UPAYA PBB DALAM PENYELESAIAN KONFLIK GENOSIDA DI RWANDA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "UPAYA PBB DALAM PENYELESAIAN KONFLIK GENOSIDA DI RWANDA"

Transkripsi

1 UPAYA PBB DALAM PENYELESAIAN KONFLIK GENOSIDA DI RWANDA Ade Perkasa & Achmad Bagus Prasetyo Abstract Rwanda is one of the country located in African region. There are two ethnic in Rwanda, Hutu and Tutsi that have become an attention to international society because of its violation of human rights done by Hutu ethnicity to Tutsi violently. This conflict is a sensitive conflict because this is one of the conflict that caused by ethnic problem, because of that problem there are many of Rwandas population become the victims of this conflict. United Nations as an international agency is representing the international society to participate in making a peace efforts for this conflict that took place in Rwanda using peace trilogy theory specifically peace making, peace keeping, and peace building. There are many organizations stands below United Nations is taking part to help the United nations efforts to solve the conflict in Rwanda. Pendahuluan Rwanda adalah sebuah negara yang terletak pada kawasan Afrika Tengah, yang diduduki oleh tiga kelompok etnik yaitu 84% Hutu, 15% Tutsi, dan 1% Twa. Dalam sejarahnya, etnik Hutu mayoritas bekerja dibidang pertanian dan perkebunan, sedangkan etnik Tutsi adalah para pemilik tanah. Perang saudara di Rwanda ini dapat dikatakan bermula dari kebijakan zaman kolonial Belgia pada tahun yang dimana dapat dikatakan kedua etnik tersebut dibedakan oleh kebijakan kolonial tersebut. 1 Etnik Tutsi lebih diunggulkan dibanding dengan etnik Hutu dikarenakan oleh edukasi serta pekerjaan yang dimiliki oleh etnik Tutsi, dan pihak administrasi Belgia pun memperkenalkan kartu identitas khusus yang digunakan untuk dapat membedakan kedua etnik tersebut. Hal tersebut membentuk 1 Billy Batware, Rwandan Ethnic Conflicts: A Historical Look at Root Causes (Austria: European Peace University, 2012) Hlm 1.

2 ketegangan antara kedua etnik tersebut, yang pada akhirnya pada tahun 1959 sebuah perang antar saudara ini terjadi untuk dapat menggulingkan raja dari pihak Tutsi yang berkuasa, dan setelah tiga tahun kemudian tepatnya pada tahun 1962 perang tersebut memberikan kemerdekaan kepada kelompok etnik Hutu yang membuat mayoritas dari anggota pemerintahan Rwanda berasal dari kelompok etnik Hutu. Kejadian ini memakan korban ribuan korban jiwa dari pihak Tutsi, dan sekitar penduduk beretnik Tutsi melarikan diri ke negara-negara tetangga seperti Uganda, Tanzania, Burundi, dan Kongo. 2 Setelah kejadiaan tersebut sudah lama berlalu, penduduk-penduduk keturunan etnik Tutsi yang khususnya berada di kamp-kamp pengungsian di Uganda mulai membentuk sebuah kelompok pemberontak yaitu Rwandan Patriotic Front (RPF), yang pada tahun 1990, RPF memasuki Rwanda dengan atas nama demokrasi, good governance, serta ketidaksetujuan atas kekerasan yang dilakukan pada masa lalu. Konflik Rwanda Era 1990-an Setelah terbentuknya kelompok pemberontakan yang disebut juga dengan RPF, di tahun 1990, tujuan dari kelompok tersebut adalah untuk menggulingkan kepemimpinan Habyarimana (Presiden Rwanda dari kelompok radikal Hutu) serta pemerintahannya dan memberikan jalan agar penduduk beretnik Tutsi yang diasingkan dapat kembali ke Rwanda, dan pada bulan oktober 1990, militan RPF yang berasal dari Uganda mulai kembali memasuki wilayah Rwanda dan bercampur dengan penduduk Tutsi lainnya yang berada di Rwanda. 3 Di tahun 1992, militan RPF berhasil menduduki provinsi-provinsi di bagian utara Rwanda, dan akhirnya tentara Rwanda membalas serangan dari RPF yang mengakibatkan jatuhnya ratusan penduduk etnik Tutsi yang dimana perbuatan kejam tersebut berlalu tanpa adanya hukuman bagi pihak yang bertanggung-jawab atas serangan tersebut, dan sebagai respon lain dari kelompok Habyarimana, mereka membentuk sebuah kelompok milisi sendiri beranggotakan penduduk sipil yang diberikan pelatihan serta persenjataan yang dinamakan the Interahamwe. 4 Dengan adanya serangan yang dilakukan oleh RPF, pemerintahan Habyarimana memberikan persetujuan untuk memulai serta membentuk sebuah propaganda yang bertujuan 2Ibid. 3 Maria van Haperen, The Rwandan Genocide (1994), hlm Ibid.

3 untuk membuat jarak antara etnik Hutu dengan etnik Tutsi. Propaganda yang paling dikenal muncul dengan sebutan Hutu Ten Commandments yang berisikan aturan-aturan yang diperuntukkan kepada penduduk etnik Hutu agar dapat meyakinkan seluruh etnik Hutu bahwa seluruh etnik Tutsi adalah musuh bagi seluruh etnik Hutu. Selain propaganda tersebut, propaganda lainnya adalah seperti gambar-gambar perang, perbudakan, ketidak-adilan, pembunuhan serta kekejaman yang direkayasa oleh pemerintah Hutu yang diperuntukkan agar penduduk etnik Hutu menjadi takut akan kekejaman etnik Tutsi dan mulai mempersenjatai diri mereka sendiri untuk dapat menjaga serta mempertahankan kelompok mereka apabila terjadi serangan dari kelompok etnik Tutsi. 5 Pada bulan maret 1992, Radio Rwanda yang terletak di Bugesera adalah media pertama yang digunakan untuk memberikan propaganda serta perintah secara tidak langsung untuk membunuh orang-orang beretnik Tutsi. Radio tersebut menyiarkan kepada masyarakat umum atas ancaman-ancaman serangan yang akan dilakukan oleh kelompok etnik Tutsi. 6 Respon dari upaya pemerintah Habyarimana ini membuat RPF membentuk sebuah radio sendiri yaitu radio Muhabura. Melihat aksi dari RPF tersebut, pihak Habyarimana membentuk Radio Television Libre des Mille Collines (RTLM), radio tersebut tidak lama mendapat pendengar yang banyak. 7 Terus berlanjutnya konflik di Rwanda pada tahun ini diwarnai dengan beberapa gencatan senjata serta negosiasi dari kedua belah pihak tetapi pada akhirnya tetap tidak mendapatkan kesepakatan. Akhirnya pada bulan Januari 1993, kelompok RPF berhasil untuk mendapatkan pengakuan dari pemerintahan dalam sesi negosiasi. Dan sampai saat itu, Habyarimana selalu dapat mengandalkan Perancis sebagai pemasok kebutuhan-kebutuhan yang dapat dipercaya dalam bidang persenjataan serta bantuan-bantuan politik, akan tetapi dengan seiring berjalannya waktu, pemerintah Perancis percaya bahwa pemerintahan Rwanda sangat membutuhkan bantuan yang lebih dari sebelumnya apabila ingin terus melawan kelompok RPF, dan pada akhirnya pihak Perancis semakin lama semakin tidak bersedia untuk menyediakan bantuan-bantuannya seperti sebelumnya. 8 Dengan kondisi menguatnya pasukan RPF dan melemahnya bantuan yang diberikan oleh pihak Perancis ini membuat pihak Habyarimana mengeluarkan ide untuk memobilisasi 5Ibid.,hlm Allan Thompson, The Media and The Rwanda Genocide (London: Pluto Press, 2007) hlm Maria van Haperen, The Rwandan Genocide (1994), hlm Ibid.,hlm 43.

