PERENCANAAN INTERPRETASI DI SUAKA MARGASATWA PULAU RAMBUT KEPULAUAN SERIBU DKI JAKARTA. Oleh : Andi Nur Gustiana Syam E

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PERENCANAAN INTERPRETASI DI SUAKA MARGASATWA PULAU RAMBUT KEPULAUAN SERIBU DKI JAKARTA. Oleh : Andi Nur Gustiana Syam E"

Transkripsi

1 PERENCANAAN INTERPRETASI DI SUAKA MARGASATWA PULAU RAMBUT KEPULAUAN SERIBU DKI JAKARTA Oleh : Andi Nur Gustiana Syam E DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006

2 PERENCANAAN INTERPRETASI DI SUAKA MARGASATWA PULAU RAMBUT KEPULAUAN SERIBU DKI JAKARTA SKRIPSI Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kehutanan Pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor ANDI NUR GUSTIANA SYAM DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006

3 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Tasikmalaya, Jawa Barat pada tanggal 5 Agustus 1983, sebagai anak pertama dari tiga bersaudara keluarga Bapak Suryadi Syam dan Ibu Dedeh Dewi Sadiah. Pendidikan yang pernah diperoleh penulis adalah: 1. Taman Kanak-kanak Cangkurileung, Nyantong-Tasikmalaya. 2. Sekolah Dasar Negeri Cikalang I Tasikmalaya lulus pada tahun Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Tasikmalaya lulus pada tahun Sekolah Menengah Umum Negeri 2 Tasikmalaya lulus pada tahun Pada tahun 2001 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor, Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan melalui program Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN). Selama kuliah di Institut Pertanian Bogor penulis telah mengikuti Praktek Pengenalan dan Pengelolaan Hutan (P3H) di Cagar Alam Sancang-Papandayan BKSDA Garut, KPH Sumedang (BKPH Tomo Utara-BKPH Cadas Ngampar) Perum Perhutani Unit III Jawa Barat pada bulan Juli-Agustus Selanjutnya, pada bulan Februari-April 2005, penulis melaksanakan Praktek Kerja Lapangan Profesi (PKLP) di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, Jawa Barat. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana kehutanan penulis melaksanakan penelitian di Suaka Margasatwa Pulau Rambut, Kep. Seribu DKI Jakarta dalam rangka penyusunan skripsi dengan judul: Perencanaan Interpretasi di Suaka Margasatwa Pulau Rambut, Kepulauan Seribu DKI Jakarta dengan dosen pembimbing Prof.Dr.Ir. Ani Mardiastuti, MSc dan Dr. E.K.S. Harini Muntasib, MS.

4 LEMBAR PENGESAHAN Judul Skripsi : PERENCANAAN INTERPRETASI DI SUAKA MARGASATWA PULAU RAMBUT KEPULAUAN SERIBU, DKI JAKARTA. Nama Mahasiswa : ANDI NUR GUSTIANA SYAM Nomor Pokok : E Departemen : Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Pembimbing Skripsi I Menyetujui, Pembimbing Skripsi II (Prof.Dr.Ir. Ani Mardiastuti, MSc.) (Dr.E.K.S. Harini Muntasib, MS.) Mengetahui, Dekan Fakultas Kehutanan Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS NIP Tanggal lulus :

5 RINGKASAN Andi Nur Gustiana Syam (E ). Perencanaan Interpretasi di Suaka Margasatwa Pulau Rambut Kepulauan Seribu, DKI jakarta. Dibawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Ani Mardiastuti, MSc. dan Dr. E.K.S. Harini Muntasib, MS. Pulau Rambut pertama kali ditetapkan sebagai Cagar Alam pada tahun 1939 melalui Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda No.7/1939. Selanjutnya, pada tahun 1970 pemerintah Indonesia memperkuat status kawasan ini sebagai Cagar Alam melalui Keputusan Pemerintah No.11/I/20 tertanggal 28 Mei Kemudian melalui Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Indonesia No. 275/Kpts-II/1999, ditetapkan menjadi Suaka Margasatwa. Perubahan status kawasan ini disebabkan oleh terjadinya perubahan kondisi alami di Pulau Rambut, sehingga perlu adanya upaya pengelolaan habitat di Pulau Rambut. Kerusakan habitat di Pulau Rambut dapat berdampak negatif terhadap keberadaan keanekaragaman hayatinya. Sesuai dengan UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Keanekaragaman Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Pulau Rambut dipandang memiliki ciri khas berupa keanekaragaman dan atau keunikan jenis satwa. Jenis satwa yang memiliki keanekaragaman tinggi dan mendominasi Suaka Margasatwa Pulau Rambut adalah jenis burung air (15 jenis) (Azhar, 2002). Diantara berbagai jenis burung air, terdapat satu jenis burung air yang sangat dilindungi yaitu burung Bangau bluwok (Mycteria cinerea). Dalam dokumen Bird to Watch II, spesies ini dimasukkan ke dalam kategori terancam punah secara global dengan penyebab utama ancaman kepunahan adalah berkurangnya habitat di alam. Namun selain terbuka bagi upaya pengelolaan habitat, perubahan status dari Cagar alam menjadi Suaka Margasatwa mengakibatkan Pulau Rambut terbuka bagi aktivitas lainnya seperti kegiatan penelitian, pendidikan dan wisata terbatas. Oleh karena itu, diperlukan interpretasi yang dapat mengungkapkan potensi Suaka Margasatwa Pulau Rambut dan menjadi penuntun kepada siapapun yang melakukan kegiatan di kawasan ini agar dapat lebih memahami Pulau Rambut dan segala potensinya, serta terilhami untuk ikut melestarikannya. Penelitian ini bertujuan untuk menyusun perencanaan interpretasi berdasarkan analisis potensi kawasan dan tanggapan pengunjung, bagi kegiatan penelitian, pendidikan dan wisata terbatas yang dilaksanakan di Suaka Margasatwa Pulau Rambut. Penelitian dilaksanakan di Suaka Margasatwa Pulau Rambut, Kepulauan Seribu DKI Jakarta, selama 1 bulan (12 Februari 13 Maret 2006). Alat yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu: buku fieldguide pengenalan burung, buku identifikasi tumbuhan, peta kawasan Suaka Margasatwa Pulau Rambut, kuesioner untuk pengunjung, pedoman wawancara untuk pengelola, alat tulis-menulis, kamera, Global Positioning System (GPS), Garmin III+ Plus, binokuler dan alat perekam audio. Penelitian dilakukan dengan mengumpulkan data sekunder melalui studi pustaka, dan data primer ketika verifikasi dan observasi lapangan. Kemudian menganalisisnya bersama dengan data yang didapat dari hasil wawancara dan penyebaran kuesioner pada pengunjung. Ide-ide yang muncul berkaitan dengan keadaan kawasan penelitian dan data yang diperoleh, digunakan sebagai bahan untuk melakukan perencanaan interpretasi di Suaka

6 Margasatwa Pulau Rambut, kemudian hasilnya diuraikan secara deskriptif. Perencanaan interpretasi yang dilakukan adalah perencanaan satuan interpretasi, yang meliputi perencanaan jalur interpretasi dan fasilitas pendukung interpretasi, dilengkapi dengan pemetaan obyek-obyek interpretasi yang terdapat di dalam jalur interpretasi. Selama penelitian dilaksanakan ditemukan 13 jenis burung air, diantaranya burung Bangau bluwok (Mycteria cinerea), burung Ibis pelatuk besi (Threskiornis melanocephalus) dan burung Ibis roko-roko (Plegadis falcinellus). Sedangkan untuk jenis burung lainnya ditemukan 20 jenis burung, diantaranya burung Kepodang kuduk hitam (Oriolus chinensis), burung Kucica kampung (Copysycus saularis) dan burung Pergam laut (Ducula bicolor). Selain jenis burung, ditemukan pula jenis satwa lainnya yaitu dari jenis mamalia kalong (Pteropus vampyrus) serta dari jenis reptilia Ular sanca (Phyton reticulatus), ular Cincin emas (Boiga dendrophila), Biawak air-asia (Varanus salvator), Kadal (Mabuya mabouya), dan Tokek (Gecko gecko). Satwa-satwa tersebut relatif menempati habitat yang tetap, sehingga dapat dipetakan pada peta penutupan lahan Pulau Rambut. Pemetaan tersebut menunjukkan penyebaran satwa pada bulan Februari-Maret Pada bulanbulan ini, burung-burung air lebih banyak tersebar di bagian Tengah Pulau Rambut, tepatnya di hutan sekunder campuran bagian Tengah dan Timur. Hal ini disebabkan adanya tiupan angin barat yang kencang di sekeliling Pulau Rambut, sehingga burung-burung ini berlindung di bagian tengah yang ditumbuhi pepohonan khas hutan sekunder campuran. Inventarisasi tumbuhan sepanjang jalur interpretasi yang sudah ada (10 m kiri dan kanan jalur) mencatat 34 jenis tumbuhan diantaranya kepuh (Sterculia foetida), kedoya (Dyxoxylum caulostachyum), mengkudu (Morinda citrifolia ) dan melinjo (Gnetum gnemon). Selain itu, ditemukan juga semak dan tumbuhan bawah seperti Kingkit (Triphasia trifolia), Cabai jawa (Piper retrofractum), Oyot ubi (Dioscorea bulbifera) dan Sundel malam (Ipomoea longiflora). Dari berbagai jenis tumbuhan yang tercatat selama penelitian, diketahui beberapa tumbuhan yang memiliki keunikan/kekhasan seperti vegetasi di hutan magrove, Cabai jawa (Piper retrofractum) dan mengkudu (Morinda citrifolia). Selama penelitian dihimpun 2 cerita rakyat yang menerangkan sejarah terbentuknya Pulau Rambut menurut kepercayaan masyarakat yaitu: 1) Cerita rakyat versi Tusuk Konde Puteri (Nyi Roro Kidul), 2) Cerita rakyat versi jawara. Selain itu terdapat peninggalan sejarah berupa kuburan yang diangap sebagai kuburan nenek moyang sebuah keluarga di Depok. Interaksi masyarakat dengan Pulau Rambut sangat tinggi, terutama masyarakat yang berasal dari Pulau Untung Jawa dan Tanjung Pasir sebagai daerah yang paling dekat dengan Pulau Rambut. Tujuan masyarakat datang ke Pulau Rambut terutama untuk mencari bahan makanan seperti keong, kerang, rajungan dan ikan serta tumbuh-tumbuhan yang bisa dimakan seperti daun pepaya dan melinjo. Dalam pengelolaan Suaka Margasatwa Pulau Rambut, Pulau Untung Jawa telah dijadikan sebagai daerah penyangga (buffer zone) untuk menunjang kegiatan pengawasan dan pengamanan kawasan tersebut. Masyarakat turut berpartisipasi dalam kegiatan pembangunan di Pulau Rambut, serta dengan menginformasikan potensi Pulau Rambut kepada wisatawan yang datang. Pengunjung Pulau Rambut sebagian besar berasal dari Jakarta (67,64%) dan berjenis kelamin laki-laki (58,82%) serta berusia tahun (52,94%). Hal ini terkait dengan tingkat pendidikan pengunjung yang sebagian besar sedang mengikuti pendidikan atau sudah lulus dari perguruan tinggi (91,17%). Tujuan utama pengunjung datang ke Pulau Rambut adalah untuk

