ALTERNATIF BANGUNAN PENANGGULANGAN ABRASI DI PANTAI MUARA GEMBONG, BEKASI ALIMUDDIN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ALTERNATIF BANGUNAN PENANGGULANGAN ABRASI DI PANTAI MUARA GEMBONG, BEKASI ALIMUDDIN"

Transkripsi

1 ALTERNATIF BANGUNAN PENANGGULANGAN ABRASI DI PANTAI MUARA GEMBONG, BEKASI ALIMUDDIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015

2

3 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Alternatif Bangunan Penanggulangan Abrasi Di Pantai Muara Gembong, Bekasi adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, September 2015 Alimuddin NIM F

4 RINGKASAN ALIMUDDIN. Alternatif Bangunan Penanggulangan Abrasi Di Pantai Muara Gembong, Bekasi. Dibimbing oleh ASEP SAPEI dan NORA H. PANDJAITAN. Pembukaan lahan di daerah pantai menyebabkan meningkatnya abrasi karena pantai menjadi tidak terlindungi. Tingginya abrasi menyebabkan hilangnya tiga desa di Pantai Muara Gembong, Bekasi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji alternatif bangunan untuk penanggulangan abrasi yang terjadi di Pantai Muara Gembong, menentukan dimensi dan menyusun anggaran biaya yang dibutuhkan. Penelitian dilaksanakan dari bulan Juli 2013 Desember 2014 di daerah pesisir Pantai Muara Gembong, Bekasi. Dari hasil overlay Citra Landsat terlihat bahwa terjadi abrasi pada Pantai Muara Gembong sebesar ,23 m 2. Nilai rata-rata perubahan tinggi muka air laut sebesar 0,60 m dengan surut terendah sebesar 0,57 m dan pasang tertinggi sebesar 0,62 m diukur dari tinggi muka air laut rata-rata (MSL). Bangunan pelindung pantai yang cocok untuk permasalahan abrasi di lokasi studi adalah breakwater karena bangunan ini dapat menahan sedimentasi dan hampir tidak mengakibatkan abrasi di wilayah lain. Tinggi minimum bangunan pantai yang akan dibangun adalah 4,95 m dengan mengabaikan berat bangunan yang akan dibangun dan diasumsikan bahwa dasar perairan untuk penempatan bangunan tersebut tidak mengalami penurunan. Kata kunci: bangunan pelindung pantai, Citra Landsat, Pantai Muara Gembong, pasang surut, penanggulangan abrasi.

5 SUMMARY ALIMUDDIN. Alternative of Abrasion Mitigation Building In Coastal Area Of Muara Gembong, Bekasi. Supervised by ASEP SAPEI and NORA H. PANDJAITAN Land clearing in coastal areas lead to increased abrasion due to decreating of beach pretection. The high abrasion has made 3 villages in Muara Gembong, Bekasi dissapeared. The purpose of this study were to assess building alternative for abrasion mitigation at coastal area of Muara Gembong, Bekasi, to determine the dimension and to calculate the total cost. The study was conducted since July 2013 December The result of Landsat overlay showed that abrasion in Muara Gembong was ,23 m 2. The average of mean sea level change was 0.60 m with the lowest tide was 0,57 m and the highest tide was 0,62 m above mean sea level (MSL). Coastal protection building suitable for abrasion problems in the study area was breakwater because it can keep sedimentation at the back side and make barely abrasion in the other area. The minimum height of coastal wall was designed 4,95 m by ignoring the weight of the structure and assuming that the sea bottom at structure location would not be subsidence. Key words: abrasion mitigation, Citra Landsat, coastal protection building, Muara Gembong Coastal area, tidal.

6 Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

7 ALTERNATIF BANGUNAN PENANGGULANGAN ABRASI DI PANTAI MUARA GEMBONG, BEKASI ALIMUDDIN Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Teknik Sipil dan Lingkungan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015

8 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Ir M. Yanuar J. Purwanto, MS

9

10

11 PRAKATA Alhamdulillah puji dan syukur dipanjatkan kepada Allah SWT karena atas segala karunia, rahmat dan hidayah-nya tesis yang berjudul Alternatif Bangunan Penanggulangan Abrasi Di Pantai Muara Gembong, Bekasi dapat diselesaikan dengan baik. Tesis ini merupakan salah satu syarat kelulusan dari Program Magister Sains Teknik Sipil dan Lingkungan Terima kasih diucapkan kepada Prof. Dr. Ir. Asep Sapei, MS selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Dr. Ir. Nora H. Pandjaitan, DEA selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing dan mengarahkan sejak dari penyusunan proposal sampai penulisan tesis. Tak lupa juga diucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. M. Yanuar J. Purwanto, MS selaku Penguji Luar Komisi pada ujian tesis. Ucapan terima kasih yang sangat spesial kepada ayah, ibu, dan adik-adikku, atas segala doa dan kasih sayangnya, bantuan dan nasehatnya agar penyusunan tesis ini dapat terselesaikan. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada teman-teman S2 Teknik Sipil dan Lingkungan IPB, teman-teman di Fakultas Perikanan IPB (Bang Tri, Mba Tyas, Santos, Erwin, Nabil dan Dimi) dan temanteman Teknik Kelautan ITB (Mas Azka dan Mas Huda) atas bimbingan, masukan dan saran untuk pembuatan model dalam tesis ini serta semua pihak yang telah memberikan banyak informasi, pengetahuan, bimbingan, dan pengarahan sehingga penulisan tesis ini dapat terselesaikan. Disadari bahwa tesis ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu diharapkan kritik dan saran yang membangun demi penyempurnaan penulisan. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi civitas akademika, peneliti, pemerintah dan semua pihak yang terkait. Bogor, September 2015 Alimuddin

12 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN 1 PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Perumusan Masalah 1 Tujuan 2 Manfaat 2 Ruang Lingkup 2 2 TINJAUAN PUSTAKA 2 Pantai 2 Perubahan Garis Pantai 9 3 METODE 16 Lokasi dan Waktu Penelitian 16 Metode Pengumpulan Data 16 Metode Pengolahan Data 17 Transformasi Gelombang 21 Data Citra Satelit 23 Analisis Perubahan Garis Pantai 24 Alternatif Bangunan Penanggulangan Abrasi 24 Rencana Anggaran Biaya (RAB) 25 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 25 Arah dan Kecepatan Angin 25 Pembangkitan Gelombang Laut Lepas 27 Transformasi Gelombang 30 Perubahan Garis Pantai 32 Alternatif Penanggulangan Abrasi 33 Rencana Anggaran Biaya (RAB) 37 5 SIMPULAN DAN SARAN 38 Simpulan 38 Saran 38 DAFTAR PUSTAKA 39 LAMPIRAN 41 RIWAYAT HIDUP 44 x x xi

13 DAFTAR TABEL 1 Karakteristik Citra Landsat TM dan ETM+ 9 2 Jenis dan Sumber Data 16 3 Frekuensi Distribusi Kecepatan Angin Tahun Frekuensi Kejadian Angin Tahun Persentase Kejadian Angin Tahun Panjang Fetch Efektif 28 7 Tinggi dan Periode Gelombang Di Laut Dalam Yang Merambat Menuju Pantai Muara Gembong Yang Dibangkitkan Oleh Angin Bulanan Rata-Rata 29 8 Parameter Gelombang Pecah Di Dekat Pantai Muara Gembong 30 9 Komponen Harmonik Rata-Rata Pasang Surut Di Muara Gembong Nilai Pasang Surut, Tunggang Pasut dan MSL Di Muara Gembong Rencana Anggaran Biaya (RAB) Pembuatan Breakwater Satu Di Lokasi Penelitian 38 DAFTAR GAMBAR 1 Definisi dan Batasan Pantai 3 2 Terminologi Pantai Untuk Keperluan Rekayasa Pantai 4 3 Definisi Gelombang (Sorensen, 1978) 5 4 Refraksi Gelombang Pada Berbagai Bentuk Tipe Kontur Garis Pantai (a) Kontur Lurus dan Sejajar; (b) Gabungan Antara Submarine Ridge dan Submarine Canyon; (c); Submarine Ridge dan (d) Submarine Canyon 6 5 Penampang Melintang Zona Dekat Pantai Yang Menggambarkan Transformasi Gelombang (Dally, 2005) 7 6 Gelombang Yang Membangkitkan Arus Menyusur Pantai (Sorensen, 1978) 7 7 Aktifitas Penambangan Pasir Laut Yang Dapat Mempercepat Proses Abrasi Pantai 9 8 Peta Lokasi Penelitian 17 9 Bagan Alir Pengumpulan dan Pengolahan Data Alternatif Bangunan Penanggulangan Abrasi Durasi Angin Tercepat Sebagai Fungsi Dari Kecepatan Angin (Untuk Laut Terbuka) (USACE, 2003) Hubungan Antara RL Dengan Kecepatan Angin Di Darat Rasio Durasi Kecepatan Angin (U t ) Pada Kecepatan 1 Jam (U 3600 ) (USACE, 2003) Refraksi gelombang Struktur Program Genesis Untuk Analisis Peramalan Garis Pantai Alternatif Bangunan Pelindung Pantai. a. Groin, b. Seawall, c. Breakwater 25

14 16 Mawar Angin Harian Rata-Rata Tahun Distribusi Frekuensi Kecepatan Angin Harian Rata-Rata Tahun Panjang Fetch Di Lokasi Penelitian Tinggi dan Periode Gelombang Laut Dalam Tahun Perbandingan Tinggi Gelombang Laut Dalam (H mo ) dan Tinggi Gelombang Pecah (H b ) Saat Mendekati Pantai Grafik Pasang Surut Di Muara Gembong Perubahan Garis Pantai Hasil Overlay Citra Tahun Di Lokasi Penelitian Perubahan Garis Pantai Hasil Simulasi GENESIS Dalam 10 Tahun Mendatang Di Lokasi Penelitian Perubahan Garis Pantai Akibat Pemasangan Groin Dalam 10 Tahun Mendatang Di Lokasi Penelitian Perubahan Garis Pantai Akibat Pemasangan Seawall Dalam 10 Tahun Mendatang Di Lokasi Penelitian Perubahan Garis Pantai Akibat Pemasangan Breakwater Dalam 10 Tahun Mendatang Di Lokasi Penelitian Potongan Desain Breakwater Di Lokasi Penelitian Tampak Atas Desain Breakwater Di Lokasi Penelitian 37 DAFTAR LAMPIRAN 1 Desain Breakwater Untuk Lokasi Penelitian Berdasarkan SPM (Shore Protection Manual) Tahun Biaya Pembuatan Breakwater Per Satuan Unit 43

15 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang meliputi kurang lebih pulau dan memiliki garis pantai sepanjang km. Wilayah pesisir merupakan wilayah yang paling intensif dimanfaatkan untuk kegiatan industri, perkantoran, permukiman, pelabuhan, pertambakan, pertanian, perikanan, dan pariwisata. Wilayah pesisir Muara Gembong terletak di Desa Pantai Sederhana Kecamatan Muara Gembong, Kabupaten Bekasi. Kecamatan Muara Gembong merupakan wilayah pesisir yang banyak mengalami perubahan penggunaan lahan, terutama konversi hutan mangrove menjadi tambak. Konversi yang berlebihan dan tidak memperhatikan keseimbangan lingkungan menyebabkan terjadinya degradasi lingkungan yang berpengaruh terhadap produktivitas daerah tersebut (Handayani, 2006). Perubahan lahan yang tidak memperhatikan keseimbangan lingkungan di pesisir Pantai Muara Gembong mengakibatkan berkurangnya hutan mangrove dan meningkatnya abrasi yang terjadi. Kondisi ini menyebabkan hilangnya tiga desa, yakni Desa Pantai Bahagia, Desa Pantai Mekar dan Desa Pantai Sederhana. Bila kondisi ini tidak segera ditangani dengan baik, maka akan terjadi kerusakan lingkungan yang semakin parah. Menurut Perum Perhutani selaku pengelola kawasan ini, luas hutan mangrove alami di Muara Gembong ha. Namun, saat ini hutan mangrove yang ada telah berubah sekitar 93,5 % menjadi tambak dan lahan pertanian masyarakat. Setiap tahunnya terjadi penyusutan yang diakibatkan oleh abrasi dan gelombang besar yang diperkirakan mencapai 1-2 % dari potensi lahan atau setara dengan ha. Penyusutan terbesar terjadi di Kecamatan Muara Gembong. Kawasan hutan mangrove Muara Gembong merupakan bagian rangkaian ekosistem mangrove di pesisir utara Teluk Jakarta, dari Tanjung Pasir di Tangerang, Banten, hingga ke ujung Karawang. Hutan mangrove mempunyai peranan yang sangat penting untuk mencegah pengikisan pantai oleh gelombang air laut. Abrasi merupakan salah satu masalah yang dapat mengancam garis pantai, merusak tambak, persawahan yang berada di pinggir pantai, dan juga mengancam bangunan yang berbatasan langsung dengan air laut, baik bangunan yang difungsikan sebagai penunjang wisata maupun rumah penduduk. Akibat abrasi kondisi kawasan pantai di berbagai lokasi di Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan. Kondisi ini jika tidak ditangani dengan baik akan memberikan dampak yang sangat merugikan bagi kelangsungan makhluk hidup. Mengacu dari permasalahan di atas, perlu adanya suatu kajian analisis abrasi pantai dan alternatif penanggulangannya sehingga dapat diketahui dan ditetapkan rekomendasi penanggulangan yang paling efektif dalam mengurangi abrasi pantai. Perumusan Masalah Kawasan pantai merupakan kawasan yang sangat dinamis dengan berbagai ekosistem hidup di sana dan saling mempunyai keterkaitan satu dengan yang lainnya. Perubahan garis pantai merupakan salah satu bentuk dinamisasi kawasan

16 2 pantai yang terjadi secara terus menerus. Perubahan garis pantai yang terjadi di kawasan pantai dapat berupa pengikisan badan pantai (abrasi) maupun penambahan badan pantai (sedimentasi atau akresi). Proses-proses tersebut terjadi sebagai akibat dari pergerakan sedimen, arus dan gelombang yang terjadi dan berinteraksi dengan kawasan pantai secara langsung. Selain faktor-faktor tersebut, perubahan garis pantai dapat terjadi akibat faktor antropogenik, seperti aktivitas manusia di sekitarnya. Untuk itu perlu dianalisis proses abrasi yang terjadi dan alternatif bangunan penanggulangannya sehingga diharapkan kerusakan tidak bertambah. Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Mengkaji alternatif bangunan penanggulangan abrasi yang terjadi di Pantai Muara Gembong, Bekasi. 2. Menentukan dimensi dan menyusun anggaran biaya yang dibutuhkan. Manfaat Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran untuk memecahkan permasalahan abrasi yang terjadi di Pantai Muara Gembong, Bekasi sehingga dapat membantu pemerintah daerah setempat dalam pengambilan keputusan agar kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh proses abrasi dapat segera diatasi. Ruang Lingkup Ruang lingkup penulisan tugas akhir ini yaitu: 1. Memprediksi perubahan garis pantai yang akan terjadi. 2. Menghitung perubahan garis pantai dari layout citra. 3. Menentukan alternatif pilihan bangunan pengaman pantai. 4. Merancang dimensi struktur alternatif bangunan pengaman pantai. 5. Menyusun rencana anggaran biaya (RAB). TINJAUAN PUSTAKA Pantai Wilayah pesisir adalah suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan. Apabila ditinjau dari garis pantai (coastline) maka wilayah pesisir memiliki dua batas (boundaries), yaitu batas garis yang sejajar pantai (longshore) dan batas garis yang tegak lurus terhadap garis pantai (crosshore). Untuk kepentingan pengelolaan, penetapan batas-batas wilayah pesisir dan laut yang sejajar dengan garis pantai relatif mudah. Penetapan wilayah pesisir yang tegak lurus terhadap garis pantai sejauh ini masih berbeda antara satu negara dengan negara yang lain. Hal ini dapat dimengerti sebab setiap negara memiliki karakteristik lingkungan, sumberdaya dan sistem pemerintahan sendiri (Bengen, 2001).

17 Kartawinata dan Soemodiharjo (1997) mendefinisikan wilayah pesisir sebagai daerah pertemuan antara laut dan darat termasuk pulau-pulau kecil. Wilayahnya dibatasi oleh tempat dimana percampuran antara air laut dan air tawar tidak lagi nyata dan luasnya ditentukan oleh kondisi setempat. Di dataran rendah wilayah pesisir dapat terbentang sampai beberapa puluh kilometer sejajar garis pantai, sedangkan daerah berbukit dan berpantai terjal umumnya sempit. Definisi wilayah pesisir yang digunakan di Indonesia adalah suatu wilayah pertemuan antara daratan dan lautan, dimana batas ke arah laut mencakup bagian atau batas terluar dari paparan benua yang masih dipengaruhi oleh proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar maupun proses yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan lahan dan pencemaran. Batas ke arah darat meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air, yang masih mendapat pengaruh sifat-sifat air laut seperti angin laut, pasang surut, perembesan air laut yang dicirikan oleh jenis vegetasi yang khas (Dahuri et al., 2004). Pantai merupakan batas antara wilayah daratan dengan wilayah lautan. Daerah daratan adalah daerah yang terletak di atas dan di bawah permukaan daratan dimulai dari batas garis pasang tertinggi sedangkan daerah lautan adalah daerah yang terletak di atas dan di bawah permukaan laut dimulai dari sisi laut pada garis surut terendah, termasuk dasar laut dan bagian bumi di bawahnya (Triadmodjo,1999). Beberapa istilah kepantaian (Gambar 1) yaitu : 1. Daerah pantai atau pesisir adalah suatu daratan beserta perairannya dimana daerah tersebut masih dipengaruhi baik darat maupun oleh aktivitas marine. 2. Pantai adalah daerah di tepi perairan yang dipengaruhi oleh air pasang tertinggi dan air surut terendah. 3. Garis pantai adalah garis batas pertemuan antara daratan dan lautan. 4. Daratan pantai adalah daerah di tepi laut yang masih dipengaruhi oleh aktivitas marine 5. Perairan pantai adalah perairan yang masih dipengaruhi oleh aktivitas daratan. 6. Sempadan pantai adalah daerah sepanjang pantai yang diperuntukkan bagi pengamanan dan pelestarian pantai. 3 Gambar 1. Definisi dan Batasan Pantai.