4 para penduduk sebagai salah satu cara mempertahankan diri serta memaksa para penduduk untuk dapat membantu tentara Rwanda. Dengan bergabungnya penduduk-penduduk sipil dalam membantu mobilitas tentara Rwanda, berbagai propaganda serta pihak-pihak militer telah menjelaskan bahwa musuh dari mereka adalah penduduk sipil beretnik Tutsi dan juga para militan RPF. 9 Pada 6 April 1994 pesawat Presiden Habyarimana ditembak jatuh oleh pihak yang tidak menyetujui rencana Presiden dalam membangun demokrasi di Rwanda. Alasan penembakan tersebut dilakukan sebagai bentuk protes terhadap rencana Presiden Habyarimana untuk masa depan Rwanda dan pembagian kekuasaan kepada etnis-etnis tersebut. Dalam rentang waktu setelah tewasnya Presiden Habyarimana, kelompok ekstrimis yang merupakan bagian dari partai politik etnis Hutu melakukan kudeta yang pada akhirnya dapat menguasai pemerintahan Rwanda. Peristiwa inilah yang menjadi pemicu pembantaian etnis besar-besaran di Rwanda, hal tersebut memicu etnis Hutu dalam membantai etnis Tutsi dan pihak manapun yang mendukung Arusha Accord. Pasukan Khusus Pengawal Presiden dengan bantuan instruktur Perancis segera beraksi. Mereka bekerja sama dengan kelompok militan Rwanda, Interahamwe dan Impuzamugambi. 10 Kelompok bersenjata tersebut membunuh siapa saja yang mendukung Arusha Accord tanpa peduli status. Perdana Menteri Rwanda yang berasal dari suku Tutsi tak lepas dari pembunuhan kelompok bersenjata.selain dia, masih ada nama-nama dari kalangan menteri, pastor dan siapa saja yang mendukung maupun terlibat dalam negosiasi Arusha Accord. Korban yang tewas tidaklah sedikit, sebagian korban diletakkan begitu saja dan tidak dimakamkan secara layak. Pegunungan Gisozi disinyalir menjadi tempat pemakaman massal. Di tempat ini diperkirakan terdapat jasad korban pembantaian. 11 Pembantaian ini dilakukan oleh Pemerintahan Rwanda yang berisi pihak-pihak etnis Hutu. Dalam pembantaian ini, tidak kurang dari jiwa bahkan lebih etnis Tutsi menjadi korban pembantaian. 12 Lalu setelah Kigali jatuh ke tangan oposisi RPF pada 4 Juli 1994, sekitar 300 mayat masih saja terlihat di alam terbuka di kota Nyarubuye berjarak 100 9Ibid. 10 Dinah L. Shelton, 2005, Encyclopedia of Genocide and Crimes Against Humanity, Vol 1 dan 2, Thomson Gale, Detroit, New York, San Fransisco, San Diego, New Haven, Conn, Waterville Maine, London, Munich diakses pada 17 September 2014, Pukul WIB. 12 Ibid.

5 km dari timur Kigali. Korban yang jatuh dari etnis lain tidak diketahui, akan tetapi kemungkinan besar ada walaupun tidak banyak jumlahnya. Upaya PBB dalam Penyelesaian Konflik di Rwanda Upaya Peace Keeping oleh PBB Setelah tiga tahun konflik antara pemerintah Rwanda dengan kelompok RPF berjalan, akhirnya pada bulan agustus 1993 konflik tersebut diselesaikan dengan penandatanganan Arusha Accord. Arusha Accord adalah sebuah kesepakatan yang ditanda-tangani di Tanzania dibawah tekanan pihak internasional yang bertujuan untuk membentuk perdamaian dari situasi krisis serta perang saudara yang terjadi di Rwanda, yang diikuti oleh hampir seluruh pihak yang terlibat. 13 Salah satu dari bagian kesepakatan tersebut adalah pembentukan pasukan perdamaian oleh United Nations (UN) yang lebih dikenal dengan sebutan United Nations Assistance Mission for Rwanda (UNAMIR) yang bertugas untuk membantu implementasi dari kesepakatan tersebut. UNAMIR dibentuk atas resolusi nomor 872 melalui sidang pada 5 Oktober 1993 sebagai pasukan khusus yang membawa misi perdamaian PBB untuk menjaga perdamaian di Rwanda selama enam bulan. Kelemahan dan kekurangan dari keberadaan UNAMIR adalah tidak adanya izin dari para Dewan Keamanan PBB untuk menggunakan senjata ketika terjadi kerusuhan atau keadaan perang oleh kaum militan Hutu maupun pemberontak Tutsi. Resolusi Dewan Keamanan PBB hanya menetapkan kontribusi UNAMIR terhadap keamanan kota Kigali dalam area terbatas dengan penetapan weapons secure area yang telah disepakati oleh kedua belah pihak yang bertikai di dalam dan di sekitar kota Kigali. Pembatasan kinerja pasukan dalam melakukan pengamanan Mandat PBB yang diberikan pada UNAMIR antara lain : a. Memonitor pengawasan gencatan senjata b. Memonitor situasi keamanan selama periode akhir mandat pemerintahan transisi sampai diadakannya pemilu c. Membantu pembersihan ranjau 13 Maria van Haperen, The Rwandan Genocide (1994), hlm 102.

6 d. Melakukan investigasi e. Mencari kejadian-kejadian sejenis dan melaporkan ke Sekretaris Jenderal PBB. f. Memonitor proses pemulangan kembali pengungi Rwanda. g. Membantu koordinasi bantuan kemanusiaan. Intervensi PBB di Rwanda tidak berlangsung efektif akibat adanya sejumlah faktor kelemahan. Dengan dibekali mandat yang lemah, dan kurangnya persenjataan, perlengkapan serta dukungan logistik, UNAMIR bukan hanya gagal menjamin proses pedamaian dan implementasi Arusha Accord, tetapi juga gagal mencegah dan menghentikan terjadinya genosida. Kegagalan memberikan respon yang layak terhadap genosida juga ditunjukkan oleh PBB dengan mengurangi secara drastis jumlah pasukan internasional justru pada saat kehadirannya sangat diperlukan. Sumber utama kegagalan PBB dalam mengatasi bencana kemanusiaan di Rwanda lebih disebabkan oleh faktor politis; negara negara besar dan anggota Dewan Keamanan PBB kurang memiliki political willdalam mengupayakan penyelesaian konflik Rwanda secara sungguh sungguh. Keengganan politis ini terlihat, baik pada proses awal pembentukan UNAMIR maupun di tengah berlangsungnya misi tersebut. UNAMIR terbentuk dengan mandat yang lemah, kekuatan pasukan, persenjataan dan perlengkapan yang kurang memadai. Setiap upaya untuk memperkuat mandat UNAMIR dan meningkatkan kapabilitasnya selalu ditentang, terutama oleh Amerika Serikat dan Ingrris, meskipun konlfik di Rwanda semakin menunjukkan tanda tanda meningkatnya kekerasan dalam skala besar. Di tengah terjadinya genosida, Dewan Keamanan PBB justru mengurangi dan menarik sebagian besar pasukannya dari Rwanda, dan bukan mencari upaya untuk mengatasi kendala kendala yang ada. Seandainya pasukan PBB yang telah ada di lapangan diberikan kekuatan militer dan mandat yang memadai, genosida mungkin akan dapat dicegah atau setidaknya dibatasi. Keengganan politis pula yang menyebabkan tidak terpenuhinya kebutuhan pasukan UNAMIR II. Upaya Peace Building oleh PBB Dewan Keamanan PBB memerintahkan pelaksanaan investigasi dari tindak kekerasan menurut hukum humaniter internasional yang terjadi di Rwanda. Pada 8 Juni 1994, Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi 925 disertai dengan laporan sekretaris jendral mengenai situasi di Rwanda pada 31 Mei 1994 yang menyimpulkan bahwa pembunuhan yang

