang baik, umumnya tanahnya padat, topsoil mengelupas dan kesuburan tanah rendah atau miskin hara, maka untuk melaksanakan pengayaan harus dilakukan menggunakan teknik silvikultur yang tepat agar tanamana hasil pengayaan dapat hidup dan tumbuh dengan baik sebagai aset tegakan masa depan. Berkenaan dengan telah terbitnya Permenhut Nomor P.11/Menhut-II/2009, dimana telah diputuskan untuk menurunkan limit diameter tebang dari 50 cm menjadi 40 cm di hutan alam produksi lahan kering, maka dapat dipastikan akan meningkatkan jumlah kayu yang dimanfaatkan atau jumlah pohon yang ditebang apabila tidak hati-hati di dalam pelaksanaan penebangan. Akibatnya kerusakan tegakan tinggal akan semakin tinggi dengan areal yang terbuka menjadi lebih luas. Menurut Heriansyah (2012) bahwa dampak pemanenan kayu dengan limit diameter 40 cm 24

36 25 telah menimbulkan banyak pohon-pohon yang rusak, sehingga tegakan tinggal menjadi tegakan yang kurang produktif dan jauh dari harapan. Pemanenan kayu baik di hutan primer maupun di hutan bekas tebangan menyisakan hutan produksi yang sulit untuk dipulihkan kembali. Tingkat kerusakan yang terjadi akibat pemanenan lebih dari 40%. Sesungguhnya, penurunan limit diameter tidak masalah dan tidak bertentangan dengan kaidah ilmiah dalam PHAPL, karena di hutan alam banyak terdapat pohon-pohon tua dan bernilai ekonomi tinggi, tetapi diameternya tidak besar atau kurang dari 40 cm. Namun demikian, mengingat adanya korelasi yang positif antara jumlah pohon yang ditebang dengan kerusakan tegakan tinggal, maka haruslah dilakukan antisipasi agar tidak terjadi kerusakan yang dapat mengancam kelestarian hutan, antara lain dengan membatasi jumlah pohon yang ditebang dan/atau membatasi jumlah produksi kayu agar tidak melebihi riap tegakan dengan membatasi jumlah pohon yang ditebang tidak melebihi 15 pohon per hektar. Oleh karena itu, penurunan limit diameter pohon yang bisa ditebang tidak bisa diterapkan di semua tipe hutan alam, perlu memperhatikan karakteristik dan kondisi hutan alamnya. Tidak harus semua diameter pohon komersial di atas 40 cm ditebang semua, prioritaskan diameter pohon yang besar-besar terlebih dahulu. Mengingat insentif yang diberikan berupa penurunan limit diameter tebang, maka seyogyanya ada kompensasi yang harus diberikan oleh pemegang IUPHHK-HA, yaitu jaminan kelestarian hutan alam produksi yang salah satunya adalah aktualisasi nyata kegiatan re-investasi berupa penanaman di areal-areal kosong

37 sebagai kewajiban melakukan pengayaan intensif di hutan bekas tebangan khususnya pada areal-areal yang terbuka seperti bekas jalan sarad, bekas TPn dan kiri-kanan jalan utama. Kondisi lahan di bekas jalan sarad, bekas TPn dan kiri-kanan jalan utama pada umumnya mengalami kerusakan adalah sifat fisik, kimia dan biologi yang disebabkan oleh pemadatan, erosi dan hilangnya top soil. Sifat fisik tanah yang mengalami kerusakan akibat penyaradan kayu di hutan alam antara lain pemadatan tanah dan permiabilitas tanah (Rab, 2004), porositas tanah (Muhdi, 2001; Najafi et al., 2009), kandungan air. Sifat kimia tanah juga terpengaruh oleh aktivitas pemanenan. Pembuatan jalan sarad dan TPn menyebabkan penurunan kesuburan tanah akibat hilangnya bahan organik di lapisan top soil, erosi tanah, miskin hara dan kehilangan permudaan alami yang relatif besar di areal bekas jalan sarad (Elias, 2008). Hilangnya bahan organik dapat berdampak terhadap populasi dan aktivitas mikroorganisme tanah (Makineci et al., 2007). Untuk itu, teknologi yang efektif untuk merehabilitasi dan pengkayaan di lahan-lahan yang mengalami pemadatan seperti di areal bekas jalan sarad, bekas TPn dan kiri-kanan jalan utama dengan menerapkan teknik kombinasi antara pembuatan guludan (cross drain) dan Lubang Resapan Berpori (LRB). Teknik ini mampu menurunkan pemadatan tanah di sekitar tanaman, mengurangi erosi, meningkatkan resapan air, meningkatkan kesuburan tanah dan menurunkan aliran permukaan. Hasilnya berdampak positif terhadap peningkatan geometri akar (akar tanaman berkembang dengan baik) dan pertumbuhan meranti meningkat secara signifikan (Prameswari, 2014). Lebih lanjut 26

38 27 Prameswari (2014) menyatakan bahwa bangunan guludan dibuat setiap 40 m dengan lebar guludan 4 m dan tinggi 1 m. Agar bangunan guludan tidak mudah berubah posisi, maka diperkuat dengan papan untuk mengurangi limpasan air. Untuk membuat LRB, maka teknik pembuatannya sebagai berikut: a. Lubang tanam berukuran 30 x 40 x 40 m (ukuran lubang 40 x 40 dengan kedalaman lubang 30 cm). b. Lubang tanam diisi top soil sebanyak volume lubang tanam. c. LRB dibuat sebanyak 4 buah dengan jarak 25 cm dari tanaman. Ukuran LRB berdiameter 10 cm dengan kedalaman 50 cm. LRB diisi kompos/serasah hutan yang berfungsi untuk sarana menampung limpasan air, menambah kesuburan tanah dan meningkatkan kapasitas memegang air (Gambar 3.7). Pembuatan LRB bersamaan saat pembutan lubang tanam. d. Jarak tanam di kiri-kanan jalan 2 m x 5 m, lahan kosong (bekas TPn 2 m x 3 m), jalan sarad dan jalan cabang 3 m x 3 m. Tanaman Lubang Resapan Berpori (LRB) Gambar 3.7. Teknik pembuatan LRB di kiri-kanan dan lahan kosong (bekas jalan sarad, bekas TPn, bekas jalan cabang dan kiri-kanan jalan utama

39 e. Jenis-jenis pohon yang cocok untuk ditanam di kiri-kanan jalan dan lahan kosong (bekas TPn) disajikan pada Tabel 3.4. Tabel 3.4. Jenis-jenis pohon yang cocok untuk ditanam di kirikanan jalan utama IPHHK-HA dan lahan kosong (bekas TPn) No. Jenis pohon Famili A. Kelompok Dipterocarpaceae: 1. Kapur (Dryobalanops aromatica) Jenis tanah Tekstur tanah Dipterocarpaceae - Aluvial - Tanah liat berpasir Tipe Iklim 28 Ketinggian tempat (m dpl) A, B Merawan (Hopea mengarawan Miq.) Dipterocarpaceae - Tanah berpasir, tanah liat atau tanah berbatu A, B Hopea odorata Dipterocarpaceae Tanah berpasir, tanah liat atau tanah berbatu A, B B. Kelompok Non Dipterocarpaceae: 1. Nyatoh (Palaquium spp.) 2. Sungkai (Peronema canescens Jack.) Sapotaceae Tanah berpasir, tanah liat A Verbenaceae Tanah berpasir, tanah liat A, B, C Gmelina (Gmelina arborea Roxb.) Verbenaceae Tanah lembab, drainase baik A, B, C Mahoni daun kecil (Swietenia mahagoni) Meliaceae Tanah liat dan tanah berpasir A, B, C Pulai (Alstonia scholaris R.Br.) 6. Agathis (Agathis dammara A.B. Lamb) 7. Nyawai (Ficus variegata Bl.) 8. Binuang bini (Octomeles sumatrana Miq.) 9. Sengon (Falcataria molucana) 10. Jabon putih (Antocepalus cadamba Miq.) 11. Puspa (Schima walichii Korth.) Apocynaceae Araucariaceae Tanah liat dan tanah berpasir yang kering atau digenangi air dan lereng bukit berbatu Tanah berpasir, berbatubatu atau liat yang selamanya tidak tergenangi air A, B, C A, B Moraceae - Aluvial lembab A, B Datiscaceae Leguminosae Rubiaceae Theaceae -Tanah liat,tanah liat berpasir -Aluvial, podsolik - Tanah liat, tanah liat berpasir - Aluvial lembab - Tanah liat, tanah lempung - Podsolik coklat, tanah tuf halus atau tanah lempung berbatu yang tidak sarang Tidak memilih keadaan tekstur dan kesuburan tanah A, B, C 600 A, B A,B,C 600 A, B, C Sumber:Martawijaya et al. (2005); Darwo & Effendi (2013); Darwo et al. (2014)

40 29 Hal lain yang perlu diperhatikan untuk mendukung keberhasilan pengkayaan adalah menyediakan bibit yang baik. Bibit yang ditanam pada kegiatan pengkayaan di IUPHHK-HA masih menggunakan bibit cabutan alam. Keberhasilan pembuatan bibit cabutan masih rendah. Untuk itu, hasil penelitian Darwo (2004) menyatakan bahwa teknik pengemasan bibit dan teknik pembuatan sungkup mampu menghasilkan persen tumbuh bibit cabutan di atas 80%. Tata cara pengemasan bibit dan pembuatan sungkup sebagai berikut: a. Material bibit cabutan berupa anakan yang berdaun lebih dari 2 daun sampai tinggi anakan kurang dari 30 cm. b. Material anakan alam dari lapangan digunting sebagian daunnya untuk mengurangi penguapan. c. Jika material anakan akan dibawa jauh (butuh waktu diperjalanan 1-4 hari), maka material anakan dibalut dengan kertas koran basah dan dimasukan dalam kardus yang telah dilapisi plastik untuk mengurangi penguapan. d. Cari lokasi tegakan yang teduh dengan kelembaban udara di atas 80%. e. Siapkan polybag berisi media top soil berukuran 17 x 20 cm. f. Polybag disiram sampai jenuh. g. Anakan langsung ditanam dalam polybag tanpa diberi perangsang pertumbuhan dan bibit disiram kembali, lalu disungkup dengan plastik benih sampai rapat. h. Periksa sungkup setiap hari, jika dalam sungkup plastik tersebut banyak embun air (titik-titik air), maka kelembaban udara masih di atas 80%. Selama embun tersebut tetap

41 banyak, maka sungkup tidak boleh dibuka dan tidak perlu disiram. i. Jika sungkup ada yang bolong terkena ranting yang jatuh, sungkup plastik tersbut ditambal dengan selotif benih. j. Jika embun dalam sungkup tersebut sedikit, segera disiram bibit tersebut sampai jenuh dan sungkup ditutup rapat. k. Sungkup plastik bisa dibuka setelah bibit tumbuh daun baru lebih dari 4 helai (dibutuhkan waktu 3 bulan). l. Sungkup plastik dibuka selama 4 bulan. m. Setelah bibit berumur 7 bulan, maka bibit sudah siap ditanam di lapangan. Hasil ujicoba pengkayaan di areal bekas lajan sarad dengan menggunakan meranti (Shorea leprosula, S. Johoriensis dan S. parvifolia). Teknik silvikultur yang diterapkannya yaitu menggunakan tinggi bibit cm, lubang tanam 30 x 40 x 40 cm dan diberi topsoil sebanyak volume lubang tanam (Gambar 3.8). 30 Gambar 3.8. Teknik penanaman meranti di jalan sarad

42 31 Tanaman meranti pada umur 3 tahun persen hidup 80%, diameter antara 6 10 cm (MAI diameter 2,0 3,3 cm/tahun) dan tinggi mencapai 6 10 meter (MAI tinggi riap 2 3,3 m/tahun). Kondisi pertumbuhan tanaman tersebut sangat memberikan harapan sebagai aset tegakan di masa yang akan datang (rotasi berikutnya) (Gambar 3.9.). Penelitian akan diteruskan untuk melihat perkembangan tajuk dan riap (MAI dan CAI) sebagai dasar penetapan waktu penjarangan dilakukan. Gambar 3.9. Performan tanaman meranti hasil pengkayaan di jalan sarad pada umur 3 tahun Hasil penelitian melalui teknik pengkayaan intensif di bekas jalan sarad dan bekas TPn cukup memberikan harapan peningkatan produktivitas hutan alam produksi di masa yang akan datang. Disamping itu, pengkayaan intensif di bekas jalan sarad dan bekas TPn mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan dengan kegiatan sejenis misalkan TPTJ-Silin, yaitu: a. Biaya lebih rendah, karena tidak diperlukan pembuatan jalur tanam, jalur tanam sudah tersedia yaitu bekas jalan sarad dan TPn.

43 b. Bentuk/pola jalan/jalur sarad mengikuti kontur sehingga secara ekologi lebih tepat. c. Ukuran lebar jalan/jalur sarad cukup ideal dan optimal untuk pertumbuhan tanaman Dipterocarpaceae (meranti) yaitu sekitar 5-6 meter. d. Penanaman/pengkayaan di bekas jalan sarad akan mencegah terjadinya erosi, mencegah akses pencuri kayu dan perambah masuk ke dalam hutan, dan tentunya meningkatkan produktivitas hutan alam produksi. f. Penanaman pengkayaan di bekas jalan sarad dan bekas TPn merupakan bentuk kompensasi terhadap insentif penurunan limit diameter tebang (> 40 cm), sehingga sudah selayaknya dan sepantasnya pengelola melaksanakan re-investasi dalam bentuk penanaman pengkayaan di bekas jalan sarad dan bekas TPn. g. Hasil pengkayaan di bekas jalan sarad dan bekas TPn dapat dijadikan indikator atau tolok ukur utama keberhasilan/kinerja PHAPL dalam sertifikasi mandatory atau voluntury. h. Setiap petak tebang dibuatkan peta sebaran pengkayaan di bekas jalan sarad, di lapangan diberi tanda-tanda yang jelas sebagai pengumuman terhadap pengelolaan hutan. i. Menurut Elias (2002), pasca tebangan TPTI dengan sistem konvensional mengakibatkan keterbukaan tajuk antara 28 45%, termasuk di dalamnya adalah luas jalan sarad 4 6% (luas jalan sarad m 2 per hektar luas hutan bekas tebangan) (Ruslim, 2011). Jika dibandingkan dengan TPTJ-Silin keterbukaan tajuk bisa mencapai >70%. j. Teknik silvikultur yang dapat diterapkan adalah Teknik Pengkayaan Intensif, dengan beberapa perlakuan untuk 32

44 33 meningkatkan kualitas pertumbuhan tanaman di bekas jalan sarad dan bekas TPn. Menurut Darwo et al. (2014), bekas jalan sarad dapat dilakukan pengkayaan dengan menggunakan S. leprosula sebanyak dua larikan dengan jarak tanam 3 m x 3 m dan pola tanam selang-seling (zig-zag). maka jumlah pohon yang bisa ditanam antara pohon per hektar. k. Perkiraan produksi akhir rotasi (khusus di bekas jalan sarad) adalah dengan asumsi riap diameter pada akhir daur 30 tahun sebesar 1,33 cm/tahun (1 m 3 /pohon) dan persen hidup 60%, maka akan diperoleh tambahan potensi tegakan dari bekas jalan sarad antara m 3 /ha pada siklus tebang 30 tahun. Untuk lebih memantapkan hasil penelitian ini, maka pengamatan akan diteruskan sampai mendapatkan teknik pengkayaan, khususnya teknik pembinaan sehingga diperoleh hasil tanaman pengkayaan yang maksimal sebagai potensi tegakan pada rotasi yang akan datang. Selain kegiatan pengkayaan intensif, kegiatan lainnya yang sangat diperlukan dalam upaya peningkatan produktivitas tegakan tinggal (pasca penebangan) adalah kegiatan pembebasan tegakan tinggal. Kegiatan ini dilakukan untuk membebaskan permudaan alam baik berupa pohon dewasa dan pohon muda, yang mempunyai prospek sebagai pohon-pohon penyusun tegakan yang akan dimanfaatkan pada rotasi yang akan datang. Pembebasan yang dimaksudkan adalah menebang pohon-pohon yang mengganggu pohon-pohon binaan baik terhadap persaingan untuk mendapatkan hara tanah (horizontal) maupun terhadap cahaya matahari (vertikal).

45 Teknik pembebasan yang telah dilakukan adalah melakukan peneresan terhadap pohon-pohon yang berdiameter besar (>20 cm) dan/atau dengan menebang terhadap pohon-pohon yang berdiameter kecil, dan diamati efektifitasnya untuk mendapatkan ukuran dan kadar arborisida yang paling tepat dan aman terhadap lingkungan. Jumlah pohon yang dibina/dibebaskan adalah dipilih pohon-pohon yang mempunyai prospek tumbuh mencapai limit diameter tebang sesuai ketentuan TPTI yaitu 40 cm. Pohonpohon yang ditebang agar tidak menimbulkan kerusakan tegakan yang bisa ditolerir yaitu tidak melebihi kerusakan tegakan tinggal lebih dari 40%. Diharapkan akan diperoleh jumlah pohon inti yang memadai sehingga akan menghasilkan tegakan pada akhir daur dengan potensi yang cukup tinggi serta kualtitas kayu yang baik (besar dan lurus). Teknik pembebasan yang digunakan adalah kombinasi pembebasan horisontal dan vertikal. Teknik ini telah diujicobakan sebelumnya dan menunjukkan hasil peningkatan pertumbuhan tegakan yang paling optimal. Jumlah pohon yang ditebang tergantung pada posisinya terhadap pohon binaan, intinya bahwa pohon binaan tajuknya tidak ternaungi oleh tajuk pohon di sekitarnya. Hasil penelitian teknik pembebasan tegakan menunjukan bahwa teknik pembebasan (horisontal + vertikal) nampaknya cukup prospetif untuk menghasilkan riap/pertumbuhan diameter yang cukup meningkat mencapai lebih dari 1 cm/tahun, dibandingkan dengan tanpa tindakan pembebasan yang umumnya kurang dari 0,7 cm/tahun. Pohon-pohon berdiameter cm menunjukkan pertumbuhan yang meningkat lebih tinggi dibandingkan dengan pohon-pohon berdiameter lebih dari 20 cm. Hal ini disebabkan 34

46 35 pohon-pohon yang masih muda berada dalam phase pertumbuhan yang cepat dibanding pohon-pohon berdiameter lebih dari 20 cm. Namun demikian, ada juga diameter pohon yang berukuran kurang dari 20 cm pertumbuhannya lambat, hal ini dikarenakan telah lama ternaungi oleh pohon-pohon yang besar di sekitarnya sebelum penebangan, dan kemungkinan pohon-pohon ini sudah berumur tua. Sedangkan jumlah pohon tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan terhadap kecepatan pertumbuhan tegakan, artinya berapapun jumlah pohon per hektar dari yang diujicobakan yang menjadikan penyebab perbedaan kecepatan pertumbuhan adalah ukuran diameter pohon dan posisi tajuk yang terbebas dari pohonpohon di sekitarnya. Riap tegakan pada perlakuan pembebasan untuk jenis Dipterocarpaceae sekitar 1,4 cm/tahun, sedangkan non-dipterocarpaceae sekitar 0,6 cm/tahun. Namun, ada juga ditempat lain seperti hasil penelitian Abdurachman (2012) menyatakan bahwa antara perlakuan pembebasan, penjarangan dan kontrol tidak mempengaruhi riap diameter pohon dengan ratarata riap diameter pohon untuk kelompok komersial sebesar 0,65 cm/tahun dan kelompok non komersial sebesar 0,33 cm/tahun. Oleh karena itu, dalam pelaksanaan kegiatan pembebasan sebaiknya hanya dipilih pohon-pohon prospektif yang masih muda untuk dibebaskan, tidak terpaku pada jumlahnya, hanya saja sebaiknya diupayakan tersebar merata dalam satu petak tebang, dan disesuaikan dengan jumlah pohon yang akan ditebang di akhir rotasi yang menimbulkan kerusakan minimal, dalam hal ini pembebasan 25 pohon per hektar bisa menjadikan pilihan.

