BAB II LANDASAN TEORI. yang dimiliki individu untuk menghasilkan jalur mencapai tujuan yang
|
|
- Hengki Darmadi
- 7 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 BAB II LANDASAN TEORI A. HARAPAN 1. Definisi Harapan Snyder (2000) menyatakan harapan adalah keseluruhan dari kemampuan yang dimiliki individu untuk menghasilkan jalur mencapai tujuan yang diinginkan, bersamaan dengan motivasi yang dimiliki untuk menggunakan jalurjalur tersebut. Harapan didasarkan pada harapan positif dalam pencapaian tujuan. Snyder, Irving, & Anderson (dalam Snyder, 2000) menyatakan harapan adalah keadaan termotivasi yang positif didasarkan pada hubungan interaktif antara agency (energi yang mengarah pada tujuan) dan pathway (rencana untuk mencapai tujuan). Snyder, Harris, dkk (dalam Snyder, 2000) menjelaskan harapan sebagai sekumpulan kognitif yang didasarkan pada hubungan timbal-balik antara agency (penentu perilaku yang berorientasi tujuan) dan pathway (rencana untuk mencapai tujuan). Snyder (dalam Carr, 2004) mengkonsepkan harapan ke dalam dua komponen, yaitu kemampuan untuk merencanakan jalur untuk mencapai tujuan yang diinginkan dan agency atau motivasi untuk menggunakan jalur tersebut. Harapan merupakan keseluruhan dari kedua komponen tersebut. Berdasarkan konsep ini, harapan akan menjadi lebih kuat jika harapan ini disertai dengan adanya tujuan yang bernilai yang memiliki kemungkinan untuk dapat dicapai,
2 bukan sesuatu yang mustahil dicapai. Pemikiran hopeful mencakup tiga komponen, yaitu goal, pathway thinking, dan agency thinking. Namun jika individu memiliki keyakinan untuk mencapai tujuannya, maka individu tidak memerlukan harapan. Sebaliknya, jika individu yakin bahwa ia tidak akan bisa maka ia akan menjadi hopeless. Berdasarkan konseptualisasi ini, emosi positif dan negatif merupakan hasil dari pemikiran hopeful atau hopeless yang memiliki tujuan. Pada situasi adanya usaha untuk mencapai tujuan, perilaku hopeful akan ditentukan oleh interaksi dari hal berikut: a. Seberapa bernilainya tujuan atau hasil yang ingin dicapai. b. Pemikiran mengenai jalur untuk mencapai tujuan dan harapan yang berkaitan dengan seberapa efektif jalur/cara ini untuk mencapai tujuan yang diinginkan. c. Pemikiran mengenai pribadi dan seberapa efektif individu dalam mengikuti jalur untuk mencapai tujuan tersebut. Teori harapan juga menekankan peran dari hambatan, stressor, dan emosi. Ketika menjumpai hambatan yang menghalangi pencapaian tujuan, individu menilai kondisi tersebut sebagai sumber stres. Berdasarkan postulat teori harapan, emosi positif dihasilkan dari persepsi mengenai keberhasilan pencapaian tujuan. Sebaliknya emosi negatif mencerminkan kegagalan pencapaian tujuan, baik yang mengalami hambatan ataupun tidak mengalami hambatan. Oleh karena itu, persepsi mengenai keberhasilan pencapaian tujuan akan mendorong munculnya
3 emosi positif dan negatif (Snyder & Sympson, dalam Snyder, 2000). Kemudian emosi ini bertindak sebagai reinforcing feedback. 2. Komponen Harapan Menurut Snyder (2000), komponen-komponen yang terkandung dalam teori harapan yaitu: a. Goal Perilaku manusia adalah berorientasi dan memiliki arah tujuan. Goal atau tujuan adalah sasaran dari tahapan tindakan mental yang menghasilkan komponen kognitif. Tujuan menyediakan titik akhir dari tahapan perilaku mental individu. Tujuan harus cukup bernilai agar dapat mencapai pemikiran sadar. Tujuan dapat berupa tujuan jangka pendek ataupun jangka panjang, namun tujuan harus cukup bernilai untuk mengaktifkan pemikiran yang disadari. Dengan kata lain, tujuan harus memiliki kemungkinan untuk dicapai tetapi juga mengandung beberapa ketidakpastian. Pada suatu akhir dari kontinum kepastian, kepastian yang absolut adalah tujuan dengan tingkat kemungkinan pencapaian 100%, tujuan seperti ini tidak memerlukan harapan. Harapan berkembang dengan baik pada kondisi tujuan yang memiliki tingkat kemungkinan pencapaian sedang (Averill dkk., dalam Snyder, 2000). Lopez, Snyder & Pedrotti (2003) menyatakan bahwa tujuan dapat berupa approach-oriented in nature (misalnya sesuatu yang positif yang diharapkan untuk terjadi) atau preventative in nature (misalnya sesuatu yang negatif yang ingin dihentikan agar tidak terjadi lagi). Tujuan juga sangat beragam dilihat dari
4 tingkat kemungkinan untuk mencapainya. Bahkan suatu tujuan yang tampaknya tidak mungkin untuk dicapai pada waktunya akan dapat dicapai dengan perencanaan dan usaha yang lebih keras. b. Pathway Thinking Untuk dapat mencapai tujuan maka individu harus memandang dirinya sebagai individu yang memiliki kemampuan untuk mengembangkan suatu jalur untuk mencapai tujuan. Proses ini yang dinamakan pathway thinking, yang menandakan kemampuan seseorang untuk mengembangkan suatu jalur untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Pathway thinking ditandai dengan pernyataan pesan internal seperti Saya akan menemukan cara untuk menyelesaikannya! (Snyder, Lapointe, Crowson, & Early dalam Lopez, Snyder & Pedrotti, 2003). Pathway thinking mencakup pemikiran mengenai kemampuan untuk menghasilkan satu atau lebih cara yang berguna untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Beberapa jalur yang dihasilkan akan berguna ketika individu menghadapi hambatan, dan orang yang memiliki harapan yang tinggi merasa dirinya mampu menemukan beberapa jalur alternatif dan umumnya mereka sangat efektif dalam menghasilkan jalur alternatif (Irving, Snyder, & Crowson; Snyder, Harris, dkk., dalam Snyder, Rand & Sigmon, 2002). c. Agency Thinking Komponen motivasional pada teori harapan adalah agency, yaitu kapasitas untuk menggunakan suatu jalur untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Agency
5 mencerminkan persepsi individu bahwa dia mampu mencapai tujuannya melalui jalur-jalur yang dipikirkannya, agency juga dapat mencerminkan penilaian individu mengenai kemampuannya bertahan ketika menghadapi hambatan dalam mencapai tujuannya. Orang yang memiliki harapan tinggi menggunakan self-talk seperti Saya dapat melakukan ini dan Saya tidak akan berhenti sampai disini. Agentic thinking penting dalam semua pemikiran yang berorientasi pada tujuan, namun akan lebih berguna pada saat individu menghadapi hambatan. Ketika individu menghadapi hambatan, agency membantu individu menerapkan motivasi pada jalur alternatif terbaik (Irving, Snyder, & Crowson dalam Snyder, Rand & Sigmon, 2002). Komponen agency dan pathway saling memperkuat satu sama lain sehingga satu sama lain saling mempengaruhi dan dipengaruhi secara berkelanjutan dalam proses pencapaian tujuan. d. Kombinasi Pathway Thinking dan Agency Thinking Menurut teori harapan, komponen pathway thinking dan agency thinking merupakan dua komponen yang diperlukan. Namun, jika salah satunya tidak tercapai, maka kemampuan untuk mempertahankan pencapaian tujuan tidak akan mencukupi. Komponen pathway thinking dan agency thinking merupakan komponen yang saling melengkapi, bersifat timbal balik, dan berkorelasi positif, tetapi bukan merupakan komponen yang sama. Oleh sebab itu, teori harapan tersebut spesifik pada kemampuan untuk menghasilkan rencana untuk mencapai tujuan dan kepercayaan pada kemampuan
6 untuk mengimplementasikan tujuan tersebut. Individu yang memiliki kemampuan dalam agency thinking seharusnya disertakan juga dengan pathway thinking. Namun, beberapa individu tidak mengalami hal tersebut. Penelitian menunjukkan bahwa tidak semua individu yang memiliki agency thinking akan memiliki pathway thinking. Jika individu memiliki keduanya, dapat dikatakan bahwa kedua individu tersebut memiliki harapan tinggi. Hal tersebut disebabkan karena salah satunya tidak cukup untuk membentuk harapan yang tinggi (Snyder, 1994). Snyder (1994) membuat empat kategori mengenai kombinasi pathway thinking dan agency thinking. Kombinasi tersebut adalah pathway thinking dan agency thinking rendah, pathway thinking rendah dan agency thinking tinggi, pathway thinking tinggi dan agency thinking rendah, dan pathway thinking dan agency thinking tinggi. Individu yang memiliki pathway thinking dan agency thinking rendah hanya memiliki sedikit keyakinan bahwa mereka akan meraih kesuksesan dalam mewujudkan tujuannya. Individu dengan karakteristik seperti ini terkadang juga memiliki masalah, yaitu tidak memiliki tujuan sama sekali. Harapan yang rendah memiliki dampak bagi keseluruhan kehidupan individu. Tanpa keinginan untuk bertindak dan perencanaan, individu dapat mengalami depresi. Perasaan depresi tersebut muncul karena individu berpikir bahwa mereka tidak memiliki kemampuan untuk mendapatkan tujuan mereka. Selain itu, emosi negatif dapat semakin meningkat jika individu tidak memiliki kemampuan untuk mendefinisikan tujuan secara jelas.