7 terjadi di Rwanda merupakan tindak genosida, Dewan Keamanan PBB menekankan bahwa tindakan genosida telah terjadi di Rwanda dan genosida merupakan tindakan kriminal yang dapat dihukum berdasarkan hukum internasional. 14 Atas dasar hal tersebut, Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi 935 dan membentuk komisi untuk melakukan investigasi terhadap kejahatan-kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan perang yang terjadi dalam peristiwa di Rwanda. 15 Genosida di Rwanda berakhir pada 18 Juli 1994 ditandai dengan kemenangan dari pihak RPF. Paska berakhirnya peristiwa genosida di Rwanda, PBB membentuk sebuah badan peradilan ad hoc yang bertugas mengadili seluruh pelaku tindak kejahatan HAM dan bertanggung-jawab atas peristiwa genosida.keputusan pembentukan badan peradilan ad hoc juga didasari oleh permintaan khusus dari pemerintah Rwanda untuk mengadili para pelaku genosida. 16 International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR) merupakan pengadilan ad hoc yang dibentuk berdasarkan keputusan Dewan Keamanan PBB merujuk pada peristiwa yang terjadi di Rwanda tergolong kedalam tindakan genosida serta kejahatan terhadap kemanusiaan yang termasuk kedalam juridiksi dari hukum internasional. Dalam hal ini PBB merasa memiliki tanggung-jawab atas peristiwa tersebut, seperti yang tercantum dalam konvensi PBB tahun 1948 tentang genosida (UN Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide), dimana PBB berkewajiban untuk mencegah, membantu penyelesaian konflik serta mengadili para pelaku tindak kejahatan dalam peristiwa genosida. 17 Pengadilan kejahatan internasional untuk Rwanda (ICTR) dibentuk melalui resolusi Dewan Keamanan PBB no.955 pada tahun 1994, dalam statusnya menyatakan bahwa lingkup kewenangan tersebut adalah mengadili mereka yang bertanggung jawab atas tindak kejahatan internasional. Juridiksi ICTR meliputi: genosida; kejahatan terhadap kemanusiaan (Crimes against humanity); dan pelanggaran pasal 3 seluruh konvensi-konvensi jenewa 1949 beserta protocol tambahan II tahun 1977 (Violation of common article 3 Geneva Convention and editional protocol II of 1977) R.A Dallaire dan B. Poulin, UNAMIR, Mission to Rwanda (1995) hlm Ibid United Nations Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide, Statute of the International Criminal Tribunal for Rwanda, 1994.

8 Pembentukan ICTR diharapkan dapat berkontribusi dalam proses resolusi konflik yakni pembangunan perdamaian (Peace Building) di Rwanda. Konsep dari pembangunan perdamaian paska konflik ditujukan untuk menciptakan kondisi yang mencegah terjadinya kembalinya sebuah konflik, dan Peace Building harus menjadi pelengkap dari usaha yang telah dijalankan dalam proses Peace Keeping dengan tujuan menciptakan rasa percaya diantara masyarakat paska konflik. 19 ICTR merupakan badan yang berperan dalam tahapan Peace Building yang diharapkan dapat berkontribusi dalam pencapaian rekonsiliasi di Rwanda. Penutup Konflik yang terjadi di Rwanda adalah sebuah konflik internal antara etnis Hutu dengan etnis Tutsi yang memperebutkan kekuasaan dalam pemerintahan Rwanda yang disebabkan oleh rasa fanatis yang dimiliki oleh etnis Hutu terhadap etnis Tutsi. Hal ini disebabkan karena etnis Tutsi sebagai etnis minoritas dapat menguasai pemerintahan Rwanda, sedangkan etnis Hutu sebagai etnis mayoritas sama sekali tidak mendapatkan peran dalam pemerintahan Rwanda. Karena etnis Tutsi adalah etnis minoritas di Rwanda, mereka merasa terancam dan akhirnya banyak dari etnis Tutsi melarikan diri dari Rwanda ke berbagai negara sekitar Rwanda. Penduduk yang berada di tempat-tempat pengungsian tersebut akhirnya merasa bahwa mereka masih bagian dari Rwanda yang pada akhirnya membuat mereka bersatu dan membentuk RPF. Aksi dari RPF dapat dikatakan memukul pihak pemerintahan Rwanda dan membuat pemerintahan Rwanda harus melakukan perlawanan agar dapat mempertahankan posisi mereka. Hal ini membuat banyaknya korban yang berjatuhan di wilayah Rwanda. Dengan terus berlanjutnya konflik antara kedua etnis tersebut, hal ini menyebabkan banyaknya pelanggaran HAM yang terjadi di Rwanda dan pada akhirnya menjadi sorotan dari pihak internasional yang memaksa mereka untuk melakukan upaya perdamaian dengan membentuk sebuah kesepakatan yang dinamakan Arusha Accord. Arusha Accord adalah salah satu bentuk upaya peace keeping yang dilakukan oleh PBB untuk dapat menghentikan konflik yang berada di Rwanda yang juga disepakati oleh Presiden Rwanda saat itu. Kesepakatan ini memberikan mandat kepada pasukan perdamaian 19Resolusi diadopsi oleh Majelis Umum PBB no.47/120 B.An Agenda for Peace, 1993.

9 PBB untuk masuk kedalam Rwanda dan juga memaksa pihak yang berkonflik untuk melakukan gencatan senjata. Kesepakatan ini tidak berlangsung lama sebelum terjadinya sebuah insiden yang melibatkan Presiden Rwanda saat itu terbunuh oleh pihak-pihak yang tidak menyetujui adanya kesepakatan Arusha Accord dan membuat mereka dapat menduduki pemerintahan Rwanda. Hal ini menimbulkan konflik baru di Rwanda yang dilakukan oleh pemerintah Rwanda untuk melawan pihak-pihak yang menyetujui kesepakatan Arusha Accord baik mereka adalah etnis Tutsi ataupun etnis Hutu. Konflik ini menimbulkan pembataian besarbesaran yang dapat dikategorikan sebagai tindakan genosida. Konflik ini berakhir dengan kemenangan dari pihak RPF dengan menguasai banyak wilayah di Rwanda. Dengan berakhirnya konflik yang terjadi di Rwanda ini, pihak internasional dengan segera masuk ke Rwanda. PBB melanjutkan usaha perdamaiannya dengan melakukan upaya peace building dengan membentuk sebuah pengadilan internasional yang disebut International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR) yang bertugas untuk dapat mengadili pihak-pihak yang bertanggung jawab atas insiden genosida ini.

10 DAFTAR PUSTAKA Batware, Billy. (2012). Rwandan Ethnic Conflicts: A Historical Look at Root Causes, Austria: European Peace University. Maria van Haperen. (1994). The Rwanda Genocide. R.A Dallaire dan B. Poulin, (1995). UNAMIR, Mission to Rwanda Resolusi diadopsi oleh Majelis Umum PBB no.47/120 B. An Agenda for Peace, 1993 Shelton, Dinah. L. (2005). Encyclopedia of Genocide and Crimes Against Humanity, New York. Statute of the International Criminal Tribunal for Rwanda, 1994 Thompson, Allan. (2007). The Media and The Rwanda Genocide, London: Pluto Press. United Nations Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide, 1948 Website: diakses pada 17 September 2014

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Kornblurn dalam Susan, mengatakan bahwa konflik menjadi fenomena yang

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Kornblurn dalam Susan, mengatakan bahwa konflik menjadi fenomena yang BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Konflik dalam kehidupan manusia Kornblurn dalam Susan, mengatakan bahwa konflik menjadi fenomena yang paling sering muncul karena konflik selalu menjadi bagian hidup manusia yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Berakhirnya Perang Dingin menyebabkan munculnya perubahan mendasar

BAB I PENDAHULUAN. Berakhirnya Perang Dingin menyebabkan munculnya perubahan mendasar BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berakhirnya Perang Dingin menyebabkan munculnya perubahan mendasar pada bentuk konflik yang terjadi. Konflik antar negara (inter-state conflict) yang banyak terjadi

