DINAMIKA PERUBAHAN GARIS PANTAI PEKALONGAN DAN BATANG, JAWA TENGAH NEIRA PURWANTY ISMAIL SKRIPSI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "DINAMIKA PERUBAHAN GARIS PANTAI PEKALONGAN DAN BATANG, JAWA TENGAH NEIRA PURWANTY ISMAIL SKRIPSI"

Transkripsi

1 DINAMIKA PERUBAHAN GARIS PANTAI PEKALONGAN DAN BATANG, JAWA TENGAH NEIRA PURWANTY ISMAIL SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

2 RINGKASAN NEIRA PURWANTY ISMAIL. Dinamika Perubahan Garis Pantai Pekalongan dan Batang, Jawa Tengah. Dibimbing oleh MULIA PURBA dan RISTI ENDRIANI ARHATIN. Pantai Pekalongan dan Batang berada pada pesisir pantai utara Provinsi Jawa Tengah dan mendapat pengaruh gelombang dari laut Jawa yang menyebabkan perubahan garis pantai. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis transformasi gelombang, menghitung angkutan sedimen sepanjang pantai dan menelaah perubahan garis pantai Pekalongan dan Batang selama kurun waktu tahun 1989 hingga 2002 dengan menggunakan model numerik. Selanjutnya hasil model divalidasi dengan menggunakan citra satelit. Lokasi penelitian terletak pada koordinat 6 o 50 32,74-6 o 54 0,36 LS dan 109 o 41 34, o 45 1,26 BT. Garis pantai dianalisis sepanjang ± 6 km. Data angin diperoleh dari European Centre for Medium Range Weather Forecasts (ECMWF), data kedalaman perairan diperoleh dari peta batimetri Dinas Hidro- Oseanografi TNI-AL dan data citra satelit Landsat diperoleh dari United State Geological Survey (USGS) National Aeronautics and Space Administration (NASA). Pengolahan data angin dan gelombang laut dalam menggunakan perangkat lunak ODV 4.1.3, WRPLOT View dan Microsoft Excel Citra Landsat diolah menggunakan perangkat lunak ER Mapper 7.0 dan ArcGIS 9.3. Model perhitungan transformasi gelombang dan laju angkutan sedimen dibuat menggunakan perangkat lunak Visual Basic Application 6.5 dalam bahasa basic. Hasil analisis model transformasi gelombang dan parameter gelombang pecah di dekat pantai menunjukkan bahwa gelombang yang pecah di dekat pantai Pekalongan dan Batang dibangkitkan oleh angin dominan yang berasal dari arah timur dan timur laut. Tinggi dan sudut gelombang pecah pada tiap lokasi berbedabeda dipengaruhi oleh profil kelerengan pantai dan arah datangnya gelombang. Lokasi A, B dan C memiliki profil pantai yang lebih curam dibandingkan lokasi D sehingga tinggi gelombang di lokasi tersebut lebih tinggi dibandingkan lokasi D. Pembelokkan arah perambatan gelombang terjadi pada saat mendekati garis pantai. Arah muka gelombang cenderung sejajar mengikuti kontur garis pantai. Angkutan sedimen sepanjang pantai sebagian besar ke arah barat laut dan sebagian kecil ke arah tenggara dikarenakan arah datang gelombang pecah yang dominan berasal dari timur dan timur laut. Hasil simulasi model menunjukkan bahwa selama tahun sepanjang garis pantai Pekalongan dan Batang mengalami kemunduran (abrasi) dan kemajuan (akresi) yang cukup besar. Proses abrasi dan akresi pada tiap lokasi dipengaruhi oleh karakterstik gelombang pecah, profil kelerengan pantai dan angkutan sedimen pada lokasi tersebut. Hasil tumpang tindih garis pantai hasil model dan citra tahun 2002 relatif terhadap garis pantai awal (citra tahun 1989) menunjukkan pola perubahan garis pantai yang hampir sama baik abrasi maupun akresi. Perbedaan jarak perubahan garis pantai hasil model dan citra tahun 2002 terhadap garis pantai awal diperkirakan karena pengaruh faktor lain yang tidak diperhitungkan dalam model. Model ini merupakan penyederhanaan dari proses dinamik oseanografi yang kompleks di alam, tidak semua proses di alam tersebut dapat diikutsertakan dalam model.

3 DINAMIKA PERUBAHAN GARIS PANTAI PEKALONGAN DAN BATANG, JAWA TENGAH NEIRA PURWANTY ISMAIL Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Kelautan pada Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

4 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul: DINAMIKA PERUBAHAN GARIS PANTAI PEKALONGAN DAN BATANG, JAWA TENGAH adalah hasil karya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, September 2012 NEIRA PURWANTY ISMAIL C

5 Hak cipta milik IPB, tahun 2012 Hak cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

6 SKRIPSI Judul Penelitian Nama Mahasiswa NIM Departemen : DINAMIKA PERUBAHAN GARIS PANTAI PEKALONGAN DAN BATANG, JAWA TENGAH : Neira Purwanty Ismail : C : Ilmu dan Teknologi Kelautan Menyetujui, Pembimbing I Pembimbing II Prof. Dr. Ir. Mulia Purba, M.Sc Risti Endriani Arhatin, S.Pi, M.Si NIP NIP Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan Prof. Dr. Ir. Setyo Budi Susilo, M.Sc NIP Tanggal Lulus : 6 September 2012

7 154 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Purworejo, Jawa Tengah pada tanggal 14 Januari Penulis merupakan putri ketiga dari empat bersaudara dari keluarga bapak Ahmad Ismail dan ibu Rosmiaty. Pada tahun 2007 penulis menyelesaikan pendidikan di Sekolah Menengah Atas Negeri 2 Namlea. Setelah tamat SMA penulis diterima sebagai mahasiswi Institut Pertanian Bogor, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Mayor Ilmu dan Teknologi Kelautan melalui jalur Undagan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama kuliah, penulis aktif menjadi asisten mata kuliah Oseanografi Terapan, Penginderaan Jauh Kelautan, Sistem Informasi Geografi Kelautan, Instrumentasi Kelautan dan Klimatologi Oseanografi. Penulis pernah mengikuti kegiatan pertukaran budaya The 4 th Sailing Practice dengan tema Cultural Exchange through Experience Sulawesi Woodenboat Construction and Sailing pada tahun Kemudian pada tahun 2010 penulis mengukuti pertukaran pelajar ke Ehime University, Matsuyama, Jepang dengan tema Shikoku Agrocomplex Short Study Program. Pada tahun 2011, penulis mengikuti kompetisi muatan roket Indonesia tingkat nasional dengan tema Altitude Monitoring and Surveillance Payload. Penulis melaksanakan kegiatan Praktek Kerja Lapang (PKL) di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Pekalongan. Tahun 2012, penulis mengikuti Marine Science and Technology (MST) Training Program dengan topik khusus Ocean Acidification. Dalam rangka menyelesaikan studi di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, penulis melakukan penelitian dengan judul Dinamika Perubahan Garis Pantai Pekalongan dan Batang, Jawa Tengah

8 KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala berkah dan rahmat-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul DINAMIKA PERUBAHAN GARIS PANTAI PEKALONGAN DAN BATANG, JAWA TENGAH. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada: 1. Keluarga tercinta, kedua orangtua, kakak dan adik atas segala dukungan, doa dan kasih sayangnya; 2. Bapak Prof.Dr.Ir. Mulia Purba, M.Sc. dan ibu Risti Endriani Arhatin, S.Pi, M.Si. selaku pembimbing yang telah berkenan meluangkan waktu, tenaga dan pikiran serta bimbingannya selama penyusunan skripsi ini; 3. Ibu Dr.Ir. Yuli Naulita, M.Si selaku penguji tamu yang telah memberikan kritik dan saran untuk pebaikan skripsi ini; 4. Staf pengajar dan staf penunjang Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan atas bantuannya selama penulis menjalankan studi di IPB; 5. Pak Sakka, mbak Dhita, mbak Ira, Krisdiantoro, bang Santos, bang Erwin, dan bang Andri atas bimbingannya selama pengerjaan model. Penulis berharap, skripsi ini dapat memberikan manfaat dan informasi yang berguna bagi penulis dan orang lain yang membacanya. Bogor, September 2012 Neira Purwanty Ismail

9 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... x DAFTAR GAMBAR... xi DAFTAR LAMPIRAN... xiii 1. PENDAHULUAN Latar belakang Tujuan TINJAUAN PUSTAKA Profil Pantai Pembangkitan Gelombang oleh Angin Transformasi Gelombang Refraksi Gelombang Gelombang Pecah Transpor Sedimen Pantai Keseimbangan Sedimen Pantai Model Perubahan Garis Pantai Citra Landsat 4 TM dan 7 ETM Kondisi Umum Lokasi Penelitian METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Peralatan Pengolahan Data dan Survei Lapang Metode Pengumpulan Data ) Arah dan kecepatan angin. 25 2) Kedalaman perairan. 26 3) Citra Landsat 26 4) Data pendukung Pengolahan dan Analisis Analisis Data Angin Prediksi Gelombang melalui Data Angin ) Koreksi data angin ) Penentuan fetch ) Perhitungan tinggi dan periode gelombang Transformasi Gelombang ) Penentuan arah dan tinggi gelombang ) Penentuan tinggi dan kedalaman gelombang pecah 38 3) Penentuan sudut datang gelombang terhadap garis pantai Angkutan Sedimen Sepanjang Pantai Model Perubahan Garis Pantai Pemrosesan Data Citra ) Pemotongan citra (Image Cropping) viii

10 2) Pemulihan citra (Image Restoration) (1) Koreksi radiometrik (2) Koreksi geometrik ) Pengolahan citra (1) Pengolahan citra dengan menggunakan algoritma 47 (2) Komposit citra (3) Digitasi ) Koreksi garis pantai terhadap pasang surut ) Tumpang tindih (Overlay) Survei Lapangan HASIL DAN PEMBAHASAN Arah dan Kecepatan Angin Pembangkitan Gelombang di Laut Dalam Transformasi Gelombang Analisis Citra Pemulihan dan Pemotongan Citra Pengolahan dengan Menggunakan Algoritma Pengolahan dengan Digitasi Koreksi Garis Pantai terhadap Pasang Surut Tumpang Tindih Hasil Pengolahan Citra Angkutan Sedimen Sepanjang Pantai Model Perubahan Garis Pantai KESIMPULAN DAN SARAN DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP ix

11 DAFTAR TABEL Halaman 1. Skala angin dan gelombang Beaufort Karakteristik sensor Landsat TM dan ETM Persentase kejadian angin selama tahun Hasil analisis panjang fetch di lokasi penelitian Persentase arah dan tinggi gelombang di laut dalam selama tahun Tinggi dan periode gelombang di laut dalam yang merambat menuju pantai Pekalongan dan Batang yang dibangkitkan oleh angin bulanan rata-rata selama tahun Tinggi dan periode gelombang di laut dalam yang merambat menuju pantai Pekalongan dan Batang yang dibangkitkan oleh angin bulanan maksimum selama tahun Data kemiringan pantai pada jarak 0 sampai 1 km ke lepas pantai Tinggi gelombang laut dalam (H o ) tinggi gelombang pecah (H b ) dan jarak pecah dari garis pantai pada lokasi A, B, C dan D Perbandingan perubahan garis pantai hasil model dan citra tahun 2002 terhadap garis pantai awal (garis pantai citra tahun 1989) x

12 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Terminologi yang digunakan untuk menjelaskan zona dekat pantai dan profil pantai (CERC, 1984 modifikasi) Waktu untuk pembangkitan gelombang sebagai fungsi fetch dan kecepatan angin (USACE, 2003b modifikasi) Refraksi gelombang pada berbagai bentuk tipe kontur garis pantai (USACE, 2002a; Komar, 1983b modifikasi) Sirkulasi arus di dekat pantai berdasar pada sudut pendekatan gelombang (USACE, 2003b modifikasi) Gerakan gelombang yang membangkitkan arus menyusur pantai mengakibatkan transport sedimen membentuk pola zig-zag di sepanjang pantai (Sorensen, 2006 modifikasi) Peta lokasi penelitian perubahan garis pantai di pantai Pekalongan dan Batang, Jawa Tengah Diagram alir pengolahan data perubahan garis pantai Lokasi stasiun data angin untuk pembangkitan gelombang di laut dalam Rasio durasi angin (U t ) pada kecepatan 1 jam (U 3600 ) (USACE, 2003b) Durasi angin tercepat sebagai fungsi dari kecepatan angin (untuk laut terbuka (USACE, 2003b) Sistem grid yang digunakan dalam model transformasi gelombang Jalur lintasan transformasi gelombang dari laut dalam di lokasi A, B, C dan D Hubungan geometri antara sudut gelombang dating (α bxdij ), orientasi pantai (α g ) dan sudut gelombang pecah (α bdij ) (Komar, 1983b modifikasi) Prosedur perhitungan net rate sediment dengan metode perimbangan sel Garis pantai yang dibagi menjadi beberapa sel dengan lebar (Δx) dan panjang (y i ) yang berbeda setiap sel (Horikawa, 1988 modifikasi) Simulasi angkutan sedimen pada satu sel garis pantai (Komar 1983c modifikasi) Kelerengan pantai Posisi garis pantai pada saat perekaman citra dan MSL Mawar angin (wind rose) dari angin harian rata-rata selama tahun Histogram persentase distribusi kelas kecepatan angin selama tahun Grafik tinggi dan periode gelombang laut dalam dari angin bulanan rata-rata selama tahun Grafik tinggi dan periode gelombang laut dalam dari angin bulanan maksimum selama tahun Peta kedalaman perairan Pekalongan dan Batang Hasil perhitungan kelerengan pantai lokasi A, B, C dan D a. Transformasi gelombang dengan arah angin dari utara yang xi

13 menggambarkan arah dan tinggi gelombang b. Transformasi gelombang dengan arah angin dari timur laut yang menggambarkan arah dan tinggi gelombang c. Transformasi gelombang dengan arah angin dari timur yang menggambarkan arah dan tinggi gelombang Profil tinggi gelombang dari laut dalam hingga pecah di lokasi A grid ke-40, lokasi B grid ke-80, lokasi C grid ke-120 dan lokasi D grid ke Tinggi gelombang pecah sepanjang pantai dengan tinggi gelombang laut lepas (H 0 ) yang berbeda Perbesaran profil tinggi gelombang dari laut dalam hingga pecah di tiap lokasi (H 0 = 1,01 m) Citra Landsat RGB 542 setelah dilakukan pemulihan dan pemotongan (kiri: tahun 1989, kanan: tahun 2002) Hasil pengolahan citra Landsat tahun 1989 (kiri) dan 2002 (kanan) dengan algoritma Hasil tumpang tindih (overlay) garis pantai dengan algoritma Hasil tumpang tindih (overlay) pengolahan citra menggunakan algoritma dengan masing-masing citra tahun 1989 (kiri) dan 2002 (kanan) Hasil tumpang tindih (overlay) pengolahan citra menggunakan digitasi dengan masing-masing citra than 1989 (kiri) dan 2002 (kanan) Posisi garis pantai citra tahun 1989 (a) dan 2002 (b) sebelum dan setelah koreksi terhadap pasang surut Hasil tumpang tindih (overlay) garis pantai pengolahan citra Jarak perubahan garis pantai hasil citra tahun Perbesaran hasil tumpang tindih (overlay) garis pantai citra tahun 1989 dan 2002 pada lokasi A, B, C dan D Histogram laju angkutan sedimen total (m 3 /tahun) selama empat belas tahun ( ) Angkutan sedimen total (m 3 /tahun) setiap lokasi sepanjang pantai selama empat belas tahun ( ) Tumpang tindih (overlayi) garis pantai hasil citra dan model Jarak perubahan garis pantai hasil model terhadap garis pantai awal Perbesaran hasil tumpang tindih garis pantai model dengan citra tahun (Gambar 39) pada lokasi A, B, C dan D xii

14 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Program transformasi gelombang Data garis pantai awal yang diperoleh dari citra than Program angkutan sedimen Data kecepatan angin tahun Data arah angin tahun Mawar angin bulanan rata-rata Tabel persentase distribusi kelas angin harian rata-rata setaip bulan selama tahun Panjang fetch di lokasi penelitian Tinggi dan periode gelombang harian selama tahun Prediksi gelombang di laut dalam yang dibangkitkan oleh angin Komponen pasang surut di stasiun Semarang Posisi tinggi muka air pada saat perekaman citra Landsat 4TM dan 7 ETM Koreksi garis pantai terhadap pasang surut pada tiap grid Hasil perhitungan laju angkutan sedimen total tahunan dan per lokasi selama tahun Koordinat garis pantai hasil model dan citra tahun Dokumentasi survei lapangan xiii

15 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah pesisir pantai merupakan zona yang sangat dinamis dimana darat dan laut saling berinteraksi menghasilkan lingkungan yang unik dan rentan terhadap perubahan. Batas antara air laut dan daratan disebut sebagai garis pantai, yang selalu berubah-ubah, baik perubahan sementara akibat pasang surut, maupun perubahan permanen dalam jangka waktu panjang akibat abrasi dan akresi. Menurut Doornkamp dan King (1971), terdapat tiga proses dinamis penting yang mempengaruhi bentuk pantai yaitu aksi gelombang, angin dan pasang surut. Proses yang paling penting adalah aksi gelombang. Gelombang yang dibangkitkan oleh angin merambat dari perairan dalam menuju ke perairan dangkal (pantai) kemudian mengalami perubahan (transformasi) sifat dan parameter gelombang karena proses refraksi, pendangkalan (shoaling), refleksi, difraksi hingga gelombang pecah akibat pengaruh dasar perairan dan karakteristik bentuk pantai. Kemudian gelombang akan membangkitkan arus menyusur pantai yang dapat mengangkut sedimen dari atau menuju pantai, dan juga dapat mengangkut sedimen sepanjang pantai sehingga menyebabkan perubahan garis pantai. Pantai Pekalongan dan Batang berada pada pesisir pantai utara Provinsi Jawa Tengah. Wilayah pesisir pantai utara (Pantura) Jawa merupakan kawasan yang dinamis dan cepat mengalami perubahan sebagai akibat dari tingkat kebutuhan pemanfaatan lahan yang sangat besar di pulau Jawa. Lokasi pantai berhadapan langsung dengan laut Jawa sehingga mendapat pengaruh komponen gelombang dari laut dalam dan dapat menyebabkan perubahan garis pantai. 1

16 2 Penelitian mengenai perubahan garis pantai perlu dilakukan untuk mengetahui tendensi perubahan pantai di masa yang akan datang. Perubahan garis pantai dapat diprediksi melalui pendekatan model numerik (Dean dan Zheng, 1997; Elfrink dan Baldock, 2002; Ashton dan Murray, 2006). Triwahyuni et al. (2010) telah membuat model perubahan garis pantai timur Tarakan dengan menggunakan data gelombang pecah yang dihitung di pantai akibat angin bulanan rata-rata selama 10 tahun. Komar (1983a) telah membuat model perubahan garis pantai akibat adanya jetty dengan hanya menggunakan satu data gelombang tanpa menyertakan proses transformasi gelombang. Fitrianto (2010) telah membuat model perubahan garis pantai di sekitar jetty di Pelabuhan Pendaratan Ikan (PPI) Glayem Juntinyuat, Kabupaten Indramayu menggunakan program transformasi gelombang STWAVE. Dewi (2011) membuat model transformasi gelombang dari laut dalam menuju ke pantai serta perubahan garis pantai yang diakibatkan karena angkutan sedimen sejajar pantai di pantai Teritip hingga Ambarawang, Kalimantan Timur. Alphan (2005) telah mengamati perubahan garis pantai di delta Cukurova, pantai tenggara Mediterrania, Turki dengan menggunakan citra multi temporal Landsat MSS tahun 1972 dan ETM + tahun Penelitian mengenai perubahan garis pantai masih perlu dilakukan salah satunya dengan cara melihat interaksi angin yang membangkitkan gelombang di laut dalam, kemudian membuat model transformasi gelombang dari laut dalam hingga gelombang pecah di pantai dan model angkutan sedimen sepanjang pantai yang dapat menyebabkan perubahan garis pantai. Hasil simulasi model tersebut kemudian divalidasi dengan cara membandingkan perubahan garis pantai hasil pengolahan citra satelit.

17 3 1.2 Tujuan Tujuan penelitian ini adalah: 1. Menganalisis transformasi gelombang yang dibangkitkan oleh angin dari laut dalam menuju ke pantai; 2. Menghitung dan menganalisis angkutan sedimen sepanjang pantai; 3. Menganalisis perubahan garis pantai yang terjadi di pantai Pekalongan dan Batang, Jawa Tengah selama kurun waktu empat belas tahun sejak tahun 1989 hingga 2002 dengan menggunakan model numerik; 4. Memvalidasi hasil model perubahan garis pantai dengan hasil pengolahan citra Landsat 4 TM hasil akuisisi tahun 1989 dan citra Landsat 7 ETM + hasil akuisisi tahun 2002.

18 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Profil Pantai Istilah kepantaian yang umum digunakan dalam bahasa Indonesia terdiri atas dua yaitu pesisir (coast) dan pantai (shore). Pesisir adalah daerah darat di tepi laut yang masih mendapat pengaruh laut seperti pasang surut, angin laut dan perembesan air laut. Pantai adalah daerah di tepi perairan yang dipengaruhi oleh air pasang tertinggi dan air surut terendah. Garis pantai adalah garis batas pertemuan antara daratan dan air laut, dimana posisinya tidak tetap dan dapat berubah sesuai dengan pasang surut air laut dan abrasi pantai yang terjadi (Triatmodjo, 1999). Ditinjau dari profil pantai (Gambar 1), daerah ke arah pantai dari garis gelombang pecah dibagi menjadi tiga daerah yaitu inshore, foreshore dan backshore. Perbatasan antara inshore dan foreshore adalah batas pantai pada saat muka air terendah. Proses gelombang pecah di daerah inshore sering menyebabkan terjadinya longshore bar, yaitu gumuk pasir yang memanjang dan kira-kira sejajar dengan garis pantai. Foreshore adalah daerah yang terbentang dari garis pantai pada saat muka air rendah sampai batas atas dari uprush (gelombang bergerak naik pada permukaan pantai) pada saat air pasang tinggi. Profil pantai di daerah ini memiliki kemiringan yang lebih curam dibandingkan profil di daerah inshore dan backshore. Backshore adalah daerah yang dibatasi oleh foreshore dan garis pantai yang terbentuk pada saat terjadi gelombang badai bersamaan dengan muka air tertinggi (USACE, 2003a). 4

19 5 Profil pantai dibawah pengaruh gelombang terbagi atas daerah pecah (breaker zone), daerah selancar (surf zone) dan daerah hempasan (swash zone) (Brown et al.,1989). Garis gelombang pecah merupakan batas perubahan perilaku gelombang dan transpor sedimen pantai. Daerah gelombang pecah (breaker zone) adalah daerah dimana gelombang yang datang dari laut dalam (lepas pantai) mencapai ketidakstabilan dan pecah. Surf zone adalah daerah di antara bentangan bagian dalam dari gelombang pecah dan batas naik turunnya gelombang di pantai. Pantai yang landai memiliki daerah surf zone yang lebar. Swash zone adalah daerah yang dibatasi oleh garis batas tertinggi naiknya gelombang dan batas terendah turunnya gelombang di pantai. Gambar 1. Terminologi yang digunakan untuk menjelaskan zona dekat pantai dan profil pantai (CERC, 1984 modifikasi) Bentuk profil pantai sangat dipengaruhi oleh serangan gelombang, sifat-sifat sedimen seperti rapat massa dan tahanan terhadap erosi, ukuran dan bentuk partikel, kondisi gelombang dan arus, serta batimetri pantai.

20 6 Pantai dapat terbentuk dari material dasar berupa lumpur, pasir atau kerikil (gravel). Kemiringan dasar pantai tergantung pada bentuk dan ukuran material dasar. Pantai lumpur mempunyai kemiringan yang sangat kecil hingga mencapai 1:5000. Kemiringan pantai berpasir berkisar antara 1:20 dan 1:50. Kemiringan pantai berpasir berkerikil dapat mencapai 1:4. Semakin kasar ukuran butiran sedimen, maka kemiringan pantai akan semakin curam. Pantai berlumpur banyak dijumpai dimana banyak terdapat sungai yang mengangkut sedimen tersuspensi bermuara di daerah tersebut dengan gelombang yang relatif kecil. Pantai utara Jawa sebagian besar merupakan pantai berlumpur (Triatmodjo, 1999). Berdasarkan energinya, gelombang yang mempunyai energi lebih besar cenderung memindahkan sedimen ke arah laut, mengikisnya dari gundukan pasir (berm) di pantai, kemudian mengendapkannya sebagai bukit pasir (sand bar) di zona pecah (breaker zone). Proses sebaliknya terjadi pada gelombang dengan energi yang lebih kecil (Komar 1983b). Akumulasi sedimen di pantai menyerap dan memantulkan energi yang berasal dari gelombang. Apabila seluruh energi gelombang terserap maka pantai dalam kondisi seimbang. Sebaliknya, pantai dalam kondisi tidak seimbang apabila terjadi perubahan garis pantai abrasi dan akresi (Dirjen P3K DKP, 2004). 2.2 Pembangkitan Gelombang oleh Angin Angin yang berhembus di permukaan laut menimbukan gesekan angin (wind stress) sehingga terjadi wind wave atau gelombang yang ditimbulkan oleh angin. Peristiwa ini merupakan pemindahan energi angin menjadi energi gelombang. Semakin lama dan kuat angin berhembus, maka semakin besar gelombang yang terbentuk (Triatmodjo, 1999).

21 7 Menurut Komar (1983b); Davis (1991), terdapat tiga faktor penentu karakteristik gelombang yang dibangkitkan oleh angin yaitu; (1) lamanya angin bertiup atau durasi angin; (2) kecepatan angin dan; (3) fetch (jarak yang ditempuh oleh angin dari arah pembangkit gelombang atau daerah pembangkitan gelombang). Semakin lama angin bertiup, semakin besar jumlah energi yang dihasilkan dalam pembangkitan gelombang. World Meteorological Organization (WMO) telah menetapkan standar baku skala angin Beaufort untuk melihat pengaruh angin terhadap gelombang di laut seperti ditunjukkan pada Tabel 1. Tabel 1. Skala angin dan gelombang Beaufort Skala Kondisi angin Kecepatan Kondisi gelombang di laut Beaufort angin (m/det) 0 Tenang (Calm) < 0,3 Air bagaikan kaca 1 Angin sepoi-sepoi 0,3 1,5 Angin mulai beriak (Light air) 2 Angin agak kencang (Light breeze) 1,6-3,4 Ombak kecil, pendek terlihat jelas puncak ombak seperti kaca tidak pecah 3 Angin cukup kencang (Gentle breeze) 3,5-5,4 Gelombang kecil, puncak ombak pecah berbuih putih 4 Angin kencang (Moderate breeze) 5,5 7,9 Gelombang kecil panjang agak banyak buih putih 5 Angin tambah kencang (Fresh breeze) 8 10,7 Gelombang agak besar panjang, banyak buih putih di kapal menimbulkan semburan 6 Angin mulai badai (Strong breeze) 10,8 13,8 Gelombang besar, puncak gelombang berbuih putih 7 Angin badai (Near gale) 13,9 17,1 Laut mulai naik, buih terbentuk dari pecahan gelombang 8 Badai (Gale) 17,2 20,7 Gelombang tinggi panjang, semburan air sepanjang laut 9 Angin taifun (Strong gale) 20,8 24,4 Gelombang tinggi, puncak gelombang pecah 10 Angin ribut (Storm) 24,5 28,4 Gelombang sangat tinggi, kapalkapal kecil tidak terlihat 11 Angin ribut 28,5 32,6 Gelombang sangat tinggi (Violent storm) 12 Angin prahara (Hurricane) 32,7 Udara penuh semburan air, seluruhnya buih putih (Sumber: Stewart, 2005 dalam Fitrianto, 2010)

22 8 Resio dan Vincent (1979) dalam USACE (2003b) menyebutkan bahwa kondisi gelombang pada area fetch relatif tidak dipengaruhi oleh lebar fetch. Panjang fetch membatasi waktu yang diperlukan untuk membentuk gelombang karena pengaruh angin, jadi mempengaruhi waktu transfer energi angin ke gelombang. Fetch ini berpengaruh pada periode dan tinggi gelombang yang dibangkitkan. Gelombang dengan periode panjang akan terjadi jika fetch besar. Gelombang di lautan dapat memiliki periode 20 detik atau lebih, umumnya berkisar antara 10 dan 15 detik. Gelombang yang bergerak keluar dari daerah pembangkitan gelombang hanya memperoleh sedikit tambahan energi (Triatmodjo, 1999). Faktor lain yang turut mempengaruhi karakteristik gelombang adalah kedalaman perairan, kekasaran dasar, stabilitas atmosfer dan sebagainya (Yuwono, 1994). Pada pertumbuhan gelombang laut dikenal beberapa istilah (USACE, 2003b): 1) Fully development seas, kondisi dimana tinggi gelombang mencapai nilai maksimum (terjadi jika fetch cukup panjang); 2) Fully limited-condition, pertumbuhan gelombang dibatasi oleh fetch. Dalam hal ini panjang fetch (panjang daerah pembangkit angin) dibatasi oleh garis pantai atau dimensi ruang dari medan angin; 3) Duration limited-condition, pertumbuhan gelombang dibatasi oleh lamanya waktu dari tiupan angin; 4) Sea waves, gelombang yang tumbuh di daerah medan angin. Kondisi gelombang di sini adalah curam yaitu panjang gelombang berkisar antara 10 hingga 20 kali lebih tinggi gelombang;

23 9 5) Swell waves (swell), gelombang yang tumbuh (menjalar) di luar medan angin. Kondisi gelombang di sini adalah landai yaitu panjang gelombang berkisar antara 30 hingga 500 kali tinggi gelombang. Perkiraan waktu untuk mencapai kondisi fetch-limited yang merupakan fungsi dari kecepatan angin dan panjang fetch ditunjukkan pada Gambar 2 (Resio dan Vincent (1982) dalam USACE (2003b)). Gambar 2. Waktu untuk pembangkitan gelombang sebagai fungsi fetch dan kecepatan angin (USACE, 2003b modifikasi) Gelombang menimbulkan energi yang berperan dalam proses pembentukan pantai, arus dan transpor sedimen pada arah tegak lurus dan sepanjang pantai, serta menyebabkan gaya-gaya yang bekerja pada bangunan pantai. Gelombang merupakan salah satu faktor utama dalam penentuan geometri dan komposisi pantai serta menentukan proses perencanaan dan desain bangunan pantai, pelabuhan, terusan (waterway), struktur pantai, alur pelayaran, proteksi pantai dan kegiatan di pantai lainnya (CERC, 1984). Penentu terjadinya abrasi selain oleh gelombang, juga ditentukan pula oleh kondisi batimetri yang tidak stabil (Horikawa, 1988).

