BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bakteri Extended Spectrum Beta Lactamase (ESBL) Antibiotik pertama ditemukan oleh Sir Alexander Fleming pada tahun 1927 dan dinamakan penisilin, yang merupakan beta laktam, yang mempunyai empat cincin beta laktam; tiga cincin karbon dan satu nitrogen. Pada awal 1940an, Florey, Chain dan Heatley dari Universitas Oxford menyempurnakan penisilin dan mulai digunakan untuk mengobati infeksi bakteri secara luas. Antibiotik ini bekerja dengan cara menghambat sintesa dinding sel bakteri, dimana cincin beta laktam meniru komponen dinding sel tempat ikatan transpeptidase, dan secara kompetitif menghambat ikatan dari transpeptidase. Akibatnya, bakteri tidak lagi dapat memproduksi dinding sel, sehingga pecah dan mati. 2,11 Untuk mengatasi kerja dari antibiotik beta laktam ini, bakteri menghasilkan enzim, yang disebut dengan beta laktamase, yang dapat merusak cincin beta laktam dari penisilin dengan hidrolisis, dan tanpa cincin beta laktam, penisilin menjadi tidak efektif melawan bakteri (gambar 1). 2 Sehingga bakteri tetap dapat membentuk dinding sel bahkan ketika diberikan antibiotik beta laktam, dan bakteri ini akan digolongkan ke dalam bakteri yang resisten terhadap beta laktam. 1

2 Gambar 2.1. Mekanisme Resistensi terhadap Beta laktam. Dikutip dari: John Wiley & sons, Inc, Bacterial Drug Resistance, Enzim beta laktamase yang pertama ditemukan pada bakteri gram negatif, diperantarai oleh plasmid di Yunani pada tahun 1960an. Enzim ini dinamai dengan TEM, sesuai dengan nama pasien asal isolat bakteri penghasil enzim ini, Temoniera. Kemudian TEM-2 ditemukan dan sangat identik strukturnya secara biokimiawi dengan TEM-1, hanya berbeda pada satu asam amino yang menyebabkan perbedaan titik isoelektris dari kedua enzim ini. 3 Kedua enzim ini adalah enzim beta laktamase-diperantarai plasmid yang paling lazim ditemukan pada bakteri gram negatif, termasuk Enterobacteriaceae, Pseudomonas aeruginosa, Haemophilus influenza, dan Neisseria gonnorhoeae. TEM-1 dan TEM-2 menghidrolisis penisilin dan sefalosporin spektrum sempit, seperti sefalotin atau sefazolin. Namun, mereka tidak efektif terhadap sefalosporin generasi yang lebih tinggi dengan rantai samping oxyimino, seperti sefotaksim, seftazidim, seftriakson, atau sefepim. 3,5,12 Enzim beta laktamase yang berhubungan dengan enzim-enzim tadi, tetapi lebih jarang ditemukan, dinamai SHV, karena reagen sulfhydryl memiliki efek spesifik terhadap substrat ini. SHV merupakan hasil dari mutasi serin menjadi glisin pada posisi 238 enzim beta laktamase TEM. 3 Saat bakteri menemukan mekanisme resistensi terhadap golongan beta laktam ini, banyak obat-obatan baru yang dikembangkan dari penisilin untuk menandingi resistensi yang muncul pada bakteri. Turunan dari antibiotik ini disebut dengan beta laktam spektrum luas (extended spectrum beta-lactams), termasuk di dalamnya sefalosporin, monobaktam. 11 Penggunaan antibiotik sefalosporin spektrum luas semakin intensif digunakan dalam dua dekade terakhir. Penggunaan obat ini secara luas dan tidak tepat mengakibatkan munculnya strain bakteri yang resisten terhadap antibiotik, dengan menghasilkan enzim-enzim extended spectrum beta lactamase (ESBL). 4 ESBL adalah enzim yang dapat menyebabkan resistensi terhadap hampir seluruh antibiotik beta laktam, termasuk penisilin, sefalosporin, dan monobaktam aztreonam. 3 Pada tahun 1983, sebuah enzim beta laktamase yang mampu menghidrolisis sefalosporin spektrum luas ditemukan pada suatu strain Klebsiella pneumonia di Jerman. Kemampuan untuk menghidrolisis sefalosporin spektrum luas ini muncul akibat adanya mutasi pada satu nukleotide (dibandingkan dengan gen yang menghasilkan SHV), dan diberi nama SHV-2. Enzim beta laktamase yang lain segera ditemukan, dan ternyata berhubungan erat dengan enzim TEM-1 dan

3 TEM-2. Laporan serupa bermunculan secara cepat di Amerika Serikat (1988) dan Perancis (1984). Distribusi yang cepat ini disebabkan oleh ekspansi klonal dari bakteri ESBL, dan transfer horizontal dari gen ESBL. Karena spektrum aktivitasnya mencakup oxyiminocephalosporins, enzim ini kemudian dikenal dengan extended spectrum beta laktamase (ESBL). 3,6,13,14 Kelompok dari enzim-enzim ESBL ini heterogenus. Enzim tipe SHV dan TEM muncul dari pergantian asam amino yang memungkinkan enzim dengan spektrum yang lebih sempit untuk menyerang beta laktam oxyimino baru. Kelompok lainnya, dari keluarga CTX-M, mempunyai kemampuan menyerang beta laktam dengan spektrum luas, yang didapat dari plasmid, yang ditentukan oleh gen-gen kromosom. Famili enzim ESBL yang lain yang telah cukup lama dikenal adalah OXA beta laktamase, agak jarang ditemukan dan dimediasi oleh plasmid juga. OXA beta laktamase dapat menghidrolisis oksasilin dan berhubungan dengan penisilin anti stafilokokus. Enzim beta laktamase yang lain, seperti PER, VEB, dan GES telah dilaporkan tetapi sangat jarang dan terutama ditemukan pada P. aeruginosa dan hanya didapati pada daerah geografis tertentu. Enzim ESBL lainnya, yang juga cukup jarang, dan ditemukan di Enterobacteriaceae antara lain BES, SFO, dan TLA. 3 Enzim-enzim ESBL mempunyai kemampuan yang bervariasi terhadap berbagai substrat beta laktam oxyimino, tetapi tidak dapat menyerang sefamisin (sefoksitin, sefotetan dan sefmetazole) dan karbapenem (imipenem, meropenem, doripenem, dan ertapenem). Enzimenzim ini juga sensitif terhadap inhibitor-inibitor beta laktamase, seperti klavulanat, sulbaktam, dan tazobaktam, sehingga dapat digabungkan dengan substrat beta laktam untuk menguji apakah ada mekanisme resistensi ini. Enzim-enzim ESBL ini ditemukan secara khusus pada bakteri gram negatif, terutama Klebsiella pneumonia, Klebsiella oxytoca, dan Eschericia coli. Tetapi dapat juga ditemukan pada Acinetobacter, Burkhlorderia, Citobacter, Enterobacter, Morganella, Proteus, Pseudomonas, Salmonella, dan Seratia spp. 3 Strain Enterobacteriaceae di atas, yang memiliki kemampuan menghasilkan enzim ESBL menjadi sangat penting, karena kebanyakan dari kelompok bakteri ini adalah flora normal pada saluran cerna manusia dan hewan, dan juga tersebar luas di lingkungan bebas. Lebih jauh, bakteri-bakteri ini dapat menyebabkan infeksi-infeksi yang berbeda, seperti septikaemia, infeksi saluran kemih, pneumonia, kolesistitis, kolangitis, peritonitis, infeksi luka, meningitis, dan gastroenteritis. Dan bakteri ini dapat muncul mengakibatkan infeksi sporadis atau wabah. 15

