BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dewasa ini, persoalan humanisme menjadi persolan yang seksi untuk diperdebatkan. Dalam khazanah keilmuan, humanisme sebagai istilah sering diperbincangkan diberbagai bidang ilmu, seperti misalnya filsafat, pendidikan, dan juga sastra. Itu juga yang membuat humanisme memiliki pengertian yang beragam-ragam, tergantung pada konteks pembicaraan. Oleh karena itu, agar pembicaraan ini tidak meluas ke luar batas, pembicaraan tentang humanisme ini saya batasi untuk konteks filsafat dan sastra. Bartens (1987: 29) menyebutkan bahwa humanisme mengandung konsep-konsep tentang nilai-nilai humanum (manusiawi), martabat manusia, kemanusiaan juga hak azazi manusia. Mas ud (2002: 135) memaknai humanisme sebagai kekuatan atau potensi individu manusia dalam mengukur dan mencapai ranah ketuhanan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan sosial. Sedangkan Al Fandi (2011: 71) menyebutkan bahwa humanisme berarti martabat dan nilai diri manusia dalam meningkatkan kemampuan-kemampuan alamiahnya, baik fisik ataupun mental, secara penuh. Yahya (2002: 26) memaknai humanisme sebagai sistem pemikiran yang berdasarkan atas berbagai nilai, karakter dan tindakan yang dianggap terbaik bagi manusia bukan pada otoritas supranatural apapun. Sedangkan Abidin (2000: 25) berpandangan bahwa humanisme dapat dipahami apabila ditinjau dari dua sisi, yakni sisi historis dan sisi filsafat. Dari sisi historis, humanisme dipahami sebagai sebuah pemikiran yang berkembang di Italia, yang diistilahkan sebagai penggerak kebudayaan modern, sementara dari sisi filsafat, humanisme diartikan sebagai faham yang menjunjung tinggi nilai dan martabat manusia sehingga manusia ditempatkan pada posisi yang sentral dan penting dalam praktik hidup sehari-hari. Singkatnya, humanisme memandang manusia bebas dan memiliki potensi sendiri untuk menjalankan kehidupannya secara mandiri. Hardiman (2009) menjelaskan bahwa 1

2 gagasan humanisme telah muncul jauh sebelum gerakan-gerakan humanisme zaman renaisan berkembang di Eropa. Di zaman Yunani kuno, pemikiran humanisme diwujudkan dalam paidea, yakni semacam sistem pendidikan yang mengolah bakatbakat kodrati manusia, seperti menulis dan berfikir. Lalu di zaman Romawi kuno berkembang pemikiran animal rasionale yang dianggap sebagai dasar pemikiran humanisme universal. Lalu gagasan humanisme yang lebih kritis baru muncul pada masa ranaisans sekitar abad ke-14 hingga ke-16 kemudian memuncak di pertengahan abad ke Adapun faktor yang melatarbelakangi lahirnya gerakan-gerakan humanisme di Eropa adalah kekuasaan pemimpin agama yang sangat tinggi, sehingga membuat jarak antara masyarakat biasa dengan pemimpin agama. Pada masa itu, para pemimpin agama dianggap sebagai golongan yang memiliki otoritas penuh dalam menginterpretasikan wahyu-wahyu agama. Hasil interpretasi tersebut kemudian diterjemahkan untuk diaplikasikan ke dalam seperangkat aturan di berbagai bidang kehidupan di Eropa, sedangkan masyarakat biasa tidak memiliki kebebasan dalam berfikir dan beraktifitas, akibatnya terjadi kemunduran dalam peradaban di berbagai bidang. Humanisme mengambil sikap kritis terhadap monopoli tafsir kebenaran yang dipegang oleh persekutuan ajaib negara dan agama itu. Selain itu, di kehidupannya, para tokoh agama menunjukkan perilaku yang tidak terpuji, mereka hidup bersenangsenang dan memuja dunia, sementara masyarakat yang setiap hari didoktrin untuk taat dan menjaga prinsip-prinsip etika dan moral hidupnya sangat memprihatinkan. Sehingga muncul kesenjangan sosial dan ekonomi antara kelompok pendeta dan rakyat biasa di Eropa. Gerakan humanisme di masa renaisans melihat manusia dari dua sisi. Pertama dari sisi naturalis, manusia dilihat berdasarkan kodratnya, yang berbeda dengan kodrat mahluk lainnya semisal hewan. Secara kodrat, manusia memiliki akal budi dan berkehendak bebas, berbeda dengan kodrat hewan yang hanya memiliki naluri. Kedua dari sisi individualistis, manusia dipandang sebagai suatu individu yang bebas dan berdiri sendiri, lengkap dengan diri dan kemampuannya sendiri, oleh karena itu manusia sempurna. Dengan kesempurnaan ini, manusia dianggap mampu menguasai 1 Lihat Hardiman, F. Budi Makalah Kuliah Umum Memikirkan Ulang Humanisme Salihara, 13 Juni

3 lingkungannya untuk kepentingannya. 2 Erasmus (w ) merupakan salah satu tokoh yang menyusun pondasi humanisme tersebut. Ia menentang segala bentuk ekslusivitas yang dimiliki oleh pihak gereja yang pada masa itu dianggap sebagai sarana penguhubung umat manusia dengan Tuhan. 3 Dari gerakan-gerakan akodrati ini, mungkin, banyak pihak beranggapan bahwa gerakan-gerakan kaum humanis tersebut lebih cenderung kepada gerakan anti agama, namun tidak sedikit pula para sarjana yang menganggap bahwa gerakan itu sebagai cara untuk mengembalikan esensi dari kodrat manusia dan kemanusiaan. Sehingga, banyak pihak yang menyebut bahwa gerakan humanis di periode-periode awal tersebut bercirikan pada materialis dan atheis. Namun demikian, kita tidak bisa mengelak bahwa humanisme membawa perubahan yang mendasar di bidang pendidikan, kaum humanis sangat menonjolkan sisi-sisi empiris (pengalaman pribadi, observasi dan logika) sebagai cara belajar karena mereka yakin bahwa pengetahuan datang dari indera. 4 Para humanis telah memberikan penafsiran-penafsiran rasional terhadap ajaran-ajaran agama yang sebelumnya dimonopoli oleh golongan tertentu. Berbagai sumbangan pemikiran kaum humanis dianggap menjadi dasar dari perkembangan filsafat seperti humanisme sekuler, liberalisme, humanisme religius serta paradigma yang dianggap melampaui paradigma humanisme, yaitu strukturalisme. Juga, humanisme yang lebih menonjolkan sisi rasionalitas, menjadi pondasi penting bagi perkembangan ilmu pengetahuan, terutama di bidang sains dan pengetahuan alam. Sebut saja misalnya para sarjana yang menolak pasrah terhadap hukum alam, seperti Isaac Newton ( ), dengan ilmu fisikanya, memberikan keyakinan bahwa alam bergerak secara mekanistis dan dapat diketahui dengan akal budi manusia, jadi bukan bergerak secara ajaib seperti yang diyakini sebelumnya. Juga ada Charles Darwin dengan teori evolusinya, walau sangat kontroversial, namun banyak yang menganggap bahwa pemikiran Darwin sebenarnya mengandung pesan bahwa manusia sebenarnya berasal dari dunia-sini, bukan dari dunia-roh yang entah berantah, yang sebelumnya diyakini oleh banyak orang. Humanisme juga mendasari ide dan praksis hak-hak asasi manusia, civil society, dan negara hukum demokratis, mendorong aksi-aksi solidaritas global yang melampaui 2 Lihat Brinton, Crane. et.al The Ranaissaince, a History of Civilization. T. Hobby Trans. Modernized. 3 Lihat Lamont, Corliss. 1997: Ibid. 3

4 negara, ras, agama, kelas sosial, dst. Gagasan tentang toleransi agama adalah prestasi lain yang disumbangkan oleh humanisme Pencerahan Eropa abad ke-18 kepada peradaban modern. Pengaruh pemikiran kaum humanis tersebut yang pada akhirnya diadaptasikan ke seluruh pelosok dunia, dan menjadi dasar penting bagi perkembangan peradaban manusia di dunia, termasuk di Indonesia. Akan tetapi, oleh sebagian kelompok terutama dari kalangan religius, gagasangagasan humanisme yang sangat menonjolkan sisi rasio manusia dan mengenyampingkan kodrat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan malah membuat gagasan humanisme tersebut menjadi tidak rasional. Suseno (2007: 208) menyebutkan bahwa humanisme sekuler tersebut merupakan pandangan yang buruk karena tidak mengakui keterikatan manusia dengan Tuhan. Sedangkan humanisme religius adalah pandangan yang baik karena menyadari bahwa pada hakekatnya manusia adalah mahluk ciptaan Tuhan. Jong (2001: 28) menyebutkan bahwa kepercayaan terhadap Tuhan merupakan penyempurnaan nilai-nilai humanisme, karena manusia adalah mahluk Tuhan yang harus dibela martabatnya, dihargai hak azazinya dan diakui eksistensinya. Agama adalah sumber penting dalam memahami kodrat manusia, baik itu kodratnya sebagai mahluk sosial maupun kodratnya sebagai mahluk ciptaan Tuhan. Dalam hal kodrat manusia sebagai mahluk sosial, agama mengajarkan norma-norma dan etika sosial, ajaran-ajaran itu bertujuan agar manusia dapat memahami tidak saja hak individunya, melainkan juga memahami hak-hak individu manusia lainnya, sehingga terjalin sebuah hubungan yang harmonis, saling pengertian dan solider antar sesama umat manusia. Di dalam makalahnya, Assyukanie (2009) menyebutkan bahwa jauh sebelum gerakan humanisme rainasans muncul, beberapa pemikir muslim telah menerbitkan karya-karya fenomenal yang menjadi dasar bagi perkembangan ilmu pengetahuan Islam. Masa-masa abad kesembilan dan kesepuluh adalah era formasi pemikiran Islam dan sekaligus merupakan masa yang paling produktif dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan dispilin keislaman. Era kreasi dan inovasi itu kemudian dilanjutkan lagi, paling tidak selama tiga abad berikutnya. Pada masa inilah muncul ratusan jika bukan ribuan ilmuwan, sarjana, sastrawan, arsitek, musisi, dan penyair, yang karyanya memberikan pengaruh buat peradaban manusia setelahnya. Muhammad bin Idris Al-Syafi i (w. 820) merampungkan Al-Risalah, sebuah traktat tentang metodologi 4

5 pengambilan hukum (ushul al-fiqh). Selanjutnya, Muhammad bin Musa al-khawarizmi (w. 850) menerbitkan Fi Hisab Al-Jabr wa al-muqabalah, sebuah buku tentang aljabar dan matematika. Beberapa tahun setelah itu, Amr bin Bahr Al-Jahiz (w. 869), menulis Kitab Al-Hayawan, yakni sebuah karya ensiklopedi tentang kisah-kisah anekdotal seputar dunia hewan. Ahmad bin Yahya Al-Baladhuri (w. 892) mendaftar nama-nama negara dan mengkompilasinya dalam sebuah buku yang diberi judul Futuh Al-Buldan. Memasuki abad kesepuluh, Muhammad bin Jarir al-tabari (w. 923) menerbitkan Tarikh Al-Rusul wa Al-Muluk, sebuah buku sejarah paling lengkap yang pernah ditulis orang. Kurang lebih pada tahun yang sama, Muhammad bin Zakariya Al-Razi (w. 925) menyelesaikan ensiklopedi kedokteran dalam 9 jilid yang diberi judul Al-Hawi. Beberapa tahun setelah itu, Muhammad bin Muhammad Al-Farabi (w. 950), seorang filsuf besar Islam, menerbitkan Kitab Al-Musiqa, sebuah buku yang mengulas berbagai aspek tentang musik. Abad kesepuluh ditutup dengan munculnya beberapa karya tentang karya atau biasa disebut dengan buku indeks atau buku katalog. Salah satu penulis paling penting dalam genre ini adalah Muhammad bin Ishaq Al-Nadim (w. 998) yang karyanya, Al-Fihrist, menjadi rujukan para sarjana hingga hari ini. Al-Fihrist mendaftar dan mengulas ratusan buku yang pernah ditulis dan diterbitkan kaum Muslim pada masa itu. 5 Gerakan-gerakan kaum intelektual muslim itulah menurut Boisard (1988), Makdisi (1990) dan Goodman (2003) sebagai awal mula gerakan humanisme Islam. Namun demikian menurut Hadi (2009a: 1) istilah humanisme Islam baru muncul pada saat penulis-penulis seperti Al-Farabi (abad ke-9m), Ibn Sina (abad ke-10m), Imam Al-Ghazali (abad ke-11/12m), Ibn Rusyid dan Jalaluddin Rumi (abad ke-13m) mempublikasikan karya-karyanya. Mereka mendasarkan pemikirannya pada sumber-sumber kitab suci al-qur an, diperkuat dengan ide-ide dari falsafah Yunani dan Persia yang berkembang sebelumnya. Istilah humanisme teosentris sendiri merupakan istilah yang muncul untuk membedakan gagasan religius Islam dengan gagasan religius agama lainnya, seperti kristen dan yahudi. Cuthberlta Tteys, J (1954) dalam artikelnya yang berjudul Theocentric and Christocenctric menyebutkan bahwa terdapat perbedaan dalam aspek- 5 Lihat Assyaukanie, Luthfie Membaca Kembali Humanisme Islam (makalah). Kuliah Umum Memikirkan Ulang Humanisme Jakarta: Komunitas Salihara, Sabtu 27 Juni

