MODEL DINAMIKA PERUBAHAN HUTAN DAN LAHAN DAN SKENARIO PERDAGANGAN KARBON DI PROVINSI JAMBI LUTFY ABDULAH

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "MODEL DINAMIKA PERUBAHAN HUTAN DAN LAHAN DAN SKENARIO PERDAGANGAN KARBON DI PROVINSI JAMBI LUTFY ABDULAH"

Transkripsi

1 MODEL DINAMIKA PERUBAHAN HUTAN DAN LAHAN DAN SKENARIO PERDAGANGAN KARBON DI PROVINSI JAMBI LUTFY ABDULAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Model Dinamika Perubahan Hutan dan Lahan dan Skenario Perdagangan Karbon di Provinsi Jambi adalah karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Januari 2011 Lutfy Abdulah NRP. E

3 ABSTRACT LUTFY ABDULAH. Model Dynamic of Forest and Land Use Change and Carbon Trade Scenario in Jambi. Under Direction of HERRY PURNOMO and DODIK RIDHO NURROCHMAT. The rate of deforestation and forest degradation in the sector of LULUCF (Land Use, Land Use Change and Forestry) continues to increase along with the increase in land and forest products. In 2009, the release of forest area in Jambi province reached 77,216 hectares, land use 344,305 hectares, and forest area exchange 80,861 hectares. The importance of non-forestry sector development has resulted in the decrease in forested areas (deforestation) and the cover of forested areas (forest degradation). The rate of deforestation in Jambi reached 165,665 hectares, in which 39.75% occurred in West Tanjung Jabung Regency. The use of forest area for non-forestry sector development is set out in the national development policy. The policy changes bring about the changes in the interaction of forest stakeholders to the forest areas. To reduce the rates of deforestation and forest degradation, the government has used REDD + scheme. One scenario in REDD+ scheme is with a moratorium on the use of forest areas. Projected deforestation and forest degradation can be done through dynamic system when a moratorium on forest area utilization is conducted on the intensity of 30%, 50% and 70% out of the forest area use permit in BAU. The implementation of a moratorium can decrease deforestation and degradation about 9% -43%. Implementation of a moratorium of forest area use permit in REDD+ scheme does not provide a very large income. The income of REDD + is only about 0.76 to 1.35 billion USD in every 5-year contract, much lower compared to BAU income of Jambi which reaches USD 678,912 per year and it may threaten 1,290,854 employment opportunities for people. Key word: deforestation, degradation, income REDD+, stakeholder interaction

4 RINGKASAN LUTFY ABDULAH. Model Dinamika Perubahan Hutan dan Lahan dan Skenario Perdagangan Karbon di Provinsi Jambi. Dibimbing oleh HERRY PURNOMO and DODIK RIDHO NURROCHMAT. Emisi gas rumah kaca sejak tahun 1970 hingga tahun 2004, terus meningkat sampai 70% dan diantaranya terjadi peningkatan sebanyak 24% selama periode tahun 1990 hingga Menurut FAO (2010), cadangan karbon pada biomasa hutan Indonesia tahun 1990 sebesar juta ton, tahun 2000 sebesar juta ton, tahun 2005 sebesar juta ton, tahun 2010 sebesar juta ton. Cadangan karbon biomasa hutan Indonesia per hektar 2010 mencapai 138 juta ton/hektar. Deforestasi hutan Indonesia berdampak pada penurunan PDB (Product Domestic Bruto) kehutanan terhadap PDB Indonesia. Tahun 1997 proporsi PDB Kehutanan terhadap PDB Indonesia mencapai 1.56% namun di tahun 2000 menurun menjadi 1,18%. Tahun 2008 mencapai 0,81% (Kemenhut 2009) dan di triwulan II tahun 2009 hanya menyumbang 0,85% atau Rp ,3 Milyar (Kemenhut 2010). Penurunan potensi dan perubahan fungsi penggunaan kawasan hutan yang terjadi terus menerus disebabkan oleh perbedaan kepentingan stakeholder terhadap kawasan hutan dan mempengaruhi institusi yang mengatur tentang pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan. Hubungan ini membentuk suatu sistem yang utuh dan saling mempengaruhi. Penelitian ini bertujuan untuk menduga laju deforestasi dan degradasi hutan di provinsi Jambi. Sub tujuan yang ingin dicapai adalah dinamika kebijakan penggunaan kawasan hutan, simulasi interaksi aktor dengan kawasan hutan, nilai ekonomi REDD+ pada masing-masing fungsi hutan dan kombinasi fungsi kawasan hutan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pendugaan deforestasi dan degradasi hutan secara historis dengan bersumber pada data pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan. Pendugaan laju deforestasi dan degradasi hutan menggunakan metode IPCC tahun 2006 volume 4. Terdapat 4 kebijakan utama yang mengatur penggunaan kawasan hutan untuk pembangunan sektor non-kehutanan, yakni pinjam pakai kawasan hutan, tukar menukar kawasan hutan, pelepasan kawasan hutan dan alih fungsi. Setiap stakeholder baik itu di pusat maupun di daerah memegang perannya masingmasing. Setiap stakeholder saling berinterasi dan bergantung satu sama lain. Ketika stakeholder kunci tidak dapat memainkan perannya maka tidak akan ada perubahan pada penggunaan kawasan tersebut. Isu REDD+ sangat dikenal oleh pengambil keputusan di pemerintah daerah Provinsi Jambi, namun tidak dengan pimpinan pada level yang rendah dan staf. Hal ini menyulitkan pada komunikasi kebijakan dengan masyarakat. Luas kawasan hutan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 412/Kpts-II/1999 adalah hektar atau 42,73% luas daratan yang telah mengalami deforestasi mencapai hektar/tahun. Luas kawasan hutan lindung mencapai hektar terdeforestasi mencapai hektar/tahun, kawasan hutan produksi hektar mengalami deforestasi mencapai hektar/tahun. Luas hutan konservasi mencapai hektar mengalami deforestasi mencapai hektar/tahun.

5 Melalui REDD+ diharapkan mampu mengurangi laju deforestasi dan degradasi hutan. Salah satu skenario yang ditawarkan adalah moratorium ijin pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan sebagaimana BAU. Bila moratorium ijin sebanyak 30% dari BAU maka laju deforestasi akan menurun menjadi hektar/tahun. Bila moratorium ijin sebanyak 50% dari BAU maka dapat menurunkan laju deforestasi menjadi hektar dan Bila moratorium ijin sebanyak 70% dari BAU akan menurunkan laju deforestasi mencapai hektar/tahun. Penerapan skema REDD+ pada taraf 30%, 50% dan 70% diharapkan akan memberikan dampak positif pada penerimaan usaha kehutanan. Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan no. P.36/Menhut-II/2009, dilakukan simulasi pendapatan dan biaya transaksi yang harus timbul ketika skema REDD+ dijalankan. Bila waktu proyek REDD adalah 30 tahun dengan harga C/ton adalah 5 US$ dan verifikasi dan validasi dilakukan selama 5 tahun. Rata-rata income REDD+ selama periode untuk standar CCB bila moratorium ijin penggunaan kawasan hutan sebanyak 30% adalah -0,42 milyar US$, -0,68 milyar US$ untuk standar Carbon Fix dan -0,74 milyar US$ untuk standar Plan Vivo. Pada standar VCS AFOLU, income REDD+ 30% mencapai -0,78 milyar US$. Penerapan moratorium ijin penggunaan kawasan hutan sebesar 50% tidak memberikan income yang positif. Income REDD+ akan positif bila penerapan REDD+ 70%. Bila standar CCB (carbon, community and biodiversity) yang diterapkan akan memberikan income REDD+ sebesar 1,36 milyar US$. Standar Carbon Fix (CF) akan memberikan income REDD+ sebesar 0,93 milyar US$. Standar Plan Vivo (PV) akan memberikan income REDD+ sebesar 1,01 milyar US$. Penerapan standar VCS AFOLU akan memberikan income REDD+ sebesar 1,06 milyar US$. Dengan demikian, standar yang memberikan income REDD+ tertinggi adalah standar CCB. Bila moratorium ijin penggunaan kawasan hutan konservasi dilakukan sebesar 30% maka kombinasi yang dapat memberikan income REDD+ positif dengan hutan produksi sebesar 70% yakni sebesar 136 juta US$. Bila moratorium ijin penggunaan kawasan hutan lindung sebesar 30% akan memberikan income REDD+ yang positif jika dikombinasikan dengan moratorium ijin penggunaan kawasan hutan produksi sebesar 70%. Income REDD+ akan mencapai 83 juta US$. Bila moratorium ijin penggunaan kawasan hutan produksi sebesar 30%, maka tidak akan memberikan income REDD+ positif meski dengan kombinasi hutan konservasi atau hutan lindung sebesar 70%. Income REDD+ akan sangat tinggi bila dikombinasikan antara skenario REDD+ 70% di hutan konservasi dan hutan produksi. Nilai income REDD+ mencapai 2,63 milyar US$ setiap periode (5 tahun). Penyebab tingginya deforestasi dan degradasi hutan salah satunya disebabkan oleh penentuan fungsi kawasan atas dasar faktor biofisik di lapangan tanpa memperhitungkan aspek sosial dan ekonomi. Pemberian ijin usaha pertambangan yang tidak disertai ijin pinjam pakai kawasan hutan mengakibatkan negara mengalami kerugian mencapai 23,16 milyar rupiah setiap tahunnya. Selain itu, pemberian ijin HPH dan HTI serta perkebunan, dapat meningkatkan perubahan luas kawasan hutan. Namun, timbul dampak positif dari sektor sosial ekonomi dari HTI, HPH dan kebun. Penetapan skenario moratorium 30%, 50%

6 dan 70% tidak menjadi rekomendasi utama dalam manajemen hutan. Hal ini karena bila moratorium pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan ditetapkan sepihak tanpa mempertimbangkan usaha yang telah dilaksanakan selama BAU maka akan sangat mempengaruhi dampak ekonomi dan sosial masyarakat. Keterbatasan ini akan mengakibatkan menurunnya pendapatan secara keseluruhan. Selain pendapatan secara makro, pendapatan masyarakat yang selama ini timbul akibat bisnis penggunaan hutan produksi seperti HPH akan semakin kecil. Bila di semester 2 tahun 2009 pendapatan daerah dari sektor pengusahaan hutan produksi berupa SKSHH (Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan) mencapai Rp ,60 dan DR mencapai USD ,32 atau mencapai Rp ,60 pada kurs rupiah 9000 harus dikurangi sebanyak 70% untuk mendapatkan income 4,84 milyar USD dari REDD+ maka perkiraan pendapatan dari pengusahaan hutan produksi kurang dari 1,8 milyar rupiah. Penurunan emisi gas rumah kaca yang telah terjadi selama ini harus menjadi kewajiban berdasarkan sumbangan emisi. Secara sederhana, penentuan basis emisi disepakati pada jumlah penduduk, penggunaan teknologi berbahan bakar fosil, perubahan tutupan areal berhutan dan lain-lain. Bila yang dikehendaki adalah tidak mengubah hutan maka baiknya dalam menentukan nilai additionality akibat project tersebut adalah sebesar simpanan karbon yang mampu dipertahankan di hutan. Nilai karbon yang ada dari sejumlah lahan yang dicegah alih fungsi dan alih tutupan dikurangi hasil kali luas lahan yang ada sebelum project dengan faktor konversi pencegahan deforestasi dan degradasi Key word: deforestation, degradation, income REDD+, stakeholder interaction

7 Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

8 MODEL DINAMIKA PERUBAHAN HUTAN DAN LAHAN DAN SKENARIO PERDAGANGAN KARBON DI PROVINSI JAMBI LUTFY ABDULAH Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

9 Judul Tesis Nama NRP : Model Dinamika Perubahan Hutan dan Lahan dan Skenario Perdagangan Karbon di Provinsi Jambi : Lutfy Abdulah : E Disetujui Komisi Pembimbing Dr. Ir. Herry Purnomo, M.Comp. Anggota Dr. Ir. Dodik R.Nurrochmat, M.Sc. Anggota Diketahui Ketua Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan Dekan Sekolah Pascasarjana Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, M.Sc Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.Sc Tanggal Ujian: 18 Januari 2011 Tanggal Lulus:

10 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Tania June, M.Sc

11 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2010 ini ialah Model Dinamika Perubahan Hutan dan Lahan dan Skenario Perdagangan Karbon di Provinsi Jambi. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Herry Purnomo, M.Comp. dan Bapak Dr. Ir. Dodik Ridho Nurrochmat, M.Sc. selaku pembimbing, serta Ibu Dr. Ir. Tania June, M.Sc sebagai penguji luar komisi. Tak lupa diucapkan terima kasih atas kesediaan Bapak Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS selaku pimpinan sidang. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada yang terhormat Bapak Gubernur Maluku dan Bapak Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Maluku yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan studi dan memperdalam ilmu dan pemahaman tentang pengelolaan hutan. Ucapan terima kasih disampaikan kepada Bapak Ir. Desy Ariyadhi Suyamto, Bapak Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Jambi, Bapak Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Jambi, Bapak Ketua BAPPEDA Jambi dan Bapak Kepala Dinas Pertambangan Batubara dan Sumber Mineral Provinsi Jambi. Terima kasih kepada rekan-rekan mahasiswa Mayor Ilmu Pengelolaan Hutan Sekolah Pascasarjana IPB yang telah membantu penulis dalam diskusi untuk mempertajam analisis. Penghargaan dan ucapan terima kasih penulis kepada istri tercinta Yeni Ratnasari dan anakku sayang Siti Syafirasari Thio serta kepada kakanda Drs. M. Saleh Thio, MS dan saudara-saudaraku tercinta lainnya. Terima kasih atas dukungan materiil dan doa yang selama ini diberikan.

12 vi DAFTAR ISI DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Manfaat Penelitian 4 2 TINJAUAN PUSTAKA Metode Pendugaan Karbon Pada Perubahan Penggunaan 5 Lahan 2.2 Dampak Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap 8 Cadangan Karbon Lahan 2.3 REDD dan Peluang Pelaksanaan di Jambi Skenario Pengelolaan Hutan Pada Skema REDD 14 3 METODOLOGI PENELITIAN Kerangka pendekatan masalah Lokasi dan Waktu Penelitian Alat dan Bahan Metode penelitian Tahapan analisis data Simulasi penggunaan dan pemanfaatan kawasan hutan 23 4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Administrasi Provinsi Jambi Kawasan Hutan dan Organisasi 28 5 HASIL PENELITIAN Dinamika Kebijakan Pengelolaan Hutan Dinamika Pembangunan Sektor Kehutanan Deforestasi dan Degradasi Hutan Jambi Pemahaman Stakeholder tentang REDD Model Dinamika Penggunaan dan Pemanfaatan Kawasan Hutan 72

13 vii 6 PEMBAHASAN Penentuan Kawasan Hutan Interaksi Stakeholder dengan Kawasan Hutan Faktor Pendorong Deforestasi dan Degradasi Hutan 98 Jambi 6.4 Perdagangan Karbon dan Skenario REDD SIMPULAN DAN SARAN DAFTAR PUSTAKA 112

14 viii DAFTAR TABEL Halaman 1 Nilai karbon terikat terhadap kandungan biomasa 6 2 Nilai cadangan karbon setiap penggunaan lahan 10 3 Rencana strategi peningkatan serapan karbon di provinsi Jambi 4 Karbon terikat pada setiap penggunaan lahan 25 5 Wilayah administrasi dan kependudukan Provinsi Jambi 27 6 Klasifikasi hutan menurut TGHK dan tutupan hutan 28 7 Deforestasi provinsi jambi di dalam dan diluar kawasan hutan tahun Rekapitulasi IUP di Provinsi Jambi 35 9 Rekapitulasi ijin lokasi perkebunan di Provinsi Jambi Rekapitulasi pelepasan kawasan hutan untuk transmigrasi Jumlah ijin dan luas areal konsesi yang dikelola Sebaran HPH menurut status pengelola Rekapitulasi potensi hasil hutan kayu Provinsi Jambi Rekapitulasi realisasi penanaman HTI di Provinsi Jambi Daftar perusahaan HTI di Jambi Deforestasi Jambi Periode Laju deforestasi menurut kabupaten di Provinsi Jambi periode tahun Luas hutan menurut paduserasi dan TGHK Hubungan antar stakeholder dalam manajemen bentang lahan Hubungan stakeholder dengan variabel flow Bobot hubungan antar stakeholder dalam mempengaruhi flow Laju deforestasi hutan tetap di Provinsi Jambi Laju degradasi simpanan karbon hutan Simpanan karbon akibat konversi hutam alam Kuantifikasi perilaku aktor terhadap alokasi lahan HPH untuk HTI 26 Kuantifikasi perilaku aktor terhadap perambahan TNKS Hasil simulasi penurunan laju deforestasi Hasil simulasi penurunan laju degradasi

15 ix 29 Standar biaya dan upah serta nilai CO Perbandingan income REDD di hutan produksi berdasarkan standar 31 Hasil simulasi REDD+ pada kombinasi fungsi hutan Uji sensivitas 92 90

16 x DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Kerangka pemikiran penelitian 20 2 Hubungan antara aktor-arena dan institusi 23 3 Model konseptual 24 4 Prosedur ijin pinjam pakai kawasan sebelum tahun Prosedur ijin pinjam pakai kawasan berdasarkan 37 P.48/Menhut-II/ Peta sebaran potensi tambang di jambi 38 7 Grafik pelepasan kawasan hutan untuk budidaya sektor 40 bukan kehutanan 8 Prosedur ijin pelepasan kawasan hutan sebelum tahun Prosedur ijin pelepasan kawasan hutan berdasarkan PP. No Tahun Prosedur ijin tukar menukar kawasan hutan berdasarkan SK 48 Menhut Nomor 292/KPTS-II/ Prosedur ijin pelepasan kawasan hutan sebelum PP. No Tahun 2010 tahun Prosedur ijin pelepasan kawasan hutan berdasarkan PP. No Tahun Peta sebaran ijin HTI di provinsi jambi Peta deforestasi periode tahun di provinsi Jambi Cadangan karbon pada tahun Cadangan karbon pada tahun Cadangan karbon pada tahun Kondisi penggunaan lahan tahun 1990-an Kondisi penggunaan lahan tahun 2000-an Kondisi penggunaan lahan tahun Organogram bentang alam provinsi jambi Hasil simulasi dinamika perubahan bentang alam Jambi Hasil simulasi dinamika luas penggunaan dan pemanfaatan kawasan hutan 24 Perubahan cadangan karbon Perubahan cadangan karbon di hutan produksi akibat perilaku aktor dalam alokasi lahan bekas tebangan hph untuk HTI 26 Perilaku DISHUT terhadap perambahan TNKS

17 xi 27 Nilai simpanan karbon terhadap setiap fungsi terhadap REL Pertumbuhan biomasa HTI 104

18 xii DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Laju deforestasi pada kawasan hutan tetap Laju degradasi pada kawasan hutan tetap Laju deforestasi pada setiap fungsi Simulasi Income REDD berdasarkan tingkat harga karbon di semua fungsi hutan 5 Simulasi Income REDD+ pada semua fungsi pada standar CCB 6 Simulasi Income REDD+ pada semua fungsi pada standar Carbon Fix 7 Simulasi Income REDD+ pada semua fungsi pada standar Plan Vivo 8 Simulasi Income REDD+ pada semua fungsi pada standar voluntary carbon AFOLU 9 Spesifikasi model kuantitatif

19 xiii

20 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Emisi gas rumah kaca sejak tahun 1970 hingga tahun 2004, terus meningkat sampai 70% dan diantaranya terjadi peningkatan sebanyak 24% selama periode tahun 1990 hingga Dari angka tersebut 40% disumbang dari sektor penggunaan lahan dan kehutanan yang disebabkan oleh alih fungsi lahan dan deforestasi dan degradasi hutan (IPCC 2007). Menurut Stern (2006) menyebutkan sektor deforestasi dan degradasi hutan telah menyumbang 18% emisi ke atmosfer. Laju deforestasi dan degradasi hutan Indonesia selama tahun mencapai 1,089 juta hektar per tahun (Kemenhut 2009). Secara umum, penurunan cadangan karbon di kawasan hutan dan non-kawasan hutan Indonesia dari sektor pengelolaan lahan baik hutan maupun non hutan terus menurun terjadi pada periode tahun , yaitu sebesar 3.646,1 Mt atau rata-rata per tahun sebesar 364,64 Mt, kemudian turun menjadi 1.046,78 Mt pada periode atau 348,93 Mt /tahun, dan periode menurun lagi menjadi 531,68 Mt atau 177,56 Mt/tahun (Budiharto 2009). Penurunan terbesar terjadi di P. Kalimantan dan P. Sumatera dengan rata-rata perubahan sebesar 112,35 Mt/tahun dan 77,57 Mt/tahun. Saharjo (2009) menyebutkan bahwa jumlah karbon yang tersimpan di wilayah tropika mencapai 83,3 Gt, 44,5 Gt atau sekitar 53,1% terdapat di Indonesia yang terbagi pada 3 pulau besar yakni Sumatera tersimpan 18,3 Gt (41,1%), Kalimantan 15,1 Gt (33,8%) dan Papua Barat 10,3 Gt (23%). Menurut FAO (2010), cadangan karbon pada biomasa hutan Indonesia tahun 1990 sebesar juta ton, tahun 2000 sebesar juta ton, tahun 2005 sebesar juta ton, tahun 2010 sebesar juta ton. Cadangan karbon biomasa hutan Indonesia per hektar 2010 mencapai 138 juta ton/hektar. Deforestasi hutan Indonesia berdampak pada penurunan PDB (Product Domestic Bruto) kehutanan terhadap PDB Indonesia. Tahun 1997 proporsi PDB Kehutanan terhadap PDB Indonesia mencapai 1.56% namun di tahun 2000 menurun menjadi 1,18%. Tahun 2008 mencapai 0,81% (Kemenhut

