BAB II PRAKTIKUM VIRTUAL, DISPOSISI DAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS, SIKAP ILMIAH, DAN PENGUASAAN KONSEP MEKANISME EVOLUSI PADA MAHASISWA CALON GURU

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II PRAKTIKUM VIRTUAL, DISPOSISI DAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS, SIKAP ILMIAH, DAN PENGUASAAN KONSEP MEKANISME EVOLUSI PADA MAHASISWA CALON GURU"

Transkripsi

1 BAB II PRAKTIKUM VIRTUAL, DISPOSISI DAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS, SIKAP ILMIAH, DAN PENGUASAAN KONSEP MEKANISME EVOLUSI PADA MAHASISWA CALON GURU A. Praktikum Virtual Kegiatan laboratorium (praktikum) merupakan bagian integral dari kegiatan belajar mengajar Biologi, berperan sebagai wahana untuk membangkitkan motivasi belajar, mengembangkan keterampilan dasar melakukan eksperimen, wahana belajar pendekatan ilmiah, dan dapat menunjang materi pelajaran (Woolnough & Allsop dalam Rustaman, 2005: 136). Salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan kegiatan laboratorium adalah ketersediaan komponen pendukung kegiatan laboratorium yaitu bahan dan peralatan, ruang dan perabot, tenaga laboran, serta teknisi. Ketersediaan komponen kegiatan laboratorium yang memadai jelas akan menunjang pelaksanaan kegiatan laboratorium, sebaliknya keterbatasan komponen pendukung kegiatan laboratorium seperti alat, bahan, teknisi laboratorium sering menjadi alasan bagi pendidik untuk tidak melakukan kegiatan laboratorium. Hal tersebut didukung oleh pernyataan Rustaman (2005:147) bahwa seorang guru biologi sering pula mendapat tanggung jawab untuk mengelola kegiatan laboratorium karena di sekolah-sekolah jarang ada teknisi laboratorium. Selain keterbatasan tersebut, tidak semua percobaan dapat dilakukan secara nyata di laboratorium karena karakteristik percobaan itu sendiri yang melibatkan 10

2 11 konsep-konsep bersifat proses dan berlangsung dalam rentang waktu cukup lama, sehingga sulit diamati secara langsung. Oleh karena itu, diperlukan sebuah alternatif agar kegiatan eksperimen untuk konsep-konsep bersifat proses yang sulit diamati secara langsung dapat dilakukan. Perkembangan teknologi informasi menyediakan kesempatan untuk melaksanakan kegiatan praktikum pada konsep-konsep yang bersifat proses dan berlangsung dalam rentang waktu cukup lama tersebut, melalui bantuan animasi komputer yang dapat mensimulasikan secara offline ataupun online. Konsep virtual laboratory menurut Harms (2000) dapat dibedakan menjadi dua konsep utama yaitu: 1) konstelasi percobaan diganti dengan model komputer, berupa simulasi yang mewakili percobaan laboratorium nyata dalam bentuk semirip mungkin disebut virtual lab. 2) eksperimen laboratorium dapat disebut virtual ketika percobaan dikendalikan melalui komputer, yang dihubungkan ke peralatan laboratorium yang sebenarnya melalui jaringan disebut remote lab. Berdasarkan pengembangannya, virtual labs dapat dikategorikan menjadi tiga bagian yaitu: 1) laboratorium virtual berbasis teori (theory-based virtual laboratory), jika teori yang ada untuk fenomena tersebut digunakan untuk mengembangkan sebuah laboratorium virtual. 2) laboratorium virtual berbasis eksperimental (experimentally-based virtual laboratory), salah satu alat ukur eksperimen dinyatakan dalam bentuk digital dan mengkombinasikannya dengan pengguna, dan 3) laboratorium virtual hibrida (hybrid virtual laboratory) merupakan jenis virtual laboratory yang memadukan keduanya (Harms, 2000).

3 12 Praktikum virtual pada pembelajaran mekanisme evolusi dalam penelitian ini adalah jenis laboratorium virtual hibrida (hybrid virtual laboratory), sehingga dapat menggabungkan teori dan eksperimen. Selain itu juga, mahasiswa dapat menerapkan metode ilmiah dengan ketelitian yang lengkap untuk setiap fenomena yang mereka hadapi. Pembelajaran berbasis praktikum virtual ini diharapkan dapat memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk melakukan kegiatan praktikum secara offline, menjadikan pembelajaran lebih efektif karena mahasiswa dapat belajar sendiri maupun berkelompok secara aktif dan bermakna. Pembelajaran berupa simulasi kegiatan praktikum ini tidak hanya memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk belajar secara visual, namun secara auditorial dan kinestetik sederhana. Hal ini didukung oleh pernyataan Mickell (2007) The virtual laboratory experience combines visual and auditory modalities and requires students to be actively involved, sehingga pembelajaran menjadi lebih bermakna. Dengan demikian, pembelajaran melalui simulasi kegiatan praktikum dapat membantu mahasiswa yang belajar dengan memproses informasi secara visual, auditorial, kinestetik sederhana ataupun kombinasi dari ketiganya. Namun, penggunaan praktikum virtual ini memiliki beberapa kelemahan yaitu biaya pembuatan yang cukup mahal (Finkelstein, dkk., 2005), kadang menampilkan simulasi agar kelihatan bagus dan hanya membingungkan siswa, tidak bermanfaat bagi assesmen dalam melihat kemampuan siswa, simulasi kadang-kadang membimbing siswa ke jawaban benar tetapi kadang-kadang tidak (Dancy dan Beichner, 2004), hanya dapat mengukur keterampilan penggunaan

4 13 komputer saja dan tidak dapat mengukur kemampuan mekanik, simulasi komputer juga tidak meningkatkan kreativitas siswa (Michael, 2001). B. Disposisi dan Kemampuan Berpikir Kritis Disposisi dan kemampuan berpikir kritis sebagai salah satu aspek karakter bangsa yang perlu dikembangkan dalam diri mahasiswa calon guru. Menurut Musfiroh, T (Suciptoardi, 2010) karakter mengacu pada serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behaviour), motivasi (motivation), dan keterampilan (skill). Karakter merupakan suatu kualitas pribadi yang bersifat unik yang menjadikan sikap atau perilaku seseorang yang satu berbeda dengan yang lain, bersifat dinamis (Sekum BKKKS Jatim, 2009) sehingga walaupun tidak mudah, karakter dapat berubah dari suatu periode waktu tertentu ke periode lainnya mengikuti perkembangan. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi di era globalisasi saat ini, menuntut pengembangan dan peningkatan kualitas diri agar tidak tertinggal atau menjadi pribadi yang terbelakang. Setiap anggota masyarakat Indonesia haruslah berkualitas, memiliki kemampuan berpikir dan berkomunikasi, cara hidup, dan sikap yang baik agar tidak terseret bahkan tenggelam dalam arus globalisasi yang cenderung memberikan dampak terhadap pergeseran budaya. Pergeseran budaya ini dapat kita hindari dengan mempertahankan dan mengembangkan karakter bangsa, diantaranya mampu berpikir tingkat tinggi sehingga dapat menyikapi secara kritis dan bijak berbagai informasi baru. Menurut Liliasari (2010: 457) cara umum berpikir dianggap sebagai suatu proses

5 14 kognitif, suatu aktivitas mental untuk memperoleh pengetahuan. Proses berpikir dihubungkan dengan suatu pola perilaku yang lain dan memerlukan keterlibatan aktif pemikir melalui hubungan kompleks yang dikembangkan melalui kegiatan berpikir. Hubungan ini dapat saling terkait dengan struktur yang mapan dan dapat diekspresikan oleh pemikir melalui bermacam-macam cara. Jadi berpikir merupakan upaya yang kompleks dan reflektif, bahkan juga pengalaman yang kreatif (Presseisen dalam Costa, 1985). Banyak ragam pola berpikir yang dapat dikembangkan, mulai dari berpikir dasar hingga berpikir kompleks atau berpikir tingkat tinggi (high order thinking). Menurut Costa (1985) terdapat empat pola berpikir tingkat tinggi yaitu berpikir kritis, berpikir kreatif, pemecahan masalah, dan pengambilan kesimpulan. Diantara empat pola berpikir tingkat tinggi tersebut, berpikir kritis mendasari tiga pola pikir yang lain. Dengan demikian, berpikir kritis perlu dikuasai terlebih dahulu sebelum mencapai ketiga pola berpikir tingkat tinggi yang lain. Berpikir kritis merupakan suatu proses sehingga seseorang mencoba untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan rasional yang tidak dapat dengan mudah dijawab dan tidak tersedia informasi yang relevan (Inch, et al. 2006: 5). Kemampuan berpikir kritis memerlukan pertimbangan, seseorang yang berpikir kritis tentang keadaan tidak akan puas dengan solusi yang nyata atau jelas tapi akan menangguhkan penilaian sementara mencari argumen yang relevan, fakta, dan alasan yang mendukung pengambilan keputusan yang baik. Menurut Quitadamo (2008:328) berpikir kritis dibedakan menjadi kemampuan dan kecenderungan perilaku berpikir kritis seperti keingintahuan,

