LAPORAN. Disusun oleh Ir.H. Eka Iriadenta, MSi B A N J A R B A R U

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "LAPORAN. Disusun oleh Ir.H. Eka Iriadenta, MSi B A N J A R B A R U"

Transkripsi

1

2

3 LAPORAN Kajian Strategi Pengelolaan dan Revitalisasi Pemanfaatan Sumber Daya Perairan Void Reklamasi Tambang/Eks Penambangan Batubara PD. Baramarta Kabupaten Banjar Berbasis Pemberdayaan Masyarakat Disusun oleh Ir.H. Eka Iriadenta, MSi B A N J A R B A R U

4 Kata Pengantar Laporan kegiatan Kajian Strategi Pengelolaan dan Revitalisasi Pemanfaatan Sumber Daya Perairan Void Reklamasi Tambang/Eks Penambangan Batubara PD. Baramarta Kabupaten Banjar Berbasis Pemberdayaan Masyarakat ini disusun oleh Ir. H. Eka Iriadenta, MSi bekerjasama dengan PD. Baramarta dalam rangka memenuhi salah satu persyaratan kerjasama yang telah dijalin. Tersusunnya Laporan ini tidak lepas dari bantuan motivasi, moril maupun materil berbagai pihak, yang secara khusus saya sampaikan ucapan terima kasih kepada: 1. Direktur PD. Baramarta Kabupaten Banjar Martapura 2. Manajer Operasional PD. Baramarta beserta staf pendukungnya Tiada gading yang tak retak. Kesempurnaan Demikian Laporan ini saya sampaikan, kritik dan saran yang membangun Kami harapkan dan semoga Laporan ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Banjarbaru, 12 Desember 2010 Ir. H. Eka Iridenta, M.Si

5 Bab 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Salah satu kegiatan dalam memanfaatkan sumberdaya alam adalah kegiatan pertambangan bahan galian yang hingga saat ini merupakan sektor penyumbang devisa negara yang signifikan. Batubara merupakan energi alternatif yang sangat dibutuhkan pada masa sekarang dan akan datang. Selaras kebutuhan energi bagi pembangunan, aktivitas eksploitasi batubara juga meningkat untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Namun demikian kegiatan pertambangan yang tidak dilaksanakan secara tepat dapat menimbulkan dampak negatif, antara lain berpotensi menyebabkan degradasi lahan dan perairan di sekitarnya serta peluang konflik sosial. Tanah yang dibongkar saat penambangan kemudian akan dipindahkan ke areal tertentu, untuk kemudian di kemudian hari diharapkan dapat dikembalikan lagi ke tempat asalnya. Sering terjadi lahan yang sebelumnya bukit setelah tanahnya dibongkar berubah menjadi lembah, atau lahan yang sebelumnya lembah lalu ditimbun menjadi bukit. Hal ini menyebabkan stabilitas lingkungan berubah dan tanah mudah longsor. Cara ini berpotensi menimbulkan kerusakan lahan, antara lain terjadinya perubahan sifat tanah, munculnya lapisan bahan induk yang produktivitasnya rendah, timbulnya lahan masam dan garam-garam yang dapat meracuni tanaman, rusaknya bentang alam, serta terjadinya erosi dan sedimentasi maupun dampak turunan terhadap ekosistem perairan sekitar. Pada tanah timbunan yang dibiarkan terbuka sering terjadi erosi yang hebat karena air yang jatuh akan cepat mengalir di permukaan tanah. Erosi selanjutnya menimbulkan masalah sedimentasi maupun cemaran di badan-badan air penerima. Di sisi lain, limbah cair pertambangan batu bara selain berpotensi bersifat asam, juga berpeluang mengandung senyawa yang dikategorikan bahan beracun berbahaya (B3), termasuk kemungkinan logam-logam beracun dan bersifat karsinogenik seperti arsenic, merkuri, kromium, boron, selenium dan nikel. Dari aspek teknologi, hal ini mungkin dapat

6 dikelola untuk meminimalkan dampaknya. Namun, penambangan batu bara secara terbuka juga akan memunculkan lubang-lubang galian yang relatif dalam dan luas. Salah satu hasil sekaligus potensi masalah dari akhir penambangan adalah risiko terbentuknya sisa lubang galian yang tidak dapat tereklamasi seperti kondisi rona awal akibat defisit overburden. Secara logis, hal ini sebenarnya memang sangat berpeluang terjadi berdasarkan stripping ratio yang diaplikasikan, karena sebagian batuan (dalam hal ini adalah endapan batubara) telah diambil. Upaya pengambilan batuan atau tanah urug dari kawasan lain juga tentu akan menimbulkan masalah baru. Sisa lubang bekas galian tambang tersebut pada akhirnya akan menjadi kawasan tampungan air larian maupun air hujan karena biasanya posisi kondisi topografi menjadi cenderung lebih rendah dan struktur tanah memadat dan atau sulit diresapi air. Dalam perkembangannya, lahan ini akan tergenang air dan makin berkembang mengalami perubahan menjadi perairan baru di kawasan tersebut. Dengan demikian, cepat ataupun lambat, akan terjadi tahapan perubahan lahan dari terestrial bekas tambang menjadi perairan semacam danau buatan dan akhirnya seiring waktu akan mengalami suksesi ekologis bergantung pada faktor-faktor yang mempengaruhinya. Mencermati fakta yang terjadi, diperlukan kajian yang mendalam terhadap lahan eks tambang yang berubah menjadi sumber daya perairan, khususnya kajian ekologis menyangkut kehadiran dan dampaknya terhadap ekosistem sekitarnya. Dalam hal ini, suksesi void yang akan berkembang menjadi ekosistem perairan tergenang masih menyimpan berbagai pertanyaan menyangkut keberadaannya yang sangat mungkin belum pernah ada sebelumnya di kawasan tersebut, bagaimana kondisi dan atau proses serta senyawa-senyawa yang terkandung di dalamnya termasuk efeknya terhadap kehidupan di dalam dan di sekitarnya. Pada sisi lain, keberadaan void diperkirakan juga berpeluang akan memberikan kontribusi positif solusi alternatif upaya pengelolaan reklamasi tambang secara logis/rasional, serta berpeluang dapat mendukung siklus hidrologis kawasan, keberhasilan revegetasi lahan dan suksesi kawasan. 2

7 Substansi penting dari urgensi kajian ini adalah bukan merupakan dalih perusahaan pertambangan yang melakukan eksploitasi/penambangan batubara untuk meninggalkan lubang-lubang tambang sehingga seolah-olah meninggalkan tanggung jawab atas kebijakan reklamasi tambang, namun yang sangat penting adalah diperlukannya tindakan logis dan rasional atas risiko aktivitas penambangan sebagaimana juga telah dikaji dalam AMDAL yang telah disetujui sebelumnya. Salah satu risiko tersebut adalah adanya risiko defisit overburden akibat aplikasi stripping ratio yang diimplementasikan meskipun tindakan reklamasi telah optimal dilakukan. Akibatnya, akan terbentuk sisa lubang galian yang jika tetap diupayakan untuk ditutup/direklamasi akan menimbulkan dampak penting lain dari sumber-sumber pengambilan material urug dari kawasan lain, yang memang relatif besar diperlukan. Mencermati bahwa solusi alternatif atas kendala penting tersebut adalah tindakan identifikasi dan inventarisasi yang perlu dilakukan, bagaimana mengelola eks lubang tambang tersebut (void) yang jika nantinya akan menjadi sumberdaya perairan, diharapkan memiliki nilai ekologis dan ekonomis yang tidak merugikan baik bagi masyarakat sekitar maupun bagi ekosistem kawasan secara komprehensif, dengan tetap berpegang pada kewaspadaan atas risiko keamanan dan kesehatan masyarakat. Harapan lain dari kajian void ini adalah kontribusi perusahaan bagi masyarakat sekitar kawasan untuk mendapatkan sumber daya air yang memiliki nilai ekonomis, sekaligus nilai ekologis bagi keberlangsungan siklus hidrologis dalam kaitan dengan penyediaan air untuk berbagai fungsi/peruntukan bagi masyarakat, serta peluang pemanfaatan pengendalian banjir. Berdasarkan pertimbangan dan harapan itulah, maka sangat diperlukan kajian yang mendalam terhadap void, terlebih pada kawasan yang telah mengalami suksesi, guna mendapatkan kepastian layak atau tidaknya secara ilmiah pemanfaatan sumber daya perairan buatan yang terbentuk tersebut, dan tindakan pengelolaan yang dibutuhkan. 3

8 Pengelolaan dan pengembangan sumber daya perairan memerlukan konsepsi, perencanaan, dan operasi fasilitas fasilitas untuk mengkaji risiko pemanfaatannya ataupun pengoptimalan pemanfaatannya. Sumber daya perairan memiliki berbagai potensi dan karakteristik yang beragam. Perencanaan yang didasarkan pada pemahaman atas potensi, peluang, risiko dan kendala yang seksama merupakan hal penting untuk mencapai tingkat pemanfaatan sumber daya perairan yang aman maupun optimal nilai gunanya, yang mungkin akan sangat dibutuhkan di masa sekarang dan mendatang Tujuan 1. Melakukan inventarisasi dan identifikasi jenis, karakteristik dan sifat perairan yang terbentuk dari void/lubang eks tambang yang menjadi perairan. 2. Peluang dan risiko void saat menjadi sumber daya perairan potensial dan aktual untuk berbagai peruntukan/fungsi, khususnya bagi masyarakat sekitar kawasan dalam relevansinya dengan pola peluang pengembangan ekonomi masyarakat. 3. Mengidentifikasi permasalahan/kendala yang dihadapi dalam pemanfaatan sumber daya perairan tersebut berdasarkan identifikasi, inventarisasi dan evaluasi sumber daya perairan. 4. Merumuskan model pengembangan, pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya perairan sesuai dengan jenis, karakteristik dan potensinya. 5. Melakukan kajian peluang usaha pemanfaatan sumberdaya air, yang dapat dikelola menjadi sumber pendapatan daerah secara ekonomis, efektif dan efisien berpeluang untuk dikembangkan lebih lanjut secara bijak dan lestari sebagai sumber unggulan, khususnya berkonsep pemberdayaan masyarakat berbudidaya perikanan (culture based fisheries) Sasaran Informasi tersebut diperlukan dan akan menjadi fakta aktual dalam menyusun program pasca tambang, menyangkut keberadaan dan langkah pengelolaan perairan void 4

9 dan atau sumber daya perairan yang berkelanjutan, yang berlandaskan kewaspadaan keamanan dan risiko kesehatan yang tinggi, serta norma ekologis dan konservasi untuk kesinambungan pemanfaatannya melalui pendekatan yang komprehensif. Keuntungan lainnya, revitalisasi potensi perairan berpeluang menjadikan Kabupaten Banjar mengembangkan produksi perikanan unggulan melalui konsep culture based fisheries Indikator Kinerja Manfaat Manfaat yang diharapkan dari penelitian adalah diketahuinya secara jelas, valid dan realistis peluang dan risiko pemanfaatan void eks tambang (risiko dampak faktual penambangan) sebagai sumber daya perairan dan sumberdaya perikanan, baik yang aktual maupun potensial untuk dipertahankan dan dikembangkan sekaligus sebagai pilot project pemanfaatan void pada kegiatan pertambangan yang merupakan implementasi dari Rencana Penutupan Tambang (RPT) Keluaran 1. Pengelolaan void sebagai bahan pertimbangan kebijakan pasca tambang yang logis dan realistis menjadi alternatif sumberdaya perairan dan perikanan, dengan upaya strategis yang ekonomis bagi masyarakat di satu sisi, dan memberikan manfat ekologis di sisi pelestarian lingkungan. 2. Rekomendasi sebagai tindak lanjut pengelolaan terbentuknya void sebagai dampak penambangan menjadi salah satu sumberdaya perairan. 3. Pilot project model reklamasi pada kegiatan pertambangan utamanya bagi pemanfaatan dan pengembangan void sebagai sumberdaya perairan. 4. Implementasi dokumen Rencana Penutupan Tambang (RPT) yang dapat di aplikasikan di masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya air void. 5

10 Dampak Kegiatan ini diprediksikan akan memberikan dampak positif bagi : 1. Efektivitas pengelolaan void di lingkungan kawasan pertambangan, pada tahap pasca penambangan. 2. Terselenggaranya tindak lanjut kegiatan pengelolaan dan penataan lahan pasca penambangan, khususnya terkait potensi keberadaan sumber daya perairan dan peluang usaha perikanan secara terencana dan efektif. 3. Penularan teknologi dalam pemanfaatan void sebagai sumberdaya perairan 6

