PETUNJUK PRAKTIKUM TOKSIKOLOGI. Penyusun : Fransiska Maria C., S. Farm., Apt. Ika Puspita Dewi, S.Farm., Apt. Diana Holidah, M.Farm., Apt.

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PETUNJUK PRAKTIKUM TOKSIKOLOGI. Penyusun : Fransiska Maria C., S. Farm., Apt. Ika Puspita Dewi, S.Farm., Apt. Diana Holidah, M.Farm., Apt."

Transkripsi

1 PETUNJUK PRAKTIKUM TOKSIKOLOGI Penyusun : Fransiska Maria C., S. Farm., Apt. Ika Puspita Dewi, S.Farm., Apt. Diana Holidah, M.Farm., Apt. Laboratorium Farmakologi & Toksikologi Bagian Farmasi Klinik Fakultas Farmasi Universitas Jember 2012

2 BAB I PENDAHULUAN I.1.TUJUAN Mahasiswa mampu mengenali lingkup, tata tertib, tata cara pembuatan laporan, dan sistem penilaian praktikum toksikologi. I.2. LINGKUP PRAKTIKUM Praktikum toksikologi merupakan bagian dari mata pelajaran toksikologi. Karena itu, praktikum ini diberikan dengan tujuan agar para mahasiswa mampu lebih memahami berbagai teori dasar toksikologi yang telah mereka peroleh, di samping mampu memahami asas umum uji toksikologi dan menjalankan beberapa teknik uji toksikologi. Praktikum ini erat kaitannya dengan pokok bahasan faktor-faktor yang mempengaruhi ketoksikan, tolok ukur ketoksikan (kualitatif dan kuantitatif), terapi antidot, dan uji toksikologi (tak khas dan khas) dalam mata kuliah toksikologi. Untuk itu, para mahasiswa dilatih menjalankan praktek beberapa lingkup uji toksikologi, yakni uji ketoksikan akut, uji ketoksikan subkronis, uji keteratogenikan, dan uji daya antidot. I.3. TATA TERTIB Agar para mahasiswa dapat menjalankan praktikum toksikologi sesuai dengan tujuan yang dicanangkan, seharusnya para mahasiswa memperhatikan tata tertib berikut: a. Sepuluh menit sebelum waktu praktikum dimulai, mahasiswa sudah berada di tempat praktikum untuk absensi dan mempersiapkan peralatan yang diperlukan. b. Mahasiswa harus mengenakan jas praktikum c. Mahasiswa harus manyerahkan tugas atau laporan praktikum sebelumnya. d. Mahasiswa harus mendengarkan dan mengikuti petunjuk yang diberikan oleh pembimbing. e. Mahasiswa menjalankan praktikum dengan tenang, hati-hati, dan penuh perhatian. f. Mahasiswa tidak meninggalkan praktikum tanpa seijin pembimbing. g. Dilarang makan dan minum di dalam laboratorium h. Setelah praktikum selesai, mahasiswa harus membersihkan peralatan yang digunakan dan mengembalikan ke tempat semula, serta mengesahkan laporan sementara kepada pembimbing. I.4. TATA CARA PEMBUATAN LAPORAN Laporan praktikum toksikologi dibuat secara tertulis, mengikuti urutan tata tulis sebagai berikut: (1) pendahuluan yang berisi tujuan dan landasan teori percobaan terkait; (2) tata cara percobaan yang berisi bahan dan alat serta cara kerja; (3) analisis hasil yang berisi cara analisis kualitatif dan kuantitatif terhadap data tolok ukur kualitatif dan kuantitatif yang diperoleh, serta analisis statistik yang digunakan; (4) hasil dan pembahasan yang berisi ulasan tentang hasil percobaan yang diperoleh bila dibandingkan dengan hasil teoritis atau laporan sejenis, kesulitan yang dialami selama melakukan percobaaan, saran-saran untuk memperbaiki kesalahan atau mengatasi kesulitan yang dihadapi dan (5)kesimpulan. Bagian Farmasi Klinik Fakultas Farmasi Universitas Jember 2

3 Laporan tertulis tersebut diberi sampul yang berisi judul percobaan, golongan dan nama serta nomor mahasiswa anggota kelompok. I.5. SISTEM PENILAIAN Nilai praktikum toksikologi terdiri dari nilai tes atau tugas prapraktikum (25%), laporan atau diskusi hasil praktikum (35%), dan tes atau diskusi pascapraktikum (responsi) (40%). Bagian Farmasi Klinik Fakultas Farmasi Universitas Jember 3

4 BAB II TATA CARA PENGAMBILAN SAMPEL BIOLOGIS II.1.TUJUAN Mahasiswa mengenal tata cara pengambilan sampel biologis. II.2 PENDAHULUAN Cuplikan hayati yang sering diambil dalam uji toksikologi meliputi darah, urin, dan berbagai organ tubuh seperti lambung, usus, hati, limpa, pankreas, ginjal, uterus, ovarium, testis, jantung, paru, tiroid, dan otak. II.2.1 Pengambilan darah Dilakukan dengan cara sebagai berikut: a. Pegang mencit b. Ambil pipa kapiler dan siapkan tabung penampung darah berheparin. c. Tusukkan kapiler perlahan-lahan pada vena optalmikus yang terdapat di sudut mata. d. Putar kapiler perlahan-lahan sampai darah keluar. e. Tampung darah yarg keluar pada tabung. f. Setelah volume darah yang diperoleh dianggap cukup, cabut pipa kapiler dan bersihkan sisa darah yang terdapat di mata dengan kapas steril. g. Simpan darah di almari es 20 C, sampai penetapan dikerjakan. II.2.2 Pengorbanan hewan uji Sebelum pengambilan berbagai organ tubuh, hewan uji biasanya dikorbankan terlebih dahulu. Ada beberapa cara pengorbanan mencit, yakni cara kimia (eter atau karbondioksida dalam wadah khusus, atau suntikan pentobarbital Na mg/kg BB) dan cara fisik (dislokasi leher). Pengorbanan mencit cara fisik, dapat dikerjakan sebagai berikut : a. Pegang mencit b. Tempatkan suatu penahan (misal pensil) pada tengkuk mencit, seperti pada gambar c. Tarik ekor mencit dengan kuat sampai tulang leher terasa terlepas. Cara fisik lain yang sering dikerjakan ialah dengan mengganti fungsi pensil dengan tangan. II.2.3 Pengambilan organ Dilakukan dengan cara berikut: a. Korbankan mencit dengan cara fisik. b. Tempatkan mencit pada meja atau tempat bedah/fiksasi. c. Terlentangkan mencit, rentangkan keempat kakinya dan tancap dengan jarum. d. Basahi dengan air di daerah di sekitar perut. e. Angkat kulit perut dengan pinset, kemudian potong dengan gunting tepat di bawah pinset. f. Lanjutkan pemotongan ke arah kiri dan kanan, serong ke atas menuju pangkal kaki depan, dan serong ke bawah menuju pangkal kaki belakang. Dengan cara demikian, sekarang terlihat isi perut dan rongga dada, meliputi usus, hati, dan diafragma. Bagian Farmasi Klinik Fakultas Farmasi Universitas Jember 4

5 g. Selanjutnya, angkat seluruh bagian usus dan rentangkan. Potong lambung, duodenum, jejenum, dan ileum. Bersihkan isi lambung dan usus tersebut, kemudian masukkan ke dalam pot yang berisi formalin 10%. h. Berikutnya buka rongga dada, pisahkan hati yang melekat. Balikkan hati dan potong pada jaringan ikatnya. Bersihkan dengan air dan masukkan pot berformalin 10%. i. Setelah hati terambil, akan terlihat limfa, pankreas, dan ginjal. Potong limfa dan pankreas yang melekat di bawah limfa. Ambil pula ginjal yang menyerupai biji kopi. Uterus, ovarium atau testis dapat diambil dari bawah perut. Bersihkan dan masukkan pot berformalin. j. Dalam rongga dada terdapat jantung dan paru di bawah tulang rusuk. Buka tulang rusuk, potong jantung dan ambil parunya, masukkan ke dalam pot berformalin. k. Berikutnya buka kulit di atas rongga dada sampai pangkal trakea. Kelenjar tiroid terlekat pada pangkal trakea tersebut (jumlah dua, warna lebih bening). Pengambilan tiroid dapat dilakukan dengan memotong pangkal trakea yang mengandung tiroid, atau kelenjar tiroidnya saja. Bungkus tiroid dengan kertas perkamen sebelum dimasukkan ke dalam pot berformalin. l. Terakhir pengambilan otak. Untuk itu, buka kulit kepala, kemudian potong pangkal lehernya sampai terlihat medula spinalisnya. Lanjutkan pemotongan pada garis tengah batok kepala. Ambil tulang tengkorak ke arah kiri dan kanan. Segera terlihat otak besar dan kecil berwarna putih di bawah tulang tengkorak. Dengan hati-hati ambil keseluruhan otak dari rongga kepala, masukkan ke dalam pot berformalin. Gambar II.1 Pengorbanan mencit secara fisik (dislokasi leher) Bagian Farmasi Klinik Fakultas Farmasi Universitas Jember 5

6 BAB III ASAS UMUM UJI TOKSIKOLOGI III. l. TUJUAN Mahasiswa mampu memahami jenis uji toksikologi dan berbagai faktor yang dapat mempengaruhi kesahihan (validitas) uji toksikologi. III. 2. PENDAHULUAN Untuk keperluan penapisan spektrum efek toksik suatu senyawa, diperlukan serangkaian uji toksikologi. Dan tentunya agar masing-masing jenis uji toksikologi yang dikerjakan kesahihannya dapat diandalkan, perlu dilakukan pengendalian terhadap aneka faktor yang dapat mempengaruhi kesahihan itu. Karena itu, sebelum menjalankan praktek uji toksikologi, selayaknya para mahasiswa paham terlebih dahulu terhadap aneka jenis uji toksikologi dan berbagai faktor yang mungkin dapat mempengaruhi kesahihan hasil ujinya. Pemahaman terhadap jenis uji toksikologi, berguna sekali untuk mendapatkan pengetahuan tentang sasaran dan luaran masing-masing jenis uji, dan pemahaman terhadap aneka ragam faktor yang mungkin mempengaruhi uji toksikologi bermanfaat sekali sebagai sumber pengetahuan tentang berbagai ubahan yang perlu diperhatikan dalam merancang dan menjalankan suatu uji toksikologi, utamanya berkaitan dengan upaya mengecilkan berbagai kesalahan yang mungkin timbul atau membesarkan kesahihan hasil uji. Uraian berikut akan memberikan gambaran kepada para mahasiswa tentang penggolongan uji toksikologi serta berbagai faktor yang perlu diperhatikan sebelum menjalankan uji toksikologi. III. 3. PENGGOLONGAN UJI TOKSIKOLOGI Uji toksikologi dibagi menjadi dua golongan, yakni uji ketoksikan tak khas dan uji ketoksikan khas. Dimaksud dengan uji ketoksikan tak khas ialah uji toksikologi yang dirancang untuk mengevaluasi keseluruhan atau spektrum efek toksik suatu senyawa pada aneka ragam jenis hewan uji. Termasuk dalam uji ketoksikan tak khas meliputi uji ketoksikan akut, subkronis, dan kronis. Beda antara ketiga jenis uji tersebut terletak pada sifat dan lama pemberian atau pemejanan senyawa uji, serta sasaran dan luaran ujinya. Uji ketoksikan akut, dikerjakan untuk menemukan potensi ketoksikan akut (kisaran dosis letal atau toksik) suatu senyawa yang diberikan atau dipejankan kepada subjek uji dengan takaran atau dosis tunggal. Selain itu, uji ini juga digunakan untuk menemukan spektrum efek toksik senyawa atas beberapa fungsi vital tubuh, utamanya yang berkaitan dengan penyebab kematian seperti gerak, perilaku, dan pernapasan. Berbeda dengan uji ketoksikan akut, uji ketoksikan subkronis dan kronis, pada dasarnya dikerjakan untuk menentukan spektrum efek toksik senyawa atas semua organ dan kelenjar tubuh, setelah pemberian takaran atau dosis berulang sampai tiga bulan (subkronis), dan lebih dari tiga bulan atau pada dasarnya sepanjang umur subyek uji (kronis). Selain itu, kedua uji ini juga untuk menentukan apakah spektrum efek toksik yang timbul berkerabat dengan takaran atau dosis senyawa uji, dan sejauh mana ketimbalbalikan (reversibilitas) spektrum efek toksik tersebut. Bagian Farmasi Klinik Fakultas Farmasi Universitas Jember 6

