KONSENTRASI HORMON KORTISOL PADA SAPI YANG DISEMBELIH DENGAN METODE KONVENSIONAL DAN RESTRAINING BOX MARK IV FIKRI MUKHLISINA LATIEF

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KONSENTRASI HORMON KORTISOL PADA SAPI YANG DISEMBELIH DENGAN METODE KONVENSIONAL DAN RESTRAINING BOX MARK IV FIKRI MUKHLISINA LATIEF"

Transkripsi

1 KONSENTRASI HORMON KORTISOL PADA SAPI YANG DISEMBELIH DENGAN METODE KONVENSIONAL DAN RESTRAINING BOX MARK IV FIKRI MUKHLISINA LATIEF FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

2

3 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Konsentrasi Hormon Kortisol pada Sapi yang Disembelih dengan Metode Konvensional dan Restraining Box Mark IV adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Agustus 2014 Fikri Mukhlisina Latief NIM B

4 ABSTRAK FIKRI MUKHLISINA LATIEF. Konsentrasi Hormon Kortisol pada Sapi yang Disembelih dengan Metode Konvensional dan Restraining Box Mark IV. Dibimbing oleh HADRI LATIF dan CHAERUL BASRI. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis konsentrasi hormon kortisol sapi yang disembelih tanpa didahului dengan pemingsanan dengan metode konvensional dan dengan menggunakan Restraining Box Mark IV. Sampel darah diambil dari Sapi Brahman cross yang telah dikastrasi (steer) masing-masing 15 ekor (n=30) di beberapa RPH di Jawa Barat dan Banten. Sampel darah dikoleksi dari arteri carotis communis 1 menit setelah penyembelihan. Kadar hormon kortisol di dalam serum diukur dengan metode radioimmunoassay (RIA). Ratarata kadar hormon kortisol sapi yang disembelih dengan metode konvensional adalah 44.9 ng/ml dan kadar hormon kortisol sapi yang disembelih dengan menggunakan Restraining Box Mark IV adalah ng/ml. Ada korelasi signifikan (p<0.05) antara kadar kortisol dengan metode penyembelihan yang dilakukan. Penggunaan Restraining Box Mark IV dapat mengurangi efek stres pada sapi. Ditinjau dari aspek kesejahteraan hewan, penyembelihan dengan menggunakan Restraining Box Mark IV lebih baik daripada metode konvensional. Kata kunci: kortisol, metode konvensional, radioimmunoassay, Restraining Box Mark IV ABSTRACT FIKRI MUKHLISINA LATIEF. Cortisol Concentrations in Cattle which were Slaughtered by Conventional and Restraining Box Mark IV Methods. Supervised by HADRI LATIF and CHAERUL BASRI The aim of this study was to analyze the cortisol concentrations in cattle which were slaughtered by conventional and Restraining Box Mark IV methods without pre-slaughter stunning. Blood samples were taken from Brahman cross steer 15 each groups (n=30) in several abattoirs in West Java and Banten provinces. Blood samples were collected from carotis communis artery 1 minute post-slaughtering. Cortisol concentrations in serum were measured using radioimmunoassay (RIA). The average of cortisol concentrations in cattle which were slaughtered by conventional method is ng/ml and cattle which were slaughtered using Restraining Box Mark IV is ng/ml. There was significant correlation (p<0.05) between cortisol concentrations and slaughtering methods. Restraining Box Mark IV appeared to reduce stress in cattle. Slaughtering by using Restraining Box Mark IV was better than conventional method from animal welfare viewpoint. Keyword: conventional method, cortisol, radioimmunoassay, Restraining Box Mark IV

5 KONSENTRASI HORMON KORTISOL PADA SAPI YANG DISEMBELIH DENGAN METODE KONVENSIONAL DAN RESTRAINING BOX MARK IV Oleh FIKRI MUKHLISINA LATIEF Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

6

7

8 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Sang Pemilik Ilmu Pengetahuan Allah subhanahu wa ta ala atas segala karunia-nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli 2013 ini ialah kesejahteraan hewan, dengan judul Konsentrasi Hormon Kortisol pada Sapi yang Disembelih dengan Metode Konvensional dan Restraining Box Mark IV. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Drh Hadri Latif, M.Si dan Drh Chaerul Basri, M.Epid selaku pembimbing. Penghargaan juga penulis sampaikan kepada Ibu Ida dari Laboratorium Terpadu Fisiologi, yang telah membantu selama pengujian sampel dan pengumpulan data. Ungkapan terima kasih penulis sampaikan kepada teman-teman satu tim penelitian Drh. Anis Trisna Fitrianti dan Drh. Karunia Maghfiroh yang merupakan mahasiswa S2 Program Kesehatan Masyarakat Veteriner (KMV) serta Tri Handoko Lasrianto dan Nadhear Nadadyanha Dannar yang telah memberikan banyak bantuan sehingga penelitian ini dapat selesai dengan baik. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada keluarga baru di kampus ungu yaitu DPM Agregat, DPM Avicenna, An Nahl dan Acromion yang telah mewarnai hari-hari perkuliahan selama 3 tahun. Tak lupa juga ungkapan terimakasih penulis sampaikan kepada Papa, Mama, serta adikku tersayang Syifa Afiifah, atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, September 2014 Fikri Mukhlisina Latief

9 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL vi DAFTAR GAMBAR vi PENDAHULUAN Latar Belakang 1 Perumusan Masalah 2 Tujuan Penelitian 2 Manfaat Penelitian 2 TINJAUAN PUSTAKA Rumah Potong Hewan (RPH) 3 Metode Penyembelihan Sapi di RPH 4 Restraining Box Mark IV dan Penggunaannya di RPH 5 Kejadian Stress pada Hewan 6 Pengaruh Stress terhadap Hormon Kortisol 7 Deteksi Hormon Menggunakan Radioimmunoassay 9 METODE Waktu dan Tempat 10 Alat dan Bahan 10 Metode Penelitian 10 Analisis Data 11 HASIL DAN PEMBAHASAN 11 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 16 Saran 16 DAFTAR PUSTAKA 16

10 DAFTAR TABEL 1 Konsentrasi kortisol dalam serum darah sapi pada penyembelihan tanpa pemingsanan 12 DAFTAR GAMBAR 1 Restraining Box Mark IV 5 2 Model konsep stres pada hewan 6 3 Mekanisme pengaruh rasa takut pada peningkatan kadar kortisol di darah 8 4 Tipikal kurva standar RIA untuk pengujian kortisol 12 5 Distribusi kadar hormon kortisol pada dua kelompok sapi 13

11 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara dengan penduduk paling banyak keempat di dunia dengan jumlah penduduk lebih dari 237 juta jiwa (BPS 2012). Banyaknya jumlah penduduk Indonesia ini menyebabkan pemerintah harus mengawal ketahanan dan ketersediaan pangan. Selain itu juga pemerintah harus menjaga keamanan dan kelayakan pangan yang akan beredar di masyarakat sesuai dengan standar yang berlaku di masyarakat. Banyak hal telah dilakukan pemerintah dalam menjaga ketahanan pangan Indonesia, terutama pada ketersediaan pangan sumber protein hewani yang aman, sehat, utuh, dan halal (ASUH). Salah satunya dengan pengadaan rumah potong hewan (RPH) di setiap kota dan kabupaten. Hal ini ditegaskan dalam PP no 95 tahun 2012 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Kesejahteraan Hewan pasal 8 ayat 1 yang menyebutkan bahwa hewan yang dagingnya akan diedarkan harus disembelih di RPH. Sesuai dengan fungsi pengadaan RPH yang sudah ditetapkan pada Peraturan Menteri Pertanian No.13/Permentan/OT.140/2010 tentang persyaratan rumah pemotongan hewan dan unit penanganan daging, pemotongan hewan di RPH menjamin keamanan dan kelayakan daging yang akan diedarkan. Hal ini dikarenakan pemotongan hewan dilakukan dengan benar (sesuai dengan persyaratan kesehatan masyarakat veteriner, kesejahteraan hewan, dan syariah agama) dan dilakukan pemeriksaan kesehatan hewan sebelum dipotong (antemortem inspection) serta pemeriksaan karkas dan jeroan (post-mortem inspection) untuk mencegah penularan penyakit zoonotik ke manusia. Walaupun demikian, adanya peraturan-peraturan ini tidak dibarengi dengan penyeragaman standarisasi RPH di setiap daerah. Perbedaan penegakan peraturan pemerintah pada setiap RPH menyebabkan kondisi RPH di setiap daerah berbeda-beda. Sebagian besar penyembelihan hewan di Indonesia menggunakan metode konvensional yaitu penyembelihan di lantai tanpa pemingsanan terlebih dahulu. Kurangnya fasilitas yang memenuhi standar kesejahteraan hewan di sebagian besar RPH yang menerapkan metode penyembelihan tersebut dapat membuat sapi merasa tidak nyaman dan stres. Penyembelihan dengan metode konvensional juga seringkali didahului oleh penanganan dan pengekangan yang kasar serta berlebihan dari petugas RPH. Semua perlakuan yang diterima sapi mulai dari kandang penampungan sampai dengan sebelum disembelih menyebabkan sapi mengalami stres. Stres pada sapi sebelum penyembelihan dapat meningkatkan kadar hormon kortisol darah dan dapat menurunkan kualitas daging serta menurunkan harga jual. Berbagai inovasi dan teknologi telah diciptakan para ilmuwan untuk memudahkan manusia dalam bidang penyembelihan hewan agar tetap sesuai dengan konsep kesejahteraan hewan, sebagaimana dicanangkan pertama kali oleh Roger Brambell pada tahun 1965 dan saat ini dikenal dengan konsep 5 kebebasan (five freedom). Para ilmuwan dan pemerhati kesejahteraan hewan telah menciptakan teknologi yang dapat meminimalisir rasa sakit, cidera dan penyakit serta rasa takut dan cekaman dalam penyembelihan. Teknologi tersebut

12 2 diantaranya adalah metode pemingsanan dan restraining box yang menjaga hewan agar tidak bergerak ketika akan disembelih. Metode penyembelihan yang banyak digunakan di negara-negara maju seperti Inggris dan Australia adalah pemingsanan sebelum penyembelihan. Akan tetapi, metode ini masih banyak diperdebatkan kehalalannya oleh beberapa kalangan walaupun sudah diperbolehkan oleh MUI (MUI 2006). Selain itu risiko kematian dan kesalahan stunning sangat tinggi apabila fasilitas pendukung minim serta petugas tidak kompeten dalam menggunakan alat stunning. Beberapa pertimbangan ini membuat penggunaan restraining box dapat menjadi alternatif yang dapat mengurangi pengekangan hewan tetapi hewan tetap sadar sebelum disembelih. Perumusan Masalah Penyembelihan sapi dengan menggunakan metode konvensional sangat membuat hewan stres karena adanya penanganan dan pengekangan yang berlebihan serta perlakuan yang kasar. Penggunaan restraining box dapat mengurangi penanganan dan pengekangan sehingga dapat menurunkan tingkat stres pada sapi sebelum disembelih. Tingkat stres pada sapi dapat diketahui dengan mengukur kadar hormon kortisol pada serum darah. Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah untuk menganalisis dan membandingkan kadar hormon kortisol sapi yang disembelih dengan menggunakan metode penyembelihan konvesional dan yang menggunakan Restraining Box Mark IV. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi pada pengelola dan petugas RPH mengenai pengaruh metode penyembelihan terhadap tingkat stres pada sapi dan manifestasi dari konsep kesejahteraan hewan pada praktek penyembelihan sapi serta dapat menjadi pertimbangan dalam penyusunan kebijakan bagi pemerintah.