11 Bab 2 LINGKUP KAJIAN KEGIATAN 2.1. Lingkup Kajian Studi Lingkup kegiatan studi dibatasi pada prioritas kajian: 1. Kondisi kualitas air void (salah satu void eks penambangan batubara PD. Baramarta, sebagai hasil reklamasi pasca tambang lebih dari 5 tahun yang lalu) yang terletak pada koordinat: I : ,27 mt ,41 ms II: ,66 mt ,14 ms III: ,55 mt ,20 ms IV: ,52 mt ,29 ms 2. Kelayakan kualitas air void bagi peruntukan kehidupan biota akuatik 3. Kelayakan kualitas air void bagi peruntukan budidaya akuatik/perikanan 4. Rekomendasi pengelolaan kualitas air void 2.2. Cakupan Materi dan Metode Cakupan materi dan metode kegiatan ditetapkan berdasarkan informasi awal sebagai berikut. - Luas void yang menjadi perairan 7

12 - Berbatasan dengan kegiatan aktivitas tambang, jalan, reklamasi tambang, kebun, dan lahan terganggu lainnya. - Kondisi air limpasan - Topografi setempat dan kawasan sekitar. Berdasarkan pengalaman pengamatan lapangan terhadap kondisi void, dapat diperoleh prediksi deskripsi awal lokasi sebagai berikut 1. Kawasan void masih dipengaruhi oleh dampak aktivitas dari luar, termasuk limpasan air yang diperkirakan dari run-off kawasan reklamasi sekitar yang masih belum optimal direhabilitasi, yang secara visual memiliki kekeruhan relatif tinggi (khususnya saat hujan), yang dapat menyebabkan terus berlangsungnya proses sedimentasi terhadap lingkungan perairan void, sehingga dapat secara dinamis memberikan kontribusi pendangkalan dan peluang suksesi danau di masa depan. Hal ini ditunjang oleh posisi kawasan yang diperkirakan merupakan area dengan kontur terendah pada kawasan tersebut, sehingga menjadi arah limpasan/tampungan air bersama muatan material di dalamnya dari kawasan sekitar. Kondisi kualitas air permukaan perairan diperkirakan terdapat dua kondisi berupa perairan dengan kondisi keasaman yang tinggi, dan di sisi lain terdapat kemungkinan kondisi perairan dengan kondisi alkalis. Hal ini biasa ditandai dengan tingkat kesadahan yang tinggi (kondisi air tidak berbusa dengan proses penyabunan), sehingga perlu pengujian kualitas air secara representative untuk memastikannya. Di sisi lain, kapasitas void mungkin saja tidak mampu menampung lagi limpasan air di sekitarnya, terutama di musim hujan sehingga terjadi overflow ke luar kawasan, dan dapat menjadi salah satu sumber aliran cemaran. Dalam hal ini topografi/kontur kawasan serta posisi kawasan terhadap aktivitas sekitarnya perlu diperhatikan. Diprediksikan pada bentangan perairan akan menerima efek yang berbeda atas pengaruh dari luar, yang tentunya akan berpengaruh pula terhadap proses-proses di dalam badan air termasuk proses sedimentasi di dalamnya. 8

13 2. Perairan void memiliki kedalaman yang relatif dalam jika ditelusuri dari riwayat penambangan, yang berarti dapat menimbulkan stratifikasi perairan akibat pembatasan penetrasi cahaya dan beda suhu, serta konsekuensi ekologis ekosistem di dalamnya. Stratifikasi suhu menimbulkan risiko kemungkinan terjadinya fenomena overturn antar massa air dan material yang akan terbawa pada pelapisan air yang terjadi. 3. Selain itu secara horizontal diperkirakan kondisi kualitas airnya juga akan berbeda, atau dapat terjadi kecenderungan zonasi perairan secara horizontal, sehingga dipandang perlu untuk diamati sebaran kondisi kualitas air secara horizontal. 4. Keanekaragaman flora dan fauna bisa saja cukup beragam, namun masih memerlukan kajian lebih lanjut. Kegiatan di atas memerlukan pengumpulan data/informasi primer, berupa penetapan sampel dan/atau penelusuran sampel di lapangan dan analisis laboratorium, serta pengumpulan data/informasi sekunder dari beberapa sumber; seperti laporan penelitian/pemantauan terdahulu, laporan instansi/lembaga yang relevan, serta kajian komprehensif maupun spesifik. Keseluruhan rancangan kegiatan di atas merupakan langkah-langkah strategis dalam upaya revitalisasi sumberdaya perairan, yang tentunya merupakan kajian-kajian yang memerlukan curahan waktu, tenaga, biaya serta kualifikasi tenaga ahli spesifik untuk mencapai tujuan kegiatan. Tahap I a. Penetapan Parameter Kualitas Air Parameter kualitas air kajian adalah: 1. Memperhatikan asal usul perairan yang merupakan limbah cair penambangan batubara, maka parameter kualitas air ditetapkan mengacu pada KepMen LH No. 113 Tahun

14 Parameter utama limbah tambang batubara Parameter Satuan Kadar Maksimum ph 6-9 Residu Tersuspensi mg/l 400 Besi (Fe) Total mg/l 7 Mangan (Mn) Total mg/l 4 2. Mempertimbangkan rencana peruntukan sumberdaya air, parameter kualitas air ditetapkan mengacu pada PP 82 Tahun 2001 (ada pengurangan beberapa parameter) PARAMETER FISIKA Tempelatur Residu Terlarut Residu Tersuspensi KIMIA ANORGANIK SATUAN o C KELAS I II III IV deviasi 3 deviasi 3 deviasi 3 deviasi 5 mg/ L mg/l Ph BOD mg/l COD mg/l KETERANGAN Deviasi temperatur dari keadaan almiahnya Bagi pengolahan air minum secara konvesional, residu tersuspensi 5000 mg/ L Apabila secara alamiah di luar rentang tersebut, maka ditentukan berdasarkan kondisi alamiah DO mg/l Angka batas minimum Total Fosfat sbg P NO 3 sebagai N mg/l 0,2 0,2 1 5 mg/l NH3-N mg/l 0,5 (-) (-) (-) Arsen mg/l 0, Kobalt mg/l 0,2 0,2 0,2 0,2 Barium mg/l 1 (-) (-) (-) Boron mg/l Selenium mg/l 0,01 0,05 0,05 0,05 Kadmium mg/l 0,01 0,01 0,01 0,01 Khrom (VI) mg/l 0,05 0,05 0,05 0,01 Bagi perikanan, kandungan amonia bebas untuk ikan yang peka 0,02 mg/l sebagai NH3 10

15 PARAMETER SATUAN KELAS I II III IV Tembaga mg/l 0,02 0,02 0,02 0,2 Besi mg/l 0,3 (-) (-) (-) Timbal mg/l 0,03 0,03 0,03 1 Mangan mg/l 0,1 (-) (-) (-) Air Raksa mg/l 0,001 0,002 0,002 0,005 Seng mg/l 0,05 0,05 0,05 2 Khlorida Mg/l 600 (-) (-) (-) Sianida mg/l 0,02 0,02 0,02 (-) Fluorida mg/l 0,5 1,5 1,5 (-) Nitrit sebagai N mg/l 0,06 0,06 0,06 (-) Sulfat mg/l 400 (-) (-) (-) Khlorin bebas mg/l 0,03 0,03 0,03 (-) Belereng sebagai H2S MIKROBIOLOGI mg/l 0,002 0,002 0,002 (-) KETERANGAN Bagi pengolahan air minum secara konvensional, Cu 1 mg/l Bagi pengolahan air minum secara konvensional, Fe 5 mg/l Bagi pengolahan air minum secara konvensional, Pb 0,1 mg/l Bagi pengolahan air minum secara konvensional, Zn mg/l Bagi pengolahan air minum secara konvensional, NO2_N 1 mg/l Bagi ABAM tidak dipersyaratkan Bagi pengolahan air minum secara konvensional, S sebagai H2S <0,1 mg/l Fecal coliform jml/100 ml Bagi pengolahan air minum secara konvensional, fecal -Total coliform -RADIOAKTIVITAS jml/100 ml Gross-A Bq /L 0,1 0,1 0,1 0,1 - Gross-B Bq /L KIMIA ORGANIK Minyak dan Lemak Detergen sebagai MBAS ug /L (-) ug /L (-) coliform 2000 jml / 100 ml dan total coliform jml/100 ml 11

16 PARAMETER Senyawa Fenol sebagai Fenol SATUAN KELAS I II III IV ug /L (-) BHC ug /L (-) Aldrin / Dieldrin ug /L 17 (-) (-) (-) Chlordane ug /L 3 (-) (-) (-) DDT ug /L Heptachlor dan heptachlor epoxide ug /L 18 (-) (-) (-) Lindane ug /L 56 (-) (-) (-) Methoxyclor ug /L 35 (-) (-) (-) Endrin ug /L (-) Toxaphan ug /L 5 (-) (-) (-) KETERANGAN 12

17 Lokasi Studi Gambar 2.1. Peta Lokasi Studi dan Lingkungan Sekitarnya 13

18 Lokasi Studi Gambar Peta Lokasi Studi Void 14

19 3. Mempertimbangkan adanya kehidupan biota akuatik dan habitat ekosistem perairan serta kemungkinan pemanfaatan atau dampak terhadap biota akuatik tersebut maka parameter biologi ditetapkan sebagai berikut a. Plankton b. Benthos c. Pisces/ikan b. Lokasi Pengambilan Sampel (Sampling Site) Mencermati luasan dan kedalaman perairan, dengan memperhatikan kemungkinan pengaruh eksternal yang berbeda serta stratifikasi perairan yang terjadi, maka sampling site ditetapkan: 1. Secara horisontal, perairan terbagi dalam beberapa zonasi atas pertimbangan pengaruh lingkungan eksternal 2. Secara vertikal, perairan berpeluang terjadi stratifikasi, paling tidak terbagi atas zona penetrasi cahaya (fotik), zona nir-penetrasi cahaya (disfotik). c. Pengukuran dan atau Pengambilan sampel (Sampling Collection) Pengukuran dan atau Pengambilan sampel (air dan biota akuatik): 1. Pengukuran sampel di lapangan dilakukan untuk parameter in situ, sedangkan pengambilan sampel dilakukan atas parameter non-in situ 2. Pengukuran dan pengambilan sampel dilakukan sesuai standar pengambilan sampel 3. KepMenLH No. 37 Tahun 2003 tentang Metoda Analisis Kualitas Air Permukaan dan Pengambilan Contoh Air Permukaan 4. Sampel air diambil secara komposit menggunakan ketentuan SNI dengan nomor kelompok d. Penanganan dan Pengawetan Sampel (Handling and Preservation) Penanganan dan pengawetan sampel dilakukan sesuai prosedur standar untuk parameter kualitas air yang bersangkutan. 15

20 e. Analisis Sampel (Sample Analysis) Analisis sampel dilakukan dengan metode standar sesuai parameter kualitas air yang bersangkutan. Antara lain: KepMenLH No. 37 Tahun 2003 tentang Metoda Analisis Kualitas Air Permukaan dan Pengambilan Contoh Air Permukaan f. Interpretasi Hasil Analisis (Interpretation) Interpretasi hasil analisis dilakukan secara cermat secara deskriptif/naratif maupun grafis bernarasi sesuai capaian tujuan kegiatan. Referensi dalam interpretasi hasil analisis antara lain adalah: KepMen LH No. 113 Tahun 2003 PP 82 Tahun 2001 Peraturan Menteri Kesehatan No. 173/MENKES/PER/VIII/77 tentang Pengendalian Pencemaran Air untuk Penggunaan yang Berhubungan dengan Kesehatan Masyarakat. Nomor 416/MENKES/PER/IX/1990 tentang Syarat-Syarat dan Pengawasan Kualitas Air Minum Peraturan Gubernur dan Bupati setempat f. Kebutuhan alternatif kajian sesuai kondisi wilayah studi Beberapa kajian alternatif dapat dilakukan sebagai kajian pendukung untuk mencapai tujuan studi ini, antara lain: 1. Perlakuan introduksi biota akuatik terhadap perairan void. 2. Pengaruh kualitas air void terhadap biota akuatik introduksi. 3. Peluang perairan void bagi kegiatan budidaya perairan. 16