6 15 berpikiran terbuka. Kemampuan berpikir kritis merupakan aspek-aspek intelektual dalam berpikir kritis, sedangkan watak/disposisi berpikir kritis merupakan kecenderungan untuk berpikir kritis. Kedua komponen tersebut saling mempengaruhi satu dengan lainnya. Kecenderungan perilaku kritis menurut Norris dan Ennis, 1989 (Stiggins, 1994:241) dikenal juga sebagai critical spirit, atau kecenderungan untuk menggunakan kemampuan berpikir kritis ketika diperlukan. Disposisi/watak berpikir kritis kemudian dikembangkan oleh Facione, et al (1995), mengelompokkan watak/disposisi kemampuan berpikir kritis menjadi tujuh indikator yaitu mencari kebenaran (truth-seeking), berpikir terbuka (openmindeness), kemampuan menganalisis (Analyticity), kemampuan sistematis (Systematicity), kepercayaan diri (Self confident), rasa ingin tahu (Inquisitiveness), dan kedewasaan kognitif (Cognitive maturity). Berikut ini tabel yang menunjukkan uraian dan indikator untuk ketujuh watak/disposisi berpikir kritis menurut Facione, et al (1995). Tabel 2.1. Watak (Disposition) Berpikir Kritis Menurut Facione, et al (1995) No Disposisi Berpikir Kritis Indikator 1 Mencari kebenaran (truth-seeking) Rasa ingin tahu mencakup kecenderungan untuk tertarik, menyelidiki, menemukan masalah, dan kemampuan merumuskan pertanyaan a. Keinginan mencari kebenaran b. Berani mengajukan pertanyaan c. Jujur dan objektif menekuni penelitian meskipun hasil penelitian tidak didukung oleh pendapat yang sudah disepakati sebelumnya d. Secara terus menerus mengevaluasi informasi baru dan 2 Berpikir terbuka (open-mindeness) Berpikiran terbuka dan toleran fakta a. Mengeksplorasi pandangan alternatif

7 16 No Disposisi Berpikir Kritis Indikator terhadap perbedaan pandangan dengan memiliki kepekaan terhadap kemungkinan terjadinya bias 3 Kemampuan menganalisis (Analycity) Waspada terhadap situasi yang memiliki potensi bermasalah, mengantisipasi kemungkinan hasil dan konsekuensi, menghargai penerapan pemikiran dan penggunaan bukti 4 Kemampuan sistemmatis (Systematicity) Mengorganisasikan, mengatur, focus dan rajin melakukan penyelidikan 5 Kepercayaan diri (Self confident) Tingkat kepercayaan pada proses penalaran diri sendiri 6 Rasa ingin tahu (Inquisitiveness) Rasa ingin tahu dan keinginan untuk belajar 7 Kedewasaan (Maturity) Bijaksana dalam membuat keputusan b. Menghargai dan memahami berbagai pendapat a. Menerapkan pemikiran dan penggunaan bukti untuk menyelesaikan masalah b. Mengantisipasi potensi konsepsi atau kesulitan dalam pelaksanaan c. Menghubungkan hasil pengamatan dengan pengetahuan dasar secara teoritis d. Mengorganisasikan pendekatan untuk menyelesaikan masalah e. Memiliki kepekaan, focus, dan teliti a. Mencari dan mengevaluasi penalaran b. Kecenderungan mempertimbangkan perlu tidaknya mengajukan pertanyaan a. Terbuka menilai informasi b. Keinginan untuk belajar meskipun aplikasi pengetahuan tersebut belum terlihat a. Menggunakan pendekatan masalah, penyelidikan, dan membuat kesimpulan dengan sense bahwa pada masalah terdapat suatu hal yang keliru, suatu kondisi terdapat lebih dari satu pilihan masuk akal b. Memutuskan dengan menggunakan standar dasar, konteks dan bukti Sumber: Facione. et al,. (1995).

8 17 Adapun untuk kemampuan berpikir kritis yang dikembangkan dalam penelitian ini, mengacu pada kurikulum berpikir kritis yang dikemukakan Ennis (1985), terdapat lima tahap kemampuan berpikir kritis yaitu memberikan penjelasan sederhana terhadap masalah (elementary clarification), mengumpulkan informasi dasar (basic information), membuat kesimpulan (inferences), memberikan penjelasan lebih lanjut (advanced clarrification), serta mengatur strategi dan taktik (strategy and tactics). Berikut ini tabel yang menunjukkan uraian untuk kelima tahap kemampuan berpikir kritis menurut Ennis (1985). Tabel 2.2. Kemampuan Berpikir Kritis No Kemampuan Berpikir Kritis 1 Memberikan penjelasan sederhana terhadap masalah (elementary clarification) 2 Mengumpulkan informasi dasar (basic information) 3 Membuat kesimpulan (inference) 4 Memberikan penjelasan lebih lanjut (advanced clarification) 5 Mengatur strategi dan taktik (strategy and tactics) Sub Kemampuan Berpikir Kritis yang Dikembangkan dalam Penelitian a. Fokus pada pertanyaan b. Menganalisis argumen c. Menanyakan dan menjawab pertanyaan yang menuntut penjelasan dan tantangan a. Menilai kredibilitas kriteria sumber b. Mengobservasi dan mempertimbangkan hasil observasi a. Membuat dan menilai kesimpulan b. Melakukan dan menilai induksi a. Mendefinisikan istilah, mempertimbangkan definisi b. Mengidentifikasi asumsi a. Memutuskan suatu tindakan b. Mengkomunikasikan keputusan kepada orang lain Sumber: Ennis (1985) C. Sikap Imiah Belajar tidak hanya sekedar aspek kognitif, sebab aspek afektif pun merupakan bagian yang sangat penting. Lang & Evans (2006) menyatakan bahwa ranah afektif lebih penting daripada aspek kognitif, meskipun saat ini sekolah

9 18 cenderung lebih menghargai peningkatan akademik (aspek kognitif) dibandingkan dengan aspek afektif. Menurut Anderson (2001) salah satu hasil afektif (affective outcome) adalah sikap (attitude), sikap merupakan suatu kemampuan internal yang sangat berperan dalam mengambil tindakan (action), terutama bila dihadapkan pada beberapa alternatif (Winkel, 1996). Berdasarkan hal tersebut, meskipun sikap dapat dipelajari namun bersifat personal, karena seseorang perlu menginternalisasi dan menerima suatu nilai dengan mengalami sendiri pengalaman tersebut (Lang &Evan, 2006). Pendidikan sains harus melahirkan sikap dan nilai-nilai ilmiah, karena sangat penting dimiliki dan diperlihatkan oleh siswa dalam kehidupan sehari-hari, sikap ilmiah yang dikembangkan oleh Depdiknas (2002) dalam pembelajaran antara lain: berani dan santun dalam mengajukan pertanyaan dan berargumentasi, ingin tahu, peduli lingkungan, mau bekerja sama, terbuka, tekun, cermat, kreatif dan inovatif, kritis, disiplin, jujur, objektif, dan beretos kerja tinggi. Carin (1997) menyatakan bahwa terdapat enam indikator sikap ilmiah yang diadaptasi dari Science for all Americans: Project 2061: 1. Memiliki rasa ingin tahu (being curious), para saintis dan siswa dikendalikan oleh rasa ingin tahu, yaitu suatu keingintahuan yang sangat kuat untuk mengetahui dan memahami alam sekitar. 2. Mengutamakan bukti (insisting on evidence), sainstis mengutamakan bukti untuk mendukung kesimpulan dan klaimnya 3. Bersikap skeptis (being skeptical) di dalam bersains, saintis maupun siswa adakalanya perlu merasa ragu atas kesimpulan yang dibuatnya, yaitu pada

10 19 saat menemukan bukti-bukti baru yang dapat mengubah kesimpulannya tersebut. 4. Menerima perbedaan (Accepting ambiguity), saintis dan siswa harus bisa menerima perbedaan, perbedaan sudut pandang harus dihormati sampai menemukan kecocokan dengan data. 5. Dapat bekerja sama (being cooperative), selain dapat bekerja sama memecahkan masalah pun merupakan sikap ilmiah lain yang penting dimiliki oleh saintis maupun siswa. 6. Bersikap positif terhadap kegagalan (taking a positive approach to failure), kesalahan dan kegagalan adalah konsekuensi alamiah yang lazim dalam berinkuiri. Saintis dan siswa harus bisa bersikap positif terhadap kegagalan dan dijadikan umpan balik untuk perbaikan. Sikap-sikap tersebut akan muncul pada diri mahasiswa apabila secara kontinu dikuatkan (Lang & Evans, 2006). Hal tersebut juga didukung oleh Ornstein (Duran & Ozdemir, 2010) menyatakan bahwa pada saat guru secara teratur menggunakan kegiatan metode ilmiah, meskipun dengan alat dan bahan yang murah/seadanya, hal tersebut dapat meningkatkan sikap positif siswa terhadap sains. Misalkan dalam mengembangkan sikap memiliki rasa ingin tahu (being corious), maka pembelajaran harus menampilkan materi atau informasi yang berhubungan dengan keseharian siswa dan materi tersebut tidak bersifat umum (masih perlu penafsiran) serta sedikit kontradiktif (Lumsden, 1999). Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap adalah interaksi sosial yang terjadi di dalam dan di luar kelompok dapat mempengaruhi atau

