STUDI KASUS MENGENAI PROSES COPING TERHADAP GRIEVING PADA PENDERITA KETULIAN BERTAHAP USIA DEWASA YANG BERASAL DARI SATU KELUARGA. Agfa Aghnia Nadirah

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "STUDI KASUS MENGENAI PROSES COPING TERHADAP GRIEVING PADA PENDERITA KETULIAN BERTAHAP USIA DEWASA YANG BERASAL DARI SATU KELUARGA. Agfa Aghnia Nadirah"

Transkripsi

1 STUDI KASUS MENGENAI PROSES COPING TERHADAP GRIEVING PADA PENDERITA KETULIAN BERTAHAP USIA DEWASA YANG BERASAL DARI SATU KELUARGA Agfa Aghnia Nadirah Program Studi S1 Psikologi, Fakultas Psikologi, Universitas Padjadjaran ABSTRAK Terdapat fenomena ketulian bertahap yang ditemukan pada keluarga R dan bersifat genetik. Beberapa anggota keluarga R kehilangan fungsi pendengarannya sedikit demi sedikit, sampai akhirnya tidak dapat mendengar lagi. Kondisi ketulian ini dapat menyebabkan adanya grief yaitu reaksi terhadap kehilangan dimana seseorang mengalami penderitaan emosional ketika sesuatu atau seseorang yang ia cintai atau harapan yang besar telah menghilang (Smith, dalam Lim, 2013). Proses coping terhadap grieving dilihat menggunakan konsep Dual Process Model dari Stroebe & Schut (1999). Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui proses coping terhadap grieving pada penderita ketulian bertahap usia dewasa yang berasal dari satu keluarga. Sebuah studi kasus dilakukan pada tiga orang cucu dari R yang terkena ketulian bertahap. Data diambil menggunakan teknik depth-interview terhadap subjek dan paman subjek, dan observasi. Subjek didapatkan melalui teknik purposive sampling. Pengolahan data dilakukan menggunakan teknik thematic analysis. Disimpulkan bahwa coping dilakukan untuk mengatasi masalah berupa menurunnya self esteem yang berpengaruh terhadap penurunan self concept. Masalah lain berkaitan dengan pekerjaan dan peran dalam keluarga. Bentuk pengalihan stressor loss-orientation kepada restoration orientation dapat dijadikan cara coping yang efektif. Terdapat temuan lain berupa dukungan dari keluarga berperan dalam proses coping dan adanya kemungkinan pengaruh tipe kepribadian terhadap proses grieving. Kata kunci: ketulian bertahap genetik, coping grieving, Dual Process Model

2 PENDAHULUAN American National Standards Institute (ANSI) mendefinisikan ketulian atau hearing loss sebagai perbedaaan kemampuan normal untuk mendeteksi suara-suara berdasarkan standar yang telah ditetapkan (Martini dan Trevisi dalam Willems, 2004). Adam, Boies, dan Paparella (1978) menjelaskan bahwa dalam menentukan jenis dari ketulian, kita harus melihat apakah penyebabnya ketulian karena faktor genetik atau non genetik; dan berdasarkan waktu terjadinya ada yang menderita ketulian sejak lahir (prenatal) atau terjadi secara bertahap. Ketulian bertahap yang dimaksud adalah melemahnya kemampuan syaraf dari indera pendengaran secara bertahap sampai akhirnya penderita tidak mampu mendengar lagi (Roesman, 1993). Pada penderita ketulian bertahap, mulanya mereka dapat mendengar secara normal namun dikarenakan syaraf pendengarannya melemah lama kelamaan kemampuan mendengarnya berkurang sampai tidak dapat mendengar sama sekali. Fenomena ketulian ini ditemukan pada salah satu keluarga, yaitu keluarga R. Hal unik yang berbeda dari ketulian yang lainnya adalah pada keluarga R ketulian terjadi secara bertahap dan terjadi karena faktor genetik. Tidak semua anggota keluarga besar R mengalami ketulian bertahap, namun terdapat beberapa anggota keluarga besar R yang saat ini menderita ketulian secara bertahap disebabkan oleh faktor genetik. Ketulian bertahap ini diturunkan secara genetik dari pihak ibu (istri Tn. R) yan g memiliki gen dominan. Dari 10 anak R, 6 diantaranya menderita ketulian bertahap. Sebelumnya telah dilakukan penelitian terhadap tiga anak R yang menderita ketulian oleh Agoes G. Roesman di tahun 1993 dengan judul Studi Kasus Tentang Hubungan Antara Konsep Diri Dan Kemampuan Mengatasi Masalah Pada Penderita Ketulian Bertahap Dari Satu Keluarga. Hasilnya didapatkan bahwa dari ketiga orang ini memiliki konsep diri yang berbeda dan berpengaruh terhadap caranya dalam mengatasi masalah (problem solving). Selain itu disimpulkan pula bahwa ibu merupakan pembawa sifat dominan, lalu adanya persamaan fisik (raut wajah dan tinggi badan) dengan penderita awal cenderung mengalami kondisi yang sama (terkena ketulian

3 bertahap). Saat ini terdapat 5 dari 25 orang cucu keturunan R yang kini menderita ketulian bertahap. Tiga diantara kelima cucu R yang menderita ketulian bertahap adalah perempuan dan kakak beradik, dimana ibu mereka lah yang menderita ketulian yang sama, yaitu U (43 tahun), W (41 tahun), dan S (37 tahun). Sementara dua orang yang lain adalah laki-laki yang juga pasangan kakak beradik, yaitu K (44 tahun) dan A (42 tahun) dimana ayah K dan A -lah yang menderita ketulian bertahap. Meskipun menderita ketulian bertahap, namun kelima cucu R ini ini sudah dapat menjalankan kehidupannya dengan baik dan mampu untuk mempertahankan prestasinya. Kondisi ketulian bertahap ini dapat memunculkan perasaan berduka cita yang mendalam akibat kehilangan fungsi pendengaran. Rasa kehilangan ini seringkali disebut sebagai grief. Grief atau rasa berdukacita merupakan reaksi terhadap kehilangan dimana seseorang mengalami penderitaan emosional ketika sesuatu atau seseorang yang ia cintai atau memiliki harapan yang besar telah menghilang (Smith dalam Lim, 2013). Banyak teori yang dapat menjelaskan bagaimana proses grieving berlangsung, salah satunya Dual Process Model Of Coping With Grief and Loss (DPM) dari Stroebe & Schut (1999). Model inilah yang pertama kali menyatakan bahwa tidak ada definisi yang pasti dari stages of grief. Mereka menjelaskan bahwa terdapat dua tipe dari stressor yang membedakan adanya dua jenis coping, yaitu loss-oriented coping mengatasi kehilangan berkaitan dengan individu yang telah meninggal (kehilangan yang dialami), dan restoration-oriented coping mengatasi kehilangan dengan masalah spesifik dan mengembangkan aktivitas baru. Model ini dapat menjelasan proses coping terhadap grieving menjadi lebih berdinamika dengan adanya model oscillation atau bergantian dalam menggunakan loss- dan restoration- oriented. Pada penderita ketulian maka loss oriented coping yang dilakukan berkaitan dengan cara mereka mengatasi hal-hal yang berhubungan dengan pendengarannya yang sudah hilang. Sementara restoration oriented coping yang dilakukan berkaitan dengan cara mereka mengatasi kehilangan dengan masalah spesifik baru yang ditemukan setelah kehilangan dan mengembangkan aktivitas-aktivitas yang baru.

4 Adanya fenomena ketulian bertahap dalam keluarga R, membuat peneliti tertarik untuk melihat bagaimana sebenarnya proses coping terhadap grieving dari anggota keluarga yang terkena ketulian bertahap. Peneliti akan mencoba menjabarkan proses coping grieving menggunakan konsep Dual Process Model dari Stroebe & Schut (1999). METODE PENELITIAN Rancangan penelitian yang digunakan merupakan rancangan penelitian non-eksperimental dengan pendekatan kualitatif dan metode studi kasus. Studi kasus merupakan sebuah deskripsi dan analisis yang intensif terhadap individu, organisasi, atau kejadian, berdasarkan informasi yang didapatkan dari berbagai sumber seperti interview, dokumen, hasil tes, dan catatan arsip (Christensen, 2004). Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling. Pada teknik ini peneliti membuat spesifikasi karakteristik dari populasi yang diinginkan lalu mengambil individu yang memiliki karakteristik tersebut (Christensen, Johnson, & Turner, 2011). Pengambilan data dilakukan menggunakan teknik in-depth interview. Alat ukur yang digunakan akan berdasarkan kepada konsep Dual Process Model of Coping with Grief and Loss dari Stroebe dan Schut (1999). Selain melakukan wawancara terhadap subjek, peneliti juga melakukan observasi terhadap subjek selama wawancara berlangsung dan melakukan wawancara tambahan dengan paman dari subjek untuk memperkuat data hasil wawancara. HASIL DAN PEMBAHASAN Pada penelitian ini proses coping grieving pada ketiga subjek akan dibahas melalui konsep Dual Process Model of Grief and Loss dari Stroebe & Schut (1999), yang seringkali disebut sebagai DPM. Hasilnnya didapatkan bahwa ketiga subjek menunjukkan adanya loss orientation (LO) dan restoration orientation (RO) yang berbeda selama proses berlangsung. Begitupula dengan dinamika atau