21 Tahap II (Rencana Kegiatan Lanjutan) Secara umum, orientasi kegiatan pada tahap II tidak akan terlepas dari hasil yang diperoleh pada pelaksanaan kegiatan tahap sebelumnya. Berdasarkan hasil analisis dan interpretasi data kegiatan tahap awal akan diperoleh gambaran kondisi riil perairan dan kelayakan fungsi peruntukannya. Tahap III (Rencana Kegiatan Lanjutan) Secara umum, dari hasil analisis dan interpretasi data kegiatan tahap I dan II akan diperoleh implementasi model pengelolaan void dan hasil uji coba lapangan terhadap biota air Tahap Pelaksanaan / Steps Of Implementation Kegiatan ini dilaksanakan dengan tahapan sebagai berikut: 1. Tahap Persiapan / Prepairing a. Pembentukan Tim Independen Pelaksana Kegiatan yang terdiri dari instansi/lembaga yang dianggap relevan dan memiliki kompetensi terhadap tujuan kegiatan. Dalam kerangka pemanfaatan sumberdaya air, sebagai hasil/dampak penambangan yang antara lain diprediksikan akan menghasilkan lubang tambang, maka salah satu instansi teknis yang dilibatkan adalah Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Banjar. Dalam hal ini, hasil pengamatan menjadi bahan pertimbangan teknis bagi instansi yang bersangkutan guna pengembangan pemanfaatan sumberdaya air berorientasi budidaya perairan, jika pada akhir tambang masih ditemukan lubang tambang yang tidak tereklamasi. b. Persiapan/Penunjukan Tim Teknis Pendamping Tim teknis pendamping melibatkan langsung staf dari PD. Baramarta, guna melihat langsung kegiatan pengamatan di lapangan. c. Penyusunan Jadwal Pelaksanaan dan Pembagian Kerja Tim. 17

22 Jadwal kegiatan disusun secara tentatif diselaraskan dengan tahapan dan tujuan kegiatan. 2. Tahap Pelaksanaan / Implementations - Persiapan survei lapangan; (a) penyusunan dan pembagian tugas tim kerja, (b) desain survei, (c) kelengkapan administrasi, (d) inventarisasi dan penentuan skala prioritas. - Penelusuran data sekunder yang relevan. - Penetapan kawasan sampling - Survei lapangan - Analisis hasil survei dan penelusuran data sekunder, kompilasi data. - Pengolahan dan analisis data - Drafting Laporan Akhir; Penyusunan hasil dan Rekomendasi serta Pembuatan Peta. - Diskusi/Presentasi dan penyempurnaan Laporan Akhir. - Penyelesaian Laporan Akhir. 18

23 Bab 3 HASIL KEGIATAN 3.1. Hasil Pengamatan Lapangan Kualitas Air Kegiatan ini dilakukan dalam berbagai tahapan, selaras dengan tujuan yang akan dicapai. Pada tahap awal dilakukan pengamatan pendahuluan kualitas air void sesaat yang menjadi target pengamatan, yang diperoleh hasilnya sebagai berikut. Tabel Kondisi Parameter Kualitas Air Pada Studi Pendahuluan No Parameter Satuan Hasil Pengukuran Baku Mutu* Keterangan** Keterangan Lain 1 TSS mg/l M Kondisi perairan relatif 2 ph 5,1 6-9 TM surut, waktu 3 COD mg/l 29, M sampling pukul 4 Mn mg/l 4, TM SO 4 mg/l 630,88-6 Fe mg/l 0, M 7 Hg mg/l 0,043 0,002 TM * ) Baku Mutu Limbah Cair (Pergub No. 036/2008) **) M = memenuhi baku mutu; TM = tidak memenuhi baku mutu Sumber: Sampling lapangan, Mei 2010 Hasil pengamatan pendahuluan menunjukkan beberapa parameter kualitas air (ph, Mn, SO 4, Hg) terukur tidak memenuhi ketentuan baku mutu. Kondisi ini disebabkan oleh: 1. Perairan void tersebut merupakan perairan tertutup (relatif tergenang) bekas penambangan batubara, dimana lapisan tanah telah terdedah sehingga mineralmineral batuan yang sebelumnya tersimpan di dalam tanah dalam menjadi terpapar langsung dengan udara dan air yang berisiko menyebabkan terjadinya oksidasi senyawa mineral yang dapat menurunkan kualitas air. Potensi ini lebih didorong lagi oleh sisa deposit mineral tambang yang tidak terangkut sebelum tergenang. 2. Input perairan void terutama berasal dari curah hujan dan cathment area sekitar dan ditambah lagi zat-zat yang merupakan resultan dari aliran air yang masuk, serta tidak terdapat outlet sehingga perairan relatif tergenang. Kondisi ini menyebabkan proses 19

24 pencucian lahan oleh badan air menjadi terhambat dan mempengaruhi kualitas badan air void. Pengamatan kualitas air selanjutnya dilakukan secara periodik selama kegiatan berlangsung. Hasil pengamatan/pengukuran sampel air disajikan pada tabel berikut. Tabel 3.2. Pengamatan Kualitas Air Periode 1 (bulan Juli 2010) Parameter Hasil Pengukuran Satuan I II III IV Kelas 1A 1B 2A 2B 3A 3B Temperatur 31,0 31,0 29,4 29,5 30,5 29,6 o C deviasi deviasi deviasi deviasi 5 Kecerahan cm Kedalaman 15,1 15,1 30,9 30,9 24,4 24,4 m TDS 105,3 169,8 99,5 139,2 69,1 135,4 mg/l TSS mg/l ph 5,96 5,25 5,62 5,52 5,61 5, BOD 6,5 10,8 6,7 11,9 7,1 13,2 mg/l COD 20,12 25,11 20,12 25,23 23,15 29,35 mg/l DO 5,4 3,4 6,0 3,8 6,0 4,0 mg/l Total Fosfat 0,004 0,003 0,004 0,002 0,005 0,001 mg/l 0,2 0,2 1 5 sbg P NO 3 2,0 0,8 1,5 0,4 1,7 0,3 mg/l sebagai N NH 3-N 0,15 0,59 0,18 0,70 0,16 0,71 mg/l 0,5 (-) (-) (-) Arsen 0,002 0,008 0,003 0,005 0,002 0,006 mg/l 0, Kobalt Ttd Ttd Ttd Ttd Ttd Ttd mg/l 0,2 0,2 0,2 0,2 Barium Ttd Ttd Ttd Ttd Ttd Ttd mg/l 1 (-) (-) (-) Boron Ttd Ttd Ttd Ttd Ttd Ttd mg/l Selenium Ttd Ttd Ttd Ttd Ttd Ttd mg/l 0,01 0,05 0,05 0,05 Kadmium 0, , , , , ,00002 mg/l 0,01 0,01 0,01 0,01 Khrom (VI) 0, , , , , ,00006 mg/l 0,05 0,05 0,05 0,01 Tembaga 0,038 0,057 0,046 0,068 0,019 0,038 mg/l 0,02 0,02 0,02 0,2 Besi 0,059 0,094 0,064 0,085 0,051 0,065 mg/l 0,3 (-) (-) (-) Timbal 0,0012 0,0035 0,0025 0,0017 0,0035 0,0029 mg/l 0,03 0,03 0,03 1 Mangan 0, , , , , ,00028 mg/l 0,1 (-) (-) (-) Air Raksa 0, , , , , ,00003 mg/l 0,001 0,002 0,002 0,005 Seng 0,0127 0,0215 0,0155 0,0239 0,0134 0,0251 mg/l 0,05 0,05 0,05 2 Khlorida 3,71 8,46 4,27 10,15 3,16 7,26 Mg/l 600 (-) (-) (-) Sianida Ttd Ttd Ttd Ttd Ttd Ttd mg/l 0,02 0,02 0,02 (-) Fluorida Ttd Ttd Ttd Ttd Ttd Ttd mg/l 0,5 1,5 1,5 (-) Nitrit 0,002 0,17 0,005 0,25 0,002 0,18 mg/l 0,06 0,06 0,06 (-) sebagai N Sulfat mg/l 400 (-) (-) (-) Khlorin bebas 0,001 0,003 0,001 0,002 0,003 0,004 mg/l 0,03 0,03 0,03 (-) H 2S 0,0003 0,0012 0,0004 0,0016 0,0002 0,0013 mg/l 0,002 0,002 0,002 (-) Keterangan: Stasiun 1A,2A,3A = permukaan air, Stasiun 1B,2B,3B = bawah air 20

25 3 1 2 Gambar Sampling Site Kualitas Air 21

26 Tabel 3.3. Pengamatan Kualitas Air Periode 2 (bulan Oktober 2010) Parameter Hasil Pengukuran Satuan I II III IV Kelas 1A 1B 2A 2B 3A 3B Temperatur 31,2 31,2 29,6 29, ,1 o C deviasi devias deviasi 3 i 3 3 deviasi 5 Kecerahan cm Kedalaman 15,1 15,1 30,9 30,9 24,4 24,4 m TDS 103,6 168,7 98,3 137,8 68,9 130,5 mg/l TSS mg/l ph 6,08 6,16 5,91 5,73 5,87 5, BOD 6,1 10,6 6,4 11,6 6,5 12,6 mg/l COD 19,69 21,20 19,31 23,48 22,72 28,78 mg/l DO 5,6 3,5 6,1 3,8 6,3 4,0 mg/l Total Fosfat 0,003 0,002 0,002 0,001 0,003 0,001 mg/l 0,2 0,2 1 5 sbg P NO 3 1,8 0,7 1,4 0,3 1,5 0,2 mg/l sebagai N NH 3-N 0,12 0,52 0,14 0,67 0,13 0,61 mg/l 0,5 (-) (-) (-) Arsen 0,001 0,007 0,002 0,005 0,001 0,007 mg/l 0, Kobalt Ttd Ttd Ttd Ttd Ttd Ttd mg/l 0,2 0,2 0,2 0,2 Barium Ttd Ttd Ttd Ttd Ttd Ttd mg/l 1 (-) (-) (-) Boron Ttd Ttd Ttd Ttd Ttd Ttd mg/l Selenium Ttd Ttd Ttd Ttd Ttd Ttd mg/l 0,01 0,05 0,05 0,05 Kadmium 0, , , , , ,00003 mg/l 0,01 0,01 0,01 0,01 Khrom (VI) 0, , , , , ,00006 mg/l 0,05 0,05 0,05 0,01 Tembaga 0,034 0,055 0,042 0,061 0,013 0,036 mg/l 0,02 0,02 0,02 0,2 Besi 0,057 0,092 0,062 0,082 0,049 0,063 mg/l 0,3 (-) (-) (-) Timbal 0,0011 0,0032 0,0024 0,0012 0,0031 0,0027 mg/l 0,03 0,03 0,03 1 Mangan 0, , , , , ,00026 mg/l 0,1 (-) (-) (-) Air Raksa 0, , , , , ,00003 mg/l 0,001 0,002 0,002 0,005 Seng 0,0125 0,0212 0,0152 0,0232 0,0131 0,0243 mg/l 0,05 0,05 0,05 2 Khlorida 3,68 8,41 4,21 10,12 3,12 7,24 mg/l 600 (-) (-) (-) Sianida mg/l 0,02 0,02 0,02 (-) Fluorida Ttd Ttd Ttd Ttd Ttd Ttd mg/l 0,5 1,5 1,5 (-) Nitrit 0,002 0,14 0,004 0,21 0,001 0,11 mg/l 0,06 0,06 0,06 (-) sebagai N Sulfat mg/l 400 (-) (-) (-) Khlorin bebas 0,001 0,004 0,001 0,002 0,002 0,004 mg/l 0,03 0,03 0,03 (-) H 2S 0,0002 0,0010 0,0003 0,0013 0,0001 0,0011 mg/l 0,002 0,002 0,002 (-) Keterangan: Stasiun 1A,2A,3A = permukaan air, Stasiun 1B,2B,3B = bawah air Hasil pengukuran kualitas air menunjukkan meskipun status air di lingkungan void masih mengandung beberapa senyawa/unsur yang dapat membahayakan bagi kesehatan manusia, namun masih dapat di toleransi untuk kelayakan kehidupan biota akuatik. Hanya saja efek senyawa/unsur beracun (toksik) tersebut masih perlu dikaji lebih mendalam terkait dengan pengaruhnya terhadap pertumbuhan dan perkembangan ikan, dan/atau terhadap organ ikan maupun kelayakannya jika dikonsumsi oleh manusia. Indikator Parameter Pencemaran Perairan Pengelolaan lingkungan perairan void diperlukan sebagai suatu petunjuk untuk menilai perairan tersebut apakah masih layak digunakan sesuai dengan peruntukannya atau tidak. Mengingat kebutuhan akan air bukan saja dari segi kuantitas, tetapi juga 22

