BAB V ANALISIS DATA. menganalisis serta menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian yang terdapat pada

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB V ANALISIS DATA. menganalisis serta menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian yang terdapat pada"

Transkripsi

1 BAB V ANALISIS DATA Pada Bab ini penulis akan menguraikan hasil temuan penelitian dan menganalisis serta menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian yang terdapat pada pokok permasalalah. Pada Bab ini analisis penulis bagi menjadi dua sub bab, yang pertama mengenai analisis penerimaan pajak daerah yang menjawab pertanyaan penelitian dalam pokok permasalahan no 1, 2 dan 3. Sedangkan sub bab yang kedua menganalisis mengenai pertanyaan penelitian pada pokok permasalahan no 4. A. Analisis Penerimaan Pajak Daerah Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor adalah bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bentuk negara kesatuan ini selanjutnya memberi implikasi yang cukup mendasar dalam pengelolaan kegiatan Pemerintah Daerah, khususnya yang berhubungan dengan pembangunan ekonomi. Basri (1995:110) mengatakan bahwa salah satu ciri negara kesatuan adalah kekuasaan yang sangat besar atau dominan pada Pemerintah Pusat. Lebih lanjut Basri mengungkapkan bahwa dominasi pusat dari satu ke lain negara berbeda-beda. Perbedaan intensitas ini ternyata tidak berkorelasi dengan ideologi yang dianut, melainkan lebih banyak dipengaruhi oleh latar belakang sejarah, budaya politik, serta lingkungan internal dan eksternal yang dihadapi oleh negara. 128

2 129 Pada tahap awal pembangunan ekonomi yang dilaksanakan oleh rezim orde baru, penerimaan sektor migas sangat mendominasi penerimaan negara. Akibatnya alokasi dana pusat yang digunakan untuk pembangunan daerah juga sebagian besar bersandarkan pada sektor tersebut. Dalam membiayai pembangunan daerah proporsi alokasi bantuan pusat tersebut cukup besar, sehingga mengakibatkan pola ketergantungan tersendiri yang sampai saat ini terus menjangkiti sejumlah pemerintah daerah, termasuk Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor. Besarnya ketergantungan ini sangat dipengaruhi oleh desain politik orde baru yang menekankan stabilitas politik sebagai doktrin utama pembangunan. Penekanan doktrin stabilitas ini sendiri tidak lepas dari pengalaman sejarah yang menunjukkan besarnya potensi disintegrasi dari berbagai wilayah di Indonesia. Namun saat ini tantangan dan dinamika perubahan pembangunan politik dan ekonomi tentunya mengalami perubahan. Perubahan tantangan pembangunan yang berkaitan dengan pola pengelolaan Negara itu telah mengemuka jauh sebelum gerakan reformasi total menggantikan pemerintahan orde baru. Dengan berlalunya oil boom, tantangan pembangunan yang dihadapi dewasa ini adalah bagaimana mengoptimalkan sumber-sumber penerimaan dalam negeri. Dalam rangka menjaga kelangsungan pembangunan, upaya mengoptimalkan sumbersumber penerimaan dalam negeri adalah prioritas utama yang harus dilaksanakan secara serius.

3 130 Dalam situasi ekonomi sekarang ini, sumber penerimaan yang dikelola oleh pemerintah pusat sulit untuk dioptimalkan. Hal ini disebabkan karena objeknya tergantung dari intensitas ekonomi secara nasional. Namun sumbersumber penerimaan yang dikelola pemerintah daerah masih dapat ditingkatkan karena sumber-sumber penerimaan pemerintah daerah yang berasal dari potensi asli daerah sebagian besar cenderung belum digalang secara optimal. Karena itu adalah penting untuk memahami perkembangan Pajak Daerah sebagai salah satu sumber penerimaan asli daerah yang pengelolaan dan pemanfaatannya sepenuhnya ditujukan bagi pembangunan daerah. Melalui perkembangan Pajak Daerah dan Penerimaan Asli Daerah dapat dianalisis seberapa besar kemampuan pemerintah daerah dalam melaksanakan pembangunan di daerahnya, khususnya pembangunan ekonomi. Lebih jauh melalui analisis empiris terhadap perkembangan Pajak Daerah dan Penerimaan Asli Daerah dapat dianalisis peran Pemerintah Daerah dalam kegiatan ekonomi di daerahnya. Dalam pada itu selain merupakan salah satu sumber penerimaan asli daerah, penerimaan pajak daerah dapat juga digunakan untuk mengukur upaya pajak (tax effort) pemerintah daerah Kabupaten Bogor dalam rangka menggalang dana dari salah satu unsur Penerimaan Asli Daerah untuk membiayai proses pembangunan di daerahnya.

4 131 Berkaitan dengan hal di atas maka penulis mengembangkan empat persepektif analisis. Pertama, analisis empiris perkembangan total penerimaan pajak daerah dan kontribusi setiap jenis pajak daerah terhadap total penerimaan pajak daerah. Kedua, analisis kontribusi pajak daerah terhadap penerimaan asli daerah, laju perkembangannya dan varians penerimaan pajak daerah. Ketiga adalah analisis kinerja pajak daerah yang terdiri dari : tax effort (upaya pajak) yang terdiri dari tax ratio (rasio pajak) dan tax elasticity; tax effectiveness (hasil guna pajak); dan tax efficiency (daya guna pajak). Keempat, analisis unsur-unsur administrasi pajak daerah. 1. Analisis Perkembangan Pajak Daerah Selama periode 1998/ , pajak daerah mengalami pertumbuhan yang cukup signifikan (lihat gambar di bawah ini) Gambar 4 Grafik Perkembangan Penerimaan Pajak Daerah Tahun Anggaran 1998/ Pajak Daerah 1E+11 9E+10 8E+10 7E+10 6E+10 5E+10 4E+10 3E+10 2E+10 1E / / Tahun Anggaran Sumber : Data diolah

5 132 Dalam periode tersebut Pajak Daerah mengalami rata-rata pertumbuhan sebesar 20,53%, dengan pertumbuhan terendah pada periode tahun 2000 sebesar 8,92% dan tertinggi pada periode tahun 2001 sebesar 37,07%. Rendahnya penerimaan pajak daerah pada tahun 2000 disebabkan peralihan periode tahun anggaran dimana pada tahun anggaran 2000 hanya terdiri dari 9 bulan. Selain itu pada tahun 2000 Kota Depok sudah memisahkan diri dari Kabupaten Bogor. Hal ini tentu saja membuat penerimaan pajak daerah Pemerintah Kabupaten Bogor menjadi menurun secara signifikan. Hal lain yang perlu diperhatikan dalam menganalisis Pajak Daerah adalah juga dengan melakukan analisis terhadap setiap jenis pajak daerah yang ada selama periode tahun penelitian. Jenis pajak daerah yang dianalisis dan dibahas dalam penelitian ini sesuai dengan pembatasan masalah dibatasi hanya pada 5 (lima) jenis pajak daerah yaitu Pajak Hotel dan Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Pengambilan dan Pengolahan Galian Golongan C. Hal dilakukan agar konsistensi data tetap berlaku. Memang, sebelum diterbitkan UU No 18 Tahun 1997 yang kemudian direvisi dengan UU No 34 Tahun 2000 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, menurut Devas (1989:59) setiap Daerah memiliki lebih dari 50 jenis pajak daerah, tetapi sebagian besar daerah hanya memungut 8 sampai dengan 12 jenis saja. Untuk

6 133 mendapatkan gambaran yang lengkap mengenai penerimaan pajak daerah di Kabupaten Bogor periode 1998 / , di bawah ini disajikan tabel realisasi penerimaan setiap jenis pajak daerah, yang terdiri atas Pajak Hotel dan Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Pengambilan dan Pengolahan Bahan Galian GolonganC:

7 134 Tabel 22. Realisasi Penerimaan Berbagai Jenis Pajak Daerah Kabupaten Bogor Tahun Anggaran 1998/1999 Sampai Dengan 2004 (dalam rupiah) Tahun Pajak Penerangan Pajak Pengambilan Pajak Hotel Pajak Hiburan Pajak Reklame Jalan dan Pengolahan Restoran Golongan C Total 1998/ / Total Sumber : Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Bogor, 2005

8 135 Dengan berdasarkan tabel di atas maka dapat dihitung besarnya kontribusi masing-masing jenis pajak daerah terhadap jumlah total penerimaan pajak daerah selama kurun waktu 1998/ yang akan disajikan dalam tabel berikut : Tabel 23 Kontribusi Setiap Jenis Pajak Daerah Terhadap Total Penerimaan Pajak Daerah Kabupaten Bogor Periode 1998/ No Jenis Pajak Penerimaan Kontribusi (%) 1 Pajak Hotel & Rest ,37 2 Pajak Hiburan ,79 3 Pajak Reklame ,92 4 Pajak Penerangan Jln ,16 5 Pjk Galian Gol C ,76 Jumlah Sumber : Dispenda Kab Bogor (diolah penulis) Terlihat pada tabel di atas kontributor terbesar penerimaan pajak daerah di Kabupaten Bogor sepanjang periode 1998/ adalah Pajak Penerangan Jalan sebesar 49,16% dengan nilai nominal Rp.181,42 milyar diikuti Pajak Penggalian dan Pengolahan Bahan Galian Gol. C sebesar 29,76% dengan nilai nominal Rp.109,85 milyar, kemudian secara berturut-turut Pajak Hotel dan Restoran 15,37%,. Selanjutnya Pajak Reklame dan Pajak Hiburan masing-masing sebesar 2,92% dan 2,79%. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Salomo dan Ikhsan (2002:95) yang menyebutkan tiga jenis pajak daerah yang memberikan kontribusi terbesar bagi penerimaan pajak daerah yaitu Pajak Penerangan Jalan, Pajak Penggalian Bahan Galian

9 136 Gol. C serta Pajak Hotel dan Restoran. Selanjutnya Salomo dan Ikhsan (2002:96) menjelaskan bahwa jenis-jenis pajak daerah tersebut mempunyai potensi untuk dikembangkan di masa mendatang. Hal ini dapat terlihat dari struktur perekonomiannya yang merupakan campuran antara sektor primer (pertanian) dengan sektor sekunder dan tertier ( industri dan perdagangan serta jasa). Agar lebih mudah memahami kontribusi penerimaan setiap jenis pajak daerah terhadap seluruh penerimaan pajak daerah maka penulis juga menyajikan dalam bentuk gambar berikut ini : Gambar 5. Kontribusi Setiap Jenis Pajak Daerah Terhadap Total Penerimaan Pajak Daerah Kabupaten Bogor Periode 1998/ % 29.76% 2.79% 2.92% 49.16% PHR PHI PREK PPJ Pjk Galian Gol C Sumber : Diolah penulis a. Pajak Hotel dan Restoran Pajak Hotel dan Restoran asalnya bernama Pajak Pembangunan I. Kemunculan pajak ini berasal sejak jaman revolusi fisik kemerdekaan, yang dipungut dengan sukarela oleh penguasa. Pungutan secara sukarela ini dilakukan oleh badanbadan perjuangan dengan menentukan prosentase tertentu dari