7 Dimaksud dengan uji ketoksikan khas ialah uji toksikologi yang dirancang untuk mengevaluasi secara rinci efek toksik yang khas suatu senyawa atas fungsi organ atau kelenjar tertentu pada aneka ragam subyek atau hewan uji. Termasuk dalam uji ketoksikan khas ini meliputi uji potensiasi, uji reproduksi, uji kemutagenikan, uji kekarsinogenikan, uji kulit dan mata, serta uji perilaku. Uji potensiasi dikerjakan untuk menentukan kemungkinan peningkatan efek toksik suatu senyawa dengan hadirnya senyawa lain. Misalnya untuk mengevaluasi ketoksikan sediaan obat kombinasi. I Uji reproduksi, dibagi lagi menjadi tiga segmen, yakni uji kesuburan (fertilitas), uji keteratogenikan, dan uji pranatal serta pascanatal. Pada dasarnya, uji reproduksi ini dikerjakan untuk menentukan apakah suatu senyawa dapat mempengaruhi kapasitas reproduksi subyek atau hewan uji tertentu, meliputi efek atas kesuburan, efek embriotoksik, dan efek teratogenik (cacat bawaan) sampai generasi ketiga subyek uji. Uji kemutagenikan dikerjakan untuk menentukan pengaruh suatu senyawa atas sistem kode genetik. Dengan demikian, uji ini dapat digunakan untuk mengevaluasi kemungkinan suatu senyawa menyebabkan perubahan, luka, atau cacat hayati yang sifatnya menurun. Uji kekarsinogenikan dikerjakan untuk menentukan kemampuan suatu senyawa dalam menimbulkan tumor atau kanker pada aneka ragam jenis hewan uji, baik jangka pendek atau jangka panjang. Uji kulit dan mata, pada dasarnya dikerjakan untuk menentukan pengaruh setempat suatu senyawa bila bersentuhan langsung dengan kulit atau mata. Efek toksik setempat tersebut, dapat berupa iritasi primer, korosi, sensitisasi kutan, fototoksis, dan fotoalergi. Karena itu, termasuk uji kulit dan mata meliputi uji iritasi primer kulit, uji sensitisasi kutan, dan uji fototoksik serta uji fotoalergi. Uji perilaku, dikerjakan untuk menentukan pengaruh suatu senyawa atas keaktifan lokomotor subyek atau hewan uji tertentu. Untuk itu terdapat beberapa jenis uji, yakni uji roda berputar, uji lapangan terbuka, uji sangkar hewan piaraan, uji sangkar rumit, dan uji khas. Pada dasarnya, semua jenis uji perilaku ini, bermanfaat guna mengetahui pengaruh atau efek toksik suatu senyawa atas sistem syaraf pusat atau otak. Hasil yang diperoleh dari serangkaian uji toksikologi, baik tak khas maupun khas, selanjutnya secara keseluruhan bermanfaat sebagai dasar evaluasi keamanan praklinik, dan lebih jauh untuk memperkirakan resiko penggunaan suatu senyawa oleh atau pemejanannya pada diri manusia. Karena itu, hasil uji toksikologi harus memiliki kesahihan yang tinggi. Upaya ke arah itu dapat dicapai, utamanya bila para mahasiswa mampu memahami aneka ragam faktor atau ubahan yang dapat mempengaruhi kesahihan uji toksikologi. III. 4. ANEKA RAGAM FAKTOR PENENTU KESAHIHAN UJI TOKSIKOLOGI Dalam menjalankan uji toksikologi apa pun, terlibat beberapa kegiatan utama, yakni memberikan atau memejankan sediaan bahan/senyawa uji pada beberapa kelompok subyek uji tertentu melalui jalur pemberian tertentu, mengamati langsung perubahan patologis dan atau mengambil cuplikan hayati guna mendapatkan data tolok ukur kualitatif dan kuantitatif, menganalisis atau mengolah kedua jenis data tersebut guna memperoleh hasil uji yang berupa informasi tentang ketoksikan sedian uji, mengevaluasi hasil uji guna memperoleh Bagian Farmasi Klinik Fakultas Farmasi Universitas Jember 7

8 kesimpulan yang berupa perkiraan batas aman dan risiko penggunaan atau pemejanannya pada manusia. Bila disimak daur atau sistem uji toksikologi di atas, terlihat ada beberapa komponen sistem yang saling terkait dalam mendukung keberhasilan uji toksikologi. Dengan perkataan lain, keabsahan hasil uji toksikologi, ditentukan oleh kecermatan dalam mempersiapkan dan menerapkan masing-masing komponen itu. Bila demikian, dapat dinyatakan bahwa beberapa komponen sistem uji toksikologi, utamanya aneka tata cara yang terkait dengan penyiapan dan penerapan rancangan uji, sediaan uji, subyek uji, pengamatan dan pengambilan cuplikan hayati, analisis data, evaluasi hasil uji, dan penarikan kesimpulan, merupakan faktor penentu kesahihan uji toksikologi. III Rancangan uji Secara keseluruhan, rancangan uji merupakan faktor yang sangat menentukan kesahihan uji toksikologi. Karena keberhasilan uji toksikologi, tak akan lepas dan ketepatan pemilihan dan penerapan metodologi, sesuai dengan tujuan masing-masing jenis uji toksikologi yang telah ditetapkan. Dan dalam memilih metodologi, seharusnya telah dipertimbangkan berbagai segi yang berkaitan dengan pengelompokan subyek uji, pemilihan subyek dan penentuan jumlahnya, keterubahan (variabilitas) antar subyek, keterubahan dalam subyek, keterubahan waktu, dan keterubahan karena perlakuan. Selain itu, pilihan metode analisis statistik yang akan diterapkan pun, sebenarnya telah melekat pada rancangan uji yang digunakan. Dengan demikian, kekeliruan dalam memilih dan menerapkan suatu rancangan uji, jelas besar sekali pengaruhnya terhadap kesahihan uji toksikologi yang dikerjakan. III Faktor sediaan uji Sebelum sediaan uji diberikan atau dipejankan pada subyek uji tertentu, tentunya timbul beberapa pertanyaan yang terkait dengan bentuk sediaan, stok sediaan, jalur pemberian, besar takaran atau dosis, volume pemberian, kekerapan dan lama pemberian, serta saat pemberian. Untuk keperluan uji toksikologi, bentuk sediaan uji sedapat mungkin diusahakan sebagai larutan, agar dapat diberikan atau dipejankan melalui semua jenis jalur pemberian. Penggunaan suspensi atau emulsi, sebaiknya dihindari, kecuali bila pemberiannya melalui oral. Untuk keperluan tersebut di atas, informasi tentang kelarutan bahan uji, akan membantu sekali dalam proses menyiapkan bentuk sediaan uji. Bila bahan uji larut dalam air, buat sediaan larutan dalam air atau garam fisiologis. Bila kelarutan bahan uji dalam air terbatas, buat sediaan larutan dalam minyak nabati (misal minyak jagung) atau dalam pelarut organik (misal propilenglikol 40-50% dalam air atau garam fisiologis). Dan, bila bahan uji tidak larut dalam air, buat sediaan suspensi dalam tragakan, CMC, atau tilosa 0,1-1% (untuk pemberian oral). Cara lain yang dapat disarankan, tingkatkan kelarutan bahan uji dengan suatu polimer, biasanya polivinilpirolidon (PVP) BM Utamanya untuk bahan uji yang berupa obat tradisional, cara peningkatan kelarutan di atas, dapat dikerjakan sebagai berikut (Chung dkk, 1985): a. Ekstrak tak larut dalam air, larutkan dalam metanol, etanol, atau aseton (misal 10 mg ekstrak dalam 1000 ml pelarut). Bagian Farmasi Klinik Fakultas Farmasi Universitas Jember 8

9 b. Larutkan PVP lebih kurang 4-5 kali berat ekstrak dalam pelarut yang digunakan pada butir a sesedikit mungkin. c. Campur hasil pada butir a dan butir b di atas. d. Ambil pelarutnya dengan cara evaporasi dengan alat evaporator. Pertama kali dengan kecepatan putaran yang lambat, berikutnya dengan kecepatan penuh. Hasil akhir butir d ini, merupakan produk yang larut dalam air. Untuk bahan uji yang berupa zat kimia murni, biasanya kelarutannya dalam air dapat ditingkatkan dengan melarutkannya dalam larutan PVP %. Penyiapan bentuk sediaan bahan uji seoptimal mungkin, utamanya bermanfaat dalam upaya memelihara kehomogenan sediaan uji, sehingga besar masukan bahan uji pada subyek uji, dapat selalu dipertahankan keajegannya. Penyiapan stok sediaan uji, juga perlu dipertimbangkan masak-masak, utamanya untuk keperluan uji toksikologi yang berjangka panjang. Idealnya, stok sediaan uji dibuat sekaligus, secukupnya untuk perlakuan selama masa penelitian berlangsung, agar keseragaman besar dosis yang diberikan pada subyek uji, dapat selalu dipertahankan. Untuk itu setelah digunakan, stok sediaan perlu disimpan dalam almari pendingin -20 C. Namun perlu dicatat, pendinginan hanya mencegah pembusukan dan timbulnya jamur, tetapi tidak dapat menjamin tercegahnya peruraian zat aktif yang terkandung di dalam sediaan. Karena itu, kecuali stabilitas zat akfif dalam sediaan uji terkait untuk masa penelitian tertentu telah ditegaskan, stok sediaan uji lebih baik selalu dibuat baru. Pilihan jalur pemberian, juga perlu diperhatikan. Dalam hal ini, yang perlu diingat ialah bahwa hasil uji toksikologi akan dimanfaatkan untuk memperkirakan keamanan dan risiko penggunaan bahan uji pada diri manusia. Karena itu, jalur pemberian terpilih, harus melibatkan jalur pemberian sediaan uji yang disarankan untuk manusia. Selain itu, yang lebih penting, teknik pemberiannya jangan sampai keliru. Perubahan patologis atau kematian hewan uji, dapat terjadi karena teknik pemberian yang keliru, sehingga memungkinkan terjadinya kesalahan dalam menginterpretasi dan mengevaluasi hasil uji. Pada umumnya, besar takaran atau dosis yang diberikan pada subyek atau hewan uji dalam uji toksikologi melibatkan tiga peringkat dosis atau lebih, yang berkisar dari dosis terendah yang sama sekali tidak menimbulkan efek toksik yang berarti, sampai dengan dosis tertinggi yang melibatkan efek toksik yang berarti pada sekelompok hewan uji. Dan khusus untuk obat, dosis terendah yang diberikan, sebaiknya meliputi dosis terapi manusia. Hal ini dapat diperhatikan dengan beberapa cara. Pertama, berdasarkan harga ED 50, senyawa uji dari hasil uji farmakologi dengan hewan uji dan jalur pemberian yang sama. Kedua, berdasarkan harga LD, senyawa uji pada hewan uji yang sama (5-10% LD,50 intravena). Ketiga, berdasarkan kelipatan dosis yang disarankan untuk digunakan pada manusia (biasanya 2-10 kali dosis manusia). Dan keempat, mengikuti tabel konversi perhitungan dosis antar jenis hewan, berdasarkan nisbah (ratio) luas permukaan badan mereka, seperti terlihat pada tabel III.1. Bagian Farmasi Klinik Fakultas Farmasi Universitas Jember 9