18 4 Untuk kepentingan rekayasa atau teknik pantai, Triadmodjo (1999) mendefinisikan pantai sebagai berikut (Gambar 2): 1. Surf zone adalah daerah yang terbentang antara bagian dalam dari gelombang pecah sampai batas naik-turunnya gelombang di pantai. 2. Breaker zone adalah daerah dimana terjadi gelombang pecah. 3. Swash zone adalah daerah yang dibatasi oleh garis batas tertinggi naiknya gelombang dan batas terendah turunnya gelombang di pantai. 4. Offshore adalah daerah dari gelombang (mulai) pecah sampai ke laut lepas. 5. Foreshore adalah daerah yang terbentang dari garis pantai pada saat surut terendah sampai batas atas dari uprush pada saat air pasang tertinggi. 6. Inshore adalah daerah antara offshore dan foreshore. 7. Backshore adalah daerah yang dibatasi oleh foreshore dan garis pantai yang terbentuk pada saat terjadi gelombang badai bersamaan dengan muka air tertinggi. 8. Coast adalah daratan pantai yang masih terpengaruh laut secara langsung, misalnya pengaruh pasang surut, angin laut, dan ekosistem pantai (hutan bakau, sand dunes ). 9. Coastal area adalah daratan pantai dan perairan pantai sampai kedalaman 100 atau 150 m. Gambar 2. Terminologi Pantai Untuk Keperluan Rekayasa Pantai. Secara umum Sutikno (1993) menjelaskan bahwa pantai merupakan suatu daerah yang meluas dari titik terendah air laut pada saat surut hingga ke arah daratan sampai mencapai batas efektif dari gelombang. Garis pantai adalah garis pertemuan antara air laut dengan daratan yang kedudukannya berubah-ubah sesuai dengan kedudukan pada saat pasang-surut, pengaruh gelombang dan arus laut. Lingkungan pantai merupakan daerah yang selalu mengalami perubahan yang dapat terjadi secara lambat hingga cepat, tergantung pada imbang daya antara topografi, batuan dan sifat-sifatnya dengan gelombang, pasang surut dan angin. Secara garis besar proses geomorfologi yang bekerja pada daerah pantai dapat dibedakan menjadi proses destruksional dan konstruksional. Proses destruksional adalah proses yang cenderung merusak bentuk lahan yang ada sebelumnya, sedangkan proses konstruksional adalah proses yang menghasilkan bentuk lahan baru. Abrasi merupakan salah satu masalah yang mengancam kondisi pesisir, mengancam garis pantai, merusak tambak maupun lokasi persawahan yang berada

19 di pinggir pantai. Selain itu juga mengancam bangunan yang berbatasan langsung dengan air laut, baik bangunan yang difungsikan sebagai penunjang wisata maupun rumah penduduk. Abrasi pantai didefinisikan sebagai mundurnya garis pantai dari posisi asalnya (Triatmodjo, 1999) yang disebabkan oleh adanya angkutan sedimen menyusur pantai sehingga mengakibatkan berpindahnya sedimen dari satu tempat ke tempat lainnya. Angkutan sedimen menyusur pantai terjadi bila arah gelombang datang membentuk sudut dengan garis normal pantai. Perubahan konfigurasi pantai di wilayah pesisir dapat disebabkan oleh proses alami dan non alami (antropogenik/kegiatan manusia). Proses hidrooseanografi dari laut yang dapat memberikan pengaruh antara lain hempasan gelombang, perubahan pola arus serta fenomena pasang surut yang kadangkadang diperkuat oleh pengaruh perubahan iklim. Fenomena alami dari darat yang ikut memberikan pengaruh terjadinya perubahan garis pantai, antara lain abrasi dan sedimentasi akibat arus pasang akibat banjir serta perubahan arus aliran sungai. Faktor-faktor utama yang mempengaruhi perubahan garis pantai adalah : Faktor Hidro-Oseanografi Perubahan garis pantai terjadi bila proses geomorfologi yang terjadi pada setiap bagian pantai melebihi proses yang biasanya terjadi yang meliputi : 1. Gelombang Yang Dibangkitkan Oleh Angin Gelombang terjadi melalui proses pergerakan massa air yang dibentuk oleh hembusan angin secara tegak lurus terhadap garis pantai (Gambar 3). Dahuri, et al (2004) menyatakan bahwa gelombang yang pecah di daerah pantai merupakan salah satu penyebab utama terjadinya proses abrasi dan sedimentasi di pantai. 5 Gambar 3. Definisi Gelombang (Sorensen, 1978) Gelombang yang merambat dari laut dalam menuju pantai mengalami perubahan bentuk karena pengaruh perubahan kedalaman laut. Berkurangnya kedalaman laut menyebabkan semakin berkurangnya panjang gelombang dan bertambahnya tinggi gelombang. Pada saat kemiringan gelombang (perbandingan antara tinggi dan panjang gelombang) mencapai batas maksimum maka gelombang akan pecah. Gelombang yang dibangkitkan oleh angin penting sebagai perantara transfer energi. Gelombang memperoleh energi dari angin, mentransfernya di atas lautan, lalu membawanya ke zona pantai sehingga menjadi penyebab utama abrasi atau

20 6 dapat membangkitkan berbagai arus di dekat pantai dan transpor sedimen. Pembangkitan utama gelombang oleh angin dipengaruhi oleh kecepatan angin, lamanya angin bertiup (durasi), dan fetch. Semakin lama angin berhembus, maka semakin besar jumlah energi yang ditransfer ke gelombang yang sedang tumbuh. Fetch adalah panjang permukaan laut yang langsung dipengaruhi oleh angin saat kecepatan dan arah angin konstan. Semakin besar daerah fetch maka semakin besar potensi energi gelombang yang didapatkan (Komar, 1983). 2. Transformasi Gelombang Gelombang yang merambat dari perairan dalam ke perairan dangkal mengalami refraksi, pendangkalan (shoaling), difraksi, disipasi akibat friksi, disipasi akibat penapisan (percolation), gelombang pecah, penambahan gelombang tumbuh, interaksi gelombang-arus, dan interaksi gelombanggelombang (USACE, 2002). Menurut Dally (2005), fenomena refraksi dan pendangkalan gelombang (wave shoaling) merupakan fenomena paling penting dalam transformasi gelombang di dekat pantai. Refraksi dan pendangkalan dapat mempengaruhi besarnya tinggi gelombang pada kedalaman tertentu dan distribusi energi gelombang di sepanjang pantai. Perubahan arah gelombang karena proses refraksi, akan menghasilkan suatu daerah energi gelombang konvergen (penguncupan) atau divergen (penyebaran) yang berpengaruh terhadap struktur pantai (Gambar 4). Deskripsi umum kedalaman perairan pantai dapat diperoleh melalui analisis pola refraksi gelombang (USACE, 1984). (a) (b) (c) (d) Gambar 4. Refraksi Gelombang Pada Berbagai Bentuk Tipe Kontur Garis Pantai (a) Kontur Lurus dan Sejajar; (b) Gabungan Antara Submarine Ridge dan Submarine Canyon; (c); Submarine Ridge dan (d) Submarine Canyon

21 Saat bergerak mendekati pantai, kecuraman gelombang meningkat seiring dengan berkurangnya kedalaman. Meningkatnya kecuraman (H/L) ditandai dengan berkurangnya panjang gelombang (L) dan meningkatnya tinggi gelombang (H). Saat mencapai batas kecuraman, gelombang akan pecah, membaurkan energi dan menyebabkan arus di dekat pantai (nearshore current), serta kenaikan muka air (USACE, 2003). Dally (2005) menyebutkan bahwa ketika kedalaman perairan menjadi terlalu dangkal untuk menahan tinggi pertumbuhan gelombang, gelombang menjadi tidak stabil dan kemudian pecah (Gambar 5). 7 Gambar 5. Penampang Melintang Zona Dekat Pantai Yang Menggambarkan Transformasi Gelombang (Dally, 2005). Menurut Sorensen (1978), angin yang bertiup terus menerus sepanjang pantai akan membangkitkan arus sepanjang pantai. Arus yang paling dominan adalah arus di zona selancar yang dibangkitkan oleh gelombang pecah yang membentuk sudut terhadap garis pantai. Gambar 5 menunjukkan skema zona foreshore-nearshore. Gelombang yang bergerak mendekati garis pantai dengan sudut tertentu, pecah, dan mendaki muka pantai serta membangkitkan arus menyusur pantai. Gelombang pecah membentuk sudut terhadap garis pantai, membawa partikel sedimen naik dan gaya gravitasi membawanya turun dari muka pantai. Transpor ini membentuk pola zig-zag seperti yang ditunjukkan pada Gambar 6 (Sorensen, 1978). Gambar 6. Gelombang Yang Membangkitkan Arus Menyusur Pantai (Sorensen, 1978)

22 8 3. Pasang Surut Pasang surut adalah fluktuasi muka air laut yang disebabkan oleh gaya tarik benda-benda di langit, terutama matahari dan bulan terhadap massa air laut di bumi. Meskipun massa bulan jauh lebih kecil dari massa matahari, tetapi karena jaraknya terhadap bumi jauh lebih dekat, maka pengaruh gaya tarik bulan terhadap bumi lebih besar dari pada pengaruh gaya tarik matahari. Gaya tarik bulan yang mempengaruhi pasang surut adalah 2,2 kali lebih besar dari gaya tarik matahari (Triatmodjo, 1999). Pasang surut sangat penting artinya di dalam perencanaan bangunan pantai. Elevasi muka air tertinggi (pasang) dan terendah (surut) sangat penting untuk merencanakan puncak dari bangunan tersebut. Mengingat elevasi muka air laut yang selalu berubah setiap saat, maka diperlukan suatu elevasi yang ditetapkan berdasarkan data pasang surut, yang dapat digunakan sebagai pedoman di dalam perencanaan suatu bangunan pantai. Beberapa elevasi tersebut adalah sebagai berikut : 1. Muka air tinggi (high water level/hwl), yaitu muka air tertinggi yang dicapai pada saat air pasang dalam satu siklus pasang surut. 2. Muka air rendah (low water level/lwl), yaitu kedudukan air terendah yang dicapai pada saat air surut dalam suatu siklus pasang surut. 3. Muka air tinggi rata-rata (mean high water level/mhwl), yaitu rata-rata dari muka air tinggi selama periode 19 tahun. 4. Muka air rendah rata-rata rata (mean low water level/mlwl), yaitu rata-rata dari muka air rendah selama periode 19 tahun. 5. Muka air rata-rata (mean sea level/msl), yaitu muka air rata-rata antara muka air tinggi rata-rata dan muka air rendah rata-rata. Digunakan sebagai referensi untuk elevasi daratan. 6. Muka air tinggi tertinggi (highest high water level/hhwl), yaitu air tertinggi pada saat pasang surut purnama atau bulan mati. 7. Muka air terendah (lowest low water level/llwl), yaitu air terendah pada saat pasang surut purnama atau bulan mati. Faktor Antropogenik Ada beberapa kegiatan manusia yang berpotensi menimbulkan perubahan garis pantai antara lain: 1. Penambangan pasir di perairan pantai (Gambar 7), mengakibatkan perubahan kedalaman sehingga dapat merubah pola arus dan gelombang pecah akan mendekati garis pantai yang masih memiliki daya rusak yang cukup besar. 2. Pengambilan pelindung pantai alami, yaitu penebangan tumbuhan pelindung pantai, seperti hutan mangrove dan terumbu karang 3. Pembuatan bangunan yang menjorok kearah laut, sehingga mengganggu keseimbangan transport sedimen di sepanjang pantai Pembukaan tambak yang tidak memperhatikan kondisi dan lokasi, terutama yang terlalu dekat dengan garis pantai, sehingga mengakibatkan terjadi abrasi pantai oleh hempasan gelombang dan gerakan arus pasang surut

23 9 Gambar 7. Aktifitas Penambangan Pasir Laut Yang Dapat Mempercepat Proses Abrasi Pantai Perubahan Garis Pantai Pendekatan umum untuk membangun model komputer perubahan garis pantai hampir serupa dengan model komputer dari aliran air yang telah banyak digunakan. Persamaan kontinuitas untuk air digantikan dengan hubungan kontinuitas yang serupa untuk pasir sehingga menjaga arah volume atau massa pasir total dan memastikan bahwa tidak ada penambahan atau pengurangan yang luar biasa (Komar, 1983). Citra Landsat merupakan satelit sumberdaya bumi yang awalnya bernama ERTS-1 (Earth Resources Technology Satellite) yang peluncuran pertama kalinya pada tanggal 23 Juli 1972 dan mengorbit sampai 6 Januari Satelit ini mengorbit mengelilingi bumi selaras matahari (sun-synchronous). Tepat sebelum peluncuran ERTS-B pada tanggal 22 Juli 1975, NASA (National Aeronautic and Space Administration) secara resmi menangani program ERTS dan mengubahnya menjadi program Landsat (untuk membedakan dengan program satelit oseanografi Seasat yang telah direncanakan) sehingga ERTS-1 dan ERTS-B menjadi Landsat 1 dan Landsat 2 (Purwadhi, 2001). Citra Landsat TM merupakan hasil rekaman sensor Thematic Mapper yang dipasang pada satelit Landsat 4 dan Landsat 5. Landsat ETM+ didapat hasil dari satelit Landsat 7 yang merupakan keberlanjutan (continuity) dari program Landsat 4 dan 5, karena program Landsat 6 gagal mencapai orbit. Karakteristik kedua citra ini ditunjukkan pada Tabel 1. Tabel 1. Karakteristik Citra Landsat TM dan ETM+ Kanal Spektrum Panjang Resolusi Spektral Gelombang Landsat TM Landsat ETM+ 1 Sinar tampak violet-biru 0,45-0,52 30m x 30m 30m x 30m 2 Sinar tampak hijau 0,52-0,60 30m x 30m 30m x 30m 3 Sinar tampak merah 0,63-0,69 30m x 30m 30m x 30m 4 Infra merah dekat 0,76-0,90 30m x 30m 30m x 30m 5 Infta merah menengah 1,55-1,75 30m x 30m 30m x 30m 6 Infra merah thermal 10,40-12,50 120m x 120m 60m x 60m 7 Infra merah jauh 2,08-2,35 30m x 30m 30m x 30m 8 Pankromatik 0,5-0,90 Tidak ada 15m x 15m (Sumber : Purwadhi, 2001; NASA, 2005)

24 10 Penelitian tentang perubahan garis pantai telah banyak dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Komar (1983), membuat contoh model perubahan garis pantai akibat struktur pantai. Perhitungan angkutan sedimen berdasarkan pada fluks energi, hanya memperhitungkan gelombang dari satu arah. Garis pantai dari arah datang gelombang (sisi hulu jetti) mengalami sedimentasi (akresi) sedangkan pada sisi lain (hilir jetti) mengalami abrasi. Triwahyuni (2009), melakukan penelitian perubahan garis pantai di pantai timur Tarakan Kalimantan Timur, dengan mengembangkan model perubahan garis pantai yang dimodifikasi dari model yang dibuat oleh Komar (1983). Perubahan garis pantai yang ditimbulkan oleh gelombang pecah yang dibangkitkan oleh angin menuju pantai selama 10 tahun yaitu tahun adalah garis pantai mengalami sedimentasi lebih tinggi di Utara dibandingkan di Selatan karena arah angkutan sedimen sepanjang pantai menuju Utara. Hasil simulasi model memberikan gambaran perubahan garis pantai yang mengikuti pola garis pantai hasil citra. Selain itu Triwahyuni (2010), juga memperoleh hasil bahwa pada daerah yang terdapat sungai dan intervensi manusia hasil model dan hasil citra tidak sama. Kondisi ini terjadi karena faktor masukan sedimen dari sungai dan intervensi manusia tidak diperhitungkan dalam pengembangan model. Fitrianto (2010), membuat model perubahan garis pantai sekitar jetti di Pelabuhan Pendaratan Ikan (PPI) Glayem-Juntinyuat, Kabupaten Indramayu. Perhitungan transformasi gelombang menggunakan program STWave, angkutan sedimen dan perubahan garis pantai dihitung menggunakan persamaan Komar (1983). Perubahan garis pantai terjadi di sekitar jetti yang ditunjukkan dengan semakin majunya muka pantai ke arah laut di sebelah tenggara jetti sejauh 140 m dan semakin berkurangnya muka pantai (abrasi) di sebelah barat laut jetti sejauh 35 m. Hal ini terjadi akibat gelombang dan arus sepanjang pantai yang bergerak dari tenggara menuju ke barat laut yang dibangkitkan oleh angin dominan berasal dari timur dan tenggara, sehingga angkutan sedimen dominan ke barat laut. Sunday & John (2006) melakukan penelitian tentang perubahan garis pantai di Pulau Victoria, Nigeria menggunakan citra satelit tahun 1986, 1990, 1995 dan Berdasarkan hasil overlay garis pantai tersebut menunjukkan bahwa laju abrasi setiap tahun berkisar antara 1,53 22,29 m. Hal yang sama juga dilakukan oleh Alphan (2005) di Delta Cukurova, Pantai Tenggara Mediterrania, Turkey dengan menggunakan citra Landsat MSS dan ETM tahun 1972 dan Hasil overlay garis pantai tahun 1972 dan 2002 menunjukkan bahwa akresi dan abrasi terjadi sekitar muara sungai. Telah terjadi abrasi sebesar 153 ha dan akresi sekitar 203 ha di muara Sungai Seyhan. Purba dan Jaya (2004), melakukan penelitian tentang perubahan garis pantai dan penutupan lahan di pesisir Lampung Timur dengan menggunakan citra Landsat-TM tahun 1991, 1999, 2001 dan Perubahan garis pantai dan karakteristik gelombang tergantung pada kekuatan angin yang bertiup. Bagian pantai yang mempunyai tonjolan, disisi hilir dari arah arus menyusur pantai yang umumnya dominan ke utara menyebabkan terjadinya abrasi. Hasil gerusan ini diangkut ke sisi utara dalam proses littoral drift kemudian diendapkan pada bagian tertentu sehingga terjadi proses sedimentasi. Hakim et al (2014) melakukan penelitian tentang perencanaan perlindungan terhadap Pantai Sayung, Demak. Analisis dilakukan terhadap pasang

