MITIGASI DEGRADASI LAHAN GAMBUT

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "MITIGASI DEGRADASI LAHAN GAMBUT"

Transkripsi

1 IGM. Subiksa 1), F. Agus 1), Wahyunto 1), dan E. Eko Ananto 2) 1) Balai Besar Litbang Sumber Daya Lahan Pertanian 2) Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Berdasarkan interpretasi citra satelit, Indonesia memiliki lahan gambut tropis terluas di dunia yaitu sekitar 21 juta ha, tersebar terutama di Sumatera, Kalimantan dan Papua (Wahyunto et al., 2003, 2004, 2007). Walaupun secara fisik terlihat hampir sama, namun sejatinya gambut memiliki variabilitas sangat tinggi baik dari segi ketebalan, kematangan maupun kesuburannya. Oleh karenanya, tidak semua lahan gambut layak untuk pertanian karena berbagai kendala fisik dan kimia. Dari 18,3 juta ha lahan gambut, hanya sekitar 6 juta ha yang layak bersyarat untuk pertanian (Tabel 1). Namun karena keterbatasan lahan produktif, akhirnya lahan gambut yang dulunya dianggap sebagai lahan sisa (waste land) dan tidak layak, juga dimanfaatkan untuk ekstensifikasi pertanian terutama untuk perkebunan kelapa sawit dan karet. Dalam keadaan alami, ekosistem hutan gambut merupakan ekosistem yang stabil. Ketebalannya bisa bertambah karena proses deposisi bahan organik lebih besar dibandingkan proses dekomposisi. Namun bila kondisi alami terganggu, maka terjadi sebaliknya, lahan mengalami degradasi, sehingga dikatakan bahwa lahan gambut adalah ekosistem yang rapuh. Lahan gambut juga merupakan lahan marginal karena secara inheren (sifat asli) tanahnya bereaksi masam, miskin hara dan mineral yang dibutuhkan tanaman. Oleh karenanya, pemanfaatan lahan harus diawali dengan pembenah tanah dan penambahan input produksi agar tanaman tumbuh optimal. Sampai saat ini sebagian lahan gambut telah dibuka dan dimanfaatkan untuk lahan pertanian baik melalui program pemerintah, swasta, maupun swadaya masyarakat. Dari areal yang dibuka ini, di samping ada yang berhasil secara lestari, namun banyak juga yang menjadi lahan terlantar dan rusak. Kecenderungan perluasan pemanfaatan lahan gambut sangat signifikan terjadi di beberapa provinsi yang memiliki areal gambut yang luas, seperti Riau, Jambi, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Hasil penelitian dari WWF (2007) menunjukkan laju deforestasi hutan gambut di Riau yang sangat tinggi, yaitu dari 50 ribu ha pada tahun menjadi 180 ribu ha pada tahun Deforestasi hutan gambut dalam skala luas yang mengakibatkan kerusakan lahan telah terjadi di Kalimantan Tengah pada proyek Pengembangan Lahan Gambut (PLG) dicanangkan pemerintah pada pertengahan tahun sembilan puluhan.

2 Tabel 1. Luas dan Sebaran Lahan Gambut dan yang Layak untuk Pertanian di Indonesia (Wahyunto, et al., 2004) Pulau / Provinsi Luas Total (ha) Layak untuk Pertanian (ha) Sumatra Riau Jambi Sumatera Selatan l Kalimantan Kalimantan Tengah 3.010, Kalimantan Barat Kalimantan Selatan Papua dan Papua Barat Total Sejak pembukaan mega proyek pengembangan lahan gambut (PLG) 1 juta ha di Kalimantan Tengah, pemanfaatan lahan gambut menjadi kontroversi antara pandangan dari aspek ekonomi dan aspek lingkungan. Dari aspek ekonomi, lahan gambut adalah potensi sumber daya lahan yang dapat dikembangkan untuk pertanian tanaman pangan, hortikultura maupun perkebunan, sedangkan pandangan dari aspek lingkungan, lahan gambut merupakan ekosistem yang memiliki fungsi sangat vital sebagai pengatur hidrologi, iklim global, biodiversity flora dan fauna yang spesifik dan tempat pemijahan dan nursery bagi ikan tertentu. Ekosistem lahan gambut sangat penting dalam sistem hidrologi kawasan hilir DAS karena kemampuannya menyerap air sampai 13 kali lipat dari bobotnya. Selain itu, kawasan gambut juga merupakan penyimpan cadangan karbon sangat besar, terutama di bawah permukaan tanah, selain pada biomassa tanaman yang tumbuh diatasnya. Oleh karenanya penggunaan lahan gambut harus sedemikian rupa sehingga ekosistem ini terlindungi dari kerusakan yang berpengaruh besar terhadap pada lingkungan gambut itu sendiri, maupun pada lingkungan sekitarnya dan iklim global. Hasil investigasi menunjukkan bahwa ketergantungan penduduk terhadap lahan gambut seperti di Riau dan Kalimantan Barat sangat tinggi (Subiksa et al., 2009). Pemanfaatan lahan gambut sebagai sumber perekonomian masyarakat adalah keniscayaan. Lahan yang sudah dikonversi menjadi lahan pertanian produktif tidak mungkin untuk dikembalikan menjadi hutan untuk memenuhi tuntutan masyarakat global. Namun demikian, dua kepentingan yang berbeda ini perlu diusahakan titik temu yang saling menguntungkan. Beberapa upaya dapat ditempuh antara lain membatasi area yang dibuka melalui regulasi, perbaikan budidaya dan pemilihan komoditas yang rendah emisi. 114

3 Dengan meningkatnya kebutuhan untuk penggunaan lahan gambut maka diperlukan suatu pemahaman tentang sifat dan cara pengelolaan lahan gambut secara lestari, dengan meminimalkan dampak kerusakan lingkungan. Bab ini membahas tentang karakteristik lahan gambut, pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian, degradasi lahan gambut serta pendekatan untuk pengelolaan lahan gambut secara lestari. Karakteristik Lahan Gambut Pilihan untuk memanfaatkan lahan gambut untuk pertanian atau tindakan konservasi untuk menjaga lingkungan, harus didasarkan pada pemahaman yang benar terhadap karakteristik lahan gambut. Hal ini untuk mencegah kerusakan lahan yang masif seperti PLG 1 juta ha. Tanah gambut tersusun dari bahan organik yang belum melapuk sempurna sehingga sangat berbeda dengan tanah mineral, baik sifat fisik maupun kimia. Oleh karenanya, teknologi pengelolaan dan konservasi lahan sangat berbeda dengan tanah mineral dan spesifik lokasi. Karakteristik Fisik Gambut terbentuk di lingkungan yang jenuh air sehingga kadar air tanah gambut di lapangan berkisar antara persen dari berat kering gambut (Mutalib et al., 1991). Artinya bahwa gambut mampu menyerap air sampai 13 kali dari bobotnya. Karena kadar air yang tinggi, maka secara fisik tanah menjadi lembek dan dayanya menahan beban (bearing capasity) menjadi rendah (Nugroho et al., 1995; Widjaja Adhi, 1995) serta berat volume (BD)-nya rendah. BD tanah gambut lapisan atas bervariasi antara 0,1 sampai 0,3 g/cm 3 tergantung pada tingkat dekomposisi gambut dan kadar mineral. Gambut fibrik (gambut yang tidak matang) yang umumnya berada di lapisan bawah memiliki BD lebih rendah dari 0,2 g/cm 3, tapi gambut pantai dan gambut di jalur aliran sungai yang mendapat pengayaan mineral, bisa memiliki BD > 0,2 g/cm 3 (Tie and Lim, 1991; Agus et al., 2010). Volume gambut akan menyusut bila lahan gambut didrainase, sehingga terjadi penurunan permukaan tanah (subsiden). Selain karena penyusutan volume, subsiden juga disebabkan oleh adanya proses dekomposisi dan erosi. Dalam 2 tahun pertama setelah lahan gambut didrainase, laju subsiden bisa mencapai 50 cm. Pada tahun berikutnya laju subsiden sekitar 2 6 cm per tahun tergantung kematangan gambut dan kedalaman saluran drainase. Adanya subsiden bisa dilihat dari akar pohon yang muncul dan menggantung di atas permukaan tanah. Rendahnya daya menahan atau menyangga beban (bearing capasity) lahan gambut menyulitkan beroperasinya peralatan mekanisasi karena tanahnya yang empuk. Gambut juga tidak bisa menahan pokok tanaman tahunan untuk berdiri tegak. Tanaman perkebunan seperti karet, kelapa sawit atau kelapa seringkali doyong atau bahkan roboh. 115

4 Gambar 1. Tanaman Doyong dan Akar Menggantung Gambut memiliki sifat mengering tidak balik. Gambut yang telah sangat mengering tidak bisa menyerap air lagi kalau diberi air (hidrofobik). Gambut yang mengering ini sifatnya sama dengan kayu kering yang mudah hanyut dibawa aliran air dan mudah terbakar serta tidak berfungsi sebagai tanah (Widjaja Adhi, 1988). Gambut yang terbakar menghasilkan energi panas yang lebih besar dari kayu/arang terbakar dan sulit dipadamkan. Api yang membakar gambut bisa merambat di bawah permukaan, sehingga seringkali kebakaran lahan gambut bisa meluas tidak terkendali. Karakteristik Kimia Gambut mengandung asam-asam organik yang tinggi sehingga tingkat kemasamannya tergolong tinggi dengan nilai ph berkisar antara 3-5. Gambut pedalaman yang oligotropik dan memiliki substratum pasir kuarsa di Berengbengkel Kalimantan Tengah atau di Sepucuk Sumatera Selatan memiliki kisaran ph 3,25 3,75 (Halim, 1987; Salampak, 1999; Subiksa et al., 2009). Sementara itu gambut peralihan di sekitar Air Sugihan Kiri Sumatera Selatan memiliki kisaran ph H 2 O yang lebih tinggi yaitu antara 4,1 sampai 4,3 (Hartatik et al., 2004). Tidak seperti tanah mineral yang muatannya pada fase padat, muatan tanah gambut bersumber dari fase cairnya yang berupa asam organik. Oleh karenanya gambut tidak boleh kering karena akan kehilangan seluruh muatannya dan tidak berfungsi sebagai tanah. Muatan negatif (yang menentukan Kapasitas Tukar Kation, KTK) pada tanah gambut seluruhnya adalah muatan tergantung ph, dimana KTK akan naik bila ph gambut ditingkatkan. Muatan negatif yang terbentuk adalah hasil disasosiasi hidroksil pada gugus karboksilat atau fenol. Oleh karenanya penetapan KTK menggunakan pengekstrak 116

