METODOLOGI PENELITIAN. 3.1 Desain Penelitian Penelitian dilakukan dengan desain potong lintang dan merupakan suatu uji diagnostik.

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "METODOLOGI PENELITIAN. 3.1 Desain Penelitian Penelitian dilakukan dengan desain potong lintang dan merupakan suatu uji diagnostik."

Transkripsi

1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian Penelitian dilakukan dengan desain potong lintang dan merupakan suatu uji diagnostik Waktu dan Tempat Penelitian - Penelitian dimulai bulan Desember 2013 sampai sampel minimal terpenuhi. - Penelitian dilaksanakan ruang rawat inap RS. H.Adam Malik dengan persetujuan Komisi Etik Penelitian FK USU. - Pengambilan dan pemeriksaan sampel dilaksanakan oleh Instalasi Mikrobiologi Klinik RS. H.Adam Malik. 3.3 Populasi Terjangkau Populasi target Populasi target merupakan seluruh pasien dengan infeksi Populasi terjangkau Populasi terjangkau yaitu seluruh pasien dengan infeksi yang dilakukan kultur bakteri di RS. H. Adam Malik 3.4 Sampel Penelitian Sampel penelitian merupakan pasien dengan infeksi dan dijumpai pertumbuhan bakteri dari hasil kultur bakteri yang dilakukan di RS. H.Adam Malik 3.5 Kriteria Inklusi 1. Usia di atas 18 tahun 2. Pasien dengan infeksi dan dilakukan kultur bakteri 3. Subjek menerima informasi serta memberikan persetujuan ikut serta dalam penelitian secara sukarela dan tertulis (informed concent)

2 3.6 Kriteria Eksklusi 1. Pasien yang sudah diketahui menderita ESBL dari fasilitas kesehatan lain sewaktu masuk rumah sakit. 2. Pasien dengan hasil kultur dijumpai lebih dari satu jenis bakteri. 3. Pasien dengan hasil kultur tidak dijumpai pertumbuhan bakteri. 3.7 Besar Sampel Rumus perhitungan besar sampel untuk penelitian uji diagnostik: ( Z ) (1 α / 2) Sen( 1 Sen) n1 = n2 2 d P Dimana : ( 1 α / 2) 2 Z = deviat baku alpha. untuk α = 0,05 maka nilai baku normalnya 1,96 Sen = Sensitivitas yang diinginkan dari alat yang diuji nilai diagnostiknya ditetapkan sebesar 0,85 (85%) d = presisi ditetapkan sebesar 0,15 (15 %) P = prevalensi ESBL 0,24 (24 %) 6 Maka sampel minimal untuk masing-masing kelompok sebanyak 46 orang. 3.8 Cara Penelitian 1. Seluruh pasien yang memiliki hasil kultur bakteri baik dari spesimen darah, urin, sputum, atau pus positif dilakukan pengumpulan data berupa usia, jenis kelamin, diagnosis, asal spesimen, dan hasil kultur. 2. Seluruh pengambilan spesimen kultur dan pemeriksaannya dilakukan oleh Laboratorium Mikrobiologi RS. H. Adam Malik, Medan. 3. Dilakukan perhitungan skor Duke Model (seperti tertera di atas) 4. Hasil kultur akan dibagi menjadi dua yaitu kelompok kasus dan kontrol. Kelompok kasus adalah semua sampel dengan hasil kultur dijumpai pertumbuhan bakteri ESBL positif dan kelompok kontrol adalah semua sampel dengan hasil kultur dijumpai pertumbuhan kuman selain bakteri ESBL.

3 5. Selanjutnya dilakukan analisa uji diagnostik untuk mengetahui akurasi Duke model score dalam memprediksi adanya infeksi ESBL pada pasien rawat inap. 3.9 Definisi Operasional a. Usia : berdasarkan yang tertera pada rekam medis dengan satuan tahun b. Jenis kelamin : berdasarkan yang tertera pada rekam medis dengan hasil pria atau wanita c. Bakteri ESBL : bakteri yang mengahasilkan enzim ESBL yaitu enzim yang dapat menghidrolisis penisilin, cephalosporin generasi I, II, III dan aztreonam (kecuali cephamycin dan carbapenem) d. Pengumpulan spesimen a. Spesimen darah, dilakukan pada pasien dengan sepsis, prosedurnya berupa : i. Bersihkan lokasi yang akan diambil darah dengan alkohol 70% (swab) dari tengah memutar ke tepi, biarkan kering ii. Tusukkan jarum ke dalam pembuluh darah, tarik penghisap semprit dengan menggunakan tangan kiri hingga darah masuk ke dalam semprit 10 ml iii. Tekan bekas tusukan dengan kapas iv. Desinfektan septum tutup botol kultur dan isikan darah ke dalam botol media yang sesuai b. Spesimen urin dilakukan pada pasien dengan infeksi saluran kemih, prosedurnya berupa : i. Urin porsi tengah Urin diambil oleh penderita sendiri setelah mendapat penjelasan yaitu: Penderita harus mencuci tangan dengan sabun dan dikeringkan dengan handuk kemudian tanggalkan pakaian dalam Untuk wanita, bersihkan labia dan vulva dengan kasa steril dengan arah dari depan ke belakang kemudian bilas dengan air hangat dan keringkan dengan kasa steril Untuk laki-laki, jika tidak disunat tarik preputium kebelakang Keluarkan urin, aliran urin pertama dibuang, aliran selanjutnya ditampung dalam wadah yang sudah disediakan, pengumpulan urin selesai sebelum urin habis kemudian tutup wadah Jika tidak mampu melakukan sendiri, hal ini dilakukan dengan bantuan perawat ii. Urin kateter

4 1. Lakukan disinfeksi dengan alkohol 70% pada bagian selang kateter yang terbuat dari kare (jangan bagian yang terbuat dari plastik) 2. Aspirasi urin dengan menggunakan semprit sebanyak kurang lebih 10 ml 3. Masukkan ke wadah steril dan tutup rapat iii. Urin aspirasi suprapubik 1. Aspirasi dilakukan pada kandung kemih yang penuh, lalukan desinfeksi kulit didaerah suprapubik dengan povidone iodine 10% kemudian bersihkan sisanya dengan kapas alkohol 70% 2. Aspirasi tepat di titik suprapubik menggunakan semprit 3. Ambil urin sebanyak 20 ml dengan cara aspetik, dan masukkan kedalam wadah steril c. Spesimen Sputum, dilakukan pada pasien dengan pneumonia, prosedurnya berupa : i. Sebelum pengambilan spesimen pasien diminta berkumur dengan air. Bila memakai gigi palsu, sebaiknya dilepas ii. Pasien berdiri tegak atau duduk tegak, pasien diminta untuk menarik napas dalam, 2-3 kali kemudian keluarkan napas bersamaan dengan batuk yang terkuat dan berulang kali sampai sputum keluar iii. Sputum yang dikeluarkan ditampung langsung di dalam wadah dengan cara mendekatkan wadah ke mulut, sputum yang berkualitas baik akan tampak kental purulen dengan volume cukup 3-5 ml, kemudian tutup wadah d. Spesimen pus, dilakukan pada pasien dengan luka purulen atau ulkus, atau Infeksi luka operasi, prosedurnya berupa : i. Bersihkan luka dengan lain kasa yang telah dibasahi dengan NaCl fisiologis sebanyak 3 kali untuk menghilangkan kotoran dan eksudat yang mongering ii. Buka kapas lidi dan usapkan bagian kapasnya pada luka tanpa menyentuh bagian tepi luka, lakukan 2 kali dengan menggunakan 2 kapas lidi iii. Kapas lidi dapat diinokulasikan langsung pada agar atau masukkan kedalam tabung media transpor e. Spesimen pus, dilakukan pada pasien dengan abses, prosedurnya berupa :

5 i. Lakukan tindakan aseptik, tusukkan jarum dan hisap dengan semprit steril cairan eksudat atau pus, cabut dan tutup dengan kapas steril ii. Teteskan cairan aspirasi pada kapas lidi, Kapas lidi dapat diinokulasikan langsung pada agar atau masukkan kedalam tabung media transfor, sisa eksudat dapat dimasukkan dalam wadah steril. e. Kultur bakteri Kultur dilakukan dengan cara materi urin, sputum dan pus pasien dikultur di medium plat agar darah dan McConkey lalu dieramkan pada suhu 37 C selama 24 jam. Materi darah dimasukkan ke dalam botol Fan Aerob Culture Bottles (BacT/ALERT) untuk, diinkubasikan di inkubator BacT/ALERT pada suhu 37 C. Botol yang menunjukkan pertumbuhan kuman kemudian dilakukan pengecatan Gram dan dilakukan isolasi primer di medium plat agar darah dan McConkey, dieramkan pada suhu 37 C semalam. Dari koloni yang tumbuh diambil untuk membuat suspensi inokulum dalam 0,45% NaCl fisiologis steril, lalu kekeruhan suspensi disesuaikan dengan standar 0,5 McFarland. Kemudian suspensi inokulum tersebut diisikan ke dalam kartu uji Vitek2 compact sesuai dengan instruksi dari biomerieux: GN untuk identifikasi batang Gram negatif dan AST-N100 untuk uji kepekaan bakteri batang Gram negatif terhadap antibiotika. 34 f. Antibiotik Beta laktam g. Antibiotik Fluorokuinolon :golongan antibiotik dengan gugus inti asam 6- amidinopenisilanat, yang termasuk didalamnya adalah penisilin dan sefalosporin I sampai IV : golongan antibiotik dimana ada atom fluor pada cincin kuinolonnya, yang termausk didalamnya adalah siprofloksasin, norfloksasin, ofloksasin. h. Imunosupresan : Obat yang memiliki efek menekan sistem imun tubuh, seperti: (i) glukokortikoid (ekuivalen dengan prednison 20 mg/ hari atau lebih setidaknya dalam 2 minggu), (ii)atau lebih dari 48 jam memakai takrolimus, sirolimus, siklosporin, mikofenolat, atau globulin anti timosit, (iii) obat-obatan kemoterapi yang termasuk ke dalam agen alkilating. i. Sepsis : Keadaan klinis berkaitan dengan adanya infeksi dengan manisfestasi minimal 2 dari 4 gejala SIRS (Systemic Inflammatory Response Syndrome) yaitu Suhu > 38 C atau < 36 C, Denyut jantung > 90 Kali per menit, Frekwensi pernapasan > 20 kali per menit atau PaCO < 32 mm Hg, leukosit > /mm 3 atau < 4.000/mm 3 atau peningkatan neutrofil > 10%. 35,36