11 20 membentuk sikap baru, yaitu: 1) pengalaman pribadi bagi seseorang akan memberikan kesan terhadap sesuatu; 2) kebudayaan tempat kita tinggal akan berpengaruh terhadap sikap; 3) orang lain yang dianggap penting akan memberikan pengaruh terhadap sikap; 4) media massa baik cetak maupun elektronik baik dari pemberitahuan maupun tulisan narasi memberikan persepsi dan sikap terhadap sesuatu; 5) institusi/lembaga pendidikan dan agama meletakan dasar pengertian dan konsep moral dalam diri individu; 6) faktor emosional suatu sikap yang dilandasi oleh emosi, fungsinya sebagai semacam penyaluran frustasi atau pengalihan bentuk mekanisme pertahanan ego (Gerungan, 1988: 166). D. Penguasaan Konsep Penguasaan diartikan sebagai pemahaman atau kesanggupan untuk menggunakan pengetahuan, kepandaian dan sebagainya (Badudu dan Zain, 1994: 726). Pemahaman adalah tingkatan kemampuan yang mengharapkan siswa mampu memahami arti atau konsep, situasi serta fakta yang diketahuinya. Dalam hal ini, siswa tidak hanya hapal secara verbal tetapi memahami konsep dari masalah atau fakta (Purwanto, 2008: 44). Berdasarkan pengertian tersebut dinyatakan bahwa penguasaan merupakan pemahamanan yang bukan saja berarti mengetahui atau mengingat suatu hal yang dipelajari akan tetapi mampu mengungkapkan kembali dalam bentuk lain atau dengan kata-kata sendiri mengenai materi yang telah dipelajari sehingga mudah dimengerti namun tidak merubah arti yang dikandungnya.

12 21 Konsep adalah suatu abstraksi yang menggambarkan ciri-ciri, karakter atau atribut yang sama dari sekelompok objek atau fakta baik suatu proses, peristiwa, benda atau fenomena di alam yang membedakannya dari kelompok lainnya (Rustaman et al, 2005: 51). Konsep diperoleh melalui dua cara yaitu melalui formasi dan asimilasi konsep. Formasi konsep erat kaitannya dengan perolehan ilmu melalui proses induktif, sedangkan perolehan konsep melalui asimilasi erat kaitannya dengan proses deduktif (Ausubel dalam Dahar, 1996). Penguasaan konsep dapat diartikan sebagai kemampuan seseorang dalam mengungkapkan kembali suatu objek tertentu berdasarkan ciri-ciri yang dimiliki oleh objek tersebut. Penguasaan konsep dapat diperoleh dari pengalaman dan proses belajar, merupakan bagian dari hasil dalam komponen pembelajaran. Konsep, prinsip dan struktur pengetahuan dan pemecahan masalah merupakan hasil belajar yang penting pada ranah kognitif. Dengan demikian penguasaan konsep merupakan bagian dari hasil belajar pada ranah kognitif. Keberhasilan belajar bergantung bukan hanya pada lingkungan dan kondisi belajar, tetapi juga pada pengetahuan awal siswa. Menurut West dan Pines (Rustaman et al, 2005: 171) belajar melibatkan pembentukan makna oleh siswa dari apa yang mereka lakukan, lihat dan dengar. Belajar kognitif bertujuan mengubah pemahaman siswa tentang konsep yang dipelajari. Penguasaan konsep sebagai hasil belajar dapat diketahui dengan melakukan tes yang dapat menunjukkan pencapaian keberhasilan seseorang dari proses belajar, yang berupa pemahaman atau daya serap terhadap materi yang

13 22 diberikan selama proses belajar. Menurut Purwanto (1990: 102) hasil belajar yang dicapai siswa dipengaruhi oleh faktor dari dalam diri siswa dan dari luar diri siswa (lingkungan). Faktor dari dalam (intrinsik) terdiri dari faktor kondisi fisik dan psikologi, sedangkan faktor dari luar (ekstrinsik) berupa lingkungan yaitu sekolah, keluarga dan masyarakat. E. Pembelajaran Mekanisme Evolusi Evolusi merupakan kajian biologi tentang perubahan pada makhluk hidup sebagai interaksi dengan lingkungannya, menurut Krukonis dan Barr (2008: 3-4); Campbell, et al (2008:452) evolusi merupakan perubahan khusus pada sifat-sifat terwariskan suatu populasi organisme dari satu generasi ke generasi berikutnya, terjadi dalam rentang waktu cukup panjang. Sifat-sifat yang menjadi dasar evolusi ini dibawa oleh gen yang diwariskan kepada keturunan suatu makhluk hidup, dan kemudian menjadi bervariasi dalam suatu populasi. Menurut Campbell, et al (2008: 469) setiap makhluk hidup memiliki variasi genotip yang unik dan tercermin pada variasi fenotipnya. Fenotip merupakan hasil interaksi antara genotip yang diwariskan dengan berbagai pengaruh lingkungan, sehingga tidak semua variasi fenotip dapat diwariskan, melainkan hanya variasi genetiknya saja. Variasi genetik pada suatu individu memberikan kontribusi terhadap variasi dalam suatu populasi, sehingga suatu populasi dapat terdiri atas dua atau lebih bentuk sifat yang sangat berbeda dan memiliki frekuensi tertentu.

14 23 Variasi genetik dapat disebabkan oleh mutasi dan rekombinasi seksual, kedua proses tersebut merupakan proses acak sehingga dapat menguntungkan ataupun merugikan. Mutasi dan rekombinasi seksual dapat menciptakan variasi dalam komposisi genetik suatu populasi, menurut Krukonis dan Barr (2008:64) tanpa mutasi tidak akan ada variasi yang terjadi melalui seleksi alam. Variasi hasil mutasi yang tidak secara selektif tidak menguntungkan akan disingkirkan dari populasi, sedangkan variasi hasil mutasi yang menguntungkan menyebabkan suatu organisme dapat lebih menyesuaikan diri dengan lingkungan dan meningkatkan keberhasilan reproduksinya. Menurut Campbell, et al (2008: 472) hampir semua variasi genetik dalam suatu populasi merupakan hasil dari rekombinasi unik alel melalui reproduksi seksualnya. Reproduksi seksual akan mengacak alel dan membaginya secara acak untuk menentukan genotip suatu individu, selain itu pada reproduksi seksual terdapat pindah silang yang terjadi secara acak terhadap lokus gen-gen tertentu. Variasi dapat pula disebabkan karena suatu populasi organisme menempati daerah geografi berbeda. Suatu populasi organisme akan melakukan interaksi terhadap perbedaan lingkungannya, sehingga terdapat perbedaan variasi dalam ataupun antar populasi. Lingkungan sebagai tempat tinggal makhluk hidup senantiasa berubah, sehingga diikuti pula oleh perubahan pada makhluk hidup yang menempati lingkungan tersebut sebagai proses adaptasi untuk mempertahankan diri (Krukonis & Barr, 2008: 60). Perubahan pada sifat-sifat terwariskan suatu organisme disebabkan pula oleh seleksi alam. Namun, dampak evolusioner seleksi alam hanya tampak dalam

15 24 melacak bagaimana suatu populasi organisme berubah seiring dengan berjalannya waktu (Campbell, et al., 2008: 468). Dengan demikian populasi yang mengalami evolusi (evolusi populasi), sehingga beberapa sifat akan lebih banyak ditemukan dalam keseluruhan suatu populasi sementara sifat lainnya akan berkurang. Populasi merupakan kelompok individu sejenis yang dapat mengadakan perkawinan dan menempati suatu daerah yang sama pada waktu tertentu, memiliki fungsi yang bersama secara ekologis maupun evolutif (Johnson & Raven, 2002: 496; Campbell, et al., 2008: 472). Pengertian populasi secara genetik berbeda dengan tolak ukur populasi dalam ekologi, dalam genetika populasi semua individu yang sama diartikan sebagai suatu populasi. Suatu populasi dapat dibedakan dengan populasi lainnya secara genetika dari adanya suatu alel (pasangan gen), individu-individu yang membentuk suatu populasi pun pada umumnya tidak pernah identik, sehingga suatu populasi mempunyai variasi yang cukup besar. Dengan demikian, genetika populasi diartikan sebagai genotip atau gen dari seluruh populasi (gene pool) bukan individu (Johnson, & Raven, 2002: 424). Populasi dikatakan mengalami evolusi jika terjadi perubahan struktur genetik dari suatu populasi atau perubahan alel dan genotip dalam gen pool suatu populasi pada generasi ke generasi berikutnya (Campbell, et al., 2008: 472). Genetika populasi menggambarkan hubungan matematis dari frekuensi gen dalam populasi yang menunjukkan perbandingan alel suatu gen. Menurut hukum kesetimbangan Hardy-Weinberg dalam suatu kondisi tertentu yang stabil, frekuensi alel dan genotip suatu populasi yang berkembang biak secara seksual

