BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ada beberapa kajian lain yang berkaitan dengan penelitian Partisipasi

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ada beberapa kajian lain yang berkaitan dengan penelitian Partisipasi"

Transkripsi

1 11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka Ada beberapa kajian lain yang berkaitan dengan penelitian Partisipasi Perempuan Dalam Proses Pembuatan Pararem di Desa Pakraman Panjer, Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar, antara lain yaitu yang pertama penelitian mengenai Peranan Organisasi PKK Untuk Menggerakan Partisipasi Perempuan Dalam Pembangunan Masyarakat Di Desa Baturiti, Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan yang ditulis oleh Drs, I Wayan Landrawan,M.Si, Ni Made Dewi Riyani dan Ratna Artha Windari, S.H. dalam penelitian ini bertujuan untuk (1) mengetahui fungsi dan peran organisasi PKK untuk meningkatkan partisipasi masyarakat di Desa Baturiti, Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan, (2) hambatan PKK dalam menjalankan fungsi dan perannya untuk meningkatkan partisipasi masyarakat di Desa Baturiti, Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan, (3) upaya yang dilakukan dalam mengatasi hambatan PKK dalam melaksanakan perannya di Desa Baturiti, Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan. Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian deskriptif kualitatif dengan penentuan subyek penelitian menggunakan teknik purposive sampling sehingga yang menjadi subjek penelitian yaitu Kepala Desa, anggota-anggota organisasi PKK, dan warga masyarakat. Metode yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data yakni metode wawancara, observasi dan metode pencatatan dokumen.

2 12 Dari penelitian tersebut didapatkan organisasi PKK di di Desa Baturiti, Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan memiliki fungsi dan peran yang penting dalam meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan sudah berjalan akan tetapi belum maksimal. Hambatan yang dialami oleh organisasi ini yaitu berasal dari dalam organisasi yaitu kurangnya koordinasi antara ketua, pengurus, dan anggota organisasi PKK, serta kurangnya partisipasi masyarakat dalam mendukung pelaksanaan program yang telah dirancang. Upaya yang dapat dilakukan yaitu meningkatkan koordinasi antara ketua PKK, anggota organisasi PKK desa dan masyarakat yang ada di Desa Baturiti. Yang kedua penelitian tentang Peran Perempuan Dalam Formulasi Kebijakan Pada Pemerintah Nagari (Dinamika Budaya Matrilineal di Nagari Mungo, Kecamatan Luak, Kabupaten Lima Puluh, Kota Sumatra Barat yang ditulis oleh Roza Leismana (2005). Dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana peran perempuan dalam proses formulasi kebijakan di Nagari Mungo dan faktor-faktor yang mempengaruhi peran perempuan tersebut. Penelitian ini menggunakan metode analisis deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Penelitian ini menekankan pada penelitian lapangan, penggambaran dan interpretasi dari data, fakta dan informasi yang berkaitan dengan masalah peran perempuan dalam formulasi kebijakan di Nagari Mungo. Hasil penelitian menunjukan bahwa peran perempuan dalam proses formulasi kebijakan di Nagari Mungo terbatas pada tahap perumusan masalah, sedangkan tahap penyusunan agenda kegiatan, pemilihan alternatif dan penetapan kebijakan belum memberikan peluang bagi perempuan untuk berpartisipasi secara lebih luas.

3 13 Hal ini terlihat dalam proses formulasi Peraturan Nagari (Perna) Mungo yang telah berlaku saat ini. Faktor yang mempengaruhi keterlibatan perempuan dalam proses formulasi kebijakan adalah faktor budaya lokal, akses bagi perempuan (ke informasi dan ke pendidikan) dan struktur kelembagaan. Diantara ketiga faktor yang paling mempengaruhi adalah faktor budaya lokal karena terjadinya pergeseran budaya matrilineal ke matrilineal yang lebih cenderung ke arah patriarkhi. Rekomendasi yang disarankan adalah memberikan kesempatan kepada perempuan baik secara kualitas maupun kuantitas dalam proses kebijakan public melalui pembagian dominasi antara laki-laki dan perempuan agar memiliki kemampuan dalam menyadari posisi masing-masing dalam tataran seimbang. Yang ketiga penelitian yang memaparkan mengenai Upaya-upaya Untuk Mengimplementasikan Konvensi Wanita Kedalam Awig-awig Desa Pakraman yang disusun oleh A.A. Ketut Sudiana (2008). Penelitian ini memaparkan tentang membuat awig-awig yang responsif gender, terutama menyangkut hak bagi perempuan (karma istri) untuk meraih peluang dalam kepemimpinan adat (khususnya dalam komponen kepengurusan prajuru desa) dan dapat ikut serta dalam pengambilan keputusan dalam paruman (rapat adat). Hasil dalam penelitian ini yaitu dengan melakukan pembaharuan awig-awig yang mengarah pada pengembangan hukum ada yang responsif gender. Dengan merevitalisasi terhadap nilai-nilai budaya dan norma keagamaan yang tidak sesuai dengan kenyataan perkembangan hidup masyarakat yang terkandung dalam awigawig desa Pakraman. Dengan berpedoman pada perkembangan hukum yang

4 14 berlaku dan berkaitan dengan nilai-nilai hak asasi manusia (HAM) seperti konvensi wanita. Terhadap pembaharuan yang diharapkan dari mengimplementasikan konvensi wanita kedalam awig-awig dapat ditempuh dengan melakukan nguwahnguwahin awig-awig. Dalam melakukan nguwah-nguwahin awig-awig dapat merujuk pada asas peraturan perundang-undangan yang ditransformasikan kedalam awig-awig sebagai pintu masuk hak asasi perempuan sebagai manusia. Persamaan dari ketiga penelitian ini adalah sama-sama ingin adanya kesetaraan dan keadilan gender dalam tataran pemerintah daerah khususnya di desa. Selanjutnya yang menjadi perbedaan dari ketiga penelitian ini adalah yang pertama lebih menekankan pada peran organisasi PKK dalam meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan desa. yang kedua lebih menekankan pada peran perempuan dalam formulasi kebijkan dan diharapkan adanya kesadaran akan posisi masing-masing dalam tataran seimbang. Sedangkan ketiga lebih menekankan pada implementasi konvensi wanita kedalam awig-awig desa pakraman dan mengharapkan dilakukannya pembaharuan awig-awig yang mengarah pada pengembangan hukum adat yang responsif gender. 2.2 Kerangka Konsep Pada sebuah karya ilmiah untuk mendapatkan intisari atau pokok topik dari sebuah karya ilmiah tentunya sangat memerlukan sebuah kerangka konsep. Kerangka konsep merupakan suatu rangkaian dari objek penelitian yang menitik beratkan pada intisari atau ide pokok dari sebuah penelitian. Kerangka konsep

5 15 dalam penelitian ini adalah partisipasi perempuan dalam proses pembuatan awigawig Desa Pakraman Panjer Konsep Partisipasi Partisipasi dalam pembangunan ataupun dalam pengambilan keputusan sangatlah penting, terutama bagi masyarakat yang ada di dalamnya. Masyarakat harus mengetahui keputusan seperti apa yang diambil dan direalisasikan walau peran tersebut dilakukan oleh pemerintah. Namun hal tersebut tidak lepas dari peran masyarakat sebagai pihak yang akan merasakan dampak dari keputusan yang diambil. Partisipasi berasal dari bahasa inggris yaitu Participation adalah pengambilan bagian atau pengikutsertaan. Menurut Ndraha (1990), yang diacu dalam Lugiarti (2004), menyatakan partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan dapat dipilah meliputi : (1) Partisipasi dalam atau melalui kontak dengan pihak lain sebagai awal perubahan sosial, (2) Partisipasi dalam memperhatikan atau menyerap dan memberikan tanggapan terhadap informasi, baik dalam arti menerima, menerima dengan syarat, maupun dalam arti menolaknya, (3) Partisipasi dalam perencanaan termasuk pengambilan keputusan, (4) Partisipasi dalam pelaksanaan oprasional, (5) Partisipasi dalam menerima, memelihara, dan mengembangkan hasil pembangunan, yaitu keterlibatan masyarakat dalam menilai tingkat pelaksanaan pembangunan. Menurut Adjid (1985), mengartikan partisipasi sebagai kemampuan masyarakat untuk bertindak dalam keberhasilan yang teratur untuk menanggapi kondisi lingkungan, sehingga masyarakat tersebut dapat bertindak sesuai dengan

