6 DINAMIKA PROSES PEMBENTUKAN ELITE BUGIS DAN MAKASSAR DALAM PENGATURAN KESEIMBANGAN KEKUASAAN (Sharing of Power) ANTAR ETNIS

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "6 DINAMIKA PROSES PEMBENTUKAN ELITE BUGIS DAN MAKASSAR DALAM PENGATURAN KESEIMBANGAN KEKUASAAN (Sharing of Power) ANTAR ETNIS"

Transkripsi

1 6 DINAMIKA PROSES PEMBENTUKAN ELITE BUGIS DAN MAKASSAR DALAM PENGATURAN KESEIMBANGAN KEKUASAAN (Sharing of Power) ANTAR ETNIS Mengikuti fase transformasi pembentukan elite etnis Bugis Bone dan Makassar Gowa, pembahasan pada bab 6 ini sesungguhnya bagian dari pembahasan fase sekularisme. Pemisahan pembahasan dimaksudkan untuk memperjelas bahwa pada bagian ini sekaligus menjadi jawaban atas pertanyaan penelitian tentang bagaimana dinamika proses pembentukan elite Bugis dan Makassar, terutama dalam membangun komunikasi politik dan ekonomi, untuk mengartikulasikan kepentingan kelompok masing-masing dalam melakukan proses perubahan. Pembahasan bagian ini terutama akan difokuskan pada bagaimana melihat dinamika dan kemampuan elite etnis Bugis dan Makassar memainkan peranan untuk mengatur, merebut dan mempertahankan kekuasaan pada berbagai aras, mulai dari aras mikro (Desa), mezzo (kabupaten) dan makro (provinsi dan Sulsel). Dalam proses perebutan kekuasaan itu, para elite Bugis dan Makassar juga berhasil mempertahankan identitas politiknya masing-masing, dengan tetap menjaga keseimbangan kepentingan, sehingga sampai saat ini, etnis Bugis dan Makassar tetap survive hidup dibawah payung Sulawesi Selatan. Pada chapter ini juga ingin melihat dinamika struktur sosiologi kekuasaan yang bermain pada level mikro, mezzo, dan makro. Bagian ini juga berusaha menjawab pertanyaan; bagaimana pola elite Bugis dan Makassar berbagi kekuasaan dan membangun komunikasi politik dan ekonomi, untuk mengartikulasikan kepentingan kelompok-kelompok, dan menjaga dinamika politik pada masing-masing aras; desa, kabupaten, provinsi dan nasional. 6.1 Anatomi Elite dan Sosiologi Kekuasaan Etnis Bugis dan Makassar Dinamika sosial, politik dan ekonomi dalam proses pembentukan elite tingkat makro antar etnis Bugis dan Makassar terjadi pada panggung kekuasaan tingkat provinsi dan nasional, dalam hal ini posisi kekuasaan strategis yang meliputi antara lain pada posisi Gubernur, ketua DPRD provinsi Sulsel, sekwilda atau sekprov, dan kepala-kepala dinas atau badan. Sedangkan pada level mezzo, 167

2 posisi kekuasaan yang menjadi inti pembentukan elite ada pada posisi Bupati, ketua dan anggota DPRD dan kepala-kepala dinas atau kepala badan. Pada aras mikro (Desa), pembentukan elite Desa melalui panggung kepala desa, kepala dusun dan imam Desa. Proses pembentukan elite pada aras makro Sulawesi Selatan dan mezzo (Bone dan Gowa) pada setiap fase memiliki kecenderungan yang berbeda-beda. Pada fase tradisional elite terbentuk melalui pengetahuan simbolik yang sangat ketat, ruang kekuasaan bersifat tertutup pada kalangan yang memiliki kemampuan menciptakan mitos dan simbol budaya. Kebudayaan politik masyarakat Bugis Bone dan Makassar Gowa sangat dipengaruhi oleh kekuatan dan petunjukpetunjuk alam. Pada fase feudalisme, proses pembentukan elite memasuki tradisi baru dengan menggunakan rasionalitas ekonomi dan kapitalisasi tanah sebagai alat yang ikut memproduksi kekuasaan. Pada masa ini, elite-elite Bugis Bone dan Makassar Gowa melakukan ekspansi wilayah kekuasaan untuk mendapat sumberdaya tanah yang produktif. Meskipun pada fase feudalisme sangat dipengaruhi oleh kesadaran kapitalisme ekonomi yang tinggi, namun budaya politik etnis Bugis dan Makasssar tetap menjadikan pengetahuan simbolik sebagai instrumen penting untuk mereproduksi kekuasaan. Memasuki fase islam moderenisme, elite Bugis dan Makassar tumbuh dengan kesadaran intelektualitas dan moralitas. Pada fase ini terjadi semangat kolaborasi sekaligus perlawanan atau anti kolonialisme dan kapitalisme global. Pada masa islam modern, elite etnis Bugis dan Makassar tumbuh bersamaan dengan hadirnya sejumlah organisasi sosial keagamaan seperti SI, NU dan Muhamadyah. Elite Bugis dan Makassar pada fase; tradisional, feudalisme dan islm modern mengatur keseimbangan kekuasaan (share of power) antara dua etnis utama (Bugis dan Makassar) dilakukan dengan sistem perkawinan silang antara keluarga kerajaan Bugis dan Makassar. Politik ranjang yang dilakukan para elite Bugis dan Makassar, setidaknya berhasil mengurangi semangat politik identitas yang berbasis pada etnisitas. Melalui politik pencampuran etnis, kemudian melahirkan budaya politik baru yang lebih toleran, dalam penelitian ini disebut sebagai hibridisasi budaya politik (hybridization of cultural politics). 168

3 Pada masa sekularisme, proses pembentukan elite politik etnis Bugis dan Makassar bergeser dari prinsip-prinsip moralitas dan intelektualitas menjadi tindakan yang bersifat pragmatis. Untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan politik dan ekonominya, para elite cenderung memburu efisiensi, nilai guna, bersifat transaksional dengan tindakan rasionalitas ekonomi yang tinggi. Prinsip siri dan pacce yang menjadi spirit kehidupan politik dan ekonomi etnis Bugis dan Makassar mengalami pergeseran nilai. Untuk menjaga keseimbangan kekuasaan pada fase sekularisme, para elite Bugis dan Makassar yang berkuasa pada level makro, biasanya membagi kekuasaan berdasarkan etnis dan geopolitik. Kalau Gubernurnya berasal dari etnis Bugis, akan memilih Sekretaris Wilayah Daerah dari etnis Makassar 97, demikian sebaliknya. Pendekatan seperti tersebut juga terjadi pada pertimbangan memilih Kepala Dinas atau Kepala Badan yang berada di ruang lingkup pemerintahan Provinsi. Pada aras mikro proses pembentukan elite etnis Bugis dan Makassar, agak berbeda dengan yang terjadi pada aras mezzo dan makro, meskipun terjadi pada fase yang sama. Pada level mikro, pembentukan elite berlangsung dengan pola interaksi yang dibalut dengan kekeluargaan dan simbol budaya. Misalnya, di Desa Manuju Kabupaten Gowa, elite Desa adalah mereka yang memiliki riwayat genetika ke-karaeng-an. Perebutan posisi kepala desa, hanya dilakukan oleh mereka yang bergelar karaeng. Orang-orang luar ke-karaeng-an yang mencoba memasuki panggung kepala desa, selalu mengalami kegagalan politik. Meskipun orang luar itu telah memiliki pendidikan dan fasilitas ekonomi yang mendukung cita-cita politiknya. Hal serupa juga terjadi di Desa Manjapai Kabupaten Gowa, pada Desa ini, simbol budaya sangat berpengaruh dalam reproduksi elite. Siapa pewaris kalompoang ia memiliki peluang yang besar untuk menduduki posisi kekuasaan ditingkat Desa. Meskipun penetrasi uang, premanisme dan pengaruh 97 Berikut beberapa nama Gubernur Sulsel mulai dari periode yang berasal dari etnis Bugis; Achmad Lamo (Bugis Enrekang), Andi Oddang (Bugis Barru), A. Amiruddin (Bugis Wajo), HZB. Palaguna (Bugis Soppeng-Bone), Amin Syam (Bugis Bone). Sekretaris Wilayah Daerah yang berasal dari etnis Makassar; H.M. Salman (Gowa), Daud Nompo (Jeneponto) Bakri Tandaramang (Bulukumba), Malik Hambali (Bulukumba), M. Parawansa (Gowa-Takalar), Hakamuddin Jamal (Takalar), A. Conneng Mallombasang (Gowa). Sebaliknya, Gubernur yang berasal dari etnis Makassar; Syahrul yasin Limpo (Gowa), Sekretaris Wilayah Daerah; A. Mualim (Bugis Bone) 169

4 organisasi sosial keagamaan juga ikut menentukan proses pembentukan elite pada Desa Manjapai. Dua Desa penelitian di Kabupaten Bone menggambarkan dinamika pembentukan elite yang lebih spesifik dibandingkan dengan dua Desa di Kabupaten Gowa. Desa Ancu yang dikenal sebagai salah satu Desa sumber para aristokrat Bone, memperlihatkan proses pembentukan elitnya dengan tetap memperhatikan hirarki sosial, kekeluargaan, kecakapan intelektualitas dan kemampuan ekonomi. Sedangkan pada Desa Benteng Tellue, proses pembentukan elitnya sangat tertutup pada satu keluarga besar klan PG. Klan ini oleh masyarakat dianggap memiliki persyaratan yang paling sempurna untuk mengisi posisi kekuasaan di tingkat Desa. Pada aras mikro, anatomi elite lokal pada etnis Bugis Bone dan Makassar memiliki kecenderungan yang berbeda. Pada desa Benteng Tellue Kabupaten Bone terlihat bahwa proses pembentukan dan perluasan kekuasaan elite hanya dilakukan oleh kelompok tunggal elite yang berkuasa (klan PG). Apa yang terjadi pada Desa Benteng Tellue, tidak persis dengan gambaran yang dikemukakan oleh Pareto, bahwa terdapat dua jenis elite; elite yang memerintah (governing elite) dan elite yang tidak memerintah (non-governing elite), di Desa Benteng Tellue hanya terdapat elite yang berkuasa dan massa. Fakta ini mengisyaratkan pembagian struktur kekuasaannya Mosca lebih tepat untuk menganalisis elite di Desa Benteng Tellue. Selama lebih kurang 100 tahun di desa ini tidak terjadi apa yang disebut oleh Pareto dan Mosca sebagai sirkulasi elite. Pergantian kepemimpinan formal atau elite yang memerintah di Desa Benteng Tellue hanya berlangsung antara Bapak-Anak-Saudara (klan PG), dan dilakukan dengan kesepakatan secara tertutup diantara mereka, meskipun di depan publik proses demokrasi berlangsung secara terbuka. Menurut Dahl dan Sartori, menghubungkan elite dan demokrasi sangat diperlukan agar kekuasaan elite dapat melibatkan atau dikontrol oleh massa. Apa yang diharapkan oleh Dahl dan Sartori tidak ditemukan di Desa Benteng Tellue karena belum tercipta sub elite yang dapat menandingi kekuasaan elite klan PG. Sedangkan struktur elite yang ada di Desa Ancu Kabupaten Bone menggambarkan adanya proses sirkulasi elite seperti yang dikemukan oleh Mosca 170

5 dan Pareto. Di desa ini terdapat dua jenis elite; elite yang memerintah (governing elite) dan elite yang tidak memerintah (non-governing elite) seperti yang diuraikan oleh Pareto dan Lockwood. Bahkan di Desa Ancu terdapat kekuasaan elite yang sangat berpengaruh akan tetapi tidak berada di desa ini. Elite ini dapat dikategorikan sebagai non-governing elite, mereka berada di desa lain atau di ibu kota kecamatan atau di ibu kota kabupaten, pada umumnya elite jenis ini datang dari kalangan aristokrasi yang memiliki kekuasaan pada level kabupaten. Pola struktur elite pada Desa Manuju Kabupaten Gowa menunjukkan kemiripan dengan anatomi elite yang ada di Desa Benteng Tellue Kabupaten Bone. Dimana elite hanya berada pada satu pusaran ke-karaengan (bangsawan Makassar). Akan tetapi elite yang memiliki kekuasaan di Desa Manuju sudah semakin melebar, tidak terbatas pada Bapak-Anak-Saudara seperti yang terjadi pada Desa Benteng Tellue. Di Desa Manuju sudah terjadi sirkulasi elite, meskipun masih terbatas pada kalangan ke-karaengan. Dengan demikian non-governing elite atau sub elite yang ada di Desa Manuju masih bersifat semu. Anatomi elite di Desa Manjapai Kabupaten Gowa memiliki karakter struktur elite yang relatif sama dengan Desa Ancu di Kabupaten Bone. Bedanya, sirkulasi elite yang berkuasa di Desa Manjapai tumbuh dari kalangan elite, sub elite dan massa, sedangkan sirkulasi elite yang terjadi pada Desa Ancu, masih terbatas pada kalangan elite aristokrat (andi). Sebaliknya, sirkulasi elite di Desa Manjapai tidak hanya diisi oleh kalangan governing elite dan non-governing elite, akan tetapi juga diisi oleh kalangan massa yang mengalami mobilitas sosial secara vertikal (biasanya karena faktor pendidikan dan ekonomi). Ruang kekuasaan yang tersedia bagi kalangan massa di Desa Manjapai lebih terbuka lebar dibandingkan dengan tiga desa lainnya; Desa Ancu, Benteng Tellue (Kabupaten Bone dan Desa Manuju di Kabupaten Gowa). Pada aras mezzo, sirkulasi elite di Kabupaten Bone berlangsung sangat ketat antara kalangan terbatas (aristokrat); dengan demikian, governing elite dan non governing elite berasal dari kelompok bangsawan yang sumbernya sama, hubungan darah diantara mereka sangat dekat; saudara-sepupu-kemenakan-anak. Kalau terdapat orang luar, maka aktor tersebut adalah client dari kalangan aristokrat yang diberi jalan khusus untuk memasuki struktur elite. Sub elite dari 171