7 berekreasi (23.52%) dan penelitian (25.47%). Kegiatan yang paling disukai pengunjung terutama melihat dan menikmati pemandangan alam (61.76%). Pengunjung lebih banyak datang bersama keluarga (70.58%). Pengunjung memandang keunikan binatang terutama burung air (73.52%) sebagai potensi utama Pulau Rambut. Pendapat tersebut dikuatkan dengan pilihan binatang yang paling menarik yaitu burung (70.58%). Pengunjung memilih cara untuk melakukan kegiatannya disertai oleh pemandu (88.23%). Sebagian besar pengunjung yang menilai bahwa pemanduan yang ada sudah cukup baik (58.82%). Pengunjung menginginkan adanya penambahan fasilitas pendukung interpretasi seperti pusat informasi pengunjung (67.64%). Perencanaan interpretasi yang dilaksanakan mencakup perencanaan jalur dan perencanaan fasilitas pendukung interpretasi. Metode interpretasi yang dapat dilaksanakan adalah interpretasi dengan pemanduan (guided interpretation). Meski demikian, pengunjung yang datang dengan tujuan untuk penelitian bisa diberi pengecualian untuk melakukan kegiatannya tanpa pemanduan. Jalur-jalur interpretasi yang direncanakan, ditujukan untuk mengungkapkan potensi Suaka Margasatwa Pulau Rambut, baik potensi flora maupun fauna (satwa). Tiga jalur interpretasi yang direncanakan, yaitu jalur interpretasi Dermaga dengan panjang sekitar 136,78 meter dan obyek utama atraksi burung air yang terbang keluar-masuk Pulau Rambut. Jalur interpretasi Hutan Pantai Menara Pengamatan dapat dibagi menjadi 3 jalur interpretasi yaitu jalur yang langsung menuju menara pengamatan (373,99 meter), jalur yang melalui percabangan jalur kanan-menara (503,63 meter) dan jalur yang melalui percabangan jalur kiri-menara (451,79 meter) dengan obyek utama perilaku burung air. Jalur interpretasi Menara Hutan Mangrove dengan panjang sekitar 171,44 meter dan obyek utama vegetasi hutan mangrove dan kerusakannya. Berbagai Fasilitas pendukung yang sudah dibangun sejak lama, seperti papan nama obyek/papan interpretasi, jalur interpretasi, papan penunjuk arah, papan peringatan dibangun untuk mendukung kegiatan interpretasi yang dilaksanakan di Pulau Rambut, sudah dalam kondisi yang rusak dan perlu segera diperbaiki. Fasilitas pendukung interpretasi yang dapat ditambahkan sesuai dengan keinginan pengunjung adalah pusat informasi pengunjung, buku informasi tentang Pulau Rambut, shelter, dan peta jalur perjalanan. Selain itu perlu dibuat pula tambahan papan peringatan atau larangan untuk pengunjung yang datang terutama yang berhubungan dengan menjaga kelestarian Pulau Rambut dan keanekaragaman hayatinya. Interpretasi yang disampaikan mengenai suatu kawasan dan potensi yang dimilikinya haruslah bersifat utuh dan menyeluruh. Selain itu, dalam penyampaian interpretasi dengan berbagai metode dengan bantuan berbagai media interpretasi, keselamatan pengunjung merupakan persyaratan yang perlu diperhatikan. Namun sesuai dengan fungsi utama Suaka Margasatwa sebagai kawasan perlindungan satwaliar, serta batasan kegiatan yang dapat dilakukan di kawasan ini (pendidikan, penelitian dan wisata terbatas). Sehingga interpretasi yang dilaksanakan, selain memperhatikan keselamatan pengunjung, perlu juga menjaga kelestarian sumberdaya sebagai prioritas utama dalam pengelolaan kawasan Suaka Margasatwa Pulau Rambut.

8 DAFTAR ISI KATA PENGANTAR DAFTAR GAMBAR... iii DAFTAR TABEL... iv DAFTAR LAMPIRAN... v I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tujuan Manfaat... 2 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Suaka Margasatwa Pulau Rambut Status Fungsi Iklim Flora Fauna Pengelolaan: Pengelola, Arah Kebijakan dan Fasilitas Interpretasi Pengertian Tujuan Obyek Interpretasi Jalur Interpretasi Metode Penyampaian Interpretasi Perencanaan Interpretasi III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Alat Metode Pengumpulan data Studi Pustaka Verifikasi dan Observasi Lapangan Wawancara dan Kuesioner Analisis dan Sintesis Data Perencanaan Interpretasi i

9 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Potensi Satwa Pemetaan Potensi Satwa Potensi Flora Potensi Budaya Interaksi dan Partisipasi Masyarakat Terhadap Suaka Margasatwa Pulau Rambut Pemanfaatan Potensi Kawasan Partisipasi Masyarakat Terhadap Pengelolaan Suaka Margasatwa Pulau Rambut Karakteristik, Pengetahuan dan Tanggapan Pengunjung Karakteristik Pengunjung Pengetahuan Tentang Potensi Kawasan Suaka Margasatwa Pulau Rambut Tanggapan Terhadap Kegiatan dan Fasilitas yang Mendukung Interpretasi Perencanaan Interpretasi Suaka Margasatwa Pulau Rambut Perencanaan Jalur Interpretasi Perencanaan Fasilitas Pendukung Interpretasi Keselamatan Pengunjung dan Sumberdaya Keselamatan Pengunjung Keselamatan Sumberdaya V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA ii

10 DAFTAR GAMBAR No Halaman 1. Bagan Alir Penelitian Perencanaan Interpretasi di Suaka Margasatwa Pulau Rambut Peta Penutupan Lahan Suaka Margasatwa Pulau Rambut Pemetaan Satwa di Suaka Margasatwa Pulau Rambut pada Bulan Februari-Maret Jalur Interpretasi Dermaga Jalur Hutan Pantai Menara Pengamatan Jalur Menara Pengamatan Hutan Mangrove Rusak iii

11 DAFTAR TABEL No Halaman 1. Jenis-jenis burung air yang berada di Suaka Margasatwa Pulau Rambut pada Februari-Maret 2001 (Azhar, 2002) Kelimpahan burung air di Pulau Rambut berdasarkan penjumlahan burung yang tinggal dan penghitungan sore hari pada bulan Februari-Maret Burung-burung air yang ditemukan selama penelitian Burung terestrial dan burung pantai yang ditemukan selama penelitian Flora sepanjang jalur interpretasi Latar belakang pengunjung Tujuan dan pola kunjungan pengunjung Pengetahuan pengunjung tentang potensi kawasan Tanggapan pengunjung terhadap kegiatan dan fasilitas pendukung interpretasi Potensi interpretasi utama pada setiap jalur interpretasi Flora di jalur interpetasi mangrove Fasilitas-fasilitas pendukung interpretasi yang sudah ada di Suaka Margasatwa Pulau Rambut Rencana tambahan fasilitas pendukung interpretasi Fasilitas yang direncanakan pada tiap jalur interpretasi iv

12 DAFTAR LAMPIRAN No Halaman 1. Kuesioner Penelitian Data Kunjungan ke Suaka Margasatwa Pulau Rambut pada Tahun 2005 dan Tahun Struktur Organisasi BKSDA DKI Jakarta Satwa yang Ditemukan pada Pukul WIB di Suaka Margasatwa Pulau Rambut (Februari-Maret 2006) Pemetaan Satwa yang Ditemukan pada Pukul WIB (Februari-Maret 2006) Hasil Dokumentasi Selama Penelitian v

13 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pulau Rambut pertama kali ditetapkan sebagai Cagar Alam pada tahun 1939 melalui Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda No.7/1939. Selanjutnya, pada tahun 1970 pemerintah Indonesia memperkuat status kawasan ini sebagai Cagar Alam melalui Keputusan Pemerintah No.11/I/20 tertanggal 28 Mei Kemudian melalui Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Indonesia No. 275/Kpts-II/1999, Pulau Rambut ditetapkan menjadi Suaka Margasatwa. Perubahan status kawasan ini disebabkan oleh terjadinya perubahan kondisi alami di Pulau Rambut, sehingga perlu adanya upaya pengelolaan habitat di Pulau Rambut. Kerusakan habitat di Pulau Rambut dapat berdampak negatif terhadap keberadaan keanekaragaman hayatinya. Sesuai dengan UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Keanekaragaman Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Pulau Rambut dipandang memiliki ciri khas berupa keanekaragaman dan atau keunikan jenis satwa. Jenis satwa yang memiliki keanekaragaman tinggi dan mendominasi Suaka Margasatwa Pulau Rambut adalah jenis burung air (15 jenis) (Azhar, 2002). Diantara berbagai jenis burung air, terdapat satu jenis burung air yang sangat dilindungi yaitu burung Bangau bluwok (Mycteria cinerea). Dalam dokumen Bird to Watch II, spesies ini dimasukkan ke dalam kategori terancam punah secara global dengan penyebab utama ancaman kepunahan adalah berkurangnya habitat di alam. Namun selain terbuka bagi upaya pengelolaan habitat, perubahan status dari Cagar alam menjadi Suaka Margasatwa mengakibatkan Pulau Rambut terbuka bagi aktivitas lainnya seperti kegiatan penelitian, pendidikan dan wisata. Kondisi ini dapat menyebabkan dampak negatif bagi keanekaragaman hayati Pulau Rambut bertambah besar, selain dari ancaman faktor-faktor alami, tetapi juga dari manusia. Hal ini dikarenakan satwa di Pulau Rambut terutama jenis burung air merupakan jenis satwa yang sangat sensitif dan mudah stress. Dampak negatif dari aktivitas manusia di Pulau Rambut terhadap kelestarian keanekaragaman hayatinya dapat meningkat karena tidak adanya interpretasi yang menyampaikan informasi yang lengkap dan utuh mengenai Pulau Rambut kepada pengunjung. Kondisi tersebut menyebabkan kegiatan yang dilakukan hanya didasarkan atas kemauan pengunjung, serta tidak mengikuti peraturan atau batasan-batasan kegiatan yang boleh dilakukan sesuai

14 dengan fungsi Pulau Rambut sebagai kawasan perlindungan satwaliar, terutama berbagai jenis burung air. Oleh karena itu, diperlukan interpretasi yang dapat mengungkapkan potensi Suaka Margasatwa Pulau Rambut dan menjadi penuntun kepada siapapun yang melakukan kegiatan di kawasan ini agar lebih memahami dan terilhami untuk ikut serta melestarikan Pulau Rambut, serta dapat meminimalisir dampak negatif yang dapat diakibatkan oleh kehadiran manusia Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk menyusun perencanaan interpretasi berdasarkan analisis potensi kawasan dan tanggapan pengunjung bagi kegiatan penelitian, pendidikan dan wisata terbatas, yang dilaksanakan di Suaka Margasatwa Pulau Rambut Manfaat Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai panduan bagi pengunjung yang melakukan kegiatan di Pulau Rambut, untuk lebih memahami potensi yang dimiliki serta batasan-batasan dalam melakukan kegiatan di Pulau Rambut. Sehingga dampak negatif dari aktivitas manusia terhadap keanekaragaman hayati di Pulau Rambut dapat diminimalisir. 2