25 surut, pembangkitan gelombang oleh angin, morfologi pantai, dan geologi teknik. Digunakan empat alternatif bangunan pelindung yaitu breakwater, revetment, groin, dan kombinasi. Alternatif bangunan pelindung dianalisa berdasarkan morfologi pantai, fungsi, nilai ekonomi, dan kemudahan pelaksanaan. Alternatif terbaik untuk perlindungan Pantai Sayung, Demak yaitu bangunan pelindung kombinasi revetment dan breakwater. Revetment sepanjang 2,3 km di bangun pada sisi bagian barat dan breakwater sebanyak 3 buah dengan panjang masingmasing 100 m dan celah 40 m di sisi bagian timur pada lokasi studi. Cempaka (2012) melakukan penelitian tentang perencanaan pemecah gelombang Pelabuhan Perikanan Pondok Mimbo Situbondo, Jawa Timur. Pelabuhan Perikanan Pondok Mimbo memiliki tinggi gelombang pada kolam pelabuhan setinggi 2,4 meter yang melebihi syarat (0,3 meter) sehingga membutuhkan sebuah pemecah gelombang (breakwater) untuk meredam tinggi gelombang datang. Perencanaan breakwater dibagi menjadi perencanaan layout dan perencanaan dimensi. Berdasarkan hasil perencanaan, diperoleh breakwater rencana dengan tipe Rubble mounds batu pecah (batu alam) berdinding miring. Breakwater rencana merupakan perpotongan dua lingkaran yaitu lingkaran berjari-jari 202,5 meter dengan pusat BM 1 dan lingkaran berjari-jari 172,5 meter dengan pusat BM 2 dengan kedalaman lokasi rencana 0,5 LWS. Panjang breakwater sebelah barat (BWB) x adalah 230 meter dan breakwater sebelah timur (BWT) adalah 372 meter dengan lebar puncak 3 meter, tinggi bangunan 6,5 meter serta kemiringan 1 : 1,5. Sakka (2012) membuat model perubahan garis pantai di sekitar delta Sungai Jeneberang, Makassar, Sulawesi Selatan yang mengkaji karakteristik gelombang laut lepas, transformasi gelombang, besar angkutan sedimen dan memprediksi laju perubahan garis pantai delta Sungai Jeneberang dengan menggunakan model dan dibandingkan dengan hasil citra satelit. Setyandito dan Triyanto (2007) menganalisis abrasi dan garis pantai pada pantai pasir buatan dan sekitarnya di Takisung, Provinsi Kalimantan Selatan. Hasil analisa data dan perhitungan bobot kriteria kerusakan diperoleh bahwa terjadi perubahan bentuk garis pantai yang tidak maksimal sehingga bentuk yang ada tidak sesuai desain pantai pasir buatan yang direncanakan. Hal ini terjadi karena fungsi groin yang ada tidak maksimal dan terjadinya abrasi pada pantai pasir buatan dan sekitarnya. Wahyuningsih et al (2012) menganalisis perubahan garis pantai di Teluk Pacitan, Kabupaten Pacitan. Jawa Timur. Analisa perubahan garis pantai dilakukan dengan menggunakan bantuan software CEDAS (Coastal Engineering Design and Analysis System) sub program NEMOS. Berdasarkan hasil simulasi perubahan garis pantai selama 10 tahun ( ) Teluk Pacitan mengalami abrasi. Dengan rata-rata transpor sedimen kotor (Qg) per tahun m 3 dan m 3 untuk transpor sedimen bersih (Qn). Serta hasil simulasi prediksi perubahan garis pantai setiap tahun selama 9 tahun ( ) adalah pantai mengalami abrasi dengan abrasi terluas pada tahun 2016, yaitu seluas m 2 dan lahan terakresi seluas m 2. Pandjaitan (2005) melakukan pengujian efektivitas sistem perlindungan pantai Nusa Dua Bali dengan menggunakan paket program GENESIS. Di Pantai Nusa Dua Bali, terjadi angkutan sedimen litoral sebesar m 3 per tahun sehingga mengakibatkan mundurnya garis pantai Nusa Dua Bali. Dari hasil 11

26 12 simulasi pemodelan dengan periode 10 dan 20 tahun masih terjadi abrasi di beberapa lokasi. Untuk penanggulangan lokasi yang terabrasi disarankan dengan melaksanakan pengisian pasir secara kontinyu. Hidayah (2012) menganalisa perubahan garis Pantai Jasri, Kabupaten Karangasem, Bali menggunakan software GENESIS. Berdasarkan hasil pemodelan terjadi kegagalan struktur eksisting dimana terjadi kemunduran garis pantai secara signifikan pada pias 570 sepanjang 13,48 m selama 10 tahun, dan terjadi abrasi pada pias sebesar m 3 serta pada pias sebesar m 3. Total sedimen transport yang terjadi selama 10 tahun adalah sebesar ,40 m 3 pada kondisi adanya eksisting. Setelah dilakukannya penambahan revetment, pada pias terjadi pengurangan abrasi yang awalnya m 3 menjadi m 3 dan pada pias terjadi penambahan sedimen sebesar m 3 dan total sedimen transport yang terjadi selama 10 tahun terdapat pengurangan sebesar ,40 m 3. Program GENESIS menggambarkan posisi garis pantai pada awal simulasi dan posisi garis pantai setelah beberapa tahun simulasi dengan atau tanpa bangunan pelindung pantai. Untuk dapat menggunakan GENESIS, sebelumnya harus melewati beberapa tahap terlebih dahulu, seperti Grid Generator, WWWL Data (Wind, Wave and Water Level Data), WISPH3, dan WSAV (Wave Station Analysis and Visualization). Dari analisis perubahan garis pantai dengan atau tanpa bangunan pelindung pantai. Garis pantai yang paling stabil diperoleh dengan jalan mengubah-ubah konfigurasi bangunan pelindung pantai yang direncanakan. Kemampuan dan keterbatasan GENESIS adalah sebagai berikut: Kemampuan: 1. Dapat digunakan kombinasi yang berubah-ubah dari groin, jetty, breakwater, seawall dan beach fills. 2. Dapat memperhitungkan akibat bentuk-bentuk groin, misal bentuk T, Y atau campuran. 3. Dapat meliputi area yang luas. Panjang garis pantai yang disimulasi antara 2-35 km dengan jarak antar grid m. 4. Dapat mengetahui difraksi gelombang yang terjadi pada breakwater, jetty dan groin. 5. Periode simulasi antara 6 bulan - 20 tahun 6. Interval data gelombang yang digunakan (30 menit - 6 Jam) Keterbatasan: 1. Hanya dapat digunakan untuk meramalkan perubahan garis pantai yang diakibatkan oleh struktur pantai dan perubahan akibat gelombang. 2. Tidak memperhitungkan adanya refleksi gelombang dari bangunan pantai. 3. Tidak dapat menghitung perubahan akibat terjadinya badai. 4. Tidak dapat mensimulasikan adanya tombolo pada breakwater. 5. Efek pasang surut terhadap perubahan garis pantai tidak dapat diperhitungkan. Menurut Triatmodjo (1999), bangunan pantai digunakan untuk melindungi pantai terhadap kerusakan karena serangan gelombang dan arus. Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk melindungi pantai yaitu : 1. Memperkuat atau melindungi pantai agar mampu menahan serangan gelombang 2. Mengubah laju transpor sedimen sepanjang pantai

27 3. Mengurangi energi gelombang yang sampai ke pantai 4. Reklamasi dengan menambah suplai sedimen ke pantai atau dengan cara lain Sesuai dengan fungsinya, bangunan pantai diklasifikasikan menjadi 3 kelompok, yaitu : 1. Konstruksi yang dibangun di pantai dan sejajar dengan garis pantai, misalnya dinding pantai (revetment) dan tembok laut (seawall) 2. Konstruksi yang dibangun kira-kira tegak lurus pantai dan tersambung ke pantai, misalnya groin dan jetty. 3. Konstruksi yang dibangun di lepas pantai dan kira-kira sejajar garis pantai, misalnya pemecah gelombang/breakwater. Dinding Pantai (Seawall) Dinding pantai adalah bangunan yang memisahkan daratan dan perairan pantai, yang terutama berfungsi sebagai pelindung pantai terhadap abrasi dan limpasan gelombang (overtopping) ke darat. Daerah yang dilindungi adalah daratan tepat di belakang bangunan. Dinding pantai biasanya berbentuk dinding vertikal, ditempatkan sejajar atau hampir sejajar dengan garis pantai, dan bisa terbuat dari pasangan batu, beton, tumpukan pipa beton, turap, kayu atau tumpukan batu (Triatmodjo,1999). Dalam perencanaan dinding pantai perlu ditinjau fungsi dan bentuk bangunan, lokasi, panjang, tinggi, stabilitas bangunan dan tanah pondasi, elevasi muka air baik di depan maupun di belakang bangunan, ketersediaan bahan bangunan dan sebagainya. Pada perencanaan bangunan pantai perlu diperhatikan stabilitas dinding pantai. Dinding pantai harus dicek terhadap stabilitas guling dan geser. Bila stabilitas geser belum memenuhi, diberikan sepatu di tengah atau di ujung tumitnya. Agar fasilitas yang ada di balik tembok laut dapat aman, biasanya dinding pantai direncanakan tidak boleh overtopping. Dinding pantai ada dua macam, yaitu dinding pantai masif dan tidak masif. Dinding pantai masif biasanya dibuat dari konstruksi beton atau pasangan batu. Sedangkan tembok laut tidak masif berupa tumpukan batu (rubble mound). Seawall merupakan bangunan yang digunakan untuk melindungi struktur pantai dari bahaya abrasi/abrasi dan gelombang kecil. Seawall dibangun pada sepanjang garis pantai yang diprediksikan mengalami abrasi yang dimaksudkan untuk melindungi pantai dan daerah dibelakangnya dari serangan gelombang yang dapat mengakibatkan abrasi dan limpasan gelombang. a. Kelebihan : 1. Pada seawall dengan dinding vertikal pemakaian material relatif sedikit 2. Seawall dengan dinding miring mempunyai bidang kontak dengan tanah dasar yang luas sehingga tidak membutuhkan kondisi tanah dasar yang prima 3. Konstruksi relatif murah dan pembangunannya relatif mudah 4. Seawall dengan sisi tegak dapat dimanfaatkan sebagai dermaga b. Kelemahan : 1. Pembangunan seawall dinding tegak pada tanah lunak memerlukan perbaikan tanah atau pemakaian pondasi tiang pancang 2. Pada seawall dinding miring harus diperhatikan tingginya rayapan gelombang yang terjadi, sehingga membutuhkan mercu bangunan yanglebih tinggi 13

28 14 3. Harus diperhatikan kemungkinan terjadinya abrasi di kaki bangunan 4. Kurang kuat untuk menahan gelombang yang cukup besar Groin (Groyne) Menurut Triadmodjo (1999), groin adalah bangunan pelindung pantai yang biasanya dibuat tegak lurus garis pantai dan berfungsi untuk menahan transpor sedimen sepanjang pantai sehingga bisa mengurangi atau menghentikan abrasi yang terjadi. Groin hanya bisa menahan transpor sedimen sepanjang pantai. Kriteria perencanaan groin yang baik adalah sebagai berikut: 1. Groin dibuat sepanjang 40% sampai dengan 60% dari lebar surf zone 2. Tinggi groin berkisar antara cm di atas elevasi rencana. 3. Jarak groin pada pantai berkerikil biasanya diambil 1-3 dari panjang groin 4. Elevasi puncak groin dapat diambil di bawah muka air tertinggi. Struktur groin dibagi menjadi 2 bagian yaitu difracting dan nondifracting. Groin non-difracting biasanya memiliki panjang yang relatif lebih pendek jika dibandingkan dengan groin difracting. Panjang groin akan efektif menahan sedimen apabila bangunan tersebut menutup lebar surfzone. Namun keadaan tersebut dapat mengakibatkan suplai sedimen ke daerah hilir terhenti sehingga dapat mengakibatkan abrasi di daerah hilir. Panjang groin dibuat 40% sampai dengan 60% dari lebar surfzone dan jarak antar groin adalah 1-3 panjang groin. Groin memiliki kelebihan dan kekurangan sebagai berikut : a. Kelebihan : 1. Mampu menahan transpor sedimen sepanjang pantai. 2. Groin tipe T dapat digunakan sebagai inspeksi dan untuk keperluan wisata. b. Kelemahan : 1. Pembangunan groin pada pantai yang terabrasi akibat onshore offshore transport dapat mempercepat abrasi tersebut. 2. Perlindungan pantai dengan groin dapat menyebabkan abrasi di daerah hilir. Pemecah Gelombang (Breakwater) Pemecah gelombang (breakwater) adalah pemecah gelombang yang ditempatkan secara terpisah-pisah pada jarak tertentu dari garis pantai dengan posisi sejajar pantai. Struktur pemecah gelombang ini dimaksudkan untuk melindungi pantai dari hantaman gelombang yang datang dari arah lepas pantai (Triatmodjo, 1999). Breakwater biasanya digunakan untuk melindungi daerah perairan dari gangguan gelombang yang dibedakan menjadi dua macam yaitu pemecah gelombang sambung pantai dan lepas pantai. Tipe pertama digunakan untuk perlindungan perairan pelabuhan sedang tipe kedua untuk perlindungan pantai terhadap abrasi/abrasi. Prinsip kerja dari breakwater adalah dengan memanfaatkan difraksi gelombang. Akibat adanya difraksi gelombang akan menimbulkan pengaruh terhadap angkutan sedimen yang dibawa, salah satunya dengan terbentuknya tombolo di belakang posisi breakwater. Penentuan panjang breakwater didasarkan pada tujuan pembentukan garis pantai yang diinginkan, yaitu tombolo atau salient. Tombolo adalah sedimentasi yang terbentuk tepat di belakang bangunan breakwater. Tombolo terjadi apabila jarak antara pemecah gelombang dengan garis pantai lebih kecil dibandingkan panjang pemecah gelombang. Salient adalah sedimentasi yang terbentuk pada garis pantai.

29 Breakwater memiliki kelebihan dan kekurangan (Triadmodjo,1999): a. Kelebihan : 1. Tidak dibangun sepanjang garis pantai yang akan dilindungi sehingga volume bahan yang lebih sedikit. 2. Berfungsi juga untuk mengurangi ketinggian dan meredam energi gelombang. 3. Berfungsi untuk menahan laju sedimen ke arah laut. b. Kelemahan : 1. Proses pembangunan relatif lebih sulit dikarenakan pembangunan dilakukan terpisah dari pantai sehingga membutuhkan teknik khusus guna menempatkan peralatan konstruksi. 2. Membutuhkan waktu agar dapat bekerja sesuai dengan fungsinya karena harus menunggu terjadinya tombolo/salient. 3. Merupakan konstruksi berat sehingga biaya pembangunannya mahal. 4. Karena biayanya yang mahal, konstruksi ini jarang digunakan untuk perlindungan pantai. Perlindungan pantai dengan cara lain dapat dilakukan dengan soft solution. Cara soft solution (non struktur) dapat berupa penanaman pohon bakau (mangrove), pengisian pasir pada pantai (sand nourishment), pemeliharaan terumbu karang dan gundukan pasir (dunes) di pinggir pantai. Cara hard solution (struktur) penanganan dengan jalan membuat struktur bangunan pelindung pantai, seperti dinding pantai (seawall), groin, jetty atau pemecah gelombang (breakwater). Penanaman Tumbuhan Pelindung Pantai Penanaman tumbuhan pelindung pantai (bakau, nipah dan pohon api-api) dapat dilakukan terhadap pantai berlempung, karena pada pantai berlempung pohon bakau dan pohon api-api dapat tumbuh dengan baik tanpa perlu perawatan yang rumit. Pohon bakau dan pohon api-api dapat mengurangi energi gelombang yang mencapai pantai sehingga pantai terlindung dari serangan gelombang. Penanaman pohon bakau juga dapat mempercepat pertumbuhan pantai karena akar-akar pohon bakau akan menahan sedimen/lumpur yang terbawa arus sehingga akan terjadi pengendapan di sekitar pepohonan bakau. Pohon bakau juga dapat berfungsi sebagai tempat berlindung biota laut dan ikan, sehingga dapat melestarikan kehidupan di sekitar pantai. Pohon bakau juga berfungsi sebagai penghasil oksigen dan sebagai penyeimbang untuk kelestarian lingkungan pantai. Agar dapat berfungsi dengan efektif diperlukan banyak bibit pohon bakau dan diperlukan area yang sangat luas untuk pelestarian pohon bakau. Perawatan pada masa-masa awal penanaman bakau juga diperlukan, karena pohon bakau memerlukan waktu yang lama agar dapat berfungsi dengan baik sebagai penahan gelombang. Untuk itu diperlukan perencanaan yang matang dan terpadu mulai menanam, memelihara dan perawatan tanaman bakau. Pengisian Pasir (Sand Nourishment) Perlindungan pantai dengan sand nourishment dipilih berdasar pertimbangan kesesuaian dan keharmonisan dengan lingkungan. Metode sand nourishment biasanya memerlukan biaya investasi lebih murah dibandingkan metode lainnya, tetapi biaya operasi dan perawatannya relatif lebih mahal. Prinsip kerja sand nourishment yaitu dengan menambahkan suplai sedimen ke daerah 15

30 16 pantai yang potensial akan terabrasi. Penambahan sedimen dapat dilakukan dengan menggunakan bahan dari laut maupun dari darat, tergantung ketersediaan material dan kemudahan transportasi. Suplai sedimen berfungsi sebagai cadangan sedimen yang akan dibawa oleh badai (gelombang yang besar) sehingga tidak mengganggu garis pantai. Diusahakan kualitas pasir urugan harus lebih baik atau sama dengan kualitas pasir yang akan diurug atau diameter pasir urugan diusahakan lebih besar atau sama dengan diameter pasir asli. Sand nourishment merupakan cara yang cukup baik dan tidak memberikan dampak negatif pada daerah lain, namun perlu dilakukan secara terus-menerus sehingga memerlukan biaya perawatan yang mahal. Mengingat biaya operasional yang mahal maka sand nourishment hanya dilakukan jika memberikan keuntungan yang cukup besar seperti pantai untuk pariwisata METODE Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Pantai Muara Gembong, Bekasi yang terletak pada posisi 06º00-06º05 Lintang Selatan dan 106º57-107º02 Bujur Timur dengan luas wilayah km 2 (Gambar 8). Penelitian dilaksanakan dari bulan Juli 2013 Desember Metode Pengumpulan Data Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder yang diperoleh dari instansi terkait. Data primer yang dikumpulkan adalah morfologi pantai dan sedimen. Jenis dan sumber data yang digunakan selengkapnya disajikan pada Tabel 2. Tahapan pelaksanaan penelitian disajikan pada Gambar 9. Tabel 2. Jenis dan Sumber Data No Jenis data Sumber 1 Morfologi pantai dan sedimen Pengukuran di lapangan 2 Pasang surut dan bathimetri Dinas Hidro Oseanografi, Jakarta 3 Citra Landsat Southeast Asean Minister Of Education Organization Biology Trophical, Bogor 4 Arah dan kecepatan angin Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika, Jakarta 5 Peta Rupa Bumi Indonesia Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional, Bogor Data pasang surut digunakan untuk mengetahui tinggi muka air laut ratarata (MSL=Mean Sea Level) yang akan digunakan dalam penentuan tinggi bangunan pelindung pantai. Data pasang surut juga digunakan untuk koreksi garis pantai terhadap hasil citra. Data bathimetri digunakan untuk menentukan kedalaman lokasi penelitian dan hubungannya dengan gelombang pecah. Berdasarkan Citra Landsat dari SEAMEO BIOTROP, Bogor ditentukan garis pantai. Garis pantai dari citra tahun 2003 digunakan sebagai garis pantai awal, sedangkan garis pantai pada citra tahun 2012 sebagai garis pantai akhir.

