BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA"

Transkripsi

1 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian kekerasan dalam pacaran Definisi kekerasan Kekerasan menurut DeWall, Anderson dan Bushman (dalam The General Aggression Model, (2011) adalah perilaku agresi yang dapat menyebabkan luka yang serius. Berg (2012) menambahkan bahwa kekerasan dapat mengakibatkan kematian. Bushman dan Huesmann (2010) menjelaskan kekerasan sebagai subset agresi yang dapat menyebabkan luka, cacat fisik dan kematian sebagai tujuan akhirnya. Anderson dan Bushman (2002) menjelaskan agresi adalah perilaku yang muncul melalui niat untuk menyerang orang lain yang tidak ingin diserang. Baron, Branscombe dan Byrne (2008) menjelaskan bahwa agresi adalah bentuk perilaku sosial yang dipelajari dan tindakan tersebut mengarah pada terjadinya bahaya kepada orang lain. Dengan kata lain, agresi merupakan bagian dari perilaku sosial yang dilakukan oleh seseorang untuk membahayakan orang lain guna memperoleh suatu keuntungan di dalam sebuah interaksi. Berg (2012) menjelaskan perbedaan agresi dan kekerasan yang mendasar adalah agresi tidak selalu menyertakan perlakuan yang membahayakan target agresi di dalam prosesnya, tetapi kekerasan secara jelas dapat membahayakan diri seseorang. Bentukbentuk Kekerasan dapat menyebabkan seseorang terluka dan mengalami kematian sebagai tujuan akhir dari proses tindakan tersebut (Anderson dan Bushman, 2002). Berbeda dengan kekerasan, tujuan agresi adalah menciptakan bahaya atau kondisi yang tidak menyenangkan, menyebabkan perasaan bersalah pada diri target agresi ataupun dapat merusak secara psikologis pada individu. Berg (dalam Connor et al.2006) menjelaskan agresi dapat menyerang target agresi, barang kepunyaan orang lain dan diri agresor sendiri untuk mencapai tujuannya; Namun, diantara seluruh kesamaan antara agresi dan kekerasan, terdapat perbedaan pada targetnya, yaitu kekerasan menyerang diri individu sebagai target kekerasannya. 9

2 10 Kesimpulan yang dapat diambil adalah kekerasan merupakan bagian dari perilaku-perilau agresi yang dilakukan dengan niatan untuk memperoleh suatu keuntungan dari tindakan tersebut dan melalui tindakan tersebut dapat menyebabkan kematian bagi orang lain. Kekerasan yang akan diukur kecenderungannya di dalam penelitian ini berhubungan dengan pandangan, sikap dan tindakan terhadap situasi kekerasan secara umum yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari remaja dan pengukuran kecenderungan untuk melakukan kekerasan dalam pacaran diukur dengan menggunakan skala-skala yang digunakan oleh peneliti Bookwala, Frieze, Smith dan Ryan (1992) Definisi pacaran Breiding, Basile, Smith dan Marendra (2015) menjelaskan mengenai pasangan atau pacar (intimate partner) adalah seseorang yang sedang dalam hubungan personal yang dapat mencakup beberapa hal dalam hubungan tersebut, diantaranya adalah saling terhubung secara emosional, menjalin komunikasi secara berkala, mengalami kontak fisik dan perilaku seksual, dikenal oleh orang dekat mereka sebagai pasangan, serta saling akrab dan mengenal kehidupan masing-masing. Penjelasan dimensi yang dipaparkan diatas, tidak mengharuskan seseorang untuk memiliki seluruh dimensi agar dapat disebut sebagai pasangan atau pacar. Misalnya suatu hubungan tidak selalu harus dilandasi oleh adanya kontak secara fisik maupun seksual. Selama di dalam hubungan tersebut, kedua individu memiliki suatu kehendak bersama untuk menjalani suatu hubungan personal dalam kehidupan remajanya maka dua individu dapat disebut pacaran atau intimate partner. Konsep kekerasan dalam pacaran mengacu pada situasi kekerasan yang terjadi di dalam pacaran. Konsep pacaran menurut Reputriwati, dkk (dalam Tisyah dan Rochana, 2009) adalah hubungan cinta antara pria dengan wanita yang diikat dengan suatu komitmen atau janji-janji tertentu, apakah itu janji sehidup semati, apakah itu janji untuk saling berkorban, saling pengertian, saling setia atau apapun. Menambahkan penjelasan yang telah disampaikan sebelumnya, Tisyah dan Rochana (2009) memperjelas bahwa pacaran adalah sebuah fase yang akan dilalui oleh sepasang kekasih untuk saling mengenal lebih dekat dan di dalam makna cinta tersebut mencakup adanya

3 11 perasaan saling memahami, saling memberi semangat, saling menjaga dan bersamasama melakukan hal yang positif. Sedangkan pacaran adalah hubungan romantis yang dilakukan oleh dua orang untuk mengenal diri masing-masing dengan lebih baik. Rose dan Frieze (dalam White, 2009) menjelaskan pacaran sebagai sebuah interaksi sosial antara seorang wanita dan seorang pria yang berpotensi melibatkan romansa di dalamnya dan berhubungan dengan peran gender (gender roles) dan skrip seksual (sexual script). Kesimpulan seluruh definisi mengenai pacaran adalah suatu hubungan yang dijalani oleh dua orang individu untuk saling mengenal lebih dekat satu sama lain dan dilandasi oleh kehendak bersama untuk mengembangkan hubungan personal tersebut lebih lanjut. Responden yang akan menjadi sumber data penelitian akan berasal dari siswa-siswi yang saat ini sedang pacaran atau sama sekali belum pacaran, namun memiliki kehendak untuk menjalani hubungan personal dengan seseorang, tetapi belum mengungkapkan perasaan tersebut Definisi kekerasan dalam pacaran Pada konteks Indonesia dan luar negeri, kekerasan dalam pacaran memiliki perbedaan nilai-nilai dalam menjalankan pacaran, pandangan mengenai pacaran dan tujuan akhir dari sebuah pacaran. Oleh karena itu, proses dalam penentuan kekerasan dalam pacaran memiliki sejumlah perbedaaan dari makna pacaran dan bentuk kekerasan yang terjadi pada umumnya, sehingga penyesuaian definisi kekerasan dalam pacaran diarahkan pada konteks kekerasan dalam pacaran yang terjadi di Indonesia. Menurut Breiding, Basile, Smith, Black dan Mahendra (2015) mengenai kekerasan dalam pasangan pacaran adalah tindakan yang meliputi kekerasan fisik, kekerasan seksual, pengintaian dan agresi psikologis (mencakup taktik pemaksaan) kepada pasangan atau mantan pasangan (Misalnya: istri, teman pria/wanita, pasangan pacaran, atau pasangan seksual yang sedang berlangsung). Berkenaan dengan definisi yang akan diteliti oleh penulis berhubungan dengan siswa remaja yang pada umumnya berusia tahun dan bersekolah di tingkat strata SMP dan SMA, maka definisi kekerasan dalam pacaran disimpulkan sebagai tindakan agresi yang terjadi di dalam hubungan personal yang meliputi bentuk-bentuk kekerasan

4 12 fisik, emosi/psikologis, seksual, ekonomi, pengintaian dan ingkar janji, yang melalui perbuatan tersebut, salah satu individu memperoleh keuntungan melalui perbuatan tersebut dan perbuatan itu dapat membahayakan kehidupan individu yang terlibat di dalam hubungan tersebut. 2.2 Bentuk kekerasan dalam pacaran Sebuah kekerasan dapat berakibat pada kematian seseorang. Setiap bentuk-bentuk kekerasan yang terjadi dapat menjadi pemicu dan penguat terjadinya kematian individu. Kematian dapat terjadi karena seluruh bentuk kekerasan yang telah terjadi pada seseorang telah berdampak buruk pada kesejahteraan diri seseorang, sehingga keinginan untuk mengakhiri hidup dianggap oleh individu sebagai jalan keluar dalam menyelesaikan masalah yang ia alami. Pacaran yang disertai kekerasan dapat menjadi pemicu munculnya keinginan pasangan yang tertekan melakukan bunuh diri atau melukai diri sendiri. Breiding, Basile, Smith, Black dan Mahendra, (2015) menjelaskan bahwa terdapat empat bentuk kekerasan yang terjadi dalam pacaran, yaitu kekerasan Fisik, bentuk perilaku kekerasan yang melibatkan pemukulan, melukai dan menciderai secara badaniah; Kekerasan verbal/psikologis/emosional, bentuk perilaku kekerasan yang melibatkan penghinaan baik secara ucapan yang merendahkan harkat dan martabat, bahasa tubuh yang mengintimidasi, pandangan mata yang merendahkan maupun polapola yang diciptakan untuk memunculkan rasa inferior/rendah diri pada individu; Kekerasan Seksual, bentuk perilaku seksual yang tidak pantas dengan disertai atau tidak disertai oleh keinginan bersama (baik itu karena rayuan atau ancaman) atau penolakan oleh individu sendiri yang pada akhirnya akan merugikan salah satu individu; Kekerasan stalking, perilaku kekerasan dalam bentuk pelecehan dan ancaman dengan menggunakan perangkat komunikasi elektronik digital maupun perangkat lainnya demi menciptakan rasa takut dan khawatir pada individu yang diintai. LBH APIK Jakarta dalam catatan tahunan (2014), memaparkan bentuk-bentuk kekerasan dalam pacaran lainnya yang terjadi khususnya di Indonesia, terdapat enam bentuk kekerasan, selain dari empat kekerasan yang telah dipaparkan diatas dalam proses perbantuan para individu yang mengalami kekerasan dalam pacaran, yaitu

5 13 pertama, ingkar janji, bentuk kekerasan yang menggunakan ketidaktahuan dan ketidakpahaman seseorang mengenai status dan informasi yang penting bagi individu lainnya, sehingga individu tidak mengatakan hal yang benar dan menyebabkan munculnya ketidaksejahteraan fisik maupun psikologis/emosional pada individu (Seperti: penghilangan informasi mengenai status pernikahan sebelumnya (setelah menikah individu berstatus poligami, atau istri kedua pada gender wanita) dan kedua adalah Bentuk Kekerasan Pemanfaatan (Eksploitasi) Ekonomi, bentuk perilaku kekerasan dengan memanfaatkan secara ekonomi dengan meminta paksa uang dari individu. Berdasarkan pemaparan diatas, maka dapat disimpulkan terdapat enam bentuk kekerasan yang umum terjadi dalam pacaran. Keenam kekerasan dalam pacaran apabila dijabarkan secara runtut sebagai berikut: A. Kekerasan fisik: menonjok, memukul, mematahkan tulang, menampar, mengigit, mendorong dengan keras, menjitak, membenturkan kepala, mengores tubuh, menjambak, mencekik, menendang, dan lain-lain; B. Kekerasan psikologis/emosional: mencibir, menghina, berkata kasar, meludah didepan individu, caci maki, ancaman meninggalkan, cemburu berlebihan, menghina nama orangtua pasangan, mengolok-olok, menatap sinis, membuang muka, dan melarang aktivitas bersama teman-teman, keluarga dan orang yang dekat dengan individu; C. Kekerasan seksual: mencium, meraba, menyentuh daerah seksual dengan sengaja, melakukan pemaksaan hubungan seksual, praktik abortus (pemaksaan aborsi dengan tanpa izin medis yang baik); D. Kekerasan Ekonomi : mengharuskan salah satu pihak untuk mengeluarkan uang dengan paksaan, melarang bekerja, mengambil uang milik pasangan tanpa izin, dan mengambil paksa uang yang dimiliki individu. E. Kekerasan stalking (pengintaian): memeriksa sms yang masuk ke telepon genggam individu, menyebarkan foto sensual yang diminta dengan paksaan atau manipulasi oleh pasangan untuk diunggah ke daring/internet (dalam jaringan), merekam aktivitas seksual tidak pantas dan mengancam menyebarkannya ke orang-orang terdekat individu, mengirim pesan pendek melalui perangkat elektronik dengan nada ancaman atau penistaan;