21 2 2009) dan di triwulan II tahun 2009 hanya menyumbang 0,85% atau Rp ,3 Milyar (Kemenhut 2010). Penurunan potensi hutan dan konversi lahan hutan terjadi merata di seluruh wilayah termasuk provinsi Jambi. Menurut Wurjanto diacu dalam Prasetyo (2009), dari perubahan citra landsat terlihat ada pengurangan jumlah tutupan hutan sebesar 2% per tahun dari total luas 1,2 juta hektar hutan di Jambi. Sampai dengan tahun 2008, tersisa 2 IUPHHK Hutan Alam dengan luas mencapai hektar dan jatah tebangan tahunan 2008 mencapai m 3 atau turun m 3 di tahun 2006 (Kemenhut 2008). Untuk keperluan kayu industri, di provinsi Jambi telah dibangun HTI dari tahun mencapai ,34 hektar. IUPHHK Hutan Tanaman terdapat 13 unit usaha yang mengelola lahan seluas hektar. Realisasi produksi kayu bulat untuk tahun 2008 hanya mencapai ,55 m 3 dari rencana sebanyak ,58 m 3. Penurunan potensi dan perubahan fungsi penggunaan kawasan hutan yang terjadi terus menerus disebabkan oleh perbedaan kepentingan stakeholder terhadap kawasan hutan dan mempengaruhi institusi yang mengatur tentang pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan. Hubungan ini membentuk suatu sistem yang utuh dan saling mempengaruhi. Portela dan Rademacher (2001), menggunakan model dinamika untuk menganalisis pola deforestasi yang ditunjukan oleh perbedaan pola degradasi lingkungan di hutan Amazon Brasil. 1.2 Perumusan Masalah Tingginya angka emisi sektor LULUCF (Land Use, Land Use Change and Forestry) kebutuhan lahan dan hasil hutan yang terus meningkat. Pada tahun 2005 telah dilepas kawasan hutan sebesar hektar, tahun 2006 seluas ,73 hektar dan tahun 2007 sebesar hektar. Sedangkan tahun 2008 dilepas kawasan hutan seluas ,73 hektar (Kemenhut 2008). Pentingnya pembangunan sektor non-kehutanan mengakibatkan berkurangnya luas dan tutupan kawasan berhutan. Kebutuhan lahan hutan untuk eksploitasi sumberdaya tambang, alokasi lahan hutan untuk kebun dan transmigrasi serta pemanfaatan hasil hutan kayu melalui HPH dan pemenuhan kebutuhan kayu industri melalui HTI merupakan faktor pendorong berubahnya

22 3 luas dan tutupan hutan. Selain itu, desakan masyarakat untuk mengelola kawasan hutan semakin tinggi. Hasil rekap data statistik Kementerian Kehutanan menunjukan bahwa sampai dengan tahun 2008 telah dilakukan pinjam pakai kawasan hutan seluas hektar, tukar menukar kawasan yang keluar dari kawasan hutan sampai dengan tahun 2009 mencapai hektar dan yang masuk menjadi kawasan hutan sebesar hektar. Jumlah HPH yang masih aktif sampai dengan tahun 2009 hanya 1 perusahaan dan HTI mencapai hektar. Untuk mengurangi laju penurunan tutupan hutan dan meningkatkan pendapatan dari pengelolaan hutan, pemerintah melalui Kementerian Kehutanan merencanakan pembangunan HKm seluas hektar, hutan desa hektar, RHL hektar sampai dengan tahun Untuk memenuhi kebutuhan kayu industri, di provinsi Jambi akan dibangun HTR dan HTI sampai tahun 2020 seluas hektar. Selain itu akan dilakukan pemanfaatan LOA (Log Over Area) seluas 163 ribu hektar (Kemenhut 2010). Upaya menurunkan emisi pada BAU (business as usual) dengan skema REDD+ melibatkan unsur stakeholder pemerintah pusat, daerah, masyarakat lokal dan stakeholder yang berkepentingan lainnya. Setiap stakeholder memiliki tujuan dan motivasi tertentu dalam manajemen peruntukan lahan. Perubahan peruntukan lahan dapat berdampak positif maupun negatif baik terhadap penutupan lahan, ekonomi masyarakat dan pendapatan negara dan daerah. Pertanyaan yang menjadi masalah penelitian adalah : (1) bagaimanakah bentuk manajemen hutan di provinsi Jambi pada masa lampau dan rencana akan datang? (2) bagaimana peran stakeholder di level provinsi Jambi dalam menentukan peruntukan lahan hutan selama ini? dan (3) bila REDD+ dilaksanakan, berapa nilai ekonomi yang dapat diterima? 1.3 Tujuan Tujuan dari penelitian ini antara lain : 1. Menganalisis institusi pengurusan hutan pada masa lampau dan rencana akan datang serta peran aktor dalam manajemen hutan;

23 4 2. Membangun model simulasi pemanfaatan dan peruntukan hutan sebagaimana BAU (business as usual) dijalankan 3. Mengetahui nilai REDD+ yang dapat diperoleh berdasarkan standar pasar karbon yang ada Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat menyediakan informasi tentang : 1. Peran yang dikendalikan oleh setiap stakeholder yang berwenang dalam pengurusan kawasan hutan; 2. Membangun model dinamika perubahan lahan berdasarkan ketertarikan agen; 3. Fluktuasi cadangan karbon ketika BAU dan REDD+ dijalankan

24 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Metode Pendugaan Karbon Pada Perubahan Penggunaan Lahan Metode pendugaan karbon tersimpan pada berbagai jenis penggunaan lahan adalah hal penting dalam menduga besarnya perubahan cadangan karbon ketika terjadi perubahan penggunaan lahan, misalnya dari areal berhutan menjadi kebun atau sebaliknya dari tanah kosong menjadi areal bertutupan vegetasi hutan. Berbagai penelitian telah dilakukan untuk menduga simpanan karbon pada setiap jenis lahan diantaranya dilakukan oleh Rahayu et al (2005) dan Agus et al (2009). IPCC (2006) memberikan pedoman pendugaan cadangan karbon pada areal berhutan, pemukiman, lahan pertanian, padang rumput dan bentuk penggunaan lahan lainnya yang didasarkan pada penelitian-penelitian yang dilakukan di beberapa negara. Karbon merupakan fungsi dari biomasa pohon. Biomasa merupakan fungsi dari volume yang dibentuk dari dimensi tinggi dan diameter. Pertambahan dimensi tinggi dan diameter terbentuk karena adanya proses fotosintesis yang mengubah CO 2 dan H 2 O menjadi selulosa. Besarnya kandungan karbon dapat menduga besarnya serapan CO 2 untuk keperluan fotosintesis yakni sebesar nilai karbon dikalikan dengan berat molekul CO 2 yakni sebesar 44/12 yang dinyatakan dengan satuan ton/ha (Aminudin 2008). Kandungan karbon dalam biomasa diasumsikan sebesar 50% dari nilai biomasa (Brown 1997). Penelitian lain menemukan bahwa angka konversi biomasa ke nilai kandungan karbon tidak mencapai 50% atau hanya mencapai 10% atau kurang dari 50%. Kesalahan dalam penggunaan nilai konversi ini akan berakibat pada kesalahan pendugaan cadangan karbon pada satu individu pohon dan suatu hamparan penggunaan lahan (Tabel 1).

25 6 Tabel 1. Nilai Karbon terikat terhadap kandungan biomasa No. Tipe hutan/jenis pohon Persen Karbon Terikat (%) Sumber Pustaka 1. Mangrove Hilmi (2003) diacu dalam Widyasari (2010) 2. Hutan Kerangas, Kalimantan Onrizal (2004) Barat 3. Acacia mangium, Sumatera Selatan Ismail (2005) diacu dalam a. Areal Bekas Tebangan Widyasari (2010) b. Areal Bukan Bekas Tebangan 4. Pohon Puspa, Sumatera Selatan a. Kelas diameter 2 10 cm b. Kelas diameter cm c. Kelas diameter > 20 cm 5. Acacia crassicarpa, Sumatera Selatan a. Umur 2 tahun b. Umur 4 tahun c. Umur 6 tahun 6. Hutan Gambut bekas tebangan Sumatera Selatan 7. Hutan gambut bekas terbakar a. Kelas diameter 2-10 cm b. Kelas diameter cm c. Kelas diameter >20 cm Salim (2005) diacu dalam Widyasari (2010) Limbong (2009) diacu dalam Widyasari (2010) Novita (2010) Widyasari (2010) Tabel di atas menunjukan bahwa presentasi karbon terikat pada biomasa pohon tidak merupakan setengah dari biomasa pohon sebagaimana disampaikan oleh Brown. Hal ini sangat mempengaruhi pendugaan nilai karbon pada suatu jenis peruntukan lahan. Widyasari (2010) menyebutkan bahwa perbedaan pendugaan karbon terikat pada biomasa dengan hasil penelitian Brown (1997) karena Brown (1997) tidak menggunakan pendekatan perhitungan kadar abu seperti penelitian yang dilakukan sebagaimana tabel di atas. Hygreen dan Bowyer (1993) diacu dalam Aminudin (2008), sepotong kayu terdiri atas 49% unsur C, 6% unsur H dan 44% unsur O serta 0.1% abu. Kandungan biomasa di pohon berbeda-beda. Biomasa terbesar sekitar 68,08-82,28% terdapat di batang, di daun terdapat 4,17-14,44%, di ranting terdapat 6,16-10,32% serta 7,15-7,45% terdapat di cabang (Widyasari 2010).

26 7 Pendugaan cadangan karbon berkorelasi positif dengan nilai transaksi perdagangan karbon dan sangat mempengaruhi rekomendasi untuk partisipasi dalam pemanfaatan jasa lingkungan karbon. Berdasarkan ketelitian dan ketersediaan data, IPCC (2006) mengklasifikasikan metode pendugaan karbon dalam 3 (tiga) tingkat ketelitian yang disebut dengan tier. Semakin tinggi angka tier yang digunakan dalam pendugaan cadangan karbon, data yang digunakan semakin rumit dan lengkap sehingga hasilnya semakin teliti. Metode tier 1 dirancang untuk penggunaan sederhana dalam menduga cadangan karbon, dengan mengalikan nilai cadangan karbon yang telah ditetapkan dengan luas peruntukan lahan maka dapat diketahui cadangan karbon yang terdapat pada suatu peruntukan lahan. Tier 2 dapat menggunakan pendekatan metodologi yang sama seperti tier 1 tetapi angka-angka yang digunakan dalam pendugaan cadangan karbon menggunakan data spesifik pada satu negara atau wilayah tertentu ditambah faktor yang mempengaruhi pengambilan karbon. Tier 3, menggunakan model dan teknik pengukuran disesuaikan untuk mengatasi keadaan nasional, berulang dari waktu ke waktu, dan didorong oleh resolusi data yang tinggi. Metode ini memberikan estimasi kepastian lebih besar dari tingkatan yang lebih rendah. Pemilihan metode pendugaan cadangan karbon bergantung pada ketersediaan dan ketelitian pengumpulan data. Perubahan gas-gas rumah kaca di sektor AFOLU (agriculture, forestry and other land use) dapat diduga dengan 2 cara yakni (1) perubahan bersih karbon stok pada suatu periode waktu tertentu dan (2) laju perubahan aliran CO 2 ke dan dari atmosfer. Besarnya serapan CO 2 dari atmosfer bergantung pada kerapatan biodiversitas tumbuhan yang melakukan fotosintesis dan menyimpan hasilnya dalam bentuk biomasa. Sebagian besar CO 2 dipindahkan dari atmosfer ke ekosistem daratan melalui fotosintesis dan respirasi. Serapan CO 2 melalui fotosintesis sering disebut dengan gross primary product (GPP). Setengah dari GPP akan terlepas kembali ke atmosfer melalui proses respirasi dan yang tersisa pada tubuh tumbuhan disebut sebagai net primary production (NPP) yakni total produksi biomasa tumbuhan dan bahan organik mati dalam satu tahun (IPCC 2006).

27 8 2.2 Dampak Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Cadangan Karbon Lahan Perubahan bentuk penggunaan lahan berkorelasi negatif dengan cadangan karbon, namun tidak berarti bahwa perubahan bentuk akan mengemisi sejumlah cadangan karbon yang dimiliki. Pada tanah mineral, konversi hutan primer dan hutan sekunder dengan simpanan karbon rata-rata berturut-turut 300 dan 132 t/ha, dapat menurunkan simpanan karbon tanah dan tanaman (emisi karbon neto positif). Jika lahan semak belukar atau lahan alang-alang dengan simpanan karbon masing-masing 15 dan 2 t/ha direhabilitasi menjadi lahan perkebunan, pada umumnya akan meningkatkan simpanan karbon tanah dan tanaman (emisi karbon neto negatif). Pada tanah gambut, emisi karbon terjadi karena dekomposisi gambut, kebakaran gambut (jika ada), dan emisi karbon dari tanaman. Pembangunan kebun di lahan gambut terlantar yang ditumbuhi semak belukar (dengan simpanan karbon 15 t/ha, dan kedalaman drainase rata-rata 40 cm) akan meningkatkan cadangan karbon. Hal ini berpotensi menurunkan emisi sebesar 862 tco 2 -e/ha/25 tahun (34 tco 2 -e/ha/tahun), karena besarnya penurunan kehilangan karbon dari biomasa dan tanah gambut. Bila belukar gambut dipertahankan maka akan mengemisi sekitar 22 CO 2 -e/ha/tahun. Bila belukar gambut dikonversi menjadi sawah, perkebunan karet atau perkebunan sawit, tingkat emisi berturutturut menjadi 11, 7, dan 30 CO 2 -e/ha/tahun. Dengan demikian, rehabilitasi belukar gambut menjadi sawah atau perkebunan karet mengurangi emisi berturut-turut 11 dan 15 CO 2 -e/ha/tahun, sedangkan rehabilitasi belukar gambut menjadi perkebunan kelapa sawit hanya menambah emisi 8 CO 2 -e/ha/tahun, dibandingkan bila belukar gambut diterlantarkan. Dengan demikian, ekstensifikasi perkebunan perlu diprioritaskan melalui rehabilitasi belukar atau padang alang-alang di tanah mineral atau belukar gambut karena selain penambatan CO 2 netto juga berpotensi memperbaiki kehidupan masyarakat (Agus et al 2009). Konversi hutan gambut bekas tebangan dan sekunder mengakibatkan penurunan cadangan karbon vegetasi masing-masing sebesar 103,53 ton/ha/tahun dan 61,02 ton/ha/tahun (Rochmayanto 2009). Hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa konversi lahan kosong atau belukar menjadi perkebunan dapat meningkatkan simpanan dan serapan karbon.

28 9 Namun jika perkebunan dibangun dengan mengkonversi hutan alam dengan cadangan karbon di hutan alam maka akan menurunkan simpanan karbon di lahan tersebut. Penurunan cadangan karbon tidak berarti akan mengemisi sebesar nilai cadangan karbon, namun dapat diduga dengan menghitung selisih perubahan cadangan karbon hutan alam ke perkebunan dikalikan dengan rendemen pengolahan kayu. Rendemen pengolahan kayu bulat dari hutan alam mencapai 57% 70% dari volume yang dipanen (Kemenhut, 2007). Hal ini menunjukan bahwa pengambilan cadangan karbon dalam bentuk kayu tidak langsung diuapkan menjadi CO 2 bebas di atmosfer namun dikonversi menjadi bentuk simpanan karbon lainnya seperti mebel, kayu pertukangan, konstruksi, kayu lapis, veneer dan lain-lain (Soedomo 2010). Untuk meningkatkan serapan dan simpanan karbon di hutan, maka tegakan hutan yang pertumbuhannya telah mencapai klimaks perlu ditebang dan dilakukan permudaan sehingga selisih fotosintesis terhadap respirasi positif. Tumbuhan muda lebih membutuhkan karbohidrat untuk pertumbuhan dibandingkan tumbuhan yang tua yang telah mencapai keseimbangan antara serapan CO 2 untuk proses fotosintesis dan melepaskan CO 2 sebagai hasil respirasi. Pada awal penebangan akan terjadi kehilangan cadangan karbon, namun akan memberi ruang untuk tumbuh tanaman muda. Pinard dan Cropper (2000) menyebutkan bahwa, cadangan karbon hutan diptero akan mengalami penurunan setelah 7 tahun tebangan yakni dari 213 ton C/Ha menjadi 97 ton C/Ha. Untuk menurunkan laju hilangnya cadangan karbon, ketika tebangan mencapai 20-50% dari AAC (Annual Available Cutting) maka perlu ditanam lagi tanaman pioneer yang mampu meningkatkan serapan karbon tegakan 15-26% di tahun mendatang. Lasco et al (2006) menyebutkan bahwa kegiatan penebangan akan menurunkan paling sedikit 50% dari simpanan karbon yang ada di hutan. Konversi hutan alam menjadi padang rumput atau lahan pertanian akan mengakibatkan penurunan cadangan karbon kurang dari 40 ton/ha dari 500 ton/ha yang dimiliki. Konversi hutan alam menjadi hutan tanaman juga mengakibatkan penurunan cadangan karbon sekitar 50% dari cadangan karbon yang ada. Kegiatan pemanenan dan perlakuan TPTJ (tebang pilih tanam jalur)

29 10 memberikan pengaruh nyata pada kandungan karbon serasah. Kandungan karbon serasah di areal bekas tebangan lebih tinggi dibandingkan hutan primer. Kandungan karbon di serasah segar sekitar 6,1 ton C/ha pada areal bekas tebangan dan hanya 2,4 ton C/ha di hutan primer. Namun pelaksanaan silvikultur TPTJ tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap kandungan karbon tanah pada kedalaman 0-40 cm (Almulqu 2008). Beberapa penelitian untuk menduga cadangan karbon pada jenis penggunaan lahan yang berbeda disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Nilai cadangan karbon setiap penggunaan lahan No. Jenis Penggunaan Lahan Cadangan Karbon Ton/Ha Hutan Primer Hutan Bekas Tebangan Kebun Karet Kebun Kelapa Sawit Alang-alang Agroforestry Hutan rakyat jati Kerangas di Taman Nasional Hutan gambut bekas terbakar Hutan gambut bekas tebangan Hutan Gambut ,8 4,2 37,7 66,3 176,1 29,1 41,82 Sumber Pustaka Tresnawan dan Rosalina (2002) Tresnawan dan Rosalina (2002) Widayati et al (2005) Yulianti (2009) Widayati et al (2005) Widayati et al (2005) Widayati et al (2005) Aminudin (2008) Onrizal (2004) Widyasari (2010) Novita (2010) 2.3 REDD dan Peluang Pelaksanaan di Jambi Menurut Lund (2008) bahwa definisi deforestasi dapat dikelompokkan ke dalam kategori : perubahan penutupan lahan, perubahan penggunaan lahan, perubahan penutupan dan penggunaan lahan. Berikut ini beberapa definisi deforestasi yang telah digunakan oleh berbagai institusi internasional, antaranya adalah : UNFCCC 11/CP.7 mendefinisikan deforestasi sebagai konversi langsung yang disebabkan oleh manusia terhadap lahan hutan menjadi lahan non-hutan. FAO (2010) mendefinisikan konversi hutan ke penggunaan lahan lain atau pengurangan dalam jangka waktu yang lama dari kanopi pohon kurang dari batasan minimal 10%. Dengan demikian deforestasi merupakan kehilangan petutupan lahan hutan secara permanen atau jangka waktu yang panjang, baik yang disebabkan oleh pengaruh manusia maupun dari gangguan alam. Konversi

30 11 hutan ke lahan pertanian, padang rumput/penggembalaan, dan area perkotaan juga termasuk deforestasi. Definisi degradasi hutan juga bervariasi, hingga kini setidaknya terdapat lebih dari 10 definisi yang telah digunakan oleh berbagai institusi (Lund, 2007). Salah satu definisi degradasi hutan adalah perubahan yang terjadi di dalam hutan yang memberi efek negatif pada struktur ataupun fungsi tegakan, sehingga menurunkan kapasitas produksi (FAO 1993 dalam Lund 2007). Perubahan yang terjadi di dalam hutan yang masih dalam kategori terdegradasi tidak melampaui batasan area yang ditentukan sebagai hutan. UNFCCC-IPCC menyatakan bahwa degradasi dapat didefinisikan sebagai kehilangan langsung, yang disebabkan oleh manusia, untuk jangka panjang (terjadi selama X tahun atau lebih) atau sedikitnya Y% dari persediaan karbon hutan (dan nilai hutan) sejak waktu T dan tidak dapat dikategorikan sebagai deforestasi. Parameter X, Y dan T belum ditetapkan. Tingginya angka deforestasi adalah peluang pelaksanaan REDD (Masripatin 2007). Bila angka deforestasi tersebut dapat ditekan maka akan terpelihara carbon sink yang mampu menyerap CO 2 bebas di atmosfer. Bila carbon sink ini ditingkatkan maka kemampuan untuk menyerap CO 2 akan makin meningkat. Menurut FAO (2010) bahwa laju perubahan tahunan cadangan karbon di Indonesia dari tahun 1990 sampai dengan 2010 terus menurun. Antara tahun , perubahan cadangan karbon mencapai 1,5 juta ton, antara tahun menurun sebesar 1,3 juta ton dan di tahun mengalami penurunan sebesar 1,7 juta ton. Menurunnya cadangan karbon menjadi perhatian utama pemerintah. Pemerintah berkomitmen menurunkan 14% emisi karbon dari sektor LULUCF dari Bussines As Usual (BAU) yang telah dijalankan selama ini, manajemen sampah yang benar 6%, dan efisiensi energi 6%. Bila BAU dijalankan sampai tahun 2020 maka emisi tahunan akan menjadi 1,24 Gt CO 2 e dan kemampuan serapan CO 2 e hanya berkisar antara 0.6 sampai dengan 0.71 Gt CO 2 e (Kemenhut 2010). Guna memenuhi program tersebut dibutuhkan dana sebesar Rp 83,3 triliun pada tujuh sektor prioritas, yakni sektor energi yang diupayakan mampu menurunkan emisi karbon sebesar 1%. Sektor transportasi dan industri