15 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Suaka Margasatwa Pulau Rambut Status Pulau Rambut awalnya bernama Pulau Middleburg. Pada tahun 1936 Bass Becking sebagai Direktur Kebun Raya Bogor mengusulkan agar Pulau Rambut ditetapkan sebagai cagar alam. Hal tersebut didasarkan atas pertimbangan potensi biologi maupun potensi fisik Pulau Rambut. Pulau Rambut memiliki vegetasi hutan mangrove yang khas dan merupakan habitat dari berbagai jenis burung air yang terdapat dalam jumlah besar (Imanuddin dan Mardiastuti, 2003). Kemudian pada tahun 1939 Pulau Rambut ditetapkan sebagai Cagar Alam melalui Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda No.7/1939. Selanjutnya, pada tahun 1970 pemerintah Indonesia memperkuat status kawasan ini sebagai Cagar Alam melalui Keputusan Pemerintah No.11/I/20 tertanggal 28 Mei 1970 dengan luas areal 45 ha. Adanya status Cagar Alam tersebut berarti, secara resmi tidak diperbolehkan adanya campur tangan manusia di pulau ini. Meningkatnya pembangunan di sekitar Teluk Jakarta mengakibatkan terjadinya penurunan kualitas lingkungan di wilayah tersebut. Kondisi ini juga menyebabkan penurunan kualitas lingkungan Pulau Rambut sebagai salah satu pulau di wilayah Teluk Jakarta dengan adanya pencemaran sampah, limbah minyak dan deterjen. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, pemerintah mengubah status Pulau Rambut menjadi Suaka Margasatwa melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 275/Kpts-II/1999 tanggal 7 Mei 1999 dengan luas 90 ha termasuk wilayah perairan di sekitarnya (Ayat, 2002) Fungsi Mengacu kepada UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Keanekaragaman Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Pulau Rambut dipandang memiliki ciri khas berupa keanekaragaman dan atau keunikan jenis satwa yang untuk kelangsungan hidupnya dapat dilakukan pembinaan/pengelolaan di dalamnya. Kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan sehubungan dengan status tersebut yaitu kegiatan untuk kepentingan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan, wisata terbatas dan kegiatan

16 lainnya yang menunjang budidaya serta pelestarian potensi sumberdaya alam hayati Suaka Margasatwa Pulau Rambut Iklim Pulau Rambut termasuk ke dalam daerah dengan tipe iklim C (Schmidt dan Ferguson). Musim kering tiap-tiap tahun dimulai pada bulan Mei dan berakhir pada bulan Oktober, dengan jumlah hari hujan 80 hari dan curah hujan 1152,9 mm per tahun. Bulan-bulan basah dengan rata-rata curah hujan per bulan di atas 100 mm dimulai pada bulan Oktober sampai Maret. Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Maret (278 mm). Suhu maksimum berkisar antara 31,2-36,8 C, sedangkan suhu minimum rata-rata berkisar antara 22,8-23,7 C. Selama musim barat (Desember Februari) dan Musim timur (Juni Agustus) keadaan laut sekitar Pulau Rambut berbahaya bagi pelayaran karena besarnya angin dan gelombang. Pada musim tersebut, gelombang dapat mencapai ketinggian 1,5 2 meter disertai hujan dan angin yang bertiup terus menerus selama 24 jam (Imanudin dan Mardiastuti, 2003) Flora Terdapat tiga formasi vegetasi hutan di Pulau Rambut, yaitu hutan pantai, hutan mangrove dan hutan sekunder campuran (Mardiastuti, 1992). Daerah hutan pantai yang berpasir didominasi oleh komunitas Thespesia populnea Acacia auriculiformis. Jenis lain, diantaranya Daun barah (Ipomoea pes-caprae), Rumput lari-lari (Spinifex littoreus), ketapang (Terminalia catappa) dan Waru laut (Thespesia pupolnea). Hutan mangrove ditumbuhi oleh bakau (Rhizophora mucronata), pedada (Sonneratia alba), bola-bola (Xylocarpus granatum), jangkar (Bruguiera gmynorrhiza), api-api (Avicennia officinalis) serta paku pacar air (Acrostichum aureum). Pada hutan sekunder campuran terdapat pohon kepuh (Sterculia foetida), kresek (Ficus timorensis), kedoya (Dyxoxylum caulostachyum), kingkit (Triphasia trifolia) dan lain-lain (Imanudin dan Mardiastuti, 2003). 4

17 Fauna Jenis satwa yang mendominasi Pulau Rambut adalah jenis burung air, sebanyak 15 jenis (Azhar, 2002). Jenis burung air yang ada di Pulau Rambut diantaranya burung Bangau bluwok (Mycteria cinerea), Ibis pelatuk besi (Threskiornis melanocephalus), Roko-roko (Plegadis falcinellus), kuntul (Egretta sp) dan Cangak (Ardea sp). Selain didominasi oleh jenis burung air, di Pulau Rambut terdapat pula 39 jenis burung darat (terestrial) yang populasinya tidak sebanyak burung air. Selain itu, terdapat jenis reptilia: Biawak (Varanus salvator), Ular cincin emas (Boiga dendrophila), Ular phyton (Phyton reticulatus) dan mamalia: Kalong (Pteropus vampyrus) (Imanudin dan Mardiastuti, 2003). a. Jenis-jenis burung air dan penyebarannya Spesies utama yang menjadi ciri khas Pulau Rambut adalah burung air, populasinya mencapai lebih dari ekor (kelimpahan 530 ekor/ha) pada musim berbiak dan hanya mencapai ekor pada musim tak berbiak (Mardiastuti, 1992). Burung-burung air yang menghuni Suaka Margasatwa Pulau Rambut (Tabel 1) terdiri dari jenis-jenis burung yang menetap dan tidak menetap. Jenis burung air yang menetap adalah jenis burung yang menetap sepanjang tahun. Sedangkan jenis yang tidak menetap biasanya hanya pada musim berkembangbiak saja tinggal di Pulau Rambut. Burung yang tidak menetap tersebut akan meninggalkan Pulau Rambut setelah selesai berkembangbiak. Jenis burung air yang tidak menetap di Pulau Rambut yaitu Bangau bluwok, Ibis pelatuk besi, dan Kuntul kerbau. Jenis burung air yang menetap yaitu Pecuk ular, Pecuk, Kuntul besar, Kuntul kecil, Kuntul sedang, Kuntul karang, Kowak malam kelabu, cangak abu, Cangak merah dan Roko-roko (Azhar, 2002). Sedangkan menurut Imanudin dan Mardiastuti (2003), burung Kuntul kerbau merupakan burung migran pada awalnya, namun menjadi burung yang menetap di Pulau Rambut. Mardiastuti (1992) menyatakan bahwa faktor alami yang membedakan penyebaran burung air di Suaka Margasatwa Pulau Rambut yaitu pola penyebaran yang senantiasa berkelompok dengan kelompok menyebar secara acak. Pola ini berkaitan dengan habitat yang mendukungnya dan senantiasa berubah-ubah sesuai dengan musim berkembangbiak (sebelum dan sesudah 5

18 musim berbiak). Selain itu faktor angin pun mempengaruhi perubahan penyebaran burung tersebut. Tabel 1. Jenis-jenis burung air yang berada di Suaka Margasatwa Pulau Rambut, Februari-Maret 2001 (Azhar, 2002) No Famili Jenis dan Nomor MacKinnon Nama lokal Nama Inggris 1 Anhingidae Anhinga melanogaster (28) Pecuk ular Oriental Darter 2 Ardeidae Ardea cinerea (33) Cangak abu Grey Heron Ardea purpurea (34) Cangakmerah Purple Heron Egretta alba (42) Kuntul besar Great Egret Egretta garzetta (44) Kuntul kecil Little Egret Egretta intermedia (43) Kuntul sedang Intermediete Egret Egretta sacra (40) Kuntul karang Pacific reef-egret Bubulcus ibis (39) Kuntul kerbau # Cattle Egret Nycticorax nycticorax (45) Kowak malam Black-crowned kelabu night Heron 3 Ciconiidae Mycteria cinerea (54) Bluwok # Milky Stork 4 Phalacrocoracidae Phalacrocorax niger (27) Pecuk belang Little Cormorant Phalacrocorax sulcirostris (24) Pecuk hitam Little black- Cormorant Phalacrocorax melanoleucus (26) Pecuk kecil Little pied- Cormorant 5 Threskiornitidae Plegadis falcinellus (63) Roko-roko Glossy Ibis Threskiornis melanocephalus Pelatuk besi (Ibis Black-headed Ibis (61) Cucuk besi) # Keterangan: # jenis burung air yang tidak menetap di Pulau Rambut. Nomor MacKinnon dalam buku Burung-burung di Jawa, Bali dan Kalimantan Dari hasil penelitian Azhar (2002) pada bulan Februari-Maret, burungburung air yang berada di Pulau Rambut tersebar di hutan campuran bagian Tengah dan Timur serta hutan mangrove di bagian Utara, Timur laut, dan Barat laut. Jenis-jenis yang menempati hutan campuran adalah Cangak abu, Bluwok, Pecuk dan Pecuk ular. Sedangkan jenis-jenis yang menempati hutan mangrove adalah Pecuk, Pelatuk besi, Roko-roko, Kowak malam kelabu, Kuntul kecil, Kuntul kerbau, Cangak merah, Kuntul perak, Kuntul besar dan Kuntul sedang. Burung air di Pulau Rambut pada bulan Februari tersebar di hutan mangrove dan hutan campuran. Untuk Pecuk ular dan Cangak abu tersebar pada hutan campuran bagian tengah. Sedangkan jenis-jenis Pecuk, Cangak merah, Kuntul besar, Kuntul kecil, Kuntul sedang, Kuntul kerbau, Pelatuk besi, Roko-roko dan Kowak malam kelabu menempati bagian Utara dan Timur Laut di hutan mangrove. Cangak abu dan Pecuk ular pada bulan Maret penyebarannya meluas di hutan campuran. Pecuk juga mengalami penyebaran luas pada bulan Maret, yaitu bagian Timur Laut hutan mangrove. Untuk Cangak penyebarannya 6