Lebih terperinci

KEGAGALAN INTERNATIONAL CRIMINAL COURT (ICC) DALAM PENYELESAIAN KONFLIK SUDAN RESUME. Disusun oleh : PETRUS CORNELIS DEPA

KEGAGALAN INTERNATIONAL CRIMINAL COURT (ICC) DALAM PENYELESAIAN KONFLIK SUDAN RESUME. Disusun oleh : PETRUS CORNELIS DEPA KEGAGALAN INTERNATIONAL CRIMINAL COURT (ICC) DALAM PENYELESAIAN KONFLIK SUDAN RESUME Disusun oleh : PETRUS CORNELIS DEPA 151060046 JURUSAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS

Lebih terperinci

INTERNATIONAL MILITARY TRIBUNAL NUREMBERG

INTERNATIONAL MILITARY TRIBUNAL NUREMBERG PENGADILAN HAM A. INTERNATIONAL MILITARY TRIBUNAL (IMT) NUREMBERG B. INTERNATIONAL MILITARY TRIBUNAL FOR THE FAR EAST (IMTFE TOKYO C. INTERNATIONAL TRIBUNAL FOR THE PROSECUTION OF PERSONS RESPONSIBLE FOR

Lebih terperinci

PENGADILAN PIDANA INTERNASIONAL

PENGADILAN PIDANA INTERNASIONAL PENGADILAN PIDANA INTERNASIONAL PENGADILAN PIDANA INTERNASIONAL AD HOC IMT NUREMBERG IMT TOKYO ICTY ICTR SIERRA LEONE CAMBODIA TIMOR TIMUR / INDONESIA IMT - NUREMBERG NOVEMBER 1945 SEPTEMBER 1946 22 TERDAKWA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hukum Humaniter Internasional bertujuan untuk memanusiawikan perang agar korban

BAB I PENDAHULUAN. Hukum Humaniter Internasional bertujuan untuk memanusiawikan perang agar korban BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Hukum Humaniter Internasional bertujuan untuk memanusiawikan perang agar korban akibat perang seminimal mungkin dapat dikurangi. Namun implementasinya,

Lebih terperinci

4/8/2013. Mahkamah Pidana Internasional

4/8/2013. Mahkamah Pidana Internasional Mahkamah Pidana Internasional Sekilas tentang Mahkamah Pidana Internasional (ICC) Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court - ICC) didirikan berdasarkan Statuta Roma tanggal 17 Juli 1998,

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT PANJA KOMISI III DPR-RI DENGAN KEPALA BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL (BPHN) DALAM RANGKA PEMBAHASAN DIM RUU TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA ---------------------------------------------------

Lebih terperinci

Westget Mall diperkirakan merupakan supermarket milik Israel yang sering dikunjungi orang-orang asing.

Westget Mall diperkirakan merupakan supermarket milik Israel yang sering dikunjungi orang-orang asing. Westget Mall diperkirakan merupakan supermarket milik Israel yang sering dikunjungi orang-orang asing. Balas campur tangan militer Kenya di Somalia, kelompok al Shabab menyerang sebuah mal di Nairobi,

Lebih terperinci

BAB 5 PENUTUP. 5.1.Kesimpulan

BAB 5 PENUTUP. 5.1.Kesimpulan 99 BAB 5 PENUTUP 5.1.Kesimpulan Berbagai macam pernyataan dari komunitas internasional mengenai situasi di Kosovo memberikan dasar faktual bahwa bangsa Kosovo-Albania merupakan sebuah kelompok yang memiliki

Lebih terperinci

Eksistensi Konvensi Jenewa di Masa Depan

Eksistensi Konvensi Jenewa di Masa Depan Eksistensi Konvensi Jenewa di Masa Depan Menilai dari jumlah korban sipil dan penyebaran teror terhadap warga sipil terutama rakyat Gaza yang dilakukan oleh Israel selama konflik sejak tahun 2009 lalu

Lebih terperinci

PELAKSANAAN INTERVENSI HAK ASASI MANUSIA DALAM KONFLIK BERSENJATA NON INTERNASIONAL DI DARFUR

PELAKSANAAN INTERVENSI HAK ASASI MANUSIA DALAM KONFLIK BERSENJATA NON INTERNASIONAL DI DARFUR PELAKSANAAN INTERVENSI HAK ASASI MANUSIA DALAM KONFLIK BERSENJATA NON INTERNASIONAL DI DARFUR Oleh Elinia Reja Purba I Gede Pasek Eka Wisanajaya I Made Budi Arsika Program Kekhususan Hukum Internasional

Lebih terperinci

Kata Kunci: Konflik di Rwanda, Radio Television Libre Des Mille Collines, Majalah Kangura,

Kata Kunci: Konflik di Rwanda, Radio Television Libre Des Mille Collines, Majalah Kangura, PERAN RADIO TELEVISION LIBRE DES MILLE COLLINES DAN MAJALAH KANGURA DALAM PERKEMBANGAN KONFLIK ANTARA ETNIS HUTU-TUTSI DI RWANDA, AFRIKA (1990-1994) Penulis 1 Penulis 2 : Alfian Singgih Widiyanto : Terry

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perang atau konflik bersenjata merupakan salah satu bentuk peristiwa yang

BAB I PENDAHULUAN. Perang atau konflik bersenjata merupakan salah satu bentuk peristiwa yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perang atau konflik bersenjata merupakan salah satu bentuk peristiwa yang hampir sama tuanya dengan peradaban kehidupan manusia. Perang merupakan suatu keadaan dimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. internasional, negara harus memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi yaitu,

BAB I PENDAHULUAN. internasional, negara harus memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi yaitu, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara merupakan salah satu subjek hukum internasional. Sebagai subjek hukum internasional, negara harus memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi yaitu, salah satunya

Lebih terperinci

negara-negara di Afrika Barat memiliki pemerintahan yang lemah karena mereka sebenarnya tidak memiliki kesiapan politik, sosial, dan ekonomi untuk

negara-negara di Afrika Barat memiliki pemerintahan yang lemah karena mereka sebenarnya tidak memiliki kesiapan politik, sosial, dan ekonomi untuk BAB IV KESIMPULAN Sejak berakhirnya Perang Dingin isu-isu keamanan non-tradisional telah menjadi masalah utama dalam sistem politik internasional. Isu-isu keamanan tradisional memang masih menjadi masalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perang etnis menurut Paul R. Kimmel dipandang lebih berbahaya dibandingkan perang antar negara karena terdapat sentimen primordial yang dirasakan oleh pihak yang bertikai

Lebih terperinci

Prinsip "Jus Cogens" dalam Hukum Internasional

Prinsip Jus Cogens dalam Hukum Internasional Prinsip "Jus Cogens" dalam Hukum Internasional Mochammad Tanzil Multazam Universitas Muhammadiyah Sidoarjo "Adalah norma yang memaksa dan mengikat pembentuk hukum internasional" Prinsip jus cogens oleh

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.324, 2013 KEMENTERIAN PERTAHANAN. Hukum. Humaniter. Hak Asasi Manusia. Penyelenggaraan Pertahanan Negara. Penerapan. PERATURAN MENTERI PERTAHANAN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

yang berperan sebagai milisi dan non-milisi. Hal inilah yang menyebabkan skala kekerasan terus meningkat karena serangan-serangaan yang dilakukan

yang berperan sebagai milisi dan non-milisi. Hal inilah yang menyebabkan skala kekerasan terus meningkat karena serangan-serangaan yang dilakukan Bab V Kesimpulan Hal yang bermula sebagai sebuah perjuangan untuk memperoleh persamaan hak dalam politik dan ekonomi telah berkembang menjadi sebuah konflik kekerasan yang berbasis agama di antara grup-grup

Lebih terperinci

INTERVENSI KEMANUSIAAN (HUMANITARIAN INTERVENTION) MENURUT HUKUM INTERNASIONAL DAN IMPLEMENTASINYA DALAM KONFLIK BERSENJATA