10 137 pembayaran kepada rumah-rumah penginapan dan rumah-rumah makan dengan nama Fonds Kemerdekaan. Pemberian nama Pajak Pembangunan I diharapkan akan melahirkan Pajak Pembangunan II, II dan seterusnya. Akan tetapi kenyataannya sampai diganti dengan nama Pajak Hotel dan Restoran, tidak pernah lahir pajak pembangunan II (Soelarno, 1999:175). Seiring dengan semakin meningkatnya pembangunan, khususnya pengembangan kawasan-kawasan pariwisata baru terutama di bagian barat dan timur wilayah Kabupaten Bogor serta sesuai dengan potensi sumber daya alam yang ada dengan memperhatikan keserasiannya dengan lingkungan, maka jumlah hotel dan restoran juga semakin meningkat baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Pajak Hotel dan Restoran merupakan salah satu sumber penerimaan pajak daerah. Di mana diharapkan apabila penerimaan dari jasa Pajak Hotel dan Restoran meningkat, maka penerimaan pajak darerah pun akan meningkat yang sekaligus juga akan meningkatkan Pendapatan Asli Daerah. Pemungutan Pajak Hotel dan Restoran ini didasarkan pada Peraturan Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor No. 15 dan 16 tanggal 1 Mei tahun 2002 tentang Pajak Hotel dan Restoran. Berdasarkan jenisnya, hotel di wilayah Kabupaten Bogor ini dibagi menjadi hotel bintang dan hotel melati. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 24 sebagai berikut :

11 138 Tabel 24 Jumlah Hotel dan Restoran Di Wilayah Kabupaten Bogor Tahun 1998 Sampai Dengan 2004 Tahun Hotel Bintang Melati Jumlah Restoran Sumber : Diparda Kabupaten Bogor, 2005 Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa dari tahun 1998 sampai dengan 2004 jumlah hotel secara keseluruhan adalah sebanyak 16 buah untuk jenis bintang dan 92 jenis melati. Sedangkan jika dilihat secara keseluruhan, maka sampai dengan tahun 2004 ini jumlah hotel adalah sebanyak 108 hotel. Terjadinya penurunan jumlah hotel Melati mulai tahun 2001 sampai dengan 2004 disebabkan karena sejumlah hotel Melati tersebut telah berubah status menjadi hotel Bintang, sebagai contoh Hotel Mirah dan Hotel Pakuan. Kemudian untuk jumlah restoran dari tahun 2000 sampai dengan 2004, memiliki kecenderungan yang semakin meningkat. Di mana pada tahun 2000 jumlahnya hanya sebanyak 138 restoran. Tetapi sampai dengan tahun 2004, jumlah ini semakin bertambah sampai dengan sebanyak 145 restoran. Semakin berkembangnya jumlah restoran ini disebabkan karena kota Bogor merupakan salah kota objek kunjungan wisata dan sekaligus sebagai kota perlintasan

12 139 bagi lalu lintas angkutan darat Jakarta Bandung, sehingga tidak jarang dari mereka singgah untuk beristirahat. Dengan semakin banyak dan berkembangnya jumlah hotel dan restoran yang berada di wilayah Kabupaten Bogor ini, diharapkan jumlah penerimaan pajak dari potensi ini juga akan semakin meningkat sehingga peningkatan penerimaan pajak tersebut nantinya akan mempengaruhi jumlah Pajak Daerah Untuk melihat perkembangan penerimaan Pajak Hotel dan Restoran yang di Kabupaten Bogor, di bawah ini ditampilkan pada tabel : Tabel 25 Penerimaan Pajak Hotel & Restoran Kabupaten Bogor Tahun 1998/1999 Sampai Dengan 2004 Tahun Pajak Hotel & Restoran (rupiah) Perubahan Rupiah (%) 1998/ / , , , , , ,91 Jumlah ,45 Sumber : Data diolah Dari tabel di atas terlihat penerimaan pajak hotel dan restoran dari tahun ke tahun meningkat kecuali pada tahun 2000 yang mengalami penurunan yang disebabkan tidak lengkapnya jumlah bulan dalam tahun anggaran 2000, yang hanya 9 bulan. Selain itu pada tahun tersebut Depok sudah memisahkan diri menjadi Kota tersendiri. Namun jika dilihat dari prosentase

13 140 Tahun perubahannya, kenaikan tertinggi terjadi pada tahun 2002 sebesar 41,76% dengan nominal penerimaan sebesar Rp. 9 milyar. Selain itu, dibawah ini disajikan rasio perkembangan pajak hotel dan restoran yang disandingkan dengan pajak daerah pada tabel berikut ini : Tabel 26. Rasio Perkembangan Pajak Hotel dan Restoran Serta Pajak Daerah Kabupaten Bogor Tahun 1998/ Pajak Hotel dan Restoran (Rp) Perkembangan ( % ) Pajak Daerah (Rp) Perkembangan ( % ) Kontribusi 1998/ , / , ,20 22, , ,92 16, , ,07 13, , ,46 14, , ,74 14, , ,35 12,90 Rata-rata , ,53 16,73 Sumber : data diolah penulis Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa perubahan pajak hotel dan restoran akan tidak selalu diikuti oleh perubahan pajak daerah. Rata-rata perkembangan Pajak Hotel dan Restoran selama tahun 1998/1999 sampai dengan 2004 adalah sebesar 11,78% pertahun, sedangkan perkembangan Pajak Daerah rata-rata sebesar 20,53% setiap tahunnya. Kontribusi Pajak Hotel dan Restoran selama periode 1998/ berfluktuatif dengan rata-rata sebesar 16,73%. Angka terbesar kontribusi terjadi pada periode 1998/1999 sebesar 23,14% sedangkan yang terkecil pada periode 2004 sebesar 12,90%.

14 141 Salomo dan Ikhsan (2002:96) mengungkapkan bahwa dalam kondisi normal potensi Pajak Hotel dan Restoran diperkirakan akan terus berkembang. Hal ini sejalan dengan kondisi geografis Kabupaten Bogor yang beriklim sejuk dan memiliki pemandangan indah, sehingga kegiatan bisnis hotel dan restoran di wilayah Kabupaten Bogor berkembang pesar pula. Namun demikian, banyaknya protes dari warga mengenai keberadaan hotel, penginapan dan tempat hiburan yang disalahgunakan sehingga mengakibatkan terjadinya pengrusakan hotel, penginapan dan tempat hiburan maka potensi penerimaan Pajak Hotel dan Restoran terancam menurun. Hal ini dapat dibuktikan dengan laju pertumbuhan PDRB pada tahun 2004 sektor hotel hanya sebesar 0,4% dan restoran sebesar 3,61%. b. Pajak Hiburan Jenis pajak ini termasuk pajak yang tergolong sebagai pajak asli daerah, dalam arti bukan pajak negara yang diserahkan kepada daerah. Dengan demikian dasar hukum yang berbentuk ordonansi atau undang-undang yang mengatur jenis pungutan ini sulit ditemukan. Pemungutan pajak hiburan pada Kabupaten Bogor dilandasi oleh Peraturan Daerah Nomor 18 tanggal 1 Mei tahun 2002 tentang Pajak Hiburan. Di mana objek yang dikenakan oleh pajak ini

15 142 adalah semua yang termasuk tempat-tempat hiburan, baik yang dipertontonkan ataupun tidak. Jika dilihat dunia hiburan sekarang ini semakin berkembang dengan pesat, baik dari sisi kuantitas maupun kualitas. Berdasarkan data yang diperoleh diketahui perkembangan dunia hiburan di Kabupaten Bogor selama periode 1998/1999 hingga 2004, seperti yang ditunjukkan dalam tabel 27 di bawah ini :

16 143 Tabel 27. Perkembangan Tempat Hiburan di wilayah Kabupaten Bogor Tahun 1998 Sampai Dengan 2004 Jenis Hiburan Jumlah Tahun Objek Kolam Perkemahan Golf Billiard Bioskop Pemancingan Wisata Renang Sumber : Potret Kabupaten Bogor, 2005

17 144 Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa tempat hiburan yang berada di wilayah Kabupaten Bogor selama periode tahun 1998/1999 sampai dengan 2004 memiliki kecederungan yang semakin meningkat. Di mana penurunan jumlah tempat hiburan tersebut terjadi mulai tahun 2000 khususnya untuk jenis tempat hiburan golf, yang dikarenakan sebagian dari tempat tersebut diambil alih oleh Pemerintah Kota Depok. Kemudian untuk melihat perkembangan penerimaan pajak hiburan yang ada di kabupaten Bogor, berikut di bawah ini disajikan tabel penerimaan pajak hiburan serta perubahannya Tabel 28 Penerimaan Pajak Hiburan Kabupaten Bogor Tahun 1998/1999 Sampai Dengan 2004 Tahun Pajak Hiburan Perubahan (rupiah) Rupiah (%) 1998/ / , , , , , ,93 Total ,01 Sumber : Data diolah Dari tabel di atas terlihat bahwa penerimaan pajak hiburan di Kabupaten Bogor selalu terjadi peningkatan dari tahun ke tahun, terkecuali pada tahun Terjadi lonjakan yang tinggi pada tahun 2001 dilihat dari prosentase perubahannya, yaitu sebesar 72,28% dengan nominal penerimaan sebesar Rp. 1,28 milyar dari penerimaan sebesar Rp. 743,68 juta pada tahun 2000.