6 aspek teologi Islam dan Kriten. Perbedaan tersebut terletak pada konsep tauhid atau keyakinan terhadap Tuhan YME. Sebagai sebuah istilah, humanisme teosentris merupakan sebuah gagasan kemanusiaan yang berpedoman kepada ajaran-ajaran agama. Dalam terminologi humanisme teosentris, terdapat istilah teosentris yang membedakan gagasan ini dengan gagasan humanisme universal. Teosentris dalam etimologinya berasal dari bahasa Yunani, yakni Theo (Tuhan) dan centris (pusat). Sehingga teosentris dapat dimaknai sebagai sebuah pandangan yang menilai bahwa Tuhan adalah pusat atau sumber tertinggi dari semua ajaran moral dan etika. Mustofa dalam tulisan Nilai-Nilai Humanisme Islam: Implikasinya Dalam Konsep Tujuan Pendidikan menyebutkan konsep humanisme teosentris muncul sebagai upaya untuk menyatukan nilai-nilai agama dan kemanusiaan. Merujuk pada pemikiran Boisard dalam L Humanisme de l Islam, Mustofa menerangkan ajaran agama (keyakinan tentang Tuhan) mempengaruhi watak dan persepsi manusia yang selanjutnya menentukan kedudukan dirinya, prioritas kebutuhan dan pembentukan kaidah hubungan dengan manusia lainnya. Agama bukan hanya sistem kepercayaan yang tidak berubah tapi juga nilai yang berorientasi kemanusiaan. Oleh karena setiap manusia terlahir dalam fitrah, kesucian menurut ar-ruum[30]: 30, maka, semua agama memiliki misi menjaga nilai kefitrahan yang dimilikinya dan menuju kebahagiaan abadi. Dengan kata lain, humanisme agama adalah keyakinan dalam aksi, pengakuan bahwa Tuhan adalah pusat orientasi sejak awal kehidupan manusia, seperti yang terkandung di dalam al-a raaf [7]: 172. Orientasi ketuhanan itulah, menurut syari at, harus hidup dalam jiwa dan kehidupan manusia, seperti di dalam tradisi, adat-istiadat dan tata krama masyarakat untuk diaplikasikan ke dalam ideologi materialisme, sosialisme, dan ekonomisme. Inilah yang membedakan konsep humanisme teosentris atau humanisme religius dengan humanisme sekuler. 6 Achmadi (2005: 20) menyebutkan bahwa humanisme teosentris memandang bahwa segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia dikembalikan kepada Tuhan, inilah esensi dari azaz-azaz tauhid yang diajarkan di dalam Islam. Dengan demikian, maka dapat dipahami bahwa gagasan humanisme teosentris berbeda dengan gagasan humanisme klasik. Walaupun 6 Lihat Mustofa. Nilai-nilai Humanisme Islam dan Implikasinya dalam Konsep Tujuan Pendidikan. DIDAKTIKA ISLAMIKA, Vol. XI. No. 2. Desember

7 kedua pandangan itu tersebut sama-sama meletakkan manusia sebagai unsur teratas dalam rantai kehidupan di dunia tetapi penambahan teosentris memberikan sifat lain di dalam kerangka humanisme, yaitu keyakinan yang lebih mendalam terhadap Tuhan dan manusia sebagai mahluk Tuhan. Secara umum, ada tiga pokok pengetahuan yang diajarkan di dalam agama Islam yakni pertama aqidah, kedua syariah dan ketiga akhlak. Pertama aqidah yaitu ikatan, sangkutan, keyakinan atau iman. Dari pengertian ini aqidah diposisikan sebagai inti atau pondasi keimanan manusia untuk memahami ajaran-ajaran Islam lebih mendalam. Kedua syariah, berarti semua peraturan agama yang ditetapkan oleh Allah untuk kaum muslim. Peraturan-peraturan agama itu terdapat di dalam Al-Quran dan Sunnah Rasul (Muhammad Yusuf Musa, 1988: 131). Ketiga akhlak, berasal dari bahasa Arab al-akhlaq yang merupakan bentuk jamak dari kata khuluq yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku, atau tabiat (Hamzah Ya qub, 1988: 11). 7 Agshar (1990: 46-47) menyebutkan bahwa Islam mengajarkan kepada umatnya untuk bersikap jujur dan melarang mereka melakukan tindakan-tindakan yang merugikan manusia lainnya. Manusia tidak bisa mengelak dari kodratnya, yakni sebagai mahluk Tuhan, sehingga berdasarkan kodrat manusia tersebut, setiap manusia diposisikan setara antara satu dengan lainnya di hadapan Tuhan. Gagasan humanisme dalam Islam secara garis besar menempatkan sisi manusiawi sesuai dengan kodratnya sebagai mahluk ciptaan Tuhan. Secara kodrati, ada tiga hal yang menjadi pokok pemikiran di dalam humanisme Islam, yakni 1). Manusia sebagai hamba Tuhan, hal ini akan berkaitan dengan tanggung jawab manusia di dunia, peran dan fungsinya dalam menciptakan harmonisasi kehidupan di dunia. 2). Manusia sebagai mahluk yang berfikir dan berilmu; dan 3). Manusia sebagai mahluk yang beradab, yang menjunjung nilai-nilai etika dan moral (akhlak). Berdasarkan penjelasan di atas, muncul beberapa pertanyaan terutama mengenai bagaimana bentuk gagasan humanisme teosentris tersebut di dalam karya sastra? Terutama karya-karya sastra tradisional di Indonesia. Hal ini sangat menarik mengingat berdasarkan pertimbangan sosio-historis tradisi masyarakat budaya di Indonesia dominannya dipengaruhi oleh Islam, tetapi tidak sedikit pula masyarakat budaya di 7 Lihat juga Marzuki, M.Ag., Dr Prinsip Dasar Akhlak Mulia. Yogyakarta: Debut Wahana Press. 7

8 Indonesia tersebut juga memiliki gagasan humanisme yang kuat seperti contohnya masyarakat budaya Minangkabau Islam dan Sastra Tradisi Di Minangkabau Dalam pengertian yang lebih umum, karya sastra dimaknai sebagai cermin sosial yang di dalamnya terkandung nilai-nilai moral, gagasan-gagasan humanitas serta gambaran dari persoalan-persoalan kehidupan, perjuangan, kasih sayang, kebencian, nafsu dan lain sebagainya. Junus (1990:59) menyebutkan karya sastra merupakan refleksi kehidupan masyarakat atau cermin suatu zaman. Dikatakan sebagai refleksi karena pada hakekatnya karya sastra adalah produk imajinatif yang bersifat fiktif atau rekaan, sehingga fakta-fakta yang ada di dalamnya tidak diungkap secara jelas. Sebuah karya sastra juga dipahami sebagai adalah media ungkapan perasaan masyarakat (Atmazaki. 2005:59). Dalam hal ini bukan tidak mungkin dalam sebuah karya terkandung unsur-unsur faktual dalam realita kehidupan yang dibungkus rapi dalam tanda dan simbol kata. Dari sebuah karya sastra, pengarang menampilkan nilai-nilai yang lebih tinggi dan lebih agung serta menafsirkan makna hidup dan hakikat hidup (Esten. 1987: 8). Sama halnya dengan karya sastra modern, sastra tradisional, juga dapat dipahami sebagai produk budaya yang merefraksikan ide-ide juga harapan-harapan sebagai identitas komunal (budaya dan sosial) suatu kelompok. Sebuah kesusastraan rakyat memiliki fungsi sebagai sistem proyeksi atau alat menyampaikan ide-ide atau harapanharapan kelompok, sebagai alat pengesahan pranata-pranata dan sistem kelembagaan adat, sebagai alat dalam mengawasi perilaku sosial agar tidak menyimpang dari normanorma adat dan juga sebagai alat pendidikan dalam membina mental generasi muda. Sastra tradisional memiliki ciri yang sedikit lebih absurd dibandingkan dengan karya sastra modern. Absurditas tersebut terletak pada sifatnya yang anonim (tidak adanya informasi kepengarangan), bentuknya yang tidak standar dan memiliki varian-varian yang tersebar di berbagai wilayah. Selain itu, budaya atau ideologi asing yang berkembang di dalam suatu masyarakat juga menjadi faktor yang dapat mempengaruhi sifat dan bentuk suatu sastra tradisional, misalkan ideologi Islam yang mulai berkembang di Nusantara semenjak abad ke-7 M. Akulturasi Islam di Nusantara telah menciptakan satu bentuk tradisi dan kebudayaan baru di tengah-tengah masyarakat lokal di Nusantara. Edy Setyawati 8

9 (2000) menjelaskan bahwa kebudayaan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia hingga sekarang dominannya merupakan hasil dari akulturasi manusia Indonesia dengan peradaban Islam yang diistilahkannya sebagai salah satu dari tiga pengalaman besar dalam akulturasi di Indonesia. Semenjak periode itu, lahir sastra tradisional yang bernuansa Islami (sastra Islam) di berbagai wilayah di Nusantara, salah satunya adalah wilayah Sumatera Barat (Minangkabau). Pada periode Islam tersebut, sastra-sastra tradisional mengalami perubahan isi. Fenomena yang menarik yang dijumpai di setiap bagian sastra tradisi, seperti juga dalam sastra tradisional di Minangkabau, adalah hadirnya tokoh-tokoh besar dunia Islam dalam cerita, seperti tokoh Iskandar Zulkarnain dalam teks Tambo Minangkabau. Fenomena ini menurut Fang (1975: 132) tidak terlepas dari usaha pengagungan agama Islam, sehingga pendengar atau pembaca menjadi tertarik untuk masuk Islam dan memperdalam keimanan mereka. Boleh jadi kehadiran tokoh Iskandar Zulkarnain di dalam teks Tambo Minangkabau tersebut dapat diasumsikan juga sebagai usaha pengagungan, baik itu pengangungan Islam maupun pengagungan budaya Minangkabau itu sendiri. Fang juga telah mengklasifikasikan jenis cerita atau mitos Islam tersebut ke dalam lima golongan besar, yakni pertama cerita tentang Nabi Muhammad. Kedua, cerita tentang para sahabat Nabi Muhammad. Ketiga, cerita Nabi seperti dalam kitab Hikayat Yusuf, dan lain-lain. Keempat, cerita para penyebar dan pahlawan Islam, seperti Iskandar Zulkarnain, Amir Hamzah, dan Saif Dzul-Yazan. Kelima, cerita khayalan yang timbul di Nusantara. Mitos-mitos itu berkembang hampir tidak mengenal batas wilayah budaya. Bahkan mitos-mitos itu seakan-akan difungsikan sebagai media komunikasi para sufi dalam aktifitasnya mengembangkan ajaran agama Islam di suatu daerah, termasuk di Minangkabau. Selain mempengaruhi isi, di periode Islam ini juga banyak bermunculan genregenre sastra yang bernuansa Islami, seperti syair-syair Islam yang juga dikenal dengan istilah nazam. Suryadi (2002) menyebutkan bahwa nazam memiliki berbagai ejaan, seperti: nadzam, ajam, nizam, nazham dan nazzam. Dalam kesusastraan Minangkabau, ia disebut nalam. Baik nazam atau nalam, puisi tradisional Melayu itu sering dirujuk sebagai yang berbentuk syair. Di beberapa sumber lainnya, seperti Kamoes Bahasa Minangkabau-Bahasa Melayoe Riau (Jakarta. 1935), kata nazam tertulis sebagai nalam (banalam) yaitu bertjerita dengan lagu teroetama tentang agama atau jang 9