6 j. Pneumonia : Infeksi akut yang mengenai parenkim paru, distal dari bronkiolus respiratorik dan alveoli serta menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat. Diagnosis ditegakkan dari klinis berupa baruk, sesak napas, demam dan dari pemeriksaan fisik dijumpai adanya infiltrat paru serta dari pemeriksaan penunjang adanya leukositosis, infiltrat pada foto toraks, dan pertumbuhan bakteri pada kultur sputum. 37,38 k. Infeksi Saluran Kemih l. Infeksi Luka Operasi 3.10 Analisa Statistik : Adanya Mikroorganisme di dalam urin, ditandai dijumpainya bakteri > 10 5 cfu/ml pada kultur urin porsi tengah dan urin kateter, serta dijumpai bakteri dalam jumlah berapapun pada kutur urin suprapubik. 39 : Infeksi yang muncul dalam hari setelah prosedur operasi yang dapat melibatkan kulit, jaringan sub kutan, jaringan ikat dalam (fasia dan otot), organ dari bagian yang diinsisi atau dimanipulasi selama operasi. 40 Untuk menampilkan gambaran deskriptif data dasar pasien digunakan sistem tabulasi. Uji t atau mann-whitney U test digunakan untuk perbadingan data kontiniu antara kasus dan kontrol. Uji X 2 atau Fisher Exact test untuk perbandingan data variabel antara kasus dan kontrol. Uji Diagnostik digunakan untuk sensitivitas, spesifisitas, positive predictive values (PPV), negative predictive values (NPV), akurasi, dan dianalisi kurva ROC (Receiver Operating Characteristic) Kerangka Operasional

7 Gambar 3.1 Kerangka Operasional

8 BAB IV HASIL 4.1 Hasil Penelitian Karakteristik Subjek Penelitian dan Infeksi Penelitian ini diikuti oleh sebanyak 92 pasien, yang terbagi dengan pasien ESBL dan pasien non-esbl masing-masing berjumlah 46 orang yang telah memenuhi kriteria inklusi. Kebanyakan kedua kelompok berjenis kelamin laki-laki, 26 orang (56,5%) di kelompok pasien ESBL dan 24 orang (52,2%) di kelompok pasien non-esbl. Rerata umur kelompok pasien ESBLadalah 49,8 tahun (SD = 14,81 tahun) dan kelompok pasien non-esbl 51,15 tahun (SD = 16,04 tahun). Karakteristik Tabel 4.1. Karakteristik Responden ESBL n=46(%) Non-ESBL n=46 (%) Jenis kelamin Laki-laki 26 (56,5) 24 (52,2) Umur, rerata (SD), tahun 49,8 (14,81) 51,15 (16,04) 0,676 Komorbid Anemia 31(67,4) 25 (54,3) 0,200 Penyakit ginjal 13 (28,3) 7 (15,2) 0,129 Peptic ulcer disease 9 (19,6) 3 (6,5) 0,063 Diabetes 8 (17,4) 4 (8,7) 0,216 Tumor Heart Disease 8 (17,4) 7 (15,2) 13 (28,3) 1 (2,2) 0,214 0,026 Penyakit paru obstruktif kronik 5 (10,9) 2 (4,3) 0,238 AIDS 4 (8,7) 2 (4,3) 0,398 Stroke 2 (4,3) 1 (2,2) 0,557 P Spesimen dari pasien paling banyak diambil dari spesimen sputum, di kedua kelompok. Jenis bakteri yang ditemukan di kelompok pasien ESBL adalah E. coli dari 17 pasien (37%), K. pneumonia dari 27 pasien (58,7%) dan lainnya dari 2 pasien (4,3%) yaitu Klebsiella ozaena dan Klebsiella oxytoca.

9 Karakteristik Tabel 4.2 Karakteristik Infeksi ESBL n=46 (%) Non-ESBL n=46 (%) Spesimen kultur Sputum 15 (32,6) 15 (32,6) 1,000 Urin 14 (30,4) 8 (17,4) 0,143 Pus 9 (19,6) 7 (15,2) 0,582 Swab 3 (6,5) 3 (6,5) 1,000 Tinja 2 (4,3) - 0,153 Cairan pleura 2 (4,3) 4 (8,7) 0,398 Darah 1 (2,2) 2 (4,3) 0,557 Broncoalveolar lavage Cairan asites (13) 1 (2,2) Bakteri K.pneumonia 27 (58,7) 1 (2,2) E.coli 17 (37) - K.ozaena K.oxytoca Acinetobacter baumanii Staphylococcus spp Enterococcus spp Streptococcus spp Lainnya 1 (2,2) 1 (2,2) (23,9) 10 (21,7) 7 (15,2) 6 (13) 11 (23,9) P 0,110 0, Duke Model Score Mayoritas di kelompok pasien ESBL merupakan pasien dengan riwayat pengguna antibiotik beta laktam dan atau florokuinolon dalam 3 bulan terakhir yaitu sebanyak 34 orang (73,9%) sedangkan di kelompok pasien non-esbl pengguna antibiotik hanya 14 orang (30,4%). Tiga puluh empat orang di kelompok pasien ESBL pernah dirawat di fasilitas kesehatan sedangkan pada kelompok pasien non-esbl hanya 7 orang pasien. Lebih dari 70 % persen pasien di kedua kelompok merupakan pasien rujukan dari fasilitas kesehatan lain. Riwayat penggunaan kateter urin lebih banyak dijumpai pada kelompok ESBL yaitu 36 orang (78,3%) dibandingkan pada kelompok non-esbl hanya 9 orang (19,6%). Namun riwayat menggunakan immunosupresan tidak berbeda antara pasien ESBL (89,1%) dan pasien non-esbl (91,3%) secara bermakna. Tabel 4.3 Duke Model Score Item Duke Model Score ESBL n (%) Non-ESBL n (%) P

10 Mendapat antibiotik beta laktam dan atau florokuinolon dalam 3 bulan terakhir Tidak ada 12 (26,1) 32 (69,6) Ada 34 (73,9) 14 (30,4) 0,0001 a Riwayat dirawat sebelumnya dalam 12 bulan terakhir Tidak ada 12 (26,1) 39 (84,8) Ada 34 (73,9) 7 (15,2) 0,0001 a Riwayat rujukan dari fasilitas kesehatan lain Tidak 3 (6,5) 12 (26,1) Ya 43 (93,5) 34 (73,9) 0,011 a Riwayat menggunakan kateter 30 hari terakhir Tidak ada 10 (21,7) 37 (80,4) Ya 36 (78,3) 9 (19,6) 0,0001 a Riwayat penggunaan immunosupresan 3 bulan terakhir Tidak 41 (89,1) 42 (91,3) Ya 5 (10,9) 4 (8,7) 1,000 b a Chi Square, b Fisher s Exact Dari tabel 4.3 diketahui bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara kelompok ESBL dan non-esbl dalam hal riwayat penggunaan antibiotikbeta laktam dan atau florokuinolon dalam 3 bulan terakhir (P=0,0001), riwayat dirawat dalam 12 bulan terakhir (P=0,0001), rujukan dari fasilitas kesehatan lain (P=0,011), riwayat menggunakan kateter 30 hari terakhir (P=0,0001),. Oleh karena itu, bila dijumpai hal tersebut saat anamnesis pasien infeksi kemungkinan besar pasien tersebut terkena infeksi ESBL. Pada kelompok ESBL yang memiliki skor 0,2, dan 3 tidak ada seorangpun, sedangkan untuk skor 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, dan 16 berturut turut adalah 46, 45, 43, 43, 42,29, 24, 18,18, 1, dan 1 orang. Pada kelompok non-esbl untuk skor 13, 14, dan 16 tidak ada seorangpun, sedangkan untuk skor 0, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, dan 12 berturut-tururt adalah 46, 41, 41, 39, 23, 13, 11, 8, 1, 1, 1, dan 1 orang. Hal ini dapat dilihat pada gambar 4.1

11 Gambar 4.1 Grafik antara skor Duke Model Score dan Jumlah pasien Nilai Diagnostik Duke Model Score untuk Memprediksi Infeksi ESBL Berdasarkan analisis statistik diketahui bahwa skor 2,3, dan 4 memiliki sensitivitas tinggi 100% namun spesifisitasnya rendah yaitu berturut-turut 0%, 10,9%, dan 15,2%. Sedangkan skor 12, 13, 14, dan 16 memiliki spesifisitas yang tinggi 100% dengan sensitivitas yang rendah yaitu berturut-turut 39,1%, 22,0%, 0% dan 0%. Untuk skor 5, 6, 7, dan 8 memiliki sensitivitas cukup tinggi (di atas 90%) yaitu 97,8%, 93,5%, 93,5%, dan 91,3% dengan spesifitas berturut-turut 50,0%, 71,7%, 76,1%, dan 82,6%. Skor 9, 10, dan 11 memiliki spesifitas yang cukup tinggi yaitu 97,8% tetapi sensitivitasnya rendah yaitu berturut-turut 63,50%, 52,2%, dan 39,1%. Skor 1 dan 15 tidak dijumpai pada Duke Model Score.

