E. Teknik Penggunaan Alat-alat Mobilitas Elektronik DAFTAR PUSTAKA... 55

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "E. Teknik Penggunaan Alat-alat Mobilitas Elektronik DAFTAR PUSTAKA... 55"

Transkripsi

1 KATA PENGANTAR Penulis mengucapkan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas selesainya buku ini sebagai sarana bagi para mahasiswa untuk belajar mandiri. Buku ini membahas masalah-masalah yang berkaitan dengan anak-anak luar biasa, khususnya anak tunanetra dalam melakukan orientasi dan mobilitas. Buku ini sebagai materi perkuliahan dan Mobilitas yang disajikan kepada para mahasiswa, khususnya mahasiswa PLB Bagian A, karena mereka itulah yang dipersiapkan untuk menangani anak tunanetra. Maka dengan adanya buku ini diharapkan dapat membantu mereka apabila mereka telah menjadi guru SLB/A. Penyajian materi perkuliahan Orientasi dan Mobilitas itu tidak terlepaskan dari adanya kekurangan-kekurangan. Oleh karena itu penulis bersifat terbuka untuk menerima tegur sapa dan kritik yang membangun dari pihak siapapun datangnya, dengan penyempurnaan penulisan selanjutnya. Akhirnya penulis mengharapkan semoga buku ini bermanfaat bagi para pembaca. Amin. Tim Penulis.

2 PENDAHULUAN - Karena keterbatasan rangsangan visual menyebabkan anak tunanetra kurang mampu untuk berorientasi lingkungannya dan akibat lebih lanjut kemampuan untuk bergerak akan terlambat. Salah satu program khusus di SLB/A sesuai dengan kurikulum yaitu ORIENTASI DAN MOBILITAS. Tanpa program khusus ini dalam pendidikan anak tunanetra mereka tidak sekaligus tahu bahwa di hadapannya ada sebuah benda. Bahwa di kelasnya ada berbagai barang, bahwa di halaman ada tanaman dan bunga-bungaan, bahwa dilihat dari roman muka guru sedang marah dan lainlain. Oleh karena itu penting kiranya pengajar atau calon pengajar anak tunanetra mendalami ORIENTASI DAN MOBILITAS ini - Untuk dapat mempelajari masalah ini dengan baik diperlukan pengetahuan / ilmu yang mendukungnya misalnya : latihan sensomotorik anak luar biasa, identifikasi dan evaluasi anak luar biasa. - Secara berturut-turut dikemukakan mengenai : Latar belakang dan problema orientasi dan mobilitas, Pengertian, tujuan, dan Sejarah Orientasi dan Mobilitas, Konsep-Konsep dan Komponen-Komponen Orientasi dan Mobilitas dan yang terakhir adalah masalah kemampuan dan Teknik-teknik Oriantasi dan Mobilitas. Dengan mempelajari buku ini dan buku referensi yang ditunjuk pembaca akan memahami O.M dengan efektif.

3 DAFTAR ISI Halaman PENDAHULUAN... i DAFTAR ISI... ii BAB I LATAR BELAKANG DAN PROBLEMA 1 A. Hubungan Orientasi dan Mobilitas.. 1 B. Tongkat... 1 C. Personal Guide... 2 D. Problema... 5 BAB II PENGERTIAN, TUJUAN DAN SEJARAH PERKEMBANGAN ORIENTASI DAN MOBILITAS... 9 A. Pengertian Orientasi dan Mobilitas.. 9 B. Tujuan Orientasi dan Mobilitas C. Sejarah Perkembangan Orientasi dan Mobilitas BAB III KONSEP-KONSEP DAN KOMPONEN- KOMPONEN ORIENTASI DAN MOBILITAS A. Konsep-Konsep Orientasi dan Mobilitas B. Komponen-komponen Orientasi dan Mobilitas BAB IV KEMAMPUAN DAN TEKINK ORIENTASI DAN MOBILITAS A. SIGHTED-GUIDE B. Independent-Travel C. Dog-Guide D. Teknik Pemakaian Tongkat... 39

4 E. Teknik Penggunaan Alat-alat Mobilitas Elektronik DAFTAR PUSTAKA... 55

5 BAB I LATAR BELAKANG DAN PROBLEMA O.M Orientasi dan mobilitas termasuk dalam kurikulum SLB/A. Seperti kita ketahui setiap penderita tunetra gangguan yang paling dirasakan yaitu hilangnya kemampuan untuk bergerak dengan bebas dari suatu tempat ke tempat lain. Selama gangguan ini belum teratasi mereka akan merasa tak berdaya dan menggantungkan dirinya kepada orang lain. Keadaan seperti itu sudah barang tentu menghambat kegiatan pendidikan dan kegiatan lain di samping berpengaruh pada kehidupan mental yang kurang sehat. Untuk itu berikut ini diuraikan persoalan-persoalan pokok berkenaan dengan Orientasi dan Mobilitas. A. HUBUNGAN ORIENTASI DAN MOBILITAS Alat yang paling efisien untuk mengadakan orientasi yaitu mata. Orang awas dengan matanya mudah mengenal segala sesuatu yang berada di sekitarnya lebih jelas dibandingkan dengan penderita tunanetra. Di samping itu orang awas mudah bergerak dari sesuatu tempat ke tempat yang lain. Jadi mata adalah salah satu alat utama dalam orientasi. Gangguan orientasi bagi penderita tunanetra berakibat terganggunya mobilitas mereka. Sebagai gantinya maka orientasi tunanetra dilakukan dengan mengonsentrasikan dirinya lewat: pendengaran, perasaan, ingatan dan bahkan penciumannya atau dengan tingkat sensori-motoriknya. Dengan modal keberanian dan keuletan serta ketekunannya untuk menguasai cara-cara tertentu untuk bergerak

6 (mobilitas) sampailah mereka ke tempat tujuannya. Untuk ini perlu ada latihan dengan seksama. B. TONGKAT Tongkat berwarna (barcat) putih adalah tongkat khas bagi tunanetra. Warna tongkat yang demikian itu sudah menjadi lambang tongkat kaum tunanetra yang diakui secara internasional baik di Amerika, Eropa, Asia maupun di Indonesia sendiri. Bagian tengah tongkat putih tersebut dicat merah selebar 3 cm warna ini sebenarnya merupakan tanda khusus bagi pemakainya yaitu : tunanetra sebagaian atau,, partially blind sedang bagi tunanetra yang tergolong tunanetra total atau,, totally blind seharusnya menggunakan tongkat berwana putih polos. Akan tetapi tongkat putih dengan tanda merah ditengahnya itulah yang umum digunakan oleh para tunanetra. Warna putih dan merah tersebut mudah terlihat dari jarak jauh bagi orang lain (masyarakat ramai) sehingga sangat menolong dalam perjalanannya. Bagi sopir-sopir kendaraan umum maupun polisi pengatur lalu lintas mudah mengenal bahwa pemakainya adalah penderita tunanetra yang perlu dimaklumi. Berjalan dengan tongkat paling penting bagi tunanetra karena dengan tongkat itu akan merasa bebas tidak terganggu demi keselamatannya di samping menambah kepercayaan dirinya. Oleh karena itu di SLB/A dimaksudkan latihan mobilitas dengan tongkat dalam kurikulumnya dengan teknik-teknik yang disempurnakan. Adapun tongkat yang baik menurut Richard, E,Hoover penjang ± 46 inci dengan garis tengah 0,5 inci besi tipis ukuran 0,016 inci dengan berat kurang lebih 6 ons. Bagian pegangan (atas) harus melengkung sebagai perlindungan

7 badan bila sewaktu-waktu terbentur di perlajanan di samping menghindari kemungkinan-kemungkinan lain. Ujung tongkat (bawah ) sebaiknya memakai lapisan karet, agar tidak lekas aus dan tidak merusak ataupun permadani bila masuk di rumah. C. PERSONAL GUIDE Personal guide atau manusia penuntun adalah alat mobilitas tunanetra yang tertua dan masih digunakan sampai dewasa ini. Walaupun tunanetra sudah mahir menggunakan tongkat putih sekali waktu masih memerlukan personal guide terutama bila ia ke suatu tempat untuk pertama kalinya, tempat yang terlalu ramai, tempat yang ada benda-bendanya berbahaya ataupun ke tempat-tempat pertemuan yang susunannya sulit. Oleh karena itu walaupun tidak termasuk dalam kurikulum SLB/A kiranya calon guru dan pekerja sosial perlu mengenal terutama teknik dan etikanya. Berituk ini dikemukakan teknik dan etika personal guide. 1. Jika anda menawarkan bantuan kerjakan dengan segara dan nyatakan kepada,, Bolehkan saya menolong anda? Berkatalah dengan nada biasa dan langsung kepadanya. Hal ini akan menolong mengetahui di mana anda berada. 2. Dalam membimbing perkenankanlah memang tangan anda. Cara yang sebaik-baiknya dengan menawarkan tangan dan berkata :,, Inilah tangan kiri saya.. Atau tangan kanan anda bila perlu. Dengan demikian ia akan mengetahui bagaimana memang tangan anda dan mengikuti gerakan anda bagaikan seorang penari mengikuti patnernya.

8 Jangan mengacau tangan orang buta itu, karena tidak akan mengikuti gerakan anda. 3. Pada saat berjalanlah dengan kecepatan biasa berbuathlah seperti agak ragu-ragu pada saat akan melangkahkan kaki naik atau turun. Janganlah dia anda seret pada saat melampaui belokan jalan dan lain-lain. Setelah menyeberang jalan perhatikan apakah ia telah mengarah kearah jalan yang telah ditujukannya dan peringatkanlah dia apabila di muka ada rintangan-rintangan yang tidak biasa ada di situ. 4. Pada saat memberikan petunjuk arah jangan menunjuk. Berkatalah tiga blok ke muka seberangilah perempatan yang ke tiga, belok kiri dua setengat blok, dan gedung itu ada di sebelah kanan anda. Jangan menunjukkan persilangan-persilangan jalan dengan nama jalan-jalan itu ia tak mungkin membacanya. Jangan menyebutkan :,, gedung putih yang tinggi, ia tak akan melihatnya. 5. Pada saat membimbing untuk duduk di kursi letakkan tangannya pada sandaran kursi itu dan jangan didorong duduk di kursi tersebut. Dengan rabaan tangannya ia akan mengetahui jenis, lebar dan tinggi kursi itu. 6. Jika anda sebagai pelayan rumah makan dan melayani orang buta tanpa teman, bacakan daftar harga makanan yang tersedia. Pada saat menghidangkan katakanlah kepadanya; misalnya : Ini air minum buat anda. Bila ia akan memotong makanan atau mengambilnya dari besi tentu ia

9 akan minta bantuan nada. Walaupun demikian baiklah anda tawarkan bantuan itu sebelumnya. 7. Bila anda bercakap-cakap kepada orang buta, pergunakan nada dan istilah yang biasa. Mungkin ia akan memberikan penghormatan dengan mengatakan: Mudah-mudahan kita berjumpa kembali. Dapatkanlah dengan menghadap langsung kepadanya. Jika anda menghadap ke tempat lain suara anda akan mengikuti arah itu dan akan menyinggung perasaan orang buta lawan bicara anda, di samping pembicaraan itu tidak ditangkap. 8. Jika anda menukar uang kepada orang buta lebih dari selambar, berikan lembaran itu satu persatu dan katakanlah harga masing-masing kepadanya. Dengan rabaan ia akan mengetahui harga uanguang kertas itu. 9. Jika anda seorang anggota tertentu misalnya polisis, tunjukkan diri anda itu. Mungkin orang buta itu akan meninta bantuan mengetahui hal-hal yang tidak akan dimintanya dari orang lain. 10. Dan yang terakhir lebih penting jangan menganggap dia orang yang perlu dikasiani. Beribu-ribu dari orang-orang buta banyak yang berhasil mencapai kemampuan diri tanpa bantuan orang lain terutama di AS lewat program rehabilitasi kejuruan.

10 D. PROBLEMA Problema-problema yang berkaitan dengan mobilitas dapat dikemukakan berukut ini : 1. Sikap tunanetra a. Sebagai akibat ketunaanya anak tunanetra kurang percaya pada diri sendiri. Perasaan ini berpengaruh pula terhadap kemampuan mobilitasnya sehingga akan selalu diliputi perasaan was-was akan kemungkinan tertumbuk pada benda, terperosok ke selokan dan sebagainya. Sikap demikian dalam mobilitas terang tidak menguntungkan karena ia akan selalu ragu-ragu dan terlalu berhati-hati. b. Adanya keengganan dari sementara tunanetra untuk menerima dan mengubah kebiasaan-kebiasaan lama dalam menggunakan tongkat cara yang lebih baik sebagai pengganti personal guide. c. Sikap tidak ingin terlalu direpotkan oleh tongkat terutama untuk mobilitas di ruang-ruang yang sangat familiar seperti di rumah sendiri atau di kantor. 2. Sarana Masalah yang berkenaan dengan sarana dapat dibedakan menjadi dua yaitu pengadaan dan penggunaan. Masalah pengadaan yang sesuai dengan kondisi orang Indonesia menyangkut panjangnya, beratnya, tahan lamanya dan harga yang cukup murah dan terjangkau oleh semua tunanetra. Masalah penggunaan ada tendensi ujungnya masuk ke tanah yang tidak keras hal ini dapat berakibat jalannya tersentak-sentak dan menimbulkan kekesalan. Hal ini jelas menghambat mobilitas.