27 dalam hal kualitas harus baik. Dalam usaha pengendalian pencemaran perairan void sangat diperlukan informasi dan masukan mengenai tingkat pencemaran yang terjadi di perairan tersebut. Indeks mutu lingkungan perairan (IMLP) secara umum dapat digunakan untuk memonitor status kualitas air secara menyeluruh sebagai dasar dalam pengambilan kebijakan pengelolaan perairan. Beberapa karakteristik atau indikator kualitas air yang disarankan untuk dianalisis sehubungan pemanfaatan sumberdaya air untuk berbagai keperluan, antara lain parameter fisika, kimia dan biologi (Effendi, 2003). Suhu Suhu suatu badan air dipengaruhi oleh musim, posisi lintang (latitude) ketinggian dari permukaan air laut (altitude), waktu dalam hari, sirkulasi udara penutupan awan, dan aliran serta startifikasi kedalaman suatu perairan. Perubahan suhu membawa dampak nyata terhadap proses fisika, kima dan biologi perairan. Peningkatan suhu berakibat peningkatan viskositas, reaksi kimia, evaporasi dan volatilisasi. Selain itu, peningkatan suhu air berakibat penurunan kelarutan gas dalam air seperti O 2, CO 2, N 2, dan CH 4. Organisme akuatik memiliki rentang suhu (batas toleransi) tertentu (batas atas dan batas bawah) yang disukai bagi pertumbuhannya. Peningkatan suhu menyebabkan peningkatan kecepatan metabolisme dan respirasi organisme air, misalnya gas O 2, CO 2, H 2,CH 4, dan sebagainya (Effendi, 2003). Selain itu, peningkatan suhu juga menyebabkan peningkatan kecepatan metabolisme dan respirasi organisme air, yang mengakibatkan peningkatan konsumsi O 2,. Peningkatan suhu perairan sebesar 10 o C menyebabkan terjadinya peningkatan konsumsi O 2 oleh organisme akuatik sekitar 2 3 kali lipat, disertai dengan penurunan kadar O 2 terlarut sehingga keberadaan O 2 tidak memenuhi kebutuhan O 2 bagi organisme akuatik untuk melakukan proses metabolisme dan respirasi. Proses fotosintesis berjalan melalui mekanisme enzimatis, sehingga berlangsung pada rentang suhu tertentu. Kenaikan suhu akan memacu enzim mengkatalis proses fotosintesis, tetapi suhu yang terlalu tinggi akan 23

28 menyebabkan degradasi enzim dan penghambatan fotosintesis (Folkowski and Raven, 1997). Berdasarkan hasil dari analisis dilapangan, suhu perairan studi berkisar antara 29,1 o C 31,2 o C, Penurunan suhu secara vertikal dari permukaan sampai pada kedalaman m terlihat relatif kecil yaitu berkisar 1 0 C vertikal. Kondisi ini menunjukan bahwa sampai pada kedalaman m perairan tersebut mengalami stratifikasi, tetapi tidak terjadi termoklin. Secara keseluruhan suhu perairan masih cukup layak untuk menunjang kehidupan biota air dan masih dalam keadaan normal dan masih dalam Deviasi 3 (deviasi temperatur dari keadaan alamiah) sesuai dengan Baku Mutu Air Klasifikasi Kelas tiga, yaitu air yang peruntukannya dapat digunakan untuk pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan air yang sama dengan kegunaan tersebut (Pergub Kalsel Nomor 5 Tahun 2007 dan PP Nomor 82 Tahun 2001). Kecerahan Kecerahan perairan menurut Parson et al. (1963) menunjukkan kemampuan cahaya menembus lapisan air pada kedalaman tertentu. Pada perairan alami, kecerahan berperan penting karena erat kaitannya dengan aktivitas fotosintesis dan produktifitas perairan. Sebagian besar ikan yang dalam menentukan arah renang dan mencari makan menggunakan mata memerlukan kondisi kecerahan tertentu pula. Kecerahan air tergantung dari warna dan kekeruhan. Kecerahan merupakan ukuran transparansi perairan, yang ditentukan secara visual dengan menggunakan secchi disk. Nilai ini dipengaruhi oleh keadaan cuaca, padatan tersuspensi, waktu pengukuran dan ketelitian. Berdasarkan hasil dari analisis di lapangan, kecerahan di wilayah perairan studi berbeda-beda pada tiap titik sampling hal ini disebabkan pengaruh dari faktor lumpur yang beasal dari erosi dan run off, ketika waktu pengamatan terjadi densitas hujan sedang sehingga pada stasiun 1 dan 3 ada aliran air dari samping dan dinding void yang 24

29 membawa sedikit lumpur, sedangkan pada stasiun stasiun 2 terletak di tengah perairan void yang tidak terdapat pengaruh dari peristiwa tersebut. Kondisi ini menunjukan bahwa pada umumnya tiap kedalaman yang berbeda nilai produktivitas juga berbeda, disebabkan adanya pengaruh intensitas sinar matahari yang diterima perairan. Besar intesitas sinar matahari akan menurun dengan bertambahnya kedalaman yang akan menurunkan pula aktivitas fotosintesis tanaman berklorofil, sehingga nilai produktivitas perairan juga akan menurun. Dengan demikian produktivitas pada lapisan permukaan akan lebih besar daripada lapisan dibawahnya akan tetapi, menurut Welch dan Lindell (1980), Wetzel (1983) dan Odum (1993), intensitas sinar matahari yang besar dapat terjadi pada permukaan perairan, sehingga dapat menghambat pertumbuhan dan laju fotosintesis fitoplankton. Apabila terjadi, maka nilai produktivitas pada lapisan permukaan di perairan void lebih kecil daripada lapisan di bawahnya. Kedalaman Berdasarkan hasil pengamatan pada tabel 3.2 dan 3.3 kedalaman perairan pada stasiun pengamatan di wilayah studi berkisar antara 15,1 m 30,9 m. Kedalaman perairan pada lokasi studi berbeda-beda pada tiap stasiun/kontur tanah dasar tidak rata atau bergelombang. Kedalaman perairan yang paling dalam terletak pada stasiun 2 yaitu 30,9 m dan yang paling kecil/ surut adalah pada stasiun 1 yaitu 15,1 m. Perbedaan stratifikasi membawa lambatnya proses biodegradasi unsur logam terutama pada kedalaman yang memiliki sifat disfotik karena mengandalkan reaksi oleh bakteri anaerob. Total Suspended Solid (TSS) Padatan tersuspensi total (Total Suspended Solid atau TSS) adalah bahan-bahan tersuspensi (diameter > 1 mikro meter) yang tertahan pada saringan milipore dengan diameter pori 0,45 mikro meter. TSS terdiri dari lumpur dan pasir halus serta jasad-jasad renik, terutama disebabkan oleh kikisan tanah atau erosi tanah yang terbawa ke badan air. Masuknya padatan tersuspensi ke dalam perairan dapat menimbulkan kekeruhan air. Hal ini menyebabkan menurunnya laju fotosintesis fitoplankton, sehingga produktivitas 25

30 primer perairan menurun, yang pada gilirannya menyebabkan terganggunya keseluruhan rantai makanan. Padatan tersuspensi yang tinggi akan mempengaruhi biota di perairan melalui dua cara. Pertama, menghalangi dan mengurangi penentrasi cahaya ke dalam badan air, sehingga mengahambat proses fotosintesis oleh fitoplankton dan tumbuhan air lainnya. Kondisi ini akan mengurangi pasokan oksigen terlarut dalam badan air. Kedua, secara langsung TSS yang tinggi dapat mengganggu biota perairan seperti ikan karena tersaring oleh insang. Padatan tersuspensi akan mengurangi penetrasi cahaya ke dalam air, sehingga mempengaruhi regenerasi oksigen secara fotosisntesis dan kekeruhan air juga semakin meningkat dan peningkatan kandungan padatan tersuspensi dalam air dapat mengakibatkan penurunan kedalaman eufotik, sehingga kedalaman perairan produktif menjadi turun (Nybakken,1992). Untuk keperluan perikanan, Pemerintah menetapkan kriteria baku mutu air dari kandungan padatan terlarut tidak lebih dari 1500 mg/l, serta 1000 mg/l bagi peruntukan golongan B. BBAT Dirjen Perikanan (1988) menyebutkan kriteria air yang baik untuk ikan mempunyai muatan suspensi antara ppm, sedangkan Alabaster and Lloyd (1980) di dalam Abel (1989) menjelaskan bahwa perairan yang mengandung padatan tersuspensi lebih dari 80 mg/l tidak mendukung bagi keperluan perikanan. Berdasarkan hasil pengamatan pada tabel diatas, padatan tersuspensi total (TSS) dari 13 mg/l 55 mg/l dengan demikian untuk semua stasiun tidak melebihi batas baku mutu air untuk perikanan, dan mendukung untuk kegiatan perikanan. Derajat Keasaman (ph) Kadar asam atau basa yang ada dalam larutan ditunjukkan dengan ph, melalui konsentrasi atau aktivitas ion hidrogen (H + ). Ketersediaan ion H + selalu dalam keadaan dinamis dengan air (H 2 O) yang membentuk suasana bagi kelangsungan semua reaksi kimia yang bersangkutan dengan masalah pencemaran air dan kehidupan makhluk air (Alaerts dan Santika, 1984). Nilai ph berkisar antara Perairan yang netral memiliki ph 7, sementara perairan di bawah ph 7 bersifat asam dan di atas 7 bersifat basa. Kadar 26

31 senyawa - senyawa seperti CO 2, N, P dapat dikendalikan oleh ph (Goldman and Horne, 1983). Hampir semua jenis ikan pada ph di bawah 4 dan di atas 9 menurut Brown (1987) tidak mampu bertahan hidup. Jenis-jenis ikan yang lebih peka, tidak mampu bertahan hidup pada ph di bawah 5 dan di atas 8. Pescod (1973) mengungkapkan bahwa toleransi organisme perairan terhadap ph sangat bervariasi, tergantung faktor-faktor lain di antaranya kandungan oksigen terlarut, alkalinitas dan berbagai anion atau kation serta jenis dan stadia organisme. Boyd (1988) memberikan kisaran 6,5 9 untuk kondisi yang baik bagi produksi ikan, > 9 tingkat alkalis yang mematikan, < 6 menyebabkan pertumbuhan lambat. ph 5 merupakan tingkat keasaman yang mengakibatkan tidak ada reproduksi. Air yang mempunyai keasaman pada ph 4 dan kebasaan pada ph 11 merupakan titik kematian bagi ikan. Berdasarkan hasil pengukuran ph pada tabel xx diatas kisaran ph pada perairan wilayah studi antara 5,73 6,28. Pada ph tersebut ikan masih bisa bertahan hidup, sesuai dengan pendapat Boyd (1988) yang menyatakan kebanyakan perairan alami memiliki ph antara 5 10 dengan frekwensi terbesar antara 6,5 9,0 Oksigen Terkarut (DO atau Dissolved Oxygen) Berdasarkan pengamatan terhadap masing-masing stasiun didapatkan data seperti tabel 3.2 dan 3.3 diatas, DO pada stasiun 1A untuk air permukaan adalah 5,6 mg/l dan 1B untuk air dasar adalah 3,5 mg/l. DO pada stasiun 2A untuk air permukaan adalah 6,10 mg/l dan 2B untuk air dasar adalah 3,8 mg/l. DO pada stasiun 3A untuk air permukaan adalah 6,3 mg/l dan 3B untuk air dasar adalah 4,0 mg/l. Dari hasil pengamatan di atas terlihat perbedaan antara stasiun A (air permukaan) dan B (air dasar) terlihat perbedaan yang cukup signifikan, hal ini karena dipengaruhi oleh faktor startifikasi kedalaman. Kandungan DO rata-rata pada ke enam titik sampling berkisar antara 3,5 mg/l 6,3 mg/l merupakan kandungan aman untuk pelaksanaan keperluan perikanan dan pertanian (Kelas III) berdasarkan PP Nomor 82 Tahun 2001 dan Pergub Nomor 5 Tahun 2007, karena DO hasil pengamatan diatas 3 mg/l. Sedangkan batas baku mutu minimal untuk kegiatan Perikanan dan Peternakan (Kelas III) adalah 27