12 Tabel 4.4 Sensitivitas dan Spesifisitas Duke Model Score Score Sensitivitas(%) Spesifisitas (%) , , ,2 5 97,8 50,0 6 93,5 71,7 7 93,5 76,1 8 91,3 82,6 9 63,0 97, ,2 97, ,1 97, , , , ,0 100 Berdasarkan kurva sensitivitas dan spesifisitas pada gambar 4.2 maka diperoleh nilai Cut Off yang terbaik untuk Duke Model Score adalah titik skor 8. Dengan menggunakan cut off point 8 maka didapatkan nilai sensitivitasduke Model Score adalah 91,3% dan spesifisitas 82,6%. Gambar 4.2 Kurva Sensitivitas dan Spesifisitas Duke Model Score terhadap Infeksi ESBL Tabel 4.5 Sensitivitas, Spesifisitas, Positive dan Negative Predictive Value dari Duke Model Score terhadap Infeksi ESBL

13 Duke Score Infeksi ESBL Sensiti Spesifi Ya Tidak Fitas sitas NPP NPN RKP RKN ,3% 82,6% 84% 90,5% 5,25 0,11 < Nilai Prediksi Positif (NPP) Duke Model Score adalah sebesar 84% dan Nilai Prediksi Negatif (NPN) adalah 90,5%. Sedangkan untuk rasio kemungkinan positif adalah 5,25 dan rasio kemungkinan negatif adalah 0,11. Duke Model Score dalam studi ini memiliki kemampuan untuk memprediksi seorang penderita akan mengalami infeksi ESBL atau tidak. Dari hasil analisis menggunakan kurva ROC diperoleh bahwa area di bawah kurva (AUC) ROC adalah 93,1 % (95% CI: 88,1% - 98,1%; p = 0,0001). Gambar 4.2. Kurva ROC dari Duke Model Score terhadap Infeksi ESBL Kepekaan Bakteri ESBL terhadap Antibiotik Bakteri ESBL di RS. H. Adam Malik ternyata sudah resisten 100% terhadap beberapa antibiotik antara lain: seftriaxon, sefotaxim, seftazidim, amoxicillin, bahkan amoxicillinclavulanat dan ampisilin-sulbactam. Dimana clavulanat dan sulbactam merupakan suatu anti Β-

14 lactamase. Terhadap dua golongan Β-lactam/Β-lactamase inhibitor lainnya yaitu piperasilintazobactam dan cefoperazone-sulbactam, bakteri ESBL juga memiliki sensitivitas yang rendah yaitu 52,2% dan 4%. Terhadap antibiotik golongan kuinolon seperti levofloxacin, bakteri ESBL memiliki sensitivitas yang rendah yaitu 26,1% dan terhadap ciprofloxacin memiliki sensitivitas 17,4%. Terhadap antibiotik golongan aminoglikosida yaitu gentamisin sensitivitas bakteri ESBL rendah yaitu 43,5%. Sedangkan terhadap amikasin, ESBL memiliki sensitivitas yang sangat baik yaitu 100%. Bakteri ESBL memiliki sensitivitas yang tinggi terhadap golongan karbapenem seperti imipenem 91,7%, ertapenem 95,2% dan meropenem 95,7%. Antibiotik lainnya seperti cotrimoxazole memiliki efikasi yang buruk yaitu 21,7% sedangkan terhadap tigeciclin, bakteri ESBL masih memiliki sensitivitas yang baik yaitu 89,1%. (tabel 4.6)

15 Tabel 4.6.Kepekaan Antibiotik Terhadap ESBL Antibiotik Sensitif (%) β-laktam Amoxicilin 0 Β-laktam/β-laktamase inhibitor Ampisilin-sulbactam 0 Amoxicillin-clavulanat 0 Piperasilin-tazobactam 52,2 Cafoperazon-sulbactam 4 Sefalosporin Seftriaxon 0 Sefotaxim 0 Seftazidim 0 Kuinolon Levofloxacin 26,1 Ciprofloxacin 17,4 Aminoglikosida Amikasin 100 Gentamisin 43,5 Karbapenem Imipenem 91,7 Ertapenem 95,2 Meropenem 95,7 Lainnya Cotrimoxazol Tigeciclin 21,7 89,1

16 BAB V PEMBAHASAN 5.1 Proporsi bakteri ESBL Pada penelitian ini didapatkan bahwa 100% dari isolat E.coli adalah bakteri ESBL dan 96,4% dari K.pneumoniae adalah bakteri ESBL. Hal ini sesuai dengan beberapa penelitian sebelumnya dimana proporsi bakteri E. coli yang menjadi bakteri ESBL lebih besar dibandingkan K. pneumonia. Penelitian Kulkarni dkk tahun 2013 diketahui bahwa dari 15,9% isolat K.pneumonia yang dijumpai merupakan bakteri ESBL dan 40,7% isolat E.coli merupakan bakteri ESBL. 25 Di RS H Adam Malik Medan, dari data tahun diketahui bahwa terjadi peningkatan persentase bakteri E. coli yang menjadi ESBL yaitu di atas 2% sedangkan peningkatan infeksi K. pneumonia yang merupakan ESBL hanya berada di bawah 1%. Penelitian ini memperoleh hasil dimana K. pnemoniae lebih banyak menyebabkan infeksi dibandingkan E.coli yaitu infeksi ESBL K.pneumonia 58,7% dan ESBL E.coli 37% dari keseluruhan infeksi ESBL. Hal ini serupa dengan hasil penelitian MYSTIC Study tahun 2008 melibatkan 12 negara, diperoleh kejadian ESBL E.coli 1,5% sedangkan ESBL K.pneumonia 2,4-4,4%. Penelitian Chien D dkk tahun 2008 kejadian ESBL E.coli 26% dan ESBL K.pneumonia 53% dari infeksi bakteri gram negatif multi drugs resisten Kepekaan Bakteri ESBL terhadap Antibiotik Pilihan antibiotik pada pasien dengan infeksi ESBL menjadi berkurang dengan adanya kemampuan bakteri tersebut menghidrolisis beberapa antibiotik. Karbapenem merupakan antibiotik pilihan pada infeksi ESBL, yang termasuk dalam golongan karbapenem adalah imepenem, meropenem, erapenem, dan doripenem. Dari penelitian oleh Muharrmi dkk, diperoleh karbepenem (imipenem dan meropenem) 100% sensitif terhadap ESBL. 25 Hasil serupa juga diperoleh pada penelitian oleh Kulkarni dkk, Aminzadeh dkk, imepenem 100% sensitif terhadap ESBL. 24,26 Chien Lye dkk meneliti pada 47 pasien ESBL yang diterapi dengan ertapenem, memiliki respon yang baik pada 96% pasien. 27 Penelitian Auer dkk, ertapenem 100%

17 sensitif terhadap infeksi saluran kemih ESBL E.coli. 28 Pada penelitian ini diperoleh sensitivitas bakteri ESBL cukup tinggi terhadap karbapenem yaitu: 91,7% sensitif imipenem, 95,7% sensitif meropenem, dan 95,2 sensitif ertapenem. Penelitian ini menegaskan kembali bahwa karbapenem merupakan golongan antibiotik pilihan dalam mengatasi bakteri ESBL.Imipenem dan meropenem memiliki profil yang hampir sama. Pada meningitis meropenem merupakan pilihannya. Ertapenem pada beberapa penelitian lebih baik dari pada meropenem dan imipenem dan penggunaannya hanya sekali sehari. 10 Doripenem merupakan golongan karbapenem terbaru yang lebih poten dan dapat digunakan untuk infeksi Pseudomas aurigenosa. Penelitian yang membandingkan kombinasi karbapenem dengan antibiotik golongan lain dibandingkan karbapenem tunggal diperoleh hasil yang tidak berbeda. Penelitian oleh Paterson, penggunaan karbapenem sebagai terapi inisial untuk ESBL selama 5 hari memiliki angka mortalitas yang lebih rendah. 33 Adapun dosis standar pada dewasa meropenem 1 gram setiap 8 jam intravena, imipenem 500 mg 4 kali sehari intravena, ertapenem 1 gr setiap 24 jam intravena. 22 Resistensi terhadap karbapenem mulai muncul dengan nama Klebsiella Producing Carbapenemases (KPC) dan New Delhi Metalo Beta Lactamase (NDM) sehingga penggunaanya haruslah rasional. 33 Yang menarik dari hasil kepekaan antibiotik terhadap ESBL pada penelitian inil, dijumpai tingkat sensitivitas yang buruk terhadap antibiotik golongan β-lactam/β-lactamase inhibitor yang merupakan suatu anti terhadap enzim β-lactamase. Terhadap piperasilintazobactam hanya memiliki sensitivitas 52,2%, terhadap cefoperazon-sulbactam hanya 4% sensitif, sedangkan terhadap Amoxicillin-clavulanat dan Ampisilin-sulbactam 100% resisten. Pada penelitian di Amerika Serikat dari hasil MYSTIC Study,diperoleh 72,5% ESBL E.coli dan 38,5% ESBL K.pneumoniasensitif terhadap piperasilin-tazobactam, sedangkan di Eropa 80% ESBL E.coli dan 42,1% ESBL K.pneumoniasensitif terhadap piperasilin-tazobactam. 34 Penelitian Aminzadeh dkk, bakteri ESBL sensitif 100% terhadap piperasilin-tazobactam. 24 Hal ini mungkin dapat diakibatkan adanya perbedaan genotip dari bakteri ESBL. Beberapa genotip ESBL TEM resisten terhadap antibiotik β-lactamase inhibitor. Varian TEM ini ada yang resisten terhadap asam klavulanat dan sulbaktam. Selaian itu, SHV-10 juga resisten terhadap β-lactamase inhibitor. 11 Diduga tingginya resistensi terhadap β-lactamase inhibitorpada penelitian ini, diakibatkan bakteri ESBL pada penelitian ini berasal dari genotip ini, walaupun tidak dilakukan pemeriksaan lanjutan.