6 14 F. dan Kekerasan ingkar janji: menikah dibawah tangan (tidak mencatat pernikahan di badan pencatatan pernikahan sipil), menikahi dengan tidak memberitahukan status pernikahan sebelumnya, tidak menepati janji pernikahan yang pernah disampaikan sebelumnya, dan menelantarkan pasangan tanpa ada berita sama sekali. 2.3 Penyebab kekerasan dalam pacaran Guamarawati (2009) menjelaskan bahwa penyebab munculnya kekerasan dalam pacaran dilihat dari perspektif peran gender, dapat terjadi dikarenakan adanya ketimpangan peran gender yang diperkuat dengan tekanan konstruksi sosial Patriakal. Shinta (2009) menjelaskan bahwa peran gender pria dan wanita yang tidak setara menyebabkan adanya dominansi kekerasan pada satu gender terhadap gender lainnya. Kondisi demikian dapat menyebabkan munculnya penekanan oleh individu dengan gender yang dianggap superior (pengekang) dan menindas gender yang dianggap inferior (dikekang). Ketimpangan peran gender yang terjadi dalam kekerasan dalam pacaran kerap terselubung dalam bentuk aturan-peraturan, norma, budaya, ekonomi, hubungan sosial, tata negara maupun hubungan-hubungan lainnya. Menurut Guamarawati (2009), kondisi tersebut dikarenakan adanya ketimpangan sosial yang terjadi diantara dua gender yang diakui dalam masyarakat. Kondisi tersebut, akhirnya menciptakan penekanan satu gender pada gender lainnya. Upaya tersebut dilakukan baik dalam bentuk batasan fungsi sosial, identitas gender (peran gender), penekanan pada ketidakmampuan gender yang dilukiskan dalam beragam cerita, mitos, legenda yang menyiratkan nilai-nilai yang dimiliki suatu gender yang cenderung dianggap inferior dibandingkan lawan gendernya. Semua upaya-upaya tersebut merupakan warisan dari konstruk sosial patriarki yang telah berakar lama. Kondisi ketimpangan sosial ini mempengaruhi bagaimana individu berlainan gender dalam bertindak, bersikap dan memandang situasi di masyarakat. Baik itu dalam memahami aspek biologis reproduksi seseorang maupun pola-pola yang digunakan untuk mengendalikan peran dan ruang gerak gender lainnya. Peran gender merupakan bagian dari peran sosial yang disandang oleh seseorang, yang menentukan arah hidup, kewajiban dan hak, serta peran seseorang dalam bertindak

7 15 di dalam masyakat. Seseorang yang memiliki peran gender yang dianggap tinggi di dalam masyarakat dapat menciptakan suatu kondisi ketimpangan sosial. Seperti yang diuraikan oleh Tisyah dan Rochana (2009) di dalam tulisannya, ketimpangan gender dapat menciptakan penindasan, kekerasan, pelemahan posisi suatu gender dan mengurangi peluang suatu gender untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Kepribadian Androgini menurut, Sandra Bem (1981) dipandang dapat menyelaraskan posisi antara gender pria dan wanita dalam hal bertindak dan berperilaku di masyarakat. Oleh karena itu, kepribadian Androgini dianggap sebagai suatu solusi dalam pencapaian kesetaraan gender di dalam masyarakat patriarkal. Menurut Sarwono (2012) suatu peran gender merupakan bagian dari peran sosial. Pada kondisi tersebut pria dan wanita masing-masing dihadapkan pada suatu peraturan tidak tertulis untuk menjalankan tugas sesuai dengan peran gendernya atau dengan kata lain peran sosialnya. Peran sosial juga secara tidak langsung menentukan sejauh mana seseorang dapat mencapai pencapaian di dalam masyarakat. Penelitian Sandra Bem (dalam Sarwono, 2012) menjelaskan bahwa konteks peran gender pada negara dengan ekonomi berkembang (praindustri) yang memiliki kondisi yang relatif sama dengan Indonesia, terdapat suatu kecenderungan, bahwa peran gender ditentukan menjadi dua jenis, yaitu peran gender pria (tipe maskulin) yang ditandai dengan sifat ambisius, aktif, kompetitif, objektif, mandiri, agresif, pendiam dan sifat kepriaannya lainnya, dan wanita (tipe feminim) ditandai dengan sifat-sifat seperti pasif, lemah lembut, subjektif, dependen, emosional dan sifat kewanitaan lainnya. Menurut Sandra Bem perbedaan di antara identitas seksual pada negara ekonomi maju (Industri) melahirkan dua peran gender tambahan, yaitu peran gender androgin dan unidifferentiated. Peran gender androgin merupakan peran gender kombinasi dari kedua peran dasar yaitu maskulin (sifat pria) dan feminin (sifat wanita) yang dijelaskan sebagai sifat pria dan wanita di ambang atas rata-rata atau dengan kata lain dapat menyesuaikan diri antara peran pada pria dan peran pada wanita sesuai dengan konteks situasi dan kondisi yang dihadapi (luwes dan mudah menyesuaikan diri). Sedangkan peran gender unidifferentiated ditandai dengan kekakuan dan kesulitan dalam menyesuaikan kepribadian dan pekerjaan yang identik dengan tugas yang cenderung berorientasi kewanitaan maupun pria.

8 16 Dorongan hormonal pada usia remaja dapat menyebabkan seseorang menjadi mudah terpicu emosi. Selain, usia remaja (adolescence) menuju usia dewasa muda (young adult) yang mengalami pertumbuhan secara pesat dalam perkembangan tubuh, kemampuan nalar maupun proses interaksi sosial. Pada usia tersebut, juga mendorong munculnya pelepasan emosi yang lebih besar dalam usia tersebut. Pada usia setelah memasuki dewasa muda masih didapati adanya dorongan hormonal, namun tidak sebesar pada usia remaja menuju dewasa. Dorongan hormonal tersebut pada pria disebut sebagai hormon testoteron dan pada wanita disebut sebagai hormon estrogen. Kasuskasus kekerasan yang dilakukan oleh individu pada usia remaja, pada umumnya lebih mudah terpancing emosinya, sehingga melampiaskan dengan cara yang tidak dewasa, yaitu dengan kekerasan. Pada usia remaja, seseorang mulai mengenal adanya rasa suka terhadap remaja yang berbeda jenis kelamin. Dalam usia remaja juga, seseorang memiliki kecenderungan untuk melampiaskan kemarahan apabila tersulut emosinya, yang dikarenakan ejekan, amarah, hinaan ataupun merasa direndahkan. Pada usia tersebut, perkembangan emosi remaja belum matang secara emosi karena masih dalam proses pengembangan kepribadian dan pembentukan karakter. Oleh karena itu, diperlukan adanya bimbingan baik dari pihak keluarga, pihak sekolah maupun pihak masyarakat agar remaja dapat menemukan jati dirinya masing-masing. Pada usia remaja perkembangan fisik berkembang dengan baik, namun perkembangan emosi masih labil dan membutuhkan bimbingan dari orangtua/keluarga, komunitas dan sekolah. Pada usia remaja yang sedang dalam proses menemukan jati dirinya. Seorang remaja cenderung mudah menirukan apa yang dilakukan oleh orang dewasa (orang yang dianggap sebagai yang lebih besar dan lebih tua oleh remaja), baik melalui cara menyelesaikan masalah, cara berinteraksi maupun pertemanan (peer). Pada umumnya, sikap ikut-ikutan merupakan cara yang dipelajari oleh remaja untuk membenarkan perilaku menyimpang yang ia pelajari melalui peniruan dari orang dewasa (misal: orangtua, guru, kakak kelas, tokoh masyarakat, ataupun orang yang dianggap sebagai role model. Seperti aktor/aktris di media). Pola remaja yang demikian, umumnya menjadi mudah mempelajari apapun yang dilihat dan dipersepsikan oleh indera sebagai sesuatu yang keren, hebat, menarik, gaul maupun tidak mainstream. Sehingga perkembangan remaja yang dianggap dengan sebutan anak baru gede (ABG), melihat

9 17 adanya suatu dorongan dalam diri untuk meniru atau mempelajari apa yang dilakukan oleh orang dewasa. Walaupun, hal tersebut dianggap wajar di usia remaja menuju dewasa muda, namun pada usia remaja lebih dominan ditemukan adanya kerentanan mereka terpapar oleh kesalahan dalam memahami gaya bergaul yang cenderung menyimpang. Perilaku menyimpang itu, adalah mengambil jalan kekerasan sebagai cara menyelesaikan masalah, seperti konsumsi rokok, alkohol maupun zat adiktif yang membahayakan tubuh, seperti narkoba serta pola perilaku kekerasan dalam pertemanan. Perilaku demikian, selain dapat membahayakan orang lain, juga dapat mengancam diri remaja. Usia remaja saat ini dihadapkan pada tantangan untuk melalui masa-masa pendewasaannya. selain mengalami proses adaptasi nilai-nilai, norma dan aturan yang berlaku di dalam masyarakat, juga mengalami kesulitan dalam menghadapi ketidaksesuaian antara apa yang dipelajari sebagai yang baik dan benar di dalam kehidupan sehari-hari dengan apa yang akan dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. Kondisi tersebut tidak jarang membuat remaja sulit memahami perbedaan antara penerapan nilai yang dipelajari dan kenyataan dalam kehidupan sehari-hari, antara apa yang terjadi di lingkungan pergaulan remaja dan apa yang dipelajari dalam masyarakat. Misalnya pada sikap yang harus ditampilkan pria sebagai maskulin, harus mampu memimpin, tidak boleh menangis sekalipun dan harus lebih kuat menahan derita dibandingkan lawan jenis, wanita. Sedangkan pada wanita, harus menampilkan perilaku yang menghormati gender pria, tidak boleh memberi saran, kritik bahkan bantahan pada lawan gender, dan seharusnya bersikap manis dan penurut dalam setiap kesempatan. Kondisi demikian seringkali mendorong pikiran remaja untuk mudah terpicu emosi, frustrasi. Hal ini pada akhirnya, memicu sikap pembiaran atau penolakan terhadap nilainilai dan norma yang ada di dalam masyarakat. Pada masa remaja antara gender pria dan gender wanita, terdapat perbedaan dalam menyikapi suatu masalah. Salah satu perbedaannya adalah dalam cara menyelesaikan masalah yang dihadapi dalam hubungan antara pertemanan dan pacaran. Kerapkali kekerasan dianggap sebagai suatu cara yang efektif dalam menghadapi ancaman agresi yang diterima oleh remaja, baik dalam pertemanan maupun pacaran. Kekerasan dalam pacaran dapat terjadi karena adanya sex difference (perbedaan fungsi seksualitas) yang berbeda antara pria dan wanita, baik dari sudut pandang biologis (fungsi hormonal

10 18 testoteron/estrogen), fungsi reproduksi/seksualitas masing-masing gender maupun peran sosial (identitas gender/peran gender). Guamarawati (2009) menjelaskan penyebab kekerasan muncul di dalam pacaran dapat dipahami melalui perspektif gender, yaitu dikarenakan adanya suatu ketimpangan gender yang diperkuat dengan tekanan konstruksi sosial Patriakal yang telah berakar lama dalam masyarakat. Shinta (2009) menjelaskan peran gender pria dan gender wanita yang tidak setara menyebabkan adanya dominansi kekerasan pada satu gender terhadap gender lainnya. Peran gender memiliki andil besar dalam menentukan tekanan yang dihadapi oleh suatu gender dalam menghadapi tanggung jawab di dalam kehidupan sosial. Kehidupan sosial memiliki dampak pada kewajiban dan kehendak yang berlaku di dalam masyarakat. Sehingga, tekanan pada diri individu semakin besar saat kewajiban/hak suatu gender tidak tercapai. 2.4 Dampak kekerasan dalam pacaran Davis (2008) menjelaskan bahwa individu yang pernah terpapar kekerasan fisik melaporkan adanya paparan kekerasan lainnya setelah beberapa bulan atau beberapa tahun kemudian pasca pacaran tersebut berlangsung. Kekerasan dalam pacaran dapat terjadi sekali, namun dapat terjadi kembali berulangkali pada kesempatan yang berbeda. Namun, kekerasan dalam pacaran dapat menyebabkan luka fisik maupun trauma psikologis yang lama untuk disembuhkan. Kekerasan juga dapat mengakibatkan kecacatan fisik yang disebabkan oleh kekerasan secara fisik dan mengalami gangguan kesehatan apabila mengalami kekerasan secara seksual dalam bentuk hubungan seksual (misal: terjangkit Virus HIV AIDS atau Human Auto immunodeficiency Virus), yang menyebabkan menurunnya kekebalan tubuh terhadap kuman penyakit dan mengalami depresi dengan situasi yang dihadapi. Hal ini lambat laun dapat mengakibatkan hilangnya semangat dan harapan hidup individu dalam melanjutkan kehidupan di masa dewasa dan berpengaruh pada kecenderungan untuk mengalami trauma, dan mencoba melukai diri sendiri apabila tidak mendapat bantuan dari pihak yang berkompeten menangani kasus tersebut. (Misal: percobaan bunuh diri). Dampak Fisik merupakan dampak yang terjadi melalui penganiayaan yang dialami oleh individu, yang menjadi suatu momok yang tidak mudah dilupakan karena bentuk

