KONSENTRASI HORMON KORTISOL DAN KUALITAS DAGING PADA SAPI YANG DIPINGSANKAN DENGAN CAPTIVE BOLT STUN GUN SEBELUM DISEMBELIH KARUNIA MAGHFIROH

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KONSENTRASI HORMON KORTISOL DAN KUALITAS DAGING PADA SAPI YANG DIPINGSANKAN DENGAN CAPTIVE BOLT STUN GUN SEBELUM DISEMBELIH KARUNIA MAGHFIROH"

Transkripsi

1 KONSENTRASI HORMON KORTISOL DAN KUALITAS DAGING PADA SAPI YANG DIPINGSANKAN DENGAN CAPTIVE BOLT STUN GUN SEBELUM DISEMBELIH KARUNIA MAGHFIROH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

2

3 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Konsentrasi Hormon Kortisol dan Kualitas Daging pada Sapi yang Dipingsankan dengan Captive Bolt Stun Gun sebelum Disembelih adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Juli 2014 Karunia Maghfiroh NIM B

4 RINGKASAN KARUNIA MAGHFIROH. Konsentrasi Hormon Kortisol dan Kualitas Daging pada Sapi yang Dipingsankan dengan Captive Bolt Stun Gun sebelum Disembelih. Dibimbing oleh HADRI LATIF dan KOEKOEH SANTOSO. Metode penyembelihan dapat dibagi menjadi dua yaitu metode penyembelihan yang didahului oleh pemingsanan (stunning) dan tanpa pemingsanan (non stunning). Teknik penyembelihan yang didahului pemingsanan yang umum di Indonesia yaitu dengan menggunakan captive bolt stun gun. Teknik tersebut dianggap sesuai dengan kesejahteraan hewan namun diduga juga dapat mempengaruhi kualitas daging yang dihasilkan. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran konsentrasi hormon kortisol dan kualitas daging yang dihasilkan pada sapi yang dipingsankan dengan captive bolt stun gun sebelum disembelih. Sampel darah dan daging diambil dari 11 ekor sapi di dua rumah potong hewan (RPH) yang masing-masing berada di Provinsi Jawa Barat dan Banten. Sapi dipingsankan dengan menggunakan cash magnum knocker 0.25 sebelum disembelih. Darah yang memancar setelah penyembelihan ditampung dan diambil serumnya. Pengukuran konsentrasi hormon kortisol dilakukan dengan menggunakan metode radioimmunoassay (RIA). Pengukuran kualitas daging dilakukan dengan mengukur nilai ph, cooking loss, dan kesempurnaan pengeluaran darah. Data yang diperoleh disajikan secara deskriptif dalam bentuk tabel pada data konsentrasi hormon kortisol dan kualitas daging yang dihasilkan. Data juga dianalisis secara analitik yaitu analisis korelasi antara konsentrasi hormon kortisol dengan nilai ph, konsentrasi hormon kortisol dengan nilai cooking loss, dan korelasi nilai ph dengan nilai cooking loss. Nilai rata-rata konsentrasi hormon kortisol dalam serum darah sapi adalah ng/ml. Nilai rata-rata ph jam ke-1 dan ke-24 masing-masing yaitu 6.65 dan 6.21 yang menggambarkan nilai ph yang cukup tinggi. Nilai rata-rata cooking loss yaitu 26.77%. Pengujian kesempurnaan pengeluaran darah pada semua sapi menunjukkan adanya pengeluaran darah yang sempurna. Terdapat korelasi bermakna (p<0.05) antara konsentrasi kortisol dengan nilai ph jam ke-1 dan konsentrasi hormon kortisol dengan cooking loss (p<0.05) namun korelasi antara nilai ph jam ke-24 dengan nilai cooking loss menunjukkan korelasi yang tidak bermakna (p>0.05). Nilai konsentrasi hormon kortisol lebih tinggi dibandingkan dengan normal yang diduga karena hewan mengalami stres. Diduga hewan mengalami stres tidak hanya pada saat penyembelihan namun juga pada saat penanganan yang kurang baik di kandang penampungan, penggiringan sapi di gang way, penanganan ketika memasuki restraining box, dan stunner yang kurang terlatih. Nilai ph ultimate (ph u ) daging hanya sedikit mengalami penurunan juga diduga karena kurangnya waktu istirahat pada kandang penampungan setelah sapi menempuh transportasi dari peternakan asal dan penanganan sapi yang buruk selama di kandang penampungan. Cooking loss pada sapi yang dipingsankan dengan captive bolt stun gun sebelum disembelih termasuk dalam kisaran normal.

5 Berdasarkan penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa sapi yang dipingsankan dengan captive bolt stun gun sebelum penyembelihan memiliki konsentrasi hormon kortisol yang tinggi ( ng/ml). Nilai kortisol yang tinggi menyebabkan ph u tetap tinggi namun nilai cooking loss masih dalam kisaran normal. Penyembelihan sapi yang diawali dengan pemingsanan menggunakan captive bolt stun gun menghasilkan daging dengan pengeluaran darah yang sempurna dan kualitas daging yang relatif baik. Kata kunci: kortisol, kualitas daging, pemingsanan

6 SUMMARY KARUNIA MAGHFIROH. Cortisol Concentration and Meat Quality in Beef Cattles Stunned by Captive Bolt Stun Gun before Slaughter. Supervised by HADRI LATIF and KOEKOEH SANTOSO. Slaughter methods can be devided by two methods there are slaughter with prior stunning and slaughter withouth prior stunning. Stunning which is common in Indonesia done by using a captive bolt stun gun. This technique is considered to fulfill animal welfare aspects, but is suspected to affect meat quality. This study aimed to describe cortisol hormone concentration and meat quality which were produced in beef cattles stunned with captive bolt stun gun before slaughter. Blood and meat samples were taken from 11 cattles in two abattoirs located in West Java and Banten. Cattles were stunned using cash magnum knocker 0.25 before slaughter. Blood samples were collected immediately after slaughter and the serum was separated. Cortisol hormone concentration in the serum was measured using radioimmunoassay (RIA). Meat quality assessment were based on ph, cooking loss, and complete drainage of blood. The research data were presented descriptively in the form of tables describing cortisol concentration and criteria of meat quality. The data were also analyzed by correlative analysis including correlation between cortisol concentration and ph, cortisol concentration and cooking loss, as well as ph and cooking loss. The average value of cortisol concentration in this study was ng/ml. The average value of meat ph at 1 hour postmortem and 24 hours postmortem were 6.65 and 6.21 respectively. These ph values were considered quite high. The average value of cooking loss was 26.77%. Examination of blood drainage in all meat samples showed complete drainage. There was a significant correlation (p<0.05) between cortisol concentration and ph at 1 hour postmortem as well as between cortisol concentration and cooking loss, but no significant correlation (p>0.05) between ph at 24 hours postmortem and cooking loss. Cortisol concentrations in this study was higher than normal presumably due to animal stress. It was presumed that the cattles did not only experience stress during slaughter, but also prior to slaughter which can be caused by poor handling at lairage, in the gang way, or when animals entering the stunning box as well as poorly trained stunner operator. Animal stress was also suspected to cause only slight decrease of meat ph ultimate (ph u ) in this study due to little glycogen reserves in cattles before slaughter. Cooking loss in this study was within normal range. Based on this study, it could be concluded that cattles which were stunned with a captive bolt stun gun before slaughter has a high cortisol concentration (26.59±16.61 ng/ml). High cortisol caused meat ph u which remained high whereas cooking loss were still within normal range. Complete blood drainage and relatively good meat quality was discovered in cattles stunned with captive bolt stun gun before slaughter. Keywords: cortisol, meat quality, stunning

7 Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

8

9 KONSENTRASI HORMON KORTISOL DAN KUALITAS DAGING PADA SAPI YANG DIPINGSANKAN DENGAN CAPTIVE BOLT STUN GUN SEBELUM DISEMBELIH KARUNIA MAGHFIROH Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

10 Penguji Luar Komisi Ujian Tesis: Dr med vet drh Denny Widaya Lukman, MSi

11 Judul Tesis Nama NIM : Konsentrasi Hormon Kortisol dan Kualitas Daging pada Sapi yang Dipingsankan dengan Captive Bolt Stun Gun sebelum Disembelih : Karunia Maghfiroh : B Disetujui oleh Komisi Pembimbing Dr med vet drh Hadri Latif, MSi Ketua Dr med vet drh Koekoeh Santoso Anggota Diketahui oleh Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner Dekan Sekolah Pascasarjana Dr med vet drh Denny Widaya Lukman, MSi Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr Tanggal Ujian: Tanggal Lulus:

12

13 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta ala atas segala karunia-nya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan September 2013 ini ialah Konsentrasi Hormon Kortisol dan Kualitas Daging pada Sapi yang Dipingsankan dengan Captive Bolt Stun Gun sebelum Disembelih. Terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Dr med vet drh Hadri Latif, MSi dan Bapak Dr med vet drh Koekoeh Santoso selaku pembimbing serta Bapak Dr med vet drh Denny Widaya Lukman, MSi sebagai dosen penguji sekaligus ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner yang telah banyak memberi saran dan masukan. Penghargaan penulis juga sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu selama pengumpulan data dan proses penulisan tesis. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Bapak, Ibu, Suami serta seluruh keluarga dan sahabat atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Juli 2014 Karunia Maghfiroh

14 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR 1 PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Perumusan Masalah 2 Tujuan Penelitian 2 Manfaat Penelitian 2 2 TINJAUAN PUSTAKA 2 Penyembelihan 2 Captive Bolt Stunning 3 Kortisol 4 Kualitas Daging 6 3 METODE 7 Waktu dan Tempat 7 Bahan dan Alat 8 Metode Pengambilan Sampel dan Besaran Sampel 8 Metode Pengukuran Konsentrasi Hormon Kortisol dengan Metode Radioimmunoassay (RIA) 8 Metode Pengukuran Nilai ph Daging 9 Metode Pemeriksaan Cooking Loss 9 Metode Pemeriksaan Kesempurnaan Pengeluaran Darah 9 Analisis Data 10 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 10 Konsentrasi Hormon Kortisol 10 Nilai ph Daging 12 Cooking Loss 13 Kesempurnaan Pengeluaran Darah 14 Korelasi Konsentrasi Hormon Kortisol dengan Nilai ph 14 Korelasi Konsentrasi Hormon Kortisol dengan Nilai Cooking Loss 14 Korelasi Nilai ph dengan Nilai Cooking Loss 15 5 SIMPULAN DAN SARAN 15 DAFTAR PUSTAKA 16 RIWAYAT HIDUP 20 vii viii

15 DAFTAR TABEL 1 Konsentrasi hormon kortisol sapi yang dipingsankan dengan captive bolt stun gun sebelum disembelih 11 2 Nilai ph daging pada sapi yang dipingsankan dengan captive bolt stun gun sebelum disembelih 12 3 Nilai cooking loss daging sapi yang dipingsankan dengan captive bolt stun gun sebelum disembelih 13 DAFTAR GAMBAR 1 Pathway respon plasma kortikosteroid terhadap rasa takut 5 2 Tipikal standar kurva kit RIA untuk pengujian kortisol 10

16

17 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Penyembelihan adalah salah satu tahapan yang dapat menentukan kualitas daging yang dihasilkan. Menurut OIE (2008), terdapat dua metode penyembelihan yaitu metode penyembelihan yang didahului oleh pemingsanan (stunning) dan tanpa pemingsanan (non stunning). Penyembelihan yang didahului oleh pemingsanan telah banyak dilakukan di negara-negara maju namun penggunaanya di negara-negara berkembang masih terbatas. Metode penyembelihan yang akan digunakan harus mempertimbangkan aspek kesejahteraan hewan (animal welfare). Captive bolt stunning merupakan salah satu teknik pemingsanan sebelum penyembelihan yang dianggap dapat memenuhi aspek kesejahteraan hewan dan meminimalkan stres. Teknik ini telah digunakan oleh beberapa rumah potong hewan (RPH) di Indonesia dan dianggap dapat mengefisienkan penyembelihan dalam jumlah yang besar. Teknik captive bolt stunning diduga memiliki kelemahan yaitu dapat menyebabkan pengeluaran darah yang tidak sempurna sehingga berpengaruh pada kualitas daging. Dua teknik captive bolt stunning yang umum digunakan pada sapi yaitu penetrative captive bolt dan non penetrative captive bolt. Teknik pemingsanan ini bertujuan untuk menghilangkan kesadaran sehingga hewan tidak merasakan sakit dan stres yang mungkin ada ketika proses penyembelihan (Gibson et al. 2009). Kondisi stres merupakan mekanisme modifikasi fisiologis yang memungkinkan hewan untuk merespon rangsangan stres dengan perubahan homeostasis yang minimum (Mudron et al. 2005). Kondisi stres sebelum penyembelihan dapat menstimulasi pelepasan hormon kortisol. Dengan demikian konsentrasi hormon kortisol dapat menggambarkan kondisi stres pada hewan. Kortisol adalah salah satu hormon stres utama pada mamalia yang dilepaskan ketika terdapat rangsangan stres (Petrauskas 2005). Menurut Okeudo dan Moss (2005), rangsangan stres dapat berupa stres fisik, psikologi, dan hipoglikemia. Kortisol secara cepat akan bersirkulasi di dalam darah dengan target organ yaitu hati, sel limfoid, kelenjar timus, dan ginjal. Hormon ini akan dilepaskan baik pada saat stres akut maupun kronis dan berfungsi untuk menyuplai cadangan energi pada setiap individu melalui konversi glikogen menjadi energi (Petrauskas 2005). Menurut Mareko (2005), stres baik selama di peternakan maupun sebelum penyembelihan dapat berdampak pada kualitas daging. Penanganan sebelum penyembelihan umumnya memiliki dampak yang paling besar terhadap kualitas daging karena waktu yang singkat antara penanganan dan penyembelihan dapat mempengaruhi metabolisme otot setelah penyembelihan. Berdasarkan penelitian Colditz et al. (2006), kondisi stres dapat meningkatkan konsentrasi kortisol dalam darah dan disertai dengan deplesi glikogen pada otot. Hal tersebut dapat menyebabkan penurunan produksi asam laktat posmortem dan mempertahankan ph daging yang tetap tinggi sehingga daging menjadi gelap. Stres juga dapat memiliki efek buruk terhadap daya ikat air (water holding capacity) (Mounier et al. 2006).