19 meluas pada bagian Timur. Sedangkan Pecuk ular mengalami perluasan di bagian Tengah pulau, yaitu pada pohon Kedoya. Jumlah spesies burung yang menghuni hutan mangrove lebih banyak dari hutan campuran. Hutan mangrove memiliki beberapa komunitas untuk tempat bersarang burung air. Komunitas pada hutan mangrove sebagian rusak karena gangguan alam yang datang yaitu, angin dan arus laut. Hampir semua komunitas hutan mangrove dihuni burung air. Hanya komunitas Rhizophora stylosa saja yang tidak dihuni oleh burung air. Perubahan pola penyebaran biasanya terjadi pada saat akan mulai musim berkembangbiak dan setelah musim berkembangbiak. Hal tersebut disebabkan karena musim berkembangbiak tiap jenis berbeda atau tidak bersamaan. Walaupun burung air tidak menggunakan pohon yang tetap untuk bertengger tetapi relatif memilih jenis yang sama untuk tempat beristirahat dan bersarang. b. Kelimpahan burung air Kelimpahan menurut Shaw (1965) dalam Azhar (2002) adalah istilah yang umum digunakan untuk suatu populasi satwa dalam hal jumlah yang sebenarnya, kecenderungan naik turunnya populasi atau keduanya. Terdapat perbedaan kelimpahan burung air yang mencolok pada penghitungan pagi dan sore hari. Jenis pelatuk besi dan bluwok lebih banyak pada pagi hari. Sedangkan jenis pecuk, pecuk ular, cangak merah, cangak abu, kuntul besar, kuntul kecil, kuntul sedang, kuntul kecil, roko-roko dan kowak malam kelabu lebih banyak jumlahnya pada penghitungan sore hari daripada pagi hari (Azhar, 2002). Menurut Azhar (2002) sebagian besar jenis burung air di Pulau Rambut berjumlah lebih banyak pada penghitungan sore hari dibandingkan dengan hasil penghitungan pada pagi hari. Apabila dua hasil penghitungan antara jumlah burung yang tinggal di pulau dengan penghitungan sore hari digabungkan, maka akan diperoleh hasil seperti disajikan pada Tabel 2. Perubahan kelimpahan pada suatu komunitas merupakan fenomena yang alami. Pada waktu tertentu kelimpahan burung sangat tinggi, begitupun sebaliknya. Meningkatnya kelimpahan burung air di Pulau Rambut pada waktuwaktu tertentu disebabkan adanya masa berkembangbiak. Faktor-faktor yang mempengaruhi penurunan kelimpahan adalah sumber pakan yang berkurang, habitat yang rusak, persaingan antar jenis dalam mencari tempat bersarang, 7

20 adanya predator (kematian), pengaruh faktor fisik (angin) dan pengaruh aktivitas manusia. Tabel 2. Kelimpahan burung air di Pulau Rambut berdasarkan penjumlahan burung yang tinggal dan penghitungan sore hari, Februari-Maret Kelimpahan burung (ekor) Jenis Februari Maret Pecuk Pecul ular Cangak merah Cangak abu Kuntul besar Kuntul kecil Kuntul sedang Kuntul kerbau Pelatuk besi Roko-roko Kowak malam kelabu Bluwok Jumlah Keterangan: pecuk terdiri dari pecuk belang (Phalacrocorax niger), pecuk kecil (Phalacrocorax melanoleucus) dan pecuk hitam (Phalacrocorax sulcirostris). c. Perilaku burung air Satwaliar mempunyai berbagai perilaku dan proses fisiologis untuk menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungannya. Untuk mempertahankan kehidupannya, mereka melakukan kegiatan-kegiatan yang agresif, melakukan persaingan dan bekerjasama untuk mendapatkan makanan, pelindung, pasangan untuk kawin, reproduksi dan sebagainya. Sehingga dapat dikenal adanya perilaku makan (ingestif), perilaku membuang kotoran (eliminatif), perilaku seksual, perilaku memelihara (epimeletik), perilaku mendekati yang memelihara (etepimeletik), perilaku menentang/konflik (agonistik), perilaku meniru (alelomimetik), perilaku mencari perlindungan dan perilaku memeriksa (Alikodra, 2002). Perilaku berbiak burung air merupakan serangkaian perilaku yang dimulai dengan percumbuan dan diakhiri dengan fase memelihara anak. Lengkapnya, rangkaian perilaku tersebut terdiri dari perilaku diam, perilaku percumbuan (courtship behaviour), perilaku kawin (mating behaviour), perilaku bersarang (nesting behaviour), perilaku mengeram (incubation behaviour), perilaku menelisik (preening behaviour) dan perilaku memelihara anak (chick raising behaviour) (Ayat, 2002). 8

21 Menurut Berger (1998) dalam Azhar (2002), burung memberi respon negatif terhadap aktivitas manusia di perairan sekitar lokasi bersarang. Adanya gangguan aktivitas manusia juga dapat menyebabkan penurunan jumlah telur dan kematian anakan, premature fledging dan penurunan massa dan ukuran tubuh juga perkembangan anakan. Mobilitas burung sangat ditentukan oleh kemampuan terbang. Pada prinsipnya burung terbang dengan dua cara yaitu flapping dan soaring. Flapping adalah cara terbang dengan mengepak-ngepakkan sayap dan menggunakan energi untuk melakukannya. Soaring adalah cara untuk terbang dengan cara melayang dan memanfaatkan kolom udara panas yang diakibatkan oleh sinar matahari atau dorongan angin. Soaring menggunakan energi yang lebih kecil daripada flapping (Azhar, 2002). Perilaku sosial pada umumnya dijumpai pada satwaliar, terutama dalam upaya untuk memanfaatkan sumberdaya di habitatnya, mengenali tanda-tanda bahaya, dan melepaskan diri dari serangan pemangsa. Perilaku sosial ini berkembang sesuai dengan adanya perkembangan dari proses belajar mereka (Alikodra, 2002). Suatu jenis burung dapat atau tidak dapat berasosiasi dengan jenis lainnya tergantung kepada sumberdaya yang tersedia dan keuntungan yang diperoleh dari asosiasi tersebut. Suatu jenis dapat berasosiasi apabila sumberdaya yang digunakan bersama tersedia dalam jumlah yang mencukupi (Mahmud, 1991). Jenis-jenis burung dari genus yang sama di Pulau Rambut kemungkinan besar akan membutuhkan sumberdaya yang sama, sehingga sangat kecil kemungkinannya untuk dapat berasosiasi. Terdapat 8 pasang burung yang berasosiasi secara positif, 4 pasang diantaranya pada taraf kepercayaan 99% dan 4 pasang lainnya pada taraf kepercayaan 95%. Kedelapan pasang tersebut adalah cangak merah - kuntul besar, kuntul kecil - pecuk, roko-roko - pecuk, cangak abu - kowak malam kelabu, pecuk - kowak malam kelabu, dan cangak abu - bluwok. Kowak malam kelabu hampir dapat berasosiasi dengan semua jenis burung, walaupun dengan cangak merah, kuntul besar, kuntul kecil, roko-roko, pecuk ular dan bluwok ada asosiasi tetapi secara statistik tidak nyata. Hanya dengan kuntul kerbau saja kowak malam kelabu tidak berasosiasi. Cangak merah dan cangak abu adalah jenis-jenis yang memiliki marga yang sama sehingga tidak dapat berasosiasi (Azhar, 2002). 9

22 Pengelolaan: Pengelola, Arah Kebijakan dan Fasilitas. Pulau Rambut berada di bawah pengelolaan Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) DKI Jakarta, yang berada di bawah naungan Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Departemen Kehutanan Republik Indonesia. Selain itu di pulau ini terdapat pula perwakilan instansi Dinas Kehutanan DKI Jakarta, yang berada di bawah naungan Pemerintah Propinsi DKI Jakarta. Fasilitas yang sudah ada di Pulau Rambut merupakan fasilitas-fasilitas yang dibangun oleh kedua instansi tersebut. Fasilitas-fasilitas yang dibangun oleh Dinas Kehutanan adalah, papan informasi satwa di Pulau Rambut, menara pengamatan setinggi 15 m, mess jagawana, ruang pertemuan, dan WC. Sedangkan fasilitas yang dibagun oleh BKSDA adalah papan petunjuk kawasan suaka margasatwa, pos jaga dan WC (Imanuddin dan Mardiastuti, 2003). Berdasarkan laporan Konsep Pengembangan Lingkungan Suaka Margasatwa Pulau Rambut yang disusun atas kerjasama Dinas Pertanian dan Kehutanan Propinsi DKI Jakarta dengan Fakultas Kehutanan IPB (2002), ditetapkan arah kebijakan manajemen pengelolaan SMPR di masa yang akan datang adalah mengoptimalkan keseimbangan antara aspek save it (perlindungan), study it (pengawetan), dan use it (pemanfaatan). Ditetapkan pula rencana program pengembangan potensi biofisik kawasan Suaka Margasatwa Pulau Rambut, yang menitikberatkan pada dua kegiatan yaitu 1) pendidikan dan penelitian, dan 2) wisata terbatas. Kegiatan wisata terbatas yang dimaksudkan di Pulau Rambut adalah pembatasan dalam hal jumlah pengunjung, musim kunjungan dan lokasi yang dikunjungi. Selain itu, dari sisi kelembagaan direncanakan pula untuk menyerahkan Pulau Rambut secara penuh kepada pihak BKSDA DKI Jakarta, agar tidak terjadi dualisme dalam pengelolaannya. 10

23 2.2. Interpretasi Pengertian Interpretasi merupakan suatu usaha untuk membantu orang lain menghargai sesuatu yang kita anggap spesial atau penting. Suatu kawasan akan dilestarikan apabila dianggap penting, karenanya interpretasi merupakan jalan untuk membantu orang lain memahami hal tersebut (Carter, 2001). Menurut Veverka (1994) Interpretasi bukanlah suatu benda, tetapi merupakan suatu proses komunikasi. Tilden (1957) menjelaskan bahwa Interpretasi merupakan aktivitas pendidikan yang mengungkapkan makna dan hubungan dalam penggunaan obyek-obyek alami melalui pengalaman tangan pertama dan dengan media ilustrasi, serta lebih dari sekedar mengkomunikasikan informasi faktual. Muntasib (2003) menerangkan bahwa Interpretasi lingkungan adalah suatu seni dalam menjelaskan keadaan lingkungan (flora, fauna, proses geologis, proses biotik dan abiotik yang terjadi) oleh pengelola kawasan kepada pengunjung yang datang ke lokasi tersebut, sehingga dapat memberikan inovasi dan menggugah pemikiran untuk mengetahui, menyadari, mendidik dan bila memungkinkan menarik minat pengunjung untuk ikut menjaga lingkungan tersebut atau mempelajarinya lebih lanjut Tujuan Tilden (1957) menegaskan bahwa tujuan Interpretasi bukan hanya mengungkapkan keindahan suatu kawasan pada orang lain. Tapi, interpretasi bertujuan pula untuk meyakinkan pentingnya keberadaan kawasan tersebut dan mendorong mereka untuk ikut serta melestarikannya. Selanjutnya tujuan interpretasi sebagai berikut: 1. tujuan utama interpretasi adalah untuk membantu mengubah tingkah laku dan sikap untuk memotivasi, memberikan inspirasi, mengambil informasi dan membuatnya berarti dan menarik. 2. tujuan akhir interpretasi adalah untuk membawa pengunjung melalui proses sensitivitas-kewaspadaan-pemahaman-apresiasi dan akhirnya komitmen. Sharpe (1982) dalam Muntasib (2003) menyebutkan 3 sasaran interpretasi, yaitu: a. Membantu pengunjung dalam mengembangkan kesadaran, apresiasi dan pemahaman tentang lokasi yang dikunjungi. 11

