BAB VI NEGARA SEBAGAI SUBJEK HUKUM INTERNASIONAL TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU)

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB VI NEGARA SEBAGAI SUBJEK HUKUM INTERNASIONAL TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU)"

Transkripsi

1 BAB VI NEGARA SEBAGAI SUBJEK HUKUM INTERNASIONAL TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU) Pada akhir kuliah mahasiswa diharapkan dapatmenghubungkan aspek-aspek negara dalam Hukum Internasional dengan benar. SASARAN BELAJAR (SB) Setelah mempelajari Bab ini, Anda diharapkan mampu: 1. Menjelaskan pengertian pengakuan negara; 2. Menyebutkan pengertian suksesi negara; 3. Menjelaskan maksud dari yurisdiksi negara; 4. Memberikan gambaran umum tentang kedaulatan negara di laut, udara, dan ruang angkasa.

2 P O K O K B A H A S A N PENGAKUAN Masalah Pengakuan (Recognition) dalam Hukum Internasional merupakan suatu persoalan yang cukup rumit karena melibatkan dua masalah sekaligus, yaitu masalah hukum dan politik. Namun demikian, ada baiknya kita mencoba untuk memberikan pengertian dari pengakuan itu sendiri. Menurut Komisi Arbitrasi, Konferensi Perdamaian mengenai Yugoslavia, Pengakuan adalah Suatu perbuatan berhati-hati yang dapat dilakukan negara disaat yang dikehendakinya dan dalam bentuk yang ditentukannya secara bebas. Sedangkan menurut Huala Adolf dalam bukunya Aspek-aspek Negara dalam Hukum Internasional, menyebutkan bahwa pengakuan adalah Tindakan politis suatu negara untuk mengakui negara baru sebagai subjek Hukum Internasional yang mengakibatkan hukum tertentu. Adapun fungsi dari pengakuan itu adalah untuk memberikan tempat yang sepantasnya kepada suatu negara baru atau pemerintah baru sebagai anggota masyarakat internasional. 1. Pengakuan De Facto PENGAKUAN DE FACTO DAN DE JURE Pengakuan de facto adalah pengakuan yang diberikan kepada suatu pemerintahan yang belum lagi sah secara konstitusional. Artinya pengakuan tersebut diberikan oleh suatu negara kepada suatu pemerintahan baru, tetapi masih ada keragu-raguan terhadap stabilitas dan kelangsungan hidup suatu negara atau terhadap kemampuannya dalam memenuhi kewajiban-kewajiban internasional. Pengakuan ini diberikan semata-mata didasarkan bahwa pemerintah tersebut secara nyata berkuasa di dalam wilayahnya. 2. Pengakuan De Jure Pengakuan de Jure dapat dianggap sebagai tindak lanjut dari pengakuan de facto. Pengakuan de jure diberikan kepada suatu pemerintah baru apabila negara tersebut sudah tidak ragu-ragu lagi terhadapnya. Adapun untuk mendapatkan pengakuan de jure, suatu pemerintah baru harus memiliki tiga ciri, yaitu: d) Efektivitas, artinya memiliki kekuasaan yang diakui di seluruh wilayah negara tersebut; e) Regularitas, artinya pemerintah tersebut berasal dari pemilihan umum atau telah disahkan oleh konstitusi;

3 f) Eksklusifitas, artinya pemerintah tersebut merupakan satu-satunya pemerintah di negara baru tersebut dan tidak ada pemerintah tandingannya. 1. Teori Konstitutif TEORI PENGAKUAN Teori konstitutif berpendapat bahwa suatu negara menjadi subjek Hukum Internasional hanya melalui pengakuan. Artinya, apabila telah mendapat pengakuan maka negara baru tersebut akan dapat diterima sebagai anggota masyarakat internasional dan karena itu akan diterima sebagai subjek Hukum Internasional. Suatu negara akan dianggap telah lahir bila sudah ada pengakuan, bila tidak ada pengakuan maka negara tersebut tidak dianggap telah lahir. Teori ini dianut oleh Oppenheim, Lauterpacht, Chen, Anzilotti dan Hans Kelsen. Ada dua alasan lahirnya teori ini. Pertama, jika kesepakatan yang menjadi dasar berlakunya Hukum Internasional, maka tak ada negara atau pemerintah yang yang diperlakukan sebagai subjek Hukum Internasional tanpa adanya kesepakatan dari engara yang telah ada lebih dulu. Kedua, suatu negara atau pemerintah yang tidak diakui, tidak mempunyai status hukum terhadap negara-negara yang tidak mengakuinya. 2. Teori Deklaratif Teori deklaratif lahir sebagai respon terhadap teori konstitutif. Menurut teori ini, pengakuan hanya merupakan penerimaan suatu negara baru oleh negaranegara lain. Pengakuan tidak menciptakan suatu negara baru karena negara itu lahir sebagai fakta yang murni dan pengakuan hanyalah bentuk penerimaan fakta tersebut. Teori ini dilatarbelakangi oleh pemikiran bahwa suatu negara memiliki kemampuan dalam Hukum Internasional segera setelah negara tersebut lahir berdasarkan fakta. Dari dua teori tersebut di atas, dapat kita simpulkan bahwa dalam penerapannya dewasa ini, teori pengakuan lebih dekat ke arah teori deklaratif. Artinya kelahiran suatu negara adalah suatu peristiwa yang tidak ada kaitan langsung dengan Hukum Internasional. Pengakuan yang diberikan kepada negara yang baru lahir hanya bersifat politis, merupakan pengukuhan terhadap statusnya sebagai anggota masyarakat internasional yang baru dengan segala hak dan kewajibannya sesuai dengan Hukum Internasional. BENTUK-BENTUK PENGAKUAN 1. Pengakuan Secara Terang-Terangan Dan Individual

4 Pengakuan ini diberikan oleh pemerintah atau organ yang berwenang di bidang hubungan luar negeri. Pengakuan ini dapat diberikan dalam bentuk-bentuk yang lazim digunakan, yaitu: a. Nota diplomatik, surat pernyataan atau telegram; b. Perjanjian internasional; 2. Pengakuan Secara Diam-Diam Pengakuan diam-diam ini terjadi jika suatu negara mengadakan hubungan dengan pemerintah atau negara baru dengan mengirimkan seorang wakil diplomatik, mengadakan pembicaraan dengan pejabat-pejabat resmi ataupun kepala negara setempat, dan membuat persetujuan dengan negara tersebut. Dalam hubungan internasional, hubungan yang terjadi melalui kontak-kontak antara dua negara melalui perundingan-perundingan tingkat duta besar tidak mungkin terjadi kalau kedua negara satu sama lain tidak saling mengakui eksistensinya. 3. Pengakuan Kolektif Pengakuan kolektif dapat diberikan dalam dua bentuk, yaitu bentuk deklarasi bersama dalam suatu kelompok negara, dan bentuk pengakuan yang diberikan melalui penerimaan suatu negara baru untuk menjadi peserta dalam suatu perjanjian multilateral. 4. Pengakuan Prematur Pengakuan premature merupakan suatu pengakuan yang diberikan kepada negara yang baru tanpa adanya kelengkapan unsure-unsur konstitutif yang harus dimilikinya. Kasus pengakuan ini sering terjadi pada negara yang memisahkan diri dari negara induknya. Pengakuan yang mendahului kelengkapan unsur-unsur konstitutif ini merupakan suatu kecenderungan yang memberikan dorongan kepada entitas yang baru untuk menjadi negara yang merdeka. Sering terjadi pengakuan terhadap gerakan-gerakan pembebasan nasional sebagai negara oleh negara-negara pendukungnya bahkan sebelum gerakan tersebut mencapai kemerdekaannya. Pengakuan ini merupakan gambaran bahwa pengakuan yang dibeirkan oleh negara terhdapa suatu negara lain atau pemerintah yang baru lebih banyak bersifat politis dan diluar ketentuan Hukum Internasional. AKIBAT HUKUM DARI RECOGNITION DAN NON RECOGNITION Dengan diberikannya suatu pengakuan (recognition) kepada negara baru atau pemerintah baru, maka akan didapatkan beberapa akibat hukumnya, yaitu: a. Negara yang diakui dapat mengadakan hubungan-hubungan diplomatic dengan negara yang mengakuinya;

5 b. Negara tersebut menikmati kekebalan diplomatic di negara yang mengakuinya; c. Negara yang diakui dapat menuntut di wilayah negara yang diakui; d. Negara yang diakui dapat mendapatkan harta benda yang berasal dari penguasa terdahulu yang berada di wilayah negara yang mengakui; e. Tindakan-tindakan negara yang diakui diberlakukan sah dan keabsahannya tidak dapat diuji lagi; f. Perjanjian-perjanjian yang telah diadakan oleh pemerintah terdahulu dapat berlaku kembali. Adapun akibat tidak diberikannya suatu pengakuan kepada suatu negara atau pemerintah yang baru dapat memberikan beberapa akibat, yaitu: a. Negara tersebut tidak dapat menuntut di dalam wilayah negara yang tidak mengakuinya; b. Negara tersebut tidak dapat mengadakan hubungan diplomatic yang tetap dengan negara yang tidak mengakuinya; c. Warga negaranya tidak dapat memasuki wilayah negara yang tidak mengakui dengan menggunakan passport dari negara yang tidak diakui; d. Perjanjian yang diadakan oleh pemerintah terdahulu menjadi beku. PENGAKUAN NEGARA DAN PENGAKUAN PEMERINTAH Pengakuan pemerintah adalah suatu pernyataan dari suatu negara bahwa negara tersebut telah siap dan bersedia berhubungan dengan pemerintahan yang baru yang diakui sebagai organ yang bertindak untuk dan atas nama negara. Perbedaan antara pengakuan negara dengan pengakuan pemerintah adalah: a. pengakuan negara merupakan terhadap keberadaan negara baru yang telah memenuhi unsur-unsur konstitutif suatu negara baru, sedangkan pengakuan pemerintah adalah pengakuan terhadap pemerintah dari negara baru tersebut sebagai organ yang bertindak untuk dan atas nama negara baru tersebut; b. pengakuan terhadap suatu negara apabila sudah diberikan sekali tidak mungkin ditarik kembali, sedangkan pengakuan terhadap pemerintah masih mungkin dapat ditolak atau dicabut sewaktu-waktu. SUKSESI NEGARA