18 2 Perumusan Masalah Teknik pemingsanan sebelum penyembelihan yang umum digunakan pada sapi di Indonesia yaitu dengan menggunakan captive bolt stun gun. Teknik penyembelihan tersebut dianggap sesuai dengan kesejahteraan hewan dan efektif digunakan pada penyembelihan sapi dengan jumlah yang besar namun teknik penyembelihan tersebut diduga juga dapat menurunkan kualitas daging yang dihasilkan. Diperlukan penelitian untuk mengetahui kadar hormon kortisol yang dapat menggambarkan tingkat stres pada hewan dan kualitas daging yang dihasilkan pada sapi yang dipingsankan dengan captive bolt stun gun sebelum disembelih. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran konsentrasi hormon kortisol dan kualitas daging yang dihasilkan pada sapi yang dipingsankan dengan captive bolt stun gun sebelum disembelih. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah tersedianya informasi ilmiah mengenai konsentrasi hormon kortisol dan kualitas daging yang dihasilkan pada sapi yang dipingsankan dengan captive bolt stun gun sebelum disembelih. 2 TINJAUAN PUSTAKA Penyembelihan Penyembelihan menggambarkan proses untuk mematikan dan mengeluarkan darah hewan. Istilah penyembelihan secara ilmiah disebut sebagai exsanguination. Menurut FAWC (2003), penyembelihan hewan harus dilakukan dengan meminimalkan terjadinya stres. Beberapa prinsip dasar yang harus diperhatikan untuk menerapkan kesejahteraan hewan ketika penyembelihan hewan yaitu fasilitas yang digunakan untuk menangani hewan sebelum disembelih harus dapat meminimalkan stres, personal yang telah dilatih dengan baik, perlengkapan yang sesuai dengan tujuan yang diinginkan, proses efektif yang menyebabkan terjadinya kehilangan kesadaran namun tanpa diikuti stres dan menjamin bahwa hewan tidak tersadar kembali hingga mengalami kematian. Menurut OIE (2008), penyembelihan dibagi menjadi dua yaitu penyembelihan yang didahului oleh pemingsanan dan tanpa pemingsanan. Penyembelihan yang didahului dengan pemingsanan terdiri dari tiga metode yaitu metode mekanis, elektrik, dan gas. Metode mekanis dilakukan dengan menggunakan sebuah perangkat mekanik yang umumnya diaplikasikan pada bagian depan kepala dan tegak lurus terhadap permukaan tulang. Posisi pemingsanan yang optimal untuk sapi yaitu pada persilangan dua garis imajiner yang ditarik secara berlawanan dari belakang mata dan tanduk. Metode ini memiliki teknik spesifik yaitu free bullet, captive bolt

19 penetrating, dan captive bolt non-penetrating. Penggunaan metode elektrik berfungsi untuk menyebabkan berhentinya jantung sementara (cardiac arrest). Perangkat elektrik yang digunakan harus sesuai dengan rekomendasi yang diterapkan. Elektroda harus dirancang, dibangun, dipelihara, dan dibersihkan secara teratur untuk memastikan bahwa aliran arus mengalir optimal dan sesuai dengan spesifikasi produk. Teknik spesifik dari metode elektrik yaitu split application, single application, dan waterbath. Metode pemingsanan dengan menggunakan gas dapat dilakukan dengan menggunakan satu jenis gas karbondioksida (CO 2 ) atau campuran gas. Campuran gas yang umum digunakan dalam metode ini yaitu argon, nitrogen, oksigen, dan CO 2. Konsentrasi gas yang digunakan harus dapat meminimalkan terjadinya stres hingga hewan kehilangan kesadaran (OIE 2008). Penanganan sebelum penyembelihan dapat menyebabkan hewan stres. Menurut Adzitey (2011), penanganan sebelum penyembelihan termasuk semua aktivitas dan proses penanganan hewan hingga penyembelihan. Aktivitas dan proses tersebut dapat terjadi di peternakan, selama transportasi, pemasaran dan tempat penyembelihan. Selama transportasi hewan dapat terpapar oleh stres akibat lingkungan seperti panas, kelembapan, suara, dan kepadatan. Gregory dan Grandin (2007) menjelaskan bahwa beberapa penanganan sebelum penyembelihan diantaranya pemisahan hewan secara individu melalui gang way sebelum dipingsankan dapat menimbulkan efek stres yang lebih kecil jika dibandingkan dengan pemisahan secara berkelompok. Penanganan lainnya yaitu hewan yang menolak untuk masuk ke restraining box atau hewan yang gagal memposisikan dirinya pada area pemingsanan. Hal tersebut karena adanya dinding di dalam restraining box yang terlihat tidak memiliki pintu keluar. Lantai restraining box juga harus memberikan kenyamanan pada kaki hewan sehingga terhindar dari risiko jatuhnya hewan. Menurut FAO (2013), restraining box adalah fasilitas yang paling umum digunakan untuk menangani sapi. Ukuran restraining box tersebut harus sesuai dengan ukuran tubuh hewan untuk mencegah hewan berbalik arah yang menyebabkan kesulitan pada proses pemingsanan. Lantai restraining box tidak licin dan sebuah jepitan leher dapat digunakan untuk menangani sapi. Operator harus diposisikan di balik dinding restraining box. Penyembelihan dan pemingsanan adalah dua prosedur yang berbeda. Tujuan dari pemingsanan yaitu untuk menghilangkan kesadaran hewan sehingga hewan tidak merasa kesakitan ketika disembelih dan bertujuan untuk menghentikan pergerakan sehingga memberikan keamanan bagi penyembelih. Tujuan dari penyembelihan yaitu untuk mematikan hewan sebelum hewan tersadar kembali dan untuk mengeluarkan darah dari karkas (Gregory 1998). 3 Captive Bolt Stunning Teknik pemingsanan pada sapi yang umum digunakan di RPH yaitu captive bolt stunning. Menurut Anil (2012b), teknik ini bertujuan untuk menghilangkan kesadaran pada hewan dengan cepat. Ketidaksadaran harus dipertahankan hingga hewan mengalami kematian tanpa disertai dengan pemulihan agar hewan tidak merasakan kesakitan. Dua tipe captive bolt gun yaitu penetrating dan non-penetrating. Tipe penetrating dapat terdiri dari blank catridge, air injected bolt,

20 4 air activated/injected bolt sedangkan tipe non penetrating memiliki bentuk seperti jamur (mushroom head bolt) yang mentransmisikan pukulan tanpa adanya penetrasi. Tipe non-penetrating umumnya menyebabkan ketidaksadaran melalui pelemahan sistem saraf yang mengakibatkan hilangnya kesadaran tanpa perubahan anatomis di otak. Teknik ini menggunakan tekanan gelombang kuat yang diaplikasikan pada tengkorak kepala dan umumnya hanya digunakan pada sapi (Anil 2012b). Menurut Gregory (1998), posisi penembakan yang ideal yaitu pada titik silang diantara garis penglihatan pada dasar tanduk dan mata. Empat tahap ketidaksadaran yaitu hewan mengalami disorientasi, koordinasi melemah, memori melemah, hewan berada di dasar lantai dengan pernafasan yang masih dipertahankan dan tahap terakhir yaitu hewan tidak berdaya di dasar lantai dan tidak bernafas (Gregory 1998). Menurut EFSA (2013), tanda yang mengindikasikan pemingsanan yang efektif adalah hewan mengalami kejang yang ditandai dengan adanya punggung melengkung dan kaki yang mengalami fleksi, kehilangan fungsi otot, telinga dan ekor terkulai. Hewan juga tidak bersuara, mata tidak berotasi, tidak terdapat refleks kornea, tidak terdapat refleks pupil, dan kelopak mata tidak bergerak. Kortisol Mostl dan Palme (2002) mengemukakan bahwa istilah yang paling sering digunakan untuk mendifinisikan rangsangan lingkungan yang menyebabkan ketidakseimbangan homeostasis yaitu stressor dan reaksi pertahanan yang sesuai dari hewan disebut sebagai respon stres. Respon stres terhadap rasa takut berasal dari amigdala yang dikeluarkan melalui sistem saraf simpatik, medula adrenal, sistem saraf parasimpatik dan korteks adrenal. Sistem saraf simpatik dan medula adrenal menimbulkan respon cepat seperti peningkatan denyut jantung dan tekanan darah melalui pelepasan adrenalin dan noradrenalin. Adrenalin dilepaskan dari medula kelenjar adrenal sedangkan noradrenalin dilepaskan dari medula adrenal dan dari saraf akhir sistem saraf simpatik. Adrenalin dan noradrenalin tidak terlalu penting jika dibandingkan dengan kortikosteroid sebagai indikator stres karena hormonhormon tersebut memiliki waktu paruh yang pendek pada sistem sirkulasi. Noradrenalin memiliki waktu paruh sekitar 2 menit sedangkan kortisol memiliki waktu paruh sekitar 20 menit (Gregory 1998). Menurut Grandin (2007), hormon kortisol akan mencapai nilai puncak setelah menit hewan terpapar oleh stressor. Korteks adrenal melepaskan kortikosteroid (kortisol atau kortikosteron). Respon kortikosteroid telah membantu dalam membandingkan efek stres yang berbeda pada hewan. Ketika respon tersebut disebabkan oleh rasa takut maka akan menstimuli amigdala yang selanjutnya akan mengaktifasi nukleus paraventrikular hipotalamus untuk melepaskan cortichotropic releasing factor (CRF). Neurotransmiter tersebut menuju ke pituitari melalui hypophyseal portal vessel yang selanjutnya menginduksi dilepaskannya adrenocortichotropic hormone (ACTH) ke sistem sirkulasi. ACTH akan bersirkulasi melalui darah menuju ke korteks adrenal yang selanjutnya menstimulasi dilepaskannya hormon kortikosteroid (Gambar 1). Hormon kortikosteroid utama pada sapi yaitu kortisol. Fungsi utama dari hormon kortikosteroid yaitu untuk menstimulasi proteolisis, menstimulasi glukoneogenesis, dan berperan pada efek antiinflamasi (Gregory 1998).