5 dalam konsep DPM disebut sebagai oscillation, ketiga subjek terlihat sangat berbeda. Subjek yang pertama adalah U berusia 43 tahun. Ibu dari tiga anak ini menunjukan reaksi grieving ketika gejala pertama mulai muncul, yaitu saat bekerja sebagai pramugari. Subjek yang kedua adalah W berusia 41 tahun dan merupakan adik dari U. Bekerja sebagai seorang PNS dan memiliki 2 orang anak. Reaksi grieving dimulai ketika sedang kuliah S2 dan gejala ketulian mulai muncul dengan intens. Subjek ketiga adalah adik dari U dan W, yaitu S berusia 37 tahun. Seorang ibu rumah tangga dengan 2 anak. Reaksi grieving mulai ada setelah gejala pertama muncul yaitu sehabis melahirkan anak pertama. Berikut ini secara ringkas bagan model DPM dari ketiga subjek Loss Orientation Sedih Tidak percaya diri Oscillation Masih berlangsung, masih tidak percaya diri Restoration Orientation Finansial keluarga Mulai mencari kegiatan komunitas Bagan 1 Model DPM Pada Subjek 1

6 Loss Orientation Sedih Malu Kecewa Memikirkan pendengaran saat stress Berpikir negatif terhadap suami Pikiran negatif akan kondisi Oscillation Pekerjaan digunakan untuk coping loss orientation (LO) Intensitas LO sudah sangat jarang muncul Ketika sedang sensitif/sedih seingkali LO muncul Restoration Orientation Kebutuhan pekerjaan Mempelajari hal baru Bagan 2 Model DPM pada Subjek 2 Loss Orientation Memikirkan kemungkinan terkena ketulian Sedih Takut Tidak percaya diri Pasrah Oscillation Mengalihkan stressor LO dengan fokus pada RO Saat situasi sensistif LO masih sering muncul Restoration Orientation Mendatangi acara-acara baru Peran dalam keluarga, peran sebagai isteri dan anak Masalah dengan suami Bagan 3 Model DPM Subjek 3 *Ket: LO: Loss-orientation RO: Restoration-orientation Secara keseluruhan dari ketiga subjek menujukan adanya stressor loss orientation yang dialami selama menjalani kehidupan sebagai penderita ketulian

7 bertahap. Reaksi ini menjadi lebih sering muncul ketika gejala ketulian bertahap mulai dialami oleh subjek. Ketiga subjek sempat menjalani kehidupannya dengan baik, melanjutkan pendidikan dan bekerja dengan lancar. Sampai pada saatnya munculah gejala pertama dari ketulian bertahap. Gejala pertama yang muncul pada ketiga responden adalah seringkali tidak jelas dalam menangkap informasi yang disampaikan orang lain. Bentuk stressor loss orientation yang sama-sama muncul pada ketiga responden berupa rasa malu dan tidak percaya diri akan kondisinya. Stressor loss orientation lebih banyak dirasakan oleh subjek U dan S, dibandingkan pada subjek W. Hal yang membedakan adalah munculnya emosi sedih dan takut pada subjek U dan S. Emosi takut banyak dirasakan dengan berbagai alasan pada subjek S. Sementara pada subjek U rasa tidak percaya diri yang menjadi masalah utama dan masih terus dirasakan olehnya sampai saat ini. Dapat kita lihat bahwa masalah yang dihadapi oleh penderita ketulian bertahap berkaitan adalah perasaan malu dan tidak percaya diri. Hal ini menunjukan adanya penurunan konsep diri atau self concept. Konsep diri merupakan gabungan antara pikiran dan perasaan yang dimiliki seseorang yang menyebabkan timbulnya kesadaran akan eksistensi dirinya, konsepsi tentang apa dan siapakah dirinya (Jersild, dalam Roesman, 1993). Secara garis besar konsep diri ini merupakan suatu pengamatan seseorang tentang dirinya. Penderita ketulian bertahap menilai dirinya tidak lebih baik dari orang lain dikarenakan fungsi pendengarannya yang menurun. Rasa tidak percaya diri karena menilai dirinya tidak lebih baik ketika bertemu dengan orang lain ini juga seringkali disebut sebagai self esteem atau kepercayaan diri. Dapat dilihat bahwa terdapat penurunan rasa percaya diri pada penderita ketulian bertahap. Self esteem atau kepercayaan diri merupakan keseluruhan perasaan terhadap keberhargaan diri ( self-worth) yang digunakan untuk menilai kepribadian dan kemampuan kita (Myers, 2008). Adanya penurunan self-esteem inilah yan menjadi salah satu penyebab penurunan selfconcept pada penderita ketulian bertahap. Konsep diri bergantung kepada berbagai macam hal yang mempengaruhi, termasuk peran yang kita mainkan,

8 perbandingan yang kita buat, identitas sosial, bagaimana kita merasa penilaian orang lain terhadap kita, dan pengalaman mengenai kesusksesan dan kegagalan (Myers, 2008). Masalah-masalah yang ditimbulkan oleh stressor loss orientation lebih banyak diatasi dengan cara yang pasif. Cara pasif yang dimaksud misalnya dengan merenung sendirian dan melakukan kegiatan agama. Cara mengatasi stressor yang ada disebut sebagai coping. Coping merujuk kepada proses, strategi, atau gaya dalam mengatur (mengurangi, menguasai, dan mentole ransi) situasi berduka pada seseorang (Strobe & Schut, 2010). Cara seperti ini banyak dilakukan oleh salah satu subjek, yaitu subjek U. Ia mengakui bahwa cara seperti ini kurang efektif. Melalui cara seperti ini permasalahan yang dihadapi tidak terselesaikan dan masih dirasakan sampai dengan sekarang. Berbeda dengan U, kedua subjek lainnya yaitu W dan S sudah mencoba untuk mencari cara lain dalam mengatasi stressor loss orientation. S lebih menghadapi stressor ini dengan mencoba untuk jujur kepada orang-orang yang ditemuinya. Cara ini diakui oleh S dapat membuatnya menjadi lebih nyaman ketika berkomunikasi dengan orang lain. Selain itu terdapat cara lain yang dilakukan oleh S yaitu dengan mengalihkan stressor yang dirasakan ke hal lain. Cara ini juga dilakukan oleh W. Seringkali S mencoba mengalihkan kesedihannya kepada perannya sebagai ibu. Bermain, belajar, dan menghabiskan waktu bersama anak-anaknya dapat membuatnya melupakan masalahnya. Begitupula yang dilakukan oleh W. Ia menggunakan pekerjaannya sebagai salah satu cara untuk mengatasi masalah yang dihadapinya. Pada saat ini, orang yang berduka akan melawan kehilangannya, namun di waktu lain ia akan menghindari kenangan, menjadi teralihkan, atau mencari bantuan dengan cara fokus kepada hal lain (Stroebe and Schut, 1999). Jika kita lihat lebih lanjut, stressor loss orientation dialihkan kepada stressor dari restoration orientation. Peran sebagai ibu dan pekerjaan menjadi salah satu bentuk restoration orientation yang perlu dihadapi oleh subjek.

9 Sehingga terlihat dinamika yang digunakan oleh subjek untuk menghadapi stressor yang ada. Pada S, restoration orientation cukup digunakan dengan efektif untuk mengatasi loss orientation yang dirasakan. S sendiri mengaku masih belajar untuk bisa kuat dan terus percaya diri di lingkungan seperti kakaknya, W. Sementara pada U proses osilasi tidak terlihat, karena tidak banyak kegiatan yang bisa dilakukan U untuk melupakan kondisinya. Hal ini juga berkaitan dengan sifat dari U yang memang pemalu dan tidak percaya diri di awal. Ia lebih tertutup dan tidak banyak kegiatan, sehingga sampai sekarang pun ketika mau bertemu orang lain pasti merasa tidak percaya diri. Jika coping yang dilakukan efektif maka bukan hanya dapat bertahan namun juga berbagai kesulitan fisik dan kesehatan mental yang diasosiasikan dengan proses berduka dapat dikurangi (Strobe & Schut, 2010). Adanya kemampuan RO yang lebih baik pada W dan S memungkinkan mereka untuk bisa lebih mengembangkan dirinya. Kemampuan ini memungkinkan mereka untuk mempelajari skill baru lain melalui sumber lain seperti teman, anggota keluarga, maupun orang lain dalam komunitas, yang mungkin melebihi kebutuhan mereka (Lund et al., 1989; Utz, 2006 dalam Lund, 2010). Model tugas Worden (dalam Stroebe & Schut 2010) yang menjadi salah satu dasar model DPM menyebutkan terdapat empat tugas dari individu yang berduka. Selain merasakan kepedihan dari kehilangan, dalam model ini juga individu memiliki tugas untuk bisa menyesuaikan diri dengan dunia yang baru tanpa adanya orang yang meniggal dunia, dalam kasus ini berarti tanpa adanya pendengaran yang berfungsi dengan normal. Ketiga responden menujukan mereka sudah bisa menyesuaikan diri dengan kondisinya yang sekarang, hanya saja seberapa optimal mereka menyesuaikan dirinya yang berbeda dari setiap individu. W yang lebih banyak beraktivitas terlihat lebih bisa memanfaatkan RO menjadi hal yang optimal. Terlihat bahwa memang proses coping grieving ini sangat berbeda setiap individunya dan dipengaruhi oleh banyak hal. Seperti yang diungkapkan oleh Stroebe & Schut (199 9) bahwa rekasi grief merupakan reaksi yang individual.