13 3 TINJAUAN PUSTAKA Rumah Potong Hewan Rumah potong hewan (RPH) adalah kompleks bangunan dengan disain dan konstruksi khusus yang memenuhi persyaratan teknis dan higene tertentu serta digunakan sebagai tempat memotong hewan potong selain unggas bagi konsumsi masyarakat (BSN 1999). Perangkat hukum yang mengatur RPH dan operasionalisasinya diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian No.13/Permentan/OT.140/2010 tentang persyaratan rumah pemotongan hewan dan unit penanganan daging, serta telah ditetapkan pula Standar Nasional Indonesia (SNI) tentang rumah pemotongan hewan yang pelaksanaannya masih bersifat sukarela bagi pelaku usaha RPH. RPH didirikan hampir di setiap kota dan kabupaten dalam rangka memenuhi aspek higiene dan sanitasi sebagaimana telah diatur di PP tahun 1995 tentang Kesejahteraan Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner. Fungsi utama dari RPH adalah selain sebagai tempat pemotongan hewan ternak selain unggas juga sebagai pusat peredaran daging dan jeroan yang akan dipasarkan. Maka dari itu, RPH yang ada harus memenuhi standar yang telah ditetapkan, baik dari segi fasilitas maupun kegiatan di dalamnya. Ketentuan sanitasi dan higiene diatur dalam SNI tentang rumah pemotongan hewan, namun sifat penerapannya masih sukarela sehingga semua RPH tidak dapat dipaksa menerapkannya. Hal ini seharusnya dikoreksi dengan mewajibkan RPH memenuhi persyaratan minimal dalam program higiene dan sanitasi. Fasilitas yang baik dan lengkap serta penanganan hewan sebelum dan sesudah dipotong yang baik sesuai dengan kaidah kesejahteraan hewan (animal welfare) dapat menjamin daging dan jeroan yang akan diedarkan memiliki kriteria makanan yang aman, sehat, utuh, dan halal (ASUH). Daging berkualitas yang dihasilkan dari suatu RPH tidak terlepas dari penanganan hewan sebelum pemotongan. Hewan yang akan dipotong, baik sapi, kambing, domba maupun babi harus diperlakukan secara tidak kasar. Penanganan sapi sebelum penyembelihan meliputi penggiringan baik penggiringan dari kendaraan pengangkut maupun dari kandang penampungan dan perubuhan sapi. Penanganan ini sebaiknya sesuai dengan kaidah dan ketentuan kesejahteraan hewan dan perilaku alamiahnya sehingga tidak membuat sapi stres. Penanganan dan pengekangan hewan tidak boleh dilakukan secara berlebihan, apalagi menyiksa karena hewan yang mengalami stres sebelum pemotongan dan bersikap sangat aktif melawan akan mempunyai daging yang keras dan gelap (Grandin 2000). Pelatihan petugas RPH untuk meningkatkan keterampilan dan pemahaman sangat penting dilakukan untuk meningkatkan taraf kesejahteraan hewan di suatu RPH. Secara umum, untuk mengurangi tingkat stres pada hewan RPH sebaiknya, memiliki lantai yang kasar pada jalur penggiringan, tidak gaduh, mempunyai pencahayaan yang cukup, selalu bersih dari darah setelah penyembelihan. Selain itu pada tempat penampungan hewan sebaiknya tidak mencampur hewan yang berasal dari peternakan yang berbeda karena dapat menimbulkan perkelahian antar hewan dan hewan menjadi stres (Grandin 2000).

14 4 Metode Penyembelihan Sapi di RPH Penyembelihan atau pemotongan hewan adalah menyembelih hewan pada bagian leher dengan cara memutus/memotong tiga saluran yaitu saluran pernafasan, saluran darah, dan saluran makan. Tujuan pemotongan hewan pada umumnya adalah untuk mempercepat pengeluaran darah secara sempurna dan/atau untuk memenuhi persyaratan agama tertentu seperti pemotongan halal pada agama Islam dan pemotongan kosher pada agama Yahudi untuk hewan yang akan dikonsumsi dagingnya oleh manusia seperti sapi, domba, dan ayam (PP No. 95 Tahun 2012). Metode penyembelihan terbagi menjadi dua jenis yaitu konvensional (tanpa pemingsanan) dan pemingsanan. Metode konvensional merupakan metode yang paling banyak digunakan di RPH di Indonesia. Penyembelihan dengan metode konvensional merupakan penyembelihan yang dilakukan di lantai tanpa alat pengekang khusus. Metode ini masih banyak dipertahankan di beberapa kabupaten di Indonesia terutama kabupaten-kabupaten kecil dan berkembang karena memiliki beberapa kelebihan yaitu praktis, tidak perlu banyak peralatan dan murah. Akan tetapi, metode ini memiliki banyak kelemahan yaitu penanganan dan pengekangan yang berlebihan pada hewan serta perlakuan petugas RPH yang cenderung kasar dan tidak memahami kaidah kesejahteraan hewan. Kondisi ini juga diperburuk dengan keengganan pemerintah daerah memperbaiki dan memperhatikan kondisi RPH. Akan tetapi, sejak tahun 2000 kondisi RPH konvensional di beberapa daerah sudah mulai diperbaiki dengan pengadaan restraining box (Whittington dan Hewitt 2009). Restraining box ini dikembangkan oleh Meat and Livestock Association (MLA) dan Livecorp. Restraining box yang banyak digunakan di beberapa RPH di Indonesia adalah Restrainng Box Mark I, copy box (box yang dikembangkan di Indonesia dan meniru desain Restraining Box Mark I) dan Restraining Box Mark IV (Jones 2011). Penilaian yang dilakukan oleh AVCO (2011) menyatakan penggunaan Restraining Box Mark I tidak sesuai dengan standar internasional yang ditetapkan oleh OIE (2013) pada Kode OIE Bab 7.5 mengenai penyembelihan hewan karena desain yang mempunyai ujung yang tajam serta lantai yang licin, menimbulkan suara benturan yang keras saat memutar hewan, pengekangan yang berlebihan, dan sering menimbulkan luka memar dan lecet pada hewan. Pengamatan yang dilakukan oleh AVCO juga menunjukkan penggunaan restraining box ini menghasilkan kesejahteraan hewan yang rendah dan diperburuk oleh kurangnya kompetensi dalam penanganan hewan dan infrastruktur yang kurang baik dalam prosedur opersional, peralatan, dan pelatihan. Sedangkan, penggunaan Restraining Box Mark IV dinilai AVCO (2011) sesuai dengan ketentuan OIE pada Kode OIE Bab 7.5 mengenai penyembelihan hewan. Sehingga penggunaan Restraining Box Mark IV merupakan alternatif terbaik dalam pemilihan restraining box. Metode penyembelihan dengan pemingsanan dibagi menjadi tiga yaitu secara mekanis dengan penggunaan captive bolt stun gun; secara elektris dengan menggunakan aliran listrik yang dialirkan melalui penjepit, penjepitan ini bisa dilakukan hanya di kepala atau di kepala dan tubuh; dan menggunakan gas CO 2 dalam kadar tertentu dan waktu tertentu (EFSA 2006). Metode pemingsanan utama yang digunakan untuk sapi adalah penetrating captive bolt stunning, non-

15 penentrative stunning dan electrical stunning. Akan tetapi penetrating captive bolt stunning dan penyetruman hewan pada kepala dan badan tidak sesuai dengan kaidah halal dalam Islam (Nakyinsige et al. 2013). 5 Restraining Box Mark IV dan Penggunaannya di RPH Restraining Box Mark IV adalah kotak untuk membatasi gerak hewan ternak terutama sapi saat akan disembelih yang dimodifikasi dengan bentuk miring, dilengkapi dengan kerangka seperti gunting penjepit untuk menahan hewan sebelum dan pada saat perputaran berlangsung. Ketika kotak sudah berputar seluruhnya, hewan berada pada kemiringan 90 o dari sisi vertikal (Jones 2011). Contoh dari Restraining Box Mark IV dapat dilihat pada Gambar 1. Gambar 1 Restraining Box Mark IV. Sumber: (2014). Restraining Box Mark IV merupakan teknologi restraining box yang dikembangkan oleh MLA dan Livecorp, Australia pada tahun Menurut DAFFAU (2013) restraining box ini pada awalnya dikembangkan untuk memfasilitasi penyembelihan sapi Australia yang sedikit didomestikasi di Indonesia. Sebagaimana pre-stunning tidak banyak diadaptasi di Indonesia, Restraining Box Mark IV menawarkan pengembangan dalam penanganan dan pengekangan hewan sehingga penyembelihan dapat dilakukan dengan lebih mudah. Restraining Box Mark IV dikembangkan untuk meningkatkan taraf kesejahteraan sapi yang akan dipotong sesuai dengan konsep kesejahteraan hewan. Konsep kesejahteraan hewan pertama kali dicanangkan oleh Roger Brambell pada tahun 1965 dalam laporannya mengenai kesejahteraan hewan ternak yang dipelihara secara intensif, lalu disempurnakan pada tahun 1970 menjadi suatu konsep yang saat ini dikenal dengan Five Freedom (Lima Kebebasan) yaitu freedom from hunger and thirst (kebebasan dari rasa lapar dan haus), freedom from discomfort (kebebasan dari ketidaknyamanan), freedom from pain, injury, or disease (kebebasan dari rasa sakit, cidera, dan penyakit), freedom from fear and

16 6 distress (kebebasan dari rasa takut dan cekaman), freedom to express normal behavior (kebebasan mengekpresikan perilaku alamiah) (FAWC 2009). Pengendalian sapi menggunakan restraining box ini setidaknya memberikan sapi kebebasan dari rasa takut dan sakit serta kebebasan berperilaku secara alamiah. Kejadian Stres pada Hewan Stres dalam kehidupan sehari-hari sering didefinisikan sebagai suatu kondisi fisiologi yang akan terjadi ketika suatu individu berada dalam keadaan yang sulit dan mengalami banyak tuntutan. Akan tetapi, stres pada hewan memiliki pengertian yang berbeda. Menurut Chourousos dan Kino (2005) stres didefinisikan sebagai keadaan ketika homeostasis tubuh terancam atau terasa seperti terancam, homeostasis dinormalkan kembali dengan repertoar yang kompleks dari respon adaptasi perilaku dan psikologis suatu organisme. Salah satu model yang banyak menjadi acuan mengenai stres dan bagaimana hal itu mempengaruhi kesejahteraan hewan adalah model yang disampaikan oleh Moberg (2000 dalam Rushen et al 2008) yang disajikan pada Gambar 2. Gambar 2 Model konsep stres pada hewan Respon stres pada hewan didapatkan dari beberapa tahapan. Tahap awal dari proses ini didahului oleh adanya stressor (sumber stres) yang harus dirasakan dan dievaluasi oleh hewan. Kemudian, perilaku dan respon fisiologis muncul sebagai reaksi pertahanan yang ditunjukkan pada saat berhubungan dengan stressor. Ketika kedua hal ini terlalu sering dialami dan diterima oleh otak hewan maka kondisi prepatologi dapat terjadi dan apabila diteruskan maka akan mengakibatkan penyakit yang berkepanjangan (kondisi patologi). Terdapat dua kunci respon fisiologis yang ditimbulkan ketika hewan mendapatkan gangguan dari lingkungannya yaitu symphathetic-adrenal-medullary (SAM) dan hyptothalamic-pituitary-adrenal (HPA) axis. Respon dari SAM dan HPA axis bersama-sama menghasilkan suatu keadaan yang biasa disebut sebagai stres respon yang merupakan salah satu dari mekanisme tubuh dalam mengatasi gangguan lingkungan (Möstl dan Palme 2002).