7 Individu dengan agency thinking tinggi dan pathway thinking rendah memiliki keyakinan untuk meraih tujuan yang diinginkan. Namun, individu dengan karakteristik seperti ini memiliki masalah dalam berpikir mengenai cara yang paling berhasil untuk mencapai tujuannya. Jika individu berada terlalu lama dalam keadaan ini, maka individu tersebut dapat mengalami kemarahan atau frustasi. Selanjutnya individu tersebut akan kehilangan agency thinking-nya. Individu dengan agency thinking rendah dan pathway thinking tinggi merupakan individu yang tidak memiliki energi mental yang cukup untuk mewujudkan rencana yang dimiliki. Individu yang berada dalam keadaan ini akan mengalami burnout. Banyak individu yang memiliki agency thinking rendah terlihat seperti mengerjakan sesuatu yang dapat membuat orang lain terkesan. Namun, individu tersebut sebenarnya tetap berada dalam tahap yang sama. Individu yang memiliki agency thinking dan pathway thinking tinggi adalah individu yang menyimpan tujuan yang jelas dan memikirkan cara untuk meraih tujuan tersebut di dalam pikiran mereka. Mereka mudah berinteraksi dengan orang lain dan memanfaatkan kesempatan untuk mendapatkan hal-hal yang mereka inginkan. Mereka merupakan individu yang fokus terhadap tujuan serta bebas bergerak dari ide yang satu menuju yang lain untuk mewujudkan tujuan mereka. Individu yang memiliki harapan tinggi memiliki pikiran yang sangat aktif dan memiliki keyakinan bahwa terdapat berbagai pilihan yang tersedia untuk mencapai tujuan mereka. Individu yang memiliki keduanya merupakan contoh individu yang memiliki harapan tinggi. Harapan yang tinggi menyebabkan individu memperoleh
8 berbagai keuntungan ketika menghadapi hal yang sulit. Dalam beberapa situasi kehidupan, langkah individu seringkali dirintangi oleh seseorang atau sesuatu. Namun, individu yang memiliki harapan tinggi dapat memikirkan jalan alternatif menuju tujuan dan langsung diterapkan pada jalan yang terlihat lebih efektif. Kesimpulannya, harapan merupakan kombinasi antara mental agency thinking dan pathway thinking yang berfungsi untuk mencapai tujuan. Kedua komponen tersebut disebut mental karena harapan merupakan proses yang terjadi secara konstan dimana proses tersebut termasuk apa yang individu pikirkan tentang diri mereka sendiri yang memiliki kaitan dengan tujuan. Apa yang dipikirkan oleh individu tersebut dapat mempengaruhi perilaku yang nyata. 3. Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Harapan Weil (2000) dalam penelitiannya mengemukakan bahwa terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi harapan, yaitu dukungan sosial, kepercayaan religius, dan kontrol. a. Dukungan Sosial Harapan memiliki kaitan erat dengan dukungan sosial. Dalam penelitiannya mengenai pasien yang menderita penyakit kronis (Raleigh dalam Weil, 2000) mengatakan bahwa keluarga dan teman pada umumnya diidentifikasikan sebagai sumber harapan untuk penderita penyakit kronis dalam beberapa aktivitas seperti mengunjungi suatu tempat, mendengarkan, berbicara dan memberikan bantuan secara fisik. Herth (dalam Weil, 2000) mengidentifikasikan pertahanan hubungan peran keluarga sebagai sesuatu yang
9 penting bagi tingkat harapan dan coping. Sebaliknya, kurangnya ikatan sosial diatribusikan sebagai hasil kesehatan yang lebih buruk seperti peningkatan morbidity dan kematian awal. Individu mengekspresikan perasaan tidak berdaya ketika mereka tidak mampu berkomunikasi dengan orang lain. b. Kepercayaan Religius Kepercayaan religius dan spiritual telah diidentifikasikan sebagai sumber utama harapan dalam beberapa penelitian. Kepercayaan religius dijelaskan sebagai kepercayaan dan keyakinan seseorang pada hal positif atau menyadarkan individu pada kenyataan bahwa terdapat sesuatu atau tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya untuk situasi individu saat ini. Spiritual merupakan konsep yang lebih luas dan terfokus pada tujuan dan makna hidup serta keterkaitan dengan orang lain, alam, ataupun dengan Tuhan (Reed dalam Weil, 2000). Raleigh (dalam Weil, 2000) menyatakan bahwa kegiatan religius merupakan strategi kedua yang paling umum untuk mempertahankan harapan dan juga sebagai sumber dalam mendukung harapan pada pasien dengan penyakit kronis. c. Kontrol Mempertahankan kontrol merupakan salah satu bagian dari konsep harapan. Mempertahankan kontrol dapat dilakukan dengan cara tetap mencari informasi, menentukan nasib sendiri, dan kemandirian yang menimbulkan perasaan kuat pada harapan individu. Kemampuan individu akan kontrol juga
