STUDI KEJADIAN SISTISERKOSIS PADA BABI YANG DIJUAL DI PASAR JIBAMA KABUPATEN JAYAWIJAYA PAPUA FERRY DEVIDSON MAITINDOM

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "STUDI KEJADIAN SISTISERKOSIS PADA BABI YANG DIJUAL DI PASAR JIBAMA KABUPATEN JAYAWIJAYA PAPUA FERRY DEVIDSON MAITINDOM"

Transkripsi

1 STUDI KEJADIAN SISTISERKOSIS PADA BABI YANG DIJUAL DI PASAR JIBAMA KABUPATEN JAYAWIJAYA PAPUA FERRY DEVIDSON MAITINDOM SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008

2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASINYA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Studi Kejadian Sistiserkosis pada Babi yang Dijual di Pasar Jibama Kabupaten Jayawijaya Papua adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, September 2008 Ferry Devidson Maitindom NIM B

3 ABSTRACT Taeniasis/cysticercosis due to T. solium infection is one of the most serious public health problem in Jayawijaya RegencyPapua. This survey was carried out to study prevalence of cysticercosis in pigs that were slaughtered and sold in Jibama Market of WamenaJayawijaya. Association between the porcine cysticercosis prevalence and pig farming practices and environmental sanitation in pig producer districts was also examined in this survey. Results of the survey showed that 77.1% of pigs slaughtered in Jibama Market was infected by Cysticercus cellulosae. Such high prevalence of cysticercosis in pig meat market may play important role in taeniasis transmission among people in Jayawijaya, as this study also revealed that most of peoples consumed raw (4.8%) or undercooked meat (44.8%). Majority of families in villages owned pigs (65.7%) which were free ranged pigs. This traditional farming system provide an opportunity for pigs to pick up T. solium eggs/gravid proglottids shed through feces of the infected peoples. Habit of local people (86.1%) to defecate in backyards due to lack of latrine facilities is of important in contamination of T. solium eggs/gravid proglottids in environment. This study also found significance association between prevalence of porcine cysticercosis and farm management system and possession of latrine facilities. Keywords : Cysticercosis, pig, jibama market, Jayawijaya

4 RINGKASAN FERRY DEVIDSON MAITINDOM. Studi Kejadian Sistiserkosis pada Babi yang Dijual di Pasar Jibama Kabupaten Jayawijaya Papua. Dibimbing oleh FADJAR SATRIJA dan R ROSO SOEJOEDONO. Infeksi cacing pita babi (Taenia solium) merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat serius yang dihadapi masyarakat Kabupaten Jayawijaya Provinsi Papua. Ternak babi di Provinsi Papua merupakan salah satu komoditas yang memiliki nilai sosial yang sangat tinggi. Selama ini studi tentang peran babi dalam transmisi taeniasis dan sistiserkosis pada manusia dan hewan di Jayawijaya jarang dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari tingkat kejadian sistiserkosis pada babi yang dipotong dan dijual di Pasar Jibama Kabupaten Jayawijaya Papua dan mempelajari kondisi sanitasi lingkungan, budaya, sistem peternakan, dan perilaku masyarakat yang terkait dengan faktor yang mempengaruhi tingkat kejadian sistiserkosis pada babi di Kabupaten Jayawijaya. Penelitian dilakukan terhadap 35 ekor babi yang dipotong di Pasar Jibama Kabupaten Jayawijaya. Babi tersebut terdiri dari 25 babi jantan dan 10 ekor babi betina. Babibabi tersebut merupakan babi lokal. Kisaran berat babi yang diperiksa diperkirakan antara kg. Dari kista yang ditemukan di dalam daging babi yang diamati, dibuat preparat skoleks untuk selanjutnya diidentifikasi secara mikroskopik di Laboratorium Helmintologi Bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Pengamatan secara deskriptif di lapangan, sebagai usaha untuk memperoleh informasi mengenai faktorfaktor yang mendukung terjadinya sistiserkosis, dilakukan dengan metode kuesioner, checklist dan wawancara. Kuesioner disebarkan di daerah endemis taeniasis, yaitu di Distrik Kurulu, Kurima, Asologaima, Homhom dan Wamena Kota. Wawancara juga dilakukan dengan petugas Puskesmas di masingmasing distrik, daerahdaerah asal babi yang ditemukan terinfeksi Cysticercus cellulosae. Data yang diperoleh dari Pasar Jibama, dianalisis secara statistik. Point Prevalence Rate digunakan untuk menentukan tingkat kejadian tersebut. Analisis kasus penyakit dan hubungan faktorfaktor lain yang mempengaruhi kejadian sistiserkosis pada babi digunakan analisis chi square dan regresi linier serta di dukung dengan analisis kasus penyakit secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 35 ekor babi yang diperiksa, 27 ekor (77.1%) terinfeksi Cysticercus cellulosae. Dari 27 ekor babi yang terinfeksi 3 diantaranya tidak memiliki sumber dan asalnya yang jelas, sehingga penelusuran kasus lebih diarahkan ke daerah asal babi yang jelas sumbernya seperti disebutkan di atas. Dari hasil survei didapati bahwa daerahdaerah tersebut masih endemis dengan taeniasis dan sitiserkosis sehingga masih ada hubungannya dengan kasus kejadian pada babi. Hasil pengamatan secara deskriptif terhadap beberapa faktor yang mempengaruhi kejadian sistiserkosis pada babibabi yang di sembelih di Pasar Jibama diperoleh kepemilikan babi pribadi (62.8%), kolektif (2.8%), tidak memiliki (34.3%); sistem peternakan babi tidak dikandangkan (96.6%), dikandangkan (3.4%); sanitasi lingkungan kandang yang kotor (93.7%), bersih

5 (6.3%), sanitasi lingkungan di luar kandang, kotor (97.1%), bersih (2.8%); sanitasi lingkungan berdsarkan kepemilikan jamban keluarga, milik kolektif (4.6%), pribadi (14.3%), tidak memiliki (81.1%), kebiasaan melakukan defikasi di sembarangan tempat masih ditemui dan higiene perorangan sangat buruk. Sedangkan pola makan atau mengkonsumsi protein hewani bervariasi daging babi (75.4%), ikan (8.0%), ayam (5.2%), daging lainnya (11.4%). Sistem pengolahan makan, menggunakan alat masak (53.1%), bakar (42.3%), dan mentah (4.6%). Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa masih ditemukan adanya kejadian sistiserkosis pada babibabi yang dipotong dan dijual di Pasar Jibama Kabupaten Jayawijaya. Sedangkan hasil survei di daerah asal babi menunjukkan bahwa kondisi sanitasi lingkungan, budaya, sistem peternakan dan perilaku masyarakat (sistem pengolahan dan konsumsi makanan, sistem defikasi) sangat mendukung terjadinya sistiserkosis pada babi di Kabupaten Jayawijaya Papua. Keadaan ini akan berpengaruh negatif terhadap kesehatan dan mutu komoditi daging babi sebagai bahan pangan masyarakat dan merupakan ancaman bagi kesehatan masyarakat. Kata kunci : Cysticercosis, babi, pasar Jibama, Jayawijaya.

6 @ Hak cipta milik IPB, tahun 2008 Hak cipta dilindungi Undangundang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

7 STUDI KEJADIAN SISTISERKOSIS PADA BABI YANG DIJUAL DI PASAR JIBAMA KABUPATEN JAYAWIJAYA PAPUA FERRY DEVIDSON MAITINDOM Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008

8 Judul Tesis : Studi Kejadian Sistiserkosis Pada Babi yang Dijual di Pasar Jibama Kabupaten Jayawijaya Papua. Nama NIM : Ferry Devidson Maitindom : B Disetujui Komisi Pembimbing drh. Fadjar Satrija, MSc. Ph.D Ketua drh. R Roso Soejoedono, MPH. DEA Anggota Diketahui Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. drh. Denny Widaya Lukman, M.Si. Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS Tanggal ujian : 09 September Tanggal lulus :

9 PRAKATA Puji dan syukur patut penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala anugerahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul Studi Kejadian Sistiserkosis Pada Babi yang Dijual di Pasar Jibama Kabupaten Jayawijaya Papua. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak drh.fadjar Satrija, MSc., Ph.D dan drh. R Roso Soejoedono, MPH. DEA, selaku pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu untuk membimbing, mengarahkan dan mendorong penulis sejak awal usulan penelitian hingga selesainya tesis ini. Terima kasih juga disampaikan kepada Bapak Dr. drh. Denny Widaya Lukman, M.Si selaku Ketua Program Studi KMV yang telah banyak memberi saran dan motivasi kepada penulis untuk menyelesaikan tesis ini. Disamping itu, penulis sampaikan penghargaan kepada Ibu Dr. drh. A. Winny Sanjaya, MS, Ibu Dr. drh. Risa Tiuria, MS, Ph.D beserta staf yang telah berkenaan memberikan kesempatan kepada penulis untuk menggunakan laboratorium selama pelaksanaan penelitian ini. Terima kasih pula penulis sampaikan kepada Bapak Sulaiman, Bapak Agus Harianto yang telah banyak membantu kerja penulis di laboratorium dan kelengkapan administrasi. Terima kasih yang tulus tak lupa penulis sampaikan kepada ayah handa dan ibunda kekasih yang dengan setia memberikan motivasi dan doa yang tak putusputusnya bagi penulis dalam mengikuti studi di IPB sampai dengan penyelesaian tesis ini. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Saudara Rully Pongsikabe, ST yang dengan kerelahan membantu dan memotivasi penulis dalam studi, keluarga besar Maitindom yang dengan setia mendukung pelaksanaan studi dari penulis dan Pemda Provinsi Papua serta Dinas Kesehatan Provinsi Papua yang mendukung pelaksanaan studi (Tugas Belajar) di IPB sampai dengan selesai. Terima kasih yang tulus juga penulis sampaikan kepada semua temanteman Program Studi KMV angkatan 2005 yang telah banyak membantu dan memberi motivasi.

10 Akhirnya penulis hanya bisa mengatakan Syukur bagimu Tuhan yang telah memberikan kesempatan dan kekuatan bagiku untuk berjuang, berkarya hingga mencapai keberhasilan. Bogor, September Ferry Devidson Maitindom

11 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kabupaten Jayapura Provinsi Papua pada tanggal 11 Mei 1974 dari ayah Elisama Maitindom dan Ibu Anthoneta Mauri. Penulis merupakan putra ke lima dari delapan bersaudara. Penulis menempuh pendidikan dasar di Sekolah Dasar Yayasan Pendidikan Kristen (SD YPK) II Ardipura IV Jayapura Selatan dan lulus tahun Pendidikan menengah ditempuh di Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) 1 Jayapura Selatan ( ) dan Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 4 Jayapura di Kecamatan Sarmi ( ). Pada tahun 1995 penulis masuk Program Diploma Tiga Kesehatan Lingkungan (D3 Kesling) Akademi Kesehatan Terpadu Jayapura dan lulus tahun Selanjutnya pada bulan Juli 1999 penulis diangkat sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil Departemen Kesehatan Republik Indonesia yang diperbantukan pada Sub Dinas Bina Penyehatan Lingkungan (Subdin BPL), Dinas Kesehatan Provinsi Irian Jaya. Setelah diangkat sebagai Pegawai Negeri Sipil dan pada Subdin BPL Dinkes Provinsi Irian Jaya, penulis diberi kesempatan untuk melanjutkan pendidikan pada Program Sarjana (S1) Jurusan Teknik dan Manajemen Lingkungan pada Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Institut Sains dan Teknologi Jayapura (ISTJ) dan lulus pada tahun Pada tahun 2005 melanjutkan pendidikan S2 di Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner (KMV) Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (SPs IPB). Penulis berharap dengan mengikuti program S2 ini akan memberikan kontribusi yang bermanfaat demi menyelamatkan masyarakat Papua dari masalah kesehatan masyakat akibat penyakit sumber binatang. Bogor, September 2008 Ferry Devidson Maitindom NIM B

12 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... xii DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... PENDAHULUAN... Latar Belakang... Tujuan Penelitian... Manfaat Penelitian... Hipotesis Penelitian... TINJAUAN PUSTAKA... Biologi Taenia solium... Taeniasis/Sistiserkus pada Manusia... Sistiserkosis pada Babi... Kondisi Umum Kabupaten Jayawijaya... Kondisi Taeniasis dan Sistiserkosis di Kabupaten Jayawijaya... BAHAN DAN METODE... Waktu dan Tempat Penelitian... Desain Penelitian... Deteksi dan Identifikasi Sistiserkus pada Babi... Pengumpulan Data Peternakan dan Sanitasi Lingkungan... Pengumpulan Data Taeniasis dan Sistiserkosis pada Penduduk... Analisis Data... HASIL DAN PEMBAHASAN... Prevalensi Sistiserkosis pada Babi... Pola Makan Masyarakat Jayawijaya... Kondisi Peternakan Babi... Kasus Taeniasis dan Sistiserkosis pada Manusia... SIMPULAN... SARAN... DAFTAR PUSTAKA... LAMPIRAN... xiii xiv