11 3. Situasi Kesulitan yang menghambat mobilitas berkanaan dengan situasi ini menyangkut : a. Penguasaan situasi medan dan orientasi diri. Bila tunanetra belum menguasai situasi medan maka mobilitas akan sangat terhambat. Misalnya dalam gerak maju ia secara otomatis akan memperlambat langkah sambil merabakan tongkatnya dengan konsentrasi penuh. Konsentrasi ini setalah beberapa lama akan meminatkan dan pada gilirannya akan mengurangi kesigapan mobilitas lebih lanjut. Untuk ini maka perlu diberi gambaran situasi medan secara global misalnya : - dalam gedung/ruang : letak pintu dan jendela, perabotan dan jarak relatif antara yang satu dengan lainnya. - dalam medan yang terbuka dan terbatas : membujurnya jalan, parit, selokan dan persimpangan, pohan-pohon tertentu atau tamanan khas, dataran rendah dan lain-lain. b. Situasi khusus yang tak mungkin teraba oleh tongkat. Misalnya : dahan yang menjorok rendah dipinggir jalan, bagaian perabotan yang menonjol dan lain-lain. Kalau peniadaan tidak mungkin maka perlu diberi tahu sebelumnya sebelum tunanetra itu mendekat obyek tersebut. 4. Peraturan lalu lintas: Belum adanya peraturan-peraturan lalu lintas yang menjamin/memberikan kemudahan serta perlindungan

12 hukum bagi tunanetra yang sedang mempergunakan jalan umum. Misalnya ; - Peratuaran yang mengharuskan semua kendarakan untuk berhenti bagi tunanetra yang membawa tongkat putih. - Peraturan yang memberikan kelonggaran bagi tunanetra untuk bebas menyeberang jalan. - Peraturan yang memberikan sangsi bagi pengendara yang melanggar seorang tunanetra yang dengan tongkat putih di jalan umum. - Belum ada peraturan yang menjamin secara melembaga yang memberi kemudahan bagi tunanetra mempergunakan sarana transportasi umum. 5. Masyarakat Masih ada sebagaian anggota masyarakat luas yang belum menyadari kesukaran obyektif dari tunanetra dalam membina dan mempertahankan mobilitasnya khususnya sistematik mobilitas. Termasuk kesadaran akan adanya sistematika tertentu dalam mobilitas tunanetra adalah tidak dirubahnya letak obyek-obyek/benda-benda dari suatu ruangan atau lingkungan terbatas tanpa memberi tahu lebih dahulu kepadanya. Seperti kita maklumi seorang tunanetra sudah mempunyai gambaran mental tertentu terhadap setiap ruangan di rumah atau di kantor. Bila sewaktu-waktu ada perabotan yang ada dipindah tanpa diberitahu akan mengganggu orientasi dan juga mobilitasnya.

13 6.Tongkat Tongakt selain berfungsi sebagai pengganti tangan untuk meraba, sebagai penimbul suara, sebagai alat pelindung dari segala rintangan juga sebagai pengganti polisi lalu lintas untuk menghentikan kendarakan pada waktu menyeberang. Di beberapa Negara tongkat ini dilindungi oleh hukum serta gambar tongkat bersetrip merah putih telah dicantumkan dalam papan rambu lalu lintas artinya bila rambu itu dipasang di suatu tempat di situ terdapat sekolah anak tunanetra. Di Indonesia tongkat dapat dibuat dari rotan yang diluruskan, di ujungnya diberi bahan dari besi yang tumpul dengan maksud bila ditekukkan tidak menusuk tanah terlalu dalam dan bila diketukkan dapat menimbulkan suara yang keras.

14 BAB II PENGERTIAN, TUJUAN DAN SEJARAH ORIENTASI DAN MOBILITAS A. PENGERTIAN ORIENTASI DAN MOBILITAS Pada Bab I telah banyak dikemukakan kata orientasi dan mobilitas. Kedua kata tersebut apabila kita pahami secara etimologis mempunyai pengertian sebagai berikut: Orientasi (orientation) berarti mudah bergerak/pedoman. Mobilitas (mobility) berarti mudah bergerak/dipindahkan. Jadi keduannya berarti mencari arah/pedoman dengan jalan bergerak/berpindah. Secara terminologis pengertian dari kedua kata itu dapat dirumuskan sebagai berikut: Orientasi ialah proses pemanfaatan/penggunaan indra yang masih berfungsi untuk menentukan posisi diri serta hubungannya dengan lingkungan sekitar. Mobilitas ialah kemampuan bergerak dari suatu tempat ke tempat lain yang diinginkan dengan cepat, tepat dan aman. Pendapat lain pada dasarnya sama dan hanya berbeda pada perumusannya, yaitu sebagai berikut: Orientasi ialah proses menggunakan indra-indra lainnya yang masih mempunyai untuk menentukan posisi diri dalam hubungannya dengan semua obyek-obyek penting di lingkungan itu. Mobilitas ialah kemampuan untuk bergerak dari suatu posisi tetap menuju posisi yang diinginkan di bagian lain dari lingkungan yang sama.

15 Dari pengertian-pengertian tersebut, maka jelaslah bahwa orientasi dan mobilitas merupakan kemampuan yang berkaitan bahkan harus dimiliki oleh seorang tunanetra, agar dengan demikian ia dapat mencapai kebutuhannya dengan cepat, tepat dan aman. Dia dituntut untuk berusaha mengatasi kekurangannya dengan cara yang tepat dan efektif dan tidak bisa tergantung lagi pada penglihatannya untuk mencapai tujuannya. Indra-indranya yang masih normal itulah yang harus mengambil alih fungsi matanya. Dengan indra pendengarannya, penciumannya dan perasaan yang peka, ia dapat mengetahui di mana ia berada, dan dapat memiliki orientasi tentang lingkungannya. Bila kemampuan berorientasi telah dimiliki kemampuan selanjutnya yang harus dimiliki ialah bagaimana ia harus menuju/memperoleh sesuatu yang diingini. Sudah barang tentu hal ini memerlukan gerak yang baik, yang didukung oleh sikap tubuh (posture) yang baik, gaya langkah yang baik, serta keseimbangan dan sebagainya. Karena itu orientasi dan mobilitas, selalu harus dipamani sebagai konsep, dan tidak bisa dipisah-pisahkan. B. TUJUAN ORIENTASI DAN MOBILITAS Orientasi dan mobilitas sebagai salah satu program rehabilitasi khusus untuk para tunanetra bertujuan sebagai berikut: 1. Memberikan kelengkapan sarana bagi anak di dalam melakukan kegiatan-kegiatan setiap hari, baik dalam melaksanakan studinya maupun yang lain, agar mereka dapat berdiri sendiri tanpa bergantung kepada orang lain.

16 2. Mempertajam indra-indra lain yang masih normal secara efektif, seperti indra pendengaran, indar penciuman, perasa dan sebagainya agar tangan demikian mereka lebih yakin bahwa dirinya mampu untuk memenuhi kebutuhannya tanpa menggunakan indra penglihatan. Kedua macam tujuan tersebut dapat dicapai melalui latihan-latihan yang baik disertai dengan orientasi yang benar tentang lingkungannya. Apabila hal tersebut berhasil dipenuhi, maka sorang tunanetra akan berhasil memasuki setiap lingkungan baik yang biasa dikenal, yang telah dikenal maupun yang baru (asing) baginya dengan selamat (tanpa adanya gangguan atau hambatan), efisien, lincah, gerakan dan tingkah lakunya wajar/normal tanpa dipengaruhi oleh kelainnya dengan mempraktekkan kombinasi dari dua keahlian tadi (orientasi dan mobilitas). C. SEJARAH PERKEMBANGAN ORIENTASI DAN MOBILITAS Istilah orientasi dan mobilitas secara formal tidak begitu jelas kapan digunakan orang. Namun kegiatannya sudah cukup tua, yaitu dimulai sejak Masa Perjuangan Dunia I di Eropa. Pada saat itu di Eropa tepatnya di Jerman telah dimulai latihan Orientasi dan Mobilitas dengan melatih anjing-anjing khusus untuk dapat melakukan tugas dalam peperangan. Sekitar tahun 1923 didirikan Pusat Latihan Anjing, juga Pusat Latihan Tunanetra yang akan menggunakan. Dari sana mulailah berkembang ke negara-negara lain seperti Amerika, Inggris dan lain-lain.

17 Dari Amerika perkembangan orientasi dan mobilitas berkembang dengan pesat, terbukti dengan adanya sejarah perkembangan para pelatih orientasi dan mobilitas yang berawal pada tahap permulaan Perang Dunia II, tatkala para korban mulai tiba dari medan perang. Di antara korbankorban itu terdapat sekelompok kecil yang sangat memerlukan perhatiannya, yaitu kelompok orang-orang yang penglihatnya telah rusak sebagian atau total. Ketika itu disadari bahwa di samping pengobatan ada kebutuhan yang tidak kalah pentingnya, yaitu perlu dilancarkannya program rehabilitas untuk para tunanetra, yaitu program orientasi dan mobilitas. Program tersebut dilancarkan, oleh Angkatan Perang Amerika, yang kemudian diserahkan pada Veterans Administrations Hospitals di Amerika. Masalah yang timbul di kala itu ialah, siapakah yang harus melatih orientasi dan mobilitas? Jenis pendidikan apa yang diperlukan bagi mereka? Permasalahan tersebut dapat diatasi, yaitu dengan adanya program latihan yang disebut Orientors. Mereka adalah orang-orang awas yang memiliki pengalamanan sebagai petugas medis di dalam perang dunia II yang telah diseleksi dan mandapat indoktrinasi dan latihan di bawah pengawasan para ahli. Sebagian besar dari latihan-lathan tersebut dilakukan dengan mata tertutup untuk memperoleh pengertian tentang masalah sehari-hari yang dihadapi para tunanetra. Semua orientasi mempelajari teknik orientasi dan mobilitas, mengalami dan melakukan jalan dengan tongkat, baik di medan tertutup (gedung, ruangan) maupun di medan terbuka, yang juga meliputi cara menyeberang di jalan.

18 Jadi mereka diindoktrinir mengenai segala sesuatu yang dilakukan orang buta, menetapkan cara melakukan sesuatu yang paling efektif, memperbaiki konsep pribadi mereka dan meninjau kembali mengenai alat bantu khusus dan kadang-kadang membuat alat Bantu sendiri. Boston Collage di Amerika mulai dengan penyelenggaraan kursus untuk melatih para instruktor orientasi dan mobilitas di dalam tahun1960, dan tidak lama kemudian disusul oleh Estern Michigan University dan oleh institute yang lain. Negara-negara seperti Australia, India, Jepang, Malaysia, Korea, Srilangka, Afrika Selatan, dan Vietnam telah mengikuti usaha-usaha itu dan telah mempu memberikan pelayanan yang sangat diperlukan oleh para tunanetra. Di Indonesia program orientasi dan mobilitas secara sistematis dimulia sejak tahun 1978, yaitu dengan dimulainya program kerjasama antara Helen Keller Internasional New York dengan Departemen P dan K Republik Indonesia yang meliputi juga program pengembangan pelajaran orientasi dan mobilitas. Program dimulai dengan melalui penataran instruktur/guru orientasi dan mobilitas, yang lamanya 4 bulan untuk setiap angkatan. Di samping kursus tentang pelajaran tersebut, ratusan guru dan petugas rehabilitasi mendapat penataraan juga mengenai aspek-aspek kebutaan. Lokasi penataran di IKIP Bandung, sedangkan kegiatan praktek dilaksanakan di lokasi IKIP Bnadung yaitu di suatu persawahan, dengan tenaga pengajar sampai angkatan VI yang terakhir tanggal 5 Mei Sejak saat itu, penanganan program orientasi dan mobilitas di Indonesia

19 secara keseluruhan, termasuk program penataran, langsung ditangani oleh tenaga ahli dari Indonesia sendiri. Tugas para lulusan hasil penataran, selain mengajar di sekolah-sekolah terpadu di Bandung dan Yogyakarta, juga memberikan pelayanan orientasi dan mobilitas kepada klien-klien tunanetra di luar panti atau di luar lembaga. Perkembangan program orientasi dan mobilitas di Negara kita cukup menggembirakan, yaitu dengan adanya kerjasama antara Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan (BP3K). Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah dan IKIP Bandung telah memulai program pelajaran orientasi dan mobilitas di sekolah-sekolah Luar Biasa, SD terpadu dan di Pantaipantai Rehabilitasi Tunanetra dan sebagainya.