47 36 Gambar Pembebasan tegakan tinggal Hanya saja beberapa teknik yang lebih tepat dan efisien masih perlu dilakukan penelitian dan kajian lanjutan agar diperoleh perlakuan yang terbaik dalam rangka peningkatan produktivitas tegakan di hutan alam produksi bekas tebangan, khususnya teknik pengkayaan intensif dan teknik pembinaan tegakan yang intensif. Sistem silvikultur TPTI jika diterapkan sesuai dengan aturan yang ada, maka kelestarian hutan alam produksi dapat terwujud dengan memperhatikan tiga aspek, yaitu fungsi produksi, ekologi dan sosial. Prinsip dasar yang diterapkan dalam mengelola hutan alam melalui sistem silvikultur TPTI adalah pemanenan kayu tidak boleh melampaui produktivitas hutannya (riap tegakan). Jika para pemegang ijin berkomitmen menjalankan prinsip tersebut, maka hutan alam akan tetap lestari Sistem Silvikultur TPTJ-Silin Selain TPTI pada saat ini telah dikembangkan sistem silvikultur baru yaitu Sistem silvikultur TPTJ (TPTII). Penelitian ini hampir sama dengan penelitian TPTI yaitu mengkaji semua

48 37 tahapan TPTJ-Silin ditinjau dari aspek teknis, ekonomis dan ekologis. Berdasarkan kajian secara teknis hasil penelitian menunjukkan bahwa walaupun secara teori yang telah dituangkan dalam pedoman pelaksanaan cukup jelas dan mudah untuk dilaksanakan, baik dari tahap perencanaan, tahap pembukaan naungan, penyiapan jalur tanam, penanaman, pemeliharaan dan pemanenan, namun kenyataan dalam praktek di lapangan diperlukan keahlian, keseriusan dan kehati-hatian yang cukup tinggi. Diperlukan perencanaan yang sangat matang dalam rangka pembukaan naungan sebagai upaya memberikan peluang masuknya cahaya yang lebih optimal guna memacu pertumbuhan tanaman khususnya di jalur tanam. Kondisi topografi dan kemiringan lahan haruslah menjadikan pertimbangan yang sangat serius, agar pelaksanaan operasional tebang naungan tidak menimbulkan kerusakan, baik tegakan tinggal (jalur antara) maupun kerusakan lingkungan (Gambar 3.11). Gambar Kondisi hutan setelah tebang naungan dan persiapan jalur tanam

49 Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan hal-hal yang masih belum secara serius mengupayakan kerusakan tegakan yang minimal, kerusakan tegakan tinggal khususnya di jalur antara masih sangat tinggi bisa mencapai lebih 60%, pohon-pohon yang tersisa di jalur tanam kondisinya sangat memprihatikan karena tertimpa pohon-pohon sebagai akibat pembuatan jalur tanam yang sekedar merobohkannya ke jalur antara. Karena jarak antara dua jalur tanam yang hanya sekitar 20 meter, maka akibat penebangan/pembuatan jalur tanam ini, maka jalur antara menjadi semakin parah. Dampaknya pada akhir rotasi akan menimbulkan menurunya potensi kayu di jalur antara. Demikian pula penyiapan jalur bersih 3 meter sebagai jalur tanam yang lurus memotong kontur harus dilaksanakan secara hati-hati. Walaupun disebut sebagai jalur bersih bukan berarti tumbuhan bawah harus dibersihkan sampai hanya kelihatan tanahnya saja. Praktek di lapangan menunjukkan hal-hal yang demikian, umumnya dibuat bersih dengan membabat dan mendongkel tanaman/tumbuhan bawah yang terdapat di jalur tanam. Ini cukup membahayakan akan menyebabkan erosi yang cukup tinggi khususnya pada areal dengan lereng yang curam. Hal ini terbukti dari hasil penelitian yang menunjukkan terjadi peningkatan erosi menjadi lebih dari dua kali dibandingkan dengan areal yang tidak dibabat. Pada tahun ketiga pasca penanaman jalur terjadi erosi sebesar 0,279 ton/ha/tahun, sedangkan di jalur antara hanya sekitar 0,114 ton/ha/tahun. Namun, erosi yang terjadi di jalur bersih sampai kemiringan lahan kurang dari 15% di TPTJ-Silin dengan kondisi tebal solum tanah kurang dari 30 cm termasuk kategori tingkat bahaya erosi yang aman. 38

50 39 Gambar Tanaman umur 2 tahun di jalur tanam di PT. SBK Gambar Tanaman umur 4 tahun di jalur tanam di PT. SBK Hasil pengamatan pertumbuhan tanaman di jalur tanam pada awal-awal penanaman sangat memberikan harapan yang sangat signifikan. Persen jadi tanaman mencapai lebih dari 90 persen sampai tanaman berumur tiga tahun dengan riap pertumbuhan diameter lebih dari 3 cm/tahun. Namun demikian, setelah tanaman berumur lebih dari tiga tahun, percepatan pertumbuhan tanaman mulai menurun, dan sangat terlihat nyata pada tanaman berumur lebih dari lima tahun. Data hasil pengamatan di lapangan terhadap tanaman yang berumur lebih dari lima tahun, baik di PT Sari Bumi Kusuma maupun di PT. Erna Juliawati menunjukan pertumbuhan riap diameter tanaman mulai menurun (1,6 cm/tahun) (Gambar

51 3,12 dan 3,13). Hasil penelitian kawasan hutan alam produksi di Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah menunjukkan bahwa pada umur 4 tahun, tanaman di jalur tanam pada TPTJ-Silin terjadi perpotongan riap tahun berjalan (CAI) dan riap rata-rata tahunan (MAI) (Gambar 3.14). TPTJ-Silin ini dilaksanakan pada hutan alam bekas tebangan (LOA) dengan potensi tegakan yang tinggi (baik). 40 Umur (tahun) Gambar Kurva pertumbuhan diameter dan tinggi Shorea leprosula jalur tanam TPTJ-Silin di Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah Oleh karena itu, setelah umur 4 tahun perlu dilakukan pelebaran jalur tanam agar pertumbuhan diameter dan tinggi tanaman meningkat. Hal ini disebabkan telah terjadi persaingan, baik persaingan untuk mendapatkan sinar matahari maupun dalam mengambil unsur hara. Tajuk-tajuk pohon yang berada di kanankiri jalur tanam sudah mulai menutupi jalur tanam, akibatnya sinar matahari semakin sedikit yang masuk ke jalur tanaman. Apabila tidak dilakukan tindakan silvikultur berupa pembukaan naungan lebih lebar, maka kerugian terhadap tegakan hutan alam sudah pasti akan terjadi yaitu tanaman jalur sebagai andalan potensi

52 41 tegakan di masa depan tidak akan terwujud. Dalam waktu singkat bisa menimbulkan degradasi hutan alam sebagai akibat penerapan TPTJ-Silin yang tidak menggunakan teknik silvikultur yang tepat. Gambar Kondisi bibit cabutan dan persemaian untuk penanaman di TPTJ-Silin, Kalimantan Tengah Berdasarkan hasil kajian ini disarankan untuk memperjelas persyaratan areal yang akan dilakukan untuk sistem silvikultur TPTJ-Silin. Sistem silvikultur TPTJ-Silin diperlukan pembukaan tajuk secara bertahap hingga mencapai 60% agar tanaman di jalur tanam dapat tumbuh secara maksimal (Herdiansyah, 2008). Persyaratan lainnya yang perlu diperhatikan adalah topografi dengan kemiringan lahan maksimal 25%, dan apabila terdapat suatu bagian areal yang mempunyai lereng > 25%, maka sebaiknya TPTJ-Silin di lokasi tersebut tidak dilakukan untuk menghindari resiko yang mungkin terjadi seperti erosi dan kerusakan lingkungan lainnya yang lebih parah. Selain itu, disarankan untuk menyempurnakan teknik-teknik silvikultur yang diterapkan dalam TPTJ-Silin seperti jumlah jalur tanam dari 5 jalur menjadi 3 jalur, dan lebar jalur tanam supaya diperlebar secara bertahap mengikuti perkembangan pertumbuhan tegakan atau

53 sesuai kebutuhan sinar matahari. Selanjutnya perlu dipilih jenisjenis pohon unggulan setempat yang mampu tumbuh cepat dengan intensitas sinar matahari yang rendah. Bibit tanaman segera dihasilkan dari stek pucuk yang terjamin asal pohon induk plus dan hindari menggunakan bibit cabutan alami asalan dan waktu pengambilan yang sudah jauh dari masa berbuahnya (cabutan tua). Saat ini di areal TPTJ-Silin sedang dilakukan pengamatan tingkat pertumbuhannya untuk jenis Shorea leprosula, S. mecisopteryx, S. palembanica, S. parvifolia, S. smithiana, Hopea odorata, Dryobalanops aromatica., Vatica resak, nyatoh (Palaquim sp.), nyawai (Ficus variegate), binuang bini (Octomeles sumatrana), dan Sungkai (Peronema canescens). Karaketeristik tempat tumbuh dan kegunaan jenis-jenis tersebut disajikan pada Lampiran 1. Foto uji jenis di areal TPTJ-Silin, Kabupaten Barito Utara-Kalimantan Tengah dapat dilihat pada Lampiran 2, sedangkan hasil penanaman di areal hutan alam bekas tebangan di Kabupaten Padang Lawas, Sumatera Utara dapat dilihat pada Lampiran 3. Hasil penelitian tanaman S. lepeosula di jalur tanam pada TPTJ-Silin jika diterapkan di LOA yang baik dengan lebar jalur bersih 3 m, rata-rata diameter tegakan akan mencapai 35 cm pada akhir daur 25 tahun sehingga target diameter tegakan di atas 40 cm pada daur 25 tahun tidak bisa tercapai. Padahal S. leprosula jika ditanam pada kondisi keterbukaan tajuk yang tepat diameter tegakan bisa mencapai 55 cm pada daur tebang 25 tahun dan untuk mencapai diameter tegakan 50 cm dibutuhkan waktu 21 tahun (Gambar 3.16). Apabila TPTJ-Silin di LOA yang baik dan 42

54 43 melakukan pelebaran jalur tanam secara bertahap, maka akan beresiko terjadi kerusakan tegakan di jalur antara maupun dijalur tanam dan akan menambah biaya operasional. Gambar Kurva prediksi dan kurva harapan pertumbuhan diameter tegakan S. leprosula di jalur tanam TPTJ- Silin Saran penerapan sistem silvikultur TPTJ-Silin sebaiknya tidak dilakukan di hutan alam bekas tebangan (LOA) dalam kondisi yang baik, mestinya TPTJ-Silin diterapkan pada kondisi LOA sedang dan bahkan bisa diterapkan di hutan rawang (potensi tegakan < 20 m 3 /ha).

55 44 Gambar Tanaman umur 9 tahun di jalur tanam di PT. SBK, Kalimantan Tengah Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara teknis hutan rawang bisa pulihkan asalkan faktor non teknis bisa atasi (seperti: perambahan, kebakaran, konflik lahan serta gangguan lainnya). Untuk merehabilitasi hutan rawang dengan menggunakan jenisjenis andalan setempat. Pola tanamnya menggunakan sistem jalur, yaitu jalur bersih (jalur tanam) selebar 2 m, jalur antara 3 m dan jarak antar tanaman dalam jalur tanam 2,5 m sehingga jarak tanamnya 2,5 m x 5 m (jumlah tanaman 800 tanaman per hektar). Karakteristik tempat tumbuh hutan rawang yang ada di KHDTK Haurbentes sebagai berikut: 1. Lokasi berada pada ketinggian ± 250 m dpl dan jenis tanah termasuk Podsolik. 2. Berdasarkan klasifikasi Schmidt dan Ferguson, termasuk tipe curah hujan A dengan tidak memiliki bulan kering. Rata-rata curah hujan tahunan mm/tahun dengan curah hujan tertinggi jatuh pada bulan April (475 mm/bulan) dan terendah pada bulan Agustus (199 mm/bulan). Rata-rata suhu tertinggi 28ºC dan terendah 23ºC; kelembaban udara antara 70-83%; dan intensitas cahaya antara lux.

56 45 3. Jenis-jenis yang sedang diujikan adalah Shorea leprosula, S. pinanga, S. mecistopteryx, S. selanica, S. palembanica, S. Stenoptera Burma., S. stenoptera Burck., H. mangarawan, Dipterocarpus sp. dan V. resak. Sampai umur 1 tahun, jenisjenis tersebut mampu tumbuh baik di hutan rawang. Kondisi hutan rawang dapat dilihat pada Gambar Gambar Kondisi hutan rawang yang ada di areal KHDTK Haurbentes, Jawa Barat Selanjutnya pada lahan kosong dan lahan tidak produktif lainnya di hutan alam produksi perlu direhabilitasi. Ada beberapa areal hutan alam bekas tebangan yang perlu direhabilitasi yaitu areal bekas TPn, bekas jalan cabang, kiri-kanan jalan utama, bekas perladangan dan semak belukar. Pemilihan jenis yang tepat merupakan kunci utama keberhasilan rehabilitasi, selain perlakuan silvikultur seperti penyiapan lahan, pemupukan dan pemeliharaan, serta waktu pelaksanaan penanaman yang tepat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis-jenis yang cocok untuk merehabiliasi di areal bekas TPn dan kiri-kanan jalan utama

57 dapat menggunakan jenis Dryobalanops aromatica, Hopea mangarawan, Hopea odorata, sungkai (Peronema canescens), nyatoh (Palaquium sp.) dan gmelina (Gmelina arborea) (Darwo et al., 2014). Jika jenis-jenis tersebut akan dikembangkan di areal tersebut, maka persyaratan tempat tumbuh menjadi mutlak harus diperhatikan. Untuk areal bekas perladangan dan semak belukar dapat juga menggunakan jenis-jenis yang sama seperti di areal bekas jalan sarad, bekas TPn dan kiri-kanan jalan utama (Tabel 3.4). Hasil penelitian Irawan (2014) menunjukkan bahwa rehabilitasi di areal semak belukar muda di Kabupaten Bolaangmondow Utara, Provinsi Sulawesi Utara pada ketinggian 412 m dpl dapat menggunakan jenis bintangur (Calophyllum soulattri Bruu.f.var.), nantu (Palaquium obtusifolium Burck.) dan linggua (Pterocarpus indicus Willd.). Ketiga jenis tersebut mampu tumbuh baik dengan persen hidup di atas 80% pada umur 12 bulan. Aswandi et al. (2014) menyatakan bahwa rehabilitasi di areal terbuka terdegradasi pada kondisi tipe iklim C di KHDTK Siali-ali, Kabupaten Pandang Lawas, Provinsi Sumatera Utara dapat menggunakan jenis mahoni (Swietenia macrophylla). Pada areal terbuka di lahan gambut dan peralihan lahan gambut dapat menggunakan Shorea belangeran (Gambar 3.19). Jenis Dipterocarpaceae (Dryobalanops aromatica, Hopea mangarawan, Hopea odorata dan Shorea belangeran) mampu tumbuh baik di areal terbuka. Keempat jenis tersebut memiliki karakterisitk berdaun tebal dan mengkilap permukaannya. Karakteristik tempat tumbuh dan kegunaan dari jenis-jenis tersebut disajikan pada Lampiran 1. 46

58 47. Kapur (Dryobalanops aromatica) Sungkai (Peronema canescens) Hopea mangarawan S. balangeran di lahan Gambut Gambar Dryobalanops aromatica, Peronema canascens, Hopea mangarawan dan Shorea balangeran mampu tumbuh baik di tempat terbuka Sistsem silvikultur Tebang Rumpang Sistem tebang rumpang (TR) merupakan hasil kajian dan ujicoba Balai Teknologi Reboisasi Banjarbaru sejak 1985 di Hutan Penelitian Kintap, Kalimantan Selatan. Sistem TR ini sering disebut juga sebagai Gap Simulation System. Sistem Tebang Rumpang

59 ini berbasis permudaan alami, dan menjadi salah satu sistem yang ditawarkan kepada pemerintah untuk dijadikan suatu sistem silvikultur alternatif untuk pengelolaan hutan alam produksi (Sagala, 1994). Sistem TR ini pada awal pembentukannya dilakukan pada areal hutan yang relatif masih primer, dimana permudaan alami jenis-jenis primer masih tidak menjadi masalah. Pada areal hutan yang telah terfragmentasi berat, TR ini belum diujicoba secara tuntas. Pada saat ini, apakah tebang rumpang berbasis permudaan alami ini masih efekif untuk areal hutan yang telah terfragmentasi. Pertanyaan ini, perlu dijawab melalui serangkaian ujicoba kembali TR di areal hutan yang telah terfragmentasi berat, dimana keberadaan permudaan alami jenis primer menjadi kendala. Apapun sistem silvikutultur yang digunakan pada dasarnya adalah menciptakan ruang-ruang terbuka di dalam hutan. Ruangruang terbuka tersebut dapat menjadi suatu triger bagi keberlangsungan proses dinamika hutan yang lebih cepat, tetapi dapat menjadi penghancur keberlangsungan proses dinamika hutan yang ada. Semua itu sangat tergantung dari luas, bentuk dan pola penyebaran ruang terbuka yang tercipta, serta tergantung dari kualitas ruang terbuka bagi perkembangan regenerasi (Brokaw, 1985). Hutan produksi dengan misi ekonomi dan ekologi yang sama pentingnya dapat diterapkan sistem slivikultur TR. Dalam hal ini yang dapat direkayasa adalah spatial rumpang, bukan struktur dan komposisi tegakan hutan seperti pada sistim silvikultur tebang pilih (Sagala, 1999; Panjaitan dan Supriadi, 2004). Rumpang (gap) merupakan pembukaan kanopi hutan yang disebabkan oleh 48

60 49 tumbangnya satu atau lebih pohon. Hal ini adalah bentuk utama dari gangguan alami (disturbance) dalam suatu sistem hutan alam. Rumpang ini memainkan peranan penting dalam ekologi hutan yaitu pengaturan keanekaragaman dalam hutan, mempengaruhi siklus hara, dan memfasilitasi proses suksesi. Bukaan kanopi hutan (rumpang) akan memfasilitasi cahaya untuk mencapai lantai hutan. Cahaya yang sampai lantai hutan ini sangat berperan dalam regenerasi alam (Hu, et al., 2010). Rumpang ini akan membentuk mosaik yang kontinyu sebagai suatu proses dari regenerasi hutan. Penelitian Amir (2012) menunjukkan proses regenerasi hutan berupa mosaik rumpang akan mencapai 25,5 ± 6,9 tahun. Hal tersbut menunjukkan bahwa dinamika rumpang akan mewujudkan kondisi hutan yang lestari. Rumpang adalah faktor kunci dalam regenarasi alami seperti halnya di hutan mangrove. Waktu pulih tersebut dijadikan dasar dalam rotasi tebangan pada pengelolaan hutan. Ukuran rumpang sangat beragam dari 10 m 2 hingga lebih dari m 2. Menurut Schliemann et al. (2011) menyarankan bahwa luas rumpang optimal adalah m 2. Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru dalam penelitiannya tidak memberikan luasan rumpang dalam angka luas yang mutlak tetapi berdasarkan tinggi pohon tepi pada tapak aktual yang akan dibuat rumpang, yaitu lingkaran lahan yang berdiameter 1 1,5 kali tinggi pohon tepi. Indikasi dari luas optimal ini adalah tetap terjaganya iklim mikro dan tidak melonjaknya pertumbuhan tumbuhan bawah seperti alang-alang, pakis-pakisan dan lain-lain. Prosedur pembuatan rumpang (Panjaitan, 1997) sebagai berikut:

61 a. Pemilihan tempat penumpukan kayu sementara (TPn). TPn ini merupakan tempat penumpukan log penyaradan, yang berada di tepi areal tebangan. b. Memetakan semua jaringan sarad yang menuju ke TPn tersebut. c. Menentukan titik-titik tebang sebagai calon rumpang. d. Penandaan batas pada setiap calon rumpang (diameter rumpang 1 1,5 kali pohon tepi), dan penandaan semua pohon yang ditebang untuk disarad/dimanfaatkan. e. Sensus semua tingkat pohon yang tidak dimanfaatkan, yaitu vegetasi berdiameter 10 cm. f. Inventorisasi tingkat permudaan, yaitu tiangkat semai dan pancang. Penentuan permudaan ini dilakukan dengan Line Intercept Method (LIM). LIM ini adalah semua permudaan yang menyinggung garis pengamatan. Garis pengamatan yang dibuat adalah dua garis tengah rumpang yang saling berpotongan tegak lurus. Karatersitik yang diamati adalah jenis dan jumlah individu. h. Penebangan pohon di dalam rumpang. i. Penyaradan batang pohon yang dimanfaatkan. j. Perapihan rumpang, yaitu dengan cara penebangan dan pencincangan semua individu di dalam rumpang. k. Jika permudaan alamnya kurang, maka dapat dilakukan pengkayaan dengan menanam jenis andalan setempat. Apabila permudaan alaminya tidak ada, maka bisa dibuat permudaan buatan dengan menanam jenis andalan setempat dengan jarak tanam 2,5 m x 2,5 m yang dimulai dari titik tengah menuju 4 m sebelem sampai ke tepi rumpang (Panjaitan, 2014) (Gambar 3.20). 50