13 DAFTAR TABEL Halaman 1. Daerah asal dan jumlah babi yang di periksa di Pasar Jibama Kabupaten Jayawijaya Papua selama pengamatan ( 28 Juli 18 Agustus 2007) Sistem pengolahan makanan oleh masyarakat lokal menurut hygiene makanan berdasarkan lima distrik di Kabupaten Jayawijaya 3. Kepemilikan ternak babi yang dikelola masyarakat lokal Kabupaten Jayawijaya. 4. Sistem peternakan babi yang dikelola masyarakat Kabupaten Jayawijaya. 5. Sanitasi lingkungan peternakan pada lima distrik di Kabupaten Jayawijaya. 6. Sanitasi lingkungan menurut pemilikan jamban keluarga dan sistem defikasi penduduk lokal Kabupaten Jayawijaya 7. Prevalensi kasus taeniasis, sistiserkosis dan neurosistiserkosis menurut tahun Kasus taeniasis, sistiserkosis dan neurosistiserkosis berdasarkan informasi Gereja Katolik di Wamena tahun Kasus penyakit taeniasis, sistiserkosis dan neurosistiserkosis yang diobati menurut Puskesmas tahun 2002/

14 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Bagian skoleks (kiri) dan proglotida gravid (kanan) Taenia solium : (a) Batil hisap, (b)rostelum, (c) Uterus Siklus hidup cacing pita Taenia solium yang menyebabkan taeniasis solium dan sistiserkosis Peta lokasi penelitian di Kabupaten Jayawijaya Provinsi Papua.. 4. Bagan alir penelitian Sistiserkus (panah) yang ditemukan pada hati dan daging babi yang disembelih di Pasar Jibama Wamena Skoleks Cysticercus cellulosae yang terdiri dari empat buah alat pengisap (sucker) Kait pada rostelum dari skoleks Cysticercus cellulosae Situasi jual beli babi di tanah lapang sekitar Pasar Jibama Wamena (A,B), penyembelihan babi (C) dan potongan daging babi yang siap dijual (D) Pola konsumsi daging di Kabupaten Jayawijaya

15 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Kuesioner Penelitian Tabel data iklim di Kabupaten Jayawijaya selama Januari Juli Tahun Dokumentasi Kegiatan di Pasar Jibama Kondisi Kehidupan Masyarakat Lokal Secara Tradisional

16 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. drh. M Agatha Winny K Sanjaya, MS

17 PENDAHULUAN Latar Belakang Taeniasis dan sistiserkosis akibat infeksi cacing pita babi Taenia solium merupakan salah satu zoonosis di daerah yang penduduknya banyak mengkonsumsi daging babi dan tingkat sanitasi lingkungannya masih rendah, seperti di Asia Tenggara, India, Afrika Selatan, dan Amerika Latin. Taeniasis adalah infeksi cacing pita dewasa Taenia solium dalam usus halus manusia. Infeksi stadium larva atau metacestoda (sistiserkus) pada inang antara menyebabkan sistiserkosis. Cysticercus cellulosae adalah bentuk metacestoda dari T.solium pada babi. Adanya sistiserkus pada otototot babi akan menyebabkan degradasi selsel disekitarnya. Apabila jumlah parasit itu cukup banyak maka sebagian atau seluruh karkas babi tersebut harus dimusnahkan, karena akan menjadi sumber penularan T.solium pada manusia (Soulsby 1982; Dharmawan 1990). Manusia juga dapat menderita sistiserkosis apabila menelan telur atau proglotida Taenia yang mengkontaminasi makanan atau melalui proses autoinfeksi. Kasus taeniasis dan sistiserkosis di Indonesia ditemukan terutama di empat provinsi yaitu Sumatra Utara, Bali, Papua dan Papua Barat. Dari keempat provinsi tersebut, jumlah kasus pada manusia paling banyak ditemukan di Provinsi Papua sehingga penyakit ini merupakan salah satu masalah serius dalam bidang kesehatan masyarakat yang dihadapi Provinsi Papua (Margono et al. 2001). Penyebaran kasus tersebut di Provinsi Papua meliputi Kabupaten Jayawijaya, Paniai, serta beberapa kabupaten pemekaran dari Jayawijaya (Yahukimo, Tolikara dan Pegunungan Bintang) (Subahar et al. 2000; Wandra et al. 2003; Dinkes Kab. Jayawijaya 2006). Studi tentang taeniasis dan sistiserkosis di Kabupaten Jayawijaya lebih banyak dilakukan pada manusia sebagai inang definitif dari cacing tersebut. Menurut laporan Dinas Kesehatan Provinsi Papua (2004) dari 356 orang penduduk Kabupaten Jayawijaya yang diperiksa, 4 orang menderita taeniasis dan 124 orang sistiserkosis. Pada tahun 2005 dilaporkan, bahwa dari 38 orang yang diperiksa 12 orang ditemukan terinfeksi taeniasis (Dinkes Papua 2005). Di sisi

18 2 lain studi tentang peran babi dalam transmisi penyakit ini belum pernah dilakukan. Selama ini belum pernah ada catatan dan laporan secara sistematik kepada Dinas Peternakan Provinsi Papua tentang kejadian sistiserkosis yang terjadi setiap tahun pada babi di Kabupaten Jayawijaya. Ternak babi di Provinsi Papua, khususnya bagi masyarakat Lembah Balliem Kabupaten Jayawijaya, merupakan salah satu komoditas unggulan dan memiliki nilai adat dan budaya yang sangat tinggi. Hampir sebagian besar masyarakat Jayawijaya beternak babi secara turuntemurun sejak dahulu kala. Kepemilikan babi juga dijadikan sebagai alat pengukur kekayaan (status sosial) seseorang, sehingga semakin banyak babi yang dimiliki seseorang berarti semakin tinggi status sosialnya di tengah masyarakat (Pattiselano 2005). Program pengendalian taeniasis/sistiserkosis pada manusia tidak akan efektif tanpa diikuti upaya pemutusan siklus hidup Taenia solium. Stadium larva (Cysticercus cellulosae) dalam daging babi merupakan sumber infeksi bagi manusia. Oleh karena itu perlu dilakukan studi untuk mempelajari tingkat kejadian sistiserkosis pada babi serta kondisi faktorfaktor lain seperti sanitasi lingkungan, sistem peternakan, dan perilaku masyarakat di Kabupaten Jayawijaya. Tujuan Penelitian 1. Mempelajari tingkat kejadian sistiserkosis pada babi yang dipotong dan dijual di Pasar Jibama Kabupaten Jayawijaya Papua. 2. Mempelajari kondisi sanitasi lingkungan, sistem peternakan, dan perilaku masyarakat yang terkait dengan faktor yang mempengaruhi tingkat kejadian sistiserkosis pada babi di Kabupaten Jayawijaya. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan menjadi informasi dan masukan bagi Pemerintah Provinsi Papua, dan khususnya Pemerintah Kabupaten Jayawijaya dalam rangka pemberantasan penyakit sistiserkosis pada babi dan menusia serta taeniasis solium pada manusia di Kabupaten Jayawijaya Papua.

19 3 Hipotesis Penelitian 1. Ditemukan sistiserkus pada babi yang dijual di Pasar Jibama Kabupaten Jayawijaya. 2. Kondisi sanitasi lingkungan, budaya, sistem peternakan dan perilaku masyarakat mendukung terjadinya sistiserkosis pada babi di Kabupaten Jayawijaya.

20 TINJAUAN PUSTAKA Biologi Taenia solium Klasifikasi dan Morfologi Taenia solium adalah salah satu jenis cacing pita yang berparasit di dalam usus halus manusia. Dalam klasifikasi taksonomi cacing ini termasuk kelas Eucestoda, ordo Taenidae, famili Taenidae dan genus Taenia. Tergolong dalam satu genus dengan Taenia solium adalah Taenia saginata dan Taenia asiatica yang juga bersifat zoonosis (Rajshekkhar et al. 2003). Cacing dewasa berukuran panjang 3 5 meter kemungkinan dapat juga mencapai 8 meter. Bagian kepala (skoleks) memiliki rostelum dengan dua baris kait (Gambar 1). Proglotid gravid panjangnya mm dan lebarnya 5 6 mm dan memiliki uterus dengan jumlah cabang 7 16 (Soulsby 1982). Setiap proglotida gravid berisi kirakira telur. Setiap telur memiliki diameter µm dan berisi embrio (onkosfer) yang memiliki enam kait (embrio hexacanth) (Gandahusada et al. 2000; Soulsby 1982). a c b Gambar 1 Bagian skoleks (kiri) dan proglotida gravid (kanan) Taenia solium : (a) Batil hisap, (b) Rostelum, (c) Uterus (Sumber: paraimg/tsoliscp.jpg).

21 5 Daur hidup Taenia solium yang berparasit di bagian proksimal jejunum dapat bertahan hidup selama 25 sampai 30 tahun dalam usus halus manusia (Soulsby 1982; Chin & Kandun 2000). Cacing ini mendapatkan nutrisinya dengan menyerap isi usus. Cacing pita dewasa akan mulai mengeluarkan telurnya dalam tinja penderita taeniasis antara 8 12 minggu setelah orang yang bersangkutan terinfeksi (Chin & Kandun 2000). Sewaktuwaktu proglotida gravid berisi telur akan dilepaskan dari ujung strobila cacing dewasa dalam kelompokkelompok yang terdiri dari 5 sampai 6 segmen. Proglotida tersebut keluar bersama tinja penderita. Telur dapat pula keluar dari proglotida pada waktu berada di dalam usus manusia. Di luar tubuh telur akan menyebar ke tanah lingkungan sekitar dimana telur tersebut mampu bertahan hidup selama 59 bulan (Ilsoe et al. 1990). Infeksi akan terjadi apabila telur berembrio tertelan babi yang merupakan induk semang antara T. solium. Di dalam lumen usus halus telur akan menetas dan mengeluarkan embrio (onkosfir). Selanjutnya onkosfir tersebut menembus dinding usus, masuk ke pembuluh limfe atau aliran darah, dibawa ke seluruh bagian tubuh dan akhirnya mencapai organorgan yang disukai (predileksi) seperti otot jantung, otot lidah, otot daerah pipi, otot antar tulang rusuk, otot paha, paruparu, hati, ginjal. Kista muda terlihat pada tempat predileksi tadi antara 6 hingga 12 hari setelah infeksi. Sistiserkus kemudian terbentuk pada organorgan tersebut dan dikenal dengan nama Cysticercus cellulosae. Bila daging babi yang mengandung parasit ini dimakan oleh manusia, kista akan tercerna oleh enzim pencernaan sehingga calon skoleks (protoskoleks) akan menonjol keluar. Selanjutnya protoskoleks tersebut akan menempel pada mukosa jejunum dan tumbuh menjadi cacing dewasa dalam waktu beberapa bulan (Soulsby 1982). Cysticercus cellulosae juga dapat dijumpai pada manusia, yaitu di jaringan subkutan, mata, jantung dan otak (Ahuja et al. 1978). Kejadian ini disebabkan tertelannya makanan atau minuman yang terkontaminasi oleh telur parasit tersebut (Gambar 2). Sumber kontaminasi parasit ini dapat berupa tinja manusia yang mengandung parasit, tangan kotor penderita taeniasis, dan dapat juga akibat autoinfeksi intern karena muntahan telur ke dalam lambung akibat adanya anti peristaltik (Cheng 1986; Bakta 1987 diacu dalam Dharmawan 1990).