20 BAB III KONSEP-KONSEP DAN KOMPONEN-KOMPONEN ORIENTASI DAN MOBILITAS Sebagaimana kita ketahui bahwa latihan bergerak dan berorientasi bagi setiap manusia sudah dimulai sejak kecil, terutama sejak ia bisa berjalan. Bahkan secara naluri, anak yang beberapa minggu dilahirkan sudah berusaha berorintasi. Misalnya bila ia mendengar suara ibunya, ia menengok kearah sumber suara tadi. Usaha mengetahui sumber suara (Sound Clue) ini merupakan salah satu bagian dari prisip orientasi. Makin meningkat usia si anak, makin mampu bergerak dan berorientasi. Demikian juga anakanak tunanetra, merekapun juga belajar berorientadi dan bergerak sesuai dengan kondisi dan kemampuannya. Hal ini menjukkan, baik anak/orang normal maupun anak/orang tunanetra memerlukan kemampuan berorientasi dan kemampuan bermobilitas dalam mencapai sesuatu yang diinginkan. Tetapi karena anak/orang tunanetra mempunyai kelainan, maka masalah yang dihadapi akan berbeda pula dengan anak/orang normal. Sehubungan dengan hal tersebut, pada Bab ini akan dibahas masalah-masalah orientasi dan mobilitas yang perlu diperhatikan baik bagi para instruktur maupun para tunanetra, yaitu mengenai konsep-konsep orientasi dan mobilitas dan komponenkomponennya. Kedua maslah tersebut penjelasannya sebagai berikut: A. KONSEP-KONSEP DAN KOMPONEN- KOMPONEN ORIENTASI DAN MOBILITAS Adanya sejumlah konsep dan mobilitas, yaitu :

21 1.` Kemampuan orientasi dan mobilitas begitu erat hubungannya, sehingga untuk menjadi seorang pejalan yang baik, ia harus menguasai kedua bidang ini. Konsep tersebut mengandung pengertian bahwa kemampuan berorientasi dan kemampuan bermobilitas, keduanya tidak bisa dipisahkan. Seorang tunanetra yang mempunyai kemampuan berorientasi yang baik tidak ada artinya, apabila tidak ditunjang oleh kemampuan bermobilitas yang baik pula. Sebaliknya, kemampuan bermobilitas dan ketrampilan tertentu, juga belum menjamin seorang tunanetra dapat bergerak/berjalan dengan cepat, tepat dan aman, sampai kepada tujuannya. Kalau tidak disertai dengan orientasi yang benar dan latihan-latihan yang baik. Oleh karena itulah untuk menjadi seorang pejalan yang baik, seorang tunanetra harus menguasai kedua keahlian itu. 2.` Orientasi seharusnya dipadukan dengan latihan mobilitas sejak permulaan. Hal ini selain alasan bahwa kedua keahlian tersebut sangat erat hubungannya, juga untuk membiasakan anak/orang tunanetra trampil menggunakan kedua keahlian tersebut. Sebab menurut penelitian banyak anak tunanetra yang telah memperoleh latihan/pelajaran orientasi dan mobilitas, mereka tidak mau menggunakannya, atau kalau mau menggunakan mereka menggunakannya dengan cara yang kurang benar. Maka dengan dipadukannya kedua keahlian itu dalam suatu latihan sejak permulaannya, sikap tunanetra yang demikian itu dapat diatasi.

22 3. Sebelum mengorientasikan diri pada lingkungan, seorang tunanetra harus mempunyai konsep tentang dirinya (konsep ini disebut body image), sadar dan mengerti akan bagian-bagian tubuh, gerakan-gerakan dan kegunaan-kegunaannya (fungsi masing-masing bagian) serta hubungannya dengan lingkungan orang itu. Baru setelah itu, ia belajar mengenal/memahami lingkungan dalam hubungannya dengan lingkungan lain dengan cara (gerakan) yang berfungsi. Jadi jelaslah bahwa penguasaan tingkah laku motoris yang efektif, mempersyaratkan orang tunanetra untuk mempunyai konsepsi yang tepat mengenai gambaran tubuh dan orientasi ruang. 4. Sebaiknya seorang tunanetra bergerak dari pengertian konkrit tentang prinsip-prinsip orientasi ke tahap penggunaan, dan akhirnya kepada tahap abstrak, dimana ia akan mampu berfungsi secara efektif dalam lingkungan yang tidak dikenalnya. Maksud dari pada konsep ini ialah ketika anak mengenal sesuatu yang ada dilingkungan sekitar, dia menjalani proses belajar yang bergerak melalui tiga tahapan: a. Tahap Konkrit : Pada tahap ini dia mempelajari benda-benda yang bersifat tetap, dan saling berbeda satu sama lain. Ketika dia bertambah besar, pengalaman dan pengenalannya dengan obyek bertambah pula, dia mulai mengenal obyek itu pada tahap berikutnya yaitu tahap fungsional. b. Tahap Fungsional :

23 Pada tahap ini seorang tunanetra mulai mengenal apa yang dilakukan oleh suatu obyek, misalnya berjalan, lari, dan sebagainya, atau apa yang dilakukan manusia terhadap obyek misalnya memukulnya, melemparkannya, menandangnya dan sebagainya. c. Tahap Abstraksi : Biasanya tunanetra mendapat kesukaran untuk terus maju ke tahap abstraksi karena tidak adanya penglihatan. Namaun melalui indra-indranya yang lain dia dapat mencapai tahap terrsebut, yaitu dengan melakukan abstraksi mengenai unsur-unsur yang sama dengan beberapa pengalaman tensorinya dan menggunakan abstraksi ini sebagai batasan untuk satu kelompok benda. Melalui cari ini hal-hal yang berkaitan dengan posisi, lokasi, arah, konsep-konsep, jarak dan ukuran, warna, nilai uang dan sebagainya dapat dikenal oleh para tunanetra. 5. Tingkat Kesiapan Mental dan Fisik Harus diperhatikan apakah siswa siap atau mampu untuk mempelajari informasi yang kompleks atau belum. Anak yang mempunyai kesulitan mental, gagar otak, penyakit atau kesulitan lain tentu mengalami kesukaran untuk mempelajari informasi yang kompleks. Dikatakan demikian karena kesiapan mental merupakan proses kognitif (berfikir) yang tahap-tahapnya sebagai berikut : a. Perception yaitu proses mengasimilasi lingkungan dengan indera-indera yang ada. b. Analysis yaitu porses menyusun dan memperhitungkan data yang telah diterima dengan katagori-katagori menurut konsistensinya,

24 ketergantungannya, keterbiasaan, sumber, jenis dan insensitasnya. c. Selection yaitu proses memilih data yang sudah dianalisa dan yang paling memenuhi kebutuhankebutuhan orientasi dalam situasi lingkungan waktu itu d. Plan yaitu proses penentuan bentuk tingkah laku berdasarkan data yang telah terpilih dan yang paling relevant dengan situasi lingkungan waktu itu. e. Execution yaitu proses menjalankan bentuk tingkah laku yang direncanakan. Apabila proses tersebut berjalan secara wajar, tanpa adanya hambatanhambatan seperti gagar otak, sakit dan sebagainya, maka akan diperoleh tingkat kesiapan mental yang tinggi. Dengan demikian jelaslah bahwa tingkat, kesiapan mental berbeda-beda antara orang yang satu dengan yang lain. Tingkat kesiapan fisikpun demikian juga. Karena penyakit diabetes, banyak problem dapat mempengaruhi penampilan siswa dalam teknik apapun yang diajarkan oleh guru. 6. Tujuan akhir orientasi dan mobilitas adalah membuat seorang tunanetra mampu memasuki setiap lingkungan yang dikenal ataupun tidak, dan mampu bergerak dengan selamat, efisien, lincah, tanpa bantuan dengan mempraktekkan kombinasi dari kedua keahlian itu (orientasi dan mobilitas) B. KOMPONEN-KOMPONEN DAN MOBILITAS Baik orientasi maupun mobilitas mempunyai komponen-komponen. Komponen dari pada orientasi meliputi :

25 1. Petunjuk-petunjuk tempat 2. Tanda-tanda/petunjuk 3. Sistem penomoran 4. Ukuran 5. Mata angin 6. Pengendalian diri Sedang komponen dari pada mobilitas ialah : 1. Orientasi mental 2. Gerakan fisik Komponen-kompoonen tersebut penjelasan lebih lanjut sebagai berikut: Komponen Orientasi : ad.1. Petunjuk-petunjuk tempat Pada tempat kita berpijak atau tempat kita berjalan terdapat macam-macam keadaan yang dapat kita temui. Macam keadaan ini berupa jalan raya, selokan, toko, pasar, sekolahan, masjid, gereja dan sebagainya. Demikian juga tanda-tanda yang berbentuk suara, bau, suhu atau rabaan yang dapat dipakai sebagai petunjuk yang mudah dikenal dan mempunyai tempat yang pasti / permanent dilingkungan itu dapat dipakai petunjuk tempat / obyek yang berada disekitarnya. ad.2. Tanda-tanda/petunjuk Termasuk tanda-tanda/petunjuk ialah semua bunyi, abu, suhu, rangsangan taktual, rangsangan visual yang mengenai indera dan yang segera dapat diubah menjadi petunjuk didalam menetapkan posisi atau arah. Dari sekitar banyak ada sebuah petunjuk yang paling memenuhi kebutuhan akan informasi yang diperlukan

26 waktu itu, hal ini dinamakan dominant clue (Petunjuk dominana). Ciri khusus suatu tempat atau suatu obyek adalah merupakan dominant clue. ad.3. Sistem penomaran Sistem ini dipakai untuk membedakan medan/situasi yang sama atau hampir sama, baik yang diberikan oleh orang dewasa awas maupun oleh para tunanetra. Dengan sistem ini berarti tiap medan/benda/ruang telah diberi ciri sendiri-sendiri sehingga memudahkan para tunanetra untuk mengadakan orientasi. Penggunaan sistem nomor ini ada dua macam, yaitu didalam ruangan dan di luar ruangan. Untuk pemberian nomor didalam ruang diperlukan penelitian untuk membedakan benda yang banyak dengan berbagai situasi, sedang pemberian nomor di luar ruangang menuntut anak menggunakan teknik berjalan lainnya, karena anak menghadapi berbagai bentuk medan, seperti teras, tembok, tangga dan sebagainya. ad.4. Ukuran Adanya komponen ini dimaksudkan agar anak/orang tunanetra mengetahui ukuran, bentuk, sifat dan dimensi dari suatu medan, atau benda atau ruangan. Sekaligus bertujuan agar anak/orang tunanetra dapat mengukur walaupun masih dalam taraf sederhana atau memperkirakannya dalam suatu proses orientasi. Misal, untuk memperoleh pengertian lingkaran, bulat dan derajat, maka dapat melalui proses sebagai berikut: a. Siswa diberi pelajaran mulai dari yang diketahui, kemudian pada arti-arti konkrit dari istilah-istilah diatas (lingkaran, bulatan dan derajat) yang dipakai dalam mobilitas. Misal, siswa diajak untuk

27 memperhatikan benda-benda bulat dalam ruangan, jam tangan, bentuk dasar tempat sampah, bola dan sebagainya. Suruh anak-anak menyebut benda-benda bulat dirumahnya. b. Dari lingkaran kemudian diajarkan kata sifat, seperti bulat, menerangkan bentuk lingkaran dan sebagainya. Setalah itu diajarkan kata mengelilingi. c. Untuk mengajarkan konsep derajat, bisa diajarkan dengan cara menyuruh anak membagi meja bulat menjadi empat bagian dengan sudut 90, dari titik tengah kekiri atau kekanan. Dari sini anak dapat disuruh membuat lingkaran di atas tanah, kemudian bagi menjadi beberapa bagian. d. Korsel berbentuk bulat dengan alat pegangan berbentuk bulat dan berputar melingkar. Suruhlah anak mengamatinya. Letaknya tangan pada bola, dan kemudian letakkan dua tangan menggambarkan sebuah lingkaran. Cicin juga bulat, suruh anak merasakan, bentuk ini, lalu memasukkan pada jarinya. e. Kita bisa membuat derajat-derajat dengan berputar belok kanan (90 ), dua kali belok kanan (180 ). Bagaimanakah ketepatan anak? Apakah ia mengerti perbedaan berputar 90 dan 180? AD.5. Mata Angin Untuk menanamkan pengertian tentang mata angin bisa digunakan balok lurus persegi yang ditempatkan pada suatu ruangan, kemudian menempuh prosedur berikut ini : a. Orientasikan anak-anak akan arah-arah mata angin yang terpenting (Utara, Timur, dan Barat) dari suatu ruangan.