10 Meskipun berasal dari ibu dan ayah yang sama, namun proses mereka menghadapi ketulian bertahap ini berbeda-beda. Pada kasus ini, terlihat bahwa yang paling efektif dalam melakukan coping adalah subjek W. Subjek W sendiri mengakui dapat melakukan hal ini dengan baik dikarenakan memiliki pengetahuan mengenai coping stress dan adanya kegiatan di luar rumah yang tidak dimiliki oleh kedua subjek lainnya. Perasaan tidak menerima keadaan atau sedih yang berlebihan pada ketiga responden tidak terlalu terlihat. Hal ini diakui oleh ketiganya karena memang proses ketulian yang bertahap ini lah yang membuatnya menjadi lebih bisa menerima. Ketulian tidak terjadi secara langsung, namun sedikit demi sedikit sehingga subjek dapat lebih menyesuaikan diri. Selain itu pengalaman melihat anggota keluarga yang sebelumnya mengalami kondisi yang sama juga membuat mereka menjadi lebih siap. Dukungan dari keluarga dan pasangan menjadi salah satu hal yang dibutuhkan selama menjalani kehidupan sebagai penderita ketulian bertahap. Dukungan berupa tetap diperlakukan layaknya individu yang normal dan diberi kepercayaan melakukan kegiatan oleh keluarga menjadi hal yang menguatkan. Stroebe & Schut (2015) mengemukakan bahwa dinamika keluarga akan mempengaruhi proses grieving dan begitupula sebaliknya. Meskipun memiliki bentuk proses grieving yang berbeda dan efektivitas dari penggunaan LO dan RO yang berbeda, namun ketiga subjek menunjukan mereka sudah bisa menerima dan menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Proses oscillation atau pergantian antara RO dan LO sendiri juga masih belum sepenuhnya berhenti pada ketiga subjek. Ketiganya seringkali masih sempat terpikir mengenai kondisi pendengarannya ketika sedang berada dalam kondisi sensitif, misalnya ketika mood sedang tidak baik atau ketika sedang merasa sangat sedih. Hal yang membedakan dari ketiganya adanya intensitas dari proses kemunculan pikiran-pikiran tentang pendengarannya. Pada U pikiran ini terlihat masih sering muncul ketika akan bertemu dengan orang yang baru dikenalnya. Berdasarkan penjelasan di atas, maka diperlukan dukungan dari keluarga dan juga pasangan agar penderita ketulian bertahap tetap bisa menjalankan

11 kehidupannya dengan baik. Selain itu, meskipun ketiganya sudah dapat menerima kondisinya, namun pemberian kegiatan lain dapat membantu penyelesaian stressor loss orientation menjadi lebih baik. Memiliki keseimbangan antara kedua proses (loss orientation dan restoration orientation) diasosiasikan dengan lebih banyak hasil yang positif jika dibandingkan dengan yang tidak seimbang, yaitu yang lebih menekankan kepada loss-orientation (Caserta & Lund, 2007). Individu yang berduka harus ikut serta dalam aktivitas yang berkaitan dengan rumah tangga, finansial, atau tanggung jawab resmi, bukan hanya karena mereka perlu, tapi juga untuk membuktikan kepada diri mereka bahwa mereka mampu untuk menjadi lebih mandiri (Caserta & Lund, 2007). TEMUAN LAIN Dalam melakukan penelitian ini, peneliti juga menemukan beberapa hal lain yang tidak dapat terbahas menggunakan konsep DPM dari Stroebe & Schut. Beberapa temuan ini dianggap penting untuk dijelaskan karena dapat menjadi informasi tambahan dan juga saran bagi penelitian selanjutnya. Temuan pertama berkaitan dengan proses appraisal atau penilaian terhadap stressor. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa ketiga subjek tidak terlalu menganggap kondisi ketulian bertahap ini sebagai kondisi yang menyedihkan dan memberatkan kehidupannya. Hal ini disebabkan karena kehilangan pendengaran yang terjadi sedikit demi sedikit (tidak tiba -tiba keseluruhan hilang) dan pengalaman melihat anggota keluarga (ibu dan tantenya) lain yang mengalami ketulian bertahap namun tetap dapat menjalankan kehidupannya dengan baik. Bagi mereka keadaan tersebut bukanlah hal yang asing. Jika dilihat menggunakan konsep Cognitive Stress Theory dari Lazarus dan Folkman, hal ini berkaitan dengan tahap appraisal atau penilaian. Pada primary appraisal kehilangan pendengaran merupakan dapat menyebabkan stressful namun bukanlah kondisi yang tidak sesuai dengan kehidupan seharihari. Selain itu kondisi kehilangan yang terjadi bertahap dan pengalaman melihat

12 anggota keluarga yang lain menjadi pertimbangan saat penderita melakukan secondary appraisal. Aktivitas secondary appraisal merupakan hal yang penting dalam menghadapi stress, karena hasil dari pengolahan stress bergantung kepada apa yang dapat diselesaikan sama seperti apa yang telah dipertaruhkan (Lazarus&Folkman, 1984). Hal ini berkaitan dengan kemampuan individu atau strategi yang dimiliki individu untuk dapat mengatasi sumber stress. Adanya pengalaman dari anggota keluarga lain dan kejadian yang secara bertahap membuat penderita telah memiliki strategi untuk mengatasi sumber stress yang ada. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa salah satu subjek merasa bahwa bukan menjadi masalah yang besar ketika dirinya tidak dapat berkomunikasi dengan orang lain, karena pada dasarnya dari dulu ia memang pemalu dan tidak banyak bergaul dengan orang lain. Hal ini berbeda dengan kedua subjek lain yang menganggap komunikasi dengan orang lain menjadi hal yang sangat penting. Peneliti menduga adanya pengaruh tipe kepribadian ( personality type) terhadap kondisi yang menentukan seseorang merasa grief. Temuan ketiga berkaitan dengan besarnya peran keluarga dalam membantu penderita menjalani kehidupannya dengan baik. Hal ini diakui oleh ketiga subjek. Dukungan dari suami dan keluarga berupa tetap diperlakukan layaknya individu normal membantu mereka menjadi lebih percaya diri menjalankan kehidupannya. Keluarga tetap memberikan kesempatan bagi penderita ketulian bertahap untuk mengangkat telepon, berkomunikasi dengan orang luar, dan menjalankan kegiatan-kegiatan di luar rumah. Kemudian ketika masa sulit datang, keluarga selalu ada untuk mendukung mereka. Temuan terakhir, meskipun para penderita sudah mampu menyesuaikan diri dan menjalankan perannya dengan kondisi ketulian bertahap, namun bukan berarti perasaan negatif berhenti muncul. Diakui bahwa ketika berada dalam kondisi yang sensitif, sedih, dan mood yang tidak menentu; seringkali perasaan kecewa dan tidak percaya diri kembali hadir dalam diri penderita. Dalam model DPM disebutkan bahwa osilasi akan terus terjadi dan pada waktu tertentu individu yang berduka akan berhenti memikirkan kehilangannya (Stroebe &

13 Schut, 1999). Namun pada penderita ketulian bertahap, kehilangan ini tidak sepenuhnya berhenti dipikirkan. Seringkali masih muncul ketika berada dalam kondisi sensitif. SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan pembahasan terhadap hasil penelitian dari ketiga subjek. Maka peneliti menyimpulkan beberapa hal terkait dengan proses coping terhadap grieving yang terjadi pada ketiganya: 1. Bentuk masalah yang dihadapi oleh penderita ketulian bertahap adalah menurunnya self-esteem yang berdampak pada penurunan self-concept. 2. Karakteristik perkembangan mempengaruhi munculnya masalah lain berkaitan dengan pekerjaan dan kehidupan keluarga. 3. Bentuk pengalihan stressor loss-orientation kepada restoration orientation dapat dijadikan cara coping yang efektif untuk mengatasi pikiran-pikiran mengenai ketulian bertahap yang dihadapi, dibandingkan dengan hanya merenung, berdiam diri, dan berdoa. 4. Ketiga subjek sudah dapat menjalankan kehidupannya dengan baik, hanya saja pikiran negatif mengenai ketulian bertahap masih muncul ketika berada dalam kondisi sensitif. 5. Kegiatan sehari-hari dapat mempengaruhi bagaimana cara subjek menyelesaikan masalahanya. Selain itu peran dan dukungan dari keluarga menjadi salah satu hal yang membantu penderita untuk recovery dari kondisinya. Beberapa saran yang diajukan peneliti untuk kepentingan penelitian selanjtunya adalah sebagai berikut: 1. Memperkaya sumber data dengan mewawancarai pihak-pihak lain yang berkaitan dengan subjek, seperti pasagan, rekan kerja, anggota keluarga lain, dsb.