6 PENGERTIAN Secara harfiah, istilah Suksesi Negara (State Succession atau Succession of State) berarti penggantian atau pergantian negara. Namun istilah penggantian atau pergantian negara itu tidak mencerminkan keseluruhan maksud maupun kompleksitas persoalan yang terkandung di dalam subjek bahasan state succession itu. Memang sulit untuk membuat suatu definisi yang mampu menggambarkan keseluruhan persoalan suksesi negara. Tetapi untuk memberikan gambaran sederhana, suksesi negara adalah suatu keadaan di mana terjadi perubahan atau penggantian kedaulatan dalam suatu negara sehingga terjadi semacam pergantian negara yang membawa akibat-akibat hukum yang sangat kompleks. Negara yang lama atau negara yang digantikan disebut dengan istilah Predecessor State, sedangkan negara yang menggantikan disebut Successor State. Contohnya : sebuah wilayah yang tadinya merupakan wilayah jajahan dari suatu negara kemudian memerdekakan diri. Predecessor state-nya adalah negara yang menguasai atau menjajah wilayah tersebut, sedangkan successor state-nya adalah negara yang baru merdeka itu. Contoh lain, suatu negara terpecah-pecah menjadi beberapa negara baru, sedangkan negara yang lama lenyap. Predecessor state-nya adalah negara yang hilang atau lenyap itu, sedangkan successor state-nya adalah negara-negara baru hasil pecahan itu. Pengertian suksesi negara dapat diklsifikasikan menjadi 2, yaitu: (1) FACTUAL STATE SUCCESSION. Dalam hal bagaimana suksesi negara itu benar-benar terjadi / kejadiankejadian atau fakta-fakta apa saja yang dapat digunakan sebagai indikator telah terjadinya suksesi negara. Suatu negara diserap oleh satu negara lain. Jadi disini terjadi penggabungan dua subyek HI. Misalnya penyerahan Korea oleh Jepang tahun Suatu negara pecah menjadi beberapa negara yang masing-masing memiliki kedaulatan sendiri-sendiri. Dalam ini terjadi pemecahan suatu subyek HI. Misalnya pecahnya Columbia (1832) menjadi Venezuela, Equador dan New Grenada. Pecahnya Uni Sovyet menjadi beberapa negara merdeka (1991). Gabungan dari bentuk 1 dan 2, yaitu suatu negara pecah menjadi beberpa negara yang kemudian diserap oleh negaranegara disekitarnya. Polandia pecah menjadi beberapa bagian yang kemudian diserap Rusia, Austria dan Prusia (1795). Lahirnya negara baru yang sebelumnya merupakan wilayah negara lain atau merupakan jajahan negara lain. Terjadinya penggabungan dua atau lebih subyek HI atau pemecahan satu subyek HI menjadi beberapa subyek HI (secara disengaja). (2) LEGAL STATE SUCCESSION. Akibat-akibat hukum suksesi negara. Terutama mengenai pemindahan hakhak dan kewajiban-kewajiban dari negara yang telah kehilangan identitasnya

7 itu kepada negara atau satuan lain yang menggantikannya. Dalam hal ini ada 2 pendapat, yaitu: Pendukung common doctrine yang berpendapat bahwa semua hak dan kewajiban dari negara yang digantikan beralih kepada negara yang menggantikan. Penolak common doctrine, yang berpendapat bahwa semua hak dan kewajiban yang dimiliki suatu negara akan hilang bersamaan dengan lenyapnya negara tersebut. Kedua pendapat tersebut sama-sama tidak realistis. Pada kenyataannya perubahan hak dan kewajiban itu pasti ada, walaupun tidak seluruhnya. Suksesi negara dalam hubungannya dengan kekayaan negara. Kekayaan negara yang meliputi gedung-gedung dan tanah milik negara, alat-alat transport milik negara, dana-dana pemerintah yang tersimpan di bank, pelabuhan-pelabuhan dan sebagainya beralih kepada negara pengganti. Permasalahan suksesi negara merupakan salah satu bidang yang cukup sulit di dalam hukum internasional. Pembahasan yang sering dilakukan adalah mengenai bagaimana caranya suatu negara memperoleh kemerdekaan dan bagaimana kesatuan itu memenuhi kriteria atau unsur-unsur hukum internasional agar dapat menjadi suatu negara dan diakui oleh negara-negara lainnya. Pada dasarnya ada dua cara untuk mendapatkan kemerdekaan sebagai suatu negara baru. Pertama, adalah melalui cara-cara konstitusional yaitu melalui perjanjian dengan negara yang mendudukinya. Kedua, adalah melalui cara-cara kekerasan senjata dan cara-cara yang bertentangan dengan keinginan negara yang menduduki. 1. Occupation; CARA-CARA SUKSESI Okupasi atau pendudukan adalah pendudukan terhadap suatu wilayah (terra nullius) yang bukan dan belum pernah dimiliki oleh suatu negara ketika pendudukan terjadi. Okupasi bisa dilakukan melalui cara penemuan, yang kemudian diikuti dengan pengawasan terhadapnya. Selain itu negara yang menemukan harus mempunyai niat dan keinginan untuk bertindak sebagai pihak yang berdaulat. 2. Annexation; Aneksasi atau penaklukan adalah suatu cara pemilikan suatu wilayah berdasarkan kekerasan. Saat ini, cara yang demikian sudah dilarang digunakan oleh hukum internasional. Tetapi aneksasi dapat dilakukan hanya untuk maksud dekolonialisasi. Negara-negara koloni atau jajahan dapat menggunakan senjata

8 untuk emndapatkan kemerdekaannya apabila negara yang menduduki menolak untuk memberikan kemerdekaan. Tindakan ini juga disebut sebagai perang pembebasan (wars of liberation). 3. Akresi; Akresi adalah suatu cara memperoleh suatu wilayah baru melalui proses alam (geografis). Melalui proses ini suatu tanah atau wilayah baru terbentuk dan menjadi bagian dari wilayah yang ada. Misalnya, pembentukan pulau di mulut sungai atau perubahan arah suatu sungai yang menyebabkan tanah menjadi kering yang sebelumnya dilalui oleh air. 4. Prescription; Preskripsi adalah pemilikan suatu wilayah oleh suatu engara yang telah didudukinya dalam jangka waktu yang lama dan dengan sepengetahuan pemiliknya. Preskripsi berbeda dengan okupasi. Dalam pendudukan tidak dibutuhkan waktu yang lama untuk diakui hak-haknya atas wilayah tersebut, sementara preskripsi membutuhkan waktu yang lama untuk dapat ditetapkan menjadi negara baru. Adapun syarat sahnya preskripsi adalah: a. pemilikan tersebut harus memperlihatkan suatu kewenangan negara dan di wilayah tersebut tidak ada negara yang mengklaimnya; b. Pemilikan tersebut harus berlangsung secara damai dan tidak ada gangguan dari pihak lain; c. Pemilikan tersebut harus bersifat publik, yang diumumkan dan diketahui oleh pihak lain; d. Pemilikan tersebut harus berlangsung lama. 5. Cession; Cession adalah pengalihan wilayah secara damai dari suatu negara ke negara lain dan berlangsung dalam suatu perjanjian perdamaian setelah usainya perang. Pengalihan ini biasanya dilakukan dalam bentuk perjanjian pengalihan kedaulatan dari negara koloni kepada perwakilan penduduk asli. Satu prinsip yang penting dalam Cession ini adalah bahwa pengalihan hak yang diserahkan tidak boleh melebihi hak yang dimiliki oleh si pemilik. Cession dapat juga berlaku dalam bentuk-bentuk lain, seperti pembelian Alaska oleh Amerika Serikat dari Rusia tahun Cession juga dapat berlangsung melalui tukar menukar atau pemberian wilayah tanpa adanya pembayaran ganti rugi. 6. Plebicite; Plebisit adalah pengalihan suatu wilayah melalui pilihan penduduknya, menyusul dilaksanakannya pemilihan umum, referendum, atau cara-cara

9 lainnya yang dipilih oleh penduduk. Indonesia memperoleh dan akhirnya kehilangan Timor Timur melalui cara ini. 1. Status Individu AKIBAT HUKUM DARI SUKSESI NEGARA Bila terjadi suksesi negara, secara prinsip negara pengganti memberikan kewarganegaraannya kepada penduduk dari wilayah yang mengalami suksesi. Namun ada dua cara yang dapat diberikan kepada penduduknya untuk menentukan kewarganegaraannya, yaitu dengan cara kolektif atau plebisit, sedangkan yang kedua adalah dengan cara individual, yaitu hak untuk memilih. Sistem plebisit ini kemudian berubah menjadi sistem referendum, yaitu menentukan pilihan untuk menerima atau menolak pemerintahan yang baru tersebut. Sedangkan hak untuk memilih adalah hak yang diberikan kepada para penduduk dari wilayah yang baru diduduki untuk memilih dalam jarak waktu tertentu apakah akan menjadi warga negara baru atau tetap menjadi warga negara yang lama. Pelaksanaan prinsip ini merupakan hasil dari perjanjian damai yang dilakukan setelah ada pihak yang menang. 2. Barang-Barang Milik Negara Dan Hutang Publik Praktek internasional selama ini telah menunjukkan bahwa negara baru akan mewarisi barang-barang publik dari negara yang terpecah. Di dalam Konvensi Wina tanggal 8 April 1983 dalam Pasal 10 dan 11, menerima peralihan tanpa kompensasi kepada negara pengganti, terhadap barang-barang negara sebelumnya. Namun demikian, barang-barang tersebut harus dibedakan, yaitu: a. Barang-barang yang merupakan bagian dari milik pemerintah. b. Pemindahan Arsip, yang dianggap mengikuti nasib wilayahnya, maka akan diserahkan kepada negara yang mendudukinya, siapapun pemerintahnya. c. Suksesi mengenai hutang negara, yang diatur dalam Konvensi Wina 1983 yang menyangkut hutang negara. Ketentuan umumnya adalah pemindahan hutang negara kepada negara pengganti dilakukan dalam proporsi yang adil terutama dengan memperhitungkan benda-benda, hak-hak dan kepentingan yang dipindahkan kepada negara pengganti. Tetapi bila suksesi terjadi akibat dekolonialisasi maka tidak akan dibebankan hutang sama sekali, kecuali ada pernyataan yang jelas dari negara tersebut. 3. Perjanjian Internasional