22 6 Gambar 2 Siklus hidup cacing pita Taenia solium yang menyebabkan taeniasis solium dan sistiserkosis (Sumber : Murrell, Feyer & Dubey 1986 diacu dalam Soejoedono 2004). Taeniasis/Sistiserkosis pada Manusia Penyakit yang disebabkan oleh infeksi cacing pita dewasa pada manusia dikenal dengan nama taeniasis solium. Disamping sebagai induk semang definitif, manusia juga dapat bertindak sebagai induk semang antara bila terinfeksi stadium larva yang menyebabkan sistiserkosis (Gandahusada et al. 2000). Distribusi geografik Penyebaran Taenia solium bersifat kosmopolitan, terutama di negaranegara yang mempunyai banyak peternakan babi dan di tempat daging babi banyak dikonsumsi seperti di Eropa, Amerika Latin, Republik Rakyat China, India, Amerika Utara. Penyakit ini tidak pernah ditemukan di negaranegara Islam yang melarang pemeliharaan dan konsumsi babi. Kasus taeniasis/sistiserkosis juga ditemukan pada beberapa wilayah di Indonesia antara lain Irian Jaya (Papua), Bali dan Sumatra Utara. Infeksi penyakit ini juga sering di alami oleh para transmigran yang berasal dari daerahdaerah tersebut (Gandahusada et al. 2000). Ditambahkan oleh Chin dan Kandun (2000) penyakit yang disebabkan cacing pita

23 7 ini, sering dijumpai di daerah dimana orangorang mempunyai kebiasaan mengkonsumsi daging babi yang dimasak tidak sempurna. Di samping itu kondisi kebersihan lingkungan yang jelek dan kebiasaan melakukan defikasi di sembarang tempat memudahkan babi mengkonsumsi tinja manusia. Penularan Taenia solium jarang terjadi di Amerika, Kanada, dan jarang sekali terjadi di Inggris, dan di negaranegara Skandinavia. Penularan oro fekal oleh karena kontak dengan imigran yang terinfeksi oleh Taenia solium dilaporkan terjadi dengan frekwensi yang meningkat di Amerika. Para imigran dari daerah endemis nampaknya tidak mudah untuk menyebarkan penyakit ini ke negaranegara yang kondisi sanitasinya baik. Patologi dan gejala klinik Cacing dewasa, yang biasanya berjumlah seekor, tidak menyebabkan gejala klinis yang berarti. Bila ada, dapat berupa nyeri hulu hati, mencret, mual, obstipasi dan sakit kepala. Pemeriksaan ulas darah tepi dapat menunjukkan eosinofilia (Gandahusada et al. 2000). Gejala klinis pada manusia biasanya ditemukan pada penderita sistiserkosis. Gejala tersebut biasanya muncul beberapa minggu sampai dengan 10 tahun atau lebih setelah seseorang terinfeksi (Chin & Kandun 2000; Gandahusada et al. 2000). Pada manusia, sistiserkus sering ditemukan pada jaringan subkutis, mata, jaringan otak, otot jantung, hati, paru dan rongga perut. Kalsifikasi (perkapuran) yang sering dijumpai pada sistiserkus biasanya tidak menimbulkan gejala, namun sewaktuwaktu dapat menyebabkan pseudohipertrofi otot, disertai gejala miositis, demam tinggi dan eosinofilia (Gandahusada et al. 2000). Pada jaringan otak atau medula spinalis, sistiserkus jarang mengalami kalsifikasi. Keadaan ini sering menimbulkan reaksi jaringan dan dapat mengakibatkan serangan ayan (epilepsi), meningoensefalitis, gejala yang disebabkan oleh tekanan intrakranial yang tinggi seperti nyeri kepala dan kadangkadang kelainan jiwa. Hidrosefalus internus dapat terjadi, bila timbul sumbatan aliran cairan serebrospinal. Sebuah laporan menyatakan, bahwa sebuah sistiserkus tunggal yang ditemukan dalam ventrikel IV dari otak, dapat menyebabkan kematian (Gandahusada et al. 2000).

24 8 Diagnosa Diagnosa taeniasis solium dilakukan dengan pemeriksaan tinja secara makroskopik dan mikroskopik untuk menemukan proglotidan dan/atau telur dalam tinja penderita taeniasis. Kendala dari metode diagnosa ini adalah kesulitan dalam membedakan bentuk telur dari berbagai spesies Taenia dengan telur cacing pita lain seperti Echinococcus yang secara morfologi sangat mirip. Diagnosa sistiserkosis subkutis dapat dilakukan dengan teknik biopsi. Sistiserkus yang telah mengalami kalsifikasi diberbagai bagian tubuh termasuk otot dan otak dapat dideteksi dengan sinar X. Teknik pencitraan lain seperti computerized tomographic (CT) scan juga dapat dipergunakan untuk mengidentifikasi sistiserkus dalam jaringan otak. Berbagai uji serologis telah digunakan untuk mendiagnosa penderita sistiserkosis, diantaranya enzymelinked immunoelectrotransfer blot (EITB), Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA), uji hemaglutinasim dan uji pengikatan komplemen (CFT = complement fixation test) (CFSPH 2005). Pengobatan Pengobatan penderita taeniasis solium dapat diobati dengan berbagai jenis antelmintika seperti prazikuantel, niklosamid, buklosamid, atau mebendazol. Dalam beberapa kasus sistiserkosis mungkin dapat diobati dengan albendazol dan prazikuantel. Pembendahan dapat digunakan untuk mengangkat sistiserkus dari mata, ventrikel serebrum, dan sumsum tulang belakang mengingat pemberian antelmintika dapat memperparah gejala klinis yang timbul (CFSPH 2005). Pencengendalian Tindakan pengendalian meliputi pengobatan terhadap orang tertular, pendidikan masyarakat, kesehatan/kebersihan lingkungan, dan pemeriksaan daging secara seksama di rumah potong hewan. Daging yang tertular sistiserkus harus disingkirkan atau mengalami pembekuan dengan suhu di bawah 10 C atau dimasak dengan suhu di atas 60 C. Perlu dicermati bahwa pemeriksaan karkas di RPH tidak 100% mendeteksi sistiserkus, meskipun dapat menyingkirkan sebagian besar jaringan tertular (Soeharsono 2002; Soejoedono 2004).

25 9 Epidemiologi Kebiasaan hidup masyarakat yang dipengaruhi tradisi kebudayaan dan agama, memainkan peran penting dalam penyebaran taeniasis/sistiserkosis. Tingkat kejadian penyakit ini tinggi pada orangorang bukan pemeluk agama Islam, penganut ajaran Yahudi, Advent Hari ketujuh, dan Saksi Yehova, yang biasanya mengkonsumsi daging babi (Schnurrenberger & Hubbert 1991; Gandahusada et al. 2000). Cara menyantap daging tersebut, yaitu matang, setengah matang, atau mentah dan pengertian akan kebersihan lingkungan (sanitasi) dan higiene, memainkan peranan penting dalam penularan cacing Taenia solium maupun Cysticercus cellulosae. Disamping Provinsi Papua kasus taeniasis dan sistiserkosis banyak ditemukan di Provinsi Bali dan Sumatera Utara yang memiliki populasi penduduk non muslim yang tinggi. Kasus taeniasis/sistiserkosis di Provinsi Bali disebabkan oleh Taenia solium dan Taenia saginata, sedangkan di Sumatera Utara kasus ini disebabkan oleh Taenia asiatica (Wandra et al. 2006b). Margono et al. (2001) mengungkapkan data serologis positif sistiserkosis (13.5%) penderita epilepsi, serta (12.6%) kasus asimptomatik di Bali. Wandra et al. (2006a) dalam studi epidemiologi di 3 desa di Bali pada tahun 2002 dan 2004 menemukan prevalensi taeniasis bervariasi antara 1.1% 27.5%. Namun dalam studi itu hanya ditemukan satu kasus sistiserkosis diantara penduduk ketiga desa tersebut. Sistiserkosis pada Babi Cacing pita dari daging babi telah diketahui sejak Hippocrates, atau bahkan mungkin sudah sejak masa Nabi Musa. Pada masa itu belum dapat dibedakan antara cacing pita daging sapi dengan cacing pita daging babi. Gessner (1558) dan Rumler (1856) merupakan ilmuwan yang pertama kali mengadakan penelitian daur hidup cacing tersebut dan membuktikan bahwa cacing gelembung yang didapatkan pada daging babi adalah stadium larva T. solium. Istilah sistiserkus pertama kali digunakan oleh Zeder pada tahun 1830, yang berasal dari kata dalam bahasa Yunani yang berarti gelembung yang mempunyai ekor (Grove 1990). Kejadian sistiserkosis pada babi telah dikenal lama di berbagai belahan dunia. Adanya penyakit ini di Indonesia ditunjukkan dengan telah adanya istilah

26 10 atau nama dalam bahasa daerah untuk gangguan parasit tersebut, seperti beberasan di daerah Bali, manisan di Tapanuli dan banasan di Tanah Toraja (Direktorat Kesehatan Hewan 1980 diacu dalam Dharmawan 1990). Disamping Cysticercus cellulosae terdapat beberapa jenis sistiserkus lain yang dapat dijumpai pada daging babi, diantaranya adalah Cysticercus tenuicollis dan kista Echinococcus atau kista hydatida (Wilson 1980; Dharmawan 1990). Dari ketiga jenis sistiserkus tersebut, yang sangat berbahaya bagi manusia adalah Cysticercus cellulosae dan kista Echinococcus karena keduanya bersifat zoonosis (CFSPH 2005). Cysticercus cellulosae disamping dapat dijumpai pada babi, juga dapat ditemukan pada manusia, domba dan anjing (Soulsby 1982). Ukuran Cysticercus cellulosae bervariasi sesuai dengan tingkat perkembangannya (Wilson 1980; Dharmawan 1990). Pada umur 20 hari gelembung atau kista berukuran sebesar kepala jarum pentul, umur 60 hari sebesar kacang tanah. Skoleks mulai tampak pada umur 110 hari dan besarnya tetap hingga dewasa, tetapi sudah menjorok ke dalam gelembung. Di dalam organ, Cysticercus cellulosae dapat hidup bertahuntahun tetapi bila terjadi degradasi lemak atau pengapuran jaringan sekitarnya, parasit itu segera mati (LBNLIPI 1983; Direktorat Jenderal Peternakan 1980 diacu dalam Dharmawan 1990). Menurut Soulsby (1982) Cysticercus cellulosae mencapai perkembangan penuh atau matang setelah berukuran 20 x 10 mm, dan menjadi infektif setelah berumur 9 10 minggu. Sementara itu Dharmawan (1990) mengemukakan sistiserkus matang berbentuk kista bujur yang jernih dengan ukuran diameter kirakira 10 x 5 mm. Sistiserkus memiliki skoleks keruh yang menonjol ke dalam. Skoleks mempunyai empat batil isap dan satu lingkaran kaitkait (Cheng 1986; Dharmawan 1990). Pada pemeriksaan postmortem di RPH, Cysticercus cellulosae dapat ditemukan pada otot lidah, otot diafragma, otot antar tulang rusuk, otot perut, otot daerah pipi dan otot jantung (Wilson 1980; LBNLIPI 1983; Dharmawan 1990). Disamping lewat pemeriksaan kesehatan daging yang biasa dilakukan di Rumah Potong Hewan, di negaranegara yang telah maju telah diintroduksi penggunaan caracara diagnostik dengan menggunakan teknik ELISA (Kumar & Ganur 1978; Ris et al. 1987; Dharmawan 1990).

27 11 Cysticercus tenuicollis merupakan bentuk larva cacing pita Taenia hydatigena yang cacing dewasanya hidup dalam usus halus anjing, kadangkadang pada kucing atau karnivora lainnya (Soulsby 1982). Larva ini merupakan cacing gelembung yang terbesar dari genus Taenia, dengan diameter mencapai 7 8 cm (Wilson 1980; Dunn 1978; Dharmawan 1990). Parasit ini bermigrasi menembus jaringan hati untuk menuju ke selaput peritonium (Georgi 1980 diacu dalam Dharmawan 1990). Disamping pada babi, hewan lain seperti domba, kambing dan sapi dapat menjadi induk semang antara Taenia hydatigena (Wilson 1980; Dharmawan 1990). Cysticercus tenuicollis yang matang panjangnya dapat mencapai 6 cm (Soulsby 1982; Dharmawan 1990). Kista ini mengandung cairan encer dan berisi sebuah skoleks putih yang melipat ke bagian lehernya (Soulsby 1982; Dharmawan 1990). Kista Echinococcus adalah bentuk larva (metacestoda) dari cacing pita Echinococcus spp. Ada empat spesies dari genus ini yang telah diketahui yaitu Echinococcus granulosus, merupakan spesies yang pathogen dari keempat spesies yang ada (Soulsby 1982). Cacing dewasa berparasit di dalam usus halus anjing, serigala, anjing ajag, anjing hutan, kadangkadang pada kucing dan karnivora lainnya (Acha & Szyfres 1980; Dharmawan 1990). Sedangkan metacestodanya yang dikenal dengan nama hydatida atau kista Echinococcus ditemukan tersebar pada beberapa hewan seperti babi, domba, sapi, kuda dan kadangkadang dapat berakibat fatal pada manusia (Soulsby 1982). Kista Echinococcus umumnya berdiameter sekitar 5 10 cm. Namun pernah ditemukan kista ini pada manusia berukuran 50 cm dan mengandung sekitar 16 liter cairan (Soulsby 1982). Kondisi Umum Kabupaten Jayawijaya Masyarakat kabupaten Jayawijaya terdiri dari beberapa suku yang mempunyai kebiasaan dan adat yang berbeda. Sukusuku yang besar dan mendiami daerah Kabupaten Jayawijaya sebagai masyarakat asli daerah itu adalah suku Dani, Lani dan Yaly (Petocz 1987; WI 2007). Babi merupakan hewan yang mempunyai kedudukan penting bagi masyarakat pedalaman terutama masyarakat DaniLembah. Dalam adat masyarakat DaniLembah, babi adalah harta untuk membayar maskawin,