10 berisi pengadjaran. Pengertian yang hampir sama juga terdapat di Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang diterbitkan Balai Pustaka 1988, kata nalam atau nazam memiliki makna gubahan sajak (syair, karangan); sementara bernalam, bermaksud membaca puisi atau bercerita dengan lagu; bersajak (bersyair). Di Minangkabau, nazam erat kaitannya dengan tradisi banazam. Tradisi banazam merupakan sebuah tradisi mendendangkan cerita-cerita islami di tengah-tengah khalayak atau majelis, dilaksanakan di hari-hari tertentu atau hari-hari besar keagamaan. Disebut banazam karena pada pelaksanaannya teks-teks yang didendangkan merupakan teks-teks nazam. Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, banyak nazam-nazam itu yang mengalami proses penyalinan ke dalam bentuk tulisan tangan sehingga dapat dibaca berulang-ulang dan disimpan sebagai koleksi pribadi. Proses penyalinan nazam-nazam tersebut, juga cerita-cerita sastra tradisional lainnya, juga dilakukan di berbagai daerah di Indonesia, termasuk di Minangkabau. Berdasarkan golongan cerita, golongan cerita Nabi Muhammad adalah salah satu golongan cerita yang memiliki banyak variasi, dan di salin ke dalam banyak bahasa daerah, seperti Melayu, Sunda, Arab, Jawa dan Bugis. Aktivitas intelektual ini (penyalinan dan penulisan naskah) berkembang ke arah percetakan atau penerbitan naskah yang dimulai di pertengahan abad ke-19. Bangsa eropa yang datang ke tanah Melayu, mulai memperkenalkan teknologi percetakan (litografi) ke masyarakat Melayu, sehingga banyak karya-karya tulis tangan yang di cetak dan didistribusikan untuk kepentingan ekonomi atau bisnis. Seperti beberapa nazam yang dipilih sebagai objek material penelitian ini juga telah berbentuk cetakan, yakni Nazam Neraca Kebenaran (NNK), Nazam Kanak-kanak: Inilah Nazam Dua Sejalan Pertama Kanak-kanak Kedua Nazam Bahaya Dunia Akhirat (NKK &NBDA) [cet. Ke-18], dan Nazam Itsad al-gafirin artinya Pencerdikan Orang nan Lalai (NPOL), merupakan karya-karya yang sangat populer di kalangan masyarakat Minangkabau, bahkan hingga saat ini nazam-nazam cetakan ini masih menjadi koleksi bacaan bagi sebagian besar masyarakat tradisional Minangkabau. Adapun alasan kenapa kultur Minangkabau dipilih sebagai wilayah kajian yaitu, pertama berdasarkan konteks sosio kultural, Masyarakat Minangkabau merupakan kelompok masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai humanisme. Jika humanisme diartikan seperti pengertian di atas, maka yang dapat diwujudkan dari pandangan itu yakni sikap toleransi, saling pengertian dan saling memahami. Sikap-sikap tersebut di 10

11 dalam perspektif adat Minangkabau, direfleksikan dalam berbagai hal, seperti misalnya di dalam sistem pemerintahan adat, sistem sosial maupun di dalam pandangan hidup masyarakatnya. Pandangan hidup alam takambang jadi guru menjadi dasar terciptanya satu kelompok masyarakat yang memiliki toleransi terhadap keberagaman dan perbedaan. Alam merupakan simbol semesta dan alam yang luas ini menjadi menjadi ilmu bagi kelangsungan hidup insan manusia Minangkabau. Sehingga, dengan kata lain, manusia yang memahami betapa luasnya dunia, tidak akan mungkin dapat menolak perbedaan yang ada dalam setiap insan manusia. Toleransi itu tergambar di dalam prinsip duduak samo randah-tagak samo tinggi artinya, manusia, apapun situasi dan kondisinya, pada dasarnya sederajat, tidak ada manusia yang lebih mulia atau lebih tinggi derajatnya dari manusia lainnya. Dari prinsip-prinsip hidup inilah masyarakat Minangkabau terkenal sebagai masyarakat budaya yang paling heterogen dan dapat beradaptasi dengan sangat cepat terhadap perubahan zaman (bagian ini akan dijelaskan lebih mendalam di bab selanjutnya). Faktor kedua yakni faktor agama. Islam memiliki pengaruh yang sangat kuat di dalam tatanan kehidupan masyarakat Minangkabau. Hal tersebut tercermin di dalam filosofi adat Minangkabau, adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah (seperti yang telah diuraikan sebelumnya). Bagi masyarakat Minangkabau, Islam merupakan pedoman, norma dan hukum mutlak dalam adat dan tatanan sosial di Minangkabau, sehingga orang yang secara garis kultural keturunan Minangkabau namun tidak mengetahui atau bahkan tidak beragama Islam maka secara adat orang tersebut dianggap sebagai bukan orang Minangkabau. Kuatnya pengaruh Islam di dalam tatanan masyarakat yang humanis seperti masyarakat Minangkabau menjadi suatu contoh yang sangat baik untuk menjelaskan bagaimana peran agama dalam menjaga keharmonisan di dalam kehidupan umat manusia sehingga setiap insan manusia dapat menjalankan kehidupannya tanpa merasa terintimidasi dengan insan manusia lainnya. Sedangkan faktor ketiga yakni faktor kesusasteraan. Untuk konteks sastra, sastra-sastra Islam Minangkabau selain memiliki kedekatan terhadap tema kajian, bahan-bahan material ini juga belum banyak mendapat perhatian para penelitian sastra Minangkabau. Jikapun ada, kajian-kajian yang menggunakan karya sastra Islami sebagai bahan kajian maka kajian tersebut hanya sebatas deskripsi tentang isi dan bentuk karya sastra dan tidak mendalam. 11

12 1.3. Rumusan Masalah Dari latar belakang di atas, dapat diambil beberapa hal yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini, yaitu: Pertama, apa teks yang terdapat dalam naskah-naskah nazam cetakan yang menjadi objek penelitian ini. Kedua, bagaimana latar sosio-historis masyarakat Minangakabu? Dan, Ketiga, bagaimana gagasan humanisme teosentris yang terkandung di dalam syair dan mitos-mitos Islami nazam-nazam cetakan tersebut? 1.4. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah, Pertama, menghadirkan suatu bentuk teks nazam yang bersih dari kesalahan, courupt dan disertai dengan EYD seingga bisa dibaca oleh khalayak. Kedua, menjelaskan latar sosio-historis masyarakat Minangkabau secara lebih mendalam dan komprehensif. Dan, Ketiga, menjelaskan gagasan humanisme teosentris yang terkandung di dalam syair dan mitos Islami nazam-nazam cetakan Minangkabau tersebut Tinjauan Kepustakaan Hingga penelitian ini selesai dilaksanakan, penelitian yang dilakukan oleh Yulizal Yunus (2001) yang berjudul Protes Sastra: Terhadap Paham Keagamaan merupakan satu-satunya hasil penelitian yang ditemukan yang mengangkat objek material nazam cetakan yakni nazam Si Kanak-Kanak sebagai bahan kajiannya. Hanya saja penelitian ini hanya mengangkat satu nazam dan tidak melakukan penafsiran yang mendalam. Di dalam penelitian tersebut Yulizal Yunus melakukan kajian tentang interpretasi orang Minangkabau terhadap ajaran yang terkandung di dalam nazam Si Kanak-kanak. Menurutnya bahwa nazam Si Kanak-kanak adalah sebuah bentuk nazam yang mengandung protes sosial terhadap persepsi masyarakat tentang kematian seorang anak. Lebih jauh, Yunus menghubungkannya kebiasaan orang Minangkabau meratapi kematian anak atau juga kerabatnya. Ia menganggap bahwa meratapi suatu kematian malah akan menyiksa orang yang telah mati di dalam kuburnya. Penelitian yang dilakukan oleh Yulizal Yunus ini adalah sebuah referensi yang sangat penting bagi 12

13 penulis dalam memahami filosofi dan ajaran adat Minangkabau yang terkandung di dalam mitos Si Kanak-kanak, terutama hubungannya dengan ajaran Islam. Penelitian-penelitian lain tentang sastra tradisional (baik itu nazam, mitos legenda dan cerita rakyat) Minangkabau sebagian besar hanya menghasilkan suatu gambaran deskriptif dan tidak disertai kajian yang mendalam, terutama pada aspek makna kebahasaan. Seperti buku yang ditulis oleh NN (1963) Tjerita Rakjat 1. Buku tersebut merupakan buku yang mendokumentasikan cerita-cerita rakyat yang terdapat di Indonesia. Cerita-cerita rakyat yang terdokumentasikan di dalamnya seperti cerita asal mula padi, Tiga Piatu, Si Tanduk Pandjang, dan cerita Pandji Kelaras. Cerita-cerita tersebut berasal dari berbagai daerah, dan dari buku itu dapat dilihat bahwa sebuah cerita tidak mengenal batas geografis wilayah, suatu cerita yang sama bisa saja diperoleh di daerah lain. Artinya, cerita rakyat bersifat universal, tidak ada satu orang, atau sekelompok orang yang berhak mengklaim cerita tersebut miliknya atau milik kelomponya, atau cerita itu lebih asli dibandingkan cerita serupa yang ditemukan di tempat lain. Penelitian yang dilakukan oleh tim peneliti cerita rakyat Sumatera Barat (Cerita Rakyat: Mite dan Legenda, Daerah Sumatera Barat. Dalam Bahasa Daerah Minangkabau: 1979) merupakan sebuah dokumentasi terhadap dua puluh cerita lisan yang berkembang di Sumatera Barat. Sayangnya, apabila dinilai dari sisi akademis, usaha penelitian yang dilakukan oleh tim peneliti dari Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya Departemen Pendidikan dan Kebudayaan ini masih terdapat banyak kekurangan. Seperti cerita-cerita ditranskripsi ke dalam bahasa Minangkabau tanpa terjemahan dalam Bahasa Indonesia. Hal ini tentu akan menyulitkan pembaca non- Minang untuk memahami cerita-cerita yang disajikan. Selain itu, tidak tercantumnya keterangan mengenai wilayah penelitian, informan dan metode penelitian yang dipergunakan. Kekurangan-kekurangan ini menyebabkan objektifitas penelitian yang dilakukan tersebut sangat disangsikan. Namun demikian, usaha pendokumentasian ini, patut diberi apresiasi karena usaha ini telah turut melestarikan cerita-cerita rakyat yang ada dalam masyarakat Indonesia (umumnya) atau masyarakat Minangkabau (khususnya). Penelitian ini merupakan koleksi dari Badan Perpustakaan Sumatera Barat, nomor Cer 1. Usaha pendokumentasian juga dilakukan oleh Zuriati (1995) dalam penelitian yang berjudul Asal-usul Nama-nama Tempat (Daerah) di Minangkabau. Di penelitian 13

