4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "4. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Geomorfologi Bentuk lahan di pesisir selatan Yogyakarta didominasi oleh dataran aluvial, gisik dan beting gisik. Dataran aluvial dimanfaatkan sebagai kebun atau perkebunan, tegalan atau ladang, dan sawah irigasi. Bentuk lahan beting gisik dimanfaatkan sebagai daerah pemukiman, sedangkan bentuk lahan gisik hanya berupa hamparan bukit pasir yang luas yang disebut gumuk atau bukit pasir. Gumuk atau bukit pasir adalah gundukan dari pasir yang terhembus angin dan merupakan sebuah bentukan alam karena proses angin. Bentuk lahan gisik membujur sepanjang pantai dengan lebar ±300 meter dari garis pantai. Kenampakan geomorfologi di pantai selatan Yogyakarta dapat dilihat pada Gambar 7. Luasan dari bentuk lahan di lokasi penelitian dapat dilihat pada Lampiran 6.

2 Gambar 7. Kenampakan Geomorfologi di Pantai Selatan Yogyakarta Pengetahuan mengenai geomorfologi dapat memberikan informasi morfologi untuk perencanaan pengelolaan pesisir dalam penentuan satuan-satuan bentuk lahan yang akan digunakan sebagai lokasi untuk pemanfaatan tertentu (Haryono, 1991 in Suryoputro, 2007). Geomorfologi pesisir selatan Yogyakarta terutama disebabkan oleh proses asal fluvial dan marin (DPU, 2009a). Suryoputro (2007) mengemukakan bahwa bentuk lahan asal fluvial terbentuk dari material penyusun yang berasal dari endapan aluvium. Hal tersebut disebabkan karena adanya deposisi dari aliran permukaan yang lebih dominan. Satuan bentuk lahan dari bentuk lahan asal fluvial berupa dataran aluvial. Bentuk lahan asal marin merupakan bentuk lahan yang terjadi akibat proses-proses yang berasal dari tenaga laut seperti gelombang, arus, dan pasang surut. Satuan bentuk lahan dari bentuk lahan asal marin adalah gisik dan beting gisik. Bukit pasir atau gumuk pasir yang terbentuk di bantuk lahan gisik meluas ke arah barat sepanjang pantai selatan Yogyakarta hingga di wilayah pesisir Kabupaten Kulon Progo, yang mana material pasir vulkanik tersebut dibawa oleh

3 aliran Sungai Progo dan Bogowonto (Hendratno et al., 2001). Menurut Wenno dan Witasari (2001) di kawasan pesisir selatan Yogyakarta terdapat dua akumulasi endapan pasir yang berdampingan yaitu pasir dari pasir pantai dan pasir dari bukit pasir. Pasir dari keduanya adalah pasir vulkanik dengan komponen penyusunnya yang dominan adalah material vulkanik. Pemanfaatan lahan di lokasi penelitian didominasi oleh tegalan dan ladang terutama di Kecamatan Temon, Wates, Panjatan dan Galur. Sedangkan di Kecamatan Srandakan pemanfaatan lahan didominasi oleh sawah irigasi. Kondisi geomorfologi ini dapat memberikan informasi mengenai pengaruh tingkat erosi relatif dari jenis bentuk lahan yang berbeda pada suatu bagian pantai. Indeks kerentanan dari parameter geomorfologi di sepanjang pantai selatan Yogyakarta dapat dilihat pada Gambar 8. Berdasarkan gambar tersebut, seluruh kecamatan pesisir selatan Yogyakarta yang dijadikan sebagai lokasi penelitian termasuk kategori yang rentan dengan skor 4. Gambar 8. Skor Indeks Kerentanan Pesisir Selatan Yogyakarta Berdasarkan Parameter Geomorfologi

4 Sel dengan kategori rentan memiliki luasan dataran aluvial (sawah irigasi, sawah tadah hujan, tegalan/ladang dan kebun/perkebunan) yang lebih luas. Selain dataran aluvial, pesisir selatan Yogyakarta juga merupakan pantai berpasir. Hal ini menyebabkan wilayah pesisir tersebut akan lebih rentan terkena dampak genangan dan mudah mengalami abrasi. Pantai berpasir yang terdapat di pesisir selatan Yogyakarta merupakan gumuk pasir. Menurut Dinas Kelautan dan Perikanan (DISLAUTKAN) Provinsi DI Yogyakarta (2010) gumuk pasir ini tersebar merata disepanjang pantai Kabupaten Bantul sampai Kulon Progo. Volume dan luasan wilayah gumuk pasir terbesar dapat ditemui di Pantai Parangtritis, Parangkusumo, Depok, Samas, Pandansimo, Glagah Indah dan Congot. Gumuk pasir ini memiliki fungsi ekonomis dan ekologis penting, yakni sebagai kawasan wisata, areal penghijauan serta sebagai laboratorium riset di bidang geomorfologi. Fungsi lingkungan penting lain adalah sebagai barrier penahan ombak, gelombang, serta kenaikan massa air laut dan tsunami Perubahan Garis Pantai Perubahan garis pantai yang sudah terjadi dan baru terjadi dapat diintrepetasikan dan dipetakan dari citra Landsat. Perubahan garis pantai yang terdapat di pantai selatan Yogyakarta selama kurun waktu 22 tahun ( ) dapat dilihat pada Gambar 9. Garis yang berwarna hijau menunjukkan garis pantai pada tahun 1989, sedangkan garis berwarna merah merupakan garis pantai tahun 2011.

5 Perubahan garis pantai yang terdapat di Kecamatan Temon, Wates, Galur dan Srandakan cenderung mengalami abrasi (Tabel 3). Kabupaten Temon dan Wates termasuk dalam kelas kerentanan sedang dimana laju perubahan garis pantai masing-masing sebesar -0,870 m/tahun dan -0,627 m/tahun. Sedangkan Kabupaten Galur dan Srandakan termasuk kedalam kelas sangat rentan dengan laju perubahan garis pantai masing-masing adalah -10,534 m/tahun dan -7,602 m/tahun. Kecamatan Panjatan dengan laju perubahan garis pantai sebesar 4,720 m/tahun termasuk ke dalam kelas sangat tidak rentan, karena cenderung mengalami sedimentasi. Sumber: Pengolahan Citra Landsat Gambar 9. Perubahan Garis Pantai di Pantai Selatan Yogyakarta Pada Tahun Tabel 3. Perubahan Garis Pantai (m/thn) Periode di Pesisir Selatan Yogyakarta Kecamatan Perubahan (m/tahun) (-) (+)

6 Temon -2,725 0,984-0,870 Wates -1,254 0,000-0,627 Panjatan -1,023 10,463 4,720 Galur -21,068 0,000-10,534 Srandakan -15,204 0,000-7,602 Keterangan : (+) = Akresi (garis pantai maju) : (-) = Abrasi (garis pantai mundur) Sumber : Pengolahan citra Landsat Secara morfologis, daerah penelitian termasuk kedalam tipe pantai berpasir, dimana aktivitas yang dominan adalah proses sedimentasi material gunung api yang terbawa oleh sungai (Sungai Progo, Serang dan Bogowonto), maupun aktivitas pasang surut air laut. Umumnya perubahan garis pantai yang terjadi di pesisir selatan Yogyakarta berada pada daerah muara sungai. Gambar 10 memperlihatkan indeks kerentanan pesisir berdasarkan perubahan garis pantai tahun Sel dengan indeks rentan di Kecamatan Temon merupakan sel yang dekat dengan muara Sungai Serang, sehingga kemungkinan untuk terjadinya perubahan garis pantai sangatlah besar. Hal ini juga terjadi dengan sel yang berada di Kecamatan Galur dan Srandakan. Terdapatnya Sungai Progo yang membatasi kedua kecamatan tersebut juga memberi pengaruh pada perubahan garis pantai. Perubahan garis pantai tiap selnya dapat dilihat pada Lampiran 7.