16 25 akan tetap konstan dari generasi ke generasi berikutnya. Berdasarkan hal tersebut, berikut ini syarat-syarat yang diperlukan hukum kesetimbangan Hardy-Weinberg untuk tetap dipertahankan dalam populasi (Johnson, & Raven, 2002: 424; Campbell, et al., 2008: 474): 1. Ukuran populasi harus sangat besar, sehingga hanyutan genetik yang merupakan fluktuasi acak dalam kumpulan gen tidak dapat mengubah, atau hanya sedikit mengubah frekuensi alel pada populasi besar tersebut. 2. Terisolasi dari populasi lain, sehingga kumpulan gen tidak berubah akibat aliran gen berupa pemindahan alel antar populasi melalui perpindahan individu atau gamet. 3. Tidak terjadi mutasi, karena mutasi akan mengubah kumpulan gen dengan cara mengubah satu alel menjadi alel yang lain. 4. Perkawinan terjadi secara acak/random. 5. Tidak terjadi seleksi alam. Menurut Campbell, et al., (2008: 472) pada spesies diploid, masingmasing lokus diwakili dua kali dalam genom suatu individu, bisa bersifat homozigot (memiliki dua alel yang sama untuk suatu sifat tertentu) atau heterozigot (memiliki dua alel yang berbeda untuk suatu sifat tertentu) untuk lokus homolog tersebut. Umumnya, terdapat dua atau lebih alel untuk suatu gen dengan frekuensi relatif dalam kumpulan gen sehingga persamaan kesetimbangan Hardy-Weinberg secara matematis (Johnson, & Raven, 2002: 424; Campbell, et al., 2008: 473; Krukonis dan Barr, 2008: 71) dinyatakan sebagai berikut: +=1 ++=1 + =1 ++ =1

17 26 p + 2pq+q =1 p + 2pr+q + 2qr+2pq+r =1 Keterangan: p = frekuensi satu alel p 2, q 2, r 2 = individu homozigot q = frekuensi alel lainnya 2pq, 2pr, 2qr = individu heterozigot r = frekuensi alel lainnya Nilai keseimbangan frekuensi alel dan genotip dari persamaan Hardy- Weinberg tersebut memberikan dasar untuk melacak struktur genetik suatu populasi selama beberapa generasi. Jika frekuensi alel atau genotip menyimpang dari nilai yang diharapkan dari kesetimbangan Hardy-Weinberg, maka populasi itu dikatakan sedang berevolusi (Johnson & Raven, 2002: 424). Perubahan frekuensi alel atau genotip dalam suatu populasi dari satu generasi ke generasi berikutnya dikenal sebagai evolusi pada tingkat populasi, sementara itu perubahan dalam suatu kumpulan gen tersebut menyebabkan evolusi dalam skala kecil, lebih spesifik dikenal sebagai mikroevolusi (Campbell, et al., 2008: 468). Mikroevolusi merupakan evolusi dalam skala yang paling kecil, berupa perubahan dalam susunan genetik suatu populasi. Meskipun frekuensi alel yang berubah hanya terjadi pada sebuah lokus gen tunggal (mutasi gen), mikroevolusi dapat terjadi (Johnson & Raven, 2002: 425). Mutasi merupakan perubahan pada urutan DNA sel genom dan diakibatkan oleh mutagen seperti radiasi, virus, bahan kimia mutagen, serta kesalahan selama proses meiosis ataupun replikasi DNA (Campbell, et al., 2008:470). Mutagen-mutagen tersebut menghasilkan beberapa jenis perubahan pada urutan DNA, sehingga mengakibatkan perubahan produk gen, mencegah gen berfungsi, ataupun tidak berfungsi sama sekali. Suatu mutasi baru yang diturunkan dalam gamet dapat mengubah kumpulan gen suatu populasi dengan

18 27 cara menggantikan satu alel dengan alel lain, sehingga terjadi perubahan frekuensi alel. Peristiwa mutasi relatif umum dan dapat terjadi secara alami maupun buatan, 70% mutasi yang terjadi memiliki efek yang merugikan dan sisanya netral ataupun sedikit menguntungkan. Perubahan frekuensi alel dan genotip suatu populasi dapat pula disebabkan oleh seleksi alam. Seleksi alam merupakan mekanisme evolusi adaptif yang menggabungkan peluang pembentukan variasi genetik baru (secara alaminya melalui mutasi) dan pemisahan beberapa alel melalui seleksi alam. Akibat pemisahan beberapa alel tersebut, menyebabkan seleksi alam secara konsisten meningkatkan frekuensi alel yang memberikan keuntungan reproduksi dan memudahkan evolusi adaptif (Campbell, et al., 2008:479). Proses seleksi alam dapat mengakibatkan perubahan frekuensi alel yang terdapat pada suatu generasi, disebabkan oleh perbedaan ketahanan hidup dari suatu alel tertentu sebagai hasil seleksi alam yang mempertahankan genotip adaptif dengan lingkungannya. Pengaruh seleksi alam pada berbagai sifat dapat menstabilkan, mengarahkan, atau menganekaragamkan. Berdasarkan hal tersebut, pada Gambar 2.1 terdapat tiga cara seleksi alam yaitu seleksi penstabilan, seleksi direksional, dan seleksi penganekaragaman (Krukonis & Barr, 2008: 75; Campbell, et al, 2008: ). 1. Seleksi penstabilan bekerja pada fenotip ekstrim dan menyukai varian antara yang jauh lebih umum, sehingga cara seleksi ini mengurangi variasi dan mempertahankan keadaan yang tetap.

19 28 2. Seleksi direksional sering ditemukan jika terjadi perubahan lingkungan atau terjadi migrasi ke suatu daerah yang keadaan lingkungannya berbeda. Seleksi direksional akan menggeser kurva ke satu arah dengan memilih sifat yang disukai pada mulanya relative jarang. 3. Seleksi penganekaragaman biasanya terjadi pada keadaan lingkungan yang bervariasi, sehingga individu yang berada diantara kedua sifat ekstrem lebih disukai. Seleksi penganekaragaman dapat menghasilkan polimorfisme seimbang, memisahkan dua atau lebih fenotip yang adaptif terhadap perbedaan lingkungan. Frekuensi individu Populasi awal Populasi Populasi yang telah berevolusi Fenotip (Warna 4. (1) Seleksi Penstabilan (2) Seleksi direksional (3) Seleksi penganekaragaman Gambar 2.1. Tiga cara seleksi alam (Sumber: Campbell, et al., 2008: 480)

20 29 Menurut Krukonis dan Barr, (2008: 75) lingkungan fisik (abiotik), lingkungan biologis (biotik), dan lingkungan sosial akan selalu berubah dari waktu ke waktu, sehingga makhluk hidup termasuk manusia perlu melakukan penyesuaian yang dikenal dengan adaptasi. Lingkungan akan menstimulus makhluk hidup yang menempatinya untuk melakukan perubahan struktural, fungsional, dan tingkah laku sebagai bentuk adaptasi. Jika perubahan yang terjadi pada struktur tubuh tertentu bersifat permanen dan diwariskan, maka adaptasi demikian dikenal sebagai adaptasi genetik. Namun, jika perubahan yang terjadi pada struktur atau fungsi tersebut bersifat sementara dan tidak diwariskan maka perubahan tersebut dikenal sebagai adaptasi somatis. Adaptasi merupakan hasil akhir seleksi alam dari keanekaragaman yang dimiliki oleh suatu organisme, semakin besar keanekaragamannya maka kemampuan untuk bertahan hidup menjadi semakin besar pula. 6. Hasil Penelitian yang Relevan Hasil penelitian yang relevan dari Ismayani (2009) penggunaan software simulasi laboratorium virtual HPLC dapat meningkatkan keterampilan berpikir kritis untuk semua indikator yang dikembangkan, terutama indikator mengidentifikasi atau merumuskan sebuah pertanyaan dan hubungan sebab akibat. Penelitian Susanti (2009) penggunaan laboratorium virtual optik dalam kegiatan praktikum inkuiriih lebih meningkatkan pemahaman konsep dan keterampilan proses sains mahasiswa calon guru dibandingkan kegiatan praktikum optik menggunakan laboratorium.