14 2. Sebelum melakukan penelitian, perlu ditentukan kriteria-kriteria dari seseorang yang mengalami grieving, sehingga dapat dipastikan bahwa subjek penelitian mengalami kondisi grieving. 3. Berdasarkan hasil penelitian ketiga subjek menyebutkan kegiatan keagamaan sebagai salah satu bentuk coping yang sering dilakukan ketiganya. Bentuk coping melalui kegiatan keagamaan menjadi menarik untuk diteliti lebih lanjut. 4. Penelitian ini dapat dijadikan sebagai penelitian awal untuk melihat gambaran kondisi yang perlu dihadapi oleh penderita ketulian bertahap, sehingga kedepannya dapat diteliti lebih lanjut mengenai bentuk intervensi yang tepat supaya penderita ketulian bertahap menjadi lebih siap. 5. Terdapat temuan lain berupa peran keluarga dan diindikasi adanya pengaruh tipe kepribadian terhadap grieving yang dialami. Hal ini dapat menjadi topik yang dapat diteliti lebih lanjut. Selain itu terdapat pula beberapa saran praktis untuk para penderita ketulian bertahap dan penderita ketulian jenis lain: 1. Menambah kegiatan di luar rumah atau kegiatan-kegiatan baru yang sesuai dengan kondisi pendengaran dapat membantu penderita tidak berlarut dalam kondisi kesedihan dan meningkatkan self-esteem. 2. Pemberitahuan dini mengenai kondisi ketulian bertahap yang terjadi secara genetik dapat membantu anggota R yang beresiko terkena ketulian bertahap lebih siap dalam mengahadapi kondisinya nanti. 3. Dukungan dari keluarga dan pasangan, serta diperlakukan sebagai seseorang yang normal dapat membantu penderita mempertahankan selfesteem dan self-concept. Sehingga dapat menjalankan kehidupan dengan baik. 4. Kondisi stress seringkali berengaruh terhadap kondisi pendengaran, sehingga pengetahuan mengenai cara menanggulangi stress yang efektif dapat membantu baik penderita ketulian bertahap maupun anggota keluarga yang beresiko terkena ketulian bertahap untuk siap menghadapi kondisinya.

15 5. Pengarahan sejak awal kepada anak-anak yang beresiko terkena ketulian bertahap untuk selalu percaya diri dan bersosialisasi dengan lingkungan akan membantu mereka untuk tetap percaya diri ketika ketulian terjadi. DAFTAR PUSTAKA Adams, G. L., Boies, L. R., & Paparella, M. M. (1978). Boise's Fundamentals of Otolaryngology: A Textbook of Ear, Nose and Throat Diseases (5th Edition ed.). Toronto: W. B. Saunders Company. Caserta, Michael S., & Lund, Dale A. (2007). Toward the Development of an Inventory of Daily Widowed Life (IDWL): Guided by the Dual Process Model of Coping with Bereavement. Death Studies, 31(6): 505Christensen, L. B. (2004). Experimental Methodology (9th Edition ed.). USA: Pearson. Christensen, L. B. (2004). Experimental Methodology (9th Edition ed.). USA: Pearson. Christensen, L. B., Johnson, R., & Turner, L. A. (2011). Research Methods, Design, and Analysis. USA: Pearson. Lazarus, R. S., & Folkman, S. (1984). Stress, Appraisal, and Coping. New York: Springer Publishing Company. Lim, W. M. (2013). Revisiting Kubler -Ross's Five Stages of Grief: Some Comments On the Iphone 5. Journal on Social Sciences, Lund, Dale, et.al. (2010). Experiences And Early Coping Of Bereaved Spouses/Partners in An Intervention Based On The Dual Process Model (DPM). Myers, David G. (2008). Social Psychology (9 th edition). New York: McGraw Hill Roesman, A. G. (1993). Studi Kasus Tentang Hubungan Antara Konsep Diri dan Kemampuan Mengatasi Masalah Pada Penderita Ketulian Bertahap Dari Satu Keluarga. Skripsi Fakultas Psikologi Universitas Islam Bandung: Universitas Islam Bandung. Stroebe, Margaret & Schut, Henk. (1999). The Dual Process Model of Coping With Bereavement: Rationale and Description. Death Studies, 23, Stroebe, Margaret & Schut, Henk.(2010). The Dual Process Model of Coping With Bereavement: A Decade On. Omega, 61(4), Stroebe, Margaret & Schut, Henk. (2015). Family Matters in Bereavement: Toward an Integrative Intra-Interpersonal Coping Model. Perspective on Psychological Science, 10(6), Willems, P. J. (2004). Genetic Hearing Loss. New York: Marcel Dekker.

Abstrak. Kata kunci:

Abstrak. Kata kunci: Studi Mengenai Stres dan Coping Stres pada Ibu Rumah Tangga yang Tidak Bekerja Karya Ilmiah Dini Maisya (NPM. 190110070038) Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran Abstrak. Dalam menjalankan tugas sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai manusia yang telah mencapai usia dewasa, individu akan

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai manusia yang telah mencapai usia dewasa, individu akan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sebagai manusia yang telah mencapai usia dewasa, individu akan mengalami masa transisi peran sosial, individu dewasa awal akan menindaklanjuti hubungan dengan

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA PENERIMAAN TERHADAP PENYAKIT DENGAN KUALITAS HIDUP PADA PENDERITA KANKER PAYUDARA BANDUNG CANCER SOCIETY RIO HATTU ABSTRAK

HUBUNGAN ANTARA PENERIMAAN TERHADAP PENYAKIT DENGAN KUALITAS HIDUP PADA PENDERITA KANKER PAYUDARA BANDUNG CANCER SOCIETY RIO HATTU ABSTRAK HUBUNGAN ANTARA PENERIMAAN TERHADAP PENYAKIT DENGAN KUALITAS HIDUP PADA PENDERITA KANKER PAYUDARA BANDUNG CANCER SOCIETY RIO HATTU ABSTRAK Penelitian mengenai kanker payudara menunjukkan bahwa penerimaan

Lebih terperinci

STUDI MENGENAI DERAJAT STRES DAN COPING STRATEGY PADA KOAS FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI UNIVERSITAS PADJADJARAN ANGKATAN 2009

STUDI MENGENAI DERAJAT STRES DAN COPING STRATEGY PADA KOAS FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI UNIVERSITAS PADJADJARAN ANGKATAN 2009 STUDI MENGENAI DERAJAT STRES DAN COPING STRATEGY PADA KOAS FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI UNIVERSITAS PADJADJARAN ANGKATAN 2009 RAHAYU AGUSTINA ABSTRACT Program Pendidikan Profesi Dokter Gigi cenderung menimbulkan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Lazarus menyebut pengatasan masalah dengan istilah coping. Menurut

BAB II LANDASAN TEORI. Lazarus menyebut pengatasan masalah dengan istilah coping. Menurut 12 BAB II LANDASAN TEORI A. Pengertian Pengatasan Masalah Lazarus menyebut pengatasan masalah dengan istilah coping. Menurut Lazarus dan Folkman (1984) pengatasan masalah merupakan suatu proses usaha individu

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan manusia.

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan manusia. BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan manusia. Setiap individu memiliki harapan untuk bahagia dalam kehidupan perkawinannya. Karena tujuan perkawinan

Lebih terperinci

LAMPIRAN A LEMBAR DATA PARTISIPAN

LAMPIRAN A LEMBAR DATA PARTISIPAN LAMPIRAN A LEMBAR DATA PARTISIPAN Identitas Partisipan Nama (Inisial) : Tempat, Tanggal Lahir : Anak Ke : Agama : Status : Suku Bangsa : Pendidikan Terakhir : Profesi/ Pekerjaan : Alamat/ No Telepon :

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Meninggalnya seseorang merupakan salah satu perpisahan alami dimana

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Meninggalnya seseorang merupakan salah satu perpisahan alami dimana BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Meninggalnya seseorang merupakan salah satu perpisahan alami dimana seseorang akan kehilangan orang yang meninggal dengan penyebab dan peristiwa yang berbeda-beda

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan harapan. Masalah tersebut dapat berupa hambatan dari luar individu maupun

BAB I PENDAHULUAN. dengan harapan. Masalah tersebut dapat berupa hambatan dari luar individu maupun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Individu memiliki berbagai macam masalah didalam hidupnya, masalah dalam diri individu hadir bila apa yang telah manusia usahakan jauh atau tidak sesuai dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. langgeng hingga akhir hayat mereka. Namun, dalam kenyataannya harapan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. langgeng hingga akhir hayat mereka. Namun, dalam kenyataannya harapan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Setiap pasangan menikah pasti menginginkan agar perkawinannya langgeng hingga akhir hayat mereka. Namun, dalam kenyataannya harapan akan kelanggengan perkawinan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Keluarga yang bahagia dan harmonis merupakan dambaan dari setiap

BAB I PENDAHULUAN. Keluarga yang bahagia dan harmonis merupakan dambaan dari setiap 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keluarga yang bahagia dan harmonis merupakan dambaan dari setiap pasangan. Saling setia dan tidak terpisahkan merupakan salah satu syarat agar tercipta keluarga

Lebih terperinci

PROSES CEMBURU DALAM HUBUNGAN PERCINTAAN Oleh: Aries Yulianto *

PROSES CEMBURU DALAM HUBUNGAN PERCINTAAN Oleh: Aries Yulianto * Running Head : PROSES CEMBURU DALAM HUBUNGAN PERCINTAAN 14 PROSES CEMBURU DALAM HUBUNGAN PERCINTAAN Oleh: Aries Yulianto * Cemburu, yang dalam hubungan percintaan disebut romantic jealousy (Bringle, 1991),