10 Praktek internasional telah menerima prinsip bahwa perjanjian-perjanjian politik tidak dapat dipindahkan. Misalnya perjanjian aliansi militer, konvensi mengenai status netralitas atau mengenai bantuan timbal balik negara. Untuk perjanjian yang memiliki nilai hukum kebiasaan tetap berlaku. Contohnya perjanjian-perjanjian teritorial yang berkaitan dengan batas dan jalur komunikasi negara. Selanjutnya untuk perjanjian yang dibuat untuk kepentingan umum masyarakat internasional yang disebut perjanjian hukum secara umum dapat dipindahkan dari negara sebelumnya kepada negara pengganti. Konvensi Wina 1978 mengkodifikasikan sebagian besar dari prinsip-prinsip yang ada dalam hukum kebiasaan tersebut di atas. Menurut Konvensi, suksesi negara tidak akan merubah status tapal batas dan status teritorial lainnya. Suksesi negara harus dapat dibedakan dengan suksesi pemerintah. Suksesi negara bersifat eksternal sedangkan suksesi pemerintah bersifat internal. Terhadap suksesi pemerintah berlaku prinsip kontinuitas yaitu apabila telah terjadi perubahan pemerintah atau ketatanegaraan, negara tersebut tetap terikat pada hak-hak dan kewajiban internasionalnya. Pemerintah yang baru tetap terikat terhadap hak dan kewajiban pemerintah lama. YURISDIKSI PENGERTIAN YURISDIKSI Yurisdiksi adalah kekuasaan atau kompetensi hukum negara terhadap orang, benda atau peristiwa hukum. Yurisdiksi merupakan refleksi dari prinsip dasar kedaulatan negara, kesamaan derajat negara, dan prinsip tidak campur tangan negara terhadap urusan dalam negeri pihak lain. Yurisdiksi muncul dari beberapa tindakan yang dilakukan oleh: a. Legislatif, yaitu kekuasaan pengadilan untuk menetapkan atau membuat peraturan atau keputusan-keputusan; b. Eksekutif, yaitu kekuasaan untuk memaksakan agar orang, benda ataupun peristiwa dapat mentaati peraturan yang berlaku; c. Yudikatif, yaitu kekuasaan untuk mengadili orang, berdasarkan suatu peristiwa hukum. Walaupun yurisdiksi erat kaitannya dengan wilayah, namun hal ini tidaklah mutlak, karena ada kalanya yurisdiksi untuk mengadili suatu perkara atau tindak pidana itu dilakukan di luar negeri. Selain itu ada beberapa subjek hukum, benda atau peristiwa tertentu kebal terhadap yurisdiksi suatu negara meskipun mereka berada di dalam

11 negara tersebut. Misalnya seorang diplomat atau konsulat yang sedang bertugas di negara lain. Yurisdiksi dapat dibedakan dalam dua jenis, yaitu yurisdiksi perdata dan yurisdiksi pidana. Yurisdiksi perdata adalah kewenangan hukum pengadilan suatu negara terhadap perkara-perkara yang menyangkut keperdataan, baik nasional maupun internasional (hukum perdata internasional). Sedangkan yurisdiksi pidana adalah kewenangan pengadilan suatu negara terhadap suatu perkara-perkara yang menyangkut kepidanaan, baik dengan unsur nasional (pidana nasional) maupun internasional (hukum pidana internasional). 1. Prinsip Teritorial Menurut prinsip teritorial, setiap negara mempunyai yurisdiksi terhadap kejahatan-kejahatan yang dilakukan di dalam wilayahnya. Suatu negara harus memiliki yurisdiksi terhadap semua orang, benda-benda dan perkara-perkara pidana dan perdata dalam batas-batas teritorialnya sebagai tanda negara tersebut telah berdaulat. Prinsip ini terbagi dua yaitu prinsip teritorial subjektif dan prinsip teritorial objektif. Prinsip teritorial subjektif merupakan prinsip yang mendasarkan kepada tempat suatu peristiwa hukum mulai dilakukan, sedangkan prinsip teritorial objektif adalah berdasarkan dimana tempat peristiwa hukum itu diakhiri atau diselesaikan. Prinsip ini dapat diberlakukan terhadap: a. Hak Lintas di laut teritorial; b. Prinsip teritorial terhadap kapal berbendera asing di laut teritorial; c. Prinsip teritorial di pelabuhan yang disinggahi oleh kapal asing; d. Terhadap orang asing; e. Terhadap pelaku tindak pidana; Adapun pengecualian prinsip teritorial ini dapat diberlakukan terhadap: a. Negara dan kepala negara asing; b. Perwakilan diplomatik dan konsuler; c. Kapal pemerintah negara asing; d. Angkatan bersenjata negara asing; e. Organisasi internasional. 2. Prinsip Personal Menurut prinsip personal ini, suatu negara dapat mengadili warga negaranya terhadap kejahatan-kejahatan yang dilakukannya di mana pun juga. Yurisdiksi dengan prinsip nasional ini terdiri dari dua bagian, yaitu: a. Yurisdiksi dengan prinsip personal aktif;

12 Menurut prinsip ini, suatu negara memiliki yurisdiksi terhadap warga negaranya yang melakukan tindak pidana di luar negeri. Untuk mengadilinya, orang tersebut harus diekstradisi terlebih dahulu. b. Yurisdiksi dengan prinsip personal pasif; Menurut prinsip ini, suatu negara memiliki yurisdiksi untuk mengadili orang asing yang melakukan tindak pidana terhadap warga negaranya di luar negeri. 3. Prinsip Perlindungan Berdasarkan prinsip perlindungan, suatu negara dapat melaksanakan yurisdiksinya terhadap warga negara asing yang melakukan kejahatan di luar negeri yang diduga dapat mengancam kepentingan keamanan, integritas dan kemerdekaannya. Misalnya adanya komplotan yang ingin menggulingkan pemerintah, menyelundupkan mata uang asing, spionase, atau pelanggaran imigrasi. Penerapan prinsip perlindungan ini dapat dilihat dari yurisdiksi negara pantai di jalur laut tambahan dalam hukum laut internasional. Di zona tambahan ini, negara pantai mempunyai hak untuk melakukan pengawasan untuk: a. Mencegah pelanggaran peraturan tentang bea cukai, fiscal, imigrasi dan kesehatan di dalam wilayahnya atau laut teritorial. b. Menghukum pelanggaran peraturan tersebut di atas yang dilakukan di dalam wilayahnya atau laut teritorialnya. 4. Prinsip Universal Menurut prinsip ini, setiap negara memiliki yurisdiksi untuk mengadili tindak kejahatan tertentu. Prinsip ini dapat diterima oleh semua masyarakat internasional karena tindakan tersebut dianggap dapat mengancam masyarakat internasional keseluruhan. Selain itu negara juga mempunyai hak dan kewajiban untuk menghukum pelakunya. Kejahatan-kejahatan yang dapat diberlakukan dengan prinsip universal adalah kejahatan pembajakan di laut dan kejahatan perang. YURISDIKSI PADA PESAWAT UDARA Ketentuan yurisdiksi terhadap kejahatan yang dilakukan di dalam pesawat udara, dengan ketentuan: a. Kejahatan itu dilakukan di wilayah negaranya;

13 b. Kejahatan itu dilakukan terhadap atau di atas pesawat udara yang terdaftar di negaranya; c. Pesawat tempat terjadinya kejahatan tersebut mendarat di wilayahnya dan si pelaku kejahatan masih berada di dalam pesawat; d. Kejahatan dilakukan di atas pesawat yang di sewa tanpa awaknya dan kedudukan kantor tempat pesawat itu disewa berada di dalam wilayahnya, atau pemiliknya tinggal di wilayah negaranya. TANGGUNG JAWAB NEGARA PENGERTIAN Yang menjadi latar belakang munculnya tanggung jawab negara dalam hukum internasional adalah tidak ada satu negara pun yang dapat menikmati hak-haknya tanpa menghormati hak-hak negara lain. Karena itu, suatu negara dapat dimintakan pertanggungjawabannya untuk tindakan-tindakan melawan hukum atau kelalaiannya. Menurut Shaw, yang menjadi faktor penentu dalam prinsip tanggung jawab adalah adanya suatu kewajiban hukum internasional yang berlaku antara dua negara, adanya suatu perbuatan atau kelalaian yang melanggar kewajiban hukum internasional, serta adanya kerusakan atau kerugian sebagai akibat adanya tindakan yang melanggar hukum atau kelalaian tersebut. MACAM-MACAM TANGGUNG JAWAB NEGARA 1. Tanggung Jawab Perbuatan Melawan Hukum Tanggung jawab perbuatan melawan hukum dapat muncul dari setiap kesalahan atau kelalaian suatu negara terhadap orang asing dalam wilayahnya atau wilayah negara lain. Hal ini bisa timbul karena adanya eksplorasi ruang angkasa, eksplorasi nuklir, dan kegiatan-kegiatan lintas batas nasional. 2. Pelanggaran Perjanjian Internasional Suatu negara juga dapat dimintakan pertanggungjawabannya terhadap pelanggaran perjanjian internasional. Hal ini bisa dilakukan terhadap suatu negara manakala ia melanggar suatu perjanjian atau kontrak. Untuk pelanggaran terhadap perjanjian yang dibuat dengan negara lain yang mengakibatkan kerugian terhadap negara lainnya. Masyarakat internasional menganggap bahwa pelanggaran

14 semacam ini merupakan kelalaian suatu negara yang sangat serius, yang akan mengurangi kepercayaan negara-negara lain kepadanya. Untuk pelanggaran terhadap kontrak yang diadakan antara suatu negara dengan orang atau pengusaha asing untuk tujuan-tujuan tertentu, pelanggaran dapat saja terjadi pada salah satu pihak. Biasanya pejabat negara yang berhubungan dengan kontrak tersebut melakukan suatu pelanggaran, yang biasa disebut sebagai ultra vires, yaitu tindakan-tindakan yang dilakukan melebihi kapasitas atau wewenangnya. Tindakan ini biasanya terjadi dalam bidang hukum perjanjian. Walaupun pelanggaran ini dilakukan oleh si pejabat, namun negaralah yang harus bertanggung jawab atas perbuatan tersebut. 3. Ekspropriasi Hal ini merupakan bentuk pengambilalihan perusahaan asing (milik negara penjajah) yang berupa perusahaan-perusahaan dagang. Tindakan ini biasanya dilakukan sebagai salah satu cara negara memperbaiki dan memajukan perekonomiannya. Pengambilalihan suatu perusahaan asing adalah suatu perbuatan pelanggaran hukum. Namun ada beberapa hal yang memberikan kemungkinan untuk dilaksanakannya pengambilalihan tersebut, yaitu: a. Tidak dilaksanakan hak-hak pemilikan perusahaan oleh negara yang bersangkutan; b. Untuk kepentingan umum; c. Diberikannya ganti rugi yang pantas; d. Perlunya nondiskriminasi terhadap tindakan ekspropriasi. UPAYA HUKUM UNTUK MEMPEROLEH KOMPENSASI ATAU PEMULIHAN HAK Dalam hal adanya nasionalisasi besar-besaran dalam rangka pemulihan dan perombakan struktur ekonomi sosial secara menyeluruh dari engara yang bekas dijajah, maka tidak dapat diberikan ganti rugi yang sifatnya Prompt, adequate and effective, tetapi cukup dengan nilai ganti rugi lump sum yang nantinya akan dibagikan kepada warga negara korban yang dinasionalisasi tersebut. Kompensasi dapat berupa ganti rugi dalam bentuk uang, atau ganti rugi dalam bentuk permintaan maaf, yang biasanya diminta untuk ganti rugi non materiil atau moral suatu negara. Ganti rugi dalam bentuk uang dapat berupa : a. Penggantian biaya pada waktu keputusan pengadilan dikeluarkan; b. Kerugian tak langsung;