14 itu, Zuriati mendokumentasikan cerita-cerita yang terkandung dalam nama-nama daerah di Minangkabau. Banyak orang, bahkan orang Minang sekalipun yang tidak menyadari bahwa nama-nama daerah di Sumatera Barat ternyata mengandung suatu cerita tentang peristiwa atau asal usul sesuatu. Yasnur Asri dan Ngusman Abdul Manaf (1999) dengan judul penelitian Cerita Anak-anak Minangkabau Daerah Darek: Deskripsi Fungsi Cerita dan Analisis Struktur Intrinsik. Di penelitian ini Asri mendokumentasikan dua belas cerita anak-anak yang berkembang di kawasan darek dalam wilayah budaya Minangkabau, kemudian ke dua belas cerita tersebut di analisis dengan menggunakan model analisis struktur intrinsik. Hasilnya diketahuilah tema dan amanat yang terkandung dalam masing-masing cerita anak tersebut. Usaha kajian yang sedikit lebih mendalam terhadap sastra tradisional Minangkabau dilakukan oleh Udin (1995) dalam penelitiannya yang berjudul Rasionalisasi Mitos di Dalam Karya Wisran Hadi. Di Penelitian tersebut Udin mencoba merasionalisasikan mitos Anggun nan Tongga dengan cerita drama karya Wisran Hadi dengan judul yang sama dengan menggunakan kajian struktural. Hasilnya, Udin memaparkan bahwa proses kreatif seorang Wisran Hadi tidak bisa dilepaskan dari akar budaya yang melatarbelakanginya, yakni Minangkabau. Menurut Udin, pengaruh budaya Minangkabau sangat kental di dalam karya-karya Wisran Hadi, hal ini dapat dicermati dalam karya-karyanya baik yang secara implisit menonjolkan kultur Minangkabau seperti drama-drama yakni Anggun Nan Tongga, Puti Bungsu, Malin Kundang, Cinduo Mato dan Rajo Nan Panjang, atau pun juga novel-novel yang secara tersirat memiliki tema keminangkabauan. Penelitian yang bentuknya hanya berupa pendokumentasian sastra tradisional juga pernah dilakukan oleh Edwar Djamaris (Pengantar Sastra Rakyat Minangkabau: 2002). Dalam buku tersebut Djamaris melakukan pemetaan terhadap jenis-jenis kesusastraan Minangkabau yang terdapat dalam cerita lisan, tradisi lisan, naskah (manuskrip) dan juga cetakan (buku, yang pernah dikumpulkan oleh peneliti sebelumnya). Djamaris memulai pembicaraan mengenai puisi tradisional Minangkabau. Dari jenis-jenis puisi tradisional, mantra diyakini sebagai bentuk puisi tertua yang fungsinya untuk memperoleh kekuatan gaib dan sakti (2002:10). Selain puisi tradisional, Djamaris juga mendokumentasikan karya-karya prosa klasik Minangkabau, seperti kaba dan tambo Minangkabau yang diperoleh dari berbagai sumber kepustakaan, baik itu yang berbentuk manuskrip maupun yang berbentuk cetakan. 14

15 Walaupun dalam buku tersebut, Djamaris tidak serta merta menyebutkan bahwa karyakarya yang didokumentasikan itu sebagai mitos, namun, dari jenis karya-karya tersebut, dapat dipahami bahwa karya-karya itu memiliki kandungan mitos yang berkembang di Minangkabau. Kajian yang sangat mendalam tentang sastra tradisional Melayu, termasuk Minangkabau pernah dilakukan oleh DR. Liaw Yock Fang (1975) menulis buku yang berjudul Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik. Buku ini adalah salah satu referensi penting usaha pengkajian kesusastraan Melayu klasik. Di dalam buku tersebut terdokumentasikan cerita-cerita Melayu klasik, baik itu lisan maupun tertulis hingga yang telah dicetak yang tersimpan di berbagai lembaha kepustakaan. Dari judulnya, dapat dipahami bahwa buku ini mencoba merunut perkembangan kesusastraan yang ada di Melayu (sebagai sebuah kesatuan budaya), dari tradisi lisan, hingga tulisan dan cetak. Bahwa dalam perkembangannya, kesusastraan Melayu dipengaruhi oleh beberapa budaya, pengaruh yang paling kuat tentunya Hindu dan Islam. Dan untuk wilayah foklor dan cerita rakyat, Danandjaja (1991) dalam bukunya Foklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng dan lain-lain menjelaskan tentang perkembangan studi foklor dan juga mitos yang ada di Indonesia khususnya. Dalam buku tersebut Danandjaja juga menghadirkan cerita-cerita, legenda, dan juga mitos yang berkembang dalam masyarakat. Menurutnya, lambanya perkembangan kajian foklore dan juga mitos di Indonesia adalah karena kebanyakan peneliti lebih mementingkan aspek folk dibandingkan aspek lore-nya, padahal menurutnya kedua unsur dalam foklore itu sama pentingnya dan tidak ada unsur yang pantas diutamakan. Terhadap aspek sosial kultural budaya Minangkabau, beberapa kajian yang pernah dilakukan antara lain, pertama, Murad, DP (1966) Selajang Pandang tentang Perkembangan Kampung Halaman Sungai Puar, Kabupaten Agam-Sumatera Barat. Sungai Puar: Jajasan Sungai Puar. Seperti judulnya, penelitian ini membahas secara panjang lebar mengenai latar sosio historis dan kultural masyarakat Sungai Puar. Termasuk di dalamnya informasi tentang Nagari Sungai Puar yang menjadi pusat industri kerajinan tangan yang sudah terkenal sejak dulu di Minangkabau. Kedua, Mr. M. Nasroen (1971), Dasar Falsafah Adat Minangkabau. Dalam buku ini M. Nasroen membahas filosofi adat dan norma-norma adat Minangkabau. Hal yang utama dalam pembahasan tentang filosofi adat Minangkabau itu yakni tentang perilaku dan pandangan hidup orang Minang dalam menjalin hubungan sosial baik itu dalam 15

16 keluarga maupun di dalam masyarakat luas. Ketiga, A.A. Navis (1985), Alam Terkembang Jadi Guru. Dalam buku ini Navis menjelaskan panjang lebar tentang seluk beluk budaya Minangkabau. Menurut Navis, bahwa pandangan hidup orang Minangkabau tersebut tercermin dalam filosofi adat alam takambang jadi guru. Bagi orang Minangkabau, alam bukan berarti hanya tempat hidup atau tempat mati tetapi alam mempunyai makna yang dalam menyangkut kehidupan. Beraja ka alam dalam artian orang Minangkabau senantiasa menjadikan pengalaman hidupnya sebagai guru bagi dirinya untuk menjalani kehidupannya. Keempat, M. Rasjid Manggis Dt. Radjo Panghoeloe (1985) Minangkabau: Sejarah Ringkas dan Adatnya. Sesuai dengan judulnya, maka buku M. Rasjid ini mengupas persoalan tentang sejarah adat Minangkabau yang didasarkan kepada pemahamannya terhadap Tambo Minangkabau. Buku ini bukanlah buku ilmiah yang melakukan kajian terhadap Tambo Minangkabau dengan menggunakan suatu teori tertentu, tetapi buku ini adalah hasil pemahaman dari M. Rasjid terhadap makna-makna simbolis yang terdapat dalam Tambo Minangkabau. Kelima, Yulizal Yunus (1999) Sastra Islam: Kajian Syair Apologetik Pembela Tareqat Naqsyabandi Syekh Bayang. Buku ini merupakan salah satu kajian Yulizal Yunus terhadap syair-syair bernuansa Islami. Buku ini memberikan sebuah gambaran bagaimana memahami makna-makna yang terkandung di dalam syair-syair Islam tersebut. Selain itu, buku ini menginformasikan tentang karakter dan keyakinan masyarakat muslim di Minangkabau, terutama yang bersangkutan dengan tareqat. Keenam, Sebuah artikel yang berjudul Dualisme Minangkabau: Dalam Kajian Strukturalisme Levi-Strauss yang ditulis oleh Zainal Arifin dan dipublikasikan di dalam Jurnal Antropologi VI/9 tahun 2005 membahas tentang dualisme organisisi yang ada dalam struktur sosial masyarakat Minangkabau. Dalam artikel tersebut disebutkan bahwa dalam struktur budaya Minangkabau terdapat dua kelarasan yakni Bodi Chaniago dan Koto Piliang yang memiliki faham yang berbeda, Bodi Chaniago yang dikembangkan oleh Datuk Parpatih Nan Sabatang lebih bersifat demokratis dibandingkan kelarasan Koto Piliang yang dikembangkan oleh Datuk Ketamanggungan. Namun demikian, kedua laras ini mampu menciptakan kondisi yang harmonis dalam struktur sosial masyarakat Minangkabau, sehingga dalam pandangan strukturalisme sebenarnya hal itu terjadi karena adanya satu kelarasan semu di tengah- 16

17 tengah dua kelarasan yang berbeda tersebut. Kelarasan semu itu berfungsi sebagai penetralisir pertentangan yang ada di kedua laras itu. Terhadap konteks dinamika keislaman di Minangkabau, beberapa sumber dipergunakan sebagai acuan ilmiah untuk menjelaskan kedinamikaan masyarakat Muslim yang ada di wilayah kultur Minangkabau, sumber-sumber tersebut seperti, antara lain, Christine Dobbin (2008). Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam dan Gerakan Paderi: Minangkabau (Judul asli buku ini sebelum diterjemahkan ke dalam BI yaitu Islamic Revivalism in a Changing Peasant Economy: Central Sumatra ). Pertama kali diterbitkan oleh Curzon Press bekerjasama dengan Scandinavian Institute of Asian Studies, sebagai Monograph Series No. 47 pada tahun Lalu ketika lembaga tersebut berubah nama menjadi Nordic Institute of Asian Studies, disingkat menjadi NIAS. Buku itu diterbitkan ke dalam edisi bahasa Indonesia oleh Indonesia Netherlands Cooperation in Islamic Studies (INIS) tahun 1992, dengan judul Kebangkita Islam Dalam Ekonomi Petani yang Sedang Berubah: Sumatra Tengah Baru, di tahun 2008, Penerbit Komunitas Bambu di Depok menerbitkan lagi edisi bahasa Indonesia buku ini tetapi dengan judul yang berbeda, Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan Padri: Minangkabau Di dalam buku itu, Dobbin menjelaskan secara detil tentang latar belakang meletusnya Perang Paderi. Menurut Dobbin gerakan radikal yang diusung oleh Paderi lebih bertujuan ekonomis dari pada religius. Baginya gerakan Paderi bukanlah suatu gerakan untuk meruntuhkan hegemoni bangsa kolonial yang dicap kafir yakni Belanda, melainkan suatu gerakan yang untuk menguasai sektor perdagangan. Kuatnya semangat dagang orang Minangkabau dan kaum Padri digambarkan oleh Christine Dobbin secara gamblang. Beberapa penjelasan tentang semangat dagang kaum Paderi antara lain ditulis oleh Christine Dobbin pada halaman 260, 261, 280, 281. Dinamika keislaman masyarakat Minangkabau juga menjadi perhatian Azyumardi Azra dalam bukunya yang berjudul Jaringan Ulama: Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII. Di dalam buku itu, Azyumardi menjelaskan perjalanan panjang fahamfaham Islam yang awalnya berkembang di negeri-negeri Timur Tengah hingga akhirnya sampai di Nusantara, termasuk Indonesia. Dari penjelasan ini diperoleh sebuah gambaran mengenai karakter dan keyakinan keislaman dari masing-masing aliran yang ada di Indonesia yang turut juga mempengaruhi kedinamikaan sosial 17