17 Secara singkat, aktivasi dari SAM axis karena suatu masalah akan terjadi dalam beberapa detik dan terutama terdiri dari aktivasi sistem saraf otonom dan menyebabkan terjadinya sekresi katekolamin, adrenalin dan noradrenalin. Respon fisiologis kedua, yaitu HPA axis meliputi sekresi hormon kortikosteroid yang pengeluarannya tergantung pada hewan itu sendiri. Fase akut dari respon HPA ini dapat bertahan beberapa menit sampai beberapa jam setelah hewan mendapatkan gangguan dari lingkungannya. Aktivasi dari SAM dan HPA axis dapat menjadi mekanisme efektif untuk membantu hewan dalam beradaptasi terhadap perubahan lingkungan karena proses fisiologis seperti penyesuaian dalam laju metabolisme, fungsi jantung, tekanan darah, sirkulasi perifer, pernafasan, ketajaman penglihatan, dan ketersediaan energi serta pemakaiannya. Semua hal ini menyebabkan sapi menghadapi tantangan secara fisik dan emosi (Hemsworth et al. 2011). Penanganan sapi sebelum penyembelihan meliputi penggiringan baik penggiringan dari kendaraan pengangkut maupun dari kandang penampungan dan perubuhan sapi. Penanganan ini sebaiknya sesuai dengan kaidah dan ketentuan kesejahteraan hewan dan perilaku alamiahnya sehingga tidak membuat sapi stres. Hewan terutama sapi dapat mengalami stres ketika ia dihadapkan pada sesuatu yang membuatnya takut atau tidak nyaman seperti transportasi sapi dengan menggunakan truk, perlakuan yang kasar ketika vaksinasi, mencap, kastrasi, dehorning, implantasi hormon, adapatasi yang lemah terhadap pakan baru, keadaan kandang atau lingkungan yang panas, banyak lalat dan debu, banyak suara berisik, manajemen kandang yang tidak benar, terserang penyakit dan parasit, serta perlakuan kasar sebelum penyembelihan. Rasa takut pada sapi dapat terlihat dari defekasi secara involunteer, meningkatnya detak jantung, tekanan darah serta kadar kortisol dalam plasma meningkat, menolak untuk bergerak, kepala menunduk dengan dagu yang terlihat memanjang, kepala menggeleng dan melenguh. Sedangkan ketidaknyamanan pada sapi dapat terlihat ketika ia mengibaskan ekornya dengan kuat, kepalanya menggeleng-geleng, inkontensia, lubang hidung melebar, tubuh gemetar secara tidak teratur, mata berkedip-kedip, kepala ditarik kedalam dan mata menutup (Gregory 1998). 7 Pengaruh Stres terhadap Hormon Kortisol Kortisol atau glukokortikoid merupakan hormon steroid yang dihasilkan oleh kelenjar adrenal bagian korteks pada zona reticularis. Sama seperti hormon steroid yang lain, kortisol tidak disimpan tetapi disintesis berdasarkan perubahan akut yang bisa memacu hormon ini disintesis. Sebagian besar hormon kortisol yang beredar di pembuluh darah diikat oleh cortisol binding globulin (CBG). Kortisol bebas hanya terjadi ketika memasuki organ target. Sirkulasi hormon kortisol pada darah diatur oleh corticotropin-releasing hormon (CRH) yang dilepaskan dengan ritme kira-kira 2-3 kali setiap jam sesuai dengan siklus sirkadian dan memiliki ritme amplitudo yang lebih besar pada awal pagi (Tsigos dan Chrousos 2002). Fungsi utama dari hormon ini adalah meningkatkan asam lemak bebas dan glukosa pada sirkulasi darah. Kortisol cenderung meningkatkan kadar glukosa darah dengan cara mendorong terjadinya glukoneogenesis, meningkatkan pelepasan glukosa hepatik dan menghambat penyerapan glukosa pada otot serta

18 8 lemak. Hormon kortisol mempunyai peran yang berbeda-beda pada setiap organ. Peran kortisol pada kulit yaitu menghambat pembelahan keratinosit dan sintesis kolagen. Kortisol mempunyai efek katabolik sehingga pada otot, kortisol menyebabkan atrofi karena mengurangi sintesis protein. Lalu pada tulang menyebabkan perubahan osteoblas menjadi osteoklas yang mengakibatkan osteoporosis. Peran hormon ini pada sistem syaraf sangat kompleks, disesuaikan dengan potensi kortisol untuk menyebabkan selang dari gejala emosi, mulai dari euphoria sampai depresi. Kortisol juga mempunyai efek anti-inflamasi yang banyak dimanfaatkan untuk pengobatan. Kortisol menyebabkan limfosit-t dan eosinofil yang bersirkulasi menjadi menurun, akan tetapi neutrofil meningkat. (Holt dan Hanley 2007). Gambar 3 Mekanisme pengaruh rasa takut pada peningkatan kadar kortisol di darah Tingginya kadar kortisol dalam darah dapat menyebabkan penyerapan glukosa tidak maksimal, kelemahan otot dan tulang karena glikogen dalam otot dirombak menjadi glukosa, ketidakseimbangan nitrogen karena perubahan asam amino menjadi glukosa pada proses glukoneogenesis di hati, dan meningkatkan

19 ekskresi air (Cunningham dan Klein 2007). Kadar kortisol dalam darah akan meningkat ketika hewan mengalami stres psikologis (Grandin 2000), sehingga hormon ini dapat menjadi indikator stres yang sering digunakan dalam penilaian kesejahteraan hewan pada aspek transportasi dan penanganan hewan sebelum penyembelihan (Shaw dan Tume 1992). Proses dan pengaruh stres pada peningkatan kadar kortisol diterangkan oleh Gregory (1998) melalui Gambar 3. Pengukuran dan pembandingan kadar kortisol antar individu hewan harus memperhatikan beberapa pertimbangan. Hal ini karena kadar kortisol dapat bervariasi pada beberapa individu hewan. Sapi yang menunjukkan tanda-tanda perilaku yang aktif biasanya mempunyai kadar kortisol yang lebih tinggi dibandingkan hewan yang tenang (Grandin 2000). Kadar kortisol pada beberapa hewan juga dipengaruhi oleh siklus sirkadian. Sekresi dari hormon kortisol dan pemicunya seperti CRH dan adrenocortcotropic hormon (ACTH) diatur oleh berbagai input dari sistem saraf pusat menuju pusat jam biologis yang berada di nukleus suprachiasmic dari hipotalamus. Hewan yang aktif pada siang hari seperti sapi, babi, domba, dan kuda memiliki kadar kortisol beberapa kali lipat lebih tinggi pada awal hari dibandingkan pada malam hari. Begitu pula hewan yang aktif di malam hari mempunyai keadaan sebaliknya (Martin dan Crump 2003). 9 Deteksi Hormon menggunakan Radioimmunoassay Radioimmunoassay (RIA) adalah suatu uji immunoassay sejati yang menggunakan isotop radioaktif sebagai label atau tracer seperti iodin-125 ( 125 I) yang menghasilkan sinyal kuantitatif untuk uji ini. Metode dari uji ini didasarkan pada observasi pertama kali yang dilakukan oleh Yalow dan Berson pada tahun 1959 (Ashkar 1983) bahwa ada kompetisi antara antigen yang dilabel radioaktif dan yang tidak untuk antibodi spesifik (binding protein) yang berhubungan dengan fungsi kuantitatif. Uji ini memiliki inhibisi kompetitif antara ikatan dari antigen yang dilabel (Ag*) dan antigen yang tidak dilabel (Ag) dengan antibodi spesifik (Ab). Semakin tinggi konsentrasi dari antigen yang tidak dilabel (Ag) maka radioaktifitas dari kompleks ikatan antigen dan antibodi semakin rendah (Ag*-Ab) dan konsentrasi dari antigen dilabel yang bebas pun semakin tinggi (Ag*). Kompleks ikatan antigen yang dilabel dipisahkan dari antibodi yang tidak dilabel, sehingga fraksi dapat dihitung dan juga dapat dibandingkan dengan kurva standar. Pengikatan antigen dengan antibodi mengikuti hukum kesetimbangan dan dapat ditulis secara sederhana seperti berikut : k1 [Ag] + [Ab] [Ag Ab] k2 Sensitivitas dari reaksi tergantung pada energi dari ikatan antara antigen dengan antibodi atau aviditas (K) sebagaimana digambarkan dalam rumus K = [Ag-Ab] / [Ag] [Ab]. Antigen yang digunakan untuk pengukuran dan pendeteksian hormon adalah hormon dalam serum yang akan diuji. Isotop radioaktif yang biasa digunakan adalah 125 I, 131 I, 3 H, dan 14 C. Radioisotop 125 I lebih banyak digunakan karena merupakan isotop pilihan dari semua isotop yang bisa digunakan untuk emiter gamma karena karakteristik fisik yang dimilikinya. Radioisotop 125 I

20 10 memiliki waktu paruh yang panjang dan memiliki kemampuan untuk dideteksi dengan sensitivitas yang tinggi dengan gamma counter (Hunter dalam Ashkar 1983). Pengukuran radioaktivitas 125 I juga lebih mudah karena menggunakan metode solid scintillation counting (SSC) yaitu menghitung endapan sedangkan radioisotop 3 H penghitungannya menggunakan metode liquid scintillation counting (LSC) (Gosling 1994) METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan dengan pengambilan sampel di beberapa RPH di wilayah Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Karawang, Kota Depok, Kota Tangerang dan Kabupaten Bogor dari bulan Juli 2013 sampai bulan Februari Pengujian sampel dilakukan di Laboratorium Terpadu Fisiologi, Departemen Anatomi, Fisiologi dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor dan Laboratorium Balai Penelitian Ternak Ciawi, Bogor. Alat dan Bahan Alat yang digunakan pada penelitian adalah tabung reaksi dan penutup, rak, tabung Eppendorf, cool box, spidol, pipet, stopwatch, mikropipet, shaker plate, alat sentrifuse, dan Automatic Gamma Counter A 6.24 (Vienna, Austria). Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah serum darah sapi, kit radioimmunoassay (RK-240CT, Izotop Budapest), kantung plastik, kertas saring, label, dan kertas tissue. Kit RIA terdiri dari 1 vial tracer 55 ml/vial berisi <260 kbq 125 I Cortisol dalam buffer 0.1% NaN 3, 6 vial standar 0.5 ml/vial berisi 0.4, 100, 250, 650, 1600 nmol/l kortisol dalam serum dengan 0.1% NaN 3, 1 vial antiserum 55 ml/vial berisi polyclonal anti-cortisol (kelinci) IgG dalam buffer 0.1% NaN 3, 1 vial serum kontrol berisi serum lyophilised manusia dengan 0.1% NaN 3, dan 2 kotak berisi tabung yang sudah dilapisi (coated tube) 2x50 pcs, 12x75 mm. Metode Penelitian Pengambilan dan koleksi sample Sampel darah diambil dari 30 ekor sapi Brahman Cross yang telah dikastrasi (steer). Sebanyak 15 sampel masing-masing diambil dari sapi yang disembelih dengan menggunakan metode konvensional dan dari sapi yang disembelih dengan menggunakan Restraining Box Mark IV. Darah ditampung dari arteri carotis communis 1 menit setelah sapi disembelih. Selanjutnya darah dibiarkan pada suhu ruang selama minimal 1 jam, kemudian darah disimpan dalam refrigerator selama 24 jam sampai serum terpisah. Setelah itu, serum dipindahkan ke tabung Eppendorf dan disentrifus sebelum diuji dengan kit RIA.

21 11 Deteksi hormon kortisol dalam serum Penelitian ini menggunakan RIA untuk mengukur konsentrasi hormon kortisol dalam serum sapi. Uji ini berdasarkan pada kompetisi antara kortisol yang tidak dilabel dan kortisol yang dilabel 125 I (tracer) dalam jumlah yang tetap pada tempat pengikatan antibodi spesifik kortisol yang terbatas. Sebelum sampel diuji, reagen penguji dibuat terlebih dahulu. Serum kontrol lyophilised ditambah dengan 500 μl akuades lalu dihomogenkan dengan pelan-pelan. Setelah air dan serum tercampur merata, larutan dikalibrasi pada suhu ruangan minimal 20 menit. Metode pengujian sampel adalah sebagai berikut: 1. Sampel yang akan diuji dikalibrasi di suhu ruang selama satu jam. 2. Coated tube diberi label standar (S1-S6), kontrol (C), sampel (Sx), tabung yang belum dilapisi untuk jumlah total (T). 3. Semua reagen dan sampel dihomogenisasi dengan dikocok secara pelanpelan untuk menghindari terbentuknya buih. 4. Selanjutnya setiap standar, kontrol, dan sampel dimasukkan sebanyak 10 μl ke dalam tabung sesuai dengan labelnya. 5. Tracer dimasukkan pada semua tabung masing-masing sebanyak 500 μl. 6. Antiserum dimasukkan pada semua tabung kecuali tabung T sebanyak 500 μl. 7. Semua standar dan sampel dibuat menjadi dua tabung. Rak tabung-tabung yang akan diuji kemudian difiksasi pada shaker plate. Semua tabung ditutup dengan menggunakan plastik. Kemudian dihomogenkan. 8. Setelah selesai, tabung-tabung diinkubasi selama 2 jam pada suhu ruang. 9. Supernatan dari setiap tabung diaspirasi atau dituang dengan cara membalik rak lalu dialasi kertas saring dan didiamkan selama 2 menit. Selanjutnya setiap endapan pada tabung dihitung dengan gamma counter selama 60 detik. Analisis Data Data yang diperoleh pada penelitian ini dianalisis secara deskriptif dan ditampilkan dalam bentuk tabel dan gambar. Perbandingan konsentrasi hormon kortisol pada dua kelompok sapi yang diperoleh diuji dengan menggunakan Uji Mann Whitney dan dianalisis menggunakan software SPSS 21. Uji Mann Whitney merupakan uji signifikansi hipotesis komparatif variabel numerik yang tidak menyebar normal pada dua rata-rata sampel yang tidak berpasangan (Sugiyono 2011). Uji ini digunakan untuk membuktikan apakah penggunaan Restraining Box Mark IV memberikan perbedaan yang bermakna pada kadar kortisol sapi yang disembelih. HASIL DAN PEMBAHASAN Metode RIA merupakan metode gold standard untuk mengukur konsentrasi kortisol pada serum (Proverbio et al. 2013). Pengukuran kadar kortisol dengan