15 c. Hilangnya keuntungan yang diharapkan; d. Pembayaran terhadap kerugian atas bunga yang hilang karena tindakan melanggar hukum tersebut. KEDAULATAN NEGARA KEDAULATAN TERITORIAL Kedaulatan teritorial adalah kedaulatan yang dimiliki oleh suatu negara dalam melaksanakan yurisdiksi eksklusif di wilayahnya. Kedaulatan juga memiliki dua cirri yaitu kedaulatan itu merupakan syarat hukum untuk adanya suatu negara dan negara yang sudah berdaulat artinya negara tersebut sudah merdeka. Kedaulatan juga merupakan kekuasaan tertinggi yang dimiliki oleh suatu negara untuk secara bebas melakukan berbagai kegiatan sesuai kepentingannya asal kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan Hukum Internasional. Berdasarkan konsep Hukum Internasional, kedaulatan memiliki tiga aspek utama, yaitu: i. Aspek ekstern kedaulatan, artinya hak bagi setiap negara untuk secara bebas menentukan hubungannya dengan berbagai negara atau kelompok-kelompok lain tanpa kekangan, takanan atau pengawasan dari negara lain. ii. Aspek intern kedaulatan, artinya hak atau kewenangan eksklusif suatu negara untuk menentukan bentuk lembaga-lembaganya, cara kerja lembaga tersebut, dan hak untuk membuat undang-undang yang diinginkannya. iii. Aspek teritorial kedaulatan, artinya kekuasaan penuh dan eksklusif yang dimiliki oleh negara atas individu-individu dan benda-benda yang terdapat di wilayah tersebut. Selain itu kedaulatan juga mempunyai pengertian positif dan negatif. Pengertian positif maksudnya adalah berkaitan dengan sifat hak eksklusif wewenang suatu negara terhadap wilayah dan kekayaan alamnya. Sedangkan pengertian negatif kedaulatan teritorial adalah kewajiban untuk tidak mengganggu hak-hak berdaulat negara lain.

16 KEDAULATAN ATAS WILAYAH PERAIRAN 1. Konferensi PBB III Tentang Hukum Laut Pada konferensi yang diadakan dari Desember 1973 sampai September 1982, dengan jumlah 12 kali sidang ini dihasilkan suatu karya hukum terbesar masyarakat internasional dalam bidang hukum laut yaitu Konvensi PBB tentang Hukum Laut Internasional, yang diterima pada tanggal 30 April 1982 di New York. Konferensi ini merupakan konferensi terbesar karena dihadiri oleh lebih 160 negara, dan 5000 anggota delegasi dengan bermacam latar belakangnya. Hal ini juga merupakan keberhasilan Indonesia karena rancangan atau konsep negara kepulauan yang diajukannya diterima dalam salah satu bab khusus mengenai negara kepulauan. Konvensi ini telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-undang No. 17 tanggal 31 Desember Kemenangan ini merupakan kemenangan bagi seluruh masyarakat internasional karena telah ebrhasil mengakomodir berbagai kepentingan antara negara-negara maju dengan negaranegara berkembang. Adapun rezim hukum laut dapat dilihat pada skema berikut: 2. Laut Lepas

17 a. Pengertian dan Prinsip Kebebasan Pasal 86 Konvensi 1982 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan laut lepas adalah Semua bagian dari laut yang tidak termasuk dalam zona ekonomi eksklusif, dalam laut teritorial atau dalam perairan pedalaman suatu negara, atau dalam perairan kepulauan suatu negara kepulauan. Adapun prinsip yang terkandung di dalam laut lepas adalah prinsip kebebasan. Pengertian dari prinsip kebebasan adalah Semua negara, baik berpantai ataupun tidak berpantai, dapat menggunakan laut lepas dengan syarat mematuhi ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh Konvensi atau Hukum Internasional lainnya. Adapun kebebasan tersebut meliputi: i. kebebasan berlayar; ii. kebebasan penerbangan; iii. kebebasan untuk memasang kabel-kabel dan pipa di bawah laut, dengan mematuhi ketentuan Konvensi; iv. kebebasan untuk membangun pulai buatan atau instalasi lainnya; v. kebebasan menangkap ikan; vi. kebebasan riset ilmiah. 3. Status Hukum Kapal-Kapal Di Laut Lepas Untuk menentukan status hukum kapal-kapal yang berlayar di laut, maka hal terpenting adalah adanya wewenang eksklusif negara bendera. Artinya tiap-tiap kapal harus mempunyai kebangsaan suatu negara, yang merupakan syarat agar kapal-kapal itu dapat memakai bendera negara tersebut. Hal lain yang harus diperhatikan adalah adanya pembedaan antara kapal publik dengan kapal swasta. Pembedaan didasarkan kepada bentuk penggunaannya bukan pada kualitas pemilik kapal-kapal tersebut. Kapal-kapal publik adalah kapal yang digunakan untuk dinas pemerintah dan bukan untuk tujuan swasta. Contoh kapal publik adalah kapal perang, kapal logistik pemerintah, kapal riset ilmiah, meteorology, dan kapal pengawasan pantai. Selain itu ada juga kapal organisasi internasional yang dikategorikan ke dalam kapal publik. Selain kapal publik, ada juga kapal dagang atau niaga, yang ditentukan dari tujuan penggunaannya. Jadi walaupun kapal itu milik pemerintah, tetapi digunakan untuk kepentingan swasta, misalnya disewa, maka kapal tersebut tetap dianggap sebagai kapal swasta atau niaga.

18 4. Pengawasan Di Laut Lepas Pengawasan di laut lepas dilakukan dalam dua bagian, yaitu pengawasan umum dan pengawasan khusus. Pengawasan umum terdiri dari pengawasan biasa, inspeksi dan tindakan kekerasan untuk menjamin keamanan umum lalu lintas laut. Berdasarkan wewenang absolut, kapal publik hanya tunduk kepada kapal perang negaranya. Sedangkan semua kapal perang memiliki wewenang terhadap semua kapal swasta negara lain. Jadi tiap kapal mempunyai wewenang untuk mengetahui kebangsaan suatu kapal dengan meminta kapal tersebut mengibarkan benderanya. Pengawasan khusus meliputi beberapa hal, diantaranya pemberantasan budak belian, bajak laut, pengawasan penangkapan ikan, pengawasan pemasangan pipa dan kabel bawah laut, pemberantasan pencemaran laut, dan pengawasan untuk kepentingan sendiri negara-negara. Di laut lepas juga terdapat hak pengejaran seketika yang memberikan wewenang kepada negara untuk dapat mengejar, menangkap dan membawa ke pelabuhannya suatu kapal swasta asing yang melakukan pelanggaran hukum di laut wilayah atau di perairan pedalamannya. 5. Landas Kontinen a. Pengertian Landas Kontinen Pasal 76 Konvensi menyebutkan bahwa landas kontinen merupakan perpanjangan alamiah wilayah daratannya hingga pinggiran luar tepi kontinen, atau hingga suatu jarak 200 mil laut dari garis pangkal dari mana lebar laut wilayah diukur, dalam hal pinggiran luar tepi kontinen tidak mencapai jarak tersebut. Jadi berdasarkan ketentuan Pasal 76 Konvensi tahun 1982, lebar landas kontinen terbagi dua, yaitu: - untuk negara-negara yang pinggiran luar tepi kontinennya kurang dari 200 mil, lebar landas kontinen negara tersebut diperbolehkan sejauh 200 mil dari pantai; - untuk negara-negara yang pinggiran luar tepi kontinennya lebih lebar dari 200 mil dari garis pangkal dapat memperoleh landas kontinen sejauh pinggiran luar tepi kontinen tersebut. Batas luar landasan kontinen tidak akan melebihi 350 mil laut dari garis pangkal atau tidak boleh melebihi 100 mil laut dari garis batas kedalaman (isobath) meter. Jadi batas-batas terluar landas kontinen menurut

19 Konvensi 1982 adalah tepi terluar dari tepian kontinen apabila tepi terluarnya lebih dari 200 mil, sedangkan bila tepi terluar kontinen tidak mencapai 200 mil, maka lebar landas kontinen adalah 200 mil laut diukur dari garis pangkal yang digunakan untuk mengukur lebar laut wilayah. b. Delimitasi Landas Kontinen Di dalam Pasal 83 Konvensi 1982 disebutkan secara khusus bahwa penetapan garis batas landas kontinen antara negara yang pantainya berhadapan atau berdampinagan harus dilakukan dengan persetujuan atas dasar Hukum Internasional. Kepada kedua negara didiwajibkan membuat perjanjian bilateral mengenai batas-batas maritime mereka. Tetapi bila belum ada atau tidak ada perjanjian diantara keduanya, maka akan digunakan garis tengah atau median line yang membagi daerah dengan sama rata. c. Wewenang di Landas Kontinen Wewenang yang dimiliki atas landas kontinen adalah: i. hak-hak berdaulat atas tujuan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam; ii. Kalau negara pantai tidak melakukan eksplorasi atau eksploitasi di landas kontinennya, maka negara lain tidak boleh menggantikannya, kecuali ada persetujuan yang nyata dari negara pantai; iii. Sumber daya yang diekploitasi dan eksplorasi adalah mineral dan sumber alam non hayati lainnya di dasar laut dan tanah di bawahnya dengan organisme hidup sejenis sedimen pada dasar laut; iv. Hak negara pantai tidak boleh menghalangi jalur laut dan kebebasan negara lain yang diberikan oleh Konvensi; v. Negara pantai berhak untuk membuat terowongan dan melakukan pengeboran untuk semua tujuan di landas kontinennya; vi. Negara lain berhak memasang kabel dan pipa di bawah laut, dengan ijin dari negara pantai, dengan tidak mengganggu kabel atau pipa yang sudah ada. 6. Zona Ekonomi Eksklusif a. Pengertian Zona ekonomi eksklusif dapat diartikan dari kata-katanya, yaitu zona artinya sebagai suatu jalur atau wilayah laut yang berjarak 200 mil diukur dari garis pangkal. Ekonomi artinya pada jalur itu terdapat kekayaan alam yang diberikan pada negara pantai untuk kemakmuran kehidupan bangsanya. Kekayaan alam

20 yang terkandung di dalamnya adalah kekayaan ikan-ikan, binatang laut, dan tumbuhan laut, bahan-bahan tambang, dan pembagkit tenaga di lautan (gelombang laut dan arus laut). Sedangkan pengertian Eksklusif adalah negaranegara lain tidak boleh mengambil kekayaan alam di laut negara yang bersangkutan, kecuali ada izin resmi dari negara yang bersangkutan. Larangan ini hanya berlaku terhadap kekayaan alamnya saja, tidak termasuk jalur lautnya. b. Delimitasi Delimitasi pada zona ekonomi eksklusif sama dengan delimitasi pada landas kontinen yaitu melalui perjanjian bilateral dan ditentukan dengan prinsip keadilan. c. Wewenang Pasal 56 Konvensi menyebutkan wewenang negara pantai untuk keperluan eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan alam baik hayati maupun nonhayati, dari perairan di atas dasar laut dan dari dasar laut dan tanah di bawahnya dan berkenaan dengan kegiatan lain untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi ekonomi zona tersebut. Selain itu, negara-negara pantai juga memiliki wewenang untuk mengambil tindakan-tindakan yang dianggap perlu seperti pemeriksaan, penangkapan ikan-ikan maupun melakukan proses peradilan terhadap kapal-kapal yang melanggar ketentuanketentuan yang dibuat negara pantai. 7. Laut Wilayah a. Pengertian Menurut Konvensi 1982, laut wilayah adalah suatu jalur laut selebar 12 mil, yang berbatasan dengan daratan, atau perairan pedalaman dalam hal suatu negara kepulauan, dimana negara pantai berdaulat penuh di atasnya. b. Lebar dan Delimitasi Pasal 3 Konvensi 1982 menyebutkan bahwa setiap negara berhak menetapkan lebar laut wilayahnya hingga suatu batas yang tidak melebihi 12 mil laut, diukur dari garis pangkal yang ditentukan sesuai dengan konvensi.