6 16 logika yang dikandung oleh kondisi suatu lingkungan. Menurut Cohen dan Uphoff (1977), partisipasi adalah keterlibatan masyarakat dalam proses perencanaan dan pembuatan keputusan tentang apa yang dilakukan, dalam pelaksanaan program dan pengambilan keputusan untuk berkontribusi sumberdaya atau bekerjasama dalam organisasi atau kegiatan khusus, berbagi manfaat dari program pembangunan dan evaluasi program pembangunan. Pengertian partisipasi menurut GBHN (1993) adalah peran serta masyarakat yang meliputi : 1. Peran serta dalam memikul beban pembangunan, baik beban fisik seperti biaya, tenaga, waktu, dan lain-lain, maupun berbagai sarana penunjang atau beban non fisik seperti tanggapan, saran, pendapat, dan pemikiran. 2. Peran serta dalam bertanggungjawab atas pelaksanaan pembangunan, yaitu pertanggungjawaban administrasi dan kontrol sosial. 3. Peran serta masyarakat dalam menerima kembali hasil-hasil pembangunan yaitu penilaian sosial terhadap manfaat pembangunan, penggunaan hasil pembangunan, perawatan serta memelihara hasil pembangunan. Pengertian partisipasi diatas memiliki persamaan yaitu adanya keterlibatan langsung masyarakat dalam merencanakan, pengambilan keputusan, dan pelaksanaan dari hasil keputusan. Maka pengertian partisipasi menurut Adjid (1985), Cohen dan Uphoff (1977) merupakan partisipasi yang bersifat transformasional, yaitu ketika terjadinya partisipasi pada dirinya sendiri dipandang

7 17 sebagai tujuan dan sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi, misalnya menjadi lebih swadaya atau berkelanjutan. Untuk pengertian partisipasi menurut GBHN bersifat instrumental, yaitu partisipasi dilihat sebagai suatu cara atau alat untuk mencapai sasaran tertentu, yaitu perwujudan pembangunan nasional. Jadi dari beberapa pengertian di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa partisipasi adalah suatu keterlibatan mental dan emosi serta fisik peserta dalam memberikan respon terhadap kegiatan yang melaksanakan dalam proses belajar mengajar serta mendukung pencapaian tujuan dan bertanggungjawab atas keterlibatannya yang bersifat transformasional dan instrumental untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi. Menurut Soetrisno (1995) bahwa secara umum, ada dua jenis definisi partisipasi yang beredar di masyarakat, yaitu : 1. Partisipasi rakyat dalam pembangunan sebagai dukungan rakyat terhadap rencana atau proyek yang dirancang dan ditentukan tujuannya oleh perencanaan. Ukuran tinggi rendahnya partisipasi rakyat dalam definisi ini pun diukur dengan kemauan rakyat ikut menanggung biaya pembangunan, baik berupa uang maupun tenaga dalam melaksanakan pembangunan. 2. Partisipasi rakyat dalam pembangunan merupakan kerjasama yang erat antara perencana dan rakyat dalam merencanakan, melaksanakan, melestarikan dan mengembangkan hasil pembangunan yang telah dicapai. Ukuran tinggi rendahnya partisipasi rakyat dalam

8 18 pembangunan tidak hanya dengan kemauan rakyat untuk menanggung biaya pembangunan, tetapi juga dengan ada tidaknya hak rakyat ikut menentukan arah dan tujuan pembangunan. Ukuran lain yang dapat digunakan adalah ada tidaknya kemauan rakyat untuk secara mandiri melestarikan dan mengembangkan hasil pembangunan. Hal ini sesuai dengan pendapat Adi (2001), dalam perkembangan pemikiran tentang partisipasi masyarakat dalam upaya pengembangan suatu komunitas, tidak cukup hanya melihat partisipasi masyarakat hanya pada tahap perencanaan dan pelaksanaan. Partisipasi masyarakat hendaknya pula meliputi hal-hal yang tidak diarahkan, sehingga partisipasi masyarakat meliputi proses-proses : a. Tahap assessment Dilakukan dengan mengidentifikasi masalah dan sumberdaya yang dimiliki. Untuk ini, masyarakat dilibatkan secara aktif melihat permasalahan yang sedang terjadi, sehingga hal tersebut merupakan pandangan mereka sendiri. b. Tahap Perencanaan Dilakukan dengan melibatkan warga untuk berpikir tentang masalah yang mereka hadapi dan cara mengatasinya dengan memikirkan beberapa alternatif program. c. Tahap pelaksanaan Dilakukan dengan melaksanakan program yang sudah direncanakan dengan baik agar tidak melenceng dengan pelaksanaannya di lapangan. d. Tahap evaluasi

9 19 Dilakukan dengan adanya pengawasan dari masyarakat dan petugas terhadap program yang sedang berjalan. a. Unsur-unsur partisipasi menurut Keith Davis (Sastropoetro, 1988) ada tiga unsur penting partisipasi yaitu : 1. Unsur pertama, bahwa partisipasi sesungguhnya merupakan suatu keterlibatan mental dan perasaan dan tidak hanya keterlibatan secara jasmaniah atau fisik. 2. Unsur kedua adalah kesediaan memberi sesuatu atau sumbangan kepada usaha mencapai tujuan kelompok. Ini berarti bahwa terdapat rasa senang, kesukarelaan untuk membantu kelompok. 3. Unsur ketiga adalah unsur tanggung jawab. Unsur tersebut merupakan segi yang menonjol dari rasa menjadi anggota. b. Faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi Ada beberapa faktor yang dapat memengaruhi partisipasi masyarakat dalam suatu program, sifat faktor-faktor tersebut dapat mendukung suatu keberhasilan program namun ada juga yang sifatnya dapat menghambat keberhasilan program. Faktor-faktor yang mempengaruhi seseorang dalam berpartisipasi, yaitu: 1. Usia Faktor usia merupakan faktor yang memengaruhi sikap seseorang terhadap kegiatan-kegiatan kemasyarakatan yang ada. Mereka dari kelompok usia menengah ke atas dengan keterikatan moral kepada nilai dan norma masyarakat yang lebih baik cenderung lebih banyak yang berpartisipasi daripada mereka yang dari kelompok usia lainnya.

10 20 2. Jenis kelamin Nilai yang cukup lama dominan dalam kultur berbagai bangsa mengatakan bahwa pada dasarnya tempat perempuan adalah di dapur yang berarti bahwa dalam banyak masyarakat peranan perempuan yang terutama adalah mengurus rumah tangga, akan tetapi semakin lama nilai peran perempuan tersebut telah bergeser dengan adanya gerakan emansipasi dan pendidikan perempuan yang semakin baik. 3. Pendidikan Dikatakan sebagai salah satu syarat mutlak untuk berpartisipasi. Pendidikan dianggap dapat memengaruhi sikap hidup seseorang terhadap lingkungannya, suatu sikap yang diperlukan bagi peningkatan kesejahteraan seluruh masyarakat. 4. Pekerjaan dan penghasilan Hal ini tidak dapat dipisahkan satu sama lain karena pekerjaan seseorang akan menentukan berapa penghasilan yang akan diperolehnya. Pekerjaan dan penghasilan yang baik dan mencukupi kebutuhan sehari-hari dapat mendorong seseorang untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan masyarakat. Pengertiannya bahwa untuk berpartisipasi dalam suatu kegiatan, harus didukung oleh suasana yang mapan perekonomian.

11 21 5. Lamanya tinggal Lamanya seseorang tinggal dalam sebuah lingkungan tertentu dan pengalamannya berinteraksi dengan lingkungan tersebut akan berpengaruh pada partisipasi seseorang. Semakin lama ia tinggal dalam sebuah lingkungan tertentu, maka rasa memiliki terhadap lingkungan cenderung lebih terlihat dalam partisipasinya yang besar dalam setiap kegiatan lingkungan tersebut. Ada beberapa partisipasi yang dapat diberikan masyarakat dalam pembangunan desa yang lebih baik, yaitu partisipasi uang, partisipasi tenaga, partisipasi keterampilan, partisipasi buah pemikiran, partisipasi sosial, partisipasi pengambilan keputusan dan partisipasi representatif. Dengan berbagai bentuk partisipasi yang telah disebutkan diatas, maka bentuk partisipasi dapat dikelompokan menjadi 2 jenis, yaitu bentuk partisipasi yang diberikan dalam bentuk nyata (memiliki wujud) dan bentuk partisipasi yang diberikan dalam bentuk tidak nyata (abstrak). Bentuk partisipasi yang nyata misalnya uang, tenaga, dan keterampilan, sedangkan bentuk partisipasi yang tidak nyata misalnya partisipasi buah pemikiran, partisipasi sosial, partisipasi pengambailan keputusan, dan partisipasi representatif Konsep Perempuan Kata wanita dalam etimologi Jawa itu berasal dari wani ditoto alias berani diatur. Menurut Old Javanese-English Dictionary (Zoetmulder, 1982), kata wanita berarti yang diinginkan. Arti kata perempuan dari bahasa asalnya, Sansekerta, berasal dari kata per-empu-an. Per itu berarti makhluk, Empu berasal

12 22 dari kata Sansekerta yang berarti mulia, berilmu tinggi, pembuat suatu karya agung. Leluhur bangsa ini pun sudah memberikan makna dalam kata perempuan sebagai bentuk penghormatan tinggi kepada kaum wanita. Perempuan mempunyai sikap pembawaan yang kalem, perasaan perempuan lebih cepat menangis dan bahkan pingsan apabila menghadapi persoalan berat. Sementara menurut Windia (2009) ada dua hal yang digunakan untuk menggambarkan perempuan bali : pertama semangat kerjanya yang hebat dan yang kedua kedudukannya terhadap warisan yang lemah, bahkan dianggap tidak berhak terhadap warisan. Menurut Sunasri (2003) perempuan Bali adalah perempuan yang kawin dengan laki-laki Bali yang sama-sama beragama Hindu dan akibat dari perkawinan tersebut mereka menjadi anggota karma istri di banjar atau desa adat. Perempuan Bali memiliki watak pekerja keras dan mau belajar untuk menjaga tradisi yang ada. Dalam mengarungi jalan hidup yang sangat luas dan kompleks itu perempuan Bali dikenal sebagai orang yang sangat suka dan kuat bekerja sehingga kegiatanya menjadi sangat padat dan kompleks. Selama ini kaum perempuan selalu dihubungkan dengan urusan domestik, yakni melahirkan anak, mengurus anak, mengerjakan urusan rumah tangga. Dengan kondisi seperti ini, perempuan harus menyadari bahwa disadari atau tidak masyarakat menghargai perempuan mempunyai peranan besar dalam kehidupan manusia. Kehidupan ini dilakukan oleh perempuan dan laki-laki, hanya siapa yang lebih dominan tergantung situasi masing-masing.