62 l. Pada rumpang dengan permudaan alami dan buatan harus dilakukan penandaan dengan menggunakan ajir. 51 Gambar Pembuatan permudaan buatan di dalam Tebang Rumpang Hasil pengamatan pertumbuhan tanaman meranti di dalam rumpang berumur 16 tahun dan berumur 17 tahun, menunjukan bahwa tanaman dapat hidup baik pada kondisi tidak terganggu naungan pohon sekitarnya. Berdasarkan data tersebut, tanaman mampu tumbuh dengan riap diameter 1,6 cm/tahun untuk Shorea parvisipulata, sedangkan untuk jenis Shorea johorensis sebesar 1,3 cm/tahun pada umur tahun. Lebar tajuk sebagai indikator penutupan ruang tumbuh 4,6 9,0 m dengan rasio diameter tajuk dengan diameter batang adalah 27,5 31,5. Rasio ini mengindikasikan bahwa untuk tumbuh normal, maka pohon tersebut memerlukan ruang terbuka (bebas naungan) 30 kali diameter batang pohonnya (Panjaitan, 2014). Ukuran individu tanaman ternaungi jauh lebih kecil dibandingkan dengan individu normal. Pengaruh naungan tersebut terlihat sangat signifikan baik terhadap pertumbuhan. Kondisi naungan ekstrim mengakibatkan tajuk menipis dan pertumbuhan

63 tanaman mengalami stagnasi. Fakta di atas mengindikasikan bahwa dinamika tegakan di hutan tropika basah (pertumbuhan dan komposisi jenis) sangat ditentukan oleh ukuran atau luas, bentuk dan periodisitas pembukaan kanopi (gaps) (Brokaw, 1985). Jenisjenis komersil yang dibalak, hampir semuanya merupakan jenis kanopi utama. Pertumbuhan permudaan jenis kanopi atas memerlukan ruang terbuka berupa rumpang (gaps), pada fase ini pertumbuhan tinggi paling dominan, setelah mencapai kanopi atas, maka pertumbuhan tinggi melambat dan secara praktis berhenti kemudian pertumbuhan tajuk pohon dan pertumbuhan diameter berlangsung (Whitmore, 1975; Halle et al.,1978). Tingkat pertumbuhan tanaman dalam TR disajikan pada Tabel Tabel 3.5. Pertumbuhan jenis-jenis pohon pada sistem silvikultur Tebang Rumpang di Kintap, Kalimantan Selatan No. Jenis pohon Umur (tahun) Diameter pohon (cm) Tinggi total (m) Diameter (cm/th) Riap Tinggi (m/th) 1. Shorea parvistipulata 17 27,2-1,60-2. Shorea johorensis 17 22,1-1,30-3. Shorea voiciflora 6 4,0 4,40 0,66 0,73 4. Shorea stenoptera 4 3,4 3,45 0,84 0,86 Hasil penelitian pertumbuhan tanaman pada dalam TR di KHDTK Kintap, Kalimantan Selatan menunjukan bahwa rata-rata riap tahunan (MAI) diameter meranti pada umur 13 tahun mencapai 2,1 cm. Kondisi kontras terjadi pada rumpang permudaan alam umur 14 tahun di PT AYI, Kalimantan Selatan yang hanya memiliki MAI sebesar 0.9 cm/tahun. Gambaran ini menunjukkan adanya

64 53 perbedaan riap tegakan dikarenakan kondisi tapak yang berbeda, perbedaan perlakuan, dimana di Kintap dilakukan pembebasan sampai umur 2 tahun, sedangkan di PT AYI tidak ada pembebasan. Riap diameter di dalam rumpang permudaan alam lebih tinggi dibandingkan dengan permudaan buatan. Hal ini disebabkan oleh karaktersitik permudaan alam sudah mampu beradaptasi daripada bibit yang ditanam, terutama dalam sistem perakarannya. Menurut Sagala (1994) bahwa keuntungan TR sebagai berikut: a. TR secara alami mampu mengelola unsur tanah, iklim mikro, dan seresah terdekomposisi dengan baik. b. Areal tebangan bisa dikelola karena mempunyai Unit Homogen. c. Manajemen mempunyai kepastian usaha. d. Sistem ekologi hutan tidak rusak sebab proses rumpang adalah bagian dari sistem ekologi hutan. e. Areal tebangan tidak rawan kebakaran karena pada kondisi iklim mikro rumpang populasi rumput tidak melonjak. f. Tidak akan terjadi erosi/kepunahan genetik sebab tidak melakukan tebang pilih. g. Penyebaran jenis mudah dipetakan. h. Kayu berdiameter besar untuk plywood, kayu ukuran sedang untuk penggergajian, sedangkan kayu kecil, rotan, anggrek, tumbuhan obat untuk penduduk setempat. Jadi kuvio bentuk rumpang dapat diterima baik dari segi manajemen, teknik, ekologi, bahaya api, ekonomi dan penduduk setempat. Untuk itu, mengelola hutan alam harus dilakukan secara sistematik artinya kawasan hutan harus dikelola bagian per bagian

65 ke dalam unit pengelolaan. Sagala (1999) menyatakan bahwa hutan alam dituntut untuk dapat berperan sebagai:.a. Tempat tinggal jutaan makhluk hidup dalam keadaan seimbang yang terdiri dari masyarakat tumbuhan, masyarakat fauna dan masyarakat jasad renik. b. Menekan pelonjakan populasi organisme tertentu yang dapat membahayakan organisme lain. c. Gudang penyimpanan bahan genetik atau plasma nutfah. d. Sumber kayu dan hasil hutan lain seperti rotan, tumbuhan obat, anggrek dan lain-lain. e. Pengendalian debit air dan sumber air bersih. f. Penyimpan karbon dan penghasil udara bersih. g. Sumber ilmu pengetahuan. h. Tempat rekreasi dan lain sebagainya. Sagala (1994) menyatakan bahwa ada beberapa sifat hutan alam yaitu: (a) hutan alam merupakan mosaik rumpang, (b) tanah, iklim mikro dan tumbuhan merupakan satu kesatuan, (c) komposisi dan struktur tegakan yang beragam dengan jumlah jenis banyak dan struktur mulai tingkat pohon, tiang, pancang dan semai bercampur. Oleh karena itu, dalam TR diperlukan lima tingkat desain lapangan, yaitu: (a) desain tingkat tegakan rumpang, (b) desain tingkat jalan sarad, (c) desain tingkat kuvio, (d) desain tingkat petak, dan (e) desain tingkat unit pengelolaan Informasi Dinamika Pertumbuhan/Riap Tegakan di Hutan Alam Produksi Kelestarian hutan alam produksi selain sangat dipengaruhi oleh pemilihan sistem silvikultur yang tepat disertai dengan

66 55 tindakan-tindakan silvikultur dalam rangka peningkatan produktivitasnya, tidak kalah pentingnya adalah dalam rangka pengaturan produksi kayu yang boleh dimanfaatkan. Pemanfaatan kayu yang berlebihan akan dapat merusak hutan sekaligus menghambat pertumbuhan tegakan tinggal atau memperpanjang rotasi, tetapi pemanfaatan yang kayu yang sedikit akan menjadi tidak ekonomis. Pemanfaatan kayu yang optimal adalah pemanfaatan kayu yang didasarkaan pada besarnya riap tegakan. Menurut pengalaman secara perhitungan ekonomis pemanfaatan kayu sesuai riap tegakan sudah cukup layak dalam suatu operasional pengelolaan hutan. Untuk melakukan pengaturan hasil yang tepat diperlukan suatu teknik kuantifikasi pertumbuhan yang tepat yang diperoleh dari hasil penelitian yang konsisten. Adapun hasil penelitian sementara aspek-aspek kuantifikasi pertumbuhan yang sudah dilakukan. Telah dihasilkan model pendugaan volume pohon dari beberapa jenis pohon komersial di hutan alam produksi. Model pendugaan volume yang dihasilkan cukup praktis dan akurat, sehingga dapat digunakan sebagai dasar penyusunan tabel volume pohon yang dapat digunakan dalam membantu kegiatan inventarisasi potensi tegakan. Namun mengingat volume pohon dipengaruhi jenis dan tempat tumbuh, maka perlu disusun model pendugaan volume untuk setiap jenis dan lokasi unit pengelolaan hutan produksi. Adapun model yang digunakan adalah: V du = f(d,h,h du ) V h = f(d,h,h)

67 Dimana: V du : volume batang pohon sampai diameter ujung tertentu (m 3 ), V h : volume batang pohon dengan panjang tertentu (m 3 ), D : diameter setinggi dada (cm), H : tinggi pohon (m) tinggi sampai pucuk atau bebas cabang, hdu : tinggi diameter ujung tertentu (m). 56 Gambar Pengambilan data pohon model (pohon contoh) Sampai dengan tahun kelima telah disusun tabel volume pohon di hutan alam produksi di beberapa lokasi penelitian yaitu: Shorea semithiana, Vatica sp., Dipterocarpus spp. (keruing), bangkirai, meranti merah, kapur, medang, dan jenis-jenis Diperocarpaceae lainnya (Hardjana, 2014). Model persamaan tabel volume yang telah disusun untuk beberapa lokasi penelitian disajikan pada Tabel 3.6 dan model pendugaan volume pohon untuk di wilayah Papua disajikan pada Tabel 3.7 (Kuswandi, 2014).

68 Tabel 3.6. Persamaan pendugaan volume pohon beberapa jenis pohon di hutan alam di Kalimantan Jenis Persamaan Regresi Terpilih Lokasi Shorea laevis V bc = 0,0015(D) 2 0,0254(D) + 0,0448 Samboja, Kab. Kutai Kartanegara, Kaltim Shorea smithiana log V bc = 2, ,08686 log (D) 5, (1/D) Vatica sp. log V bc = 2, , log (D) 12,09475 (1/D) 57 Labanan, Kab. Berau, Kaltim Hopea sp. log V bc = 1,9388 log D + 0,9309 log T 4,0872 Labanan, Kab. Berau, Kaltim Dipterocarpus sp. log V bc = 4, ,1295 log D + 0,6646 log T log V bc = 4, ,5478 log D Tanjung, Kalsel Dipterocarpaceae log V bc = 3, ,8989 log D + 0,9287 log T Segah, Kab. Berau, Kaltim Dipterocarpus acutangulus log V bc = 3, ,4022 log D Labanan, Kab. Berau, Kaltim Dipterocarpus sp. Dipterocarpus lanceolata V bc = 0,333 0,023(D) + 0,001(D 2 ) log V bc = 3, ,205(log D) 6,956(1/D) PT. Ratah Timber, Kab. Kutai Barat Dipterocarpus sp. V bc = 0,184 0,0204(D) + 0,001(D 2 ) PT. Kemakmuran Dipterocarpus lanceolata log V bc = 4, ,449(log D) Berkah Timber, Kab. Kutai Barat Dipterocarpus sp. Dipterocarpus lanceolata log V bc = 3, ,416(log d) 2,530(1/d) log V bc = 3, ,391(log d) 1,868(1/d) PT. Rizki Kacida Reana, Kab. Paser Parashorea spp. V bc = 0, ,0059 D + 0,0012 D 2 Labanan, Kab. Berau, Kaltim Dipterocarpus confertus Shorea macrophylla V bc = 0,2758 0,0286 D + 0,0014 D 2 log V bc = 3, ,2249 log D 3,9328(1/D) Muara Wahau, Kab. Kutim, Kaltim Muara Wahau, Kab. Kutai Timur, Kaltim

69 58 Jenis Persamaan Regresi Terpilih Lokasi Dipterocarpus glabrigemmatus log V bc = 0, ,4443 log D Labanan, Kab. Berau, Kaltim Dipterocarpus stellatus Bangkirai (Shorea aevifolia) Mersawa (Anisopthera sp.) Ulin (Eusideroxylon zwageri) Keruing (Dipterocarpus sp.) Medang (Litsea spp.) Log V bc = 1, ,0198 log D (1/D) V bc = 0,00008 D 2,61996 V bc = 0,00007 D 2,28586 T 0,52249 V 7 = 0,00007 D 2,65279 V 7 = 0,00006 D 2,40252 T 0,39138 V bc = 0,00011 D 2,51110 V bc = 0,00009 D 2,17697 T 0,53113 V 7 = 0,00009 D V 7 = 0,00008 D 2,47890 T 0,20084 V bc = 0,00029 D 2,19842 V bc = 0,00022 D 2,09417 T 0,26747 V bc = 0,00014 D 2,44480 V bc = 0,00013 D 2,22417 T 0,35545 V 7 = 0,00011 D 2,52320 V 7 = 0,00010 D 2,38990 T 0,21477 V bc = 0,00022 D 2,39477 V bc = 0,00009 D 2,08420 T 0,69790 V 7 = 0,00030 D 2,37143 V 7 = 0,00017 D 2,18600 T 0,41680 Labanan, Kab. Berau, Kaltim PT Hutanindo Lestari Raya Timber, Kalteng PT Telagamas, Kaltim Shorea parvifolia Vbc = 0, D 2,67646 PT. Intraca wood Shorea dasyphylla Vbc = 0, D 2,80036 Manufacturing, Shorea leprosula Vbc = 0, D 2,67286 Kab. Tarakan, Kaltar Keterangan: V bc = volume tinggi bebas cabang (m 3 ); V 7 = Volume sampai diameter ujung 7 cm (m 3 ); D = diameter setinggi dada (cm); dan T = tinggi sampai bebas cabang (m).

70 Tabel 3.7. Tabel Volume Lokal Beberapa Jenis Kayu Komersial pada Beberapa Lokasi di Papua No. Jenis Pohon Lokasi Angka Bentuk 59 Model pendugaan volume pohon (m 3 ) 1. Merbau (Intsia sp.) Bonggo- Jayapura 2. Merbau (Intsia sp.) Bintuni- Manokwari 3. Merbau (Intsia sp.) Kuatisore- Nabire 0,69 Vbc = 0, D 1, ,70 Vbc = 0, D 1, ,70 Vbc = 0,00082 D 1, Merbau (Intsia sp.) Sorong 0,71 Vbc = 0,00026 D 2, Merbau (Intsia sp.) Wasior-Biak 0,70 Vbc = 0,00029D 2, Merbau (I. palembanica) P.Salawati Sorong 7. Matoa (Pometia sp.) Bintuni- Manokwari 8. Matoa (Pometia sp.) Bonggo- Jayapura 9. Matoa (Pometia sp.) Kuatisore- Nabire 10. Matoa (Pometia sp.) Wasior- Manokwari 11. Resak (Vatica Sp) Kuatisore- Nabire 12. Ketapang (Terminalia sp.) Kaimana- Fakfak 13. Mersawa (Anisopthera sp.) Wasior- Manokwari 0,71 Vbc = 0,00026D 2,3764 0,65 Vbc = 0, D 1, ,66 Vbc = 0,00055 D 1, ,64 Vbc = 0,00035 D 2,1104 0,65 Vbc = 0,00002 D 2,9941 0,71 Vbc = 0,00072 D 1,9892 0,70 Vbc = 0,00061 D 2,2076 0,74 Vbc = 0,00025 D 2, PT. Manokwari Mandiri Lestari 15. PT. Wapoga Mutiara Timber - - Vbc = 0, D 2,15 (untuk semua jenis) - - Vbc = 0, D 2,16 (untuk semua jenis) Keterangan: V bc = volume tinggi bebas cabang (m 3 ); dan D = diameter setinggi dada (cm).

71 Hasil penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan perangkat pengaturan hasil adalah penelitian pertumbuhan tegakan tinggal. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan model struktur dan dinamika tegakan tinggal serta model pendugaan riap tegakan di hutan alam bekas tebangan sebagai dasar pengelolaan hutan alam produksi yang lestari. Pendekatan yang digunakan adalah dengan membuat dan mengukur secara berulang Petak Ukur Permanan (PUP). Jumlah PUP minimal tiga buah dengan ukuran PUP biasanya seluas satu hektar atau 100 m x 100 m, dipilih pada areal hutan bekas tebangan biasanya tiga tahun setelah tebangan, yang representatif dan aksesibilitasnya mudah. Pengamatan pertumbuhan tegakan tinggal di hutan alam produksi pada tebangan >3 tahun, menunjukkan kondisi yang masih cukup baik, struktur tegakan berbentuk J terbalik, pohon berdiameter >50 cm masih tersisa cukup, pohon inti > 25 pohon/ha, dan permudaan masih cukup tinggi. Berdasarkan hasil pengukuran berulang terhadap PUP yang telah dibuat menunjukkan riap diameter berkisar antara 0,5 1,8 cm/tahun di hutan tanah kering sedangkan di hutan tanah basah antar 0,39 0,43 cm/tahun (Wahjono, 2007; Abdurachman, 2012; Abdurachman, 2014; Abdullah dan Darwo, 2014) (Tabel 3.9). Hasil sementara ini memberikan gambaran bahwa riap/pertumbuhan tegakan sangat bervariasi tergantung pada site dan kinerja unit pengelola serta keamanan dari hutan tersebut. Mengingat riap diameter sangat beragam, sementara limit diameter tebang telah ditetapkan >40 cm, maka rotasi tebang seharusnya lebih dari 30 tahun, atau seandainya limit diameter tetap 40 cm dan rotasi tetap 30 tahun, maka limit diameter pohon inti harus dinaikan. 60

72 61 Gambar Pengukuran pohon pada Petak Ukur Permanen (PUP) Analisa Data Model Struktur Tegakan Awal N = k e -(ad) Model dinamika struktur tegakan (Ingrowth, upgrowth, mortality) N j,t+1 = N j,t + I j + U j - M j Model Proyeksi Pertumbuhan/ dinamika tegakan ΔD = f (D,N,t) ΔG = f (D,N,t) ΔV = f (G,D,N,t) Strategi Pengaturan Hasil

73 62 Tabel 3.8. Struktur tegakan di hutan alam produksi bekas tebangan No IUPHHK/HPH Provinsi Persamaan 1 PT Sumalindo Lestari Jaya II Kaltim N = 366,072 e -0,071D 2 PT Aya Yayang Indonesia Kalsel N = 457,965 e -0,064D 3 PT Diamond Raya Timber Riau N = 204,579 e -0,041D 4 PT Intracawood Manufacturing Kaltim N = 377,907 e D 5 PT Asri Nusa Prima Mandiri Riau N = 799,169 e D 6 PT Anugerah Alam Barito Kalteng N = 352,915 e -0,06345D 7 PT Central Kalimantan Abadi Kalteng N = 387,196 e -0,05612D 8 PT Aya Yayang Indonesia Kalsel N = 462,345 e -0,06774D Ndi t = k e-f(di, N0di, t) Vdi t = Ndi t x V V total = Σ Vdi t Tabel 3.9. Riap diameter dan riap volume tegakan di hutan alam No. Lokasi Perlakuan PT Sumalindo Lestari Jaya II, Kaltim PT Diamond Raya Timber, Riau PT Intracawood Manufacturing, Kaltim PT Aya Yayang Indonesia, Kalsel KHDTK Labanan, Kaltim Riap Diameter (cm/th) Riap Volume (m3/ha/th) K NK S K NK S - 0,54 0,49 0,53 2,287 0,104 2,391-0,40 0,33 0,38 2,563 0,246 2,808-0,62 0,54 0,60 3,584 0,557 4,141-0,66 0,39 0,67 2,547 0,334 2,881 Kontrol 0,53 0, Pembebasan 0,84 0, Penjarangan 0,57 0, Kalimantan Barat Anisoptera spp 0,18-0,46 - Dryobalanops spp. 0,35-0,70 - Hopea spp. 0,07-0,46 - Shorea spp. 0,53-0,66 - Keterangan: K = Komersial, NK = Non komersial, S = Seluruh jenis, Dbh = Diameter setinggi dada.