18 145 Selanjutnya, dibawah ini disajikan rasio perkembangan pajak hiburan yang disandingkan dengan pajak daerah pada tabel berikut ini : Tabel 29 Rasio Perkembangan Pajak Hiburan Serta Pajak Daerah Kabupaten Bogor Tahun 1998/1999 Sampai Dengan 2004 Tahun Pajak Hiburan Perkembangan Pajak Daerah Perkembangan (Rp) ( % ) (Rp) ( % ) Kontribusi 1998/ , / ,20 2, ,92 2, ,07 2, ,46 2, ,74 2, ,35 2,84 Rata-rata ,53 4,93 Sumber : data diolah penulis Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa besarnya perubahan Pajak Hiburan pada setiap tahunnya tidak selalu diikuti oleh perubahan Pajak Daerah. Kemudian jika dilihat rata-rata laju perkembangan Pajak Hiburan selama tahun 1998/1999 sampai dengan 2004 adalah sebesar 20,26 % pertahun sedangkan Pajak Daerah rata-rata sebesar 20,53 % setiap tahunnya. Rata-rata kontribusi Pajak Hiburan selam periode 1998/1999 adalah sebesar 4,93% Pajak Hiburan yang pada urutan kontribusi terhadap Pajak Daerah menempati posisi no 5 dari lima pajak daerah yang diteliti dalam tesis ini, sebetulnya masih bisa ditingkatkan penerimaannya. Salomo dan Ikhsan (2002:98) menyarankan dengan cara mengintensifkan pemungutan dari berbagai objek dan

19 146 subjek pajak yang salama ini telah ada, terutama jenis hiburanhiburan yang umumnya terdapat di hotel. c. Pajak Reklame Seperti halnya Pajak Hiburan, jenis pajak ini termasuk Pajak Asli Daerah. Oleh karena itu penulis tidak menemukan landasan hukum dalam bentuk Undang-Undang atau Ordonansi yang mengatur sebelumnya. Pajak Reklame merupakan salah satu sumber penerimaan pajak daerah yang diandalkan. Hal ini disebabkan karena semakin berkembang dunia usaha tingkat persaingannya akan semakin ketat. Sehingga dengan adanya persaingan tersebut setiap perusahaan berusaha memperoleh keuntungan dengan cara menarik konsumen sebanyak-banyaknya melalui reklame. Dengan demikian penerimaan pajak reklame diharapkan akan semakin meningkat seiring dengan adanya persaingan antara pebisnis tersebut. Pajak reklame ini diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 19 tanggal 1 Mei 2002 tentang Pajak Reklame.

20 147 Tabel 31 Tabel 30 Penerimaan Pajak Reklame Kabupaten Bogor Tahun 1998/1999 Sampai Dengan 2004 Tahun Pajak Reklame Perubahan (rupiah) Rupiah (%) 1998/ / , , , , , ,04 Total Sumber : Data diolah Dari data di atas terlihat bahwa penerimaan Pajak Reklame di Kabupaten Bogor selalu meningkat terkecuali pada tahun 2000 yang mengalami penurunan. Pada kolom prosentase perubahan, terlihat pada tahun 2002 mengalami lonjakan tertinggi sebesar 63,91%. Secara keseluruhan penerimaan Pajak Reklame di Kabupaten Bogor selama periode 1998/1999 sampai dengan 2004 sebesar Rp 10,77 milyar. Rasio Perkembangan Pajak Reklame Serta Pajak Daerah Kabupaten Bogor Tahun 1998/ Tahun Pajak Reklame Perkembangan Pajak Daerah Perkembangan Kontribusi (Rp) ( % ) (Rp) ( % ) 1998/ / , , , , , , Rata-rata 1,675,978, , Sumber : data diolah penulis Berdasarkan tabel di atas dapat dijelaskan bahwa besarnya perubahan Pajak Reklame tidak selalu diikuti oleh besarnya perubahan Pajak Daerah. Hal ini dapat dilihat rata-rata besarnya

21 148 perubahan atau perkembangan Pajak Reklame selama tahun 1998/1999 sampai dengan 2004, yaitu sebesar 24,43 % setiap tahunnya, sedangkan untuk Pajak Daerah rata-rata hanya sebesar 20,53 % pertahun. Rata-rata kontribusi selama periode 1998/1999 hingga 2004 adalah sebesar 2,8%. Pajak ini potensial untuk ditingkatkan mengingat wilayah Kabupaten Bogor merupakan jalur lintasan utama antara Jakarta ke Bandung dan sebaliknya lewat Puncak yang sangat ramai lalu lintasnya sehingga sangat strategis sebagai tempat pemasangan reklame berbagai jenis barang maupun jasa, terutama dalam bentuk reklame di luar ruangan seperti billboard dan sejeninya. Selain itu reklame ukuran kecil juga potensial, terutama digunakan oleh berbagai jenis usaha kecil dan menengah serta apotek (Salomo dan Ikhsan, 2002:98) d. Pajak Penerangan Jalan (PPJ) Lahirnya PPJ disebabkan oleh suatu pertimbangan bahwa pemerintah memerlukan biaya cukup besar dimana selama ini ditanggung pemda. Perkembangan kata yang semakin ketata dan melebihi kemampuan pemda dalam menyediakan prasarana dan sarana perkotaan termasuk penerangan jalan. Hal ini menuntut adanya penentuan prioritas pembiayaan sesuai dengan analisis biaya dan manfaat.

22 149 Sarana penerangan jalan yang disediakan pemda dimaksudkan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat khususnya demi keamanan, ketertiban dan kesegaran kehidupan kota. Selanjutnya secara bertahap pemda memperluas jaringan penerangan jalan pada tempat-tempat tertentu. Walaupun demikian, masih ada lokasi-lokasi baru yang belum memperoleh sarana itu dan perlu mendapat penerangan jalan. Untuk kelancaran pembangunan tersebut pemerintah menganggap bahwa sudah sewajarnya warga kota yang dianggap mampu yang merupakan pemakai atau pelanggan listrik PLN ikut serta membiayai pembangunannya tersebut dengan pengenaan pungutan sejumlah yang telah ditentukan. Untuk efisiensi pungutan itu, maka pungutan dilakukan sekaligus bersamaan dengan pembayaran pemakaian tenaga listrik tiap bulannya. Hasil penerimaan pajak ini diperuntukan paling sedikit 10 % bagi desa di wilayah daerah kabupaten yang bersangkutan (Samudra, 2005:174). Pajak Penerangan Jalan ini diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 23 tanggal 19 Juli tahun 2002 tentang Pajak Penerangan Jalan. Untuk melihat perkembangan penggunaan listrik akan disajikan dalam tabel 32 di bawah ini :

23 150 Tabel 32 Perkembangan Produk Domestik Regional Bruto Sektor Listrik Kabupaten Bogor Menurut Harga Berlaku Tahun 1998 Sampai Dengan 2004 Tahun Sektor Listrik Perkembangan (Rp) ( % ) Rata-rata Sumber : BPS Kabupaten Bogor, 2005 Berdasarkan tabel di atas dapat dijelaskan bahwa Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) sektor listrik Kabupaten Bogor tahun 1998 sampai dengan 2004, setiap tahunnya cenderung mengalami peningkatan. Di mana rata-rata jumlah PDRB sektor listrik selama tahun tersebut adalah sebesar Rp setiap tahunnya dengan rata-rata kenaikan sebesar 14,53 % pertahun. Hal ini dimungkinkan karena terjadi pengembangan kota-kota yang dapat menjadi pusat pertumbuhan di bagian barat dan timur. Di bagian barat adalah Leuwiliang, Jasinga, Parung Panjang, Tenjo dan Rumpin. Sedangkan di bagian Timur adalah Jonggol dan Cariu. Sejalan dengan pengembangan kota-kota tersebut adalah pengembangan pusat-pusat pemukiman yang akan menampung, baik kebutuhan perumahan secara internal yang tumbuh maupun luberan dari luar wilayah. Dengan demikian kebutuhan akan listrik terhadap perkembangan pemukiman akan terus meningkat.

24 151 Selain itu, Salomo dan Ikhsan (2002:96) menambahkan bahwa potensi Pajak Penerangan Jalan berasal dari objek pajak yang berupa industri-industri besar yang berasal yang berlokasi di Kabupaten Bogor yang merupakan pengguna aliran listrik dalam skala besar selain itu tumbuh berkembangnya perumahanperumahan dengan pesat di Kabupaten ini juga turut mendorong penggunaan aliran listrik secara signifikan. Tabel 33 Penerimaan Pajak Penerangan Jalan Kabupaten Bogor Tahun 1998/1999 Sampai Dengan 2004 Tahun Pajak Penerangan Jalan (rupiah) Perubahan Rupiah (%) 1998/ / , , , , , ,86 Total ,52 Sumber : Data diolah Terlihat pada tabel 33 di atas bahwa penerimaan Pajak Penerangan Jalan selalu mengalami peningkatan. Pada tahun 2000 terjadi penurunan prosentase perubahan sebesar 1%. Total prosentase perubahan yang terjadi selama periode 19998/1996 sampai dengan 2004 sebesar 183,52%.

25 152 Tabel 34 Rasio Perkembangan Pajak Penerangan Jalan Serta Pajak Daerah Kabupaten Bogor Tahun 1998/1999 Sampai Dengan 2004 Tahun Pajak Penerangan Jalan (Rp) Perkembangan ( % ) Pajak Daerah (Rp) Perkembangan ( % ) Kontribusi (%) , , ,20 38, , ,92 40, , ,07 50, , ,46 50, , ,74 52, , ,35 54,41 Rata , ,53 46,76 rata Sumber : data diolah penulis Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa besarnya perubahan Pajak Penerangan Jalan selalu diikuti oleh perubahan Pajak Daerah. Selama tahun 1998/1999 sampai dengan 2004, besarnya rata-rata laju perkembangan Pajak Penerangan Jalan adalah sebesar 26,22 % pertahun, sedangkan untuk Pajak Daerah hanya sebesar 20,53 % setiap tahunnya. Rata-rata kontribusi Pajak Penerangan Jalan sejak tahun anggaran 1998/ sebesar 46,76% e. Pajak Pengambilan dan Pengolahan Bahan Galian Gol C Reformasi Pajak Daerah dengan berlakunya Undang- Undang Nomor 18 Tahun 1997 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah antara lain bertujuan untuk penataan kembali beberapa jenis retribusi yang pada hakekatnya adalah pajak, untuk kemudahan administrasi sehingga realisasi penerimaan pajak

26 153 daerah diharapkan sesuai dengan tax capacity yang ada. Salah satu bentuk penataan kembali retribusi yang pada hakekatnya bersifat pajak yaitu Pajak Pengambilan dan Pengolahan Bahan Galian Golongan C yang sebelumnya dalam Undang-Undang Nomor 11 Drt Tahun 1957 tentang Peraturan Umum Pajak Daerah dikategorikan sebagai Retribusi Pengambilan dan Pengolahan Bahan Galian Golongan C (Samudra, 2005:185). Pajak pengambilan dan pengolahan galian golongan C ini diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 20 tanggal 1 Mei tahun 2002 tentang Pajak Pengambilan dan Pengolahan Bahan Galian Golongan C. Di mana perkembangan objek pajak yang termasuk dalam pajak ini seperti yang akan disajikan dalam tabel sebagai berikut :