10 dipengaruhi self-efficacy (Venning, dkk dalam Weil, 2000) yang dapat meningkatkan persepsi individu terhadap kemampuannya akan kontrol. Harapan dapat dikorelasikan dengan keinginan dalam kontrol, kemampuan untuk menentukan, menyiapkan diri untuk melakukan antisipasi terhadap stres, kepemimpinan, dan menghindari ketergantungan. Penelitian menunjukkan bahwa harapan memiliki hubungan yang positif dengan persepsi seseorang mengenai kontrol. Penelitian lainnya menunjukkan bahwa individu yang memiliki sumber internal dalam kontrol memiliki harapan bahwa mereka dapat mengontrol nasib mereka sendiri. Sebaliknya, individu yang memiliki sumber kontrol eksternal berharap untuk dikontrol oleh kekuatan atau paksaan yang berasal dari luar dirinya. B. PERCERAIAN 1. Definisi Perceraian DeGenova (2008: 415) menyatakan perceraian adalah metode yang sah secara hukum untuk mengakhiri suatu pernikahan. Secara hukum, setelah perceraian, kedua individu dapat menikah lagi dengan orang lain, benda-benda milik mereka dan harta akan dibagi rata dan jika anak dilibatkan dalam hal ini maka akan diputuskan hak asuh atau perwalian anak. Hal ini dapat menjadi sangat sulit dirundingkan walaupun jika kedua pihak menginginkan perceraian. Amato & Emery (dalam Sigelman & Rider, 2003) menyatakan bahwa perceraian bukan hanya merupakan sebuah peristiwa dalam hidup, melainkan runtutan pengalaman yang menyebabkan stres bagi seluruh anggota keluarga,
11 yang dimulai dengan adanya konflik pernikahan sebelum perceraian dan melibatkan perubahan hidup yang kompleks ketika pernikahan tesebut berakhir dan orang-orang yang terlibat di dalamnya harus mengatur kembali hidup mereka. 2. Penyebab Perceraian DeGenova (2008) menyatakan adanya faktor sosial dan demografi yang mempengaruhi peningkatan dan penurunan kemungkinan perceraian. Faktorfaktor tersebut dapat berupa usia pada saat menikah, agama, pekerjaan, pendapatan, pendidikan, suku bangsa, area geografis, dan perceraian orangtua. Lowenstein (dalam DeGenova, 2008: 405) menyatakan penyebab perceraian dapat berupa kemandirian wanita, menikah di usia awal, faktor ekonomi, rendahnya intelektual, pendidikan, dan kemampuan sosial, hukum perceraian yang bebas, faktor seksual, konflik peran, penggunaan alkohol dan zatzat terlarang, perilaku beresiko, perbedaan pendapat yang menyebabkan hubungan menjadi hambar, faktor agama, sikap terhadap perceraian, dan alasan lainnya. Newman & Newman (2006) menyatakan empat variabel berkaitan dengan terjadinya perceraian, yaitu: a. Usia pada saat menikah Bramlett & Mosher (dalam Newman & Newman, 2006) menyatakan bahwa wanita yang menikah pada usia di bawah 18 tahun, 48% mengalami masalah pernikahan dalam kurun waktu 10 tahun pernikahan. Sebaliknya, wanita yang menikah pada usia 25 tahun atau lebih, hanya 24% yang mengalami masalah pernikahan dalam kurun waktu 10 tahun pernikahan.
12 Untuk pasangan yang menikah muda ataupun menikah pada usia tua, ketidakpuasan terhadap performansi peran berpengaruh pada ketidakstabilan pernikahan. Untuk pasangan muda, ketidakpuasan bersumber pada ketidaksetiaan seksual dan kecemburuan. Untuk pasangan yang lebih tua, ketidakpuasan bersumber pada konflik interpersonal, gaya dominasi, dan kurangnya ikatan (dalam Newman & Newman, 2006). b. Tingkat sosioekonomi Tingkat sosioekonomi mencakup pendidikan, pekerjaan, dan pendapatan. Masing-masing dari komponen ini berkaitan dengan angka perceraian (White & Rogers dalam Newman & Newman, 2006). Individu yang memiliki pendidikan yang lebih tinggi umumnya memiliki angka perceraian yang lebih rendah. Glick (dalam Newman & Newman, 2006) menunjukkan suatu efek Glick yaitu pria dan wanita yang dikeluarkan dari sekolah atau perguruan tinggi memiliki angka perceraian yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang menyelesaikan sekolah mereka. Glick menjelaskan pola ini sebagai bukti dari kurangnya kekonsistenan. Mereka yang tidak berkomitmen untuk menyelesaikan pendidikan mungkin juga kurang berkomitmen dalam mencari penyelesaian masalah yang muncul dalam pernikahan. Selain itu, jumlah pendapatan keluarga juga berkaitan dengan kestabilan pernikahan dalam beberapa hal. Pendapatan yang tidak tetap lebih berkaitan dengan retaknya pernikahan dibandingkan pendapatan yang rendah dan menetap. Bagi pria, pendapatan yang tinggi dikaitkan dengan rendahnya angka perceraian.
13 Bagi wanita, ketika istri berkontribusi sebesar 50% sampai 60% dari jumlah pendapatan keluarga dan ketika mereka menunjukkan rendahnya kebahagiaan pernikahan maka perceraian lebih mungkin terjadi. Penjelasan ini menunjukkan bahwa ketika kedua pasangan memiliki sumber keuangan yang sama atau seimbang maka kurang ada kewajiban untuk bertahan dalam hubungan yang tidak membahagiakan (Rogers dalam Newman & Newman, 2006). c. Perkembangan sosioemosional dari pasangan Perkembangan sosioemosional dicerminkan melalui dimensi penerimaan diri (self-acceptance), otonomi, dan pengekspresian diri. Masalah komunikasi seringkali dikemukakan pria dan wanita sebagai penyebab perceraian. Pasangan yang memiliki karakteristik bermasalah dalam hubungan mereka selama periode sebelum pernikahan, yang sering tidak sependapat dan memiliki persepsi yang berbeda mengenai bagaimana menyelesaikan selisih pendapat lebih berkemungkinan untuk bercerai tiga tahun setelah pernikahan (Fowers, Montel, & Olson dalam Newman & Newman, 2006). Kestabilan pernikahan bergantung pada kedua pasangan dalam mencapai identitas mereka masing-masing. Pencapaian ini membantu membangun keseimbangan kekuatan dan saling menghargai yang sangat penting dalam kedekatan emosional dan intelektual.