74 63 Dalam penentuan riap diameter tegakan di hutan alam, para peneliti selalu membuat rata-rata semua kelas diameter. Padahal hasil penelitian Abdullah dan Darwo (2014) menunjukkan bahwa semakin besar kelas diameter, maka CAI semakin menurun. Bentuk persamaan pendugaan riap tahun berjalan (CAI) diameter di hutan alam Maluku adalah CAI diameter = 2, ,41087 ln (Dbh) dengan koefisien determinasi (R 2 = 97%). Kurva hubungan antara CAI dengan Dbh di hutan alam, Provinsi Maluku disajikan pada Gambar Gambar Kurva riap tahun berjalan (CAI) diameter tegakan di hutan alam, Maluku Produktivitas hutan dapat dianggap sebagai laju produksi biomassa yang dihasilkan oleh satu luasan tegakan hutan dalam periode waktu terentu. Dalam konteks hutan produksi, biomassa tersebut yang direpresentasikan dalam bentuk volume batang pohon. Produktivitas tersebut merupakan akumulasi dari pertumbuhan pohon dan vegetasi lainnya di dalam hutan. Produktivitas hutan sangat erat hubungannya dengan kelestarian. Kelestarian sumberdaya hutan akan terjaga, jika hutan selalu

75 berada dalam tingkat kapasitas produktif maksimumnya (Fujimori, 2001). Oleh karena itu, apapun sistem silvikultur yang digunakan dalam suatu kawasan hutan, maka kelestarian akan terjamin jika tetap mampu menjaga level kapasitas produksi maksimum hutan yang bersangkutan. Parameter lainnya yang mempengaruhi produktivitas hutan alam adalah kerapatan tegakan. Kerapatan tegakan yang diamati dari PUP-PUP yang dibangun di setiap lokasi penelitian relatif sedang sampai cukup rapat. Kondisi tegakan didominasi oleh pohon-pohon berdiameter kecil (kursng dari 30 cm). Model struktur tegakan awal yang disusun pada setiap lokasi penelitian cukup memadai untuk menduga struktur tegakan tinggal. Laju mortality lebih kecil dibandingkan laju ingrowth/upgrowth yang menunjukkan bahwa kondisi tegakan pada rotasi berikutnya relatif masih aman (Tabel 3.10). Untuk mendapatkan model pertumbuhan dan model dinamika struktur tegakan yang representatif diperlukan data hasil pengukuran yang meliputi rentang waktu yang cukup lama. Oleh karena itu, penelitian (pengamatan dan pengukuran ulang) secara kontinyu dari PUP yang telah dibuat dalam penelitian ini perlu dilanjutkan, sehingga pola dan kecepatan pertumbuhan tegakan secara matematis dapat diformulasikan untuk memproyeksikan struktur tegakan pada waktu yang akan datang. 64

76 Tabel Laju mortality, ingrowth dan upgrowth berdasarkan kelas diameter untuk jenis-jenis pohon di hutan alam Kelas Diameter (cm) Laju (%) Ingrowth Upgrowth Mortality ,058-1, ,166 0, ,424 0, ,852 0, ,280 0, ,284 0, up - 0,148 0, Strategi Pengelolaan Hutan Alam Produksi ke Depan Kondisi hutan alam produksi di Indonesia termasuk dalam ekosistem hutan tropika humida dengan ekosistem yang rapuh sehingga hutan alam mengalami fragmerntasi. Sejak tahun 1970-an, hutan alam Indonesia telah dipungut/dimanfaatkan, namun kondisi hutan sudah banyak mengalami kerusakan, akibat eksploitasi yang berlebihan, alih fungsi, kebakaran, penjarahan dan sebagainya. Kegiatan pengusahaan hutan alam akibat eksploitasi yang berlebihan menyebabkan terjadinya penurunan kualitas hutan yang berdampak jumlah kayu tersedia untuk panenan siklus tebang kedua dan seterusnya jauh lebih rendah dari yang diharapkan. Kondisi hutan alam produksi memiliki ekosistem yang beragam, baik dalam volume standing stock, komposisi, faktor lingkungan dan sebagainya, sehingga memerlukan penanganan yang berbeda pula. Sampai saat ini, sistem silvikultur yang diterapkan dalam pengelolaan hutan alam menggunakan Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) dengan menetapkan sistem pemanenan yang seragam untuk areal hutan di seluruh wilayah

77 Indonesia, tanpa memperhatikan tipe dan kondisi hutannya. Bedasarkan Permenhut P11/Permenhut-II/2009 yang menetapkan batas siklus tebang dan limit diameter tebang pada hutan daratan tanah kering pada sistem silvikultur TPTI, yaitu siklus tebang 30 tahun dengan limit diameter pohon yang ditebang 40 cm pada Hutan Produksi Tetap (HP) dan/atau Hutan Produksi yang dapat Dikonversi (HPK) dan limit diameter 50 cm pada Hutan Produksi Terbatas. Sistem ini bisa mengakibatkan pemanenan berlebih di banyak areal, sehingga hutan tidak dapat pulih dalam waktu 30 tahun untuk dapat menghasilkan kayu pada rotasi berikutnya. Kebijakan ini sebetulnya mengandung resiko hutan alam produksi pada rotasi berikutnya akan semakin menurun lagi. Untuk itu, perlu memperhatikan, yaitu: a. Pemanfatan/penebangan tidak melebihi riap tegakan. b. Tidak semua pohon pada batas limit diameter ditebang semua, tetapi jumlah pohon yang ditebang dibatasi yaitu batas keterbukaan tajuk aman antara 30 40% (setara dengan jumlah pohon yang ditebang 15 pohon per hektar dengan menerapkan Reduce Impact Logging (RIL). Diharapkan tegakan persediaan pada siklus tebang berikutnya tidak turun. Hutan primer saat ini telah hampir habis dan pada pengelolaan selanjutnya sudah harus beralih ke hutan bekas tebangan. Karena itu, upaya peningkatan produktivitas dengan input energi (biaya) serendah-rendahnya dan tanpa merugikan lingkungan (ekosistem). Hutan alam telah membentuk keanekaragaman jenis yang tinggi sehingga akan membentuk struktur tertentu baik secara vertikal (stratifikasi tajuk dan/atau 66

78 67 perakaran) maupun horizontal. Mekanisme internal seperti inilah yang dapat membentuk stabilitas ekosistem. Sistem silvikultur TPTI yang digunakan dengan satu aturan untuk seluruh hutan alam di Indonesia, walaupun sistem ini adalah sistem silvikultur yang relatif paling aman untuk diterapkan dibanding yang lain dalam hal jasa lingkungannya. Hal ini, menunjukkan bahwa tidak adanya batasan maksimum jumlah volume kayu atau jumlah batang yang dapat ditebang per satuan areal. Penebangan pohon yang terlalu banyak di setiap unit areal dapat mengakibatkan terciptanya kondisi yang mengganggu pertumbuhan jenis-jenis kayu komersial. Sesuai dengan prinsip pengelolaan hutan alam produksi yang dituntut untuk memberikan produk yang selalu meningkat dan kelestarian yang tetap terjamin. Untuk memenuhi tuntutan tersebut tidak mudah, tetapi pada pihak yang terlibat harus berkomitmen untuk mencari peluang sistem silvikultur alternatif agar hutan alam produksi tetap lestari. Upaya yang perlu dilakukan dalam pengelolaan hutan alam produksi ke depan antara lain: a. Sistem silvikultur jangan diterapkan secara seragam, tetapi perlu menerapkan sistem silvikultur dan aturan pengelolaan lainnya yang sesuai dengan tipe dan kondisi tipologi hutan alam produksi. Untuk itu, Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (Kepala KPHP) harus mampu menerapkan sistem silvikultur yang tepat. b. Pemanfaatan hutan alam produksi tidak hanya mengandalkan produk kayu, namun harus menjalankan kemampuan optimal suatu ekosistem hutan alam. Oleh karena itu, dalam pengelolaan hutan alam produksi penentuan AAC (Annual

79 available Cut) atau Jatah Produksi Tahunan (JPT) harus berbagai jenis produk hasil hutan. Karena itu, diperlukan reorientasi pemikiran baru untuk mendapatkan produktivitas hutan yang optimal. Pola konsumsi produk hasil hutan dalam bentuk apapun harus didasarkan pada kemampuan ekosistem hutannya. Hal ini mendukung pendapat (Schliemann, et al., 2011), bahwa penerapan sistem silviklutur di hutan alam tidak hanya untuk menghasilkan kayu saja tetapi bagaimana pengelolaan hutan didesain mirip dengan proses alami yang terjadi di hutan alam. Hal tersebut dilakukan dengan harapan sistem silvikultur yang diterapkan akan mengembalikan kondisi hutan sealami mungkin dan pada sisi lain dapat mengoptimalkan hasil panen. c. Kondisi hutan primer semakin menipis, maka pengelolaan hutan alam beralih ke hutan bekas tebangan. Para pemegang IUPHHK-HA tidak boleh ada lagi tebangan cuci mangkok (tebang ulang sebelum waktunya) dan pemerintah harus melaksanakan penegakan hukum yang tegas terhadap para pelanggar. Hutan bekas tebangan perlu dipelihara untuk terus meningkatkan produksinya atau setidaknya kembali ke keadaan semula. Oleh sebab itu, pembinaan tegakan tinggal hutan alam bekas tebangan menjadi aspek yang sangat penting. Kegiatan pembinaan hutan alam bekas tebangan pada sistem silvikultur TPTI yang berupa perapihan, pembebasan pertama, pembebasan kedua dan ketiga tidak diperlukan lagi. Namun kegiatan pengayaan dengan menanam pada areal kosong (bekas jalan sarad, kiri-kanan jalan utama, bekas TPn dan hutan rawang/rusak). Penerapan penjarangan tajuk diperlukan untuk 68

80 69 mempercepat pertumbuhan tegakan tinggal. Hal ini terjadi karena tindakan penjarangan memberikan ruang tumbuh optimal bagi pohon binaan yang terdiri atas pohon inti dan permudaan tingkat di bawahnya. Pohon-pohon yang dijarangi hanya terbatas pada pohon-pohon tidak sehat, sementara pohon binaan tetap berfungsi sebagai pembentuk struktur tegakan sehingga terus memberikan jasa lingkungan dan/atau atribut fungsionalnya. d. Dalam jangka panjang, harus mulai dipikirkan untuk mengelola hutan berdasarkan konsep kesesuaian lahan. Pengelolaan hutan alam produksi harus berbasis ekosistem. Pengelolaan hutan produksi didasarkan pada unit-unit ekologis yang merupakan resultante dari seluruh faktor lingkungan (biofisik dan abiotik) sehingga terbentuk kesatuan pengelolaan yang berkemampuan sama baiknya antara produktivitas dan jasa lingkungan. e. Penerapan sistem silvikultur yang sekiranya mampu menjanjikan peningkatan produktivitas hutan, hendaknya terlebih dahulu dikaji secara mendalam agar kerusakan hutan alam dapat lebih eliminir. f. Keberhasilan pengelolaan hutan alam produksi sangat tergantung sumber daya manusianya. Karena itu, penyiapannya perlu dilakukan dengan sebaik-baiknya. Dari hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan, maka startegi pengelolaan hutan alam produksi ke depan yang perlu dilakukan yaitu: a. Sistim silvikultur TPTI paling sesuai untuk menjamin kelestarian manfaat jangka panjang melalui rotasi tebang serta kesuburan

81 tanah melalui siklus hara. Sistem silvikultur TPTI sebaiknya diterapkan pada hutan alam primer atau hutan alam bekas tebangan yang aksesibilitasnya sulit dijangkau masyarakat (jauh dari pemukiman, aman dari penebangan liar dan perambahan lahan). Jika di areal tersebut terdapat hutan rawang dan lahan kosong, maka pemegang ijin harus merehabilitasi dengan menanam jenis-jenis andalan setempat yang cocok dengan kondisi lahannya. b. Sistim silvikultur TR dapat diterapkan sebagai sistem silvikultur alternatif yang dilakukan di areal hutan primer dan LOA baik ( 40 m 3 /ha) dengan permudaan alami. Pada LOA sedang (20-40 m 3 /ha) dapat diterapkan TR dengan permudaan alami dan permudaan buatan. Hasil penelitian TR pada level teknik silvikultur bisa diimplementasikan di lapangan, namun efektivitas dan efisiensi dalam skala usaha masih perlu kajian lebih lanjut untuk menjawab aspek pengaturan hasil dan kelayakan usaha, yaitu seberapa banyak pohon yang dapat ditebang pada akhir siklus tebang, dimana arealnya, kapan waktu panen kayunya untuk mencapai limit diameter pohon yang bisa ditebang dan berapa keuntungan yang dapat diperoleh. c. Sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur dengan menerapkan Teknik Silvikultur Intensif (TPTJ-Silin) hanya diterapkan di areal: Hutan Produksi Tetap (HP) pada LOA dengan potensi tegakan yang rendah dan hutan rawang dengan potensi 20 m 3 /ha. Tidak boleh diterapkan pada LOA baik. Aksesibilitasnya mudah dijangkau masyarakat (lokasi berdekatan dengan lahan masyarakat) agar ada pengakuan 70

82 71 masyarakat bahwa hutan dikelola dengan baik, intensif dan mudah dilihat sehingga tidak dijadikan ajang perambahan. Kemiringan lahan kurang dari 25%, agar tidak menimbulkan dampak erosi melebehi ambang batas yang dijinkan. Jenis-jenis pohon dari famili Dipterocarpaceae yang direkomendasikan untuk ditanam di TPTJ-Silin adalah Shorea leprosula, S. parvifolia, S. johorensis, S. ovalis, S. platyclados, S. selanica, S. macrophylla, S. javanica, Dryobalanops sp., S. palembanica, S. mecistopteryx, S. stenoptera, S. pinanga, Hopea mangarawan, H. odorata dan Vatica resak (Soekotjo at al., 2005; Darwo, 2014). Untuk menetapkan daur tebang jenis-jenis tersebut sedang diteliti lebih lanjut. d. Sistem silvikultur THPB yang diterapkan di hutan alam produksi dilakukan di kondisi hutan rawang (< 20 m 3 /ha), semak belukar dan lahan kosong dengan menggunakan jenis-jenis andalan setempat. Strategi penetapan sistem silvikulutur yang diterapkan selalu mencakup tiga fungsi atau perlakuan dasar, yaitu (a) permudaan (regeneration), (b) pemeliharaan (tending) dan (c) pemanenan (harvesting). Aplikasi aktual dari semua jenis perlakuan, urutan, tata-waktu kegiatan serta intensitasnya sering berbeda dari satu tegakan hutan ke tegakan lainnya, tergantung dari tujuan pemilik dan kondisi ekologisnya. Kesinambungan yang tak terputus dari ketiga siklus fungsi dasar tersebut menjadi kriteria utama keefektifan penarapan sistem silvikultur dalam pengelolaan hutan alam produksi lestari.

83 Melihat kondisi hutan alam produksi telah terfragmentasi menjadi berbagai tutupan lahan, maka pada areal IUPHHK membutuhkan adanya fleksibilitas pengelolaan yang dapat menyesuaikan dengan kondisi hutan serta berbagai tuntutan terhadap hutan tersebut. Untuk itu, perlu menerapan silvikultur alternatif yang mampu mengelola. pada berbagai kondisi areal tersebut. Sistem silvikultur alternatif yang dimaksud adalah Multisistem silvikultur (MSS). Multisistem Silvikultur adalah sistem pengelolaan hutan produksi lestari yang terdiri dari dua atau lebih sistim silvikultur yang diterapkan pada suatu IUPHHK dan merupakan multiusaha dengan tujuan: mempertahankan dan meningkatkan produksi kayu dan hasil hutan lainnya serta dapat mempertahankan kepastian kawasan hutan produksi (Indrawan, 2008). Multisistem silvikultur memanfaatkan berbagai habitat pada suatu unit IUPHHK baik hutan alam primer dan LOA TPTI yang masih baik potensinya maupun hutan alam yang sudah terdegradasi menjadi hutan sekunder yang tidak produktif, semak belukar dan alang-alang. Melalui strategi ini, diharapkan potensi hutan alam produksi di areal kerja IUPHHK dapat dipertahankan dan ditingkatkan sehingga mampu menghasilkan kayu dan hasil hutan lainnya secara lestari tanpa mengabaikan kelestarian fungsi ekologi dan fungsi sosial (Indrawan, 2013). Legalitas penerapan Multisistem Silvikultur di kawasan hutan mengacu pada Peraturan Pemerintah No. 3/2008 Pasal 38 ayat 1 yang berbunyi pada hutan produksi, pemanfaatan hasil hutan kayu pada HTI dalam hutan tanaman sebagaimana dimaksud pada Pasal 37 huruf a, dapat dilakukan dengan satu atau lebih sistem 72

84 73 silvikultur sesuai dengan karakteristik sumber daya hutan dengan lingkungannya. Didukung pula oleh Permenhut Nomor P30/Menhut-II/2005 tentang Standar Sistem Silvikultur Pada Hutan Alam Tanah Kering dan/atau Hutan Alam Tanah Basah/Rawa, pasal 6 ayat 2 yang berbunyi mengingat beragamnya kondisi hutan alam produksi pada KPHP atau areal IUPHHK, maka dalam satu KPHP atau IUPHHK dapat terdiri lebih dari satu sistem silvikultur, yaitu sistem silvikultur yang sesuai dengan karakteristik sumberdaya hutan dengan lingkungannya. (Permenhut Nomor P30/Menhut-II/2005 dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Peraturan Menhut No. P11/Menhut-II/2009). Peraturan Menhut No. P11/Menhut-II/2009 juga memuat dalam satu KPHP atau IUPHHK dapat terdiri lebih dari satu sistem silvikultur, yaitu sistem silvikultur yang sesuai dengan karakteristik sumberdaya hutan dengan lingkungannya (Menimbang pada PP No. 6/2007 Pasal 34 ayat 2 dan Pasal 38 ayat 1 Jo. PP No. 3/2008). Kepmenhut No. P40 tahun 2007 bahwa sistem silvikultur disesuaikan dengan kondisi hutan yang ada di dalam areal kerja. Sistem silvikultur yang digunakan pada suatu areal IUPHHK perlu disesuaikan dengan kondisi tapak habitat pada kawasan hutan di areal tersebut baik pada IUPHHK Hutan Alam maupun IUPHHK Hutan Tanaman. Hal ini sejalan dengan Pasal 42 ayat 1 pada UU 41 tahun tahun 1999 tentang Kehutanan yang menyatakan bahwa Rehabilitasi Hutan dan Lahan berdasarkan kondisi biofisik. Pemilihan jenis pohon harus sesuai dengan keadaan habitat dan ekologi jenis pohon terpilih. Hal tersebut mendasari perlunya penyesuaian sistem silvikultur yang berbasis pada kondisi kawasan hutan dan

85 karakteristik lingkungan setempat. Sistem tersebut harus berpedoman pada prinsip pengelolaan hutan lestari, yaitu ekonomis menguntungkan ekologis dapat dipertanggungjawabkan, secara sosial kondusif dan tetap realistik mengarah pada kelestarian hutan, teknik pelaksanaan di lapangan sederhana, memiliki fungsi perlindungan terhadap lingkungan, dan memungkinkan adanya pengawasan di lapangan yang bisa dilaksanakan. Sistem silvikultur yang disarankan dapat digunakan pada penerapan Multisistem Silvikultur pada areal hutan produksi di areal IUPHHK terdiri dari TPTI, TPTJ, TPTJ-Silin, THPB dan THPB pola Agroforestry. Oleh karena itu, startegi penerapan sistem silvikultur di hutan alam produksi sebagai berikut: a. Kawasan yang aman dari perambahan dan illgal logging diterapkan TPTI dan/atau TR. Jika ada lahan yang kosong, maka pemegang ijin berkewajiban untuk merehabilitasinya dengan menanam jenis-jenis pohon yang mampu tumbuh dengan baik di kondisi lahan tersebut. b. Kawasan hutan alam bekas tebangan dengan potensi tegakan yang rendah, rawan terhadap perambahan dan illegal logging diterapkan TPTJ-Silin. c. Kawasan hutan alam bekas tebangan yang rusak (semakbelukar dan alang-alang) yang rawan terhadap perambahan diterapkan THPB. Dalam penerapan THPB dapat juga menerapkan sistem agroforestry sebagai salah satu solusi penyelesaian konflik lahan dengan masyarakat dan sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan.. 74