13 23 Dominasi inilah yang sering menjadi penghalang keberasilan seseorang karena mereka yang mempunyai kedudukan yang kurang dominan merasa fungsinya diambil alih. Kelihatanya masyarakat lebih menitikberatkan besarnya peranan laki-laki dalam masyarakat, sehingga perempuan hanya melakukan tugas rumah tangga. Dengan masuknya emansipasi ala Barat ke Bali yang menekankan pengertian hak dan kewajiban dan berusaha mensejahterakan perempuan dan lakilaki. Partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan pada level kebijakankebijakan publik secara kuantitas masih dirasa kurang, sementara proporsi jumlah perempuan lebih besar dari pria. Dengan demikian, secara kuantitas pula perempuan yang lebih banyak menikmati produk dari kebijakan publik yang lebih banyak dibuat oleh kalangan pria. Perebutan posisi perempuan dalam pengambilan kebijakan publik merupakan tuntutan yang wajar karena perempuan adalah sasaran kebijakan publik yang tidak memiliki daya tawar sehingga mengakibatkan terjadinya banyak produk yang tidak ramah gender. Penyebabnya tak lain karena secara internal, individu yang membuat produk kebijakan adalah kaum pria yang relatif mengetahui kebutuhan-kebutuhan sesama, namun tidak sebaliknya kepada para kaum perempuan. Perjuangan kesetaraan gender telah memasuki babak baru. Bila pada pemilu 2004 lalu fokus perjuangan gerakan perempuan terletak pada perjuangan merebut kuota 30 persen dari proporsi keterwakilan perempuan dalam lembaga parlemen. Maka agenda yang tak kalah penting adalah perjuangan proporsional perempuan dalam pengambilan kebijakan publik. Meski perjuangan perebutan kuota 30 persen

14 24 dalam parlemen tidak sepenuhnya berhasil, namun setidaknya agenda tersebut telah berhasil menjadi wacana aktual dan mengemuka menjadi isu strategis. Selama ini, wacana gender hanya menjadi isu dalam diskusi-diskusi internal gerakan perempuan yang tidak mampu menarik simpati publik. Namun wacana kuota 30 persen sungguh berbeda karena disamping merupakan sebuah tuntutan hati nurani perempuan juga disebabkan oleh amanah undang-undang. Kelemahan mendasar dari undang-undang tersebut karena tidak disertai sanksi bagi partai yang tidak ramah gender. Untuk memenuhi amanah undang-undang tersebut sebagai sekedar pemuas konstituen, partai-partai lebih banyak yang mencantumkan para calon legislatif perempuan pada urutan bawah. Akibatnya sangat jelas pada kedudukan perempuan dalam legisltaif yang tidak proporsional sesuai kuota yang diharapkan. Angka proporsi antara pria dan perempuan dalam parlemen tidak jauh beda dengan jumlah pada periode-periode sebelumnya. Ketimpangan masih terasa dalam keterwakilan sehingga tetap akan melanggengkan dominasi pria dalam pengambilan kebijakan publik Konsep Pararem Desa Pakraman Organisasi masyarakat tradisional Bali yang sekarang dikenal dengan istilah desa pakraman disebut banua, wanua. Sekitar tahun 1910 (sesudah perang Puputan Badung, 1906, dan Puputan Klungkung, 1908), pemerintah Hindia Belanda mulai menata desa di Bali, sesuai dengan struktur dan administrasi pemerintah kolonial Belanda. Beberapa desa digabung menjadi satu, untuk memudahkan dalam menjalankan roda pemerintah jajahan. Akibatnya, di Bali ada dua desa, yaitu desa

15 25 yang telah ada dan desa baru, yang dibentuk oleh pemerintah kolonial Belanda. Desa yang telah ada ini kemudian lebih dikenal dengan sebutan desa adat, sedangkan desa yang baru yang dibentuk oleh pemerintah kolonial Belanda, dikenal dengan sebutan desa dinas. Desa Adat mengurus masalah adat Bali dan agama Hindu di wilayahnya, sedangkan desa dinas bertugas mengurus kepentingan pemerintah kolonial Belanda. Keberadaan dua desa di Bali beserta tugas-tugas yang dilaksanakan oleh masing-masing desa, tetap dipertahankan. Inilah yang menyebabkan, sampai sekarang di Bali ada dua desa, yaitu desa adat dan desa dinas. Tahun 2001 istilah desa adat diganti menjadi desa pakraman, berdasarkan Perda Provinsi Bali No 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman. Desa pakraman adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Provinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun-temurun dalam ikatan Kahyangan Tiga atau Kahyangan Desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri. Banjar pakraman adalah kelompok masyarakat yang merupakan bagian desa pakrarnan. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa desa pakraman merupakan organisasi masyarakat Hindu Bali yang berdasarkan kesatuan wilayah tempat tinggal bersama dan spiritual keagamaan yang paling mendasar bagi pola hubungan dan pola interaksi sosial masyarakat Bali. Sebuah desa pakraman, terdiri dan tiga unsur, yaitu:

16 26 1. Unsur parahyangan (berupa pura atau tempat suci agama Hindu); 2. Unsur pawongan (warga desa yang beragama Hindu); 3. Unsur palemahan (wilayah desa yang berupa karang ayahan desa dan karang guna kaya). Pasal 5 Perda Provinsi Bali No 3 Tahun 2001 Desa Pakraman mempunyai tugas sebagai berikut: a. mengayomi krama desa; b. mengatur krama desa; c. Membuat awig-awig atau pararem mengatur pengelolaan harta kekayaan desa; d. Bersama-sama pemerintah melaksanakan pembangunan disegala bidang terutama di bidang keagamaan, kebudayaan, dan kemasyarakatan; e. Membina dan mengembangkan nilai-nilai budaya Bali dalam rangka memperkaya, melestarikan, dan rnengembangkan kebudayaan nasional pada umumnya dan kebudayaan daerah pada khususnya berdasarkan paras-paros, sagilik-saguluk, salunglung-sabayantaka (musyawarahmufakat); Pasal 6 Perda Provinsi Bali No 3 Tahun 2001 Desa pakraman mempunyai wewenang sebagai berikut: a. menyelesaikan sengketa adat dan agama dalam lingkungan wilayahnya dengan tetap membina kerukunan dan toleransi antar-krama desa sesuai dengan awig-awig dan adat kebiasaan setempat;

17 27 b. turut serta menentukan setiap keputusan dalam pelaksanaan pembangunan yang ada di wilayahnya, terutama yang berkaitan dengan tri hita karana; c. melakukan perbuatan hukum di dalam dan di luar desa pakraman. Pararem yang hidup dalam masyarakat tidak hanya membedakan hak dan kewajiban melainkan juga memberikan sanksi-sanksi adat baik berupa sanksi denda, sanksi fisik, maupun sanksi psikologi dan yang bersifat sprirtual, sehingga cukup dirasakan sebagai derita oleh pelanggarnya. Sanksi Adat adalah berupa reaksi dari desa pakraman untuk mengembalikan keseimbangan magis yang terganggu. Jenis-jenis sanksi adat yang diatur dalam awig-awig maupun pararem antara lain (Sirtha, 2008) : a. Mengaksama (minta maaf), b. Dedosaan (denda uang), c. Kerampang (disita harta bendanya), d. Kasepekang (tidak diajak bicara) dalam waktu tertentu, e. Kaselong (diusir dari desanya), f. Upacara Prayascita (upacara bersih desa) Pararem merupakan sebuah cerminan dimana hukum adat itu bersifat dinamis. Pararem merupakan bukti hukum adat tumbuh mengikuti perubahan masyarakat melalui putusan-putusan dalam sebuah paruman atau rapat adat. Hasil keputusan inilah kemudian yang dikenal dengan istilah pararem. Sebelumnya sangat sulit untuk mencari referensi atau literatur yang memuat mengenai pararem. Dalam beberapa buku dan literatur ada disebutkan mengenai pararem, namun tidak dijelaskan tentang pengertiannya secara jelas.