28 b. Tetapkan pengenalan arah mata angin tadi pada pinggiran balok. c. Suruh anak mendemonstrasikan pengertian mereka akan pinggiran balok. d. Tentukan titik-titik penjuru (Timur Laut, Barat Laut, Tenggara, Barat Daya) dengan sudut-sudut balok sesuai dengan titik-titik tadi. e. Latihlah anak itu dalam titik-titik arah mata angin yang kedelapan itu. f. Terapkan pengertian mereka itu dengan berjalan dari satu titik penjuru ke titik penjuru yang lain sampai kedelapan titik penjuru itu telah selesai dijelajahi. g. Latihan konsep ini dengan menyuruh anak-anak merambat tembok, supaya mereka mengerti hubungan balok dan tembok. h. Suruhlah anak berlajan mengelilingi tembok. ad.6. Pengenalan diri Yang dimaksud disini ialah mengenalkan diri terhadap ruangan, agar anak memperoleh satu cara untuk mengetahui cirri-ciri ruangan, sehingga ia bisa bergerak dengan selamat dan efisien. Adapun tekniknya adalah sebagai berikut : a. Suruhlah anak menggunakan pintu masuk ruangan atau ciri medan penting lainnya sebagai patokan dari mana ia mulai mengorientasikan dirinya terhadap ruangan. b. Dianjurkan kepada anak untuk memanfaatkan perabotperabot dan gambar-gambar yang ada dalam ruangan sebagai ciri medan, agar dengan demikian ia dapat

29 lebih mudah untuk melokalisir benda-benda yang sejajar atau tegak lurus. c. Suruhlah anak memulai merambat sekeliling ruangan dengan mengkombinasikan teknik lengan menyilang ke bawah dan merambat (trailing) hingga ia mendapatkan ide tentang panjang lebar ruangan dan segala sesuatu yang ada didalamnya. Demikianlah penjelasan komponen-komponen orientasi. Adapun mengenai komponen-komponen dalam mobilitas penjelasannya secara ringkas sebagai berikut : ad.1. Orientasi Mental Yang dimaksud disini ialah seorang tunanetra sebelum melakukan tingkah laku motoris, terlebih dahulu harus mempunyai konsep yang tepat mengenai hal-hal yang ada disekelilingnya dalam hubungannya dengan dirinya sendiri. Sebab bagaimanapun juga kemampuan dibidang ini akan sangat menetukan kemampuan bermobilitas bagi seorang tunanetra. Apalagi kalau kita mengingat bahwa problem yang pertama bagi para tunanetra adalah berjalan. Mereka harus menghadapi serangkaian masalah dan rintangan. Oleh karena itu tanpa di tunjang dengan kemampuan berorientasi, maka masalah dan rintangan itu selamanya tidak akan dapat dikurangi atau diatasi. ad.2. Gerakan Fisik Yang dimaksudkan ialah kemampuan bergerak dari suatu tempat ke tempat lain dengan cara gerakan fisik. Kemempuan tersebut perlu ditunjang dengan kemampuan yang lain, yaitu kemampuan menapak, menyepak (kesamping), sekaligus bagaimana menggerakkan tumit,

30 jari-jari, pengontrolan gerak gravitas badan (gaya berat) mendeteksi naik-turun atau maju-mundurnya langkah kaki. Jadi jelaslah bahwa berjalan tidaklah sekedar berpindah tempat, tetapi mempunyai arti yang lebih luas dari pada itu, yaitu memfungsi sebaik-baikya organ-organ tubuh yang terkait dalam aktivitas berjalan, agar dengan demikian diperoleh kemampuan bermobilitas yang tinggi.

31 BAB IV KEMAMPUAN DAN TEKNIK-TEKNIK MOBILITAS Kita telah mengetahui bahwa mobilitas adalah kemampuan untuk bergerak atau berjalan, dari suatu posisi tetap menuju posisi lainnya yang diinginkan. Batasan ini sebenarnya ingin menunjukkan bahwa bergerak atau berjalan menuju ke tempat lain sebagai tujuan, merupakan kemampuan tersendiri yang didukung oleh teknik-teknik tertentu. Hal ini lebih jelas dan lebih dirasakan oleh para tunanetra. Bagi mereka untuk berjalan mencapai sesuai yang diinginkan, di samping mereka harus mempunyai kemampuan berorientasi yang baik, juga dituntut untuk depat menggunakan teknik-teknik mobilitas. Oleh karena itu seorang instruktur / guru SLB/A dituntut pula memahami teknik-teknik mobilitas. Adapun teknik-teknik yang dimakdus di sini adalah: A. SIGHTED-GUIDE B. INDEBENDENT TRAVEL C. GOG-GUIDE D. TEKNIK PEMAKAIAN TONGKAT E. TEKNIK PENGGUNAAN ALAT-ALAT MOBILITAS ELEKTRONIK A. SIGHTED-GUIDE Seorang penuntun awas di dalam membimbing tunanetra perlu memahami teknik-teknik tertentu. Cara membimbing tunanetra dengan jalan menangkap lengan orang tunanetra, lalu menuntunnya adalah merupakan caracara yang menyulitkan bagi kedua belah pihak. Oleh karena itu sekarang dikembangkan teknik (cara-cara) baru, yang

32 dipandang paling aman, mudah dan enak baik bagi para tunanetra sendiri maupun bagi para pendamping awas dalam berjalan, yaitu dengan jalan memegang atas sikut pendamping awas dan mendapatkan orang tunanetra pada posisi untuk mengikuti pendamping itu dan merasakan gerakan-gerakannya. Teknik-teknik ini bervariasi, tergantung apakah yang dibimbing itu anak-anak, orang tua (dewasa) ataukah orang yang sudah tua sekali dan tergantung pula kepada medan yang akan dilaluinya. Hal-hal di bawah ini dapat membantu pendamping awas dalam membimbing seorang tunanetra: 1. Teknik dasar untuk pendamping awas: a. Untuk membuat kontak seorang tunanetra (mengajak siswa), pendamping menyentuhkan punggung tangannya kepada siswa atau siswa mengajak kapada pendamping, baik dengan sentuhan tangan atau dengan lesan. b. Siswa segera memegang dengan erat lengan pendamping di atas sikut. c. Ibu jari siswa berada di sebelah luar lengang pendamping, dan jari-jari yang lain di sebelah dalam. d. Dengan siswa lentur pada sikut, sedangkan lengan atas siswa tetap rapat pada badannya. e. Siswa harus berposisi setengah langkah di belakang pendamping dan berada di samping pendamping, dengan bahu lurus sejajar di belakang bahu pendamping. Dari gerakan badan pendamping awas, tunanetra itu dapat mengetahui apakah dia berjalan lurus atau menurut

33 belokan yang lebar. Gerakan tubuh pendamping awas ke atas atau ke bawah akan mennunjukkan pada tunanetra apakah mereka mendaki atau menurun. Jika pendekatan atau penurunan itu selesai, tunanetra akan merasa lengan pendamping awas itu mendatar, dan hal ini memberikan kepadanya bahwa mereka akan tiba pada puncak atau dasar tangga. Dalam hal ini yang terpenting bagi mereka ialah agar mereka menjaga lengan atas tetap rapat dengan badannya, terutama ke tika berbelok ke kiri atau ke kanan, maupun di waktu kembali (terbalik). Dengan cara seperti ini maka gerakan yang berlebihan dari pendamping awas dapat dihindari. 2. Melewati jalan sempit Teknik melewati jalan sempit ini ada dua macam, yaitu jika jalan itu tidak begitu sempit dan jika itu sangat sempit (hanya cukup dilewati satu orang saja). Jika melewati jalan tidak begitu sempit, cukuplah pendamping awas itu merapatkan tangannya ke badannya, kemudian di ikuti oleh tunanetra yang dibimbingnya. Tetapi jika jalan itu sangat sempit, maka teknik yang ditempuh adalah sebagai berikut: a. Pendamping menarik lengannya ke balakang ke sebelah dalam. b. Siswa (tunanetra) memberi respons dengan meluruskan tangannya, sehingga posisi badan siswa berada tepat di belakang pendamping, dengan jarak satu langkah penuh. c. Apabila pendamping kembali pada posisi yang normal, yaitu mengembalikan lengannya seperti biasa, maka siswa kembali pada posisi semula dan

34 berada di samping pendamping dengan jarak langkah di belakang pendamping. Jadi pada saat melewati jalan yang sangat sempit, siswa harus benar-benar berada satu langkan penuh di belakang pendamping. 3. Melewati pintu tertutup Untuk melewati pintu tertutup dengan tipe pintu yang bervariasi itu mempunyai cara tersendiri, seperti pintu yang: a. Membuka menjauh dari kita, ke sebelah kanan b. Membuka kearah kita ke sebelah kanan c. Membuka menjauh dari kita ke sebelah kiri d. Membuka kearah kita ke sebelah kiri Dalam hal tersebut perlu diperhatikan ialah cara melewati membuka dan menutupnya. Ada dua kemungkinan dalam melewati pintu tertutup hubungangnya dengan posisi dan kedudukan siswa dengan pendamping. a. Siswa berada di samping pendamping dan searah dengan membukanya pintu (siswa berada di samping kanan pintu membukanya ke kanan). Cara melewati pintu tersebut ialah: 1. Setelah samping di depan pintu itu, pendamping berhenti sejenak sambil memberikan penjelasan kepada siswa kearah mana pintu itu terbuka. Kalau ada ciri-ciri khusus yang berkenaan dengan keselamatan atau ada alasan lain, maka pendamping memberikan gambaran tenteng keadaan atau memberikan orientasi mengenai ke khususan pintu itu kepada siswa. 2. Melalui pegangan (kalau ada) pendamping membuka pintu, bersamaan dengan terbukanya

35 pintu itu siswa menghadapkan tangan bebasnya mencari pegangan pintu. Dengan memanfaatkan tangan pendamping yang memegang pegangan pintu, siswa akan mudah melekalisir di mana pegangan pintu itu berada. 3. Setelah siswa memegang pegangan pintu, pendamping melapaskan pegangan tersebut sambil bergerak maju, pendamping harus memberi kesempatan pada siswa untuk menutup pintu kembali dengan baik. b. Siswa berada di samping pendamping tidak searah dengan membukanya pintu (siswa berada di samping kanan pintu membuka ke kiri atau sebaliknya). Dalam posisi siswa demikian, ada dua cara: 1. Cara pertama : Setelah sampai di depan pintu, pendamping menjelaskan ke mana pintu itu terbuka, maka siswa langsung pindah pegangan (lihat teknik pindah pegangan) sehingga siswa berada searah dengan membukanya pintu. Setalah itu caranya sama dengan cara-cara di atas. a. Cara kedua: Setelah pendamping menjelaskan ke mana pintu itu terbuka, pendamping membuka pintu dan bersamaa dengan itu pula siswa menggeser ke samping sehingga siswa tepat berada di belakang pendamping dan tangan siswa yang bebas memegang tangan pendamping, setelah itu siswa melepaskan / membebaskan tangan yang memegang pertama.

36 Tangan siswa yang bebas dikedepankan untuk menangkap pintu atau memengan pegangan pintu. Setelah hal ini dilakukan siswa pendamping bergerak maju sambil melepaskan tangannya dari pegangan pintu. Dalam bergerak maju pendamping harus memberi kesempatan pada siswa untuk menutup pintu kembali dengan baik. Disarankan kepada pemdamping untuk membuka pintu dengan tangan yang searah dengan membukanya pintu (pintu membuka ke kiri, dibuka dengan tangan kiri dan sebaliknya). Hal ini akan mempermudah bagi siswa untuk melokalisir pintu dan memegangnya. 4. Teknik naik dan turun tangga a. Cara menuruni tangga dengan pendamping awas adalah sebagai berikut: 1. Pendamping mendekati tangga dan berhenti ketika kakinya sampai pada sisi tangga, siswa tetap berada setengah langkah di belakang pendamping. 2. Sewaktu pendamping bergerak menuruni anak tangga siswa tetap berada setengah langkah di belakang pendamping sampai ia merasa gerakan turun dari lengan pendamping atau merasakan tepi tangga itu. Selama siswa masih dalam proses belajar disarankan pada pendamping untuk berhenti sejenak sebelum melangkah menuruni atau menaiki tangga. Jelaskan bahwa kita akan menuruni atau naiki tangga. Berhenti sejenak apabila sudah sampai di puncak tangga atau sehabis menuruni tangga. Jelaskan pada siswa

37 dan berilah pengertian bahwa kedudukan lengan pendamping ada hubungannya dengan permukaan jalan yang dilalui. Apabila tangga mempunyai pegangan, hendaknya pegangan tersebut digunakan untuk menjaga keseimbangan kedua belah pihak. Apabila melewati tangga yang melingkar, tempatkan siswa pada posisi di mana injakan tangga mempunyai ruang yang lebih luas. 3. Siswa harus menjaga posisi tegak, dengan titik pusat berat badan jatuh ditumitnya. Hal ini terutama untuk menjaga keseimbangan badannya. 4. Ketika pendamping sampai pada tempat yang datar, lengan akan merasa seimbang dan rata. b. Cara menaiki tangga dengan pendamping awas adalah sebagai berikut: 1. Pendamping mendekati pinggiran tangga dan berhenti ketika ia sampai pada pinggiran tangga itu, siswa berada setengah langkah di belakangnya. 2. Pendamping melangkah naik, siswa maju setengah langkah untuk menemukan tangga dan kemudian melangkah naik. 3. Berat badan siswa harus bertumpu pada ujung kakinya. 4. Siswa tetap berada satu tangga di belakang pendamping selama naik tangga tersebut. 5. Setelah sampai di tempat datar, pendamping mengambil posisi beberapa langkah ke dapan, kemudian berhenti sebentar dan menerangkan kepada siswa bahwa ia telah sampai di puncak

38 tangga. Hal ini untuk manjaga agar jangan terjadi salah langkah dari siswa tersebut. 5. Teknik duduk Satu di antara situasi pengaturan, duduk siswa dari pendamping awas, sering tidak sempurna, sehingga terjadi kecanggungan di waktu duduk. Hal yang penting mengenai duduk ialah meyakinkan bentuk ukuran dan kondisi kursi, apakah kursi itu kosong, stabil, cukup kuat, ada benda di atasnya atau tidak dan sebagainya. Dalam hubungan dengan teknik duduk ada 3 hal yang perlu dilatihkan kepada mereka, yaitu: a. Cara duduk dari depan kursi 1. Pendamping membawa siswa sejauh setengan langkah dari bagian depan kursi dan menerangkan posisi kursi serta jaraknya. 2. Ssiwa maju ke depan sampai tulang kering kakinya menyentuh kursi. 3. Siswa memeriksa kursi dengan menyapukan tangannya, baik vertikal maupun horizontal, sandaran dan tempat duduknya. 4. Siswa berdiri di depan kursi dengan meluruskan atau menyentuhkan bagian pahanya ke bagian kursi, barulah duduk. 5. Siswa harus mengerti sendiri, kursi itu hubungan dengan berat badannya, baik dengan meraba tangan kursi maupun pinggiran kursi itu. b. Cara duduk dari belakang kursi: Kalau siswa mendekati kursi dari bagian belakang, maka ia harus dirabakan ke bagian belakang kursi dengan jarak setengah langkah dari kursi.