27 154 Tabel 35. Perkembangan Produksi Bahan Galian Golongan C Kabupaten Bogor Tahun 1998 Sampai Dengan 2004 Jenis Bahan Galian (ton) Tahun Volume Batu Pasir dan Tanah Kapur Tanah Liat Bentonit Feldsfar Trass Gunung Kerikil Urug , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,78 Sumber : Potret Kabupaten Bogor, 2005

28 155 Berdasarkan tabel 35 dapat dijelaskan bahwa pengambilan dan pengolahan bahan galian golongan C terdiri dari enam jenis bahan galian. Di mana setiap tahunnya volume bahan galian tersebut selalu mengalami peningkatan. Volume terbesar terjadi pada tahun 2004, di mana dari total volume sebesar ,78 ton, dan yang terkecil pada tahun 1998 sebesar ,86 ton. Berikut di bawah ini tabel penerimaan Pajak Pengambilan dan Pengolahan Bahan Galian Golongan C Kabupaten Bogor. Tabel 36 Pajak Pengambilan dan Pengolahan Bahan Galian Gol C Kabupaten Bogor Tahun 1998/ Pajak Pengambilan Perubahan Tahun dan Pengolahan Bahan Galian Gol C Rupiah (%) (rupiah) 1998/ / , , , , , ,81 Total ,22 Sumber : Data diolah Dari tabel di atas terlihat selama periode tahun 1998/1999 sampai 2004, penerimaan Pajak Pengambilan dan Pengolahan Bahan Galian Golongan C di Kabupaten Bogor terlihat menunjukan peningkatan setiap tahun. Jumlah penerimaan pajak ini selama periode 1998/ adalah sebesar Rp.109,85 milyar. Prosentase peningkatan terbesar terjadi pada tahun 1999/2000 sebesar 46,22% dan yang terkecil sebesar 9,81%.

29 156 Untuk melihat laju perkembangan Pajak Pengambilan dan Pengolahan Bahan Galian Golongan C yang disandingkan dengan laju perkembangan Pajak Daerah serta kontribusinya maka di bawah ini disajikan tabel : Tabel 37 Rasio Perkembangan Pajak Pengambilan dan Pengolahan Bahan Galian Gol C Serta Pajak Daerah Kabupaten Bogor Tahun 1998 Sampai Dengan 2004 Tahun Pajak Pengambilan dan Pengolahan Bahan Galian Gol C (Rp) Perkembangan ( % ) Pajak Daerah (Rp) Perkembangan ( % ) Kontribusi , , ,20 33, , ,92 38, , ,07 31, , ,46 29, , ,74 27, , ,35 26,61 Ratarata , ,53 30,89 Sumber : data diolah penulis Tabel di atas menunjukkan bahwa besarnya perubahan Pajak Daerah tidak selalu diikuti besarnya perubahan Pajak Pengambilan dan Pengolahan Galian Golongan C. Bahkan jika dilihat dari rata-ratanya selama tahun 1998 sampai dengan 2004, besarnya perubahan Pajak Pengambilan dan Pengolahan Galian Golongan C adalah sebesar 19,03% setiap tahun yang lebih kecil dari besarnya perubahan Pajak Daerah yang sebesar 20,53 % pertahunnya. Selama periode 1998/ , rata-rata kontribusi Pajak Penggalian dan Pengolahan Bahan Galian Golongan C adalah sebesar 30,8%.

30 Analisis Kontribusi dan Laju Perkembangan Pajak Daerah Terhadap Penerimaan Asli Daerah SertaVarians Penerimaan Pajak Daerah a. Analisis Kontribusi Pajak Daerah Terhadap Penerimaan Asli Daerah Kabupaten Bogor Dalam upaya melakukan pembangunan di segala bidang, setiap daerah berupaya untuk lebih meningkatkan pendapatan asli daerahnya. Hal ini dilakukan sebab Pendapatan Asli Daerah merupakan modal utama bagi pembiayaan pembangunan suatu daerah. Untuk itu setiap sektor yang merupakan komponen pendapatan asli daerah harus lebih diupayakan ditingkatkan lagi guna meningkatkan Pendapatan Asli Daerah. Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Bogor terdiri dari beberapa sektor. Di mana penerimaan masing-masing sektor tersebut akan dijelaskan dalam tabel di bawah ini :

31 158 Tabel 38. Sumber-sumber Penerimaan Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Bogor Tahun 1998/1999 Sampai Dengan 2004 (dalam rupiah) Tahun Pajak Daerah Retribusi Laba Daerah Lain-lain Pendapatan Asli Daerah 1998/ / Total Rata-rata , Sumber : Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Bogor, 2005

32 159 Berdasarkan tabel 38 tersebut dapat dijelaskan bahwa sumbersumber penerimaan pandapatan asli daerah Kabupaten Bogor terdiri dari empat sektor, yaitu Pajak Daerah, Retribusi, Laba Daerah dan Penerimaan Lain-lain. Di mana penerimaan setiap sektor tersebut selama tahun 1998/1999 sampai dengan 2004 cenderung mengalami peningkatan, terkecuali pada tahun 2000 yang mengalami penurunan disebabkan pergeseran tahun anggaran yang asalnya dimulai dari 1 April sampai dengan 31 Maret menjadi dari 1 Januari sampai dengan 31 Desember sehingga pada pergantian tahun anggaran yaitu tahun 2000 menjadi terdapat 9 bulan. Selain itu juga disebabkan berpisahnya Kota Depok dari Kabupaten Bogor. Jika dilihat secara rata-rata selama tahun penelitian sumber penerimaan dari sektor Pajak Daerah merupakan yang terbesar diantara sektor-sektor lainnya, yaitu sebesar Rp. 51,49 milyar kemudian diikuti oleh sektor Retribusi dengan rata-rata sebesar Rp.34,33 milyar. Sedangkan untuk sektor Laba Daerah dan Penerimaan Lain-lain masing-masing rata-rata sebesar Rp.2.milyar dan Rp.13.milyar. Sehingga secara keseluruhan, selama tahun 1995 sampai dengan 2004 rata-rata penerimaan Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Bogor pertahun adalah sebesar Rp.101milyar. Kemudian untuk melihat kontribusi Pajak Daerah terhadap Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Bogor dapat dilihat pada tabel 39 di bawah ini :

33 160 Tabel 39. Kontribusi Pajak Daerah Terhadap Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Bogor Tahun 1998/ Tahun Pajak Daerah (Rp) Pendapatan Asli Daerah (Rp) Kontribusi ( % ) 1998/ , / , , , , , ,29 Rata-rata ,35 Sumber : data diolah penulis Berdasarkan tabel 39 di atas dapat dijelaskan bahwa kontribusi Pajak Daerah terhadap Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Bogor pada selama periode 1998/1999 sampai dengan 2004 cenderung mengalami peningkatan. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Gerald (1998), meskipun pada tahun-tahun sebelumnya kontribusi Pajak Daerah lebih rendah dari Retribusi Daerah, tetapi cenderung terjadi pergeseran penerimaan yang hal ini dapat dibuktikan dengan semakin meningkatnya kontribusi Pajak Daerah dari tahun ke tahun yang diikuti oleh penurunan kontribusi Retribusi Daerah. Gerald (2005) mengatakan bahwa pergeseran kontributor terbesar terhadap PAD antara pajak daerah dengan retribusi daerah terjadi pada tahun anggaran 1998/1997. Hal tersebut terjadi setelah dilakukan pembenahan sistem pajak daerah yaitu dengan

34 161 diterbitkannya UU No 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Kontribusi terbesar terjadi pada tahun anggaran 2004, yaitu sebesar 54,92 % sedangkan yang terkecil terjadi pada tahun anggaran 1995/1996, yaitu sebesar 25,08 %. Secara rata-rata besar kontribusi Pajak Daerah terhadap Pendapatan Asli Daerah sejak tahun anggaran 1995/1996 sampai dengan 2004 ini adalah sebesar 54,29 %. Penurunan secara nominal pada tahun anggaran 2000, hal ini dimungkinkan terjadinya perubahan status wilayah Depok yang semula wilayah Kabupaten Bogor menjadi daerah Kotamadya. Sehingga beberapa objek penerimaan yang berasal dari sektor pajak diambil alih oleh Kotamadya Depok. Namun demikian secara kontribusi relatif mengalami peningkatan. Kemudian untuk melihat rasio kontribusi Pajak Daerah dan sektor lainnya terhadap Pendapatan Asli Daerah akan dijelaskan dalam tabel sebagai berikut :

35 162 Tabel 40. Rasio Kontribusi Pajak Daerah, Retribusi, Laba Daerah dan Penerimaan Lain-lain Terhadap Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Bogor Tahun 1998/ (persen) Tahun Pajak Retribusi Laba Pendapatan Asli Lain-lain Daerah Daerah Daerah Daerah ,48 38,32 3,01 17, ,11 38,94 0,75 13, ,85 38,74 1,65 10, ,99 34,17 2,07 14, ,73 29,68 1,91 17, ,03 30,09 2,31 13, ,29 34,71 2,20 8, Rata-rata 49,35 34,95 1,99 13, Sumber : data diolah Dari tabel 40 dapat dilihat bahwa secara keseluruhan ratarata kontribusi Pajak Daerah terhadap Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Bogor selama tahun 1998/1999 sampai 2004 adalah yang terbesar dibandingkan dengan sektor-sektor lainnya. Di mana untuk Pajak Daerah rata-rata setiap tahunnya adalah sebesar 49,35% sedangkan Retribusi daerah rata-rata sebesar 34,95%. Kemudian untuk Laba Daerah dan Penerimaan Lain-lain masingmasing rata-rata sebesar 1,99 % dan 13,71%. Dengan demikian sejak diberlakukan UU No 18 Tahun 1997 yang disempurnakan dengan UU No 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sampai dengan 2004, kontribusi terbesar adalah sektor Pajak Daerah. Sedangkan yang terkecil disumbang oleh Laba Perusahaan Daerah sebesar 1,99%. Kontribusi Laba Perusahaan Daerah terhadap PAD terlihat selalu paling kecil. Bahkan angka tertinggi pun tidak mencapai 4%. Hal ini disebabkan kinerja yang buruk dari perusahaan daerah.