31 12 masing-masing 0,3% dan 0,01%, sektor pertanian 0,3%, sektor kehutanan 13,3%, pengelolaan limbah 1,6%, dan pengelolaan lahan gambut 9,6%. Untuk meningkatkan serapan karbon dari BAU akan dilakukan upaya mitigasi dengan skema REDD yang diharapkan sampai dengan tahun 2020 nanti mampu menyerap 1.31 Gt CO 2 e dengan menanam hektar per tahun dan upaya lainnya. Skema REDD (reducing emission from deforestation and forest degradation) dicetuskan dalam konferensi UNFCCC ke-13 di Bali pada akhir tahun Hal ini bermaksud untuk menyertakan sektor kehutanan dalam skema perdagangan karbon sebagai carbon sink terbaik. Namun COP (Conference of Parties) ke 15 di Kopenhagen Denmark memutuskan REDD sebagai suatu instrumen kerjasama internasional yang tidak mengikat. Dengan mempertahankan kawasan hutan dan lahan berhutan maka dapat menunda terjadinya emisi ke atmosfer karena menurut Masripatin (2007) vegetasi dan tanah dapat menyimpan ± 7500 Gt CO 2 atau dua kali lipat lebih banyak CO 2 di atmosfer, sedangkan hutan menyimpan 4500 Gt CO 2 lebih besar dari gas rumah kaca yang terdapat di atmosfer. Rencana Strategis Kementerian Kehutanan disusun untuk merealisasikan komitmen pemerintah RI dalam mereduksi emisi sebesar 14%. Kegiatan pengayaan dan penanaman hutan, pengaturan jatah tebangan tahunan dari 17 juta m 3 menjadi 9 juta m 3 serta pengendalian jumlah titik api. Selain itu dilaksanakan pengendalian volume kayu yang diekstraksi dengan illegal logging dan mengurangi kerusakan tegakan tinggal dengan metode RIL (Reduced Impact Logging). Diharapkan sampai dengan tahun 2020 nanti terdapat selisih antara emisi dan serapan sebesar 0,7 Gt. Bila BAU dijalankan maka selisih negatif sebesar 0,53 Gt dan bila hanya dilakukan penanaman seluas hektar per tahun maka selisih negatif sebesar 0,35 Gt. Pencapaian penurunan target emisi sebagaimana dijelaskan di atas, akan dilaksanakan bersama-sama dengan pemerintah daerah yang disesuaikan dengan karakteristik daerah tersebut. Beberapa rencana strategi peningkatan serapan karbon di Provinsi Jambi disajikan pada tabel berikut. Tabel 3. Rencana strategis peningkatan serapan karbon di Provinsi Jambi (Kemenhut 2010) Jenis Kegiatan Rencana Pelaksanaan (Ha) Jumlah HKm

32 13 Hutan Desa HTI/HTR RHL Pengelolaan LOA Skema REDD diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pembangunan dan pengelolaan lingkungan di Indonesia. Insentif yang disiapkan negara-negara maju untuk mempersiapkan pelaksanaan REDD di negara-negara berkembang yang memiliki hutan tropis dalam Copenhagen Accord sebesar 30 milyar US$ dan untuk pembayaran REDD sampai tahun 2020 disiapkan dana sebesar 100 milyar US$ (UNFCCC 2009). Skema REDD perlu dilihat dari dua sisi perhitungan pilihan kerangka kerja yakni (1) pilihan untuk mengikutkan REDD pada semua kerangka kerja hanya di sektor kehutanan, dan (2) pilihan untuk mengikutkan sektor kehutanan dalam semua kerangka kerja pertanian, kehutanan dan penggunaan lahan lainnya. Total stok karbon hutan pada suatu waktu ditentukan melalui dua faktor yakni (1) luas areal berhutan atau kawasan hutan dan (2) kerapatan karbon per hektar hutan (Angelsen et al 2008). Hal ini berarti bahwa dalam mengestimasi kandungan karbon suatu tegakan hutan perlu melihat keberadaan dan status kawasan hutan (tidak berkurang) yang disebut deforestasi dan tidak menurun stok karbon pada setiap hektar hutan yang disebut degradasi hutan. Menurut Stern (2008) diacu dalam Angelsen dan Kanounnikoff (2008), terdapat tiga kriteria dalam mengevaluasi pencapaian tujuan REDD yakni effectiveness yakni mitigasi dan adopsi emisi gas rumah kaca (GHG) pada skala yang disyaratkan untuk menjaga resiko dari perubahan iklim pada level yang dapat diterima. Kriteria kedua adalah efisiensi, yakni mitigasi emisi GHG harus diimplementasikan pada cara-cara yang efisien dan biaya yang minimum, dan equity yakni hasil penjualan karbon harus terdistribusi bagi seluruh masyarakat dan komponen bangsa. Mekanisme pembayaran REDD+ harus (i) efektif, yakni berkontribusi nyata dan bebas dari tekanan pihak ketiga dalam verifikasi stabilisasi konsentrasi GHG atmosfer, (ii) efisien, yakni menghasilkan nilai uang dan menyertakan

33 14 kelembagaan sektor swasta maupun publik untuk berpartisipasi secara adil, (iii) kesamaan, yakni meminimumkan atau menghindari resiko yang lebih besar dari masyarakat miskin dan marjinal yang mata pencahariannya bergantung pada hutan, mengalihkan/mencegah distorsi pasar hasil hutan dan melibatkan partisipasi pemerintah dalam kesepakatan keadilan pada level nasional dan internasional. 2.4 Skenario Pengelolaan Hutan Pada Skema REDD REDD merupakan bentuk pembayaran jasa lingkungan atas serapan CO 2 bebas di atmosfer oleh hutan melalui mekanisme fotosintesis. REDD merupakan skema untuk memperoleh nilai jasa hutan yang tidak semata karena kayu namun REDD dapat berjalan karena adanya potensi kayu dan bentuk serapan karbon lainnya. Adapun beberapa skenario yang mungkin dapat ditawarkan dalam pengelolaan hutan bersama REDD antara lain: 1. Moratorium Penebangan Moratorium penebangan adalah penundaan produksi atau ekstraksi hasil hutan kayu dalam suatu kurun waktu tertentu dengan tujuan untuk menjaga carbon sink dari hutan serta menjaga serapan karbon di atmosfer. Kebijakan ini berlangsung ketika hutan dianggap sebagai pabrik O 2 dan ketika pabrik itu diganggu maka kemampuan serapan akan menurun. Emisi rujukan adalah proyeksi emisi dari deforestasi dan degradasi yang memungkinkan untuk dilakukan pengukuran pengurangan emisi. Emisi rujukan dapat dinyatakan sebagai tolok ukur peta tutupan hutan yang menunjukkan lokasi hutan dan bagaimana variasi hutan-hutan tersebut terkait dengan karbon, atau kepentingan nasional lainnya (IFCA 2007b diacu dalam Budiharto 2009). Moratorium penebangan sering disebut dengan jeda tebangan sebagaimana kini telah dipraktekkan di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dengan Instruksi Gubernur NAD Nomor 5 Tahun Menurut Instruksi Gubernur (INGUB) No. 5 Tahun 2007 tentang Moratorium Logging, latar belakang lahirnya kebijakan ini didasari oleh kondisi objektif pengelolaan hutan Aceh yang tidak terkendali, sehingga kerap melahirkan bencana ekologis berupa banjir dan tanah longsor,

34 15 serta konflik antara satwa dan manusia. Tujuan yang ingin dicapai dari pemberlakukan moratorium logging adalah Hutan Lestari Rakyat Aceh Sejahtera melalui tiga program pokok, yakni redesign, reforestrasi, dan reduksi laju deforestrasi (Gumay 2008). Hutan Indonesia hanya mampu memasok 46,77 juta m 3 kayu bulat tiap tahunnya. Sayangnya, hal ini tak dipahami secara baik oleh pelaku industri kehutanan. Mereka terus saja menambah kapasitasnya tanpa memperhatikan kemampuan alam. Kapasitas industri kayu Indonesia mencapai 96,19 juta m 3, dua kali lipat kemampuan hutan Indonesia. Maraknya pembalakan liar adalah akibat dari ketimpangan permintaan dan ketersediaan kayu yang semakin meluluhlantakkan hutan kita. Tercatat total kayu illegal untuk memenuhi kebutuhan produksi dalam negeri mencapai 30,18 juta m 3, yang telah menyebabkan kerugian negara sebesar Rp. 36,22 triliun pada tahun 2006 (Syumada 2010). Namun bila ketimpangan permintaan dan penawaran kayu tersebut ditindaklanjuti dengan moratorium maka akan berdampak pada kemampuan pemenuhan kebutuhan. Bila kebijakan pemenuhan kebutuhan kayu mengimpor, akan sangat mempengaruhi nilai investasi yang diperlukan. Indonesia membutuhkan dana kompensasi sebesar Rp. 75,24 triliun jika Indonesia mengambil kebijakan moratorium pemanfaatan hutan dengan menghentikan pemanfaatan hutan alam pada 110 perusahaan HPH (Hak Pengusahaan Hutan) dan 77 perusahaan HTI (Hutan Tanaman Industri) (Effendi 2009). Lebih lanjut Effendi (2009) menjelaskan bahwa Luas hutan alam yang terdapat di areal konsesi 187 perusahaan-perusahaan HPH dan HTI tersebut mencapai 7,58 juta hektar, dan perusahaan-perusahaan tersebut berencana melakukan penebangan kayu dan konversi hutan alam seluas 1,84 juta hektar hingga Angka Rp 75,24 triliun adalah nilai penjualan kayu dari rencana eksploitasi kayu oleh 187 perusahaan HPH dan HTI tersebut hingga 2018 nanti yang mencapai 79,69 juta m Penerapan RIL

35 16 RIL (Reduced Impact Logging) adalah suatu kebijakan pemanenan hutan dengan meminimalkan resiko kerusakan pada tegakan tinggal dan tapak serta untuk menjaga potensi di hutan. RIL merupakan suatu pendekatan sistematis dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi dalam pemanenan kayu. RIL dapat menyimpan lebih dari 30 ton karbon per hektar. Penerapannya pada 30 juta ha areal HPH hutan alam di Indonesia berpotensi untuk mengurangi lebih dari satu milyar ton emisi CO 2 (Wardojo 2009). Aplikasi RIL dalam pengelolaan hutan lestari di Indonesia tidak dapat berjalan baik. Ada 7 faktor yang mempengaruhi implementasi RIL, yakni (1) kepastian lahan, (2) klaim lahan oleh masyarakat, (3) illegal logging, (4) konflik penggunaan lahan, (5) tidak ada dukungan manajemen, (6) pelatihan yang kurang memadai, dan (7) masalah sumberdaya manusia serta biaya tambahan implementasi yang terlalu tinggi. Dua faktor yang sangat mempengaruhi adalah investasi tambahan untuk meningkatkan teknologi dan tidak adanya dukungan dari pemerintah (Priyadi 2007). Tanpa kepemimpinan yang kuat, manejer di level tengah yang progresif maupun pekerja lapangan dan pengawasan yang memiliki sedikit insentif untuk mengubah status quo dapat mengakibatkan kegagalan implementasi RIL. Smith dan Applegate (2001) diacu dalam Priyadi (2007), illegal logging dan konversi hutan yang tidak terencana sebagai faktor penghambat pelaksanaan RIL. Enters et al (2001) diacu dalam Puts, et al (2008) menjelaskan bahwa Barney Chan dari Sarawak Timber Association (Malaysia) menjelaskan akronim RIL adalah reduced income logging karena dalam pelaksanaan RIL (reduced impact logging) membutuhkan investasi yang tinggi baik teknologi maupun sumberdaya manusia serta dibutuhkan dukungan implementasi kebijakan. Healey et al (2000); Smith et al (2006) diacu dalam Puts et al (2008) menjelaskan bahwa bila RIL ditujukan untuk mengurangi area tebangan dan tidak mendapatkan dukungan aturan yang tegas seperti di daerah tropis maka akan menurunkan pendapatan pemilik HPH apalagi dengan suku bunga yang tinggi. Sangat tidak mudah menjelaskan bahwa mengapa RIL tidak efektif berjalan dibandingkan dengan CL dari sisi performasi finansial, karena banyak faktor yang mendasari kelangsungan kebijakan ini. Harga produk, sumberdaya manusia,

36 17 kondisi hutan, upah tenaga kerja dan faktor-faktor lain yang mempengaruhi keuntungan dalam bisnis operasi HPH di tropis merupakan hal-hal mendasar yang mempengaruhi implementasi RIL (Put et al 2008). Beberapa penelitian juga menyimpulkan bahwa sebenarnya RIL tidak menjamin kelangsungan produksi hasil yang akan meningkat pada siklus berikutnya. Sist dan Fereira (2007) diacu dalam Puts et al (2008) menjelaskan bahwa panen awal di hutan dataran rendah basah Brazil mencapai 21 m 3 /ha namun setelah 30 tahun kemudian hasil yang akan ditebang hanya 50% dari volume awal. Dauber et al (2005) diacu dalam Puts et al (2008) meramalkan bahwa setelah pemanenan hanya terdapat 11,8 m 3 /ha dari hutan liana di Amazon Bolivia dengan RIL dan pada siklus tebang 25 tahun kemudian hanya akan dipanen 21% dari volume tebangan awal. RIL juga gagal mencapai tujuan silvikultur kelestarian hasil di hutan namun mampu mereduksi 50% kerusakan tegakan, menjaga biodiversitas dan fungsi ekosistem (Puts et al 2001 diacu dalam Puts et al 2008). Klassen (2010), hambatan adopsi sistem RIL di Indonesia dapat diklasifikasikan atas dua faktor, yakni faktor eksternal yaitu (1) efektivitas pelaksanaan regulasi dan monitoring operasional di hutan yang tidak pernah dilakukan dengan baik dan masih banyak ketidakpastian batasan yuridiksi desentralisasi di Indonesia, (2) masalah tenurial yang tidak pasti, (3) kurangnya penegakan aturan sehingga seakan-akan membiarkan perusahaan pemegang hak konsesi untuk memanipulasi pelaksanaan pengelolaan hutan yang terkesan lestari, (4) masih terdapat ijin pemanenan hutan tanpa persyaratan silvikultur yang berarti atau kontrol aturan, (5) penegasan hak masyarakat lokal untuk lahan hutan dan konversi ke bukan hutan atau menjual hak mereka ke pelaku bisnis lainnya, (6) aktivitas penebangan liar dan tidak disahkan dengan aturan. Faktor internal yang mempengaruhi yakni (1) kesalahan persepsi, (2) ketidakpahaman, (3) petunjuk teknis RIL yang tidak jelas, (4) defisiensi kemampuan teknis dan (5) ketidakmampuan menggunakan alat.

37 18

38 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Kerangka Pendekatan Masalah Pelaksanaan pengelolaan hutan yang dilaksanakan selama ini (BAU) mengakibatkan menurunnya luas kawasan hutan dan tutupan bervegetasi hutan. Tercatat bahwa periode tahun 2010 sampai dengan tahun 2020, emisi yang terjadi dengan kegiatan BAU setiap tahunnya mencapai 1,24 Gt CO 2 e dan kemampuan untuk mitigasi emisi hanya mencapai 0.71 CO 2 e dan laju deforestasi dari tahun mencapai 1,089 ha/tahun. Deforestasi disebabkan permintaan lahan hutan untuk transmigrasi dan perkebunan serta konversi untuk lahan budidaya tanaman semusim baik secara legal maupun illegal yang terus meningkat. Degradasi hutan disebabkan oleh permintaan kayu yang semakin tinggi dan tidak diikuti potensi hutan alam yang memadai sehingga perlu penanaman hutan tanaman industri di areal bekas HPH atau konversi hutan alam. Dinas Kehutanan Provinsi Jambi (2009) mencatat bahwa realisasi penanaman HTI selama tahun 2009 hanya mencapai 35% dari target luas yang harus ditanam. Pembukaan hutan alam untuk kepentingan HTI tanpa diikuti penanaman maka akan mengakibatkan hilangnya cadangan karbon di kawasan hutan alam tersebut. Perubahan luas kawasan hutan dan tutupan kawasan berhutan dapat mempengaruhi cadangan karbon yang ada pada kawasan tersebut. Perubahan cadangan karbon dapat mengurangi serapan karbon oleh tegakan hutan meski karbon tersebut tersimpan dalam bentuk lain. Kepentingan stakeholder akan hasil hutan kayu dan lahan sangat beragam. Stakeholder Dinas Kehutanan Provinsi Jambi memainkan peran yang nyata dalam mengendalikan perubahan luas dan tutupan kawasan berhutan. Kebijakan untuk mengakomodir kepentingan stakeholder lain selain kehutanan untuk meningkatkan pendapatan daerah dan negara mengakibatkan hilangnya cadangan karbon. Alokasi lahan untuk perkebunan dan HTI tidak secara langsung menunjukkan nilai emisi namun konversi ini mengakibatkan berkurangnya cadangan karbon di hutan.

39 20 Perubahan cadangan karbon dapat dikendalikan dengan memanfaatkan cadangan karbon untuk serapan CO 2 bebas di atmosfer. REDD+ merupakan salah satu skema perdagangan jasa lingkungan yang dapat meningkatkan cadangan karbon dan ekonomi masyarakat. Keterangan : : Pengaruh Langsung : Pengaruh Tidak Langsung Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian 3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini berlangsung di Provinsi Jambi, pada bulan April 2010 sampai dengan Juni Alat dan Bahan

40 21 Alat Dalam penelitian ini akan menggunakan program komputer Stela 9.0.1, kuesioner, Ms. Excel dan ArcView 3.2 Bahan Peta tutupan lahan, peta laju deforestasi, laporan ekonomi, Statistik Kehutanan, Peraturan Daerah dan Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang pemanfaatan kawasan. 3.4 Metode Penelitian Metode Pengumpulan Data a. Pengumpulan Data Primer Menggunakan kusioner untuk mengukur persepsi stakeholder tentang pengelolaan hutan dan isu REDD, meliputi: 1) Peran pemerintah pusat dan pemerintah daerah 2) Peran masyarakat lokal 3) Peran lembaga non pemerintah, akademisi dan bisnis b. Pengumpulan Data Sekunder Melakukan pengumpulan data hasil dan rencana manajemen hutan di provinsi Jambi pada masa lampau dan akan datang yang meliputi : a. Data penggunaan kawasan hutan, yang mengurai tentang : 1) Data perubahan fungsi kawasan hutan; 2) Data pelepasan kawasan hutan 3) Data pinjam pakai kawasan 4) Data tukar menukar kawasan b. Data pemanfatan kawasan hutan, yang mengurai tentang: 1) Data pemegang hak konsesi HPH 2) Data pembangunan HTI c. Luas Rehabilitasi Hutan dan Lahan

41 22 d. Kebakaran hutan Penentuan Responden Penentuan responden dilakukan secara langsung pada instansi atau lembaga yang telah dibatasi sebelumnya, yaitu Dinas Kehutanan Provinsi Jambi, Dinas Perkebunan Provinsi Jambi, Dinas Energi dan Sumberdaya Mineral Provinsi Jambi, Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Provinsi Jambi, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Provinsi Jambi, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) dan Warung Konservasi Jambi (WARSI). 3.5 Tahapan Analisis Data Data yang diperoleh baik dari Kementrian Kehutanan maupun dari Dinas Kehutanan Provinsi Jambi serta instansi pemerintah dan non pemerintah lainnya dikaji dan dilihat hubungannya dengan penggunaan dan pemanfaatan kawasan hutan, gangguan serta nilai ekonomi yang diperoleh. Data ini dapat diperkaya dengan review hasil-hasil penelitian di lokasi lain. 1. Eksplorasi prosedur ijin penggunaan dan pemanfaatan kawasan hutan Analisis kelembagaan dilakukan dengan identifikasi aktor dan peran masing-masing aktor serta prosedur kerja sesuai produk hukum yang mengatur tentang penggunaan dan pemanfaatan kawasan hutan. 2. Membangun model penggunaan dan pemanfaatan kawasan hutan pada BAU dan pengembangan strategi REDD+. Model dinamika penggunaan dan pemanfaatan kawasan hutan dibangun dengan memperhatikan pedoman model dinamika sesuai Grant et al (1997). Model ini akan menjelaskan perbandingan tutupan lahan dan simpanan karbon pada skema BAU dan REDD+ serta dampak ekonomi bagi masyarakat dari kedua skema tersebut.

42 Simulasi penggunaan dan pemanfaatan kawasan hutan Simulasi dilakukan dengan membangun hubungan antara arena (kawasan hutan), institusi yang berlaku dalam pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan serta aktor yang relevan terkait pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan, yakni pemerintah daerah provinsi Jambi, masyarakat lokal, pemegang hak penggunaan dan pemanfaatan kawasan hutan dan beberapa lembaga non- pemerintah. Pemodelan ini didasarkan pada tahapan pemodelan system dynamic sebagaimana dijelaskan oleh Grant et al (1997). Tahap awal akan ditetapkan rumusan masalah, tujuan pembangunan model dan batasan model. Tahap kedua yakni membangun hubungan konseptual antar variabel dengan mengedepankan arah model membentuk suatu sistem yang tertutup sebagaimana gambar 2. ARENA INSTITUSI AKTOR Gambar 2. Hubungan antara aktor-arena dan institusi Langkah-langkah pemodelan dinamika perubahan peruntukan lahan adalah sebagai berikut. a. Membuat organogram landscape Jambi b. Membuat model konseptual

43 24 Secara umum, model ini dapat diklasifikasikan dalam 4 (empat) submodel yakni submodel dinamika perubahan landscape Jambi, perubahan cadangan karbon, pendugaan additionality project REDD+ dan nilai ekonomi project REDD+. perubahan luas kawasan hutan, perubahan biomasa hutan, pendugaan (gambar 3). Gambar 3. Model Konseptual c. Membuat daftar stakeholder dan hubungan antara stakeholder dengan stakeholder dan dengan variabel flow d. Membuat spesifikasi model kuantifikasi Tahapan spesifikasi model kuantitatif bertujuan untuk membentuk model kuantitatif model simulasi. Pembuatan model ini dilakukan dengan menerjemahkan setiap hubungan antar variabel dan komponen penyusun model sistem tersebut ke dalam persamaan matematik sehingga dapat dioperasikan oleh program simulasi. Langkah-langkah dalam spesifikasi model kuantitatif adalah memilih struktur kuantitatif umum model, memilih unit waktu dasar untuk simulasi,

44 25 mengidentifikasi bentuk-bentuk fungsional dari persamaan model, menduga parameter dari persamaan model, memasukan persamaan ke dalam program simulasi, menjalankan simulasi acuan serta menetapkan persamaan model. 1. Pendugaan perubahan kandungan karbon akibat konversi pemanfaatan lahan menggunakan asumsi pada tier 1. Perhitungan perubahan cadangan karbon dihitung dengan mengalikan luas penggunaan dan atau pemanfaatan kawasan hutan dengan nilai cadangan karbon berdasarkan hasil penelitian sebelumnya (Tabel 4). Tabel 4. Karbon terikat pada setiap penggunaan lahan No. Jenis Penggunaan Lahan Cadangan Karbon ton/ha Hutan Primer Hutan Bekas Tebangan Kebun Kopi Kebun Kelapa Sawit Alang-alang HTI E.urograndis ,8 157 Sumber Pustaka Tresnawan dan Rosalina (2002) Tresnawan dan Rosalina (2002) Widayati et al (2005) Yulianti (2009) Widayati et al (2005) Mindawati et al (2010) Dalam menentukan laju deforestasi dan degradasi yang terjadi dibatasi oleh perubahan luas kawasan hutan tetap dan cadangan karbon. Definisi deforestasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah perubahan luas hutan tetap menjadi bentuk pemanfaatan lain seperti kebun, tambang dan pemukiman dalam satuan waktu tahun. Definisi degradasi dalam penelitian ini adalah perubahan cadangan karbon yang diakibatkan oleh perubahan luas hutan tetap menjadi peruntukan lain yang dinyatakan dalam ton/ha. Dalam penelitian ini tidak mempertimbangkan penurunan jasa lingkungan lain akibat perubahan penggunaan dan pemanfaatan hutan. 2. Pendugaan nilai ekonomi menggunakan pendekatan yang dijelaskan dalam Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) Nomor P.36/Menhut-II/2009. Nilai karbon yang disimulasikan adalah nilai cadangan karbon pada total kawasan hutan, kawasan hutan konservasi, kawasan hutan lindung dan kawasan hutan produksi. Salah satu model kuantitatif pendugaan income REDD+ adalah sebagai berikut:

45 26 BiayaAFOLU_2 = if mod(time,5)=0 THEN BiayaStandarAFOLU[Validasi_AFOLU]+BiayaStandarAFOLU[Verifikasi _AFOLU]+SertifikatTonAFOLU_2 else 0 BiayaCCB_2 = if mod(time,5)=0 then BiayaStandarCTradeCCB[Validasi]+BiayaStandarCTradeCCB[Verifikasi] +setifikattonccb_2 else 0 BiayaCF_2 = if mod(time,5)=0 then BiayaStandarCF[Validasi_CF]+BiayaStandarCF[Verifikasi_CF]+Sertifikat toncf_2 else 0 BIayaPV_2 = if mod(time,5)=0 then BiayaStandarPV[Validasi_PV]+BiayaStandarPV[Verifikasi_PV]+Sertifikat TonPV_2 else 0 IncomeAFOLUHK = IF MOD(TIME,5)=0 THEN (serapanco2hk*hargacton)-biayaafolu_2 ELSE 0 IncomeCCBHK = IF MOD(TIME,5)=0 THEN (serapanco2hk*hargacton)-biayaccb_2 ELSE 0 IncomeCFHK = IF MOD(TIME,5)=0 THEN (serapanco2hk*hargacton)-biayacf_2 ELSE 0 IncomePVHK = IF MOD(TIME,5)=0 THEN (serapanco2hk*hargacton)-biayapv_2 ELSE 0 SertifikatTonAFOLU_2 = BiayaStandarAFOLU[Sertifikasi_AFOLU]*serapanCO2HK SertifikattonCF_2 = BiayaStandarCF[Sertifikasi_CF]*serapanCO2HK SertifikatTonPV_2 = BiayaStandarPV[Sertifikasi_PV]*serapanCO2HK setifikattonccb_2 = serapanco2hk*biayastandarctradeccb[sertifikasi] e. Evaluasi Model Evaluasi model berguna untuk mengetahui keterandalan model sesuai dengan tujuan yang ditetapkan. Langkah-langkah dalam evaluasi model meliputi: 1) Evaluasi kewajaran model dan kelogisan model; 2) Membandingkan model dengan sistem nyata; 3) Analisis sensivitas, untuk melihat kewajaran perilaku model jika dilakukan perubahan salah satu parameter dalam model secara ekstrim.