24 Transfromasi Gelombang Gelombang yang merambat dari laut dalam menuju pantai akan mengalami perubahan bentuk karena pengaruh kedalaman laut. Di laut dalam bentuk gelombang adalah sinusoidal, di laut transisi dan dangkal puncak gelombang menjadi semakin tajam sementara lembah gelombang menjadi semakin landai. Berkurangnya kedalaman laut menyebabkan meningkatnya kecuraman (H/L) dengan semakin berkurangnya panjang gelombang (L) dan meningkatnya tinggi gelombang (H). Pada suatu kedalaman tertentu, saat kemiringan gelombang (perbandingan antara tinggi gelombang dan panjang gelombang) mencapai batas maksimum, puncak gelombang semakin tajam sehingga tidak stabil dan pecah yang menyebabkan sebagian energinya hilang. Setelah pecah gelombang terus menjalar ke pantai, dan semakin dekat dengan pantai tinggi gelombang semakin berkurang. Gelombang yang pecah tersebut terus merambat ke arah pantai hingga akhirnya gelombang bergerak naik dan turun pada permukaan pantai (uprush dan downrush) (CERC, 1984; Horikawa, 1988). Pergerakan gelombang yang merambat dari perairan dalam ke perairan dangkal akan mengalami beberapa proses antara lain (USACE, 2002b); pembiasan (reflection), akan memusat (convergence) jika mendekati semenanjung, mengalami penyebaran (divergence) jika mendekati cekungan pendangkalan (shoaling), difraksi, disipasi akibat friksi, disipasi akibat penapisan (percolation), gelombang pecah, penambahan gelombang tumbuh, interaksi gelombang-arus, dan interaksi gelombang-gelombang. Keadaan gelombang sangat dipengaruhi oleh keadaan batimetri dasar laut, yaitu keadaan dasar, kelengkungan garis pantai dan tonjolan dasar laut (CERC, 1984; CHL, 2002).

25 Refraksi Gelombang Refraksi terjadi karena adanya pengaruh perubahan kedalaman laut. Refraksi dan pendangkalan dapat mempengaruhi besarnya tinggi gelombang pada kedalaman tertentu dan distribusi energi gelombang di sepanjang pantai. Menurut Dally (2005), fenomena refraksi dan pendangkalan gelombang (wave shoaling) merupakan fenomena paling penting yang berperan dalam transformasi gelombang di dekat pantai. Daerah dengan kedalaman air lebih besar dari setengah panjang gelombang, gelombangnya menjalar tanpa dipengaruhi oleh dasar laut, sedangkan pada daerah transisi dan dangkal, penjalaran gelombang dipengaruhi oleh kedalaman perairan. Kecepatan rambat gelombang tergantung pada kedalaman air dimana gelombang menjalar. Apabila cepat rambat gelombang berkurang dengan kedalaman, panjang gelombang juga berkurang secara linear. Variasi cepat rambat gelombang terjadi sepanjang garis puncak gelombang yang bergerak dengan membentuk suatu sudut terhadap garis kedalaman laut, karena bagian dari gelombang di laut dalam bergerak lebih cepat dibandingkan bagian di laut yang lebih dangkal. Variasi tersebut menyebabkan puncak gelombang membelok dan berusaha untuk sejajar dengan garis kontur dasar laut (USACE, 2003b). Perubahan arah gelombang karena proses refraksi akan menghasilkan suatu daerah energi gelombang terpusat (convergence) atau penyebaran (divergence) yang mempengaruhi struktur pantai (CERC, 1984). Proses refraksi gelombang pada berbagai tipe kontur garis pantai ditunjukkan pada Gambar 3.

26 12 Gambar 3. Refraksi gelombang pada berbagai bentuk tipe kontur garis pantai; atas, kontur lurus dan sejajar; tengah (a), submarine ridge; (b), submarine canyon; bawah, gabungan antara submarine ridge dan submarine canyon (USACE, 2002a; Komar, 1983b modifikasi) Gelombang Pecah Pada saat bergerak mendekati pantai, kecuraman gelombang meningkat seiring dengan berkurangnya kedalaman. Ketika kecuraman gelombang mencapai batas maksimum, gelombang akan pecah, membaurkan energi, menyebabkan arus di dekat pantai (nearshore current), dan kenaikan muka air (USACE, 2003a).

27 13 Menurut Miche (1944) dalam Sorensen (2006), kondisi batas gelombang pecah pada berbagai kedalaman (d) diberikan oleh fungsi tinggi (H) terhadap panjang gelombang (L) yaitu: maks = tanh... (1) Penelitian di laboratorium dengan menggunakan tangki gelombang yang dasarnya horizontal menunjukkan bahwa ketika tinggi gelombang menjadi sepertujuh dari panjang gelombang laut dalam, gelombang akan pecah (Daniel, 1952 dalam Sorensen, 2006). Di laut dangkal, gelombang pecah terjadi ketika: maks = atau maks = 0, (2) Gelombang yang pecah dengan membentuk sudut terhadap garis pantai dapat menyebabkan arus menyusur pantai (longshore current) seperti ditunjukkan pada Gambar 4. Arus menyusur pantai terjadi di daerah antara gelombang pecah dan garis pantai (CERC, 1984). Pada saat gelombang menuju pantai membentuk sudut terhadap garis pantai maka gelombang tersebut akan naik ke pantai (uprush) dan membentuk sudut. Massa air yang naik tersebut kemudian turun lagi dalam arah tegak lurus pantai. Gerakan tersebut membentuk lintasan seperti mata gergaji, disertai dengan terangkutnya sedimen dalam arah sepanjang pantai. Transpor ini membentuk pola zig-zag seperti yang ditunjukkan pada Gambar 5 (Sorensen, 2006).

28 14 Gambar 4. Sirkulasi arus di dekat pantai berdasar pada sudut pendekatan gelombang; A) Sirkulasi sel dengan rip cirrent, muncul ketika puncak gelombang paralel terhadap garis gelombang, B) Arus menyusur pantai yang seragam ketika besar sudut α b besar, C) Pola kombinasi pada kondisi sudut α b kecil (USACE, 2003a modifikasi) Gambar 5. Gerakan gelombang yang membangkitkan arus menyusur pantai mengakibatkan transpor sedimen membentuk pola zig-zag di sepanjang pantai (Sorensen, 2006 modifikasi)

29 Transpor Sedimen Pantai Transpor sedimen pantai adalah gerakan sedimen di daerah pantai yang disebabkan oleh gelombang dan arus yang dibangkitkannya. Transpor sedimen oleh CERC (1984) dapat diklasifikasikan menjadi transpor menuju dan meninggalkan pantai (onshore-offshore transport) dan transpor sepanjang pantai (longshore transport). Transpor menuju dan meninggalkan pantai mempunyai arah rata-rata tegak lurus garis pantai, sedangkan transpor sepanjang pantai mempunyai arah rata-rata sejajar pantai. Transpor sedimen sepanjang pantai (longshore sediment transport) dipengaruhi oleh gelombang yang datang menuju pantai. Angkutan sedimen litoral yang sejajar dengan garis pantai, sehingga terdapat dua kemungkinan arah pergerakan yaitu ke kanan atau ke kiri. Sedimen akan berpindah menuju ke kanan pada sebagian tahun dan menuju ke kiri pada sisa tahun dengan orientasi pengamat menghadap ke laut. Arah distribusi tahunan energi gelombang dapat menyebabkan laju angkutan dominan bergerak dalam satu arah (Sorensen, 1991; CHL, 2002). Jika transpor menuju ke kanan ditandai dengan Q lr dan ke kiri Q ll,maka tranpor tahunan bersih (net annual transport) didefinisikan sebagai Q lnet = Q lr + Q ll. Net annual transport akan menuju ke kanan dan bernilai positif jika Q lr > Q ll dan bernilai negatif jika Q lr < Q ll. Gross annual transport merupakan jumlah dari transpor sedimen litoral pada kedua arah (USACE, 2002b). Transpor sedimen sepanjang pantai terjadi pada gelombang pecah dan garis pantai sehingga berpengaruh terhadap perubahan garis pantai akibat sedimen yang dipindahkannya (Horikawa, 1988).

30 Keseimbangan Sedimen Pantai Analisis keseimbangan sedimen pantai digunakan untuk mengevaluasi sedimen yang masuk dan yang keluar dari suatu pantai. Analisis keseimbangan sedimen pantai berdasarkan pada hukum kontinuitas atau kekekalan masa sedimen. Melalui analisis ini dapat diperkirakan daerah pantai yang mengalami perubahan. Pendekatan yang dilakukan mengevaluasi besar sedimen yang masuk dan yang keluar, kemudian membandingkannya untuk mengetahui apakah suatu ruas (sel) pantai yang ditinjau mengalami erosi atau akresi (sedimentasi). Pada analisis keseimbangan sedimen pantai, daerah pantai dibagi menjadi sejumlah ruas (sel). Keseimbangan sedimen pantai adalah banyaknya sedimen yang masuk dikurangi dengan yang keluar. Apabila nilai keseimbangannya nol maka pantai dalam kondisi stabil, jika nilainya posistif pantai mengalami akresi dan sebaliknya untuk nilai keseimbangan negatif pantai mengalami erosi. Hasil evaluasi keseimbangan sedimen di masing-masing sel memberikan informasi kondisi daerah sepanjang pantai. Analisis keseimbangan sedimen pantai dapat dilakukan dengan pengamatan terhadap laju erosi atau akresi selama beberapa waktu (tahun). Berdasarkan data tersebut dapat diketahui keseimbangan sedimen pantai dan dapat diperkirakan kondisi pantai di masa mendatang (Triatmodjo, 1999). 2.6 Model Perubahan Garis Pantai Pemodelan adalah proses menjabarkan fenomena kompleks yang terjadi di alam dan menerjemahkannya menjadi sebuah model pada komputer untuk dapat dipahami kedinamisannya pada dunia nyata (Bossel (1994) dalam Lakhan (2005)). Menurut Bekey (1977) dalam Lakhan (2005), model komputer mewakili

31 17 kesatuan hubungan antara persamaan matematika, aturan logika, dan program komputer. Penggunaan model untuk mensimulasikan kedinamisan sistem pantai memerlukan sejumlah asumsi yang diambil dari hubungan logika atau matematika untuk dibangun dan diformulasikan menjadi model. Perubahan garis pantai pada dasarnya meliputi proses abrasi dan akresi (sedimentasi) yang dapat terjadi secara alami karena faktor alam. Akresi dan abrasi yang terjadi disertai dengan maju dan mundurnya garis pantai. Perubahan garis pantai tersebut dapat diprediksi dengan membuat model matematik yang didasarkan pada keseimbangan sedimen pantai yang ditinjau. Akibat pengaruh transpor sedimen sepanjang pantai, sedimen dapat terangkut sampai jauh dan menyebabkan perubahan garis pantai. Proses pengembalian garis pantai pada kondisi semula memerlukan waktu cukup lama. Bahkan apabila gelombang dari satu arah lebih dominan daripada gelombang dari arah yang lain, sulit untuk mengembalikan garis pantai pada posisi semula. Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa transpor sedimen sepanjang pantai merupakan penyebab utama terjadinya perubahan garis pantai (Triatmodjo, 1999). Berdasarkan alasan tersebut maka dalam model perubahan garis pantai ini hanya memperhitungkan transpor sedimen sepanjang pantai. Transpor sedimen lain yang diberikan dalam keseimbangan sedimen pantai tidak diperhitungkan dalam pemodelan perubahan garis pantai ini. Pendekatan umum untuk membangun model komputer perubahan garis pantai hampir serupa dengan model komputer aliran air. Persamaan kontinuitas untuk air digantikan dengan hubungan kontinuitas untuk pasir/sedimen sehingga menjaga arah volume atau massa pasir total dan memastikan bahwa tidak ada

32 18 penambahan atau pengurangan yang luar biasa (Komar, 1983a). Pada model, pantai dibagi menjadi sejumlah sel (ruas). Pada tiap sel ditinjau angkutan sedimen yang masuk dan keluar. Sesuai dengan hukum kekekalan massa, jumlah laju aliran massa netto di dalam sel adalah sama dengan laju perubahan massa di dalam sel tiap satuan waktu (Triatmodjo, 1999). Triwahyuni et al. (2010) telah meemodelkan pantai timur Tarakan, Kalimantan Timur. Model tersebut menggunakan bahasa program Matlab yang dimodifikasi dari bahasa program Fortran oleh Komar (1983a). Perubahan garis pantai ditimbulkan oleh gelombang pecah yang dibangkitkan oleh angin selama 10 tahun ( ). Hasil simulasi model memberikan gambaran perubahan garis pantai yang mengikuti pola garis pantai hasil citra. Selain itu, Triwahyuni et al. (2010), juga memperoleh hasil model dan hasil citra tidak sama pada daerah yang terdapat sungai dan intervensi manusia. Hal tersebut terjadi karena faktor masukan sedimen dari sungai dan intervensi manusia tidak diperhitungkan dalam model. Dewi (2011) telah membuat model transformasi gelombang dari laut dalam menuju ke pantai serta perubahan garis pantai di pantai Teritip hingga Ambarawang. Bentuk garis pantai model cenderung mengikuti bentuk garis pantai awal (garis pantai citra Landsat tahun 2000). Perbandingan hasil model dengan hasil citra Landsat tahun 2007 memperlihatkan bentuk garis pantai yang mirip. Meskipun terdapat juga perbedaan terutama pada garis pantai berbentuk tonjolan, dimana akibat adanya tonjolan maka model memprediksi terjadinya abrasi. Sementara hasil citra memperlihatkan garis pantai yang hampir tidak berubah. Hal ini diperkirakan akibat adanya mangrove di lokasi tersebut yang menghalangi proses abrasi, akan tetapi pengaruh tersebut tidak dipertimbangkan dalam model.

33 Citra Landsat 4 Thematic Mapper (TM) dan 7 Enhanced Thematic Mapper Plus (ETM + ) Penentuan perubahan garis pantai dapat dilakukan dengan menggunakan citra satelit yang direkam pada kurun waktu berbeda. Garis pantai masing-masing citra ditumpang tindihkan untuk melihat perubahan garis pantai selama kurun waktu tersebut. Penentuan perubahan garis pantai dengan menggunakan citra tidak mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan garis pantai tersebut. Landsat merupakan satelit sumberdaya alam yang dikembangkan oleh National Aeronautical and Space Administration (NASA) Amerika Serikat pada awal tahun 1970-an (Purwadhi, 2001). Citra Landsat TM merupakan hasil rekaman sensor Thematic Mapper yang dipasang pada satelit Landsat 4 dan Landsat 5. Citra Landsat ETM + merupakan hasil rekaman sensor Enhanced Thematic Mapper Plus (ETM + ) yang dipasang pada satelit Landsat 7 yang merupakan kelanjutan dari program Landsat 4 dan 5, karena program Landsat 6 gagal mencapai orbit. Karakteristik sensor satelit Landsat TM dan ETM + dapat dilihat pada Tabel 2. Penelitian mengenai perubahan garis pantai menggunakan citra satelit telah dilakukan oleh beberapa peneliti diantaranya; Purba dan Jaya (2004) melakukan analisis perubahan garis pantai dan penutupan lahan di Lampung Timur dengan menggunakan citra satelit Landsat TM tahun 1991, 1999, 2001, dan Hasil pengolahan citra satelit ini menunjukkan garis pantai yang mengalami erosi di bagian selatan dan sedimentasi di bagian utara. Alphan (2005) mengamati delta Cukurova, di pantai tenggara Mediterrania, Turki menggunakan citra Landsat MSS tahun 1972 dan ETM + tahun Hasil tumpang tindih garis pantai tahun 1972 dan 2002 menunjukkan bahwa akresi dan abrasi terjadi sekitar muara sungai.

34 20 Tabel 2. Karakteristik sensor Landsat TM dan ETM + Kanal Panjang Gelombang 1 0,45 0,52 μm (sinar tampak violet-biru) 2 0,52 0,60 μm (sinar tampak hijau) 3 0,63 0,69 μm (infra termal merah) 4 0,76 0,90 (infra merah dekat) 5 1,55 1,75 μm (infra merah menengah) 6 10,40 12,50 μm (infra merah termal) ,35 μm (infra merah jauh) 8 0,5 0,9 μm (pankromatik) (Sumber: Purwadhi, 2001; NASA, 2005) Resolusi Spasial Fungsi TM ETM + 30 x 30 m 30 x 30 m Pemetaan perairan pantai (coastal zone), pembedaan antara tanah dan vegetasi 30 x 30 m 30 x 30 m Memperkirakan keseburan vegetasi 30 x 30 m 30 x 30 m Membedakan jenis vegetasi berdasarkan pemetaan klorofil 30 x 30 m 30 x 30 m Pembedaan badan air, tanah dan vegetasi 30 x 30 m 30 x 30 m Membedakan awan dengan salju, pengukuran kelembapan vegetasi dan tanah 120 x 120 m 60 x 60 m Mengukur dan pemetaan panas, tekanan panas tumbuhan, dan informasi geologi lainnya berdasarkan panas 30 x 30 m 30 x 30 m Pemetaan hidrotermal, pembedaan tipe batuan (mineral dan petroleum geology) Tidak ada 15 x 15 m Meliputi fungsi yang ada dari spektrum sinar tampak sampai infra merah dekat 2.8 Kondisi Umum Lokasi Penelitian Pantai Pekalongan berada di Kecamatan Pekalongan Utara, Kabupaten Pekalongan sedangkan pantai Batang berada di Kecamatan Batang, Kabupaten Batang, Provinsi Jawa Tengah. Wilayah Pekalongan dan Batang memiliki posisi strategis karena berada di jalur penghubung antara kota-kota di wilayah provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Jalur penghubung berupa jalur utara

35 21 arteri pulau Jawa atau biasa disebut jalur Pantura. Lokasi pantai berada di pesisir pantai utara Jawa dengan orientasi pantai menghadap timur laut. Posisi garis pantai membentang dari arah barat laut hingga ke tenggara dan berhadapan langsung dengan laut Jawa. Geomorfologi pantai Pekalongan dan Batang relatif landai dengan kemiringan kurang dari 3 o. Substrat dasar pantai didominasi oleh hamparan pasir cenderung berlumpur, tidak berbatu, perairannya bersifat terbuka. Profil pantai bukan merupakan teluk dan ombak di dekat pantainya relatif berkekuatan rendah. Warna perairan pantai keruh kecoklatan dan baru kurang lebih 1 mil warna terlihat hijau kebiruan. Kedalaman perairan pantai antara 0,5-25 m. Pasang surut bersifat campuran dan dalam sehari semalam terjadi satu kali pasang dan satu kali surut. Gelombang laut relatif tenang tidak lebih dari 1 meter, namun terdapat arusarus yang cukup kuat (Marfai et al. 2011). Kawasan pesisir Pekalongan pada dasarnya didominasi oleh lahan persawahan dan tambak atau lahan terbuka. Pesisir utara Jawa Tengah merupakan wilayah delta sungai-sungai dengan kondisi arus air tergantung pasang surut. Di wilayah pantai Pekalongan dan Batang terdapat muara muara Loji dan muara Sambong. Pada saat pasang, massa air cenderung bergerak dari arah laut menuju muara sebaliknya pada saat surut massa air bergerak ke arah laut. Pantai utara Jawa Tengah umumnya merupakan daerah rawan abrasi. Umumnya abrasi terjadi akibat rusaknya vegetasi pantai seperti mangrove dan lain-lain (Dephut Provinsi Jawa Tengah, 2006).

36 3. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Lokasi penelitian ini berada di pantai utara Kabupaten Pekalongan dan Batang, Provinsi Jawa Tengah yang selanjutnya disebut sebagai pantai Pekalongan dan Batang. Secara geografis, terletak pada koordinat 6 o 50 32,74-6 o 54 0,36 LS dan 109 o 41 34, o 45 1,26 BT. Garis pantai yang dianalisis sepanjang ± 6 km. Peta lokasi penelitian ditunjukkan pada Gambar 6. Pantai Pekalongan dan Batang di sebelah utara berbatasan langsung dengan laut Jawa, sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Pekalongan, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Batang, dan sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Pekalongan dan Batang. Pada ujung sebelah barat pantai Pekalongan berbatasan dengan muara Loji yang merupakan jalur utama menuju Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Pekalongan, sedangkan di ujung sebelah timur pantai Batang dibatasi oleh muara Sambong, akan tetapi kedua muara sungai ini tidak dimasukkan dalam kajian model perubahan garis pantai. Kondisi pantai terbuka menghadap laut Jawa sehingga komponen gelombang menjadi faktor utama penyebab terjadinya perubahan garis pantai di lokasi tersebut. Pengambilan data dan survei lapang di sepanjang pantai Pekalongan dan Batang dilakukan pada bulan Juli Pengolahan data dan pengerjaan model perubahan garis pantai dilakukan di Laboratorium Processing Data Oseanografi dan Penginderaan Jauh Kelautan, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor pada bulan Agustus 2011 hingga Juni

37 Gambar 6. Peta lokasi penelitian perubahan garis pantai di pantai Pekalongan dan Batang, Jawa Tengah

38 Peralatan Pengolahan Data dan Survei Lapang Pengolahan data serta pengerjaan model perubahan garis pantai dilakukan dengan menggunakan seperangkat komputer berbasis Intel Core 2 Duo dengan sistem operasi Windows 7. Beberapa perangkat lunak yang digunakan diantaranya yaitu; Ocean Data View (versi 4.1.3) digunakan untuk mengekstrak data angin ECMWF yang semula berisi data angin seluruh dunia berformat *nc, hanya diambil pada titik grid stasiun data angin yang ingin digunakan kemudian diekspor ke dalam format *txt. WRPLOT View (versi 6.5.1) digunakan untuk analisis statistik sebaran data angin dan gelombang serta visualisasi data. ER Mapper (versi 7.0) digunakan untuk pengolahan data citra satelit, pemulihan citra, algoritma pemisahan darat dan laut. ArcGIS (versi 9.3) digunakan untuk mendigitasi garis pantai hasil citra, membuat tampilan peta dan visualisasi perubahan garis pantai. Golden Software Surfer (versi 8.0 dan 9.0) digunakan untuk digitasi batimetri, digitasi sel grid garis pantai dan grid data transformasi gelombang. Global Mapper (versi 13) digunakan untuk menganalisis panjang fetch di lokasi penelitian, mengekspor data garis pantai hasil digitasi di ArcGIS berformat *shp ke dalam format *bln. Transform (versi 3.3) digunakan untuk mengekspor data berformat *xyz ke dalam format *hdf. MapSource (versi ) digunakan untuk mengekspor data koordinat garis pantai hasil survei lapang. Visual Basic Application (versi 6.5) pada Microsoft Excel 2007 digunakan untuk memodelkan transformasi gelombang dan angkutan sedimen. Google Earth (versi 6.2.2) digunakan untuk melihat perubahan garis pantai dari tahun ke tahun. Microsoft Excel 2007 digunakan untuk perhitungan, analisis dan visualisasi data.

39 25 Perangkat yang digunakan pada kegiatan survei diantaranya yaitu GPS Garmin 60i dan kamera digital. GPS digunakan untuk merekam data koordinat tracking sepanjang garis pantai dan penandaan titik-titik lokasi pengamatan perubahan garis pantai sepanjang pantai Pekalongan dan Batang. Kamera digital digunakan sebagai alat pendokumentas foto kondisi pantai lokasi penelitian. 3.3 Metode Pengumpulan Data Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data sekunder dan primer. Data sekunder merupakan data yang diperoleh dari instansi pemerintah atau lembaga terkait, sedangkan data primer merupakan data yang diambil langsung di lokasi penelitian. Data sekunder yang digunakan pada penelitian ini antara lain data angin, citra Landsat, peta batimetri, peta Lingkungan Pantai Indonesia (LPI), peta digital Shuttle Radar Topography Mission (SRTM) dan citra multi temporal Google earth. Data primer yang digunakan adalah data koordinat dan dokumentasi pantai hasil tracking GPS di lokasi penelitian. 1) Arah dan kecepatan angin Data angin yang digunakan pada penelitian ini adalah data arah dan kecepatan angin harian selama kurun waktu 1 Januari 1989 hingga 31 Desember 2002 yang diperoleh dari European Centre for Medium Range Weather Forecasts (ECMWF). Data angin diunduh dari situs pada tanggal 17 Nopember Data angin ECMWF merupakan data komponen kecepatan angin zonal dan meridional (u dan v) dalam satuan (m/det) pada ketinggian 10 m di atas permukaan air laut, nilai-nilai grid berdasarkan koordinat garis

40 26 lintang dan bujur beresolusi 1,5 o x 1,5 o, tersedia dalam format *nc dan *grb, berisi parameter waktu dalam format (hh/dd/mm/yy). Stasiun data angin yang digunakan terletak di laut Jawa pada koordinat 6 o LS dan 109,5 o BT. Lokasi tersebut dipilih karena merupakan stasiun angin di laut yang paling dekat dan dianggap dapat mewakili kondisi angin di lokasi penelitian. 2) Kedalaman perairan Data kedalaman perairan diperoleh dari peta batimetri Dishidros Jawa Pantai Utara, Cirebon hingga Semarang lembar III, skala 1: Data batimetri tersebut merupakan hasil survei Cirebon tahun 1975 dan Semarang tahun 1986 yang diperbaharui oleh Dinas Hidro-Oseanografi tahun Data batimteri ini dianggap mewakili batimetri lokasi penelitian pada kurun waktu tahun 1989 hingga ) Citra Landsat Citra yang digunakan untuk menganalisis perubahan garis pantai pada penelitian ini adalah citra satelit Landsat 4 TM hasil akuisisi data tanggal 21 Januari 1989 dan citra satelit Landsat 7 ETM + hasil akuisisi data tanggal 5 Agustus 2002, dengan tingkat resolusi menengah yaitu 30 x 30 m per piksel, scene citra Landsat pada path 120 dan row 65 yang mencakup wilayah Jawa Tengah dan Yogyakarta. Citra satelit Landsat diperoleh secara gratis dari lembaga United State Geological Survey (USGS), National Aeronautics and Space Administration (NASA), melalui situs resmi

41 27 4) Data pendukung Data pendukung lainnya antara lain peta Lingkungan Pantai Indonesia (LPI) Pekalongan dengan nomor lembar peta skala 1:50000 yang diperoleh dari Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal). Peta digital Shuttle Radar Topography Mission (SRTM) diperoleh dari USGS NASA. Citra multi temporal Google earth diperoleh dari Google. Peta-peta tersebut digunakan untuk melihat perubahan garis pantai di lokasi penelitian selain hasil pengolahan citra satelit dan model. Data koordinat tracking GPS sepanjang garis pantai Pekalongan hingga Batang yang diperoleh dari hasil survei lapang di lokasi penelitian. 3.4 Pengolahan dan Analisis Data Alur proses pengolahan dan analisis data penelitian ditunjukkan pada Gambar 7. Proses pengolahan data terdiri dari analisis data angin, pembangkitan gelombang melalui data angin, pembuatan model transformasi gelombang dan angkutan sedimen serta pengolahan citra satelit untuk validasi model Analisis Data Angin Posisi stasiun data angin ditunjukkan pada Gambar 8. Data angin dianalisis secara statistik menggunakan perangkat lunak WRPLOT (versi 6.5.1) untuk memperoleh persentase kejadian arah dan kecepatan angin. Data kecepatan angin dikelompokkan dalam beberapa kelas interval menurut skala angin Beaufort yaitu 0,0-0,3 m/det, 0,3-1,6 m/det, 1,6-3,4 m/det, 3,4-5,5 m/det, 5,5 8,0 m/det, dan >8 m/det pada 8 arah mata angin. Hasil analisis data angin digambarkan dalam bentuk mawar angin (wind rose) tahunan dan bulanan di lokasi penelitian.