6 luar kalangan aristokrat Kabupaten Bone bisa tumbuh diluar kawasan kekuasaan elite bangsawan. Misalnya mereka merantau keluar dari Kabupaten Bone dan berhasil menjadi elite di luar Bone. Elite-elite tersebut, pada level makro (nasional) yang berasal dari Kabupaten Bone, tidak selalu bersumber dari kalangan elite bangsawan. Akan tetapi, elite-elite yang berkuasa di Kabupaten Bone sudah pasti bersumber dari kaum aristokrat. Struktur elite di Kabupaten Gowa menunjukkan sifat yang kontras dengan yang terjadi di Kabupaten Bone. Elite yang berkuasa, maupun elite yang tidak berkuasa (governing elite dan non-governing elite) seperti diuraikan Pareto dan sub-elite yang dijelaskan Mocsa, tidak semata-mata diproduksi oleh kaum bangsawan, seperti yang terjadi di Kabupaten Bone, akan tetapi lahir dari berbagai kalangan sosial yang memiliki kemampuan memobilisasi dirinya secara vertikal. Di Kabupaten Gowa, secara sosial tidak tabu bagi kalangan massa menjelmakan dirinya menjadi elite atau sub elite baru, karena struktur elitnya sangat longgar dan terbuka, sehingga sirkulasi elitnya sangat lancar. Pertarungan merebut kekuasaan di Kabupaten Gowa tidak saja dilakukan oleh kalangan elite yang berkuasa dan kalangan elite yang tidak berkuasa sebagaimana dikemukakan Pareto, akan tetapi juga melibatkan elite-elite baru atau sub-elite baru yang sebelumnya tidak teridentifikasi sebagai kalangan elite yang tidak memerintah, apalagi memerintah. Keadaan ini menunjukkan bahwa kelompok-kelompok sosial strategis terus memobiliasi diri mereka baik secara terbuka maupun tertutup. Kondisi ini sekaligus menjelaskan bahwa elite penguasa di Gowa tidak sepenuhnya mengontrol dan menentukan struktur dan sistem politik masyarakat, sebagaimana diasumsikan oleh Mosca. Menurut Gaventa (2005), struktur dan anatomi elite menggambarkan perilaku elite dalam proses mempertahankan dan mengembangbiakkan posisinya sebagai elite. Apa yang terjadi pada aras mikro di Desa Benteng Tellue dan di Desa Manuju, serta pada level mezo di Kabupaten Bone menggambarkan struktur elite yang menggunakan sistem kekuasaan tertutup (closed power) dalam menentukan struktur politik masyarakat. Sedangkan yang terjadi pada desa Manjapai dan desa Ancu serta Kabupaten Gowa, para elitnya memakai sistem kekuasaan tersediakan (created power) untuk menciptakan struktur politik masyarakat. 172

7 Meskipun setiap aras dan wilayah penelitian menunjukkan struktur dan anatomi elite yang berbeda-beda, akan tetapi para elite yang berkuasa maupun elite yang tidak berkuasa, dan sub-elite pada etnis Bugis Bone dan Makassar Gowa, sama-sama menyadari pentingnya memelihara idiologi, mitos, uang dan kekuasaan untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan. Pareto, Mosca maupun Michels berpendapat sama tentang pentingnya ideologi, mitos serta kekuasaan bagi elite. Ideologi atau mitos merupakan shared value system yang memungkinkan elite dan massa berkomunikasi satu sama lain serta untuk berkerjasama dalam mencapai tujuan. Ditinjau dari segi ini, perhatian elite yang cukup besar terhadap pengembangan ideologi merupakan suatu hal yang wajar. 6.2 Dinamika Pembentukan Elite Bugis Dan Makassar Pertarungan politik lokal dalam ranah demokrasi di Sulawesi [bagian] Selatan antara etnis Bugis dan etnis Makassar kembali mencuat di tahun 2007 lalu, antara calon gubernur yang dianggap sebagai tokoh yang mewakili etnis Makassar, yakni SYL[Orang Gowa] dengan tokoh dari etnis Bugis, yaitu AS [orang Bone]. Dengan merujuk pada catatan sejarah atas dinamika politik di Sulawesi Selatan, maka perseteruan ini adalah sebuah persaingan panjang yang sudah berlangsung beberapa abad lampau. Bila mengacu pada konflik besar di abad ke-17 antara kerajaan Gowa- Tallo [mewakili etnis Makassar dan umumnya dikenal sebagai Kerajaan Makassar] yang didukung oleh beberapa kerajaan di jazirah Sulawesi dengan Kerajaan Bone [etnis Bugis] yang didukung penuh oleh serdadu VOC, maka perseteruan politik ini memang telah lama dan masih terus membekas pada individu dari kedua etnis, khususnya mereka yang bergelut dalam dunia politik dan menjadikan etnis sebagai salah satu alat politik untuk meraih kekuasaan. Perseteruan pada tahun 2007 (Pemilihan Kepala Daerah Provinsi Sulsel secara langsung oleh rakyat), pada akhirnya dimenangkan oleh SYL (yang berpasangan dengan AA representasi dari etnis Bugis) dengan perolehan suara sebesar Besaran pemilih ini hanya selisih sekitar an suara dari total yang diraih oleh AS (berpasangan dengan MR representasi orang Bugis Luwu) sebesar suara dan Pasangan AQM-MH (lebih mewakili etnis Luwu) memperoleh suara. Sebelumnya, penguasa politik di Sulawesi 173

8 Selatan sejak kemerdekaan memang didominasi oleh politisi atau tokoh beretnis Bugis. 98 Setidaknya, kemenangan yang diraihnya tidak lepas dari model sistem politik yang sedang berlaku di negeri ini dimana pemilihan seorang pimpinan eksekutif melalui pemilihan secara langsung (Buehler, 2007; KPUD Sulsel 2007). Perseteruan antar etnis ini juga terlihat pada pemilihan gubernur sebelumnya dengan model sistem pemilihan parlementer hasil Pemilu 1999 di mana AS dan SYL menjadi satu paket yang mewakili perpaduan etnis Bugis dan Makassar melawan paket lain yang seluruhnya mewakili etnis Bugis (Nas, 2007). Kemenangan berhasil mereka raih dengan komposisi suara; paket AS SYL 39 suara. Pasangan NH dan IM (etnis Bugis Bone dan Mandar) 19 suara, dan calon lain, AM dengan MHL (etnis Bugis-Bugis; Baru-Wajo) mendapat dukungan sebanyak 17 suara. Mengacu pada kasus-kasus kompetisi elite di Sulawesi Selatan (Sulsel), terutama yang terjadi sepanjang era pasca kemerdekaan hingga Orde Sekularisme saat sekarang ini, nampak bahwa keseimbangan posisi elite antara etnis Bugis dan etnis Makassar menjadi penentu lahirnya elite-elite baru di Sulsel. Kemenangan pasangan SYL (etnis Makassar) yang berpasangan dengan AA (etnis Bugis) pada pemilihan umum kepala daerah provinsi Sulsel tahun 2007, menjelaskan betapa model politik cangkokan (hybrid politics model) etnik sangat dibutuhkan dalam memperebutkan panggung kekuasaan di Sulsel. Efek dari politik cangkokan etnisitas ini kemudian dilebarkan ke arah usaha para elite untuk melakukan manipulasi teritorial, untuk memperoleh dukungan geo-politik. Berkaitan dengan konsep manipulasi teritorial ini, di Sulsel dikenal dengan wilayah-wilayah politik berbasis etnik seperti; (i) Bosowa (Bone, Soppeng, Wajo) daerah yang mengidentifikasi diri sebagai wilayah inti bagi etnis Bugis; (ii) Ajatapparang (Barru, Pare-pare, Sidrap, Pinrang dan Enrekang) daerah-daerah ini secara geografis dan kultural masih dalam wilayah etnis Bugis, akan tetapi spirit ke- Bugis-an mereka agak berbeda dengan spirit ke-bugis-an wilayah Bosowa; (iii) Luwu Raya (Luwu, Palopo, Luwu Utara dan Luwu Timur), meskipun dikenal 98 Ahmad Lamo ( ), Andi Oddang ( ), Ahmad Amiruddin ( ), ZB Palaguna ( dan ), dan Amin Syam ( ). Lebih spesifik adalah berasal dari wilayah Bosowa (Bone-Soppeng-Wajo). 174

9 sebagai etnis Bugis, akan tetapi hamparan wilayah Luwu Raya memiliki spesifikasi kultur dan struktur sosial politik yang cukup berbeda dengan etnis Bugis lainnya; (iv) Makassar (Gowa, Takalar, Jeneponto, Bantaeng dan Selayar), daerah-daerah ini sangat vulgar memposisikan dirinya sebagai etnis Makassar, baik secara kultural maupun sosial politik; (v) Campuran Bugis-Makassar (kota Makassar, Maros, Pangkep, Bulukumba dan Sinjai), daerah-daerah ini ditempati oleh dua etnis utama, Bugis dan Makassar, ini dapat dilihat pada budaya dan bahasa mereka; (vi) Toraja (Toraja dan Toraja Utara), wilayah ini dikenal sebagai etnis Toraja. Etnis Toraja secara politik, kebudayaan, agama dan bahasa, sangat berbeda dengan etnis Bugis dan Makassar. 99 Berbicara tentang dinamika politik berbasis etnik, maka di Sulawesi [bagian] Selatan, diantara empat etnis besar, Bugis dan Makassar-lah yang sering berkompetisi merebut posisi penting atau elite. Sementara, dua etnis lainnya seperti Mandar dan Toraja lebih kecil persentasenya dalam meraih dan menduduki posisi penting dalam politik. Mengapa kedua etnis ini [masih] saling berseteru merebut posisi penting? Ini adalah sebuah pertanyaan menarik. Bila menarik garis sejarah lebih jauh, maka takluknya kerajaan Bone tahun 1611 di bawah dominasi kerajaan Gowa, bisa disebut sebagai titik awal fase perseteruan antar elite di jazirah Sulawesi. Dalam situasi sub-ordinasi tersebut, orang Bone dan para bangsawannya menjadi warga jajahan atas kerajaan Makassar. Mereka diperlakukan sebagai tenaga kerja yang tak diupah, bahkan dalam tahap tertentu diperlakukan selayaknya seorang budak yang harus membangun benteng-benteng pertahanan kerajaan Makassar dan berbagai infrastruktur kota Makassar. Begitu beratnya posisi sebagai anggota warga kelas rendahan, membuat bangsawan kerajaan Bone mulai menyusun kekuatan untuk melakukan perlawanan. Melalui perjuangan bawah tanah (klandestin), sang inisiator sekaligus penggerak pemberontakan ini, Arung Palakka yang telah beranjak remaja mulai membangun kepercayaan diri para bangsawan dan rakyat Bone pada umumnya untuk menegakkan siri. Ia juga mengorganisir beberapa kerajaan lain untuk bergabung dengan kerajaan Bone untuk melancarkan peperangan menuntut kemerdekaan. 99 Berdasarkan struktur kekuasaan dan peradaban yang dimiliki oleh geopolitik yang ada, wilayah yang memiliki tradisi kekuasaan dan peradaban sosial politik yang cukup lama dan tinggi di Sulsel adalah Bone, Luwu pada etnis Bugis dan Gowa pada etnis Makassar. 175