21 5 Rasa Takut Amigdala Nukleus paraventrikulus dari hipotalamus Mekanisme umpan balik negatif CRF dilepaskan ke dalam pembuluh darah Kelenjar anterior pituitari Mekanisme umpan balik negatif ACTH dilepaskan ke dalam darah Korteks adrenal Hormon kortikosteroid dilepaskan ke dalam darah Gambar 1 Pathway respon plasma kortikosteroid terhadap rasa takut (Gregory 1998) Menurut Mareko (2005) respon cepat sympathomedullary akan mengikuti stimulus stres yang mengakibatkan sekresi adrenalin dan noradrenalin yang dapat memobilisasi cadangan glikogen otot untuk memproduksi glukosa (glikogenolisis). Jika stimulus stres tidak dihilangkan secara cepat maka respon hipotalamus pituitari aksis (HPA) akan terjadi. Respon HPA tersebut menyebabkan sekresi hormon glukokortikoid (kortisol pada sebagian besar hewan peliharaan) yang akan memecah cadangan protein otot dan asam lemak menjadi glukosa (glukoneogenesis). Respon sympathomedullary dan HPA memiliki waktu yang berbeda yaitu respon sympathomedullary bersifat cepat sedangkan respon HPA lebih lambat. Kedua respon tersebut berfungsi untuk menjaga tingkat glukosa darah yang digunakan oleh otot dan otak selama periode stres. Menurut Parker et al. (2004), HPA dapat digunakan untuk mengetahui efek jangka panjang suatu stressor terhadap fisiologi hewan. Menurut Sapolsky et al. (2000), kortisol adalah hormon stres penting terkait dengan aktivasi dari HPA dan dapat menginduksi perubahan patofisiologi pada sistem kekebalan, metabolik, dan sistem reproduksi hewan (Macfarlane et al. 2000). Kortisol digunakan sebagai indikator stres dan rasa sakit. Serum kortisol yang

22 6 meningkat dapat terjadi pada sapi yang mengalami peradangan pada kaki (Forslund et al. 2010). Stead et al. (2000) menjelaskan bahwa secara konvensional, penilaian respon adrenal terkait stres dilakukan dengan koleksi sampel darah dan pengukuran kortikosteroid. Kondisi stres dapat meningkatkan konsentrasi kortisol darah dan disertai dengan deplesi glikogen pada otot (Colditz et al. 2006). Hal tersebut menyebabkan penurunan produksi asam laktat posmortem dan meningkatkan ph daging yang menyebabkan manifestasi daging yang gelap (Mounier et al. 2006). Kualitas daging yang rendah juga dapat diakibatkan oleh penanganan yang tidak baik, tergelincir atau agresi selama pergerakan di kandang (Nanni Costa et al. 2006). Mounier et al. (2006) mengemukakan bahwa peningkatan konsentrasi kortisol terkait dengan adanya stres di kandang penampungan atau penanganan hewan pada saat penyembelihan. Kualitas Daging Potensial Hidrogen (ph) Daging Otot-otot akan dikonversi menjadi daging segera setelah hewan disembelih akibat adanya proses metabolisme dan struktural yang terjadi ketika posmortem. Perubahan pada otot posmortem ini dapat diukur dengan mengetahui ph (Chulayo 2012). Glikogen otot kemudian akan dimetabolisme melalui glikolisis anaerobik dan menghasilkan asam laktat yang terakumulasi pada otot sehingga menurunkan ph intraseluler (Maltin et al. 2003). Nilai ph dapat menunjukkan penyimpangan kualitas daging karena berkaitan dengan warna, keempukan, cita rasa, daya ikat air, dan masa simpan (Lukman et al. 2007). Lawrie (1979) menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi penurunan ph daging posmortem dapat dibagi menjadi dua yaitu faktor ekstrinsik dan intrinsik. Faktor ekstrinsik antara lain adalah suhu lingkungan, penanganan ternak sebelum dipotong, dan suhu penyimpanan. Faktor intrinsik yang mempengaruhi yaitu kandungan glikogen daging dan stres pada ternak. Soeparno (2005) menambahkan faktor intrinsik tersebut antara lain spesies, tipe otot, dan keragaman diantara ternak. Laju penurunan ph posmortem otot longissimus dorsi sapi pada suhu 37 ºC yaitu berangsur-angsur turun mulai dari ph pada jam ke-1, ph pada jam ke-3 hingga ph pada jam ke-7. Laju penurunan ph pada sapi lebih cepat jika dibandingkan dengan kuda namun lebih lambat jika dibandingkan dengan babi. Penurunan ph posmortem bervariasi diantara ternak. Penurunan ph daging pada sejumlah ternak hanya menurun sedikit selama beberapa jam pertama setelah pemotongan yaitu sedangkan pada ternak lain dapat terjadi secara cepat hingga mencapai setelah beberapa jam pemotongan. Daging ternak tersebut akan mempunyai ph akhir antara Nilai ph otot pada saat ternak masih hidup berkisar dan ph akhir daging setelah pemotongan dapat diukur sekurang-kurangnya setelah 24 jam. Nilai ph otot setelah hewan mati akan menurun dari 7.4 (awal) menjadi pada jam ke-6 sampai jam ke-8, kemudian nilai ph tersebut akan menurun mencapai ph akhir sekitar pada jam ke-24 posmortem (Aberle et al. 2001). Penurunan nilai ph setelah hewan mati ditentukan oleh kondisi fisiologis dari otot pada saat pemingsanan dan dapat berhubungan terhadap produksi asam laktat

23 atau terhadap kapasitas produksi energi otot dalam bentuk adenosin trifosfat (ATP) (Henckel et al. 2000). Laju penurunan ph otot yang cepat dan ekstensif mengakibatkan warna daging menjadi pucat, daya ikat protein terhadap cairannya menjadi lebih rendah, dan permukaan potongan daging menjadi basah karena keluarnya cairan ke permukaan potongan daging yang disebut drip atau weep (Aberle et al. 2001). Daya Ikat Air (Water Holding Capacity) Daya ikat air merupakan kemampuan daging untuk mempertahankan air (Muchenje et al. 2008). Menurut Lukman et al. (2007), daya ikat air dipengaruhi oleh faktor nilai ph, rigor mortis dan aging. Daya ikat air mempengaruhi beberapa sifat fisik daging antara lain warna, citarasa (flavour), dan tekstur. Daya ikat air oleh protein daging ditentukan dengan pemeriksaan susut masak (cooking loss) dan drip loss. Cooking loss adalah berat yang hilang (penyusutan berat) setelah pemasakan. Drip loss adalah cairan atau (eksudat) yang keluar dari daging tanpa aplikasi/penerapan tekanan dari luar. Proses memasak daging merupakan faktor penting untuk menentukan persepsi sensorik oleh konsumen. Memasak adalah suatu proses pemanasan daging sapi pada suhu yang cukup tinggi yang dapat mendenaturasi protein dan memudahkan untuk dikonsumsi (Garcia-Segovia et al. 2006). Proses tersebut dapat dilakukan dengan merebus atau memanggang (Shilton et al. 2002). Susut masak merupakan salah satu parameter kualitas daging yang mengacu pada penurunan berat daging selama proses memasak (Vasanthi et al. 2006). Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi cooking loss yaitu ph, tipe otot, daerah pengambilan otot, dan suhu (Honikel 1998). Kesempurnaan Pengeluaran Darah Pengeluaran darah adalah hal yang penting dalam penyembelihan. Tujuan dari pengeluaran darah adalah untuk mengeluarkan darah dan mematikan hewan dengan menghentikan suplai oksigen ke otak (Gregory 1998). Pengeluaran darah adalah syarat utama daging yang akan dikonsumsi dan juga untuk menjaga kualitas daging. Daging yang pengeluaran darahnya tidak sempurna akan memiliki penampilan yang tidak diterima dan akan menjadi media pertumbuhan yang baik bagi mikroorganisme (Lawrie 1979). Menurut Anil (2012b), proses kehilangan darah (blood loss) membutuhkan waktu tertentu. Diperkirakan 50% dari total volume darah akan hilang selama proses penyembelihan. Anil (2012b) juga melaporkan bahwa 33% darah akan hilang setelah 30 detik penyembelihan, sedangkan Anil et al. (2006) melaporkan 25% darah akan hilang setelah 17 detik. Efisiensi pengeluaran darah tidak dipengaruhi oleh metode penyembelihan baik metode penyembelihan dengan dan tanpa pemingsanan (Anil 2012a). 7 3 METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan pada bulan September 2013 hingga Maret Penelitian ini dilaksanakan di dua RPH di wilayah Provinsi Jawa Barat dan Banten,

24 8 Laboratorium Fisiologi, Departemen Anatomi, Fisiologi, dan Farmakologi (AFF) serta Laboratorium Bagian Kesehatan Masyarakat Veteriner (Kesmavet), Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesmavet (IPHK), Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (FKH IPB). Bahan dan Alat Bahan yang digunakan untuk pengujian kortisol pada penelitian ini adalah serum darah sapi. Pengujian daging dilakukan pada daging sapi bagian longissimus dorsi. Bahan lain yang digunakan yaitu kit radioimmunoassay untuk kortisol (Institutes of Isotopes Co., Ltd, kode RK-240CT), alkohol 70%, aquades, larutan ph standar, tisu, kantong plastik, spiritus, malachite green, dan H 2 O 2 3%. Alat yang digunakan antara lain tabung, rak, cawan petri, pipet, bunsen, Erlenmeyer, gelas piala, gunting, pinset, timbangan, cool box, ph meter, stomacher, waterbath, refrigerator, kertas saring, pipet, tabung reaksi, dan automatic gamma counter A 6.24 (Vienna, Austria). Metode Pengambilan Sampel dan Besaran Sampel Metode pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode purposive sampling. Menurut Saunders et al. (2009), purposive sampling adalah salah satu metode non-probability sampling technique yang memungkinkan peneliti untuk menentukan kejadian terbaik yang akan dipilih dan dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan di dalam penelitian dan objektif menurut peneliti. Sampel darah sebanyak 5 ml per ekor diambil dari 11 ekor sapi Brahman cross yang telah dikastrasi (steer) di dua RPH yang melakukan pemingsanan dengan metode captive bolt stunning sebelum penyembelihan. Sampel darah didiamkan pada suhu ruang selama transportasi yaitu dengan waktu sekitar 4-5 jam kemudian dimasukkan ke dalam refrigerator selama 3-4 jam. Serum yang terbentuk diambil dan disentrifuse untuk memisahkan bagian darah yang tertinggal. Serum disimpan pada suhu -18 ºC hingga dilakukan pengujian selanjutnya. Sampel daging bagian longissimus dorsi juga diambil dengan jumlah 500 gram dari setiap ekor sapi. Sampel ini digunakan untuk menguji kualitas daging yang dihasilkan meliputi ph, cooking loss, dan kesempurnaan pengeluaran darah. Pengukuran Konsentrasi Hormon Kortisol dengan Metode Radioimmunoassay Pengukuran konsentrasi hormon kortisol pada serum darah sapi dilakukan dengan metode radioimmunoassay (RIA) menggunakan RIA kit untuk kortisol (per vial mengandung <260 kbq 125 I-Cortisol pada buffer dengan 0.1% NaN 3 ). Prosedur pengujian yaitu seluruh reagen dan sampel diekuilibrasi pada suhu kamar sebelum digunakan (minimal selama satu jam). Coated tubes untuk setiap standar (S1-S6), serum kontrol (C), dan sampel (Sx) disiapkan masing-masing sebanyak dua tabung dan diberi label. Dua uncoated test tube disiapkan dan diberi label untuk menghitung

25 jumlah total (T). Semua reagen dan sampel dihomogenkan secara perlahan untuk menghindari terbentuknya busa. Setiap standar, serum kontrol, dan sampel masingmasing sebanyak 10 ml dimasukkan ke dalam tabung yang telah dilabel. Kemudian tracer sebanyak 500 ml ditambahkan ke dalam setiap tabung. Antiserum sebanyak 500 ml ditambahkan ke dalam setiap tabung kecuali tabung T. Selanjutnya rak berisi tabung uji dipasang pada shaker plate. Semua tabung ditutup dengan plastik wrap. Shaker dihidupkan dengan kecepatan sedang sehingga cairan pada setiap tabung terus-menerus berputar secara konstan. Tabung diinkubasi selama 2 jam pada suhu kamar. Supernatan kemudian diaspirasi dari semua tabung. Tabung dibalik dan diletakkan di atas kertas absorbent selama 2 menit. Konsentrasi kortisol dalam setiap tabung dihitung minimal selama 60 detik dengan gamma counter. 9 Metode Pengukuran Nilai ph Daging Pengukuran nilai ph dilakukan berdasarkan modifikasi metode Honikel (1998). Contoh daging dimasukkan ke dalam kantong plastik dan disimpan pada suhu kamar (25-34 ºC) kemudian dilakukan pengukuran ph jam ke-1, disimpan dingin dan dilanjutkan dengan pengukuran pada jam ke-24. Sebelum pengukuran, ph meter dikalibrasi menggunakan larutan standar (ph 4 dan ph 7). Setiap selesai pengukuran pada contoh, gelas elektroda dibilas dengan akuades dan dikeringkan dengan kertas tisu. Metode Pemeriksaan Cooking Loss Berdasarkan modifikasi metode Salakova et al. (2009), pemeriksaan cooking loss dilakukan melalui tiga tahap yaitu tahap penimbangan contoh, pemasakan, dan tahap pengukuran. Contoh daging ditimbang (a gram) kemudian dimasukkan ke dalam kantong plastik tahan panas. Daging tersebut dipanaskan dalam air dengan suhu 75 ºC selama 50 menit selanjutnya ditimbang kembali (b gram). Contoh daging dikeluarkan dan didinginkan pada suhu 1-5 ºC. Pengukuran nilai cooking loss dilakukan dengan cara perhitungan dengan rumus sebagai berikut: % cooking loss = a-b x 100% a Keterangan: a : Berat daging sebelum perlakuan (gram) b : Berat daging setelah perlakuan (gram) Metode Pemeriksaan Kesempurnaan Pengeluaran Darah Ekstrak daging dibuat dengan cara memotong kecil-kecil 6 gram daging dan dimasukkan ke dalam 14 ml akuades pada Erlenmeyer. Didiamkan selama 15 menit. Ekstrak tersebut disaring, diambil 0.7 ml filtrat dan dimasukkan ke dalam tabung