21 Dengan demikian jelas lebar laut wilayah yang sudah disepakati adalah 12 mil, walaupun masih ada sekitar 12 negara yang mengklaim melebihi dari 12 mil. Delimitasi laut wilayah pada Konvensi 1982 sama dengan Konvensi Jenewa Perumusan aturan delimitasi tentang laut wilayah dalam Konvensi 1982 menekankan pada prinsip garis tengah (median line) dalam menetapkan garis batas laut wilayah kecuali ada alasan hak historis atau keadaan lain. Dalam hal pantai negara tersebut letaknya berhadapan atau berdampingan dengan negara lain, kecuali ada persetujuan yang sebaliknya, garis batas laut wilayah antara kedua negara adalah garis tengah yang titik-titiknya sama jaraknya dari titik-titik terdekat pada garis pangkal dari mana lebar laut wilayah masingmasing negara diukur. Ketentuan ini tidak berlaku bila ada alasan historis atau keadaan khusus lainnya yang menyebabkan perlunya menetapkan batas laut wilayah antara kedua negara. c. Wewenang Dalam Pasal 2 ayat (2) Konvensi 1982 menyebutkan bahwa kedaulatan suatu negara pantai meliputi ruang udara di atas laut wilayah serta dasar laut dan lapisan tanah di bawahnya. Artinya negara pantai memiliki kedaulatan penuh terhadap laut wilayah, udara dan tanah di bawahnya. Selain itu ditentukan juga dalam Pasal 25 mengani wewenang lain yang dimiliki negara pantai di laut wilayah yaitu mengambil langkah-langkah yang diperlukan dalam laut wilayahnya untuk mencegah lintas yang tidak damai; mempunyai hak untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mencegah pelanggaran apapun terhadap persyaratan yang telah ditentukan bagi masuknya kapal ke perairan pedalaman atau untuk melakukan persinggahan di pelabuhan; menangguhkan sementara bagian tertentu laut wilayahnya bagi lintas damai kapal asing apabila penangguhan tersebut sangat diperlukan untuk perlindungan keamanannya. Ada juga wewenang untuk melaksanakan kegiatan pengawasan terhadap kapal-kapal asing dan pengawasan di bidang bea dan cukai. 8. Konsepsi Negara Kepulauan Republik Indonesia a. Deklarasi Djuanda Dalam Deklarasi Djuanda disebutkan bahwa: Segala perairan di sekitar, di antara dan yang menghubungkan pulaupulau atau bagian pulau-pulau yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia dengan tidak memandang luas atau lebarnya adalah bagianbagian yang wajar daripada wilayah daratan Negara Republik Indonesia

22 dan dengan dmeikian merupakan bagian dari perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak dari Negara Republik Indonesia. Lalu lintas damai di perairan pedalaman ini bagi kapal asing terjamin selama dan sekedar tidak bertentangan dengan kedaulatan dan keselamatan Negara Republik Indonesia. Penentuan batas laut teritorial yang lebarnya 12 mil diukur dari garis yang menghubungkan titik-titik terluar dari pulau-pulau Negara Republik Indonesia. b. Sistem Penarikan Garis Pangkal Sistem penarikan garis pangkal lurus kepulauan adalah garis-garis lurus yang menghubungkan titik-titik terluar pada garis air terendah pulau-pulau dan karang-karang yang terluar dari kepulauan Indonesia. Ada juga penarikan garis pangkal lurus yang menghubungkan titik-titik terluar pada garis pantai yang menjorok jauh dan menikung ke daratan atau deretan pulau yang terdapat di dekat sepanjang pantai. c. Laut Wilayah Laut wilayah Indonesia ialah lajur laut selebar 12 mil laut yang garis luarnya diukur tegak lurus atau garis dasar atau titik pada garis dasar yang terdiri dari garis-garis lurus yang menghubungkan titik terluar pada garis air rendah daripada pulau atau bagian pulau terluar dalam wilayah Indonesia dengan ketentuan bahwa jika ada selat yang lebarnya tidak melebihi 24 mil laut dan negara Indonesia tidak merupakan satu-satunya negara tepi, garis batas laut ditarik pada tengah selat (median line). d. Perairan Pedalaman Sesuai dengan Pasal 50 Konvensi 1982, negara nusantara dapat menarik garis-garis penutup untuk menetapkan perairan pedalaman. Laut pedalaman adalah laut yang terletak pada sisi darat garis penutup, pada sisi laut dari garis air terendah. Perairan pedalaman Indonesia ialah semua perairan yang terletak pada sisi dalam dari garis dasar. Lalu lintas pada perairan pedalaman Indonesia terbuka bagi kenderaan asing.

23 KEDAULATAN ATAS RUANG UDARA DAN RUANG ANGKASA Mengenai kedaulatan negara di udara di atas wilayahnya, Gerhard Von Glahn mengemukakan sejumlah teori yaitu: a. berlakunya kebebasan penuh di ruang udara seperti di lautan lepas; b. yurisdiksi teritorial di ruang udara sampai 1000 kaki diatas bumi dengan status udara di atasnya yang bebas seperti di laut lepas; c. seluruh ruang udara di atas negara tanpa adanya batas ketinggian dianggap sebagai udara nasional dengan memberikan hak lintas kepada semua pesawat udara yang terdaftar di negara-negara sahabat; d. kedaulatan mutlak dan tanpa batas atas ruang udara nasional tanpa batas ketinggian. Menurut praktek dan perkembangan yang terjasi selama Perang Dunia I, maka status ruang udara menjadi jelas yaitu negara-negara mempunyai kedaulatan penuh dan eksklusif terhadap ruang udara di atas wilayah daratan dan laut wilayah. Berbeda dengan hukum laut, pada hukum udara tidak dikenal hak lintas damai melalui ruang udara nasional. Yang ada hanya pemberian izin untuk melakukan lintas udara, baik secara unilateral, bilateral maupun multilateral dengan negara lain. 1. Hukum Udara a. Konvensi Paris 1919 Yang menjadi sumber hukum udara adalah Konvensi Paris 13 Oktober 1919 mengenai Navigasi Udara. Konvensi ini mulai berlaku sejak tanggal 11 Juli 1922 dan pada tahun 1939 telah mengikat sebanyak 29 negara.

24 Konvensi 1919 dengan tegas menerima prinsip kedaulatan nasional. Dalam Pasal 1 Konvensi ditegaskan kedaulatan penuh dan eksklusif negara-negara peserta terhadap ruang udara di atas wilayahnya. Ruang udara tunduk kepada kedaulatan negara-negara dimana saja udara itu membawahi daratan dan laut wilayahnya. Tiap-tiap negara pihak pada Konvensi berjanji untuk memberikan hak lintas damai pesawat-pesawat udara negara pihak lain di atas wilayahnya sesuai syaratsyarat yang dimuat dalam Konvensi, jika dalam masa damai. Namun pemberian hak ini dapat dibatasi dengan alasan militer atau kepentingan keamanan publik. Konvensi 1919 hanya berlaku untuk masa damai, bila datang masa berperang, maka negara-negara bebas untuk menentukan pemberian izin kepada negara lain untuk melintasi ruang udaranya. Tiap-tiap pesawat udara untuk dapat diizinkan melakukan penerbangan internasional harus mempunyai suatu kebangsaan tertentu. Menurut Konvensi sistem kebangsaan pesawat udara adalah bahwa semua pesawat udara harus mempunyai satu kebangsaan. Jadi kebangsaan suatu pesawat udara akan ditentukan oleh kewarganegaraan pemiliknya. b. Konvensi Chicago 1944 Dalam Konvensi ini dihasilkan pengakuan terhadap lima kebebasan udara, yaitu: i. dua kebebasan dasar yaitu : a) hak lintas damai b) hak mendarat teknik untuk keperluan pengambilan bahan-bahan dan reparasi atau perbaikan ii. tiga kebebasan komersial atau yang berkaitan dengan lalu lintas komersial yaitu : a) hak untuk menurunkan di semua negara pihak para penumpang dan barang dagangan yang dimuat di wilayah negara pihak yang pesawat udaranya mempunyai kebangsaan dari negara tersebut; b) hak untuk menaikkan para penumpang dan barang dagangan menuju wilayah yang pesawat udaranya mempunyai kebangsaan negara tersebut; c) hak untuk menaikkan para penumpang dan barang dagangan di semua wilayah negara pihak dan menurunkannya di wilayah negara-negara pihak lainnya. Konvensi ini juga mendirikan suatu organisasi dengan nama International Civil Aviation Organization (ICAO), suatu organisasi teknik yang bertujuan untuk menyeragamkan ketentuan navigasi udara.