32 minimal 3 mg/l. Menurut indikator status kualitas air Lee et al. (1978), kandungan oksigen terlarut pada lingkungan perairan void berada dalam status tercemar ringan hingga sedang. Keberadaan oksigen terlarut di perairan sangat dipengaruhi oleh suhu, turbulensi air, dan tekanan atmosfer. Kadar oksigen berkurang dengan semakin meningkatnya suhu, kedalaman, dan berkurangnya tekanan atmosfer, penyebab utama berkurangnya kadar oksigen terlarut dalam air disebabkan karena adanya zat pencemar yang dapat mengkonsumsi oksigen. Sebagian besar dari zat pencemar yang menyebabkan oksigen terlarut berkurang adalah limbah organik. Oksigen terlarut (DO) merupakan salah satu komponen utama bagi metabolisme ikan dan organisme lainnya yang dihasilkan dari proses fotosintesa fitoplankton dan makrofita. Kelarutan di dalam air dipengaruhi oleh sifat fisik, kimia dan biologis perairan. Dengan demikian perubahan pada faktor-faktor tersebut menyebabkan perubahan oksigen terlarut yang pada gilirannya memberikan dampak negatif terhadap organisme air (Wardoyo, 1981). Kebutuhan Oksigen Kimia (Chemical Oxygen Demand atau COD) Berdasarkan hasil pengamatan terhadap parameter kimia air pada masing-masing stasiun (tabel 3.2 dan 3.3). Untuk stasiun A (air permukaan ) nilai COD berkisar antara 19,31 mg/l 22,72 mg/l dan untuk stasiun B (air dasar) COD berkisar antara 21,20 mg/l 28,78 mg/l. Nilai COD Dari semua stasiun pengamatan menunjukkan tidak melebihi batas minimum baku mutu air untuk kegiatan Perikanan dan Peternakan (Kelas III) PP Nomor 82 Tahun 2001 dan Pergub Nomor 5 Tahun 2007, yaitu nilai COD tidak melebihi 50 mg/l. Jadi Void Baramarta bisa digunakan untuk kegiatan perikanan dan peternakan di tinjau dari nilai COD perairannya. Menurut Effendi (2003), perairan yang memiliki nilai COD tinggi sangat tidak diinginkan bagi kepentingan pertanian dan perikanan. Nilai COD pada perairan yang tidak tercemar biasanya kurang dari 20 mg/l sedangkan pada perairan yang tercemar 28

33 dapat lebih dari 200 mg/l. Pengamatan terhadap COD ini menunjukkan bahwa rata rata nilai COD pada perairan pengamatan lebih dari 20 mg/l yang berarti perairannya tercemar dan semakin kedasar perairan nilai COD semakin menurun fenomena ini menunjukkan bahwa masih banyak senyawa anorganik yang belum di reduce oleh mekanisme sistem alamiah void karena terbatasnya unsur oksigen dan cahaya. Hal ini dipastikan karena perairan pengamatan merupakan lahan bekas kegiatan tambang batubara. Tetapi nilai COD pada perairan void ini masih bisa digunakan untuk kegiatan Perikanan dan Peternakan. Nilai COD menunjukkan ukuran pencemaran air oleh zat organik secara alamiah dapat dioksidasikan melalui proses mikrobiologis dan mengakibatkan berkurangnya oksigen yang terlarut dalam air. Nilai COD akan meningkat sejalan dengan konsentrasi bahan organik dalam air dan meningkatnya BOD 5. Makin tinggi nilai BOD 5 dan COD suatu perairan maka semakin besar pula kadar oksigen terlarut yang dibutuhkan dalam proses biologis dan kimiawi sehingga akan mengurangi ketersediaan oksigen terlarut. Logam Berat dalam Perairan Pencemaran perairan void berasal dari point source (internal) yang merupakan acid mine drainage (AMD) bekas galian tambang batubara (floor) yang mengandung PAF (Pembentuk Asam Potensial)/NAF (Pembentuk Non Asam) yang berdasarkan berat jenis partikulatnya telah mengendap di dasar perairan akibat terisi debit air yang terus menerus sehingga lebih dominan debit air yang berasal dari presipitasi. Berikutnya pencemaran void berasal dari non point source (eksternal) yang berasal dari run off dan erosi permukaan karena lingkungan merupakan zonasi tambang batubara, ke-2 sumber tersebut turut mengkontribusi dan menyusun struktur kualitas air di lingkungan void. Unsur logam, termasuk logam berat ditemukan pula dalam batubara. Namun kandungan logam sangat bervariasi tergantung kepada lokasi tambang batubara. Greenfield, Bell dan Gohschlich (2002) dikemukakan bahwa batubara mengandung logam sulfida yang jika berada dalam air akan teroksidasi. Akibatnya terjadi penurunan ph air, munculnya sulfationik dan pelarutan logam ionik dalam air penerima. Dalam 29

34 sedimen akan terbentuk endapan Fe, proses yang kompleks terjadi oksidasi FeS 2 Fe 2+, kemudian oleh bakteri Ocidopholic dan Thiobacillus ferrooxidans diubah menjadi Fe 3+ dan dalam keadaan oksigen mencukupi terbentuknya endapan Fe(OH) 3 dalam sedimen. Sedimen yang tinggi pada suatu perairan akan merupakan salah satu faktor yang mengurangi produktivitas perairan. Dalam padatan terkandung berbagai logam berat yang dapat larut dan terikat dalam sedimen sehingga berbahaya bagi makhluk hidup. Sedimen dan padatan terlarut dalam air mempengaruhi warna air, sifat transparansi yang berpengaruh pada produktivitas dan juga berhubungan dengan kualitas air. Pemicu timbulnya senyawa logam-logam berat tersebut berasal dari acid mine drainage (AMD) berupa cairan yang terbentuk akibat oksidasi mineral-mineral sulfida, terutama pirit (FeS 2 ) yang menghasilkan asam sulfat (Sexstone et al., 1999). Dengan tingkat kemasamannya yang tinggi, AMD dapat melarutkan mineral-mineral lain dan melepaskan kation-kation, seperi Fe, Mn, Al, Cu, Zn, Cd, Ni, dan Hg. Apabila terbawa ke sumber air, AMD dapat mendegradasi produktivitas biologis sistem akuatik tersebut. Pada kondisi parah, maka air menjadi tidak aman konsumsi dan penggunaan-penggunaan yang lain, seperti irigasi, industri, dan rekreasi (Widdowson, 1990). Berdasarkan data pengamatan kualitas air void (tabel 3.2 dan 3.3) terlihat jelas unsur-unsur logam tersebut terdeteksi baik di periode Juli 2010 maupun Oktober 2010, nampak tidak terjadi penurunan yang signifikan (0,0001 pada parameter timbal dan Hg tidak berubah) dalam rentang waktu tersebut dimana unsur logam dibawah air terukur lebih tinggi daripada dipermukaan. Artinya dengan tetap membiarkan void dalam kondisi saat ini (alamiah) diperlukan waktu yang sangat lama untuk merecovery kondisi void untuk berbagai kepentingan pemanfaatan sumberdaya perairan void. Kesuburan Perairan Void Kesuburan perairan mekanisme alamiah secara umum disebabkan pengkayaan oleh unsur hara yang dibawa oleh aliran air dari hasil pencucian lapisan tanah permukaan dan limbah organik. Proses masuknya hara ke badan perairan dapat melalui dua cara yaitu: (1) penapisan air drainase lewat pelepasan hara tanaman terlarut dari tanah; dan 30

35 (2) lewat erosi permukaan tanah atau gerakan dari partikel tanah halus masuk ke sistem drainase. Berdasarkan hasil pengamatan mekanisme alamiah ke-2 telah berlangsung di perairan void terutama saat presipitasi, sedangkan mekanisme ke-1 masih belum berlangsung. Berdasarkan trofik level (tingkat kesuburan) void di lokasi studi dapat diklasifikasikan oligotrofik dicirikan dengan dengan kadar hara rendah (miskin unsur hara), biasanya memiliki perairan yang dalam, dengan bagian hipolimnion lebih besar dibandingkan dengan bagian epilimnion. Semakin dalam ekosistem void semakin tidak subur, tumbuhan litoral jarang dan kepadatan plankton rendah, tetapi jumlah spesiesnya tinggi. Indikator lain untuk menentukan trofik (kesuburan) suatu perairan dapat dinyatakan berdasarkan kandungan total fosfat (TP) yang terlihat pada ke-2 periode bernilai < 5 mg/l. Berdasarkan mekanisme alamiah dari kondisi void di zona perairan dasar lebih banyak terjadi proses anoksik sehingga denitrifikasi yaitu reduksi nitrat berjalan optimal pada kondisi anerob (tak ada oksigen). Kondisi anaerob di sedimen membuat proses denitrifikasi lebih besar, yaitu dengan laju rata-rata 1 mg l -1 hari -1. Kadar nitrogen yang tinggi dalam perairan dapat merangsang pertumbuhan algae secara tak terkendali (blooming) di lokasi void yang airnya berwarna kehijauan. Fenomena peningkatan unsur nitrat nampak jelas apabila dibandingkan dengan unsur P terutama yang berada di dasar Kualitas Lahan Secara umum keadaan lahan sekitar kawasan void yang diamati di wilayah pengamatan pertambangan PD. Baramarta memperlihatkan tingkat kemiringan yang agak curam yaitu sekitar 15-25%, dan sebagian relatif agak datar yaitu 3-5%. Melihat keadaan demikian bahwa sebagian wilayah pengamatan mempunyai kemiringan yang 31

36 agak curam sangat rentan terhadap terjadinya erosi dan sangat berpengaruh terhadap penurunan produktivitas tanah. Tetapi sebagian lahan sudah ditutupi oleh seresah atau sisa-sisa tanaman serta tanaman penutup sehingga bermanfaat mencegah dan/menurunkan risiko erosi, dikarenakan seresah-seresah dan tanaman penutup lainnya tersebut dapat melidungi tanah permukaan dari daya timpa butir-butir hujan, dan melindungi tanah permukaan tersebut dari daya kikis aliran air permukaan yang dapat berakibat terjadinya erosi alur yang akhirnya terjadi erosi parit. Meskipun demikian kenyataannya masih terlihat ada terjadinya erosi yaitu erosi parit di sebagian wilayah pengamatan dengan kedalaman 20 cm dan lebar 20 cm, dengan kedalaman 80 cm dan lebar 60 cm serta kedalaman 15 cm dan lebar 20 cm. Hal ini menunjukan bahwa masih ada lahan yang perlu pengelolaan lebih serius. Di lahan-lahan tersebut terlihat lereng yang agak curam dan masih sedikitnya tanaman penutup permukaan tanah sehingga menjadikan terkikisnya tanah permukaan akibat masih adanya aliran air permukaan yang dapat menghanyutkan tanah tersebut. Keadaan demikian harus cepat ditanggulangi karena dikhawatirkan akan berakibat lebih meluasnya erosi akibat terkikisnya tanah terbawa oleh aliran air. Dalam usaha untuk mencegah atau mengendalikan erosi ini, hendaknya diperhatikan beberapa faktor seperti iklim, tanah, kemiringan, vegetasi penutup dan kegiatan manusia. Dari faktor-faktor tersebut dapat ditentukan usaha pengendalian erosi dengan berdasarkan prinsip-prinsip, yaitu memperbesar resistensi tanah sehingga daya rusak dan daya hanyut aliran permukaan terhadap partikel-partikel tanah dapat diperkecil dan memperbesar kapasitas infiltrasi sehingga lajunya aliran permukaan dapat dikurangi. Meskipun demikian, mengingat sebagian kedalaman void masih relatif dalam (mencapai >30m), yang dapat berakibat terjadinya stratifikasi suhu perairan beserta implikasinya dalam sistem akuatik, dan maka teori yang masih terjadi di sekitar lingkungan void dapat dipertimbangkan menjadi: - erosi yang diharapkan - erosi yang tidak diharapkan 32

Pemanfaahn Sumber Qaya Perairan Void Reklamasi TambanglEks Penamhangan Batubara. Berbasis Pemberdayaan Masyarakat

Pemanfaahn Sumber Qaya Perairan Void Reklamasi TambanglEks Penamhangan Batubara. Berbasis Pemberdayaan Masyarakat Kajian Strategi Pengelolaan dan Revitalisasi Pemanfaahn Sumber Qaya Perairan Void Reklamasi TambanglEks Penamhangan Batubara PD. Baramarta Kabupaten Baniar Berbasis Pemberdayaan Masyarakat Dibiayai oleh

Lebih terperinci

Lampiran 1 Hasil analisa laboratorium terhadap konsentrasi zat pada WTH 1-4 jam dengan suplai udara 30 liter/menit

Lampiran 1 Hasil analisa laboratorium terhadap konsentrasi zat pada WTH 1-4 jam dengan suplai udara 30 liter/menit Lampiran 1 Hasil analisa laboratorium terhadap konsentrasi zat pada WTH 1-4 jam dengan suplai udara 30 liter/menit Konsentrasi zat di titik sampling masuk dan keluar Hari/ mingg u WT H (jam) Masu k Seeding

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KESEHATAN NOMOR: 429/ MENKES/ PER/ IV/ 2010 TANGGAL: 19 APRIL 2010 PERSYARATAN KUALITAS AIR MINUM