INTERVENSI KEMANUSIAAN (HUMANITARIAN INTERVENTION) MENURUT HUKUM INTERNASIONAL DAN IMPLEMENTASINYA DALAM KONFLIK BERSENJATA INTERVENSI KEMANUSIAAN (HUMANITARIAN INTERVENTION) MENURUT HUKUM INTERNASIONAL DAN IMPLEMENTASINYA DALAM KONFLIK BERSENJATA Emi Eliza Fakultas Hukum Universitas Lampung Email : emieliza92@gmail.com Heryandi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Konflik Hizbullah-Israel dimulai dari persoalan keamanan di Libanon dan Israel yang telah

I. PENDAHULUAN. Konflik Hizbullah-Israel dimulai dari persoalan keamanan di Libanon dan Israel yang telah I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konflik Hizbullah-Israel dimulai dari persoalan keamanan di Libanon dan Israel yang telah terjadi atau mempunyai riwayat yang cukup panjang. Keamanan di wilayah Libanon

Lebih terperinci

BAB III PROBLEMATIKA KEMANUSIAAN DI PALESTINA

BAB III PROBLEMATIKA KEMANUSIAAN DI PALESTINA BAB III PROBLEMATIKA KEMANUSIAAN DI PALESTINA Pada bab ini penulis akan bercerita tentang bagaimana sejarah konflik antara Palestina dan Israel dan dampak yang terjadi pada warga Palestina akibat dari

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. diskriminasi antar etnis yang telah berlangsung sejak lama merupakan salah

BAB V KESIMPULAN. diskriminasi antar etnis yang telah berlangsung sejak lama merupakan salah BAB V KESIMPULAN Genosida pada tahun 1994 sangat merugikan masyarakat. Adanya diskriminasi antar etnis yang telah berlangsung sejak lama merupakan salah satu penyebab terjadinya genosida di Rwanda selain

Lebih terperinci

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN. tuntutan. Jadi peradilan internasional diselenggarakan untuk mencegah pelaku

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN. tuntutan. Jadi peradilan internasional diselenggarakan untuk mencegah pelaku 55 BAB III KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Setelah diuraikan dalam bab-bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa Peradilan internasional baru akan digunakan jika penyelesaian melalui peradilan nasional

Lebih terperinci

MENEGAKKAN TANGGUNG JAWAB MELINDUNGI: PERAN ANGGOTA PARLEMEN DALAM PENGAMANAN HIDUP WARGA SIPIL

MENEGAKKAN TANGGUNG JAWAB MELINDUNGI: PERAN ANGGOTA PARLEMEN DALAM PENGAMANAN HIDUP WARGA SIPIL MENEGAKKAN TANGGUNG JAWAB MELINDUNGI: PERAN ANGGOTA PARLEMEN DALAM PENGAMANAN HIDUP WARGA SIPIL Resolusi disahkan oleh konsensus* dalam Sidang IPU ke-128 (Quito, 27 Maret 2013) Sidang ke-128 Inter-Parliamentary

Lebih terperinci

Keterlibatan Pemerintah Amerika Serikat dan Inggris. dalam Genosida 65

Keterlibatan Pemerintah Amerika Serikat dan Inggris. dalam Genosida 65 Keterlibatan Pemerintah Amerika Serikat dan Inggris dalam Genosida 65 Majalah Bhinneka April 2, 2016 http://bhinnekanusantara.org/keterlibatan-pemerintah-amerika-serikat-dan-inggris-dalam-genosida-65/

Lebih terperinci

Bab IX MEKANISME PENEGAKAN HUKUM HUMANITER

Bab IX MEKANISME PENEGAKAN HUKUM HUMANITER Bab IX MEKANISME PENEGAKAN HUKUM HUMANITER 9.1. Perkembangan Dalam Hukum Humaniter Salah satu aspek penting dari suatu kaidah hukum yaitu mengenai penegakannya (law enforcement). Suatu perangkat hukum

Lebih terperinci

Kepentingan Amerika Serikat Membantu Uganda Memerangi LRA Dengan. Recovery Act

Kepentingan Amerika Serikat Membantu Uganda Memerangi LRA Dengan. Recovery Act Kepentingan Amerika Serikat Membantu Uganda Memerangi LRA Dengan Terlibat Dalam Lord's Resistance Army Disarmament and Northern Uganda Recovery Act Lord s Resistance Army (LRA) suatu kelompok pemberontak

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. dasawarsa terakhir ini dengan dilumpuhkannya beberapa pemimpin-pemimpin dictator

BAB V KESIMPULAN. dasawarsa terakhir ini dengan dilumpuhkannya beberapa pemimpin-pemimpin dictator BAB V KESIMPULAN Amerika serikat adalah sebagai negara adidaya dan sangat berpengaruh di dunia internasional dalam kebijakan luar negerinya banyak melakukan berbagai intervensi bahkan invasi dikawasan

Lebih terperinci

Pengadilan Rakyat Internasional Kasus 1965

Pengadilan Rakyat Internasional Kasus 1965 Sepuluh Hal yang Perlu Anda Ketahui Tentang Pengadilan Rakyat Internasional Kasus 1965 Banyak kesalahpahaman terjadi terhadap Pengadilan Rakyat Internasional. Berikut sepuluh hal yang belum banyak diketahui

Lebih terperinci

Pendidikan Kewarganegaraan

Pendidikan Kewarganegaraan Your Page Name Internet Web Broser Pendidikan Kearganegaraan Kelompok 8 Search Your Page Name Internet Web Broser Standar Kompetensi 2. Menampilkan peran serta dalam upaya pemajuan, penghormatan, dan perlindungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan pelaksanaan HAM lebih banyak dijadikan objek power game diantara blokblok

BAB I PENDAHULUAN. dan pelaksanaan HAM lebih banyak dijadikan objek power game diantara blokblok BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Promosi dan proteksi Hak Asasi Manusia (HAM) boleh dikatakan telah menjadi agenda internasional. Jika sebelumnya, selama lebih dari 40 tahun, ide dan pelaksanaan HAM

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pasukan Perdamaian PBB, atau yang dikenal sebagai pasukan peacekeeping,

BAB I PENDAHULUAN. Pasukan Perdamaian PBB, atau yang dikenal sebagai pasukan peacekeeping, BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Pasukan Perdamaian PBB, atau yang dikenal sebagai pasukan peacekeeping, merupakan suatu pasukan yang berada di bawah komando Dewan Keamanan PBB melalui Department

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perang sipil Libya Tahun 2011 adalah konflik yang merupakan bagian dari musim semi

BAB I PENDAHULUAN. Perang sipil Libya Tahun 2011 adalah konflik yang merupakan bagian dari musim semi BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Perang sipil Libya Tahun 2011 adalah konflik yang merupakan bagian dari musim semi arab. Perang ini diawali oleh unjuk rasa di Benghazi pada 15 Februari 2011,

Lebih terperinci

Pada pokoknya Hukum Internasional menghendaki agar sengketa-sengketa antar negara dapat diselesaikan secara damai he Hague Peace

Pada pokoknya Hukum Internasional menghendaki agar sengketa-sengketa antar negara dapat diselesaikan secara damai he Hague Peace Pasal 2 (3) dari Piagam PBB - Semua anggota wajib menyelesaikan perselisihan internasional mereka melalui cara-cara damai sedemikian rupa sehingga perdamaian, keamanan dan keadilan internasional tidak

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 119 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Kesimpulan yang penulis dapatkan dari hasil penulisan skripsi ini merupakan hasil kajian dan pembahasan dari bab-bab sebelumnya. Wilayaha Eritrea yang terletak

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LAMBANG PALANG MERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LAMBANG PALANG MERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG LAMBANG PALANG MERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN OLEH TERORIS,

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. bangsa Indonesia setelah lama berada di bawah penjajahan bangsa asing.