31 17 Gambar 8. Peta Lokasi Penelitian Data arah dan kecepatan angin dari BMKG yang digunakan adalah data angin harian rata-rata selama tahun Arah angin digunakan untuk menentukan arah datang gelombang, sedangkan kecepatan angin dan panjang fetch digunakan untuk menghitung tinggi gelombang di laut lepas. Selanjutnya tinggi gelombang di laut lepas digunakan untuk mengetahui karakteristik gelombang pecah. Berdasarkan data tersebut maka angkutan sedimen dapat dihitung dan prediksi perubahan garis pantai dapat dilakukan. Peta Rupa Bumi Indonesia yang diperoleh dari Bakosurtanal digunakan untuk menentukan fetch sehingga kemudian dapat diprediksi gelombang laut lepas. Metode Pengolahan Data Prediksi gelombang dilakukan dengan menggunakan data angin karena gelombang tidak diukur langsung di lapangan. Menurut Komar (1983), pembangkitan utama gelombang oleh angin dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu: kecepatan angin, lamanya angin berhembus (durasi) dan daerah fetch. Sehingga perlu dilakukan koreksi-koreksi sebagai berikut: a). Koreksi data angin Perhitungan gelombang dilakukan setelah dilakukan beberapa koreksi : - Koreksi ketinggian Untuk kecepatan angin, koreksi ketinggian diukur pada ketinggian 10 m. Koreksi ketinggian dapat dilakukan dengan menggunakan persamaan (USACE, 2003): (1)

32 18 Pengumpulan dan Pengolahan Data Bathimetri Peta RBI Angin Pasang Surut Citra Landsat Fetch Gelombang Perubahan Tinggi Muka Air Laut Rata-Rata Perubahan Garis Pantai Garis Pantai Citra 2003 dan 2012 Alternatif Penanggulangan Overlay Bangunan Pelindung Pantai Groin Seawall Breakwater Bangunan Pantai Terbaik Dimensi dan RAB Gambar 9. Bagan Alir Pengumpulan dan Pengolahan Data Alternatif Bangunan Penanggulangan Abrasi - Koreksi rata-rata kecepatan angin untuk durasi 1 jam Koreksi ini dilakukan untuk mengkoreksi durasi angin rata-rata observasi dengan durasi angin yang digunakan untuk peramalan gelombang. Koreksi ini dapat dilakukan dengan menggunakan Gambar 10 atau dengan menggunakan persamaan (USACE, 2003): t = 3600/U f, bila U f dalam mile/jam (2) t = 1609/U f :, bila U f dalam m/det (3) U f 45 C 1,277 0,296 tanh{0,9log 10( )}; untuk t < 3600 (4) U 3600 t U C U f ,15log10t 1,5334; untuk 3600<t< (5) U f U3600 (6) C Dimana t = durasi angin dalam detik; U f = kecepatan angin sebelum koreksi durasi; dan U 3600 = kecepatan angin dalam 1 jam (setelah koreksi durasi). - Koreksi pengukuran kecepatan angin dari darat ke laut Dilakukan untuk data angin yang diukur di darat. Koreksi pengukuran angin dari darat ke laut dilakukan dengan menggunakan Gambar 11 untuk fetch cukup panjang (>10 mile).

33 19 Gambar 10. Durasi Angin Tercepat Sebagai Fungsi Dari Kecepatan Angin (Untuk Laut Terbuka) (USACE, 2003) Gambar 11. Hubungan Antara RL Dengan Kecepatan Angin Di Darat - Koreksi stabilitas Koreksi stabilitas dilakukan karena adanya perbedaan temperatur antara udara dan air laut. Untuk fetch lebih dari 16 km, diperlukan koreksi stabilitas. Kecepatan setelah koreksi didapat dari persamaan (USACE, 2003): Apabila hanya diketahui kondisi umum batas atmosfer, maka digunakan kategori stabil, netral dan tidak stabil. - Stabil: Bila udara lebih hangat dari laut: R T =0.9 - Netral: Bila suhu udara sama dgn suhu laut: R T =1.0 - Tidak Stabil: Bila suhu udara lebih dingin dari laut: R T =1.1 R T =U c /U w, U c =R T xu w. (7) Keterangan: U c : Kecepatan angin dengan pengaruh beda suhu udara-air laut U w : Kecepatan angin di lokasi awal Karena perbedaan temperatur antara udara dan air tidak diketahui, maka diasumsikan sebagai kondisi tidak stabil (R T = 1,1).

34 20 Gambar 12. Rasio Durasi Kecepatan Angin (U t ) Pada Kecepatan 1 Jam (U 3600 ) (USACE, 2003) b) Jarak Pembangkitan Gelombang (Fetch) Resio dan Vincent (1979) dalam USACE (2003) menyebutkan bahwa kondisi gelombang pada area fetch relatif tidak dipengaruhi oleh lebar fetch, sehingga tidak perlu digunakan untuk memprediksi fetch efektif. Apabila panjang fetch yang diperoleh lebih dari 200 km maka panjang fetch maksimum yang digunakan yaitu 200 km. Hal ini dilakukan karena angin konsisten hanya sampai 200 km. Jarak fetch ditentukan dengan menggunakan peta rupa bumi. c) Perhitungan Tinggi dan Periode Gelombang Tinggi dan periode gelombang di laut dalam diprediksi dari data kecepatan angin dengan menggunakan persamaan (USACE, 2003): 2 * Periode Gelombang gx, u* gh mo ; (8) u 1 0 gx 3,651 2 C u u D C D 0,001(1,1 0,35U 10 2 gt p u, 2 (9) U 10 ) (10) Dimana H mo = tinggi gelombang laut dalam; T p = periode gelombang laut dalam; X = jarak fetch dimana angin berhembus; U 10 = kecepatan angin pada ketinggian 10 m; U * = kecepatan friksi friction velocity ; C D = koefisien gesekan drag coefficient. Pada kondisi gelombang tumbuh sepenuhnya fully developed wave, perhitungan tinggi dan periode gelombang laut menggunakan persamaan: gh mo 2 2, (11) u gt p 2 2, (12) u

35 21 Transformasi Gelombang Gelombang yang bergerak menuju perairan dangkal akan mengalami transformasi yang disebabkan oleh perubahan kedalaman dan topografi dasar. Refraksi dan pendangkalan (shoaling) sederhana digunakan untuk membuat prediksi gelombang di dekat pantai (USACE, 2002). Ketika kedalaman perairan menjadi terlalu dangkal untuk menahan tinggi pertumbuhan gelombang, maka gelombang menjadi tidak stabil dan kemudian pecah. Beberapa parameter yang dihitung yaitu: a). Tinggi gelombang pecah Tinggi gelombang pecah pada penelitian ini dihitung dari hubungan antara tinggi gelombang di laut dalam terhadap indeks tinggi gelombang pecah: ' H H b ; (m) (13) b 0 Dimana H o = tinggi gelombang di laut dalam; b = indeks tinggi gelombang pecah (Komar dan Gaughan, 1973 dalam USACE, 2002) untuk teori gelombang linear yang dihitung dengan persamaan: 1 5 ' H 0 0,56 b (14) Lo H o = tinggi gelombang dalam ekuivalen. H o dihitung dengan menggunakan persamaan: ' H (15) 0 K rh0 Dimana Ho = tinggi gelombang di laut dalam; Kr = koefisien refraksi; Lo = panjang gelombang di laut dalam yang dapat diperoleh dengan menggunakan persamaan: (16) b). Kedalaman gelombang pecah, dihitung dengan persamaan: H b d b ; (m) (17) b Dimana H b = tinggi gelombang pecah; b = indeks kedalaman gelombang pecah. dihitung dengan menggunakan persamaan (Weggel 1972 dalam USACE, b L 2 gt 2 H 2002): b =b-a b (18) 2 gt a dan b merupakan fungsi kemiringan pantai (tan β) yang diberikan oleh persamaan: a= 43,75 (1-e -19 tan Ø ) dan b= 1,56(1-e -19 tan Ø ) -1 (19) H ' a dengan syarat nilai tan β 0,1 dan 0,06 Lo c). Sudut gelombang pecah Gelombang pecah dihitung dengan menerapkan prinsip refraksi cahaya, yaitu dengan menggunakan persamaan Snellius seperti pada Gambar 13 yang dapat dilihat bahwa pada saat kontur kedalaman berubah (do menjadi d1), maka terjadi perubahan kecepatan gelombang (Co menjadi C1). Perubahan ini juga menyebabkan berubahnya sudut datang gelombang terhadap pantai (αo menjadi α1). Hukum Snellius dapat ditulis dengan persamaan:

36 22 sin 1 sin 0 (20) C1 C0 Dimana 0 = sudut gelombang di laut dalam, C 0 = kecepatan gelombang di laut dalam, 1 = sudut gelombang pada kedalaman 1, C 1 = kecepatan gelombang pada kedalaman 1. Gambar 13. Refraksi gelombang ( ) (21) (22) = 1,56 T 2 (23) = 1,56 T (24) Diasumsikan bahwa kontur adalah lurus dan paralel, maka berlaku persamaan: konstan, maka : (25) Sudut gelombang pecah terjadi di perairan dangkal, persamaan yang berlaku adalah : (26) αb = sudut gelombang pecah; Cb = kecepatan gelombang pecah yang dapat diperoleh dengan menggunakan persamaan: = (27) dimana κ = indeks gelombang pecah breaker index besarnya adalah Hb/db atau setara dengan κ 0,78 untuk pantai landai dan meningkat sampai lebih dari 1 tergantung pada kemiringan pantai. (Weggel, 1972 dalam USACE, 2002). Untuk mengetahui tipe pasang surut yang terjadi di Muara Gembong, Bekasi maka dilakukan perhitungan dengan rumus sebagai berikut : (28)

37 Dimana: F = Bilangan Formzahl O 1 = Amplitudo komponen pasut tunggal utama yang disebabkan oleh gaya tarik bulan K 1 = Amplitudo komponen pasut tunggal utama yang disebabkan oleh gaya tarik bulan dan matahari M 2 = Amplitudo komponen pasut ganda utama yang disebabkan oleh gaya tarik bulan S 2 = Amplitudo komponen pasut ganda utama yang disebabkan oleh gaya tarik matahari Tipe pasang surut ditentukan oleh bilangan Formzahl (F) yang diperoleh dari hasil perhitungan dengan menggunakan persamaan 28. Jika bilangan Formzahl yang diperoleh adalah: 0,25 : tipe pasang surut harian ganda 0,26 1,50 : tipe pasang surut campuran condong ke harian ganda 1,50 3,00 : tipe pasang surut campuran condong ke harian tunggal > 3,00 : tipe pasang surut harian tunggal Data Citra Satelit Citra Landsat yang dianalisis adalah citra tanggal 3 Agustus 2003 sebagai kondisi awal dan Citra Landsat tanggal 14 Agustus Data citra digunakan sebagai data pendukung terhadap hasil pengolahan data secara numerik. Citra memperlihatkan terjadinya perubahan garis pantai secara visual sedangkan pengolahan data secara numerik dapat memperlihatkan perubahan garis pantai berdasarkan faktor alam yaitu gelombang. Pengolahan citra dilakukan dengan menggunakan program ArcGIS untuk dilakukan tumpang tindih (overlay) citra dan melihat luasan pantai yang mengalami abrasi atau abrasi sehingga dapat dilihat perubahan garis pantainya. Untuk mendapatkan perubahan garis pantai, dilakukan beberapa tahap yaitu: a. Komposit citra False Colour Composite (FCC) merupakan penajaman dengan menggunakan warna dalam meningkatkan kontras atau kualitas citra dengan menggabungkan tiga warna primer yaitu merah, hijau, dan biru (RGB). Pada Landsat, FCC yang digunakan dalam penentuan perubahan garis pantai merupakan kombinasi dari kanal 5, 4, dan 2. Hal ini dilakukan untuk memudahkan dalam membedakan obyek-obyek yang tampak pada citra. b. Digitasi Hasil komposit citra kemudian diekspor dan didigitasi menggunakan perangkat ArcGIS. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan keakuratan pada garis pantai (batas antara daratan dan lautan). c. Overlay Proses terakhir dalam pengamatan perubahan garis pantai yaitu proses tumpang tindih (overlay) hasil digitasi citra. Proses ini dilakukan untuk melihat perubahan luasan daratan yang ditandai dengan perubahan garis pantai. Proses overlay dilakukan dengan menggunakan program ArcGIS dengan cara tumpang tindih citra dari dua tahun yang berbeda sehingga terjadinya perubahan garis pantai dapat terlihat dengan jelas dalam bentuk poligon. 23

38 24 Analisis Perubahan Garis Pantai Model yang digunakan untuk mengevaluasi perubahan morfologi pantai adalah program GENESIS (Generalized Model for Simulating Shoreline Change) yang dikembangkan Dr. Hans Hanson dan Dr. N. C Kraus. Kegunaan model GENESIS adalah untuk mensimulasi transpor sedimen searah pantai dan perubahan garis pantai yang diakibatkannya. Program GENESIS menggambarkan posisi garis pantai pada awal simulasi dan posisi garis pantai setelah beberapa tahun simulasi dengan atau tanpa bangunan pelindung pantai. Garis pantai yang paling stabil diperoleh dengan jalan mengubah-ubah konfigurasi bangunan pelindung pantai yang direncanakan. GENESIS yang digunakan adalah GENESIS yang terdapat pada suatu program bernama CEDAS (Coastal Engineering Design & Analysis System). CEDAS adalah software yang terdiri dari beberapa jenis pilihan untuk menganalisis berbagai macam kasus yang berhubungan dengan pantai sesuai dengan kebutuhan (Hariyadi, 2011). Struktur Program GENESIS disajikan pada Gambar 14 dan penjelasannya adalah sebagai berikut: a. START.ext berisi konfigurasi model, proyek dan setup program. b. SHORL.ext berisi informasi hasil pengukuran posisi garis pantai awal simulasi. c. SHORM.ext berisi informasi hasil pengukuran posisi garis pantai pada suatu waktu tertentu (umumnya digunakan untuk kalibrasi). d. WAVES.ext berisi kondisi gelombang laut (perioda, tinggi, dan sudut gelombang) pada setiap tahapan waktu. e. SEAWL.ext berisi informasi mengenai posisi model bangunan pantai. f. NSWAV.ext berisi informasi sudut dan tinggi gelombang di garis acuan. g. DEPTH.ext berisi informasi kedalaman perairan di garis acuan sekitar pantai. h. SETUP.ext berisi informasi konfigurasi model, proyek, dan hasil dari setup program yang diberikan pada START.ext. i. OUTPT.ext berisi informasi perubahan posisi garis pantai dan besarnya debit sedimen tiap tahapan waktu. j. SHORC.ext berisi informasi posisi akhir garis pantai. Alternatif Bangunan Penanggulangan Abrasi Secara alami pantai telah mempunyai perlindungan alami, tetapi seiring perkembangan waktu garis pantai selalu berubah. Perubahan garis pantai terjadi akibat interaksi antara gelombang laut dan daratan sehingga pantai membuat keseimbangan baru. Alternatif bangunan penanggulangan abrasi yang disimulasikan adalah groin, seawall dan breakwater (Gambar 15). Pemilihan bangunan penanggulangan abrasi dilakukan berdasarkan pada kemampuannya untuk mengurangi abrasi di lokasi penelitian. Setelah ditentukan bangunan penanggulangan abrasi yang cocok untuk lokasi penelitian, maka dibuat desain alternatif penanggulangan abrasi sehingga pantai di lokasi penelitian dapat terlindungi dari abrasi. Pembuatan desain alternatif penanggulangan abrasi berdasarkan SPM (Shore Protection Manual) (USACE, 1984).

39 25 Gambar 14. Struktur Program Genesis Untuk Analisis Peramalan Garis Pantai. a b c Gambar 15. Alternatif Bangunan Pelindung Pantai. a. Groin, b. Seawall, c. Breakwater Rencana Anggaran Biaya (RAB) Sebelum menghitung anggaran biaya proyek yang dikerjakan maka perlu diketahui harga satuan bahan material, harga satuan upah tenaga kerja, harga satuan sewa alat serta harga satuan tiap-tiap jenis pekerjaan. Penentuan harga satuan bahan material, upah, sewa alat dan analisa harga satuan pekerjaan berdasarkan analisa Burgerlijke Openbare Werken (BOW) dan disajikan pada Lampiran 2 (Pemerintah Kota DKI Jakarta, 2014). HASIL DAN PEMBAHASAN Arah dan Kecepatan Angin Angin merupakan salah satu faktor penting dalam membangkitkan gelombang di laut lepas. Mawar angin dari data angin bulanan rata-rata selama tahun diperlihatkan pada Gambar 16. Hasil analisis data angin bulanan rata-rata di Muara Gembong menunjukkan bahwa arah angin dominan yaitu dari Timur Laut menyusul dari Utara, Barat, Barat Laut dan Timur. Kecepatan angin terkecil yaitu 1-4 knot dan terbesar yaitu 22 knot.