24 b. Membantu pihak pengelola mencapai tujuan-tujuan pengelolaan karena: (i) interpretasi dapat mendorong pengunjung menggunakan sumberdaya dengan baik, (ii) interpretasi dapat memperkecil atau menghindari dampak dari aktivitas manusia. c. Meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap sasaran dan tujuan yang hendak dicapai oleh suatu institusi/instansi, dengan memasukkan pesanpesan ke dalam program interpretasi Obyek Interpretasi Veverka (1994) membagi obyek interpretasi kedalam 3 kelompok, yaitu: 1. Area Biologis yang terdiri dari; danau, sungai, tipe habitat, bentukan unik, spesies langka, fenomena musiman (mekarnya bunga liar, migrasi burung dll), area demonstrasi potensial, area perbaikan habitat, area/ program pengelolaan hidupan liar dan area pengelolaan kayu (tipe manajemen). 2. Sumberdaya Budaya yang terdiri dari: rumah tua atau benteng pertahanan, puing-puing bangunan tua (penggergajian, dll), medan perang, tapak kejadian sejarah, tapak arkeologi. 3. Sumberdaya Geologis yang terdiri dari: batuan yang muncul di permukaan, taman fosil dan bentukan geologis Jalur Interpretasi Berkmuller (1981) menyatakan bahwa cara terbaik untuk menentukan panjang jalur adalah berdasarkan pada waktu berjalan kaki. Hal ini tergantung pada tanah lapang, jarak aktual dan orang yang berjalan di jalur tersebut. Jalur ideal umumnya tidak melebihi 45 menit waktu berjalan kaki, yang terbaik adalah antara 15 menit sampai 20 menit. Karakteristik jalur interpretasi yang baik menurut Berkmuller (1981) adalah: a. Menyajikan pemandangan alam yang indah seperti air terjun, habitat satwaliar, aliran sungai, gua, pohon besar berumur ratusan tahun dan sebagainya. b. Jalur yang menyenangkan untuk berjalan (tidak licin, tidak curam, tidak berlumpur atau tergenang). c. Membuat pengunjung tetap gembira, tidak tegang. d. Mudah dilalui pengunjung, terdapat tanda-tanda serta peta lokasi (jalur) yang jelas. 12

25 e. Tidak membahayakan pengunjung. Menurut Veverka (1994) jalur yang direncanakan dapat berupa : 1. Area yang berhubungan dengan panca indera, seperti: taman bunga, pekarangan, pemandangan yang indah dan air terjun. 2. Fasilitas yang meliputi: pusat pengunjung, jembatan, toko cinderamata, kantor informasi, kios-kios, fasilitas demonstrasi (seperti kebun/ladang tebu) dan lahan pertanian atau taman pekarangan. 3. Kawasan orientasi antara lain: - Atraksi tapak dan sumberdaya terdekat yang mungkin saja bukan merupakan bagian dari tapak, tetapi dapat menginterpretasikan tapak yang sama atau berkaitan - Lokasi kunci untuk orientasi pengunjung seperti persimpangan jalan utama, camping ground, area penambatan kapal/perahu dan area kontak pengunjung lainnya Metode Penyampaian Interpretasi Secara garis besar terdapat dua metode dalam penyampaian interpretasi (Sharpe, 1982 dalam Muntasib, 2003) : 1. Teknik secara langsung (Attended service) Teknik secara langsung adalah kegiatan interpretasi yang melibatkan pemandu (interpreter) dan pengunjung, langsung bersentuhan dengan obyek interpretasi yang ada, sehingga pengunjung dapat secara langsung melihat, mendengar atau bila mungkin mencium, meraba, dan merasakan obyekobyek interpretasi tersebut. 2. Teknik secara tidak langsung (Unattended service) Teknik secara tidak langsung adalah kegiatan interpretasi yang dilaksanakan dengan menggunakan alat bantu (media) dalam memperkenalkan obyek interpretasi. Sedangkan menurut Veverka (1994), bentuk layanan dan program interpretif disampaikan melalui teknik komunikasi yang terbagi menjadi dua yaitu komunikasi verbal dan komunikasi non-verbal. Setiap teknik memiliki elemen yang membantu kita mengembangkan isi dan struktur pesan interpretif: 1. Komunikasi Verbal Untuk memahami komunikasi verbal dalam interpretasi, poin utama yang dipertimbangkan adalah bahwa pilihan kata yang kita gunakan dapat 13

26 menyampaikan banyak pesan tersembunyi. Dalam beberapa layanan interpretif (seperti kaset rekaman, swa-panduan untuk auto tour) pesan verbal mencakup semuanya. Baik musik latar, tipe suara laki-laki atau perempuan, muda atau tua, dan jenis aksen adalah semua bagian dari penciptaan gambaran yang diharapkan. Pesan ini juga merupakan komponen penghubung antara pendengar dengan pesan-pesan yang disampaikan. 2. Komunikasi Non-Verbal Secara umum komunikasi ini memanfaatkan alat indera yang kita miliki. Beberapa elemen komunikasi non-verbal mencakup : suara, aroma, rasa, tekstur, warna, simbol, penggunaan ruang, bahasa tubuh dan waktu. Penyampaian interpretasi dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai media interpretasi yang merupakan suatu cara, metode, rekaman atau peralatan yang bisa menyampaikan pesan interpretasi kepada publik Perencanaan Interpretasi Menurut Bradley (1982) sebagaimana dikutip oleh Sharpe (1982) dalam Muntasib (2003) menyatakan bahwa, agar sebuah perencanaan interpretasi mencapai tujuannya dengan baik, maka perencanaan tersebut haruslah : 1. Dapat dipergunakan Dalam interpretasi yang direncanakan, fasilitas interpretasi yang disediakan harus dapat dipergunakan oleh semua orang. Perhatian utama ditujukan pada keselamatan pengunjung. 2. Efisiensi Fasilitas yang dibuat harus efisien dari segi pelayanan, penggunaan dan pembiayaan serta dapat membantu perencanaan interpretasi. 3. Dapat mengungkapkan keindahan Menyediakan suatu paket yang bervariasi, tetapi kompak pada sebuah karakteristik yang ada, indah dan peka serta menimbulkan bayangan atau gambaran dari subyek interpretasinya. 4. Fleksibel dan selektif Perencanaan interpretasi merupakan suatu proses yang dinamis, maka harus fleksibel dan selektif dalam perencanaan interpretasi. Interpretasi yang disampaikan harus terus berkembang sehingga pengunjung dapat lebih tertarik. 14

27 5. Dampak kerugian atau kerusakan seminimal mungkin pada sumberdaya alam budaya. 6. Penggunaan sumberdaya yang optimal. 7. Partisipasi publik Diperlukan pula pendapat umum atau saran-saran dari publik dalam sebuah perencanaan interpretasi secara keseluruhan. Hal ini berfungsi sebagai kritik dan saran dalam penyusunan interpretasi. 15

28 III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Suaka Margasatwa Pulau Rambut, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Waktu yang diperlukan untuk penelitian ini selama 1 bulan (12 Februari 13 Maret 2006). 3.2 Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu : 1. Buku fieldguide pengenalan burung 2. Buku identifikasi tumbuhan 3. Peta kawasan Suaka Margasatwa Pulau Rambut 4. Kuesioner untuk pengunjung 5. Pedoman wawancara 6. Alat tulis-menulis 7. Kamera 8. Global Positioning System (GPS), Garmin III+ Plus. 9. Binokuler 10. Alat perekam audio 11. Software OziExplorer, ArcView 3.3, Adobe Photoshop Metode Pengumpulan Data Penelitian dilakukan dengan mengumpulkan data sekunder melalui studi pustaka, dan data primer ketika verifikasi dan observasi lapangan. Kemudian menganalisisnya bersama dengan data yang didapat dari hasil wawancara dan penyebaran kuesioner pada pengunjung Studi Pustaka Studi pustaka dilakukan untuk mengumpulkan data mengenai sejarah terbentuknya Suaka Margasatwa Pulau Rambut, kondisi umum kawasan (status dan fungsi kawasan, topografi, iklim, tipe-tipe ekosistem dan pengelolaan kawasan Suaka Margasatwa Pulau Rambut), keanekaragaman flora dan fauna serta fasilitas-fasilitas interpretasi, khususnya yang terdapat di sepanjang jalur interpretasi.

29 Verifikasi dan Observasi Lapangan Kegiatan ini dilakukan untuk verifikasi (mencocokkan) data yang telah dikumpulkan pada tahap studi pustaka dengan kondisi yang ada saat ini, serta menambah dan melengkapi data tersebut dengan data yang didapat dari hasil observasi lapangan, termasuk kegiatan inventarisasi obyek-obyek interpretasi. Observasi lapangan dilakukan terhadap: a. Potensi flora, khususnya yang berada di dalam jalur interpretasi dengan jangkauan sejauh 10 meter di kiri dan kanan jalur b. Potensi fauna, pengamatan dan pemetaan satwa dalam jalur interpretasi dengan jangkauan sejauh 10 meter di kiri dan kanan jalur. Data-data yang dikumpulkan mencakup: - jenis satwa yang ditemukan - lokasi (habitat) setiap satwa di dalam jalur - waktu ditemukan - perilaku satwa serta interaksi dengan lingkungannya c. Potensi budaya dan atau sejarah yang mencakup: obyek sejarah, mitos atau cerita rakyat tentang Pulau Rambut d. Fasilitas pendukung interpretasi yang sudah ada di Suaka Margasatwa Pulau Rambut Wawancara dan Kuesioner Wawancara langsung dengan pengelola Suaka Margasatwa Pulau Rambut yaitu pihak BKSDA DKI Jakarta, masyarakat sekitar dan pengunjung Suaka Margasatwa Pulau Rambut. Selain itu, diberikan kuesioner kepada pengunjung yang datang ke Suaka Margasatwa Pulau Rambut. a. Wawancara dengan Pengelola Kegiatan ini dilakukan untuk mengetahui rencana yang telah, sedang maupun yang akan dilakukan pengelola Suaka Margasatwa Pulau Rambut (BKSDA DKI Jakarta) yang berkaitan dengan interpretasi kawasan, sistem pengelolaan kawasan, struktur organisasi serta data penunjang lainnya. b. Wawancara dengan Masyarakat Wawancara ini dilakukan kepada masyarakat dan nelayan sekitar (Pulau Untung Jawa, Tanjung Pasir serta dari wilayah-wilayah dan pulau-pulau sekitar yang dekat dengan Pulau Rambut) yang sering datang ke kawasan Suaka 17

30 Margasatwa Pulau Rambut, serta partisipasi dan interaksi masyarakat terhadap kawasan Suaka Margasatwa Pulau Rambut. c. Wawancara dengan Pengunjung dan Kuesioner Wawancara dengan pengunjung dikombinasikan dengan penyebaran kuesioner terstruktur (Lampiran 1). Hal ini untuk mengetahui latar belakang pengunjung, tujuan dan pola kunjungan/kegiatan yang dilakukan, perhatian terhadap sumberdaya/potensi (flora, fauna, sejarah), serta persepsi dan harapanharapan pengunjung mengenai kegiatan pemanduan dan fasilitas pendukung interpretasi di dalam kawasan Suaka Margasatwa Pulau Rambut. Kish (1965) dalam Fahruddin (1997) menjelaskan bahwa dalam pelaksanaan survei terhadap populasi yang besar, maka besarnya intensitas sampling berkisar antara 0,1-10%, besarnya tergantung dari derajat homogenitas sampel, tingkat ketepatan yang dikehendaki, besarnya biaya, waktu dan tenaga yang tersedia. Pada penelitian ini, jumlah responden (pengunjung) yang dimintai informasinya dengan wawancara dan pengisian kuesioner adalah sejumlah 60 orang (10% dari jumlah kunjungan tahun 2005). Meskipun begitu, akan dilakukan wawancara secara acak (random) pada pengunjung lain untuk melengkapi informasi yang didapat dari penyebaran kuesioner Analisis dan Sintesis Data Analisis data merupakan kegiatan pengolahan terhadap data yang telah dikumpulkan. Ide-ide yang muncul berkaitan dengan keadaan kawasan penelitian dan data yang diperoleh, digunakan sebagai bahan untuk melakukan perencanaan interpretasi di Suaka Margasatwa Pulau Rambut, kemudian hasilnya diuraikan secara deskriptif. Analisis yang dilakukan mencakup: - Analisis sumberdaya - Analisis jalur yang ditetapkan untuk kegiatan Interpretasi - Analisis fasilitas pendukung interpretasi - Analisis karakteristik pengunjung. 18