7 Gambar 10. Skor Indeks Kerentanan Pesisir Selatan Yogyakarta Berdasarkan Parameter Perubahan Garis Pantai Tahun Skor indeks kerentanan pesisir selatan Yogyakarta berdasarkan parameter perubahan garis pantai (Gambar 10) memperlihatkan bahwa seluruh sel yang terdapat di Kecamatan Temon dan Wates masuk kedalam kelas sedang, dimana perubahan garis pantainya cenderung stabil. Kecamatan Panjatan yang terdiri dari delapan sel memiliki kelas perubahan garis pantai yang relatif bervariasi, dimana terdapat tiga sel yang berwarna kuning (kelas sedang), tiga sel berwarna hijau (kelas tidak rentan) dan dua sel berwarna biru (kelas sangat tidak rentan). Kecamatan Galur terdiri dari lima sel termasuk kedalam kelas sangat rentan, dikarenakan sel tersebut mengalami abrasi yang perubahan garis pantainya lebih dari 2 m/tahun. Tiga sel yang terdapat di Kecamatan Srandakan termasuk kedalam kelas sangat rentan dan satu sel termasuk kedalam kelas rentan. Wilayah pesisir merupakan wilayah yang unik, dimana ekosistemnya terdiri dari komponen hayati dan fisik yang rentan terhadap perubahan. Hal ini disebabkan dataran pesisir merupakan kawasan transisi antara pengaruh

8 daratan dan laut, menyebabkan dataran pesisir merupakan kawasan yang dinamis. Sebagai daerah transisi menyebabkan kawasan pesisir memiliki perubahan fisik yang cepat, karena adanya proses fluvial, marin dan eolian yang saling berinteraksi (Suryoputro, 2007). Proses perubahan maju mundurnya garis pantai sangat ditentukan oleh proses tersebut, dimana perubahan maju (akresi) didominasi oleh proses fluvial, sedangkan perubahan mundur (abrasi) lebih ditentukan oleh proses marin yang kuat. Ongkosono (1982) dalam Kurniawan et al. (1994) membagi faktor-faktor penyebab perubahan pesisir menjadi dua macam, yaitu ; (1) faktor alami, seperti gelombang laut, arus, angin, sedimentasi, topografi pesisir dan pasut) serta (2) faktor manusia, seperti penambangan pasir, reklamasi pantai, pengerusakan vegetasi pantai. Penyebab utama dari bertambahnya areal pantai di daerah studi diperkirakan karena adanya proses sedimentasi. Kecepatan sedimentasi daerah pantai tergantung dari banyaknya muara sungai yang ada di pantai. Salah satu sungai di Yogyakarta yang bermuara di pantai adalah Sungai Progo. Sungai Progo merupakan sungai yang dijadikan sebagai batas administratif antara Kecamatan Galur dan Srandakan. Sedimentasi yang disebabkan oleh adanya masukan material dari Sungai Progo di Kecamatan Galur dapat dilihat dari garis pantai tahun 1989 (Gambar 9). Pengurangan areal pantai (abrasi) disebabkan oleh arus dan gelombang. Faktor utama yang menentukan abrasi terutama disebabkan oleh arah gelombang yang dominan serta arah arus pasang surut. Abrasi akan berlangsung dengan cepat pada daerah pantai yang menghadap langsung dengan arah datangnya arus

9 dan gelombang, dibandingkan dengan pantai yang sejajar atau searah dengan datangnya gelombang (Hermanto, 1986) Elevasi Elevasi dapat mempengaruhi seberapa luas genangan air laut yang diakibatkan oleh kenaikan muka laut. Pada Gambar 11 menunjukkan penggolongan kelas kerentanan dari parameter elevasi. Pada gambar tersebut memperlihatkan bahwa pesisir selatan Yogyakarta yang dijadikan sebagai lokasi analisis kerentanan termasuk ke dalam kelas rentan dan sangat rentan berdasarkan parameter elevasi. Pesisir selatan Yogyakarta merupakan daerah dengan elevasi yang berkisar dari 0 sampai 10 meter. Oleh karena itu pesisir selatan Yogyakarta termasuk kategori yang cenderung rentan terhadap kenaikan muka laut. Elevasi yang terdapat di pesisir selatan Yogyakarta dapat dilihat pada Gambar 12. Gambar 11. Skor Indeks Kerentanan Pantai Selatan Yogyakarta Berdasarkan

10 Parameter Elevasi Gambar 12. Elevasi di Pesisir Selatan Yogyakarta Wilayah dengan elevasi rendah umumnya berbatasan dengan Samudera Indonesia. Ketinggian wilayah di Kecamatan Srandakan dan Sanden merupakan daerah terendah diantara kecamatan lain di Kabupaten Bantul, yaitu berkisar dari 0 sampai 25 meter dari permukaan laut (Pemerintah Kabupaten Bantul, 2007). Elevasi pantai merupakan salah satu parameter untuk menentukan potensi terhadap genangan. Menurut Marwasta dan Priyono (2007), apabila terjadi gelombang pasang maka pantai dengan morfologi landai dapat menyebabkan air akan masuk ke daratan relatif jauh sehingga luapan airnya sangat luas. Secara fisiografis kondisi Kabupaten Kulon Progo wilayahnya adalah daerah datar, meskipun dikelilingi pegunungan yang sebagian besar terletak di wilayah utara. Kawasan pantai selatan Kulon Progo merupakan lahan dengan kelerengan 0-3% atau termasuk dalam lahan dengan topografi datar. Ketinggian

11 wilayah kawasan pantai selatan berkisar 0-12 meter di atas permukaan laut (dpl). Titik terendah berada di garis tepian pantai, sedangkan titik tertinggi terletak di Cubung Kalangan, Desa Garongan (Badan Pusat Statistik Kabupaten Kulon Progo, 2010) Kenaikan Muka Laut Relatif Tabel 4 merupakan tabel dari kenaikan muka laut relatif (mm/tahun) di perairan selatan Yogyakarta hasil dari pengolahan data satelit Topex/Poseidon (T/P), JASON 1 dan JASON 2. Pada tabel tersebut dapat diketahui bahwa ratarata tinggi muka laut relatif di perairan selatan Yogyakarta adalah 4,62 mm/tahun, sehingga dapat dikatakan bahwa perairan selatan Yogyakarta termasuk kedalam kelas sangat rentan. Tabel 4. Tinggi Muka Laut Relatif (mm/tahun) di Perairan Selatan Yogyakarta KABUPATEN KECAMATAN KODE SEL Kulon Progo Temon Wates Panjatan Galur KENAIKAN MUKA LAUT RELATIF (mm/tahun) , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,67

12 Bantul Srandakan , , , ,69 Berdasarkan nilai kenaikan muka laut pada Tabel 4 dan visualisasi Gambar 13 diketahui bahwa wilayah yang dijadikan lokasi penelitian merupakan wilayah yang rentan terhadap kenaikan muka laut. Kenaikan muka laut di pantai selatan Yogyakarta lebih besar dari 4,0 mm/tahun. Menurut Gornitz (1991) kenaikan muka laut relatif lebih dari 4,0 mm/tahun akan sangat berbahaya bagi wilayah pesisir. Kenaikan muka laut relatif mengindikasikan bagaimana pengaruh kenaikan muka air laut terhadap suatu bagian dari garis pantai. Gambar 13. Skor Indeks Kerentanan Pesisir Selatan Yogyakarta Berdasarkan Parameter Kenaikan Muka Laut 4.5. Tunggang Pasang Surut Rata-rata