5 amonium acetat ph 7 akan menghasilkan nilai KTK yang lebih tinggi dibandingkan KTK yang sebenarnya. Hal ini disebabkan karena proses deprotonisasi pada gugus karboksil dan fenol menghasilkan muatan negatif. Oleh karenanya penetapan KTK sebaiknya menggunakan pengekstrak amonium klorida untuk mendapatkan nilai KTK yang sesuai dengan keadaan di lapangan KTK tinggi menunjukkan kapasitas jerapan (sorption capacity) gambut tinggi, namun kekuatan jerapan (sorption power) lemah, sehingga kation-kation K, Ca, Mg dan Na yang tidak membentuk ikatan koordinasi akan mudah tercuci. Karena sebagian besar merupakan gambut oligotropik, maka gambut di Indonesia memiliki kandungan kation basa-basa seperti Ca, Mg, K, dan Na umumnya sangat rendah terutama pada gambut tebal. Semakin tebal gambut, basa-basa semakin rendah dan reaksi tanah menjadi semakin masam (Driessen dan Soepraptohardjo, 1974). Di sisi lain kapasitas tukar kation (KTK) gambut tergolong tinggi, sehingga kejenuhan basa (KB) menjadi sangat rendah. Tim Institut Pertanian Bogor, 1974 melaporkan, tanah gambut pedalaman di Kalampangan Kalimantan Tengah mempunyai nilai KB kurang dari 10 persen, demikian juga gambut di pantai Timur Riau (Suhardjo dan Widjaja-Adhi, 1976). Secara alamiah lahan gambut memiliki tingkat kesuburan rendah. Selain karena kandungan unsur haranya rendah, lahan gambut juga mengandung beragam asam-asam organik yang sebagian bersifat racun. Asam organik yang bersifat racun bagi tanaman adalah dari golongan asam fenolat, seperti asam hidroxybenzoat, asam vanilat, asam siringat, asam p-kumarat, dan asam ferulat. Namun demikian asam-asam tersebut merupakan bagian aktif dari tanah yang menentukan kemampuan gambut untuk menahan unsur hara. Karakteristik dari asam-asam organik ini akan menentukan sifat kimia dari gambut. Untuk mengurangi pengaruh buruk asam-asam organik beracun dapat dilakukan dengan menambahkan bahan-bahan yang banyak mengandung kation polivalen seperti Fe, Al, Cu dan Zn. Kation-kation tersebut membentuk ikatan koordinasi dengan ligan organik membentuk senyawa komplek/khelat. Oleh karenanya bahan-bahan yang mengandung kation tersebut bisa dimanfaatkan sebagai bahan amelioran (Supiandi et al., 1997; Saragih, 1994) Tanah gambut juga mengandung unsur mikro yang sangat rendah dan diikat cukup kuat oleh bahan organik membentuk khelat, sehingga tidak tersedia bagi tanaman (Kanapathy, 1972). Selain itu, adanya kondisi reduksi yang kuat menyebabkan unsur mikro direduksi menjadi bentuk logamnya yang tidak bermuatan. Kandungan unsur mikro pada tanah gambut dapat ditingkatkan dengan menambahkan tanah mineral atau menambahkan pupuk mikro. Karena terbentuk dari pohon berkayu, maka gambut di Indonesia mempunyai kandungan lignin yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanah-tanah gambut yang berada di daerah yang beriklim sedang (Driessen dan Suhardjo, 1976). Lignin yang mengalami proses degradasi dalam keadaan anaerob akan terurai menjadi senyawa humat dan asam- 117

6 asam fenolat (Kononova, 1968). Asam-asam fenolat bersifat fitotoksik dan menyebabkan pertumbuhan tanaman terhambat (Driessen, 1978; Stevenson, 1994; Rachim, 1995). Asam fenolat merusak sel akar tanaman, sehingga asam-asam amino dan bahan lain mengalir keluar dari sel, menghambat pertumbuhan akar dan serapan hara sehingga pertumbuhan tanaman menjadi kerdil, daun mengalami klorosis (menguning) dan pada akhirnya tanaman akan mati. Pemanfaatan Lahan Gambut untuk Pertanian Sesuai dengan Keppres No. 32/1990 gambut dengan ketebalan >3 m diperuntukkan buat kawasan konservasi. Selanjutnya Permentan No. 14/2009 mengatur pemanfaatan lahan gambut untuk perkebunan, khususnya kelapa sawit. Menurut Djaenuddin (2003) lahan dengan ketebalan gambut antara 0-3 m sesuai marginal untuk beberapa tanaman tahunan seperti karet dan kelapa sawit. Hal ini disebabkan karena makin tebal lapisan gambut maka gambut tersebut semakin rapuh (fragile). Dengan mempertahankannya sebagai kawasan konservasi maka fungsinya sebagai penyangga hidrologi tetap terjaga. Lebih lanjut Departemen Pertanian merekomendasikan untuk tanaman pangan dan hortikultura diarahkan pada gambut dangkal (< 100 cm) dan untuk tanaman tahunan dapat diusahakan pada gambut dengan ketebalan 2 3 m (Sabiham et al., 2008). Dasar pertimbangannya adalah gambut dangkal memiliki tingkat kesuburan relatif lebih tinggi dan risiko lingkungan lebih rendah dibandingkan gambut dalam. Umumnya lahan gambut tergolong sesuai marginal (tingkat kesesuaian rendah) untuk berbagai jenis tanaman pangan dengan faktor pembatas utama media perakaran yang masam dan mengandung asam organik yang beracun, unsur hara rendah dan drainase yang tidak mendukung pertumbuhan tanaman. Dengan perbaikan kondisi lingkungan perakaran maka beberapa tanaman pangan mampu tumbuh dan beradaptasi antara lain padi, jagung, kedelai, ubikayu, ubijalar, talas dan sebagainya. Pembuatan saluran drainase mikro sedalam cm mutlak diperlukan, kecuali untuk tanaman padi sawah cukup dengan kemalir cm. Fungsi drainase adalah untuk membuang kelebihan air, menciptakan keadaan tidak jenuh untuk pernapasan akar tanaman, dan mengurangi kadar asam-asam organik. Semakin pendek interval/jarak antar parit drainase lapang maka hasil padi, jagung, kedelai dan kacang tanah yang diperoleh makin baik. Teknologi ameliorasi dan pemupukan dapat mengatasi kendala kemasaman tanah, unsur beracun dan kahat unsur hara. Ameliorasi diperlukan untuk mengatasi kendala reaksi tanah masam dan keberadaan asam organik beracun sehingga media perakaran tanaman menjadi lebih baik. Kapur, tanah mineral, pupuk kandang dan abu sisa pembakaran dapat diberikan sebagai bahan amelioran untuk meningkatkan ph dan basa-basa tanah (Subiksa et al., 1997; Mario, 2002; Salampak, 1999). Namun tidak seperti tanah mineral, ph tanah gambut cukup ditingkatkan sampai ph 5,0 karena gambut tidak 118

7 memiliki potensi Al yang beracun. Peningkatan ph terlalu tinggi justru berdampak buruk karena laju dekomposisi gambut menjadi terlalu cepat. Pengaruh buruk asam-asam organik beracun juga dapat dikurangi dengan menambahkan bahan-bahan amelioran yang banyak mengandung kation polivalen seperti terak baja, tanah mineral laterit atau lumpur sungai (Salampak, 1999; Supiandi et al., 1995). Pemberian tanah mineral berkadar besi tinggi dapat meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman padi (Mario, 2002; Salampak 1999; Suastika, 2004; Subiksa et al., 1997). Pemupukan diperlukan karena secara inheren tanah gambut sangat miskin mineral dan hara yang diperlukan tanaman. Jenis pupuk yang diperlukan adalah yang mengandung N, P, K, Ca dan Mg. Pemupukan harus dilakukan secara bertahap dan dosis rendah karena daya pegang (sorption power) hara tanah gambut rendah sehingga pupuk mudah tercuci. Penggunaan pupuk yang tersedianya lambat seperti fosfat alam akan lebih baik dibandingkan dengan SP36, karena akan lebih efisien, harganya murah dan dapat meningkatkan ph tanah (Subiksa et al., 1991). Penambahan kation polivalen seperti Fe dan Al akan menciptakan tapak jerapan bagi ion fosfat sehingga bisa mengurangi kehilangan hara P melalui pencucian (Rachim, 1995). Tanah gambut juga diketahui kahat unsur mikro karena dikhelat (diikat) oleh bahan organik (Rachim, 1995). Oleh karenanya diperlukan pemupukan unsur mikro seperti terusi, dan seng sulfat masing-masing 15 kg/ha/tahun, mangan sulfat 7 kg/ha, sodium molibdat dan boraks masing-masing 0,5 kg/ha/th. Kekurangan unsur mikro dapat menyebabkan kehampaan pada tanaman padi, tongkol kosong pada jagung atau polong hampa pada kacang tanah. Pemanfaatan lahan gambut untuk perkebunan dan HTI meningkat sangat cepat, terutama di Riau, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Gambar 2. Tanaman Sayuran dan Buah-buahan Tumbuh Baik di Lahan Gambut 119

8 Tabel 2. Dosis anjuran dan Manfaat Pemberian Amelioran pada Tanah Gambut. Jenis amelioran Jumlah (t/ha/tahun) Kegunaan Kapur 1-2 Meningkatkan basa-basa dan ph tanah Pupuk kandang 5-10 Memperkaya unsur hara makro/mikro Terak baja 2-5 Mengurangi fitotoksik asam organik, meningkatkan efisiensi pupuk P Tanah mineral Mengurangi fitotoksik asam organik, meningkatkan kadar hara makro/mikro Abu Meningkatkan basa-basa, dan ph tanah Lumpur sungai Mengurangi fitotoksik asam organik, meningkatkan basa-basa, unsur hara Sumber ; F. Agus dan IGM. Subiksa (2008) Tanaman tahunan memerlukan saluran drainase dengan kedalaman berbeda-beda. Tanaman sagu dan nipah tidak memerlukan drainase. Tanaman karet memerlukan saluran drainase mikro sedalam cm, tanaman kelapa sedalam 50 cm sedangkan tanaman kelapa sawit memerlukan saluran drainase sedalam cm. Gambut yang relatif tipis (<100 cm) dan subur juga dapat ditanami dengan tanaman kopi dan kakao dengan saluran drainase sedalam 50 cm. Semakin dalam saluran drainase semakin cepat terjadi penurunan permukaan (subsiden) dan dekomposisi gambut, sehingga ketebalan gambut menciut dan daya sangganya terhadap lingkungan menjadi menurun. Penurunan permukaan gambut dengan mudah dapat diamati dengan munculnya akar tanaman di permukaan tanah. Gambar 3. Kelapa Sawit di Lahan Gambut Kalbar (kiri) dan Akasia di Lahan Gambut Sumsel (kanan) Agar pertumbuhan tanaman tetap optimal dan produktif, tanaman perkebunan, khususnya yang menghasilkan buah seperti kelapa sawit, kopi atau kakao, memerlukan pemupukan yang teratur. Unsur hara utama yang perlu ditambahkan adalah unsur N, P, K dan unsur mikro. Tanpa unsur tersebut pertumbuhan tanaman perkebunan sangat 120

9 merana dan hasil tanaman yang diperoleh sangat rendah. Untuk hutan tanaman industri, pemupukan tidak mutlak diperlukan atau hanya diperlukan dalam dosis rendah pada saat tanaman masih muda. Degradasi Lahan dan Aspek Lingkungan Degradasi Lahan Pertanian Lahan gambut yang terbentuk dari akumulasi bahan organik, tergolong ekosistem yang marginal dan rapuh. Pemanfaatan lahan ini untuk pertanian akan merubah keseimbangan emisi GRK ke arah negatif, yang potensial berakibat terjadinya kerusakan lahan. Faktor pendorong terjadinya kerusakan lahan pertanian di lahan gambut antara lain adalah kebakaran lahan, pembuatan saluran drainase dan pengelolaan lahan. Kebakaran lahan bisa terjadi saat pembukaan hutan gambut, persiapan lahan sebelum musim tanam atau musim kemarau ekstrim. Kebakaran yang terjadi pada waktu pembukaan hutan dan persiapan lahan seringkali terjadi karena kesengajaan, sedangkan kebakaran di saat tanaman sudah ditanam bisa terjadi karena keadaan kemarau panjang atau karena kecelakaan. Kasus di Kalimantan Barat, berdasarkan wawancara dengan petani, pembakaran lahan sebelum musim tanam bisa menghabiskan 3 5 cm lapisan gambut (Subiksa et al., 2009). Hal ini dilakukan petani untuk mendapatkan abu yang memperbaiki ph dan kejenuhan basa tanah. Reklamasi gambut untuk pertanian memerlukan jaringan drainase untuk menurunkan permukaan air tanah. Kedalaman drainase disesuaikan dengan kebutuhan tanaman. Drainase berlebihan akan mempercepat kerusakan lahan gambut melalui proses dekomposisi dan pengeringan. Hooijer (2006) membuat persamaan empiris yang menunjukkan hubungan antara kedalaman saluran dengan laju emisi CO 2. Proses ini juga menyebabkan lapisan tanah gambut menjadi lebih tipis. Bila substratumnya adalah tanah pasir kuarsa atau lapisan pirit, maka tanah menjadi lebih masam dan potensial mengalami keracunan besi dan Al. Kerusakan ekosistem gambut berdampak besar terhadap lingkungan setempat (in situ) maupun lingkungan sekitarnya (ex situ). Kejadian banjir di hilir DAS atau meningkatnya suhu udara merupakan dampak dari rusaknya ekosistem gambut. Contoh kasus kerusakan lahan gambut terjadi di Delta Pulau Petak Kalimantan Selatan dan KalimantanTengah dimana pada tahun 1952 masih tercatat sekitar hektar lahan gambut. Pada tahun 1972 kawasan gambut di daerah tersebut menjadi ha dan penelitian terakhir pada tahun 1992 kawasan gambut tersebut hanya tersisa ha (Sarwani dan Widjaja Adhi 1994). Hal ini menunjukkan bahwa laju kerusakan gambut berjalan sangat cepat. Selain hilangnya fungsi hidrologis lahan gambut, ada bahaya lain bila tanah mineral di bawah lapisan gambut adalah tanah mineral berpirit. Saat ini sebagian besar dari bekas kawasan gambut tersebut menjadi lahan sulfat masam aktual terlantar dan menjadi sumber pencemaran lingkungan perairan di daerah tersebut. 121