21 30 Cunningham, et al (2006) menyatakan bahwa kemampuan berpikir kritis dan pemahaman siswa SMP, SMA, dan mahasiswa dapat meningkat terhadap prinsip dasar dan praktis elektroforesis DNA dengan pengalaman mengoptimalisasikan teknik elektroforesis melalui virtual lab berbasis inquiri. Menurut White, et al (2007) mahasiswa mampu menggunakan VGL (virtual Genetic laboratory) untuk menguji hipotesis dengan cara logis dan sistematis. Menurut Maldarelli (2009) terdapat peningkatan pengetahuan, keyakinan, dan pengalaman teknik laboratorium Biologi umum yang signifikan pada mahasiswa setelah melihat demonstrasi virtual lab. Dengan demikian, kegiatan praktikum virtual tidak dianggap sebagai pengganti atau pesaing untuk laboratorium nyata, tetapi lebih sebagai peluang baru bagi pembelajaran dengan materi yang tidak terealisasi dalam laboratorium nyata.

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi memberikan

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi memberikan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi memberikan pengaruh yang cukup besar pada berbagai bidang, termasuk bidang pendidikan khususnya dalam proses pembelajaran.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sains merupakan suatu kumpulan pengetahuan yang diperoleh tidak hanya

BAB I PENDAHULUAN. Sains merupakan suatu kumpulan pengetahuan yang diperoleh tidak hanya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sains merupakan suatu kumpulan pengetahuan yang diperoleh tidak hanya produk saja, tetapi juga mencakup pengetahuan seperti keterampilan, keingintahuan, keteguhan

Lebih terperinci

Gambar 1.1. Variasi pada jengger ayam

Gambar 1.1. Variasi pada jengger ayam Uraian Materi Variasi Genetik Terdapat variasi di antara individu-individu di dalam suatu populasi. Hal tersebut menunjukkan adanya perubahan genetis. Mutasi dapat meningkatkan frekuensi alel pada individu

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN MEDIA PRAKTIKUM BERBASIS LABORATORIUM VIRTUAL (VIRTUAL LABORATORY) PADA MATERI PEMBELAHAN SEL DI SMA

PENGEMBANGAN MEDIA PRAKTIKUM BERBASIS LABORATORIUM VIRTUAL (VIRTUAL LABORATORY) PADA MATERI PEMBELAHAN SEL DI SMA PENGEMBANGAN MEDIA PRAKTIKUM BERBASIS LABORATORIUM VIRTUAL (VIRTUAL LABORATORY) PADA MATERI PEMBELAHAN SEL DI SMA Laurenni Nainggolan Universitas Jambi laurenninainggolan@gmail.com ABSTRAK. Pada umumnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peny Husna Handayani, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peny Husna Handayani, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Proses pembelajaran biologi dirancang dan dilakukan semata-mata untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional yang tercantum dalam Undang- Undang Sisdiknas Pasal 20 ayat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu masalah yang dihadapi dunia pendidikan kita adalah masih

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu masalah yang dihadapi dunia pendidikan kita adalah masih 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu masalah yang dihadapi dunia pendidikan kita adalah masih lemahnya proses pembelajaran, siswa kurang didorong untuk mengembangkan kemampuan berpikirnya,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Era globalisasi, perdagangan bebas, dan otonomi daerah telah mendesak

BAB I PENDAHULUAN. Era globalisasi, perdagangan bebas, dan otonomi daerah telah mendesak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Era globalisasi, perdagangan bebas, dan otonomi daerah telah mendesak dunia pendidikan terutama pendidikan tinggi untuk mulai secara sungguhsungguh dan berkelanjutan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Seperti yang tercantum dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. Seperti yang tercantum dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Seperti yang tercantum dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang mengacu pada Standar Isi dan tujuan mata pelajaran kimia SMA, pembelajaran kimia

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas

II. TINJAUAN PUSTAKA. pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas 8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Konstruktivisme Konstruktivisme merupakan landasan berpikir pendekatan kontekstual, bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas

II. TINJAUAN PUSTAKA. pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pembelajaran Konstruktivisme Konstruktivisme merupakan landasan berpikir pendekatan kontekstual, yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Suryosubroto, 2009:2).

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Suryosubroto, 2009:2). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan dapat dikatakan sebagai suatu proses dengan cara-cara tertentu agar seseorang memperoleh pengetahuan, pemahaman dan tingkah laku yang sesuai. Sanjaya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Model Pembelajaran Penemuan (Discovery Learning) tertentu dan berfungsi sebagai pedoman bagi para pengajar dalam

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Model Pembelajaran Penemuan (Discovery Learning) tertentu dan berfungsi sebagai pedoman bagi para pengajar dalam 11 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Model Pembelajaran Penemuan (Discovery Learning) Model adalah prosedur yang sistematis tentang pola belajar untuk mencapai tujuan belajar serta sebagai pedoman bagi pengajar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Upaya peningkatan mutu pendidikan dalam ruang lingkup pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. Upaya peningkatan mutu pendidikan dalam ruang lingkup pendidikan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Upaya peningkatan mutu pendidikan dalam ruang lingkup pendidikan IPA di sekolah dirumuskan dalam bentuk pengembangan individu-individu yang literate terhadap sains.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Fisika merupakan salah satu bidang Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). Fisika berkaitan dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis, sehingga fisika

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Keterampilan proses sains dapat diartikan sebagai keterampilan intelektual,

II. TINJAUAN PUSTAKA. Keterampilan proses sains dapat diartikan sebagai keterampilan intelektual, 10 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Keterampilan Proses Sains Keterampilan proses sains dapat diartikan sebagai keterampilan intelektual, sosial maupun fisik yang diperlukan untuk mengembangkan lebih lanjut pengetahuan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. diri setiap individu siswa. Mudah masuknya segala informasi, membuat siswa

I. PENDAHULUAN. diri setiap individu siswa. Mudah masuknya segala informasi, membuat siswa 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di era globalisasi ini, semua infomasi dengan sangat mudah masuk ke dalam diri setiap individu siswa. Mudah masuknya segala informasi, membuat siswa harus berpikir secara

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang bertujuan agar siswa mendapat kesempatan untuk menguji dan

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang bertujuan agar siswa mendapat kesempatan untuk menguji dan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Metode Praktikum Pratikum berasal dari kata praktik yang artinya pelaksanaan secara nyata apa yang disebut dalam teori. Sedangkan pratikum adalah bagian dari pengajaran yang bertujuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Pendidikan sains memiliki potensi dan peranan strategis dalam usaha

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Pendidikan sains memiliki potensi dan peranan strategis dalam usaha 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pendidikan sains memiliki potensi dan peranan strategis dalam usaha mempersiapkan sumber daya manusia yang berkualitas dalam menghadapi tuntutan globalisasi dan industrialisasi.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. membujuk, menganalisis asumsi dan melakukan penelitian ilmiah. Berpikir kritis

II. TINJAUAN PUSTAKA. membujuk, menganalisis asumsi dan melakukan penelitian ilmiah. Berpikir kritis 6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teoretis 1. Kemampuan Berpikir Kritis Berpikir kritis merupakan sebuah proses yang terarah dan jelas yang digunakan dalam kegiatan mental seperti memecahkan masalah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai pelajaran yang sulit dan tidak disukai, diketahui dari rata-rata nilai

BAB I PENDAHULUAN. sebagai pelajaran yang sulit dan tidak disukai, diketahui dari rata-rata nilai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Telah menjadi fenomena umum bahwa sains, terutama fisika, dianggap sebagai pelajaran yang sulit dan tidak disukai, diketahui dari rata-rata nilai mata pelajaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki peran yang sangat penting dalam rangka meningkatkan serta

BAB I PENDAHULUAN. memiliki peran yang sangat penting dalam rangka meningkatkan serta BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia dan tidak bisa terpisahkan dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan merupakan suatu hal yang memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan pendidikan. Kegiatan pendidikan berfungsi membantu

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan pendidikan. Kegiatan pendidikan berfungsi membantu BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kegiatan pendidikan terdiri dari interaksi antara peserta didik dengan pendidik dan sumber-sumber pendidikan lain, dan berlangsung dalam suatu lingkungan pendidikan.

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Penelitian dilakukan selama tiga kali pertemuan (3 x 100 menit), pada pertemuan pertama dilaksanakan kegiatan pretest disposisi dan kemampuan

Lebih terperinci

PENGUJIAN KESETIMBANGAN HARDY-WEINBERG. Tujuan : Mempelajari kesetimbangan Hardy-Weinberg dengan frekuensi alel dan gen.