18 masyarakat lokal di Indonesia. Penelitian lainnya yang mengangkat tema keislaman di Minangkabau, di lakukan oleh Fathurrahman (2003) dalam disertasinya yang berjudul Tarekat Syatariyah Di Dunia Melayu-Indonesia: Kajian Atas Dinamika dan Perkembangannya Melalui Naskah-Naskah di Sumatera Barat. Di penelitian itu Fathurrahman melakukan kajian filologis terhadap manuskrip-manuskrip yang tersimpan di surau-surau di Minangkabau yang saat ini sebagian besarnya merupakan wilayah Propinsi Sumatera Barat. Penelitian tersebut fokus terhadap persoalan sejarah perkembangan Islam, dan gerakan-gerakan Islam yang pernah terjadi di Minangkabau. Beberapa penelitian yang menggunakan metode hermeneutika pun tidak lepas dari pengamatan peneliti. Sejauh data yang diperoleh, kajian-kajian hermeneutika yang pernah dilakukan berupa penafsiran terhadap ajaran-ajaran keagaman, baik itu bersumber dari kitab suci maupun wahyu dan hadits. Kajian-kajian hermeneutika tersebut antara lain, pertama sebuah buku yang berjudul Islam dan Negara: Transformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam Indonesia. Buku ini awalnya adalah sebuah disertasi yang ditulis oleh Bahtiar Effendy pada Departement Politic Science, Ohio State University, Amerika Serikat. penulis terilham dengan fenomena yang terjadi di negara negara Muslim pasca kolonialisme Barat pada pertengahan abad ke-20, seperti Turky, Mesir, Sudan, Maroko, Pakistan, Malaysia.dan Al-jazair mereka kesulitan dalam mengembangkan sintesis yang memungkinkan praktek dan politik Islam dengan negara di daerahnya masing-masing. Persoalan yang terjadi di negaranegara muslim tersebut, hubungan politik Islam dan negara ditandai oleh keteganganketegangan yang sangat mencolok, bahkan sampai pada permusuhan. Sedangkan penduduk di wilayah tersebut sangat dominan oleh orang-orang Islam, dikarenakan sebagian besar agama yang dianut adalah Islam. Yang jadi pertanyaan, apakah sesuai atau tidak dengan sistem politik modern, dimana gagasan negara-bangsa merupakan salah satu unsur pokoknya. Untul kasus di Indonesia, dalam hubungan Islam politik dengan negara sudah lama terjadi sampai kepada titik kebuntuan. Baik masa pemerintahan Soekarno maupun Soeharto yang memandang partai-partai politik yang berlandaskan Islam sebagai pesaing kekuasaan yang potensial yang dapat merobohkan landasan negara yang nasionalis. Dalam buku ini, Bahtiar Effendy mencoba mengali faktor-faktor apa yang menyebabkan terjadinya perdebatan yang akut dalam proses berdirinya bangsa Kesatuan Indonesia, sampai menemukan titik kebuntuan, bahkan 18

19 permusuhan. Bahtiar Effendy juga melihat dari berbagai unsur Islam politik secara holistik (simbiosis mutualis) tidak monolitik (Syariah), interior dan eksterior Islam dalam perspektif sejarah Islam politik versus negara, maupun Islam politik dalam delektika praktis kekinian. Sebuah buku yang berjudul Hermeneutika Pembebasan Al- Qur an: Perspektif Farid Esack yang ditulis oleh Baidhawi, Zakiyuddin (2003) merupakan sumber penting dalam mencermati metode tafsir terhadap ajaran agama diaplikasikan. Di dalam buku tersebut dijelaskan pemikiran Esack terhadap penafsiran Arkoun tentang ajaran Islam, yang menurutnya kurang mengapresiasi kekompleksitasan pandangan Islam.Bagi Esack Arkoun telah mengabaikan hakekat istimewa manusia yakni pengetahuan. Pengetahuan bagi Esack memiliki fungsi sebagai alat kognisi dan alat sosial manusia. Esack ingin menutupi kekurangan-kekurangan Rahman dan Arkoun, dengan menawarkan Hermeneutika pembebasannya. Ia yakin bahwa tugas muslim memahami al-qur an dalam konteks penindasan ada dua hal: untuk memaparkan cara interpretasi tradisonal dan kepercayaan-kepercayaan tentang fungsi teks sebagai ideologi dengan tujuan untuk meligitimasi tatanan yang tidak adil, untuk mengakui kesatuan umat manusia, menggali dimensi-dimensi keagamaan dalam situasi ketidakadilan dari teks dan mempergunakannya untuk melakukan pembebasan. Dimensi teologis ini secara simultan membentuk dan dibentuk oleh aktivitas islamisis dalam perjuangan demi keadilan dan kebebasan. Sebuah buku yang berjudul Hermeneutika Sastra Barat dan Timur (2014) karangan Prof. Dr. Abdul Hadi W.M., memaparkan secara detil tentang perkembangan kajian hermeneutika di Barat dan Timur. Dalam buku ini, kupasan tentang kajian hermeneutika dan sastra, meliputi relasi dan sejarahnya, hingga bagaimana keduanya difungsikan di Timur maupun di Barat, baik oleh filsuf maupun mistikus, dilakukan sangat detil dan mendalam, sehingga pembaca dapat membandingkan bagaimana pola hermeneutika dipergunakan di masing-masing bagian dunia. Dari penelusuran di atas, dapat disimpulkan bahwa penelitian yang menggunakan kajian hermeneutika terhadap empat naskah cetak yakni NNK, NKK-NBDA, dan NPOL belum pernah dilakukan, sehingga penulis merasa penelitian ini akan memperkaya khazanah kajian sastra terutama kajian hermeneutika terhadap sastrasastra kitab di Indonesia. 19

20 1.6. Landasan Teori Perlu ditekankan di sini, bahwa penelitian ini bukanlah peneletian filologi, karena langkah-langkah dan metode filologis tidak bisa dipergunakan terhadap objek berupa naskah cetakan yang tidak memiliki varian ataupun juga variasi. Namun demikian, mengingat objek formal yang dipergunakan adalah teks beraksara Arab Melayu, maka teknik transliterasi tetap dilakukan dipenelitian ini, guna menghadirkan suatu teks yang dapat dibaca oleh khalayak banyak. Penelitian ini sejatinya menggunakan hermeneutika sebagai teorinya. Hermeneutika umumnya dapat dipahami sebagai usaha peralihan dari suatu yang relatif gelap ke suatu yang relatif terang. Dalam pengertian lainnya, hermeneutik adalah alat untuk mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti. Dapat juga diartikan sebagai sebuah kiat untuk memahami, yaitu metode dan prinsip untuk memahami teks. Itulah kenapa hermeneutik juga dipahami sebagai kajian yang berkaitan dengan analisis linguistik-gramatikal (kebahasaan). Walaupun bahasa adalah unsur utama dalam setiap kajian hermeneutik, namun, cara hermeneutika memecahkan suatu masalah dinilai cukup variatif dan metodis. Seorang penafsir tidak akan dapat menafsirkan sesuatu dengan tepat apabila ia tidak memahami konteks yang mempengaruhi objek yang ditafsirkannya. Oleh karena itu seorang penafsir dituntut harus juga memiliki atau menguasai pengetahuan yang luas terutama pengetahuan terhadap hal yang hendak ditafsirkannya. Hal ini senada dengan yang diutarakan oleh Noeng Muhadjir (1998: 85) bahwa Hermeneutik merupakan sebuah usaha dalam mencari kebenaran ilmu dengan cara mencari makna dari susunan kalimat, konteks budaya, tafsir transendensi dan lain-lain. Konsep teorinya berangkat dari linguistik, dan menangkap seluruh teks bacaan. Noeng juga memandang kebermaknaan sesuatu dapat dilandaskan pada narasi bahasa, historis, hukum, etika atau lainnya. Gambaran umum dari pengertian "henneneutika" diungkapkan juga oleh Zygmunt Bauman, yakni "sebagai upaya menjelaskan dan menelusuri pesan dan pengertian dasar dari sebuah ucapan atau tulisan yang tidak jelas, kabur, remang-remang, dan kontradiktif, yang menimbulkan kebingungan bagi pendengar ataupembaca" (Faiz. 2003:22). Secara epistemologi, istilah "hermeneutik" berasal dari bahasa Yunani hermeneuein yang berarti "menafsirkan", dan kata bendanya hermeneia yang berarti "penafsiran" atau "interpretasi", dan kata hermeneutes yang berarti interpreter 20

21 (penafsir). Istilah Yunani berkenaan dengan kata "hermenuetik" ini dihubungkan dengan nama dewa Hennes, yaitu seorang utusan yang bertugas menyampaikan pesanpesan Jupiter kepada umat manusia. Tugas Hennes menerjemahkan pesan-pesan dari dewa di Gunung Olympus itu ke dalam bahasa yang dapat dimengerti oleh manusia. Di sini, Hermes memiliki peran dan fungsi yang sangat vital sebab apabila terjadi kesesatan dalam memahami dan menginterpretasikan pesan dewa maka akan berakibat buruk bagi umat manusia. Oleh karena itupula, Hernes merupakan simbol seorang duta yang ditugasi menginterpretasikan pesan, dan berhasil tidaknya tugas itu sepenuhnya tergantung bagaimana pesan tersebut disampaikan (Sumaryono, 1999:23-24). Kata "hermeneutika" dipilih karena kata ini dalam bahasa Inggris merupakan bentuk singular, hermeneutics ("s"), yang apabila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi hermeneutika ( a ). Palmer (2003: vii) mengatakan bahwa diperoleh dua keuntungan apabila memilih hermeneutika, antara lain: pertama dapat menunjuk kepada bidang hermeneutika secara umum; dan membedakan spesifikasi, misalnya hermeneutik Hans-Georg Gadamer; di samping itu, membedakannya dengan bentuk adjektif "hermeneutik" (hermeneutic tanpa huruf "s") atau "hermeneutis" (hermeneutical). Oleh sebab itu, "hermeneutik" cenderung terdengar sebagai adjektif, kecuali disertai "the ". 8 Dalam perkembangannya, hermeneutika mengalami fase-fase dialektis dan kritis. Dialektika dalam kajian hermeneutika ini, merupakan bagian dari usaha penyempurnaan pandangan sebuah model penafsiran. Periodesasi kajian hermeneutika dimulai pada masa Friedrich Schleiermacher ( ). Dalam berbagai tulisannya, Schleiermacher menjelaskan bahwa hermeneutik terdapat dua dimensi penafsiran, yakni pertama disebut grammatical interpretation dan kedua psychological interpretation. Grammatical interpretation yakni dimensi ini terkait dengan pemahaman terhadap aspek kebahasaan. Sedangkan dimensi psychological interpretation yaitu suatu dimensi yang menggali aspek-aspek orisinalitas dan idieologi individual yang masih absurd dari pengarang (author). Dimensi kedua ini memungkinkan bagi seorang untuk memahami atau mengetahui mengenai segala macam hal tentang pribadi pengarang yang pada akhirnya pengetahuan tersebut akan membantu seorang peneliti menemukan juga memahami makna teks lebih mendalam. 8 Lihat Abdul Wachid B.S. Imaji. Vol. 4. No. 2. Agustus

Lihat Musa, M. Yusuf. 1988: 131, Ya qub, Hamzah. 1988:11, Marzuki, M.Ag. Dr. 2009

Lihat Musa, M. Yusuf. 1988: 131, Ya qub, Hamzah. 1988:11, Marzuki, M.Ag. Dr. 2009 BAB V KESIMPULAN 5.1. Simpulan Berdasarkan pembahasan sepanjang bab di penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa: Pertama, perbedaan pandangan humanisme sekuler dengan humanisme teosentris terletak pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Sebuah manuskrip dalam aksara Latin yang berjudul Tjajar Sapi berisi tentang

BAB I PENDAHULUAN Sebuah manuskrip dalam aksara Latin yang berjudul Tjajar Sapi berisi tentang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berkembangnya aksara Latin pada awal abad ke-20 secara perlahan-lahan menggeser penggunaan aksara Arab-Melayu di Nusantara. Campur tangan bangsa Eropa (Belanda) dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Naskah kuno merupakan warisan budaya masa lampau yang penting dan patut

BAB I PENDAHULUAN. Naskah kuno merupakan warisan budaya masa lampau yang penting dan patut 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Naskah kuno merupakan warisan budaya masa lampau yang penting dan patut dilestarikan. Kita juga perlu mempelajarinya karena di dalamnya terkandung nilainilai luhur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dikaruniai berbagai kelebihan dibandingkan dengan ciptaan lainnya. Karunia itu

BAB I PENDAHULUAN. dikaruniai berbagai kelebihan dibandingkan dengan ciptaan lainnya. Karunia itu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia adalah makhluk hidup ciptaan Tuhan Yang Maha Esa dan dikaruniai berbagai kelebihan dibandingkan dengan ciptaan lainnya. Karunia itu berupa akal, cipta, rasa,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Naskah kuno merupakan salah satu warisan nenek moyang yang masih tersimpan dengan baik di beberapa perpustakaan daerah, seperti Perpustakaan Pura Pakualaman dan Museum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebudayaan masa lampau, karena naskah-naskah tersebut merupakan satu dari berbagai