18 Siprofloksasin memiliki kemampuan eradikasi ESBL yang rendah. Resistensi ini diduga akibat hilangnya porin bakteri untuk masuknya kuionolon dan aktifnya efluks kuinolon keluar sel. 6,23 Dari penelitian Muharni dkk, diperoleh hanya 29,6% sensitif terhadap ESBL. 25 MYSTIC Study di Amerika Serikat Siprofloksasin 20% sensitif terhadap ESBL E.coli dan 36,8% terhadap ESBL K.pneumonia. 34 Penelitian Kulkarni dkk, siprofloksasin 30,2% sensitif terhadap ESBL. 26 Pada penelitian ini diperoleh 17,4% bakteri ESBLsensitif terhadap siprofoksasin sedangkan 26,1% sensitif terhadap levofloksasin. Gentamisin memiliki efikasi yang bervariasi. Penelitian Kulkarni dkk, bakteri ESBL 19,4% sensitif terhadap gentamisin. 26 Penelitian Aminzadeh dkk, bakteri ESBL 85,2% resisten terhadap gentamisin. 24 Pada penelitian ini 43,5% bakteri ESBL sensititif terhadap gentamisin. Sedangkan untuk amikasin, penelitian Kulkarni dkk memperoleh bakteriesbl 70,4% sensitif terhadap amikasin. 26 Penelitian Aminzadeh dkk, bakteri ESBL 81,1% sensitif terhadap amikasin. 24 Pada penelitian ini, amikasin masih 100% sensitif terhadap ESBL. Sehingga dari hasil uji kepekaan terhadap ESBL tersebut diketahui ada beberapa antibiotik yang dapat digunakan untuk melawan infeksi ESBL yaitu amikasin, imipenem, ertapenem, meropenem dan tigeciclin. Selain berkurangnya pilihan antibiotik yang dapat diberikan untuk infeksi ESBL, untuk memperoleh hasil kultur mikroorganisme dan tes kepekaannya terhadap antibiotik memerlukan waktu 3-5 hari, hal ini sering mengakibatkan keterlambatan pemberian antibiotik yang tepat. Hal ini akan mengakibatkan peningkatan morbiditas dan mortalitas pasien dengan infeksi ESBL. Oleh karena itu, identifikasi pasien dengan resiko tinggi terkena infeksi bakteri ESBL sangat diperlukan. Dengan adanya identifikasi awal yang tepat terhadap adanya infeksi ESBL ini akan sangat membantu dalam hal pemberian terapi antibiotik empirik pada pasien dengan infeksi. 5.3 Duke Model Score Untuk memprediksi adanya infeksi bakteri ESBL dikembangkan berbagai instrumen, salah satunya adalah Duke Model Score. Duke Model Score ini terdiri dari adanya penggunaan antibiotik golongan laktam dan atau fluorokuinolon dalam 3 bulan terakhir (skor 3), riwayat rawatan rumah sakit sebelumnya dalam 12 bulan terakhir (skor 2), pasien rujukan dari fasilitas

19 kesehatan lain (skor 4), penggunaan kateter urin sebelumnya (skor 5) dan penggunaan immunosupresan 3 bulan sebelumnya (skor 2). Riwayat penggunaan antibiotik sebelumnya memang telah teridentifikasi sebelumnya oleh beberapa peneliti sebagai faktor risiko untuk infeksi bakteri ESBL. Rupp dkk tahun 2013 dan kemudian disusul oleh Demirdag dkk tahun 2010 telah mengemukakan penggunaan antibiotik sebagai faktor risiko infeksi bakteri ESBL. 5,20 Penggunaan antibiotik (terutama antibiotik betalaktam spektrum luas) secara intensif dalam dua dekade terakhir dianggap sebagai penyebab munculnya mutasi pada strain Enterobacteriaceae penghasil beta laktamase. 4 Pada penelitian ini 73,9% pasien ESBL memiliki riwayat pemakaian antibiotik sebelumnya, hal ini mungkin disebabkan karena RS. H. Adam Malik merupakan pusat rujukan, dan pasien telah diberikan terapi antibiotik sebelumnya di fasilitas kesehatan yang merujuk. Riwayat dirawat sebelumnya dan dirujuk dari fasilitas kesehatan lain merupakan item yang dimodifikasi dari faktor risiko yang diajukan oleh Rupp dkk (lama rawatan inap) dan Demirdag dkk (masa rawat inap di atas tujuh hari). 5,20 Hal ini dihubungkan dengan risiko terinfeksi dari kolonisasi bakteri ESBL yang terjadi di rawat inap. 5 Pada penelitian ini, 73,9% pasien ESBL mempunyai riwayat dirawat sebelumnya, dan 93,5% merupakan pasien rujukan dari fasilitas kesehatan lain. Hal ini juga dikarenakan RS. H. Adam Malik merupakan pusat rujukan. Penggunaan kateter urin secara tegas telah teridentifikasi sebagai faktor risiko infeksi bakteri ESBL. 5,20 Kateter urin yang tidak dipasang secara baik menjadi tempat kolonisasi bakteri ESBL yang baik. 5 Pada penelitian ini, 78,3% mempunyai riwayat menggunakan kateter urin. Riwayat penggunaan immunosupresan yang secara bermakna berhubungan dengan infeksi bakteri ESBL pada penelitian sebelumnya oleh Steven dkk tahun 2013, ternyata tidak konsisten berhubungan dengan infeksi ESBL pada penelitian ini. Dimana hanya 10,9% pasien ESBL yang mempunyai riwayat penggunaan immunosupresan. Penggunaan immunosupresan pada penelitian ini dijumpai pada pasien penyakit paru obstruktif kronik yang menggunakan kortikosteroid, dan pasien leukemia myeloid kronik yang menggunakan obat kemoterapi. Adapun perbedaan ini kemungkinan disebabkan oleh angka malignansi dan penyakit autoimmun yang lebih tinggi di negara-negara maju seperti tempat penelitian dimana Duke model score dihasilkan, yaitu di Duke University Hospital, Durham, North Carolina.

20 Score. 10 Oleh karena itu adanya anamnesis dan pemeriksaan yang teliti pada saat pasien masuk ke Pada penelitian ini diperoleh nilai Cut Off untuk Duke Model Score adalah nilai 8. Dengan menggunakan cut off point skor 8 maka didapatkan nilai sensitivitas Duke Model Score adalah 91,3% dan spesifisitas 82,6%, dengan PPV 84%. Penelitian yang dilakukan Steven dkk tahun 2013, Duke Model Score dengan skor 8 atau lebih dapat memprediksi infeksi ESBL dengan spesifisitas 95% dan Positive Predictive Value (PPV) 79%, namun sensitivitasnya hanya 50%. Skor yang pernah dilaporkan sebelumnya untuk memprediksi infeksi bakteri ESBL pada pasien rawat inap adalah Italian Score yang diajukan oleh Tumbarello dkk tahun 2011 yang itemnya berupa pemakaian antibiotik beta laktam dan atau fluorokuinolon (skor 2), rawat inap sebelumnya (skor 3), rujukan dari fasilitas kesehatan lainnya (skor3), Charlson Comorbidity Score 4 (skor 2), pemakaian kateter urin sebelumnya (skor2), dan usia 70 tahun (skor2). Akan tetapi pada saat dianalisa dan divalidasi oleh Steven dkk tahun 2013 di Duke University Hospital, didapatkan bahwa beberapa item pada Italian Score secara spesifik berhubungan dengan kasus infeksi ESBL, kecuali Charlson Comorbidity Score 4 dan usia 70 tahun. Dan Steven dkk juga menemukan bahwa terapi immunosupresan secara signifikan berhubungan dengan infeksi ESBL, sehingga dilahirkanlah sebuah sistem skoring baru yang lebih sederhana (karena tidak mengandung item Charlson Comorbidity Score di dalamnya), yang dikenal dengan Duke Model rumah sakit dapat membantu klinisi memprediksi adanya infeksi ESBL dengan melakukan anamnesis ada tidaknya penggunaan antibiotik golongan beta laktam dan atau fluorokuinolon, riwayat rawatan rumah sakit sebelumnya, pasien merupakan rujukan dari fasilitas kesehatan lain, penggunaan kateter urin sebelumnya dan riwayat penggunaan immunosupresan. Adapun beberapa kelemahan penelitian ini, pertama, tidak dilakukan pemantauan outcome pasien dengan infeksi ESBL tersebut. Kedua,penelitian ini tidak melakukan pemeriksaan genotip ESBL yang mana genotip ESBL ini berpengaruh pada kepekaan antibiotik. Oleh karena itu penelitian lebih lanjut masih sangat diperlukan.