13 Tunggang pasang surut di pesisir selatan Yogyakarta berkisar antara 2,04-2,10 meter. Tunggang pasut terendah terdapat pada Kecamatan Temon dengan kode sel yaitu 2,04 meter, sedangkan tunggang pasut tertinggi terjadi di Kecamatan Srandakan dengan kode sel yaitu 2,10 meter. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Triatmodjo dan Nizam (2001), tunggang pasang surut yang terjadi di pesisir selatan Yogyakarta adalah 2,10 meter dengan nilai pasang surut rata-rata (mean tide level) dan maksimum berturut-turut adalah 1,2 meter dan 2,15 meter. Rata-rata tunggang pasang surut selama sebelas tahun di pesisir selatan Yogyakarta dapat dilihat pada Tabel 5. NAMA KEC Tabel 5. Rata-rata Tunggang Pasang Surut (m) Tahunan Periode di Pesisir Selatan Yogyakarta KODE SEL TAHUN RATA- RATA (m) Temon ,05 2,08 2,04 2,00 2,05 2,07 2,05 2,03 2,01 2,04 Temon ,00 2,05 2,08 2,04 2,00 2,05 2,07 2,06 2,03 2,01 2,04 Temon ,00 2,05 2,09 2,04 2,01 2,05 2,07 2,06 2,04 2,01 2,04 Temon ,00 2,05 2,09 2,04 2,01 2,05 2,07 2,06 2,03 2,01 2,04 Temon ,00 2,06 2,09 2,05 2,01 2,05 2,07 2,06 2,04 2,01 2,04 Temon ,00 2,06 2,09 2,05 2,01 2,06 2,08 2,06 2,04 2,01 2,05 Wates ,01 2,06 2,10 2,05 2,01 2,06 2,08 2,07 2,04 2,01 2,05 Wates ,01 2,06 2,10 2,05 2,01 2,06 2,08 2,07 2,04 2,01 2,05 Wates ,01 2,06 2,10 2,05 2,01 2,06 2,08 2,07 2,04 2,02 2,05 Wates ,01 2,07 2,10 2,05 2,01 2,07 2,09 2,07 2,04 2,02 2,05 Panjatan ,01 2,07 2,10 2,05 2,02 2,07 2,09 2,08 2,04 2,02 2,05 Panjatan ,01 2,07 2,11 2,06 2,02 2,07 2,09 2,08 2,05 2,02 2,06 Panjatan ,02 2,08 2,11 2,06 2,02 2,07 2,09 2,08 2,05 2,02 2,06 Panjatan ,02 2,08 2,11 2,06 2,02 2,08 2,10 2,08 2,05 2,02 2,06 Panjatan ,02 2,08 2,12 2,06 2,02 2,08 2,10 2,09 2,05 2,03 2,06 Panjatan ,02 2,08 2,12 2,07 2,02 2,08 2,10 2,09 2,05 2,03 2,07 Panjatan ,03 2,09 2,12 2,07 2,03 2,09 2,11 2,09 2,06 2,03 2,07

14 Galur ,03 2,09 2,13 2,07 2,03 2,09 2,11 2,10 2,06 2,03 2,07 Galur ,03 2,09 2,13 2,08 2,03 2,09 2,11 2,10 2,06 2,03 2,08 Galur ,04 2,10 2,13 2,08 2,03 2,10 2,12 2,11 2,06 2,04 2,08 Galur ,04 2,10 2,14 2,09 2,04 2,10 2,12 2,11 2,07 2,04 2,08 Galur ,05 2,11 2,14 2,09 2,04 2,11 2,13 2,11 2,07 2,04 2,09 Srandakan ,05 2,11 2,15 2,09 2,04 2,11 2,13 2,12 2,07 2,05 2,09 Srandakan ,05 2,12 2,15 2,10 2,04 2,11 2,13 2,12 2,07 2,05 2,09 Srandakan ,05 2,12 2,15 2,10 2,04 2,12 2,13 2,12 2,07 2,05 2,09 Srandakan ,05 2,12 2,15 2,10 2,05 2,12 2,14 2,12 2,07 2,05 2,10 Berdasarkan Tabel 5 tersebut, nilai rata-rata tunggang pasut selama sepuluh tahun ( ) adalah 2,06 meter yang termasuk mesotidal. Tunggang rata-rata (mean range) pasut adalah perbedaan tinggi rata-rata pada saat pasang tertinggi dan surut terendah. Nilai rata-rata tunggang mempunyai arti penting dalam kerentanan pesisir, dimana tunggang pasang surut berkontribusi dalam penggenangan daerah pesisir. Gerakan pasang surut menyebabkan permukaan air laut senantiasa berubah-ubah setiap saat. Nilai indeks kerentanan berdasarkan parameter tunggang pasang surut di pesisir selatan Yogyakarta termasuk kedalam kelas sedang atau memperoleh skor 3. Penggolongan kelas tersebut dapat dilihat pada Gambar 14.

15 Gambar 14. Skor Indeks Kerentanan Pantai Selatan Yogyakarta Berdasarkan Parameter Rata-Rata Tunggang Pasang Surut Hasil analisis pasang surut dengan menggunakan perangkat lunak MIKE 21, diketahui bahwa tipe pasut di perairan selatan Yogyakarta adalah campuran condong ke harian ganda, dimana nilai bilangan Formzhal-nya adalah berada diantara 0,25 dan 1,50. Pasang surut campuran condong harian ganda (mixed tide, prevailing semidiurnal) merupakan pasut yang terjadi dua kali pasang dan dua kali surut dalan satu hari, tetapi kadang terjadi satu kali pasang dan satu kali surut dengan memiliki tinggi dan waktu berbeda. Pasang surut jenis ini terdapat di pantai selatan Jawa dan Indonesia bagian timur (Wyrtki, 1961) Tinggi Gelombang Berdasarkan hasil pengolahan data gelombang yang dibangkitkan oleh angin diketahui bahwa tinggi gelombang pecah yang terdapat di pesisir selatan Yogyakarta berkisar dari 0,655 sampai 0,669 meter (Tabel 6).

16 Tabel 6. Tinggi Gelombang Pecah di Pesisir Selatan Yogyakarta KABUPATEN KECAMATAN KODE SEL TINGGI GELOMBANG PECAH (m) Kulon Progo Bantul Temon Wates Panjatan Galur Srandakan Sumber: Pengolahan data ECMWF , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,657 Tinggi gelombang pecah pada Tabel 6 di atas memperlihatkan bahwa tinggi gelombang pecah yang terdapat di pesisir selatan Yogyakarta tidak terlalu berbeda jauh antara sel yang satu dengan sel lainnya. Tinggi gelombang pecah minimum terdapat di sel (Kec. Temon); 21114, 21217, (Kec. Panjatan) dan (Kec. Srandakan) dengan tinggi gelombang pecah yaitu 0,655 meter. Tinggi gelombang pecah maksimum di pesisir selatan Yogyakarta yaitu 0,669 meter yang terdapat pada sel (Kec. Panjatan) dan (Kec. Galur). Tinggi gelombang pecah di perairan selatan Yogyakarta termasuk ke

17 dalam kelas sangat tidak rentan yang diberi indikator warna biru. Kelas sangat tidak rentan terdapat di semua kecamatan yang dijadikan sebagai daerah penelitian. Visualisasi dari pembagian kelas kerentanan berdasarkan parameter tinggi gelombang pecah dapat dilihat pada Gambar 15. Gambar 15. Skor Indeks Kerentanan Pesisir Selatan Yogyakarta Berdasarkan Parameter Tinggi Gelombang Pecah Gelombang merupakan parameter utama dalam proses erosi atau sedimentasi. Besarnya tergantung dari besarnya energi yang dihempaskan oleh gelombang ke pantai. Besarnya energi gelombang ditentukan oleh tinggi gelombang sebelum pecah. Nilai tinggi gelombang dalam kerentanan pantai dapat mempengaruhi perubahan garis pantai dan kondisi geomorfologi daerah tersebut. Selain itu, ketinggian gelombang berkaitan dengan bahaya pengenangan air laut dan transport sedimen di pantai (Pendleton et al., 2005). Wilayah perairan Laut Selatan Jawa dan khususnya di Pantai Selatan Yogyakarta, gelombang yang dihasilkan cukup besar dan sering dikatakan sebagai

18 daerah yang sangat ganas karena menimbulkan abrasi sepanjang tahun. Data angin yang dikorelasikan dengan bentuk garis pantai daerah menunjukkan bahwa frekuensi angin yang paling berpengaruh adalah berasal dari arah tenggara, selatan, barat daya dan barat (DISLAUTKAN Provinsi DI Yogyakarta, 2010) Kerentanan Wilayah Pesisir Selatan Yogyakarta Tingkat kerentanan pesisir selatan Yogyakarta berdasarkan parameter kerentanan terhadap kenaikan muka laut dapat dilihat pada Tabel 7. Pada tabel tersebut terlihat bahwa terdapat tujuh sel yang termasuk dalam indeks tidak rentan, 15 sel termasuk dalam kelas sedang dan delapan sel yang termasuk dalam kelas sedang. Indeks kerentanan dapat pula digunakan sebagai indikator tingkat kerentanan. Tingkat kerentanan merupakan suatu hal yang penting untuk diketahui karena dapat berpengaruh terhadap terjadinya bencana. Bencana baru akan terjadi pada kondisi yang rentan. Pada tabel tersebut terlihat tingkat kerentanan yang dibagi menjadi tiga kelas yaitu kelas tidak rentan, sedang dan rentan. Pembagian kelas atau tingkat kerentanan didasarkan pada penelitian yang dilakukan oleh Gornitz dan White (1992) dimana kelas tersebut dibagi berdasarkan persen dengan range antar kelas adalah 33 persen. Nilai yang termasuk dalam persen kurang dari sama dengan 33 termasuk kedalam indeks tidak rentan, yaitu CVI kurang dari 7,75. Nilai yang termasuk dalam persen antara 34 sampai 67 termasuk indeks sedang dengan CVI antara 7,75 8,66. Sedangkan nilai yang termasuk dalam persen lebih dari 67 termasuk indeks rentan dengan CVI lebih dari 8,66.