36 163 Salomo dan Ikhsan (2002:165) mencatat beberapa penyebabnya. Pertama, Perusahaan Daerah selalau menjadi sapi perah Pemerintah Daerah. Kedua, penunjukan para pejabat perusahaan daerah seringkali tidak berdasarkan kriteria profesionalisme. Ketiga, tidak adanya iklim kompetisi dan yang keempat, pengelolaan perusahaan yang tidak efisien. Besarnya kontribusi pajak daerah terhadap PAD antara lain disebabkan perkembangan kota Bogor sebagai daerah penyangga Ibukota demikian pesat, baik jumlah penduduk maupun saranasarana pendukungnya. Selain itu pula hal dapat terjadi disebabkan beberapa sumber penerimaan Retribusi Daerah banyak yang dihilangkan oleh Pemerintah Kabupaten Bogor, sesuai dengan Undang-undang No. 18 tahun 1997 tentang Pajak dan Retribusi Daerah. Untuk lebih memahami kontribusi pajak daerah terhadap penerimaan asli daerah secara lebih detil berikut akan diuraikan kontribusi masing-masing jenis pajak daerah terhadap penerimaan asli daerah. 1). Kontribusi Pajak Hotel dan Restoran terhadap PAD Jenis pajak daerah pertama yang akan dibahas yaitu pajak hotel dan restoran dengan menampilkan tabel rasio perkembangan pajak daerah tersebut dengan penerimaan asli daerah sebagaimana berikut ini :

37 164 Tabel 41. Rasio Perkembangan Pajak Hotel & Restoran dan Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Bogor Tahun 1998/ Tahun Pajak Hotel dan Restoran (Rp) Perkembangan ( % ) Pendapatan Asli Daerah (Rp) Perkembangan ( % ) 1998/ / , , , , , , , , , ,82 Rata-rata , ,90 Sumber : data diolah penulis Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa perubahan pajak hotel dan restoran tidak selalu diikuti oleh perubahan pendapatan asli daerah. Rata-rata perkembangan Pajak Hotel dan Restoran selama tahun 1998/199 sampai dengan 2004 adalah sebesar 13,38 % pertahun, sedangkan rata-rata laju perkembangan Pendapatan Asli Daerah sebesar 18,90 % setiap tahunnya. Untuk lebih memperjelas perbandingan perubahan pajak hotel dan restoran ini akan dapat dilihat pada gambar 6:

38 165 Gambar 6. Perbandingan Perubahan Pajak Hotel Dan Restoran Dengan Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Bogor Tahun 1998/ / / Pajak Hotel & Restoran PAD Sumber : data diolah penulis Berdasarkan gambar 6, dapat dilihat bahwa kurva perbandingan Pajak Hotel dan Restoran terhadap Pendapatan Asli Daerah memiliki kecenderungan yang semakin meningkat, sedangkan garis pajak hotel dan restoran cenderung landai dan tidak mengikuti gerak garis PAD. Hal ini berarti bahwa besarnya perubahan Pajak Hotel dan Restoran tidak sebanding perubahan Pendapatan Asli Daerah. Ini berarti pula kenaikan penerimaan Pajak Hotel dan Restoran kurang berpengaruh secara significant terhadap kenaikan PAD. Kemudian untuk melihat seberapa besar kontribusi yang diberikan Pajak Hotel dan Restoran terhadap Pendapatan Asli Daerah akan dijelaskan dengan tabel sebagai berikut :

39 166 Tabel 42. Kontribusi Pajak Hotel dan Restoran Terhadap Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Bogor Tahun 1998/ Tahun Pajak Hotel dan Restoran (Rp) Pendapatan Asli Daerah (Rp) Kontribusi ( % ) 1998/ , / , , , , ,00 Rata-rata ,12 Sumber : data diolah penulis Dari tabel 42 di atas, dapat dilihat bahwa selama periode tahun 1998/1999 sampai dengan 2004, kontribusi yang diberikan Pajak Hotel dan Restoran terhadap PAD relatif kecil, sebab hanya berkisar antara 6,62% sampai dengan 10,48% persen. Di mana kontribusinya yang terbesar adalah pada tahun 1999/2000, yaitu sebesar 10,48 %. Sedangkan rata-rata kontribusinya selama tahun yang diteliti ini adalah sebesar 8,12%. 2). Kontribusi Pajak Hiburan terhadap PAD Untuk melihat kontribusi pajak hiburan terhadap penerimaan asli daerah, ada baiknya melihat perkembangan penerimaan pajak hiburan dan penerimaan asli daerah serta rasio atas keduanya. Di bawah ini penulis sajikan tabel rasio perkembangan penerimaan pajak hiburan dengan penerimaan asli daerah

40 167 sehingga akan diketahui apakah perubahan penerimaan pajak hiburan selalu diikuti perubahan pendapatan asli daerah atau tidak. Tabel 43. Rasio Perkembangan Pajak Hiburan dan Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Bogor Tahun 1998/ Tahun Pajak Hiburan (Rp) Perkembangan ( % ) Pendapatan Asli Daerah (Rp) Perkembangan ( % ) 1998/ / , , , , , , , , , ,82 Rata-rata , ,90 Sumber : data diolah penulis Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa besarnya perubahan Pajak Hiburan pada setiap tahunnya tidak selalu diikuti oleh perubahan Pendapatan Asli Daerah. Kemudian jika dilihat rata-rata perubahan Pajak Hiburan selama tahun 1998/1999 sampai dengan 2004 adalah sebesar 20,26% pertahun sedangkan Pendapatan Asli Daerah rata-rata sebesar 18,90% setiap tahunnya. Kemudian untuk melihat perbandingan ini secara gambar akan disajikan seperti di bawah ini :

41 168 Gambar 7. Perbandingan Perubahan Pajak Hiburan Dengan Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Bogor Tahun 1998/ / / Pajak Hiburan PAD Sumber : data diolah penulis Dari gambar 7, dapat diketahui bahwa kurva perbandingan Pajak Hiburan terhadap Pendapatan Asli Daerah memiliki gerak garis yang berbeda. PAD semakin meningkat sejak tahun 1998/1999 sedangkan Pajak Hiburan cenderung landai. Sehingga hal ini dapat dikatakan bahwa besarnya perubahan Pajak Hiburan tersebut tidak terlalu berpengaruh terhadap perubahan Pendapatan Asli Daerah secara significant. Kemudian untuk melihat kontribusi Pajak Hiburan terhadap Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Bogor, akan disajikan dalam tabel sebagai berikut :

42 169 Tabel 44. Kontribusi Pajak Hiburan Terhadap Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Bogor Tahun 1998/ Tahun Pajak Hiburan (Rp) Pendapatan Asli Daerah (Rp) Kontribusi ( % ) 1998/ , / , , , , ,54 Rata-rata ,44 Sumber : data diolah penulis Dengan melihat tabel 44, diketahui bahwa kontribusi Pajak Hiburan terhadap Pendapatan Asli Daerah memiliki kecenderungan yang fluktuatif, kemudian jika dibandingkan dengan sumber penerimaan lainnya, kontribusi ini masih kecil sekali, sebab secara rata-rata selama tahun 1998/ kontribusi Pajak Hiburan terhadap Pendapatan Asli Daerah hanya sebesar 1,44 % setiap tahunnya. 3). Kontribusi Pajak Reklame terhadap PAD Untuk mengkaji kontribusi Pajak Reklame terhadap Penerimaan Asli Daerah, terlebih dahulu penulis akan menyajikan rasio perkembangan penerimaan Pajak Reklame serta penerimaan asli daerah sehingga akan dapat dipahami perkembangan keduanya yang ditampilkan dalam prosentase kedua hal tersebut seperti dalam tabel berikut ini :

43 170 Tabel 45. Rasio Perkembangan Pajak Reklame dan Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Bogor Tahun 1998/ Tahun Pajak Reklame (Rp) Perkembangan ( % ) Pendapatan Asli Daerah (Rp) Perkembangan ( % ) 1998/ ,391,975, / ,81 67,116,468,421 11, ,24 96,338,104,088 43, ,91 123,239,928,586 27, ,00 146,641,203,944 18, ,04 163,972,827,085 11,82 Rata-rata ,00 109,616,751,330 18,90 Sumber : data diolah penulis Berdasarkan tabel 45 di atas dapat dijelaskan bahwa besarnya perubahan Pajak Reklame tidak selalu diikuti oleh besarnya perubahan Pendapatan Asli Daerah. Hal ini dapat dilihat rata-rata besarnya perubahan atau perkembangan Pajak Reklame selama tahun 1998/1999 sampai dengan 2004, yaitu sebesar 27% setiap tahunnya, sedangkan untuk Pendapatan Asli Daerah rata-rata hanya sebesar 18,90% pertahun. Perbandingan perubahan ini juga dapat dilihat pada gambar 8:

44 171 Gambar 8. Perbandingan Perubahan Pajak Reklame Dengan Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Bogor Tahun 1998/ / / Pajak Reklame PAD Sumber : data diolah penulis Dalam gambar 8 di atas dapat dilihat bahwa kurva perbandingan antara Pajak Reklame dengan Pendapatan Asli Daerah memiliki gerak grafik yang berbeda. Arah grafik PAD semakin meningkat tajam sejak tahun 1999/2000, sedangkan arah grafik Pajak Reklame cenderung landai. Hal ini dapat dikatakan bahwa besarnya perubahan Pajak Reklame tidak begitu berpengaruh terhadap perubahan Pendapatan Asli Daerah secara significant. Kemudian untuk melihat kontribusi Pajak Reklame terhadap Pendapatan Asli Daerah akan disajikan dalam tabel di bawah ini :

BAB I PENDAHULUAN. maka menuntut daerah Kab. Lombok Barat untuk meningkatkan kemampuan. Pendapatan Asli Daerah menurut Undang Undang Nomor 28 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. maka menuntut daerah Kab. Lombok Barat untuk meningkatkan kemampuan. Pendapatan Asli Daerah menurut Undang Undang Nomor 28 Tahun BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kabupaten Lombok Barat merupakan daerah tujuan wisata di kawasan Provinsi NTB dan merupakan daerah yang diberikan hak otonomi untuk mengelola daerahnya sendiri baik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang Nomor 23Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-

BAB I PENDAHULUAN. Undang Nomor 23Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang- BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Reformasi membawa banyak perubahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Republik Indonesia. Salah satu dari sekian banyak reformasi yang membawa kepada

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. kuantitiatif. Pendekatan ini mempergunakan suatu teori sesuai dengan makna yang