10 Deforestasi hutan di lahan gambut disebut-sebut menyumbang emisi karbon paling tinggi di Indonesia yang bisa mempengaruhi iklim global. WWF (2008) menyatakan bahwa antara Provinsi Riau yang memiliki 3,2 juta ha lahan gambut telah kehilangan 57 persen hutan gambut karena alih fungsi menjadi perkebunan dan penggunaan lainnya. Lebih lanjut dikemukakan bahwa kerusakan lahan gambut di wilayah Tesso Nilo Bukit Tigapuluh Riau telah terjadi dengan intensitas ringan sampai berat dalam luasan cukup besar. Kerusakan lahan disebabkan karena kebakaran gambut dan dekomposisi yang terlalu cepat setelah lahan didrainase. Tabel 3. Laju Degradasi Lahan Gambut di Wilayah Tesso Nilo Bukit Tigapuluh Riau Lahan Hutan Degradasi ringan Degradasi berat Total Sumber: Diolah dari WWF (2008) Gambar 4. Perubahan Penggunaan Lahan dari Hutan ke Pertanian, Potensial Menyebabkan Degradasi Lahan (foto: courtesy of WWF, 2008) 122

11 Sumber : WWF (2008) Gambar 5.Kondisi Tutupan Lahan Gambut di Provinsi Riau pada Tahun 1982 dan 2007 (WWF 2008) Kerusakan lahan juga bisa terjadi karena keterbatasan kemampuan untuk mendapatkan pupuk dan bahan ameliorasi. Untuk meningkatkan kesuburan tanah petani di berbagai tempat seperti Kalimantan Barat, Sumatera Selatan dan Jambi membakar serasah tanaman in-situ dan sebagian lapisan gambut kering sebelum bertanam. Hasil wawancara dengan petani di Kalimantan Barat mengatakan bahwa lapisan gambut yang terbakar sekitar 3 5 cm tiap musim. Kasus di Kabupaten Kubu Raya Kalimantan Barat yang memiliki 60 persen lahan gambut dari total wilayahnya telah menunjukkan terjadi kerusakan lahan cukup luas (Tabel 4). Lahan gambut yang dibuka sebagian berubah menjadi belukar dan semak-semak. Lahan tanaman semusim juga sebagian tidak diusahakan karena kesuburan yang rendah dan keterbatasan modal. Tabel 4. Penggunaan Lahan Gambut di Kabupaten Kubu Raya Kalimantan Barat (Wahyunto et al., 2009) No. Penggunaan Lahan Ketebalan Gambut (cm) Total < >700 Luas (ha) 1 Hutan Belukar Semak Mangrove Kebun campuran Perairan/rawa Kelapa sawit Karet

12 Tabel 4. Penggunaan Lahan Gambut di Kabupaten Kubu Raya Kalimantan Barat (Wahyunto et al., 2009) (lanjutan) No. Penggunaan Lahan Ketebalan Gambut (cm) Total < >700 Luas (ha) 9 Tanaman semusim-nanas Tanaman semusim-sayuran Tanaman semusim- jagung Tegalan Sawah Jumlah (lahan gambut) Lahan non Gambut Total Kab. Kubu Raya Aspek Lingkungan Lahan Gambut Ekosistem gambut merupakan penyangga hidrologi dan cadangan karbon yang sangat penting artinya bagi lingkungan hidup. Oleh karenanya, ekosistem ini harus dilindungi agar fungsinya dapat dipertahankan sampai generasi mendatang. Sebagai penyangga hidrologi, gambut dikaitkan dengan kemampuannya menyerap air sampai 13 kali bobotnya (Mutalib et al., 1991). Oleh karenanya gambut mampu menyimpan air saat musim hujan sehingga tidak terjadi banjir dan melepaskannya saat musim kemarau sehingga tidak terjadi kekeringan. Lahan gambut menyimpan cadangan karbon sangat besar yaitu 550 Gt CO 2 e, setara dengan 75 persen karbon di atmosfer atau setara dengan 2 kali simpanan karbon semua hutan di seluruh dunia (Joosten, 2007). Untuk Indonesia, hasil perhitungan Wahyunto et al., (2007), total stok karbon dari seluruh lahan gambut di Indonesia sekitar 37 Gt CO 2 e. Tergantung ketebalan gambut, simpanan karbon gambut bisa 10 kali lebih tinggi dibandingkan dengan simpanan karbon tanah mineral (Tabel 5 ). Mempertahankan karbon dalam tanah dan tanaman menjadi isu lingkungan sangat penting karena konsentrasi karbon di udara berpengaruh terhadap pemanasan global. Tabel 5. Perbandingan Kandungan Karbon di Atas Permukaan (biomassa tanaman) dan di Bawah Permukaan Tanah pada Hutan Gambut dan Hutan Tanah Mineral (t/ ha) Komponen Hutan gambut Hutan primer tanah mineral Atas permukaan tanah Bawah permukaan tanah Sumber: Agus dan Subiksa (2008) 124

13 Gambar 6. Air Mengalir dari Kubah Gambut Cadangan karbon lahan gambut telah tersimpan dalam waktu yang sangat lama. Berdasarkan analisis penanggalan karbon (carbon dating), gambut tropis di Indonesia berumur tahun (Tie and Esterle, 1991). Gambut tropika di Muara Kaman Kalimantan Timur umurnya relatif muda antara sampai tahun (Diemont and Pons, 1991). Sedangkan gambut di Kalimantan Tengah umurnya lebih lama yaitu 6230 tahun pada kedalaman 100 cm sampai tahun pada kedalaman 5 meter (Rieley, 1991), bahkan Page et al., (2002) menunjukkan bahwa gambut di Kalimantan Tengah umurnya antara pada kedalaman gambut 8 10 m. Karbon yang sudah terendap sangat lama semestinya harus dipertahankan agar konsentrasi karbon di udara tidak meningkat dengan cepat yang bisa memicu pemanasan global. Pelepasan (emisi) karbon dari lahan gambut bisa terjadi karena kebakaran gambut dan proses dekomposisi. Dalam lingkungan alami yaitu hutan, tanah gambut tetap mengalami proses dekomposisi yang menghasilkan gas CO 2 dan metan. Namun secara simultan, tanaman yang tumbuh juga menyerap CO 2 dan menghasilkan biomassa dan serasah yang terakumulasi di permukaan tanah. Proses ini berjalan seimbang, bahkan seringkali menghasilkan akumulasi bersih yang positif sehingga ketebalan gambut bisa bertambah antara 0 3 mm/tahun. Di Barambai Delta Pulau Petak, laju penimbunan gambut sekitar 0,05 m dalam seratus tahun. Sedangkan di Pontianak sekitar 0,13 m dalam periode waktu yang sama. Di Serawak Malaysia, laju akumulasi berjalan lebih cepat yaitu sekitar 0,22 0,48 m dalam waktu 100 tahun (Noor, 2001, dari berbagai sumber). Bila lahan gambut dibuka dan didrainase, proses dekomposisi gambut akan mengalami percepatan, sehingga meningkatkan emisi gas CO 2 sebagai gas rumah kaca (GRK) dan ketebalan gambut akan terus menyusut. 125

14 Gambar 7. Kebakaran Lahan Mengemisi Karbon ke Udara (WWF, 2008) Pemanfaatan lahan gambut yang diawali dengan pembuatan saluran drainase menyebabkan kesimbangan tersebut di atas terganggu dan mengarah pada net emisi yang besar. Tingkat emisi yang terjadi tergantung dari karakteristik gambut, kedalaman saluran dan kebakaran. Berbagai sistem pertanian yang diterapkan petani di lahan gambut, akan menghasilkan emisi yang berbeda, tergantung pada teknologi budidaya yang diterapkan. Semua sistem budidaya yang di terapkan di gambut akan mempunyai andil yang cukup nyata dalam meningkatkan emisi gas rumah kaca, penyebab pemanasan global. Drainase dan sistem pengelolaan air di suatu lahan gambut dapat dilihat dari perubahan kondisi hidrologi areal secara menyeluruh. Wosten dalam Hooijer et al., (2006) dan Agus et al., (2010) mengatakan bahwa beberapa sistem drainase jelas mempengaruhi emisi CO 2 (Gambar 8). Pengaruh drainase ini yang mencerminkan kondisi hidrologi di lahan gambut, mempengaruhi perubahan tinggi muka air tanah dan juga kandungan air tanah (Nugroho,2005). Dengan menghitung luapan atau kondisi air pada tiap waktu, maka kondisi air di suatu areal dapat diperhitungkan, dengan demikian salah satu parameter dari emisi dapat diperhitungkan menurut tahapan waktu dan hidrologi setempat. 126

15 60,000 C O2 flux (mg/m2/day) 50,000 40,000 30,000 20,000 10,000 y = Ln(x) R 2 = Water table (cm) Gambar 8. Kurva Empiris Hubungan antara Kedalaman Drainase dan Laju Emisi CO 2 di Lahan Gambut Menurut Hooijer et al., 2006 (kiri) dan Agus et al., 2009 (kanan) Mitigasi Laju Degradasi Lahan Gambut Sesuai hasil konvensi perubahan iklim dan COP 15 di Kopenhagen, pemerintah Indonesia telah sepakat untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 26persen pada tahun 2020 dari proyeksi 3 Gt/tahun. Untuk mencapai angka tersebut maka berbagai upaya harus dilakukan termasuk mengurangi laju emisi dari lahan gambut. Mengurangi emisi di lahan gambut sama artinya dengan mengurangi laju kerusakan lahan pertanian yang sudah eksis di lahan gambut. Upaya untuk mengurangi laju degradasi lahan pertanian di gambut harus dilakukan dengan mengidentifikasi penyebab terjadinya degradasi, serta tindakan multi strata mengurangi dekomposisi. Degradasi bisa terjadi karena kebakaran gambut, proses dekomposisi yang cepat, dan dehidrasi. Proses kebakaran dan dekomposisi menghasilkan emisi CO 2 yang tinggi. Dekomposisi terjadi bila rantai karbon yang panjang mengalami degradasi menjadi senyawa dengan rantai karbon lebih pendek. Proses ini terutama dipicu oleh pembuatan saluran drainase yang menyebabkan meningkatnya redok potensial tanah. Lebih lanjut, kondisi aerob memicu aktivitas mikroba perombak yang memanfaatkan gambut sebagai energi untuk proses metabolismenya. 127

16 Gambar 9. CO 2 Tahunan Antara Tahun 1985 sampai 1999 dan Prediksi Emisi antara tahun 2010 sampai 2035 Berdasarkan Beberapa Skenario business as usual (BAU) dan Beberapa Skenario Penurunan Emisi (sumber : Agus et al., 2009) Emisi CO 2 dari lahan gambut bisa dijadikan sebagai indikator adanya proses menuju kerusakan lahan pertanian, karena CO 2 dihasilkan dari proses pembakaran dan dekomposisi bahan organik. Agus et al., 2009 menunjukkan bahwa laju emisi CO 2 menunjukkan trend yang terus meningkat apabila tidak dilakukan langkah-langkah pengurangan laju emisi (skenario BAU, bussiness as usual). Mitigasi laju kerusakan gambut dapat diupayakan melalui penerapan Permentan 14/2009, penggunaan amelioran, kebijakan tidak membakar dan kebijakan moratorium pemanfaatan lahan. Selain itu, Permentan 14/2009 sebenarnya juga bertujuan untuk mengurangi kerusakan lahan gambut dengan membatasi dan mengatur pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian dengan berbagai persyaratan dan mekanisme pengawasan yang sangat ketat. Keempat upaya tersebut dapat membelokkan turun arah trend laju emisi CO 2 sehingga langkah ini dapat dijadikan sebagai acuan mengurangi tingkat kerusakan lahan (Gambar 9). Sementara itu, untuk lahan gambut yang telah dimanfaatakan untuk pertanian, diperlukan pengendalian muka air tanah, ameliorasi/kompleksasi, penyiapan lahan tanpa membakar dan zonasi pemanfaatan lahan. Pengendalian Muka Air Tanah Lahan gambut memiliki daya hantar hidrolik yang tinggi, baik secara vertikal maupun horizontal. Oleh karena itu, saluran drainase sangat menentukan kondisi muka air tanah. Kunci pengendalian muka air tanah adalah mengatur dimensi saluran drainase, terutama 128