28 12 menyelesaikan masalah adat, serta syarat untuk ritual pengobatan dan upacaraupacara adat (Kosasih 1996). Masyarakat di pedalaman Pegunungan Tengah Papua mempunyai kebiasaan memelihara babi tanpa dikandangkan, sehingga ternak tersebut berkeliaran ke manamana. Babi yang berkeliaran tersebut sering juga mengkonsumsi tinja manusia. Hal ini dikarenakan, masyarakat sering melakukan defikasi di sembarang tempat, terutama di ladang atau kebun sekitarnya. Jika tinja manusia tersebut mengandung telur cacing pita atau Taenia solium, maka secara otomatis babi tersebut telah mengkonsumsi telur cacing Taenia solium sehingga dalam tubuhnya akan mempunyai kista atau sistiserkus (Anonim 2001). Sistem defikasi yang tidak saniter ini akan menjadi media pencemar bagi tanah, air dan tanaman sekitarnya. Padahal masyarakat setempat biasa mengkonsumsi air mentah, mengambil sayuran dan umbiumbian seperti ubi jalar (Ipomea batatas), kentang, ketela pohon, talas, wortel, kol, sawi, kacang tanah dari daerah sekitarnya. Proyek percontohan peternakan babi di Jayawijaya pernah dilakukan melalui kerjasama South Australia Research and Development (SARD), International Potato Center (IPC), Dinas Peternakan Kabupaten Jayawijaya (Distnak), Balai Penelitian Ternak (Balitnak), dan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Papua. Proyek ini bertujuan untuk mengembangkan model kandang babi yang mudah dibangun dan memenuhi syarat kesehatan ternak. Penggunaan model kandang yang baik diharapkan akan dapat meningkatkan efisiensi produksi dengan mencegah babi berkeliaran sehingga mengurangi resiko terjadinya kontak antara babi dan telur /proglotida cacing pita dalam tinja manusia (Cargil et al. 2007). Masyarakat setempat biasanya memasak daging babi menggunakan cara bakar batu. Suhu yang dihasilkan dari proses bakar batu ini tidak cukup tinggi sehingga apabila pemanasan dilakukan tidak cukup lama, maka daging tersebut masih setengah matang. Bila daging babi itu mengandung sistiserkus maka daging setengah matang tersebut akan menjadi sumber penularan infeksi cacing pita. Pada kegiatan bakar batu, biasanya daging babi yang telah masak akan diletakkan di atas tanah dengan beralaskan daundaunan atau rumputrumputan.

29 13 Rendahnya kebersihan lingkungan (sanitasi) membuka kemungkinan terjadinya pencemaran telur cacing pada alas daun tersebut (Anonim 2001). Sistem sanitasi umum dan higiene perorangan di daerah inipun sangat buruk. Menurut Laporan Tahunan Dinas Kesehatan Provinsi Papua (2006), Kabupaten Jayawijaya merupakan salah satu daerah yang memiliki status kesehatan lingkungan (sanitasi) terendah di Propinsi Papua. Sebagian besar (98.0%) penduduk Kabupaten Jayawijaya tidak memiliki fasilitas/sarana sanitasi seperti air bersih, jamban keluarga, tempat pembuangan sampah dan saluran pembuangan air limbah (SPAL). Dalam laporan tersebut juga dinyatakan bahwa sebagian besar masyarakat lokal di daerah tersebut memiliki higiene perorangan yang buruk. Menurut laporan ini juga bahwa salah satu faktor yang menyebabkan rendahnya higiene perorangan mereka adalah faktor iklim. Suhu di Lembah Balliem yang dingin (1415 C) mempengaruhi frekwensi masyarakat untuk membersihkan dirinya (mandi, cuci tangan dan gosok gigi) secara normal. Di sebagian besar penduduk di Lembah Balliem tidak menganggap higiene perorangan sebagai hal yang penting. Selain itu, sistem pengolahan makanan yang masih tradisional dan kurang memenuhi syarat kesehatan menjadi media yang potensial dalam penyebaran penyakit ini. Pasar Jibama Kabupaten Jayawijaya merupakan salah satu pusat keramaian yang terletak di pertengahan antara Distrik Kurulu, Kampung Walesi, dan Kampung HomHom. Letaknya yang sangat strategis memberikan kontribusi bagi perekonomian di Kota Wamena Kabupaten Jayawijaya. Pasar Jibama juga merupakan pasar terbesar diantara pasarpasar yang ada di Kota Wamena dimana masyarakat setempat dapat menjual hasil bumi mereka. Daging babi adalah salah satu bahan pangan asal hewan yang dijual di pasar ini. Daging babi ini berasal dari ternak masyarakat lokal sukusuku yang tinggal di Lembah Balliem. Disamping ternak babi, babi hasil buruan masyarakat juga di jual di pasar ini, meskipun kebanyakan dalam bentuk daging asap. Pemotongan babi biasanya dilakukan langsung di lingkungan pasar yang tidak jauh dari lokasi penjualan, mengingat daerah ini belum ada Rumah Potong Hewan (RPH). Untuk mendapatkan daging babi yang segar, masyarakat biasanya langsung membeli di pasar. Daging babi yang dijual di pasar sampai saat ini belum dapat

30 14 dipastikan kesehatannya. Hal ini disebabkan belum adanya manajemen pengawasan kesehatan ternak dan daging babi di Kabupaten Jayawijaya. Kondisi ini membuka peluang terjadinya penyebaran taeniasis melalui daging yang dijual di pasar. Kondisi taeniasis dan sistiserkosis di Kabupaten Jayawijaya Penyakit cacing pita ini diperkirakan masuk pertama kali ke derah Paniai dan Pegunungan Jayawijaya bagian Barat dalam tahun 1970 (Gunawan et al. 1975). Kemudian penyakit ini menyebar ke wilayah timur pegunungan tengah sampai Lembah Balliem. Hal tersebut termuat dalam laporan Subianto pada Rapat Kerja Kesehatan Provinsi Irian Jaya 1978 di Jayapura, yang melaporkan kejadian taeniasis 9.8% dari penduduk Lembah Balliem (Wamena dan sekitarnya) yang disurvei (Gunawan 1983). Survei yang dilakukan pada tahun 1983 di Kampung Dukopu, Desa Hubikosi, Kecamatan Wamena menemukan bahwa 11 orang (10.8%) dari jumlah total 102 orang penduduk yang menunjukkan gejala sindroma cacing pita. Berdasarkan jumlah tersebut 10 orang (9.8%) mengalami kejangkejang dan 2 diantaranya mempunyai nodul. Seorang hanya mempunyai nodul tanpa gejala kejangkejang (Indarto et al. 1983). Pada tahun 1993 dilakukan survei tentang taeniasis/sistiserkosis, dan cacing usus lainnya terhadap warga delapan paroki di seluruh Lembah Balliem. Survei ini didorong oleh laporan kematian beberapa tokoh gereja katolik akibat tenggelam di sungai pada saat serangan epilepsi. Hasil survei menemukan 48.0% dari 537 orang dewasa pernah mengalami serangan epilepsi dimana 26.5% merupakan penderita sistiserkosis. Hal ini menunjukkan peningkatan bila dibandingkan dengan data tahun 1977 yang mencatat kejadian sistiserkosis dan epilepsi pada masingmasing 2% dan 14% penduduk (Handali et al. 1997). Serangan epilepsi pada penderita sistiserkosis di Jayawijaya biasa terjadi pada waktu penderita sedang tidur di malam hari. Kondisi ini sering mengakibatkan terjadinya luka bakar karena penderita terguling ke dalam perapian yang terletak di tengah honai. Honai adalah bentuk rumah adat suku Dani, Yali dan Lani di Kabupaten Jayawijaya yang dijadikan sebagai tempat

31 15 tinggal. Pada tahun tercatat 257 kasus luka bakar di Desa Obano Kabupaten Jayawijaya (Margono et al. 2006). Studi lain oleh Wandra et al. (2000) memperlihatkan pada ditemukan kasus luka bakar di Distrik Asologaima yang berpenduduk jiwa. Pada awal 1996, Dinas Kesehatan Daerah Tingkat II Kabupaten Jayawijaya melaporkan jumlah kasus neurosistiserkosis sebanyak kasus yang tersebar di 15 Kecamatan. Terbanyak berada di Kecamatan Makki, Wamena, Assologaima, Karubaga, HomHom dan Kurulu. Angka ini merupakan angka kumulatif (kasus baru dan lama) yang dikumpulkan sejak tahun 1993 (Anonim 2001). Berdasarkan catatan dari Puskesmas Asologaima pada tahun 1991 ditemukan 4 kasus epilepsi (0.3%) dan 217 kasus luka bakar (1.6%) dari penduduk enam kampung di Kecamatan Asologaima. Data tahun 1995 menunjukkan adanya 145 kasus epilepsi (0.83%) dan 452 kasus luka bakar (2.58%) dari penduduk (Wandra et al. 2000). Menurut Simanjuntak et al. (1997) hampir 50.0% kasus tersangka taeniasis atau sistiserkosis di sekitar Wamena menunjukkan gejala epilepsi. Hasil survei bersama antara Subdit Zoonosis Depkes RI, serta Dinas Kesehatan Provinsi Irian Jaya dan Dinas Kesehatan Kabupaten Jayawijaya di Desa Woogi Kecamatan Assologaima dan Desa Home Lama Kecamatan Wamena Kabupaten Jayawijaya pada Februari 1996 menemukan kasus taeniasis dan sistiserkosis diantara penduduk kedua desa tersebut. Dari 22 orang penduduk Desa Woogi yang diperiksa terdapat 13 penderita sistiserkosis dan 9 orang lainnya pernah mengalami serangan epilepsi. Di Desa Home Lama terdapat 5 orang penderita taeniasis dan 2 orang penderita sistiserkosis serta 2 orang lainnya mempunyai gejala epilepsi dari 9 orang penduduk yang diperiksa (Subdit Zoonosis Depkes RI, Dinkes Prov.Irja & Dinkes Kab.Jayawijaya 1996). Upaya penanggulangan pernah dilakukan pada beberapa tahun yang silam, namun sejak tahun 2000 sampai dengan saat ini, perhatian Pemerintah Provinsi Papua terhadap penyakit taeniasis dan sistiserkosis sangat rendah. Hal ini menyebabkan morbiditas penyakit taeniasis dan sistiserkosis meningkat cukup

32 16 tinggi di daerah endemis termasuk Kabupaten Jayawijaya (Dinkes Kab.Jayawijaya 2006).

33 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama lima bulan mulai bulan Mei 2007 sampai dengan bulan September Pengambilan sampel daging babi dan survei lapangan dilakukan di Pasar Jibama Kabupaten Jayawijaya dan beberapa distrik di Kabupaten Jayawijaya yaitu Distrik Kurulu, Kurima, Asologaima, Wamena Kota, dan Kampung HomHom (Gambar 3). Identifikasi spesies sistiserkus yang diisolasi dari sampel daging dilakukan di Laboratorium Helmintologi, Bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor (Gambar 4). Gambar 3 Peta lokasi penelitian di Kabupaten Jayawijaya Provinsi Papua Desain Penelitian Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama penelitian untuk mengetahui prevalensi sistiserkosis pada babi dilakukan melalui pemeriksaan karkas dan organ viseral terhadap 35 ekor babi yang disembelih dan dijual dagingnya di Pasar Jibama Wamena pada minggu pertama dan kedua Agustus Sebelum babibabi tersebut disembelih dilakukan pencatatan mengenai asal dan jenis babi, jenis kelamin serta berat badannya. Sistiserkus yang ditemukan pada pemeriksaan tersebut diawetkan untuk identifikasi jenis sistiserkus. Pada tahap kedua penelitian dilakukan penelusuran terhadap pola konsumsi pangan,

34 18 kepemilikan dan pengelolaan peternakan babi, serta sanitasi lingkungan di wilayah distrik asal babi yang dijual di Pasar Jibama (Distrik Wamena Kota, HomHom, Kurulu, Kurima dan Pugima). Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara dan kuesioner dengan 35 keluarga responden di setiap distrik. Deteksi dan Identifikasi Sistiserkus pada Babi Pengamatan untuk mengetahui keberadaan sistiserkus pada babi yang disembelih di Pasar Jibama Wamena dilakukan terhadap karkas dan organorgan viseral lainnya segera setelah proses penyembelihan berlangsung. Pada pengmatan ini dilakukan insisi (sayatan) terhadap otototot yang dianggap menjadi predileksi dari Cysticercus cellulosae seperti otot masseter, otot lidah, otot antar tulang rusuk, otot jantung dan otot diafragma (Collins 1981; Dharmawan 1990). Untuk mengetahui kemungkinan adanya Cysticercus tenuicollis dan kista Echinococcus dilakukan pemeriksaan pada organorgan viseral seperti hati, ginjal, paruparu, limpa, penggantung usus (mesenterium), penggantung lambung (omentum) (Wilson 1980; Collins 1981; Dharmawan 1990). Survei Pasar Tahap I Koleksi Sistiserkus Survei & Wawancara ke Lingkungan Peternakan Babi Identivikasi Larva Cacing Pita Tahap II Analisis Data & Hasil Kesimpulan Gambar 4 Bagan alir penelitian.