10 Pada tahun 1905, posisi keagungan seorang bangsawan nyaris tidak dapat diandalkan lagi. Kontrol pemerintah kolonial sudah berlaku di semua lini kehidupan baik sosial maupun politik. Orang-orang jajahan, baik yang berasal dari etnis Bugis maupun Makassar tinggal menjadi budak di negeri sendiri bahkan diperdagangkan ke luar Makassar. Bahkan, seluruh simbol kerajaan, gaukang, arajang maupun kalompoang, dibawa ke Batavia untuk disimpan dalam museum dan tinggal menjadi benda tanpa makna lagi. Perubahan kebijakan kolonial terhadap kerajaan mulai terjadi saat gerakan Sulselisme keindonesiaan mencuat dan sampai di bumi Sulawesi. Berbagai ideologi seperti Sosialisme, Sulselisme, Komunisme, dan Islam berikut organisasi masyarakat dan partai-partai politik yang mengusungnya seperti Partai Komunis Indonesia, Partai Sulsel Indonesia, Muhammadiyah dan lain-lain mulai mengancam dominasi pengetahuan yang dibangun oleh Belanda. Salah satu bentuk ketakutan itu terlihat pada upaya pemerintah kolonial yang kemudian berbaikan dengan kalangan bangsawan (kerajaan) melalui pembebasan kerja paksa bagi warga keturunan bangsawan. Millar, yang menulis buku tentang Perkawinan Bugis mengatakan bahwa munculnya gelar Andi bagi para bangsawan itu adalah upaya untuk mempermudah pemilahan warga berdasarkan garis darah. Saat itu, pemerintah Kolonial kesulitan menerapkan kebijakan bebas kerja paksa bagi keturunan bangsawan karena tidak ketatnya kawin-mawin antar golongan darah putih sejak kejatuhan kerajaan-kerajaan lokal yang berimplikasi pada samarnya status pakkaraengang atau pakkarungang secara ketat (Millar, 2009:63-64). Untuk mempermudah pemilahan itu, diberilah kewenangan kepada Raja untuk menentukan status seseorang apakah sebagai bangsawan atau non-bangsawan dan sejak itu berbondong-bondonglah orang menghadap raja untuk sertifikasi gelar bangsawan. Jadi, setiap bangsawan menengah ke bawah wajib memiliki sertifikat yang menerangkan dirinya sebagai bangsawan untuk kemudian dibebaskan dalam aktifitas kerja paksa. Selain itu, dalam bidang pemerintahan, Belanda juga melakukan sebuah rekonstruksi bentuk pemerintahan kerajaan melalui penerapan sistem pemerintahan swapraja (kerajaan otonom) yang membagi Sulawesi Selatan menjadi 29 daerah swapraja. Lebih jauh, pemerintah Belanda juga 176

11 membangun sekolah-sekolah untuk bangsawan dan orang-orang kaya demi mengisi pekerjaan di pemerintahan untuk level bawah (untuk keterangan lebih jauh, lihat Barbara Harvey dalam Tradition, Islam, and Rebellion: South Sulawesi , tahun 1974). Demi membendung gerakan Sulselisme Indonesia, Pemerintah Belanda terus memanjakan posisi kelas bangsawan. Namun, di satu sisi, karakter penjajahan Belanda yang selalu menerapkan politik adu domba tetap menempatkan posisi bangsawan dalam dua kategori, yakni bangsawan kooperatif dan bangsawan nonkooperatif dan mempertentangkan keduanya agar tercipta konflik internal. Saat itu, kelompok Islam reformis seperti Muhammadiyah, selain mendirikan lembaga pendidikan 100, juga terus menerus merongrong praktek budaya feodal yang masih mempercayai kekuatan bendawi semacam gaukang atau arajang. Dalam perseteruan di masa perjuangan kemerdekaan ini, masuklah penjajah baru, yakni Jepang tahun yang turut mempengaruhi polarisasi elite. Beberapa elite lokal yang aktif di kota Makassar 101 terus menggeliat mendorong kemerdekaan wilayah mereka dari penjajahan Belanda. Wacana antikolonial sudah merasuki mereka dan terlibat dalam pusaran gerakan politik secara luas di seluruh Indonesia. Salah satu nama yang sangat dikenal adalah Najamudding Daeng Malewa, seorang intelektual Makassar yang mendirikan Partai Sarekat Selebes dan diangkat sebagai walikota Makassar oleh pemerintah Jepang. Dalam situasi yang baru ini, sebagaimana dipaparkan oleh Millar, para bangsawan senior baik dari Gowa maupun Makassar memanfaatkan keterlibatan politik yang dikendalikan oleh Jepang untuk mengangkat kembali kedudukan 100 Salah satu sekolah yang banyak memberikan sumbangan bagi pembentukan semangat nasionalis di Sulawesi Selatan adalah Perguruan Taman Siswa yang didirikan oleh Mr. Sunaryo pada tahun Melalui Perguruan Taman Siswa inilah banyak bermunculan tokoh-tokoh nasional asal Sulawesi Selatan, diantaranya; Manai Sophian, Wahab Tarru, H. Azikin, Saelan dan lain-lain. 101 Kota Makassar di awal abad 20 ini terus menerus berkembang sebagai kota kolonial moderen. Berbagai sarana dan prasarana kota dikembangkan oleh pemerintah Belanda sehingga menjadi salah satu kota yang paling terang di Nusantara (Dias Pradadimara, 2005). Selain itu, beberapa kantor perusahaan dagang dari berbagai negara dibuka di kota ini, sehingga segala kebutuhan warga kota dapat dengan mudah dipenuhi. Karena fungsinya sebagai kota moderen, kota ini menjadi tempat para politisi berkumpul yang kemudian membuka kantor-kantor cabang. Bukan itu saja, kota ini bahkan menjadi sentral bagi aktifitas politik se-sulawesi dan sekitarnya. Hal ini terlihat melalui keterlibatan tokoh-tokoh politik dari luar Sulawesi bagian Selatan seperti Dr. Sam Ratulangi dari Minahasa. 177

12 lama mereka dan memulai hubungan baru dengan para politisi Sulselis. Saat itu, Jepang mendirikan dewan pemerintahan se-sulawesi Selatan untuk pertama kalinya tahun Hubungan ini semakin menguat saat keterlibatan intelektual Minahasa Dr. G.S. Ratulangie 102 dan intelektual Bugis Banjar Tadjuddin Noor (Millar 2009:66-67; Harvey 1974:120). Dalam perjalanannya, orientasi politik dua politisi besar Sulawesi ini, Daeng Malewa dan Ratulangie mengalami perpecahan saat gerakan politik semakin meluas hingga ke tingkat Sulsel, terutama sejak Ratulangie mendirikan SUDARA (Sumber Darah Rakyat) 103 dan menempatkan Najamuddin Daeng Malewa dalam posisi yang kurang strategis sebagai sekedar pengurus Majelis Pendidikan Pusat 104 dan tidak masuknya Malewa sebagai tim Badan Pekerja Untuk Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang kemudian berganti PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) 105 pada tanggal 7 Agustus 1945 yang dikirim ke Jakarta. Di antara yang diutus adalah Andi Mappanyukki (karena berhalangan 102 Kedatangan Ratulangi di kota Makassar dipengaruhi oleh Soekarno yang ingin mempersatukan gerakan nasionalisme Indonesia. Sebelum tibanya beberapa tokoh nasional ini, di Sulawesi Selatan sudah muncul beberapa organisasi Pergerakan Nasional cabang dari organisasi pergerakan yang ada di Jawa, seperti; Muhammadiyah, Sarekat Islam, PNI, Partindo, Gerindo dan Parindra dengan tokoh seperti; Mr.Sunario, Iskaq Tjokroadisoerdjo A. Wahab Tarru, Achmad Siala, Ince Achmad Dahlan, Sikado Daeng Nai, Haji Muhammad Azikin, Saelan, Manai Sophian dan Nadjamuddin Daeng Malewa. Yang terakhir disebutkan ini adalah tokoh Parindra yang kemudian membentuk organisasi Pergerakan Nasional bercorak lokal bernama Partai Serikat Selebes. Menjelang masuknya Jepang, tokoh-tokoh nasional asal pusat ini kemudian meninggalkan Makassar (Najamuddin, 2007). Soekarno sendiri mengunjungi Makassar pada tanggal 28 April s/d 2 Mei 1945 untuk memperkuat arus gerakan nasionalisme di Sulawesi. 103 SUDARA dalam bahasa Jepang adalah ken koku dosikai. Wadah ini dipimpin oleh Lanto Daeng Pasewang, Andi Mappanyukki dan Mr. Tajuddin Noor. Wadah ini berkembang pesat, meliputi seluruh potensi perjuangan di Sulawesi Selatan, serta merupakan mantel organisasi binaan tokoh tokoh pemuda antara lain : Andi Mattalatta, Saleh Lahode, Amiruddin Mukhlis, Manai Sophian Sunari, Sutan M. Yusuf SA, Man, Y. Siranamual, dll. 104 Ketua Kehormatan : Mappanyukki; Ketua Umum : DR. G.S.S.J. Ratulangie; Ketua Pusat : Lanto Daeng Pasewang; Kepala Bagian Umum : M. A. Pelupessi; Kepala Tata Usaha : A. N. Hajarati; Kepala Bag. Pendidikan : Abd. Wahab Tarru; Komando Pusat : G. R. Pantouw, H.M. Tahir, M. Suwang Dg. Muntu; Majelis Pendidikan Pusat : Najamuddin Daeng Malewa, Mr. S. Binol Maddusila Daeng Paraga 105 Pada tanggal 1 Maret 1945 Pemerintah militer Jepang di Jawa di bawah pimpinan Saiko Syikikan Kumakici Harada mengumumkan pembentukan suatu Badan Untuk Menyelidiki Usahausaha Persiapan Kemerdekaan, di singkat menjadi Badan Penyelidik Persiapan Kemerdekaan (Dokuritsu Junbi Cosakai). Maksud tujuannya ialah untuk mempelajari dan menyelidiki hal-hal yang penting yang berhubungan dengan segi-segi politik, ekonomi, tata pemerintahan dan lainlainnya, yang dibutuhkan dalam usaha pembentukan negara Indonesia merdeka. Susunan pengurusnya terdiri dari sebuah badan perundingan dan kantor tata-usaha. Badan perundingan terdiri dari seorang ketua, 2 orang ketua muda, 60 orang anggota, termasuk 4 orang golongan Cina dan golongan Arab serta seorang golongan peranakan Belanda. 178

13 hadir maka ia digantikan oleh Andi Pangerang Pettarani), DR. G.S.S.J. Ratulangie, A. Sultan Daeng Raja dan Sekr. Mr. A. Zainal Abidin (lihat Id Agung, 1985: 49-50). Perseteruan dua tokoh besar ini berimplikasi pada afiliasi bangsawan dari kedua etnis besar, Bugis dan Makassar. Para Bangsawan Bugis mengikuti garis perjuangan Ratulangie dalam arti segaris dengan politisi Jakarta seperti Soekarno, sementara para bangsawan Makassar lebih memilih mengikuti alur pemikiran politik Daeng Malewa. Dalam catatan Ijzereef menyebutkan bahwa SUDARA yang didirikan tersebut meluas ke seluruh daerah dalam bentuk-bentuk komitekomite perjuangan (comite van actie). Nadjamuddin Daeng Malewa seorang Sulselis yang memperjuangkan kepentingan lokal yang mempunyai pengaruh luas sempat bekerjasama dengan Ratulangi dan termasuk pengurus di dalamnya. Tapi kerjasama itu tidaklah begitu baik. Ratulangi dan Tadjuddin Noor berada dalam persaingan, sedang kesetiaan Nadjamuddin diragukan (Ijzeeref, 1984). Terdapat kemungkinan, Nadjamuddin yang merasa dirinya mempunyai kemampuan dan banyak berjasa terhadap pergerakan Sulsel di Sulawesi Selatan, ternyata ditempatkan pada posisi tak terlalu penting dalam SUDARA yang baru dibentuk oleh Ratulangi tersebut. Persaingan dua tokoh ini terus menguat pasca kemerdekaan RI. Setelah pembacaan teks proklamasi 17 Agustus 1945, Soekarno mengangkat Ratulangi sebagai gubernur Sulawesi. Sebuah keputusan politik yang menimbulkan ketegangan di kalangan elite lokal baik bangsawan maupun dari kalangan nonbangsawan terdidik. Namun berkat dukungan aktif Andi Mappanyukki, mayoritas bangsawan Sulawesi Selatan pada akhirnya mendukung Ratulangi melalui Deklarasi Djongaya 15 Oktober 1945 (IAAGA, 1985:56). Dalam perjalanannya sebagai gubernur Sulawesi, Ratulangi kemudian mendirikan sebuah badan yang kemudian dianggap menjadi kendaraan pemerintah provinsi Sulawesi, yakni Pusat Keselamatan Rakyat Sulawesi (PKR) dengan tidak memberikan kedudukan yang penting untuk Tadjuddin Noor yang sejak awal setia mendampinginya. Sedangkan Nadjamuddin Daeng Malewa sama sekali tidak masuk dalam kepengurusan itu. Dalam waktu yang bersamaan Tadjuddin Noor mendirikan Partai Sulsel Indonesia (PNI) di Sulawesi sekaligus menjadi ketua partai itu. Sementara itu, Daeng 179