4 2.2 Epidemiologi Infeksi Bakteri ESBL Strain bakteri ESBL ini tersebar luas di seluruh dunia, lebih sering didapati pada spesimen yang berasal dari rumah sakit tetapi juga dapat dijumpai di masyarakat. Prevalensi dan fenotipnya berbeda dari satu daerah dengan daerah yang lain. 4 Seperti disebutkan di atas, bakteri ESBL pertama sekali ditemukan di Jerman, tetapi kebanyakan laporan tentang ditemukannya ESBL pada dekade pertama berasal dari Perancis. Wabah pertama dilaporkan terjadi di Perancis pada tahun 1986; dimana 54 pasien di tiga ruang rawat intensif terinfeksi bakteri ESBL dan menyebarkannya ke empat bangsal lainnya. Namun, pada beberapa tahun terakhir, dengan gencarnya tindakan pengendalian infeksi, terjadi penurunan insidensi infeksi bakteri ESBL. Di Perancis utara, proporsi isolat Klebsiella pneumonia menurun dari 19,7% pada 1996 menjadi 7,9% pada tahun Terdapat perbedaan prevalensi secara geografis di Negara-negara Eropa. Di dalam suatu negara juga terjadi perbedaan antara satu rumah sakit dengan rumah sakit lainnya. Di Swedia, bakteri ESBL dapat ditemukan di masyarakat maupun di rumah sakit. Swedia telah melaporkan ke EARSS, the European surveillance system, bahwa pada tahun 2006, 1,1% dari seluruh E.coli dan 0,8% dari K. pneumoniae pada kultur darah ditemukan menghasilkan ESBL. Jumlah isolat ESBL telah meningkat secara tajam di Swedia dalam beberapa tahun, dan beberapa wabah telah dilaporkan. Sejak Februari 2007, dalam enam bulan berikutnya, lebih dari 1000 kasus dilaporkan, yang tersebar di seluruh wilayah. Artinya di Swedia, kasus ESBL berjumlah dua kali lipat daripada MRSA. 16 Kejadian di Eropa bervariasi mulai dari 3% di Swedia sampai 34% di Portugal. Secara keseluruhan di Eropa, penelitian Meropenem Yearly Susceptibility Test Information Collection (Mystic Study) tahun 2008 melibatkan 12 negara diperoleh kejadian ESBL 5,6%. 17 Di USA, National Nosocomial Infection Surveillance (NNIS) menemukan sejak Januari 1998 sampai Juni 2002 didapati 6,1% dari isolat Klebsiella pneumonia dari 110 ruang rawat inap intensif resiten terhadap sefalosporin generasi ke-tiga. 6 Di Asia sendiri, pada tahun 1988, isolat Klebsiella pneumonia dari China yang mengandung ESBL untuk pertama kali dilaporkan. Dalam suatu laporan yang mengumpulkan isolat dari tahun 1998 dan 1999, 30,7% isolat Klebsiella pneumonia dan 24,5% isolat Eschericia coli diketahui menghasilkan ESBL. Survey nasional mengindikasikan didapatinya ESBL pada 5%-8% isolat Eschericia coli di Korea, Jepang, Malaysia, dan Singapura. Tetapi mencapai 12%- 24% di Thailand, Taiwan, Filipina, dan Indonesia. 6 Di Indonesia sendiri, terutama di RSUP Dr.

5 Kariadi Semarang, selama kurun waktu didapatkan proporsi bakteri penghasil ESBL sebesar 50,6% berdasarkan tes skrining awal. 7 Hasil penelitian Antimicrobial Resistance in Indonesia: prevalence and prevention (AMRIN Study) tahun menemukan bahwa kejadian ESBL cukup tinggi yakni 29% pada E. coli dan 36% pada K. pneumoniae. 18 Penelitian di Medan, tahun 2012 oleh Mayasari melaporkan dari 282 sampel urin dengan kultur positif, diperoleh kejadian ESBL E.coli 18,7%. 8 Dari data di bagian Mikrobiologi RS H Adam Malik Medan, dijumpai kejadian infeksi ESBL yang cukup tinggi. Pada tahun 2012 kejadian ESBL 16,9% (12% ESBL K. pneumoniae dan 4,9% ESBL E.coli) meningkat menjadi 19,51% (12,24% ESBL K. pneumoniae dan 7,17% ESBL E.coli) pada tahun Disamping itu, dari tahun 2013 diketahui bahwa 67,81% isolate K. pneumoniae dan 61,83% isolate E. coli merupakan ESBL E. coli. 2.3 Faktor Risiko Infeksi Bakteri ESBL Patogen-patogen yang memiliki resistensi terhadap berbagai macam obat ini menyebabkan meningkatnya kemunculan dari kejadian infeksi baik yang didapatkan di fasilitas kesehatan maupun yang didapatkan di masyarakat. Keterlambatan dalam pemberian antibiotik yang tepat sebagai akibat dari resistensi menyebabkan meningkatnya morbiditas, mortalitas, lamanya rawatan, dan biaya rawatan. Angka mortalitas pada pasien-pasien yang terinfeksi oleh kuman yang multi resisten ini apabila diobati dengan antibiotik yang tidak tepat, berkisar %. Untuk memulai terapi yang tepat dengan cepat, klinisi harus mengenali faktor-faktor risiko seorang pasien untuk terinfeksi bakteri yang menghasilkan ESBL. 5,10 Demirdag dkk, tahun 2010, telah mengidentifikasi beberapa faktor risiko yang secara signifikan berhubungan dengan meningkatnya risiko infeksi bakteri ESBL di Firat University Hospital, Turki. Masa rawat inap diatas tujuh hari sebelum terjadinya infeksi, pemakaian antibiotik sebelumnya, penggunaan kateter, dan intervensi bedah adalah beberapa faktor risiko tersebut. 19 Rupp dkk, dari departemen penyakit dalam di University of Nebraska Medical Centre, tahun 2003 mencoba merumuskan beberapa populasi yang pernah mengalami wabah dari bakteri ESBL, faktor-faktor risiko untuk terinfeksi bakteri yang menghasilkan ESBL, dan beberapa vektor/reservoir dalam penyebaran bakteri ESBL yang dapat dilihat di table 1. 5

6 Tabel 2.1. Populasi wabah, faktor-faktor risiko, dan vektor/reservoir bakteri ESBL 5. Populasi wabah Unit rawat intensif Transplantasi organ padat Transplantasi sumsum tulang Long term care units Faktor risiko ESBL Keparahan penyakit Lama rawatan inap Lama rawatan unit intensif Prosedur invasif Kateter intravascular Kateter arterial Kateter vena sentral Nutrisi parenteral total Penggunaan ventilator Kateter urin Gastrostomi, yeyunostomi, atau NGT Usia Hemodialisis Ulkus dekubitus Status nutrisi yang jelek Berat lahir rendah Pemberian antibiotik Sefalosporin spektrum luas Aztreonam Florokuinolon Kotrimoksazol Aminoglikosida Metronidazol Reservoir/vector Petugas kesehatan Gel ultrasonografi terkontaminasi Termometer Kecoa Dikutip dari: Rupp, ME, Drugs, Sistem Skoring Duke Model Score Untuk memulai terapi antibiotik secara tepat waktu, beberapa institusi kesehatan memahami pentingnya untuk memiliki sebuah alat stratifikasi faktor risiko untuk mengidentifikasi pasien-pasien yang memiliki risiko tinggi untuk mendapatkan infeksi bakteri penghasil ESBL pada saat masuk RS. Walaupun beberapa peneliti telah mengidentifikasi faktorfaktor risiko infeksi ESBL, namun penulis hanya menemukan dua sistem skoring yang berisikan faktor-faktor risiko tersebut. Namun kedua sistem skoring ini dibuat dalam populasi spesifik dengan organisme-organisme spesifik pula tanpa validasi dari institusi lain. Model skoring

7 pertama yang ditemukan oleh Tumbarello dkk tahun 2011 di Italia, dengan cara mengidentifikasi faktor-faktor risiko dengan model regresi logistik yang kemudian diubah ke sebuah aturan yang berdasarkan nilai yang memberikan skor untuk tiap-tiap faktor risiko. 4 Sistem skoring ini dikenal dengan Italian Score. (table 2.2) Italian Model Score 4 Kriteria penilaian Skor Mendapat antibiotik beta laktam dan atau fluorokuinolon dalam 2 3 bulan terakhir Riwayat dirawat sebelumnya dalam 12 bulan terakhir 3 Pasien rujukan dari fasilitas kesehatan lain 3 Charlson Comorbidity Score 4 2 Penggunaan kateter urin dalam 30 hari terakhir 2 Usia 70 tahun 2 Dikutip dari: Tumbarello dkk, Antimicrob Agents Chemoter, 2011 Pada penelitian itu, Tumbarello dkk menggunakan cutoff skor 8 atau lebih untuk mendapatkan spesifisitas yang tinggi (96%) dan positive predictive value 80%, namun hanya memiliki sensitivitas 50%. Namun pada saat divalidasi di institusi lain, yaitu di Duke University Hospital, maka pada tahun 2013, Steven dkk mengusulkan suatu sistem skoring baru yang lebih sederhana, yang dikenal dengan Duke model score. 4,10