25 2. Hukum Angkasa Luar Angkasa luar terutama tunduk kepada suatu rejim internasional yang ditandai oleh pelaksanaan dua prinsip yaitu tidak dapat dimiliki dan kebebasan penggunaan, namun kebebasan penggunaan ini dibatasi oleh beberapa ketentuan. Prinsip tidak dapat dimiliki tercantum dalam Deklarasi mengenai Ruang Angkasa Luar tahun 1963, dan ditegaskan dalam Pasal II Perjanjian Ruang Angkasa Luar tanggal 2 Januari 1967 yang berbunyi: Ruang angkasa luar termasuk bulan dan benda-benda angkasa lainnya tidak dapat dijadikan milik nasional baik melalui pernyataan kedaulatan, penggunaan ataupun pendudukan maupun melalui cara lain apapun. Prinsip tidak boleh memiliki menyebabkan ruang angkasa luar digunakan secara bebas oleh semua negara tanpa perbedaan dan atas kesamaan yang adil. Kebebasan ini adalah sama dengan kebebasan di laut lepas, artinya akses ke angkasa luar adalah bebas dan kegiatan-kegiatan spasial yang dilakukan di sana terutama riset ilmiah tidak memerlukan otorisasi negara-negara yang berada di bawahnya. Adapun batasan-batasan terhadap kebebasan tersebut adalah: a. kegiatan spasial yang dilakukan harus sesuai dengan Hukum Internasional termasuk Piagam PBB; b. Tujuannya adalah untuk memelihara perdamaian dan keamanan internasional. R I N G K A S A N 1. Pengertian pengakuan negara; Menurut Komisi Arbitrasi, Konferensi Perdamaian mengenai Yugoslavia, Pengakuan adalah Suatu perbuatan berhati-hati yang dapat dilakukan negara disaat yang dikehendakinya dan dalam bentuk yang ditentukannya secara bebas. Sedangkan menurut Huala Adolf dalam bukunya Aspek-aspek Negara dalam Hukum Internasional, menyebutkan bahwa pengakuan adalah Tindakan politis suatu negara untuk mengakui negara baru sebagai subjek Hukum Internasional yang mengakibatkan hukum tertentu. 2. Pengertian suksesi negara; Suksesi negara adalah suatu keadaan di mana terjadi perubahan atau penggantian kedaulatan dalam suatu negara sehingga terjadi semacam pergantian negara yang membawa akibat-akibat hukum yang sangat kompleks. Negara yang lama

26 atau negara yang digantikan disebut dengan istilah Predecessor State, sedangkan negara yang menggantikan disebut Successor State. 3. Maksud dari yurisdiksi negara; Yurisdiksi adalah kekuasaan atau kompetensi hukum negara terhadap orang, benda atau peristiwa hukum. Yurisdiksi merupak refleksi dari prinsip dasar kedaulatan negara, kesamaan derajat negara, dan prinsip tidak campur tangan negara terhadap urusan dalam negeri pihak lain. 4. Gambaran umum tentang kedaulatan negara di laut, udara, dan ruang angkasa. Kedaulatan juga merupakan kekuasaan tertinggi yang dimiliki oleh suatu negara untuk secara bebas melakukan berbagai kegiatan sesuai kepentingannya asal kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan Hukum Internasional. Terhadap wilayah laut, terdapat rejim hukum laut yang terdiri dari kedaulatan di laut teritorial, Zona Tambahan, ZEE, Landas Kontinen dan Laut Lepas. Wilayah Udara terdiri dari kebebasan dasar dan kebebasan komersial. Sedangkan wilayah luar angkasa terkandung 2 prinsip dasar, bebas dan tidak dapat dimiliki. L A T I H A N Mahasiswa harus mendiskusikan dalam kelompok masing-masing tentang peran penting negara dalam perkembangan Hukum Internasional. Bagaimana peran negara dibandingkan dengan organisasi internasional? D A F T A R P U S T A K A Adolf Huala, Aspek-Aspek Negara dalam Hukum Internasional, Raja Grafindo Persada, 1996 Agrawala, S.K., (eds.) Essays on the Law of Treaties. Orient Longman: New Delhi, Akehurst, Michael, A Modern Introduction to International Law, 7 th edition, Peter Malanczuk, Routledge, New York, 1997 AM.Wahyudidjafar, Judicial Review: Sebuah Pengantar,

27 Aust, Anthony, "Modern treaty law and practice", Cambridge University Press, 2000 B. Conforti & A. Labella, Invalidity and Termination of Treaties: the Role of National Courts, EJIL 1, 1990 Bennet, Le Roy. International Organizations, Prentice Hall, Inc. USA, 1995 Boer Mauna, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan, dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global, 2003, Alumni, Bandung Bowett, D.H, The Law of International Institutions, Stevens, London, 1982 Brierly, J.L, The Law of Nations, 6 th Edition, Edited by Sir Humpherly Waldock, Oxford, London, 1985 Brownly, Ian. Principles of Publik International Law, Fourth edition, Oxford University Press, , Basic Document on International Law. Clarendon Press: Oxford, Budiarto, M., Masalah Ekstradisi dan Jaminan Perlindungan atas Hak-Hak Azasi Manusia. Jakarta: Ghalia Indonesia, Chairul Anwar, Hukum Internasional: Pengantar Hukum Bangsa-Bangsa, Penerbit Djambatan, Jakarta, 1989 Churchill, R.R., dan Lowe, A.V. The Law of the Sea, 3th edition, Manchester University Press, 1999 Charter of the United Nations Djalal. Hasyim, Perjuangan Indonesia di Bidang Hukum Laut, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman, Bina Cipta, 1979 Dorman, Peter J., Running Press Dictionary of Law. Philadelphia: Running Press, Dunoff, Jeffrey L.International Law: Norm, Actors, Process: A Problem Oriented Approach, 2 nd edition. Aspen Publishers, NY Drs. R. Poerwanto, SH, MA, M.Si, Praktek Ratifikasi Dalam Organisasi Internasional, Damos Dumoli Agusman, Apa Perjanjian Internasional itu? Beberapa Perkembangan Teori dan Praktek di Indonesia Tentang Perjanjian

BAB VII PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU)

BAB VII PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU) BAB VII PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU) Pada akhir kuliah mahasiswa diharapkan dapat memberikan argumentasi terhadap penyelesaian sengketa internasional secara damai

Lebih terperinci

BAB IX HUKUM DIPLOMATIK DAN KONSULER TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU)

BAB IX HUKUM DIPLOMATIK DAN KONSULER TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU) BAB IX HUKUM DIPLOMATIK DAN KONSULER TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU) Pada akhir kuliah mahasiswa diharapkan dapat membandingkan antara hubungan diplomatik dengan hubungan konsuler. SASARAN BELAJAR (SB)

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 73, 1996 WILAYAH. KEPULAUAN. PERAIRAN. Wawasan Nusantara (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik

Lebih terperinci

ZONASI LAUT TERITORIAL. Oleh Dr. Ir. HJ. KHODIJAH ISMAIL, M.Si

ZONASI LAUT TERITORIAL. Oleh Dr. Ir. HJ. KHODIJAH ISMAIL, M.Si ZONASI LAUT TERITORIAL Oleh Dr. Ir. HJ. KHODIJAH ISMAIL, M.Si Indonesia memiliki wilayah perairan laut yang sangat luas. Untuk landas kontinen negara Indonesia berhak atas segala kekayaan alam yang terdapat

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: 1. bahwa berdasarkan kenyataan sejarah dan cara pandang

Lebih terperinci

HUBUNGAN HUKUM NASIONAL DENGAN HUKUM INTERNASIONAL TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU) Setelah mempelajari Bab ini, Anda diharapkan mampu:

HUBUNGAN HUKUM NASIONAL DENGAN HUKUM INTERNASIONAL TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU) Setelah mempelajari Bab ini, Anda diharapkan mampu: BAB IV HUBUNGAN HUKUM NASIONAL DENGAN HUKUM INTERNASIONAL TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU) Pada akhir kuliah mahasiswa diharapkan dapat menunjukkan hubungan hukum nasional dengan hukum internasional SASARAN

Lebih terperinci

Hak Lintas Damai di Laut Teritorial

Hak Lintas Damai di Laut Teritorial Hak Lintas Damai di Laut Teritorial A. Laut Teritorial HAK LINTAS DAMAI DI LAUT TERITORIAL (KAJIAN HISTORIS) Laut teritorial merupakan wilayah laut yang terletak disisi luar dari garis-garis dasar (garis

Lebih terperinci

Hukum Laut Indonesia

Hukum Laut Indonesia Hukum Laut Indonesia Pengertian Hukum Laut Hukum Laut berdasarkan pendapat ahli ahli : Hukum laut menurut dr. Wirjono Prodjodikoro SH adalah meliputi segala peraturan hukum yang ada hubungan dengan laut.

Lebih terperinci

PENGANTAR ILMU DAN TEKNOLOGI KEMARITIMAN. Dr. Ir. Hj. Khodijah Ismail, M.Si www. Khodijahismail.com

PENGANTAR ILMU DAN TEKNOLOGI KEMARITIMAN. Dr. Ir. Hj. Khodijah Ismail, M.Si www. Khodijahismail.com PENGANTAR ILMU DAN TEKNOLOGI KEMARITIMAN Dr. Ir. Hj. Khodijah Ismail, M.Si khodijah5778@gmail.com www. Khodijahismail.com POKOK BAHASAN Kontrak Perkuliahan dan RPKPS (Ch 01) Terminologi Ilmu dan Teknologi

Lebih terperinci

HUKUM LAUT. Laut adalah keseluruhan rangkaian air asin yang menggenangi permukaan bumi.

HUKUM LAUT. Laut adalah keseluruhan rangkaian air asin yang menggenangi permukaan bumi. HUKUM LAUT I. Pengertian Laut adalah keseluruhan rangkaian air asin yang menggenangi permukaan bumi. Laut secara hukum adalah keseluruhan air laut yang berhubungan secara bebas di seluruh permukaan bumi.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa berdasarkan kenyataan sejarah dan cara

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LANDAS KONTINEN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LANDAS KONTINEN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG LANDAS KONTINEN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka pembangunan nasional

Lebih terperinci

Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut

Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut PEMBUKAAN Negara-negara Peserta pada Konvensi ini, Didorong oleh keinginan untuk menyelesaikan, dalam semangat saling pengertian dan kerjasama, semua

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa berdasarkan kenyataan sejarah dan cara pandang bangsa Indonesia, Negara Republik

Lebih terperinci

pres-lambang01.gif (3256 bytes)

pres-lambang01.gif (3256 bytes) pres-lambang01.gif (3256 bytes) Menimbang Mengingat PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2002 TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN KAPAL DAN PESAWAT UDARA ASING DALAM MELAKSANAKAN HAK LINTAS ALUR

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

PENGATURAN HUKUM HAK LINTAS DAMAI MENURUT KONVENSI HUKUM LAUT 1982 DAN IMPLEMENTASINYA DI INDONESIA 1 Oleh: Monica Carolina Ingke Tampi 2

PENGATURAN HUKUM HAK LINTAS DAMAI MENURUT KONVENSI HUKUM LAUT 1982 DAN IMPLEMENTASINYA DI INDONESIA 1 Oleh: Monica Carolina Ingke Tampi 2 PENGATURAN HUKUM HAK LINTAS DAMAI MENURUT KONVENSI HUKUM LAUT 1982 DAN IMPLEMENTASINYA DI INDONESIA 1 Oleh: Monica Carolina Ingke Tampi 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian yaitu untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

BAB V SUBJEK HUKUM INTERNASIONAL

BAB V SUBJEK HUKUM INTERNASIONAL BAB V SUBJEK HUKUM INTERNASIONAL TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU) Pada akhir kuliah mahasiswa diharapkan dapat memahami kedudukan subyek hukum dalam hukum internasional. SASARAN BELAJAR (SB) Setelah mempelajari

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 44, 1983 (KEHAKIMAN. WILAYAH. Ekonomi. Laut. Perikanan. Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa berdasarkan kenyataan sejarah dan cara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1983 TENTANG ZONA EKONOMI EKSLUSIF INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1983 TENTANG ZONA EKONOMI EKSLUSIF INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1983 TENTANG ZONA EKONOMI EKSLUSIF INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : 1. bahwa pada tanggal 21 Maret 1980

Lebih terperinci

BAB 2 DASAR TEORI 2.1 Pembagian Wilayah Laut

BAB 2 DASAR TEORI 2.1 Pembagian Wilayah Laut BAB 2 DASAR TEORI 2.1 Pembagian Wilayah Laut Dalam UNCLOS 1982 disebutkan adanya 6 (enam) wilayah laut yang diakui dan ditentukan dari suatu garis pangkal yaitu : 1. Perairan Pedalaman (Internal Waters)

Lebih terperinci

BAB II HAKIKAT BERLAKU HUKUM INTERNASIONAL TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU)

BAB II HAKIKAT BERLAKU HUKUM INTERNASIONAL TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU) BAB II HAKIKAT BERLAKU HUKUM INTERNASIONAL TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU) Pada akhir kuliah mahasiswa diharapkan dapat memahami hakikat dan dasar berlakunya Hukum Internasional serta kaitannya dengan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2002 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2002 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2002 TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN KAPAL ASING DALAM MELAKSANAKAN LINTAS DAMAI MELALUI PERAIRAN INDONESIA Menimbang : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a.