PERATURAN MENTERI KESEHATAN NOMOR: 429/ MENKES/ PER/ IV/ 2010 TANGGAL: 19 APRIL 2010 PERSYARATAN KUALITAS AIR MINUM PERATURAN MENTERI KESEHATAN NOMOR: 429/ MENKES/ PER/ IV/ 2010 TANGGAL: 19 APRIL 2010 PERSYARATAN KUALITAS AIR MINUM I. PARAMETER WAJIB No. Jenis Parameter Satuan Kadar Maksimum Yang Diperbolehkan 1. Parameter

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Sumber oksigen terlarut dalam perairan

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Sumber oksigen terlarut dalam perairan 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Oksigen terlarut dibutuhkan oleh semua jasad hidup untuk pernapasan, proses metabolisme, atau pertukaran zat yang kemudian menghasilkan energi untuk pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini, data yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabel dan grafik. Penyajian grafik dilakukan berdasarkan variabel konsentrasi terhadap kedalaman dan disajikan untuk

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Produktivitas Primer Fitoplankton Berdasarkan hasil penelitian di Situ Cileunca didapatkan nilai rata-rata produktivitas primer (PP) fitoplankton pada Tabel 6. Nilai PP

Lebih terperinci

Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001 Tanggal 14 Desember Tentang Pengelolaan Kualitas Air Dan Pengendalian Pencemaran Air

Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001 Tanggal 14 Desember Tentang Pengelolaan Kualitas Air Dan Pengendalian Pencemaran Air Lampiran 1. Baku Mutu Kualitas Air Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001 Tanggal 14 Desember 2001 Tentang Pengelolaan Kualitas Air Dan Pengendalian Pencemaran Air Tabel 4. Standar Baku Mutu Kualitas Air

Lebih terperinci

LAMPIARAN : LAMPIRAN 1 ANALISA AIR DRAIN BIOFILTER

LAMPIARAN : LAMPIRAN 1 ANALISA AIR DRAIN BIOFILTER LAMPIARAN : LAMPIRAN 1 ANALISA AIR DRAIN BIOFILTER Akhir-akhir ini hujan deras semakin sering terjadi, sehingga air sungai menjadi keruh karena banyaknya tanah (lumpur) yang ikut mengalir masuk sungai

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Struktur Komunitas Makrozoobenthos

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Struktur Komunitas Makrozoobenthos 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Struktur Komunitas Makrozoobenthos Odum (1993) menyatakan bahwa benthos adalah organisme yang hidup pada permukaan atau di dalam substrat dasar perairan yang meliputi organisme

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 PENELITIAN PENDAHULUAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 PENELITIAN PENDAHULUAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN.1 PENELITIAN PENDAHULUAN Penelitian pendahuluan dilakukan untuk menentukan titik kritis pengenceran limbah dan kondisi mulai mampu beradaptasi hidup pada limbah cair tahu. Limbah

Lebih terperinci

PENENTUAN KUALITAS AIR

PENENTUAN KUALITAS AIR PENENTUAN KUALITAS AIR Analisis air Mengetahui sifat fisik dan Kimia air Air minum Rumah tangga pertanian industri Jenis zat yang dianalisis berlainan (pemilihan parameter yang tepat) Kendala analisis

Lebih terperinci

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG BAKU MUTU AIR LAUT

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG BAKU MUTU AIR LAUT SALINAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 3 TAHUN 200 TENTANG BAKU MUTU AIR LAUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pencemaran Perairan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pencemaran Perairan 8 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pencemaran Perairan Menurut Odum (1971), pencemaran adalah perubahan sifat fisik, kimia dan biologi yang tidak dikehendaki pada udara, tanah dan air. Sedangkan menurut Saeni

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN. Gambar 3. Peta lokasi pengamatan dan pengambilan sampel di Waduk Cirata

3. METODE PENELITIAN. Gambar 3. Peta lokasi pengamatan dan pengambilan sampel di Waduk Cirata 11 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Waduk Cirata, Jawa Barat pada koordinat 107 o 14 15-107 o 22 03 LS dan 06 o 41 30-06 o 48 07 BT. Lokasi pengambilan sampel

Lebih terperinci

PEMANTAUAN KUALITAS AIR SUNGAI CIBANTEN TAHUN 2017

PEMANTAUAN KUALITAS AIR SUNGAI CIBANTEN TAHUN 2017 PEMANTAUAN KUALITAS AIR SUNGAI CIBANTEN TAHUN 2017 1. Latar belakang Air merupakan suatu kebutuhan pokok bagi manusia. Air diperlukan untuk minum, mandi, mencuci pakaian, pengairan dalam bidang pertanian

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut (DO; Dissolved Oxygen Sumber DO di perairan

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut (DO; Dissolved Oxygen Sumber DO di perairan 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut (DO; Dissolved Oxygen) 2.1.1. Sumber DO di perairan Oksigen terlarut (DO) adalah konsentrasi gas oksigen yang terlarut di dalam air (Wetzel 2001). DO dibutuhkan

Lebih terperinci

TARIF LAYANAN JASA TEKNIS BADAN PENGKAJIAN KEBIJAKAN, IKLIM DAN MUTU INDUSTRI BALAI RISET DAN STANDARDISASI INDUSTRI SAMARINDA

TARIF LAYANAN JASA TEKNIS BADAN PENGKAJIAN KEBIJAKAN, IKLIM DAN MUTU INDUSTRI BALAI RISET DAN STANDARDISASI INDUSTRI SAMARINDA TARIF LAYANAN JASA TEKNIS BALAI RISET DAN STANDARDISASI INDUSTRI SAMARINDA BADAN PENGKAJIAN KEBIJAKAN, IKLIM DAN MUTU INDUSTRI BALAI RISET DAN STANDARDISASI INDUSTRI SAMARINDA Jl. M.T. Haryono / Banggeris

Lebih terperinci

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN BAB IV METODOLOGI PENELITIAN Maksud dari penelitian ini adalah untuk meneliti pengaruh berkembangnya aktivitas kolam jaring apung di Waduk Cirata terhadap kualitas air Waduk Cirata. IV.1 KERANGKA PENELITIAN

Lebih terperinci

Lampiran 1. Kebutuhan air di kampus IPB Dramaga saat libur

Lampiran 1. Kebutuhan air di kampus IPB Dramaga saat libur LAMPIRAN 55 Lampiran 1. Kebutuhan air di kampus IPB Dramaga saat libur Hari/ Tgl Menara Fahutan No Jam Meteran terbaca Volume Ketinggian Air Di Air Menara Terpakai Keterangan (m 3 ) (m 3 ) (m 3 ) 1 6:00

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TABALONG TAHUN 2011 NOMOR

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TABALONG TAHUN 2011 NOMOR LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TABALONG TAHUN 2011 NOMOR 02 PERATURAN DAERAH KABUPATEN TABALONG NOMOR 02 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN KELAS AIR PADA SUNGAI DI WILAYAH KABUPATEN TABALONG DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai macam kegiatan seperti mandi, mencuci, dan minum. Tingkat. dimana saja karena bersih, praktis, dan aman.

BAB I PENDAHULUAN. berbagai macam kegiatan seperti mandi, mencuci, dan minum. Tingkat. dimana saja karena bersih, praktis, dan aman. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Air merupakan suatu unsur penting dalam kehidupan manusia untuk berbagai macam kegiatan seperti mandi, mencuci, dan minum. Tingkat konsumsi air minum dalam kemasan semakin

Lebih terperinci

GUNAKAN KOP SURAT PERUSAHAAN FORMULIR PERMOHONAN IZIN PEMBUANGAN AIR LIMBAH KE SUMBER AIR

GUNAKAN KOP SURAT PERUSAHAAN FORMULIR PERMOHONAN IZIN PEMBUANGAN AIR LIMBAH KE SUMBER AIR GUNAKAN KOP SURAT PERUSAHAAN FORMULIR PERMOHONAN IZIN PEMBUANGAN AIR LIMBAH KE SUMBER AIR I. DATA PEMOHON Data Pemohon Baru Perpanjangan Pembaharuan/ Perubahan Nama Perusahaan Jenis Usaha / Kegiatan Alamat........

Lebih terperinci

Peraturan Pemerintah RI No. 20 tahun 1990, tanggal 5 Juni 1990 Tentang Pengendalian Pencemaran Air

Peraturan Pemerintah RI No. 20 tahun 1990, tanggal 5 Juni 1990 Tentang Pengendalian Pencemaran Air Lampiran Peraturan Pemerintah RI No. 20 tahun 1990, tanggal 5 Juni 1990 Tentang Pengendalian Pencemaran Air A. Daftar Kriteria Kualitas Air Golonagan A (Air yang dapat digunakan sebagai air minum secara

Lebih terperinci

BAB 1 KIMIA PERAIRAN

BAB 1 KIMIA PERAIRAN Kimia Perairan 1 BAB 1 KIMIA PERAIRAN Kompetensi Dasar: Menjelaskan komponen penyusun, sifat fisika dan sifat kimia di perairan A. Definisi dan Komponen Penyusun Air Air merupakan senyawa kimia yang sangat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSATAKA. Prinsipnya jumlah air di alam ini tetap dan mengikuti sebuah alur yang

BAB II TINJAUAN PUSATAKA. Prinsipnya jumlah air di alam ini tetap dan mengikuti sebuah alur yang BAB II TINJAUAN PUSATAKA 2.1 Air 2.1.1 Air Bersih Prinsipnya jumlah air di alam ini tetap dan mengikuti sebuah alur yang dinamakan siklus hidrologi. Air yang berada di permukaan menguap ke langit, kemudian

Lebih terperinci

FORMULIR ISIAN IZIN PEMBUANGAN LIMBAH CAIR KE LAUT. 1. Nama Pemohon : Jabatan : Alamat : Nomor Telepon/Fax. :...

FORMULIR ISIAN IZIN PEMBUANGAN LIMBAH CAIR KE LAUT. 1. Nama Pemohon : Jabatan : Alamat : Nomor Telepon/Fax. :... Lampiran I Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : Tanggal : FORMULIR ISIAN IZIN PEMBUANGAN LIMBAH CAIR KE LAUT I. INFORMASI UMUM A. Pemohon 1. Nama Pemohon :... 2. Jabatan :... 3. Alamat :...

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2. Zonasi pada perairan tergenang (Sumber: Goldman dan Horne 1983)

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2. Zonasi pada perairan tergenang (Sumber: Goldman dan Horne 1983) 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Waduk Waduk merupakan badan air tergenang yang dibuat dengan cara membendung sungai, umumnya berbentuk memanjang mengikuti bentuk dasar sungai sebelum dijadikan waduk. Terdapat

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 27 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Distribusi Vertikal Oksigen Terlarut Oksigen terlarut merupakan salah satu faktor pembatas bagi sumberdaya suatu perairan karena akan berpengaruh secara langsung pada kehidupan

Lebih terperinci

MATERI 7 ANALISIS ASPEK LINGKUNGAN

MATERI 7 ANALISIS ASPEK LINGKUNGAN MATERI 7 ANALISIS ASPEK LINGKUNGAN Analisis aspek lingkungan dalam studi kelayakan bisnis mengacu pada Analisis Mengenai Dampak Lingkungan ( AMDAL ) yang disusun oleh konsultan AMDAL. Di Indonesia AMDAL

Lebih terperinci

Lampiran 1. Kep.Men. LH Nomor 51 tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut Untuk Biota Laut

Lampiran 1. Kep.Men. LH Nomor 51 tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut Untuk Biota Laut LAMPIRAN 48 Lampiran 1. Kep.Men. LH Nomor 51 tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut Untuk Biota Laut No. Parameter Satuan Baku Mutu FISIKA 1 Kecerahan a m Coral: >5 Mangrove : - Lamun : >3 2 Kebauan - Alami

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Danau Maninjau merupakan danau yang terdapat di Sumatera Barat, Kabupaten Agam. Secara geografis wilayah ini terletak pada ketinggian 461,5 m di atas permukaan laut

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Sungai.. ' Sungai merupakan Perairan Umum yang airnya mengalir secara terus

II. TINJAUAN PUSTAKA Sungai.. ' Sungai merupakan Perairan Umum yang airnya mengalir secara terus II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sungai.. ' Sungai merupakan Perairan Umum yang airnya mengalir secara terus menerus pada arah tertentu, berasal dari air tanah, air hujan dan air permukaan yang akhirnya bermuara

Lebih terperinci

REKLAMASI LAHAN BEKAS PENAMBANGAN

REKLAMASI LAHAN BEKAS PENAMBANGAN REKLAMASI LAHAN BEKAS PENAMBANGAN PENDAHULUAN Masalah utama yang timbul pada wilayah bekas tambang adalah perubahan lingkungan. Perubahan kimiawi berdampak terhadap air tanah dan air permukaan. Perubahan

Lebih terperinci

NO SERI. E PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NO SERI. E

NO SERI. E PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NO SERI. E PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NO. 16 2008 SERI. E PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 17 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 16 TAHUN 2003 TENTANG