40 26 Persentase angin tertinggi sebesar 42,71 % memiliki interval kecepatan angin 1-4 knot sedangkan sebanyak memiliki interval sebanyak 35,78 %. Selain itu sebanyak 13,41 % angin memiliki interval 7-11 knot, 5,39 % memiliki interval knot dan 1,31 % memiliki interval knot. Angin dengan interval 22 knot hanya 1,10 % (Gambar 17). Gambar 16. Mawar Angin Harian Rata- Rata Tahun Gambar 17. Distribusi Frekuensi Kecepatan Angin Harian Rata-Rata Tahun Pada Tabel 3 terlihat bahwa frekuensi distribusi angin bulanan tertinggi adalah dari Timur Laut sebesar 24,53% dari total distribusi angin sedangkan angin yang bertiup dari Utara terdistribusi sebesar 22,72% dari total kejadian angin, dari arah Barat Laut sebesar 15,55 % dan dari Timur sebesar 10,68 %. Tabel 3. Frekuensi Distribusi Kecepatan Angin Tahun Arah Kecepatan Angin (Knot) Total (%) Utara 13,09 6,82 1,45 1,01 0,19 0,16 22,72 Timur Laut 9,09 9,75 3,86 1,45 0,25 0,14 24,53 Timur 4,35 4,05 1,23 0,71 0,16 0,11 10,68 Tenggara 1,26 0,90 0,44 0,11 0,06 0,08 2,85 Selatan 1,01 0,44 0,08 0,11 0,03 0,11 1,78 Barat Daya 2,11 2,35 1,12 0,14 0,00 0,06 5,78 Barat 5,75 6,11 2,77 0,72 0,27 0,19 15,82 Barat Laut 6,05 5,37 2,41 0,11 0,36 0,25 15,55 Total 42,71 35,78 13,41 5,39 1,31 1,10 100,00 Frekuensi kejadian angin (Tabel 4), secara keseluruhan mempunyai total kejadian sebanyak kali. Frekuensi kejadian angin terbanyak adalah kali dengan kecepatan angin 1 4 knot dengan arah angin dominan Utara sebanyak 478 kali dan Timur Laut sebanyak 332 kali dari total kejadian angin. Untuk frekuensi kejadian angin terbanyak kedua adalah kali dengan kecepatan angin 4 7 knot dengan arah angin dominan Timur Laut, Utara, Barat dan Barat Laut. Kondisi ini menunjukkan bahwa angin pada kecepatan 1 4 knot dan 4 7 knot memberikan pengaruh yang paling besar terhadap perubahan garis Pantai Muara Gembong

41 27 Tabel 4. Frekuensi Kejadian Angin Tahun Arah Kecepatan Angin (Knot) Total (kali) Utara Timur Laut Timur Tenggara Selatan Barat Daya Barat Barat Laut Total Frekuensi kejadian angin yang membangkitkan gelombang menuju Muara Gembong sebanyak kali kejadian dari total kejadian angin (dari Timur Laut sebanyak 896 kali, dari Utara sebanyak 830 kali, dari Barat Laut sebanyak 568 kali dan dari Timur sebanyak 390 kali). Kondisi ini menunjukkan bahwa angin yang berasal dari Timur Laut, Utara, Barat Laut, dan Timur memberikan pengaruh paling besar terhadap perubahan garis pantai pada Muara Gembong. Angin yang berhembus dari arah Tenggara, Selatan, Barat Daya dan Barat tidak diperhitungkan karena berasal dari darat. Persentase kejadian angin tahun disajikan pada Tabel 5.. Tabel 5. Persentase Kejadian Angin Tahun Arah Kecepatan Angin (Knot) Total (%) Utara 13,12 6,84 1,46 1,02 0,19 0,16 22,79 Timur Laut 9,12 9,77 3,87 1,46 0,25 0,14 24,60 Timur 4,37 4,06 1,29 0,71 0,16 0,11 10,71 Tenggara 1,26 0,91 0,44 0,11 0,05 0,08 2,86 Selatan 1,02 0,44 0,08 0,11 0,03 0,11 1,78 Barat Daya 2,11 2,36 1,13 0,14 0 0,05 5,79 Barat 5,77 6,12 2,77 0,74 0,27 0,19 15,87 Barat Laut 6,07 5,38 2,42 1,13 0,36 0,25 15,60 Total 42,83 35,89 13,45 5,41 1,32 1,10 100,00 Pembangkitan Gelombang Laut Lepas Fetch yang panjang dan kecepatan angin yang besar menghasilkan gelombang yang besar, sehingga panjang fetch menentukan tinggi gelombang yang terbentuk. Panjang fetch efektif dari nilai fetch yang dapat membangkitkan gelombang disajikan pada Tabel 6 dan Gambar 18. Fetch terpanjang terdapat pada arah Utara, Timur Laut, dan Timur. Hal ini disebabkan karena pada Muara Gembong pada arah tersebut lebih terbuka.

42 28 Lebar fetch tidak mempengaruhi kondisi gelombang pada area fetch relatif sehingga tidak digunakan dalam memprediksi fetch efektif menurut Resio dan Vincent (1979) dalam USACE (2003). Berdasarkan hasil perhitungan panjang fetch diperoleh bahwa panjang fetch di Muara Gembong lebih besar dari 200 km pada arah Utara, Timur Laut dan Timur sehingga panjang fetch yang digunakan adalah 200 km. Hal ini dilakukan untuk mereduksi hasil prediksi gelombang yang terlalu besar (Saville et al dalam CERC 1984). Panjang fetch untuk arah Barat Laut sebesar 70 km. Tabel 6. Panjang Fetch Efektif No Arah Arah (⁰) Fetch (km) 1 Utara Timur Laut Timur Tenggara Selatan Barat Daya Barat Barat Laut Apabila kecepatan angin bulanan rata-rata semakin besar dan fetch semakin panjang maka tinggi dan periode gelombang laut lepas akan semakin tinggi juga. Berdasarkan data arah angin, maka gelombang yang merambat menuju pantai terjadi sepanjang tahun. Gambar 18. Panjang Fetch Di Lokasi Penelitian

43 Kecepatan angin bulanan rata-rata menunjukkan nilai terbesar terjadi pada bulan Januari yaitu 4,3 knot dengan arah datang dari utara, dan yang terkecil terjadi pada bulan November sebesar 1,6 knot dengan arah datang dari utara. Berdasarkan arah rambatannya, pada angin bulanan rata-rata, arah gelombang menuju pantai terjadi sepanjang tahun. Dari data angin bulanan rata-rata, dapat dihitung tinggi dan periode gelombang di laut dalam dimana dalam perhitungannya melibatkan panjang fetch (Tabel 7) yang nilainya berbeda untuk setiap arah datang angin. Hubungan tinggi dan periode gelombang laut dalam dapat dilihat dalam grafik seperti pada Gambar 19. Pada Gambar 19 menunjukkan tinggi dan periode gelombang laut dalam tahun dan terlihat bahwa tinggi dan periode di setiap bulan menunjukkan perbedaan yang cukup besar. Berdasarkan Tabel 7 dapat dilihat bahwa tinggi gelombang berada pada kisaran 0,77-1,70 meter dengan gelombang tertinggi terjadi pada bulan Januari dan gelombang terendah terjadi pada bulan November. Periode gelombang berada pada kisaran 3,66-6,19 detik dengan periode terbesar terjadi pada bulan Januari dan terkecil pada bulan Februari Tinggi Gelombang (m) Periode Gelombang (s) Gambar 19. Tinggi dan Periode Gelombang Laut Dalam Tahun Tabel 7. Tinggi dan Periode Gelombang Di Laut Dalam Yang Merambat Menuju Pantai Muara Gembong Yang Dibangkitkan Oleh Angin Bulanan Rata-Rata Rata-Rata Bulan Kecepatan Angin (knot) Arah Fetch (km) H mo (m) T p (det) Januari 4,3 U 200 1,70 6,19 Februari 3,6 BL 70 0,85 3,66 Maret 3,9 BL 70 0,89 3,72 April 1,9 U 200 0,88 4,40 Mei 2,8 TL 200 1,19 4,88 Juni 3,1 TL 200 1,28 4,99 Juli 3,6 TL 200 1,42 5,17 Agustus 3,2 TL 200 1,32 5,05 September 3,3 TL 200 1,36 5,09 Oktober 2,5 U 200 1,08 4,72 November 1,6 U 200 0,77 4,22 Desember 3,4 U 200 1,40 5,12

44 30 Transformasi Gelombang Transformasi gelombang di laut dipengaruhi oleh bentuk pantai dan kedalaman suatu perairan. Gelombang yang bergerak menuju pantai mengalami transformasi gelombang sampai akhirnya pecah sebelum sampai ke pantai. Hasil perhitungan parameter gelombang pecah ditunjukkan pada Tabel 8. a. Tinggi Gelombang Pecah (H b ) Berdasarkan Tabel 8 dapat diketahui bahwa berdasarkan angin bulanan rata-rata, tinggi gelombang pecah pada bulan Januari merupakan yang tertinggi yaitu 1,76 meter, sedangkan yang terendah adalah bulan November yaitu 0,88 meter. Jika dibandingkan dengan gelombang di laut dalam (Tabel 7), perubahan tinggi gelombang berdasarkan angin bulanan rata-rata menunjukkan selisih terbesar terjadi pada bulan Mei September yaitu 0,13 meter, sedangkan yang terkecil pada bulan Maret yaitu 0,04 meter. Perbandingan tinggi gelombang di laut dalam dan tinggi gelombang pecah yang masing-masing dibangkitkan oleh angin bulanan rata-rata dapat dilihat pada Gambar 20. Tabel 8. Parameter Gelombang Pecah Di Dekat Pantai Muara Gembong Bulan Rata-Rata H b (m) α b (⁰) d b (m) Januari 1, ,04 Februari 0, ,05 Maret 0, ,10 April 0,99 1 1,12 Mei 1, ,51 Juni 1, ,61 Juli 1, ,79 Agustus 1, ,67 September 1, ,71 Oktober 1, ,38 November 0, ,99 Desember 1, ,71 Pada saat terjadi gelombang pecah maka tinggi gelombang menjadi lebih tinggi daripada gelombang laut dalam. Hal ini menunjukkan bahwa semakin besar tinggi gelombang di laut dalam maka semakin besar pula tinggi gelombang pecah yang terbentuk. b. Kedalaman Gelombang Pecah (d b ) Kedalaman gelombang pecah menunjukkan kedalaman dimana tinggi gelombang mencapai 1/7 dari panjang gelombangnya atau saat hubungan tinggi per kedalaman bernilai 0,9 (Danel, 1952 dalam Sorensen, 1978). Berdasarkan Tabel 8 dapat dilihat bahwa pada saat tinggi gelombang pecah berdasarkan angin bulanan rata-rata mempunyai kisaran 0,88-1,76 m, nilai kedalaman saat gelombang pecah adalah 0,99-2,04 m. Hal ini menunjukkan bahwa kedalaman gelombang pecah bertambah saat tinggi gelombang pecah menunjukkan ketinggian yang semakin besar.

45 Hmo (m) Hb (m) Gambar 20. Perbandingan Tinggi Gelombang Laut Dalam (H mo ) dan Tinggi Gelombang Pecah (H b ) Saat Mendekati Pantai c. Sudut gelombang pecah (α b ) Gelombang yang dibangkitkan di tengah laut bergerak menuju pantai dengan arah yang sama dengan arah angin pembangkitnya. Perubahan kontur kedalaman menyebabkan terjadinya proses refraksi yang menyebabkan berubahnya arah muka gelombang. Sudut gelombang pecah dihitung berdasarkan prinsip Hukum Snellius dimana sudut yang dihitung merupakan sudut hasil refraksi terhadap garis kontur kedalaman yang sejajar terhadap garis pantai. Perhitungan sudut gelombang pecah telah ditunjukkan pada Tabel 8. Berdasarkan angin bulanan rata-rata, sudut gelombang pecah terbesar pada bulan November yaitu 349,34 dan terkecil pada bulan April yaitu 0,63. Pasang surut adalah fluktuasi muka air laut yang disebabkan oleh gaya tarik benda-benda di langit, terutama matahari dan bulan terhadap massa air laut di bumi. Pasang surut sangat penting di dalam perencanaan bangunan pantai. Elevasi muka air tertinggi (pasang) dan terendah (surut) digunakan untuk merencanakan puncak dari bangunan tersebut. Mengingat elevasi muka air laut yang selalu berubah setiap saat, maka diperlukan suatu elevasi yang ditetapkan berdasarkan data pasang surut, yang dapat digunakan sebagai pedoman di dalam perencanaan suatu bangunan pantai. Data pasang surut digunakan untuk mengetahui muka air laut serta komponen-komponen harmonik yang berpengaruh terhadap terjadinya abrasi. Dari hasil pengolahan data pasang surut dengan menggunakan program World Tide didapatkan rata-rata komponen harmonik pasang surut dari tahun dan disajikan pada Tabel 9. Tabel 9. Komponen Harmonik Rata-Rata Pasang Surut di Muara Gembong Komponen SA SSA O1 K1 N2 M2 S2 S0 Amplitudo 0 0 0,124 0,37 0,009 0,049 0,03 0,6 Phase ,76 121,43 185,57 273,62 258,82 - Berdasarkan hasil pengolahan data maka diperoleh nilai Formzahl yaitu 6,25. Berdasarkan kriteria courtier range nilai tersebut (yang berada > 3,00) termasuk dalam tipe pasang surut harian tunggal yang berarti dalam satu hari terjadi satu kali pasang dan satu kali surut (Gambar 21).

46 32 Dari hasil perhitungan didapat bahwa nilai rata-rata tinggi muka air laut (Mean Sea Level = MSL) selama 10 tahun ( ) di Muara Gembong sebesar 0,6 m. Surut terendah mencapai 0,57 m ke arah laut dan pasang tertinggi sebesar 0,62 m ke arah darat (berdasarkan MSL) yang terjadi pada tahun 2005, 2006 dan Selengkapnya disajikan pada Tabel 10. Gambar 21. Grafik Pasang Surut Di Muara Gembong Tabel 10. Nilai Pasang Surut, Tunggang Pasut dan MSL di Muara Gembong Pasang Surut Tahun Surut Terendah (m) Pasang Tertinggi (m) Tunggang Pasut (m) MSL (m) ,55 0,61 1,16 0, ,56 0,61 1,17 0, ,57 0,62 1,19 0, ,57 0,62 1,19 0, ,57 0,62 1,19 0, ,56 0,61 1,17 0, ,55 0,60 1,15 0, ,53 0,59 1,12 0, ,52 0,57 1,09 0, ,49 0,56 1,05 0,6 Perubahan Garis Pantai Perubahan garis pantai di lokasi penelitian diteliti dengan menggunakan data citra landsat tahun 2003 dan Garis pantai tahun 2003 digunakan sebagai garis pantai awal untuk melihat besarnya perubahan garis pantai yang terjadi selama tahun 2003 sampai Proses tumpang tindih dilakukan terhadap hasil pengolahan citra untuk melihat perubahan garis pantai yang terjadi selama kurun waktu sepuluh tahun ( ). Pengolahan data citra dengan cara overlay (tumpang tindih) yang menunjukkan terjadinya perubahan garis Pantai Muara Gembong disajikan pada Gambar 22. Berdasarkan Gambar 22 dapat dilihat bahwa Pantai Muara Gembong mengalami kemunduran (abrasi). Hal ini ditunjukkan oleh perubahan yang terlihat pada garis pantai berwarna merah (2012) dan berwarna kuning (2003). Saat garis pantai berwarna merah berada lebih ke arah laut dibandingkan yang berwarna

47 kuning, maka pantai menunjukkan kemajuan (sedimentasi) garis pantai. Sebaliknya pantai mengalami kemunduran (abrasi) yang ditandai oleh lebih ke arah daratnya garis pantai yang berwarna merah daripada garis pantai yang berwarna kuning. Perubahan garis pantai yang terjadi di lokasi penelitian sebesar ,23 m 2. Terjadinya abrasi diduga selain karena faktor alam juga dipengaruhi oleh aktivitas manusia yang menyebabkan semakin berkurangnya ekosistem mangrove dan bertambahnya tambak dan pemukiman penduduk. Analisis perubahan garis pantai dengan menggunakan bantuan program GENESIS memperlihatkan perubahan garis pantai yang terjadi dalam 10 tahun mendatang dengan tidak dipasang pengamanan pantai. Pada Gambar 23 terlihat bahwa pada beberapa wilayah terkena abrasi yang ditandai dengan menjoroknya laut (warna biru) ke daratan (warna hijau) melewati batas garis pantai awal (garis warna hitam) dan sedimentasi yang merupakan kebalikan dari abrasi. Diperlukan suatu sistem pengamanan pantai yang tepat agar dampak abrasi tidak semakin meluas dan merugikan penduduk di sekitar pantai. 33 Garis Pantai Awal Garis Pantai Akhir Luasan Abrasi Gambar 22. Perubahan Garis Pantai Hasil Overlay Citra Tahun Di Lokasi Penelitian. Alternatif Penanggulangan Abrasi Secara alami pantai telah mempunyai perlindungan alami, tetapi seiring perkembangan waktu garis pantai selalu berubah. Perubahan garis pantai terjadi akibat interaksi antara gelombang laut dan daratan sehingga pantai membuat keseimbangan baru. Berdasarkan perkembangan dari tahun ke tahun dan melalui program GENESIS terlihat bahwa pada Pantai Muara Gembong telah terjadi perubahan garis pantai ke arah daratan. Kawasan Pantai Muara Gembong merupakan daerah pemukiman penduduk dan terdapat banyak tambak ikan sebagai mata pencarian penduduk sekitar di pesisir pantai. Untuk melindungi pemukiman penduduk dari abrasi pantai diperlukan suatu penanganan yang efektif dan terpadu.

48 34 Garis Pantai Awal Garis Pantai Akhir Gambar 23. Perubahan Garis Pantai Hasil Simulasi GENESIS Dalam 10 Tahun Mendatang Di Lokasi Penelitian 1. Groin (Groyne) Pemasangan groin direncanakan diletakkan pada bagian pantai yang mengalami abrasi cukup parah. Perencanaan groin sepanjang 100 m sebanyak 4 buah yang masing-masing diletakkan pada grid 230, 345, 435 dan 490. Dari Gambar 24 dapat dilihat bahwa dengan adanya groin pada Pantai Muara Gembong dalam jangka panjang masih terjadi perubahan garis pantai. Hal ini disebabkan groin hanya dapat mengatasi longshore transport atau perpindahan sedimen sejajar pantai. Panjang groin tidak memberikan pengaruh yang signifikan. Garis Pantai Awal Garis Pantai Akhir Gambar 24. Perubahan Garis Pantai Akibat Pemasangan Groin Dalam 10 Tahun Mendatang Di Lokasi Penelitian

49 2. Seawall Pemasangan seawall direncanakan diletakkan pada bibir pantai yang mengalami abrasi cukup parah dengan panjang rencana sepanjang 100 m. Sebanyak 4 buah seawall diletakkan pada grid , , dan Pada Gambar 25 dapat dilihat bahwa dengan adanya seawall pada Pantai Muara Gembong dalam jangka panjang masih terjadi perubahan garis pantai. Hal ini disebabkan seawall hanya dapat melindungi bagian pantai yang dinaunginya dan menghasilkan abrasi pada kedua sisinya. 3. Breakwater (Pemecah Gelombang) Pemasangan breakwater direncanakan diletakkan pada bagian pantai yang mengalami abrasi cukup parah. Breakwater diletakkan sekitar 100 m dari garis pantai. Panjang breakwater yang digunakan untuk simulasi adalah 100 m dan ada 4 buah yang diletakkan pada grid , , dan Garis Pantai Awal Garis Pantai Akhir Gambar 25. Perubahan Garis Pantai Akibat Pemasangan Seawall Dalam 10 Tahun Mendatang Di Lokasi Penelitian Pada Gambar 26 dapat dilihat bahwa dengan adanya breakwater pada Pantai Muara Gembong dalam jangka panjang memberikan pengaruh yang cukup baik terhadap perubahan garis pantai dibandingkan dengan tidak dipasangi bangunan pelindung pantai. Hal ini disebabkan karena breakwater dapat menahan gempuran gelombang sehingga dapat melindungi pantai yang ada di belakangnya. Untuk mengatasi permasalahan abrasi pantai di lokasi studi digunakan hard solution yaitu pembangunan struktur pelindung pantai. Pemilihan bangunan pelindung pantai yang akan dipilih berdasarkan keefektifan bangunan tersebut dalam mengatasi abrasi pantai yang mencakup aspek keseimbangan sistem pantai di suatu wilayah tanpa memberikan efek kerusakan di wilayah pantai lainnya.