11 19 dan tanda kekerasan yang membekas dalam bentuk luka maupun memar. Hal ini berdampak pada munculnya rasa rendah diri seseorang saat berusaha membangun hubungan pacaran yang baru, rasa khawatir bila bertemu dengan calon pasangan yang baru, dan rasa rendah diri bila berjalan keluar rumah dan kekhawatiran akan menjadi bahan pergunjingan orang-orang yang menilai buruk dirinya. Dampak Psikologis adalah dampak berupa munculnya kecemasan, kekhawatiran, dan ketakutan yang tidak diketahui penyebabnya. Disamping itu, secara psikologis seseorang lebih mungkin mengalami depresi akut (PTSD), seperti sulit tidur dimalam hari dan merasa dirinya tidak berguna, merasa dirinya bodoh karena tidak mampu mencegah hal buruk yang telah terjadi dalam pacaran dengan kekerasan, harga diri rendah dan muncul keinginan bunuh diri dan kehilangan harapan akan masa depan yang baik di saat dewasa. Dampak Seksual adalah dampak pelecehan seksual yang dialami oleh individu yang dapat berakibat buruk secara fisik dan psikologis, diantaranya mengalami stres berkepanjangan, rasa cemas, sulit menumbuhkan kepercayaan diri, terutama saat bertemu dengan pasangan baru, saat individu menjalani kehidupan berumah tangga mengalami kesedihan dan ratapan ketakutan mengenai pengalaman buruk yang telah terjadi sebelumnya, mengalami gejala-gejala stres yang muncul tanpa sebab dan mengalami kondisi kesehatan yang memburuk dikarenakan kemungkinan dan ketakutan mengidap penyakit menular seksual, seperti HIV AIDS. Dampak Sosial, wanita yang telah mengalami kekerasan dalam pacaran seringkali merasa takut, cemas dan khawatir saat bertemu dengan orang lain. Hal ini, selain merugikan diri individu juga mengalami kerentanan dijauhi oleh orang-orang disekitarnya karena dianggap sebagai individu yang tidak baik-baik atau sulit memperoleh jodoh atau calon pasangan yang baik dimasa mendatang, sehingga ketakutan tersebut memupuskan harapan individu untuk menikah dan menjalani bahtera pernikahan yang bahagia kelak di masa dewasa nantinya. Chase, Treboux dan O'Leary (2002) menjelaskan mengenai dampak buruk kekerasan dalam pacaran dapat menimpa gender pria maupun gender wanita yang diantaranya mencakup perkembangan fisik, sosial, psikologis individu. Selain itu, Olshen, McVeigh, Wunsch-Hitzig, dan Rickert (2007) menjelaskan mengenai bentukbentuk emosi yang muncul dalam bentuk ketakutan, kecemasan, kekhawatiran, rasa

12 20 ketidakberdayaan dan ketidakmampuan dalam mengambil keputusan dalam hidupnya, serta bentuk-bentuk gangguan psikologis yang umum dialami oleh individu yang mengalami kekerasan dalam pacaran, diantaranya, yaitu munculnya gangguan psikologis, seperti PTSD. Post traumatic stress disorder adalah suatu gangguan trauma serius yang menimpa seseorang yang mengalami kekerasan atau pengalaman traumatis, yang ditandai dengan simtom mengalami mimpi buruk, merasa diamati oleh orangorang, kelambanan dalam beraktivitas dan sulit membedakan antara realita dan imajinasi. Dampak stres akut dapat menjadi pemicu depresi yang menganggu aktivitas sehari-hari individu. Kondisi depresi itu ditandai dengan rasa percaya diri yang rendah, pandangan yang monoton/sulit mengubah pandangan secara positif mengenai tujuan hidup, tidak bersemangat menjalani hidup, tidak dapat mengembangkan potensi diri, kreativitas terhambat, sulit berkonsentrasi saat belajar, dan pengendalian diri individu yang lemah dapat memunculkan pola ketergantungan obat dan minuman beralkohol, serta keinginan bunuh diri. Olshen, McVeigh, Wunsch-Hitzig, dan Rickert (2007) menjelaskan setiap bentukbentuk kekerasan memiliki kemungkinan untuk menyebabkan kematian pada salah seorang pasangan. Baik itu dikarenakan perbuatan seseorang terhadap orang lainnya, maupun bentuk kekerasan yang ditujukan kepada diri sendiri, dalam bentuk percobaan bunuh diri (suicide attempt). Oleh sebab itu, sebuah kekerasan dalam pacaran memiliki dampak besar yang merugikan individu. 2.5 Kecenderungan untuk melakukan kekerasan dalam pacaran Definisi kecenderungan untuk melakukan kekerasan dalam pacaran Kecenderungan seseorang untuk melakukan kekerasan dalam pacaran merupakan suatu kehendak dalam diri seseorang untuk mengambil keputusan apakah akan mengambil pilihan untuk melakukan kekerasan dalam interaksi pacaran atau menggunakan pilihan tindakan yang mengutamakan pilihan logis berdasarkan akal sehat dalam interaksi pacaran. Tingkat kecenderungan seseorang untuk melakukan kekerasan dalam pacaran. Kecenderungan seseorang dalam menentukan apa yang hendak ia lakukan saat dihadapkan pada situasi yang menghendakinya untuk melakukan kekerasan dalam

13 21 pacaran. Menurut Bookwala, Frieze, Smith dan Ryan (1992) terdapat enam dimensi (prediktor) yang menentukan tingkat kecenderungan seseorang untuk melakukan kekerasan dalam pacaran (Expressed violence). Pada dimensi romantic jealousy yang diukur oleh peneliti Bookwala, Frieze, Smith dan Ryan (1992) terdapat dua skala yang dapat digunakan untuk mengukur dimensi tersebut, yaitu skala Passionate Love dan skala yang dikembangkan oleh Grote untuk mengukur kecemburuan, dikarenakan skala yang dapat diperoleh penulis hanya skala Rapson dan Hatfield Passionate Love, maka penulis hanya menggunakan satu skala tersebut. a. Dimensi Attitudes toward Violence (sikap terhadap kekerasan) diukur menggunakan skala Adversarial Sexual belief. b. Dimensi Sex role attitudes (sikap peran gender) diukur menggunakan skala Macho. c. Dimensi Romantic jealousy (Kecemburuan) diukur menggunakan skala yang terdapat di dalam Skala Hatfield dan Rapson Passionate Love. Selanjutnya Skala Hatfield dan Rapson Passionate love disingkat menjadi Passionate Love Scale. d. Dimensi General levels of interpersonal aggression (Tingkat Agresi Interpersonal umum) diukur menggunakan skala yang dikembangkan oleh penulis dengan bimbingan ahli, yang terdiri dari butir-butir soal yang disesuaikan konteksnya dengan kecenderungan kekerasan maupun agresi yang dialami siswa-siswi di usia remaja. Selanjutnya dimensi general levels of interpersonal aggression disingkat menjadi dimensi general interpersonal aggression (GIA). e. Dimensi Verbal aggression (Agresi Verbal) diukur menggunakan skala psychological aggression yang terdapat di dalam Alat ukur Straus Conflict Tactic Scale (CTS) subset skala psychological. f. Dimensi Receipt violence (Penerimaan terhadap Kekerasan) diukur menggunakan skala received violence yang terdapat di dalam Alat ukur Straus Conflict Tactic Scale (CTS) subset skala received violence. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Bookwala, Frieze, Smith dan Ryan (1992) terdapat dua kelompok pengukuran dimensi berdasarkan jenis kelamin. Dimensi-dimensi yang berdampak besar pada gender pria diantaranya adalah dimensi sex role attitudes (sikap peran gender), dimensi Verbal aggression (agresi verbal), dimensi attitudes toward violence (sikap terhadap kekerasan), dan dimensi received

14 22 violence (penerimaan terhadap kekerasan). Pada gender wanita mencakup dimensi general interpersonal aggression (agresi interpersonal umum), dimensi attitudes toward violence (sikap terhadap kekerasan), dimensi verbal aggression (agresi verbal), dimensi sex role attitudes (sikap peran gender), dimensi romantic jealousy (kecemburuan) dan dimensi received violence (kekerasan yang diterima oleh seseorang) Dimensi-dimensi kecenderungan untuk melakukan kekerasan dalam pacaran Bookwala, Frieze, Smith dan Ryan (1992) menjelaskan bahwa terdapat dimensidimensi yang berperan dalam menentukan kecenderungan seseorang untuk melakukan kekerasan dalam pacaran (Expressed violence), dimensi-dimensi yang berperan tersebut dianggap kuat dalam memprediksikan (menjadi prediktor) terhadap kemungkinan seseorang untuk melakukan kekerasan dalam pacaran, dimensi-dimensi tersebut diantaranya adalah dimensi attitudes toward violence (sikap terhadap kekerasan), dimensi sex role attitudes (sikap peran gender), dimensi romantic jealousy (kecemburuan), dimensi general interpersonal aggression (agresi interpersonal umum), dimensi verbal aggression (agresi verbal), dan dimensi receipt violence (penerimaan terhadap kekerasan). Dimensi-dimensi yang berperan dalam melihat adanya kecenderungan seseorang melakukan kekerasan dalam pacaran (Expressed violence), diantaranya: Dimensi Attitudes toward violence (sikap terhadap kekerasan) Studi Literatur yang dilakukan oleh Bookwala, Frieze, Smith dan Ryan (1992), mengenai penelitian sebelumnya, tentang sikap terhadap kekerasan dan kekerasan dalam pacaran, pada pria yang melakukan agresi dalam masa pacaran cenderung menunjukkan sikap penerimaan yang lebih besar dibandingkan wanita yang melakukan agresi. Berbeda halnya dengan temuan yang diperoleh, Gate et al; Henton et al (dalam Bookwala, Frieze, Smith dan Ryan, 1992) bahwa pada studi partisipan non agresif tidak ditemukan adanya hubungan asosiasi dengan hubungan disertai kekerasan. Namun, Burke, Stets, dan Pirog-Good (dalam Bookwala, Frieze, Smith dan Ryan, 1992) menemukan perbedaan diantara pria dan wanita, diketahui pria lebih besar

15 23 kemungkinannya dibandingkan wanita untuk mendorong adanya sikap penerimaan terhadap kekerasan. Dalam studi yang digagas oleh Bookwala, Frieze, Smith dan Ryan (1992) sikap responden terhadap kekerasan yang diperoleh melalui Skala Adversarial Sexual Beliefs yang dikembangkan oleh Burt (dalam Bookwala, Frieze, Smith dan Ryan, 1992), bahwa Skala ini mengukur sejauh mana responden menganggap hubungan yang dijalani akan secara fundamental mulai menjadi memperalat pacar/eksploitatif... yang pada setiap kelompok dari responden cenderung memperalat orang lain, memperdayai antar individu, mencurangi satu sama lain, dan tidak sebaiknya untuk dipercaya. Burt (dalam Bookwala, Frieze, Smith dan Ryan, 1992) menemukan Adversarial Sexual belief secara positif berkorelasi dengan mitos penerimaan terhadap perkosaan. Menurut Bookwala, Frieze, Smith dan Ryan (1992) bahwa konsisten dengan penelitian diawal bila pria mendorong sikap terhadap kekerasan lebih kuat dibandingkan wanita dan melalui skala ini pengekspresian kekerasan (expressed violence) akan memiliki skor yang lebih tinggi pada pria, namun tidak ditemukan adanya suatu hubungan pada wanita Dimensi Sex role attitudes (sikap peran gender) Flynn (dalam Bookwala, Frieze, Smith dan Ryan, 1992) mengenai penelitian relasi antara sikap peran gender dan kekerasan, bahwa sikap peran gender yang sedikit tradisional berasosiasi dengan sedikitnya waktu yang dihabiskan dalam relasi dengan kekerasan, dan Follingstad, Rutledge, Polek, dan McNeill-Hawkins (dalam Bookwala, Frieze, Smith dan Ryan, 1992) memaparkan bahwa sikap peran gender yang lebih tradisional terhadap peran wanita cenderung memiliki asosiasi dengan permulaan suatu kekerasan untuk terjadi dalam suatu hubungan pacaran. Temuan lainnya, dari Sugarman dan Hotaling (dalam Bookwala, Frieze, Smith dan Ryan, 1992) memaparkan bahwa bukti empiris juga menunjukkan sikap peran gender lebih tradisional secara signifikan memprediksikan pria dalam mengarahkan kehendak ke dalam kekerasan dan peneliti (Crossman, Stith, dan Bender; Ryan; Sigelman, Berry, dan Wiles; Smith (dalam Bookwala, Frieze, Smith dan Ryan, 1992), menjelaskan bahwa pada pria yang bertindak keras menunjukkan sikap lebih tradisional dalam memandang peran gender terhadap