10 Tabel III.1. Konversi perhitungan dosis antar jenis hewan (Laurence & Bacharach 1964) Mencit 20 g Tikus 200 g Marmot 400 g Kelinci 1,5 kg Kera 4 kg Anjing 12 kg Manusia 70 kg Mencit 20 g Tikus 200 g Marmot 400 g Kelinci 1,5 kg Kera 4 kg Anjing 12 kg Manusia 70 kg 1,0 7,0 12,25 27,8 64,1 124,2 387,9 0,14 1,0 1,74 3,9 9,2 17,8 56,0 0,08 0,57 1,0 2,25 5,2 10,2 31,5 0,04 0,25 0,44 1,0 2,4 4,5 14,2 0,016 0,11 0,19 0,42 1,0 1,9 6,1 0,008 0,06 0,10 0,22 0,52 1,0 3,1 0,0026 0,018 0,031 0,07 0,16 0,32 1,0 Contoh perhitungan : Dosis terapi parasetamol untuk orang berat 70 kg adalah 500 mg. Berapa perkiraan untuk tikus? Jawab : Lihal label III.1., konversi dosis manusia (70 kg) ke tikus (200 g) = 0, 018 Dosis terapi parasetamol-tikus (200 g) = 0,018 X 500 mg = 9 mg/200 g BB = 45 mg/kg BB Perlu dicatat, besar takaran dosis yang diberikan, hendaknya selalu dikaitkan dengan batas volume maksimum yang dapat diterima oleh subyek atau hewan uji. Tabel III.2. Volume maksimal larutan sediaan uji yang dapat diberikan pada beberapa hewan uji (Ritschel, 1974) Jenis hewan uji Volume maksimal (ml) sesuai jalur pemberian i.v i.m i.p s.c p.o Mencit (20-30 g) 0,5 0,05 1,0 0,5 1,0 1,0 Tikus (100 g) 1,0 0, ,0 Hamster (50 g) - 0, ,5 2,5 Marmot (250 g) - 0, ,0 10,0 Kelinci (2,5 kg) , ,0 Kucing (3 kg) , ,0 Anjing (5 kg) , ,0 100,0 Bagian Farmasi Klinik Fakultas Farmasi Universitas Jember 10

11 Pada dasarnya, volume pemberian disarankan tidak melebihi setengah kali volume maksimal yang boleh diberikan pada hewan uji, utamanya untuk pemberian berulang dalam jangka panjang seperti pada uji ketoksikan subkronis, kronis, dan kekarsinogenikan. Bahkan untuk mencit dan tikus, volume pemberian disarankan tidak melebihi 0,005 ml/g BB. Hal ini didasarkan pada perkiraan bahwa harga LD 50 air dan garam fisiologis, kurang lebih berturutturut 0,04 ml/g dan 0,068 ml/g BB. Dan yang lebih penting, bila pemberian sediaan uji melalui jalur oral, volume yang diberikan pada sekelompok hewan uji sama besarnya.dalam hal ini, agar dosis yang diberikan besarnya sama, buatlah variasi kadar sediaan uji (keseragaman dosis disesuaikan dengan variasi kadar sediaan uji). Bila pemberian sediaan uji melalui jalur parenteral, volume yang diberikan pada sekelompok hewan uji dapat bervariasi sesuai dengan berat badan masing-masing. Dalam hal ini, kadar sediaan uji dibuat sama (keseragaman dosis disesuaikan dengan variasi volume pemberian). Tabel III.2. memuat batas volume maksimum yang boleh diberikan pada hewan uji. Kekerapan, lama, dan saat pemberian sediaan uji juga perlu dipertimbangkan masak-masak. Untuk keperluan uji toksikologi, pada umumnya sediaan uji diberikan dengan kekerapan sekali sehari, kecuali untuk kasus-kasus tertentu dapat diberikan lebih dari sekali sehari. Lama pemberian sediaan uji, disesuaikan dengan masing-masing jenis uji toksikologi. Namun, perlu diperhatikan bahwa lama pemberian sediaan uji pada hewan uji ada kaitannya dengan lama perkiraan penggunaannya pada manusia. Tabel III.3. memuat kekerabatan antara lama pemberian, masa hidup hewan dan kesetaraannya dengan manusia. Selain itu perbedaan kekerapan dan lama pemberian dapat mengakibatkan perbedaan wujud efek toksik yang ditimbulkan. Demikian pula halnya dengan saat pemberian, juga berpengaruh terhadap wujud efek toksik yang ditimbulkan oleh sediaan uji. Hal ini utamanya berkaitan dengan irama diurnal, irama sirkadian dan kerentanan suatu organ terhadap ketoksikan senyawa uji. Karena itu, pemberian sediaan uji seharusnya dilakukan pada waktu yang sama (berkaitan dengan jam biologis, pagi, siang, sore, malam) atau tepat pada masa kritis perkembangan organ (misalnya stadium organogenesis masa bunting, dalam uji keteratogenikan). Tabel III. 3. Kekerabatan waktu antara pemberian/pemejanan senyawa pada hewan uji, masa hidup hewan uji, dan kesetaraan waktu dengan manusia (Benitz, 1970) Lama uji (bulan) Masa hidup % Tikus Kelinci Anjing Kera Setara manusia (bulan) Masa hidup % Setara manusia (bulan) Masa hidup % Setara manusia (bulan) Masa hidup % Setara manusia (bulan) 1 4,1 34 1,5 12 0,82 6,5 0,55 4,5 2 8,2 67 3,0 24 1,6 14 1, ,5 36 2,5 20 1, ,0 72 4,9 40 3, ,8 81 6, Bagian Farmasi Klinik Fakultas Farmasi Universitas Jember 11

12 III Faktor subyek uji Subyek uji yang digunakan untuk uji toksikologi adalah hewan uji sehat. Meskipun demikian, hasil ujinya tidak akan dimanfaatkan untuk mengevaluasi ketoksikan senyawa uji pada hewan uji yang bersangkutan, melainkan untuk memperkirakan batas aman dan resiko penggunaan atau pemejanan pada manusia. Selain itu, analisis hasil uji toksikologi, melibatkan analisis statistik, sehingga untuk memenuhi kebermaknaan statistik tertentu, diperlukan jumlah hewan uji yang memadai. Dan tentunya, masing-masing hewan uji memiliki keterbatasan dalam hal penerimaan terhadap masukan senyawa uji. Bila demikian, beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dengan seksama dalam kaitannya dengan subyek uji meliputi pemilihan, kondisi, jumlah, dan keterbatasan ukuran hewan uji yang akan digunakan. Pemilihan hewan uji, idealnya harus dipilih yang semirip mungkin dengan manusia, utamanya dalam hal absorpsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi terhadap senyawa uji. Hal ini dilakukan untuk memperkecil keterubahan respon antar jenis dan dalam satu jenis hewan uji terhadap efek senyawa uji. Suatu hal yang sulit dikerjakan, apalagi bila bahan ujinya berupa obat tradisional yang mengandung aneka ragam zat aktif. Karena itu, pada umumnya hewan uji yang digunakan sebagai subyek uji toksikologi lebih dari dua jenis hewan. Hal ini disarankan dengan asumsi bahwa bila wujud efek toksik suatu senyawa diperlihatkan pada beberapa jenis hewan uji, kemungkinan besar juga akan terwujud pada diri manusia. Kondisi hewan uji yang akan digunakan, benar-benar harus berada dalam keadaan sehat. Bila tidak, niscaya perkembangan patologis yang terjadi selama uji toksikologi berlangsung, sulit dievaluasi sumber penyebabnya, berasal dari senyawa uji atau kondisi bawaan hewan ujinya. Karena itu, pemeliharaan dan penanganan hewan uji sebelum dan selama masa uji berlangsung harus benar-benar diperhatikan. Jumlah hewan uji yang akan digunakan, juga harus dipertimbangkan. Hal ini berkaitan dengan kebermaknaan statistik sebagai salah satu landasan penarikan kesimpulan hasil uji dan prinsip ekstrapolasi kejadiaanya pada diri manusia. Karena itu jumlah hewan uji yang digunakan harus disesuaikan dengan metode statistika yang akan diterapkan untuk masing-masing jenis uji toksikologi. Keterbatasan ukuran hewan uji berkaitan degan keragaman berat, luas permukaan badan, kapasitas organ, dan volume cairan badan antar jenis hewan uji. Keberagaman tersebut tentunya berpengaruh terhadap daya terima maupun kerentanan hewan uji terhadap masukan dan ketoksikam senyawa uji. Karena itu volume pemberian dosis pada hewan uji harus disesuaikan dengan batas volume maksimum yang boleh diberikan pada hewan uji tertentu, sebagaimana telah diuraikan pada bab sebelumnya. Bila tidak, interpretasi dan evaluasi terhadap perkembangan patologis yang terjadi selama masa uji sulit ditegaskan penyebabnya. III Faktor pengamatan dan pengambilan cuplikan Dalam uji taksikologi, upaya mendapatkan data tolok ukur kualitatif maupun kuantitatif memerlukan aneka ragam pengamatan langsung terhadap aneka perubahan yang terjadi pada diri hewan uji (misal gejala klinis) maupun pengambilan aneka ragam cuplikan hayati (misal darah, urin, organ). Kondisi patologis yang disimpulkan, mungkin tidak sesuai dengan kondisi yang sebenarnya, karena tidak diikutinya tata cara baku pengamatan dan Bagian Farmasi Klinik Fakultas Farmasi Universitas Jember 12

13 pengambilan cuplikan hayati. Karena itu, ketaatan terhadap tata cara baku pengamatan maupun pengambilan cuplikan untuk masing-masing jenis uji toksikologi merupakan suatu keharusan. III Faktor analisis hasil, evaluasi hasil, dan penarikan kesimpulan Bagaimanapun cermatnya kita mengendalikan berbagai faktor yang terkait dengan rancangan uji, sediaan uji, subyek uji, serta pengamatan dan pengambilan cuplikan hayati, tetapi bila tata cara analisis hasil, evaluasi hasil, dan penarikan kesimpulan baik secara kualitatif maupun kuantitatif tidak dikerjakan dengan seksama sesuai dengan kriteria baku dan tujuan masing-masing jenis uji toksikologi, kesahihan hasil ujinya menjadi kurang andal. Suatu hal yang perlu dicermati oleh para mahasiswa. Telah dipaparkan aneka ragam faktor yang dapat mempengaruhi kesahihan uji toksikologi. Karena itu, sebelum para mahasiswa memulai praktikum, sebaiknya mau mempelajari aneka ragam faktor tersebut dan mampu menerapkannya dalam praktek sesungguhnya. III. 5. PUSTAKA ACUAN Benitz, K.F Measurement of Chronic Toxicity. In. Paget, G.E. (Ed.). Methods in Toxicology. Blackwell Scientific Publications: Oxford. Chung, K.S., Lec, E.B. & Walter, D.P Laboratory Manual. Regional Workshop on the people antivertility evaluation of natural products. Natural Products Research Institute-Seoul National University : Seoul. Donatus, I.A Toksikologi Pangan. Edisi I. PAU Pangan dan Gizi Universitas Gadjah Mada : Yogyakarta. Laurence, D.R. & Bacharach, A.L Evaluation of Drug Activities. Pharmacometrics Loomis, T.A Essentials of Toxicology. 3rd ed. Lee & Febiger: Philadelphia. atau Edisi terjemahan (Imono Argo Donatus, alih bahasa). Toksikologi Dasar. Edisi III. Ikip Press : Semarang. Ritschell, W.A Laboratory Manual of Biopharmaceutics. Drug Intelligence Publications : Hamilton. World Health Organization Principles for Pre-clinical Testing of Drug Safety, WHO Technical Report Series, 341:3-22 World Health Organization Environmental Health Criteria 6 : Principles and Method for Evaluating the Toxicity of Chemicals. Part I. WHO: Geneva. Chemicals. Bagian Farmasi Klinik Fakultas Farmasi Universitas Jember 13

14 BAB IV PERCOBAAN I UJI KETOKSIKAN AKUT IV. 1. TUJUAN Mahasiswa mampu memahami tujuan, sasaran, tata cara pelaksanaan, luaran, dan manfaat uji ketoksikan akut suatu obat. IV. 2. PENDAHULUAN Ketoksikan akut adalah derajat efek toksik suatu senyawa yang terjadi dalam waktu singkat setelah pemberiannya dalam dosis tunggal. Batasan waktu singkat disini ialah rentang waktu selama 24 jam selama pemberian senyawa. Bila demikian, uji ketoksikan akut dapat ditakrifkan sebagai uji ketoksikan suatu senyawa yang diberikan atau dipejankan dengan dosis tunggal pada hewan uji tertentu, dan pengamatannya dilakukan selama masa 24 jam. Tujuan utama uji ketoksikan akut suatu obat ialah untuk menetapkan potensi ketoksikan akut, yakni kisaran dosis letal atau dosis toksik obat terkait pada satu jenis hewan uji atau lebih. Selain itu, uji ini juga ditujukan untuk menilai berbagai gejala klinis yang timbul, adanya efek toksik yang khas, dan mekanisme yang memerantarai terjadinya kematian hewan uji. Jadi, dalam uji ketoksikan akut, data yang dikumpulkan berupa tolok ukur ketoksikan kuantitatif (kisaran dosis letal/toksik) dan tolok ukur ketoksikan kualitatif (gejala klinis, wujud, dan mekanisme efek toksik). Tolok ukur kuantitatif yang paling sering digunakam untuk menyatakan kisaran dosis letal atau toksik, berturut-turut adalah dosis letal tengah (LD 50 ) atau dosis toksik tengah (TD 50 ).Yakni, suatu besaran yang diturunkan secara statistik, guna menyatakan dosis tunggal suatu senyawa yang diperkirakan dapat mematikan atau menimbulkan efek toksik yang berarti pada 50% hewan uji. Terdapat tiga metode yang paling sering digunakan untuk menghitung harga LD, yakni metode grafik Lithfield & Wilcoxon, metode kertas grafik probit logaritma Miller dan Tainter, dan metode rata-rata bergerak Thompson-Weil, yang pada dasarnya didasarkan pada kekerabatan antara peringkat dosis dan % jumlah hewan yang menunjukkan respon. Pada dasarnya uji ketoksikan akut suatu obat merupakan salah satu mata rantai uji toksikologi dalam kaitannya dengan penilaian keamanan obat terkait bila digunakan oleh manusia. Jadi, hasil uji ketoksikan akut, terutama potensi ketoksikannya (LD 50 ), bersama-sama dengan hasil uji potensi keefektifan (ED 50 ), bermanfaat sekali untuk mengevaluasi batas aman dan indeks terapi (LD 50 /ED 50 ) obat terkait. Selain itu, pengetahuan tentang potensi ketoksikan akut juga dapat dimanfaatkan untuk merancang uji ketoksikan subkronis/kronis, maupun untuk memperkirakan dosis awal atau dosis terapi penelitian yang lain (5-10% LD 50 ). Berikut ini para mahasiswa akan diperkenalkan pada tata cara pelaksanaan baku uji ketoksikan akut suatu obat. Bagian Farmasi Klinik Fakultas Farmasi Universitas Jember 14