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Terdapat beberapa karakteristik anak autis, yaitu selektif berlebihan

BAB I PENDAHULUAN. Terdapat beberapa karakteristik anak autis, yaitu selektif berlebihan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Anak adalah dambaan dalam setiap keluarga dan setiap orang tua pasti memiliki keinginan untuk mempunyai anak yang sempurna, tanpa cacat. Bagi ibu yang sedang

Lebih terperinci

Piaget (dalam Hurlock, 2000) mengemukakan bahwa masa remaja merupakan masa mencari identitas diri. Oleh karena itu, remaja berusaha mengenali dirinya

Piaget (dalam Hurlock, 2000) mengemukakan bahwa masa remaja merupakan masa mencari identitas diri. Oleh karena itu, remaja berusaha mengenali dirinya PERANAN INTENSITAS MENULIS DI BUKU HARIAN TERHADAP KONSEP DIRI POSITIF PADA REMAJA Erny Novitasari ABSTRAKSI Universitas Gunadarma Masa remaja merupakan masa mencari identitas diri, dimana remaja berusaha

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. semakin menyadari pentingnya mendapatkan pendidikan setinggi mungkin. Salah

BAB I PENDAHULUAN. semakin menyadari pentingnya mendapatkan pendidikan setinggi mungkin. Salah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan jaman yang semakin maju menuntut masyarakat untuk semakin menyadari pentingnya mendapatkan pendidikan setinggi mungkin. Salah satu tujuan seseorang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki masa pensiun merupakan salah satu peristiwa di kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki masa pensiun merupakan salah satu peristiwa di kehidupan BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Memasuki masa pensiun merupakan salah satu peristiwa di kehidupan yang membutuhkan adaptasi bagi siapa saja yang akan menjalankannya. Setiap individu yang akan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karena adanya hubungan darah, perkawinan atau adopsi dan saling berinteraksi satu sama

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karena adanya hubungan darah, perkawinan atau adopsi dan saling berinteraksi satu sama BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keluarga merupakan dua atau lebih individu yang hidup dalam satu rumah tangga karena adanya hubungan darah, perkawinan atau adopsi dan saling berinteraksi satu sama

Lebih terperinci

PERSEPSI TENTANG LINGKUNGAN APARTEMEN DI KOTA BANDUNG SEBAGAI TEMPAT TINGGAL TETAP PADA MAHASISWA PERANTAU FITRIYANTI

PERSEPSI TENTANG LINGKUNGAN APARTEMEN DI KOTA BANDUNG SEBAGAI TEMPAT TINGGAL TETAP PADA MAHASISWA PERANTAU FITRIYANTI PERSEPSI TENTANG LINGKUNGAN APARTEMEN DI KOTA BANDUNG SEBAGAI TEMPAT TINGGAL TETAP PADA MAHASISWA PERANTAU FITRIYANTI Dibimbing oleh: Prof. Dr. Tb. Zulrizka Iskandar, S.Psi., M.Sc. ABSTRAK Keterbatasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penting. Keputusan yang dibuat individu untuk menikah dan berada dalam

BAB I PENDAHULUAN. penting. Keputusan yang dibuat individu untuk menikah dan berada dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pernikahan bagi beberapa individu dapat menjadi hal yang istimewa dan penting. Keputusan yang dibuat individu untuk menikah dan berada dalam kehidupan yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Alasan Pemilihan Teori Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being menurut Diener (2005). Teori yang dipilih akan digunakan untuk meneliti gambaran

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. penurunan kondisi fisik, mereka juga harus menghadapi masalah psikologis.

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. penurunan kondisi fisik, mereka juga harus menghadapi masalah psikologis. BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lanjut usia merupakan suatu proses berkelanjutan dalam kehidupan yang ditandai dengan berbagai perubahan ke arah penurunan. Problematika yang harus dihadapi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai seorang ibu. Wanita sebagai Ibu adalah salah satu dari kedudukan sosial yang

BAB I PENDAHULUAN. sebagai seorang ibu. Wanita sebagai Ibu adalah salah satu dari kedudukan sosial yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Seorang wanita dalam kehidupan berkeluarga memiliki peran sebagai seorang istri dan sebagai seorang ibu. Wanita sebagai Ibu adalah salah satu dari kedudukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kanker adalah sel-sel tubuh yang tumbuh tanpa kendali dan dapat menyebar ke seluruh tubuh. Kanker merupakan salah satu penyebab kematian tertinggi pada manusia modern.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sekarang ini kita dihadapkan pada berbagai macam penyakit, salah satunya

BAB I PENDAHULUAN. Sekarang ini kita dihadapkan pada berbagai macam penyakit, salah satunya 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sekarang ini kita dihadapkan pada berbagai macam penyakit, salah satunya penyakit Lupus. Penyakit ini merupakan sebutan umum dari suatu kelainan yang disebut sebagai

Lebih terperinci

BAB V HASIL PENELITIAN

BAB V HASIL PENELITIAN BAB V HASIL PENELITIAN A. Rangkuman Hasil Penelitian Ketiga subjek merupakan pasangan yang menikah remaja. Subjek 1 menikah pada usia 19 tahun dan 18 tahun. Subjek 2 dan 3 menikah di usia 21 tahun dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Setiap individu akan mengalami perubahan pada dirinya baik secara fisik

BAB I PENDAHULUAN. Setiap individu akan mengalami perubahan pada dirinya baik secara fisik BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang masalah Setiap individu akan mengalami perubahan pada dirinya baik secara fisik maupun emosional. Semakin bertambahnya usia, individu akan mengalami berbagai macam

Lebih terperinci

PSIKOLOGI UMUM 2. Stress & Coping Stress

PSIKOLOGI UMUM 2. Stress & Coping Stress PSIKOLOGI UMUM 2 Stress & Coping Stress Pengertian Stress, Stressor & Coping Stress Istilah stress diperkenalkan oleh Selye pada tahun 1930 dalam bidang psikologi dan kedokteran. Ia mendefinisikan stress

Lebih terperinci

GAMBARAN COPING STRESS MAHASISWA BK DALAM MENGIKUTI PERKULIAHAN DI UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA

GAMBARAN COPING STRESS MAHASISWA BK DALAM MENGIKUTI PERKULIAHAN DI UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA 13 GAMBARAN COPING STRESS MAHASISWA BK DALAM MENGIKUTI PERKULIAHAN DI UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA Anies Andriyati Devi 1 Dra.Retty Filiani 2 Dra.Wirda Hanim, M.Psi 3 Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sesuatu yang tidak dapat diperkirakan waktu terjadinya. Sehingga kematian

BAB I PENDAHULUAN. sesuatu yang tidak dapat diperkirakan waktu terjadinya. Sehingga kematian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kematian merupakan bagian yang tidak terlepas dari kehidupan manusia. Kematian merupakan fakta hidup yang harus diterima oleh semua makhluk yang bernyawa di dunia ini,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan kemajuan teknologi di bidang otomotif, setiap perusahaan

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan kemajuan teknologi di bidang otomotif, setiap perusahaan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Seiring dengan kemajuan teknologi di bidang otomotif, setiap perusahaan otomotif khususnya mobil, akan terus berusaha untuk memproduksi unit-unit mobil dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan

BAB I PENDAHULUAN. Remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa yang pada umumnya dimulai pada usia 12 atau 13 tahun dan berakhir pada usia

Lebih terperinci

GAMBARAN KOMITMEN BERPACARAN PADA KORBAN SEXUAL INFIDELITY USIA TAHUN YANG TETAP MEMERTAHANKAN RELASI BERPACARANNYA SEKAR NAWANG WULAN

GAMBARAN KOMITMEN BERPACARAN PADA KORBAN SEXUAL INFIDELITY USIA TAHUN YANG TETAP MEMERTAHANKAN RELASI BERPACARANNYA SEKAR NAWANG WULAN GAMBARAN KOMITMEN BERPACARAN PADA KORBAN SEXUAL INFIDELITY USIA 18-25 TAHUN YANG TETAP MEMERTAHANKAN RELASI BERPACARANNYA SEKAR NAWANG WULAN Eka Riyanti Purboningsih, S.Psi., M.Psi. 1 Fakultas Psikologi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Dimensi kemanusiaan yang saling terkait yaitu aspek biologis, psikologis,

BAB 1 PENDAHULUAN. Dimensi kemanusiaan yang saling terkait yaitu aspek biologis, psikologis, BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Dimensi kemanusiaan yang saling terkait yaitu aspek biologis, psikologis, sosial, dan spiritual merupakan komponen integral yang tidak terpisahkan pada semua orang (Stanley

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 20 tahun sampai 30 tahun, dan mulai mengalami penurunan pada usia lebih dari

BAB I PENDAHULUAN. 20 tahun sampai 30 tahun, dan mulai mengalami penurunan pada usia lebih dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Pada masa dewasa awal, kondisi fisik mencapai puncak bekisar antara usia 20 tahun sampai 30 tahun, dan mulai mengalami penurunan pada usia lebih dari 30 tahun.