86 Strategi penerapan sistem silvikultur di kawasan hutan alam produksi disajikan pada Gambar Gambar Strategi penerapan sistem silvikultur di hutan alam produksi 3.5. Kegiatan Penelitian Yang Diperlukan Untuk Yang Akan Datang Sampai saat ini teknologi yang tersedia untuk mengatasi masalah-masalah teknis tersebut masih belum tepat dan praktis. Teknologi yang sudah ada masih perlu disempurnakan agar lebih baik lagi dan luwes untuk diterapkan. Tanpa dukungan teknologi dari hasil penelitian/kajian, maka niscaya harapan pengelolaan hutan alam lestari sulit untuk tercapai. Permasalahan teknologi yang dimaksud antara lain: 1. Kondisi hutan alam produksi yang rusak dan tingkat produktivitasnya yang rendah. Ada kecenderungan penggunaan sistem silvikultur yang tidak tepat. Sementara itu, sistem silvikultur yang telah tersedia masih belum sempurna, terindikasi

87 kurang efektif dan efisien sehingga penerapannya tidak optimal untuk meningkatkan kualitas hutan alam produksi. Untuk itu, perlu dilakukan penelitian/pengkajian terhadap penerapan sistem silvikultur yang sesuai dengan kondisi hutan. Pada lahan tertentu dapat diterapkan teknik silvikultur intensif. Dengan demikian, pengelolaan hutan alam produksi perlu menerapkan lebih dari satu sistem silvikultur agar produktivitas hutan alam meningkat. 2. Hutan alam produksi yang telah rusak perlu direhabilitasi, sementara itu teknologi dalam rangka rehabilitasi hutan alam yang telah rusak saat ini belum lengkap tersedia, sehingga untuk mengatasi hal ini, maka perlu diupayakan pencegahan kerusakan hutan alam dan menyediakan teknologi rehabilitasi hutan alam yang tepat, murah dan praktis sehingga hutan alam dapat dipulihkan lagi sesuai dengan fungsi semula. 3. Jenis-jenis pohon di hutan alam sangat banyak dengan nilai komersial yang cukup tinggi. Sampai saat ini baru diperoleh/diketahui beberapa jenis unggul yang telah dikuasai persyaratan tumbuh dan teknik silvikulturnya. Untuk itu, perlu dilakukan penelitian yang lebih intensif untuk mendapatkan jenis-jenis lainnya yang prospektif untuk dikembangkan pada berbagai kondisi areal hutan produksi agar produktivitas hutan alam dan nilai jual kayunya meningkat. Selain itu, dalam rangka meningkatkan persen tumbuh hasil penanaman/pengkayaan, maka perlu diujicobakan teknik dormansi bibit. Teknik dormansi bibit adalah teknik penanaman dengan cara memotong batang utama dan cabang sampai tinggi tertentu untuk mengurangi penguapan yang berlebihan akibat kondisi 76

88 77 bibit yang rusak setelah sampai di tempat penanaman (seperti tanah di polybag sudah banyak yang hilang). 4. Potensi dan pertumbuhan tegakan hutan alam harus meningkat atau paling tidak sama antar rotasi tebang berikutnya, salah satu upaya yang belum dilakukan dengan baik adalah pembinaan tegakan tinggal pasca tebangan. Teknologi pembinaan tegakan tinggal yang ada belum mampu meningkatkan produktivitas tegakan bahkan cenderung kurang efektif dan efisien. Untuk itu, perlu dilakukan penelitian dan kajian terhadap teknik silvikultur intensif khususnya teknik pengkayaan yang intensif, sehingga pertumbuhan/riap tegakan akan meningkat untuk rotasi tebang berikutnya. 5. Sistem pengaturan hasil yang berlaku saat ini menggunakan rumus 1/30 dari standing stock dengan asumsi pertumbuhan hutan alam selalu sama, sementara itu kondisi hutan saat ini sudah sangat berubah dan berbeda dengan kondisi awalnya dengan riap tegakan yang berbeda untuk setiap tapak (site) dan kondisi hutannya, sehingga ada kecenderungan pemanfaatan hutan alam kurang rasional dan optimal. Untuk itu, perlu dilakukan penelitian/kajian untuk mendapatkan informasi yang akurat mengenai dinamika pertumbuhan tegakan di hutan alam produksi yang dapat dijadikan sebagai dasar dalam menetapkan preskripsi kunci pengaturan hasil dan mendapatkan metode pengaturan hasil yang paling tepat sesuai dengan kemampuan pertumbuhan tegakan di tiap site dan unit manajemen, sehingga besarnya kayu yang dipanen (etat) lebih optimal dan tidak melebihi besarnya riap tegakan. Selain itu, perlu dilakukan penelitian perangkat perencanaan hutan yang meliputi:

89 penyusunan tabel volume, penentuan kriteria dan indikator dalam penerapan sistem silvikultur dengan memperhatikan karakteristik kondisi hutan, lahan dan sosial. 6. Adanya dampak negatif penerapan sistem silvikultur terhadap lingkungan hutan alam produksi. Hal ini disebabkan karena adanya penurunan biodiversitas, penurunan keanekaragaman genetik, penurunan kesuburan tanah, peningkatan sedimentasi, dan kesehatan hutan yang semakin menurun. Untuk mengetahui sejauhmana dampak yang terjadi, maka perlu melakukan penelitian/pengkajian biodiversitas, keragaman genetik, sedimentasi, kesuburan tanah, dan tingkat serangan hama dan penyakit akibat penerapan sistem silvikultur di hutan alam produksi. Oleh karena itu diperlukan dukungan IPTEK agar dampak negatif yang terjadi bisa dieliminir. 7. Kurangnya informasi analisis finansial dan penyelesaian sosial dalam pengelolaan hutan alam produksi. Hal ini akibat dari: (a) belum adanya informasi teknik penangan konflik lahan di kawasan hutan alam produksi, (b) kurangnya informasi hasil analisis finansial dalam penerapan multi sistem silvikultur di berbagai kondisi hutan dan tapaknya, dan (c) kurangnya informasi model penanganan sosial di kawasan hutan alam produksi. 78

90 79 IV. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 1. Dalam melakukan inventarisasi tegakan pada areal hutan yang sangat luas dan beragam kondisi kerapatannya, maka metode penarikan contoh yang digunakan harus efektif dan efisien serta memberikan hasil dugaan potensi yang akurat. Salah satu cara yang dapat digunakan adalah menggunakan bantuan citra satelit dalam untuk melakukan stratifikasi sehingga intensitas sampling yang digunakan akan lebih kecil. Dengan stratifikasi citra satelit intensitas sampling yang dapat digunakan adalah sekitar 4% sedangkan apabila tidak digunakan startifikasi intensitas samplingnya sekitar 10-15%. Berdasarkan data pengambilan contoh di lapangan dan nilai pixel dari data digital citra satelit dapat disusun persamaan alometri berbentuk persamaan regresi sederhana untuk menduga potensi dan sebaran tegakan di aral hutan alam produksi dengan lebih cepat dan cukup akurat. 2. Sebagian besar IUPHHK tidak melaksanakan tahapan sistem silvikultur TPTI sesuai dengan pedoman. Dari tahapan TPTI yang ditetapkan pada umumnya tahap 1-4 dikerjakan dengan baik, tahap berikutnya kurang/tidak dikerjakan sesuai pedoman dengan berbagai alasan teknis dan ekonomis. Namun sebenarnya kondisi tegakan setelah tebangan umumnya masih potensial sebagai standing stock rotasi berikutnya (tegakan sisa, pohon inti dan permudaan). Penyederhanaan tahapan TPTI menjadi 8 tahapan yaitu PAK, PWH, ITSP, Penebangan, ITT (pohon inti dan pohon sisa), pengkayaan (t+2), pembinaan I (t+5) dan pembinaan II (t+15) bisa menghemat biaya

91 operasional. Sebagai kunci pokok dalam tahapan tersebut adalah perlindungan dan pengamanan tiap tahun yang harus dilaksanakan. Pemanfaatan kayu dari hutan alam tidak boleh melebihi riap tegakannya dan sebaiknya jumlah pohon yang ditebang tidak melebihi 15 pohon per hektar. 3. Sistem silvikultur TPTJ-Silin menunjukkan prospek yang baik untuk diterapkan secara operasional dalam rangka pengelolaan hutan alam produksi di LOA yang kurang baik (potensi tegakan kurang 20 m 3 /ha), lokasi berdekatan dengan masyarakat agar ada pengakuan dari masyarakat bahwa hutan alam dikelola dengan baik sehingga tidak menjadi ajang perambahan lahan atau penebangan liar. Pemilihan jenis tanaman yang unggul dan pemeliharaan yang intensif menjadi kunci keberhasilannya, selain perlindungan dan pengamanan tegakan terhadap gaangguan. 4. Teknik pengkayaan yang intensif di areal bekas jalan sarad dengan menggunakan jenis S. leprosula dan S. parvifolia mampu tumbuh dengan baik. Tahapan selanjutnya yang perlu diperhatikan adalah penyiapan lubang tanam dengan pemberian top soil dan pupuk organik, serta pemeliharan secara intensif akan menghasilkan tanaman pengkayaan yang prospektif sebagai andalan pohon yang produktif pada rotasi berikutnya. Hasil penelitian awal menunjukkan bahwa persen jadi tanaman dan pertumbuhannya lebih baik dibandingkan dengan pengkayaan yang asal-asalan. 5. Pembinaan tegakan merupakan kegiatan dalam suatu pengelolaan hutan produksi yang paling utama, selain untuk meningkatkan riap atau produktivitas tegakan juga bertujuan 80

92 81 untuk meningkatkan kualitas kayu/pohon yang akan diperoleh pada akhir rotasi. Namun demikian, dalam pengelolaan hutan alam sangat berlaku hukum ekonomi sebagai akibat kendala ekologis, yaitu pembatasan produktivitas harus diimbangi dengan efisiensi penggunaan anggaran. Oleh karena itu, agar lebih efektif dan efisien dalam melakukan tindakan pembinaan tegakan tinggal, maka perlu dibatasi jumlah individu pohon yang dibebaskan. Pohon inti yang berdiameter cm sebagai pohon penyusun tegakan dimasa depan perlu mendapatkan prioritas untuk dibina, prioritas berikutnya adalah permudaan tingkat tiang berdiamater cm. 6. Keakuratan hasil kegiatan inventarisasi sangat didukung oleh ketersediaan perangkat pendugaan volume pohon dari setiap jenis pohon yang ada. Melalui penyusunan model pendugaan volume pohon dan sekaligus dihasilkan tabel volume pohon per jenis secara alometri berdasarkan persamaan regresi antara peubah volume dengan diameter dan/atau tinggi pohon terbukti menghasilkan dugaan volume yang cukup teliti dan sederhana sehingga dapat digunakan dalam praktek di lapangan. Namun mengingat volume pohon dipengaruhi jenis dan tempat tumbuh, maka perlu disusun model pendugaan volume untuk setiap jenis dan lokasi unit pengelolaan hutan produksi. 7. Hasil pengamatan pertumbuhan tegakan tinggal di hutan alam produksi pada tebangan lebih dari 3 tahun, menunjukkan kondisi yang masih cukup baik, srtruktur tegakan berbentuk J terbalik, pohon berdiameter lebih dari 40 cm masih tersisa cukup, pohon inti lebih dari 25 pohon/ha, dan permudaan masih cukup tinggi dan riap diameter berkisar antara 0,5 1,8 cm/tahun di hutan

93 tanah kering, sedangkan di hutan tanah basah antar 0,39 0,43 cm/tahun. Hasil sementara ini memberikan gambaran bahwa riap/pertumbuhan tegakan sangat bervariasi tergantung pada site dan kinerja unit pengelola serta keamanan dari hutan tersebut. 8. Hasil uji coba penanaman pada hutan alam produksi yang telah rusak, menunjukkan bahwa pemilihan jenis yang tepat merupakan kunci utama keberhasilan rehabilitasi, selain perlakuan silvikultur seperti penyiapan lahan, pemupukan dan pemeliharaan, serta waktu pelaksanaan penanaman. Pada lahan yang terbuka (tanah semak-belukar, dan bekas TPn) telah ditemukan indikator jenis yang mampu tumbuh dengan baik pada kondisi cahaya penuh yaitu: Dryobalanops aromatica, Hopea mangarawan, Hopea odorata dan Shorea belangeran, sungkai (Peronema canescens), nyatoh (Palaquium spp.), binuang bini (Octomeles sumatrana), nyawai (Ficus veriegata), linggua (Pterocarpus indicus) dan bintangur (Calophyllum soulattri). Jenis-jenis tersebut cocok juga jika ditanam di kirikanan jalan utama IUPHHK-HA. 9. Perlunya penyesuaian sistem silvikultur yang berbasis pada kondisi kawasan hutan dan karakteristik lingkungan setempat. Sistem tersebut harus berpedoman pada prinsip pengelolaan hutan lestari, yaitu menguntungkan secara ekonomis, dapat dipertanggungjawabkan secara ekologis, sosial dan tetap realistik mengarah pada kelestarian hutan, teknik pelaksanaan di lapangan sederhana, memiliki fungsi perlindungan terhadap lingkungan, dan memungkinkan adanya pengawasan di lapangan yang bisa dilaksanakan. Sistem silvikultur yang 82

94 83 disarankan dapat digunakan pada penerapan Multisistem Silvikultur pada areal hutan produksi di areal IUPHHK terdiri dari TPTI, TPTJ, TPTJ-Silin, THPB dan THPB pola Agroforestry. Oleh karena itu, startegi penerapan sistem silvikultur di hutan alam produksi sebagai berikut: a. Kawasan yang aman dari perambahan dan illgal logging diterapkan TPTI dan/atau TR. Jika ada lahan yang kosong, maka pemegang ijin berkewajiban untuk merehabilitasinya dengan menanam jenis-jenis pohon yang mampu tumbuh dengan baik di kondisi lahan tersebut. b. Kawasan hutan alam bekas tebangan dengan potensi tegakan yang rendah, rawan terhadap perambahan dan illegal logging diterapkan TPTJ-Silin. c. Kawasan hutan alam bekas tebangan yang rusak (semakbelukar dan alang-alang) yang rawan terhadap perambahan diterapkan THPB dan dapat menerapkan sistem agroforestry.

95 84 DAFTAR PUSTAKA Abdurachman Riap diameter hutan bekas tebangan setelah 20 tahun perlakuan perbaikan tegakan tinggal di Labanan Berau, Kalimantan Timur. Jurnal Penelitian Dipterokarpa, Vol. 6 (2): Sintesa Hasil Penelitian: Penelitian Pembinaan/Pengayaan Intensif di Hutan Alam Pasca Tebangan. Balai Besar Penelitian Dipterokarpa. Samarinda. Tidak diterbitkan Sintesa Hasil Penelitian: Penelitian Pertumbuhan dan Hasil di Hutan Alam Produksi. Balai Besar Penelitian Dipterokarpa. Samarinda. Tidak diterbitkan. Amir, A. A Canopy gaps and the natural regeneration of Matang mangroves. Forest Ecology and Management 269:60-67 Brokaw, N.V Treefals, Regrowth, and Community Structure in Troomi Forests. In: Pickett S.T.A. and P.S. Whde (editors): The Ecology of Natural Disturbance and Patch Dynamics. Academic Press Inc. Odarbdo, F~. p Aswandi, C.R. Kholibrina, C. Ali, dan M.H. Saputra Sintesa Hasil Penelitian: Teknik Rehabilitasi Hutan Bekas Tebangan pada Hutan Alam Lahan Kering di Sumatera Utara. Balai Penelitian Kehutanan Aek Nauli. Aek Nauli. Tidak diterbitkan. Basri, A Pengaruh penebangan dan penaradan mekanis terhadap kerusakan tegakan sisa pada keadaan lereng yang berbeda di PT. Georgia Pasific Indonesia. [Skripsi]. Universitas Mulawarman, Samarinda. Tidak diterbitkan. [BUK] Bina Usaha Kehutanan Draft Road Map Implementasi Sistem Tebang Pilih Tanam Jalur Teknik Silvikultur Intensif (TPTJ Silin) Indonesia Direktorat Jenderal Bina Usaha Kehutanan. Kementerian Kehutanan. Jakarta. Darwo, R. Effendi dan M. Soleh Laporan Hasil Penelitian: Uji Jenis-jenis Komersial yang Cocok untuk Rehabilitasi Hutan Alam Produksi yang Telah Rusak. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peningkatan Produktivitas Hutan. Bogor. Tidak diterbitkan. [Dephut] Departemen Kehutanan Data Strategis Kehutanan. Departemen Kehutanan. Jakarta.

96 Elias Reduced Impact Logging Buku 1. IPB Press.,Bogor Fujimori, T Ecological and silvicultural strategies for sustainable forest management. Elsevier Science B.V. Amsterdam. 398 pp. Halle, F., R.A.A. Oldeman and P.B. Tomlinson Tropical trees and forest. Springer-Verlag. Heidelberg. Hardjana, A.K Sintesa Hasil Penelitian: Penelitian Model Pendugaan Volume Pohon di Hutan Alam Produksi. Balai Besar Penelitian Dipterokarpa. Samarinda. Tidak diterbitkan. Hastanti, B.W Sintesa Hasil Penelitian: Kajian Efektivitas Sistem-sistem Silvikultur (TPTI/TPTJ/TR) Terhadap Kelestarian Produksi Hutan Alam Lahan Kering. Balai Penelitian Kehutanan Manokwari. Manokwari. Tidak diterbitkan. Hendromono dan Komsatun Nyawai (Ficus variegata Bl.) jenis yang berprospek baik untuk dikembangkan di hutan tanaman. Mitra Hutan Tanaman. Vol. 3 (3): Heriansyah, I Laporan Hasil Penelitian: Strategi Silvikultur dalam Rehabilitasi Areal Bekas Tabengan yang Rusak. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peningkatan Produktivitas Hutan. Bogor. Tidak Diterbitkan. Hu, L., B. Yan, X. Wu, J. Li Calculation method for sunshine duration in canopy gaps and its application in analyzing gap light regimes. Forest Ecology and Management 259: Karmilasanti Sintesa Hasil Penelitian: Kajian Efektivitas Sistem-sistem Silvikultur TPTJ/TPTI/TR Peningkatan Produktivitas Hutan Ditinjau dari Aspek Produksi/Ekonomi, Ekologi dan Sosial (Studi Kasus: Kajian Efektivitas Sistem Silvikultur TPTJ). Balai Besar Penelitian Dipterokarpa. Samarinda. Tidak diterbitkan. Kemenhut [Kementerian Kehutanan] Statistik Kehutanan Indonesia tahun Kementerian Kehutanan. Jakarta. Irawan, A. Kinho, J. Hidayah, N.H. Kafiar, J. Patandi, S.N. Diwi, M.S.R. Mamonto Laporan Hasil Penelitian: Pembangunan Demplot Sumber Benih Unggulan Lokal. Balai Penelitian Kehutanan Manado. Tidak dipublikasikan. Kinho, J. dan Mahfudz Prospek Pengembangan Cempaka di Sulawesi Utara. Balai Penelitian Kehutanan Manado. Kuswandi, R Sintesa Hasil Penelitian: Kajian Model Pendugaan Volume Pohon di Hutan Alam Lahan Kering di 85