46 27 f. Penggunaan Model Tujuan tahapan ini adalah menjawab pertanyaan-pertanyaan yang telah diidentifikasi pada awal pembuatan model dan untuk menjawab tujuan penelitian. Tahapan ini melibatkan perencanaan dan simulasi dari beberapa skenario. Terdapat 3 level sebagai skenario yang disimulasikan. 30%, 50% dan 70% dari kebijakan penggunaan kawasan hutan dalam skema BAU. Angka tersebut menunjukan skenario ketika dalam skema REDD+, kebijakan penggunaan kawasan hutan diturunkan sebanyak angka tersebut.

47 28

48 4. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Administrasi Provinsi Jambi Provinsi Jambi dibentuk dengan Undang-Undang Nomor 61 tahun Provinsi Jambi terletak antara sampai Lintang Selatan dan antara sampai Bujur Timur, dengan luas wilayah km 2, yang terdiri atas daratan km 2 dan lautan 426 km 2. Provinsi Jambi berbatasan sebelah utara dengan Provinsi Riau, sebelah timur dengan laut cina selatan, sebelah selatan berbatasan dengan Provinsi Sumatera Selatan dan Bengkulu. Provinsi Jambi terdapat 9 kabupaten dan 128 Kecamatan serta Desa dan 150 kelurahan. Jumlah penduduk di tahun 2008 mencapai jiwa dengan kepadatan penduduk mencapai 52,18 orang/km 2 dan laju pertumbuhan mencapai 1,68% (Tabel 5). Angka kepadatan penduduk per hektar ini menunjukan trend peningkatan. Di tahun 2004 terdapat 49,0 orang/km 2, tahun 2005 terdapat 49,7 orang/km 2, tahun 2006 terdapat 50,2 orang/km 2 dan tahun 2007 terdapat 51,3 orang/km 2 (Jambi dalam Angka 2009). Tabel 5. Wilayah administrasi dan kependudukan provinsi Jambi No. Nama Kabupaten Jumlah Luas Populasi Kecamatan Desa (km 2 ) (orang) Kerinci Merangin Sarolangun Batanghari Muaro Jambi TanjungJabung Barat Tanjung Jabung Timur Bungo Tebo Sumber: BPS (2009) Kawasan Hutan dan Organisasi Kawasan hutan dapat dibedakan atas 2 (dua) tipe yakni kawasan hutan negara dan kawasan hutan milik. Kawasan hutan negara dapat berupa hutan adat dan hutan yang tidak ada status kepemilikan. Kawasan hutan negara dapat

49 30 diklasifikasikan atas kawasan hutan tetap dan kawasan hutan tidak tetap. Kawasan hutan tetap terdiri atas kawasan hutan konservasi (kawasan suaka alam dan pelestarian alam), kawasan hutan lindung dan kawasan hutan produksi. Kawasan hutan tidak tetap terdiri atas kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi. Luas kawasan hutan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 412/Kpts-II/1999 adalah hektar atau 42,73% luas daratan. Luas kawasan hutan lindung hektar, kawasan hutan produksi terbatas hektar, kawasan hutan produksi tetap hektar (Kemenhut 2009). Tabel 6. Klasifikasi hutan menurut TGHK dan tutupan hutan Citra Tahun Tipe Tutupan Fungsi 2006 Hutan (Ha) Luas TGHK (Ha) Lindung Hutan Non_Hutan Konservasi Hutan Non_Hutan Produksi Tetap Hutan Non_Hutan Produksi Terbatas Hutan Non_Hutan Areal Penggunaan Lain (APL) Sumber: Kemenhut (2008) Hutan Non_Hutan TOTAL Produksi hasil hutan terbesar di tahun 2008 adalah pulp yakni m 3 atau turun 24.92% dibandingkan periode sebelumnya (BPS 2009). Komoditi berikutnya adalah kayu bulat mencapai ton atau turun 68,06% dibandingkan tahun sebelumnya. Produksi kayu yang menurun seiring dengan meningkatnya laju deforestasi di Provinsi Jambi. Tahun 2002 telah mengalihkan kawasan hutannya untuk perkebunan seluas hektar. Kebakaran hutan di provinsi Jambi ditaksir sejak tahun mencapai hektar dengan sebaran titik api di tahun 2004 terdapat tahun 2005 mencapai 985 tahun 2006 mencapai dan di tahun 2007 mencapai dan pada akhir tahun 2008 mencapai Suatu angka yang menunjukan terdapat penurunan potensi titik api (Kemenhut 2009).

50 31 Penurunan produksi hasil hutan dan meningkatnya sebaran titik api mengakibatkan penurunan tutupan lahan oleh vegetasi berhutan. Budiharto (2009) menyebutkan bahwa cadangan karbon di provinsi Jambi periode 1990, 2000, 2003 dan 2006 mengalami penurunan sebanyak 6.52 Mt/tahun dengan laju perubahan penutupan lahan di tahun mencapai ha, mencapai ha dan di tahun mencapai ha. Kemenhut (2009) menyebutkan bahwa laju deforestasi di Provinsi Jambi antara tahun mencapai , 2 hektar atau rata-rata tahunan mencapai ,1 hektar/tahun (Tabel 7). Tabel 7. Deforestasi Provinsi Jambi di dalam dan diluar kawasan hutan tahun No. Deforestasi Kawasan Hutan Pada Kelompok Hutan Hutan Tetap APL KSA- KPA HL HPT HP A. Hutan Primer 14, , ,5 Hutan lahan kering ,8 0 primer Hutan rawa primer 14, ,5 Hutan mangrove primer B. Hutan Sekunder Hutan lahan kering sekunder 715,1 36, , , ,4 Hutan rawa sekunder 626,1 342,1 285, , Hutan mangrove sekunder 109, ,8 C. Hutan Lainnya TOTAL 1.465,7 378, , ,5 Sumber: Kemenhut (2008) Dari tabel di atas, diketahui bahwa laju deforestasi di kawasan hutan tetap yakni di hutan produksi dengan laju ,6 ha/tahun atau 40% dari laju deforestasi di daratan Jambi. Luas deforestasi terbesar terjadi di luar kawasan hutan yakni sebesar 50%. Hal ini disebabkan oleh tingginya permintaan lahan untuk transmigrasi, kebun dan lahan usaha pertanian.

51 32

52 5. HASIL PENELITIAN 5.1 Dinamika Kebijakan Pengelolaan Hutan Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan, perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan dilakukan untuk memenuhi tuntutan dinamika pembangunan nasional serta aspirasi masyarakat dengan tetap berlandaskan pada optimalisasi distribusi fungsi, manfaat kawasan hutan secara lestari dan berkelanjutan, serta keberadaan kawasan hutan dengan luasan yang cukup dan sebaran yang proporsional. Ruang lingkup peraturan ini meliputi perubahan peruntukan kawasan antara lain dengan prosedur tukar menukar kawasan dan pelepasan kawasan dan melalui perubahan fungsi kawasan hutan. Dinamika kebijakan peruntukan dan perubahan fungsi kawasan hutan terjadi karena peningkatan kebutuhan hasil hutan dan lahan hutan, pertumbuhan ekonomi bangsa dan desakan pengelolaan hutan lestari. Permintaan pasar terhadap produk non-kehutanan seperti hasil tambang, pertanian dan perkebunan mengakibatkan permintaan lahan terus meningkat sehingga mempengaruhi ekonomi bangsa dan sekaligus sebagai ancaman keberadaan hutan dan kelestarian potensi hutan. Permintaan dan desakan baik secara internal maupun eksternal merubah paradigma pengelolaan kawasan hutan yang sekaligus mempengaruhi mental stakeholder sebagai aktor yang merubah pengelolaan hutan. Mengacu pada uraian di atas, dijelaskan dinamika kebijakan pengelolaan hutan yang dibagi atas 2 (dua) tipe waktu yakni waktu lampau yaitu waktu pelaksanaan kebijakan sampai dengan diganti atau dinyatakan tidak berlaku lagi. Tipe waktu kedua yakni waktu kini yaitu pelaksanaan peraturan pengganti atau peraturan baru pada bidang yang sama Ijin pinjam pakai kawasan hutan ijin pinjam pakai kawasan hutan sebelum tahun 2008 Sebelum terbit Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.43/Menhut-II/2008 tentang ijin pinjam pakai kawasan, peraturan Menteri Kehutanan sebelumnya yakni P.14/Menhut-II/2006 yang kemudian diubah dengan P.64/Menhut-II/2006

53 34 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan. Menurut kedua Peraturan Menteri Kehutanan tersebut bahwa pinjam pakai kawasan hutan adalah penggunaan atas sebagian kawasan hutan kepada pihak lain untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan tanpa mengubah status, peruntukan dan fungsi kawasan tersebut. Kawasan hutan yang diatur dengan Peraturan Menteri ini adalah hutan dengan fungsi lindung dan produksi. Adapun ijin ini diterbitkan untuk kepentingan pembangunan strategis dan kepentingan umum. Ijin ini dapat bersifat ekonomi maupun tidak yang kemudian dengan perubahan P.46/Menhut-II/2006 menegaskan bahwa perlu adanya lahan kompensasi atas ijin tersebut. Ijin pinjam pakai kawasan diberikan kepada kegiatan-kegiatan yang sifatnya strategis dan untuk kepentingan terbatas, seperti penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan religi, pertahanan keamanan, pertambangan, pembangunan ketenagalistrikan dan instalasi teknologi energi terbarukan, pembangunan jaringan telekomunikasi atau pembangunan jaringan instalasi air. Penggunaan untuk kepentingan umum terbatas adalah penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan seluruh lapisan masyarakat yang meliputi antara lain jalan umum dan jalan (rel) kereta api, saluran air bersih dan atau air limbah, pengairan, bak penampungan air, fasilitas umum, repiter telekomunikasi, stasiun pemancar radio atau stasiun relay televisi. Adapun prosedur ijin ini pinjam pakai kawasan hutan disajikan pada gambar 4.

54 35 PEMOHON PEMKAB PEMPROV MENHUT Tim kaji Pimpinan Instansi Pemerintah/ Direksi perusahaan/ Koperasi rekomendasi rekomendasi Amdal dan Izin Tambang (P.64/Menhut-II/2006) Permohonan Hasil penilaian Evaluasi Persetujuan Pelaksanaan Kegiatan 2 tahun Lama Izin 5 tahun (P ) Persetujuan/ penolakan Gambar 4. Prosedur ijin pinjam pakai kawasan sebelum tahun 2008 Perencanaan ijin berawal dari persetujuan dan rekomendasi pemerintah daerah yang didasarkan pertimbangan-pertimbangan teknis dari instansi yang mengurusi kehutanan dan disesuaikan dengan rencana kerja pemerintah daerah (RKPD). Bupati akan menerbitkan rekomendasi bila kawasan yang diinginkan adalah kawasan yang berada di Kabupaten yang sama dan Gubernur akan menerbitkan rekomendasi atas dasar rekomendasi Bupati dan pertimbangan teknis instansi kehutanan di tingkat provinsi baik itu kawasan berada dalam 1 kabupaten atau lebih. Besarnya peran yang dimiliki aktor di level pimpinan daerah dalam pengurusan ijin ini bisa saja selaras dengan ijin lanjutan misalnya dari segi pertambangan. Sesuai dengan UU Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara bahwa Gubernur dan atau Bupati berkewenangan untuk mengeluarkan ijin usaha pertambangan. Namun bila evaluasi ijin pinjam pakai kawasan tidak disetujui oleh Menteri Kehutanan maka apakah dengan sendirinya dapat menghapus IUP yang merupakan kewenangan Gubernur atau Bupati sebagaimana UU tentang pertambangan tadi. Hal ini justru akan menimbulkan

55 36 polemik dan berpotensi konflik lintas sektoral dari sektor kehutanan yang mengatur ijin penggunaan kawasan hutan bila usaha tersebut dalam kawasan dan ijin pertambangan. Rekomendasi ijin pinjam pakai kawasan dari Bupati dan Gubernur selanjutnya sebagai syarat kelengkapan permohonan untuk kegiatan pinjam pakai kawasan yang diajukan ke Menteri Kehutanan dengan tembusan pada jajaran eselon 1 Kemenhut. Setiap eselon 1 baik itu BPK, RLPS, Baplan dan PHKA melakukan analisis yang mengurai tentang kemungkinan-kemungkinan yang akan timbul ketika ijin tersebut diterbitkan. Kajian ini dilakukan dalam suatu tim terpadu yang dipimpin oleh Direktur Jenderal Badan Planologi. Hasil penilaian selanjutnya merupakan masukan persetujuan prinsip Menteri Kehutanan atas ijin tersebut. Dari izin prinsip yang ada selanjutnya pemohon harus melakukan tata batas, survey potensi dan kegiatan lainnya dan kemudian merupakan bahan untuk diterbitkan izin oleh Menteri Kehutanan. Pemohon ijin pinjam pakai kawasan berkewajiban untuk membayar seluruh kegiatan akibat perijinan dan sekaligus menjamin dan memberikan kemudahan bagi aparatur untuk melakukan monitoring dan evaluasi baik itu dari Dinas Kehutanan kabupaten, Dinas Kehutanan provinsi maupun dari UPT Kemenhut dan Inspektorat Jenderal Kehutanan. Biaya yang ditimbulkan sangat tinggi karena pemohon tidak hanya berhenti pada perijinan namun selama kegiatan tersebut berlangsung, dalam setiap periode 1 tahun dilakukan monitoring oleh aparatur yang berbeda yang mungkin dapat mengunjungi perusahaan tersebut lebih dari 1 kali karena terdapat beberapa instansi yang berbeda dengan kewenangan yang berbeda pula. Selain itu terdapat beberapa kewajiban lainnya yang memang membutuhkan sumberdaya yang besar. Kewajiban yang timbul adalah membayar nilai tegakan pengganti dalam bentuk PSDH dan DR, melakukan reklamasi dan rehabilitasi kawasan, menjamin keamanan kawasan dan menjaga kawasan dari kebakaran dan lain-lain. Tentunya tingginya biaya yang dikeluarkan selama proses perijinan harus dikembalikan ketika ijin itu ada baik dengan menjual hasil tambang misalnya bila ijin itu untuk pertambangan atau menjual nilai tegakan dalam areal ijin atau melakukan eksploitasi hasil hutan sebesar-besarnya dari kawasan yang

56 37 bukan merupakan kawasan ijin. Hal inilah yang merupakan faktor penyebab terjadinya degradasi dan deforestasi hutan ketika ijin pertambangan ada. Adapun contoh perijinan pertambangan yang telah diterbitkan IUP dari Bupati maupun Gubernur namun belum mendapatkan ijin penggunaan kawasan dari Menteri Kehutanan adalah sebagaimana disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Rekapitulasi IUP di Provinsi Jambi NO. KABUPATEN KP. KP. PU EKSPLORASI LUAS JML LUAS JML. (Ha) KP (Ha) KP KP. EKSPLOITASI LUAS (Ha) JML. KP TOTAL JUMLAH 1 Batanghari Muara Jambi Tanjung Jabung Barat Tebo Bungo Sarolangun Merangin Kerinci Jumlah Sumber: Dinas Pertambangan, Energi dan Sumberdaya Mineral Provinsi Jambi (2010) Berdasarkan statistik Semester II Tahun 2009 Dinas Kehutanan Provinsi Jambi, luas wilayah pertambangan yang telah diajukan dan mendapatkan ijin Bupati atau Gubernur Jambi adalah seluas hektar dengan jumlah pemegang ijin 18 unit usaha. Berdasarkan delineasi kedudukannya terhadap tata guna hutan kesepakatan, usaha pertambangan dalam kawasan mencapai ,5 hektar atau mencapai 45% dari luas areal usaha dan yang terdapat di luar kawasan hutan mencapai ,75 hektar atau mencapai 49% dari luas areal usaha. Dari 18 unit usaha pemegang izin pertambangan, terdapat 1 pemegang izin pinjam pakai kawasan yang telah diterbitkan oleh Kemenhut yakni PT. Wahana Alam Lestari yang mengeksplorasi batubara di kabupaten Tebo dengan luas areal mencapai hektar antara lain di dalam kawasan terdapat hektar dan di luar kawasan mencapai 2.136,75 hektar.

57 Pinjam Pakai Kawasan Hutan Berdasarkan P.43/Menhut-II/2008 Peraturan Menteri Kehutanan ini mengganti Peraturan Menteri Kehutanan sebelumnya yang mengatur pedoman ijin pinjam pakai kawasan. Materi pertimbangan timbulnya peraturan ini adalah ijin akan diterbitkan dengan memperhatikan perbandingan luas hutan dan luas daratan yang kemudian dipadukan dengan PNBP dan lahan pengganti sebagaimana diatur dalam PP Nomor 2 tahun Pinjam pakai kawasan hutan dapat berbentuk (a) Pinjam pakai kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan yang bersifat non komersial pada provinsi yang luas kawasan hutannya di atas 30% dari luas daratan provinsi, dengan kompensasi PNBP Penggunaan Kawasan Hutan Rp. 0,00 (nol rupiah), (b) Pinjam pakai kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan pada provinsi yang luas kawasan hutannya di atas 30% (tiga puluh perseratus) dari luas daratan provinsi, dengan kompensasi PNBP Penggunaan Kawasan Hutan dan (c) Pinjam pakai kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan pada provinsi yang luas kawasan hutannya kurang dari 30% (tiga puluh perseratus) dari luas daratan provinsi, dengan kompensasi lahan bukan kawasan hutan. Ijin ini mengatur pinjam pakai kawasan hutan produksi dan hutan lindung dengan batasan bahwa di hutan lindung tidak dilakukan pola penambangan terbuka dan hanya dilakukan di hutan produksi. Bila luas kawasan hutan lebih besar dari 30% maka kompensasi lahan ditiadakan dan pemohon hanya membayar PNBP. Namun bila luas hutan kurang dari 30% luas daratan maka pemohon harus menyediakan lahan kompensasi yang berada pada 1 DAS atau Pulau dan juga harus membayar PNBP. Adapun prosedur ijin disajikan pada gambar berikut 5.