BAB I PENDAHULUAN. kebudayaan masa lampau, karena naskah-naskah tersebut merupakan satu dari berbagai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Khasanah budaya bangsa Indonesia yang berupa naskah klasik, merupakan peninggalan nenek moyang yang masih dapat dijumpai hingga sekarang. Naskah-naskah

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. A. Penelitian Terdahulu

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. A. Penelitian Terdahulu BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR A. Penelitian Terdahulu Pembahasan masalah nilai etika dalam kaitannya dengan naskah ADK menjadi topik penting yang selalu dibicarakan, karena masalah ini menyangkut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang kaya kebudayaan. Kebudayaan tersebut

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang kaya kebudayaan. Kebudayaan tersebut 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara yang kaya kebudayaan. Kebudayaan tersebut tersebar di daerah-daerah sehingga setiap daerah memiliki kebudayaan yang berbeda-beda.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia merupakan gugusan pulau dan kepulauan yang memiliki beragam warisan budaya dari masa lampau. Kekayaan-kekayaan yang merupakan wujud dari aktivitas-aktivitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Allah menciptakan manusia sebagai satu-satunya makhluk yang memiliki

BAB I PENDAHULUAN. Allah menciptakan manusia sebagai satu-satunya makhluk yang memiliki BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Allah menciptakan manusia sebagai satu-satunya makhluk yang memiliki kesempurnaan lebih dibandingkan dengan makhluk lainnya. Dalam al-quran, Allah berfirman:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Restu Nur Karimah, 2015

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Restu Nur Karimah, 2015 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Dalam mempelajari suatu agama, aspek yang pertama dipertimbangkan sekaligus harus dikaji ialah konsep ketuhanannya. Dari konsep ketuhanan, akan diketahui

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pradopo (1988:45-58) memberi batasan, bahwa karya sastra yang bermutu

BAB 1 PENDAHULUAN. Pradopo (1988:45-58) memberi batasan, bahwa karya sastra yang bermutu BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembicaraan karya sastra tidak lepas dari penilaian-penilaian. Pradopo (1988:45-58) memberi batasan, bahwa karya sastra yang bermutu seni adalah yang imajinatif,

Lebih terperinci

EMPAT BELAS ABAD PELAKSANAAN CETAK-BIRU TUHAN

EMPAT BELAS ABAD PELAKSANAAN CETAK-BIRU TUHAN EMPAT BELAS ABAD PELAKSANAAN CETAK-BIRU TUHAN EMPAT BELAS ABAD PELAKSANAAN CETAK-BIRU TUHAN Oleh Nurcholish Madjid Seorang Muslim di mana saja mengatakan bahwa agama sering mendapatkan dukungan yang paling

Lebih terperinci

BAB 7. Standar Kompetensi. Memahami kesamaan dan keberagaman Bahasa dan Dialek. Kompetensi Dasar. Tujuan Pembelajaran

BAB 7. Standar Kompetensi. Memahami kesamaan dan keberagaman Bahasa dan Dialek. Kompetensi Dasar. Tujuan Pembelajaran BAB 7 Standar Kompetensi Memahami kesamaan dan keberagaman Bahasa dan Dialek Kompetensi Dasar 1. Menjelaskan keberadaan dan perkembangan tradisi lisan dalam masyarakat setempat. 2. Mengembangkan sikap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra sebagai karya seni bersifat kreatif, artinya sebagai hasil ciptaan manusia

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra sebagai karya seni bersifat kreatif, artinya sebagai hasil ciptaan manusia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Karya sastra sebagai karya seni bersifat kreatif, artinya sebagai hasil ciptaan manusia yang berupa karya bahasa. Dari zaman ke zaman sudah banyak orang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Koentjaraningrat mengatakan bahwa kata budaya berasal dari bahasa Sanksekerta budhayah yang berasal dari bentuk jamak kata budhi yang berarti budi dan akal. Kebudayaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan termasuk salah satu dasar pengembangan karakter seseorang. Karakter merupakan sifat alami jiwa manusia yang telah melekat sejak lahir (Wibowo, 2013:

Lebih terperinci

Gagasan tentang Tuhan yang dibentuk oleh sekelompok manusia pada satu generasi bisa saja menjadi tidak bermakna bagi generasi lain.

Gagasan tentang Tuhan yang dibentuk oleh sekelompok manusia pada satu generasi bisa saja menjadi tidak bermakna bagi generasi lain. TUHAN? Gagasan manusia tentang Tuhan memiliki sejarah, karena gagasan itu selalu mempunyai arti yang sedikit berbeda bagi setiap kelompok manusia yang menggunakannya di berbagai periode waktu. Gagasan

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. kalangan masyarakat, bahwa perempuan sebagai anggota masyarakat masih

BAB V PENUTUP. kalangan masyarakat, bahwa perempuan sebagai anggota masyarakat masih BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Munculnya feminisme memang tak lepas dari akar persoalan yang ada di kalangan masyarakat, bahwa perempuan sebagai anggota masyarakat masih dianggap sebagai makhluk inferior.

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat,

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat, BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sosiologi dan Sastra Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat, sedangkan objek ilmu-ilmu kealaman adalah gejala alam. Masyarakat adalah

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata Kunci: kritik sosial, bentuk, masalah, syair.

ABSTRAK. Kata Kunci: kritik sosial, bentuk, masalah, syair. ABSTRAK Lucyana. 2018. Kritik Sosial dalam Syair Nasib Melayu Karya Tenas Effendy. Skripsi, Program Studi Sastra Indonesia, FIB Universitas Jambi, Pembimbing: (I) Dr. Drs. Maizar Karim, M.Hum (II) Dwi

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. penelitian, maka pada subbab ini akan dijelaskan rancangan-rancangan tersebut.

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. penelitian, maka pada subbab ini akan dijelaskan rancangan-rancangan tersebut. BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Agar peneliti dan pembaca mendapatkan gambaran yang jelas mengenai rancangan penelitian, maka pada subbab ini akan dijelaskan rancangan-rancangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Allah Swt. menciptakan makhluk-nya tidak hanya wujudnya saja, tetapi

BAB I PENDAHULUAN. Allah Swt. menciptakan makhluk-nya tidak hanya wujudnya saja, tetapi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Allah Swt. menciptakan makhluk-nya tidak hanya wujudnya saja, tetapi dilengkapi dengan perangkat lain yang menunjang segala kehidupan makhluk- Nya di muka bumi.

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP Kesimpulan

BAB V PENUTUP Kesimpulan BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Setelah melalui pembahasan dan analisis dari bab I sampai bab IV, maka ada beberapa hal yang sekiranya perlu penulis tekankan untuk menjadi kesimpulan dalam skripsi ini, yaitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan wujud dari proses imajinatif dan kreatif pengarang.

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan wujud dari proses imajinatif dan kreatif pengarang. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra merupakan wujud dari proses imajinatif dan kreatif pengarang. Adapun proses kreatif itu berasal dari pengalaman pengarang sebagai manusia yang hidup di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seluruh tanah air hingga kini masih tersimpan karya-karya sastra lama. Penggalian

BAB I PENDAHULUAN. seluruh tanah air hingga kini masih tersimpan karya-karya sastra lama. Penggalian 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Berbahagialah kita bangsa Indonesia, bahwa hampir di setiap daerah di seluruh tanah air hingga kini masih tersimpan karya-karya sastra lama. Penggalian karya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sampai pada periode modern, mengalami pasang surut antara kemajuan

BAB I PENDAHULUAN. sampai pada periode modern, mengalami pasang surut antara kemajuan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perjalanan umat Islam dari periode Nabi Muhammad Saw. diutus sampai pada periode modern, mengalami pasang surut antara kemajuan dan kemunduran yang dialami

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. pemikiran si peneliti karena menentukan penetapan variabel. Berdasarkan Kamus Besar

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. pemikiran si peneliti karena menentukan penetapan variabel. Berdasarkan Kamus Besar BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Konsep adalah unsur penelitian yang amat mendasar dan menentukan arah pemikiran si peneliti karena menentukan penetapan variabel. Berdasarkan

Lebih terperinci

BAB VIII KESIMPULAN. kesengsaraan, sekaligus kemarahan bangsa Palestina terhadap Israel.

BAB VIII KESIMPULAN. kesengsaraan, sekaligus kemarahan bangsa Palestina terhadap Israel. BAB VIII KESIMPULAN Puisi Maḥmūd Darwīsy merupakan sejarah perlawanan sosial bangsa Palestina terhadap penjajahan Israel yang menduduki tanah Palestina melalui aneksasi. Puisi perlawanan ini dianggap unik

Lebih terperinci

- 1 - PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2014 TENTANG PENGEMBANGAN, PEMBINAAN, DAN PELINDUNGAN BAHASA

- 1 - PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2014 TENTANG PENGEMBANGAN, PEMBINAAN, DAN PELINDUNGAN BAHASA - 1 - PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2014 TENTANG PENGEMBANGAN, PEMBINAAN, DAN PELINDUNGAN BAHASA DAN SASTRA, SERTA PENINGKATAN FUNGSI BAHASA INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Al-Ghazali (w M) adalah salah satu tokoh pemikir paling populer bagi

BAB I PENDAHULUAN. Al-Ghazali (w M) adalah salah satu tokoh pemikir paling populer bagi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Al-Ghazali (w. 1111 M) adalah salah satu tokoh pemikir paling populer bagi umat Islam hingga saat ini. Montgomerry Watt (Purwanto dalam pengantar Al- Ghazali,

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Konsep adalah gambaran mental dari suatu objek, proses, atau apapun

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Konsep adalah gambaran mental dari suatu objek, proses, atau apapun BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Konsep adalah gambaran mental dari suatu objek, proses, atau apapun yang ada diluar bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal

Lebih terperinci

Pendidikan Agama Islam

Pendidikan Agama Islam Pendidikan Agama Islam Modul ke: Pendidikan dan Kompetensi Fakultas PSIKOLOGI Program Studi Psikologi www.mercubuana.ac.id Dian Febrianingsih, M.S.I Pengantar Islam yang terdiri dari berbagai dimensi ajaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat dibaca dalam peningglan-peninggalan yang berupa tulisan.

BAB I PENDAHULUAN. dapat dibaca dalam peningglan-peninggalan yang berupa tulisan. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Naskah merupakan sebuah bentuk karya tulis yang berupa bahan kertas atau buku tercipta dalam kurun waktu tertentu dapat terjadi penggerak tentang keadaan dan situasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. metafisika pada puncaknya. Kemudian pada pasca-pencerahan (sekitar abad ke-

BAB I PENDAHULUAN. metafisika pada puncaknya. Kemudian pada pasca-pencerahan (sekitar abad ke- BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada abad pencerahan (Aufklarung) telah membawa sikap kritis atas metafisika pada puncaknya. Kemudian pada pasca-pencerahan (sekitar abad ke- 19) di Jerman,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan wujud dari pengabdian perasaan dan pikiran pengarang yang muncul ketika ia berhubungan dengan lingkungan sekitar. Sastra dianggap sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berperan penting atau tokoh pembawa jalannya cerita dalam karya sastra.