8 Kriteria penilaian Tabel 2.3. Duke model score 10 Skor Mendapat antibiotik beta laktam dan atau fluorokuinolon 3 dalam 3 bulan terakhir Riwayat dirawat sebelumnya dalam 12 bulan terakhir 2 Pasien rujukan dari fasilitas kesehatan lain 4 Penggunaan kateter urin dalam 30 hari terakhir 5 Riwayat Penggunaan imunosupresan 3 bulan terakhir 2 Dikutip dari: Steven dkk, Infection Control and Hospital Epidemiology, 2013 Penggunaan antibiotik empirik untuk ESBL membutuhkan spesifisitas dan positive predictive value yang tinggi. Dan dengan cutoff sama dengan atau lebih dari 8, maka pada Duke model score memiliki spesifisitas 95% dan positive predictive value 79%. 10 Namun sekali lagi, sistem skoring ini belum diuji pada populasi dan organisme lain, seperti di Indonesia, khususnya di RS. H. Adam Malik, Medan. 2.5 Manajemen Infeksi Bakteri ESBL Adanya sistem skoring yang valid akan sangat membantu klinisi dalam menghadapi infeksi bakteri ESBL. Keputusan dalam bagaimana menghadapi bakteri ESBL ini semestinya tidak hanya berdasarkan laporan mikrobiologis saja. Pemahaman menyeluruh terhadap kondisi klinis pasien dan pertimbangan praktis seperti biaya, kenyamanan dalam pemberian obat, kepatuhan pasien, efek samping obat, efikasi antibiotik yang dipilih harus menjadi unsur-unsur penting dalam pembentukan keputusan dalam pemilihan intervensi klinis yang paling cocok. Pertanyaan yang juga harus dijawab sebelum memutuskan terapi yaitu apakah isolat bakteri menunjukkan suatu infeksi atau kolonisasi. Untuk membedakan suatu infeksi dari kolonisasi, dapat dilihat dari berbagai hal, a) asal spesimen (isolat dari spesimen yang secara fisiologis steril seperti darah, cairan bronko alveolar, biopsi jaringan harus dipertimbangkan secara serius; namun isolat dari lokasi yang tidak steril, seperti apusan dari luka kronis, sputum sepertinya lebih mengarah ke kolonisasi; isolat dari spesimen kateter dari urin biasanya menampilkan suatu kolonisasi dibandingkan isolat dari urin porsi tengah; namun, isolat dari kateter intravena meskipun dapat berupa kolonisasi tetapi harus dianggap sebagai sumber potensial untuk infeksi sistemik), b) parameter inflamasi dari pasienleukosit, C-reactive protein (CRP), laju endap eritrosit, dimana infeksi ditunjukkan dengan

9 adanya gangguan dari parameter ini, c) keadaan umum pasien, seperti temperatur, tekanan darah, frekuensi nadi, saturasi oksigen, kebutuhan akan inotropik, dan alat penyokong hidup. Faktorfaktor ini harus dilihat secara menyeluruh, dan tidak terpisah-pisah, dan perubahan dari parameter diagnostik lebih signifikan daripada suatu nilai tunggal. A. Pendekatan non farmakologis Pendekatan tanpa antibiotik dalam manajemen infeksi ESBL merupakan suatu langkah kritis dalam terapi. Eliminasi dari sumber infeksi adalah manajemen penting dari infeksi, tidak terkecuali infeksi ESBL. Jika sumber infeksi merupakan benda asing seperti alat prostetik, penggantian atau pengeluaran alat prostetik itu menjadi sangat penting. Hal ini disebabkan karena infeksi ESBL dihubungkan dengan tindakan operasi implan atau alat-alat lainnya, dengan terbentuknya biofilm. Pertumbuhan bakteri yang lambat, yang diikuti dengan penetrasi antibiotik yang terhalang oleh biofilm ini menyebabkan eradikasi dan terapi dari infeksi yang berhubungan dengan implan ini menjadi sulit. 20 Pendekatan non farmakologis dalam manajemen infeksi ESBL termasuk penggantian jalur intravaskular yang terkolonisasi (central venous catheter, peripheral venous catheter), kateter urin yang terkolonisasi, drainase dari abses intra abdominal maupun intra viseral lainnya, dan pengeluaran dari katup jantung atau sendi buatan. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian antibiotik saja dalam infeksi ESBL yang terkait dengan alat-alat implan tidak memberikan hasil klinis yang baik. 21 B. Pendekatan Farmakologis Pilihan antibiotik pada pasien dengan infeksi ESBL menjadi berkurang dengan adanya kemampuan bakteri tersebut menghidrolisis beberapa antibiotik. Infeksi ESBL umumnya resisten terhadap antibiotik beta laktam termasuk sefalosforin, aztreonam dan penisilin. Selain itu resistensi terhadap antibiotik lain juga terjadi seperti trimetroprim-sulfametoksazol, aminogikosida khususnya gentamisin. Pilihan antibiotik idealnya adalah berdasarkan hasil kultur, tetapi seperti yang disebutkan sebelumnya hasil kultur memerlukan waktu dan tidak semua fasilitas kesehatan memilikinya. Pada hasil kultur umumnya diperoleh beberapa jenis antibiotik yang sensitif terhadap bakteri ESBL dan untuk membantu memilih antibiotik diantara beberapa antibiotik yang sensitif untuk ESBL seperti tabel 2.4

10 Tabel 2.4 Rekomendasi pengobatan 22 Tipe infeksi Pilihan terapi Terapi second-line Infeksi traktus urinarius Bakterimia Hospital-acquired pneumonia Infeksi intra-abdominal Meningitis Kuinolon Karbapenem Karbapenem Amoksisilin/klavulanat Kuinolon Kuinolon Karbapenem Kuinolon (tambah metronidazol) Meropenem Intrathecal polymyxin B Dikutip dari: Rishi dkk, Critical Care Research and Practice, 2012 ESBL: Berikut ini dipaparkan kemampuan beberapa golongan antibiotik terhadap infeksi bakteri Karbapenem Karbapenem merupakan antibiotik pilihan pada infeksi ESBL, yang termasuk dalam golongan karbapenem adalah imepenem, meropenem, erapenem, dan doripenem. Pemilihan antara imipenem dan meropenem sukar dilakukan karena memiliki profil yang hampir sama. Pada meningitis meropenem merupakan pilihannya. Ertapenem pada beberapa penelitian lebih baik dari pada meropenem dan imipenem dan penggunaannya hanya sekali sehari. 4 Doripenem merupakan golongan karbapenem terbaru yang lebih poten dan dapat digunakan untuk infeksi Pseudomonas aeruginosa. Penelitian yang membandingkan kombinasi karbapenem dengan antibitik golongan lain dibandingkan karbapenem tunggal diperoleh hasil yang tidak berbeda. Penelitian oleh Paterson, penggunaan karbapenem sebagai terapi inisial untuk ESBL selama 5 hari memiliki angka mortalitas yang lebih rendah. 23 Dari penelitian oleh Muharrmi dkk, diperoleh karbepenem (imipenem dan meropenem) 100% sensitif terhadap ESBL. 24 Hasil serupa juga diperoleh pada penelitian oleh Kulkarni dkk, Aminzadeh dkk, imepenem 100% sensitif terhadap ESBL. 23,25 Chien Lye dkk meneliti pada 47 pasien ESBL dengan sumber infeksinya saluran kemih, hepatobilier dan akses vaskular yang diterapi dengan ertapenem, memiliki respon yang baik pada 96% pasien. 26 Penelitian Auer dkk, ertapenem 100% sensitif terhadap infeksi saluran kemih ESBL E.coli. 27 Adapun dosis standar pada dewasa meropenem 1 gram setiap 8 jam intravena, imipenem 500 mg 4 kali sehari intravena, ertapenem 1 gr setiap 24 jam intravena. 28 Resistensi terhadap karbapenem mulai

11 muncul dengan nama Klebsiella Producing Carbapenemases (KPC) dan New Delhi Metalo Beta Lactamase (NDM) sehingga penggunaannya haruslah rasional Βeta lactam/βeta lactamase inhibitor Βeta lactamase inhibitor merupakan antibiotik yang ideal untuk ESBL karena memiliki kemampuan menghambat enzim beta laktamase, namun banyaknya mutasi yang terjadi pada enzim beta laktamase mengakibatkan berkurangnya efektivitas antibiotik beta lactamase inhibitor ini. Oleh karena itu, antibiotik beta lactam/beta lactamase inhibitor dapat digunakan untuk ESBL yang tidak berat. Amoksisilin/Klavulanat efektif untuk infeksi saluran kemih komunitas akibat ESBL. Tazobaktam lebih efektif terhadap ESBL CTX-M dibandingkan beta lactam lainnya dan sulbaktam lebih baik terhadap SHV dan TEM, namun pada labolatorium sederhana pemeriksaan fenotif ini sulit dilakukan. 6,29 Penelitian Rodriquez-Bano dkk, penggunaan amoxicillin/clavulanat selama 5-7 hari pada indeksi saluran kemih tanpa komplikasi memiliki angka kesembuhan 84%. 30 Adapun dosis standar pada dewasa amoxicillin-clavulanat 625 mg/1,2 mg /8 jam baik oral maupun intravena. 28 Piperasilin-tazobactam memiliki kerentanan yang bervariasi terhadap ESBL. Penelitian Muharrmi dkk memperoleh 64,4% sensitif terhadap ESBL E.coli dan 43,6% terhadap ESBL K.pneumonia. 31 DiAmerika Serikat dari hasil MYSTIC Study diperoleh 72,5% sensitif ESBL E.coli dan 38,5% terhadap ESBL K.pneumonia, sedangkan di Eropa 80% ESBL E.coli dan 42,1 % terhadap ESBL K.pneumonia. 31 Kemampuan eradikasinya meningkat dengan mengkombinasikannya dengan obat lain seperti dengan amikasin atau gentamisin. Piperasilin-tazobactam dikombinasikan dengan amikasin 98,1% sensitif terhadap ESBL E.coli dan 93,1 % terhadap ESBL K.pneumonia. Sedangkan kombinasi Piperasilin-tazobactam dengan gentamisin 73,1% sensitif terhadap ESBL E.coli dan 61,4% terhadap ESBL K.pneumonia. 26 Penelitian Aminzadeh dkk, Piperasilin-tazobactam 100% sensitif terhadap ESBL. 23 Adapun dosis standar pada dewasa 4,5 gr setiap 8jam intravena Aminoglikosida Aminoglikosida yang sering digunakan untuk indeksi bakteri ESBL adalah gentamisin dan amikasin. Gentamisin memiliki kerja bakterisidal yang cepat, namun penggunaan sebagai monoterapi ESBL dihindari. Gentamisin memiliki kerentanan yang bervariasi. Penelitian