15 IV.3. TATA CARA PELAKSANAAN Pemilihan hewan uji Hewan uji yang digunakan sekurang-kurangnya dua jenis hewan, lebih disarankan empat jenis, terdiri dari roden dan nirroden. baik jantan maupun betina, satu galur, dewasa sehat, dan beratnya seragam (variasi yang diperbolehkan lebih kurang 10%). Pengelompokan hewan uji Sejumlah hewan uji terpilih, selanjutnya diadaptasikan di laboratorium paling tidak selama satu minggu. Penimbangan berat badan dilakukan satu hari sebelum perlakuan. Kemudian hewan uji dibagi menjadi beberapa kelompok, sesuai dengan jumlah peringkat dosis senyawa uji yang akan diberikan, ditambah satu kelompok kontrol negatif. Masing-masing kelompok uji paling tidak terdiri lima ekor hewan. Tata cara pemberian/pemejanan dosis sediaan uji Sedapat mungkin senyawa uji dipersiapkan sebagai sediaan larutan. Dosis sediaan uji yang diberikan, paling tidak terdiri dari empat peringkat dosis, berkisar dari dosis terendah yang tidak atau hampir tidak mematikan seluruh hewan uji, sampai dengan dosis tertinggi yang mematikan seluruh atau hampir seluruh hewan uji (kisaran dosis diperkirakan menyebabkan 10-90% kematian hewan pada masa akhir uji). Peringkat dosis terendah sampai tertinggi yang dipilih sebaiknya merupakan interval logaritma yang ajeg (kelipatan tetap). Untuk mempermudah penetapan peringkat dosis seyogyanya dilakukan dahulu orientasi dengan interval log 0,6 atau antilognya (kelipatan tetap = 4). Bila peringkat dosis terendah dan tertinggi sudah ditemukan, selanjutnya peringkat dosis antaranya ditetapkan berdasarkan faktor interval atau kelipatan tetap yang lebih sesuai. Namun, bila yang diuji adalah obat tradisioanl (jamu), lebih baik dicoba dahulu dosis tertinggi tepat pada batas volume maksimum yang boleh diberikan pada hewan uji, karena pada umumnya sulit ditemukan harga LD 50 aktual jamu. Sediaan uji diberikan pada hewan uji paling tidak melalui jalur yang akan digunakan oleh manusia. Dalam hal ini, WHO (1966) menyarankan tiga atau lebih jalur pemberian. Dan kekerapan pemberian hanya sekali selama masa uji. Pengamatan Masa pengamatan dilakukan selama 24 jam, kecuali pada kasus-kasus tertentu dapat selama 7 14 hari. Kriteria pengamatan meliputi : (a) pengamatan fisik terhadap gejala-gejala klinis (Tabel IV.1.), (b) perubahan berat badan, (c) jumlah hewan yang mati pada masing-masing kelompok uji, dan (d) histopatologi seluruh hewan. Analisis dan evaluasi hasil Data gejala-gejala klinis yang tampak pada fungsi vital, secara kualitatif dipakai untuk mengevaluasi mekanisme penyebab kematian. Data hasil pemeriksaan histopatologi digunakan untuk mengevaluasi spektrum efek toksik. Data jumlah hewan yang mati pada masing-msing kelompok secara kuantitatif digunakan untuk menghitung harga LD 50 mengikuti salah satu tata cara yang telah disebutkan dalam pendahuluan. Bila sampai dengan batas volume maksimal yang boleh diberikan pada hewan uji, dosis yang diberikan tidak menimbulkan kematian hewan uji (sering dijumpai pada pengujian obat tradisional), maka dosis tertinggi tersebut dinyatakan sebagai LD 50 semu (LD 0 ) Bagian Farmasi Klinik Fakultas Farmasi Universitas Jember 15

16 Dari harga LD50 yang diperoleh, selanjutnya potensi ketoksikan akut senyawa uji dapat digolongkan menjadi : Sangat tinggi, bila LD50 1 mg/kg Tinggi = 1 50 mg/kg Sedang = mg/kg Sedikit toksik = mg/kg Hampir tidak toksik = 5 15 g/kg Relatif tidak berbahaya 15 g/kg IV.4. PERCOBAAN Uji ketoksikan akut parasetamol a. Kelas dibagi menjadi empat kelompok. b. Masing-masing kelompok mendapatkan empat ekor mencit c. Masing-masing mencit diberi suspensi parasetamol secara per oral dengan dosis 125 mg/kgbb, 250 mg/kgbb, 500 mg/kgbb dan 1000 mg/kgbb. d. Amati gejala-gejala klinis yang timbul e. Catat jumlah mencit yang mati dalam waktu 24 jam f. Gunakan data seluruh kelompok untuk menghitung harga LD 50 IV. 5. PUSTAKA ACUAN Balazs, T Measurement of Acute Toxicity. In Paget, GE.(Ed.). Methods in Toxicology. Blackwell Scientific Publications Oxford Donatus, I.A Toksikologi Pangan (Bab VI & VIII), Edisi I. PAU Pangan dan Gizi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Tallarida, R.J. & Murray, R.B Manual of Pharmacologic Calculations with Computer Programs. Springer-Veflag:New York Timbrell, J.A Introduction to Toxicology (chapter 11). Taylor & Francis: London Turner, R.A Screening Methods in Pharmacology (Calipter 5). Academic Press: New York Weil, C.S. 1952, Tables for Convenient Calculation of Median Effective Dose (LD 50 or ED 50 ) and Intructions in Their use. Biometrics : 8, World Health Organization (WHO) Principles for Preclinical Testing Of Drug Safety WHO Technical Report Series. No 341. WHO: Geneva. World Health Organization Environmental Health Criteria 6:Principles and Methods for Evaluating the Toxicity of Chemicals (Chapter 3). Part 1. WHO: Geneva. Bagian Farmasi Klinik Fakultas Farmasi Universitas Jember 16

17 Tabel IV. 1. Pemeriksaan fisik dalam uji ketoksikan akut pada roden. Sistem organ SSP & somatomotor Pengamatan dan pemeriksaan Tanda-tanda umum ketoksikan Perilaku Perubahan sikap terhadap pengamat, vokalisasi luar biasa, gelisah. Gerakan Kedutan, tremor, ataksia, katatonia, paralisis, konvulsi, keterpaksaan gerak Kereaktifan terhadap aneka rangsang Refleks serebral & spinal Sistem saraf Ukuran pupil Miosis, midriasis otonom Sekresi Salivasi, lakrimasi Pernafasan Sifat & laju nafas Bradipnea, dispnea Keberingasan, kepasifan, anesthesia, hiperastesia Lemah, tidak ada Kardiovaskuler Palpitasi daerah kardiak Bradikardi, aritmia, denyut lebih kuat atau lemah Saluran cerna Genitourinari Peristiwa perut Konsistensi tinja Vulva, kelenjar mame Penis Daerah perineal Diare, sembelit, flatulen, kontraksi Tidak terbentuk, warna hitam Bengkak Prolap Kotor Kulit & bulu Warna, keutuhan Kelembekan, kemerahan, pelepuhan, piloereksi Membran mukosa Lain-lain Konjungtiva, mulut Kongesti, perdarahan, sianosis, kekuningan Kelopak mata Ptosis Bola mata Transparansi Tempat injeksi Kondisi umum Ebsoptalamus, nistagmus Opotosis Bengkak Perawakan abnormal, kurus Bagian Farmasi Klinik Fakultas Farmasi Universitas Jember 17

18 BAB V PERCOBAAN II UJI KETOKSIKAN SUBKRONIS V. 1. TUJUAN Mahasiswa mampu memahami tujuan, sasaran, tata cara pelaksanaan, luaran, dan manfaat uji ketoksikan subkronis suatu obat. V.2. PENDAHULUAN Uji ketoksikan subkronis adalah uji ketoksikan suatu senyawa yang diberikan dengan dosis berulang pada hewan uji tertentu, selama kurang dari tiga bulan. Uji ketoksikan subkronis suatu obat, utamanya diajukan untuk mengungkapkan spektrum efek toksik obat terkait dan jenis organ yang terkena, maupun kekerabatan antara dosis dan spektrum efek toksik. Selain itu, sering kali uji ini juga ditujukan untuk mengevaluasi keterbalikan (reversibilitas) spektrum efek toksik yang terjadi. Pada dasarnya, uji ketoksikan subkronis atau sering kali juga dikenal sebagai uji ketoksikan subakut, meliputi efek toksik (wujud dan sifat) suatu obat yang mungkin timbul selama lebih kurang 10% masa hidup hewan uji, yang pada akhirnya dapat disetarakan dengan kejadian yang mungkin timbul ketika obat terkait digunakan oleh manusia (lihat tabel III.3). Hal ini perlu dikerjakan mengingat pemakaian obat sering kali memerlukan waktu yang relatif panjang, bahkan mungkin sepanjang masa hidup si pemakai. Selain itu, dengan uji ketoksikan subkronis, memungkinkan terliputnya wujud dan sifat efek toksik yang munculnya lambat dan tak dapat terliput pada uji ketoksikan akut. Seperti telah diketahui, wujud efek toksik suatu senyawa mungkin berupa perubahan (kekacauan) biokimia, fungsional, atau struktural. Karena itu, data yang diperlukan untuk mengevaluasi ketoksikan subkronis, berupa tolok ukur kualitatif dan kuantitatif yang terkait dengan tiga perubahan tersebut. Untuk itu diperlukan berbagai pemeriksaan dan pengamatan yang mencakup perkembangan patologi, gejala dan tanda klinis, sistem hematologi, fungsi organ secara biokimia, dan morfologi organ. Selain sebagai dasar evaluasi batas aman pemakaian suatu obat, hasil uji ketoksikan subkronis bermanfaat sekali bagi panduan perancangan uji ketoksikan kronis, keteratogenikan, maupun farmakokinetika dosis berulang, utamanya berkaitan dengan pemilihan hewan uji dan peringkat dosis. Di samping itu juga bermanfaat sebagai panduan bagi para klinisi dalam menjalankan uji klinik obat terkait, utamanya berkaitan dengan efek toksik yang seharusnya dilacak dan berbagai tolok ukur klinis yang harus dikembangkan, agar uji kinik dapat berlangsung seoptimal mungkin dengan risiko seminimal mungkin. Berbagai uraian di atas menunjukkan bahwa dalam uji ketoksikan kronis, terlibat aneka tata cara pemeriksaan dan pengamatan. Karena itu kecermatan dalam mempersiapkan dan melaksanakan tata cara pengujian serta kecermatan dalam menganalisis data uji maupun menginterpretasi dan mengevaluasi hasil uji, sungguh merupakan faktor yang besar sekali pengaruhnya atas kesahihan hasil uji ketoksikan subkronis. Berikut ini para mahasiswa akan diperkenalkan pada tata cara pelaksanaan uji ketoksikan subkronis. Bagian Farmasi Klinik Fakultas Farmasi Universitas Jember 18