14 Malewa tetap dengan Partai Sarekat Selebes dan terus menggelorakan kepentingan lokal. Dalam situasi perpecahan ini, Belanda yang pada saat itu kembali mengkonsolidasikan diri untuk sebuah penjajahan baru setelah hengkangnya pemerintah militer Jepang berusaha memanfaatkan situasi ini. Untuk memuluskan rencana Belanda tetap eksis di bumi Sulawesi, digandenglah Daeng Malewa dengan cara memberikan kedudukan kepada Daeng Malewa sebagai Handels Consulent (Patang, 1967: 109) dan mengundangnya dalam konferensi Malino tanggal Juli 1946 yang dipimpin oleh Letnan Gubernur Jenderal Dr. H.J. Van Mook itu. Di antara tokoh lokal yang juga dilibatkan saat itu adalah Sukawati (Bali), Dengan (Minahasa), J. Tahya (Maluku Selatan), Dr. Liem Cae Le (Bangka-Biliton, Riau), Ibrahim Sedar (Kalimantan Selatan), dan Uray Saleh (Kalimantan Barat). Adapun tujuan konferensi menurut konsepsi Belanda adalah untuk memusyawarahkan pengembangan ketatanegaraan Negara Indonesia yang hendak di bentuk bersama. Di dalam konferensi ini dibicarakan persoalan-persoalan pokok yang berkaitan dengan pembentukan negara bagian. Tiga persoalan pokok yang dibicarakan, yaitu tentang sistem yang akan di pakai dalam pembentukan NIT (Negara Indonesia Timur) yang akan di bentuk federal atau unitarisme, perlunya masa peralihan di bawah kekuasaan Kerajaan Belanda, tetapi dengan kerjasama yang erat untuk menyusun dan melengkapi negara yang akan di bentuk dan soal ikatan abadi negara Belanda dan Indonesia, dan mempertahankannya setelah Negara Indonesia Timur mencapai kedaulatannya. Dari konferensi ini dihasilkan keputusan untuk memilih bentuk negara federal yang terdiri dari kesatuan-kesatuan yang tidak begitu kecil. Setelah Negara Indonesia Timur (NIT) sebagai salah satu negara bagian dalam sistem pemerintahan Republik Indonesia Serikat terbentuk, diangkatlah Najamuddin Daeng Malewa sebagai presidennya (Perdana Menteri). Banyak republikan saat itu menganggap bahwa sikap Daeng Malewa berkolaborasi dengan Belanda adalah sebentuk pengkhianatan seperti terlihat dalam bagaimana kelompok ini mengartikan akronim NIT, sebagai Negara Ikut Tuan. Inilah tahun antara ketika Belanda kembali hadir dan polarisasi elite berbasis etnis 180

15 terbentuk. Kalangan Bangsawan Makassar dominan mengikuti garis politik Najamuddin Daeng Malewa yang berkolaborasi dengan kekuatan penjajah. Terlihat pada masa Jepang, ia menduduki posisi penting sebagai walikota Makassar dan masa agresi Militer Belanda ia berkontribusi lahirnya Negara Indonesia Timur bahkan diangkat sebagai pimpinannya. Sementara itu, kalangan bangsawan Bugis, khususnya Bone terserap ke dalam arus politik Sulselis di bawah kendali Sam Ratulangie yang anti kerjasama dengan pihak Belanda. Kekalahan diplomasi Belanda atas Indonesia yang didukung oleh banyak negara lain termasuk Amerika Serikat menyebabkan pemerintah Belanda memberikan pengakuan atas kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (walau masih menyisakan Papua bagian Barat). NIT pun dengan sendirinya membubarkan diri dan lebur ke dalam kesatuan RI. Dominasi bangsawan Makassar dalam perjuangan ini menurun pamornya dan sebaliknya bangsawan Bugis menguat Pola Akuisisi Kekuasaan Oleh Governing Elite Dinamika politik lokal masih terus berlangsung. Memasuki tahun 1950, Kahar Muzakkar, seorang gerilyawan Sulselis menemukan diri kecewa setelah idenya untuk meleburkan diri dan seluruh anggota kesatuannya ke dalam kesatuan tentara RI ditolak oleh pemerintah RI yang berkedudukan di Jakarta. 106 Seiring dengan itu, sebagai seorang Islam dengan latar belakang pendidikan Muhammadiyah ia juga di tahun 1953 bergabung dengan ide besar yang diusung S.M. Kartosuwiryo yakni mendirikan Negara Islam Indonesia dan bergabung dengan kelompok militernya yang dikenal dengan nama Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Sejak itu, gerilyawan Kahar Muzakkar merebut kendali atas sebagian besar daerah pedalaman Sulawesi Selatan. 107 Dukungan rakyat atas perjuangan Kahar Muzakkar menegakkan 106 Pengiriman Kahar Muzakkar ke Sulawesi Selatan adalah untuk menggantikan posisi juniornya menjadi pimpinan militer di sana, Letkol Soeharto bersama kesatuan Brigade Mataram (salah satu brigade di bawah kendali Kolonel A.E Kawilarang) yang baru saja menumpas pemberontakan Andi Azis 26 April 1950 dipertimbangkan sebagai strategi politik Jakarta karena melihat posisi orang Jawa yang dimusuhi di Sulawesi Selatan. 107 Ideologi gerakan Darul Islam menggabungkan tafsiran ketat atas hukum Islam dengan permusuhan ekstrim terhadap praktik-praktik feodal yang memisahkan bangsawan dengan orang biasa. Hukum syariah ketat diperkenalkan di wilayah kekuasaan gerilyawan. Sufi tariqa, pemujaan di kuburan dan roh-roh leluhur istana mereka tekan. Sebagai bagian dari kampanye mereka melawan feodalisme, seluruh simbol perbedaan lapisan sosial ditekan dalam 181

16 siri diberikan secara luas. Sementara itu, karena karakter pribadinya yang anti feodal, membuat banyak bangsawan baik muda maupun profesional di kemiliteran bergabung dengan tentara Jawa yang ditugaskan untuk menumpas perjuangan Kahar Muzakkar. Namun, dominasi Kahar bertahan hingga tahun Beberapa faktor dominasi itu menurut Harvey (dalam Millar, 2009:70) terletak pada beberapa hal, diantaranya tentara Jawa yang menganut sinkretis, para pemimpin perang Bugis (Bugineses warlords) yang disegani di pedalaman, taktik tekanan yang diterapkan tentara Indonesia, bantuan kaum bangsawan yang takut hartanya diambil dan keluarganya terancam, dan sikap militer yang tidak benar-benar hendak menumpas pemberontakan karena persoalan persaingan dalam perebutan posisi militer dengan gerilyawan, dan bila Sulawesi Selatan damai maka jumlah pasukan akan dikurangi (Harvey 1974: ). Selain itu, kekuatan militer Kahar Muzakkar juga memperoleh amunisi baru setelah pasukan PRRI/Permesta dari Sulawesi Utara bergabung dengannya pada tahun Rupanya, pihak Jakarta di bawah kendali Soekarno juga masih terus menggelorakan semangat anti feudalisme. Hal ini terlihat dari kebijakan pemerintahan daerah yang ia terapkan dengan mengganti sistem swapraja menjadi swatantra di tahun Saat itu, kerajaan-kerajaan otonom berdiri atau dilebur sebagai sebuah kesatuan pemerintahan Kabupaten. Raja-raja terakhir dinobatkan sebagai bupati seperti Andi Mappanyukki di Bone dan Somba Andi Ijo Daeng Mattawang Karaeng Lalolang di Gowa. Kebijakan ini untuk Kabupaten Bone pelaksanaan ritual-ritual siklus hidup. Pernikahan direduksi hingga pembayaran jumlah minimum mahar yang dibayarkan seragam oleh seluruh mempelai pria dan hanya melaksanakan penandatanganan surat nikah oleh dua pihak di depan saksi-saksi (Thomas Gibson, 2009: ). 108 Kedatangan pasukan Permesta pimpinan Gerungan di tengah-tengah pasukan DI/TII di Sulawesi Selatan tahun 1958 (setelah ini diadakan perjanjian kerja sama antara Permesta dengan DI/TII Kahar Muzakhar) digambarkan: "Dengan kedatangan tentara Permesta dari Manado itu, membuat Kahar melondjak-londjak kegirangan menjambut kedatangan tentara Permesta itu, jang telah menempuh djarak djauh dengan segala penderitaan melintasi sungai-sungai, gununggunung dan hutan-hutan lebat. Kahar lantas memberikan tempat konsentrasi kepada tentara Permesta dan diberikan djaminan jang lajak dan tjukup memuaskan. Sendjata-senjata jang dibawa oleh tentara Permesta tjukup riel jang terdiri dari sendjata model baru dan diantaranja ada BAZOKA jang mendjadi kebanggaan Kahar. Dan sementara itu, diaturlah konsepsi kerdjasama militer antara Momoc Ansharullah dengan tentara Permesta dimana TII tidak dihiraukan lagi oleh Kahar, karena memang Kahar sudah merentjanakan akan menghapus TII setelah terbentuknja Momoc Ansharullah". Kahar Muzakkar ditembak mati di tempat persembunyiannya tanggal 3 Februari 1965; sedangkan Dee Gerungan ditangkap pada tanggal 19 Juli 1965, diadili oleh Pengadilan Negeri, dan dijatuhi hukuman mati (Permesta Information Online, edisi 15 Maret 2010). 182

17 tertuang dalam Undang-Undang Darurat Republik Indonesia Nomor 4 tahun 1957 tentang Pembubaran Daerah Bone dan Pembentukan Daerah Bone, Daerah Wajo, Dan Daerah Soppeng. Tidak lama setelah itu, kekuasaan Soekarno runtuh berikut ideologi Sulselisme dan anti feudalisme yang diusungnya. Selanjutnya, Indonesia memasuki babak baru. Berbagai kebijakan dikeluarkan oleh Soeharto yang diangkat sebagai presiden oleh MPRS dan diterapkan secara seragam bagi seluruh wilayah di Indonesia yang sangat berbeda dengan Soekarno. Seorang Soeharto 109 adalah seorang yang pemikirannya sangat dipengaruhi oleh kejayaan kerajaan Jawa masa lampau yang sangat feodalistik dan dengannya isu-isu politik berada dalam kerangka pemikiran Jawa, yakni sentralisme kekuasaan. Dalam mengkonsolidasi kekuasaannya, Soeharto pemerintah Orde Baru melakukan strategi penyeragaman dalam berbagai aspek, diantaranya penulisan sejarah masa lalu, sistem politik dan pemerintahan, dan model pembangunan. Penyeragaman ini membawa konsekuensi besar di seluruh wilayah di Indonesia dan serta merta mengubah peta perpolitikan di Sulawesi Selatan. Kaki-kaki kekuasaan Soeharto, yakni militer, birokrasi, dan [partai politik] Golongan Karya telah membawa para politisi, baik yang berbasis kebangsawanan, militer, dan kalangan terdidik terserap dalam satu koalisi politik besar, yakni Rezim Orde Baru. Setelah sukses melakukan penyeragaman sejarah [kekerasan] politik dan menghancurkan musuh-musuh politik yang potensial menjegalnya di masa kekuasaannya, Soeharto yang sudah menggenggam kekuatan militer lalu menggulirkan program trilogi pembangunan yang berisikan stabilitas, pertumbuhan, dan pemerataan. Konsepsi ini dibungkus oleh ideologi pembangunan yang dianutnya dengan tentu saja merujuk pada teori ekonomi pertumbuhan ala Rostow; trickle down effect. Ekonomi adalah panglima bagi Soeharto dan sejak itu, seluruh jaringan birokrasi yang dibangunnya terlibat dalam kesibukan melaksanakan pembangunan. 109 Dalam Thomas Gibson, diuraikan bagaimana silsilah keluarga Soeharto dan bagaimana ia kemudian mengkonsolidasi (merekonstruksi) kebangsawanannya yang dapat ditelusuri hingga Sultan Hamengkubuwono V (memerintah ) melalui tujuh generasi dari pihak ibunya dan ke Pakubuwono VII (memerintah ) dari pihak ayahnya (Gibson, 2009 [buku kedua terjemahan]). 183