12 Muharrmi dkk, memperoleh 38,3% sensitif terhadap ESBL E.coli dan 37,6% terhadap ESBL K.pneumonia. 25 Penelitian Kulkarni dkk, gentamisin 19,4% sensitif terhadap ESBL. 25 Penelitian Aminzadeh dkk, gentamisin 85,2% resisten terhadap ESBL. 23 Adapun dosis standar pada dewasa 5 mg/kgbb perhari intravena. 28 Amikasin memiliki kerentanan yang bervasriasi. Penelitian Muharrmi dkk memperoleh kerentanan 94% terhadap ESBL (95,2% sensitif terhadap ESBL E.coli dan 90,1% terhadap ESBL K.pneumonia). 24 Penelitian Kulkarni dkk, amikasin 70,4% sensitif terhadap ESBL. 26 Penelitian Aminzadeh dkk, amikasin 81,1% sensitif terhadap ESBL. 23 Adapun dosis standar pada dewasa 15 mg/kgbb perhari terbagi dalam dua dosis intravena Kuinolon Bakteri ESBL yang sensitif terhadap kuinolon dapat menggunakannya. Namun belakangan semakin banyak dilaporkan adanya resistensi terhadap kuinolon pada bakteri ESBL dengan penyebab yang belum sepenuhnya dipahami. Resistensi ini diduga akibat hilangnya porin bakteri untuk masuknya kuionolon dan aktifnya efluks kuinolon keluar sel. 10,29 Siprofloksasin memiliki kemampuan eradikasi ESBL yang rendah. Dari penelitian Muharrmi dkk, diperoleh hanya 29,6% sensitif terhadap ESBL ( 24,9% E.Coli dan 39% K.Pneumonia). 24 MYSTIC Study di Amerika Serikat Siprofloksasin 20% sensitif terhadap ESBL E.coli dan 36,8% terhadap ESBL K.pneumonia, sedangkan di Eropa 20,2% sensitif ESBL E.coli dan 57,5% ESBL K.pneumonia. 31 Kemampuan eradikasinya meningkat dengan mengkombinasikannya dengan obat lain seperti dengan amikasin atau gentamisin. Siprofloksasin dikombinasikan dengan amikasin memiliki 96,7% sensitif terhadap ESBL E.coli dan 91,1% terhadap ESBL K.pneumonia. Sedangkan kombinasi siprofloksasin dengan gentamisin memiliki 41,2% sensitif ESBL E.Coli dan 51,5% ESBL K.Pneumonia. 26 Penelitian Kulkarni dkk, siprofloksasin 30,2% sensitif terhadap ESBL Sefalosporin Secara umum sefalosporin tidak direkomendasikan sebagai pengobatan ESBL. Antibiotik golongan ini yang masi mungkin digunakan adalah cefepime, tetapi data klinis tidak mendukung hal ini dengan angka kegagalan lebih tinggi dibandingkan dengan karbapenem. 29 Penggunaan

13 sefalosporin generasi 3 untuk infeksi ESBL memberikan hasil yang buruk walaupun hasil kultur masih sensitif, sehingga tidak direkomendasikan digunakan sebagai pilihan pertama. Penelitian Kulkarni dkk, cepefime hanya 17,2% sensitif terhadap ESBL Nitrofurantoin Nitrofurantoin dapat digunakan untuk infeksi saluran kemih yang tidak komplikasi. Penelitian Kulkarni dkk, Nitrofurantoin 75% sensitif terhadap ESBL. Penelitian Aminzadeh dkk, Nitrofurantoin 71,3% sensitif terhadap ESBL. 21 Penelitian Auer dkk, Nitrofurantoin 94% sensitif terhadap infeksi saluran kemih ESBL E.coli. 24 Adapun dosis standar pada dewasa 50 mg setiap 6 jam oral Fosfomisin Fosfomisin merupakan antibiotik yang bekerja dengan menghambat UDP N Acetylglucosamine yang merupakan enzim pada proses pembentukan dinding bakteri. Falagas dkk melakukan suatu sistematik review dengan total sampel 4448 infeksi ESBL ditemukan bahwa fosfomisin sensitif pada 90% kasus. Penelitian Rodriquez-Bano dkk, penggunaan fosfomisin pada indeksi saluran kemih bagian bawah memiliki angka kesembuhan 94,2%. 30

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bakteri Extended Spectrum β Lactamase (ESBL) Beberapa dekade terakhir, penggunaan intensif sefalosporin spektrum luas (sefalosporin generasi ketiga, seperti seftriakson dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1.Latar Belakang. Escherichia coli merupakan bakteri gram negatif. yang normalnya hidup sebagai flora normal di sistem

BAB I PENDAHULUAN. I.1.Latar Belakang. Escherichia coli merupakan bakteri gram negatif. yang normalnya hidup sebagai flora normal di sistem 1 BAB I PENDAHULUAN I.1.Latar Belakang Escherichia coli merupakan bakteri gram negatif yang normalnya hidup sebagai flora normal di sistem pencernaan manusia, dan juga bisa menjadi patogen yang menyebabkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Enterobacteriaceae merupakan kelompok bakteri Gram negatif berbentuk

I. PENDAHULUAN. Enterobacteriaceae merupakan kelompok bakteri Gram negatif berbentuk I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Enterobacteriaceae merupakan kelompok bakteri Gram negatif berbentuk batang. Habitat alami bakteri ini berada pada sistem usus manusia dan binatang. Enterobacteriaceae

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Di negara-negara berkembang, penyakit infeksi masih menempati urutan

I. PENDAHULUAN. Di negara-negara berkembang, penyakit infeksi masih menempati urutan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di negara-negara berkembang, penyakit infeksi masih menempati urutan pertama dari penyebab sakit di masyarakat (Nelwan, 2002). Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan infeksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyebab utama penyakit infeksi (Noer, 2012). dokter, paramedis yaitu perawat, bidan dan petugas lainnya (Noer, 2012).

BAB I PENDAHULUAN. penyebab utama penyakit infeksi (Noer, 2012). dokter, paramedis yaitu perawat, bidan dan petugas lainnya (Noer, 2012). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rumah sakit merupakan tempat dimana orang yang sakit dirawat dan ditempatkan dalam jarak yang sangat dekat. Di tempat ini pasien mendapatkan terapi dan perawatan untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Antibiotik merupakan substansi yang sangat. bermanfaat dalam kesehatan. Substansi ini banyak

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Antibiotik merupakan substansi yang sangat. bermanfaat dalam kesehatan. Substansi ini banyak BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Antibiotik merupakan substansi yang sangat bermanfaat dalam kesehatan. Substansi ini banyak dimanfaatkan oleh tenaga kesehatan sebagai obat untuk mengobati penyakit

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kematian di dunia. Salah satu jenis penyakit infeksi adalah infeksi

I. PENDAHULUAN. kematian di dunia. Salah satu jenis penyakit infeksi adalah infeksi I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit infeksi merupakan penyebab tingginya angka kesakitan dan kematian di dunia. Salah satu jenis penyakit infeksi adalah infeksi nosokomial. Infeksi ini menyebabkan

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN. 3.1 Desain Penelitian Penelitian dilakukan dengan desain potong lintang dan merupakan suatu uji diagnostik.