19 V.3. TATA CARA PELAKSANAAN Pemilihan hewan uji Uji ketoksikan subkronis berlangsung cukup lama dan hasilnya akan diekstrapolasikan pada manusia. Karena itu, pemilihan hewan uji seharusnya didasarkan pada kemiripan pola absorpsi, metabolisme, dan ekskresi antara hewan uji dan manusia. Kalau tidak, hewan yang memperlihatkan respons terhadap efek farmakologi obat terkait. Selain itu, hewan yang tidak mudah terjangkiti penyakit spontan, serta hewan yang penanganan maupun pemeliharaannya dalam lingkungan baru termasuk mudah, juga pertu dipertimbangkan. Untuk keperluan uji ketoksikan subkronis suatu obat sekurang-kurangnya dikerjakan pada satu atau dua jenis hewan yang sehat, satu galur, baik jantan maupun betina. Hewan uji yang paling banyak digunakan adalah tikus (roden) dan anjing (nirroden). Tabel V. 1. Panduan umum masa pemberian dalam uji toksikologi (WHO) Masa pemberian pada manusia Dosis tunggal atau beberapa dosis Sampai 4 minggu Lebih dari 4 minggu Masa pemberian pada lebih dari satu jenis hewan yang disarankan Paling tidak 2 minggu minggu Paling tidak 26 minggu (tidak termasuk uji kekarsinogenikan) Tabel V. 2. Panduan masa pemberian obat uji pada masing-masing uji ketoksikan tak khas di Jepang Kekerapan atau masa pemberian Masa penerapan klinis Ketoksikan akut Ketoksikan subkronis Ketoksikan kronis Sekali Sekali 28 hari Tidak perlu Satu minggu atau kurang Sekali 90 hari Tidak perlu Lebih dari satu minggu sampai 4 minggu Sekali 28 hari 6 bulan Lebih dari 4 minggu Sekali 90 hari 1 tahun Kriteria pengamatan meliputi : a. Berat badan masing-masing hewan uji ditimbang pada hari ke nol, dan seterusnya paling tidak setiap 7 hari sekali. b. Masukan makanan dan minuman untuk masing-masing hewan atau kelompok hewan uji, ditimbang atau diukur paling tidak 7 hari sekali. c. Berbagai gejala klinis umum diperiksa melalui pengamatan fisik seperti pada tabel IV.1. setiap hari. Saat penampakan gejala klinis dan wujud gejala klinis dicatat. d. Pemeriksaan hematologi (jumlah sel darah merah, sel darah putih, kadar hemoglobin, volume korpuskuli, protein total), paling tidak diperiksa dua kali, yakni pada awal dan akhir masa uji coba. e. Pemeriksaan fungsi organ secara biokimia dikerjakan melalui pemeriksaan kimia darah (kadar sodium, potasium, klorida, kalsium, karbon dioksida, SGPT, SGOT, alkali fosfatase serum, gula darah, protein total, dan albumin) dan analisis urin (ph, bobot jenis, protein Bagian Farmasi Klinik Fakultas Farmasi Universitas Jember 19

20 total, volume urin, sedimen, glukosa, keton, bilirubin, bersih kreatinin), paling tidak diperiksa dua kali, pada awal dan akhir masa uji. f. Pada akhir masa uji, beberapa hewan uji pada masing-masing kelompok dikorbankan, ambil semua organ mengikuti tata cara baku pengambilan cuplikan hayati dan buat preparat histologi mengikuti tata cara pengecatan hematoksilin-eosin, guna pemeriksaan morfologi (histopatologi) organ. Sebaiknya beberapa organ penting seperti hati dan ginjal, juga ditimbang terlebih dahulu sebelum dibuat preparat histologi. g. Bila selama masa uji terdapat hewan yang sekarat atau mati, harus dilakukan pemeriksaan histopatologi seperti pada butir f. h. Untuk uji keterbalikan (reversibilitas), yakni guna menentukan sifat efek toksik yang terjadi, paling tidak beberapa hewan uji pada kelompok peringkat dosis terendah dan tertinggi setelah masa uji berakhir (perlakuan dihentikan), dilanjutkan dengan pengamatan ulang (butir a-f) selama 2 4 minggu. Analisis dan evaluasi hasil a. Data penimbangan berat hewan uji ditabelkan, kemudian dihitung purata kenaikan berat perhari (PKBP). Data PKBP antar kelompok perlakuan selanjutnya dianalisis secara statistik mengikuti metode analisis varian pola searah. b. Data masukan makanan dan minuman ditabelkan, kemudian perbedaan purata harian antar kelompok perlakuan dianalisis secara statistik, analisis varian pola searah. c. Data gejala-gejala klinis dianalisis secara kualitatif. d. Data pemeriksaan hematologi dibuat grafik dan ditabelkan. Kemudian perbedaan purata masing-masing komponen sistem hematologi dianalisis secara statistik mengikuti metode analisis varian split-plot, diikuti dengan analisis Duncan's new multiple range test. e. Demikian pula data analisis urin dianalisis seperti pada butir d. f. Data pemeriksaan histopatologi organ dianalisis secara kualitatif berdasarkan perubahan morfologi yang terjadi dibandingkan dengan kelompok kontrol negatif. g. Data uji keterbalikan dianalisis secara kualitatif untuk menyatakan sifat efek toksik yang terjadi termasuk kategori timbal balik atau takterbalikkan. Temuan dari perubahan perkembangan berat badan, masukan makanan dan minuman, serta gejala-gejala klinis, digunakan untuk mengevaluasi status kesehatan dan perkembangan patologi hewan uji akibat perlakuan sediaan senyawa uji. Dan hasil pemeriksaan hematologi serta analisis urin, dipakai untuk mengevaluasi adanya perubahan fungsional sistem organ sebagai perwujudan efek toksik senyawa uji. Berikutnya perubahan morfologi sel jaringan organ dan kelenjar yang ditemukan dari pemeriksaan histopatologi, digunakan untuk mengevaluasi perubahan struktural sel organ atau kelenjar terkait sebagai perwujudan efek dan sifat toksik senyawa uji. Berdasarkan atas berbagai temuan dan evaluasi di atas akhirnya spektrum efek toksik (wujud dan sifat) senyawa uji pada hewan uji terkait dapat ditegaskan. Selain itu, berdasarkan atas kekerabatan antara peringkat dosis senyawa uji dan wujud efek toksik yang terjadi, dapat ditegaskan batas aman pemakaian obat terkait. Bagian Farmasi Klinik Fakultas Farmasi Universitas Jember 20

21 V. 4. PERCOBAAN Uji ketoksikan kronis parasetamol a. Kelas dibagi menjadi empat kelompok. b. Masing-masing kelompok mendapatkan tiga ekor mencit (kontrol, perlakuan I dan perlakuan II). c. Kelompok kontrol, mencit diberi larutan CMC Na 1% selama 28 hari. d. Kelompok perlakuan, masing-masing mencit perlakuan diberi suspensi parasetamol secara per oral dengan dosis 250 mg/kgbb (dosis hepatotoksik) dan 65 mg/kgbb (dosis terapi) selama 28 hari. Pengamatan a. Lakukan penimbangan BB mencit setiap 1 minggu. b. Setelah perlakuan selama 28 hari, ambil cuplikan darah mencit melalui intrakardial atau melalui vena optalmikus yang terdapat di sudut mata, kemudian tampung dalam vial. c. Pemeriksaan kadar SGOT dan SGPT dalam serum dilakukan dengan penambahan larutan pereaksi sejumlah tertentu yang dihomogenkan kemudian diamati dengan menggunakan spektrofotometer. d. Bandingkan kadar SGOT dan SGPT dari mencit kontrol, mencit dengan perlakuan parasetamol dosis hepatotoksik dan dosis terapi. V.5. PUSTAKA ACUAN Anonim Supplements Toxicity Test Guideline. In Anonim. Drug Approval and Licensing Procedures in Japan. Yakugyo Jiho : Tokyo. Benitz, K.F. 1970, Measurement of Chronic Toxicity. In Paget, G.E. (Ed.). Methods in Toxicology. Blackwell Scientific Publications: Oxford. Chaudhary, M., Tamta, A., and Sehgal, R Sub-Chronic Toxicity Study of Fixed Dose Combination of Ofloxacin in Mus Musculuc Mice. The Open Toxicology Journal (3) : Donatus, I.A Toksikologi Pangan (Bab III, IV, V, VI, VIII). Edisi 1.PAU Pangan & Gizi Universitas Gadjah Mada : Yogyakarta. Linawati, Y., Apriyanto, A., Susanti, E., Wijayanti., Donatus, I.A Efek Hepatoprotektif Rebusan Herba Putri-Malu (Mimosa pigra, L.) pada TIkus Terangsang Parasetamol, Laboratorium Farmakologi dan Toksikologi Fakultas Farmasi Universitas saanata Dharma : Yogyakarta. Diakses dari Loomis, T.A (Edisi terjemahan, Alih Bahasa Imono Argo Donatus) Toksikologi Dasar (Bab XIII). Edisi 3. Ikip Press: Semarang. Timbrell, J.A. 1989, Iniroduction to Toxicology (Chapter 3 & 11). Taylor & Francis : London. World Health Organization (WHO) Principle for Pre-clinical Testing of Drug Safety. WHO Technical Report Series. No WHO: Geneva. World Health Organization (WHO) Guidelines for Evaluation of Drugs for Use in Man. WHO Technical Report Series. No WHO: Geneva. World Health Organization (WHO) Environmental Health Criteria 6: Principles and Menthod for Evaluating the Toxicity of Chemicals (Chapter 3). Part I. WHO: Geneva. Bagian Farmasi Klinik Fakultas Farmasi Universitas Jember 21

22 BAB VI PERCOBAAN III UJI KETERATOGENIKAN VI. 1. TUJUAN Mahasiswa mampu memahami tujuan, sasaran, tata cara pelaksanaan, luaran, dan manfaat uji keteratogenikan suatu obat. V1. 2. PENDAHULUAN Bagaimanapun wanita hamil tidak bebas dari penyakit sehingga penggunaan suatu obat terkadang merupakan suatu keharusan. Bahkan, wanita hamil yang sehat pun terkadang menggunakan sesuatu obat, baik obat modern atau atau tradisional, utamanya sebagai upaya menjaga kesehatan si ibu selama masa kehamilannya. Agar obat yang digunakan oleh si ibu tidak membahayakan diri si janin yang dikandungnya, maka keamanan obat terhadap diri janin harus ditegaskan. Untuk itu perlu dilakukan beberapa uji reproduksi terhadap obat yang kemungkinan besar akan digunakan oleh wanita hamil, yang salah salu di antaranya adalah uji keteratogenikan. Uji keteratogenikan merupakan salah satu jenis uji ketoksikan khas. Tepatnya, adalah uji ketoksikan suatu obat yang diberikan/dipejankan selama masa organogenesis hewan bunting. Uji ini ditujukan untuk menentukan apakah suatu obat dapat menyebabkan kelainan atau cacat bawaan pada diri janin yang dikandung oleh hewan bunting dan apakah cacat tersebut berkerabat dengan dosis obat yang diberikan. Dengan demikian uji keteratogenikan bermanfaat sekali sebagai landasan evaluasi batas aman dan risiko penggunaan sesuatu obat oleh wanita hamil utamanya berkaitan dengan cacat bawaan janin yang dikandungnya. Sebagaimana tersirat dalam takrif uji keteratogenikan di atas, pada dasarnya terdapat beberapa kegiatan utama dalam pelaksanaan ujinya, yakni pengawinan (pembuntingan) hewan uji terpilih, penegasan masa kebuntingan, penetapan masa organogenesis (pembentukan organ), pemberian/pemejanan obat uji pada masa organogenesis tersidik, pemeriksaan dan pengamatan tolok ukur kualitatif dan kuantitatif kelainan atau cacat bawaan pada masa kelahiran normal, dan akhirnya analisis serta evaluasi hasil. Kecermatan dalam mengelola berbagai kegiatan tersebut, jelas merupakan penentu kesahihan hasil ujinya. Berikut ini, para mahasiswa akan diperkenalkan pada tata cara pelaksanaan baku uji keteratogenikan sesuatu obat. V1.3. TATA CARA PELAKSANAAN Pemilihan hewan uji Hewan uji yang digunakan paling tidak terdiri dari dua jenis hewan, roden dan nirroden. Beberapa hal perlu diperhatikan dalam pemilihan hewan uji ini, yakni berkaitan dengan umur, berat badan, keperawanan, keteraturan daur estrus, periode laktasi pendek, jumlah anak, dan kerentanan terhadap teratogen. Hal yang terakhir ini dapat diketahui dengan cara memejani hewan bunting dengan senyawa uji yang dosisnya setara dengan harga LD 50 nya. Bila kemudian ditemukan kematian pada seluruh janin yang dikandungnya, Bagian Farmasi Klinik Fakultas Farmasi Universitas Jember 22