35 19 Sampel sistiserkus yang ditemukan diawetkan dalam alkohol 70% sebelum dibuat sediaan skoleks untuk identifikasi spesies sistiserkus. Pembuatan sediaan skoleks dilakukan dengan mengeluarkan skoleks dari kista yang diperoleh dengan jalan menekan menggunakan skalpel, lalu dipotong. Hasil potongan skoleks yang didapatkan kembali ditipiskan dengan cara mengiris secara hatihati dibawah mikroskop, guna memperoleh sediaan setipis mungkin. Potongan skoleks yang masih berukuran besar ditekan dengan menggunakan kaca penjepit untuk memperoleh sediaan setipis mungkin. Potongan skoleks tersebut dijernihkan dengan merendamnya dalam KOH 1% selama beberapa detik, diteruskan perendaman dalam minyak cengkeh selama satu menit sampai terlihat transparan. Selanjutnya dilakukan dehidrasi melalui perendaman dalam alkohol bertingkat berturutturut mulai dari alkohol 50%, 70%, 80% dan terakhir alkohol absolut. Setiap tahap perendaman berlangsung selama 5 menit. Selanjutnya skoleks diletakkan di atas gelas obyek lalu dimounting dengan perekat entelan dan ditutup dengan gelas penutup. Identifikasi jenis sistiserkus dilakukan terhadap preparat skoleks yang sudah dibuat. Pekerjaan ini dilakukan dengan mengamati bentuk, ukuran, serta jumlah kait dengan bantuan video mikrometer. Pada prinsipnya sistiserkus dari genus Taenia dapat dibedakan dari kista Echinococcus berdasarkan jumlah skoleksnya. Pada Taenia hanya terdapat satu skoleks, sedangkan pada Echinococcus terdapat banyak skoleks dalam sebuah kista (Dharmawan 1990). Dokumentasi dilakukan dengan melakukan pemotretan pada bagian protoskoleks dari sistiserkus Pengumpulan Data Peternakan dan Sanitasi Lingkungan Pengumpulan data melalui wawancara yang dipandu dengan kuesioner dan daftar isian yang disiapkan sebelumnya (Lampiran 1). Disamping itu, pengamatan langsung dilakukan untuk melihat kondisi pasar, peternakan, sanitasi kandang dan lingkungan sekitarnya untuk didokumentasikan dengan pemotretan. Pengumpulan data dilakukan di empat distrik yang mewakili wilayah timur, barat, utara, dan selatan (Kurulu, Kurima, Asologaima dan Wamena Kota) serta satu kampung (HomHom) di Kabupaten Jayawijaya Papua. Kampung HomHom terletak di Distrik Wamena Kota yang teletak paling dekat dengan Pasar Jibama

36 20 dan sedang dipersiapkan menjadi satu distrik tersendiri. Pertimbangan penetapan wilayah survei ini adalah daerah asal babi yang dipotong di Pasar Jibama, serta tingkat kejadian taeniasis dan sistiserkosis pada manusia yang tercatat di Dinas Kesehatan tergolong tinggi (Dinkes Kab. Jayawijaya 2006). Bertindak sebagai responden dalam survei ini adalah kepala keluarga atau orang dewasa dalam lingkungan keluarga bersangkutan yang dianggap paling mengetahui segala sesuatu dalam keluarganya. Pertanyaan yang diajukan dalam wawancara mencakup indikator pola konsumsi daging dan pengolahan makanan, pemilikan dan pengelolaan ternak babi, serta kepemilikan dan penggunaan jamban keluarga. Pengumpulan Data Taeniasis dan Sistiserkosis pada Penduduk Data kejadian taeniasis dan sistisekosis pada penduduk merupakan data sekunder tentang jumlah dan penyebaran kasus taeniasis dan sistiserkosis pada penduduk Kabupaten Jayawijaya selama periode yang didapat dari Dinas Kesehatan Kabupaten Jayawijaya. Data tersebut merupakan catatan laporan kasus taeniasis dan sistisekosis di puskemaspuskesmas serta Paroki Dekanat. Analisis Data Tingkat kejadian sistiserkosis pada babi yang disembelih di Pasar Jibama dihitung dengan metode Point Prevalence Rate, yaitu proporsi penderita terhadap total hewan yang diteliti pada saat itu dikalikan 100% (Swan dan Hawkins 1984; Friedman 1986; Azwar 1988; Dharmawan 1990). Sedangkan data lain yang mendukung kejadian sistiserkosis pada hewan dan manusia serta taeniasis pada manusia yang diperoleh dari lokasi peternakan maupun instansi terkait, dan juga kondisi sanitasi lingkungan, akan dianalisis secara deskriptif berdasarkan analisis kasus penyakit (Azwar 1988).

37 HASIL DAN PEMBAHASAN Prevalensi Sistiserkosis pada Babi Babi yang diamati selama penelitian terdiri dari 25 ekor babi jantan dan 10 ekor babi betina. Babi tersebut berasal dari berbagai daerah di Lembah Balliem Kabupaten Jayawijaya Papua (Tabel 1). Semua babi yang disembelih merupakan babi ras lokal dengan kisaran berat badan diperkirakan antara kg. Jumlah babi yang diperjual belikan dan disembelih di Pasar Jibama adalah 1 4 ekor. Jumlah babi yang disembelih pada saat penelitian berlangsung jauh merosot dibandingkan periode sebelumnya yaitu 510 ekor setiap hari. Hal ini terjadi karena pada bulan Februari 2007 terjadi wabah hog cholera yang mematikan sebagian besar babibabi di wilayah Lembah Balliem Kabupaten Jayawijaya. Dampak lain dari wabah ini adalah peningkatan secara drastis harga jual daging dari Rp , per potong menjadi Rp Rp , per potong. Tingginya harga babi tersebut juga mendorong penduduk pendatang yang mengkonsumsi daging babi untuk membeli daging babi yang dipasok dari luar Kabupaten Jayawijaya (Biak dan Jayapura) yang harganya lebih murah. Gambar 5 Sistiserkus (panah) yang ditemukan pada hati dan daging babi yang disembelih di Pasar Jibama Wamena.

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi Taenia solium. Klasifikasi dan Morfologi

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi Taenia solium. Klasifikasi dan Morfologi TINJAUAN PUSTAKA Biologi Taenia solium Klasifikasi dan Morfologi Taenia solium adalah salah satu jenis cacing pita yang berparasit di dalam usus halus manusia. Dalam klasifikasi taksonomi cacing ini termasuk

Lebih terperinci

FAKTOR RISIKO KEJADIAN SISTISERKOSIS PADA BABI DI KABUPATEN FLORES TIMUR NUSA TENGGARA TIMUR UMI SITI AISYAH SALEH

FAKTOR RISIKO KEJADIAN SISTISERKOSIS PADA BABI DI KABUPATEN FLORES TIMUR NUSA TENGGARA TIMUR UMI SITI AISYAH SALEH FAKTOR RISIKO KEJADIAN SISTISERKOSIS PADA BABI DI KABUPATEN FLORES TIMUR NUSA TENGGARA TIMUR UMI SITI AISYAH SALEH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

Lebih terperinci

BAB 2 TI JAUA PUSTAKA

BAB 2 TI JAUA PUSTAKA BAB 2 TI JAUA PUSTAKA 2.1. Infeksi Cacing Pita 2.1.1. Definisi Infeksi cacing pita atau taeniasis ialah penyakit zoonosis parasiter yang disebabkan cacing pita yang tergolong dalam genus Taenia (Taenia

Lebih terperinci

Taenia saginata dan Taenia solium

Taenia saginata dan Taenia solium Taenia saginata dan Taenia solium Mata kuliah Parasitologi Disusun Oleh : Fakhri Muhammad Fathul Fitriyah Ina Isna Saumi Larasati Wijayanti Sri Wahyuni Kelompok 6 DIV KESEHATAN LINGKUNGAN TAKSONOMI Taenia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. menelan stadium infektif yaitu daging yang mengandung larva sistiserkus.

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. menelan stadium infektif yaitu daging yang mengandung larva sistiserkus. BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Taeniasis merupakan penyakit infeksi yang terjadi pada manusia karena menelan stadium infektif yaitu daging yang mengandung larva sistiserkus. Penyebab taeniasis yaitu

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi, Morfologi dan Daur Hidup Taenia sp.

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi, Morfologi dan Daur Hidup Taenia sp. 4 TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi, Morfologi dan Daur Hidup Taenia sp. Klasifikasi dan Morfologi Taenia sp didalam klasifikasi taksonomi termasuk ke dalam kelas Eucestoda, ordo Taeniidae, famili Taeniidae

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kelangsungan hidup cacing parasitik yang ditunjang oleh pola hidup kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. kelangsungan hidup cacing parasitik yang ditunjang oleh pola hidup kesehatan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karakteristik fisik wilayah tropis seperti Indonesia merupakan surga bagi kelangsungan hidup cacing parasitik yang ditunjang oleh pola hidup kesehatan masyarakatnya

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata kunci: Cysticercus cellulosae, crude antigen, ELISA

ABSTRAK. Kata kunci: Cysticercus cellulosae, crude antigen, ELISA ABSTRAK Sistiserkosis merupakan penyakit parasitik yang disebabkan oleh larva stadium metacestoda cacing pita yang disebut Cysticercus. Cysticercus yang ditemukan pada babi adalah Cysticercus cellulosae

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 20 HASIL DAN PEMBAHASAN Prevalensi Sistiserkosis pada Serum Contoh Total Penelitian ini memeriksa serum babi sebanyak 39 contoh (Tabel 1). Babi yang diambil serumnya dalam penelitian ini berasal dari peternakan

Lebih terperinci

Ciri-ciri umum cestoda usus

Ciri-ciri umum cestoda usus Ciri-ciri umum cestoda usus Bentuk tubuh pipih, terdiri dari kepala (scolex) dilengkapi dengan sucker dan tubuh (proglotid) Panjang antara 2-3m Bersifat hermaprodit Hidup sebagai parasit dalam usus vertebrata

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berabad-abad lalu. Beberapa sinonim sapi bali yaitu Bos javanicus, Bos banteng

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berabad-abad lalu. Beberapa sinonim sapi bali yaitu Bos javanicus, Bos banteng 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sapi Bali Sapi bali berasal dari banteng (Bibos banteng) yang telah didomestikasi berabad-abad lalu. Beberapa sinonim sapi bali yaitu Bos javanicus, Bos banteng dan Bos sondaicus.

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Infeksi Taenia saginata 2.1.1. Definisi Taenia saginata merupakan cacing pita termasuk subkelas Cestoda, kelas Cestoidea, dan filum Platyhelminthes. Hospes definitif Taenia

Lebih terperinci

Pada dasarnya morfologi cacing dewasa terdiri dari : - Kepala/scolec, - Leher, -Strobila,

Pada dasarnya morfologi cacing dewasa terdiri dari : - Kepala/scolec, - Leher, -Strobila, CESTODA JARINGAN Cacing dalam kelas Cestoidea disebut juga cacing pita karena bentuk tubuhnya yang panjang dan pipih menyerupai pita. Cacing ini tidak mempunyai saluran pencernaan ataupun pembuluh darah.