19 Tabel 7. Hasil Perhitungan Indeks Kerentanan Pesisir Selatan Yogyakarta KABUPATEN KECAMATAN KODE SEL CVI KELAS ,25 Sedang ,25 Sedang Temon ,25 Sedang ,25 Sedang ,25 Sedang ,25 Sedang ,25 Sedang Wates ,25 Sedang ,25 Sedang ,25 Sedang Kulon Progo ,00 Tidak Rentan ,94 Tidak Rentan Panjatan ,32 Tidak Rentan ,94 Tidak Rentan ,32 Tidak Rentan ,95 Tidak Rentan ,95 Tidak Rentan ,14 Rentan ,14 Rentan Galur ,14 Rentan ,14 Rentan ,14 Rentan ,81 Rentan Bantul Srandakan ,14 Rentan ,14 Rentan ,65 Rentan Nilai CVI pada Tabel 7 merupakan nilai yang dihasilkan dari pengolahan dan analisis skor parameter kerentanan pesisir. Parameter geomorfologi, kenaikan muka laut relatif, tunggang pasang surut rata-rata dan tinggi gelombang memiliki skor yang sama pada tiap selnya, sehingga masing-masing dari parameter tersebut memiliki pengaruh yang sama pula tiap sel. Dibandingan dengan parameter perubahan garis pantai dan elevasi memiliki skor yang berbeda, sehingga memberi pengaruh yang berbeda pula pada masing-masing sel. Adanya

20 parameter dengan persamaan skor pada setiap selnya diduga karena wilayah lokasi studi yang sempit. Gambar 16. Peta Indeks Kerentanan Pesisir Selatan Yogyakarta Peta kerentanan skala lokal pesisir selatan Yogyakarta disajikan pada Gambar 16. Dari gambar tersebut terlihat bahwa di Kecamatan Temon dan Wates termasuk kecamatan dengan tingkat kerentanan sedang terhadap kenaikan muka laut, dikarenakan semua sel yang terdapat di kecamatan tersebut termasuk kedalam kategori tidak rentan dengan nilai CVI antara 12,25 sampai 12,52. Kecamatan Panjatan dengan 8 sel, dimana 7 sel termasuk daerah yang tidak rentan, dan satu sel dengan kerentanan sedang terhadap kenaikan muka laut. Sel dengan kategori tidak rentan terhadap kenaikan muka laut memiliki nilai CVI kurang dari 12,25. Kecamatan Galur dan Srandakan termasuk dalam kategori rentan terhadap kenaikan muka laut. Hal ini dikarenakan nilai CVI pada kedua kecamatan tersebut lebih dari 12,52.

21 Gambar 17. Distribusi Tingkat Kerentanan Pesisir Selatan Yogyakarta Distribusi dari tingkat kerentanan pesisir di wilayah pesisir selatan Yogyakarta disajikan pada Gambar 17. Pada gambar tersebut dapat dilihat bahwa panjang wilayah pesisir Yogyakarta yang dijadikan sebagai daerah penelitian secara keseluruhan memiliki kategori tidak rentan terhadap kenaikan muka laut adalah sepanjang 7 km (26,92% dari total panjang garis pantai). Panjang wilayah pesisir dengan tingkat kerentanan sedang adalah sepanjang 10 km (38,46% dari total panjang garis pantai). Panjang wilayah pesisir yang termasuk kategori rentan adalah sepanjang 9 km (34,62% dari total panjang garis pantai). Berdasarkan hasil studi dapat diketahui bahwa parameter yang sangat berpengaruh terhadap kerentanan wilayah pesisir di selatan Yogyakarta adalah perubahan garis pantai. Perubahan garis pantai akan memberikan pengaruh negatif terhadap daerah pesisir apabila perubahannya tersebut berupa pengurangan luas daratan (abrasi). Kecepatan perubahan garis pantai juga dipengaruhi oleh

22 faktor geomorfologi. Geomorfologi pesisir selatan Yogyakarta yang berupa gumuk pasir memberikan pengaruh terhadap kecepatan perubahan garis pantai. Pantai selatan Jawa, khususnya selatan Yogyakarta memiliki karateristik pantai yang sangat unik dibandingkan dengan pantai utara Jawa. Salah satu karakteristik pantai selatan Yogyakarta adalah gumuk pasir. Hal ini berbeda dengan pantai utara Jawa yang bertopografi hampir datar. Selain itu, pantai utara Jawa juga merupakan daerah potensial yang dijadikan kawasan pemukiman, industri dan rekreasi, sehingga pantai utara Jawa merupakan daerah yang rentan untuk terkena dampak dari kenaikan muka laut. Kenaikan muka laut merupakan suatu ancaman bagi pesisir dan pulaupulau kecil yang ada di dunia, termasuk di pesisir selatan Yogyakarta. Selain ancaman muka laut, pesisir selatan Yogyakarta juga termasuk daerah yang rentan terhadap bencana alam baik abrasi, banjir, longsor, gempa bumi, maupun tsunami (DISLAUTKAN Provinsi DI Yogyakarta, 2010). Oleh karena itu, perlu adanya pengembangan kawasan yang memiliki tingkat kerentanan tinggi terhadap bencana alam perlu disertai dengan konsep mitigasi bencana, sehingga dampak terjadinya bencana alam dapat diminimalisasi. 5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan

2. TINJAUAN PUSTAKA Letak geografis, administratif dan luas wilayah

2. TINJAUAN PUSTAKA Letak geografis, administratif dan luas wilayah 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Wilayah Studi 2.1.1. Letak geografis, administratif dan luas wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan sebuah daerah otonomi setingkat Provinsi di Indonesia, secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan yang lain, yaitu masing-masing wilayah masih dipengaruhi oleh aktivitas

BAB I PENDAHULUAN. dengan yang lain, yaitu masing-masing wilayah masih dipengaruhi oleh aktivitas BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir (coast) dan pantai (shore) merupakan bagian dari wilayah kepesisiran (Gunawan et al. 2005). Sedangkan menurut Kodoatie (2010) pesisir (coast) dan pantai (shore)

Lebih terperinci

KERANGKA RAPERMEN TENTANG TATA CARA PENGHITUNGAN BATAS SEMPADAN PANTAI

KERANGKA RAPERMEN TENTANG TATA CARA PENGHITUNGAN BATAS SEMPADAN PANTAI KERANGKA RAPERMEN TENTANG TATA CARA PENGHITUNGAN BATAS SEMPADAN PANTAI BAB I BAB II BAB III BAB IV BAB V : KETENTUAN UMUM : PENGHITUNGAN BATAS SEMPADAN PANTAI Bagian Kesatu Indeks Ancaman dan Indeks Kerentanan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.113, 2016 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PEMERINTAHAN. WILAYAH. NASIONAL. Pantai. Batas Sempadan. PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG BATAS SEMPADAN PANTAI DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG BATAS SEMPADAN PANTAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG BATAS SEMPADAN PANTAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG BATAS SEMPADAN PANTAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Pengukuran Beda Tinggi Antara Bench Mark Dengan Palem Dari hasil pengukuran beda tinggi dengan metode sipat datar didapatkan beda tinggi antara palem dan benchmark

Lebih terperinci

ANALISIS KERENTANAN PESISIR TERHADAP ANCAMAN KENAIKAN MUKA LAUT DI SELATAN YOGYAKARTA AMANDANGI WAHYUNING HASTUTI SKRIPSI