18 28 Dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2003 Tentang Perubahan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 Tentang Desa Pakraman dan Lembaga Adat, menjelaskan pengertian pararem adalah hasil keputusan paruman desa atau banjar yang berisi ketentuan pelaksanaan awig-awig desa pakraman dan atau yang menyangkut hal prinsip diluar pelaksanaan awig-awig desa pakraman yang berlaku. Dari pengertian diatas dapat dikatakan bahwa pararem timbul akibat dari sebuah fenomena atau gejala yang dianggap dapat mengganggu keseimbangan kehidupan masyarakat dimana didalam awig-awig hal tersebut tidak diatur, atau sudah diatur namun isinya masih ambigu atau belum prinsip mengarah kepada gejala sosial yang dimaksud atau memang perlu peremajaan aturan dari isi awigawig tersebut agar sesuai dengan perkembangan kehidupan masyarakat untuk itu dibuatlah aturan tambahan diluar awig-awig yang isinya adalah hasil musyawarah bersama didalam paruman (rapat) desa. Pararem dibentuk melalui suatu proses berdasarkan suatu keputusan dari prajuru (pejabat) desa dalam paruman untuk mempertahankan hukum atau menyelesaikan perselisihan (Sirtha, 2008). Hal itulah pararem dapat dikatakan sebagai implementasi dari sila keempat Pancasila yakni Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Desa adat yang sekarang disebut Desa Pakraman berdasarkan Perda No. 3 Tahun 2001, yang kemudian disempurnakan menjadi Perda No.3 Tahun 2003, yang mengharuskan desa pakraman menyuratkan awig-awignya yang sebelumnya tidak tertulis tetapi ditaati oleh krama desa sebagai hukum adat yang bertujuan mencapai

19 29 Tri Sukerta yaitu sukerta tata parhyangan, sukerta tata pawongan dan sukerta tata palemahan, yang merupakan perwujudan falsafah Tri Hita Karana yaitu hubungan manusia dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, hubungan manusia dengan sesamanya dan hubungan manusia dengan palemahan atau lingkungan. Desa pakraman telah memiliki awig-awig baik tertulis maupun belum tertulis yang menjadi landasan hukum adat mengatur dan membina krama-nya dalam pakraman supaya hidup saling asah, saling asuh dan asih, salunglung sabayantaka, paras paros sarpanaya. Dalam penerapan awig-awig dimaksud dibuat pararem yang terdiri atas panyacah awig, pararem pengele, pararem penepas wicara dan wiweka (kebijakan) prajuru di luar awig dan pararem untuk melaksanakan kebijakankebijakan pemerintah selaku guru wisesa dalam meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat sebagai perwujudan melaksanakan dharma agama dan dharma negara. Faktor inilah yang dapat mengangkat Bali terkenal di seluruh dunia dengan berbagai julukan dan ditetapkan sebagai tujuan wisata utama. 2.3 Landasan Teori Teori Governance Teori yang digunakan untuk membedah masalah dalam penelitian ini menggunakan teori Governance. Secara umum istilah Governance menunjukkan suatu proses di mana rakyat bisa mengatur ekonominya, institusi dan sumbersumber sosial dan politiknya tidak hanya dipergunakan untuk pembangunan, tetapi juga untuk menciptakan kohesi, integrasi, dan untuk kesejahteraan rakyat. Kemampuan suatu negara mencapai tujuan negara sangat tergantung pada kualitas tata kepemerintahan di mana pemerintah melakukan interaksi dengan

20 30 sektor swasta dan masyarakat (Thoha ; 2000). Sedangkan menurut Widodo (2001) menyimpulkan that governance system are participatory, implying that all members of governance institutions have a voice in influencing decision making. Lembaga Administrasi Negara (2000) medefinisikan governance sebagai penyelenggaraan pemerintahan negara yang solid dan bertanggung jawab, serta efisien dan efektif dengan menjaga kesinergisan interaksi yang konstruktif di antara domain-domain negara, sector swasta dan masyarakat (society). Pada tataran ini, governance berorientasi pada 2 (dua) hal pokok, yakni : Pertama, orientasi ideal negara yang diarahkan pada pencapaian tujuan nasional. Pada tataran ini, governance mengacu pada demokratisasi dalam kehidupan bernegara dengan elemen-elemen konstituennya, seperti legitimacy, accountability, scuring of human right, autonomy and devolution of power dan assurance of civilian control; Kedua, pemerintahan yang berfungsi secara ideal yaitu secara efektif dan efisien dalam melakukan upaya mencapai tujuan nasional. Dalam konteks ini, governance tergantung pada pada sejauh mana struktur serta mekanisme politik dan administratif berfungsi secara efektif dan efisien. United Nations (Keban; 2000) merumuskan indikator governance yang meliputi : (1) kemampuan, yaitu kemampuan yang cukup untuk melaksanakan kebijakan dan fungsi-fungsi pemerintah, termasuk sistem administrasi publik efektif dan responsif; (2) akuntabilitas dalam kegiatan pemerintah dan transparan dalam pengambilan keputusan; (3) partisipasi dalam proses demokrasi, dengan memanfaatkan sumber informasi dari publik dan dari swasta ; (4) perhatian

21 31 terhadap pemerataan dan kemiskinan; dan (5) komitmen terhadap kebijakan ekonomi yang berorientasi kepada pasar. United Nations Development Programme (UNDP) mendefinisikan governance sebagai the exercise of political, economic, and administrative authority to manage a nation s affair at all levels. Menurut definisi ini, governance mempunyai tiga kaki (three legs), yaitu economic, political, dan administrative. Oleh karena itu institusi dari governance meliputi tiga domain, yaitu state (negara atau pemerintahan), private sector (sektor swasta atau dunia usaha), dan civil society (masyarakat sipil), yang saling berinteraksi dan menjalankan fungsinya masing-masing. Dari ketiga kaki tersebut lebih ditekankan pada organisasi masyarakat sipil (civil society) yaitu terwujudnya pembangunan manusia yang berkelanjutan tidak tergantung kepada berfungsinya negara atau sektor swasta dengan baik, namun juga pada kondisi masyarakat sipil yang mampu memfasilitasi interaksi sosial politik dan mampu memobilisasi berbagai kelompok di dalam masyarakat untuk terlibat dalam aktivitas sosial, ekonomi, dan politik. Organisasi masyarakat sipil juga dapat menyalurkan partisipasi publik dlam aktivitas sosial dan ekonomi danmengorganisasikan publik untuk mempengaruhi kebijakan publik. Mereka juga beperan penting dampak potensial dari ketidakstabilan ekonomi, menciptakan mekanisme alokasi manfaat sosial dan menyalurkan suara kelompok masyarakat miskin dalam membuat kebijakan publik dan pemerintah. UNDP memformulasikan ciri-ciri sekaligus sebagai prinsip utama untuk mewujudkan Governance :

22 32 1. Participation, keterlibatan masyarakat dalam pembuatan kebijakan, baik secara langsung maupun secara tidak langsung melalui lembaga perwakilan yang dapat menyalurkan aspirasinya. Partisipasi tersebut dibangun atas dasar kebebasan berasosiasi dan bicara serta berpartisipasi secara konstruktif. 2. Role Of Law, kerangka hukum yang adil dan dilaksanakan tanpa pandang bulu. 3. Transparency, adanya keterbukaan yang dibangun atas dasar kebebasan memperoleh insformasi 4. Responsiveness, lembaga-lembaga publik harus cepat dan tanggap dalam memberikan pelayanan. 5. Consensus Orientation, berorientasi pada kepentingan masyarakat yang lebih luas. 6. Equity, setiap masyarakat memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh kesejahteraan dan keadilan. 7. Efficiency and Effectiveness, pengelolaan sumber daya publik dilakukan secara berdaya guna dan berhasil guna. 8. Accountability, pertanggungjawaban kepada publik atas setiap aktivitas yang dilakukan. 9. Strategy vision, penyelenggaraan pemerintahan dan masyarakat harus memiliki visi jauh kedepan (Mardiasmo: 2002).

23 Kerangka Berpikir Otonomi Daerah Perda Provinsi Bali No 3 Tahun 2001 Pararem Desa Pakraman Partisipasi Perempuan Kesimpulan Saran (Gambar 2.4 Kerangka Berpikir)

BAB I PENDAHULUAN. ranah pemerintah daerah seperti Desa Pakraman kebijakan tentang hak-hak

BAB I PENDAHULUAN. ranah pemerintah daerah seperti Desa Pakraman kebijakan tentang hak-hak 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Seiring dengan perkembangan zaman, hak-hak perempuan mulai dipertimbangkan dalam merumuskan kebijakan publik. Kebijakan tentang perempuan sekarang ini sudah

Lebih terperinci

PARTISIPASI PEREMPUAN DALAM PROSES PEMBUATAN PARAREM DI DESA PAKRAMAN PANJER, KECAMATAN DENPASAR SELATAN, KOTA DENPASAR

PARTISIPASI PEREMPUAN DALAM PROSES PEMBUATAN PARAREM DI DESA PAKRAMAN PANJER, KECAMATAN DENPASAR SELATAN, KOTA DENPASAR PARTISIPASI PEREMPUAN DALAM PROSES PEMBUATAN PARAREM DI DESA PAKRAMAN PANJER, KECAMATAN DENPASAR SELATAN, KOTA DENPASAR I Wayan Yuda Krisna, Ni Nyoman Dewi Pascarani, I Ketut Winaya Fakultas Ilmu Sosial

Lebih terperinci

Pendidikan Kewarganegaraan

Pendidikan Kewarganegaraan Modul ke: 14 Dosen Fakultas Fakultas Ilmu Komunikasi Pendidikan Kewarganegaraan Berisi tentang Good Governance : Sukarno B N, S.Kom, M.Kom Program Studi Hubungan Masyarakat http://www.mercubuana.ac.id

Lebih terperinci

KEWARGANEGARAAN. Modul ke: GOOD GOVERNANCE. Fakultas FEB. Syahlan A. Sume. Program Studi MANAJEMEN.