26

27 Hasil analisa deskriptif konsentrasi hormon kortisol pada sapi yang dipingsankan dengan captive bolt stun gun sebelum disembelih disajikan pada Tabel 1. Konsentrasi hormon kortisol sapi yang dipingsankan dengan captive bolt stun gun sebelum disembelih adalah ng/ml. Hasil yang diperoleh lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian Mounier et al. (2006) bahwa konsentrasi kortisol darah pada saat penyembelihan rata-rata sekitar 21 ng/ml. Menurut Ewbank et al. (1992), konsentrasi kortisol sapi yang ditangani dengan baik adalah 24 ng/ml. Tingginya nilai konsentrasi hormon kortisol pada penelitian diduga karena hewan mengalami stres. Diduga hewan mengalami stres tidak hanya pada saat penyembelihan namun juga pada saat penanganan yang kurang baik di kandang penampungan, penggiringan sapi di gang way, penanganan ketika memasuki restraining box, dan stunner yang kurang terlatih. Tabel 1 Konsentrasi hormon kortisol sapi yang dipingsankan dengan captive bolt stun gun sebelum disembelih (n=11) konsentrasi hormon kortisol (ng/ml) rata-rata minimum 4.86 maksimum sd Menurut Grandin (2007), penanganan sebelum penyembelihan yang dapat menyebabkan stres diantaranya penanganan ketika hewan disembelih dan desain kandang penjepit yang tidak sesuai. Stres sebelum penyembelihan dapat dibagi menjadi dua yaitu stres fisik dan psikologi. Stres fisik dapat disebabkan oleh suhu ambien yang tinggi, adanya getaran, suara gaduh, dan kepadatan (Kannan et al. 2003; Mareko 2005; Adzitey 2011; Chulayo et al. 2012), lantai licin (Grandin 2007), kekurangan air dan makanan, loading dan unloading dari alat transportasi (Mareko 2005; Mounier et al. 2006), pemuasaan dan eksploitasi yang berlebihan (Mounier et al. 2006), dan kelelahan (Chulayo et al. 2012). Stres psikologi diantaranya yaitu pemisahan dari kelompok sosial, pencampuran dengan kelompok yang tidak dikenal, bau yang tidak dikenal, dan lingkungan yang baru. Jarak transportasi yang dekat sebelum penyembelihan juga dapat menyebabkan stres fisik dan psikologi. Hal ini dapat meningkatkan konsentrasi hormon kortisol (Kannan et al. 2003; Mareko 2005; Adzitey 2011). Penanganan hewan ketika pemingsanan juga dapat menimbulkan stres jika terjadi ketidaktepatan dalam melakukan pemingsanan seperti alat-alat pemingsanan yang fungsinya tidak terjaga dengan baik dan stunner yang kurang terlatih dalam melakukan pemingsanan (Mareko 2005; Adzitey 2011). Konsentrasi kortisol juga memiliki data yang cukup bervariasi diantara individu. Pemingsanan dan penyembelihan dilakukan dengan perlakuan yang relatif sama sehingga variasi konsentrasi kortisol antar individu diduga karena perbedaan fisiologis dan kemampuan adaptif terhadap stres yang berbeda pada setiap individu. Respon terhadap stres bergantung pada kemampuan masing-masing individu untuk beradaptasi melalui mekanisme homeostasis. Terdapat perbedaan respon diantara spesies dan bangsa serta diantara individu ternak pada spesies yang sama (Mareko 2005; Soeparno 2005). Menurut Miranda-de la Lama et al. (2011) spesies individu yang sama (berasal dari bangsa yang sama dan kondisi lingkungan yang 11

28 12 sama) memiliki variasi perilaku yang tinggi. Sapi yang menunjukkan keaktifan yang tinggi ketika keluar dari area penggembalaan umumnya memiliki kadar kortisol yang lebih tinggi dibandingkan dengan sapi yang tenang (Grandin 2007). Variasi konsentrasi hormon kortisol juga dapat disebabkan oleh berbagai macam faktor kompleks di lapangan yang susah untuk dikendalikan. Faktor tersebut diantaranya adalah adanya interaksi antara tindakan penanganan sapi dengan lingkungan serta kondisi fisiologis sapi. Interaksi faktor-faktor tersebut juga perlu didukung dengan data fisiologis sapi seperti frekuensi denyut jantung dan pernafasan, suhu sehingga dapat menggambarkan kondisi stres sapi secara lengkap. Nilai ph Daging Nilai ph daging merupakan salah satu karakteristik yang dapat menggambarkan kualitas daging. Tabel 2 menunjukkan hasil analisa deskriptif nilai ph daging pada sapi yang dipingsankan dengan captive bolt stun gun sebelum disembelih. Nilai rata-rata ph daging jam ke-1 dan ke-24 (ph u ) setelah penyembelihan pada penelitian ini masing-masing secara berurutan adalah dan Nilai tersebut menggambarkan bahwa nilai ph u daging hanya sedikit mengalami penurunan yang diduga karena hewan memiliki cadangan glikogen yang sedikit sebelum disembelih. Hal ini diduga dapat disebabkan oleh kurangnya waktu istirahat pada kandang penampungan setelah sapi menempuh transportasi dari peternakan asal dan penanganan sapi yang buruk selama di kandang penampungan. Tabel 2 Nilai ph daging pada sapi yang dipingsankan dengan captive bolt stun gun sebelum disembelih (n=11) nilai ph daging jam ke-1 jam ke-24 rata-rata minimum maksimum sd Nilai ph otot setelah hewan mati akan menurun dari 7.4 (awal) hingga mencapai ph u (Aberle et al. 2001). Daging sapi yang memiliki ph u >6.0 setelah penyembelihan menunjukkan adanya perubahan pada kualitas daging. Daging memiliki warna merah gelap (dark firm and dry/dfd) (Kannan et al. 2003; Mach et al. 2008; Gruber et al. 2010), variasi tingkat keempukan yang tinggi, dan palatabilitas yang rendah (Mach et al. 2008). Daging sapi yang memiliki ph u lebih besar dari normal dapat disebabkan oleh berkurangnya cadangan glikogen sebelum penyembelihan sehingga produksi asam laktat hanya sedikit. Hal tersebut mengakibatkan ph u daging yang tetap tinggi (Kanan et al. 2003; Lawrie 2003; Weglarz 2010). Menurut Maltin et al. (2003), daging dengan ph u tinggi memiliki tingkat glikogen otot yang lebih rendah (40 µm-laktat/g) dibandingkan dengan otot pada daging normal (100 µm-laktat/g). Perbedaan kandungan glikogen pada saat penyembelihan tergantung pada bobot hidup, status nutrisi, jenis otot, serabut otot, bangsa, dan temperamen ternak

29 (Mach et al. 2008). Kandungan glikogen yang berbeda dari setiap jenis daging menyebabkan kecepatan glikolisisnya juga berbeda (Lawrie 2003). Menurut Hambrecht et al. (2005), durasi waktu istirahat yang singkat akan menyebabkan nilai ph yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan durasi waktu istirahat yang lebih lama. Waktu istirahat untuk makan dan minum dibutuhkan oleh hewan untuk memulihkan kondisi akibat proses transportasi. Sapi yang ditransportasikan selama kurang dari enam jam dapat diistirahatkan minimal selama dua jam sebelum penyembelihan. Jika sapi ditransportasikan selama enam jam atau lebih maka sapi harus diistirahatkan lebih dari dua jam. Waktu istirahat standar yang dibutuhkan untuk sapi sekitar jam (Ferguson et al. 2007). Stres dan kekurangan nutrisi sebelum penyembelihan dapat menyebabkan daging berwarna gelap (dark cutting) (Gaden 2004). 13 Cooking Loss Cooking loss merupakan persentase berat daging yang hilang akibat pemasakan. Hasil analisa deskriptif nilai cooking loss pada sapi yang dipingsankan dengan captive bolt stun gun sebelum disembelih dapat dilihat pada Tabel 3. Nilai rata-rata cooking loss pada penelitian ini adalah %. Menurut Soeparno (2005), umumnya cooking loss bervariasi antara %. Nilai cooking loss yang didapat masih termasuk dalam kisaran normal. Perbedaan cooking loss dapat disebabkan oleh ph dan marbling (Yu et al. 2005). Tabel 3 Nilai cooking loss pada sapi yang dipingsankan dengan captive bolt stun gun sebelum disembelih (n=11) cooking loss (%) rata-rata minimum maksimum sd 5.53 Menurut Shanks et al. (2002) besarnya cooking loss dapat dipengaruhi oleh banyaknya kerusakan membran seluler, banyaknya air yang keluar dari daging, degradasi protein, dan kemampuan daging untuk mengikat air. Soeparno (2005) juga melaporkan bahwa daerah pengambilan otot dapat mempengaruhi cooking loss. Perbedaan daya ikat air dapat disebabkan oleh perbedaan jumlah asam laktat yang dihasilkan sehingga ph diantara dan di dalam otot berbeda. Gerakan otot yang berbeda juga mempengaruhi daya ikat air karena perbedaan jumlah glikogen yang menentukan besarnya pembentukan asam laktat dan penurunan ph yang bervariasi (Soeparno 2005). Periode pembentukan asam laktat yang menyebabkan penurunan ph otot posmortem, pemecahan dan berkurangnya ATP (adenosine triphosphat), serta pembentukan ikatan diantara filamen pada saat rigormortis dapat menurunkan daya ikat air daging (Lawrie 2003). Daging dengan cooking loss yang lebih rendah mempunyai kualitas yang relatif lebih baik dibandingkan dengan daging yang memiliki cooking loss lebih besar karena kehilangan nutrisi selama pemasakan akan lebih sedikit (Soeparno 2005). Menurut Panea et al. (2008), cooking loss menjadi hal yang penting karena mempengaruhi variasi juiciness pada daging dan penampilan daging.

30 14 Kesempurnaan Pengeluaran Darah Pengeluaran darah adalah hal yang penting dalam penyembelihan dan merupakan syarat utama daging yang akan dikonsumsi dan berpengaruh pada kualitas daging. Hasil pemeriksaan kesempurnaan pengeluaran darah pada semua sampel daging menunjukkan warna biru yang berarti pengeluaran darah yang sempurna. Hal ini diduga karena proses pemotongan dilakukan dengan baik dan hewan dalam keadaan sehat sehingga tidak terdapat hemoglobin (Hb) di dalam daging. Efisiensi pengeluaran darah merupakan salah satu syarat penting pada proses penyembelihan untuk mendapatkan daging yang berkualitas tinggi karena tingginya ph darah dan kandungan protein yang dapat mempercepat proses pembusukan (Roca 2002). Menurut Mohamed dan Mohamed (2012), adanya darah yang tersisa di dalam karkas akan mempengaruhi aroma dan masa simpan daging. Pengeluaran darah yang baik dapat terjadi jika hewan dalam keadaan sehat namun dapat diperlambat jika hewan mengalami kondisi demam, infeksi pada bagian jantung (Roca 2002; Agbeniga 2011), infeksi pada bagian paru-paru dan otot serta mengalami kondisi indigesti yang berat (Agbeniga 2011). Korelasi Konsentrasi Hormon Kortisol dengan Nilai ph Daging Korelasi konsentrasi hormon kortisol dengan nilai ph jam ke-1 menunjukkan adanya korelasi yang bermakna (p<0.05) namun korelasi antara konsentrasi hormon kortisol dengan nilai ph jam ke-24 menunjukkan korelasi yang tidak bermakna (p>0.05). Konsentrasi hormon kortisol dengan kedua nilai ph tersebut memiliki korelasi positif. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi konsentrasi kortisol maka semakin tinggi nilai ph. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Okuedo dan Moss (2005), yaitu konsentrasi hormon kortisol dengan nilai ph jam ke-24 memiliki korelasi positif. Kondisi stres dapat meningkatkan konsentrasi kortisol darah dan disertai dengan deplesi glikogen pada otot (Colditz et al. 2006). Hal tersebut menyebabkan penurunan produksi asam laktat posmortem dan ph daging yang tetap tinggi (Mounier et al. 2006). Weglarz (2010) mengemukakan bahwa stres dan kehilangan energi pada periode sebelum penyembelihan dapat menyebabkan berkurangnya cadangan glikogen otot sehingga terjadi ketidakcukupan dalam pembentukan asam laktat posmortem. Korelasi Konsentrasi Hormon Kortisol dengan Nilai Cooking Loss Korelasi bermakna terdapat pada korelasi antara konsentrasi hormon kortisol dengan nilai cooking loss (p<0.05). Hal ini berarti bahwa semakin tinggi konsentrasi hormon kortisol yang dihasilkan maka semakin tinggi juga nilai cooking loss. Menurut Gregory (1998), kortisol merupakan hormon kortikosteroid yang berfungsi untuk menstimulasi proteolisis. Proteolisis posmortem merupakan salah satu faktor penting yang berpengaruh pada kemampuan daging untuk mengikat air. Proses ini melibatkan sistem calpain, calpastatin, dan oksidasi protein. Sistem calpain