Lebih terperinci

L A M P I R A N DAFTAR BAKU MUTU AIR LIMBAH

L A M P I R A N DAFTAR BAKU MUTU AIR LIMBAH L A M P I R A N DAFTAR BAKU MUTU AIR LIMBAH 323 BAKU MUTU AIR LIMBAH INDUSTRI KECAP PARAMETER BEBAN PENCEMARAN Dengan Cuci Botol (kg/ton) Tanpa Cuci Botol 1. BOD 5 100 1,0 0,8 2. COD 175 1,75 1,4 3. TSS

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Kadar Oksigen Terlarut Hasil pengukuran konsentrasi oksigen terlarut pada kolam pemeliharaan ikan nila Oreochromis sp dapat dilihat pada Gambar 2. Dari gambar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kepulauan Bangka Belitung ditetapkan sebagai provinsi baru sesuai Undang - Undang No. 27 tahun 2000 tanggal 4 Desember 2000. Wilayah provinsi ini meliputi Pulau Bangka,

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pencemaran Perairan 2.2. Ekosistem Mengalir

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pencemaran Perairan 2.2. Ekosistem Mengalir 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pencemaran Perairan Pencemaran lingkungan adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain kedalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pertumbuhan Mikroalga Laut Scenedesmus sp. Hasil pengamatan pengaruh kelimpahan sel Scenedesmus sp. terhadap limbah industri dengan dua pelakuan yang berbeda yaitu menggunakan

Lebih terperinci

ph TSS mg/l 100 Sulfida mg/l 1 Amonia mg/l 5 Klor bebas mg/l 1 BOD mg/l 100 COD mg/l 200 Minyak lemak mg/l 15

ph TSS mg/l 100 Sulfida mg/l 1 Amonia mg/l 5 Klor bebas mg/l 1 BOD mg/l 100 COD mg/l 200 Minyak lemak mg/l 15 69 Lampiran 1 Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor :06 tahun 2007 Tanggal : 8 Mei 2007 BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN PENGOLAHAN HASIL PERIKANAN YANG MELAKUKAN LEBIH DARI

Lebih terperinci

Sungai berdasarkan keberadaan airnya dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, yaitu (Reid, 1961):

Sungai berdasarkan keberadaan airnya dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, yaitu (Reid, 1961): 44 II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekologi Sungai Aspek ekologi adalah aspek yang merupakan kondisi seimbang yang unik dan memegang peranan penting dalam konservasi dan tata guna lahan serta pengembangan untuk

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR KEPUTUSAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 188/331/KPTS/013/2012 TENTANG

GUBERNUR JAWA TIMUR KEPUTUSAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 188/331/KPTS/013/2012 TENTANG GUBERNUR JAWA TIMUR KEPUTUSAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 188/331/KPTS/013/2012 TENTANG PENUNJUKAN PT. ENVILAB INDONESIA SEBAGAI LABORATORIUM LINGKUNGAN DI JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR, Menimbang Mengingat

Lebih terperinci

Konsentrasi (mg/l) Titik Sampling 1 (4 April 2007) Sampling 2 (3 Mei 2007) Sampling

Konsentrasi (mg/l) Titik Sampling 1 (4 April 2007) Sampling 2 (3 Mei 2007) Sampling Tabel V.9 Konsentrasi Seng Pada Setiap Titik Sampling dan Kedalaman Konsentrasi (mg/l) Titik Sampling 1 (4 April 2007) Sampling 2 (3 Mei 2007) Sampling A B C A B C 1 0,062 0,062 0,051 0,076 0,030 0,048

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Mikroorganisme banyak ditemukan di lingkungan perairan, di antaranya di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Mikroorganisme banyak ditemukan di lingkungan perairan, di antaranya di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Mikroorganisme banyak ditemukan di lingkungan perairan, di antaranya di ekosistem perairan rawa. Perairan rawa merupakan perairan tawar yang menggenang (lentik)

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Waduk didefinisikan sebagai perairan menggenang atau badan air yang memiliki

II. TINJAUAN PUSTAKA. Waduk didefinisikan sebagai perairan menggenang atau badan air yang memiliki II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Waduk Waduk didefinisikan sebagai perairan menggenang atau badan air yang memiliki ceruk, saluran masuk (inlet), saluran pengeluaran (outlet) dan berhubungan langsung dengan sungai

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Masalah Air Limbah Rumah Sakit

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Masalah Air Limbah Rumah Sakit BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Masalah Air Limbah Rumah Sakit Pencemaran air limbah sebagai salah satu dampak pembangunan di berbagai bidang disamping memberikan manfaat bagi kesejahteraan rakyat. Selain itu peningkatan

Lebih terperinci

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kehidupan Plankton. Ima Yudha Perwira, SPi, Mp

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kehidupan Plankton. Ima Yudha Perwira, SPi, Mp Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kehidupan Plankton Ima Yudha Perwira, SPi, Mp Suhu Tinggi rendahnya suhu suatu badan perairan sangat mempengaruhi kehidupan plankton. Semakin tinggi suhu meningkatkan kebutuhan

Lebih terperinci

BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI PELAPISAN LOGAM

BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI PELAPISAN LOGAM L A M P I R A N 268 BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI PELAPISAN LOGAM PARAMETER KADAR MAKSIMUM BEBAN PENCEMARAN MAKSIMUM (gram/ton) TSS 20 0,40 Sianida Total (CN) tersisa 0,2 0,004 Krom Total (Cr) 0,5

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR: 51 TAHUN 2004 TENTANG BAKU MUTU AIR LAUT MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR: 51 TAHUN 2004 TENTANG BAKU MUTU AIR LAUT MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, SALINAN KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR: 51 TAHUN 2004 TENTANG BAKU MUTU AIR LAUT MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, Menimbang : a. bahwa untuk menjaga kelestarian fungsi lingkungan laut

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai daerah tangkapan air

TINJAUAN PUSTAKA. penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai daerah tangkapan air TINJAUAN PUSTAKA Sungai Sungai merupakan suatu bentuk ekositem aquatik yang mempunyai peran penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai daerah tangkapan air (catchment area) bagi daerah di sekitarnya,

Lebih terperinci

PELAKSANAAN KEGIATAN BIDANG PENGENDALIAN KERUSAKAN PERAIRAN DARAT TAHUN 2015

PELAKSANAAN KEGIATAN BIDANG PENGENDALIAN KERUSAKAN PERAIRAN DARAT TAHUN 2015 PELAKSANAAN KEGIATAN BIDANG PENGENDALIAN KERUSAKAN PERAIRAN DARAT TAHUN 2015 A. PEMANTAUAN KUALITAS AIR DANAU LIMBOTO Pemantauan kualitas air ditujukan untuk mengetahui pengaruh kegiatan yang dilaksanakan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Pada dasarnya proses terjadinya danau dapat dikelompokkan menjadi dua

TINJAUAN PUSTAKA. Pada dasarnya proses terjadinya danau dapat dikelompokkan menjadi dua TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Danau Perairan disebut danau apabila perairan itu dalam dengan tepi yang umumnya curam.air danau biasanya bersifat jernih dan keberadaan tumbuhan air terbatas hanya pada daerah

Lebih terperinci

Lampiran 1. Dokumentasi Penelitian. Pengambilan Sampel Rhizophora apiculata. Dekstruksi Basah

Lampiran 1. Dokumentasi Penelitian. Pengambilan Sampel Rhizophora apiculata. Dekstruksi Basah Lampiran 1. Dokumentasi Penelitian Pengambilan Sampel Rhizophora apiculata Dekstruksi Basah Lampiran 1. Lanjutan Penyaringan Sampel Air Sampel Setelah Diarangkan (Dekstruksi Kering) Lampiran 1. Lanjutan

Lebih terperinci

PENENTUAN STATUS MUTU AIR

PENENTUAN STATUS MUTU AIR PENENTUAN STATUS MUTU AIR I. METODE STORET I.. URAIAN METODE STORET Metode STORET ialah salah satu metode untuk menentukan status mutu air yang umum digunakan. Dengan metode STORET ini dapat diketahui

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH PROPINSI JAWA BARAT No Seri D

LEMBARAN DAERAH PROPINSI JAWA BARAT No Seri D LEMBARAN DAERAH PROPINSI JAWA BARAT No. 27 2000 Seri D PERATURAN DAERAH JAWA BARAT NOMOR : 39 TAHUN 2000 TENTANG PERUNTUKAN AIR DAN BAKU MUTU AIR PADA SUNGAI CITARUM DAN ANAK-ANAK SUNGAINYA DI JAWA BARAT

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. masih merupakan tulang pungung pembangunan nasional. Salah satu fungsi lingkungan

1. PENDAHULUAN. masih merupakan tulang pungung pembangunan nasional. Salah satu fungsi lingkungan 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Air sungai merupakan salah satu komponen lingkungan yang memiliki fungsi penting bagi kehidupan manusia, termasuk untuk menunjang pembangunan ekonomi yang hingga saat ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. banyak, bahkan oleh semua mahkluk hidup. Oleh karena itu, sumber daya air

BAB I PENDAHULUAN. banyak, bahkan oleh semua mahkluk hidup. Oleh karena itu, sumber daya air BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan sumber daya alam yang diperlukan untuk hajat hidup orang banyak, bahkan oleh semua mahkluk hidup. Oleh karena itu, sumber daya air harus dilindungi agar

Lebih terperinci

LAMPIRAN. Universitas Sumatera Utara

LAMPIRAN. Universitas Sumatera Utara LAMPIRAN Lampiran 1. Alat dan Bahan Penelitian DO Meter ph Meter Termometer Refraktometer Kertas Label Botol Sampel Lampiran 1. Lanjutan Pisau Cutter Plastik Sampel Pipa Paralon Lampiran 2. Pengukuran

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Persepsi

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Persepsi 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Persepsi Persepsi adalah kemampuan otak dalam menerjemahkan stimulus atau proses untuk menerjemahkan stimulus yang masuk ke dalam alat indera manusia. Proses ini yang memungkinkan

Lebih terperinci

Lampiran 1 ph. Hasil seperti pada tabel berikut : Tabel 1 Hasil pengukuran ph sebelum dan sesudah elektrokoagulasi ph. Pengambilan Sampel 1 4,7 6,9

Lampiran 1 ph. Hasil seperti pada tabel berikut : Tabel 1 Hasil pengukuran ph sebelum dan sesudah elektrokoagulasi ph. Pengambilan Sampel 1 4,7 6,9 97 Lampiran 1 ph Alat Ukur : ph meter Prosedur Pengukuran 1. Kalibrasi dengan larutan buffer sampai ph 4 2. Pengukuran ph air gambut (dicelupkan ph meter ke air gambut) 3. Dicatat berapa ph yang terukur

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH PROPINSI JAWA BARAT

LEMBARAN DAERAH PROPINSI JAWA BARAT LEMBARAN DAERAH PROPINSI JAWA BARAT NO. 13 2000 SERI D KEPUTUSAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 28 TAHUN 2000 T E N T A N G PERUNTUKAN AIR DAN BAKU MUTU AIR PADA SUNGAI CIWULAN DAN SUNGAI CILANGLA DI JAWA

Lebih terperinci

Bab V Hasil dan Pembahasan

Bab V Hasil dan Pembahasan biodegradable) menjadi CO 2 dan H 2 O. Pada prosedur penentuan COD, oksigen yang dikonsumsi setara dengan jumlah dikromat yang digunakan untuk mengoksidasi air sampel (Boyd, 1988 dalam Effendi, 2003).

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR KEPUTUSAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 188/331/KPTS/013/2012 TENTANG

GUBERNUR JAWA TIMUR KEPUTUSAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 188/331/KPTS/013/2012 TENTANG GUBERNUR JAWA TIMUR KEPUTUSAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 188/331/KPTS/013/2012 TENTANG PENUNJUKAN PT. ENVILAB INDONESIA SEBAGAI LABORATORIUM LINGKUNGAN DI JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR, Menimbang Mengingat

Lebih terperinci

sedangkan sisanya berupa massa air daratan ( air payau dan air tawar ). sehingga sinar matahari dapat menembus kedalam air.

sedangkan sisanya berupa massa air daratan ( air payau dan air tawar ). sehingga sinar matahari dapat menembus kedalam air. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perairan merupakan ekosistem yang memiliki peran sangat penting bagi kehidupan. Perairan memiliki fungsi baik secara ekologis, ekonomis, estetika, politis,

Lebih terperinci

BAB IV TINJAUAN SUMBER AIR BAKU AIR MINUM

BAB IV TINJAUAN SUMBER AIR BAKU AIR MINUM BAB IV TINJAUAN SUMBER AIR BAKU AIR MINUM IV.1. Umum Air baku adalah air yang memenuhi baku mutu air baku untuk dapat diolah menjadi air minum. Air baku yang diolah menjadi air minum dapat berasal dari

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3. 1 Waktu dan Tempat Penelitian Kegiatan penelitian ini dilaksanakan di Kampus IPB Dramaga dan dilakukan dari bulan Juni hingga bulan Oktober 2010. 3. 2 Alat dan Bahan 3.2.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. adanya aliran yang cukup kuat, sehingga digolongkan ke dalam perairan mengalir

TINJAUAN PUSTAKA. adanya aliran yang cukup kuat, sehingga digolongkan ke dalam perairan mengalir TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Sungai Perairan sungai adalah suatu perairan yang di dalamnya dicirikan dengan adanya aliran yang cukup kuat, sehingga digolongkan ke dalam perairan mengalir (perairan lotik).