22 12 menggunakan metode RIA mengacu pada kurva tipikal standar sehingga B/B0% yang didapatkan dari sampel disesuaikan dengan kurva tersebut untuk mengetahui konsentrasi kortisol. Tipikal kurva standar dapat dilihat pada Gambar 4. Gambar 4 Tipikal kurva standar RIA untuk pengujian kortisol (1 nmol/l = ng/ml) Limit deteksi dari RIA adalah 1.05 ng/ml. Pengukuran kadar kortisol dalam serum darah sangat baik digunakan sebagai metode untuk mengevaluasi tingkat stres yang dialami hewan secara akut, seperti penanganan dan pengekangan (Siegel dan Gross 2000). Kadar kortisol akan mencapai puncaknya pada menit setelah hewan mengalami stres dan akan kembali pada konsentrasi basal setelah 1 jam (Lay et al. 1998; Veissier dan Le Neindre 1988). Pengujian kadar kortisol pada serum darah dapat menunjukkan tingkat stres pada sapi. Hal ini karena kortisol merupakan hormon indikator stres selain katekolamin dan β endorfin (Grandin 2000). Pengujian kadar kortisol pada kelompok sapi yang disembelih dengan menggunakan metode konvensional memiliki rata-rata kadar kortisol ng/ml dan kelompok sapi yang disembelih dengan menggunakan Restraining Box Mark IV memiliki rata-rata kadar kortiol ng/ml. Hasil pengujian selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Perbandingan konsentrasi kortisol dalam serum darah sapi Metode n (ekor) Kadar Kortisol (ng/ml) Rerata maks min ±sd Konvensional Mark IV Distribusi kadar hormon kortisol pada dua kelompok sapi dideskripsikan dengan menggunakan diagram box plot yang menggunakan quartil sebagai

23 pembagi distribusi frekuensi data menjadi empat sama besar (Harinaldi 2005). Gambar diagram box plot ditunjukkan pada Gambar Gambar 5 Distribusi kadar hormon kortisol pada dua kelompok sapi Diagram box plot konsentrasi kortisol pada penyembelihan dengan metode konvensional menunjukkan kadar kortisol memiliki nilai minimum 11.4 ng/ml, 25% distribusi data kadar kortisol berada di bawah nilai Q1 yaitu 20.7 ng/ml, 50% distribusi data dibagi oleh nilai median yaitu ng/ml, 75% distribusi data dibatasi oleh nilai Q3 yaitu ng/ml dan nilai maksimum ng/ml. Melalui diagram ini diketahui sebagian besar kadar kortisol sapi yang disembelih dengan metode konvensional memiliki nilai di bawah rata-rata. Kemudian diagram box plot konsentrasi kortisol pada penyembelihan dengan metode Restraining Box Mark IV menunjukkan kadar kortisol memiliki nilai minimum 6.4 ng/ml, 25% distribusi data kadar kortisol berada di bawah nilai Q1 yaitu 8.97 ng/ml, 50% distribusi data dibagi oleh nilai median yaitu ng/ml, 75% distribusi data dibatasi oleh nilai Q3 yaitu ng/ml dan nilai maksimum ng/ml. Berbanding terbalik dengan metode konvensional sebagian besar kadar kortisol sapi yang disembelih dengan metode restraining box Mark IV memiliki nilai di atas rata-rata. Hasil analisis data dengan uji Mann Whitney menunjukkan bahwa kadar kortisol pada sapi yang disembelih dengan menggunakan Restraining Box Mark IV nyata lebih rendah (p<0.05) daripada sapi yang disembelih dengan metode konvensional. Hal ini menunjukkan penggunaan Restraining Box Mark IV signifikan dalam menurunkan kadar hormon kortisol. Kadar kortisol pada sapi yang disembelih dengan metode konvensional menunjukkan angka yang tinggi dengan rata-rata ng/ml. Kadar ini melebihi kadar normal plasma kortisol pada sapi yang sehat yaitu 6.74 sampai nmol/l atau 2.44 sampai ng/ml (Proverbio et al. 2013). Peningkatan ini

24 14 terjadi terutama karena stres yang dialami sapi sebelum pemotongan. Sapi yang disembelih dengan metode konvensional cenderung mendapatkan perlakuan yang kasar dari petugas RPH sehingga menimbulkan rasa takut pada sapi. Ketakutan ini merupakan stresor yang dapat membuat sapi merasa stres dan meningkatkan kadar kortisol dalam plasma darah. Sapi yang disembelih di RPH konvensional umumnya mendapatkan perlakuan kasar dari petugas yang meliputi penarikan paksa, pemukulan, hentakan, dan perubuhan sebelum penyembelihan. Penelitian yang dilakukan Hemsworth et al. (2011) membuktikan peningkatan interaksi petugas RPH dengan suara seperti berbicara dan berteriak pada sapi serta interaksi sentuhan seperti tekanan, pemukulan dan penggunaan tongkat sebelum penyembelihan berasosiasi dengan peningkatan kadar kortisol sapi setelah penyembelihan. Perlakuan petugas yang kasar membuat sapi yang sudah gelisah semakin stres. Penelitian yang dilakukan Lensink et al. (2001) menunjukkan bahwa kehadiran manusia dapat menjadi penyebab utama hewan stres selama pemeliharaan dan penyembelihan. Selain perlakuan kasar, kondisi RPH yang tidak memenuhi standar seperti kandang penampungan yang sempit, pencampuran dengan sapi dari peternakan lain, kurangnya pencahayaan, lantai yang licin, dan banyaknya suara juga dapat membuat sapi stres dan meningkatkan kadar kortisol. Luas ruang minimum yang pada kandang penampungan yang dibutuhkan ketika menampung sapi kurang dari 24 jam adalah 1.6 m 2 untuk sapi yang tidak bertanduk dan 1.85 m 2 untuk sapi yang bertanduk (Grandin 2000). Walaupun demikian tidak semua RPH yang menggunakan metode konvensional memperlakukan sapi dengan kasar sebelum penyembelihan, ada juga yang tetap memperhatikan kaidah kesejahteraan hewan sehingga hewan tidak stres. Hal ini dapat terlihat pada konsentrasi kortisol minimum sapi yang disembelih dengan cara konvensional yaitu 11.4 ng/ml. Kadar kortisol sapi yang disembelih dengan menggunakan Restraining Box Mark IV memiliki rata-rata kadar kortisol yang cukup rendah bila dibandingkan dengan metode konvensional. Kadar kortisol rata-rata pada sapi yang disembelih dengan metode ini adalah ng/ml. Meskipun kadar kortisol sapi yang disembelih menggunakan Restraining Box Mark IV relatif rendah, namun kadar ini lebih tinggi dari kisaran maksimal kadar normal. Meningkatnya kadar kortisol ini dapat terjadi karena bisingnya RPH akibat pergerakan restraining box pada saat memutar hewan 90 o dan proses pemutaran itu sendiri. Kebisingan dan pemutaran ini adalah salah satu kelemahan dari Restraining Box Mark IV. Menurut Grandin (2000) suara dengan nada tinggi dari sistem hidrolik sangat mengganggu sapi. Baik suara mesin maupun suara manusia merupakan stressor bagi sapi. Akan tetapi, penelitian yang dilakukan oleh Waynert et al. (1999) membuktikan bahwa sapi lebih terganggu dan kaget oleh suara manusia daripada suara mesin. Kebisingan ini dapat diatasi dengan penambahan bantalan karet pada sisi-sisi restraining box, pemutaran musik pada RPH atau pembangunan dinding yang dapat meredam suara (Grandin 2000). Proses pemutaran sapi pada restraining box dapat membuat sapi terkejut dan berpotensi menimbulkan stres. Menurut Grandin (2014) sapi melawan pembalikan, terutama perputaran 180 o. Dunn (1990) juga menyatakan sapi yang disembelih pada restraining box yang membalikan posisi sapi mempunyai ratarata kadar kortisol 93 ng/ml. Walaupun demikian pemotongan sapi dalam posisi

25 90 o mempunyai kelebihan dibandingkan posisi berdiri yang dilakukan pada metode pemotongan kosher yaitu mengurangi aspirasi darah pada saluran pernafasan dan mempercepat hewan kehilangan kesadaran sehingga mengurangi penderitaan sapi saat penyembelihan (Gregory et al. 2008; Velarde et al. 2014) Kadar kortisol pada hewan dengan kondisi normal diatur dan dibatasi oleh sistem feedback negatif pada hipotalamus. Akan tetapi, ketika hewan mengalami stres sistem feedback tidak terjadi. Corticotropic releasing factor (CRF) atau corticotropic relasing hormon (CRH) adalah hormon utama yang mengatur respon hewan terhadap stres. Semua bentuk stres, baik karena fisik, kimia, suhu, mikroba dan faktor lainnya menimbulkan efek mendalam yang menstimulasi hipotalamus mensekresikan CRH. Sekresi CRH yang diinduksi oleh stres dapat meningkatkan kadar kortisol sampai 20 kali lipat. Hal ini menandakan bahwa peningkatan CRH dan kortisol dapat mengesampingkan feedback negatif basal pada hipotalamus dan kelenjar pituitari sepenuhnya serta mengacaukan ritme diurnal dan nokturnal dalam pengaturan kadar kortisol (Martin dan Crump 2003). Kadar kortisol yang beragam pada setiap individu sapi, baik pada sapi yang disembelih dengan metode konvensional maupun dengan menggunakan Restraining Box Mark IV dapat terjadi karena perbedaan respon dan adaptasi setiap individu terhadap stressor. Menurut McEwen et al. (1997) kemampuan hewan untuk menanggapi suatu situasi sebagai situasi yang membuat stres tergantung pada pengalaman-pengalaman yang dirasakan sebelumnya dan riwayat perkembangannya terhadap situasi tersebut. Kombinasi dari kedua hal itu membuat hewan peka atau melindungi hewan dari perubahan tertentu. Penggunaan Restraining Box Mark IV untuk penyembelihan dapat mengurangi stres pada hewan dan meningkatkan kesejahteraan hewan. Penelitian yang dilakukan oleh Wicaksono (2010) menunjukkan penggunaan restraining box juga meningkatkan kualitas daging. Daging yang dihasilkan dari sapi yang disembelih menggunakan restraining box memiliki ph yang relatif lebih rendah daripada sapi yang disembelih dengan metode konvensional walaupun tidak berbeda nyata. Nilai ph ini akan berkaitan dengan kualitas daging yang lain seperti daya ikat air dan keempukkan. Daya ikat air daging dari yang disembelih dengan menggunakan restraining box lebih tinggi melalui pengujian cooking loss dan drip loss daripada daging yang dihasilkan dari sapi yang disembelih tanpa restraining box. Cooking loss adalah pengerutan daging saat dimasak akibat denaturasi protein dan pengeluaran air, adapun drip loss adalah cairan atau eksudat yang keluar dari daging tanpa aplikasi/penerapan tekanan dari luar (Lukman et al. 2012). Daging dengan nilai cooking loss yang rendah memiliki kualitas daging relatif lebih baik karena kehilangan nilai nutrisi yang lebih rendah pada saat pemasakan, sehingga daging tetap terasa juicy dan segar (Warris 2004). Daging yang berasal dari sapi yang disembelih dengan menggunakan restraining box mempunyai tekstur yang lebih empuk. Stres yang dialami sapi sebelum penyembalihan akan mengakibatkan peningkatan kortisol dan menyebabkan deplesi glikogen. Deplesi dari glikogen otot menyebabkan ph daging menjadi tinggi, daging berwarna gelap dan keras (Mounier et al. 2006). Selain kortisol, hormon indikator stres yang lain seperti katekolamin juga mempengaruhi keempukkan daging. Soeparno (2011) menyatakan pada ternak yang mengalami stres sebelum pemotongan, terjadi pembebasan katekolamin 15