PENGUJIAN KESETIMBANGAN HARDY-WEINBERG. Tujuan : Mempelajari kesetimbangan Hardy-Weinberg dengan frekuensi alel dan gen. PENGUJIAN KESETIMBANGAN HARDY-WEINBERG Tujuan : Mempelajari kesetimbangan Hardy-Weinberg dengan frekuensi alel dan gen. PENDAHULUAN Pada tahun 1908, ahli Matematika Inggris G.H. Hardy dan seorang ahli

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terbuka, artinya setiap orang akan lebih mudah dalam mengakses informasi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terbuka, artinya setiap orang akan lebih mudah dalam mengakses informasi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kemajuan teknologi dan era globalisasi yang terjadi memberikan kesadaran baru bahwa Indonesia tidak lagi berdiri sendiri. Indonesia berada di dunia yang terbuka,

Lebih terperinci

2015 PEMBELAJARAN BERBASIS PRAKTIKUM UNTUK MENINGKATKAN SIKAP ILMIAH DAN PENGUASAAN KONSEP SISTEM EKSKRESI

2015 PEMBELAJARAN BERBASIS PRAKTIKUM UNTUK MENINGKATKAN SIKAP ILMIAH DAN PENGUASAAN KONSEP SISTEM EKSKRESI BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan khususnya sains (IPA) dan teknologi, di satu sisi memang memberikan banyak manfaat bagi penyediaan beragam kebutuhan manusia.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perubahan yang memacu pada kemandirian siswa dalam menyelesaikan masalah

BAB I PENDAHULUAN. perubahan yang memacu pada kemandirian siswa dalam menyelesaikan masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan diartikan sebagai bentuk interaksi antara pendidik dengan siswa. Interaksi antara pendidik dengan siswa ini terjadi pada saat proses pembelajaran.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Fisika adalah ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan penemuan dan. pemahaman mendasar hukum-hukum yang menggerakkan materi, energi,

I. PENDAHULUAN. Fisika adalah ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan penemuan dan. pemahaman mendasar hukum-hukum yang menggerakkan materi, energi, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Fisika adalah ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan penemuan dan pemahaman mendasar hukum-hukum yang menggerakkan materi, energi, ruang dan waktu. Dalam belajar fisika

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bidang sains berada pada posisi ke-35 dari 49 negera peserta. dalam bidang sains berada pada urutan ke-53 dari 57 negara peserta.

BAB I PENDAHULUAN. bidang sains berada pada posisi ke-35 dari 49 negera peserta. dalam bidang sains berada pada urutan ke-53 dari 57 negara peserta. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Secara umum dapat dipahami bahwa rendahnya mutu Sumber Daya Manusia (SDM) bangsa Indonesia saat ini adalah akibat rendahnya mutu pendidikan (Tjalla, 2007).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1. 1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Peradapan manusia yang terus berkembang menyebabkan perkembangan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) juga terus mengalami kemajuan yang pesat. Dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) atau sains sangat berkaitan erat dengan cara

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) atau sains sangat berkaitan erat dengan cara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) atau sains sangat berkaitan erat dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis, sehingga sains bukan hanya menekankan pada

Lebih terperinci

POPULASI TANAMAN ALLOGAM

POPULASI TANAMAN ALLOGAM POPULASI TANAMAN ALLOGAM TUJUAN PRAKTIKUM 1. Untuk mengetahui komposisi genetik dari tanaman allogame dan segregasidari keturunannya 2. Untuk mengetahui pengaruh seleksi terhadap perubahan komposisi genetik

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Teori-teori baru dalam psikologi pendidikan dikelompokkan dalam teori pem-belajaran

II. TINJAUAN PUSTAKA. Teori-teori baru dalam psikologi pendidikan dikelompokkan dalam teori pem-belajaran II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pembelajaran Konstruktivisme Teori-teori baru dalam psikologi pendidikan dikelompokkan dalam teori pem-belajaran konstruktivis (constructivist theories of learning). Teori konstruktivis

Lebih terperinci

Siti Solihah, Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu

Siti Solihah, Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan adalah suatu upaya untuk meningkatkan kualitas manusia agar mampu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin berkembang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dapat kita temukan dan juga berbagai bidang ilmu yang telah ada dapat dikembangkan

I. PENDAHULUAN. dapat kita temukan dan juga berbagai bidang ilmu yang telah ada dapat dikembangkan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan salah satu faktor yang memberikan pengaruh penting dalam kemajuan suatu negara. Dengan adanya pendidikan, pengetahuan baru dapat kita temukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ditakuti dan tidak disukai siswa. Kecenderungan ini biasanya berawal dari

BAB I PENDAHULUAN. ditakuti dan tidak disukai siswa. Kecenderungan ini biasanya berawal dari BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mata pelajaran fisika pada umumnya dikenal sebagai mata pelajaran yang ditakuti dan tidak disukai siswa. Kecenderungan ini biasanya berawal dari pengalaman belajar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maka dari itu perlu dilakukan peningkatan mutu pendidikan. Negara Kesatuan

BAB I PENDAHULUAN. maka dari itu perlu dilakukan peningkatan mutu pendidikan. Negara Kesatuan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan pada hakekatnya merupakan syarat mutlak bagi pengembangan sumber daya manusia dalam menuju masa depan yang lebih baik. Melalui pendidikan dapat dibentuk

Lebih terperinci

Menurut Campbell (2003) mengemukakan ada beberapa konsep spesies antara lain:

Menurut Campbell (2003) mengemukakan ada beberapa konsep spesies antara lain: SPESIASI KELOMPOK 4 Ifandi Septa Adi 201310070311103 Rizqah Maftuhah 201310070311109 Ema Dwi Andriyani 201310070311110 Faidatu Ummi 201310070311121 Herly Dwi lestari 201310070311129 Spesies Spesies dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kualitas sumber daya manusia dan sangat berpengaruh terhadap kemajuan suatu

BAB I PENDAHULUAN. kualitas sumber daya manusia dan sangat berpengaruh terhadap kemajuan suatu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan memegang peran yang sangat penting dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia dan sangat berpengaruh terhadap kemajuan suatu bangsa. Pemerintah terus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tujuan pendidikan nasional yaitu siswa harus memiliki pengetahuan, keterampilan, sikap sosial, dan sikap spritual yang seimbang (Kemdikbud, 2013a). Fisika merupakan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori 2.1.1 Hakikat Belajar IPA Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) didefinisikan sebagai kumpulan pengetahuan yang tersusun secara terbimbing. Hal ini sejalan dengan kurikulum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan salah satu langkah untuk merubah sikap, tingkah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan salah satu langkah untuk merubah sikap, tingkah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan salah satu langkah untuk merubah sikap, tingkah laku bahkan pola pikir seseorang untuk lebih maju dari sebelum mendapatkan pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dita Argarani, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dita Argarani, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tujuan pendidikan Indonesia ialah mengembangkan peserta didik agar mampu menjadi manusia yang komprehensif dan kompetitif. Untuk mencapai tujuan ini, maka peserta didik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menuntut adanya suatu strategi pembelajaran yang tepat dan sesuai dengan

BAB I PENDAHULUAN. menuntut adanya suatu strategi pembelajaran yang tepat dan sesuai dengan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Proses belajar mengajar yang efektif dan bermakna bagi siswa menuntut adanya suatu strategi pembelajaran yang tepat dan sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Strategi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya

II. TINJAUAN PUSTAKA. bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pembelajaran Konstruktivisme Konstruktivisme merupakan landasan berpikir pendekatan kontekstual, yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu bidang yang memiliki peran penting dalam peningkatan daya saing suatu negara adalah pendidikan. Pendidikan saat ini menunjukkan kemajuan yang sangat pesat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan keterampilan proses serta menumbuhkan berpikir kritis

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan keterampilan proses serta menumbuhkan berpikir kritis BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mata pelajaran kimia di SMA diantaranya berfungsi untuk mengembangkan keterampilan proses serta menumbuhkan berpikir kritis siswa. Selain itu disebutkan pula tujuan

Lebih terperinci

II._TINJAUAN PUSTAKA. Keterampilan proses sains merupakan salah satu bentuk keterampilan proses

II._TINJAUAN PUSTAKA. Keterampilan proses sains merupakan salah satu bentuk keterampilan proses 6 II._TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teoretis 1. Keterampilan Proses Sains Keterampilan proses sains merupakan salah satu bentuk keterampilan proses yang diaplikasikan pada proses pembelajaran. Pembentukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hakikat pembelajaran yang sekarang ini banyak diterapkan adalah

BAB I PENDAHULUAN. Hakikat pembelajaran yang sekarang ini banyak diterapkan adalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hakikat pembelajaran yang sekarang ini banyak diterapkan adalah konstruktivisme. Menurut paham konstruktivisme, pengetahuan dibangun oleh peserta didik (siswa)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Dahar (1986) mengungkapkan bahwa hakekat IPA mencakup dua hal, yaitu IPA

I. PENDAHULUAN. Dahar (1986) mengungkapkan bahwa hakekat IPA mencakup dua hal, yaitu IPA I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dahar (1986) mengungkapkan bahwa hakekat IPA mencakup dua hal, yaitu IPA sebagai produk yang meliputi fakta-fakta, konsep-konsep, dan prinsip-prinsip IPA, serta IPA sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut John Holt ( 1981 ) dalam bukunya How Children Fail

BAB I PENDAHULUAN. Menurut John Holt ( 1981 ) dalam bukunya How Children Fail BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Menurut John Holt ( 1981 ) dalam bukunya How Children Fail dinyatakan bahwa siswa yang masuk pendidikan menengah, hampir 40 persen putus sekolah. Bahkan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berlandaskan pada kurikulum satuan pendidikan dalam upaya meningkatkan. masyarakat secara mandiri kelak di kemudian hari.