BAB III METODE PENELITIAN. kuantitiatif. Pendekatan ini mempergunakan suatu teori sesuai dengan makna yang BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitiatif. Pendekatan ini mempergunakan suatu teori sesuai dengan makna yang ada dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat melalui beberapa proses dan salah satunya adalah dengan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Kontribusi Pajak Dan Retribusi Sektor Pariwisata Terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Kontribusi Pajak Dan Retribusi Sektor Pariwisata Terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kontribusi Pajak Dan Retribusi Sektor Pariwisata Terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) Potensi pendapatan asli daerah adalah kekuatan yang ada di suatu daerah untuk menghasilkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Saat ini pemerintah daerah memiliki kewenangan penuh untuk mengatur dan mengelola pembangunan di daerah tanpa adanya kendala struktural yang berhubungan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sentralisasi, tetapi setelah bergulirnya reformasi maka pola sentralisasi berganti

BAB I PENDAHULUAN. sentralisasi, tetapi setelah bergulirnya reformasi maka pola sentralisasi berganti BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Krisis moneter yang melanda Indonesia membawa dampak yang luar biasa, sehingga meruntuhkan fundamental ekonomi negara dan jatuhnya penguasa pada tahun 1998.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sistem pemerintahan Republik Indonesia mengatur asas desentralisasi,

BAB I PENDAHULUAN. Sistem pemerintahan Republik Indonesia mengatur asas desentralisasi, 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Sistem pemerintahan Republik Indonesia mengatur asas desentralisasi, dekosentrasi dan tugas pembantuan yang dilaksanakan secara bersama-sama. Untuk mewujudkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai suatu bangsa dan negara besar dengan pemilikan sumber daya alam yang melimpah, dalam pembangunan ekonomi yang merupakan bagian dari pembangunan nasional

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan

I. PENDAHULUAN. Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan trend ke arah zona ekonomi sebagai kota metropolitan, kondisi ini adalah sebagai wujud dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. rakyat dalam rangka mewujudkan tujuan dari pembangunan nasional.

BAB I PENDAHULUAN. rakyat dalam rangka mewujudkan tujuan dari pembangunan nasional. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang masalah Negara Indonesia adalah negara demokrasi yang memberikan hak kepada setiap warganya untuk ikut berpartisipasi baik secara langsung maupun tidak langsung dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejak diberlakukannya otonomi daerah di Indonesia pada tahun 2001,

BAB I PENDAHULUAN. Sejak diberlakukannya otonomi daerah di Indonesia pada tahun 2001, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sejak diberlakukannya otonomi daerah di Indonesia pada tahun 2001, pemerintah daerah merupakan organisasi sektor publik yang diberikan kewenangan oleh pemerintah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan

I. PENDAHULUAN. atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN Kinerja Keuangan Masa lalu

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN Kinerja Keuangan Masa lalu BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN 3.1. Kinerja Keuangan Masa lalu Pengelolaan keuangan daerah Kabupaten Sintang diselenggarakan berpedoman pada Undang-Undang Nomor 17

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kota Depok telah resmi menjadi suatu daerah otonom yang. memiliki pemerintahan sendiri dengan kewenangan otonomi daerah

I. PENDAHULUAN. Kota Depok telah resmi menjadi suatu daerah otonom yang. memiliki pemerintahan sendiri dengan kewenangan otonomi daerah I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota Depok telah resmi menjadi suatu daerah otonom yang memiliki pemerintahan sendiri dengan kewenangan otonomi daerah beserta dengan perangkat kelengkapannya sejak penerbitan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kekuasaan antara pemerintah pusat dan daerah sangat berdampak pada berbagai

BAB I PENDAHULUAN. kekuasaan antara pemerintah pusat dan daerah sangat berdampak pada berbagai BAB I PENDAHULUAN 1.1. LatarBelakang Otonomi daerah merupakan kebijakan pemerintah dalam hal pembagian kekuasaan antara pemerintah pusat dan daerah sangat berdampak pada berbagai aspek. Salah satu aspek

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM KOTA CIMAHI. Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan dan Otonomi

IV. GAMBARAN UMUM KOTA CIMAHI. Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan dan Otonomi IV. GAMBARAN UMUM KOTA CIMAHI Cimahi berasal dari status Kecamatan yang berada di wilayah Kabupaten Bandung sesuai dengan perkembangan dan kemajuannya berdasarkan Undangundang Republik Indonesia Nomor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan.

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan. Otonomi daerah memberikan kesempatan yang luas kepada daerah untuk berkreasi dalam meningkatkan

Lebih terperinci

ANALISIS EFEKTIFITAS PEMUNGUTAN PAJAK DAERAH DALAM RANGKA PENINGKATAN PENDAPATAN ASLI DAERAH KABUPATEN BOJONEGORO

ANALISIS EFEKTIFITAS PEMUNGUTAN PAJAK DAERAH DALAM RANGKA PENINGKATAN PENDAPATAN ASLI DAERAH KABUPATEN BOJONEGORO ANALISIS EFEKTIFITAS PEMUNGUTAN PAJAK DAERAH DALAM RANGKA PENINGKATAN PENDAPATAN ASLI DAERAH KABUPATEN BOJONEGORO SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Tugas dan Syarat-Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pemerintahan dengan kewenangan otonomi daerah beserta perangkat

I. PENDAHULUAN. pemerintahan dengan kewenangan otonomi daerah beserta perangkat I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota Depok resmi menjadi suatu daerah otonom yang memiliki pemerintahan dengan kewenangan otonomi daerah beserta perangkat kelengkapannya sejak ditingkatkannya status

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pengelolaan pemerintah daerahnya, baik ditingkat propinsi maupun tingkat kabupaten

I. PENDAHULUAN. pengelolaan pemerintah daerahnya, baik ditingkat propinsi maupun tingkat kabupaten I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sistim pemerintahan daerah hampir di seluruh wilayah Republik Indonesia di dalam pengelolaan pemerintah daerahnya, baik ditingkat propinsi maupun tingkat kabupaten dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan harus dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat. Pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan harus dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat. Pembangunan BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Penelitian Pembangunan nasional merupakan pembangunan yang dapat diharapkan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat, oleh karena itu hasil pembangunan

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALINAU. Kabupaten Malinau terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi

BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALINAU. Kabupaten Malinau terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALINAU Kabupaten Malinau terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi Kalimantan Timur dan berbatasan langsung dengan Negara Bagian Sarawak, Malaysia. Kabupaten Malinau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan Undang-undang No.25 Tahun 2000 tentang Program. Pembangunan Nasional , bahwa program penataan pengelolaan

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan Undang-undang No.25 Tahun 2000 tentang Program. Pembangunan Nasional , bahwa program penataan pengelolaan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sesuai dengan Undang-undang No.25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional 2000-2004, bahwa program penataan pengelolaan keuangan daerah ditujukan untuk meningkatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemerataan pembangunan dan hasilnya. Di awal pelita, yaitu pelita I, titik berat

BAB I PENDAHULUAN. pemerataan pembangunan dan hasilnya. Di awal pelita, yaitu pelita I, titik berat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pembangunan Nasional Indonesia dilandaskan pada Trilogi pembangunan, yaitu stabilitas nasional yang mantap, pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan pemerataan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan

I. PENDAHULUAN. Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan untuk merubah keadaan kearah yang lebih baik, dengan sasaran akhir terciptanya kesejahreraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kemandirian keuangan daerah sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. Kemandirian keuangan daerah sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemandirian keuangan daerah sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dapat diartikan sebagai kemampuan pemerintah daerah dalam melakukan pembiayaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia atau masyarakat suatu bangsa, dalam berbagai kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. manusia atau masyarakat suatu bangsa, dalam berbagai kegiatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan sering dikaitkan dalam perkembangan ekonomi suatu negara dengan tujuan sebagai upaya untuk mewujudkan kesejahteraan hidup manusia atau masyarakat suatu bangsa,

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH Rancangan Kerangka Ekonomi Daerah menggambarkan kondisi dan analisis statistik Perekonomian Daerah, sebagai gambaran umum untuk situasi perekonomian Kota

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Kabupaten Penajam Paser Utara merupakan daerah pemekaran yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2002 tentang Pembentukan Kabupaten Penajam Paser Utara

Lebih terperinci

BPS KABUPATEN TAPANULI TENGAH PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN TAPANULI TENGAH TAHUN 2012

BPS KABUPATEN TAPANULI TENGAH PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN TAPANULI TENGAH TAHUN 2012 BPS KABUPATEN TAPANULI TENGAH No. 01/07/1204/Th. XII, 5 Juli 2013 PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN TAPANULI TENGAH TAHUN 2012 Pertumbuhan ekonomi Kabupaten Tapanuli Tengah tahun 2012 sebesar 6,35 persen mengalami

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keputusan politik pemberlakuan otonomi daerah yang dimulai sejak tanggal 1 Januari 2001, telah membawa implikasi yang luas dan serius. Otonomi daerah merupakan fenomena

Lebih terperinci

BPS KABUPATEN TAPANULI TENGAH PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN TAPANULI TENGAH TAHUN 2013

BPS KABUPATEN TAPANULI TENGAH PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN TAPANULI TENGAH TAHUN 2013 BPS KABUPATEN TAPANULI TENGAH No. 1/8/124/Th. XIII, 25 Agustus 214 PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN TAPANULI TENGAH TAHUN 213 Pertumbuhan ekonomi Kabupaten Tapanuli Tengah tahun 213 sebesar 6,85 persen mengalami

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. nyata dan bertanggung jawab. Sesuai UU Nomor 23 Tahun 2014 pasal 1

BAB I PENDAHULUAN. nyata dan bertanggung jawab. Sesuai UU Nomor 23 Tahun 2014 pasal 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebijakan otonomi daerah merupakan suatu langkah pembangunan ekonomi nasional yang bertujuan memberikan kehidupan yang lebih baik bagi masyarakat di daerah.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Kabupaten Bandung Potensi Daya Tarik Wisata Kabupaten Bandung

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Kabupaten Bandung Potensi Daya Tarik Wisata Kabupaten Bandung BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Kabupaten Bandung 1.1.1 Potensi Daya Tarik Wisata Kabupaten Bandung Sebagai daerah yang tengah mengembangkan pariwisatanya, Kabupaten Bandung dapat diklasifikasikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu tujuan nasional yang hendak dicapai negara Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu tujuan nasional yang hendak dicapai negara Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Salah satu tujuan nasional yang hendak dicapai negara Indonesia sebagaimana ditegaskan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah terwujudnya masyarakat