Lebih terperinci

NI MADE AYUDININGSIH ASTITI SUDEWI NIM

NI MADE AYUDININGSIH ASTITI SUDEWI NIM TESIS PREVALENSI SISTISERKOSIS PADA BABI YANG DIPOTONG DI RUMAH POTONG HEWAN DENPASAR DAN TEMPAT PEMOTONGAN HEWAN TRADISIONAL DI KARANGASEM SERTA EVALUASI UJI ELISA YANG DIGUNAKAN NI MADE AYUDININGSIH

Lebih terperinci

BAB II TIJAUAN PUSTAKA. A. Infeksi cacing Enterobius vermicularis (Enterobiasis)

BAB II TIJAUAN PUSTAKA. A. Infeksi cacing Enterobius vermicularis (Enterobiasis) BAB II TIJAUAN PUSTAKA A. Infeksi cacing Enterobius vermicularis (Enterobiasis) Enterobiasis/penyakit cacing kremi adalah infeksi usus pada manusia yang disebabkan oleh cacing E. vermicularis. Enterobiasis

Lebih terperinci

PARASITOLOGI. OLEH: Dra. Nuzulia Irawati, MS

PARASITOLOGI. OLEH: Dra. Nuzulia Irawati, MS PARASITOLOGI OLEH: Dra. Nuzulia Irawati, MS DEFINISI PARASITOLOGI ialah ilmu yang mempelajari tentang jasad hidup untuk sementara atau menetap pada/ di dalam jasad hidup lain dengan maksud mengambil sebagian

Lebih terperinci

Deteksi Antibodi terhadap Cysticercus Cellulosae pada Babi Lokal yang Dipotong di Tempat Pemotongan Babi Panjer, Denpasar

Deteksi Antibodi terhadap Cysticercus Cellulosae pada Babi Lokal yang Dipotong di Tempat Pemotongan Babi Panjer, Denpasar Deteksi Antibodi terhadap Cysticercus Cellulosae pada Babi Lokal yang Dipotong di Tempat Pemotongan Babi Panjer, Denpasar (ANTIBODY DETECTION TOWARD CYSTICERCUS CELLULOSAE ON LOCAL PIG THAT SLAUGHTERED

Lebih terperinci

KAJIAN BRUSELLOSIS PADA SAPI DAN KAMBING POTONG YANG DILALULINTASKAN DI PENYEBERANGAN MERAK BANTEN ARUM KUSNILA DEWI

KAJIAN BRUSELLOSIS PADA SAPI DAN KAMBING POTONG YANG DILALULINTASKAN DI PENYEBERANGAN MERAK BANTEN ARUM KUSNILA DEWI KAJIAN BRUSELLOSIS PADA SAPI DAN KAMBING POTONG YANG DILALULINTASKAN DI PENYEBERANGAN MERAK BANTEN ARUM KUSNILA DEWI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

Lebih terperinci

BAB III VIRUS TOKSO PADA KUCING

BAB III VIRUS TOKSO PADA KUCING BAB III VIRUS TOKSO PADA KUCING 3.1. Virus Tokso Pada Kucing Toksoplasmosis gondii atau yang lebih sering disebut dengan tokso adalah suatu gejala penyakit yang disebabkan oleh protozoa toksoplasmosis

Lebih terperinci

bio.unsoed.ac.id I. PENDAHULUAN 2. JENIS PENYAKIT CACINGAN

bio.unsoed.ac.id I. PENDAHULUAN 2. JENIS PENYAKIT CACINGAN I. JEMS.JENIS CACING PARASIT USUS YANG UMUM MENYERANG ANAK BALITA DAN ORANG YANG PROFESINYA BERHUBTJNGAN DENGAN TANAH Oleh: Dr. Bambang Heru Budianto, MS.*) I. PENDAHULUAN Penyakit cacing usus oleh masyarakat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. CESTODA Cacing pita termasuk subkelas Cestoda, kelas Cestoidea, filum

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. CESTODA Cacing pita termasuk subkelas Cestoda, kelas Cestoidea, filum BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. CESTODA Cacing pita termasuk subkelas Cestoda, kelas Cestoidea, filum Platyhelminthes. Cacing dewasa menempati saluran usus vertebrata dan larvanya hidup dijaringan vertebrata

Lebih terperinci

TREMATODA PENDAHULUAN

TREMATODA PENDAHULUAN TREMATODA PENDAHULUAN Trematoda termasuk dalam filum Platyhelminthes Morfologi umum : Pipih seperti daun, tidak bersegmen Tidak mempunyai rongga badan Mempunyai 2 batil isap : mulut dan perut. Mempunyai

Lebih terperinci

bio.unsoed.ac.id la l b T'b ', */'i I. PENDAHULUAN zt=r- (ttrt u1 II. JENIS PENYAKIT CACINGA}I '"/ *

bio.unsoed.ac.id la l b T'b ', */'i I. PENDAHULUAN zt=r- (ttrt u1 II. JENIS PENYAKIT CACINGA}I '/ * i zt=r- (ttrt u1 la l b T'b ', */'i '"/ * I. JENIS.JENIS CACING PARASIT USUS YANG UMUM MENYERANG ANAK SEKOLAH DASAR-) Oleh : Dr. Bambang Heru Budianto, MS.**) I. PENDAHULUAN Penyakit cacing usus oleh masyarakat

Lebih terperinci

BAB I. Leptospirosis adalah penyakit zoonosis, disebabkan oleh

BAB I. Leptospirosis adalah penyakit zoonosis, disebabkan oleh 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Leptospirosis adalah penyakit zoonosis, disebabkan oleh mikroorganisme Leptospira interogans yang mempengaruhi baik manusia maupun hewan. Manusia terinfeksi melalui

Lebih terperinci

1. BAB I PENDAHULUAN

1. BAB I PENDAHULUAN 1. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kecacingan merupakan penyakit infeksi disebabkan oleh parasit cacing yang dapat membahayakan kesehatan. Penyakit kecacingan yang sering menginfeksi dan memiliki

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penyakit Diare Penyakit diare masih merupakan salah satu masalah kesehatan bagi masyarakat Indonesia. Selain penyakit ini masih endemis di hampir semua daerah, juga sering muncul

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. tingkat konsumsi ayam dan telur penduduk Indonesia tinggi. Menurut Badan

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. tingkat konsumsi ayam dan telur penduduk Indonesia tinggi. Menurut Badan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ayam dan telur bukanlah jenis makanan yang asing bagi penduduk indonesia. Kedua jenis makanan tersebut sangat mudah dijumpai dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Bahkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Ascaris lumbricoides Manusia merupakan hospes beberapa nematoda usus. Sebagian besar nematoda ini menyebabkan masalah kesehatan masyarakat Indonesia (FKUI, 1998). Termasuk dalam

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kecamatan Mranggen merupakan daerah yang berada di Kabupaten Demak

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kecamatan Mranggen merupakan daerah yang berada di Kabupaten Demak BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil 1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian Kecamatan Mranggen merupakan daerah yang berada di Kabupaten Demak yang mempunyai banyak pemukiman kumuh, yaitu dapat dilihat dari

Lebih terperinci

PENGANTAR KBM MATA KULIAH BIOMEDIK I. (Bagian Parasitologi) didik.dosen.unimus.ac.id

PENGANTAR KBM MATA KULIAH BIOMEDIK I. (Bagian Parasitologi) didik.dosen.unimus.ac.id PENGANTAR KBM MATA KULIAH BIOMEDIK I (Bagian Parasitologi) Pengertian Parasitologi adalah ilmu yang mempelajari jasad renik yang hidup pada jasad lain di dalam maupun di luar tubuh dengan maksud mengambil

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. penyebarannya melalui media tanah masih menjadi masalah di dalam dunia kesehatan

BAB 1 PENDAHULUAN. penyebarannya melalui media tanah masih menjadi masalah di dalam dunia kesehatan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Soil Transmitted Helminth (STH) atau penyakit kecacingan yang penyebarannya melalui media tanah masih menjadi masalah di dalam dunia kesehatan masyarakat khususnya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Metode Suzuki Metode Suzuki adalah suatu metode yang digunakan untuk pemeriksaan telur Soil Transmitted Helmints dalam tanah. Metode ini menggunakan Sulfas Magnesium yang didasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sampai pada saat makanan tersebut siap untuk dikonsumsi oleh konsumen. adalah pengangkutan dan cara pengolahan makanan.

BAB I PENDAHULUAN. sampai pada saat makanan tersebut siap untuk dikonsumsi oleh konsumen. adalah pengangkutan dan cara pengolahan makanan. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sanitasi makanan adalah salah satu usaha pencegahan yang menitik beratkan kegiatan dan tindakan yang perlu untuk membebaskan makanan dari segala bahaya yang dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Transmitted Helminths. Jenis cacing yang sering ditemukan adalah Ascaris

BAB I PENDAHULUAN. Transmitted Helminths. Jenis cacing yang sering ditemukan adalah Ascaris BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kecacingan adalah penyakit yang disebabkan oleh masuknya parasit berupa cacing kedalam tubuh manusia karena menelan telur cacing. Penyakit ini paling umum tersebar

Lebih terperinci

Disebut Cacing Pipih (Flat Worm) dengan ciri antara lain:

Disebut Cacing Pipih (Flat Worm) dengan ciri antara lain: Disebut Cacing Pipih (Flat Worm) dengan ciri antara lain: Tubuh simetri bilateral Belum memiliki sistem peredaran darah Belum memiliki anus Belum memiliki rongga badan (termasuk kelompok Triploblastik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Angka kejadian kecacingan di Indonesia yang dilaporkan di Kepulauan Seribu ( Agustus 1999 ), jumlah prevalensi total untuk kelompok murid Sekolah Dasar (SD) (95,1 %),

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yaitu malaria, schistosomiasis, leismaniasis, toksoplasmosis, filariasis, dan

BAB I PENDAHULUAN. yaitu malaria, schistosomiasis, leismaniasis, toksoplasmosis, filariasis, dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit parasiter saat ini menjadi ancaman yang cukup serius bagi manusia. Ada 6 jenis penyakit parasiter yang sangat serius melanda dunia, yaitu malaria, schistosomiasis,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kecacingan adalah masalah kesehatan yang masih banyak ditemukan. Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO), lebih dari 1,5

I. PENDAHULUAN. Kecacingan adalah masalah kesehatan yang masih banyak ditemukan. Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO), lebih dari 1,5 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kecacingan adalah masalah kesehatan yang masih banyak ditemukan. Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO), lebih dari 1,5 miliar orang atau 24% dari populasi

Lebih terperinci

KONTAMINASI SISTISERKUS PADA DAGING DAN HATI SAPI DAN BABI YANG DIJUAL DI PASAR TRADISIONAL PADA KECAMATAN MEDAN KOTA. Oleh : MARIANTO

KONTAMINASI SISTISERKUS PADA DAGING DAN HATI SAPI DAN BABI YANG DIJUAL DI PASAR TRADISIONAL PADA KECAMATAN MEDAN KOTA. Oleh : MARIANTO KONTAMINASI SISTISERKUS PADA DAGING DAN HATI SAPI DAN BABI YANG DIJUAL DI PASAR TRADISIONAL PADA KECAMATAN MEDAN KOTA Oleh : MARIANTO 080100112 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2011

Lebih terperinci

Pada siklus tidak langsung larva rabditiform di tanah berubah menjadi cacing jantan dan

Pada siklus tidak langsung larva rabditiform di tanah berubah menjadi cacing jantan dan sehingga parasit tertelan, kemudian sampai di usus halus bagian atas dan menjadi dewasa. Cacing betina yang dapat bertelur kira-kira 28 hari sesudah infeksi. 2. Siklus Tidak Langsung Pada siklus tidak

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN CHECKLIST UNTUK AUDIT BIOSEKURITI, HIGIENE, DAN SANITASI DISTRIBUTOR TELUR AYAM BAWANTA WIDYA SUTA

PENGEMBANGAN CHECKLIST UNTUK AUDIT BIOSEKURITI, HIGIENE, DAN SANITASI DISTRIBUTOR TELUR AYAM BAWANTA WIDYA SUTA PENGEMBANGAN CHECKLIST UNTUK AUDIT BIOSEKURITI, HIGIENE, DAN SANITASI DISTRIBUTOR TELUR AYAM BAWANTA WIDYA SUTA FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007 ABSTRAK BAWANTA WIDYA SUTA. 2007.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ascaris lumbricoides merupakan cacing gelang yang. termasuk ke dalam golongan Soil Transmitted Helminths

BAB I PENDAHULUAN. Ascaris lumbricoides merupakan cacing gelang yang. termasuk ke dalam golongan Soil Transmitted Helminths BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Ascaris lumbricoides merupakan cacing gelang yang termasuk ke dalam golongan Soil Transmitted Helminths (STH) yaitu cacing yang menginfeksi manusia dengan cara penularannya

Lebih terperinci

Seroprevalensi Sistiserkosis pada Babi Lokal yang Dipotong di Tempat Pemotongan Babi Penatih, Denpasar

Seroprevalensi Sistiserkosis pada Babi Lokal yang Dipotong di Tempat Pemotongan Babi Penatih, Denpasar Seroprevalensi Sistiserkosis pada Babi Lokal yang Dipotong di Tempat Pemotongan Babi Penatih, Denpasar (SEROPREVALENCE OF PIG CYSTICERCOSIS AT THE SLAUGHTERHOUSE IN PENATIH, DENPASAR ) I Ketut Suada 1,

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Epidemiologi Taeniasis sp. Taeniasis dan sistiserkosis merupakan penyakit yang menyerang masyarakat dengan tingkat ekonomi rendah, seperti yang dikonfirmasi pada statistika

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Infeksi cacing merupakan salah satu penyakit yang paling umum tersebar dan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Infeksi cacing merupakan salah satu penyakit yang paling umum tersebar dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Infeksi cacing merupakan salah satu penyakit yang paling umum tersebar dan menjangkiti banyak manusia di seluruh dunia. Sampai saat ini penyakit kecacingan masih tetap

Lebih terperinci

CESTODA USUS. >> Nama penyakit: teniasis solium, dan yang disebabkan stadium larva adalah. a. Ukuran: panjang 2-4 m, kadang-kadang sampai 8 m.