ANALISIS KERENTANAN PESISIR TERHADAP ANCAMAN KENAIKAN MUKA LAUT DI SELATAN YOGYAKARTA AMANDANGI WAHYUNING HASTUTI SKRIPSI ANALISIS KERENTANAN PESISIR TERHADAP ANCAMAN KENAIKAN MUKA LAUT DI SELATAN YOGYAKARTA AMANDANGI WAHYUNING HASTUTI SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Letak Geografis. 08º00'27" Lintang Selatan dan 110º12'34" - 110º31'08" Bujur Timur. Di

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Letak Geografis. 08º00'27 Lintang Selatan dan 110º12'34 - 110º31'08 Bujur Timur. Di IV. KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI A. Letak Geografis Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta mempunyai lima Kabupaten dan satu Kotamadya, salah satu kabupaten tersebut adalah Kabupaten Bantul. Secara geografis,

Lebih terperinci

Gambar 15 Mawar angin (a) dan histogram distribusi frekuensi (b) kecepatan angin dari angin bulanan rata-rata tahun

Gambar 15 Mawar angin (a) dan histogram distribusi frekuensi (b) kecepatan angin dari angin bulanan rata-rata tahun IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakter Angin Angin merupakan salah satu faktor penting dalam membangkitkan gelombang di laut lepas. Mawar angin dari data angin bulanan rata-rata selama tahun 2000-2007 diperlihatkan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian BAB III METODOLOGI PENELITIAN Lokasi penelitian Analisis Indeks Kerentanan Pesisir Sebagai Upaya Pananggulangan Abrasi Di Pantai Anyer Kabupaten Serang Provinsi Banten terletak

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Secara umum pantai didefenisikan sebagai daerah di tepi perairan (laut) sebatas antara surut terendah dengan pasang tertinggi, sedangkan daerah pesisir adalah daratan

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK PANTAI GUGUSAN PULAU PARI. Hadiwijaya L. Salim dan Ahmad *) ABSTRAK

KARAKTERISTIK PANTAI GUGUSAN PULAU PARI. Hadiwijaya L. Salim dan Ahmad *) ABSTRAK KARAKTERISTIK PANTAI GUGUSAN PULAU PARI Hadiwijaya L. Salim dan Ahmad *) ABSTRAK Penelitian tentang karakter morfologi pantai pulau-pulau kecil dalam suatu unit gugusan Pulau Pari telah dilakukan pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan yang rentan terhadap dampak perubahan iklim. Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang termasuk rawan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Wilayah Administratif Kabupaten Tanggamus

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Wilayah Administratif Kabupaten Tanggamus II. TINJAUAN PUSTAKA A. Gambaran Umum Kabupaten Tanggamus 1. Wilayah Administratif Kabupaten Tanggamus Secara geografis wilayah Kabupaten Tanggamus terletak pada posisi 104 0 18 105 0 12 Bujur Timur dan

Lebih terperinci

KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 21 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN Kondisi Umum Fisik Wilayah Geomorfologi Wilayah pesisir Kabupaten Karawang sebagian besar daratannya terdiri dari dataran aluvial yang terbentuk karena banyaknya sungai

Lebih terperinci

KAJIAN KERUSAKAN PANTAI AKIBAT EROSI MARIN DI WILAYAH PESISIR KELURAHAN KASTELA KECAMATAN PULAU TERNATE

KAJIAN KERUSAKAN PANTAI AKIBAT EROSI MARIN DI WILAYAH PESISIR KELURAHAN KASTELA KECAMATAN PULAU TERNATE KAJIAN KERUSAKAN PANTAI AKIBAT EROSI MARIN DI WILAYAH PESISIR KELURAHAN KASTELA KECAMATAN PULAU TERNATE Adnan Sofyan *) Abstrak : Tingkat kerusakan di wilayah pesisir Kelurahan Kastela yaitu sesuai panjang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Pantai adalah daerah di tepi perairan yang dipengaruhi oleh air pasang tertinggi dan air surut terendah. Garis pantai adalah garis batas pertemuan antara daratan dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian Dinamika morfologi muara menjadi salah satu kajian yang penting. Hal ini disebabkan oleh penggunaan daerah ini sebagai tempat kegiatan manusia dan mempunyai

Lebih terperinci

DINAMIKA PANTAI (Abrasi dan Sedimentasi) Makalah Gelombang Yudha Arie Wibowo

DINAMIKA PANTAI (Abrasi dan Sedimentasi) Makalah Gelombang Yudha Arie Wibowo DINAMIKA PANTAI (Abrasi dan Sedimentasi) Makalah Gelombang Yudha Arie Wibowo 09.02.4.0011 PROGRAM STUDI / JURUSAN OSEANOGRAFI FAKULTAS TEKNIK DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS HANG TUAH SURABAYA 2012 0 BAB

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan yang mempunyai 13.466 pulau dan mempunyai panjang garis pantai sebesar 99.093 km. Luasan daratan di Indonesia sebesar 1,91 juta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan transisi ekosistem terestrial dan laut yang ditandai oleh gradien perubahan ekosistem yang tajam (Pariwono, 1992). Kawasan pantai merupakan

Lebih terperinci

Gambar 9. Peta Batas Administrasi

Gambar 9. Peta Batas Administrasi IV. KONDISI UMUM WILAYAH 4.1 Letak Geografis Wilayah Kabupaten Garut terletak di Provinsi Jawa Barat bagian Selatan pada koordinat 6 56'49'' - 7 45'00'' Lintang Selatan dan 107 25'8'' - 108 7'30'' Bujur

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik 4.1.1 Wilayah Administrasi Kota Bandung merupakan Ibukota Propinsi Jawa Barat. Kota Bandung terletak pada 6 o 49 58 hingga 6 o 58 38 Lintang Selatan dan 107 o 32 32 hingga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu Negara di dunia yang memiliki wilayah sangat luas dan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu Negara di dunia yang memiliki wilayah sangat luas dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu Negara di dunia yang memiliki wilayah sangat luas dan sumber daya alam yang berlimpah. Kondisi sumber daya alam Indonesia saat ini, sangat

Lebih terperinci

DINAMIKA PANTAI (Geologi, Geomorfologi dan Oseanografi Kawasan Pesisir)

DINAMIKA PANTAI (Geologi, Geomorfologi dan Oseanografi Kawasan Pesisir) DINAMIKA PANTAI (Geologi, Geomorfologi dan Oseanografi Kawasan Pesisir) Adipandang Yudono 12 GEOLOGI LAUT Geologi (geology) adalah ilmu tentang (yang mempelajari mengenai) bumi termasuk aspekaspek geologi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan pertemuan antara wilayah laut dan wilayah darat, dimana daerah ini merupakan daerah interaksi antara ekosistem darat dan ekosistem laut yang

Lebih terperinci

BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATA GUNA LAHAN

BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATA GUNA LAHAN BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATA GUNA LAHAN 4.1 Geomorfologi Pada bab sebelumnya telah dijelaskan secara singkat mengenai geomorfologi umum daerah penelitian, dan pada bab ini akan dijelaskan secara lebih

Lebih terperinci

Gambar 3. Peta Resiko Banjir Rob Karena Pasang Surut

Gambar 3. Peta Resiko Banjir Rob Karena Pasang Surut BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kajian Peta Daerah Berpotensi Banjir Rob Karena Pasang Surut Analisis daerah yang berpotensi terendam banjir rob karena pasang surut dilakukan dengan pemetaan daerah berpotensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara umum pantai didefenisikan sebagai daerah di tepi perairan (laut) sebatas antara surut terendah dengan pasang tertinggi, sedangkan daerah pesisir adalah daratan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pertemuan antara air tawar dan air laut. Wilayah ini memiliki keunggulan berupa

BAB I PENDAHULUAN. pertemuan antara air tawar dan air laut. Wilayah ini memiliki keunggulan berupa BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan pesisir dari sisi geografi dan letaknya merupakan daerah pertemuan antara air tawar dan air laut. Wilayah ini memiliki keunggulan berupa potensi ekosistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Pantai adalah daerah di tepi perairan yang dipengaruhi oleh air pasang tertinggi dan air surut terendah. Garis pantai adalah garis batas pertemuan antara daratan dan

Lebih terperinci

GEOMORFOLOGI BALI DAN NUSA TENGGARA

GEOMORFOLOGI BALI DAN NUSA TENGGARA GEOMORFOLOGI BALI DAN NUSA TENGGARA PULAU BALI 1. Letak Geografis, Batas Administrasi, dan Luas Wilayah Secara geografis Provinsi Bali terletak pada 8 3'40" - 8 50'48" Lintang Selatan dan 114 25'53" -