31 3.5. Perencanaan Interpretasi Kegiatan perencanaan ini merupakan tahapan yang dapat menghasilkan suatu perencanaan interpretasi, yang diperoleh dari tahap analisis dan sintesis data yang telah dikumpulkan. Adapun perencanaan yang akan dilakukan adalah rencana satuan interpretasi, yang meliputi perencanaan jalur interpretasi dan fasilitas pendukung interpretasi, dilengkapi dengan pemetaan obyek-obyek interpretasi yang terdapat di dalam jalur interpretasi. Bagan alir penelitian perencanaan interpretasi di Suaka Margasatwa Pulau Rambut ini disajikan dalam gambar 1. Suaka Margasatwa Pulau Rambut Studi Pustaka Verifikasi dan Observasi Lapangan Wawancara dan Kuesioner Analisis dan Sintesis Data Perencanaan Interpretasi di Suaka Margasatwa Pulau Rambut Gambar 1. Bagan Alir Penelitian Perencanaan Interpretasi di Suaka Margasatwa Pulau Rambut. 19

3 METODE Jalur Interpretasi

3 METODE Jalur Interpretasi 15 2.3.5 Jalur Interpretasi Cara terbaik dalam menentukan panjang jalur interpretasi adalah berdasarkan pada waktu berjalan kaki. Hal ini tergantung pada tanah lapang, jarak aktual dan orang yang berjalan

Lebih terperinci

ANCAMAN KELESTARIAN SUAKA MARGASATWA PULAU RAMBUT DAN ALTERNATIF REHABILITASINYA. Oleh: Onrizal

ANCAMAN KELESTARIAN SUAKA MARGASATWA PULAU RAMBUT DAN ALTERNATIF REHABILITASINYA. Oleh: Onrizal ANCAMAN KELESTARIAN SUAKA MARGASATWA PULAU RAMBUT DAN ALTERNATIF REHABILITASINYA Oleh: Onrizal Sejarah Kawasan Pulau Rambut merupakan salah satu pulau dari 108 pulau yang menyusun Kepulauan Seribu yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Interpretasi 2.1.1 Definisi dan Tujuan Interpretasi Tilden (1957) menyatakan bahwa interpretasi merupakan kegiatan edukatif yang sasarannya mengungkapkan pertalian makna,

Lebih terperinci

Peranan Jenis-Jenis Tumbuhan Mangrove Terhadap Keberadaan Jenis-Jenis Burung Air di Suaka Margasatwa Pulau Rambut, Jakarta

Peranan Jenis-Jenis Tumbuhan Mangrove Terhadap Keberadaan Jenis-Jenis Burung Air di Suaka Margasatwa Pulau Rambut, Jakarta Peranan Jenis-Jenis Tumbuhan Mangrove Terhadap Keberadaan Jenis-Jenis Burung Air di Suaka Margasatwa Pulau Rambut, Jakarta The Role of The Kinds of Mangrove Plants Against Presence in Kinds Waterbird in

Lebih terperinci

PENGARUH VEGETASI MANGROVE TERHADAP KEBERADAAN DAN KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG AIR DI SUAKA MARGASATWA PULAU RAMBUT

PENGARUH VEGETASI MANGROVE TERHADAP KEBERADAAN DAN KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG AIR DI SUAKA MARGASATWA PULAU RAMBUT 1 PENGARUH VEGETASI MANGROVE TERHADAP KEBERADAAN DAN KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG AIR DI SUAKA MARGASATWA PULAU RAMBUT Irvan Nurmansyah, Dahlan, Lina Kristina Dewi Institut Pertanian Bogor ABSTRAK Indonesia

Lebih terperinci

KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA ANI MARDIASTUTI JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR Kawasan Konservasi Indonesia UURI No 5 Tahun 1990 Konservasi

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DAN KEARIFAN TRADISIONAL MASYARAKAT DALAM UPAYA KONSERVASI DI PULAU RAMBUT KEPULAUAN SERIBU

IDENTIFIKASI KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DAN KEARIFAN TRADISIONAL MASYARAKAT DALAM UPAYA KONSERVASI DI PULAU RAMBUT KEPULAUAN SERIBU IDENTIFIKASI KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DAN KEARIFAN TRADISIONAL MASYARAKAT DALAM UPAYA KONSERVASI DI PULAU RAMBUT KEPULAUAN SERIBU MASHUDI A. mashudi.alamsyah@gmail.com GIRY MARHENTO girymarhento@gmail.com

Lebih terperinci

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi 3.2 Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain alat tulis dan kamera digital. Dalam pengolahan data menggunakan software AutoCAD, Adobe Photoshop, dan ArcView 3.2 serta menggunakan hardware

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan pada bulan Januari 2010 Februari 2010 di Harapan Rainforest, Kabupaten Musi Banyuasin, Provinsi Sumatera

Lebih terperinci

2015 STRUKTUR VEGETASI DAN KEANEKARAGAMAN TUMBUHAN PANTAI DI HUTAN PANTAI LEUWEUNG SANCANG, KECAMATAN CIBALONG, KABUPATEN GARUT

2015 STRUKTUR VEGETASI DAN KEANEKARAGAMAN TUMBUHAN PANTAI DI HUTAN PANTAI LEUWEUNG SANCANG, KECAMATAN CIBALONG, KABUPATEN GARUT BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang memiliki sekitar 17.508 pulau dan panjang garis pantai sekitar 80.791,42 km (Soegianto, 1986). Letak Indonesia sangat

Lebih terperinci

Forests for Water and Wetlands

Forests for Water and Wetlands Laporan Kegiatan Peringatan Hari Lahan Basah Sedunia, 2 Februari 2011 diselenggarakan di Desa Sawah Luhur, Kec. Kasemen, Serang-Banten, 19 Februari 2011 Forests for Water and Wetlands Oleh: Triana LATAR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Cagar lam merupakan sebuah kawasan suaka alam yang berarti terdapat

BAB I PENDAHULUAN. Cagar lam merupakan sebuah kawasan suaka alam yang berarti terdapat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut Peraturan Pemerintah Nomer 28 tahun 2011 pasal 1 nomer 1 tentang pengolaan kawasan suaka alam dan kawasan pelestaian alam yang berbunyi Kawsasan Suaka Alam

Lebih terperinci

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 tahun 1999, hutan adalah

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 tahun 1999, hutan adalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 tahun 1999, hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan mangrove yang ada di Indonesia makin lama makin berkurang akibat perubahan bentuk menjadi kawasan pemukiman, pertanian maupun tambak atau mendapat tekanan yang besar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 2007:454). Keanekaragaman berupa kekayaan sumber daya alam hayati dan

I. PENDAHULUAN. 2007:454). Keanekaragaman berupa kekayaan sumber daya alam hayati dan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia tergolong dalam 10 negara megadiversitas dunia yang memiliki keanekaragaman paling tinggi di dunia (Mackinnon dkk dalam Primack dkk, 2007:454). Keanekaragaman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perubahan iklim (Dudley, 2008). International Union for Conservation of Nature

BAB I PENDAHULUAN. perubahan iklim (Dudley, 2008). International Union for Conservation of Nature BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan konservasi mempunyai peran yang sangat besar terhadap perlindungan keanekaragaman hayati. Kawasan konservasi juga merupakan pilar dari hampir semua strategi

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni - Agustus 2007, bertempat di kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu (TNGMB). Taman Nasional Gunung Merbabu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kawasan lahan basah Bujung Raman yang terletak di Kampung Bujung Dewa

I. PENDAHULUAN. Kawasan lahan basah Bujung Raman yang terletak di Kampung Bujung Dewa I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kawasan lahan basah Bujung Raman yang terletak di Kampung Bujung Dewa Kecamatan Pagar Dewa Kabupaten Tulang Bawang Barat Provinsi Lampung, merupakan suatu kawasan ekosistem

Lebih terperinci

Konservasi Lingkungan. Lely Riawati

Konservasi Lingkungan. Lely Riawati 1 Konservasi Lingkungan Lely Riawati 2 Dasar Hukum Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. wilayah perbatasan antara daratan dan laut, oleh karena itu wilayah ini

BAB I PENDAHULUAN. wilayah perbatasan antara daratan dan laut, oleh karena itu wilayah ini BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dengan jumlah pulau sekitar 17.508 pulau dan panjang pantai kurang lebih 81.000 km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat besar,

Lebih terperinci

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM PERATURAN DIREKTUR JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM NOMOR : P. 11/KSDAE/SET/KSA.0/9/2016

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 13 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di KHDTK Cikampek, Kecamatan Cikampek, Kabupaten Karawang, Propinsi Jawa Barat. Luas KHDTK Cikampek adalah 51,10 ha. Secara administratif

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU MENTERI KEHUTANAN,

Lebih terperinci

SLHD Provinsi DKI Jakarta Tahun 2014

SLHD Provinsi DKI Jakarta Tahun 2014 2.2. Keanekaragaman Hayati Keanekaragaman hayati menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1994 adalah Keanekaragaman di antara makhluk hidup dari semua sumber termasuk di dalamnya daratan, lautan dan ekosistem

Lebih terperinci

IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 38 IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Letak Hutan Mangrove di Tanjung Bara termasuk dalam area kawasan konsesi perusahaan tambang batubara. Letaknya berada di bagian pesisir timur Kecamatan Sangatta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Lovejoy (1980). Pada awalnya istilah ini digunakan untuk menyebutkan jumlah

BAB I PENDAHULUAN. Lovejoy (1980). Pada awalnya istilah ini digunakan untuk menyebutkan jumlah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai salah satu kawasan yang terletak pada daerah tropis adalah habitat bagi kebanyakan hewan dan tumbuhan untuk hidup dan berkembang biak. Indonesia merupakan

Lebih terperinci

RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI TAHUN

RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI TAHUN RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI TAHUN 05-09 Prof. DR. M. Bismark, MS. LATAR BELAKANG Perlindungan biodiversitas flora, fauna dan mikroorganisme menjadi perhatian dunia untuk

Lebih terperinci

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Pembentukan Taman Kupu-Kupu Gita Persada Taman Kupu-Kupu Gita Persada berlokasi di kaki Gunung Betung yang secara administratif berada di wilayah Kelurahan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Mangrove. kemudian menjadi pelindung daratan dan gelombang laut yang besar. Sungai

TINJAUAN PUSTAKA. A. Mangrove. kemudian menjadi pelindung daratan dan gelombang laut yang besar. Sungai II. TINJAUAN PUSTAKA A. Mangrove Mangrove adalah tanaman pepohonan atau komunitas tanaman yang hidup di antara laut dan daratan yang dipengaruhi oleh pasang surut. Habitat mangrove seringkali ditemukan

Lebih terperinci

III METODOLOGI. Gambar 2. Peta lokasi penelitian.