Ringkasan Uji Toksisitas Akut. e-assignment

Ringkasan Uji Toksisitas Akut. e-assignment Ringkasan Uji Toksisitas Akut Toksisitas: umum-khusus, tunggalberulang, akut (beda) Minimum LD, No ED LD 50 potensi toksisitas (kelas) Konversi, kapasitas maksimum Aplikasi & makna uji toksisitas akut

Lebih terperinci

Uji Toksisitas UJI TOKSISITAS AKUT. Macam Uji Toksisitas. Beda antara jenis uji toksisitas umum

Uji Toksisitas UJI TOKSISITAS AKUT. Macam Uji Toksisitas. Beda antara jenis uji toksisitas umum Uji Toksisitas UJI TOKSISITAS AKUT Merupakan uji keamanan pra-klinis Untuk penapisan spektrum efek toksik Hewan roden dan non-roden Dripa Sjabana, dr., M.Kes. Mata kuliah Toksikologi Fakultas Farmasi Universitas

Lebih terperinci

pudica L.) pada bagian herba yaitu insomnia (susah tidur), radang mata akut, radang lambung, radang usus, batu saluran kencing, panas tinggi pada

pudica L.) pada bagian herba yaitu insomnia (susah tidur), radang mata akut, radang lambung, radang usus, batu saluran kencing, panas tinggi pada BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia sangat bergantung dengan alam untuk memenuhi kebutuhannya dari dulu sampai sekarang ini. Kebutuhan paling utama yang berasal dari alam merupakan kebutuhan makanan.

Lebih terperinci

UJI TOKSISITAS AKUT (LD50)

UJI TOKSISITAS AKUT (LD50) UJI TOKSISITAS AKUT (LD50) 1. Tujuan percobaan Adapun tujuan yang diharapkan dalam praktikum ini adalah : a. Untuk mengetahui dosis suatu obat yang menimbulkan kematian 50% dari hewan percobaan. b. Untuk

Lebih terperinci

Analisis Hayati UJI TOKSISITAS. Oleh : Dr. Harmita

Analisis Hayati UJI TOKSISITAS. Oleh : Dr. Harmita Analisis Hayati UJI TOKSISITAS Oleh : Dr. Harmita Pendahuluan Sebelum percobaan toksisitas dilakukan sebaiknya telah ada data mengenai identifikasi, sifat obat dan rencana penggunaannya Pengujian toksisitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 033 tahun 2012 tentang Bahan

BAB I PENDAHULUAN. Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 033 tahun 2012 tentang Bahan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Jenis makanan yang terdapat di masyarakat tidak jarang mengandung bahan kimia berbahaya serta tidak layak makan, penggunaan bahan kimia berbahaya yang marak digunakan

Lebih terperinci

simplisia buah Mahkota dewa (phaleria macrocarpa(scheff) Boerl.),

simplisia buah Mahkota dewa (phaleria macrocarpa(scheff) Boerl.), BAB III METODE PENELITIAN A. Bahan dan Alat 1. Bahan-Bahan Penelitian Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: a. sediaan uji suspensi teofilin, teofilin auhydrous diperoleh dari laboratorium

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Alam merupakan sumber bahan baku obat selama ribuan tahun yang mengandung banyak senyawa berkhasiat. Berbagai tanaman obat sudah dimanfaatkan oleh kalangan masyarakat

Lebih terperinci

Toksisitas Akut dan Penentuan DL 50 Oral Ekstrak Air Daun Gandarusa (Justicia gendarussa Burm. F.) pada Mencit Swiss Webster

Toksisitas Akut dan Penentuan DL 50 Oral Ekstrak Air Daun Gandarusa (Justicia gendarussa Burm. F.) pada Mencit Swiss Webster Jurnal Matematika dan Sains Vol. 7 No. 2, Oktober 2002, hal 57 62 Toksisitas Akut dan Penentuan DL 50 Oral Ekstrak Air Daun Gandarusa (Justicia gendarussa Burm. F.) pada Mencit Swiss Webster Andreanus

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penggunaan obat tradisional sudah dikenal sejak zaman dahulu, akan tetapi pengetahuan masyarakat akan khasiat

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penggunaan obat tradisional sudah dikenal sejak zaman dahulu, akan tetapi pengetahuan masyarakat akan khasiat BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penggunaan obat tradisional sudah dikenal sejak zaman dahulu, akan tetapi pengetahuan masyarakat akan khasiat dan kegunaan tanaman obat hanya berdasarkan pengalaman

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. HALAMAN SAMPUL DEPAN... i. HALAMAN JUDUL... ii. HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING... iii. HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI... iv

DAFTAR ISI. HALAMAN SAMPUL DEPAN... i. HALAMAN JUDUL... ii. HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING... iii. HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI... iv DAFTAR ISI HALAMAN SAMPUL DEPAN... i HALAMAN JUDUL... ii HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING... iii HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI... iv HALAMAN PERNYATAAN... v KATA PENGANTAR... vi DAFTAR ISI... viii DAFTAR GAMBAR...

Lebih terperinci

UJI TOKSISITAS AKUT SIRUP ZINK EKSTRAK IKAN BILIH (Mystacoleuseus padangensis) TERHADAP MENCIT GALUR SWISS

UJI TOKSISITAS AKUT SIRUP ZINK EKSTRAK IKAN BILIH (Mystacoleuseus padangensis) TERHADAP MENCIT GALUR SWISS UJI TOKSISITAS AKUT SIRUP ZINK EKSTRAK IKAN BILIH (Mystacoleuseus padangensis) TERHADAP MENCIT GALUR SWISS Eva Yuniritha Politeknik Kesehatan Kemenkes Padang. Jalan Raya Siteba Pondok Kopi Padang Email

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tanaman kedondong hutan (Spondias pinnata), suku Anacardiaceae,

BAB I PENDAHULUAN. Tanaman kedondong hutan (Spondias pinnata), suku Anacardiaceae, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanaman kedondong hutan (Spondias pinnata), suku Anacardiaceae, merupakan salah satu tanaman yang dimanfaatkan secara tradisional sebagai obat batuk (Syamsuhidayat

Lebih terperinci

UJI TOKSISITAS AKUT DARI EKSTRAK ETANOL HERBA SEREH (ANDROPOGON CITRATUS D.C ) PADA MENCIT PUTIH SEBAGAI BAHAN PEMBELAJARAN TOKSIKOLOGI

UJI TOKSISITAS AKUT DARI EKSTRAK ETANOL HERBA SEREH (ANDROPOGON CITRATUS D.C ) PADA MENCIT PUTIH SEBAGAI BAHAN PEMBELAJARAN TOKSIKOLOGI UJI TOKSISITAS AKUT DARI EKSTRAK ETANOL HERBA SEREH (ANDROPOGON CITRATUS D.C ) PADA MENCIT PUTIH SEBAGAI BAHAN PEMBELAJARAN TOKSIKOLOGI Eka Deddy Irawan, Lusia Oktora Ruma Kumala Sari, Sri Untari Siwi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang mempunyai hasil alam yang berlimpah dan banyak dimanfaatkan oleh masyarakat untuk berbagai kepentingan. Salah satu dari hasil alam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada era ini, masyarakat Indonesia mulai memanfaatkan berbagai tanaman sebagai ramuan obat seperti zaman dahulu yang dilakukan oleh nenek moyang kita. Munculnya kembali

Lebih terperinci

RENCANA PROGRAM KEGIATAN PEMBELAJARAN SEMESTER (RPKPS) TOKSIKOLOGI DASAR. Oleh: Dra, Nurlaila, MSi., Apt Purwantiningsih, MSi, Apt

RENCANA PROGRAM KEGIATAN PEMBELAJARAN SEMESTER (RPKPS) TOKSIKOLOGI DASAR. Oleh: Dra, Nurlaila, MSi., Apt Purwantiningsih, MSi, Apt RENCANA PROGRAM KEGIATAN PEMBELAJARAN SEMESTER (RPKPS) TOKSIKOLOGI DASAR Oleh: Dra, Nurlaila, MSi., Apt Purwantiningsih, MSi, Apt FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2008 A.IDENTITAS MATA

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumber daya hayati Indonesia sangat berlimpah dan beraneka ragam. Sumbangsih potensi sumber daya alam yang ada di Indonesia terhadap kekayaan keanekaragaman sumber

Lebih terperinci

Siklus kelamin poliestrus (birahi) g jantan dan betina

Siklus kelamin poliestrus (birahi) g jantan dan betina Lama bunting Kawin sesudah beranak Umur sapih Umur dewasa kelamin Umur dikawinkan Siklus kelamin poliestrus (birahi) Lama estrus Saat perkawinan Berat lahir Berat dewasa Jumlah anak perkelahiran Kecepatan

Lebih terperinci

EFEK TOKSISITAS SUBKRONIK EKSTRAK ETANOL KULIT BATANG SINTOK PADA TIKUS PUTIH GALUR WISTAR* Intisari

EFEK TOKSISITAS SUBKRONIK EKSTRAK ETANOL KULIT BATANG SINTOK PADA TIKUS PUTIH GALUR WISTAR* Intisari EFEK TOKSISITS SUBKRONIK EKSTRK ETNOL KULIT BTNG SINTOK PD TIKUS PUTIH GLUR WISTR* Sri di Sumiwi, nas Subarnas, Rizki Indriyani, Fakultas Farmasi, Universitas Padjadjaran, e-mail: sri.adi@unpad.ac.id Intisari

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1.Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Riset Kimia Universitas Pendidikan Indonesia dan Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor pada

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara yang kaya akan tumbuhan. Sekitar 30.000 jenis tumbuhan diperkirakan terdapat di dalam hutan tropis Indonesia. Dari jumlah tersebut, 9.600 jenis

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. dibagi menjadi kelompok kontrol dan perlakuan lalu dibandingkan kerusakan

BAB III METODE PENELITIAN. dibagi menjadi kelompok kontrol dan perlakuan lalu dibandingkan kerusakan BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian yang dilakukan adalah penelitian eksperimental laboratorik. Penelitian dilakukan dengan memberikan perlakuan pada sampel yang telah dibagi menjadi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang kaya akan sumber bahan obat dari alam yang secara turun temurun telah digunakan sebagai ramuan obat tradisional. Pengobatan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Obat tradisional adalah bahan obat atau ramuan bahan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan, hewan, mineral, dan sediaan sarian (galenik), atau campuran dari bahan tersebut

Lebih terperinci

Lampiran 1. Hasil identifikasi tanaman

Lampiran 1. Hasil identifikasi tanaman Lampiran 1. Hasil identifikasi tanaman Lampiran 2. Gambar serbuk majakani (Quercus infectoria G. Olivier) Lampiran 3. Bagan kerja penelitian Tikus Dikondisikan selama 2 minggu 1. Diukur Kadar 2. Diinduksi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini berkaitan dengan Ilmu Kedokteran Forensik, Ilmu Patologi Anatomi, dan Toksikologi. 3.2 Tempat dan Waktu Penelitian Pemeliharaan hewan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Obat adalah zat kimia yang dapat mempengaruhi proses hidup suatu organisme. Setiap obat pada dasarnya merupakan racun, tergantung dosis dan cara pemberian, karena dosis

Lebih terperinci

EFEK TOKSISITAS SUBKRONIK EKSTRAK ETANOL KULIT BATANG SINTOK PADA TIKUS PUTIH GALUR WISTAR. Intisari

EFEK TOKSISITAS SUBKRONIK EKSTRAK ETANOL KULIT BATANG SINTOK PADA TIKUS PUTIH GALUR WISTAR. Intisari EFEK TOKSISITS SUKRONIK EKSTRK ETNOL KULIT TNG SINTOK PD TIKUS PUTIH GLUR WISTR Sri di Sumiwi, nas Subarnas, Rizki Indriyani, Fakultas Farmasi, Universitas Padjadjaran, e-mail: sumiwi@yahoo.co.id Intisari

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Nyeri adalah suatu pengalaman sensorik emosional yang tidak menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan yang bersifat subjektif. Secara umum nyeri dibedakan menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terdiri dari kolesterol total, trigliserida (TG), Low Density Lipoprotein (LDL) dan