14 d. Sejarah perceraian dalam keluarga Amato & Deboer (dalam Newman & Newman, 2006) menyatakan bahwa individu dari orangtua yang bercerai lebih mungkin akan bercerai dibandingkan individu dari keluarga yang harmonis. Ada banyak penjelasan untuk hal ini. Salah satu interpretasinya adalah bahwa dengan melihat orangtua mereka mengakhiri pernikahan mereka, maka anak akan memandang pernikahan bukan sebagai komitmen sepanjang hidup dan memiliki sikap yang positif terhadap perceraian sebagai strategi untuk menyelesaikan konflik pernikahan (Greenberg & Nay dalam Newman & Newman, 2006). Penjelasan lainnya adalah anak yang memiliki orangtua tunggal (single parent) dan dari keluarga yang menikah lagi (remarried family) lebih berkemungkinan untuk menikah pada usia muda dibandingkan dengan anak yang berasal dari keluarga utuh, sehingga meningkatkan kemungkinan perceraian. Penjelasan lainnya bahwa anak dari orangtua yang memiliki konflik pernikahan, akan mengalami afek negatif dan kemarahan orangtua. Hal ini akan menciptakan hubungan attachment yang tidak aman dan akan menghasilkan kemampuan hubungan yang rendah yang pada akhirnya akan sulit untuk membentuk dan mempertahankan hubungan intim dengan orang lain (Amato & Booth dalam Newman & Newman, 2006). 3. Dampak Perceraian Ketika pernikahan berakhir, individu yang bercerai harus memulai kembali hidupnya dari awal. Namun perceraian seringkali menimbulkan dampak yang
15 besar dalam kehidupan individu, mengubah dunia mereka selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun (Craig, 2001). Pada dua tahun pertama setelah perceraian, individu seringkali menunjukkan beragam tanda dari dampak emosional seperti kecemasan, depresi, dan kemarahan, serta rasa penolakan dan tidak kompeten (Hetherington & Camara dalam Craig, 2001). Perceraian dihubungkan dengan rasa kehilangan seperti kehilangan sumber keuangan, dukungan emosional, peran pasangan dalam pernikahan dan sebagai orangtua, serta dukungan sosial (Demo, Fine, & Ganong dalam Newman & Newman, 2006). Kehilangan sumber pendapatan dapat berdampak pada kehilangan materi lainnya. Misalnya wanita yang bercerai dan anaknya mungkin harus pindah ke rumah yang lebih murah, menjual banyak harta milik mereka,dan meninggalkan komunitas dimana mereka sudah membangun jaringan teman dan dukungan sosial. Kehidupan sosial dari pria dan wanita yang bercerai juga mengalami perubahan. Namun, dalam banyak kasus, teman-teman tetap memberi dukungan selama dua bulan setelah perceraian, namun persahabatan ini seringkali memudar seiring berjalannya waktu. Pada umumnya wanita lebih banyak kehilangan hubungan persahabatan dibandingkan dengan pria, yang selalu terlibat dalam kegiatan sosial teman-temannya yang telah menikah. Khususnya ibu yang tidak bekerja akan merasa terasing. Kehilangan kontak sosial dengan suami membuat wanita merasa terperangkap dalam dunia yang didominasi oleh anak-anak dan kehidupan merawat anak. Kesehatan fisik dan mental mereka juga mengalami
16 penurunan setelah bercerai. Individu yang bercerai lebih berkemungkinan meninggal pada usia muda, dikirim ke rumah sakit jiwa, berusaha melakukan bunuh diri, dan mengalami kecelakaan motor (Goetting dalam Craig, 2001). C. PERNIKAHAN LAGI (REMARRIAGE) Pada umumnya, ketika rasa sakit akibat perceraian mulai berkurang, kebanyakan individu menunjukkan resiliensi dan keinginan mereka untuk berpartisipasi sepenuhnya dalam kehidupan sekali lagi. Menurut statistika, pada kenyataannya tidak peduli seberapa sulit pengalaman perceraian yang dialami, individu memiliki keinginan untuk mencoba pernikahan sekali lagi. Glick (dalam Craig, 2001) melaporkan bahwa 80% orang yang bercerai akan menikah lagi pada akhirnya. Rata-rata orang menikah lagi dalam kurun waktu empat tahun setelah bercerai, pria lebih cepat daripada wanita. Papalia (2007) menyatakan bahwa angka perceraian yang tinggi bukanlah tanda bahwa individu tidak ingin menikah lagi. Namun, hal ini justru mencerminkan suatu keinginan untuk menikah lagi dengan bahagia dan keyakinan bahwa perceraian seperti suatu proses pembedahan yang menyakitkan dan traumatis namun diperlukan untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Menurut Bray, Coleman, Ganong & Fine (dalam Craig, 2001), individu menikah lagi dengan alasan cinta, masalah finansial, untuk mendapatkan bantuan dalam mengasuh anak, menghilangkan rasa kesepian, dan penerimaan sosial. Ketika individu yang bercerai dan memiliki anak menikah lagi, mereka akan membentuk reconstituted families, yang dikenal juga sebagai stepfamilies
17 dan blended families. Keluarga semacam ini menghadirkan lebih banyak masalah penyesuaian peran untuk stepparents dan stepchildren dibandingkan dengan keluarga umum biasanya. Dengan sedikit persiapan untuk mengatasi peran mereka dan dengan adanya sedikit dukungan dari masyarakat di sekitar mereka, stepparents seringkali merasa bahwa untuk mencapai hubungan keluarga yang memuaskan lebih sulit daripada yang dibayangkan (Craig, 2001). 1. Keberhasilan dan Kepuasan Pernikahan Kembali Dari satu sudut pandang, pernikahan kembali seharusnya lebih berhasil dibandingkan dengan pernikahan pertama. Orang yang menikah lagi lebih tua, lebih dewasa dan lebih berpengalaman, serta lebih termotivasi untuk mempertahankan pernikahan (DeGenova, 2008). Berdasarkan self-report dari pasangan yang menikah lagi, perbedaan kepuasan pernikahan atau kualitas dari hubungan pernikahan jarang ditemukan, dan walaupun ada, itu cenderung sedikit sekali (Ganong dan Coleman dalam DeGenova, 2008). Secara keseluruhan, penelitian menunjukkan bahwa pernikahan lagi sama bahagianya dengan pernikahan pertama, dengan sedikit perbedaan dalam kesejahteraan pasangan (Demo dan Acock; Ihinger-Tallman dan Pasley; Pasley dan Moorefield dalam DeGenova, 2008). Selain itu, pasangan yang menikah lagi juga memandang pernikahan kedua lebih seimbang dalam hal mengurus rumahtangga dan mengasuh anak, lebih terbuka dan pragmatis, kurang romantis, dan lebih berkemungkinan menghadapi konflik (Hetherington dalam DeGenova, 2008).
18 Furstenberg (dalam Craig, 2001) menyatakan bahwa pernikahan kedua seringkali juga ditandai dengan adanya komunikasi yang lebih terbuka, penerimaan yang lebih besar terhadap konflik dan lebih percaya bahwa setiap masalah perbedaan pendapat dapat diselesaikan. Walaupun resiko perceraian lebih besar pada pasangan yang menikah lagi, namun banyak yang justru membangun hubungan pernikahan yang kuat, positif, dan menciptakan suasana sebagai orangtua yang adaptif dan berfungsi dengan baik (Hetherington dan Stanley-Hagan dalam DeGenova, 2008). 2. Dampak Pernikahan Lagi Perceraian dan pernikahan lagi seperti gaya hidup orang dewasa lainnya, mengarah pada hasil yang beragam. Umumnya memerlukan waktu tiga sampai lima tahun untuk mengembangkan keterikatan dan kenyamanan hubungan dalam keluarga seperti pada keluarga utuh (Ihinger-Tallman & Pasley dalam Craig, 2001). Untuk beberapa pasangan, pernikahan lagi memberikan tantangan yang tidak dijumpai pada pernikahan pertama. Tantangan terbesar dapat berupa anak. Pasangan yang menikah lagi yang membawa anak dari pernikahan pertama lebih berkemungkinan untuk bercerai daripada pasangan yang tidak memiliki anak (Tzeng dan Mare dalam DeGenova, 2008). Untuk orang dewasa, pernikahan lagi dapat mengurangi stres terutama untuk orangtua yang memiliki anak (Furstenberg dalam Craig, 2001). Pasangan yang mau berbagi tanggung jawab keuangan, tugas rumahtangga, keputusan
19 mengasuh anak, dan lain-lain dapat mengurangi beban individu yang bercerai. Pria yang menikah lagi mungkin harus menghadapi tekanan lainnya jika mereka diharapkan untuk memberikan dukungan finansial untuk dua rumahtangga. Dalam banyak hal, pernikahan kedua berbeda dengan pernikahan pertama. Pernikahan kedua melibatkan kumpulan keluarga yang lebih kompleks, misalnya anak angkat, mantan suami/isteri, mertua sebelumnya, yang mana dapat menimbulkan konflik (Craig, 2001). D. GAMBARAN HARAPAN MENIKAH LAGI PADA WANITA BERCERAI Pernikahan dipandang sebagai suatu transisi normal dari sharing antara diri individu dengan orangtua yang kemudian beralih ke pasangan. Ketika hubungan dengan pasangan tidak dapat lagi dipertahankan maka perceraian merupakan jalan terbaik (Woodward, Zabel, & Decosta dalam Snyder, 2000). Setelah bercerai, individu perlu menyesuaikan diri dengan status yang baru dan dengan proses hidup yang berubah. Untuk wanita, pernikahan dipandang sebagai karir yang sangat penting. Walaupun pria juga mengalami dampak dari perceraian, namun wanita lebih banyak mengalami dampak dari perceraian. Berkaitan dengan harapan, pernikahan dipandang sebagai tujuan yang penting bagi wanita. Oleh karena itu, ketika tujuan yang penting ini terhalang dan berakhir dengan perceraian, maka wanita akan merasa kehilangan arah dan gagal (Rodriguez & Snyder dalam Snyder, 2000).