26 16 dengan cepat dan mengakibatkan deplesi glikogen otot. Daging yang dihasilkan oleh sapi yang stres ini adalah dark- cutting beef (DCB). Daging yang dihasilkan dari RPH konvensional seringkali memiliki nilai sensorik yang kurang baik akibat adanya memar pada bagian tubuh yang terbentur ketika proses perubuhan sebelum disembelih dan penanganan yang tidak baik sebelum penyembelihan. Daging yang memar dinilai sebagai daging berkualitas buruk sehingga mengurangi harga jual karkas (Jarvis et al. 1995). SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Konsentrasi kortisol pada sapi yang disembelih dengan metode konvensional lebih tinggi daripada sapi yang disembelih dengan menggunakan Restraining Box Mark IV. Tingginya kadar kortisol pada sapi yang disembelih dengan metode konvensional menggambarkan tingkat stres pada sapi yang disembelih dengan metode tersebut lebih tinggi daripada sapi yang disembelih dengan menggunakan Restraining Box Mark IV. Ditinjau dari aspek kesejahteraan hewan, penyembelihan dengan menggunakan Restraining Box Mark IV lebih baik daripada metode konvensional. Saran Aspek kesejahteraan hewan pada penyembelihan di RPH harus diperhatikan terutama pada RPH yang masih menggunakan metode konvensional. Sosialisasi penggunaan Restraining Box Mark IV di RPH konvensional sebaiknya dilakukan untuk mengurangi tingkat stres pada sapi sebelum penyembelihan. DAFTAR PUSTAKA Ashkar FS Radiobioassay. Florida (US): CRC Pr. [AVCO] Australian Chief Veterinary Officer An assessment of the ongoing appropriateness of Mark I and IV restraint boxes. [Internet]. [diunduh pada 2014 Jul 2]. Tersedia pada assets/pdf_file/0010/ /acvo-assessment-of-restraining-boxes.pdf. [BPS] Badan Pusat Statistik Penduduk Indonesia menurut provinsi 1971, 1980, 1990, 2000, [Internet]. [diacu 2014 Mei 20]. Tersedia pada [BSN] Badan Standardisasi Nasional SNI Rumah Pemotongan Hewan. BSN (ID): Jakarta. Chrousos GP, Kino T Interactive functional specificity of the stress and immune responses: the Ying, the Yang, and the defense against 2 major classes of bacteria. J Infect Dis. 192 (4):

27 Cunningham JG, Klein BG Textbook of Veterinary Physiology. St. Louis, Missouri (US): Elsevier Science. [DAFFAU] Department of Agricultural, Fisheries, and Forestry Australia Review of modified and copy Mark IV type restraint boxes. [Internet]. [diacu 2013 Sept 19]. Tersedia pada assets/ pdf_file/ 0007/ /mark-iv-review.pdf. Dunn CS Stress reaction of cattle undergoing ritual slaughter using two methods of restraining. Vet Rec. 126 (21): [EFSA] European Food Safety Authority The welfare aspects of the main systems of stunning and killing applied to commercially farmed deer, goats, rabbits, ostriches, ducks, geese, and quail. EFSA J. 326:1-18. [FAWC] Farm Animal Welfare Council Farm animal welfare in Great Britain: past, present and future. [Internet].[diunduh 2014 Agust 24].Tersedia pada uploads/ system/ uploads/ attachment_data/file/319292/farm_animal_welfare_in_great_britain_- _Past Present_and_Future.pdf. Gosling JP Á la carte immunoassay. Biochem Educ. 22 (4): Grandin T Handling and welfare of livestock in slaughter plants. Di dalam Grandin T, editor. Livestock Handling and Transport 2nd Edition. New York (US): CABI Publishing. Grandin T Improving welfare and reducing stress on animals in slaughter plants. Di dalam Grandin T, editor. Livestock Handling and Transport 4th Edition: Theories and Applications. Boston (US): CABI Publishing. Gregory NG Animal Welfare and Meat Science. New York (US): CABI Publishing. Gregory NG, Grandin T Animal Welfare and Meat Production 2nd ed. Oxfordshire (GB): CABI. Gregory NG, von Wenzlawowicz M, von Holleben K Blood in the respiratory tract during slaughter with and without stunning in cattle. Meat Sci. 82: Harinaldi Prinsip-prinsip Statistik untuk Teknik dan Sains. Jakarta (ID): Erlangga Hemsworth PH, Rice M, Karlen MG, Calleja L, Barnett JL, Nash J, Coleman GJ Human animal interactions at abattoirs: Relationships between handling and animal stress in sheep and cattle. Appl Anim Behav Sci. 135: Holt, RIG, Hanley NA Essential Endocrinology and Diabetes. Massachusetts (US): Blackwell Publishing. Jarvis AM, Selkirk L, Cockram MS The influence of source, sex class and pre-slaughter handling on the bruising of cattle at two slaughterhouses. Livest Prod Sci. 43: Jones B The slaughter of Australian cattle in Indonesia: an observational study. [Internet]. [diacu pada 2013 Okt 24]. Tersedia pada Lay DC, Friend TH, Randel RD, Bowers CL, Grissom KK, Neuendorff DA, Jenkins OC Effects of restricted nursing on physiological and behavioral reactions of Brahman calves to subsequent restraining and weaning. Appl Anim Behav Sci. 56:

28 18 Lensink BJ, Fernandez X, Cozzi G, Florand L, Veissier I The influence of farmers behavior on calves reactions to transport and quality of veal meat. J Anim Sci. 79: Lukman DW, Sudarwanto M, Sanjaya AW, Purnawarman T, Latif H, Soejoedono RR Penuntun Praktkum Higiene Pangan Asal Hewan. H Pisestiyani, editor. Bogor (ID): IPB Pr. Martin PA, Crump MH McDonald s Veterinary Endocrinology and Reproduction 5th ed. M H Pineda dan MP Dooley, editor. Iowa (US) : Blackwell Publishing. McEwen BS, Biron CA, Brunson KW, Bulloch K, Chambers WH, Dhabhar FS, Goldfarb RH, Kitson RP, Miller AH, Spencer RL, Weiss JM The role of adrenocorticoids as modulators of immune function in health and disease: neural, endocrine and immune interactions. Brain Res Rev. 23(1-2): Möstl E, Palme R Hormones as indicators of stress. Domest Anim Endocrinol. 23 (2002): Mounier L, Dubroeucq H, Andanson S, Veissier I Variations in meat ph of beef bulls in relation to conditions of transfer to slaughter and previous history of the animals. J Anim Sci. 84: [MUI] Majelis Ulama Indonesia Keputusan ijtima ulama komisi fatwa se- Indonesia kedua. [Internet]. [diunduh pada 2014 Jul 1]. Tersedia pada Nakyinsige K, Che Man YB, Aghwan ZA, Zulkifli I, Goh YM, Abu Bakar F, Al- Kahtani HA, Sazili AQ Stunning and animal welfare from Islamic and scientific perspectives. Meat Sci 95: [OIE] Office des International Epizooties Slaughter Animal. [Internet]. [diunduh 2014 Jul 10]. Tersedia pada Health_standards/tahc/2010/chapitre_1.7.5.pdf. Proverbio D, Perego R, Spada E, de Giorgi GB, Belloli A, Pravettoni D Comparison of VIDAS and Radioimmunoassay Methods for Measurement of Cortisol Concentration in Bovine Serum. Sci World J. 2013:1-5. Rumah Potong Hewan Karawaci. Restraining box. [Internet]. [diunduh 2014 Sept 2]. Tersedia pada Rushen J, de Passile AM, von Keyserlingk MAG, Weary DM The Walfare of Cattle. Dordrecht (NL): Springer Publishing. Shaw FD, Tume RK The assesment of pre-slaughter dan slaughter treatments of livestock by measurement of plasma constituent-a review of recent work. Meat Sci. 32: Siegel PB, Gross WB General principles of strss and well-being. Didalam Grandin T, editor. Livestock Handling and Transport 2nd Edition. New York (US): CABI Publishing. Soeparno Ilmu Nutrisi dan Gizi Daging. Yogyakarta (ID): Gajah Mada Univ Pr. Sugiyono Statistik Nonparametris. Bandung (ID): CV Alfabeta Tsigos C, Chrousos GP Hypothalamic-pituitaryadrenal axis, neuroendocrine factors and stress. J Psychosom Res. 53( 4): Veissier I, Le Neindre P Cortisol responses to physical and pharmacological stimuli in heifers. Reprod Nutr Dev. 28:

MENERAPKAN PRINSIP KESEJAHTERAAN HEWAN

MENERAPKAN PRINSIP KESEJAHTERAAN HEWAN BAHAN AJAR PELATIHAN JURU SEMBELIH HALAL KODE UNIT KOMPETENSI : A. 016200.007.01 MENERAPKAN PRINSIP KESEJAHTERAAN HEWAN BADAN PENYULUHAN DAN PENGEMBANGAN SDM PERTANIAN PUSAT PELATIHAN PERTANIAN 2015 1

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. hewan (Animal Welfare) menjadi hal yang sangat penting karena tidak saja

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. hewan (Animal Welfare) menjadi hal yang sangat penting karena tidak saja BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penanganan penyembelihan hewan yang memenuhi kaidah kesejahteraan hewan (Animal Welfare) menjadi hal yang sangat penting karena tidak saja mengurangi penderitaan hewan,

Lebih terperinci

PENERAPAN KESEJAHTERAAN HEWAN DI RUMAH POTONG HEWAN Oleh. drh. Aryani Widyawati

PENERAPAN KESEJAHTERAAN HEWAN DI RUMAH POTONG HEWAN Oleh. drh. Aryani Widyawati PENERAPAN KESEJAHTERAAN HEWAN DI RUMAH POTONG HEWAN Oleh. drh. Aryani Widyawati Kesejahteraan hewan merupakan persoalan sosial yang cukup penting saat ini. Adanya larangan expor sapi dari negara Australia

Lebih terperinci

PENGARUH SUHU DAN WAKTU INKUBASI PADA UJI STANDARISASI HORMON PROGESTERON

PENGARUH SUHU DAN WAKTU INKUBASI PADA UJI STANDARISASI HORMON PROGESTERON PENGARUH SUHU DAN WAKTU INKUBASI PADA UJI STANDARISASI HORMON PROGESTERON Anne Sukmara Balai Penelitian Ternak Ciawi, P.O. Box 221, Bogor 16002 RINGKASAN Hormon merupakan substansi penting dalam pengaturan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mencukupi kebutuhan gizi masyarakat, karena daging merupakan sumber protein

BAB I PENDAHULUAN. mencukupi kebutuhan gizi masyarakat, karena daging merupakan sumber protein BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daging merupakan salah satu bahan pangan yang sangat penting dalam mencukupi kebutuhan gizi masyarakat, karena daging merupakan sumber protein utama dan sebagai sumber

Lebih terperinci

ANALISIS HORMON KORTISOL DAN PENERAPAN ASPEK KESEJAHTERAAN HEWAN PADA SAPI YANG DIPINGSANKAN DAN TIDAK DIPINGSANKAN SEBELUM PENYEMBELIHAN

ANALISIS HORMON KORTISOL DAN PENERAPAN ASPEK KESEJAHTERAAN HEWAN PADA SAPI YANG DIPINGSANKAN DAN TIDAK DIPINGSANKAN SEBELUM PENYEMBELIHAN ANALISIS HORMON KORTISOL DAN PENERAPAN ASPEK KESEJAHTERAAN HEWAN PADA SAPI YANG DIPINGSANKAN DAN TIDAK DIPINGSANKAN SEBELUM PENYEMBELIHAN ANIS TRISNA FITRIANTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Konversi Otot Menjadi Daging

TINJAUAN PUSTAKA Konversi Otot Menjadi Daging II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konversi Otot Menjadi Daging Kondisi ternak sebelum penyembelihan akan mempengaruhi tingkat konversi otot menjadi daging dan juga mempengaruhi kualitas daging yang dihasilkan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. sapi Bali relatif tersedia di pasaran. Sapi Bali juga memiliki potensi pasar yang luas

PENDAHULUAN. Latar Belakang. sapi Bali relatif tersedia di pasaran. Sapi Bali juga memiliki potensi pasar yang luas PENDAHULUAN Latar Belakang Sapi Bali merupakan salah satu komoditas ternak penting Indonesia selain kerbau, kambing, ayam dan domba. Sapi bali dikenal sebagai salah satu plasma nutfah provinsi NTB, dengan