METODOLOGI PENELITIAN. 3.1 Desain Penelitian Penelitian dilakukan dengan desain potong lintang dan merupakan suatu uji diagnostik. BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian Penelitian dilakukan dengan desain potong lintang dan merupakan suatu uji diagnostik. 27 3.2 Waktu dan Tempat Penelitian - Penelitian dimulai bulan Desember

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ISK merupakan keadaan tumbuh dan berkembang biaknya kuman dalam saluran kemih meliputi infeksi di parenkim ginjal sampai infeksi di kandung kemih dengan jumlah bakteriuria

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Dari kurun waktu tahun 2001-2005 terdapat 2456 isolat bakteri yang dilakukan uji kepekaan terhadap amoksisilin. Bakteri-bakteri gram negatif yang menimbulkan infeksi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. atas yang terjadi pada populasi, dengan rata-rata 9.3% pada wanita di atas 65

I. PENDAHULUAN. atas yang terjadi pada populasi, dengan rata-rata 9.3% pada wanita di atas 65 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di negara-negara berkembang penyakit infeksi masih menempati urutan pertama dari penyebab sakit di masyarakat (Nelwan, 2002). Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan infeksi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Sepsis adalah terjadinya SIRS ( Systemic Inflamatory Respon Syndrome)

BAB 1 PENDAHULUAN. Sepsis adalah terjadinya SIRS ( Systemic Inflamatory Respon Syndrome) BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sepsis adalah terjadinya SIRS ( Systemic Inflamatory Respon Syndrome) yang disertai dengan adanya infeksi pada organ tertentu berdasarkan hasil biakan positif di tempat

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A.Latar Belakang Penelitian. Enterobacteriaceae merupakan patogen yang dapat menyebabkan infeksi

BAB I. PENDAHULUAN. A.Latar Belakang Penelitian. Enterobacteriaceae merupakan patogen yang dapat menyebabkan infeksi BAB I. PENDAHULUAN A.Latar Belakang Penelitian Enterobacteriaceae merupakan patogen yang dapat menyebabkan infeksi serius mulai dari sistitis hingga pyelonephritis, septikemia, pneumonia, peritonitis,

Lebih terperinci

ABSTRAK PREVALENSI GEN OXA-24 PADA BAKTERI ACINETOBACTER BAUMANII RESISTEN ANTIBIOTIK GOLONGAN CARBAPENEM DI RSUP SANGLAH DENPASAR

ABSTRAK PREVALENSI GEN OXA-24 PADA BAKTERI ACINETOBACTER BAUMANII RESISTEN ANTIBIOTIK GOLONGAN CARBAPENEM DI RSUP SANGLAH DENPASAR ABSTRAK PREVALENSI GEN OXA-24 PADA BAKTERI ACINETOBACTER BAUMANII RESISTEN ANTIBIOTIK GOLONGAN CARBAPENEM DI RSUP SANGLAH DENPASAR Sulitnya penanggulangan infeksi pneumonia nosokomial oleh Acinetobacter

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klebsiella pneumonia Taksonomi dari Klebsiella pneumonia : Domain Phylum Class Ordo Family Genus : Bacteria : Proteobacteria : Gamma Proteobacteria : Enterobacteriales : Enterobacteriaceae

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Pseudomonas aeruginosa (P. aeruginosa) merupakan bakteri penyebab tersering infeksi

BAB I. PENDAHULUAN. Pseudomonas aeruginosa (P. aeruginosa) merupakan bakteri penyebab tersering infeksi BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pseudomonas aeruginosa (P. aeruginosa) merupakan bakteri penyebab tersering infeksi di lingkungan Rumah Sakit. P. aeruginosa merupakan bakteri Gram negatif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Antibiotik merupakan pengobatan utama dalam. manajemen penyakit infeksi. Namun, akibat penggunaan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Antibiotik merupakan pengobatan utama dalam. manajemen penyakit infeksi. Namun, akibat penggunaan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Antibiotik merupakan pengobatan utama dalam manajemen penyakit infeksi. Namun, akibat penggunaan antibiotik yang tidak sesuai dengan standar, terjadi resistensi terhadap

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. penurunan sistem imun (Vahdani, et al., 2012). Infeksi nosokomial dapat terjadi

I. PENDAHULUAN. penurunan sistem imun (Vahdani, et al., 2012). Infeksi nosokomial dapat terjadi I. PENDAHULUAN Pseudomonas aeruginosa merupakan bakteri patogen oportunistik penting yang menyebabkan infeksi nosokomial terutama pada pasien yang mengalami penurunan sistem imun (Vahdani, et al., 2012).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Penyakit infeksi masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Diare,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Penyakit infeksi masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Diare, 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Penyakit infeksi masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Diare, infeksi saluran nafas, malaria, tuberkulosis masih menjadi penyebab utama kematian.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. pelayanan kesehatan umum seperti rumah sakit dan panti jompo. Multidrugs

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. pelayanan kesehatan umum seperti rumah sakit dan panti jompo. Multidrugs BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Resistensi antibiotik memiliki pengaruh besar terhadap kesehatan manusia, setidaknya 2 juta orang terinfeksi oleh bakteri yang resisten terhadap antibiotik

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. mikroba yang terbukti atau dicurigai (Putri, 2014). Sepsis neonatorum adalah

BAB 1 PENDAHULUAN. mikroba yang terbukti atau dicurigai (Putri, 2014). Sepsis neonatorum adalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sepsis adalah sindroma respons inflamasi sistemik dengan etiologi mikroba yang terbukti atau dicurigai (Putri, 2014). Sepsis neonatorum adalah Systemc Inflammation

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pneumonia hingga saat ini masih tercatat sebagai masalah kesehatan yang utama di negara berkembang (Setyati dkk., 2012). Pneumonia dapat terjadi sepanjang

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. pneumonia, mendapatkan terapi antibiotik, dan dirawat inap). Data yang. memenuhi kriteria inklusi adalah 32 rekam medik.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. pneumonia, mendapatkan terapi antibiotik, dan dirawat inap). Data yang. memenuhi kriteria inklusi adalah 32 rekam medik. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini mengevaluasi tentang penggunaan antibiotik pada pasien pneumonia di RSU PKU Muhammadiyah Bantul. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan terdapat 79 rekam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Menurut perkiraan World Health Oraganization (WHO) ada sekitar 5 juta

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Menurut perkiraan World Health Oraganization (WHO) ada sekitar 5 juta BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut perkiraan World Health Oraganization (WHO) ada sekitar 5 juta kematian neonatus setiap tahun, 98% terjadi di negara berkembang. Penyebab paling umum kematian

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Antibiotik adalah zat yang dihasilkan oleh suatu mikroba, terutama fungi, yang dapat menghambat atau dapat membasmi mikroba jenis lain (Setiabudy, 2009). Penemuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. satu penyebab kematian utama di dunia. Berdasarkan. kematian tertinggi di dunia. Menurut WHO 2002,

BAB I PENDAHULUAN. satu penyebab kematian utama di dunia. Berdasarkan. kematian tertinggi di dunia. Menurut WHO 2002, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi adalah invasi dan multiplikasi mikroorganisme atau parasit dalam jaringan tubuh (1). Infeksi tidak hanya menjadi masalah kesehatan bagi Indonesia bahkan di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang Masalah. Staphylococcus adalah bakteri gram positif. berbentuk kokus. Hampir semua spesies Staphylococcus

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang Masalah. Staphylococcus adalah bakteri gram positif. berbentuk kokus. Hampir semua spesies Staphylococcus BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Staphylococcus adalah bakteri gram positif berbentuk kokus. Hampir semua spesies Staphylococcus merupakan bakteri koagulase negatif, kecuali Staphylococcus aureus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. baik di Indonesia maupun di dunia, hal ini terjadi karena penggunaan antibiotik

BAB I PENDAHULUAN. baik di Indonesia maupun di dunia, hal ini terjadi karena penggunaan antibiotik BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Resistensi bakteri terhadap antibiotik merupakan ancaman bagi kesehatan baik di Indonesia maupun di dunia, hal ini terjadi karena penggunaan antibiotik yang relatif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Infeksi masih merupakan salah satu penyebab utama kematian dan kesakitan di rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya di Indonesia. Infeksi merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Infeksi Saluran Kemih (ISK) adalah keadaan inflamasi di bagian sel urotelium yang melapisi saluran kemih. Infeksi saluran kemih di RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro

Lebih terperinci

BAB III KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN DEFENISI OPERASIONAL. Isolat Pseudomonas aeruginosa

BAB III KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN DEFENISI OPERASIONAL. Isolat Pseudomonas aeruginosa BAB III KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN DEFENISI OPERASIONAL 3.1. Kerangka Konsep Penelitian Berdasarkan tujuan penelitian diatas maka kerangka konsep dalam penelitian ini adalah : Isolat Pseudomonas aeruginosa