42 28 Peta batimetri DISHIDROS Digitasi Peta digital SRTM & LPI Fetch Data angin ECMWF Citra Landsat 4 TM tahun 1989 Citra Landsat 7 ETM+ tahun 2002 Batimetri Kemiringan pantai Koreksi data angin: Koreksi Durasi Koreksi Stabilitasi Data angin terkoreksi Prediksi gelombang laut dalam (H mo T p ) Pemulihan citra: Koreksi Radiometrik Koreksi Geometrik Pemotongan citra Batas darat-laut If i1 (kanal 4) then null else (citra 1989) If i1 (kanal 4) then null else (citra 2002) Model transformasi gelombang Digitasi Gelombang pecah (H b d b α b ) Garis pantai awal tahun 1989 Model angkutan sedimen Garis pantai tahun 2002 Salah Hasil model perubahan garis pantai Overlay hasil pengolahan citra tahun 1989 dan 2002 Validasi model Benar Perubahan garis pantai tahun Gambar 7. Diagram alir pengolahan data perubahan garis pantai

43 29 Stasiun pengambilan data Lokasi Penelitian Gambar 8. Lokasi stasiun data angin untuk pembangkitan gelombang di laut lepas Prediksi Gelombang melalui Data Angin Hasil analisis data arah dan kecepatan angin ECMWF digunakan untuk menghitung pembangkitan gelombang di laut dalam. Hal tersebut karena gelombang tidak diukur secara langsung di lapangan dan tidak ada stasiun lapang yang secara langsung melakukan pengukuran gelombang di lokasi penelitian. Terdapat tiga faktor utama yang mampengaruhi pembangkitan gelombang di laut dalam yaitu (Komar, 1983b); kecepatan angin, lamanya angin bertiup (durasi) dan daerah fetch. Sebelum menggunakan data angin untuk memprediksi gelombang di laut dalam, perlu dilakukan beberapa koreksi data angin. 1) Koreksi data angin Data angin yang diperoleh dari stasiun data angin ECMWF di laut sudah berada pada ketinggian 10 m di atas permukaan laut sehingga tidak perlu dilakukan koreksi ketinggian dan pengukuran angin dari darat ke laut, hanya perlu dilakukan koreksi durasi dan stabilitas.

44 30 (1) Koreksi durasi Koreksi durasi dilakukan untuk mengoreksi durasi angin observasi dengan durasi angin yang digunakan untuk peramalan pembangkitan gelombang. Data yang diperoleh dari ECMWF adalah data angin rata-rata harian sehingga perlu dilakukan koreksi untuk memperoleh kecepatan angin dengan durasi satu jam. Koreksi ini dapat dilakukan berdasarkan Gambar 9 dan Gambar 10 atau menggunakan persamaan (USACE, 2003b): ; untuk satuan U f mil per jam (3) ; untuk satuan U f meter per detik ; untuk t < (4) ; untuk 3600 < t < (5)...(6) dimana: t = Durasi angin dalam detik; U f = Kecepatan angin sebelum koreksi durasi; U 3600 = Kecepatan angin dalam 1 jam (3600 detik); = Kecepatan angin setelah koreksi durasi. U t

45 31 Gambar 9. Rasio durasi angin (U t ) pada kecepatan 1 jam (U 3600 ) (USACE, 2003b) Gambar 10. Durasi angin tercepat sebagai fungsi dari kecepatan angin (untuk laut terbuka) (USACE, 2003b)

46 32 (2) Koreksi stabilitas Koreksi stabilitas dilakukan karena adanya perbedaan suhu antara udara dan air laut. Pada fetch lebih besar dari 16 km, diperlukan koreksi stabilitas menggunakan persamaan (USACE, 2003b): (7) dimana: U c = Kecepatan angin setelah mengalami koreksi stabilitas (m/s); U w = Kecepatan angin sebelum dikoreksi stabilitas (m/s); R T = Koefisien beda suhu antara udara dan air laut. Karena perbedaan suhu antara udara dan air laut tidak diketahui, maka diasumsikan kondisi tidak stabil (R T = 1,1). 2) Penentuan fetch Prediksi gelombang diawali dengan analisis panjang fetch pada lokasi penelitian menggunakan peta. Perhitungan jarak fetch dan kedalaman pembangkitan gelombang ditentukan menggunakan peta digital SRTM. Fetch pada lokasi penelitian ini ditentukan pada kedalaman ± 20 m kemudian ditarik garis lurus pada 8 arah mata angin hingga membentur daratan. Lebar fetch tidak dihitung karena dianggap tidak mempengaruhi kondisi gelombang pada area fetch. Apabila panjang fetch yang diperoleh lebih dari 200 km maka panjang fetch maksimum yang digunakan adalah 200 km. Hal ini dilakukan untuk mereduksi hasil prediksi gelombang yang terlalu besar (Resio dan Vincent (1979) dalam USACE, (2003b); Saville et al. (1962) dalam CERC, 1984). Berdasarkan letak geografisnya, pantai Pekalongan dan Batang yang berhadapan langsung dengan laut Jawa menyebabkan arah datangnya gelombang di lokasi tersebut tergantung pada arah datangnya angin yang terjadi di laut Jawa. Berdasarkan letak stasiun angin, fetch efektif yang

47 33 membangkitkan angin dapat berasal dari arah barat, barat laut, utara, timur laut dan timur. Angin yang berasal dari arah barat daya, selatan, dan tenggara diperkirakan tidak menyebabkan pembangkitan gelombang menuju pantai di lokasi penelitian karena arah datangnya angin berasal dari daratan dan akan bertiup meninggalkan pantai. 3) Perhitungan tinggi dan periode gelombang Peramalan gelombang berdasarkan data angin menggunakan metode Sverdrup Munk Bretschneider (SMB) yaitu peramalan berdasarkan pertumbuhan energi gelombang (Sverdrup dan Munk (1947) dalam CERC (1984). Kecepatan angin yang digunakan adalah kecepatan angin yang dianggap dapat membangkitkan gelombang berdasarkan skala Beaufort (1809) dalam Huler (2004) kemudian arahnya disesuaikan dengan posisi pantai terhadap arah fetch angin dengan mengabaikan angin yang datang dari arah daratan. Persamaan yang digunakan untuk menentukan tinggi dan periode gelombang di laut dalam adalah (USACE, 2003b):... (8)... (9).. (10)... (11)... (12)

48 34 dimana: H mo = Tinggi gelombang laut dalam; T p = Periode gelombang laut dalam; g = Gravitasi (9,8 m/s); X = Jarak fetch dimana angin berhembus; U 10 = Kecepatan angin pada ketinggian 10 m; U * = Kecepatan friksi; = Koefisien gesekan. C D Pada kondisi gelombang yang berkembang sepenuhnya (fully developed wave), perhitungan tinggi dan periode gelombang di laut dalam dilakukan menggunakan persamaan (USACE, 2003b):... (13)... (14) Transformasi Gelombang Transformasi gelombang merupakan perubahan bentuk gelombang yang disebabkan oleh perubahan kedalaman selama penjalaran gelombang dari laut dalam menuju pantai. Pada saat kedalaman perairan semakin dangkal, tinggi gelombang mengalami peningkatan seiring dengan berkurangnya kedalaman, sedangkan panjang gelombang semakin berkurang. Pada kedalaman tertentu, saat kemiringan gelombang (perbandingan antara tinggi gelombang dan panjang gelombang) mencapai batas maksimum, puncak gelombang menjadi tidak stabil dan pecah (USACE, 2003b). Pada model transformasi gelombang, daerah studi yang disimulasikan didiskritisasikan ke dalam sistem grid 2 dimensi pada sumbu x dan y. Pada sistem grid tersebut, garis pantai dianggap berada sejajar pada sumbu x, sedangkan sumbu y tegak lurus terhadap garis pantai ke arah laut. Indeks sel pada arah x

49 35 adalah i dan pada arah y adalah j. Titik grid pada sumbu x adalah = 1, 2, 3, (imax = 201) dengan interval antara titik grid adalah 30 m (Δx = 30). Titik grid pada sumbu y adalah = 1, 2, 3, (jmax = 801) dengan interval antara titik grid 30 m (Δy = 30 m). Sistem grid yang digunakan untuk model transformasi gelombang digambarkan seperti pada Gambar 11. Selanjutnya untuk keperluan analisis jalur lintasan transformasi gelombang dan angkutan sedimen di setiap lokasi, daerah studi dibagi menjadi 4 lokasi di sepanjang garis pantai (A, B, C, dan D) seperti ditunjukkan pada Gambar 12. Gambar 11. Sistem grid yang digunakan dalam model transformasi gelombang

50 36 Gambar 12. Jalur lintasan transformasi gelombang dari laut dalam di lokasi A, B, C dan D Pada setiap titik grid dihitung tinggi, periode dan sudut gelombang. Tinggi dan sudut gelombang pecah serta kedalaman perairan pada saat gelombang pecah dihitung hanya pada sumbu i. Model transformasi gelombang dibuat dalam bahasa basic seperti ditunjukkan pada Lampiran 1. Data masukan yang digunakan pada model transformasi gelombang terdiri dari data batimetri, hasil peramalan tinggi, periode dan arah gelombang di laut dalam dari data angin. 1) Penentuan arah dan tinggi gelombang Data masukan model transformasi gelombang terdiri dari: - Data kedalaman dasar laut (d) - Data kemiringan pantai = 0,0033 (pada jarak 100 m kedalaman air 0,33m) - Tinggi gelombang di laut dalam (H mo ) - Periode gelombang di laut dalam (T o ) - Sudut gelombang di laut dalam (α o ) - Percepatan gravitasi (g) = 9,8 m/det 2

51 37 - Phi = 3,14 - Step simulasi (Δt) = 1 hari - Jumlah titik grid sejajar pantai i = 1, 2, 3, Jumlah titik grid tegak lurus pantai j = 1, 2, 3,..800 Parameter-parameter yang dihitung pada setiap titik grid adalah: - Panjang gelombang (L dij ) - Kecepatan gelombang (C dij ) - Sudut gelombang (α dij ) - Koefisien refraksi (K rdij ) - Koefisien shoaling (K sdij ) - Tinggi gelombang (H dij ) Perubahan arah gelombang selama penjalaran gelombang dari laut dalam ke perairan dangkal dihitung menggunakan persamaan Snellius (USACE, 2003b):.... (15).... (16).....(17).... (18).... (19) Perhitungan tinggi gelombang pada kedalaman (d) di setiap titik grid menggunakan persamaan (USACE, 2003b):.... (20)

52 38... (21) (22)... (23)... (24) 2) Penentuan tinggi dan kedalaman gelombang pecah Perhitungan tinggi, sudut dan kedalaman gelombang pecah ditentukan dengan menggunakan asumsi (Horikawa, 1988): bila H dij = 0,78 d ij.. (25) maka H bdij = H dij... (26) d bij = d i. (27) dan α bxdij = α dij.... (28) dimana: H bdij = Tinggi gelombang pecah; α bxij = Sudut gelombang pecah; = Kedalaman air di mana gelombang pecah d bij Masing-masing dihitung pada setiap grid sejajar pantai (sumbu i). 3) Penentuan sudut datang gelombang terhadap garis pantai Gelombang yang merambat dari laut dalam menuju pantai membentuk sudut terhadap sumbu x, sedangkan sudut datang gelombang pecah terhadap garis pantai dapat dihitung dengan persamaan (Komar, 1983a; Horikawa, 1988): (29) dimana adalah sudut orientasi garis pantai terhadap sumbu x.

53 39 Sudut datang gelombang pecah menentukan besarnya angkutan sedimen sepanjang pantai. Perubahan garis pantai yang terjadi terusmenerus menyebabkan sudut gelombang pecah juga ikut berubah dari satu sel ke sel yang lain. Sudut gelombang pecah terhadap garis pantai dapat dihitung dengan menggunakan persamaan:... (30) Sudut α g adalah sudut yang dibentuk oleh garis pantai dengan garis sejajar sumbu x, antara sel i dan sel i+1 seperti ditunjukkan pada Gambar 13. Gambar 13. Hubungan geometri antara sudut gelombang datang (α bxdij ), orientasi pantai (α g ) dan sudut gelombang pecah (α bdij ) (Komar, 1983b modifikasi) Angkutan Sedimen Sepanjang Pantai Metode yang digunakan dalam perhitungan laju angkutan sedimen sepanjang pantai adalah metode fluks energi. Laju angkutan sedimen sepanjang pantai (longshore current), dipengaruhi oleh material litoral yang disebut komponen fluks energi gelombang pecah sejajar pantai (P l ), yaitu (Komar, 1983a): ; (N/det).. (31)

54 40 E bdij adalah energi gelombang yang terhitung pada garis pecah kedalaman d, di titik grid i j: ; (N/m atau kg/det 2 ). (32) C gbdij merupakan kecepatan kelompok gelombang pada garis pecah kedalaman d di titik grid i j: ; (m/det)... (33) Sehingga diperoleh persamaan:.....(34) Laju angkutan sedimen sejajar pantai diperoleh dengan menggunakan persamaan; ; (m 3 /det).. (35) Perubahan garis pantai dapat ditentukan dengan menggunakan metode net rate sediment yaitu dengan menghitung selisih sedimen yang masuk dan keluar sel, disebut juga metode perimbangan sel sedimen. Berdasarkan hasil perhitungan angkutan sedimen pada tiap sel, maka dapat dilakukan perhitungan angkutan sedimen sepanjang ruas pantai. Pada penelitian ini, sel disusun serial sepanjang pantai, sehingga net rate sediment dapat dihitung seperti pada Gambar 14. Gambar 14. Prosedur perhitungan net rate sediment dengan metode perimbangan sel

55 41 Selisih sedimen yang masuk dan keluar sel dapat dihitung dengan menggunakan persamaan: ; (m 3 /det).. (36) Model Perubahan Garis Pantai Model perubahan garis pantai dapat dibuat berdasarkan model aliran fluida atau persamaan kontinuitas sedimen. Perubahan garis pantai dilihat dari besarnya angkutan sedimen dari satu sel ke sel lain yang memiliki ukuran panjang sel yang sama (Δx). Berdasarkan hukum kekekalan massa, laju angkutan sedimen bersih di dalam sel adalah sebanding dengan laju perubahan massa sedimen di dalam sel tersebut setiap satuan waktu. Angkutan sedimen yang masuk dan keluar dari sel dapat dilihat pada Gambar 15. Simulasi angkutan sedimen pada satu sel garis pantai ditunjukkan oleh Gambar 16. Q i adalah angkutan sedimen yang masuk dari sel i menuju sel i+1, sedangkan Q i-1 adalah angkutan sedimen yang masuk dari sel i-1 menuju sel i. Besarnya transpor sedimen pantai dipengaruhi oleh energi gelombang dan sudut gelombang pecah. Sudut gelombang pecah akan berubah dari satu sel ke sel lain tergantung orientasi garis pantai pada masing-masing sel. Data masukan garis pantai awal lokasi penelitian yang digunakan pada model diperoleh dari hasil pengolahan garis pantai citra Landsat 4 TM tahun Koordinat garis pantai awal dapat dilihat pada Lampiran 2.

56 42 Gambar 15. Garis pantai yang dibagi menjadi beberapa sel dengan lebar (Δx) dan panjang (y i ) yang berbeda setiap sel (Horikawa, 1988 modifikasi). Gambar 16. Simulasi angkutan sedimen pada satu sel garis pantai (Komar, 1983c modifikasi)

57 43 Jika volume sedimen pantai yang berpindah (daerah yang berwarna cyan) dianggap setara dengan volume persegi panjang yang terbentuk dari hubungan antara d.δy i yaitu luasan area menegak dari sedimen yang terdeposit dan tererosi, dengan kedalaman perairan d pada saat gelombang pecah, terhadap Δx yaitu lebar sel. Laju angkutan sedimen yang masuk dan keluar dari sel i ditunjukkan oleh persamaan: ; (m 3 /det)... (37) Volume sedimen yang masuk dan keluar sel dinyatakan dengan persamaan: ΔV i = d Δy i Δx..(38) Subtitusi persamaan (37) dan (38) menghasilkan persamaan:..... (39) Jika persamaan (39) diselesaikan dengan menggunakan beda hingga (fuite difference), maka diperoleh:... (40) Pada persamaan (40), nilai Δt, d, dan Δx adalah tetap sehingga Δy hanya tergantung pada ΔQ. Apabila ΔQ negatif (angkutan sedimen yang masuk lebih kecil dari yang keluar sel) maka Δy akan negatif artinya pantai mengalami kemunduran atau abrasi. Sebaliknya jika ΔQ positif (angkutan sedimen yang masuk lebih besar dari yang keluar sel) maka Δy akan positif atau pantai mengalami akresi. Apabila ΔQ = 0 maka Δy =0 yang berarti pantai dalam kondisi stabil atau tetap. Perubahan garis pantai dapat dihitung dengan menggunakan persamaan (39). Model angkutan sedimen dan perubahan garis pantai yang dibuat dalam bahasa basic dapat dilihat pada Lampiran 3.

58 44 Pada pembuatan model perubahan garis pantai ini digunakan beberapa asumsi yaitu: 1) Garis pantai awal yang digunakan diperoleh dari hasil pengolahan citra Landsat 4 TM tahun 1989 kemudian dibagi menjadi 200 sel dengan panjang tiap sel (Δx) yaitu 30 meter. Penomoran sel dimulai dari sel paling barat (sel ke-1) sampai ke timur (sel ke-200); 2) Kedalaman perairan wilayah Pekalongan dan Batang dianggap linear dan faktor yang mempengaruhi perubahan garis pantai dianggap hanya berasal dari gelombang yang dibangkitkan oleh angin; 3) Model menggunakan input parameter gelombang pecah yaitu tinggi (H b ), kedalaman (d b ) dan sudut gelombang pecah (α b ) yang dihitung pada model dari sudut gelombang di dekat pantai (α b ) dan sudut orientasi pantai (α i ) pada masing-masing sel; 4) Faktor-faktor lain yang mempengaruhi transformasi gelombang selain shoaling dan refraksi diabaikan; 5) Model hanya menggunakan arah gelombang datang yang bergerak menuju pantai, sedangkan yang menjauhi pantai diabaikan; 6) Kedalaman air di pantai sama dengan tinggi sel; 7) Tinggi gelombang pecah terjadi jika H dij = 0,78 d ij ; 8) Posisi garis pantai pada titik sel 1 tidak berubah selama simulasi 9) Posisi garis pantai pada titik sel akhir sama dengan posisi garis pantai sebelumnya (y imax = y imax-1 ).

59 Pengolahan Data Citra Acuan untuk melihat perubahan garis pantai dapat menggunakan data sekunder yang berasal dari citra satelit dengan perekaman pada tahun yang berbeda-beda. Citra yang digunakan memiliki waktu berbeda karena untuk pengamatan perubahan garis pantai selain dilihat berdasarkan skala ruang (spasial) juga harus dilihat berdasarkan skala waktu (temporal). Data citra digunakan sebagai data penunjang hasil pengolahan data secara numerik. Pengolahan data secara numerik dapat memperlihatkan perubahan garis pantai karena faktor alam yaitu gelombang sedangkan penggunaan citra dapat memperlihatkan terjadinya perubahan garis pantai secara visual. 1) Pemotongan citra (Image cropping) Pemotongan citra atau cropping dilakukan karena citra awal yang diperoleh memiliki cakupan area yang terlalu luas. Proses ini bertujuan agar pengolahan data menjadi lebih efektif dan efisien karena cakupan area citra baru menjadi lebih kecil sesuai dengan kebutuhan penelitian. Pada scene citra Landsat path 120 dan row 65 yang mencakup wilayah Jawa Tengah dan Yogyakarta. Oleh karena itu, perlu dilakukan pemotongan citra hanya mengambil wilayah pantai Pekalongan dan Batang saja. 2) Pemulihan citra (Image restoration) Proses pemulihan citra terdiri dari koreksi geometrik dan koreksi radiometrik. Hal ini dilakukan agar citra yang diolah sesuai dengan keadaan sebenarnya.

60 46 (1) Koreksi radiometrik Koreksi radiometerik dilakukan untuk memperbaiki nilai-nilai piksel yang tidak sesuai dengan nilai pantulan atau pancaran spektral objek yang sebenarnya. Koreksi radiometrik dilakukan dengan metode penyesuaian histogram (histogram adjustment), yaitu dengan mengurangi nilai kanal terdistorsi ke arah kiri sehingga nilai minimumnya menjadi nol. Pada metode penyesuaian histogram diasumsikan bahwa nilai minimum pada suatu liputan adalah nol. Jika tidak dimulai dari nol, maka penambahan tersebut disebut sebagai offset-nya. Asumsi tersebut yang menentukan nilai minimum pada data sebelum terkoreksi dijadikan sebagai pengurang, sehingga akan diperoleh rentang nilai minimum dan maksimum setelah citra mengalami koreksi radiometrik (Arhatin, 2007). (2) Koreksi geometrik Koreksi geometrik dilakukan karena adanya distorsi yang disebabkan oleh kelengkungan bumi, ketidaksamaan gerak penyiaman (scanning), gerak rotasi bumi, ketidaklinearan dan gangguan (noise) pada sistem penyiaman, perubahan ketinggian alat pembawa sensor, perubahan sudut pandang alat pembawa sensor terhadap obyek (Lillesand dan Kiefer, 1990).

61 47 3) Pengolahan citra Citra yang telah dipotong dan dikoreksi, kemudian diolah untuk mendapatkan perubahan garis pantainya. Ada beberapa tahapan pengolahan citra untuk memperoleh garis pantai, diantaranya perngolahan citra menggunakan algoritma kemudian komposit citra, selanjutnya digitasi on screen. (1) Pengolahan citra dengan menggunakan algoritma Penggunaan algoritma untuk perubahan garis pantai dengan citra Landsat 4 TM dan 7 ETM + dilakukan menggunakan kanal 4, kanal ini akan memberikan pantulan yang tinggi di daratan. Proses ini dilakukan dengan menggunakan program ER Mapper 7.0. Algoritma yang digunakan adalah: If i1 (kanal 4) then null else (citra Landsat 4 TM tahun 1989) If i1 (kanal 4) then null else (citra Landsat 7 ETM + tahun 2002) Dimana input i1 adalah nilai pantulan pada kanal 4. (2) Komposit citra Penajaman citra bertujuan untuk memperjelas kenampakan objek pada citra sehingga semakin informatif. Penajaman citra dapat memperbaiki kenampakan citra dan membedakan objek yang ada pada citra agar informasi lebih mudah diinterpretasikan. Salah satu teknik penajaman citra untuk kerapatan dan distribusi vegetasi adalah False Color Composite (FCC). Citra komposit warna kanal, yaitu kanal dengan urutan filter merah (red/r), filter hijau (green/g), dan filter

62 48 biru (blue/b). Komposit citra yang umum digunakan untuk menampilkan batas antara darat dan laut yang jelas adalah RGB 542. (3) Digitasi Hasil pengolahan menggunakan algoritma dan hasil komposit citra berupa data raster kemudian didigitasi on screen untuk memperoleh data garis pantai berupa poligon yang merupakan data vektor berformat *shp. Garis pantai hasil digitasi inilah yang digunakan sebagai data garis pantai. 4) Koreksi garis pantai citra terhadap pasang surut Koreksi garis pantai hasil citra terhadap pasang surut dilakukan untuk memperoleh data garis pantai hasil perekaman citra tanpa pengaruh pasang surut. Koreksi garis pantai terhadap pasang surut dilakukan dengan cara sebagai berikut. 1) Menentukan kelerengan pantai (α) dengan mengetahui nilai kedalaman (d) dan jarak (m) dari garis pantai sampai kedalaman d; Gambar 17. Kelerengan pantai 2) Menentukan selisih tinggi muka air pada saat perekaman citra dengan Mean Sea Level (MSL) (Δη) berdasarkan konstanta-konstanta pasang

63 49 surut DISHIDROS, MSL ditentukan dengan merata-ratakan elevasi muka laut selama 1 bulan; 3) Menentukan jarak pergeseran garis pantai hasil koreksi pasang surut (x) dengan menggunakan persamaan; Gambar 18. Posisi garis pantai pada saat perekaman citra dan MSL 4) Koreksi garis pantai citra dilakukan jika perekaman citra dilakukan pada saat tinggi muka air laut lebih besar dari MSL (keadaan pasang), maka garis pantai digeser sejauh x meter ke arah laut. Jika keadaan surut maka garis pantai digeser sejauh x meter ke arah darat. 5) Tumpang tindih (Overlay) Proses akhir pengamatan perubahan garis pantai yaitu proses tumpang tindih (overlay) hasil digitasi citra yang telah dikoreksi terhadap pasang surut. Hasil digitasi garis pantai citra tahun 1989 sebagai garis pantai awal sedangkan hasil digitasi garis pantai citra tahun 2002 sebagai garis pantai akhir. Analisis perubahan garis pantai dilakukan dengan membandingkan posisi garis pantai tahun 2002 relatif terhadap garis pantai awal. Apabila posisi garis pantai tahun 2002 lebih ke arah laut dibandingkan garis pantai awal maka pantai mengalami akresi, sebaliknya pantai mengalami abrasi

64 50 apabila posisi garis pantai tahun 2002 lebih ke arah darat dibandingkan garis pantai awal. Overlay dilakukan menggunakan program ArcGIS 9.3 yaitu dengan cara menumpangtindihkan citra yang direkam pada tahun berbeda sehingga perubahan garis pantai dapat terlihat dengan jelas dalam bentuk poligon. Pada pembuatan model perubahan garis pantai Pekalongan Batang, Jawa Tengah, garis pantai hasil pengolahan citra Landsat 4 TM tahun 1989 digunakan sebagai data masukan garis pantai awal. Garis pantai dari pengolahan citra Landsat 7 ETM + tahun 2002 digunakan sebagai verifikasi garis pantai hasil simulasi model perubahan garis pantai selama tahun 1989 hingga Survei Lapangan Kegiatan survei lapang dilakukan untuk mengetahui kondisi terbaru di lokasi penelitian. Kondisi pantai diamati dengan cara menyusuri sepanjang pantai lokasi penelitian. Koordinat posisi sepanjang garis pantai lokasi penelitian diperoleh dari hasil susur pantai (tracking) menggunakan Global Positioning System (GPS). Sepanjang garis pantai diamati kondisi sekitar pantai, profil kelerengan pantai, kondisi angin dan gelombang di dekat pantai, proses abrasi dan akresi yang terjadi, serta jenis vegetasi pemanfaatan lahan di sekitar pantai. Informasi hasil pengamatan di lapang kemudian dicocokan dengan hasil pengolahan citra satelit dan hasil model garis pantai untuk mengetahui ketepatan posisi garis pantai hasil pengolahan citra. Dokumentasi berupa foto lokasi penelitian digunakan untuk menganalisis kondisi pantai lokasi penelitian.