Lebih terperinci

TINJAUAN ASPEK KESEJAHTERAAN HEWAN PADA SAPI YANG DIPOTONG DI RUMAH PEMOTONGAN HEWAN KOTAMADYA BANDA ACEH

TINJAUAN ASPEK KESEJAHTERAAN HEWAN PADA SAPI YANG DIPOTONG DI RUMAH PEMOTONGAN HEWAN KOTAMADYA BANDA ACEH ISSN : 0853-1943 TINJAUAN ASPEK KESEJAHTERAAN HEWAN PADA SAPI YANG DIPOTONG DI RUMAH PEMOTONGAN HEWAN KOTAMADYA BANDA ACEH Study of the Animal Welfare Aspect on Cattle Slaughtered in Slaughter house in

Lebih terperinci

TUGAS 3 SISTEM PORTAL

TUGAS 3 SISTEM PORTAL TUGAS 3 SISTEM PORTAL Fasilitator : Drg. Agnes Frethernety, M.Biomed Nama : Ni Made Yogaswari NIM : FAA 113 032 Kelompok : III Modul Ginjal dan Cairan Tubuh Fakultas Kedokteran Universitas Palangka Raya

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. ventilasi tidak memadai, suhu dan kelembaban ekstrem serta kecepatan angin

PENDAHULUAN. Latar Belakang. ventilasi tidak memadai, suhu dan kelembaban ekstrem serta kecepatan angin PENDAHULUAN Latar Belakang Transportasi melibatkan beberapa potensi yang dapat menimbulkan ternak menjadi stres di antaranya penanganan kasar selama bongkar muat, pencampuran dengan ternak baru dan asing

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh penggunaan restraining box terhadap ph daging Hasil pengujian nilai ph dari daging yang berasal dari sapi dengan perlakuan restraining box, nilai ph rata-rata pada

Lebih terperinci

Modul 2. Pengamatan Kesrawan dan Lima

Modul 2. Pengamatan Kesrawan dan Lima Modul 2 Pengamatan Kesrawan dan Lima Kebebasan Hewan Dengan modul ini anda diharapkan : Memahami Konsep dan penggunaan yang potensial dari Lima Kebebasan Hewan Perbedaan antara faktor-faktor yang mempengaruhi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Rumah Pemotongan Hewan (RPH) merupakan bangunan atau kompleks bangunan yang dibuat menurut bagan tertentu di suatu kota yang digunakan sebagai tempat

Lebih terperinci

MENETAPKAN KESIAPAN HEWAN UNTUK DISEMBELIH

MENETAPKAN KESIAPAN HEWAN UNTUK DISEMBELIH BAHAN AJAR PELATIHAN JURU SEMBELIH HALAL KODE UNIT KOMPETENSI : A. 016200.010.01 MENETAPKAN KESIAPAN HEWAN UNTUK DISEMBELIH BADAN PENYULUHAN DAN PENGEMBANGAN SDM PERTANIAN PUSAT PELATIHAN PERTANIAN 2015

Lebih terperinci

THERMOREGULATION SYSTEM ON POULTRY

THERMOREGULATION SYSTEM ON POULTRY THERMOREGULATION SYSTEM ON POULTRY Oleh : Suhardi, S.Pt.,MP Pembibitan Ternak Unggas AYAM KURANG TOLERAN TERHADAP PERUBAHAN SUHU LINGKUNGAN, SEHINGGA LEBIH SULIT MELAKUKAN ADAPTASI TERHADAP PERUBAHAN SUHU

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Jumlah Konsumsi Pakan Perbedaan pemberian dosis vitamin C mempengaruhi jumlah konsumsi pakan (P

Lebih terperinci

Kualitas Daging Sapi Wagyu dan Daging Sapi Bali yang Disimpan pada Suhu - 19 o c

Kualitas Daging Sapi Wagyu dan Daging Sapi Bali yang Disimpan pada Suhu - 19 o c Kualitas Daging Sapi Wagyu dan Daging Sapi Bali yang Disimpan pada Suhu - 19 o c (THE QUALITY OF WAGYU BEEF AND BALI CATTLE BEEF DURING THE FROZEN STORAGE AT - 19 O C) Thea Sarassati 1, Kadek Karang Agustina

Lebih terperinci

IV. MACAM DAN SUMBER PANGAN ASAL TERNAK

IV. MACAM DAN SUMBER PANGAN ASAL TERNAK IV. MACAM DAN SUMBER PANGAN ASAL TERNAK Pada umumnya sumber pangan asal ternak dapat diklasifikasikan ke dalam 3 (tiga) macam, yaitu berupa daging (terdiri dari berbagai spesies hewan yang lazim dimanfaatkan

Lebih terperinci

ANALISIS BIAYA KONSUMSI PANGAN, PENGETAHUAN GIZI, SERTA TINGKAT KECUKUPAN GIZI SISWI SMA DI PESANTREN LA TANSA, BANTEN SYIFA PUJIANTI

ANALISIS BIAYA KONSUMSI PANGAN, PENGETAHUAN GIZI, SERTA TINGKAT KECUKUPAN GIZI SISWI SMA DI PESANTREN LA TANSA, BANTEN SYIFA PUJIANTI ANALISIS BIAYA KONSUMSI PANGAN, PENGETAHUAN GIZI, SERTA TINGKAT KECUKUPAN GIZI SISWI SMA DI PESANTREN LA TANSA, BANTEN SYIFA PUJIANTI DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Daging merupakan makanan yang kaya akan protein, mineral, vitamin, lemak

I. PENDAHULUAN. Daging merupakan makanan yang kaya akan protein, mineral, vitamin, lemak 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Daging merupakan makanan yang kaya akan protein, mineral, vitamin, lemak serta zat yang lain yang sangat dibutuhkan oleh tubuh. Usaha untuk meningkatkan konsumsi

Lebih terperinci

MEMERIKSA KELAYAKAN PROSES PENYEMBELIHAN

MEMERIKSA KELAYAKAN PROSES PENYEMBELIHAN BAHAN AJAR PELATIHAN JURU SEMBELIH HALAL KODE UNIT KOMPETENSI : A. 016200.012.01 MEMERIKSA KELAYAKAN PROSES PENYEMBELIHAN BADAN PENYULUHAN DAN PENGEMBANGAN SDM PERTANIAN PUSAT PELATIHAN PERTANIAN 2015

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Proses pemotongan/penyembelihan dapat mengakibatkan stres hewan,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Proses pemotongan/penyembelihan dapat mengakibatkan stres hewan, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Proses pemotongan/penyembelihan dapat mengakibatkan stres hewan, sementara stres itu sendiri akan menurunkan kualitas daging. Stres dapat diartikan kegagalan adaptasi

Lebih terperinci

BAB III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN

BAB III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN 8 BAB III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan mulai Juli sampai dengan Agustus 2010. Pemeliharaan ayam broiler dimulai dari Day Old Chick (DOC)

Lebih terperinci

DAFTAR ISI RIWAYAT HIDUP... ABSTRACT... UCAPAN TERIMAKASIH... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR...

DAFTAR ISI RIWAYAT HIDUP... ABSTRACT... UCAPAN TERIMAKASIH... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR ISI RIWAYAT HIDUP... ABSTRAK... ABSTRACT... UCAPAN TERIMAKASIH... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR..... i ii iii iv vi vii viii BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian... 1 1.2

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Ternak itik mulai diminati oleh masyarakat terutama di Indonesia. Karena,

I PENDAHULUAN. Ternak itik mulai diminati oleh masyarakat terutama di Indonesia. Karena, 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ternak itik mulai diminati oleh masyarakat terutama di Indonesia. Karena, menghasilkan produk peternakan seperti telur dan daging yang memiliki kandungan protein hewani

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Metode Penelitian 34 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juni sampai dengan Desember 2007. Penelitian ini dilakukan pada beberapa tempat yaitu : pembuatan tepung kedelai dan

Lebih terperinci

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI PURBALINGGA NOMOR 65 TAHUN 2014 TENTANG PEMOTONGAN HEWAN RUMINANSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURBALINGGA, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

Gambaran Pelaksanaan Rumah Pemotongan Hewan Babi (Studi Kasus di Rumah Pemotongan Hewan Kota Semarang)

Gambaran Pelaksanaan Rumah Pemotongan Hewan Babi (Studi Kasus di Rumah Pemotongan Hewan Kota Semarang) Gambaran Pelaksanaan Rumah Pemotongan Hewan Babi (Studi Kasus di Rumah Pemotongan Hewan Kota Semarang) *) **) Michelia Rambu Lawu *), Sri Yuliawati **), Lintang Dian Saraswati **) Mahasiswa Bagian Peminatan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Mambal Kabupaten Badung

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Mambal Kabupaten Badung BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Mambal Kabupaten Badung Rumah Pemotongan Hewan (RPH) adalah kompleks bangunan dengan desain dan konstruksi khusus yang memenuhi persyaratan teknis

Lebih terperinci

Modul 7. Ukuran-ukuran perilaku pada

Modul 7. Ukuran-ukuran perilaku pada Modul 7 Ukuran-ukuran perilaku pada kesejahteraan hewan (2) Modul ini akan membuat anda dapat Mengenali dan menginterpretasi indicator perilaku pada kesejahteraan hewan Mengidentifikasi kemungkinan penyebab

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 16 HASIL DAN PEMBAHASAN Jumlah Leukosit Total Data hasil penghitungan jumlah leukosit total, diferensial leukosit, dan rasio neutrofil/limfosit (N/L) pada empat ekor kerbau lumpur betina yang dihitung

Lebih terperinci

KONSENTRASI HORMON KORTISOL DAN KUALITAS DAGING PADA SAPI YANG DIPINGSANKAN DENGAN CAPTIVE BOLT STUN GUN SEBELUM DISEMBELIH KARUNIA MAGHFIROH

KONSENTRASI HORMON KORTISOL DAN KUALITAS DAGING PADA SAPI YANG DIPINGSANKAN DENGAN CAPTIVE BOLT STUN GUN SEBELUM DISEMBELIH KARUNIA MAGHFIROH KONSENTRASI HORMON KORTISOL DAN KUALITAS DAGING PADA SAPI YANG DIPINGSANKAN DENGAN CAPTIVE BOLT STUN GUN SEBELUM DISEMBELIH KARUNIA MAGHFIROH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Ternak Kandang dan Peralatan Ransum

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Ternak Kandang dan Peralatan Ransum MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Pemeliharaan ini dilakukan di Laboratorium Lapang Ilmu Produksi Ternak Ruminansia Kecil Blok B dan analisis plasma di Laboratorium Nutrisi Ternak Kerja dan Olahraga Unit

Lebih terperinci

MATERI DAN METODA Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Penelitian Hewan Percobaan Vaksin AI-ND Pakan Kandang dan Perlengkapannya

MATERI DAN METODA Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Penelitian Hewan Percobaan Vaksin AI-ND Pakan Kandang dan Perlengkapannya 10 MATERI DAN METODA Waktu Tempat Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Terpadu FKH-IPB, Departemen Ilmu Penyakit Hewan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Itik Cihateup merupakan salah satu unggas air, yaitu jenis unggas yang

PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Itik Cihateup merupakan salah satu unggas air, yaitu jenis unggas yang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Itik Cihateup merupakan salah satu unggas air, yaitu jenis unggas yang sebagian besar waktunya dihabiskan di air. Kemampuan termoregulasi itik menjadi rendah karena tidak

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Hewan coba Metode Penelitian 1 Isolasi dan Produksi Antigen E/S Fasciola gigantica

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Hewan coba Metode Penelitian 1 Isolasi dan Produksi Antigen E/S Fasciola gigantica BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan September 2009 hingga Februari 2010. Penelitian dilakukan di kandang pemeliharaan hewan coba Fakultas Kedokteran Hewan Institut

Lebih terperinci

III BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Ternak yang dijadikan objek percobaan adalah puyuh betina yang

III BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Ternak yang dijadikan objek percobaan adalah puyuh betina yang III BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3.1 Bahan Penelitian 3.1.1 Ternak Penelitian Ternak yang dijadikan objek percobaan adalah puyuh betina yang berumur 2 minggu. Puyuh diberi 5 perlakuan dan 5 ulangan dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mengganggu dan atau dapat membahayakan kesehatan. Bising ini. merupakan kumpulan nada-nada dengan bermacam-macam intensitas yang

I. PENDAHULUAN. mengganggu dan atau dapat membahayakan kesehatan. Bising ini. merupakan kumpulan nada-nada dengan bermacam-macam intensitas yang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebisingan merupakan bunyi yang tidak diinginkan dari usaha atau kegiatan dalam tingkat dan waktu tertentu yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan manusia dan kenyamanan