BAB I. PENDAHULUAN. bangsa Indonesia setelah lama berada di bawah penjajahan bangsa asing. BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Proklamasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 yang diucapkan oleh Soekarno Hatta atas nama bangsa Indonesia merupakan tonggak sejarah berdirinya

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2006 TENTANG KONTINGEN GARUDA DALAM MISI PERDAMAIAN DI LEBANON PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2006 TENTANG KONTINGEN GARUDA DALAM MISI PERDAMAIAN DI LEBANON PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2006 TENTANG KONTINGEN GARUDA DALAM MISI PERDAMAIAN DI LEBANON PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka ikut melaksanakan ketertiban

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara-negara lain yang yang diderita oleh banyak orang di negara-negara lain

BAB I PENDAHULUAN. negara-negara lain yang yang diderita oleh banyak orang di negara-negara lain BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Praktek penyelenggaran negara dewasa ini berkembang ke arah demokrasi dan perlidungan Hak Asasi Manusaia (HAM). Masalah HAM mengemuka pada setiap kehidupan penyelenggaraan

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Berdasarkan pertanyaan penelitian pada Bab I penelitian ini dan dihubungkan dengan kerangka pemikiran yang ada, maka kesimpulan yang diambil dari penelitian ini

Lebih terperinci

HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL KONFLIK BERSENJATA NON-INTERNASIONAL

HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL KONFLIK BERSENJATA NON-INTERNASIONAL HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL KONFLIK BERSENJATA NON-INTERNASIONAL Malahayati Kapita Selekta Hukum Internasional October 10, 2015 Kata Pengantar Syukur Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang telah

Lebih terperinci

Telah menyetujui sebagai berikut: Pasal 1. Untuk tujuan Konvensi ini:

Telah menyetujui sebagai berikut: Pasal 1. Untuk tujuan Konvensi ini: LAMPIRAN II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

PENEGAKAN HUKUM HUMANITER DALAM KONFLIK BERSENJATA INTERNAL SURIAH

PENEGAKAN HUKUM HUMANITER DALAM KONFLIK BERSENJATA INTERNAL SURIAH PENEGAKAN HUKUM HUMANITER DALAM KONFLIK BERSENJATA INTERNAL SURIAH Oleh I Wayan Gede Harry Japmika 0916051015 I Made Pasek Diantha I Made Budi Arsika Program Kekhususan Hukum Internasional Fakultas Hukum

Lebih terperinci

Resolusi yang diadopsi tanpa mengacu pada komite Pertanyaan dipertimbangkan oleh Dewan Keamanan pada pertemuan 749 dan750, yang diselenggarakan pada 30 Oktober 1956 Resolusi 997 (ES-I) Majelis Umum, Memperhatikan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Maksud, Tujuan dan Kerangka Penulisan Buku...3 BAGIAN I BAB I EVOLUSI PEMIKIRAN DAN SEJARAH PERKEMBANGAN HAK ASASI MANUSIA...

DAFTAR ISI. Maksud, Tujuan dan Kerangka Penulisan Buku...3 BAGIAN I BAB I EVOLUSI PEMIKIRAN DAN SEJARAH PERKEMBANGAN HAK ASASI MANUSIA... Daftar Isi v DAFTAR ISI DAFTAR ISI...v PENGANTAR PENERBIT...xv KATA PENGANTAR Philip Alston...xvii Franz Magnis-Suseno...xix BAGIAN PENGANTAR Maksud, Tujuan dan Kerangka Penulisan Buku...3 BAGIAN I BAB

Lebih terperinci

UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan

UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan PENJELASAN ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL

Lebih terperinci

MAKALAH INDONESIAN HUMAN RIGHTS LEGISLATION. Oleh: Ifdhal Kasim Ketua Komnas HAM RI, Jakarta

MAKALAH INDONESIAN HUMAN RIGHTS LEGISLATION. Oleh: Ifdhal Kasim Ketua Komnas HAM RI, Jakarta PEMERKUATAN PEMAHAMAN HAK ASASI MANUSIA UNTUK HAKIM SELURUH INDONESIA Hotel Santika Makassar, 30 Mei 2 Juni 2011 MAKALAH INDONESIAN HUMAN RIGHTS LEGISLATION Oleh: Ifdhal Kasim Ketua Komnas HAM RI, Jakarta

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA I. UMUM Bahwa hak asasi manusia yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945, Deklarasi Universal

Lebih terperinci

DUA BELAS FAKTA DAN KEKELIRUAN TENTANG KONVENSI MUNISI TANDAN (Convention on Cluster Munitions)

DUA BELAS FAKTA DAN KEKELIRUAN TENTANG KONVENSI MUNISI TANDAN (Convention on Cluster Munitions) Fakta dan Kekeliruan April 2009 DUA BELAS FAKTA DAN KEKELIRUAN TENTANG KONVENSI MUNISI TANDAN (Convention on Cluster Munitions) Kekeliruan 1: Bergabung dengan Konvensi Munisi Tandan (CCM) menimbulkan ancaman

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. alam atau krisis kemanusiaan yang diakibatkan oleh benturan kepentingan antara para aktor

PENDAHULUAN. alam atau krisis kemanusiaan yang diakibatkan oleh benturan kepentingan antara para aktor PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bantuan luar negeri (foreign aid) digunakan saat suatu kawasan sedang dilanda bencana alam atau krisis kemanusiaan yang diakibatkan oleh benturan kepentingan antara para aktor

Lebih terperinci

BAB I. Pendahuluan. Amsterdam ke Kuala Lumpur pada tanggal 17 Juli 2014 dengan 298 penumpang

BAB I. Pendahuluan. Amsterdam ke Kuala Lumpur pada tanggal 17 Juli 2014 dengan 298 penumpang BAB I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Penerbangan MH-17 Malaysia Airlines merupakan penerbangan dari Amsterdam ke Kuala Lumpur pada tanggal 17 Juli 2014 dengan 298 penumpang dari berbagai negara, pesawat

Lebih terperinci

BAB V. Kesimpulan. dari revolusi di kerdua Negara tersebut. Bahkan di Mesir media sosial

BAB V. Kesimpulan. dari revolusi di kerdua Negara tersebut. Bahkan di Mesir media sosial BAB V Kesimpulan Berdasarkan tulisan diatas, dapat diambil argumen bahwa Media memiliki peranan yang sangat penting dalam isu politik dan hubungan internasional. Di kawasan Mesir dan Suriah bisa dikatakan

Lebih terperinci

KEGAGALAN IMPLEMENTASI ARUSHA ACCORD SEBAGAI RESOLUSI KONFLIK DI RWANDA (THE FAILURE OF ARUSHA ACCORD IMPLEMENTATION AS CONFLICT RESOLUTION IN RWANDA)

KEGAGALAN IMPLEMENTASI ARUSHA ACCORD SEBAGAI RESOLUSI KONFLIK DI RWANDA (THE FAILURE OF ARUSHA ACCORD IMPLEMENTATION AS CONFLICT RESOLUTION IN RWANDA) KEGAGALAN IMPLEMENTASI ARUSHA ACCORD SEBAGAI RESOLUSI KONFLIK DI RWANDA (THE FAILURE OF ARUSHA ACCORD IMPLEMENTATION AS CONFLICT RESOLUTION IN RWANDA) SKRIPSI oleh Rizqillah NIM 060910101184 JURUSAN ILMU

Lebih terperinci

I. UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan

I. UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Konflik bersenjata atau dalam bahasa asing disebut sebagai armed conflict

BAB I PENDAHULUAN. Konflik bersenjata atau dalam bahasa asing disebut sebagai armed conflict BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konflik bersenjata atau dalam bahasa asing disebut sebagai armed conflict merupakan suatu keadaan yang tidak asing lagi di mata dunia internasional. Dalam kurun waktu

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Pada dasarnya manusia tidak bisa hidup tanpa bantuan dari manusia lainnya,

I PENDAHULUAN. Pada dasarnya manusia tidak bisa hidup tanpa bantuan dari manusia lainnya, I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada dasarnya manusia tidak bisa hidup tanpa bantuan dari manusia lainnya, begitu pula halnya dengan negara, negara tidak dapat memenuhi kebutuhannya sendiri sehingga dibutuhkannya

Lebih terperinci

MAKALAH. Pengadilan HAM dan Hak Korban Pelanggaran Berat HAM. Oleh: Eko Riyadi, S.H., M.H.