III METODOLOGI. Gambar 2. Peta lokasi penelitian. III METODOLOGI 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada kawasan Gunung Kapur Cibadak Ciampea Bogor, Propinsi Jawa Barat. Lokasi penelitian terlihat pada Gambar 2. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

Tugas Akhir. Kajian Bioekologi Famili Ardeidae di Wonorejo, Surabaya. Anindyah Tri A /

Tugas Akhir. Kajian Bioekologi Famili Ardeidae di Wonorejo, Surabaya. Anindyah Tri A / Tugas Akhir Kajian Bioekologi Famili Ardeidae di Wonorejo, Surabaya Anindyah Tri A / 1507 100 070 Dosen Pembimbing : Indah Trisnawati D. T M.Si., Ph.D Aunurohim S.Si., DEA Jurusan Biologi Fakultas Matematika

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus (KHDTK) merupakan suatu kawasan hutan tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah dengan tujuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kegiatan yang mengancam eksistensi kawasan konservasi (khususnya

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kegiatan yang mengancam eksistensi kawasan konservasi (khususnya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manusia dan kawasan konservasi memiliki korelasi yang kuat. Suatu kawasan konservasi memiliki fungsi ekologi, ekonomi, dan sosial sedangkan manusia memiliki peran

Lebih terperinci

FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI MEDAN 2010

FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI MEDAN 2010 PENGARUH AKTIVITAS EKONOMI PENDUDUK TERHADAP KERUSAKAN EKOSISTEM HUTAN MANGROVE DI KELURAHAN BAGAN DELI KECAMATAN MEDAN BELAWAN SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyarataan Memperoleh Gelar Sarjana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yaitu mendapatkan makanan, suhu yang tepat untuk hidup, atau mendapatkan

BAB I PENDAHULUAN. yaitu mendapatkan makanan, suhu yang tepat untuk hidup, atau mendapatkan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap makhluk hidup yang berada di suatu lingkungan akan saling berinteraksi, interaksi terjadi antara makhluk hidup dengan makhluk hidup itu sendiri maupun makhluk

Lebih terperinci

LAPORAN IDENTIFIKASI DAN INVENTARISASI OBYEK WISATA ALAM DI KARANGTEKOK BLOK JEDING ATAS. Oleh : Pengendali EkosistemHutan

LAPORAN IDENTIFIKASI DAN INVENTARISASI OBYEK WISATA ALAM DI KARANGTEKOK BLOK JEDING ATAS. Oleh : Pengendali EkosistemHutan LAPORAN IDENTIFIKASI DAN INVENTARISASI OBYEK WISATA ALAM DI KARANGTEKOK BLOK JEDING ATAS Oleh : Pengendali EkosistemHutan TAMAN NASIONAL BALURAN 2004 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Taman Nasional Baluran

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata Kunci: ekowisata pesisir, edukasi, hutan pantai, konservasi, perencanaan. iii

ABSTRAK. Kata Kunci: ekowisata pesisir, edukasi, hutan pantai, konservasi, perencanaan. iii ABSTRAK Devvy Alvionita Fitriana. NIM 1305315133. Perencanaan Lansekap Ekowisata Pesisir di Desa Beraban, Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan. Dibimbing oleh Lury Sevita Yusiana, S.P., M.Si. dan Ir. I

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia dianugerahi oleh Tuhan Yang Maha Esa kekayaan sumber daya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia dianugerahi oleh Tuhan Yang Maha Esa kekayaan sumber daya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia dianugerahi oleh Tuhan Yang Maha Esa kekayaan sumber daya alam hayati yang melimpah. Sumber daya alam hayati di Indonesia dan ekosistemnya mempunyai

Lebih terperinci

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI Indikator Perkuliahan Menjelaskan kawasan yang dilindungi Menjelaskan klasifikasi kawasan yang dilindungi Menjelaskan pendekatan spesies Menjelaskan

Lebih terperinci

IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Secara Geografis Pantai Sari Ringgung (PSR) terletak di posisi LS dan

IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Secara Geografis Pantai Sari Ringgung (PSR) terletak di posisi LS dan IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Letak dan Luas Secara Geografis Pantai Sari Ringgung (PSR) terletak di posisi 05 33 LS dan 105 15 BT. Pantai Sari Ringgung termasuk dalam wilayah administrasi Desa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Taman Nasional Kerinci Seblat

BAB I PENDAHULUAN. penunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Taman Nasional Kerinci Seblat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut Undang-Undang No. 05 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya (KSDHE), Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai

Lebih terperinci

IV KONDISI UMUM TAPAK

IV KONDISI UMUM TAPAK IV KONDISI UMUM TAPAK 4.1 Letak, Luas, dan Batas Tapak Secara geografis kawasan Gunung Kapur Cibadak Ciampea terletak pada 16 32 BT 16 35 46 BT dan 6 36 LS 6 55 46 LS. Secara administratif terletak di

Lebih terperinci

BAB III. Penelitian inii dilakukan. dan Danau. bagi. Peta TANPA SKALA

BAB III. Penelitian inii dilakukan. dan Danau. bagi. Peta TANPA SKALA 14 BAB III METODOLOGI 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian inii dilakukan di Sentul City yang terletak di Kecamatan Babakan Madang dan Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat (Gambar

Lebih terperinci

Suhartini Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA UNY

Suhartini Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA UNY Suhartini Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA UNY Sumberdaya Alam Hayati : Unsur-unsur hayati di alam yang terdiri dari sumberdaya alam nabati (tumbuhan) dan sumberdaya alam hewani (satwa) yang bersama dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gunung Salak merupakan salah satu ekosistem pegunungan tropis di Jawa Barat dengan kisaran ketinggian antara 400 m dpl sampai 2210 m dpl. Menurut (Van Steenis, 1972) kisaran

Lebih terperinci

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian Penataan Ruang Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian Kawasan peruntukan hutan produksi kawasan yang diperuntukan untuk kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata kunci : kuntul kecil, pulau serangan, aktivitas harian, habitat, Bali

ABSTRAK. Kata kunci : kuntul kecil, pulau serangan, aktivitas harian, habitat, Bali ABSTRAK Penelitian tentang aktivitas burung kuntul kecil (Egretta garzetta) dilakukan di Pulau Serangan antara bulan Mei dan Juni 2016. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas harian burung

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Ecotouris, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi ekowisata. Ada

TINJAUAN PUSTAKA. Ecotouris, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi ekowisata. Ada TINJAUAN PUSTAKA Ekowisata Ecotouris, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi ekowisata. Ada juga yang menterjemahkan sebagai ekowisata atau wisata-ekologi. Menurut Pendit (1999) ekowisata terdiri

Lebih terperinci

TINJAUAN ASPEK GEOGRAFIS TERHADAP KEBERADAAN PULAU JEMUR KABUPATEN ROKAN HILIR PROPINSI RIAU PADA WILAYAH PERBATASAN REPUBLIK INDONESIA - MALAYSIA

TINJAUAN ASPEK GEOGRAFIS TERHADAP KEBERADAAN PULAU JEMUR KABUPATEN ROKAN HILIR PROPINSI RIAU PADA WILAYAH PERBATASAN REPUBLIK INDONESIA - MALAYSIA TINJAUAN ASPEK GEOGRAFIS TERHADAP KEBERADAAN PULAU JEMUR KABUPATEN ROKAN HILIR PROPINSI RIAU PADA WILAYAH PERBATASAN REPUBLIK INDONESIA - MALAYSIA Tito Latif Indra, SSi, MSi Departemen Geografi FMIPA UI

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kawasan Konservasi Kawasan konservasi dalam arti yang luas, yaitu kawasan konservasi sumber daya alam hayati dilakukan. Di dalam peraturan perundang-undangan Indonesia yang

Lebih terperinci

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan 29 BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN 3.1. Kerangka Berpikir Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan ekosistem laut. Mangrove diketahui mempunyai fungsi ganda

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atas pulau, dengan garis pantai sepanjang km. Luas laut Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. atas pulau, dengan garis pantai sepanjang km. Luas laut Indonesia BAB I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari atas 17.508 pulau, dengan garis pantai sepanjang 81.000 km. Luas laut Indonesia sekitar 3,1

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keberadaan burung pemangsa (raptor) memiliki peranan yang sangat penting dalam suatu ekosistem. Posisinya sebagai pemangsa tingkat puncak (top predator) dalam ekosistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Muhamad Adnan Rivaldi, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Muhamad Adnan Rivaldi, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sancang, Kecamatan Cibalong,, Jawa Barat, merupakan kawasan yang terletak di Selatan Pulau Jawa, yang menghadap langsung ke Samudera Hindia. Hutan Sancang memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oleh bangsa Indonesia dan tersebar di seluruh penjuru tanah air merupakan modal

BAB I PENDAHULUAN. oleh bangsa Indonesia dan tersebar di seluruh penjuru tanah air merupakan modal BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Potensi sumber daya alam hutan serta perairannya berupa flora, fauna dan ekosistem termasuk di dalamnya gejala alam dengan keindahan alam yang dimiliki oleh bangsa

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 9. Peta Orientasi Wilayah Kecamatan Beji, Kota Depok

METODE PENELITIAN. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 9. Peta Orientasi Wilayah Kecamatan Beji, Kota Depok III. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kecamatan Beji sebagai pusat Kota Depok, Jawa Barat yang berbatasan langsung dengan Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan modal dasar bagi pembangunan berkelanjutan untuk kesejahteraan

BAB I PENDAHULUAN. merupakan modal dasar bagi pembangunan berkelanjutan untuk kesejahteraan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu aset penting bagi negara, yang juga merupakan modal dasar bagi pembangunan berkelanjutan untuk kesejahteraan masyarakat. Hutan sebagai sumberdaya

Lebih terperinci

INTENSITAS DAMPAK LINGKUNGAN DALAM PENGEMBANGAN EKOWISATA (Studi Kasus Pulau Karimunjawa, Taman Nasional Karimunjawa)

INTENSITAS DAMPAK LINGKUNGAN DALAM PENGEMBANGAN EKOWISATA (Studi Kasus Pulau Karimunjawa, Taman Nasional Karimunjawa) INTENSITAS DAMPAK LINGKUNGAN DALAM PENGEMBANGAN EKOWISATA (Studi Kasus Pulau Karimunjawa, Taman Nasional Karimunjawa) TUGAS AKHIR Oleh: LISA AGNESARI L2D000434 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS

Lebih terperinci

4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 33 4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Kondisi Umum Kepulauan Seribu Wilayah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu terletak di sebelah Utara Teluk Jakarta dan Laut Jawa Jakarta. Pulau Paling utara,

Lebih terperinci

19 Oktober Ema Umilia

19 Oktober Ema Umilia 19 Oktober 2011 Oleh Ema Umilia Ketentuan teknis dalam perencanaan kawasan lindung dalam perencanaan wilayah Keputusan Presiden No. 32 Th Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Kawasan Lindung

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di sepanjang jalur ekowisata hutan mangrove di Pantai

METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di sepanjang jalur ekowisata hutan mangrove di Pantai III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di sepanjang jalur ekowisata hutan mangrove di Pantai Sari Ringgung, Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung, pada bulan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Seluruh jenis rangkong (Bucerotidae) di Indonesia merupakan satwa yang

I. PENDAHULUAN. Seluruh jenis rangkong (Bucerotidae) di Indonesia merupakan satwa yang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seluruh jenis rangkong (Bucerotidae) di Indonesia merupakan satwa yang dilindungi melalui Undang-undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berasal dari Bryophyta (Giulietti et al., 2005). Sedangkan di Indonesia sekitar

BAB I PENDAHULUAN. berasal dari Bryophyta (Giulietti et al., 2005). Sedangkan di Indonesia sekitar 14 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di dunia, setelah Brazil (Anonimus, 2009). Brazil merupakan salah satu negara dengan flora

Lebih terperinci

PEMETAAN POHON PLUS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT DENGAN TEKNOLOGI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS. Oleh MENDUT NURNINGSIH E

PEMETAAN POHON PLUS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT DENGAN TEKNOLOGI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS. Oleh MENDUT NURNINGSIH E PEMETAAN POHON PLUS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT DENGAN TEKNOLOGI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS Oleh MENDUT NURNINGSIH E01400022 DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. Gambar Peta Lokasi Tapak

BAB III METODOLOGI. Gambar Peta Lokasi Tapak 12 BAB III METODOLOGI 3.1. Lokasi dan Waktu Studi ini dilaksanakan pada wilayah pemakaman Tanah Kusir di jalan Bintaro Raya Jakarta Selatan, DKI Jakarta. Tapak yang berada di sebelah timur Kali Pesanggrahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan jumlah spesies burung endemik (Sujatnika, 1995). Setidaknya

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan jumlah spesies burung endemik (Sujatnika, 1995). Setidaknya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia menempati peringkat keempat sebagai negara yang memiliki kekayaan spesies burung dan menduduki peringkat pertama di dunia berdasarkan jumlah spesies burung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. batas pasang surut air disebut tumbuhan mangrove.