20 Oleh karena itu, wanita bercerai perlu mengembangkan harapannya untuk suatu tujuan yang dinilai cukup penting untuk dicapai setelah bercerai. Harapan penting dibentuk karena harapan dapat mempengaruhi well-being seseorang. Snyder (1994) menyatakan bahwa harapan adalah sesuatu yang dapat dibentuk dan dapat digunakan sebagai langkah untuk perubahan ke arah yang lebih baik. Untuk wanita bercerai, salah satu harapan yang dapat dikembangkannya adalah berupa harapan menikah lagi, dimana menikah lagi dapat mengarahkan individu pada penyesuaian diri yang lebih baik dan mendapatkan makna hidup yang lebih positif (DeGenova, 2008). Dengan adanya harapan menikah lagi pada wanita bercerai, maka wanita bercerai memiliki tujuan bernilai dalam hidupnya untuk dicapai. Harapan yang terbentuk akan memunculkan pemikiran-pemikiran dan motivasi untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, yang pada akhirnya dapat memberikan afek positif pada individu tersebut.
21 E. KERANGKA BERPIKIR Perceraian Konsekuensi-konsekuensi Individu menyesuaikan diri Muncul harapan baru Harapan Menikah Lagi goal pathway thinking agency thinking
BAB I PENDAHULUAN. untuk kebahagiaan dirinya dan memikirkan wali untuk anaknya jika kelak
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Selama 10 tahun saya menjanda, tidak ada pikiran untuk menikah lagi, karena pengalaman yang tidak menyenangkan dengan perkawinan saya. Tapi anak sudah besar,
Lebih terperinciBAB II LANDASAN TEORI. (Herning, dalam Sumiarti 1956). Sedangkan menurut Duval & Miller (1980)
BAB II LANDASAN TEORI A. Perkawinan 1. Defenisi perkawinan Perkawinan adalah suatu ikatan antara pria dan wanita yang kurang lebih permanen, ditentukan oleh kebudayaan dengan tujuan mendapatkan kebahagiaan
Lebih terperinciPERKEMBANGAN SOSIO-EMOSIONAL PADA MASA DEWASA AWAL
PSIKOLOGI PERKEMBANGAN DEWASA DAN LANSIA PERKEMBANGAN SOSIO-EMOSIONAL PADA MASA DEWASA AWAL Oleh: Dr. Rita Eka Izzaty, M.Si Yulia Ayriza, Ph.D STABILITAS DAN PERUBAHAN ANAK-DEWASA TEMPERAMEN Stabilitas
Lebih terperinciUNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pernikahan adalah tahap yang penting bagi hampir semua orang yang memasuki masa dewasa awal. Individu yang memasuki masa dewasa awal memfokuskan relasi interpersonal
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Alasan Pemilihan Teori Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being menurut Diener (2005). Teori yang dipilih akan digunakan untuk meneliti gambaran
Lebih terperinciBAB II KAJIAN TEORI. pertanyaan-pertanyaan mengenai apa yang harus dilakukan? dan seterusnya
BAB II KAJIAN TEORI A. Pengambilan Keputusan Membeli 1. Keputusan Keputusan merupakan hasil pemecahan dalam suatu masalah yang harus dihadapi dengan tegas. Hal itu berkaitan dengan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini,
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri tanpa kehadiran manusia lainnya. Kehidupan menjadi lebih bermakna dan berarti dengan kehadiran
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karena adanya hubungan darah, perkawinan atau adopsi dan saling berinteraksi satu sama
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keluarga merupakan dua atau lebih individu yang hidup dalam satu rumah tangga karena adanya hubungan darah, perkawinan atau adopsi dan saling berinteraksi satu sama
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. terjadinya aktivitas-aktivitas sosial. Interaksi sosial tidak akan mungkin terjadi
1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Setiap makhluk hidup didunia memiliki keinginan untuk saling berinteraksi. Interaksi social yang biasa disebut dengan proses sosial merupakan syarat utama terjadinya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan menjadi prioritas dalam hidup jika seseorang sudah berada di usia yang cukup matang dan mempunyai
Lebih terperinci5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN
149 5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN Pada bab pendahuluan telah dijelaskan bahwa penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran psychological well-being pada wanita dewasa muda yang menjadi istri
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kualitas Perkawinan. Definisi lain menurut Wahyuningsih (2013) berdasarkan teori Fowers dan
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kualitas Perkawinan 1. Pengertian Kualitas Perkawinan Menurut Gullota (Aqmalia, 2009) kepuasan pernikahan merupakan perasaan pasangan terhadap pasangannya mengenai hubungan pernikahannya.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. berketetapan untuk tidak menjalankan tugas dan kewajiban sebagai suami-istri. Pasangan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perceraian merupakan suatu perpisahan secara resmi antara pasangan suami-istri dan berketetapan untuk tidak menjalankan tugas dan kewajiban sebagai suami-istri.
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Sepanjang sejarah kehidupan manusia, pernikahan merupakan
1 BAB 1 PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Sepanjang sejarah kehidupan manusia, pernikahan merupakan salah satu peristiwa penting yang terjadi dalam kehidupan setiap individu. Hal tersebut menjadi suatu kabar
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pada setiap tahap perkembangan terdapat tugas-tugas perkembangan yang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Manusia melewati tahap demi tahap perkembangan dalam kehidupannya. Pada setiap tahap perkembangan terdapat tugas-tugas perkembangan yang menurut Havighurst
Lebih terperinciPENGANTAR. kebiasaan, visi hidup, maupun strata pendidikan. Perbedaan dan keunikan masingmasing
PENGANTAR Konflik dalam Pernikahan Pernikahan melibatkan dua individu yang berbeda dan unik, baik dari kebiasaan, visi hidup, maupun strata pendidikan. Perbedaan dan keunikan masingmasing pasangan menuntut
Lebih terperinciBAB II LANDASAN TEORI. A. Kepuasan Pernikahan. 1. Pengertian Kepuasan Pernikahan
13 BAB II LANDASAN TEORI A. Kepuasan Pernikahan 1. Pengertian Kepuasan Pernikahan Pernikahan merupakan suatu istilah yang hampir tiap hari didengar atau dibaca dalam media massa. Namun kalau ditanyakan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. tentang orang lain. Begitu pula dalam membagikan masalah yang terdapat pada
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Wanita merupakan individu yang memiliki keterbukaan dalam membagi permasalahan kehidupan maupun penilaian mereka mengenai sesuatu ataupun tentang orang lain.