Lebih terperinci

BAB II KEDAULATAN NEGARA DI RUANG UDARA BERDASARKAN KONVENSI CHICAGO D. Pengertian Ruang Udara dan Wilayah Udara Indonesia

BAB II KEDAULATAN NEGARA DI RUANG UDARA BERDASARKAN KONVENSI CHICAGO D. Pengertian Ruang Udara dan Wilayah Udara Indonesia BAB II KEDAULATAN NEGARA DI RUANG UDARA BERDASARKAN KONVENSI CHICAGO 1944 D. Pengertian Ruang Udara dan Wilayah Udara Indonesia Eksistensi horisontal wilayah udara suatu negara mengikuti batas-batas wilayah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1983 TENTANG ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1983 TENTANG ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1983 TENTANG ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pada tanggal 21 Maret 1980

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Copyright (C) 2000 BPHN UU 6/1996, PERAIRAN INDONESIA *9315 Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 6 TAHUN 1996 (6/1996) Tanggal: 8 AGUSTUS 1996 (JAKARTA) Sumber: LN. 1996/73;

Lebih terperinci

Wilayah Negara Dalam Hukum Internasional

Wilayah Negara Dalam Hukum Internasional Wilayah Negara Dalam Hukum Internasional Wilayah Negara Pasal 1 Konvensi Montevideo 1933 menyatakan bahwa: The state as a person of international law should possess the following qualifications: (a) a

Lebih terperinci

Pembagian Kewenangan Dalam Penegakan Hukum Terhadap Pelanggaran Peraturan Perundang-Undangan Di Perairan Indonesia

Pembagian Kewenangan Dalam Penegakan Hukum Terhadap Pelanggaran Peraturan Perundang-Undangan Di Perairan Indonesia Pembagian Kewenangan Dalam Penegakan Hukum Terhadap Pelanggaran Peraturan Perundang-Undangan Di Perairan Indonesia Abdul Muthalib Tahar dan Widya Krulinasari Dosen Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG LANDAS KONTINEN INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG LANDAS KONTINEN INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG LANDAS KONTINEN INDONESIA Kementerian Kelautan dan Perikanan 2017 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG LANDAS KONTINEN INDONESIA DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2002 TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN KAPAL DAN PESAWAT UDARA ASING DALAM MELAKSANAKAN HAK LINTAS ALUR LAUT KEPULAUAN MELALUI ALUR LAUT KEPULAUAN YANG DITETAPKAN

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2002 TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN KAPAL ASING DALAM MELAKSANAKAN LINTAS DAMAI MELALUI PERAIRAN INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 5514 PENGESAHAN. Perjanjian. Republik Indonesia - Republik India. Bantuan Hukum Timbal Balik. Pidana. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1995 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK BULGARIA BERKENAAN DENGAN ANGKUTAN UDARA

Lebih terperinci

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN NASIONAL TERKAIT DENGAN PENETAPAN INDONESIA SEBAGAI NEGARA KEPULAUAN. Oleh : Ida Kurnia*

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN NASIONAL TERKAIT DENGAN PENETAPAN INDONESIA SEBAGAI NEGARA KEPULAUAN. Oleh : Ida Kurnia* PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN NASIONAL TERKAIT DENGAN PENETAPAN INDONESIA SEBAGAI NEGARA KEPULAUAN Oleh : Ida Kurnia* Abstrak KHL 1982 tentang Hukum Laut yang telah diratifikasi oleh Indonesia dengan Undang-Undang

Lebih terperinci

Telah menyetujui sebagai berikut: Pasal 1. Untuk tujuan Konvensi ini:

Telah menyetujui sebagai berikut: Pasal 1. Untuk tujuan Konvensi ini: LAMPIRAN II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

2008, No hukum dan kejelasan kepada warga negara mengenai wilayah negara; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,

2008, No hukum dan kejelasan kepada warga negara mengenai wilayah negara; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.177, 2008 WILAYAH NEGARA. NUSANTARA. Kedaulatan. Ruang Lingkup. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4925) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

Mengingat ketentuan-ketentuan yang relevan dari Konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa tentang Hukum Laut tanggal 10 Desember 1982,

Mengingat ketentuan-ketentuan yang relevan dari Konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa tentang Hukum Laut tanggal 10 Desember 1982, PERSETUJUAN PELAKSANAAN KETENTUAN-KETENTUAN KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA TENTANG HUKUM LAUT TANGGAL 10 DESEMBER 1982 YANG BERKAITAN DENGAN KONSERVASI DAN PENGELOLAAN SEDIAAN IKAN YANG BERUAYA TERBATAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara yang membawa akibat-akibat hukum yang sangat kompleks.

BAB I PENDAHULUAN. negara yang membawa akibat-akibat hukum yang sangat kompleks. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Suksesi negara adalah suatu keadaan di mana terjadi perubahan atau penggantian kedaulatan dalam suatu negara sehingga terjadi semacam pergantian negara yang membawa

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

BAB SYARAT TERBENTUKNYA NEGARA

BAB SYARAT TERBENTUKNYA NEGARA BAB SYARAT TERBENTUKNYA NEGARA Menurut Konvensi Montevideo tahun 1933, yang merupakan Konvensi Hukum Internasional, Negara harus mempunyai empat unsur konsititutif, yaitu : a. Harus ada penghuni (rakyat,

Lebih terperinci

Bentuk: UNDANG UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 17 TAHUN 1985 (17/1985) Tanggal: 31 DESEMBER 1985 (JAKARTA)

Bentuk: UNDANG UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 17 TAHUN 1985 (17/1985) Tanggal: 31 DESEMBER 1985 (JAKARTA) Bentuk: UNDANG UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 17 TAHUN 1985 (17/1985) Tanggal: 31 DESEMBER 1985 (JAKARTA) Sumber: LN 1985/76; TLN NO. 3319 Tentang: PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION

Lebih terperinci

Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN KAPAL ASING DALAM MELAKSANAKAN LINTAS DAMAI MELALUI PERAIRAN INDONESIA.

Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN KAPAL ASING DALAM MELAKSANAKAN LINTAS DAMAI MELALUI PERAIRAN INDONESIA. PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 36 TAHUN 2002 (36/2002) TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN KAPAL ASING DALAM MELAKSANAKAN LINTAS DAMAI MELALUI PERAIRAN INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK INDIA TENTANG BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA (TREATY BETWEEN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan yang terbentang memanjang dari Sabang hingga Merauke dan dari Pulau Miangas di ujung Sulawesi Utara sampai ke Pulau Dana di selatan

Lebih terperinci

Perkembangan Hukum Laut Internasional

Perkembangan Hukum Laut Internasional Perkembangan Hukum Laut Internasional Hukum laut internasional adalah seperangkat norma hukum yang mengatur hubungan hukum antara negara pantai atau yang berhubungan dengan pantai, yang terkurung oleh

Lebih terperinci

No Laut Kepulauan (archipelagic sea lane passage) dan jalur udara di atasnya untuk keperluan lintas kapal dan Pesawat Udara Asing sesuai denga

No Laut Kepulauan (archipelagic sea lane passage) dan jalur udara di atasnya untuk keperluan lintas kapal dan Pesawat Udara Asing sesuai denga TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I No.6181 PERTAHANAN. RI. Wilayah Udara. Pengamanan. (Penjelasan atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 12) PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia, Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 5 TAHUN 1983 (5/1983) Tanggal: 18 OKTOBER 1983 (JAKARTA) Sumber: LN 1983/44; TLN NO. 3260 Tentang: ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA Indeks:

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK INDIA TENTANG BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA (TREATY BETWEEN THE

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan dalam lingkungan wilayah yang dibatasi oleh garis-garis perbatasan

BAB I PENDAHULUAN. dan dalam lingkungan wilayah yang dibatasi oleh garis-garis perbatasan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Wilayah atau teritori adalah salah satu manifestasi paling utama dari kedaulatan suatu negara.oleh karena itu dalam lingkungan wilayahnya tersebut suatu negara

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.68, 2013 HUKUM. Keimigrasian. Administrasi. Pelaksanaan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5409) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH UKRAINA PASAL I PENGERTIAN-PENGERTIAN

PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH UKRAINA PASAL I PENGERTIAN-PENGERTIAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH DAN PEMERINTAH UKRAINA Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Ukraina di dalam Persetujuan ini disebut sebagai Para Pihak pada Persetujuan; Sebagai peserta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia memiliki sejarah

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia memiliki sejarah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia memiliki sejarah panjang untuk mendapatkan status sebagai negara kepulauan. Dimulai dengan perjuangan Indonesia

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Copyright (C) 2000 BPHN PP 37/2002, HAK DAN KEWAJIBAN KAPAL DAN PESAWAT UDARA ASING DALAM MELAKSANAKAN HAK LINTAS ALUR LAUT KEPULAUAN MELALUI ALUR LAUT KEPULAUAN YANG DITETAPKAN *39678 PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.legalitas.org PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2002 TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN KAPAL DAN PESAWAT UDARA ASING DALAM MELAKSANAKAN HAK LINTAS ALUR LAUT KEPULAUAN MELALUI ALUR LAUT

Lebih terperinci

KEPPRES 10/1997, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH KERAJAAN YORDANIA HASHIMIAH MENGENAI PELAYARAN

KEPPRES 10/1997, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH KERAJAAN YORDANIA HASHIMIAH MENGENAI PELAYARAN Copyright (C) 2000 BPHN KEPPRES 10/1997, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH KERAJAAN YORDANIA HASHIMIAH MENGENAI PELAYARAN *46909 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

Undang Undang No. 6 Tahun 1996 Tentang : Perairan Indonesia

Undang Undang No. 6 Tahun 1996 Tentang : Perairan Indonesia Undang Undang No. 6 Tahun 1996 Tentang : Perairan Indonesia Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 6 TAHUN 1996 (6/1996) Tanggal : 8 AGUSTUS 1996 (JAKARTA) Sumber : LN 1996/73; TLN 3647 DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU) Pada akhir kuliah mahasiswa diharapkan dapat memahami gambaran umum Hukum Internasional.