17 kedalamannya, dan mengatur pintu air. Menurunkan muka air tanah sangat diperlukan untuk menjaga kondisi media perakaran tetap dalam kondisi aerob. Namun penurunan yang terlalu besar menyebabkan gambut mengalami kerusakan. Mengatur tinggi air di saluran drainase dengan mengatur pintu air adalah salah satu tindakan mitigasi emisi CO 2 yang terjadi dan pada akhirnya bisa mengurangi laju degradasi lahan. Hasil penelitian Wosten dalam Hooijer et al., (2006) menunjukkan bahwa laju emisi berbanding lurus dengan kedalaman saluran drainase sedangkan dan Agus et al. (2009) menunjukkan bahwa laju emisi meningkat dengan pola logaritmik dengan makin meningkatnya kedalaman muka air tanah. Oleh karenanya mengatur muka air tanah pada tingkat yang aman untuk tanaman dan minimal emisinya merupakan tindakan mitigasi kerusakan lahan yang sangat efektif. Setiap 10 cm pengurangan kedalaman muka air tanah akan mampu menurunkan 9,1 ton CO 2 /ha/tahun. Salah satu komponen penting dalam pengatur tata air lahan gambut adalah bangunan pengendali berupa pintu air atau canal blocking di setiap saluran. Pintu air berfungsi untuk mengatur muka air tanah, disesuaikan dengan kebutuhan tanaman. Drainase berlebihan akan menyebabkan gambut mengering atau dekomposisi aerobik yang menghasilkan emisi gas CO 2 dan gambut kering tak balik. Lahan gambut yang kering ini berisiko terbakar yang sulit dipadamkan dan menghasilkan emisi gas CO 2 yang lebih banyak lagi. Dari hasil pengembangan usaha pertanian yang dilakukan oleh Badan Litbang Pertanian di 11 lokasi lahan rawa pasang surut Sumatera Selatan (Ananto et al., 2000) yang mencakup areal seluas ha, dimana sebagian merupakan lahan rawa bergambut sampai dengan gambut sedang, menunjukkan bahwa perbaikan jaringan tata air sangat penting dan mutlak mendapatkan perhatian dalam upaya peningkatan produktivitas lahan pasang surut. Penataan jaringan tata air lahan rawa khususnya di lahan rawa pasang surut yang semata-mata hanya untuk tujuan drainase hanya akan menyebabkan muka air tanah akan turun dan menimbulkan overdrain. Kondisi ini sangat berbahaya bagi lahan rawa gambut dan lahan rawa yang mempunyai lapisan pirit dangkal. Oleh karena itu harus diubah menjadi irigasi-drainase sesuai dengan kebutuhan pertanian. Karena dengan penataan jaringan tata air yang benar, pencucian senyawa-senyawa beracun yang terjadi akibat oksidasi pirit dapat berjalan dengan lancar, sehingga produktivitas lahan meningkat. Kompleksasi Emisi GRK adalah hasil dari proses dekomposisi gambut menjadi senyawa karbon dengan rantai pendek. Proses dekomposisi lebih lanjut dapat ditekan dengan proses kompleksasi senyawa organik sederhana menjadi senyawa komplek. Kompleksasi dapat dilakukan dengan menambahkan bahan-bahan amelioran yang kaya dengan kation polivalen. Kation polivalen memiliki energi afinitas yang tinggi terhadap gugus fungsional bahan organik membentuk jembatan kation yang merangkai senyawa organik. Senyawa 129

18 kompleks yang terbentuk sangat tahan terhadap dekomposisi sehingga emisi karbon bisa ditekan. Hasil penelitian Agus et al., (2009) menunjukkan bahwa pemberian amelioran gambut seperti 5-10 t/ha (sekitar 5-10 m 3 ) tanah liat halus yang kaya besi (tanah laterit) untuk semua tanah pertanian dan perkebunan di lahan gambut diharapkan dapat mengurangi emisi CO 2 kumulatif sebanyak 15,5±5,5 persen dibandingkan dengan petani membakar lahan. Bila program ameliorasi dilengkapi dengan penyediaan pupuk untuk menggantikan teknik pembakaran tradisional, diharapkan dapat mengurangi emisi sebesar 19±7 persen. Hasil ini masih bisa ditingkatkan dengan menggunakan pupuk khusus yang rendah emisi. Hasil penelitian Subiksa et al., (2009) menunjukkan bahwa pemupukan dengan pupuk khusus lahan gambut Pugam mampu menurunkan emisi GRK hingga 47 persen dan meningkatkan produksi biomass lebih dari 30 kali lipat (Gambar 10). Hasil penelitian Salampak, 1999; Mario, 2002; Hartatik, 2003 menunjukkan bahwa penambahan senyawa berkadar besi tinggi mampu menekan pengaruh buruk asam-asam fenolat yang beracun sehingga pertumbuhan tanaman menjadi lebih baik. Penurunan asam-asam fenolat ini disebabkan oleh adanya interaksi antara kation Fe dari bahan amelioran sebagai jembatan kation dan asam-asam fenolat melalui proses kompleksasi. Kation Fe bereaksi dengan ligan organik membentuk ikatan kompleks. Asam-asam organik berperan sebagai penyumbang pasangan elektron (donor), sedangkan kation Fe berperan sebagai penerima elektron (aseptor) (Tan, 1993)

19 6.00 Emisi CO Emisi CO2 (mg/m2/menit) Pugam A Pugam Q Pugam R Pugam D Pugam T Kontrol P. kontrol Perlakuan Gambar 10. Pemupukan dengan Pupuk Khusus Lahan Gambut Pugam Mengurangi Laju Emisi CO 2 (kiri) dan Meningkatkan Pertumbuhan Tanaman (kanan) Proses kompleksasi mampu memecahkan beberapa permasalahan yang dihadapi dalam usahatani di lahan gambut yaitu : (1) mengurangi emisi GRK sehingga stabilitas gambut meningkat, (2) menetralisir asam-asam fenolat beracun sehingga perkembangan akar tanaman tidak terganggu, (3) mengurangi pencucian hara karena adanya tapak jerapan positif yang terbentuk dari kation polivalen dan (4) mencegah adanya lahan terlantar karena produktivitas lahan meningkat. Persiapan Lahan Tanpa Bakar Emisi karbon paling masif terjadi saat kebakaran gambut, baik karena kesengajaan maupun tidak sengaja. Penyiapan lahan dengan sistem membakar menyebabkan terjadinya subsiden dan mengarah pada habisnya lapisan gambut. Penelitian Subiksa et al., (2009) menunjukkan bahwa petani di Kalimantan Barat selalu melakukan pembakaran lahan sebelum tanam tanaman pangan, khususnya jagung. Setiap musim terbakar sekitar 3-5 cm lapisan gambut. Dari gambut yang terbakar selama 2 kali tanam/tahun dapat diperkirakan besarnya emisi karbon yaitu sekitar 110,1 t CO 2 /ha/th (dengan asumsi karbon density gambut sekitar 50 kg/m 3 atau 0.05 t/m 3 ). Adanya pembakaran lahan dan hutan di suatu daerah dapat dipantau melalui satelit yang ditunjukkan oleh adanya hot spot. Jumlah hot spot yang dipantau di beberapa daerah rawan kebakaran lahan menunjukkan bahwa antara bulan Januari Mei 2010, provinsi Riau dan Kalimantan Timur memiliki hot spot paling banyak. Jumlah hot spot terbanyak terpantau puncaknya pada bulan Februari sampai Maret. Hal ini menunjukkan aktivitas pembakaran untuk pembukaan lahan masih menjadi pilihan masyarakat. Kebiasaan masyarakat ini harus diubah dengan terus menerus melakukan sosialisasi pembukaan lahan tanpa bakar (PLTB) serta peraturan perundang-undangannya. Pelatihan dan sosialisasi harus disertai dengan pengenalan alternatif lain dalam pembukaan lahan seperti penggunaan mulcher dan traktor. Selain itu fasilitas pemantauan dan pengendalian kebakaran lahan harus disediakan di daerah rawan kebakaran. 131

20 Pembakaran lahan, baik yang disengaja maupun tidak, menyebabkan lapisan gambut semakin tipis bahkan habis. Bila lapisan substratum merupakan lapisan mineral berpirit atau pasir kwarsa maka akan terjadi kemerosotan kesuburan tanah. Membakar gambut terkadang sengaja dilakukan petani untuk memperoleh abu yang untuk sementara bisa memperbaiki kesuburan tanah. Abu sisa pembakaran memberikan efek ameliorasi dengan meningkatnya ph dan kandungan basa-basa tanah sehingga tanaman tumbuh lebih baik (Subiksa et al., 1998). Proses ini harus dihindari dengan mempertahankan kelembaban gambut agar tidak mudah terbakar dan menerapkan sistem pengelolaan zero burning. Pembakaran serasah tanaman secara terkendali di rumah abu adalah salah satu usaha mencegah kebakaran gambut meluas. Tempat khusus ini dibuat berupa lubang yang dilapisi dengan tanah mineral sehingga api tidak sampai membakar gambut. Cara ini diterapkan dengan sangat baik oleh petani sayur di lahan gambut Pontianak Kalbar. Bila pembakaran serasah harus dilakukan langsung di lapang, maka harus dipastikan bahwa gambut dibawahnya jenuh air supaya gambutnya tidak ikut terbakar. Pengalihan dari cara tradisional dengan cara membakar kepada metode tanpa membakar, diperlukan cara alternatif lain yang bisa diterima masyarakat. Pembukaan lahan baru menggunakan mulcher adalah salah satu alternatif yang baik. Sementara untuk lahan pertanian yang sudah eksis, diperlukan upaya ameliorasi dan pemupukan agar pertumbuhan tanaman bisa optimum. Oleh karenanya penting untuk mengeluarkan kebijakan subsidi pupuk dan amelioran untuk petani di lahan gambut agar kebiasaan membakar yang menghasilkan emisi CO 2 tinggi bisa dihindari. Ditjen Perkebunan (2010) memprediksikan bahwa upaya mencegah pembakaran lahan dapat mengurangi emisi CO 2 sampai 0,284 Gt CO 2 atau 25 persen dari proyeksi BAU Zonasi Pemanfaatan Lahan Gambut Karena fungsinya yang sangat vital, ekosistem gambut harus dilindungi dari kerusakan. Pemanfaatan lahan gambut harus dilakukan dengan cermat berdasarkan hasil karakterisasi dan evaluasi lahan yang mendalam. Lahan gambut yang boleh dikembangkan untuk pertanian hanya lahan gambut yang subur dengan kedalaman < 3 m, tidak memiliki substratum pasir kuarsa dan tingkat kematangan bukan fibrik. Widjaja Adhi (1991) menyarankan agar wilayah ekosistem lahan gambut dibagi menjadi 2 kawasan yaitu: kawasan non budidaya dan kawasan budidaya. Kawasan non budidaya terdiri dari (a) jalur hijau sepanjang pantai dan tanggul sungai dan (b) areal tampung hujan yang mencakup area minimal 1/3 dari seluruh kawasan. Kawasan yang dijadikan sebagai areal tampung hujan adalah bagian kubah gambut (peat dome) sehingga harus menjadi kawasan konservasi. Kubah gambut berfungsi sebagai penyimpan air (resevoir) yang bisa mensuplai air bagi wilayah di sekitarnya, terutama pada musim kemarau, baik untuk air minum maupun usaha tani (Ong dan Yogeswaran, 1991). Sedangkan pada musim hujan 132