16 24 wanita dibandingkan pria yang tidak bertindak keras. Selain itu, temuan yang diperoleh Spence, Helmreich, dan Stapp (dalam Bookwala, Frieze, Smith dan Ryan, 1992) dalam perbandingan umum silang gender telah menemukan bahwa pria mengedepankan sikap peran gender lebih tradisional dibandingkan wanita. Studi hubungan antara sikap peran gender dan kekerasan dalam pacaran yang dipaparkan oleh Bookwala, Frieze, Smith dan Ryan (1992) menggunakan Skala macho milik Villemez dan Touhey, 1977 sebagai pengukur sikap peran gender dan hubungannya dengan kekerasan dalam pacaran. Spence, Helmreich, dan Stapp (dalam Bookwala, Frieze, Smith dan Ryan, 1992) menjelaskan bahwa Skala Macho disusun untuk melihat stereotip pria dan wanita, sehingga dengan skala ini dapat diperoleh banyak informasi, dibandingkan skala lain yang mengukur gender secara terpisah, seperti Attitudes Toward Women Scale, lebih lanjut mengenai Skala macho, Gayton, Sawyer, Baird, dan Ozmon (dalam Bookwala, Frieze, Smith dan Ryan, 1992) menunjukkan bahwa individu-individu dibedakan antara yang sedikit memiliki sikap tradisional dengan yang lebih mengenggam sikap konservatif sehubungan dengan peran gender. Menurut Bookwala, Frieze, Smith dan Ryan (1992) menelusuri penelitian sebelumnya mengenai skala ini, pria diharapkan memperoleh nilai skor yang lebih tinggi (lebih tradisional) dalam sikap peran gender dibandingkan wanita. Sehingga melalui skala ini, maka dapat diketahui suatu asosiasi antara sikap peran gender tradisional dan perilaku kekerasan dalam diri pria, sikap peran gender menurut Bookwala, Frieze, Smith dan Ryan (1992) dianggap sebagai sebuah prediktor penting kekerasan dalam pacaran pada pria, dibandingkan pada wanita. Beere (dalam Bookwala, Frieze, Smith dan Ryan, 1992) memaparkan bahwa butirbutir soal dalam skala ini mengarah pada peran dalam pekerjaan/prestasi, peran dalam keluarga, dan karakteristik kepribadian dengan beberapa butir-butir soal yang merefleksikan pandangan stereotip pria dan wanita Dimensi Romantic jealousy (kecemburuan) Sugarman dan Hotaling (dalam Bookwala, Frieze, Smith dan Ryan, 1992) menemukan dalam studi literaturnya bahwa kecemburuan menjadi suatu penyebab

17 25 paling menekan dalam topik kekerasan dalam pacaran. Stets dan Pirog-Good (dalam Bookwala, Frieze, Smith dan Ryan, 1992) menjelaskan bahwa kecemburuan merupakan prediktor dalam mengekspresikan kekerasan pada wanita, namun tidak berlaku pada pria. Mathes, Adams dan Davies (dalam Bookwala, Frieze, Smith dan Ryan, 1992) menjelaskan bahwa banyak studi-studi menemukan bahwa naiknya tingkat pelaporan mandiri mengenai kecemburuan pada wanita dibandingkan pria. Sedangkan menurut White; White dan Mullen (dalam Bookwala, Frieze, Smith dan Ryan, 1992) bahwa kecemburuan wanita lebih berhubungan dengan dependensi/ketergantungan wanita terhadap hubungan yang berjalan, sedangkan pada kecemburuan pria lebih berhubungan dengan sikap peran gender tradisional yang dimilikinya. Pengukuran kecemburuan oleh peneliti Bookwala, Frieze, Smith dan Ryan (1992) dilakukan dengan menggunakan skala Passionate Love scale dan dan tiga butir soal yang dikembangkan oleh Grote (dalam Bookwala, Frieze, Smith dan Ryan, 1992) yang mengukur love styles (jenis cinta). Butir-butir soal yang digunakan oleh peneliti (Bookwala, Frieze, Smith dan Ryan, 1992) adalah butir-butir soal yang mengukur reaksi emosi terhadap kecemburuan. Pada penyusunan skala kecemburuan, penulis hanya memperoleh alat ukur Passionate Love Scale untuk pengukuran kecemburuan Dimensi General interpersonal aggression (tingkat agresi interpersonal umum) Bookwala, Frieze, Smith dan Ryan (1992) menjelaskan dimensi general interpersonal aggression sebagai sejauhmana individu-individu memiliki riwayat agresi yang diarahkan kepada orang lain. Mengacu pada model eksplanatori mengenai kekerasan dalam pacaran, oleh Riggs dan O Leary (dalam Bookwala, Frieze, Smith dan Ryan, 1992), individu-individu yang memiliki riwayat perkelahian dengan orang lain cenderung lebih mungkin untuk melakukan agresi di dalam sebuah hubungan pacaran. Selain itu, Deal dan Wampler; Gwartney-Gibbs, Stockard dan Bohmer (dalam Bookwala, Frieze, Smith dan Ryan, 1992) juga menunjukkan bahwa kekerasan yang dialami pada hubungan pacaran sebelumnya, dapat menjadi prediktor terhadap kekerasan dalam hubungan pacaran yang sedang dijalani oleh seseorang. Hyde (dalam Bookwala, Frieze, Smith dan Ryan, 1992) menemukan bahwa tinjauan perbedaan

18 26 gender secara umum ditemukan bahwa, pria lebih besar kemungkinannya dibandingkan wanita untuk melaporkan jumlah kekerasan yang dilakukan diluar konteks situasi bukan pacaran. Pengukuran peneliti Bookwala, Frieze, Smith dan Ryan (1992) dengan beberapa item yang dikonstruksikan untuk studi general interpersonal aggression mengukur frekuensi seseorang terlibat dalam beragam perilaku agresif di masa lalu. Seluruh butir soal yang diukur dengan menggunakan skala yang dikonstruksi oleh peneliti Bookwala, Frieze, Smith dan Ryan (1992) terbagi menjadi tiga bagian, yaitu getting into physical fights outside the home (terlibat dalam perkelahian fisik diluar rumah), directing violence toward objects (mengarahkan kekerasan ke arah benda/objek), threatened and actual aggression against a same sex friend or a date (mengancam dan agresi langsung terhadap seorang teman yang memiliki kesamaan jenis kelamin atau pada pacar) Dimensi Verbal aggression (agresi verbal) Straus, Gelles, dan Steinmetz, (dalam Bookwala, Frieze, Smith dan Ryan, 1992) menjelaskan bahwa variabel yang paling kecil diperhatikan dalam penelitian kekerasan dalam pacaran adalah agresi verbal, walaupun variabel ini sebelumnya telah didiskusikan sebagai prediktor agresi di dalam pernikahan. Berdasarkan hasil penelitian Billingham (Billingham & Sack, dalam Bookwala, Frieze, Smith dan Ryan, (1992) ditemukan subjek yang tidak melakukan kekerasan dalam pacaran, cenderung memiliki tingkat agresi verbal yang lebih rendah dibandingkan subjek yang terbiasa melakukan kekerasan. Sebagai tambahan, ditemukan mengenai penelitian tersebut oleh Bookwala, Frieze, Smith dan Ryan (1992) bahwa terdapat perbedaan signifikan dalam skor agresi verbal antara subjek pria dan wanita, dengan pria memperoleh skor yang lebih rendah. Studi general aggression yang dilakukan oleh Hyde (dalam Bookwala, Frieze, Smith dan Ryan, 1992) berkenaan dengan agresi verbal pada gender pria dan wanita tidak ditemukan bentuk agresi verbal yang lebih tinggi pada wanita dibandingkan pria. Juga ditemukan bahwa, penelitian dalam kekerasan dalam pernikahan menunjukkan tingkat agresi verbal yang lebih tinggi dalam pasangan suami dan istri yang mengekspresikan

19 27 kekerasan satu sama lain, oleh peneliti Frieze dan Mchugh (dalam Bookwala, Frieze, Smith dan Ryan, 1992). Pengukuran dimensi agresi verbal oleh peneliti (Bookwala, Frieze, Smith dan Ryan, 1992) menggunakan Straus Conflict tactics Scale dengan subset psychological scale untuk mengukur agresi verbal seseorang terhadap pacar Dimensi Receipt violence (penerimaan terhadap kekerasan) Menurut penelitian Bernard, dan Bernard; Cate et al; Marshall dan Rose; Gwartney- Gibbs et al; Sigelman et al (dalam Bookwala, Frieze, Smith dan Ryan, 1992) menunjukkan bahwa terlibat dalam hubungan yang salah satu pasangannya melakukan kekerasan merupakan satu prediktor yang kuat dalam kekerasan dalam pacaran. Hasil yang diluar dugaan ini diperoleh, khususnya pada wanita, menurut Bookwala, Frieze, Smith dan Ryan (1992). Bukti ini menurut Bookwala, Frieze, Smith dan Ryan, (1992) menunjukkan bahwa ketika wanita mengalami kekerasan di dalam suatu hubungan yang dekat (misal: pacaran), wanita akan menyerang balik. Sebagai contoh pada penelitian Frieze dan Browne (dalam Bookwala, Frieze, Smith dan Ryan, 1992) tentang penelitian pada wanita yang mengalami pemukulan memberikan suatu informasi bahwa banyak kekerasan dilakukan wanita dikarenakan adanya permulaan kekerasan yang dilakukan pria. Disamping itu, Marshall dan Rose (dalam Bookwala, Frieze, Smith dan Ryan, 1992) mengungkapkan hal yang sama di dalam penelitiannya, bahwa variabel ekspalanatori yang paling penting dalam kekerasan dalam pacaran pada wanita adalah adanya kekerasan yang dialami oleh pasangan (received violence). Berdasarkan penjelasan tersebut, Marshall dan Rose (dalam Bookwala, Frieze, Smith dan Ryan, 1992) menjelaskan kembali bahwa wanita secara utama akan melakukan kekerasan ketika ia mengalami kekerasan sebelumnya. Selain itu, Makepeace (dalam Bookwala, Frieze, Smith dan Ryan, 1992) melaporkan dalam penelitiannya, bahwa perilaku kekerasan yang dilakukan oleh wanita dideskripsikan sebagai sebuah tindakan melindungi diri, sedangkan pada pria menjelaskan perilaku kekerasan yang ia lakukan sebagai bentuk intimidasi. Meskipun peneliti (Bookwala, Frieze, Smith dan Ryan, 1992) menganggap dampak penerimaan terhadap kekerasan lebih besar pada wanita dibandingkan pria, peneliti memprediksikan dampak variabel ini pada pria juga.