Lebih terperinci

PERUBAHAN NILAI ph POSTMORTEM DAGING SAPI YANG DIPOTONG DENGAN MENGGUNAKAN RESTRAINING BOX ROHIMAN ALIYANA HERMANSYAH

PERUBAHAN NILAI ph POSTMORTEM DAGING SAPI YANG DIPOTONG DENGAN MENGGUNAKAN RESTRAINING BOX ROHIMAN ALIYANA HERMANSYAH PERUBAHAN NILAI ph POSTMORTEM DAGING SAPI YANG DIPOTONG DENGAN MENGGUNAKAN RESTRAINING BOX ROHIMAN ALIYANA HERMANSYAH FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 ABSTRACT ROHIMAN ALIYANA HERMANSYAH.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Diabetes melitus (DM) merupakan suatu penyakit dimana terjadi gangguan

BAB I PENDAHULUAN. Diabetes melitus (DM) merupakan suatu penyakit dimana terjadi gangguan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Diabetes melitus (DM) merupakan suatu penyakit dimana terjadi gangguan metabolisme karbohidrat, protein dan lemak. Hal ini diakibatkan oleh kurangnya sensitivitas

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. masyarakat. Permintaan daging broiler saat ini banyak diminati oleh masyarakat

PENDAHULUAN. masyarakat. Permintaan daging broiler saat ini banyak diminati oleh masyarakat I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Broiler merupakan unggas penghasil daging sebagai sumber protein hewani yang memegang peranan cukup penting dalam pemenuhan kebutuhan gizi masyarakat. Permintaan daging

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. dipertahankan. Ayam memiliki kemampuan termoregulasi lebih baik dibanding

PENDAHULUAN. dipertahankan. Ayam memiliki kemampuan termoregulasi lebih baik dibanding I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Itik merupakan hewan homoioterm yang suhu tubuhnya harus tetap dipertahankan. Ayam memiliki kemampuan termoregulasi lebih baik dibanding itik. Zona suhu kenyamanan (Comfort

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat. Materi

METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat. Materi METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari hingga Mei 2011. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Lapang Kandang C, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bertahun-tahun ini oleh ahli-ahli di bidang psikosomatik menunjukkan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. bertahun-tahun ini oleh ahli-ahli di bidang psikosomatik menunjukkan bahwa 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Nyeri adalah suatu fenomena yang kompleks, dialami secara primer sebagai suatu pengalaman psikologis. Penelitian yang berlangsung selama bertahun-tahun ini oleh ahli-ahli

Lebih terperinci

Tanya Jawab Seputar DAGING AYAM SUMBER MAKANAN BERGIZI

Tanya Jawab Seputar DAGING AYAM SUMBER MAKANAN BERGIZI Tanya Jawab Seputar DAGING AYAM SUMBER MAKANAN BERGIZI KEMENTERIAN PERTANIAN DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN 2012 DAFTAR ISI 1. Apa Kandungan gizi dalam Daging ayam? 2. Bagaimana ciri-ciri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Dalam kehidupan, manusia menghabiskan sebagian besar waktu sadar mereka (kurang lebih 85-90%) untuk beraktivitas (Gibney et al., 2009). Menurut World Health

Lebih terperinci

KOMPOSISI PAKAN DAN TUBUH HEWAN

KOMPOSISI PAKAN DAN TUBUH HEWAN 1 KOMPOSISI PAKAN DAN TUBUH HEWAN M.K. Pengantar Ilmu Nutrisi Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan Fakultas Peternakan IPB Zat makanan adalah unsur atau senyawa kimia dalam pangan / pakan yang dapat

Lebih terperinci

Endah Subekti Pengaruh Jenis Kelamin.., PENGARUH JENIS KELAMIN DAN BOBOT POTONG TERHADAP KINERJA PRODUKSI DAGING DOMBA LOKAL

Endah Subekti Pengaruh Jenis Kelamin.., PENGARUH JENIS KELAMIN DAN BOBOT POTONG TERHADAP KINERJA PRODUKSI DAGING DOMBA LOKAL PENGARUH JENIS KELAMIN DAN BOBOT POTONG TERHADAP KINERJA PRODUKSI DAGING DOMBA LOKAL EFFECT OF SEX AND SLAUGHTER WEIGHT ON THE MEAT PRODUCTION OF LOCAL SHEEP Endah Subekti Staf Pengajar Fakultas Pertanian

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. jualnya stabil dan relatif lebih tinggi dibandingkan dengan ayam broiler, tidak

PENDAHULUAN. jualnya stabil dan relatif lebih tinggi dibandingkan dengan ayam broiler, tidak I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ayam lokal merupakan jenis ayam yang banyak dipelihara orang di Indonesia, terutama di daerah pedesaan. Ayam lokal telah mengalami perkembangan dari tahun ke tahun. Hal

Lebih terperinci

Penelitian Kesempurnaan Kematian Sapi setelah Penyembelihan dengan dan tanpa Pemingsanan Berdasarkan Parameter Waktu Henti Darah Memancar

Penelitian Kesempurnaan Kematian Sapi setelah Penyembelihan dengan dan tanpa Pemingsanan Berdasarkan Parameter Waktu Henti Darah Memancar ACTA VETERINARIA INDONESIANA ISSN 2337-3202, E-ISSN 2337-4373 Vol. 3, No. 2: 58-63, Juli 2015 Penelitian Kesempurnaan Kematian Sapi setelah Penyembelihan dengan dan tanpa Pemingsanan Berdasarkan Parameter

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dengan nilai gizi yang tinggi dan disukai oleh anak-anak maupun orang dewasa

I. PENDAHULUAN. dengan nilai gizi yang tinggi dan disukai oleh anak-anak maupun orang dewasa I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Telur puyuh adalah produk utama yang dihasilkan oleh ternak puyuh dengan nilai gizi yang tinggi dan disukai oleh anak-anak maupun orang dewasa serta harga relatif murah.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Glukosa Darah Karbohidrat merupakan sumber utama glukosa yang dapat diterima dalam bentuk makanan oleh tubuh yang kemudian akan dibentuk menjadi glukosa. Karbohidrat yang dicerna

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN. Tempat dan Waktu Penelitian. Bahan dan Alat Penelitian

METODOLOGI PENELITIAN. Tempat dan Waktu Penelitian. Bahan dan Alat Penelitian 14 METODOLOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Tempat penelitian dilakukan di Laboratorium Unit Pelayanan Mikrobiologi Terpadu, Bagian Mikrobiologi Kesehatan, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Metode Penelitian

METODE PENELITIAN. Metode Penelitian METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan selama 6 bulan, mulai Maret 2010 sampai dengan Agustus 2010 di laboratorium Terpadu Bagian Mikrobiologi Medik dan laboratorium Bakteriologi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kambing Kacang yang lebih banyak sehingga ciri-ciri kambing ini lebih menyerupai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kambing Kacang yang lebih banyak sehingga ciri-ciri kambing ini lebih menyerupai 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kambing Jawarandu Kambing Jawarandu merupakan kambing hasil persilangan antara kambing Peranakan Etawa dengan kambing Kacang. Kambing ini memiliki komposisi darah kambing

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Data Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik dilakukan setiap hari pada pagi dan sore hari sampai waktu panen domba. Pemeriksaan fisik yang dilakukan adalah pemeriksaan suhu tubuh,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. suatu usaha peternakan Domba Priangan sehingga penyebaran dari suatu daerah

PENDAHULUAN. suatu usaha peternakan Domba Priangan sehingga penyebaran dari suatu daerah 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Transportasi merupakan salah satu faktor pendukung yang penting dalam suatu usaha peternakan Domba Priangan sehingga penyebaran dari suatu daerah ke daerah lainnya menjadi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara berkembang dan sedang berusaha mencapai

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara berkembang dan sedang berusaha mencapai I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara berkembang dan sedang berusaha mencapai pembangunan sesuai dengan yang telah digariskan dalam propenas. Pembangunan yang dilaksakan pada hakekatnya

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Daging ayam merupakan daging yang paling banyak dikonsumsi masyarakat

PENDAHULUAN. Daging ayam merupakan daging yang paling banyak dikonsumsi masyarakat I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Daging ayam merupakan daging yang paling banyak dikonsumsi masyarakat Indonesia karena rasanya disukai dan harganya jauh lebih murah di banding harga daging lainnya. Daging

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Pemeliharaan ayam dan penampungan semen dilakukan di Kandang B, Laboratorium Lapang, Bagian Ilmu Produksi Ternak Unggas, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Lebih terperinci

Penilaian Penerapan Animal Welfare pada Proses Pemotongan Sapi di Rumah Pemotongan Hewan Mambal Kabupaten Badung

Penilaian Penerapan Animal Welfare pada Proses Pemotongan Sapi di Rumah Pemotongan Hewan Mambal Kabupaten Badung Penilaian Penerapan Animal Welfare pada Proses Pemotongan Sapi di Rumah Pemotongan Hewan Mambal Kabupaten Badung (THE ASSESSMENT APPLICATION OF ANIMAL WELFARE IN THE PROCESS OF SLAUGHTERING CATTLE AT SLAUGHTERHOUSE

Lebih terperinci

Hubungan Kebisingan Dengan Peningkatan Kadar Glukosa Darah 73

Hubungan Kebisingan Dengan Peningkatan Kadar Glukosa Darah 73 Hubungan Kebisingan Dengan Peningkatan Kadar Glukosa Darah 73 HUBUNGAN KEBISINGAN DENGAN PENINGKATAN KADAR GLUKOSA DARAH SEWAKTU PADA MENCIT Indra Setiawan* Abstrak Kebisingan merupakan masalah utama kesehatan

Lebih terperinci

IV PEMBAHASAN. yang terletak di kota Bekasi yang berdiri sejak tahun RPH kota Bekasi

IV PEMBAHASAN. yang terletak di kota Bekasi yang berdiri sejak tahun RPH kota Bekasi 25 IV PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Rumah Potong Hewan (RPH) Kota Bekasi adalah rumah potong hewan yang terletak di kota Bekasi yang berdiri sejak tahun 2009. RPH kota Bekasi merupakan rumah potong dengan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. meningkatnya tekanan osmotik serta stres panas. Itik akan mengalami kesulitan

PENDAHULUAN. meningkatnya tekanan osmotik serta stres panas. Itik akan mengalami kesulitan I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Itik sangat rentan terhadap cuaca panas ditambah lagi dengan sistem pemeliharaan minim air menyebabkan konservasi air oleh ginjal lebih banyak dan meningkatnya tekanan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. sebagian hidupnya dilakukan ditempat berair. Hal ini ditunjukkan dari struktur fisik

PENDAHULUAN. sebagian hidupnya dilakukan ditempat berair. Hal ini ditunjukkan dari struktur fisik I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Itik merupakan ternak unggas penghasil daging dan telur yang cukup potensial disamping ayam. Ternak itik disebut juga sebagai unggas air, karena sebagian hidupnya dilakukan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. aktif dari hormon tiroksin memegang peranan penting dalam fungsi fisiologis

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. aktif dari hormon tiroksin memegang peranan penting dalam fungsi fisiologis I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hormon Triiodotironin (T3) dan Tetraiodotironin (T4) adalah bentuk aktif dari hormon tiroksin memegang peranan penting dalam fungsi fisiologis tubuh dan pengaturan metabolisme

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. sangat berpengaruh terhadap kehidupan ayam. Ayam merupakan ternak

HASIL DAN PEMBAHASAN. sangat berpengaruh terhadap kehidupan ayam. Ayam merupakan ternak 22 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Lingkungan Mikro Suhu dan kelembaban udara merupakan suatu unsur lingkungan mikro yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan ayam. Ayam merupakan ternak homeothermic,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Pakan, Bobot Badan dan Mortalitas Puyuh

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Pakan, Bobot Badan dan Mortalitas Puyuh HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Pakan, Bobot Badan dan Mortalitas Puyuh Puyuh yang digunakan dalam penilitian ini adalah Coturnix-coturnix japonica betina periode bertelur. Konsumsi pakan per hari, bobot

Lebih terperinci

BAB VI PEMBAHASAN. cedera abrasi menyerupai dengan cedera peritoneum saat operasi abdomen..