KEWARGANEGARAAN. Modul ke: GOOD GOVERNANCE. Fakultas FEB. Syahlan A. Sume. Program Studi MANAJEMEN. KEWARGANEGARAAN Modul ke: GOOD GOVERNANCE by Fakultas FEB Syahlan A. Sume Program Studi MANAJEMEN www.mercubuana.ac.id Pokok Bahasan : 1. Pengertian, Konsep dan Karakteristik Good Governance. 2. Prinsip-prinsip

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang luas, besar, dan memiliki keanekaragaman

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang luas, besar, dan memiliki keanekaragaman 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia adalah negara yang luas, besar, dan memiliki keanekaragaman akan tradisi dan budayanya. Budaya memiliki kaitan yang erat dengan kehidupan manusia, di mana

Lebih terperinci

Good Governance: Mengelola Pemerintahan dengan Baik

Good Governance: Mengelola Pemerintahan dengan Baik Good Governance: Mengelola Pemerintahan dengan Baik KOSKIP, KAJIAN RUTIN - Sejak lahir seorang manusia pasti berinteraksi dengan berbagai kegiatan pemerintahan hingga ia mati. Pemerintahan merupakan wujud

Lebih terperinci

Abstract. Balinese society are bound by two village system, they are village

Abstract. Balinese society are bound by two village system, they are village MENINGKATNYA INTENSITAS KONFLIK DESA PAKRAMAN DI BALI Anak Agung Istri Ngurah Dyah Prami Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Udayana 1021005005 E-mail: dyahprami@yahoo.co.id

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebudayaan Indonesia yang beraneka ragam terdiri dari puncak-puncak kebudayaan daerah dan setiap kebudayaan daerah mempunyai ciri-ciri khas masing-masing. Walaupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sistem tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) yang ditandai

BAB I PENDAHULUAN. sistem tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) yang ditandai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Reformasi di Indonesia yang masih berlangsung hingga sekarang telah menghasilkan berbagai perubahan khususnya dalam hal tata kelola pemerintahan. Salah satu

Lebih terperinci

BAB V PENYAJIAN VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN

BAB V PENYAJIAN VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN BAB V PENYAJIAN VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN Perumusan Visi, Misi, Tujuan dan Sasaran pembangunan daerah lima tahun kedepan yang dituangkan dalam RPJMD Semesta Berencana Kabupaten Badung Tahun 2016-2021

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Otonomi Daerah dibawah undang undang ini tidak sekedar memindahkan

I. PENDAHULUAN. Otonomi Daerah dibawah undang undang ini tidak sekedar memindahkan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemberlakukan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah membawa konsekuensi terhadap semua aspek penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Penyelenggaraan

Lebih terperinci

KEPEMERINTAHAN YANG BAIK (GOOD GOVERNANCE) LATAR BELAKANG, KONSEP KEPEMERINTAHA, KONSEP GOOD GOVERNANCE

KEPEMERINTAHAN YANG BAIK (GOOD GOVERNANCE) LATAR BELAKANG, KONSEP KEPEMERINTAHA, KONSEP GOOD GOVERNANCE KEPEMERINTAHAN YANG BAIK (GOOD GOVERNANCE) LATAR BELAKANG, KONSEP KEPEMERINTAHA, KONSEP GOOD GOVERNANCE JAT KELOMPOK IV 1 LATAR BELAKANG 1. ADANYA PERKEMBANGAN INTERAKSI SOSIAL POLITIK PEMERINTAH DAN MASYARAKAT

Lebih terperinci

SEJARAH PERTUMBUHAN KONSEP DAN PRAKTEK GOVERNANCE

SEJARAH PERTUMBUHAN KONSEP DAN PRAKTEK GOVERNANCE SEJARAH PERTUMBUHAN KONSEP DAN PRAKTEK GOVERNANCE Asal-usul Secara etimologi, berasal dari kata kerja bahasa Yunani kubernan (to pilot atau steer), dan Plato menyebutnya sebagai how to design a system

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG SUBAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI,

RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG SUBAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI, RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG SUBAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI, Menimbang : a. bahwa Lembaga Subak sebagai bagian dari budaya Bali merupakan organisasi

Lebih terperinci

Jurnal Sains Manajemen Vol. 2 No.1 Januari 2016

Jurnal Sains Manajemen Vol. 2 No.1 Januari 2016 Peningkatan Kualitas Pengeluaran Belanja Provinsi Untuk Peningkatan Pembangunan Di Kabupaten Pandeglang Syamsudin 1, Delly Maulana 2 1 Fakultas Ekonomi, Universitas Serang Raya syamsudincms@yahoo.com 2

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sumarto, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2009, hal. 1-2

BAB I PENDAHULUAN. Sumarto, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2009, hal. 1-2 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Penelitian Governance disini diartikan sebagai mekanisme, praktik, dan tata cara pemerintah dan warga mengatur sumber daya serta memecahkan masalahmasalah publik. Dalam

Lebih terperinci

Good Governance. Etika Bisnis

Good Governance. Etika Bisnis Good Governance Etika Bisnis Good Governance Good Governance Memiliki pengertian pengaturan yang baik, hal ini sebenarnya sangat erat kaitannya dengan pelaksanaaan etika yang baik dari perusahaan Konsep

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan sistem pemerintahan dari yang semula terpusat menjadi

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan sistem pemerintahan dari yang semula terpusat menjadi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seiring dengan semangat otonomi daerah dan dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pelaksanaan otonomi daerah berdampak pada pergeseran sistem pemerintahan dari sistem sentralisasi ke sistem desentralisasi, yaitu dari pemerintah pusat kepada

Lebih terperinci

Pemerintahan Desa diselenggarakan oleh Pemerintah Desa

Pemerintahan Desa diselenggarakan oleh Pemerintah Desa PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DESA BERDASARKAN PERDA KABUPATEN LAMONGAN NOMOR 3 TAHUN 2015 Pemerintahan Desa diselenggarakan oleh Pemerintah Desa Pemerintah Desa adalah kepala Desa yang dibantu oleh perangkat

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Good governance dalam sistem administrasi Indonesia diterapkan seperti dalam

BAB II LANDASAN TEORI. Good governance dalam sistem administrasi Indonesia diterapkan seperti dalam BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Good Corparate Governance Good governance dalam sistem administrasi Indonesia diterapkan seperti dalam pengertian yang dikembangkan oleh UNDP. Berdasarkan dokumen kebijakan

Lebih terperinci

TATA KELOLA PEMERINTAHAN, KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK. Hendra Wijayanto

TATA KELOLA PEMERINTAHAN, KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK. Hendra Wijayanto TATA KELOLA PEMERINTAHAN, KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK Hendra Wijayanto PERTANYAAN Apa yang dimaksud government? Apa yang dimaksud governance? SEJARAH IDE GOVERNANCE Tahap 1 Transformasi government sepanjang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan kualitas sumberdaya manusia di Indonesia masih perlu mendapat prioritas dalam pembangunan nasional. Berdasarkan laporan United Nation for Development Programme

Lebih terperinci

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI 3.1. IDENTIFIKASI PERMASALAHAN BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI SKPD Analisis Isu-isu strategis dalam perencanaan pembangunan selama 5 (lima) tahun periode

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. publik. Pemahaman mengenai good governance berbeda-beda, namun sebagian

BAB 1 PENDAHULUAN. publik. Pemahaman mengenai good governance berbeda-beda, namun sebagian 15 BAB 1 PENDAHULUAN 1.7 Latar Belakang Masalah Konsep good governance muncul karena adanya ketidakpuasan pada kinerja pemerintahan yang selama ini dipercaya sebagai penyelenggara urusan publik. Pemahaman

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. sesuai dengan UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah selanjutnya

BAB 1 PENDAHULUAN. sesuai dengan UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah selanjutnya BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kinerja instansi pemerintah kini menjadi sorotan dengan semakin tingginya kesadaran masyarakat terhadap penyelenggaraan administrasi publik. Masyarakat sering

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seiring dengan perkembangan Indonesia kearah modernisasi maka semakin banyak peluang bagi perempuan untuk berperan dalam pembangunan. Tetapi berhubung masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan merupakan tanggung jawab bersama pemerintah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Terselenggaranya good governance merupakan prasyarat bagi setiap

BAB I PENDAHULUAN. Terselenggaranya good governance merupakan prasyarat bagi setiap 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Terselenggaranya good governance merupakan prasyarat bagi setiap pemerintahan untuk mewujudkan aspirasi masyarakat dan mencapai tujuan serta citacita bangsa

Lebih terperinci

BAB V VISI, MISI DAN TUJUAN PEMERINTAHAN KABUPATEN SOLOK TAHUN

BAB V VISI, MISI DAN TUJUAN PEMERINTAHAN KABUPATEN SOLOK TAHUN BAB V VISI, MISI DAN TUJUAN PEMERINTAHAN KABUPATEN SOLOK TAHUN 2011-2015 5.1. Visi Paradigma pembangunan moderen yang dipandang paling efektif dan dikembangkan di banyak kawasan untuk merebut peluang dan