20 28 Menurut Geen (dalam Bookwala, Frieze, Smith dan Ryan, 1992) anak-anak yang akan tumbuh menjadi pria yang bersosialisasi dalam masyarakat kita untuk melindungi diri mereka dan melawan balik bila mengalami penyerangan, dan pada waktu yang bersamaan, pria bersosialisasi untuk tidak agresif terhadap wanita. Menurut Bookwala, Frieze, Smith dan Ryan (1992), norma yang mengalami konflik satu sama lain ini mungkin bisa jadi menciptakan hasil yang bercampur pada pria dan wanita dalam hal dampak kekerasan pada pasangan. Skala Straus Conflict tactic yang digunakan dalam penelitian (Bookwala, Frieze, Smith dan Ryan, 1992) yang mengukur agresi verbal, pengekspresian kekerasan dalam pacaran, dan penerimaan terhadap kekerasan dalam pacaran. Menurut Bookwala, Frieze, Smith dan Ryan (1992) mengenai pengukuran ini sebagai pengukuran standar tingkat kekerasan dalam suatu hubungan dan pengukuran ini mencakup strategi yang digunakan kebanyakan orang untuk menyelesaikan konflik dengan pasangannya, beberapa cara yang digunakan diantaranya adalah agresi verbal, ancaman dan beberapa tindakan yang spesifik mengarah pada agresi fisik. Dalam Rangkuman, Peneliti Bookwala, Frieze, Smith dan Ryan (1992) menggunakan multiple regression analysis untuk mengukur kumpulan variabel-variabel yang diketahui dapat memprediksikan pengekspresian kekerasan dalam pacaran yang muncul menjadi prediktor yang signifikan ketika diujikan secara bersamaan. Peneliti Bookwala, Frieze, Smith dan Ryan (1992) mengantisipasi perbedaan pola prediktor pengekspresian kekerasan antara pria dan wanita, peneliti menggunakan regression analysis secara terpisah untuk pria dan wanita. Secara khusus peneliti Bookwala, Frieze, Smith dan Ryan (1992) memprediksikan sikap penerimaan terhadap kekerasan (Attitudes toward violence), sikap peran gender yang tradisional (traditional sex role attitudes) yang lebih besar, tingkat agresi interpersonal umum (general interpersonal aggression) yang tinggi, adanya agresi verbal (verbal agression), dan kekerasan yang diterima (received violence atau physical violence received from one s partner) akan menjadi prediktor yang signifikan pada pria. Pada wanita, skor yang lebih tinggi pada kecemburuan (romantic jealousy), tingkat agresi interpersonal yang tinggi (high general interpersonal aggression), adanya agresi verbal (Verbal aggression) dan kekerasan yang diterima (received violence atau physical violence received from one s partner) akan menjadi prediktor yang signifikan pada wanita. Sebagai tambahan, peneliti

21 29 Bookwala, Frieze, Smith dan Ryan (1992) menggunakan sebuah persiapan hitungan dengan multivariate analysis of variance (MANOVA) untuk meneliti perbedaan gender dalam skor rata-rata pada beragam pengukuran yang digunakan dalam studi ini. Analisa ini menurut, Bookwala, Frieze, Smith dan Ryan (1992) untuk menentukan jika pria benar-benar memiliki skor lebih tinggi dibandingkan wanita dalam adversarial sexual belief (dimensi atttitudes toward violence), adanya dorongan lebih tradisional pada sikap peran gender, dan melaporkan adanya tingkat agresi interpersonal umum (general interpersonal aggression) yang lebih tinggi dan apakah wanita melaporkan adanya rasa cemburu (romantic jealousy) yang lebih besar dibandingkan wanita Dimensi Expressed violence (Pengekspresian kekerasan) Penjelasan mengenai pengekspresian kekerasan yang terdapat dalam diskusi penelitian Bookwala, Frieze, Smith dan Ryan (1992) menunjukkan bahwa sebuah permulaan pola kekerasan yang dilakukan, bahkan dalam bentuk kekerasan kecil sekalipun, dapat menjadi penanda permulaan dari gaya interaksi yang mengarah pada kekerasan berat dan dapat membahayakan nyawa seseorang. Penjelasan ini, diperjelas kembali melalui penelitian yang dilakukan oleh Walker (dalam Bookwala, Frieze, Smith dan Ryan, 1992) bahwa seringkali ditemukan pengekspresian kekerasan kecil pada awal hubungan ditemukan di dalam kasus pemukulan terhadap istri di dalam kekerasan rumah tangga yang berat. Dalam sampel penelitian Bookwala, Frieze, Smith dan Ryan (1992) pengekspresian kekerasan terhadap seorang pacar terlihat pada kedua gender, yang pada gender wanita melaporkan pengekspresian kekerasan lebih banyak dalam hubungan pacaran yang dijalaninya dibandingkan gender pria. Dalam penelitian ini, Bookwala, Frieze, Smith dan Ryan (1992) menyarankan untuk berhati-hati dalam melihat hasil diskusi yang disampaikan dengan mempertimbangkan implikasi hasil dari diskusi penelitian ini. Hasil diskusi ini sangat mungkin menunjukkan adanya suatu keseriusan yang terjadi dalam bentuk luka yang dialami oleh seseorang pria dari sebuah pukulan seorang wanita padanya sebagai lebih kecil efek lukanya, dibandingkan pria yang melakukan tindakan yang sama pada wanita, menurut Brush; Frieze dan Browne (dalam Bookwala, Frieze, Smith dan Ryan, 1992). Oleh peneliti (Bookwala, Frieze, Smith dan Ryan, 1992) dapat

22 30 ditarik suatu pendapat bahwa kekuatan fisik yang lebih kuat yang terdapat dalam hubungan heteroseksual dapat dianggap berada pada gender pria. Sehingga, menurut peneliti (Bookwala, Frieze, Smith dan Ryan, 1992) akan menjadi situasi yang terlalu berat sebelah, apabila seseorang melakukan kekerasan pada pasangannya, dianggap sama antara posisi kekuatan yang dimiliki oleh pria dan wanita dalam terjadinya tindakan kekerasan yang dilakukan oleh salah satu gender di dalam suatu hubungan pacaran. Dalam penelitian di masa mendatang, peneliti (Bookwala, Frieze, Smith dan Ryan, 1992) merekomendasikan agar pengukuran tingkat keparahan luka yang dialami pasangan dan tipe-tipe tindakan kekerasan yang dilakukan oleh pasangan dapat diukur. Penelitian Bookwala, Frieze, Smith dan Ryan (1992) dalam memprediksikan pengekspresian kekerasan dalam pacaran, regresi analisis menunjukkan pola yang berbeda pada prediktor pria dan wanita. Bookwala, Frieze, Smith dan Ryan (1992) menjelaskan bahwa dengan mempertimbangkan hasil analisis regresi pada wanita, ditemukan bahwa seorang wanita lebih mungkin untuk melakukan kekerasan terhadap pasangannya, apabila pasangan prianya melakukan agresi secara fisik terhadap dirinya, ketika wanita secara verbal bertindak agresif, ketika wanita bertindak keras dalam suatu konteks lainnya, dan ketika wanita mengalami kecemburuan di dalam suatu hubungan pacaran. Selain itu, peneliti (Bookwala, Frieze, Smith dan Ryan, 1992) menambahkan bahwa memiliki pandangan peran gender tradisional juga menjadi prediktif terhadap agresi fisik pada wanita, sebagaimana kurangnya rasa percaya dalam hubungan dengan adanya permusuhan antara pria dan wanita. Menurut peneliti (Bookwala, Frieze, Smith dan Ryan, 1992), pada pria, pengekspresian kekerasan diprediksi melalui keterlibatan pria di dalam agresi verbal antara pria dan pasangan wanitanya, dan juga dorongan dari rasa percaya bahwa hubungan antara pria dan wanita pada dasarnya tidaklah selalu baik; Walaupun demikian, Bookwala, Frieze, Smith dan Ryan (1992) mengungkapkan bahwa pria tidak selalu memerlukan cara kekerasan dalam berbagai konteks yang ia hadapi. Berbeda dengan apa yang diprediksikan oleh peneliti (Bookwala, Frieze, Smith dan Ryan, 1992) bahwa mengenggam sikap peran gender tradisional yang lebih sedikit menjadi prediktif terhadap kecenderungan pengekspresian kekerasan pada pria. Meskipun temuan ini diluar dugaan peneliti (Bookwala, Frieze, Smith dan Ryan, 1992), mengenggam sikap peran gender yang lebih sedikit, prediktif terhadap pengekspresian kekerasan pada pria. Meskipun temuan ini diluar dugaan, menurut Rosenbaum (dalam

23 31 Bookwala, Frieze, Smith dan Ryan, 1992), beberapa sumber pendukung yang diperoleh melalui penelitian kekerasan dalam rumah tangga memberikan informasi bahwa pria yang cenderung keras dalam menyelesaikan masalah memiliki maskulinitas atau sikap peran gender yang lebih rendah. Menurut Bookwala, Frieze, Smith dan Ryan (1992) bahwa maskulinitas atau sikap peran gender yang lebih rendah diantara beberapa pria berasosiasi dengan kehendak untuk melakukan kekerasan yang lebih sedikit untuk mengarahkan kekerasan kepada wanita. Pada penelitian Bookwala, Frieze, Smith dan Ryan (1992) diketahui bahwa adversarial sexual beliefs (dimensi Attitudes toward violence) yang diharapkan menjadi sebuah prediktor kekerasan dalam pacaran pada pria, justru diperoleh oleh wanita. Penjelasan Peneliti (Bookwala, Frieze, Smith dan Ryan, 1992) mengenai situasi yang diluar dugaan ini adalah pada wanita yang tidak mempercayai suatu hubungan seksual antara pria dan wanita akan mengalami hubungan tidak baik atau saling memusuhi (Misalnya pada nilai skor rendah pada Adversarial Sexual belief scale) dapat memungkinkan toleransi yang lebih sedikit terhadap kekerasan yang diarahkan oleh pasangannya. Mempertegas hasil yang diperoleh, peneliti (Bookwala, Frieze, Smith dan Ryan, 1992) menjelaskan bahwa wanita dengan toleransi yang lebih sedikit terhadap kekerasan oleh pasangannya, akan menyerang balik dengan kekerasan ketika ia diperlakukan tidak baik oleh pasangannya. Walaupun demikian, peneliti (Bookwala, Frieze, Smith dan Ryan, 1992) menyadari bahwa penelitian eksplanatori yang disampaikan ini, tidak memiliki data yang menjelaskan gender wanita atau pria yang memulai terlebih dahulu kekerasan dalam suatu hubungan pacaran. Dalam kesimpulan yang dipaparkan oleh peneliti Bookwala, Frieze, Smith dan Ryan (1992), maka data penelitian ini mendukung suatu ide bahwa penentu (dimensidimensi yang menjadi prediktor) pada suatu kekerasan, berbeda antara pada gender wanita dan gender pria. Menurut O Leary dan Arias (dalam Bookwala, Frieze, Smith dan Ryan (1992) juga menemukan temuan yang sama pada pasangan yang berumahtangga. Tidak kurang, banyak bentuk-bentuk model yang menjelaskan mengenai fenomena kekerasan dalam pacaran, seperti misalnya pada penelitian Burke, Stets, dan Pirog-Good; Riggs dan O Leary (dalam Bookwala, Frieze, Smith dan Ryan (1992), yang di dalam model penjelasannya tidak mencoba untuk mencatat perbedaaan profil psikososial pada pria dan wanita yang melakukan kekerasan dalam hubungan

24 32 pacaran. Kekurangan tersebut, tentunya akan mengurangi kekuatan penelitian ekspalanatori secara keseluruhan dari model-model yang menjelaskan fenomena kekerasan dalam pacaran tersebut. Peneliti (Bookwala, Frieze, Smith dan Ryan, 1992) merekomendasikan, atas dasar temuan-temuan tersebut, pada model-model teoretis di masa mendatang agar dapat menjelaskan kekerasan dalam pacaran dengan mempertimbangkan gender sebagai variabel penting yang potensial dan terorganisir. Pengekspresian kekerasan dalam suatu hubungan pacaran diukur dengan menggunakan subset alat ukur Straus (dalam Bookwala, Frieze, Smith dan Ryan, 1992) yaitu Conflict Tactic Scale, bagian Expressed Violence. Skala ini digunakan untuk mengukur sejauh mana responden mengekspresikan kekerasan terhadap pasangan. Peneliti Bookwala, Frieze, Smith dan Ryan (1992), menjelaskan proses perhitungan bahwa hasil yang diperoleh berupa skor tertinggi mengindikasikan frekuensi yang lebih tinggi dalam keikutsertaan dalam sebuah tindakan agresif tertentu. Pengukuran Expressed violence tidak dilakukan oleh peneliti dengan adanya dua hal, yaitu pertama Expressed violence secara langsung mengukur perlakuan kekerasan yang telah terjadi pada individu lain, sedangkan penelitian penulis mengangkat mengenai tingkat kecenderungan seseorang untuk melakukan kekerasan dalam pacaran. Kedua reliabilitas Alpha Cronbach yang berhasil dicapai oleh alat ukur peneliti sebelumnya hanya mencapai 0,5 (kurang reliabel mengukur), sehingga tidak memenuhi nilai reliabilitas yang baik. Oleh karena itu, berdasarkan saran ahli dan masukan dari jurnal peneliti Bookwala, Frieze, Smith dan Ryan, (1992) maka skala expressed violence untuk mengukur pengekspresian kekerasan (Expressed Violence scale) tidak digunakan. Berdasarkan hasil penelitian Bookwala, Frieze, Smith dan Ryan (1992), maka terdapat beberapa dimensi-dimensi yang dominan menjadi prediktor terhadap kecenderungan kekerasan dalam pacaran pada gender pria, namun menjadi dimensi yang tidak dominan saat dihubungkan dengan gender wanita. Dimensi-dimensi yang berdampak dominan terhadap kecenderungan perilaku kekerasan dalam pacaran pada gender pria diantaranya adalah dimensi sex role attitudes (sikap peran gender) yang lebih sedikit tradisional, dimensi attitude toward violence (adversarial sexual belief atau sikap terhadap kekerasan) yang lebih besar dan dimensi Verbal aggression (agresi verbal) yang tinggi; dimensi yang berdampak dominan terhadap kecenderungan