58 39 PEMOHON TIM PEMKAB PEMPROV MENHUT Tim AMDAL kaji Instansi Pemerintah/ perusahaan/ koperasi AMDAL rekomendasi rekomendasi Permohonan Nilai tolak Hasil penilaian Persetujuan/ penolakan Persetujuan 2 tahun Pelaksanaan Kegiatan Gambar 5. Prosedur pinjam pakai kawasan hutan berdasarkan P.48/Menhut-II/2008 Terbitnya peraturan ini tidak mengubah sama sekali konsideran ijin sebelumnya namun hanya merangkum dan menyesuaikan dengan PP Nomor 2 tahun 2008 tentang PNBP. Justru dengan timbulnya aturan ini penekanan pada kewajiban pemohon untuk membayar atas keinginan dalam memanfaatkan kawasan makin tinggi dengan membayar PNBP dan penyediaan lahan pengganti dan belum menjelaskan kedudukan peraturan ijin pinjam pakai kawasan dengan ijin-ijin lain yang timbul dari instansi berbeda sebagai langkah lanjut tujuan pinjam pakai kawasan misalnya untuk pertambangan sebagaimana telah dijelaskan di atas. Peran aktor di level kabupaten maupun provinsi yang besar dan tingkat pemahaman serta kerjasama lintas sektoral sangat diperlukan agar kesepahaman penggunaan kawasan sama. Sama dalam arti bahwa di sektor pertambangan misalnya Bupati dan Gubernur berwenang menerbitkan IUP dan rekomendasi Bupati dan Gubernur atas ijin ini dapat merupakan pertimbangan kunci ketika

59 40 evaluasi dilakukan. Untuk itu dalam perijinan pinjam pakai kawasan hutan, evaluasi baiknya dilakukan secara saksama ketika peninjauan lokasi sebelum permohonan tersebut direkomendasikan oleh Gubernur atau Bupati sehingga rekomendasi Bupati dan Gubernur memang merupakan tinjauan teknis sektor kehutanan level daerah dan pusat yang merupakan tinjauan teknis atas ijin tersebut. Hal ini penting karena cenderung memicu konflik sektoral. Provinsi Jambi sendiri memiliki potensi tambang yang besar dan sebagian besar tersebar dalam kawasan hutan, sebagaimana dijelaskan pada gambar 6. Gambar 6. Peta sebaran potensi tambang di Jambi (Sumber: data peta digital ICRAF 2010) Pelepasan Kawasan Sebelum Terbitnya PP Nomor 10 Tahun 2010 Perhatian untuk mengalokasikan sebagian lahan hutan untuk pembangunan sektor non-kehutanan sudah ada sejak tahun 1990 dengan diterbitkannya Surat Keputusan Bersama Menteri Kehutanan, Menteri Pertanian dan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 364/Kpts-II/90, 519/Kpts/HK.050/90 dan 23 VIII 1990 tentang Ketentuan Pelepasan Kawasan Hutan Dan Pemberian Hak Guna Usaha Untuk Pengembangan Usaha Pertanian. Definisi pelepasan kawasan hutan dalam SK bersama ini adalah pengubahan status kawasan hutan menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara untuk

60 41 keperluan Usaha Pertanian. Definisi usaha pertanian adalah usaha di bidang tanaman pangan, perkebunan, peternakan dan perikanan. Kawasan hutan yang dapat dilepaskan menjadi tanah usaha pertanian adalah kawasan hutan yang berdasarkan tanahnya cocok untuk usaha pertanian dan menurut tata guna hutan tidak dipertahankan sebagai kawasan hutan tetap atau kawasan untuk keperluan lainnya. Dapat dibayangkan bahwa seluruh lahan yang cocok dan dianalisis baik untuk pengembangan usaha pertanian seperti tanaman pangan, perkebunan, peternakan dan perikanan akan dilepas menjadi lahan pertanian maka hutan yang berada di daerah dataran rendah, dengan ciri-ciri fisik baik untuk usaha pertanian dilepas sehingga laju deforestasi yang terjadi akan sangat tinggi di masa itu. Pertimbangan kondisi tanah sebagai parameter tunggal diartikan sebagai pengabaian faktor fisik lainnya seperti potensi tegakan dan topografi menjadikan pembabatan hutan terus berlangsung tinggi. Pelepasan kawasan selanjutnya diatur dalam suatu level perundang-undangan yang lebih tinggi yakni Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 70 Tahun 2001 tentang Penetapan Kawasan Hutan, Perubahan Status dan Fungsi Kawasan Hutan menyebutkan bahwa suatu kegiatan untuk mengubah status sebagian kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan. Berdasarkan data statistik Kemenhut bahwa pelepasan kawasan hutan untuk budidaya non-kehutanan di Provinsi Jambi terjadi mulai tahun , sekitar ,5 hektar dan kemudian pada periode terdapat 369 hektar. Ini artinya bahwa rata-rata luas kawasan hutan yang telah dilepas untuk kepentingan budidaya sektor bukan kehutanan adalah sebesar hektar per tahun. Hal ini dapat dilihat pada gambar 7.

61 42 Pelepasan kawasan hutan untuk budidaya non kehutanan luas (Ha) Luas ,3 22,3 14,3 76,4 45, , Gambar 7. Grafik pelepasan kawasan hutan untuk budidaya sektor bukan kehutanan (sumber: Statistik Kemenhut) Bila dalam pengelolaan kawasan hutan yang dipertimbangkan adalah nilai ekonomi sumberdaya dan pendapatan negara akibat kegiatan tersebut maka bukan mustahil luas kawasan hutan di Provinsi Jambi akan lebih kecil 30% dari luas daratan dan pendapatan negara dan daerah akan terus meningkat seiring laju pelepasan yang mencapai hektar per tahun. Keinginan untuk memanfaatkan ruang yang tidak bernilai ekonomi mengakibatkan fasilitasi yang memungkinkan kawasan hutan dilepas menjadi kawasan budidaya perkebunan, mengakibatkan luas kawasan hutan terus menurun dan pertumbuhan perkebunan yang tinggi. Hal ini disebabkan oleh nilai ekonomi konversi hutan menjadi kebun yang tinggi karena selain mendapatkan hasil penjualan komoditi perkebunan juga hasil kayu yang diperoleh dari hasil pembukaan lahan dengan sistem land clearing. Untuk mengetahui peran stakeholder dalam perijinan pelepasan kawasan dapat digambarkan sebagai berikut.

62 43 PEMOHON PEMPROV MENTAN MENHUT Tim Terpadu BPN pencadangan lahan Persetujuan Prinsip Permohonan Telaah Teknis Persiapan Usaha SK HGU Pengukuran Tanah Membayar Biaya Kadastaral Gambar 8. Prosedur ijin pelepasan kawasan hutan sebelum tahun 2010 Dari gambar di atas, pelepasan kawasan hutan untuk usaha pertanian dapat dilakukan jika memenuhi persyaratan yang ditetapkan dan memperoleh persetujuan dari Kementerian Pertanian dan Kemenhut. Kementerian Pertanian berwenang menerbitkan persetujuan prinsip usaha pertanian dan Kemenhut berwenang untuk menerbitkan ijin lokasi dan kemudian ditetapkan dengan Hak Guna Usaha yang merupakan kewenangan Badan Pertanahan Nasional di Provinsi. Terdapat 3 (tiga) lembaga berbeda dengan tugas pokok dan fungsi tertentu sehingga motivasi yang diusung masing-masing Kementerian mempengaruhi kinerja ijin usaha pertanian dan proses pelepasan kawasan hutan. Hal ini tentunya diserahkan pada pemahaman dan preskripsi setiap Kementerian dalam memanfaatkan lahan termasuk kawasan hutan serta sangat bergantung pada nilai investasi saat itu. Pemahaman akan manfaat hutan baik langsung dan tidak langsung serta nilai hutan selain kayu merupakan hal mendasar ketika dibandingkan dengan tawaran investasi lainnya yang memang memiliki nilai yang terukur dan dapat diperoleh dalam waktu singkat. Bila nilai investasi lebih besar dari pendapatan daerah akibat dipertahankan sebagai hutan maka pelepasan kawasan akan berlangsung dengan mudahnya sebagai bagian dari tujuan sebagaimana diatur dalam PP ini. Namun tindakan ini dikendalikan dengan diterbitkannya Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 146/Kpts-II/2003

63 44 tentang Pedoman Evaluasi Pengggunaan Kawasan Hutan/Eks Kawasan Hutan Untuk Pengembangan Usaha Budidaya Perkebunan. Dalam SK Menteri ini disebutkan bahwa kawasan yang diijinkan dilepas untuk usaha budidaya perkebunan adalah kawasan hutan yang tidak berhutan dan apabila di dalam kawasan tersebut ketika pencadangan dilakukan telah terdapat kebun maka kegiatan ini disebut dengan kejahatan kehutanan. Definisi lahan tidak berhutan menurut keputusan Menteri Kehutanan ini adalah kawasan hutan yang memiliki kondisi penutupan lahan terdiri dari tanah kosong, semak belukar, padang alang-alang. Terkait pertimbangan teknis dari instansi yang mengurusi hutan dan kehutanan, Dinas Kehutanan saat itu masih merupakan bagian dari Kemenhut dalam bentuk kantor wilayah di level provinsi dan kantor di level kabupaten. Hal ini menunjukkan bahwa peran aktor yang ada di Kemenhut telah memainkan perannya sejak usulan dan penilaian ijin berlangsung. Sehingga materi yang diteruskan ke Bupati dan selanjutnya disetujui atau tidak oleh DPRD merupakan tinjauan teknis dari Kemenhut. Bila yang diusulkan adalah kawasan yang bukan HPK maka hal ini akan dievaluasi 2 (dua) kali oleh Kemenhut yakni yang pertama oleh aparatur yang ada di daerah dan yang kedua di pusat. Bila ini berjalan dengan normal tanpa penciptaan situasi yang membuat tidak normal maka efisiensi seperti ini sangat baik karena tidak melibatkan banyak lembaga. Jumlah lembaga yang terlibat disini adalah sekurang-kurangnya 7 lembaga dan sekurang-kurangnya 5 langkah. Pengurusan izin pelepasan selanjutnya diperjelas dengan diterbitkannya Keputusan Menteri Kehutanan sebagaimana dijelaskan dengan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 146/Kpts-II/2003 dan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 31/Menhut-II/2005. Berdasarkan data dari Dinas Perkebunan Provinsi Jambi bahwa sampai dengan saat ini telah diterbitkan ijin lokasi perkebunan seluas ,75 hektar sebagaimana dicantum pada tabel 10 berikut. Trend cenderung meningkat mengingat permintaan komoditi perkebunan baik itu untuk pemenuhan bahan baku industri atau sebagai bahan pelengkap. Meningkatnya permintaan ini akan direspon positif oleh pengusaha dengan melibatkan masyarakat sekitar hutan untuk mengubah bentang alam menjadi areal perkebunan.

64 45 Tabel 9. Rekapitulasi Ijin Lokasi Perkebunan di Provinsi Jambi No. Kabupaten Perusahaan (BH) Ijin Lokasi (IL) Koperasi Klp. Tani Jumlah IL (BH) Luas (Ha) 1. Batanghari Muaro Jambi Sarolangun Tebo Bungo Merangin Tanjung Jabung Barat 8. Tanjung Jabung Timur 9. Kerinci JUMLAH Sumber: Dinas Perkebunan Provinsi Jambi (2010) Berdasarkan data dari Dinas Kehutanan Provinsi Jambi, terdapat 160 perusahaan, 5 kelompok tani dan 14 koperasi yang memiliki ijin lokasi dan hanya sekitar 58 perusahaan yang memiliki HGU. Ini artinya dari sekitar 179 pemegang ijin lokasi hanya 32% pemegang ijin yang telah terbit HGU. Sebaran pemegang izin terbanyak terdapat di Muaro Jambi dengan luas areal garapan mencapai ,51 hektar dan yang telah memperoleh HGU (hak guna usaha) hanya ,69 hektar oleh 20 perusahaan dan 8 kelompok tani dan koperasi. Selain pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan, berdasarkan keputusan bersama Menteri Kehutanan dan Menteri Transmigrasi dan Pemukiman Perambahan Hutan Nomor SKB 126/MEN/1994 dan Nomor 422/Kpts-II/1994, perlu adanya penyiapan dan pelepasan kawasan untuk kepentingan transmigrasi dengan ketentuan pokok : a. Areal hutan yang dapat dilepas untuk pembangunan pemukiman transmigrasi adalah hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK). b. Areal HPK yang akan dilepas diutamakan areal yang tidak berhutan (semak, belukar, alang-alang, dan tanah terbuka). Berdasarkan keputusan bersama tersebut maka dilakukan pelepasan kawasan hutan untuk urusan transmigrasi sebagaimana disajikan pada Tabel 10 berikut.

65 46 Tabel 10. Rekapitulasi pelepasan kawasan hutan untuk transmigrasi Realisasi pelepasan menurut fungsi Tahun HL H.SA HPT HP HPK APL , , Sumber: Statistik Kemenhut (diolah) Dari tabel tersebut menunjukkan bahwa praktek pelepasan kawasan hutan untuk transmigrasi tidak hanya di HPK sesuai dengan SKB Menteri, namun juga terjadi di HPT dan HP. Di tahun 2001, dilepas HP seluas hektar sedangkan di tahun 2002 dilepas HPT seluas hektar dan hektar di HP. Dengan demikian telah terjadi pelanggaran SKB sebesar hektar Ijin Pinjam Pakai Kawasan Hutan Setelah PP. No. 10 Tahun 2010 Ijin pelepasan kawasan yang terbaru adalah sebagaimana diatur dengan PP Nomor 10 tahun 2010 yang merupakan penyesuaian dari berbagai pra kondisi menuju pengelolaan hutan lestari. Dalam ijin ini terdapat beberapa pertimbangan sebagai berikut: 1) Pelepasan kawasan hutan hanya bisa dilakukan di HPK; 2) Kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat diproses pelepasannya pada provinsi yang luas kawasan hutannya kurang dari 30% (tiga puluh perseratus), kecuali dengan cara tukar menukar kawasan hutan. 3) Hutan produksi yang dapat dikonversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), baik dalam keadaan berhutan maupun tidak berhutan. 4) Pelepasan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan. 5) Jenis kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan oleh Menteri Adapun prosedur ijin berdasarkan PP Nomor 10 Tahun 2010 terkait ijin pelepasan kawasan hutan disajikan dalam gambar 9.

66 47 PEMOHON MENHUT BPN permohonan ditolak Meneliti Izin Prinsip diterima Mengamankan hutan Melaksanakan tata batas IPK Lahan Dispensasi Sertifikasi Hak Tanah Gambar 9. Prosedur ijin pelepasan kawasan hutan berdasarkan PP No. 10 Tahun 2010 Dari gambar di atas, mutlak ijin pelepasan kawasan hutan hanya berlangsung di HPK dan tidak ada pertimbangan lain bagi kawasan hutan dengan fungsi seperti fungsi lindung, fungsi produksi dan konservasi. Untuk itu tahapan yang melibatkan unsur legislatif untuk ikut terlibat diabaikan. Hal ini bisa dibenarkan pada suatu provinsi yang memang memiliki luas kawasan HPK yang besar dan mampu menampung aspirasi pembangunan sektor non-kehutanan. Namun sebaliknya, seperti di Jambi yang sejak dikeluarkan SK Menteri Kehutanan Nomor 421/Kpts-II/1999 tanggal 15 Juni 1999 telah tidak mengalokasikan HPK dan sudah dilepas dalam bentuk APL. Tentu fenomena yang nantinya akan membatasi peruntukan lahan hutan untuk pembangunan sektor non-kehutanan. Tentunya untuk mengakomodasi keperluan ini, maka perlu adanya proses tukar menukar kawasan. Sehingga untuk urusan pembangunan di luar sektor kehutanan seperti perkebunan harus didahului dengan proses tukar menukar kawasan.

67 48 Ijin pelepasan kawasan hutan melibatkan 3 lembaga dan 6 langkah perijinan. Suatu prosedur yang singkat dengan keterbatasan yang tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa bukan hal yang rumit untuk mempertahankan luas kawasan hutan tetap dan semua yang lepas dari kawasan hutan harus disertifikasi kepemilikannya sehingga status tanah merupakan tanah milik. Adapun teknis pelaksanaan pelepasan kawasan HPK diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.33/Menhut-II/2010 tentang Tata Cara Pelepasan Kawasan Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi. Dalam peraturan Menteri ini menegaskan bahwa HPK yang dapat dilepas hanya pada provinsi dengan luas kawasan hutan di atas 30%. Adapun kewajiban pemohon pelepasan HPK adalah menanggung biaya perijinan dan melakukan tata batas yang dapat dikontrakan kepada konsultan Tukar Menukar Kawasan Kebijakan yang mengatur izin tukar menukar kawasan dimulai dengan diterbitkannya Surat keputusan Menteri Kehutanan Nomor 292/Kpts-II/1995 tentang Tukar Menukar Kawasan Hutan dan selanjutnya hanya terjadi perbaikanperbaikan selama 5 (lima) kali tanpa menghapus atau mengganti peraturan terdahulu sehingga dalam membahas kebijakan tukar menukar kawasan hutan ini hanya dibatasi pada perbaikan-perbaikan oleh peraturan Menteri Kehutanan yang memperbaiki Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 292/Kpts-II/ SK Nomor 292/Kpts-II/1995 Definisi tukar menukar kawasan adalah suatu pelepasan kawasan hutan tetap untuk kepentingan pembangunan di luar sektor kehutanan yang diimbangi dengan memasukkan tanah pengganti menjadi kawasan hutan dan kegiatan pelepasan kawasan hutan tersebut tidak dapat dilakukan dengan cara realokasi fungsi hutan produksi konversi (HPK) menjadi hutan produksi tetap (HP). Dengan demikian proses tukar menukar kawasan dimaknai dengan terjadinya proses pelepasan kawasan hutan tetap menjadi bukan kawasan hutan dan kemudian memasukan lahan bukan kawasan hutan menjadi kawasan hutan. Namun hal ini bukan berarti mengubah fungsi HPK menjadi HP.

68 49 Dari definisi jelas bahwa HPK merupakan kawasan hutan tidak tetap sehingga dalam proses tukar menukar tidak merupakan bagian untuk digunakan dalam proses tukar menukar kawasan namun bila membutuhkan lahan untuk proses pelepasan kawasan berupa lahan HPK maka terlebih dahulu dilakukan tukar menukar kawasan hutan tetap menjadi kawasan hutan tidak tetap atau bukan kawasan hutan. HPK adalah kawasan hutan dan kawasan yang boleh dalam tukar menukar kawasan seperti areal penggunaan lain (APL). Dasar ijin tukar menukar kawasan adalah kegiatan pelepasan kawasan hutan untuk pembangunan di luar sektor kehutanan dengan tidak mengakibatkan menurunkannya luas kawasan hutan yang telah ditetapkan sebagai hutan tetap. Meskipun nilai kegiatan tersebut sangat penting namun kepastian luas kawasan harus tetap dipertahankan. Yang dimaksudkan dengan pembangunan di luar sektor kehutanan adalah kepentingan pembangunan yang bersifat strategis dan menyangkut kepentingan umum yang terpaksa harus menggunakan kawasan hutan, menghilangkan enclave dalam rangka memudahkan pengelolaan kawasan hutan, menyelesaikan pendudukan tanah kawasan hutan tanpa izin Menteri Kehutanan (okupasi) dan untuk memperbaiki kawasan hutan. Dengan membatasi bahwa kawasan yang boleh ditukar adalah kawasan hutan produksi tetap dan tidak boleh adanya proses perubahan fungsi kawasan dari HPK menjadi HP melainkan APL menjadi HP dengan demikian peran aktor adalah menetapkan APL yang mungkin untuk dijadikan kawasan hutan dengan batasan bahwa APL tersebut harus berbatasan dengan kawasan hutan, berada dalam suatu Sub DAS atau DAS atau dalam pulau yang sama di suatu provinsi tertentu serta memiliki ciri fisik untuk hutan lindung. Para aktor yang berperan adalah aktor yang berada di suatu provinsi dan mampu menginventarisir kawasan APL yang memiliki ciri fisik yang dapat dijadikan fungsi lindung serta memiliki potensi hutan sehingga ketika proses tukar menukar kawasan terjadi maka dapat dihutankan dengan cara konvensional. Pada periode ini, belum terdapat otonomi daerah sehingga sistem pemerintahan masih sentralistik pada Kemenhut beserta UPT (Unit Pelaksana Teknis) yang berada di daerah serta kantor wilayah Kemenhut di provinsi. Adapun prosedur perijinan ini disajikan pada gambar 10.

69 50 PEMOHON GUBERNUR MENHUT SEKJEN ESELON 1 KEMENHUT REKOMENDASI PERMOHONAN PERTIMBANG KEPUTUSAN Kewajiban: 1. Menyediakan dan menyerahkan lahan pengganti dalam tempo 2 (dua) tahun; 2. Membayar IHH atau IHH dan DR; 3. Membayar ganti rugi sarana dan prasarana; 4. Membayar biaya penataan batas pada areal pengganti Gambar 10. Prosedur ijin tukar menukar kawasan hutan berdasarkan SK Menhut Nomor 292/Kpts-II/1995 Dari Gambar di atas, terlihat bahwa ijin tukar menukar merupakan pekerjaan yang dikendalikan dari Kemenhut beserta jaringan kerjanya yang berada di Provinsi lokasi kegiatan berlangsung. Aktor yang berperan dalam ijin ini adalah Kantor Wilayah Kehutanan di Provinsi dan Eselon 1 Kemenhut seperti Direktur Jenderal (Dirjen) Pemanfaatan Hutan (PH) dan Badan Planologi Kehutanan. Peran aktor dibatasi oleh ketentuan status kawasan dan fungsi juga besarnya rasio perbandingan lahan pengganti berdasarkan tujuan peruntukan ijin tukar menukar. Bila ijin tersebut untuk kepentingan umum terbatas oleh Pemerintah maka lahan rasio kawasan yang diijinkan dengan lahan pengganti adalah 1:1, namun jika untuk peningkatan perekonomian nasional dan kesejahteraan umum maka rasionya 1:2 dan bila untuk okupasi, enclave dan pendudukan lahan oleh masyarakat tanpa izin Menteri Kehutanan serta proyek strategis Pemerintah maka rasionya adalah 1:3. Ketentuan-ketentuan ini merupakan faktor pembatas yang sangat mempengaruhi kinerja pembangunan di luar sektor kehutanan dan berlawanan dengan semangat UUD 1945 pasal 33 bahwa seluruh hasil bumi baik itu tanah dan air dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat. Untuk memanfaatkan sumberdaya alam yang terdapat

70 51 di kawasan hutan sehingga dapat meningkatkan ekonomi nasional dan kesejahteraan umum, dibutuhkan lahan pengganti mencapai 2 sampai 3 kali luas kawasan hutan yang dimohonkan untuk ditukar. Bila areal itu tidak tersedia maka akankah ijin tersebut tidak terbit? Hal ini merupakan faktor pokok yang memicu tingginya tekanan masyarakat dan sektor lainnya pada kawasan hutan sehingga terjadi penyorobotan lahan hutan untuk pembangunan pertanian, pertambangan dan sebagainya. Perlu dibuat rancangan peruntukan lahan yang sesuai kondisi fisik yang sebenarnya di lapangan serta mengidentifikasi potensi sumberdaya alam yang terkandung serta sosial ekonomi masyarakat sehingga dapat dibatasi kawasan hutan tetap yang tidak didasarkan oleh skor lahan dan kandungan nilai tegakan semata. Karena ketika yang dilihat adalah skor lahan saja yang dipengaruhi oleh ciri topografi, ketinggian tempat, jenis tanah dan curah hujan tidak mewakili kondisi sosial ekonomi dan belum mempertimbangkan potensi-potensi lain selain hutan serta tidak dibandingkan antara nilai hutan ketika dipertahankan sebagai hutan dan bila hutan itu dibuka dan dimanfaatkan sumberdaya yang terkandung di dalamnya secara kontinyu Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 66/Menhut-II/2006 Perubahan yang terjadi dengan terbitnya peraturan Menteri kehutanan ini hanya pada pasal 1 dengan menambah konsideran bahwa untuk tukar menukar kawasan di hutan bakau/mangrove, bila tidak tersedia lahan pengganti maka dapat digantikan dengan lahan kering lainnya yang bukan bakau/mangrove setelah dibuktikan dengan pengujian dan penelitian. Keberadaan lahan pengganti mangrove tidak dijelaskan apakah sama dengan ketentuan lahan kering sebagaimana rasio antara kawasan yang dimohonkan dengan lahan pengganti atau tidak namun bila hal tersebut untuk kepentingan umum seperti pembangunan pelabuhan laut atau sarana eksploitasi pasir dan tambak maka perlu dibangun ekosistem buatan sehingga ekosistem pantai dan mangrove yang telah ada tidak terganggu secara permanen akibat kegiatan ijin tersebut.