18 Dari aspek pemerintahan, tahun 1970an Soeharto mengeluarkan kebijakan pemerintahan daerah dan Desa yang bercorak sentralistik. Dalam kebijakan ini, posisi elite pemerintahan di level provinsi (Daerah Tingkat I) dan kabupaten (Daerah Tingkat II) ditentukan oleh Jakarta. Setiap daerah dari kedua level di atas mengajukan tiga sampai lima calon kepala daerah dan akan ditentukan oleh Presiden untuk disahkan Menteri Dalam Negeri (UU No. 5 tahun 1974). Pada masa ini, politisi dengan basis kemiliteran 110 dan loyal kepada Soeharto akan dengan mudah mengakses kekuasaan dan menaiki tangga elite politik. Pada periode ini di tiga level pemerintahan (provinsi, Kabupaten/kota, dan Desa) dominasi kepala daerah dari kalangan militer lebih besar ketimbang politisi sipil. Di Sulawesi Selatan, gubernur berbasis militer adalah AL ( ), AO ( ), ZBP ( ). Terkecuali AA ( ) dari kalangan birokrat sipil (kalangan terdidik). Demikian pula beberapa daerah tingkat II di provinsi Sulawesi Selatan menunjukkan dominasi militer itu. Lihat saja di Kabupaten Bone yang didominasi oleh politisi militer seperti Kolonel H. Suaib (18 Agustus Juli 1977), Kolonel H. P.B. Harahap (13 Juli Februari 1982), Kolonel H. A. Made alie (22 Februari April 1982), Kolonel H. Andi Syamsul Alam (28 Maret April 1988), Kolonel H. Andi Sjamsul Alam (06 April April 1993), Kolonel H. Andi Amir (17 April ), Idris Galigo ( ). Hal yang sama terjadi di Kabupaten Gowa; Kolonel TNI A. Tau ( ), Kolonel TNI YL( , pejabat Bupati), Kolonel TNI K.S. Mas ud ( ), Kolonel Polisi Sirajuddin ( ), Kolonel TNI Kadir Dalle ( ), Kolonel TNI Azis Umar ( ), SYL( ). Abdullah Djabar ( ) Ikhsan YL( ). Meskipun kepemimpinan politik di Kabupaten Bone dan Gowa pada masa rejim Orde Baru sepenuhnya dikuasai oleh perwira menengah ABRI, akan tetapi ada yang spesifik antara Bupati dari ABRI di Bone dengan Bupati dari ABRI di Kabupaten Gowa. Dari enam Bupati dari ABRI di Kabupaten Bone, hanya kolonel Harahap yang bukan orang etnis Bugis Bone. Sebaliknya, Bupati Gowa yang 110 Pada masa Orde Baru, Kalangan Militer diuntungkan oleh kebijakan Dwi-Fungsi ABRI yang merupakan pengejawantahan pemikiran dari AH. Nasution. 184

19 berasal dari ABRI, hanya satu orang yang berasal dari etnis Makassar Gowa, yakni kolonel A. Tau. Pilihan-pilihan ini tentu saja secara politik bukanlah sesuatu yang terjadi secara kebetulan. Intelejen politik Jakarta paling tidak memiliki pandangan bahwa kedua daerah ini memiliki karakteristik yang berbeda. Mungkin saja, Kabupaten Bone dipandang memiliki karakteristik masyarakat yang tertutup 111 terutama dalam soal struktur kekuasaan, sebaliknya masyarakat Kabupaten Gowa mungkin dinilai lebih flexibel menerima kepemimpinan dari luar. Model politik penetrasi melalui jalur TNI merasuk ke semua wilayah di Indonesia. Termasuk di Kabupaten Bone dan Gowa. Tokoh-tokoh TNI yang memiliki hubungan baik dengan Jakarta, atau khususnya yang memiliki relasi khusus dengan Cendana akan memiliki ticket untuk menduduki posisi politik di daerah. Posisi politik itu tidak lain adalah perpanjangan tangan rejim Orde Baru, dalam hal ini presiden Soeharto. Naiknya pamor kalangan militer ini menunjukkan bahwa konsep stabilitas benar-benar efektif dilaksanakan. Di setiap level pemerintahan terbentuk jejaring elite kekuasaan yang disebut Muspida dan Tripika. Artinya, bila terdapat Desa di seluruh Indonesia maka akan ada Babinsa yang berfungsi mengawasi proses depolitisasi warga Desa melalui kebijakan massa mengambang (floating mass). Disamping itu, corak pemerintahan Desa sangat mirip dengan bagaimana negara mengorganisir kekuasaannya, yakni menghadirkan kekuasaan seorang kepala desa sebagai orang terkuat yang mengatasi Lembaga Musyawarah Desa (LMA) dan Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD), namun di satu sisi tunduk patuh dan loyal pada petunjuk bupati yang juga tunduk patuh kepada gubernur dan seterusnya hingga kepada presiden. Begitu seriusnya negara menerapkan prinsip kekuasaan yang dianutnya hingga Antlov menyebut praktek ini sebagai negara dalam Desa (Antlov, 2005). Sebagaimana patronnya di level negara, di mana seorang Soeharto mampu bertahan menduduki kursi kepresidenan selama 32 tahun, maka di banyak Desa, seorang kepala desa juga dapat bertahan lama sepanjang menjaga loyalitas terhadap patronnya dan bahkan banyak diantaranya yang baru undur diri berdasarkan aturan baru, yakni sejak UU No aliarhum kolonel Harahap tidak sempat menyelesaikan masa jabatannya sebagai Bupati Bone selama lima tahun, karena saat menjalankan pengabdiannya sebagai Bupati, ia terbunuh oleh seseorang dengan motif yang sulit ditelusuri hingga saat ini. 185

20 tahun 1999 diterapkan dan direvisi menjadi UU No. 32 tahun 2005 tentang pemerintahan daerah. Di masa-masa yang nyaris bersamaan, perampingan partai politik terus dilakukan hingga tinggal dua partai politik (Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi Indonesia) dan Golongan Karya (yang enggan dikategorikan sebagai partai politik karena menghilangkan kesan bobroknya kinerja partai politik di masa lalu). Berdasarkan kebijakan presiden menjelang pemilihan umum 1971, jumlah peserta Pemilu dipangkas hingga menjadi sepuluh partisipan saja 112 dan Pemilu berikutnya di tahun 1977 tinggal menjadi tiga partai politik. Dalam konteks ini, Suharto dengan apik mengomandani tentara, polisi, dan pegawai sipil sebagai tiga pilar mesin politik paralel yang masing-masing mempertahankan sistem pengawasan terhadap setiap level masyarakat. Dia menyatukan seluruh pegawai negeri sipil ke dalam sebuah partai politik, Golkar, dan menjadikan mereka piranti dari visi masyarakat birokratis yang ada di kepalanya (Gibson, 2007). Dari sisi pembangunan ekonomi, Soeharto menjadikan gerakan Revolusi Hijau sebagai prioritas pembangunan selama empat Repelita. Untuk mengawal pembangunan ekonomi, Soeharto menggunakan pendekatan yang sama dengan pendekatan politik. Bedanya, tentara tidak lagi bersama birokrat dan para guru untuk melakukan kontrol pembangunan pada setiap level masyarakat. Tetapi, Soeharto menyodorkan partner lain, pengusaha keturunan Tionghoa. Pengusaha China dengan beberapa kerabat dekatnya mendapat dukungan kebijakan dan proteksi dari Soeharto dalam menjalankan bisnisnya, terutama di sektor pangan. Tentara berkewajiban membackup para pengusaha yang sudah ditentukan oleh Soeharto (Fahmid, 2004). Dengan memahami konstruksi politik dan ekonomi yang dibangun oleh Orde Lama dan Orde Baru, maka pola akuisisi kekuasaan yang dilakukan oleh governing elite terhadap non-governing elite dan sub-elite, pada masa Orde Lama dan Orde Baru setidaknya melalui alat seperti; Pertama, desakralisasi symbolsimbol feudalism kerajaan dan kebangsawanan. Pada masa Orde Lama sejumlah Kerajaan di Sulsel, khususnya pada Kerajaan Bone dan Gowa mengganti sistem swapraja menjadi swatantra di tahun Saat itu, kerajaan-kerajaan otonom 112 Lihat kebijakan Pemilu

21 dilebur sebagai sebuah kesatuan pemerintahan Kabupaten. Raja-raja terakhir yang memiliki kekuasaan besar di daerahnya masing-masing dinobatkan sebagai bupati seperti Andi Mappanyukki di Bone dan Somba Andi Ijo Daeng Mattawang Karaeng Lalolang di Gowa. Kedua, sentralisasi penentuan elite puncak pada tingkat Propinsi, Kabupaten dan Desa. Elite-elite yang memegang kendali utama dalam pemerintahan Propinsi dan Kabupaten semuanya ditentukan oleh Pemerintahan Pusat. Dengan cara ini, semua kekuatan non-governing elite yang berada di daerah Sulsel terlucuti, dan diganti oleh elite-elite baru yang import dari daerah lain. Pada umumnya elite-elite baru itu berlatarbelakang militer. Eliteelite local di desa juga diperlakukan sama dengan non-governing elite di tingkat kabupaten dan propinsi. Ketiga, control yang ketat terhadap organisasi massa dan partai politik. Kontrol ini dimaksudkan untuk menjaga berkembangnya nongoverning elite yang tidak terkontrol oleh elite penguasa Pola Akuisisi Kekuasaan Oleh Non-Governing Elite Takluknya kerajaan Bone terhadap Belanda pada perang 1905, mengubah formasi politik dan kekuasaan di Sulawesi Selatan, terutama di kerajaan Bone dan kerajaan Gowa. Kerajaan Bone yang sebelumnya menjadi sekutu terbaik Belanda balik haluan, berhadapan dengan Belanda. Sebaliknya, musuh bebuyutan Belanda, istana Gowa merapat dengan kepentingan politik Belanda. Meskipun sejumlah sempalan istana Gowa tetap melakukan perlawanan terhadap Belanda. Bangsawan Gowa yang dikontrol Belanda yang tinggal di istana mendapat ruang kekuasaan yang lebih besar. Perubahan kebijakan Belanda dengan politik etis terhadap koloninya, akhirnya menumbuhkan elite-elite baru di Sulawesi Selatan. Selain faktor kebangsawanan, pamong birokrasi, saluran pendidikan terutama cikal bakal Muhammadyah menjadi jalan baru bagi terbentuknya elite-elite Sulawesi Selatan. Kelompok cendekiawan yang diikuti oleh kelompok pro Indonesia merdeka terus menerus mempersiapkan dirinya menjadi kekuatan baru dalam peta elite di Sulsel. Sebagian besar kelompok pro Indonesia merdeka kelak menjadi dasar terbentuknya laskar-laskar pembela Indonesia merdeka, yang kemudian hari mengisi barisan TNI. 187

8 KESIMPULAN DAN REFLEKSI

8 KESIMPULAN DAN REFLEKSI 8 KESIMPULAN DAN REFLEKSI 8.1 Kesimpulan 8.1.1 Transformasi dan Pola Interaksi Elite Transformasi kekuasaan pada etnis Bugis Bone dan Makassar Gowa berlangsung dalam empat fase utama; tradisional, feudalism,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pemerintah RI yang terjadi di daerah Sulawesi tepatnya Sulawesi Selatan. Para pelaku

I. PENDAHULUAN. pemerintah RI yang terjadi di daerah Sulawesi tepatnya Sulawesi Selatan. Para pelaku I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sepanjang perjalanan sejarah RI pernah meletus suatu perlawanan rakyat terhadap pemerintah RI yang terjadi di daerah Sulawesi tepatnya Sulawesi Selatan. Para pelaku

Lebih terperinci

PERAN POLITIK MILITER DI INDONESIA

PERAN POLITIK MILITER DI INDONESIA PERAN POLITIK MILITER DI INDONESIA Materi Kuliah Sistem Politik Indonesia [Sri Budi Eko Wardani] Alasan Intervensi Militer dalam Politik FAKTOR INTERNAL FAKTOR EKSTERNAL 1. Nilai dan orientasi perwira

Lebih terperinci

PROGRAM PERSIAPAN SBMPTN BIMBINGAN ALUMNI UI

PROGRAM PERSIAPAN SBMPTN BIMBINGAN ALUMNI UI www.bimbinganalumniui.com 1. Setelah kabinet Amir Syarifuddin jatuh, atas persetujuan presiden KNIP memilih Hatta sebagai Perdana Menteri. Jatuhnya Amir Syarifuddin membuat kelompok kiri kehilangan basis

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. bangsa Indonesia setelah lama berada di bawah penjajahan bangsa asing.