31 merupakan faktor utama yang bertanggungjawab terhadap proteolisis posmortem baik pada saat sebelum dan setelah kondisi rigor (Huff-Lonergan dan Lonergan 2005). Aktivitas calpain yang tinggi pada daging dengan ph u lebih dari 6 akan menyebabkan daging menjadi lebih empuk (Gregory 1998). Hal ini diduga dapat menyebabkan nilai cooking loss yang tinggi ketika konsentrasi hormon kortisol yang dihasilkan juga tinggi. 15 Korelasi Nilai ph dengan Nilai Cooking Loss Nilai ph daging jam ke-24 setelah penyembelihan tidak memiliki korelasi bermakna dengan nilai cooking loss (P>0.05). Nilai ph jam ke-24 cukup tinggi dengan rata-rata yaitu 6.21 yang disertai dengan nilai rata-rata cooking loss yang masih dalam kisaran normal yaitu 26.78%. Nilai ph u yang tinggi dapat menyebabkan daya ikat air yang tinggi (Soeparno 2005; Jama et al. 2008; Weglarz 2010) dan menurunkan cooking loss (Jama et al. 2008). Menurut Lawrie (2003), penurunan ph posmortem merupakan salah satu faktor penting yang menentukan daya ikat air. Denaturasi protein sarkoplasma dapat dipercepat ketika ph mengalami penurunan. Nilai ph yang menurun dengan cepat (pada saat pemecahan ATP) akan meningkatkan kecenderungan aktomiosin untuk saling berkontraksi sehingga daya ikat air rendah dan cooking loss tinggi. 5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Sapi yang dipingsankan dengan captive bolt stun gun sebelum penyembelihan memiliki konsentrasi hormon kortisol yang tinggi ( ng/ml). Nilai kortisol yang tinggi menyebabkan ph u tetap tinggi namun nilai cooking loss masih dalam kisaran normal. Penyembelihan sapi yang diawali dengan pemingsanan menggunakan captive bolt stun gun menghasilkan daging dengan pengeluaran darah yang sempurna dan kualitas daging yang relatif baik. Saran Perlu dilakukan penilaian tentang penanganan sapi sebelum penyembelihan meliputi penanganan selama transportasi, di kandang penampungan sementara, penggiringan pada gang way, dan penanganan ketika memasuki restraining box. Penanganan sebelum penyembelihan ini diduga sebagai salah satu tahapan yang dapat mempengaruhi nilai konsentrasi hormon kortisol dan kualitas daging yang dihasilkan.

32 16 DAFTAR PUSTAKA Aberle ED, Forrest JC, Gerrard DE, Mills EW, Hedrick HB, Judge MD, Merkel RA Principles of Meat Science. Ed ke-4. Dubuque Iowa (US): Kendal/Hunt. Adzitey F Minireview effect of preslaughter animal handling on carcass and meat quality. Int Food Res J. 18: Agbeniga B Influence of Conventional and Kosher Slaughter Techniques in Cattle on Carcass and Meat Quality [Thesis]. Pretoria (ZA): University of Pretoria. Anil MH, Yesildere T, Aksu H, Matur E, McKinstry JL, Erdogan O, Hughes S, Mason C Comparison of Halal slaughter with captive bolt stunning and neck cutting in cattle: exsanguination and quality parameters. Anim Welfare. 15: Anil MH. 2012a. Religius slughter: a current controversial animal welfare issue. Anim Front. 2:3. Anil MH. 2012b. Effect of slaughter method on carcass and meat characteristics in the meat of cattle and sheep. [Internet]. [diunduh 2013 Sept 16]. Tersedia pada: Chulayo AY Effects of pre-slaughter sheep handling and animal-related factors on creatine kinase levels and physic-chemical attributes of mutton [Dissertation]. Alice (ZA): University of Fort Hare. Chulayo AY, Tada O, Muchenje V Research on pre-slaughter stress and meat quality: a review of challenges faced under practical conditions. Appl Anim Husb Rural Develop. 5:1-6. Colditz IG, Watson DL, Kilgour R, Ferguson DM, Prideaux C, Ruby J, Kirkland PD, Sullivan K Impact of animal health and welfare research within the CRC for cattle and beef quality on Australian beef production. Aust J Exp Agr. 46: [EFSA] European Food Safety Authority Scientific opinion on monitoring procedures at slaughterhouses for bovines. EFSA J. 11(12):3460. Ewbank R, Parker MJ, Mason CW Reactions of cattle to head-restrain at stunning: a practical dilemma. Anim Welfare. 1(1): [FAO] Food Agricultural Organization Slaughter of livestock. [Internet]. [diunduh 2013 Sept 16]. Tersedia pada: [FAWC] Farm Animal Welfare Council Report on the welfare of farmed animals at slaughter or killing Part 1: red meat animals. [Internet]. [diunduh 2013 Des 30]. Tersedia pada: Ferguson DM, Shaw FD, Stark JL Effect of reduced lairage duration on beef quality. Aus J Exp Agric. 47: Forslund BK, Ljungvall OA, Jones BV Low cortisol levels in blood from dairy cows with ketosis: a field study. Acta Vet Scandinavica. 52:31. Gaden B Meat science brings meat quality to consumers. [Internet]. [diunduh 2013 April 5]. Tersedia pada: Garcia-Segovia P, Andres-Bello A, Martinez-Monzo J Effect of cooking method on mechanical properties, colour, and structure of beef muscle (M. pectoralis). J Food Eng. 80(3): Gibson TJ, Johnson CB, Murrell JC, Mitchinson SL, Stafford KJ, Mellor DJ Amellioration of electroencephalographic responses to slaughter by non

TINJAUAN PUSTAKA Konversi Otot Menjadi Daging

TINJAUAN PUSTAKA Konversi Otot Menjadi Daging II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konversi Otot Menjadi Daging Kondisi ternak sebelum penyembelihan akan mempengaruhi tingkat konversi otot menjadi daging dan juga mempengaruhi kualitas daging yang dihasilkan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh penggunaan restraining box terhadap ph daging Hasil pengujian nilai ph dari daging yang berasal dari sapi dengan perlakuan restraining box, nilai ph rata-rata pada

Lebih terperinci

Pengaruh lama istirahat terhadap karakteristik karkas dan kualitas fisik daging sapi Brahman Cross Steer

Pengaruh lama istirahat terhadap karakteristik karkas dan kualitas fisik daging sapi Brahman Cross Steer Jurnal Ilmu-Ilmu Peternakan 25 (2): 71-79 ISSN: 0852-3581 E-ISSN: 9772443D76DD3 Fakultas Peternakan UB, http://jiip.ub.ac.id/ Pengaruh lama istirahat terhadap karakteristik karkas dan kualitas fisik daging

Lebih terperinci

Pengaruh Jenis Otot dan Lama Penyimpanan terhadap Kualitas Daging Sapi

Pengaruh Jenis Otot dan Lama Penyimpanan terhadap Kualitas Daging Sapi Pengaruh dan terhadap Kualitas Daging Sapi Syafrida Rahim 1 Intisari Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Produksi Ternak Fakultas Peternakan Universitas Jambi pada tahun 2008. Penelitian bertujuan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Bobot dan Persentase Komponen Karkas Komponen karkas terdiri dari daging, tulang, dan lemak. Bobot komponen karkas dapat berubah seiring dengan laju pertumbuhan. Definisi pertumbuhan

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK DAN KOMPOSISI DAGING

KARAKTERISTIK DAN KOMPOSISI DAGING KARAKTERISTIK DAN KOMPOSISI DAGING ILMU PASCA PANEN PETERNAKAN (Kuliah TM 4; 23 Sept 2014) PROSES MENGHASILKAN DAGING TERNAK HIDUP KARKAS POTONGAN BESAR READY TO COOK Red meat White meat NAMP Meat Buyer

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Daging merupakan makanan yang kaya akan protein, mineral, vitamin, lemak

I. PENDAHULUAN. Daging merupakan makanan yang kaya akan protein, mineral, vitamin, lemak 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Daging merupakan makanan yang kaya akan protein, mineral, vitamin, lemak serta zat yang lain yang sangat dibutuhkan oleh tubuh. Usaha untuk meningkatkan konsumsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. hewan (Animal Welfare) menjadi hal yang sangat penting karena tidak saja

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. hewan (Animal Welfare) menjadi hal yang sangat penting karena tidak saja BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penanganan penyembelihan hewan yang memenuhi kaidah kesejahteraan hewan (Animal Welfare) menjadi hal yang sangat penting karena tidak saja mengurangi penderitaan hewan,

Lebih terperinci

Penelitian Kesempurnaan Kematian Sapi setelah Penyembelihan dengan dan tanpa Pemingsanan Berdasarkan Parameter Waktu Henti Darah Memancar

Penelitian Kesempurnaan Kematian Sapi setelah Penyembelihan dengan dan tanpa Pemingsanan Berdasarkan Parameter Waktu Henti Darah Memancar ACTA VETERINARIA INDONESIANA ISSN 2337-3202, E-ISSN 2337-4373 Vol. 3, No. 2: 58-63, Juli 2015 Penelitian Kesempurnaan Kematian Sapi setelah Penyembelihan dengan dan tanpa Pemingsanan Berdasarkan Parameter

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk dan tingkat kebutuhan gizi

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk dan tingkat kebutuhan gizi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk dan tingkat kebutuhan gizi masyarakat, mempengaruhi meningkatnya kebutuhan akan makanan asal hewan (daging). Faktor lain

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mencukupi kebutuhan gizi masyarakat, karena daging merupakan sumber protein

BAB I PENDAHULUAN. mencukupi kebutuhan gizi masyarakat, karena daging merupakan sumber protein BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daging merupakan salah satu bahan pangan yang sangat penting dalam mencukupi kebutuhan gizi masyarakat, karena daging merupakan sumber protein utama dan sebagai sumber

Lebih terperinci

MENERAPKAN PRINSIP KESEJAHTERAAN HEWAN

MENERAPKAN PRINSIP KESEJAHTERAAN HEWAN BAHAN AJAR PELATIHAN JURU SEMBELIH HALAL KODE UNIT KOMPETENSI : A. 016200.007.01 MENERAPKAN PRINSIP KESEJAHTERAAN HEWAN BADAN PENYULUHAN DAN PENGEMBANGAN SDM PERTANIAN PUSAT PELATIHAN PERTANIAN 2015 1

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Jumlah Konsumsi Pakan Perbedaan pemberian dosis vitamin C mempengaruhi jumlah konsumsi pakan (P

Lebih terperinci

SIFAT-SIFAT FISIK DAN PARAMETER SPESIFIK KUALITAS DAGING

SIFAT-SIFAT FISIK DAN PARAMETER SPESIFIK KUALITAS DAGING SIFAT-SIFAT FISIK DAN PARAMETER SPESIFIK KUALITAS DAGING KUALITAS DAGING Dalam pengujian kualitas daging dipergunakan sampel-sampel : macam otot, penyiapan sampel. Uji fisik obyektif yang meliputi Keempukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Proses pemotongan/penyembelihan dapat mengakibatkan stres hewan,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Proses pemotongan/penyembelihan dapat mengakibatkan stres hewan, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Proses pemotongan/penyembelihan dapat mengakibatkan stres hewan, sementara stres itu sendiri akan menurunkan kualitas daging. Stres dapat diartikan kegagalan adaptasi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Hewan

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Hewan 14 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Hewan Keadaan hewan pada awal penelitian dalam keadaan sehat. Sapi yang dimiliki oleh rumah potong hewan berasal dari feedlot milik sendiri yang sistem pemeriksaan kesehatannya

Lebih terperinci

TUGAS 3 SISTEM PORTAL

TUGAS 3 SISTEM PORTAL TUGAS 3 SISTEM PORTAL Fasilitator : Drg. Agnes Frethernety, M.Biomed Nama : Ni Made Yogaswari NIM : FAA 113 032 Kelompok : III Modul Ginjal dan Cairan Tubuh Fakultas Kedokteran Universitas Palangka Raya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kambing Kacang yang lebih banyak sehingga ciri-ciri kambing ini lebih menyerupai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kambing Kacang yang lebih banyak sehingga ciri-ciri kambing ini lebih menyerupai 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kambing Jawarandu Kambing Jawarandu merupakan kambing hasil persilangan antara kambing Peranakan Etawa dengan kambing Kacang. Kambing ini memiliki komposisi darah kambing

Lebih terperinci

Kata kunci: Fascioliosis, total eritrosit, kadar hemoglobin,pakced cell voleme, Sapi Bali

Kata kunci: Fascioliosis, total eritrosit, kadar hemoglobin,pakced cell voleme, Sapi Bali ABSTRAK Fascioliosis pada sapi di Indonesia disebabkan oleh cacing Fasciola gigantica yang berpredileksi di saluran empedu dan hati. Infeksi cacing ini menyebabkan gangguan fungsi hati dan kerusakan saluran

Lebih terperinci

ANALISIS HORMON KORTISOL DAN PENERAPAN ASPEK KESEJAHTERAAN HEWAN PADA SAPI YANG DIPINGSANKAN DAN TIDAK DIPINGSANKAN SEBELUM PENYEMBELIHAN