71 Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 26/Menhut-II/2007 Dalam peraturan Menteri Kehutanan ini melakukan perubahan ketiga atas Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 292/Kpts-II/1995 yakni pada Pasal 1 dengan merubah prinsip tukar menukar kawasan yang sebelumnya tidak diperbolehkan HPK diubah menjadi HP, maka dengan peraturan ini memperbolehkan HPK dapat dijadikan HP pada proses tukar menukar kawasan. Hal ini merupakan suatu kebijakan positif karena sebagaian besar APL telah diubah menjadi pemukiman dan pertanian lahan kering namun untuk perkebunan, pertambangan dan sebagainya masih terdapat dalam kawasan hutan dan HPK dinilai layak untuk ditukar menjadi HP sebagai kompensasi dari HP yang dilepas. Kebutuhan lahan untuk pemukiman dan pembangunan sarana prasarana terus meningkat seiring dengan upaya pemekaran wilayah administrasi sehingga tekanan pada kawasan hutan selanjutnya akan meningkat. Kebijakan untuk mengatur kembali rentang kendali administrasi serta tekanan pendirian daerah otonom mengakibatkan tingginya permintaan lahan dan sumberdaya hutan untuk penyediaan lahan serta pemenuhan bahan baku industri. Dalam peraturan Menteri Kehutanan ini juga telah mengedepankan kriteria lahan yang diperbolehkan untuk proses ijin tukar menukar kawasan hutan. Areal yang diperbolehkan untuk ditukar adalah areal tidak berhutan, tanah kosong, padang alang-alang dan semak belukar serta tidak dibebani izin. Untuk lahan pengganti yang berasal dari HPK maka sebelum dilakukan tukar menukar kawasan maka sebelumnya melakukan proses pelepasan kawasan dari HPK menjadi APL. Selain itu diatur juga bahwa untuk areal pengganti harus dihapus kepemilikannya dari Badan Pertanahan Nasional. Batasan lain yang harus dijadikan referensi adalah rasio tukar menukar kawasan. Bila tukar menukar kawasan untuk pembangunan kepentingan umum maka 1:1, namun jika untuk kepentingan strategis bagi kemajuan perekonomian nasional dan kesejahteraan umum maka 1:2. Jika untuk okupasi maka 1:1 dan jika untuk budidaya pertanian dan pemekaran wilayah pada provinsi yang luas hutannya lebih dari 50% maka 1:1. Namun bila luas hutan suatu provinsi antara

72 53 30% - 50% maka 1:2 dan jika luas hutan suatu provinsi kurang dari 30% maka 1:3. Secara umum proses perijinan sama sehingga peran aktor sama. Namun terjadi perubahan birokrasi karena pada era ini telah terbit UU Nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah sehingga untuk pertimbangan teknis lokasi dapat diurus oleh intansi otonom yang menangani kehutanan. Aktor yang berperan tentunya adalah aktor daerah dengan memperhatikan batasan-batasan yang diatur dalam peraturan ini. Bila hal tersebut dipenuhi maka eselon 1 Kemenhut tidak memiliki alasan yang cukup untuk menolak ijin tersebut. Peran yang tinggi serta tekanan untuk meningkatkan PAD dan penyediaan areal untuk pembangunan/pemekaran wilayah mengakibatkan aktor di daerah melakukan penyimpangan-penyimpangan dengan memberikan ijin pemekaran sebelum ijin tukar menukar kawasan tersebut ada Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 62/Menhut-II/2007 Peraturan ini merupakan perubahan keempat atas Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 292/Kpts-II/1995 yang menegaskan pengertian umum terbatas yang berdampak pada peningkatan ekonomi nasional dan kesejahteraan umum seperti jalan umum, saluran air, waduk, bendungan dan bangunan pengairan lainnya, fasilitas pemakaman, fasilitas keselamatan umum, transmigrasi serta penempatan korban bencana alam yang tujuan penggunaannya tidak untuk mencari keuntungan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 38/Menhut-II/2008 Peraturan ini merupakan perubahan kelima atas Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 292/Kpts-II/1995 dengan pertimbangan bahwa pemenuhan terhadap kewajiban tukar menukar kawasan hutan memerlukan proses sementara terdapat kondisi-kondisi tertentu terhadap kawasan yang dimohonkan sehingga diberikan dispensasi penggunaan kawasan tersebut untuk masa paling lama 2 tahun. Peraturan ini akan berdampak positif bila pengelola lahan atau instansi pemerintahan atau pemerintah setempat mematuhi hal-hal yang menjadi

73 54 kewajiban berikutnya. Namun bila ini terjadi pada masa transisi pemerintahan yang sampai kini belum melihat suatu program pemerintahan sebagai program yang berkelanjutan maka peraturan ini justru akan membiarkan kawasan hutan berkurang dan hilang potensinya begitu saja Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 16/Menhut-II/2009 Peraturan ini merupakan perubahan ke-6 atas Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 292/Kpts-II/1995 dengan pertimbangan bahwa masih terdapat beberapa kegiatan penggunaan hutan yang belum terakomodir dalam SK Menteri Kehutanan Nomor 292/Kpts-II/1995 dan perubahannya. Salah satunya adalah fasilitas pendidikan Ijin Perubahan Fungsi Kawasan Hutan Sebelum Terbitnya PP. Nomor 10 Tahun 2010 Perubahan fungsi kawasan hutan adalah merubah sebagian atau seluruh fungsi hutan dalam suatu kawasan hutan. Dari pengertian ini dipahami bahwa kawasan hutan dapat diubah pada bagian-bagian tertentu maupun secara keseluruhan dalam suatu wilayah SubDAS, DAS atau pulau namun terbatas pada fungsi tertentu. Tujuan dari perubahan fungsi kawasan hutan sebagaimana diamanatkan dalam PP Nomor 70 Tahun 2001 bahwa menjaga dan mengamankan keberadaan dan keutuhan kawasan hutan sebagai penggerak perekonomian lokal, regional dan nasional, serta sebagai penyangga kehidupan lokal, regional, nasional dan global. Tujuan lainnya adalah terwujudnya kepastian hukum atas kawasan hutan, serta optimalisasi pemanfaatan lahan/hutan dalam rangka pembangunan nasional, sektoral dan daerah. Perubahan fungsi kawasan hutan hanya dapat dilakukan apabila kawasan yang akan diubah fungsi memenuhi kriteria dan standar penetapan fungsi hutannya, fungsi kawasan hutan yang akan diubah fungsinya harus didasarkan atas Peta Penunjukan Kawasan Hutan (dan Perairan) Provinsi yang ditetapkan oleh Menteri serta perubahan fungsi kawasan hutan didasarkan hasil penelitian

74 55 yang dilaksanakan oleh Tim Terpadu. Adapun tata cara perubahan fungsi sebagaimana dijelaskan dalam PP ini disajikan pada gambar 11. PEMKAB DPRD KAB PEMPROV DPRD PROV MENHUT BAPLAN Permohonan Permohonan Disetujui Permohonan Diteliti/ siapkan SK SK Alih Fungsi Gambar 11. Prosedur ijin alih fungsi kawasan hutan sebelum PP No. 10 Tahun 2010 Dari gambar di atas terlihat bahwa pengajuan permohonan perubahan fungsi hutan di level pemerintah kabupaten dan provinsi merupakan hasil pembahasan antara lembaga eksekutif dan legislatif. Peran stakeholder di daerah sangat kuat dan daerah yang menentukan sendiri pola manajemen lahan dan hutan. Ketika permohonan tersebut disampaikan ke Kemenhut dan diteruskan ke Tim Kaji dalam hal ini Badan Planologi Kehutanan, permohonan tersebut hanya mengalami beberapa tinjauan dari segi kepastian fungsi kawasan dan tidak dilakukan evaluasi makna alih fungsi tersebut. Hal ini dikarenakan pada saat itu, otonomi daerah belum ada sehingga peran Kemenhut di daerah masih sangat kuat sehingga pertimbangan teknis instansi kehutanan kepada pemerintah daerah dan DPRD merupakan kajian teknis kehutanan yang kemudian disesuaikan dengan kepentingan politik ekonomi daerah Setelah Terbitnya PP. No. 10 Tahun 2010 Menurut PP Nomor 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan hutan, perubahan fungsi kawasan hutan adalah perubahan sebagian atau seluruh fungsi hutan dalam satu atau beberapa kelompok

75 56 hutan menjadi fungsi kawasan hutan yang lain. Perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan dilakukan untuk memenuhi tuntutan dinamika pembangunan nasional serta aspirasi masyarakat dengan tetap berlandaskan pada optimalisasi distribusi fungsi, manfaat kawasan hutan secara lestari dan berkelanjutan, serta keberadaan kawasan hutan dengan luasan yang cukup dan sebaran yang proporsional. Perubahan fungsi kawasan hutan dapat berlangsung pada kawasan hutan dengan fungsi konservasi, lindung dan produksi yang dapat dilakukan secara parsial atau dalam suatu wilayah provinsi. Namun perubahan kawasan hutan menjadi hutan produksi yang dapat dikonversi tidak dapat dilakukan pada provinsi yang luas kawasan hutannya kurang dari 30%. Perubahan fungsi kawasan hutan meliputi: kawasan hutan konservasi menjadi kawasan hutan lindung dan/atau kawasan hutan produksi; dapat dilakukan ketika kawasan ini tidak memenuhi kriteria sebagai kawasan konservasi dan memenuhi kriteria sebagai hutan lindung atau hutan produksi. Selain itu ada beberapa hal yang memungkinkan yakni (a) sudah terjadi perubahan kondisi biofisik kawasan hutan akibat fenomena alam, lingkungan, atau manusia; (b) diperlukan jangka benah untuk optimalisasi fungsi dan manfaat kawasan hutan; atau (c) cakupan luasnya sangat kecil dan dikelilingi oleh lingkungan sosial dan ekonomi akibat pembangunan di luar kegiatan kehutanan yang tidak mendukung kelangsungan proses ekologi secara alami. kawasan hutan lindung menjadi kawasan hutan konservasi dan/atau kawasan hutan produksi; dapat dilakukan ketika kawasan ini tidak memenuhi kriteria sebagai kawasan lindung dan memenuhi kriteria sebagai hutan konservasi atau hutan produksi. kawasan hutan produksi menjadi kawasan hutan konservasi dan/atau kawasan hutan lindung. kawasan cagar alam menjadi kawasan suaka margasatwa,taman nasional, taman hutan raya, taman wisata alam, atau taman buru; kawasan suaka margasatwa menjadi kawasan cagar alam, taman nasional, taman hutan raya, taman wisata alam, atau taman buru;

76 57 kawasan taman nasional menjadi kawasan cagar alam, suaka margasatwa, taman hutan raya, taman wisata alam, atau taman buru; kawasan taman hutan raya menjadi kawasan cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman wisata alam, atau taman buru; kawasan taman wisata alam menjadi kawasan cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman hutan raya, atau taman buru; kawasan taman buru menjadi kawasan cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman hutan raya, atau taman wisata alam. hutan produksi terbatas menjadi hutan produksi tetap dan/atau hutan produksi yang dapat dikonversi; hutan produksi tetap menjadi hutan produksi terbatas dan/atau hutan produksi yang dapat dikonversi; hutan produksi yang dapat dikonversi menjadi hutan produksi terbatas dan/atau hutan produksi tetap. Adapun prosedur perijinan perubahan fungsi kawasan hutan disajikan pada Gambar 12. PEMKAB PEMPROV MENHUT Tim Terpadu DPR Usul Usul Permohonan Telaah Teknis ditolak Hasil Telaah Persetujuan SK Alih Fungsi diterima Gambar 12. Prosedur Ijin Alih Fungsi Kawasan Hutan Berdasarkan PP. No. 10 Tahun 2010 Berdasarkan gambar di atas, PP Nomor 10 Tahun 2010 menyebutkan bahwa kewenangan menerbitkan keputusan alih fungsi kawasan hutan merupakan kewenangan Menteri Kehutanan setelah mendapat persetujuan DPR sesuai Pasal 31 dan Pasal 32. Namun pada parkteknya birokrasi yang panjang dan melibatkan lembaga tinggi negara ini terkadang diacuhkan di level pemerintahan daerah baik

77 58 itu kabupaten maupun provinsi. Hal ini dapat terjadi karena Bupati dan Gubernur diberikan kewenangan untuk menerbitkan ijin perkebunan dan pertambangan yang mungkin saja berada dalam kawasan hutan tetap. Pelanggaran kehutanan ini terjadi karena ketidakmampuan untuk menerapkan PP ini dalam waktu singkat. Suatu perijinan diajukan ketika melihat gejolak pasar atas komoditi tertentu dan cenderung pendek masa tersebut sedangkan perijinan untuk merubah fungsi terlalu panjang sehingga terkadang hal ini diabaikan. Peran aktor berdasarkan PP Nomor 10 Tahun 2010 adalah pemerintah kabupaten atau provinsi merekomendasikan atau mengusulkan perubahan fungsi kawasan hutan karena kondisi hutan di lapangan telah menjadi obyek perekonomian masyarakat dan susah untuk dipertahankan fungsinya. Hal ini tentunya telah didasarkan oleh tinjauan-tinjauan berbagai stakeholder di daerah yang selanjutnya disampaikan ke Menteri kehutanan untuk ditindaklanjuti. Menteri kehutanan membentuk tim terpadu untuk melakukan penelitian dan pengkajian atas usulan tersebut dan selanjutnya dibahas bersama dengan DPR. Selanjutnya DPR berhak untuk memberi masukan atas usulan tersebut dan dilanjutkan dengan keputusan. Setiap aktor di level pemerintahan akan bernegosiasi namun pelaku perubahan fisik lapangan terkadang tidak dapat menunggu panjangnya garis birokasi dan siapa yang berwenang. Sehingga diprediksikan batas fungsi kawasan bukan lagi pembatas untuk pengembangan kegiatan di luar kehutanan karena lamanya perijinan yang dilakukan dan sempitnya waktu untuk mempersiapkan investasi. Adapun peraturan teknis diatur dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.43/Menhut-II/2010 tentang Tata Cara Perubahan Fungsi Kawasan Hutan. 5.2 Dinamika Pembangunan Sektor Kehutanan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) HPH merupakan hak yang diberikan Menteri Kehutanan kepada orang perorangan, swasta atau koperasi untuk mengambil hasil hutan di hutan produksi. Kegiatan ini berlangsung sejak tahun 1970 dan telah menjadi sektor yang mampu meningkatkan pendapatan negara. Namun keberhasilan untuk mendongkrak

78 59 ekonomi bangsa tidak diikuti untuk memelihara pabrik yang selama ini menghasilkan uang dan lapangan pekerjaan bagi bangsa ini. Penurunan potensi hutan mengakibatnya menurunnya daya usaha HPH, dan di Provinsi Jambi sendiri menurun tajam dari 30 unit di tahun 1988/1989 menjadi 2 unit di tahun 2009, sebagaimana disajikan pada Tabel 11. Tabel 11. Jumlah ijin dan luas areal konsesi yang dikelola Tahun Jumlah Ijin HPH Luas Areal Konsesi (Unit) (Ha) 1988/ / / / / , / / Sumber: Statistik Kemenhut (diolah) Terlihat bahwa sejak tahun 1988/1989 sampai dengan tahun 2008, jumlah perusahaan pemegang ijin HPH terus menurun dan meningkat di tahun 2005, dari 30 perusahaan IHPH di tahun 1988/1989 menjadi 5 perusahaan IHPH dan meningkat menjadi 13 di tahun 2005 dan di tahun 2008 tersisa 2 perusahaan IHPH. Hal ini ditunjukkan oleh luas area yang diusahakan yang makin menurun dari 2,6 juta hektar di tahun 1988/1989 menjadi hektar di tahun Penurunan jumlah HPH di provinsi Jambi tidak semata terjadi karena potensi yang minim, namun berdasarkan hasil wawancara dengan Bidang Bina Hutan dan Konservasi Alam Dinas Kehutanan Provinsi Jambi bahwa terdapat beberapa alasan sehingga penurunan pemegang HPH menurun, yakni (1) tekanan masyarakat baik terhadap kompensasi lahan, tagihan bantuan sampai dengan

79 60 penyorobotan lahan untuk pembangunan perkebunan kopi dan coklat, (2) pungutan liar yang merajalela sehingga tidak dapat ditutupi oleh nilai kayu yang dipanen, dan (3) penerbitan SK Menteri kehutanan dan perkebunan tahun 2000 yang memberikan wewenang kepada Bupati untuk menerbitkan izin HPH Mungil (100 Ha) yang cenderung menciptakan kondisi kompetisi yang tidak sehat dan cenderung tidak lestari. Dari segi pemilikan ijin, baik pihak swasta, BUMN dan patungan dari tahun 2000 terbanyak dikuasai oleh pihak swasta sebagaimana digambarkan pada Tabel 12. Tabel 12. Sebaran HPH menurut status pengelola Tahun Jenis HPH Swasta Patungan BUMN Sumber: Statistik Kemenhut Tahun Dengan semakin menurunnya potensi hutan Jambi, menggiring keberpihakan pada optimalisasi pemanfaatan hasil hutan kayu dari hutan alam semakin berkurang dan menjadikan kayu lapis dari HTI dan perkebunan karet sebagai primadona program kerja pemerintah daerah provinsi Jambi Penurunan jumlah HPH pemegang ijin pengelolaan hutan mengindikasikan produksi hasil hutan kayu yang juga menurun. Dampak penurunan potensi hutan terlihat bahwa semenjak tahun 1977 sampai dengan 2008, hasil hutan kayu yang dihasilkan baik melalui pengolahan maupun industri menunjukkan trend yang terus menurun sehingga menjadi indikator menurunnya nilai potensi hutan. Dampak dari penurunan luas hutan alam serta penurunan potensi hasil hutan kayu, mendorong untuk dibangunnya hutan tanaman untuk memenuhi kebutuhan kayu industri baik untuk pasar lokal maupun regional. Menurunnya produksi kayu didukung oleh menurunnya potensi sebagaimana ditunjukan pada Tabel 13.

80 61 Tabel 13. Rekapitulasi potensi hasil hutan kayu provinsi Jambi Tahun Seluruh Jenis (m 3 ) Jenis Komersil (m 3 ) > ,07 99,74 14,30 4, ,50 203,99 55,38 23, ,50 203,99 55,38 23, ,63 293,20 197, ,63 293,20 197, ,63 293,20 197, ,90 82,60 118,97 48,60 32, ,90 82,60 118,97 48,60 32,75 Sumber: Statistik Kemenhut Keadaan potensi hutan di Jambi berdasarkan hasil enumerasi terdapat penurunan yang sangat signifikan di tahun pada semua kelas diameter. Di tahun 2005, kelas diameter > 50 cm untuk semua jenis berada pada angka 710,63 m 3 /ha turun menjadi 82,60 m 3 /ha di tahun 2007 dan Hal serupa terjadi di jenis komersil, di tahun 2005 mencapai 197,34 m 3 /ha turun menjadi 48,6 m 3 /ha di tahun 2007 dan Hutan Tanaman Industri (HTI) Sejak tahun 1990, kebutuhan bahan baku industri perkayuan tersebut tidak mungkin lagi dipenuhi dari penebangan Hutan Alam Produksi. Oleh karena itu, perlu kebijakan Pemerintah untuk meningkatkan produktivitas kawasan hutan produksi melalui pembangunan Hutan Tanaman (HTI) dan telah dimulai sejak tahun Peningkatan potensi di awal tahun 2000 mungkin disebabkan peningkatan pembangunan HTI untuk membantu memenuhi selisih kebutuhan dan pemenuhan kebutuhan kayu. Pembangunan HTI di provinsi Jambi dimulai sejak tahun 1994 sebagaimana disajikan pada Tabel 14.

81 62 Tabel 14. Rekapitulasi realisasi penanaman HTI di Provinsi Jambi Tahun Luas Sumber data Statistik Kemenhut Statistik Kemenhut Statistik Kemenhut Statistik Kemenhut Statistik Kemenhut Statistik Kemenhut Statistik Kemenhut Statistik Kemenhut Statistik Kemenhut Statistik Kemenhut Statistik Kemenhut Statistik Kemenhut Statistik Kemenhut Statistik Dishut Prov Jambi Statistik Dishut Prov Jambi Statistik Dishut Prov Jambi Luas areal untuk pembangunan HTI terus meningkat dari tahun 1994 di angka hektar menjadi hektar di tahun Hal ini dirasakan sangat membantu untuk meningkatkan nilai usaha sektor kehutanan. Peningkatan luas HTI ini mendorong pemenuhan bahan baku industri dan pertukangan serta mampu meningkatkan serapan tenaga kerja. Mungkin yang menjadi pertanyaan bukan berada pada fungsi hutan namun pada bagaimana potensi dalam kawasan hutan tersebut dibenahi untuk selanjutnya dibangun HTI. HTI dibangun dengan system land clearing sebagaimana diatur dalam aturan pembangunan HTI bahwa HTI dilakukan dengan sistem THPB (tebang habis permudaan buatan) yang cenderung akan menyediakan emisi dan setelah itu dapat menyerap emisi sampai umur daur. Adapun sebaran spasial HTI di Provinsi Jambi disajikan pada Gambar 13.