Lebih terperinci

KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 53 KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS Kerangka Pemikiran Kemiskinan Proses pembangunan yang dilakukan sejak awal kemerdekaan sampai dengan berakhirnya era Orde Baru, diakui atau tidak, telah banyak menghasilkan

Lebih terperinci

REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL

REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL SAMBUTAN MENTERI NEGARA PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/KEPALA BAPPENAS Pada Penandatanganan MoU

Lebih terperinci

Anggaran Dasar. Konsil Lembaga Swadaya Masyarakat Indonesia [INDONESIAN NGO COUNCIL) MUKADIMAH

Anggaran Dasar. Konsil Lembaga Swadaya Masyarakat Indonesia [INDONESIAN NGO COUNCIL) MUKADIMAH Anggaran Dasar Konsil Lembaga Swadaya Masyarakat Indonesia [INDONESIAN NGO COUNCIL) MUKADIMAH Bahwa kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat adalah salah satu hak asasi manusia yang sangat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kedudukan negara Indonesia yang terdiri dari banyak pulau dan Daerah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kedudukan negara Indonesia yang terdiri dari banyak pulau dan Daerah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kedudukan negara Indonesia yang terdiri dari banyak pulau dan Daerah mengharuskan untuk diterapkannya kebijakan otonomi daerah. Meskipun dalam UUD 1945 disebutkan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR 20 TAHUN 2012 TENTANG PERCEPATAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KEBUMEN,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR 20 TAHUN 2012 TENTANG PERCEPATAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KEBUMEN, SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR 20 TAHUN 2012 TENTANG PERCEPATAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KEBUMEN, Menimbang : a. bahwa kemiskinan adalah masalah

Lebih terperinci

PENYELESAIAN PERKARA OLEH LEMBAGA ADAT MENGENAI PERKELAHIAN ANTAR SESAMA KRAMA DESA YANG TERJADI DI DESA PAKRAMAN SARASEDA

PENYELESAIAN PERKARA OLEH LEMBAGA ADAT MENGENAI PERKELAHIAN ANTAR SESAMA KRAMA DESA YANG TERJADI DI DESA PAKRAMAN SARASEDA PENYELESAIAN PERKARA OLEH LEMBAGA ADAT MENGENAI PERKELAHIAN ANTAR SESAMA KRAMA DESA YANG TERJADI DI DESA PAKRAMAN SARASEDA oleh : Ida Bagus Miswadanta Pradaksa Sagung Putri M.E Purwani Bagian Hukum dan

Lebih terperinci

EKSISTENSI DESA ADAT DAN KELEMBAGAAN LOKAL: KASUS BALI

EKSISTENSI DESA ADAT DAN KELEMBAGAAN LOKAL: KASUS BALI EKSISTENSI DESA ADAT DAN KELEMBAGAAN LOKAL: KASUS BALI Oleh : Agus Purbathin Hadi Yayasan Agribisnis/Pusat Pengembangan Masyarakat Agrikarya (PPMA) Kelembagaan Desa di Bali Bentuk Desa di Bali terutama

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH TINGKAT I BALI NOMOR 3 TAHUN 1991 T E N T A N G PARIWISATA BUDAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH TINGKAT I BALI NOMOR 3 TAHUN 1991 T E N T A N G PARIWISATA BUDAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH TINGKAT I BALI NOMOR 3 TAHUN 1991 T E N T A N G PARIWISATA BUDAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KEPALA DAERAH TINGKAT I BALI, Menimbang : a. bahwa kepariwisataan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah memberikan perhatian yang sungguh-sungguh dalam memberantas

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah memberikan perhatian yang sungguh-sungguh dalam memberantas 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Akhir-akhir ini banyak orang membicarakan masalah krisis kepemimpinan. Konon sangat sulit mencari kader-kader pemimpin pada berbagai tingkatan. Reformasi dilakukan

Lebih terperinci

BAB III VISI, MISI, DAN ARAH PEMBANGUNAN DAERAH

BAB III VISI, MISI, DAN ARAH PEMBANGUNAN DAERAH BAB III VISI, MISI, DAN ARAH PEMBANGUNAN DAERAH 3.1. Visi Berdasarkan kondisi masyarakat dan modal dasar Kabupaten Solok saat ini, serta tantangan yang dihadapi dalam 20 (dua puluh) tahun mendatang, maka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bisnis dan perpindahan lokasi kerja dari satu tempat ke tempat lain (Sears dalam

BAB I PENDAHULUAN. bisnis dan perpindahan lokasi kerja dari satu tempat ke tempat lain (Sears dalam 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Salah satu pekerjaan dengan tingkat tekanan yang tinggi adalah auditor internal. Pekerjaan ini memiliki beban kerja yang berat, batas waktu pekerjaan yang

Lebih terperinci

TEMBARAN DAERAH NOMOR:3 TAHUN:1988 SERI:DNO'3 PROPINSI DAERAH TINGKAT I BALI TENTANG

TEMBARAN DAERAH NOMOR:3 TAHUN:1988 SERI:DNO'3 PROPINSI DAERAH TINGKAT I BALI TENTANG TEMBARAN DAERAH PROPINSI DAERAH TINGKAT I BALI NOMOR:3 TAHUN:1988 SERI:DNO'3 PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH TINGKAT I BALI NOMOR 06 TAHUN 1986 TENTANG KEDUDUKAN, FUNGSI DAN PERANAN DESA ADAT SEBAGAI

Lebih terperinci

BUPATI CILACAP PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI CILACAP NOMOR 64 TAHUN 2016 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA PEMERINTAH DESA

BUPATI CILACAP PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI CILACAP NOMOR 64 TAHUN 2016 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA PEMERINTAH DESA BUPATI CILACAP PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI CILACAP NOMOR 64 TAHUN 2016 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA PEMERINTAH DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI CILACAP, Menimbang :

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. wilayah dan tataran kehidupan publik, terutama dalam posisi-posisi pengambilan

I. PENDAHULUAN. wilayah dan tataran kehidupan publik, terutama dalam posisi-posisi pengambilan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Demokrasi mengamanatkan adanya persamaan akses dan peran serta penuh bagi laki-laki, maupun perempuan atas dasar perinsip persamaan derajat, dalam semua wilayah

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN PURWOREJO

PEMERINTAH KABUPATEN PURWOREJO PEMERINTAH KABUPATEN PURWOREJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR 13 TAHUN 2009 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DAN KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURWOREJO, Menimbang :

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 18 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERDAYAAN,PELESTARIAN DAN PENGEMBANGAN ADAT ISTIADAT DAN LEMBAGA ADAT

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 18 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERDAYAAN,PELESTARIAN DAN PENGEMBANGAN ADAT ISTIADAT DAN LEMBAGA ADAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 18 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERDAYAAN,PELESTARIAN DAN PENGEMBANGAN ADAT ISTIADAT DAN LEMBAGA ADAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB II RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH (RPJMD)

BAB II RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH (RPJMD) Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah BAB II RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH (RPJMD) A. Visi dan Misi 1. Visi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kabupaten Sleman 2010-2015 menetapkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mendapat perhatian yang serius. Orientasi pembangunan lebih banyak diarahkan

BAB I PENDAHULUAN. mendapat perhatian yang serius. Orientasi pembangunan lebih banyak diarahkan BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Perkembangan akuntansi sektor publik di Indonesia sebelum era reformasi dapat dinilai kurang pesat. Pada waktu itu, akuntansi sektor publik kurang mendapat perhatian

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERUYAN NOMOR 25 TAHUN 2006 TENTANG PEMBENTUKAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN DI DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERUYAN NOMOR 25 TAHUN 2006 TENTANG PEMBENTUKAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN DI DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERUYAN NOMOR 25 TAHUN 2006 TENTANG PEMBENTUKAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN DI DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SERUYAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka pelaksanaan

Lebih terperinci

Majalah Ilmiah DIAN ILMU Vol. 13 No. 1 Oktober

Majalah Ilmiah DIAN ILMU Vol. 13 No. 1 Oktober PENGARUH TINGKAT PENDIDIKAN TERHADAP PARTISIPASI ANGGOTA BPD DALAM PENYUSUNAN PERATURAN DESA (Suatu studi kasus di desa Nogosari Kecamatan Rambipuji Kabupaten Jember) Oleh : Kaskojo Adi Tujuan umum negara

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG, PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG, Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 97 Peraturan

Lebih terperinci

BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 4 TAHUN 2007 TENTANG PERANGKAT DESA LAINNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG,

BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 4 TAHUN 2007 TENTANG PERANGKAT DESA LAINNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG, BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 4 TAHUN 2007 TENTANG PERANGKAT DESA LAINNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG, Menimbang : a. bahwa dengan berlakunya Undang Undang Nomor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1 Awig-awig pesamuan adat Abianbase, p.1

BAB I PENDAHULUAN. 1 Awig-awig pesamuan adat Abianbase, p.1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Permasalahan 1.1.1. Latar Belakang Desa pakraman, yang lebih sering dikenal dengan sebutan desa adat di Bali lahir dari tuntutan manusia sebagai mahluk sosial yang tidak mampu hidup