65 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Arah dan Kecepatan Angin Angin merupakan salah satu faktor penting pada proses pembangkitan gelombang di laut dalam yang kemudian bergerak menuju ke perairan dangkal dan menentukan besarnya angkutan sedimen di sepanjang pantai sehingga terjadi perubahan garis pantai. Data arah dan kecepatan angin harian selama tahun di lokasi penelitian yang diolah dari data angin ECMWF dapat dilihat pada Lampiran 4 dan 5. Data sebaran arah dan kecepatan angin harian yang bertiup di perairan Pekalongan dan Batang selama tahun 1989 hingga 2002 ditabulasikan dalam bentuk persentase kejadian angin seperti yang ditunjukkan pada Tabel 3. Dari hasil analisis data angin harian tersebut diperoleh pola sebaran arah dan kecepatan angin harian di lokasi penelitian selama tahun seperti yang disajikan dalam bentuk mawar angin (wind rose) pada Gambar 19 dan histogram persentase distribusi kelas kecepatan angin pada Gambar 20. Tabel 3. Persentase kejadian angin selama tahun Kecepatan angin (m/det) Total (%) Arah 0,0-0,3 0,3-1,6 1,6-3,4 3,4-5,5 5,5-8,0 >8 Utara 0,02 1,51 2,09 0,37 0,00 0,00 3,99 Timur Laut 0,04 1,58 5,97 4,07 0,31 0,00 11,97 Timur 0,06 2,03 11,30 16,25 5,63 0,10 35,38 Tenggara 0,06 1,41 4,71 3,09 0,35 0,00 9,62 Selatan 0,04 0,98 1,60 0,53 0,08 0,00 3,23 Barat Daya 0,04 1,06 1,82 0,96 0,14 0,02 4,03 Barat 0,00 1,31 4,11 5,40 6,51 2,11 19,44 Barat Laut 0,02 1,45 3,32 2,86 2,78 1,92 12,34 Total (%) 0,27 11,31 34,93 33,52 15,80 4,15 100,00 51

66 52 Gambar 19. Mawar angin (wind rose) dari angin harian selama tahun Gambar 20. Histogram persentase distribusi kelas kecepatan angin selama tahun

67 53 Sebaran arah angin yang bertiup di perairan Pekalongan dan Batang selama tahun 1989 hingga 2002 dominan berasal dari arah timur dengan persentase kejadian angin sebesar 35,38%, kemudian dari arah barat, barat laut, timur laut dan tenggara dengan arah resultan yaitu 67 o sebesar 21%. Angin yang bertiup dari arah barat daya, utara dan selatan tidak termasuk dalam komponen angin yang dominan. Hal tersebut ditunjukkan oleh jumlah resultan angin yang tidak mencapai 8% dari total keseluruhan persentase kejadian angin. Sebaran kecepatan angin yang bertiup di perairan Pekalongan dan Batang selama tahun 1989 hingga 2002 dominan pada kisaran 1,6-3,4 m/det dengan persentase kejadian sebesar 34,93%. Persentase kejadian angin terkecil yaitu pada kisaran 0,0-0,3 m/det sebesar 0,27%. Angin yang bertiup dari arah timur pada kisaran kecepatan 3,4-5,5 m/det adalah angin yang memiliki persentase kejadian angin terbesar yaitu sebesar 16,25%. Berdasarkan posisi geografisnya, pantai Pekalongan dan Batang dengan orientasi pantai menghadap ke arah timur laut dapat diterjang oleh gelombang yang dibangkitkan oleh angin yang berasal dari arah utara, timur laut dan timur. Namun, jika dilihat dari pola sebaran arah dan kecepatan angin (Tabel 3, Gambar 19 dan 20), arah angin yang dominan berasal dari arah timur dan timur laut sehingga dapat membangkitkan gelombang yang bergerak menuju pantai dan memberikan pengaruh cukup besar terhadap pantai Pekalongan dan Batang. Angin yang berasal dari arah utara dianggap tidak memberikan pengaruh besar terhadap pantai karena memiliki persentase kejadian yang tidak mencapai 10% dari total keseluruhan kejadian angin.

68 54 Fitrianto (2010) telah menganalisis data arah dan kecepatan angin bulanan ECMWF pada stasiun pengambilan data angin yang sama tahun Hasil sebaran arah angin dominan berasal dari tenggara (42,71%), kemudian dari arah barat (29,17%) dan timur (16,67%). Sebaran kecepatan angin sebagian besar pada kisaran 3,4-5,5% m/det (51,56%) dan 1,6-3,4 m/det (29,17%). Perbedaan ini diperkirakan karena beda waktu dan data angin bulanan yang digunakan. Pola sebaran angin menunjukkan bahwa pada musim barat (Desember - Pebruari) angin bertiup dari arah barat, pada musim timur (Juni - Agustus) angin bertiup dari arah timur, pada musim peralihan I (Maret April) angin bertiup dari arah barat laut dan pada musim peralihan II (September Nopember) angin bertiup dari arah timur laut dan tenggara. Kondisi demikian menunjukkan bahwa perairan Pekalongan dan Batang dipengaruhi oleh pola angin muson yang berbalik arah dua kali dalam setahun. Mawar angin dan tabel persentase kejadian angin bulanan rata-rata selama tahun dapat dilihat pada Lampiran 6 dan Pembangkitan Gelombang di Laut Dalam Perhitungan gelombang di laut dalam dilakukan menggunakan data angin harian selama tahun 1989 hingga Data angin yang digunakan untuk membangkitkan gelombang di laut dalam hanya angin yang bertiup dari arah laut menuju ke pantai (daratan). Berdasarkan posisi pantai Pekalongan dan Batang yang menghadap ke arah timur laut, angin yang dapat membangkitkan gelombang di laut dalam adalah angin yang bertiup dari arah utara, timur, dan timur laut. Angin yang bertiup dari arah tenggara, selatan, barat, barat daya dan barat laut tidak diperhitungkan karena berasal dari arah daratan sehingga gelombang yang dibangkitkannya meninggalkan pantai (tidak memberikan pengaruh pada pantai).

69 55 Kecepatan angin yang digunakan untuk membangkitkan gelombang di laut dalam yaitu pada kisaran 0,3-1,6 m/det, 1,6-3,4 m/det, 3,4-5,5 m/det, 5,5-8,0 m/det dan lebih dari 8 m/det dari arah utara, timur laut dan timur laut yang berdasarkan skala angin Beaufort (1809) dalam Huler (2004) adalah kecepatan angin yang dapat membangkitkan gelombang di laut dalam. Hasil analisis panjang fetch yang dapat membangkitkan gelombang di lokasi penelitian ditunjukkan pada Tabel 4. Fetch di lokasi penelitian dapat dilihat pada Lampiran 8. Tabel 4. Hasil analisis panjang fetch di lokasi penelitian No Arah Fetch (km) 1 Utara 200,00 2 Timur Laut 200,00 3 Timur 93,06 4 Tenggara 27,45 5 Selatan 13,95 6 Barat Daya 14,78 7 Barat 124,43 8 Barat Laut 200,00 Fetch terpanjang pada arah utara, timur laut, timur, barat dan barat laut. Hal tersebut dikarenakan pada arah utara, timur laut, timur, barat dan barat laut berhadapan langsung dengan laut terbuka. Panjang fetch angin yang lebih besar dari 200 km (utara, timur laut dan barat laut) digenapkan nilainya menjadi 200 km. Hal tersebut bertujuan untuk mereduksi hasil prediksi gelombang yang terlalu besar (Saville et al. (1962) dalam CERC, 1984). Panjang fetch pada arah lainnya kurang dari 200 km, sehingga angin yang bertiup membangkitkan gelombang dari arah tersebut dianggap tidak memberikan pengaruh besar terhadap pantai. Jika ditinjau dari posisi pantai Pekalongan dan Batang yang menghadap ke arah timur laut, sehingga pada pembangkitan gelombang laut dalam digunakan panjang fetch

70 56 dari arah utara, timur laut (200 km) dan timur (93 km) yang dianggap membangkitkan gelombang yang dapat mempengaruhi bentuk pantai Pekalogan dan Batang, Jawa Tengah. Hasil perhitungan tinggi dan periode gelombang di laut dalam yang dibangkitkan oleh angin dari arah utara, timur laut dan timur selama tahun 1989 hingga 2002 ditunjukkan pada Tabel 5 dan Lampiran 9. Berdasarkan hasil perhitungan tersebut diperoleh bahwa tinggi gelombang yang terjadi selama tahun 1989 hingga 2002 berkisar antara 0,05 sampai 1,58 m, sedangkan periode gelombang yang terjadi berkisar antara 1,45 sampai 5,36 detik. Tinggi dan periode gelombang yang terjadi di lokasi penelitian selama 14 tahun sangat bervariasi. Berdasarkan Tabel 5, persentase tinggi gelombang yang dominan terjadi pada kisaran 0,6-0,8 m (30,01%) dan 0,4-0,6 m (27,26%). Sementara arah gelombang yang dominan terjadi berasal dari arah timur (69,04%) dan timur laut (23,28%), sedangkan yang terkecil dari arah utara (7,68%). Tabel 5. Persentase arah dan tinggi gelombang di laut dalam selama tahun Arah gelombang (dari) Tinggi gelombang (m) Total (%) 0,0-0,2 0,2-0,4 0,4-0,6 0,6-0,8 0,8-1,0 >1,0 Utara 0,65 2,33 2,79 1,34 0,46 0,11 7,68 Timur Laut 0,73 3,10 5,35 6,61 4,85 2,64 23,28 Timur 1,41 11,20 19,11 22,06 12,19 3,06 69,04 Total (%) 2,79 16,63 27,26 30,01 17,51 5,81 100,00 Tinggi dan periode gelombang bulanan rata-rata dan maksimum selama tahun 1989 hingga 2002 ditunjukkan pada Tabel 6 dan 7. Kecepatan angin bulanan rata-rata menunjukkan nilai tertinggi terjadi pada bulan Pebruari yaitu 5,95 m/det dari arah barat, sedangkan yang terendah terjadi pada bulan Oktober sebesar 2,63 m/det dari arah timur. Kecepatan angin bulanan maksimum

71 57 menunjukkan nilai tertinggi terjadi pada bulan Januari yaitu 13,13 m/det dari arah barat laut, sedangkan yang terendah terjadi pada bulan Mei sebesar 7,56 m/det dari arah timur. Tinggi dan periode gelombang bulanan rata-rata dan maksimum hanya dihitung pada panjang fetch arah angin yang dapat membangkitkan gelombang di lokasi penelitian. Perhitungan tinggi dan periode gelombang bulanan rata-rata dan maksimum di laut dalam dapat dilihat pada Lampiran 10. Tinggi dan periode gelombang bulanan rata-rata yang terjadi lebih tinggi pada bulan Juni Agustus (musim timur) dari arah timur dibandingkan pada bulan April dan Oktober (musim peralihan) dari arah timur. Tinggi gelombang berkisar antara 0,38-0,58 m dengan periode antara 2,94-3,39 detik. Gelombang tertinggi terjadi pada bulan Juli yaitu 0,58 m dengan periode 3,39 detik, dan yang terendah terjadi pada bulan Oktober yaitu 0,38 m dengan periode 2,94 detik. Tinggi dan periode gelombang bulanan maksimum yang terjadi lebih tinggi pada bulan Juni Agustus (musim timur) dibandingkan pada bulan Mei dan September (musim peralihan). Tinggi gelombang berkisar antara 1,11-1,31 m dengan periode gelombang antara 4,19-4,43 detik. Gelombang tertinggi terjadi pada bulan Juli yaitu 1,31 m dengan periode 4,43 detik, sedangkan yang terendah terjadi pada bulan Mei yaitu 1,11 dengan periode 4,19 detik. Arief (1999) telah melakukan pengukuran gelombang di pantai Pekalongan memperoleh kisaran tinggi antara 25 cm hingga 80 cm dengan periode signifikan hingga 4,7 detik. Arah gelombang pada musim barat terutama dari arah barat dan pada musim timur dari arah timur. Tinggi gelombang di laut Jawa sangat dipengaruhi oleh sistem angin muson yang berubah tergantung pada musim disebabkan oleh posisi matahari yang melintasi ekuator dua kali setiap tahun (Wyrtki, 1961).

72 58 Tabel 6. Tinggi dan periode gelombang di laut dalam yang merambat menuju pantai Pekalongan dan Batang yang dibangkitkan oleh angin bulanan rata-rata selama tahun Bulan Arah Arah ( ) Kecepatan angin (m/det) Fetch (m) Hmo (m) T (det) Januari B 289 5, Pebruari B 290 5, Maret BL 296 3, April T 88 2, ,43 3,05 Mei T 94 3, ,52 3,26 Juni T 98 3, ,57 3,36 Juli T 93 4, ,58 3,39 Agustus T 85 3, ,55 3,32 September T 76 3, ,46 3,13 Oktober T 78 2, ,38 2,94 Nopember BD 235 2, Desember B 279 4, Tabel 7. Tinggi dan periode gelombang di laut dalam yang merambat menuju pantai Pekalongan dan Batang yang dibangkitkan oleh angin bulanan maksimum selama tahun Bulan Arah Arah ( ) Kecepatan angin (m/det) Fetch (m) Hmo (m) T (det) Januari BL , Pebruari BL , Maret B , April T 92 7, ,14 4,23 Mei T 82 7, ,11 4,19 Juni T 101 7, ,14 4,23 Juli T 87 8, ,31 4,43 Agustus T 102 8, ,22 4,33 September T 77 7, ,12 4,21 Oktober T 92 7, ,15 4,24 Nopember B , Desember B , Hubungan tinggi dan periode gelombang laut dalam bulanan rata-rata dan maksimum dapat dilihat pada Gambar 21 dan 22. Pada Gambar 21 terlihat bahwa tinggi dan periode gelombang rata-rata di setiap bulan tidak memiliki perbedaan yang cukup besar. Tinggi dan periode gelombang tertinggi terjadi pada bulan Juli

73 59 dan terendah pada bulan Oktober. Pada Gambar 22 terlihat bahwa tinggi dan periode gelombang maksimum di setiap bulan nilainya lebih tinggi dan bervariasi. Tinggi dan periode gelombang tertinggi terjadi pada Juli dan sedangkan yanng terendah terjadi pada bulan Mei. 2,0 20,00 Tinggi gelombang (m) 1,5 1,0 0,5 0,0 15,00 10,00 5,00 0,00 Januari Periode gelombang (det) Pebruari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nopember Desember Hmo (m) Tp (det) Gambar 21. Grafik tinggi dan periode gelombang laut dalam dari angin bulanan rata-rata selama tahun ,0 20,00 Tinggi gelombang (m) 1,5 1,0 0,5 0,0 15,00 10,00 5,00 0,00 Januari Pebruari Maret April Mei Periode gelombang (det) Juni Juli Agustus September Oktober Nopember Desember Hmo (m) Tp (det) Gambar 22. Grafik tinggi dan periode gelombang laut dalam dari angin bulanan maksimum selama tahun

74 Transformasi Gelombang Transformasi gelombang dipengaruhi oleh bentuk pantai, kontur kedalaman perairan dan arah angin yang membangkitkan gelombang di lokasi penelitian. Posisi pantai Pekalongan dan Batang yang memanjang dari arah barat laut ke tenggara dengan orientasi pantai menghadap ke arah timur laut, sehingga dapat diterjang langsung oleh gelombang yang berasal dari arah utara, timur laut dan timur. Analisis transformasi gelombang di lokasi penelitian dilakukan menggunakan data gelombang hasil pembangkitan oleh data angin harian selama tahun 1989 hingga 2002 dengan tinggi gelombang berkisar antara 0,05-1,58 m dari arah utara, timur laut dan timur. Simulasi transformasi gelombang di lokasi penelitian menggunakan gelombang tertinggi dari arah utara dengan tinggi gelombang laut dalam (H o ) 1,01 m, dari arah timur laut dengan tinggi H o = 1,58 m dan dari timur dengan tinggi H o = 1,31 m. Profil kedalaman perairan Pekalongan dan Batang, Jawa Tengah dianalisis dari peta batimetri Dishidros sehingga menghasilkan profil kedalaman perairan seperti ditunjukkan pada Gambar 23. Pantai Pekalongan dan Batang memiliki profil pantai yang landai dengan kedalaman dasar perairan tidak terlalu dalam. Hal tersebut dilihat dari profil kedalaman perairan yang berkisar antara 0 37 m. Sebagai input model transformasi gelombang, rata-rata lereng pantai memiliki kelandaian 0,0033 (pada jarak 100 m kedalaman air 0,33 m). Profil kelerengan rata-rata pantai pada 4 lokasi berbeda (A, B, C dan D) dihitung pada jarak 0 hingga 1 km ke lepas pantai. Profil kelerengan rata-rata pantai di tiap lokasi ditunjukkan pada Tabel 8 dan Gambar 24. Lokasi A dan B memiliki kelandaian yang sama, profil pantai lokasi C lebih curam sedangkan lokasi D lebih landai.

75 61 A B C D Gambar 23. Peta kedalaman perairan Pekalongan dan Batang

76 62 Tabel 8. Data kemiringan pantai pada jarak 0 sampai 1 km ke lepas pantai Lokasi A Lokasi B Lokasi C Lokasi D Kelerengan (%) 0,35 0,35 0,36 0,28 0-0,5 Kedalaman (m) -1-1,5-2 -2,5-3 -3,5-4 Lokasi A Lokasi B 0-0,5 Kedalaman (m) -1-1,5-2 -2,5-3 -3,5-4 Lokasi C Lokasi D Gambar 24. Hasil perhitungan kelerangan pantai lokasi C dan D

77 63 Hasil simulasi transformasi gelombang ditunjukkan pada Gambar 25 dengan arah gelombang dari utara (Gambar 25a), timur laut (Gambar 25b) dan timur (Gambar 25c). Berdasarkan Gambar 25, arah gelombang di laut dalam cenderung konsisten sesuai dengan arah datangnya gelombang tersebut. Perubahan bentuk atau pembelokkan arah perambatan gelombang terjadi pada saat mendekati garis pantai. Hal tersebut ditunjukkan oleh arah muka gelombang yang cenderung sejajar mengikuti kontur garis pantai. Ketinggian gelombang dari laut dalam perlahan-lahan mengalami penurunan selama penjalarannya menuju ke pantai. Pada saat gelombang melalui perairan yang lebih dangkal, tinggi gelombang mengalami peningkatan hingga mencapai maksimum kemudian pecah dan terus mengalami penurunan hingga bernilai nol di dekat pantai. Peningkatan dan penurunan tinggi gelombang ditunjukkan oleh semakin panjang dan pendeknya anak panah muka gelombang pada Gambar 25. Pada saat gelombang merambat dari arah utara, terlihat adanya perubahan garis ortogonal gelombang yaitu arah perambatan gelombang yang membelok ke kiri dan cenderung untuk tegak lurus dengan kontur garis pantai (Gambar 25a). Pada saat gelombang berasal dari arah timur laut, arah perambatan gelombang umumnya lurus menuju ke pantai (Gambar 25b). Pada saat gelombang berasal dari arah timur, arah perambatan gelombang mengalami pembelokan ke kanan, berusaha untuk sejajar dengan garis pantai (Gambar 25c). Gelombang yang merambat dari laut dalam menuju ke pantai, mula-mula mengalami penurunan tinggi gelombang hingga pada perairan yang lebih dangkal tinggi gelombang meningkat secara perlahan hingga mencapai maksimum saat gelombang pecah. Pola transformasi gelombang di tiap lokasi ditunjukkan pada Gambar 26.

78 Gambar 25a. Transformasi gelombang dengan arah angin dari utara yang menggambarkan arah dan tinggi gelombang 64

79 Gambar 25b. Transformasi gelombang dengan arah angin dari timur laut yang menggambarkan arah dan tinggi gelombang 65

80 Gambar 25c. Transformasi gelombang dengan arah angin dari timur yang menggambarkan arah dan tinggi gelombang 66

81 67 Tinggi gelombang (m) 2,00 1,50 1,00 0,50 0, Jarak tegak lurus pantai (m) H=1.01 H=1.58 H=1.31 (A) Tinggi gelombang (m) 2,00 1,50 1,00 0,50 0, Jarak tegak lurus pantai (m) H=1.01 H=1.58 H=1.31 (B) Tinggi gelombang (m) 2,00 1,50 1,00 0,50 0, Jarak tegak lurus pantai (m) H=1.01 H=1.58 H=1.31 (C) Tinggi gelombang (m) 2,00 1,50 1,00 0,50 0, Jarak tegak lurus pantai (m) H=1.01 H=1.58 H=1.31 (D) Gambar 26. Profil tinggi gelombang dari laut dalam hingga pecah di lokasi A grid ke-40, lokasi B grid ke-80, lokasi C grid ke-120 dan lokasi D grid ke-160

82 68 Hasil perhitungan tinggi gelombang pecah dengan menggunakan tinggi gelombang laut dalam H o = 1,01, H o = 1,58 dan H o = 1,31 m ditunjukkan pada Gambar 27. Penurunan tinggi gelombang mulai terjadi pada kedalaman 18 m kemudian pada kedalaman 6 m tinggi gelombang mengalami peningkatan. Peningkatan tinggi gelombang hingga maksimum dan pecah di dekat pantai terjadi pada kisaran kedalaman 0,01-2,09 m. Hasil perhitungan gelombang laut dalam dari arah utara dengan tinggi H o = 1,01 m mengalami pecah pada kisaran tinggi H b = 0,85 0,94 m pada kisaran kedalaman 1,16 1,21 m di dekat pantai. Gelombang laut dalam dari arah timur laut dengan tinggi H o = 1,58 m mengalami pecah pada kisaran tinggi H b = 1,54 1,63 m pada kisaran kedalaman 1,97 2,09 m di dekat pantai. Gelombang laut dalam dari arah timur dengan tinggi H o = 1,31 m mengalami pecah pada kisaran tinggi H b = 1,07 1,17 m pada kisaran kedalaman 1,37 1,50 m di dekat pantai. Tinggi gelombang (m) 1,80 1,60 1,40 1,20 1,00 0,80 0,60 0,40 0,20 0, Jarak sepanjang pantai (m) H=1.01 H=1.58 H=1.31 Gambar 27. Tinggi gelombang pecah sepanjang pantai dengan tinggi gelombang laut lepas (H 0 ) yang berbeda.

83 69 Pantai dengan kelerengan lebih curam memiliki tinggi gelombang pecah yang lebih tinggi dibandingkan pantai yang landai. Pada pantai yang curam, gelombang akan pecah lebih dekat pantai dibandingkan pantai yang landai. Lokasi A, B dan C memiliki lereng pantai yang lebih curam dibandingkan dengan lokasi D. Pada lokasi A, B dan C gelombang akan pecah pada jarak yang lebih dekat dari pantai jika dibandingkan dengan lokasi D yang lebih landai. Tabel 9 menunjukkan tinggi gelombang laut dalam yang pecah di dekat pantai. Tabel 9. Tinggi gelombang laut dalam (H o ) tinggi gelombang pecah (H b ) dan jarak H 0 (m) pecah dari garis pantai pada lokasi A, B, C dan D Lokasi A Lokasi B Lokasi C Lokasi D Jarak Jarak Jarak H b H pecah b H pecah b pecah (m) (m) (m) (m) (m) (m) Jarak pecah (m) H b (m) 1, , , , ,94 1, , , , ,63 1, , , , ,17 Jarak gelombang pecah ke garis pantai (surf zone) tergantung pada tinggi gelombang yang datang dan kelerengan pantai. Semakin tinggi gelombang yang datang, maka semakin lebar surf zone. Semakin landai lereng pantai maka semakin lebar surf zone. Lokasi A, B dan C yang lebih curam memiliki surf zone yang lebih sempit dibandingkan lokasi D. Lebar surf zone untuk tinggi gelombang H o = 1,58 lebih besar daripada H o =1,01 dan H o = 1,31 m. Pada saat H o = 1,01 m, lebar surf zone berkisar antara 270 m hingga 420 m, pada saat H o = 1,31 m, lebar surf zone berkisar antara 330 m hingga 540 m dan pada saat H o = 1,58 m, berkisar antara 510 hingga 720 m. Gelombang yang lebih besar dari laut dalam akan bergerak menuju pantai dan cenderung pecah lebih jauh dari garis pantai dibandingkan dengan gelombang yang kecil (Thornton dan Guza, 1983).