21 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan 1. Duke Model Score dapat digunakan sebagai prediktor adanya infeksi ESBL. 2. Jika Duke Model Score 8, dapat dipertimbangkan pemberian antibiotik anti ESBL di RS. H. Adam Malik 5.2 Saran 1. Pasien infeksi yang dirawat sebaiknya dilakukan penghitungan Duke Model Score untuk memprediksi infeksi bekteri ESBL. 2. Untuk melawan infeksi bakteri ESBL di RS.H. Adam Malik harus digunakan antibiotik yang masih sensitif terhadap ESBL yaitu amikasin, imipenem, ertapenem, meropenem dan tigeciclin. 3. Diperlukan penelitian multicenter untuk memperoleh nilai cutoff yang dapat digunakan di semua wilayah serta penelitian untuk melihat outcome pasien-pasien yang terinfeksi ESBL. 4. Selain itu diperlukan juga penelitian terhadap genotip bakteri ESBL karena pada penelitian ini dijumpai adanya resistensi yang tinggi terhadap antibiotik anti-esbl.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bakteri Extended Spectrum β Lactamase (ESBL) Beberapa dekade terakhir, penggunaan intensif sefalosporin spektrum luas (sefalosporin generasi ketiga, seperti seftriakson dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bakteri Extended Spectrum Beta Lactamase (ESBL) Antibiotik pertama ditemukan oleh Sir Alexander Fleming pada tahun 1927 dan dinamakan penisilin, yang merupakan beta laktam,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Di negara-negara berkembang, penyakit infeksi masih menempati urutan

I. PENDAHULUAN. Di negara-negara berkembang, penyakit infeksi masih menempati urutan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di negara-negara berkembang, penyakit infeksi masih menempati urutan pertama dari penyebab sakit di masyarakat (Nelwan, 2002). Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan infeksi

Lebih terperinci

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Desain Penelitian Desain penelitian dalam penelitian ini adalah desain cross-sectional (potong lintang) dengan menggunakan data sekunder, yaitu data hasil uji kepekaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ISK merupakan keadaan tumbuh dan berkembang biaknya kuman dalam saluran kemih meliputi infeksi di parenkim ginjal sampai infeksi di kandung kemih dengan jumlah bakteriuria

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. atas yang terjadi pada populasi, dengan rata-rata 9.3% pada wanita di atas 65

I. PENDAHULUAN. atas yang terjadi pada populasi, dengan rata-rata 9.3% pada wanita di atas 65 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di negara-negara berkembang penyakit infeksi masih menempati urutan pertama dari penyebab sakit di masyarakat (Nelwan, 2002). Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan infeksi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Sepsis adalah terjadinya SIRS ( Systemic Inflamatory Respon Syndrome)

BAB 1 PENDAHULUAN. Sepsis adalah terjadinya SIRS ( Systemic Inflamatory Respon Syndrome) BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sepsis adalah terjadinya SIRS ( Systemic Inflamatory Respon Syndrome) yang disertai dengan adanya infeksi pada organ tertentu berdasarkan hasil biakan positif di tempat

Lebih terperinci

BAB III KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN DEFENISI OPERASIONAL. Isolat Pseudomonas aeruginosa

BAB III KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN DEFENISI OPERASIONAL. Isolat Pseudomonas aeruginosa BAB III KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN DEFENISI OPERASIONAL 3.1. Kerangka Konsep Penelitian Berdasarkan tujuan penelitian diatas maka kerangka konsep dalam penelitian ini adalah : Isolat Pseudomonas aeruginosa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kematian di dunia. Salah satu jenis penyakit infeksi adalah infeksi

I. PENDAHULUAN. kematian di dunia. Salah satu jenis penyakit infeksi adalah infeksi I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit infeksi merupakan penyebab tingginya angka kesakitan dan kematian di dunia. Salah satu jenis penyakit infeksi adalah infeksi nosokomial. Infeksi ini menyebabkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Enterobacteriaceae merupakan kelompok bakteri Gram negatif berbentuk

I. PENDAHULUAN. Enterobacteriaceae merupakan kelompok bakteri Gram negatif berbentuk I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Enterobacteriaceae merupakan kelompok bakteri Gram negatif berbentuk batang. Habitat alami bakteri ini berada pada sistem usus manusia dan binatang. Enterobacteriaceae

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A.Latar Belakang Penelitian. Enterobacteriaceae merupakan patogen yang dapat menyebabkan infeksi

BAB I. PENDAHULUAN. A.Latar Belakang Penelitian. Enterobacteriaceae merupakan patogen yang dapat menyebabkan infeksi BAB I. PENDAHULUAN A.Latar Belakang Penelitian Enterobacteriaceae merupakan patogen yang dapat menyebabkan infeksi serius mulai dari sistitis hingga pyelonephritis, septikemia, pneumonia, peritonitis,

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN

3. METODOLOGI PENELITIAN 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Desain Penelitian Desain penelitian dalam penelitian ini adalah desain cross-sectional (potong lintang) dengan menggunakan data sekunder, yaitu data hasil uji kepekaan bakteri

Lebih terperinci

ABSTRAK PREVALENSI GEN OXA-24 PADA BAKTERI ACINETOBACTER BAUMANII RESISTEN ANTIBIOTIK GOLONGAN CARBAPENEM DI RSUP SANGLAH DENPASAR

ABSTRAK PREVALENSI GEN OXA-24 PADA BAKTERI ACINETOBACTER BAUMANII RESISTEN ANTIBIOTIK GOLONGAN CARBAPENEM DI RSUP SANGLAH DENPASAR ABSTRAK PREVALENSI GEN OXA-24 PADA BAKTERI ACINETOBACTER BAUMANII RESISTEN ANTIBIOTIK GOLONGAN CARBAPENEM DI RSUP SANGLAH DENPASAR Sulitnya penanggulangan infeksi pneumonia nosokomial oleh Acinetobacter

Lebih terperinci

25 Universitas Indonesia

25 Universitas Indonesia 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan desain potong lintang (cross-sectional) untuk mengetahui pola resistensi bakteri terhadap kloramfenikol, trimethoprim/ sulfametoksazol,

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian di sub bagian Pulmologi, bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUP Dr Kariadi 4.2 Tempat dan Waktu Penelitian 4.2.1 Tempat

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Pseudomonas aeruginosa (P. aeruginosa) merupakan bakteri penyebab tersering infeksi

BAB I. PENDAHULUAN. Pseudomonas aeruginosa (P. aeruginosa) merupakan bakteri penyebab tersering infeksi BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pseudomonas aeruginosa (P. aeruginosa) merupakan bakteri penyebab tersering infeksi di lingkungan Rumah Sakit. P. aeruginosa merupakan bakteri Gram negatif

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN. Ilmu Kesehatan Anak, dan Ilmu Kesehatan Masyarakat.

BAB IV METODE PENELITIAN. Ilmu Kesehatan Anak, dan Ilmu Kesehatan Masyarakat. BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Ruang lingkup penelitian Disiplin ilmu yang terkait dalam penelitian ini adalah Ilmu Mikrobiologi, Ilmu Kesehatan Anak, dan Ilmu Kesehatan Masyarakat. 4.2 Tempat dan waktu

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Ruang Lingkup Penelitian 4.1.1 Ruang lingkup keilmuan Ruang lingkup keilmuan dalam penelitian ini adalah bidang Ilmu Mikrobiologi Klinik, Ilmu Obstetri, dan Ilmu Penyakit Infeksi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyebab utama penyakit infeksi (Noer, 2012). dokter, paramedis yaitu perawat, bidan dan petugas lainnya (Noer, 2012).

BAB I PENDAHULUAN. penyebab utama penyakit infeksi (Noer, 2012). dokter, paramedis yaitu perawat, bidan dan petugas lainnya (Noer, 2012). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rumah sakit merupakan tempat dimana orang yang sakit dirawat dan ditempatkan dalam jarak yang sangat dekat. Di tempat ini pasien mendapatkan terapi dan perawatan untuk

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN. Ruang lingkup keilmuan dalam penelitian ini adalah bidang Ilmu. Mikrobiologi Klinik dan ilmu penyakit infeksi.