82 63 Gambar 13. Peta sebaran ijin HTI di provinsi Jambi (Kemenhut 2009) Dari gambar di atas, terlihat bahwa sebaran HTI hanya terpusat pada empat kabupaten yakni kabupaten Sarolangun, Batanghari, Tanjung Jabung Barat dan Tanjung Jabung Timur. UPHHK-HT Pemegang IUPHHK-HT di provinsi Jambi sebanyak 13 (tiga belas) perusahaan, luas konsesi ,77 hektar (Dinas Kehutanan Provinsi Jambi 2010) seperti Tabel 15. Tabel 15. Daftar perusahaan HTI di Jambi Jenis HTI/ Nama Perusahaan HTI Pulp a) PT. Wirakarya Sakti b) PT. Rimba Hutani Mas c) PT. Tebo Multi Agro HTI Trans a) PT. Wanakasita Nusantara b) PT. Wanamukti Wisesa c) PT. Wana Perintis d) PT. Wana Teladan HTI Pertukangan a) PT. Dyera Hutani Lestari b) PT. Samhutani c) PT. Limbah Kayu Utama d) PT. Arangan Hutan Lestari e) PT. Gamasia Hutani Lestari Sumber: Dinas Kehutanan Provinsi Jambi (2010) Luas (Ha) Status Aktif Aktif Aktif Tidak aktif Aktif Tidak aktif Tidak aktif Tidak aktif Aktif Tidak aktif Tidak aktif Aktif

83 64 Dari data di atas terlihat bahwa, HTI yang aktif adalah HTI pulp yang juga merupakan salah satu sektor primadona daerah yang mampu meningkatkan pendapatan daerah selain perkebunan karet dan sawit dari sektor pertanian. Pengembangan HTI pulp masih menjanjikan prospek sehingga kemungkinan ekspansi kawasan akan sangat besar. 5.3 Deforestasi dan Degradasi Hutan Jambi Fenomena menurunnya luas kawasan hutan dan potensi hasil hutan kayu di Jambi menjadi perhatian utama Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat. Beberapa kajian deforestasi dan cadangan karbon telah dilakukan. Budiharto (2009) menyimpulkan bahwa cadangan karbon di provinsi Jambi selama tahun terus menurun dan untuk periode tahun meningkat. Kajian-kajian deforestasi dan degradasi hutan tidak selamanya memberikan angka yang sama, hal ini dipengaruhi oleh definisi dan metodologi yang digunakan. Kerusakan hutan di Jambi disebabkan oleh tingginya interaksi stakeholder akan potensi dan kebutuhan lahan yang terdapat di hutan. HPH, tambang, transmigrasi dan kebun serta penyerobotan lahan hutan oleh masyarakat juga sebagai faktor pemicu lainnya. Berikut disajikan laju deforestasi yang terjadi di Jambi selama tahun (Kemenhut 2008). Tabel 16. Deforestasi Jambi periode No. DEFORESTASI PADA KELOMPOK HUTAN KSA- HL HPT HP JUMLAH KPA A. Hutan Primer 14, ,8 795,8 -. Hutan lahan kering ,8 20,8 primer -. Hutan rawa primer 14, Hutan mangrove primer B. Hutan Sekunder 1.451,1 378, , , ,7 -. Hutan lahan kering 715,1 36, , , ,7 sekunder -. Hutan rawa sekunder 626,1 342,1 285, , ,1 -. Hutan mangrove 109, ,9 sekunder C Hutan Lainnya TOTAL 1.465,7 378, , ,5

84 65 Deforestasi pada hutan tetap Provinsi Jambi mencapai ,5 hektar dan terluas berada pada hutan produksi tetap yang mencapai ,6 hektar atau sekitar 81% dengan laju rata-rata tahunan mencapai 9.386,2 hektar. Bila hal ini terus berlangsung dalam kerangka BAU maka diperkirakan bahwa sampai dengan 2020 nanti hutan akan terdegradasi mencapai hektar dengan asumsi laju deforestasi rata-rata tahunan mencapai hektar. Dari tabel di atas terlihat bahwa kerusakan hutan terbesar berada di hutan sekunder dan ini sesuai dengan keterangan yang diperoleh pada Dinas Kehutanan Provinsi Jambi bahwa perilaku merubah dan mengkonversikan hutan terjadi pada areal bekas tebangan HPH yang kemudian di jatah sisa kayunya dan lahannya ditanami kelapa sawit, kopi dan karet. Kecenderungan yang masih akan terus berlangsung mengingat tingginya harga karet dan kelapa sawit serta tidak adanya alokasi lahan untuk pembangunan di luar sektor kehutanan dalam hal ini hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK). Adapun sebaran spasial deforestasi hutan Jambi disajikan ada Gambar 14. Gambar 14. Peta deforestasi periode tahun di provinsi Jambi (Kemenhut 2008)

85 66 Dari gambar tersebut terlihat bahwa sebaran poligon yang menunjukkan areal terdegradasi terbesar berada di daerah kabupaten Tanjung Jabung Barat, Tanjung Jabung Timur dan Kabupaten Tebo. Deforestasi yang terjadi di Kabupaten Tanjung Jabung Barat mencapai ,97 hektar. Adapun rincian deforestasi menurut kabupaten di provinsi Jambi disajikan pada Tabel 17. Tabel 17. Laju deforestasi menurut Kabupaten di Provinsi Jambi Periode tahun No. Kabupaten Deforestasi (Ha) Rata-rata deforestasi tahunan (Ha/thn) Laju deforestasi tahunan (%/thn) 1. Batanghari ,85 2. Bungo ,51 3. Kerinci ,29 4. Merangin ,60 5. Muaro Jambi ,90 6. Sarolangun ,30 7. Tanjung Jabung Barat ,75 8. Tanjung Jabung Timur ,60 JUMLAH Sumber: Peta deforestasi Kemenhut (2008) dan Peta Administrasi ICRAF (2010) (diolah) Dari tabel di atas, terlihat bahwa resiko deforestasi tertinggi berada di Kabupaten Tanjung Jabung Barat yang mencapai 39,75% per tahunnya. Artinya dalam 1 satuan luas lahan tiap tahunnya berpeluang untuk dikonversi menjadi areal bukan hutan mencapai 40%. Tentunya perlu adanya tindakan manajemen yang tepat untuk menanggulangi gejala pengrusakan dan ini butuh sinergi dari berbagai pihak dalam pemanfaatan hutan dan lahan di Kabupaten Tanjung Jabung Barat. Hasil pendugaan deforestasi dan degradasi hutan di Jambi juga dilakukan oleh ICRAF pada tahun 2010 dengan membandingkan kondisi tutupan lahan di Provinsi Jambi. Adapun hasil penelitian tersebut dilihat pada Gambar 15.

86 67 Gambar 15. Cadangan Karbon pada tahun 1990 (ICRAF 2010) Gambar 16. Cadangan Karbon pada tahun 2000 (ICRAF 2010)

87 68 Gambar 17. Cadangan Karbon pada tahun 2005 (ICRAF 2010) Dari set gambar di atas, terlihat bahwa di tahun 1990, cadangan karbon sebesar ton/ha dan lebih dari ton/ha tersebar merata dan hanya sedikit sekali cadangan karbon yang kurang dari 7,5 10 ton/ha. Sebaliknya terjadi pada kondisi tahun 2000 dan di tahun 2005 sebaran cadangan karbon lebih dari 1000 ton/ha semakin sedikit dan sebaliknya didominasi oleh cadangan karbon kurang dari 7,5 10 ton/ha. Sisa cadangan karbon yang ada di tahun 2005 hanya terdapat di daerah gambut dan taman nasional Kerinci Seblat. Perubahan cadangan karbon yang sangat signifikan ini menunjukkan bahwa neraca potensi tegakan hutan di Jambi terus menurun. Penurunan tersebut disebabkan oleh beberapa hal sebagai driven deforestation factor seperti HPH, HTI, Perkebunan, Transmigrasi, Pertambangan dan ijin-ijin lainnya untuk keperluan pembangunan sektor non-kehutanan serta bentuk pembukaan lahan dengan sistem tebas dan bakar. Pendugaan perubahan cadangan karbon di atas didasarkan pada perubahan penggunaan lahan di Provinsi Jambi. ICRAF (2010) menunjukkan perubahan penggunaan lahan pada tiga periode waktu sebagai berikut.

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Metode Pendugaan Karbon Pada Perubahan Penggunaan Lahan

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Metode Pendugaan Karbon Pada Perubahan Penggunaan Lahan 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Metode Pendugaan Karbon Pada Perubahan Penggunaan Lahan Metode pendugaan karbon tersimpan pada berbagai jenis penggunaan lahan adalah hal penting dalam menduga besarnya perubahan

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN

3. METODOLOGI PENELITIAN 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Kerangka Pendekatan Masalah Pelaksanaan pengelolaan hutan yang dilaksanakan selama ini (BAU) mengakibatkan menurunnya luas kawasan hutan dan tutupan bervegetasi hutan. Tercatat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. hayati yang tinggi dan termasuk ke dalam delapan negara mega biodiversitas di

I. PENDAHULUAN. hayati yang tinggi dan termasuk ke dalam delapan negara mega biodiversitas di I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara tropis yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi dan termasuk ke dalam delapan negara mega biodiversitas di dunia,

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Perubahan iklim global (global climate

BAB I. PENDAHULUAN. Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Perubahan iklim global (global climate BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kelestarian lingkungan dekade ini sudah sangat terancam, tidak hanya di Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Perubahan iklim global (global climate change) yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isu lingkungan tentang perubahan iklim global akibat naiknya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer menjadi

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isu lingkungan tentang perubahan iklim global akibat naiknya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer menjadi I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isu lingkungan tentang perubahan iklim global akibat naiknya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer menjadi prioritas dunia saat ini. Berbagai skema dirancang dan dilakukan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. mengkonversi hutan alam menjadi penggunaan lainnya, seperti hutan tanaman

PENDAHULUAN. mengkonversi hutan alam menjadi penggunaan lainnya, seperti hutan tanaman PENDAHULUAN Latar Belakang Terdegradasinya keadaan hutan menyebabkan usaha kehutanan secara ekonomis kurang menguntungkan dibandingkan usaha komoditi agribisnis lainnya, sehingga memicu kebijakan pemerintah

Lebih terperinci

Kondisi Hutan (Deforestasi) di Indonesia dan Peran KPH dalam penurunan emisi dari perubahan lahan hutan

Kondisi Hutan (Deforestasi) di Indonesia dan Peran KPH dalam penurunan emisi dari perubahan lahan hutan Kondisi Hutan (Deforestasi) di Indonesia dan Peran KPH dalam penurunan emisi dari perubahan lahan hutan Iman Santosa T. (isantosa@dephut.go.id) Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumberdaya Hutan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. manusia dalam penggunaan energi bahan bakar fosil serta kegiatan alih guna

I. PENDAHULUAN. manusia dalam penggunaan energi bahan bakar fosil serta kegiatan alih guna I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan iklim adalah fenomena global yang disebabkan oleh kegiatan manusia dalam penggunaan energi bahan bakar fosil serta kegiatan alih guna lahan dan kehutanan. Kegiatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) seperti karbon dioksida

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) seperti karbon dioksida BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peningkatan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) seperti karbon dioksida (CO 2 ), metana (CH 4 ), dinitrogen oksida (N 2 O), hidrofluorokarbon (HFC), perfluorokarbon (PFC)

Lebih terperinci

Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan

Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan ISSN : 085-787X Policy Daftar Isi Volume 4 No. Tahun 010 Profil Emisi Sektor Kehutanan

Lebih terperinci

Menguji Rencana Pemenuhan Target Penurunan Emisi Indonesia 2020 dari Sektor Kehutanan dan Pemanfaatan Lahan Gambut

Menguji Rencana Pemenuhan Target Penurunan Emisi Indonesia 2020 dari Sektor Kehutanan dan Pemanfaatan Lahan Gambut www.greenomics.org KERTAS KEBIJAKAN Menguji Rencana Pemenuhan Target Penurunan Emisi Indonesia 2020 dari Sektor Kehutanan dan Pemanfaatan Lahan Gambut 21 Desember 2009 DAFTAR ISI Pengantar... 1 Kasus 1:

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Perubahan iklim telah menjadi isu penting dalam peradaban umat manusia saat ini. Hal ini disebabkan karena manusia sebagai aktor dalam pengendali lingkungan telah melupakan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. menyebabkan pemanasan global dan perubahan iklim. Pemanasan tersebut

BAB I. PENDAHULUAN. menyebabkan pemanasan global dan perubahan iklim. Pemanasan tersebut BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peningkatan kadar CO 2 di atmosfir yang tidak terkendali jumlahnya menyebabkan pemanasan global dan perubahan iklim. Pemanasan tersebut disebabkan oleh adanya gas

Lebih terperinci

Topik C4 Lahan gambut sebagai cadangan karbon

Topik C4 Lahan gambut sebagai cadangan karbon Topik C4 Lahan gambut sebagai cadangan karbon 1 Presentasi ini terbagi menjadi lima bagian. Bagian pertama, memberikan pengantar tentang besarnya karbon yang tersimpan di lahan gambut. Bagian kedua membahas

Lebih terperinci

BAB 1. PENDAHULUAN. Kalimantan Tengah pada tahun 2005 diperkirakan mencapai 292 MtCO2e 1 yaitu

BAB 1. PENDAHULUAN. Kalimantan Tengah pada tahun 2005 diperkirakan mencapai 292 MtCO2e 1 yaitu 1 BAB 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam skenario BAU (Business As Usual) perdagangan karbon di indonesia, Kalimantan Tengah akan menjadi kontributor signifikan emisi gas rumah kaca di Indonesia

Lebih terperinci

Pengaruh Daya Dukung Hutan Terhadap Iklim & Kualitas Udara di Ekoregion Kalimantan

Pengaruh Daya Dukung Hutan Terhadap Iklim & Kualitas Udara di Ekoregion Kalimantan Pengaruh Daya Dukung Hutan Terhadap Iklim & Kualitas Udara di Ekoregion Kalimantan Ruhyat Hardansyah, Maria C.L. Hutapea Subbidang Hutan dan Hasil Hutan Bidang Inventarisasi Daya Dukung dan daya Tampung

Lebih terperinci

PERAN BENIH UNGGUL DALAM MITIGASI PERUBAHAN IKLIM

PERAN BENIH UNGGUL DALAM MITIGASI PERUBAHAN IKLIM PERAN BENIH UNGGUL DALAM MITIGASI PERUBAHAN IKLIM Ari Wibowo ariwibowo61@yahoo.com PUSLITBANG PERUBAHAN IKLIM DAN KEBIJAKAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN KEMENTERIAN KEHUTANAN SEMINAR NASIONAL

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam konteks global emisi gas rumah kaca (GRK) cenderung meningkat setiap tahunnya. Sumber emisi GRK dunia berasal dari emisi energi (65%) dan non energi (35%). Emisi

Lebih terperinci

ISU ISU STRATEGIS KEHUTANAN. Oleh : Ir. Masyhud, MM (Kepala Pusat Humas Kemhut) Pada Orientasi Jurnalistik Kehutanan Jakarta, 14 Juni 2011

ISU ISU STRATEGIS KEHUTANAN. Oleh : Ir. Masyhud, MM (Kepala Pusat Humas Kemhut) Pada Orientasi Jurnalistik Kehutanan Jakarta, 14 Juni 2011 ISU ISU STRATEGIS KEHUTANAN Oleh : Ir. Masyhud, MM (Kepala Pusat Humas Kemhut) Pada Orientasi Jurnalistik Kehutanan Jakarta, 14 Juni 2011 1 11 PRIORITAS KIB II (2010-2014) 1. Mewujudkan reformasi birokrasi

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peningkatan konsentrasi karbon di atmosfer menjadi salah satu masalah lingkungan yang serius dapat mempengaruhi sistem kehidupan di bumi. Peningkatan gas rumah kaca (GRK)

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sekitar 60 Pg karbon mengalir antara ekosistem daratan dan atmosfir setiap

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sekitar 60 Pg karbon mengalir antara ekosistem daratan dan atmosfir setiap BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Cadangan Karbon Aliran karbon dari atmosfir ke vegetasi merupakan aliran yang bersifat dua arah, yaitu pengikatan CO 2 ke dalam biomasa melalui fotosintesis dan pelepasan CO

Lebih terperinci

Kepastian Pembiayaan dalam keberhasilan implementasi REDD+ di Indonesia

Kepastian Pembiayaan dalam keberhasilan implementasi REDD+ di Indonesia ISSN : 2085-787X Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SOSIAL, EKONOMI, KEBIJAKAN DAN PERUBAHAN IKLIM Jl. Gunung Batu No.

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3. Biomassa dan Karbon Biomassa Atas Permukaan di Kebun Panai Jaya, PTPN IV Tahun 2009

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3. Biomassa dan Karbon Biomassa Atas Permukaan di Kebun Panai Jaya, PTPN IV Tahun 2009 14 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Stok Karbon 4.1.1 Panai Jaya Data stok karbon yang digunakan pada kebun Panai Jaya berasal dari penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Yulianti (2009) dan Situmorang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kerja dan mendorong pengembangan wilayah dan petumbuhan ekonomi.

I. PENDAHULUAN. kerja dan mendorong pengembangan wilayah dan petumbuhan ekonomi. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan Indonesia seluas 120,35 juta hektar merupakan salah satu kelompok hutan tropis ketiga terbesar di dunia setelah Brazil dan Zaire, yang mempunyai fungsi utama sebagai

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan Gambut

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan Gambut 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan Gambut Pembukaan lahan gambut untuk pengembangan pertanian atau pemanfaatan lainnya secara langsung mengubah ekosistem kawasan gambut yang telah mantap membentuk suatu

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Provinsi Papua dengan luas kawasan hutan 31.687.680 ha (RTRW Provinsi Papua, 2012), memiliki tingkat keragaman genetik, jenis maupun ekosistem hutan yang sangat tinggi.

Lebih terperinci

Dampak moratorium LoI pada hutan alam dan gambut Sumatra

Dampak moratorium LoI pada hutan alam dan gambut Sumatra Dampak moratorium LoI pada hutan alam dan gambut Sumatra - Analisa titik deforestasi Riau, Sumatra- 16 Maret 2011 oleh Eyes on the Forest Diserahkan kepada : Dr. Ir. Kuntoro Mangkusubroto, Kepala Unit

Lebih terperinci

PELUANG IMPLEMENTASI REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation) DI PROVINSI JAMBI

PELUANG IMPLEMENTASI REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation) DI PROVINSI JAMBI PELUANG IMPLEMENTASI REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation) DI PROVINSI JAMBI Oleh Ir. H. BUDIDAYA, M.For.Sc. (Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Jambi) Disampaikan pada Focus Group

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN LOI RI-NORWAY DINAS KEHUTANAN PROVINSI RIAU

PERKEMBANGAN LOI RI-NORWAY DINAS KEHUTANAN PROVINSI RIAU PERKEMBANGAN LOI RI-NORWAY DINAS KEHUTANAN PROVINSI RIAU PEKANBARU, JULI 2010 Kawasan Hutan Provinsi Riau berdasarkan TGHK SK Menhut No. 173/Kpts-II/1986, 6 Juni 1986 No PERUNTUKAN LUAS (Ha) ( % ) 1. Hutan

Lebih terperinci

PROGRAM KEHUTANAN UNTUK MITIGASI PERUBAHAN IKLIM & PENGUKURAN, PELAPORAN SERTA VERIFIKASINYA (MRV) Tindak Lanjut COP 15

PROGRAM KEHUTANAN UNTUK MITIGASI PERUBAHAN IKLIM & PENGUKURAN, PELAPORAN SERTA VERIFIKASINYA (MRV) Tindak Lanjut COP 15 PROGRAM KEHUTANAN UNTUK MITIGASI PERUBAHAN IKLIM & PENGUKURAN, PELAPORAN SERTA VERIFIKASINYA (MRV) Tindak Lanjut COP 15 Daftar Paparan 1. Mitigasi Perubahan Iklim (M.P.I.) 2. Skenario Mitigasi Perubahan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seiring dengan perkembangan teknologi dan peningkatan kebutuhan hidup manusia, tidak dapat dipungkiri bahwa tekanan terhadap perubahan lingkungan juga akan meningkat

Lebih terperinci

Edisi 1 No. 1, Jan Mar 2014, p Resensi Buku

Edisi 1 No. 1, Jan Mar 2014, p Resensi Buku Resensi Buku Edisi 1 No. 1, Jan Mar 2014, p.33-38 Judul Buku: : Rencana Kehutanan Tingkat Nasional (RKTN) Tahun 2011-2030 Penyunting Akhir : Ir. Basoeki Karyaatmadja, M.Sc., Ir. Kustanta Budi Prihatno,

Lebih terperinci

Ilmuwan mendesak penyelamatan lahan gambut dunia yang kaya karbon

Ilmuwan mendesak penyelamatan lahan gambut dunia yang kaya karbon Untuk informasi lebih lanjut, silakan menghubungi: Nita Murjani n.murjani@cgiar.org Regional Communications for Asia Telp: +62 251 8622 070 ext 500, HP. 0815 5325 1001 Untuk segera dipublikasikan Ilmuwan

Lebih terperinci

POTENSI STOK KARBON DAN TINGKAT EMISI PADA KAWASAN DEMONSTRATION ACTIVITIES (DA) DI KALIMANTAN

POTENSI STOK KARBON DAN TINGKAT EMISI PADA KAWASAN DEMONSTRATION ACTIVITIES (DA) DI KALIMANTAN POTENSI STOK KARBON DAN TINGKAT EMISI PADA KAWASAN DEMONSTRATION ACTIVITIES (DA) DI KALIMANTAN Asef K. Hardjana dan Suryanto Balai Besar Penelitian Dipterokarpa RINGKASAN Dalam rangka persiapan pelaksanaan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Emisi Gas Rumah Kaca di Indonesia

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Emisi Gas Rumah Kaca di Indonesia 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Emisi Gas Rumah Kaca di Indonesia Sampai tahun 2004, Indonesia berada pada urutan ke 15 negara penghasil gas rumah kaca tertinggi di dunia dengan emisi tahunan 378 juta ton

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Aktivitas manusia telah meningkatkan emisi gas rumah kaca serta

BAB I. PENDAHULUAN. Aktivitas manusia telah meningkatkan emisi gas rumah kaca serta BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Aktivitas manusia telah meningkatkan emisi gas rumah kaca serta meningkatkan suhu global. Kegiatan yang menyumbang emisi gas rumah kaca dapat berasal dari pembakaran

Lebih terperinci

BAB IV. LANDASAN SPESIFIK SRAP REDD+ PROVINSI PAPUA

BAB IV. LANDASAN SPESIFIK SRAP REDD+ PROVINSI PAPUA BAB IV. LANDASAN SPESIFIK SRAP REDD+ PROVINSI PAPUA 4.1. Landasan Berfikir Pengembangan SRAP REDD+ Provinsi Papua Landasan berpikir untuk pengembangan Strategi dan Rencana Aksi (SRAP) REDD+ di Provinsi

Lebih terperinci

ISSN : X Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan

ISSN : X Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan ISSN : 2085-787X Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan Volume 5 No. 8 Tahun 2011 Strategi Penurunan Emisi Gas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk meningkatkan perekonomian masyarakat maupun Negara. Bisa melalui

BAB I PENDAHULUAN. untuk meningkatkan perekonomian masyarakat maupun Negara. Bisa melalui BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses yang dijalankan beriringan dengan proses perubahan menuju taraf hidup yang lebih baik. Dimana pembangunan itu sendiri dilakukan

Lebih terperinci

West Kalimantan Community Carbon Pools

West Kalimantan Community Carbon Pools Progress Kegiatan DA REDD+ Mendukung Target Penurunan Emisi GRK Kehutanan West Kalimantan Community Carbon Pools Fauna & Flora International Indonesia Programme Tujuan: Pengembangan proyek REDD+ pada areal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hutan merupakan pusat keragaman berbagai jenis tumbuh-tumbuhan yang. jenis tumbuh-tumbuhan berkayu lainnya. Kawasan hutan berperan

BAB I PENDAHULUAN. Hutan merupakan pusat keragaman berbagai jenis tumbuh-tumbuhan yang. jenis tumbuh-tumbuhan berkayu lainnya. Kawasan hutan berperan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Hutan merupakan pusat keragaman berbagai jenis tumbuh-tumbuhan yang manfaat serta fungsinya belum banyak diketahui dan perlu banyak untuk dikaji. Hutan berisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sektor sosial budaya dan lingkungan. Salah satu sektor lingkungan yang terkait

BAB I PENDAHULUAN. sektor sosial budaya dan lingkungan. Salah satu sektor lingkungan yang terkait BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan berkelanjutan yang dilaksanakan oleh pemerintahan daerah di Indonesia sejak adanya otonomi daerah harus terintegrasi antar berbagai sektor. Pembangunan

Lebih terperinci

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang memiliki nilai ekonomi, ekologi dan sosial yang tinggi. Hutan alam tropika

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Setiap sumberdaya alam memiliki fungsi penting terhadap lingkungan. Sumberdaya alam berupa vegetasi pada suatu ekosistem hutan mangrove dapat berfungsi dalam menstabilkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Gambar 1. Kecenderungan Total Volume Ekspor Hasil hutan Kayu

I. PENDAHULUAN. Gambar 1. Kecenderungan Total Volume Ekspor Hasil hutan Kayu I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Sumberdaya hutan tropis yang dimiliki negara Indonesia, memiliki nilai dan peranan penting yang bermanfaat dalam konteks pembangunan berkelanjutan. Manfaat yang didapatkan

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb.