BAB I. PENDAHULUAN. bangsa Indonesia setelah lama berada di bawah penjajahan bangsa asing. BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Proklamasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 yang diucapkan oleh Soekarno Hatta atas nama bangsa Indonesia merupakan tonggak sejarah berdirinya

Lebih terperinci

SEJARAH DAN PENGARUH MILITER DALAM KEPEMIMPINAN DI INDONESIA

SEJARAH DAN PENGARUH MILITER DALAM KEPEMIMPINAN DI INDONESIA SEJARAH DAN PENGARUH MILITER DALAM KEPEMIMPINAN DI INDONESIA Latar belakang Sejarah awal terbentuknya bangsa Indonesia tidak lepas dari peran militer Terdapat dwi fungsi ABRI, yaitu : (1) menjaga keamanan

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan Pada Bab Penutup ini melihat kesimpulan dari data yang diperoleh di

BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan Pada Bab Penutup ini melihat kesimpulan dari data yang diperoleh di Studi Kasus: Kontestasi Andi Pada Pilkada Kabupaten Pinrang 1 BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan Pada Bab Penutup ini melihat kesimpulan dari data yang diperoleh di lapangan yang menyajikan interpretasi saya

Lebih terperinci

PASANG SURUT POLARISASI ELIT DI DALAM ETNIS BUGIS DAN MAKASSAR

PASANG SURUT POLARISASI ELIT DI DALAM ETNIS BUGIS DAN MAKASSAR ISSN : 2302-7517, Vol. 06, No. 02 PASANG SURUT POLARISASI ELIT DI DALAM ETNIS BUGIS DAN MAKASSAR ABSTRACT Tidal Polarization in Elite Ethnic and Makassar Bugis Imam Mujahidin Fahmid *), Arya Hadi Dharmawan,

Lebih terperinci

4 Alasan Mengapa Buku ini Penting?

4 Alasan Mengapa Buku ini Penting? Oleh : Suswanta 4 Alasan Mengapa Buku ini Penting? 1. Merupakan pengembangan dari skripsi beliau : Perkembangan PSII Sebelum Fusi Parpol : Analisis Konflik Kepemimpinan 1971-1973 2. Satu-satunya buku yang

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

BAB V SIMPULAN DAN SARAN BAB V SIMPULAN DAN SARAN Pada bab terakhir dalam penulisan skripsi yang berjudul Peristiwa Mangkok Merah (Konflik Dayak Dengan Etnis Tionghoa Di Kalimantan Barat Pada Tahun 1967), berisi mengenai simpulan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negarawan merupakan karakter yang sangat penting bagi kepemimpinan nasional Indonesia. Kepemimpinan negarawan diharapkan dapat dikembangkan pada pemimpin pemuda Indonesia

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Politik Indonesia Pada Masa Demokrasi Terpimpin Tahun , penulis

BAB V PENUTUP. Politik Indonesia Pada Masa Demokrasi Terpimpin Tahun , penulis BAB V PENUTUP 1.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian Dampak Nasakom Terhadap Keadaan Politik Indonesia Pada Masa Demokrasi Terpimpin Tahun 1959-1966, penulis menarik kesimpulan bahwa Sukarno sebagi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dengan berdirinya negara Republik Indonesia dan TNI serta diakui kedaulatannya

BAB I PENDAHULUAN. Dengan berdirinya negara Republik Indonesia dan TNI serta diakui kedaulatannya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang. Dengan berdirinya negara Republik Indonesia dan TNI serta diakui kedaulatannya oleh Belanda pada tanggal 27 Desember 1949, maka pada tahun 1950 KNIL dibubarkan. Berdasarkan

Lebih terperinci

RIVALITAS ELIT BANGSAWAN DENGAN KELOMPOK TERDIDIK PADA MASA REVOLUSI: Analisis Terhadap Pergulatan Nasionalisme Lokal di Sulawesi Selatan menuju NKRI

RIVALITAS ELIT BANGSAWAN DENGAN KELOMPOK TERDIDIK PADA MASA REVOLUSI: Analisis Terhadap Pergulatan Nasionalisme Lokal di Sulawesi Selatan menuju NKRI RIVALITAS ELIT BANGSAWAN DENGAN KELOMPOK TERDIDIK PADA MASA REVOLUSI: Analisis Terhadap Pergulatan Nasionalisme Lokal di Sulawesi Selatan menuju NKRI Najamuddin Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Aceh memiliki kedudukan yang sangat strategis sebagai pusat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Aceh memiliki kedudukan yang sangat strategis sebagai pusat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Aceh memiliki kedudukan yang sangat strategis sebagai pusat perdagangan. Aceh banyak menghasilkan lada dan tambang serta hasil hutan. Oleh karena itu, Belanda

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. Pemilihan umum (Pemilu) dimaknai sebagai sarana kedaulatan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. Pemilihan umum (Pemilu) dimaknai sebagai sarana kedaulatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Pemilihan umum (Pemilu) dimaknai sebagai sarana kedaulatan rakyat. Melalui Pemilihan Umum juga diyakini akan melahirkan wakil dan pemimpin yang dikehendaki rakyatnya.

Lebih terperinci

Indikator. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar. Materi Pokok dan Uraian Materi. Bentuk-bentukInteraksi Indonesia-Jepang.

Indikator. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar. Materi Pokok dan Uraian Materi. Bentuk-bentukInteraksi Indonesia-Jepang. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Materi Pokok dan Uraian Materi Indikator Bentuk-bentukInteraksi Indonesia-Jepang Dampak Kebijakan Imperialisme Jepang di Indonesia Uji Kompetensi 2. Kemampuan memahami

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dalamnya. Untuk dapat mewujudkan cita-cita itu maka seluruh komponen yang

I. PENDAHULUAN. dalamnya. Untuk dapat mewujudkan cita-cita itu maka seluruh komponen yang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perubahan suatu negara untuk menjadi lebih baik dari aspek kehidupan merupakan cita-cita dan sekaligus harapan bagi seluruh rakyat yang bernaung di dalamnya.

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Untuk menganalisis proses pembentukan elite pada etnis Bugis dan etnis Makassar, dengan menggunakan paradigma kontruktivisme. Paradigma ini meletakkan pengamatan

Lebih terperinci

Dari pernyataan di atas, pernyataan yang merupakan hasil dari siding PPKI adalah.

Dari pernyataan di atas, pernyataan yang merupakan hasil dari siding PPKI adalah. Nama kelompok : Achmad Rafli Achmad Tegar Alfian Pratama Lulu Fajar F Nurul Vita C Kelas : XII TP2 1. Perhatikan penyataan-pernyataan berikut. 1. Mengesahkan dan menetapkan UUD 1945 sebagai dasar konstitusi

Lebih terperinci

Salawati Daud, Walikota Perempuan Pertama Di Indonesia

Salawati Daud, Walikota Perempuan Pertama Di Indonesia Salawati Daud, Walikota Perempuan Pertama Di Indonesia Sabtu, 3 Agustus 2013 14:51 WIB Saya iseng bertanya ke mesin pencari Google: Siapa Walikota Perempuan Pertama di Indonesia? Sejumlah nama pun muncul.

Lebih terperinci

PERSAINGAN ELIT BANGSAWAN DENGAN KELOMPOK TERDIDIK PADA MASA REVOLUSI DI SULAWESI SELATAN

PERSAINGAN ELIT BANGSAWAN DENGAN KELOMPOK TERDIDIK PADA MASA REVOLUSI DI SULAWESI SELATAN PERSAINGAN ELIT BANGSAWAN DENGAN KELOMPOK TERDIDIK PADA MASA REVOLUSI DI SULAWESI SELATAN Najamuddin (Dosen Pendidikan Sejarah-FIS Universitas Negeri Makassar) Email: naja64unm@yahoo.com ABSTRAK Penelitian

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR, PARADIGMA

II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR, PARADIGMA II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR, PARADIGMA A. Tinjauan Pustaka 1. Konsep Perjuangan Pengertian perjuangan merupakan suatu usaha yang dilakukan untuk mencapai tujuan, yang dilakukan dengan menempuh

Lebih terperinci

Nama Kelompok: Agnes Monica Dewi Devita Marthia Sari Dilla Rachmatika Nur Aisah XI IIS 1

Nama Kelompok: Agnes Monica Dewi Devita Marthia Sari Dilla Rachmatika Nur Aisah XI IIS 1 Nama Kelompok: Agnes Monica Dewi Devita Marthia Sari Dilla Rachmatika Nur Aisah XI IIS 1 Latar Belakang Kesultanan Gowa adalah salah satu kerajaan besar dan paling sukses yang terdapat di daerah Sulawesi

Lebih terperinci

Strategi Perlawanan Bangsa Indonesia Terhadap Bangsa Barat Sebelum dan Setelah Abad 20

Strategi Perlawanan Bangsa Indonesia Terhadap Bangsa Barat Sebelum dan Setelah Abad 20 Strategi Perlawanan Bangsa Indonesia Terhadap Bangsa Barat Sebelum dan Setelah Abad 20 Anggota kelompok 3: 1. Ananda Thalia 2. Budiman Akbar 3. Farrel Affieto 4. Hidayati Nur Trianti Strategi Perlawanan

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP Kesimpulan

BAB V PENUTUP Kesimpulan BAB V PENUTUP Bab ini bertujuan untuk menjelaskan analisa tesis yang ditujukan dalam menjawab pertanyaan penelitian dan membuktikan hipotesa. Proses analisa yang berangkat dari pertanyaan penelitian dimulai

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Terdapat beberapa hal yang penulis simpulkan berdasarkan permasalahan yang

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Terdapat beberapa hal yang penulis simpulkan berdasarkan permasalahan yang 168 BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1 Kesimpulan Kesimpulan yang dipaparkan dalam bab ini merujuk pada jawaban atas permasalahan penelitian yang telah dikaji oleh penulis di dalam bab sebelumnya. Terdapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bulan September tahun 1948 merupakan saat-saat yang tidak akan

BAB I PENDAHULUAN. Bulan September tahun 1948 merupakan saat-saat yang tidak akan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bulan September tahun 1948 merupakan saat-saat yang tidak akan terlupakan oleh masyarakat kota Madiun, terutama bagi umat Islam di Madiun. Pada bulan September tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemilu 1955 merupakan pemilihan umum pertama dengan sistem multi partai yang dilakukan secara terbuka,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemilu 1955 merupakan pemilihan umum pertama dengan sistem multi partai yang dilakukan secara terbuka, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemilu 1955 merupakan pemilihan umum pertama dengan sistem multi partai yang dilakukan secara terbuka, bebas dan jujur.tetapi pemilihan umum 1955 menghasilkan

Lebih terperinci

Ebook dan Support CPNS Ebook dan Support CPNS. Keuntungan Bagi Member cpnsonline.com:

Ebook dan Support CPNS   Ebook dan Support CPNS. Keuntungan Bagi Member cpnsonline.com: SEJARAH NASIONAL INDONESIA 1. Tanam paksa yang diterapkan pemerintah colonial Belanda pada abad ke-19 di Indonesia merupakan perwujudan dari A. Dehumanisasi masyarakat Jawa B. Bekerjasama dengan Belanda

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1 Kesimpulan Pada bagian ini merupakan kesimpulan terhadap semua hasil penelitian yang telah diperoleh setelah melakukan pengkajian dan sekaligus memberikan analisis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kyai dan Jawara ditengah tengah masyarakat Banten sejak dahulu menempati peran kepemimpinan yang sangat strategis. Sebagai seorang pemimpin, Kyai dan Jawara kerap dijadikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sekelompok orang yang akan turut serta secara aktif baik dalam kehidupan politik dengan

BAB I PENDAHULUAN. sekelompok orang yang akan turut serta secara aktif baik dalam kehidupan politik dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Permasalahan Partisipasi merupakan aspek yang penting dari demokrasi, partisipasi politik yang meluas merupakan ciri khas dari modernisasi politik. Partisipasi politik

Lebih terperinci

Mengungkap Kegagalan Gerakan 30 September 1965

Mengungkap Kegagalan Gerakan 30 September 1965 Cerita Pagi Dokumen Supardjo, Mengungkap Kegagalan Gerakan 30 September 1965 Hasan Kurniawan Minggu, 23 Oktober 2016 05:05 WIB http://daerah.sindonews.com/read/1149282/29/dokumen-supardjo-mengungkap-kegagalan-gerakan-30-september-1965-1477110699

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. Bab ini merupakan kesimpulan dari penulisan skripsi yang berjudul MILITER

BAB V KESIMPULAN. Bab ini merupakan kesimpulan dari penulisan skripsi yang berjudul MILITER 145 BAB V KESIMPULAN Bab ini merupakan kesimpulan dari penulisan skripsi yang berjudul MILITER DAN POLITIK DI INDONESIA (Studi Tentang Kebijakan Dwifungsi ABRI Terhadap Peran-peran Militer di Bidang Sosial-Politik

Lebih terperinci

ANGGARAN DASAR Tunas Indonesia Raya TIDAR

ANGGARAN DASAR Tunas Indonesia Raya TIDAR ANGGARAN DASAR Tunas Indonesia Raya TIDAR BAB I NAMA, WAKTU DAN TEMPAT KEDUDUKAN Pasal 1 1. Organisasi ini bernama TUNAS INDONESIA RAYA disingkat TIDAR, selanjutnya disebut Organisasi. 2. Organisasi ini

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Sebagai intisari dari uraian yang telah disampaikan sebelumnya dan

BAB V PENUTUP. Sebagai intisari dari uraian yang telah disampaikan sebelumnya dan BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Sebagai intisari dari uraian yang telah disampaikan sebelumnya dan berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, telah teridentifikasi bahwa PDI Perjuangan di Kabupaten

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. akuntabilitas bagi mereka yang menjalankan kekuasaan. Hal ini juga

I. PENDAHULUAN. akuntabilitas bagi mereka yang menjalankan kekuasaan. Hal ini juga 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Menurut berbagai kajiannya tentang politik, para sarjana politik sepakat bahwa demokrasi merupakan sistem pemerintahan yang paling baik. Sistem ini telah memberikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan sebagai alat negara. Negara dapat dipandang sebagai

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan sebagai alat negara. Negara dapat dipandang sebagai 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Deklarasi terhadap pembentukan sebuah negara yang merdeka tidak terlepas dari pembicaraan mengenai pembentukan struktur atau perangkatperangkat pemerintahan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kedaulatan rakyat menjadi landasan berkembangnya demokrasi dan negara republik.