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Staphylococcus aureus, merupakan masalah yang serius, apalagi didukung kemampuan

BAB I. PENDAHULUAN. Staphylococcus aureus, merupakan masalah yang serius, apalagi didukung kemampuan BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Munculnya strain bakteri yang resisten terhadap banyak antibiotik termasuk bakteri Staphylococcus aureus, merupakan masalah yang serius, apalagi didukung kemampuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengisian alveoli oleh eksudat, sel radang dan fibrin. Pneumonia masih

BAB I PENDAHULUAN. pengisian alveoli oleh eksudat, sel radang dan fibrin. Pneumonia masih BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru, distal dari bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius. Pneumonia ditandai dengan konsolidasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang. Infeksi nosokomial atau Hospital-Acquired Infection. (HAI) memiliki kontribusi yang besar terhadap tingkat

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang. Infeksi nosokomial atau Hospital-Acquired Infection. (HAI) memiliki kontribusi yang besar terhadap tingkat BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Infeksi nosokomial atau Hospital-Acquired Infection (HAI) memiliki kontribusi yang besar terhadap tingkat mortalitas di dunia. Infeksi nosokomial menempati urutan keempat

Lebih terperinci

BAB I Pendahuluan UKDW. penyebab keempat dari disabilitas pada usia muda (Gofir, 2009).

BAB I Pendahuluan UKDW. penyebab keempat dari disabilitas pada usia muda (Gofir, 2009). BAB I Pendahuluan I. Latar Belakang Stroke merupakan penyebab kematian ketiga tersering dinegara maju, setelah penyakit jantung dan kanker (Ginsberg, 2008). Stroke merupakan masalah kesehatan yang utama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Enterobacter sp. merupakan bakteri gram negatif. berbentuk batang. Enterobacter sp.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Enterobacter sp. merupakan bakteri gram negatif. berbentuk batang. Enterobacter sp. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Enterobacter sp. merupakan bakteri gram negatif berbentuk batang. Enterobacter sp. ini sering menyebabkan infeksi saluran kemih, berhubungan erat dengan trauma dan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian dengan judul Evaluasi Rasionalitas Penggunaan Antibiotik

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian dengan judul Evaluasi Rasionalitas Penggunaan Antibiotik BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil dan Pembahasan Penelitian dengan judul Evaluasi Rasionalitas Penggunaan Antibiotik pada Pengobatan Pasien Infeksi Saluran Kemih di Instalasi Rawat Inap RSUD Kabupaten

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. bawah 5 tahun dibanding penyakit lainnya di setiap negara di dunia. Pada tahun

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. bawah 5 tahun dibanding penyakit lainnya di setiap negara di dunia. Pada tahun BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pneumonia merupakan penyakit yang banyak membunuh anak usia di bawah 5 tahun dibanding penyakit lainnya di setiap negara di dunia. Pada tahun 2004, sekitar

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. yang resisten terhadap minimal 3 kelas antibiotik. 1 Dari penelitian yang

BAB 1 PENDAHULUAN. yang resisten terhadap minimal 3 kelas antibiotik. 1 Dari penelitian yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Organisme Multidrug-Resistant (MDR) didefinisikan sebagai organisme yang resisten terhadap minimal 3 kelas antibiotik. 1 Dari penelitian yang dilakukan di Paris, didapatkan

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Subjek Penelitian Dari data pasien infeksi saluran kemih (ISK) yang diperiksa di Laboratorium Mikrobiologi Klinik FKUI pada jangka waktu Januari 2001 hingga Desember 2005

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menggambarkan kolonisasi kuman penyebab infeksi dalam urin dan. ureter, kandung kemih dan uretra merupakan organ-organ yang

BAB I PENDAHULUAN. menggambarkan kolonisasi kuman penyebab infeksi dalam urin dan. ureter, kandung kemih dan uretra merupakan organ-organ yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Infeksi saluran kemih (ISK) adalah istilah umum untuk menggambarkan kolonisasi kuman penyebab infeksi dalam urin dan pada struktur traktus urinarius. (1) Saluran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit infeksi merupakan salah satu masalah. kesehatan yang terus berkembang di dunia. Peningkatan

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit infeksi merupakan salah satu masalah. kesehatan yang terus berkembang di dunia. Peningkatan BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penyakit infeksi merupakan salah satu masalah kesehatan yang terus berkembang di dunia. Peningkatan penyakit infeksi ini dapat memberikan pengaruh terhadap penggunaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Infeksi saluran napas bawah masih tetap merupakan masalah utama dalam bidang kesehatan, baik di negara yang sedang berkembang maupun yang sudah maju. Data

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Infeksi merupakan peristiwa masuknya mikroorganisme ke suatu bagian di dalam tubuh yang secara normal dalam keadaan steril (Daniela, 2010). Infeksi dapat disebabkan

Lebih terperinci

DISTRIBUSI DAN POLA KEPEKAANENTEROBACTERIACEAE DARI SPESIMEN URIN DI RSUD DR. SOETOMO SURABAYA PERIODE JANUARI JUNI 2015

DISTRIBUSI DAN POLA KEPEKAANENTEROBACTERIACEAE DARI SPESIMEN URIN DI RSUD DR. SOETOMO SURABAYA PERIODE JANUARI JUNI 2015 DISTRIBUSI DAN POLA KEPEKAANENTEROBACTERIACEAE DARI SPESIMEN URIN DI RSUD DR. SOETOMO SURABAYA PERIODE JANUARI JUNI 2015 Silvia Sutandhio* ), Lindawati Alimsardjono** ), Maria Inge Lusida** ) ABSTRACT

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit infeksi adalah penyakit yang disebabkan oleh masuk dan berkembang biaknya

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit infeksi adalah penyakit yang disebabkan oleh masuk dan berkembang biaknya BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit infeksi adalah penyakit yang disebabkan oleh masuk dan berkembang biaknya mikroorganisme yaitu bakteri, virus, jamur, prion dan protozoa ke dalam tubuh sehingga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang. Staphylococcus aureus merupakan salah satu. penyebab utama infeksi di rumah sakit dan komunitas,

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang. Staphylococcus aureus merupakan salah satu. penyebab utama infeksi di rumah sakit dan komunitas, BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Staphylococcus aureus merupakan salah satu penyebab utama infeksi di rumah sakit dan komunitas, baik di negara maju maupun negara berkembang. Sebagian besar virulensi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. bermakna (Lutter, 2005). Infeksi saluran kemih merupakan salah satu penyakit

BAB 1 PENDAHULUAN. bermakna (Lutter, 2005). Infeksi saluran kemih merupakan salah satu penyakit BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan istilah umum untuk berbagai keadaan tumbuh dan berkembangnya bakteri dalam saluran kemih dengan jumlah yang bermakna (Lutter,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Angka morbiditas dan mortalitas pneumonia di seluruh dunia sangat

BAB I PENDAHULUAN. Angka morbiditas dan mortalitas pneumonia di seluruh dunia sangat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Angka morbiditas dan mortalitas pneumonia di seluruh dunia sangat tinggi. Pneumonia merupakan penyakit radang akut paru yang disebabkan oleh mikroorganisme yang mengakibatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sinus yang disebabkan berbagai macam alergen. Rinitis alergi juga merupakan

BAB I PENDAHULUAN. sinus yang disebabkan berbagai macam alergen. Rinitis alergi juga merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rinitis alergi merupakan inflamasi kronis mukosa saluran hidung dan sinus yang disebabkan berbagai macam alergen. Rinitis alergi juga merupakan masalah kesehatan global

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyakit yang banyak terjadi di daerah tropis seperti Indonesia yaitu penyakit infeksi yang disebabkan oleh kuman (Refdanita et al., 2004). Salah satu infeksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. paru. Bila fungsi paru untuk melakukan pembebasan CO 2 atau pengambilan O 2 dari atmosfir

BAB I PENDAHULUAN. paru. Bila fungsi paru untuk melakukan pembebasan CO 2 atau pengambilan O 2 dari atmosfir BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Ventilator adalah suatu sistem alat bantu hidup yang dirancang untuk menggantikan atau menunjang fungsi pernapasan yang normal. Ventilator dapat juga berfungsi untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam morbiditas dan mortalitas pada anak diseluruh dunia. Data World

BAB I PENDAHULUAN. dalam morbiditas dan mortalitas pada anak diseluruh dunia. Data World BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Pneumonia merupakan penyakit infeksi paru paru yang berperan dalam morbiditas dan mortalitas pada anak diseluruh dunia. Data World Health Organization (WHO) tahun