BAB I PENDAHULUAN. terdiri dari kolesterol total, trigliserida (TG), Low Density Lipoprotein (LDL) dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dislipidemia merupakan perubahan-perubahan dalam profil lipid yang terdiri dari kolesterol total, trigliserida (TG), Low Density Lipoprotein (LDL) dan High Density

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental murni dengan post

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental murni dengan post 23 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental murni dengan post test only group design. Penelitian eksperimental bertujuan untuk mengetahui kemungkinan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang dilakukan oleh Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM)

BAB I PENDAHULUAN. yang dilakukan oleh Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Boraks pada saat ini sering sekali diberitakan melalui media cetak maupun elektronik karena penyalahgunaannya dalam bahan tambahan makanan. Berdasarkan dari

Lebih terperinci

Lampiran 2. Gambar Hasil Makroskopik. Universitas Sumatera Utara

Lampiran 2. Gambar Hasil Makroskopik. Universitas Sumatera Utara Lampiran 2. Gambar Hasil Makroskopik Gambar tumbuhan jengkol Gambar buah jengkol Keterangan : A = kulit jengkol B = biji jengkol Lampiran 2. (Lanjutan) Gambar biji jengkol tua Gambar simplisia biji jengkol

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

BAHAN DAN METODE PENELITIAN BAHAN DAN METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan mulai bulan Juni 2010 sampai dengan bulan Desember 2010 di kandang percobaan Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN 22 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Ruang lingkup penelitian Penelitian ini adalah penelitian di bidang Ilmu Farmakologi, Farmasi dan Patologi Anatomi. 4.2. Tempat dan waktu penelitian Penelitian ini dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Indonesia merupakan negara subtropis yang kaya akan keanekaragaman hayati, termasuk di dalamnya adalah tanaman yang banyak digunakan untuk pengobatan. Masyarakat

Lebih terperinci

BAB 3 PERCOBAAN 3.1 Alat 3.2 Bahan 3.3 Hewan Uji

BAB 3 PERCOBAAN 3.1 Alat 3.2 Bahan 3.3 Hewan Uji BAB 3 PERCOBAAN Alat, bahan, dan hewan uji yang diperlukan dalam percobaan dijelaskan dalam bab ini. Prosedur yang dilakukan meliputi penyiapan bahan tanaman, pembuatan jus, orientasi pembuatan model tikus

Lebih terperinci

Toksisitas akut isolat fraksi n-hexana dan etanol daun Dendrophthoe pentandra (L.) Miq. yang mempunyai aktivitas imunostimulan

Toksisitas akut isolat fraksi n-hexana dan etanol daun Dendrophthoe pentandra (L.) Miq. yang mempunyai aktivitas imunostimulan Majalah Katrin Farmasi Indonesia, 16(4), 227 231, 2005 Toksisitas akut isolat fraksi n-hexana dan etanol daun Dendrophthoe pentandra (L.) Miq. yang mempunyai aktivitas imunostimulan The acute toxicity

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian dan pengembangan tumbuhan obat saat ini berkembang pesat. Oleh karena bahannya yang mudah diperoleh dan diolah sehingga obat tradisional lebih banyak digunakan.

Lebih terperinci

Lampiran 1. Hasil Identifikasi Tumbuhan Biji Asam Jawa (Tamarindus indica L.)

Lampiran 1. Hasil Identifikasi Tumbuhan Biji Asam Jawa (Tamarindus indica L.) Lampiran 1. Hasil Identifikasi Tumbuhan Biji Asam Jawa (Tamarindus indica L.) 51 Lampiran 2. Rekomendasi Persetujuan Etik Penelitian Kesehatan 52 Lampiran 3. Gambar pohon asam jawa 53 Lampiran 3. (Lanjutan)

Lebih terperinci

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian 4.1.1 Deskripsi subjek penelitian Subjek dalam penelitian ini berjumlah 60 ekor mencit strain DDY yang terdiri dari 30 mencit jantan dan 30 mencit betina.

Lebih terperinci

Toksisitas yang berhubungan dengan pemberian obat akut atau kronis Kerusakan genetik Pertumbuhan tumor Kejadian cacat waktu lahir.

Toksisitas yang berhubungan dengan pemberian obat akut atau kronis Kerusakan genetik Pertumbuhan tumor Kejadian cacat waktu lahir. Uji Pra-Klinik Uji Pra-Klinik dimaksudkan untuk mengetahui apakah obat menimbulkan efek toksik pada dosis pengobatan ataukah tetap aman dipakai. Karena itulah penelitian toksisitas merupakan cara potensial

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. perlakuan pada hewan uji (Taufiqurrahman, 2004). Teknik sampling yang digunakan adalah purposive sampling, yaitu subyek

BAB III METODE PENELITIAN. perlakuan pada hewan uji (Taufiqurrahman, 2004). Teknik sampling yang digunakan adalah purposive sampling, yaitu subyek BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini bersifat experimental laboratorium dengan rancangan penelitian post test only control group, karena pengukuran hanya dilakukan setelah pemberian

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara beriklim tropis dengan keanekaragaman hayati terbesar kedua di dunia setelah Brazil. Indonesia memiliki sekitar 25.000-30.000

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Diabetes merupakan salah satu penyakit yang kerap terjadi pada masyarakat saat ini. Ketua Federasi Diabetes Internasional untuk kawasan Asia Fasifik yakni

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. beberapa jenis makan yang kita konsumsi, boraks sering digunakan dalam campuran

BAB I PENDAHULUAN. beberapa jenis makan yang kita konsumsi, boraks sering digunakan dalam campuran BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Akhir- akhir ini sering dibicarakan tentang boraks yang terdapat pada beberapa jenis makan yang kita konsumsi, boraks sering digunakan dalam campuran beberapa bahan

Lebih terperinci

menghilangkan kesadaran. Berdasarkan kerja farmakologinya, analgesik dibagi dalam dua kelompok besar yaitu analgesik narkotik dan analgesik non

menghilangkan kesadaran. Berdasarkan kerja farmakologinya, analgesik dibagi dalam dua kelompok besar yaitu analgesik narkotik dan analgesik non BAB 1 PENDAHULUAN Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu pesat memberikan dampak terhadap peradaban manusia. Hal ini, menuntut manusia untuk bisa beradaptasi dengan perkembangan tersebut

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang dilakukan merupakan penelitian eksperimen karena

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang dilakukan merupakan penelitian eksperimen karena BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan merupakan penelitian eksperimen karena dalam penelitian ini dilakukan dengan mengadakan manipulasi terhadap objek penelitian

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup ilmu dalam penelitian ini adalah ilmu kedokteran forensik, farmakologi dan ilmu patologi anatomi. 4.2 Tempat dan Waktu Penelitian Adaptasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk menelitinya lebih jauh adalah Coriolus versicolor.

BAB I PENDAHULUAN. untuk menelitinya lebih jauh adalah Coriolus versicolor. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Jamur telah menjadi bahan pengobatan tradisional di daerah oriental, seperti Jepang, Cina, Korea, dan daerah Asia lainnya sejak berabad-abad lalu, (Ooi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Manfaat berbagai macam tanaman sebagai obat sudah dikenal luas di negara berkembang maupun negara maju. 70-80% masyarakat Asia dan Afrika masih menggunakan

Lebih terperinci

Lampiran 1. Identifikasi sampel

Lampiran 1. Identifikasi sampel Lampiran 1. Identifikasi sampel 74 Lampiran 2.Rekomendasi persetujuan etik penelitian 75 Lampiran 3. Gambar nanas segar Gambar Buah Nanas Segar Gambar Makroskopik Kulit Buah Nanas Segar 76 Lampiran 4.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan, hewan, mineral, sediaan sarian (galenika) atau campuran dari bahanbahan

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan, hewan, mineral, sediaan sarian (galenika) atau campuran dari bahanbahan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Obat tradisional merupakan bahan atau ramuan bahan berupa bahan tumbuhan, hewan, mineral, sediaan sarian (galenika) atau campuran dari bahanbahan tersebut yang secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Berbagai usaha dilakukan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Misalnya

BAB I PENDAHULUAN. Berbagai usaha dilakukan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Misalnya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring meningkatnya taraf hidup manusia dewasa ini, maka kebutuhan akan berbagai hal juga mengalami peningkatan seperti kebutuhan akan sandang, papan, pangan, kesehatan,

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli Oktober Pembuatan ekstrak

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli Oktober Pembuatan ekstrak 20 III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli Oktober 2009. Pembuatan ekstrak rimpang rumput teki dilakukan di Laboratorium Kimia Organik Jurusan Kimia,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Dewasa ini perkembangan penelitian dengan menggunakan bahan alam yang digunakan sebagai salah satu cara untuk menanggulangi berbagai macam penyakit semakin

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian yang dilakukan adalah eksperimental laboratorik. B. Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Histologi Fakultas Kedokteran Universitas

Lebih terperinci

Lampiran 1. Identifikasi sampel

Lampiran 1. Identifikasi sampel Lampiran 1. Identifikasi sampel 48 Lampiran 2. Gambar 3.1 Teripang segar Pearsonothuria graeffei (Semper,1868) 49 Lampiran 2. (Lanjutan) Gambar 3.2 Teripang kering Pearsonothuria graeffei (Semper,1868)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diperuntukkan sebagai makanan dan minuman yang dikonsumsi manusia,

BAB I PENDAHULUAN. diperuntukkan sebagai makanan dan minuman yang dikonsumsi manusia, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati yang diperuntukkan sebagai makanan dan minuman yang dikonsumsi manusia, termasuk Bahan Tambahan Pangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Asam format yang terakumulasi inilah yang menyebabkan toksik. 2. Manifestasi klinis yang paling umum yaitu pada organ mata, sistem

BAB I PENDAHULUAN. Asam format yang terakumulasi inilah yang menyebabkan toksik. 2. Manifestasi klinis yang paling umum yaitu pada organ mata, sistem BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Metanol adalah senyawa alkohol paling sederhana yang didalam tubuh akan di metabolisme menjadi formaldehida kemudian menjadi asam format. 1 Asam format yang terakumulasi

Lebih terperinci

BAB I PEDAHULUAN. banyak terdapat ternak sapi adalah di TPA Suwung Denpasar. Sekitar 300 ekor sapi

BAB I PEDAHULUAN. banyak terdapat ternak sapi adalah di TPA Suwung Denpasar. Sekitar 300 ekor sapi BAB I PEDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Semakin berkurangnya lahan sebagai tempat merumputnya sapi, maka banyak peternak mencari alternatif lain termasuk melepas ternak sapinya di tempat pembuangan sampah

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. coba setelah pemberian polisakarida krestin (PSK) dari jamur Coriolus versicolor

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. coba setelah pemberian polisakarida krestin (PSK) dari jamur Coriolus versicolor BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian Data primer berupa gambaran histologi ginjal dan kadar kreatinin hewan coba setelah pemberian polisakarida krestin (PSK) dari jamur Coriolus versicolor

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Bakso tusuk yang diperiksa adalah sebanyak 34 sampel yang diambil dari 17 kecamatan di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Tabel 3 dan 4 berikut adalah hasil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Seiring dengan kemajuan zaman, penyakit dan infeksi yang menyerang pada manusia semakin berkembang dan menjadi salah satu ancaman terbesar dalam kehidupan.