Lebih terperinciBAB II KAJIAN PUSTAKA. proses penyesuaian diri seseorang dalam konteks interaksi dengan lingkungan
7 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. PENYESUAN SOSIAL 1. Pengertian Penyesuaian sosial merupakan suatu istilah yang banyak merujuk pada proses penyesuaian diri seseorang dalam konteks interaksi dengan lingkungan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap manusia dalam perkembangan hidupnya akan mengalami banyak
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap manusia dalam perkembangan hidupnya akan mengalami banyak perubahan dimana ia harus menyelesaikan tugas-tugas perkembangan, dari lahir, masa kanak-kanak,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. awal, dimana memiliki tuntutan yang berbeda. Pada masa dewasa awal lebih
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Mahasiswa mengalami masa peralihan dari remaja akhir ke masa dewasa awal, dimana memiliki tuntutan yang berbeda. Pada masa dewasa awal lebih dituntut suatu
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Harapan
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Harapan 1. Pengertian Harapan Snyder (2007) menyatakan harapan adalah keseluruhan dari kemampuan yang dimiliki individu untuk menghasilkan jalur mencapai tujuan yang diinginkan,
Lebih terperinci5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN
5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa keempat subyek memiliki karakteristik individu yang memiliki harapan tinggi. Namun, karakteristik yang muncul
Lebih terperinciSM, 2015 PROFIL PENERIMAAN DIRI PADA REMAJA YANG TINGGAL DENGAN ORANG TUA TUNGGAL BESERTA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHINYA
1 BAB I PENDAHULUAN 1.2 Latar Belakang Masalah Pada tahun 1980-an di Amerika setidaknya 50 persen individu yang lahir menghabiskan sebagian masa remajanya pada keluarga dengan orangtua tunggal dengan pengaruh
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. serta pembagian peran suami dan istri. Seiring dengan berjalannya waktu ada
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pernikahan merupakan suatu hubungan antara pria dan wanita yang diakui secara sosial, yang didalamnya mencakup hubungan seksual, pengasuhan anak, serta pembagian
Lebih terperinciPENERIMAAN DIRI PADA WANITA BEKERJA USIA DEWASA DINI DITINJAU DARI STATUS PERNIKAHAN
PENERIMAAN DIRI PADA WANITA BEKERJA USIA DEWASA DINI DITINJAU DARI STATUS PERNIKAHAN Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Memperoleh
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. (UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dalam Libertus, 2008). Keputusan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan dapat diartikan sebagai sebuah ikatan lahir batin seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)
Lebih terperinciBAB II LANDASAN TEORI. Lazarus menyebut pengatasan masalah dengan istilah coping. Menurut
12 BAB II LANDASAN TEORI A. Pengertian Pengatasan Masalah Lazarus menyebut pengatasan masalah dengan istilah coping. Menurut Lazarus dan Folkman (1984) pengatasan masalah merupakan suatu proses usaha individu
Lebih terperinciBAB II KAJIAN TEORI. dibaca dalam media massa. Menurut Walgito, (2000) perkawinan
6 BAB II KAJIAN TEORI 2.1. Pernikahan 2.1.1. Pengertian Pernikahan Pernikahan merupakan suatu istilah yang tiap hari didengar atau dibaca dalam media massa. Menurut Walgito, (2000) perkawinan adalah nikah,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Destalya Anggrainy M.P, 2013
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kepribadian seorang anak merupakan gabungan dari fungsi secara nyata maupun fungsi potensial pola organisme yang ditentukan oleh faktor keturunan dan penguatan
Lebih terperinciBab 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang
Bab 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial, dimana manusia hidup saling membutuhkan satu sama lain. Salah satunya adalah hubungan intim dengan lawan jenis atau melakukan
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Keberadaan manusia sebagai makhluk sosial tidak lepas dari hubungan
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keberadaan manusia sebagai makhluk sosial tidak lepas dari hubungan dengan orang lain yang meliputi interaksi di lingkungan sekitarnya. Sepanjang hidup, manusia akan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kemandirian sehingga dapat diterima dan diakui sebagai orang dewasa. Remaja
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja adalah masa transisi dimana pada masa itu remaja memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, sedang mencari jati diri, emosi labil serta butuh pengarahan,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. (Papalia, 2009). Menurut Undang-Undang Republik Indonesia nomor 1 pasal 1
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pernikahan adalah salah satu tahap penting dalam siklus kehidupan individu di samping siklus kehidupan lainnya seperti kelahiran, perceraian, atau kematian
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Masa dewasa awal, merupakan periode selanjutnya dari masa remaja. Sama
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Masa dewasa awal, merupakan periode selanjutnya dari masa remaja. Sama seperti halnya tahap-tahap perkembangan pada periode sebelumnya, pada periode ini, individu
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. membahas mengenai kualitas komunikasi yang dijabarkan dalam bentuk pengertian kualitas
BAB II TINJAUAN PUSTAKA Bab ini terbagi atas empat sub bab. Sub bab pertama membahas mengenai komunikasi sebagai media pertukaran informasi antara dua orang atau lebih. Sub bab kedua membahas mengenai
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Prestasi Belajar 1. Pengertian Prestasi belajar atau hasil belajar adalah realisasi atau pemekaran dari kecakapan potensial atau kapasitas yang dimiliki seseorang. Penguasaan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berpasang-pasangan. Allah SWT telah menentukan dan memilih jodoh untuk
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Allah SWT menciptakan manusia yaitu laki-laki dan perempuan secara berpasang-pasangan. Allah SWT telah menentukan dan memilih jodoh untuk setiap masing-masing
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. istri adalah salah satu tugas perkembangan pada tahap dewasa madya, yaitu
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Membangun sebuah hubungan senantiasa menjadi kebutuhan bagi individu untuk mencapai kebahagiaan. Meskipun terkadang hubungan menjadi semakin kompleks saat
Lebih terperinciBAB 2. Tinjauan Pustaka
BAB 2 Tinjauan Pustaka 2.1 Resolusi Konflik Setiap orang memiliki pemikiran atau pengertian serta tujuan yang berbeda-beda dan itu salah satu hal yang tidak dapat dihindarkan dalam suatu hubungan kedekatan
Lebih terperinciProses Keperawatan pada Remaja dan Dewasa. mira asmirajanti
Proses Keperawatan pada Remaja dan Dewasa Faktor-faktor yang mempengaruhi Tumbuh Kembang 1. Faktor Genetik. 2. Faktor Eksternal a. Keluarga b. Kelompok teman sebaya c. Pengalaman hidup d. Kesehatan e.
Lebih terperinciHUBUNGAN ANTAR PRIBADI
HUBUNGAN ANTAR PRIBADI Modul ke: Fakultas Psikologi Macam-macam hubungan antar pribadi, hubungan dengan orang belum dikenal, kerabat, hubungan romantis, pernikahan, masalah-masalah dalam hubungan pribadi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. mereka kelak. Salah satu bentuk hubungan yang paling kuat tingkat. cinta, kasih sayang, dan saling menghormati (Kertamuda, 2009).
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia diciptakan sebagai makhluk sosial yang memiliki dorongan untuk selalu menjalin hubungan dengan orang lain. Hubungan dengan orang lain menimbulkan sikap
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dasar perilaku perkembangan sikap dan nilai kehidupan dari keluarga. Salah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keluarga merupakan lingkungan sosial pertama bagi anak yang memberi dasar perilaku perkembangan sikap dan nilai kehidupan dari keluarga. Salah satunya adalah
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini akan dibahas beberapa teori yang berkaitan dengan variabel-variabel yang akan diteliti pada penelitian ini. 2.1 Pernikahan Pernikahan merupakan awal terbentuknya kehidupan
Lebih terperinciPENDAHULUAN Latar Belakang
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pernikahan adalah salah satu proses penting dalam kehidupan sosial manusia. Pernikahan merupakan kunci bagi individu untuk memasuki dunia keluarga, yang di dalamnya terdapat
Lebih terperinciPerkembangan Sepanjang Hayat
Modul ke: Perkembangan Sepanjang Hayat Memahami Masa Perkembangan Dewasa Awal dalam Aspek Psikososial Fakultas PSIKOLOGI Hanifah, M.Psi, Psikolog Program Studi Psikologi http://mercubuana.ac.id Masa Dewasa
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kebahagiaan. mengacu pada emosi positif yang dirasakan individu serta aktivitas-aktivitas
11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kebahagiaan 1. Definisi Kebahagiaan Seligman (2005) menjelaskan kebahagiaan merupakan konsep yang mengacu pada emosi positif yang dirasakan individu serta aktivitas-aktivitas
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pernikahan merupakan ikatan lahir batin dan persatuan antara dua pribadi yang berasal
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pernikahan merupakan ikatan lahir batin dan persatuan antara dua pribadi yang berasal dari keluarga, sifat, kebiasaan dan budaya yang berbeda. Pernikahan juga memerlukan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. manusia pun yang dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan kehadiran manusia lain
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial. Dalam kehidupan, belum ada seorang manusia pun yang dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan kehadiran manusia lain (www.wikipedia.com).