84 70 Selama penjalaran gelombang laut dalam ke perairan yang lebih dangkal, gelombang terlebih dahulu mengalami penurunan tinggi gelombang kemudian pada saat mendekati garis pantai tinggi gelombang meningkat hingga batas maksimum dan akhirnya pecah. Gelombang yang pecah kemudian mengalami penurunan tinggi gelombang hingga bernilai nol di pantai. Contoh profil penjalaran gelombang laut dalam (H o = 1,01 m) hingga pecah di tiap lokasi A, B, C dan D ditunjukkan pada Gambar 28. Ditinjau dari profil kelerengan pantainya, lokasi A dan B yang curam sehingga gelombang pecah pada jarak yang lebih dekat dari garis pantai. Pada lokasi C yang memiliki kelerengan lebih curam dibandingkan lokasi A dan B sehingga gelombang pecah lebih dekat dengan pantai. Pada lokasi D kelerengan pantai lebih landai sehingga gelombang pecah lebih jauh dengan garis pantai dibandingkan dengan lokasi lainnya. Tinggi gelombang (m) 1,00 0,50 0,00 Tinggi gelombang (m) 1,00 0,50 0, Lokasi A Lokasi B Tinggi gelombang (m) 1,00 0,50 0,00 Tinggi gelombang (m) 1,00 0,50 0, Lokasi C Lokasi D Gambar 28. Perbesaran profil tinggi gelombang dari laut dalam hingga pecah di tiap lokasi (H o = 1,01 m)

85 Analisis Citra Pengolahan citra dilakukan untuk melihat perubahan garis pantai yang terjadi selama kurun waktu empat belas tahun sejak tahun 1989 hingga Selanjutnya garis pantai tahun 1989 digunakan sebagai garis pantai awal untuk model perubahan garis pantai, sedangkan garis pantai tahun 2002 digunakan untuk validasi hasil model perubahan garis pantai Pemulihan dan Pemotongan Citra Pengolahan citra dimulai dengan melakukan pemulihan citra tahun 1989 dan Pemulihan ini dilakukan melalui koreksi radiometrik dan geometrik terhadap masing-masing citra. Koreksi geometrik dilakukan pada citra tahun 1989 dengan mengacu pada citra tahun Pada tahap ini digunakan 4 titik GCP yang menghasilkan nilai RMS sebesar 0,01. Selanjutnya citra yang mencakup wilayah Jawa Tengah dan Yogyakarta dipotong sesuai dengan daerah penelitian yaitu pantai Pekalongan dan Batang. Hasil pemulihan (koreksi radiometrik dan geometrik) dan pemotongan (cropping) ditunjukkan pada Gambar 29. Gambar 29. Citra Landsat RGB 542 setelah dilakukan pemulihan dan pemotongan (kiri: tahun 1989, kanan: tahun 2002)

86 Pengolahan dengan Menggunakan Algoritma Garis pantai dapat dilihat dengan menggunakan algoritma yang memisahkan batas antara darat dan laut. Hal ini dilakukan dengan cara melihat nilai pantulan spektral tertinggi dari piksel citra di daratan yang paling dekat dengan laut. Selanjutnya nilai ini digunakan sebagai input dalam algoritma. Berdasarkan hasil pengamatan citra tahun 1989 dan 2002, diperoleh nilai pantulan spektral tertinggi dari piksel citra di daratan yang paling dekat dengan laut adalah 29, nilai tersebut kemudian digunakan sebagai input (i1) pada algoritma pemisahan darat dan laut: If i1 > 29 then null else 255 (citra tahun 1989 dan 2002) Pengolahan citra menggunakan algoritma untuk memisahkan darat dan laut menjadi dua kelas yang berbeda manghasilkan tampilan seperti pada Gambar 30. Warna hitam menunjukkan wilayah daratan dengan nilai digital 0, sedangkan warna merah menunjukkan wilayah perairan dengan nilai digital 1 (255). Warna merah yang tampak pada beberapa wilayah di daratan diperkirakan karena merupakan daerah rawa seperti tambak dan persawahan yang memiliki nilai spektral piksel citra yang hampir sama dengan perairan. Gambar 30. Hasil pengolahan citra Landsat tahun 1989 (kiri) dan 2002 (kanan) dengan menggunakan algoritma

87 73 Hasil pengolahan citra menggunakan algoritma, selanjutnya diekspor ke dalam bentuk data set baru dengan ekstensi *bil, kemudian di konversi menjadi data shapefile (*shp) untuk ditumpang tindihkan (overlay). Batas darat dan laut hasil pengolahan masing-masing citra tahun 1989 dan 2002 ditampilkan pada Gambar 31. Gambar 32 menunjukkan data shapefile (*shp) garis pantai yang ditumpang tindihkan dengan masing-masing citra tahun 1989 dan Gambar 31. Hasil tumpang tindih (overlay) garis pantai dengan algoritma Gambar 32. Hasil tumpang tindih (overlay) pengolahan citra menggunakan algoritma dengan masing-masing citra tahun 1989 (kiri) dan 2002 (kanan)

88 74 Garis pantai hasil algoritma masing-masing citra tahun 1989 dan 2002 menunjukkan tingkat akurasi garis pantai yang dihasilkan masih kurang tepat. Pada beberapa titik tertentu terlihat bahwa garis pantai hasil algoritma menunjukkan adanya jarak antara garis pantai hasil algoritma dan garis pantai citra. Hal ini diperkirakan terjadi akibat kekurangan interpretasi penggunaan nilai pantulan digital dari batas daratan yang dimasukkan dalam algoritma Pengolahan dengan Digitasi Hasil pengolahan citra menggunakan algoritma digunakan sebagai acuan atau batasan saat melakukan digitasi. Proses ini dilakukan agar dapat menghasilkan data vektor garis pantai yang lebih baik dan mengacu pada hasil algoritma batas darat dan laut. Proses digitasi dilakukan secara langsung (digitizing on screen) terhadap citra dengan menggunakan komposit kanal RGB 542 untuk memperoleh tampilan citra yang lebih jelas. Hasil digitasi citra yang ditumpang tindihkan dengan masing-masing citra tahun 1989 dan 2002 menghasilkan tampilan seperti ditunjukkan pada Gambar 33. Gambar 33. Hasil tumpang tidih (overlay) pengolahan citra menggunakan digitasi dengan masing-masing citra tahun 1989 (kiri) dan 2001 (kanan)

89 Koreksi Garis Pantai terhadap Pasang Surut Garis pantai yang digunakan dalam penelitian ini adalah garis pantai yang diukur berdasarkan Mean Sea Level (MSL). Hal tersebut dilakukan untuk menghindari kerancuan posisi garis pantai yang selalu berubah-ubah karena pengaruh pasang surut air laut. Analisis pasang surut di lokasi penelitian dilakukan dengan menggunakan data komponen pasang surut Dishidros pada stasiun Semarang karena dianggap paling dekat dengan Pekalongan dan Batang. Tipe pasang surut adalah kombinasi semi diurnal tide (pasang ganda harian) dan dan diurnal tide (pasang tunggal harian) dimana terdapat satu kali pasang dan satu kali surut dalam sehari. Tunggang pasang surut sebesar 1 m dengan tinggi muka air pada saat MSL adalah 60 cm. Data komponen pasang surut stasiun Semarang dapat dilihat pada Lampiran 11. Perekaman citra Landsat 4 TM akuisisi data tanggal 21 Januari 1989 dilakukan pada pukul waktu setempat pada saat tinggi muka air 42,1 cm. Perekaman citra dilakukan pada saat air laut surut dengan selisih 17,9 cm terhadap MSL, sehingga setelah dikoreksi terhadap MSL garis pantai citra tahun 1989 mundur ke arah daratan (Gambar 34a). Perekaman citra Landsat 7 ETM + akuisisi data tanggal 5 Agustus 2002 dilakukan pada pukul waktu setempat pada saat tinggi muka air 90,2 cm. Perekaman citra dilakukan pada saat air laut pasang dengan selisih 30,2 cm terhadap MSL, sehingga setelah dikoreksi terhadap MSL garis pantai tahun 2002 maju ke arah laut (Gambar 34b). Tinggi muka air pada saat perekaman citra ditunjukkan pada Lampiran 12. Koreksi garis pantai terhadap pasang surut pada tiap grid sepanjang garis pantai dapat dilihat pada Lampiran 13. Garis pantai hasil koreksi ini digunakan untuk analisis perubahan garis pantai.

90 76 (a) Gambar 34. Posisi garis pantai citra tahun 1989 (a) dan 2002 (b) sebelum dan setelah koreksi terhadap pasang surut (b)

91 Tumpang Tindih Hasil Pengolahan Citra Perubahan garis pantai Pekalongan dan Batang dapat diamati dari hasil tumpang tindih garis pantai citra tahun 1989 dan 2002 seperti ditunjukkan pada Gambar 35. Pada beberapa lokasi pantai Pekalongan dan Batang mengalami kemunduran (abrasi) dan kemajuan (akresi). Perubahan ini dapat dilihat pada hasil tumpang tindih garis pantai citra tahun 1989 (berwarna hitam) dan garis pantai citra tahun 2002 (berwarna merah). Besar kecilnya perubahan garis pantai ini dapat dilihat pada Gambar 36. Perubahan garis pantai khususnya pada lokasi A, B, C dan D (lokasi yang diberi kotak berwarna kuning) dapat dilihat pada perbesaran Gambar 35 seperti yang ditunjukkan pada Gambar 37. A B C D Gambar 35. Hasil tumpang tindih (overlay) garis pantai pengolahan citra

92 78 80 Jarak tegak lurus pantai (m) A B C D Laut Darat Jarak sepanjang pantai (m) Gambar 36. Jarak perubahan garis pantai hasil citra tahun 2002 (A) (B) (C) Gambar 37. Perbesaran hasil tumpang tindih (overlay) garis pantai citra tahun 1989 dan 2002 pada lokasi A, B, C dan D (D)

93 79 Berdasarkan Gambar 36 besar kecilnya jarak perubahan garis pantai dapat diketahui dari nilai positif negatif posisi garis pantai tahun 2002 terhadap garis pantai tahun Perbesaran profil perubahan garis pantai pada lokasi A, B, C dan D ditunjukkan pada Gambar 37. Nilai positif pada Gambar 36 menunjukkan kemajuan (akresi) sedangkan nilai negatif menunjukkan kemunduran (abrasi). Pada Gambar 37, pada saat garis pantai berwarna hitam berada lebih ke arah laut dibandingkan yang berwarna merah, maka pantai menunjukkan kemunduran (abrasi) garis pantai. Sebaliknya pantai mengalami kemajuan (akresi) yang ditandai oleh lebih ke arah lautnya garis pantai yang berwarna merah. Berdasarkan Gambar 36 dan 37, proses abrasi lebih dominan terjadi di pantai Pekalongan dan Batang dibandingkan akresi (sedimentasi). Hal tersebut ditunjukkan oleh jarak perubahan garis pantai yang sebagian besar bernilai negatif pada Gambar 36. Lokasi yang mengalami perubahan garis pantai terbesar ditunjukkan oleh bagian yang diberi lingkaran kuning pada Gambar 37. Pada lokasi A, pantai mengalami kemuduran terbesar pada jarak ke-240 m (grid ke-8) yaitu sebesar 43,83 m. Pada jarak ke-690 m (grid ke-23) pantai mengalami akresi hingga sejauh 7,77 m. Kemuduran garis pantai lebih dominan pada lokasi B yaitu pada jarak ke-1980 m (grid ke-66) yaitu sebesar 53,42 m dan pada lokasi C pada jarak ke-3450 m (grid ke-115) yaitu sebesar 89,50 m dan sedangkan akresi terbesar pada jarak ke-3630 m (grid ke-121) sebesar 9,04 m. Pada lokasi D, pantai mengalami kemuduran yang cukup besar jarak ke-4530 m (grid ke-151) yaitu sebesar 22,52 m dan akresi pada pada jarak ke-5700 m (grid ke-190) yaitu sebesar 58,11 m.

94 80 Perubahan garis pantai yang cukup besar pada beberapa lokasi di pantai Pekalongan dan Batang dapat disebabkan oleh faktor lain seperti keberadaan muara sungai, pembukaan lahan tambak, pembabatan lahan mangrove, pembuatan bangunan pantai dan aktivitas manusia lainnya. Menurut Bapedalda Jawa Tengah (2002) dalam Dephut Provinsi Jawa Tengah (2006), tingkat abrasi di Pekalongan mencapai 6,1 Ha dan di Batang mencapai 2,5 Ha. Penggunaan citra Landsat untuk melihat perubahan garis pantai memiliki beberapa kekurangan karena tingkat akurasi yang dihasilkan masih rendah. Hal ini dikarenakan resolusi citra yang tergolong dalam resolusi medium (30 m x 30 m) sehingga informasi yang bias dapat terjadi (seperti keberadaan muara sungai, dermaga, pelabuhan, breakwater, dan bangunan pantai lainnya yang kurang detail). Menurut Ruiz et al. (2007), citra Landsat memberikan dua kelebihan yaitu ketersediaan seri data citra (Landsat telah beroperasi sejak tahun 1970-an) dan penggunaan citra Landsat dapat mengurangi biaya yang harus dikeluarkan jika dibandingkan dengan citra resolusi tinggi. Selain itu, Ruiz juga menambahkan bahwa algoritma yang digunakan pada pemisahan darat dan laut tidak bersifat mutlak dan perlu adanya revisi untuk mengurangi dampak kesalahan sistematik yang diproyeksikan di laut. Secara garis besar, terdapat beberapa hal yang dapat mempengaruhi hasil pengolahan garis pantai citra yaitu penentuan nilai digital untuk memisahkan darat dan laut, kemudian pendigitasian garis pantai yang kurang akurat karena dapat bersifat subjektif. Tidak dilakukannya analisis penutupan lahan di wilayah pantai juga dapat mempengaruhi hasil interpretasi data citra perubahan garis pantai.

95 Angkutan Sedimen Sejajar Pantai Hasil simulasi model perhitungan laju angkutan sedimen total di sepanjang pantai Pekalongan dan Batang selama empat belas tahun ( ) ditunjukkan pada Gambar 38. Arah angkutan sedimen sepanjang pantai sebagian besar ke arah barat laut dan sebagian lagi ke arah tenggara. Angkutan sedimen bersih setiap tahun dominan ke arah barat laut. Hal tersebut dikarenakan orientasi pantai yang menghadap ke timur laut dan arah datang gelombang dominan berasal dari timur dan timur laut sehingga pada saat gelombang pecah di dekat pantai akan membangkitkan angkutan sedimen sepanjang pantai ke arah barat laut. Gelombang yang berasal dari arah utara bukan merupakan gelombang yang dominan terjadi di pantai Pekalongan dan Batang, sehingga hanya sedikit angkutan sedimen yang menuju ke arah tenggara. Hasil perhitungan angkutan sedimen ini dapat dilihat pada Lampiran 14. Angkutan sedimen sejajar pantai (m3/tahun) Tahun Netto Barat laut Tenggara Ke Barat laut Ke Tenggara Gambar 38. Histogram laju angkutan sedimen total (m 3 /tahun) selama empat belas tahun ( )

96 82 Angkutan sedimen terbesar terjadi pada tahun 1991 sebesar 26440,10 m 3 dan pada tahun 1997 sebesar 25422,50 m 3 ke arah barat laut. Angkutan sedimen terendah terjadi pada tahun 1989 sebesar 6894,20 m 3. Angkutan sedimen ke arah tenggara terbesar terjadi pada tahun 1994 sebesar 2522,10 m 3. Arah angkutan sedimen bersih selama empat belas tahun ( ) ke arah barat laut. Besar angkutan sedimen pada tahun tertentu dipengaruhi oleh tinggi gelombang pecah di dekat pantai yang terjadi pada tahun tersebut. Pada tahun 1991 dan 1997 terjadi gelombang di laut dalam dengan ketinggian gelombang yang cukup tinggi dari arah timur dan timur laut sehingga gelombang yang pecah di dekat pantai memiliki nilai yang cukup tinggi pula untuk membangkitkan angkutan sedimen sepanjang pantai yang besar ke arah barat laut. Pada tahun 1994 gelombang dari arah utara juga dominan terjadi sehingga menyebabakan angkutan sedimen yang besar ke arah tenggara. Angkutan sedimen total sepanjang pantai Pekalongan dan Batang selama tahun ( ) pada tiap lokasi ditunjukkan pada Gambar 39. Arah angkutan sedimen sepanjang pantai pada lokasi A, B, C dan D sebagian besar menuju ke arah barat laut dan hanya sebagian kecil yang ke arah tenggara. Besar angkutan sedimen ke arah barat laut dan tenggara dinyatakan dengan angkutan sedimen bersih. Angkutan sedimen terbesar terjadi di lokasi A, dibandingkan lokasi lainnya, sedangkan angkutan sedimen total terkecil pada lokasi D. Angkutan sedimen bersih yang terbesar terjadi pada lokasi A yaitu sebesar 57269,50 m 3 /tahun sedangkan yang terkecil terjadi pada lokasi D yaitu sebesar 39046,40 m 3 /tahun. Arah angkutan sedimen bersih pada keempat lokasi adalah ke arah barat laut. Angkutan sedimen terbesar yang ke arah barat laut terjadi pada

97 83 lokasi A yaitu sebesar 57099,20 m 3 /tahun sedangkan yang terkecil terjadi pada lokasi D yaitu sebesar 37607,30 m 3 /tahun. Arah angkutan sedimen yang menuju ke tenggara terjadi pada semua lokasi hanya jumlahnya lebih kecil. Angkutan sedimen terbesar yang ke arah tenggara terjadi pada lokasi C yaitu sebesar 1336,90 m 3 /tahun dan pada lokasi D sebesar 1439,10 m 3 /tahun Angkutan sedimen sejajar garis pantai (m3/tahun) Lokasi A Lokasi B Lokasi C Lokasi D Netto Barat laut Tenggara Ke Barat laut Ke Tenggara Gambar 39. Angkutan sedimen total (m 3 /tahun) setiap lokasi sepanjang pantai selama empat belas tahun ( ) Besar angkutan sedimen yang bervariasi pada tiap lokasi dipengaruhi oleh perbedaan tinggi gelombang pecah, sudut gelombang pecah dan kelerengan pantai pada tiap lokasi. Lokasi A, B dan C memiliki lereng pantai yang curam sehingga tinggi dan sudut gelombang pecah yang terjadi pada lokasi tersebut lebih besar lokasi D sehingga angkutan sedimen pada lokasi A, B dan C lebih besar dibandingkan lokasi D. Lokasi D yang lebih laindai sehingga tinggi dan sudut gelombang pecah lebih kecil dan angkutan sedimen yang dibangkitkan pada lokasi ini lebih kecil.

98 84 Fitrianto (2010) telah menghitung angkutan sedimen di sekitar jetty Pelabuhan Pendaratan Ikan (PPI) Glayem-Juntinyuat Indramayu. Angkutan sedimen yang dibangkitkan oleh angin timur lebih besar dibandingkan angin dari tenggara. Angkutan sedimen yang dibangkitkan oleh angin timur bergerak ke arah barat laut dan sebagian kecil ke arah tenggara. Besarnya angkutan sedimen yang ke barat laut dibandingkan yang ke tenggara disebabkan oleh nilai gelombang pecah (H b ) angin dari timur lebih besar dari angin dari tenggara. 4.6 Model Perubahan Garis Pantai Hasil model perubahan garis pantai yang ditumpang tindihkan dengan garis pantai awal (garis pantai citra tahun 1989) ditunjukkan pada Gambar 40. Perubahan garis pantai dapat diamati dari posisi garis pantai model (garis pantai berwarna hitam) terhadap garis pantai awal (garis pantai berwarna merah) pada Gambar 40. Apabila posisi garis pantai awal lebih ke arah laut dibandingkan garis pantai model maka pantai mengalami abrasi dan sebaliknya pada akresi. Hasil simulasi model menunjukkan bahwa selama tahun 1989 hingga 2002 sepanjang garis pantai Pekalongan dan Batang mengalami kemunduran (abrasi) dan kemajuan (akresi) pada beberapa titik tertentu sementara pada titik lainnya tetap atau tidak mengalami perubahan terhadap garis pantai awal. Besarnya perubahan garis pantai hasil model terhadap garis pantai awal dapat dilihat pada Gambar 41. Nilai positif pada Gambar 41 menunjukkan kemajuan (akresi) sedangkan nilai negatif menunjukkan kemunduran (abrasi) garis pantai. Hasil simulasi model perubahan garis pantai Pekalongan dan Batang menunjukkan bahwa selama tahun 1989 hingga 2002 proses abrasi lebih dominan

99 85 terjadi dibandingkan akresi. Hal tersebut ditunjukkan oleh jarak perubahan garis pantai hasil model terhadap garis pantai awal yang sebagian besar bernilai negatif. A B C D Gambar 40. Tumpang tindih (overlay) garis pantai hasil citra dan model Lokasi penelitian dikelompokkan menjadi empat lokasi kajian yaitu lokasi A, B, C dan D (lokasi yang diberi kotak berwarna merah pada Gambar 40) untuk keperluan analisis perubahan garis pantai sepanjang pantai Pekalongan dan Batang yang lebih rinci,. Perbesaran profil perubahan garis pantai hasil model pada lokasi A, B, C dan D dapat dilihat pada Gambar 42. Berdasarkan Gambar 41 dan 42 dapat dilihat pola perubahan garis pantai baik abrasi, akresi maupun garis pantai yang tetap tidak mengalami perubahan terhadap garis pantai awal pada tiap

100 86 lokasi seperti yang telah ditunjukkan oleh Gambar 41. Perubahan garis pantai yang terjadi dilihat dari lokasi paling barat ke timur, pantai mengalami proses abrasi dan akresi di bagian barat (lokasi A), kemudian proses abrasi lebih dominan pada bagian tengah pantai (lokasi B dan C), sedangkan pada bagian timur (lokasi D) proses akresi lebih dominan terjadi. Pada Gambar 42, garis pantai hasil model ditumpang tindihkan dengan garis pantai awal dan garis pantai hasil pengolahan citra tahun Garis pantai hasil model ditunjukkan oleh garis pantai berwarna hitam, garis pantai awal ditunjukkan oleh garis pantai berwarna merah dan garis pantai citra tahun 2002 ditunjukkan oleh garis pantai berwarna biru. 60 Jarak tegak lurus pantai (m) A B C D Laut Darat Jarak sepanjang pantai (m) Gambar 41. Jarak perubahan garis pantai hasil model terhadap garis pantai awal

101 87 (A) (B) (C) Gambar 42. Perbesaran hasil tumpang tindih garis pantai model dengan citra tahun 1989 dan 2002 (Gambar 39) pada lokasi A, B, C dan D (D) Pada lokasi A, pantai mengalami proses abrasi yang dominan pada beberapa sisi dan hanya sedikit akresi pada sisi lain. Abrasi terbesar terjadi pada jarak ke m (grid ke-38) sebesar 34,80 m, sedangkan akresi terbesar terjadi pada jarak ke-810 m (grid ke-27) sebesar 5,49 m. Lokasi A memiliki profil kelerengan pantai yang curam sehingga menyebabkan jarak gelombang pecah tidak jauh dari pantai dan membangkitkan angkutan sedimen yang besar pada lokasi tersebut. Selain itu, morfologi garis pantai awal lokasi A sedikit berkelok-kelok sehingga terdapat profil garis pantai yang sedikit menjorok ke laut dan ke darat dengan kontur

102 88 kedalaman perairan mengikuti pola garis pantai. Hal tersebut menyebabkan sudut gelombang pecah yang terjadi bervariasi pada tiap lokasi sehingga pola perubahan garis pantai yang terjadi ada yang mengalami abrasi dan akresi. Pada lokasi B, pantai mengalami proses abrasi dominan dan tidak terjadi akresi. Abrasi terbesar terjadi pada jarak ke-2130 (grid ke-71) sebesar 46,29 m. Lokasi B memiliki profil kelerengan pantai yang curam seperti lokasi A sehingga gelombang pecah terjadi tidak jauh dari pantai. Selain itu, morfologi garis pantai awal dan kontur kedalaman lokasi B sedikit berkelok-kelok sehingga pada lokasi tertentu terdapat bagian yang sedikit menjorok ke laut menyebabkan jarak gelombang pecah yang dekat dengan pantai. Gelombang pecah terus menghantam lokasi tersebut dan membangkitkan angkutan sedimen yang besar sehingga proses abrasi yang lebih dominan terjadi. Pada lokasi C, pantai dominan mengalami abrasi dan hanya sedikit sekali akresi. Abrasi terbesar terjadi pada jarak ke-3450 (grid ke-115) sebesar 66,18 m, sedangkan akresi terbesar terjadi pada jarak ke-3630 (grid ke-121) sebesar 7,77 m. Lokasi C memiliki profil kelerengan pantai yang lebih curam dibandingkan lokasi A dan B sehingga jarak gelombang pecah lebih dekat dengan pantai. Pada beberapa lokasi tertentu, morfologi garis pantai awal dan kontur kedalaman lokasi C sedikit berkelok sehingga sudut gelombang pecah yang terjadi bervariasi pada tiap lokasi dan membangkitkan angkutan sedimen yang pada lokasi tersebut menyebabkan abrasi yang besar dan hanya sedikit yang mengalami akresi. Pada lokasi D pantai mengalami proses akresi dan abrasi. Abrasi terbesar terjadi pada jarak ke-4530 (grid ke-151) sebesar 13,03 m, sedangkan akresi terbesar terjadi pada jarak ke-5700 (grid ke-190) sebesar 39,19 m. Lokasi D

103 89 memiliki profil kelerengan pantai yang lebih landai dibandingkan lokasi lainnya sehingga jarak gelombang pecah lebih jauh dari pantai dibandingkan lokasi lainnya. Morfologi garis pantai awal lokasi D cenderung stabil dan sedikit berkelok di bagian timur. Namun pada beberapa lokasi tertentu kontur kedalaman sedikit berkelok dan jarak gelombang pecah lebih dekat dengan pantai sehingga angkutan sedimen yang dibangkitkan pada lokasi ini menyebabkan proses abrasi sedangkan pada lokasi lainnya mengalami proses akresi yang lebih dominan. Besar perubahan garis pantai suatu lokasi dipengaruhi oleh profil kelerengan pantai, kontur kedalaman perairan di dekat pantai dan morfologi garis pantai di lokasi tersebut. Ketiga faktor tersebut mempengaruhi tinggi dan jarak gelombang pecah yang terjadi di dekat pantai yang menentukan besarnya kecilnya angkutan sedimen yang dibangkitkan pada lokasi tersebut. Hal tersebut sesuai dengan yang diperoleh Rosul (2006) bahwa gerakan transpor sedimen yang terjadi di pantai Pekalongan mendapat pengaruh dari angin signifikan yang bertiup dari arah timur terutama pada musim timur. Secara umum, hasil model perubahan garis pantai ini telah memperlihatkan pola perubahan garis pantai Pekalongan dan Batang yang dihitung berdasarkan proses-proses dinamika oseanografi yang terjadi di dekat pantai. Komponenkomponen yang mempengaruhi perubahan garis pantai tersebut berbeda-beda pada tiap-tiap lokasi tergantung pada karakteristik profil pantai dan aksi gelombang di pantai. Hasil tumpang tindih garis pantai hasil model dan citra tahun 2002 seperti yang diperlihatkan pada Gambar 42, menunjukkan bahwa pola perubahan garis pantai yang ditunjukkan hasil model dan citra yang hampir sama dan tidak jauh

104 90 berbeda. Namun pada beberapa titik garis pantai hasil model dan citra tahun 2002 masih terdapat perbedaan. Garis pantai citra tahun 2002 menunjukkan perubahan garis pantai yang lebih besar dibandingkan yang ditunjukkan hasil model terhadap garis pantai awal. Perbandingan terbesar perubahan garis pantai hasil model dan citra tahun 2002 relatif terhadap garis pantai awal pada tiap lokasi A, B, C dan D hasil tumpang tindih Gambar 42 ditunjukkan pada Tabel 10. Koordinat garis pantai dan selisih hasil model dan hasil pengolahan citra tahun 2002 per grid ditunjukkan pada Lampiran 15. Tabel 10. Perbandingan perubahan garis pantai hasil model dan citra tahun 2002 terhadap garis pantai awal (garis pantai citra tahun 1989) Lokasi Abrasi (m) Akresi (m) Selisih (m) No. Model Citra No. Model Citra Abrasi Akresi Grid Grid A 8 34,80 43, ,00 5,49 8,49 4,49 B 71 46,29 41, ,15 - C ,18 89, ,33 9,04 23,32 1,71 D ,03 22, ,19 58,11 9,49 18,92 Hasil model perubahan garis pantai pada lokasi A menunjukkan proses abrasi dan akresi yang hampir sama dengan pola garis pantai citra tahun Garis pantai model mengalami abrasi sebesar 34,80 m pada grid ke-8 sedangkan garis pantai citra tahun 2002 mengalami abrasi sebesar 43,29 m, selisih antara garis pantai model dan citra tahun 2002 sebesar 8,49 m. Garis pantai model mengalami akresi sebesar 1,00 m pada grid ke-27 sedangkan garis pantai citra tahun 2002 sebesar 5,49 m, dengan selisih 4,49 m. Pada lokasi B, baik model dan citra tahun 2002 mendeteksi kejadian akresi dan abrasi pada titik grid yang sama. Model dan citra tahun 2002 mendeteksi abrasi pada grid ke-71, garis pantai model mengalami abrasi sebesar 46,29 m sedangkan garis pantai citra tahun 2002 sebesar 41,14 m, selisih model dan citra

105 91 tahun 2002 sebesar 5,15 m. Baik garis pantai model dan citra tidak mengalami proses akresi. Pada lokasi C, model mendeteksi proses abrasi dan akresi, sedangkan garis pantai citra tahun 2002 menunjukkan hanya terjadi proses abrasi pada lokasi tersebut. Kejadian abrasi pada grid ke-115 hasil garis pantai model sebesar 66,18m dan citra tahun 2002 sebesar 89,50 m, selisih antara garis pantai model dan citra tahun 2002 sebesar 23,32 m. Hasil model menunjukkan proses akresi sebesar 6,1m pada grid ke-102 sementara citra tidak mengalami akresi. Pada lokasi D, baik model dan citra tahun 2002 mendeteksi proses abrasi dan akresi pada lokasi tersebut. Kejadian abrasi pada grid ke-151, garis pantai model menunjukkan perubahan garis pantai sebesar 13,03 m sedangkan garis pantai citra tahun 2002 sebesar 22,52 m, selisih antara garis pantai hasil model dan citra tahun 2002 sebesar 9,49 m. Kejadian akresi pada grid ke-190, garis pantai model mengalami abrasi sebesar 39,19 m sedangkan garis pantai citra tahun 2002 sebesar 58,11 m, selisih antara perubahan garis pantai model dan citra tahun 2002 sebesar 18,92 m. Secara umum perubahan garis pantai model menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda dengan citra tahun Selisih terbesar antara garis pantai model dan citra tahun 2002 yaitu sebesar 23,32 m pada grid ke-115 di lokasi C. Selisih antara hasil model dan citra ini dianggap masih dapat ditoleransi karena data citra yang digunakan memiliki resolusi spasial 30 x 30 m per piksel, sehingga perubahan garis pantai yang ditunjukkan oleh hasil model masih berada dalam satu piksel citra. Hasil model menunjukkan pola perubahan garis pantai yang sama dengan citra tahun 2002, meskipun masih terdapat selisih besar perubahan

106 92 garis pantai. Misalnya pada grid ke-21 dan 22 di lokasi A, hasil model garis pantai menunjukkan akresi sementara citra tahun 2002 tidak menunjukkan akresi. Namun perubahan garis pantai atau abrasi pada lokasi ini lebih rendah dibanding titik grid di sekitarnya yang mengalami abrasi yang besar. Garis pantai hasil pengolahan citra tahun 2002 menunjukkan perubahan yang lebih besar dibandingkan garis pantai hasil model. Hal tersebut diperkirakan karena pengaruh faktor lain yang tidak diperhitungkan dalam model. Model garis pantai ini hanya menghitung perubahan garis pantai karena proses angkutan sedimen sepanjang pantai yang dibangkitkan oleh gelombang pecah dari laut dalam. Model ini merupakan penyederhanaan dari proses perubahan garis pantai disebabkan oleh faktor oseanografis yang komplek di alam. Proses oseanografis di alam yang kompleks tidak semuanya dapat diikutsertakan dalam model. Dari hasil survei susur pantai, pada bagian barat pantai mengalami abrasi yang cukup besar. Pada lokasi paling barat pantai terdapat bangunan pantai (jetty) di PPN Pekalongan dan pada lokasi paling barat pantai terdapat bangunan pantai di muara Sambong yang tidak dimasukkan dalam obyek kajian model perubahan garis pantai ini. Secara teoritis, dengan gelombang dominan dari arah timur dan timur laut dan adanya bangunan pantai tersebut, seharusnya pantai bagian barat dominan mengalami akresi dan pantai bagian timur mengalami abrasi. Adanya bangunan pantai di sisi barat akan menghalangi pergerakan sedimen di lokasi tersebut, sehingga proses angkutan sedimen menjadi tertahan dan pantai mengalami akresi. Pada sisi timur adanya bangunan pantai menyebabkan masukan sedimen menjadi terhalang dan terjadinya gerakan eddy, sehingga terjadi proses abrasi. Akan tetapi baik hasil model maupun citra menunjukkan hasil perubahan

107 93 garis pantai bagian barat pantai dominan mengalami abrasi dan bagian timur pantai dominan mengalami akresi. Selain itu, keberadaan muara sungai juga dapat mempengaruhi angkutan sedimen pada lokasi tersebut. Hal ini diperkirakan dipengaruhi oleh faktor lain seperti perubahan morfologi maupun vegetasi pantai, penggunaan lahan pesisir, penambangan pasir, penurunan muka tanah dan kenaikan muka laut yang tidak diperhitungkan dalam penelitian ini. Pada bagian tengah pantai baik hasil model maupun garis pantai citra tahun 2002 menunjukkan proses abrasi yang besar. Perubahan garis pantai yang ditunjukkan hasil model tidak sebesar perubahan garis pantai citra tahun Perubahan garis pantai citra 2002 yang besar diperkirakan karena pengaruh faktor lain seperti kegiatan manusia di lokasi tersebut. Hasil survei lapang sepanjang garis pantai Pekalongan dan Batang menunjukkan kejadian abrasi yang dominan. Hal tersebut dikarenakan tidak adanya vegetasi pantai seperti pohon mangrove yang dapat melindungi pantai dari pengaruh gelombang. Selain itu, pada lokasi penelitian terdapat beberapa tambak atau kali atau empang yang berjarak sangat dekat dengan garis pantai. Profil pantai yang landai menyebabkan pada saat gelombang tinggi dan air laut pasang dapat mencapai kali atau empang tersebut sehingga garis pantai semakin mundur ke arah daratan. Lokasi yang diterjang terus menerus oleh gelombang dan pasang surut lama-kelamaan akan mengalami abrasi yang besar pada lokasi tersebut. Dokumentasi hasil survei lapang sepanjang pantai Pekalongan dan Batang ditunjukkan pada Lampiran 16.