97 Papua. Balai Penelitian Kehutanan Manokwari. Manokwari. Tidak diterbitkan. Indrawan, A Sejarah Perkembangan Sistem Silvikultur di Indonesia. Prosiding Lokakarya Nasional Penerapan Multisistem Silvikultur pada Pengusahaan Hutan Produksi dalam Rangka Peningkatan Produktivitas dan Pemantapan Kawasan Hutan. Kerjasama antara Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor dengan Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan, Departemen Kehutanan. Bogor Konsep dan Filosofi Multisistem Silvikultur. Dipresentasikan pada Workshop Multisistem Silvikultur. Optimasi Pemanfaatan Kawasan Hutan Produksi Melalui Multisistem Silvikultur. Kerjasama antara Balai Besar Penelitian Dipterocarpa (Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Kementerian Kehutanan) dengan Balai Pemantauan Pemmanfaatan Hutan Produksi Wilayah X (Direktorat Jenderal Bina Usaha Kehutanan, Kementerian Kehutanan). Pontianak, 4 November Pengelolaan Ekosistem Hutan Produksi Lestari di Indonesia dengan Penerapan Multisistem Silvikultur. Dalam Suharjito, D., dan H.R. Putro. Pembangunan Kehutanan Indonesia Baru: Refleksi dan Inovasi Pemikiran. Bogor. IPB Press. Irawan, A Sintesa Hasil Penelitian: Uji Coba Teknik Rehabilitasi Hutan Alam Produksi yang Telah Terdegradasi. Balai Penelitian kehutanan Manado. Manado. Tidak diterbitkan. Martawijaya A, I. Kartasujana, K. Kadir, dan S.A. Prawira Atlas Kayu Indonesia, Jilid I. Departemen Kehutanan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Bogor. Martawijaya A, I. Kartasujana, Y.I. Mandang, S.A. Prawira dan K. Kadir Atlas Kayu Indonesia, Jilid II. Departemen Kehutanan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Bogor. Makineci, E., M. Dimer, A. Comez, and E. Yilmaz Chemical characteristics of the surface soil, herbaceous cover and organic layer of a compacted skid road in a fir (Abies bornmulleriana Mattf.) forest. Trnasportation Research Part D 12: Muhdi Studi kerusakan tegakan tinggal akibat pemanenan kayu konvensional dan pemanenan kayu berdampak rendah 86

98 di hutan alam Ketapang, Provinsi Kalimantan Barat. [Tesis]. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Tidak diterbitkan. Murniati Teknik pengayaan pada lahan garapan masyarakat di Hutan Penelitian Carita. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. Vol. 9:1, Hal Najafi, A. A. Solgi, and S.H. Sadeghi Soil distrubance following four wheel rubber skidder logging on the steep trail in the north mountainous forest of Iran. Soil & Tillage Research 103: Panjaitan, S., dan Supriadi Penggunaan Kuvio Bentuk Rumpang di Areal Tebangan Hutan Perbukitan di Kintap : Pembuatan Kuvio dan Register Tegakan Rumpang. Desain Lapangan Unit Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (unit PHPL) Menggunakan Kuvio Bentuk Rumpang Di Semua Tipe Hutan dan Kondisi Tegakan. Materi Ekspose Di Departemen Kehutanan. Balai Teknologi Reboisasi Banjarbaru. Panjaitan, S Sintesa Hasil Penelitian: Kajian Efektivitas Sistem Silvikultur Tebang Rumpang terhadap Peningkatan Produktivitas dan Kelestarian Hutan Alam Produksi. Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru. Banjarbaru. Tidak diterbitkan. [PP] Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008, tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Huta. Jakarta. [Permenhut] Peraturan Menteri Kehutanan No. P 30/Menhut- II/2005, tentang Keputusan Menteri Kehutanan No /Kpts-II/2002 dinyatakan tidak berlaku lagi. Departemen Kehutanan. Jakarta. [Permenhut] Peraturan Menteri Kehutanan No. P 11/Menhut- II/2009, tentang Sistem Silvikultur dalam Areal Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Produksi. Departemen Kehutanan. Jakarta. Prameswari, D Kajian teknik cross drain, lubang resapan berpori dan penanaman meranti di bekas jalan sarad. [Disertasi]. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Tidak diterbitkan. 87

99 [Pusdiklat] Pusat Pendidikan dan Latihan Kehutanan Materi Pelatihan Kriteria dan Indikator Pengelolaan Hutan lestari untuk Sektor Pemerintah. Pusdiklat. Bogor. Rab, M.A Recovery of soil physical properties from compaction and soil profil disturbance caused by logging of native forest in Victorian Central Highlands, Australia. Forest Ecology and Management 191: Rimbawanto, A., T. Pamungkas, L. Hakim, Prastyono, dan D. Eko Database jenis-jenis prioritas untuk konservasi genetik dan pemuliaan. Buku 1. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman. Bogor. Rukmantara Menyiasati Kompleksnya Persoalan Daya Saing Kehutanan Menghadapi Asean Economic Community 2015? news.php?id= Diakses 26 Agustus Ruslim, Y Penerapan Reduced Impact Logging Menggunakan Monocable Winch (Pancang Tarik). Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman. Samarinda. Sagala, A.P.S Mengelola Lahan Kehutanan Indonesia. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta Desain Kehutanan Holistik. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. 56 p. Schliemann, S.A., and J.G. Bockheim Methods for studying treefall gaps: A review. Forest Ecology and Management 261: Setyarso, A Analisis rotasi tebang hutan alam produksi di kawasan PT Inhutani II Pulau Laut, Kalimantan Selatan. Tidak diterbitkan. Soekotjo, A. Subiakto dan S. Warsito Project completion report ITTO. PD 41. Faculty of Forastry. Gajah Mada University. Yogyakarta. Soekotjo Teknik Silvikultur Intensif. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Suhartana, S. dan Dulsalam Kerusakan tegakan tinggal akibat kegiatan penebangan dan penyaradan: Kasus di suatu perusahaan hutan di Riau. Jurnal Penelitian Hasil Huan. Volume 12 No. 1. Sumarna. K, Wahjono.D, dan Haruni K Proyeksi potensi hutan alam produksi bekas tebang pilih dan konsep perhitungan jatah produksi tahunan. Diskusi penentuan AAC hutan produksi alam sekunder. Jakarta. 88

100 Sumarni, G, M.Muslich, N. Hadjib, Krisdianto, D. Malik, S. Suprapti, E.Basri, G. Pari, M.I. Iskandar dan R.M. Siagian Sifat dan Kegunaan Kayu : 15 Jenis Andalan Setempat Jawa Barat. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor. Susanty, F.H., A,K. Hardjana, A. Rustami, dan Edy Laporan Hasil Penelitian: Penelitian Model Pendugaan Volume Pohon di Hutan Alam Produksi (Model Pendugaan Volume Pohon Jenis Dipterocarpaceae di Hutan Alam Produksi). Balai Besar Penelitian Dipterokarpa. Samarinda. Tidak diterbitkan. Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Wahjono. D dan Haruni K Penyusunan model dinamika struktur tegakan dan pendugaan riap tegakan sebagai dasar pengaturan hasil yang lestari di hutan alam bekas tebangan. Tidak diterbitkan. Wahjono, Dj Pertumbuhan dan riap tegakan tinggal di beberapa Unit Pengelolaan Hutan Alam Produksi. Info Hutan pada Pusat Penelitian dan pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Vol.: IV(5): Whitmore, T.C., Tropical Rain Forest of The Far East, Clarendon Press, Oxford. 89

101 LAMPIRAN 90

102 Lampiran 1. Karakteristik tempat tumbuh beberapa jenis komersial yang sedang diamati pertumbuhannya 1. Kapur (Dryobalanops aromatica Gaertn) Pohon kapur termasuk famili Dipterocarpaceae dan daerah penyebarannya meliputi Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau dan seluruh Kalimantan. Tinggi pohon antara m dengan tinggi bebas cabang sampai 30 m, diameter cm. Bentuk batang sangat baik, lurus dan silindris dengan tajuk kecil, kadang-kadang berbanir. Umumnya tumbuh di hutan hujan tropis tanah rendah dengan tipe curah hujan A dan B, pada tanah daratan yang kering, datar dan sarang, juga pada pinggir-pinggir lembah dan di atas tanah liat berpasir pada ketinggian m dpl. Kebanyakan tumbuh berkelompok dan hamper murni. Kebutuhan cahaya untuk permudaan kapur termasuk semi toleran. Berat jenis 0,81 (0,63 0,94), kelas kuat I-II, kelas awet II-III. Kayu kapur digunakan untuk balok, tiang, rusuk dan papan pada bangunan perumahan dan jembatan, serta dapat juga untuk peti mati, dan kayu lapis (Martawijaya et al., 2005; Indrawan, 2013) Keruing (Dipterocarpus hasseltii Bl.) Keruing termasuk famili Dipterocarpaceae dan daerah penyebarannya meliputi Seluruh Sumatera, Jawa dan Kalimantan. Tinggi pohon dapat mencapai 50 m dengan tinggi bebas cabang sampai 35 m, diameter mencapai 120 cm. Bentuk batang silindris, berbanir. Umumnya tumbuh di hutan hujan tropis dengan tipe curah hujan A dan B. Jenis ini tumbuh di tempat-tempat yang sewaktu-waktu

103 digenangi air tawar dan di tanah rawa, tetapi lebih banyak tumbuh pada tanah daratan kering di punggung bukit pada tanah berpasir, tanah liat, tanah berbatu, latosol atau podsolik merah kuning pada ketinggian sampai m dpl (Martawijaya, 2005; Rimbawanto et al., 2005). D. hasseltii pada umur 1 tahun setelah tanam di Kalimantan Timur persen hidup 83,3%; riap tinggi 22,3 cm/tahun; dan riap diameter 0,18 cm/tahun. Sedangkan di KHDTK Carita persen hidup 67,3%; riap tinggi 22,7 cm/tahun dan riap diameter 0,33 cm/tahun (Murniati, 2012). Berat jenis 0,70 (0,60 0,98), kelas kuat II, kelas awet III-IV. Kayu keruing cocok untuk konstruksi bangunan, lantai, karoseri (kerangka, lantai dan dinding), bangunan pelabuhan, bantalan kerata api, perkapalan (dek dan kulit tongkang), bagian rumah (balok, tiang, papan dan kerangka atap), dan plywood (Martawijaya et al., 2005; Rimbawanto et al., 2005) Meranti merah (Shorea spp.) Meranti merah (Shorea spp.) termasuk famili Dipterocarpaceae (terutama S. leprosula Miq., S. palembanica Miq., S. macrophylla Ashton, S. parvifolia Dyer, S. pinanga Scheff., S. smithiana Sym., dan S. stenoptera Burck, S. selanica Bl., S. platyclados V.SI., S. Johorensis Foxw.), S. mecistopteryx Ridley. Selanjut-nya jenis-jenis ini dikelompokkan lagi menjadi Shorea penghasil tengkawang, yaitu S. macrophylla Ashton/S. stenoptera Burma., S. stenoptera Burck, S. pinanga Scheff., S.

104 93 mecistopteryx Ridley dan S. splendida (de Vriese) P. (Rimbawanto et la., 2005). Shorea penghasil tengkawang ini cocok juga dikembangkan untuk pengembangan hutan kemasyarakatan. Daerah penyebarannya meliputi Sumatera, Kalimantan dan Maluku. Tinggi pohon dapat mencapai 50 m dengan tinggi bebas cabang sampai 30 m, diameter mencapai 100 cm. Kulit luar berwarna kelabu atau coklat, tebal kulit kurang dari 5 mm. Bentuk batang silindris, tidak berbanir. Meranti merah tumbuh di hutan hujan tropis dengan tipe curah hujan A dan B. Jenis ini tumbuh pada tanah latosol, podsolik kuning pada ketinggian sampai m dpl. Jenis S. stenoptera, S. pinanga, S. macrophylla, dan S. palembanica tumbuh pada tanah rendah yang tergenang air selama musim hujan dan di tepi sungai pada tanah alluvial sampai ketinggian m dpl (Martawijaya et al., 2005; Rimbawanto et la., 2005). Kayu meranti merah dapat dibuat venir tanpa pe7rlakuan pendahuluan. Kayu meranti merah terutama digunakan untuk venir dan kayu lapis, di samping itu dapat juga dipakai untuk konstruksi bangunan (rangka, balok, galar, kaso, pintu, jendela, dinding, lantai dan lain-lain). Selain itu dapat juga dipakai sebagai kayu perkapalan (perahu, kapal kecil dan bagianbagian kapal), peti pengepak, mebel murah, peti mati dan alat music (pipa organ). Buah/biji tengkawang yang didapat dari pohon S. pinanga mengandung lemak sebagai bahan dasar pembuatan coklat, margarin, sabun, lilin dan kosmetik sehingga lebih sering disebut pohon tengkawang. Berat jenis dan kelas kuat masingmasing adalah S. johorensis 0,50 (0,32-0,69), III-IV; S. leprosula 0,52 (0,30-0,86), III-IV; S. macrophylla 0,40 (0,29-0,60), III-IV; S. palembanica 0,55 (0,37-0,69), III-IV; S. parvifolia 0,45 (0,29-0,83),

105 III-IV; S. pinanga 0,42 (0,31-0,57), III-IV; S. platyclados 0,67 (0,34-0,86), II-(IV); S. selanica 0,46 (0,39-0,52), III; S. smithiana 0,50 (0,30-0,72), III-II; dan S. stenoptera 0,49 (0,43-0,52), III. Keawetan meranti merah umumnya termasuk kelas awet III-V (Martawijaya et al., 2005) Merawan (Hopea mengarawan Miq.) Merawan termasuk famili Dipterocarpaceae dan daerah penyebarannya meliputi seluruh Sumatera, seluruh Kalimantan dan Papua. Tinggi pohon m dengan tinggi bebas cabang sampai m, diameter cm. Kulit luar berwarna kelabu-coklat, coklat sampai hitam, beralur dangkal. Berat jenis 0,71 (0,52-0,91), kelas kuat II-(III-I), kelas awet II-III. Kayu merawan banyak digunakan untuk balok, tiang, papan, kayu perkapalan, tong air, ambang jendela, kerangka rumah, talenan dan barang bubutan. Tumbuh di hutan hujan tropis dengan tipe curah hujan A dan B pada dataran kering atau di rawa-rawa, pada tanah pasir, tanah liat atau tanah berbatu-batu dengan ketinggian sampai m dpl (Martawijaya et al., 2005). 5. Resak (Vatica resak Bl.) Resak termasuk famili Dipterocarpaceae dan daerah penyebarannya seluruh Sumatera kecuali Lampung, Seluruh Kalimantan dan Sulawesi, Jawa Barat, Maluku dan Papua. Tinggi pohon m dengan tinggi bebas cabang sampai m, diameter cm dan tidak berbanir. Kulit luar berwarna kelabuputih, tidak beralur, sedikit mengelupas, mengeluarkan dammar berwarna putih atau putih-kuning. Berat jenis 0,60 (0,49-0,65),

106 95 kelas kuat II, kelas awet III. Kayu resak cocok tiang dalam tanah dan air, balok, rusuk dan papan lantai, kayu pertambangan, balok gerbong, tiang listrik, perkapalan, sirap, ambang jendela, rangka pintu dan jendela, bantalan, barang bubutan dan cabinet. Tumbuh secara berkelompok atau tersebar dalam hutan tropis dengan tipe curah hujan A dan B, pada ketinggian sampai 350 m dpl, pada tanah berpasir atau tanah liat yang secara periodik tergenang air tawar seperti di pinggir sungai atau dapat juga tumbuh pada dataran kering (Martawijaya et al., 2005). 6. Nyatoh (Palaquium spp.) Nyatoh termasuk famili Sapotaceae dan daerah penyebarannya seluruh Indonesia. Di daerah Sulawesi, jenis kayu ini biasa disebut juga dengan kuma, kume, nyatoh, nato, nantu, sodu-sodu. Selain itu masyarakat juga banyak mengenal kayu ini dengan sebutan kayu merah, karena disebabkan warnanya yang eksotis yaitu berwarna merah kecoklatan. Tinggi pohon m dengan tinggi bebas cabang sampai m, diameter cm. Bentuk batang lurus dan silindris, kadang-kadang berbanir. Kulit luar berwarna coklat, merah-coklat. Berat jenis 0,73 (0,58-0,88), kelas kuat II-III, kelas awet III-IV. Kayu nyatoh umumnya baik untuk papan perumahan, tiang, balok, rusuk dan papan lantai. Tumbuh pada tipe curah hujan A, tanah berawa dan sebagian pada tanah kering, dengan jenis tanah liat atau tanah berpasir, di daerah

107 banyak hujan pada ketinggian m dpl (Martawijaya et al., 2005) Sungkai (Peronema canescens Jack.) Sungkai termasuk famili Verbenaceae dan daerah penyebarannya Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu, Sumatera Selatan, Lampung, Jawa Barat dan seluruh Kalimantan. Tinggi pohon m dengan tinggi bebas cabang sampai 15 m, diameter mencapai lebih dari 60 cm, batang lurus dan sedikit berlekuk dangkal, tidak berbanir, ranting penuh dengan bulu halus. Kulit luar berwarna kelabu atau sawo muda, beralur dangkal dan mengelupas kecil-kecil tipis. Berat jenis 0,63 (0,52-0,73), kelas kuat II-III dan kelas awet III. Kayu sungkai cocok untuk rangka atap karena ringan dan cukup kuat. Selain itu dipakai juga untuk tiang rumah dan bangunan jembatan. Karena mempunyai gambar yang menarik berupa garis-garis indah sehingga baik untuk vinir mewah, mebel, cabinet dan lain-lain. Tumbuh di tempat terbuka seperti belukar, alang-alang, bekas perladangan atau bekas tebangan. Sungkai tumbuh di dalam hutan hujan tropis dengan tipe curah hujan A sampai C pada tanah kering atau sedikit basah dengan ketinggian sampai 600 m dpl (Martawijaya et al., 2005). 8. Binuang bini (Octomeles sumatrana Miq.) Binuang bini termasuk famili Datiscaceae dan daerah penyebarannya meliputi Aceh, Sumatera Barat, Bengkulu, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi,

108 97 Maluku, Papua. Tinggi pohon bisa mencapai lebih dari 45 m dengan tinggi bebas cabang sampai 30 m, diameter sampai lebih dari 90 cm. Batang tegak, berbanir, kulit luar tebal 5 mm berwarna kelabu, beralur dangkal dan mengelupas kecil-kecil tipis. Umumnya tumbuh pada tanah kering atau kadang-kadang pada tanah lembab di pinggir sungai dengan tekstur tanah liat atau tanah liat berpasir. Iklim yang dihendaki yaitu iklim basah hingga agak kering dengan tipe curah hujan A-C dan ketinggian sampai 600 m dpl. Binuang bini termasuk jenis tumbuh cepat, pada umur 11 tahun dapat mencapai tinggi 10 m dengan diameter 14 cm. Berat jenis 0,33 (0,16 0,48), kelas kuat IV-V, kelas awet V dan dapat dibuat vinir dengan hasil baik tanpa perlakuan pendahuluan. Kayu binuang bini cocok untuk lapisan dalam kayu lapis dan lapisan luar, peti pembungkus, cetakan beton, kotak korek api, peti mati, perahu, kano, dan pertukangan (Martawijaya et al., 2005). 9. Nyawai (Ficus variegata Bl.) Nyawai termasuk famili Moraceae yang merupakan jenis pohon cepat tumbuh dan berpotensi menjadi alternatif substitusi kayu pertukangan (Mindawati, 2010). Penyebaran nyawai meliputi daerah Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, Maluku, dan Sulawesi. Nyawai dapat tumbuh pada ketinggian m dpl dan tipe curah hujan A dan B. Nyawai termasuk jenis yang memerlukan cahaya penuh (intoleran) dan termasuk jenis pionir yang tersebar bersama dengan jenis pionir lainnya seperti jabon putih (Neolamarkia cadamba), mahang

109 (Macaranga spp.), dan benuang bini (Octomeles sumatrana). Tinggi pohon nyawai di hutan bekas terbakar dapat mencapai m dengan batang bebas cabang m serta diameter setinggi dada mencapai 40 cm (Hendromono dan Komsatun, 2008). Kayu nyawai dapat digunakan untuk kayu lapis, konstruksi bangunan ringan, moulding, interior, laci, kotak, pulp dan kertas (Sumarni et al., 2009). Vinir nyawai dapat digunakan untuk vinir muka (face veneer) karena bercorak kayu yang baik yaitu berwarna kuning keputihan, dan dalam proses pembuatan vinirnya tidak memerlukan perlakuan. Kayu lapis nyawai telah memenuhi Standar Nsional Indonesia (SNI), Standar Jepang (JAS), dan Standar Jerman (DIN). Sifat fisik kayunya antara lain; berat jenis 0,27 (0,20-0,43), kelas kuat V, kelas awet V-III, dan kelas keterawetan I yaitu mudah diawetkan (Sumarni et al., 2009) Bintangur (Calophyllum soulattri Bruu.f.var.) Bintangur merupakan jenis yang memiliki habitat asli di Brunei Darussalam, Kamboja, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam. Bintangur merupakan kayu dengan kelas awet IV. Tinggi pohon ini dapat mencapai 30 m, panjang batang bebas cabang hingga 21 m, dengan diameter 80 cm. Bentuk batang lurus dan berdiri tegak dengan percabangan mendatar, tidak berbanir. Kulit luar berwarna kelabu atau putih. Beralur dangkal dan mengelupas besar-besar tipis. Kayu bintangur cocok digunakan sebagai bahan pembuatan kapal (kayu bengkok digunakan sebagai gading-gading, batang