I. PENDAHULUAN. Kedaulatan rakyat menjadi landasan berkembangnya demokrasi dan negara republik. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Kedaulatan rakyat menjadi landasan berkembangnya demokrasi dan negara republik. Rakyat, hakikatnya memiliki kekuasaan tertinggi dengan pemerintahan dari, oleh, dan untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejarah sebagai suatu narasi besar diperlihatkan melalui peristiwa dan

BAB I PENDAHULUAN. Sejarah sebagai suatu narasi besar diperlihatkan melalui peristiwa dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejarah sebagai suatu narasi besar diperlihatkan melalui peristiwa dan tokoh besar dengan mendokumentasikan asal-usul kejadian, menganalisis geneologi, lalu membangun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyikapi RUU. tentang Keistimewaan Yogyakarta. Kurang lebih

BAB I PENDAHULUAN. pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyikapi RUU. tentang Keistimewaan Yogyakarta. Kurang lebih BAB I PENDAHULUAN Tidak mungkin ada monarki yang bertabrakan, baik dengan konstitusi maupun nilai demokrasi ( Suara Yogya, 26/11/2010). Itulah pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyikapi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kota Bandung merupakan sebuah kota yang terletak di Propinsi Jawa Barat yang merupakan salah satu bagian wilayah di Negara Indonesia. Kota ini dalam sejarahnya

Lebih terperinci

PERISTIWA YANG TERJADI PADA TAHUN

PERISTIWA YANG TERJADI PADA TAHUN PERISTIWA YANG TERJADI PADA TAHUN 1945-1949 K E L O M P O K 1 A Z I Z A T U L M A R A T I ( 1 4 1 4 4 6 0 0 2 0 0 ) D E V I A N A S E T Y A N I N G S I H ( 1 4 1 4 4 6 0 0 2 1 2 ) N U R U L F I T R I A

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perhatian yang khusus. Perjuangan dalam pergerakan kebangsaan Indonesia

I. PENDAHULUAN. perhatian yang khusus. Perjuangan dalam pergerakan kebangsaan Indonesia 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Abad ke 20 bukan hanya menjadi saksi perjuangan bangsa Indonesia, akan tetapi dalam hal gerakan-gerakan anti penjajahan yang bermunculan di masa ini menarik perhatian

Lebih terperinci

SEJARAH PEMILU DUNIA

SEJARAH PEMILU DUNIA SEJARAH PEMILU DUNIA PENGERTIAN PAKAR Secara etimologis kata Demokrasi terdiri dari dua kata Yunani yaitu damos yang berarti rakyat atau penduduk suatu tempat dan cratein atau cratos yang berarti kedaulatan

Lebih terperinci

Metodologi Quick Count

Metodologi Quick Count PRESS RELEASE: QUICK COUNT dan EXIT POLL PEMILIHAN GUBERNUR PROVINSI SULAWESI SELATAN 22 JANUARI 213 Jl. Lembang Terusan D57, Menteng, Jakarta Pusat Telp. (21) 3919582, Fax (21) 3919528 Website: www.lsi.or.id,

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. pemikiran dua tokoh tersebut, tidak bisa kita lepaskan dari kehidupan masa lalunya yang

BAB V KESIMPULAN. pemikiran dua tokoh tersebut, tidak bisa kita lepaskan dari kehidupan masa lalunya yang BAB V KESIMPULAN Sutan Sjahrir dan Tan Malaka merupakan dua contoh tokoh nasional yang memberikan segenap tenaga dan pikirannya pada masa kemerdekaan. Kajian terhadap pemikiran dua tokoh tersebut, tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sebuah negara selain memiliki wilayah dan Penduduk, sebuah negara juga harus memiliki sebuah Angkatan Bersejanta untuk mengamankan wilayah kedaulatan negaranya.

Lebih terperinci

BAB 7: SEJARAH PENDUDUKAN JEPANG DI INDONESIA. PROGRAM PERSIAPAN SBMPTN BIMBINGAN ALUMNI UI

BAB 7: SEJARAH PENDUDUKAN JEPANG DI INDONESIA.  PROGRAM PERSIAPAN SBMPTN BIMBINGAN ALUMNI UI www.bimbinganalumniui.com 1. Berikut ini adalah daerah pertama di yang diduduki oleh tentara Jepang... a. Aceh, Lampung, Bali b. Morotai, Biak, Ambon c. Tarakan, Pontianak, Samarinda d. Bandung, Sukabumi,

Lebih terperinci

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara pimpinan. Maka hal ini yang membuat para pimpinan tidak memberikan celah untuk para mantan panglima wilayah melakukan hal-hal yang diluar keinginannya, bahkan pasca rapat tersebut para pimpinan tidak pernah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Berbagai peristiwa sejarah tentu tidak terjadi dengan sendirinya. Peristiwaperistiwa

BAB I PENDAHULUAN. Berbagai peristiwa sejarah tentu tidak terjadi dengan sendirinya. Peristiwaperistiwa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berbagai peristiwa sejarah tentu tidak terjadi dengan sendirinya. Peristiwaperistiwa tersebut sangat dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran, baik itu watak, kepercayaan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang. Dengan berakhirnya Perang Dunia kedua, maka Indonesia yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang. Dengan berakhirnya Perang Dunia kedua, maka Indonesia yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Dengan berakhirnya Perang Dunia kedua, maka Indonesia yang sebelumnya dijajah oleh Jepang selama 3,5 tahun berhasil mendapatkan kemerdekaannya setelah di bacakannya

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. keterlibatan masyarakat dalam berpartisipasi aktif untuk menentukan jalannya

BAB I PENGANTAR. keterlibatan masyarakat dalam berpartisipasi aktif untuk menentukan jalannya 1 BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Situasi perkembangan politik yang berkembang di Indonesia dewasa ini telah membawa perubahan sistem yang mengakomodasi semakin luasnya keterlibatan masyarakat dalam

Lebih terperinci

2008, No.59 2 c. bahwa dalam penyelenggaraan pemilihan kepala pemerintah daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pem

2008, No.59 2 c. bahwa dalam penyelenggaraan pemilihan kepala pemerintah daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pem LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.59, 2008 OTONOMI. Pemerintah. Pemilihan. Kepala Daerah. Perubahan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hampir bersamaan muncul gerakan-gerakan pendaulatan dimana targetnya tak

BAB I PENDAHULUAN. hampir bersamaan muncul gerakan-gerakan pendaulatan dimana targetnya tak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Periode 1945-1949 merupakan tahun-tahun ujian bagi kehidupan masyarakat Indonesia, karena selalu diwarnai dengan gejolak dan konflik sebagai usaha untuk merebut dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Revolusi yang menjadi alat tercapainya kemerdekaan bukan kuat dalam

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Revolusi yang menjadi alat tercapainya kemerdekaan bukan kuat dalam 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Revolusi yang menjadi alat tercapainya kemerdekaan bukan kuat dalam persepsi bangsa Indonesia tentang dirinya sendiri. Semua usaha yang tidak menentu untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. The Constitution is made for men, and not men for the Constitution. (Soekarno, dalam pidato tanggal 17 Agustus 1959)

BAB I PENDAHULUAN. The Constitution is made for men, and not men for the Constitution. (Soekarno, dalam pidato tanggal 17 Agustus 1959) BAB I PENDAHULUAN The Constitution is made for men, and not men for the Constitution. (Soekarno, dalam pidato tanggal 17 Agustus 1959) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 selanjutnya

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 105 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Dalam bab ini akan dibahas mengenai kesimpulan dan saran dari skripsi dengan judul GEJOLAK PATANI DALAM PEMERINTAHAN THAILAND (Kajian Historis Proses Integrasi Rakyat Patani

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sejarah nasional Indonesia tidak lepas dari pemerintahan Soekarno dan Soeharto, seperti

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sejarah nasional Indonesia tidak lepas dari pemerintahan Soekarno dan Soeharto, seperti BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejarah nasional Indonesia tidak lepas dari pemerintahan Soekarno dan Soeharto, seperti yang kita ketahui dua figur tersebut pernah menjadi presiden Republik Indonesia.

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Pada bab V, penulis memaparkan kesimpulan dan rekomendasi dari hasil penelitian secara keseluruhan yang dilakukan dengan cara studi literatur yang data-datanya diperoleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara eropa yang paling lama menjajah Indonesia adalah Negara Belanda

BAB I PENDAHULUAN. Negara eropa yang paling lama menjajah Indonesia adalah Negara Belanda BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia di jajah oleh bangsa Eropa kurang lebih 350 tahun atau 3.5 abad, hal ini di hitung dari awal masuk sampai berakhir kekuasaannya pada tahun 1942. Negara eropa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang terjadi pada masa kesultanan Asahan agar dapat didokumentasikan. peristiwa-peristiwa yang terjadi untuk jadi pembelajaran.

BAB I PENDAHULUAN. yang terjadi pada masa kesultanan Asahan agar dapat didokumentasikan. peristiwa-peristiwa yang terjadi untuk jadi pembelajaran. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejarah adalah kejadian yang terjadi pada masa lampau, disusun berdasarkan peninggalan-peninggalan yang terdapat dimasa kini. Perspektif sejarah selalu menjelaskan ruang,

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN. (Kompas, Republika, dan Rakyat Merdeka) yang diamati dalam penelitian

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN. (Kompas, Republika, dan Rakyat Merdeka) yang diamati dalam penelitian BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN Pertarungan wacana politik Kasus Bank Century di media massa (Kompas, Republika, dan Rakyat Merdeka) yang diamati dalam penelitian menunjukkan berbagai temuan penelitian yang

Lebih terperinci

BAB IV PENUTUP. identik dengan bacaan-bacaan liar dan cabul yang mempunyai corak realisme-sosialis.

BAB IV PENUTUP. identik dengan bacaan-bacaan liar dan cabul yang mempunyai corak realisme-sosialis. BAB IV PENUTUP Kesimpulan Kemunculan karya sastra Indonesia yang mengulas tentang kolonialisme dalam khazanah sastra Indonesia diprediksi sudah ada pada masa sastra Melayu Rendah yang identik dengan bacaan-bacaan

Lebih terperinci

7 PERANAN SIMBOL, KUASA, UANG, DAN HIBRIDISASI DALAM PEMBENTUKAN ELITE BUGIS DAN MAKASSAR

7 PERANAN SIMBOL, KUASA, UANG, DAN HIBRIDISASI DALAM PEMBENTUKAN ELITE BUGIS DAN MAKASSAR 7 PERANAN SIMBOL, KUASA, UANG, DAN HIBRIDISASI DALAM PEMBENTUKAN ELITE BUGIS DAN MAKASSAR Pembahasan pada bab ini ditujukan pada bagaimana melihat kemampuan elite etnis Bugis (Bone) dan Makassar (Gowa)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perjuangan kemerdekaan melawan penjajahan telah terjadi sejak kedatangan penjajah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perjuangan kemerdekaan melawan penjajahan telah terjadi sejak kedatangan penjajah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perjuangan kemerdekaan melawan penjajahan telah terjadi sejak kedatangan penjajah Barat di Nusantara. Perjuangan itu berawal sejak kedatangan bangsa Portugis

Lebih terperinci

BAB V. Kesimpulan. Perubahan sosial di Yogyakarta dipengaruhi oleh perubahan-perubahan pola

BAB V. Kesimpulan. Perubahan sosial di Yogyakarta dipengaruhi oleh perubahan-perubahan pola BAB V Kesimpulan Perubahan sosial di Yogyakarta dipengaruhi oleh perubahan-perubahan pola kelembagaan yang ada. Lembaga-lembaga yang berperan dalam perubahan di Yogyakarta saat ini dapat dikategorikan

Lebih terperinci

yang korup dan lemah. Berakhirnya masa pemerintahan Dinasti Qing menandai masuknya Cina ke dalam era baru dengan bentuk pemerintahan republik yang

yang korup dan lemah. Berakhirnya masa pemerintahan Dinasti Qing menandai masuknya Cina ke dalam era baru dengan bentuk pemerintahan republik yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Republik Rakyat Cina (RRC) adalah salah satu negara maju di Asia yang beribukota di Beijing (Peking) dan secara geografis terletak di 39,917 o LU dan 116,383

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu persamaan-persamaan dan berbeda dari bangsa-bangsa lainnya. Menurut Hayes

BAB I PENDAHULUAN. suatu persamaan-persamaan dan berbeda dari bangsa-bangsa lainnya. Menurut Hayes 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Nasionalisme adalah suatu konsep dimana suatu bangsa merasa memiliki suatu persamaan-persamaan dan berbeda dari bangsa-bangsa lainnya. Menurut Hayes (Chavan,