ANALISIS HORMON KORTISOL DAN PENERAPAN ASPEK KESEJAHTERAAN HEWAN PADA SAPI YANG DIPINGSANKAN DAN TIDAK DIPINGSANKAN SEBELUM PENYEMBELIHAN ANALISIS HORMON KORTISOL DAN PENERAPAN ASPEK KESEJAHTERAAN HEWAN PADA SAPI YANG DIPINGSANKAN DAN TIDAK DIPINGSANKAN SEBELUM PENYEMBELIHAN ANIS TRISNA FITRIANTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK FISIK DAGING SAPI PERANAKAN ONGOLE PADA BERBAGAI TINGKATAN BOBOT BADAN

KARAKTERISTIK FISIK DAGING SAPI PERANAKAN ONGOLE PADA BERBAGAI TINGKATAN BOBOT BADAN KARAKTERISTIK FISIK DAGING SAPI PERANAKAN ONGOLE PADA BERBAGAI TINGKATAN BOBOT BADAN (Physical Characteristics of Ongole Bulls Meat at Various Body Weight) EDY RIANTO, M.F. RAHMAWATI dan A. PURNOMOADI

Lebih terperinci

KUALITAS FISIK DAGING LOIN SAPI BALI YANG DIPOTONG DI RUMAH POTONG HEWAN (RPH) MODEREN DAN TRADISIONAL

KUALITAS FISIK DAGING LOIN SAPI BALI YANG DIPOTONG DI RUMAH POTONG HEWAN (RPH) MODEREN DAN TRADISIONAL Seminar Nasional Sains dan Teknologi (SENASTEK-2016), Kuta, Bali, INDONESIA, 15 16 Desember 2016 KUALITAS FISIK DAGING LOIN SAPI BALI YANG DIPOTONG DI RUMAH POTONG HEWAN (RPH) MODEREN DAN TRADISIONAL Artiningsih

Lebih terperinci

POKOK BAHASAN IX IX. PENGGUNAAN ENERGI MEKANIK PADA TERNAK KERJA. Mengetahui proses metabolisme dan dinamika fisiologi pada ternak kerja

POKOK BAHASAN IX IX. PENGGUNAAN ENERGI MEKANIK PADA TERNAK KERJA. Mengetahui proses metabolisme dan dinamika fisiologi pada ternak kerja Tatap muka ke : 13 POKOK BAHASAN IX IX. PENGGUNAAN ENERGI MEKANIK PADA TERNAK KERJA Tujuan Instruksional Umum : Memberikan pengetahuan tentang penggunaan energi mekanik yang dihasilkan dari proses metabolisme

Lebih terperinci

~Ir\"-r\ ) \~I~! 09!/

~Ir\-r\ ) \~I~! 09!/ UJI MALACHITE GREEN UNTUK BERBAGAI JENIS PERLAKUAN SEBELUM PENYEMBELIHAN PADA AYAM BROILER ~Ir\"-r\ ) \~I~! 09!/ SKRIPSI Oleh MUHAMMAD RIZAL MARTUAH DAMANIK B. 20 1737 FAKULTAS KECOKTERAN HEWAN INSTITUT

Lebih terperinci

Kualitas Daging Sapi di Rumah Potong Hewan Pesanggaran Ditinjau dari Uji ph dan Daya Ikat Air

Kualitas Daging Sapi di Rumah Potong Hewan Pesanggaran Ditinjau dari Uji ph dan Daya Ikat Air Buletin Veteriner Udayana Volume 9 No.1: 16-21 pissn: 2085-2495; eissn: 2477-2712 Pebruari 2017 Online pada: http://ojs.unud.ac.id/index.php/buletinvet DOI: 10.21531/bulvet.2017.9.1.16 Kualitas Daging

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilakukan pada April 2014 di Tempat Pemotongan Hewan di Bandar

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilakukan pada April 2014 di Tempat Pemotongan Hewan di Bandar III. BAHAN DAN METODE A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan pada April 2014 di Tempat Pemotongan Hewan di Bandar Lampung, Laboratorium Penguji Balai Veteriner Lampung, dan Laboratorium Nutrisi

Lebih terperinci

Karakteristik mutu daging

Karakteristik mutu daging Karakteristik mutu daging Oleh: Elvira Syamsir (Tulisan asli dalam Kulinologi Indonesia edisi Maret 2011) Mutu merupakan gabungan atribut produk yang dinilai secara organoleptik dan digunakan konsumen

Lebih terperinci

MENETAPKAN KESIAPAN HEWAN UNTUK DISEMBELIH

MENETAPKAN KESIAPAN HEWAN UNTUK DISEMBELIH BAHAN AJAR PELATIHAN JURU SEMBELIH HALAL KODE UNIT KOMPETENSI : A. 016200.010.01 MENETAPKAN KESIAPAN HEWAN UNTUK DISEMBELIH BADAN PENYULUHAN DAN PENGEMBANGAN SDM PERTANIAN PUSAT PELATIHAN PERTANIAN 2015

Lebih terperinci

DAGING. Theresia Puspita Titis Sari Kusuma. There - 1

DAGING. Theresia Puspita Titis Sari Kusuma. There - 1 DAGING Theresia Puspita Titis Sari Kusuma There - 1 Pengertian daging Daging adalah bagian tubuh yang berasal dari ternak sapi, babi atau domba yang dalam keadaan sehat dan cukup umur untuk dipotong, tetapi

Lebih terperinci

PERUBAHAN NILAI ph POSTMORTEM DAGING SAPI YANG DIPOTONG DENGAN MENGGUNAKAN RESTRAINING BOX ROHIMAN ALIYANA HERMANSYAH

PERUBAHAN NILAI ph POSTMORTEM DAGING SAPI YANG DIPOTONG DENGAN MENGGUNAKAN RESTRAINING BOX ROHIMAN ALIYANA HERMANSYAH PERUBAHAN NILAI ph POSTMORTEM DAGING SAPI YANG DIPOTONG DENGAN MENGGUNAKAN RESTRAINING BOX ROHIMAN ALIYANA HERMANSYAH FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 ABSTRACT ROHIMAN ALIYANA HERMANSYAH.

Lebih terperinci

KUALITAS FISIK DAGING SAPI DARI TEMPAT PEMOTONGAN HEWAN DI BANDAR LAMPUNG. Physical Quality of Beef from Slaughterhouses in Bandar Lampung

KUALITAS FISIK DAGING SAPI DARI TEMPAT PEMOTONGAN HEWAN DI BANDAR LAMPUNG. Physical Quality of Beef from Slaughterhouses in Bandar Lampung KUALITAS FISIK DAGING SAPI DARI TEMPAT PEMOTONGAN HEWAN DI BANDAR LAMPUNG Physical Quality of Beef from Slaughterhouses in Bandar Lampung Nikodemus Prajnadibya Kurniawan a, Dian Septinova b, Kusuma Adhianto

Lebih terperinci

Nova Nurfauziawati Kelompok 11 A V. HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN

Nova Nurfauziawati Kelompok 11 A V. HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN V. HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN Praktikum yang dilaksanakan pada 12 September 2011 mengenai perubahan fisik, kimia dan fungsional pada daging. Pada praktikum kali ini dilaksanakan pengamatan perubahan

Lebih terperinci

Kualitas Daging Sapi Wagyu dan Daging Sapi Bali yang Disimpan pada Suhu - 19 o c

Kualitas Daging Sapi Wagyu dan Daging Sapi Bali yang Disimpan pada Suhu - 19 o c Kualitas Daging Sapi Wagyu dan Daging Sapi Bali yang Disimpan pada Suhu - 19 o c (THE QUALITY OF WAGYU BEEF AND BALI CATTLE BEEF DURING THE FROZEN STORAGE AT - 19 O C) Thea Sarassati 1, Kadek Karang Agustina

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan Metode

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan Metode 35 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini telah dilakukan pada bulan Maret - Mei 2008 di Rumah Potong Hewan (RPH) Aldia-Kupang. Pengumpulan data pengukuran produktivitas karkas dilakukan

Lebih terperinci

STRATEGI PENGEMBANGAN DAYA SAING PRODUK UNGGULAN DAERAH INDUSTRI KECIL MENENGAH KABUPATEN BANYUMAS MUHAMMAD UNGGUL ABDUL FATTAH

STRATEGI PENGEMBANGAN DAYA SAING PRODUK UNGGULAN DAERAH INDUSTRI KECIL MENENGAH KABUPATEN BANYUMAS MUHAMMAD UNGGUL ABDUL FATTAH i STRATEGI PENGEMBANGAN DAYA SAING PRODUK UNGGULAN DAERAH INDUSTRI KECIL MENENGAH KABUPATEN BANYUMAS MUHAMMAD UNGGUL ABDUL FATTAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016 iii PERNYATAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. semakin meningkat menuntut produksi lebih dan menjangkau banyak konsumen di. sehat, utuh dan halal saat dikonsumsi (Cicilia, 2008).

BAB I PENDAHULUAN. semakin meningkat menuntut produksi lebih dan menjangkau banyak konsumen di. sehat, utuh dan halal saat dikonsumsi (Cicilia, 2008). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebutuhan masyarakat Indonesia akan gizi menuntut dikembangkannya berbagai industri pangan. Salah satu sektor yang turut berperan penting dalam ketersediaan bahan pangan

Lebih terperinci

PENGARUH ENZIM PAPAIN TERHADAP MUTU DAGING KAMBING SELAMA PENYIMPANAN

PENGARUH ENZIM PAPAIN TERHADAP MUTU DAGING KAMBING SELAMA PENYIMPANAN PENGARUH ENZIM PAPAIN TERHADAP MUTU DAGING KAMBING SELAMA PENYIMPANAN (The Effect of Papain in Goat Meat Quality During Storage) AGUS BUDIYANTO dan S. USMIATI Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen

Lebih terperinci

PENGGUNAAN RESTRAINING BOX DALAM PEMOTONGAN SAPI DI RPH DAN KARAKTERISTIK FISIK DAGING ARIF WICAKSONO

PENGGUNAAN RESTRAINING BOX DALAM PEMOTONGAN SAPI DI RPH DAN KARAKTERISTIK FISIK DAGING ARIF WICAKSONO PENGGUNAAN RESTRAINING BOX DALAM PEMOTONGAN SAPI DI RPH DAN KARAKTERISTIK FISIK DAGING ARIF WICAKSONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 vi PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASINYA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Sapi bali dikenal sebagai sapi lokal yang banyak dipelihara di Pulau Bali karena sangat

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Sapi bali dikenal sebagai sapi lokal yang banyak dipelihara di Pulau Bali karena sangat 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sapi bali dikenal sebagai sapi lokal yang banyak dipelihara di Pulau Bali karena sangat menguntungkan peternak di samping cara pemeliharaannya yang mudah dan sifatnya

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB 3 METODE PENELITIAN BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei 2013 sampai dengan Juni 2013. Lokasi pengambilan sampel rumput laut merah (Eucheuma cottonii) bertempat di Perairan Simpenan,

Lebih terperinci

PENAMPILAN PRODUKSI DAN KUALITAS DAGING KERBAU DENGAN PENAMBAHAN PROBIOTIK, KUNYIT DAN TEMULAWAK PADA PAKAN PENGGEMUKAN SKRIPSI NOVARA RAHMAT

PENAMPILAN PRODUKSI DAN KUALITAS DAGING KERBAU DENGAN PENAMBAHAN PROBIOTIK, KUNYIT DAN TEMULAWAK PADA PAKAN PENGGEMUKAN SKRIPSI NOVARA RAHMAT PENAMPILAN PRODUKSI DAN KUALITAS DAGING KERBAU DENGAN PENAMBAHAN PROBIOTIK, KUNYIT DAN TEMULAWAK PADA PAKAN PENGGEMUKAN SKRIPSI NOVARA RAHMAT PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT

Lebih terperinci

THERMOREGULATION SYSTEM ON POULTRY

THERMOREGULATION SYSTEM ON POULTRY THERMOREGULATION SYSTEM ON POULTRY Oleh : Suhardi, S.Pt.,MP Pembibitan Ternak Unggas AYAM KURANG TOLERAN TERHADAP PERUBAHAN SUHU LINGKUNGAN, SEHINGGA LEBIH SULIT MELAKUKAN ADAPTASI TERHADAP PERUBAHAN SUHU

Lebih terperinci

Endah Subekti Pengaruh Jenis Kelamin.., PENGARUH JENIS KELAMIN DAN BOBOT POTONG TERHADAP KINERJA PRODUKSI DAGING DOMBA LOKAL

Endah Subekti Pengaruh Jenis Kelamin.., PENGARUH JENIS KELAMIN DAN BOBOT POTONG TERHADAP KINERJA PRODUKSI DAGING DOMBA LOKAL PENGARUH JENIS KELAMIN DAN BOBOT POTONG TERHADAP KINERJA PRODUKSI DAGING DOMBA LOKAL EFFECT OF SEX AND SLAUGHTER WEIGHT ON THE MEAT PRODUCTION OF LOCAL SHEEP Endah Subekti Staf Pengajar Fakultas Pertanian