108 5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Hasil analisis arah dan kecepatan angin harian rata-rata selama tahun menunjukkan bahwa angin dominan berasal dari arah timur, barat, barat laut, timur laut dan tenggara. Hasil analisis panjang fetch dan angin dominan yang membangkitkan gelombang di laut dalam yang mempengaruhi pantai berasal dari arah timur dan timur laut. Transformasi gelombang dari laut dalam yang menyertakan proses refraksi dan shoaling menunjukkan perubahan tinggi dan arah muka gelombang yang dipengaruhi oleh kontur kedalaman yang berbeda. Gelombang pecah di tiap lokasi dipengaruhi oleh tinggi gelombang dari laut dalam dan profil kelerengan pantai. Angkutan sedimen yang terjadi dominan ke arah barat laut dibandingkan ke tenggara. Hal tersebut karena gelombang yang dominan terjadi berasal dari arah timur dan timur laut yang mengangkut sedimen ke arah barat laut. Besarnya angkutan sedimen di tiap lokasi dipengaruhi oleh sudut gelombang pecah dan profil kelerengan pantai di lokasi tersebut. Hasil model perubahan garis pantai dan citra satelit tahun 2002 menunjukkan proses abrasi lebih dominan terjadi. Pada lokasi A pantai mengalami abrasi dan akresi, lokasi B dan C dominan mengalami abrasi sedangkan lokasi D dominan mengalami akresi. Proses abrasi dan akresi yang bervariasi di tiap lokasi dipengaruhi oleh profil kelerengan pantai, kontur kedalaman perairan di dekat pantai dan morfologi garis pantai berpengaruh pada 94

109 95 tinggi dan jarak gelombang pecah yang terjadi dekat pantai menentukan besarnya kecilnya angkutan sedimen pada lokasi tersebut. Hasil tumpang tindih hasil model dengan garis pantai citra tahun 2002 terhadap garis pantai awal menunjukkan pola perubahan garis pantai yang hampir sama baik abrasi maupun akresi. Selisih terbesar antara garis pantai model dan citra tahun 2002 yaitu sebesar 23,32 m pada grid ke-115 di lokasi C. Selisih antara hasil model dan citra ini dianggap masih dapat ditoleransi karena data citra yang digunakan memiliki resolusi spasial 30 x 30 m per piksel, sehingga perubahan garis pantai yang ditunjukkan oleh hasil model masih berada dalam satu piksel citra. Selisih perubahan garis pantai model dan citra juga diperkirakan karena pengaruh faktor lain yang tidak diperhitungkan dalam model seperti masukan sedimen dari sungai, pengaruh bangunan pantai dan pohon mangrove. 5.2 Saran Pada penelitian ini data angin yang digunakan merupakan data sekunder, sebaiknya digunakan data angin dari hasil pengukuran stasiun angin terdekat lokasi penelitian kemudian dilakukan koreksi untuk data angin di laut. Citra yang digunakan sebagai garis pantai awal (input model) dan validasi hasil model sebaiknya adalah citra resolusi tinggi. Selain itu, untuk melihat detail perubahan garis pantai citra sebaiknya dilakukan analisis penutupan lahan. Transformasi gelombang hanya memperhitungkan pengaruh refraksi dan shoaling, sebaiknya ditambahkan juga pengaruh lain sesuai dengan kondisi lokasi studi. Selain itu, perlu dikaji masukan sedimen dari sungai.

110 DAFTAR PUSTAKA Alphan H Perceptions of Coastline Changes in River Deltas: Southeast Mediterranean Coast of Turkey. J Environ Pollut 23(1): Ashton A, Murray B High-Angle Wave Instability and Emergent Shoreline Shapes: 1. Modeling of Sand Waves, Flying Spits and Capes. J Geophys Res 111:1-19. Arhatin RE Pengkajian Algoritma Indeks Vegetasi dan Metode Klasifikasi Mangrove dari Delta Satelit Landsat-5 TM dan Landsat-7 ETM + : Studi Kasus di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Arief D Karakteristik Gelombang Laut di Pantai Sari Pekalongan, Desember J Ose Lim Ind. No. 31: Brown J, Colly P, Paul D, Philips J, Rottery D, Wright J Waves, Tides and Shallow Water Process. G. Bearman, Editor. New York (USA): Pegamon Press Ltd. [CERC] Coastal Engineering Research Centre Shore Protection Manual. Volume I 4 th Edition. Washington (USA): U.S. Army Coastal Engineering Research Centre. [CHL ] Coastal Hydraulic Laboratory Coastal Engineering Manual. Part I- VI. Department of Army. Washington DC (USA): U.S. Army Corp of Engineering Research Center. Dally WR Surf Zone Processes. p In M. L. Schwartz (ed.), Encyclopedia of Coastal Science. Amsterdam (NE): Springer. Davis RA Jr Oceanography: An Introduction to the Marine Environment. New Jersey (USA): WCB Publisher International Published. Dean RG, Zheng J Numerical Model and Intercomparisons of Beach Profil Evolution. J Coas Eng 30: Departemen Kehutanan Provinsi Jawa Tengah Laporan Akhir Inventarisasi dan Identifikasi Mangrove Wilayah Balai Pengelolaan DAS Pemalijratun, Provinsi Jawa Tengah. Semarang (ID): Departemen Kehutanan Provinsi Jawa Tengah. Dewi IP Perubahan Garis Pantai dari Pantai Teritip Balikpapan sampai Pantai Ambarawang Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Dirjen Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Pedoman Penyusunan Rencana Pengelolaan Garis Pantai. Jakarta (ID): Departemen Kelautan dan Perikanan. Doornkamp JC, King CAM Numerical Analysis in Geomorphology, An Introduction 1 st Edition. London (UK): Edward Arnold Ltd. 96

111 97 Elfrink B, Baldock T Hydrodynamics and Sediment Transport in the Swash Zone: a Review and Perspective. J Coas Eng 45: Fitrianto R (2010) Pemodelan Perubahan Garis Pantai Sekitar Jetty di Pelabuhan Pendaratan Ikan (PPI) Glayem-Juntinyuat Kabupaten Indramayu [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Horikawa K Nearshore Dynamics and Coastal Process: Theory, Measurement and Predictive Model. Tokyo (JP): University of Tokyo Press. Huler S Defining the Wind: The Beaufort Scale, and How a 19th Century Admiral Turned Science into Poetry. Michigan (USA): Crown Publisher. ISBN Komar PD. 1983a. Computer Models of Shoreline Changes. In P.D. Komar and J.R. Moore (ed.). CRC Handbook of Coastal Processes and Erossion. Boca Raton, Florida (USA): CRC Press Inc. Komar PD. 1983b. Beach Processes and Erossion. In P.D. Komar and J.R. Moore (ed.). CRC Handbook of Coastal Processes and Erossion. Boca Raton, Florida (USA): CRC Press Inc. Komar PD. 1983c. Nearshore Current and Sand Transport on Beaches. In Johns (ed.). Physical Oceanography of Coastal and Shefl Seas. New York (USA): Elsevier Oceanography Series, 35. Lakhan VC Coastal Modeling and Simulation. In M.L. Schwartx (ed.), Encyclopedia of Coastal Science. Amsterdam (NE): Springer. Lillesand TM, Kiefer FW Penginderaan Jauh dan Penginterpretasian Citra. Alih Bahasa oleh R. Dulbahri, P. Suharsono, Hartono dan Sunaryadi. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press. Marfai MA, Pratomoatmojo NA, Hidayatullah T, Nirwansyah AW, Gomareuzzaman M Model Kerentanan Wilayah Berdasarkan Perubahan Garis Pantai dan Banjir Pasang (Studi kasus: Wilayah pesisir Pekalongan). Magister Perencanaan dan Pengelolaan Pesisir dan Daerah Aliran Sungai (MPPDAS). Yogyakarta (ID): Universitas Gadjah Mada. [NASA] National Atmospheric and Space Administration Landsat 7 Science Data Users Handbook. Diunduh dari pada tanggal 14 Febuari Purba M, Jaya I Analisis Perubahan Garis Pantai dan Penutupan Lahan antara Way Penet dan Way Sekampung, Kabupaten Lampung Timur. J Ilmu-ilmu Per Perik Indo 11(2): Purwadhi S Interpretasi Citra Digital. Jakarta (ID): PT Gramedia Widiasarana Indonesia. Rosul M Karakter, Potensi dan Masalah Pesisir Kota Pekalongan. Jurnal Pondasi 12:

112 98 Ruiz LA, Pardo JE, Almonacid J, Rodrigues B Coastline Automated Detection and Multiresolution Evaluation Using Satellite Images. Proceedings of Coastal Zone 07. Portland, Oregon July 22 to Sorensen RM Basic Coastal Engineering. 3 th ed. Pennsylvania (USA): Springer. Triatmodjo B Teknik Pantai. Yogyakarta (ID): Beta Offset. Triwahyuni A, Purba M, Agus SB Pemodelan Perubahan Garis Pantai Timur Tarakan, Kalimantan Timur. Jur Il Kel 1(Edisi Khusus): Thornton EB, Guza RT Transformation of wave height distribution. J Geophys Res 88 (C10): [USACE ] U.S. Army Corps of Engineers. 2002a. Estimation of Nearshore Waves. Part II. Washington DC (USA): Department of the Army. U.S Army Corps of Engineers. [USACE ] U.S. Army Corps of Engineers. 2002b. Longshore Sediment Transport. Part III. Washington DC (USA): Department of the Army. U.S Army Corps of Engineers. [USACE ] U.S. Army Corps of Engineers. 2003a. Surf Zone Hydrodynamics. Part II. Washington DC (USA): Department of the Army. U.S Army Corps of Engineers. [USACE ] U.S. Army Corps of Engineers. 2003b. Meteorology and Waves Climate. Part II. Washington DC (USA): Department of the Army. U.S Army Corps of Engineers. Yuwono N Model Hidraulik. Yogyakarta (ID): PAU-IT-UGM. Wyrtki K Physical Oceanography of Southeast Asian Waters. San Diego California (USA): Naga Report.

113 LAMPIRAN

114 100 Lampiran 1. Program transformasi gelombang Sub Macro1() Dim imax, imax1, jmax, jmax1, jhari, phari, kn, hr, I, j, k, Z, hrke As Interger Dim nhari As Double Dim kelandaian, Phi, Grav, DelT, DDT, DDP, DDS, sdtgel0, perfel0, tigel0 As Double Dim sdtrad, frekgel0, cel0, pjggel0, Gamma, kh2, HTan, pjggelref, sinsdt, cossdt, pkh, HSinAs Double Dim ks, kr, ispecah, Dir, pl As Double Dim H(201, 801), pjggel(201, 801), cel(201, 801), SdtGel(201, 801), bilgel(201, 801), N(201, 801), TiGel(201, 801) As Double Dim HPecah(201), SdtPecah(201), TiPecah(201) As Double Dim IPecah(201) As Double Dim xp(201), yp(801) As Interger Dim DDIR$, b$, ndt$, ndh$, nds$, cd$ Dim PerOff(2616), TiOff(2616), SdtOff(2616) As Double DDIRS = E:\ANGEL\MODEL\ DIRECTORY KERJA imax = 200 imax1 = 201 jmax = 800 jmax1 = 801 kelandaian = Phi = 22 / 7 Grav = 9.81 DelT = 1 jhari = 2616 phari = 30 Gamma = 0.78 nhari = 1 / DelT kn = jhari * nhari hr = jhari Open DDIR$ + bathymetri.csv For Input As #1 For j = jmax To 1 Step -1 For I = 1 Toimax Step 1 Input #1, DH H(I, j) = DH Next i Next j Close #1 CekDaratan Cp = 0

115 101 Lampiran 1 (Lanjutan) For I = 1 Toimax Step 1 For j = 2 Tojmax 1 Step 1 If H(i, j - 1) = 0 And H(i, j) = 0 And H(i, j + 1) > 0 Then cp = cp + 1 xp(cp) = i yp(cp) = j End If Next j Next i Z = 0 Open DDIR$ + input all.csv For Input As #1 Buka file gelombang Format : Kolom 1 ---> Tinggi Gelombang Kolom 2 ---> Periode Gelombang Kolom 3 ---> Sudut Gelombang (Derajat) While Not EOF(1) Z = Z + 1 Input #1, DDT, DDP, DDS TiOff(Z) = DDT PerOff(Z) = DDP SdtOff(Z) = DDS Wend Close #1 b$ =, Open DDIR$ + hasilperhitungangelombang pecah.txt For Output As #1 Print #2, Tinggi_Gel_Pch + b$ + Kedalaman_Gel_Pch + b$ + Sudut_Gel_Pch_(Radian) + b$ + 1_Pnt_2_Laut For k = 1 Tokn hrke = Int(k / nhari) Hitunghrke PERHITUNGAN PARAMETER GELOMBANG tigel0 = TiOff(hrke) pergel0 = PerOff(hrke) sdtgel0 = SdtOff(hrke) sdtrad = sdtgel0 * Phi / 180 frekgel0 = 2 * Phi / pergel0 cel0 = grav * pergel0 / (2 * Phi) pjggel0 = cel0 * pergel0

116 102 Lampiran 1 (Lanjutan) -LOOPING PERHITUNGAN TINGGI GELOMBANG SETIAP TITIK GRID-- BT$ = Chr(9) For j = jmax To 1 Step 1 For i = 1 Toimax Step 1 HTan = (Exp(kh2) Exp(-kh2)) / (Exp(kh2) + Exp(-kh2)) pjggelref = (Grav * pergel0 / (2 * Phi)) * HTan pjggel(i, j) = pjggelref cel(i, j) = pjggel(i, j) / pergel(i, j) / pergel0 sinsdt = (Sin(sdtrad) / cel 0) * cel(i, j) cossdt = ((1 (sinsdt ^ 2)) ^ 0.5) SdtGel(i, j) = Atn(sinSdt / cossdt) bilgel(i, j) = 2 * Phi / pjggel(i, j) pkh = bilgel(i, j) * H(i, j) HSin = (Exp(2 * pkh) = Exp(-(2 * pkh))) / 2 N(i, j) = 0.5 * (1 + (2 * pkh / HSin)) HTan = (Exp(pkh) Exp(-pkh)) / (Exp(pkh) + Exp(-pkh)) ks = (1 / (2 * N(i, j) * HTan)) ^ 0.5 kr = (Cos(sdtrad) / Cos(SdtGel(i, j))) ^ 0.5 TiGel(i, j) = tigel0 * ks *kr Next i Next j PERHITUNGAN GELOMBANG PECAH For i = 1 Toimax Step 1 ispecah = 0 For j = jmax To 1 Step 1 HPecah(i) = H(i, j) SdtPecah(i) = SdtGel(i, j) TiGel(i, j) = Gamma *H(i, j) TiPecah(i) = TiGel(i, j) IPecah(i) = j For kk = 1 To j Next kk ispecah = 1 ndh$ = Trim(Str(HPecah(i))) nds$ = Trim(Str(SdtPecah(i))) ndt$ = Trim(Str(TiPecah(i))) cd$ = 1 Print #2, ndt$ + b$ + ndh$ + b$ + nds$ + b$ + cd$ IPecah(i) = j + 1 ispecah = 1 Next j

117 103 Lampiran 1 (Lanjutan) Keluar: Next i Open DDIR$ + hasilmatrixtransformasi gelombang.txt For Output As #20 Print #2, Data-i +BT$ + Data-j + BT$ + Tinggi_Gel + BT$ + Sudur_Gel For i = imax To 1 Step 1 For j = 1 Tojmax Step 1 Print #20, Trim(Str(i)) + BTS + Trim(Str(j)) + BT$ + Trim(Str(TiGel(I, j))) + BT$ + Trim(Str(SdtGel(i, j) * (180 / 3.14))) Next j Next i Close #20 Next k Close #2 End Sub

118 104 Lampiran 2. Data garis pantai awal yang diperoleh dari citra tahun1989 No, X Y No, X Y , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,

119 105 Lampiran 2 (Lanjutan) No, X Y No, X Y , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,

120 106 Lampiran 2 (Lanjutan) No, X Y , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,

121 107 Lampiran 3. Program angkutan sedimen Sub Macro1() DDIR$ = "E:\ANGEL\MODEL\" T$ = Chr(9) ' DEFINISI PARAMETER Pi = ' g = 9.81 rhoa = 1025 ' ALOKASI DIMENSI Dim DELX, PL, QE, DELT, CN, TANB, TANI, DIR, SINB, COSB, A, ASIN, CK As Double ' Dim i, N, LT, K, NY, BLN As Integer CN = 0.01 DELX = 30 DELT = 1 BLN = 30 LT = 2616 N = 199 NY = N + 1 ' ALOKASI DIMENSI Dim Y(200), Q(200) As Double Dim DelY(200), TAN0(200) As Double Dim TGEL(200, 2616), HGEL(200, 2616), SGEL(200, 2616) As Double ' ' BACA DATA HASIL REFRAKSI GELOMBANG Open DDIR$ + "hasil perhitungan gelombang pecah.txt" For Input As #1 Line Input #1, par$ For K = 1 To LT For i = 1 To N Input #1, DT, DK, DS TGEL(i, K) = DT HGEL(i, K) = DK SGEL(i, K) = DS Next i Next K Close #1 ' BACA DATA GARIS PANTAI Open DDIR$ + "garis pantai awal.txt" For Input As #1

122 108 Lampiran 3 (Lanjutan) For i = 1 To NY Input #1, PDY Y(i) = PDY Next i Close #1 Open DDIR$ + "hasil1.txt" For Output As #2 Open DDIR$ + "hasil2.txt" For Output As #3 ' MENGHITUNG SUDUT GELOMBANG m = 1 For K = 1 To LT For i = 1 To N TAN0(i) = Tan(SGEL(i, K) * Pi / 180#) If Y(i) = Y(i + 1) Then TANB = TAN0(i) DIR = 1 ElseIf Y(i) > Y(i + 1) Then TANI = (Y(i) - Y(i + 1)) / DELX TANB = (TANI + TAN0(i)) / (1 - TANI * TAN0(i)) DIR = 1# Else TANI = (Y(i + 1) - Y(i)) / DELX If TANI >= TAN0(i) Then TANB = (TANI - TAN0(i)) / (1 + TANI * TAN0(i)) DIR = -1 Else TANB = (TAN0(i) - TANI) / (1 + TANI * TAN0(i)) DIR = 1 End If End If A = TANB ^ 2 SINB = Sqr(A / (A + 1#)) COSB = Sqr(1 - SINB ^ 2) ASIN = Atn(SINB / Sqr(-SINB * SINB + 1)) ' MENGHITUNG ANGKUTAN SEDIMEN PL = CN * rhoa * g * TGEL(i, K) ^ 2 * Sqr(g * HGEL(i, K)) * SINB * COSB / 8 Q(i) = DIR * * PL Next i

123 109 Lampiran 3 (Lanjutan) ' MENGHITUNG PERUBAHAN GARIS PANTAI Q(N - 1) = Q(N) 'QE = 9.8 * Q(1) Y(1) = Y(1) '+ (QE - Q(1)) * DELT / (DELX * TGEL(1, m)) For i = 2 To N - 1 Y(i) = Y(i) + (Q(i - 1) - Q(i)) * DELT / (DELX * TGEL(i, m)) Next i Y(N) = Y(N - 1) '+ (Q(N) - Q(N - 1)) * DELT / (DELX * HGEL(N, m)) ' PERINTAH MENCETAK If (K - (Int(K / BLN) * BLN)) = 0 Or K = 1 Then If Fix(K / BLN) > 0 Then Print #2, "=== Bulan ke " + Trim(Str(Format(K / BLN, "00.00"))) + " ===" Print #2, "Perubahan Garis Pantai (m)" + T$ + "Transpor Sedimen" For i = 1 To N CK = Val(FormatNumber(Y(i), 1)) If CK < 0 Then Print #2, Format(Y(i), "0000.0") + T$ + Format(Q(i), "0000.0") Print #3, Trim(Str(Format(K / BLN, "00.00"))) + T$ + Format(Y(i), "0000.0") + T$ + Format(Q(i), "0000.0") Else Print #2, Format(Y(i), "0000.0") + T$ + Format(Q(i), "0000.0") Print #3, Trim(Str(Format(K / BLN, "00.00"))) + T$ + Format(Y(i), "0000.0") + T$ + Format(Q(i), "0000.0") End If Next i If (K Mod 1 = 0) Then m = m + 1 End If End If End If Next K Close #2 Close #3 End Sub

124 Lampiran 4. Data kecepatan angin harian tahun Tahun Bulan Tanggal

125 Lampiran 4 (Lanjutan) Tahun Bulan Tanggal

126 Lampiran 4 (Lanjutan) Tahun Bulan Tanggal

127 Lampiran 4 (Lanjutan) Tahun Bulan Tanggal

128 Lampiran 4 (Lanjutan) Tahun Bulan Tanggal

129 Lampiran 4 (Lanjutan) Tahun Bulan Tanggal

130 Lampiran 4 (Lanjutan) Tahun Bulan Tanggal

131 Lampiran 5. Data arah angin harian tahun Tahun Bulan Tanggal

132 Lampiran 5 (Lanjutan) Tahun Bulan Tanggal

133 Lampiran 5 (Lanjutan) Tahun Bulan Tanggal

134 Lampiran 5 (Lanjutan) Tahun Bulan Tanggal

135 Lampiran 5 (Lanjutan) Tahun Bulan Tanggal

136 Lampiran 5 (Lanjutan) Tahun Bulan Tanggal

137 Lampiran 5 (Lanjutan) Tahun Bulan Tanggal

138 124 Lampiran 6. Mawar angin (wind rose) dari angin harian rata-rata setiap bulan selama tahun Januari Pebruari Maret April Mei Juni

139 125 Lampiran 6 (Lanjutan) Juli Agustus September Oktober Nopember Desember

140 126 Lampiran 7. Tabel persentase distribusi kelas angin harian rata-rata setiap bulan selama tahun Januari Arah Kecepatan angin (m/det) 0,0-0,3 0,3-1,6 1,6-3,4 3,4-5,5 5,5-8,0 >=8,0 Total (%) Utara 0,00 1,61 1,61 0,00 0,00 0,00 3,23 Timur laut 0,00 0,23 0,69 0,23 0,00 0,00 1,15 Timur 0,00 0,00 0,46 0,23 0,00 0,00 0,69 Tenggara 0,00 0,46 0,46 0,00 0,00 0,00 0,92 Selatan 0,00 0,00 0,46 0,00 0,00 0,00 0,46 Barat daya 0,00 0,46 0,92 1,38 0,00 0,23 3,00 Barat 0,00 1,38 5,53 14,29 26,50 4,84 52,53 Barat laut 0,00 1,84 4,38 10,83 13,59 7,37 38,02 Total (%) 0,00 5,99 14,52 26,96 40,09 12,44 100,00 Pebruari Arah Kecepatan angin (m/det) 0,0-0,3 0,3-1,6 1,6-3,4 3,4-5,5 5,5-8,0 >=8,0 Total (%) Utara 0,00 0,26 1,79 0,51 0,00 0,00 2,55 Timur laut 0,00 0,26 1,02 0,26 0,00 0,00 1,53 Timur 0,00 0,51 0,26 0,77 0,00 0,00 1,53 Tenggara 0,00 0,26 0,00 0,00 0,00 0,00 0,26 Selatan 0,00 0,00 0,51 0,00 0,00 0,00 0,51 Barat daya 0,00 0,26 0,77 0,77 0,00 0,00 1,79 Barat 0,00 0,26 6,63 12,50 21,94 12,76 54,08 Barat laut 0,00 1,02 4,34 9,44 12,50 10,46 37,76 Total (%) 0,00 2,81 15,31 24,23 34,44 23,21 100,00 Maret Arah Kecepatan angin (m/det) 0,0-0,3 0,3-1,6 1,6-3,4 3,4-5,5 5,5-8,0 >=8,0 Total (%) Utara 0,00 2,77 3,23 0,46 0,00 0,00 6,45 Timur laut 0,00 1,61 4,38 1,84 0,23 0,00 8,06 Timur 0,23 1,15 4,38 7,37 1,61 0,00 14,75 Tenggara 0,46 1,15 0,92 0,46 0,00 0,00 3,00 Selatan 0,00 0,46 0,69 0,00 0,00 0,00 1,15 Barat daya 0,00 1,84 3,92 1,61 0,00 0,00 7,37 Barat 0,00 1,61 9,45 10,83 9,91 2,07 33,87 Barat laut 0,00 2,07 10,37 6,68 3,00 3,23 25,35 Total (%) 0,69 12,67 37,33 29,26 14,75 5,30 100,00