MAKALAH. Pengadilan HAM dan Hak Korban Pelanggaran Berat HAM. Oleh: Eko Riyadi, S.H., M.H. TRAINING RULE OF LAW SEBAGAI BASIS PENEGAKAN HUKUM DAN KEADILAN Hotel Santika Premiere Hayam Wuruk - Jakarta, 2 5 November 2015 MAKALAH Pengadilan HAM dan Hak Korban Pelanggaran Berat HAM Oleh: Eko Riyadi,

Lebih terperinci

ANALISIS PELANGGARAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL DALAM KONFLIK BERSENJATA ISRAEL-HEZBOLLAH Oleh

ANALISIS PELANGGARAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL DALAM KONFLIK BERSENJATA ISRAEL-HEZBOLLAH Oleh ANALISIS PELANGGARAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL DALAM KONFLIK BERSENJATA ISRAEL-HEZBOLLAH Oleh Ayu Krishna Putri Paramita I Made Pasek Diantha I Made Budi Arsika Bagian Hukum Internasional Fakultas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yaitu di daerah Preah Vihear yang terletak di Pegunungan Dangrek. Di

BAB I PENDAHULUAN. yaitu di daerah Preah Vihear yang terletak di Pegunungan Dangrek. Di BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Thailand dan Kamboja merupakan dua negara yang memiliki letak geografis berdekatan dan terletak dalam satu kawasan yakni di kawasan Asia Tenggara. Kedua negara ini

Lebih terperinci

Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida

Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida Disetujut dan diusulkan untuk penandatanganan dan ratiftkasi atau aksesi dengan resolusi Majelis Umum 260 A (HI), 9 December 1948 Negara-negara

Lebih terperinci

1. DARI IDEOLOGI HINGGA TERORISME

1. DARI IDEOLOGI HINGGA TERORISME 1 1. DARI IDEOLOGI HINGGA TERORISME Dalam sejarahnya, manusia memang sudah ditakdirkan untuk berkompetisi demi bertahan hidup. Namun terkadang kompetisi yang dijalankan manusia itu tidaklah sehat dan menjurus

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI KEJAHATAN KEMANUSIAAN SEBAGAI BENTUK PELANGGARAN HAM BERAT MENURUT HUKUM INTERNASIONAL

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI KEJAHATAN KEMANUSIAAN SEBAGAI BENTUK PELANGGARAN HAM BERAT MENURUT HUKUM INTERNASIONAL BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI KEJAHATAN KEMANUSIAAN SEBAGAI BENTUK PELANGGARAN HAM BERAT MENURUT HUKUM INTERNASIONAL A. Pengertian Kejahatan Kemanusiaan Kejahatan terhadap kemanusiaan pertama kali muncul

Lebih terperinci

INSTRUMEN HUKUM MENGENAI HAM

INSTRUMEN HUKUM MENGENAI HAM INSTRUMEN HUKUM MENGENAI HAM Materi Perkuliahan HUKUM & HAM ke-6 INSTRUMEN HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI HAM Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa Universal Declaration of Human Rights, 1948; Convention on

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WARGA SIPIL DALAM KONFLIK BERSENJATA (NON-INTERNASIONAL) LIBYA DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WARGA SIPIL DALAM KONFLIK BERSENJATA (NON-INTERNASIONAL) LIBYA DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WARGA SIPIL DALAM KONFLIK BERSENJATA (NON-INTERNASIONAL) LIBYA DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL Oleh Pande Putu Swarsih Wulandari Ni Ketut Supasti Darmawan

Lebih terperinci

HUBUNGAN INTERNASIONAL DI ASIA TENGGARA PADA ERA PERANG DINGIN. Dewi Triwahyuni

HUBUNGAN INTERNASIONAL DI ASIA TENGGARA PADA ERA PERANG DINGIN. Dewi Triwahyuni HUBUNGAN INTERNASIONAL DI ASIA TENGGARA PADA ERA PERANG DINGIN Dewi Triwahyuni International Relation Department, UNIKOM 2013 Backgroud History 1950an 1980an Hubungan internasional di Asia Tenggara pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kejahatan genosida dan kejahatan kemanusiaan adalah kejahatankejahatan

BAB I PENDAHULUAN. Kejahatan genosida dan kejahatan kemanusiaan adalah kejahatankejahatan BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Kejahatan genosida dan kejahatan kemanusiaan adalah kejahatankejahatan serius terhadap hak asasi manusia, selain kejahatan perang. Kejahatankejahatan tersebut secara

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENDANAAN TERORISME,

Lebih terperinci

H. BUDI MULYANA, S.IP., M.SI

H. BUDI MULYANA, S.IP., M.SI PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL H. BUDI MULYANA, S.IP., M.SI Pasal 2 (3) dari Piagam PBB Semua anggota wajib menyelesaikan perselisihan internasional mereka melalui cara-cara damai sedemikian rupa

Lebih terperinci

Timor Leste Negara Termuda Dunia Tetap Dibawah Pengawasan internasional

Timor Leste Negara Termuda Dunia Tetap Dibawah Pengawasan internasional Timor Leste Negara Termuda Dunia Tetap Dibawah Pengawasan internasional Erwin Schweisshelm, FES Jakarta, April 2006 Sejak Mei 2006 kerusuhan dan eskalasi kekerasan mengguncang negara muda Timor Leste.

Lebih terperinci

LEGALITAS PENGGUNAAN BOM CURAH (CLUSTER BOMB) PADA AGRESI MILITER ISRAEL KE PALESTINA DALAM PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL

LEGALITAS PENGGUNAAN BOM CURAH (CLUSTER BOMB) PADA AGRESI MILITER ISRAEL KE PALESTINA DALAM PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL LEGALITAS PENGGUNAAN BOM CURAH (CLUSTER BOMB) PADA AGRESI MILITER ISRAEL KE PALESTINA DALAM PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL Oleh: Alan Kusuma Dinakara Pembimbing: Dr. I Gede Dewa Palguna SH.,

Lebih terperinci

DIPONEGORO LAW REVIEW Volume 1, Nomor 2, Tahun 2013Online di

DIPONEGORO LAW REVIEW Volume 1, Nomor 2, Tahun 2013Online di PERLINDUNGAN TENTARA ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA DITINJAU DARI SEGI HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL (STUDI KASUS : REPUBLIK DEMOKRATIS KONGO) Bintang Kinayung Ingtyas, Joko Setiyono, Seokotjo Hardiwinoto

Lebih terperinci

BAB 5 PENUTUP. 5.1 Kesimpulan

BAB 5 PENUTUP. 5.1 Kesimpulan BAB 5 PENUTUP 5.1 Kesimpulan Analisa penelitian ini ditujukan untuk menjawab pertanyaan penelitian dan membuktikan jawaban awal yang telah dirumuskan. Penelitian ini menjelaskan alasan Venezeula menggunakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melakukan mobilisasi atau perpindahan tanpa batas yang menciptakan sebuah

BAB I PENDAHULUAN. melakukan mobilisasi atau perpindahan tanpa batas yang menciptakan sebuah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Globalisasi membuka kesempatan besar bagi penduduk dunia untuk melakukan mobilisasi atau perpindahan tanpa batas yang menciptakan sebuah integrasi dalam komunitas

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENDANAAN TERORISME,

Lebih terperinci

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN by DANIEL ARNOP HUTAPEA, S.Pd PERTEMUAN KE-3