39 Merabanya dimulai dari bagian belakang sandaran kursi dan seterusnya ke bagian kaki dan mengontrol bagian tempat duduknya, dengan tidak melepaskan tangan yang memegang sandaran kursi. Selanjutnya cara duduk siswa sama dengan cara duduk dari depan kursi. c. Cara duduk dengan kursi bermeja: Apabila siswa akan duduk di kursi yang memakai meja, caranya sama saja dengan cara mendekati kursi dari belakang. Yang penting hanyalah bagaimana hubungan kursi itu dengan meja, dan bagaimana posisi siswa di depan meja tersebut. Apakah sudah lurus dengan meja atau cukup enak duduknya dan sebagainya. Untuk mengontrol hal tersebut, caranya adalah: 1. Rentangkan tangan ke dapan dan meraba bagian pinggir meja, tangan satunya memegang bagian belakang kursi dan menarik kursi agar jangan rapat dengan meja. 2. Tangan yang memegang bagian belakang kursi mengecek tempat duduk tersebut sambil tidak melepaskan tangan yang memegang pinggir meja itu. Bila ternyata kursi itu kosong dan keadaannya baik, siswa langsung duduk. 3. Setelah siswa duduk, maka siswa mengecek posisi duduknya sehingga posisi duduknya lurus dengan kedua tengannya memegang pinggiran meja. Dengan demikian siswa akan mengetahui posisi duduknya dengan meja. 4. Sebaiknya jarak badan dengan pinggiran meja sejauh selebar tangan atau lebih sedikit.

40 6. Teknik memasuki mobil Memasuki mobil sehingga tidak mengalami benturan caranya sebagai berikut: a. Setelah sampai di depan pintu mobil, pendamping menjelaskan bagaimana posisi pintu, membuka ke sebelah kanan atau kiri dari badan kita. b. Tangan siswa ditunjukkan ke pegangan pintu mobil dan memegangnya, setelah itu barulah pintu dibuka. c. Setelah pintu terbuka, tangan yang satunya dipegannya ke pinggiran pintu mobil sebelah atas, setelah selesai merabai pinggiran pintu mobil, langsung meraba tempat duduk. Tujuan ialah untuk mengetahui posisi tempat duduk, juga untuk mengontrol apakah ada sisinya atau benda lain di atasnya. d. Setelah hal itu dilakukan, barulah masuk ke mobil dengan tidak melepaskan kontak tangan dengan tempat duduk mobil tersebut. 7. Memindahkan pegangan tangan Memindahkan pegangan tangan ini dimaksudkan, bila siswa merasa capek/pegal karena sudah lama berpegangan atau oleh karena hendak pendamping atau karena akan memasuki pintu yang membuka ke kiri/kanan, agar searah dengan membukanya pintu. Tangan di sini yaitu tangan siswa yang dipakai memegang tangan pendamping. Adapun caranya adalah: a. Tangan siswa yang bebas memegang tangan pendamping

41 b. Tangan yang memegang pertama kali dilepaskan sambil menggeser posisi badan, dan tangan siswa pertama tersebut memegang lengan yang bebas dari pendamping. c. Tangan pemegang kedua dipindahkan ke lengan pendamping yang dipegang oleh tanggan siswa pertama d. Setelah itu tangan siswa pertama dilepaskan hingga tangan pemegang kedua berada atau memegang tangan pendamping kedua. 8. Berbalik arah Apabila kita melalui jalan buntu atau kembali arah dalam berjalan, baik karena kehendak siswa atau pendampingnya, maka caranya adalah sebagai berikut: a. Pendamping berhenti sebentar, kemudian berputar 45 dari posisi semula, dan diikuti oleh siswa sehingga posis keduanya berharapnya. b. Tangan siswa yang bebas memegang tangan pendamping yang bebas pula. c. Sambil pendamping berjalan kearah yang berlawanan dengan arah semula, siswa melepaskan tangan yang pertama kali memegang tangan pendamping. d. Setelah itu berjalan seperti biasa. 9. Menerima atau menolak ajakan untuk didampingi orang awas Menolak atau menerima ajakan seorang yang ingin mendampingi tunanetra mempunyai teknik tersendiri.

42 Apabila yang mengajak itu tidak mengetahui caranya sehingga ia mengajak dengan sembarangan yang memungkinkan akan terjadinya hambatan atau kecelakaan. Biasanya seorang yang tidak tahu cara mendampingi tunanetra langsung menarik tanganya dari belakang ke dapan dan kadang-kadang si tunanetra berada di depan pendamping dalam berjalan. Cara yang demikian adalah tidak menguntungkan. Oleh karena itu perlu dibetulkan. Cara yang seharusnya dilakukan adalah sebagai berikut: a. Cara menerima ajakan Melepaskan tangan pegangan penolong dengan tangan bebasnya, kemudian tangan tunanetra yang dipegang penolong tadi memegang lengan penolong di atas sikut, baru berjalan kearah tujuan. b. Cara menolak ajakan Melepaskan perangan tangan penolong yang salah dengan tangan siswa yang bebas sambil mendorong ke depan dan menjelaskan bahwa ia tidak memerlukan pertolongan. B. INDEPENDENT-TRAVEL Seorang instruktur rehabilitas tunanetra harus dibekali pengetahui untuk melatih orang yang tunanetra, cara bepergian sendiri dengan selamat dan efisien dalam lingkungan yang sudah terbiasa (dikenal). Ini meliputi mengajar teknik bagaimana ia sampai ke tujuan selancar mungkin, tanpa menabrak benda yang ada di depannya, tersandung atau terluka. Lebih khusus lagi, tunanetra akan mendapatkan teknikteknik bagaimana mengikuti garis pembimbing, berjalan

TEKNIK PENDAMPING AWAS

TEKNIK PENDAMPING AWAS TEKNIK PENDAMPING AWAS Oleh: Djadja Rahardja JURUSAN PENDIDIKAN LUAR BIASA FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA A. TUJUAN Setelah menyelesaikan Unit 1 ini, anda diharapkan dapat: 1.

Lebih terperinci

TEHNIK MOBILITAS DAN STRATEGI LAYANAN IRHAM HOSBI PLB FIP UPI

TEHNIK MOBILITAS DAN STRATEGI LAYANAN IRHAM HOSBI PLB FIP UPI TEHNIK MOBILITAS DAN STRATEGI LAYANAN IRHAM HOSBI PLB FIP UPI DIKLAT PROGRAM KHUSUS ORIENTASI DAN MOBILITAS Hotel BMI Lembang, 12 19 Maret 2010 BPPTKPLB Dinas Pendidiian Provinsi Jawa Barat Di dalam melakukan

Lebih terperinci

Orientasi dan Mobilitas

Orientasi dan Mobilitas Orientasi dan Mobilitas Sari Rudiyati (email: sari_rudiati@uny.ac.id) Rafika Rahmawati (email: ) Orientasi Suatu proses penggunaan semua indera yang masih ada untuk menentukan posisi seseorang terhadap

Lebih terperinci

MODEL SILABUS. Standar Kompetensi : 1. Memahami gambaran konsep tubuh dengan benar berikut lokasi, dan fungsi serta gerakannya.

MODEL SILABUS. Standar Kompetensi : 1. Memahami gambaran konsep tubuh dengan benar berikut lokasi, dan fungsi serta gerakannya. MODEL SILABUS Satuan Pendidikan : Sekolah Dasar Luar Biasa Tunanetra (SDLB-A) Mata Pelajaran : Orientasi dan Mobilitas Standar Kompetensi : 1. Memahami gambaran konsep tubuh dengan benar berikut lokasi,

Lebih terperinci

PRAKTEK BERGERAK DILINGKUNGAN SEKTAR SEKOLAH DAN UMUM

PRAKTEK BERGERAK DILINGKUNGAN SEKTAR SEKOLAH DAN UMUM PRAKTEK BERGERAK DILINGKUNGAN SEKTAR SEKOLAH DAN UMUM Irham Hosni PLB FIP UPI PELATIHAN PROGRAM KHUSUS ORIENTASI DAN MOBILITAS Hotel BMI Lembang, 12 19 Maret 2010 BPPTKPLB Dinas Pendidikan Provinsi Jawa

Lebih terperinci

IRHAM HOSNI PLB FIP UPI

IRHAM HOSNI PLB FIP UPI ORIENTASI DAN MOBILITAS IRHAM HOSNI PLB FIP UPI Standar Kompetensi Orientasi dan Mobilitas di SDLB adalah: Siswa trampil dan mandiri dalam bepergian dilingkungan terbatas dekat sekolah yang sudah dikenal

Lebih terperinci

ORIENTASI DAN MOBILITAS (O&M)

ORIENTASI DAN MOBILITAS (O&M) ORIENTASI DAN MOBILITAS (O&M) SEBAGAI SALAH SATU KETERAMPILAN KOMPENSATORIS BAGI TUNANETRA OLEH: DJADJA RAHARDJA JURUSAN PENDIDIKAN LUAR BIASA FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

Lebih terperinci

Berbagai Bentuk dan Kombinasi Gerak Dasar Anak Usia dini

Berbagai Bentuk dan Kombinasi Gerak Dasar Anak Usia dini Berbagai Bentuk dan Kombinasi Gerak Dasar Anak Usia dini Berbagai Gerakan Dasar BEBERAPA MACAM GERAKAN DASAR DAN VARIASINYA,YAITU; BERBARING, DUDUK, BERDIRI, BERJALAN, BERLARI, MENDAKI, MELONCAT DAN BERJINGKAT,

Lebih terperinci

1 Asimetri Kemampuan usia 4 bulan. selalu meletakkan pipi ke alas secara. kedua lengan dan kepala tegak, dan dapat

1 Asimetri Kemampuan usia 4 bulan. selalu meletakkan pipi ke alas secara. kedua lengan dan kepala tegak, dan dapat Perkembangan gerakan kasar Bulan Pencapaian Titik Pencapaian 1 Asimetri Kemampuan usia 4 bulan 2 Setengah miring jika dalam posisi tengkurap, selalu meletakkan pipi ke alas secara bergantian disebut titik

Lebih terperinci

INSTRUMEN OBSERVASI PENILAIAN FUNGSI KESEIMBANGAN (SKALA KESEIMBANGAN BERG) Deskripsi Tes Skor (0-4) 1. Berdiri dari posisi duduk

INSTRUMEN OBSERVASI PENILAIAN FUNGSI KESEIMBANGAN (SKALA KESEIMBANGAN BERG) Deskripsi Tes Skor (0-4) 1. Berdiri dari posisi duduk INSTRUMEN OBSERVASI PENILAIAN FUNGSI KESEIMBANGAN (SKALA KESEIMBANGAN BERG) Deskripsi Tes Skor (0-4) 1. Berdiri dari posisi duduk 2. Berdiri tanpa bantuan 3. Duduk tanpa bersandar dengan kaki bertumpu

Lebih terperinci

Kemampuan mobilitas yang tinggi dalam segala aspek kehidupan. merupakan dambaan setiap individu tidak terkecuali mereka yang menyandang

Kemampuan mobilitas yang tinggi dalam segala aspek kehidupan. merupakan dambaan setiap individu tidak terkecuali mereka yang menyandang A. Pendahuluan Kemampuan mobilitas yang tinggi dalam segala aspek kehidupan merupakan dambaan setiap individu tidak terkecuali mereka yang menyandang ketunanetraan. Bagi orang awas, kemampuan mobilitas

Lebih terperinci

Oleh Zikril Hakim Jurusan Pendidikan Luar Biasa,Universitas Negeri Yogyakarta

Oleh Zikril Hakim Jurusan Pendidikan Luar Biasa,Universitas Negeri Yogyakarta Pelaksanaan Teknik Melawat (Zikril Hakim) 159 PELAKSANAAN TEKNIK MELAWAT DENGAN PENDAMPING AWAS BAGI MAHASISWA TUNANETRA DI FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA IMPLEMENTATION OF SIGHTED

Lebih terperinci

MAKALAH KONSEP DASAR ORIENTASI DAN MOBILITAS. Oleh: DJADJA RAHARDJA AHMAD NAWAWI

MAKALAH KONSEP DASAR ORIENTASI DAN MOBILITAS. Oleh: DJADJA RAHARDJA AHMAD NAWAWI MAKALAH KONSEP DASAR ORIENTASI DAN MOBILITAS Oleh: DJADJA RAHARDJA AHMAD NAWAWI JURUSAN PENDIDIKAN LUAR BIASA FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA 2010 1. Orientasi KONSEP DASAR ORIENTASI