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR LAMPUNG, Menimbang Mengingat : a. bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Hingga saat ini, relasi antara Pemerintah Daerah, perusahaan dan masyarakat (state, capital, society) masih belum menunjukkan pemahaman yang sama tentang bagaimana program CSR

Lebih terperinci

Pengertian dan ruang lingkup akuntansi sektor publik

Pengertian dan ruang lingkup akuntansi sektor publik Pengertian dan ruang lingkup akuntansi sektor publik Akuntansi sektor publik memiliki kaitan yang erat dengan penerapan dan perlakuan akuntansi pada domain publik.domain publik sendiri memiliki wilayah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ditentukan sebelumnya. Apabila diterapkan secara formal dalam organisasi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ditentukan sebelumnya. Apabila diterapkan secara formal dalam organisasi 17 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Administrasi Negara 2.1.1 Pengertian Administrasi Administrasi secara umum dapat diartikan sebagai suatu proses yang dilakukan secara kerjasama untuk mencapai tujuan bersama

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG NOMOR TAHUN 2014 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SEMARANG,

RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG NOMOR TAHUN 2014 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SEMARANG, RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG NOMOR TAHUN 2014 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SEMARANG, Menimbang :a. bahwa sesuai dengan Pasal 65 ayat (2)

Lebih terperinci

BUPATI GROBOGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN GROBOGAN NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG KEWENANGAN DAN KELEMBAGAAN DESA

BUPATI GROBOGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN GROBOGAN NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG KEWENANGAN DAN KELEMBAGAAN DESA BUPATI GROBOGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN GROBOGAN NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG KEWENANGAN DAN KELEMBAGAAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI GROBOGAN, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 11 TAHUN 2007

PEMERINTAH KABUPATEN SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 11 TAHUN 2007 Menimbang + PEMERINTAH KABUPATEN SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 11 TAHUN 2007 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKOHARJO, : a. bahwa sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan adalah dimensi penting dari usaha United Nations Development Programme (UNDP) untuk mengurangi separuh kemiskinan dunia

Lebih terperinci

BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 18 TAHUN 2017 TENTANG PEMBERDAYAAN DAN PEMBINAAN LEMBAGA ADAT

BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 18 TAHUN 2017 TENTANG PEMBERDAYAAN DAN PEMBINAAN LEMBAGA ADAT BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 18 TAHUN 2017 TENTANG PEMBERDAYAAN DAN PEMBINAAN LEMBAGA ADAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KOTABARU, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi telah membawa perubahan terhadap sistem politik, sosial,

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi telah membawa perubahan terhadap sistem politik, sosial, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Reformasi telah membawa perubahan terhadap sistem politik, sosial, kemasyarakatan serta ekonomi sehingga menimbulkan tuntutan yang beragam terhadap pengelolaan

Lebih terperinci

BAB II TELAAH PUSTAKA DAN MODEL PENELITIAN

BAB II TELAAH PUSTAKA DAN MODEL PENELITIAN BAB II TELAAH PUSTAKA DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Telaah Pustaka 2.1.1 Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP) Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP), sebagaimana dimaksud

Lebih terperinci

BUPATI GROBOGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN GROBOGAN NOMOR TAHUN 2015 TENTANG KEWENANGAN DAN KELEMBAGAAN DESA

BUPATI GROBOGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN GROBOGAN NOMOR TAHUN 2015 TENTANG KEWENANGAN DAN KELEMBAGAAN DESA BUPATI GROBOGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN GROBOGAN NOMOR TAHUN 2015 TENTANG KEWENANGAN DAN KELEMBAGAAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI GROBOGAN, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dalam keluarga dibanding pria. Wanita di mana-mana mencurahkan tenaganya

I. PENDAHULUAN. dalam keluarga dibanding pria. Wanita di mana-mana mencurahkan tenaganya I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejak dahulu telah ada orang-orang yang memberikan perhatian kepada nasib wanita, yang dianggap diperlakukan tidak adil dalam masyarakat maupun dalam keluarga dibanding

Lebih terperinci

ANGGARAN DASAR KOMNAS PEREMPUAN PENGESAHAN: 11 FEBRUARI 2014

ANGGARAN DASAR KOMNAS PEREMPUAN PENGESAHAN: 11 FEBRUARI 2014 ANGGARAN DASAR KOMNAS PEREMPUAN PENGESAHAN: 11 FEBRUARI 2014 PEMBUKAAN Bahwa sesungguhnya hak-hak asasi dan kebebasan-kebebasan fundamental manusia melekat pada setiap orang tanpa kecuali, tidak dapat

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP Simpulan

BAB VI PENUTUP Simpulan BAB VI PENUTUP 6.1. Simpulan Kajian tentang implementasi prinsip-prinsip university governance berlandaskan Tri Hita Karana di Universitas Mahasaraswati Denpasar menemukan: 6.1.1. Pelaksanaan Prinsip-Prinsip

Lebih terperinci

Anggaran Dasar KONSIL Lembaga Swadaya Masyarakat INDONESIA (Konsil LSM Indonesia) [INDONESIAN NGO COUNSILINC) MUKADIMAH

Anggaran Dasar KONSIL Lembaga Swadaya Masyarakat INDONESIA (Konsil LSM Indonesia) [INDONESIAN NGO COUNSILINC) MUKADIMAH Anggaran Dasar KONSIL Lembaga Swadaya Masyarakat INDONESIA (Konsil LSM Indonesia) [INDONESIAN NGO COUNSILINC) MUKADIMAH Bahwa kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat adalah salah satu

Lebih terperinci

BUPATI DEMAK PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN DEMAK NOMOR 8 TAHUN 2O15 TENTANG

BUPATI DEMAK PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN DEMAK NOMOR 8 TAHUN 2O15 TENTANG SALINAN BUPATI DEMAK PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN DEMAK NOMOR 8 TAHUN 2O15 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA PEMERINTAHAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS TERHADAP FAKTOR PENYEBAB TIDAK TERPILIHNYA 11 ORANG CALEG PEREMPUAN

BAB IV ANALISIS TERHADAP FAKTOR PENYEBAB TIDAK TERPILIHNYA 11 ORANG CALEG PEREMPUAN BAB IV ANALISIS TERHADAP FAKTOR PENYEBAB TIDAK TERPILIHNYA 11 ORANG CALEG PEREMPUAN A. CALEG PEREMPUAN DI KELURAHAN TEWAH MENGALAMI REKRUTMEN POLITIK MENDADAK Perempuan dan Politik di Tewah Pada Pemilu

Lebih terperinci

BUPATI LOMBOK TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TENGAH NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN JASA LINGKUNGAN

BUPATI LOMBOK TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TENGAH NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN JASA LINGKUNGAN BUPATI LOMBOK TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TENGAH NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN JASA LINGKUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, BUPATI LOMBOK TENGAH, Menimbang : a. bahwa kekayaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Subak merupakan lembaga irigasi dan pertanian yang bercorak sosioreligius terutama bergerak dalam pengolahan air untuk produksi tanaman setahun khususnya padi berdasarkan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2014 NOMOR 1 SERI E

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2014 NOMOR 1 SERI E LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2014 NOMOR 1 SERI E PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG STRATEGI PEMBANGUNAN DAERAH RESPONSIF GENDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

BAB 10 PENGHAPUSAN DISKRIMINASI DALAM BERBAGAI BENTUK

BAB 10 PENGHAPUSAN DISKRIMINASI DALAM BERBAGAI BENTUK BAB 10 PENGHAPUSAN DISKRIMINASI DALAM BERBAGAI BENTUK Di dalam UUD 1945 Bab XA tentang Hak Asasi Manusia, pada dasarnya telah dicantumkan hak-hak yang dimiliki oleh setiap orang atau warga negara. Pada

Lebih terperinci

KEPALA DESA BANJAR KECAMATAN LICIN KABUPATEN BANYUWANGI SALINAN PERATURAN DESA BANJAR NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG KERJASAMA DESA

KEPALA DESA BANJAR KECAMATAN LICIN KABUPATEN BANYUWANGI SALINAN PERATURAN DESA BANJAR NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG KERJASAMA DESA KEPALA DESA BANJAR KECAMATAN LICIN KABUPATEN BANYUWANGI SALINAN PERATURAN DESA BANJAR NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG KERJASAMA DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA DESA BANJAR Menimbang : a. Pasal

Lebih terperinci

Mengetahui bentuk pemerintahan yang baik RINA KURNIAWATI, SHI, MH

Mengetahui bentuk pemerintahan yang baik RINA KURNIAWATI, SHI, MH Modul ke: GOOD GOVERNANCE Mengetahui bentuk pemerintahan yang baik Fakultas FAKULTAS www.mercubuana.ac.id RINA KURNIAWATI, SHI, MH Program Studi Pengertian Istilah good governance lahir sejak berakhirnya

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA TAHUN 2006 NOMOR 18

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA TAHUN 2006 NOMOR 18 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA TAHUN 2006 NOMOR 18 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA NOMOR 18 TAHUN 2006 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

Kesimpulan. Bab Sembilan. Subak sebagai organisasi tradisional yang memiliki aturan (awigawig)