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti mengenai Dinamika Personal Growth periode anak anak dewasa muda pada individu yang mengalami masa perkembangan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. (Wawancara dengan Bapak BR, 3 Maret 2008)

1. PENDAHULUAN. (Wawancara dengan Bapak BR, 3 Maret 2008) 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ketika putri saya meninggal dunia, saya merasa kehilangan bagian dari diri saya. Saya merasa tidak utuh dan segala sesuatu tidak akan pernah sama lagi. Beberapa hari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masa kanak-kanak, masa remaja, masa dewasa yang terdiri dari dewasa awal,

BAB I PENDAHULUAN. masa kanak-kanak, masa remaja, masa dewasa yang terdiri dari dewasa awal, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia akan mengalami perkembangan sepanjang hidupnya, mulai dari masa kanak-kanak, masa remaja, masa dewasa yang terdiri dari dewasa awal, dewasa menengah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya manusia yang berkualitas tinggi. Masyarakat semakin berkembang

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya manusia yang berkualitas tinggi. Masyarakat semakin berkembang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam zaman pembangunan di Indonesia dan globalisasi dunia yang menuntut kinerja yang tinggi dan persaingan semakin ketat, semakin dibutuhkan sumber daya

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Teori Komunikasi Keluarga Pengertian Komunikasi

TINJAUAN PUSTAKA Teori Komunikasi Keluarga Pengertian Komunikasi 7 TINJAUAN PUSTAKA Teori Komunikasi Keluarga Pengertian Komunikasi Komunikasi merupakan suatu cara untuk memengaruhi individu agar si pemberi pesan (sender) dan si penerima pesan (receiver) saling mengerti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Modernisasi menjadi fenomena yang sangat penting dalam dunia kerja.

BAB I PENDAHULUAN. Modernisasi menjadi fenomena yang sangat penting dalam dunia kerja. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Modernisasi menjadi fenomena yang sangat penting dalam dunia kerja. Selain dampaknya terhadap penggunaan alat-alat produksi dan strategi pemasaran. Modernisasi juga

Lebih terperinci

Teori Komunikasi MODUL PERKULIAHAN. Mahasiswa Mampu Menjelaskan Tentang Teori-Teori Dalam Konteks Komunikasi Antar Pribadi

Teori Komunikasi MODUL PERKULIAHAN. Mahasiswa Mampu Menjelaskan Tentang Teori-Teori Dalam Konteks Komunikasi Antar Pribadi MODUL PERKULIAHAN Teori Komunikasi Pokok Bahasan 1 Antarpribadi 1.1 Elemen pembentuk kesadaran diri 1.2 Konsep-konsep yang mempengaruhi perkembangan kesadaran diri 1.3 Teori-Teori Tentang Diri (Konsep

Lebih terperinci

A. LATAR BELAKANG Perselingkuhan dalam rumah tangga adalah sesuatu yang sangat tabu dan menyakitkan sehingga wajib dihindari akan tetapi, anehnya hal

A. LATAR BELAKANG Perselingkuhan dalam rumah tangga adalah sesuatu yang sangat tabu dan menyakitkan sehingga wajib dihindari akan tetapi, anehnya hal HARGA DIRI PADA WANITA DEWASA AWAL MENIKAH YANG BERSELINGKUH KARTIKA SARI Program Sarjana, Universitas Gunadarma Abstrak Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana gambaran harga diri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. (UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dalam Libertus, 2008). Keputusan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. (UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dalam Libertus, 2008). Keputusan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan dapat diartikan sebagai sebuah ikatan lahir batin seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Konteks Penelitian (Latar Belakang Masalah) Perkawinan merupakan salah satu titik permulaan dari misteri

BAB I PENDAHULUAN. A. Konteks Penelitian (Latar Belakang Masalah) Perkawinan merupakan salah satu titik permulaan dari misteri 1 BAB I PENDAHULUAN A. Konteks Penelitian (Latar Belakang Masalah) Perkawinan merupakan salah satu titik permulaan dari misteri kehidupan. Komitmen laki-laki dan perempuan untuk menjalani sebagian kecil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Perceraian adalah puncak dari penyesuaian perkawinan yang buruk,

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Perceraian adalah puncak dari penyesuaian perkawinan yang buruk, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Fenomena perceraian merupakan hal yang sudah umum terjadi di masyarakat. Perceraian adalah puncak dari penyesuaian perkawinan yang buruk, yang terjadi apabila

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. harus dilakukan sesuai dengan tahapan perkembangannya. Salah satu tugas

BAB I PENDAHULUAN. harus dilakukan sesuai dengan tahapan perkembangannya. Salah satu tugas BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Selama masa hidupnya, individu mempunyai tugas-tugas perkembangan yang harus dilakukan sesuai dengan tahapan perkembangannya. Salah satu tugas perkembangan yang

Lebih terperinci

STUDI DESKRIPTIF MENGENAI TINGKAT YEARNING SETELAH MENGALAMI BERAKHIRNYA INTIMATE RELATIONSHIP PADA DEWASA AWAL USIA TAHUN ZSASKIA SHABRINA

STUDI DESKRIPTIF MENGENAI TINGKAT YEARNING SETELAH MENGALAMI BERAKHIRNYA INTIMATE RELATIONSHIP PADA DEWASA AWAL USIA TAHUN ZSASKIA SHABRINA STUDI DESKRIPTIF MENGENAI TINGKAT YEARNING SETELAH MENGALAMI BERAKHIRNYA INTIMATE RELATIONSHIP PADA DEWASA AWAL USIA 20-24 TAHUN ZSASKIA SHABRINA ABSTRAK ZSASKIA SHABRINA. Studi Deskriptif Mengenai Tingkat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Masalah Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan seseorang memasuki masa dewasa. Masa ini merupakan, masa transisi dari masa anak-anak menuju dewasa.

Lebih terperinci

BAB I. Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan. terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan

BAB I. Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan. terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan BAB I 1.1 Latar Belakang Masalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik,

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. menjadi tidak teratur atau terasa lebih menyakitkan. kebutuhan untuk menjadi orang tua dan menolak gaya hidup childfree dan juga

BAB V PENUTUP. menjadi tidak teratur atau terasa lebih menyakitkan. kebutuhan untuk menjadi orang tua dan menolak gaya hidup childfree dan juga BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan Dari hasil penelitian maka dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya seluruh subjek mengalami stres. Reaksi stres yang muncul pada subjek penelitian antara lain berupa reaksi

Lebih terperinci

BAB V. KESIMPULAN, DISKUSI, dan SARAN

BAB V. KESIMPULAN, DISKUSI, dan SARAN BAB V KESIMPULAN, DISKUSI, dan SARAN 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti mengenai self esteem pada wanita yang menderita infertilitas, maka peneliti dapat menyimpulkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang,

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang, karena pada masa ini remaja mengalami perkembangan fisik yang cepat dan perkembangan psikis

Lebih terperinci

BAB I II METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan pendekatan dominant-less dominant.

BAB I II METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan pendekatan dominant-less dominant. BAB I II METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan dominant-less dominant. Pendekatan dominant-less dominant merupakan pendekatan yang berasal dari paradigm yang dominant

Lebih terperinci

GAMBARAN INTENSI MELAKUKAN OBSESSIVE CORBUZIER S DIET (OCD) PADA MAHASISWA

GAMBARAN INTENSI MELAKUKAN OBSESSIVE CORBUZIER S DIET (OCD) PADA MAHASISWA GAMBARAN INTENSI MELAKUKAN OBSESSIVE CORBUZIER S DIET (OCD) PADA MAHASISWA Studi Deskriptif Mengenai Intensi untuk Melakukan Diet OCD Pada Mahasiswa Universitas Padjadjaran dilihat dari Attitude Toward

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berketetapan untuk tidak menjalankan tugas dan kewajiban sebagai suami-istri. Pasangan

BAB I PENDAHULUAN. berketetapan untuk tidak menjalankan tugas dan kewajiban sebagai suami-istri. Pasangan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perceraian merupakan suatu perpisahan secara resmi antara pasangan suami-istri dan berketetapan untuk tidak menjalankan tugas dan kewajiban sebagai suami-istri.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. lainnya. Artinya manusia memiliki kebutuhan dan kemampuan untuk berkomunikasi dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. lainnya. Artinya manusia memiliki kebutuhan dan kemampuan untuk berkomunikasi dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia sebagai makhluk sosial, tentu membutuhkan interaksi dengan manusia lainnya. Artinya manusia memiliki kebutuhan dan kemampuan untuk berkomunikasi dan berhubungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ketidakmampuan. Orang yang lahir dalam keadaan cacat dihadapkan pada

BAB I PENDAHULUAN. ketidakmampuan. Orang yang lahir dalam keadaan cacat dihadapkan pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setiap orang ingin lahir dalam keadaan normal, namun pada kenyataannya ada orang yang dilahirkan dengan keadaan cacat. Bagi orang yang lahir dalam keadaan cacat