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Rencana pengembangan kawasan pantai selatan Pulau Jawa yang membentang dari Jawa Timur sampai Jawa Barat, tentu akan memberi dampak perkembangan penduduk di daerah-daerah

Lebih terperinci

ANALISIS KERENTANAN PANTAI DI KABUPATEN TAKALAR. Eka Wahyuni Syahrir, Dr. Sakka, M.Si, Drs. Samsu Arif, M.Si

ANALISIS KERENTANAN PANTAI DI KABUPATEN TAKALAR. Eka Wahyuni Syahrir, Dr. Sakka, M.Si, Drs. Samsu Arif, M.Si ANALISIS KERENTANAN PANTAI DI KABUPATEN TAKALAR Eka Wahyuni Syahrir, Dr. Sakka, M.Si, Drs. Samsu Arif, M.Si Program Studi Geofisika Jurusan Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 232 BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Setelah data dan hasil analisis penelitian diperoleh kemudian di dukung oleh litelature penelitian yang relevan, maka tiba saatnya menberikan penafsiran dan pemaknaan

Lebih terperinci

Kajian Hidro-Oseanografi untuk Deteksi Proses-Proses Dinamika Pantai (Abrasi dan Sedimentasi)

Kajian Hidro-Oseanografi untuk Deteksi Proses-Proses Dinamika Pantai (Abrasi dan Sedimentasi) Kajian Hidro-Oseanografi untuk Deteksi Proses-Proses Dinamika Pantai (Abrasi dan Sedimentasi) Mario P. Suhana * * Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor Email: msdciyoo@gmail.com

Lebih terperinci

Analisis Arah Angin Pembentuk Gumuk Pasir Berdasarkan Data Morfologi dan Struktur Sedimen, Daerah Pantai Parangtritis, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Analisis Arah Angin Pembentuk Gumuk Pasir Berdasarkan Data Morfologi dan Struktur Sedimen, Daerah Pantai Parangtritis, Daerah Istimewa Yogyakarta. Analisis Arah Angin Pembentuk Gumuk Pasir Berdasarkan Data Morfologi dan Struktur Sedimen, Daerah Pantai Parangtritis, Daerah Istimewa Yogyakarta. Herning Dyah Kusuma Wijayanti 1, Fikri Abubakar 2 Dosen,

Lebih terperinci

BAB III DATA LOKASI. Perancangan Arsitektur Akhir Prambanan Hotel Heritage & Convention. 3.1 Data Makro

BAB III DATA LOKASI. Perancangan Arsitektur Akhir Prambanan Hotel Heritage & Convention. 3.1 Data Makro BAB III DATA LOKASI 3.1 Data Makro 3.1.1 Data Kawasan wilayah Kabupaten Sleman yaitu : Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Magelang (Provinsi Jawa Tengah) Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Studi Daerah yang menjadi objek dalam penulisan Tugas Akhir ini adalah pesisir Kecamatan Muara Gembong yang terletak di kawasan pantai utara Jawa Barat. Posisi geografisnya

Lebih terperinci

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL DAFTAR LAMPIRAN BAB 1. PENDAHULUAN

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL DAFTAR LAMPIRAN BAB 1. PENDAHULUAN DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... ii DAFTAR ISI... vi DAFTAR GAMBAR... ix DAFTAR TABEL... xi DAFTAR LAMPIRAN... xii BAB 1. PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar Belakang... 1 1.2. Perumusan Masalah... 5 1.3. Tujuan Penelitian...

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. baik bagi pesisir/daratan maupun lautan. Selain berfungsi secara ekologis,

BAB I PENDAHULUAN. baik bagi pesisir/daratan maupun lautan. Selain berfungsi secara ekologis, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem yang sangat vital, baik bagi pesisir/daratan maupun lautan. Selain berfungsi secara ekologis, ekosistem mangrove memiliki

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penutupan Lahan Tahun 2003 2008 4.1.1 Klasifikasi Penutupan Lahan Klasifikasi penutupan lahan yang dilakukan pada penelitian ini dimaksudkan untuk membedakan penutupan/penggunaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan dengan luas wilayah daratan dan perairan yang besar. Kawasan daratan dan perairan di Indonesia dibatasi oleh garis pantai yang menempati

Lebih terperinci

BAB II KONDISI UMUM LOKASI

BAB II KONDISI UMUM LOKASI 6 BAB II KONDISI UMUM LOKASI 2.1 GAMBARAN UMUM Lokasi wilayah studi terletak di wilayah Semarang Barat antara 06 57 18-07 00 54 Lintang Selatan dan 110 20 42-110 23 06 Bujur Timur. Wilayah kajian merupakan

Lebih terperinci

MITIGASI BENCANA ALAM II. Tujuan Pembelajaran

MITIGASI BENCANA ALAM II. Tujuan Pembelajaran K-13 Kelas X Geografi MITIGASI BENCANA ALAM II Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan mempunyai kemampuan sebagai berikut. 1. Memahami banjir. 2. Memahami gelombang pasang.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan kimia airtanah dipengaruhi oleh faktor geologi dan faktor antropogen.

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan kimia airtanah dipengaruhi oleh faktor geologi dan faktor antropogen. 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Kimia airtanah menunjukkan proses yang mempengaruhi airtanah. Perubahan kimia airtanah dipengaruhi oleh faktor geologi dan faktor antropogen. Nitrat merupakan salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pantai adalah suatu wilayah yang mengalami kontak langsung dengan aktivitas manusia dan kontak dengan fenomena alam terutama yang berasal dari laut. Fenomena

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Perbandingan Peta Topografi

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Perbandingan Peta Topografi BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN A. Perbandingan Peta Topografi 1. DEM dan Kontur RBI Perbandingan peta topografi antara data DEM dan Kontur RBI disajikan dalam bentuk degredasi warna yang diklasifikasikan menjadi

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN LOKASI. 3.1 Tinjauan Umum Kabupaten Kulon Progo sebagai Wilayah Sasaran Proyek

BAB III TINJAUAN LOKASI. 3.1 Tinjauan Umum Kabupaten Kulon Progo sebagai Wilayah Sasaran Proyek BAB III TINJAUAN LOKASI 3.1 Tinjauan Umum Kabupaten Kulon Progo sebagai Wilayah Sasaran Proyek 3.1.1 Kondisi Administratif Kabupaten Kulon Progo Kabupaten Kulon Progo merupakan salah satu kabupaten dari

Lebih terperinci

APLIKASI PJ UNTUK PENGGUNAAN TANAH. Ratna Saraswati Kuliah Aplikasi SIG 2

APLIKASI PJ UNTUK PENGGUNAAN TANAH. Ratna Saraswati Kuliah Aplikasi SIG 2 APLIKASI PJ UNTUK PENGGUNAAN TANAH Ratna Saraswati Kuliah Aplikasi SIG 2 Prosedur analisis citra untuk penggunaan tanah 1. Pra-pengolahan data atau pengolahan awal yang merupakan restorasi citra 2. Pemotongan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 24 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penggunaan Lahan Sawah dan Tegalan di Kabupaten Bogor Penggunaan lahan di Kabupaten Bogor pada tahun 1990, 2001, 2004, dan 2008 masih didominasi oleh lahan pertanian yaitu

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Kondisi Fisiografi

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Kondisi Fisiografi III. KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI A. Kondisi Fisiografi 1. Letak Wilayah Secara Geografis Kabupaten Sleman terletak diantara 110 33 00 dan 110 13 00 Bujur Timur, 7 34 51 dan 7 47 30 Lintang Selatan. Wilayah

Lebih terperinci

sebagai sumber pendapatan masyarakat. Indonesia mempunyai potensi sumber memberikan kontribusi yang besar bagi rakyatnya.

sebagai sumber pendapatan masyarakat. Indonesia mempunyai potensi sumber memberikan kontribusi yang besar bagi rakyatnya. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah salah satu Negara agraris, disini sektor pertanian dapat menjadi penghasil pangan, penyerap tenaga kerja, sumber bahan baku industri dan sebagai sumber

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Menurut Mahi (2001 a), sampai saat ini belum ada definisi wilayah pesisir yang