50 36 Garis Pantai Awal Garis Pantai Akhir Gambar 26. Perubahan Garis Pantai Akibat Pemasangan Breakwater Dalam 10 Tahun Mendatang Di Lokasi Penelitian Simulasi dilakukan menggunakan try and error dengan menggunakan beraneka ragam jumlah bangunan pelindung pantai. Setelah dilakukan simulasi, maka didapat bahwa jumlah bangunan pelindung pantai yang efektif dan efisien adalah dengan menggunakan 4 (empat) buah bangunan simulasi setiap alternatif bangunan pengendali abrasi. Dengan melihat hasil simulasi yang telah dilakukan maka bangunan yang cocok untuk mengatasi permasalahan abrasi di lokasi studi adalah breakwater. Breakwater dapat membentuk sedimentasi di belakang bangunannya. Groin dapat mengakibatkan sedimentasi di bagian hulu, tetapi berakibat terhentinya pasokan sedimen di sisi hilir dan mengakibatkan abrasi, sedangkan seawall kurang efektif dalam menahan transpor sedimen dan kerusakan garis pantai tetap berpeluang terjadi pada ujung bangunan. Alternatif bangunan pelindung pantai yang dipilih adalah breakwater. Kondisi lokasi penelitian adalah sebagai berikut : Kedalaman laut = 2,04 m Tinggi gelombang = 1,70 m Tinggi run up gelombang = 1,79 m Tinggi jagaan = 0,50 m Ketinggian air saat pasang = 0,62 m Dengan demikian dibutuhkan breakwater dengan karakteristik seperti berikut: Tebal lapis lindung batu kasar = 0,20 m Tebal lapis lindung tetrapod = 0,90 m Lebar puncak pemecah gelombang = 2,50 m Panjang kaki breakwater = 8,00 m Tebal kaki breakwater = 0,50 m Tinggi breakwater = 4,95 m Potongan dan tampak atas desain breakwater di lokasi penelitian disajikan pada Gambar 27 dan Gambar 28.

51 37 Gambar 27. Potongan Desain Breakwater Di Lokasi Penelitian Gambar 28. Tampak Atas Desain Breakwater Di Lokasi Penelitian Rencana Anggaran Biaya (RAB) Dalam merencanakan suatu proyek, penyusunan rencana anggaran biaya (RAB) merupakan hal yang tidak dapat diabaikan. RAB disusun berdasarkan dimensi dari bangunan yang telah direncanakan dan disusun secara rinci untuk mengetahui kebutuhan biaya pembangunan konstruksi suatu pekerjaan.

52 38 Tabel 11. Rencana Anggaran Biaya (RAB) Pembuatan Satu Breakwater Di Lokasi Penelitian No. Kegiatan Volume Satuan Durasi Harga (Minggu) Total (Rp) 1 Perencanaan lokasi 1 ls Pembangunan direksi kit dan gudang 1 ls kerja 3 Pagar Pengaman 1 ls Pengadaan Fasilitas Umum 1 ls Survei dan Perencanaan 1 ls Mobilisasi Alat Berat 1 unit Pembersihan Lapangan 1 ls Pemasangan Rambu-Rambu Batas 1 unit Ponton Kapasitas 1000 ton 1 unit Excavator 1 unit Anchor Boat 1 unit Work Boat 1 unit Generator 150 kv A 1 unit Alat Bantu Kerja Pengangkutan 1 unit Trailing Suction Hopper Dredger 1 unit Back Hoe 1 unit Pemasangan Core 6650 m Pemasangan lapisan pertama 1350 m Pemasangan lapisan kedua 300 m Sub Jumlah PPN 10 % Total Pembulatan SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil penelitian untuk perubahan garis pantai di Pantai Muara Gembong dapat disimpulkan bahwa terjadi abrasi sebesar ,23 m 2 berdasarkan Citra Landsat tahun 2003 dan tahun Alternatif bangunan pelindung pantai yang sesuai adalah breakwater. Tinggi minimum bangunan pantai yang akan dibangun adalah 4,95 m dengan panjang 100 m, lebar 20,5 m (tanpa panjang kaki breakwater). Estimasi anggaran biaya pembuatan sebuah breakwater sebesar Rp (Delapan Milyar Dua Ratus Juta Rupiah). Saran Melakukan pengukuran daya dukung tanah untuk menentukan seberapa besar penurunan tanah akibat adanya bangunan yang akan dibangun.

53 39 DAFTAR PUSTAKA Alphan H Perceptions of Coastline Changes in River Deltas: Southeast Mediterranean Coast of Turkey. J Environ Pollut 23(1): Bengen DG Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut. Bogor (ID): Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor. Cempaka A Perencanaan Pemecah Gelombang Pelabuhan Perikanan Pondok Mimbo Situbondo. Jawa Timur. [Skipsi]. Jember (ID): Universitas Jember. [CERC] Coastal Engineering Research Center Shore Protection Manual. Washington: USACE Research Center. Dahuri R, Rais J, Ginting SP, Sitepu MJ Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Jakarta (ID): PT. Pradnya Paramita. Dally, WR Surf Zone Processes. h Netherlands: Encyclopedia of Coastal Sciences. Doukakis E Coastal Vulnerability and Risk Parameters. European Water 11/12: 3-7. Fitrianto R Pemodelan Perubahan Garis Pantai Sekitar Jetty di Pelabuhan Pendaratan Ikan (PPI) Glayem-Juntinyuat: Kasus Kabupaten Indramayu. [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Hakim IN, Fiqigozari M, Pranoto S, Nugroho P Perencanaan Perlindungan Pantai Sayung, Demak. Jurnal Karya Teknik Sipil. 3(1): Handayani S Kajian Perubahan Penggunaan Lahan Di Pesisir Muara Gembong. Bekasi Dengan Menggunakan Citra Landsat 7 ETM+ [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Hariyadi Analisis Perubahan Garis Pantai Selama 10 Tahun Menggunakan CEDAS (Coastal Engineering Design and Analysis System) Di Perairan Teluk Awur Pada Skenario Penambahan Bangunan Pelindung Pantai. Buletin Oseanografi Marina. 1: Hidayah R Analisa Perubahan Garis Pantai Jasri Kabupaten Karangasem, Bali [Tesis]. Surabaya (ID): Institut Teknologi Sepuluh November. Kartawinata K, Soemodiharjo S Komunitas Hayati Di Pesisir Indonesia. Oseanologi Di Indonesia Nasional. Jakarta (ID): Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Komar PD Nearshore Current and Sand Transport on Beaches in Johns, editor. Physical Oceanografi of Coastal and Shefl Seas. Florida: CERC Press. Inc. [NASA] National Atmospheric and Space Administration Landsat 7 Science Data Users Handbook. [Internet]. [diunduh 4 Mei 2013]. Tersedia pada: (4 Mei Pandjaitan B Pengujian Efektifitas Sistem Perlindungan Pantai Nusa Dua Bali Dengan Menggunakan Paket Program Genesis. [Tesis]. Bandung (ID): Institut Teknologi Bandung.

54 40 Pemerintah Kota DKI Jakarta Pedoman Analisis Harga Satuan Bidang Pekerjaan Umum. Jakarta (ID): Pemerintah Kota DKI Jakarta. Perhutani Pertahankan hutan lindung mangrove muara gembong. [Internet]. [diunduh 25 Maret 2013]. Tersedia pada: Purba M, Jaya I Analisis Perubahan Garis Pantai dan Penutupan Lahan antara Way Penet dan Way Sekampung. Kabupaten Lampung Timur. Jurnal Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia 11(2): Purwadhi SH Interpretasi Citra Digital. Jakarta (ID): PT. Gramedia Widiasarana Indonesia. Sakka Model Perubahan Garis Pantai Di Sekitar Sungai Jeneberang. Makassar, Sulawesi Selatan. [Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Setyandito O, Triyanto J Analisa Erosi Dan Perubahan Garis Pantai Pada Pantai Pasir Buatan Dan Sekitarnya Di Takisung, Provinsi Kalimantan Selatan. Jurnal Teknik Sipil. 7(3): Sorensen RM Basic Coastal Engineering. New York: John Wiley and Sons Sunday OA, John TO Lagos Shoreline Change Pattern: Am- Eur J Sci Res 1 (1): Sutikno Karakteristik Bentuk dan Geologi Pantai Di Indonesia. DIKLAT PU WIL III. Yogyakarta (ID): Direktorat Jendral Pengairan Departemen Pekerjaan Umum. Triatmodjo B Teknik Pantai. Yogyakarta (ID): Beta Offset Triwahyuni A Model Perubahan Garis Pantai Timur Tarakan. Kalimantan Timur. [Skipsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. [USACE] United State Army Corps of Engineers Shore Protection Manual. Volume 1. 4th ed. Washington DC: Coastal Engineering Research Center. [USACE] United State Army Corps of Engineers Longshore Sediment Transport. Part III. Washington DC: Department of the US Army Corps of Engineers. [USACE] United State Army Corps of Engineers Meteorology and Wave Climate. Part II. Washington DC: Department of the US Army Corps of Engineers. Wahyuningsih I, Sugianto DN, Helmi M Analisa Perubahan Garis Pantai Di Teluk Pacitan, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur. Journal of Oceanography 1(1):

55 Lampiran 1. Desain Breakwater Untuk Lokasi Penelitian Berdasarkan SPM (Shore Protection Manual) Tahun Kedalaman laut D = 2,04 m 2 kemiringan dasar laut S = 0,02 3 Tinggi gelombang H = 1,70 m 4 Periode gelombang T = 6,19 dtk 5 Berat jenis batu gr = 2,65 ton/m3 6 Berat jenis air ga = 1,03 ton/m3 Gelombang pecah = 0,99 2,04 m Ketinggian air saat pasang = 0,62 m Kedalaman muka air dhwl = 2,66 m pasang Ketinggian air saat surut = 0,57 m Kedalaman muka air surut dlwl = 2,61 m A Elevasi puncak pemecah gelombang dihitung berdasarkan tinggi run up, kemiringan sisi pemecah gelombang ditetapkan = 0,5 artinya 1:2 Tinggi gelombang di laut dalam (Lo) = 1,56 T^2 = 59,77 m Bilangan Irribaren (Ir) = tgn Ø /(H/Lo)^0.5 = 2,96 Dengan menggunakan grafik run up gelombang untuk lapis lindung dari batu alam kasar (quarry stone) dan Ru/H = 1,05 Ru = 1,79 m Elevasi puncak pemecah gelombang (El. Pem. Gel) dengan memperhitungkan tinggi kebebasan 0.5 m = 2,91 m Untuk lapis lindung tetrapod (Ru/H) = 0,8 Ru = 1,36 m Elevasi puncak pemecah gelombang untuk tetrapod dengan memperhitungkan tinggi kebebasan 0,5 m = 2,48 m Tinggi pemecah gelombang = El.Pem. Gel - El.Dasar Laut Batu = 4,95 m 5,00 m Tetrapod = 4,52 m 4,60 m B Berat batu lapis lindung (W) dihitung dengan rumus Hudson berikut : W1 = gr.h^3/(kd(sr-1)^3 cot Ø) Untuk lapis lindung dari batu kasar Gelombang pecah (tabel) KD = 2 n = 2 Sr = 2,59 W1 = 0,8 ton Untuk lapis lindung dari tetrapod gelombang pecah (tabel) KD = 7 n = 2 Sr = 2,59 W2 = 0,2 ton 41

56 42 Lanjutan Lampiran 1. C Tebal lapis lindung (t) dihitung dengan rumus berikut : t = n. k. [W/gr] 1/3 Untuk lapis lindung batu kasar k = 1,10 n = 2 t1 = 0,2 m Berat lapis pelindung 1 = 0,5 ton D Untuk lapis lindung dari tetrapod k = 1,04 n = 2 t2 = 0,9 m Berat lapis pelindung 2 W1/15 s/d W1/10 0,003 s/d 0,1 ton Lebar puncak pemecah gelombang (B) untuk n minimum 3 lapis n = 3 k = 1,15 B = n. k. [W/ gr] 1/3 B = 2,33 m 2,5 m E Jumlah batu pelindung tiap satuan luas (10 m 2 ) N = A. n. k.[1- (p/100)] A = 10 m2 Untuk N lapis 1 (batu kasar) n = 2 k = 1,10 P = 37 % N = 14 butir batu / 10 m2 Untuk N lapis 2 (tetrapod) n = 3 k = 1,04 P = 50 % N = 16 butir batu / 10 m2 F. Panjang kaki Breakwater 3 H s/d 4,5 H 5,10 s/d 7,65 m 8,0 m G. Tebal kaki Breakwater t1 s/d 2 t1 0,23 s/d 0,45 m 0,5 m

57 Lampiran 2. Biaya Pembuatan Breakwater Per Satuan Unit No. Kegiatan Volume Satuan Harga Total (Rp) 1 Perencanaan lokasi 1 ls Pembangunan direksi kit dan gudang kerja 1 ls Pagar pengaman 1 ls Pengadaan fasilitas umum 1 ls Survei dan perencanaan 1 ls Mobilisasi alat berat 1 unit Pembersihan lapangan 1 ls Pemasangan rambu-rambu batas 1 unit Ponton kapasitas 1000 ton 1 unit Excavator 1 unit Anchor boat 1 unit Work boat 1 unit Generator 150 kv A 1 unit Alat bantu kerja pengangkutan 1 unit Trailing suction hopper dredger 1 unit Back hoe 1 unit Pemasangan core 1 m Pemasangan primary layer 1 m Pemasangan secondary layer 1 m Sumber : Pemerintah Kota DKI Jakarta,

58 44 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Walengkabola, Kabupaten Muna Sulawesi Tenggara pada tanggal 31 Desember 1984 sebagai anak pertama dari enam bersaudara, dari pasangan Bapak Lang Kalisu, SPd dan Ibu Animar. Pada tahun 2003, penulis diterima pada Program Studi Ilmu Kelautan, Jurusan Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor dan menyelesaikan program sarjana pada tahun 2008 dengan memperoleh bantuan beasiswa PPA dan menjadi Asisten Dosen pada beberapa mata kuliah. Kesempatan untuk melanjutkan ke Program Studi Teknik Sipil dan Lingkungan pada Sekolah Pascasarjana IPB diperoleh pada tahun Penulis bekerja sebagai staf tenaga ahli pada sebuah konsultan lingkungan yaitu PT Binawahana Inti Nusa pada Juni 2010 sampai pada Desember Saat ini penulis menjadi pekerja lepas pada berbagai konsultan lingkungan. Untuk menyelesaikan program magister, penulis menyusun tesis yang berjudul Alternatif Bangunan Penanggulangan Abrasi Di Pantai Muara Gembong, Bekasi dibimbing oleh Prof. Dr. Ir Asep Sapei, MS dan Dr. Ir. Nora H. Pandjaitan, DEA.

BAB VI ALTERNATIF PENANGGULANGAN ABRASI

BAB VI ALTERNATIF PENANGGULANGAN ABRASI 87 BAB VI ALTERNATIF PENANGGULANGAN ABRASI 6.1 Perlindungan Pantai Secara alami pantai telah mempunyai perlindungan alami, tetapi seiring perkembangan waktu garis pantai selalu berubah. Perubahan garis

Lebih terperinci

DINAMIKA PANTAI (Abrasi dan Sedimentasi) Makalah Gelombang Yudha Arie Wibowo

DINAMIKA PANTAI (Abrasi dan Sedimentasi) Makalah Gelombang Yudha Arie Wibowo DINAMIKA PANTAI (Abrasi dan Sedimentasi) Makalah Gelombang Yudha Arie Wibowo 09.02.4.0011 PROGRAM STUDI / JURUSAN OSEANOGRAFI FAKULTAS TEKNIK DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS HANG TUAH SURABAYA 2012 0 BAB

Lebih terperinci

Kajian Hidro-Oseanografi untuk Deteksi Proses-Proses Dinamika Pantai (Abrasi dan Sedimentasi)

Kajian Hidro-Oseanografi untuk Deteksi Proses-Proses Dinamika Pantai (Abrasi dan Sedimentasi) Kajian Hidro-Oseanografi untuk Deteksi Proses-Proses Dinamika Pantai (Abrasi dan Sedimentasi) Mario P. Suhana * * Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor Email: msdciyoo@gmail.com

Lebih terperinci

BAB VI PEMILIHAN ALTERNATIF BANGUNAN PELINDUNG MUARA KALI SILANDAK

BAB VI PEMILIHAN ALTERNATIF BANGUNAN PELINDUNG MUARA KALI SILANDAK 96 BAB VI PEMILIHAN ALTERNATIF BANGUNAN PELINDUNG MUARA KALI SILANDAK 6.1 Perlindungan Muara Pantai Secara alami pantai telah mempunyai perlindungan alami, tetapi seiring perkembangan waktu garis pantai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Pantai adalah daerah di tepi perairan yang dipengaruhi oleh air pasang tertinggi dan air surut terendah. Garis pantai adalah garis batas pertemuan antara daratan dan

Lebih terperinci

II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Pembangkitan Gelombang oleh Angin

II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Pembangkitan Gelombang oleh Angin II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pembangkitan Gelombang oleh Angin Proses pembentukan gelombang oleh angin Menurut Komar (1976) bahwa angin mentransfer energi ke partikel air sesuai dengan arah hembusan angin.