110 99 yang lurus digunakan sebagai tiang layar dan pedayung). Selain itu, kayu bintangur juga lazim digunakan sebagai bahan perumahan seperti balok, tiang, papan lantai, peti, dan konstruksi ringan (Martawijaya et al., 2005). 11. Cempaka (Magnolia elegans (Blume.) H.Keng) Jenis kayu cempaka termasuk dalam kelas awet II dan kelas kuat III dengan berat jenis 0,41-0,61, kerapatan kayu kg/m3, ukuran maksimum pada pohon dapat mencapai tinggi 45 m, diameter cm, tinggi bebas cabang m, kadang-kadang dijumpai berukuran agak pendek dan bercabang banyak, batang silindris, berwarna putih abu-abu kecoklatan, stipula dan tangkai daun muda tanpa bulu. Daun berbentuk menjorong (ellipticus) dengan letak daun bersilangan, ukuran daun 7-36 x 4-16 cm, tidak berbulu atau berbulu balik dipermukaan daun. Ujung daun meruncing (acuminatus), pangkal daun membulat (rotundatus), kadang-kadang tumpul (obtusus). Tangkai daun tidak berbulu atau berindumentum seperti ranting, panjang tangkai daun 1-2,4 cm. Kayu cempaka telah diperdagangkan sejak lama baik dalam bentuk kayu bulat, kayu gergajian dan konstruksi jadi seperti furniture, lemari, pintu, jendela maupun rumah jadi, perahu, panel, alat olahraga, alat musik kolintang dan plywood. Kayu Cempaka merupakan bahan baku utama dalam konstruksi rumah panggung Minahasa (Kinho dan Mahfudz, 2011). Umumnya kayu nantu digunakan sebagai bahan baku untuk

111 100 papan perumahan, tiang, balok dan rusuk. Kayu nantu dapat pula dipakai sebagai bahan untuk membuat perahu atau kano, papan lantai, panil, dinding pemisah dan alat rumah tangga, sedangkan kayu banirnya biasa dipakai untuk dayung, roda gerobak, gagang pacul dan tangkai kapak (Irawan et. al., 2011) 12. Linggua ((Pterocarpus indicus Willd.) Linggua atau Angsana atau juga biasa disebut dengan sonokembang adalah jenis pohon penghasil kayu berkualitas tinggi yang berasal dari suku Fabaceae. Ketinggian pohon linggua dapat mencapai 45 meter, dengan panjang batang bebas cabang berkisar antara 2 meter hingga 16 meter, dengan diameter mencapai 150 cm. Tekstur kayu agak halus sampai agak kasar, arah serat lurus atau bergelombang tidak teratur, warnanya kuning jerami, coklat karat muda, sampai coklat karat tua. Permukaan licin dan mengkilap indah. Berat jenis berkisar 0,39 hingga 0,94, termasuk golongan kelas kuat IV hingga kelas kuat I. Penggunaan pengering modern dapat menjadikan kayu linggua dapat mengering dengan baik tanpa cacat. Warna dan motif serat kayunya yang indah kemerah-merahan, menjadikan kayu linggua banyak dimanfaatkan sebagai kayu pilihan untuk pembuatan mebel, kabinet berkelas tinggi, alat-alat musik, lantai parket, panil kayu dekoratif, gagang peralatan, konstruksi perumahan, kayu vinir, rangka bangunan, tiang, pilar, serta untuk dikupas sebagai venir dekoratif untuk melapisi kayu lapis dan meja berharga mahal.

112 101 Lampiran 2. Foto jenis-jenis tanaman umur 1 tahun yang sedang diuji tingkat pertumbuhan di Jalur tanam TPTJ-Silin, Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah S. leprosula S. mecisopteryx, S. palembanica S. parvifolia

113 102 S. smithiana Hopea odorata Dryobalanops aromatica Vatica resak

114 103 Nyatoh (Palaquim sp.) Nyawai (Ficus variegate) binuang bini (Octomeles sumatrana) Sungkai (Peronema canescens)

115 104 Lampiran 3. Shorea pinanga pada areal hutan alam bekas tebangan (a & b) dan areal semak belukar (c & d) di KHDTK Siali-ali, Kabupaten Padang Lawas-Sumatera Utara a. Umur 1,5 tahun b. Umur 3 tahun c. Umur 1,5 tahun d. Umur 3 tahun

SINTESA HASIL PENELITIAN PENGELOLAAN HUTAN ALAM PRODUKSI LESTARI KOORDINATOR: DARWO

SINTESA HASIL PENELITIAN PENGELOLAAN HUTAN ALAM PRODUKSI LESTARI KOORDINATOR: DARWO SINTESA HASIL PENELITIAN PENGELOLAAN HUTAN ALAM PRODUKSI LESTARI KOORDINATOR: DARWO PERMASALAHAN HUTAN ALAM TERFRAGMENTASI HUTAN PRIMER LOA (KONDISI BAIK, SEDANG) LOA RUSAK PENERAPANTEKNOLOGI PENGELOLAAN

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaturan hasil saat ini yang berlaku pada pengelolaan hutan alam produksi di Indonesia menggunakan sistem silvikultur yang diterapkan pada IUPHHK Hutan Produksi dalam P.11/Menhut-II/2009.

Lebih terperinci

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI SIDANG

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI SIDANG KESIMPULAN DAN REKOMENDASI SIDANG 133 PROSIDING Workshop Nasional 2006 134 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI SIDANG PERTAMA KESIMPULAN 1. Ramin dan ekosistemnya saat ini terancam kelestariannya. Hal ini disebabkan

Lebih terperinci

1 BAB I. PENDAHULUAN. tingginya tingkat deforestasi dan sistem pengelolan hutan masih perlu untuk

1 BAB I. PENDAHULUAN. tingginya tingkat deforestasi dan sistem pengelolan hutan masih perlu untuk 1 BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan tropis merupakan sumber utama kayu dan gudang dari sejumlah besar keanekaragaman hayati dan karbon yang diakui secara global, meskupun demikian tingginya

Lebih terperinci

Hutan. Padang, 20 September Peneliti pada Balai Litbang Kehutanan Sumatera, Aek Nauli

Hutan. Padang, 20 September Peneliti pada Balai Litbang Kehutanan Sumatera, Aek Nauli KAJIAN SISTEM SILVIKULTUR DAN PERTUMBUHAN HUTAN BEKAS TEBANGAN PADA BERBAGAI TIPE HUTAN DI SUMATERA BAGIAN UTARA 1) Oleh : Aswandi 2) dan Rusli MS Harahap 2) ABSTRAK Dasar ilmiah berbagai sistem silvikultur

Lebih terperinci

PUP (Petak Ukur Permanen) sebagai Perangkat Pengelolaan Hutan Produksi di Indonesia

PUP (Petak Ukur Permanen) sebagai Perangkat Pengelolaan Hutan Produksi di Indonesia PUP (Petak Ukur Permanen) sebagai Perangkat Pengelolaan Hutan Produksi di Indonesia Authors : Wahyu Catur Adinugroho*, Haruni Krisnawati*, Rinaldi Imanuddin* * Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hutan alam yang ada di Indonesia banyak diandalkan sebagai hutan produksi

BAB I PENDAHULUAN. Hutan alam yang ada di Indonesia banyak diandalkan sebagai hutan produksi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan alam yang ada di Indonesia banyak diandalkan sebagai hutan produksi untuk mencukupi kebutuhan kayu perkakas dan bahan baku industri kayu. Guna menjaga hasil

Lebih terperinci

Kenapa Perlu Menggunakan Sistem Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) Teknik Silvikultur Intensif (Silin) pada IUPHHK HA /HPH. Oleh : PT.

Kenapa Perlu Menggunakan Sistem Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) Teknik Silvikultur Intensif (Silin) pada IUPHHK HA /HPH. Oleh : PT. Kenapa Perlu Menggunakan Sistem Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) Teknik Silvikultur Intensif (Silin) pada IUPHHK HA /HPH Oleh : PT. Sari Bumi Kusuma PERKEMBANGAN HPH NASIONAL *) HPH aktif : 69 % 62% 55%

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pemanenan Hutan Pemanenan merupakan kegiatan mengeluarkan hasil hutan berupa kayu maupun non kayu dari dalam hutan. Menurut Suparto (1979) pemanenan hasil hutan adalah serangkaian

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian tentang Perkembangan Tegakan Pada Hutan Alam Produksi Dalam Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) dilaksanakan di areal

Lebih terperinci

2 dilakukan adalah redesign manajemen hutan. Redesign manajemen hutan mengarah pada pencapaian kelestarian hutan pada masing-masing fungsi hutan, teru

2 dilakukan adalah redesign manajemen hutan. Redesign manajemen hutan mengarah pada pencapaian kelestarian hutan pada masing-masing fungsi hutan, teru I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keterpurukan sektor kehutanan sudah berjalan hampir 14 tahun belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. Masih besarnya angka laju kerusakan hutan serta bangkrutnya

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 37 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Pola Sebaran Pohon Pemetaan sebaran pohon dengan luas petak 100 ha pada petak Q37 blok tebangan RKT 2011 PT. Ratah Timber ini data sebaran di kelompokkan berdasarkan sistem

Lebih terperinci

Orientasi adalah usaha peninjauan untuk menentukan sikap (arah, tempat, dan sebagainya) yang tepat dan benar (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1989).

Orientasi adalah usaha peninjauan untuk menentukan sikap (arah, tempat, dan sebagainya) yang tepat dan benar (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1989). BAB II METODE KAJIAN 2.1. Pengertian Rekonstruksi, dari kata re : kembali, dan konstruksi : susunan, model, atau tata letak suatu bangunan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1989), dalam hal ini rekonstruksi

Lebih terperinci

PEDOMAN PELAKSANAAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM INDONESIA (TPTI)

PEDOMAN PELAKSANAAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM INDONESIA (TPTI) LAMPIRAN 1. PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BINA PRODUKSI KEHUTANAN NOMOR : P.9/VI-BPHA/2009 TANGGAL : 21 Agustus 2009 PEDOMAN PELAKSANAAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM INDONESIA (TPTI) 1 PEDOMAN PELAKSANAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (renewable resources), namun apabila dimanfaatkan secara berlebihan dan terusmenerus

BAB I PENDAHULUAN. (renewable resources), namun apabila dimanfaatkan secara berlebihan dan terusmenerus BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya hutan merupakan sumberdaya alam yang dapat diperbaharui (renewable resources), namun apabila dimanfaatkan secara berlebihan dan terusmenerus akan mengalami

Lebih terperinci

PEDOMAN PELAKSANAAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM JALUR (TPTJ)

PEDOMAN PELAKSANAAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM JALUR (TPTJ) LAMPIRAN 2. PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BINA PRODUKSI KEHUTANAN NOMOR : P.9/VI-BPHA/2009 TANGGAL : 21 Agustus 2009 PEDOMAN PELAKSANAAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM JALUR (TPTJ) 1 PEDOMAN PELAKSANAAN

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Kondisi Tegakan Sebelum Pemanenan Kegiatan inventarisasi tegakan sebelum penebangan (ITSP) dilakukan untuk mengetahui potensi tegakan berdiameter 20 cm dan pohon layak tebang.

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di dalam areal Hak Pengusahaan Hutan (HPH) PT. Sari Bumi Kusuma, Unit S. Seruyan, Kalimantan Tengah. Areal hutan yang dipilih untuk penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tinggi sehingga rentan terhadap terjadinya erosi tanah, terlebih pada areal-areal

BAB I PENDAHULUAN. tinggi sehingga rentan terhadap terjadinya erosi tanah, terlebih pada areal-areal BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara beriklim tropis dengan curah hujan yang tinggi sehingga rentan terhadap terjadinya erosi tanah, terlebih pada areal-areal tidak berhutan.

Lebih terperinci

PEDOMAN PELAKSANAAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG HABIS PENANAMAN BUATAN (THPB)

PEDOMAN PELAKSANAAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG HABIS PENANAMAN BUATAN (THPB) LAMPIRAN 4. PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BINA PRODUKSI KEHUTANAN NOMOR : P.9/VI-BPHA/2009 TANGGAL : 21 Agustus 2009 PEDOMAN PELAKSANAAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG HABIS PENANAMAN BUATAN (THPB) 1 PEDOMAN

Lebih terperinci

Baharinawati W.Hastanti 2

Baharinawati W.Hastanti 2 Implementasi Sistem Silvikultur TPTI : Tinjauan eberadaan Pohon Inti dan ondisi Permudaannya (Studi asus di Areal IUPHH PT. Tunas Timber Lestari, Provinsi Papua) 1 Baharinawati W.Hastanti 2 BP Manokwari

Lebih terperinci

Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan. Multisistem.

Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan. Multisistem. Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan Policy ISSN : 2085-787X Volume 4 No. 4 Tahun 2010 Daftar Isi Ringkasan 1 Latar

Lebih terperinci

tertuang dalam Rencana Strategis (RENSTRA) Kementerian Kehutanan Tahun , implementasi kebijakan prioritas pembangunan yang

tertuang dalam Rencana Strategis (RENSTRA) Kementerian Kehutanan Tahun , implementasi kebijakan prioritas pembangunan yang PENDAHULUAN BAB A. Latar Belakang Pemerintah telah menetapkan bahwa pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) menjadi salah satu prioritas nasional, hal tersebut tertuang dalam Rencana Strategis (RENSTRA)

Lebih terperinci

MEMBENDUNG meluasnya preseden buruk pengelolaan HPH di Indonesia

MEMBENDUNG meluasnya preseden buruk pengelolaan HPH di Indonesia www.greenomics.org MEMBENDUNG meluasnya preseden buruk pengelolaan HPH di Indonesia 5 Desember 2011 HPH PT Mutiara Sabuk Khatulistiwa -- yang beroperasi di Provinsi Riau -- melakukan land-clearing hutan

Lebih terperinci

TASIKMALAYA 14 DESEMBER 2015

TASIKMALAYA 14 DESEMBER 2015 TASIKMALAYA 14 DESEMBER 2015 SIDIK CEPAT PEMILIHAN JENIS POHON HUTAN RAKYAT BAGI PETANI PRODUKTIFITAS TANAMAN SANGAT DIPENGARUHI OLEH FAKTOR KESESUAIAN JENIS DENGAN TEMPAT TUMBUHNYA, BANYAK PETANI YANG

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Tanaman Industri Hutan Tanaman Industri adalah hutan yang dibangun dalam rangka meningkatkan potensi dan kualitas

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Tanaman Industri Hutan Tanaman Industri adalah hutan yang dibangun dalam rangka meningkatkan potensi dan kualitas II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Tanaman Industri Hutan Tanaman Industri adalah hutan yang dibangun dalam rangka meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur intensif. Hal

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Sebaran luas lahan gambut di Indonesia cukup besar, yaitu sekitar 20,6 juta hektar, yang berarti sekitar 50% luas gambut tropika atau sekitar 10,8% dari luas daratan Indonesia.

Lebih terperinci

IV. HASIL EVALUASI SISTEM SILVIKULTUR DI HUTAN RAWA GAMBUT BERDASARKAN KAJIAN LAPANGAN DAN WAWANCARA

IV. HASIL EVALUASI SISTEM SILVIKULTUR DI HUTAN RAWA GAMBUT BERDASARKAN KAJIAN LAPANGAN DAN WAWANCARA IV. HASIL EVALUASI SISTEM SILVIKULTUR DI HUTAN RAWA GAMBUT BERDASARKAN KAJIAN LAPANGAN DAN WAWANCARA 4.1. IUPHHK Aktif PT. Diamond Raya Timber, Riau Data yang dihimpun dari hasil kajian lapangan di areal

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR NOMOR : 53 TAHUN 2001 T E N T A N G IJIN USAHA HUTAN TANAMAN (IHT) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANJUNG JABUNG TIMUR, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

PEDOMAN PELAKSANAAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG RUMPANG (TR)

PEDOMAN PELAKSANAAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG RUMPANG (TR) LAMPIRAN 3. PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BINA PRODUKSI KEHUTANAN NOMOR : P.9/VI-BPHA/2009 TANGGAL : 21 Agustus 2009 PEDOMAN PELAKSANAAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG RUMPANG (TR) 1 PEDOMAN PELAKSANAAN SISTEM

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam pengelolaan hutan alam produksi, produktivitas hutan menjadi satu

BAB I PENDAHULUAN. Dalam pengelolaan hutan alam produksi, produktivitas hutan menjadi satu BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam pengelolaan hutan alam produksi, produktivitas hutan menjadi satu tuntutan yang harus dipenuhi. Produktivitas ditentukan oleh kualitas tempat tumbuh dan teknik

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pemanenan Hutan Pemanenan hutan merupakan serangkaian kegiatan kehutanan yang mengubah pohon atau biomassa lain menjadi bentuk yang bisa dipindahkan ke lokasi lain sehingga

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Kegiatan penelitian ini dilaksanakan di IUPHHK HA PT. Salaki Summa Sejahtera, Pulau Siberut, Propinsi Sumatera Barat. Penelitian dilakukan pada bulan Nopember

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN KEHUTANAN. Silvilkultur. Hasil Hutan Kayu. Pemanfaatan. Pengendalian. Areal.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN KEHUTANAN. Silvilkultur. Hasil Hutan Kayu. Pemanfaatan. Pengendalian. Areal. No.24, 2009 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN KEHUTANAN. Silvilkultur. Hasil Hutan Kayu. Pemanfaatan. Pengendalian. Areal. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor :P.11/Menhut-II/2009

Lebih terperinci

KODEFIKASI RPI 3. Pengelolaan Hutan Alam Produksi Lahan Kering

KODEFIKASI RPI 3. Pengelolaan Hutan Alam Produksi Lahan Kering KODEFIKASI RPI 3 Pengelolaan Hutan Alam Produksi Lahan Kering LEMBAR PENGESAHAN RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF (RPI) TAHUN 2010 2014 PENGELOLAAN HUTAN ALAM PRODUKSI LAHAN KERING Jakarta, Februari 2010

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekonomis tinggi. Menurut Bermejo et al. (2004) kayu jati merupakan salah satu

BAB I PENDAHULUAN. ekonomis tinggi. Menurut Bermejo et al. (2004) kayu jati merupakan salah satu 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jati merupakan jenis kayu komersil yang bermutu dan memiliki nilai ekonomis tinggi. Menurut Bermejo et al. (2004) kayu jati merupakan salah satu kayu penting yang

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 27 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Kualitas Pembukaan Wilayah Hutan (PWH) 5.1.1 Kerapatan Jalan (WD) Utama dan Jalan Cabang Berdasarkan pengukuran dari peta jaringan jalan hutan PT. Inhutani I UMH Sambarata

Lebih terperinci

2 ekonomi biaya tinggi sebagaimana hasil kajian Komisi Pemberantasan Korupsi Tahun 2013, perlu pengaturan kembali mengenai Inventarisasi Hutan Menyelu

2 ekonomi biaya tinggi sebagaimana hasil kajian Komisi Pemberantasan Korupsi Tahun 2013, perlu pengaturan kembali mengenai Inventarisasi Hutan Menyelu No.690, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENHUT. Hutan Alam. Pemanfaatan. Hutan Kayu. Inventarisasi. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.33/Menhut-II/2014 TENTANG

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisis Citra 5.1.1 Kompilasi Citra Penelitian menggunakan citra Quickbird yang diunduh dari salah satu situs Internet yaitu, Wikimapia. Dalam hal ini penulis memilih mengambil

Lebih terperinci

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang memiliki nilai ekonomi, ekologi dan sosial yang tinggi. Hutan alam tropika

Lebih terperinci

KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM

KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM Muhdi Staf Pengajar Program Studi Teknologi Hasil Hutan Departemen Kehutanan USU Medan Abstract A research was done at natural tropical