I. PENDAHULUAN. Menurut Mahi (2001 a), sampai saat ini belum ada definisi wilayah pesisir yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut Mahi (2001 a), sampai saat ini belum ada definisi wilayah pesisir yang baku. Namun demikian terdapat kesepakatan umum bahwa wilayah pesisir didefinisikan sebagai

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN ANALISIS

BAB IV HASIL DAN ANALISIS BAB IV HASIL DAN ANALISIS IV.1 Uji Sensitifitas Model Uji sensitifitas dilakukan dengan menggunakan 3 parameter masukan, yaitu angin (wind), kekasaran dasar laut (bottom roughness), serta langkah waktu

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Citra Digital Interpretasi dilakukan dengan pembuatan area contoh (training set) berdasarkan pengamatan visual terhadap karakteristik objek dari citra Landsat. Untuk

Lebih terperinci

KONDISI UMUM WILAYAH STUDI

KONDISI UMUM WILAYAH STUDI 16 KONDISI UMUM WILAYAH STUDI Kondisi Geografis dan Administratif Kota Sukabumi terletak pada bagian selatan tengah Jawa Barat pada koordinat 106 0 45 50 Bujur Timur dan 106 0 45 10 Bujur Timur, 6 0 49

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumatera Utara memiliki luas total sebesar 181.860,65 Km² yang terdiri dari luas daratan sebesar 71.680,68 Km² atau 3,73 % dari luas wilayah Republik Indonesia. Secara

Lebih terperinci

BAB I KONDISI FISIK. Gambar 1.1 Peta Administrasi Kabupaten Lombok Tengah PETA ADMINISTRASI

BAB I KONDISI FISIK. Gambar 1.1 Peta Administrasi Kabupaten Lombok Tengah PETA ADMINISTRASI BAB I KONDISI FISIK A. GEOGRAFI Kabupaten Lombok Tengah dengan Kota Praya sebagai pusat pemerintahannya merupakan salah satu dari 10 (sepuluh) Kabupaten/Kota yang ada di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bersifat komersial seperti kegiatan industri, pertanian, perkantoran, perhotelan,

BAB I PENDAHULUAN. bersifat komersial seperti kegiatan industri, pertanian, perkantoran, perhotelan, 2 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Tidak dapat dipungkiri bahwa air merupakan zat yang sangat penting bagi manusia. Salah satu sumber air untuk memenuhi kebutuhan manusia adalah air tanah, baik untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai lebih dari pulau dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai lebih dari pulau dan BAB I BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai lebih dari 17.000 pulau dan wilayah pantai sepanjang 80.000 km atau dua kali keliling bumi melalui khatulistiwa.

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laporan hasil kajian Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) tahun 2001 mengenai perubahan iklim, yaitu perubahan nilai dari unsur-unsur iklim dunia sejak tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. alam yang bersifat timbal balik (Dwiputra, 2011). Timbal balik atau saling

BAB I PENDAHULUAN. alam yang bersifat timbal balik (Dwiputra, 2011). Timbal balik atau saling BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian Geologi lingkungan merupakan suatu interaksi antara manusia dengan alam yang bersifat timbal balik (Dwiputra, 2011). Timbal balik atau saling mempengaruhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pantai adalah daerah di tepi perairan yang dipengaruhi oleh air pasang tertinggi dan air surut terendah (Bambang Triatmojo, Teknik Pantai ). Garis

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang selain merupakan sumber alam yang penting artinya bagi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sungai adalah aliran air di permukaan tanah yang mengalir ke laut. Sungai merupakan torehan di permukaan bumi yang merupakan penampung dan penyalur alamiah aliran air,

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. utara. Kawasan pesisir sepanjang perairan Pemaron merupakan kawasan pantai

2. TINJAUAN PUSTAKA. utara. Kawasan pesisir sepanjang perairan Pemaron merupakan kawasan pantai 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Perairan Pantai Pemaron merupakan salah satu daerah yang terletak di pesisir Bali utara. Kawasan pesisir sepanjang perairan Pemaron merupakan kawasan pantai wisata

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. utama dunia yaitu lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia dan lempeng. Indonesia juga merupakan negara yang kaya akan hasil alam.

BAB I PENDAHULUAN. utama dunia yaitu lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia dan lempeng. Indonesia juga merupakan negara yang kaya akan hasil alam. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang berada pada pertemuan tiga lempeng utama dunia yaitu lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia dan lempeng pasifik. Pertemuan tiga

Lebih terperinci

Gambar 6. Peta Kabupaten Karawang

Gambar 6. Peta Kabupaten Karawang 25 IV. KONDISI UMUM WILAYAH 4.1. Kabupaten Karawang 4.1.1. Administratif dan Geografis Kabupaten Karawang berada di bagian utara Provinsi Jawa Barat yang secara geografis terletak pada posisi 5 o 56-6

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I-1

BAB I PENDAHULUAN I-1 I-1 BAB I 1.1 Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) Pemali merupakan bagian dari Satuan Wilayah Sungai (SWS) Pemali-Comal yang secara administratif berada di wilayah Kabupaten Brebes Provinsi Jawa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang Potensi bencana alam yang tinggi pada dasarnya tidak lebih dari sekedar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang Potensi bencana alam yang tinggi pada dasarnya tidak lebih dari sekedar 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Potensi bencana alam yang tinggi pada dasarnya tidak lebih dari sekedar refleksi fenomena alam yang secara geografis sangat khas untuk wilayah tanah air kita. Indonesia

Lebih terperinci

BENTUK LAHAN (LANDFORM) MAYOR DAN MINOR

BENTUK LAHAN (LANDFORM) MAYOR DAN MINOR BENTUK LAHAN (LANDFORM) MAYOR DAN MINOR BENTUK LAHAN MAYOR BENTUK LAHAN MINOR KETERANGAN STRUKTURAL Blok Sesar Gawir Sesar (Fault Scarp) Gawir Garis Sesar (Fault Line Scarp) Pegunungan Antiklinal Perbukitan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas, karena Indonesia merupakan Negara kepulauan dengangaris pantai mencapai sepanjang 81.000 km. Selain

Lebih terperinci

BAB IV GEOLOGI PANTAI SERUNI DAERAH TAPPANJENG. pedataran menempati sekitar wilayah Tappanjeng dan Pantai Seruni. Berdasarkan

BAB IV GEOLOGI PANTAI SERUNI DAERAH TAPPANJENG. pedataran menempati sekitar wilayah Tappanjeng dan Pantai Seruni. Berdasarkan BAB IV GEOLOGI PANTAI SERUNI DAERAH TAPPANJENG 4.1 Geologi Lokal Daerah Penelitian Berdasarkan pendekatan morfometri maka satuan bentangalam daerah penelitian merupakan satuan bentangalam pedataran. Satuan

Lebih terperinci

Pemanfaatan Peta Geologi dalam Penataan Ruang dan Pengelolaan Lingkungan

Pemanfaatan Peta Geologi dalam Penataan Ruang dan Pengelolaan Lingkungan Pemanfaatan Peta Geologi dalam Penataan Ruang dan Pengelolaan Lingkungan Yogyakarta, 21 September 2012 BAPPEDA DIY Latar Belakang UU No.25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional; Seluruh

Lebih terperinci

STUDI PERUBAHAN GARIS PANTAI DI MUARA SUNGAI PORONG BAB I PENDAHULUAN

STUDI PERUBAHAN GARIS PANTAI DI MUARA SUNGAI PORONG BAB I PENDAHULUAN STUDI PERUBAHAN GARIS PANTAI DI MUARA SUNGAI PORONG Yudha Arie Wibowo Mahasiswa Program Studi Oseanografi Universitas Hang Tuah Surabaya Email : skywalkerplus@ymail.com BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Lebih terperinci

By. Lili Somantri, S.Pd.M.Si

By. Lili Somantri, S.Pd.M.Si By. Lili Somantri, S.Pd.M.Si Panjang Gelombang 1 m = 0,001 mm 1 m = 0,000001 m 0,6 m = 0,6 X 10-6 = 6 x 10-7 PANTULAN SPEKTRAL OBJEK Terdapat tiga objek utama di permukaan bumi, yaitu vegetasi, tanah,