BAB IV METODE PENELITIAN. Ruang lingkup keilmuan dalam penelitian ini adalah bidang Ilmu. Mikrobiologi Klinik dan ilmu penyakit infeksi. BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Ruang Lingkup Penelitian 4.1.1 Ruang lingkup keilmuan Ruang lingkup keilmuan dalam penelitian ini adalah bidang Ilmu Mikrobiologi Klinik dan ilmu penyakit infeksi. 4.1.2 Ruang

Lebih terperinci

PENILAIAN AKURASI ITALIAN SCORE SEBAGAI PREDIKTOR INFEKSI EXTENDED- SPECTRUM BETA LACTAMASE (ESBL) TESIS ANDRI ISKANDAR MARDIA

PENILAIAN AKURASI ITALIAN SCORE SEBAGAI PREDIKTOR INFEKSI EXTENDED- SPECTRUM BETA LACTAMASE (ESBL) TESIS ANDRI ISKANDAR MARDIA PENILAIAN AKURASI ITALIAN SCORE SEBAGAI PREDIKTOR INFEKSI EXTENDED- SPECTRUM BETA LACTAMASE (ESBL) TESIS Oleh ANDRI ISKANDAR MARDIA 097101022 DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 44 BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan desain uji diagnostik untuk membandingkan sensitivitas dan spesifisitas antara serum NGAL dan serum cystatin C dalam mendiagnosa

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. pneumonia, mendapatkan terapi antibiotik, dan dirawat inap). Data yang. memenuhi kriteria inklusi adalah 32 rekam medik.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. pneumonia, mendapatkan terapi antibiotik, dan dirawat inap). Data yang. memenuhi kriteria inklusi adalah 32 rekam medik. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini mengevaluasi tentang penggunaan antibiotik pada pasien pneumonia di RSU PKU Muhammadiyah Bantul. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan terdapat 79 rekam

Lebih terperinci

BAB 4 METODE PENELITIAN. Divisi Infeksi dan Mikrobiologi Klinik. Penelitian ini dilakukan di PICU dan HCU RS Dr. Kariadi Semarang pada

BAB 4 METODE PENELITIAN. Divisi Infeksi dan Mikrobiologi Klinik. Penelitian ini dilakukan di PICU dan HCU RS Dr. Kariadi Semarang pada BAB 4 METODE PENELITIAN 4.1 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah Ilmu Kesehatan Anak, khususnya Divisi Infeksi dan Mikrobiologi Klinik. 4.2 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Salah satu penyebab kematian tertinggi di dunia. adalah infeksi. Sekitar lima puluh tiga juta kematian

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Salah satu penyebab kematian tertinggi di dunia. adalah infeksi. Sekitar lima puluh tiga juta kematian BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Salah satu penyebab kematian tertinggi di dunia adalah infeksi. Sekitar lima puluh tiga juta kematian di seluruh dunia pada tahun 2002, sepertiganya disebabkan oleh

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Dari kurun waktu tahun 2001-2005 terdapat 2456 isolat bakteri yang dilakukan uji kepekaan terhadap amoksisilin. Bakteri-bakteri gram negatif yang menimbulkan infeksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Infeksi saluran napas bawah masih tetap merupakan masalah utama dalam bidang kesehatan, baik di negara yang sedang berkembang maupun yang sudah maju. Data

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Antibiotik adalah zat yang dihasilkan oleh suatu mikroba, terutama fungi, yang dapat menghambat atau dapat membasmi mikroba jenis lain (Setiabudy, 2009). Penemuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Infeksi bakteri yang berkembang menjadi sepsis yang merupakan suatu respon tubuh dengan adanya invasi mikroorganisme, bakteremia atau pelepasan sitokin akibat pelepasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan salah satu jenis infeksi yang paling sering

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan salah satu jenis infeksi yang paling sering BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan salah satu jenis infeksi yang paling sering ditemukan dalam praktek klinik (Hvidberg et al., 2000). Infeksi saluran kemih (ISK)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1.Latar Belakang. Escherichia coli merupakan bakteri gram negatif. yang normalnya hidup sebagai flora normal di sistem

BAB I PENDAHULUAN. I.1.Latar Belakang. Escherichia coli merupakan bakteri gram negatif. yang normalnya hidup sebagai flora normal di sistem 1 BAB I PENDAHULUAN I.1.Latar Belakang Escherichia coli merupakan bakteri gram negatif yang normalnya hidup sebagai flora normal di sistem pencernaan manusia, dan juga bisa menjadi patogen yang menyebabkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sepsis merupakan salah satu masalah kesehatan utama penyebab kesakitan

BAB I PENDAHULUAN. Sepsis merupakan salah satu masalah kesehatan utama penyebab kesakitan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Sepsis merupakan salah satu masalah kesehatan utama penyebab kesakitan dan kematian pada anak. 1,2 Watson dan kawan-kawan (dkk) (2003) di Amerika Serikat mendapatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Infeksi merupakan peristiwa masuknya mikroorganisme ke suatu bagian di dalam tubuh yang secara normal dalam keadaan steril (Daniela, 2010). Infeksi dapat disebabkan

Lebih terperinci

Klebsiella pneumoniae. Gamma Proteobacteria Enterobacteriaceae. Klebsiella K. pneumoniae. Binomial name Klebsiella pneumoniae

Klebsiella pneumoniae. Gamma Proteobacteria Enterobacteriaceae. Klebsiella K. pneumoniae. Binomial name Klebsiella pneumoniae Klebsiella pneumoniae Kingdom: Phylum: Class: Order: Family: Genus: Species: Bacteria Proteobacteria Gamma Proteobacteria Enterobacteriales Enterobacteriaceae Klebsiella K. pneumoniae Binomial name Klebsiella

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Penyakit infeksi merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas di dunia.

I. PENDAHULUAN. Penyakit infeksi merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas di dunia. I. PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Penyakit infeksi merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas di dunia. Sekitar 53 juta kematian di seluruh dunia pada tahun 2002, sepertiganya disebabkan oleh

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. penurunan sistem imun (Vahdani, et al., 2012). Infeksi nosokomial dapat terjadi

I. PENDAHULUAN. penurunan sistem imun (Vahdani, et al., 2012). Infeksi nosokomial dapat terjadi I. PENDAHULUAN Pseudomonas aeruginosa merupakan bakteri patogen oportunistik penting yang menyebabkan infeksi nosokomial terutama pada pasien yang mengalami penurunan sistem imun (Vahdani, et al., 2012).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bentuk nodul-nodul yang abnormal. (Sulaiman, 2007) Penyakit hati kronik dan sirosis menyebabkan kematian 4% sampai 5% dari

BAB I PENDAHULUAN. bentuk nodul-nodul yang abnormal. (Sulaiman, 2007) Penyakit hati kronik dan sirosis menyebabkan kematian 4% sampai 5% dari BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG PENELITIAN Sirosis hati adalah merupakan perjalanan akhir berbagai macam penyakit hati yang ditandai dengan fibrosis. Respon fibrosis terhadap kerusakan hati bersifat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Antibiotik merupakan pengobatan utama dalam. manajemen penyakit infeksi. Namun, akibat penggunaan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Antibiotik merupakan pengobatan utama dalam. manajemen penyakit infeksi. Namun, akibat penggunaan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Antibiotik merupakan pengobatan utama dalam manajemen penyakit infeksi. Namun, akibat penggunaan antibiotik yang tidak sesuai dengan standar, terjadi resistensi terhadap

Lebih terperinci

BAB 6 PEMBAHASAN. pneumonia yang terjadi pada pasien dengan bantuan ventilasi mekanik setelah 48

BAB 6 PEMBAHASAN. pneumonia yang terjadi pada pasien dengan bantuan ventilasi mekanik setelah 48 BAB 6 PEMBAHASAN VAP (ventilatory acquired pneumonia) adalah infeksi nosokomial pneumonia yang terjadi pada pasien dengan bantuan ventilasi mekanik setelah 48 jam. 4,8,11 Insiden VAP bervariasi antara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Antibiotik merupakan substansi yang sangat. bermanfaat dalam kesehatan. Substansi ini banyak

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Antibiotik merupakan substansi yang sangat. bermanfaat dalam kesehatan. Substansi ini banyak BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Antibiotik merupakan substansi yang sangat bermanfaat dalam kesehatan. Substansi ini banyak dimanfaatkan oleh tenaga kesehatan sebagai obat untuk mengobati penyakit

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kejadiannya secara internasional diperkirakan lebih dari 3000 orang dalam 1 juta

BAB 1 PENDAHULUAN. kejadiannya secara internasional diperkirakan lebih dari 3000 orang dalam 1 juta BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Efusi pleura merupakan suatu keadaan yang cukup sering dijumpai. Angka kejadiannya secara internasional diperkirakan lebih dari 3000 orang dalam 1 juta populasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan imunitas pejamu, respon inflamasi, dan respon koagulasi (Hack CE,

BAB I PENDAHULUAN. dengan imunitas pejamu, respon inflamasi, dan respon koagulasi (Hack CE, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sepsis adalah puncak interaksi kompleks mikroorganisme penyebab infeksi dengan imunitas pejamu, respon inflamasi, dan respon koagulasi (Hack CE, 2000).The American College

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menggambarkan kolonisasi kuman penyebab infeksi dalam urin dan. ureter, kandung kemih dan uretra merupakan organ-organ yang

BAB I PENDAHULUAN. menggambarkan kolonisasi kuman penyebab infeksi dalam urin dan. ureter, kandung kemih dan uretra merupakan organ-organ yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Infeksi saluran kemih (ISK) adalah istilah umum untuk menggambarkan kolonisasi kuman penyebab infeksi dalam urin dan pada struktur traktus urinarius. (1) Saluran

Lebih terperinci

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini meliputi bidang Mikrobiologi klinik dan infeksi.

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini meliputi bidang Mikrobiologi klinik dan infeksi. BAB IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini meliputi bidang Mikrobiologi klinik dan infeksi. 4.2 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di RSUP Dr. Kariadi Semarang.Penelitian

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Ruang lingkup penelitian adalah ilmu penyakit saraf.