Lebih terperinci

BAB II PENGAJARAN KETERAMPILAN PENGGUNAAN TONGKAT OLEH GURU ORIENTASI DAN MOBILITAS (O&M) PADA SISWA TUNANETRA

BAB II PENGAJARAN KETERAMPILAN PENGGUNAAN TONGKAT OLEH GURU ORIENTASI DAN MOBILITAS (O&M) PADA SISWA TUNANETRA BAB II PENGAJARAN KETERAMPILAN PENGGUNAAN TONGKAT OLEH GURU ORIENTASI DAN MOBILITAS (O&M) PADA SISWA TUNANETRA A. Orientasi dan Mobilitas (O&M) Orientasi dan mobilitas merupakan suatu keterampilan yang

Lebih terperinci

PENGERTIAN Cara yg digunakan untuk mempelajari suatu keterampilan motorik sangat berpengaruh terhadap kualitas keterampilan yg dipelajari. Meskipun se

PENGERTIAN Cara yg digunakan untuk mempelajari suatu keterampilan motorik sangat berpengaruh terhadap kualitas keterampilan yg dipelajari. Meskipun se CARA MEMPELAJARI KETERAMPILAN MOTORIK PENGERTIAN Cara yg digunakan untuk mempelajari suatu keterampilan motorik sangat berpengaruh terhadap kualitas keterampilan yg dipelajari. Meskipun semua cara mampu

Lebih terperinci

LAMPIRAN 1. INSTRUMEN PENELITIAN Test of Gross Motor Development 2 (TGMD-2)

LAMPIRAN 1. INSTRUMEN PENELITIAN Test of Gross Motor Development 2 (TGMD-2) LAMPIRAN 1 INSTRUMEN PENELITIAN Test of Gross Motor Development 2 (TGMD-2) Tes ini memiliki total 12 keterampilan. Untuk 6 keterampilan pertama saya akan meminta anak untuk berpindahdarisatutempatketempat

Lebih terperinci

PERATURAN BARIS BERBARIS

PERATURAN BARIS BERBARIS PERATURAN BARIS BERBARIS 1. Pengertian Baris Berbaris Suatu wujud fisik yang diperlukan untuk menanamkan kebiasaan tata cara hidup suatu organisasi masyarakat yang diarahkan kepada terbentuknya perwatakan

Lebih terperinci

CONTOH SOAL TES TORI SIM C (PART 1)

CONTOH SOAL TES TORI SIM C (PART 1) CONTOH SOAL TES TORI SIM C (PART 1) 1. Fungsi Marka jalan adalah : a. Untuk memberi batas jalan agar jalan terlihat jelas oleh pemakai jalan Yang sedang berlalu lintas dijalan. b. Untuk menambah dan mengurangi

Lebih terperinci

AKSISIBILITAS LINGKUNGAN FISIK BAGI PENYANDANG CACAT

AKSISIBILITAS LINGKUNGAN FISIK BAGI PENYANDANG CACAT AKSISIBILITAS LINGKUNGAN FISIK BAGI PENYANDANG CACAT Upaya Menciptakan Fasilitas Umum Dan Lingkungan Yang Aksesibel demi Kesamaan Kesempatan bagi Penyandang Cacat untuk Hidup Mandiri dan Bermasyarakat

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI DAN HIPOTESIS TINDAKAN. pemberi bola kepada si pemukul. Namun pada permaianan kippers si pemukul

BAB II KAJIAN TEORI DAN HIPOTESIS TINDAKAN. pemberi bola kepada si pemukul. Namun pada permaianan kippers si pemukul BAB II KAJIAN TEORI DAN HIPOTESIS TINDAKAN 2.1 Kajian Teoritis. 2.1.1 Hakikat Permainan Kippers Pada dasarnya permaianan kippers sama dengan permainan kasti, baik dari segi teknik melempar, menangkap,

Lebih terperinci

MELATIH ANJING HERDER (bagian pertama) Oleh : Susila Sujarwo*)

MELATIH ANJING HERDER (bagian pertama) Oleh : Susila Sujarwo*) MELATIH ANJING HERDER (bagian pertama) Oleh : Susila Sujarwo*) Keberhasilan melatih anak anjing herder tergantung dari anjing-anjing yang dilatih dan faktor pelatihnya (kasih sayang, perhatian dan waktu).

Lebih terperinci

ORIENTASI DAN MOBILITAS TUNANETRA INSTRUMEN PRAKTIK PENGALAMAN LAPANGAN (PPL) Oleh Ahmad Nawawi

ORIENTASI DAN MOBILITAS TUNANETRA INSTRUMEN PRAKTIK PENGALAMAN LAPANGAN (PPL) Oleh Ahmad Nawawi ORIENTASI DAN MOBILITAS TUNANETRA INSTRUMEN PRAKTIK PENGALAMAN LAPANGAN (PPL) Oleh Ahmad Nawawi JURUSAN PENDIDIKAN LUAR BIASA FIP UPI BANDUNG 2010 INSTRUMEN PRAKTIK PENGALAMAN LAPANGAN (PPL) DATA KELAYAN

Lebih terperinci

PRINSIP DAN PENGEMBANGAN KETERAMPILAN ORIENTASI BAGI TUNANETRA Irham Hosni

PRINSIP DAN PENGEMBANGAN KETERAMPILAN ORIENTASI BAGI TUNANETRA Irham Hosni PRINSIP DAN PENGEMBANGAN KETERAMPILAN ORIENTASI BAGI TUNANETRA Irham Hosni Dosen Jurusan PLB Direktur Puslatnas OM PLB UPI DISAMPAIKAN PADA DIKLAT PROGRAM KHUSUS ORIENTAS DAN MOBILITAS Hotel BMI Lembang,

Lebih terperinci

BAB VIII RENANG. 150 Kelas X SMA/MA/SMK/MAK

BAB VIII RENANG. 150 Kelas X SMA/MA/SMK/MAK BAB VIII RENANG 150 Kelas X SMA/MA/SMK/MAK Olahraga renang merupakan alat pembelajaran Pendidikan Jasmani Olahraga dan Kesehatan, juga merupakan upaya mempelajari manusia bergerak. Pilih salah satu gaya

Lebih terperinci

ANGKA UKUR. Angka ukur diletakan di tengah-tengah garis ukur. Angka ukur tidak boleh dipisahkan oleh garis gambar. Jadi boleh ditempatkan dipinggir.

ANGKA UKUR. Angka ukur diletakan di tengah-tengah garis ukur. Angka ukur tidak boleh dipisahkan oleh garis gambar. Jadi boleh ditempatkan dipinggir. PEMBERIAN UKURAN ANGKA UKUR Angka ukur diletakan di tengah-tengah garis ukur. Angka ukur tidak boleh dipisahkan oleh garis gambar. Jadi boleh ditempatkan dipinggir. ANGKA UKUR Jika angka ukur ditempatkan

Lebih terperinci

Peta Konsep GERAK RITMIK

Peta Konsep GERAK RITMIK Gerak Ritmik Apakah kamu tahu tentang senam aerobik? Senam aerobik termasuk salah satu senam ritmik. Senam aerobik biasanya diiringi dengan musik dan dipandu oleh instruktur. Mengapa banyak orang yang

Lebih terperinci

PANDUAN PELAKSANAAN KURIKULUM PENDIDIKAN KHUSUS

PANDUAN PELAKSANAAN KURIKULUM PENDIDIKAN KHUSUS S PANDUAN PELAKSANAAN KURIKULUM PENDIDIKAN KHUSUS PROGRAM KHUSUS: ORIENTASI DAN MOBILITAS SEKOLAH DASAR LUAR BIASA TUNANETRA (SDLB-A) DIREKTORAT PEMBINAAN SEKOLAH LUAR BIASA DIREKTORAT JENDERAL MANEJEMEN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Putri Shalsa Novita, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Putri Shalsa Novita, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan merupakan rancangan kegiatan yang paling banyak berpengaruh terhadap perubahan perilaku seseorang dan masyarakat luas. Menurut UU Sisdiknas tahun

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. ini, belajar adalah merupakan salah satu proses suatu kegiatan dan bukan suatu hasil atau hasil

TINJAUAN PUSTAKA. ini, belajar adalah merupakan salah satu proses suatu kegiatan dan bukan suatu hasil atau hasil II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Belajar Mengajar Hampir para ahli telah mencoba merumuskan dan membuat tafsirannya tentang belajar. Belajar adalah modifikasi atau memperteguhkan kelakuan melalui pengalaman.

Lebih terperinci

KINEMATIKA GERAK LURUS 1

KINEMATIKA GERAK LURUS 1 KINEMATIKA GERAK LURUS 1 Gerak Perhatikan kedudukan benda-benda di sekitarmu yang selalu berubah. Misalnya, teman-temanmu yang hilir mudik di halaman sekolah, mobil atau motor yang melaju di jalan raya,

Lebih terperinci

LAMPIRAN 1. SURAT PERSETUJUAN PENELITIAN

LAMPIRAN 1. SURAT PERSETUJUAN PENELITIAN LAMPIRAN 1. SURAT PERSETUJUAN PENELITIAN 77 78 2. BERG BALANCE SCALE (BBS) Berg Balance Scale (BBS) dikembangkan untuk mengukur keseimbangan di antara orang tua dengan gangguan fungsi keseimbangan dengan

Lebih terperinci

PERMAINAN MENUJU CABANG OLAHRAGA SOFTBALL

PERMAINAN MENUJU CABANG OLAHRAGA SOFTBALL Permainan up PERMAINAN MENUJU CABANG OLAHRAGA SOFTBALL Tujuan: Melatih keterampilan melempar dan menangkap dari atas kepala dan samping badan. Peralatan: Satu bola softball perpasang, satu glove softball

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORITIS DAN DAN HIPOTESIS TINDAKAN. beregu. Permainan kasti dimainkan dilapangan terbuka. Jika ingin menguasai

BAB II KAJIAN TEORITIS DAN DAN HIPOTESIS TINDAKAN. beregu. Permainan kasti dimainkan dilapangan terbuka. Jika ingin menguasai 7 BAB II KAJIAN TEORITIS DAN DAN HIPOTESIS TINDAKAN 2.1 Kajian Teoritis 2.1.1 Hakikat Permainan Kasti Permainan kasti termasuk salah satu olahraga permainan bola kecil beregu. Permainan kasti dimainkan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM 61 TAHUN 1993 TENTANG RAMBU-RAMBU LALU LINTAS DI JALAN MENTERI PERHUBUNGAN,

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM 61 TAHUN 1993 TENTANG RAMBU-RAMBU LALU LINTAS DI JALAN MENTERI PERHUBUNGAN, KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM 61 TAHUN 1993 TENTANG RAMBU-RAMBU LALU LINTAS DI JALAN MENTERI PERHUBUNGAN, Menimbang : a. bahwa dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1993 tentang Prasarana

Lebih terperinci

Manfaat Deteksi Dini. Tumbuh Kembang Anak SERI BACAAN ORANG TUA

Manfaat Deteksi Dini. Tumbuh Kembang Anak SERI BACAAN ORANG TUA 03 SERI BACAAN ORANG TUA Manfaat Deteksi Dini Tumbuh Kembang Anak Direktorat Pembinaan Pendidikan Anak Usia Dini Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini Nonformal dan Informal Kementerian Pendidikan

Lebih terperinci

DINAMIKA PARTIKEL KEGIATAN BELAJAR 1. Hukum I Newton. A. Gaya Mempengaruhi Gerak Benda

DINAMIKA PARTIKEL KEGIATAN BELAJAR 1. Hukum I Newton. A. Gaya Mempengaruhi Gerak Benda KEGIATAN BELAJAR 1 Hukum I Newton A. Gaya Mempengaruhi Gerak Benda DINAMIKA PARTIKEL Mungkin Anda pernah mendorong mobil mainan yang diam, jika dorongan Anda lemah mungkin mobil mainan belum bergerak,

Lebih terperinci

MODEL PERMAINAN UNTUK ANAK USIA 11 TAHUN (13 Model Permainan)

MODEL PERMAINAN UNTUK ANAK USIA 11 TAHUN (13 Model Permainan) MODEL PERMAINAN UNTUK ANAK USIA 11 TAHUN (13 Model Permainan) A. Permainan Target (usia 11) 1. Permainan melempar bola diantara 2 kerucut/botol secara berpasangan Permainan melempar bola diantara 2 kerucut

Lebih terperinci

Dari pengertian WHO diatas tentang Low Vision dapat ditangkap hal sebagai berikut:

Dari pengertian WHO diatas tentang Low Vision dapat ditangkap hal sebagai berikut: A. Pokok-Pokok Perkuliahan Low Vision Oleh Drs. Ahmad Nawawi Sub-sub Pokok Bahasan : 1. Definisi dan Prevalensi 2. Ciri-ciri Anak Low Vision 3. Klasifikasi Low Vision 4. Latihan Pengembangan Penglihatan

Lebih terperinci

TUGAS TUTORIAL III MATA KULIAH METODE PENGEMANGAN FISIK TUTOR ; DIAN BUDIANA, M.PD.