21 berfungsi sebagai penampung air yang berlebih agar wilayah sekitarnya tidak kebanjiran. Hal ini dimungkinkan karena gambut memiliki daya memegang air sangat besar yaitu sampai 10 kali bobotnya. Perlindungan terhadap kawasan tampung hujan akan menjamin kawasan sekitarnya menjadi lebih produktif. Aspek legal pemanfaatan lahan gambut diatur dalam Kepres No. 32/1990. Selanjutnya karena maraknya pemanfaatan gambut untuk kelapa sawit, pemerintah mengeluarkan Permentan No. 14/2009. Dengan pembatasan pemanfaatan lahan gambut diharapkan emisi karbon dari kawasan gambut bisa ditekan. Agus et al., (2009) menyatakan bahwa kepatuhan kepada Permentan No. 14/2009, untuk tidak ada izin penggunaan lahan pertanian pada lahan gambut yang ketebalannya >3m dan lahan yang bukan berstatus APL (areal penggunaan lain) diharapkan dapat mengurangi 5,5±3,5 persen dari emisi CO 2 kumulatif antara tahun sebesar 127±42 juta ton pada skenario business as usual (BAU). Pengurangan emisi CO 2 merupakan indikasi melambatnya laju kerusakan lahan gambut. Sosialisasi dan law enforcement tentang peraturan dan perundang-undangan, yang menyangkut ketentuan tentang pelestarian lingkungan di lahan gambut perlu terus menerus dilakukan kepada seluruh stakeholders. Pentaatan oleh para pihak terhadap peraturan yang ada (penggunaan lahan gambut <3m dan perbaikan sistem pengelolaan lahan dan tata air) dapat mengurangi emisi 0,144 Gt CO 2 atau 13persen dari proyeksi BAU tahun Implementasi CDM dan REDD Akibat salah perencanaan dalam pemanfaatan lahan, lahan gambut yang dibuka untuk pertanian banyak yang berubah menjadi lahan terlantar. Tingkat kesesuaian lahan yang rendah serta minimnya pengetahuan petani tentang gambut menyebabkan produktivitas lahan merosot dengan cepat sehingga tidak menguntungkan lagi untuk usaha tani. Lahan terlantar dapat dihijaukan kembali dengan tanaman hutan dengan mendapat imbalan dari program CDM (clean development mechanism). Imbalan jasa karbon dari program CDM disediakan oleh negara-negara industri maju yang terdaftar daftar Anneks 1 dalam Kyoto Protocol yang diberlakukan sampai tahun Pasca Kyoto Protocol telah dirancang sistem baru perdagangan karbon yang disebut mekanisme REDD (Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation). Dalam mekanisme REDD tersebut, negara atau perorangan bisa mendapatkan imbalan jasa karbon dengan mengurangi emisi CO 2 dari deforestasi dan degradasi hutan, termasuk hutan gambut. Jasa karbon yang diberikan tersebut bisa mendapat imbalan dengan berbagai ketentuan. Harga resmi jasa mempertahankan karbon (Certified Emission Reduction, CER) yang berlaku dewasa ini berkisar antara US$15-25 /t CO 2. Untuk sektor kehutanan di negara berkembang kemungkinan harga yang diberlakukan adalah antara US$ 5 sampai 10 per CO 2. Lebih rendahnya imbalan pengurangan emisi yang berhubungan dengan sektor kehutanan (dan perubahan penggunaan lahan) disebabkan 133

22 tingginya angka ketidakpastian dan variasi pengelolaan dan sifat lahan. Untuk mengurang ketidak pastian tersebut, diperlukan upaya karakterisasi lahan gambut secara lebih detil baik spatial maupun temporal. Data hasil karakterisasi dapat digunakan sebagai tolok ukur untuk mengetahui keberlanjutan pertanian di lahan gambut. Selain itu kemampuan monitoring dan perhitungan neraca karbon sangat penting dalam menghadapi sistem perdagangan karbon melalui mekanisme REDD. Agus (2009) menyatakan bahwa pilihan apakah negara kita akan memasuki perdagangan karbon atau tidak perlu memperhitungkan hal berikut: Apakah nilai imbalan jasa karbon melebihi harapan keuntungan ( opportunity cost) dan biaya transaksi perdagangan karbon Apakah pemerintah pusat, PEMDA dan masyarakat lokal dapat menjaga komitment jangka panjang (dalam contoh ini 25 tahun) untuk tidak menebang dan mendrainase hutan gambut Apakah dengan mengendalikan penebangan hutan pada lokasi yang ada kontraknya/ perjanjiannya tidak akan menyebabkan penggelembungan penebangan hutan pada areal sekelilingnya (leakage) Apakah lembaga pada tingkat lokal mampu melakukan monitoring neraca karbon. Apabila salah satu dari pertanyaan di atas dijawab dengan tidak maka lebih baik tidak membuat komitmen jangka panjang untuk perdagangan karbon. Kesimpulan dan Implikasi Kebijakan Kesimpulan 1. Lahan gambut adalah sumber daya lahan yang harus diarahkan pemanfaatannya secara bijak dan hati-hati, baik untuk tujuan konservasi maupun budidaya dengan memperhatikan karakteristik lahan untuk mendapatkan hasil optimal dan menghindari kerusakan lahan dan lingkungan. 2. Lahan gambut memiliki karakteristik khas yang sangat berbeda dengan tanah mineral. Secara fisik gambut memiliki bearing capacity yang rendah, mengalami subsiden yang tinggi dan mengering tidak balik. Secara kimia bersifat masam, mengandung asam organik beracun dan kandungan hara rendah. 3. Lahan gambut memiliki fungsi kendali hidrologi kawasan DAS dan lingkungan yang sangat penting karena mampu menyerap air 13 kali bobotnya dan menyimpan cadangan karbon sangat besar. Bila cadangan karbon ini teremisi ke udara bebas, sangat potensial menyebabkan percepatan pemanasan global. 4. Dengan pengelolaan yang baik melalui pengelolaan air, ameliorasi dan pemupukan, lahan gambut dengan karakteristik tertentu dapat diusahakan untuk pertanian secara 134

23 optimal dengan tetap berpedoman pada kaidah konservasi. Sebaliknya pengelolaan lahan yang tidak baik menyebabkan lahan mengalami degradasi dan menjadi sumber pencemar lingkungan. 5. Dalam rangka mitigasi laju kerusakan lahan pertanian dan dampaknya terhadap lingkungan, diperlukan upaya multistrata yang meliputi pengendalian muka air tanah, kompleksasi ligan organik, pemanfaatan amlioran, zero burning, dan zonasi pemanfaatan lahan. Implikasi Kebijakan Sesuai komitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 26 persen tahun 2020 mendatang perlu diambil langkah-langkah konkrit pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian dengan berbagai kebijakan yang mengarah pada pengurangan emisi untuk mencegah kerusakan lahan pertanian dan pencemaran lingkungan global antara lain: 1. Lahan gambut perlu dipetakan secara menyeluruh dan detail untuk menghindari adanya ketidakpastian data dan memperkuat posisi tawar dalam mekanisme Reducing Emission from Degradation and Forest Deforestation (REDD). 2. Perlu dibuat payung hukum yang jelas agar ada kepastian dalam pemanfaatan lahan gambut, baik untuk tanaman pangan, hortikultura, perkebunan dan hutan tanaman industri, disertai proteksi hutan lindung yang ketat dengan berpedoman pada asas manfaat secara ekonomi dan mempertimbangkan aspek lingkungan lahan gambut. 3. Dalam memenuhi kebutuhan lahan pertanian, terutama untuk perluasan perkebunan, Peraturan Menterai Pertanian No. 14/2007 harus dijadikan salah satu acuan dalam pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian secara selektif dan terkendali 4. Perlu digalakkan program rehabilitasi lahan, saluran, pintu air dan canal blocking di lahan gambut untuk menghindari perubahan kondisi lahan yang drastis, seperti pengeringan. Pintu air harus berfungsi secara optimal agar permukaan air tanah dijaga stabil. 5. Memberlakukan kebijakan subsidi pupuk dan amelioran yang mampu menekan emisi GRK sebagai imbalan untuk melakukan zero burning oleh petani. Kebijakan melarang penggunaan lahan gambut secara total kurang tepat karena masyarakat di lahan gambut memiliki ketergantungan tinggi terhadap lahan gambut. Daftar Pustaka Agus, F Cadangan Karbon, Emisi Gas Rumah Kaca dan Konservasi Lahan Gambut. Prosiding Seminar Dies Natalis Universitas Brawijaya ke Januari 2009, Malang. Agus, F Panduan Metode Pengukuran Karbon Tersimpan di Lahan Gambut. Balai Besar Litbang Sumber Daya Lahan Pertanian (un-publish). 135

24 Agus, F. dan I.G.M. Subiksa Lahan Gambut: Potensi untuk Pertanian dan Aspek Lingkungan. Balai Penelitian Tanah dan World Agroforestry Centre (ICRAFT) Bogor, Indonesia. Agus, F., Wahyunto, A. Dariah, P. Setyanto, I.G.M. Subiksa, E. Runtunuwu, E. Susanti, W. Supriatna. Carbon Budget and Management Strategies for Conserving Carbon in Peatland: Case study in Kubu Raya and Pontianak Districts, West Kalimantan, Indonesia. Pp Dalam Proceedings, International Workshop on Evaluation and Sustainable Management of Soil Carbon Sequestration in Asian Countries, Bogor, Indonesia, September 28-29, Ananto, E.E., Agus S., Soentoro, Hermanto, Yoyo Sulaeman, I Wayan S. dan Bambang Nuryanto Pengembangan Usaha Pertanian Lahan Pasang Surut Sumatera Selatan: Mendukung Ketahanan Pangan dan Pengembangan Agribisnis. Badan Litbang Pertanian. 166 p. Diemont, W.H. and L.J. Pons A Preliminary Note on Peat Formation and Gleying in Mahakam Inland Floodplain, East kalimantan, Indonesia. Proc. International Symposium on tropical peatland May 1991, Kuching, Serawak, Malaysia. Ditjen Perkebunan Arah dan Strategi Pengembangan Perkebunan Rakyat Menghadapi Fenomena Iklim. Paper disampaikan pada Rapat Kerja Balai Besar Litbang Sumber Daya Lahan Pertanian (BB SDLP), Semarang, Djaenuddin, D., Marwan H., Subagyo H. dan A. Hidayat Petunjuk Teknis Evaluasi Kesesuaian Lahan untuk Komoditas Pertanian. Balai Penelitian tanah Bogor. Driessen, P.M Peat Soils. pp: In: IRRI. Soil and rice. IRRI. Los Banos. Philippines. Driessen, P.M. and H. Suhardjo On the Defective Grain Formation of Sawah Rice on Peat. Soil Res. Inst. Bull. 3: Bogor. Halim, A Pengaruh Pencampuran Tanah Mineral dan Basa dengan Tanah Gambut Pedalaman Kalimantan Tengah dalam budidaya tanaman kedelai. Disertasi Fakultas Pascasarjana, IPB. Bogor. Hartatik, W., K. Idris, S. Sabiham, S. Djuniwati, dan J.S. Adiningsih Pengaruh Pemberian Fosfat Alam dan SP-36 pada Tanah Gambut yang Diberi Bahan Amelioran Tanah Mineral terhadap Serapan P dan Efisiensi Pemupukan P. Prosiding Kongres Nasional VIII HITI. Universitas Andalas. Padang. Hooijer, A., Silvius M., Wösten H. and Page S PEAT-CO2, Assessment of CO2 Emissions from Drained Peatlands in SE Asia. Delft Hydraulics report Q3943 (2006). 136

Pengelolaan lahan gambut

Pengelolaan lahan gambut Pengelolaan lahan gambut Kurniatun Hairiah Sifat dan potensi lahan gambut untuk pertanian Sumber: I.G.M. Subiksa, Fahmuddin Agus dan Wahyunto BBSLDP, Bogor Bacaan Sanchez P A, 1976. Properties and Management

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gambut dan Karbon Tersimpan pada Gambut

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gambut dan Karbon Tersimpan pada Gambut 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gambut dan Karbon Tersimpan pada Gambut Lahan gambut adalah lahan yang memiliki lapisan tanah kaya bahan organik (C-organik > 18%) dengan ketebalan 50 cm atau lebih. Bahan organik

Lebih terperinci

dampak perubahan kemampuan lahan gambut di provinsi riau

dampak perubahan kemampuan lahan gambut di provinsi riau dampak perubahan kemampuan lahan gambut di provinsi riau ABSTRAK Sejalan dengan peningkatan kebutuhan penduduk, maka kebutuhan akan perluasan lahan pertanian dan perkebunan juga meningkat. Lahan yang dulunya

Lebih terperinci

Pemanfaatan canal blocking untuk konservasi lahan gambut

Pemanfaatan canal blocking untuk konservasi lahan gambut SUMBER DAYA AIR Indonesia memiliki potensi lahan rawa (lowlands) yang sangat besar. Secara global Indonesia menempati urutan keempat dengan luas lahan rawa sekitar 33,4 juta ha setelah Kanada (170 juta

Lebih terperinci

PENGELOLAAN LAHAN GAMBUT SECARA BERKELANJUTAN

PENGELOLAAN LAHAN GAMBUT SECARA BERKELANJUTAN PENGELOLAAN LAHAN GAMBUT SECARA BERKELANJUTAN IG. M. Subiksa, Wiwik Hartatik, dan Fahmuddin Agus Lahan gambut tropis memiliki keragaman sifat fisik dan kimia yang besar, baik secara spasial maupun vertikal.