25 33 perilaku kekerasan dalam pacaran pada gender wanita adalah dimensi Romantic Jealousy (kecemburuan) yang tinggi, dimensi Verbal Aggression (agresi verbal) yang tinggi, dimensi tingkat agresi interpersonal umum (general interpersonal aggression) yang lebih tinggi, dimensi sex role attitudes (sikap peran gender) yang lebih tradisional, dimensi attitudes toward violence (adversarial sexual belief atau sikap terhadap kekerasan) yang lebih rendah; Sedangkan dimensi yang berdampak dominan pada kedua gender adalah dimensi received violence (Kekerasan yang diterima oleh seseorang) yang merupakan prediktor yang kuat pada kedua gender. Dimensi Pengekspresian kekerasan (Expressed violence) menjadi gambaran dimensi yang hendak dilihat melalui dimensi-dimensi lainnya yang terdapat dalam penelitian ini. 2.6 Kerangka berpikir Gambar 2.1 : Skema Kecenderungan Perilaku Kekerasan dalam Pacaran

BAB 5 KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN

BAB 5 KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN BAB 5 KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil pembahasan pada Bab IV maka terdapat beberapa hasil yang dapat disimpulkan di dalam penelitian ini, yaitu: Tingkat kecenderungan untuk

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Perkembangan kasus kekerasan yang dihimpun oleh Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi wanita Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) dalam catatan tahunan LBH APIK 2014 selama

Lebih terperinci

Pedologi. Penganiayaan Anak dan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Yenny, M.Psi. Psikolog. Modul ke: Fakultas Psikologi. Program Studi Psikologi

Pedologi. Penganiayaan Anak dan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Yenny, M.Psi. Psikolog. Modul ke: Fakultas Psikologi. Program Studi Psikologi Modul ke: Pedologi Penganiayaan Anak dan Kekerasan dalam Rumah Tangga Fakultas Psikologi Yenny, M.Psi. Psikolog Program Studi Psikologi www.mercubuana.ac.id Tipe-tipe Penganiayaan terhadap Anak Penganiayaan

Lebih terperinci

Lampiran 1. Data Penunjang dan Kuesioner Self Esteem dan Jealousy. Frekuensi bertemu dengan pasangan : Sering ( setiap hari )

Lampiran 1. Data Penunjang dan Kuesioner Self Esteem dan Jealousy. Frekuensi bertemu dengan pasangan : Sering ( setiap hari ) Lampiran 1. Data Penunjang dan Kuesioner Self Esteem dan Jealousy DATA PRIBADI Nama ( inisial ) : Jenis Kelamin : Usia : Fakultas : Frekuensi bertemu dengan pasangan : Sering ( setiap hari ) Kadang-kadang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mempengaruhi perkembangan psikologis individu. Pengalaman-pengalaman

BAB I PENDAHULUAN. mempengaruhi perkembangan psikologis individu. Pengalaman-pengalaman BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Sepanjang rentang kehidupan individu, banyak hal yang dipelajari dan mempengaruhi perkembangan psikologis individu. Pengalaman-pengalaman bersama keluarga dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat diabaikan dalam kehidupan manusia. Namun demikian, orang tua masih

BAB I PENDAHULUAN. dapat diabaikan dalam kehidupan manusia. Namun demikian, orang tua masih BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah perilaku seksual pada remaja saat ini menjadi masalah yang tidak dapat diabaikan dalam kehidupan manusia. Namun demikian, orang tua masih menganggap tabu untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa dewasa awal merupakan peralihan dari masa remaja. Perkembangan sosial pada

BAB I PENDAHULUAN. Masa dewasa awal merupakan peralihan dari masa remaja. Perkembangan sosial pada BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang penelitian Masa dewasa awal merupakan peralihan dari masa remaja. Perkembangan sosial pada masa dewasa awal merupakan masa puncak dalam bersosialisasi. Individu dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Manusia merupakan makhluk sosial yang selalu membutuhkan orang lain dalam memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Kebutuhan tersebut tidak hanya secara fisiologis

Lebih terperinci

PENGANIAYAAN TERHADAP ANAK DALAM KELUARGA

PENGANIAYAAN TERHADAP ANAK DALAM KELUARGA PENGANIAYAAN TERHADAP ANAK DALAM KELUARGA Oleh: Alva Nadia Makalah ini disampaikan pada Seminar Online Kharisma ke-3, dengan Tema: Kekerasan Pada Anak: Efek Psikis, Fisik, dan Tinjauan Agama Dunia Maya,

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 2.1. Kekerasan 2.1.1. Pengertian Kekerasan Krug, Dahlberg, Mercy, Zwi, dan Lozano (2002) kesengajaan menggunakan kekuatan fisik atau kekuasaan, mengancam,

Lebih terperinci

BAB I. Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan. terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan

BAB I. Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan. terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan BAB I 1.1 Latar Belakang Masalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini,

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri tanpa kehadiran manusia lainnya. Kehidupan menjadi lebih bermakna dan berarti dengan kehadiran

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kasus kekerasan dalam rumah tangga di Indonesia dapat diibaratkan seperti gunung

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kasus kekerasan dalam rumah tangga di Indonesia dapat diibaratkan seperti gunung BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kasus kekerasan dalam rumah tangga di Indonesia dapat diibaratkan seperti gunung es yang hanya nampak puncaknya saja di permukaan, namun sebagian besar badan

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA ASERTIFITAS DENGAN KECENDERUNGAN MENGALAMI KEKERASAN EMOSIONAL PADA PEREMPUAN YANG BERPACARAN SKRIPSI

HUBUNGAN ANTARA ASERTIFITAS DENGAN KECENDERUNGAN MENGALAMI KEKERASAN EMOSIONAL PADA PEREMPUAN YANG BERPACARAN SKRIPSI HUBUNGAN ANTARA ASERTIFITAS DENGAN KECENDERUNGAN MENGALAMI KEKERASAN EMOSIONAL PADA PEREMPUAN YANG BERPACARAN SKRIPSI Disusun guna memenuhi sebagian persyaratan dalam mencapai derajat Sarjana S-1 Diajukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masing-masing tahap perkembangannya adalah pada masa kanak-kanak, masa

BAB I PENDAHULUAN. masing-masing tahap perkembangannya adalah pada masa kanak-kanak, masa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Secara umum gambaran dari manusia yang sehat adalah mereka yang mampu menyelesaikan tugas perkembangan dengan baik, teratur, dan tepat pada masing-masing tahap

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. adalah bercintaan atau berkasih-kasihan sehingga dapat disimpulkan. perempuan, adanya komitmen dari kedua belah pihak biasanya

BAB II KAJIAN TEORI. adalah bercintaan atau berkasih-kasihan sehingga dapat disimpulkan. perempuan, adanya komitmen dari kedua belah pihak biasanya 2.1 Kekerasan dalam pacaran 2.1.1 Konsep Pacaran BAB II KAJIAN TEORI Menurut KBBI (1986) pacar adalah teman lawan jenis yang tetap dan mempunyai hubungan berdasarkan cinta kasih. Sedangkan berpacaran adalah

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI. terjadi ketika seseorang atau organisme mencoba untuk mengubah cara

BAB 2 LANDASAN TEORI. terjadi ketika seseorang atau organisme mencoba untuk mengubah cara BAB 2 LANDASAN TEORI 2. 1. Self-Control 2. 1. 1. Definisi Self-control Self-control adalah tenaga kontrol atas diri, oleh dirinya sendiri. Selfcontrol terjadi ketika seseorang atau organisme mencoba untuk

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Beberapa teori akan dipaparkan dalam bab ini sebagai pendukung dari dasar

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Beberapa teori akan dipaparkan dalam bab ini sebagai pendukung dari dasar BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Beberapa teori akan dipaparkan dalam bab ini sebagai pendukung dari dasar pelitian. Berikut adalah beberapa teori yang terkait sesuai dengan penelitian ini. 2.1 Anxiety (Kecemasan)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai manusia yang telah mencapai usia dewasa, individu akan

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai manusia yang telah mencapai usia dewasa, individu akan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sebagai manusia yang telah mencapai usia dewasa, individu akan mengalami masa transisi peran sosial, individu dewasa awal akan menindaklanjuti hubungan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satunya adalah krisis multidimensi yang diderita oleh siswa sebagai sumber

BAB I PENDAHULUAN. Salah satunya adalah krisis multidimensi yang diderita oleh siswa sebagai sumber 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Dunia pendidikan Indonesia saat ini kembali tercoreng dengan adanya tindak kekerasan yang dilakukan oleh para siswanya, khususnya siswa Sekolah Menengah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kemandirian sehingga dapat diterima dan diakui sebagai orang dewasa. Remaja

BAB I PENDAHULUAN. kemandirian sehingga dapat diterima dan diakui sebagai orang dewasa. Remaja BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja adalah masa transisi dimana pada masa itu remaja memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, sedang mencari jati diri, emosi labil serta butuh pengarahan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dijalanan maupun ditempat-tempat umum lainnya (Huraerah, 2007).

BAB I PENDAHULUAN. dijalanan maupun ditempat-tempat umum lainnya (Huraerah, 2007). 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Anak jalanan di Indonesia mengalami peningkatan pesat dalam beberapa tahun belakangan. Seseorang bisa dikatakan anak jalanan apabila berumur dibawah 18 tahun, yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dasar perilaku perkembangan sikap dan nilai kehidupan dari keluarga. Salah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dasar perilaku perkembangan sikap dan nilai kehidupan dari keluarga. Salah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keluarga merupakan lingkungan sosial pertama bagi anak yang memberi dasar perilaku perkembangan sikap dan nilai kehidupan dari keluarga. Salah satunya adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu tujuan perkawinan sebagaimana tercantum dalam Undangundang

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu tujuan perkawinan sebagaimana tercantum dalam Undangundang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Salah satu tujuan perkawinan sebagaimana tercantum dalam Undangundang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal, berdasarkan

Lebih terperinci

Kalender Doa Agustus 2015 Berdoa Bagi Wanita Korban Kekerasan Rumah Tangga

Kalender Doa Agustus 2015 Berdoa Bagi Wanita Korban Kekerasan Rumah Tangga Kalender Doa Agustus 2015 Berdoa Bagi Wanita Korban Kekerasan Rumah Tangga Suami Rosa biasa memukulinya. Ia memiliki dua anak dan mereka tidak berani berdiri di hadapan ayahnya karena mereka takut akan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berpacaran Kekerasan dalam Berpacaran (KDP) atau Dating Violence. Banyak

BAB I PENDAHULUAN. berpacaran Kekerasan dalam Berpacaran (KDP) atau Dating Violence. Banyak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan Reproduksi adalah termasuk salah satu dari sekian banyak problem remaja yang perlu mendapat perhatian bagi semua kalangan, baik orang tua, guru, dan maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kekerasan dalam pacaran bukan hal yang baru lagi, sudah banyak

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kekerasan dalam pacaran bukan hal yang baru lagi, sudah banyak BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kekerasan dalam pacaran bukan hal yang baru lagi, sudah banyak penelitian yang mencoba memahami fenomena ini (Milletich et. al, 2010; O Keefe, 2005; Capaldi et. al,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menempuh berbagai tahapan, antara lain pendekatan dengan seseorang atau

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menempuh berbagai tahapan, antara lain pendekatan dengan seseorang atau BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa awal adalah masa dimana seseorang memperoleh pasangan hidup, terutama bagi seorang perempuan. Hal ini sesuai dengan teori Hurlock (2002) bahwa tugas masa