BAB I PENDAHULUAN. berlandaskan pada kurikulum satuan pendidikan dalam upaya meningkatkan. masyarakat secara mandiri kelak di kemudian hari. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan formal merupakan upaya sadar yang dilakukan sekolah dengan berlandaskan pada kurikulum satuan pendidikan dalam upaya meningkatkan kemampuan kognitif,

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORETIS. A. Deskripsi Konseptual Dan Subfokus Penelitian 1. Pengertian Layanan Bimbingan dan Konseling Belajar

BAB II KAJIAN TEORETIS. A. Deskripsi Konseptual Dan Subfokus Penelitian 1. Pengertian Layanan Bimbingan dan Konseling Belajar BAB II KAJIAN TEORETIS A. Deskripsi Konseptual Dan Subfokus Penelitian 1. Pengertian Layanan Bimbingan dan Konseling Belajar Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan layanan bimbingan dan konseling belajar

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. kegiatan belajar yang melibatkan secara maksimal seluruh kemampuan siswa

II. TINJAUAN PUSTAKA. kegiatan belajar yang melibatkan secara maksimal seluruh kemampuan siswa 6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Model Pembelajaran Inkuiri Terbimbing Inkuiri sebagai suatu proses umum yang dilakukan manusia untuk mencari atau memahami informasi. Gulo menyatakan strategi inkuiri berarti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan fungsi alat-alat tubuh organisme dengan segala keingintahuan. Segenap

BAB I PENDAHULUAN. dan fungsi alat-alat tubuh organisme dengan segala keingintahuan. Segenap 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Biologi sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang struktur fisik dan fungsi alat-alat tubuh organisme dengan segala keingintahuan. Segenap alat-alat

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Metode Demonstrasi. Metode demonstrasi adalah metode mengajar dengan cara memperagakan

TINJAUAN PUSTAKA. A. Metode Demonstrasi. Metode demonstrasi adalah metode mengajar dengan cara memperagakan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Metode Demonstrasi Metode demonstrasi adalah metode mengajar dengan cara memperagakan barang, kejadian, aturan, dan urutan melakukan suatu kegiatan, baik secara langsung maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA),

BAB I PENDAHULUAN. dan upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini, ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan suatu kebutuhan dan upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), khususnya biologi. Hal

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. (Matthews dalam Pannen, Mustafa, dan Sekarwinahyu: 2001). Menurut Sagala

II. TINJAUAN PUSTAKA. (Matthews dalam Pannen, Mustafa, dan Sekarwinahyu: 2001). Menurut Sagala II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pembelajaran Konstruktivisme Konstruktivisme merupakan salah satu aliran filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita merupakan hasil konstruksi (bentukan) kita sendiri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembelajaran fisika saat ini adalah kurangnya keterlibatan mereka secara aktif

BAB I PENDAHULUAN. pembelajaran fisika saat ini adalah kurangnya keterlibatan mereka secara aktif BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu permasalahan besar yang dialami siswa dalam proses pembelajaran fisika saat ini adalah kurangnya keterlibatan mereka secara aktif dalam proses belajar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. daya manusia yang berkualitas. Yaitu sumber daya yang dapat bersaing dan. menetapkan keputusan dengan daya nalar yang tinggi.

BAB I PENDAHULUAN. daya manusia yang berkualitas. Yaitu sumber daya yang dapat bersaing dan. menetapkan keputusan dengan daya nalar yang tinggi. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam menghadapi era globalisasi seperti saat ini, bangsa Indonesia dituntut untuk dapat bersaing dengan bangsa lain, dan menghasilkan sumber daya manusia yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah mendatangkan

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah mendatangkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah mendatangkan perubahan global dalam berbagai aspek kehidupan. Kesejahteraan bangsa bukan lagi bersumber pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. cara menjelaskan dan mendefinisikan makna belajar (learning). Di antaranya

BAB I PENDAHULUAN. cara menjelaskan dan mendefinisikan makna belajar (learning). Di antaranya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Belajar merupakan tindakan dan perilaku siswa yang kompleks, sebagai tindakan belajar hanya dialami oleh siswa sendiri. Dimyati dan Mudjiono (1996: 7) mengemukakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN Pada bagian pendahuluan ini, diuraikan mengenai latar belakang penelitian, identifikasi dan rumusan masalah penelitian, batasan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan struktur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada abad ke-20 telah terjadi perubahan paradigma dalam dunia sains,

BAB I PENDAHULUAN. Pada abad ke-20 telah terjadi perubahan paradigma dalam dunia sains, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada abad ke-20 telah terjadi perubahan paradigma dalam dunia sains, matematika dan pendidikan. Pandangan behavorisme yang mengutamakan stimulus dan respon tidak cukup

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berdasarkan standar kompetensi lulusan kelompok mata pelajaran sains, tujuan pendidikan pada satuan pendidikan SMA adalah untuk mengembangkan logika, kemampuan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. (Undang-undang No.20 Tahun 2003: 1). Pendidikan erat kaitannya dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. (Undang-undang No.20 Tahun 2003: 1). Pendidikan erat kaitannya dengan BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan kondisi belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi-potensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Savitri Purbaningsih, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Savitri Purbaningsih, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berdasarkan observasi awal yang dilakukan oleh peneliti di kelas VIII-E SMP Negeri 44 Bandung, tentang pembelajaran IPS teridentifikasi beberapa masalah sebagai berikut:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Era globalisasi memberikan dampak yang besar dalam perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK). Munculnya berbagai macam teknologi hasil karya manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. B. Perumusan Masalah

BAB I PENDAHULUAN. B. Perumusan Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak rintangan dalam masalah kualitas pendidikan, salah satunya dalam program pendidikan di Indonesia atau kurikulum.

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORITIS. Kemampuan berpikir tingkat tingi dapat dikembangkan dalam proses

BAB II KAJIAN TEORITIS. Kemampuan berpikir tingkat tingi dapat dikembangkan dalam proses BAB II KAJIAN TEORITIS A. Kajian Teori 1. Kemampuan Berpikir Kritis Kemampuan berpikir tingkat tingi dapat dikembangkan dalam proses pembelajaran terutama dalam pembelajaran matematika, salah satunya adalah

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Definisi Operasional 1. Pembelajaran mekanisme evolusi berbantuan praktikum menggunakan simulasi kegiatan praktikum (virtual lab) jenis virtual hibrida (hybrid virtual

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia dan pendidikan tidak dapat dipisahkan, sebab pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia dan pendidikan tidak dapat dipisahkan, sebab pendidikan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia dan pendidikan tidak dapat dipisahkan, sebab pendidikan merupakan kunci dari masa depan manusia yang dibekali dengan akal dan pikiran. Pendidikan mempunyai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Universitas Negeri Medan sebagai salah satu Lembaga Pendidikan Tenaga

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Universitas Negeri Medan sebagai salah satu Lembaga Pendidikan Tenaga BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Universitas Negeri Medan sebagai salah satu Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) di Sumatera Utara yang memiliki tujuh Fakultas dan Program Pascasarjana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, pemerintah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, pemerintah memprogramkan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) sebagai acuan dan pedoman bagi pelaksanaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mivtha Citraningrum, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mivtha Citraningrum, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Biologi ialah ilmu tentang makhluk hidup atau kajian saintifik tentang kehidupan (Campbell et al., 2010). Sebagai ilmu, biologi mengkaji berbagai persoalan yang berkaitan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. harapan sangat bergantung pada kualitas pendidikan yang ditempuh. imbas teknologi berbasis sains (Abdullah, 2012 : 3).

BAB I PENDAHULUAN. harapan sangat bergantung pada kualitas pendidikan yang ditempuh. imbas teknologi berbasis sains (Abdullah, 2012 : 3). BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah suatu proses dalam rangka mempengaruhi peserta didik supaya mampu menyesuaikan diri sebaik mungkin dengan lingkungannya, dan dengan demikian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembenahan di segala bidang termasuk bidang pendidikan. Hal ini juga dilakukan

BAB I PENDAHULUAN. pembenahan di segala bidang termasuk bidang pendidikan. Hal ini juga dilakukan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Majunya suatu negara sangat ditentukan oleh majunya pendidikan di negara tersebut. Pada era globalisasi saat ini, seluruh negara di dunia berusaha melakukan pembenahan

Lebih terperinci

Teori Abiogenesis Klasik

Teori Abiogenesis Klasik Bab 7 EVOLUSI Pengertian Evolusi Evolusi berasal dari dua bahasa yaitu bahasa inggris : to evolve yang berarti berkembang atau berusaha secara perlahan-lahan, sedangkan dari bahasa latin : evolut yang

Lebih terperinci

Rasa curiosity mnanusia? bagaimana, kapan, dimana kehidupan ini mulai terjadi hingga sekarang? ada teori-teori: Ilmiah: bukti-bukti yang nyata.