141 127 Lampiran 7 (Lanjutan) April Arah Kecepatan angin (m/det) 0,0-0,3 0,3-1,6 1,6-3,4 3,4-5,5 5,5-8,0 >=8,0 Total (%) Utara 0,00 3,57 1,67 0,00 0,00 0,00 5,24 Timur laut 0,00 1,43 6,19 0,95 0,00 0,00 8,57 Timur 0,24 3,81 12,14 19,29 4,52 0,00 40,00 Tenggara 0,00 2,38 5,00 2,14 0,00 0,00 9,52 Selatan 0,00 1,67 2,62 0,24 0,00 0,00 4,52 Barat daya 0,00 2,14 4,52 0,95 0,00 0,00 7,62 Barat 0,00 3,57 5,95 4,05 1,43 0,00 15,00 Barat laut 0,00 2,14 5,24 1,67 0,48 0,00 9,52 Total (%) 0,24 20,71 43,33 29,29 6,43 0,00 100,00 Mei Arah Kecepatan angin (m/det) 0,0-0,3 0,3-1,6 1,6-3,4 3,4-5,5 5,5-8,0 >=8,0 Total (%) Utara 0,00 0,46 0,92 0,00 0,00 0,00 1,38 Timur laut 0,00 1,15 5,99 2,30 0,23 0,00 9,68 Timur 0,00 3,00 18,20 33,64 11,52 0,00 66,36 Tenggara 0,23 1,61 7,60 6,68 0,23 0,00 16,36 Selatan 0,00 1,84 0,46 0,00 0,00 0,00 2,30 Barat daya 0,00 0,23 0,92 0,23 0,00 0,00 1,38 Barat 0,00 0,23 0,46 0,23 0,00 0,00 0,92 Barat laut 0,00 1,15 0,46 0,00 0,00 0,00 1,61 Total (%) 0,23 9,68 35,02 43,09 11,98 0,00 100,00 Juni Arah Kecepatan angin (m/det) 0,0-0,3 0,3-1,6 1,6-3,4 3,4-5,5 5,5-8,0 >=8,0 Total (%) Utara 0,00 0,71 0,24 0,00 0,00 0,00 0,95 Timur laut 0,00 1,67 3,10 1,43 0,00 0,00 6,19 Timur 0,00 1,43 17,14 32,86 17,38 0,00 68,81 Tenggara 0,00 0,95 8,81 7,86 1,43 0,00 19,05 Selatan 0,00 0,95 0,71 0,48 0,00 0,00 2,14 Barat daya 0,00 0,24 0,24 0,71 0,00 0,00 1,19 Barat 0,00 0,48 0,48 0,00 0,00 0,00 0,95 Barat laut 0,00 0,71 0,00 0,00 0,00 0,00 0,71 Total (%) 0,00 7,14 30,71 43,33 18,81 0,00 100,00

142 128 Lampiran 7 (Lanjutan) Juli Arah Kecepatan angin (m/det) 0,0-0,3 0,3-1,6 1,6-3,4 3,4-5,5 5,5-8,0 >=8,0 Total (%) Utara 0,00 0,23 0,92 0,00 0,00 0,00 1,15 Timur laut 0,00 0,92 3,92 1,38 0,23 0,00 6,45 Timur 0,00 1,38 18,66 39,17 14,75 0,92 74,88 Tenggara 0,00 0,92 5,76 5,30 2,07 0,00 14,06 Selatan 0,00 0,00 1,38 0,23 0,00 0,00 1,61 Barat daya 0,00 0,23 0,46 0,00 0,00 0,00 0,69 Barat 0,00 0,00 0,23 0,00 0,00 0,00 0,23 Barat laut 0,00 0,46 0,46 0,00 0,00 0,00 0,92 Total (%) 0,00 4,15 31,80 46,08 17,05 0,92 100,00 Agustus Arah Kecepatan angin (m/det) 0,0-0,3 0,3-1,6 1,6-3,4 3,4-5,5 5,5-8,0 >=8,0 Total (%) Utara 0,00 0,92 0,00 0,00 0,00 0,00 0,92 Timur laut 0,00 0,46 11,75 8,53 0,69 0,00 21,43 Timur 0,00 1,15 20,97 32,95 10,83 0,23 66,13 Tenggara 0,00 0,92 4,61 4,61 0,23 0,00 10,37 Selatan 0,00 0,23 0,23 0,46 0,00 0,00 0,92 Barat daya 0,00 0,00 0,23 0,00 0,00 0,00 0,23 Barat 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 Barat laut 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 Total (%) 0,00 3,69 37,79 46,54 11,75 0,23 100,00 September Arah Kecepatan angin (m/det) 0,0-0,3 0,3-1,6 1,6-3,4 3,4-5,5 5,5-8,0 >=8,0 Total (%) Utara 0,00 1,19 2,14 0,24 0,00 0,00 3,57 Timur laut 0,00 2,86 17,38 17,14 1,19 0,00 38,57 Timur 0,00 2,14 18,33 15,48 4,05 0,00 40,00 Tenggara 0,00 2,38 5,71 3,33 0,00 0,00 11,43 Selatan 0,00 0,48 1,19 0,48 0,24 0,00 2,38 Barat daya 0,00 0,48 0,48 0,24 0,00 0,00 1,19 Barat 0,00 0,95 0,24 0,00 0,00 0,00 1,19 Barat laut 0,00 0,71 0,95 0,00 0,00 0,00 1,67 Total (%) 0,00 11,19 46,43 36,90 5,48 0,00 100,00

143 129 Lampiran 7 (Lanjutan) Oktober Arah Kecepatan angin (m/det) 0,0-0,3 0,3-1,6 1,6-3,4 3,4-5,5 5,5-8,0 >=8,0 Total (%) Utara 0,00 2,07 6,91 1,84 0,00 0,00 10,83 Timur laut 0,46 2,53 10,37 9,68 1,15 0,00 24,19 Timur 0,00 4,15 14,06 7,37 2,07 0,00 27,65 Tenggara 0,00 2,77 7,83 3,00 0,23 0,00 13,82 Selatan 0,23 2,77 5,07 1,84 0,00 0,00 9,91 Barat daya 0,23 2,77 2,07 0,00 0,00 0,00 5,07 Barat 0,00 1,61 3,00 0,00 0,23 0,00 4,84 Barat laut 0,00 1,38 1,84 0,46 0,00 0,00 3,69 Total (%) 0,92 20,05 51,15 24,19 3,69 0,00 100,00 Nopember Arah Kecepatan angin (m/det) 0,0-0,3 0,3-1,6 1,6-3,4 3,4-5,5 5,5-8,0 >=8,0 Total (%) Utara 0,00 3,33 2,14 0,24 0,00 0,00 5,71 Timur laut 0,00 4,29 5,24 3,81 0,00 0,00 13,33 Timur 0,24 3,57 8,57 3,81 0,24 0,00 16,43 Tenggara 0,00 1,90 8,57 2,62 0,00 0,00 13,10 Selatan 0,00 2,38 4,29 1,43 0,71 0,00 8,81 Barat daya 0,24 3,33 5,00 2,86 0,71 0,00 12,14 Barat 0,00 2,38 7,38 7,14 1,67 0,48 19,05 Barat laut 0,24 2,86 5,71 0,95 1,19 0,48 11,43 Total (%) 0,71 24,05 46,90 22,86 4,52 0,95 100,00 Desember Arah Kecepatan angin (m/det) 0,0-0,3 0,3-1,6 1,6-3,4 3,4-5,5 5,5-8,0 >=8,0 Total (%) Utara 0,23 0,92 3,46 1,15 0,00 0,00 5,76 Timur laut 0,00 1,61 1,38 1,15 0,00 0,00 4,15 Timur 0,00 2,07 1,84 0,92 0,23 0,00 5,07 Tenggara 0,00 1,15 1,15 0,92 0,00 0,00 3,23 Selatan 0,23 0,92 1,61 1,15 0,00 0,00 3,92 Barat daya 0,00 0,69 2,30 2,77 0,92 0,00 6,68 Barat 0,00 3,23 10,14 16,13 17,28 5,76 52,53 Barat laut 0,00 3,00 5,99 4,61 3,00 2,07 18,66 Total (%) 0,46 13,59 27,88 28,80 21,43 7,83 100,00

144 Lampiran 8. Panjang fetch di lokasi penelitian 130

145 Lampiran 9. Tinggi dan periode gelombang harian selama tahun Tinggi gelombang (m) Tahun Tinggi gelombang harian selama tahun

146 Lampiran 9 (Lanjutan) 6.00 Periode gelombang (det) Tahun Periode gelombang harian selama tahun

147 133 Lampiran 10. Perhitungan prediksi gelombang di laut dalam yang dibangkitan oleh angin selama tahun Angin bulanan rata-rata Bulan Arah Durasi Stabilitas Fetch Arah (o) U10 t (Ut/3600) U3600 RT Uc (m) CD U* (gx/u^2)^0,5 (gx/u^2)^(1/3) Hmo (m) Tp (det) Januari B 289 5,47 294,2427 1,0919 5,0082 1,1 5,5090-0,0013 0, Febuari B 290 5,95 270,4523 1,0979 5,4187 1,1 5,9606-0,0013 0, Maret BL 296 3,69 436,2076 1,0667 3,4578 1,1 3,8036-0,0012 0, April T 88 2,93 548,6322 1,0544 2,7814 1,1 3, ,0012 0, , ,1630 0,43 3,05 Mei T 94 3,59 448,7508 1,0651 3,3663 1,1 3, ,0012 0, , ,1944 0,52 3,26 Juni T 98 3,91 411,3091 1,0702 3,6554 1,1 4, ,0012 0, , ,9041 0,57 3,36 Juli T 93 4,01 400,7712 1,0717 3,7461 1,1 4, ,0012 0, , ,7911 0,58 3,39 Agustus T 85 3,78 426,0900 1,0681 3,5354 1,1 3, ,0012 0, , ,3868 0,55 3,32 September T 76 3,18 506,1781 1,0586 3,0029 1,1 3, ,0012 0, , ,6813 0,46 3,13 Oktober T 78 2,63 611,1935 1,0492 2,5092 1,1 2, ,0012 0, , ,2235 0,38 2,94 Nopember BD 235 2,70 596,8397 1,0503 2,5668 1,1 2,8235-0,0012 0, Desember B 279 4,13 389,5619 1,0734 3,8477 1,1 4,2325-0,0012 0,

148 134 Lampiran 10 (Lanjutan) Angin bulanan maksimum Bulan Arah Durasi Stabilitas Fetch Arah (o) U10 t (Ut/3600) U3600 RT Uc (m) CD U* (gx/u^2)^0,5 (gx/u^2)^(1/3) Hmo (m) Tp (det) Januari BL ,13 122,5622 1, ,2526 1,1 12,3779-0,0015 0, Febuari BL ,12 122,6226 1, ,2476 1,1 12,3723-0,0015 0, Maret B ,38 154,9887 1,1441 9,0738 1,1 9,9811-0,0014 0, April T 92 7,79 206,5228 1,1190 6,9626 1,1 7, ,0014 0, , ,8290 1,14 4,23 Mei T 82 7,56 212,7473 1,1165 6,7737 1,1 7, ,0014 0, , ,3977 1,11 4,19 Juni T 101 7,76 207,3323 1,1186 6,9374 1,1 7, ,0014 0, , ,4259 1,14 4,23 Juli T 87 8,90 180,7338 1,1303 7,8763 1,1 8, ,0014 0, , ,3416 1,31 4,43 Agustus T 102 8,36 192,5200 1,1249 7,4299 1,1 8, ,0014 0, , ,3648 1,22 4,33 September T 77 7,66 209,9193 1,1176 6,8582 1,1 7, ,0014 0, , ,3281 1,12 4,21 Oktober T 92 7,85 204,9380 1,1196 7,0124 1,1 7, ,0014 0, , ,6578 1,15 4,24 Nopember B ,07 159,8482 1,1413 8,8198 1,1 9,7018-0,0014 0, Desember B ,13 122,5333 1, ,2551 1,1 12,3806-0,0015 0,

149 Lampiran 11. Komponen pasang surut di stasiun Semarang 135

150 Lampiran 12. Posisi tinggi muka air pada saat perekaman citra Landsat 4 TM dan 7 ETM + 136

151 137 Tinggi muka air (cm) Tinggi muka air 21 Januari Jam Tinggi muka air (cm) Tinggi muka air 5 Agustus Jam

152 Lampiran 12. Posisi tinggi muka air pada saat perekaman citra Landsat 4 TM dan 7 ETM + 136

II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Pembangkitan Gelombang oleh Angin

II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Pembangkitan Gelombang oleh Angin II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pembangkitan Gelombang oleh Angin Proses pembentukan gelombang oleh angin Menurut Komar (1976) bahwa angin mentransfer energi ke partikel air sesuai dengan arah hembusan angin.

Lebih terperinci

Gambar 15 Mawar angin (a) dan histogram distribusi frekuensi (b) kecepatan angin dari angin bulanan rata-rata tahun

Gambar 15 Mawar angin (a) dan histogram distribusi frekuensi (b) kecepatan angin dari angin bulanan rata-rata tahun IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakter Angin Angin merupakan salah satu faktor penting dalam membangkitkan gelombang di laut lepas. Mawar angin dari data angin bulanan rata-rata selama tahun 2000-2007 diperlihatkan

Lebih terperinci

III METODE PENELITIAN

III METODE PENELITIAN III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di perairan Pantai Teritip hingga Pantai Ambarawang kurang lebih 9.5 km dengan koordinat x = 116 o 59 56.4 117 o 8 31.2

Lebih terperinci

DINAMIKA PANTAI (Abrasi dan Sedimentasi) Makalah Gelombang Yudha Arie Wibowo

DINAMIKA PANTAI (Abrasi dan Sedimentasi) Makalah Gelombang Yudha Arie Wibowo DINAMIKA PANTAI (Abrasi dan Sedimentasi) Makalah Gelombang Yudha Arie Wibowo 09.02.4.0011 PROGRAM STUDI / JURUSAN OSEANOGRAFI FAKULTAS TEKNIK DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS HANG TUAH SURABAYA 2012 0 BAB

Lebih terperinci

Deteksi Perubahan Garis Pantai Pulau Gili Ketapang Kabupaten Probolinggo

Deteksi Perubahan Garis Pantai Pulau Gili Ketapang Kabupaten Probolinggo Deteksi Perubahan Garis Pantai Pulau Gili Ketapang Kabupaten Probolinggo Nurin Hidayati 1, Hery Setiawan Purnawali 2 1 Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Brawijaya Malang Email: nurin_hiday@ub.ac.id

Lebih terperinci

ANALISIS TRANSPOR SEDIMEN MENYUSUR PANTAI DENGAN MENGGUNAKAN METODE GRAFIS PADA PELABUHAN PERIKANAN TANJUNG ADIKARTA

ANALISIS TRANSPOR SEDIMEN MENYUSUR PANTAI DENGAN MENGGUNAKAN METODE GRAFIS PADA PELABUHAN PERIKANAN TANJUNG ADIKARTA ANALISIS TRANSPOR SEDIMEN MENYUSUR PANTAI DENGAN MENGGUNAKAN METODE GRAFIS PADA PELABUHAN PERIKANAN TANJUNG ADIKARTA Irnovia Berliana Pakpahan 1) 1) Staff Pengajar Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik

Lebih terperinci

KAJIAN PENGARUH GELOMBANG TERHADAP KERUSAKAN PANTAI MATANG DANAU KABUPATEN SAMBAS

KAJIAN PENGARUH GELOMBANG TERHADAP KERUSAKAN PANTAI MATANG DANAU KABUPATEN SAMBAS Abstrak KAJIAN PENGARUH GELOMBANG TERHADAP KERUSAKAN PANTAI MATANG DANAU KABUPATEN SAMBAS Umar 1) Pantai Desa Matang Danau adalah pantai yang berhadapan langsung dengan Laut Natuna. Laut Natuna memang

Lebih terperinci

Kajian Hidro-Oseanografi untuk Deteksi Proses-Proses Dinamika Pantai (Abrasi dan Sedimentasi)

Kajian Hidro-Oseanografi untuk Deteksi Proses-Proses Dinamika Pantai (Abrasi dan Sedimentasi) Kajian Hidro-Oseanografi untuk Deteksi Proses-Proses Dinamika Pantai (Abrasi dan Sedimentasi) Mario P. Suhana * * Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor Email: msdciyoo@gmail.com

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 : Definisi visual dari penampang pantai (Sumber : SPM volume 1, 1984) I-1

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 : Definisi visual dari penampang pantai (Sumber : SPM volume 1, 1984) I-1 BAB I PENDAHULUAN Pantai merupakan suatu sistem yang sangat dinamis dimana morfologi pantai berubah-ubah dalam skala ruang dan waktu baik secara lateral maupun vertikal yang dapat dilihat dari proses akresi

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pantai merupakan suatu zona yang sangat dinamik karena merupakan zona persinggungan dan interaksi antara udara, daratan dan lautan. Zona pantai senantiasa memiliki

Lebih terperinci

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IV HASIL DAN PEMBAHASAN IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kecepatan Dan Arah Angin Untuk mengetahui perubahan garis pantai diperlukan data gelombang dan angkutan sedimen dalam periode yang panjang. Data pengukuran lapangan tinggi gelombang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Gelombang

TINJAUAN PUSTAKA Gelombang TINJAUAN PUSTAKA Gelombang Gelombang merupakan salah satu fenomena laut yang paling nyata karena langsung bisa dilihat dan dirasakan. Gelombang adalah gerakan dari setiap partikel air laut yang berupa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan transisi ekosistem terestrial dan laut yang ditandai oleh gradien perubahan ekosistem yang tajam (Pariwono, 1992). Kawasan pantai merupakan

Lebih terperinci

PERUBAHAN DARATAN PANTAI DAN PENUTUPAN LAHAN PASCA TSUNAMI SECARA SPASIAL DAN TEMPORAL DI PANTAI PANGANDARAN, KABUPATEN CIAMIS JAWA BARAT

PERUBAHAN DARATAN PANTAI DAN PENUTUPAN LAHAN PASCA TSUNAMI SECARA SPASIAL DAN TEMPORAL DI PANTAI PANGANDARAN, KABUPATEN CIAMIS JAWA BARAT PERUBAHAN DARATAN PANTAI DAN PENUTUPAN LAHAN PASCA TSUNAMI SECARA SPASIAL DAN TEMPORAL DI PANTAI PANGANDARAN, KABUPATEN CIAMIS JAWA BARAT YUNITA SULISTRIANI SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Batimetri Selat Sunda Peta batimetri adalah peta yang menggambarkan bentuk konfigurasi dasar laut dinyatakan dengan angka-angka suatu kedalaman dan garis-garis yang mewakili

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Pantai adalah daerah di tepi perairan yang dipengaruhi oleh air pasang tertinggi dan air surut terendah. Garis pantai adalah garis batas pertemuan antara daratan dan

Lebih terperinci

PERUBAHAN GARIS PANTAI SELATAN JAWA KABUPATEN KEBUMEN, JAWA TENGAH HESTI APRILIANTI RAHAYU SETIADI

PERUBAHAN GARIS PANTAI SELATAN JAWA KABUPATEN KEBUMEN, JAWA TENGAH HESTI APRILIANTI RAHAYU SETIADI PERUBAHAN GARIS PANTAI SELATAN JAWA KABUPATEN KEBUMEN, JAWA TENGAH HESTI APRILIANTI RAHAYU SETIADI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2014

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 4 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Garis Pantai Garis pantai merupakan batas pertemuan antara daratan dengan bagian laut saat terjadi air laut pasang tertinggi. Garis ini bisa berubah karena beberapa hal seperti

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Status administrasi dan wilayah secara administrasi lokasi penelitian

TINJAUAN PUSTAKA. Status administrasi dan wilayah secara administrasi lokasi penelitian TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Umum Lokasi Penelitian Status administrasi dan wilayah secara administrasi lokasi penelitian berada di kecamatan Lhoknga Kabupaten Aceh Besar. Kecamatan Lhoknga mempunyai 4 (empat)

Lebih terperinci

Pemetaan Perubahan Garis Pantai Menggunakan Citra Penginderaan Jauh di Pulau Batam

Pemetaan Perubahan Garis Pantai Menggunakan Citra Penginderaan Jauh di Pulau Batam Pemetaan Perubahan Garis Pantai Menggunakan Citra Penginderaan Jauh di Pulau Batam Arif Roziqin 1 dan Oktavianto Gustin 2 Program Studi Teknik Geomatika, Politeknik Negeri Batam, Batam 29461 E-mail : arifroziqin@polibatam.ac.id

Lebih terperinci

PERUBAHAN GARIS PANTAI DARI PANTAI TERITIP BALIKPAPAN SAMPAI PANTAI AMBARAWANG KUTAI KERTANEGARA KALIMANTAN TIMUR IRA PUSPITA DEWI

PERUBAHAN GARIS PANTAI DARI PANTAI TERITIP BALIKPAPAN SAMPAI PANTAI AMBARAWANG KUTAI KERTANEGARA KALIMANTAN TIMUR IRA PUSPITA DEWI PERUBAHAN GARIS PANTAI DARI PANTAI TERITIP BALIKPAPAN SAMPAI PANTAI AMBARAWANG KUTAI KERTANEGARA KALIMANTAN TIMUR IRA PUSPITA DEWI SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

PENDUGAAN KONSENTRASI KLOROFIL-a DAN TRANSPARANSI PERAIRAN TELUK JAKARTA DENGAN CITRA SATELIT LANDSAT

PENDUGAAN KONSENTRASI KLOROFIL-a DAN TRANSPARANSI PERAIRAN TELUK JAKARTA DENGAN CITRA SATELIT LANDSAT PENDUGAAN KONSENTRASI KLOROFIL-a DAN TRANSPARANSI PERAIRAN TELUK JAKARTA DENGAN CITRA SATELIT LANDSAT DESSY NOVITASARI ROMAULI SIDABUTAR SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

PRISMA FISIKA, Vol. V, No. 3 (2014), Hal ISSN :

PRISMA FISIKA, Vol. V, No. 3 (2014), Hal ISSN : Studi Faktor Penentu Akresi dan Abrasi Pantai Akibat Gelombang Laut di Perairan Pesisir Sungai Duri Ghesta Nuari Wiratama a, Muh. Ishak Jumarang a *, Muliadi a a Prodi Fisika, FMIPA Universitas Tanjungpura,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pantai Pantai adalah daerah tepi perairan yang dipengaruhi oleh air pasang tertinggi dan air surut terendah, sedangkan pesisir adalah daerah darat di tepi laut yang masih mendapat

Lebih terperinci

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian 22 METODOLOGI Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kota Sukabumi, Jawa Barat pada 7 wilayah kecamatan dengan waktu penelitian pada bulan Juni sampai November 2009. Pada lokasi penelitian

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian III. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Lokasi yang dipilih untuk penelitian ini adalah Kabupaten Indramayu, Jawa Barat (Gambar 1). Penelitian dimulai dari bulan Juli 2010 sampai Januari

Lebih terperinci

II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Gelombang

II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Gelombang II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gelombang Dinamika yang terjadi di pantai dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah gelombang, suplai sedimen dan aktifitas manusia (Sorensen 1993). Mula-mula angin membangkitkan

Lebih terperinci

BAB II TEORI TERKAIT

BAB II TEORI TERKAIT II. TEORI TERKAIT BAB II TEORI TERKAIT 2.1 Pemodelan Penjalaran dan Transformasi Gelombang 2.1.1 Persamaan Pengatur Berkenaan dengan persamaan dasar yang digunakan model MIKE, baik deskripsi dari suku-suku

Lebih terperinci

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi 31 IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi Waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakan penelitian ini adalah dimulai dari bulan April 2009 sampai dengan November 2009 yang secara umum terbagi terbagi menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang masuk ke sebuah kawasan tertentu yang sangat lebih tinggi dari pada biasa,

BAB I PENDAHULUAN. yang masuk ke sebuah kawasan tertentu yang sangat lebih tinggi dari pada biasa, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Banjir merupakan sebuah fenomena yang dapat dijelaskan sebagai volume air yang masuk ke sebuah kawasan tertentu yang sangat lebih tinggi dari pada biasa, termasuk genangan

Lebih terperinci

KAJIAN MORFODINAMIKA PESISIR KABUPATEN KENDAL MENGGUNAKAN TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH MULTI SPEKTRAL DAN MULTI WAKTU

KAJIAN MORFODINAMIKA PESISIR KABUPATEN KENDAL MENGGUNAKAN TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH MULTI SPEKTRAL DAN MULTI WAKTU KAJIAN MORFODINAMIKA PESISIR KABUPATEN KENDAL MENGGUNAKAN TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH MULTI SPEKTRAL DAN MULTI WAKTU Tjaturahono Budi Sanjoto Mahasiswa Program Doktor Manajemen Sumberdaya Pantai UNDIP

Lebih terperinci

Analisa Perubahan Garis Pantai Akibat Kenaikan Muka Air Laut di Kawasan Pesisir Kabupaten Tuban

Analisa Perubahan Garis Pantai Akibat Kenaikan Muka Air Laut di Kawasan Pesisir Kabupaten Tuban JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No. 1, (2012) 1-5 1 Analisa Perubahan Garis Pantai Akibat Kenaikan Muka Air Laut di Kawasan Pesisir Kabupaten Tuban Liyani, Kriyo Sambodho, dan Suntoyo Teknik Kelautan, Fakultas

Lebih terperinci

PENGARUH BESAR GELOMBANG TERHADAP KERUSAKAN GARIS PANTAI

PENGARUH BESAR GELOMBANG TERHADAP KERUSAKAN GARIS PANTAI PENGARUH BESAR GELOMBANG TERHADAP KERUSAKAN GARIS PANTAI Hansje J. Tawas, Pingkan A.K. Pratasis Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Sam Ratulangi ABSTRAK Pantai selalu menyesuaikan bentuk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. rancu pemakaiannya, yaitu pesisir (coast) dan pantai (shore). Penjelasan mengenai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. rancu pemakaiannya, yaitu pesisir (coast) dan pantai (shore). Penjelasan mengenai BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Pantai Ada dua istilah tentang kepantaian dalam bahasa indonesia yang sering rancu pemakaiannya, yaitu pesisir (coast) dan pantai (shore). Penjelasan mengenai kepantaian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Studi Daerah yang menjadi objek dalam penulisan Tugas Akhir ini adalah pesisir Kecamatan Muara Gembong yang terletak di kawasan pantai utara Jawa Barat. Posisi geografisnya

Lebih terperinci

Pemetaan Pola Hidrologi Pantai Surabaya-Sidoarjo Pasca Pembangunan Jembatan Suramadu dan Peristiwa Lapindo Menggunakan Citra SPOT 4

Pemetaan Pola Hidrologi Pantai Surabaya-Sidoarjo Pasca Pembangunan Jembatan Suramadu dan Peristiwa Lapindo Menggunakan Citra SPOT 4 Pemetaan Pola Hidrologi Pantai Surabaya-Sidoarjo Pasca Pembangunan Jembatan Suramadu dan Peristiwa Lapindo Menggunakan Citra SPOT 4 Oleh : Linda Ardi Oktareni Pembimbing : Prof. DR. Ir Bangun M.S. DEA,

Lebih terperinci

KL 4099 Tugas Akhir. Desain Pengamananan Pantai Manokwari dan Pantai Pulau Mansinam Kabupaten Manokwari. Bab 1 PENDAHULUAN

KL 4099 Tugas Akhir. Desain Pengamananan Pantai Manokwari dan Pantai Pulau Mansinam Kabupaten Manokwari. Bab 1 PENDAHULUAN Desain Pengamananan Pantai Manokwari dan Pantai Pulau Mansinam Kabupaten Manokwari Bab 1 PENDAHULUAN Bab PENDAHULUAN Desain Pengamananan Pantai Manokwari dan Pantai Pulau Mansinam Kabupaten Manokwari 1

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK PANTAI GUGUSAN PULAU PARI. Hadiwijaya L. Salim dan Ahmad *) ABSTRAK

KARAKTERISTIK PANTAI GUGUSAN PULAU PARI. Hadiwijaya L. Salim dan Ahmad *) ABSTRAK KARAKTERISTIK PANTAI GUGUSAN PULAU PARI Hadiwijaya L. Salim dan Ahmad *) ABSTRAK Penelitian tentang karakter morfologi pantai pulau-pulau kecil dalam suatu unit gugusan Pulau Pari telah dilakukan pada

Lebih terperinci

PENUNTUN PRAKTIKUM OSEANOGRAFI FISIKA

PENUNTUN PRAKTIKUM OSEANOGRAFI FISIKA PENUNTUN PRAKTIKUM OSEANOGRAFI FISIKA DISUSUN OLEH Heron Surbakti dan Tim Assisten Praktikum Oseanografi Fisika LABORATORIUM OSEANOGRAFI PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

Lebih terperinci

BAB 5. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 5. HASIL DAN PEMBAHASAN BAB 5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Pengumpulan Data Data-data yang digunakan dalam penelitian nerupa data sekunder yang dikumpulkan dari instansi terkait dan data primer yang diperoleh melalui survey lapangan.