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Hasil Penelitian ini dilakukan di SDN 01 Palebon Semarang, ditampilkan pada tabel di bawah ini : 1. Karakteristik Responden a. Umur Tabel 2.1

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tidak tinggal bersama (Long Distance Relationship) dalam satu rumah karena

BAB I PENDAHULUAN. tidak tinggal bersama (Long Distance Relationship) dalam satu rumah karena BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pernikahan adalah sebuah komitmen legal dengan ikatan emosional antara dua orang untuk saling berbagi keintiman fisik dan emosional, berbagi tanggung jawab,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. I. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN Bab ini membahas mengenai latar belakang masalah, rumusan permasalahan penelitian, tujuan penelitian, signifikansi penelitian, isu etis, cakupan penelitian, dan sistematika penulisan.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Narkoba merupakan singkatan dari Narkotika, Psikotropika dan zat adiktif lainnya BNN (2006). Narkoba pada awalnya digunakan untuk keperluan medis, pemakaiannya akan

Lebih terperinci

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2008

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2008 1 KEBERMAKNAAN HIDUP PADA ODHA (ORANG DENGAN HIV/AIDS) WANITA (STUDI KUALITATIF MENGENAI PENCAPAIAN MAKNA HIDUP PADA WANITA PASCA VONIS TERINFEKSI HIV/AIDS) Skripsi Untuk memenuhi sebagian persyaratan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Beragam permasalahan pada perempuan seringkali muncul dalam berbagai

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Beragam permasalahan pada perempuan seringkali muncul dalam berbagai BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Beragam permasalahan pada perempuan seringkali muncul dalam berbagai pemberitaan publik, baik dalam media cetak, media elektronik dan media online, dimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. saling mengasihi, saling mengenal, dan juga merupakan sebuah aktifitas sosial dimana dua

BAB I PENDAHULUAN. saling mengasihi, saling mengenal, dan juga merupakan sebuah aktifitas sosial dimana dua BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pacaran merupakan sebuah konsep "membina" hubungan dengan orang lain dengan saling mengasihi, saling mengenal, dan juga merupakan sebuah aktifitas sosial dimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya manusia yang berkualitas tinggi. Masyarakat semakin berkembang

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya manusia yang berkualitas tinggi. Masyarakat semakin berkembang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam zaman pembangunan di Indonesia dan globalisasi dunia yang menuntut kinerja yang tinggi dan persaingan semakin ketat, semakin dibutuhkan sumber daya

Lebih terperinci

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pernikahan adalah tahap yang penting bagi hampir semua orang yang memasuki masa dewasa awal. Individu yang memasuki masa dewasa awal memfokuskan relasi interpersonal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang ditandai adanya proses perubahan pada aspek fisik maupun psikologis

BAB I PENDAHULUAN. yang ditandai adanya proses perubahan pada aspek fisik maupun psikologis BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa transisi dari masa anak menuju dewasa, yang ditandai adanya proses perubahan pada aspek fisik maupun psikologis (Hurlock, 1988:261).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tidak bisa menangani masalahnya dapat mengakibatkan stres. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. tidak bisa menangani masalahnya dapat mengakibatkan stres. Menurut BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap orang memiliki permasalahan dalam hidupnya, dan mereka memiliki caranya masing-masing untuk menangani masalah tersebut. Ada orang yang bisa menangani masalahnya,

Lebih terperinci

STRATEGI KOPING ANAK DALAM PENGATASAN STRES PASCA TRAUMA AKIBAT PERCERAIAN ORANG TUA

STRATEGI KOPING ANAK DALAM PENGATASAN STRES PASCA TRAUMA AKIBAT PERCERAIAN ORANG TUA STRATEGI KOPING ANAK DALAM PENGATASAN STRES PASCA TRAUMA AKIBAT PERCERAIAN ORANG TUA Skripsi Diajukan Guna Memenuhi Sebagian Persyaratan Untuk Mendapatkan Gelar Sarjana S-1 Psikologi Disusun oleh : Agung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perubahan zaman yang semakin pesat ini membawa dampak ke berbagai

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perubahan zaman yang semakin pesat ini membawa dampak ke berbagai 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perubahan zaman yang semakin pesat ini membawa dampak ke berbagai aspek kehidupan terutama dalam bidang pendidikan. Terselenggaranya pendidikan yang efektif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diberikan dibutuhkan sikap menerima apapun baik kelebihan maupun kekurangan

BAB I PENDAHULUAN. diberikan dibutuhkan sikap menerima apapun baik kelebihan maupun kekurangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penerimaan diri dibutuhkan oleh setiap individu untuk mencapai keharmonisan hidup, karena pada dasarnya tidak ada manusia yang diciptakan oleh Allah SWT tanpa kekurangan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. akan ia jalani kelak (Perkins, 1995). Para remaja yang mulai menjalin hubungan

BAB I PENDAHULUAN. akan ia jalani kelak (Perkins, 1995). Para remaja yang mulai menjalin hubungan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa (Rice dalam Sayasa, 2004). Dalam perjalanan menuju dewasa tersebut para remaja menghadapi

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia

1. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada hari Minggu tanggal 29 April 2007 seorang siswa kelas 1 (sebut saja A) SMA swasta di bilangan Jakarta Selatan dianiaya oleh beberapa orang kakak kelasnya. Penganiayaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada masa remaja, salah satunya adalah problematika seksual. Sebagian besar

BAB I PENDAHULUAN. pada masa remaja, salah satunya adalah problematika seksual. Sebagian besar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini, masalah-masalah yang muncul dalam kehidupan remaja sering menimbulkan berbagai tantangan bagi para orang dewasa. Banyak hal yang timbul pada masa remaja,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dewasa ini sering kita dengar tentang banyaknya kasus kekerasan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dewasa ini sering kita dengar tentang banyaknya kasus kekerasan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini sering kita dengar tentang banyaknya kasus kekerasan yang dilakukan dilingkungan institusi pendidikan yang semakin menjadi permasalahan dan menimbulkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja adalah salah satu fase kehidupan yang pasti akan dilewati oleh semua manusia. Fase ini sangat penting, karena pada saat remaja seseorang akan mencari jati

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penting. Keputusan yang dibuat individu untuk menikah dan berada dalam

BAB I PENDAHULUAN. penting. Keputusan yang dibuat individu untuk menikah dan berada dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pernikahan bagi beberapa individu dapat menjadi hal yang istimewa dan penting. Keputusan yang dibuat individu untuk menikah dan berada dalam kehidupan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Penyakit kronis merupakan penyakit yang berkembang secara perlahan selama bertahuntahun,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Penyakit kronis merupakan penyakit yang berkembang secara perlahan selama bertahuntahun, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penyakit kronis merupakan penyakit yang berkembang secara perlahan selama bertahuntahun, namun biasanya tidak dapat disembuhkan melainkan hanya diberikan penanganan

Lebih terperinci

5. KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN

5. KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN 5. KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN Dalam bab ini akan dibahas mengenai kesimpulan, diskusi dan saran. Kesimpulan dalam penelitian ini berisi gambaran sibling rivalry pada anak ADHD dan saudara kandungnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah merupakan pendidikan kedua setelah lingkungan keluarga, manfaat

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah merupakan pendidikan kedua setelah lingkungan keluarga, manfaat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah 1.Latar Belakang Sekolah merupakan pendidikan kedua setelah lingkungan keluarga, manfaat dari sekolah bagi siswa ialah melatih kemampuan akademis siswa,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Fenomena kaum perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga di

BAB 1 PENDAHULUAN. Fenomena kaum perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga di BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Fenomena kaum perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga di daerah Yogyakarta cukup memprihatinkan dan tidak terlepas dari permasalahan kekerasan terhadap perempuan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berubah dari perubahan kognitif, fisik, sosial dan identitas diri. Selain itu, terjadi pula

BAB I PENDAHULUAN. berubah dari perubahan kognitif, fisik, sosial dan identitas diri. Selain itu, terjadi pula BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Mahasiswa berada pada masa dewasa awal. Pada masa ini, mahasiswa berada pada masa transisi dari masa remaja ke masa dewasa. Pada masa transisi ini banyak hal

Lebih terperinci

Lex Et Societatis Vol. V/No. 9/Nov/2017

Lex Et Societatis Vol. V/No. 9/Nov/2017 ASPEK HUKUM KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA BERDASARKAN UU NO.23 TAHUN 2004 1 Oleh : Ollij A. Kereh 2 ; Friend H. Anis 3 Abstrak Perkembangan kehidupan sosial dewasa ini menunjukkan menurunnya nilai-nilai

Lebih terperinci

SELF ESTEEM KORBAN BULLYING (Survey Kepada Siswa-siswi Kelas VII SMP Negeri 270 Jakarta Utara)

SELF ESTEEM KORBAN BULLYING (Survey Kepada Siswa-siswi Kelas VII SMP Negeri 270 Jakarta Utara) Self Esteem Korban Bullying 115 SELF ESTEEM KORBAN BULLYING (Survey Kepada Siswa-siswi Kelas VII SMP Negeri 270 Jakarta Utara) Stefi Gresia 1 Dr. Gantina Komalasari, M. Psi 2 Karsih, M. Pd 3 Abstrak Tujuan

Lebih terperinci

ROMANTISME PADA WANITA KORBAN KEKERASAN SEKSUAL PADA MASA KANAK- KANAK

ROMANTISME PADA WANITA KORBAN KEKERASAN SEKSUAL PADA MASA KANAK- KANAK 1 ROMANTISME PADA WANITA KORBAN KEKERASAN SEKSUAL PADA MASA KANAK- KANAK SKRIPSI Untuk memenuhi sebagian persayaratan Dalam mencapai derajat Sarjana S-1 Diajukan Oleh: PRIMA NURUL ULUM F. 100 040 011 FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tidak adil, dan tidak dapat dibenarkan, yang disertai dengan emosi yang hebat atau

BAB I PENDAHULUAN. tidak adil, dan tidak dapat dibenarkan, yang disertai dengan emosi yang hebat atau BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Mendengar kata kekerasan, saat ini telah menjadi sesuatu hal yang diresahkan oleh siapapun. Menurut Black (1951) kekerasan adalah pemakaian kekuatan yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. bullying. Prinsipnya fenomena ini merujuk pada perilaku agresi berulang yang

I. PENDAHULUAN. bullying. Prinsipnya fenomena ini merujuk pada perilaku agresi berulang yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Maraknya pemberitaan di media massa terkait dengan tindak kekerasan terhadap anak di sekolah, nampaknya semakin melegitimasi tuduhan miring soal gagalnya sistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Intany Pamella, 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Intany Pamella, 2014 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Remaja berasal dari kata latin adolensence yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Hurlock (2004: 206) menyatakan bahwa Secara psikologis masa remaja adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Banyak sekali latar belakang kekerasan terhadap anak mulai dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Banyak sekali latar belakang kekerasan terhadap anak mulai dari 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Banyak sekali latar belakang kekerasan terhadap anak mulai dari ketidakpuasan seseorang terhadap kondisi hidupnya sehingga melihat anak yang tidak berdaya sebagai

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Remaja adalah tahap perkembangan seseorang dimana ia berada pada fase transisi dari masa kanak-kanak menuju ke fase dewasa awal (Sarwono, 2002). Dalam menjalani fase

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara berkembang yang mayoritas penduduknya adalah muslim. Nilai - nilai yang ada di Indonesiapun sarat dengan nilai-nilai Islam. Perkembangan zaman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa 15 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Di usia remaja antara 10-13 tahun hingga 18-22 tahun (Santrock, 1998), secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia pun yang dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan kehadiran manusia lain

BAB I PENDAHULUAN. manusia pun yang dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan kehadiran manusia lain BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial. Dalam kehidupan, belum ada seorang manusia pun yang dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan kehadiran manusia lain (www.wikipedia.com).