Lebih terperinciBAB II KAJIAN PUSTAKA
25 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Bahagia Suami Istri 1. Definisi Bahagia Arti kata bahagia berbeda dengan kata senang. Secara filsafat kata bahagia dapat diartikan dengan kenyamanan dan kenikmatan spiritual
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa dewasa adalah masa awal individu dalam menyesuaikan diri terhadap
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa dewasa adalah masa awal individu dalam menyesuaikan diri terhadap pola-pola kehidupan baru dan harapan-harapan sosial baru. Pada masa ini, individu dituntut
Lebih terperinciBAB II LANDASAN TEORI A. HARGA DIRI Menurut Coopersmith harga diri merupakan evaluasi yang dibuat oleh individu dan berkembang menjadi kebiasaan
BAB II LANDASAN TEORI A. HARGA DIRI Menurut Coopersmith harga diri merupakan evaluasi yang dibuat oleh individu dan berkembang menjadi kebiasaan kemudian dipertahankan oleh individu dalam memandang dirinya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan pola normal bagi kehidupan orang dewasa.
BAB I PENDAHULUAN I.A. Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan pola normal bagi kehidupan orang dewasa. Seorang perempuan dianggap sudah seharusnya menikah ketika dia memasuki usia 21 tahun dan laki-laki
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak pernah terlepas dari
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak pernah terlepas dari hubungannya dengan orang lain. Keberadaan orang lain dibutuhkan manusia untuk melakukan suatu
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berdasarkan agama dan kepercayaan masing-masing untuk menjalani hidup bersama.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan suatu proses penyatuan dua individu yang memiliki komitmen berdasarkan agama dan kepercayaan masing-masing untuk menjalani hidup bersama.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pernikahan. Berdasarkan Undang Undang Perkawinan no.1 tahun 1974,
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada umumnya, setiap individu pada tahap perkembangan dewasa awal menjalin suatu hubungan dengan lawan jenis yang berujung pada jenjang pernikahan. Berdasarkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dapat hidup sendiri tanpa berhubungan dengan lingkungannya atau dengan
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Individu adalah makhluk sosial yang memiliki kebutuhan untuk menjalin hubungan dengan individu lain sepanjang kehidupannya. Individu tidak pernah dapat hidup
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia pada hakikatnya adalah mahkluk sosial dan mahkluk pribadi. Manusia sebagai mahluk sosial akan berinteraksi dengan lingkungannya dan tidak dapat hidup sendiri
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. bahkan kalau bisa untuk selama-lamanya dan bertahan dalam menjalin suatu
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Setiap orang tentu ingin hidup dengan pasangannya selama mungkin, bahkan kalau bisa untuk selama-lamanya dan bertahan dalam menjalin suatu hubungan. Ketika
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kompetensi Interpersonal Sebagaimana diungkapkan Buhrmester, dkk (1988) memaknai kompetensi interpersonal sebagai kemampuan-kemampuan yang dimiliki seseorang dalam membina hubungan
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. penurunan kondisi fisik, mereka juga harus menghadapi masalah psikologis.
BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lanjut usia merupakan suatu proses berkelanjutan dalam kehidupan yang ditandai dengan berbagai perubahan ke arah penurunan. Problematika yang harus dihadapi
Lebih terperinciA. LATAR BELAKANG Perselingkuhan dalam rumah tangga adalah sesuatu yang sangat tabu dan menyakitkan sehingga wajib dihindari akan tetapi, anehnya hal
HARGA DIRI PADA WANITA DEWASA AWAL MENIKAH YANG BERSELINGKUH KARTIKA SARI Program Sarjana, Universitas Gunadarma Abstrak Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana gambaran harga diri
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. tentang pernikahan menyatakan bahwa pernikahan adalah: berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. (UU RI Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1
BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Undang-Undang Republik Indonesia (UU RI) Nomor 1 tahin 1974 pasal 1 tentang pernikahan menyatakan bahwa pernikahan adalah: Ikatan lahir dan batin antara seorang
Lebih terperinciBAB II LANDASAN TEORI
BAB II LANDASAN TEORI A. Persepsi Terhadap Pengembangan Karir 1. Definisi Persepsi Pengembangan Karir Sunarto (2003) mendefinisikan persepsi sebagai suatu proses dimana individu mengorganisasikan dan menafsirkan
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN Pernikahan merupakan komitmen yang disetujui oleh dua pihak secara resmi yang dimana kedua pihak tersebut bersedia untuk berbagi keitiman emosional & fisik, bersedia
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kekuatan seseorang dalam menghadapi kehidupan di dunia ini berawal dari keluarga. Keluarga merupakan masyarakat terkecil yang sangat penting dalam membentuk
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Di era sekarang perceraian seolah-olah menjadi. langsung oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perceraian merupakan kata yang umum dan tidak asing lagi di telinga masyarakat. Di era sekarang perceraian seolah-olah menjadi trend, karena untuk menemukan informasi
Lebih terperinciBAB II TINJUAN PUSTAKA
BAB II TINJUAN PUSTAKA A. Minat 1. Pengertian Minat yaitu suatu kondisi yang terjadi apabila seseorang melihat ciriciri atau arti sementara situasi yang dihubungkan dengan keinginankeinginan atau kebutuhan-kebutuhannya
Lebih terperinciBAB II KAJIAN PUSTAKA
BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Penyesuaian Perkawinan 1. Pengertian Penyesuaian Perkawinan Konsep penyesuaian perkawinan menuntut kesediaan dua individu untuk mengakomodasikan berbagai kebutuhan, keinginan,
Lebih terperinciHubungan antara Persepsi Anak Terhadap Perhatian Orang Tua dan Intensitas Komunikasi Interpersonal dengan Kepercayaan Diri pada Remaja Difabel
Hubungan antara Persepsi Anak Terhadap Perhatian Orang Tua dan Intensitas Komunikasi Interpersonal dengan Kepercayaan Diri pada Remaja Difabel Thesis Diajukan kepada Program Studi Magister Sains Psikologi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. manusia yang terlahir di dunia ini pasti akan mengalami pertumbuhan dan proses
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia tercipta sebagai mahkluk sosial. Sebagai mahkluk sosial manusia harus saling berinteraksi, bertukar pikiran, serta berbagi pengalaman. Setiap manusia
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kehidupan yang bahagia. Harapan akan kebahagiaan ini pun tidak terlepas bagi seorang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap individu baik laki-laki maupun perempuan pada dasarnya mendambakan kehidupan yang bahagia. Harapan akan kebahagiaan ini pun tidak terlepas bagi seorang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa yang pada umumnya dimulai pada usia 12 atau 13 tahun dan berakhir pada usia
Lebih terperinciBAB II KAJIAN PUSTAKA. lebih kuat dan berkembang setelah melewati masa krisis. 2005) melalui model yang dibangunnya yang bernama the resilience
BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Family Resilience 1. Pengertian Family Resilience Family resilience merupakan suatu konsep yang berkembang dari resiliensi individu (Kalil, 2003). Menurut Walsh (2006), resiliensi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Sebagai manusia yang telah mencapai usia dewasa, individu akan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sebagai manusia yang telah mencapai usia dewasa, individu akan mengalami masa transisi peran sosial, individu dewasa awal akan menindaklanjuti hubungan dengan