Lebih terperinci

SIMULASI SEBARAN SEDIMEN TERHADAP KETINGGIAN GELOMBANG DAN SUDUT DATANG GELOMBANG PECAH DI PESISIR PANTAI. Dian Savitri *)

SIMULASI SEBARAN SEDIMEN TERHADAP KETINGGIAN GELOMBANG DAN SUDUT DATANG GELOMBANG PECAH DI PESISIR PANTAI. Dian Savitri *) SIMULASI SEBARAN SEDIMEN TERHADAP KETINGGIAN GELOMBANG DAN SUDUT DATANG GELOMBANG PECAH DI PESISIR PANTAI Dian Savitri *) Abstrak Gerakan air di daerah pesisir pantai merupakan kombinasi dari gelombang

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil simulasi model penjalaran gelombang ST-Wave berupa gradien stress radiasi yang timbul sebagai akibat dari adanya perubahan parameter gelombang yang menjalar memasuki perairan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara umum pantai didefenisikan sebagai daerah di tepi perairan (laut) sebatas antara surut terendah dengan pasang tertinggi, sedangkan daerah pesisir adalah daratan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Dalam perkembangan teknologi perangkat keras yang semakin maju, saat ini sudah mampu mensimulasikan fenomena alam dan membuat prediksinya. Beberapa tahun terakhir sudah

Lebih terperinci

ANALISA PENGINDERAAN JARAK JAUH UNTUK MENGINDENTIFIKASI PERUBAHAN GARIS PANTAI DI PANTAI TIMUR SURABAYA. Di susun Oleh : Oktovianus Y.S.

ANALISA PENGINDERAAN JARAK JAUH UNTUK MENGINDENTIFIKASI PERUBAHAN GARIS PANTAI DI PANTAI TIMUR SURABAYA. Di susun Oleh : Oktovianus Y.S. ANALISA PENGINDERAAN JARAK JAUH UNTUK MENGINDENTIFIKASI PERUBAHAN GARIS PANTAI DI PANTAI TIMUR SURABAYA Di susun Oleh : Oktovianus Y.S.Gainau 4108205002 PROGRAM MAGISTER BIDANG KEAHLIAN TEKNIK DAN MANAJEMEN

Lebih terperinci

DAFTAR ISI Hasil Uji Model Hidraulik UWS di Pelabuhan PT. Pertamina RU VI

DAFTAR ISI Hasil Uji Model Hidraulik UWS di Pelabuhan PT. Pertamina RU VI DAFTAR ISI ALAMAN JUDUL... i ALAMAN PENGESAAN... ii PERSEMBAAN... iii ALAMAN PERNYATAAN... iv KATA PENGANTAR... v DAFTAR ISI... vi DAFTAR TABEL... x DAFTAR GAMBAR... xi DAFTAR LAMBANG... xiii INTISARI...

Lebih terperinci

STUDI PERUBAHAN GARIS PANTAI DI MUARA SUNGAI PORONG BAB I PENDAHULUAN

STUDI PERUBAHAN GARIS PANTAI DI MUARA SUNGAI PORONG BAB I PENDAHULUAN STUDI PERUBAHAN GARIS PANTAI DI MUARA SUNGAI PORONG Yudha Arie Wibowo Mahasiswa Program Studi Oseanografi Universitas Hang Tuah Surabaya Email : skywalkerplus@ymail.com BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Lebih terperinci

Studi Perubahan Fisik Kawasan Pesisir Surabaya dan Madura Pasca Pembangunan Jembatan Suramadu Menggunakan Citra Satelit

Studi Perubahan Fisik Kawasan Pesisir Surabaya dan Madura Pasca Pembangunan Jembatan Suramadu Menggunakan Citra Satelit Studi Perubahan Fisik Kawasan Pesisir Surabaya dan Madura Pasca Pembangunan Jembatan Suramadu Menggunakan Citra Satelit Mifta Nur Rohmah 1), Dr. Ir. Muhammad Taufik 2) Jurusan Teknik Geomatika, Fakultas

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA WRPLOT View (Wind Rose Plots for Meteorological Data) WRPLOT View adalah program yang memiliki kemampuan untuk

II. TINJAUAN PUSTAKA WRPLOT View (Wind Rose Plots for Meteorological Data) WRPLOT View adalah program yang memiliki kemampuan untuk II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. WRPLOT View (Wind Rose Plots for Meteorological Data) WRPLOT View adalah program yang memiliki kemampuan untuk mempresentasikan data kecepatan angin dalam bentuk mawar angin sebagai

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pembuatan algoritma empiris klorofil-a Tabel 8, Tabel 9, dan Tabel 10 dibawah ini adalah percobaan pembuatan algoritma empiris dibuat dari data stasiun nomor ganjil, sedangkan

Lebih terperinci

ANALISIS ARUS DAN GELOMBANG PERAIRAN BATU BELANDE GILI ASAHAN DESA BATU PUTIH KECAMATAN SEKOTONG LOMBOK BARAT

ANALISIS ARUS DAN GELOMBANG PERAIRAN BATU BELANDE GILI ASAHAN DESA BATU PUTIH KECAMATAN SEKOTONG LOMBOK BARAT 1 ANALISIS ARUS DAN GELOMBANG PERAIRAN BATU BELANDE GILI ASAHAN DESA BATU PUTIH KECAMATAN SEKOTONG LOMBOK BARAT Sukuryadi Dosen Program Studi Pendidikan Geografi, Universitas Muhammadiyah Mataram Email

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. Tabel 3.1 Data dan Sumber No Data Sumber Keterangan. (Lingkungan Dilakukan digitasi sehingga 1 Batimetri

BAB III METODOLOGI. Tabel 3.1 Data dan Sumber No Data Sumber Keterangan. (Lingkungan Dilakukan digitasi sehingga 1 Batimetri BAB III METODOLOGI 3.1 Pengumpulan Data Data awal yang digunakan dalam Tugas Akhir ini adalah data batimetri (kedalaman laut) dan data angin seperti pada Tabel 3.1. Tabel 3.1 Data dan Sumber No Data Sumber

Lebih terperinci

PERUBAHAN LUAS EKOSISTEM MANGROVE DI KAWASAN PANTAI TIMUR SURABAYA

PERUBAHAN LUAS EKOSISTEM MANGROVE DI KAWASAN PANTAI TIMUR SURABAYA PERUBAHAN LUAS EKOSISTEM MANGROVE DI KAWASAN PANTAI TIMUR SURABAYA Nirmalasari Idha Wijaya 1, Inggriyana Risa Damayanti 2, Ety Patwati 3, Syifa Wismayanti Adawiah 4 1 Dosen Jurusan Oseanografi, Universitas

Lebih terperinci

Simulasi Arus dan Distribusi Sedimen secara 3 Dimensi di Pantai Selatan Jawa

Simulasi Arus dan Distribusi Sedimen secara 3 Dimensi di Pantai Selatan Jawa G174 Simulasi Arus dan Distribusi Sedimen secara 3 Dimensi di Pantai Selatan Jawa Muhammad Ghilman Minarrohman, dan Danar Guruh Pratomo Departemen Teknik Geomatika, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Secara umum pantai didefenisikan sebagai daerah di tepi perairan (laut) sebatas antara surut terendah dengan pasang tertinggi, sedangkan daerah pesisir adalah daratan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Geomorfologi Bentuk lahan di pesisir selatan Yogyakarta didominasi oleh dataran aluvial, gisik dan beting gisik. Dataran aluvial dimanfaatkan sebagai kebun atau perkebunan,

Lebih terperinci

STUDI ANGKUTAN SEDIMEN SEJAJAR PANTAI DI PANTAI PONDOK PERMAI SERDANG BEDAGAI SUMATERA UTARA

STUDI ANGKUTAN SEDIMEN SEJAJAR PANTAI DI PANTAI PONDOK PERMAI SERDANG BEDAGAI SUMATERA UTARA STUDI ANGKUTAN SEDIMEN SEJAJAR PANTAI DI PANTAI PONDOK PERMAI SERDANG BEDAGAI SUMATERA UTARA TUGAS AKHIR Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi Syarat untuk menempuh Colloqium Doqtum/Ujian

Lebih terperinci

APLIKASI DATA INDERAAN MULTI SPEKTRAL UNTUK ESTIMASI KONDISI PERAIRAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN HASIL TANGKAPAN IKAN PELAGIS DI SELATAN JAWA BARAT

APLIKASI DATA INDERAAN MULTI SPEKTRAL UNTUK ESTIMASI KONDISI PERAIRAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN HASIL TANGKAPAN IKAN PELAGIS DI SELATAN JAWA BARAT APLIKASI DATA INDERAAN MULTI SPEKTRAL UNTUK ESTIMASI KONDISI PERAIRAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN HASIL TANGKAPAN IKAN PELAGIS DI SELATAN JAWA BARAT Oleh: Nurlaila Fitriah C64103051 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 13 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Pantai 2.1.1. Pengertian Pantai Pengertian pantai berbeda dengan pesisir. Tidak sedikit yang mengira bahwa kedua istilah tersebut memiliki arti yang sama, karena banyak

Lebih terperinci

STUDI PARAMETER OSEANOGRAFI DI PERAIRAN SELAT MADURA KABUPATEN BANGKALAN

STUDI PARAMETER OSEANOGRAFI DI PERAIRAN SELAT MADURA KABUPATEN BANGKALAN STUDI PARAMETER OSEANOGRAFI DI PERAIRAN SELAT MADURA KABUPATEN BANGKALAN Aries Dwi Siswanto 1, Wahyu Andy Nugraha 1 1 Program Studi Ilmu Kelautan Universitas Trunojoyo Madura Abstrak: Fenomena dan dinamika

Lebih terperinci

Sebaran Arus Permukaan Laut Pada Periode Terjadinya Fenomena Penjalaran Gelombang Kelvin Di Perairan Bengkulu

Sebaran Arus Permukaan Laut Pada Periode Terjadinya Fenomena Penjalaran Gelombang Kelvin Di Perairan Bengkulu Jurnal Gradien Vol. 11 No. 2 Juli 2015: 1128-1132 Sebaran Arus Permukaan Laut Pada Periode Terjadinya Fenomena Penjalaran Gelombang Kelvin Di Perairan Bengkulu Widya Novia Lestari, Lizalidiawati, Suwarsono,

Lebih terperinci

DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS VEGETASI MANGROVE GUGUS PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU MENGGUNAKAN CITRA FORMOSAT 2 DAN LANDSAT 7/ETM+

DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS VEGETASI MANGROVE GUGUS PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU MENGGUNAKAN CITRA FORMOSAT 2 DAN LANDSAT 7/ETM+ DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS VEGETASI MANGROVE GUGUS PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU MENGGUNAKAN CITRA FORMOSAT 2 DAN LANDSAT 7/ETM+ Oleh : Ganjar Saefurahman C64103081 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Permasalahan

I. PENDAHULUAN Permasalahan I. PENDAHULUAN 1.1. Permasalahan Sedimentasi di pelabuhan merupakan permasalahan yang perlu mendapatkan perhatian. Hal tersebut menjadi penting karena pelabuhan adalah unsur terpenting dari jaringan moda

Lebih terperinci

KERANGKA RAPERMEN TENTANG TATA CARA PENGHITUNGAN BATAS SEMPADAN PANTAI

KERANGKA RAPERMEN TENTANG TATA CARA PENGHITUNGAN BATAS SEMPADAN PANTAI KERANGKA RAPERMEN TENTANG TATA CARA PENGHITUNGAN BATAS SEMPADAN PANTAI BAB I BAB II BAB III BAB IV BAB V : KETENTUAN UMUM : PENGHITUNGAN BATAS SEMPADAN PANTAI Bagian Kesatu Indeks Ancaman dan Indeks Kerentanan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN ANALISIS

BAB IV HASIL DAN ANALISIS BAB IV HASIL DAN ANALISIS 4.1 Uji Sensitifitas Sensitifitas parameter diuji dengan melakukan pemodelan pada domain C selama rentang waktu 3 hari dan menggunakan 3 titik sampel di pesisir. (Tabel 4.1 dan

Lebih terperinci

PERUBAHAN GARIS PANTAI MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT MULTI TEMPORAL DI DAERAH PESISIR SUNGAI BUNGIN MUARA SUNGAI BANYUASIN, SUMATERA SELATAN

PERUBAHAN GARIS PANTAI MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT MULTI TEMPORAL DI DAERAH PESISIR SUNGAI BUNGIN MUARA SUNGAI BANYUASIN, SUMATERA SELATAN MASPARI JOURNAL Januari 2017, 9(1):25-32 PERUBAHAN GARIS PANTAI MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT MULTI TEMPORAL DI DAERAH PESISIR SUNGAI BUNGIN MUARA SUNGAI BANYUASIN, SUMATERA SELATAN SHORELINE CHANGES USING

Lebih terperinci

METODE. Waktu dan Tempat

METODE. Waktu dan Tempat Dengan demikian, walaupun kondisi tanah, batuan, serta penggunaan lahan di daerah tersebut bersifat rentan terhadap proses longsor, namun jika terdapat pada lereng yang tidak miring, maka proses longsor

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

III. METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan sejak Juli 2010 sampai dengan Mei 2011. Lokasi penelitian terletak di wilayah Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat. Pengolahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan yang lain, yaitu masing-masing wilayah masih dipengaruhi oleh aktivitas

BAB I PENDAHULUAN. dengan yang lain, yaitu masing-masing wilayah masih dipengaruhi oleh aktivitas BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir (coast) dan pantai (shore) merupakan bagian dari wilayah kepesisiran (Gunawan et al. 2005). Sedangkan menurut Kodoatie (2010) pesisir (coast) dan pantai (shore)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, bahwa mangrove merupakan ekosistem hutan, dengan definisi hutan adalah suatu ekosistem hamparan lahan berisi sumber daya

Lebih terperinci

BAB V Analisa Peramalan Garis Pantai

BAB V Analisa Peramalan Garis Pantai 155 BAB V ANALISA PERAMALAN GARIS PANTAI. 5.1 Bentuk Pantai. Pantai selalu menyesuaikan bentuk profilnya sedemikian sehingga mampu menghancurkan energi gelombang yang datang. Penyesuaian bentuk tersebut

Lebih terperinci

PEMODELAN GENESIS. KL 4099 Tugas Akhir. Bab 5. Desain Pengamananan Pantai Pulau Karakelang, Kabupaten Kepulauan Talaud, Provinsi Sulawesi Utara

PEMODELAN GENESIS. KL 4099 Tugas Akhir. Bab 5. Desain Pengamananan Pantai Pulau Karakelang, Kabupaten Kepulauan Talaud, Provinsi Sulawesi Utara Desain Pengamananan Pantai Pulau Karakelang, Kabupaten Kepulauan Talaud, Provinsi Sulawesi Utara Bab 5 PEMODELAN GENESIS Bab 5 PEMODELAN GENESIS Desain Pengamanan Pantai Pulau Karakelang Kabupaten Kepulauan

Lebih terperinci

BAB VI PEMILIHAN ALTERNATIF BANGUNAN PELINDUNG MUARA KALI SILANDAK

BAB VI PEMILIHAN ALTERNATIF BANGUNAN PELINDUNG MUARA KALI SILANDAK 96 BAB VI PEMILIHAN ALTERNATIF BANGUNAN PELINDUNG MUARA KALI SILANDAK 6.1 Perlindungan Muara Pantai Secara alami pantai telah mempunyai perlindungan alami, tetapi seiring perkembangan waktu garis pantai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I - 1

BAB I PENDAHULUAN I - 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang mempunyai lebih dari 3.700 pulau dengan luas daratan ± 1.900. 000 km 2 dan lautan ± 3.270.000 km 2.Garis

Lebih terperinci

ANALISIS KARAKTERISTIK GELOMBANG PECAH DI PANTAI NIAMPAK UTARA

ANALISIS KARAKTERISTIK GELOMBANG PECAH DI PANTAI NIAMPAK UTARA ANALISIS KARAKTERISTIK GELOMBANG PECAH DI PANTAI NIAMPAK UTARA Ratna Parauba M. Ihsan Jasin, Jeffrey. D. Mamoto Fakultas Teknik Jurusan Sipil Universitas Sam Ratulangi Manado email : Parauba_ratna@yahoo.co.id

Lebih terperinci

POLA ARUS DAN TRANSPOR SEDIMEN PADA KASUS PEMBENTUKAN TANAH TIMBUL PULAU PUTERI KABUPATEN KARAWANG

POLA ARUS DAN TRANSPOR SEDIMEN PADA KASUS PEMBENTUKAN TANAH TIMBUL PULAU PUTERI KABUPATEN KARAWANG POLA ARUS DAN TRANSPOR SEDIMEN PADA KASUS PEMBENTUKAN TANAH TIMBUL PULAU PUTERI KABUPATEN KARAWANG Andi W. Dwinanto, Noir P. Purba, Syawaludin A. Harahap, dan Mega L. Syamsudin Universitas Padjadjaran

Lebih terperinci

Analisis Transformasi Gelombang Di Pantai Matani Satu Minahasa Selatan

Analisis Transformasi Gelombang Di Pantai Matani Satu Minahasa Selatan Analisis Transformasi Gelombang Di Pantai Matani Satu Minahasa Selatan Hansje J. Tawas Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Sam Ratulangi ABSTRAK Mundurnya garis pantai pada Pantai Matani

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penutupan Lahan Tahun 2003 2008 4.1.1 Klasifikasi Penutupan Lahan Klasifikasi penutupan lahan yang dilakukan pada penelitian ini dimaksudkan untuk membedakan penutupan/penggunaan

Lebih terperinci

STUDI PERUBAHAN LUASAN TERUMBU KARANG DENGAN MENGGUNAKAN DATA PENGINDERAAN JAUH DI PERAIRAN BAGIAN BARAT DAYA PULAU MOYO, SUMBAWA

STUDI PERUBAHAN LUASAN TERUMBU KARANG DENGAN MENGGUNAKAN DATA PENGINDERAAN JAUH DI PERAIRAN BAGIAN BARAT DAYA PULAU MOYO, SUMBAWA STUDI PERUBAHAN LUASAN TERUMBU KARANG DENGAN MENGGUNAKAN DATA PENGINDERAAN JAUH DI PERAIRAN BAGIAN BARAT DAYA PULAU MOYO, SUMBAWA Oleh Riza Aitiando Pasaribu C64103058 PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pantai adalah suatu wilayah yang mengalami kontak langsung dengan aktivitas manusia dan kontak dengan fenomena alam terutama yang berasal dari laut. Fenomena

Lebih terperinci

KONDISI GELOMBANG DI WILAYAH PERAIRAN PANTAI LABUHAN HAJI The Wave Conditions in Labuhan Haji Beach Coastal Territory

KONDISI GELOMBANG DI WILAYAH PERAIRAN PANTAI LABUHAN HAJI The Wave Conditions in Labuhan Haji Beach Coastal Territory Spektrum Sipil, ISSN 1858-4896 55 Vol. 1, No. 1 : 55-72, Maret 2014 KONDISI GELOMBANG DI WILAYAH PERAIRAN PANTAI LABUHAN HAJI The Wave Conditions in Labuhan Haji Beach Coastal Territory Baiq Septiarini

Lebih terperinci

Analisis Sedimentasi Sungai Jeneberang Menggunakan Citra SPOT-4

Analisis Sedimentasi Sungai Jeneberang Menggunakan Citra SPOT-4 Analisis Sedimentasi Sungai Jeneberang Menggunakan Citra SPOT-4 Andi Panguriseng 1, Muh. Altin Massinai 1, Paharuddin 1 1 Program Studi Geofisika FMIPA Universitas Hasanuddin, Makassar 90245, Indonesia

Lebih terperinci

ANALISIS TRANSFORMASI DAN SPEKTRUM GELOMBANG DI PERAIRAN BALONGAN, INDRAMAYU, JAWA BARAT

ANALISIS TRANSFORMASI DAN SPEKTRUM GELOMBANG DI PERAIRAN BALONGAN, INDRAMAYU, JAWA BARAT ANALISIS TRANSFORMASI DAN SPEKTRUM GELOMBANG DI PERAIRAN BALONGAN, INDRAMAYU, JAWA BARAT Denny Nugroho Sugianto, Aris Ismanto, Astuti Ferawati *) Program Studi Oseanografi, Jurusan Ilmu Kelautan, Fakultas

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Angin adalah massa udara yang bergerak. Angin dapat bergerak secara horizontal

II. TINJAUAN PUSTAKA. Angin adalah massa udara yang bergerak. Angin dapat bergerak secara horizontal II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Angin Angin adalah massa udara yang bergerak. Angin dapat bergerak secara horizontal maupun secara vertikal dengan kecepatan bervariasi dan berfluktuasi secara dinamis. Faktor

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Kondisi Fisik Daerah Penelitian II.1.1 Kondisi Geografi Gambar 2.1. Daerah Penelitian Kabupaten Indramayu secara geografis berada pada 107 52-108 36 BT dan 6 15-6 40 LS. Berdasarkan

Lebih terperinci

Pemantauan perubahan profil pantai akibat

Pemantauan perubahan profil pantai akibat Pemanfaatan teknik penginderaan jauh dan sistem informasi geografis untuk... (Mudian Paena) PEMANFAATAN TEKNIK PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK MEMANTAU PERUBAHAN PROFIL PANTAI AKIBAT

Lebih terperinci

ALTERNATIF BANGUNAN PENANGGULANGAN ABRASI DI PANTAI MUARA GEMBONG, BEKASI ALIMUDDIN

ALTERNATIF BANGUNAN PENANGGULANGAN ABRASI DI PANTAI MUARA GEMBONG, BEKASI ALIMUDDIN ALTERNATIF BANGUNAN PENANGGULANGAN ABRASI DI PANTAI MUARA GEMBONG, BEKASI ALIMUDDIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN

Lebih terperinci

Analisis Sedimentasi Sungai Jeneberang Menggunakan Citra SPOT-4 Andi Panguriseng 1, Muh. Altin Massinai 1, Paharuddin 1 1

Analisis Sedimentasi Sungai Jeneberang Menggunakan Citra SPOT-4 Andi Panguriseng 1, Muh. Altin Massinai 1, Paharuddin 1 1 Analisis Sedimentasi Sungai Jeneberang Menggunakan Citra SPOT-4 Andi Panguriseng 1, Muh. Altin Massinai 1, Paharuddin 1 1 Program Studi Geofisika FMIPA Universitas Hasanuddin, Makassar 90245, Indonesia

Lebih terperinci

PENENTUAN POLA SEBARAN KONSENTRASI KLOROFIL-A DI SELAT SUNDA DAN PERAIRAN SEKITARNYA DENGAN MENGGUNAKAN DATA INDERAAN AQUA MODIS

PENENTUAN POLA SEBARAN KONSENTRASI KLOROFIL-A DI SELAT SUNDA DAN PERAIRAN SEKITARNYA DENGAN MENGGUNAKAN DATA INDERAAN AQUA MODIS PENENTUAN POLA SEBARAN KONSENTRASI KLOROFIL-A DI SELAT SUNDA DAN PERAIRAN SEKITARNYA DENGAN MENGGUNAKAN DATA INDERAAN AQUA MODIS Firman Ramansyah C64104010 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS

Lebih terperinci

Perubahan Garis Pantai Di Kabupaten Indramayu Dengan Menggunakan Citra Satelit Landsat Multi Temporal

Perubahan Garis Pantai Di Kabupaten Indramayu Dengan Menggunakan Citra Satelit Landsat Multi Temporal The Journal of Fisheries Development, Juli 2015 Volume 2, Nomor 3 Hal : 61-70 Perubahan Garis Pantai Di Kabupaten Indramayu Dengan Menggunakan Citra Satelit Landsat Multi Temporal Yudi Prayitno 1 dan Imam

Lebih terperinci

menunjukkan nilai keakuratan yang cukup baik karena nilai tersebut lebih kecil dari limit maksimum kesalahan rata-rata yaitu 0,5 piksel.

menunjukkan nilai keakuratan yang cukup baik karena nilai tersebut lebih kecil dari limit maksimum kesalahan rata-rata yaitu 0,5 piksel. Lampiran 1. Praproses Citra 1. Perbaikan Citra Satelit Landsat Perbaikan ini dilakukan untuk menutupi citra satelit landsat yang rusak dengan data citra yang lainnya, pada penelitian ini dilakukan penggabungan

Lebih terperinci

PREDIKSI PERUBAHAN GARIS PANTAI PULAU GILI KETAPANG PROBOLINGGO DENGAN MENGGUNAKAN ONE-LINE MODEL

PREDIKSI PERUBAHAN GARIS PANTAI PULAU GILI KETAPANG PROBOLINGGO DENGAN MENGGUNAKAN ONE-LINE MODEL PREDIKSI PERUBAHAN GARIS PANTAI PULAU GILI KETAPANG PROBOLINGGO DENGAN MENGGUNAKAN ONE-LINE MODEL Nurin Hidayati 1,2*, Hery Setiawan Purnawali 3, dan Desiana W. Kusumawati 1 1 Fakultas Perikanan dan Ilmu

Lebih terperinci

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilakukan di wilayah yang tercemar tumpahan minyak dari

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilakukan di wilayah yang tercemar tumpahan minyak dari 3. BAHAN DAN METODE 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di wilayah yang tercemar tumpahan minyak dari anjungan minyak Montara Australia. Perairan tersebut merupakan perairan Australia

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. Gambar 7. Peta Lokasi Penelitian

3 METODE PENELITIAN. Gambar 7. Peta Lokasi Penelitian 18 3 METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2010 hingga Juni 2011 dengan lokasi penelitian yaitu Perairan Selat Makassar pada posisi 01 o 00'00" 07 o 50'07"

Lebih terperinci

BAB 4. METODE PENELITIAN

BAB 4. METODE PENELITIAN BAB 4. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi Penelitian dan Scene Data Satelit Lokasi penelitian ini difokuskan di pantai yang berada di pulau-pulau terluar NKRI yang berada di wilayah Provinsi Riau. Pulau-pulau

Lebih terperinci

Mahasiswa Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Riau 2)

Mahasiswa Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Riau 2) ANALISIS LAJU PERUBAHAN GARIS PANTAI PULAU KARIMUN BESAR MENGGUNAKAN DSAS (DIGITAL SHORELINE ANALYSIS SYSTEM) Dian Kharisma Dewi 1), Sigit Sutikno 2), Rinaldi 2) 1) Mahasiswa Jurusan Teknik Sipil, Fakultas

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Waktu penelitian dilakukan kurang lebih selama sebelas bulan yaitu sejak Februari 2009 hingga Januari 2010, sedangkan tempat penelitian dilakukan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN ANGIN Berdasarkan analisis data angin stasiun meteorologi Amamapare selama 15 tahun, dalam satu tahun terdapat pengertian dua musim, yaitu musim timur dan musim barat diselingi dengan

Lebih terperinci

Simulasi Arus dan Distribusi Sedimen secara 3 Dimensi di Pantai Selatan Jawa

Simulasi Arus dan Distribusi Sedimen secara 3 Dimensi di Pantai Selatan Jawa JURNAL TEKNIK ITS Vol. 6 No. 2, (2017) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) G-172 Simulasi Arus dan Distribusi Sedimen secara 3 Dimensi di Pantai Selatan Jawa Muhammad Ghilman Minarrohman, dan Danar Guruh

Lebih terperinci

ANALISIS SURUT ASTRONOMIS TERENDAH DI PERAIRAN SABANG, SIBOLGA, PADANG, CILACAP, DAN BENOA MENGGUNAKAN SUPERPOSISI KOMPONEN HARMONIK PASANG SURUT

ANALISIS SURUT ASTRONOMIS TERENDAH DI PERAIRAN SABANG, SIBOLGA, PADANG, CILACAP, DAN BENOA MENGGUNAKAN SUPERPOSISI KOMPONEN HARMONIK PASANG SURUT ANALISIS SURUT ASTRONOMIS TERENDAH DI PERAIRAN SABANG, SIBOLGA, PADANG, CILACAP, DAN BENOA MENGGUNAKAN SUPERPOSISI KOMPONEN HARMONIK PASANG SURUT Oleh: Gading Putra Hasibuan C64104081 PROGRAM STUDI ILMU

Lebih terperinci