CESTODA USUS. >> Nama penyakit: teniasis solium, dan yang disebabkan stadium larva adalah. a. Ukuran: panjang 2-4 m, kadang-kadang sampai 8 m. CESTODA USUS Terdiri dari: 1. Taenia solium 2. Taenia saginata 3. Hymenolopis nana 4. Hymenolopis diminuta 5. Dypilobotrium latum 6. Dypilidium caninum 1. Taenia solium >> Hospes difinitif: manusia Hospes

Lebih terperinci

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN SISTISERKOSIS PADA PENDUDUK KECAMATAN WAMENA, KABUPATEN JAYAWIJAYA, PROPINSI PAPUA TAHUN 2002

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN SISTISERKOSIS PADA PENDUDUK KECAMATAN WAMENA, KABUPATEN JAYAWIJAYA, PROPINSI PAPUA TAHUN 2002 FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN SISTISERKOSIS PADA PENDUDUK KECAMATAN WAMENA, KABUPATEN JAYAWIJAYA, PROPINSI PAPUA TAHUN 22 Wilfried H. Purba, 1 Tri Yunis Miko W 1, Akira Ito 4, Widarso

Lebih terperinci

PREVALENSI DAN RISIKO INFEKSI CACING JANTUNG PADA ANJING YANG DIIMPOR MELALUI BANDARA SOEKARNO-HATTA ESMIRALDA EKA FITRI

PREVALENSI DAN RISIKO INFEKSI CACING JANTUNG PADA ANJING YANG DIIMPOR MELALUI BANDARA SOEKARNO-HATTA ESMIRALDA EKA FITRI PREVALENSI DAN RISIKO INFEKSI CACING JANTUNG PADA ANJING YANG DIIMPOR MELALUI BANDARA SOEKARNO-HATTA ESMIRALDA EKA FITRI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penyakit Cacingan Cacing merupakan salah satu parasit pada manusia dan hewan yang sifatnya merugikan dimana manusia merupakan hospes untuk beberapa jenis cacing yang termasuk

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. nematoda yang hidup di usus dan ditularkan melalui tanah. Spesies cacing

BAB 1 PENDAHULUAN. nematoda yang hidup di usus dan ditularkan melalui tanah. Spesies cacing BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Soil Transmitted Helminths (STH) merupakan cacing kelas nematoda yang hidup di usus dan ditularkan melalui tanah. Spesies cacing yang termasuk STH antara lain cacing

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar belakang. disebabkan oleh protozoa, seperti Entamoeba histolytica, Giardia lamblia dan

I. PENDAHULUAN. A. Latar belakang. disebabkan oleh protozoa, seperti Entamoeba histolytica, Giardia lamblia dan I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Infeksi protozoa usus adalah salah satu bentuk infeksi parasit usus yang disebabkan oleh protozoa, seperti Entamoeba histolytica, Giardia lamblia dan Cryptosporidium parvum

Lebih terperinci

HUBUNGAN SANITASI LINGKUNGAN DENGAN KEJADIAN DIARE DIDUGA AKIBAT INFEKSI DI DESA GONDOSULI KECAMATAN BULU KABUPATEN TEMANGGUNG

HUBUNGAN SANITASI LINGKUNGAN DENGAN KEJADIAN DIARE DIDUGA AKIBAT INFEKSI DI DESA GONDOSULI KECAMATAN BULU KABUPATEN TEMANGGUNG Volume, Nomor, Tahun 0, Halaman 535-54 Online di http://ejournals.undip.ac.id/index.php/jkm HUBUNGAN SANITASI LINGKUNGAN DENGAN KEJADIAN DIARE DIDUGA AKIBAT INFEKSI DI DESA GONDOSULI KECAMATAN BULU KABUPATEN

Lebih terperinci

PARASITOLOGI DAN ENTOMOLOGI KESEHATAN

PARASITOLOGI DAN ENTOMOLOGI KESEHATAN PARASITOLOGI DAN ENTOMOLOGI KESEHATAN Ketua Program studi/koordinator Mayor: drh., MS., Ph.D. Pengajar: DR.drh. Ahmad Arif Amin DR.drh., MSi DR.drh. Elok Budi Retnani, MSi drh. Fadjar Satrija, MSc., Ph.D.

Lebih terperinci

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI PURBALINGGA NOMOR 65 TAHUN 2014 TENTANG PEMOTONGAN HEWAN RUMINANSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURBALINGGA, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. media pertumbuhan mikroorganisme. Daging (segar) juga mengandung enzim-enzim

BAB I PENDAHULUAN. media pertumbuhan mikroorganisme. Daging (segar) juga mengandung enzim-enzim 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daging adalah salah satu pangan asal hewan yang mengandung zat gizi yang sangat baik untuk kesehatan dan pertumbuhan manusia, serta sangat baik sebagai media pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal. Pembangunan nasional dapat

BAB 1 PENDAHULUAN. dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal. Pembangunan nasional dapat BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan kesehatan merupakan bagian integral dari pembangunan nasional, yang pada hakekatnya merupakan upaya penyelenggaraan kesehatan oleh bangsa Indonesia untuk

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Derajat kesehatan masyarakat merupakan salah satu indikator harapan hidup

BAB 1 PENDAHULUAN. Derajat kesehatan masyarakat merupakan salah satu indikator harapan hidup BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Derajat kesehatan masyarakat merupakan salah satu indikator harapan hidup manusia yang harus dicapai, untuk itu diperlukan upaya-upaya dalam mengatasi masalah kesehatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oleh manusia. Sumber protein tersebut dapat berasal dari daging sapi,

BAB I PENDAHULUAN. oleh manusia. Sumber protein tersebut dapat berasal dari daging sapi, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Daging merupakan salah satu sumber protein yang sangat dibutuhkan oleh manusia. Sumber protein tersebut dapat berasal dari daging sapi, kerbau, kuda, domba, kambing,

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA DEPARTEMEN BIOLOGI FMIPA USU BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Budidaya Sapi Potong Ternak sapi khususnya sapi potong merupakan salah satu sumber daya penghasil bahan makanan berupa daging yang memiliki nilai

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sejarah E. histolytica Penyebab amebiasis adalah parasit Entamoeba histolytica yang merupakan anggota kelas rhizopoda (rhiz=akar, podium=kaki). 10 Amebiasis pertama kali diidentifikasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tikus. Manusia dapat terinfeksi oleh patogen ini melalui kontak dengan urin

BAB I PENDAHULUAN. tikus. Manusia dapat terinfeksi oleh patogen ini melalui kontak dengan urin BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Leptospirosis atau penyakit kuning merupakan penyakit yang ditularkan dari hewan ke manusia atau sebaliknya. Penyakit ini disebabkan bakteri Leptospira Icterohaemorrhagiae

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. ditularkan melalui tanah. Penyakit ini dapat menyebabkan penurunan kesehatan,

BAB 1 PENDAHULUAN. ditularkan melalui tanah. Penyakit ini dapat menyebabkan penurunan kesehatan, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara berkembang dan masih menghadapi berbagai masalah kesehatan, salah satu diantaranya adalah penyakit kecacingan yang ditularkan melalui tanah.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi yang disebabkan oleh Ascaris lumbricoides atau disebut dengan askariasis merupakan salah satu penyakit yang banyak ditemui di masyarakat. Infeksi cacing nematoda

Lebih terperinci

Sumber penularan penyakit. Penerima. Diagram Penularan Penyakit

Sumber penularan penyakit. Penerima. Diagram Penularan Penyakit BAB 2 PENYAKIT BAWAAN MAKANAN (FOOD BORNE DISEASE) Sumber penularan penyakit orang sakit binatang / insekta tanaman beracun parasit Penerima manusia hewan Penyebaran penyakit tergantung pada kontak langsung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu,

Lebih terperinci

METODE. Materi. Pakan Pakan yang diberikan selama pemeliharaan yaitu rumput Brachiaria humidicola, kulit ubi jalar dan konsentrat.

METODE. Materi. Pakan Pakan yang diberikan selama pemeliharaan yaitu rumput Brachiaria humidicola, kulit ubi jalar dan konsentrat. METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapangan IPT Ruminansia Kecil serta Laboratorium IPT Ruminansia Besar, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan,

Lebih terperinci

ASPEK MIKROBIOLOGIS DAGING AYAM BEKU YANG DILALULINTASKAN MELALUI PELABUHAN PENYEBERANGAN MERAK MELANI WAHYU ADININGSIH

ASPEK MIKROBIOLOGIS DAGING AYAM BEKU YANG DILALULINTASKAN MELALUI PELABUHAN PENYEBERANGAN MERAK MELANI WAHYU ADININGSIH ASPEK MIKROBIOLOGIS DAGING AYAM BEKU YANG DILALULINTASKAN MELALUI PELABUHAN PENYEBERANGAN MERAK MELANI WAHYU ADININGSIH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Toksoplasmosis adalah penyakit yang disebabkan oleh Toxoplasma gondii

BAB I PENDAHULUAN. Toksoplasmosis adalah penyakit yang disebabkan oleh Toxoplasma gondii BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Toksoplasmosis adalah penyakit yang disebabkan oleh Toxoplasma gondii yang menyebabkan dampak merugikan terhadap hewan dan manusia diseluruh dunia. Toxoplasma gondii

Lebih terperinci

UJI DAYA ANTHELMINTIK INFUSA BAWANG PUTIH (Allium sativum Linn.) TERHADAP CACING GELANG BABI (Ascaris suum) SECARA IN VITRO SKRIPSI

UJI DAYA ANTHELMINTIK INFUSA BAWANG PUTIH (Allium sativum Linn.) TERHADAP CACING GELANG BABI (Ascaris suum) SECARA IN VITRO SKRIPSI UJI DAYA ANTHELMINTIK INFUSA BAWANG PUTIH (Allium sativum Linn.) TERHADAP CACING GELANG BABI (Ascaris suum) SECARA IN VITRO SKRIPSI Diajukan Oleh : Restian Rudy Oktavianto J500050011 Kepada : FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Soil transmitted helminths adalah cacing perut yang siklus hidup dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Soil transmitted helminths adalah cacing perut yang siklus hidup dan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Soil Transmitted Helminths 1. Pengertian Soil transmitted helminths adalah cacing perut yang siklus hidup dan penularannya melalui tanah. Di Indonesia terdapat lima species cacing

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Enterobius vermicularis adalah cacing yang dapat masuk kemulut

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Enterobius vermicularis adalah cacing yang dapat masuk kemulut BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Enterobius vermicularis Enterobius vermicularis adalah cacing yang dapat masuk kemulut tubuh melalui makanan, udara, tanah yang akan bersarang di usus besar pada waktu malam

Lebih terperinci

KAJIAN BRUSELLOSIS PADA SAPI DAN KAMBING POTONG YANG DILALULINTASKAN DI PENYEBERANGAN MERAK BANTEN ARUM KUSNILA DEWI

KAJIAN BRUSELLOSIS PADA SAPI DAN KAMBING POTONG YANG DILALULINTASKAN DI PENYEBERANGAN MERAK BANTEN ARUM KUSNILA DEWI KAJIAN BRUSELLOSIS PADA SAPI DAN KAMBING POTONG YANG DILALULINTASKAN DI PENYEBERANGAN MERAK BANTEN ARUM KUSNILA DEWI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

Lebih terperinci

BAB II VIRUS TOKSO Definisi Virus Tokso

BAB II VIRUS TOKSO Definisi Virus Tokso BAB II VIRUS TOKSO 2.1. Definisi Virus Tokso Tokso adalah kependekan dari toksoplasmosis, istilah medis untuk penyakit ini. Toksoplasmosis gondii atau yang lebih sering disebut dengan tokso adalah suatu

Lebih terperinci

POTENSI DAN DAYA DUKUNG LIMBAH PERTANIAN SEBAGAI PAKAN SAPI POTONG DI KABUPATEN SOPPENG SULAWESI SELATAN H A E R U D D I N

POTENSI DAN DAYA DUKUNG LIMBAH PERTANIAN SEBAGAI PAKAN SAPI POTONG DI KABUPATEN SOPPENG SULAWESI SELATAN H A E R U D D I N POTENSI DAN DAYA DUKUNG LIMBAH PERTANIAN SEBAGAI PAKAN SAPI POTONG DI KABUPATEN SOPPENG SULAWESI SELATAN H A E R U D D I N SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2004 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Toxoplasma gondii, merupakan penyakit yang banyak dijumpai di seluruh dunia.