BAB III METODE PENELITIAN. Ruang lingkup penelitian adalah ilmu penyakit saraf. 35 BAB III METODE PENELITIAN III.1. Ruang lingkup penelitian Ruang lingkup penelitian adalah ilmu penyakit saraf. III.2. Jenis dan rancangan penelitian Jenis penelitian ini merupakan penelitian observasional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Menurut perkiraan World Health Oraganization (WHO) ada sekitar 5 juta

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Menurut perkiraan World Health Oraganization (WHO) ada sekitar 5 juta BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut perkiraan World Health Oraganization (WHO) ada sekitar 5 juta kematian neonatus setiap tahun, 98% terjadi di negara berkembang. Penyebab paling umum kematian

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Kariadi Semarang pada periode Maret Juni neutrofil limfosit (NLR) darah tepi sebagai indikator outcome stroke iskemik

BAB III METODE PENELITIAN. Kariadi Semarang pada periode Maret Juni neutrofil limfosit (NLR) darah tepi sebagai indikator outcome stroke iskemik BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup keilmuan dari penelitian ini mencakup bidang Neurologi dan Hematologi. 3.2 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini telah dilakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. satu penyebab kematian utama di dunia. Berdasarkan. kematian tertinggi di dunia. Menurut WHO 2002,

BAB I PENDAHULUAN. satu penyebab kematian utama di dunia. Berdasarkan. kematian tertinggi di dunia. Menurut WHO 2002, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi adalah invasi dan multiplikasi mikroorganisme atau parasit dalam jaringan tubuh (1). Infeksi tidak hanya menjadi masalah kesehatan bagi Indonesia bahkan di

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 24 3.1 Desain Penelitian BAB III METODOLOGI PENELITIAN Bentuk desain penelitian yang akan digunakan adalah bentuk deskriptif cross sectional untuk mengetahui pola sensitivitas Mycobacterium tuberculosis

Lebih terperinci

PENGAMBILAN SPESIMEN YANG BENAR UNTUK KULTUR RESISTENSI ANTIMIKROBA. dr.anti Dharmayanti, SpPK(K)

PENGAMBILAN SPESIMEN YANG BENAR UNTUK KULTUR RESISTENSI ANTIMIKROBA. dr.anti Dharmayanti, SpPK(K) PENGAMBILAN SPESIMEN YANG BENAR UNTUK KULTUR RESISTENSI ANTIMIKROBA dr.anti Dharmayanti, SpPK(K) PRA ANALITIK PENANGANAN SPESIMEN MIKROBIOLOGI AMAT PENTING UTK AKURASI HASIL & INTERPRETASI SPESIMEN KULTUR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. pelayanan kesehatan umum seperti rumah sakit dan panti jompo. Multidrugs

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. pelayanan kesehatan umum seperti rumah sakit dan panti jompo. Multidrugs BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Resistensi antibiotik memiliki pengaruh besar terhadap kesehatan manusia, setidaknya 2 juta orang terinfeksi oleh bakteri yang resisten terhadap antibiotik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai sumber infeksi, seperti: gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga

BAB I PENDAHULUAN. berbagai sumber infeksi, seperti: gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Abses leher dalam adalah terkumpulnya nanah (pus) di dalam ruang potensial yang terletak di antara fasia leher dalam, sebagai akibat penjalaran dari berbagai sumber

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi pada saluran napas merupakan penyakit yang umum terjadi pada

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi pada saluran napas merupakan penyakit yang umum terjadi pada BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Infeksi pada saluran napas merupakan penyakit yang umum terjadi pada masyarakat. Infeksi saluran napas berdasarkan wilayah infeksinya terbagi menjadi infeksi saluran

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Ruang Lingkup Penelitian 3.1.1 Ruang Lingkup Keilmuan Ruang lingkup keilmuan pada penelitian ini mencakup bidang Ilmu Penyakit Dalam dan Ilmu Bedah. 3.1.2 Ruang Lingkup Waktu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Penyakit infeksi masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Diare,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Penyakit infeksi masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Diare, 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Penyakit infeksi masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Diare, infeksi saluran nafas, malaria, tuberkulosis masih menjadi penyebab utama kematian.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Penyakit infeksi masih merupakan penyebab utama. morbiditas dan mortalitas di dunia.

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Penyakit infeksi masih merupakan penyebab utama. morbiditas dan mortalitas di dunia. BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penyakit infeksi masih merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas di dunia. Di samping itu penyakit infeksi juga bertanggung jawab pada penurunan kualitas

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. 3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif laboratorik dengan

III. METODE PENELITIAN. 3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif laboratorik dengan III. METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif laboratorik dengan pendekatan cross sectional, menggunakan metode difusi dengan memakai media Agar

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit infeksi adalah penyakit yang disebabkan oleh masuk dan berkembang biaknya

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit infeksi adalah penyakit yang disebabkan oleh masuk dan berkembang biaknya BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit infeksi adalah penyakit yang disebabkan oleh masuk dan berkembang biaknya mikroorganisme yaitu bakteri, virus, jamur, prion dan protozoa ke dalam tubuh sehingga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ruang rawat intensif atau Intensive Care Unit (ICU) adalah unit perawatan di rumah sakit yang dilengkapi peralatan khusus dan perawat yang terampil merawat pasien sakit

Lebih terperinci

BAB III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan uji klinis dengan metode Quasi Experimental dan

BAB III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan uji klinis dengan metode Quasi Experimental dan BAB III. METODE PENELITIAN A. RANCANGAN PENELITIAN Penelitian ini merupakan uji klinis dengan metode Quasi Experimental dan menggunakan Pretest and posttest design pada kelompok intervensi dan kontrol.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Infeksi saluran pernafasan adalah penyebab utama morbiditas dan mortalitas penyakit menular di dunia. Hampir empat juta orang meninggal akibat infeksi saluran nafas

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL PENELITIAN. Pada periode penelitian dijumpai 41 orang penderita stroke iskemik akut

BAB 4 HASIL PENELITIAN. Pada periode penelitian dijumpai 41 orang penderita stroke iskemik akut BAB 4 HASIL PENELITIAN 4.1. Karakteristik subyek penelitian Pada periode penelitian dijumpai 41 orang penderita stroke iskemik akut yang dirawat di Instalasi Rawat Inap Bagian Penyakit Saraf RSUP Dr. Kariadi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian dengan judul Evaluasi Rasionalitas Penggunaan Antibiotik

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian dengan judul Evaluasi Rasionalitas Penggunaan Antibiotik BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil dan Pembahasan Penelitian dengan judul Evaluasi Rasionalitas Penggunaan Antibiotik pada Pengobatan Pasien Infeksi Saluran Kemih di Instalasi Rawat Inap RSUD Kabupaten

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengisian alveoli oleh eksudat, sel radang dan fibrin. Pneumonia masih

BAB I PENDAHULUAN. pengisian alveoli oleh eksudat, sel radang dan fibrin. Pneumonia masih BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru, distal dari bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius. Pneumonia ditandai dengan konsolidasi

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Staphylococcus aureus, merupakan masalah yang serius, apalagi didukung kemampuan

BAB I. PENDAHULUAN. Staphylococcus aureus, merupakan masalah yang serius, apalagi didukung kemampuan BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Munculnya strain bakteri yang resisten terhadap banyak antibiotik termasuk bakteri Staphylococcus aureus, merupakan masalah yang serius, apalagi didukung kemampuan

Lebih terperinci

BAB 3 METODA PENELITIAN. Ruang lingkup penelitian adalah Ilmu Penyakit Syaraf. RSUP Dr. Kariadi Semarang pada periode Desember 2006 Juli 2007

BAB 3 METODA PENELITIAN. Ruang lingkup penelitian adalah Ilmu Penyakit Syaraf. RSUP Dr. Kariadi Semarang pada periode Desember 2006 Juli 2007 50 BAB 3 METODA PENELITIAN 3.1. Ruang lingkup penelitian Ruang lingkup penelitian adalah Ilmu Penyakit Syaraf 3.2. Tempat dan waktu penelitian Penelitian akan dilakukan di Bangsal Rawat Inap UPF Penyakit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi neonatus khususnya sepsis neonatorum sampai saat ini masih

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi neonatus khususnya sepsis neonatorum sampai saat ini masih BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi neonatus khususnya sepsis neonatorum sampai saat ini masih menjadi masalah karena merupakan penyebab utama mortalitas dan morbiditas pada bayi baru lahir. Masalah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Infeksi Nosokomial 1. Pengertian Infeksi nosokomial atau hospital acquired infection adalah infeksi yang didapat klien ketika klien tersebut masuk rumah sakit atau pernah dirawat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. bermakna (Lutter, 2005). Infeksi saluran kemih merupakan salah satu penyakit

BAB 1 PENDAHULUAN. bermakna (Lutter, 2005). Infeksi saluran kemih merupakan salah satu penyakit BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan istilah umum untuk berbagai keadaan tumbuh dan berkembangnya bakteri dalam saluran kemih dengan jumlah yang bermakna (Lutter,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sinus yang disebabkan berbagai macam alergen. Rinitis alergi juga merupakan

BAB I PENDAHULUAN. sinus yang disebabkan berbagai macam alergen. Rinitis alergi juga merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rinitis alergi merupakan inflamasi kronis mukosa saluran hidung dan sinus yang disebabkan berbagai macam alergen. Rinitis alergi juga merupakan masalah kesehatan global

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit paru obstruktif kronik atau yang biasa disebut PPOK merupakan

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit paru obstruktif kronik atau yang biasa disebut PPOK merupakan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyakit paru obstruktif kronik atau yang biasa disebut PPOK merupakan salah satu jenis dari penyakit tidak menular yang paling banyak ditemukan di masyarakat dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pneumonia hingga saat ini masih tercatat sebagai masalah kesehatan yang utama di negara berkembang (Setyati dkk., 2012). Pneumonia dapat terjadi sepanjang

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. (WHO, 2002). Infeksi nosokomial (IN) atau hospital acquired adalah

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. (WHO, 2002). Infeksi nosokomial (IN) atau hospital acquired adalah BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1.Infeksi nosokomial 1.1 Pengertian infeksi nosokomial Nosocomial infection atau yang biasa disebut hospital acquired infection adalah infeksi yang didapat saat klien dirawat di