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM WILAYAH

IV. KONDISI UMUM WILAYAH 29 IV. KONDISI UMUM WILAYAH 4.1 Kondisi Geografis dan Administrasi Jawa Barat secara geografis terletak di antara 5 50-7 50 LS dan 104 48-104 48 BT dengan batas-batas wilayah sebelah utara berbatasan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan suatu bentuk perwujudan pendelegasian. wewenang dan tanggung jawab dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan suatu bentuk perwujudan pendelegasian. wewenang dan tanggung jawab dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Otonomi daerah merupakan suatu bentuk perwujudan pendelegasian wewenang dan tanggung jawab dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah dimana Pemerintah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi daerah khususnya Daerah Tingkat II (Dati II)

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi daerah khususnya Daerah Tingkat II (Dati II) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan ekonomi daerah khususnya Daerah Tingkat II (Dati II) merupakan titik awal pelaksanaan pembangunan, sehingga daerah diharapkan bisa lebih mengetahui potensi

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS

BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS IIV.1 Permasalahan Pembangunan Permasalahan yang dihadapi Pemerintah Kabupaten Ngawi saat ini dan permasalahan yang diperkirakan terjadi lima tahun ke depan perlu mendapat

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH 3.1 Arah Kebijakan Ekonomi Daerah Kebijakan pembangunan ekonomi Kabupaten Cianjur tahun 2013 tidak terlepas dari arah kebijakan ekonomi

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN SIMALUNGUN TAHUN 2012

PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN SIMALUNGUN TAHUN 2012 BPS KABUPATEN SIMALUNGUN No. 01/08/1209/Th. XII, 1 Agustus 2013 PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN SIMALUNGUN TAHUN 2012 Pertumbuhan ekonomi Kabupaten Simalungun tahun 2012 sebesar 6,06 persen mengalami percepatan

Lebih terperinci

BAB IV TINJAUAN PEREKONOMIAN KABUPATEN BUNGO

BAB IV TINJAUAN PEREKONOMIAN KABUPATEN BUNGO BAB IV TINJAUAN PEREKONOMIAN KABUPATEN BUNGO 1. PERKEMBANGAN KABUPATEN BUNGO merupakan penghitungan atas nilai tambah yang timbul akibat adanya berbagai aktifitas ekonomi dalam suatu daerah/wilayah. Data

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Dalam konteks pembangunan, bangsa Indonesia sejak lama telah

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Dalam konteks pembangunan, bangsa Indonesia sejak lama telah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam konteks pembangunan, bangsa Indonesia sejak lama telah menerapkan suatu gerakan pembangunan yang dikenal dengan istilah Pembangunan Nasional. Pembangunan

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH. 2.1 Perkembangan indikator ekonomi makro daerah pada tahun sebelumnya;

BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH. 2.1 Perkembangan indikator ekonomi makro daerah pada tahun sebelumnya; BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH 2.1 Perkembangan indikator ekonomi makro daerah pada tahun sebelumnya; A. Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi (economic growth) merupakan salah satu indikator yang

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN Analisis struktur perekonomian kota Depok sebelum dan sesudah otonomi daerah UNIVERSITAS SEBELAS MARET Oleh: HARRY KISWANTO NIM F0104064 BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Daerah Penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan masyarakatnya mengelola sumberdaya-sumberdaya yang ada dan. swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang

BAB I PENDAHULUAN. dan masyarakatnya mengelola sumberdaya-sumberdaya yang ada dan. swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang Analisis struktur perekonomian kota Depok sebelum dan sesudah otonomi daerah UNIVERSITAS SEBELAS MARET Oleh: HARRY KISWANTO NIM F0104064 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan daerah merupakan

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA EKONOMI DAERAH

BAB II KERANGKA EKONOMI DAERAH Nilai (Rp) BAB II KERANGKA EKONOMI DAERAH Penyusunan kerangka ekonomi daerah dalam RKPD ditujukan untuk memberikan gambaran kondisi perekonomian daerah Kabupaten Lebak pada tahun 2006, perkiraan kondisi

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Provinsi Lampung terletak di ujung tenggara Pulau Sumatera. Luas wilayah

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Provinsi Lampung terletak di ujung tenggara Pulau Sumatera. Luas wilayah 35 IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Keadaan Umum Provinsi Lampung Provinsi Lampung terletak di ujung tenggara Pulau Sumatera. Luas wilayah Provinsi Lampung adalah 3,46 juta km 2 (1,81 persen dari

Lebih terperinci

1 Universitas Indonesia

1 Universitas Indonesia BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lahirnya UU No. 22 Tahun 1999 yang disempurnakan menjadi UU No. 12 Tahun 2008 tentang pemerintahan daerah serta UU Nomor 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Tulungagung Berdasarkan ringkasan struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Tulungagung, setiap tahunnya

Lebih terperinci

Analisis Pertumbuhan Ekonomi Kab. Lamandau Tahun 2013 /

Analisis Pertumbuhan Ekonomi Kab. Lamandau Tahun 2013 / BAB IV TINJAUAN EKONOMI 2.1 STRUKTUR EKONOMI Produk domestik regional bruto atas dasar berlaku mencerminkan kemampuan sumber daya ekonomi yang dihasilkan oleh suatu daerah. Pada tahun 2013, kabupaten Lamandau

Lebih terperinci

GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH BAB - III Kinerja Keuangan Masa Lalu

GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH BAB - III Kinerja Keuangan Masa Lalu BAB - III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH Kinerja Keuangan Masa Lalu Arah Kebijakan Pengelolaan Keuangan Kebijakan Umum Anggaran Bab ini berisi uraian tentang gambaran umum mengenai pengelolaan keuangan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pajak Daerah adalah salah satu sumber penerimaan Pemerintah Daerah yang diatur oleh konstitusi negara dalam Undang undang nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu daerah di Indonesia yang memiliki kekayaan sumberdaya ekonomi melimpah. Kekayaan sumberdaya ekonomi ini telah dimanfaatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keuangan walaupun masih ada aliran dana dari pusat kepada daerah seperti dalam bentuk

BAB I PENDAHULUAN. keuangan walaupun masih ada aliran dana dari pusat kepada daerah seperti dalam bentuk BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia membawa beberapa perubahan dalam sistem tata kelola pemerintahan. Pada UU no. 32/ 2004 tentang Pemerintahan Daerah dijelaskan

Lebih terperinci

PEREKONOMIAN DAERAH KOTA BATAM

PEREKONOMIAN DAERAH KOTA BATAM PEREKONOMIAN DAERAH KOTA BATAM Konsentrasi pembangunan perekonomian Kota Batam diarahkan pada bidang industri, perdagangan, alih kapal dan pariwisata. Akibat krisis ekonomi dunia pada awal tahun 1997 pertumbuhan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tersebut dibutuhkan sumber-sumber keuangan yang besar. Undang-undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah yang

I. PENDAHULUAN. tersebut dibutuhkan sumber-sumber keuangan yang besar. Undang-undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah yang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan Daerah didasarkan asas otonomi daerah dengan mengacu pada kondisi dan situasi satuan wilayah yang bersangkutan.dengan daerah tidak saja mengurus rumah tangganya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Jenis Wisatawan Domestik Asing Jumlah Domestik Asing Jumlah Domestik Asing

I. PENDAHULUAN. Jenis Wisatawan Domestik Asing Jumlah Domestik Asing Jumlah Domestik Asing I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia memiliki keanekaragaman budaya yang berpotensi untuk dijadikan objek pariwisata. Perkembangan industri pariwisata Indonesia terus meningkat dalam beberapa tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memberikan kontribusi terhadap jumlah penjualan, laba, lapangan pekerjaan,

BAB I PENDAHULUAN. memberikan kontribusi terhadap jumlah penjualan, laba, lapangan pekerjaan, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pariwisata mempunyai berbagai dampak ekonomi. Wisatawan memberikan kontribusi terhadap jumlah penjualan, laba, lapangan pekerjaan, penerimaan pajak dan penghasilan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. meningkatkan nilai tambah sumber daya alam. Sumber daya potensial yang

I. PENDAHULUAN. meningkatkan nilai tambah sumber daya alam. Sumber daya potensial yang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan secara umum diartikan sebagai suatu usaha untuk lebih meningkatkan nilai tambah sumber daya alam. Sumber daya potensial yang dimiliki oleh suatu negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pemerintah daerah dalam rangka menyelenggarakan otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggungjawab memerlukan adanya kemampuan yang besar untuk menggali sumber keuangan

Lebih terperinci

menciptakan stabilitas ekonomi (economic stability) melalui retribusi

menciptakan stabilitas ekonomi (economic stability) melalui retribusi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan masalah perekonomian suatu negara dalam jangka panjang. Pertumbuhan ekonomi diartikan sebagai perkembangan kegiatan dalam perekonomian

Lebih terperinci

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan indikator ekonomi makro yang dapat digunakan untuk melihat tingkat keberhasilan pembangunan ekonomi suatu daerah. Laju pertumbuhan ekonomi Kabupaten Majalengka

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. berkembang dengan jalan capital investment dan human investment bertujuan

I. PENDAHULUAN. berkembang dengan jalan capital investment dan human investment bertujuan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan ekonomi adalah proses merubah struktur ekonomi yang belum berkembang dengan jalan capital investment dan human investment bertujuan untuk meningkatkan kemakmuran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumber pendapatan daerah menurut Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 pasal 157 meliputi Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan dan Lain-lain pendapatan daerah yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN` dengan diberlakukannya otonomi daerah, pemerintah. Pemerintah Pusat dan Daerah, setiap daerah otonom diberi wewenang yang lebih

BAB I PENDAHULUAN` dengan diberlakukannya otonomi daerah, pemerintah. Pemerintah Pusat dan Daerah, setiap daerah otonom diberi wewenang yang lebih BAB I PENDAHULUAN` 1.1 Latar Belakang Penelitian Otonomi daerah di Indonesia mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2001. dengan diberlakukannya otonomi daerah, pemerintah menetapkan Undang- Undang (UU)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. indikator keberhasilan pelaksanaan pembangunan yang dapat dijadikan tolok ukur

BAB I PENDAHULUAN. indikator keberhasilan pelaksanaan pembangunan yang dapat dijadikan tolok ukur BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan merupakan suatu proses menuju perubahan yang diupayakan secara terus-menerus untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Salah satu indikator keberhasilan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah di Indonesia mulai diberlakukan pada tanggal 1 Januari

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah di Indonesia mulai diberlakukan pada tanggal 1 Januari 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Otonomi daerah di Indonesia mulai diberlakukan pada tanggal 1 Januari 2001. Otonomi daerah dimaksudkan agar Pemerintah Daerah dapat membangun daerah berdasarkan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Kinerja Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Lampung Tengah