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 21 HASIL DAN PEMBAHASAN Pada setiap sediaan otot gastrocnemius dilakukan tiga kali perekaman mekanomiogram. Perekaman yang pertama adalah ketika otot direndam dalam ringer laktat, kemudian dilanjutkan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Kerbau adalah hewan tergolong memamah biak subkeluarga bovinae dan

TINJAUAN PUSTAKA. Kerbau adalah hewan tergolong memamah biak subkeluarga bovinae dan TINJAUAN PUSTAKA Daging Kerbau Kerbau adalah hewan tergolong memamah biak subkeluarga bovinae dan mempunyaikebiasaan berendam di sungai dan lumpur. Ternak kerbau merupakan salah satu sarana produksi yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Dalam kehidupan, manusia menghabiskan sebagian besar waktu sadar mereka (kurang lebih 85-90%) untuk beraktivitas (Gibney et al., 2009). Menurut World Health

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE. Metode Penelitian BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di peternakan Kunak, Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor. Sampel diuji di laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner, Departemen

Lebih terperinci

KAJIAN BRUSELLOSIS PADA SAPI DAN KAMBING POTONG YANG DILALULINTASKAN DI PENYEBERANGAN MERAK BANTEN ARUM KUSNILA DEWI

KAJIAN BRUSELLOSIS PADA SAPI DAN KAMBING POTONG YANG DILALULINTASKAN DI PENYEBERANGAN MERAK BANTEN ARUM KUSNILA DEWI KAJIAN BRUSELLOSIS PADA SAPI DAN KAMBING POTONG YANG DILALULINTASKAN DI PENYEBERANGAN MERAK BANTEN ARUM KUSNILA DEWI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. ventilasi tidak memadai, suhu dan kelembaban ekstrem serta kecepatan angin

PENDAHULUAN. Latar Belakang. ventilasi tidak memadai, suhu dan kelembaban ekstrem serta kecepatan angin PENDAHULUAN Latar Belakang Transportasi melibatkan beberapa potensi yang dapat menimbulkan ternak menjadi stres di antaranya penanganan kasar selama bongkar muat, pencampuran dengan ternak baru dan asing

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sama seperti sapi Bali betina. Kaki bagian bawah lutut berwarna putih atau

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sama seperti sapi Bali betina. Kaki bagian bawah lutut berwarna putih atau 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Madura Bangsa sapi Madura merupakan hasil persilangan antara sapi Zebu dan Banteng. Tubuh dan tanduknya relatif kecil, warna bulu pada jantan dan betina sama seperti

Lebih terperinci

DAGING. Pengertian daging

DAGING. Pengertian daging Pengertian daging DAGING Titis Sari Kusuma Daging adalah bagian tubuh yang berasal dari ternak sapi, babi atau domba yang dalam keadaan sehat dan cukup umur untuk dipotong, tetapi hanya terbatas pada bagian

Lebih terperinci

TEKNIK PENGAMBILAN SAMPEL. Tujuan Praktikum Untuk pengambilan sampel yang akan digunakan untuk analisis.

TEKNIK PENGAMBILAN SAMPEL. Tujuan Praktikum Untuk pengambilan sampel yang akan digunakan untuk analisis. TEKNIK PENGAMBILAN SAMPEL Untuk pengambilan sampel yang akan digunakan untuk analisis. - Sampel harus representatif atau mewakili data - Sampel harus segera diproses agar tidak terjadi kerusakan - Timbangan

Lebih terperinci

Pengaruh Lama Penyimpanan dalam Lemari Es terhadap PH, Daya Ikat Air, dan Susut Masak Karkas Broiler yang Dikemas Plastik Polyethylen

Pengaruh Lama Penyimpanan dalam Lemari Es terhadap PH, Daya Ikat Air, dan Susut Masak Karkas Broiler yang Dikemas Plastik Polyethylen Pengaruh Lama Penyimpanan dalam Lemari Es terhadap PH, Daya Ikat Air, dan Susut Masak Karkas Broiler yang Dikemas Plastik Polyethylen Dede Risnajati 1 Intisari Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Konsumsi Pakan

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Konsumsi Pakan HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi PT. Purwakarta Agrotechnopreneur Centre (PAC), terletak di desa Pasir Jambu, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor. Berdasarkan data statistik desa setempat, daerah

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN KUALITAS DAGING PADA DOMBA LOKAL YANG DIPELIHARA SECARA INTENSIF

PERKEMBANGAN KUALITAS DAGING PADA DOMBA LOKAL YANG DIPELIHARA SECARA INTENSIF PERKEMBANGAN KUALITAS DAGING PADA DOMBA LOKAL YANG DIPELIHARA SECARA INTENSIF (Mutton Quality of Local sheep Kept in the Intensive Management) MUKH ARIFIN 1, TITIK WARSITI 2, AGUNG PURNOMOADI 1 dan WAYAN

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. alot (Chang et al., 2005). Daging itik mempunyai kandungan lemak dan protein lebih

II. TINJAUAN PUSTAKA. alot (Chang et al., 2005). Daging itik mempunyai kandungan lemak dan protein lebih II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Daging Itik Afkir Daging itik mempunyai kualitas rendah karena bau amis, bertekstur kasar dan alot (Chang et al., 2005). Daging itik mempunyai kandungan lemak dan protein lebih

Lebih terperinci

Pertumbuhan dan Komponen Fisik Karkas Domba Ekor Tipis Jantan yang Mendapat Dedak Padi dengan Aras Berbeda

Pertumbuhan dan Komponen Fisik Karkas Domba Ekor Tipis Jantan yang Mendapat Dedak Padi dengan Aras Berbeda Pertumbuhan dan Komponen Fisik Karkas Domba Ekor Tipis Jantan yang Mendapat Dedak Padi dengan Aras Berbeda (Growth and Carcass Physical Components of Thin Tail Rams Fed on Different Levels of Rice Bran)

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Ternak itik mulai diminati oleh masyarakat terutama di Indonesia. Karena,

I PENDAHULUAN. Ternak itik mulai diminati oleh masyarakat terutama di Indonesia. Karena, 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ternak itik mulai diminati oleh masyarakat terutama di Indonesia. Karena, menghasilkan produk peternakan seperti telur dan daging yang memiliki kandungan protein hewani

Lebih terperinci

PENGARUH KUALITAS PAKAN TERHADAP KEEMPUKAN DAGING PADA KAMBING KACANG JANTAN. (The Effect of Diet Quality on Meat Tenderness in Kacang Goats)

PENGARUH KUALITAS PAKAN TERHADAP KEEMPUKAN DAGING PADA KAMBING KACANG JANTAN. (The Effect of Diet Quality on Meat Tenderness in Kacang Goats) On Line at : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/aaj PENGARUH KUALITAS PAKAN TERHADAP KEEMPUKAN DAGING PADA KAMBING KACANG JANTAN (The Effect of Diet Quality on Meat Tenderness in Kacang Goats) R.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Pakan, Bobot Badan dan Mortalitas Puyuh

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Pakan, Bobot Badan dan Mortalitas Puyuh HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Pakan, Bobot Badan dan Mortalitas Puyuh Puyuh yang digunakan dalam penilitian ini adalah Coturnix-coturnix japonica betina periode bertelur. Konsumsi pakan per hari, bobot

Lebih terperinci

MANAJEMEN RISIKO DI PERUSAHAAN BETON (STUDI KASUS UNIT READYMIX PT BETON INDONESIA) MUAMMAR TAWARUDDIN AKBAR

MANAJEMEN RISIKO DI PERUSAHAAN BETON (STUDI KASUS UNIT READYMIX PT BETON INDONESIA) MUAMMAR TAWARUDDIN AKBAR MANAJEMEN RISIKO DI PERUSAHAAN BETON (STUDI KASUS UNIT READYMIX PT BETON INDONESIA) MUAMMAR TAWARUDDIN AKBAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

BAB VI PEMBAHASAN. cedera abrasi menyerupai dengan cedera peritoneum saat operasi abdomen..

BAB VI PEMBAHASAN. cedera abrasi menyerupai dengan cedera peritoneum saat operasi abdomen.. BAB VI PEMBAHASAN Pembentukan adhesi intraperitoneum secara eksperimental dapat dilakukan melalui berbagai cara, yaitu model iskemia, model perlukaan peritoneum, model cedera termal, dengan benda asing,

Lebih terperinci

ABSTRAK KUALITAS DAN PROFIL MIKROBA DAGING SAPI LOKAL DAN IMPOR DI DILI-TIMOR LESTE

ABSTRAK KUALITAS DAN PROFIL MIKROBA DAGING SAPI LOKAL DAN IMPOR DI DILI-TIMOR LESTE ABSTRAK KUALITAS DAN PROFIL MIKROBA DAGING SAPI LOKAL DAN IMPOR DI DILI-TIMOR LESTE Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kualitas fisik, kimia dan profil mikroba daging sapi lokal dan impor yang

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 14 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan melalui dua tahap selama bulan April-Oktober 2010. Tahap pertama adalah proses pencekokan serbuk buah kepel dan akuades dilakukan

Lebih terperinci

PENGARUH PEMBERIAN ANGKAK SEBAGAI PEWARNA ALAMI TERHADAP PRODUKSI KORNET DAGING AYAM

PENGARUH PEMBERIAN ANGKAK SEBAGAI PEWARNA ALAMI TERHADAP PRODUKSI KORNET DAGING AYAM PENGARUH PEMBERIAN ANGKAK SEBAGAI PEWARNA ALAMI TERHADAP PRODUKSI KORNET DAGING AYAM Disajikan oleh : Arsidin(E1A007003), dibawah bimbingan Haris Lukman 1) dan Afriani 2) Jurusan Produksi Ternak, Fakultas

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan suatu penelitian eksperimental yang dilakukan untuk

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan suatu penelitian eksperimental yang dilakukan untuk BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan suatu penelitian eksperimental yang dilakukan untuk mengetahui pengaruh pemberian kefir dari susu sapi dengan kualitas terbaik

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. sapi Bali relatif tersedia di pasaran. Sapi Bali juga memiliki potensi pasar yang luas

PENDAHULUAN. Latar Belakang. sapi Bali relatif tersedia di pasaran. Sapi Bali juga memiliki potensi pasar yang luas PENDAHULUAN Latar Belakang Sapi Bali merupakan salah satu komoditas ternak penting Indonesia selain kerbau, kambing, ayam dan domba. Sapi bali dikenal sebagai salah satu plasma nutfah provinsi NTB, dengan

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK KARKAS DAN BAGIAN-BAGIAN KARKAS SAPI PERANAKAN ONGOLE JANTAN DAN BETINA PADA PETERNAKAN RAKYAT DI PROVINSI SULAWESI TENGGARA

KARAKTERISTIK KARKAS DAN BAGIAN-BAGIAN KARKAS SAPI PERANAKAN ONGOLE JANTAN DAN BETINA PADA PETERNAKAN RAKYAT DI PROVINSI SULAWESI TENGGARA KARAKTERISTIK KARKAS DAN BAGIAN-BAGIAN KARKAS SAPI PERANAKAN ONGOLE JANTAN DAN BETINA PADA PETERNAKAN RAKYAT DI PROVINSI SULAWESI TENGGARA (Carcass Characteristic and its Components of Male and Female

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sebagian besar masyarakat Indonesia menyukai daging ayam karena. Sebagai sumber pangan, daging ayam mempunyai beberapa kelebihan lainnya

PENDAHULUAN. Sebagian besar masyarakat Indonesia menyukai daging ayam karena. Sebagai sumber pangan, daging ayam mempunyai beberapa kelebihan lainnya I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagian besar masyarakat Indonesia menyukai daging ayam karena dagingnya selain rasanya enak juga merupakan bahan pangan sumber protein yang memiliki kandungan gizi lengkap

Lebih terperinci

Jurnal Riset dan Inovasi Peternakan Vol 1(3):16-20, Desember 2017 e-issn:

Jurnal Riset dan Inovasi Peternakan Vol 1(3):16-20, Desember 2017 e-issn: KUALITAS FISIK PADA POTONGAN PRIMAL KARKAS SAPI KRUI BETINA DI KABUPATEN PESISIR BARAT LAMPUNG PHYSICAL QUALITY ON PRIMAL CARCASS OF FEMALE KRUI CATTLE IN WEST PESISIR DISTRICT LAMPUNG Raina Pangestika,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Sifat Fisik Daging Kualitas karkas dan daging dipengaruhi oleh faktor sebelum dan setelah pemotongan. Faktor sebelum pemotongan yang dapat mempengaruhi kualitas daging antara lain

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. masyarakat. Permintaan daging broiler saat ini banyak diminati oleh masyarakat

PENDAHULUAN. masyarakat. Permintaan daging broiler saat ini banyak diminati oleh masyarakat I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Broiler merupakan unggas penghasil daging sebagai sumber protein hewani yang memegang peranan cukup penting dalam pemenuhan kebutuhan gizi masyarakat. Permintaan daging

Lebih terperinci

RESPON FISIOLOGIS STRES

RESPON FISIOLOGIS STRES RESPON FISIOLOGIS STRES Oleh: Sb Pranatahadi Disampaikan dalam srawung ilmiah jurusan Pendidikan Kepelatihan FIK UNY Jum at, 1 Januari 2009 STRES Suatu kondisi yang terjadi jika permintaan dirasa melebihi

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Data hasil perhitungan jumlah sel darah merah, kadar hemoglobin, nilai hematokrit, MCV, MCH, dan MCHC pada kerbau lumpur betina yang diperoleh dari rata-rata empat kerbau setiap

Lebih terperinci

Bab III Bahan dan Metode

Bab III Bahan dan Metode Bab III Bahan dan Metode A. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2012 di daerah budidaya rumput laut pada dua lokasi perairan Teluk Kupang yaitu di perairan Tablolong

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Daging sapi didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Daging sapi didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Daging Sapi Daging sapi didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk hasil pengolahan jaringan-jaringan tersebut yang sesuai untuk dimakan serta tidak menimbulkan

Lebih terperinci

GAMBARAN HEMATOLOGI DOMBA SELAMA TRANSPORTASI : PERAN MULTIVITAMIN DAN MENIRAN

GAMBARAN HEMATOLOGI DOMBA SELAMA TRANSPORTASI : PERAN MULTIVITAMIN DAN MENIRAN Jurnal llmu Pertanian Indonesia, Desember 2010, hlm. 172-177 ISSN 0853-421 7 GAMBARAN HEMATOLOGI DOMBA SELAMA TRANSPORTASI : PERAN MULTIVITAMIN DAN MENIRAN (HEMATOLOGICAL CONDITION OF SHEEP DURING TRANSPORTATION

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Parameter Air sebagai Tempat Hidup Ikan Nila (Oreochromis niloticus) Kualitas air merupakan salah satu faktor penting yang berpengaruh terhadap kelangsungan hidup ikan nila.