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Berikut kutipan wawancara yang dilakukan peneliti dengan seorang wanita
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berikut kutipan wawancara yang dilakukan peneliti dengan seorang wanita yang bernama Mimi, usia 21 tahun, sudah menikah selama 2 tahun dan memiliki 1 orang anak, mengenai
Lebih terperinciBAB II LANDASAN TEORI
BAB II LANDASAN TEORI II. A. DUKUNGAN SOSIAL II. A. 1. Definisi Dukungan Sosial Menurut Orford (1992), dukungan sosial adalah kenyamanan, perhatian, dan penghargaan yang diandalkan pada saat individu mengalami
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Wanita karir mengacu pada sebuah profesi. Karir adalah karya. Jadi, ibu
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wanita Karir Wanita karir mengacu pada sebuah profesi. Karir adalah karya. Jadi, ibu rumah tangga sebenarnya adalah seorang wanita karir. Namun wanita karir adalah wanita yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. mempengaruhi perkembangan psikologis individu. Pengalaman-pengalaman
BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Sepanjang rentang kehidupan individu, banyak hal yang dipelajari dan mempengaruhi perkembangan psikologis individu. Pengalaman-pengalaman bersama keluarga dan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sebuah perkawinan seseorang akan memperoleh keseimbangan hidup baik secara
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan bagi manusia merupakan hal yang penting, karena dengan sebuah perkawinan seseorang akan memperoleh keseimbangan hidup baik secara sosial, biologis maupun
Lebih terperinci2015 HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI PARENTAL ATTACHMENT DAN RELIGIUSITAS DENGAN KESIAPAN MENIKAH PADA MAHASISWA MUSLIM PSIKOLOGI UPI
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagian besar mahasiswa strata satu adalah individu yang memasuki masa dewasa awal. Santrock (2002) mengatakan bahwa masa dewasa awal adalah masa untuk bekerja
Lebih terperinciGAMBARAN KEPUASAN PERNIKAHAN PADA ISTRI YANG TELAH MENIKAH TIGA TAHUN DAN BELUM MEMILIKI ANAK KEUMALA NURANTI ABSTRAK
GAMBARAN KEPUASAN PERNIKAHAN PADA ISTRI YANG TELAH MENIKAH TIGA TAHUN DAN BELUM MEMILIKI ANAK KEUMALA NURANTI ABSTRAK Penelitian deskriptif ini berdasar pada fenomena bahwa kehadiran anak memiliki peran
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. komunikasi menjadi lebih mudah untuk dilakukan. Teknologi yang semakin
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini perkembangan teknologi semakin canggih membuat komunikasi menjadi lebih mudah untuk dilakukan. Teknologi yang semakin canggih dan berbagai sosial
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Setiap individu di dalam hidupnya selalu berusaha untuk mencari
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setiap individu di dalam hidupnya selalu berusaha untuk mencari kesejahteraan. Mereka mencoba berbagai cara untuk mendapatkan kesejahteraan tersebut baik secara
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Subjective Well-Being. kebermaknaan ( contentment). Beberapa peneliti menggunakan istilah well-being
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Pengertian Subjective Well-Being A. Subjective Well-Being Kebahagiaan bisa merujuk ke banyak arti seperti rasa senang ( pleasure), kepuasan hidup, emosi positif, hidup bermakna,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kehidupannya senantiasa membutuhkan orang lain.kehadiran orang lain bukan hanya untuk
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setiap Manusia diciptakan sebagai makhluk sosial yang dalam menjalankan kehidupannya senantiasa membutuhkan orang lain.kehadiran orang lain bukan hanya untuk
Lebih terperinciBAB II LANDASAN TEORI
BAB II LANDASAN TEORI II.A. Penyesuaian Diri terhadap Pensiun II.A.1. Penyesuaian diri Calhoun dan Acocella (1990) menyatakan bahwa penyesuaian diri merupakan interaksi individu yang kontinu dengan diri
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA Kesiapan menikah
7 TINJAUAN PUSTAKA Kesiapan menikah Duvall (1971) menyatakan bahwa kesiapan menikah adalah laki-laki maupun perempuan yang telah menyelesaikan masa remajanya dan siap secara fisik, emosi, finansial, tujuan,
Lebih terperinciBAB 5 Simpulan, Diskusi, dan Saran
BAB 5 Simpulan, Diskusi, dan Saran Pada bab ini peneliti akan membahas mengenai simpulan yang digunakan untuk menjawab pertanyaan penelitian berdasarkan hasil analisis data yang telah dilakukan pada bab
Lebih terperinciDisusun oleh Ari Pratiwi, M.Psi., Psikolog & Unita Werdi Rahajeng, M.Psi., Psikolog
PELATIHAN PSIKOLOGI DAN KONSELING BAGI DOSEN PEMBIMBING AKADEMIK UNIVERSITAS BRAWIJAYA Disusun oleh Ari Pratiwi, M.Psi., Psikolog & Unita Werdi Rahajeng, M.Psi., Psikolog MAHASISWA Remaja Akhir 11 20 tahun,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Abad 21 yang sedang berlangsung menjadikan kehidupan berubah dengan
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Abad 21 yang sedang berlangsung menjadikan kehidupan berubah dengan sangat cepat. Perubahan yang terjadi dalam bidang teknologi, informasi dan juga ledakan populasi
Lebih terperinci8. Sebutkan permasalahan apa saja yang biasa muncul dalam kehidupan perkawinan Anda?...
Identitas diri: 1. Jenis kelamin : Pria / Perempuan 2. Status pernikahan : Menikah / Tidak Menikah 3. Apakah saat ini Anda bercerai? : Ya / Tidak 4. Apakah Anda sudah menjalani pernikahan 1-5 tahun? :
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. manusia, ditandai dengan perubahan-perubahan biologis, kognitif dan sosial-emosional
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja merupakan masa kehidupan yang penting dalam rentang hidup manusia, ditandai dengan perubahan-perubahan biologis, kognitif dan sosial-emosional (Santrock,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Purwadarminta (dalam Walgito, 2004, h. 11) menjelaskan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Purwadarminta (dalam Walgito, 2004, h. 11) menjelaskan bahwa kawin sama dengan perjodohan laki-laki dan perempuan menjadi suami istri. Sedangkan menurut Undang-Undang
Lebih terperinciBAB II LANDASAN TEORI
12 BAB II LANDASAN TEORI Pada bab ini akan dijelaskan landasan teori yang akan digunakan dalam meneliti kepuasan berwirausaha single mother, teori ini juga yang akan membantu peneliti dalam meriset fenomena
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pada masa remaja, salah satunya adalah problematika seksual. Sebagian besar
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini, masalah-masalah yang muncul dalam kehidupan remaja sering menimbulkan berbagai tantangan bagi para orang dewasa. Banyak hal yang timbul pada masa remaja,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. adalah masa dewasa muda. Pada masa ini ditandai dengan telah tiba saat bagi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Individu memiliki beberapa tahap dalam kehidupannya, salah satunya adalah masa dewasa muda. Pada masa ini ditandai dengan telah tiba saat bagi individu untuk
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Menjaga hubungan romantis dengan pasangan romantis (romantic partner) seperti
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menjaga hubungan romantis dengan pasangan romantis (romantic partner) seperti saat masih menjadi teman dekat atau pacar sangat penting dilakukan agar pernikahan bertahan
Lebih terperinciBAB 2 LANDASAN TEORI. Teori yang akan dibahas dalam bab ini adalah teori mengenai self-efficacy dan
BAB 2 LANDASAN TEORI Teori yang akan dibahas dalam bab ini adalah teori mengenai self-efficacy dan prestasi belajar. 2.1 Self-Efficacy 2.1.1 Definisi self-efficacy Bandura (1997) mendefinisikan self-efficacy
Lebih terperinci