Lebih terperinci

PREVALENSI DAN POLA RESITENSI BAKTERI BATANG GRAM NEGATIF PENGHASIL EXTENDED SPECTRUM BETALACTAMASE

PREVALENSI DAN POLA RESITENSI BAKTERI BATANG GRAM NEGATIF PENGHASIL EXTENDED SPECTRUM BETALACTAMASE PREVALENSI DAN POLA RESITENSI BAKTERI BATANG GRAM NEGATIF PENGHASIL EXTENDED SPECTRUM BETALACTAMASE (ESBL) DARI ISOLAT PASIEN YANG DIRAWAT DI RUANG INTENSIVE CARE UNITS RSUD ARIFIN ACHMAD PROVINSI RIAU

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ventilator Associated Pneumonia (VAP) merupakan suatu peradangan pada paru (Pneumonia)

BAB I PENDAHULUAN. Ventilator Associated Pneumonia (VAP) merupakan suatu peradangan pada paru (Pneumonia) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ventilator Associated Pneumonia (VAP) merupakan suatu peradangan pada paru (Pneumonia) yang disebabkan oleh pemakaian ventilator dalam jangka waktu yang lama pada pasien

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu isu yang menjadi perhatian dunia dengan adanya globalisasi teknologi dan informasi adalah keselamatan pasien dan pengetahuan masyarakat tentang pelayanan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 10 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi 2.1.1. β- Lactamase β-lactamase adalah enzim yang memiliki kemampuan menghidrolisis ikatan 4-cincin betalaktam dari antibiotik beta-laktam (penisilin, cephalosporins,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada wanita pekerja seks menunjukan bahwa prevelensi gonore berkisar antara 7,4% -

BAB I PENDAHULUAN. pada wanita pekerja seks menunjukan bahwa prevelensi gonore berkisar antara 7,4% - 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Infeksi gonore di Indonesia menempati urutan yang tertinggi dari semua jenis penyakit menular seksual. Beberapa penelitian di Surabaya, Jakarta dan Bandung pada wanita

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. infeksi yang didapat pada pasien di Pediatric Intensive Care Unit (PICU).

BAB 1 PENDAHULUAN. infeksi yang didapat pada pasien di Pediatric Intensive Care Unit (PICU). BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang penelitian Infeksi merupakan penyebab utama dari kesakitan dan kematian pasien termasuk pada anak. Infeksi melalui aliran darah merupakan penyebab utama infeksi yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di daerah tropis seperti Indonesia banyak dijumpai penyakit infeksi yang disebabkan oleh kuman, maka untuk menanggulanginya diperlukan antibiotik. Penggunaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang rasional dimana pasien menerima pengobatan yang sesuai dengan

BAB I PENDAHULUAN. yang rasional dimana pasien menerima pengobatan yang sesuai dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Rasionalitas obat (ketepatan pengobatan) adalah pemakaian obat yang rasional dimana pasien menerima pengobatan yang sesuai dengan kebutuhan klinis (Saraswati,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Dalam beberapa tahun terakhir, angka kejadian penyakit infeksi

BAB 1 PENDAHULUAN. Dalam beberapa tahun terakhir, angka kejadian penyakit infeksi 21 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG PENELITIAN Dalam beberapa tahun terakhir, angka kejadian penyakit infeksi semakin meningkat, termasuk angka kejadian infeksi nosokomial. 1 Infeksi nosokomial merupakan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Infeksi Nosokomial Infeksi nosokomial adalah infeksi yang berkenaan atau berasal dari rumah sakit, digunakan untuk infeksi yang tidak ada atau mengalami masa inkubasi sebelum

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (bakteri, jamur) yang mempunyai efek menghambat atau menghentikan suatu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (bakteri, jamur) yang mempunyai efek menghambat atau menghentikan suatu BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Antibiotika 2.1.1 Definisi Antibiotika Antibiotika adalah senyawa yang dihasilkan oleh mikroorganisme (bakteri, jamur) yang mempunyai efek menghambat atau menghentikan suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kematian di negara-negara berkembang termasuk Indonesia, sebagai akibatnya

BAB I PENDAHULUAN. kematian di negara-negara berkembang termasuk Indonesia, sebagai akibatnya 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyakit infeksi masih menempati urutan teratas penyebab kesakitan dan kematian di negara-negara berkembang termasuk Indonesia, sebagai akibatnya terjadi penderitaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu penyebab tingginya angka kematian di Indonesia maupun di dunia adalah penyakit infeksi (Priyanto, 2009). Penyakit infeksi dapat disebabkan oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pre-eklamsia adalah hipertensi yang berhubungan dengan kehamilan yang biasanya terjadi setelah 20 minggu kehamilan. Pada pre-eklamsia, ditandai dengan hipertensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi pada saluran napas merupakan penyakit yang umum terjadi pada

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi pada saluran napas merupakan penyakit yang umum terjadi pada BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Infeksi pada saluran napas merupakan penyakit yang umum terjadi pada masyarakat. Infeksi saluran napas berdasarkan wilayah infeksinya terbagi menjadi infeksi saluran

Lebih terperinci

Beberapa Faktor Resiko pada Pasien dengan Infeksi oleh E. coli dan K. pneumoniae Penghasil ESBL di RSUP H. Adam Malik Medan

Beberapa Faktor Resiko pada Pasien dengan Infeksi oleh E. coli dan K. pneumoniae Penghasil ESBL di RSUP H. Adam Malik Medan Karangan Asli Beberapa Faktor Resiko pada Pasien dengan Infeksi oleh E. coli dan K. pneumoniae Penghasil ESBL di RSUP H. m Malik Medan Selastri Agnes*, Ricke L, Muzahar Departemen Patologi Klinik, Fakultas

Lebih terperinci

Pseudomonas aeruginosa adalah kuman patogen oportunistik yang dapat

Pseudomonas aeruginosa adalah kuman patogen oportunistik yang dapat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pseudomonas aeruginosa adalah kuman patogen oportunistik yang dapat menyebabkan keadaan yang invasif pada pasien dengan penyakit kritis maupun pasien yang memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (Saifudin, 2008). Infeksi Luka Operasi (ILO) memberikan dampak medik berupa

BAB I PENDAHULUAN. (Saifudin, 2008). Infeksi Luka Operasi (ILO) memberikan dampak medik berupa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kejadian bedah caesar semakin meningkat setiap tahunnya baik di negara maju maupun berkembang. Di Inggris disampaikan bahwa terjadi kenaikan yakni 12% pada tahun

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Infeksi saluran kemih Infeksi saluran kemih atau yang sering kita sebut dengan ISK adalah istilah yang dipakai untuk menyatakan adanya invasi mikroorganisme pada saluran kemih

Lebih terperinci

(Juniatiningsih, 2008). Sedangkan di RSUP Sanglah Denpasar periode Januari - Desember 2010 angka kejadian sepsis neonatorum 5% dengan angka kematian

(Juniatiningsih, 2008). Sedangkan di RSUP Sanglah Denpasar periode Januari - Desember 2010 angka kejadian sepsis neonatorum 5% dengan angka kematian (Juniatiningsih, 2008). Sedangkan di RSUP Sanglah Denpasar periode Januari - Desember 2010 angka kejadian sepsis neonatorum 5% dengan angka kematian 30,4% (Wilar, 2010). Pola kuman penyebab sepsis berbeda-beda

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bakteremia didefinisikan sebagai keberadaan kuman dalam darah yang dapat berkembang menjadi sepsis. Bakteremia seringkali menandakan penyakit yang mengancam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Resistensi terhadap antimikroba atau. antimicrobial resistance (AMR) adalah fenomena alami

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Resistensi terhadap antimikroba atau. antimicrobial resistance (AMR) adalah fenomena alami BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Resistensi terhadap antimikroba atau antimicrobial resistance (AMR) adalah fenomena alami yang dipercepat oleh penggunaan obat-obatan antibiotik (WHO, 2014). Spesies

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang mana tidak hanya terkait dengan persoalan estetika, tetapi juga

BAB I PENDAHULUAN. yang mana tidak hanya terkait dengan persoalan estetika, tetapi juga BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan gigi dan mulut merupakan bagian dari kesehatan tubuh secara umum yang mana tidak hanya terkait dengan persoalan estetika, tetapi juga dapat menimbulkan masalah

Lebih terperinci

PENILAIAN AKURASI ITALIAN SCORE SEBAGAI PREDIKTOR INFEKSI EXTENDED- SPECTRUM BETA LACTAMASE (ESBL) TESIS ANDRI ISKANDAR MARDIA

PENILAIAN AKURASI ITALIAN SCORE SEBAGAI PREDIKTOR INFEKSI EXTENDED- SPECTRUM BETA LACTAMASE (ESBL) TESIS ANDRI ISKANDAR MARDIA PENILAIAN AKURASI ITALIAN SCORE SEBAGAI PREDIKTOR INFEKSI EXTENDED- SPECTRUM BETA LACTAMASE (ESBL) TESIS Oleh ANDRI ISKANDAR MARDIA 097101022 DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