BAB I PENDAHULUAN TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU) Pada akhir kuliah mahasiswa diharapkan dapat memahami gambaran umum Hukum Internasional. i BAB I PENDAHULUAN TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU) Pada akhir kuliah mahasiswa diharapkan dapat memahami gambaran umum Hukum Internasional. SASARAN BELAJAR (SB) Setelah mempelajari Bab ini, Anda diharapkan

Lebih terperinci

KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA BANGSA TENTANG HUKUM LAUT BAB VII LAUT LEPAS BAB IX LAUT TERTUTUP ATAU SETENGAH TERTUTUP.

KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA BANGSA TENTANG HUKUM LAUT BAB VII LAUT LEPAS BAB IX LAUT TERTUTUP ATAU SETENGAH TERTUTUP. Annex I KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA BANGSA TENTANG HUKUM LAUT Bagian 1. Ketentuan Umum BAB VII LAUT LEPAS Pasal 89 Tidak sahnya tuntutan kedaulatan laut lepas Tidak ada suatu negarapun yang dapat secara

Lebih terperinci

H. Budi Mulyana, S.IP., M.Si

H. Budi Mulyana, S.IP., M.Si H. Budi Mulyana, S.IP., M.Si PASAL 3, DEKLARASI MONTEVIDEO 1933: Keberadaan politik suatu negara, bebas dari pengakuannya oleh negara lain. PERMASALAHAN: 1. Recognition is a political act with legal consequences.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 10 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Wilayah Negara 1. Pengertian negara Negara merupakan suatu lembaga, yaitu satu sistem yang mengatur hubungan yang ditetapkan oleh manusia antara mereka sendiri sebagai satu alat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara dimana wilayah daratnya berbatasan dengan laut. menimbulkan kerenggangan hubungan dan apabila berlarut-larut akan

BAB I PENDAHULUAN. negara dimana wilayah daratnya berbatasan dengan laut. menimbulkan kerenggangan hubungan dan apabila berlarut-larut akan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Wilayah suatu negara yang kita kenal seperti udara dan darat juga lautan. Namun masalah kelautan atau wilayah laut tidak dimiliki oleh setiap negara, hanya negara-negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK KOREA (TREATY ON EXTRADITION BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA AND THE

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 1985 TENTANG PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION ON THE LAW OF THE SEA (KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA TENTANG HUKUM LAUT) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I PENGESAHAN. Perjanjian. Bantuan Timbal Balik. Viet Nam. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 277). PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PENGAKUAN. AKIBAT: PERMASALAHAN: PASAL 3, DEKLARASI MONTEVIDEO 1933: POLITIK SUATU NEGARA, BEBAS DARI PENGAKUANNYA OLEH NEGARA LAIN

PENGAKUAN. AKIBAT: PERMASALAHAN: PASAL 3, DEKLARASI MONTEVIDEO 1933: POLITIK SUATU NEGARA, BEBAS DARI PENGAKUANNYA OLEH NEGARA LAIN PENGAKUAN. AKIBAT: PERMASALAHAN: PASAL 3, DEKLARASI MONTEVIDEO 1933: POLITIK SUATU NEGARA, BEBAS DARI PENGAKUANNYA OLEH NEGARA LAIN PENGAKUAN Iman Prihandono, Prihandono, SH., MH., LL.M Departemen Hukum

Lebih terperinci

KEPPRES 111/1998, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK UKRAINA

KEPPRES 111/1998, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK UKRAINA Copyright (C) 2000 BPHN KEPPRES 111/1998, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK UKRAINA *47919 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA (KEPPRES)

Lebih terperinci

ANALISIS UNDANG-UNDANG KELAUTAN DI WILAYAH ZONA EKONOMI EKSKLUSIF

ANALISIS UNDANG-UNDANG KELAUTAN DI WILAYAH ZONA EKONOMI EKSKLUSIF Ardigautama Agusta. Analisis Undang-undang Kelautan di Wilayah Zona Ekonomi Eksklusif 147 ANALISIS UNDANG-UNDANG KELAUTAN DI WILAYAH ZONA EKONOMI EKSKLUSIF Ardigautama Agusta Teknik Geodesi dan Geomatika,

Lebih terperinci

KEDAULATAN NEGARA PANTAI (INDONESIA) TERHADAP KONSERVASI KELAUTAN DALAM WILAYAH TERITORIAL LAUT (TERRITORIAL SEA) INDONESIA

KEDAULATAN NEGARA PANTAI (INDONESIA) TERHADAP KONSERVASI KELAUTAN DALAM WILAYAH TERITORIAL LAUT (TERRITORIAL SEA) INDONESIA KEDAULATAN NEGARA PANTAI (INDONESIA) TERHADAP KONSERVASI KELAUTAN DALAM WILAYAH TERITORIAL LAUT (TERRITORIAL SEA) INDONESIA Erlina Dosen Fakultas Syari ah dan Hukum UIN Alauddin Makassar Abstrak Dasar

Lebih terperinci

PENGAKUAN. Akibat: Permasalahan: Pasal 3, Deklarasi Montevideo 1933: politik suatu negara, bebas dari pengakuannya oleh negara lain.

PENGAKUAN. Akibat: Permasalahan: Pasal 3, Deklarasi Montevideo 1933: politik suatu negara, bebas dari pengakuannya oleh negara lain. PENGAKUAN Iman Prihandono, SH., MH., LL.M Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Airlangga E-Mail: iprihandono@unair.ac.id Blog: imanprihandono.wordpress.com Pasal 3, Deklarasi Montevideo

Lebih terperinci

BAB III SUMBER HUKUM INTERNASIONAL TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU)

BAB III SUMBER HUKUM INTERNASIONAL TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU) BAB III SUMBER HUKUM INTERNASIONAL TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU) Pada akhir kuliah mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan tentang sumber-sumber Hukum Internasional. SASARAN BELAJAR (SB) Setelah mempelajari

Lebih terperinci

UNITED NATIONS CONVENTION ON THE LAW OF THE SEA (KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA TENTANG HUKUM LAUT)

UNITED NATIONS CONVENTION ON THE LAW OF THE SEA (KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA TENTANG HUKUM LAUT) Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 17 TAHUN 1985 (17/1985) Tanggal: 31 DESEMBER 1985 (JAKARTA) Sumber: LN 1985/76; TLN NO. 3319 Tentang: PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK KOREA (TREATY ON EXTRADITION BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA AND THE

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Keimigrasian merupakan bagian dari perwujudan

Lebih terperinci

PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK RAKYAT CHINA MENGENAI BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA

PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK RAKYAT CHINA MENGENAI BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK RAKYAT CHINA MENGENAI BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA Republik Indonesia dan Republik Rakyat China (dalam hal ini disebut sebagai "Para

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK KOREA (TREATY ON EXTRADITION BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA AND THE

Lebih terperinci

KEPPRES 112/1998, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK UZBEKISTAN

KEPPRES 112/1998, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK UZBEKISTAN Copyright (C) 2000 BPHN KEPPRES 112/1998, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK UZBEKISTAN *47933 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA (KEPPRES)

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DENGAN PEMERINTAH REPUBLIK ITALIA MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN ATAS PENANAMAN MODAL (Keputusan Presiden Nomor 60 Tahun 1994 Tanggal

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPPRES 60/1994, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DENGAN PEMERINTAH REPUBLIK ITALIA MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN ATAS PENANAMAN MODAL Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 53 TAHUN 1995 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN KERAJAAN SPANYOL MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN SECARA RESIPROKAL ATAS PENANAMAN

Lebih terperinci

NAVIGASI. Pengertian Lintas (Art. Art. 18 LOSC) SELAT SELAT REZIM HAK LINTAS. Dalam arti geografis: Dalam arti yuridis: lain.

NAVIGASI. Pengertian Lintas (Art. Art. 18 LOSC) SELAT SELAT REZIM HAK LINTAS. Dalam arti geografis: Dalam arti yuridis: lain. SELAT NAVIGASI Iman Prihandono, SH., MH., LL.M Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Airlangga E-Mail: iprihandono@unair.ac.id Blog: imanprihandono.wordpress.com Dalam arti geografis:

Lebih terperinci

SAN REMO MANUAL TENTANG HUKUM PERANG DI LAUT BAB I KETENTUAN UMUM. Bagian I Ruang Lingkup Penerapan Hukum

SAN REMO MANUAL TENTANG HUKUM PERANG DI LAUT BAB I KETENTUAN UMUM. Bagian I Ruang Lingkup Penerapan Hukum Catatan : Naskah ini adalah terjemahan yang dikerjakan oleh Tim TNI AL dan ICRC (Perbanyakan dan penggandaan hanya dapat dilakukan atas ijin team penterjemah) SAN REMO MANUAL TENTANG HUKUM PERANG DI LAUT

Lebih terperinci

ANOTASI UNDANG-UNDANG BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN

ANOTASI UNDANG-UNDANG BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN ANOTASI UNDANG-UNDANG BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN KEPANITERAAN DAN SEKRETARIAT JENDERAL MAHKAMAH KONSTISI REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

No b. pemanfaatan bumi, air, dan udara serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; c. desentralis

No b. pemanfaatan bumi, air, dan udara serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; c. desentralis TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No.4925 WILAYAH NEGARA. NUSANTARA. Kedaulatan. Ruang Lingkup. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 177 ) PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 125 TAHUN 2001 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK RAKYAT CHINA MENGENAI PELAYARAN NIAGA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 277, 2015 PENGESAHAN. Perjanjian. Bantuan Timbal Balik. Viet Nam. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5766). UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. meningkat pula frekuensi lalu lintas transportasi laut yang mengangkut manusia

1. PENDAHULUAN. meningkat pula frekuensi lalu lintas transportasi laut yang mengangkut manusia 1 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan meningkatnya hubungan perdagangan antar negara, maka semakin meningkat pula frekuensi lalu lintas transportasi laut yang mengangkut manusia dan barang-barang/kargo.

Lebih terperinci

2018, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Wilayah Udara adalah wilayah kedaulatan udara di a

2018, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Wilayah Udara adalah wilayah kedaulatan udara di a No.12, 2018 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PERTAHANAN. RI. Wilayah Udara. Pengamanan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6181) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

LAMPIRAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA

LAMPIRAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA LAMPIRAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pengaturan keimigrasian yang meliputi lalu lintas

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa keimigrasian merupakan bagian dari perwujudan

Lebih terperinci

DAFTAR INVENTARISASI MASALAH (DIM)

DAFTAR INVENTARISASI MASALAH (DIM) DAFTAR INVENTARISASI MASALAH (DIM) RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK SOSIALIS VIET NAM (TREATY ON MUTUAL

Lebih terperinci