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Kinerja Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Lampung Tengah IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kinerja Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Lampung Tengah Kinerja Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Lampung Tengah dihitung dengan menggunakan tiga indikator kinerja yaitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyelenggaraan pemerintahan baik melalui administrator pemerintah. Setelah

BAB I PENDAHULUAN. penyelenggaraan pemerintahan baik melalui administrator pemerintah. Setelah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemerintah daerah berusaha mengembangkan dan meningkatkan, perannya dalam bidang ekonomi dan keuangan. Dalam rangka meningkatkan daya guna penyelenggaraan

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM. Posisi Daerah Istimewa Yogyakarta yang terletak antara

BAB IV GAMBARAN UMUM. Posisi Daerah Istimewa Yogyakarta yang terletak antara BAB IV GAMBARAN UMUM A. Gambaran Umum Daerah Istimewa Yogyakarta 1. Kondisi Fisik Daerah Posisi Daerah Istimewa Yogyakarta yang terletak antara 7.33-8.12 Lintang Selatan dan antara 110.00-110.50 Bujur

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS PAJAK RESTORAN UNTUK MENINGKATKAN PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) PADA PEMERINTAH DAERAH KOTA KEDIRI

EFEKTIVITAS PAJAK RESTORAN UNTUK MENINGKATKAN PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) PADA PEMERINTAH DAERAH KOTA KEDIRI EFEKTIVITAS PAJAK RESTORAN UNTUK MENINGKATKAN PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) PADA PEMERINTAH DAERAH KOTA KEDIRI Oleh: Muhammad Alfa Niam Dosen Akuntansi, Universitas Islam Kadiri,Kediri Email: alfa_niam69@yahoo.com

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi

I. PENDAHULUAN. Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah yang diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, desentralisasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang dalam perkembangannya seringkali terjadi adalah ketimpangan

BAB I PENDAHULUAN. yang dalam perkembangannya seringkali terjadi adalah ketimpangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai negara berkembang saat ini dalam masa pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi dalam perkembangannya senantiasa memberikan dampak baik positif

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Industri Pengolahan

I. PENDAHULUAN Industri Pengolahan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertanian merupakan sektor utama perekonomian di Indonesia. Konsekuensinya adalah bahwa kebijakan pembangunan pertanian di negaranegara tersebut sangat berpengaruh terhadap

Lebih terperinci

Analisis Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

Analisis Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Analisis Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah 4.1. Pendapatan Daerah 4.1.1. Pendapatan Asli Daerah Sejak tahun 2011 terdapat beberapa anggaran yang masuk dalam komponen Pendapatan Asli Daerah yaitu Dana

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan suatu daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan suatu daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tujuan pembangunan suatu daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Kerangka kebijakan pembangunan suatu daerah sangat tergantung pada permasalahan dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adalah ketersediaan dana oleh suatu negara yang diperlukan untuk pembiayaan

BAB I PENDAHULUAN. adalah ketersediaan dana oleh suatu negara yang diperlukan untuk pembiayaan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di dalam upaya pelaksanaan pembangunan nasional, hal yang paling penting adalah ketersediaan dana oleh suatu negara yang diperlukan untuk pembiayaan pengeluaran pemerintah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjanjikan dalam hal menambah devisa suatu negara. Menurut WTO/UNWTO

BAB I PENDAHULUAN. menjanjikan dalam hal menambah devisa suatu negara. Menurut WTO/UNWTO BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada jaman modern ini pariwisata telah berubah menjadi sebuah industri yang menjanjikan dalam hal menambah devisa suatu negara. Menurut WTO/UNWTO (United Nations World

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. otonomi daerah. Otonomi membuka kesempatan bagi daerah untuk mengeluarkan

BAB 1 PENDAHULUAN. otonomi daerah. Otonomi membuka kesempatan bagi daerah untuk mengeluarkan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Otonomi daerah merupakan dampak reformasi yang harus dihadapi oleh setiap daerah di Indonesia, terutama kabupaten dan kota sebagai unit pelaksana otonomi daerah. Otonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan nasional adalah kegiatan yang berlangsung terus menerus dan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan nasional adalah kegiatan yang berlangsung terus menerus dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Pembangunan merupakan usaha terencana dan terarah untuk meningkatkan kesejahteraan hidup manusia yang menuntut adanya perubahan sosial budaya sebagai pendukung keberhasilannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang dapat membiayai pengeluaran pemerintah dalam rangka menyelenggarakan

BAB I PENDAHULUAN. yang dapat membiayai pengeluaran pemerintah dalam rangka menyelenggarakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Era otonomi daerah yang secara resmi mulai diberlakukan di Indonesia sejak 1 Januari 2001 menghendaki daerah untuk berkreasi mencari sumber penerimaan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut UU No. 22 Tahun 1999 yang telah diganti dengan UU No. 34 Tahun 2004

BAB I PENDAHULUAN. Menurut UU No. 22 Tahun 1999 yang telah diganti dengan UU No. 34 Tahun 2004 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut UU No. 22 Tahun 1999 yang telah diganti dengan UU No. 34 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, menyebutkan bahwa melalui otonomi daerah, pembangunan ekonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membangun seluruh kehidupan masyarakat, bangsa dan negara, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. membangun seluruh kehidupan masyarakat, bangsa dan negara, yaitu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tujuan pembangunan ekonomi nasional adalah sebagai upaya untuk membangun seluruh kehidupan masyarakat, bangsa dan negara, yaitu memajukan kesejahteraan umum,

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI PEREKONOMIAN JAWA BARAT TAHUN 2007

BAB IV KONDISI PEREKONOMIAN JAWA BARAT TAHUN 2007 BAB IV KONDISI PEREKONOMIAN JAWA BARAT TAHUN 2007 4.1. Gambaran Umum awa Barat adalah provinsi dengan wilayah yang sangat luas dengan jumlah penduduk sangat besar yakni sekitar 40 Juta orang. Dengan posisi

Lebih terperinci

BAB. IV KONDISI PEREKONOMIAN KAB. SUBANG TAHUN 2012

BAB. IV KONDISI PEREKONOMIAN KAB. SUBANG TAHUN 2012 BAB. IV KONDISI PEREKONOMIAN KAB. SUBANG TAHUN 2012 4.1.Gambaran Umum Geliat pembangunan di Kabupaten Subang terus berkembang di semua sektor. Kemudahan investor dalam menanamkan modalnya di Kabupaten

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. No. 22 tahun 1999 diganti menjadi UU No. 32 tahun 2004 tentang

BAB I PENDAHULUAN. No. 22 tahun 1999 diganti menjadi UU No. 32 tahun 2004 tentang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pengelolaan pemerintah daerah, baik tingkat propinsi maupun kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 22 tahun

Lebih terperinci

Tabel PDRB Atas Dasar Harga Berlaku dan Atas Dasar Harga Konstan 2000 di Kecamatan Ngadirejo Tahun (Juta Rupiah)

Tabel PDRB Atas Dasar Harga Berlaku dan Atas Dasar Harga Konstan 2000 di Kecamatan Ngadirejo Tahun (Juta Rupiah) 3.14. KECAMATAN NGADIREJO 3.14.1. PDRB Kecamatan Ngadirejo Besarnya Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kecamatan Ngadirejo selama lima tahun terakhir dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 3.14.1

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM WILAYAH

BAB IV GAMBARAN UMUM WILAYAH 51 BAB IV GAMBARAN UMUM WILAYAH 4.1 Kondisi Geografis Kota Bogor 4.1.1 Letak dan Batas Wilayah Kota Bogor terletak diantara 106 derajat 43 30 BT dan 30 30 LS 6 derajat 41 00 LS serta mempunyai ketinggian

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Kinerja Penerimaan Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Lampung Timur

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Kinerja Penerimaan Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Lampung Timur IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kinerja Penerimaan Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Lampung Timur Pada bab ini dikemukakan deskripsi dan analisis hasil penelitian yang diperoleh melalui pengukuran dan pengujian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi daerah merupakan suatu proses dimana pemerintah

I. PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi daerah merupakan suatu proses dimana pemerintah 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan ekonomi daerah merupakan suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakat mengelola sumberdaya-sumberdaya yang ada, dengan menjalin pola-pola kemitraan

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO ACEH

PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO ACEH PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO ACEH Ekonomi Aceh dengan migas pada triwulan II tahun 2013 tumbuh sebesar 3,89% (yoy), mengalami perlambatan dibandingkan triwulan sebelumnya yang sebesar 4,79% (yoy). Pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB VIII KERANGKA EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN

BAB VIII KERANGKA EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN BAB VIII KERANGKA EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN Kerangka ekonomi makro dan pembiayaan pembangunan Kabupaten Sleman memuat tentang hasil-hasil analisis dan prediksi melalui metode analisis ekonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan pemberian kewenangan secara luas, nyata, dan

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan pemberian kewenangan secara luas, nyata, dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Otonomi daerah merupakan pemberian kewenangan secara luas, nyata, dan bertanggung jawab oleh pemerintah pusat kepada pemerintahan daerah untuk mengatur, mengurus sendiri

Lebih terperinci

ANALISIS KONTRIBUSI PAJAK DAERAH TERHADAP PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) KOTA BANJARMASIN

ANALISIS KONTRIBUSI PAJAK DAERAH TERHADAP PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) KOTA BANJARMASIN Analisa Kontribusi Daerah Terhadap PAD (Trisna dan Phaureula Artha Wulandari) ANALISIS KONTRIBUSI PAJAK DAERAH TERHADAP PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) KOTA BANJARMASIN Trisna (1) dan Phaureula Artha Wulandari

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pengaruh Pendapatan..., Fani, Fakultas Ekonomi 2015

BAB 1 PENDAHULUAN. Pengaruh Pendapatan..., Fani, Fakultas Ekonomi 2015 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi merupakan salah satu bagian penting dari pembangunan nasional. Keberhasilan pembangunan suatu daerah dapat dilihat dari pertumbuhan ekonomi

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN 63 IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Keadaan Fisik Daerah Penelitian Berdasarkan Badan Pusat Statistik (2011) Provinsi Lampung meliputi areal dataran seluas 35.288,35 km 2 termasuk pulau-pulau yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai negara berkembang, Indonesia memiliki fungsi dalam. mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya.

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai negara berkembang, Indonesia memiliki fungsi dalam. mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Sebagai negara berkembang, Indonesia memiliki fungsi dalam mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya. Agar dapat mewujudkan hal tersebut, segala

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH 3.1. Arah Kebijakan Ekonomi Daerah Kerangka ekonomi makro dan kebijakan keuangan daerah yang dimuat dalam Rencana Kerja Pemerintah

Lebih terperinci