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat pada anak-anaknya (Friedman et al., 2010). yang masih bertanggung jawab terhadap perkembangan anak-anaknya.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat pada anak-anaknya (Friedman et al., 2010). yang masih bertanggung jawab terhadap perkembangan anak-anaknya. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Orang Tua 1. Pengertian Orang tua adalah orang yang lebih tua atau orang yang dituakan, terdiri dari ayah dan ibu yang merupakan guru dan contoh utama untuk anakanaknya karena

Lebih terperinci

V. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Responden dalam penilitian ini adalah keluarga yang tinggal di Wilayah

V. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Responden dalam penilitian ini adalah keluarga yang tinggal di Wilayah V. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 5.1 Identitas Responden Responden dalam penilitian ini adalah keluarga yang tinggal di Wilayah Kelurahan Kaliawi Kecamatan Tanjung Karang Pusat Bandar Lampung, yang melaporkan

Lebih terperinci

BULLYING. I. Pendahuluan

BULLYING. I. Pendahuluan BULLYING I. Pendahuluan Komitmen pengakuan dan perlindungan terhadap hak atas anak telah dijamin dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28B ayat (2) menyatakan bahwa setiap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atau adopsi; membentuk suatu rumah tangga tunggal; saling berinteraksi dan berkomunikasi

BAB I PENDAHULUAN. atau adopsi; membentuk suatu rumah tangga tunggal; saling berinteraksi dan berkomunikasi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Keluarga adalah sekelompok orang yang terhubungkan oleh ikatan pernikahan, darah atau adopsi; membentuk suatu rumah tangga tunggal; saling berinteraksi dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan diantaranya adalah tindak kekerasan dan pelecehan seksual yang mengarah

BAB I PENDAHULUAN. dan diantaranya adalah tindak kekerasan dan pelecehan seksual yang mengarah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dewasa ini banyak terjadi tindak kekerasan yang terjadi di berbagai tempat di lingkungan sekitar kita. Tindak kekerasan yang terjadi berbagai macam dan diantaranya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Berpacaran sebagai proses dua manusia lawan jenis untuk mengenal dan

BAB I PENDAHULUAN. Berpacaran sebagai proses dua manusia lawan jenis untuk mengenal dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Fenomena berpacaran sudah sangat umum terjadi dalam masyarakat. Berpacaran sebagai proses dua manusia lawan jenis untuk mengenal dan memahami lawan jenisnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. psikis, maupun secara sosial (Hurlock, 1973). Menurut Sarwono (2011),

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. psikis, maupun secara sosial (Hurlock, 1973). Menurut Sarwono (2011), 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja awal merupakan masa transisi, dimana usianya berkisar antara 13 sampai 16 tahun atau yang biasa disebut dengan usia belasan yang tidak menyenangkan, dimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam masyarakat, seorang remaja merupakan calon penerus bangsa, yang memiliki potensi besar dengan tingkat produktivitas yang tinggi dalam bidang yang mereka geluti

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORI PERILAKU KEKERASAN. tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri,

BAB II TINJAUAN TEORI PERILAKU KEKERASAN. tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, BAB II TINJAUAN TEORI PERILAKU KEKERASAN A. Pengertian Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. untuk berpikir, kemampuan afektif merupakan respon syaraf simpatetik atau

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. untuk berpikir, kemampuan afektif merupakan respon syaraf simpatetik atau BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia mempunyai tiga kemampuan yaitu kemampuan kognitif, afektif, dan perilaku. Kemampuan kognitif merupakan respon perseptual atau kemampuan untuk berpikir,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Masalah-masalah ini akan mendorong tumbuh dan berkembangnya fisik, mental,

BAB 1 PENDAHULUAN. Masalah-masalah ini akan mendorong tumbuh dan berkembangnya fisik, mental, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Permasalahan 1.1.1 Latar Belakang Permasalahan Dalam menjalani hidup, setiap manusia akan menemui berbagai permasalahan. Masalah-masalah ini akan mendorong tumbuh dan berkembangnya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. cinta antara laki-laki dengan perempuan yang diikat dengan suatu komitmen atau

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. cinta antara laki-laki dengan perempuan yang diikat dengan suatu komitmen atau BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kekerasan Pada Masa Pacaran 2.1.1 Konsep Pacaran Menurut Rifka Anissa WCC Yogyakarta (2000: 1), masalah cinta dalam usia remaja sering dihubungkan dengan pacar atau pacaran.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. batas kewajaran. Kekerasan yang mereka lakukan cukup mengerikan, baik di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. batas kewajaran. Kekerasan yang mereka lakukan cukup mengerikan, baik di 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini masalah kenakalan di kalangan pelajar sekolah sedang hangat dibicarakan. Perilaku agresif dan kekerasan yang dilakukan pelajar sudah di luar batas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan berfungsinya organ-organ tubuh sebagai bentuk penyesuaian diri terhadap

BAB I PENDAHULUAN. dan berfungsinya organ-organ tubuh sebagai bentuk penyesuaian diri terhadap BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Individu sejak dilahirkan akan berhadapan dengan lingkungan yang menuntutnya untuk menyesuaikan diri. Penyesuaian diri yang dilakukan oleh individu diawali dengan penyesuaian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. gender. Kekerasan yang disebabkan oleh bias gender ini disebut gender related

BAB I PENDAHULUAN. gender. Kekerasan yang disebabkan oleh bias gender ini disebut gender related BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kekerasan terhadap perempuan adalah persoalan pelanggaran kondisi kemanusiaan yang tidak pernah tidak menarik untuk dikaji. Menurut Mansour Fakih (2004:17) kekerasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat hidup sendiri tanpa berhubungan dengan lingkungannya atau dengan

BAB I PENDAHULUAN. dapat hidup sendiri tanpa berhubungan dengan lingkungannya atau dengan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Individu adalah makhluk sosial yang memiliki kebutuhan untuk menjalin hubungan dengan individu lain sepanjang kehidupannya. Individu tidak pernah dapat hidup

Lebih terperinci

#### Selamat Mengerjakan ####

#### Selamat Mengerjakan #### Apakah Anda Mahasiswa Fak. Psikolgi Unika? Ya / Bukan (Lingkari Salah Satu) Apakah Anda tinggal di rumah kos / kontrak? Ya / Tidak (Lingkari Salah Satu) Apakah saat ini Anda memiliki pacar? Ya / Tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Periode remaja merupakan periode peralihan antara masa anak-anak dan dewasa. Periode remaja merupakan masa kritis karena individu yang berada pada masa tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah masyarakat. Manusia senantiasa berhubungan dengan manusia lain untuk memenuhi berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian Masa remaja adalah masa peralihan dari anak-anak ke dewasa yang jangka

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian Masa remaja adalah masa peralihan dari anak-anak ke dewasa yang jangka BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Masa remaja adalah masa peralihan dari anak-anak ke dewasa yang jangka waktunya berbeda bagi setiap orang, tergantung faktor sosial dan budaya. Dengan terbentuknya

Lebih terperinci

BABI PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan jaman, fenomena pernikahan dini kian lama

BABI PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan jaman, fenomena pernikahan dini kian lama BABI PENDAHULUAN BABI PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Seiring dengan perkembangan jaman, fenomena pernikahan dini kian lama kian berkurang, namun demikian bukan berarti fenomena pemikahan dini

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan manusia.

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan manusia. BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan manusia. Setiap individu memiliki harapan untuk bahagia dalam kehidupan perkawinannya. Karena tujuan perkawinan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berketetapan untuk tidak menjalankan tugas dan kewajiban sebagai suami-istri. Pasangan

BAB I PENDAHULUAN. berketetapan untuk tidak menjalankan tugas dan kewajiban sebagai suami-istri. Pasangan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perceraian merupakan suatu perpisahan secara resmi antara pasangan suami-istri dan berketetapan untuk tidak menjalankan tugas dan kewajiban sebagai suami-istri.

Lebih terperinci

(e) Uang saku rata-rata perbulan kurang dari Rp ,- (64,8%) dan sisanya (35,3%) lebih dari Rp per bulan.

(e) Uang saku rata-rata perbulan kurang dari Rp ,- (64,8%) dan sisanya (35,3%) lebih dari Rp per bulan. Laporan Hasil Survey Tentang Kekerasan terhadap Perempuan dan Perilaku Seksual Terhadap Siswa SMA di Klaten Laporan Hasil Survey Tentang Kekerasan terhadap Perempuan dan Perilaku Seksual Terhadap Siswa

Lebih terperinci

tua Tentang Verbal Abuse (Kekerasan Verbal) pada Anak. Penelitian ini dilaksanakan sebagai salah satu kegiatan dalam mengambil data untuk

tua Tentang Verbal Abuse (Kekerasan Verbal) pada Anak. Penelitian ini dilaksanakan sebagai salah satu kegiatan dalam mengambil data untuk Lampiran 1 LEMBAR PERMOHONAN MENJADI RESPONDEN Kepada Yth. Calon responden Penelitian Di Tempat Dengan hormat, Saya mahasiswa Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Ponorogo, bermaksud melaksanakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masa kanak-kanak, masa remaja, masa dewasa yang terdiri dari dewasa awal,

BAB I PENDAHULUAN. masa kanak-kanak, masa remaja, masa dewasa yang terdiri dari dewasa awal, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia akan mengalami perkembangan sepanjang hidupnya, mulai dari masa kanak-kanak, masa remaja, masa dewasa yang terdiri dari dewasa awal, dewasa menengah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dibicarakan di tingkat individu maupun menjadi isu nasional.

BAB I PENDAHULUAN. dibicarakan di tingkat individu maupun menjadi isu nasional. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kehamilan tidak dikehendaki dan perilaku aborsi dikalangan remaja bukan saja merupakan masalah medis melainkan juga telah menjadi masalah sosial yang besar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. langsung maupun tidak langsung seperti pada media massa dan media cetak. Seorang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. langsung maupun tidak langsung seperti pada media massa dan media cetak. Seorang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Agresivitas bukan merupakan hal yang sulit ditemukan di dalam kehidupan masyarakat. Setiap hari masyarakat disuguhkan tontonan kekerasan, baik secara langsung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. namun akan lebih nyata ketika individu memasuki usia remaja.

BAB I PENDAHULUAN. namun akan lebih nyata ketika individu memasuki usia remaja. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang permasalahan Setiap manusia tidak dapat hidup sendiri, manusia pasti membutuhkan orang lain disekitarnya mulai dari hal yang sederhana maupun untuk hal-hal besar didalam

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masa sekarang dan yang akan datang. Namun kenyataan yang ada, kehidupan remaja

I. PENDAHULUAN. masa sekarang dan yang akan datang. Namun kenyataan yang ada, kehidupan remaja I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Remaja adalah generasi masa depan, penerus generasi masa kini yang diharapkan mampu berprestasi, bisa dibanggakan dan dapat mengharumkan nama bangsa pada masa sekarang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pendidikan adalah suatu usaha yang dilakukan manusia untuk mengubah

BAB 1 PENDAHULUAN. Pendidikan adalah suatu usaha yang dilakukan manusia untuk mengubah 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah suatu usaha yang dilakukan manusia untuk mengubah sikap dan tata laku seseorang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Kekerasan adalah perbuatan yang dapat berupa fisik maupun non fisik,

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Kekerasan adalah perbuatan yang dapat berupa fisik maupun non fisik, BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA Kekerasan adalah perbuatan yang dapat berupa fisik maupun non fisik, dilakukan secara aktif maupun dengan cara pasif (tidak berbuat), dikehendaki oleh pelaku, dan ada akibat yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bullying atau ijime adalah masalah umum di setiap generasi dan setiap

BAB I PENDAHULUAN. Bullying atau ijime adalah masalah umum di setiap generasi dan setiap BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bullying atau ijime adalah masalah umum di setiap generasi dan setiap negara. Di Jepang sendiri, ijime adalah sebuah fenomena sosial yang cukup serius. Yang

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORITIS

BAB II LANDASAN TEORITIS BAB II LANDASAN TEORITIS 2.1. Perilaku Agresif 2.1.1. Pengertian Perilaku Agresif Perasaan kecewa, emosi, amarah dan sebagainya dapat memicu munculnya perilaku agresif pada individu. Pemicu yang umum dari

Lebih terperinci

Bab 4. Simpulan dan Saran. disimpulkan bahwa tokoh Ruka Kishimoto dalam serial drama Jepang Last Friends

Bab 4. Simpulan dan Saran. disimpulkan bahwa tokoh Ruka Kishimoto dalam serial drama Jepang Last Friends Bab 4 Simpulan dan Saran 4.1 Simpulan Berdasarkan analisis data yang penulis lakukan pada bab analisis data, maka dapat disimpulkan bahwa tokoh Ruka Kishimoto dalam serial drama Jepang Last Friends merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pada masa transisi yang terjadi di kalangan masyarakat, secara khusus

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pada masa transisi yang terjadi di kalangan masyarakat, secara khusus 16 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada masa transisi yang terjadi di kalangan masyarakat, secara khusus remaja seakan-akan merasa terjepit antara norma-norma yang baru dimana secara sosiologis, remaja

Lebih terperinci