Lebih terperinci

KERAGAMAN JENIS ANAKAN TINGKAT SEMAI DAN PANCANG DI HUTAN ALAM

KERAGAMAN JENIS ANAKAN TINGKAT SEMAI DAN PANCANG DI HUTAN ALAM KARYA TULIS KERAGAMAN JENIS ANAKAN TINGKAT SEMAI DAN PANCANG DI HUTAN ALAM OLEH : DIANA SOFIA H, SP, MP NIP 132231813 FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2007 KATA PENGANTAR Syukur Alhamdulillah,

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 16 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di areal IUPHHK-HA PT. Diamond Raya Timber (DRT), Sei. Sinepis, Provinsi Riau. Waktu pelaksanaan penelitian

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR NOMOR 50 TAHUN 2001 T E N T A N G IZIN PEMANFAATAN HUTAN (IPH) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANJUNG JABUNG TIMUR, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Rakyat dan Pengelolaannya Hutan rakyat adalah suatu lapangan yang berada di luar kawasan hutan negara yang bertumbuhan pohon-pohonan sedemikian rupa sehingga secara keseluruhan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.17/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2/2017 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN NOMOR P.12/MENLHK-II/2015

Lebih terperinci

Teknologi rehabilitasi hutan rawa gambut terdegradasi

Teknologi rehabilitasi hutan rawa gambut terdegradasi Teknologi rehabilitasi hutan rawa gambut terdegradasi Teknologi Rehabilitasi Hutan Rawa Gambut Ujicoba Teknik Rehabilitasi Hutan Alam Rawa Gambut Bersulfat Masam Dengan Jenis Melaleuca leucadendron Ujicoba

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Industri dikenal sebagai hutan tanaman kayu yang dikelola dan diusahakan

I. PENDAHULUAN. Industri dikenal sebagai hutan tanaman kayu yang dikelola dan diusahakan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pemanfaatan hutan terutama pemanenan kayu sebagai bahan baku industri mengakibatkan perlunya pemanfaatan dan pengelolaan hutan yang lestari. Kurangnya pasokan bahan baku

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gambir (Uncaria gambir Roxb.) merupakan salah satu komoditas perkebunan yang memiliki nilai ekonomi cukup tinggi serta memiliki prospek yang baik bagi petani maupun

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Berdasarkan hasil paduserasi TGHK - RTRWP pada tahun 1999, luas kawasan hutan alam diduga sekitar 120.353.104 ha (Purnama, 2003), dimana diperkirakan hutan alam yang terdegradasi,

Lebih terperinci

Teknologi rehabilitasi hutan rawa gambut

Teknologi rehabilitasi hutan rawa gambut Teknologi rehabilitasi hutan rawa gambut UjI COBA TEKNIK BIO REMEDIASI BERBAGAI KONDISI HUTAN ALAM RAWA GAMBUT TERDEGRADASI DI SUMSEL Rehabilitasi Hutan Rawa Gambut Sulfat Masam dengan Jenis Melaleuca

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah aliran sungai (DAS) merupakan sistem yang kompleks dan terdiri dari komponen utama seperti vegetasi (hutan), tanah, air, manusia dan biota lainnya. Hutan sebagai

Lebih terperinci

KERAGAMAN PERTUMBUHAN TANAMAN MERANTI MERAH (Shorea leprosula Miq.) PADA BERBAGAI TAPAK

KERAGAMAN PERTUMBUHAN TANAMAN MERANTI MERAH (Shorea leprosula Miq.) PADA BERBAGAI TAPAK 11/1/13 MAKALAH SEMINAR/EKSPOSE HASIL PENELITIAN TAHUN 13 BALAI BESAR PENELITIAN DIPTEROKARPA SAMARINDA KERAGAMAN PERTUMBUHAN TANAMAN MERANTI MERAH (Shorea leprosula Miq.) PADA BERBAGAI TAPAK Oleh: Asef

Lebih terperinci

PERANCANGAN JALAN SAARAD UNTUK MEMINIMALKAN KERUSAKAN LINGKUNGAN MUHDI. Program Ilmu Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara

PERANCANGAN JALAN SAARAD UNTUK MEMINIMALKAN KERUSAKAN LINGKUNGAN MUHDI. Program Ilmu Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara PERANCANGAN JALAN SAARAD UNTUK MEMINIMALKAN KERUSAKAN LINGKUNGAN MUHDI Program Ilmu Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara PENDAHULUAN Pemanenan kayu konvensional merupakan teknik pemanenan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang berkaitan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang berkaitan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang berkaitan dengan manusia di muka bumi. Hutan menjadi pemenuhan kebutuhan manusia dan memiliki fungsi sebagai penyangga

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) merupakan upaya strategis dalam mengatasi permasalahan kelangkaan bahan baku industri pengolahan kayu domestik di Indonesia. Tujuan pembangunan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.33/Menhut-II/2014 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.33/Menhut-II/2014 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.33/Menhut-II/2014 TENTANG INVENTARISASI HUTAN MENYELURUH BERKALA DAN RENCANA KERJA PADA IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU DALAM HUTAN ALAM

Lebih terperinci

DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE

DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE JAKARTA, MEI 2005 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove

Lebih terperinci

Teknik silvikultur intensif di hutan alam bekas tebangan. Dampak penerapan sistem silvikultur terhadap perubahan lingkungan Hutan Alam Produksi

Teknik silvikultur intensif di hutan alam bekas tebangan. Dampak penerapan sistem silvikultur terhadap perubahan lingkungan Hutan Alam Produksi TUJUAN: MENYEDIAKAN IPTEK PENINGKATAN PRODUKTIVITAS HUTAN ALAM PRODUKSI UNTUK MENDUKUNG KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN MENUJU TERWUJUDNYA KELESTARIAN HUTAN DAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT SASARAN: TERSEDIANYA

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.65/Menhut-II/2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR P.11/MENHUT-II/2009 TENTANG SISTEM SILVIKULTUR DALAM AREAL IZIN USAHA

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan waktu Penelitian lapangan dilaksanakan di areal IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma Propinsi Kalimantan Tengah. Areal penelitian merupakan areal hutan yang dikelola dengan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 14 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN.1. Hasil Penelitian.1.1 Pertumbuhan diameter S. leprosula Miq umur tanam 1 4 tahun Hasil pengamatan dan pengukuran pada 4 plot contoh yang memiliki luas 1 ha (0 m x 0 m) dapat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pada tahun 1999 terjadi reformasi institusi kehutanan yang diformalisasikan dalam

I. PENDAHULUAN. Pada tahun 1999 terjadi reformasi institusi kehutanan yang diformalisasikan dalam I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.1.1 Perubahan Institusi Kehutanan Pada tahun 1999 terjadi reformasi institusi kehutanan yang diformalisasikan dalam perubahan undang-undang no 5 tahun 1967 tentang Pokok-Pokok

Lebih terperinci

BAB IV METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian 4.2 Bahan dan Alat 4.3 Metode Pengambilan Data Analisis Vegetasi

BAB IV METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian 4.2 Bahan dan Alat 4.3 Metode Pengambilan Data Analisis Vegetasi BAB IV METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian Kegiatan penelitian ini dilaksanakan mulai bulan April sampai bulan Juni tahun 2009, pada areal hutan produksi perusahaan pemegang Izin Usaha Pemanfaatan

Lebih terperinci

OLEH : SOENARNO PUSAT PENELITIAN KETEKNIKAN KEHUTANAN DAN PENGOLAHAN HASIL HUTAN

OLEH : SOENARNO PUSAT PENELITIAN KETEKNIKAN KEHUTANAN DAN PENGOLAHAN HASIL HUTAN OLEH : SOENARNO PUSAT PENELITIAN KETEKNIKAN KEHUTANAN DAN PENGOLAHAN HASIL HUTAN Kontribusi subsektor kehutanan terhadap PDB terus merosot dari1,5% pada 1990-an menjadi sebesar 0,67% pada tahun 2012 (Pertanian

Lebih terperinci

SEJARAH PERKEMBANGAN SISTEM SILVIKULTUR DI INDONESIA 1. Oleh: Prof. Dr. Ir. Andry Indrawan 2

SEJARAH PERKEMBANGAN SISTEM SILVIKULTUR DI INDONESIA 1. Oleh: Prof. Dr. Ir. Andry Indrawan 2 SEJARAH PERKEMBANGAN SISTEM SILVIKULTUR DI INDONESIA 1 Oleh: Prof. Dr. Ir. Andry Indrawan 2 Pendahuluan Negara Indonesia yang terletak di daerah tropika mempunyai kekayaan alam yang berlimpah ruah dan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.30/Menhut-II/2014 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.30/Menhut-II/2014 TENTANG 1 PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.30/Menhut-II/2014 TENTANG INVENTARISASI HUTAN MENYELURUH BERKALA DAN RENCANA KERJA PADA USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU HUTAN TANAMAN INDUSTRI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang TAHURA Bukit Soeharto merupakan salah satu kawasan konservasi yang terletak di wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara dan Penajam Paser Utara dengan luasan 61.850 ha. Undang-Undang

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian yang meliputi eksplorasi dan pemilihan data PUP, evaluasi, koreksi dan ekstraksi data PUP dilaksanakan di Badan Penelitian dan Pengembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan lingkungan. Fungsi hutan terkait dengan lingkungan, sosial budaya

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan lingkungan. Fungsi hutan terkait dengan lingkungan, sosial budaya 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan sumberdaya alam yang sangat penting dalam menjaga keseimbangan lingkungan. Fungsi hutan terkait dengan lingkungan, sosial budaya dan ekonomi. Fungsi

Lebih terperinci

BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN

BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN A. Kondisi Kekinian dan Status Kawasan Gunung Karang Citra Landsat 7 liputan tahun 2014 menunjukkan bahwa kondisi tutupan lahan Gunung Karang terdiri dari hutan, hutan tanaman

Lebih terperinci

RPI 7 : PENGELOLAAN HUTAN TANAMAN

RPI 7 : PENGELOLAAN HUTAN TANAMAN RPI 7 : PENGELOLAAN HUTAN TANAMAN Tujuan Menyediakan IPTEK peningkatan produktivitas hutan tanaman penghasil kayu pertukangan, kayu pulp dan kayu energi dalam mendukung kemandirian KPH Sasaran Tersedianya

Lebih terperinci

PERMUDAAN ALAM dan PERMUDAAN BUATAN

PERMUDAAN ALAM dan PERMUDAAN BUATAN Laboratorium Silvikultur &Agroforestry Jurusan Budidaya Hutan FakultasKehutanan, UGM PERMUDAAN ALAM dan PERMUDAAN BUATAN SILVIKULTUR Metode Permudaan Metode permudaan merupakan suatu prosedur dimana suatu

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 27 BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Sejarah dan Perkembangan Perusahaan PT. Ratah Timber merupakan salah satu perusahaan swasta nasional yang memperoleh kepercayaan dari pemerintah untuk mengelola

Lebih terperinci

PAPER BIOMETRIKA HUTAN PENDUGAAN POTENSI EKONOMI TEGAKAN TINGGAL PADA SUATU PERUSAHAAN PEMEGANG HAK PENGUSAHAAN HUTAN (HPH) Oleh : Kelompok 4

PAPER BIOMETRIKA HUTAN PENDUGAAN POTENSI EKONOMI TEGAKAN TINGGAL PADA SUATU PERUSAHAAN PEMEGANG HAK PENGUSAHAAN HUTAN (HPH) Oleh : Kelompok 4 PAPER BIOMETRIKA HUTAN PENDUGAAN POTENSI EKONOMI TEGAKAN TINGGAL PADA SUATU PERUSAHAAN PEMEGANG HAK PENGUSAHAAN HUTAN (HPH) Oleh : Kelompok 4 Dinda Wahyuni Venza Rhoma S Meiliana Larasati Rinaldo Pratama

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Tanaman Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) dalam Hutan Tanaman adalah izin usaha yang diberikan untuk memanfaatkan hasil hutan berupa kayu dalam Hutan

Lebih terperinci

Lokasi Penelitian Penetapan Lokasi Kajian Analisa Data

Lokasi Penelitian Penetapan Lokasi Kajian Analisa Data PENDAHULUAN Hutan produksi merupakan suatu kawasan hutan tetap yang ditetapkan pemerintah untuk mengemban fungsi pokok memproduksi hasil hutan. Pengelolaan hutan produksi tidak semata hanya untuk mencapai

Lebih terperinci

KRITERIA DAN STANDAR IJIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU HUTAN TANAMAN PADA HUTAN PRODUKSI

KRITERIA DAN STANDAR IJIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU HUTAN TANAMAN PADA HUTAN PRODUKSI LAMPIRAN KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : 21/Kpts-II/2001 Tanggal : 31 Januari 2001 KRITERIA DAN STANDAR IJIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU HUTAN TANAMAN PADA HUTAN PRODUKSI No KRITERIA STANDAR

Lebih terperinci

Sifat Kimia Tanah pada Hutan Primer dan Areal TPTJ

Sifat Kimia Tanah pada Hutan Primer dan Areal TPTJ Sifat Kimia Tanah pada Hutan Primer dan Areal TPTJ Hasil analisis kimia tanah yang meliputi status bahan organik tanah dan kuantitas N tersedia pada hutan primer, hutan bekas tebangan 1 bulan dan areal

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan tanaman dibangun dalam rangka meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi guna memenuhi kebutuhan bahan baku indutri dengan menerapkan silvikultur sesuai dengan

Lebih terperinci

Paket KUANTITATIF PERTUMBUHAN

Paket KUANTITATIF PERTUMBUHAN Paket KUANTITATIF PERTUMBUHAN Jenis Bambang Lanang Studi Pertumbuhan dan Hasil (Growth and Yield) Pembangunan Database Growth and Yield Kuantifikasi Kualitas Tempat Tumbuh Jenis Kayu bawang Studi Pertumbuhan

Lebih terperinci

MODEL REKLAMASI LAHAN KRITIS PADA AREA BEKAS PENGGALIAN BATU BATA

MODEL REKLAMASI LAHAN KRITIS PADA AREA BEKAS PENGGALIAN BATU BATA PKMM-1-6-2 MODEL REKLAMASI LAHAN KRITIS PADA AREA BEKAS PENGGALIAN BATU BATA Rahmat Hidayat, M Indriastuti, F Syafrina, SD Arismawati, Babo Sembodo Jurusan Pengelolaan Hutan dan Konservasi Sumberdaya Hutan

Lebih terperinci

RINGKASAN HASIL PENELITIAN BALAI BESAR PENELITIAN DIPTEROKARPA TAHUN 2014

RINGKASAN HASIL PENELITIAN BALAI BESAR PENELITIAN DIPTEROKARPA TAHUN 2014 RINGKASAN HASIL PENELITIAN BALAI BESAR PENELITIAN DIPTEROKARPA TAHUN 2014 Diterbitkan Oleh : BALAI BESAR PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN EKOSISTEM HUTAN DIPTEROKARPA BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASI

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : 10.1/Kpts-II/2000 TENTANG PEDOMAN PEMBERIAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU HUTAN TANAMAN MENTERI

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : 10.1/Kpts-II/2000 TENTANG PEDOMAN PEMBERIAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU HUTAN TANAMAN MENTERI KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : 10.1/Kpts-II/2000 TENTANG PEDOMAN PEMBERIAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU HUTAN TANAMAN MENTERI KEHUTANAN, Menimbang : a. bahwa berdasarkan Peraturan Pemerintah

Lebih terperinci

Makalah Utama pada Ekspose Hasil-hasil Penelitian : Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Hutan. Padang, 20 September )

Makalah Utama pada Ekspose Hasil-hasil Penelitian : Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Hutan. Padang, 20 September ) KONSERVASI TANAH DAN AIR: PEMANFAATAN LIMBAH HUTAN DALAM REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN TERDEGRADASI 1) Oleh : Pratiwi 2) ABSTRAK Di hutan dan lahan terdegradasi, banyak dijumpai limbah hutan berupa bagian

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Kegiatan penelitian ini dilakukan di IUPHHK HA (ijin usaha pemamfaatan hasil hutan kayu hutan alam) PT. Salaki Summa Sejahtera, Pulau Siberut,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kerja dan mendorong pengembangan wilayah dan petumbuhan ekonomi.

I. PENDAHULUAN. kerja dan mendorong pengembangan wilayah dan petumbuhan ekonomi. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan Indonesia seluas 120,35 juta hektar merupakan salah satu kelompok hutan tropis ketiga terbesar di dunia setelah Brazil dan Zaire, yang mempunyai fungsi utama sebagai

Lebih terperinci

USAHA KEBUN KAYU DENGAN JENIS POHON CEPAT TUMBUH

USAHA KEBUN KAYU DENGAN JENIS POHON CEPAT TUMBUH USAHA KEBUN KAYU DENGAN JENIS POHON CEPAT TUMBUH Atok Subiakto PUSKONSER, Bogor Antusias masyarakat menanam jabon meningkat pesat Mudah menanamnya Dapat ditanam dimana saja Pertumbuhan cepat Harga kayu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam konteks global emisi gas rumah kaca (GRK) cenderung meningkat setiap tahunnya. Sumber emisi GRK dunia berasal dari emisi energi (65%) dan non energi (35%). Emisi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 2.1 PWH BAB II TINJAUAN PUSTAKA PWH adalah kegiatan penyediaan prasarana wilayah bagi kegiatan produksi kayu, pembinaan hutan, perlindungan hutan, inspeksi kerja, transportasi sarana kerja, dan komunikasi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 25 HASIL DAN PEMBAHASAN Produktivitas Tegakan Berdasarkan Tabel 3 produktivitas masing-masing petak ukur penelitian yaitu luas bidang dasar (LBDS), volume tegakan, riap volume tegakan dan biomassa kayu

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG NORMA, STANDAR, PROSEDUR DAN KRITERIA PENGELOLAAN HUTAN PADA KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG (KPHL) DAN KESATUAN PENGELOLAAN

Lebih terperinci

CAPAIAN KEGIATAN LITBANG

CAPAIAN KEGIATAN LITBANG Balai Besar CAPAIAN KEGIATAN LITBANG 10-14 CAPAIAN RENSTRA 10-14 B2PD 1. Pengelolaan Hutan Alam /sub kegiatan A. Pengelolaan Hutan Alam Produksi Lestari 1) pembinaan/pengayaan intensif di hutan alam pasca

Lebih terperinci

Ekologi Padang Alang-alang

Ekologi Padang Alang-alang Ekologi Padang Alang-alang Bab 2 Ekologi Padang Alang-alang Alang-alang adalah jenis rumput tahunan yang menyukai cahaya matahari, dengan bagian yang mudah terbakar di atas tanah dan akar rimpang (rhizome)

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal memiliki potensi sumberdaya alam yang tinggi dan hal itu telah diakui oleh negara-negara lain di dunia, terutama tentang potensi keanekaragaman hayati

Lebih terperinci

II. METODOLOGI. A. Metode survei

II. METODOLOGI. A. Metode survei II. METODOLOGI A. Metode survei Pelaksanaan kegiatan inventarisasi hutan di KPHP Maria Donggomassa wilayah Donggomasa menggunakan sistem plot, dengan tahapan pelaksaan sebagai berikut : 1. Stratifikasi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) Sistem Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) adalah sistem silvikultur yang digulirkan sebagai alternatif pembangunan hutan tanaman

Lebih terperinci

PROSIDING Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan 2006 : POTENSI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA DAN PERMASALAHANNYA Oleh : Sukadaryati 1) ABSTRAK

PROSIDING Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan 2006 : POTENSI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA DAN PERMASALAHANNYA Oleh : Sukadaryati 1) ABSTRAK POTENSI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA DAN PERMASALAHANNYA Oleh : Sukadaryati 1) ABSTRAK Hutan rakyat sudah lama ada dan terus berkembang di masyarakat. Manfaat yang diperoleh dari hutan rakyat sangat dirasakan

Lebih terperinci

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN BAB III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di hutan hujan tropika yang berlokasi di PT. Austral Byna, Muara Teweh, Kalimantan Tengah. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Kelestarian Hasil BAB II TINJAUAN PUSTAKA Salah satu elemen yang paling penting dalam pengelolaan hutan adalah konsep kelestarian hasil hutan (sustained yield forestry). Definisi kelestarian

Lebih terperinci