BAB I PENDAHULUAN. batas pasang surut air disebut tumbuhan mangrove. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kata mangrove dipakai sebagai pengganti istilah kata bakau untuk menghindari salah pengertian dengan hutan yang melulu terdiri atas Rhizophora spp., (Soeroyo.1992:

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 24 BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Desain penelitian yang dilakukan adalah penelitian deskriptif. Pada penelitian deskriptif ini, peneliti berusaha mendeskripsikan dan menginterpretasikan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. secara alami. Pengertian alami disini bukan berarti hutan tumbuh menjadi hutan. besar atau rimba melainkan tidak terlalu diatur.

TINJAUAN PUSTAKA. secara alami. Pengertian alami disini bukan berarti hutan tumbuh menjadi hutan. besar atau rimba melainkan tidak terlalu diatur. TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Hutan Kota Hutan dalam Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan,

I. PENDAHULUAN. yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Taman hutan raya merupakan kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami atau buatan, jenis asli dan atau bukan asli, yang dimanfaatkan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Pulau Bawean, Kabupaten Gresik. Waktu penelitian dilaksanakan selama 4 bulan yaitu bulan Mei Agustus 2008. Tempat

Lebih terperinci

BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA

BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA PERENCANAAN WILAYAH 1 TPL 314-3 SKS DR. Ir. Ken Martina Kasikoen, MT. Kuliah 10 BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA Dalam KEPPRES NO. 57 TAHUN 1989 dan Keppres No. 32 Tahun 1990 tentang PEDOMAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. dan juga nursery ground. Mangrove juga berfungsi sebagai tempat penampung

PENDAHULUAN. dan juga nursery ground. Mangrove juga berfungsi sebagai tempat penampung PENDAHULUAN Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia kaya dan beranekaragam sumberdaya alam. Satu diantara sumberdaya alam di wilayah pesisir adalah ekosistem mangrove. Ekosistem mangrove merupakan ekosistem

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah negara kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IV HASIL DAN PEMBAHASAN DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL... i LEMBAR PENGESAHAN... ii BERITA ACARA... PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH... iv PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI SKRIPSI... v ABSTRAK... vi ABSTRACT... vii RINGKASAN...

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dijumpai disetiap tempat dan mempunyai posisi penting sebagai salah satu

BAB I PENDAHULUAN. dijumpai disetiap tempat dan mempunyai posisi penting sebagai salah satu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Burung merupakan salah satu kekayaan hayati yang dimiliki oleh Indonesia. Keberadaan pakan, tempat bersarang merupakan faktor yang mempengaruhi kekayaan spesies burung

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI 24 BAB IV KONDISI UMUM LOKASI 4.1 Sejarah Kawasan Taman Wisata Alam (TWA) Punti Kayu merupakan kawasan yang berubah peruntukannya dari kebun percobaan tanaman kayu menjadi taman wisata di Kota Palembang.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai kawasan pesisir yang cukup luas, dan sebagian besar kawasan tersebut ditumbuhi mangrove yang lebarnya dari beberapa

Lebih terperinci

TUNTAS/PKBM/1/GA - RG 1 Graha Pustaka

TUNTAS/PKBM/1/GA - RG 1 Graha Pustaka RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN NO: 1 Mata Pelajaran : Geografi Kelas/Semester : XI/1 Materi Pokok : Fenomena Biosfer dan Antroposfer Pertemuan Ke- : 1 dan 2 Alokasi Waktu : 2 x pertemuan (4 x 45 menit)

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Heyne K. 1987a. Tumbuhan Berguna Indonesia I. Yayasan Sarana Wanajaya. Jakarta

DAFTAR PUSTAKA. Heyne K. 1987a. Tumbuhan Berguna Indonesia I. Yayasan Sarana Wanajaya. Jakarta DAFTAR PUSTAKA [BKSDA Jawa Tengah] Balai Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Tengah. 2005a. Inventarisasi Potensi Flora dan Fauna Taman Nasional Gunung Merbabu di Kabupaten Boyolali. Semarang : Balai Konservasi

Lebih terperinci

BAB II LANGKAH PERTAMA KE NIAS

BAB II LANGKAH PERTAMA KE NIAS BAB II LANGKAH PERTAMA KE NIAS BAB II LANGKAH PERTAMA KE NIAS Langkah kami setelah mencari tahu dan segala informasi tentang Pulau Nias adalah survey langsung ke lokasi site untuk Tugas Akhir ini. Alangkah

Lebih terperinci

PERANCANGAN LANSKAP WATERFRONT SITU BABAKAN, DI PERKAMPUNGAN BUDAYA BETAWI SETU BABAKAN, JAKARTA SELATAN

PERANCANGAN LANSKAP WATERFRONT SITU BABAKAN, DI PERKAMPUNGAN BUDAYA BETAWI SETU BABAKAN, JAKARTA SELATAN PERANCANGAN LANSKAP WATERFRONT SITU BABAKAN, DI PERKAMPUNGAN BUDAYA BETAWI SETU BABAKAN, JAKARTA SELATAN Oleh : Mutiara Ayuputri A34201043 PROGRAM STUDI ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

VI. KARAKTERISTIK PENGUNJUNG TAMAN WISATA ALAM GUNUNG PANCAR. dari 67 orang laki-laki dan 33 orang perempuan. Pengunjung TWA Gunung

VI. KARAKTERISTIK PENGUNJUNG TAMAN WISATA ALAM GUNUNG PANCAR. dari 67 orang laki-laki dan 33 orang perempuan. Pengunjung TWA Gunung VI. KARAKTERISTIK PENGUNJUNG TAMAN WISATA ALAM GUNUNG PANCAR 6.1 Karakteristik Responden Penentuan karakteristik pengunjung TWA Gunung Pancar diperoleh berdasarkan hasil wawancara dan kuesioner dari 100

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN

Lebih terperinci

INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO

INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO 1 INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO (Johannes teijsmania altifrons) DI DUSUN METAH, RESORT LAHAI, TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH PROVINSI RIAU- JAMBI Yusi Indriani, Cory Wulan, Panji

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Dalam pandangan al-qur an, mempelajari dan mengamati fenomena

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Dalam pandangan al-qur an, mempelajari dan mengamati fenomena BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam pandangan al-qur an, mempelajari dan mengamati fenomena makhluk hidup sangat dianjurkan. Kita semua dianjurkan untuk menjaga kelestarian yang telah diciptakan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. Pembatasan Masalah Penelitian Keanekaragaman Jenis Burung di Berbagai Tipe Daerah Tepi (Edges) Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasyim Propinsi Riau selama 6 bulan adalah untuk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekowisata 2.1.1 Pengertian Ekowisata Ekowisata didefinisikan oleh organisasi The Ecotourism Society (1990) dalam Fennel (1999) sebagai suatu bentuk perjalanan wisata ke area

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang selain merupakan sumber alam yang penting artinya bagi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Taman Nasional Gunung Merbabu (TNGMB) merupakan salah satu dari taman nasional baru di Indonesia, dengan dasar penunjukkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 135/MENHUT-II/2004

Lebih terperinci

LAMPIRAN. Lampiran 1. Peta Pola Ruang Kabupaten Lampung Selatan

LAMPIRAN. Lampiran 1. Peta Pola Ruang Kabupaten Lampung Selatan LAMPIRAN Lampiran 1. Peta Pola Ruang Kabupaten Lampung Selatan 117 Lampiran 2. Peta Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Kabupaten Lampung Selatan. 118 119 Lampiran 3. Peta Kondisi Kawasan

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM. Gebernur Provinsi DKI Jakarta Nomor: 202 tahun Hutan Kota

IV. GAMBARAN UMUM. Gebernur Provinsi DKI Jakarta Nomor: 202 tahun Hutan Kota 23 IV. GAMBARAN UMUM A. Status Hukum Kawasan Kawasan Hutan Kota Srengseng ditetapkan berdasarkan surat keputusan Gebernur Provinsi DKI Jakarta Nomor: 202 tahun 1995. Hutan Kota Srengseng dalam surat keputusan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pulau Timor memiliki avifauna yang unik (Noske & Saleh 1996), dan tingkat endemisme burung tertinggi dibandingkan dengan beberapa pulau besar lain di Nusa Tenggara (Pulau

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 14 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Cikampek, Kab. Karawang, Jawa Barat. Pelaksanaan penelitian dilakukan selama bulan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 6 BAB III METODE PENELITIAN 3. Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Taman Wisata Alam Punti Kayu, Palembang, Sumatera Selatan. Penelitian ini dilaksanakan selama 2 (dua) bulan yaitu bulan Juli-Agustus

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Hutan mangrove desa Margasari memiliki luas 700 ha dengan ketebalan hutan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Hutan mangrove desa Margasari memiliki luas 700 ha dengan ketebalan hutan V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Hutan mangrove desa Margasari memiliki luas 700 ha dengan ketebalan hutan mangrove mencapai 2 km. Tumbuhan yang dapat dijumpai adalah dari jenis Rhizopora spp., Sonaeratia

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 9 BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan di Taman Wisata Alam Rimbo Panti Kabupaten Pasaman Provinsi Sumatera Barat. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli - Agustus

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.67/Menhut-II/2006 TENTANG KRITERIA DAN STANDAR INVENTARISASI HUTAN MENTERI KEHUTANAN,

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.67/Menhut-II/2006 TENTANG KRITERIA DAN STANDAR INVENTARISASI HUTAN MENTERI KEHUTANAN, MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.67/Menhut-II/2006 TENTANG KRITERIA DAN STANDAR INVENTARISASI HUTAN MENTERI KEHUTANAN, Menimbang: a. bahwa untuk terselenggaranya

Lebih terperinci