Lebih terperinci

TINGKAT KERAWANAN BENCANA TSUNAMI KAWASAN PANTAI SELATAN KABUPATEN CILACAP

TINGKAT KERAWANAN BENCANA TSUNAMI KAWASAN PANTAI SELATAN KABUPATEN CILACAP TINGKAT KERAWANAN BENCANA TSUNAMI KAWASAN PANTAI SELATAN KABUPATEN CILACAP Lailla Uswatun Khasanah 1), Suwarsito 2), Esti Sarjanti 2) 1) Alumni Program Studi Pendidikan Geografi, Fakultas Keguruan dan

Lebih terperinci

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 32 TAHUN 1990 (32/1990) Tanggal : 25 JULI 1990 (JAKARTA) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

Faktor penyebab banjir oleh Sutopo (1999) dalam Ramdan (2004) dibedakan menjadi persoalan banjir yang ditimbulkan oleh kondisi dan peristiwa alam

Faktor penyebab banjir oleh Sutopo (1999) dalam Ramdan (2004) dibedakan menjadi persoalan banjir yang ditimbulkan oleh kondisi dan peristiwa alam BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bencana alam tampak semakin meningkat dari tahun ke tahun yang disebabkan oleh proses alam maupun manusia itu sendiri. Kerugian langsung berupa korban jiwa, harta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bencana alam agar terjamin keselamatan dan kenyamanannya. Beberapa bentuk

BAB I PENDAHULUAN. bencana alam agar terjamin keselamatan dan kenyamanannya. Beberapa bentuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bencana alam menimbulkan resiko atau bahaya terhadap kehidupan manusia, baik kerugian harta benda maupun korban jiwa. Hal ini mendorong masyarakat disekitar bencana

Lebih terperinci

2.1 Gambaran Umum Provinsi Kalimantan Timur A. Letak Geografis dan Administrasi Wilayah

2.1 Gambaran Umum Provinsi Kalimantan Timur A. Letak Geografis dan Administrasi Wilayah 2.1 Gambaran Umum Provinsi Kalimantan Timur A. Letak Geografis dan Administrasi Wilayah Provinsi Kalimantan Timur dengan ibukota Samarinda berdiri pada tanggal 7 Desember 1956, dengan dasar hukum Undang-Undang

Lebih terperinci

KAJIAN MORFODINAMIKA PESISIR KABUPATEN KENDAL MENGGUNAKAN TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH MULTI SPEKTRAL DAN MULTI WAKTU

KAJIAN MORFODINAMIKA PESISIR KABUPATEN KENDAL MENGGUNAKAN TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH MULTI SPEKTRAL DAN MULTI WAKTU KAJIAN MORFODINAMIKA PESISIR KABUPATEN KENDAL MENGGUNAKAN TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH MULTI SPEKTRAL DAN MULTI WAKTU Tjaturahono Budi Sanjoto Mahasiswa Program Doktor Manajemen Sumberdaya Pantai UNDIP

Lebih terperinci

PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL. SUKANDAR, IR, MP, IPM

PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL. SUKANDAR, IR, MP, IPM PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL SUKANDAR, IR, MP, IPM (081334773989/cak.kdr@gmail.com) Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Sebagai DaerahPeralihan antara Daratan dan Laut 12 mil laut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Daerah Aliran Sungai (DAS) Cikeruh adalah merupakan Daerah Aliran

BAB I PENDAHULUAN. Daerah Aliran Sungai (DAS) Cikeruh adalah merupakan Daerah Aliran 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang. Daerah Aliran Sungai (DAS) Cikeruh adalah merupakan Daerah Aliran Sungai yang mengalir meliputi dua Kabupaten yaitu Kabupaten Bandung dan Sumedang yang mempunyai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sungai adalah aliran air di permukaan tanah yang mengalir ke laut. Sungai merupakan torehan di permukaan bumi yang merupakan penampung dan penyalur alamiah aliran air,

Lebih terperinci

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 19 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P /

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 19 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P / BAB III GEOLOGI DAERAH PERBUKITAN RUMU 3.1 Geomorfologi Perbukitan Rumu Bentang alam yang terbentuk pada saat ini merupakan hasil dari pengaruh struktur, proses dan tahapan yang terjadi pada suatu daerah

Lebih terperinci

TEKNOLOGI PEMANFAATAN LAHAN MARGINAL KAWASAN PESISIR

TEKNOLOGI PEMANFAATAN LAHAN MARGINAL KAWASAN PESISIR TEKNOLOGI PEMANFAATAN LAHAN MARGINAL KAWASAN PESISIR Oleh : Sunarto Gunadi *) Abstrak Lahan pesisir sesuai dengan ciri-cirinya adalah sebagai tanah pasiran, dimana dapat dikategorikan tanah regosal seperti

Lebih terperinci

BAB II KONDISI WILAYAH STUDI

BAB II KONDISI WILAYAH STUDI II-1 BAB II 2.1 Kondisi Alam 2.1.1 Topografi Morfologi Daerah Aliran Sungai (DAS) Pemali secara umum di bagian hulu adalah daerah pegunungan dengan topografi bergelombang dan membentuk cekungan dibeberapa

Lebih terperinci

KLASIFIKASI BENTUKLAHAN

KLASIFIKASI BENTUKLAHAN Analisis Lansekap Terpadu 21/03/2011 Klasifikasi Bentuklahan KLASIFIKASI BENTUKLAHAN PENDAHULUAN Dalam membahas klasifikasi bentuklahan ada beberapa istilah yang kadang-kadang membingungkan: - Fisiografi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sungai merupakan torehan di permukaan bumi yang merupakan penampung dan penyalur alamiah aliran air, material yang dibawanya dari bagian hulu ke bagian hilir suatu daerah

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 13 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-September 2011, dengan lokasi penelitian untuk pengamatan dan pengambilan data di Kabupaten Bogor, Jawa

Lebih terperinci

Geomorfologi Terapan INTERPRETASI GEOMORFOLOGI CITRA SATELIT SEBAGAI DASAR ANALISIS POTENSI FISIK WILAYAH SELATAN YOGYAKARTA

Geomorfologi Terapan INTERPRETASI GEOMORFOLOGI CITRA SATELIT SEBAGAI DASAR ANALISIS POTENSI FISIK WILAYAH SELATAN YOGYAKARTA Geomorfologi Terapan INTERPRETASI GEOMORFOLOGI CITRA SATELIT SEBAGAI DASAR ANALISIS POTENSI FISIK WILAYAH SELATAN YOGYAKARTA A. Pendahuluan Geomorfologi adalah ilmu yang mempelajari tentang bentuk muka

Lebih terperinci

BAB VI ALTERNATIF PENANGGULANGAN ABRASI

BAB VI ALTERNATIF PENANGGULANGAN ABRASI 87 BAB VI ALTERNATIF PENANGGULANGAN ABRASI 6.1 Perlindungan Pantai Secara alami pantai telah mempunyai perlindungan alami, tetapi seiring perkembangan waktu garis pantai selalu berubah. Perubahan garis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bencana banjir seakan telah dan akan tetap menjadi persoalan yang tidak memiliki akhir bagi umat manusia di seluruh dunia sejak dulu, saat ini dan bahkan sampai di masa

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pembuatan algoritma empiris klorofil-a Tabel 8, Tabel 9, dan Tabel 10 dibawah ini adalah percobaan pembuatan algoritma empiris dibuat dari data stasiun nomor ganjil, sedangkan

Lebih terperinci

BAB II. Tinjauan Pustaka

BAB II. Tinjauan Pustaka BAB II Tinjauan Pustaka A. Sungai Sungai merupakan jalan air alami dimana aliranya mengalir menuju samudera, danau, laut, atau ke sungai yang lain. Menurut Soewarno (1991) dalam Ramadhan (2016) sungai

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di kota Provinsi Sumatera Barat (Gambar 5), dengan pertimbangan sebagai berikut: 1. Kota merupakan salah satu dari

Lebih terperinci

ES R K I R P I S P I S SI S S I TEM

ES R K I R P I S P I S SI S S I TEM 69 4. DESKRIPSI SISTEM SOSIAL EKOLOGI KAWASAN PENELITIAN 4.1 Kondisi Ekologi Lokasi studi dilakukan pada pesisir Ratatotok terletak di pantai selatan Sulawesi Utara yang termasuk dalam wilayah administrasi

Lebih terperinci