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN by DANIEL ARNOP HUTAPEA, S.Pd PERTEMUAN KE-3 PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN by DANIEL ARNOP HUTAPEA, S.Pd PERTEMUAN KE-3 Pelanggaran HAM Menurut Undang-Undang No.39 tahun 1999 pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. 1. Yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional dalam Pasal 17 Statuta Roma

BAB V PENUTUP. 1. Yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional dalam Pasal 17 Statuta Roma BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional dalam Pasal 17 Statuta Roma merupakan wujud dari Prinsip Komplemeter dari badan yudisial tersebut. Pasal tersebut mengatur terhadap

Lebih terperinci

Laporan akhir IPT, 8 Juni, 2016

Laporan akhir IPT, 8 Juni, 2016 Laporan akhir IPT, 8 Juni, 2016 DAFTAR ISI Catatan editorial Ucapan terima kasih Daftar istilah dan singkatan A SIDANG IPT A1 PENGANTAR IPT A2 KATA PEMBUKAAN PANEL HAKIM, 10 NOVEMBER 2015 A3 KATA PENUTUP

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dll. Masyarakat Internasional bisa menjadi Organisai Internasional dan negaranegara

BAB I PENDAHULUAN. dll. Masyarakat Internasional bisa menjadi Organisai Internasional dan negaranegara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Suatu konflik yang terjadi didunia tidaklah pernah lepas dari adanya campur tangan Masyarakat Internasional jika konflik tersebut telah menjadi sorotan dunia.

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.265, 2014 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PERTAHANAN. Kontingen Garuda. Zeni TNI. Misi Perdamaian. Afrika Tengah. PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 128 TAHUN 2014 TENTANG KONTINGEN GARUDA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang tidak pernah dijajah. Meskipun demikian, negara ini tidak luput dari

BAB I PENDAHULUAN. yang tidak pernah dijajah. Meskipun demikian, negara ini tidak luput dari BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Thailand merupakan satu-satunya negara di kawasan Asia Tenggara yang tidak pernah dijajah. Meskipun demikian, negara ini tidak luput dari permasalahan konflik dalam

Lebih terperinci

2 2. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 156, Tambahan Lembaran Negara

2 2. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 156, Tambahan Lembaran Negara LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.175, 2015 Pertahanan. Misi Pemeliharaan Perdamaian. Pengiriman. PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 86 TAHUN 2015 TENTANG PENGIRIMAN MISI PEMELIHARAAN PERDAMAIAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP PELANGGARAN HAM PADA KEJAHATAN KEMANUSIAAN

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP PELANGGARAN HAM PADA KEJAHATAN KEMANUSIAAN BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP PELANGGARAN HAM PADA KEJAHATAN KEMANUSIAAN A. Pengertian HAM Dewasa ini, pembahasan mengenai HAM sangat gencar disuarakan dimana-mana. HAM tidak hanya diatur dalam perarturan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hubungan-hubungan yang ada di antara manusia itu sendiri. Perang adalah

BAB I PENDAHULUAN. hubungan-hubungan yang ada di antara manusia itu sendiri. Perang adalah BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG Perang merupakan suatu peristiwa yang memiliki umur yang sama tua nya dengan peradaban manusia di muka bumi ini. Dimana perang itu lahir dari hubungan-hubungan yang

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan. Justice. 9 Maret

Bab I Pendahuluan. Justice. 9 Maret 1.1 Latar Belakang Bab I Pendahuluan Burundi merupakan salah satu negara di Afrika bagian Timur. Berbatasan dengan Rwanda di bagian utara dan Tanzania di Bagian selatan. Terdapat 3 etnis yang bermukim

Lebih terperinci

Mali Diinvasi Asing, PBB tak Ambil Pusing

Mali Diinvasi Asing, PBB tak Ambil Pusing Negara Mali menjadi rebutan negara-negara Barat. Prancis, sebelum keduluan negara lain, menginvasi negeri itu dengan mengirimkan tentaranya. Perserikatan Bangsa-Bangsa diam seribu bahasa terhadap kondisi

Lebih terperinci

2016, No Tahun 2004 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4439); 4. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementeria

2016, No Tahun 2004 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4439); 4. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementeria BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.398, 2016 KEMHAN. Pasukan. Misi Perdamaian Dunia. Pengiriman. Kebijakan. PERATURAN MENTERI PERTAHANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2016 TENTANG KEBIJAKAN PENGIRIMAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada tanggal 17 Februari 2008 yang lalu, parlemen Kosovo telah

BAB I PENDAHULUAN. Pada tanggal 17 Februari 2008 yang lalu, parlemen Kosovo telah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Pada tanggal 17 Februari 2008 yang lalu, parlemen Kosovo telah memproklamasikan Kosovo sebagai Negara merdeka, lepas dari Serbia. Sebelumnya Kosovo adalah

Lebih terperinci

Serikat (telah menandatangani, namun belum bersedia meratifikasi), menguatkan keraguan akan perjanjian ini.

Serikat (telah menandatangani, namun belum bersedia meratifikasi), menguatkan keraguan akan perjanjian ini. BAB V KESIMPULAN Melalui perjalanan panjang bertahun-tahun, Majelis Umum PBB berhasil mengadopsi Perjanjian Perdagangan Senjata (Arms Trade Treaty/ATT), perjanjian internasional pertama yang menetapkan

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan kesimpulan dari pembahasan di atas mengenai. perlindungan pihak ICRC ditinjau dari Konvensi Jenewa 1949 dan

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan kesimpulan dari pembahasan di atas mengenai. perlindungan pihak ICRC ditinjau dari Konvensi Jenewa 1949 dan BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan kesimpulan dari pembahasan di atas mengenai perlindungan pihak ICRC ditinjau dari Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol tambahannya serta sumber hukum lain yang menguatkan

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No.5518 PENGESAHAN. Konvensi. Penanggulangan. Terorisme Nuklir. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Repubik Indonesia Tahun 2014 Nomor 59) PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

RechtsVinding Online Pengaturan Orang Asing Pencari Suaka dan Pengungsi di Indonesia serta Peraturan yang Diharapkan

RechtsVinding Online Pengaturan Orang Asing Pencari Suaka dan Pengungsi di Indonesia serta Peraturan yang Diharapkan Pengaturan Orang Asing Pencari Suaka dan Pengungsi di Indonesia serta Peraturan yang Diharapkan Oleh : K. Zulfan Andriansyah * Naskah diterima: 28 September 2015; disetujui: 07 Oktober 2015 Indonesia sejak

Lebih terperinci

ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM

ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM Diadopsi oleh Resolusi Sidang Umum PBB No. 34/169 Tanggal 17 Desember 1979 Pasal 1 Aparat penegak hukum di setiap saat memenuhi kewajiban yang ditetapkan oleh

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada hukum internasional tidak ada badan-badan seperti legislatif, eksekutif dan

BAB I PENDAHULUAN. pada hukum internasional tidak ada badan-badan seperti legislatif, eksekutif dan BAB I PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Judul Perbedaan utama hukum internasional dan hukum nasional adalah pada hukum nasional ada kekuasaan/organ yang berwenang memaksa hukum dan memberi sanksi kalau terjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat dipakai untuk melakukan penyerangan kepada pihak musuh. Peraturanperaturan

BAB I PENDAHULUAN. dapat dipakai untuk melakukan penyerangan kepada pihak musuh. Peraturanperaturan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Konvensi-konvensi Den Haag tahun 1899 merupakan hasil Konferensi Perdamaian I di Den Haag pada tanggal 18 Mei-29 Juli 1899. Konvensi Den Haag merupakan peraturan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. Tenggara, yakni Association South East Asian Nations atau yang dikenal

BAB V KESIMPULAN. Tenggara, yakni Association South East Asian Nations atau yang dikenal BAB V KESIMPULAN Malaysia merupakan negara yang berada di kawasan Asia Tenggara, sebagai negara yang berada di kawasan Asia Tenggara, Malaysia merupakan salah satu pendiri organisasi di kawasan Asia Tenggara,

Lebih terperinci