BAB I PENDAHULUAN. berperan penting atau tokoh pembawa jalannya cerita dalam karya sastra. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Karya sastra memuat perilaku manusia melalui karakter tokoh-tokoh cerita. Hadirnya tokoh dalam suatu karya dapat menghidupkan cerita dalam karya sastra. Keberadaan

Lebih terperinci

- 1 - PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2014 TENTANG PENGEMBANGAN, PEMBINAAN, DAN PELINDUNGAN BAHASA

- 1 - PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2014 TENTANG PENGEMBANGAN, PEMBINAAN, DAN PELINDUNGAN BAHASA SALINAN - 1 - PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2014 TENTANG PENGEMBANGAN, PEMBINAAN, DAN PELINDUNGAN BAHASA DAN SASTRA, SERTA PENINGKATAN FUNGSI BAHASA INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

Sumardjo & Saini (1994: 3) mengungkapkan bahwa sastra adalah ungkapan pribadi

Sumardjo & Saini (1994: 3) mengungkapkan bahwa sastra adalah ungkapan pribadi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1. Relasi antara Sastra, Kebudayaan, dan Peradaban Sumardjo & Saini (1994: 3) mengungkapkan bahwa sastra adalah ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman,

Lebih terperinci

MENGENAL ISLAM. Disampaikan pada perkuliahan PENDIDIKAN AGAMA ISLAM kelas PKK H. U. ADIL, SS., SHI., MH. Modul ke: Fakultas ILMU KOMPUTER

MENGENAL ISLAM. Disampaikan pada perkuliahan PENDIDIKAN AGAMA ISLAM kelas PKK H. U. ADIL, SS., SHI., MH. Modul ke: Fakultas ILMU KOMPUTER Modul ke: MENGENAL ISLAM Disampaikan pada perkuliahan PENDIDIKAN AGAMA ISLAM kelas PKK Fakultas ILMU KOMPUTER H. U. ADIL, SS., SHI., MH. Program Studi SISTEM INFORMASI www.mercubuana.ac.id Sumbangan Islam

Lebih terperinci

PENGANTAR ILMU SEJARAH

PENGANTAR ILMU SEJARAH Resume Buku PENGANTAR ILMU SEJARAH Karya: Prof. Dr. Kuntowijoyo Oleh: Tedi Permadi Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Pendidikan Bahasa dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan sosial, dan karya sastra memiliki kaitan yang sangat erat. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan sosial, dan karya sastra memiliki kaitan yang sangat erat. Menurut 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Moral, kebudayaan, kehidupan sosial, dan karya sastra memiliki ruang lingkup yang luas di kehidupan masyarakat, sebab sastra lahir dari kebudayaan masyarakat. Aspek

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP. A. Kesimpulan. Adapun kesimpulan tersebut terdapat dalam poin-poin berikut:

BAB VI PENUTUP. A. Kesimpulan. Adapun kesimpulan tersebut terdapat dalam poin-poin berikut: BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan Uraian akhir dari analisa atas pemikiran Frithjof Schuon tentang makna agama dalam perspektif Filsafat Agama adalah bagian kesimpulan, yang merupakan rangkuman jawaban atas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Secara teoretis kita dapat melakukan berbagai macam bandingan, di antaranya (a) bandingan intratekstual, seperti studi filologi, yang menitikberatkan pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terbesar di dunia. Perkembangan Islam di Indonesia khususnya pulau Jawa sangat

BAB I PENDAHULUAN. terbesar di dunia. Perkembangan Islam di Indonesia khususnya pulau Jawa sangat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan Negara dengan penduduk pemeluk agama Islam terbesar di dunia. Perkembangan Islam di Indonesia khususnya pulau Jawa sangat pesat, hal ini tak luput

Lebih terperinci

Islam dan Sekularisme

Islam dan Sekularisme Islam dan Sekularisme Mukaddimah Mengikut Kamus Dewan:- sekular bermakna yang berkaitan dengan keduniaan dan tidak berkaitan dengan keagamaan. Dan sekularisme pula bermakna faham, doktrin atau pendirian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang telah mengalami perkembangan selama lebih dari bertahun-tahun. Peran

BAB I PENDAHULUAN. yang telah mengalami perkembangan selama lebih dari bertahun-tahun. Peran 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa dan sastra adalah cermin kebudayaan dan sebagai rekaman budaya yang telah mengalami perkembangan selama lebih dari bertahun-tahun. Peran penting bahasa dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. objeknya manusia dan kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai

BAB I PENDAHULUAN. objeknya manusia dan kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Penelitian Karya sastra merupakan suatu bentuk dan hasil pekerjaan kreatif yang objeknya manusia dan kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai medianya (Semi,1989:8).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. genre-genre yang lain. Istilah prosa sebenarnya dapat menyaran pada pengertian

BAB I PENDAHULUAN. genre-genre yang lain. Istilah prosa sebenarnya dapat menyaran pada pengertian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dunia kesastraan mengenal prosa sebagai salah satu genre sastra di samping genre-genre yang lain. Istilah prosa sebenarnya dapat menyaran pada pengertian yang lebih

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2014 TENTANG PENGEMBANGAN, PEMBINAAN, DAN PELINDUNGAN BAHASA DAN SASTRA, SERTA PENINGKATAN FUNGSI BAHASA INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia adalah makhluk budaya mengandung pengertian bahwa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia adalah makhluk budaya mengandung pengertian bahwa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia adalah makhluk budaya mengandung pengertian bahwa kebudayaan merupakan ukuran dalam hidup dan tingkah laku manusia. Kebudayaan tercakup hal-hal bagaimana tanggapan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS APLIKASI KONESP EKSISTENSI PROFETIK KUNTOWIJOYO. Dunia yang senantiasa berkembang, berkonsekuensi pada perubahan realitas,

BAB IV ANALISIS APLIKASI KONESP EKSISTENSI PROFETIK KUNTOWIJOYO. Dunia yang senantiasa berkembang, berkonsekuensi pada perubahan realitas, 78 BAB IV ANALISIS APLIKASI KONESP EKSISTENSI PROFETIK KUNTOWIJOYO Dunia yang senantiasa berkembang, berkonsekuensi pada perubahan realitas, baik yang tampak ataupun tidak tampak. Manusia pun mau tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan seni yang bermediumkan bahasa dan dalam proses terciptanya melalui intensif, selektif, dan subjektif. Penciptaan suatu karya sastra bermula

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. rasakan atau yang mereka alami. Menurut Damono (2003:2) karya sastra. selama ini tidak terlihat dan luput dari pengamatan.

BAB I PENDAHULUAN. rasakan atau yang mereka alami. Menurut Damono (2003:2) karya sastra. selama ini tidak terlihat dan luput dari pengamatan. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra merupakan salah satu bentuk media yang digunakan untuk menerjemahkan ide-ide pengarang. Di dalam karya sastra, pengarang merefleksikan realitas yang ada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sekali. Selain membawa kemudahan dan kenyamanan hidup umat manusia.

BAB I PENDAHULUAN. sekali. Selain membawa kemudahan dan kenyamanan hidup umat manusia. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di era global, plural, multikultural seperti sekarang setiap saat dapat saja terjadi peristiwa-peristiwa yang tidak dapat terbayangkan dan tidak terduga sama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengarang menciptakan karya sastra sebagai ide kreatifnya. Sebagai orang yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengarang menciptakan karya sastra sebagai ide kreatifnya. Sebagai orang yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra tercipta sebagai reaksi dinamika sosial dan kultural yang terjadi dalam masyarakat. Terdapat struktur sosial yang melatarbelakangi seorang pengarang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Secara etimologis kata kesusastraan berasal dari kata su dan sastra. Su berarti

BAB I PENDAHULUAN. Secara etimologis kata kesusastraan berasal dari kata su dan sastra. Su berarti BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara etimologis kata kesusastraan berasal dari kata su dan sastra. Su berarti baik dan sastra (dari bahasa Sansekerta) berarti tulisan atau karangan. Dari pengertian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan karya seni kreatif yang menjadikan manusia

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan karya seni kreatif yang menjadikan manusia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra merupakan karya seni kreatif yang menjadikan manusia dengan segala kompleks persoalan hidup sebagai objeknya, dan bahasa sebagai mediumnya. Peristiwa dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seperti kebudayaan Minang, Sumba, Timor, Alor dan lain-lain). Dalam Ilmu

BAB I PENDAHULUAN. seperti kebudayaan Minang, Sumba, Timor, Alor dan lain-lain). Dalam Ilmu BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia dibangun dari berbagai kebudayaan dan berbagai etnis, yang berbeda kualitas dan kuantitasnya. Setiap etnis (kebudayaan-kebudayaan lokal seperti kebudayaan

Lebih terperinci

89. Mata Pelajaran Sastra Indonesia untuk Sekolah Menengah Atas (SMA)/Madrasah Aliyah (MA) Program Bahasa

89. Mata Pelajaran Sastra Indonesia untuk Sekolah Menengah Atas (SMA)/Madrasah Aliyah (MA) Program Bahasa 89. Mata Pelajaran Sastra Indonesia untuk Sekolah Menengah Atas (SMA)/Madrasah Aliyah (MA) Program Bahasa A. Latar Belakang Mata pelajaran Sastra Indonesia berorientasi pada hakikat pembelajaran sastra

Lebih terperinci

Filsafat Ilmu dalam Perspektif Studi Islam Oleh: Maman Suratman

Filsafat Ilmu dalam Perspektif Studi Islam Oleh: Maman Suratman Filsafat Ilmu dalam Perspektif Studi Islam Oleh: Maman Suratman Berbicara mengenai filsafat, yang perlu diketahui terlebih dahulu bahwa filsafat adalah induk dari segala disiplin ilmu pengetahuan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. rahmat Allah SWT karena leluhur kita telah mewariskan khazanah kebudayaan

BAB I PENDAHULUAN. rahmat Allah SWT karena leluhur kita telah mewariskan khazanah kebudayaan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar, yang wajib kita mensyukuri rahmat Allah SWT karena leluhur kita telah mewariskan khazanah kebudayaan yang tidak ternilai

Lebih terperinci

SUMBER-SUMBER DAN NILAI DALAM PERILAKU ETIKA. Week 6

SUMBER-SUMBER DAN NILAI DALAM PERILAKU ETIKA. Week 6 SUMBER-SUMBER DAN NILAI DALAM PERILAKU ETIKA Week 6 Agama Islam menganggap etika sebagai cabang dari Iman, dan ini muncul dari pandangan dunia islam sebagai cara hidup manusia. Istilah etika yang paling

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. penemuan penelitian. Penelitian ini mengambil cerita rakyat Onggoloco sebagai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. penemuan penelitian. Penelitian ini mengambil cerita rakyat Onggoloco sebagai digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian sastra lisan sangat penting untuk dilakukan sebagai perlindungan dan pemeliharaan tradisi, pengembangan dan revitalisasi, melestarikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. anggota masyarakat yang berkembang sesuai dengan lingkungannya. Karya

BAB I PENDAHULUAN. anggota masyarakat yang berkembang sesuai dengan lingkungannya. Karya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan peradaban manusia tidak pernah terlepas dari apa yang disebut karya sastra. Karya sastra merupakan hasil ide atau pemikiran dari anggota masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. khususnya bahasa Indonesia sebagai salah satu mata pelajaran yang penting dan

BAB I PENDAHULUAN. khususnya bahasa Indonesia sebagai salah satu mata pelajaran yang penting dan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembelajaran bahasa merupakan salah satu aspek yang penting dalam kehidupan manusia. Kemampuan berbahasa seseorang dapat menunjukkan kepribadian serta pemikirannya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Budi Utomo, 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Budi Utomo, 2014 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pulau Bangka merupakan pulau kecil di sebelah selatan Sumatra. Pulau ini sudah terkenal sejak abad ke-6. Hal ini dibuktikan dengan adanya peninggalan prasasti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tidak ada sekat secara tidak langsung menciptakan batas batas moralitas

BAB I PENDAHULUAN. tidak ada sekat secara tidak langsung menciptakan batas batas moralitas BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kehidupan masyarakat di era modern dengan mengglobalnya budaya yang tidak ada sekat secara tidak langsung menciptakan batas batas moralitas semakin tipis. Semisal agama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Salah satu tumpuan serta puncak keagungan bangsa adalah berupa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Salah satu tumpuan serta puncak keagungan bangsa adalah berupa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu tumpuan serta puncak keagungan bangsa adalah berupa karya sastra lama. Nilai-nilai budaya suatu bangsa yang dalam kurun waktu tertentu sangat dapat

Lebih terperinci

Masuknya Hermeneutika dalam Lingkup Ilmu Tafsir (Review atas Artikel Sofyan A.P. Kau) Oleh: Wahidatul Wafa dan Asep Supianudin

Masuknya Hermeneutika dalam Lingkup Ilmu Tafsir (Review atas Artikel Sofyan A.P. Kau) Oleh: Wahidatul Wafa dan Asep Supianudin Masuknya Hermeneutika dalam Lingkup Ilmu Tafsir (Review atas Artikel Sofyan A.P. Kau) Oleh: Wahidatul Wafa dan Asep Supianudin Abstrak Pada awalnya, Tafsir dan Hermeneutik berawal dari tempat dan tradisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan ungkapan kehidupan manusia yang memiliki nilai dan disajikan melalui bahasa yang menarik. Karya sastra bersifat imajinatif dan kreatif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah proses perubahan atau pendewasaan manusia, berawal dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak biasa menjadi biasa, dari tidak paham menjadi pahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. 1 Drs. Atar Semi. Kritik Sastra, 1984: Ibid. Hal. 52.