Prevalensi Kuman Multi Drug Resistance (MDR) di Laboratorium Mikrobiologi RSUP Dr. M. Djamil Padang Periode Januari Desember 2012

Prevalensi Kuman Multi Drug Resistance (MDR) di Laboratorium Mikrobiologi RSUP Dr. M. Djamil Padang Periode Januari Desember 2012 44 Artikel Penelitian Prevalensi Kuman Multi Drug Resistance (MDR) di Laboratorium Mikrobiologi RSUP Dr. M. Djamil Padang Periode Januari 21 - Desember 212 Novilla Rezka Sjahjadi, Roslaili Rasyid, Erlina

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oleh infeksi saluran napas disusul oleh infeksi saluran cerna. 1. Menurut World Health Organization (WHO) 2014, demam tifoid

BAB I PENDAHULUAN. oleh infeksi saluran napas disusul oleh infeksi saluran cerna. 1. Menurut World Health Organization (WHO) 2014, demam tifoid BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Penyakit infeksi merupakan salah satu masalah kesehatan terbesar tidak saja di Indonesia, tetapi juga di seluruh dunia. Selain virus sebagai penyebabnya,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. jamur, dan parasit (Kemenkes RI, 2012; PDPI, 2014). Sedangkan infeksi yang

BAB 1 PENDAHULUAN. jamur, dan parasit (Kemenkes RI, 2012; PDPI, 2014). Sedangkan infeksi yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pneumonia merupakan penyakit infeksi saluran napas bawah akut pada parenkim paru. Pneumonia disebabkan oleh mikroorganisme seperti bakteri, virus, jamur, dan parasit

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. neonatus dan 50% terjadi pada minggu pertama kehidupan (Sianturi, 2011). Menurut data dari

BAB 1 PENDAHULUAN. neonatus dan 50% terjadi pada minggu pertama kehidupan (Sianturi, 2011). Menurut data dari BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang World Health Organization (WHO) memperkirakan secara global setiap tahun terdapat 5 juta bayi meninggal pada usia empat minggu pertama kehidupannya, dengan 98% kematian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. satunya bakteri. Untuk menanggulangi penyakit infeksi ini maka digunakan

BAB I PENDAHULUAN. satunya bakteri. Untuk menanggulangi penyakit infeksi ini maka digunakan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyakit infeksi merupakan salah satu penyakit yang menyerang manusia yang disebabkan oleh berbagai macam mikroba patogen, salah satunya bakteri. Untuk menanggulangi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Antibiotik merupakan golongan obat yang paling banyak digunakan di dunia terkait dengan banyaknya kejadian infeksi bakteri. Sekitar 10-40% anggaran kesehatan di dunia

Lebih terperinci

UNIVERSITAS DIPONEGORO FAKULTAS KEDOKTERAN SEMARANG 2006

UNIVERSITAS DIPONEGORO FAKULTAS KEDOKTERAN SEMARANG 2006 Proposal Penelitian FAKTOR RISIKO, POLA KUMAN DAN TES KEPEKAAN ANTIBIOTIK PADA PENDERITA INFEKSI SALURAN KEMIH DI RS DR. KARIADI SEMARANG TAHUN 2004-2005 Disusun untuk memenuhi tugas dan melengkapi syarat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kelompok penyakit yang berhubungan dengan infeksi. Penyakit ini banyak ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. kelompok penyakit yang berhubungan dengan infeksi. Penyakit ini banyak ditemukan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pneumonia komunitas merupakan salah satu penyebab kematian utama pada kelompok penyakit yang berhubungan dengan infeksi. Penyakit ini banyak ditemukan dan dapat menimbulkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Antibiotik Menurut definisinya, antibiotik adalah zat kimia yang mempunyai kemampuan dalam larutan encer untuk membunuh atau menghambat pertumbuhan bakteri. Antibiotik dengan

Lebih terperinci

sex ratio antara laki-laki dan wanita penderita sirosis hati yaitu 1,9:1 (Ditjen, 2005). Sirosis hati merupakan masalah kesehatan yang masih sulit

sex ratio antara laki-laki dan wanita penderita sirosis hati yaitu 1,9:1 (Ditjen, 2005). Sirosis hati merupakan masalah kesehatan yang masih sulit BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Spontaneous Bacterial Peritonitis (SBP) tidak hanya disebabkan oleh asites pada sirosis hati melainkan juga disebabkan oleh gastroenteritis dan pendarahan pada saluran

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) adalah bakteri. Staphylococcus aureus yang mengalami kekebalan terhadap antibiotik

I. PENDAHULUAN. Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) adalah bakteri. Staphylococcus aureus yang mengalami kekebalan terhadap antibiotik I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) adalah bakteri Staphylococcus aureus yang mengalami kekebalan terhadap antibiotik jenis metisilin. MRSA mengalami resistensi

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar belakang. Diabetes melitus (DM) terutama DM tipe 2 merupakan masalah kesehatan

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar belakang. Diabetes melitus (DM) terutama DM tipe 2 merupakan masalah kesehatan BAB I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Diabetes melitus (DM) terutama DM tipe 2 merupakan masalah kesehatan global. International Diabetes Federation (IDF) memprediksi jumlah orang dengan DM akan meningkat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi (RA) merupakan suatu inflamasi pada mukosa rongga hidung

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi (RA) merupakan suatu inflamasi pada mukosa rongga hidung BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Rinitis alergi (RA) merupakan suatu inflamasi pada mukosa rongga hidung yang disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas tipe I yang dipicu oleh alergen tertentu.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan salah satu jenis infeksi yang paling sering

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan salah satu jenis infeksi yang paling sering BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan salah satu jenis infeksi yang paling sering ditemukan dalam praktek klinik (Hvidberg et al., 2000). Infeksi saluran kemih (ISK)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Penyakit infeksi masih merupakan penyebab utama. morbiditas dan mortalitas di dunia.

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Penyakit infeksi masih merupakan penyebab utama. morbiditas dan mortalitas di dunia. BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penyakit infeksi masih merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas di dunia. Di samping itu penyakit infeksi juga bertanggung jawab pada penurunan kualitas

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB 3 METODE PENELITIAN 18 BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan rancangan studi potong lintang (Cross Sectional). Pengambilan data secara retrospektif terhadap data sekunder berupa catatan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Penyakit infeksi adalah penyakit yang disebabkan karena masuknya bibit penyakit (Werner et al., 2010). Saat ini, penyakit infeksi masih menjadi masalah di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi neonatus khususnya sepsis neonatorum sampai saat ini masih

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi neonatus khususnya sepsis neonatorum sampai saat ini masih BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi neonatus khususnya sepsis neonatorum sampai saat ini masih menjadi masalah karena merupakan penyebab utama mortalitas dan morbiditas pada bayi baru lahir. Masalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pseudomonas aeruginosa (P. aeruginosa) merupakan bakteri Gram

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pseudomonas aeruginosa (P. aeruginosa) merupakan bakteri Gram BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pseudomonas aeruginosa (P. aeruginosa) merupakan bakteri Gram negatif yang tersebar luas di alam, terutama terdapat di tanah, air, dan lingkungan yang lembab. Bakteri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Infeksi tidak hanya menjadi masalah kesehatan bagi Indonesia bahkan di dunia. Pengobatan infeksi erat hubungannya dengan penggunaan antibiotika. Penggunaan antibiotika

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Infeksi nosokomial merupakan infeksi yang didapat selama pasien dirawat di

I. PENDAHULUAN. Infeksi nosokomial merupakan infeksi yang didapat selama pasien dirawat di 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Infeksi nosokomial merupakan infeksi yang didapat selama pasien dirawat di rumah sakit 3 x 24 jam. Secara umum, pasien yang masuk rumah sakit dan menunjukkan tanda infeksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang. Kolonisasi bakteri merupakan keadaan ditemukannya. koloni atau sekumpulan bakteri pada diri seseorang.

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang. Kolonisasi bakteri merupakan keadaan ditemukannya. koloni atau sekumpulan bakteri pada diri seseorang. 1 BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Kolonisasi bakteri merupakan keadaan ditemukannya koloni atau sekumpulan bakteri pada diri seseorang. Kolonisasi tidak menimbulkan gejala klinis hingga infeksi dari

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Sebagai contoh, setiap tahunnya pengeluaran United States (US) health

BAB 1 PENDAHULUAN. Sebagai contoh, setiap tahunnya pengeluaran United States (US) health BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lebih dari 80 tahun, antibiotik digunakan untuk menyembuhkan infeksi akibat bakteri baik yang didapatkan dari komunitas maupun di rumah sakit. Akan tetapi, penggunaan

Lebih terperinci