TUGAS TUTORIAL III MATA KULIAH METODE PENGEMANGAN FISIK TUTOR ; DIAN BUDIANA, M.PD. TUGAS TUTORIAL III MATA KULIAH METODE PENGEMANGAN FISIK TUTOR ; DIAN BUDIANA, M.PD. 1. Dasar dari keterampilan motorik anak adalah A. Bahasa B. Bernyanyi C. Menari D. Gerak 2. Salah satu cara untuk mengembangkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1-1 Universitas Kristen Maranatha

BAB 1 PENDAHULUAN. 1-1 Universitas Kristen Maranatha BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada dasarnya ruang kuliah yang digunakan untuk sarana penunjang dalam proses belajar mengajar antara dosen dan mahasiswa adalah sarana yang sangat penting,

Lebih terperinci

II. Deskripsi Kondisi Anak

II. Deskripsi Kondisi Anak I. Kondisi Anak 1. Apakah Anak Ibu/ Bapak termasuk mengalami kelainan : a. Tunanetra b. Tunarungu c. Tunagrahita d. Tunadaksa e. Tunalaras f. Tunaganda g. Kesulitan belajar h. Autisme i. Gangguan perhatian

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. mendorong, membimbing mengembangkan dan membina kemampuan

II. TINJAUAN PUSTAKA. mendorong, membimbing mengembangkan dan membina kemampuan 6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pendidikan Jasmani di Sekolah Dasar Pendidikan Jasmani adalah suatu proses pendidikan yang diarahkan untuk mendorong, membimbing mengembangkan dan membina kemampuan jasmaniah

Lebih terperinci

RINGKASAN MATERI. Pengembangan gerak dasar adalah merupakan suatu proses untuk memperoleh gerak yang senantiasa berkembang berdasarkan :

RINGKASAN MATERI. Pengembangan gerak dasar adalah merupakan suatu proses untuk memperoleh gerak yang senantiasa berkembang berdasarkan : RINGKASAN MATERI A. Pola Gerak Dasar Anak Usia Dini Pengembangan gerak dasar adalah merupakan suatu proses untuk memperoleh gerak yang senantiasa berkembang berdasarkan : 1. Proses pengembangan syaraf

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORITIS DAN PENGAJUAN HIPOTESIS. permainan kasti dengan baik, maka harus menguasai teknik-teknik dasarnya.

BAB II KAJIAN TEORITIS DAN PENGAJUAN HIPOTESIS. permainan kasti dengan baik, maka harus menguasai teknik-teknik dasarnya. BAB II KAJIAN TEORITIS DAN PENGAJUAN HIPOTESIS 2.1. KAJIAN TEORI 2.1.1. Hakekat Permainan Kasti Permainan kasti termasuk salah satu olahraga permainan bola kecil beregu. Permainan kasti dimainkan dilapangan

Lebih terperinci

Virtual Reality. Abstrak

Virtual Reality. Abstrak Virtual Reality Fauzan Azmi azmifauzan@gmail.com http://www.azmifauzan.web.id Abstrak Secara sederhana, virtual reality adalah pemunculan gambar-gambar tiga dimensi yang dibangkitkan komputer, yang terlihat

Lebih terperinci

terdiri dari Langkah Berirama terdiri dari Latihan Gerak Berirama Senam Kesegaran Jasmani

terdiri dari Langkah Berirama terdiri dari Latihan Gerak Berirama Senam Kesegaran Jasmani Gerak Berirama Gerak berirama disebut juga gerak ritmik. Gerak ini dilakukan dalam gerakan dasar di tempat. Contoh dari gerakan yang berirama adalah gerak jalan, menekuk, mengayun, dan sebagainya. Ayo

Lebih terperinci

Jenis dan Sifat Gelombang

Jenis dan Sifat Gelombang Jenis dan Sifat Gelombang Gelombang Transversal, Gelombang Longitudinal, Gelombang Permukaan Gelombang Transversal Gelombang transversal merupakan gelombang yang arah pergerakan partikel pada medium (arah

Lebih terperinci

GERAK LURUS. * Perpindahan dari x 1 ke x 2 = x 2 - x 1 = 7-2 = 5 ( positif ) * Perpindahan dari x 1 ke X 3 = x 3 - x 1 = -2 - ( +2 ) = -4 ( negatif )

GERAK LURUS. * Perpindahan dari x 1 ke x 2 = x 2 - x 1 = 7-2 = 5 ( positif ) * Perpindahan dari x 1 ke X 3 = x 3 - x 1 = -2 - ( +2 ) = -4 ( negatif ) Gerak Lurus 21 GERAK LURUS Suatu benda melakukan gerak, bila benda tersebut kedudukannya (jaraknya) berubah setiap saat terhadap titik asalnya ( titik acuan ). Sebuah benda dikatakan bergerak lurus, jika

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN Dari hasil penelitian yang telah didapat di lapangan, dan sebagaimana yang sudah diuraikan dalam pembahasan BAB IV, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN KONSEP PADA TUNANETRA. Juang Sunanto

PENGEMBANGAN KONSEP PADA TUNANETRA. Juang Sunanto PENGEMBANGAN KONSEP PADA TUNANETRA Juang Sunanto A. Pendahuluan Menurut Lowenfeld ketunanetraan mengakibatkan tiga keterbatasan yaitu (1) dalam luasnya dan variasi pengalaman (konsep), (2) kemampuan untuk

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN Metode penelitian sangat dibutuhkan karena bertujuan untuk memecahkan suatu masalah yang diteliti tersebut, agar apa yang diharapkan dapat tercapai. Metode yang digunakan dalam

Lebih terperinci

Kecakapan Antar Personal

Kecakapan Antar Personal Kecakapan Antar Personal Essay Sopan santun dalam Komunikasi Oleh : Andrian Ramadhan Febriana 10512318 Sistem Informasi 8 Berkomunikasi merupakan salah satu faktor penting dalam melaksanakan kehidupan

Lebih terperinci

USAHA, ENERGI & DAYA

USAHA, ENERGI & DAYA USAHA, ENERGI & DAYA (Rumus) Gaya dan Usaha F = gaya s = perpindahan W = usaha Θ = sudut Total Gaya yang Berlawanan Arah Total Gaya yang Searah Energi Kinetik Energi Potensial Energi Mekanik Daya Effisiensi

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Ergonomi Ergonomi adalah ilmu yang menemukan dan mengumpulkan informasi tentang tingkah laku, kemampuan, keterbatasan, dan karakteristik manusia untuk perancangan mesin, peralatan,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. maupun untuk putri. Unsur fisik yang diperlukan dalam nomor tolak ini adalah

II. TINJAUAN PUSTAKA. maupun untuk putri. Unsur fisik yang diperlukan dalam nomor tolak ini adalah 9 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Prestasi Lempar Lembing Lempar lembing merupakan salah satu nomor pada cabang olahraga atletik yang diperlombakan dalam perlombaan nasional maupun internasional, baik untuk putra

Lebih terperinci

138 Ilmu Pengetahuan Alam SMP dan MTs Kelas VII

138 Ilmu Pengetahuan Alam SMP dan MTs Kelas VII Gerak Lurus 137 138 Ilmu Pengetahuan Alam SMP dan MTs Kelas VII V Gerak Lurus Jika kamu berada di dalam mobil yang sedang berjalan dan memandang sebuah pohon di pinggir jalan, kamu akan melihat seolah-olah

Lebih terperinci

OLAHRAGA PILIHAN SEPAKTAKRAW

OLAHRAGA PILIHAN SEPAKTAKRAW BAHAN AJAR MATA KULIAH OLAHRAGA PILIHAN SEPAKTAKRAW Oleh Drs. H. M. Husni Thamrin, M.Pd Disampaikan untuk memenuhi tugas mandiri dalam rangka Pelatihan APPLIED APPROACH (AA) Universitas Negeri Yogyakarta

Lebih terperinci

Pendidikan Jasmani Olahraga dan Kesehatan

Pendidikan Jasmani Olahraga dan Kesehatan May Sumarya Eso Suwarso Pendidikan Jasmani Olahraga dan Kesehatan 2 Untuk Sekolah Dasar Kelas II i Hak Cipta buku ini pada Kementerian Pendidikan Nasional. Dilindungi Undang-undang. Pendidikan Jasmani

Lebih terperinci

BAB 3 PERANCANGAN SISTEM

BAB 3 PERANCANGAN SISTEM BAB 3 PERANCANGAN SISTEM Bab ini berisi pembahasan mengenai perancangan terhadap sistem yang akan dibuat. Dalam merancang sebuah sistem, dilakukan beberapa pendekatan dan analisis mengenai sistem yang

Lebih terperinci

KONSEP DASAR BIMBINGAN JASMANI ADAPTIF BAGI TUNANETRA. Irham Hosni PLB FIP UPI

KONSEP DASAR BIMBINGAN JASMANI ADAPTIF BAGI TUNANETRA. Irham Hosni PLB FIP UPI KONSEP DASAR BIMBINGAN JASMANI ADAPTIF BAGI TUNANETRA Irham Hosni PLB FIP UPI A. Modifikasi Pembelajaran TUNANETRA Dalam merancang pembelajaran atau Bimbingan Rehabilitasi Tunanetra maka kita harus menemukan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Ergonomi Kata ergonomi berasal dari bahasa Yunani: ergon (kerja) dan nomos (peraturan, hukum). Ergonomi adalah penerapan ilmu ilmu biologis tentang manusia bersama

Lebih terperinci

Pada olahraga softball, bola dilempar dari bawah ke atas. Sedangkan Baseball dari atas lurus ke arah pemukul (Batter)

Pada olahraga softball, bola dilempar dari bawah ke atas. Sedangkan Baseball dari atas lurus ke arah pemukul (Batter) Mengenal Olahraga Softball Olahraga softball yang berasal dari Amerika, adalah salah satu cabang yang termasuk baru diperkenalkan di Indonesia. Sehingga umumnya beberapa orang belum terlalu mengenal dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian ini dilatarbelakangi munculnya fenomena anak autis yang menempuh pendidikan di lembaga pendidikan umum selayaknya anak normal atau bahkan banyak dari

Lebih terperinci

Kritik dan saran yang bersifat membangun dari para pemakai buku ini sangat kami harapkan untuk penyempurnaan bahan ajar ini. Cisarua, Maret 2009

Kritik dan saran yang bersifat membangun dari para pemakai buku ini sangat kami harapkan untuk penyempurnaan bahan ajar ini. Cisarua, Maret 2009 Kata Pengantar Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena dengan rahmat dan perkenan-nya kami dapat menghadirkan bahan ajar yang disusun berdasarkan pada Standar Isi tahun 2006

Lebih terperinci

PERATURAN BARIS BARIS (P.B.B) ( Bag. I )

PERATURAN BARIS BARIS (P.B.B) ( Bag. I ) PERATURAN BARIS BARIS (P.B.B) ( Bag. I ) Peraturan Baris Berbaris yang digunakan di lingkungan Pramuka ada dua macam yakni Baris berbaris menggunakan tongkat dan tanpa tongkat. Untuk baris berbaris menggunakan

Lebih terperinci

Kritik dan saran yang bersifat membangun dari para pemakai buku ini sangat kami harapkan untuk penyempurnaan bahan ajar ini. Cisarua, Maret 2009

Kritik dan saran yang bersifat membangun dari para pemakai buku ini sangat kami harapkan untuk penyempurnaan bahan ajar ini. Cisarua, Maret 2009 Kata Pengantar Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena dengan rahmat dan perkenan-nya kami dapat menghadirkan bahan ajar yang disusun berdasarkan pada Standar Isi tahun 2006

Lebih terperinci

Main balet pakai fisika yuuk

Main balet pakai fisika yuuk Main balet pakai fisika yuuk Pada bulan April 1999 yang lalu penulis mengikuti suatu pertemuan fisika terbesar abad 20 di World Conggress Building Atlanta Amerika Serikat. Dalam pertemuan yang dihadiri

Lebih terperinci

BAB II TUNANETRA (LOW VISION)

BAB II TUNANETRA (LOW VISION) BAB II TUNANETRA (LOW VISION) 2.1. Difabel. Difabel adalah sekelompok masyarakat yang memiliki kemampuan yang berbeda dengan masyarakat non-difabel, ada yang memiliki kelaianan pada fisiknya saja, ada

Lebih terperinci

Latihan I IMPULS MOMENTUM DAN ROTASI

Latihan I IMPULS MOMENTUM DAN ROTASI Latihan I IMPULS MOMENTUM DAN ROTASI 1. Bola bergerak jatuh bebas dari ketinggian 1 m lantai. Jika koefisien restitusi = ½ maka tinggi bola setelah tumbukan pertama A. 50 cm B. 25 cm C. 2,5 cm D. 12,5

Lebih terperinci

SIKAP HORMAT DAN TEGAK

SIKAP HORMAT DAN TEGAK SIKAP HORMAT DAN TEGAK Sikap tegak yang digunakan untuk menghormati kawan maupun lawan. Posisi sikap hormat adalah badan tegap, kaki rapat tangan di depan dada terbuka dan rapat dengan jari-jari tangan

Lebih terperinci

MEMASANG KONSTRUKSI BATU BATA BENTUK BUSUR

MEMASANG KONSTRUKSI BATU BATA BENTUK BUSUR MEMASANG KONSTRUKSI BATU BATA BENTUK BUSUR BAG- TKB.004.A-86 28 JAM Penyusun : TIM FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA DIREKTORAT PENDIDIKAN MENENGAH KEJURUAN DIREKTORAT JENDERAL PENDIDIKAN DASAR