Lebih terperinci

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN BAB IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup keilmuan penelitian ini mencakup bidang Histologi, Patologi Anatomi, dan Farmakologi. 4.2 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian

Lebih terperinci

LAPORAN RESMI PRAKTIKUM FARMAKOLOGI EKSPERIMENTAL II PERCOBAAN II

LAPORAN RESMI PRAKTIKUM FARMAKOLOGI EKSPERIMENTAL II PERCOBAAN II LAPORAN RESMI PRAKTIKUM FARMAKOLOGI EKSPERIMENTAL II PERCOBAAN II UJI PENETAPAN PARAMETER FARMAKOKINETIKA SUATU OBAT SETELAH PEMBERIAN DOSIS TUNGGAL MENGGUNAKAN DATA URIN DAN DARAH Disusun oleh : Kelas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Warna merupakan salah satu sifat yang penting dari makanan, di samping juga

BAB I PENDAHULUAN. Warna merupakan salah satu sifat yang penting dari makanan, di samping juga BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pewarna makanan merupakan salah satu bahan tambahan pangan (BTP) yang sering digunakan dalam berbagai jenis makanan dan minuman olahan. Warna merupakan salah satu sifat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penggunaan bahan pemanis di dalam bahan makanan dan minuman sudah dimulai sejak berabad-abad yang lalu. Bahan pemanis alami yang sangat umum digunakan adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dibuktikan manfaatnya (Sudewo, 2004; Tjokronegoro, 1992). zingiberaceae, yaitu Curcuma mangga (Temu Mangga). Senyawa fenolik pada

BAB I PENDAHULUAN. dibuktikan manfaatnya (Sudewo, 2004; Tjokronegoro, 1992). zingiberaceae, yaitu Curcuma mangga (Temu Mangga). Senyawa fenolik pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki keanekaragaman hayati berupa ratusan jenis tanaman obat dan telah banyak dimanfaatkan dalam proses penyembuhan berbagai penyakit. Namun sampai sekarang

Lebih terperinci

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN BAB IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Ruang lingkup penelitian Penelitian ini adalah penelitian di bidang Ilmu Farmakologi, Farmasi dan Patologi Anatomi. 4.2. Tempat dan waktu penelitian Penelitian ini dilaksanakan

Lebih terperinci

PANDUAN PRAKTIKUM TOKSIKOLOGI KLINIK DAN LINGKUNGAN

PANDUAN PRAKTIKUM TOKSIKOLOGI KLINIK DAN LINGKUNGAN PANDUAN PRAKTIKUM TOKSIKOLOGI KLINIK DAN LINGKUNGAN AKADEMI ANALIS KESEHATAN THERESIANA JL. MAYJEN SUTOYO No. 69 SEMARANG PETUNJUK UMUM A. Tata Tertib 1. Mahasiswa harus sudah hadir 10 menit sebelum praktikum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mellitus meluas pada suatu kumpulan aspek gejala yang timbul pada seseorang

BAB I PENDAHULUAN. mellitus meluas pada suatu kumpulan aspek gejala yang timbul pada seseorang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Diabetes adalah penyakit tertua didunia. Diabetes berhubungan dengan metabolisme kadar glukosa dalam darah. Secara medis, pengertian diabetes mellitus

Lebih terperinci

BAB 4 METODE PENELITIAN

BAB 4 METODE PENELITIAN BAB 4 METODE PENELITIAN 4.1 Ruang lingkup penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah Ilmu Kedokteran Forensik dan Ilmu Patologi Anatomi. 4.2 Tempat dan waktu penelitian Penelitian dilaksanakan selama

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang dilakukan merupakan penelitian eksperimen, karena

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang dilakukan merupakan penelitian eksperimen, karena BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan merupakan penelitian eksperimen, karena dalam penelitian ini dilakukan dengan mengadakan manipulasi terhadap objek penelitian

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang penelitian BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang penelitian Alam telah menyediakan beraneka ragam hasil bumi yang diperlukan untuk semua makhluk hidup, termasuk bahan obat. Kebutuhan manusia dalam meningkatkan kualias

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Patologi Anatomi, Histologi, dan Farmakologi. Laboratorium Patologi Anatomi RSUP dr. Kariadi Semarang.

BAB III METODE PENELITIAN. Patologi Anatomi, Histologi, dan Farmakologi. Laboratorium Patologi Anatomi RSUP dr. Kariadi Semarang. BAB III METODE PENELITIAN 3.3 Ruang Lingkup Penelitian 3.1.1 Ruang Lingkup Keilmuan Pada penelitian ini, ruang lingkup keilmuan yang digunakan adalah Patologi Anatomi, Histologi, dan Farmakologi. 3.1.2

Lebih terperinci

Oleh : Tanti Azizah Sujono Hidayah Karuniawati Agustin Cahyaningrum

Oleh : Tanti Azizah Sujono Hidayah Karuniawati Agustin Cahyaningrum Pengaruh FRAKSI HEKSAN EKSTRAK ETANOL DAUN LIDAH BUAYA (Aloe vera L.) terhadap serum glutamate piruvat transaminase PADA TIKUS YANG DIINDUKSI PARASETAMOL Oleh : Tanti Azizah Sujono Hidayah Karuniawati

Lebih terperinci

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup keilmuan penelitian ini adalah bidang Histologi, Patologi Anatomi, dan Farmakologi. 4.2 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian akan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Hewan Coba Fakultas Kedokteran

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Hewan Coba Fakultas Kedokteran BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Ruang lingkup penelitian Penelitian ini adalah penelitian di bidang Ilmu Farmakologi dan Terapi 3.2 Tempat dan waktu penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Hewan

Lebih terperinci

TOKSIKOLOGI. Ika Puspita Dewi

TOKSIKOLOGI. Ika Puspita Dewi TOKSIKOLOGI Ika Puspita Dewi TOKSIKOLOGI Toksikologi digunakan untuk membedakan makanan yg aman dan yg beracun Senyawa toksin diproduksi oleh tanaman, hewan dan bakteria Phytotoxins Zootoxins Bacteriotoxin

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. A. Latar Belakang Masalah 1 B. Perumusan Masalah... 3 C. Tujuan Penelitian... 3

DAFTAR ISI. A. Latar Belakang Masalah 1 B. Perumusan Masalah... 3 C. Tujuan Penelitian... 3 DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL.... i HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING......... ii HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI... iii HALAMAN PERNYATAAN. iv HALAMAN PERSEMBAHAN... v KATA PENGANTAR... vii DAFTAR ISI... ix DAFTAR

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. eksperimental dengan menggunakan rancangan penelitian Post Test. Randomized Control Group Design.

BAB III METODE PENELITIAN. eksperimental dengan menggunakan rancangan penelitian Post Test. Randomized Control Group Design. BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan menggunakan rancangan penelitian Post Test Randomized Control

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian yang dilakukan bersifat eksperimental dengan rancangan penelitian

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian yang dilakukan bersifat eksperimental dengan rancangan penelitian 31 BAB III METODE PENELITIAN III.1 Jenis dan Desain Penelitian Penelitian yang dilakukan bersifat eksperimental dengan rancangan penelitian Post Test Controlled Group Design. III.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 29 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian eksperimen kuantitatif. Pada penelitian ini terdapat manipulasi terhadap objek

Lebih terperinci

Oleh : Andriantoro Pusat penelitian dan Pengembangan Kualitas dan Laboratorium Lingkungan kementerian lingkungan Hidup dan Kehutanan

Oleh : Andriantoro Pusat penelitian dan Pengembangan Kualitas dan Laboratorium Lingkungan kementerian lingkungan Hidup dan Kehutanan Sosialisasi Metode SNI 7184.5:2017 Karakteristik limbah Bahan Berbahaya Beracun (B3)- bagian 5: pengujian toksisitas akut limbah secara oral pada hewan uji mencit : Up and Down Procedure Oleh : Andriantoro

Lebih terperinci

LAPORAN PRATIKUM FARMASETIKA II SEDIAAN INJEKSI AMINOPHYLLIN 2,4%

LAPORAN PRATIKUM FARMASETIKA II SEDIAAN INJEKSI AMINOPHYLLIN 2,4% LAPORAN PRATIKUM FARMASETIKA II SEDIAAN INJEKSI AMINOPHYLLIN 2,4% Di susun oleh: Nama : Linus Seta Adi Nugraha No. Mahasiswa : 09.0064 Tgl. Pratikum : 28 Oktober-4 November 2010 LABORATORIUM TEKNOLOGI

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN. Forensik, Ilmu Patologi Anatomi dan Farmakologi.

BAB IV METODE PENELITIAN. Forensik, Ilmu Patologi Anatomi dan Farmakologi. 26 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup ilmu dari penelitian ini adalah Ilmu Kedokteran Forensik, Ilmu Patologi Anatomi dan Farmakologi. 4.2. Tempat dan Waktu Penelitian

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI CARA PEMBERIAN OBAT DISUSUN UNTUK MEMENUHI LAPORAN MATA KULIAH FARMAKOLOGI Disusun oleh : Bella Sakti Oktora (12010012) Darma Wijaya (120100 ) Fuji Rahayu (12010030) S-1 FARMASI

Lebih terperinci

Tanaman Putri malu (Mimosa pudica L.) merupakan gulma yang sering dapat ditemukan di sekitar rumah, keberadaannya sebagai gulma 1

Tanaman Putri malu (Mimosa pudica L.) merupakan gulma yang sering dapat ditemukan di sekitar rumah, keberadaannya sebagai gulma 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penggunaan tanaman obat sebagai alternatif pengobatan telah dilakukan oleh masyarakat Indonesia secara turun temurun. Hal tersebut didukung dengan kekayaan alam yang

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Objek atau bahan penelitian ini adalah daging buah paria (Momordica

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Objek atau bahan penelitian ini adalah daging buah paria (Momordica BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Objek dan Lokasi Penelitian Objek atau bahan penelitian ini adalah daging buah paria (Momordica charantia L.) yang diperoleh dari Kampung Pamahan-Jati Asih, Bekasi. Dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Uji toksisitas adalah uji untuk mendeteksi efek toksik suatu zat pada sistem biologi, dan untuk memperoleh data dosis-respon yang khas dari sediaan uji. Data yang diperoleh

Lebih terperinci

Banyak penyakit yang dihadapi para klinisi disebabkan karena respons inflamasi yang tidak terkendali. Kerusakan sendi pada arthritis rheumatoid,

Banyak penyakit yang dihadapi para klinisi disebabkan karena respons inflamasi yang tidak terkendali. Kerusakan sendi pada arthritis rheumatoid, BAB 1 PENDAHULUAN Inflamasi merupakan suatu respons protektif normal terhadap kerusakan jaringan yang disebabkan oleh trauma fisik, zat kimia yang merusak, atau zat-zat mikrobiologik. Inflamasi adalah

Lebih terperinci

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN BAB IV METODOLOGI PENELITIAN IV.1. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini direncanakan dilakukan selama tiga bulan di Kandang Hewan Coba MIPA-Fakultas Biologi Universitas Negeri Semarang meliputi pemeliharaan

Lebih terperinci

UJI TOKSISITAS AKUT EKSTRAK ETANOL SIRIH MERAH (Piper crocatum Luiz and Pav) PADA MENCIT SWISS WEBSTER

UJI TOKSISITAS AKUT EKSTRAK ETANOL SIRIH MERAH (Piper crocatum Luiz and Pav) PADA MENCIT SWISS WEBSTER UJI TOKSISITAS AKUT EKSTRAK ETANOL SIRIH MERAH (Piper crocatum Luiz and Pav) PADA MENCIT SWISS WEBSTER Puspa Sari Dewi*, Ita Nur Anisa, Suryani, Suci Ayuza Program Studi Farmasi, Fakultas Farmasi, Universitas

Lebih terperinci

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan selama tiga bulan meliputi pemeliharaan hewan coba di

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan selama tiga bulan meliputi pemeliharaan hewan coba di BAB IV METODOLOGI PENELITIAN IV.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan selama tiga bulan meliputi pemeliharaan hewan coba di Laboratorium MIPA UNNES dan dilakukan pemberian warfarin LD

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. penelitian dengan rancangan eksperimental dengan (Post Test Only

BAB III METODE PENELITIAN. penelitian dengan rancangan eksperimental dengan (Post Test Only BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian dengan rancangan eksperimental dengan (Post Test Only Control Group Design).

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN. Ruang lingkup penelitian ini adalah Ilmu Kedokteran Forensik, Ilmu

BAB IV METODE PENELITIAN. Ruang lingkup penelitian ini adalah Ilmu Kedokteran Forensik, Ilmu BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Ruang lingkup penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah Ilmu Kedokteran Forensik, Ilmu Patologi Anatomi, dan Fisika Kedokteran. 4.2 Tempat dan waktu penelitian 4.2.1 Tempat

Lebih terperinci

Jenis jaringan hewan ada empat macam, yaitu jaringan epitel, jaringan ikat, jaringan otot, dan jaringan saraf.

Jenis jaringan hewan ada empat macam, yaitu jaringan epitel, jaringan ikat, jaringan otot, dan jaringan saraf. JARINGAN HEWAN Jenis jaringan hewan ada empat macam, yaitu jaringan epitel, jaringan ikat, jaringan otot, dan jaringan saraf. A. JARINGAN EPITEL Jaringan epitel merupakan jaringan penutup yang melapisi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis/ Rancangan Penelitian dan Metode Pendekatan Penelitian ini merupakan penelitian Eksperimen Kuasi dengan rancangan penelitian After Only With Control Design 35 yang digambarkan

Lebih terperinci