Lebih terperinci

TARIF LINGKUP AKREDITASI

TARIF LINGKUP AKREDITASI TARIF LINGKUP AKREDITASI LABORATORIUM BARISTAND INDUSTRI PALEMBANG BIDANG PENGUJIAN KIMIA/FISIKA TERAKREDITASI TANGGAL 26 MEI 2011 MASA BERLAKU 22 AGUSTUS 2013 S/D 25 MEI 2015 Bahan Atau Produk Pangan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA PASURUAN

PEMERINTAH KOTA PASURUAN PEMERINTAH KOTA PASURUAN PERATURAN DAERAH KOTA PASURUAN NOMOR 19 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN KUALITAS AIR DAN PENGENDALIAN PENCEMARAN AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PASURUAN, Menimbang

Lebih terperinci

Bab V Hasil dan Pembahasan

Bab V Hasil dan Pembahasan terukur yang melebihi 0,1 mg/l tersebut dikarenakan sifat ortofosfat yang cenderung mengendap dan membentuk sedimen, sehingga pada saat pengambilan sampel air di bagian dasar ada kemungkinan sebagian material

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan salah satu sumber daya alam yang terpenting bagi semua makhluk hidup di bumi. Air digunakan hampir di setiap aktivitas makhluk hidup. Bagi manusia, air

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Air merupakan sumber daya alam yang menjadi kebutuhan dasar bagi

BAB I PENDAHULUAN. Air merupakan sumber daya alam yang menjadi kebutuhan dasar bagi BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Air merupakan sumber daya alam yang menjadi kebutuhan dasar bagi kehidupan. Sekitar tiga per empat bagian dari tubuh kita terdiri dari air dan tidak seorangpun

Lebih terperinci

ANALISIS KUALITAS AIR SUNGAI KONAWEHA PROVINSI SULAWESI TENGGARA

ANALISIS KUALITAS AIR SUNGAI KONAWEHA PROVINSI SULAWESI TENGGARA ANALISIS KUALITAS AIR SUNGAI KONAWEHA PROVINSI SULAWESI TENGGARA Umar Ode Hasani Jurusan Kehutanan, Fakultas Kehutanan dan Ilmu Lingkungan UHO Email : umarodehasani@gmail.com Ecogreen Vol. 2 No. 2, Oktober

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Kondisi Umum Saat Ini Faktor Fisik Lingkungan Tanah, Air, dan Vegetasi di Kabupaten Kutai Kartanegara Kondisi umum saat ini pada kawasan pasca tambang batubara adalah terjadi

Lebih terperinci

SLHD Kabupaten Sinjai Tahun 2013 BUKU DATA I- 1

SLHD Kabupaten Sinjai Tahun 2013 BUKU DATA I- 1 SLHD Kabupaten Sinjai Tahun 2013 BUKU DATA I- 1 BAB 1 KONDISI LINGKUNGAN HIDUP DAN KECENDERUNGANNYA I-A. Lahan Dan Hutan Tabel SD-1. Luas Wilayah Menurut Penggunaan Lahan / Tutupan Lahan No. Kecamatan

Lebih terperinci

PERANAN MIKROORGANISME DALAM SIKLUS UNSUR DI LINGKUNGAN AKUATIK

PERANAN MIKROORGANISME DALAM SIKLUS UNSUR DI LINGKUNGAN AKUATIK PERANAN MIKROORGANISME DALAM SIKLUS UNSUR DI LINGKUNGAN AKUATIK 1. Siklus Nitrogen Nitrogen merupakan limiting factor yang harus diperhatikan dalam suatu ekosistem perairan. Nitrgen di perairan terdapat

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Tipe Estuari dan Debit Sungai. Tipe estuari biasanya dipengaruhi oleh kondisi pasang surut. Pada saat pasang, salinitas perairan akan didominasi oleh salinitas air laut karena

Lebih terperinci

Kombinasi pengolahan fisika, kimia dan biologi

Kombinasi pengolahan fisika, kimia dan biologi Metode Analisis Untuk Air Limbah Pengambilan sample air limbah meliputi beberapa aspek: 1. Lokasi sampling 2. waktu dan frekuensi sampling 3. Cara Pengambilan sample 4. Peralatan yang diperlukan 5. Penyimpanan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KESEHATAN Nomor : 416/MEN.KES/PER/IX/1990 Tentang Syarat-syarat Dan Pengawasan Kualitas Air

PERATURAN MENTERI KESEHATAN Nomor : 416/MEN.KES/PER/IX/1990 Tentang Syarat-syarat Dan Pengawasan Kualitas Air SALINAN PERATURAN MENTERI KESEHATAN Nomor : 416/MEN.KES/PER/IX/1990 Tentang Syaratsyarat Dan Pengawasan Kualitas Air MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan

Lebih terperinci

I. Tujuan Setelah praktikum, mahasiswa dapat : 1. Menentukan waktu pengendapan optimum dalam bak sedimentasi 2. Menentukan efisiensi pengendapan

I. Tujuan Setelah praktikum, mahasiswa dapat : 1. Menentukan waktu pengendapan optimum dalam bak sedimentasi 2. Menentukan efisiensi pengendapan I. Tujuan Setelah praktikum, mahasiswa dapat : 1. Menentukan waktu pengendapan optimum dalam bak sedimentasi 2. Menentukan efisiensi pengendapan II. Dasar Teori Sedimentasi adalah pemisahan solid dari

Lebih terperinci

LAMPIRAN 1 DAFTAR PERSYARATAN KUALITAS AIR MINUM. - Mg/l Skala NTU - - Skala TCU

LAMPIRAN 1 DAFTAR PERSYARATAN KUALITAS AIR MINUM. - Mg/l Skala NTU - - Skala TCU 85 LAMPIRAN 1 PERATURAN MENTERI KESEHATAN RI NOMOR : 416/MENKES/PER/IX/1990 TANGGAL : 3 SEPTEMBER 1990 DAFTAR PERSYARATAN KUALITAS AIR MINUM 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. No Parameter Satuan A. FISIKA Bau Jumlah

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pertambangan timah di Indonesia dimulai pada abad ke-18. Sejak tahun 1815 penambangan timah di pulau Bangka dilaksanakan oleh pemerintah Hindia Belanda dan berlanjut sampai PT.

Lebih terperinci

BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA

BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA A. Deskripsi Data 1. Kondisi saluran sekunder sungai Sawojajar Saluran sekunder sungai Sawojajar merupakan aliran sungai yang mengalir ke induk sungai Sawojajar. Letak

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. kesatuan. Di dalam ekosistem perairan danau terdapat faktor-faktor abiotik dan

TINJAUAN PUSTAKA. kesatuan. Di dalam ekosistem perairan danau terdapat faktor-faktor abiotik dan 17 TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Danau Ekosistem merupakan suatu sistem ekologi yang terdiri atas komponenkomponen biotik dan abiotik yang saling berintegrasi sehingga membentuk satu kesatuan. Di dalam ekosistem

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Status Mutu Air Sungai adalah salah satu dari sumber daya alam yang bersifat mengalir (flowing resources), sehingga pemanfaatan air di hulu akan menghilangkan peluang

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR KEPUTUSAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 188/330/KPTS/013/2012 TENTANG

GUBERNUR JAWA TIMUR KEPUTUSAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 188/330/KPTS/013/2012 TENTANG GUBERNUR JAWA TIMUR KEPUTUSAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 188/330/KPTS/013/2012 TENTANG PENUNJUKAN LABORATORIUM PERUSAHAAN UMUM JASA TIRTA I SEBAGAI LABORATORIUM LINGKUNGAN DI JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Air merupakan unsur penting bagi kehidupan makhluk hidup baik manusia,

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Air merupakan unsur penting bagi kehidupan makhluk hidup baik manusia, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan unsur penting bagi kehidupan makhluk hidup baik manusia, flora, fauna maupun makhluk hidup yang lain. Makhluk hidup memerlukan air tidak hanya sebagai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Air sungai. (Sosrodarsono et al., 1994 ; Dhahiyat, 2013).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Air sungai. (Sosrodarsono et al., 1994 ; Dhahiyat, 2013). 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Sungai adalah suatu perairan yang airnya berasal dari air hujan, air permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Air sungai dingin dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Air laut merupakan suatu medium yang unik. Sebagai suatu sistem, terdapat hubungan erat antara faktor biotik dan faktor abiotik, karena satu komponen dapat

Lebih terperinci

BY: Ai Setiadi FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSSITAS SATYA NEGARA INDONESIA

BY: Ai Setiadi FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSSITAS SATYA NEGARA INDONESIA BY: Ai Setiadi 021202503125002 FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSSITAS SATYA NEGARA INDONESIA Dalam budidaya ikan ada 3 faktor yang sangat berpengaruh dalam keberhasilan budidaya, karena hasil

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Ekosistem air terdiri atas perairan pedalaman (inland water) yang terdapat

TINJAUAN PUSTAKA. Ekosistem air terdiri atas perairan pedalaman (inland water) yang terdapat TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Air Ekosistem air terdiri atas perairan pedalaman (inland water) yang terdapat di daratan, perairan lepas pantai (off shore water) dan perairan laut. Ekosistem air yang terdapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada umumnya, setiap kegiatan industri menghasilkan suatu permasalahan lingkungan jika tidak dikelola dengan baik. Salah satu permasalahan lingkungan yang dihadapi oleh

Lebih terperinci

Oleh: Rizqi Amalia ( ) Dosen Pembimbing: Welly Herumurti ST. M.Sc

Oleh: Rizqi Amalia ( ) Dosen Pembimbing: Welly Herumurti ST. M.Sc Oleh: Rizqi Amalia (3307100016) Dosen Pembimbing: Welly Herumurti ST. M.Sc JURUSAN TEKNIK LINGKUNGAN Fakultas Teknik Sipil Dan Perencanaan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya 2011 KERANGKA PENELITIAN

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pencemaran Organik di Muara S. Acai, S. Thomas, S. Anyaan dan Daerah Laut yang Merupakan Perairan Pesisir Pantai dan Laut, Teluk Youtefa. Bahan organik yang masuk ke perairan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN MUKOMUKO

PEMERINTAH KABUPATEN MUKOMUKO PEMERINTAH KABUPATEN MUKOMUKO PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUKOMUKO NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MUKOMUKO, Menimbang

Lebih terperinci

LAMPIRAN. Lampiran 1. Kriteria mutu air berdasarkan kelas (PP Nomor 82 Tahun 2001) PARAMETER SATUAN KELAS I II III IV FISIKA

LAMPIRAN. Lampiran 1. Kriteria mutu air berdasarkan kelas (PP Nomor 82 Tahun 2001) PARAMETER SATUAN KELAS I II III IV FISIKA LAMPIRAN Lampiran 1. Kriteria mutu air berdasarkan kelas (PP Nomor 82 Tahun 2001) PARAMETER SATUAN KELAS I II III IV FISIKA o C Temperatur mg/l Deviasi 3 Deviasi 3 Deviasi 3 Deviasi 3 Residu Terlarut mg/l

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu : 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Sungai adalah suatu perairan yang airnya berasal dari mata air, air hujan, air permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Aliran air

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Amonia Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diperoleh data berupa nilai dari parameter amonia yang disajikan dalam bentuk grafik. Dari grafik dapat diketahui

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Estuari oleh sejumlah peneliti disebut-kan sebagai area paling produktif,

TINJAUAN PUSTAKA. Estuari oleh sejumlah peneliti disebut-kan sebagai area paling produktif, TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Estuari Estuari oleh sejumlah peneliti disebut-kan sebagai area paling produktif, karena area ini merupakan area ekoton daerah pertemuan dua ekosistem berbeda (tawar dan laut)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Keberadaan industri dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat namun juga tidak jarang merugikan masyarakat, yaitu berupa timbulnya pencemaran lingkungan

Lebih terperinci