Kesimpulan. Bab Sembilan. Subak sebagai organisasi tradisional yang memiliki aturan (awigawig) Bab Sembilan Kesimpulan Tidak dapat dipungkiri bahwa sektor pertanian di Indonesia hingga saat ini masih berperan penting dalam penyediaan dan pemenuhan pangan bagi masyarakatnya. Dengan adanya eksplositas

Lebih terperinci

TRANSFORMASI DESA PENGUATAN PARTISIPASI WARGA DALAM PEMBANGUNAN, PEMERINTAHAN DAN KELOLA DANA DESA. Arie Sujito

TRANSFORMASI DESA PENGUATAN PARTISIPASI WARGA DALAM PEMBANGUNAN, PEMERINTAHAN DAN KELOLA DANA DESA. Arie Sujito TRANSFORMASI DESA PENGUATAN PARTISIPASI WARGA DALAM PEMBANGUNAN, PEMERINTAHAN DAN KELOLA DANA DESA Arie Sujito Apa pelajaran berharga yang dibisa dipetik dari perubahan desa sejak UU No. 6/ 2014? Apa tantangan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Bab ini merupakan kesimpulan yang menjabarkan pernyataan singkat hasil temuan penelitian yang menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian. Kesimpulan penelitian akan dimulai

Lebih terperinci

7. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2002 tentang Pembentukan Kabupaten Banyuasin di Provinsi Sumatera Selatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

7. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2002 tentang Pembentukan Kabupaten Banyuasin di Provinsi Sumatera Selatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 70 Menimbang : Mengingat : PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUASIN NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN KESEJAHTERAAN SOSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANYUASIN, a. bahwa setiap warga

Lebih terperinci

BUPATI BULUKUMBA PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA NOMOR 16 TAHUN 2014 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER

BUPATI BULUKUMBA PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA NOMOR 16 TAHUN 2014 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER BUPATI BULUKUMBA PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA NOMOR 16 TAHUN 2014 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULUKUMBA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAPPEDA KAB. LAMONGAN

BAPPEDA KAB. LAMONGAN BAB IV VISI DAN MISI DAERAH 4.1 Visi Berdasarkan kondisi Kabupaten Lamongan saat ini, tantangan yang dihadapi dalam dua puluh tahun mendatang, dan memperhitungkan modal dasar yang dimiliki, maka visi Kabupaten

Lebih terperinci

Peningkatan Kualitas dan Peran Perempuan, serta Kesetaraan Gender

Peningkatan Kualitas dan Peran Perempuan, serta Kesetaraan Gender XVII Peningkatan Kualitas dan Peran Perempuan, serta Kesetaraan Gender Salah satu strategi pokok pembangunan Propinsi Jawa Timur 2009-2014 adalah pengarusutamaan gender. Itu artinya, seluruh proses perencanaan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan fisik seperti makan, minum, pakaian dan perumahan tetapi juga non. (ketetapan-ketetapan MPR dan GBHN 1998).

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan fisik seperti makan, minum, pakaian dan perumahan tetapi juga non. (ketetapan-ketetapan MPR dan GBHN 1998). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan Indonesia diarahkan untuk pembangunan manusia seutuhnya dan masyarakat seluruhnya. Termasuk dalam proses pembangunan adalah usaha masyarakat untuk

Lebih terperinci

BUPATI BELITUNG PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN BUPATI BELITUNG NOMOR 15 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI BELITUNG PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN BUPATI BELITUNG NOMOR 15 TAHUN 2016 TENTANG SALINAN BUPATI BELITUNG PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN BUPATI BELITUNG NOMOR 15 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA PEMERINTAH DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TABANAN NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TABANAN,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TABANAN NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TABANAN, PERATURAN DAERAH KABUPATEN TABANAN NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TABANAN, Menimbang : a. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 97 ayat (1) Peraturan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia mencapai orang, yang terdiri atas orang lakilaki

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia mencapai orang, yang terdiri atas orang lakilaki BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peluang kerja di Indonesia sangat dipengaruhi oleh laju pertumbuhan penduduk. Menurut hasil sensus penduduk pada tahun 2010 jumlah penduduk di Indonesia mencapai 237.556.363

Lebih terperinci

TERWUJUDNYA MASYARAKAT SELOMARTANI YANG AGAMIS SEJAHTERA BERBUDAYA DAN MANDIRI DENGAN KETAHANAN PANGAN PADA TAHUN 2021

TERWUJUDNYA MASYARAKAT SELOMARTANI YANG AGAMIS SEJAHTERA BERBUDAYA DAN MANDIRI DENGAN KETAHANAN PANGAN PADA TAHUN 2021 VISI TERWUJUDNYA MASYARAKAT SELOMARTANI YANG AGAMIS SEJAHTERA BERBUDAYA DAN MANDIRI DENGAN KETAHANAN PANGAN PADA TAHUN 2021 MISI 1 Menigkatkan kerukunan keharmonisan kehidupan masyarakan dalam melaksanakan

Lebih terperinci

DISAMPAIKAN OLEH : YUDA IRLANG, KORDINATOR ANSIPOL, ( ALIANSI MASYARAKAT SIPIL UNTUK PEREMPUAN POLITIK)

DISAMPAIKAN OLEH : YUDA IRLANG, KORDINATOR ANSIPOL, ( ALIANSI MASYARAKAT SIPIL UNTUK PEREMPUAN POLITIK) DISAMPAIKAN OLEH : YUDA IRLANG, KORDINATOR ANSIPOL, ( ALIANSI MASYARAKAT SIPIL UNTUK PEREMPUAN POLITIK) JAKARTA, 3 APRIL 2014 UUD 1945 KEWAJIBAN NEGARA : Memenuhi, Menghormati dan Melindungi hak asasi

Lebih terperinci

PENEGAKAN AWIG-AWIG LARANGAN BERBURU BURUNG DI DESA PAKRAMAN KAYUBIHI, KECAMATAN BANGLI, KABUPATEN BANGLI

PENEGAKAN AWIG-AWIG LARANGAN BERBURU BURUNG DI DESA PAKRAMAN KAYUBIHI, KECAMATAN BANGLI, KABUPATEN BANGLI PENEGAKAN AWIG-AWIG LARANGAN BERBURU BURUNG DI DESA PAKRAMAN KAYUBIHI, KECAMATAN BANGLI, KABUPATEN BANGLI Oleh : Pande Putu Indra Wirajaya I Gusti Agung Mas Rwa Jayantiari I Gusti Ngurah Dharma Laksana

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori Pembangunan Masyarakat Partisipasi Petani Dalam Kegiatan Pemberdayaan

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori Pembangunan Masyarakat Partisipasi Petani Dalam Kegiatan Pemberdayaan 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori 2.1.1 Pembangunan Masyarakat Pembangunan merupakan suatu proses perubahan yang disengaja dan direncanakan. Lebih lengkap lagi, pembangunan diartikan sebagai perubahan

Lebih terperinci

BUPATI BANGKA PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG

BUPATI BANGKA PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG BUPATI BANGKA PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 12 TAHUN 2015 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA PEMERINTAHAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA BATU

PEMERINTAH KOTA BATU PEMERINTAH KOTA BATU PERATURAN DAERAH KOTA BATU NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PEDOMAN ORGANISASI DAN TATA KERJA PEMERINTAHAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BATU, Menimbang : bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Era globalisasi dewasa ini, kita dihadapkan pada perubahan arah

BAB I PENDAHULUAN. Era globalisasi dewasa ini, kita dihadapkan pada perubahan arah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Era globalisasi dewasa ini, kita dihadapkan pada perubahan arah pembangunan yang bertumpu pada peningkatan sumber daya aparatur pemerintah sebagai kunci pokok

Lebih terperinci

BUPATI TORAJA UTARA PROVINSI SULAWESI SELATAN

BUPATI TORAJA UTARA PROVINSI SULAWESI SELATAN BUPATI TORAJA UTARA PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TORAJA UTARA NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN LEMBANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TORAJA UTARA, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Skripsi ini membahas tentang bagaimana faktor-faktor yang menyebabkan

BAB I PENDAHULUAN. Skripsi ini membahas tentang bagaimana faktor-faktor yang menyebabkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Skripsi ini membahas tentang bagaimana faktor-faktor yang menyebabkan ketimpangan gender pada posisi jabatan struktural di Dinas Perhubungan Kota Yogyakarta, yang dilihat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tulisan ini berupaya mengkaji tentang adanya kebijakan kuota 30% Daerah Kota Kendari tahun anggaran

BAB I PENDAHULUAN. Tulisan ini berupaya mengkaji tentang adanya kebijakan kuota 30% Daerah Kota Kendari tahun anggaran BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tulisan ini berupaya mengkaji tentang adanya kebijakan kuota 30% perempuan dan kaitannya dalam penyusunan anggaran responsif gender. Yang menjadi fokus dalam penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perkawinan merupakan hal yang sakral dilakukan oleh setiap manusia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perkawinan merupakan hal yang sakral dilakukan oleh setiap manusia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan merupakan hal yang sakral dilakukan oleh setiap manusia di dunia ini, termasuk di Indonesia. Sejak dilahirkan di dunia manusia sudah mempunyai kecenderungan

Lebih terperinci