Lebih terperinci

STRATEGI KOPING ANAK DALAM PENGATASAN STRES PASCA TRAUMA AKIBAT PERCERAIAN ORANG TUA

STRATEGI KOPING ANAK DALAM PENGATASAN STRES PASCA TRAUMA AKIBAT PERCERAIAN ORANG TUA STRATEGI KOPING ANAK DALAM PENGATASAN STRES PASCA TRAUMA AKIBAT PERCERAIAN ORANG TUA Skripsi Diajukan Guna Memenuhi Sebagian Persyaratan Untuk Mendapatkan Gelar Sarjana S-1 Psikologi Disusun oleh : Agung

Lebih terperinci

LAPORAN PENELITIAN PERILAKU BERHUTANG DENGAN PERASAAN SENANG PADA MAHASISWA

LAPORAN PENELITIAN PERILAKU BERHUTANG DENGAN PERASAAN SENANG PADA MAHASISWA LAPORAN PENELITIAN PERILAKU BERHUTANG DENGAN PERASAAN SENANG PADA MAHASISWA Oleh : Mohamad Iksan NIS : 151095156 PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN BUDAYA UNIVERSITAS GAJAYANA MALANG 2015

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini akan diuraikan lebih jauh mengenai teori-teori yang menjelaskan mengenai pengertian Kemampuan Memecahkan Masalah sosial dan rasa Humor, faktorfaktor yang mempengaruhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Membentuk sebuah keluarga yang bahagia dan harmonis adalah impian

BAB I PENDAHULUAN. Membentuk sebuah keluarga yang bahagia dan harmonis adalah impian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Membentuk sebuah keluarga yang bahagia dan harmonis adalah impian setiap orang. Ketika menikah, tentunya orang berkeinginan untuk mempunyai sebuah keluarga yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sehat, pintar, dan dapat berkembang seperti anak pada umumnya. Namun, tidak

BAB I PENDAHULUAN. yang sehat, pintar, dan dapat berkembang seperti anak pada umumnya. Namun, tidak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Anak merupakan bagian dari keluarga, dimana sebagian besar kelahiran disambut bahagia oleh anggota keluarganya, setiap orang tua mengharapkan anak yang sehat,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa dewasa awal, merupakan periode selanjutnya dari masa remaja. Sama

BAB I PENDAHULUAN. Masa dewasa awal, merupakan periode selanjutnya dari masa remaja. Sama BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Masa dewasa awal, merupakan periode selanjutnya dari masa remaja. Sama seperti halnya tahap-tahap perkembangan pada periode sebelumnya, pada periode ini, individu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. jejaring sosial. Direktur Pelayanan Informasi Internasional Ditjen Informasi dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. jejaring sosial. Direktur Pelayanan Informasi Internasional Ditjen Informasi dan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) mengungkapkan pengguna internet di Indonesia saat ini mencapai 63 juta orang. Dari angka tersebut, 95

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Semakin banyaknya orang yang ingin menjaga kondisi tubuhnya

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Semakin banyaknya orang yang ingin menjaga kondisi tubuhnya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Saat ini perkembangan teknologi sudah semakin maju. Melalui perkembangan teknologi ini maka semakin banyak bidang lain yang berpengaruh dalam kehidupan kita,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan siswa. Pada masa remaja berkembang social cognition, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan siswa. Pada masa remaja berkembang social cognition, yaitu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan segmen kehidupan yang penting dalam siklus perkembangan siswa. Pada masa remaja berkembang social cognition, yaitu kemampuan memahami

Lebih terperinci

Psikologi Kepribadian I Analytical Psychology Carl Gustav Jung

Psikologi Kepribadian I Analytical Psychology Carl Gustav Jung Modul ke: Fakultas Psikologi Psikologi Kepribadian I Analytical Psychology Carl Gustav Jung Agustini, M.Psi., Psikolog Program Studi Psikologi www.mercubuana.ac.id Manusia dalam Pandangan Carl G. Jung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam tahap perkembangannya akan mengalami masa berhentinya haid yang dibagi

BAB I PENDAHULUAN. dalam tahap perkembangannya akan mengalami masa berhentinya haid yang dibagi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sudah menjadi kodrat alam bahwa dengan bertambahnya usia, setiap wanita dalam tahap perkembangannya akan mengalami masa berhentinya haid yang dibagi dalam beberapa fase,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian 1 BAB 1 PENDAHULUAN Bab ini merupakan pendahuluan dari keseluruhan laporan penelitian yang menguraikan pokok bahasan tentang latar belakang masalah yang menjadi fokus penelitian, pertanyaan penelitian,

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA SELF EFFICACY DENGAN STRATEGI COPING PADA PENDERITA HIPERTENSI DI RSUD BANJARNEGARA

HUBUNGAN ANTARA SELF EFFICACY DENGAN STRATEGI COPING PADA PENDERITA HIPERTENSI DI RSUD BANJARNEGARA HUBUNGAN ANTARA SELF EFFICACY DENGAN STRATEGI COPING PADA PENDERITA HIPERTENSI DI RSUD BANJARNEGARA Sugianto 1, Dinarsari Eka Dewi 2 1 Alumni Program Studi Psikologi,Univ Muhammadiyah Purwokerto 2 Program

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja adalah masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Masa remaja berlangsung antara usia 12 sampai 21 tahun dan terbagi menjadi masa remaja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. DKI Jakarta adalah ibu kota negara Indonesia yang memiliki luas wilayah

BAB I PENDAHULUAN. DKI Jakarta adalah ibu kota negara Indonesia yang memiliki luas wilayah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah DKI Jakarta adalah ibu kota negara Indonesia yang memiliki luas wilayah 664,01 Km² (www.kemendagri.go.id, diakses 20 Oktober 2013) dengan jumlah penduduk yang

Lebih terperinci

Subjective Well Being pada Ibu yang Memiliki Anak Tuna Rungu

Subjective Well Being pada Ibu yang Memiliki Anak Tuna Rungu Subjective Well Being pada Ibu yang Memiliki Anak Tuna Rungu Citra Bunga Negeri Fakultas Psikologi Universitas Surabaya e-mail:citraascamon@yahoo.com INTISARI Abstrak: Penelitian ini dilakukan kepada ibu

Lebih terperinci

Hubungan antara Gaya Regulasi Motivasi dengan Psychological Well Being pada Mahasiswa Bidikmisi Fakultas Ilmu Budaya Unpad Novita Purnamasari

Hubungan antara Gaya Regulasi Motivasi dengan Psychological Well Being pada Mahasiswa Bidikmisi Fakultas Ilmu Budaya Unpad Novita Purnamasari Hubungan antara Gaya Regulasi Motivasi dengan Psychological Well Being pada Mahasiswa Bidikmisi Fakultas Ilmu Budaya Unpad Novita Purnamasari Dibimbing Oleh : Dr.Ahmad Gimmy Prathama Siswandi, M.Si ABSTRAK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Allah berfirman dalam Q.S Ali Imran, ayat 185 yang berbunyi: Tiap-tiap yang

BAB I PENDAHULUAN. Allah berfirman dalam Q.S Ali Imran, ayat 185 yang berbunyi: Tiap-tiap yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Allah berfirman dalam Q.S Ali Imran, ayat 185 yang berbunyi: Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu.

Lebih terperinci

BAB I 1.1 Latar Belakang

BAB I 1.1 Latar Belakang BAB I 1.1 Latar Belakang Gangguan jiwa yaitu suatu sindrom atau pola perilaku yang secara klinis bermakna yang berhubungan dengan distres atau penderitaan dan menimbulkan gangguan pada satu atau lebih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Attention Deficit Hiperactivity Disorder (ADHD) merupakan suatu gangguan perkembangan yang mengakibatkan ketidakmampuan mengatur perilaku, khususnya untuk mengantisipasi

Lebih terperinci

KEMANDIRIAN PADA ANAK TENGAH DARI LATAR BELAKANG BUDAYA YANG BERBEDA NASKAH PUBLIKASI HALAMAN SAMPUL DEPAN

KEMANDIRIAN PADA ANAK TENGAH DARI LATAR BELAKANG BUDAYA YANG BERBEDA NASKAH PUBLIKASI HALAMAN SAMPUL DEPAN KEMANDIRIAN PADA ANAK TENGAH DARI LATAR BELAKANG BUDAYA YANG BERBEDA NASKAH PUBLIKASI HALAMAN SAMPUL DEPAN Diajukan kepada Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta Untuk Memenuhi Persyaratan

Lebih terperinci

Kata Kunci : Emotional Intelligence, remaja, berpacaran

Kata Kunci : Emotional Intelligence, remaja, berpacaran Studi Deskriptif Mengenai Emotional Intelligence Pada Siswa dan Siswi SMA Negeri X yang Berpacaran Muhamad Chandika Andintyas Dibimbing oleh : Esti Wungu S.Psi., M.Ed ABSTRAK Emotional Intelligence adalah

Lebih terperinci

`BAB I PENDAHULUAN. mengalami kebingungan atau kekacauan (confusion). Suasana kebingunan ini

`BAB I PENDAHULUAN. mengalami kebingungan atau kekacauan (confusion). Suasana kebingunan ini 1 `BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Siswa sekolah menengah umumnya berusia antara 12 sampai 18/19 tahun, yang dilihat dari periode perkembangannya sedang mengalami masa remaja. Salzman (dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I. A. Latar Belakang. Anak yang dilahirkan secara sehat baik dalam hal fisik dan psikis