Lebih terperinci

Gambar 15 Mawar angin (a) dan histogram distribusi frekuensi (b) kecepatan angin dari angin bulanan rata-rata tahun

Gambar 15 Mawar angin (a) dan histogram distribusi frekuensi (b) kecepatan angin dari angin bulanan rata-rata tahun IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakter Angin Angin merupakan salah satu faktor penting dalam membangkitkan gelombang di laut lepas. Mawar angin dari data angin bulanan rata-rata selama tahun 2000-2007 diperlihatkan

Lebih terperinci

BAB VI ALTERNATIF PELINDUNG PANTAI

BAB VI ALTERNATIF PELINDUNG PANTAI BAB VI ALTERNATIF PELINDUNG PANTAI 6.1. Pemilihan Jenis Pelindung Pantai Perlindungan pantai dapat ditimbulkan secara alami oleh pantai maupun dengan bantuan manusia. Perlindungan pantai secara alami dapat

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS PERAMALAN GARIS PANTAI

BAB V ANALISIS PERAMALAN GARIS PANTAI 79 BAB V ANALISIS PERAMALAN GARIS PANTAI 5.1 Penggunaan Program GENESIS Model yang digunakan untuk mengevaluasi perubahan morfologi pantai adalah program GENESIS (Generalized Model for Simulating Shoreline

Lebih terperinci

ANALISIS TRANSPOR SEDIMEN MENYUSUR PANTAI DENGAN MENGGUNAKAN METODE GRAFIS PADA PELABUHAN PERIKANAN TANJUNG ADIKARTA

ANALISIS TRANSPOR SEDIMEN MENYUSUR PANTAI DENGAN MENGGUNAKAN METODE GRAFIS PADA PELABUHAN PERIKANAN TANJUNG ADIKARTA ANALISIS TRANSPOR SEDIMEN MENYUSUR PANTAI DENGAN MENGGUNAKAN METODE GRAFIS PADA PELABUHAN PERIKANAN TANJUNG ADIKARTA Irnovia Berliana Pakpahan 1) 1) Staff Pengajar Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Pesisir Pantai. merupakan daerah yang terletak di atas dan di bawah permukaan laut dimulai dari

TINJAUAN PUSTAKA. A. Pesisir Pantai. merupakan daerah yang terletak di atas dan di bawah permukaan laut dimulai dari II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pesisir Pantai Pantai merupakan batas antara wilayah daratan dengan wilayah lautan. Daerah daratan merupakan daerah yang terletak di atas dan di bawah permukaan daratan dimulai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Studi Daerah yang menjadi objek dalam penulisan Tugas Akhir ini adalah pesisir Kecamatan Muara Gembong yang terletak di kawasan pantai utara Jawa Barat. Posisi geografisnya

Lebih terperinci

ESTIMASI EFEKTIFITAS PENGGUNAAN GROIN UNTUK MENGATASI EROSI PADA KAWASAN PESISIR PANTAI UTARA TELUK BAGUALA AMBON. Tirza Jesica Kakisina * Abstract

ESTIMASI EFEKTIFITAS PENGGUNAAN GROIN UNTUK MENGATASI EROSI PADA KAWASAN PESISIR PANTAI UTARA TELUK BAGUALA AMBON. Tirza Jesica Kakisina * Abstract ESTIMASI EFEKTIFITAS PENGGUNAAN GROIN UNTUK MENGATASI EROSI PADA KAWASAN PESISIR PANTAI UTARA TELUK BAGUALA AMBON Tirza Jesica Kakisina * Abstract The north coast of Baguala bay was became stricture by

Lebih terperinci

LEMBAR PENGESAHAN LAPORAN TUGAS AKHIR PERENCANAAN PENGAMANANAN PANTAI DARI BAHAYA ABRASI DI KECAMATAN SAYUNG KABUPATEN DEMAK

LEMBAR PENGESAHAN LAPORAN TUGAS AKHIR PERENCANAAN PENGAMANANAN PANTAI DARI BAHAYA ABRASI DI KECAMATAN SAYUNG KABUPATEN DEMAK LEMBAR PENGESAHAN LAPORAN TUGAS AKHIR PERENCANAAN PENGAMANANAN PANTAI DARI BAHAYA ABRASI DI KECAMATAN SAYUNG KABUPATEN DEMAK Diajukan untuk memenuhi persyaratan dalam menyelesaikan Pendidikan Tingkat Sarjana

Lebih terperinci

KL 4099 Tugas Akhir. Desain Pengamananan Pantai Manokwari dan Pantai Pulau Mansinam Kabupaten Manokwari. Bab 1 PENDAHULUAN

KL 4099 Tugas Akhir. Desain Pengamananan Pantai Manokwari dan Pantai Pulau Mansinam Kabupaten Manokwari. Bab 1 PENDAHULUAN Desain Pengamananan Pantai Manokwari dan Pantai Pulau Mansinam Kabupaten Manokwari Bab 1 PENDAHULUAN Bab PENDAHULUAN Desain Pengamananan Pantai Manokwari dan Pantai Pulau Mansinam Kabupaten Manokwari 1

Lebih terperinci

KAJIAN PENGARUH GELOMBANG TERHADAP KERUSAKAN PANTAI MATANG DANAU KABUPATEN SAMBAS

KAJIAN PENGARUH GELOMBANG TERHADAP KERUSAKAN PANTAI MATANG DANAU KABUPATEN SAMBAS Abstrak KAJIAN PENGARUH GELOMBANG TERHADAP KERUSAKAN PANTAI MATANG DANAU KABUPATEN SAMBAS Umar 1) Pantai Desa Matang Danau adalah pantai yang berhadapan langsung dengan Laut Natuna. Laut Natuna memang

Lebih terperinci

DESAIN STRUKTUR PELINDUNG PANTAI TIPE GROIN DI PANTAI CIWADAS KABUPATEN KARAWANG

DESAIN STRUKTUR PELINDUNG PANTAI TIPE GROIN DI PANTAI CIWADAS KABUPATEN KARAWANG DESAIN STRUKTUR PELINDUNG PANTAI TIPE GROIN DI PANTAI CIWADAS KABUPATEN KARAWANG Fathu Rofi 1 dan Dr.Ir. Syawaluddin Hutahaean, MT. 2 Program Studi Teknik Kelautan Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai lebih dari pulau dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai lebih dari pulau dan BAB I BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai lebih dari 17.000 pulau dan wilayah pantai sepanjang 80.000 km atau dua kali keliling bumi melalui khatulistiwa.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan dengan luas wilayah daratan dan perairan yang besar. Kawasan daratan dan perairan di Indonesia dibatasi oleh garis pantai yang menempati

Lebih terperinci

PENGAMANAN DAERAH PANTAI DENGAN MENGGUNAKAN KEARIFAN LOKAL DI BATU PUTIH KOTA BITUNG. Ariestides K. T. Dundu ABSTRAK

PENGAMANAN DAERAH PANTAI DENGAN MENGGUNAKAN KEARIFAN LOKAL DI BATU PUTIH KOTA BITUNG. Ariestides K. T. Dundu ABSTRAK PENGAMANAN DAERAH PANTAI DENGAN MENGGUNAKAN KEARIFAN LOKAL DI BATU PUTIH KOTA BITUNG Ariestides K. T. Dundu Dosen Fakultas Teknik Universitas Sam Ratulangi ABSTRAK Batu Putih terletak di paling utara dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan transisi ekosistem terestrial dan laut yang ditandai oleh gradien perubahan ekosistem yang tajam (Pariwono, 1992). Kawasan pantai merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pantai adalah suatu wilayah yang mengalami kontak langsung dengan aktivitas manusia dan kontak dengan fenomena alam terutama yang berasal dari laut. Fenomena

Lebih terperinci

ALTERNATIF PENGAMANAN DAN KAJIAN RESIKO. KL 4099 Tugas Akhir. Bab 7

ALTERNATIF PENGAMANAN DAN KAJIAN RESIKO. KL 4099 Tugas Akhir. Bab 7 Desain Pengamananan Pantai Pulau Karakelang, Kabupaten Kepulauan Talaud, Provinsi Sulawesi Utara Bab 7 ALTERNATIF PENGAMANAN DAN KAJIAN RESIKO Bab 7 ALTERNATIF PENGAMANAN DAN KAJIAN RESIKO Desain Pengamanan

Lebih terperinci

. PERENCANAAN SISTEM PERLINDUNGAN PANTAI KENDAL (SHORE PROTECTION SYSTEM PLANNING OF KENDAL)

. PERENCANAAN SISTEM PERLINDUNGAN PANTAI KENDAL (SHORE PROTECTION SYSTEM PLANNING OF KENDAL) . PERENCANAAN SISTEM PERLINDUNGAN PANTAI KENDAL (SHORE PROTECTION SYSTEM PLANNING OF KENDAL) Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Akademis Dalam Menyelesaikan Pendidikan Sarjana Strata 1 Jurusan Sipil

Lebih terperinci

BAB II STUDI PUSTAKA

BAB II STUDI PUSTAKA 5 BAB II 2.1 TINJAUAN UMUM Dalam suatu perencanaan dibutuhkan pustaka yang dijadikan sebagai dasar perencanaan agar terwujud spesifikasi yang menjadi acuan dalam perhitungan dan pelaksanaan pekerjaan di

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan pertemuan antara wilayah laut dan wilayah darat, dimana daerah ini merupakan daerah interaksi antara ekosistem darat dan ekosistem laut yang

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. Studi pustaka terhadap materi desain. Mendata nara sumber dari instansi terkait

BAB III METODOLOGI. Studi pustaka terhadap materi desain. Mendata nara sumber dari instansi terkait BAB III METODOLOGI 3.1 Persiapan Persiapan merupakan rangkaian sebelum memulai pengumpulan dan pengolahan data. Dalam tahap persiapan disusun hal hal yang harus dilakukan dengan tujuan untuk efektifitas

Lebih terperinci

PERENCANAAN SEAWALL ( TEMBOK LAUT ) DAN BREAK WATER ( PEMECAH GELOMBANG ) UNTUK PENGAMAN PANTAI TUBAN. Suyatno

PERENCANAAN SEAWALL ( TEMBOK LAUT ) DAN BREAK WATER ( PEMECAH GELOMBANG ) UNTUK PENGAMAN PANTAI TUBAN. Suyatno PERENCANAAN SEAWALL ( TEMBOK LAUT ) DAN BREAK WATER ( PEMECAH GELOMBANG ) UNTUK PENGAMAN PANTAI TUBAN. Suyatno Dosen Pembimbing : Ir.Adi Prawito,MM,MT. ABSTRAK Kabupaten Tuban,tepatnya di desa Jenu merupakan

Lebih terperinci

1.2. Rumusan Masalah Rumusan masalah pada makalah ini adalah penjelasan mengenai bangunan pantai dan beberapa contohnya.

1.2. Rumusan Masalah Rumusan masalah pada makalah ini adalah penjelasan mengenai bangunan pantai dan beberapa contohnya. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Erosi pantai merupakan salah satu masalah serius perubahan garis pantai. Selain proses alami, seperti angin, arus, dan gelombang, aktivitas manusia menjadi penyebab

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 : Definisi visual dari penampang pantai (Sumber : SPM volume 1, 1984) I-1

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 : Definisi visual dari penampang pantai (Sumber : SPM volume 1, 1984) I-1 BAB I PENDAHULUAN Pantai merupakan suatu sistem yang sangat dinamis dimana morfologi pantai berubah-ubah dalam skala ruang dan waktu baik secara lateral maupun vertikal yang dapat dilihat dari proses akresi

Lebih terperinci

ANALISIS STABILITAS BANGUNAN PEMECAH GELOMBANG BATU BRONJONG

ANALISIS STABILITAS BANGUNAN PEMECAH GELOMBANG BATU BRONJONG ANALISIS STABILITAS BANGUNAN PEMECAH GELOMBANG BATU BRONJONG Olga Catherina Pattipawaej 1, Edith Dwi Kurnia 2 1 Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Kristen Maranatha Jl. Prof. drg. Suria

Lebih terperinci

KERANGKA RAPERMEN TENTANG TATA CARA PENGHITUNGAN BATAS SEMPADAN PANTAI

KERANGKA RAPERMEN TENTANG TATA CARA PENGHITUNGAN BATAS SEMPADAN PANTAI KERANGKA RAPERMEN TENTANG TATA CARA PENGHITUNGAN BATAS SEMPADAN PANTAI BAB I BAB II BAB III BAB IV BAB V : KETENTUAN UMUM : PENGHITUNGAN BATAS SEMPADAN PANTAI Bagian Kesatu Indeks Ancaman dan Indeks Kerentanan

Lebih terperinci

BAB III DATA DAN ANALISA

BAB III DATA DAN ANALISA BAB III DATA DAN ANALISA 3.1. Umum Dalam studi kelayakan pembangunan pelabuhan peti kemas ini membutuhkan data teknis dan data ekonomi. Data-data teknis yang diperlukan adalah peta topografi, bathymetri,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Dengan luas daratan ± 1.900.000 km 2 dan laut 3.270.00 km 2, Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, dan ditinjau dari luasnya terdiri atas lima pulau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Pantai adalah daerah di tepi perairan yang dipengaruhi oleh air pasang tertinggi dan air surut terendah. Garis pantai adalah garis batas pertemuan antara daratan dan

Lebih terperinci

BAB I. Indonesia yang memiliki garis pantai sangat panjang mencapai lebih dari

BAB I. Indonesia yang memiliki garis pantai sangat panjang mencapai lebih dari BAB I BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia yang memiliki garis pantai sangat panjang mencapai lebih dari 95.181 km. Sehingga merupakan negara dengan pantai terpanjang nomor empat di dunia setelah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pantai adalah daerah di tepi perairan yang dipengaruhi oleh air pasang tertinggi dan air surut terendah (Bambang Triatmojo, Teknik Pantai ). Garis

Lebih terperinci

Erosi, revretment, breakwater, rubble mound.

Erosi, revretment, breakwater, rubble mound. ABSTRAK Pulau Bali yang memiliki panjang pantai 438 km, mengalami erosi sekitar 181,7 km atau setara dengan 41,5% panjang pantai. Upaya penanganan pantai yang dilakukan umumnya berupa revretment yang menggunakan

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS PERAMALAN GARIS PANTAI

BAB V ANALISIS PERAMALAN GARIS PANTAI 80 BAB V ANALISIS PERAMALAN GARIS PANTAI 5.1 Tinjauan Umum Bagian hilir muara Kali Silandak mengalami relokasi dan menjadi satu dengan Kali Jumbleng yang menyebabkan debit hilirnya menjadi lebih besar

Lebih terperinci

LEMBAR PENGESAHAN TUGAS AKHIR PERENCANAAN PEMECAH GELOMBANG PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA CILACAP

LEMBAR PENGESAHAN TUGAS AKHIR PERENCANAAN PEMECAH GELOMBANG PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA CILACAP LEMBAR PENGESAHAN TUGAS AKHIR PERENCANAAN PEMECAH GELOMBANG PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA CILACAP Diajukan untuk memenuhi syarat dalam menyelesaikan Pendidikan Tingkat Sarjana (Strata - 1) pada Jurusan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Terdapat beberapa penelitian dan kajian mengenai banjir pasang. Beberapa

TINJAUAN PUSTAKA. Terdapat beberapa penelitian dan kajian mengenai banjir pasang. Beberapa II. TINJAUAN PUSTAKA Terdapat beberapa penelitian dan kajian mengenai banjir pasang. Beberapa penelitian dan kajian berkaitan dengan banjir pasang antara lain dilakukan oleh Arbriyakto dan Kardyanto (2002),

Lebih terperinci

Deteksi Perubahan Garis Pantai Pulau Gili Ketapang Kabupaten Probolinggo

Deteksi Perubahan Garis Pantai Pulau Gili Ketapang Kabupaten Probolinggo Deteksi Perubahan Garis Pantai Pulau Gili Ketapang Kabupaten Probolinggo Nurin Hidayati 1, Hery Setiawan Purnawali 2 1 Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Brawijaya Malang Email: nurin_hiday@ub.ac.id

Lebih terperinci

LEMBAR PENGESAHAN TUGAS AKHIR

LEMBAR PENGESAHAN TUGAS AKHIR LEMBAR PENGESAHAN TUGAS AKHIR PERENCANAAN BANGUNAN PELINDUNG PANTAI UNTUK PENANGANAN MASALAH ABRASI DI PANTAI SARI, KOTA PEKALONGAN (DENGAN BANTUAN PROGRAM GENESIS) Diajukan untuk memenuhi persyaratan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.113, 2016 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PEMERINTAHAN. WILAYAH. NASIONAL. Pantai. Batas Sempadan. PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG BATAS SEMPADAN PANTAI DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG BATAS SEMPADAN PANTAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG BATAS SEMPADAN PANTAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG BATAS SEMPADAN PANTAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan yang lain, yaitu masing-masing wilayah masih dipengaruhi oleh aktivitas

BAB I PENDAHULUAN. dengan yang lain, yaitu masing-masing wilayah masih dipengaruhi oleh aktivitas BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir (coast) dan pantai (shore) merupakan bagian dari wilayah kepesisiran (Gunawan et al. 2005). Sedangkan menurut Kodoatie (2010) pesisir (coast) dan pantai (shore)

Lebih terperinci

Bambang Istijono 1 *, Benny Hidayat 1, Adek Rizaldi 2, dan Andri Yosa Sabri 2

Bambang Istijono 1 *, Benny Hidayat 1, Adek Rizaldi 2, dan Andri Yosa Sabri 2 Analisis Penilaian Kinerja Bangunan Pengaman Pantai Terhadap Abrasi di Kota Padang Bambang Istijono 1 *, Benny Hidayat 1, Adek Rizaldi 2, dan Andri Yosa Sabri 2 1 Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN ANALISIS

BAB IV HASIL DAN ANALISIS BAB IV HASIL DAN ANALISIS 4.1 Uji Sensitifitas Sensitifitas parameter diuji dengan melakukan pemodelan pada domain C selama rentang waktu 3 hari dan menggunakan 3 titik sampel di pesisir. (Tabel 4.1 dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I - 1

BAB I PENDAHULUAN I - 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang mempunyai lebih dari 3.700 pulau dengan luas daratan ± 1.900. 000 km 2 dan lautan ± 3.270.000 km 2.Garis

Lebih terperinci

KAJIAN MORFODINAMIKA PESISIR KABUPATEN KENDAL MENGGUNAKAN TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH MULTI SPEKTRAL DAN MULTI WAKTU

KAJIAN MORFODINAMIKA PESISIR KABUPATEN KENDAL MENGGUNAKAN TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH MULTI SPEKTRAL DAN MULTI WAKTU KAJIAN MORFODINAMIKA PESISIR KABUPATEN KENDAL MENGGUNAKAN TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH MULTI SPEKTRAL DAN MULTI WAKTU Tjaturahono Budi Sanjoto Mahasiswa Program Doktor Manajemen Sumberdaya Pantai UNDIP

Lebih terperinci

LEMBAR PENGESAHAN. PERENCANAAN BANGUNAN PELINDUNG PANTAI TAMBAK MULYO, SEMARANG (Design of The Shore Protection for Tambak Mulyo, Semarang)

LEMBAR PENGESAHAN. PERENCANAAN BANGUNAN PELINDUNG PANTAI TAMBAK MULYO, SEMARANG (Design of The Shore Protection for Tambak Mulyo, Semarang) ii LEMBAR PENGESAHAN PERENCANAAN BANGUNAN PELINDUNG PANTAI TAMBAK MULYO, SEMARANG (Design of The Shore Protection for Tambak Mulyo, Semarang) Disusun Oleh : BASRINDU BURHAN UTOMO L2A 003 034 DWI PRASETYO

Lebih terperinci

STUDI PERUBAHAN GARIS PANTAI DI MUARA SUNGAI PORONG BAB I PENDAHULUAN

STUDI PERUBAHAN GARIS PANTAI DI MUARA SUNGAI PORONG BAB I PENDAHULUAN STUDI PERUBAHAN GARIS PANTAI DI MUARA SUNGAI PORONG Yudha Arie Wibowo Mahasiswa Program Studi Oseanografi Universitas Hang Tuah Surabaya Email : skywalkerplus@ymail.com BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI 3.1 PERSIAPAN PENDAHULUAN

BAB III METODOLOGI 3.1 PERSIAPAN PENDAHULUAN BAB III METODOLOGI 3.1 PERSIAPAN PENDAHULUAN Tahap persiapan merupakan rangkaian kegiatan sebelum kegiatan pengumpulan data dan pengolahannya. Dalam tahap awal ini di susun hal-hal yang penting dengan

Lebih terperinci

(Design of The Shore Protection for Muarareja, Tegal)

(Design of The Shore Protection for Muarareja, Tegal) LEMBAR PENGESAHAN TUGAS AKHIR PERENCANAAN PELINDUNG PANTAI MUARAREJA, TEGAL (Design of The Shore Protection for Muarareja, Tegal) Disusun Oleh : BRAMUDYA ERSA M L2A 003 036 SASMITO WIHANTORO L2A 003 131

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM Nomor 09/PRT/M/2010 Tentang PEDOMAN PENGAMANAN PANTAI MENTERI PEKERJAAN UMUM,