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peningkatan konsentrasi karbon di atmosfer menjadi salah satu masalah lingkungan yang serius dapat mempengaruhi sistem kehidupan di bumi. Peningkatan gas rumah kaca (GRK)

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Emisi Gas Rumah Kaca di Indonesia

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Emisi Gas Rumah Kaca di Indonesia 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Emisi Gas Rumah Kaca di Indonesia Sampai tahun 2004, Indonesia berada pada urutan ke 15 negara penghasil gas rumah kaca tertinggi di dunia dengan emisi tahunan 378 juta ton

Lebih terperinci

Rehabilitasi dan Pengelolaan Lahan Gambut Bekelanjutan

Rehabilitasi dan Pengelolaan Lahan Gambut Bekelanjutan Rehabilitasi dan Pengelolaan Lahan Gambut Bekelanjutan Dr. Muhammad Syakir, MS Kepala Kongres Nasional VII Perkumpulan Masyarakat Gambut Indonesia (HGI) dan Seminar Pengelolaan Lahan Sub-optimal Secara

Lebih terperinci

Ir. ZURAIDA TITIN MARIANA, M.Si

Ir. ZURAIDA TITIN MARIANA, M.Si Ir. ZURAIDA TITIN MARIANA, M.Si PERMASALAHAN AIR TEKNOLOGI PENGELOLAAN AIR Dalam pengelolaan tata air makro pada lahan rawa lebak menggunakan SISTEM POLDER. Pada sistem polder diperlukan bangunan air,

Lebih terperinci

CADANGAN, EMISI, DAN KONSERVASI KARBON PADA LAHAN GAMBUT

CADANGAN, EMISI, DAN KONSERVASI KARBON PADA LAHAN GAMBUT CADANGAN, EMISI, DAN KONSERVASI KARBON PADA LAHAN GAMBUT Fahmuddin Agus Balai Penelitian Tanah, Jln. Ir H Juanda No. 98, Bogor PENDAHULUAN Dalam perdebatan mengenai perubahan iklim, peran lahan gambut

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Karbon Biomassa Atas Permukaan Karbon di atas permukaan tanah, meliputi biomassa pohon, biomassa tumbuhan bawah (semak belukar berdiameter < 5 cm, tumbuhan menjalar dan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Tanah Gambut

II. TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Tanah Gambut II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gambut 2.1.1 Pengertian Tanah Gambut Gambut mempunyai banyak istilah padanan dalam bahasa asing, antara lain peat, bog, moor, mire, atau fen. Gambut diartikan sebagai material

Lebih terperinci

Topik C4 Lahan gambut sebagai cadangan karbon

Topik C4 Lahan gambut sebagai cadangan karbon Topik C4 Lahan gambut sebagai cadangan karbon 1 Presentasi ini terbagi menjadi lima bagian. Bagian pertama, memberikan pengantar tentang besarnya karbon yang tersimpan di lahan gambut. Bagian kedua membahas

Lebih terperinci

LAHAN GAMBUT TERDEGRADASI SRI NURYANI HIDAYAH UTAMI UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA

LAHAN GAMBUT TERDEGRADASI SRI NURYANI HIDAYAH UTAMI UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA LAHAN GAMBUT TERDEGRADASI SRI NURYANI HIDAYAH UTAMI UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA PENYEBAB Kebakaran hutan penebangan kayu (illegal logging, over logging), perambahan hutan, dan konversi lahan Salah

Lebih terperinci

KEBERLANGSUNGAN FUNGSI EKONOMI, SOSIAL, DAN LINGKUNGAN MELALUI PENANAMAN KELAPA SAWIT/ HTI BERKELANJUTAN DI LAHAN GAMBUT

KEBERLANGSUNGAN FUNGSI EKONOMI, SOSIAL, DAN LINGKUNGAN MELALUI PENANAMAN KELAPA SAWIT/ HTI BERKELANJUTAN DI LAHAN GAMBUT KEBERLANGSUNGAN FUNGSI EKONOMI, SOSIAL, DAN LINGKUNGAN MELALUI PENANAMAN KELAPA SAWIT/ HTI BERKELANJUTAN DI LAHAN GAMBUT Dr. David Pokja Pangan, Agroindustri, dan Kehutanan Komite Ekonomi dan Industri

Lebih terperinci

REKOMENDASI PEMUPUKAN TANAMAN KEDELAI PADA BERBAGAI TIPE PENGGUNAAN LAHAN. Disusun oleh: Tim Balai Penelitian Tanah, Bogor

REKOMENDASI PEMUPUKAN TANAMAN KEDELAI PADA BERBAGAI TIPE PENGGUNAAN LAHAN. Disusun oleh: Tim Balai Penelitian Tanah, Bogor REKOMENDASI PEMUPUKAN TANAMAN KEDELAI PADA BERBAGAI TIPE PENGGUNAAN LAHAN Disusun oleh: Tim Balai Penelitian Tanah, Bogor Data statistik menunjukkan bahwa dalam kurun waktu lima belas tahun terakhir, rata-rata

Lebih terperinci

Seminar Gelar Teknologi Kehutanan, 19 Nov. 2009

Seminar Gelar Teknologi Kehutanan, 19 Nov. 2009 Studi Kasus Pendugaan Emisi Karbon di Lahan Gambut Kasus untuk Kabupaten Kubu Raya dan Kab. Pontianak, Kalimantan Barat BBSDLP, Badan Litbangtan Fahmuddin Agus, Wahyunto, Herman, Eleonora Runtunuwu,, Ai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan gambut yang terdapat di daerah tropika diperkirakan mencapai juta hektar atau sekitar 10-12% dari luas

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan gambut yang terdapat di daerah tropika diperkirakan mencapai juta hektar atau sekitar 10-12% dari luas I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan gambut yang terdapat di daerah tropika diperkirakan mencapai 30-45 juta hektar atau sekitar 10-12% dari luas lahan gambut di dunia (Rieley et al., 2008). Sebagian

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pemanasan global saat ini menjadi topik yang paling hangat dibicarakan dan mendapatkan perhatian sangat serius dari berbagai pihak. Pada dasarnya pemanasan global merupakan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan Gambut

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan Gambut 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan Gambut Pembukaan lahan gambut untuk pengembangan pertanian atau pemanfaatan lainnya secara langsung mengubah ekosistem kawasan gambut yang telah mantap membentuk suatu

Lebih terperinci

Kegiatan ini didasarkan kepada keberhasilan petani tradisional Kalimantan Selatan dalam membudidayakan padi

Kegiatan ini didasarkan kepada keberhasilan petani tradisional Kalimantan Selatan dalam membudidayakan padi PENDAHULUAN Latar Belakang Usaha-usaha untuk mereklamasi daerah pasang surut sebagai daerah pemukiman transmigrasi dan pengembangan persawahan telah dirintis sejak awal Pelita I. Langkah ini merupakan

Lebih terperinci

PENUTUP. Status terkini lahan gambut

PENUTUP. Status terkini lahan gambut PENUTUP 1 Markus Anda dan 2 Fahmuddin Agus 1 2 Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Jl. Tentara Pelajar No. 12, Bogor 16114. 2 Balai Penelitian Tanah, Jl. Tentara Pelajar

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Kebutuhan pangan semakin meningkat sejalan dengan pertambahan

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Kebutuhan pangan semakin meningkat sejalan dengan pertambahan PENDAHULUAN Latar Belakang Kebutuhan pangan semakin meningkat sejalan dengan pertambahan penduduk. Sementara itu areal pertanian produktif di daerah padat penduduk terutama di Jawa terus menyusut akibat

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. dikenali lagi dan kandungan mineralnya tinggi disebut tanah bergambut (Noor, 2001).

TINJAUAN PUSTAKA. dikenali lagi dan kandungan mineralnya tinggi disebut tanah bergambut (Noor, 2001). TINJAUAN PUSTAKA Lahan Gambut Gambut diartikan sebagai material atau bahan organik yang tertimbun secara alami dalam keadaan basah berlebihan, bersifat tidak mampat dan tidak atau hanya sedikit mengalami

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tanahnya memiliki sifat dakhil (internal) yang tidak menguntungkan dengan

I. PENDAHULUAN. tanahnya memiliki sifat dakhil (internal) yang tidak menguntungkan dengan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan sulfat masam merupakan salah satu jenis lahan yang terdapat di kawasan lingkungan rawa dan tergolong ke dalam lahan bermasalah karena tanahnya memiliki sifat dakhil

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pengaruh Pemberian dan Terhadap Sifat sifat Kimia Tanah Penelitian ini mengevaluasi pengaruh pemberian amelioran bahan humat dan abu terbang terhadap kandungan hara tanah

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan berkelanjutan hakekatnya merupakan usaha yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas hidup manusia dari generasi ke generasi. Sudah sejak lama, komitmen pertambangan

Lebih terperinci

Workshop Monitoring Teknologi Mitigasi dan Adaptasi Terkait Perubahan Iklim. Surakarta, 8 Desember 2011

Workshop Monitoring Teknologi Mitigasi dan Adaptasi Terkait Perubahan Iklim. Surakarta, 8 Desember 2011 Workshop Monitoring Teknologi Mitigasi dan Adaptasi Terkait Perubahan Iklim Surakarta, 8 Desember 2011 BALAI BESAR LITBANG SUMBER DAYA LAHAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN KEMENTERIAN

Lebih terperinci

Rumus Emisi CO 2. E = (Ea + Ebb + Ebo Sa) / Δt. Ea = Emisi karena terbakarnya jaringan dipermukaan tanah, misalnya pada waktu pembukaan lahan.

Rumus Emisi CO 2. E = (Ea + Ebb + Ebo Sa) / Δt. Ea = Emisi karena terbakarnya jaringan dipermukaan tanah, misalnya pada waktu pembukaan lahan. Mencuatnya fenomena global warming memicu banyak penelitian tentang emisi gas rumah kaca. Keinginan negara berkembang terhadap imbalan keberhasilan mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi (REDD)

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Kondisi Umum Saat Ini Faktor Fisik Lingkungan Tanah, Air, dan Vegetasi di Kabupaten Kutai Kartanegara Kondisi umum saat ini pada kawasan pasca tambang batubara adalah terjadi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isu lingkungan tentang perubahan iklim global akibat naiknya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer menjadi

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isu lingkungan tentang perubahan iklim global akibat naiknya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer menjadi I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isu lingkungan tentang perubahan iklim global akibat naiknya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer menjadi prioritas dunia saat ini. Berbagai skema dirancang dan dilakukan

Lebih terperinci

D4 Penggunaan 2013 Wetlands Supplement to the 2006 IPCC Guidelines untuk Inventarisasi Gas Rumah Kaca di Indonesia.