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. 1 Drs. Atar Semi. Kritik Sastra, 1984: Ibid. Hal. 52. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesusastraan merupakan sebuah bentuk ekspresi atau pernyataan kebudayaan dalam suatu masyarakat. Sebagai ekspresi kebudayaan, kesusastraan mencerminkan sistem sosial,

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. ini. Varian fundamentalisme sudah banyak dikategorisasikan oleh para

BAB V PENUTUP. ini. Varian fundamentalisme sudah banyak dikategorisasikan oleh para BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Sejarah fundamentalisme Islam di Indonesia mengalami perkembangan yang dinamis dari era orde lama sampai orde reformasi saat ini. Varian fundamentalisme sudah banyak dikategorisasikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat berupa benda (tangible culture) atau budaya-budaya non-benda (intangible

BAB I PENDAHULUAN. dapat berupa benda (tangible culture) atau budaya-budaya non-benda (intangible BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang memiliki banyak kekayaan kebudayaan yang tak ternilai harganya. Kebudayaan yang dimaksud dapat berupa benda (tangible

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Dari masa ke masa banyak pujangga yang menghasilkan karya sastra. dengan berbagai bentuk dan gaya penulisan sebagai pengukuh segi

PENDAHULUAN. Dari masa ke masa banyak pujangga yang menghasilkan karya sastra. dengan berbagai bentuk dan gaya penulisan sebagai pengukuh segi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Dari masa ke masa banyak pujangga yang menghasilkan karya sastra dengan berbagai bentuk dan gaya penulisan sebagai pengukuh segi estetika. Apapun bentuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tentunya sangat berkaitan dengan hidup dan kehidupan manusia serta kemanusiaan. Ia

BAB I PENDAHULUAN. tentunya sangat berkaitan dengan hidup dan kehidupan manusia serta kemanusiaan. Ia 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra merupakan salah satu cabang kesenian yang selalu berada dalam peradaban manusia semenjak ribuan tahun lalu. Penelitian terhadap karya sastra penting

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. materi yang harus diajarkan dalam mata pelajaran Bahasa dan Sastra

BAB I PENDAHULUAN. materi yang harus diajarkan dalam mata pelajaran Bahasa dan Sastra 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Karya sastra, yaitu puisi, prosa (cerpen dan novel), dan drama adalah materi yang harus diajarkan dalam mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. keduanya. Sastra tumbuh dan berkembang karena eksistensi manusia dan sastra

BAB 1 PENDAHULUAN. keduanya. Sastra tumbuh dan berkembang karena eksistensi manusia dan sastra 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sastra bukanlah hal yang asing bagi manusia, bahkan sastra begitu akrab karena dengan atau tanpa disadari terdapat hubungan timbal balik antara keduanya.

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS KONSEP HUMANISME RELIGIUS SEBAGAI PARADIGMA PENDIDIKAN ISLAM MENURUT ABDURRAHMAN MAS UD

BAB IV ANALISIS KONSEP HUMANISME RELIGIUS SEBAGAI PARADIGMA PENDIDIKAN ISLAM MENURUT ABDURRAHMAN MAS UD BAB IV ANALISIS KONSEP HUMANISME RELIGIUS SEBAGAI PARADIGMA PENDIDIKAN ISLAM MENURUT ABDURRAHMAN MAS UD Berbagai pengertian dan pengembangan pendidikan Islam yang disampaikan oleh beberapa ahli pendidikan

Lebih terperinci

METODE HERMENEUTIKA UNTUK AL-QUR AN

METODE HERMENEUTIKA UNTUK AL-QUR AN l Edisi 029, Oktober 2011 P r o j e c t METODE HERMENEUTIKA UNTUK AL-QUR AN i t a i g k a a n D Ahmad Fuad Fanani Edisi 029, Oktober 2011 1 Edisi 029, Oktober 2011 Metode Hermeneutika untuk Al-Qur an Al-Qur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Papua seperti seekor burung raksasa, Kabupaten Teluk Wondama ini terletak di

BAB I PENDAHULUAN. Papua seperti seekor burung raksasa, Kabupaten Teluk Wondama ini terletak di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Teluk Wondama merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Papua Barat, yang baru berdiri pada 12 April 2003. Jika dilihat di peta pulau Papua seperti seekor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diajarkan. Pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di sekolah bagi siswa. intelektual, emosional maupun budi pekerti.

BAB I PENDAHULUAN. diajarkan. Pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di sekolah bagi siswa. intelektual, emosional maupun budi pekerti. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dunia pendidikan kini telah berkembang searah dengan kebutuhan masyarakat yang dinamis. Perkembangan ini tentunya mempengaruhi berbagai disiplin ilmu yang telah ada

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP. A. Kesimpulan. terhadap api dan segala bentuk benda tajam. Seni dan budaya debus kini menjadi

BAB VI PENUTUP. A. Kesimpulan. terhadap api dan segala bentuk benda tajam. Seni dan budaya debus kini menjadi BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan Debus, berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya, merupakan suatu bentuk seni dan budaya yang menampilkan peragaan kekebalan tubuh seseorang terhadap api dan segala bentuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra merupakan suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya, dengan medium bahasa. Sebagai

Lebih terperinci

UNIVERSITI KEBANGSAAN MALAYSIA FAKULTI PENGAJIAN ISLAM

UNIVERSITI KEBANGSAAN MALAYSIA FAKULTI PENGAJIAN ISLAM UNIVERSITI KEBANGSAAN MALAYSIA FAKULTI PENGAJIAN ISLAM HHHC9401 KEMAHIRAN NILAI, SIKAP, ETIKA DAN PROFESIONALISME SET 14 KONSEP ETIKA DAN MORAL DISEDIAKAN OLEH: FATIMAH BINTI HUSSIN A 144901 DISEDIAKAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sastra sebagai cabang dari seni, yang keduanya unsur integral dari

BAB I PENDAHULUAN. Sastra sebagai cabang dari seni, yang keduanya unsur integral dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sastra sebagai cabang dari seni, yang keduanya unsur integral dari kebudayaan. Usianya sudah cukup tua. Kehadiran hampir bersamaan dengan adanya manusia. Karena ia diciptakan

Lebih terperinci

SAMSURI UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

SAMSURI UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA Handout 4 Pendidikan PANCASILA SAMSURI UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA PANCASILA sebagai Sistem Filsafat Kita simak Pengakuan Bung Karno tentang Pancasila Pancasila memuat nilai-nilai universal Nilai-nilai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. itu, dalam UU RI No. 20, Tahun 2003 menjelaskan bahwa pendidikan berfungsi

BAB I PENDAHULUAN. itu, dalam UU RI No. 20, Tahun 2003 menjelaskan bahwa pendidikan berfungsi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan sarana yang menumbuh kembangkan potensi kemanusiaan untuk bermasyarakat dan menjadi manusia yang sempurna. Selain itu, dalam UU RI No. 20,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sastra adalah penafsiran kebudayaan yang jitu. Sastra bukan sekadar seni

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sastra adalah penafsiran kebudayaan yang jitu. Sastra bukan sekadar seni BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sastra adalah penafsiran kebudayaan yang jitu. Sastra bukan sekadar seni yang merekam kembali alam kehidupan, akan tetapi yang memperbincangkan kembali lewat suatu

Lebih terperinci

AGAMA dan PERUBAHAN SOSIAL. Oleh : Erna Karim

AGAMA dan PERUBAHAN SOSIAL. Oleh : Erna Karim AGAMA dan PERUBAHAN SOSIAL Oleh : Erna Karim DEFINISI AGAMA MENGUNDANG PERDEBATAN POLEMIK (Ilmu Filsafat Agama, Teologi, Sosiologi, Antropologi, dan Ilmu Perbandingan Agama) TIDAK ADA DEFINISI AGAMA YANG

Lebih terperinci

BAB IV ANALISA. masyarakat Jemur Wonosari yang beragama Islam meyakini bahwa al-qur an

BAB IV ANALISA. masyarakat Jemur Wonosari yang beragama Islam meyakini bahwa al-qur an BAB IV ANALISA Melihat dari hasil penelitian yang telah dilakukan, bahwa mayoritas masyarakat Jemur Wonosari yang beragama Islam meyakini bahwa al-qur an merupakan acuan moral untuk memecahkan problem

Lebih terperinci

Teori Kebudayaan Menurut E.K.M. Masinambow. Oleh. Muhammad Nida Fadlan 1

Teori Kebudayaan Menurut E.K.M. Masinambow. Oleh. Muhammad Nida Fadlan 1 Teori Kebudayaan Menurut E.K.M. Masinambow Oleh. Muhammad Nida Fadlan 1 Sebagai seorang akademisi yang sangat memperhatikan aspek-aspek pengajaran dan pengembangan kebudayaan, E.K.M. Masinambow merupakan

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI. 12 Universitas Indonesia

BAB 2 LANDASAN TEORI. 12 Universitas Indonesia BAB 2 LANDASAN TEORI Kehidupan sosial dapat mendorong lahirnya karya sastra. Pengarang dalam proses kreatif menulis dapat menyampaikan ide yang terinspirasi dari lingkungan sekitarnya. Kedua elemen tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Nusantara memiliki beberapa jenis kesusastraan yang diciptakan, berkembang dan dilestarikan oleh masyarakat pendukungnya. Salah satu kesusastraan yang berkembang

Lebih terperinci

A. Persamaan Pemikiran Imam Mawardi dengan Ali Abdul Raziq tentang Konsep

A. Persamaan Pemikiran Imam Mawardi dengan Ali Abdul Raziq tentang Konsep BAB IV PERBANDINGAN KONSEP NEGARA MENURUT PEMIKIRAN IMAM MAWARDI DENGAN ALI ABDUL RAZIQ A. Persamaan Pemikiran Imam Mawardi dengan Ali Abdul Raziq tentang Konsep Negara Dalam tulisan ini hampir semua pemikiran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bangsa Indonesia terdiri atas beberapa suku bangsa, masing-masing suku

BAB I PENDAHULUAN. Bangsa Indonesia terdiri atas beberapa suku bangsa, masing-masing suku BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bangsa Indonesia terdiri atas beberapa suku bangsa, masing-masing suku memiliki etnis yang mereka kembangkan sesuai dengan tradisi dan sistem budaya masing-masing.

Lebih terperinci

MAZHAB FILSAFAT PENDIDIKAN. Imam Gunawan

MAZHAB FILSAFAT PENDIDIKAN. Imam Gunawan MAZHAB FILSAFAT PENDIDIKAN Imam Gunawan PERENIALISME Merupakan suatu aliran dalam pendidikan yang lahir pada abad 20. Perenialisme lahir sebagai suatu reaksi terhadap pendidikan progresif. Mereka menentang

Lebih terperinci

KOMPETENSI INTI KOMPETENSI DASAR. MATA PELAJARAN BAHASA SUNDA SEKOLAH MENENGAH PERTAMA (SMP) MADRASAH TSANAWIYAH (MTs.)

KOMPETENSI INTI KOMPETENSI DASAR. MATA PELAJARAN BAHASA SUNDA SEKOLAH MENENGAH PERTAMA (SMP) MADRASAH TSANAWIYAH (MTs.) MATA PELAJARAN BAHASA SUNDA SEKOLAH MENENGAH PERTAMA (SMP) MADRASAH TSANAWIYAH (MTs.) DINAS PENDIDIKAN PROVINSI JAWA BARAT BALAI PENGEMBANGAN BAHASA DAERAH DAN KESENIAN 2013 DRAFT-1 DAN MATA PELAJARAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jika dibandingkan dengan ciptaan-nya yang lain. Kelebihan itu mencakup

BAB I PENDAHULUAN. jika dibandingkan dengan ciptaan-nya yang lain. Kelebihan itu mencakup BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia sebagai salah satu makhluk ciptaan Tuhan memiliki kelebihan jika dibandingkan dengan ciptaan-nya yang lain. Kelebihan itu mencakup kepemilikan manusia atas

Lebih terperinci