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Toxoplasma gondii, merupakan penyakit yang banyak dijumpai di seluruh dunia. PENDAHULUAN Latar Belakang Toksoplasmosis adalah penyakit zoonosis yang disebabkan oleh parasit Toxoplasma gondii, merupakan penyakit yang banyak dijumpai di seluruh dunia. Luasnya penyebaran toksoplasmosis

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang dapat menyebabkan kematian, yang disebut sebagai salmonellosis. Habitat

I. PENDAHULUAN. yang dapat menyebabkan kematian, yang disebut sebagai salmonellosis. Habitat I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bakteri Salmonella sp merupakan mikrobia patogen penyebab sakit perut yang dapat menyebabkan kematian, yang disebut sebagai salmonellosis. Habitat alami Salmonella sp adalah

Lebih terperinci

CONEGARAN TRIHARJO KEC. WATES 20 JANUARI 2011 (HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM DESEMBER

CONEGARAN TRIHARJO KEC. WATES 20 JANUARI 2011 (HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM DESEMBER PENGAMATAN EPIDEMIOLOGI HASIL PEMERIKSAAN KECACINGAN di SD MUH. KEDUNGGONG, SD DUKUH NGESTIHARJO,SDN I BENDUNGAN dan SD CONEGARAN TRIHARJO KEC. WATES 20 JANUARI 2011 (HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM DESEMBER

Lebih terperinci

INFEKSI CACING JANTUNG PADA ANJING DI BEBERAPA WILAYAH PULAU JAWA DAN BALI : FAKTOR RISIKO TERKAIT DENGAN MANAJEMEN KESEHATAN ANJING FITRIAWATI

INFEKSI CACING JANTUNG PADA ANJING DI BEBERAPA WILAYAH PULAU JAWA DAN BALI : FAKTOR RISIKO TERKAIT DENGAN MANAJEMEN KESEHATAN ANJING FITRIAWATI INFEKSI CACING JANTUNG PADA ANJING DI BEBERAPA WILAYAH PULAU JAWA DAN BALI : FAKTOR RISIKO TERKAIT DENGAN MANAJEMEN KESEHATAN ANJING FITRIAWATI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Kesehatan merupakan sumber kesenangan, kenikmatan dan kebahagiaan,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Kesehatan merupakan sumber kesenangan, kenikmatan dan kebahagiaan, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kesehatan merupakan sumber kesenangan, kenikmatan dan kebahagiaan, menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 1992 dalam Bab I Pasal 1 disebutkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Sapi Bali Sapi bali adalah sapi potong asli Indonesia yang merupakan hasil

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Sapi Bali Sapi bali adalah sapi potong asli Indonesia yang merupakan hasil BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sapi Bali Sapi bali adalah sapi potong asli Indonesia yang merupakan hasil domestikasi dari banteng (Bibos banteng) (Hardjosubroto, 1994). Menurut Williamson dan Payne (1993),

Lebih terperinci

FORMULASI STRATEGI PEMASARAN SAYURAN ORGANIK PT. PERMATA HATI ORGANIC FARM CISARUA. Oleh: Laura Juita Pinem P

FORMULASI STRATEGI PEMASARAN SAYURAN ORGANIK PT. PERMATA HATI ORGANIC FARM CISARUA. Oleh: Laura Juita Pinem P FORMULASI STRATEGI PEMASARAN SAYURAN ORGANIK PT. PERMATA HATI ORGANIC FARM CISARUA Oleh: Laura Juita Pinem P056070971.38 PROGRAM PASCASARJANA MANAJEMEN DAN BISNIS INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 Hak cipta

Lebih terperinci

Klik Dibatalkan dan Ditindaklanjuti dgn Instruksi Bupati No 8 Tahun 2006 PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 22 TAHUN 2001 TENTANG

Klik Dibatalkan dan Ditindaklanjuti dgn Instruksi Bupati No 8 Tahun 2006 PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 22 TAHUN 2001 TENTANG Klik Dibatalkan dan Ditindaklanjuti dgn Instruksi Bupati No 8 Tahun 2006 PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 22 TAHUN 2001 TENTANG RETRIBUSI IJIN PEMOTONGAN TERNAK DAN PENANGANAN DAGING SERTA HASIL

Lebih terperinci

PETUNJUK PEMBERANTASAN TAENIASIS/SISTISERKOSIS DI INDONESIA

PETUNJUK PEMBERANTASAN TAENIASIS/SISTISERKOSIS DI INDONESIA PETUNJUK PEMBERANTASAN TAENIASIS/SISTISERKOSIS DI INDONESIA A. DEFINISI. 1.. ialah penyakit zoonosis parasiter yang disebkan oleh cacing pita yang tergolong dalam genus Taenia (Taenia saginata,taenia solium

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ternak babi merupakan salah satu jenis ternak yang memiliki banyak

BAB I PENDAHULUAN. Ternak babi merupakan salah satu jenis ternak yang memiliki banyak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Ternak babi merupakan salah satu jenis ternak yang memiliki banyak keunggulan dibandingkan ternak lain, yaitu laju pertumbuhan yang cepat, mudah dikembangbiakkan,

Lebih terperinci

PENGARUH PERILAKU HIDUP SEHAT TERHADAP KEJADIAN ASCARIASIS PADA SISWA SD NEGERI SEPUTIH III KECAMATAN MAYANG KABUPATEN JEMBER

PENGARUH PERILAKU HIDUP SEHAT TERHADAP KEJADIAN ASCARIASIS PADA SISWA SD NEGERI SEPUTIH III KECAMATAN MAYANG KABUPATEN JEMBER PENGARUH PERILAKU HIDUP SEHAT TERHADAP KEJADIAN ASCARIASIS PADA SISWA SD NEGERI SEPUTIH III KECAMATAN MAYANG KABUPATEN JEMBER SKRIPSI Oleh Abdi Jauhari NIM 032010101009 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

LAMPIRAN KUESIONER GAMBARAN PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU MASYARAKAT TERHADAP PENCEGAHAN PENYAKIT AVIAN INFLUENZA

LAMPIRAN KUESIONER GAMBARAN PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU MASYARAKAT TERHADAP PENCEGAHAN PENYAKIT AVIAN INFLUENZA LAMPIRAN KUESIONER GAMBARAN PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU MASYARAKAT TERHADAP PENCEGAHAN PENYAKIT AVIAN INFLUENZA (AI) DI RW02 KELURAHAN PANUNGGANGAN WILAYAH KERJA PUSKESMAS PANUNGGANGAN KOTA TANGERANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. protozoa Toxoplasma gondii, infeksi parasit ini dijumpai di seluruh dunia

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. protozoa Toxoplasma gondii, infeksi parasit ini dijumpai di seluruh dunia BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Toksoplasmosis adalah penyakit zoonosis yang disebabkan parasit protozoa Toxoplasma gondii, infeksi parasit ini dijumpai di seluruh dunia (Kijlstra dan Jongert, 2008).

Lebih terperinci

STUDI KANDUNGAN BAKTERI Salmonella sp. PADA MINUMAN SUSU TELUR MADU JAHE (STMJ) DI TAMAN KOTA DAMAY KECAMATAN KOTA SELATAN KOTA GORONTALO TAHUN 2012

STUDI KANDUNGAN BAKTERI Salmonella sp. PADA MINUMAN SUSU TELUR MADU JAHE (STMJ) DI TAMAN KOTA DAMAY KECAMATAN KOTA SELATAN KOTA GORONTALO TAHUN 2012 1 Summary STUDI KANDUNGAN BAKTERI Salmonella sp. PADA MINUMAN SUSU TELUR MADU JAHE (STMJ) DI TAMAN KOTA DAMAY KECAMATAN KOTA SELATAN KOTA GORONTALO TAHUN 2012 TRI ASTUTI NIM 811408115 Program Studi Kesehatan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Mewujudkan misi Indonesia sehat 2010 maka ditetapkan empat misi

BAB 1 PENDAHULUAN. Mewujudkan misi Indonesia sehat 2010 maka ditetapkan empat misi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mewujudkan misi Indonesia sehat 2010 maka ditetapkan empat misi pembangunan kesehatan, yaitu memelihara kesehatan yang bermutu (promotif), menjaga kesehatan (preventif),

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. penyakit tidak menular banyak ditemukan pada usia lanjut (Bustan, 1997).

BAB 1 PENDAHULUAN. penyakit tidak menular banyak ditemukan pada usia lanjut (Bustan, 1997). BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit tidak menular merupakan penyakit kronis yang sifatnya tidak ditularkan dari orang ke orang. Penyakit ini memiliki banyak kesamaan dengan beberapa sebutan penyakit

Lebih terperinci

Anjing Anda Demam, Malas Bergerak dan Cepat Haus? Waspadai Leptospirosis

Anjing Anda Demam, Malas Bergerak dan Cepat Haus? Waspadai Leptospirosis Anjing Anda Demam, Malas Bergerak dan Cepat Haus? Waspadai Leptospirosis Leptospirosis adalah penyakit berbahaya yang diakibatkan oleh bakteri Leptospira interrogans sensu lato. Penyakit ini dapat menyerang

Lebih terperinci

bio.unsoed.ac.id I. PENDAHULUAN 2. JEMS PENYAKIT CACINGAN

bio.unsoed.ac.id I. PENDAHULUAN 2. JEMS PENYAKIT CACINGAN - t::,a- _ \u\o\o A \rls\-r\ / I. JEMS.JEMS CACING PARASIT USUS YANG UMUM MEI{YERANG ANAK BALITA DAN ORANG YANG PROFESINYA BERHUBUNGAN DENGAN TANAH Oleh : Drs. Edi Basuki, Ph.D.') I. PENDAHULUAN Penyakit

Lebih terperinci

KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER

KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER Meraih masa depan berkualitas bersama Sekolah Pascasarjana IPB KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER Ketua Program Studi/Koordinator Mayor: Staf Pengajar: Drh. Abdul Zahid Ilyas, MSi Dr. drh., MS Dr. drh. Agustin

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Infeksi Trichuris trichiura adalah salah satu penyakit cacingan yang banyak

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Infeksi Trichuris trichiura adalah salah satu penyakit cacingan yang banyak BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Trichuris trichiura Infeksi Trichuris trichiura adalah salah satu penyakit cacingan yang banyak terdapat pada manusia. Diperkirakan sekitar 900 juta orang pernah terinfeksi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. adalah masalah kejadian demam tifoid (Ma rufi, 2015). Demam Tifoid atau

BAB 1 PENDAHULUAN. adalah masalah kejadian demam tifoid (Ma rufi, 2015). Demam Tifoid atau BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah kesehatan merupakan masalah yang sangat kompleks, yang saling berkaitan dengan masalah lain diluar kesehatan itu sendiri. Demikian pula untuk mengatasi masalah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. daerah di Indonesia. Prevalensi yang lebih tinggi ditemukan di daerah perkebunan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. daerah di Indonesia. Prevalensi yang lebih tinggi ditemukan di daerah perkebunan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1.1 Cacing Tambang Pada umumnya prevalensi cacing tambang berkisar 30 50 % di perbagai daerah di Indonesia. Prevalensi yang lebih tinggi ditemukan di daerah perkebunan seperti di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Giardia intestinalis. Penyakit ini menjadi salah satu penyakit diare akibat infeksi

BAB I PENDAHULUAN. Giardia intestinalis. Penyakit ini menjadi salah satu penyakit diare akibat infeksi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Giardiasis adalah penyakit diare yang disebabkan oleh protozoa patogen Giardia intestinalis. Penyakit ini menjadi salah satu penyakit diare akibat infeksi protozoa

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. terabaikan atau Neglected Infection Diseases (NIDs) yaitu penyakit infeksi

BAB 1 PENDAHULUAN. terabaikan atau Neglected Infection Diseases (NIDs) yaitu penyakit infeksi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Leptospirosis merupakan masalah kesehatan masyarakat diseluruh dunia, khususnya negara-negara yang beriklim tropis dan subtropis yang memiliki curah hujan tinggi.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan Kesehatan merupakan bagian integral dari Pembangunan. Indonesia. Pembangunan Kesehatan bertujuan untuk meningkatkan

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan Kesehatan merupakan bagian integral dari Pembangunan. Indonesia. Pembangunan Kesehatan bertujuan untuk meningkatkan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan Kesehatan merupakan bagian integral dari Pembangunan Nasional Indonesia. Pembangunan Kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan

Lebih terperinci

Hepatitis: suatu gambaran umum Hepatitis

Hepatitis: suatu gambaran umum Hepatitis Hepatitis: suatu gambaran umum Hepatitis Apakah hepatitis? Hepatitis adalah peradangan hati. Ini mungkin disebabkan oleh obat-obatan, penggunaan alkohol, atau kondisi medis tertentu. Tetapi dalam banyak

Lebih terperinci