D4 Penggunaan 2013 Wetlands Supplement to the 2006 IPCC Guidelines untuk Inventarisasi Gas Rumah Kaca di Indonesia. D4 Penggunaan 2013 Wetlands Supplement to the 2006 IPCC Guidelines untuk Inventarisasi Gas Rumah Kaca di Indonesia. 1 Pokok bahasan meliputi latar belakang penyusunan IPCC Supplement, apa saja yang menjadi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. LatarBelakang. Lahan gambut di dunia mencapai luas 400 juta ha. Sekitar350 juta ha dari

I. PENDAHULUAN. A. LatarBelakang. Lahan gambut di dunia mencapai luas 400 juta ha. Sekitar350 juta ha dari 1 I. PENDAHULUAN A. LatarBelakang Lahan gambut di dunia mencapai luas 400 juta ha. Sekitar350 juta ha dari luas tersebut merupakan gambut subtropika dan sisanya merupakan gambut tropika (Page et al., 2008;

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ultisols merupakan salah satu jenis tanah di Indonesia yang mempunyai sebaran

I. PENDAHULUAN. Ultisols merupakan salah satu jenis tanah di Indonesia yang mempunyai sebaran I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Ultisols merupakan salah satu jenis tanah di Indonesia yang mempunyai sebaran luas, mencapai 45.794.000 ha atau sekitar 25% dari total luas daratan Indonesia.

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Umum Bahan Gambut Riau

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Umum Bahan Gambut Riau IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Umum Bahan Gambut Riau Bahan gambut dari Riau dianalisis berdasarkan karakteristik ekosistem atau fisiografi gambut yaitu gambut marine (coastal peat swamp),

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penambangan batubara dapat dilakukan dengan dua cara: yaitu penambangan dalam dan penambangan terbuka. Pemilihan metode penambangan, tergantung kepada: (1) keadaan

Lebih terperinci

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 22 BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 3.1 Luas dan Lokasi Wilayah Merang Peat Dome Forest (MPDF) memiliki luas sekitar 150.000 ha yang terletak dalam kawasan Hutan Produksi (HP) Lalan di Kecamatan

Lebih terperinci

Lahan Gambut: Potensi untuk Pertanian dan Aspek Lingkungan

Lahan Gambut: Potensi untuk Pertanian dan Aspek Lingkungan Lahan Gambut: Potensi untuk Pertanian dan Aspek Lingkungan Fahmuddin Agus dan I.G. Made Subiksa Balai Penelitian Tanah Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Bogor 2008 Lahan Gambut: Potensi untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kalimantan 32% Papua 30% dan sebagian kecil ada di Sulawesi, Halmahera

BAB I PENDAHULUAN. Kalimantan 32% Papua 30% dan sebagian kecil ada di Sulawesi, Halmahera BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki lahan gambut terluas di antara negara tropis, yaitu sekitar 21 juta ha atau 10.8% dari luas daratan Indonesia. Lahan rawa gambut sebagian besar terdapat

Lebih terperinci

II. TINJAUAN LITERATUR

II. TINJAUAN LITERATUR II. TINJAUAN LITERATUR 2.1. Prospek dan Permasalahan Kelapa Sawit di Lahan Gambut Perkembangan usaha dan infestasi kelapa sawit terus mengalami pertumbuhan yang sangat pesat. Luas areal perkebunan kelapa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. manusia dalam penggunaan energi bahan bakar fosil serta kegiatan alih guna

I. PENDAHULUAN. manusia dalam penggunaan energi bahan bakar fosil serta kegiatan alih guna I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan iklim adalah fenomena global yang disebabkan oleh kegiatan manusia dalam penggunaan energi bahan bakar fosil serta kegiatan alih guna lahan dan kehutanan. Kegiatan

Lebih terperinci

Pengaruh ph tanah terhadap pertumbuhan tanaman

Pengaruh ph tanah terhadap pertumbuhan tanaman Pengaruh ph tanah terhadap pertumbuhan tanaman 1. Menentukan mudah tidaknya ion-ion unsur hara diserap oleh tanaman. Pada umumnya unsur hara akan mudah diserap tanaman pada ph 6-7, karena pada ph tersebut

Lebih terperinci

PEMANFAATAN LAHAN GAMBUT UNTUK PERTANIAN

PEMANFAATAN LAHAN GAMBUT UNTUK PERTANIAN PEMANFAATAN LAHAN GAMBUT UNTUK PERTANIAN Terbentuknya gambut pada umumnya terjadi dibawah kondisi dimana tanaman yang telah mati tergenang air secara terus menerus, misalnya pada cekungan atau depresi,

Lebih terperinci

Topik C6 Penurunan permukaan lahan gambut

Topik C6 Penurunan permukaan lahan gambut Topik C6 Penurunan permukaan lahan gambut 1 Penurunan permukaan lahan gambut dibahas dari pengelompokan permasalahan. Untuk mempermudah maka digunakan suatu pendekatan pengkelasan dari lahan gambut menurut

Lebih terperinci

KLASIFIKASI DAN DISTRIBUSI TANAH GAMBUT INDONESIA SERTA PEMANFAATANNYA UNTUK PERTANIAN

KLASIFIKASI DAN DISTRIBUSI TANAH GAMBUT INDONESIA SERTA PEMANFAATANNYA UNTUK PERTANIAN 7 KLASIFIKASI DAN DISTRIBUSI TANAH GAMBUT INDONESIA SERTA PEMANFAATANNYA UNTUK PERTANIAN D. Subardja dan Erna Suryani Peneliti Badan Litbang Pertanian di Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan, Jl. Tentara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan konsumsi per kapita akibat

I. PENDAHULUAN. pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan konsumsi per kapita akibat 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Kebutuhan bahan pangan terutama beras akan terus meningkat sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan konsumsi per kapita akibat peningkatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tunggang dengan akar samping yang menjalar ketanah sama seperti tanaman dikotil lainnya.

BAB I PENDAHULUAN. tunggang dengan akar samping yang menjalar ketanah sama seperti tanaman dikotil lainnya. BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Tomat (Lycopersicum esculentum Mill) merupakan tanaman perdu dan berakar tunggang dengan akar samping yang menjalar ketanah sama seperti tanaman dikotil lainnya. Tomat

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik Tanah Gambut

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik Tanah Gambut II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik Tanah Gambut Tanah gambut adalah tanah yang berbahan induk organik atau berasal dari sisa-sisa tanaman masa lampau dan berdasarkan kriteria USDA (2006) digolongkan

Lebih terperinci

Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala

Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala Geografi Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala TANAH Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang

Lebih terperinci

The Effect of Lands Use Change From Peat Bog Forest to Industrial Forest Acacia Crassicarpa on Physical and Chemical Properties of Peat Soil

The Effect of Lands Use Change From Peat Bog Forest to Industrial Forest Acacia Crassicarpa on Physical and Chemical Properties of Peat Soil Pengaruh Perubahan Penggunaan Lahan Hutan Rawa Gambut Menjadi Hutan Tanaman Industri (HTI) Acacia Crassicarpa Terhadap Sifat Fisik dan Kimia Tanah Gambut The Effect of Lands Use Change From Peat Bog Forest

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Sebaran luas lahan gambut di Indonesia cukup besar, yaitu sekitar 20,6 juta hektar, yang berarti sekitar 50% luas gambut tropika atau sekitar 10,8% dari luas daratan Indonesia.

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG LAHAN GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI HUMBANG HASUNDUTAN,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG LAHAN GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI HUMBANG HASUNDUTAN, PERATURAN DAERAH KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG LAHAN GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI HUMBANG HASUNDUTAN, Menimbang : a. bahwa gambut merupakan tipe ekosistem lahan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Perubahan iklim merupakan fenomena global meningkatnya konsentrasi

BAB I. PENDAHULUAN. Perubahan iklim merupakan fenomena global meningkatnya konsentrasi 1 BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perubahan iklim merupakan fenomena global meningkatnya konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) di atmosfer akibat berbagai aktivitas manusia di permukaan bumi, seperti

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. mengkonversi hutan alam menjadi penggunaan lainnya, seperti hutan tanaman

PENDAHULUAN. mengkonversi hutan alam menjadi penggunaan lainnya, seperti hutan tanaman PENDAHULUAN Latar Belakang Terdegradasinya keadaan hutan menyebabkan usaha kehutanan secara ekonomis kurang menguntungkan dibandingkan usaha komoditi agribisnis lainnya, sehingga memicu kebijakan pemerintah

Lebih terperinci

(Shanti, 2009). Tanaman pangan penghasil karbohidrat yang tinggi dibandingkan. Kacang tanah (Arachis hypogaea) merupakan salah satu tanaman pangan

(Shanti, 2009). Tanaman pangan penghasil karbohidrat yang tinggi dibandingkan. Kacang tanah (Arachis hypogaea) merupakan salah satu tanaman pangan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor sub pertanian tanaman pangan merupakan salah satu faktor pertanian yang sangat penting di Indonesia terutama untuk memenuhi kebutuhan pangan, peningkatan gizi masyarakat

Lebih terperinci

disinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman

disinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman 1 BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai kekayaan alam yang beranekaragam termasuk lahan gambut berkisar antara 16-27 juta hektar, mempresentasikan 70% areal gambut di Asia Tenggara

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Perubahan iklim global (global climate

BAB I. PENDAHULUAN. Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Perubahan iklim global (global climate BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kelestarian lingkungan dekade ini sudah sangat terancam, tidak hanya di Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Perubahan iklim global (global climate change) yang

Lebih terperinci

ULASAN KEBIJAKAN PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT

ULASAN KEBIJAKAN PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT ULASAN KEBIJAKAN PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT Pendekatan MCA-Indonesia Indonesia memiliki lahan gambut tropis terluas di dunia, dan lahan gambut menghasilkan sekitar sepertiga dari emisi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. legend of soil yang disusun oleh FAO, ultisol mencakup sebagian tanah Laterik

TINJAUAN PUSTAKA. legend of soil yang disusun oleh FAO, ultisol mencakup sebagian tanah Laterik TINJAUAN PUSTAKA Ultisol Ultisol adalah tanah mineral yang berada pada daerah temprate sampai tropika, mempunyai horison argilik atau kandik dengan lapisan liat tebal. Dalam legend of soil yang disusun

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Karakteristik Lahan Sawah. reduksi (redoks) dan aktifitas mikroba tanah sangat menentukan tingkat

TINJAUAN PUSTAKA. Karakteristik Lahan Sawah. reduksi (redoks) dan aktifitas mikroba tanah sangat menentukan tingkat TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Lahan Sawah Perubahan kimia tanah sawah berkaitan erat dengan proses oksidasi reduksi (redoks) dan aktifitas mikroba tanah sangat menentukan tingkat ketersediaan hara dan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Faktor Lingkungan Tumbuh Kelapa Sawit

TINJAUAN PUSTAKA. Faktor Lingkungan Tumbuh Kelapa Sawit TINJAUAN PUSTAKA Faktor Lingkungan Tumbuh Kelapa Sawit Tanaman kelapa sawit semula merupakan tanaman yang tumbuh liar di hutan-hutan maupun daerah semak belukar tetapi kemudian dibudidayakan. Sebagai tanaman

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan lingkungan seperti banjir, erosi dan longsor terjadi dimana-mana pada musim penghujan, sedangkan pada musim kemarau terjadi kekeringan dan kebakaran hutan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN A.