Lebih terperinci

PANDUAN PELASANAAN KURIKULUM PENDIDIKAN KHUSUS

PANDUAN PELASANAAN KURIKULUM PENDIDIKAN KHUSUS PANDUAN PELASANAAN KURIKULUM PENDIDIKAN KHUSUS PROGRAM KHUSUS : ORIENTASI DAN MOBILITAS SEKOLAH MENENGAH PERTAMA LUAR BIASA TUNANETRA (SMPLB-A) DIREKTORAT PEMBINAAN SEKOLAH LUAR BIASA DIREKTORAT JENDERAL

Lebih terperinci

Analisis Fungsi Organ-organ Penginderaan dan Pengembangannya bagi Individu Tunanetra

Analisis Fungsi Organ-organ Penginderaan dan Pengembangannya bagi Individu Tunanetra Analisis Fungsi Organ-organ Penginderaan dan Pengembangannya bagi Individu Tunanetra I. Pendahuluan Benarkah?: 1) Bila orang kehilangan penglihatannya, maka hilang pulalah semua persepsinya. 2) Secara

Lebih terperinci

PEMBERIAN UKURAN DIMENSI

PEMBERIAN UKURAN DIMENSI PEMBERIAN UKURAN DIMENSI Dodi Sofyan Arief, ST., MT 17 Desember 2008 Tujuan Pembelajaran : Menggunakan teknik-teknik pemeberian dimensi untuk menguraikan dan bentuk secara baik pada gambar teknik. Membuat

Lebih terperinci

: LANTAI PERINGKAT 1

: LANTAI PERINGKAT 1 : LANTAI PERINGKAT 1 1. Roll belakang dengan lengan dan kaki bengkok berakhir di posisi berdiri kangkang, badan horisontal dengan kedua lengan horisontal ke samping. Tahan 2 detik. 2. Tempatkan kedua tangan

Lebih terperinci

Perseptual motorik pada dasarnya merujuk pada aktivitas yang dilakukan. dengan maksud meningkatkan kognitif dan kemampuan akademik.

Perseptual motorik pada dasarnya merujuk pada aktivitas yang dilakukan. dengan maksud meningkatkan kognitif dan kemampuan akademik. Mata Kuliah Kode Mata Kuliah : IOF 220 : Perkembangan Motorik Materi 9: Peseptual Motorik HAKIKAT PERSEPTUAL MOTORIK Perseptual motorik pada dasarnya merujuk pada aktivitas yang dilakukan dengan maksud

Lebih terperinci

Pedoman Identifikasi Anak Autis. Sukinah jurusan PLB FIP UNY

Pedoman Identifikasi Anak Autis. Sukinah jurusan PLB FIP UNY Pedoman Identifikasi Anak Autis Sukinah jurusan PLB FIP UNY Adanya gangguan dalam berkomunikasi verbal maupun non-verbal Terlambat bicara Tidak ada usaha untuk berkomunikasi Meracau dengan bahasa yang

Lebih terperinci

KERANGKA ACUAN KEGIATAN PROSEDUR SENAM LANSIA

KERANGKA ACUAN KEGIATAN PROSEDUR SENAM LANSIA KERANGKA ACUAN KEGIATAN PROSEDUR SENAM LANSIA Pendahuluan Usia lanjut atau lanjut usia bukanlah merupakan suatu penyakit, meskipun hal tersebut dapat menimbulkan masalah sosial. Di beberapa negara, terutama

Lebih terperinci

機車標誌 標線 號誌是非題 印尼文 第 1 頁 / 共 15 頁 題號答案題目圖示題目. 001 X Tikungan beruntun, ke kiri dahulu. 002 O Persimpangan jalan. 003 X Permukaan jalan yang menonjol

機車標誌 標線 號誌是非題 印尼文 第 1 頁 / 共 15 頁 題號答案題目圖示題目. 001 X Tikungan beruntun, ke kiri dahulu. 002 O Persimpangan jalan. 003 X Permukaan jalan yang menonjol 001 X Tikungan beruntun, ke kiri dahulu 002 O Persimpangan jalan 003 X Permukaan jalan yang menonjol 004 O Turunan berbahaya 005 O Jembatan sempit 006 O Bundaran 007 X alan sempit 008 O Rel kereta api

Lebih terperinci

Latihan Kekuatan Otot Tubuh Bagian Atas

Latihan Kekuatan Otot Tubuh Bagian Atas Latihan Kekuatan Otot Tubuh Bagian Atas Kekuatan otot adalah tenaga, gaya, atau tegangan yang dapat dihasilkan oleh otot atau sekelompok otot pada suatu kontraksi dengan beban maksimal. Otot-otot tubuh

Lebih terperinci

TITIK BERAT DAN STABILITAS (CENTER OF GRAVITY DAN STABILITY)

TITIK BERAT DAN STABILITAS (CENTER OF GRAVITY DAN STABILITY) TITIK BERAT TITIK BERAT DAN STABILITAS (CENTER OF GRAVITY DAN STABILITY) Definisi titik berat Lokasi titik berat pada manusia STABILITAS DAN EQUILIBRIUM Faktor-faktor yang mempengaruhi stabilitas Prinsip-prinsip

Lebih terperinci

機車標誌 標線 號誌選擇題 印尼文 第 1 頁 / 共 12 頁 題號答案題目圖示題目. (1) Tikungan ke kanan (2) Tikungan ke kiri (3) Tikungan beruntun, ke kanan dahulu

機車標誌 標線 號誌選擇題 印尼文 第 1 頁 / 共 12 頁 題號答案題目圖示題目. (1) Tikungan ke kanan (2) Tikungan ke kiri (3) Tikungan beruntun, ke kanan dahulu 001 1 (1) Tikungan ke kanan (2) Tikungan ke kiri (3) Tikungan beruntun, ke kanan dahulu 002 1 (1) Tikungan ke kiri (2) Tikungan ke kanan (3) Tikungan beruntun, ke kiri dahulu 003 1 (1) Tikungan beruntun,

Lebih terperinci

TUNA NETRA NUR INDAH PANGASTUTI

TUNA NETRA NUR INDAH PANGASTUTI TUNA NETRA NUR INDAH PANGASTUTI TUNANETRA Tunanetra adalah individu yang memiliki hambatan dalam penglihatan. tunanetra dapat diklasifikasikan kedalam dua golongan yaitu: buta total (Blind) dan low vision.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan adalah hal yang penting dan tidak dapat dipisahkan dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan adalah hal yang penting dan tidak dapat dipisahkan dari 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah hal yang penting dan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan. Pendidikan tidak hanya bertindak sebagai alat yang dapat meningkatkan kapasitas

Lebih terperinci

BENTUK-BENTUK LATIHAN MULTILATERAL

BENTUK-BENTUK LATIHAN MULTILATERAL BENTUK-BENTUK LATIHAN MULTILATERAL MANSUR@UNY.AC.ID KOORDINASI ANGGOTA BADAN Fokus: koordinasi anggota badan 1. Berdiri dengan kedua lengan lurus disamping. 2. Berdiri dengan koordinasi kedua lengan diputar

Lebih terperinci

Penempatan marka jalan

Penempatan marka jalan Penempatan marka jalan 1 Ruang lingkup Tata cara perencanaan marka jalan ini mengatur pengelompokan marka jalan menurut fungsinya, bentuk dan ukuran, penggunaan serta penempatannya. Tata cara perencanaan

Lebih terperinci

TEKNIK PASING BAWAH. Oleh : Sb Pranatahadi

TEKNIK PASING BAWAH. Oleh : Sb Pranatahadi TEKNIK PASING BAWAH Oleh : Sb Pranatahadi Teknik Pasing Bawah Dua Tangan Terima Servis Float Teknik pasing bawah dua tangan untuk terima servis float, dan untuk bertahan terhadap smes sangat berbeda. Bola

Lebih terperinci

Mata Diklat : Fisika Kelas : 1 MM Hari/Tanggal : Waktu :

Mata Diklat : Fisika Kelas : 1 MM Hari/Tanggal : Waktu : PEMERINTAH PROPINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA DINAS PENDIDIKAN MENENGAH DAN TINGGI SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN (SMK) NEGERI 6 JAKARTA Kelompok Bisnis dan Manajemen Jln. Prof. Jokosutono, SH. No.2A Kebayoran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menggunakan otot-ototnya untuk bergerak. Perubahan pada perilaku motorik

BAB I PENDAHULUAN. menggunakan otot-ototnya untuk bergerak. Perubahan pada perilaku motorik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan motorik merupakan proses belajar bagaimana tubuh menggunakan otot-ototnya untuk bergerak. Perubahan pada perilaku motorik dirasakan sepanjang daur kehidupan

Lebih terperinci

Pilihlah jawaban yang paling benar!

Pilihlah jawaban yang paling benar! Pilihlah jawaban yang paling benar! 1. Besarnya momentum yang dimiliki oleh suatu benda dipengaruhi oleh... A. Bentuk benda B. Massa benda C. Luas penampang benda D. Tinggi benda E. Volume benda. Sebuah

Lebih terperinci

Lompat jangkit ( Triple Jump ) 1

Lompat jangkit ( Triple Jump ) 1 Lompat Jangkit Lompat jangkit (triple jump), di Indonesia dalam perlombaan adalah (hop step jump) atau lompat jangkit. Dimana lompatan terdiri dari sebuah jingkat (hop), sebuah langkah (step), dan sebuah

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 13 TAHUN 2014 TENTANG RAMBU LALU LINTAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 13 TAHUN 2014 TENTANG RAMBU LALU LINTAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 13 TAHUN 2014 TENTANG RAMBU LALU LINTAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

LOMPAT JANGKIT. Dalam lompat jangkit ada 3 tahapan yang harus dilaksanakan yaitu : 1. Tahapan Hop ( Jingkat ) Design by R2 Bramistra

LOMPAT JANGKIT. Dalam lompat jangkit ada 3 tahapan yang harus dilaksanakan yaitu : 1. Tahapan Hop ( Jingkat ) Design by R2 Bramistra LOMPAT JANGKIT Definisi lompat jangkit : Lompat jangkit disebut juga lompat-lompat tiga, karena dilakukan dengan tiga lompatan yaitu jingkat (hop), langkah (step), lompat (jump) atau jingkat langkah lompat.

Lebih terperinci

A. Pendahuluan. Dalam cabang ilmu fisika kita mengenal MEKANIKA. Mekanika ini dibagi dalam 3 cabang ilmu yaitu :

A. Pendahuluan. Dalam cabang ilmu fisika kita mengenal MEKANIKA. Mekanika ini dibagi dalam 3 cabang ilmu yaitu : BAB VI KESEIMBANGAN BENDA TEGAR Standar Kompetensi 2. Menerapkan konsep dan prinsip mekanika klasik sistem kontinu dalam menyelesaikan masalah Kompetensi Dasar 2.1 Menformulasikan hubungan antara konsep

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (On-line), (29 Oktober 2016). 2

BAB I PENDAHULUAN. (On-line),  (29 Oktober 2016). 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengaruh era globalisasi di segala bidang kehidupan berbangsa dan bernegara di masa kini tidak dapat terelakkan dan sudah dirasakan akibatnya, hampir di semua negara,

Lebih terperinci

bab 1 gerak dasar kata kunci berjalan memutar melempar berlari mengayun menangkap melompat menekuk menendang

bab 1 gerak dasar kata kunci berjalan memutar melempar berlari mengayun menangkap melompat menekuk menendang bab 1 gerak dasar sumber www.sdialazhar14.wordpress.com tanggal 11 Juni 2009 kata kunci berjalan memutar melempar berlari mengayun menangkap melompat menekuk menendang meloncat menggiring setiap hari kamu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kurikulum, hal ini dilakukan mengingat kurikulum merupakan komponen inti

BAB I PENDAHULUAN. kurikulum, hal ini dilakukan mengingat kurikulum merupakan komponen inti BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu kebijakan umum pembangunan pendidikan indonesia adalah peningkatan mutu pendidikan. Perbaikan pendidikan biasanya dimulai dari kurikulum, hal ini

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. mengarah pada tujuan penelitian serta dapat dipertanggungjawabkan secara. pada ketepatan dalam penggunaan metode.

BAB III METODE PENELITIAN. mengarah pada tujuan penelitian serta dapat dipertanggungjawabkan secara. pada ketepatan dalam penggunaan metode. 32 BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian Penggunaan metode penelitian dalam penelitian harus tepat sasaran dan mengarah pada tujuan penelitian serta dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah agar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sesuai dengan kondisi dan karakter siswa. Dengan melihat secara langsung, anak

BAB I PENDAHULUAN. sesuai dengan kondisi dan karakter siswa. Dengan melihat secara langsung, anak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Guru sebagai faktor utama keberhasilan pengajaran dituntut kemampuannya untuk dapat menyampaikan bahan ajar kepada siswa dengan baik. Untuk itu guru perlu mendapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia dalam kehidupannya sehari hari tidak dapat lepas dari melakukan aktifitas yang berkaitan dengan pekerjaan, hiburan, bepergian dan lain-lain. Kemampuan mobilitas

Lebih terperinci