BAB I PENDAHULUAN. I. A. Latar Belakang. Anak yang dilahirkan secara sehat baik dalam hal fisik dan psikis 14 BAB I PENDAHULUAN I. A. Latar Belakang Anak yang dilahirkan secara sehat baik dalam hal fisik dan psikis merupakan harapan bagi semua orangtua yang sudah menantikan kehadiran anak dalam kehidupan perkawinan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia saling berinteraksi sosial dalam usaha mengkomunikasikan pikiran dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia saling berinteraksi sosial dalam usaha mengkomunikasikan pikiran dan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia adalah mahluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lainnya. Manusia saling berinteraksi sosial dalam usaha mengkomunikasikan pikiran dan perasaannya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. manusia yang ditandai dengan berbagai problematika, seperti perubahan kondisi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. manusia yang ditandai dengan berbagai problematika, seperti perubahan kondisi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa usia lanjut merupakan periode terakhir dalam perkembangan kehidupan manusia yang ditandai dengan berbagai problematika, seperti perubahan kondisi fisik,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sosialnya. Pengertian dari pacaran itu sendiri adalah hubungan pertemanan antar lawan

BAB I PENDAHULUAN. sosialnya. Pengertian dari pacaran itu sendiri adalah hubungan pertemanan antar lawan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Berpacaran merupakan hal yang lazim dilakukan oleh manusia di dalam kehidupan sosialnya. Pengertian dari pacaran itu sendiri adalah hubungan pertemanan antar

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORITIS. reaksi fisik yang disebabkan karena persepsi seseorang terhadap kehilangan (loss).

BAB II LANDASAN TEORITIS. reaksi fisik yang disebabkan karena persepsi seseorang terhadap kehilangan (loss). BAB II LANDASAN TEORITIS A. GRIEF 1. Definisi Grief Menurut Rando (1984), grief merupakan proses psikologis, sosial, dan reaksi fisik yang disebabkan karena persepsi seseorang terhadap kehilangan (loss).

Lebih terperinci

kata kunci : kemandirian, penyesuaian diri, social adjustment, mahasiswa

kata kunci : kemandirian, penyesuaian diri, social adjustment, mahasiswa HUBUNGAN ANTARA KEMANDIRIAN DENGAN PENYESUAIAN DIRI DALAM LINGKUNGAN KAMPUS PADA MAHASISWA AMANDA RIZKI NUR Dosen Pembimbing : Drs. Aris Budi Utomo, M.Si ABSTRAK Mahasiswa tentunya memiliki tugas perkembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan pada era globalisasi saat ini berjalan sangat cepat. Pekerjaan merupakan salah satu faktor terpenting yang dapat mendatangkan kepuasan bagi masing-masing

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. secara fisik maupun psikologis. Menurut BKKBN (2011 ), keluarga adalah unit

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. secara fisik maupun psikologis. Menurut BKKBN (2011 ), keluarga adalah unit BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keluarga adalah tempat di mana anak berkembang dan bertumbuh, baik secara fisik maupun psikologis. Menurut BKKBN (2011 ), keluarga adalah unit terkecil dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kalanya masalah tersebut berbuntut pada stress. Dalam kamus psikologi (Chaplin,

BAB I PENDAHULUAN. kalanya masalah tersebut berbuntut pada stress. Dalam kamus psikologi (Chaplin, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan zaman dan teknologi pada saat ini yang begitu pesat membuat banyak masalah kompleks yang terjadi dalam kehidupan manusia. Ada kalanya masalah tersebut

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Coping Stress pada Perempuan Berstatus Cerai dengan memiliki Anak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Coping Stress pada Perempuan Berstatus Cerai dengan memiliki Anak BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Coping Stress pada Perempuan Berstatus Cerai dengan memiliki Anak 1. Pengertian Coping Stress Coping adalah usaha dari individu untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan dari lingkungannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perawat atau Nurse berasal dari bahasa Latin yaitu dari kata Nutrix yang berarti

BAB I PENDAHULUAN. Perawat atau Nurse berasal dari bahasa Latin yaitu dari kata Nutrix yang berarti BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perawat atau Nurse berasal dari bahasa Latin yaitu dari kata Nutrix yang berarti merawat atau memelihara. Profesi perawat diharapkan dapat membantu mempertahankan

Lebih terperinci

SM, 2015 PROFIL PENERIMAAN DIRI PADA REMAJA YANG TINGGAL DENGAN ORANG TUA TUNGGAL BESERTA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHINYA

SM, 2015 PROFIL PENERIMAAN DIRI PADA REMAJA YANG TINGGAL DENGAN ORANG TUA TUNGGAL BESERTA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHINYA 1 BAB I PENDAHULUAN 1.2 Latar Belakang Masalah Pada tahun 1980-an di Amerika setidaknya 50 persen individu yang lahir menghabiskan sebagian masa remajanya pada keluarga dengan orangtua tunggal dengan pengaruh

Lebih terperinci

Turner, J. S., & Helms, D. B. (1995). Lifespan development (5 th ed.). New York: Harcourt Brace. Waldrop, A. E., Resick, P. A. (2004).

Turner, J. S., & Helms, D. B. (1995). Lifespan development (5 th ed.). New York: Harcourt Brace. Waldrop, A. E., Resick, P. A. (2004). DAFTAR PUSTAKA Adriadi, R. (2012). Perempuan Dan Politik Di Indonesia, Analisis Perempuan Indonesia Di Birokrasi. http://rekhopascapol.blogspot.com/2012/04/perempuan-dan-politik-diindonesia.html. 25 April

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar belakang masalah. Setiap anak pada umumnya senang bergaul dan bermain bersama dengan teman

BAB I PENDAHULUAN Latar belakang masalah. Setiap anak pada umumnya senang bergaul dan bermain bersama dengan teman 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang masalah Setiap anak pada umumnya senang bergaul dan bermain bersama dengan teman sebayanya. Saat bersama dengan teman, seorang anak biasanya selalu penuh dengan

Lebih terperinci

BAB VII CARA MENGHADAPI MASALAH WORK FAMILY CONFLICT. Walaupun berbagai dampak yang muncul akibat dari masalah work family

BAB VII CARA MENGHADAPI MASALAH WORK FAMILY CONFLICT. Walaupun berbagai dampak yang muncul akibat dari masalah work family BAB VII CARA MENGHADAPI MASALAH WORK FAMILY CONFLICT 7.1 Pendahuluan Walaupun berbagai dampak yang muncul akibat dari masalah work family conflict dirasakan oleh narasumber akibat bentroknya dua kebutuhan

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA KEBERSYUKURAN DENGAN EFIKASI DIRI PADA GURU TIDAK TETAP DI SEKOLAH DASAR MUHAMMADIYAH

HUBUNGAN ANTARA KEBERSYUKURAN DENGAN EFIKASI DIRI PADA GURU TIDAK TETAP DI SEKOLAH DASAR MUHAMMADIYAH HUBUNGAN ANTARA KEBERSYUKURAN DENGAN EFIKASI DIRI PADA GURU TIDAK TETAP DI SEKOLAH DASAR MUHAMMADIYAH NASKAH PUBLIKASI Diajukan oleh: ARRIJAL RIAN WICAKSONO F 100 090 117 Kepada : FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam hidup semua orang pasti akan mengalami kematian, terutama kematian

BAB I PENDAHULUAN. Dalam hidup semua orang pasti akan mengalami kematian, terutama kematian BAB I PENDAHULUAN I.I Latar belakang Dalam hidup semua orang pasti akan mengalami kematian, terutama kematian seorang ayah. Kematian adalah keadaan hilangnya semua tanda tanda kehidupan secara permanen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan ilmu dan teknologi yang diikuti dengan meningkatnya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan ilmu dan teknologi yang diikuti dengan meningkatnya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan ilmu dan teknologi yang diikuti dengan meningkatnya taraf hidup masyarakat menyebabkan perubahan gaya hidup pada masyarakat. Perubahan gaya hidup

Lebih terperinci

KOMPONEN SILABUS DAN SAP IDENTITAS DAN DESKRIPSI MATA KULIAH PSIKOLOGI UMUM (S2)

KOMPONEN SILABUS DAN SAP IDENTITAS DAN DESKRIPSI MATA KULIAH PSIKOLOGI UMUM (S2) KOMPONEN SILABUS DAN SAP IDENTITAS DAN DESKRIPSI MATA KULIAH PSIKOLOGI UMUM (S2) TIM PENGAMPU: PROF. DR. CECE RAKHMAT, M.Pd. DR. RAHAYU GININTASASI, M.SI. PROGRAM STUDI PSIKOLOGI PENDIDIKAN SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

NASKAH PUBLIKASI HUBUNGAN ANTARA PERSAHABATAN DENGAN KEPERCAYAAN DIRI PADA MAHASISWA BARU

NASKAH PUBLIKASI HUBUNGAN ANTARA PERSAHABATAN DENGAN KEPERCAYAAN DIRI PADA MAHASISWA BARU 1 NASKAH PUBLIKASI HUBUNGAN ANTARA PERSAHABATAN DENGAN KEPERCAYAAN DIRI PADA MAHASISWA BARU Oleh : Chinta Pradhika H. Fuad Nashori PRODI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI DAN ILMU SOSIAL BUDAYA UNIVERSITAS

Lebih terperinci