Rasa curiosity mnanusia? bagaimana, kapan, dimana kehidupan ini mulai terjadi hingga sekarang? ada teori-teori: Ilmiah: bukti-bukti yang nyata. EVOLUSI YUNI WIBOWO Rasa curiosity mnanusia? bagaimana, kapan, dimana kehidupan ini mulai terjadi hingga sekarang? ada teori-teori: kreasi khusus ebolusi Ilmiah: bukti-bukti yang nyata. Evolusi perubahan

Lebih terperinci

KISI-KISI KOMPETENSI PEDAGOGIK DAN PROFESIONAL GURU BIDANG STUDI BIOLOGI

KISI-KISI KOMPETENSI PEDAGOGIK DAN PROFESIONAL GURU BIDANG STUDI BIOLOGI KISI-KISI KOMPETENSI PEDAGOGIK DAN PROFESIONAL GURU BIDANG STUDI BIOLOGI Kompetensi Subkompetensi Indikator Esensial Deskriptor A. Memiliki kompetensi kepribadian sebagai pendidik B. Memiliki kompetensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anugrah Ayumaharani Widianingsih, 2016

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anugrah Ayumaharani Widianingsih, 2016 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Belajar merupakan bagian dari proses sains yang pada dasarnya bertujuan untuk mengembangkan kemampuan berpikir dan menanamkan sikap positif. Tujuan mata pelajaran

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. mengarahkan, dan mempertahankan perilaku. Dengan demikian, perilaku yang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. mengarahkan, dan mempertahankan perilaku. Dengan demikian, perilaku yang BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Motivasi Berprestasi 2.1.1 Pengertian Motivasi Motivasi (motivation) melibatkan proses yang memberikan energi, mengarahkan, dan mempertahankan perilaku. Dengan demikian, perilaku

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Salah satu hal yang perlu diperhatikan dalam merencanakan pembelajaran ialah

II. TINJAUAN PUSTAKA. Salah satu hal yang perlu diperhatikan dalam merencanakan pembelajaran ialah 9 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teoritis 1. Model Pembelajaran Inkuiri Terbimbing Salah satu hal yang perlu diperhatikan dalam merencanakan pembelajaran ialah menentukan model atau metode mengajar tentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembelajaran yang dapat menyiapkan peserta didik untuk melek IPA dan

BAB I PENDAHULUAN. pembelajaran yang dapat menyiapkan peserta didik untuk melek IPA dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan IPA dan teknologi yang sangat pesat memerlukan cara pembelajaran yang dapat menyiapkan peserta didik untuk melek IPA dan teknologi, mampu berpikir

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan memegang peranan yang sangat penting bagi perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan memegang peranan yang sangat penting bagi perkembangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan memegang peranan yang sangat penting bagi perkembangan dan perwujudan diri siswa. Hal ini karena pendidikan menyediakan lingkungan yang memungkinkan

Lebih terperinci

ANALISIS KETERAMPILAN BERPIKIR KRITIS SISWA SMA KELAS XI PADA MATERI HIDROLISIS GARAM DENGAN MODEL LEARNING CYCLE 5E DAN METODE PRAKTIKUM

ANALISIS KETERAMPILAN BERPIKIR KRITIS SISWA SMA KELAS XI PADA MATERI HIDROLISIS GARAM DENGAN MODEL LEARNING CYCLE 5E DAN METODE PRAKTIKUM SEMINAR NASIONAL KIMIA DAN PENDIDIKAN KIMIA V Kontribusi Kimia dan Pendidikan Kimia dalam Pembangunan Bangsa yang Berkarakter Program Studi Pendidikan Kimia Jurusan PMIPA FKIP UNS Surakarta, 6 April 2013

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS TINDAKAN. dipelajari oleh pembelajar. Jika siswa mempelajari pengetahuan tentang konsep,

BAB II KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS TINDAKAN. dipelajari oleh pembelajar. Jika siswa mempelajari pengetahuan tentang konsep, BAB II KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS TINDAKAN 2.1 Kajian Teoritis 2.1.1 Hakekat Hasil Belajar 2.1.1.1 Definisi Hasil Belajar Secara umum hasil adalah segala sesuatu yang diperoleh setelah melakukan suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat di era global

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat di era global BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat di era global sekarang ini menuntut individu untuk berkembang menjadi manusia berkualitas yang memiliki

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Konstruktivisme merupakan salah satu aliran filsafat pengetahuan yang menekankan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Konstruktivisme merupakan salah satu aliran filsafat pengetahuan yang menekankan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pembelajaran Konstruktivisme Konstruktivisme merupakan salah satu aliran filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita merupakan hasil konstruksi (bentukan) kita sendiri.

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORITIK

BAB II KAJIAN TEORITIK BAB II KAJIAN TEORITIK A. Deskripsi Konseptual 1. Kemampuan Berpikir Kritis Tujuan pendidikan nasional salah satunya adalah untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis. Menurut Deporter dan Hernacki

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORITIK

BAB II KAJIAN TEORITIK BAB II KAJIAN TEORITIK A. Deskripsi Konseptual 1. Variabel Terikat a. Kemampuan Berpikir Kritis Berpikir kritis menurut Ennis (1993) adalah berpikir secara beralasan dan reflektif dengan menekankan pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Manusia dianugerahi kemampuan dan kekuatan berpikir. Berpikir

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Manusia dianugerahi kemampuan dan kekuatan berpikir. Berpikir 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia dianugerahi kemampuan dan kekuatan berpikir. Berpikir merupakan suatu kegiatan mental yang dialami seseorang jika mereka dihadapkan pada suatu masalah atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Matematika merupakan salah satu bidang studi yang menduduki peranan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Matematika merupakan salah satu bidang studi yang menduduki peranan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Matematika merupakan salah satu bidang studi yang menduduki peranan penting dalam pendidikan. Hal ini dapat dilihat dari waktu jam pelajaran sekolah lebih

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Praktikum adalah pengalaman belajar di mana siswa berinteraksi dengan materi

II. TINJAUAN PUSTAKA. Praktikum adalah pengalaman belajar di mana siswa berinteraksi dengan materi II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pembelajaran Berbasis Praktikum Praktikum adalah pengalaman belajar di mana siswa berinteraksi dengan materi atau dengan sumber data sekunder untuk mengamati dan memahami dunia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adalah warisan intelektual manusia yang telah sampai kepada kita (Ataha,

BAB I PENDAHULUAN. adalah warisan intelektual manusia yang telah sampai kepada kita (Ataha, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sains bukanlah merupakan ilmu baru dalam dunia pendidikan. Sains adalah warisan intelektual manusia yang telah sampai kepada kita (Ataha, 2013:12). Semenjak

Lebih terperinci

2015 PENGEMBANGAN DAN VALIDASI VIRTUAL TEST UNTUK MENGUKUR KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA PADA MATERI KESETIMBANGAN KIMIA

2015 PENGEMBANGAN DAN VALIDASI VIRTUAL TEST UNTUK MENGUKUR KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA PADA MATERI KESETIMBANGAN KIMIA 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kualitas pembelajaran ditentukan salah satunya oleh kualitas penilaian yang dilakukan oleh guru dalam proses pembelajaran. Kegiatan penilaian dapat membantu guru memahami

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Model Problem Based Learning dikembangkan oleh Barrows sejak tahun

II. TINJAUAN PUSTAKA. Model Problem Based Learning dikembangkan oleh Barrows sejak tahun II. TINJAUAN PUSTAKA A. Model Pembelajaran Berbasis Masalah Model Problem Based Learning dikembangkan oleh Barrows sejak tahun 1970-an. Model Problem Based Learning berfokus pada penyajian suatu permasalahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. undang-undang perlu segera direalisasikan. Hal tersebut dilakukan untuk

BAB I PENDAHULUAN. undang-undang perlu segera direalisasikan. Hal tersebut dilakukan untuk 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pencapaian standar-standar pendidikan seperti yang telah digariskan pada undang-undang perlu segera direalisasikan. Hal tersebut dilakukan untuk menjawab tantangan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Eksperimen mengandung makna belajar untuk berbuat, karena itu dapat dimasukkan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Eksperimen mengandung makna belajar untuk berbuat, karena itu dapat dimasukkan II. TINJAUAN PUSTAKA 1. Metode Eksperimen Eksperimen mengandung makna belajar untuk berbuat, karena itu dapat dimasukkan ke dalam metode pembelajaran. Menurut Djamarah dan Zain (2006: 136) metode eksperimen

Lebih terperinci

2013 PENGARUH PENGGUNAAN PRAKTIKUM VIRTUAL UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS DAN SIKAP ILMIAH SISWA SMA PADA KONSEP TUMBUHAN LUMUT DAN PAKU

2013 PENGARUH PENGGUNAAN PRAKTIKUM VIRTUAL UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS DAN SIKAP ILMIAH SISWA SMA PADA KONSEP TUMBUHAN LUMUT DAN PAKU 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permendikbud No. 69 tahun 2013 menjelaskan tentang karakteristik dari Kurikulum 2013 yaitu mengembangkan sikap, pengetahuan, dan keterampilan serta menerapkannya dalam

Lebih terperinci