BAB VI PEMBAHASAN. cedera abrasi menyerupai dengan cedera peritoneum saat operasi abdomen.. BAB VI PEMBAHASAN Pembentukan adhesi intraperitoneum secara eksperimental dapat dilakukan melalui berbagai cara, yaitu model iskemia, model perlukaan peritoneum, model cedera termal, dengan benda asing,

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE. Metode Penelitian BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di peternakan Kunak, Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor. Sampel diuji di laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner, Departemen

Lebih terperinci

PREPARASI SAMPEL UNTUK PENGUKURAN HORMON PROGESTERON SAPI PADA APLIKASI TEKNIK RADIOIMMUNOASSAY

PREPARASI SAMPEL UNTUK PENGUKURAN HORMON PROGESTERON SAPI PADA APLIKASI TEKNIK RADIOIMMUNOASSAY PREPARASI SAMPEL UNTUK PENGUKURAN HORMON PROGESTERON SAPI PADA APLIKASI TEKNIK RADIOIMMUNOASSAY Nuning Duria 1, Budi Santoso 1, Nuniek Lelananingtiyas 2, Wiranto Budi Santoso 1 1 PRPN-BATAN, Kawasan Puspiptek,

Lebih terperinci

EFEK INFUS DAUN SELEDRI (Apium graviolens L.) TERHADAP KADAR KOLESTEROL

EFEK INFUS DAUN SELEDRI (Apium graviolens L.) TERHADAP KADAR KOLESTEROL EFEK INFUS DAUN SELEDRI (Apium graviolens L.) TERHADAP KADAR KOLESTEROL Edy Suwarso 1, dan Dewi Nur Anggraeni 2 1) Departemen Farmakologi, Fakultas Farmasi, Universitas Sumatera Utara, Medan 2) Fakultas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa menopause merupakan suatu transisidimana ditandai. perubahan siklus menstruasi yang sebelumnya regular, siklik, bisa

BAB I PENDAHULUAN. Masa menopause merupakan suatu transisidimana ditandai. perubahan siklus menstruasi yang sebelumnya regular, siklik, bisa BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masa menopause merupakan suatu transisidimana ditandai perubahan siklus menstruasi yang sebelumnya regular, siklik, bisa diprediksi yang cenderung ovulatoar menjadi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sebagian besar masyarakat Indonesia menyukai daging ayam karena. Sebagai sumber pangan, daging ayam mempunyai beberapa kelebihan lainnya

PENDAHULUAN. Sebagian besar masyarakat Indonesia menyukai daging ayam karena. Sebagai sumber pangan, daging ayam mempunyai beberapa kelebihan lainnya I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagian besar masyarakat Indonesia menyukai daging ayam karena dagingnya selain rasanya enak juga merupakan bahan pangan sumber protein yang memiliki kandungan gizi lengkap

Lebih terperinci

kalsium dengan menggunakan plasma darah yang ditambahkan pereaksi TCA pada berbagai ternak. Bahan Bahan yang digunakan meliputi : (1) Larutan Stronsiu

kalsium dengan menggunakan plasma darah yang ditambahkan pereaksi TCA pada berbagai ternak. Bahan Bahan yang digunakan meliputi : (1) Larutan Stronsiu PENETAPAN KALSIUM DALAM PLASMA DARAH DAN SERUM DARAH DENGAN TEKNIK AAS Eni Ariyani Balai Penelitian Ternak Ciawi, P.O. Box 221, Bogor 16002 PENDAHULUAN. Mineral merupakan salah satu unsur yang sangat penting

Lebih terperinci

RESPON FISIOLOGIS DOMBA YANG DIBERI MINYAK IKAN DALAM BENTUK SABUN KALSIUM

RESPON FISIOLOGIS DOMBA YANG DIBERI MINYAK IKAN DALAM BENTUK SABUN KALSIUM RESPON FISIOLOGIS DOMBA YANG DIBERI MINYAK IKAN DALAM BENTUK SABUN KALSIUM SKRIPSI R. LU LUUL AWABIEN PROGRAM STUDI NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007 RINGKASAN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. banyak telur dan merupakan produk akhir ayam ras. Sifat-sifat yang

TINJAUAN PUSTAKA. banyak telur dan merupakan produk akhir ayam ras. Sifat-sifat yang 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Ayam Petelur Ayam petelur adalah ayam yang dipelihara dengan tujuan untuk menghasilkan banyak telur dan merupakan produk akhir ayam ras. Sifat-sifat yang dikembangkan pada tipe

Lebih terperinci

KIAT-KIAT MEMILIH DAGING SEHAT Oleh : Bidang Keswan-Kesmavet, Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat (disadur dari berbagai macam sumber)

KIAT-KIAT MEMILIH DAGING SEHAT Oleh : Bidang Keswan-Kesmavet, Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat (disadur dari berbagai macam sumber) KIAT-KIAT MEMILIH DAGING SEHAT Oleh : Bidang Keswan-Kesmavet, Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat (disadur dari berbagai macam sumber) KASUS SEPUTAR DAGING Menghadapi Bulan Ramadhan dan Lebaran biasanya

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB 3 METODE PENELITIAN BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei 2013 sampai dengan Juni 2013. Lokasi pengambilan sampel rumput laut merah (Eucheuma cottonii) bertempat di Perairan Simpenan,

Lebih terperinci

Tatap muka ke : 10 POKOK BAHASAN VII VII. SISTEM PRODUKSI TERNAK KERBAU

Tatap muka ke : 10 POKOK BAHASAN VII VII. SISTEM PRODUKSI TERNAK KERBAU Tatap muka ke : 10 POKOK BAHASAN VII VII. SISTEM PRODUKSI TERNAK KERBAU Tujuan Instruksional Umum : Mengetahui sistem produksi ternak kerbau sungai Mengetahui sistem produksi ternak kerbau lumpur Tujuan

Lebih terperinci

RPA objectives, development, principles, management and food safety

RPA objectives, development, principles, management and food safety RPA objectives, development, principles, management and food safety TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM Peserta dapat menjelaskan tentang prinsip dan manajemen RPA agar menghasilkan daging yang berkualitas dan aman

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Sektor peternakan merupakan sektor yang strategis, mengingat dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan dan mencerdaskan bangsa, sektor peternakan berperan penting melalui penyediaan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 2. Data Suhu Lingkungan Kandang pada Saat Pengambilan Data Tingkah Laku Suhu (ºC) Minggu

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 2. Data Suhu Lingkungan Kandang pada Saat Pengambilan Data Tingkah Laku Suhu (ºC) Minggu HASIL DAN PEMBAHASAN Manajemen Pemeliharaan Komponen utama dalam beternak puyuh baik yang bertujuan produksi hasil maupun pembibitan terdiri atas bibit, pakan serta manajemen. Penelitian ini menggunakan

Lebih terperinci

PENILAIAN TINGKAT PENGETAHUAN KESEJAHTERAAN HEWAN PETUGAS DAN PELAKSANA PEMOTONGAN DI RUMAH POTONG HEWAN KOTA SALATIGA RIAN ADHIWIARTA

PENILAIAN TINGKAT PENGETAHUAN KESEJAHTERAAN HEWAN PETUGAS DAN PELAKSANA PEMOTONGAN DI RUMAH POTONG HEWAN KOTA SALATIGA RIAN ADHIWIARTA PENILAIAN TINGKAT PENGETAHUAN KESEJAHTERAAN HEWAN PETUGAS DAN PELAKSANA PEMOTONGAN DI RUMAH POTONG HEWAN KOTA SALATIGA RIAN ADHIWIARTA FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016 PERNYATAAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Broiler adalah ayam yang memiliki karakteristik ekonomis, memiliki

I. PENDAHULUAN. Broiler adalah ayam yang memiliki karakteristik ekonomis, memiliki 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Broiler adalah ayam yang memiliki karakteristik ekonomis, memiliki pertumbuhan cepat sebagai penghasil daging, konversi pakan sangat irit, siap dipotong pada

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Kadar glukosa, kolesterol, dan trigliserida pada monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) pada setiap tahapan adaptasi, aklimasi, dan postaklimasi dapat dilihat pada Tabel 2.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebutuhan mendasar manusia dalam bertahan hidup adalah adanya pangan. Pangan merupakan sumber zat gizi (karbohidrat, lemak, protein, vitamin, mineral, dan air) menjadi

Lebih terperinci

DINAS PETERNAKAN DAN PERIKANAN KABUPATEN GROBOGAN MEMILIH DAGING ASUH ( AMAN, SEHAT, UTUH, HALAL )

DINAS PETERNAKAN DAN PERIKANAN KABUPATEN GROBOGAN MEMILIH DAGING ASUH ( AMAN, SEHAT, UTUH, HALAL ) DINAS PETERNAKAN DAN PERIKANAN KABUPATEN GROBOGAN MEMILIH DAGING ASUH ( AMAN, SEHAT, UTUH, HALAL ) Diterbitkan : Bidang Keswan dan Kesmavet Dinas Peternakan dan Perikanan Kab. Grobogan Jl. A. Yani No.

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Itik mempunyai potensi untuk dikembangkan karena memiliki banyak

I PENDAHULUAN. Itik mempunyai potensi untuk dikembangkan karena memiliki banyak I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Itik mempunyai potensi untuk dikembangkan karena memiliki banyak kelebihan dibandingkan ternak unggas yang lain, diantaranya adalah lebih tahan terhadap penyakit, memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesa Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu

BAB I PENDAHULUAN. (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesa Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu BAB I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesa

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilakukan pada April 2014 di Tempat Pemotongan Hewan di Bandar

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilakukan pada April 2014 di Tempat Pemotongan Hewan di Bandar III. BAHAN DAN METODE A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan pada April 2014 di Tempat Pemotongan Hewan di Bandar Lampung, Laboratorium Penguji Balai Veteriner Lampung, dan Laboratorium Nutrisi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Daging sapi didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Daging sapi didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Daging Sapi Daging sapi didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk hasil pengolahan jaringan-jaringan tersebut yang sesuai untuk dimakan serta tidak menimbulkan

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi Ternak Percobaan. Kandang dan Perlengkapan

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi Ternak Percobaan. Kandang dan Perlengkapan MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli sampai bulan Agustus 2008 di Desa Pamijahan, Leuwiliang, Kabupaten Bogor, menggunakan kandang panggung peternak komersil. Analisis

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Aves, ordo Anseriformes, family Anatidae, sub family Anatinae, rumpun Anatini,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Aves, ordo Anseriformes, family Anatidae, sub family Anatinae, rumpun Anatini, 2 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Daging Itik Itik merupakan salah satu unggas air yang lebih dikenal dibanding dengan jenis unggas air lainnya seperti angsa dan entog. Itik termasuk ke dalam kelas Aves,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum Lokasi Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum Lokasi Penelitian HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Penelitian Faktor manajemen lingkungan juga berpengaruh terhadap pertumbuhan ternak. Suhu dan kelembaban yang sesuai dengan kondisi fisiologis ternak akan membuat

Lebih terperinci

Pengaruh lama istirahat terhadap karakteristik karkas dan kualitas fisik daging sapi Brahman Cross Steer

Pengaruh lama istirahat terhadap karakteristik karkas dan kualitas fisik daging sapi Brahman Cross Steer Jurnal Ilmu-Ilmu Peternakan 25 (2): 71-79 ISSN: 0852-3581 E-ISSN: 9772443D76DD3 Fakultas Peternakan UB, http://jiip.ub.ac.id/ Pengaruh lama istirahat terhadap karakteristik karkas dan kualitas fisik daging

Lebih terperinci

DAGING. Theresia Puspita Titis Sari Kusuma. There - 1

DAGING. Theresia Puspita Titis Sari Kusuma. There - 1 DAGING Theresia Puspita Titis Sari Kusuma There - 1 Pengertian daging Daging adalah bagian tubuh yang berasal dari ternak sapi, babi atau domba yang dalam keadaan sehat dan cukup umur untuk dipotong, tetapi

Lebih terperinci

Pakan konsentrat Bagian 5 : Ayam ras pedaging (broiler concentrate)

Pakan konsentrat Bagian 5 : Ayam ras pedaging (broiler concentrate) Standar Nasional Indonesia Pakan konsentrat Bagian 5 : Ayam ras pedaging (broiler concentrate) ICS 65.120 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi...i Prakata...ii 1 Ruang lingkup... 1 2 Acuan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Lemak (%)

TINJAUAN PUSTAKA. Lemak (%) TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Friesian Holstein (FH) Bangsa sapi perah Fries Holland berasal dari North Holland dan West Friesland yaitu dua propinsi yang ada di Belanda. Kedua propinsi tersebut merupakan

Lebih terperinci