Lebih terperinci

Tanya Jawab Seputar DAGING AYAM SUMBER MAKANAN BERGIZI

Tanya Jawab Seputar DAGING AYAM SUMBER MAKANAN BERGIZI Tanya Jawab Seputar DAGING AYAM SUMBER MAKANAN BERGIZI KEMENTERIAN PERTANIAN DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN 2012 DAFTAR ISI 1. Apa Kandungan gizi dalam Daging ayam? 2. Bagaimana ciri-ciri

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Kadar glukosa, kolesterol, dan trigliserida pada monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) pada setiap tahapan adaptasi, aklimasi, dan postaklimasi dapat dilihat pada Tabel 2.

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Itik mempunyai potensi untuk dikembangkan karena memiliki banyak

I PENDAHULUAN. Itik mempunyai potensi untuk dikembangkan karena memiliki banyak I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Itik mempunyai potensi untuk dikembangkan karena memiliki banyak kelebihan dibandingkan ternak unggas yang lain, diantaranya adalah lebih tahan terhadap penyakit, memiliki

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. dikonsumsi khususnya anak anak dalam periode pertumbuhan agar tumbuh

I PENDAHULUAN. dikonsumsi khususnya anak anak dalam periode pertumbuhan agar tumbuh I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daging merupakan sumber protein hewani yang bermutu tinggi dan perlu dikonsumsi khususnya anak anak dalam periode pertumbuhan agar tumbuh normal dan sehat, karena bahan

Lebih terperinci

SUSUT MASAK DAN ph DAGING ITIK LOKAL AFKIR BERDASARKAN SISTEM PEMELIHARAAN DAN LOKASI YANG BERBEDA

SUSUT MASAK DAN ph DAGING ITIK LOKAL AFKIR BERDASARKAN SISTEM PEMELIHARAAN DAN LOKASI YANG BERBEDA SUSUT MASAK DAN ph DAGING ITIK LOKAL AFKIR BERDASARKAN SISTEM PEMELIHARAAN DAN LOKASI YANG BERBEDA (COOKING LOSS AND ph OF LOCAL SPENT DUCK MEAT BASED ON DIFFERENT SYSTEMS AND FARMING LOCATION) Ershandy

Lebih terperinci

KIAT-KIAT MEMILIH DAGING SEHAT Oleh : Bidang Keswan-Kesmavet, Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat (disadur dari berbagai macam sumber)

KIAT-KIAT MEMILIH DAGING SEHAT Oleh : Bidang Keswan-Kesmavet, Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat (disadur dari berbagai macam sumber) KIAT-KIAT MEMILIH DAGING SEHAT Oleh : Bidang Keswan-Kesmavet, Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat (disadur dari berbagai macam sumber) KASUS SEPUTAR DAGING Menghadapi Bulan Ramadhan dan Lebaran biasanya

Lebih terperinci

PENGARUH SERTIFIKASI GURU TERHADAP KESEJAHTERAAN DAN KINERJA GURU DI KABUPATEN SUMEDANG RIZKY RAHADIKHA

PENGARUH SERTIFIKASI GURU TERHADAP KESEJAHTERAAN DAN KINERJA GURU DI KABUPATEN SUMEDANG RIZKY RAHADIKHA 1 PENGARUH SERTIFIKASI GURU TERHADAP KESEJAHTERAAN DAN KINERJA GURU DI KABUPATEN SUMEDANG RIZKY RAHADIKHA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

Kualitas Daging Sapi Wagyu dan Daging Sapi Bali yang Disimpan pada Suhu 4 o C

Kualitas Daging Sapi Wagyu dan Daging Sapi Bali yang Disimpan pada Suhu 4 o C Kualitas Sapi dan yang Disimpan pada Suhu THE QUALITY OF WAGYU BEEF AND BALI CATTLE BEEF DURING THE COLD STORAGE AT 4 O C Mita Andini 1, Ida Bagus Ngurah Swacita 2 1) Mahasiswa Program Profesi Kedokteran

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kualitas Air Pemeliharaan Lobster Kualitas air merupakan salah satu faktor penting yang dapat mempengaruhi kondisi lobster air tawar. Air yang digunakan dalam proses adaptasi,

Lebih terperinci

III BAHAN DAN METODE PENELITIAN. ayam broiler berumur hari dengan bobot badan 1,0-1,3 kg. berasal dari pedagang sayur pasar Cileunyi.

III BAHAN DAN METODE PENELITIAN. ayam broiler berumur hari dengan bobot badan 1,0-1,3 kg. berasal dari pedagang sayur pasar Cileunyi. 1 III BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3.1. Bahan dan Peralatan Penelitian 3.1.1. Bahan Penelitian 1. Karkas ayam broiler yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari ayam broiler berumur 23-28 hari dengan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Data yang diperoleh dari Dinas Kelautan, Perikanan Pertanian dan Ketahanan Pangan Kota Gorontalo memiliki 10 Tempat Pemotongan Hewan yang lokasinya

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK FISIK DAN ORGANOLEPTIK DAGING SAPI BALI PADA BEBERAPA RUMAH POTONG HEWAN (RPH) DI SULAWESI SELATAN

KARAKTERISTIK FISIK DAN ORGANOLEPTIK DAGING SAPI BALI PADA BEBERAPA RUMAH POTONG HEWAN (RPH) DI SULAWESI SELATAN KARAKTERISTIK FISIK DAN ORGANOLEPTIK DAGING SAPI BALI PADA BEBERAPA RUMAH POTONG HEWAN (RPH) DI SULAWESI SELATAN Characteristic of Physical and Organoleptic of Meat from Bali Cattle at Some Slaughtering

Lebih terperinci

DAYA IKAT AIR (DIA) Istilah lain: Pengertian: Kemampuan daging didalam mengikat air (air daging maupun air yang ditambahkan)

DAYA IKAT AIR (DIA) Istilah lain: Pengertian: Kemampuan daging didalam mengikat air (air daging maupun air yang ditambahkan) DAYA IKAT AIR (DIA) Istilah lain: 1.Water Holding Capacity (WHC) 2.Water Binding Capacity (WBC) Pengertian: Kemampuan daging didalam mengikat air (air daging maupun air yang ditambahkan) Arti penting:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. konsumsi protein hewani, khususnya daging sapi meningkat juga.

BAB I PENDAHULUAN. konsumsi protein hewani, khususnya daging sapi meningkat juga. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pangan yang bernilai gizi tinggi sangat dibutuhkan untuk menghasilkan generasi yang cerdas dan sehat. Untuk memenuhi kebutuhan gizi tersebut pangan hewani sangat memegang

Lebih terperinci

PERUBAHAN FISIOLOGIS KARENA LATIHAN FISIK Efek latihan a. Perubahan biokhemis b. Sistem sirkulasi dan respirasi c. Komposisi badan, kadar kholesterol

PERUBAHAN FISIOLOGIS KARENA LATIHAN FISIK Efek latihan a. Perubahan biokhemis b. Sistem sirkulasi dan respirasi c. Komposisi badan, kadar kholesterol PERUBAHAN FISIOLOGIS KARENA LATIHAN FISIK Efek latihan a. Perubahan biokhemis b. Sistem sirkulasi dan respirasi c. Komposisi badan, kadar kholesterol dan trigliceride tekanan darah, dan aklimatisasi pada

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Karakterisasi Komposisi Kimia 1. Analisa Kadar Air (SNI ) Kadar Air (%) = A B x 100% C

Lampiran 1. Prosedur Karakterisasi Komposisi Kimia 1. Analisa Kadar Air (SNI ) Kadar Air (%) = A B x 100% C LAMPIRAN Lampiran 1. Prosedur Karakterisasi Komposisi Kimia 1. Analisa Kadar Air (SNI 01-2891-1992) Sebanyak 1-2 g contoh ditimbang pada sebuah wadah timbang yang sudah diketahui bobotnya. Kemudian dikeringkan

Lebih terperinci

Pengaruh Formula dengan Penambahan Bumbu untuk Makanan Rumah Sakit pada Status Gizi dan Kesehatan Pasien LIBER

Pengaruh Formula dengan Penambahan Bumbu untuk Makanan Rumah Sakit pada Status Gizi dan Kesehatan Pasien LIBER Pengaruh Formula dengan Penambahan Bumbu untuk Makanan Rumah Sakit pada Status Gizi dan Kesehatan Pasien LIBER SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. meningkatnya tekanan osmotik serta stres panas. Itik akan mengalami kesulitan

PENDAHULUAN. meningkatnya tekanan osmotik serta stres panas. Itik akan mengalami kesulitan I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Itik sangat rentan terhadap cuaca panas ditambah lagi dengan sistem pemeliharaan minim air menyebabkan konservasi air oleh ginjal lebih banyak dan meningkatnya tekanan

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK KARKAS DAN KUALITAS DAGING SAPI PO YANG MENDAPAT PAKAN MENGANDUNG PROBIOTIK

KARAKTERISTIK KARKAS DAN KUALITAS DAGING SAPI PO YANG MENDAPAT PAKAN MENGANDUNG PROBIOTIK KARAKTERISTIK KARKAS DAN KUALITAS DAGING SAPI PO YANG MENDAPAT PAKAN MENGANDUNG PROBIOTIK (Carcass Characteristics and Meat Quality of Ongole Crossbreed Cattle Given Feeds Containing Probiotic) ABUBAKAR

Lebih terperinci

ABSTRAK PERBANDINGAN PERUBAHAN KADAR GLUKOSA DARAH SETELAH PUASA DAN DUA JAM SETELAH SARAPAN SELAMA MELAKUKAN TREADMILL PADA LAKI-LAKI DEWASA MUDA

ABSTRAK PERBANDINGAN PERUBAHAN KADAR GLUKOSA DARAH SETELAH PUASA DAN DUA JAM SETELAH SARAPAN SELAMA MELAKUKAN TREADMILL PADA LAKI-LAKI DEWASA MUDA ABSTRAK PERBANDINGAN PERUBAHAN KADAR GLUKOSA DARAH SETELAH PUASA DAN DUA JAM SETELAH SARAPAN SELAMA MELAKUKAN TREADMILL PADA LAKI-LAKI DEWASA MUDA Emanuella Tamara, 2016; Pembimbing I : Harijadi Pramono,

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Hewan coba Metode Penelitian 1 Isolasi dan Produksi Antigen E/S Fasciola gigantica

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Hewan coba Metode Penelitian 1 Isolasi dan Produksi Antigen E/S Fasciola gigantica BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan September 2009 hingga Februari 2010. Penelitian dilakukan di kandang pemeliharaan hewan coba Fakultas Kedokteran Hewan Institut

Lebih terperinci

Hubungan Umur, Bobot dan Karkas Sapi Bali Betina yang Dipotong Di Rumah Potong Hewan Temesi

Hubungan Umur, Bobot dan Karkas Sapi Bali Betina yang Dipotong Di Rumah Potong Hewan Temesi Hubungan Umur, Bobot dan Karkas Sapi Bali Betina yang Dipotong Di Rumah Potong Hewan Temesi Wisnu Pradana, Mas Djoko Rudyanto, I Ketut Suada Laboratorium Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Hewan,

Lebih terperinci