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. berdasarkan uraian pada bagian sebelumnya mengenai Kontroversi Penentuan Pendapat

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. berdasarkan uraian pada bagian sebelumnya mengenai Kontroversi Penentuan Pendapat BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Bab ini berisi kesimpulan dari hasil penelitian yang telah dilakukan peneliti berdasarkan uraian pada bagian sebelumnya mengenai Kontroversi Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA)

Lebih terperinci

MPR Pasca Perubahan UUD NRI Tahun 1945 (Kedudukan MPR dalam Sistem Ketatanegaraan)

MPR Pasca Perubahan UUD NRI Tahun 1945 (Kedudukan MPR dalam Sistem Ketatanegaraan) JURNAL MAJELIS MPR Pasca Perubahan UUD NRI Tahun 1945 (Kedudukan MPR dalam Sistem Ketatanegaraan) Oleh: Dr. BRA. Mooryati Sudibyo Wakil Ketua MPR RI n Vol. 1 No.1. Agustus 2009 Pengantar Tepat pada ulang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. memberikan kesempatan lebih luas bagi kaum wanita untuk lebih berkiprah maju

I. PENDAHULUAN. memberikan kesempatan lebih luas bagi kaum wanita untuk lebih berkiprah maju 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Peristiwa Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang diproklamirkan oleh Ir. Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1945 merupakan babak baru bagi perjuangan rakyat Indonesia

Lebih terperinci

JK: Tradisi Golkar di Pemerintahan

JK: Tradisi Golkar di Pemerintahan JK: Tradisi Golkar di Pemerintahan Daerah dan Ormas Partai Desak Munas Minggu, 24 Agustus 2014 JAKARTA, KOMPAS Ketua Umum DPP Partai Golkar periode 2004-2009 Jusuf Kalla mengatakan, tradisi Partai Golkar

Lebih terperinci

BAB V. Penutup. pengaruh kapitalisme guna mewujudkan revolusi sosialis di Indonesia, berangkat dari

BAB V. Penutup. pengaruh kapitalisme guna mewujudkan revolusi sosialis di Indonesia, berangkat dari BAB V Penutup 5.1. Kesimpulan PKI lahir sebagai organisasi kepartaian yang memiliki banyak tujuan. Di samping untuk menguasasi politik domestik negara, PKI juga memiliki misi untuk menghapus pengaruh kapitalisme

Lebih terperinci

Tugas dan Fungsi MPR Serta Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan

Tugas dan Fungsi MPR Serta Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan Tugas dan Fungsi MPR Serta Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan Oleh: Dr. (HC) AM. Fatwa Wakil Ketua MPR RI Kekuasaan Penyelenggaraan Negara Dalam rangka pembahasan tentang organisisasi

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN. kemasyarakatan yang bercorak Islam Modernis. Meskipun bukan merupakan

BAB VI KESIMPULAN. kemasyarakatan yang bercorak Islam Modernis. Meskipun bukan merupakan BAB VI KESIMPULAN 6.1. Kesimpulan Muhammadiyah adalah Gerakan Islam dan merupakan organisasi sosial kemasyarakatan yang bercorak Islam Modernis. Meskipun bukan merupakan organisasi politik namun sepanjang

Lebih terperinci

BAB 5 KESIMPULAN. Faktor-faktor kemenangan..., Nilam Nirmala Anggraini, FISIP UI, Universitas 2010 Indonesia

BAB 5 KESIMPULAN. Faktor-faktor kemenangan..., Nilam Nirmala Anggraini, FISIP UI, Universitas 2010 Indonesia 101 BAB 5 KESIMPULAN Bab ini merupakan kesimpulan dari bab-bab sebelumnya. Fokus utama dari bab ini adalah menjawab pertanyaan penelitian. Bab ini berisi jawaban yang dapat ditarik dari pembahasan dan

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM

BAB II GAMBARAN UMUM BAB II GAMBARAN UMUM 2.1. Jepang Pasca Perang Dunia II Pada saat Perang Dunia II, Jepang sebagai negara penyerang menduduki negara Asia, terutama Cina dan Korea. Berakhirnya Perang Dunia II merupakan kesempatan

Lebih terperinci

PERISTIWA YANG TERJADI PADA TAHUN A ZIZATUL MAR ATI ( )

PERISTIWA YANG TERJADI PADA TAHUN A ZIZATUL MAR ATI ( ) PERISTIWA YANG TERJADI PADA TAHUN 1945-1949 KELOMPOK 1 A ZIZATUL MAR ATI (14144600200) DEVIANA SETYANINGSIH ( 1 4144600212) NURUL FITRIA ( 1 4144600175) A JI SARASWANTO ( 14144600 ) Kembalinya Belanda

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Demokrasi lebih dari sekedar seperangkat aturan dan prosedur konstitusional yang menentukan suatu fungsi pemerintah. Dalam demokrasi, pemerintah hanyalah salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menimbulkan penderitaan bagi masyarakat Korea. Jepang melakukan eksploitasi

BAB I PENDAHULUAN. menimbulkan penderitaan bagi masyarakat Korea. Jepang melakukan eksploitasi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penelitian Sejarah Korea yang pernah berada di bawah kolonial kekuasaan Jepang menimbulkan penderitaan bagi masyarakat Korea. Jepang melakukan eksploitasi sumber

Lebih terperinci

GUBERNUR SULAWESI SELATAN PERATURAN GUBERNUR SULAWESI SELATAN NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG

GUBERNUR SULAWESI SELATAN PERATURAN GUBERNUR SULAWESI SELATAN NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG SALINAN GUBERNUR SULAWESI SELATAN PERATURAN GUBERNUR SULAWESI SELATAN NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PENGATURAN RUANG LINGKUP TUGAS INSPEKTUR PEMBANTU WILAYAH I, II, III, DAN IV PADA INSPEKTORAT PROVINSI SULAWESI

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA SEMARANG DINAS PENDIDIKAN SMP NEGERI 37 SEMARANG

PEMERINTAH KOTA SEMARANG DINAS PENDIDIKAN SMP NEGERI 37 SEMARANG PEMERINTAH KOTA SEMARANG DINAS PENDIDIKAN SMP NEGERI 37 SEMARANG Jl. Sompok No. 43 Telp. 8446802 Semarang Website.www.smp 37.smg.sch.id Email: smp 37 smg @ yahoo.co.id ULANGAN TENGAH SEMESTER GANJIL TAHUN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan wujud dari proses imajinatif dan kreatif pengarang.

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan wujud dari proses imajinatif dan kreatif pengarang. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra merupakan wujud dari proses imajinatif dan kreatif pengarang. Adapun proses kreatif itu berasal dari pengalaman pengarang sebagai manusia yang hidup di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yaitu masa lampau, masa kini, dan masa yang akan datang dalam satu kesatuan yang bulat dan

BAB I PENDAHULUAN. yaitu masa lampau, masa kini, dan masa yang akan datang dalam satu kesatuan yang bulat dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dinamika sejarah terletak pada kemampuan untuk memandang dimensi waktu sekaligus, yaitu masa lampau, masa kini, dan masa yang akan datang dalam satu kesatuan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sejak jaman kemerdekaan berkali-kali menghadapi ujian. Pada tahun

I. PENDAHULUAN. sejak jaman kemerdekaan berkali-kali menghadapi ujian. Pada tahun I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perjuangan bangsa Indonesia untuk menciptakan keadilan bagi masyarakatnya sejak jaman kemerdekaan berkali-kali menghadapi ujian. Pada tahun 1950-1959 di Indonesia berlaku

Lebih terperinci

PROKLAMASI DAN DILEMA REPUBLIK DI INDONESIA TIMUR

PROKLAMASI DAN DILEMA REPUBLIK DI INDONESIA TIMUR Seminar Nasional Proklamasi Kemerdekaan RI di 8 Wilayah PROKLAMASI DAN DILEMA REPUBLIK DI INDONESIA TIMUR Abd. Rahman Hamid Jurusan Sejarah Univ. Hasanuddin - Makassar Prolog O Proklamasi kemerdekaan 17-8-

Lebih terperinci

5. Materi sejarah berguna untuk menanamkan dan mengembangkan sikap bertanggung jawab dalam memelihara keseimbangan dan kelestarian lingkungan hidup.

5. Materi sejarah berguna untuk menanamkan dan mengembangkan sikap bertanggung jawab dalam memelihara keseimbangan dan kelestarian lingkungan hidup. 13. Mata Pelajaran Sejarah Untuk Paket C Program IPS A. Latar Belakang Sejarah merupakan cabang ilmu pengetahuan yang menelaah tentang asal-usul dan perkembangan serta peranan masyarakat di masa lampau

Lebih terperinci

REPRODUKSI ELIT PADA ERA OTONOMI DAERAH DI KABUPATEN BONE DAN GOWA

REPRODUKSI ELIT PADA ERA OTONOMI DAERAH DI KABUPATEN BONE DAN GOWA REPRODUKSI ELIT PADA ERA OTONOMI DAERAH DI KABUPATEN BONE DAN GOWA Oleh: Imam Mujahidin Fahmid, Arya Hadi Dharmawan, Lala. M. Kolopaking, Darmawan Salman* ABSTRACT This study aims to describe the response

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Islam tidak hanya sebagai sebuah agama yang hanya mengatur ibadah ritual tetapi

I PENDAHULUAN. Islam tidak hanya sebagai sebuah agama yang hanya mengatur ibadah ritual tetapi 1 I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Islam tidak hanya sebagai sebuah agama yang hanya mengatur ibadah ritual tetapi Islam merupakan sebuah ideologi yang melahirkan aturan-aturan yang mengatur kehidupan manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Era Reformasi yang lahir pasca runtuhnya Orde Baru mengemban. tugas yang tidak mudah, salah satunya untuk mencari solusi alternatif

BAB I PENDAHULUAN. Era Reformasi yang lahir pasca runtuhnya Orde Baru mengemban. tugas yang tidak mudah, salah satunya untuk mencari solusi alternatif BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Era Reformasi yang lahir pasca runtuhnya Orde Baru mengemban tugas yang tidak mudah, salah satunya untuk mencari solusi alternatif dalam menyelesaikan berbagai

Lebih terperinci

BAB 6 PENUTUP. hingga masa transisi demokrasi. Beberapa ahli, misalnya Samuel Decalo, Eric. politik, yang akarnya adalah kekuatan politik militer.

BAB 6 PENUTUP. hingga masa transisi demokrasi. Beberapa ahli, misalnya Samuel Decalo, Eric. politik, yang akarnya adalah kekuatan politik militer. BAB 6 PENUTUP 6.1 Kesimpulan Militer Indonesia merupakan kasus yang menarik bagi studi mengenai Militer dan Politik. Selain keterlibatan dalam sejarah kemerdekaan, selama tiga dekade militer Indonesia

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 119 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Kesimpulan yang penulis dapatkan dari hasil penulisan skripsi ini merupakan hasil kajian dan pembahasan dari bab-bab sebelumnya. Wilayaha Eritrea yang terletak

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tinjauan pustaka dilakukan untuk menyeleksi masalah-masalah yang akan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tinjauan pustaka dilakukan untuk menyeleksi masalah-masalah yang akan 11 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan pustaka Tinjauan pustaka dilakukan untuk menyeleksi masalah-masalah yang akan dijadikan topik penelitian. Dimana dalam tinjauan pustaka akan dicari teori atau konsep-konsep

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. didukung berbagai sumber lainnya, menunjukkan bahwa terjadinya kontinuitas

BAB V KESIMPULAN. didukung berbagai sumber lainnya, menunjukkan bahwa terjadinya kontinuitas BAB V KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisis dari temuan penelitian di lapangan dan didukung berbagai sumber lainnya, menunjukkan bahwa terjadinya kontinuitas penguasaan tanah ulayat oleh negara sejak masa

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. ikatan-ikatan sosial. Selain itu keberadaan masyarakat sipil juga berpengaruh

BAB V PENUTUP. ikatan-ikatan sosial. Selain itu keberadaan masyarakat sipil juga berpengaruh BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Masyarakat sipil lahir dari interaksi sosial masyarakat yang terbina berkat ikatan-ikatan sosial. Selain itu keberadaan masyarakat sipil juga berpengaruh sebagai penyeimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Politik merupakan hal yang sering diperbincangkan dalam masyarakat. Apalagi tahun ini

BAB I PENDAHULUAN. Politik merupakan hal yang sering diperbincangkan dalam masyarakat. Apalagi tahun ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Politik merupakan hal yang sering diperbincangkan dalam masyarakat. Apalagi tahun ini merupakan tahun politik di Indonesia, karena tahun ini di Indonesia menjalani Pemilu.

Lebih terperinci

B A B III KEADAAN AWAL MERDEKA

B A B III KEADAAN AWAL MERDEKA B A B III KEADAAN AWAL MERDEKA A. Sidang PPKI 18 19 Agustus 1945 Proklamasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 hanya menyatakan Indonesia sudah merdeka dalam artian tidak mengakui lagi bangsa

Lebih terperinci