BAB I. PENDAHULUAN A. BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq) merupakan salah satu primadona tanaman perkebunan yang memiliki prospek pengembangan cukup cerah, Indonesia memiliki luas areal

Lebih terperinci

PENGARUH PENURUNAN MUKA AIR TANAH TERHADAP KARAKTERISTIK GAMBUT. Teguh Nugroho dan Budi Mulyanto Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian IPB, Bogor

PENGARUH PENURUNAN MUKA AIR TANAH TERHADAP KARAKTERISTIK GAMBUT. Teguh Nugroho dan Budi Mulyanto Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian IPB, Bogor PENGARUH PENURUNAN MUKA AIR TANAH TERHADAP KARAKTERISTIK GAMBUT Teguh Nugroho dan Budi Mulyanto Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian IPB, Bogor Indonesia memiliki lahan rawa yang cukup luas dan sebagian besar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. hayati yang tinggi dan termasuk ke dalam delapan negara mega biodiversitas di

I. PENDAHULUAN. hayati yang tinggi dan termasuk ke dalam delapan negara mega biodiversitas di I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara tropis yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi dan termasuk ke dalam delapan negara mega biodiversitas di dunia,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kopi merupakan tanaman yang dapat mudah tumbuh di Indonesia. Kopi

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kopi merupakan tanaman yang dapat mudah tumbuh di Indonesia. Kopi II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tanaman Kopi Tanaman kopi merupakan tanaman yang dapat mudah tumbuh di Indonesia. Kopi merupakan tanaman dengan perakaran tunggang yang mulai berproduksi sekitar berumur 2 tahun

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis tanah lokasi penelitian disajikan pada Lampiran 1. Berbagai sifat kimia tanah yang dijumpai di lokasi

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis tanah lokasi penelitian disajikan pada Lampiran 1. Berbagai sifat kimia tanah yang dijumpai di lokasi IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis tanah lokasi penelitian disajikan pada Lampiran 1. Berbagai sifat kimia tanah yang dijumpai di lokasi penelitian terlihat beragam, berikut diuraikan sifat kimia

Lebih terperinci

PENGARUH FORMULA PUGAM TERHADAP SERAPAN HARA DAN PERTUMBUHAN TANAMAN JAGUNG

PENGARUH FORMULA PUGAM TERHADAP SERAPAN HARA DAN PERTUMBUHAN TANAMAN JAGUNG PENGARUH FORMULA PUGAM TERHADAP SERAPAN HARA DAN PERTUMBUHAN TANAMAN JAGUNG I G.M. Subiksa, H. Suganda, dan J. Purnomo Balai Penellitian Tanah ABSTRAK Pemanfaatan gambut untuk pertanian menghadapi berbagai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seiring dengan perkembangan teknologi dan peningkatan kebutuhan hidup manusia, tidak dapat dipungkiri bahwa tekanan terhadap perubahan lingkungan juga akan meningkat

Lebih terperinci

, NO 3-, SO 4, CO 2 dan H +, yang digunakan oleh

, NO 3-, SO 4, CO 2 dan H +, yang digunakan oleh TINJAUAN PUSTAKA Penggenangan Tanah Penggenangan lahan kering dalam rangka pengembangan tanah sawah akan menyebabkan serangkaian perubahan kimia dan elektrokimia yang mempengaruhi kapasitas tanah dalam

Lebih terperinci

mampu menurunkan kemampuan fungsi lingkungan, baik sebagai media pula terhadap makhluk hidup yang memanfaatkannya. Namun dengan

mampu menurunkan kemampuan fungsi lingkungan, baik sebagai media pula terhadap makhluk hidup yang memanfaatkannya. Namun dengan Latar Belakang Tanah merupakan salah satu sumber daya alam yang utama memegang posisi penting dalam kelestarian lingkungan. Kemerosotan kemampuan tanah yang ditunjukkan dengan meningkatnya laju erosi dari

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Gambut berperanan penting dalam biosfer karena gambut terlibat dalam siklus biogeokimia, merupakan habitat tanaman dan hewan, sebagai lingkungan hasil dari evolusi, dan referen

Lebih terperinci

TUGAS TEKNOLOGI KONSERVASI SUMBER DAYA LAHAN

TUGAS TEKNOLOGI KONSERVASI SUMBER DAYA LAHAN TUGAS TEKNOLOGI KONSERVASI SUMBER DAYA LAHAN Penanggulangan Kerusakan Lahan Akibat Erosi Tanah OLEH: RESTI AMELIA SUSANTI 0810480202 PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA

Lebih terperinci

Setitik Harapan dari Ajamu

Setitik Harapan dari Ajamu Setitik Harapan dari Ajamu Setitik Harapan dari Ajamu: Pelajaran tentang Sukses Pemanfaataan Gambut Dalam untuk Sawit Oleh: Suwardi, Gunawan Djajakirana, Darmawan dan Basuki Sumawinata Departemen Ilmu

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Perubahan iklim telah menjadi isu penting dalam peradaban umat manusia saat ini. Hal ini disebabkan karena manusia sebagai aktor dalam pengendali lingkungan telah melupakan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Penanaman rumput B. humidicola dilakukan di lahan pasca tambang semen milik PT. Indocement Tunggal Prakasa, Citeurep, Bogor. Luas petak yang digunakan untuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tanah Ultisol mencakup 25% dari total daratan Indonesia. Penampang tanah

I. PENDAHULUAN. Tanah Ultisol mencakup 25% dari total daratan Indonesia. Penampang tanah I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Tanah Ultisol mencakup 25% dari total daratan Indonesia. Penampang tanah yang dalam dan KTK yang tergolong sedang sampai tinggi menjadikan tanah ini memunyai

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di antara dua sungai besar. Ekosistem tersebut mempunyai peran yang besar dan

BAB I PENDAHULUAN. di antara dua sungai besar. Ekosistem tersebut mempunyai peran yang besar dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ekosistem gambut merupakan salah satu tipe ekosistem lahan basah yang terbentuk dari akumulasi bahan organik dan pada umumnya menempati cekungan di antara dua sungai

Lebih terperinci

Perkembangan Potensi Lahan Kering Masam

Perkembangan Potensi Lahan Kering Masam Perkembangan Potensi Lahan Kering Masam ANNY MULYANI Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian (naskah ini disalin sesuai aslinya untuk kemudahan navigasi) (sumber : SINAR TANI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. jagung juga digunakan sebagai bahan baku industri, pakan ternak dan industri

I. PENDAHULUAN. jagung juga digunakan sebagai bahan baku industri, pakan ternak dan industri 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Di Indonesia jagung merupakan bahan pangan kedua setelah padi. Selain itu, jagung juga digunakan sebagai bahan baku industri, pakan ternak dan industri lainnya.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Agronomis Kelapa Sawit

TINJAUAN PUSTAKA Agronomis Kelapa Sawit II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Agronomis Kelapa Sawit Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) sebagai tanaman pendatang dari Afrika Barat ternyata budidayanya di Indonesia telah berkembang sangat pesat dan sampai

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. (pada tahun 2000) dan produksi rata-rata 1,4 ton/ha untuk perkebunan rakyat dan

PENDAHULUAN. Latar Belakang. (pada tahun 2000) dan produksi rata-rata 1,4 ton/ha untuk perkebunan rakyat dan PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan produsen minyak sawit terbesar dunia setelah Malaysia dengan luas areal perkebunan kelapa sawit mencapai 14.164.439 ha (pada tahun 2000) dan produksi rata-rata

Lebih terperinci

PERAN BAHAN ORGANIK DAN TATA AIR MIKRO TERHADAP KELARUTAN BESI, EMISI CH 4, EMISI CO 2 DAN PRODUKTIVITAS PADI DI LAHAN SULFAT MASAM RINGKASAN

PERAN BAHAN ORGANIK DAN TATA AIR MIKRO TERHADAP KELARUTAN BESI, EMISI CH 4, EMISI CO 2 DAN PRODUKTIVITAS PADI DI LAHAN SULFAT MASAM RINGKASAN PERAN BAHAN ORGANIK DAN TATA AIR MIKRO TERHADAP KELARUTAN BESI, EMISI CH 4, EMISI CO 2 DAN PRODUKTIVITAS PADI DI LAHAN SULFAT MASAM RINGKASAN Tanah sulfat masam merupakan tanah dengan kemasaman yang tinggi

Lebih terperinci

Pengelolaan tanah dan air di lahan pasang surut

Pengelolaan tanah dan air di lahan pasang surut Pengelolaan tanah dan air di lahan pasang surut Pengelolaan Tanah dan Air di Lahan Pasang Surut Penyusun IPG Widjaja-Adhi NP Sri Ratmini I Wayan Swastika Penyunting Sunihardi Setting & Ilustrasi Dadang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau I. PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Indonesia memiliki hutan mangrove terluas di dunia yakni 3,2 juta ha (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau besar mulai dari Sumatera,

Lebih terperinci

II. PERMASALAHAN USAHA TANI DI KAWASAN MEGABIODIVERSITAS TROPIKA BASAH

II. PERMASALAHAN USAHA TANI DI KAWASAN MEGABIODIVERSITAS TROPIKA BASAH 5 II. PERMASALAHAN USAHA TANI DI KAWASAN MEGABIODIVERSITAS TROPIKA BASAH 2.1. Karakteristik tanah tropika basah Indonesia merupakan salah satu negara megabiodiversitas di kawasan tropika basah, tetapi

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Lahan gambut merupakan salah satu tipe ekosistem yang memiliki kemampuan menyimpan lebih dari 30 persen karbon terestrial, memainkan peran penting dalam siklus hidrologi serta

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tanah Gambut Pengertian Tanah Gambut Sifat-Sifat Kimia Tanah Gambut

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tanah Gambut Pengertian Tanah Gambut Sifat-Sifat Kimia Tanah Gambut 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tanah Gambut 2.1.1. Pengertian Tanah Gambut Menurut BBP 2 SLP (2006) tanah gambut adalah tanah-tanah yang jenuh air, tersusun dari bahan organik berupa sisa-sisa tanaman dan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Sekilas Tentang Tanah Andisol. lapisan organik dengan sifat-sifat tanah andik, mana saja yang lebih

TINJAUAN PUSTAKA. Sekilas Tentang Tanah Andisol. lapisan organik dengan sifat-sifat tanah andik, mana saja yang lebih TINJAUAN PUSTAKA Sekilas Tentang Tanah Andisol Andisol merupakan tanah yang mempunyai sifat tanah andik pada 60% atau lebih dari ketebalannya, sebagaimana menurut Soil Survey Staff (2010) : 1. Didalam

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tanah sebagai sumber daya alam sangat penting dalam meyediakan sebahagian besar kebutuhan hidup manusia, terutama pangan. Pada saat ini kebutuhan akan pangan tidak

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah

II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah Pertumbuhan penduduk adalah perubahan jumlah penduduk di suatu wilayah tertentu pada waktu tertentu dibandingkan

Lebih terperinci

Pengelolaan Tanah dan Air di Lahan Pasang Surut

Pengelolaan Tanah dan Air di Lahan Pasang Surut Pengelolaan Tanah dan Air di Lahan Pasang Surut Penyusun IPG Widjaja-Adhi NP. Sri Ratmini I Wayan Swastika Penyunting Sunihardi Setting & Ilustrasi Dadang Suhendar Proyek Penelitian Pengembangan Pertanian

Lebih terperinci

PEMBAHASAN UMUM. Gambar 52. Hubungan antara nisbah C/N dengan fluks CO 2. Fluks CO2. (mg CO2 kg tanah -1 harī 1 )

PEMBAHASAN UMUM. Gambar 52. Hubungan antara nisbah C/N dengan fluks CO 2. Fluks CO2. (mg CO2 kg tanah -1 harī 1 ) PEMBAHASAN UMUM Dari kajian pengaruh pupuk N terhadap fluks CO 2 hasil respirasi bahan gambut menunjukkan bahwa terdapat interaksi antara dosis urea dengan tingkat kematangan gambut. Penambahan dosis urea

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tanah merupakan salah satu faktor yang sangat berperan penting dalam bidang

I. PENDAHULUAN. Tanah merupakan salah satu faktor yang sangat berperan penting dalam bidang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Tanah merupakan salah satu faktor yang sangat berperan penting dalam bidang pertanian, sebab tanah merupakan media tumbuh dan penyedia unsur hara bagi tanaman.

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 15 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Deskripsi Karakteristik Lokasi Penelitian Lokasi penelitian terletak di agroekosistem kelapa sawit yang berada pada 2 (dua) lokasi yang berbeda yaitu Kebun Meranti Paham

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) merupakan salah satu komoditi sektor non-migas andalan yang berperan penting dalam menunjang pembangunan Indonesia. Produksi minyak sawit

Lebih terperinci