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb. KATA PENGANTAR Assalamu alaikum wr.wb. Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan buku Penghitungan Deforestasi Indonesia Periode Tahun 2009-2011

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Perubahan iklim merupakan fenomena global meningkatnya konsentrasi

BAB I. PENDAHULUAN. Perubahan iklim merupakan fenomena global meningkatnya konsentrasi 1 BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perubahan iklim merupakan fenomena global meningkatnya konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) di atmosfer akibat berbagai aktivitas manusia di permukaan bumi, seperti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. menyebabkan perubahan tata guna lahan dan penurunan kualitas lingkungan. Alih

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. menyebabkan perubahan tata guna lahan dan penurunan kualitas lingkungan. Alih BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tingginya kebutuhan lahan dan semakin terbatasnya sumberdaya alam menyebabkan perubahan tata guna lahan dan penurunan kualitas lingkungan. Alih guna hutan sering terjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan Salomon, dalam Rahayu et al. (2006), untuk mengurangi dampak perubahan

BAB I PENDAHULUAN. dan Salomon, dalam Rahayu et al. (2006), untuk mengurangi dampak perubahan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemanasan global mengakibatkan terjadinya perubahan iklim. Menurut Sedjo dan Salomon, dalam Rahayu et al. (2006), untuk mengurangi dampak perubahan iklim, upaya yang

Lebih terperinci

Strategi dan Rencana Aksi Pengurangan Emisi GRK dan REDD di Provinsi Kalimantan Timur Menuju Pembangunan Ekonomi Hijau. Daddy Ruhiyat.

Strategi dan Rencana Aksi Pengurangan Emisi GRK dan REDD di Provinsi Kalimantan Timur Menuju Pembangunan Ekonomi Hijau. Daddy Ruhiyat. Strategi dan Rencana Aksi Pengurangan Emisi GRK dan REDD di Provinsi Kalimantan Timur Menuju Pembangunan Ekonomi Hijau Daddy Ruhiyat news Dokumen terkait persoalan Emisi Gas Rumah Kaca di Kalimantan Timur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ancaman perubahan iklim sangat menjadi perhatian masyarakat dibelahan dunia manapun. Ancaman dan isu-isu yang terkait mengenai perubahan iklim terimplikasi dalam Protokol

Lebih terperinci

DARI DEFORESTASI, DEKOMPOSISI DAN KEBAKARAN GAMBUT

DARI DEFORESTASI, DEKOMPOSISI DAN KEBAKARAN GAMBUT REFERENCE EMISSION LEVEL (REL) DARI DEFORESTASI, DEKOMPOSISI DAN KEBAKARAN GAMBUT PROVINSI KALIMANTAN TIMUR 1 Provinsi Kalimantan Timur 2014 REFERENCE EMISSION LEVEL (REL) DARI DEFORESTASI, DEKOMPOSISI

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb.

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb. DIREKTORAT INVENTARISASI DAN PEMANTAUAN SUMBER DAYA HUTAN DIREKTORAT JENDERAL PLANOLOGI KEHUTANAN DAN TATA LINGKUNGAN KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN TAHUN 2015 DEFORESTASI INDONESIA TAHUN 2013-2014

Lebih terperinci

Governors Climate & Forests Task Force. Provinsi Kalimantan Tengah Central Kalimantan Province Indonesia

Governors Climate & Forests Task Force. Provinsi Kalimantan Tengah Central Kalimantan Province Indonesia Governors limate & Forests Task Force Provinsi Kalimantan Tengah entral Kalimantan Province Indonesia Kata pengantar Gubernur Kalimantan Tengah Agustin Teras Narang, SH entral Kalimantan Governor Preface

Lebih terperinci

Governors Climate & Forests Task Force. Provinsi Papua Barat West Papua Province Indonesia

Governors Climate & Forests Task Force. Provinsi Papua Barat West Papua Province Indonesia Governors limate & Forests Task Force Provinsi Papua Barat West Papua Province Indonesia Kata pengantar Gubernur Papua Barat - Abraham Octavianus Atururi West Papua Governor Preface - Abraham Octavianus

Lebih terperinci

D4 Penggunaan 2013 Wetlands Supplement to the 2006 IPCC Guidelines untuk Inventarisasi Gas Rumah Kaca di Indonesia.

D4 Penggunaan 2013 Wetlands Supplement to the 2006 IPCC Guidelines untuk Inventarisasi Gas Rumah Kaca di Indonesia. D4 Penggunaan 2013 Wetlands Supplement to the 2006 IPCC Guidelines untuk Inventarisasi Gas Rumah Kaca di Indonesia. 1 Pokok bahasan meliputi latar belakang penyusunan IPCC Supplement, apa saja yang menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan ekosistem dan keanekaragaman hayati. Dengan kata lain manfaat

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan ekosistem dan keanekaragaman hayati. Dengan kata lain manfaat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan memiliki peranan penting bagi kehidupan manusia, baik yang berupa manfaat ekonomi secara langsung maupun fungsinya dalam menjaga daya dukung lingkungan. Hutan

Lebih terperinci

MEMBENDUNG meluasnya preseden buruk pengelolaan HPH di Indonesia

MEMBENDUNG meluasnya preseden buruk pengelolaan HPH di Indonesia www.greenomics.org MEMBENDUNG meluasnya preseden buruk pengelolaan HPH di Indonesia 5 Desember 2011 HPH PT Mutiara Sabuk Khatulistiwa -- yang beroperasi di Provinsi Riau -- melakukan land-clearing hutan

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 40 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di hutan alam produksi lestari dan hutan alam produksi tidak lestari di wilayah Kalimantan. Pendekatan yang digunakan

Lebih terperinci

Governors Climate & Forests Task Force. Provinsi Aceh Aceh Province Indonesia

Governors Climate & Forests Task Force. Provinsi Aceh Aceh Province Indonesia Governors limate & Forests Task Force Provinsi Aceh Aceh Province Indonesia Kata pengantar Gubernur Aceh DR Abdullah Zaini Aceh Governor Preface - DR Abdullah Zaini Assalamu Alaikum Warahmatullah Wa Barakatuh

Lebih terperinci

PERHUTANAN SOSIAL DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT YANG EFEKTIF

PERHUTANAN SOSIAL DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT YANG EFEKTIF Peran Penting Masyarakat dalam Tata Kelola Hutan dan REDD+ 3 Contoh lain di Bantaeng, dimana untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemandirian, pemerintah kabupaten memberikan modal dan aset kepada desa

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. oleh pemerintah untuk di pertahankan keberadaan nya sebagai hutan tetap.

TINJAUAN PUSTAKA. oleh pemerintah untuk di pertahankan keberadaan nya sebagai hutan tetap. 4 TINJAUAN PUSTAKA Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang di tunjuk dan atau di tetapkan oleh pemerintah untuk di pertahankan keberadaan nya sebagai hutan tetap. Kawasan hutan perlu di tetapkan untuk

Lebih terperinci

MODEL DINAMIKA SIMPANAN KARBON KAWASAN HUTAN DI PROVINSI KALIMANTAN BARAT RAMDHANI

MODEL DINAMIKA SIMPANAN KARBON KAWASAN HUTAN DI PROVINSI KALIMANTAN BARAT RAMDHANI MODEL DINAMIKA SIMPANAN KARBON KAWASAN HUTAN DI PROVINSI KALIMANTAN BARAT RAMDHANI DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 203 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER

Lebih terperinci

Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009

Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009 Contributor : Doni Prihatna Tanggal : April 2012 Posting : Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009 Pada 19 Januari 2012 lalu, Presiden Republik Indonesia mengeluarkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pada tahun 1999 terjadi reformasi institusi kehutanan yang diformalisasikan dalam

I. PENDAHULUAN. Pada tahun 1999 terjadi reformasi institusi kehutanan yang diformalisasikan dalam I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.1.1 Perubahan Institusi Kehutanan Pada tahun 1999 terjadi reformasi institusi kehutanan yang diformalisasikan dalam perubahan undang-undang no 5 tahun 1967 tentang Pokok-Pokok

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan gambut merupakan salah satu tipe hutan yang terdapat di Indonesia dan penyebarannya antara lain di Pulau Sumatera, Pulau Kalimantan, Pulau Sulawesi dan Pulau

Lebih terperinci

Governors Climate & Forests Task Force. Provinsi Kalimantan Barat West Kalimantan Province Indonesia

Governors Climate & Forests Task Force. Provinsi Kalimantan Barat West Kalimantan Province Indonesia Governors limate & Forests Task Force Provinsi Kalimantan Barat West Kalimantan Province Indonesia Kata pengantar Gubernur Kalimantan Barat ornelis M.H West Kalimantan Governor Preface ornelis M.H Puji

Lebih terperinci

Avoided Deforestation & Resource Based Community Development Program

Avoided Deforestation & Resource Based Community Development Program Avoided Deforestation & Resource Based Community Development Program Tujuan Tersedianya aliran finansial yang stabil untuk kegiatan konservasi dan pengembangan masyarakat melalui penciptaan kredit karbon

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Laswell dan Kaplan (1970) mengemukakan bahwa kebijakan merupakan suatu program yang memroyeksikan tujuan, nilai, dan praktik yang terarah. Kemudian Dye (1978) menyampaikan

Lebih terperinci

Informasi hasil aplikasi perhitungan emisi grk

Informasi hasil aplikasi perhitungan emisi grk Informasi hasil aplikasi perhitungan emisi grk Aplikasi perhitungan grk di wilayah sumatera Aplikasi Perhitungan GRK di Wilayah Sumatera Program : Penelitian dan Pengembangan Produktivitas Hutan Judul

Lebih terperinci

ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN

ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN WULANING DIYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

1 BAB I. PENDAHULUAN. tingginya tingkat deforestasi dan sistem pengelolan hutan masih perlu untuk

1 BAB I. PENDAHULUAN. tingginya tingkat deforestasi dan sistem pengelolan hutan masih perlu untuk 1 BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan tropis merupakan sumber utama kayu dan gudang dari sejumlah besar keanekaragaman hayati dan karbon yang diakui secara global, meskupun demikian tingginya

Lebih terperinci

Perubahan Iklim dan SFM. Dewan Nasional Perubahan Iklim Jakarta, 3 Desember 2009

Perubahan Iklim dan SFM. Dewan Nasional Perubahan Iklim Jakarta, 3 Desember 2009 Perubahan Iklim dan SFM Dewan Nasional Perubahan Iklim Jakarta, 3 Desember 2009 Dengan menghitung emisi secara netto untuk tahun 2000, perbedaan perkiraan emisi DNPI dan SNC sekitar 8 persen Sekotr lain

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pemanasan global saat ini menjadi topik yang paling hangat dibicarakan dan mendapatkan perhatian sangat serius dari berbagai pihak. Pada dasarnya pemanasan global merupakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. ekonomi dan sosial budaya. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang

I. PENDAHULUAN. ekonomi dan sosial budaya. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan merupakan modal pembangunan nasional yang memiliki manfaat ekologi, ekonomi dan sosial budaya. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan menjelaskan bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia mempunyai luas hutan negara berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia mempunyai luas hutan negara berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai luas hutan negara berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakat (TGHK) 1 seluas 140,4 juta hektar terdiri atas kawasan hutan tetap seluas 113,8 juta hektar

Lebih terperinci

Tata ruang Indonesia

Tata ruang Indonesia Tata ruang Indonesia Luas 190,994,685 Ha Hutan Produksi Kawasan Non-hutan Hutan Produksi Terbatas Hutan konservasi Hutan dilindungi Sumber: Statistik Kehutanan Indonesia 2008, Departemen Kehutanan Indonesia

Lebih terperinci

Kebijakan Fiskal Sektor Kehutanan

Kebijakan Fiskal Sektor Kehutanan Kebijakan Fiskal Sektor Kehutanan Prof. Dr. Singgih Riphat Badan Kebijakan Fiskal Departemen Keuangan PENYUMBANG EMISI CO 2 TERBESAR DI DUNIA Indonesia menempati urutan ke 16 dari 25 negara penyumbang

Lebih terperinci

Perkiraan Sementara Emisi CO 2. di Kalimantan Tengah

Perkiraan Sementara Emisi CO 2. di Kalimantan Tengah B Perhitungan sederhana emisi CO 2 dari komponen deforestasi dan dekomposisi lahan gambut Desember, 2013 Perhitungan sederhana emisi CO 2 dari komponen deforestasi dan dekomposisi lahan gambut Penulis:

Lebih terperinci

Lembar Fakta Kurva Biaya Pengurangan Emisi GRK (Gas Rumah Kaca) Indonesia

Lembar Fakta Kurva Biaya Pengurangan Emisi GRK (Gas Rumah Kaca) Indonesia Lembar Fakta Kurva Biaya Pengurangan Emisi GRK (Gas Rumah Kaca) Indonesia Keenam sektor; Kehutanan, pertanian, pembangkit listrik, transportasi, bangunan dan semen bersama-sama dengan emisi yang berhubungan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemampuan hutan dan ekosistem didalamnya sebagai penyimpan karbon dalam bentuk biomassa di atas tanah dan di bawah tanah mempunyai peranan penting untuk menjaga keseimbangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di permukaan bumi ini, kurang lebih terdapat 90% biomasa yang terdapat

BAB I PENDAHULUAN. Di permukaan bumi ini, kurang lebih terdapat 90% biomasa yang terdapat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di permukaan bumi ini, kurang lebih terdapat 90% biomasa yang terdapat dalam hutan berbentuk pokok kayu, dahan, daun, akar dan sampah hutan (serasah) (Arief, 2005).

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Kebakaran hutan di Jambi telah menjadi suatu fenomena yang terjadi setiap tahun, baik dalam cakupan luasan yang besar maupun kecil. Kejadian kebakaran tersebut tersebar dan melanda

Lebih terperinci

9/21/2012 PENDAHULUAN STATE OF THE ART GAMBUT DI INDONESIA EKOSISTEM HUTAN GAMBUT KEANEKARAGAMAN HAYATI TINGGI SUMBER PLASMA NUTFAH TINGGI

9/21/2012 PENDAHULUAN STATE OF THE ART GAMBUT DI INDONESIA EKOSISTEM HUTAN GAMBUT KEANEKARAGAMAN HAYATI TINGGI SUMBER PLASMA NUTFAH TINGGI 9/1/1 PEMULIHAN ALAMI HUTAN GAMBUT PASKA KEBAKARAN: OPTIMISME DALAM KONSERVASI CADANGAN KARBON PENDAHULUAN EKOSISTEM HUTAN GAMBUT OLEH: I WAYAN SUSI DHARMAWAN Disampaikan pada acara Diskusi Ilmiah lingkup

Lebih terperinci

STRATEGI IMPLEMENTASI RAD-GRK

STRATEGI IMPLEMENTASI RAD-GRK 5 STRATEGI IMPLEMENTASI RAD-GRK Aksi mitigasi dalam rangka pengurangan emisi GRK di Privinsi Papua di fokuskan pada 2 (dua) sektor yaitu sektor pertanian dan serta kehutanan dan lahan. Untuk dapat mengimplementasikan

Lebih terperinci

Governors Climate & Forests Task Force. Provinsi Papua Papua Province Indonesia

Governors Climate & Forests Task Force. Provinsi Papua Papua Province Indonesia Governors limate & Forests Task Force Provinsi Papua Papua Province Indonesia Kata pengantar Gubernur Papua Lukas Enembe Papua Governor Preface Lukas Enembe Salam sejahtera buat kita semua Puji Tuhan yang

Lebih terperinci

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. intensitas ultraviolet ke permukaan bumi yang dipengaruhi oleh menipisnya

BAB I PENDAHULUAN. intensitas ultraviolet ke permukaan bumi yang dipengaruhi oleh menipisnya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perubahan kehidupan paling signifikan saat ini adalah meningkatnya intensitas ultraviolet ke permukaan bumi yang dipengaruhi oleh menipisnya lapisan atmosfer.

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Sebaran luas lahan gambut di Indonesia cukup besar, yaitu sekitar 20,6 juta hektar, yang berarti sekitar 50% luas gambut tropika atau sekitar 10,8% dari luas daratan Indonesia.

Lebih terperinci

REHABILITASI HUTAN DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM SEKTOR KEHUTANAN DI SULAWESI UTARA

REHABILITASI HUTAN DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM SEKTOR KEHUTANAN DI SULAWESI UTARA REHABILITASI HUTAN DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM SEKTOR KEHUTANAN DI SULAWESI UTARA BALAI PENELITIAN KEHUTANAN MANADO Jl. Raya Adipura Kel. Kima Atas Kec.Mapanget Kota Manado Telp : (0431) 3666683 Email

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN DAN IMPLIKASI. 6.1 Kesimpulan. sektor kehutanan yang relatif besar. Simulasi model menunjukkan bahwa perubahan

BAB VI KESIMPULAN DAN IMPLIKASI. 6.1 Kesimpulan. sektor kehutanan yang relatif besar. Simulasi model menunjukkan bahwa perubahan BAB VI KESIMPULAN DAN IMPLIKASI 6.1 Kesimpulan Perubahan iklim diperkirakan memberikan dampak pada perekonomian dan sektor kehutanan yang relatif besar. Simulasi model menunjukkan bahwa perubahan iklim

Lebih terperinci

Perhitungan karbon untuk perbaikan faktor emisi dan serapan grk

Perhitungan karbon untuk perbaikan faktor emisi dan serapan grk Perhitungan karbon untuk perbaikan faktor emisi dan serapan grk Program : Pengelolaan Hutan Tanaman Judul RPI : Penelitian Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Koordinator RPI : Ir. Ari Wibowo,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hujan Tropis Hutan adalah satu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya,

Lebih terperinci

Kemitraan untuk REDD+ : Lokakarya Nasional bagi Pemerintah dan Masyarakat Sipil MEMAHAMI KONSEP REDD : ADDITIONALITY, LEAKAGE & PERMANENCE

Kemitraan untuk REDD+ : Lokakarya Nasional bagi Pemerintah dan Masyarakat Sipil MEMAHAMI KONSEP REDD : ADDITIONALITY, LEAKAGE & PERMANENCE Kemitraan untuk REDD+ : Lokakarya Nasional bagi Pemerintah dan Masyarakat Sipil MEMAHAMI KONSEP REDD : ADDITIONALITY, LEAKAGE & PERMANENCE Muhammad Ridwan 17 Maret 2010 Bahan disarikan dari beberapa tulisan

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA PROGRAM STUDI ILMU PERENCANAAN WILAYAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

Panduan Pengguna Untuk Reboisasi Lahan Kritis. Indonesia 2050 Pathway Calculator

Panduan Pengguna Untuk Reboisasi Lahan Kritis. Indonesia 2050 Pathway Calculator Panduan Pengguna Untuk Reboisasi Lahan Kritis Indonesia 2050 Pathway Calculator Daftar Isi 1. Ikhtisar Lahan Kritis Indonesia... 3 2. Asumsi... 6 3. Metodologi... 7 4. Hasil Pemodelan... 8 5. Referensi...

Lebih terperinci

AGROFORESTRY : SISTEM PENGGUNAAN LAHAN YANG MAMPU MENINGKATKAN PENDAPATAN MASYARAKAT DAN MENJAGA KEBERLANJUTAN

AGROFORESTRY : SISTEM PENGGUNAAN LAHAN YANG MAMPU MENINGKATKAN PENDAPATAN MASYARAKAT DAN MENJAGA KEBERLANJUTAN AGROFORESTRY : SISTEM PENGGUNAAN LAHAN YANG MAMPU MENINGKATKAN PENDAPATAN MASYARAKAT DAN MENJAGA KEBERLANJUTAN Noviana Khususiyah, Subekti Rahayu, dan S. Suyanto World Agroforestry Centre (ICRAF) Southeast

Lebih terperinci

REKALKUKASI SUMBER DAYA HUTAN INDONESIA TAHUN 2003

REKALKUKASI SUMBER DAYA HUTAN INDONESIA TAHUN 2003 REKALKUKASI SUMBER DAYA HUTAN INDONESIA TAHUN 2003 KATA PENGANTAR Assalaamu alaikum Wr. Wb. Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan Buku

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertambangan batubara menjadi salah satu gangguan antropogenik terhadap ekosistem hutan tropis yang dapat berakibat terhadap degradasi dan kerusakan lahan secara drastis.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I 1.1. Latar Belakang PENDAHULUAN Hutan berperan penting dalam menjaga kesetabilan iklim global, vegetasi hutan akan memfiksasi CO2 melalui proses fotosintesis. Jika hutan terganggu maka siklus CO2

Lebih terperinci