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan metode deskriptif menggunakan desain cross sectional. Desain cross sectional digunakan untuk menentukan angka prevalensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. bawah 5 tahun dibanding penyakit lainnya di setiap negara di dunia. Pada tahun

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. bawah 5 tahun dibanding penyakit lainnya di setiap negara di dunia. Pada tahun BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pneumonia merupakan penyakit yang banyak membunuh anak usia di bawah 5 tahun dibanding penyakit lainnya di setiap negara di dunia. Pada tahun 2004, sekitar

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. mikroba yang terbukti atau dicurigai (Putri, 2014). Sepsis neonatorum adalah

BAB 1 PENDAHULUAN. mikroba yang terbukti atau dicurigai (Putri, 2014). Sepsis neonatorum adalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sepsis adalah sindroma respons inflamasi sistemik dengan etiologi mikroba yang terbukti atau dicurigai (Putri, 2014). Sepsis neonatorum adalah Systemc Inflammation

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. jamur, dan parasit (Kemenkes RI, 2012; PDPI, 2014). Sedangkan infeksi yang

BAB 1 PENDAHULUAN. jamur, dan parasit (Kemenkes RI, 2012; PDPI, 2014). Sedangkan infeksi yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pneumonia merupakan penyakit infeksi saluran napas bawah akut pada parenkim paru. Pneumonia disebabkan oleh mikroorganisme seperti bakteri, virus, jamur, dan parasit

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Desain penelitian ini adalah penelitian eksperimental laboratorik dengan

III. METODOLOGI PENELITIAN. Desain penelitian ini adalah penelitian eksperimental laboratorik dengan III. METODOLOGI PENELITIAN 3. 1. Desain Penelitian Desain penelitian ini adalah penelitian eksperimental laboratorik dengan metode difusi Kirby-Bauer (Triatmodjo, 2008). Hasil penelitian diperoleh dengan

Lebih terperinci

BAB 4 METODE PENELITIAN. Kelompok penelitian dibagi menjadi dua kelompok sebagai berikut:

BAB 4 METODE PENELITIAN. Kelompok penelitian dibagi menjadi dua kelompok sebagai berikut: BAB 4 METODE PENELITIAN 4.1. Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian dengan desain eksperimental. Kelompok penelitian dibagi menjadi dua kelompok sebagai berikut: Kelompok I : chlorhexidine

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN. 1. Pengambilan data berupa sampel swab nasofaring dan kuesioner diadakan di

BAB IV METODE PENELITIAN. 1. Pengambilan data berupa sampel swab nasofaring dan kuesioner diadakan di BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Ruang Lingkup Penelitian Disiplin ilmu yang terkait dalam penelitian ini adalah Ilmu Mikrobiologi, Ilmu Kesehatan Anak, Ilmu Kesehatan Masyarakat. 4.2 Tempat dan waktu penelitian

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klebsiella pneumonia Taksonomi dari Klebsiella pneumonia : Domain Phylum Class Ordo Family Genus : Bacteria : Proteobacteria : Gamma Proteobacteria : Enterobacteriales : Enterobacteriaceae

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit infeksi menjadi masalah utama meningkatnya morbiditas dan mortalitas di seluruh dunia termasuk Indonesia. Infeksi dapat terjadi pada pasien pasca bedah yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang Masalah. Staphylococcus adalah bakteri gram positif. berbentuk kokus. Hampir semua spesies Staphylococcus

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang Masalah. Staphylococcus adalah bakteri gram positif. berbentuk kokus. Hampir semua spesies Staphylococcus BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Staphylococcus adalah bakteri gram positif berbentuk kokus. Hampir semua spesies Staphylococcus merupakan bakteri koagulase negatif, kecuali Staphylococcus aureus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyakit yang banyak terjadi di daerah tropis seperti Indonesia yaitu penyakit infeksi yang disebabkan oleh kuman (Refdanita et al., 2004). Salah satu infeksi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Infeksi Nosokomial 1. Pengertian Menurut Paren (2006) pasien dikatakan mengalami infeksi nosokomial jika pada saat masuk belum mengalami infeksi kemudian setelah dirawat selama

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Data di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta didapatkan jumlah rekam medik yang tercatat dengan kode tindakan operasi pada semua bagian periode bulan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. kejadian VAP di Indonesia, namun berdasarkan kepustakaan luar negeri

PENDAHULUAN. kejadian VAP di Indonesia, namun berdasarkan kepustakaan luar negeri BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ventilator associated pneumonia (VAP) adalah bentuk infeksi nosokomial yang paling sering ditemui di unit perawatan intensif (UPI), khususnya pada

Lebih terperinci

BAB 1. Infeksi terkait dengan perawatan kesehatan melalui pemasangan alat-alat medis

BAB 1. Infeksi terkait dengan perawatan kesehatan melalui pemasangan alat-alat medis BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Infeksi terkait dengan perawatan kesehatan melalui pemasangan alat-alat medis yang invasif di Instalasi Perawatan Intensif merupakan salah satu faktor penting yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (bakteri, jamur) yang mempunyai efek menghambat atau menghentikan suatu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (bakteri, jamur) yang mempunyai efek menghambat atau menghentikan suatu BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Antibiotika 2.1.1 Definisi Antibiotika Antibiotika adalah senyawa yang dihasilkan oleh mikroorganisme (bakteri, jamur) yang mempunyai efek menghambat atau menghentikan suatu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) adalah bakteri. Staphylococcus aureus yang mengalami kekebalan terhadap antibiotik

I. PENDAHULUAN. Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) adalah bakteri. Staphylococcus aureus yang mengalami kekebalan terhadap antibiotik I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) adalah bakteri Staphylococcus aureus yang mengalami kekebalan terhadap antibiotik jenis metisilin. MRSA mengalami resistensi

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Subjek Penelitian Dari data pasien infeksi saluran kemih (ISK) yang diperiksa di Laboratorium Mikrobiologi Klinik FKUI pada jangka waktu Januari 2001 hingga Desember 2005

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada tahun 1998 WHO melaporkan bahwa infeksi merupakan penyebab kematian kedua setelah kardiovaskular dengan angka mencapai 13,3 juta orang yang meninggal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. salah satu aspek yang penting dan banyak digunakan bagi perawatan pasien yang

BAB I PENDAHULUAN. salah satu aspek yang penting dan banyak digunakan bagi perawatan pasien yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Ventilator mekanik merupakan alat yang digunakan untuk membantu fungsi pernapasan. Penggunaannya diindikasikan untuk pasien dengan hipoksemia, hiperkapnia berat dan

Lebih terperinci

BAB I Pendahuluan UKDW. penyebab keempat dari disabilitas pada usia muda (Gofir, 2009).

BAB I Pendahuluan UKDW. penyebab keempat dari disabilitas pada usia muda (Gofir, 2009). BAB I Pendahuluan I. Latar Belakang Stroke merupakan penyebab kematian ketiga tersering dinegara maju, setelah penyakit jantung dan kanker (Ginsberg, 2008). Stroke merupakan masalah kesehatan yang utama

Lebih terperinci

BAB 4 METODE PENELITIAN. Pulmonologi serta Ilmu Mikrobiologi Klinik.

BAB 4 METODE PENELITIAN. Pulmonologi serta Ilmu Mikrobiologi Klinik. BAB 4 METODE PENELITIAN 4.1. Ruang lingkup penelitian Ruang lingkup penelitian ini meliputi bidang Ilmu Penyakit Dalam divisi Pulmonologi serta Ilmu Mikrobiologi Klinik. 4.2. Tempat dan waktu penelitian

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pneumonia merupakan salah satu penyakit infeksi saluran napas yang terbanyak didapatkan dan sering menyebabkan kematian hampir di seluruh dunia. Penyakit ini menyebabkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Infeksi bakteri yang berkembang menjadi sepsis, merupakan suatu respons

BAB 1 PENDAHULUAN. Infeksi bakteri yang berkembang menjadi sepsis, merupakan suatu respons BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi bakteri yang berkembang menjadi sepsis, merupakan suatu respons tubuh terhadap invasi mikroorganisme, bakteremia atau pelepasan sitokin akibat pelepasan endotoksin

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN. Penyakit Dalam sub bagian Infeksi Tropis. Bagian /SMF Ilmu Penyakit Dalam RSUP Dr. Kariadi Semarang mulai 1

BAB IV METODE PENELITIAN. Penyakit Dalam sub bagian Infeksi Tropis. Bagian /SMF Ilmu Penyakit Dalam RSUP Dr. Kariadi Semarang mulai 1 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Ruang lingkup penelitian Disiplin ilmu yang terkait dengan penelitian ini adalah Ilmu Penyakit Dalam sub bagian Infeksi Tropis 4.2 Tempat dan waktu penelitian Penelitian ini

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Ruang Lingkup Penelitian 4.1.1 Ruang lingkup keilmuan Ruang lingkup keilmuan dalam penelitian ini adalah bidang ilmu Mikrobiologi Klinik dan ilmu penyakit infeksi. 4.1.2 Ruang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Influenza adalah suatu penyakit infeksi saluran pernafasan. akut yang disebabkan oleh virus influenza. Penyakit ini dapat

BAB 1 PENDAHULUAN. Influenza adalah suatu penyakit infeksi saluran pernafasan. akut yang disebabkan oleh virus influenza. Penyakit ini dapat BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Influenza adalah suatu penyakit infeksi saluran pernafasan akut yang disebabkan oleh virus influenza. Penyakit ini dapat menyerang saluran pernafasan bagian atas maupun

Lebih terperinci