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM Nomor 09/PRT/M/2010 Tentang PEDOMAN PENGAMANAN PANTAI MENTERI PEKERJAAN UMUM, MENTERI PEKERJAAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM Nomor 09/PRT/M/2010 Tentang PEDOMAN PENGAMANAN PANTAI MENTERI PEKERJAAN UMUM, Menimbang : a. bahwa pantai merupakan garis pertemuan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pantai merupakan suatu zona yang sangat dinamik karena merupakan zona persinggungan dan interaksi antara udara, daratan dan lautan. Zona pantai senantiasa memiliki

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. rancu pemakaiannya, yaitu pesisir (coast) dan pantai (shore). Penjelasan mengenai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. rancu pemakaiannya, yaitu pesisir (coast) dan pantai (shore). Penjelasan mengenai BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Pantai Ada dua istilah tentang kepantaian dalam bahasa indonesia yang sering rancu pemakaiannya, yaitu pesisir (coast) dan pantai (shore). Penjelasan mengenai kepantaian

Lebih terperinci

ANALISA PERUBAHAN GARIS PANTAI MANGGAR BARU

ANALISA PERUBAHAN GARIS PANTAI MANGGAR BARU ejournal Teknik Sipil, 2016, 1 (1): 1-15 ISSN 0000-0000, ejournal.untag-smd.ac.id Copyright 2016 ANALISA PERUBAHAN GARIS PANTAI MANGGAR BARU Dennis Eta Cendekia Abstrak Dennis Eta Cendekia, Analisa Perubahan

Lebih terperinci

Bab III METODOLOGI PENELITIAN. Diagram alur perhitungan struktur dermaga dan fasilitas

Bab III METODOLOGI PENELITIAN. Diagram alur perhitungan struktur dermaga dan fasilitas Bab III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Diagram Alur Diagram alur perhitungan struktur dermaga dan fasilitas Perencanaan Dermaga Data Lingkungan : 1. Data Topografi 2. Data Pasut 3. Data Batimetri 4. Data Kapal

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Menurut Mahi (2001 a), sampai saat ini belum ada definisi wilayah pesisir yang

I. PENDAHULUAN. Menurut Mahi (2001 a), sampai saat ini belum ada definisi wilayah pesisir yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut Mahi (2001 a), sampai saat ini belum ada definisi wilayah pesisir yang baku. Namun demikian terdapat kesepakatan umum bahwa wilayah pesisir didefinisikan sebagai

Lebih terperinci

PERENCANAAN BANGUNAN PEMECAH GELOMBANG (PENGAMAN PANTAI LABUHAN) DI KABUPATEN SUMBAWA

PERENCANAAN BANGUNAN PEMECAH GELOMBANG (PENGAMAN PANTAI LABUHAN) DI KABUPATEN SUMBAWA Perencanaan Bangunan Pemecah Gelombang Erni Yulianti PERENCANAAN BANGUNAN PEMECAH GELOMBANG (PENGAMAN PANTAI LABUHAN) DI KABUPATEN SUMBAWA Erni Yulianti Dosen Program Studi Teknik Sipil Sumberdaya Air

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Penelitian Kecamatan Muara Gembong merupakan daerah pesisir di Kabupaten Bekasi yang berada pada zona 48 M (5 0 59 12,8 LS ; 107 0 02 43,36 BT), dikelilingi oleh perairan

Lebih terperinci

KL 4099 Tugas Akhir. Desain Pengamananan Pantai Manokwari dan Pantai Pulau Mansinam Kabupaten Manokwari. Bab 5 SYSTEM PLANNING

KL 4099 Tugas Akhir. Desain Pengamananan Pantai Manokwari dan Pantai Pulau Mansinam Kabupaten Manokwari. Bab 5 SYSTEM PLANNING Desain Pengamananan Pantai Manokwari dan Pantai Pulau Mansinam Kabupaten Manokwari Bab 5 SYSTEM PLANNING Bab SYSTEM PLANNING Desain Pengamananan Pantai Manokwari dan Pantai Pulau Mansinam Kabupaten Manokwari

Lebih terperinci

PERENCANAAN PERLINDUNGAN PANTAI SAYUNG DEMAK. Ihwan Nul Hakim, M. Fiqigozari, Sumbogo Pranoto *), Priyo Nugroho P. *)

PERENCANAAN PERLINDUNGAN PANTAI SAYUNG DEMAK. Ihwan Nul Hakim, M. Fiqigozari, Sumbogo Pranoto *), Priyo Nugroho P. *) 29 JURNAL KARYA TEKNIK SIPIL, Volume 3, Nomor 1, Tahun 2014, Halaman 29 39 Online di: http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jkts PERENCANAAN PERLINDUNGAN PANTAI SAYUNG DEMAK Ihwan Nul Hakim, M. Fiqigozari,

Lebih terperinci

III METODE PENELITIAN

III METODE PENELITIAN III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di perairan Pantai Teritip hingga Pantai Ambarawang kurang lebih 9.5 km dengan koordinat x = 116 o 59 56.4 117 o 8 31.2

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI 3.1 Diagram Alir Penyusunan Laporan Tugas Akhir

BAB III METODOLOGI 3.1 Diagram Alir Penyusunan Laporan Tugas Akhir BAB III METODOLOGI 3.1 Diagram Alir Penyusunan Laporan Tugas Akhir Langkah-langkah yang dilakukan dalam penyusunan Tugas Akhir dapat dilihat pada diagram alir berikut: 74 dengan SMS Gambar 3.1 Diagram

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan yang rentan terhadap dampak perubahan iklim. Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang termasuk rawan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI 3.1 PERSIAPAN PENDAHULUAN

BAB III METODOLOGI 3.1 PERSIAPAN PENDAHULUAN 31 BAB III 3.1 PERSIAPAN PENDAHULUAN Tahapan persiapan merupakan rangkaian kegiatan sebelum memulai pengumpulan data dan pengolahannya. Dalam tahap awal ini disusun hal-hal penting dengan tujuan mengefektifkan

Lebih terperinci

LEMBAR PENGESAHAN. Disusun oleh : DHANANG SAMATHA PUTRA L2A DWI RETNO ANGGRAENI L2A Disetujui pada : Hari : Tanggal : November 2009

LEMBAR PENGESAHAN. Disusun oleh : DHANANG SAMATHA PUTRA L2A DWI RETNO ANGGRAENI L2A Disetujui pada : Hari : Tanggal : November 2009 LEMBAR PENGESAHAN LAPORAN TUGAS AKHIR PERENCANAAN BANGUNAN PANTAI DENGAN MEMPERHATIKAN PERUBAHAN GARIS PANTAI STUDI KASUS PANTAI MUARAREJA TEGAL (Design of Shore Construction Base on Shoreline Change Case

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07/PRT/M/2015 TENTANG PENGAMANAN PANTAI

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07/PRT/M/2015 TENTANG PENGAMANAN PANTAI PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07/PRT/M/2015 TENTANG PENGAMANAN PANTAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Kondisi Fisik Daerah Penelitian II.1.1 Kondisi Geografi Gambar 2.1. Daerah Penelitian Kabupaten Indramayu secara geografis berada pada 107 52-108 36 BT dan 6 15-6 40 LS. Berdasarkan

Lebih terperinci

Analisa Perubahan Garis Pantai Akibat Kenaikan Muka Air Laut di Kawasan Pesisir Kabupaten Tuban

Analisa Perubahan Garis Pantai Akibat Kenaikan Muka Air Laut di Kawasan Pesisir Kabupaten Tuban JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No. 1, (2012) 1-5 1 Analisa Perubahan Garis Pantai Akibat Kenaikan Muka Air Laut di Kawasan Pesisir Kabupaten Tuban Liyani, Kriyo Sambodho, dan Suntoyo Teknik Kelautan, Fakultas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Tinjauan Umum

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Tinjauan Umum A I PENDAHULUAN 1.1 Tinjauan Umum Sebagai negara kepulauan Indonesia memiliki potensi wilayah pantai yang sangat besar. agi masyarakat Indonesia pantai sudah tidak asing karena sebagian besar penduduk

Lebih terperinci

KL 4099 Tugas Akhir. Desain Pengamananan Pantai Manokwari dan Pantai Pulau Mansinam Kabupaten Manokwari. Bab 9 ALTERNATIF PENGAMANAN DAN KAJIAN RESIKO

KL 4099 Tugas Akhir. Desain Pengamananan Pantai Manokwari dan Pantai Pulau Mansinam Kabupaten Manokwari. Bab 9 ALTERNATIF PENGAMANAN DAN KAJIAN RESIKO Desain Pengamananan Pantai Manokwari dan Pantai Pulau Mansinam Kabupaten Manokwari Bab 9 ALTERNATIF PENGAMANAN DAN KAJIAN RESIKO Bab ALTERNATIF PENGAMANAN DAN KAJIAN RESIKO Desain Pengamananan Pantai Manokwari

Lebih terperinci

PERENCANAAN PERLINDUNGAN PANTAI TANJUNG NIPAH, KALIMANTAN TENGAH

PERENCANAAN PERLINDUNGAN PANTAI TANJUNG NIPAH, KALIMANTAN TENGAH , Halaman 304 313 Online di: http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jkts PERENCANAAN PERLINDUNGAN PANTAI TANJUNG NIPAH, KALIMANTAN TENGAH Muhammad Noer Ichsan, Vira Anesya, Priyo Nugroho P. *), Hari

Lebih terperinci

BAB V Analisa Peramalan Garis Pantai

BAB V Analisa Peramalan Garis Pantai 155 BAB V ANALISA PERAMALAN GARIS PANTAI. 5.1 Bentuk Pantai. Pantai selalu menyesuaikan bentuk profilnya sedemikian sehingga mampu menghancurkan energi gelombang yang datang. Penyesuaian bentuk tersebut

Lebih terperinci

DAFTAR ISI Hasil Uji Model Hidraulik UWS di Pelabuhan PT. Pertamina RU VI

DAFTAR ISI Hasil Uji Model Hidraulik UWS di Pelabuhan PT. Pertamina RU VI DAFTAR ISI ALAMAN JUDUL... i ALAMAN PENGESAAN... ii PERSEMBAAN... iii ALAMAN PERNYATAAN... iv KATA PENGANTAR... v DAFTAR ISI... vi DAFTAR TABEL... x DAFTAR GAMBAR... xi DAFTAR LAMBANG... xiii INTISARI...

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pantai Pantai adalah daerah tepi perairan yang dipengaruhi oleh air pasang tertinggi dan air surut terendah, sedangkan pesisir adalah daerah darat di tepi laut yang masih mendapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 TINJAUAN UMUM

BAB I PENDAHULUAN 1.1 TINJAUAN UMUM BAB I PENDAHULUAN 1.1 TINJAUAN UMUM Ada dua istilah tentang pantai dalam bahasa Indonesia yang sering rancu pemakaiannya, yaitu pesisir (coast) dan pantai (shore). Pesisir adalah daerah darat di tepi laut

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 4 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Garis Pantai Garis pantai merupakan batas pertemuan antara daratan dengan bagian laut saat terjadi air laut pasang tertinggi. Garis ini bisa berubah karena beberapa hal seperti

Lebih terperinci

PENANGGULANGAN ABRASI PANTAI UTARA JAWA BARAT DI PANTAI DADAP KABUPATEN INDRAMAYU DENGAN KAJIAN PENANGANAN STRUKTUR DAN NON-STRUKTUR

PENANGGULANGAN ABRASI PANTAI UTARA JAWA BARAT DI PANTAI DADAP KABUPATEN INDRAMAYU DENGAN KAJIAN PENANGANAN STRUKTUR DAN NON-STRUKTUR PENANGGULANGAN ABRASI PANTAI UTARA JAWA BARAT DI PANTAI DADAP KABUPATEN INDRAMAYU DENGAN KAJIAN PENANGANAN STRUKTUR DAN NON-STRUKTUR Rullyanto Arie Hernowo 1 1 Program Studi Magister Teknik Sipil, Universitas

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Geomorfologi Bentuk lahan di pesisir selatan Yogyakarta didominasi oleh dataran aluvial, gisik dan beting gisik. Dataran aluvial dimanfaatkan sebagai kebun atau perkebunan,

Lebih terperinci

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IV HASIL DAN PEMBAHASAN IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kecepatan Dan Arah Angin Untuk mengetahui perubahan garis pantai diperlukan data gelombang dan angkutan sedimen dalam periode yang panjang. Data pengukuran lapangan tinggi gelombang

Lebih terperinci

HIBAH PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS UDAYANA JUDUL PENELITIAN STUDI ANALISIS PENDANGKALAN KOLAM DAN ALUR PELAYARAN PPN PENGAMBENGAN JEMBRANA

HIBAH PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS UDAYANA JUDUL PENELITIAN STUDI ANALISIS PENDANGKALAN KOLAM DAN ALUR PELAYARAN PPN PENGAMBENGAN JEMBRANA HIBAH PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS UDAYANA JUDUL PENELITIAN STUDI ANALISIS PENDANGKALAN KOLAM DAN ALUR PELAYARAN PPN PENGAMBENGAN JEMBRANA PENGUSUL Dr. Eng. NI NYOMAN PUJIANIKI, ST. MT. MEng Ir. I

Lebih terperinci

PERENCANAAN JETTY DI MUARA SUNGAI RANOYAPO AMURANG

PERENCANAAN JETTY DI MUARA SUNGAI RANOYAPO AMURANG Jurnal Sipil Statik Vol.1 No.6, Mei 201 (44-44) ISSN: 27-672 PERENCANAAN JETTY DI MUARA SUNGAI RANOYAPO AMURANG Kern Youla Pokaton H. J. Tawas, M. I. Jasin, J. D. Mamoto Fakultas Teknik Jurusan Teknik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai lebih dari 3.700 pulau dan wilayah pantai sepanjang 80.000 km. Wilayah pantai ini merupakan daerah yang cukup banyak

Lebih terperinci

Gambar 2.1. Definisi dan batasan pantai (Teknik Pantai, 1999).

Gambar 2.1. Definisi dan batasan pantai (Teknik Pantai, 1999). BAB II DASAR TEORI 2.1. TINJAUAN UMUM Daerah daratan adalah daerah yang terletak di atas dan di bawah permukaan daratan dimulai dari batas garis pasang tertinggi. Daerah lautan adalah daerah yang terletak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas, karena Indonesia merupakan Negara kepulauan dengangaris pantai mencapai sepanjang 81.000 km. Selain

Lebih terperinci

ANALISIS DAMPAK PEMBANGUNAN BREAKWATER TERHADAP PERUBAHAN GARIS PANTAI

ANALISIS DAMPAK PEMBANGUNAN BREAKWATER TERHADAP PERUBAHAN GARIS PANTAI ANALISIS DAMPAK PEMBANGUNAN BREAKWATER TERHADAP PERUBAHAN GARIS PANTAI Tugas Dinamika Oseanografi dan Remote Sensing Dosen : Dr. Denny Nugroho Sugianto, ST, MT Program Studi Magister Ilmu Kelautan Disusun

Lebih terperinci

3.1 PERSIAPAN PENDAHULUAN

3.1 PERSIAPAN PENDAHULUAN BAB III METODOLOGI 3.1 PERSIAPAN PENDAHULUAN Tahapan persiapan merupakan rangkaian kegiatan sebelum memulai pengumpulan data dan pengolahannya. Dalam tahap awal ini disusun hal-hal penting dengan tujuan

Lebih terperinci

ek SIPIL MESIN ARSITEKTUR ELEKTRO

ek SIPIL MESIN ARSITEKTUR ELEKTRO ek SIPIL MESIN ARSITEKTUR ELEKTRO KONSEP PENGAMANAN PANTAI TALISE KOTA PALU PROPINSI SULAWESI TENGAH Hasanuddin Azikin* dan Triyanti Anasiru * Abstract Talise beach is alongside of Palu City that has the

Lebih terperinci

PEMILIHAN JENIS BANGUNAN PENGAMAN PANTAI

PEMILIHAN JENIS BANGUNAN PENGAMAN PANTAI BAB VI PEMILIHAN JENIS BANGUNAN PENGAMAN PANTAI 176 BAB PEMILIHAN JENIS BANGUNAN PENGAMAN PANTAI VI 6.1. Umum Perlidungan pantai dapat ditimbulkan secara alami oleh pantai maupun dengan bantuan manusia.

Lebih terperinci

KONDISI GELOMBANG DI WILAYAH PERAIRAN PANTAI LABUHAN HAJI The Wave Conditions in Labuhan Haji Beach Coastal Territory

KONDISI GELOMBANG DI WILAYAH PERAIRAN PANTAI LABUHAN HAJI The Wave Conditions in Labuhan Haji Beach Coastal Territory Spektrum Sipil, ISSN 1858-4896 55 Vol. 1, No. 1 : 55-72, Maret 2014 KONDISI GELOMBANG DI WILAYAH PERAIRAN PANTAI LABUHAN HAJI The Wave Conditions in Labuhan Haji Beach Coastal Territory Baiq Septiarini

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. garis pantai sepanjang kilometer dan pulau. Wilayah pesisir

PENDAHULUAN. garis pantai sepanjang kilometer dan pulau. Wilayah pesisir PENDAHULUAN Latar belakang Wilayah pesisir merupakan peralihan ekosistem perairan tawar dan bahari yang memiliki potensi sumberdaya alam yang cukup kaya. Indonesia mempunyai garis pantai sepanjang 81.000

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. 3.1 Diagram Alir Penyusunan Laporan Tugas Akhir

BAB III METODOLOGI. 3.1 Diagram Alir Penyusunan Laporan Tugas Akhir BAB III METODOLOGI III - 1 BAB III METODOLOGI 3.1 Diagram Alir Penyusunan Laporan Tugas Akhir Langkah-langkah secara umum yang dilakukan dalam penyusunan Tugas Akhir ini dapat dilihat pada diagram alir

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut UU No.27 tahun 2007, tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, wilayah pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang

Lebih terperinci

Studi Laju Sedimentasi Akibat Dampak Reklamasi Di Teluk Lamong Gresik

Studi Laju Sedimentasi Akibat Dampak Reklamasi Di Teluk Lamong Gresik JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 1, (2013) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) 1 Studi Laju Sedimentasi Akibat Dampak Reklamasi Di Teluk Lamong Gresik Fiqyh Trisnawan W 1), Widi A. Pratikto 2), dan Suntoyo

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara umum pantai didefenisikan sebagai daerah di tepi perairan (laut) sebatas antara surut terendah dengan pasang tertinggi, sedangkan daerah pesisir adalah daratan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Permasalahan

I. PENDAHULUAN Permasalahan I. PENDAHULUAN 1.1. Permasalahan Sedimentasi di pelabuhan merupakan permasalahan yang perlu mendapatkan perhatian. Hal tersebut menjadi penting karena pelabuhan adalah unsur terpenting dari jaringan moda

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dengan garis pantai lebih dari 8.100 km serta memiliki luas laut sekitar 5,8 juta km2 dan memiliki lebih dari 17.508 pulau, sehingga

Lebih terperinci